WIRO SABLENG EPISODE JABANG BAYI DALAM GUCI
JABANG BAYI DALAM GUCI
Tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Tahu-tahu
seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan
berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken
Parantili. Di tangan kanan orang tua Ini memegang
sebuah guci tembus pandang berisi air bening.
"Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih
sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan
jabang bayi itu ke dalam guci ini." Berkata si orang tua.
"Resi, aku...." Ken Parantili tidak bisa meneruskan
ucapan. Perlahan-lahan tangan kanan yang memegang
jabang bayi diangkat, didekatkan ke atas guci tembus
pandang. Ketika genggaman dilepas. Jabang bayi
merah langsung masuk ke dalam guci.
MALAM sunyi dan
dingin di bantaran Kali
Gondang
tak Jauh dari desa
Kebonarum. Hampir bersamaan waktunya ketika Raja
Mataram dan rombongan meninggalkan tempat rahasia
di Sumur Api dalam perjalanan menuju Kotaraja. Hujan
turun rintik-rintik.
Bulan biru masih menggantung indah di langit
Mataram, memancarkan cahaya sejuk. Di satu tikungan
kali yang aliran airnya bergelombang deras terlihat
sebuah bangunan candi kecil, menghitam di bawah
bayang-bayang sebuah pohon besar yang tumbuh mi-
ring. Pohon telah tumbuh lebih dari seratus tahun,
hampir sama dengan usia candi. Konon pohon itu
ditanam ketika candi mulai dibangun.
Karena letaknya yang sangat terpencil dan sulit
dicapai, sejak selesai dibangun candi itu jarang
didatangi orang. Di bagian belakang dan kiri kanan
candi terbentang kawasan berbatu-batu tinggi dan
terjal, ditutup pula oleh rimba belantara lebat. Satu-
satunya jalan untuk mencapai candi adalah melalui Kali
Gondang. Tapi karena arus air kali di tikungan selalu
besar dan sangat berbahaya maka tak ada yang berani
mempertaruhkan nyawa. Menurut penduduk desa
Kebonarum beberapa kali orang-orang nekad
berusaha mendatangi candi dengan menaiki perahu
dan getek. Mereka tertarik oleh kabar bahwa di dalam
candi terdapat sejumlah harta karun. Namun semua
mereka menemui ajal ditelan arus. Kabarnya arus air di
Kali Gondang mendadak berubah menjadi lebih besar
dan ganas jika ada orang berada di sekitar kali dan
coba mendekati candi.
Namun malam itu ada satu keanehan. Dari luar
candi terlihat cahaya temaram pertanda ada orang di
dalamnya Memang ternyata begitulah kejadiannya
Saat itu di dalam candi berada seorang Resi yang sejak
dua malam lalu melakukan tapa Di depannya di lantai
candi terdapat sebuah lobang berbentuk empat persegi
sedalam satu jengkal. Di dalam lobang terletak empat
puluh keping batu berwarna putih. Dalam tapanya sang
resi memancarkan aliran hawa sakti ke dalam lobang.
Setelah dua hari dua malam berlalu, pada malam ketiga
kepingan-kepingan batu putih pancarkan cahaya
merah. Semakin lama cahaya itu semakin terang. Candi
yang tadinya gelap gulita kini menjadi benderang.
Bersamaan dengan itu di dalam candi menebar bau
harum dan hawa sejuk.
Tepat di pertengahan malam ketika empat puluh
kepingan batu memancarkan cahaya yang sangat
terang tiba-tiba dari arah pintu depan candi berkelebat
satu cahaya putih. Lalu terdengar satu suara lembut
berucap.
"Resi Kali Jagat Ampusena, kekuatan tapamu
mampu menyalakan empat puluh keping batu putih.
Tapamu diterima, berhentilah bersemedi dan dengar
baik-baik apa yang aku katakan."
Resi bernama Kali Jagat Ampusena mengusap
wajah yang ditumbuhi kumis dan janggut putih,
perlahan-lahan buka sepasang mata. Hal pertama yang
dilihatnya setelah mendengar suara tadi adalah cahaya
putih di pintu candi. Serta merta orang tua berusia
hampir seratus tahun ini tundukkan tubuh, kepala
menyentuh lantai candi, mulut berucap.
"Roh Putih pelindung langit dan bumi, saya yang
rendah sangat berterima kasih Roh Putih telah berkenan
datang. Saya tahu ketenteraman telah datang di Bhumi
Mataram. Namun rasa aman masih belum mencapai
kesempurnaan. Untuk itu saya mohon petunjuk lebih
lanjut dari Roh Putih."
"Resi Kali Jagat Ampusena, ucapanmu menyatakan
betapa hati sanubarimu menunjukkan bakti yang sangat
tinggi terhadap Kerajaan. Tetapi ketahuilah, urusan
Kerajaan sudah ada yang menangani. Mataram masih
memiliki seorang Raja. Kerajaan masih mempunyai
banyak pejabat dan orang sakti berkepandaian tinggi
yang telah dan akan tetap berbakti untuk Bhumi
Mataram. Biar semua mereka itu yang mengatur sesuai
dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Bagi dirimu, ada
satu tugas yang sebenarnya sudah tersurat di alam gaib
sejak dua puluh purnama yang lalu..."
Dalam kejutnya mendengar ucapan Roh Putih Resi
Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan tubuh dan
kepala.
"Roh Putih, saya mohon diberikan petunjuk atas tugas
yang menjadi kewajiban saya itu."
Baru saja sang Resi keluarkan ucapan tiba-tiba
di lantai di hadapannya muncul sepasang kasut
berwarna putih.
"Resi Kali Jagat pada saat cahaya putih lenyap
dari pandangan matamu maka berdirilah. Kenakan
kasut putih. Kasut putih akan membawamu ke satu
tujuan. Di tempat itu kau akan menemukan seratus butir
mutiara putih di dalam sebuah mangkok perak. Segera
lakukan semedi. Sebelum fajar menyingsing dengan
kehendak Yang Maha Kuasa seratus mutiara akan
meleleh laiu berubah menjadi sebuah guci sangat
indah tembus pandang, lengkap dengan tutup yang
mencantei di bibir guci. Benda apa saja yang masuk ke
dalamnya akan terlindung dan dapat dilihat dengan
mata telanjang seolah guci itu terbuat dari kaca "
"Sungguh besar kuasa Sang Hyang Jagatnatha...." Resi
Kali Jagat ucapkan pujian. "Roh Putih, apa yang
selanjutnya harus saya lakukan?"
"Ambil guci itu. Masukkan air embun yang bisa
kau dapat dari tetesan yang ada di dedaunan. Sebelum
fajar menyingsing air embun itu sudah harus mencapai
dua pertiga ketinggian guci. Jika hal itu sudah kau
lakukan, kau akan menerima petunjuk lebih lanjut dan
kasut putih akan membawamu ke setiap tujuan sesuai
kehendak Yang Maha Kuasa. Satu hal penting kau harus
menjaga guci itu baik-baik. Kau harus menganggap
guci itu pertaruhannya sama saja dengan nyawamu.
Karena kelak guci itu akan menjadi rahim kedua dari
satu jabang bayi...."
"Rahim kedua dari satu jabang bayi?" Resi Kali
Jagat Ampusena mengulang ucapan mahluk gaib
berupa cahaya putih di ambang pintu candi yang
dipanggilnya sebagai Roh Putih.
"Resi Kali Jagat, ucapan sudah kau dengar.
petunjuk sudah kau dapat. Sekarang laksanakan
tugasmu."
Resi Kali Jagat Ampusena kembali rundukkan
tubuh dan kepala.
"Roh Putih, saya siap melaksanakan tugas."
"Semoga Yang Maha Kuasa melindungi dan
memberi pertolongan padamu."
"Terima kasih Roh Putih." Resi berusia seratus tahun itu
luruskan tubuh. Ketika memandang ke arah pintu candi,
cahaya putih yang tadi ada di tempat itu ternyata sudah
lenyap. Si orang tua mengusap wajah beberapa kali.
Hatinya tiba-tiba saja membatin. "Apakah barusan aku
bukannya bermimpi?" Mata sang Resi kemudian
menatap sepasang kasut putih di lantai candi. "Tidak,
aku tidak bermimpi." Ucap hatinya meyakinkan diri.
Resi Kali Jagat cepat berdiri. Kasut putih dikenakan
pada kedua kaki. Saat itu juga dia merasa tubuhnya
seringan kapas. Belum sempat dia melangkah, sepasang
kasut putih telah menggerakkan dua kakinya.
"Kasut putih sahabatku, bawa aku segera ke tempat
beradanya seratus mutiara putih." Resi Kali Jagat
berkata.
Saat itu juga si orang tua merasa tubuhnya
terangkat ke udara lalu ketika dia membuat gerakan
melangkah ternyata dirinya melayang. Sekejapan saja
dia sudah keiuar dari dalam candi dan melayang di
udara malam yang dingin. Menatap ke langit dia
melihat bulan biru memancarkan cahaya bening dan
sejuk. Hujan gerimis telah berhenti.
"Bulan biru di langit Mataram. Aku bisa berjalan
melayang seolah terbang. Seratus mutiara putih.
Jabang bayi di dalam guci. Kebesaran Yang Maha
Kuasa sungguh tidak terjangkau oleh akal semua insan."
Resi Kali Jagat Ampusena berucap dalam hati
DUA
ROMBONGAN yang
menjemput Raja
Mataram di kawasan
rahasia Sumur Api
memasuki Kotaraja setelah lewat tengah malam. Di langit
bulan purnama empat belas hari berwarna biru
memancarkan cahaya lembut dan sejuk. Di depan sekali
kelihatan kereta putih yang ditumpangi Raja Rakai Kayu
Wangi Dyah Lokapala bersama permaisuri dan putera
puterinya yang masih kecil-kecil. Seperti telah diceritakan
daiam episode sebelumnya (Bulan Biru Di Mataram)
kereta putih dikusiri oleh anak buah Raja Jin Hutan Roban,
satu mahluk berjubah putih berwajah licin. Di sebelahnya
duduk Ratu Randang tampak agak terkantuk-kantuk.
perjalanan jauh yang cukup melelahkan serta bayangi
rasa takut akan adanya serangan mendadak akhimya
sampai juga di tujuan dengan selamat
Ketika rombongan memasuki pintu gerbang halaman
istana, mendadak satu ledakan dahsyat menggelegar di
halaman belakang Istana. Cahaya angker membersit ke
udara dalam bentuk lima larik sinar merah yang pada
kedua tepinya ada alur berwarna hitam. Lima sinar
bersibak menebar. Satu melesat ke arah atap Istana, dua
lainnya menyambar ke arah dua sudut tembok halaman
dua lagi menghambur ke arah pohon beringin besar di
halaman dalam istana. Semua kuda penarik kereta dan
gerobak meringkik keras. Agaknya mereka melihat
sesuatu yang tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Lima
sinar merah bertepi hitam kemudian lenyap. Keadaan
serta merta dicekam kesunyian
Sewaktu ledakan menggelegar, Ratu Randang segera
melompat turun dari atas kereta Kakek sakti Kumara
Gandamayana yang berada di bagian belakang
rombongan cepat melesat ke pintu gerbang, terus
memasuki halaman istana Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi berjaga-jaga di kiri kanan kereta putih,
mencegah Raja Mataram agar tidak keluar dan turun
dari kereta.
"Apa yang terjadi?" Raja bertanya sambil keluarkan
kepala dari jendela kereta.
"Belum jelas Yang Mulia," jawab Kunti Ambiri.
"Tadi ada lima cahaya merah bertepi hitam menyusul
suara ledakan. Lalu lenyap. Kakek Kumara sedang
melakukan penyelidikan."
"Pasti ini pekerjaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah
Heran sudah menemui ajal masih mampu gentayangan."
Ucap Raja sambil memeluk seorang puterinya yang
ketakutan.
"Yang Mulia, saya melihat ada keganjilan." Berkata
Ratu Randang. Kalau ini memang serangan datang dari
Sinuhun merah mengapa hanya ada lima cahaya merah
Biasanya mahluk jahat itu selalu menggempur dengan
delapan serangan cahaya sekaligus."
Raja tak bisa menjawab. Justru Sakuntaladewi yang
menyahuti. "Mungkin ada sesuatu terjadi. Sebagai sebab
akibat kematian mahluk alam roh Sinuhun Merah itu
"Bisa jadi begitu " Kata Raja puia Lalu dia bertanya
"Apakah Kesatria Panggilan sudah ada di sini ?”
Belum sempat Kunti Amblri menjawab tiba-tiba orang
Abdi Dalem berteriak
"Ada orang bertarung di atas wuwungan Istana!"
Semua orang segera palingkan kepala, arahkan
pandangan ke atas atap istana. Raja Mataram kembali
ulurkan kepala dari jendela kereta putih untuk
menyaksikan apa yang terjadi.
Di atas atap Istana satu mahluk aneh yang tubuhnya
dikobari nyala api tampak tengah menggempur seorang
pemuda berambut panjang yang bukan lain adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"itu Kesatria Panggilanl" Teriak Raja Mataram
"Dia dalam keadaan terdesak. Lekas dibantul"
Kumara Gandamayana yang telah kembali ke pintu
gerbang memberi tahu Ratu Randang. Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi untuk menjaga Raja Mataram dan
keluarganya yang masih berada di daiam kereta serta
dua kereta iain di sebelah belakang.
"Kalian tetap di sini. Aku akan membantu Kesatria
Panggilan." Kata si kakek.
Pada saat itu dari atas atap terdengar suara orang
berteriak.
"Kuntit Cepat keluarkan Raja dan keluarga dari
kereta putih! Keluarkan semua orang dari kereta dan
gerobak! Cari perlindungan!"
Yang berteriak adalah Pendekar 212 Wiro Sableng
yang saat itu memang agak terdesak oleh serangan
mahluk berapi. Beberapa kali dia melompat dan
berjungkir balik di udara untuk mengelakkan serangan
ganas. Hawa panas kobaran api yang keluar dari tubuh
dan setiap serangan lawan sungguh luar biasa.
Membuat Wiro sulit mendekat dan terpaksa menghin-
dari bentrokan langsung dua lengan.
Kumara Gandamayana yang hendak melesat ke
atas atap Istana, mendengar teriakan Wiro jadi saling
pandang dengan tiga perempuan di depannya.
"Pasti ada sesuatu! " Ucap Kunti Ambiri. Lalu gadis
cantik alam roh yang duiu dikenai dengan sebutan Dewi
Ular ini mendobrak pintu kereta putih. Raja, Permaisuri
dan putera-puterinya segera dikeluarkan. Di belakang
kereta putih Sakuntaiadewi mengeluarkan keluarga Raja
lainnya dari dalam dua kereta. Lebih ke belakang,
puluhan orang berserabutan melompat keluar dari
kereta dan gerobak.
Baru saja Raja dan Permaisuri serta putera-puterinya
keluar dari kereta dan berlindung di balik tembok kukuh
pintu gerbang sebelah luar tiba-tiba dari arah pohon
beringin besar di depan kanan Istana melesat satu
cahaya merah bertepi hitam menyambar! ke arah kereta
putih yang tadi ditumpangi Raja Mataram dan kini berada
dalam keadaan kosong.
"Awas serangan cahaya merahi" Teriak Ratu
Randang. Melihat cahaya merah serangan si nenek
mengira yang menyerang adalah Sinuhun Merah
Penghisap Arwah atau kaki tangannya. Maka tidak
tunggu lebih lama Ratu Randang segera keluarkan ilmu
penangkal. Dengan cepat dia tusukkan delapan jari
tangan pada batang pohon besar di sampingnya
"Crasss! Kraakkk!"
Delapan jari tangan kiri kanan menancap dalam
batang pohon.
Namun tidak seperti kejadian yang sudah-sudah
ilmu penangkal ternyata tidak mempengaruhi serangan
cahaya merah bertepi hitam apa lagi mampu meng-
hancurkan atau berbalik menyerang mahluk yang
melepaskan.
"Oalal" Ratu Randang terkesiap kaget. "Berarti
Ini bukan ilmu bersumber pada kesaktian Sinuhun
keparat itu. Atau mungkin ada kekuatan baru dalam
sinar merah. Aku melihat bagian tepi berwarna hitam!
Celakai Apa yang harus aku lakukan?!"
"Blaarr!"
Ledakan dahsyat menggelegar ketika cahaya
merah bertepi hitam menghantam hancur kereta putih
dan kuda penariknya. Baik kepingan kereta maupun
cabikan tubuh kuda bermentalan ke berbagai penjuru,
jatuh di tanah dalam keadaan gosong hitam berkobar
api, luar biasa mengerikanl
"Ratu! Kuntl, Dewi Kaki Tunggal. Ada dua mahluk
jahat berujud manusia api di pohon beringin! Juga
pada dua sudut tembok Istanal"
Dari atas wuwungan istana Wiro berteriak
memberitahu.
Apakah sebenarnya yang telah terjadi?
Ketika ledakan menggelegar di halaman belakang
Istana disusul melesatnya delapan cahaya merah
bertepi hitam Wiro yang berada di bagian depan Istana
segera menyuruh tiga beias perempuan muda yang
ada bersamanya mencari perlindungan di kandang
kuda. Karena kaiau masih berada di dalam Istana bukan
mustahil bangunan itu akan menjadi bulan-bulanan
serangan. Wiro melihat bagaimana lima cahaya merah
menyebar masing-masing satu ke atas atap, dua ke arah
pohon beringin besar dan dua lagi melesat ke atas dua
sudut tembok tinggi yang mengelilingi halaman Istana.
"Lima cahaya merah, tidak ada alur kuning tapi
justru ada warna hitam di kedua tepinya." Wiro berkata
sambil terus memperhatikan. Kemudian dilihatnya tiba
tiba lima cahaya lenyap. "Lima cahaya tidak melakukan
serangan. Ini aneh! Pasti akan terjadi sesuatu tidak
terduga!" Pikir Wiro. Maka dia segera terapkan Ilmu
Menembus Pandang. Ketika sepasang mata diarahkan
ke atas atap Istana kagetlah sang pendekar. Di atas sana
dia melihat ada satu sosok aneh dikobari api. Wiro
memperhatikan ke jurusan dua sudut tembok halaman
Istana, lalu ke arah pohon beringin besar di halaman
Istana. Di pohon itu dia kembali melihat dua sosok
mahluk berkobar api. Mereka membuat gerakan-
gerakan mencurigakan, menatap ke arah pintu gerbang.
Mahluk di atas atap tiba-tiba membuat gerakan tangan
kanan siap hendak melepaskan pukulan sakti jarak
Jauh. Yang jadi sasaran ternyata pintu gerbang istana
dfmana berada rombongan Raja Mataram yang baru
sampai.
"Raja dalam bahaya!" Pikir Pendekar 212.
Tidak menunggu lebih lama Wiro segera melesat
ke atas atap Istana. Selagi masih melayang di udara dia
sudah lepaskan pukulan Tangan Dewa Menghantam
Karang. Dalam melancarkan serangan dia harus
berlaku hati-hati agar tidak meleset dan menghancurkan
atap Istana.
Ketika gelombang angin dahsyat datang meng-
hantam, mahluk yang dikobari api segera melesat ke
udara. Gerakan luar biasa cepat dan begitu pukulan
sakti Wiro lewat di bawah dua kaki, mahluk ini segera
melesat menyerbu. Agaknya dia sengaja melakukan
pertarungan langsung dengan tangan kosong. Wiro
yang cerdik segera maklum kalau kekuatan lawan
terletak pada dua tangan yang diselubungi api. Maka
dia tidak melayani untuk adu pukul atau bentrokan
tangan. Dua tangan dipentang kedepan. Mata menatap
tak berkesip. Dari dua tangan mengepul keluar asap
putih menebar hawa luar biasa dingin.
Begitu hawa dingin menyentuh sosok berapi,
dess....desssl Terdengar letupan keras. Mahluk api
tampak sempoyongan.
"Pukulan Angin Es!"
Ucap Kunti Ambiri melihat apa yang terjadi dan
mengetahui ilmu apa yang dikeluarkan Pendekar 212
untuk menyerang lawan.
Mahluk berselubung kobaran api keluarkan
suara seperti raungan srigala gurun di malam buta.
TIGA
KOBARAN api yang
menyelimuti mahluk
aneh di atas atap
Istana langsung
padam. Sosoknya kini
terlihat berupa. Mahluk ini tampak menggigil hebat
akibat hantaman hawa dingin luar biasa. Rahang
menggembung geraham bergemeletakan. Dia berusaha
berusaha menggerakkan tangan dan kaki tapi tidak
mampu. Sekujur aurat dan anggota badan membeku.
Rambut dan sepasang alis berjingkrak kaku! Ujud yang
serba merah dengan cepat diselubungi cairan putih
membeku. Sepasang mata walau membeliak besar
namun tak dapat melihat karena tertutup cairan putfh luar
biasa dingin! Sekujur tubuh kepulkan uap aneh!
Selagi mahluk itu terhuyung-huyung Wiro kirim
tendangan kilat ke arah dada. Tendangan ini bukan
tendangan biasa karena dilakukan dengan memakai
jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung dan dialiri aji
kesaktian Harimau Dewa.
Tak ampun mahluk api mencelat mental dari atas
atap, jatuh ke tanah. Hebatnya ketika jatuh ke tanah dia
masih bisa berdiri di atas dua kaki dan menggembor
garang. Namun hanya sebentar. Begitu darah
menyembur dari mulut , mahluk ini langsung roboh ter-
gelimpang di tanah dengan mata mencelet dan tak
berkutik lagi. Ketika lapisan putih leleh dari sekujur
tubuh maka kelihatanlah sosok dan tampang asli
sang mahluk.
Ternyata mahluk ini adalah seorang lelaki muda
berkulit hitam, muka bulat, hidung besar pesek.
Kumara Gandamayana yang melompat memeriksa
keadaan orang itu mengusap dagu. Dalam hati orang tua
ini berkata.
"Ada yang menyusupkan Ilmu jahat pada orang tak
berdosa ini lalu mengendalikan dari jauh. Dia mungkin
orang desa yang tidak tahu apa-apa." Si kakek
memandang berkeliling lalu cepat kembali ke dekat
pintu gerbang dlmana Raja dan yang lain-lainnya
berada.
Selagi Wiro menendang mental lawan di atas atap,
pada dua sudut tembok yang mengelilingi halaman
Istana dan dua pohon beringin besar dimana tadi
lenyapnya empat dari lima cahaya merah bertepi hitam,
tiba-tiba kelihatan mendekam masing-masing satu
mahluk yang tubuhnya dlkobari api. Didahului
lolongan keras dua mahluk menyerbu ke arah pintu
gerbang halaman Istana. Berkelebat ke balik tembok
tinggi dimana Raja Mataram berada. Dua mahluk
lainnya turun ke bawah pohon beringin, bicara
berbisik-bisik. Yang seorang berkata.
"Jahanam di atas atap dia memiliki Ilmu pelumpuh
yang bisa mengeluarkan selubung cairan sekeras salju
membeku! Untung kita dibekali Minyak Cengkih
Penangkal Bala. Lekas lumuri sekujur tubuh mulai dari
rambut sampai ke kakil" Saat itulah kawan mereka yang
bertarung di atas atap Istana dihantam roboh oleh
tendangan Wiro hingga mental dan jatuh ke halaman
Istana.
Melihat hal ini dua mahluk berselubung kobaran
api di bawah pohon Beringin cepat keluarkan sebuah
tabung terbuat dari bambu. Penutup tabung dibuka. Isi
diguyur ke atas kepala. Benda cair yang bernama
Minyak Cengkih Penangkal Bala dilumuri ke atas
kepala, wajah, sekujur tubuh sampai ke kaki. Anehnya
walau dilumuri cairan minyak kobaran api di tubuh
mereka masih terus menyala!
Didahului suara menggembor keras dua mahluk api
Ini kemudian melesat ke atas wuwungan Istana, tepat
ketika Wiro hendak melompat turun guna melindungi Raja
dan keluarganya dari serangan dua mahluk api. Raja
saat itu dikawal ketat oleh Kumara Gandamayana, Ratu
Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.
Sementara itu dua belas orang berjubah putih
bermuka licin anak buah Raja Jin Hutan Roban yang
sebelumnya diperintahkan oleh pimpinan mereka
untuk menjemput dan membawa rombongan Raja
Mataram ke Kotaraja, berkumpul di salah satu sudut
halaman Istana. Salah seorang dari mereka berkata.
"Kita hanya dapat perintah menjemput rombongan
Raja Mataram dan membawanya ke sini. Tugas
sebenarnya sudah selesai dan kita boleh pergi.
Tapi saat ini Raja Mataram berada dalam keadaan
bahaya. Sementara kita tidak dapat perintah untuk
melakukan hal lain selain menjemput. Apa yang harus
kita lakukan?!"
"Walau tidak ada perintah dari pimpinan, sebaiknya
kita membantu mengusir empat mahluk api Itu!" Seorang
Jin menyahuti.
"Kalau begitu kita harus bertindak cepat!" Jin muka
licin yang bertubuh paling tinggi mengambil keputusan.
'Wuttt! Sett. ..settt!"
Enam anak buah Raja Jin Hutan Roban melesat
keatas Istana sementara enam lainnya ke arah dua
mahluk api yang berkelebat ke jurusan pintu gerbang,
siap untuk menyerang Raja dan keluarganya.
"Dua mahluk api! Kembali ke ujud kalian semula!"
"Susul teman kalian yang sudah jadi bangkai!"
Dua Jin muka licin berteriak lalu bersama empat
temannya dorongkan dua tangan sekaligus ke arah dua
mahluk api yang berada di depan mereka. Enam cahaya
putih menderu, menebar bau kemenyan!
Dua mahluk api keluarkan suara meraung keras,
balikkan badan lalu membalas serangan lawan dengan
pukulan tangan kanan yang menebar cahaya merah
menyala bertepi hitam.
"Blaarr! Blaarr! Blaarr!"
Dua cahaya merah bertepi hitam saling bentrokan
di udara dengan enam cahaya putih. Saking hebatnya
bentrokan itu tiang pintu gejbang sebelah kiri roboh,
bagian tembok halaman runtuh! Dua kereta hancur
berantakan, dua kuda penariknya tergelimpang
meringkik keras.
Enam mahluk berjubah putih berseru kaget
ketika dapatkan diri mereka tergontai-gontai. Sepasang
kaki seperti mau leleh. Dan yang membuat mereka
berteriak kaget karena tiba-tiba sekujur jubah mereka
sudah dlkobari api. Bagian dlmana seharusnya mulut
berada dari Jin muka licin menggembung ke depan
lalu terdengar suara meniup keras berulang kali.
Kobaran api yang membakar jubah serta merta padam.
Jubah yang tadi putih kini tampak hangus dan robek
di beberapa bagian.
Baru selamat dari serangan di depan sana enam
jin muka putih licin melihat dua mahluk api kembali
hendak melancarkan serangan. Kali Ini tidak tanggung-
tanggung karena mereka pergunakan dua tangan
sekaligus! Benar saja, sekejapan kemudian empat jalur
cahaya merah bertepi hitam berkiblat luar biasa ganas!
"Kita berasal dari api neraka! Mengapa takut pada
api dunia! Ha...ha...ha!"
Salah seorang Jin berjubah dan berwajah putih
berseru. Lalu dia kembali berteriak.
"Jin Langit Meratap Jin Bumi Menangis!"
Itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki anak buah
Raja Jin Hutan Roban. Walau hebat namun tingkatannya
belum mencapai kesempurnaan. Tiga sosok putih
melesat ke udara sambil keluarkan suara seperti orang
meratap. Tiga jin lagi lagi jatuhkan diri ke tanah seolah-
olah hendak amblaskan tubuh. Dari mulut mereka keluar
suara layaknya orang menangis! Yang di atas dorongkan
telapak tangan ke bawah, tiga yang dibawah
mendorong tangan ke atas!
Dua mahluk api tersentak kaget ketika mendadak
sontak merasa seperti ada satu tembok besar menekan
Kepala mereka ke bawah sementara di sebelah bawah
bumi bergetar dan bergerak ke atas! Sosok api mereka
laksana digenceti Serangan empat cahaya merah yang
mereka lancarkan bergoyang tak karuan lalu tiba-tiba
amblas. Dua mahluk api meraung keras. Mereka seolah
mengalami kesakitan hebat Pada hal ini adalah tipuan
belaka.
Merasa berhasil menghancurkan serangan tiga
mahluk api, enam Jin Putih menjadi lengah dalam
kegembiraan mereka. Tiba-tiba tidak terduga dua
mahluk api melompat dan mengambang melintang di
udara. Ini adalah satu cara untuk menghindari gencetan
dari atas dan tekanan dari bawah dibanding jika mereka
tetap berdiri. Tubuh kembali mulur panjang seperti
semula. Keduanya sentakkan tangan kiri kanan. Empat
larik sinar hitam yang sebelumnya berada di dua sisi
cahaya merah tiba-tiba muncul kembali dan dengan
kecepatan kilat greekk...greekk...greekk!
Delapan larik tali hitam bukan hanya melibat enam
Jin muka licin hingga tak mampu bergerak tapi sekaligus
merupakan benda tajam aneh yang memotong putus
tubuh mereka hingga terkutung-kutung di delapan
bagian.
Semua orang menyaksikan kejadian yang luar biasa
mengerikan itu dengan tengkuk dingin dan jantung
serasa copot. Permaisuri dan beberapa perempuan
menjerit dan menutup muka. Enam Jin muka licin
keluarkan suara menggerung. Walau tubuh mereka
terkutung-kutung tapi tak ada darah yang menyembur.
Tak ada isi perut yang berbusalan.
Kutungan tubuh berubah menjadi asap merah lalu
lenyap tak berbekas. Enam Jin muka licin yang masih
hidup berteriak marah tapi mereka tidak berani berbuat
apa-apa.
Dua mahluk api tertawa bergelak. Tiba-tiba
mereka membalikkan tubuh ke arah tembok Istana di
sisi kiri pintu gerbang yang roboh. Dua pasang mata
merah mendelik besar menatap ke arah tempat Raja
Mataram berada. Rakai Kayuwangl sendiri saat itu
sudah bersiap diri dengan keris Widuri Bulan di tangan
kanan. Sementara Kumara Gandamayana, Kunti Amblri,
Ratu Randang dan Sakuntaladewi yang sejak tadi
berjaga-jaga berjajar berkeliling siap melindungi Raja
dan keluarganya.
Tiba-tiba dua mahluk api memekik keras, dua
lutut ditekuk, empat tangan dipukulkan ke depan secara
berbarangan!
EMPAT
KETIKA melihat Raja
dalam bahaya
Pendekar 212 segera
melompat dari atas
atap Istana sambil melepas Pukulan Angin Es ke arah dua
mahluk api yang menyerang. Namun jarak terlalu jauh.
Selain itu di saat bersamaan dua mahluk api lainnya telah
melesat ke udara langsung menyerang dirinya.
"Wusssl"
Dua lidah api berkiblat
Dua mahluk api runcingkan mulut meniup.
Dua semburan api menderu menyusul dua lidah
api sebelumnya. Kalau dua lidah api pertama melesat
ke arah atas kepala Wiro maka dua semburan api
rnenyambar ke bagian kaki.
"Kurang ajar. Dua bangsat itu tidak memberl
Kesempatan. Mereka membuat serangan mengunci
hingga aku tidak bisa melompat ke atas atau terjun ke
bawahl Mereka benar-benar inginkan nyawaku! Mereka
tidak tahu. Di dalam kecerdikan ada akal”
Wiro menjejak dua kaki. Tubuhnya naik ke atas
lalu mengambang sama datar dengan bagian tertinggi
atap Istana. Begitu lidah api lewat dialas dan dibawah
tubuhnya secepat kilat tangan kanan menggebrak
melepas Pukulan Angin Es ke arah tiga mahluk api.
Kepulan asap putih menebar hawa luar biasa dingin
menderu. Dalam jarak yang begitu dekat apa lagi tengah
melesat ke udara, dua mahluk api tidak mampu
mengelak atau menangkis.
"Dess Desss!"
Hawa dingin menyambar dan menggulung tubuh
dua mahluk api. Keduanya tampak sempoyongan
seperti mau terjungkal dari atas atap. Namun dengan
cepat mereka mampu mengimbangi diri. Yang membuat
Wiro terkejut, Pukulan Angin Es kali ini tidak membuat
api yang menyelubungi tubuh dua lawan menjadi
padam, apa lagi melumpuhkan mereka dengan
selubung cairan putih dingin menyerupai salju.
Padahal sebelumnya satu mahluk api telah dibuat tak
berdaya dengan pukulan yang sama. Ini bukan lain
karena kesaktian cairan pelindung berupa Minyak
Cengkih Penangkal Bala.
Dua mahluk api tertawa bergelak seolah mengejek.
Lalu berbarangan mereka berteriak.
"Nyawa! Nyawamu! Kami minta nyawamu
pengganti nyawa sahabat kami yang kau bunuhl" Dua
mahluk api lalu memutar tangan masing-masing dalam
gerakan aneh. Empat lidah api yang tadi gagal
menghantam sasaran kini seperti dibetot tiba-tiba
berbafik, berubah membuntal laksana ombak melabrak
ke arah Pendekar 2121
"Gila!" Rutuk Pendekar 212. "Dua Setan Alas
Kalian susul saja keparat sahabat kalian itu" Teriak
Wiro.
Tenaga dalam dikerahkan penuh.Tangan kiri
bergerak melepas Pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera yang merupakan serangan sekaligus
membentengi diri. Lalu dalam waktu bersamaan tangan
kanan hantamkan Pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung.
Dentuman dahsyat menggelegar di udara. Empat
lidah api tercabik mental ke udara. Terdengar teriakan-
teriakan garang penasaranl Memandang ke depan Wiro
tidak melihat lagi dua mahluk api Itul Mendadak dia
merasa ada sambaran angin disertai suara mendesir. Wiro
mendongak ke atas. Astaga!
Empat benda aneh berbentuk tali hitam melesat ke
arah Wiro dalam gerak luar biasa cepat Empat tali yang
memiliki kekuatan laksana kawat baja Ini berasal dari
dua cahaya merah serangan pukulan tiga mahluk api.
Walau dua cahaya merah berhasil dibuat musnah
tercabik-cabik namun empat alur hitam yang
mengapitnya tidak mampu dihancurkan. Tali hitam Inilah
yang sebelumnya telah membabat buntung tubuh enam
Jin muka licin! Wiro menyaksikan sendiri kejadian
mengerikan Itu! Dan kini agaknya dia akan mengalami
nasib yang sama!
"Wutttt!"
"Bettt! Bettt! BetttP
Empat tali hitam dengan cepat melibat sosok Wiro
mulai dari leher, tubuh sampai betis! Dua mahluk api
saling memberi isyarat, siap untuk menyentakkan empat
tali maut yang memiliki kekuatan laksana seutas baja
serta ketajaman seperti pedang tipis bermata dual
"Gusti Allah! Kalau memang belum saatnya mati
maka selamatkan diri saya! Kalau memang ajal sudah
di depan mata, saya pasrah datang menghadapMul"
Wiro berseru lalu menyambung ucapan dengan rapalan
aji kesaktian ilmu Belut Menyusup Tanah. Bersamaan
dengan itu, karena dua tangannya sudah dilibat empat
tali hitam dan tidak mungkin dipergunakan untuk
melepas pukulan, dengan cepat Wiro alirkan sebagian
tenaga dalam dan hawa sakti ke kepala sambil
sepasang mata dipentang.
Aji kesaktian Belut Menyusup Tanah membuat
sekujur tubuh Wiro mulai dari kepala sampai ujung
kaki menjadi selicin belut berselubung minyak. Sosok
Wiro meluncur kebawah, lolos dari libatan empat tali
hitam. Bersamaan dengan itu dari sepasang matanya
mencuat keluar dua larik cahaya hijau yang saling
bersilang. Laksana sebuah gunting raksasa dua cahaya
hijau membabat ke arah tiga mahluk api. Ilmu Sepasang
Pedang Dewal
"Crasssl Crasss!"
Raungan seperti lolongan anjing menggelegar
di atas atap bangunan Istana. Dua sosok mahluk api
terkutung dua, jatuh menggelinding di atas atap lalu
jatuh bergedebuk di halaman samping. Api yang
mengobarl tubuh mereka lenyap. Dua sosok yang
terkutung mengerikan itu berubah ke ujud asli dan
berselubung warna hijau pekat Dari wajah ke dua orang
itu, walau sudah berubah hijau namun masih bisa
disaksikan kalau mereka adalah anak-anak muda
berusia belasan tahuni Sungguh sangat mengenaskan!
Ketika lolos dari libatan empat tali maut, sosok Wiro
yang diselimuti aji kesaktian Belut Menyusup Tanah
meluncur deras ke bawah dan mau tak mau
menghantam atap bangunan Istana tanpa bisa dicegah.
"Braaakkk!"
Atap jebol. Tubuh Pendekar 212 terperosok masuk ke
dalam Istana, jatuh setengah berlutut di lantai batu
pualam.
"Gusti Allah! Terima kasih Kau masih memberi umur
panjang pada saya!"
Baru saja Pendekar 212 keluarkan ucapan puji syukur
seperti itu tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara
desahan nafas. Sebuah benda meluncur dan berhenti di
hadapannya. Benda itu ternyata sebuah bintang kecil
bersudut lima berwarna merah pekat, terbuat dari
perunggu.
Wiro palingkan kepala ke arah sudut ruangan dari
mana tadi datangnya benda berbentuk bintang.
Dlsudut sana dia melihat satu sosok samar
mengenakan jubah berwarna hijau. Di atas kepalanya
ada sebuah benda memancarkan cahaya kuning yang
tidak jelas apakah topi, belangkon atau mahkota.
Wiro cepat berdiri dan membentak sambil tangan siap
melepas pukulan jarak jauh.
"Siapa?!" Wiro membentak. Mata menatap tak
berkesip, otak berpikir coba mengenali siapa adanya
mahluk di sudut ruangan.
Suara jawaban yang didengar Wiro hanya berupa
suara mengiang di kedua telinganya.
"Cepat ambil bintang merah bersudut lima.
Simpan baik-baik. Jangan bunuh mahluk api ke lima.
Jika Raja sudah terselamatkan tancapkan bintang
merah ke dalam batok kepala mahluk api ke lima!"
Wiro memandang seputar ruangan lalu kembali
menatap ke arah sosok samar hijau. "Aku tidak mengerti
apa maksudmu! Kau siapa! Punya niat baik atau jahat!"
Kali ini tidak ada suara jawaban. Sosok samar
hijau di sudut ruangan berputar laksana gasing lalu
wuuss! Sosok itu lenyap amblas ke lantai ruangan yang
terbuat dari batu pualam. Wiro ambil benda berbentuk
bintang merah lalu melangkah cepat ke sudut ruangan
dimana tadi mahluk samar hijau berada. Di lantai
ruangan dia melihat ada sebuah lobang sangat dalam.
"Terowongan Arwah!" Ucap Pendekar 212.
"Apakah mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit
Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di sini?"
Wiro tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih
lama. Di luar sana terdengar suara teriakan-teriakan riuh
dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk
bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak
sengaja benda Itu disisipkan di bagian yang sama
dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga
Matahari kecil.
"Ihhhh! Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau
amis ini!" Tiba-tiba terdengar jeritan halus.
"Ampun! Hueekkk! Aku mau muntah!"
Wiro terperangah. Delapan bunga Matahari kecil.
Delapan Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan
benda berbentuk bintang lalu dipindah dan
dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang
melilit di pinggang.
Tidak menunggu lebih lama dia kemudian segera
keluar dan dalam ruangan. Begitu keluar dari dalam
Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah
runtuh melesat empat larik cahaya merah bertepi hitam.
Berarti dua mahluk api sudah melancarkan serangan.
Walau dia melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu
Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal
sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup
nenghadapl serangan lawan dan sekaligus mampu
melindungi Raja?
Cerdiknya dua mahluk api membagi serangan
sedemikian rupa hingga benar-benar membuat terkejut
Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta
keluarganya.
ruangan dia melihat ada sebuah lobang sangat dalam.
"Terowongan Arwah!" Ucap Pendekar 212.
"Apakah mahluk tadi bukannya Penguasa Atap Langit
Bagaimana dia tahu-tahu bisa berada di sini?"
Wiro tidak dapat berpikir dan menduga-duga lebih
lama. Di luar sana terdengar suara teriakan-teriakan riuh
dan ringkikan kuda berulang kali. Benda berbentuk
bintang sudut dimasukkan ke balik pakaian. Tidak
sengaja benda Itu disisipkan di bagian yang sama
dimana sebelumnya Wiro menyimpan delapan bunga
Matahari kecil.
"Ihhhh! Jangan satukan kami dengan mahluk najis bau
amis ini!" Tiba-tiba terdengar jeritan halus.
"Ampun! Hueekkk! Aku mau muntah!"
Wiro terperangah. Delapan bunga Matahari kecil.
Delapan Pocong Menari! Wiro cepat-cepat keluarkan
benda berbentuk bintang lalu dipindah dan
dimasukkan pada sebuah celah di sabuk kulit yang
melilit di pinggang.
Tidak menunggu lebih lama dia kemudian segera
keluar dan dalam ruangan. Begitu keluar dari dalam
Istana Wiro melihat di pintu gerbang yang telah
runtuh melesat empat larik cahaya merah bertepi hitam.
Berarti dua mahluk api sudah melancarkan serangan.
Walau dia melihat ada Kumara Gandamayana, Ratu
Kandang, Kunti Ambiri dan Dewi Kaki Tunggal
sakuntaladewi, namun apakah mereka sanggup
nenghadapl serangan lawan dan sekaligus mampu
melindungi Raja?
Cerdiknya dua mahluk api membagi serangan
sedemikian rupa hingga benar-benar membuat terkejut
Wiro dan mereka yang melindungi Raja serta
keluarganya
LIMA
EMPAT sambaran
lidah api menderu
ke arah Kumara
Gandamayana,
Ratu Randang,
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Selagi ketiga orang ini
berusaha menghindar sambil balas menghantam
dengan pukulan sakti, delapan larik tali hitam yang
berasal dari dua tepi pada empat sinar merah didahului
suara menggelegar menderu ke arah Raja Mataram dan
keluarganya.
Raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala cepat babatkan
Keris Wlduri Bulan di tangan kanan. Selarik sinar putih
berbentuk kipas raksasa membabat di udara.
"Traangg!"
Keris sakti terlepas dari genggaman Raja, terpental
jatuh ke tanah, berubah menjadi besi melengkung hitam
gosong! Dua tali hitam musnah namun sisanya yang
enam terus menggebubu ke arah Raja dan keluarganya
yang saat itu terkapar dan bergeletakan di tanah.
Raja Mataram berteriak keras ketika melihat empat
tali hitam menyerang ke arahnya sementara dua lagi
bergulung ganas menuju permaisuri dan putera-
puterinya. Dua orang Abdi Dalem yang hanya memiliki
Ilmu silat luar berusaha melindungi Raja dan
keluarganya dengan cara nekad yaitu hamburkan diri
monyosong serangan tali-tali hitam.
"Bettl Bett! Crasss!"
Tubuh kedua Abdi Dalem itu bertebaran ditanah
dalam bentuk kutungan-kutungan mengerikan dan
berwarna hitam gosong!
Di saat yang begitu genting Raja berupaya
mellndungi diri dan keluarganya dengan pukulan sakti
Payung Dewa Mengguncang Badai. Cahaya ungu seperti
payung terkembang muncul di udara. Dua lagi serangan
tali hitam dapat dimusnahkan. Namun tidak terduga
salah seorang mahluk api melesat melewati reruntuhan
tombok dan kirimkan satu tendangan ke tangan Raja
yang tengah melancarkan pukulan sakti.
"Kraakk!"
Raja Mataram mengeluh tinggi. Tubuh kembali
terbanting ke tanah, lengan kanan patah dihantam
tendangan! Dalam keadaan seperti Itu dua tali hitam
masih terus menderu ke arahnya!
"Celaka! Selamatkan Raja!" Teriak Ratu Randang
sementara dia dan yang lain-lain berusaha menahan
hantaman empat ildah api dengan serangan balasan.
Kumara Gandamayana lemparkan sorban kelabunya
berusaha menahan serangan empat tali hitam namun
sorban musnah tercabik-cabik lalu musnah jadi debu!
Dari arah Istana Wiro berniat melepas Pukulan
Sinar Matahari ke arah dua mahluk api. Namun dia
merasa bimbang karena keberadaan dua mahluk api
itu dekat sekali dan dalam satu garis lurus dengan
kedudukan Raja serta para sahabat. Akhirnya Wiro
membuat gerakan berjungkir balik, tubuh melesat ke
kiri lalu dari arah samping ini dia baru dapat melepas
Pukulan Sinar Matahari. Cahaya putih menyilaukan
disertai hamparan hawa luar bias panas berkiblat!
Di saat yang bersamaan dari arah depan Ratu
Rendang Kunti Ambin serta Sakuntaladewi sama-sama
pula melepas pukulan sakti menghantam empat lidah
api. Dengan demikian keberadaan dan keselamatan
Raja Mataram beserta keluarganya telah terlupakan!
Justru hal inilah yang rupanya sengaja diciptakan oleh
dua mahluk api walau maksud jahat mereka itu akhirnya
mengalami kesia-siaan!
Udara di tempat itu dilanda gelegar letusan luar
biasa dahsyat. Dua mahluk api terkapar di tanah
Kobaran api yang menyelubungi mereka tak kelihatan
lagi. Kini terlihat sosok mereka berupa dua pemuda
dengan sekujur badan hangus mengelupas. Ternyata
mereka masih hidup. Mengerang panjang dan
menggeliat-geliat
Melihat hal Ini Kunti Amblrl yang tidak sabaran
langsung saja melompat dan tendang kepala salah satu
dari dua orang itu hingga pecah dan tubuh mencelat
mental. Ketika Kunti Amblrl hendak menendang kepala
pemuda yang kedua Wiro cepat berteriak.
"Jangan bunuh yang satu itu! Lekas selamatkan Raja"
Kunti Amblrl merasa heran mengapa Wiro melarang
dia membunuh mahluk jahat itu. Namun gadis alam roh
ini Ini mendadak sadar kalau saat Itu Raja Mataram
beserta keluarganya tidak lagi terlindungi
"Edani Kenapa kita semua berlaku tolol melupakan
Raja" Teriak Ratu Randang. Bersama sakuntaladewl nenek
ini berkelebat ke arah pintu gerbang.
Dalam keadaan luar biasa genting dimana tidak
ada lagi kesempatan untuk menolong Raja dan
keluarganya dari serangan empat tali hitam, tiba-tiba
dari arah tembok Istana sebelah selatan melesat orang
berpakaian hijau, rambut tergerai lepas mengambang
di udara saking luar biasa cepat gerakannya. Di
punggungnya orang ini membekal sebuah buntalan
kain hitam. Sambil melesat di udara dia berseru.
"Petir hitami Mana mungkin ada di dunia inil Tapi aku
melihat dengan mata kepala sendiri! Luar biasa!
Mengapa para sahabat tidak mau memberi tahu
sebelumnya kalau d sini ada petir anehi Hik...hlk...hlkl"
Suara yang berseru adalah suara perempuan. Sosok
yang melesat di udara berjungkir balik satu kali lalu
wutttt! Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan
empat tali hitam.
"Petir hitam di malam buta! Ada empati Weehhh!
Aku suka"
Lalu sulit dipercaya tetapi nyata, orang berpakaian
hijau kembangkan dua tangan. Dengan gerakan aneh
dia berhasil menangkap ujung delapan tali hitam lalu
dengan kecepatan luar biasa dia melesat ke udara
sambil membuntal delapan tali hitam yang
disangkanya petlr.
"Jaka Pesolek!"
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sama berseru
berbarengan!
Hlk...hikl Ini memang aku! Tapi jangan bicara dulu!
Aku lagi asyik! Ini petir paling aneh yang pernah aku lihat
seumur hidup!" Orang yang membuntal empat tali maut
hitam berteriak menyahuti!
ENAM
ORANG berambut
hitam panjang
berpakaian hijau
memang adalah gadis
bernama Jaka Pesolek yang selama Ini dikenal sebagal
satu-satunya manusia memiliki kepandaian aneh luar
biasa. Yaitu mampu menangkap petir.
Dengan gerakan kilat Jaka Pesolek kembangkang
dua tangan lalu sett..sett...sett...sett! empat ujung tali
hitam tahu-tahu sudah berada dalam cekalannya lalu
dengan kecepatan luar biasa dibuntal demikian rupa
malah digulung-gulung ke tubuhnya sendirl seperti
bermain-main!.
"Petir jeleki Tidak ada apa-apanya!" Si gadis berteriak
lalu dia melesat ke arah sebuah pohon besar di kiri luar
tembok istana.
Tubuh diputar.
"Retttt!"
Empat tali hitam yang menggulung tubuh terbuka
lalu dengan cepat ganti digulung ke batang pohon.
sambil tertawa haha-hihi Jaka Pesolek melayang turun
ke tanah. Mulutnya lagi-lagi berucap.
"Petir jelek! Tidur saja kalian di batang pohon
itu! Sialan! Hanya membuang-buang waktuku sajaP
Baru saja si gadis keluarkan ucapan tiba-tiba
greek...greekk....greekkl Empat tali hitam yang
digulung pada batang pohon bergeletar keras seperti
ada yang menyentakkan. Di lain kejap batang pohon
putus di tiga tempat lalu tumbang dengan suara
bergemuruh. Empat tali hitam melesat ke udara,
membentuk asap lalu lenyap dari pandangan mata di
malam gelap!
Wajah cantik Jaka Pesolek berubah pucat
menyaksikan apa yang terjadi dengan batang pohon.
"Kalau aku yang mengalami! Oala!" Si gadis
cepat tekap bagian bawah perutnya. Lalu dia meraba
ke belakang, memegang bungkusan kain hitam yang
dipanggulnya. "Aku harus cepat pergi dari sini
Sebagian waktuku sudah lenyap percuma gara-gara
petir hitam sialan itu!"
Wiro cepat melompat ke arah tembok dekat pintu
gerbang yang runtuh. Saat itu dikelilingi oleh Permaisuri
dan anak-anak serta beberapa orang Abdi Dalem, Raja
Mataram berusaha berdiri sambil bersandar ke bagian
tembok yang masih utuh. Tangan kanan terkulai ke
bawah karena patah di bagian lengan akibat tendangan
salah satu mahluk api.
"Yang Mulia, izinkan saya mengobati lengan Yang
Mulia yang patah." Berkata Wiro begitu sampai di
hadapan Raja Mataram.
"Terima kasih. Aku lebih suka kalau bisa masuk
dulu ke dalam Istana bersama semua orang yang ada
di sini sekarang juga." Jawab Raja Mataram.
"Jangan dulu masuk Istana. Saya kawatlr masih
ada mahluk atau orang jahat di sekitar sini yang secara
tak terduga bisa melakukan serangan lagi." Jawab
Wiro pula.
Raja Mataram terdiam sejurus. Sepasang mata
menatap ke arah kejauhan. Orang-orang itu, mengapa
mereka mengejar gadis yang tadi telah menolongku."
Berkata Raja sambil menatap ke arah Jaka Pesolek yang
berlari meninggalkan tempat itu tapi dicegah dan
berusaha dikejar oleh Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi. Sebenarnya dengan kecepatan gerakan
kilat yang dimilikinya Jaka Pesolek tidak mungkin akan
terkejar. Namun akhirnya di satu tempat si gadis
hentikan lari, menunggu kedatangan tiga orang yang
mengejarnya.
"Hal! Kalian bertiga, mengapa mengejarku?"
Bertanya Jaka Pesolek.
"Gadis gendeng! Masih bisa bertanya! Waktu di
tepi telaga yang ada air terjunnya, kau tiba-tiba lenyap
begitu saja!" Berkata Ratu Randang.
Kunti Ambiri mendekati Jaka Pesolek lalu berkata.
"Waktu itu aku memberikan sehelai pakaian hijau
padamu pengganti pakaian merahmu yang robek
amburadul tak karuan. Waktu itu kau pergi ke balik
semak belukar untuk berganti pakaian. Lalu kami
mendengar suara teriakanmu minta tolong. Begitu kami
menyelidik ke balik semak belukar, kau tidak ada lagi
di tempat itu. Apa yang terjadi? Nyatanya kau sekarang
mengenakan pakaian yang aku berikan."
"Anu, anu...panjang ceritanya. Waktuku sangat
berharga. Apa kalian tidak lebih mementingkan
menolong Raja dan keluarganya lebih dulu? Aku harus
pergi."
"Kalau kau berani pergi sebelum memberi
keterangan, aku tarik anumu sampai putus!"
Kunti Ambiri mengancam dan ulurkan tangan ke
bawah perut Jaka Pesolek. Si gadis cepat bersurut
mundur sambil tekap auratnya sebelah bawah. Sambil
senyum-senyum dia berkata.
"Jangan ditarik, apa lagi sampai putus! Nanti aku
tidak bisa jantan tidak bisa betina iagi! Hik...hik...hik!"
"Sahabat Jaka Pesolek, kau membawa bungkusan
kain hitam! Apa isinya?" Bertanya Sakuntaladewi alias
Dewi Kaki Tunggal.
"Anu...anu...."
"Anu...anu! Mengapa kau sekarang bicara seperti itu!
Menyebut anu anu terus-terusan?!" Sentak Ratu Randang.
"Anu, eh maksudku Nek, bungkusan ini isinya
benda luar biasa berharga. Ada sangkut paut dengan
si anu yang menemuiku di balik semak belukar ketika
aku tengah berganti pakaian."
"Gadis sial! Siapa si anu yang kau maksudkan?"
Tanya Ratu Randang kesal dengan mata mendelik.
"Dia...Itu lelaki gagah yang menemuiku di
balik semak belukar.
Kulitnya putih, wajahnya jernih. Dia tampan sekali.
Jubahnya sama warnanya dengan pakaian yang
aku kenakan. Di kepalanya bertengger semacam
mahkota aneh berbentuk atap rumah terbuat dari emas."
Ratu Randang. Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi
saling pandang. "Teruskan ceritamu," kata si nenek
pula.
"Lelaki itu apik dan gagah. Tapi sayang ketika
aku diam-diam meraba ke bawah perutnya ternyata di
bagian itu cuma licin-licin saja. Berarti walau
penampilan sebagal seorang lelaki gagah, dia
sebetulnya bukan laki-laki karena tidak punya anul"
"Masakan kau berani melakukan itu?" Ujar
Sakuntaladewi.
"Ih, aku ini kan cantik. Mana ada lelaki yang tidak
mau aku poles anunya. Hik...hik...hikl"
"Jaka Pesolekl Jangan berceloteh tak karuan.
Ceritakan apa yang telah terjadi I" Kunti Ambiri berkata
setengah membentak.
Jaka Pesolek senyum-senyum lalu menuturkan.
Waktu aku berada di balik semak belukar, dalam
keadaan nyaris bugil karena tengah berganti pakaian
tiba-tiba si anu itu muncul! Tentu saja aku menjerit
melihat ada orang gagah berada di hadapanku. Aku
merinding, tapi merinding senang. Hik...hlk!"
"Kau pasti merayunyal" Tuduh Ratu Randang pula.
"Kalau saja kalian tidak ada di dekat telaga, mungkin
hal itu aku lakukan. Hlk...hik...hik. Belum sempat aku
mengenakan pakaian hijau yang diberikan sahabat Kunti
Ambiri, lelaki itu merangkul pinggangku. Aku dipanggul
lalu dilarikan ke satu tempat. Ternyata dia tidak
bermaksud jahat Lebih dulu dia menyuruhku berpakaian.
Kemudian dia mengatakan kalau sangat membutuhkan
pertolongan seseorang yang mampu bertindak cepat
seperti diriku. Dia minta aku mencari seorang bernama
Ken Parantili.."
"Astaga! Itu adalah selir pertama dari Penguasa Atap
Langit!'' Kata Kunti Ambiri terkejut.
"Betul sekali!" Menyahut Jaka Pesolek. "Dan lelaki
gagah itu adalah sang Penguasa sendiri!"
Kembali tiga orang di hadapan Jaka pesolek saling
bertatap pandang.
"Pertolongan apa yang diinginkan Penguasa Atap
Langit?" Sakuntaladewi bertanya.
"Dia memberikan bungkusan Ini padaku." Jaka
Pesolek turunkan bungkusan kain hitam di punggung.
Lalu dia melangkah mendekati tiga orang di
hadapannya sambil membuka bungkusan kain hitam.
Sakuntaladewi, Ratu Randang dan Kunti Ambiri
ulurkan kepala, melihat isi bungkusan kain hitam. Di
dalam bungkusan terdapat sebuah keranjang terbuat
dari anyaman daun pisang segar dan hijau. Perlahan-
lahan Jaka Pesolek membuka penutup keranjang.
Walau keadaan agak gelap tapi jelas terlihat di dalam
keranjang daun pisang itu ada air. Lalu di dalam air
ada sebuah benda aneh, lebih besar sedikit dari
kepalan tangan manusia, berwarna merah dan tiada
henti berdenyut
"Benda apa itu?" Tanya Ratu Randang sementara
Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri tentu saja ingin tahu pula.
"Jantung! Jantung manusiai" Jawab Jaka Pesolek.
Tiga orang di hadapan si gadis bersurut mundur.
Wajah berubah.
"Edan!" Rutuki Ratu Randang.
"Jangan bicara ngacokl" Hardik Kunti Ambiri.
"Aku tidak edan! Aku tidak bicara ngacokl Ini Jantung
manusia! Jantungnya Ken Parantili Selir pertama
Penguasa Atap Langitl"
Mendengar ucapan Jaka Pesolek, Ratu Randang,
Kunti Ambiri dan Sakuntaladewl meski masih belum
percaya tetap saja mereka merasa tengkuk masing-
masing menjadi merinding dingin!
"Aneh, mengapa Penguasa Atap Langit memberikan
jantung Ken Parantili padamu?" Tanya Ratu Randang.
"Apa mau diserahkan pada Kesatria Panggilan atau
seseorang yang menjadi musuhnya?"
TUJUH
"APA kalian tidak ingat
cerita yang pernah
dituturkan sahabat
Kesatria Panggilan?
Penguasa Atap Langit selalu mencopot jantung setiap
selirnya lalu disimpan di satu tempat rahasia. Alasannya
agar para selir tidak bisa meninggalkan Negeri Atap
Langit. Karena kalau itu mereka lakukan maka dalam
waktu tiga hari mereka akan menemui kematian. Tapi
Ken Parantili berlaku nekad. Dia kabur dan tak perduli
dengan jantungnya. Berarti dia juga tidak takut matil
Penguasa Atap Langit rupanya menaruh kasihan lalu
mengambil jantung selirnya dari tempat rahasia. Jantung
Ini harus bisa masuk kembali ke dalam tubuh Ken Parantili
dalam waktu tiga hari. Kalau tidak maka selir itu akan
menemui ajal. Penguasa Atap Langit meminta aku
menolong mencari selir itu karena aku bisa bergerak
cepat."
"Ada manusia tidak berjantung! Hidup lagi! Tidak
bisa kupercaya. Sulit masuk akali" Ucap Kunti Ambiri
sambil geleng-geleng kepala.
"Jangan berkata begitu. Waktu di puncak Gunung
Semeru kita semua menyaksikan bagaimana Ken Parantili
membelah dada lalu memperlihatkan bagian
jantungnya yang kosongi" Berkata Jaka Pesolek.
"Itu betul, tapi tetap saja sulit dipercaya. Bagaimana
manusia bisa hidup tanpa jantung." Ujar Kunti Ambiri
pula.
"Lalu sekarang kau mau melakukan apa? Mencari
selir itu?" Tanya Ratu Randang.
Jaka Pesolek mengangguk.
"Kau bisa berkelebat ke delapan ujung dunia
dalam sekejapan mata. Tapi kau tidak tahu selir itu
berada dimana." Kata Kunti Ambiri.
"Betul. Tapi Penguasa Atap Langit memberikan
sesuatu padaku untuk dipergunakan menjajagi
dimana beradanya Ken Parantlli." Jaka Pesolek tutup
keranjang daun pisang lalu dengan hati-hati
membungkus kain hitam. Bungkusan lalu dipangggul
di bahu kiri. Dari balik pakaian hijaunya Jaka Pesolek
kemudian mengeluarkan sejumput rambut hitam dalam
keadaan tergulung.
"Itu bulu ketekmu?"! Tanya Ratu Randang dengan
mulut dipencongkan.
"Gila kau Nekl Kalaupun aku punya bulu ketek
masakan sampai sebanyak dan sepanjang ini?" Ujar
Jaka Pesolek.
"Lalu itu apanya siapa?"!" Bertanya Kunti Ambiri.
"Ini gulungan rambut Ken Parantili. Rambut ini udah
dlrapal oleh Penguasa Atap Langit Katanya jika Ken
Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah maka
rambut ini akan memberi tanda. Rambut akan meringkal
bergerak ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya
selir itu."
"Kalau semudah itu mencari Ken Parantili mengapa
tidak dilakukan sendiri oleh Penguasa Atap Langit?" Ujar
Sakuntaladewi.
"Menurut pengakuan Penguasa Atap Langit dia tidak
mungkin melakukan hal itu. Karena pada jarak tertentu
Ken Parantili mampu mencium bau tubuhnya. Begitu
mencium pasti dia akan melarikan diri. Seumur-umur
Penguasa Atap langit tidak akan mampu mencari dan
menemukan selirnya itu. Selain itu sang Penguasa
mempunyai pantangan. Tidak boleh berada di luar
Negeri Atap Langit lebih dari dua kali matahari terbit"
"Mahluk bernama Penguasa Atap Langit itu punya
enam belas selir
Kehilangan satu saja mengapa dia sampai kalang
kabut mengejar dan membawa jantungnya!"
"Nek, kau ini seperti tidak tahu saja. Dimana-mana
ada orang punya banyak selir. Tapi pasti ada satu yang
paling disayang. Nah bisa saja Ken Parantili memang
kesayangannya Penguasa Atap Langit" Kata Jaka
Pesolek pula.
"Tahu dari mana kau?!" Tukas Ratu Randang sambil
pencongkan mulut.
"Nek, ada ujar-ujar begini. Seseorang baru tahu
betapa sayangnya dia pada sang kekasih, pada saat
sang kekasih tidak lagi menjadi miliknya. Entah mati,
entah minggat entah kabur sama lelaki lain"
"Hebat juga bicaramu!" Kata Ratu Randang lalu
melirik ke arah Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi.
"Nek, Kunti, Sakuntaladewi aku pergi sekarang.
Kalau tugasku sudah selesai aku pasti akan mencari
kalian..."
"Tunggu, jangan pergi dulu. Kau kami perlukan di sini."
Berkata Kunt1 Ambiri.
"Sudah banyak orang gagah dan hebat di tempat ini
Lagi pula aku telah menerima permintaan orang untuk
menolong. Mana mungkin mau mengingkari. Lebih baik
para sahabat cepat membantu Raja dan orang-orang di
pintu gerbang. Masakan kalian tega membiarkan
Kesatria Panggilan bekerja sendiri "
Jaka Pesolek kedipkan mata lalu segera tinggalkan
orang-orang itu.
"Kalau tidak ada urusan besar di Kotaraja, rasanya
aku mau mengikuti gadis aneh itu. Mau tahu apa yang
bakal kejadian." Kata Kunti Amblrl.
"Yang jadi pertanyaan, gadis itu dijanjikan apa oleh
Penguasa Atap Langit sampai-sampai mau berkeliaran
kesana-sini membawa jantung manusia. Pasti ada satu
imbalan yang menarik..." Ucap Ratu Randang.
"Mungkin janji boleh mengusap...." Menyahuti Kunti
Ambiri dengan wajah agak cemberut.
Lalu Kunti Ambiri mendahului lari ke arah pintu
gerbang diikuti Sakuntaladewi dan Ratu Randang
dimana Wiro berada bersama Raja dan keluarga serta
para pengikut
Karena Raja Mataram tetap memaksa masuk ke
dalam Istana, Wiro akhirnya berkata.
"Yang Mulia, saya minta diberi waktu. Saya akan
melakukan sesuatu. Lalu memeriksa keadaan Istana.
Jika segala sesuatunya memang aman, saya akan
kembali memberi tahu. Tapi apakah Yang Mulia tidak
mau mengizinkan lebih dulu agar saya mengobati
tangan Yang Mulia yang patah?"
Mendengar ucapan Wiro Ratu Randang cepat
mendekati dan berbisik. "Kau mau berbuat konyol apa?
Kau bukan tabib bukan dukun! Bagaimana mau
mengobati tangan Raja? Untuk menyambung tulang
lengan yang patah itu perlu waktu paling sedikit
sepuluh hari! Kalau kau memang mampu melakukan,
kau benar-benar orang hebat!"
"Seorang nenek di Negeri Matahari Terbit bernama
Nenek Neko pernah memberikan ilmu padaku. Ilmu
mematah dan menyembuhkan tulang. Mudah-mudahan
dengan kehendak Gusti Allah aku bisa menolong Raja.
Kalaupun tidak aku tetap puas karena sudah berikhtiar."
Menerangkan Wiro.
"Hemm....Rupanya kau banyak punya sahabat nenek
sepertiku. Pasti si Nenek Neko itu orangnya cantik!"
Wiro tertawa. Lalu dia berkata. "Nek, baiknya kau
bantu membujuk Raja agar dia mau kutolong."
"Tak usah kawatir. Aku akan mencoba. Tapi mengapa
kau tidak mempergunakan kesaktian delapan bunga
Matahari saja?" Ujar si nenek pula.
"Kalau itu maumu akan kucoba."
Ratu Randang mendatangi Raja yang saat itu duduk di
tanah, bersandar ke tembok halaman. Tangan kanan
yang patah diletakkan di atas pangkuan paha kanan,
dibalut dengan sehelai kain. Setelah bicara dan dibujuk
oleh Ratu Randang ternyata Raja Mataram kini bersedia
ditolong oleh Wiro.
Dari balik pakaiannya Wiro segera keluarkan
delapan bunga Matahari kecil. "Maafkan saya Yang
Mulia. Akan saya coba menolong dengan bunga sakti
ini lebih dulu."
Mendadak terdengar suara alunan gamelan di
kejauhan disusul suara mengiang ke telinga Wiro yang
juga didengar oleh Raja Mataram, Kunti Ambiri, Ratu
Randang dan Sakuntaladewi.
"Kami minta maaf beribu maaf. Kemampuan kami
menolong hanya tinggal satu kali yaitu untuk mem-
bebaskan guru Kesatria Panggilan. Kalau kali ini kami
menolong walau tidak muncul memperlihatkan diri,
maka kami tidak mungkin melakukan pertolongan lagi.
DELAPAN
SEMUA orang, termasuk
Raja Mataram terkesiap
mendengar suara
mengiang itu. Wiro sendiri
jadi tertegun dan menggaruk kepala. Delapan bunga
Matahari dipandangi beberapa lama. Lalu terdengar
sang pendekar berkata.
"Delapan bunga Matahari, sahabatku Delapan
Pocong Menari, saat Ini Yang Mulia Raja Mataram
sangat membutuhkan pertolongan. Tendangan mahluk
api tadi agaknya bukan tendangan sembarangan. Aku
melihat ada bagian daging lengan yang menggembung
biru pertanda tendangan mengandung racun jahat. Jika
tangan yang patah tidak segera diobati, racun jahat bisa
saja menyebar lebih cepat. Kalau racun sampai ke
jantung nyawa Yang Mulia Raja Mataram mungkin tidak
bisa tertolong lagi."
Semua orang terkejut mendengar ucapan Wiro itu.
Ternyata Wiro lebih mementingkan Raja Mataram
dari menyelamatkan gurunya. Raja Mataram sendiri
letakkan tangan kiri di atas dada, wajah tampak haru.
Sepasang mata menatap Wiro tak berkesip.
Kemudian terdengar lagi suara mengiang.
"Kesatria Panggilan, jika itu keinginanmu mana kami
berani menolak. Kami akan segera menolong. Kau
tinggal mengusapkan diri kami di atas cidera di tangan
kanan Raja Mataram. Maka setelah tugas dan
pertolongan kami selesai kami akan bermohon diri.
Kami tidak akan muncul lagi untuk selama-lamanya.
Lalu siapa kelak yang akan menyelamatkan gurumu?"
"Gusti Allah pasti akan menolong beliau." Jawab
Wiro tanpa keraguan.
Ratu Randang melangkah mendekati Wiro lalu
berbisik. "Jika kau memang punya ilmu lain, sebaiknya
Ilmu itu dulu yang dicobakan. Tadi aku menyuruh kau
mempergunakan bunga itu karena sudah tahu pasti
kesaktiannya. Bukan maksudku merendahkan ilmu
kesaktianmu yang lain. Cepat kau pergunakan Ilmu
yang kau dapat dari si nenek Neko Neko itu!"
"Nekonya cuma satu kali saja Nek," kata Wiro.
"Sudah, itu saja jadi persoalan. Lekas tolong Yang
Mulia Raja Mataram." Kata Ratu Randang sambil
tersenyum dan kedipkan matanya yang juling.
Setelah meminta izin terlebih dulu Wiro membuka kain
yang membalut lengan kanan Rakai Kayuwangi Dyah
Lokapala. Lalu tangan kanan diletakkan di atas lengan
yang patah. Lima jari dikembang lalu meremas tiga kali
berturut-turut
"Kreekk....kreekkk...kreekkk!"
Raja Mataram menjerit setinggi langit Rasa sakit luar
biasa membuat kaki kanannya tak sengaja menendang
ke depan.
"Dukkkl"
Tendangan mendarat telak di dada Pendekar 212
Membuat Wiro terpental, jatuh duduk di tanah, cepat
ditolong Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi. Untungnya
tendangan Raja Mataram dilakukan hanya dengan
kekuatan luar tanpa tenaga dalam. Walau Wiro merasa
sakit namun tidak ada bagian tubuh yang cidera. Hanya
wajahnya tampak sedikit pucat karena terkejut tidak
menyangka bakal mendapat hadiah tendangan!
Sehabis menjerit keras tiba-tiba Raja Mataram berseru.
"Hyang Jagatnatha Bathara Agung! Lihat! Tanganku
yang patah sembuh!" Raja berseru sambil angkat tangan
kanannya ke atas, gembira tapi juga seperti tidak
percaya. Tangan yang telah bersambung kembali diusap
lalu dipijat-pijat. Tiba-tiba dari tangan yang tulangnya
sudah bersambung kembali itu mengucur keluar cairan
hitam kebiruan. Raja tersentak kaget.
"Tidak apa-apa Yang Mulia. Tak usah kawatir. Racun
jahat dalam tubuh Yang Mulia sudah keluar," kata Wiro
memberi tahu.
"Kesatria Panggilan aku sangat berterima kasih
padamu!" Raja merangkul Wiro yang saat itu telah
berdiri sambil usap-usap dadanya yang tadi kena
tendangan. Sambil memeluk Wiro, Rakai Kayuwangi
Dyah Lokapala berkata. "Maafkan tendangan tadi. Aku
tidak sengaja. Rasa sakit yang menyembuhkan itu
seperti tombak api yang ditancapkan dibatok kepala..."
"Kalau cidera Yang Mulia tidak mengindap racun,
sebenarnya hal itu tidak akan terjadi..."
"Aku tetap berterima kasjh atas pertolonganmu. Kau
benar-benar luar biasa!"
"Yang Mulia, Yang Maha Penyembuh telah
menunjukkan kekuasaanNya. Bukan saya." Ucap Wiro
pula.
"Gusti Aliahmu?" Tanya Raja Mataram.
Wiro tersenyum lalu anggukkan kepala.
Semua orang yang menyaksikan kejadian itu
sejak tadi terkejut kagum sekaligus gembira. Ratu
Randang saking girangnya saat itu sebenarnya ingin
sekali memeluk dan mencium sang pendekar tapi
terpaksa menahan diri sambil senyum-senyum. Kunti
Ambiri dan Sakuntaladewi saling berpegangan tangan
pertanda mereka juga merasa gembira melihat
kesembuhan Raja Mataram.
"Yang Mulia, seperti kata saya tadi ada sesuatu yang
harus saya lakukan. Harap Yang Mulia dan keluarga
sudi menunggu sebentar di tempat ini."
Dengan cepat Wiro masuk ke dalam halaman Istana.
semua orang termasuk Raja Mataram tidak dapat
menahan rasa ingin tahu apa Sebenarnya yang hendak
dilakukan Wiro. Mereka semua segera mengikuti tapi
.menjaga jarak agak jauh di sebelah belakang sang
Pendekar.
SEMBILAN
WlRO melangkah
cepat menghampiri
mahluk api yang masih
hidup dan saat itu
terkapar di halaman Istana dalam ujud seorang pemuda
belasan tahun yang keadaannya sangat mengenaskan.
Sekujur tubuh mengelupas hangus. Mulut mengerang
tiada henti dan sesekali tangan serta kaki melejang-
lejang. Agaknya umurnya tak bakal lama.
Wiro letakkan tangan kiri di atas dada si pemuda lalu
kerahkan tenaga dalam disertai aliran hawa sakti. Suara
erangan lenyap.
"Pemuda malang, katakan siapa dirimu!"
Sepasang mata orang yang ditanya bergerak sedikit,
menatap sayu ke arah Wiro, mulut tidak memberi
jawaban. Wiro lipat gandakan aliran tenaga dalam dan
hawa sakti. Mata itu tampak membuka membesar.
"Ada orang yang memasukkan ilmu jahat ke dalam
tubuhmu! Lalu menguasai dan mengendalikan dirimu.
Kau diperintah untuk membuat keonaran di Istana
Kerajaan Mataram. Kau pasti diperintah membunuh Yang
Mulia Raja Mataram! Betul?!"
Mulut tak menjawab tapi sepasang mata si pemuda
mengedip perlahan.
"Katakan siapa orang yang melakukan semua itu?!"
Wiro kembali bertanya.
Mulut si pemuda membuka, bukan untuk menge-
luarkan suara tapi batuk-batuk beberapa kali lalu
semburkan darah hitam! Mata membelalak beberapa
saat Tubuh menggeliat dan tangan kiri kanan melejang-
lejang. Wiro menunggu sampai pemuda itu tenang.
Kalau tadi dia alirkan hawa sakti hangat maka kini
diganti dengan aliran hawa sejuk. Muka yang melepuh
dari si pemuda tampak agak bercahaya
"Lekas katakan siapa orang yang telah mencelakai
dirimu!" Wiro bertanya sekali lagi.
Si pemuda menatap kosong ke langit kelam di
atasnya. Kepala digeleng perlahan. Mulut tak kunjung
mengeluarkan suara. Wiro lantas keluarkan bintang
perunggu bersudut lima berwarna merah pekat yang
diberikan oleh mahluk samar hijau di dalam Istana
yang diduganya adalah Penguasa Atap Langit.
"Jangan bunuh mahluk api ke lima. Jika Raja
sudah diselamatkan tancapkan bintang merah ke dalam
batok kepala mahluk api ke llma”
Wiro ingat betul ucapan mahluk hijau di dalam
Istana. Tidak tunggu lebih lama dia segera ulurkan
tangan kanan yang memegang bintang perunggu
merah. Sepasang mata si pemuda kelihatan membeliak
besar ketika sekilas sempat melihat benda tersebut.
Mulut tiba-tiba keluarkan suara meracau, tak jelas apa
yang dikatakan. Wiro letakkan bintang perunggu merah
tepat di atas ubun-ubun si pemuda. Dengan
mengerahkan sedikit tenaga dalam bintang perunggu
merah ditekan hingga desss! Bintang merah melesak
masuk ke dalam batok kepala si pemuda. Asap merah
mengepul. Dari mulutnya keluar suara meraung aneh.
Bukan menyerupai suara anjing atau srigala tapi
merupakan suara ngeongan kucingl
Wiro, Raja Mataram dan semua orang yang ada
di tempat itu tercekat kaget ketika tiba-tiba seekor anak
kucing merah melesat keluar dari batok kepala yang
barusan ditembus bintang merah. Anak kucing ini
mengeong keras tiga kali, melompat ke udara setinggi
tiga tombak.
Hebatnya dari empat jurusan lain tiba-tiba
melesat pula empat anak kucing merah. Kelima anak
kucing saling bergabung di udara, membentuk
lingkaran dan melayang berputar sampai lima kali lalu
wuttt! Kelima binatang itu melesat ke atas, lenyap di
langit gelapi
"Lima dari delapan Sukma Merah! Pasti!" Ucap Ratu
Randang.
Keanehan tidak cuma sampai di sana. Begitu lima
anak kucing merah lenyap di langit sosok pemuda yang
terkapar di tanah tiba-tiba menjerit keras lalu bergerak
duduk. Dada turun naik seolah ada yang hendak
meledak di dalam tubuhnya. Kulit yang gosong hitam
mengelupas berubah ke bentuk asli tanpa cidera
sedikitpun. Wajahnya kini terlihat jelas. Ternyata dia
seorang pemuda lugu berusia sekitar delapan belas
tahun.
Wiro cepat ulurkan tangan kanan memegang
bahu si pemuda sambil alirkan tenaga dalam dan hawa
sakti sejuk.
"Tenang, tenang. Sekarang kau pasti bisa bicara.
Katakan apa yang terjadi dengan dirimu. Siapa orang
yang memasukkan ilmu jahat ke dalam dirimu! Siapa
yang mengendali dan memerintahkanmu menyerang
Istana dan berniat membunuh Raja Mataram."
"Hek!" Si pemuda keluarkan suara tercekik.
Wiro cepat menotok urat besar di leher si pemuda.
Sementara Raja Mataram, Ratu Randang, Kunti Ambiri.
Sakuntaladewi dan Kumara Gandamayana serta
beberapa Abdi Dalem sudah berada di situ,
mengelilingi Wiro dan si pemuda.
"Bicara! Ayo cepat bicaral" Wiro kerahkan lebih
banyak tenaga dalam.
Mulut si pemuda akhirnya terbuka sedikit. Dari
mulut itu meluncur suara bergetar dan agak terputus-
putus.
"Jen....Jenazah Sim...Jenazah Simpanan...."
"Jenazah Simpanan?! Mahluk apa itu? Siapa dia?!"
Tanya Wiro.
Si pemuda menggeleng.
"Dimana kami bisa menemukan mahluk bernama
Jenazah Simpanan itu!"
"An...antara tuj...tujuh lapis langit dan tujuh
lap...lapis bumi..."
"Antara tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi Edan!"
Maki Ratu Randang.
"Kalau dia tidak mau menerangkan dengan jelas
biar aku bunuh saja!" Mengancam Kunti Ambiri lalu
menjambak rambut si pemuda. "Ayo lekas bicara! Atau
aku betot sampai copot kepalamu!"
Tiba-tiba terasa ada sambaran angin. Dari
tenggorokan si pemuda saat itu juga keluar suara
mengorok. Disusul cairan membusah. Lalu sepasang
mata mendelik dan nafas menyengai. Lidah mulai
terjulur. Dua tangan bergerak ke leher, membuat
gerakan seolah-olah menyingkirkan sesuatu yang
mencekiknya!
"Ada mahluk tak terlihat mencekik pemuda ini!"
Bisik Ratu Randang.
Wiro cepat berdiri sambil memberi isyarat pada
si nenek, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi sementara
Kumara Gandamayana cepat membawa Raja Mataram
menjauhi tempat itu.
"Hekk....kreekkkl"
Sebelum semua orang bisa bertindak
menyelamatkan tiba-tiba batang leher si pemuda
berderak patah dan kepalanya terkulai ke kiri.Mata
mencelet, lidah terjulurl
"Kreekkkl Kreekkk!"
Sekujur tubuh si pemuda kelihatan remuk
mengerikan. Dalam keadaan hancur tubuh ini kemudian
roboh ke tanah!
"Kurang ajar!" Wiro yang tadinya hendak
mengerahkan Ilmu Menembus Pandang untuk melihat
mahluk apa yang mencelakai si pemuda tidak mau
membuang waktu lagi. Serta meria dia merapal aji
pukulan Harimau Dewa. Kunti Ambiri dan Ratu
Randang tidak tinggal diam. Keduanya juga meng-
hantam ke arah sasaran tak terlihat yang dipukul Wiro.
"Braakkk!"
Tiga pukulan sakti seolah menghantam tembok
tebal. Terdengar suara bergemuruh lalu buukkkl Dua
belas langkah dari hadapan orang-orang Itu tersungkur
menggeletak satu sosok tubuh mengenakan jubah hitam.
Ketika semua mendatangi, termasuk Raja Mataram,
ternyata orang itu adalah seorang kakek berambut,
berkumis dan berjanggut ungu. Di keningnya ada satu
benjolan sebesar telur burung dara juga berwarna ungu.
Meski jelas-jelas tadi tiga pukulan sakti menghantam
tubuhnya yang semula tidak kelihatan, namun si kakek
sedikitpun tidak mengalami
cidera. Hanya sepasang matanya saja yang kelihatan
tertutup.
"Resi Jingga Anthasana...." Berucap Ratu Randang.
"Ratu, kau kenal orang ini?" Tanya Raja Mataram.
"Dia Resi sesat bermukim di lereng timur Gunung
Sumbing. Sejak beberapa waktu silam saya ketahui dia
telah diusir oleh para Resi Sesepuh dari pemukiman...."
"Kalau dia Resi sesat berarti pasti dia telah
berkomplot dengan mahluk jahat lain yang telah
menguasai dirinya. Aku curiga ini lagi-lagi perbuatan
dua Sinuhun keparat itu, dibantu oleh Dirga Purana si
bocah sialan!" Wiro berkata setengah memaki.
"Memang tidak ada tanda-tanda cahaya merah
atau kuning atau hitam pada Resi ini. Juga sewaktu dia
membunuh pemuda itu. Sama sekali tidak tampak
terlibatnya ilmu kesaktian dua Sinuhun dan Dirga
Purana. Namun lima anak kucing merah tadi cukup
meyakinkan bahwa kelompok dua Sinuhun masih
gentayangan di Bhumi Mataram." Berkata Kumara
Gandamayana.
Tiba-tiba sepasang mata Resi Jingga Anthasana
terbuka nyalang.
Astagal Ternyata kedua mata orang tua ini hanya
merupakan rongga kosong dalam berwarna ungu. Dari
dalam dua rongga mata mengepul keluar dua larik asap
ungu.
Disaat yang sama terdengar suara mendesis halus
disertai menebarnya bau amis. Kunti Ambiri yang
sudah berpengalaman mendengar suara serta
mencium bau amis serta merta berteriak.
"Lekas menyingkir!"
Meski tidak tahu apa yang akan terjadi namun
semua orang termasuk Raja yang terus didampingi oleh
Kumara Gandamayana segera menjauhi tempat itu.
Mereka berusaha mencapai pohon beringin besar di
tengah halaman untuk dipakai berlindung.
Tiba-tiba sosok Resi Jingga Anthasana menggeliat,
tangan menempel ke sisi tubuh, dua kaki merapat Di lain
kejap sosok sang Resi telah berubah menjadi seekor ular
besar berwarna ungu yang memiliki sepasang mata
hanya berupa bolongan rongga! Di atas kepala ada
sebuah tanduk lancip. Perlahan-lahan binatang ini
membuat gerakan berdiri. Bagian tubuh sebelah bawah
membentuk ilma lingkaran. Tubuh sebelah atas berdiri
lurus. Sisi kiri kanan kepala mengembang seperti ular
sendok. Semua orang yang menyaksikan jadi bergidik.
"Wusssl"
Laksana kilat ular ungu melesat ke arah Raja Mataram!
Kumara Gandamayana melompat ke depan
menyongsong serangan. Selain melindungi Raja Rakai
Kayuwangi Oyah Lokapala, orang tua ini pentang dua
tangan ke atas. Dua tangan berubah menjadi merah
seperti bara menyala. Sambil melangkah maju
menghadang datangnya serangan ular ungu kakek ini
membuat gerakan aneh. Dua tangan menjulur panjang,
siap untuk menangkap dan melumat kepala ular ungu.
Inilah jurus serangan yang disebut Sepasang Tangan
Membuka Pintu Neraka. Ilmu ini jarang dikeluarkan
Kumara Gandamayana karena sangat ganas.
Benda apa saja yang kena diringkus dua tangan
pasti akan hancur dan leleh mengerikan!
Dari samping kiri Pendekar 212 Wiro Sableng
melepas pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung
yang didapat dari Tua Gila. Seperti serangan Kumara
Gandamayana yang di arah adalah kepala ular ungu.
Ratu Randang tidak tinggal diam. Nenek ini gulingkan
diri di tanah, lalu dari bawah dia menghantam ke atas
ke arah tubuh ular sebelah bawah dengan pukulan
bernama Di Dalam Gelap Tangan Penghukum
Membelah Jagat Selarik sinar biru membeset ke udaral
Sakuntaladewi membalkan tubuh ke udara lalu
dari atas dia membuat gerakan menghunjam dengan
kaki tunggalnya. Saat itu juga selarik sinar biru
kehijauan menderu menyambar ke arah tubuh ular ungu
sebelah atas. Melihat datangnya empat serangan dari
orang-orang berkepandaian tinggi sudah dapat
dipastikan ular besar yang melesat ke arah Raja
Mataram akan menemui kematian dengan tubun
hancur berkeping-keping tak karuan rupa kalau tidak
mau dikatakan menjadi bubukl
Satu-satunya orang yang tidak ikut menyerang
adalah Kunti Ambiri Gadis ini menggantikan
kedudukan Kumara Gandamayana, melindungi Raja
yang kini berada di belakangnya.
"Desssl"
"Blaarrl"
"Craasssl"
"Bukkkl"
Empat serangan menghantam sosok ular ungu
dengan telak mulai dari kepala sampai kepertengahan
tubuh atas bawah. Binatang itu mendesis keras. Sekujur
tubuh mulai dari kepala sampai ke ekor pancarkan
cahaya ungu Inilah cahaya pelindung yang hebat luar
biasa! Empat serangan sakti hanya membuat tubuhnya
bergoncang melejang-lejang beberapa kali Kumara
Gandamayana tidak mampu menangkap dan
menghancurkan kepala ular dengan dua tangannya
yang merah membara. Tiga serangan Wiro, Ratu
Randang dan Sakuntaladewi juga tidak sanggup
menciderai ular ungu. Dalam keadaan tubuh masih
utuh ular ungu kembali melesat ke arah Raja Kali ini
dengan kepala tegak dan mulut menyembur uap ungu
mengandung racun!
Melihat hal ini Wiro segera menghadang dengan
Pukulan Sinar Matahari. Namun saat itu Kunti Ambiri
sudah menerjang ke depan.
"Ini bagianku! Semua lekas menjauh! Tutup jalan
nafas!"
Sambil melompat mundur Ratu Randang keluarkan
ilmu Tangan Langit Kaki Bumi. Selapis hawa aneh
serta merta menyungkup udara, memagari semua
orang yang ada di tempat itu.
SEPULUH
RAHANG Kunti Ambiri
menggembung.
Bersamaan
dengan itu perut
mencekung. Didahului satu pekikan dahsyat gadis sakti
alam roh ini menyembur. Bersamaan dengan itu perut
yang tadi mengempis melenting ke depanl
"Sett! Setttr
"Wuutttt!"
Dari dalam mulut Kunti Ambiri yang menyembur
berhamburan puluhan ular biru bermata merah panjang
satu tombak. Sementara dari pusar si gadis melesat
keluar seekor ular besar dengan panjang hampir tiga
tombak berwarna hitam berkepala putih! Tidak percuma
Kunti Ambiri pernah menyandang julukan sebagal Dewi
Ular!
Puluhan ular biru bermata merah dengan cepat
melibat tubuh ular ungu jejadian sosok Resi Jingga
Anthasana sehingga ular ungu seolah terbungkus tak
terlihat lagi. Sambil melibat binatang-binatang ini
mematuk buas. Suara patukan menggemuruh
menggidikanl Sekujur tubuh ular ungu tampak
dipenuhi puluhan lobang!
Tiba-tiba dari tubuh ular yang dikeroyok
memancar cahaya ungu. Saat itu juga puluhan ular biru
terpental ke berbagai penjuru dalam keadaan tubuh
hangus mengkeret lalu meledak!
Kunti Ambiri menjerit marah!
"Bunuh!" Teriak si gadis.
Ular besar hitam kepala putih yang keluar dari
dalam perut melalui pusar Kunti Ambiri melesat laksana
topan, menyerbu ke arah ular ungu bercula yang berada
dalam keadaan tubuh penuh luka. Libat melibat
berlangsung ganas. Kepala saling dibentur. Patuk dan
gigitan terjadi berulang kali membuat luka-luka berdarah
di tubuh masing-masing. Kibasan ekor menderu tiada
henti. Tampaknya ular ungu bercula terdesak
menghadapi keganasan ular hitam kepala putih. Namun
tidak disangka, didahului pijaran cahaya ungu tiba-tiba
kepala dan sosok ular ungu berubah besar dan panjang
menjadi dua kali ujud semula. Sekali membuat gerakan
menggeliat libatan ular hitam kepala putih terlepas. Lalu
terjadilah hal yang membuat semua orang terkejut dan
Kunti Ambiri berteriak kaget.
Ular ungu pentang kepala, mulut membuka lebar.
Sekali kepala melesat ke depan tak ampun lagi kepala
dan tubuh ular hitam kepala putih milik Kunti Ambiri
amblas masuk.
"Greeekkk! Kreekk...kreekk...kreekk!"
"Kurang ajar! Edan!" Kunti Ambiri berteriak marah.
Tidak percaya ketika melihat bagaimana ular
hitam kepala putih menggelepar-gelepar ditelan ular
ungu. Darah kental mengucur. Suara derak tulang-
tulang yang hancur dari ular hitam kepala putih
miliknya membuat tubuhnya sendiri ikut serasa remuk
dan nafas menyesak. Semua orang terkesiap ngeri dan
untuk beberapa ketika hanya bisa tertegun bergidik
melihat apa yang terjadi.
Wiro sadar lebih dulu. Tangan kanan dlpentang
dan serta meria berubah menjadi seputih perak
berkilau. Pukulan Sinar Matahari siap untuk
dihantamkan ke arah ular ungu yang saat itu nyaris
melahap habis sosok ular hitam kepala putih. Namun
sebelum Wiro sempat melepas pukulan sakti itu tiba-
tiba dengan kecepatan luar biasa ekor ular ungu
mengibas melesat ke arahnya.
"Wuutt!"
Wiro melihat seolah batang pohon kelapa siap
menggebuk dirinya. Walau mungkin dia masih bisa
menghajar ular ungu dengan pukulan Sinar Matahari
namun dirinya belum tentu selamat dari gebukan ekor
ular! Mau tidak mau, sambil memaki geram murid Sinto
Gendeng terpaksa jatuhkan diri ke tanah.
"Braakkkl"
Tembok halaman istana di dekat pintu gerbang
yang sebelumnya sudah roboh kini tambah hancur tak
karuan dihantam ekor ular ungu.
Tidak berhasil menggebuk Wiro dengan
ekornya, ular ungu mengejar sambil muntahkan
hancuran tubuh ular hitam kepala putih yang barusan
diremuk dan ditelan. Hanya sesaat lagi Wiro akan
kejatuhan hancuran tubuh ular itu dari samping Ratu
Randang dan Sakuntaladewi sama-sama melepas
pukulan sakti. Kunti Ambiri ikut menghantam pula
dengan pukulan jarak jauh memancar cahaya hijau.
Yang di arah adalah hidung ular ungu yang
dianggapnya merupakan bagian terlemah dari setiap
ular.
Walau pukulan Ratu Randang dan Sakuntafadewi
hanya bisa mendorong ular ungu sampai dua tombak,
namun itu sudah cukup menyelamatkan Wiro dari
muntahan tubuh dan tulang belulang ular hitam kepala
putih.
"Bruukkk!"
Muntahan tubuh dan tulang ular ungu jatuh di
tanah, membentuk satu gundukan setinggi betis dan
hanya beberapa langkah di kiri Wiro yang saat itu
tengah berusaha berdiri din siap melepas pukulan
pamungkas, Pukulan Sinar Matahari. Bau amis menebar.
Sosok ular ungu bergerak ke atas, mengambang
setengah tombak d udara. Hidung tampak
mengucurkan darah akibat pukulan Kunti Ambiri.
Bagian tubuh sebelah tengah sampai kepala
mengapung datar. Ekor mencuat ke atas tanda siap
melancarkan serangan lagi. Betul saja, didahului
dengan melesatnya dua cahaya ungu dari dalam rongga
mata yang bolong, ekor menyusul mengibas dalam
gerak serangan berbentuk lingkaran.
Ratu Randang, Kunti Ambili dan Sakuntaladewi
berpencar selamatkan diri. Terpaan angin yang keluar
dari serangan ekor ular ungu membuat ketiganya
terkapar di tanah. Walau tidak cidera tapi untuk
beberapa lama mereka tidak mampu bergerak bangkit.
Sementara itu Wiro tetap nekad untuk menghantam
dengan Pukulan Sinar Matahari. Namun kepala ular
ungu dengan mulut terbuka lebar melesat lebih cepat.
Cahaya ungu yang membersit dari sepasang mata sang
ular membuat Wiro kesilauan dan tidak dapat melihat
jeias datangnya serangan. Beberapa orang yang
menyaksikan dan sudah menduga apa yang bakal
terjadi dengan Wiro menjerit. Delapan pekikan
perempuan yang berasal dari delapan bunga Matahari
kecil ikut memenuhi udara malam.
Kumara Gandamayana jejakkan kaki kanan ke
tanah sambil merapal aji kesaktian Kekuatan Bhumi
Milik Para Dewa. Begitu kaki kanan berhasil menyedot
kekuatan dari dalam tanah, kakek ini langsung
melompat dan menendang ke arah kepala ular ungu.
"Bukkkl"
Tendangan Kumara Gandamayana memang
berhasil mendarat telak di kepala sebelah kanan ular
ungu. Tapi si kakek sendiri terpental dan menjerit
kesakitan lalu jatuh di tanah, tak mampu bergerak untuk
beberapa ketika. Kasut di kaki kanan robek dan kaki
kanan si kakek tampak menggembung bengkak.
Ular ungu tanpa bergeming sedikitpun terus
melesat ke arah Wiro dengan mulut terpentang lebar.
Lidah panjang bercabang menjulur merah. Cairan
ludah dan racun bercampur darah berlelehan. Taring
mencuat panjang dan runcing.
Hanya sekejapan mata lagi kepala dan sekujur
tubuh Pendekar 212 akan amblas masuk ke dalam mulut
ular raksasa mendadak suasana malam di atas kawasan
istana menjadi lebih kelam. Di udara terdengar suara
kepakan sayap aneh menimbulkan angin kencang,
membuat tanah bergetar dan daun pohon beringin
luruh berhamburan. Satu bayang-bayang hitam
menutupi bangunan dan halaman Istana. Bau busuk
menyambar jalan pernafasan. Semua orang menatap
ke atas dan langsung terkesiap kaget. Mereka tidak tahu
apakah yang mereka lihat benar-benar seekor binatang
raksasa atau hantu jejadian.
"Kelelawar hantu...." Ucap Sakuntaladewi dengan
suara bergetar.
SEBELAS
WlRO usap kedua
mata hingga
pemandangannya
lebih jelas. Ketika
menatap ke atas
sang pendekar jadi kaget. Dia melihat satu mahluk
raksasa melayang rendah.
"Astaga! Apa benar? Bagamana mahluk ini bisa
muncul di sini?!"
Tiba-tiba di udara kelam melesat dua benda aneh
dlkobari api.
"Panah Api!" Berseru Ratu Randang. "Jelas ini semua
pekerjaan dua Sinuhun keparatl" Nenek ini, dalam
keadaan masih terduduk di tanah siap melepas
pukulan sakti.
"Nek, tunggu! Tahan serangan!" Teriak Wiro sambil
dua tangan ditekapkan di atas kepala.
"Edan! Memangnya ada apa?i" Si nenek berteriak
bertanya.
"Craass! Craass!"
Dua panah api menancap di mata kiri kanan ular
ungu yang hanya berupa rongga dalam. Binatang ini
menggeliat sambil keluarkan suara mendesis keras.
Gerakannya hendak menelan kepala dan tubuh Wiro
jadi tertahan. Kepala dipating ke arah datangnya
serangan dua panah api. Mulut mendesis keras.
Binatang ini siap melancarkan serangan. Namun saat
itu mahluk rakasasa yang melayang di udara tiba-tiba
menyambar ke bawah dan laksana kilat kepala dan
sebagian badan ular ungu telah berada dalam mulutnya
yang dipenuhi gigi besar dan taring runcing.
"Grreekkk.....]"
Ular ungu berusaha menyerang mahluk yang
menelannya dengan ekor namun serangan itu dibalas
dengan hantaman kepakan sayap. Ular ungu coba
melibat untuk meremuk tubuh lawan tapi cepat sekali
seluruh sosoknya telah amblas ditelan mahluk raksasa.
Walau semua orang merasa lega karena Wiro
selamat namun mereka tak habis kejut melihat
kemunculan mahluk berupa seekor kelelawar besar
berbulu tebal hitam kecokiatan yang saking besarnya,
bentangan dua sayapnya bisa menutup seluruh atap
bangunan Istana.
Dengan kepala ditunduk, sayap dlkuncup. kelelawar
raksasa melayang turun ke halaman Istana lalu
melangkah ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Semua
orang lagi-lagi dibuat kaget ketika mendengar binatang
ini mengeluarkan ucapan. "Mahluk edan Gila Dia bisa
bicara seperti manusia" Ucap Ratu Randang.
Di hadapan Wiro Kelelawar Raksasa berkata.
"Yang Mulia, harap maafkan karena saya terlambat
datang menolong Yang Muliai"
Sekarang kejut semua orang bukan olah-olah. Raja
saling pandang dengan Kumara Gandamayana yang
saat itu masih kesakitan karena cidera di kaki tapi sudah
bisa berdiri. Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi juga tak habis heran.
"Yang Muliai Dia dipanggil Yang Mulia. Weehhh!
Sejak kapan si gondrong itu Jadi Raja Diraja mahluk
aneh Kelelawar Raksasal Jangan-jangan binatang itu
Kelelawar betina yang ujud sebenarnya seorang gadis
cantik!" Ucap Ratu Randang pula.
Tersipu-sipu Wiro bangkit berdiri. Kepala digaruk. Dia
sendiri yang sudah ditolong Kelelawar Raksasa seolah
tidak percaya mengalami kejadian itu.
"Sahabat Kelelawar Raksasa dari Negeri Atap Langit,
aku berterima kasih padamu. Kau telah menyelamatkan
nyawakul" Kata Wiro pula.
"Itu menjadi tugas saya. Tapi mohon maaf atas
kelancangan saya.
Sebenarnya tadi akan ada dua pertolongan atas
diri Yang Mulia. Pertama dari satu mahluk berujud
seekor harimau berbulu putih bermata hijau...."
"Datuk Rao Bamato Hijau!" Tercengang-cengang
Wiro menyebut nama harimau sakti peliharaan Datuk
Rao Basaluang Amen dari pulau Andalas. Dia merasa
heran bagaimana Kelelawar Rasksasa mengetahui hal
itu.
"Betul," jawab Kelelawar Raksasa. ."Lalu
pertolongan kedua dari keris sakti yang terselip di
pinggang Yang Mulia."
"Astaga, mahluk ini tahu semual" Pikir Wiro. Sang
pendekar kembali menggaruk kepala. "Sahabatku, aku
sekali lagi berterima kasih padamu."
"Yang Mulia," kata Kelelawar Raksasa. "Izinkan
saya kembali ke Negeri Atap Langit Negeri hanya dijaga
oleh para sahabat Arwah Hitam Putih. Keadaan disana
masih kacau. Saya kawatir akan terjadi apa-apa. Kecuali
jika Yang Mulia ingin saya melakukan sesuatu atau
minta saya tetap di sini, saya akan menurut perintah
Yang Mulia.
"Sang Penguasa, apa dia tidak ada di Negeri Atap
Langit?" Bertanya Wiro?"
"Seperti kata saya dulu. Beliau lenyap entah kemana.
Sebelum pergi beliau memberi tahu bahwa Yang
Mulialah junjungan saya yang baru dan harus saya
lindungi...."
Wiro ingat cerita Jaka Pesolek akan keberadaan
Penguasa Atap Langit di Bhumi Mataram yang meminta
gadis itu untuk menyerahkan jantung Ken Parantili pada
sang selir.
"Kalau begitu kau lekaslah kembali ke Negeri
Atap Langit"
"Baik Yang Mulia, saya mohon diri," kata
Kelelawar Raksasa. Lalu binatang ini tundukkan kepala
ke arah Wiro dan Raja Mataram seolah memberi
penghormatan. Sesaat kemudian wuttl Kelelawar
Raksasa melesat ke udara. Kepakan sayap membuat
tubuh semua orang bergoyang-goyang. Tanah bergetar.
Debu beterbangan ke udara. Daun-daun pohon
Beringin kembali luruh.
"Mahluk hebatl" Ucap Kunti Amblrl sambil geleng-
geleng kepala.
"Sahabat Wirol Tidak disangka kau rupanya sudah
menjadi Yang Mulia Raja di Negeri Atap Langit!"
Berkata Sakuntaladewl.
"Wahh...waahhl Berarti sekarang dia juga bakal
punya belasan selir!" Kata Ratu Randang pula.
Mendengar ucapan si nenek Wiro hanya bisa tertawa.
Raja Mataram mendekati Wiro. "Kesatria Panggilan,
siapa adanya mahluk tadi?" Raja bertanya.
Wiro lalu menuturkan riwayat pengalamannya di
Negeri Atap Langit.
"Sebelumnya mahluk Kelelawar Raksasa itu ada
tiga. Yang dua menemui ajal akibat serangan Sinuhun
Muda Ghama Karadipa. Mereka adalah para pengawal
Penguasa Atap Langit."
"Apa benar kau telah menjadi Yang Mulia atau
Raja Penguasa Negeri Atap Langit?" Tanya Raja lagi
sementara semua orang memasang telinga ingin
mendengar jawab keterangan sang pendekar.
Wiro tertawa.
"Yang Mulia, mana mungkin orang seperti saya
ini ada tampang bisa jadi Raja sekalipun Raja Negeri
Antah Berantah. Mahluk kelelawar itu selalu menyebut
saya dengan panggilan Yang Mulia. Mungkin itu hanya
sebagai ucapan terima kasih karena saya pernah
menyelamatkan nyawanya dari tangan jahat Sinuhun
Muda Ghama Karadipa. Selain itu saya tidak pernah
bisa menduga apa sebenarnya yang ada di dalam
benak Penguasa Atap Langit yang sekarang tidak
diketahui dimana keberadaannya. Tapi turut keterangan
Jaka Pesolek Penguasa Atap Langit ada di Bhumi
Mataram tengah mencari selir pertamanya yang
bernama Ken Parantili." (Riwayat Kelelawar Hantu bisa
dibaca dalam serial sebelumnya berjudul "Delapan
Pocong menari")
Sambil bicara tadi Wiro terapkan ilmu Menembus
Pandang, memperhatikan keadaan di luar dan di dalam
bangunan istana. Melihat tidak ada hal yang
mencurigakan Wiro berkata pada Raja Mataram.
"Yang Mulia, saya rasa keadaan sekarang sudah
aman. Yang Mulia dan keluarga bisa segera masuk ke
dalam istana. Saya dan para sahabat akan tetap berada
di sini sampai sang surya terbit. Selain itu, sudah saatnya
saya harus menyerahkan Keris Kanjeng Sepuh Pelan
pada Yang Mulia."
Mendengar ucapan Wiro, Ratu Randang segera
mendekati Kumara Gandamayana dan berbisik.
"Setelah Raja menerima keris sakti, senjata itu harus
dipinjam dan dipergunakan untuk menolong
Sakuntaladewi. Hanya senjata itu dan hanya Kesatria
Panggilan yang bisa mengembalikan dua kaki si gadis..."
Si kakek mengusap wajah lalu menjawab. "Aku
sudah mendengar riwayat gadis itu. Bagaimana dengan
kaulan yang menjadi pegangan Sakuntaladewi?
Kesatria Panggilan tidak akan mampu menyembuhkan
Sakuntaladewi kalau tidak menerima kaulan bahwa dia
bersedia menjadi suami gadis itu."
Dada Ratu Randang berdebar. Wajahnya berubah.
Wiro akan menjadi suami Sakuntaladewi Setelah
menundukkan kepala beberapa lama dengan suara
perlahan si nenek berkata.
'Kalau memang sudah demikian kehendak Yang
Maha Kuasa, kita mana bisa menolak. Kasihan kalau
Sakuntaladewi sengsara begitu rupa seumur-umur."
Kunti Ambiri mendekati Ratu Randang dan
mengusap bahunya. Dia tahu bagaimana perasaan si
nenek terhadap Wiro. Walau selalu disembunyikan
dalam berbagai kelucuan namun sebenarnya nenek
berwajah cantik dan bertubuh masih molek ini sangat
menyukai Wiro.
"Nek, jangan pikirkan hal lain. Niat Wiro untuk
menolong semata...." Bisik Kunti Ambiri yang tahu
perasaan si nenek dan coba menghibur.
Ratu Randang berpaling, menatap wajah Kunti
Ambiri dengan sepasang matanya yang Juling. Dua
alis yang bagus bergerak ke atas.
"Ah, kulihat matamu berkaca-kaca...." bisik Ratu
Randang yang membuat Kunti Ambiri cepat-cepat
dongakkan kepala pura-pura menatap bulan biru.
Sambil memegang dan meremas jari-jari tangan Kunti
Ambiri, Ratu Randang berkata. "Kita sebenarnya
hanyalah insan-insan lemah yang tidak bisa
menyembunyikan perasaan...."
Sepasang mata Kunti Ambiri dan Ratu Randang
saling tatap beberapa lama lalu keduanya saling
berpelukan.
DUA BELAS
KlTA Ikuti dulu
perjalanan Jaka
Pesolek yang
ketitipan amanat dari
Penguasa Atap Langit
untuk menyerahkan jantung milik Ken Parantili pada sang
selir.
Tepat ketika fajar menyingsing si gadis sampai di satu
telaga kecil di kaki selatan Gunung Merapi, sekitar
kawasan Kaliurang.
"Heran, musim hujan sudah tiba. Mengapa telaga
ini airnya hanya dangkal sebetis?" Pikir Jaka Pesolek
sambil duduk uncang-uncang kaki di atas sebuah batu
di tepi telaga. Saat itu dia ingin turun ke air untuk
membersihkan diri sebelum melanjutkan perjalanan
mencari Ken Parantili. Namun pemandangan indah di
sekitar telaga membuat dia untuk beberapa lama masih
terus duduk di atas batu. Tak sengaja matanya melihat
sebuah batu besar di tepi telaga sebelah timur. Batu ini
seperti menggantung dan dibanding dengan batu-batu
lainnya di dalam dan sekitar telaga yang banyak ditutup
lumut, batu satu itu tampak bersih licin. Berarti batu ini
sebelumnya berasal dari tempat lain, menggelinding
dan terhenti lalu menyumbat di tebing batu. Dari sela-
sela batu kiri kanan dan sebelah bawah mengucur
perlahan air jernih yang kemudian masuk ke dalam
telaga.
"Di balik batu itu...." ucap Jaka Pesolek dalam
hati, "sepertinya ada sumber aliran air. Tapi aliran
terhalang oleh batu. Hemmm....Mungkin ini
penyebabnya air telaga menjadi dangkal."
Dengan gerakan kilat dalam sekejapan saja Jaka
Pesolek sudah berada di tepi telaga sebelah timur.
Dia perhatikan keadaan batu, terutama celah-celah dari
mana keluarnya rembesan air. Setelah yakin batu besar
yang menggantung itu menjadi penghalang aliran air
si gadis melompat ke atas tebing. Dari sini dia
pergunakan dua tangan untuk mendorong batu. Seperti
diketahui gadis ini walau punya gerakan secepat kilat
dan mampu menangkap petir namun dia tidak punya
kesaktian lain ataupun tenaga dalam. Dengan
mengandalkan tenaga luar mana mungkin dia
mendorong batu besar. Tidak putus asa Jaka Pesolek
sandarkan punggung ke dinding batu di belakangnya
lalu kaki kanan dipergunakan untuk mendorong.
Sampai mukanya merah dan tubuh keringatan tetap saja
batu tidak bergeming.
"Edan, ya sudahi Agaknya aku harus mandi
setengah badan di air telaga yang dangkal Itu!"
Jaka Pesolek turun melompat turun ke tepi
telaga. Buntalan kain hitam berisi jantung Ken Parantili
diletakkan di atas sebuah batu. Karena air telaga cuma
setinggi betis Jaka Pesolek terpaksa hanya mencuci
muka saja. Selagi dia membasahi rambut tiba-tiba
dilihatnya buntalan kain hitam bergerak-gerak. Buhul
di sebelah atas terbuka.Lalu settt! Segulung benda
panjang hitam melesat ke arah pohon tak jauh di tepi
telaga, menancap di batang pohon!
"Astaga! Rambut selir itu! Apa yang terjadi?!"
Ken Parantili berseru kaget lalu dengan cepat
melompat keluar dari dalam telaga. Berdiri di depan
pohon sambil memperhatikan rambut yang menancap
si gadis ingat ucapan Penguasa Atap Langit. "Jika Ken
Parantili berada dalam jarak dua ratus langkah rambut
akan memberi tanda. Rambut akan meringkal bergerak
ke atas lalu melesat ke arah dimana beradanya selir
itu."
Jaka Pesolek memandang berkeliling, melihat
ke atas pohon. Dia menyelidik ke beberapa jurusan
namun sama sekali tidak melihat Ken Parantili.
"Pertanda yang salah atau ada yang tidak beres ?"
Baru saja Jaka Pesolek berpikir seperti itu tiba-tiba brukk!
Sesosok tubuh jatuh tersungkur di tanah. Ternyata seorang
perempuan berkebaya putih. Ketika melihat wajah
perempuan itu kejut Jaka Pesolek bukan alang kepalang.
Selain terkejut dia juga merasa gembira.
"Ken Parantili! Syukur aku menemuimu di sini!
Apa yang terjadi denganmu?" Jaka Pesolek jatuhkan
diri di samping selir pertama Penguasa Atap Langit
yang saat itu dalam keadaan megap-megap. Wajahnya
yang cantik tampak pucat. Bibir nyaris putih tak
berdarah. Sepasang mata setengah tertutup. Keadaan
dirinya tampak lemah sekali. Jaka Pesolek segera
memangku kepala sang selir.
"Kau...kau siapa...?" Ken Parantili masih bisa
keluarkan ucapan, bertanya walau sangat perlahan.
"Kau lupa? Aku Jaka Pesolek! Sahabat Kesatria
Panggilan Wiro Sableng dari negeri delapan ratus
tahun mendatang! Berarti sahabatmu Juga!"
"Jaka Pesolek. Kita memang pernah bertemu.
Dengar, kita harus cepat pergi dari sini. Ada dua orang
mengejar. Dia hendak memperkosa diriku..."
Baru saja Ken Parantili keluarkan ucapan tiba-tiba dari
balik semak belukar di depan deretan beberapa pohon
melompat keluar dua orang lelaki berpakaian dan
berdestar hitam. Di pinggang masing-masing terselip
sebilah golok besar. Dari tampang serta pakaian mereka
Jelas bukan orang baik-baik. Kemungkinan bangsa
begal atau rampok.
"Ha hal Rejeki kita memang besari Sekarang malah
ada dua perempuan cantikl Satunya sangat segar bugar!
Kita bisa berbagi satu orang untuk satu orang!
Ha...ha...ha!"
Yang keluarkan ucapan adalah lelaki berbadan
tinggi besar memelihara kumis dan berewok tebal.
Temannya yang bertubuh gemuk tertawa mengekeh,
lidah diulur berulang kali. Pakaian dan tubuh kedua
orang ini menebar bau tidak enak.
"Tunggu apa lagi. Langsung saja kita kerjai"
Berkata si gendut.
"Jaka Pesolek, cepat Kau punya ilmu...."
Dua lelaki garang tiba-tiba melompat ke hadapan
dua perempuan Itu. Jaka Pesolek cepat berdiri.
"Tunggu! Kalian berdua jangan ganggu sahabatku
ini. Kalau mau bersenang-senang aku bisa melayani
kalian berdua sekaligus! Aku bisa jantan bisa betinal"
Si gendut dan si tinggi besar saling pandang
lalu tertawa gelak-gelak.
"Hebat juga gadis satu ini!" Kata si tinggi besar.
"Aku memang hebat! Nanti kalian berdua akan
lebih tahu kehebatankul Hlk...hik..hik. Aku akan
membuka pakaian. Kalian berdua ayo cepat tanggalkan
baju dan celana! Hik...hikl Kalau kalian suka boleh masuk
mencebur ke dalam telaga. Nanti kita bersenang-senang
di dalam airi Hik...hik...hikl"
Habis berkata begitu Jaka Pesolek lalu buka dan
singkapkan dada pakaiannya. Dua lelaki di hadapannya
mendelik melihat dada yang putih bagus.
"Hai, tunggu apa lagi! Lekas mencebur ke dalam
telagal Lihat, aku akan buka seluruh pakaiankul" Jaka
Pesolek singkapkan bajunya lebih lebar.
"Gadis cantik, kau tidak menipu, tidak bergurau?!"
Si gendut bertanya agak curiga.
"Siapa yang berguraul Siapa yang menipul Aku
memang suka laki-laki seperti kalian. Kalian berdua
pasti hebat! Hik...hik! Lihat, sebentar lagi akan aku
tanggalkan pakaianku sebelah bawahi" Si gadis
singsingkan ke atas bagian bawah pakaian merahnya
hingga kakinya tersingkap sampai di atas lutut Hal Ini
membuat si gendut dan si tinggi besar jadi bllngsatan.
Sambil terus bicara merayu Jaka Pesolek dekat
kedua orang itu lalu menarik tangan mereka ke dekat
telaga. Si gendut dan si tinggi besar masih tak percaya.
Tapi keduanya Jadi tersentak ketika tangan Jaka Pesolek
enak saja mengusap bagian bawah perut mereka.
"Kalau kalian tidak mau aku tak Jadi
menanggalkan pakaian. Ayol Lekas masuk ke dalam
telaga." Jaka Pesolek berpura-pura condongkan badan
seperti hendak mencebur ke daiam telaga. Melihat hal
ini dua lelaki tadi tidak tunggu lebih lama segera saja
mendahului masuk mencebur ke dalam telaga berair
dangkal.
"Bagus! Kalian berdua tunggu saja di dalam
telaga sampai tubuh kalian gembung! Hik...hik...hik!"
Begitu kedua orang itu sudah berada dalam
telaga Jaka Pesolek cepat menyambar buntalan hitam
di atas batu lalu dia menggendong tubuh Ken Parantili.
Sekali berkelebat dengan ilmu gerakan kilat yang
dimilikinya gadis ini sudah melesat jauh meninggalkan
telaga.
"Jahanaml Kita kena ditipu!" Teriak si gendut
sambil acungkan tinju.
"Kurang ajar! Ayo kita kejar gadis sialan itu!"
"Mau dikejar kemana? Gerakannya secepat setan
melenyapkan diri!" Ucap si gendut lalu melosoh
terduduk lemas di dasar telaga. Kepala dipukui-pukul.
TIGA BELAS
Di SATU kawasan
pesawahan yang sunyi
yang ikut dilanda
banjir air merah pada
malapetaka Malam Jahanam Jaka Pesolek hentikan lari.
Ken Parantili dibaringkan di atas lantai sebuah teratak.
Tubuh sang selir terasa panas. Tak jauh dari tempat itu
ada aliran air jernih. Jaka Pesolek petik sehelai daun
kecil, menggulung daun ini begitu rupa hingga bisa
dipakai untuk menampung air. Air sejuk itu kemudian
diminumkan dan sebagian dipergunakan membasahi
kepala, wajah serta bibir Ken Parantili yang kering.
"Jaka, terima kasih kau telah menolongku. Ketika
dua manusia jahat itu menghadangku, keadaanku
sangat lemah. Ilmu kesaktianku tak bisa aku keluarkan.
Seharusnya aku bisa bertahan sampai tiga hari.
Sekarang aku merasa ada keanehen.Aku merasa
kekuatanku mulai pulih. Bukan karena air yang
barusan kau berikan. Ada sesuatu. Aku merasa ada
suara detakan yang menggetarkan dadaku sebelah
kiri..."
"Sahabat, aku merasa bersyukur bisa menemuimu
lebih cepat. Penguasa Atap Langit pastl gembira jika
mengetahui hal ini."
Saking terkejutnya mendengar ucapan Jaka Pesolek,
Ken Parantili sampai terbangun dan duduk bersandar di
tiang teratak. Wajahnya yang pucat tampak berubah.
"Apa katamu? Kau menyebut Penguasa Atap Langit.
Memangnya...?"
"Penguasa Atap Langit menemuiku di satu tempat. Dia
menyerahkan jantung milikmu padaku dengan pesan
agar aku mencarimu lalu memberikan jantung itu...."
"Aku seperti tak percaya. Penguasa Atap Langit
memintamu mencariku?" Ken Parantili berkata sambil
mata melirik pada buntalan kain hitam.
"Betul. Dia memberikan gulungan rambutmu agar
aku bisa lebih mudah menemuimu. Dia suamimu,
mengapa kau bertanya seperti heran?"
Ken Parantili terdiam, tidak menjawab malah
kemudian bertanya. "Apa isi buntalan itu?"
"Jantungmu! Memangnya kau kira timbel apa?l"
Ken Parantili menatap Jaka Pesolek sampai lama.
Tangannya memegangi lengan si gadis dan mulut
berucap. "Pantas, kekuatan tubuhku tiba-tiba saja
terasa pulih. Rupanya jantungku berada dekat diriku..."
"Aku hanya diberi tugas menyerahkan jantung. Kalau
perihal bagaimana memasangkannya ke dalam
tubuhmu aku tidak tahu. Ihh...tengkukku jadi merinding..."
. "Aku...sebenarnya saat ini aku tengah berpikir." Kata
Ken Parantili pula.
"Berpikir apa?" Tanya Jaka Pesolek.
"Apa aku memang bagusnya memasukkan jantung
itu ke dalam tubuhku dan meneruskan kehidupan ini
atau lebih baik mati saja."
"Sahabat, kau ini bicara aneh. Orang mati saja kalau
bisa hidup, maunya ingin hidup lagi. Kau yang masih
hidup malah pingin mati..."
"Tapi sebenarnya selama ini aku sudah mati dalam
hidupku..."
"Siapa bilang. Ayo, kau tak mau mengambil
jantungmu itu?"
Ken Parantili diam tak bergerak. Sepertinya selir ini
memang tidak ingin hidup lebih lama lagi.
Jaka Pesolek mengambil buntalan hitam, membuka
pembuhulnya lalu dengan hati-hati mengeluarkan benda
yang ada di dalam keranjang daun pisang berisi air.
"Ken Parantili sahabatku....lni terlalu mengerikan
bagiku. Lekas kau ambil jantungmu. Aku ingin segera
bebas dari amanat yang membuat ganjalan besar dalam
diriku." Jaka Pesolak berucap. Suara dan tangannya yang
memegang jantung bergetar. "Ambil cepat. Semoga
Yang Maha Kuasa memberi berkah padamu..."
Ucapan terakhir Jaka Pesolek seolah membuat Ken
Parantili menjadi sadar dan punya semangat hidup.
Untuk beberapa lama dia pandangi jantung merah
berdenyut di tangan Jaka Pesolek. Perlahan-lahan dia
buka bajunya hingga dadanya tersingkap lebar. Dengan
dua jari tangan kanan yang diluruskan selir cantik ini
membuat guratan di atas dada sebelah kiri.
"Settt!"
Dada terbelah dan terkuak besar. Tak ada darah yang
mengucur.
Jaka Pesolek tak berani memandang. Tapi ketika dia
merasa Ken Parantili menggerakkan tangan mengambil
jantung yang dipegangnya, gadis bisa jantan bisa betina
ini kuatkan hati, beranikan diri dan membuka matanya
kembali untuk menyaksikan apa yang terjadi. Saat itu
dilihatnya Ken Parantili dengan segala ketegaran yang
ada memasukkan jantungnya ke dalam dada sebelah
kiri yang menganga terkuak. Begitu jantung masuk di
dalam dada, dada lalu di usap. Dada yang terbelah
menutup kembali tanpa ada bekas sedikitpunl
"Dewa Agung Hyang Jagatnatha!" Ucap Jaka
Pesolek. Bulu tengkuknya kembali merinding. Saat itu
dilihatnya wajah pucat Ken Parantili tampak bercahaya
kembali. Bibir yang putih kering berubah merah segar.
Ken Parantili dekati Jaka Pesolek lalu memeluk
gadis itu.
"Jaka, aku berterima kasih padamu. Kau telah
melakukan tugas sangat berat Budi baikmu tidak bisa
kubalas..."
"Aku merasa bahagia bisa menolongmu. Tapi aku
juga merasa sedih. Karena sebentar lagi pasti kau akan
pergi meninggalkan aku. Apakah kau akan kembali ke
Negeri Atap Langit?"
Ken Parantili lepaskan rangkulan. Kepala digeleng.
Aku tak akan pernah kembali ke sana."
"Tapi suamimu ada di sana."
"Aku cuma seorang selir. Bukan istri."
"Penguasa Atap Langit berlaku baik terhadapmu.
Paling tidak dia tidak benci padamu Buktinya dia mau
menyerahkan jantungmu."
Ken Parantili menatap ke arah pesawahan. Perlahan-
lahan air mata meluncur dari-kedua matanya yang
bagus.
"Kau menangis. Karena bahagia atau apa...?"
Ken Parantili tidak menjawab. Dia mulai
sesenggukan. Tiba-tiba selir Penguasa Atap Langit
ini melompat berdiri di atas lantai teratak dan
berteriak keras.
"Tidak! Tidaakkkl"
Jaka Pesolek cepat berdiri.
"Ken Parantili! Ada apa? Mengapa kau berteriak
begitu?l"
"Aku memang sekarang bisa hidup wajar karena
jantungku telah berada dalam tubuhku. Tapi aku tidak
mau hidup dengan membekal jabang bayi dalam
rahimku!"
Jaka Pesolek melengak kaget
"Memangnya kau tengah mengandung?" Jaka
Pesolek ulurkan tangan mengusap air mata yang
membasahi kedua pipi Ken Parantili.
Yang ditanya mengangguk perlahan.
"Tiga bulan...."
Jaka Pesolek menggigit bibir. Dia tak ingin
bertanya tapi mulutnya kepalang terlanjur berucap
walaupun agak gagap
"Si..siapa ayah jabang bayimu?" Dada Jaka
Pesolek berdebar. Kawatir akan mendapat jawaban :
Kesatria Panggilan ailas Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Penguasa Atap Langit memberi tahu kalau aku
tengah mengandung jabang bayi laki-laki berusia tiga
bulan dari benih hasil hubungannya dengan diriku."
Jaka Pesolek merasa lega. Ternyata bukan Wiro!
"Jelas bukan Wiro Mereka hanya bertemu
beberapa hari. Sekalipun mereka melakukan hubungan
badan mana mungkin bisa membuat selir itu
mengandung tiga bulan. Tololnya aku ini!" Jaka
Pesolek berucap dalam hati, memaki diri sendiri.
"Penguasa Atap Langit juga berpesan, kalau anak itu
lahir aku harus memberinya nama Bintang Langit Dia
sudah tahu kalau bayi yang aku kandung seorang bayi
laki-laki."
"Nama bagus. Pasti anakmu kelak akan menjadi
seorang pemuda gagah, berilmu tinggi."
"Aku tidak menginginkan anak itul" Kata Ken Parantili.
Wajahnya tampak kelam.
Kening Jaka Pesolek mnengerenyit. "Hanya
karena ayah si anak adalah Penguasa Atap Langit yang
kau benci?"
"Itu salah satu alasan yang paling berat." Jawab
Ken Parantili. "Aku harus melakukan sesuatu agar tidak
melahirkan bayi Itu."
"Memangnya kau mau melakukan apa?" Tanya
Jaka Pesolek "Kau mau menggugurkan kandunganmu?
Usia kandunganmu sudah tiga bulan. Berbahaya kalau
kau melakukan itu. "
Ken Parantili palingkan kepala. Untuk beberapa lama
dia menatap wajah Jaka Pesolek. Lalu mulutnya berucap.
"Ada cara paling cepat untuk melenyapkan
jabang bayi itu!"
Tiba-tiba Ken Parantili luruskan dua tangan kanannya.
Jaka Pesolek terkejut, maklum apa yang hendak
dilakukan selir Penguasa Atap Langit Ku. Dia berteriak.
“Jangan! Jangan lakukan itu!"
Ken Parantili susupkan tangan kanan ke balik
kebaya. Tangan kiri menarik ke bawah celana hitamnya.
Tangan kanan mencapai bagian bawah pusar. Lalu
terdengar suara setttl
Ketika tangan itu kemudian keluar Jaka Pesolek
berteriak ngeri, jatuh terduduk di atas lantai teratak,
nyaris pingsan! Di tangan kanan Ken Parantili tergenggam
sosok jabang bayi merah hampir sebesar anak kucing!
"Dewa Bathara Agung Dewa Bathara Agung...." Jaka
Pesolek mengucap berulang kali. Mukanya pucat seolah
tidak berdarah, mata membelalak Mulut ditekap
menahan muntah!
Seperti tadi ketika membelah dada memasukkan
jantung, tak ada darah yang mengucur. Dengan tangan
kiri Ken Parantili mengusap perut yang barusan dijebol
untuk mengeluarkan jabang bayi berusia tiga bulan.
Saat itu juga perut itu kembali tertutup rapat!
"Ken Parantili, sahabatku....Kau sadar apa yang
telah kau lakukan ?" Ujar Jaka Pesolek dengan suara
bergetar.
Yang ditanya mengangguk. Wajah tegang dan air
mata bercucuran di pipi.
"Lalu hendak kau apakan jabang bayi itu?" Tanya
Jaka Pesolek pula.
Ken Parantili tidak menjawab tapi tangannya
bergerak. Sikapnya seperti hendak membanting Jabang
bayi yang dipegangnya ke lantai teratakl
"Janganl Jangan lakukan itu!" Teriak Jaka Pesolek.
"Lebih baik kau berikan padakul" Jaka Pesolek ulurkan
tangan walau merasa ngeri.
Tapi Ken Parantili tidak perduli.
Tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat Tahu-tahu
seorang kakek berselempang kain putih, berkumis dan
berjanggut seputih kapas telah berdiri di hadapan Ken
Parantili. Di tangan kanan orang tua ini memegang benda
aneh yang ternyata adalah sebuah guci tembus
pandang berisi air sangat bening. Di sebelah atas guci
ada tutup yang memiliki dua puluh lobang kecil.
"Membunuh mahluk hidup tak bersalah pada
galibnya adalah perbuatan berdosa, apapun alasannya.
Membunuh jabang bayi sendiri dosanya sangat-sangat
berlipat ganda. Jika kau tidak menginginkan jabang
bayi darah dagingmu sendiri, maka izinkan aku untuk
memeliharanya."
"Klik!"
Penutup guci tembus pandang terbuka.
"Dengan izin Para Dewa, dengan lindungan kasih
sayang Yang Maha Kuasa, aku mohon masukkan
jabang bayi itu ke dalam guci ini."
Ken Parantili dan Jaka Pesolek sama-sama terpana.
"Orang tua, kau siapa?" Ken Parantili bertanya sambil
mata menatap tak berkesip.
"Aku Resi Kali Jagat Ampusena. Kabulkan
permohonanku. Semoga Yang Masa Kuasa memberi
berkah pada jabang bayi dan dirimu."
"Resi, aku...." Ken Parantili tidak bisa meneruskan
ucapan. Tenggorokannya serasa tersekat. Perlahan-lahan
tangan kanan yang memegang jabang bayi diangkat,
didekatkan ke atas guci tembus pandang. Ketika
genggamannya dilepas, jabang bayi merah langsung
masuk ke dalam guci. Air bening didalam guci naik ke
atas dan kliki Penutup guci menutup dengan sendirinya.
"Terima kasih kau telah melakukan hal terpuji. Walau
kau tidak menyukai jabang bayi ini. Namun apa yang
telah kau lakukan menyatakan bahwa saat ini
sebenarnya kau sudah memiliki jiwa asih terhadap
jabang bayi ini. Kau ingin dia tetap hidup terus walau
tidak di dalam rahimmu."
Ken Parantili tekap wajahnya ialu menangis
terisak-isak.
Resi Kali Jagat Ampusena, yang di bagian
pertama cerita ini telah bertapa di satu candi kecil di
bantaran Kali Gondang berpaling pada Jaka Pesolek.
"Anak gadis, pahala yang telah kau buat sungguh
sangat besar. Semoga Dewa Agung akan
memberkatimu."
Jaka Pesolek tidak perhatikan ucapan si orang tua.
Matanya menatap ke tangan kanan yang memegang
guci tembus pandang.
"Resi Kali Jagat, kau mau bawa kemana jabang
bayi itu. Mau kau apakan?" Bertanya Jaka Pesolek.
"Aku bersyukur telah menyelamatkan jabang bayi ini.
Selanjutnya menjadi kewajibanku untuk menjaga,
memeliharanya sampai akhirnya dia menjadi bayi seusia
sembilan bulan sepuluh hari..."
"Guci itu tidak sama dengan rahim ibunya. Dari mana
jabang bayi mendapat makanan? Bagaimana dia bisa
hidup.*
Resi Kali Jagat tersenyum. Tangan kirinya diletakkan di
atas bahu Jaka Pesolek. "Kalau Yang Maha Kuasa
berbuat segala sesuatunya, apakah masih ada insan
yang meragukan? Kasih sayang adalah sesuatu yang luar
biasa. Ibu dari jabang bayi ini telah memperlihatkan hal
itu. Dia dengan segala ikhlas memasukkan jabang bayi
darah dagingnya ke dalam guci ini."
Mendengar ucapan sang Resi tangis Ken Parantili
semakin keras.
Jaka Pesolek mengambil kain hitam bekas
pembungkus jantung Ken Parantili. Kain itu diserahkan
pada Resi Kali Jagat "Aku mohon, bungkus guci itu
dengan kain hitam ini. Aku tidak tega...."
Resi Kali Jagat lakukan apa yang dikatakan Jaka
Pesolek.
Ketika tangis Ken Parantili mereda dan dia
menurunkan dua tangan yang menutup wajah, Resi Kali
Jagat Ampusena tidak ada lagi di tempat itu.
"Jaka, kau melihat Resi itu pergi ke jurusan mana?"
Ken Parantili bertanya pada Jaka Pesolek.
Yang ditanya menggeleng. "Dia lenyap begitu saja.
Seolah jadi satu dengan angin."
"Kurasa aku harus mengejar Resi itu."
"Mengapa kau ingin mengejar?" Tanya Jaka
Pesolek. Tapi Ken Parantili tidak menyahut. Tanpa pamit
lagi selir Penguasa Atap Langit itu berkelebat pergi.
"Aneh, tadi dia tidak mau ada jabang bayi dalam
rahimnya. Sekarang setelah orang tua Ku membawa
pergi jabang bayi di dalam guci, selir itu ingin mengejar.
Mau mengambil kembali jabang bayinya? Apakah dia
menyesal telah mengeluarkan jabang bayi itu dari
dalam rahimnya? Mau dimasukkan kembali? Ihhh....
EMPAT BELAS
MATAHARI pagi mulai
memupus kesejukan di
puncak bukit yang
ditumbuhi pepohonan
jati rata-rata berusia lebih dari lima puluh tahun. Resi Kali
Jagat Ampusena berlari laksana terbang. Sepasang kasut
putih pemberian mahluk gaib yang dipanggilnya dengan
sebutan Roh Putih memang luar biasa. Tanpa kasut itu tak
mungkin baginya bergerak laksana kilat dan mampu
menemui Ken Parantili dalam waktu demikian cepat.
Pagi itu dia merasa cukup lega karena sebagian
tugas yang ada di pundaknya telah dapat dilaksanakan.
Dari semua itu, tugas paling utama adalah mendapatkan
jabang bayi yang kini berada di dalam guci tembus
pandang. Guci yang dibungkus dalam kain hitam,
dikempit di tangan kanan seolah mendukung seorang
bayi benaran. Selanjutnya, sesuai pesan Roh Putih
pada waktu dia mendapatkan guci yang terbuat dari
seratus mutiara putih itu, dia harus membawa guci ke
satu tempat aman, di simpan di tempat itu selama enam
bulan.
Resi Kali Jagat berhenti di depan sebatang pohon Jati
yang dua buah cabangnya saling bersilang. Inilah tanda
aneh yang menjadi petunjuk bahwa dia tidak datang ke
tempat yang salah karena dibukit itu ada ratusan pohon
jati dan bentuknya hampir mirip satu sama lain.
Setelah merenung sesaat di depan pohon, Resi Kali
Jagat membuat gerakan seperti orang mengetuk pintu
pada batang pohon. Setelah mengetuk tiga kali
mulutnya berucap.
"Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para
Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam Rumah
Ketenteraman dan Keselamatan dibuka."
Resi Kali Jagat Ampusena menunggu. Ketika tak ada
jawaban maka dia mengetuk batang pohon Jati dan
kembali berkata.
"Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan Para
Dewa, aku mohon pintu masuk ke dalam Rumah
Ketenteraman dan Keselamatan dibuk
ba-tiba batang pohon Jati bergetar. Di sebelah
atas daun pohon bergoyang-goyang bergemerisik dan
dua cabang yang bersilang saling bergesek
mengeluarkan suara aneh. Begitu getaran dan gesekan
berhenti terdengar suara perempuan bertanya. Suara
itu begitu merdu dan keluar dari dalam tanah di bawah
pohon jati.
"Tamu yang datang ketika sang surya baru saja naik
dan puncak bukit Jati diberkati kehangatan yang
menyegarkan, katakan siapa dirimu. Apakah kau
bernama dan apakah kau mempunyai gelar?"
Resi Kali Jagat sesaat terdiam tapi wajahnya
menyimpulkan senyum.
"Orang sakti Penghuni Pohon Jati Peliharaan
Para Dewa, aku adalah Kali Jagat Ampusena. Aku tidak
bergelar dan aku adalah seorang Resi."
Dari dalam tanah terdengar suara seperti orang
menarik nafas karena tercekat
"Kali Jagat Ampusena, setengah abad tidak
pemah bertemu, tiba-tiba saja kau muncul. Gerangan
apa yang membawamu ke sini? Apakah sepasang kasut
putih itu yang telah menuntunmu ke mari?"
Resi Kali Jagat Ampusena usap guci putih yang
dibungkus kain hitam yang dibawanya. Dia
memandang ke bawah memperhatikan ke dua kakinya.
Dalam hati dia berkata. "Berada jauh di dalam tanah
tapi dia tahu kalau aku mengenakan sepasang kasut
putih. Pertanda ilmu kesaktiannya sudah jauh lebih
tinggi dari masa lalu."
Setelah mengusap wajahnya sang resi berkata
memberi tahu. "Aku datang membawa sesuatu yang
sangat berharga untuk dititipkan."
" "Hemmm" Orang perempuan di dalam tanah
bergumam. "Apakah kau membawa satu peti emas atau
satu peti berlian untuk dititipkan? Ketahuilah Rumah
Ketenteraman dan Keselamatan tidak menerima benda-
benda seperti itu."
"Aku tahu, justru aku tidak datang membawa emas
berlian atau batu permata berharga. Aku datang
membawa satu mahluk bernyawa yang berada dalam
kesengsaraan, yang perlu diselamatkan dan ingin aku
titipkan selama enam bulan."
"Mahluk bernyawa yang kau maksud, apakah dia
semacam roh, mahluk jejadian, manusia atau hewan?"
Perempuan di dalam tanah di bawah pohon bertanya.
"Yang aku bawa adalah satu jabang bayi laki-laki.
Mohon diberi tahu apakah Penghuni Pohon Peliharaan
Para Dewa mau menerima titipan?"
Baru saja Resi Kali Jagat Ampusena memberi tahu
benda apa yang dibawanya tiba-tiba di dalam rimba
belantara pohon Jati itu menggelegar suara
gongggongan anjing. Begitu dahsyatnya hingga tanah
bergetar, pohon jati bergoyang-goyang. Walau sangat
terkejut namun Resi Kali Jagat berusaha tenang. Guci
di tangan kiri dikempit erat-erat
Tiba-tiba wutt...wuttt. Lima sosok merah melayang
turun dari atas pohon. Di lain kejap lima ekor anjing besar
berbulu merah sudah mengelilingi Resi Kali Jagat
Binatang ini memiliki kepala bundar, tak seperti anjing
yang biasanya berkepala dan bermoncong panjang.
Selain itu dari sela mulut kiri kanan mencuat taring besar
panjang dan lancip, berwarna merah menyala.
Empat ekor anjing merah tiba-tiba membuat
lompatan menyerang kaki, tubuh serta kepala sang
Resi. Sementara anjing merah ke lima melesat ke arah
tangan kiri sang Resi yang mengempit bungkusan kain
hitam berisi guci putih tembus pandang dimana
tersimpan jabang bayi laki-laki Ken Parantili. Melihat
hal ini Resi Kali Jagat Ampusena segera maklum.
Kemunculan lima anjing merah aneh adalah semata-
mata hendak merampas atau membunuh jabang bayi
yang dibawanyal
Dengan cepat Resi Kali Jagat melompat ke udara.
Tanpa membuat gerakan tiba-tiba kaki kanan yang
memakai kasut putih melesat ke depan.
"Buukk!"
Salah seekor anjing yang menyerang bagian
tubuhnya mencelat mental mengeluarkan suara
meraung keras lalu terkapar di tanah. Perut jebol pecah
namun tidak ada isi perut atau darah yang menyembur
keluarl Sang Resi tidak memperhatikan lagi apa yang
kemudian terjadi dengan binatang itu. Dia terus melesat
ke atas dan mematahkan satu cabang kecil pohon Jati.
Cabang pohon kemudian di putar diatas kepala,
dipergunakan sebagai senjata untuk bertahan.
"Bukkkl" Kembali ada anjing merah yang jadi
korban yaitu yang menyerang ke arah kepalanya.
Binatang ini menggelepar di tanah dengan kepala
pecah.
Meski berhasil menghabisi dua anjing merah,
tiga anjing lainnya masih merupakan ancaman besar.
Salah seekor dari tiga binatang itu berhasil menendang
jatuh cabang pohon di tangan kanan sang Resi lalu
mencakar ganas hingga selempang kain putih sang
Resi robek besar di bagian dada. Untungnya cakaran
tidak sampai mengenai tubuh si orang tua. Sebaliknya
anjing yang menyerang harus menerima tendangan di
bagian kepala dan dalam keadaan kepala remuk
binatang ini terbanting ke tanah tak bernafas lagi.
Anjing ke empat menyalak ganas. Mata mendelik,
dua kaki depan menyambar dan dari sepasang mata
menyembur keluar cahaya merah. Ketika Resi Kali Jagat
berusaha mengelakkan serangan anjing ke lima
melesat ke arah kempitan tangan kirinya!
"Breett!"
Kain hitam pembungkus guci putih berisi jabang bayi
robek besar. Sambil meraung dahsyat anjing ke lima
membuat gerakan dengan ke dua kaki depan. Seolah
memiliki dua tangan seperti manusia dia melesat
menyambar guci putih dan berhasil!
Resi Kali Jagat berseru kaget. Dia cepat mengejar
namun terhalang oleh serangan anjing ke empat yang
telah melesatkan dua larik cahaya merah dari sepasang
matanya. Orang tua Ini hanya punya satu pilihan. Terus
mengejar menyelamatkan guci atau menghadapi
serangan anjing ke empat Resi Kali Jagat memilih yang
pertama. Dengan nekad dia melesat ke arah anjing yang
membawa lari guci dalam bungkusan kain hitam.
Anehnya binatang itu kini berlari seperti manusia. Dua
kaki belakang menjejak tanah, dua kaki sebelah atas
memegang guci!
"Binatang pencuri! Kembalikan guci atau aku
terpaksa membunuhmu seperti aku telah membunuh
tiga temanmu I"
Teriakan mengancam Resi Kali Jagat tidak
dlperdulikan oleh anjing merah yang telah menggondol
guci putih berisi jabang bayi. Resi Kali Jagat juga tidak
perdulikan lagi serangan dua larik sinar merah. Sambil
kebutkan ke belakang ujung pakaian yang berupa
selempang kain putih dia terus mengejar. Dari ujung
kain putih melesat keluar cahaya kebiruan,
menghadang datangnya serangan dua larik sinar
merah yang hanya tinggal beberapa jengkal dari kepala
dan tubuh Resi Kali Jagat
"Blaarrl"
Dua larik cahaya merah bentrokan di udara dengan
cahaya biru, mengeluarkan suara letusan keras Resi Kali
Jagat terhuyung keras ke depan, nyaris tersungkur jatuh
kalau dia tidak cepat mengimbangi diri dan terus
melakukan pengejaran.
Ternyata cahaya biru ilmu kesaktian yang keluar
dari ujung selempang kain putih Resi Kali Jagat tidak
mampu membendung dua hantaman sinar merah.
Begitu cahaya biru musnah bertaburan menjadi asap,
dua larik sinar merah masih terus menerobos dan
menghantam ke arah sang Resi.
Hanya sesaat lagi tubuh Resi Kali Jagat
Ampusena akan leleh dihantam dua larik sinar merah
tiba-tiba udara di atas bukit berubah gelap. Lalu
terdengar suara plaak...plaak! Sembilan pohon jati
besar roboh bergemuruh. Anjing merah ke empat yang
tadi menyerang Resi Kali Jagat dengan dua larik sinar
merah meraung keras. Satu benda besar lebar berwana
coklat kehitaman menghantam tubuhnya laksana
tembok raksasa jatuh menimpa.
"Plaakk!"
Sosok besar anjing merah yang menyerang Resi
Kali Jagat amblas lenyap ke dalam tanah I Sang Resi
hanya sekilas melihat apa yang terjadi di belakangnya.
"Plaakl Plaakl"
Mahluk raksasa bersayap lebar melesat ke udara
dan lenyap di langit luas. Resi Kali Jagat terus mengejar
anjing merah yang memboyong guci putih. Namun
binatang itu berlari cepat sekali laksana setan
berkelebat Kesaktian kasut putih ternyata tidak bisa
menandingi kehebatan lari si mahluk aneh. Agaknya
anjing yang satu ini memiliki kepandaian lebih tinggi
dibanding empat anjing lainnya.
"Celaka, aku tak mungkin mengejarnya!" Resi Kali
Jagat merasa dadanya berdenyut sakit dan nafasnya
sesak.lni adalah akibat bentrokan tenaga sakti dan
tenaga dalam dengan dua cahaya merah. Sang Resi
tersungkur di tanah namun masih sempat memanjatkan
doa. "Dewa Agung, saya mohon pertolongan.
Selamatkan jabang bayi dalam guci putih Itu." Doa sang
Resi ternyata didengar oleh Yang Maha Kuasa.
Dari dalam tanah sekonyong-konyong mencuat
keluar dua tangan berbentuk tulang belulang. Berwarna
sangat merah laksana bara menyala dan menebar hawa
luar biasa panas.
Dua tangan dengan cepat mencekal sepasang
kaki anjing merah yang tengah berlari cepat.
LIMA BELAS
"DESS! desss!" Anjing
merah meraung keras.
Dua kakinya nyaris leleh
dan mengepulkan
asap, membuatnya tidak mampu lagi meneruskan
berlari. Akibat sentakan yang keras dan tiba-tiba guci
putih berisi jabang bayi yang terbungkus kain hitam
robek telepas dari pegangan dua kaki depan yang
menyerupai tangan. Anjing merah sendiri kemudian jatuh
tergelimpang di tanah, hanya mampu menggonggong
dan menggeliat-geliat.
Melihat apa yang terjadi, Resi Kali Jagat yang masih
tertelungkup di tanah kerahkan seluruh kekuatan lalu
melesat coba menangkap guci putih agar tidak
terhempas jatuh ke tanah. Kalau guci sampai pecah,
jabang bayi yang ada di dalamnya tak akan tertolong.
Namun karena jarak antara dirinya dan guci yang jatuh
cukup jauh, walau berhasil melesat namun sang Resi
tidak mampu menangkap guci putih berselubung
robekan kain hitam.
Hanya sekejapan lagi guci akan jatuh dan hancur
berkeping-keping di tanah, tiba-tiba mahluk yang
memiliki dua tangan menyala melesat keluar dari dalam
tanah. Ternyata ujudnya adalah berupa jerangkong
putih. Sambil melesat keluar dari dalam tanah mahluk ini
yang dua tangannya tidak lagi berwarna merah
membara, dengan cepat menangkap guci putih.
Resi Kali Jagat jatuhkan diri berlutut di depan
jerangkong. Meski mahluk tulang belulang putih itu
telah menyelamatkan guci putih berisi jabang bayi
namun si orang tua tetap saja menaruh kawatir. Bukan
mustahil mahluk jerangkong ini bukan menolong tapi
sebenarnya Ingin merampas guci putih!
Ki Sanak berujud jerangkong putih, apakah...
apakah kau Roh Putih yang selama ini menjadi
pelindung dan memberi petunjuk pada diriku?"
Mahluk jerangkong menatap sang Resi dengan
matanya yang bolong lalu gelengkan kepala.
"Bukan, aku bukan mahluk Roh Putih yang kau
maskudkan." Astaga! Ternyata mahluk jerangkong ini
bisa bicara seperti manusia.
"Ki Sanak, saya berterima kasih kau telah
menyelamatkan benda dalam bungkusan kain hitam
hingga tidak jatuh ke tanah."
Jerangkong putih rundukkan kepala. Mata yang
hanya merupakan rongga bolong kembali menatap ke
arah Resi Kali Jagat.
"Benda di dalam bungkusan kain putih ini, benda
apa gerangan adanya?"
"Satu benda titipan yang nilainya sama dengan
nyawa saya." Jawab Resi Kali Jagat.
"Luar biasa. Apa kau mau mengatakan benda apa
itu adanya?"
"Saya percaya padamu. Silahkan menyibak kain
hitam dan melihat sendiri apa isinya." Jawab Resi Kali
Jagat pula lalu bangkit berdiri.
Jari-jari tangan yang hanya berupa tulang
belulang putih bergerak membuka bungkusan kain
hitam. Begitu guci putih tersembul dan mahluk
jerangkong dapat melihat isinya, untuk beberapa lama
mahluk jerangkong ini berdiri tidak bergerak.
Lalu terdengar mulutnya berucap.
"Yang Maha Kuasa mampu berbuat segala-galanya.
Namun hari ini aku baru pertama kali melihat janin di
simpan di dalam guci. Bagaimana ceritanya...?"
"Maafkan saya Ki Sanak. Saya tidak bisa
menceritakan asai usui jabang bayi itu."
"Tidak mengapa. Kalau boleh tahu siapakah sahabat
ini?"
"Saya Resi Kali Jagat Ampusena."
Kepala berupa tengkorak manggut-manggut
beberapa kali. Bungkusan kain hitam ditutup kembali.
Tangan diulur.
"Resi Kali Jagat, sllahkan kau mengambil guci Ini
berikut benda yang ada di dalamnya."
Dengan cepat Resi Kali Jagat Ampusena mengambil
guci putih yang diserahkan. Sambil menunduk dalam dia
berkata. "Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih
Dengan segala kerendahan hati saya ingin
bertanya. Siapa Ki Sanak ini sebenarnya?"
"Namaku Lor Pengging Jumena. Banyak orang
yang memanggilku dengan sebutan Embah Buyut..."
Resi Kali Jagat tersentak kaget Dia tundukkan
kepala berulang kali. "Tidak menduga hari ini saya bisa
bertemu dengan seorang tokoh yang selama ini hanya
saya dengar nama dan kehebatannya. Tapi harap Ki
Sanak jangan tersinggung. Lor Pengging Jumena yang
saya ketahui berujud manusia biasa, seorang kakek
sakti yang memang sudah sepuh. Lalu mengapa kini
yang saya lihat Ki Sanak berujud seperti ini? Sekali
lagi maaf kalau saya menyinggung perasaan Ki Sanak."
(Mengenai riwayat Embah Sepuh atau Lor Pengging
Jumena dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul "Selir Pamungkas")
Mahluk Jerangkong keluarkan suara tertawa.
"Perjalanan dan hidup manusia semua ditentukan
oleh Yang Maha Kuasa. Para Dewa telah menetapkan
diriku berujud seperti ini. Aku menerima dengan segala
keikhlasan. Bukankah kita semua miiikNya?"
Resi Kali Jagat anggukkan kepala.
"Resi, aku merasa senang bisa bertemu denganmu.
Aku harus segera kembali ke alamku. Berhati-hatilah,
tempat yang jadi tujuanmu jauh dari aman dan tenteram.
Lihatlah berkeliling. Perhatikan lima ekor anjing merah
yang berkaparan di tanah. Ujud mereka telah berubah."
Resi Kali Jagat berpaling ke arah empat anjing
merah yang telah menemui ajal dan bertebaran di
sebelah sana. Astaga. Tengkuk orang tua berusia
hampir seratus tahun ini merinding. Guci putih dikepit
erat-erat.
Empat anjing merah yang telah menemui ajal itu
kini ujudnya telah berubah menjadi manusia. Yang dua
tewas dengan kepala pecah. Yang ketiga tewas dengan
perut jebol. Anjing ke empat tidak tahu bagaimana
ujudnya karena amblas masuk ke dalam tanah. Sang
Resi ingat apa yang telah terjadi. Dia tadi melihat sekilas
satu mahtuk berupa Kelelawar raksasa. Mahluk itulah
yang menghantam salah satu dari lima anjing merah
yang menyerangnya hingga melesak masuk ke dalam
tanah.
"Mahluk luar biasa besar dan mengerikan itu,
mengapa dia menolong diriku?" Resi Kali Jagat
bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tiba-tiba dia
mendengar suara orang mengerang. Dia cepat
berpaling. Di samping kiri terbujur mahluk yang
sebelumnya adalah anjing kelima. Kini ujudnya telah
berubah menjadi manusia. Dua kaki hancur akibat
cekalan sepasang tangan merah panas mahluk
jerangkong mengaku bernama Lor Pengging Jumena.
Resi Kali Jagat segera mendatangi orang ini.
Ternyata dia adalah seorang pemuda berusia sekitar
dua puluh tahun.
"Anak muda, apa yang terjadi dengan dirimu.
Ketika masih dalam ujud seekor anjing merah kau dan
empat kawanmu menyerangku. Siapa dirimu
sebenarnya? Apakah aku pernah berbuat kesalahan
hingga kau dan kawanmu ingin membunuhku?"
Orang yang ditanya memutar mata memandang
ke arah sang Resi. Mulut masih mengeluarkan suara
mengerang dan dia tidak menjawab pertanyaan orang.
"Aku tahu, kau bukan cuma ingin membunuhku.
Tapi ingin merampas guci putih ini! Aku yakin semua
itu bukan maumu sendiri. Katakan siapa yang
menyuruhmu?"
Sepasang mata pemuda yang dua kakinya hancur
itu melirik kian kemari.
"Tidak ada orang lain di sini. Mengapa kau seperti
ketakutan hendak bicara?" Ucap Resi Kali Jagat
Si pemuda buka mulutnya sedikit Tapi tak ada
suara yang keluar.
"Bicara saja, tidak perlu takuti" Resi Kali Jagat
lalu tempelkan tangan kanannya di dada si pemuda,
alirkan hawa sakti dan tenaga dalam untuk memberi
kekuatan. "Nah sekarang bicaralah. Kau pasti bisa
bicara
"Jen...Jenazah Sim...Simpanan...." Si pemuda
akhirnya keluarkan ucapan.
"Jenazah Simpanan? Mahluk apa itu? Dimana
beradanya?"
Mulut si pemuda terbuka kembali. Tapi kali ini
bukan untuk bicara melainkan yang terlihat adalah
lidah yang terjulur serta mata yang mencelet.
Resi Kali Jagat terkejut. "Ada apa?l"
Tiba-tiba ada sambaran angin dan kraaakkkl
Leher si pemuda putus seperti ditebas benda tajam.
Darah menyembur. Kepala menggelinding. Resi Kali
Jagat berseru kaget dan melompat mundur. Sebagian
pakaiannya masih sempat terkena cipratan darah!
Tiba-tiba sambaran angin seperti tadi menyapu
ke arah sang resi. Dengan cepat Resi Kali Jagat mundur
dua langkah sambil tangan kanan melepas satu
pukulan sakti ke arah depan dari mana arah datangnya
sambaran angin.
Selarik sinar biru menerpa keluar dari telapak
tangan Resi Kali Jagat
"Braakkk!"
Terdengar suara seolah ada batu besar jatuh atau
tembok tebal rubuh. Lalu menyusul suara ringkikan
kuda dan brukkk! Sesosok tubuh berpakaian hitam
jatuh bergedebuk di tanah. Ujudnya adalah seorang
manusia berkepala kuda! Di tangan kanannya tergeng-
gam sebilah golok besar bernoda darah.
"Pasti mahluk Ini yang tadi membabat putus
leher pemuda itu. Dewa Agung! Malapetaka apa
sebenarnya yang ada di tempat ini? Saya mohon
perlindungan. Tugas yang harus saya laksanakan
masih belum rampung."
Baru saja sang Resi berucap seperti itu men-
dadak terdengar enam kali suara letupan disertai
kepulan asap. Lima sosok pemuda yang tadinya
berujud anjing merah disusul sosok manusia ber-
kepala kuda berubah jadi kepulan asap merah lalu
lenyap dari pandangan mata. Anehnya noda darah yang
mengotori pakaian Resi Kali Jagat Ampusena ikut
hilang tak berbekas.
ENAM BELAS
SETELAH tegak
terdiam beberapa
lama di hutan jati
yang kini menjadi
sunyi senyap, Resi Kali
Jagat memeriksa jabang bayi yang ada dalam guci putih
tembus padang. Dia merasa lega ketika melihat jabang
bayi itu tidak kurang suatu apa. Orang tua ini kembali
mendatangi pohon jati yang dua cabangnya saling
bersilangan.
Ketika Kelelawar Raksasa mengepakkan sayap
untuk menghabisi anjing merah sembilan pohon jatuh
tumbang. Adalah aneh walau pohon Jati satu ini berada
di tengah hantaman sayap namun tidak ikut roboh,
hanya dedaunannya saja yang yang rontok, itupun
tak banyak.
Seperti yang dilakukannya sebelumnya Resi Kali
Jagat ulurkan tangan kanan, mengetuk batang pohon
tiga kali.
"Orang sakti penghuni Pohon Jati Peliharaan
Para Dewa, aku Resi Kali Jagat Ampusena kembali
memohon untuk dibuka pintu masuk ke dalam Rumah
Ketenteraman dan Keselamatan."
Sunyi sesaat Lalu terdengar suara sahutan dari
dalam tanah.
"Resi Kaii Jagat, aku mendengar permintaanmu.
Lapangkan hati dalam menghadapi segala cobaan.
Pintu terbuka lebar bagimu. Silahkan masuk."
Begitu suara di dalam tanah selesai berucap tiba-
tiba terdengar suara angin berdesir. Batang pohon Jati
di hadapan si orang tua bergetar. Cabang dan ranting
serta daun-daun bergerak lurus ke atas mengarah ke
langit. Di lain kejap terjadilah hai yang sungguh luar
biasa.
Pohon Jati besar berusia lebih dari setengah
abad itu melesat ke udara sampai setinggi tiga tombak.
Akar menjuntai bergerak-gerak mengeluarkan suara
berdesir aneh.Dari lobang besar yang kini menganga
di tanah muncul keluar satu bangunan terbuat dari batu
hitam berbentuk candi kecil. Resi Kali Jagat terpana.
Mata menatap tak berkesip. Dia sudah sering
mendengar adanya keanehan ini namun baru kali ini
melihat sendiri.
Saat itu terdengar lagi suara berdesir dari arah
bangunan batu. Lalu pintu bangunan kelihatan
bergeser, membuka ke samping membentuk jalan
masuk.
"Resi Kali Jagat Ampusena, pintu telah terbuka.
Berarti kedatanganmu diterima. Silahkan masuk." Ada
suara mempersiiahkan.
Resi Kali Jagat kepit erat-erat guci putih di tangan
kiri lalu dengan cepat masuk ke daiam bangunan
melalui pintu yang terbuka. Begitu si orang tua berada
di dalam bangunan, pintu batu menutup dengan
sendirinya lalu terasa bangunan itu bergerak turun
masuk jauh ke dalam tanah. DI luar sana pohon Jati
besar bergerak pula ke bawah dan kembali tertanam di
tanah seperti sebelumnya. Cabang, ranting dan
dedaunan yang mengarah ke langit perlahan-lahan
bergerak ke bawah.
Bangunan batu yang diluar tampak kecil saja
ternyata sebelah dalamnya cukup luas. Di satu mang
terbuka berderet beberapa patung batu, tiga patung
lelaki, dua berujud patung perempuan.
"Pemilik Rumah Ketenteraman dan Keselamatan, aku
sudah berada di dalam bangunan. Aku menghatur
terima kasih kau telah memberi perkenan bagiku untuk
masuk. Salam hormat dan sejahtera untukmu."
Baru saja Resi Kali Jagat berucap tiba-tiba dari lantai
mencuat tiga buah benda. Ternyata benda itu adalah
dua buah kursi dan sebuah meja terbuat dari batu hitam
berkilat.
"Ampusena silahkan duduk. Apakah kau berkenan
terlebih dulu membasahi rangkungan dengan secangkir
anggur murni atau secawan tuak harum?"' Suara yang
menyapa adalah suara perempuan yang sama
sewaktu sang Resi masih berada di hutan Jati.
"Terima kasih, kalau boleh aku hanya minta
secangkir air putih bening."
Mendengar jawaban itu, perempuan yang masih
belum kelihatan ujudnya keluarkan suara tertawa.
"Ampusena, agaknya kau tidak pernah berubah dari
dulu."
Resi Kali Jagat tidak menjawab, hanya rundukkan
kepala dan dada sebagai penghormatan atas ucapan
orang. Ketika dia meluruskan kepala dan tubuh kembali
di atas meja batu tabu-tabu telah terletak sebuah
cangkir tanah berisi air bening. Namun di dalam
kebeningan itu Resi Kali Jagat melihat sesekali ada
kilauan warna merah. Racuni
"Resi Kali Jagat, silahkan membasahi rangkungan.
Silahkan diminum air putih bening sejuk di atas meja."
Suara perempuan tanpa ujud kembali terdengar.
Resi Kali Jagat yang telah melihat adanya
kelainan dalam cairan putih bening menjawab dengan
suara lembut penuh hormat
"Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan
mohon maaf. Aku lupa kalau hari ini aku tengah
berpuasa."
"Begitu? Makin tua umur dunia membuatmu kini
jadi seorang pelupa. Itu lebih baik dibandingkan jadi
orang pikun"
Didahului suara tertawa tiba-tiba salah satu dari
dua patung perempuan di dalam ruangan pancarkan
cahaya kuning. Cahaya ini melesat ke arah kursi batu.
Sesaat kemudian di atas kursi batu di belakang meja di
hadapan Resi Kali Jagat terlihat sosok seorang nenek.
Nenek ini memiliki wajah runcing mengenakan
jubah kuning, berambut kuning dan di atas kepalanya
menancap tiga tusuk konde
terbuat dari batu berwarna merah pekat. Wajahnya
tampak aneh kalau tidak mau dikatakan angker. Nenek
ini hanya punya satu alis, memanjang dari pelipis kiri
sampai pelipis kanan. Di bawah alis panjang itu terdapat
dua buah mata. Mata yang sebelah kiri lebih besar dari
mata sebelah kanan. Hidung bengkok menyerupai paruh
burung dicantel! anting-anting bulat terbuat dari emas
Mulut berbentuk segi tiga. Si nenek tidak duduk di atas
kursi tapi berdiri. Dan tubuhnya ternyata pendek sekali
alias katai.
Resi Kali Jagat cepat berdiri lalu membungkuk.
"Penghuni Rumah "Ketenteraman dan
Keselamatan, salam hormatku untukmu."
SI nenek katai tertawa panjang lalu berkata.
"Walau pertemuan kita terakhir sekitar lima puluh tahun
silam, namun kita sudah saling kenai. Terus terang aku
merasa lucu dengan segala basa basi ini. Ampusena,
apakah kau baik-baik saja selama ini?"
Resi Kali Jagat Ampusena membungkuk.
"Penghuni Rumah Ketenteraman dan Keselamatan,
terima kasih. Aku ada baik-baik saja. Kau sendiri
bagaimana...?"
Mulut segi tiga si nenek tersenyum. "Tidak perlu
sungkan. Seperti di masa lalu kau boleh memanggil
diriku dengan nama asliku Ning Rakaninl. Beberapa
bulan silam aku menyambangi makam adikku Ning
Prameswari di Bukit Menoreh. Ternyata keadaan makam
sangat bersih dan terpelihara. Bunga-bunga tumbuh
segar dan mekar di sekeliling makam. Apakah kau yang
selama ini merawat makam Itu?"
"Benar Ning Rakaninl. Hanya itu yang bisa aku
lakukan untuk tetap menghormati kecintaanku
padanya." Jawab Resi Kali Jagat.
Si nenek bernama Ning Rakaninl terdiam sejenak.
Lalu dia berkata. "Ampusena, aku sangat berterima
kasih atas semua perhatianmu terhadap mendiang
adikku. Sekarang katakan apa tujuanmu
menyambangiku di tempat yang sangat rahasia Ini tapi
kau berhasil menemukan."
"Hanya atas perlindungan dan bimbingan Para
Dewa maka aku bisa sampai ke sini..."
"Sepasang kasut putih yang kau pakai itu turut
membantumu?"
"Benar Ning Rakanini. Sepasang kasut ini pemberian
Roh Putih yang jadi pelindung diriku." Menjawab Resi Kali
Jagat.
"Tapi ketika ada lima mahluk anjing merah besar
menyerangmu dan berusaha merampas barang yang
kau bawa. Roh Putihmu tidak menolong dirimu! Apakah
begitu cara Roh Putih melindungimu?"
Resi Kali Jagat Ampusena terdiam. Rupanya si nenek
mengetahui apa yang terjadi di hutan Jati sana.
"Ning Rakanini, terima kasih kau telah
memperhatikan diriku. Mengenai pertolongan Roh
Putih, tidak selamanya sang penolong selalu turun
tangan sendiri. Melalui uluran tangan Yang Maha Kuasa
bisa saja yang muncul menolong bukan si pelindung
langsung, itu yang terjadi dengan diriku. Ada mahluk
berujud jerangkong putih muncul menolong diriku
pada kejadian serangan lima ekor anjing merah. Semua
itu pasti terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa."
Si nenek yang berdiri di kursi batu angguk-
anggukkan kepala. Dia menatap ke arah bungkusan
hitam yang masih dikempit sang Resi dan memberi
Isyarat
Resi Kali Jagat Ampusena letakkan bungkusan
kain hitam di atas meja batu.
"Ning Rakaninl, maksud tujuanku ke sini adalah
untuk menitipkan benda yang ada dalam bungkusan
ini...."
"Aku ingin melihat benda itu. Harap kau segera saja
membuka bungkusan kain hitam." Kata si nenek pula.
Dengan cepat tapi hati-hati Resi Kali Jagat
membuka bungkusan kain hitam. Sepasang mata Ning
Rakaninl yang besar dan kecil menatap tak berkesip,
alis panjang hitam di kening mencuat pada kedua
ujungnya ketika melihat guci putih tembus pandang
serta benda yang ada di dalamnya.
"Ampusena, aku tak berani menduga. Katakan
benda apa yang ada di dalam guci putih itu. Menurut
penglihatanku seperti seekor kadal merah walau tidak
ada buntutnya. Aku melihat ada denyutan halus di
tubuhnya, apakah mahluk ini dalam keadaan hidup?"
"Ning Rakanini, benda yang ada dalam guci putih
adalah jabang bayi hidup berusia tiga bulan calon
seorang anak laki-laki."
Si nenek berambut kuning bermuka aneh sampai
berjingkrak mendengar keterangan Resi Kali Jagat
"Dewa Bathara Agungi Baru sekali ini seumur hidup
aku melihat jabang bayi ada di luar rahim ibunya!
Dan jabang bayi ini yang hendak kau titipkan padakul
Betul Ampusena?!"
"Betul Ning Rakanini. Aku menitipkan selama
enam bulan sepuluh Kari saja. Setelah Itu aku akan
datang kembali untuk mengambil ujudnya yang pasti
taat itu sudah menjadi seorang bayi"
Sosok nenek bernama Ning Rakanini, pemilik
bangunan yang disebut Rumah Ketenteraman dan
Keselamatan meluncur ke bawah dan terduduk di atas
kursi batu.
"Ini kali pertama aku ketitipan barang berupa
jabang bayi. Sulit dipercaya tapi nyata. Dan yang
membawanya adalah seorang yang pernah aku
harapkan menjadi pendamping hidupku! Bagaimana
mungkin aku bisa menolak?!"
TUJUH BELAS
RESI Kali Jagat
Ampusena mengusap
wajah. Walau
wajah itu tidak
menunjukkan perubahan namun diam-diam si orang tua
merasa dadanya berdebar mendengar ucapan si nenek
katai.
"Ampusena, apa kau mau memberi tahu
bagaimana cerita riwayat jabang bayi itu? Bagaimana
kau sampai ketitipan tugas untuk membawanya ke
tempat ini?"
"Beberapa waktu lalu aku bertapa dalam sebuah
candi kecil di bantaran Kali Gondang. Hasil tapaku
adalah berupa petunjuk dari Roh Putih." Lalu Resi Kali
Jagat menuturkan tapa yang dilakukannya sampai
kedatangan Roh Putih yang memerintahkannya untuk
mencari sebuah mangkok perak berisi seratus mutiara
putih.
"Aku berhasil menemukan mangkok perak dan
seratus mutiara putih. Sesuai petunjuk Roh Putih aku
melakukan semedi. Mutiara dalam mangkok lalu
berubah membentuk sebuah guci putih tembus padang
lengkap dengan penutupnya. Guci aku isi dengan air
embun hingga ketinggian dua pertiganya. Saat itulah
Roh Putih kembali menampakkan diri dalam ujud
cahaya putih dan memberi petunjuk lebih lanjut. Aku
diminta mengikuti arah yang dibawa sepasang kasut
yaitu ke jurusan timur. Tak lama setelah mataharti terbit
aku akan sampai di satu daerah pesawahan. Di dalam
sebuah teratak di tepi sawah aku berjumpa dengan
dua orang perempuan. Salah seorang diantaranya
tengah mengandung tiga bulan. Namun perempuan Ini
tidak sudi mempunyai janin dari benih lelaki yang tidak
dicintainya. Dia bermaksud mengeluarkan janin itu dan
membunuhnya. Aku diperintahkan oleh Roh Putih untuk
menyelamatkan jabang bayi dan memasukkannya ke
dalam guci putih."
Ketika Resi Kali Jagat hentikan penuturannya si
nenek berkata. "Roh Putih kemudian memintamu
membawa jabang bayi dalam guci putih ke tempat
kediamanku ini untuk dititipkan. Betul?"
"Betul sekali Ning Rakanini. Keadaan di luar sana
masih belum aman. Walau banjir berair merah serta
penyakit aneh yang menimpa rakyat telah lenyap
namun bahaya tidak terduga bisa saja mengancam
secara tiba-tiba. Konon penimbul malapetaka itu adalah
mahluk alam roh bernama Sinuhun Merah Penghisap
Arwah, dibantu oleh saudara nyawa kembarnya dan
seorang bocah sakti bernama Dirga Purana. Aku tak
mungkin pergi kemana-mana membawa jabang bayi
dalam guci Ini. Roh Putih menyuruh aku menitipkannya
padamu. Sepasang kasut putih membimbing
perjalananku sampai di hutan Jati dan aku menemukan
pohon Jati yang memiliki dua cabang saling
bersilang..."
"Ampusena, ceritamu sungguh luar biasa. Apa
kau menyaksikan dengan mata kepalamu ketika ibu
dari jabang bayi itu hendak membunuh darah
dagingnya sendiri?" Bertanya Ning Rakanini.
"Aku malah melihat ketika dia mengorek keluar
janin tak berdosa itu dari dalam perutnya!" Jawab Resi
Kali Jagat.
"Keji sekali. Tak terpikir olehku ada ibu yang akan
berbuat sejahat itu terhadap darah dagingnya sendiri.
Atau mungkin dia punya alasan untuk melakukan hal
itu?"
"Turut cerita yang aku dengar jabang bayi
yang dikandung sang Ibu adalah hasil hubungannya
dengan seorang Penguasa Negeri yang terletak di alam
gaib di puncak gunung. Mungkin Gunung Semeru. Si
ibu hanyalah selir dari sang Penguasa dan tidak
menginginkan bayi itu terlahir ke dunia..."
"Kau tahu siapa nama ibu jabang bayi ini?"
Tanya Ning Rakanini pula.
"Namanya kalau aku tidak keliru adalah Ken
Parantili. Setelah jabang bayi aku dapatkan dan di-
masukkan ke dalam guci putih aku segera pergi. Dia
aku tinggalkan bersama seorang gadis bernama Jaka
Pesolek."
Ning Rakanini merenung beberapa ketika lalu
berkata. "Ampusena, ada satu hal yang aku kawatirkan."
"Hal apakah itu kalau aku boleh tahu?"
"Minggu demi mlnggu, bulan demi bulan jabang
bayi dalam guci akan berkembang tumbuh menjadi
lebih besar. Sementara guci putih besarnya tetap tak
berubah. Berarti jabang bayi bisa menemui ajal akibat
tergencet dinding guci."
"Ning Rakaninl, hal yang kau tanyakan pernah
aku tanyakan juga pada Roh Putih. Aku mendapat
jawaban bahwa bersamaan dengan tumbuh serta
membesarnya jabang bayi, guci putih tembus pandang
akan membesar pula mengikuti besarnya sang janin...."
"Dewa Agung!" Ucap si nenek seraya bergerak
bangun dan kembali berdiri di atas kursi batu.
"Satu lagi pertanyaanku. Selama di dalam guci
jabang bayi tidak mendapat makanan apa-apa. Lain
halnya jika dia berada dalam rahim ibunya. Dia akan
mendapat makanan dari tubuh sang ibu. Tanpa makan
apa jabang bayi bisa bertahan hidup sampai enam
bulan sepuluh hari dimuka?
"Menurut Roh Putih, cairan embun yang ada di
alam guci merupakan air dan makanan yang akan
menghidupkan jabang bayi karena guci putih rtu adalah
rahim kedua tempat kehidupan sang janin."
"Luar biasa! Luar biasa!" Ucap si nenek berulang kali.
Resi Kali Jagat menutup guci putih kembali dengan
kain hitam.
"Aneh, tiba-tiba saja aku menjadi haus," berkata
Ning Rakanini. "Ampusena, jika kau memang sedang
berpuasa dan tidak mau minum air bening sejuk dalam
cangkir, biar aku saja yang meneguknya."
"Ning Rakanini, apakah kau lupa kalau hari ini kau
sebenarnya juga tengah berpuasa?"
Ucapan sang Resi membuat si nenek terkejut heran.
"Seumur hidup aku tidak pernah berpuasa. Apa
maksud bicaramu Ampusena?"
Resi Kali Jagat menatap ke arah cangkir tanah
berisi air putih bening. Tangan kiri diulurkan
memegang cangkir. Lalu cangkir di angkat ke atas dan
dibalikkan. Air putih di dalam cangkir serta merta jatuh
tumpah ke bawah. Sebelum menyentuh lantai ruangan
batu tumpahan air yang putih bening tampak bersinar
merah. Begitu air menyentuh lantai terdengar suara
dess....dess....desssl Asap merah mengepul. Ketika
asap lenyap, lantai batu kelihatan retak terkuak dan
berlobang merah hangus di beberapa bagian.
"Ning Rakanini, kau bisa membayangkan kalau
air dalam cangkir masuk ke dalam perutmu. Batu lantai
saja bisa retak dan berlobang."
Berubahlah paras si nenek.Tubuhnya yang katai
kembali melompat dan berdiri di atas kursi batu.
"Ampusena, kau tidak menyindir atau menuduh
kalau aku telah meletakkan sesuatu dalam minuman
itu untuk meracuni dan membunuhmu?!"
"Sama sekali tidak. Aku hanya secara kebetulan
melihat ada warna merah dalam air sewaktu cangkir
kau letakkan di atas meja."
"Berarti ada seseorang hendak mencelakai dirimu.
Berarti kau sebenarnya juga tidak puasa!"
"Benar, aku hanya menolak minum secara halus.
Maaf kalau itu membuatmu tersinggung."
"Kurang ajar! Ada musuh dalam selimut di tempat
inil"
Ning Rakanini bertepuk tiga kali. Dua dinding
ruangan, sebelah kiri dan sebelah kanan bergeser
membuka. Dari setiap dinding yang terbuka keluar
enam orang perempuan berpakaian pelayan. DI
pinggang masing-masing membekal tombak pendek
terbuat dari besi hitam Mereka semua berwajah bopeng.
Sekali lihat saja Resi Kali Jagat segera maklum kalau
muka bopeng itu hanyalah topeng tipis penutup wajah
belaka.
Begitu berada di ruangan ke dua belas gadis
pelayan membungkuk memberi penghormatan pada si
nenek, melirik sekilas ke arah Resi Kali Jagat lalu
berlutut di lantai.
"Siapa dlantara kalian yang tadi telah menghidangkan
secara gaib air putih dalam cangkir? Lekas berdiri dan
melangkah ke hadapankul"
Untuk beberapa ketika ruangan batu menjadi sunyi
senyap. Kalau si nenek menatap ke arah dua belas
orang pelayan dengan mata mendelik marah, sebaliknya
sang Resi memandang dengan tenang.
"Tidak ada yang menjawab? Tidak ada yang mau
mengakui baik. Semua kalian akan menerima kematian
saat ini juga!"
Ning Rakanini jadi marah. Mulut segi tiganya
memaki berulang kali lalu dua tangan dipentang ke kiri
dan kanan. Saat itu dua tangan tampak berubah menjadi
hitam dan memancarkan cahaya menggidikkan. Dua
belas gadis pelayan bermuka bopeng tundukkan
kepala seolah pasrah menerima hukuman maut!
Tiba-tiba salah seorang diantara para gadis
bermuka bopeng berdiri dari berlutut lalu melangkah
ke hadapan Ning Rakanini. Di depan si nenek dia
jatuhkan diri berlutut.
"Kau. Perlihatkan wajahmu!'' Bentak Ning
Rakanini.
Si gadis segera tanggalkan topeng yang menutupi
wajah dan kini terlihat muka aslinya. Ternyata dia adalah
seorang gadis berkulit kuning berwajah ayu jelita.
"Menur Kembiril" Teriak Ning Rakanini menyebut
nama si gadis. "Jadi kau orangnya! Katakan apa yang
telah kau lakukan dengan minuman di dalam cangkir!"
"Mohon ampunanmu Ajeng Puteri Ning Rakanini.
Seorang pemuda asing telah menyuruh saya
memasukkan sejenis bubuk merah ke dalam minuman
dalam cangkir. Saya tidak kuasa menolak karena saya
telah bercinta dengan dia." Sang pelayan menyebut si
nenek dengan panggilan Ajeng Puteri.
"Jahanam kurang ajar! Siapa pemuda itu! Dimana
dia sekarang?!" Hardik Ning Rakanini
Gadis bernama Menur Kembiri angkat kepala,
memandang seputar ruangan lalu menunjuk ke atap
ruangan sudut sebelah kiri.
Walau tidak melihat apa-apa namun tidak menunggu
lebih lama Ning Rakanini segera hantamkan dua
tangannya ke sudut atas ruangan yang ditunjuk si
pelayan.
"Blaarr!"
Dua larik sinar hitam menderu ke atap ruangan.
"Braakk!"
Sudut atap ruangan hancur berantakan,
memunculkan satu lobang besar. Sesaat sebelum dua
larik sinar pukulan sakti si nenek menghancurkan atap
ruangan di sudut kiri selarik cahaya kuning tampak
melesat. Ketika atap hancur membentuk lobang, pada
lobang besar itu tampak berdiri seorang anak lelaki
berpakaian mewah serba hitam. Di telinga kiri
mencantel sebuah anting emas.
"Kurang ajar! Pembohong sialan! Cuma seorang
bocah kau menyebutnya seorang pemuda!" Teriak Ning
Rakanini sambil pelototkan mata pada Menur Kembiri.
Dalam keadaan tambah marah si nenek melesat dari
kursi batu. Dua tangan diluruskan ke arah si bocah,
tinju dikepal. Dari dua kepalan kemudian menyembur
cahaya kebiruan.
"Ning Rakanini! Tahan serangan!" Teriak Resi Kali
Jagat tapi si nenek tidak perduli. Tubuhnya terus
melesat malah dia lipat gandakan tenaga dalam.
Anak lelaki yang berdiri di dalam lobang besar
di atap bangunan hentakkan kaki kanannya ke
pinggiran lobang. Saat itu juga udara terasa pengap.
Sosok Ning Rakanini yang melesat dalam ruangan
mendadak tertahan dan mengapung di udara. Resi Kali
Jagat dan semua orang yang ada di tempat itu juga
merasa tubuh mereka kaku. Si bocah tertawa bergelak.
Matanya memandang berkilat ke arah bungkusan kain
hitam di atas meja batu. Ketika dia hendak melompat
siap mengambil bungkusan berisi guci putih tiba-tiba
ada suara seperti orang melangkah. Hebatnya setiap
langkah yang terdengar membuat seluruh bangunan
terasa bergoyang. Lalu ada suara mengiang yang di
telinga si bocah di dalam lobang di atas atap.
"Sang Junjungan! Ada mahluk asing datangi
Lekas pergil Saat ini kita belum beruntungl Lain kali
kita coba lagil"
Anak lelaki unjukkan wajah tidak senang. Mata
masih memandang berkilat ke arah bungkusan kain
hitam. Namun dia maklum harus mengalah. Si bocah
membuat gerakan. Tapi bukannya melesat
meninggalkan ruangan melainkan justru melayang
turun memasuki ruangan dan menyambar tubuh Menur
Kembiri lalu dipanggul. Si bocah hentakkan kaki kanan
ke lantai. Begitu sebuah lobang besar dan dalam muncul
di lantai si bocah segera ceburkan diri ke dalam
lobang. Sesaat kemudian lobang lenyap, lantai kembali
rata seperti semula.
Hanya sesaat setelah si bocah kabur memboyong
gadis pelayan yang cantik itu Ning Rakanini mampu
gerakkan tubuh dan melayang turun ke atas kursi batu.
Resi Kali Jagat serta sebelas pelayan perempuan lainnya
juga lepas dari ilmu aneh yang membuat mereka semua
kaku tak mampu bergerak.
"Ampusena! Kau melarang aku menyerang bocah itul
Kenapa? Memang dia siapa? Kau lihat sendiri dia
membawa kabur seorang pelayanku! Bocah itu kurasa
baru berusia sekitar dua belas tahun. Tapi sudah tahu
perempuanl Bedebah jahanam! Ampusena kau juga
mendengar penjelasan dan tahu kalau bocah itu hendak
meracunmu melalui pelayan itu! Dia mampu masuk
menerebos ke tempat inil Baru satu kali terjadi seumur
hidupku ada orang bisa masuk tanpa izinku!"
"Ning Rakanini, maafkan aku. Aku bermaksud baik.
Mencegahmu agar tidak membuka silang sengketa
dengan kelompok orang-orang jahat yang menyanjung
apa yang dinamakan Sukma Merah. Bocah tadi adalah
Dirga Purana, seorang anak sakti yang sering membantu
orang-orang Sukma Merah. Aku yakin dia datang ke sini
bukan cuma hendak membunuhku, tapi juga ingin
merampas guci putih berisi jabang bayi."
"Nah, nah ternyata dia seorang bocah jahat
anggota komplotan Sukma Merahi Aku pernah men-
dengar pimpinan kelompok itu. Satu mahluk alam roh
bernama Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Tapi aku
dengar nyawanya sudah amblas. Aku menyesal kau
telah menghalangi diriku membunuhnya. Padahal kalau
tadi aku bisa menghabisinya berarti aku telah berbuat
bakti besar pada Kerajaan Mataram! Bukankah kom-
plotan itu yang telah menimbulkan malapetaka Malam
Jahanam di Bhumi Mataram?"
"Ning Rakanini, tidak aku cegahpun kau tidak
bisa membunuhnya. Dia keburu mengeluarkan
kesaktian yang disebut Ilmu Membungkam Bumi.
Dalam lingkaran sepuluh tombak semua mahluk hidup
yang ada akan menjadi kaku tak mampu bergerak."
Si nenek terdiam sejurus. Dia berpaling ke kiri dan
kanan ke arah para pelayan bertopeng wajah bopeng.
"Kalian semua! Kembali ke tempat kalianl" Si
nenek menghardik.
Sebelas pelayan yang sejak tadi berlutut segera
berdiri lalu berlari keluar meninggalkan ruangan lewat
dua pintu di dinding. Setelah semua pelayan keluar
dua pintu kembali bergeser menutup.
Tinggal berdua di dalam ruangan Ning Rakanini
berkata.
"Ampusena, aku merasa malu dan sangat terpukul.
Ada orang mampu menembus masuk ke tempatku ini.
Aku harus membenahi pengamanan kalau tidak tempat
ini tidak bisa lagi dinamakan Rumah Ketenteraman dan
Keselamatan. Aku mohon kau mau meninggalkan tempat
ini sekarang juga."
"Aku mengerti kesulitan yang kau hadapi. Namun
kalau aku boleh bertanya apakah ucapanmu tadi berarti
kau menolak ketitipan guci putih berisi jabang bayi ini?"
"Aku tidak menolak. Tapi dengan adanya kejadian
seorang bocah bisa menerobos masuk lalu kabur begitu
saja dari sini, aku tidak bisa menjamin keselamatan
guci."
Tiba-tiba suara langkah-langkah aneh yang
membuat bangunan bergoyang muncul kembali. Di
lobang di atas atap muncul satu kepala luar biasa besar
berkepala botak. Kepala raksasa I Di kening ada tanduk
memancarkan cahaya merah. Sepasang mata besar
menjorok keluar, bagian putihnya hanya memiliki satu
titik hitam kecil, melirik berputar. Lalu terdengar suara
seperti orang mengorok. Ketika dua lobang hidung
menghembuskan nafas, baik si nenek maupun sang
Resi merasa mata mereka menjadi perih. Lalu terdengar
si pemilik kepala di lobang berucap.
"Jika tidak ada yang mau ketitipan guci putih berisi
jabang bayi Itu, berikan padakul"
Resi Kali Jagat dan Ning Rakanini sama-sama terkejut.
"Ada lagi yang mau membuat onar dan menerobos
masuk ke dalam tempat kediamanku!" Kata si nenek.
Dua tangan diangkat dan serta merta menjadi hitam
berkilat
"Tahan! Jangan!"
Resi Kali Jagat cepat berteriak.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar