BTemplates.com

Blogroll

Rabu, 20 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE JABANG BAYI DALAM GUCI


Jabang Bayi Dalam Guci



  



JABANG BAYI DALAM GUCI


 Tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu 


seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan 


berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken 


Parantili. Di tangan kanan orang tua Ini memegang


sebuah guci tembus pandang berisi air bening.


 "Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih


sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan


jabang bayi itu ke dalam guci ini." Berkata si orang tua.


 "Resi, aku...." Ken Parantili tidak bisa meneruskan 


ucapan. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang 


jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus 


pandang. Ketika genggaman dilepas. Jabang bayi 


merah langsung masuk ke dalam guci.



MALAM sunyi dan 


dingin di bantaran Kali 


Gondang


tak Jauh dari desa 


Kebonarum. Hampir bersamaan waktunya ketika Raja 


Mataram dan rombongan meninggalkan tempat rahasia 


di Sumur Api dalam perjalanan menuju Kotaraja. Hujan 


turun rintik-rintik.


 Bulan biru masih menggantung indah di langit


Mataram, memancarkan cahaya sejuk. Di satu tikungan


kali yang aliran airnya bergelombang deras terlihat


sebuah bangunan candi kecil, menghitam di bawah


bayang-bayang sebuah pohon besar yang tumbuh mi-


ring. Pohon telah tumbuh lebih dari seratus tahun,


hampir sama dengan usia candi. Konon pohon itu


ditanam ketika candi mulai dibangun.


 Karena letaknya yang sangat terpencil dan sulit


dicapai, sejak selesai dibangun candi itu jarang


didatangi orang. Di bagian belakang dan kiri kanan


candi terbentang kawasan berbatu-batu tinggi dan


terjal, ditutup pula oleh rimba belantara lebat. Satu-


satunya jalan untuk mencapai candi adalah melalui Kali


Gondang. Tapi karena arus air kali di tikungan selalu


besar dan sangat berbahaya maka tak ada yang berani


mempertaruhkan nyawa. Menurut penduduk desa


Kebonarum beberapa kali orang-orang nekad


berusaha mendatangi candi dengan menaiki perahu


dan getek. Mereka tertarik oleh kabar bahwa di dalam


candi terdapat sejumlah harta karun. Namun semua


mereka menemui ajal ditelan arus. Kabarnya arus air di


Kali Gondang mendadak berubah menjadi lebih besar


dan ganas jika ada orang berada di sekitar kali dan


coba mendekati candi.


 Namun malam itu ada satu keanehan. Dari luar


candi terlihat cahaya temaram pertanda ada orang di


dalamnya Memang ternyata begitulah kejadiannya


Saat itu di dalam candi berada seorang Resi yang sejak


dua malam lalu melakukan tapa Di depannya di lantai


candi terdapat sebuah lobang berbentuk empat persegi



sedalam satu jengkal. Di dalam lobang terletak empat


puluh keping batu berwarna putih. Dalam tapanya sang


resi memancarkan aliran hawa sakti ke dalam lobang.


Setelah dua hari dua malam berlalu, pada malam ketiga


kepingan-kepingan batu putih pancarkan cahaya


merah. Semakin lama cahaya itu semakin terang. Candi


yang tadinya gelap gulita kini menjadi benderang.


Bersamaan dengan itu di dalam candi menebar bau


harum dan hawa sejuk.


 Tepat di pertengahan malam ketika empat puluh


kepingan batu memancarkan cahaya yang sangat


terang tiba-tiba dari arah pintu depan candi berkelebat


satu cahaya putih. Lalu terdengar satu suara lembut


berucap.


 "Resi Kali Jagat Ampusena, kekuatan tapamu


mampu menyalakan empat puluh keping batu putih.


Tapamu diterima, berhentilah bersemedi dan dengar


baik-baik apa yang aku katakan."


 Resi bernama Kali Jagat Ampusena mengusap


wajah yang ditumbuhi kumis dan janggut putih,


perlahan-lahan buka sepasang mata. Hal pertama yang


dilihatnya setelah mendengar suara tadi adalah cahaya


putih di pintu candi. Serta merta orang tua berusia


hampir seratus tahun ini tundukkan tubuh, kepala


menyentuh lantai candi, mulut berucap.


 "Roh Putih pelindung langit dan bumi, saya yang


rendah sangat berterima kasih Roh Putih telah berkenan 


datang. Saya tahu ketenteraman telah datang di Bhumi 


Mataram. Namun rasa aman masih belum mencapai 


kesempurnaan. Untuk itu saya mohon petunjuk lebih 


lanjut dari Roh Putih."


 "Resi Kali Jagat Ampusena, ucapanmu menyatakan 


betapa hati sanubarimu menunjukkan bakti yang sangat 


tinggi terhadap Kerajaan. Tetapi ketahuilah, urusan 


Kerajaan sudah ada yang menangani. Mataram masih 


memiliki seorang Raja. Kerajaan masih mempunyai 


banyak pejabat dan orang sakti berkepandaian tinggi 


yang telah dan akan tetap berbakti untuk Bhumi 


Mataram. Biar semua mereka itu yang mengatur sesuai



dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Bagi dirimu, ada 


satu tugas yang sebenarnya sudah tersurat di alam gaib 


sejak dua puluh purnama yang lalu..."


 Dalam kejutnya mendengar ucapan Roh Putih Resi 


Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan tubuh dan 


kepala.


 "Roh Putih, saya mohon diberikan petunjuk atas tugas 


yang menjadi kewajiban saya itu."


 Baru saja sang Resi keluarkan ucapan tiba-tiba


di lantai di hadapannya muncul sepasang kasut


berwarna putih.


 "Resi Kali Jagat pada saat cahaya putih lenyap


dari pandangan matamu maka berdirilah. Kenakan


kasut putih. Kasut putih akan membawamu ke satu


tujuan. Di tempat itu kau akan menemukan seratus butir


mutiara putih di dalam sebuah mangkok perak. Segera


lakukan semedi. Sebelum fajar menyingsing dengan


kehendak Yang Maha Kuasa seratus mutiara akan


meleleh laiu berubah menjadi sebuah guci sangat


indah tembus pandang, lengkap dengan tutup yang


mencantei di bibir guci. Benda apa saja yang masuk ke


dalamnya akan terlindung dan dapat dilihat dengan


mata telanjang seolah guci itu terbuat dari kaca "


 "Sungguh besar kuasa Sang Hyang Jagatnatha...." Resi 


Kali Jagat ucapkan pujian. "Roh Putih, apa yang 


selanjutnya harus saya lakukan?"


 "Ambil guci itu. Masukkan air embun yang bisa


kau dapat dari tetesan yang ada di dedaunan. Sebelum


fajar menyingsing air embun itu sudah harus mencapai


dua pertiga ketinggian guci. Jika hal itu sudah kau


lakukan, kau akan menerima petunjuk lebih lanjut dan


kasut putih akan membawamu ke setiap tujuan sesuai


kehendak Yang Maha Kuasa. Satu hal penting kau harus


menjaga guci itu baik-baik. Kau harus menganggap


guci itu pertaruhannya sama saja dengan nyawamu.


Karena kelak guci itu akan menjadi rahim kedua dari


satu jabang bayi...."


 "Rahim kedua dari satu jabang bayi?" Resi Kali


Jagat Ampusena mengulang ucapan mahluk gaib



berupa cahaya putih di ambang pintu candi yang


dipanggilnya sebagai Roh Putih.


 "Resi Kali Jagat, ucapan sudah kau dengar.


petunjuk sudah kau dapat. Sekarang laksanakan


tugasmu."


 Resi Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan


tubuh dan kepala.


 "Roh Putih, saya siap melaksanakan tugas."


 "Semoga Yang Maha Kuasa melindungi dan


memberi pertolongan padamu."


 "Terima kasih Roh Putih." Resi berusia seratus tahun itu 


luruskan tubuh. Ketika memandang ke arah pintu candi, 


cahaya putih yang tadi ada di tempat itu ternyata sudah 


lenyap. Si orang tua mengusap wajah beberapa kali. 


Hatinya tiba-tiba saja membatin. "Apakah barusan aku 


bukannya bermimpi?" Mata sang Resi kemudian 


menatap sepasang kasut putih di lantai candi. "Tidak, 


aku tidak bermimpi." Ucap hatinya meyakinkan diri.


 Resi Kali Jagat cepat berdiri. Kasut putih dikenakan 


pada kedua kaki. Saat itu juga dia merasa tubuhnya 


seringan kapas. Belum sempat dia melangkah, sepasang 


kasut putih telah menggerakkan dua kakinya.


 "Kasut putih sahabatku, bawa aku segera ke tempat 


beradanya seratus mutiara putih." Resi Kali Jagat 


berkata.


 Saat itu juga si orang tua merasa tubuhnya


terangkat ke udara lalu ketika dia membuat gerakan


melangkah ternyata dirinya melayang. Sekejapan saja


dia sudah keiuar dari dalam candi dan melayang di


udara malam yang dingin. Menatap ke langit dia


melihat bulan biru memancarkan cahaya bening dan


sejuk. Hujan gerimis telah berhenti.


 "Bulan biru di langit Mataram. Aku bisa berjalan


melayang seolah terbang. Seratus mutiara putih.


Jabang bayi di dalam guci. Kebesaran Yang Maha


Kuasa sungguh tidak terjangkau oleh akal semua insan." 


Resi Kali Jagat Ampusena berucap dalam hati



DUA



ROMBONGAN yang 


menjemput Raja 


Mataram di kawasan 


rahasia Sumur Api 


memasuki Kotaraja setelah lewat tengah malam. Di langit 


bulan purnama empat belas hari berwarna biru 


memancarkan cahaya lembut dan sejuk. Di depan sekali


kelihatan kereta putih yang ditumpangi Raja Rakai Kayu 


Wangi Dyah Lokapala bersama permaisuri dan putera 


puterinya yang masih kecil-kecil. Seperti telah diceritakan 


daiam episode sebelumnya (Bulan Biru Di Mataram) 


kereta putih dikusiri oleh anak buah Raja Jin Hutan Roban, 


satu mahluk berjubah putih berwajah licin. Di sebelahnya


duduk Ratu Randang tampak agak terkantuk-kantuk. 


perjalanan jauh yang cukup melelahkan serta bayangi 


rasa takut akan adanya serangan mendadak akhimya 


sampai juga di tujuan dengan selamat


 Ketika rombongan memasuki pintu gerbang halaman


istana, mendadak satu ledakan dahsyat menggelegar di 


halaman belakang Istana. Cahaya angker membersit ke 


udara dalam bentuk lima larik sinar merah yang pada 


kedua tepinya ada alur berwarna hitam. Lima sinar 


bersibak menebar. Satu melesat ke arah atap Istana, dua 


lainnya menyambar ke arah dua sudut tembok halaman 


dua lagi menghambur ke arah pohon beringin besar di 


halaman dalam istana. Semua kuda penarik kereta dan 


gerobak meringkik keras. Agaknya mereka melihat 


sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Lima 


sinar merah bertepi hitam kemudian lenyap. Keadaan 


serta merta dicekam kesunyian


 Sewaktu ledakan menggelegar, Ratu Randang segera 


melompat turun dari atas kereta Kakek sakti Kumara 


Gandamayana yang berada di bagian belakang


rombongan cepat melesat ke pintu gerbang, terus


memasuki halaman istana Kunti Ambiri dan 


Sakuntaladewi berjaga-jaga di kiri kanan kereta putih,


mencegah Raja Mataram agar tidak keluar dan turun


dari kereta.


 "Apa yang terjadi?" Raja bertanya sambil keluarkan



kepala dari jendela kereta.


 "Belum jelas Yang Mulia," jawab Kunti Ambiri.


 "Tadi ada lima cahaya merah bertepi hitam menyusul


suara ledakan. Lalu lenyap. Kakek Kumara sedang


melakukan penyelidikan."


 "Pasti ini pekerjaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah 


Heran sudah menemui ajal masih mampu gentayangan." 


Ucap Raja sambil memeluk seorang puterinya yang 


ketakutan.


 "Yang Mulia, saya melihat ada keganjilan." Berkata 


Ratu Randang. Kalau ini memang serangan datang dari 


Sinuhun merah mengapa hanya ada lima cahaya merah 


Biasanya mahluk jahat itu selalu menggempur dengan 


delapan serangan cahaya sekaligus."


 Raja tak bisa menjawab. Justru Sakuntaladewi yang 


menyahuti. "Mungkin ada sesuatu terjadi. Sebagai sebab 


akibat kematian mahluk alam roh Sinuhun Merah itu


 "Bisa jadi begitu " Kata Raja puia Lalu dia bertanya 


"Apakah Kesatria Panggilan sudah ada di sini ?”


 Belum sempat Kunti Amblri menjawab tiba-tiba orang 


Abdi Dalem berteriak


 "Ada orang bertarung di atas wuwungan Istana!"


 Semua orang segera palingkan kepala, arahkan


pandangan ke atas atap istana. Raja Mataram kembali


ulurkan kepala dari jendela kereta putih untuk


menyaksikan apa yang terjadi.


 Di atas atap Istana satu mahluk aneh yang tubuhnya 


dikobari nyala api tampak tengah menggempur seorang 


pemuda berambut panjang yang bukan lain adalah 


Pendekar 212 Wiro Sableng.


 "itu Kesatria Panggilanl" Teriak Raja Mataram


 "Dia dalam keadaan terdesak. Lekas dibantul"


 Kumara Gandamayana yang telah kembali ke pintu 


gerbang memberi tahu Ratu Randang. Kunti Ambiri dan 


Sakuntaladewi untuk menjaga Raja Mataram dan 


keluarganya yang masih berada di daiam kereta serta 


dua kereta iain di sebelah belakang.


 "Kalian tetap di sini. Aku akan membantu Kesatria 


Panggilan." Kata si kakek.



Pada saat itu dari atas atap terdengar suara orang 


berteriak.


 "Kuntit Cepat keluarkan Raja dan keluarga dari


kereta putih! Keluarkan semua orang dari kereta dan


gerobak! Cari perlindungan!"


 Yang berteriak adalah Pendekar 212 Wiro Sableng


yang saat itu memang agak terdesak oleh serangan


mahluk berapi. Beberapa kali dia melompat dan


berjungkir balik di udara untuk mengelakkan serangan


ganas. Hawa panas kobaran api yang keluar dari tubuh


dan setiap serangan lawan sungguh luar biasa.


Membuat Wiro sulit mendekat dan terpaksa menghin-


dari bentrokan langsung dua lengan. 


 Kumara Gandamayana yang hendak melesat ke


atas atap Istana, mendengar teriakan Wiro jadi saling


pandang dengan tiga perempuan di depannya. 


 "Pasti ada sesuatu! " Ucap Kunti Ambiri. Lalu gadis 


cantik alam roh yang duiu dikenai dengan sebutan Dewi 


Ular ini mendobrak pintu kereta putih. Raja, Permaisuri 


dan putera-puterinya segera dikeluarkan. Di belakang 


kereta putih Sakuntaiadewi mengeluarkan keluarga Raja 


lainnya dari dalam dua kereta. Lebih ke belakang, 


puluhan orang berserabutan melompat keluar dari 


kereta dan gerobak.


 Baru saja Raja dan Permaisuri serta putera-puterinya 


keluar dari kereta dan berlindung di balik tembok kukuh 


pintu gerbang sebelah luar tiba-tiba dari arah pohon 


beringin besar di depan kanan Istana melesat satu 


cahaya merah bertepi hitam menyambar! ke arah kereta 


putih yang tadi ditumpangi Raja Mataram dan kini berada 


dalam keadaan kosong.


 "Awas serangan cahaya merahi" Teriak Ratu


Randang. Melihat cahaya merah serangan si nenek


mengira yang menyerang adalah Sinuhun Merah


Penghisap Arwah atau kaki tangannya. Maka tidak


tunggu lebih lama Ratu Randang segera keluarkan ilmu


penangkal. Dengan cepat dia tusukkan delapan jari


tangan pada batang pohon besar di sampingnya


 "Crasss! Kraakkk!"



Delapan jari tangan kiri kanan menancap dalam 


batang pohon.


 Namun tidak seperti kejadian yang sudah-sudah


ilmu penangkal ternyata tidak mempengaruhi serangan


cahaya merah bertepi hitam apa lagi mampu meng-


hancurkan atau berbalik menyerang mahluk yang


melepaskan.


 "Oalal" Ratu Randang terkesiap kaget. "Berarti


Ini bukan ilmu bersumber pada kesaktian Sinuhun


keparat itu. Atau mungkin ada kekuatan baru dalam


sinar merah. Aku melihat bagian tepi berwarna hitam!


Celakai Apa yang harus aku lakukan?!"


 "Blaarr!"


 Ledakan dahsyat menggelegar ketika cahaya


merah bertepi hitam menghantam hancur kereta putih


dan kuda penariknya. Baik kepingan kereta maupun


cabikan tubuh kuda bermentalan ke berbagai penjuru,


jatuh di tanah dalam keadaan gosong hitam berkobar


api, luar biasa mengerikanl


 "Ratu! Kuntl, Dewi Kaki Tunggal. Ada dua mahluk


jahat berujud manusia api di pohon beringin! Juga


pada dua sudut tembok Istanal"


 Dari atas wuwungan istana Wiro berteriak


memberitahu.


 Apakah sebenarnya yang telah terjadi?


 Ketika ledakan menggelegar di halaman belakang 


Istana disusul melesatnya delapan cahaya merah


bertepi hitam Wiro yang berada di bagian depan Istana


segera menyuruh tiga beias perempuan muda yang


ada bersamanya mencari perlindungan di kandang


kuda. Karena kaiau masih berada di dalam Istana bukan


mustahil bangunan itu akan menjadi bulan-bulanan


serangan. Wiro melihat bagaimana lima cahaya merah


menyebar masing-masing satu ke atas atap, dua ke arah


pohon beringin besar dan dua lagi melesat ke atas dua


sudut tembok tinggi yang mengelilingi halaman Istana.


 "Lima cahaya merah, tidak ada alur kuning tapi


justru ada warna hitam di kedua tepinya." Wiro berkata


sambil terus memperhatikan. Kemudian dilihatnya tiba


tiba lima cahaya lenyap. "Lima cahaya tidak melakukan


serangan. Ini aneh! Pasti akan terjadi sesuatu tidak


terduga!" Pikir Wiro. Maka dia segera terapkan Ilmu


Menembus Pandang. Ketika sepasang mata diarahkan


ke atas atap Istana kagetlah sang pendekar. Di atas sana


dia melihat ada satu sosok aneh dikobari api. Wiro


memperhatikan ke jurusan dua sudut tembok halaman


Istana, lalu ke arah pohon beringin besar di halaman


Istana. Di pohon itu dia kembali melihat dua sosok


mahluk berkobar api. Mereka membuat gerakan-


gerakan mencurigakan, menatap ke arah pintu gerbang.


Mahluk di atas atap tiba-tiba membuat gerakan tangan


kanan siap hendak melepaskan pukulan sakti jarak


Jauh. Yang jadi sasaran ternyata pintu gerbang istana


dfmana berada rombongan Raja Mataram yang baru


sampai.


 "Raja dalam bahaya!" Pikir Pendekar 212.


 Tidak menunggu lebih lama Wiro segera melesat


ke atas atap Istana. Selagi masih melayang di udara dia


sudah lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam


Karang. Dalam melancarkan serangan dia harus


berlaku hati-hati agar tidak meleset dan menghancurkan 


atap Istana.


 Ketika gelombang angin dahsyat datang meng-


hantam, mahluk yang dikobari api segera melesat ke


udara. Gerakan luar biasa cepat dan begitu pukulan


sakti Wiro lewat di bawah dua kaki, mahluk ini segera


melesat menyerbu. Agaknya dia sengaja melakukan


pertarungan langsung dengan tangan kosong. Wiro


yang cerdik segera maklum kalau kekuatan lawan


terletak pada dua tangan yang diselubungi api. Maka


dia tidak melayani untuk adu pukul atau bentrokan


tangan. Dua tangan dipentang kedepan. Mata menatap


tak berkesip. Dari dua tangan mengepul keluar asap


putih menebar hawa luar biasa dingin.


 Begitu hawa dingin menyentuh sosok berapi,


dess....desssl Terdengar letupan keras. Mahluk api


tampak sempoyongan.


 "Pukulan Angin Es!"



Ucap Kunti Ambiri melihat apa yang terjadi dan


mengetahui ilmu apa yang dikeluarkan Pendekar 212


untuk menyerang lawan.


 Mahluk berselubung kobaran api keluarkan


suara seperti raungan srigala gurun di malam buta.



TIGA



KOBARAN api yang 


menyelimuti mahluk 


aneh di atas atap 


Istana langsung 


padam. Sosoknya kini 


terlihat berupa. Mahluk ini tampak menggigil hebat 


akibat hantaman hawa dingin luar biasa. Rahang 


menggembung geraham bergemeletakan. Dia berusaha 


berusaha menggerakkan tangan dan kaki tapi tidak 


mampu. Sekujur aurat dan anggota badan membeku. 


Rambut dan sepasang alis berjingkrak kaku! Ujud yang 


serba merah dengan cepat diselubungi cairan putih 


membeku. Sepasang mata walau membeliak besar 


namun tak dapat melihat karena tertutup cairan putfh luar 


biasa dingin! Sekujur tubuh kepulkan uap aneh!


 Selagi mahluk itu terhuyung-huyung Wiro kirim 


tendangan kilat ke arah dada. Tendangan ini bukan 


tendangan biasa karena dilakukan dengan memakai


jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung dan dialiri aji 


kesaktian Harimau Dewa.


 Tak ampun mahluk api mencelat mental dari atas 


atap, jatuh ke tanah. Hebatnya ketika jatuh ke tanah dia 


masih bisa berdiri di atas dua kaki dan menggembor 


garang. Namun hanya sebentar. Begitu darah 


menyembur dari mulut , mahluk ini langsung roboh ter-


gelimpang di tanah dengan mata mencelet dan tak 


berkutik lagi. Ketika lapisan putih leleh dari sekujur


tubuh maka kelihatanlah sosok dan tampang asli


sang mahluk.


 Ternyata mahluk ini adalah seorang lelaki muda


berkulit hitam, muka bulat, hidung besar pesek.


 Kumara Gandamayana yang melompat memeriksa 


keadaan orang itu mengusap dagu. Dalam hati orang tua 


ini berkata.


 "Ada yang menyusupkan Ilmu jahat pada orang tak 


berdosa ini lalu mengendalikan dari jauh. Dia mungkin 


orang desa yang tidak tahu apa-apa." Si kakek


memandang berkeliling lalu cepat kembali ke dekat


pintu gerbang dlmana Raja dan yang lain-lainnya



berada.


 Selagi Wiro menendang mental lawan di atas atap,


pada dua sudut tembok yang mengelilingi halaman


Istana dan dua pohon beringin besar dimana tadi


lenyapnya empat dari lima cahaya merah bertepi hitam,


tiba-tiba kelihatan mendekam masing-masing satu


mahluk yang tubuhnya dlkobari api. Didahului


lolongan keras dua mahluk menyerbu ke arah pintu


gerbang halaman Istana. Berkelebat ke balik tembok


tinggi dimana Raja Mataram berada. Dua mahluk


lainnya turun ke bawah pohon beringin, bicara


berbisik-bisik. Yang seorang berkata.


 "Jahanam di atas atap dia memiliki Ilmu pelumpuh 


yang bisa mengeluarkan selubung cairan sekeras salju 


membeku! Untung kita dibekali Minyak Cengkih 


Penangkal Bala. Lekas lumuri sekujur tubuh mulai dari 


rambut sampai ke kakil" Saat itulah kawan mereka yang 


bertarung di atas atap Istana dihantam roboh oleh 


tendangan Wiro hingga mental dan jatuh ke halaman 


Istana.


 Melihat hal ini dua mahluk berselubung kobaran


api di bawah pohon Beringin cepat keluarkan sebuah


tabung terbuat dari bambu. Penutup tabung dibuka. Isi


diguyur ke atas kepala. Benda cair yang bernama


Minyak Cengkih Penangkal Bala dilumuri ke atas


kepala, wajah, sekujur tubuh sampai ke kaki. Anehnya


walau dilumuri cairan minyak kobaran api di tubuh


mereka masih terus menyala!


 Didahului suara menggembor keras dua mahluk api 


Ini kemudian melesat ke atas wuwungan Istana, tepat 


ketika Wiro hendak melompat turun guna melindungi Raja 


dan keluarganya dari serangan dua mahluk api. Raja 


saat itu dikawal ketat oleh Kumara Gandamayana, Ratu 


Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.


 Sementara itu dua belas orang berjubah putih


bermuka licin anak buah Raja Jin Hutan Roban yang


sebelumnya diperintahkan oleh pimpinan mereka


untuk menjemput dan membawa rombongan Raja


Mataram ke Kotaraja, berkumpul di salah satu sudut



halaman Istana. Salah seorang dari mereka berkata.


 "Kita hanya dapat perintah menjemput rombongan 


Raja Mataram dan membawanya ke sini. Tugas 


sebenarnya sudah selesai dan kita boleh pergi.


Tapi saat ini Raja Mataram berada dalam keadaan


bahaya. Sementara kita tidak dapat perintah untuk


melakukan hal lain selain menjemput. Apa yang harus


kita lakukan?!"


 "Walau tidak ada perintah dari pimpinan, sebaiknya 


kita membantu mengusir empat mahluk api Itu!" Seorang 


Jin menyahuti.


 "Kalau begitu kita harus bertindak cepat!" Jin muka 


licin yang bertubuh paling tinggi mengambil keputusan.


 'Wuttt! Sett. ..settt!"


 Enam anak buah Raja Jin Hutan Roban melesat


keatas Istana sementara enam lainnya ke arah dua


mahluk api yang berkelebat ke jurusan pintu gerbang,


siap untuk menyerang Raja dan keluarganya.


 "Dua mahluk api! Kembali ke ujud kalian semula!"


 "Susul teman kalian yang sudah jadi bangkai!"


 Dua Jin muka licin berteriak lalu bersama empat


temannya dorongkan dua tangan sekaligus ke arah dua


mahluk api yang berada di depan mereka. Enam cahaya


putih menderu, menebar bau kemenyan!


 Dua mahluk api keluarkan suara meraung keras,


balikkan badan lalu membalas serangan lawan dengan


pukulan tangan kanan yang menebar cahaya merah


menyala bertepi hitam.


 "Blaarr! Blaarr! Blaarr!"


 Dua cahaya merah bertepi hitam saling bentrokan


di udara dengan enam cahaya putih. Saking hebatnya


bentrokan itu tiang pintu gejbang sebelah kiri roboh,


bagian tembok halaman runtuh! Dua kereta hancur


berantakan, dua kuda penariknya tergelimpang


meringkik keras.


 Enam mahluk berjubah putih berseru kaget


ketika dapatkan diri mereka tergontai-gontai. Sepasang


kaki seperti mau leleh. Dan yang membuat mereka


berteriak kaget karena tiba-tiba sekujur jubah mereka



sudah dlkobari api. Bagian dlmana seharusnya mulut


berada dari Jin muka licin menggembung ke depan


lalu terdengar suara meniup keras berulang kali.


Kobaran api yang membakar jubah serta merta padam.


Jubah yang tadi putih kini tampak hangus dan robek


di beberapa bagian.


 Baru selamat dari serangan di depan sana enam


jin muka putih licin melihat dua mahluk api kembali


hendak melancarkan serangan. Kali Ini tidak tanggung-


tanggung karena mereka pergunakan dua tangan


sekaligus! Benar saja, sekejapan kemudian empat jalur


cahaya merah bertepi hitam berkiblat luar biasa ganas!


 "Kita berasal dari api neraka! Mengapa takut pada


api dunia! Ha...ha...ha!"


 Salah seorang Jin berjubah dan berwajah putih


berseru. Lalu dia kembali berteriak.


 "Jin Langit Meratap Jin Bumi Menangis!"


 Itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki anak buah 


Raja Jin Hutan Roban. Walau hebat namun tingkatannya 


belum mencapai kesempurnaan. Tiga sosok putih 


melesat ke udara sambil keluarkan suara seperti orang 


meratap. Tiga jin lagi lagi jatuhkan diri ke tanah seolah-


olah hendak amblaskan tubuh. Dari mulut mereka keluar 


suara layaknya orang menangis! Yang di atas dorongkan 


telapak tangan ke bawah, tiga yang dibawah 


mendorong tangan ke atas!


 Dua mahluk api tersentak kaget ketika mendadak


sontak merasa seperti ada satu tembok besar menekan 


Kepala mereka ke bawah sementara di sebelah bawah 


bumi bergetar dan bergerak ke atas! Sosok api mereka 


laksana digenceti Serangan empat cahaya merah yang


mereka lancarkan bergoyang tak karuan lalu tiba-tiba 


amblas. Dua mahluk api meraung keras. Mereka seolah 


mengalami kesakitan hebat Pada hal ini adalah tipuan 


belaka.


 Merasa berhasil menghancurkan serangan tiga


 mahluk api, enam Jin Putih menjadi lengah dalam


 kegembiraan mereka. Tiba-tiba tidak terduga dua


 mahluk api melompat dan mengambang melintang di



udara. Ini adalah satu cara untuk menghindari gencetan 


dari atas dan tekanan dari bawah dibanding jika mereka 


tetap berdiri. Tubuh kembali mulur panjang seperti 


semula. Keduanya sentakkan tangan kiri kanan. Empat


larik sinar hitam yang sebelumnya berada di dua sisi 


cahaya merah tiba-tiba muncul kembali dan dengan 


kecepatan kilat greekk...greekk...greekk!


 Delapan larik tali hitam bukan hanya melibat enam 


Jin muka licin hingga tak mampu bergerak tapi sekaligus 


merupakan benda tajam aneh yang memotong putus 


tubuh mereka hingga terkutung-kutung di delapan 


bagian.


 Semua orang menyaksikan kejadian yang luar biasa 


mengerikan itu dengan tengkuk dingin dan jantung 


serasa copot. Permaisuri dan beberapa perempuan 


menjerit dan menutup muka. Enam Jin muka licin 


keluarkan suara menggerung. Walau tubuh mereka 


terkutung-kutung tapi tak ada darah yang menyembur. 


Tak ada isi perut yang berbusalan.


Kutungan tubuh berubah menjadi asap merah lalu


lenyap tak berbekas. Enam Jin muka licin yang masih


hidup berteriak marah tapi mereka tidak berani berbuat


apa-apa.


 Dua mahluk api tertawa bergelak. Tiba-tiba


mereka membalikkan tubuh ke arah tembok Istana di


sisi kiri pintu gerbang yang roboh. Dua pasang mata


merah mendelik besar menatap ke arah tempat Raja


Mataram berada. Rakai Kayuwangl sendiri saat itu


sudah bersiap diri dengan keris Widuri Bulan di tangan


kanan. Sementara Kumara Gandamayana, Kunti Amblri,


Ratu Randang dan Sakuntaladewi yang sejak tadi


berjaga-jaga berjajar berkeliling siap melindungi Raja


dan keluarganya.


 Tiba-tiba dua mahluk api memekik keras, dua


lutut ditekuk, empat tangan dipukulkan ke depan secara


berbarangan!



EMPAT



KETIKA melihat Raja 


dalam bahaya 


Pendekar 212 segera 


melompat dari atas 


atap Istana sambil melepas Pukulan Angin Es ke arah dua 


mahluk api yang menyerang. Namun jarak terlalu jauh. 


Selain itu di saat bersamaan dua mahluk api lainnya telah 


melesat ke udara langsung menyerang dirinya.


 "Wusssl"


 Dua lidah api berkiblat


 Dua mahluk api runcingkan mulut meniup.


 Dua semburan api menderu menyusul dua lidah


api sebelumnya. Kalau dua lidah api pertama melesat


ke arah atas kepala Wiro maka dua semburan api


rnenyambar ke bagian kaki.


 "Kurang ajar. Dua bangsat itu tidak memberl


Kesempatan. Mereka membuat serangan mengunci


hingga aku tidak bisa melompat ke atas atau terjun ke


bawahl Mereka benar-benar inginkan nyawaku! Mereka


tidak tahu. Di dalam kecerdikan ada akal”


 Wiro menjejak dua kaki. Tubuhnya naik ke atas


lalu mengambang sama datar dengan bagian tertinggi


atap Istana. Begitu lidah api lewat dialas dan dibawah


tubuhnya secepat kilat tangan kanan menggebrak


melepas Pukulan Angin Es ke arah tiga mahluk api.


Kepulan asap putih menebar hawa luar biasa dingin


menderu. Dalam jarak yang begitu dekat apa lagi tengah


melesat ke udara, dua mahluk api tidak mampu


mengelak atau menangkis.


 "Dess Desss!"


 Hawa dingin menyambar dan menggulung tubuh


dua mahluk api. Keduanya tampak sempoyongan


seperti mau terjungkal dari atas atap. Namun dengan


cepat mereka mampu mengimbangi diri. Yang membuat


Wiro terkejut, Pukulan Angin Es kali ini tidak membuat


api yang menyelubungi tubuh dua lawan menjadi


padam, apa lagi melumpuhkan mereka dengan


selubung cairan putih dingin menyerupai salju.


Padahal sebelumnya satu mahluk api telah dibuat tak



berdaya dengan pukulan yang sama. Ini bukan lain


karena kesaktian cairan pelindung berupa Minyak


Cengkih Penangkal Bala.


 Dua mahluk api tertawa bergelak seolah mengejek. 


Lalu berbarangan mereka berteriak.


 "Nyawa! Nyawamu! Kami minta nyawamu


pengganti nyawa sahabat kami yang kau bunuhl" Dua


mahluk api lalu memutar tangan masing-masing dalam


gerakan aneh. Empat lidah api yang tadi gagal


menghantam sasaran kini seperti dibetot tiba-tiba


berbafik, berubah membuntal laksana ombak melabrak


ke arah Pendekar 2121


 "Gila!" Rutuk Pendekar 212. "Dua Setan Alas


Kalian susul saja keparat sahabat kalian itu" Teriak


Wiro.


 Tenaga dalam dikerahkan penuh.Tangan kiri


bergerak melepas Pukulan Benteng Topan Melanda 


Samudera yang merupakan serangan sekaligus 


membentengi diri. Lalu dalam waktu bersamaan tangan 


kanan hantamkan Pukulan Dewa Topan Menggusur 


Gunung.


 Dentuman dahsyat menggelegar di udara. Empat


 lidah api tercabik mental ke udara. Terdengar teriakan-


teriakan garang penasaranl Memandang ke depan Wiro


tidak melihat lagi dua mahluk api Itul Mendadak dia


merasa ada sambaran angin disertai suara mendesir. Wiro 


mendongak ke atas. Astaga!


 Empat benda aneh berbentuk tali hitam melesat ke 


arah Wiro dalam gerak luar biasa cepat Empat tali yang 


memiliki kekuatan laksana kawat baja Ini berasal dari 


dua cahaya merah serangan pukulan tiga mahluk api. 


Walau dua cahaya merah berhasil dibuat musnah 


tercabik-cabik namun empat alur hitam yang 


mengapitnya tidak mampu dihancurkan. Tali hitam Inilah 


yang sebelumnya telah membabat buntung tubuh enam 


Jin muka licin! Wiro menyaksikan sendiri kejadian


mengerikan Itu! Dan kini agaknya dia akan mengalami


nasib yang sama!


 "Wutttt!"



"Bettt! Bettt! BetttP


 Empat tali hitam dengan cepat melibat sosok Wiro 


mulai dari leher, tubuh sampai betis! Dua mahluk api 


saling memberi isyarat, siap untuk menyentakkan empat 


tali maut yang memiliki kekuatan laksana seutas baja 


serta ketajaman seperti pedang tipis bermata dual


 "Gusti Allah! Kalau memang belum saatnya mati 


maka selamatkan diri saya! Kalau memang ajal sudah


di depan mata, saya pasrah datang menghadapMul"


Wiro berseru lalu menyambung ucapan dengan rapalan


aji kesaktian ilmu Belut Menyusup Tanah. Bersamaan


dengan itu, karena dua tangannya sudah dilibat empat


tali hitam dan tidak mungkin dipergunakan untuk


melepas pukulan, dengan cepat Wiro alirkan sebagian


tenaga dalam dan hawa sakti ke kepala sambil 


sepasang mata dipentang.


 Aji kesaktian Belut Menyusup Tanah membuat


sekujur tubuh Wiro mulai dari kepala sampai ujung


kaki menjadi selicin belut berselubung minyak. Sosok


Wiro meluncur kebawah, lolos dari libatan empat tali


hitam. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya


mencuat keluar dua larik cahaya hijau yang saling


bersilang. Laksana sebuah gunting raksasa dua cahaya


hijau membabat ke arah tiga mahluk api. Ilmu Sepasang


Pedang Dewal


 "Crasssl Crasss!"


 Raungan seperti lolongan anjing menggelegar


di atas atap bangunan Istana. Dua sosok mahluk api


terkutung dua, jatuh menggelinding di atas atap lalu


jatuh bergedebuk di halaman samping. Api yang


mengobarl tubuh mereka lenyap. Dua sosok yang


terkutung mengerikan itu berubah ke ujud asli dan


berselubung warna hijau pekat Dari wajah ke dua orang 


itu, walau sudah berubah hijau namun masih bisa


disaksikan kalau mereka adalah anak-anak muda


berusia belasan tahuni Sungguh sangat mengenaskan!


 Ketika lolos dari libatan empat tali maut, sosok Wiro 


yang diselimuti aji kesaktian Belut Menyusup Tanah 


meluncur deras ke bawah dan mau tak mau



menghantam atap bangunan Istana tanpa bisa dicegah.


 "Braaakkk!"


 Atap jebol. Tubuh Pendekar 212 terperosok masuk ke 


dalam Istana, jatuh setengah berlutut di lantai batu 


pualam.


 "Gusti Allah! Terima kasih Kau masih memberi umur 


panjang pada saya!"


 Baru saja Pendekar 212 keluarkan ucapan puji syukur 


seperti itu tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara 


desahan nafas. Sebuah benda meluncur dan berhenti di 


hadapannya. Benda itu ternyata sebuah bintang kecil 


bersudut lima berwarna merah pekat, terbuat dari 


perunggu.


 Wiro palingkan kepala ke arah sudut ruangan dari 


mana tadi datangnya benda berbentuk bintang.


Dlsudut sana dia melihat satu sosok samar


mengenakan jubah berwarna hijau. Di atas kepalanya


ada sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang


tidak jelas apakah topi, belangkon atau mahkota.


 Wiro cepat berdiri dan membentak sambil tangan siap 


melepas pukulan jarak jauh. 


 "Siapa?!" Wiro membentak. Mata menatap tak


berkesip, otak berpikir coba mengenali siapa adanya


mahluk di sudut ruangan.


 Suara jawaban yang didengar Wiro hanya berupa


suara mengiang di kedua telinganya.


 "Cepat ambil bintang merah bersudut lima.


Simpan baik-baik. Jangan bunuh mahluk api ke lima.


Jika Raja sudah terselamatkan tancapkan bintang


merah ke dalam batok kepala mahluk api ke lima!"


 Wiro memandang seputar ruangan lalu kembali


menatap ke arah sosok samar hijau. "Aku tidak mengerti


apa maksudmu! Kau siapa! Punya niat baik atau jahat!"


 Kali ini tidak ada suara jawaban. Sosok samar


hijau di sudut ruangan berputar laksana gasing lalu


wuuss! Sosok itu lenyap amblas ke lantai ruangan yang


terbuat dari batu pualam. Wiro ambil benda berbentuk


bintang merah lalu melangkah cepat ke sudut ruangan


dimana tadi mahluk samar hijau berada. Di lantai


ruangan dia melihat ada sebuah lobang sangat dalam.


 "Terowongan Arwah!" Ucap Pendekar 212.


"Apakah mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit


Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di sini?"


 Wiro tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih 


lama. Di luar sana terdengar suara teriakan-teriakan riuh 


dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk 


bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak 


sengaja benda Itu disisipkan di bagian yang sama 


dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga 


Matahari kecil.


 "Ihhhh! Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau 


amis ini!" Tiba-tiba terdengar jeritan halus.


 "Ampun! Hueekkk! Aku mau muntah!"


 Wiro terperangah. Delapan bunga Matahari kecil.


Delapan Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan


benda berbentuk bintang lalu dipindah dan


dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang


melilit di pinggang.


 Tidak menunggu lebih lama dia kemudian segera 


keluar dan dalam ruangan. Begitu keluar dari dalam 


Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah


runtuh melesat empat larik cahaya merah bertepi hitam.


Berarti dua mahluk api sudah melancarkan serangan.


Walau dia melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu


Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal 


sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup


nenghadapl serangan lawan dan sekaligus mampu


melindungi Raja?


 Cerdiknya dua mahluk api membagi serangan


sedemikian rupa hingga benar-benar membuat terkejut


Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta


keluarganya.



ruangan dia melihat ada sebuah lobang sangat dalam.


 "Terowongan Arwah!" Ucap Pendekar 212.


"Apakah mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit


Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di sini?"


 Wiro tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih 


lama. Di luar sana terdengar suara teriakan-teriakan riuh 


dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk 


bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak 


sengaja benda Itu disisipkan di bagian yang sama 


dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga 


Matahari kecil.


 "Ihhhh! Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau 


amis ini!" Tiba-tiba terdengar jeritan halus.


 "Ampun! Hueekkk! Aku mau muntah!"


 Wiro terperangah. Delapan bunga Matahari kecil.


Delapan Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan


benda berbentuk bintang lalu dipindah dan


dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang


melilit di pinggang.


 Tidak menunggu lebih lama dia kemudian segera 


keluar dan dalam ruangan. Begitu keluar dari dalam 


Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah


runtuh melesat empat larik cahaya merah bertepi hitam.


Berarti dua mahluk api sudah melancarkan serangan.


Walau dia melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu


Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal 


sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup


nenghadapl serangan lawan dan sekaligus mampu


melindungi Raja?


 Cerdiknya dua mahluk api membagi serangan


sedemikian rupa hingga benar-benar membuat terkejut


Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta


keluarganya



LIMA



EMPAT sambaran 


lidah api menderu 


ke arah Kumara


Gandamayana, 


Ratu Randang, 


Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Selagi ketiga orang ini 


berusaha menghindar sambil balas menghantam 


dengan pukulan sakti, delapan larik tali hitam yang 


berasal dari dua tepi pada empat sinar merah didahului 


suara menggelegar menderu ke arah Raja Mataram dan


keluarganya.


 Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala cepat babatkan 


Keris Wlduri Bulan di tangan kanan. Selarik sinar putih 


berbentuk kipas raksasa membabat di udara.


 "Traangg!"


 Keris sakti terlepas dari genggaman Raja, terpental 


jatuh ke tanah, berubah menjadi besi melengkung hitam 


gosong! Dua tali hitam musnah namun sisanya yang 


enam terus menggebubu ke arah Raja dan keluarganya 


yang saat itu terkapar dan bergeletakan di tanah.


 Raja Mataram berteriak keras ketika melihat empat 


tali hitam menyerang ke arahnya sementara dua lagi 


bergulung ganas menuju permaisuri dan putera-


puterinya. Dua orang Abdi Dalem yang hanya memiliki


Ilmu silat luar berusaha melindungi Raja dan


keluarganya dengan cara nekad yaitu hamburkan diri


monyosong serangan tali-tali hitam.


 "Bettl Bett! Crasss!"


 Tubuh kedua Abdi Dalem itu bertebaran ditanah 


dalam bentuk kutungan-kutungan mengerikan dan 


berwarna hitam gosong!


 Di saat yang begitu genting Raja berupaya


mellndungi diri dan keluarganya dengan pukulan sakti


Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu seperti


payung terkembang muncul di udara. Dua lagi serangan


tali hitam dapat dimusnahkan. Namun tidak terduga


salah seorang mahluk api melesat melewati reruntuhan


tombok dan kirimkan satu tendangan ke tangan Raja


yang tengah melancarkan pukulan sakti.



"Kraakk!"


 Raja Mataram mengeluh tinggi. Tubuh kembali


terbanting ke tanah, lengan kanan patah dihantam


tendangan! Dalam keadaan seperti Itu dua tali hitam


masih terus menderu ke arahnya!


 "Celaka! Selamatkan Raja!" Teriak Ratu Randang


sementara dia dan yang lain-lain berusaha menahan


hantaman empat ildah api dengan serangan balasan.


Kumara Gandamayana lemparkan sorban kelabunya


berusaha menahan serangan empat tali hitam namun


sorban musnah tercabik-cabik lalu musnah jadi debu!


 Dari arah Istana Wiro berniat melepas Pukulan


Sinar Matahari ke arah dua mahluk api. Namun dia


merasa bimbang karena keberadaan dua mahluk api


itu dekat sekali dan dalam satu garis lurus dengan


kedudukan Raja serta para sahabat. Akhirnya Wiro


membuat gerakan berjungkir balik, tubuh melesat ke


kiri lalu dari arah samping ini dia baru dapat melepas


Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan


disertai hamparan hawa luar bias panas berkiblat!


 Di saat yang bersamaan dari arah depan Ratu


Rendang Kunti Ambin serta Sakuntaladewi sama-sama


pula melepas pukulan sakti menghantam empat lidah


api. Dengan demikian keberadaan dan keselamatan


Raja Mataram beserta keluarganya telah terlupakan!


Justru hal inilah yang rupanya sengaja diciptakan oleh


dua mahluk api walau maksud jahat mereka itu akhirnya


mengalami kesia-siaan!


 Udara di tempat itu dilanda gelegar letusan luar


biasa dahsyat. Dua mahluk api terkapar di tanah


Kobaran api yang menyelubungi mereka tak kelihatan


lagi. Kini terlihat sosok mereka berupa dua pemuda


dengan sekujur badan hangus mengelupas. Ternyata


mereka masih hidup. Mengerang panjang dan


menggeliat-geliat


 Melihat hal Ini Kunti Amblrl yang tidak sabaran


langsung saja melompat dan tendang kepala salah satu


dari dua orang itu hingga pecah dan tubuh mencelat


mental. Ketika Kunti Amblrl hendak menendang kepala


pemuda yang kedua Wiro cepat berteriak.


 "Jangan bunuh yang satu itu! Lekas selamatkan Raja"


 Kunti Amblrl merasa heran mengapa Wiro melarang 


dia membunuh mahluk jahat itu. Namun gadis alam roh 


ini Ini mendadak sadar kalau saat Itu Raja Mataram 


beserta keluarganya tidak lagi terlindungi


 "Edani Kenapa kita semua berlaku tolol melupakan 


Raja" Teriak Ratu Randang. Bersama sakuntaladewl nenek 


ini berkelebat ke arah pintu gerbang.


 Dalam keadaan luar biasa genting dimana tidak


 ada lagi kesempatan untuk menolong Raja dan


keluarganya dari serangan empat tali hitam, tiba-tiba


dari arah tembok Istana sebelah selatan melesat orang 


berpakaian hijau, rambut tergerai lepas mengambang 


di udara saking luar biasa cepat gerakannya. Di 


punggungnya orang ini membekal sebuah buntalan 


kain hitam. Sambil melesat di udara dia berseru.


 "Petir hitami Mana mungkin ada di dunia inil Tapi aku 


melihat dengan mata kepala sendiri! Luar biasa! 


Mengapa para sahabat tidak mau memberi tahu 


sebelumnya kalau d sini ada petir anehi Hik...hlk...hlkl"


 Suara yang berseru adalah suara perempuan. Sosok 


yang melesat di udara berjungkir balik satu kali lalu 


wutttt! Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan


empat tali hitam.


 "Petir hitam di malam buta! Ada empati Weehhh!


Aku suka"


 Lalu sulit dipercaya tetapi nyata, orang berpakaian 


hijau kembangkan dua tangan. Dengan gerakan aneh 


dia berhasil menangkap ujung delapan tali hitam lalu 


dengan kecepatan luar biasa dia melesat ke udara 


sambil membuntal delapan tali hitam yang


disangkanya petlr.


 "Jaka Pesolek!"


 Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama berseru


berbarengan!


 Hlk...hikl Ini memang aku! Tapi jangan bicara dulu! 


Aku lagi asyik! Ini petir paling aneh yang pernah aku lihat 


seumur hidup!" Orang yang membuntal empat tali maut


hitam berteriak menyahuti!



ENAM



ORANG berambut 


hitam panjang 


berpakaian hijau


memang adalah gadis 


bernama Jaka Pesolek yang selama Ini dikenal sebagal 


satu-satunya manusia memiliki kepandaian aneh luar 


biasa. Yaitu mampu menangkap petir.


 Dengan gerakan kilat Jaka Pesolek kembangkang 


dua tangan lalu sett..sett...sett...sett! empat ujung tali 


hitam tahu-tahu sudah berada dalam cekalannya lalu 


dengan kecepatan luar biasa dibuntal demikian rupa 


malah digulung-gulung ke tubuhnya sendirl seperti 


bermain-main!.


 "Petir jeleki Tidak ada apa-apanya!" Si gadis berteriak 


lalu dia melesat ke arah sebuah pohon besar di kiri luar 


tembok istana.


 Tubuh diputar.


 "Retttt!"


 Empat tali hitam yang menggulung tubuh terbuka


lalu dengan cepat ganti digulung ke batang pohon.


sambil tertawa haha-hihi Jaka Pesolek melayang turun


ke tanah. Mulutnya lagi-lagi berucap.


 "Petir jelek! Tidur saja kalian di batang pohon


itu! Sialan! Hanya membuang-buang waktuku sajaP


 Baru saja si gadis keluarkan ucapan tiba-tiba


greek...greekk....greekkl Empat tali hitam yang


digulung pada batang pohon bergeletar keras seperti


ada yang menyentakkan. Di lain kejap batang pohon


putus di tiga tempat lalu tumbang dengan suara


bergemuruh. Empat tali hitam melesat ke udara,


membentuk asap lalu lenyap dari pandangan mata di


malam gelap!


 Wajah cantik Jaka Pesolek berubah pucat


menyaksikan apa yang terjadi dengan batang pohon.


 "Kalau aku yang mengalami! Oala!" Si gadis


cepat tekap bagian bawah perutnya. Lalu dia meraba


ke belakang, memegang bungkusan kain hitam yang


dipanggulnya. "Aku harus cepat pergi dari sini


Sebagian waktuku sudah lenyap percuma gara-gara


petir hitam sialan itu!"


 Wiro cepat melompat ke arah tembok dekat pintu


gerbang yang runtuh. Saat itu dikelilingi oleh Permaisuri 


dan anak-anak serta beberapa orang Abdi Dalem, Raja 


Mataram berusaha berdiri sambil bersandar ke bagian 


tembok yang masih utuh. Tangan kanan terkulai ke 


bawah karena patah di bagian lengan akibat tendangan 


salah satu mahluk api.


 "Yang Mulia, izinkan saya mengobati lengan Yang 


Mulia yang patah." Berkata Wiro begitu sampai di


hadapan Raja Mataram.


 "Terima kasih. Aku lebih suka kalau bisa masuk


dulu ke dalam Istana bersama semua orang yang ada


di sini sekarang juga." Jawab Raja Mataram.


 "Jangan dulu masuk Istana. Saya kawatlr masih


ada mahluk atau orang jahat di sekitar sini yang secara


tak terduga bisa melakukan serangan lagi." Jawab


Wiro pula.


 Raja Mataram terdiam sejurus. Sepasang mata


menatap ke arah kejauhan. Orang-orang itu, mengapa


mereka mengejar gadis yang tadi telah menolongku."


Berkata Raja sambil menatap ke arah Jaka Pesolek yang


berlari meninggalkan tempat itu tapi dicegah dan


berusaha dikejar oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan


Sakuntaladewi. Sebenarnya dengan kecepatan gerakan


kilat yang dimilikinya Jaka Pesolek tidak mungkin akan


terkejar. Namun akhirnya di satu tempat si gadis


hentikan lari, menunggu kedatangan tiga orang yang


mengejarnya.


 "Hal! Kalian bertiga, mengapa mengejarku?"


Bertanya Jaka Pesolek.


 "Gadis gendeng! Masih bisa bertanya! Waktu di


tepi telaga yang ada air terjunnya, kau tiba-tiba lenyap


begitu saja!" Berkata Ratu Randang.


 Kunti Ambiri mendekati Jaka Pesolek lalu berkata. 


"Waktu itu aku memberikan sehelai pakaian hijau 


padamu pengganti pakaian merahmu yang robek


amburadul tak karuan. Waktu itu kau pergi ke balik


semak belukar untuk berganti pakaian. Lalu kami


mendengar suara teriakanmu minta tolong. Begitu kami


menyelidik ke balik semak belukar, kau tidak ada lagi


di tempat itu. Apa yang terjadi? Nyatanya kau sekarang


mengenakan pakaian yang aku berikan."


 "Anu, anu...panjang ceritanya. Waktuku sangat


berharga. Apa kalian tidak lebih mementingkan


menolong Raja dan keluarganya lebih dulu? Aku harus


pergi."


 "Kalau kau berani pergi sebelum memberi


keterangan, aku tarik anumu sampai putus!"


 Kunti Ambiri mengancam dan ulurkan tangan ke


bawah perut Jaka Pesolek. Si gadis cepat bersurut


mundur sambil tekap auratnya sebelah bawah. Sambil


senyum-senyum dia berkata.


 "Jangan ditarik, apa lagi sampai putus! Nanti aku


tidak bisa jantan tidak bisa betina iagi! Hik...hik...hik!"


 "Sahabat Jaka Pesolek, kau membawa bungkusan 


kain hitam! Apa isinya?" Bertanya Sakuntaladewi alias 


Dewi Kaki Tunggal.


 "Anu...anu...."


 "Anu...anu! Mengapa kau sekarang bicara seperti itu! 


Menyebut anu anu terus-terusan?!" Sentak Ratu Randang.


 "Anu, eh maksudku Nek, bungkusan ini isinya


benda luar biasa berharga. Ada sangkut paut dengan


si anu yang menemuiku di balik semak belukar ketika


aku tengah berganti pakaian."


 "Gadis sial! Siapa si anu yang kau maksudkan?"


Tanya Ratu Randang kesal dengan mata mendelik.


 "Dia...Itu lelaki gagah yang menemuiku di


balik semak belukar.


 Kulitnya putih, wajahnya jernih. Dia tampan sekali. 


Jubahnya sama warnanya dengan pakaian yang


aku kenakan. Di kepalanya bertengger semacam


mahkota aneh berbentuk atap rumah terbuat dari emas."


 Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi


saling pandang. "Teruskan ceritamu," kata si nenek


pula.


 "Lelaki itu apik dan gagah. Tapi sayang ketika


aku diam-diam meraba ke bawah perutnya ternyata di 


bagian itu cuma licin-licin saja. Berarti walau 


penampilan sebagal seorang lelaki gagah, dia


sebetulnya bukan laki-laki karena tidak punya anul"


 "Masakan kau berani melakukan itu?" Ujar


Sakuntaladewi.


 "Ih, aku ini kan cantik. Mana ada lelaki yang tidak 


mau aku poles anunya. Hik...hik...hikl"


 "Jaka Pesolekl Jangan berceloteh tak karuan.


Ceritakan apa yang telah terjadi I" Kunti Ambiri berkata


setengah membentak.


 Jaka Pesolek senyum-senyum lalu menuturkan. 


Waktu aku berada di balik semak belukar, dalam 


keadaan nyaris bugil karena tengah berganti pakaian 


tiba-tiba si anu itu muncul! Tentu saja aku menjerit


melihat ada orang gagah berada di hadapanku. Aku 


merinding, tapi merinding senang. Hik...hlk!"


 "Kau pasti merayunyal" Tuduh Ratu Randang pula.


 "Kalau saja kalian tidak ada di dekat telaga, mungkin 


hal itu aku lakukan. Hlk...hik...hik. Belum sempat aku 


mengenakan pakaian hijau yang diberikan sahabat Kunti 


Ambiri, lelaki itu merangkul pinggangku. Aku dipanggul 


lalu dilarikan ke satu tempat. Ternyata dia tidak 


bermaksud jahat Lebih dulu dia menyuruhku berpakaian. 


Kemudian dia mengatakan kalau sangat membutuhkan 


pertolongan seseorang yang mampu bertindak cepat 


seperti diriku. Dia minta aku mencari seorang bernama 


Ken Parantili.."


 "Astaga! Itu adalah selir pertama dari Penguasa Atap 


Langit!'' Kata Kunti Ambiri terkejut.


 "Betul sekali!" Menyahut Jaka Pesolek. "Dan lelaki 


gagah itu adalah sang Penguasa sendiri!"


 Kembali tiga orang di hadapan Jaka pesolek saling 


bertatap pandang.


 "Pertolongan apa yang diinginkan Penguasa Atap 


Langit?" Sakuntaladewi bertanya.


 "Dia memberikan bungkusan Ini padaku." Jaka


Pesolek turunkan bungkusan kain hitam di punggung.


Lalu dia melangkah mendekati tiga orang di



hadapannya sambil membuka bungkusan kain hitam.


 Sakuntaladewi, Ratu Randang dan Kunti Ambiri


ulurkan kepala, melihat isi bungkusan kain hitam. Di


dalam bungkusan terdapat sebuah keranjang terbuat


dari anyaman daun pisang segar dan hijau. Perlahan-


lahan Jaka Pesolek membuka penutup keranjang.


Walau keadaan agak gelap tapi jelas terlihat di dalam


keranjang daun pisang itu ada air. Lalu di dalam air


ada sebuah benda aneh, lebih besar sedikit dari


kepalan tangan manusia, berwarna merah dan tiada


henti berdenyut


 "Benda apa itu?" Tanya Ratu Randang sementara


Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri tentu saja ingin tahu pula.


 "Jantung! Jantung manusiai" Jawab Jaka Pesolek.


 Tiga orang di hadapan si gadis bersurut mundur.


Wajah berubah.


 "Edan!" Rutuki Ratu Randang.


 "Jangan bicara ngacokl" Hardik Kunti Ambiri.


 "Aku tidak edan! Aku tidak bicara ngacokl Ini Jantung 


manusia! Jantungnya Ken Parantili Selir pertama 


Penguasa Atap Langitl"


 Mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ratu Randang,


Kunti Ambiri dan Sakuntaladewl meski masih belum


percaya tetap saja mereka merasa tengkuk masing-


masing menjadi merinding dingin!


 "Aneh, mengapa Penguasa Atap Langit memberikan 


jantung Ken Parantili padamu?" Tanya Ratu Randang. 


"Apa mau diserahkan pada Kesatria Panggilan atau 


seseorang yang menjadi musuhnya?"



TUJUH



"APA kalian tidak ingat 


cerita yang pernah 


dituturkan sahabat 


Kesatria Panggilan? 


Penguasa Atap Langit selalu mencopot jantung setiap 


selirnya lalu disimpan di satu tempat rahasia. Alasannya 


agar para selir tidak bisa meninggalkan Negeri Atap 


Langit. Karena kalau itu mereka lakukan maka dalam 


waktu tiga hari mereka akan menemui kematian. Tapi 


Ken Parantili berlaku nekad. Dia kabur dan tak perduli 


dengan jantungnya. Berarti dia juga tidak takut matil 


Penguasa Atap Langit rupanya menaruh kasihan lalu 


mengambil jantung selirnya dari tempat rahasia. Jantung 


Ini harus bisa masuk kembali ke dalam tubuh Ken Parantili 


dalam waktu tiga hari. Kalau tidak maka selir itu akan 


menemui ajal. Penguasa Atap Langit meminta aku 


menolong mencari selir itu karena aku bisa bergerak 


cepat."


 "Ada manusia tidak berjantung! Hidup lagi! Tidak


bisa kupercaya. Sulit masuk akali" Ucap Kunti Ambiri


sambil geleng-geleng kepala.


 "Jangan berkata begitu. Waktu di puncak Gunung 


Semeru kita semua menyaksikan bagaimana Ken Parantili 


membelah dada lalu memperlihatkan bagian 


jantungnya yang kosongi" Berkata Jaka Pesolek.


 "Itu betul, tapi tetap saja sulit dipercaya. Bagaimana 


manusia bisa hidup tanpa jantung." Ujar Kunti Ambiri 


pula.


 "Lalu sekarang kau mau melakukan apa? Mencari 


selir itu?" Tanya Ratu Randang.


 Jaka Pesolek mengangguk.


 "Kau bisa berkelebat ke delapan ujung dunia


dalam sekejapan mata. Tapi kau tidak tahu selir itu


berada dimana." Kata Kunti Ambiri.


 "Betul. Tapi Penguasa Atap Langit memberikan


sesuatu padaku untuk dipergunakan menjajagi


dimana beradanya Ken Parantlli." Jaka Pesolek tutup


keranjang daun pisang lalu dengan hati-hati


membungkus kain hitam. Bungkusan lalu dipangggul


di bahu kiri. Dari balik pakaian hijaunya Jaka Pesolek


kemudian mengeluarkan sejumput rambut hitam dalam


keadaan tergulung.


 "Itu bulu ketekmu?"! Tanya Ratu Randang dengan 


mulut dipencongkan.


 "Gila kau Nekl Kalaupun aku punya bulu ketek


masakan sampai sebanyak dan sepanjang ini?" Ujar


Jaka Pesolek.


 "Lalu itu apanya siapa?"!" Bertanya Kunti Ambiri.


 "Ini gulungan rambut Ken Parantili. Rambut ini udah 


dlrapal oleh Penguasa Atap Langit Katanya jika Ken 


Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah maka 


rambut ini akan memberi tanda. Rambut akan meringkal 


bergerak ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya 


selir itu."


 "Kalau semudah itu mencari Ken Parantili mengapa 


tidak dilakukan sendiri oleh Penguasa Atap Langit?" Ujar 


Sakuntaladewi.


 "Menurut pengakuan Penguasa Atap Langit dia tidak 


mungkin melakukan hal itu. Karena pada jarak tertentu 


Ken Parantili mampu mencium bau tubuhnya. Begitu 


mencium pasti dia akan melarikan diri. Seumur-umur 


Penguasa Atap langit tidak akan mampu mencari dan 


menemukan selirnya itu. Selain itu sang Penguasa


mempunyai pantangan. Tidak boleh berada di luar


Negeri Atap Langit lebih dari dua kali matahari terbit"


 "Mahluk bernama Penguasa Atap Langit itu punya 


enam belas selir


 Kehilangan satu saja mengapa dia sampai kalang


kabut mengejar dan membawa jantungnya!"


 "Nek, kau ini seperti tidak tahu saja. Dimana-mana 


ada orang punya banyak selir. Tapi pasti ada satu yang 


paling disayang. Nah bisa saja Ken Parantili memang 


kesayangannya Penguasa Atap Langit" Kata Jaka 


Pesolek pula.


 "Tahu dari mana kau?!" Tukas Ratu Randang sambil 


pencongkan mulut.


 "Nek, ada ujar-ujar begini. Seseorang baru tahu


betapa sayangnya dia pada sang kekasih, pada saat


sang kekasih tidak lagi menjadi miliknya. Entah mati,


entah minggat entah kabur sama lelaki lain"


 "Hebat juga bicaramu!" Kata Ratu Randang lalu


melirik ke arah Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.


 "Nek, Kunti, Sakuntaladewi aku pergi sekarang.


Kalau tugasku sudah selesai aku pasti akan mencari


kalian..."


 "Tunggu, jangan pergi dulu. Kau kami perlukan di sini." 


Berkata Kunt1 Ambiri.


 "Sudah banyak orang gagah dan hebat di tempat ini 


Lagi pula aku telah menerima permintaan orang untuk 


menolong. Mana mungkin mau mengingkari. Lebih baik 


para sahabat cepat membantu Raja dan orang-orang di 


pintu gerbang. Masakan kalian tega membiarkan 


Kesatria Panggilan bekerja sendiri "


 Jaka Pesolek kedipkan mata lalu segera tinggalkan 


orang-orang itu.


 "Kalau tidak ada urusan besar di Kotaraja, rasanya 


aku mau mengikuti gadis aneh itu. Mau tahu apa yang 


bakal kejadian." Kata Kunti Amblrl.


 "Yang jadi pertanyaan, gadis itu dijanjikan apa oleh 


Penguasa Atap Langit sampai-sampai mau berkeliaran 


kesana-sini membawa jantung manusia. Pasti ada satu 


imbalan yang menarik..." Ucap Ratu Randang.


 "Mungkin janji boleh mengusap...." Menyahuti Kunti 


Ambiri dengan wajah agak cemberut.


 Lalu Kunti Ambiri mendahului lari ke arah pintu


gerbang diikuti Sakuntaladewi dan Ratu Randang


dimana Wiro berada bersama Raja dan keluarga serta


para pengikut


 Karena Raja Mataram tetap memaksa masuk ke


dalam Istana, Wiro akhirnya berkata.


 "Yang Mulia, saya minta diberi waktu. Saya akan


melakukan sesuatu. Lalu memeriksa keadaan Istana.


Jika segala sesuatunya memang aman, saya akan


kembali memberi tahu. Tapi apakah Yang Mulia tidak


mau mengizinkan lebih dulu agar saya mengobati


tangan Yang Mulia yang patah?"


 Mendengar ucapan Wiro Ratu Randang cepat


mendekati dan berbisik. "Kau mau berbuat konyol apa?


Kau bukan tabib bukan dukun! Bagaimana mau


mengobati tangan Raja? Untuk menyambung tulang


lengan yang patah itu perlu waktu paling sedikit


sepuluh hari! Kalau kau memang mampu melakukan,


kau benar-benar orang hebat!"


 "Seorang nenek di Negeri Matahari Terbit bernama


Nenek Neko pernah memberikan ilmu padaku. Ilmu 


mematah dan menyembuhkan tulang. Mudah-mudahan 


dengan kehendak Gusti Allah aku bisa menolong Raja. 


Kalaupun tidak aku tetap puas karena sudah berikhtiar." 


Menerangkan Wiro.


 "Hemm....Rupanya kau banyak punya sahabat nenek 


sepertiku. Pasti si Nenek Neko itu orangnya cantik!"


 Wiro tertawa. Lalu dia berkata. "Nek, baiknya kau


bantu membujuk Raja agar dia mau kutolong."


 "Tak usah kawatir. Aku akan mencoba. Tapi mengapa 


kau tidak mempergunakan kesaktian delapan bunga 


Matahari saja?" Ujar si nenek pula.


 "Kalau itu maumu akan kucoba."


 Ratu Randang mendatangi Raja yang saat itu duduk di 


tanah, bersandar ke tembok halaman. Tangan kanan 


yang patah diletakkan di atas pangkuan paha kanan, 


dibalut dengan sehelai kain. Setelah bicara dan dibujuk 


oleh Ratu Randang ternyata Raja Mataram kini bersedia 


ditolong oleh Wiro.


 Dari balik pakaiannya Wiro segera keluarkan


delapan bunga Matahari kecil. "Maafkan saya Yang


Mulia. Akan saya coba menolong dengan bunga sakti


ini lebih dulu."


 Mendadak terdengar suara alunan gamelan di


kejauhan disusul suara mengiang ke telinga Wiro yang


juga didengar oleh Raja Mataram, Kunti Ambiri, Ratu


Randang dan Sakuntaladewi.


 "Kami minta maaf beribu maaf. Kemampuan kami


menolong hanya tinggal satu kali yaitu untuk mem-


bebaskan guru Kesatria Panggilan. Kalau kali ini kami


menolong walau tidak muncul memperlihatkan diri,


maka kami tidak mungkin melakukan pertolongan lagi.



DELAPAN



SEMUA orang, termasuk 


Raja Mataram terkesiap


mendengar suara 


mengiang itu. Wiro sendiri 


jadi tertegun dan menggaruk kepala. Delapan bunga


Matahari dipandangi beberapa lama. Lalu terdengar


sang pendekar berkata.


 "Delapan bunga Matahari, sahabatku Delapan


Pocong Menari, saat Ini Yang Mulia Raja Mataram


sangat membutuhkan pertolongan. Tendangan mahluk


api tadi agaknya bukan tendangan sembarangan. Aku


melihat ada bagian daging lengan yang menggembung


biru pertanda tendangan mengandung racun jahat. Jika


tangan yang patah tidak segera diobati, racun jahat bisa


saja menyebar lebih cepat. Kalau racun sampai ke


jantung nyawa Yang Mulia Raja Mataram mungkin tidak


bisa tertolong lagi."


 Semua orang terkejut mendengar ucapan Wiro itu. 


Ternyata Wiro lebih mementingkan Raja Mataram


dari menyelamatkan gurunya. Raja Mataram sendiri


letakkan tangan kiri di atas dada, wajah tampak haru.


Sepasang mata menatap Wiro tak berkesip.


 Kemudian terdengar lagi suara mengiang.


"Kesatria Panggilan, jika itu keinginanmu mana kami


berani menolak. Kami akan segera menolong. Kau


tinggal mengusapkan diri kami di atas cidera di tangan


kanan Raja Mataram. Maka setelah tugas dan


pertolongan kami selesai kami akan bermohon diri.


Kami tidak akan muncul lagi untuk selama-lamanya.


Lalu siapa kelak yang akan menyelamatkan gurumu?"


 "Gusti Allah pasti akan menolong beliau." Jawab


Wiro tanpa keraguan.


 Ratu Randang melangkah mendekati Wiro lalu


berbisik. "Jika kau memang punya ilmu lain, sebaiknya


Ilmu itu dulu yang dicobakan. Tadi aku menyuruh kau


mempergunakan bunga itu karena sudah tahu pasti


kesaktiannya. Bukan maksudku merendahkan ilmu


kesaktianmu yang lain. Cepat kau pergunakan Ilmu


yang kau dapat dari si nenek Neko Neko itu!"



"Nekonya cuma satu kali saja Nek," kata Wiro.


 "Sudah, itu saja jadi persoalan. Lekas tolong Yang 


Mulia Raja Mataram." Kata Ratu Randang sambil


tersenyum dan kedipkan matanya yang juling.


 Setelah meminta izin terlebih dulu Wiro membuka kain 


yang membalut lengan kanan Rakai Kayuwangi Dyah 


Lokapala. Lalu tangan kanan diletakkan di atas lengan 


yang patah. Lima jari dikembang lalu meremas tiga kali 


berturut-turut


 "Kreekk....kreekkk...kreekkk!"


 Raja Mataram menjerit setinggi langit Rasa sakit luar 


biasa membuat kaki kanannya tak sengaja menendang 


ke depan.


 "Dukkkl"


 Tendangan mendarat telak di dada Pendekar 212


Membuat Wiro terpental, jatuh duduk di tanah, cepat


ditolong Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Untungnya


tendangan Raja Mataram dilakukan hanya dengan


kekuatan luar tanpa tenaga dalam. Walau Wiro merasa


sakit namun tidak ada bagian tubuh yang cidera. Hanya


wajahnya tampak sedikit pucat karena terkejut tidak


menyangka bakal mendapat hadiah tendangan!


 Sehabis menjerit keras tiba-tiba Raja Mataram berseru.


 "Hyang Jagatnatha Bathara Agung! Lihat! Tanganku 


yang patah sembuh!" Raja berseru sambil angkat tangan 


kanannya ke atas, gembira tapi juga seperti tidak 


percaya. Tangan yang telah bersambung kembali diusap 


lalu dipijat-pijat. Tiba-tiba dari tangan yang tulangnya 


sudah bersambung kembali itu mengucur keluar cairan 


hitam kebiruan. Raja tersentak kaget.


 "Tidak apa-apa Yang Mulia. Tak usah kawatir. Racun 


jahat dalam tubuh Yang Mulia sudah keluar," kata Wiro 


memberi tahu.


 "Kesatria Panggilan aku sangat berterima kasih


padamu!" Raja merangkul Wiro yang saat itu telah


berdiri sambil usap-usap dadanya yang tadi kena


tendangan. Sambil memeluk Wiro, Rakai Kayuwangi


Dyah Lokapala berkata. "Maafkan tendangan tadi. Aku


tidak sengaja. Rasa sakit yang menyembuhkan itu


seperti tombak api yang ditancapkan dibatok kepala..."


 "Kalau cidera Yang Mulia tidak mengindap racun,


sebenarnya hal itu tidak akan terjadi..."


 "Aku tetap berterima kasjh atas pertolonganmu. Kau 


benar-benar luar biasa!"


 "Yang Mulia, Yang Maha Penyembuh telah


menunjukkan kekuasaanNya. Bukan saya." Ucap Wiro


pula.


 "Gusti Aliahmu?" Tanya Raja Mataram.


 Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala.


 Semua orang yang menyaksikan kejadian itu


sejak tadi terkejut kagum sekaligus gembira. Ratu


Randang saking girangnya saat itu sebenarnya ingin


sekali memeluk dan mencium sang pendekar tapi


terpaksa menahan diri sambil senyum-senyum. Kunti


Ambiri dan Sakuntaladewi saling berpegangan tangan


pertanda mereka juga merasa gembira melihat


kesembuhan Raja Mataram.


 "Yang Mulia, seperti kata saya tadi ada sesuatu yang 


harus saya lakukan. Harap Yang Mulia dan keluarga 


sudi menunggu sebentar di tempat ini."


Dengan cepat Wiro masuk ke dalam halaman Istana.


semua orang termasuk Raja Mataram tidak dapat


menahan rasa ingin tahu apa Sebenarnya yang hendak


dilakukan Wiro. Mereka semua segera mengikuti tapi


.menjaga jarak agak jauh di sebelah belakang sang


Pendekar.



SEMBILAN



WlRO melangkah 


cepat menghampiri 


mahluk api yang masih 


hidup dan saat itu 


terkapar di halaman Istana dalam ujud seorang pemuda 


belasan tahun yang keadaannya sangat mengenaskan. 


Sekujur tubuh mengelupas hangus. Mulut mengerang 


tiada henti dan sesekali tangan serta kaki melejang-


lejang. Agaknya umurnya tak bakal lama.


 Wiro letakkan tangan kiri di atas dada si pemuda lalu 


kerahkan tenaga dalam disertai aliran hawa sakti. Suara 


erangan lenyap.


 "Pemuda malang, katakan siapa dirimu!"


 Sepasang mata orang yang ditanya bergerak sedikit, 


menatap sayu ke arah Wiro, mulut tidak memberi 


jawaban. Wiro lipat gandakan aliran tenaga dalam dan 


hawa sakti. Mata itu tampak membuka membesar.


 "Ada orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam 


tubuhmu! Lalu menguasai dan mengendalikan dirimu. 


Kau diperintah untuk membuat keonaran di Istana 


Kerajaan Mataram. Kau pasti diperintah membunuh Yang 


Mulia Raja Mataram! Betul?!"


 Mulut tak menjawab tapi sepasang mata si pemuda 


mengedip perlahan.


 "Katakan siapa orang yang melakukan semua itu?!" 


Wiro kembali bertanya.


 Mulut si pemuda membuka, bukan untuk menge-


luarkan suara tapi batuk-batuk beberapa kali lalu


semburkan darah hitam! Mata membelalak beberapa


saat Tubuh menggeliat dan tangan kiri kanan melejang-


lejang. Wiro menunggu sampai pemuda itu tenang.


Kalau tadi dia alirkan hawa sakti hangat maka kini


diganti dengan aliran hawa sejuk. Muka yang melepuh


dari si pemuda tampak agak bercahaya


 "Lekas katakan siapa orang yang telah mencelakai 


dirimu!" Wiro bertanya sekali lagi.


 Si pemuda menatap kosong ke langit kelam di


atasnya. Kepala digeleng perlahan. Mulut tak kunjung


mengeluarkan suara. Wiro lantas keluarkan bintang


perunggu bersudut lima berwarna merah pekat yang


diberikan oleh mahluk samar hijau di dalam Istana


yang diduganya adalah Penguasa Atap Langit.


 "Jangan bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja


sudah diselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam


batok kepala mahluk api ke llma”


 Wiro ingat betul ucapan mahluk hijau di dalam


Istana. Tidak tunggu lebih lama dia segera ulurkan


tangan kanan yang memegang bintang perunggu


merah. Sepasang mata si pemuda kelihatan membeliak


besar ketika sekilas sempat melihat benda tersebut.


Mulut tiba-tiba keluarkan suara meracau, tak jelas apa


yang dikatakan. Wiro letakkan bintang perunggu merah


tepat di atas ubun-ubun si pemuda. Dengan 


mengerahkan sedikit tenaga dalam bintang perunggu 


merah ditekan hingga desss! Bintang merah melesak 


masuk ke dalam batok kepala si pemuda. Asap merah


mengepul. Dari mulutnya keluar suara meraung aneh.


Bukan menyerupai suara anjing atau srigala tapi


merupakan suara ngeongan kucingl


 Wiro, Raja Mataram dan semua orang yang ada


di tempat itu tercekat kaget ketika tiba-tiba seekor anak


kucing merah melesat keluar dari batok kepala yang


barusan ditembus bintang merah. Anak kucing ini


mengeong keras tiga kali, melompat ke udara setinggi


tiga tombak.


 Hebatnya dari empat jurusan lain tiba-tiba


melesat pula empat anak kucing merah. Kelima anak


kucing saling bergabung di udara, membentuk


lingkaran dan melayang berputar sampai lima kali lalu


wuttt! Kelima binatang itu melesat ke atas, lenyap di


langit gelapi


 "Lima dari delapan Sukma Merah! Pasti!" Ucap Ratu 


Randang.


 Keanehan tidak cuma sampai di sana. Begitu lima


anak kucing merah lenyap di langit sosok pemuda yang


terkapar di tanah tiba-tiba menjerit keras lalu bergerak


duduk. Dada turun naik seolah ada yang hendak


meledak di dalam tubuhnya. Kulit yang gosong hitam



mengelupas berubah ke bentuk asli tanpa cidera


sedikitpun. Wajahnya kini terlihat jelas. Ternyata dia


seorang pemuda lugu berusia sekitar delapan belas


tahun.


 Wiro cepat ulurkan tangan kanan memegang


bahu si pemuda sambil alirkan tenaga dalam dan hawa


sakti sejuk.


 "Tenang, tenang. Sekarang kau pasti bisa bicara.


Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Siapa orang


yang memasukkan ilmu jahat ke dalam dirimu! Siapa


yang mengendali dan memerintahkanmu menyerang


Istana dan berniat membunuh Raja Mataram."


 "Hek!" Si pemuda keluarkan suara tercekik.


 Wiro cepat menotok urat besar di leher si pemuda. 


Sementara Raja Mataram, Ratu Randang, Kunti Ambiri. 


Sakuntaladewi dan Kumara Gandamayana serta


beberapa Abdi Dalem sudah berada di situ,


mengelilingi Wiro dan si pemuda.


 "Bicara! Ayo cepat bicaral" Wiro kerahkan lebih


banyak tenaga dalam.


 Mulut si pemuda akhirnya terbuka sedikit. Dari


mulut itu meluncur suara bergetar dan agak terputus-


putus.


 "Jen....Jenazah Sim...Jenazah Simpanan...."


 "Jenazah Simpanan?! Mahluk apa itu? Siapa dia?!" 


Tanya Wiro.


 Si pemuda menggeleng.


 "Dimana kami bisa menemukan mahluk bernama


Jenazah Simpanan itu!"


 "An...antara tuj...tujuh lapis langit dan tujuh


lap...lapis bumi..."


 "Antara tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi Edan!" 


Maki Ratu Randang.


 "Kalau dia tidak mau menerangkan dengan jelas


biar aku bunuh saja!" Mengancam Kunti Ambiri lalu


menjambak rambut si pemuda. "Ayo lekas bicara! Atau


aku betot sampai copot kepalamu!"


 Tiba-tiba terasa ada sambaran angin. Dari



tenggorokan si pemuda saat itu juga keluar suara


mengorok. Disusul cairan membusah. Lalu sepasang


mata mendelik dan nafas menyengai. Lidah mulai


terjulur. Dua tangan bergerak ke leher, membuat


gerakan seolah-olah menyingkirkan sesuatu yang


mencekiknya!


 "Ada mahluk tak terlihat mencekik pemuda ini!"


Bisik Ratu Randang.


 Wiro cepat berdiri sambil memberi isyarat pada


si nenek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sementara


Kumara Gandamayana cepat membawa Raja Mataram


menjauhi tempat itu.


 "Hekk....kreekkkl"


 Sebelum semua orang bisa bertindak


menyelamatkan tiba-tiba batang leher si pemuda


berderak patah dan kepalanya terkulai ke kiri.Mata


mencelet, lidah terjulurl


 "Kreekkkl Kreekkk!"


 Sekujur tubuh si pemuda kelihatan remuk


mengerikan. Dalam keadaan hancur tubuh ini kemudian


roboh ke tanah!


 "Kurang ajar!" Wiro yang tadinya hendak


mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat


mahluk apa yang mencelakai si pemuda tidak mau


membuang waktu lagi. Serta meria dia merapal aji


pukulan Harimau Dewa. Kunti Ambiri dan Ratu


Randang tidak tinggal diam. Keduanya juga meng-


hantam ke arah sasaran tak terlihat yang dipukul Wiro.


 "Braakkk!"


 Tiga pukulan sakti seolah menghantam tembok


tebal. Terdengar suara bergemuruh lalu buukkkl Dua


belas langkah dari hadapan orang-orang Itu tersungkur


menggeletak satu sosok tubuh mengenakan jubah hitam.


 Ketika semua mendatangi, termasuk Raja Mataram, 


ternyata orang itu adalah seorang kakek berambut, 


berkumis dan berjanggut ungu. Di keningnya ada satu 


benjolan sebesar telur burung dara juga berwarna ungu. 


Meski jelas-jelas tadi tiga pukulan sakti menghantam 


tubuhnya yang semula tidak kelihatan, namun si kakek



sedikitpun tidak mengalami


cidera. Hanya sepasang matanya saja yang kelihatan


tertutup.


 "Resi Jingga Anthasana...." Berucap Ratu Randang.


 "Ratu, kau kenal orang ini?" Tanya Raja Mataram.


 "Dia Resi sesat bermukim di lereng timur Gunung


Sumbing. Sejak beberapa waktu silam saya ketahui dia


telah diusir oleh para Resi Sesepuh dari pemukiman...."


 "Kalau dia Resi sesat berarti pasti dia telah


berkomplot dengan mahluk jahat lain yang telah


menguasai dirinya. Aku curiga ini lagi-lagi perbuatan


dua Sinuhun keparat itu, dibantu oleh Dirga Purana si


bocah sialan!" Wiro berkata setengah memaki.


 "Memang tidak ada tanda-tanda cahaya merah


atau kuning atau hitam pada Resi ini. Juga sewaktu dia


membunuh pemuda itu. Sama sekali tidak tampak


terlibatnya ilmu kesaktian dua Sinuhun dan Dirga


Purana. Namun lima anak kucing merah tadi cukup


meyakinkan bahwa kelompok dua Sinuhun masih


gentayangan di Bhumi Mataram." Berkata Kumara


Gandamayana.


 Tiba-tiba sepasang mata Resi Jingga Anthasana


terbuka nyalang.


 Astagal Ternyata kedua mata orang tua ini hanya


merupakan rongga kosong dalam berwarna ungu. Dari


dalam dua rongga mata mengepul keluar dua larik asap


ungu.


 Disaat yang sama terdengar suara mendesis halus 


disertai menebarnya bau amis. Kunti Ambiri yang


sudah berpengalaman mendengar suara serta


mencium bau amis serta merta berteriak.


 "Lekas menyingkir!"


 Meski tidak tahu apa yang akan terjadi namun


semua orang termasuk Raja yang terus didampingi oleh


Kumara Gandamayana segera menjauhi tempat itu.


Mereka berusaha mencapai pohon beringin besar di


tengah halaman untuk dipakai berlindung.


 Tiba-tiba sosok Resi Jingga Anthasana menggeliat, 


tangan menempel ke sisi tubuh, dua kaki merapat Di lain



kejap sosok sang Resi telah berubah menjadi seekor ular 


besar berwarna ungu yang memiliki sepasang mata 


hanya berupa bolongan rongga! Di atas kepala ada 


sebuah tanduk lancip. Perlahan-lahan binatang ini 


membuat gerakan berdiri. Bagian tubuh sebelah bawah 


membentuk ilma lingkaran. Tubuh sebelah atas berdiri 


lurus. Sisi kiri kanan kepala mengembang seperti ular 


sendok. Semua orang yang menyaksikan jadi bergidik.


 "Wusssl"


 Laksana kilat ular ungu melesat ke arah Raja Mataram!


 Kumara Gandamayana melompat ke depan


menyongsong serangan. Selain melindungi Raja Rakai


Kayuwangi Oyah Lokapala, orang tua ini pentang dua 


tangan ke atas. Dua tangan berubah menjadi merah 


seperti bara menyala. Sambil melangkah maju


menghadang datangnya serangan ular ungu kakek ini


membuat gerakan aneh. Dua tangan menjulur panjang,


siap untuk menangkap dan melumat kepala ular ungu.


Inilah jurus serangan yang disebut Sepasang Tangan


Membuka Pintu Neraka. Ilmu ini jarang dikeluarkan


Kumara Gandamayana karena sangat ganas.


 Benda apa saja yang kena diringkus dua tangan


pasti akan hancur dan leleh mengerikan!


 Dari samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng


melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung


yang didapat dari Tua Gila. Seperti serangan Kumara


Gandamayana yang di arah adalah kepala ular ungu.


Ratu Randang tidak tinggal diam. Nenek ini gulingkan


diri di tanah, lalu dari bawah dia menghantam ke atas


ke arah tubuh ular sebelah bawah dengan pukulan


bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum


Membelah Jagat Selarik sinar biru membeset ke udaral


 Sakuntaladewi membalkan tubuh ke udara lalu


dari atas dia membuat gerakan menghunjam dengan


kaki tunggalnya. Saat itu juga selarik sinar biru


kehijauan menderu menyambar ke arah tubuh ular ungu


sebelah atas. Melihat datangnya empat serangan dari


orang-orang berkepandaian tinggi sudah dapat


dipastikan ular besar yang melesat ke arah Raja


Mataram akan menemui kematian dengan tubun


hancur berkeping-keping tak karuan rupa kalau tidak


mau dikatakan menjadi bubukl


 Satu-satunya orang yang tidak ikut menyerang


adalah Kunti Ambiri Gadis ini menggantikan


kedudukan Kumara Gandamayana, melindungi Raja


yang kini berada di belakangnya.


 "Desssl"


 "Blaarrl"


 "Craasssl"


 "Bukkkl"


 Empat serangan menghantam sosok ular ungu


dengan telak mulai dari kepala sampai kepertengahan


tubuh atas bawah. Binatang itu mendesis keras. Sekujur


tubuh mulai dari kepala sampai ke ekor pancarkan


cahaya ungu Inilah cahaya pelindung yang hebat luar


biasa! Empat serangan sakti hanya membuat tubuhnya


bergoncang melejang-lejang beberapa kali Kumara


Gandamayana tidak mampu menangkap dan


menghancurkan kepala ular dengan dua tangannya


yang merah membara. Tiga serangan Wiro, Ratu


Randang dan Sakuntaladewi juga tidak sanggup


menciderai ular ungu. Dalam keadaan tubuh masih


utuh ular ungu kembali melesat ke arah Raja Kali ini


dengan kepala tegak dan mulut menyembur uap ungu


mengandung racun!


 Melihat hal ini Wiro segera menghadang dengan


Pukulan Sinar Matahari. Namun saat itu Kunti Ambiri


sudah menerjang ke depan.


 "Ini bagianku! Semua lekas menjauh! Tutup jalan


nafas!"


 Sambil melompat mundur Ratu Randang keluarkan 


ilmu Tangan Langit Kaki Bumi. Selapis hawa aneh


serta merta menyungkup udara, memagari semua


orang yang ada di tempat itu.



SEPULUH



RAHANG Kunti Ambiri 


menggembung. 


Bersamaan


dengan itu perut 


mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti 


alam roh ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut 


yang tadi mengempis melenting ke depanl


 "Sett! Setttr


 "Wuutttt!"


 Dari dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur


berhamburan puluhan ular biru bermata merah panjang


satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat


keluar seekor ular besar dengan panjang hampir tiga


tombak berwarna hitam berkepala putih! Tidak percuma


Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagal Dewi


Ular!


 Puluhan ular biru bermata merah dengan cepat


melibat tubuh ular ungu jejadian sosok Resi Jingga


Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak


terlihat lagi. Sambil melibat binatang-binatang ini


mematuk buas. Suara patukan menggemuruh


menggidikanl Sekujur tubuh ular ungu tampak


dipenuhi puluhan lobang!


 Tiba-tiba dari tubuh ular yang dikeroyok


memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular biru


terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh


hangus mengkeret lalu meledak!


 Kunti Ambiri menjerit marah!


 "Bunuh!" Teriak si gadis.


 Ular besar hitam kepala putih yang keluar dari


dalam perut melalui pusar Kunti Ambiri melesat laksana


topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada


dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat


berlangsung ganas. Kepala saling dibentur. Patuk dan


gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah 


di tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada 


henti. Tampaknya ular ungu bercula terdesak 


menghadapi keganasan ular hitam kepala putih. Namun 


tidak disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba


kepala dan sosok ular ungu berubah besar dan panjang 


menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan 


menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu 


terjadilah hal yang membuat semua orang terkejut dan 


Kunti Ambiri berteriak kaget.


 Ular ungu pentang kepala, mulut membuka lebar.


Sekali kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala


dan tubuh ular hitam kepala putih milik Kunti Ambiri


amblas masuk.


 "Greeekkk! Kreekk...kreekk...kreekk!"


 "Kurang ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah. 


Tidak percaya ketika melihat bagaimana ular


hitam kepala putih menggelepar-gelepar ditelan ular


ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulang-


tulang yang hancur dari ular hitam kepala putih


miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa remuk


dan nafas menyesak. Semua orang terkesiap ngeri dan


untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun bergidik


melihat apa yang terjadi.


 Wiro sadar lebih dulu. Tangan kanan dlpentang


dan serta meria berubah menjadi seputih perak


berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk


dihantamkan ke arah ular ungu yang saat itu nyaris


melahap habis sosok ular hitam kepala putih. Namun


sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tiba-


tiba dengan kecepatan luar biasa ekor ular ungu


mengibas melesat ke arahnya.


 "Wuutt!"


 Wiro melihat seolah batang pohon kelapa siap


menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa


menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari


namun dirinya belum tentu selamat dari gebukan ekor


ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto


Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.


 "Braakkkl"


 Tembok halaman istana di dekat pintu gerbang


yang sebelumnya sudah roboh kini tambah hancur tak


karuan dihantam ekor ular ungu.


 Tidak berhasil menggebuk Wiro dengan


ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan


hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan


diremuk dan ditelan. Hanya sesaat lagi Wiro akan


kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu


Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas


pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut menghantam pula


dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau.


Yang di arah adalah hidung ular ungu yang


dianggapnya merupakan bagian terlemah dari setiap


ular.


 Walau pukulan Ratu Randang dan Sakuntafadewi


hanya bisa mendorong ular ungu sampai dua tombak,


namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari


muntahan tubuh dan tulang belulang ular hitam kepala


putih.


 "Bruukkk!"


 Muntahan tubuh dan tulang ular ungu jatuh di


tanah, membentuk satu gundukan setinggi betis dan


hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu


tengah berusaha berdiri din siap melepas pukulan


pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis menebar.


 Sosok ular ungu bergerak ke atas, mengambang


setengah tombak d udara. Hidung tampak


mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri.


Bagian tubuh sebelah tengah sampai kepala


mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda siap


melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului


dengan melesatnya dua cahaya ungu dari dalam rongga


mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam


gerak serangan berbentuk lingkaran.


 Ratu Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi


berpencar selamatkan diri. Terpaan angin yang keluar


dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya


terkapar di tanah. Walau tidak cidera tapi untuk 


beberapa lama mereka tidak mampu bergerak bangkit. 


Sementara itu Wiro tetap nekad untuk menghantam 


dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun kepala ular 


ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat. 


Cahaya ungu yang membersit dari sepasang mata sang



ular membuat Wiro kesilauan dan tidak dapat melihat 


jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang


menyaksikan dan sudah menduga apa yang bakal


terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan


perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari


kecil ikut memenuhi udara malam.


 Kumara Gandamayana jejakkan kaki kanan ke


tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bhumi


Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot


kekuatan dari dalam tanah, kakek ini langsung


melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.


 "Bukkkl"


 Tendangan Kumara Gandamayana memang


berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular


ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit


kesakitan lalu jatuh di tanah, tak mampu bergerak untuk


beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan kaki


kanan si kakek tampak menggembung bengkak.


 Ular ungu tanpa bergeming sedikitpun terus


melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang lebar.


Lidah panjang bercabang menjulur merah. Cairan


ludah dan racun bercampur darah berlelehan. Taring


mencuat panjang dan runcing.


 Hanya sekejapan mata lagi kepala dan sekujur


tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut


ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan


istana menjadi lebih kelam. Di udara terdengar suara


kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang,


membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin


luruh berhamburan. Satu bayang-bayang hitam


menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk


menyambar jalan pernafasan. Semua orang menatap


ke atas dan langsung terkesiap kaget. Mereka tidak tahu


apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang


raksasa atau hantu jejadian.


 "Kelelawar hantu...." Ucap Sakuntaladewi dengan


suara bergetar.



SEBELAS



WlRO usap kedua 


mata hingga 


pemandangannya


lebih jelas. Ketika 


menatap ke atas 


sang pendekar jadi kaget. Dia melihat satu mahluk 


raksasa melayang rendah. 


 "Astaga! Apa benar? Bagamana mahluk ini bisa


muncul di sini?!"


 Tiba-tiba di udara kelam melesat dua benda aneh


dlkobari api.


 "Panah Api!" Berseru Ratu Randang. "Jelas ini semua 


pekerjaan dua Sinuhun keparatl" Nenek ini, dalam 


keadaan masih terduduk di tanah siap melepas


pukulan sakti.


 "Nek, tunggu! Tahan serangan!" Teriak Wiro sambil 


dua tangan ditekapkan di atas kepala.


 "Edan! Memangnya ada apa?i" Si nenek berteriak


bertanya.


 "Craass! Craass!"


 Dua panah api menancap di mata kiri kanan ular


ungu yang hanya berupa rongga dalam. Binatang ini


menggeliat sambil keluarkan suara mendesis keras.


Gerakannya hendak menelan kepala dan tubuh Wiro


jadi tertahan. Kepala dipating ke arah datangnya


serangan dua panah api. Mulut mendesis keras.


Binatang ini siap melancarkan serangan. Namun saat


itu mahluk rakasasa yang melayang di udara tiba-tiba


menyambar ke bawah dan laksana kilat kepala dan


sebagian badan ular ungu telah berada dalam mulutnya


yang dipenuhi gigi besar dan taring runcing.


 "Grreekkk.....]"


 Ular ungu berusaha menyerang mahluk yang


menelannya dengan ekor namun serangan itu dibalas


dengan hantaman kepakan sayap. Ular ungu coba


melibat untuk meremuk tubuh lawan tapi cepat sekali


seluruh sosoknya telah amblas ditelan mahluk raksasa.


 Walau semua orang merasa lega karena Wiro


selamat namun mereka tak habis kejut melihat


kemunculan mahluk berupa seekor kelelawar besar


berbulu tebal hitam kecokiatan yang saking besarnya,


bentangan dua sayapnya bisa menutup seluruh atap


bangunan Istana.


 Dengan kepala ditunduk, sayap dlkuncup. kelelawar 


raksasa melayang turun ke halaman Istana lalu 


melangkah ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Semua 


orang lagi-lagi dibuat kaget ketika mendengar binatang 


ini mengeluarkan ucapan. "Mahluk edan Gila Dia bisa 


bicara seperti manusia" Ucap Ratu Randang.


 Di hadapan Wiro Kelelawar Raksasa berkata.


 "Yang Mulia, harap maafkan karena saya terlambat 


datang menolong Yang Muliai"


 Sekarang kejut semua orang bukan olah-olah. Raja 


saling pandang dengan Kumara Gandamayana yang 


saat itu masih kesakitan karena cidera di kaki tapi sudah 


bisa berdiri. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan


Sakuntaladewi juga tak habis heran.


 "Yang Muliai Dia dipanggil Yang Mulia. Weehhh!


Sejak kapan si gondrong itu Jadi Raja Diraja mahluk


aneh Kelelawar Raksasal Jangan-jangan binatang itu


Kelelawar betina yang ujud sebenarnya seorang gadis


cantik!" Ucap Ratu Randang pula.


 Tersipu-sipu Wiro bangkit berdiri. Kepala digaruk. Dia 


sendiri yang sudah ditolong Kelelawar Raksasa seolah 


tidak percaya mengalami kejadian itu.


 "Sahabat Kelelawar Raksasa dari Negeri Atap Langit, 


aku berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan 


nyawakul" Kata Wiro pula.


 "Itu menjadi tugas saya. Tapi mohon maaf atas


kelancangan saya.


 Sebenarnya tadi akan ada dua pertolongan atas


diri Yang Mulia. Pertama dari satu mahluk berujud


seekor harimau berbulu putih bermata hijau...."


 "Datuk Rao Bamato Hijau!" Tercengang-cengang


Wiro menyebut nama harimau sakti peliharaan Datuk


Rao Basaluang Amen dari pulau Andalas. Dia merasa


heran bagaimana Kelelawar Rasksasa mengetahui hal


itu.


"Betul," jawab Kelelawar Raksasa. ."Lalu


pertolongan kedua dari keris sakti yang terselip di


pinggang Yang Mulia."


 "Astaga, mahluk ini tahu semual" Pikir Wiro. Sang


pendekar kembali menggaruk kepala. "Sahabatku, aku


sekali lagi berterima kasih padamu."


 "Yang Mulia," kata Kelelawar Raksasa. "Izinkan


saya kembali ke Negeri Atap Langit Negeri hanya dijaga


oleh para sahabat Arwah Hitam Putih. Keadaan disana


masih kacau. Saya kawatir akan terjadi apa-apa. Kecuali


jika Yang Mulia ingin saya melakukan sesuatu atau


minta saya tetap di sini, saya akan menurut perintah


Yang Mulia. 


 "Sang Penguasa, apa dia tidak ada di Negeri Atap


Langit?" Bertanya Wiro?"


 "Seperti kata saya dulu. Beliau lenyap entah kemana. 


Sebelum pergi beliau memberi tahu bahwa Yang 


Mulialah junjungan saya yang baru dan harus saya 


lindungi...."


 Wiro ingat cerita Jaka Pesolek akan keberadaan


Penguasa Atap Langit di Bhumi Mataram yang meminta


gadis itu untuk menyerahkan jantung Ken Parantili pada 


sang selir.


 "Kalau begitu kau lekaslah kembali ke Negeri


Atap Langit"


 "Baik Yang Mulia, saya mohon diri," kata


Kelelawar Raksasa. Lalu binatang ini tundukkan kepala


ke arah Wiro dan Raja Mataram seolah memberi


penghormatan. Sesaat kemudian wuttl Kelelawar


Raksasa melesat ke udara. Kepakan sayap membuat


tubuh semua orang bergoyang-goyang. Tanah bergetar.


Debu beterbangan ke udara. Daun-daun pohon


Beringin kembali luruh.


 "Mahluk hebatl" Ucap Kunti Amblrl sambil geleng-


geleng kepala.


 "Sahabat Wirol Tidak disangka kau rupanya sudah 


menjadi Yang Mulia Raja di Negeri Atap Langit!"


Berkata Sakuntaladewl.


 "Wahh...waahhl Berarti sekarang dia juga bakal


punya belasan selir!" Kata Ratu Randang pula.


Mendengar ucapan si nenek Wiro hanya bisa tertawa.


 Raja Mataram mendekati Wiro. "Kesatria Panggilan, 


siapa adanya mahluk tadi?" Raja bertanya.


 Wiro lalu menuturkan riwayat pengalamannya di


Negeri Atap Langit.


 "Sebelumnya mahluk Kelelawar Raksasa itu ada


tiga. Yang dua menemui ajal akibat serangan Sinuhun


Muda Ghama Karadipa. Mereka adalah para pengawal


Penguasa Atap Langit."


 "Apa benar kau telah menjadi Yang Mulia atau


Raja Penguasa Negeri Atap Langit?" Tanya Raja lagi


sementara semua orang memasang telinga ingin


mendengar jawab keterangan sang pendekar.


 Wiro tertawa.


 "Yang Mulia, mana mungkin orang seperti saya


ini ada tampang bisa jadi Raja sekalipun Raja Negeri


Antah Berantah. Mahluk kelelawar itu selalu menyebut


saya dengan panggilan Yang Mulia. Mungkin itu hanya


sebagai ucapan terima kasih karena saya pernah


menyelamatkan nyawanya dari tangan jahat Sinuhun


Muda Ghama Karadipa. Selain itu saya tidak pernah


bisa menduga apa sebenarnya yang ada di dalam 


benak Penguasa Atap Langit yang sekarang tidak 


diketahui dimana keberadaannya. Tapi turut keterangan 


Jaka Pesolek Penguasa Atap Langit ada di Bhumi 


Mataram tengah mencari selir pertamanya yang 


bernama Ken Parantili." (Riwayat Kelelawar Hantu bisa 


dibaca dalam serial sebelumnya berjudul "Delapan 


Pocong menari")


 Sambil bicara tadi Wiro terapkan ilmu Menembus


Pandang, memperhatikan keadaan di luar dan di dalam


 bangunan istana. Melihat tidak ada hal yang


 mencurigakan Wiro berkata pada Raja Mataram.


 "Yang Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah


 aman. Yang Mulia dan keluarga bisa segera masuk ke


dalam istana. Saya dan para sahabat akan tetap berada


 di sini sampai sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya 


saya harus menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelan


pada Yang Mulia."


 Mendengar ucapan Wiro, Ratu Randang segera


 mendekati Kumara Gandamayana dan berbisik.


 "Setelah Raja menerima keris sakti, senjata itu harus


 dipinjam dan dipergunakan untuk menolong


 Sakuntaladewi. Hanya senjata itu dan hanya Kesatria


 Panggilan yang bisa mengembalikan dua kaki si gadis..."


 Si kakek mengusap wajah lalu menjawab. "Aku


 sudah mendengar riwayat gadis itu. Bagaimana dengan


 kaulan yang menjadi pegangan Sakuntaladewi?


 Kesatria Panggilan tidak akan mampu menyembuhkan


 Sakuntaladewi kalau tidak menerima kaulan bahwa dia


 bersedia menjadi suami gadis itu."


 Dada Ratu Randang berdebar. Wajahnya berubah. 


Wiro akan menjadi suami Sakuntaladewi Setelah 


menundukkan kepala beberapa lama dengan suara 


perlahan si nenek berkata.


 'Kalau memang sudah demikian kehendak Yang


Maha Kuasa, kita mana bisa menolak. Kasihan kalau


Sakuntaladewi sengsara begitu rupa seumur-umur."


 Kunti Ambiri mendekati Ratu Randang dan


mengusap bahunya. Dia tahu bagaimana perasaan si


nenek terhadap Wiro. Walau selalu disembunyikan


dalam berbagai kelucuan namun sebenarnya nenek


berwajah cantik dan bertubuh masih molek ini sangat


menyukai Wiro.


 "Nek, jangan pikirkan hal lain. Niat Wiro untuk


menolong semata...." Bisik Kunti Ambiri yang tahu


perasaan si nenek dan coba menghibur.


 Ratu Randang berpaling, menatap wajah Kunti


Ambiri dengan sepasang matanya yang Juling. Dua


alis yang bagus bergerak ke atas.


 "Ah, kulihat matamu berkaca-kaca...." bisik Ratu


Randang yang membuat Kunti Ambiri cepat-cepat


dongakkan kepala pura-pura menatap bulan biru.


Sambil memegang dan meremas jari-jari tangan Kunti


Ambiri, Ratu Randang berkata. "Kita sebenarnya


hanyalah insan-insan lemah yang tidak bisa


menyembunyikan perasaan...."


Sepasang mata Kunti Ambiri dan Ratu Randang


saling tatap beberapa lama lalu keduanya saling


berpelukan.




DUA BELAS



KlTA Ikuti dulu 


perjalanan Jaka 


Pesolek yang


ketitipan amanat dari 


Penguasa Atap Langit 


untuk menyerahkan jantung milik Ken Parantili pada sang


selir.


 Tepat ketika fajar menyingsing si gadis sampai di satu 


telaga kecil di kaki selatan Gunung Merapi, sekitar 


kawasan Kaliurang.


 "Heran, musim hujan sudah tiba. Mengapa telaga


ini airnya hanya dangkal sebetis?" Pikir Jaka Pesolek


sambil duduk uncang-uncang kaki di atas sebuah batu


di tepi telaga. Saat itu dia ingin turun ke air untuk


membersihkan diri sebelum melanjutkan perjalanan


mencari Ken Parantili. Namun pemandangan indah di


sekitar telaga membuat dia untuk beberapa lama masih


terus duduk di atas batu. Tak sengaja matanya melihat


sebuah batu besar di tepi telaga sebelah timur. Batu ini


seperti menggantung dan dibanding dengan batu-batu


lainnya di dalam dan sekitar telaga yang banyak ditutup


lumut, batu satu itu tampak bersih licin. Berarti batu ini


sebelumnya berasal dari tempat lain, menggelinding


dan terhenti lalu menyumbat di tebing batu. Dari sela-


sela batu kiri kanan dan sebelah bawah mengucur


perlahan air jernih yang kemudian masuk ke dalam


telaga.


 "Di balik batu itu...." ucap Jaka Pesolek dalam


 hati, "sepertinya ada sumber aliran air. Tapi aliran


 terhalang oleh batu. Hemmm....Mungkin ini


 penyebabnya air telaga menjadi dangkal."


 Dengan gerakan kilat dalam sekejapan saja Jaka


 Pesolek sudah berada di tepi telaga sebelah timur.


 Dia perhatikan keadaan batu, terutama celah-celah dari


 mana keluarnya rembesan air. Setelah yakin batu besar


 yang menggantung itu menjadi penghalang aliran air


 si gadis melompat ke atas tebing. Dari sini dia


 pergunakan dua tangan untuk mendorong batu. Seperti


 diketahui gadis ini walau punya gerakan secepat kilat


dan mampu menangkap petir namun dia tidak punya

 kesaktian lain ataupun tenaga dalam. Dengan

 mengandalkan tenaga luar mana mungkin dia

 mendorong batu besar. Tidak putus asa Jaka Pesolek

 sandarkan punggung ke dinding batu di belakangnya

 lalu kaki kanan dipergunakan untuk mendorong.

 Sampai mukanya merah dan tubuh keringatan tetap saja

 batu tidak bergeming.

 "Edan, ya sudahi Agaknya aku harus mandi

 setengah badan di air telaga yang dangkal Itu!"

 Jaka Pesolek turun melompat turun ke tepi

 telaga. Buntalan kain hitam berisi jantung Ken Parantili

 diletakkan di atas sebuah batu. Karena air telaga cuma

 setinggi betis Jaka Pesolek terpaksa hanya mencuci

 muka saja. Selagi dia membasahi rambut tiba-tiba

 dilihatnya buntalan kain hitam bergerak-gerak. Buhul

 di sebelah atas terbuka.Lalu settt! Segulung benda

 panjang hitam melesat ke arah pohon tak jauh di tepi

telaga, menancap di batang pohon!

 "Astaga! Rambut selir itu! Apa yang terjadi?!"

 Ken Parantili berseru kaget lalu dengan cepat

melompat keluar dari dalam telaga. Berdiri di depan

pohon sambil memperhatikan rambut yang menancap

si gadis ingat ucapan Penguasa Atap Langit. "Jika Ken

Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah rambut

akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak

ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya selir

itu."

 Jaka Pesolek memandang berkeliling, melihat

ke atas pohon. Dia menyelidik ke beberapa jurusan

namun sama sekali tidak melihat Ken Parantili.

 "Pertanda yang salah atau ada yang tidak beres ?" 

Baru saja Jaka Pesolek berpikir seperti itu tiba-tiba brukk! 

Sesosok tubuh jatuh tersungkur di tanah. Ternyata seorang 

perempuan berkebaya putih. Ketika melihat wajah 

perempuan itu kejut Jaka Pesolek bukan alang kepalang. 

Selain terkejut dia juga merasa gembira.

 "Ken Parantili! Syukur aku menemuimu di sini!

Apa yang terjadi denganmu?" Jaka Pesolek jatuhkan


diri di samping selir pertama Penguasa Atap Langit

yang saat itu dalam keadaan megap-megap. Wajahnya

yang cantik tampak pucat. Bibir nyaris putih tak

berdarah. Sepasang mata setengah tertutup. Keadaan

dirinya tampak lemah sekali. Jaka Pesolek segera

memangku kepala sang selir.

 "Kau...kau siapa...?" Ken Parantili masih bisa

keluarkan ucapan, bertanya walau sangat perlahan.

 "Kau lupa? Aku Jaka Pesolek! Sahabat Kesatria

Panggilan Wiro Sableng dari negeri delapan ratus

tahun mendatang! Berarti sahabatmu Juga!"

 "Jaka Pesolek. Kita memang pernah bertemu.

Dengar, kita harus cepat pergi dari sini. Ada dua orang

mengejar. Dia hendak memperkosa diriku..."

 Baru saja Ken Parantili keluarkan ucapan tiba-tiba dari 

balik semak belukar di depan deretan beberapa pohon 

melompat keluar dua orang lelaki berpakaian dan 

berdestar hitam. Di pinggang masing-masing terselip 

sebilah golok besar. Dari tampang serta pakaian mereka 

Jelas bukan orang baik-baik. Kemungkinan bangsa 

begal atau rampok.

 "Ha hal Rejeki kita memang besari Sekarang malah 

ada dua perempuan cantikl Satunya sangat segar bugar! 

Kita bisa berbagi satu orang untuk satu orang! 

Ha...ha...ha!"

 Yang keluarkan ucapan adalah lelaki berbadan

tinggi besar memelihara kumis dan berewok tebal.

Temannya yang bertubuh gemuk tertawa mengekeh,

lidah diulur berulang kali. Pakaian dan tubuh kedua

orang ini menebar bau tidak enak.

 "Tunggu apa lagi. Langsung saja kita kerjai"

Berkata si gendut.

 "Jaka Pesolek, cepat Kau punya ilmu...."

 Dua lelaki garang tiba-tiba melompat ke hadapan

dua perempuan Itu. Jaka Pesolek cepat berdiri.

 "Tunggu! Kalian berdua jangan ganggu sahabatku 

ini. Kalau mau bersenang-senang aku bisa melayani 

kalian berdua sekaligus! Aku bisa jantan bisa betinal" 

 Si gendut dan si tinggi besar saling pandang


lalu tertawa gelak-gelak.

 "Hebat juga gadis satu ini!" Kata si tinggi besar.

 "Aku memang hebat! Nanti kalian berdua akan

lebih tahu kehebatankul Hlk...hik..hik. Aku akan

membuka pakaian. Kalian berdua ayo cepat tanggalkan

baju dan celana! Hik...hikl Kalau kalian suka boleh masuk 

mencebur ke dalam telaga. Nanti kita bersenang-senang 

di dalam airi Hik...hik...hikl"

 Habis berkata begitu Jaka Pesolek lalu buka dan

singkapkan dada pakaiannya. Dua lelaki di hadapannya

mendelik melihat dada yang putih bagus.

 "Hai, tunggu apa lagi! Lekas mencebur ke dalam

telagal Lihat, aku akan buka seluruh pakaiankul" Jaka

Pesolek singkapkan bajunya lebih lebar.

 "Gadis cantik, kau tidak menipu, tidak bergurau?!" 

Si gendut bertanya agak curiga.

 "Siapa yang berguraul Siapa yang menipul Aku

memang suka laki-laki seperti kalian. Kalian berdua

pasti hebat! Hik...hik! Lihat, sebentar lagi akan aku

tanggalkan pakaianku sebelah bawahi" Si gadis

singsingkan ke atas bagian bawah pakaian merahnya

hingga kakinya tersingkap sampai di atas lutut Hal Ini

membuat si gendut dan si tinggi besar jadi bllngsatan.

 Sambil terus bicara merayu Jaka Pesolek dekat

kedua orang itu lalu menarik tangan mereka ke dekat

telaga. Si gendut dan si tinggi besar masih tak percaya.

Tapi keduanya Jadi tersentak ketika tangan Jaka Pesolek

enak saja mengusap bagian bawah perut mereka.

 "Kalau kalian tidak mau aku tak Jadi

menanggalkan pakaian. Ayol Lekas masuk ke dalam

telaga." Jaka Pesolek berpura-pura condongkan badan

seperti hendak mencebur ke daiam telaga. Melihat hal

ini dua lelaki tadi tidak tunggu lebih lama segera saja

mendahului masuk mencebur ke dalam telaga berair

dangkal.

 "Bagus! Kalian berdua tunggu saja di dalam

telaga sampai tubuh kalian gembung! Hik...hik...hik!"

 Begitu kedua orang itu sudah berada dalam

telaga Jaka Pesolek cepat menyambar buntalan hitam

di atas batu lalu dia menggendong tubuh Ken Parantili.

Sekali berkelebat dengan ilmu gerakan kilat yang

dimilikinya gadis ini sudah melesat jauh meninggalkan

telaga.

 "Jahanaml Kita kena ditipu!" Teriak si gendut

sambil acungkan tinju.

 "Kurang ajar! Ayo kita kejar gadis sialan itu!"

 "Mau dikejar kemana? Gerakannya secepat setan

melenyapkan diri!" Ucap si gendut lalu melosoh

terduduk lemas di dasar telaga. Kepala dipukui-pukul.


TIGA BELAS


Di SATU kawasan 

pesawahan yang sunyi 

yang ikut dilanda 

banjir air merah pada 

malapetaka Malam Jahanam Jaka Pesolek hentikan lari. 

Ken Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak. 

Tubuh sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu 

ada aliran air jernih. Jaka Pesolek petik sehelai daun 

kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa 

dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian 

diminumkan dan sebagian dipergunakan membasahi 

kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.

 "Jaka, terima kasih kau telah menolongku. Ketika

dua manusia jahat itu menghadangku, keadaanku

sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan.

Seharusnya aku bisa bertahan sampai tiga hari.

Sekarang aku merasa ada keanehen.Aku merasa

kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air yang

barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada

suara detakan yang menggetarkan dadaku sebelah

kiri..."

 "Sahabat, aku merasa bersyukur bisa menemuimu 

lebih cepat. Penguasa Atap Langit pastl gembira jika 

mengetahui hal ini."

 Saking terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek, 

Ken Parantili sampai terbangun dan duduk bersandar di 

tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah. 

"Apa katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit. 

Memangnya...?"

 "Penguasa Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia 

menyerahkan jantung milikmu padaku dengan pesan 

agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu...."

 "Aku seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit 

memintamu mencariku?" Ken Parantili berkata sambil 

mata melirik pada buntalan kain hitam.

 "Betul. Dia memberikan gulungan rambutmu agar 

aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia suamimu, 

mengapa kau bertanya seperti heran?"

 Ken Parantili terdiam, tidak menjawab malah

kemudian bertanya. "Apa isi buntalan itu?"

 "Jantungmu! Memangnya kau kira timbel apa?l"

 Ken Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama.

 Tangannya memegangi lengan si gadis dan mulut

 berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku tiba-tiba saja

 terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku..."

 "Aku hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau 

perihal bagaimana memasangkannya ke dalam 

tubuhmu aku tidak tahu. Ihh...tengkukku jadi merinding..."

 . "Aku...sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata 

Ken Parantili pula.

 "Berpikir apa?" Tanya Jaka Pesolek.

 "Apa aku memang bagusnya memasukkan jantung 

itu ke dalam tubuhku dan meneruskan kehidupan ini 

atau lebih baik mati saja."

 "Sahabat, kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau 

bisa hidup, maunya ingin hidup lagi. Kau yang masih 

hidup malah pingin mati..."

 "Tapi sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam 

hidupku..."

 "Siapa bilang. Ayo, kau tak mau mengambil

jantungmu itu?"

 Ken Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini 

memang tidak ingin hidup lebih lama lagi.

 Jaka Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka 

pembuhulnya lalu dengan hati-hati mengeluarkan benda 

yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air.

 "Ken Parantili sahabatku....lni terlalu mengerikan

bagiku. Lekas kau ambil jantungmu. Aku ingin segera

bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam

diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang 

memegang jantung bergetar. "Ambil cepat. Semoga 

Yang Maha Kuasa memberi berkah padamu..."

 Ucapan terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken 

Parantili menjadi sadar dan punya semangat hidup. 

Untuk beberapa lama dia pandangi jantung merah 

berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan dia 

buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan 

dua jari tangan kanan yang diluruskan selir cantik ini


membuat guratan di atas dada sebelah kiri.

 "Settt!"

 Dada terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang

mengucur.

 Jaka Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia 

merasa Ken Parantili menggerakkan tangan mengambil 

jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina 

ini kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya 

kembali untuk menyaksikan apa yang terjadi. Saat itu 

dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang 

ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah 

kiri yang menganga terkuak. Begitu jantung masuk di 

dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah 

menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpunl

 "Dewa Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka

Pesolek. Bulu tengkuknya kembali merinding. Saat itu

dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya

kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.

 Ken Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk

gadis itu.

 "Jaka, aku berterima kasih padamu. Kau telah

melakukan tugas sangat berat Budi baikmu tidak bisa

kubalas..."

 "Aku merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku

juga merasa sedih. Karena sebentar lagi pasti kau akan

pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke

Negeri Atap Langit?"

 Ken Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng. 

Aku tak akan pernah kembali ke sana."

 "Tapi suamimu ada di sana."

 "Aku cuma seorang selir. Bukan istri."

 "Penguasa Atap Langit berlaku baik terhadapmu.

Paling tidak dia tidak benci padamu Buktinya dia mau 

menyerahkan jantungmu."

 Ken Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahan-

lahan air mata meluncur dari-kedua matanya yang 

bagus.

 "Kau menangis. Karena bahagia atau apa...?"

 Ken Parantili tidak menjawab. Dia mulai


sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap Langit

ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan

berteriak keras.

 "Tidak! Tidaakkkl"

 Jaka Pesolek cepat berdiri.

 "Ken Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak

begitu?l"

 "Aku memang sekarang bisa hidup wajar karena

jantungku telah berada dalam tubuhku. Tapi aku tidak

mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam

rahimku!"

 Jaka Pesolek melengak kaget

 "Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka

Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang

membasahi kedua pipi Ken Parantili.

 Yang ditanya mengangguk perlahan.

 "Tiga bulan...."

 Jaka Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin

bertanya tapi mulutnya kepalang terlanjur berucap

walaupun agak gagap

 "Si..siapa ayah jabang bayimu?" Dada Jaka

Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban :

Kesatria Panggilan ailas Pendekar 212 Wiro Sableng.

 "Penguasa Atap Langit memberi tahu kalau aku

tengah mengandung jabang bayi laki-laki berusia tiga

bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."

 Jaka Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro!

 "Jelas bukan Wiro Mereka hanya bertemu

beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan hubungan

badan mana mungkin bisa membuat selir itu

mengandung tiga bulan. Tololnya aku ini!" Jaka

Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.

 "Penguasa Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu 

lahir aku harus memberinya nama Bintang Langit Dia 

sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi 

laki-laki."

 "Nama bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi

seorang pemuda gagah, berilmu tinggi."

 "Aku tidak menginginkan anak itul" Kata Ken Parantili.


Wajahnya tampak kelam.

 Kening Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya

karena ayah si anak adalah Penguasa Atap Langit yang

kau benci?"

 "Itu salah satu alasan yang paling berat." Jawab

Ken Parantili. "Aku harus melakukan sesuatu agar tidak

melahirkan bayi Itu."

 "Memangnya kau mau melakukan apa?" Tanya

Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan kandunganmu? 

Usia kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau 

kau melakukan itu. "

 Ken Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama 

dia menatap wajah Jaka Pesolek. Lalu mulutnya berucap.

 "Ada cara paling cepat untuk melenyapkan

jabang bayi itu!"

 Tiba-tiba Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya.

 Jaka Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak

dilakukan selir Penguasa Atap Langit Ku. Dia berteriak.

 “Jangan! Jangan lakukan itu!"

 Ken Parantili susupkan tangan kanan ke balik

kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah celana hitamnya.

Tangan kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu

terdengar suara setttl

 Ketika tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek

berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas lantai teratak,

nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam 

sosok jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!

 "Dewa Bathara Agung Dewa Bathara Agung...." Jaka 

Pesolek mengucap berulang kali. Mukanya pucat seolah 

tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap 

menahan muntah!

 Seperti tadi ketika membelah dada memasukkan

jantung, tak ada darah yang mengucur. Dengan tangan

kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol

untuk mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan.

Saat itu juga perut itu kembali tertutup rapat!

 "Ken Parantili, sahabatku....Kau sadar apa yang

telah kau lakukan ?" Ujar Jaka Pesolek dengan suara

bergetar.


Yang ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air

mata bercucuran di pipi.

 "Lalu hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya 

Jaka Pesolek pula.

 Ken Parantili tidak menjawab tapi tangannya 

bergerak. Sikapnya seperti hendak membanting Jabang 

bayi yang dipegangnya ke lantai teratakl

 "Janganl Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek. 

"Lebih baik kau berikan padakul" Jaka Pesolek ulurkan 

tangan walau merasa ngeri.

 Tapi Ken Parantili tidak perduli.

 Tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat Tahu-tahu 

seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan 

berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken 

Parantili. Di tangan kanan orang tua ini memegang benda 

aneh yang ternyata adalah sebuah guci tembus 

pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci 

ada tutup yang memiliki dua puluh lobang kecil.

 "Membunuh mahluk hidup tak bersalah pada 

galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun alasannya. 

Membunuh jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat 

berlipat ganda. Jika kau tidak menginginkan jabang 

bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk 

memeliharanya."

 "Klik!"

 Penutup guci tembus pandang terbuka.

 "Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih

 sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan

 jabang bayi itu ke dalam guci ini."

 Ken Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana.

 "Orang tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil 

mata menatap tak berkesip.

 "Aku Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan

permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi

berkah pada jabang bayi dan dirimu."

 "Resi, aku...." Ken Parantili tidak bisa meneruskan 

ucapan. Tenggorokannya serasa tersekat. Perlahan-lahan 

tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat, 

didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika


genggamannya dilepas, jabang bayi merah langsung 

masuk ke dalam guci. Air bening didalam guci naik ke 

atas dan kliki Penutup guci menutup dengan sendirinya.

 "Terima kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau 

kau tidak menyukai jabang bayi ini. Namun apa yang 

telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini

sebenarnya kau sudah memiliki jiwa asih terhadap

jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup terus walau

tidak di dalam rahimmu."

 Ken Parantili tekap wajahnya ialu menangis

terisak-isak.

 Resi Kali Jagat Ampusena, yang di bagian

pertama cerita ini telah bertapa di satu candi kecil di

bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek.

 "Anak gadis, pahala yang telah kau buat sungguh

sangat besar. Semoga Dewa Agung akan 

memberkatimu."

 Jaka Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua. 

Matanya menatap ke tangan kanan yang memegang

guci tembus pandang.

 "Resi Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang

bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya Jaka Pesolek.

 "Aku bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini. 

Selanjutnya menjadi kewajibanku untuk menjaga, 

memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi bayi seusia 

sembilan bulan sepuluh hari..."

 "Guci itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana 

jabang bayi mendapat makanan? Bagaimana dia bisa 

hidup.*

 Resi Kali Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di 

atas bahu Jaka Pesolek. "Kalau Yang Maha Kuasa 

berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan 

yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar 

biasa. Ibu dari jabang bayi ini telah memperlihatkan hal 

itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan jabang bayi 

darah dagingnya ke dalam guci ini."

 Mendengar ucapan sang Resi tangis Ken Parantili 

semakin keras.

 Jaka Pesolek mengambil kain hitam bekas


pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu diserahkan 

pada Resi Kali Jagat "Aku mohon, bungkus guci itu 

dengan kain hitam ini. Aku tidak tega...."

 Resi Kali Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka

Pesolek.

 Ketika tangis Ken Parantili mereda dan dia

menurunkan dua tangan yang menutup wajah, Resi Kali

Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.

 "Jaka, kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?" 

Ken Parantili bertanya pada Jaka Pesolek.

 Yang ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja. 

Seolah jadi satu dengan angin."

 "Kurasa aku harus mengejar Resi itu."

 "Mengapa kau ingin mengejar?" Tanya Jaka

Pesolek. Tapi Ken Parantili tidak menyahut. Tanpa pamit

lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.

 "Aneh, tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam

rahimnya. Sekarang setelah orang tua Ku membawa

pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar.

Mau mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia

menyesal telah mengeluarkan jabang bayi itu dari

dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh....



EMPAT BELAS


MATAHARI pagi mulai 

memupus kesejukan di

puncak bukit yang 

ditumbuhi pepohonan 

jati rata-rata berusia lebih dari lima puluh tahun. Resi Kali 

Jagat Ampusena berlari laksana terbang. Sepasang kasut

putih pemberian mahluk gaib yang dipanggilnya dengan 

sebutan Roh Putih memang luar biasa. Tanpa kasut itu tak 

mungkin baginya bergerak laksana kilat dan mampu 

menemui Ken Parantili dalam waktu demikian cepat.

 Pagi itu dia merasa cukup lega karena sebagian

tugas yang ada di pundaknya telah dapat dilaksanakan.

Dari semua itu, tugas paling utama adalah mendapatkan

jabang bayi yang kini berada di dalam guci tembus

pandang. Guci yang dibungkus dalam kain hitam,

dikempit di tangan kanan seolah mendukung seorang

bayi benaran. Selanjutnya, sesuai pesan Roh Putih

pada waktu dia mendapatkan guci yang terbuat dari

seratus mutiara putih itu, dia harus membawa guci ke

satu tempat aman, di simpan di tempat itu selama enam

bulan.

 Resi Kali Jagat berhenti di depan sebatang pohon Jati 

yang dua buah cabangnya saling bersilang. Inilah tanda 

aneh yang menjadi petunjuk bahwa dia tidak datang ke 

tempat yang salah karena dibukit itu ada ratusan pohon 

jati dan bentuknya hampir mirip satu sama lain.

 Setelah merenung sesaat di depan pohon, Resi Kali

Jagat membuat gerakan seperti orang mengetuk pintu 

pada batang pohon. Setelah mengetuk tiga kali

mulutnya berucap.

 "Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para 

Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam Rumah

Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."

 Resi Kali Jagat Ampusena menunggu. Ketika tak ada 

jawaban maka dia mengetuk batang pohon Jati dan

kembali berkata.

 "Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para 

Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam Rumah

Ketenteraman dan Keselamatan dibuk


ba-tiba batang pohon Jati bergetar. Di sebelah

atas daun pohon bergoyang-goyang bergemerisik dan

dua cabang yang bersilang saling bergesek

mengeluarkan suara aneh. Begitu getaran dan gesekan

berhenti terdengar suara perempuan bertanya. Suara

itu begitu merdu dan keluar dari dalam tanah di bawah

pohon jati.

 "Tamu yang datang ketika sang surya baru saja naik 

dan puncak bukit Jati diberkati kehangatan yang

menyegarkan, katakan siapa dirimu. Apakah kau

bernama dan apakah kau mempunyai gelar?"

 Resi Kali Jagat sesaat terdiam tapi wajahnya

menyimpulkan senyum.

 "Orang sakti Penghuni Pohon Jati Peliharaan

Para Dewa, aku adalah Kali Jagat Ampusena. Aku tidak

bergelar dan aku adalah seorang Resi."

 Dari dalam tanah terdengar suara seperti orang

menarik nafas karena tercekat

 "Kali Jagat Ampusena, setengah abad tidak

pemah bertemu, tiba-tiba saja kau muncul. Gerangan

apa yang membawamu ke sini? Apakah sepasang kasut

putih itu yang telah menuntunmu ke mari?"

 Resi Kali Jagat Ampusena usap guci putih yang

dibungkus kain hitam yang dibawanya. Dia

memandang ke bawah memperhatikan ke dua kakinya.

Dalam hati dia berkata. "Berada jauh di dalam tanah

tapi dia tahu kalau aku mengenakan sepasang kasut

putih. Pertanda ilmu kesaktiannya sudah jauh lebih

tinggi dari masa lalu."

 Setelah mengusap wajahnya sang resi berkata

memberi tahu. "Aku datang membawa sesuatu yang

sangat berharga untuk dititipkan."

 " "Hemmm" Orang perempuan di dalam tanah

bergumam. "Apakah kau membawa satu peti emas atau

satu peti berlian untuk dititipkan? Ketahuilah Rumah

Ketenteraman dan Keselamatan tidak menerima benda-

benda seperti itu."

 "Aku tahu, justru aku tidak datang membawa emas 

berlian atau batu permata berharga. Aku datang


membawa satu mahluk bernyawa yang berada dalam

kesengsaraan, yang perlu diselamatkan dan ingin aku

titipkan selama enam bulan."

 "Mahluk bernyawa yang kau maksud, apakah dia

semacam roh, mahluk jejadian, manusia atau hewan?"

Perempuan di dalam tanah di bawah pohon bertanya.

 "Yang aku bawa adalah satu jabang bayi laki-laki.

Mohon diberi tahu apakah Penghuni Pohon Peliharaan

Para Dewa mau menerima titipan?"

 Baru saja Resi Kali Jagat Ampusena memberi tahu 

benda apa yang dibawanya tiba-tiba di dalam rimba

belantara pohon Jati itu menggelegar suara

gongggongan anjing. Begitu dahsyatnya hingga tanah

bergetar, pohon jati bergoyang-goyang. Walau sangat

terkejut namun Resi Kali Jagat berusaha tenang. Guci

di tangan kiri dikempit erat-erat

 Tiba-tiba wutt...wuttt. Lima sosok merah melayang 

turun dari atas pohon. Di lain kejap lima ekor anjing besar 

berbulu merah sudah mengelilingi Resi Kali Jagat 

Binatang ini memiliki kepala bundar, tak seperti anjing 

yang biasanya berkepala dan bermoncong panjang.

Selain itu dari sela mulut kiri kanan mencuat taring besar 

panjang dan lancip, berwarna merah menyala.

 Empat ekor anjing merah tiba-tiba membuat

lompatan menyerang kaki, tubuh serta kepala sang

Resi. Sementara anjing merah ke lima melesat ke arah

tangan kiri sang Resi yang mengempit bungkusan kain

hitam berisi guci putih tembus pandang dimana

tersimpan jabang bayi laki-laki Ken Parantili. Melihat

hal ini Resi Kali Jagat Ampusena segera maklum.

Kemunculan lima anjing merah aneh adalah semata-

mata hendak merampas atau membunuh jabang bayi

yang dibawanyal

 Dengan cepat Resi Kali Jagat melompat ke udara.

Tanpa membuat gerakan tiba-tiba kaki kanan yang

memakai kasut putih melesat ke depan.

 "Buukk!"

 Salah seekor anjing yang menyerang bagian

tubuhnya mencelat mental mengeluarkan suara


meraung keras lalu terkapar di tanah. Perut jebol pecah

namun tidak ada isi perut atau darah yang menyembur

keluarl Sang Resi tidak memperhatikan lagi apa yang

kemudian terjadi dengan binatang itu. Dia terus melesat

ke atas dan mematahkan satu cabang kecil pohon Jati.

Cabang pohon kemudian di putar diatas kepala,

dipergunakan sebagai senjata untuk bertahan.

 "Bukkkl" Kembali ada anjing merah yang jadi

korban yaitu yang menyerang ke arah kepalanya.

Binatang ini menggelepar di tanah dengan kepala

pecah.

 Meski berhasil menghabisi dua anjing merah,

tiga anjing lainnya masih merupakan ancaman besar.

Salah seekor dari tiga binatang itu berhasil menendang

jatuh cabang pohon di tangan kanan sang Resi lalu

mencakar ganas hingga selempang kain putih sang

Resi robek besar di bagian dada. Untungnya cakaran

tidak sampai mengenai tubuh si orang tua. Sebaliknya

anjing yang menyerang harus menerima tendangan di

bagian kepala dan dalam keadaan kepala remuk

binatang ini terbanting ke tanah tak bernafas lagi.

 Anjing ke empat menyalak ganas. Mata mendelik,

dua kaki depan menyambar dan dari sepasang mata

menyembur keluar cahaya merah. Ketika Resi Kali Jagat

berusaha mengelakkan serangan anjing ke lima

melesat ke arah kempitan tangan kirinya!

 "Breett!"

 Kain hitam pembungkus guci putih berisi jabang bayi 

robek besar. Sambil meraung dahsyat anjing ke lima 

membuat gerakan dengan ke dua kaki depan. Seolah 

memiliki dua tangan seperti manusia dia melesat 

menyambar guci putih dan berhasil!

 Resi Kali Jagat berseru kaget. Dia cepat mengejar

namun terhalang oleh serangan anjing ke empat yang

telah melesatkan dua larik cahaya merah dari sepasang

matanya. Orang tua Ini hanya punya satu pilihan. Terus

mengejar menyelamatkan guci atau menghadapi

serangan anjing ke empat Resi Kali Jagat memilih yang

pertama. Dengan nekad dia melesat ke arah anjing yang


membawa lari guci dalam bungkusan kain hitam.

Anehnya binatang itu kini berlari seperti manusia. Dua

kaki belakang menjejak tanah, dua kaki sebelah atas

memegang guci!

 "Binatang pencuri! Kembalikan guci atau aku

terpaksa membunuhmu seperti aku telah membunuh

tiga temanmu I"

 Teriakan mengancam Resi Kali Jagat tidak

dlperdulikan oleh anjing merah yang telah menggondol

guci putih berisi jabang bayi. Resi Kali Jagat juga tidak

perdulikan lagi serangan dua larik sinar merah. Sambil

kebutkan ke belakang ujung pakaian yang berupa

selempang kain putih dia terus mengejar. Dari ujung

kain putih melesat keluar cahaya kebiruan,

menghadang datangnya serangan dua larik sinar

merah yang hanya tinggal beberapa jengkal dari kepala

dan tubuh Resi Kali Jagat

 "Blaarrl"

 Dua larik cahaya merah bentrokan di udara dengan 

cahaya biru, mengeluarkan suara letusan keras Resi Kali 

Jagat terhuyung keras ke depan, nyaris tersungkur jatuh 

kalau dia tidak cepat mengimbangi diri dan terus 

melakukan pengejaran.

 Ternyata cahaya biru ilmu kesaktian yang keluar

dari ujung selempang kain putih Resi Kali Jagat tidak

mampu membendung dua hantaman sinar merah.

Begitu cahaya biru musnah bertaburan menjadi asap,

dua larik sinar merah masih terus menerobos dan

menghantam ke arah sang Resi.

 Hanya sesaat lagi tubuh Resi Kali Jagat

Ampusena akan leleh dihantam dua larik sinar merah

tiba-tiba udara di atas bukit berubah gelap. Lalu

terdengar suara plaak...plaak! Sembilan pohon jati

besar roboh bergemuruh. Anjing merah ke empat yang

tadi menyerang Resi Kali Jagat dengan dua larik sinar

merah meraung keras. Satu benda besar lebar berwana

coklat kehitaman menghantam tubuhnya laksana

tembok raksasa jatuh menimpa.

 "Plaakk!"


Sosok besar anjing merah yang menyerang Resi

Kali Jagat amblas lenyap ke dalam tanah I Sang Resi

hanya sekilas melihat apa yang terjadi di belakangnya.

 "Plaakl Plaakl"

 Mahluk raksasa bersayap lebar melesat ke udara

dan lenyap di langit luas. Resi Kali Jagat terus mengejar

anjing merah yang memboyong guci putih. Namun

binatang itu berlari cepat sekali laksana setan

berkelebat Kesaktian kasut putih ternyata tidak bisa

menandingi kehebatan lari si mahluk aneh. Agaknya

anjing yang satu ini memiliki kepandaian lebih tinggi

dibanding empat anjing lainnya.

 "Celaka, aku tak mungkin mengejarnya!" Resi Kali 

Jagat merasa dadanya berdenyut sakit dan nafasnya 

sesak.lni adalah akibat bentrokan tenaga sakti dan

tenaga dalam dengan dua cahaya merah. Sang Resi

tersungkur di tanah namun masih sempat memanjatkan

doa. "Dewa Agung, saya mohon pertolongan. 

Selamatkan jabang bayi dalam guci putih Itu." Doa sang

Resi ternyata didengar oleh Yang Maha Kuasa.

 Dari dalam tanah sekonyong-konyong mencuat

keluar dua tangan berbentuk tulang belulang. Berwarna

sangat merah laksana bara menyala dan menebar hawa

luar biasa panas.

 Dua tangan dengan cepat mencekal sepasang

kaki anjing merah yang tengah berlari cepat.



LIMA BELAS


"DESS! desss!" Anjing 

merah meraung keras. 

Dua kakinya nyaris leleh 

dan mengepulkan 

asap, membuatnya tidak mampu lagi meneruskan 

berlari. Akibat sentakan yang keras dan tiba-tiba guci 

putih berisi jabang bayi yang terbungkus kain hitam 

robek telepas dari pegangan dua kaki depan yang 

menyerupai tangan. Anjing merah sendiri kemudian jatuh 

tergelimpang di tanah, hanya mampu menggonggong 

dan menggeliat-geliat.

 Melihat apa yang terjadi, Resi Kali Jagat yang masih 

tertelungkup di tanah kerahkan seluruh kekuatan lalu 

melesat coba menangkap guci putih agar tidak 

terhempas jatuh ke tanah. Kalau guci sampai pecah, 

jabang bayi yang ada di dalamnya tak akan tertolong. 

Namun karena jarak antara dirinya dan guci yang jatuh 

cukup jauh, walau berhasil melesat namun sang Resi 

tidak mampu menangkap guci putih berselubung 

robekan kain hitam.

 Hanya sekejapan lagi guci akan jatuh dan hancur 

berkeping-keping di tanah, tiba-tiba mahluk yang 

memiliki dua tangan menyala melesat keluar dari dalam 

tanah. Ternyata ujudnya adalah berupa jerangkong 

putih. Sambil melesat keluar dari dalam tanah mahluk ini 

yang dua tangannya tidak lagi berwarna merah 

membara, dengan cepat menangkap guci putih.

 Resi Kali Jagat jatuhkan diri berlutut di depan

jerangkong. Meski mahluk tulang belulang putih itu

telah menyelamatkan guci putih berisi jabang bayi

namun si orang tua tetap saja menaruh kawatir. Bukan

mustahil mahluk jerangkong ini bukan menolong tapi

sebenarnya Ingin merampas guci putih!

 Ki Sanak berujud jerangkong putih, apakah...

apakah kau Roh Putih yang selama ini menjadi

pelindung dan memberi petunjuk pada diriku?"

 Mahluk jerangkong menatap sang Resi dengan

matanya yang bolong lalu gelengkan kepala.

 "Bukan, aku bukan mahluk Roh Putih yang kau


maskudkan." Astaga! Ternyata mahluk jerangkong ini

bisa bicara seperti manusia.

 "Ki Sanak, saya berterima kasih kau telah

menyelamatkan benda dalam bungkusan kain hitam

hingga tidak jatuh ke tanah."

 Jerangkong putih rundukkan kepala. Mata yang

hanya merupakan rongga bolong kembali menatap ke

arah Resi Kali Jagat.

 "Benda di dalam bungkusan kain putih ini, benda

apa gerangan adanya?"

 "Satu benda titipan yang nilainya sama dengan

nyawa saya." Jawab Resi Kali Jagat.

 "Luar biasa. Apa kau mau mengatakan benda apa

itu adanya?"

 "Saya percaya padamu. Silahkan menyibak kain

hitam dan melihat sendiri apa isinya." Jawab Resi Kali

Jagat pula lalu bangkit berdiri.

 Jari-jari tangan yang hanya berupa tulang

belulang putih bergerak membuka bungkusan kain

hitam. Begitu guci putih tersembul dan mahluk

jerangkong dapat melihat isinya, untuk beberapa lama

mahluk jerangkong ini berdiri tidak bergerak.

 Lalu terdengar mulutnya berucap.

 "Yang Maha Kuasa mampu berbuat segala-galanya. 

Namun hari ini aku baru pertama kali melihat janin di 

simpan di dalam guci. Bagaimana ceritanya...?"

 "Maafkan saya Ki Sanak. Saya tidak bisa 

menceritakan asai usui jabang bayi itu."

 "Tidak mengapa. Kalau boleh tahu siapakah sahabat 

ini?"

 "Saya Resi Kali Jagat Ampusena."

 Kepala berupa tengkorak manggut-manggut

beberapa kali. Bungkusan kain hitam ditutup kembali.

Tangan diulur.

 "Resi Kali Jagat, sllahkan kau mengambil guci Ini 

berikut benda yang ada di dalamnya."

 Dengan cepat Resi Kali Jagat Ampusena mengambil 

guci putih yang diserahkan. Sambil menunduk dalam dia 

berkata. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih


Dengan segala kerendahan hati saya ingin

bertanya. Siapa Ki Sanak ini sebenarnya?"

 "Namaku Lor Pengging Jumena. Banyak orang

yang memanggilku dengan sebutan Embah Buyut..."

 Resi Kali Jagat tersentak kaget Dia tundukkan

kepala berulang kali. "Tidak menduga hari ini saya bisa

bertemu dengan seorang tokoh yang selama ini hanya

saya dengar nama dan kehebatannya. Tapi harap Ki

Sanak jangan tersinggung. Lor Pengging Jumena yang

saya ketahui berujud manusia biasa, seorang kakek

sakti yang memang sudah sepuh. Lalu mengapa kini

yang saya lihat Ki Sanak berujud seperti ini? Sekali

lagi maaf kalau saya menyinggung perasaan Ki Sanak."

(Mengenai riwayat Embah Sepuh atau Lor Pengging

Jumena dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng

sebelumnya berjudul "Selir Pamungkas")

 Mahluk Jerangkong keluarkan suara tertawa.

 "Perjalanan dan hidup manusia semua ditentukan 

oleh Yang Maha Kuasa. Para Dewa telah menetapkan 

diriku berujud seperti ini. Aku menerima dengan segala 

keikhlasan. Bukankah kita semua miiikNya?"

 Resi Kali Jagat anggukkan kepala.

 "Resi, aku merasa senang bisa bertemu denganmu. 

Aku harus segera kembali ke alamku. Berhati-hatilah, 

tempat yang jadi tujuanmu jauh dari aman dan tenteram. 

Lihatlah berkeliling. Perhatikan lima ekor anjing merah 

yang berkaparan di tanah. Ujud mereka telah berubah."

 Resi Kali Jagat berpaling ke arah empat anjing

merah yang telah menemui ajal dan bertebaran di

sebelah sana. Astaga. Tengkuk orang tua berusia

hampir seratus tahun ini merinding. Guci putih dikepit

erat-erat.

 Empat anjing merah yang telah menemui ajal itu

kini ujudnya telah berubah menjadi manusia. Yang dua

tewas dengan kepala pecah. Yang ketiga tewas dengan

perut jebol. Anjing ke empat tidak tahu bagaimana

ujudnya karena amblas masuk ke dalam tanah. Sang

Resi ingat apa yang telah terjadi. Dia tadi melihat sekilas


satu mahtuk berupa Kelelawar raksasa. Mahluk itulah

yang menghantam salah satu dari lima anjing merah

yang menyerangnya hingga melesak masuk ke dalam

tanah.

 "Mahluk luar biasa besar dan mengerikan itu,

mengapa dia menolong diriku?" Resi Kali Jagat

bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tiba-tiba dia

mendengar suara orang mengerang. Dia cepat

berpaling. Di samping kiri terbujur mahluk yang

sebelumnya adalah anjing kelima. Kini ujudnya telah

berubah menjadi manusia. Dua kaki hancur akibat

cekalan sepasang tangan merah panas mahluk

jerangkong mengaku bernama Lor Pengging Jumena.

 Resi Kali Jagat segera mendatangi orang ini.

Ternyata dia adalah seorang pemuda berusia sekitar

dua puluh tahun.

 "Anak muda, apa yang terjadi dengan dirimu.

Ketika masih dalam ujud seekor anjing merah kau dan

empat kawanmu menyerangku. Siapa dirimu

sebenarnya? Apakah aku pernah berbuat kesalahan

hingga kau dan kawanmu ingin membunuhku?"

 Orang yang ditanya memutar mata memandang

ke arah sang Resi. Mulut masih mengeluarkan suara

mengerang dan dia tidak menjawab pertanyaan orang.

 "Aku tahu, kau bukan cuma ingin membunuhku.

Tapi ingin merampas guci putih ini! Aku yakin semua

itu bukan maumu sendiri. Katakan siapa yang

menyuruhmu?"

 Sepasang mata pemuda yang dua kakinya hancur

itu melirik kian kemari.

 "Tidak ada orang lain di sini. Mengapa kau seperti

ketakutan hendak bicara?" Ucap Resi Kali Jagat

 Si pemuda buka mulutnya sedikit Tapi tak ada

suara yang keluar.

 "Bicara saja, tidak perlu takuti" Resi Kali Jagat

lalu tempelkan tangan kanannya di dada si pemuda,

alirkan hawa sakti dan tenaga dalam untuk memberi

kekuatan. "Nah sekarang bicaralah. Kau pasti bisa

bicara


"Jen...Jenazah Sim...Simpanan...." Si pemuda

akhirnya keluarkan ucapan.

 "Jenazah Simpanan? Mahluk apa itu? Dimana

beradanya?"

 Mulut si pemuda terbuka kembali. Tapi kali ini

bukan untuk bicara melainkan yang terlihat adalah

lidah yang terjulur serta mata yang mencelet.

 Resi Kali Jagat terkejut. "Ada apa?l"

 Tiba-tiba ada sambaran angin dan kraaakkkl

 Leher si pemuda putus seperti ditebas benda tajam. 

Darah menyembur. Kepala menggelinding. Resi Kali 

Jagat berseru kaget dan melompat mundur. Sebagian 

pakaiannya masih sempat terkena cipratan darah!

 Tiba-tiba sambaran angin seperti tadi menyapu

ke arah sang resi. Dengan cepat Resi Kali Jagat mundur

dua langkah sambil tangan kanan melepas satu

pukulan sakti ke arah depan dari mana arah datangnya

sambaran angin.

 Selarik sinar biru menerpa keluar dari telapak

tangan Resi Kali Jagat

 "Braakkk!"

 Terdengar suara seolah ada batu besar jatuh atau

tembok tebal rubuh. Lalu menyusul suara ringkikan

kuda dan brukkk! Sesosok tubuh berpakaian hitam

jatuh bergedebuk di tanah. Ujudnya adalah seorang

manusia berkepala kuda! Di tangan kanannya tergeng-

gam sebilah golok besar bernoda darah.

 "Pasti mahluk Ini yang tadi membabat putus

leher pemuda itu. Dewa Agung! Malapetaka apa

sebenarnya yang ada di tempat ini? Saya mohon

perlindungan. Tugas yang harus saya laksanakan

masih belum rampung."

 Baru saja sang Resi berucap seperti itu men-

dadak terdengar enam kali suara letupan disertai

kepulan asap. Lima sosok pemuda yang tadinya

berujud anjing merah disusul sosok manusia ber-

kepala kuda berubah jadi kepulan asap merah lalu

lenyap dari pandangan mata. Anehnya noda darah yang

mengotori pakaian Resi Kali Jagat Ampusena ikut

hilang tak berbekas.


ENAM BELAS



SETELAH tegak 

terdiam beberapa 

lama di hutan jati

yang kini menjadi 

sunyi senyap, Resi Kali 

Jagat memeriksa jabang bayi yang ada dalam guci putih

tembus padang. Dia merasa lega ketika melihat jabang

bayi itu tidak kurang suatu apa. Orang tua ini kembali

mendatangi pohon jati yang dua cabangnya saling

bersilangan.

 Ketika Kelelawar Raksasa mengepakkan sayap

untuk menghabisi anjing merah sembilan pohon jatuh

tumbang. Adalah aneh walau pohon Jati satu ini berada

di tengah hantaman sayap namun tidak ikut roboh,

hanya dedaunannya saja yang yang rontok, itupun

tak banyak.

 Seperti yang dilakukannya sebelumnya Resi Kali

Jagat ulurkan tangan kanan, mengetuk batang pohon

tiga kali.

 "Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan

Para Dewa, aku Resi Kali Jagat Ampusena kembali

memohon untuk dibuka pintu masuk ke dalam Rumah

Ketenteraman dan Keselamatan."

 Sunyi sesaat Lalu terdengar suara sahutan dari

dalam tanah.

 "Resi Kaii Jagat, aku mendengar permintaanmu.

Lapangkan hati dalam menghadapi segala cobaan.

Pintu terbuka lebar bagimu. Silahkan masuk."

 Begitu suara di dalam tanah selesai berucap tiba-

tiba terdengar suara angin berdesir. Batang pohon Jati

di hadapan si orang tua bergetar. Cabang dan ranting

serta daun-daun bergerak lurus ke atas mengarah ke

langit. Di lain kejap terjadilah hai yang sungguh luar

biasa.

 Pohon Jati besar berusia lebih dari setengah

abad itu melesat ke udara sampai setinggi tiga tombak.

Akar menjuntai bergerak-gerak mengeluarkan suara

berdesir aneh.Dari lobang besar yang kini menganga

di tanah muncul keluar satu bangunan terbuat dari batu


hitam berbentuk candi kecil. Resi Kali Jagat terpana.

Mata menatap tak berkesip. Dia sudah sering

mendengar adanya keanehan ini namun baru kali ini

melihat sendiri.

 Saat itu terdengar lagi suara berdesir dari arah

bangunan batu. Lalu pintu bangunan kelihatan

bergeser, membuka ke samping membentuk jalan

masuk.

 "Resi Kali Jagat Ampusena, pintu telah terbuka.

Berarti kedatanganmu diterima. Silahkan masuk." Ada

suara mempersiiahkan.

 Resi Kali Jagat kepit erat-erat guci putih di tangan

kiri lalu dengan cepat masuk ke daiam bangunan

melalui pintu yang terbuka. Begitu si orang tua berada

di dalam bangunan, pintu batu menutup dengan

sendirinya lalu terasa bangunan itu bergerak turun

masuk jauh ke dalam tanah. DI luar sana pohon Jati

besar bergerak pula ke bawah dan kembali tertanam di

tanah seperti sebelumnya. Cabang, ranting dan

dedaunan yang mengarah ke langit perlahan-lahan

bergerak ke bawah.

 Bangunan batu yang diluar tampak kecil saja

ternyata sebelah dalamnya cukup luas. Di satu mang

terbuka berderet beberapa patung batu, tiga patung

lelaki, dua berujud patung perempuan.

 "Pemilik Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, aku 

sudah berada di dalam bangunan. Aku menghatur

terima kasih kau telah memberi perkenan bagiku untuk

masuk. Salam hormat dan sejahtera untukmu."

 Baru saja Resi Kali Jagat berucap tiba-tiba dari lantai 

mencuat tiga buah benda. Ternyata benda itu adalah 

dua buah kursi dan sebuah meja terbuat dari batu hitam 

berkilat.

 "Ampusena silahkan duduk. Apakah kau berkenan 

terlebih dulu membasahi rangkungan dengan secangkir 

anggur murni atau secawan tuak harum?"' Suara yang 

menyapa adalah suara perempuan yang sama 

sewaktu sang Resi masih berada di hutan Jati.

 "Terima kasih, kalau boleh aku hanya minta


secangkir air putih bening."

 Mendengar jawaban itu, perempuan yang masih

belum kelihatan ujudnya keluarkan suara tertawa.

"Ampusena, agaknya kau tidak pernah berubah dari

dulu."

 Resi Kali Jagat tidak menjawab, hanya rundukkan

kepala dan dada sebagai penghormatan atas ucapan

orang. Ketika dia meluruskan kepala dan tubuh kembali

di atas meja batu tabu-tabu telah terletak sebuah

cangkir tanah berisi air bening. Namun di dalam

kebeningan itu Resi Kali Jagat melihat sesekali ada

kilauan warna merah. Racuni

 "Resi Kali Jagat, silahkan membasahi rangkungan. 

Silahkan diminum air putih bening sejuk di atas meja." 

Suara perempuan tanpa ujud kembali terdengar.

 Resi Kali Jagat yang telah melihat adanya

kelainan dalam cairan putih bening menjawab dengan

suara lembut penuh hormat

 "Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan 

mohon maaf. Aku lupa kalau hari ini aku tengah 

berpuasa."

 "Begitu? Makin tua umur dunia membuatmu kini

jadi seorang pelupa. Itu lebih baik dibandingkan jadi

orang pikun"

 Didahului suara tertawa tiba-tiba salah satu dari

dua patung perempuan di dalam ruangan pancarkan

cahaya kuning. Cahaya ini melesat ke arah kursi batu.

Sesaat kemudian di atas kursi batu di belakang meja di

hadapan Resi Kali Jagat terlihat sosok seorang nenek.

 Nenek ini memiliki wajah runcing mengenakan

jubah kuning, berambut kuning dan di atas kepalanya

menancap tiga tusuk konde

 terbuat dari batu berwarna merah pekat. Wajahnya 

tampak aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Nenek 

ini hanya punya satu alis, memanjang dari pelipis kiri 

sampai pelipis kanan. Di bawah alis panjang itu terdapat 

dua buah mata. Mata yang sebelah kiri lebih besar dari 

mata sebelah kanan. Hidung bengkok menyerupai paruh 

burung dicantel! anting-anting bulat terbuat dari emas


Mulut berbentuk segi tiga. Si nenek tidak duduk di atas 

kursi tapi berdiri. Dan tubuhnya ternyata pendek sekali

alias katai.

 Resi Kali Jagat cepat berdiri lalu membungkuk.

 "Penghuni Rumah "Ketenteraman dan

Keselamatan, salam hormatku untukmu."

 SI nenek katai tertawa panjang lalu berkata.

"Walau pertemuan kita terakhir sekitar lima puluh tahun

silam, namun kita sudah saling kenai. Terus terang aku

merasa lucu dengan segala basa basi ini. Ampusena,

apakah kau baik-baik saja selama ini?"

 Resi Kali Jagat Ampusena membungkuk.

"Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan,

terima kasih. Aku ada baik-baik saja. Kau sendiri

bagaimana...?"

 Mulut segi tiga si nenek tersenyum. "Tidak perlu

sungkan. Seperti di masa lalu kau boleh memanggil

diriku dengan nama asliku Ning Rakaninl. Beberapa

bulan silam aku menyambangi makam adikku Ning

Prameswari di Bukit Menoreh. Ternyata keadaan makam

sangat bersih dan terpelihara. Bunga-bunga tumbuh

segar dan mekar di sekeliling makam. Apakah kau yang

selama ini merawat makam Itu?"

 "Benar Ning Rakaninl. Hanya itu yang bisa aku

lakukan untuk tetap menghormati kecintaanku

padanya." Jawab Resi Kali Jagat.

 Si nenek bernama Ning Rakaninl terdiam sejenak.

Lalu dia berkata. "Ampusena, aku sangat berterima

kasih atas semua perhatianmu terhadap mendiang

adikku. Sekarang katakan apa tujuanmu

menyambangiku di tempat yang sangat rahasia Ini tapi

kau berhasil menemukan."

 "Hanya atas perlindungan dan bimbingan Para

Dewa maka aku bisa sampai ke sini..."

 "Sepasang kasut putih yang kau pakai itu turut

membantumu?"

 "Benar Ning Rakanini. Sepasang kasut ini pemberian 

Roh Putih yang jadi pelindung diriku." Menjawab Resi Kali 

Jagat.


"Tapi ketika ada lima mahluk anjing merah besar

menyerangmu dan berusaha merampas barang yang

kau bawa. Roh Putihmu tidak menolong dirimu! Apakah

begitu cara Roh Putih melindungimu?"

 Resi Kali Jagat Ampusena terdiam. Rupanya si nenek 

mengetahui apa yang terjadi di hutan Jati sana.

 "Ning Rakanini, terima kasih kau telah

memperhatikan diriku. Mengenai pertolongan Roh

Putih, tidak selamanya sang penolong selalu turun

tangan sendiri. Melalui uluran tangan Yang Maha Kuasa

bisa saja yang muncul menolong bukan si pelindung

langsung, itu yang terjadi dengan diriku. Ada mahluk

berujud jerangkong putih muncul menolong diriku

pada kejadian serangan lima ekor anjing merah. Semua

itu pasti terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa."

 Si nenek yang berdiri di kursi batu angguk-

anggukkan kepala. Dia menatap ke arah bungkusan

hitam yang masih dikempit sang Resi dan memberi

Isyarat

 Resi Kali Jagat Ampusena letakkan bungkusan

kain hitam di atas meja batu.

 "Ning Rakaninl, maksud tujuanku ke sini adalah

untuk menitipkan benda yang ada dalam bungkusan

ini...."

 "Aku ingin melihat benda itu. Harap kau segera saja 

membuka bungkusan kain hitam." Kata si nenek pula.

 Dengan cepat tapi hati-hati Resi Kali Jagat

membuka bungkusan kain hitam. Sepasang mata Ning

Rakaninl yang besar dan kecil menatap tak berkesip,

alis panjang hitam di kening mencuat pada kedua

ujungnya ketika melihat guci putih tembus pandang

serta benda yang ada di dalamnya.

 "Ampusena, aku tak berani menduga. Katakan

benda apa yang ada di dalam guci putih itu. Menurut

penglihatanku seperti seekor kadal merah walau tidak

ada buntutnya. Aku melihat ada denyutan halus di

tubuhnya, apakah mahluk ini dalam keadaan hidup?"

 "Ning Rakanini, benda yang ada dalam guci putih

adalah jabang bayi hidup berusia tiga bulan calon


seorang anak laki-laki."

 Si nenek berambut kuning bermuka aneh sampai

berjingkrak mendengar keterangan Resi Kali Jagat

 "Dewa Bathara Agungi Baru sekali ini seumur hidup 

aku melihat jabang bayi ada di luar rahim ibunya!

Dan jabang bayi ini yang hendak kau titipkan padakul

Betul Ampusena?!"

 "Betul Ning Rakanini. Aku menitipkan selama

enam bulan sepuluh Kari saja. Setelah Itu aku akan

datang kembali untuk mengambil ujudnya yang pasti

taat itu sudah menjadi seorang bayi"

 Sosok nenek bernama Ning Rakanini, pemilik

bangunan yang disebut Rumah Ketenteraman dan

Keselamatan meluncur ke bawah dan terduduk di atas

kursi batu.

 "Ini kali pertama aku ketitipan barang berupa

jabang bayi. Sulit dipercaya tapi nyata. Dan yang

membawanya adalah seorang yang pernah aku

harapkan menjadi pendamping hidupku! Bagaimana

mungkin aku bisa menolak?!"




TUJUH BELAS


RESI Kali Jagat 

Ampusena mengusap 

wajah. Walau

wajah itu tidak 

menunjukkan perubahan namun diam-diam si orang tua 

merasa dadanya berdebar mendengar ucapan si nenek 

katai.

 "Ampusena, apa kau mau memberi tahu

bagaimana cerita riwayat jabang bayi itu? Bagaimana

kau sampai ketitipan tugas untuk membawanya ke

tempat ini?"

 "Beberapa waktu lalu aku bertapa dalam sebuah

candi kecil di bantaran Kali Gondang. Hasil tapaku

adalah berupa petunjuk dari Roh Putih." Lalu Resi Kali

Jagat menuturkan tapa yang dilakukannya sampai

kedatangan Roh Putih yang memerintahkannya untuk

mencari sebuah mangkok perak berisi seratus mutiara

putih.

 "Aku berhasil menemukan mangkok perak dan

seratus mutiara putih. Sesuai petunjuk Roh Putih aku

melakukan semedi. Mutiara dalam mangkok lalu

berubah membentuk sebuah guci putih tembus padang

lengkap dengan penutupnya. Guci aku isi dengan air

embun hingga ketinggian dua pertiganya. Saat itulah

Roh Putih kembali menampakkan diri dalam ujud

cahaya putih dan memberi petunjuk lebih lanjut. Aku

diminta mengikuti arah yang dibawa sepasang kasut

yaitu ke jurusan timur. Tak lama setelah mataharti terbit

aku akan sampai di satu daerah pesawahan. Di dalam

sebuah teratak di tepi sawah aku berjumpa dengan

dua orang perempuan. Salah seorang diantaranya

tengah mengandung tiga bulan. Namun perempuan Ini

tidak sudi mempunyai janin dari benih lelaki yang tidak

dicintainya. Dia bermaksud mengeluarkan janin itu dan

membunuhnya. Aku diperintahkan oleh Roh Putih untuk 

menyelamatkan jabang bayi dan memasukkannya ke 

dalam guci putih."

 Ketika Resi Kali Jagat hentikan penuturannya si

nenek berkata. "Roh Putih kemudian memintamu


membawa jabang bayi dalam guci putih ke tempat

kediamanku ini untuk dititipkan. Betul?"

 "Betul sekali Ning Rakanini. Keadaan di luar sana

masih belum aman. Walau banjir berair merah serta

penyakit aneh yang menimpa rakyat telah lenyap

namun bahaya tidak terduga bisa saja mengancam

secara tiba-tiba. Konon penimbul malapetaka itu adalah

mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap

Arwah, dibantu oleh saudara nyawa kembarnya dan

seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Aku tak

mungkin pergi kemana-mana membawa jabang bayi

dalam guci Ini. Roh Putih menyuruh aku menitipkannya

padamu. Sepasang kasut putih membimbing

perjalananku sampai di hutan Jati dan aku menemukan

pohon Jati yang memiliki dua cabang saling

bersilang..."

 "Ampusena, ceritamu sungguh luar biasa. Apa

kau menyaksikan dengan mata kepalamu ketika ibu

dari jabang bayi itu hendak membunuh darah

dagingnya sendiri?" Bertanya Ning Rakanini.

 "Aku malah melihat ketika dia mengorek keluar

janin tak berdosa itu dari dalam perutnya!" Jawab Resi

Kali Jagat.

 "Keji sekali. Tak terpikir olehku ada ibu yang akan

berbuat sejahat itu terhadap darah dagingnya sendiri.

Atau mungkin dia punya alasan untuk melakukan hal

itu?"

 "Turut cerita yang aku dengar jabang bayi

yang dikandung sang Ibu adalah hasil hubungannya

dengan seorang Penguasa Negeri yang terletak di alam

gaib di puncak gunung. Mungkin Gunung Semeru. Si

ibu hanyalah selir dari sang Penguasa dan tidak

menginginkan bayi itu terlahir ke dunia..."

 "Kau tahu siapa nama ibu jabang bayi ini?"

Tanya Ning Rakanini pula.

 "Namanya kalau aku tidak keliru adalah Ken

Parantili. Setelah jabang bayi aku dapatkan dan di-

masukkan ke dalam guci putih aku segera pergi. Dia

aku tinggalkan bersama seorang gadis bernama Jaka


Pesolek."

 Ning Rakanini merenung beberapa ketika lalu

berkata. "Ampusena, ada satu hal yang aku kawatirkan."

 "Hal apakah itu kalau aku boleh tahu?"

 "Minggu demi mlnggu, bulan demi bulan jabang

bayi dalam guci akan berkembang tumbuh menjadi

lebih besar. Sementara guci putih besarnya tetap tak

berubah. Berarti jabang bayi bisa menemui ajal akibat

tergencet dinding guci."

 "Ning Rakaninl, hal yang kau tanyakan pernah

aku tanyakan juga pada Roh Putih. Aku mendapat

jawaban bahwa bersamaan dengan tumbuh serta

membesarnya jabang bayi, guci putih tembus pandang

akan membesar pula mengikuti besarnya sang janin...."

 "Dewa Agung!" Ucap si nenek seraya bergerak

bangun dan kembali berdiri di atas kursi batu.

 "Satu lagi pertanyaanku. Selama di dalam guci

jabang bayi tidak mendapat makanan apa-apa. Lain

halnya jika dia berada dalam rahim ibunya. Dia akan

mendapat makanan dari tubuh sang ibu. Tanpa makan

apa jabang bayi bisa bertahan hidup sampai enam

bulan sepuluh hari dimuka?

 "Menurut Roh Putih, cairan embun yang ada di

alam guci merupakan air dan makanan yang akan

menghidupkan jabang bayi karena guci putih rtu adalah

rahim kedua tempat kehidupan sang janin."

 "Luar biasa! Luar biasa!" Ucap si nenek berulang kali.

 Resi Kali Jagat menutup guci putih kembali dengan 

kain hitam.

 "Aneh, tiba-tiba saja aku menjadi haus," berkata

Ning Rakanini. "Ampusena, jika kau memang sedang

berpuasa dan tidak mau minum air bening sejuk dalam

cangkir, biar aku saja yang meneguknya."

 "Ning Rakanini, apakah kau lupa kalau hari ini kau 

sebenarnya juga tengah berpuasa?"

 Ucapan sang Resi membuat si nenek terkejut heran.

 "Seumur hidup aku tidak pernah berpuasa. Apa

maksud bicaramu Ampusena?"


Resi Kali Jagat menatap ke arah cangkir tanah

berisi air putih bening. Tangan kiri diulurkan

memegang cangkir. Lalu cangkir di angkat ke atas dan

dibalikkan. Air putih di dalam cangkir serta merta jatuh

tumpah ke bawah. Sebelum menyentuh lantai ruangan

batu tumpahan air yang putih bening tampak bersinar

merah. Begitu air menyentuh lantai terdengar suara

dess....dess....desssl Asap merah mengepul. Ketika

asap lenyap, lantai batu kelihatan retak terkuak dan

berlobang merah hangus di beberapa bagian.

 "Ning Rakanini, kau bisa membayangkan kalau

air dalam cangkir masuk ke dalam perutmu. Batu lantai

saja bisa retak dan berlobang."

 Berubahlah paras si nenek.Tubuhnya yang katai

kembali melompat dan berdiri di atas kursi batu.

 "Ampusena, kau tidak menyindir atau menuduh

kalau aku telah meletakkan sesuatu dalam minuman

itu untuk meracuni dan membunuhmu?!"

 "Sama sekali tidak. Aku hanya secara kebetulan

melihat ada warna merah dalam air sewaktu cangkir

kau letakkan di atas meja."

 "Berarti ada seseorang hendak mencelakai dirimu. 

Berarti kau sebenarnya juga tidak puasa!"

 "Benar, aku hanya menolak minum secara halus.

Maaf kalau itu membuatmu tersinggung."

 "Kurang ajar! Ada musuh dalam selimut di tempat

inil"

 Ning Rakanini bertepuk tiga kali. Dua dinding

ruangan, sebelah kiri dan sebelah kanan bergeser

membuka. Dari setiap dinding yang terbuka keluar

enam orang perempuan berpakaian pelayan. DI

pinggang masing-masing membekal tombak pendek

terbuat dari besi hitam Mereka semua berwajah bopeng.

Sekali lihat saja Resi Kali Jagat segera maklum kalau

muka bopeng itu hanyalah topeng tipis penutup wajah

belaka.

 Begitu berada di ruangan ke dua belas gadis

pelayan membungkuk memberi penghormatan pada si

nenek, melirik sekilas ke arah Resi Kali Jagat lalu


berlutut di lantai.

 "Siapa dlantara kalian yang tadi telah menghidangkan 

secara gaib air putih dalam cangkir? Lekas berdiri dan 

melangkah ke hadapankul"

 Untuk beberapa ketika ruangan batu menjadi sunyi 

senyap. Kalau si nenek menatap ke arah dua belas

orang pelayan dengan mata mendelik marah, sebaliknya 

sang Resi memandang dengan tenang.

 "Tidak ada yang menjawab? Tidak ada yang mau

mengakui baik. Semua kalian akan menerima kematian

saat ini juga!"

 Ning Rakanini jadi marah. Mulut segi tiganya

memaki berulang kali lalu dua tangan dipentang ke kiri

dan kanan. Saat itu dua tangan tampak berubah menjadi

hitam dan memancarkan cahaya menggidikkan. Dua

belas gadis pelayan bermuka bopeng tundukkan

kepala seolah pasrah menerima hukuman maut!

 Tiba-tiba salah seorang diantara para gadis

bermuka bopeng berdiri dari berlutut lalu melangkah

ke hadapan Ning Rakanini. Di depan si nenek dia

jatuhkan diri berlutut.

 "Kau. Perlihatkan wajahmu!'' Bentak Ning

Rakanini.

 Si gadis segera tanggalkan topeng yang menutupi 

wajah dan kini terlihat muka aslinya. Ternyata dia adalah 

seorang gadis berkulit kuning berwajah ayu jelita.

 "Menur Kembiril" Teriak Ning Rakanini menyebut 

nama si gadis. "Jadi kau orangnya! Katakan apa yang 

telah kau lakukan dengan minuman di dalam cangkir!"

 "Mohon ampunanmu Ajeng Puteri Ning Rakanini. 

Seorang pemuda asing telah menyuruh saya

memasukkan sejenis bubuk merah ke dalam minuman

dalam cangkir. Saya tidak kuasa menolak karena saya

telah bercinta dengan dia." Sang pelayan menyebut si

nenek dengan panggilan Ajeng Puteri.

 "Jahanam kurang ajar! Siapa pemuda itu! Dimana

dia sekarang?!" Hardik Ning Rakanini

 Gadis bernama Menur Kembiri angkat kepala,

memandang seputar ruangan lalu menunjuk ke atap


ruangan sudut sebelah kiri.

 Walau tidak melihat apa-apa namun tidak menunggu 

lebih lama Ning Rakanini segera hantamkan dua 

tangannya ke sudut atas ruangan yang ditunjuk si

pelayan.

 "Blaarr!"

 Dua larik sinar hitam menderu ke atap ruangan.

 "Braakk!"

 Sudut atap ruangan hancur berantakan,

memunculkan satu lobang besar. Sesaat sebelum dua

larik sinar pukulan sakti si nenek menghancurkan atap

ruangan di sudut kiri selarik cahaya kuning tampak

melesat. Ketika atap hancur membentuk lobang, pada

lobang besar itu tampak berdiri seorang anak lelaki

berpakaian mewah serba hitam. Di telinga kiri

mencantel sebuah anting emas.

 "Kurang ajar! Pembohong sialan! Cuma seorang

bocah kau menyebutnya seorang pemuda!" Teriak Ning

Rakanini sambil pelototkan mata pada Menur Kembiri.

Dalam keadaan tambah marah si nenek melesat dari

kursi batu. Dua tangan diluruskan ke arah si bocah,

tinju dikepal. Dari dua kepalan kemudian menyembur

cahaya kebiruan.

 "Ning Rakanini! Tahan serangan!" Teriak Resi Kali 

Jagat tapi si nenek tidak perduli. Tubuhnya terus

melesat malah dia lipat gandakan tenaga dalam.

 Anak lelaki yang berdiri di dalam lobang besar

di atap bangunan hentakkan kaki kanannya ke

pinggiran lobang. Saat itu juga udara terasa pengap.

Sosok Ning Rakanini yang melesat dalam ruangan

mendadak tertahan dan mengapung di udara. Resi Kali

Jagat dan semua orang yang ada di tempat itu juga

merasa tubuh mereka kaku. Si bocah tertawa bergelak.

Matanya memandang berkilat ke arah bungkusan kain

hitam di atas meja batu. Ketika dia hendak melompat

siap mengambil bungkusan berisi guci putih tiba-tiba

ada suara seperti orang melangkah. Hebatnya setiap

langkah yang terdengar membuat seluruh bangunan

terasa bergoyang. Lalu ada suara mengiang yang di


telinga si bocah di dalam lobang di atas atap.

 "Sang Junjungan! Ada mahluk asing datangi

Lekas pergil Saat ini kita belum beruntungl Lain kali

kita coba lagil"

 Anak lelaki unjukkan wajah tidak senang. Mata

masih memandang berkilat ke arah bungkusan kain

hitam. Namun dia maklum harus mengalah. Si bocah

membuat gerakan. Tapi bukannya melesat

meninggalkan ruangan melainkan justru melayang

turun memasuki ruangan dan menyambar tubuh Menur

Kembiri lalu dipanggul. Si bocah hentakkan kaki kanan

ke lantai. Begitu sebuah lobang besar dan dalam muncul

di lantai si bocah segera ceburkan diri ke dalam

lobang. Sesaat kemudian lobang lenyap, lantai kembali

rata seperti semula.

 Hanya sesaat setelah si bocah kabur memboyong 

gadis pelayan yang cantik itu Ning Rakanini mampu 

gerakkan tubuh dan melayang turun ke atas kursi batu. 

Resi Kali Jagat serta sebelas pelayan perempuan lainnya 

juga lepas dari ilmu aneh yang membuat mereka semua 

kaku tak mampu bergerak.

 "Ampusena! Kau melarang aku menyerang bocah itul 

Kenapa? Memang dia siapa? Kau lihat sendiri dia 

membawa kabur seorang pelayanku! Bocah itu kurasa 

baru berusia sekitar dua belas tahun. Tapi sudah tahu 

perempuanl Bedebah jahanam! Ampusena kau juga 

mendengar penjelasan dan tahu kalau bocah itu hendak 

meracunmu melalui pelayan itu! Dia mampu masuk 

menerebos ke tempat inil Baru satu kali terjadi seumur 

hidupku ada orang bisa masuk tanpa izinku!"

 "Ning Rakanini, maafkan aku. Aku bermaksud baik. 

Mencegahmu agar tidak membuka silang sengketa 

dengan kelompok orang-orang jahat yang menyanjung 

apa yang dinamakan Sukma Merah. Bocah tadi adalah 

Dirga Purana, seorang anak sakti yang sering membantu 

orang-orang Sukma Merah. Aku yakin dia datang ke sini 

bukan cuma hendak membunuhku, tapi juga ingin 

merampas guci putih berisi jabang bayi."

 "Nah, nah ternyata dia seorang bocah jahat


anggota komplotan Sukma Merahi Aku pernah men-

dengar pimpinan kelompok itu. Satu mahluk alam roh

bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi aku

dengar nyawanya sudah amblas. Aku menyesal kau

telah menghalangi diriku membunuhnya. Padahal kalau

tadi aku bisa menghabisinya berarti aku telah berbuat

bakti besar pada Kerajaan Mataram! Bukankah kom-

plotan itu yang telah menimbulkan malapetaka Malam

Jahanam di Bhumi Mataram?"

 "Ning Rakanini, tidak aku cegahpun kau tidak

bisa membunuhnya. Dia keburu mengeluarkan

kesaktian yang disebut Ilmu Membungkam Bumi.

Dalam lingkaran sepuluh tombak semua mahluk hidup

yang ada akan menjadi kaku tak mampu bergerak."

 Si nenek terdiam sejurus. Dia berpaling ke kiri dan 

kanan ke arah para pelayan bertopeng wajah bopeng.

 "Kalian semua! Kembali ke tempat kalianl" Si

nenek menghardik.

 Sebelas pelayan yang sejak tadi berlutut segera

berdiri lalu berlari keluar meninggalkan ruangan lewat

dua pintu di dinding. Setelah semua pelayan keluar

dua pintu kembali bergeser menutup.

 Tinggal berdua di dalam ruangan Ning Rakanini

berkata.

 "Ampusena, aku merasa malu dan sangat terpukul. 

Ada orang mampu menembus masuk ke tempatku ini. 

Aku harus membenahi pengamanan kalau tidak tempat 

ini tidak bisa lagi dinamakan Rumah Ketenteraman dan 

Keselamatan. Aku mohon kau mau meninggalkan tempat 

ini sekarang juga."

 "Aku mengerti kesulitan yang kau hadapi. Namun

kalau aku boleh bertanya apakah ucapanmu tadi berarti

kau menolak ketitipan guci putih berisi jabang bayi ini?"

 "Aku tidak menolak. Tapi dengan adanya kejadian

seorang bocah bisa menerobos masuk lalu kabur begitu 

saja dari sini, aku tidak bisa menjamin keselamatan 

guci."

 Tiba-tiba suara langkah-langkah aneh yang

membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di


lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar

berkepala botak. Kepala raksasa I Di kening ada tanduk

memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar

menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu

titik hitam kecil, melirik berputar. Lalu terdengar suara

seperti orang mengorok. Ketika dua lobang hidung

menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang

Resi merasa mata mereka menjadi perih. Lalu terdengar

si pemilik kepala di lobang berucap.

 "Jika tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi 

jabang bayi Itu, berikan padakul"

 Resi Kali Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut.

 "Ada lagi yang mau membuat onar dan menerobos 

masuk ke dalam tempat kediamanku!" Kata si nenek. 

Dua tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam 

berkilat

 "Tahan! Jangan!"

 Resi Kali Jagat cepat berteriak.


TAMAT































0 komentar:

Posting Komentar