PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE DENDAM JAGO KEMBAR
Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
DENDAM JAGO KEMBAR
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No.14, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: TRIAS Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dan penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Dendam Jago Kembar
SATU
Ujung Kali Talang Hawu merupakan muara
yang paling luas di Tanah Genang Banyu. Tidak heran
kalau banyak kapal-kapal besar milik para saudagar
yang bersandar di situ. Seperti sekarang ini, hampir
seluruh pinggiran muara dipenuhi oleh kapal-kapal
besar.
Para pekerja buruh angkut barang nampak giat
mengangkut muatan, begitu juga dengan para nelayan
yang baru pulang menangkap ikan. Suara-suara mere-
ka sangat riuh. Karena hasil yang mereka bawa hari ini
lebih dari cukup.
Kegembiraan itu sejak tadi telah menjadi perha-
tian beberapa orang yang berdiri seperti menunggu se-
suatu pada sebuah pos. Orang-orang itu tersenyum
mengangguk saat para nelayan itu lewat di hadapan
mereka memberi salam. Semua orang merasa segan
terhadap Adipati Rekayasa. Beliau salah seorang ke-
percayaan sri baginda. Apalagi beliau menjabat sebagai
panglima tertinggi.
Pagi itu Adipati Rekayasa bersama seorang pu-
tranya berada pada keramaian bandar muara Kali Ta-
lang Hawu. Mereka dikawal oleh beberapa orang praju-
rit kerajaan. Mereka menatap tegang setiap melihat
kapal-kapal yang berdatangan sandar di tempat itu.
Terlebih-lebih putranya, Riwang. Sepertinya ada sesua-
tu yang mengganjal dalam pikirannya. Hal itu bukan-
nya Adipati Rekayasa tidak mengetahui.
"Riwang, seharusnya kau merasa gembira me-
nyambut kedatangan saudara kembarmu! Tidakkah
kau merasa rindu terhadap Rawing? Selama sepuluh
tahun kalian berpisah, entah seperti apa rupanya?" te-
gur Adipati Rekayasa. Mendengar ucapan sang ayah,
Rawang agak tersentak.
"Bukannya aku tidak gembira, Ayah. Aku takut
kedatangan Kakang Rawing malah akan membuat
ayah bertambah pusing." jawab Riwang. Adipati Re-
kayasa tersenyum. "Kalian sudah dewasa sekarang.
Tidak mungkin kalian akan bertengkar terus seperti
dulu. Semasa kecil, kalian memang selalu memusing-
kan ayah. Apalagi Rawing, wataknya yang keras dan
ugal-ugalan hampir setiap hari membuat jengkel. Lain
dengan kau. Tapi bagaimana pun kalian adalah anak-
anakku. Aku berharap selama sepuluh tahun ini Raw-
ing dapat merubah pendiriannya." Riwang tidak men-
jawab. Karena telah dilihatnya sebuah kapal mulai me-
rapat di pinggir muara. Adipati Rekayasa dan para
pengawalnya ikut berdebar menanti para penumpang-
nya turun. Tapi ternyata kapal itu hanyalah pengang-
kut barang milik seorang saudagar dari tanah sebrang.
Orang-orang yang turun dari kapal hanya beberapa
pedagang yang akan berniaga di tanah Genang Hawu.
Kembali rombongan Adipati Rekayasa kecewa.
*
* *
Jauh di tengah Laut Jawa. Dua buah kapal be-
sar dengan layar terkembang saling rapat. Dari kejau-
han terdengar benturan senjata maupun teriakan-
teriakan orang mengerahkan tenaga. Terlihat pula be-
berapa awak kapal berjatuhan bersimbah darah me-
nembus permukaan laut yang tenang membiru.
Tidak disangkal lagi. Dua buah kapal yang sal-
ing rapat itu telah terjadi suatu pertempuran sengit.
Telah banyak mayat-mayat bergelimpangan penuh lu-
ka babatan pedang. Sebelah pihak dari mereka men-
genakan seragam prajurit kerajaan. Mereka pula yang
mendesak lawan-lawan yang tinggal beberapa orang
itu.
Meskipun tinggal sembilan orang, mereka tidak
gentar menghadapi kurang lebih dua puluh orang pra-
jurit kerajaan. Walaupun mereka akhirnya mengantar-
kan nyawa satu demi satu. Para prajurit itu makin gi-
gih tatkala jumlah lawannya makin berkurang.
Dentingan beradunya senjata mereka terdengar
nyaring. Lima orang yang nampaknya memiliki ke-
mampuan masih dapat bertahan. Bahkan mereka
sempat menjatuhkan beberapa orang prajurit. Pedang
mereka tidak henti-hentinya bergulung. Bersamaan
dengan itu pula bergelimpangan. Ada. yang terlempar
membentur tiang layar, adapula yang langsung nyem-
plung ke laut.
Melihat para prajurit itu tewas mengerikan,
pemimpin dari prajurit-prajurit itu melompat mengha-
dapi seorang lawan yang berilmu tinggi. Pedangnya
langsung menyambar tanpa ampun. Tapi hanya den-
gan sekali tepis, pemimpin prajurit itu seperti kelaba-
kan.
"Kalian orang-orang kerajaan gadungan. Tinda-
kan kalian tidak lebih macam perompak!" Penumpang
kapal itu agak sengit. Pedangnya berdesing bagai segu-
lungan sinar. Hampir saja pemimpin prajurit tersayat,
sejak tadi pemuda ini memang dapat bertahan. Per-
mainan pedangnya jauh dibandingkan dengan yang
lain. Gerakannya yang nampak tenang menunjukkan
bahwa pemuda itu salah satu lawan yang tidak mudah
dilumpuhkan.
Pimpinan prajurit itu sendiri seperti tidak saba-
ran untuk menghabisi seluruh awak kapal itu. Cuma
dia yang sanggup mengatasi perlawanan pemuda itu.
Entah sudah berapa orang prajurit yang jatuh di tan-
gannya. Tindakannya itu bukanlah menurut kehen
daknya. Tapi justru ia membela diri dari serangan para
prajurit yang mendadak datang menjegal perjalanan
mereka.
"Melihat dari tampangmu, pastilah kau Rawing
saudara kembar Riwang." Pimpinan prajurit itu garang
membabat pedang. Pemuda yang satu-satunya dapat
bertahan itu menghardik.
"Sudah tahu begitu kenapa masih juga menye-
rang! Tidak takutkah kau terhadap ayahku?" Pemuda
itu ternyata Rawing. Seorang yang telah dinantikan
oleh keluarganya di tepi muara.
"Kenapa harus takut terhadap Adipati Rekaya-
sa? Kau pikir dia itu apa? Aku datang ke sini justru
akan melumatkan mu!" jawab pimpinan prajurit. Ge-
rakannya sangat lincah menggempur Rawing.
"Kalau begitu pastilah kau salah seorang pem-
berontak!" tukas Rawing. Pimpinan prajurit itu malah
menyeringai. Babatan pedangnya berkelebat cepat.
Rawing tidak sempat menangkis, tahu-tahu saja len-
gannya sudah mengucurkan darah. Bersamaan den-
gan itu pula prajurit-prajurit lain berdatangan mem-
bantu pemimpinnya.
Saat itu pun Rawing melirik ke arah pertempu-
ran. Semua teman seperjalanannya telah tewas berge-
limpangan. Kini tinggal Rawing sendiri. Dan sekarang
para prajurit itu mengepung semua ke arahnya. Sedi-
kit gugup Rawing menghadapi lawan yang demikian
banyaknya. Apalagi Rawing telah terluka. Pimpinan
prajurit itu tidak perlu lagi menyerang. Dia membiar-
kan semua anak buahnya melakukan perintahnya.
Begitu para prajurit itu maju serempak, Rawing
menyambar pedangnya ke depan...
"Breeet!"
Tiga orang bergulingan. Tapi dari arah lain ma-
sih saja berdatangan belasan orang prajurit. Cepat pula Rawing menyabet ke belakang. Namun sambaran
pedang yang begitu lambat membuat para penyerang-
nya itu mudah berjingkat mundur. Secepat itu pula
Rawing berbalik ke belakang.
Dalam hal ini Rawing sudah kepalang tang-
gung. Menyerah atau tidak sama saja hasilnya. Pe-
mimpin prajurit itu menghendaki kematiannya. Wa-
laupun sebenarnya Rawing tidak tahu titik persoalan
yang menyebabkan pasukan prajurit itu menyerang.
Adanya Rawing dalam kapal itu, semata-mata
hanya penumpang biasa. Dia bermaksud akan kembali
ke tanah kelahiran setelah sepuluh tahun ditinggal-
kannya. Ayahnya Adipati Rekayasa sengaja mengirim
Rawing ke tanah Tapak Tuan pada seorang ulama.
Dengan maksud agar Rawing memperdalam ilmu aga-
ma serta ilmu silat.
Tapi malang. Dalam perjalanan pulang kapal-
nya diserang oleh sekelompok orang-orang kerajaan.
Hal itu pula yang menghambat perjalanannya. Rawing
sendiri hampir kehabisan tenaga. Serangan-serangan
prajurit yang serempak itu betul-betul tidak dapat di-
kuasainya.
"Terhadap ayahmu, aku kenal betul, Rawing!
Terus terang aku iri padanya. Mungkin setelah beliau
mampus aku bisa menggantikan kedudukannya...!" te-
riak pemimpin prajurit itu. Rawing yang mendengar
ucapannya segera menghardik....
"Manusia licik! Dari tadi pun aku sudah curiga
kalau serangan ini adalah atas kehendakmu sendiri!
Kau akan dihukum pancung jika Sri baginda tahu!"
Rawing melesat ke atas menjurus ke arah pemimpin
pasukan itu. Namun seorang prajurit menghalangi ter-
jangannya dengan babatan pedang. Bahkan dari arah
lain beberapa prajurit berhasil melepaskan babatan
pedang pada bagian punggung.
Rawing berguling sambil memekik. Seluruh pa-
kaiannya telah koyak dan bersimbah darah. Sekalipun
ia sudah bangkit berdiri nampak seloyongan. Pandan-
gannya nanar menatap pemimpin pasukan tertawa
mengkekeh. Dan ia terkesiap saat tiga orang datang
melancarkan serangan. Pedangnya bergerak menang-
kis serangan itu, tapi ia tidak bisa menghindari dua
babatan pedang yang mengenai dadanya. Ditambah la-
gi sebuah hantaman yang mendorong keras... "Deeer!".
Tubuh Rawing mental membentur tiang layar. Dan te-
rus meluncur ke luar sampai akhirnya nyemplung ke
laut. Setelah melancarkan hantaman, pimpinan pasu-
kan itu berlari ke pinggiran lambung. Dilihatnya per-
mukaan laut memerah bercampur darah. Sedangkan
tubuh Rawing tenggelam entah ke mana.
Sisa-sisa prajurit itu meluruk mendekati pe-
mimpinnya yang masih berdiri menatap puas tengge-
lamnya tubuh Rawing.
"Tulang punggung Adipati Rekayasa sudah bi-
nasa. Tuan ku Dwipa Kuntar bisa melanjutkan renca-
na berikutnya." kata salah seorang prajurit. Jelas per-
kataan itu ditujukan pada pemimpinnya.
"Hm... Memusnahkan Adipati Rekayasa sama
mudahnya dengan mengedipkan mata. Cepat atau
lambat kita bakal menguasai tanah Genang Banyu.
Ayo kita kembali ke kapal. Biarkan saja kapal ini mela-
ju tanpa terkendali ke muara!" jawab pemimpin mere-
ka yang ternyata bernama: Dwipa Kuntar. Setelah itu
pun ia melompat pada sebuah kapal yang sedari tadi
rapat dengan tempat di mana mereka bertempur.
Anak buahnya yang tinggal belasan orang itu
mengikuti gerakan Dwipa Kuntar. Mereka berebutan
melompat menyebrang dan hinggap pada kapal mere-
ka. Sebagian mengangkut mayat-mayat prajurit. Me-
mindahkan ke kapalnya. Hal itu merupakan suatu tindakan menghilangkan jejak.
Setelah itu kapal kerajaan mulai berangkat me-
ninggalkan kapal yang telah banyak bergelimpangan
mayat-mayat penumpang. Kapal kosong itu tetap mela-
ju meski tanpa berpenumpang. Layar yang terkembang
itu tertiup angin yang membawa kapal itu melaju ke
muara.
*
* *
Sudah setengah harian penuh rombongan Adi-
pati Rekayasa berdiri menanti datangnya sebuah kap-
al. Beberapa pengawalnya diperintahkan agar berdiri
berjaga-jaga di pinggiran muara. Suasana siang itu
memang telah sepi, meskipun kapal-kapal besar berde-
ret memenuhi pinggiran sepanjang muara. Tidak ada
lagi para bum yang tengah bekerja. Kecuali para pe-
layan yang sedang membetulkan alat penangkap ikan
mereka.
Para pengawal Adipati Rekayasa mengawasi te-
rus ke arah laut lepas, dan berharap akan menemukan
sebuah kapal yang bakal datang bersandar. Namun
yang mereka nanti-nantikan belum muncul juga. Me-
reka hampir putus asa. Dan tidak ada harapan lagi
ada sebuah kapal yang datang bersandar di muara itu.
Keringat telah mengucur dari pelipis Adipati
Rekayasa, Riwang putranya yang berdiri menemani di
samping ayahnya sudah tidak karuan lagi. Pakaiannya
yang tadi pagi nampak rapi kini kusut semerawut Dia
sudah mengira saudara kembarnya tidak datang pada
hari ini. Juga dia sudah memberi keputusan pada
ayahnya agar mereka kembali pulang, karena Rawing
tidak mungkin datang sekarang. Namun Adipati Re-
kayasa tetap bertahan dan ingin menanti terus. Ternyata harapannya belum pupus benar, karena....
"Ada kapal datang...! Ada kapal datang!" Bebe-
rapa para pengawal Adipati Rekayasa berteriak-teriak.
Mendengar teriakan itu Adipati Rekayasa sendiri lang-
sung berlari ke arah pinggiran muara di mana banyak
kapal-kapal bersandar.
"Tuanku Adipati Rekayasa, kami melihat kapal
datang ke sini" kata seorang pengawal ketika Adipati
Rekayasa melangkah menatap sebuah kapal yang ma-
kin lama makin dekat. Riwang berlari mendekati ayah-
nya.
* * *
DUA
Mereka tidak percaya dengan penglihatan me-
reka sendiri. Karena kapal yang dinanti-nantikan itu
melaju tanpa terkendali. Begitu kapal tersebut menepi,
kapal itu menabrak kapal-kapal yang lain bersandar.
Beberapa kapal yang ada di situ berguncang. Beberapa
pengawal yang berdiri di sekitar situ berlari mundur.
Benturan itu demikian dahsyat. Ada suara
berderak seperti papan lambung yang patah. Setelah
keadaan cukup tenang. Tempat itu menjadi ramai. Pa-
ra nelayan dan para awak kapal yang tengah beristira-
hat memenuhi tempat itu. Tapi karena Adipati Rekaya-
sa berada di situ, mereka tetap tenang. Mereka hanya
menatap menyaksikan kapal tanpa ada yang berani
mengeluarkan sepatah kata pun.
Lama sekali mereka menanti para penumpang-
nya turun. Sampai-sampai Adipati Rekayasa sendiri
yang memerintahkan beberapa pengawalnya untuk
naik memeriksa. Maka setelah kapal tersebut betul
betul menepi ke pinggir beberapa pengawal Adipati Re-
kayasa naik ke atas kapal. Baru saja mereka mengin-
jakkan kakinya di geladak, mereka terkejut setengah
mati. Karena yang mereka lihat hanyalah mayat-mayat
yang bergelimpangan di sana sini. Serta keadaan yang
semerawut.
"Tuan ku Adipati Rekayasa, semua penumpang
kapal ini tewas!" Seseorang melapor dari atas kapal
dengan suara lantang.
"Apa? Bicara yang betul, Pengawal!" Adipati Re-
kayasa seakan tidak percaya dengan laporan itu, maka
ia sendiri langsung melesat ke atas. Hanya tiga kali
berjumpalitan di udara Adipati Rekayasa sudah dapat
menginjakkan kakinya di antara para pengawal. Ia pun
tidak sanggup mengeluarkan kata-kata setelah berada
di situ. Semua laporan pengawalnya benar. Mata kepa-
lanya sendiri menyaksikan belasan mayat bergelimang
darah.
"Astaga! Apa yang terjadi di atas kapal ini? Ce-
pat geledah seluruh ruangan. Barangkali masih ada
korban-korban lainnya." Dada Adipati Rekayasa ber-
gemuruh.
"Hamba rasa Dimas Rawing tidak menumpang
di kapal ini, Tuan ku."
"Banyak bicara! Perintahku geledah seluruh
ruangan bawah!" Kemarahan Adipati Rekayasa me-
muncak. Sebenarnya ia tidak pernah marah seperti
itu. Mungkin karena rasa khawatir terhadap diri anak-
nya Rawing. Menurut suratnya, Rawing akan datang
hari ini menumpang kapal milik saudagar dari Aceh.
Adipati Rekayasa bisa melihat bahwa kapal yang ten-
gah diperiksanya adalah sebuah kapal dari tanah se-
brang. Ia bisa menentukan begitu karena melihat ke-
pala kapal itu menggambarkan suatu kebudayaan para
pelaut Aceh yang sudah turun temurun.
Tak lama kemudian berdatangan lagi para pen-
gawal yang telah memeriksa ruangan bawah. Dua
orang nampak membawa mayat yang sudah membiru.
Adipati Rekayasa mengernyitkan alis menatap mayat
itu.
"Kami tidak menemukan Dimas Rawing di ba-
wah. Kecuali kedua mayat ini." lapor salah seorang
pengawal setelah berhadapan dengan Adipati Rekaya-
sa. Orang tua setengah umur itu makin bingung.
Tentu saja mereka tidak akan menemukan
Rawing, karena sewaktu bertempur melawan pasukan
Dwipa Kuntar, Rawing terkena sambaran pedang serta
hantaman sehingga nyemplung ke laut.
Bagaimana pun Adipati Rekayasa cenderung
digeluti perasaan kemelut. Dia tidak tahu apa yang ter-
jadi pada kapal saudagar Aceh itu. Yang ia pikir anak-
nya menumpang kapal ini. Itu menurut surat yang ia
terima beberapa minggu yang lalu. Dengan mengua-
tkan diri ia memerintahkan seluruh pengawalnya un-
tuk membawa turun mayat-mayat itu.
Riwang putra Adipati Rekayasa menatap tak
percaya ketika melihat para pengawal ayahnya mem-
bawa turun para awak kapal yang sudah tak bernya-
wa. Ia mengira saudara kembarnya Rawing ada di an-
tara mayat-mayat itu. Maka ia cepat mendekati rom-
bongan itu dan langsung mengawasi tiap-tiap mayat.
"Rawing tidak ada di kapal itu." Tahu-tahu Adi-
pati Rekayasa sudah berada di sebelah Riwang.
"Tidak, Ayah. Batinku mengatakan Kakang
Rawing telah menghadapi musibah. Dia pasti sudah
ada di sini." jawab Riwang. Ikatan batin saudara kem-
bar memang kuat. Riwang sendiri merasa seperti ada
guncangan saat pertempuran itu berlangsung.
"Tapi ayah sudah mencarinya, Riwang. Tidak
ada Rawing di sana. Mungkin juga ia menumpang pa
da kapal yang lain. Tunggu saja sampai beberapa hari,
kalau Rawing tidak juga muncul, kita susul ke tanah
Tapak Tuan." bujuk Adipati Rekayasa. Mata Riwang
memandang jauh ke laut lepas yang tenang,
"Menurut pengamatanku, kapal ini tidak di-
rampok. Kita bisa melihat barang-barang mereka yang
masih utuh. Jadi penyerang-penyerang itu sengaja da-
tang mencegat untuk membantai mereka satu persatu.
Apa maksudnya mereka membantai orang-orang ini?"
tutur Riwang dengan tatapan mata yang memandang
jauh. "Hal ini menandakan bahwa perairan laut kita
sudah tidak aman lagi."
Adipati Rekayasa merenungi setiap perkataan
anaknya. Sedikitnya ia memang telah diguncangkan
oleh rasa khawatir. Bagaimana tidak, membayangkan
mayat-mayat yang bergelimpangan itu saja sudah de-
mikian ngerinya. Apalagi setelah putranya mengatakan
akan pulang bersama kapal dari Aceh. Sedangkan
kapal dari tanah sebrang biasanya datang hanya sekali
dalam satu bulan... Ya, Gusti... Mudah-mudahan saja
anakku Rawing selamat dalam perjalanannya.
*
* *
Penjagaan sekitar rumah Adipati Rekayasa se-
lalu ketat. Para pengawalnya yang bersenjatakan tom-
bak serta pedang senantiasa berdiri waspada. Dari pin-
tu gerbang sampai ke pintu masuk rumah teras dijaga.
Pendek kata bangunan megah itu hampir dikelilingi
oleh belasan pengawal. Dari halaman nampak Adipati
Rekayasa berdiri di balik jendela. Wajahnya begitu mu-
ram. Sang istri duduk di sebelah anaknya, Riwang. Ke-
tiganya nampak berdiam diri. Perasaan mereka seperti
tengah dilanda sesuatu.
Peristiwa terbunuhnya para pedagang dari Aceh
telah lewat dua hari. Para korban sudah diantar kem-
bali ke tanah air. Sekarang para pengawal itu yang
mengantarkan jenazah belum kembali pulang. Hal itu
membuat Adipati Rekayasa semakin bingung. Karena
ia telah menugaskan seorang pengawalnya untuk sing-
gah ke tanah Tapak Tuan untuk mencari berita adanya
Rawing.
"Yang membuat kita semakin cemas setelah ter-
jadinya pembantaian para pedagang dari Aceh. Aku
khawatir Rawing ikut tewas bersama mereka. Bisa saja
para pembunuh itu melemparkannya ke tengah laut."
Istri Adipati Rekayasa memberi pendapat walaupun
hatinya tidak menghendaki kejadian yang demikian.
"Sudah kukatakan jangan terlalu berpikiran
was-was. Kata-katamu itu hanya membuat perasaan
kita makin kalut. Aku pun tidak rela seandainya Raw-
ing tewas dalam perjalanannya di tengah laut. Apalagi
sampai di bunuh orang." Adipati Rekayasa menghar-
dik.
"Kakang Rawing memang mengalami musibah,
Ayah. Aku merasakan pada batin ku, Aku merasakan
begitu dekat dengan dia. Hanya sayang kita tidak tahu
di mana dia berada." Riwang ikut bicara. Adipati Re-
kayasa menatap ke arahnya. Lalu menoleh lagi ke luar
dari jendela.
"Kalau memang perasaan batinmu demikian ki-
ta tidak perlu lagi merasa cemas atau khawatir. Kita
tunggu saja para pengawal itu sampai kembali dari ta-
nah Tapak Tuan." Adipati Rekayasa menghentikan
ucapannya. Karena dari situ ia dapat melihat beberapa
orang berkuda memasuki pekarangan rumahnya, Pal-
ing depan sekali di antara belasan kuda nampak Dwi-
pa Kuntar.
Tentu saja para penjaga itu membiarkan ma
suk, karena Dwipa Kuntar sama-sama seorang pan-
glima seperti Adipati Rekayasa. Kalaupun sekarang
Dwipa Kuntar singgah ke rumah itu, pasti ada berita
penting dari sri baginda yang akan disampaikan pada
tuannya, pikir para prajurit yang menjaga pintu ger-
bang.
Adipati Rekayasa sendiri yang melihat kedatan-
gan Dwipa Kuntar langsung melangkah ke luar me-
nyambut. Istri dan Riwang hanya memperhatikan dari
balik jendela. Diam-diam mereka mencuri dengar pem-
bicaraan Adipati Rekayasa.
Belasan pengawal Dwipa Kuntar tidak turun
dari kudanya. Semuanya nampak duduk angkuh di
atas pelana. Adipati Rekayasa tidak merasakan kegan-
jilan itu. Dan juga baru kali ini kedatangan Dwipa
Kuntar dikawal oleh prajurit yang jumlahnya belasan
orang.
"Sri baginda menugaskan aku untuk menang-
kapmu, Adipati Rekayasa." Bagai tersambar petir jan-
tung Adipati Rekayasa mendengar ucapan Dwipa Kun-
tar. "Aku pun tidak mengerti kenapa sri baginda ber-
tindak seperti ini. Kedatanganku hanya mengemban
tugas dari beliau." kata Dwipa Kuntar lagi.
"Apa kesalahanku?" tanya Adipati Rekayasa
membelalakkan mata.
"Tidakkah kau mendengar berita kematian para
pedagang serta para prajurit kerajaan yang tewas?"
Dwipa Kuntar tersenyum.
"Apa hubungannya dengan diriku? Sudah ku-
katakan pada sri baginda bahwa para pedagang dari
Aceh itu tewas oleh segerombolan pembunuh di tengah
laut." Cepat pula Adipati Rekayasa menjawab.
"Tewas dibunuh bukan berarti dirampok, bu-
kan? Saat terjadinya pembantaian itu aku menjadi
saksi mata. Juga belasan pengawal ku melihat sendiri
siapa yang melakukan pembantaian" itu." Sikap Dwipa
Kuntar seperti memandang remeh. Ia berjalan mengeli-
lingi Adipati Rekayasa yang masih berdiri di depan pin-
tu. Lalu meneruskan pembicaraannya....
"Aku sendiri tidak percaya kalau gerombolan
pembunuh itu dipimpin Rawing anak mu."
"Bohong! Tentunya kau memberikan saksi dus-
ta, Dwipa Kuntar!" bentak Adipati Rekayasa. Wajahnya
memerah. Serta tubuhnya gemetar menahan amarah.
Saat itu Riwang dan istrinya keluar mendekati mereka.
"Kau telah menuduh Rawing seenaknya, Dwipa
Kuntar. Tidak mungkin Rawing akan berbuat sekeji
itu." Istri Adipati Rekayasa mengelak.
"Maaf. Kalau mata kepalaku sendiri tidak meli-
hat, mungkin aku tidak berani datang ke sini. Mari,
Adipati Rekayasa. Kau harus menghadap sri baginda.
Dan juga jangan salahkan aku... Aku hanya menjalan-
kan tugas...." Dwipa Kuntar mengeluarkan belenggu
besi. Tapi sebelum ia mengikat pada kedua lengan
Adipati Rekayasa, laki-laki setengah umur itu menepis
dengan kasar. Maka terjadi keributan kecil.
Melihat Adipati Rekayasa bersikap murka, para
pengawalnya berdatangan. Tapi para pengawal Dwipa
Kuntar cepat melompat semua dari atas kuda dan
langsung menghadapi mereka satu persatu.
"Bagaimana pun aku tidak terima atau tudu-
han ini! Kalian sengaja hendak menjerat aku!" Adipati
Rekayasa berontak; Tapi Dwipa Kuntar cepat meno-
dongkan pedangnya. Secepat itu pula Adipati Rekayasa
melompat mundur. Maka Dwipa Kuntar memburunya
dengan babatan pedang.
Sambaran pedangnya tidak mengenai. Adipati
Rekayasa. Tapi malang bagi istrinya yang berdiri tidak
jauh dari situ....
"Breeet!"
Sambaran pedang tepat merobek perutnya. Pe-
rempuan itu memekik kelojotan. Adipati Rekayasa ter-
belalak menatap istrinya tewas bersimbah darah. Meli-
hat itu pula para pengawal Adipati Rekayasa melaku-
kan perlawanan terhadap para pengawal Dwipa Kun-
tar. Pedang mereka mulai berdentingan membisingkan
halaman rumah.
Adipati Rekayasa bermaksud berlari ke arah
tubuh istrinya yang tergeletak kaku, namun sambaran
pedang Dwipa Kuntar menghalangi. Terpaksa pula ia
melayani dengan tangan kosong. Gerakannya yang ge-
sit berkelit menghindari tiap-tiap sambaran pedang.
Dalam ilmu silat Adipati Rekayasa tidak boleh diang-
gap remeh. Sukar sekali bagi Dwipa Kuntar menya-
rangkan sambaran pedangnya. Tidak percuma Adipati
Rekayasa menyandang gelar panglima tertinggi dalam
tampuk sebuah kerajaan.
Riwang yang tidak memiliki ilmu silat barang
secuil pun tidak berani turun tangan. Dia malah berdi-
ri masuk kembali ke dalam rumah. Tindakannya bu-
kan berarti dia seorang pengecut. Tujuannya masuk ke
dalam rumah, tentunya ada maksud tertentu yang di-
anggapnya sebuah pertolongan bagi sang ayah.
* * *
TIGA
Larinya makin cepat ketika Riwang sampai pa-
da ruangan khusus ayahnya. Ia tahu betul di mana
Adipati Rekayasa menyimpan senjatanya. Maka se-
sampai di dalam ruangan itu, Riwang langsung me-
nyambar pedang yang tergantung di dinding.
Sementara itu di luar pertempuran makin sengit. Para pengawal Adipati Rekayasa lebih banyak yang
tewas. Sedangkan para pengawal Dwipa Kuntar belum
apa-apa. Mereka nampak gigih menghabiskan para
pengawal yang masih tersisa.
Dwipa Kuntar sendiri tidak perlu membantu
para pengawalnya yang sudah berada di atas angin.
Dia telah sibuk menyambar lesatan-lesatan tubuh Adi-
pati Rekayasa. Di tubuhnya telah nampak goresan-
goresan luka terkena sambaran pedang.
Menghindari serangan-serangan Dwipa Kuntar
tentu saja mengeluarkan tenaga tidak sedikit. Apalagi
ia tidak menggunakan senjata. Mana mungkin Adipati
Rekayasa dapat membalas serangan.
"Lebih baik mati daripada menyerah kepadamu,
Dwipa Kuntar!" Adipati Rekayasa mundur menjauh
saat Dwipa Kuntar menyapu bagian bawah dengan
tendangan memutar.
"Bagus! Itu tandanya kau sama membrontak
seperti anakmu. Selain itu kau mulai berani melawan
perintah sri baginda! Hiiih!" Pedang Dwipa Kuntar me-
nyambar. Adipati Rekayasa merunduk menghinda-
rinya.
"Ayah! Ini pedangmu...!" Riwang muncul dari
balik jendela. Dari situ pula Riwang melemparkan pe-
dang pada ayahnya. Jarak dari situ cukup jauh, Adipa-
ti Rekayasa tidak mungkin menerima begitu saja. Dia
harus melompat untuk meraih pedangnya... Tapi saat
Adipati Rekayasa melesat ke samping, Dwipa Kuntar
membabat pedangnya kuat-kuat... "Craas...!" Adipati
Rekayasa memang dapat meraih pedangnya, namun ia
tidak dapat menghindari babatan pedang yang menge-
nai punggungnya. Saat itu pula Riwang memekik.
"Riwang...! Cepat pergi dari sini!" bentak Adipati
Rekayasa sambil berbalik menangkis babatan pedang.
Tapi...
"Tangkap anak itu... Kalau perlu bunuh saja!"
Dwipa Kuntar memerintahkan beberapa pengawalnya
untuk mengejar Riwang yang mulai lari lewat belakang
rumah.
"Bangsat apa hakmu untuk membunuh keluar-
gaku! Tidak mungkin sri baginda memerintahkan de-
mikian!" Pedang Adipati Rekayasa berkelebat menyam-
bar kepala. Tapi cepat Dwipa Kuntar menangkis pe-
dangnya.
"Menghabiskan para pembrontak jangan kepa-
lang tanggung. Harus sampai ke akar-akarnya!" Sam-
baran pedang Dwipa Kuntar melesat membalas. Len-
gan Adipati Rekayasa sampai bergetar saat pedang me-
reka beradu.
"Anjing kepala dua! Kau memfitnahku! lebih
baik kita mati bersama! Hiaaaaa!" Adipati menerjang
sengit. Babatan pedangnya berputar bagai kitiran an-
gin. Namun hanya dengan sekali tebas, tubuh Adipati
Rekayasa terhuyung mundur. Dwipa Kuntar menye-
ringai seraya membabatkan pedangnya lagi.
Cukup gelagapan Adipati Rekayasa menyambut
babatan pedang itu. Tubuhnya sampai mundur-
mundur terdesak. Seleret sinar putih menyambar da-
danya lagi. Terasa sekali goresan mata pedang me-
nyayat kulitnya. Membuat Adipati Rekayasa kehilan-
gan keseimbangan tubuh. Manakala Dwipa Kuntar
semakin gencar melancarkan babatan-babatan pe-
dangnya.
Sementara itu, Riwang tidak luput dari pengeja-
ran beberapa orang pengawal Dwipa Kuntar. Larinya
tunggang langgang tidak karuan. Lima orang pengejar-
nya memang jauh tertinggal. Dalam hati ia menyesali
dirinya Kenapa dari dulu ia tidak pernah mempelajari
ilmu silat. Sekarang ia betul-betul kesulitan. Melihat
para pengejarnya mengacung-acungkan pedang ia sudah gemetaran. Apalagi berusaha melawan. Mungkin
kalau kelima pengejarnya itu tanpa senjata, barangkali
Riwang sudah nekad melawan.
Dalam pelariannya itu, Riwang sengaja menuju
ke arah bekas reruntuhan bangunan. Ia bermaksud
akan bersembunyi di situ Cuma itu satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan diri. Saat Riwang memasuki
bangunan itu, kelima pengejarnya kehilangan jejak.
Namun mereka tetap yakin kalau Riwang bersembunyi
di dalam reruntuhan bangunan batu. Begitu mereka
mendekati bangunan itu, mereka mendengar batu-
batu berserakan dari atas. Maka kelimanya tanpa ra-
gu-ragu lagi berebut masuk.
Namun baru saja mereka melangkah masuk,
tiba-tiba saja sebongkah batu melayang ke arah mere-
ka. Dua orang yang melangkah menaiki tangga di de-
pan tidak sempat menghindar. Keduanya bergulingan
dengan kepala remuk. Melihat dua temannya ambruk
kelojotan, tiga orang lagi bersikap hati-hati. Pelan-
pelan sekali mereka menaiki tangga batu yang menuju
ke atas.
Dari balik dinding Riwang telah bersiap-siap
dengan sebatang kayu. Jantungnya berdebar-debar
menanti kedatangan langkah-langkah mereka. Mana-
kala detak-detak ketiga orang itu makin dekat. Dan
saat salah seorang muncul dari balik dinding, Riwang
menghantam kuat-kuat... "Praaaak!" Tepat menghan-
tam tenggorokan.
Setelah itu pula Riwang cepat berlari ke arah
jendela. Lalu dari situ ia melompat ke luar. Padahal
jendela itu cukup tinggi. Riwang jatuh bergulingan di
tanah. Rupanya saat Riwang melompat ke luar dari
jendela para pengejarnya tidak sempat melihat. Maka
Riwang mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri.
Cepat Riwang menyusup pada rimbunnya
alang-alang yang memenuhi pelataran bangunan itu.
Dari situ ia cukup aman merangkak menjauhi rerun-
tuhan bangunan. Sekarang para pengejarnya itu betul-
betul telah kehilangan jejak. Mereka keluar dari rerun-
tuhan itu sambil membawa tiga orang temannya yang
terluka.
Saat itu Riwang sudah cukup jauh dari tempat
itu. Dan tidak mungkin lagi para pengawal Dwipa Kun-
tar mengejarnya. Riwang sendiri belum berani kembali
ke rumahnya. Ia yakin pertempuran masih berlang-
sung di sana. Untuk itulah ia terus berlari saat me-
nembus rimbunnya alang-alang.
Riwang sengaja memilih jalan yang jarang dila-
lui orang. Ia tidak ingin pelariannya diketahui orang
lain. Dia tahu di depan sana ada sebuah perkampun-
gan. Sengaja pula tujuannya ke sana, dan bermaksud
akan tinggal untuk beberapa hari.
*
* *
Angin laut berhembus ke pantai membuat
daun-daun nyiur melambai-lambai seperti menari. Bu-
rung-burung camar yang beterbangan hampir menyen-
tuh permukaan laut saat itu Ki Balung mengangkat ja-
lanya.
"Sial! Dari tadi tidak ada satu ekor ikan pun
yang nyangkut di jala ku. Wuah-wuah bisa tidak ma-
kan malam ini!" gerutunya setelah melihat jala kosong.
Lalu ia menebar lagi ke arah lain. Namun setelah ia
mengangkat lagi, hasilnya tetap sama saja. Kosong!
"Kenapa laut ini mendadak miskin?" Ki Balung
makin jengkel.
"Ayah...!" Ki Balung tersentak. Ia menoleh ke
belakang menatap ke arah gubuknya. Seorang gadis
nampak melambai-lambaikan tangan.
"Ada apa, Mayang?" jawab Ki Balung setengah
membentak.
"Orang itu sudah sadar dari pingsannya.
Dia mengerang-ngerang kesakitan!" jawab Kadis
itu. Suaranya terbawa angin.
"Suruh dia minum obat yang telah kusediakan!"
Aku takut, Ayah!"
"Bah! Jangan malu-malu kucing, Mayang! Ter-
hadap pemuda ganteng saja harus takut!" Ki Balung
terpaksa menggulung jalanya. Kemudian ia berbalik
melangkah ke pinggiran pantai. Mayang putrinya ma-
sih menunggu di depan gubuk. Gadis itu menyambut
membawakan jalanya saat Ki Balung mulai masuk ke
dalam gubuk.
Rawing sudah duduk di atas balai ketika Ki Ba-
lung berada dalam ruangan itu. Bajunya sudah tidak
melekat lagi pada tubuhnya. Maka nampak jelas se-
mua luka-luka bekas sambaran pedang. Masih terasa
perih. Ki Balung melangkah tersenyum membawakan
gelas bambu.
"Luka-lukamu cukup parah. aku tidak mempu-
nyai persediaan obat kecuali ini. Minumlah... mungkin
bisa mengurangi rasa sakit." Rawing menerima gelas
bambu itu. Cairan obat di dalamnya masih mengepul-
kan asap. Rawing tidak langsung meminumnya. Ia
menatap Ki Balung.
"Di mana ini...?"
"Di rumahku.... Kami menemukan kau tergele-
tak pingsan di pantai. Tadinya kami mengira bahwa
kau sudah mati. Ternyata kau hanya pingsan. Ma-
kanya kau ku rawat di sini." tutur Ki Balung.
"Te-terima kasih, Ki." Setelah itu Rawing me-
nenggak habis cairan dalam gelas bambu, Saat itu
Mayang putri Ki Balung masuk ke dalam ruangan itu.
Saat itu pula Rawing menatapnya. Merasa ditatap de-
mikian, Mayang tertunduk malu.
"Dia putri ku. Ibunya telah meninggal ketika
berumur lima tahun. Dialah yang menemukan dirimu
di pantai."
"Sangat cantik. Pastilah ibunya cantik pula."
Mendengar ucapan yang demikian wajah Mayang ma-
kin memerah.
"Dia memang mirip dengan ibunya. Itulah se-
babnya aku tidak pernah merasakan kehilangan istri-
ku."
Rawing menyodorkan gelas bambu yang telah
kosong itu pada Ki Balung. Setelah menerima gelas itu
Ki Balung membantu Rawing bangkit berdiri. Luka-
lukanya masih mengeluarkan darah. Ia dapat meman-
dang pantai berpasir putih dari pintu itu. Angin pun
berhembus masuk menerpa tubuhnya.
Pandangannya jauh ke depan pada hamparan
permukaan laut yang biru. Di sanalah ia terakhir kali
bertempur dengan para pasukan kerajaan. Dia masih
ingat betul pada orang yang telah melukainya. Seseo-
rang yang tidak pernah takut terhadap ayahnya.
"Pakaianmu telah koyak, Anak muda. Aku me-
nyimpannya di dalam. juga kepingan-kepingan uang
logam yang tak ternilai jumlahnya. Semua kusimpan
baik-baik." Kata-kata Ki Balung membuyarkan lamu-
nan Rawing.
"Syukurlah.... Tapi aku tidak memikirkan soal
itu. Selamat dalam keadaan begini saja aku sudah ber-
syukur. Simpanlah uang itu untukmu, Ki."
"Lebih baik ku belikan pakaian atau obat. Ka-
rena luka-lukamu itu mesti diobati. Dan kau pun ha-
rus beberapa hari tinggal di sini."
"Kau terlalu baik, Ki. Jarang aku menemui
orang sepertimu."
"Aku merasa baru kali ini menolong orang. Lain
dari kau tidak pernah. Bagaimana harus dianggap
baik?" Rawing tersenyum. Kata-kata Ki Balung begitu
lugu. Dia pun diam dengan kedua mata yang meman-
dang ke arah laut. Ki Balung memperhatikannya.
"Melihat kau sepintas, rasanya hampir mirip
dengan seorang putra panglima kerajaan yang mengu-
asai tanah Genang Banyu." Ki Balung bicara lagi. Raw-
ing cepat menoleh ke arah Ki Balung dengan panda-
ngan yang aneh.
"Maksudmu panglima tertinggi Adipati Rekaya-
sa?" tanya Rawing menyentak. Ki Balung malah gela-
gapan, tapi ia cepat menjawab....
"Betul! Yang kumaksudkan bahwa kau sangat
mirip dengan putranya. Sedikit pun tidak berbeda den-
gan Riwang."
"Kalau begitu dugaanmu tidak salah lagi, Ki....
Aku saudara kembarnya yang baru datang dari Tanah
Tapak Tuan. Namaku Rawing."
Kontan mata Ki Balung terbelalak. Ia tidak per-
caya dengan ucapan Rawing. Semula dirinya yang ber-
diri berdampingan, mendadak mundur selangkah. Mu-
lutnya menganga seperti hendak mengeluarkan kata-
kata.
"Masih belum percaya kalau aku putra kembar
Adipati Rekayasa? Atau perlu kusebutkan nama ibuku
Sartinah?" Rawing maju mendekat. Ki Balung belum
percaya.
"Mayang...! Mayang ke mari! Cepat ke mari...!
Ternyata orang yang kau selamatkan ini seorang putra
Panglima Kerajaan...." Setelah berteriak begitu Ki Ba-
lung berlutut seperti memberi hormat.
"Terhadap ayahmu yang bijaksana itu aku cu-
kup segan dan menghormatinya. Terhadapmu pun ten
tunya harus demikian. Maafkan aku Dimas Rawing,
kami benar-benar tidak tahu kalau kau putra pangli-
ma." Sembah Ki Balung. Mayang sudah keluar dari
gubuk. Rawing tersenyum menatapnya.
* * *
EMPAT
Satu-satunya desa yang terdekat dengan Tanah
Genang Banyu, adalah Desa Branjangan. Desa yang
selalu ramai dikunjungi banyak pendatang. Para sau-
dagar datang ke situ untuk berniaga. Juga para pen-
duduk asli memanfaatkan keadaan keramaian de-
sanya. Dari penginapan sampai rumah makan berderet
bersaing.
Tiap-tiap gubuk nampak berukuran besar.
Meskipun atapnya dari jerami namun dinding-
dindingnya hampir dari kayu semua. Bahkan ada juga
yang sengaja membangun gubuknya bertingkat. Bi-
asanya gubuk bertingkat itu sebuah penginapan.
Kereta-kereta kuda pengangkut barang berdiri
pada tambatan kuda. Para pengemudinya tengah me-
nyinggahi salah satu rumah makan. Siang itu memang
agak lain. Tidak seperti hari-hari biasanya. Hampir
tiap-tiap kedai ramai dipenuhi oleh para pendatang.
Apalagi di muka jalan. Meskipun tidak penuh sesak,
tapi cukup sulit untuk melangkah.
Sebentar-sebentar Riwang menoleh ke bela-
kang. Ia selalu berpapasan dengan orang-orang yang
jalan dari arah berlawanan. Riwang hanya tersenyum
saat orang-orang itu merutuki. Sebelah telapak tan-
gannya menimang-nimang sekeping uang logam. Ha-
tinya merasa lega, karena di Desa Branjangan itu tidak
dilihatnya seorang prajurit pun.
Tenang pula ia melangkah menghampiri salah
satu rumah makan. Tapi mendadak pula ia menghen-
tikan langkahnya. Ia sempat mendengar obrolan bebe-
rapa orang yang kebetulan singgah di tempat itu.
"Tidak kusangka Panglima Adipati Rekayasa
yang selama ini kita segani ternyata hanya seorang
penghianat kerajaan."
"Untunglah Dwipa Kuntar bersama pasukannya
cepat meringkus." kata salah seorang temannya me-
nimpali.
"Bukan hanya diringkus. Melainkan sekarang
keluarganya telah dikirim ke akherat! Memang seha-
rusnya begitu hukuman bagi pemberontak!"
"Masih untung mereka bertemu dengan Dwipa
Kuntar. Coba kalau sampai kedapatan oleh sri bagin-
da, pasti sudah.... Sreeeett! Orang itu menggorok le-
hernya dengan lengannya sendiri.
"Sana saja! Ketemu sri baginda maupun Dwipa
Kuntar akan mengalami nasib yang serupa. Toh seka-
rang mereka sekeluarga sudah mampus semua." Me-
reka tertawa mengkekeh. Jelas sekali Riwang menden-
gar pembicaraan mereka. Cepat Riwang menyelinap ke
balik dinding. Dia masih ingin mendengarkan pembi-
caraan orang-orang itu, meskipun hatinya hancur.
"Menurut yang kudengar, putranya sempat me-
larikan diri. Dwipa Kuntar masih terus mencarinya.
Bahkan ia telah melepaskan sayembara. Siapa saja
yang dapat menangkap Riwang hidup-hidup akan di-
beri hadiah yang memuaskan." Riwang yang mera-
patkan telinganya ke dinding bergetar bagai tersambar
petir.
"Riwang...? Bagaimana kita bisa menangkapnya
kalau kita sendiri tidak tahu rupa si Riwang itu?"
"Dasar jauh ke duit! Syukurlah aku sempat melihat dia walaupun hanya beberapa kali."
"Kalau begitu..." Temannya tidak melanjutkan
ucapannya karena tiba-tiba saja dinding di sebelah
mereka berderak. Serempak mereka menoleh ke arah
suara derak itu. Mereka pun melihat seseorang berlari
menjauh. Nampak sekali orang itu seperti berlari keta-
kutan.
"Astaga! Tidak salahkah penglihatanku?"
Salah seorang yang berada di rumah makan itu
bangkit berdiri.
"Ada apa? Kau seperti melihat setan?" tanya
temannya keheranan.
"I-i itu Riwang! Baru saja ia pergi dari sini!" ka-
ta orang itu sambil beranjak meninggalkan meja ma-
kan menyusul Riwang. Dengan tidak mengerti dua
orang temannya ikut bangkit dan menyusul temannya.
Sudah tentu pemilik kedai itu mencegah.
"Kalian mau ke mana? Bayar dulu makanan
tadi."
"Maaf, Ki. Sekarang pun kami tidak mempunyai
uang... Hitung saja dengan yang kemarin-kemarin. Be-
sok aku bayar sepuluh kali lipat!" kata salah seorang
dari mereka sambil mendorong pemilik kedai. Mereka
pun meneruskan larinya.
"Bajingan-bajingan tengik. Sekali lagi makan ti-
dak bayar aku racuni kalian!" rutuk pemilik kedai se-
wot.
Sementara itu Riwang betul-betul mempercepat
larinya. Beberapa kali ia menabrak orang-orang yang
berlalu lalang sampai bergelimpangan. Maka tempat
itu menjadi riuh seketika. Di belakangnya tiga orang
mengejar dengan kecepatan penuh. Mereka pun sering
menyeruduk apa saja yang menghalanginya. Beberapa
meja dagangan ambruk terguling sampai barang-
barang dagangan itu berserakan di tanah.
Usaha mereka tidak sia-sia. Dalam sekejap me-
reka telah mengepung Riwang yang sudah terpojok ge-
lagapan. Mereka langsung melancarkan hantaman-
hantaman agar buruannya tidak lari lagi. Tindakan
mereka sama seperti menggebuki seorang maling.
Riwang sama sekali tidak melawan. Karena dia
memang tidak memiliki kepandaian ilmu silat. Secepat
itu pula Riwang dapat diringkus. Maka tempat itu
menjadi penuh dengan orang-orang yang berdatangan
menonton. Tiga orang yang meringkus Riwang menca-
but pedang. Lalu mereka membabatkan ke Mana ke
mari. Tentu saja orang-orang yang datang menonton
itu segera menyingkir sehingga ketiga orang itu leluasa
membawa Riwang ke luar dari kerumuman itu.
"Minggir...! Minggir...! Kami harus menyerahkan
buronan ini pada Panglima Dwipa Kuntar. Minggir...!"
Mereka bertiga memang terkenal sebagai 'jagoan' Desa
Branjangan. Orang-orang itu sangat takut melihat pe-
dang-pedang mereka berkelebat.
Saat itu Ki Balung baru saja keluar dari gubuk
seorang tabib. Di tangannya membawa dua buah
bungkusan yang berisi obat dan pakaian. Alisnya men-
gernyit ketika dilihat tiga sosok mengacung-acungkan
pedang membawa seseorang yang sudah babak belur.
Orang-orang masih saja membuntuti mereka di
belakang. Ketiga orang yang membawa Riwang nampak
seperti bangga.
"Buronan Riwang tertangkap! Buronan Riwang
tertangkap!" Hanya itu yang didengar dari teriakan ke-
rumunan yang menggiring Riwang.
Luka-luka di tubuh Rawing belum sembuh.
Kain pembalut luka masih merembes darah. Tapi Raw-
ing yang dalam keadaan luka itu sengaja tidak selalu
diam. Dia sibukkan dirinya dengan membelah kayu
bakar yang bertumpuk di samping gubuk.
Mayang, putri Ki Balung, diam-diam memper-
hatikannya. Ia khawatir sekali kalau-kalau Rawing
akan jatuh pingsan lagi. Apalagi panas matahari makin
mencorot membuat keringat Rawing membasahi di se-
kujur tubuhnya. Sepertinya rasa lelah dan keringat
yang meleleh itu tidak diperdulikan.
"Berhentilah dulu, Kang Mas Rawing. Air yang
sejak tadi kusediakan belum juga kau minum." Suara
halus Mayang mengejutkan Rawing.
"Luka-lukamu belum sembuh betul. Biarlah
aku yang mengerjakannya." lanjut Mayang lagi. Rawing
menghentikan membelah kayu. Ia tersenyum menatap
Mayang, lalu....
"Aku biasa melakukan pekerjaan ini, Kang Mas
Rawing. Kau yang tidak pantas melakukannya. Karena
kau anak seorang panglima." Mayang melirik Rawing
menenggak habis air itu. Mendengar ucapan Mayang,
Rawing terbatuk.
"Aku memang putra Adipati Rekayasa, tapi cara
hidupku tidak seperti tuan besar, atau anak bangsa-
wan lainnya. Selama sepuluh tahun hidup dalam ling-
kungan para ulama. Mereka mendidik diriku dengan
cara-cara yang paling keras sekalipun. Terus terang se-
lama sepuluh tahun ini aku tidak berada dalam ling-
kungan keluarga. Aku berada di Tanah Tapak Tuan."
"Tapak Tuan? Di mana itu?" "Di pulau sebrang.
Tepatnya di bagian Tenggara Pulau Andalas."
Mayang diam tidak mengerti. Sebagai seorang
dusun yang terpencil, Mayang memang kurang penga-
laman. Dari maksud pembicaraan Rawing, Mayang
hanya bisa mengartikan bahwa Rawing adalah seorang
petualang. Diam-diam pula ia mengagumi terhadap
pemuda yang satu ini. Dia juga tidak mengerti kenapa
harus tertunduk malu saat Rawing menatapnya.
"Apa yang kau pikirkan, Mayang?" Rawing
mendekati. Mayang jadi gelagapan. Mukanya berubah
merah saat Rawing menyentuh rambut Mayang. Ia be-
tul-betul tidak berani menatap atau mengelak.
"Selama hidupku belum pernah aku melihat
wanita secantik kau, Mayang.... Aku...." Rawing sendiri
tidak berani meneruskan kata-katanya. Dengan geme-
tar pula Mayang mengangkat wajahnya. Tapi pandan-
gannya cepat menoleh....
"Ayah datang, Kang Mas Rawing." Pandangan
Mayang menatap Ki Balung yang berjalan tergesa-gesa
menuju gubuknya. Belum pernah Mayang melihat
ayahnya berjalan terburu-buru seperti itu. Untuk itu-
lah Mayang datang menyambut. Dia membawakan dua
bungkusan yang dibawa Ki Balung.
Rawing hanya menatap dari samping gubuk.
Mayang sengaja menuntun ayahnya ke arah Rawing,
Dari situ Ki Balung sudah melihat kepingan-kepingan
kayu bakar bertumpuk di samping gubuk. Dia juga
melihat Rawing masih memegang kampak.
"Dimas Rawing, sebaiknya kau jangan ke luar
dulu." kata Ki Balung setelah berada dihadapan Raw-
ing. Mayang sudah masuk ke dalam gubuk.
"Luka-luka ini tidak seberapa, Ki. Aku merasa
sudah agak mendingan." jawab Rawing sambil men-
gangkat kampak melanjutkan membelah kayu. Baru
tahu kalau kepingan-kepingan kayu itu pekerjaan
Rawing,
"Bukan saja soal luka, Dimas Rawing. Situasi di
luar sedang kacau, juga menyangkut persoalan keluar-
gamu."
"Apa maksudmu, Ki...?" Rawing menatap tak
mengerti.
"Sebaiknya kita bicara dalam." Ki Balung me-
rangkul Rawing. Pemuda itu mengikuti dengan pena-
saran. Sambil menutup pintu gubuk, Ki Balung mengawasi keadaan di luar. Ia merasa khawatir kalau-
kalau ada orang lain yang kebetulan lewat di daerah
itu. Padahal gubuk Ki Balung satu-satunya yang ada
di pesisir pantai.
"Ada yang perlu kukatakan padamu, Dimas
Rawing. Di luar keadaan benar-benar sedang kacau."
"Dari dulu juga tanah air kita selalu kacau. Apa
yang membuatmu ketakutan seperti ini, Ki?" tanya
Rawing tidak sabaran.
"Ketika aku pulang membeli obat-obatan, aku
melihat saudaramu, Riwang tertangkap di Desa Bran-
jangan. Mereka menuduh keluargamu sebagai pembe-
rontak. Menurut kabarnya Adipati Rekayasa pun te-
lah..." Ki Baking menghentikan ceritanya. Dengan ge-
metar ia menatap ke arah Rawing.
"Kenapa dengan ayahku, Ki... Kenapa dengan
beliau?"
"Dwipa Kuntar telah membunuh ayah serta
ibumu. Dia pula sekarang yang menggantikan Adipati
Rekayasa menguasai Tanah Genang Banyu."
"Tidak mungkin, Ki... Aku tidak percaya! Ba-
gaimana mungkin ayahku menjadi seorang pembron-
tak? Beliau satu-satunya orang kepercayaan sri bagin-
da." Rawing menyangkal. "Itu baru berita yang kuden-
gar, belum tentu kebenarannya demikian. Yang kulihat
hanya Riwang tertangkap oleh anak buah Dwipa Kun-
tar. Orang-orang itu akan menerima hadiah yang san-
gat besar." Ki Balung mengakhiri ceritanya. Rawing
duduk terdiam seribu bahasa. Orang seperti Ki Balung
tidak mungkin berdusta. Kalau saja ia tidak dalam
keadaan luka begini, tentunya Rawing sudah mencari
orang-orang yang menangkap saudara kembarnya.
Rawing hanya diam ketika Ki Balung mulai membuka
balutan luka-lukanya. Ia hampir memekik saat bubuk-
bubuk obat dibalurkan pada luka-luka yang belum
mengering. Pikirannya berkecamuk perasaan lain, se-
perti ingin cepat bertemu dengan saudara kembarnya.
Maka keesokan harinya Ki Balung tidak mene-
mukan Rawing dalam kamarnya. Pakaian yang dibe-
linya kemarin sudah tidak ada, Kecuali sepucuk surat
yang tergeletak di atas meja. Sekalipun Ki Balung tidak
dapat membacanya, ia sudah yakin kalau surat itu se-
buah ucapan selamat tinggal. Memang benar, Tadi pagi
sebelum matahari terbit, diam-diam Rawing mening-
galkan gubuk itu.
* * *
LIMA
Penjara itu sangat jauh letaknya dari kerajaan.
Sri baginda sengaja membangunnya di situ. Sebenar-
nya bukan membangun. Tapi memugar. Sejak sri ba-
ginda belum lahir pun penjara itu sudah ada. Sebuah
penjara tempat tawanan kelas berat. Di mana sekelil-
ing penjuru itu dibuat kolam membuat penjara itu se-
perti berdiri di tengah-tengah sebuah danau.
Airnya yang bening menampakkan dasarnya
demikian jelas. Terlihat pula tumpukan-tumpukan tu-
lang kerangka yang sudah berlumut. Ikan-ikan pema-
kan bangkai banyak berseliweran dalam dasar kolam
itu. Jumlahnya jutaan ekor.
Para petugas yang datang ke situ menyeberangi
dengan pintu penjara sepanjang setengah meter yang
berfungsi juga sebagai jembatan. Ikan-ikan buas itu
langsung menyembul dari permukaan bila ada prajurit
yang menyeberangi penjara. Jutaan ikan itu nampak
bagai sebuah dataran kecil yang bergelombang. SunGguh mengerikan!
Sekarang semenjak kematian Adipati Rekayasa,
sri baginda menugaskan Dwipa Kuntar untuk meng-
gantikan kedudukannya. Sri baginda sendiri tidak ta-
hu penyebab kematian Adipati Rekayasa. Yang ia tahu
hanyalah sekelompok pemberontak muncul memban-
tai keluarganya. Dan beliau tidak menolak saat Dwipa
Kuntar memilih markas pada penjara itu.
Tanpa sepengetahuan sri baginda pula Dwipa
Kuntar menyelundupkan dua orang tokoh sakti seba-
gai dekingan. Dengan adanya mereka, Dwipa Kuntar
semakin kuat. Namun sejak ia menggantikan kedudu-
kan Adipati Rekayasa, banyak rakyat yang kurang su-
ka. Rakyat banyak yang lebih sengsara dan tertindas.
Apalagi terhadap dua orang tukang pukulnya itu. Me-
reka menjadi musuh rakyat yang paling ditakuti. Tin-
dakannya yang kejam tanpa perikemanusiaan mere-
sahkan rakyat. Yang lebih menjemukan lagi, kedua
orang itu kerapkali mencuri anak perawan orang sesu-
ka hatinya.
Hari itu Dwipa Kuntar yang kebetulan berada
dalam penjara, kedatangan tiga orang dari Desa Bran-
jangan. Bukan main senangnya Dwipa Kuntar ketika
melihat ketiga orang itu membawa Riwang ke hada-
pannya.
"Bagus...! Bagus...! Kalian pantas mendapat
hadiah dariku, karena meringkus pemberontak kecil
ini ke hadapanku." Dwipa Kuntar tertawa menggelak.
Tiga orang yang berdiri di hadapannya ikut tertawa.
Tapi mereka terus diam saat menatap kedua orang
yang duduk di sebelah Dwipa Kuntar. Bagaimana ti-
dak, tikus pun akan lari melihat keseraman wajah ke-
dua orang itu.
Sejenak kemudian Dwipa Kuntar berjalan men-
gelilingi Riwang yang berdiri lunglai. Wajahnya banyak
bekas-bekas luka pukulan yang telah membiru.
"Pengawal...! Jebloskan dia dalam penjara!" Ti-
ba-tiba saja Dwipa Kuntar berteriak. Maka beberapa
orang berpakaian prajurit yang berdiri di balik tembok
berdatangan menyeret tubuh Riwang. Tanpa meronta
Riwang mengikuti empat orang prajurit menelusuri lo-
rong menuju ruang tahanan. Kasar sekali mereka
mendorong tubuh Riwang, sampai Riwang terjerembab
mencium lantai batu ruang tahanan.
Sementara itu nampak Dwipa Kuntar menepuk-
nepuk punggung salah seorang yang membawa Ri-
wang.
"Kalian akan menerima hadiah yang tidak sedi-
kit dariku. Masing-masing mendapat sekantong uang
emas." Mendengar itu ketiga orang ini menelan ludah-
nya sendiri. Mereka begitu tergiur dengan kepingan-
kepingan uang emas yang sebentar lagi menjadi milik-
nya. Mereka hanya menatap Dwipa Kuntar yang me-
langkah menuju ke sebuah meja berukir. Di atas meja
itu memang sudah tersedia belasan kantong uang.
Dwipa Kuntar mengambil tiga kantong, lalu meni-
mang-nimang sambil tersenyum ke arah mereka.
"Nah terimalah ini. Kalian boleh membukanya
di sini kalau tidak percaya dengan apa yang kalian te-
rima." kata Dwipa Kuntar sambil melempar tiga kan-
tong itu. Begitu mereka menerimanya terdengar suara
gemerincingnya uang logam. Seperti terkesima ketiga
orang itu pun langsung membuka kantong itu. Seketi-
ka wajah mereka berseri, karena apa yang mereka li-
hat. Betul-betul sekantong uang emas.
"Kalau mau pergi sekarang, silahkan. Mum-
pung pintu masih terbuka. Kalian bisa menyebrang
dengan jembatan itu."
"Ka-kami memang harus pergi sekarang, Pan-
glima. Karena urusan kami memang masih banyak."
jawab mereka.
"Silahkan... Silahkan." Dwipa Kuntar memberi
jalan pada mereka. Ia pun mengantar ketiga orang itu
sampai ke depan pintu yang merebah bagai jembatan
menyebrangi kolam. Setelah melewati beberapa penja-
ga pintu mereka bertiga menyebrangi kolam.
Ikan-ikan pemakan bangkai menyembul me-
lompat-lompat begitu mereka berjalan di atas jemba-
tan. Jumlahnya yang jutaan membuat permukaan air
kolam benar-benar bagai sebuah daratan yang bergo-
lak. Dwipa Kuntar tersenyum menatap kepergian keti-
ga orang itu. Diam-diam ia menarik tangkai besi yang
ada di samping pintu. Maka ketiga orang ini yang ma-
sih menyebrangi jembatan terkejut setengah mati. Ka-
rena tiba-tiba saja jembatan yang mereka pijak berde-
rak, terangkat ke atas. Dan Dwipa Kuntar tersenyum
semakin lebar saat ketiga orang itu nyemplung ke da-
lam daratan bergolak.
Mereka hanya menjerit sekejap, manakala ju-
taan ikan pemakan bangkai berlomba mengerubuti tu-
buh mereka yang hilang di kedalaman dasar kolam itu.
Detik itu pula cairan merah mulai mengembang ke
atas bercampur dengan air kolam.
Dua orang bertampang angker itu sudah berdiri
di samping Dwipa Kuntar, saat Dwipa Kuntar tertawa
tergelak-gelak. Mereka kembali masuk setelah jemba-
tan itu menutup bagai pintu penjara...
"Sayang sekali uang-uang emas itu kau buang,
Dwipa Kuntar."
"Tiga kantong uang mas tidak berarti lagi bagi
kita sekarang, Sawung Blambang. Kita masih memiliki
puluhan karung uang emas dan masih bisa mengum-
pulkan lebih banyak lagi."
"Rencanamu menggantikan kedudukan Adipati
Rekayasa rupanya sudah kau pikirkan masak-masak,
Dwipa Kuntar. Tidak kusangka otakmu sehebat kan
cil." jawab seorang lagi yang bernama: Pragola. Kedua-
nya tertawa menggelak mendengar ucapan Dwipa Kun-
tar.
"Kuakui... Semua ini berkat kerja sama kita
yang baik." kata Dwipa Kuntar lagi. Ia berjalan me-
langkah paling dulu.
"Melihat kau mendadak kaya seperti ini, ra-
sanya aku ingin juga aku menguasai sebuah tanah di
wilayah ini." sela Sawung Blambang.
"Betul. Kalau hanya bergelimang uang rasanya
kurang puas." Pragola menimpali.
"Tak lama lagi kita bisa menguasai tanah-tanah
lain. Lihat saja nanti. Sementara sri baginda sibuk
mengurusi tahta kerajaan, kita bisa menyusun renca-
na. Lama-lama pun kita akan menggeser kedudukan
sri baginda." Dwipa Kuntar merangkul keduanya. Me-
reka menelusuri lorong yang menuju ke ruang taha-
nan.
Saat itu Riwang mulai bangkit. Ia menatap
ruangan yang cukup besar namun pengap. Dilihatnya
pula seorang kakek berambut putih sebatas dada du-
duk bersila di atas tumpukan jerami. Kening kakek itu
berkerut saat Riwang melangkah mendekat.
"Ada lagi seorang tawanan yang menemaniku di
sini. He-he-he.... Kau masih muda belia. Penjara ini
khusus tawanan pemberontak. Hebat! Semuda ini su-
dah jadi pemberontak.
Mengingatkan aku pada masa muda ku." Suara
kakek itu rada bergetar.
"Aku bukan pemberontak, Kek. Juga bukan
seorang penjahat. Dwipa Kuntar itu sendiri yang sebe-
narnya musuh kerajaan, ia telah memfitnah keluarga-
ku sebagai pemberontak." jawab Riwang sambil duduk
di sebelah kakek itu.
"Ssssst... Bicaramu perlahan sedikit. Dwipa
Kuntar banyak memiliki telinga di sini. Aku tidak ber-
tanggung jawab bila setan keparat itu murka. Kau
bakal jadi santapan mahluk-mahluk najis." Riwang ti-
dak mengerti dengan ucapan kakek itu.
"Tentunya kau yang bernama Riwang... Aku
sudah mendengar nasib malang seorang Panglima Adi-
pati Rekayasa. Dwipa Kuntar memang berlidah ular.
Pemberontak yang sebenarnya, tidak mampu ditanggu-
langinya." gerutu kakek berambut putih.
"Apakah kakek juga seorang pemberontak?"
"He-he-he-he... Sebelum sri baginda lahir pun
aku sudah jadi pemberontak. Sssst diamlah..." Kakek
itu memandang ke depan, Riwang menoleh mengikuti.
Di balik terali besi berdiri Dwipa Kuntar dan dua orang
kaki tangannya.
"Kalian boleh sesuka hati mencaci ku. Karena
sebentar lagi kalian akan kukirim ke dasar kolam. Te-
rutama kau Riwang. Berhati-hatilah di sini." Dwipa
Kuntar menyeringai seram.
"Kenapa harus dikirim ke dasar kolam?" bisik
Riwang.
"Sssst..., Diam saja. Kelak kau bakal tahu." ja-
wab si kakek dengan nada pelan. Mereka masih me-
mandang ke arah terali besi saat ketiga orang itu pergi
meninggalkan ruang tahanan. Mereka mendengar pula
suara Dwipa Kuntar...
"Kuserahkan Riwang pada kalian, karena aku
harus kembali ke Tanah Genang Banyu. Kalau perlu
bunuh saja secepatnya... Aku tidak ingin melihat ketu-
runan Adipati Rekayasa masih berkeliaran."
Setan! Kenapa mereka tidak membunuh ku se-
karang saja? Sekarang pun atau nanti tokh aku tidak
bisa melawan? Pikir Riwang. Kini tiga hari penuh hi-
dupnya telah dilalui dalam ruangan pengap. Selama ti-
ga hari itu pula ia tidak diberi makan. Terkadang ia in
gin mengikuti cara hidup kakek itu, yang selalu me-
makan binatang kecil apa saja yang ada di situ. Tapi
mana sanggup Riwang mengikutinya. Bagaimana
sanggup? Kakek itu tanpa jijik melahap seekor tikus
hidup-hidup, kadang kecoa, kadang pula cicak. Meli-
hat saja Riwang sudah muntah!
Biarlah Riwang tidak makan serta minum, ken-
datipun ia harus mati kelaparan. Ketika mendengar
suara langkah orang mendekati ruangan itu, Riwang
selalu gembira. Karena ia yakin ada seorang pengawal
yang akan menyeretnya untuk melaksanakan huku-
man mati. Itu lebih bagus daripada harus mati tersik-
sa.
Seperti siang itu, Riwang langsung berlari ke
arah terali besi, ketika mendengar suara, langkah be-
berapa orang. Bukan Dwipa Kuntar juga bukan dua
orang pengikut setianya. Tapi cuma dua orang pen-
gawal. Mereka membawa sesuatu dalam sebuah bung-
kusan daun.
Riwang langsung menerima bungkusan itu ke-
tika seorang pengawal menyodorkan bungkusan itu.
Cepat pula ia membuka bungkusan itu. Tidak diperdu-
likannya dua pengawal pergi meninggalkan ruangan.
Isinya sebungkus nasi dengan paha ayam. Riwang
sangat tergiur.
"Makanlah sepuas hatimu, Riwang, karena itu
makananmu yang terakhir." Tiba-tiba saja kakek yang
duduk bersila itu mengekeh. Ia menatap Riwang mela-
hap rakus makanan itu. Sebentar saja bungkusan
daun itu telah bersih. Setelah itu pula Riwang menjilati
dinding tembok yang merembes air.
"Ratusan orang sebelumnya mengalami nasib
yang sama sepertimu. Diberi makanan yang enak-
enak, untuk kemudian menjalani hukuman yang pal-
ing buruk. Dibuang ke dasar kolam yang penuh dengan jutaan penghuni pemakan bangkai!"
"Apa katamu, Kek?" Riwang berhenti menjilati
rembesan air.
"Kataku kau akan dibuang ke dasar kolam. Da-
lam sekejap saja tubuhmu akan di sulap menjadi tu-
lang-tulang kerangka."
Riwang mengernyitkan alis. Kata-kata kakek itu
begitu menakutkan.
"Sekarang kau sudah kenyang, sedikitnya tena-
gamu sudah pulih. Apakah masih juga ingin minta ma-
ti lebih cepat?" Kakek itu seperti mengejek. Padahal
maksudnya menyadarkan Riwang dari ketololannya.
"Kau benar, Kek. Setiap orang akan lupa dara-
tan bila sudah merasa kekenyangan. Seperti katamu,
aku sudah lupa dengan maut yang siap menjemput."
Riwang tersandar lesu. Matanya menatap lantai-lantai
batu.
"Masih ada harapan untukmu. Aku bisa menge-
luarkan kau dari sini. Itu bila kau mau." jawab kakek
itu.
"Yang kau ucapkan itu tidak bisa menghibur
diriku, Kek... Bagaimana bisa mengeluarkan aku dari
sini, sedangkan kau sendiri tetap terkurung. Kedua
kakimu sudah lumpuh, apa yang bisa kau lakukan
terhadap kedua orang pengikut Dwipa Kuntar yang
hebat-hebat itu?
Kakek berambut putih tetap duduk bersila, se-
nyumnya melebar.
* * *
ENAM
"Aku memang lemah tak berdaya, usiaku pun hampir mencapai seratus tahun. Seusia mu dulu aku
memang pemberontak terhadap kerajaan. Sudah ba-
nyak yang telah aku lakukan. Dan aku menyadari, ti-
dak ada pemberontak kalau tidak ada kezaliman. Sri
baginda yang sekarang tidak zalim. Beliau tokoh ma-
syarakat yang paling disukai rakyat. Cuma sayang se-
jak kemunculan Dwipa Kuntar, nama sri baginda jadi
tercoreng." Kakek itu mengangkat kesepuluh jarinya,
menunjukkan kuku-kuku yang runcing bagai mata pi-
sau. Riwang menatap ngeri.
"Bagiku sudah tidak ada harapan lagi, sanak
saudara juga semua rekan-rekanku yang berjumlah
ratusan orang telah tewas dalam dasar kolam maut.
Tidak ada pilihan lain selain menetap seumur hidup di
sini." Tiba-tiba saja kesepuluh jari kakek itu mengarah
ke bawah, di luar dugaan pula ia menusukkan pada
kulit pahanya. Bahkan meremas-remas sampai daging
keriput di pahanya terkoyak dan mengeluarkan darah.
Melihat itu Riwang langsung mencegah Namun
kakek itu berontak menyingkirkan Riwang. Pemuda itu
menatap semakin ngeri. Sepertinya ada sesuatu yang
akan dikeluarkan dari daging pahanya. Ternyata du-
gaan Riwang tidak meleset.
Setelah mengejang-ngejang kelojotan, kakek be-
rambut putih mengeluarkan sesuatu dari dalam daging
pahanya yang bergetar hebat. Sebuah lempengan batu
bercampur darah. Setelah dibersihkan dengan ujung
rambutnya, kakek itu menyerahkan pada Riwang.
"Kala Suta" Riwang membaca tulisan dalam
lempengan batu. Saat itu pula kakek berambut putih
berdiri dari tempatnya.
"Kau harus pergi dari sini, Riwang. Kita bukan
pemberontak yang pantas dihukum mati. Pergilah! Dan
simpanlah batu nama ku jangan sampai hilang. Suatu
saat kau pasti membutuhkannya." Setelah berkata begitu, kakek berambut putih menyingkirkan tumpukan
jerami. Tidak ada apa-apa selain batu-batu lantai yang
tersusun rapi meskipun sudah agak berlumut.
"Ke marilah, Riwang, bantu aku..." Kakek itu
nampak menarik-narik salah satu batu lantai. Riwang
jadi penasaran, setelah memasukkan batu bertuliskan
'Kala Suta' ke dalam balik bajunya, ia membantu men-
gangkat batu lantai.
Maka terlihatlah sebuah lubang yang cukup
besar menuju ke bawah. Cukup gelap dan pengap. Ri-
wang sendiri terkejut saat kakek itu mendorongnya ke
bawah.
"Keluarlah dari situ. Terowongan ini di gali
hampir tiga puluh tahun lebih. Belum ada orang yang
mencobanya lari dari sini. Cepat pergi! Hanya ini satu-
satunya jalan keluar." Kakek itu tidak memperdulikan
Riwang yang masih menatapnya keheranan. Dia cepat
menutup kembali lantai itu dan menutupinya dengan
tumpukan-tumpukan jerami sebagaimana asal mu-
lanya.
Tinggallah kakek berambut putih sendirian da-
lam ruang tahanan itu. Ia melangkah terhuyung-
huyung. Mulutnya terus mengerung menahan sakit. Ia
menatap kesepuluh jarinya bergetar bersimbah darah.
Di luar dugaan pula kesepuluh jari yang berku-
ku runcing itu bergerak cepat menyambar tenggoro-
kannya sendiri. Secepat itu pula darah menyembur
bagai air mancur. Dengan tenaga yang masih tersisa ia
menarik putus urat pernafasannya. Maka lantai ruan-
gan itu banjir dengan darah saat kakek berambut pu-
tih kelojotan menjelang ajal.
Terowongan yang dilalui Riwang cukup pan-
jang. Selain gelap dan pengap, bau busuk pun menye-
bar memuakkan. Riwang menelusurinya dengan me-
rayap bagai binatang melata. Manakala air menggenang separuh tubuhnya. Binatang berbisa memang
banyak berkeliaran di sekitar lubang itu. Tapi nasib
mujur rupanya tengah melindungi Riwang. Dalam kea-
daan gelap seperti itu mana mungkin Riwang bisa me-
lihat situasi sekitarnya. Terhadap bau busuk saja ia
sudah tidak tahan. Ingin rasanya ia cepat-cepat keluar
dari terowongan itu.
Maka setelah melihat setitik sinar, Riwang
mempercepat menyeret tubuhnya. Udara segar mulai
tercium. Sinar terang semakin nampak. Dan ternyata
pula di situ batas terowongan. Rumput alang-alang
menutupi mulut terowongan itu. Riwang cepat menyi-
bak. Maka terlihatlah pemandangan yang amat menye-
jukkan.
Hamparan tanah berumput serta pepohonan
yang merimbun. Berkali-kali Riwang menghirup udara
segar. Sebuah kali terlihat pula memanjang menembus
lembah yang nampak hijau berkabut.
Setelah keluar dari mulut terowongan itu, ia
baru sadar kalau pakaiannya telah kotor tidak karuan.
Maka langkahnya terus menuju ke pinggir kali. Di situ
ia langsung mencuci tubuh serta pakaiannya yang pe-
nuh lumpur. Mulai terasa kesegaran tubuhnya. Ia pun
meminum sepuasnya.
Menyadari baru melarikan diri, Riwang cepat-
cepat meninggalkan kali itu. Tapi langkahnya terhenti
saat mendengar ringkikan seekor kuda. Dengan was-
was ia menyelinap ke balik semak. Mengintai ke arah
suara ringkik kuda itu. Ternyata bukan orang yang
mengejar seperti prasangkanya. Kuda itu nampak ter-
tambat pada sebatang pohon.
Dengan mengendap-endap Riwang melangkah
mendekati. Tidak ada siapa pun di situ kecuali seekor
kuda. Pada tali kekang yang tertambat itu menggan-
tung sebuah baju dari kulit binatang. Tanpa pikir pan
jang lagi Riwang menukar pakaiannya dengan kulit bi-
natang itu.
Setelah melepaskan pakaian kotornya Riwang
naik ke punggung kuda. Saat itu pula ia langsung
menghela kuat-kuat. Maka kuda itu berlari cepat. Ri-
wang nampak seperti seorang pendekar menunggangi
kuda dengan mengenakan pakaian bulu binatang. He-
laan-helaannya makin jauh terdengar.
Mendengar ringkikan kuda, anak muda yang
tengah merendam dalam air kali langsung berjingkat.
Sekali lompat saja anak muda itu sudah berdiri pada
tanah tepian kali. Ditatapnya seekor kuda lari menjauh
dengan seorang penunggangnya. Anak muda itu men-
dadak melotot.
"Gila...! Kuda serta pakaianku amblas di gondol
maling." gerutunya dalam hati. Lalu ia berusaha men-
gejar...
"Hooooy...! Kembalikan kuda dan pakaianku...!"
teriak pemuda itu sambil mengibar-ngibarkan pakaian
kotor milik Riwang. Riwang yang telah melarikan ku-
danya melaju terus tanpa mendengar teriakan dari
arah belakangnya.
"Brengsek! Bagaimana pun aku harus menda-
patkan kembali pakaianku. Maling keparat itu harus
tahu dengan siapa ia berhadapan." Kecepatan larinya
memang sangat luar biasa. Hanya dengan beberapa
hentakan kaki saja tubuh anak muda itu melesat jauh.
Ada pun pemuda itu seorang tokoh persilatan yang
pantang dikenal orang. Namun dirinya sebenarnya
seorang pendekar yang maha sakti. Siapa lagi pemuda
yang selalu mengenakan pakaian bulu binatang, selain
Pendekar Kelana Sakti? Selain Wintara...
*
* *
Menjelang gelap Riwang menghentikan kudanya
tepat di depan sebuah bangunan yang hampir runtuh.
Bangunan itu nampak amat menyeramkan. Alang-
alang yang tumbuh di sana sini nampak pula tak teru-
rus.
Riwang menambatkan kudanya di depan ban-
gunan itu. Dia sendiri tanpa ragu-ragu melangkah ke
hadapan pintu yang tertutup rapat. Dia bermaksud
mengetuk. Tapi baru beberapa ketukan, pintu itu ber-
derak ambruk ke belakang. Rupanya pintu itu memang
telah rusak, dan Riwang berpendapat bangunan tua ini
sudah tidak berpenghuni.
Untuk itulah ia lebih berani masuk ke dalam.
Di dalamnya masih utuh segala perabotan meski da-
lam keadaan porak poranda. Di mana-mana terdapat
sarang laba-laba. Membuat Riwang semakin merind-
ing. Namun ia tetap melangkah jauh ke dalam.
Mendadak saja ia hampir memekik saat ia me-
masuki ruangan lain. Karena yang dilihatnya pada
ruangan itu lima buah peti mati tanpa tutup. Kelima
mayat utuh terbujur seperti tidur. Riwang berjingkat
mundur. Ia memilih ruangan lain di sebelah kamar
mati itu.
Pada ruangan yang tak berpintu itu Riwang su-
dah dapat melihat keadaan di dalam sana dari luar.
Sebuah tempat tidur dengan peralatan lain yang nam-
pak bersih teratur. Setelah melepaskan senyumnya, ia
melangkah masuk. Tubuhnya terasa lelah karena se-
tengah harian mengendarai kuda. Belum pernah ia
melakukannya sebelumnya. Maka direbahkan tubuh-
nya di atas tempat tidur. Kedua matanya mulai terpe-
jam. Tiba-tiba...
"Maling busuk! Aku sudah mendapatkan kuda-
ku. Sekarang kembalikan pakaianku...! Kalau tidak...!"
Terdengar suara teriakan dari luar.
Riwang tersentak bangun. Ia baru menyadari
kalau tadi siang baru saja mencuri seekor kuda dan
menukar pakaiannya dengan pakaian yang dikena-
kannya sekarang. Dia tidak berani menjawab. Seluruh
tubuhnya gemetar.
"Rupanya kau memaksaku menyeret keluar?
Baik...." Terdengar lagi suara teriakan. Begitu juga
dengan suara langkah kaki yang mulai memasuki
ruangan.
"Tunggu....! Aku menyerah. Kau boleh ambil
kudamu kembali, juga pakaian ini... Harap kau mau
mengampuni, bukan maksudku mencuri semua mi-
likmu... Aku terpaksa." Riwang berdiri di tengah-
tengah pintu kamar. Baju bulu binatang sudah dile-
paskannya.
"Semua maling akan mengaku terpaksa bila
tertangkap." Wintara melangkah mendekat, dia pun
membuka pakaiannya.
"Percayalah padaku, Sobat. Aku betul-betul ti-
dak bermaksud mencuri. Aku pun tidak tahu kalau
semua ini milikmu. Aku sengaja menggunakannya un-
tuk mengelabui anak buah Dwipa Kuntar." Riwang
mencoba menjelaskannya.
"Siapa pun yang kau sebut-sebut itu, bukan
urusanku." kata Wintara sambil menarik baju bulu bi-
natang dari genggaman Riwang. Sebaliknya Wintara
hanya melemparkan pakaian Riwang ke arah muka.
Riwang gelagapan menerimanya.
"Terhadapmu aku masih memberi hati. Entah
kenapa mendadak kasihan setelah melihat kau tanpa
mengenakan baju. Melihat dari raut wajahmu, kau bu-
kan seperti golongan pencuri." Wintara bersikap ra-
mah.
"Kalau kau bukan anak buah Dwipa Kuntar,
aku bersyukur sekali. Aku bisa bersembunyi di sini
untuk sementara. Terus terang aku baru saja lari dari
perangkapnya." jawab Riwang.
"Ah! Aku tidak mau tahu urusanmu. Gara-gara
kau pun, aku terpaksa bermalam di sini." Wintara ma-
sih keki.
"Tidak ada salahnya kalau kita berdua berma-
lam di sini, Sobat. Kamar ini cukup bersih dan tempat
tidurnya cukup besar. Atau kau boleh tidur di sana
aku di lantai." Riwang menunjuk ke arah tempat tidur.
Wintara tidak menjawab, ia melangkah memasuki ka-
mar itu yang cukup terang oleh sinar bulan yang ma-
suk dari jendela kayu.
Namun langkah-langkah Wintara jadi terhenti
ketika terdengar suara berderak-derak. Terlebih-lebih
Riwang yang masih menatap ke ruangan itu. Matanya
langsung tertuju pada suara derak. Yang berasal dari
kelima peti mati itu.
Kedua bola mata Riwang hampir lompat dari
rongganya saat melihat lima pasang lengan mulai ber-
gerak-gerak ke luar dari peti mati. Wintara sendiri
hampir tidak percaya melihatnya. Apalagi ketika keli-
ma mayat itu bangkit menunjukkan raut wajah yang
begitu dingin kebiruan.
"Ma-ma-mayat hiduuup!" Riwang seperti berte-
riak tapi suaranya terdengar perlahan. Wintara yang
dalam keadaan tercengang itu sempat menarik tubuh
Riwang menerobos jendela kayu saat kelima mayat itu
melesat beterbangan menjurus ke arah mereka.
* * *
TUJUH
Kayu-kayu jendela berderak menghambur ke
luar. Bersamaan dengan itu pun tubuh Wintara terus
menerobos ke luar menyeret Riwang. Keduanya jatuh
bergulingan di tanah.
Kelima mayat itu menyusul satu persatu beter-
bangan. Dan tahu-tahu saja sudah berdiri berderet di
hadapan mereka. Wajah mereka yang nampak amat
menyeramkan menyeringai. Wintara cepat bangkit. Ri-
wang langsung berlari ke belakang Wintara.
Dua dari kelima mayat itu bersenjatakan selen-
dang, sedang yang tiga lagi dengan tenang menarik
ikat pinggangnya. Maka dalam sekejap ikat pinggang
itu berubah menjadi tiga bilah pedang. Saat itu pula
kelimanya serempak menyerang.
Dua utas selendang menyambar, suaranya
membledar saat Wintara menghindari sambil men-
gangkat tubuh Riwang ke atas. Namun tiga lawannya
yang bersenjatakan pedang beterbangan menjurus ta-
jam. Wintara yang selalu awas dapat melihat gerakan
mereka. Maka saat tubuh Wintara berjumpalitan di
udara, sempat ia melepaskan tendangan ke arah me-
reka. "Plaaaak...!"
Tiga lawannya sekaligus berjatuhan ke tanah.
Melihat orang yang mereka serang begitu hebat
menjatuhkan tiga orang sekaligus. Dua orang bersen-
jatakan selendang menarik se suatu dari wajah mere-
ka. Ternyata wajah seram mereka cuma sebuah to-
peng. Begitu terpana pula Wintara menatap dua orang
perempuan cantik.
"Buka kedok kalian semua! Kita tidak perlu
menakut-nakuti dengan cara ini. Dan juga jangan
membuang-buang waktu. Habiskan mereka berdua se-
cepatnya!" bentak salah seorang perempuan cantik itu.
Maka ketiga orang yang tadi jatuh bergulingan,
segera membuka topeng-topeng mereka. Nampaklah ti
ga orang laki-laki gagah.
"Serang!" Selendang itu menyambar lagi. Winta-
ra cuma bergeser ke kiri. Sambaran selembar selen-
dang memang luput, tapi bagi Riwang yang buta ter-
hadap, ilmu silat tidak bisa berbuat banyak. Dia sendi-
ri terkejut saat dua selendang itu melilit di tubuhnya.
Wintara melesat menendangi selendang-
selendang itu, namun tiga orang bersenjata pedang da-
tang menghalangi. Babatan-babatan pedang begitu ce-
pat menyambar. Untunglah Wintara cepat menarik
mundur dirinya.
Saat itu pula kedua wanita menarik selendang-
nya kuat-kuat. Tubuh Riwang sampai mencelat ke
atas. Di luar dugaan salah seorang dari perempuan itu
melepaskan tendangan menyambut kedatangan tubuh
Riwang.
"Deees!"
Riwang kembali mencelat bersama belitan-
belitan selendang.
Selendang-selendang yang begitu panjang
membuat diri Riwang tersangkut pada cabang pohon di
sekitar halaman bangunan tua itu. Wintara merasa le-
ga melihat Riwang tidak cidera sedikit pun. Maka dia
pun langsung menghadapi ketiga laki-laki itu.
"Kalian bakal jadi setan sungguhan! Tidak guna
menakut-nakuti demikian." Gesit Wintara menghindari
setiap babatan pedang. Dia selalu membarengi setiap
babatan pedang dengan hantamannya. Mengetahui be-
gitu hebat, ketiga laki-laki penyerangnya makin gigih
melancarkan serangan. Namun pedang-pedang mereka
yang panjang hampir satu meter, seakan tidak berarti
sama sekali bagi Wintara.
Dengan gerakan-gerakan yang gesit serta lin-
cah, Wintara berani berkelit menghindari babatan-
babatan pedang yang bergulung-gulung bagaikan tiga
buah leret sinar yang tak pernah putus.
Wintara yang sudah kepalang tanggung meng-
hadapi mereka melepaskan tiga kali hantaman bertu-
rut-turut. Maka dalam sekejap, pedang-pedang mereka
terlepas dari genggaman. Dan berdentingan menyen-
tuh tanah. Tentu saja pemandangan seperti itu mem-
buat dua perempuan cantik ini makin murka.
Keduanya menerjang bareng dengan pukulan-
pukulan yang siap dilancarkan. Terhadap kedua pe-
rempuan ini Wintara tidak gentar menghadapi seran-
gan-serangan mereka. Maka Pendekar Kelana Sakti ini
nekad menyambut serangan mereka.
Hantaman-hantaman mereka beradu di udara.
Saat itu pula Wintara sempat memekik. Karena sebuah
pukulan menghantam dadanya sangat keras. Ia baru
menyadari kalau dua orang perempuan ini lebih tang-
guh dibanding dengan ketiga lelaki itu.
"Hebat! Setan-setan cantik ini tidak boleh di-
anggap enteng rupanya!" Wintara membalas serangan.
Tapi ketika hantamannya hampir mengenai bagian da-
da, Wintara menarik kembali lengannya. Namun len-
gan kanannya cepat maju menghantam pinggul salah
seorang perempuan itu sampai terhuyung.
Riwang meronta-ronta tergantung di atas po-
hon. Belitan selendang itu begitu kuat. Rontaannya
makin kuat saat tiga orang lelaki berdatangan meng-
hunuskan pedangnya. Ketiganya melesat ke atas sam-
bil membabatkan pedang. Namun belum sempat pe-
dang mereka menyentuh tubuh Riwang, Wintara lebih
dulu datang. Kedua lengannya langsung berputar
menghantam ketiganya. Tapi dua perempuan cantik
itu rupanya menyusul saat Wintara melesat.
Salah seorang dari perempuan itu cepat me-
nyambar pedang dari laki-laki yang jatuh bergulingan.
Secepat itu pula pedang itu bergerak menyambar.
"Traaang!"
Pedang itu seakan menyentuh benda yang amat
keras. Selendang serta baju yang dikenakan Riwang
robek.
Riwang tetap tergantung di atas meronta-ronta,
lalu tanpa disadarinya sesuatu jatuh dari robekan ba-
junya. Sebuah lempengan batu. Rupanya saat pedang
menghantam tubuh Riwang, sambaran pedang itu te-
pat mengenai batu itu. Batu itu pula yang melindungi
tubuh Riwang dari sambaran pedang.
Perempuan itu menghentikan serangannya.
Matanya tertuju pada lempengan batu yang tergeletak
di tanah. Dengan ujung pedangnya perempuan itu
mengambil lempengan batu itu.
Matanya terbelalak saat ia membaca tulisan
yang tertera di situ... Kala Suta... Maka...
"Hentikan...!" Mendadak perempuan itu berte-
riak. Wintara jadi terheran-heran melihat para penye-
rangnya serentak diam. Semua mata mengarah pada
perempuan yang masih menggenggam lempengan ba-
tu. Keempat penyerang itu datang menggerubungi, Da-
lam kesempatan itu pula Wintara melesat ke atas po-
hon. Kelima orang yang berada di bawahnya membiar-
kan Wintara menurunkan Riwang.
"Maafkan tindakan kami tadi, Ketua. Kami se-
mua betul-betul tidak tahu...." Perempuan yang meng-
genggam lempengan batu itu langsung memberi hor-
mat ketika Riwang turun bersama Wintara. Kedua te-
lapak tangan perempuan itu mengembalikan lempen-
gan batu. Riwang menerima dengan tidak mengerti.
"Melihat lempengan batu itu, pastilah anda seo-
rang utusan Kala Suta. Sekalipun anda seorang utu-
san, kami sudah menganggap sebagai pemimpin ka-
mi." Setelah memberi hormat, kelima orang itu bangkit
berdiri. Wintara mengira mereka akan menyerang lagi.
Maka kedua lengannya siap-siap mengeluarkan jurus.
"Aku yang bernama: Wuning Sari sekali lagi
memohon maaf. Juga aku mewakili adik ku Lela War-
ni." Kedua wanita itu memberi hormat lagi. Ketiga lela-
ki yang berada di dekatnya berdiri menunduk. Tak la-
ma kemudian berdatangan lagi orang-orang memenuhi
halaman bangunan. Dari pakaian mereka menunjuk-
kan bahwa mereka bukanlah penduduk desa itu. Se-
muanya hampir bersenjata. Mereka langsung berderet
ke hadapan Riwang dan memberi hormat.
"Siapa sebenarnya kalian?" tanya Riwang sam-
bil melangkah mundur. Wuning Sari tersenyum....
"Kami semua sebenarnya rakyat biasa. Sengaja
memilih bangunan tua ini sebagai tempat pertemuan.
Kami juga sudah siap memberontak terhadap pemerin-
tah sri baginda. Kami hanya menunggu perintah ke-
tua."
"Apa? Jadi kalian semua akan memberontak
pada sri baginda? Kalian telah melakukan tindakan
yang salah. Selama ini sri baginda sangat memperhati-
kan rakyat. Beliau telah memeras keringat untuk ke-
makmurkan rakyatnya. Kenapa harus memberontak?"
Mendengar ucapan Riwang semuanya saling
pandang. Terlebih-lebih Wuning Sari dan Lela Warni.
Satu pun tidak ada yang berani bicara.
"Kebencian kalian terhadap sri baginda sebe-
narnya hanyalah korban 'Kambing Hitam' seseorang
yang juga memegang jabatan di keraton. Aku dan ka-
kek Kala Suta sendiri yang melihat perbuatan orang
itu. Kakek Kala Suta mengatakan padaku bahwa ia ti-
dak pernah memberontak terhadap sri baginda. Orang
yang harus kalian hadapi adalah: Dwipa Kuntar...!"
"Sebagai seorang ketua, anda telah menerang-
kan perihal yang sebenarnya. Apapun pendapat ketua
akan kami junjung tinggi. Terima kasih telah menyampaikan seseorang yang mesti kami hadapi."
"Sekali lagi aku katakan. Aku bukanlah seorang
ketua yang pantas memimpin kalian, aku pun sama
seperti kalian. Namaku Riwang."
"Apapun pengakuanmu, kami tetap mengang-
gap kau sebagai ketua. Kala Suta yang selama pulu-
han tahun menyendiri telah menyerahkan batu tulis
itu padamu. Ia tidak mungkin salah pilih." sela Lela
Warni. Riwang makin tidak bisa menjawab. Wintara
hanya menggaruk-garuk kepala.
Kala Suta menyendiri? Mereka telah berangga-
pan salah lagi. Jelas-jelas Riwang terkurung bersama
dalam satu ruang tahanan. Mereka malah menganggap
Kala Suta menyendiri. Siapa sangka pula kalau Riwang
sekarang menjadi pemimpin mereka. Riwang jadi bin-
gung sendiri.
"Ada sesuatu yang akan kukatakan, Ketua. Aku
rasa untuk mengetahui di mana Kala Suta berada ada-
lah satu rahasia. Tapi tak mengapa. Kala Suta memang
orang yang sukar untuk ditemui, paling tidak kau
akan mengantarkan di mana Dwipa Kuntar." Perka-
taan Wuning Sari begitu mengejutkan. "Wuaaah... Ka-
lau urusan kerajaan, aku tidak ikut campur," Tiba-tiba
Wintara nyeletuk. "Biarlah urusan kita sampai di sini
saja, Riwang. Aku anggap sudah tidak ada persoalan
lagi." lanjut Wintara, sebelah lengannya menepuk
punggung Riwang.
"Siapakah pemuda yang bersamamu itu, Ketua
Riwang?" tanya Lela Warni.
"Dia...? Oh dia...." Riwang gelagapan. "Aku Win-
tara, sahabatnya...." Wintara cepat menjawab.
"Ya, ya... Dia sahabatku." Riwang menimpali.
"Ah, Ketua Riwang rupanya terlalu lelah.
Mungkin karena perjalanannya yang teramat jauh. Se-
baiknya kita beristirahat saja di dalam. Udara di luar
sangat dingin. Tentunya kau pun perlu istirahat. Bu-
kankah begitu, Wintara?" Wuning Sari memberi jalan.
Maka keduanya melangkah masuk ke dalam bangunan
itu lagi. Orang-orang yang berkumpul itu pun mengi-
ringi dari belakang.
Beberapa orang menyediakan sebuah bangku
berukir. Bangku itu diletakkan pada ruangan yang cu-
kup besar di mana kelima peti mati masih terbujur ko-
song. Riwang di persilahkan menduduki kursi itu. Da-
lam hati, Wintara tertawa geli. Seorang pencuri bisa
berlagak seorang raja. Mereka ini sebenarnya apa? Se-
pasukan pemberontak? Atau sepasukan orang-orang
kurang waras?
Mula-mula mereka menyamar bagai hantu. La-
lu menyerang ingin membunuh, kemudian mengang-
gap Riwang sebagai ketua. Dan sekarang kedua wanita
cantik itu sibuk mengeluarkan makanan. Ada baiknya
juga Wintara mengejar Riwang sampai ke sini. Setidak-
tidaknya ia akan mendapat jatah makan malam.
"Setelah makan malam ini, Ketua Riwang boleh
beristirahat. Biar kami berjaga di luar bergantian. Ka-
mi betul-betul menganggap malam pertemuan yang
sangat luar biasa." tutur Lela Warni yang berdiri di se-
belah Riwang. Pemuda yang kebingungan itu men-
gangguk.
"Tempat ini aman. Kita tidak perlu khawatir
terhadap orang-orang kerajaan." kata Wuning Sari ti-
dak kalah gesit melayani Riwang. Gadis yang satu ini
selalu menunjukkan sikap yang berlebihan.
"Sudah kubilang, jangan libatkan sri baginda
dalam pemberontakan kalian. Musuh kalian dan mu-
suh rakyat sebenarnya adalah Dwipa Kuntar. Keparat
itu yang semestinya kita musnahkan." Saat Riwang bi-
cara orang-orang yang berada di situ diam seketika.
"Aku pun tidak perlu melibatkan diri." sela Wintara.
DELAPAN
Kemarahan Dwipa Kuntar meledak saat menge-
tahui tawanan Riwang melarikan diri. Mulanya ia tidak
mengerti, bagaimana Riwang bisa lolos dari penjara
yang tergembok begitu kuat. Dan juga tidak mungkin
bisa lolos karena penjagaan yang begitu ketat.
Mengenai kematian Kala Suta yang sangat
mengerikan itu. Dwipa Kuntar sudah menduga dia bu-
nuh diri. Yang ia tidak habis pikir darimana Riwang bi-
sa raib secara misterius, sedangkan terali besi masih
tetap tergembok. Namun setelah ia memeriksa seluruh
ruangan itu. Amarahnya makin memuncak. Karena di-
temukannya sebuah lorong rahasia yang selama ini ti-
dak diketahuinya. Maka dengan sengit ia memerintah-
kan seluruh pengawalnya untuk menelusuri terowon-
gan itu dan mencari kembali tawanan Riwang.
Mereka semua menyebar ke segala pelosok.
Memasuki desa-desa, lembah, maupun hutan belanta-
ra sekalipun. Setiap orang yang mereka temui tidak
luput dari pertanyaan mereka. Bahkan ada juga yang
mengorbankan nyawa di tangan para pengawal Dwipa
Kuntar.
Desa Branjangan jadi gempar mendengar berita
larinya tawanan Riwang. Mereka menduga Riwang pas-
ti berada di desa itu. Para pengawal pun memeriksa se-
tiap rumah-rumah penduduk. Namun susah payah
mereka belum juga menemukan Riwang.
Rawing yang kebetulan baru memasuki desa itu
guna mencari saudara kembarnya tersentak kaget. Pa-
ra penduduk yang dijumpainya lari kalang kabut. Me-
reka seperti bertemu setan melihat Rawing berjalan te-
nang. Orang-orang itu teriak-teriak di sepanjang la
rinya...
"Riwang di sini...! Riwang di sini...!" Dari teria-
kan mereka, Rawing sudah memastikan kalau orang-
orang Dwipa Kuntar tengah mencari-cari Riwang. Ma-
ka ia pun memandang berkeliling. Sekejap saja pelata-
ran desa itu sunyi senyap. Para penduduk desa menepi
dalam gubuk mereka. Semua mata memandang ke
arah Rawing. Rawing sendiri merasa berdiri di tengah-
tengah kesunyian.
Saat itu pula bermunculan beberapa orang ber-
pakaian prajurit. Mereka yang berjumlah delapan
orang menghunuskan pedang. Sigap pula mereka me-
langkah ke arah Rawing.
"Bagus kau, Riwang! Berani pula kau menam-
pakkan diri. Jangan harap kau bisa lolos hidup-hidup.
Dwipa Kuntar hanya memerintahkan membawa kepa-
lamu." Para prajurit itu langsung mengepung Rawing.
Mereka mengira Rawing adalah Riwang. Karena wajah
mereka memang serupa. Rawing memanfaatkan ke-
sempatan itu.
"Aku khawatir kepala Dwipa Kuntar sendiri
yang bakal menggelinding..." Rawing menjawab tenang.
Kedelapan prajurit itu membelalakkan mata.
"Jaga lidahmu, Riwang." Prajurit itu jadi sengit.
Pedangnya membersit menyambar Yang lainnya men-
gikuti mulai menyerang. Namun sebelum pedang me-
reka mengenai Rawing melepaskan tendangan lebih
dahulu pada salah seorang penyerangnya. Sampai ter-
banting ke tanah sambil menyemburkan darah dari
mulutnya.
Mereka betul-betul terperanjat melihat tendan-
gan Rawing yang begitu cepat. Apalagi melihat seorang
temannya ambruk tanpa berkutik. Sudah tentu mere-
ka jadi keder. Semua penuturan Dwipa Kuntar tidak
benar. Riwang yang dibilang tidak becus apa-apa ternyata sangat sukar untuk dilumpuhkan.
Ketujuh prajurit yang masih sisa itu menge-
pung dari segala arah. Pedang-pedang mereka berkele-
bat mencecar ke tubuh Rawing yang sebenarnya ingin
tertawa melihat mereka kebingungan. Saat itu pula
Rawing menyambut serangan-serangan mereka.
Meskipun dengan tangan kosong, Riwang dapat mem-
buyarkan lawan-lawannya yang bersenjata pedang.
Dari kejauhan para penduduk desa menyaksi-
kan pertarungan itu. Mereka semua menatap ngeri.
Kaum perempuan ada yang sempat memekik ketaku-
tan saat sebilah pedang menyambar ke arah Rawing.
Tapi Rawing yang sudah mengerahkan semua jurus-
jurusnya itu melesatkan diri ke atas.
Dan dalam keadaan yang masih berjumpalitan
di udara itu Rawing melepaskan dua hantamannya se-
kaligus. Maka dua orang prajurit ambruk kelojotan
dengan mulut berlumuran darah.
"Kenapa tidak Dwipa Kuntar sendiri yang da-
tang ke mari. Biar ku habiskan bersama kalian!" ben-
tak Rawing. Sebelah lengannya cepat menepis perge-
langan tangan lawannya. Secepat itu pula ia merebut
pedang dari tangan lawan.
Dalam satu detik pedang itu bergerak keras, la-
lu disusul dengan jatuhnya seorang prajurit. Isi perut-
nya terburai ke luar mengerikan. Jeritannya menyayat
memekakkan telinga.
"Majulah kalian bertiga sekaligus." Rawing me-
nyeringai. Pedangnya terhunus masih bersimbah da-
rah. Matanya nyalang menatap ketiga orang prajurit
berdiri gemetar di hadapannya.
"Aku kira kalian tidak setakut ini saat memban-
tai keluarga Adipati Rekayasa. Kenapa sekarang nam-
pak seperti tikus kecebur di kali? Ayo maju...!"
Ketiganya saling pandang. Mereka bergidik melihat lima orang temannya bergelimpangan di tanah
tanpa nyawa. Manakala Rawing melangkah mendekati.
Para penduduk desa yang ada di sekitar situ menatap
tegang.
"Hraaaaaa...!" Mendadak Rawing menerjang
dengan suara teriakan yang lantang menggelegar. Pe-
dangnya yang masih berlumuran dengan darah berke-
lebat bagai kilat yang menggelegar di langit. Serentak
pula ketiganya ambruk. Dan di antaranya tidak sempat
memekik, karena kepala mereka lebih dulu mengge-
linding. Sedang yang satu lagi kelojotan.
Ia telah kehilangan sebelah lengan dan sebelah
telinga. Rupanya Rawing sengaja menyisakan segelintir
lawannya. Orang itu tetap kelojotan di bawah telapak
kaki Rawing yang menginjak kepalanya.
"Aku yakin kau masih bisa bertahan sampai
kau menunjukkan di mana adanya Dwipa Kuntar!"
bentak Rawing. Kedua matanya melotot seperti hendak
loncat.
"Arggght" Orang itu memekik saat Rawing me-
narik bangkit.
"Orang-orang kampung...! Kalian tidak perlu
takut padaku! Anjing-anjing ini pantas bergelimpangan
dimakan cacing tanah. Karena mereka bersekutu den-
gan manusia bernyawa anjing. Tidakkah kalian dengar
peristiwa pembantaian panglima kerajaan Adipati Re-
kayasa? Dalang semua ini adalah Dwipa Kuntar. Tidak
patutkah aku sebagai anaknya menuntut balas atas
kejahatan mereka? Hah! Pantaskah aku menuntut ba-
las?" Suara Hawing polos namun sangat nyaring. Ma-
tanya memandang berkeliling mengarah pada orang-
orang Desa Branjangan yang berdiri ketakutan di de-
pan gubuk mereka.
Rawing seperti tertawa, tapi suaranya tidak ke-
luar. Tubuhnya yang kekar berdiri memegangi seorang
prajurit cacat.
"Tidakkah kalian sadar, kalau kalian juga mulai
dipengaruhi oleh Dwipa Kuntar keparat itu? Lama-
lama daging kalian bakal tersayat seiris demi seiris.
Bahkan terperas sampai tetes darah penghabisan!"
Puas mengumbar kata, Rawing mendorong tawanan-
nya. Langkah-langkahnya yang gegap menyeret.....
Orang-orang Desa Brajangan hanya menatap
kepergian Rawing yang makin lama makin menjauh.
Dalam hati mereka terselip kebenaran yang diucapkan
Rawing. Selama ini Dwipa Kuntar memang mulai me-
nindas rakyat Branjangan secara perlahan-lahan Teru-
tama soal upeti yang dilipatgandakan. Namun yang
mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin Riwang
bisa menggulingkan tujuh orang prajurit dengan san-
gat cepatnya. Padahal mereka tahu benar saat tiga
'jagoan' Kampung Branjangan meringkusnya waktu
itu. Riwang sama sekali tidak berontak bagai tak ber-
daya. Tapi sekarang...? Tentu saja mereka terkecoh,
karena yang mereka lihat tadi bukanlah Riwang, me-
lainkan Rawing saudara kembarnya yang baru datang
dari Tanah Tapak Tuan.
Semenjak Wintara bertemu dengan Riwang
maupun orang-orang penghuni bangunan tua. Wintara
merasa berada di lingkungan orang-orang berpenyakit
saraf. Ada pula kesan yang membuat Wintara selalu
ingin tertawa. Apalagi setelah melihat keakraban yang
begitu singkat antara Riwang dengan Wuning Sari. Ter-
lihat pula sinar kecemburuan di mata gadis bernama:
Lela Warni.
Bagaimana tidak, Riwang tergolong pemuda
yang sangat tampan. Wajar kalau dua kakak beradik
itu saling berebut. Teman-temannya yang berjumlah
hampir dua puluh orang malah memberi kesempatan
pada Wuning Sari. Hal itu membuat Lela Warni makin
cemberut.
"Sobat Wintara, kami akan senang kalau kau
mau bergabung dengan kami. Kami membutuhkan
orang-orang seperti kau." kata Wuning Sari yang du-
duk rapat di samping Riwang. Pemuda itu sendiri se-
benarnya merasa risih. Wintara hanya menatap seki-
las, lalu....
"Maaf, aku tidak ingin terlibat dengan urusan
kalian. Aku cukup bangga dengan semangat juang
yang begitu membara. Juga...."
"Kau takut, Wintara? Untuk apa memiliki ilmu
setinggi gunung kalau tidak dipergunakan saat rakyat
membutuhkannya? Lagi pula kita tidak memberontak
terhadap sri baginda. Seperti yang diperintahkan Kala
Suta melalui Ketua Riwang. Kita hanya menggulingkan
kebejatan Dwipa Kuntar. Hanya itu...!" tutur Wuning
Sari.
"Betul, Wintara. Kalau saja kita dapat menum-
pas Dwipa Kuntar, semua rakyat akan merasa ten-
tram. Sebaiknya kau ikut kami." tukas Rawing.
"Kalian cukup banyak untuk menggulingkan
kekuatan Dwipa Kuntar. Dan lagi kalian semua beril-
mu cukup tinggi. Kurang apa lagi?" jawab Wintara.
"Aku harus pergi sekarang. Maaf... Aku bukan
termasuk orang yang bisa diandalkan. Anggap saja
pertemuan kita ini secara kebetulan. Permisi..." Winta-
ra melangkah ke luar. Orang-orang yang berkumpul di
situ memberi jalan.
"Semoga saja kau berubah pikiran, Wintara.
Kami masih membutuhkan dirimu !"kata Lela Warni
yang berlari memburu. Wintara sudah mendekati ku-
danya. Wintara tersenyum.
"Mungkin juga." jawabnya sambil naik ke atas
pelana. Hanya dengan menarik tali kekang, kudanya
sudah melangkah. Lela Warni masuk kembali ke dalam
bangunan, namun mendadak ia berhenti. Ia menden-
gar suara langkah-langkah yang amat mencurigakan.
Cepat ia melompat ke balik rimbunnya semak. Di situ
ia bisa melihat belasan orang berpakaian prajurit.
Langkah-langkah mereka seperti akan menuju pada
bangunan tua.
Maka dengan gerakan yang sangat lincah, Lela
Warni berjumpalitan tanpa mengeluarkan suara. Meli-
hat kehadiran Lela Warni yang begitu aneh, orang-
orang yang tengah berkumpul itu merasa terkejut.
"Cepat bersembunyi, para pengawal Dwipa
Kuntar menuju ke mari." bisik Lela Warni yang lang-
sung melompat ke atas bersembunyi. Suara itu seperti
menyebar, maka orang-orang yang berkumpul berlom-
patan mencari tempat persembunyian.
Begitu juga dengan Wuning Sari. Sekali ia
menghentakkan kedua kaki, tubuhnya sudah berada
di atas para. Riwang bangkit kebingungan. Dalam se-
kejap saja ruangan itu sepi seperti pertama kali ia da-
tang ke situ. Untuk melesat ke atas seperti mereka,
mana mungkin Riwang bisa.
"Ketua Riwang... Cepat naik ke mari!" Wuning
Sari mengeluarkan suara pelan. Yang dilakukan Ri-
wang malah seperti anak tolol. Karena ia tidak dapat
melesat, Riwang hanya memanjat tiang ruangan. Su-
dah tentu tindakan itu akan memakan waktu yang
sangat lama. Maka Wuning Sari turun kembali me-
nyambar tubuh Riwang.
Tindakan Wuning Sari pun terlambat. Belasan
prajurit sudah terlanjur melewati pintu bangunan yang
terbuka lebar. Mereka pun sempat melihat mereka
berdua. Dan hampir tidak percaya adanya Riwang di
dalam ruangan itu. Maka...
"Itu Riwang...! Cepat tangkap! Juga perempuan
itu!" Mereka serempak memburu Riwang yang gelagapan. Belasan pengawal Dwipa Kuntar memenuhi ruan-
gan itu mengelilingi Riwang dan Wuning Sari.
"Bocah sial! Kau telah menyusahkan kami. Se-
baiknya kau kupenggal sekarang!" Prajurit-prajurit itu
mulai maju, Wuning Sari melindungi posisi Riwang.
* * *
SEMBILAN
Tiba-tiba saja bagian atas ruangan berderak.
Bersamaan dengan itu pula dua puluh orang yang ber-
sembunyi di atas berloncatan ke bawah. Para prajurit
yang berdiri di bawahnya terkejut setengah mati. Ta-
hu-tahu saja mereka telah terkepung. Malah gerakan
mereka lebih cepat. Tanpa adanya perintah lagi orang-
orang itu menyerang para prajurit.
Wuning Sari yang berada di tengah-tengah ke-
pungan itu langsung melepaskan babatan pedang. Pra-
jurit yang berada di depannya terlempar dengan dada
yang bersimbah darah. Dan ketika ia membabat untuk
yang kedua kalinya, dua orang ambruk kelojotan.
Rekan-rekannya yang lain sibuk pula mengha-
dapi para prajurit itu. Denting beradunya senjata me-
reka nyaring. Begitu juga dengan suara jerit kesakitan
yang panjang menyayat. Selalu beriringan dengan ja-
tuhnya para korban dari kedua belah pihak.
Riwang mundur gemetar. Diam-diam ia mencari
tempat persembunyian. Ia paling takut melihat per-
tempuran. Dalam keadaan seperti itu mana mungkin
para prajurit Dwipa Kuntar dapat mengawasi Riwang.
Wuning Sari sendiri mengira Riwang tengah terlibat
pertempuran.
"Pemberontak-pemberontak keparat! Berani kalian terhadap pasukan pengawal Dwipa Kuntar?" Ada
juga seorang prajurit yang gigih melancarkan seran-
gan. Lela Warni memang tengah menghadapinya.
"Mulutmu terlalu busuk! Siapa yang takut ter-
hadap Dwipa Kuntar...!" bantah Lela Warni, pedangnya
berkelebat menyambut serangan. Menimbulkan bentu-
ran yang sangat keras.
"Adik Lela Warni, jangan bertele-tele mengha-
dapi mereka. Pancung saja lehernya!" perintah Wuning
Sari yang saat itu sudah menjatuhkan lima orang la-
wan. Mendengar itu pun Lela Warni memutar pedang-
nya kuat-kuat, maka...
"Craaak!"
Sebuah kepala menggelinding lalu terinjak-
injak di bawah kaki pertempuran.
"Teman-teman...! Lawan kita sudah berkurang
banyak, jangan beri kesempatan mereka melarikan di-
ri...!" Sambil berteriak begitu Wuning Sari terus meng-
gempur para prajurit yang ada di hadapannya.
"Hantam terus...!" Lela Warni makin berseman-
gat. Kurang lebih sudah enam orang yang dibikin te-
was. Entah sudah berapa orang yang telah bergelim-
pangan tanpa nyawa di ruangan itu. Belum lagi yang
terluka. Baik dari kedua belah pihak yang tengah ter-
luka itu, mereka tetap melancarkan serangan. Dan
ternyata para pengawal Dwipa Kuntar betul-betul po-
rak poranda. Satu demi satu sampai pada yang terak-
hir, tewas mengerikan.
Setelah Wuning Sari membabat ke arah leher
lawan terakhirnya, ternyata Lela Warni datang pula
merobek bagian perut. Bahkan ditambah lagi dengan
sebuah tendangan. Tubuh itu terlempar dengan nyawa
terputus. Setelah berdegumnya tubuh itu di lantai
ruangan, tempat itu kembali sunyi. Pertempuran telah
usai. Para pengawal Dwipa Kuntar tewas semua tanpa
sisa. Kelompok Riwang nampak membantu bangkit re-
kan-rekan yang terluka. Saat itu Riwang baru menam-
pakkan diri.
"Tiga orang teman kita tewas, Wuning Sari...
Yang luka enam orang." lapor orang-orang itu. Wuning
Sari menatapi para korban, lalu...
"Obati yang luka-luka, yang tewas biarkan saja
di sini. Kita tidak punya waktu banyak. Secepatnya ki-
ta harus meninggalkan tempat ini. Karena Dwipa Kun-
tar telah mencium markas kita."
"Kenapa harus menunggu waktu berlarut-larut.
Kita jalankan saja rencana semula!" sela Lela Warni.
"Membidik Matahari?" Wuning Sari mengelua-
rkan kata sandi.
"Ya!"
Wuning Sari menatap teman-temannya yang
terluka tengah diberi pengobatan. Syukurlah luka-luka
mereka tidak begitu berat. Riwang juga tengah meme-
riksa keadaan mereka. Lalu gadis itu melangkah ke
arah Riwang. Lela Warni mengikutinya.
"Ketua Riwang, mohon diberi petunjuk. Di ma-
nakah kami bisa menemukan Dwipa Kuntar?" Wuning
Sari menegur. Riwang menoleh.
"Betul, Ketua Riwang, sebentar lagi pasti pasu-
kan Dwipa Kuntar berdatangan ke mari. Daripada kita
diserang, lebih baik menyerang lebih dulu." timpal Lela
Warni.
"Ya...! Kami sudah siap menghadapi mereka!"
jawab orang-orang yang berada di situ serempak. Bah-
kan orang-orang yang terluka itu ikut menyahut.
"Kami sudah terlanjur luka, Ketua Riwang. Le-
bih baik mati dalam menghadapi setan keparat Dwipa
Kuntar."
Riwang tidak segera menjawab. Sebenarnya ia
merasa khawatir terhadap mereka. Riwang tahu sendiri kalau Dwipa Kuntar mempunyai dua orang tukang
pukul yang berilmu tinggi. Dengan kedua orang itu pu-
la Dwipa Kuntar semakin berkuasa dan tak terkalah-
kan. Namun karena dorongan yang sangat mendesak,
Riwang terpaksa buka suara....
"Baik, aku yang tidak memiliki ilmu secuil pun
akan turut bersama kalian. Bersiap-siaplah. Kita akan
menuju 'Penjara Maut..."
"Penjara Maut?" Wuning Sari dan Lela Warni
terkejut.
"Pantas kita selalu gagal mencari Dwipa Kun-
tar. Si keparat itu rupanya bersembunyi di sana!" geru-
tu Lela Warni.
"Kalau begitu kita segera berpencar. Biar Ketua
Riwang bersamaku. Lela Warni, harap memimpin yang
lain. Jangan terlalu bergerombol. Hal itu akan mencu-
rigakan."
Meski agak cemberut, Lela Warni menuruti pe-
rintah kakaknya. Langkahnya menuju ke luar lebih
dulu.
"Siapa yang mau ikut bersamaku, silahkan...!"
Nada bicaranya begitu kesal. Tanpa diperintah lagi tiga
orang temannya datang mengikuti Lela Warni.
*
* *
Ki Balung tersenyum lebar saat ia menarik ja-
lanya untuk yang keempat kali. Puluhan ikan meron-
ta-ronta berkecipak dalam jalanya. Ia hampir tidak
sanggup menarik. Manakala ombak laut demikian be-
sar menerpa. Lengannya yang legam memunguti satu
demi satu ikan-ikan itu. Sampai-sampai tempat ikan-
nya yang tergantung di pinggangnya penuh sarat.
Ikan-ikan yang masih berkecipak dalam jalanya
tidak mungkin akan tertampung. Ki Balung sengaja
menyeret jalanya ke pantai. Bermaksud akan member-
sihkan jalanya dari ikan. Saat itu ia mendengar derap
kaki kuda yang menderu-deru.
Dari tempat ia berdiri Ki Balung sudah melihat
kepulan debu yang bergulung-gulung memenuhi tanah
berpasir. Belasan kuda serta para penunggangnya
yang berpakaian prajurit nampak menghela kuda-
kudanya demikian cepat. Ki Balung mengernyitkan alis
menatap pasukan itu yang makin lama makin dekat.
Dia sudah tahu maksud kedatangan para pra-
jurit itu. Maka ia bersikap pura-pura tidak tahu.
Meskipun tangannya gemetar memunguti ikan-ikan
dari jalanya. Jantungnya hampir copot saat kuda-kuda
itu berhenti mengelilinginya.
"Kakek Kriput! Kami tengah mencari seorang
buruan bernama Riwang. Apakah kau melihatnya?" te-
gur salah seorang prajurit itu.
Ki Balung tidak berani menatap. Dengan geme-
tar ia tetap menunduk.
"Kakek peyot! Apakah kau tuli!" bentak yang
lain tidak sabaran. Kali ini Ki Balung mengangkat wa-
jahnya menatap mereka. Dilihatnya belasan prajurit
berwajah garang. Ki Balung makin menggigil.
"A-a-aku... ti-tit-tidak tahu... Betul-betul tidak
tahu." jawab Ki Balung gugup. Matanya memandang
ke arah gubuk. Ia khawatir sebab Mayang putrinya ada
di sana. Dia pun tahu pula kalau mereka adalah para
pengawal Dwipa Kuntar. Tiba-tiba saja... "Plak!" Salah
seorang dari mereka menampar dengan telapak kaki.
Kontan Ki Balung bergulingan.
"Kau tidak jujur, Kakek busuk! Seret dia! Bawa
ke gubuknya dan periksa!" Para penunggang kuda itu
turun, mereka langsung menyeret Ki Balung. Ikan-ikan
tangkapannya berantakan menggelepar-gelepar di pa
sir.
"Aku sungguh-sungguh tidak tahu... Aduuuh!
Ampun!"
Mereka langsung mendobrak pintu gubuk.
Mayang yang berada di dalam tengah menanak nasi
mendadak terkejut. Ia hampir tidak percaya gubuknya
telah penuh dengan para prajurit.
Tiba-tiba pula dari kerumunan itu mencelat tu-
buh Ki Balung ke hadapan Mayang. Sudah tentu
Mayang jadi kalang abut memburunya. Para prajurit
itu hanya menyeringai menatap mereka.
"Geledah seluruh ruangan ini, cepat!" Mereka
menghambur memasuki tiap-tiap ruangan dalam gu-
buk itu.
"Kalian mencari apa?" bentak Mayang. Tapi
Mayang mendapat jawaban yang tak terduga. Seorang
prajurit yang paling menyeramkan datang menghampi-
ri Mayang. Gadis itu tersentak, tahu-tahu saja ram-
butnya yang panjang dijambak.
"Tentunya gadis ini putri mu, Ki. He-he-he-he...
Sangat cantik. Disayangkan pula hidup terpencil se-
perti ini...." Wajah bringas itu mendekat ke wajah
Mayang. Gadis itu berontak.
"Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa...!" teriak
Ki Balung. Namun sebuah tamparan mendarat lagi di
pipinya. Ki Balung meringis. Lalu diam bergetar mena-
tap seorang prajurit menghunuskan pedang ke arah Ki
Balung.
"Kau lihat apa yang kupegang ini, Ki...? Seka-
rang kau tidak mungkin berdusta lagi." Orang yang
menghunuskan pedang itu menunjukkan sesuatu pa-
da Ki Balung. Laki-laki setengah tua itu membelalak-
kan mata.
"Pakaian bekas ini masih teramat bagus. Ra-
sanya tidak mungkin kalau pakaian ini milikmu. Bekas
apa pula bercak-bercak darah yang melekat di baju
ini?"
"Ayah...!" pekik Mayang sambil berlari, tapi
langkahnya segera terhenti karena salah seorang pra-
jurit menahan tubuhnya dan langsung memeluk erat-
erat. Datang lagi beberapa orang ikut memegangi
Mayang yang meronta-ronta.
"Dia sudah pergi...! Dia sudah tidak ada di si-
ni...!" teriak Mayang. Orang-orang itu makin kuat me-
rejang.
"Mayang kau bicara apa!" Ki Balung memben-
tak. Namun mendadak kedua mata membelalak. Kare-
na sebilah pedang telah menembus di perutnya.
"Ayah...!" Para prajurit sengaja melepaskan
Mayang. Mereka menatap gadis itu meratapi Ki Ba-
lung. Sebentar kemudian mereka menarik kembali
Mayang. Gadis itu menjadi bulan-bulanan belasan pra-
jurit. Tawa mereka menggelegak memenuhi ruangan
gubuk. Mereka mulai mempreteli pakaian Mayang.
Mencabik-cabik secara bergantian. Sampai polos
membugil.
Pemandangan seperti itu terlihat jelas oleh Ki
Balung yang mengeluarkan nafas terputus-putus.
"Kalian laknat...! Binatang...!" teriaknya. Darah
sudah mengalir dari perut. Kedua bola matanya seperti
hendak keluar menatap anaknya yang bugil meronta-
ronta dari tangan ke tangan.
"Sebelum kau mampus katakan ke mana Ri-
wang?" Mereka berhenti mempermainkan Mayang yang
sekarang sudah terbaring di tanah menangis. Bibir Ki
Balung bergetar. Tiba-tiba saja ia meludahi muka
orang yang bicara tadi. Tanpa membalas orang itu ber-
balik melangkah mendekati Mayang. Para prajurit
lainnya diam membisu. Mendadak saja orang itu me-
narik ke atas tubuh Mayang. Menghadapkan pada
sang ayah yang sudah sekarat. Gadis itu menggeliat-
geliat lemas. Di hadapan Ki Balung pula orang itu
menjilati seluruh tubuh bugil Mayang.
Dengan mengerahkan tenaganya Ki Balung be-
rusaha bangkit. Langkah-langkah yang gontai mener-
jang ke arah orang yang melumat habis anaknya. Na-
mun seleret sinar putih menebas lehernya lebih dulu.
Kepala Ki Balung yang kuntung melayang ke luar di-
iringi dengan tawa mereka yang mengakak. Dari leher
Ki Balung mengucur deras darah bagai air mancur.
Buntungan kepala itu jatuh tepat di pangkuan
Wintara yang kebetulan melewati gubuk itu. Kudanya
sengaja dihentikan di muka gubuk. Tanpa merasa jijik
ia memegangi kepala Ki Balung sambil turun dari atas
pelana. Dari pintu yang terkuak lebar itu, Wintara bisa
melihat seorang gadis membugil meronta-ronta di ba-
wah rejangan belasan orang laki-laki.
* * *
SEPULUH
"Hentikan pesta kecil ini, pasukan-pasukan ra-
kus!" Suara Wintara mengejutkan orang-orang yang
berada di dalam gubuk. Semuanya menoleh ke arah
suara. Maka mereka melihat sosok Wintara berdiri di
tengah-tengah pintu memegangi kutungan kepala.
"Oh, kiranya ada seorang anjing pengusik yang
mengantarkan nyawa! Masuklah kemari, kami me-
mang tengah haus membunuh." jawab orang yang se-
dang menindih tubuh bugil Mayang.
"Aku bukan saja anjing pengusik, Sobat... Tapi
juga anjing yang galak. Apalagi terhadap cecurut-
cecurut tengik macam kalian!" jawab Wintara tenang.
Ia meletakkan kutungan kepala Ki Balung pada leher
yang masih mengalirkan darah di tanah.
"Bangsat! Cincang dia...!" Belasan prajurit itu
menarik gagang pedang. Semuanya menghunus ke
arah Wintara.
"Aku harap kalian bisa melakukannya. Karena
selama ini belum ada yang bisa membunuhku, padah-
al aku sendiri sudah bosan hidup." Bicara Wintara
mengejek. Dia malah melangkah mendekat. Mendengar
ucapannya para prajurit Dwipa Kuntar garang mele-
paskan babatan pedang.
Orang yang paling dulu melepaskan sabetan
pedang itu mendadak terjungkal. Dan menimpa bebe-
rapa orang di belakangnya. Ternyata Wintara lebih du-
lu melancarkan tendangan. Setelah itu pun Wintara
tertawa mengekeh. Orang-orang itu cepat bangkit lalu
menyerang lagi. Babatan-babatan pedang berseliweran
bagai leretan-leretan sinar putih mengarah deras pada
Wintara.
Kedua mata Wintara yang selalu awas dapat
melihat leretan-leretan sinar putih yang bakal meng-
gores di tubuhnya, maka sebuah babatan-babatan pe-
dang melesat, Wintara menyambutnya dengan hanta-
man maupun tendangan.
"Bagaimana kalian bisa mencincang diri ku,
menggunakan pedang saja kalian tidak becus!" Sambil
berkata begitu ia merunduk menghindari dua babatan
pedang, lalu dalam keadaan merunduk itu Wintara
mendorong kedua telapak tangannya ke depan, ma-
ka...
"Bleder!"
Dua prajurit itu terlempar beberapa meter tak
berkutik.
Menghadapi mereka dalam ruangan gubuk itu
Wintara merasa sedikit kewalahan. Setiap sambaran
pedang hampir saja mengenainya. Untunglah Wintara
cukup gesit dan tangguh. Ia bisa berkelit menghindari
setiap sambaran pedang. Ingin sekali Wintara me-
mancing agar mereka segera keluar dari gubuk. Tapi
nampaknya para prajurit itu tidak memberi kesempa-
tan. Mereka telah menutup semua jalan keluar.
Mayang yang masih berada di sudut ruangan
berdiri ketakutan melihat sambaran-sambaran pedang
nyaris memenggal kepala Wintara. Bagaimana tidak?
Wintara yang hanya seorang diri dan tanpa menggu-
nakan senjata, terpaksa menghadapi belasan orang
prajurit yang sudah terlatih. Sekalipun Mayang tahu
kalau pemuda yang satu ini berilmu sangat tinggi...
Tidak henti-hentinya ia mendengar suara yang
membledar menghantam jatuh satu demi satu para
prajurit itu. Ditambah lagi dengan teriakan semangat
Wintara. Membuat ruangan itu jadi makin gaduh. Yang
nampak dari luar hanyalah para prajurit yang terlem-
par dari pintu maupun jendela. Di dalamnya Wintara
sibuk melancarkan serangan-serangan.
Dua telapak tangannya terus berputar meng-
hantami setiap prajurit yang datang menyerbu. Selama
menghadapi mereka Wintara tidak berkedip sedikit
pun. Sambaran pedang yang berjumlah belasan itu be-
tul-betul merencahnya dari segala arah. Bahkan Win-
tara tidak dapat menyelamatkan selembar rambutnya
yang putus terbabat.
"Gila! Kalian hampir saja mengupas batok ke-
palaku!" Wintara mundur selangkah.
"Itu baru beberapa lembar rambutmu, Anjing
buduk! Sebentar lagi tubuhmu yang bakal hancur ber-
keping-keping." Penyerang itu melancarkan babatan
pedang membabi buta. Sedangkan dari belakang pe-
nyerang-penyerang lain membokong. Merasa tidak
sempat menyambut, Wintara melesat ke atas. Tubuh
nya menerobos atap jerami.
"Kejar dia. Cepat...!" Dengan garang mereka
berlari ke luar. Wintara sudah berdiri di atas atap. Dia
menatap ke bawah pada atap jerami. Mayang masih
menangisi jasad Ki Balung.
"Nona... cepatlah berpakaian. Tidak baik mem-
bugil terus dalam keadaan demikian."
Baru sadar kalau keadaan Mayang telanjang
bulat. Seperti bangun dari mimpi, gadis itu langsung
menutupi dada serta auratnya dengan kedua tangan-
nya. Lalu ia menyambar selembar pakaian yang meng-
geletak di tanah. Pakaian bekas Rawing memang agak
koyak tapi masih bisa dikenakan. Di bagian dadanya
agak terbuka, menampakkan buah dada yang ranum
menonjol ke depan dan hampir keluar. Sementara itu
Wintara tetap di atas atap memandangi para prajurit
yang menghambur ke luar. Beberapa orang di anta-
ranya mulai berusaha naik. Dengan demikian Wintara
lebih mudah melancarkan serangan.
Belum sempat mereka mendekati, Wintara su-
dah menjemput lebih dulu. Tentu saja dengan sambu-
tan sebuah tendangan. Maka dengan sekali tendang,
lima orang jatuh sekaligus. Kelimanya jatuh mengge-
linding lalu membentur permukaan tanah. Tidak satu
pun dari kelima orang itu dapat bangkit lagi, karena
tulang leher mereka patah semua.
Sudah tentu yang lainnya makin murka. Mere-
kapun mulai naik dari segala sudut. Tapi secepat itu
pula Wintara terjun ke bawah. Selama tubuhnya mele-
sat ke bawah sebelah telapak tangannya menghantami
tiga orang yang hampir mencapai atap. Maka tidak
ampun lagi ketiganya celentang ke tanah dengan me-
nyemburkan darah.
Wintara sendiri berjumpalitan, lalu hinggap di
tanah tanpa bersuara. Karuan saja semua orang yang
sudah berada di atas atap itu berlompatan turun. Na-
mun belum sampai orang-orang itu menginjakkan ka-
kinya ke tanah, Wintara sudah menyambut mereka.
Kali ini Wintara menghantam lebih keras. Hantaman-
hantamannya meremukkan dada semua lawannya.
Kuda-kuda tunggangan mereka meringkik-
ringkik. Kuda-kuda itu hampir memenuhi pelataran
gubuk. Hanya kuda Wintara yang nampak tenang ber-
diri. Nampaknya kuda itu melihat banyak kehebatan
tuannya. Tidak jarang pula ia selalu menghindar dari
timbunan para prajurit yang berjatuhan ke bawah.
Saat itu Wintara masih menghadapi enam
orang prajurit. Keenamnya itu pula telah mengurung-
nya. Namun Wintara tidak gentar sedikit pun. Leretan-
leretan sinar yang menyambar ke arahnya dengan mu-
dah dihindari. Tiga orang yang berada di hadapannya
gencar membabatkan pedang.
Babatan-babatan pedang itu mengarah pada
bagian perut dan dada. Secepatnya pula Wintara salto
ke belakang berkali-kali. Dan begitu kedua kakinya
menyentuh tanah, Wintara sudah berada di pantai.
Ketika ketiga orang itu maju lagi, Pendekar Ke-
lana Sakti ini menyambut dengan hantaman lengan-
nya...
"Bug!"
Tubuh serta pedangnya langsung ambruk tersi-
rat ombak. Dua orang lagi maju. Terjangannya bagai
orang kesetanan. Babatan pedang mereka berkelebat
cepat. Dengan tenang Wintara melancarkan tendangan
memutar...
"Des...! Des!"
Kontan keduanya ngusruk mencium air laut.
Salah seorang dari mereka bangkit. tapi... "Der!"
Tendangan Wintara kali ini membuat orang itu
mencelat tidak kepalang tanggung. Tahu-tahu saja tu
buh itu telah mengambang di permukaan laut terom-
bang ambing ombak.
Tiga orang lagi yang berada dekat gubuk lang-
sung melompat ke atas kuda mereka. Dan melarikan
diri.
"Kau akan menerima akibatnya, Pemuda kepa-
rat...! Dwipa Kuntar pasti memancung kepalamu!!!" te-
riaknya. Mereka melarikan kuda secepat mungkin.
Wintara berlari menyusul...
"Kalau begitu Dwipa Kuntar sama bejadnya
dengan kalian!" teriak Wintara. Tubuhnya melesat de-
ras dan mendadak saja sudah berada di atas pelana
kudanya.
"Kalian sudah menganiaya orang dan bermak-
sud memperkosa seorang gadis, sekarang hendak
mengadu pula pada Dwipa Kuntar. Siapa sebenarnya
Dwipa Kuntar itu?" gerutu Wintara dalam hati. Ketika
ia hendak memacu kudanya, Mayang keluar dari gu-
buk. Ia sudah tidak membugil lagi.
Pakaian bekas Rawing dikenakannya, meski-
pun telah ternoda dengan bercak-bercak darah men-
gering. Mayang berdiri di muka pintu menatap Winta-
ra, sedangkan Wintara merasa risih. Karena bagian
dada gadis itu masih terbuka lebar menampak jelas.
"Mereka telah membunuh ayahku. Aku harus
memberitahukan pada sri baginda...."
"Sepertinya mereka para prajurit gadungan. Ti-
dak mungkin mereka akan bertindak seperti ini kalau
mereka betul-betul pengawal kerajaan." ujar Wintara.
"Mereka orang-orang suruhan Dwipa Kuntar.
Beliau seorang panglima yang tidak disukai rakyat.
Aku juga sudah mendengar kalau Tanah Genang
Banyu telah berubah menjadi neraka setelah Dwipa
Kuntar menguasainya." Mayang mendekati salah satu
kuda yang ada di muka gubuknya.
Wintara yang mendengar penuturan Mayang
jadi berpikir. Ia teringat akan rencana kelompok Ri-
wang yang akan menghadapi Dwipa Kuntar. Kalau be-
gitu jelaslah baginya sekarang. Mereka bukan seke-
lompok orang-orang senewen. Tapi....
"Hey, Nona... Kau hendak ke mana?" tegur Win-
tara. Mayang sudah melarikan kudanya. Wintara beru-
saha mengimbangi.
"Sudah kukatakan, Dwipa Kuntar tidak bisa di-
diamkan. Sekarang juga aku akan menghadap sri ba-
ginda untuk melaporkan ulahnya." jawab Mayang tan-
pa menoleh. Wintara dapat melihat air mata gadis itu
telah membasahi di kedua belah pipinya.
"Tindakanmu sangat tepat, Nona. Biarlah aku
mengejar sisa prajurit itu." Wintara membelokkan arah
kudanya. Ia masih dapat melihat ke mana tiga orang
prajurit yang melarikan diri. Kepulan debu bekas de-
rap kaki kuda masih nampak dari kejauhan. Wintara
memacu kudanya mengejar mereka.
*
* *
Penjara maut berdiri tegak menyeramkan. Din-
gin bagai sebongkah balok es. Sekeliling penjara nam-
pak air kolam beriak, sesekali pula berloncatan ikan-
ikan berwarna keperakan di permukaan air. Jumlah-
nya hampir tidak dapat dihitung. Mungkin juga jutaan.
Setiap kali mereka melompat nampak gigi-gigi yang
berderet runcing bagai mata gergaji.
Rawing tetap memegangi tawanannya mengha-
dap ke arah penjara di sebrang kolam. Tawanannya
hampir tidak dapat berdiri, setiap kali Rawing men-
gangkat ke atas selalu jatuh lagi. Keadaannya memang
telah parah. Sebelah tangan serta telinganya telah sapat. Darah pun terus menetes. Sepanjang bekal jalan
mereka telah penuh dengan tetesan-tetesan darah.
Rawing menatap geram ke arah penjara itu. Dadanya
bergemuruh.
"Tunjukkan di mana jalan menuju ke sana!"
bentak Rawing. Tangannya menghantam punggung
orang itu. Hampir saja orang itu tersungkur masuk ke
dalam kolam.
"Dari sini tidak ada jalan, kecuali... Kecuali..."
jawabnya gugup. Ia membiarkan tubuhnya tetap lusuh
di pinggir kolam.
"Kecuali apa!" Rawing seperti tidak sabar.
"Kecuali orang-orang di dalam sana yang mem-
bukakan jalan."
Rawing menatap pintu penjara yang tingginya
melebihi sepuluh meter. Dia sudah menduga kalau
pintu itu berfungsi juga sebagai jembatan penyeberan-
gan. Sebenarnya dengan mengandalkan ilmu peringan
tubuh Rawing bisa menyebranginya, tapi di depan sa-
na tidak ada tempat untuk hinggap. Karena seluruh
dinding berdiri rata dan licin. Dia juga tidak gegabah
terhadap kolam yang mengelilingi penjara itu. Lebar
kolam yang cuma sepuluh meter itu tidak ada artinya.
Pastilah ada yang tersembunyi di balik permukaan air.
Sementara itu di balik tembok penjara berdiri
tiga orang berpakaian gemerlapan. Mereka tidak lain
Dwipa Kuntar, Sawung Blambang dan Pragola. Mereka
sudah mengetahui kedatangan Rawing ke tempat itu,
karena mereka dapat melihat jelas dari balik jendela.
* * *
SEBELAS
Para pengawal yang ada di situ hanya beberapa
orang. Berdiri siaga mengawal ketiga orang yang tetap
menghadap ke luar dari balik jendela. Dwipa Kuntar
nampak tersenyum.
"Tikus dungu itu berani datang lagi ke sini. Ka-
lau tahu begini aku tak akan mengutus semua anak
buahku untuk mencarinya." ujar Dwipa Kuntar. Sa-
wung Blambang dan Pragola hanya tertawa mengekeh.
Mereka mengira orang yang berdiri di muka penjara
adalah Riwang.
"Dia sudah bosan hidup. Lempar saja ke dalam
kolam." sahut Pragola. Tanpa basa-basi lagi Dwipa
Kuntar memberi aba-aba pada para pengawalnya un-
tuk segera membuka jembatan. Maka dua orang me-
langkah ke balik pintu. Salah seorang dari mereka me-
narik tuas. Maka pintu penjara berderak membuka.
Rawing yang berada di sebrang kolam sudah
menduga kedatangannya itu sudah diketahui. Pintu
yang merebah di hadapannya semakin merendah
membentuk sebuah jembatan. Dwipa Kuntar bersama
dua orang andalannya berdiri di tengah-tengah pintu
penjara. Ketiganya menatap Rawing.
"Bagus, Riwang! Kau memang harus mampus
di sini. Nah pintu sudah terbuka. Kau bisa berjalan ke
mari?" sapa Dwipa Kuntar. Pragola dan Sawung Blam-
bang tidak henti menatap. Merasa dipanggil Riwang,
tahulah Rawing bahwa Riwang saudara kembarnya
masih hidup. Ia berpura-pura pula berperan sebagai
Riwang.
Tanpa memperdulikan tawanannya Rawing me-
langkah maju. Setiap gerakan langkahnya nampak te-
gang. Sementara itu ketiga orang yang menunggu di
tengah-tengah pintu nampak tenang-tenang saja.
"Aku seperti ling lung, Dwipa Kuntar. Seper-
tinya aku tidak pernah datang ke sini." jawab Rawing
sambil melangkah terus. Dia sudah berada di perten-
gahan jembatan.
"Biasanya perasaan orang yang hampir mam-
pus memang begitu, Riwang. Kau tak perlu merasa
aneh." Dwipa Kuntar bicara angkuh.
Tanpa sepengetahuan Riwang, tawanan yang
ditinggalkan di tepi kolam mengikuti langkah-langkah
Rawing. Meskipun ia telah kehilangan sebelah lengan-
nya, orang itu menerjang bagai seekor kerbau. Ia ber-
maksud akan mendorong Rawing ke dalam kolam, Tapi
Rawing adalah Rawing. Bukan pula Riwang. Terjangan
itu dapat dirasakannya walaupun Rawing tidak meno-
leh ke belakang.
Secepat itu pula ia berbalik sambil menghem-
paskan kedua lengannya...
"Bug!"
Sambil memekik nyaring pembokong itu terje-
rumus ke dalam kolam. Namun jeritannya segera le-
nyap. Rawing sendiri dapat melihat tubuh penyerang-
nya digerogoti oleh jutaan ikan-ikan pemakan daging.
Dalam waktu sekejap saja telah berubah menjadi tu-
lang-tulang kerangka. Kembali Rawing menatap Dwipa
Kuntar.
Melihat gerakan Rawing, barulah Dwipa Kuntar
sadar kalau pemuda yang tengah menuju ke arahnya
bukanlah Riwang. Kalau Riwang, tentunya tidak bisa
menghindari serangan itu. Dan juga tidak mungkin da-
tang ke situ seorang diri. Dwipa Kuntar tersenyum si-
nis. Diam-diam ia menarik kembali tuas pengendali
jembatan. Maka pintu yang merebah itu berderit berge-
rak ke atas. Rawing yang berdiri di atasnya terkejut se-
tengah mati, Tanpa diduga pula Pragola dan Sawung
Blambang maju menyerang. Rawing yang sudah kepa-
lang berada di tengah-tengah jembatan terpaksa
menghadapi kedua orang itu. Rawing dapat menghindari serangan Pragola. Namun menghadapi serangan
Sawung Blambang ia amat terkejut. Meskipun ia dapat
menangkis, namun tenaga yang dilancarkan Sawung
Blambang begitu keras. Sehingga tepat masuk meng-
hantam dadanya.
Dua kali berturut-turut Rawing menerima han-
taman dari Sawung Blambang tanpa terhindar. Mana-
kala jembatan semakin berdiri vertikal menjorok cu-
ram. Saat Pragola melepaskan tendangan, Rawing
memekik. Tubuhnya terlontar ke samping. Tak ampun
lagi Rawing jatuh ke bawah di mana jutaan ikan-ikan
pemakan daging menanti dengan lapar.
Namun sebelum tubuh Rawing menyentuh
permukaan air, terasa lengan-lengan kekar datang
menyambar. Rawing tidak sempat siapa yang telah
menyelamatkannya. Tahu-tahu saja mereka sudah be-
rada di atas jembatan yang tetap bergerak menutup
pintu penjara.
Pragola maupun Sawung Blambang amat terke-
jut melihat kemunculan seorang pemuda mengenakan
baju binatang. Kehebatannya dalam menyelamatkan
Rawing amat mengagumkan. Di atas jembatan yang
nyaris tertutup seperti itu pun sempat berdiri tegak.
Pemuda itu melompat masuk bersama Rawing
saat pintu penjara menutup rapat. Di bawahnya Prago-
la dan Sawung Blambang menyambut dengan seran-
gan-serangan. Dwipa Kuntar memberi aba-aba agar
para pengawalnya ikut menyerang. Maka berhamburan
para pengawal bersenjata pedang mengepung. Melihat
itu Rawing langsung menghadapi para prajurit itu.
"Riwang! Kenapa bertindak sendiri? Mana yang
lain?" Suara Wintara agak keras. Karena ia sendiri ten-
gah menghadapi dua orang andalan Dwipa Kuntar.
Saat itu ia merunduk menghindari sebuah tinju yang
nyaris memecahkan kepalanya.
"Aku bukan Riwang! Tapi...." Rawing tidak me-
lanjutkan ucapannya. Karena seleret sabetan pedang
datang begitu cepat. Namun saat itu pula Rawing sem-
pat melepaskan hantaman keras. Orang itu sampai
mencelat jatuh. Tanpa sengaja pula tubuh yang ter-
lempar itu menancap tembus pada tuas pengendali
pintu. Maka terdengar suara derakan dari pintu yang
mulai membuka lagi.
"Aku Rawing, saudara kembar Riwang. Di mana
adikku?" lanjut Rawing setelah menjatuhkan seorang
lawan lagi. Langkah-langkahnya gencar melabrak tiap-
tiap prajurit. Karena yang ditujunya adalah Dwipa
Kuntar, Laki-laki setengah tua itu telah bersiap-siap
dengan pedangnya. Nampaknya ia pun tidak gentar
melihat Rawing menuju ke arahnya sambil melancar-
kan serangan yang menjatuhkan beberapa pengawal-
nya.
"Apa? Ucapanmu tidak jelas!" teriak Wintara.
Suasana di ruangan itu memang gaduh. Lagi pula Win-
tara agak repot menghadapi dua orang lawannya itu.
Pragola maupun Sawung Blambang tergolong orang
yang berilmu tingkat tinggi. Wintara nyaris jadi bulan-
bulanan mereka. Setiap serangan balasan Wintara ti-
dak berarti apa-apa bagi mereka.
"Aku Rawing! Riwang saudara kembar ku!" Su-
ara Rawing lebih keras.
Dwipa Kuntar malah maju. Babatan pedangnya
tidak tanggung-tanggung diarahkan pada Rawing. Se-
belum Rawing mendekat, ia menyambar pedang dari
salah satu lawannya yang berhasil dibuat jatuh klen-
ger. Dengan pedang itu ia menangkis sambaran pe-
dang Dwipa Kuntar.
"Bangsat kau Rawing! Aku pikir sudah jadi
bangkai di laut sana!" sergah Dwipa Kuntar. Seran-
gannya dilipatgandakan.
"Aku memang setannya, Kunyuk Dwipa Kuntar.
Datang ke mari justru akan menuntut atas perbua-
tanmu!" jawab Rawing. Ia menangkis lagi. Benturan
senjata mereka berdenting sampai memercikkan api.
Para pengawal yang lain tidak berani maju. Juga tidak
berani melancarkan serangan, karena saat itu Dwipa
Kuntar tengah bergelut dengan Rawing. Sama-sama
gigih, karena dalam kepandaian ilmu pedang mereka
sangat berimbang.
Di lain pihak, Wintara harus berjumpalitan se-
tengah mati menghindari serangan-serangan yang di-
lancarkan Pragola dan Sawung Blambang. Telah bebe-
rapa kali Wintara membalas serangan-serangan itu
dengan melepaskan 'Pukulan Hawa Dingin', namun
kedua lawannya itu selalu dapat mengelak. Bahkan ke-
tika hantaman mereka beradu, benturan tenaga dalam
mereka menimbulkan bunyi yang membledar.
Ketiganya berpentalan ke arah yang berlawa-
nan. Malang bagi Wintara, tubuhnya terus keluar dan
harus jatuh bergulingan di atas jembatan yang telah
terbuka itu. Tak dapat dihindarinya pula ketika tu-
buhnya tergelincir ke bawah. Namun dengan cepat pu-
la ia berpegangan dengan sebelah lengan. Kalau tidak,
mungkin sudah menjadi sasaran ikan-ikan pemakan
bangkai.
Melihat itu Pragola maupun Sawung Blambang
meluruk keluar. Sawung Blambang sengit melancar-
kan serangan terhadap Wintara yang tergantung pada
tepian jembatan.
Saat itu pula di sebrang kolam berdatangan be-
lasan orang menunggangi kuda. Mereka rombongan
Lela Warni bersama pasukannya, Dari atas pelana ku-
da gadis itu langsung melesat bagai anak panah. Han-
tamannya mendorong keras Sawung Blambang. Men-
dapat bantuan seperti itu Wintara salto ke atas lalu
hinggap di atas jembatan itu lagi.
"Wintara, kalau saja kau akan bertindak seperti
ini, kenapa tidak bergabung dengan kami. Bertindak
sendirian hanya mengantar nyawa." Lela Warni meng-
halau kedua penyerang Wintara dengan pedang, te-
man-temannya sudah turun dari kuda dan mulai me-
nyerbu.
"Hati-hatilah terhadap dua anjing gudik itu, Le-
la Warni... Pukulan tenaga dalamnya sangat hebat."
Wintara berjumpalitan di udara, lalu hinggap di samp-
ing Lela Warni langsung melancarkan serangan.
"Mana anjing Dwipa Kuntar itu! Suruh dia ke-
luar menghadapi kami!" bentak Lela Warni sambil me-
lepaskan sambaran pedang pada Pragola. Namun ia
sangat terkejut, karena mendadak saja sebuah hanta-
man menggedor perutnya....
"Der!"
Pedang serta tubuhnya terlempar dan bergulir
jatuh ke arah kolam.
Melihat itu, Wintara yang tadi menghadapi Sa-
wung Blambang cepat berbalik. Saat itu pula Sawung
Blambang melepaskan hantamannya. Wintara terdo-
rong maju. Dari mulutnya menyembur darah.
*
* *
DUA BELAS
Meskipun telah mendapatkan hantaman yang
sangat keras dari Sawung Blambang, Wintara tetap
melanjutkan niatnya. Dalam gerakan yang sangat lam-
bat kita dapat melihat bagaimana Wintara menyela-
matkan Lela Warni. Bagaikan seekor rajawali Wintara
menyambar tubuh ramping yang hampir masuk ke da-
lam permukaan air kolam.
Lalu keduanya hinggap di atas jembatan tanpa
mengeluarkan suara. Kembali Wintara menyemburkan
darah lagi. Ketika Lela Warni hendak maju lagi, Winta-
ra merentangkan sebelah lengan menghalangi- langkah
Lela Warni.
"Menyingkirlah dari sini, Lela Warni. Mereka
bukan tandingan mu. Menyingkirlah!" sergah Wintara.
Pasukan Lela Warni telah berkumpul di belakangnya.
Lalu Wintara menghimpun tenaganya kembali. Setelah
mengepak-ngepakkan kedua tangannya. Kedua telapak
tangannya mengatup sebatas dada. Lela Warni mera-
sakan hawa dingin yang keluar dari tubuh Wintara.
Makanya ia segera mundur beberapa langkah.
Dan gadis itu hampir tidak percaya ketika me-
lihat Wintara terbang menjurus bagai sebutir peluru.
Nampak pula Pragola dan Sawung Blambang menyam-
but dengan melepaskan beberapa pukulan. Hantaman-
hantaman itu memang mengena di tubuh Wintara. Ta-
pi Wintara sendiri seperti tidak merasakan apa-apa.
Malah Wintara sempat melepaskan dua kali berturut-
turut hantaman pada kedua orang lawannya itu.
Pragola maupun Sawung Blambang jatuh kelo-
jotan. Keduanya menyemburkan darah dari mulut.
Namun Wintara lebih hebat lagi. Darah kehitaman
mancur dengan deras dari mulut dan hidung. Tapi tin-
dakannya itu tidak percuma. Saat keduanya jatuh ke-
lojotan, pasukan Lela Warni menerobos masuk ke da-
lam ruang penjara. Wintara tetap berdiri dengan pan-
dangan nanar mengawasi kedua lawannya yang mulai
bangkit berdiri.
Lela Warni serta pasukannya tersentak bagai
tersambar petir saat melihat sosok tubuh dengan ga-
gah menghadapi belasan orang pengawal Dwipa Kuntar. Melihat itu pun Lela Warni datang membantu. Ju-
ga pasukannya. Pedangnya yang telah terhunus lang-
sung mencari sasaran.
"Riwang. Astaga...! Kau pun diam-diam bertin-
dak sendiri." tegur Lela Warni dengan nada keras.
Rawing tidak perduli. Babatan pedangnya terus berpu-
tar menjatuhkan dua orang ke lantai.
"Mana Wuning Sari serta pasukannya. Apakah
mereka semua tewas?"
"Kau bicara apa, Nona. Aku tidak kenal dengan
Wuning Sari atau pun kau!" jawab Rawing sengit me-
lancarkan babatan pedang. Jatuh lagi seorang pen-
gawal Dwipa Kuntar.
"Apa?" Lela Warni heran. Ia berdiri mematung
menghentikan serangan. Dan tidak menyadari kalau
serangan lawan datang dari arah belakang. Matanya
memandang Rawing penuh keheranan.
"Awas di belakangmu, Nona!" Rawing berteriak.
Lela Warni tersadar dari kebingungannya, maka ia se-
gera membabat ke belakang...
"Bret!"
Seorang prajurit terjungkir dengan perut terbu-
rai menyembur darah.
"Kau aneh, Riwang! Dalam beberapa hari saja
kau sudah lupa pada kami, apakah ini hanya siasatmu
saja?" Lela Warni mengawasi pasukannya menggempur
habis para pengawal Dwipa Kuntar.
"Siasat apa? Aku betul-betul tidak kenal kalian.
Lagipula aku bukan Riwang. Aku saudara kembarnya."
jawab Rawing. Babatan pedangnya tidak pernah putus.
Para pengawal Dwipa Kuntar berjatuhan. Begitu juga
dengan Dwipa Kuntar, ia pun tidak tanggung-tanggung
membalas kematian para anak buahnya terhadap pa-
sukan Lela Warni. Ruangan itu telah penuh bergelim-
pangan para korban pertempuran.
Pasukan Lela Warni tinggal beberapa orang, se-
dangkan para pengawal Dwipa Kuntar hampir habis.
Namun kekuatan Dwipa Kuntar melebihi seekor ban-
teng. Pedangnya lebih banyak memakan korban. Dan
sekarang ia tengah menghadapi Lela Warni bersama
Rawing. Leretan sinar putih saling gulung merencah
menimbulkan percikan api. Dentingan senjata mereka
memekakkan telinga saat senjata mereka beradu. Gi-
gih pula kedua muda mudi ini menggempur pertaha-
nan Dwipa Kuntar.
Saat itu Wintara tengah berkelit menghindari
serangan Pragola dan Sawung Blambang yang datang
serempak. Kemarahan Wintara kian memuncak. Ju-
stru dengan kemarahan seperti itu kedua lawannya ja-
di blingsatan. Wintara tidak memperdulikan hanta-
man-hantaman mereka bersarang di tubuhnya. Na-
mun dengan sekali balas, tinju Wintara dapat mem-
buat Sawung Blambang terjungkal bergulingan di se-
panjang jembatan. Ia tidak segera bangkit, karena han-
taman itu mengena telak pada ulu hati.
Bagi Pragola hantaman Wintara yang bergu-
lung-gulung menimbulkan suara bergemuruh dapat
diatasi. Itu pun dia harus kewalahan menahan seran-
gan itu. Kedua lengannya serasa berdenyut manakala
hantaman mereka saling bentur. Pragola yang memiliki
kepandaian agak lumayan dibanding Sawung Blam-
bang dapat mengimbangi setiap gerakan Wintara, Ma-
ka pada satu kesempatan Pragola dapat melepaskan
tendangan ke arah perut. Tak urung lagi Wintara men-
celat ke belakang. Sawung Blambang yang sudah siap
bangkit tidak sempat menghindar saat Wintara jatuh
menimpa dirinya. Dan tak ayal lagi tubuh Sawung
Blambang terjerumus masuk ke dalam permukaan ko-
lam tanpa ampun.
Ketika tubuh itu masuk ke dalam kolam, per
mukaan air kolam seperti bergolak. Muncul pula ju-
taan ikan-ikan pemakan daging saling berebut meng-
gerogoti tubuh Sawung Blambang. Jeritannya keras
merobek suasana menyeramkan itu.
Melihat itu Wintara bergidik, dalam sekejap
yang nampak hanyalah tulang-tulang kerangka tanpa
secuil daging. Permukaan air kolam sekitar itu meme-
rah bercampur darah. Pragola menatap geram. Tubuh-
nya seperti bergetar dengan wajah yang murka.
Ketika mereka saling tatap. Mendadak dari da-
lam ruangan penjara terlontar sosok tubuh Dwipa
Kuntar. Tubuhnya bergulingan di bawah kaki Pragola.
Punggungnya telah robek bekas babatan pedang.
Dari mulut pintu muncul Rawing dan Lela
Warni yang siap mengejar Dwipa Kuntar. Di belakang-
nya berderet sisa-sisa pasukan Lela Warni. Serempak
pula mereka menyerbu. Namun serbuan itu disambut
oleh Pragola. Lela Warni dan Rawing tidak menyangka
kalau Pragola akan merebahkan diri dan menyapu
langkah-langkah mereka.
Tak terelakkan lagi keduanya jatuh bangun.
Pragola cepat menepis saat Lela Warni membabatkan
pedangnya. Sebelah lengan Pragola maju menghan-
tam....
"Des!"
Lela Warni memekik. Pedangnya terlepas se-
dangkan tubuhnya kembali berguling. Rawing cepat
maju ke depan mengarahkan sambaran pedang. Sudah
tentu maksudnya menghalangi Pragola dalam melan-
carkan serangan pada Lela Warni yang masih kesaki-
tan.
Pasukan Lela Warni yang tinggal beberapa
orang itu datang menyerbu. Namun mereka bukanlah
apa-apa bagi Pragola. Meskipun mereka menggunakan
senjata pedang, Pragola tanpa kesulitan menghantami
mereka. Ada juga beberapa dari mereka yang terjeru-
mus ke dalam kolam tanpa ampun tidak sempat berte-
riak lagi. Mereka sudah terseret ke dasar kolam digelu-
ti oleh jutaan ikan-ikan pemakan bangkai. Permukaan
air kolam mendadak merah, bercampur darah.
Dalam hal ini bukan berarti Wintara tinggal di-
am. Wintara juga dapat melihat betapa mengerikan
nasib pasukan Lela Warni. Tapi dia sendiri merasa re-
pot menghadapi Dwipa Kuntar. Apalagi Dwipa Kuntar
membabi buta melancarkan sambaran pedangnya. Se-
tiap sambaran pedangnya selalu maut bagi Wintara.
Lela Warni yang sudah diselamatkan oleh Raw-
ing dapat melihat kesibukan Wintara. Makanya ia ce-
pat menarik selendang yang merupakan ikat pinggang.
Sebentar saja selendang itu menggletar nyaring. Dwipa
Kuntar tidak sempat menghindari lecutan selendang
Lela Warni. Tahu-tahu saja tubuhnya telah terbelit
tanpa daya. Detik itu juga Lela Warni menarik kuat-
kuat. Saat tubuh Dwipa Kuntar melayang ke atas,
Wintara melesat ke atas pula melepaskan tendangan...
"Deeer!"
Tubuh Dwipa Kuntar melintir lalu ambruk ke-
ras di atas jembatan.
Bersamaan dengan itu pun Rawing terjungkal.
Sambaran Pragola seperti kitiran angin yang menderu-
deru menghempas Rawing. Namun mendadak saja
Pragola tersentak. Kedua lengannya bagai membentur
benda yang amat keras. Rupanya Wintara cepat datang
mematahkan serangan Pragola.
"Bangsat! Jangan seperti tikus-tikus pengerat!
Maju saja kalian bertiga!" bentak Pragola. Mendapat
tantangan seperti itu, Lela Warni maupun Riwang se-
gera bangkit. Keduanya menerjang dari arah yang ber-
lawanan. Wintara ikut pula melancarkan serangan.
Tanpa melangkah mundur Pragola cepat memutar ke
dua lengannya. Maka terdengar bagai suara guntur.
Sekali Pragola menghempaskan seluruh tenaganya.
Ketiga jago itu berpentalan. Rawing tersungkur terpe-
lanting bergulingan, Lela Warni jatuh ke pinggir jemba-
tan dan hampir saja terjerumus. Mukanya yang men-
garah ke permukaan air kolam berubah pucat saat
ikan-ikan pemakan bangkai berlompatan menyambar.
Wintara mundur beberapa langkah sambil terhuyung.
Dadanya terasa sesak.
"Hebat kau anak muda! Kau sanggup menahan
pukulan 'Guntur Selaksa', cobalah ini sekali lagi...
Hreaaaa!" Pragola menerjang. Langkahnya gegap men-
ginjak jembatan. Cepat Wintara mengerahkan tenaga
inti hawa dingin. Tanpa berkedip ia mendorong kuat-
kuat telapak tangannya ke depan, maka....
"Bledaaaaar!"
Keduanya mental dari kedua sisi jembatan. Di
bawahnya telah menanti permukaan air kolam yang
dihuni oleh mahluk-mahluk mengerikan, jeritan Prago-
la memecah keras. Dan tubuhnya yang meluncur de-
ras ke permukaan kolam langsung diserbu jutaan
ikan-ikan sebesar telapak tangan.
Pada saat sebelum Pragola jatuh, Wintara pun
mengalami nasib yang serupa. Tanpa ampun Wintara
jatuh ke bawah. Saat itu pula Lela Warni bertindak ce-
pat. Selendangnya di lecutkan ke arah Wintara. Mak-
sud gadis itu akan menyambar dan menarik tubuh
Wintara, tapi sayang tindakannya terlalu cepat. Selen-
dang itu merentang bagai sebuah galah tepat di atas
pemukaan air kolam.
Tanpa diduga pula, Wintara berjumpalitan di
udara. Lalu kedua kakinya menapak pada ujung se-
lendang Lela Warni. Nampak jelas ilmu peringan tubuh
yang sangat sempurna. Gadis itu membelalakkan ma-
tanya saat Wintara berlari cepat di atas rentangan selendang yang mengambang. Kemudian dengan henta-
kan kaki kirinya Wintara melesat ke atas mencapai
jembatan lagi. Rawing meringis seluruh tulang-tulang
sendinya terasa rontok. Meskipun begitu ia bisa meli-
hat kehebatan Pendekar Kelana Sakti itu. Ia membiar-
kan tubuhnya yang penuh luka memar terbaring.
Diam-diam pula Dwipa Kuntar yang juga sudah
terluka melarikan diri. Wintara dan Lela Warni me-
langkah mengejar. Tapi keduanya segera menghenti-
kan larinya. Membiarkan Dwipa Kuntar berlari terus.
Mereka tidak perlu mengejarnya, karena mereka sudah
melihat rombongan Wuning Sari sudah berada di
ujung jembatan. Dwipa Kuntar sendiri terkejut seten-
gah mati saat hampir sampai di ujung jembatan. Lang-
kah-langkahnya yang terhuyung mendadak berhenti
menatap belasan orang turun dari kuda. Paling tengah
dan berjalan lebih dulu adalah Wuning Sari, di sebe-
lahnya Riwang mengikuti dengan tenang.
Dwipa Kuntar menoleh ke belakang, dilihatnya
Wintara bersama Lela Warni mulai melangkah. Dirinya
benar-benar terkurung. Tidak ada jalan lain lagi, di
kanan kirinya sebuah kolam. Riwang tidak berhenti
menatap Dwipa Kuntar berdiri ketakutan.
Dengan geram pula Riwang merampas pedang
Wuning Sari dari pinggangnya. Gadis yang berdiri di
sebelahnya tidak menghalangi saat Riwang berlari ke
arah Dwipa Kuntar sambil mengacungkan sebilah pe-
dang mengkilat bagai kaca.
Dwipa Kuntar menatap ngeri pada pedang yang
sudah teracung siap menebas lehernya. Langkahnya
bergetar mundur. Sebelum Riwang membabatkan pe-
dangnya, Dwipa Kuntar tergelincir sendiri... "Byuuur!"
Cepat Dwipa Kuntar berpegangan pada pinggi-
ran jembatan. Ia tidak sadar pula kalau setengah tu-
buhnya masuk ke dalam permukaan air. Maka pada
detik itu teriakan menyayat keluar dari mulut Dwipa
Kuntar.
"Wuaaaaaaaaaaa...!" Dwipa Kuntar meronta-
ronta. Tangannya tetap berpegangan erat pada pinggi-
ran jembatan. Semua orang yang berada di situ mena-
tap ngeri. Manakala jeritan Dwipa Kuntar yang me-
nyayat terdengar semakin histeris. Tergetar hati Ri-
wang untuk menolongnya. Maka ia segera melangkah
mengulurkan tangannya, namun....
"Biarkan dia!" Terdengar suara bentakan seo-
rang lelaki. Jelas suara itu bukan dari mulut Wintara
maupun Rawing. Maka serentak orang-orang yang
berdiri di atas jembatan itu menoleh ke arah suara.
Nampaklah sepasukan prajurit kerajaan lengkap ber-
kuda.
"Biarkan dia digerogoti habis oleh makhluk-
mahkluk laknat itu." kata seorang lelaki yang menung-
gangi kudanya paling tengah, Seorang gadis cantik tu-
run dari kudanya, ia segera berlari ke arah jembatan.
Rombongan Wuning Sari yang memenuhi di ujung
jembatan memberi jalan. Larinya semakin cepat ketika
hampir mendekati Riwang.
"Kakang Rawing..." Gadis itu langsung meme-
luk tubuh Riwang yang gelagapan. Ia seperti ingin
menghindar dari pelukan gadis itu. Wuning Sari cepat
membuang muka. Lela Warni hanya tersenyum, ia ta-
hu apa yang menyebabkan Riwang gelagapan seperti
itu. Maka ia melangkah mendekati keduanya...
"Nona... kau salah alamat. Orang yang kau
maksud ada di sana." ujar Lela Warni sambil menun-
juk ke arah Rawing yang sudah bangkit duduk. Laki-
laki itu tersenyum ke arah gadis yang tengah memeluk
Riwang.
"Mayang...! Mestinya kau memeluk aku" kata
Rawing sambil melepaskan senyum yang lebar.
Mayang membelalakkan matanya. Sebentar kemudian
ia menatap Riwang, lalu kembali ke arah Rawing. Den-
gan pipi yang memerah Mayang melepaskan pelukan-
nya, dan ia berlari lagi ke arah Rawing.
Wintara menjadi geli. Orang-orang yang berada
di situ maupun para pasukan yang baru datang terta-
wa melihat tingkah gadis itu. Namun tawa mereka
mendadak tegang saat....
"Aaaaaaaaaaarght!" Jeritan terakhir Dwipa
Kuntar memekak nyaring. Tubuhnya tetap bergelan-
tungan di atas pinggiran jembatan. Semua orang yang
menatapnya berdecak ngeri, karena tubuh Dwipa Kun-
tar telah habis separuh. Yang tersisa bagian tubuhnya
saja. Ia pun tewas dengan kedua mata yang membela-
lak. Di bawahnya berkecipak ikan-ikan pemakan
bangkai saling lompat berebut sisa daging yang berja-
tuhan ke bawah.
"Kalian harus ikut kami menghadap sri baginda
sekarang juga." kata seorang prajurit yang nampak
berwibawa. Ia tetap duduk di atas kudanya. Menden-
gar ucapan itu semuanya diam tegang. Kecuali....
"Tidak! Kami tidak akan menyerahkan diri pada
sri baginda! Apa lagi harus menerima hukuman da-
rinya. Kami akan menentang!" bantah Lela Warni. Pra-
jurit kerajaan itu malah tersenyum.
"Jangan berprasangka buruk dulu, Nona. Ka-
lian diundang oleh sri baginda bukan untuk menjalan-
kan hukuman, tapi untuk menghadiri pengangkatan
Rawing dan Riwang menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai panglima. Apa kalian tidak setuju?" sergah
prajurit itu lagi.
Lela Warni mengangkat bahu. Wuning Sari me-
narik Riwang ke arah Rawing. Dua pemuda kembar itu
berdiri bersampingan. Di sisi mereka berdiri pula
Mayang dan Wuning Sari. Lela Warni menoleh kanan
dan kiri seperti ia mencari sesuatu.
"Apa yang kau cari, Nona? Pendekar muda itu?
Dia sudah pergi lebih dulu. Kami pun tidak tahu ke
mana tujuannya." kata prajurit yang tetap duduk ber-
wibawa di atas kudanya. Lela Warni melengos. Selintas ia nampak cemberut.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar