PENDEKAR BLO'ON EPISODE PERJALANAN KE ALAM BAKA
EPISODE:
I ANAK LANGIT & PENDEKAR LUGU
II SANG MAHA SESAT
III LIMA UTUSAN AKHERAT
IV PERJALANAN KE ALAM BAKA
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya
kebetulan belaka.
PERJALANAN
KE ALAM BAKA
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting Oleh: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Perjalanan Ke Alam Baka
1
Kuda berbulu putih tampak melesat melintas di
jalan berbatu. Di kanan kiri jalan itu yang kelihatan
hanya kegersangan dan padang tandus saja. Panas te-
rik seperti memanggang batok kepala, membuat otak
terasa mendidih. Kabut beracun menghampar di se-
panjang lembah itu. Sementara laki-laki yang duduk di
atas kuda tunggangan itu tidak lain adalah seorang la-
ki-laki berumur sekitar lima puluh lima tahun. Kumis-
nya putih sebagian, rambutnya pun demikian. Ia me-
makai baju selempang seperti seorang resi. Tampaknya
dia dalam keadaan tergesa-gesa.
Jalan itu rupanya membelok menuju ke tempat
yang lebih sulit dan dipenuhi dengan kabut dan lu-
bang-lubang mata air panas.
"Hiya! Hiya...!"
Laki-laki itu menggebah kuda tunggangannya,
terdengar suara ringkikan keras. Tidak lama kemudian
kuda itu pun tercebur ke dalam telaga beracun yang
menganga di depannya.
"Hieekk...!"
Kuda terus meringkik keras memperdengarkan
suara seperti hewan yang sedang sekarat dan meminta
tolong pada majikannya. Tidak seorang pun mampu
menolongnya. Sedangkan penunggangnya sendiri keti-
ka itu terpaksa berjuang menepi untuk menyela-
matkan selembar nyawanya. Setelah bersusah payah,
laki-laki itu dapat juga naik ke daratan. Tetapi sesuatu
yang sangat mengerikan terjadi pada dirinya. Ia
melolong kesakitan. Tubuhnya menggelepar seperti
seekor ayam dipotong. Rupanya tubuh laki-laki malang
itu melepuh dan rusak di sana sini. Air telaga selain
panas mendidih juga mengandung racun yang sangat
ganas. Rambut laki-laki ini rontok, kumisnya, jenggot-
nya dan semua bulu yang ada di tubuhnya rontok se-
perti tersiram air mendidih. Penderitaan laki-laki
ini semakin bertambah menghebat, karena telaga air
panas itu mengandung racun pula.
"Akh... taubat. Tuhan, mengapa begini buruk-
nya nasibku! Cabut saja nyawaku, aku tidak dapat
melaksanakan tugas yang diberikan oleh baginda!"
rintihnya. Dia tidak lain adalah Patih Luragung, untuk
lebih jelasnya mengapa Patih ini sampai tersesat di
Bukit Kematian (Dalam Episode Lima Utusan Akherat).
Tertatih-tatih laki-laki yang telah kehilangan seluruh
rambut dan kulitnya ini berdiri. Keadaannya memang
sangat menyedihkan sekaligus mengerikan sekali. Wa-
laupun keadaannya sudah tidak memungkinkan un-
tuk mendaki ke puncak Bukit Kematian yang menju-
lang tinggi itu, Patih Luragung rupanya memaksakan
diri juga.
"Tugas ini harus kulakukan, walaupun dengan
sisa-sisa nyawaku!" desis sang Patih mengerang sakit.
Sesungguhnya ia sudah tidak punya kemampuan apa-
apa lagi sejak ia bersama kudanya tercebur ke dalam
telaga air panas. Kulitnya yang mengelupas itu meru-
pakan siksaan tersendiri yang sungguh dahsyat. Na-
mun ketika mengingat keselamatan kerajaan yang
sangat terancam, maka Patih ini terpaksa melakukan
pendakian juga. Bila ada batu atau ranting pohon
mengenai dirinya, maka menjeritlah Patih Luragung
seperti prajurit perang yang ditembus pedang.
"Keadaanku sama seperti orang yang dikuliti
hidup-hidup. Sanggupkah aku mencapai puncak sa-
na?" bibir yang sudah kehilangan kumis itu menggeri-
mit sakit. "Akh...!" Patih Luragung tiba-tiba saja jatuh
terguling, ia langsung tidak sadarkan diri. Angin men-
desir, begitu sepinya Bukit Kematian atau lebih dikenal
dengan Bukit Setan ini. Sehingga suara sehalus apa-
pun tetap terdengar dengan jelas namun menyeram-
kan.
Patih Luragung ternyata tidak sadarkan diri ka-
rena luka-luka melepuh di sekujur tubuhnya. Keadaan
ini berlangsung cukup lama juga. Setelah hampir dua
jam, maka dari atas Bukit Kematian terdengar suara
bergemuruh yang disertai dengan suara ledakan-
ledakan dahsyat. Angin pun berhembus kencang. De-
bu beterbangan, berputar-putar di udara lalu melesat
ke langit. Tidak lama setelah itu terdengar pula suara
tawa bekakakan. Suara tawa serasa mengguncang
puncak bukit dan meruntuhkan daun-daun kering.
Sosok tubuh tampak berkelebat menuruni bu-
kit. Hanya dalam waktu sekedipan saja sosok tubuh
yang cuma memakai cawat ini telah berdiri di depan
Patih Luragung yang tidak sadarkan diri. Orang ini
ternyata berwajah sangat mengerikan, ia adalah mak-
hluk yang mengerikan di kolong langit ini, wajahnya
seburuk setan. Matanya cuma satu terletak di ten-
gah-tengah hidung. Mulutnya lebar, gigi-giginya yang
semerah darah tampak runcing tajam.
Melihat pada sosok tubuh Patih Luragung yang
mengelupas tawanya malah semakin menggema me-
menuhi seantero lembah. Dengan seenaknya tubuh
sang Patih ditentengnya. Di lain waktu ia telah berge-
rak kembali ke puncak bukit. Sungguh kedatangan
dan kepergiannya cepat laksana setan gentayangan.
Tidak lama suasana berubah sunyi kembali.
Patih Luragung yang dalam keadaan setengah
matang ini langsung dibaringkan di atas lantai dingin.
Kakek bermata satu ini melangkah menghampiri pera-
pian yang tidak pernah padam selama-lamanya. Di
atas perapian batu terdapat sebuah kwali tanah beru-
kuran besar berisi air mendidih. Melihat ke dalam
tungku tersebut senyum angkernya terkembang.
"Sebentar lagi aku akan pesta besar! Ha ha
ha...!" Tawa kakek bertampang iblis ini menggema. La-
lu ia menghampiri Patih Luragung. Pakaian Patih ma-
lang ini dicopotnya, sehingga keadaan Patih jadi mem-
bugil. Pada saat si kakek berjanggut menjela sampai ke
mata kaki ini melemparkan pakaian sang Patih. Ter-
dengar suara bergemerincing.
"Eh, apalagi itu?" desisnya. Lalu dihampirinya
benda terbuat dari logam itu. Benda berbentuk bulat
itu semerah darah. Si kakek terkejut. Matanya yang
mengerikan terbelalak, ia mengamati benda bulat itu
dengan teliti. Bibirnya yang lebar bersungut-sungut.
"Benda ini milik Sang Maha Sesat?! Sungguh
tidak dapat kupercaya? Batal keinginanku untuk me-
nikmati daging rebus yang lezat, heh... jadi orang ini
diutus oleh Sang Maha Sesat. Permainan apalagi ini?
Pasti ada masalah yang sangat besar sedang terjadi.
Tapi bagaimana bapak moyangnya iblis dan setan itu
mau mencampuri urusan manusia? Ha ha ha... aku
mengerti sekarang. Dia pasti sedang mencari pengikut
lagi dalam jumlah yang lebih besar. Ini sesuatu yang
sangat menarik. Aku akan ke sana! Tapi orang malang
ini harus kubuat sadar dulu, nanti ku sembuhkan!"
gumamnya sinis.
Siapa sesungguhnya kakek bermata satu bergi-
gi macam gergaji ini? Dia seperti sudah sama kita ke-
tahui (Dalam episode Lima Utusan Akherat). Dia tiada
lain adalah Pertapa Seribu Abad. Masih tergolong sa-
habat Sang Maha Sesat di bumi ini. Usianya sudah ra-
tusan tahun. Tapi belum juga mati, dalam umur yang
panjang itu dihabiskannya untuk bertapa. Kebiasaan-
nya sangat aneh yaitu memakan daging manusia se-
tiap seminggu sekali. Ia hanya meninggalkan tempat
pertapaannya apabila membutuhkan korban baru.
Setelah memperhatikan Patih Luragung cukup
lama, Pertapa Seribu Abad mengambil sepotong kayu
kecil berwarna merah darah. Ia mulai menyembuhkan
tubuh sang Patih hingga babak belur. Si Patih mengge-
liat, kemudian melolong-lolong kesakitan seperti seekor
kerbau yang disembelih.
"Akh... hentikan, aku hendak kau apakan?"
"Diam?!" Pertapa Seribu Abad membentak ge-
ram.
"Bagaimana aku bisa diam? Kau hendak mem-
bunuhku rupanya?" tanya sang Patih terus melolong-
lolong.
"Kalau kau mau hidup memang beginilah cara
menyembuhkanmu!" dengus si kakek mengerikan. Pa-
tih Luragung menggeliat, menggelepar. Pemukulan itu
terus berlangsung hingga pada akhirnya terjadilah se-
suatu yang sangat sulit dipercaya. Sekujur tubuh sang
Patih yang terkena pukulan timbul warna merah se-
perti darah. Warna merah itu selanjutnya menghilang.
Sehingga pada akhirnya tumbuhlah kulit-kulit ba-
ru di sekujur tubuhnya. Keadaan Patih Luragung
kembali seperti sediakala. Hanya rambutnya saja yang
tidak dapat tumbuh kembali, kumisnya, jenggotnya ju-
ga tidak tumbuh.
Kejut hati Patih Luragung bukan alang kepa-
lang. Ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya
dapat sembuh seperti sediakala. Hanya sang Patih ter-
paksa merelakan seluruh rambutnya yang tidak
mungkin tumbuh kembali lagi.
"Benar kau diperintahkan Sang Maha Sesat
kemari?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Benar, Ki Pertapa. Sang Maha Sesat mengha-
rap kehadiran Anda di kerajaan Ujung Dunia.
Akan ada peristiwa besar di sana." jelas Patih Lura-
gung dengan wajah tertunduk.
"Kerajaan Ujung Dunia diperintah oleh Raja La-
lim Durjana, betul?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Betul."
"Dia raja paling kejam di dunia, betul?"
"Juga betul, Ki." sahut sang Patih.
"Putrinya cantik-cantik, selirnya banyak. Beliau
punya sahabat keparat hartawan Abdi Banda, betul?"
"Benul juga, eeh... betul juga, Ki." jawab laki-
laki ini sambil angguk-anggukkan kepala.
"Ha ha ha...! Ketahuilah, sesungguhnya jika
cuma Lalim Durjana yang meminta bantuanku, tentu
aku menolak. Namun mengingat Sang Maha Sesat
adalah sahabatku. Dengan terpaksa aku meneri-
manya. Nah, sekarang kembalilah kepada rajamu...!"
"Tapi...."
"Goblok. Aku tahu apa yang mau kau ucapkan.
Kau hendak mengatakan apakah aku menerima pang-
gilan ini atau tidak bukan? Ketahuilah, kecepatanmu
berlari sama dengan kecepatanku berjalan. Kecepatan-
ku berlari lebih cepat lagi dari hembusan topan. Jika
kau memilih berjalan bersamaku, maka begitu sampai
di kerajaan nyawamu akan putus dan kau langsung
mampus. Pergi...!! Sebelum kesabaranku habis, Patih
tuyul gundul." bentak Pertapa Seribu Abad.
Bentakan suara sang Pertapa saja sudah mem-
buat tubuh Patih Luragung tersentak kemudian ter-
banting. Laki-laki setengah baya ini jadi ciut nyalinya.
Dengan cepat ia beringsut menjauh, lalu putar langkah
dan mulai menuruni Bukit Kematian.
"Tolol, jangan lewat situ lagi, apa hendak cari
mampus!"
"Jadi lewat mana...?" tanya Patih tanpa berani
menoleh lagi.
"Ambil jalan yang di sebelah kiri!"
Patih Luragung pun mengambil jalan di sebelah
kiri. Pertapa Seribu Abad memperhatikan kepergian-
nya dengan tatapan matanya yang cuma satu. Lalu
terdengar suara tawanya tergelak-gelak.
* * *
Laki-laki gendut pendek dan hanya memakai
cawat ini terus berlari sambil mengempit kepala Pan-
glima Arung Garda. Sesekali ia menoleh ke belakang.
Wajahnya yang mirip dengan muka kodok tampak ke-
takutan sekali. Bagaimana pun seumur hidupnya ia
baru sekali ini ia melihat ada orang yang telah kehilan-
gan kepala, bahkan kepala itu ia sendiri yang memba-
wanya. Namun orang yang telah kehilangan kepala itu
masih bertahan hidup bahkan terns mengikutinya ke-
mana pun ia pergi.
"Gher... grok... grok...!" Batang leher yang ter-
putus, serta lubang tenggorokan yang tersumbat darah
kental itu terus mengeluarkan suara seakan meminta
pada Raja Kodok supaya mengembalikan kepalanya
yang terus dikempit sambil dibawa berlari.
"Celaka?! Benar-benar celaka Panglima ini. Ke-
palanya sudah kubawa tapi ia masih mengejarku te-
rus. Hhh, bagaimana ini? Apakah kepala ini harus ku-
berikan?! Tapi menurut Pendekar bertampang ketolol-
tololan itu aku harus membawa kepala ini ke kota raja.
Entah apa maksud tujuannya aku tidak tahu?" kata
Raja Kodok dalam hati.
Pemuda yang sekujur tubuhnya selalu basah
seperti seekor kodok itu terus berlari dan berlari. Se-
mentara kodok-kodok yang berada di dalam sumpitnya
mengeluarkan bunyian aneh seakan memberi seman-
gat pada Raja Kodok agar terus berlari.
"Gher... krok... krok kokok...!" Tubuh tanpa ke-
pala itu berkata (Kembalikan kepalaku, kepalaku itu
mau dibawa kemana? Kembalikan cepat orang jelek!).
Mana Raja Kodok perduli. Malah larinya semakin ce-
pat, walaupun terkadang membuatnya menggelinding.
Panglima Arung Garda pun mengejar dengan pontang-
panting.
Setelah menempuh jarak sekian jauhnya. Maka
sampailah Raja Kodok di alun-alun istana. Di sana ia
melihat seorang pemuda memakai baju putih dan seo-
rang kakek tua berpakaian putih pula sedang me-
nyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan di ha-
laman. Begitu melihat kemunculan Raja Kodok, maka
pemuda baju putih tersentak kaget.
"Gusti Allah?! Maha besar Engkau dengan sega-
la keanehan yang kau ciptakan. Kepala siapa yang di-
bawanya?" desisnya agak tertegun. Si kakek yang tidak
lain adalah Malaikat Penderitaan lain lagi. Ketika meli-
hat kehadiran Raja Kodok sambil mengempit kepala
Panglima di keteknya malah menangis....
"Oh... oh.... Gusti...! Kulihat ada orang jelek
membawa-bawa kepala tanpa badan membuat aku
menderita." katanya di tengah-tengah isak tangisnya.
Lalu muncul badan tanpa kepala menunjuk-nunjuk
Raja Kodok. Tangis Malaikat Penderitaan semakin
menghiba-hiba. "Ini lagi, yang ini lebih celaka. Sesung-
guhnya manusia itu sering memperbodoh diri sendiri.
Menuntut ilmu di jalan yang sesat, setan gurunya, iblis
menjadi petunjuknya. Manusia tidak dapat melawan
kodrat, tidak bisa menentang takdir. Ilmumu yang me-
nahan rohmu terpisah dari ragamu. Orang paling jelek
muka kodok. Serahkan kepala itu padaku!!" perintah
Malaikat. Penderitaan.
Raja Kodok menjadi ragu-ragu. Ia teringat pe-
san Pendekar Blo'on. Apa yang harus dilakukannya ki-
ni? Menyerahkan kepala Panglima Arung Garda pada
kakek yang suka menangis itu?
"Orang tua gagah cengeng. Bagaimana aku bisa
mempercayaimu? Sedangkan Pendekar rambut macam
rambut jagung meminta ku agar membawa kepala ini
kemari. Dia tidak pesan supaya aku menyerahkan ke-
pala ini padamu!"
"Hu hu hu! Orang yang kau maksudkan pasti-
lah Anak Ajaib itu? Si konyol yang punya senjata dapat
merintih-rintih. Aku dan pemuda ini masih terhitung
sahabatnya. Serahkan kepala itu padaku?" Malaikat
Penderitaan mengulangi perintahnya. Raja Kodok men-
jadi bingung. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Arung
Garda untuk merebut kepalanya kembali. Kepala terja-
tuh, begitu menggelinding di atas tanah matanya lang-
sung terbuka, mulutnya menyeringai lalu terdengar
suara tawanya yang menyeramkan. Raja Kodok menu-
bruk kepala tersebut. Namun sudah terlambat, sang
kepala telah melayang dan melekat pada potongan le-
hernya. Begitu Arung Garda mengusap-usap bekas lu-
ka itu maka leher dan kepalanya menyatu seperti se-
diakala.
***
2
Pemuda baju putih yang tidak lain adalah
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lugu terkejut
melongo. Malaikat Penderitaan langsung melompat.
Gerakannya cepat seperti kilat. Di lain waktu ia sudah
dapat menotok urat gerak di tubuh Panglima kejam ini.
Sehingga membuatnya tidak mampu bergeser ke ma-
na-mana.
"Ada yang ingin kau katakan, Panglima sebe-
lum Anak Langit datang menjumpai kita dalam rangka
membuka Surat Kedamaian Dunia?" tanya Malaikat
Penderitaan.
"Ada!" sahut Arung Garda. "Kau adalah manu-
sia paling pengecut. Kelak jika aku terbebas dari toto-
kan ini satu hal yang ingin kulakukan adalah me-
menggal kepalamu!" dengus laki-laki itu sengit.
"Hu hu hu...! Aku sangat menderita sekali
mendengar ucapanmu. Tapi kau lebih menderita lagi
karena niatmu tidak akan tercapai!"
"Huh, bagaimana kau tahu manusia busuk?"
"Tuhan Yang Maha Tahu. Ajal kematianku bu-
kan di tanganmu, ini menyangkut ketentuanNya. Agar
kau tahu aku kelak akan mati bila di dunia ini muncul
manusia yang punya empat mata empat telinga empat
lubang hidung dua mulut. Aku memang sedih, aku
menderita. Tapi aku lebih menderita lagi jika tidak ma-
ti-mati. Huk huk huk!"
"Manusia edan!" maki Panglima Arung Garda.
"Aku memang penuh keedanan, namun kegi-
laanku jauh dari angkara murka yang membuat aku
menderita, yang membuat orang lain tersakiti dan yang
menyeret manusia dalam jurang penderitaan. Kau ada-
lah seorang pemimpin. Apa nanti jawabmu dalam pen-
gadilan negeri akherat tentang apa yang kau pimpin?!"
"Persetan!" dengus Panglima Arung Garda.
"Ya, kau memang sahabat setan, kau salah sa-
tu pengikutnya. Itu sebabnya kau selalu menyebut-
nyebut makhluk terkutuk itu. Seret dia dan kumpul-
kan bersama si Raja Tega...!"
Maka Raja Kodok tanpa bicara apa-apa lagi
langsung memanggul Arung Garda kemudian didu-
dukkan dekat seorang laki-laki berwajah angker yang
telah kehilangan dua tangan dan sebelah kaki. Untuk
lebih jelasnya apa yang telah terjadi dan menimpa diri
tokoh dari Sampuran Harimau ini (Ikuti Episode Lima
Utusan Akherat). Panglima Arung Garda tentu kaget
setengah mati melihat Raja Tega dalam keadaan men-
genaskan. Laki-laki yang telah kehilangan tangan dan
kaki itu seakan kehilangan kewibawaannya lagi.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya
Arung Garda pelan.
"Bocah Setan berambut merah itu. Daripada
begini nasibku lebih baik aku mati saja. Sayang aku
tidak bisa melakukannya." Raja Tega menggeram.
"Begitu mudahnya manusia memilih mati. Bek-
al kebaikan apa yang sudah kau perbuat, Raja Tega?
Apa kau pikir segala perbuatan baik buruk manusia
kelak tidak ditanya?" kata Malaikat Penderitaan yang
rupanya mendengar keluh kesah Raja Tega.
Laki-laki paling sadis ini bungkam, hanya ma-
tanya saja memandang pada si kakek dengan melotot.
Rupanya ia sangat geram sekali. Malaikat Penderitaan
kemudian beralih pada Raja Kodok.
"Anak manusia. Siapakah engkau?"
"Aku... tidak punya nama yang pasti. Guruku
menyebutku Raja Kodok!" jawab pemuda gendut pen-
dek muka kodok.
"Siapa gurumu?"
"Guruku Bidadari Sungai Ilir."
Malaikat Penderitaan memandang ke langit.
"Aku pernah mendengar manusia misterius itu. Hem,
lalu mengapa kau sampai ke sini, apa yang kau cari?!"
"Aku ini punya dendam yang tidak terkira. Aku
mencari hartawan Abdi Banda. Orang yang telah
membuat aku terlahir ke dunia, orang yang juga mem-
buat ibuku sengsara dan bunuh diri!" geram Raja Ko-
dok.
"Siapakah nama ibumu?" tanya Pendekar Lugu.
"Ararini." sahut Raja Kodok.
Sepontan paras pemuda baju putih berwajah
polos seakan tanpa dosa ini berubah memucat. Sekilas
membayang masa lalu dalam ingatannya.
"Benarkah ibumu telah bunuh diri?" tanya
Pendekar Lugu lagi.
"Benar."
"Semoga Tuhan mengampuni semua dosanya.
Jika nanti kau telah bertemu dengan hartawan Abdi
Banda, kau hendak kemana?"
"Aku mau mencari paman Wahyu Sakaning
Gusti. Konon ia adalah kekasih ibuku. Aku ingin minta
maaf pada orang itu atas ketidak setiaan ibu dan juga
minta maaf atas kesalahan kakekku."
"Ibumu tidak bersalah. Ia sekedar berbakti dan
menyenangkan hati orang tua. Kesalahan kakekmu
dapat dimaafkan, lalu apa keinginanmu yang lain?"
suara Pendekar Lugu biasa-biasa saja tanpa ekspresi
atau pun gejolak jiwa.
"Aku ingin berguru padanya. Menurut yang ku-
dengar paman Wahyu Sakaning Gusti tidak pernah
marah, tidak sombong, tidak iri, tidak dengki dan tidak
suka mencela orang lain. Sedangkan aku adalah orang
yang masih penuh amarah, penuh dendam, dan penuh
kebencian. Bahkan pada diri sendiri pun aku benci."
"Nanti kau pasti akan bertemu dengan orang
yang kau cari. Sebagai tanda niat baikmu itu, apakah
kau mau membantu kami meringkus raja Lalim Dur-
jana dan kawan-kawannya yang bersembunyi di istana
ini?"
"Tentu saja aku mau. Tapi aku harus tahu, sia-
pakah kau dan siapa pula kakek yang selalu meren-
gek-rengek seperti anak kecil itu?" tanya Raja Kodok.
"Aku Pendekar Lugu. Sedangkan kawan kita
yang suka menangis itu adalah Malaikat Penderitaan."
jelas si pemuda.
Raja Kodok anggukkan kepala. "Lalu apakah
sekarang aku harus mulai mencari raja Lalim Durja-
na?"
"Kau ikuti kami, memeriksa setiap lorong-
lorong yang ada secara bersama-sama." tegas Pendekar
Lugu.
"Bagaimana dengan kedua setan pelayangan
ini?" Raja Kodok kelihatan ragu-ragu.
"Biarkan saja, mereka tidak dapat pergi kema-
na-mana!" Malaikat Penderitaan yang menyahuti. Me-
reka bersama-sama memasuki istana yang besar itu.
Apa yang mereka lakukan ini terutama bagi Pendekar
Lugu dan Malaikat Penderitaan adalah untuk yang ke-
tiga kalinya setelah pencarian pertama dan kedua
mengalami kegagalan.
* * *
"Masih sakitkah lukamu?" tanya Pemuda baju
biru berambut hitam kemerah-merahan yang duduk di
samping si gadis. Sebagaimana telah sama kita ketahui
gadis berbaju hitam ringkas ini terluka setelah berta-
rung dengan Panglima Arung Garda.
"Kurasa sudah agak baikan sedikit. Luka-luka
ini cepat mengering. Aku merasa berhutang nyawa pa-
damu." sahut Puspita Sari alias Rana Unggul.
"Hust, aku tidak menghutangkan apa-apa, kok.
Yang punya nyawa kan Gusti Allah, bersukurlah kepa-
daNya?!" kata murid Penghulu Siluman Kera Putih dan
Malaikat Berambut Api ini sambil membalut luka me-
manjang di bagian iga Puspita.
Puspita memandang cukup lama pada pemuda
bertampang ketolol-tololan ini. Semakin ia memandang
pada wajah tampan ketolol-tololan tersebut. Maka ha-
tinya pun semakin bertambah resah.
"Betulkanlah pakaianmu. Semakin lama aku
memandangmu, aku sih tahan-tahan saja. Tapi adikku
tentu tersiksa." ujar Suro Blondo tampak menahan se-
nyum.
"Siapa adikmu?"
"Adik kecilku yang selalu ikut kemana saja aku
pergi. Ha ha ha...!"
"Pemuda gendeng! Bicaramu selalu ngawur dan
nyerempet-nyerempet terus!" gerutu Puspita bersun-
gut-sungut. Seraya membenahi pakaiannya yang agak
berantakan. Wajahnya berubah kemerah-merahan.
"Yang nyerempet itu selalu membuat deg-
degan, penasaran sekaligus menegangkan." Sama se-
kali Puspita tidak menanggapi. Perlahan ia bangkit
berdiri. Sementara itu Utusan dari Kapuas, Madura
Indra Giri, telah selesai menguburkan mayat-mayat
anggota mereka. Mereka ini sebagaimana kita ketahui
tewas di tangan Panglima Arung Garda.
"Mari kita hampiri para utusan itu!" kata Si Bo-
cah Ajaib Suro Blondo. Si konyol membimbing Puspita
Sari, gadis itu menceritakan semua tujuan para Lima
Utusan Akherat pada si pemuda. Suro angguk-
anggukkan kepala. Kini ia semakin mengerti bahwa
sebenarnya para Utusan itu orang-orang baik yang pa-
tut didukung keinginannya.
"Mmm... sukurlah Nona dalam keadaan baik-
baik saja. Kami semua sudah cemas. Panglima iblis itu
benar-benar setan. Ilmunya aneh, badan sudah kehi-
langan kepala masih bisa jalan-jalan. Benar-benar gila.
Aku hampir nggak percaya kalo tidak lihat sendiri!" ka-
ta Kalingga Jati penuh rasa takjub.
"Anda sekalian, sebaiknya sekarang kita pergi
ke Ujung Dunia."
"Pendekar, bagaimana pun kami harus mem-
bawa jenazah Manggar Kesuma, Bias dan Ubudana.
Karena walau cuma mayat mereka juga harus me
nyaksikan apa yang ingin disampaikan oleh Anak Lan-
git." kata Kalingga Jati wakil dari Ujung Kulon yang te-
lah kehilangan ketuanya, yaitu Ubudana.
Suro garuk-garuk kepala. "Mungkinkah orang
yang sudah menjadi mayat bisa menjadi saksi. Se-
dangkan lawan-lawan yang akan kita hadapi pun tidak
sedikit. Apakah mereka tidak merepotkan?" tanya Pen-
dekar Mandau Jantan.
"Mayat pun bisa menjadi saksi." Dunga ikut bi-
cara. "Guru kami mengatakan bahwa mayat pun bisa
menjadi saksi. Karena roh mereka sebelum dikubur-
kan jenazahnya tentu akan mengikuti kemana pun ja-
sad kasarnya dibawa pergi."
"Baiklah. Jika memang sudah begitu mau ka-
lian. Tapi hati-hatilah, siapa tahu mayat kawan-kawan
kalian bisa ngompol atau memberaki kalian. Aku terus
terang saja tidak bisa tanggung jawab." kata si konyol.
"Bercanda sih bercanda. Tapi jangan keterla-
luan!" Puspita mengingatkan.
Pendekar Blo'on langsung tutup mulutnya ra-
pat-rapat.
* * *
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, te-
gang dan menyeramkan itu. Maka Patih Luragung
sampai pula di ujung jalan menuju kota raja. Suasana
setelah terjadi perang besar-besaran di kota raja me-
mang lengang sekali. Kini semua orang berubah me-
musuhi pihak kerajaan. Terlebih-lebih rakyat yang se-
lama ini hidupnya tertindas penuh penderitaan. Patih
Luragung pun tidak berani muncul secara terang-
terangan. Ia tidak ubahnya seperti seekor tikus. Yang
mudah curiga terhadap sesuatu yang bergerak di seki-
tarnya.
"Aku tidak tahu apakah paduka sekarang ini
berada dalam keadaan aman atau malah sebaliknya.
Mudah-mudahan saja Malaikat Penderitaan tidak
mengetahui tempat persembunyiannya!" kata Patih
yang sekarang telah berubah gundul ini penuh rasa
harap.
Patih kemudian membelok di jalan kecil menu-
ju lorong rahasia yang menghubungkan ke tempat per-
sembunyian raja Lalim Durjana di bawah tanah. Be-
lum sempat Patih mencapai lorong utama. Tiba-tiba
saja ia merasa ada hembusan angin menerpa wajah-
nya. Laki-laki ini tersentak kaget. Memandang jauh ke
depannya, terlihat kabut putih menghampar di depan-
nya. Lalu terdengar suara seseorang....
"Patih, bagus kau telah melaksanakan tugas-
mu. Tapi kuingatkan padamu sebaiknya jangan kau
masuk ruangan rahasia. Musuh-musuh kita sudah
mulai berdatangan. Kita harus menjalankan sebuah
siasat yang baik. Mari ikuti aku!"
"Siapa kau?" tanya Patih Luragung curiga.
"Aku sang Maha Sesat. Jangan banyak tanya-
tanya lagi. Ikutilah aku!" perintah suara tadi.
Patih rupanya memang merasa tidak punya pi-
lihan lain lagi. Ia terpaksa mengikuti perintah Sang
Maha Sesat. Tidak lama kemudian mereka sudah
sampai di kamar-kamar peraduan putri raja.
"Salah satu kelemahan laki-laki adalah tidak
tahan menghadapi godaan perempuan cantik. Nah se-
karang kita coba, mudah-mudahan saja usaha ini
mendatangkan hasil." Sang Maha Sesat mengisiki.
"Nah sekarang kau bersiap-siaplah meringkus siapa
saja yang masuk dalam jebakanku!"
Meskipun belum mengerti benar apa yang akan
dilakukan makhluk alam gaib itu. Patih Luragung ke-
mudian bersembunyi di tempat yang aman. Sementara
kabut tadi sudah menyelinap memasuki kamar pera-
duan putri raja.
Pada waktu itulah terdengar suara langkah-
langkah mendekat ke arah kamar dimana kabut tipis
tadi menghilang. Rupanya orang yang datang ini tidak
lain adalah Si Raja Kodok. Sampai di depan pintu ia
tertegun. Suara-suara sumbang kodok dalam kepis
terdengar.
"Mengapa hatiku berdebar-debar. Apa mungkin
raja bersembunyi di sini?" pikirnya. Dengan agak ragu-
ragu Raja Kodok mendorong pintu. Karena pintu da-
lam keadaan terkunci dari dalam. Maka ia mendo-
braknya dengan melepaskan pukulan dahsyat 'Kodok
Menyanyi Hujan Menggila'.
"Bumm!"
Pintu kamar hancur berantakan. Raja Kodok
melompat ke dalamnya. Ia terkesiap. Di atas ranjang ia
melihat Puspita dalam keadaan setengah telanjang.
Kaki dan tangannya dalam keadaan terikat.
"Tol... tolonglah aku...!" rintih gadis itu.
"Siapa yang telah melakukan ini?" tanya Raja
Kodok yang sudah datang menghampiri.
"Aku tidak tahu, aku dibokong. ia... ia hampir
saja memperkosaku!" jawab Puspita, Raja Kodok lang-
sung melepaskan tali-tali yang mengikat tangan serta
kaki Puspita. Begitu terbebas, gadis itu langsung me-
meluk Raja Kodok sehingga dadanya yang putih tidak
terbalut apa-apa menekan keras dada Raja Kodok.
"Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Ko-
dok. Aku hampir saja mendapat malu besar." desah si
gadis tanpa melepaskan pelukannya.
"Aku heran, kemana perginya orang yang telah
membuatmu malu?" tanya Raja Kodok.
"Di... dia langsung pergi begitu mendengar sua-
ra langkah-langkah orang kemari." Raja Kodok yang
setengah keheranan-heranan ini segera menjauhkan
dirinya dari Puspita. Ia baru saja hendak mengatakan
agar Puspita membenahi pakaiannya. Pada saat itulah
Puspita dengan gerakan cepat menutup hidung Raja
Kodok dengan telapak tangannya.
"Haaar...!" Raja Kodok meronta.
Tapi usahanya ini sudah terlambat. Kabut tipis
beracun telah terhirup olehnya. Raja Kodok terhuyung,
lalu ia tersungkur tidak sadarkan diri. Puspita, terse-
nyum, kemudian tertawa mengakak. Puspita palsu ini
kemudian memanggil Patih Luragung.
***
3
"Paman Patih, lihatlah kemari?! Dia merupakan
bagianmu untuk mengamankannya. Setelah mereka
semua terkumpul, seret ke alun-alun untuk menerima
hukuman pancung!" dengus Sang Maha Sesat yang ki-
ni telah raib dari pandangan mata.
"Hmm, aku suka sekali melaksanakan tugas
ini!" gumam Patih Luragung. Ia mengeluarkan segu-
lung tali dari balik pakaiannya. Maka tidak lama ke-
mudian Raja Kodok pun sudah dalam keadaan terikat.
Kodok-kodok, dalam kepis memberontak melihat
tuannya mendapat perlakuan sedemikian rupa. Tentu
saja makhluk dua jenis alam ini tidak dapat keluar,
karena penutup kepis dalam keadaan terkunci. Patih
menyeret Raja Kodok untuk dibawanya ke tempat yang
aman.
Sementara itu di ruangan lain, Pendekar Lugu
masih belum menemukan apa-apa. Tadi mereka me-
mang sepakat untuk berpencar, namun sekarang timbul keragu-raguannya. Jangan-jangan jalan yang me-
reka tempuh malah membahayakan diri mereka. Pen-
dekar Lugu keluar dari kamar peraduan raja. Ia berge-
gas menuju ke kamar lainnya. Tiba-tiba saja ia melihat
Raja Kodok dalam keadaan terikat terlentang di atas
lantai tidak sadarkan diri.
"Raja Kodok?!" serunya kaget sekali.
Pendekar Lugu tanpa merasa curiga langsung
menghampiri. Setelah memeriksa keadaan Raja Kodok.
Maka semakin pucatlah wajahnya.
"Dia terkena racun jahat Sang Maha Sesat! Ti-
dak kusangka dia masih berkeliaran di istana ini. Ba-
gaimana cara aku menyembuhkannya?!" desis Pende-
kar Lugu cemas.
Baru saja Wahyu Sakaning Gusti hendak mem-
buka tali yang mengikat Raja Kodok. Pintu di bela-
kangnya menutup dengan suara keras. Cepat sekali
Pendekar Lugu menoleh ke belakang. Di saat itulah
angin kencang berhembus disertai menebarnya bau
wangi. Pendekar Lugu tiba-tiba saja terguling. Ia telah
menghirup uap beracun yang sangat ganas. Nasibnya
tidak ubahnya dengan kejadian yang dialami oleh Raja
Kodok. Sosok Raja Kodok tadi menghilang, lalu terden-
gar suara tawa bekakakan penuh kemenangan.
"Sekarang hanya tinggal Malaikat Penderitaan!
Orang satu ini sulit. Tentu dia tidak dapat ditipu, pa-
dahal Surat Kedamaian Dunia itu harus dapat kuambil
agar isinya tidak dapat diketahui oleh orang-orang
yang ingin menempuh jalan yang lurus!" kata Sang
Maha Sesat. Kini muncul lagi Patih berkepala botak, ia
pun melakukan tugasnya untuk yang kedua kalinya.
Sang Maha Sesat dalam gaibnya bergerak ke
arah lain. Jika Malaikat Penderitaan saat itu sudah
menemukan jalan menuju ke dalam ruangan rahasia.
Maka pada waktu bersamaan pula Suro Blondo dan
kawan-kawannya sudah sampai di gerbang istana.
"Di sini terasa sepi sekali!" celetuk Dunga sete-
lah memperhatikan situasi di sekeliling mereka.
"Sepi menghanyutkan." sahut Suro. Keningnya
berkerut-kerut, mulutnya termonyong-monyong. "Li-
hat... bukankah dua ekor kunyuk itu yang hampir
membuat kita semua celaka? Eeh... ini yang aneh! Ke-
pala Arung Garda kok menempel lagi, herannya lagi
dia dan Raja Tega seperti tidak berdaya. Coba kita li-
hat...!"
Kedelapan orang ini langsung mendatangi. Me-
lihat kedatangan mereka Panglima Arung Garda melo-
tot, sedangkan Raja Tega meludahi muka Pendekar
Blo'on.
"Sial! Mestinya kau juga kehilangan gigi serta
mulut. Ludahmu bau dosa. Kalau saja aku tidak malu
sudah kukencingi kau punya muka!" gerutunya.
"Kau...!" Suro menunjuk Arung Garda. "Bagai-
mana kepalamu yang sudah kucopot itu dapat me-
nyambung kembali?"
"Hh, tanyakan pada setan-setan di neraka!"
dengus Panglima sinis. "Ingat! Jika aku terbebas dari
pengaruh totokan jahanam ini, kaulah yang paling per-
tama kukirim ke neraka!" ancamnya. Suro menyerin-
gai. Ia mendekat, lalu ditariknya dua helai kumis
Arung Garda.
"Akkh... bangsat sialan. Anak Setan...!" maki
Panglima telenggas ini sambil meringis-ringis kesaki-
tan.
"Nah kucabut kumismu saja sudah kesakitan.
Bagaimana kau bisa dengan sesuka hati menyakiti
orang lain, membunuh manusia tanpa sebab. Apa kau
kira nyawa manusia milik nenek moyangmu?" dengus
murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Be-
rambut Api dingin.
"Sudahlah, biarkan saja. Sebaiknya kita susul
kawan-kawan kita yang mungkin sedang berada di
dalam sana." sergah Puspita Sari.
"Kau dan para utusan ini boleh bersama-sama
memberitahukan kedatangan kita pada Malaikat Pen-
deritaan. Kurasa mereka sudah tidak sabar menunggu
kedatangan Anak Langit!"
"Kau sendiri?"
"Biarkan aku tetap berada di sini menjaga sega-
la kemungkinan."
"Tuan Pendekar, menurutku keadaan di istana
ini sudah aman. Sebaiknya kita semua masuk saja ke
dalam." usul Dendra.
"Mana boleh begitu. Aku ragu raja Lalim Durja-
na minta bantuan sekutu-sekutunya. Jika kita semua
berada di dalam. Tentu kita tidak akan tahu jika se-
waktu-waktu musuh datang kemari!"
"Dia benar." Yang bicara adalah Dunga. "Kita
harus menjaga segala kemungkinan. Karena bukan
mustahil raja telah melarikan diri, untuk kemudian
kembali lagi ke sini dengan membawa bantuan."
Alasan yang dikatakan Dunga memupus kera-
gu-raguan di hati para utusan juga hati Puspita. Sete-
lah para utusan memasuki istana, kini hanya tinggal
Suro saja yang berada di alun-alun istana. Ia mondar-
mandir sambil mengawasi tawanan. Namun bila orang-
orang ini memperhatikannya. Maka Pendekar Blo'on
cepat-cepat memalingkan perhatiannya ke arah lain.
* * *
Pada waktu itu terdengar suara tangis sayup-
sayup di kejauhan. Angin tidak berhembus, matahari
redup. Suasana sunyi seakan berada di sebuah daerah
tanpa kehidupan. Semakin jelas sosok yang menangis
itu. Maka semakin kuatlah suara tangisnya. Hati se-
tiap orang tercenung, jiwa terguncang. Raja Tega, Pan-
glima Arung Garda tidak terkecuali Pendekar Blo'on
sendiri ikut terseret dalam tangis. Maka menangislah
mereka sejadi-jadinya. Keadaan mereka saat itu seperti
orang yang sedang menyesali sesuatu. Terbayang dosa-
dosa yang mereka perbuat di masa lalu.
Raja Tega yang ikut terseret dalam tangis me-
nyedihkan itu kini meraung. Tidak ubahnya seperti
orang yang kehilangan kekasih yang sangat dicin-
tainya. Pendekar Blo'on kerahkan tenaga dalam untuk
menghilangkan pengaruh tangis yang menyedihkan
itu. Namun ia sama sekali tidak berdaya melakukan-
nya. Ia duduk bersila, lalu pejamkan matanya. Diko-
songkannya hati, jiwa dan pikirannya. Sementara
mulutnya terus termonyong-monyong.
Sekejap entah darimana datangnya. Di atas
tembok istana telah duduk seorang laki-laki tua me-
makai kupluk putih. Di tangannya memegang tasbih.
Wajahnya tertunduk, jenggot panjang dan ia terus me-
nangis tiada henti.
"Huuuuuu... hu hu hu...! Kudengar keluh ma-
tahari, ia memancarkan cahaya penerang bumi yang
sia-sia, karena begitu banyak manusia lalai menyem-
bah TuhanNya! Kudengar pula jeritan bumi, begitu be-
ratnya ia mengemban beban manusia-manusia berge-
limang dosa. Matahari diperbudak manusia, bumi diin-
jak-injak orang-orang kotor. Seandainya kalian tahu
pasti apa yang aku ketahui. Tidak ada kesempatan ba-
gi kalian untuk tertawa dan menyia-nyiakan umur. Ka-
lian lebih banyak menangis daripada tertawa. Hidup
delapan puluh lima tahun, hatiku selalu risau memi-
kirkan dosa-dosaku sendiri dan dosa orang lain. Ada-
kah manusia pernah berpikir untuk apa dia hidup,
buat apa dia dilahirkan? Apakah hanya untuk mengurusi perut, memperturutkan hawa nafsu atau menjadi
budak setan?! Hu hu hu...! Sekali-kali tidak demikian,
jika kau mau berpikir. Manusia dilahirkan untuk ber-
bakti pada Gusti Allah. Aku kasihan... manusia keba-
nyakan lalai karena disibukkan mengurusi harta ben-
da dan mengumpulkan anak-anak. Harta yang kau
kumpulkan dengan susah payah itu kelak akan kau
tinggalkan, orang-orang yang kau cintai itu kelak akan
meninggalkanmu dan kau akan dilupakannya. Jika
aku sudah terbujur menyatu dengan tanah bekal apa-
kah yang aku bawa? Adakah harta benda dan anak-
anakku dapat menolongku dan menyelamatkan diriku
dari sebuah azab yang pedih. Duh, betapa yang na-
manya manusia itu sangat sombong sekali, terlalu
membanggakan diri karena keberhasilannya, kedudu-
kannya, kekayaannya, kecantikannya dan mereka ke-
banyakan sangat mencintai dunia. Janganlah begitu,
nanti engkau akan tahu pasti. Jangan begitu kelak
engkau akan menyesal, penyesalan yang sama sekali
tidak berguna. Aku sibuk, aku sedih melihat kalian
mengejar gemerlapnya dunia. Aku lebih sedih lagi me-
lihat dua alat pembunuh yang kini tidak berdaya. Oh,
aku lebih suka merenung, perenunganku membuat
aku menangis, tangisku karena penyesalan. Bukan
untuk persoalan dunia yang penuh dengan kebusukan
ini, tapi menyangkut urusanku dan urusan semua
orang setelah mati. Hu hu hu...!"
Si kakek yang kedua matanya memerah dan
bengkak-bengkak ini terus saja menangis. Raja Tega
masih juga menangis, Arung Garda mulai dapat men-
guasai diri. Sedangkan Suro sudah berdiri dan tidak
lagi menangis. Memandang ke atas tembok, ia melihat
si kakek berjanggut panjang terus tundukkan kepala
sambil menangis. Melihat ke bagian tangan, tasbih be-
sar itu terus berputar lambat namun pasti.
"Kisanak, siapakah Anda yang suka menangis?"
tanya Pendekar Mandau Jantan sambil menyeka sisa
air mata di pipinya.
"Hu hu hu, aku sibuk memikirkan dosa-
dosaku. Aku bingung dimana kelak aku ditempatkan?
Apakah di sorga atau neraka? Aku lupa siapa diriku
sendiri. Kudengar orang menyebutku sebagai 'Makhluk
Sibuk', kudengar pula orang menyebutku 'Si Perenung
Dosa'. Aku tidak perduli siapa aku, aku hanya perduli
pada perbuatan baik burukku...!"
Suro tercengang, mulut melongo. Ia cepat tutup
mulutnya dengan satu jari tangan. Ia jadi teringat pe-
san gurunya Malaikat Berambut Api ketika ia berada
di puncak Mahameru dulu.
"Suro, di dunia ini ada seorang manusia yang
tidak sempat memikirkan urusan dan kemewahan du-
nia karena terlalu sibuknya ia memikirkan dosa sendiri
dan dosa orang lain. Ia tidak mau usilan, ia selalu me-
lerai setiap ada pertikaian. Ia menangisi kesalahannya
di tempat sepi. Ia tidak pernah lupa mengingat Gusti
Allah. Orang itu adalah Si Perenung Dosa atau Mak-
hluk Sibuk. Kepadanya dapat kau tanyakan apa arti
dan hakekat hidup manusia yang sebenarnya. Lalu
ada lagi manusia sejati yang selalu memikirkan bagai-
mana kiranya manusia bisa selamat dari murka Tu-
hanNya. Dia adalah Wahyu Sakaning Gusti. Sedang-
kan Malaikat Penderitaan. Dia tergolong manusia se-
tengah Malaikat. Ujudnya antara ada dan tiada, tapi
juga dapat menjadi nyata. Masih banyak lagi golongan
lurus yang hidupnya hanya ingin mengajak orang lain
berbuat baik agar manusia tidak tersesat di dunia
dan akherat. Justru orang-orang yang kusebutkan ini,
kurang disukai oleh masyarakatnya. Keberadaannya
bahkan dimusuhi, dicaci dan dihina. Namun sedikit
pun mereka tidak membalas perlakuan buruk itu.
Orang-orang inilah sesungguhnya manusia yang be-
runtung...!"
Teringat akan pesan-pesan gurunya, tiba-tiba
saja Suro berlutut. Kakek di atas tembok semakin ke-
ras tangisnya.
"Aku bukanlah apa-apa, mengapa kau meng-
hormat padaku? Mengapa engkau tidak menghormati
dirimu sendiri, Bocah Ajaib?!" Ucapan Perenung Dosa
ini membuat Pendekar Blo'on terkesima. Lalu ia bang-
kit lagi. Memandang ke atas tembok matanya berkaca-
kaca.
"Perenung Dosa, ketahuilah bahwa aku adalah
manusia hina yang punya begitu banyak kesalahan.
Dosa-dosaku tidak terhitung banyaknya. Hutangku ju-
ga banyak, hutang air, hutang makanan, hutang uda-
ra, hutang segala kenikmatan hidup yang aku nikmati.
Aku hutang, penglihatan, hutang penciuman, hutang
pendengaran, hutang nyawa dan anuku juga berhu-
tang pada Gusti Allah, sudilah kiranya kau memberi
petunjuk padaku yang goblok ini!" kata Suro masih
dengan merapatkan kedua tangannya.
Jika bukan Makhluk Sibuk yang mendengar
ucapan si pemuda, tentu sudah tertawa mendengar-
nya.
"Apa yang kau sebutkan itu dalam arti yang
luas. Semua itu cukup kau panjatkan dengan rasa
syukur yang mendalam pada Tuhanmu. Ketahuilah
sebaik-baiknya manusia adalah orang yang selalu me-
rasa dirinya punya banyak kesalahan dan dosa. Den-
gan demikian berarti ia akan lebih berhati-hati dalam
bertindak, berpikir, menentukan langkah. Seburuk-
buruknya manusia adalah orang yang selalu mengang-
gap dirinya yang paling baik dan yang paling benar.
Sedangkan orang lain dianggapnya salah semua. Hal-
hal seperti yang kusebutkan ini hanya menimbulkan
keangkuhan. Jika kau berbuat kebaikan anggap saja
seperti kau membuang hajat, jangan kau ingat-ingat
apa warnanya, bagaimana bentuknya, bulat, gepeng,
atau encer. Jika kesalahan yang kau lakukan, sebaik-
nya kau sesalilah, dan berjanji dalam hati agar tidak
membuat kesalahan lagi. Hu hu hu...!"
"Aku pun... hu hu hu...! Kalau boleh tahu da-
rimanakah asal-usulmu, Kek? Aku ingin tahu sesung-
guhnya tugas apa yang harus kulakukan dalam hidup
ini?" kata Suro Blondo.
"Tugas manusia adalah berbuat kebaikan seba-
nyak-banyaknya. Mengenai asal usulku adalah dari
lembah Penantian. Tempat itu jauhnya tujuh puluh
tahun perjalanan kaki." sahut Makhluk Sibuk. Suro
geleng-gelengkan kepala.
"Jauh amat, Kek." gumam Suro sambil garuk-
garuk kepala.
"Jika Gusti Allah menghendaki kelak kau akan
sampai ke sana."
"Okh... oh...!"
"Bocah Ajaib, kau kedatangan tamu! Huk huk
huk...!"
Baru selesai Makhluk Sibuk bicara. Tiba-tiba di
depan Suro berkelebat sosok bayangan. Ketika Pende-
kar Mandau Jantan ini memandang ke depannya maka
di situ sejarak dua tombak telah berdiri seorang kakek
berbadan semampai, punya satu mata di tengah-
tengah kening dan bergigi runcing macam gergaji. Ka-
kek berambut putih hanya memakai cawat ini tertawa
ngakak. Giginya yang merah berlumur darah yang su-
dah mengering terlihat sangat mengerikan.
"Jauh Bukit Kematian ku tinggalkan, aku da-
tang memenuhi panggilan sobatku Sang Maha Sesat.
Ternyata di sini sepi-sepi saja, tidak ada penyambutan.
Terkecuali seorang pemuda tolol dan tua bangka monyet yang duduk di tembok tanpa peradatan!" dengus
Pertapa Seribu Abad.
Belum sempat Suro menyahuti, Makhluk Sibuk
yang duduk sambil menangis di atas tembok menya-
huti....
"Manusia yang paling konyol di dunia adalah
Bocah Ajaib dan gurunya. Manusia yang gemar mem-
bunuh tanpa perasaan adalah Si Raja Tega, hu hu
hu... manusia yang menyamai iblis di dunia ini adalah
orang bermata satu bergigi gergaji dan doyan daging
saudaranya sendiri. Dialah orang paling jelek, berting-
kah laku seperti iblis yang selalu meresahkan dan
menjerumuskan manusia dalam kesengsaraan. Aku
sedih melihat dosa-dosanya tujuh langit tembus. Huk
huk huk...!"
"Bangsat! Aku tahu siapa dirimu, kau terlalu
sibuk memikirkan dosa-dosamu, itu sebabnya kau di-
juluki Perenung Dosa. Lihatlah dosa-dosa orang lain
yang begitu banyaknya. Urusilah mereka jangan kau
campuri kepentinganku!" kata Pertapa Seribu Abad.
Rupanya kakek aneh ini sudah kenal dengan Makhluk
Sibuk yang konon dengan petuah-petuahnya membuat
orang menangis tiada henti. Jika Perenung Dosa sudah
menangis, kabarnya binatang dan makhluk hidup
lainnya juga terhanyut dalam tangisnya.
"Hu hu hu...! Aku selalu heran manusia ber-
buat dosa masih bisa tertawa. Tetapi aku lebih heran
lagi Pertapa sepertimu, manusia yang kejahatannya
melebihi setan dipanjangkan umurnya! Hu hu hu...
aku suka merenung bahkan aku tidak pernah berhenti
dari perenungan!" sahut Makhluk Sibuk di tengah-
tengah isak tangisnya yang semakin menggila.
***
4
Wajah Pertapa Seribu Abad berubah kelam
membesi. Mata tunggalnya yang bulat besar kelihatan
memerah. Semakin lama semakin bertambah merah
laksana darah. Tiba-tiba dia berteriak keras, suara te-
riakan disusul dengan melesatnya sinar merah meng-
hantam ke arah tembok. Sosok Mahkluk Sibuk lenyap
dari pandangan mata. Sinar merah menghamparkan
panas luar biasa melabrak tembok benteng.
"Buuuumm!"
Terdengar suara berdebum, tembok hancur
menjadi kepingan debu dan batu-batu kecil, tidak ter-
lukiskan bagaimana seandainya serangan itu menge-
nai manusia. Di bagian lain terdengar suara tangis ter-
sendat-sendat. Tidak lama Pertapa Seribu Abad me-
mandang ke arah itu. Ternyata Perenung Dosa telah
duduk di sana sambil menyeka air matanya.
"Hmm, lebih tenang lagi kau merenung di da-
lam kubur. Aku akan mengirimmu ke sana dengan bo-
cah tolol ini!" dengus mata satu.
Tidak lama Pertapa Seribu Abad mengedipkan
matanya ke arah Suro Blondo. Dua larik sinar merah
menerjang Si Bocah Ajaib dengan kecepatan luar bi-
asa. Suro tertawa bekakakan.
"Orang gila!" Suro menggerutu. "Kau kira aku
ini perempuan pake main kedip mata segala. Kalau
pun aku perempuan mana aku mau dengan manusia
jelak sepertimu!" Pendekar Blo'on melompat sejauh
dua tombak selamatkan diri. Pukulan memang meng-
hantam tempat kosong, tetapi hawa pukulan membuat
kulitnya seperti hangus.
Suro leletkan lidah, mulutnya termonyong-
monyong. Tiba-tiba saja pemuda itu menerjang ke depan. Karena serangan pemuda konyol itu sangat cepat
datangnya dan ia sudah mempergunakan jurus 'Tawa
Kera Siluman'. Tidak ada kesempatan lagi bagi Pertapa
Seribu Abad lepaskan pukulan atau mengedipkan ma-
ta.
Ia menyambut serangan itu dengan tangan
terkembang merobek dada, kaki kakek mata satu
pun menghantam ke arah perut Suro. Pemuda itu
menghindar ke samping, sedangkan tangannya me-
nangkis.
"Dhaak...!"
"Heps...!"
Pemuda ini jatuh terduduk. Tangannya beng-
kak membiru, dari bibirnya sempat terdengar suara
tawa bekakakan. Pertapa Seribu Abad terus mencecar-
nya dengan serangan-serangan dahsyat. Pemuda itu
kalang kabut dan berguling-guling menghindari.
Hingga kemudian terdesaklah pemuda ini. Tiba-
tiba ia bangkit berdiri dan dengan cepat tubuhnya ber-
kelebat lenyap dari pandangan lawannya. Sementara
itu suara tawa terus terdengar di sekeliling Pertapa Se-
ribu Abad. Suara tawa itu bagi tokoh berkepandaian
tinggi ini terasa cukup mengganggu juga. Tiba-tiba saja
ia berteriak keras. Tinjunya secepat kilat menghantam
wajah Suro. Suro merunduk, ketika kaki menyapu ke
arah pinggang Pendekar Blo'on melompat. Si kakek
mengejar, tapi Suro sudah menjatuhkan tubuhnya. La-
lu dengan bertumpu pada punggungnya, Suro lancar-
kan satu tendangan menggeledek.
"Duuk!"
"Ueh...!"
Kaki menggedor pinggang, tapi malah Suro
yang kaget dan meringis kesakitan.
Tubuh lawannya keras bukan main, terpin-
cang-pincang Pendekar Blo'on bangkit berdiri.
Di saat itulah lawan menyerangnya dengan pu-
kulan yang sulit terelakan. Si Bocah Ajaib tarik kepa-
lanya ke belakang, perutnya agak ke depan, gerakan-
nya ini terkesan lucu, sebab begitu pukulan beralih ke
perut. Maka kepalanya yang menyentak ke depan be-
radu dengan kepala lawannya.
"Bletak!"
"Waduh...!" Suro menggerutu, dengan cepat ia
mundur sambil usap-usap keningnya yang benjol. Ee...
ternyata jidat lawannya juga benjol kok. Pertapa Seribu
Abad selain geram juga kagum karena dengan gerakan
yang serudak seruduk seperti monyet mabuk ternyata
lawan masih mampu menghindar dari serangan-
serangan yang cukup ganas.
"Sungguh bocah ini tidak pernah kusangka
punya kepandaian yang hebat. Gerakannya penuh
dengan keajaiban. Aku telah tertipu dengan penampi-
lannya yang seperti orang goblok tidak punya kepan-
daian apa-apa." gerutu kakek mata tunggal dalam hati.
"Iblis Edan ini tidak boleh dikasih hati. Aku ta-
kut dia minta kepalaku! Aku harus punya satu cara
untuk menghancurkan tubuhnya yang atos itu." pikir
Suro Blondo.
Belum lagi Suro sempat mengambil keputusan
yang tepat. Pertapa Seribu Abad sudah menghentak-
kan kedua tangannya masing-masing ke kiri dan ke
kanan. Ketika kedua tangannya disilangkan ke depan
dada. Berubahlah paras Makhluk Sibuk.
'"Sirna Raga?" desisnya. Lalu tangisnya sema-
kin bertambah keras. "Itu adalah pukulan sekaligus
jurus yang paling keji!"
Pendekar Blo'on untuk beberapa saat lamanya
terkesiap. "Kurasa inilah jurus yang mematikan bagi-
ku! Tangannya merah seperti bara, bau amis ini meru-
pakan tanda di kedua tangannya terkandung racun
yang Maha ganas. Aku tidak mungkin bentrok badan
dengannya!" pikir si konyol. Begitu seriusnya ia meng-
hadapi serangan ganas itu, sampai-sampai di luar ke-
sadarannya mulutnya sudah pletat pletot.
"Heaaa...! Hancur..." teriak Pertapa Seribu Ab-
ad.
'"Neraka Hari Terakhir'! Hyaa...!" teriak Pende-
kar Blo'on.
Tubuh si kakek mata tunggal yang sudah mele-
sat kencang ke arahnya ini seakan tertahan-tahan di
udara ketika ia melihat sinar merah kehitam-hitaman
menyerbu ke arahnya. Sementara itu si kakek juga he-
ran mendengar suara jeritan-jeritan aneh di sekeliling-
nya. Jeritan itu seakan datang dari makhluk-makhluk
penghuni neraka. Melihat tidak ada kesempatan ba-
ginya untuk menyelamatkan diri. Sambil memaki ia
pergunakan kedua tangannya untuk melindungi tu-
buhnya. Maka dari sikap menyerang sekarang tangan-
nya diputar hebat.
"Buuuum!"
Pertapa Seribu Abad menjerit tertahan. Ia jatuh
terduduk, nafasnya megap-megap, dadanya sakit se-
perti tertusuk ribuan barang jarum. Wajah laki-laki itu
pucat. Memandang pada murid Penghulu Siluman Ke-
ra Putih sekaligus murid Malaikat Berambut Api. Pe-
muda itu tampak lebih konyol lagi. Rambutnya awut-
awutan, bibirnya meneteskan darah, baju bagian de-
pannya sobek. Ia tidak dapat lagi tersenyum, melain-
kan meringis kesakitan.
Suro segera atur jalan nafas, kerahkan tenaga
dalam untuk menyembuhkan luka yang dideritanya.
Dalam hati ia kaget juga 'Pukulan Neraka Hari Terak-
hir' adalah sebuah pukulan pada tingkatan paling
tinggi dan merupakan warisan kakek Dewana. Per-
tapa Seribu Abad bukan saja dapat menangkis seran
gan maut itu, tapi ia masih bertahan hidup. Suro be-
lum pernah melihat lawan dapat bertahan seperti ini.
Selagi Suro masih memejamkan mata, Pertapa Seribu
Abad menyerbu ke arahnya. Tangannya cepat terayun
menghantam batok kepala Suro. Pemuda ini memang
sempat rasakan adanya sambaran angin, tapi untuk
bergerak mustahil baginya. Karena konsentrasi masih
berpusat pada bagian dada dalam usaha menyembuh-
kan luka. Kalau pun ia paksakan diri, akibatnya dapat
membuat tubuhnya lumpuh.
Pada saat yang sangat kritis itu, berkelebat so-
sok bayangan, kemudian terdengar pergelangan tan-
gan seperti patah berderak.
"Aaa...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Tidak
jauh darinya berdiri Makhluk Sibuk.
"Perenung Dosa, mengapa kau campuri urusan
orang lain?" bentak kakek Pertapa. Ia mengurut-urut
tangannya. Secara aneh tangan itu menyambung dan
utuh kembali seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Huk hu hu hu...! Mencampuri urusan orang
lain hanya menambah dosa bagiku! Tapi aku akan le-
bih berdosa lagi jika melihat pembunuhan terjadi di
hadapanku, sementara aku hanya bersikap masa bo-
doh!"
"Bangsat! Rupanya kau mau minta bagian mati
duluan!" geram Pertapa Seribu Abad.
"Untuk apa aku sibuk-sibuk mengurusi amarah
setan. Aku sudah kelewat sibuk memikirkan dosaku
dan dosa umat. Huk huk huk..,!" Makhluk Sibuk tiba-
tiba melompat. Sekali berkelebat ia sudah berada di
atas genteng, nongkrong di sana sambil menangis.
Walaupun Pertapa Seribu Abad bermaksud
mengejarnya, namun di depannya telah menghadang
Pendekar Blo'on. Pemuda itu seka keningnya yang ber
keringat bercampur debu.
"Punya hubungan apa kau dengan Malaikat Be-
rambut Api?" tanya si kakek.
"Perlu apa kau bertanya? Ingin mengulur waktu
atau mau mengulur jalan menuju akherat? Ha ha
ha...!" dengus Pendekar Mandau Jantan.
"Huh, jangan bermimpi bocah konyol. Dan jan-
gan pula kau kira gurumu manusia yang paling hebat!"
teriak Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja secara cu-
rang dan cepat ia mengedipkan matanya. Sinar me-
rah menyambar, Suro berusaha menghindar dengan
cara seperti monyet bergelantungan berpindah tempat.
Ternyata gerakannya yang cepat itu masih kalah cepat
dengan gerakan lawannya. Serangan itu menyambar
selangkangannya. Suro menjerit dan berguling-guling
untuk memadamkan api. Kedua pahanya kiri kanan
melepuh. Ia segera memeriksa. Mulutnya termonyong-
monyong.
Untung cuma pahanya saja yang melepuh,
adiknya Suro yang sedang tidur tidak apa-apa.
"Bangsat betul kau. Sasaran lain masih ba-
nyak, kau malah memilih pusaka milik perempuan!
Aku benar-benar tidak terima lahir batin." maki Suro.
"Set!"
Pendekar Blo'on cabut senjata ampuh Mandau
Jantan di balik pakaiannya. Sinar hitam berkeredep
menyilaukan mata. Ketika Suro mengalirkan tenaga
dalam ke bagian senjata itu, maka semakin menghi-
tamlah Mandau Jantan di tangannya.
"Inilah senjata maut yang menghebohkan itu!"
batin Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja ia membeset
lengannya dengan mempergunakan ujung jemari tan-
gannya. Sesuatu yang sangat mengerikan dan sulit di-
percaya terlihat. Si kakek mengambil benda putih kecil
sepanjang siku. Senjata itu tersimpan di bawah kulit di
dalam daging tangan Pertapa Seribu Abad. Di atas gen-
teng tangis Makhluk Sibuk semakin menjadi-jadi. Se-
mentara Suro yang sempat tercengang leletkan lidah-
nya. Kemudian ia menggerakkan senjata di tangannya.
Sinar hitam bergulung-gulung disertai dengan terden-
garnya suara meringkik, menangis dan suara tawa.
Suara yang aneh-aneh itu jelas berasal dari empat
buah lubang miring yang terdapat di cekungan pipih
yang terdapat di tengah-tengah mandau.
Walaupun sahabat Sang Maha Sesat ini sempat
kaget juga. Namun ia segera putar pedang tipis pendek
yang dikenal dengan nama 'Perenggut Jiwa Penghan-
cur Sukma'. Inilah pertempuran yang paling sengit pe-
nuh bahaya yang pernah dihadapi oleh Pendekar Ko-
nyol Suro Blondo. Sebab ketika itu masing-masing pi-
hak telah mengerahkan segenap kesaktian dan jurus-
jurus yang mereka miliki.
Sinar hitam dan sinar merah saling mendesak,
mengurung atau terkadang menerobos pertahanan
lawannya. Suro secara silih berganti merubah jurus-
jurus serangannya. Kini ia bahkan mempergunakan
jurus 'Kacau Balau', untuk menghindari tusukan dan
sabetan senjata lawan. Pemuda ini terhuyung kian
kemari, gerakannya tidak beraturan sulit ditebak,
bahkan Pertapa Seribu Abad sendiri sampai sejauh
itu tidak dapat memecahkan jurus lawan yang penuh
dengan bermacam-macam keanehan. Pertapa Seribu
Abad melompat mundur seperti frustrasi, sebaliknya
Suro melompat maju. Lalu tusukkan senjata ke lam-
bung si kakek. Orang ini menepisnya dengan memper-
gunakan senjata.
Tring...!
Dua-duanya terhuyung ke belakang. Pucat wa-
jah Suro, tapi lawannya lebih pucat lagi. Benturan tadi
membuat Suro merasa tangannya panas seperti terbakar. Sampai-sampai Suro membolang-balingkan senja-
tanya untuk menghilangkan hawa panas yang menye-
rang tangannya.
Kesempatan yang sekejap itu tidak disia-siakan
Pertapa Seribu Abad. Ia menerjang ke depan sambil
tusukkan pedang 'Perenggut Jiwa Penghancur Sukma'.
Terdengar suara mendesing menyakitkan telinga. Suro
berkelit ke samping selamatkan diri. Tangannya te-
rangkat, lalu diayunkannya Mandau Jantan menera-
bas pangkal lengan si kakek.
"Hiiiiiik! Huuuuu! Ha ha ha...!"
Seiring dengan terdengarnya suara mandau
yang aneh-aneh itu. Maka....
"Traas!"
"Auuuukh...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Poton-
gan tangan berikut pedangnya terjatuh. Pedang diten-
dang oleh si konyol sesuka hatinya. Senjata itu melesat
ke udara. Tapi begitu sampai di angkasa terdengar su-
ara ledakan yang sungguh dahsyat sekali.
Keanehan lagi-lagi terjadi pada lawannya. Si
kakek mata tunggal ini tiba-tiba menjerit seperti orang
yang urat-urat di sekujur tubuhnya dicabuti. Suro ter-
lolong-lolong, terlebih-lebih ketika melihat Pertapa Se-
ribu Abad ambruk seperti orang lumpuh kehilangan
tenaga dan kekuatan.
"Huk huk huk! Aku manusia paling sibuk,
kau pendekar tolol tidak perlu sibuk memikirkan apa
yang terjadi pada Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah,
bahwa pedang Perenggut Jiwa Penghancur Sukma me-
rupakan sumber kekuatannya. Ia juga sumber kesak-
tian orang itu, kau telah menendangnya secara tidak
sengaja. Kau tolol tapi pintar. Jika pedang itu terpisah
sepuluh tombak dari tuannya, maka seperti yang kau
saksikan itulah yang terjadi padanya." Makhluk Sibuk
mengisiki.
"Oh begitu. Ha ha ha...! Jadi setan jelek itu ada
kelemahannya. Nah sekarang aku harus buat perhi-
tungan padanya!" Dengan penuh kegeraman Suro
menghampiri. Mandau Jantan ditimang-timangnya.
"Hancur pakaianku harus diganti dengan kulitmu. Aku
juga ingin mencabuti gigimu yang jelek itu. Kemudian
matamu yang menyalahi kodrat dan tidak pada tem-
patnya harus kupindahkan ke sebelah kiri. Nah apa
usulmu Pertapa Seribu Abad!" tanya Suro, cengar cen-
gir namun serius.
"Bangsat! Kalau kau mau membunuhku. bu-
nuh saja. Tidak perlu kau menyiksaku!' dengus si ka-
kek. Ia mengedipkan matanya. Namun tidak menim-
bulkan reaksi apa-apa. Ia benar-benar telah kehilan-
gan kesaktiannya.
"Mati bagimu terlalu enak, kau harus merasa-
kan penderitaan yang menyakitkan. Nah sekarang
akan ku mulai dari gigimu, matamu tentu saja yang te-
rakhir kali mendapat giliran, agar mata yang cuma sa-
tu itu dapat melihat Mandau ini melakukan tugasnya!"
kata Suro, lalu tersenyum sinis. Pada waktu itu pula ia
mendengar suara bisikan.
"Apa nanti kata orang kau seorang Pendekar.
Tapi menyakiti dan menganiaya orang yang sudah ti-
dak berdaya. Bukankah itu merupakan tindakan yang
sangat pengecut?" Suro memandang ke atas genteng.
Makhluk Sibuk alias Perenung Dosa sudah tidak terli-
hat lagi. Tapi Suro konyol tetap merasa yakin yang
mengisiki barusan pastilah Perenung Dosa.
"Buah...! Kalau saja aku tidak takut disebut
pengecut. Sekarang kau pasti telah merasakan pemba-
lasanku. Nanti setelah kawan-kawanmu kukumpulkan
di sini. Kalian bersama-sama akan menuju ke Alam
Baka!" kata Suro. Pemuda bertampang konyol ini lalu
menghampiri Pertapa Seribu Abad. Lalu tiba-tiba saja
ia meremas tongkat milik si kakek. Tiba-tiba orang ini
merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku. Ia hendak
memaki karena sikap si pemuda yang konyol itu. Tapi
suaranya tidak terdengar. Si Bocah Ajaib kemudian
tertawa tergelak-gelak menuju ke istana. Lalu terden-
gar suaranya....
"Totokan pada tongkat membuat orang tidak
dapat bergerak dan bicara. Lebih dari itu ia tidak
mungkin bisa kurang ajar pada wanita selama lima ta-
hun! Sungguh manusia tidak berguna jika sudah lum-
puh segala-galanya...!"
"Manusia edan keparat!" maki Pertapa Seribu
Abad tanpa mampu berbuat apa-apa.
***
5
Malaikat Penderitaan menelusuri Lorong Raha-
sia di belakang istana. Dalam kesempatan itu pula ia
melihat ada seorang laki-laki menghadang di depan
kakek itu. Malaikat Penderitaan memandang ke depan.
Kedua matanya menyipit seakan ingin menyelidik.
"Aku Malaikat Penderitaan, sebaiknya orang di
depan menyingkir! Aku tidak mau cari perkara cari
urusan." gumam si kakek pelan suara.
"Aku memang sengaja menunggu kedatangan-
mu ke sini. Ternyata kau datang juga. Nah... sekarang
serahkanlah kitab yang kau bawa. Surat Kedamaian
Dunia isinya tidak boleh diketahui oleh orang lain. Dia
harus dimusnahkan dari muka bumi ini!"
Malaikat Penderitaan tertawa, namun tawanya
seperti orang yang sedang menangis.
"Hak hak hak. Mendengar permintaanmu
hanya membuat aku menderita. Kau tidak punya hak
apa-apa atas surat yang kubawa. Menyingkirlah!" tegas
kakek bermuram durja itu sinis.
Laki-laki di depannya tarik salah satu kakinya
ke belakang. Tampaknya ia telah siap melakukan se-
suatu.
"Malaikat Penderitaan." dengus laki-laki miste-
rius di depannya sengit. "Engkau, aku atau siapa saja
sekarang ini tidak jauh bedanya dengan orang yang
sedang melakukan perjalanan ke alam baka. Surat
Kedamaian Dunia paling tidak harus kuketahui apa
isinya, jika kau ingin terselamat dari perjalanan itu.
Tetapi jika kau tidak menuruti kehendakku. Maka se-
sungguhnya perjalanan yang kau tempuh begitu sulit
mendaki dan penuh onak duri!"
"Huh huh huh....! Hidupku sepenuhnya kugan-
tungkan pada Gusti Allah. Jika hari ini Ia memanggil-
ku untuk kembali, maka sedikit pun tiada berat bagi-
ku. Aku menerima semua yang terjadi dan yang sudah
menjadi garisku dengan ikhlas. Namun jika kau me-
minta sesuatu yang menjadi tanggung jawabku, maka
aku akan mempertahankannya hingga titik darah yang
terakhir!" tegas Malaikat Penderitaan.
"Lebih baik kau ingkari, di sini hanya aku dan
kau saja, tidak ada siapa-siapa yang melihat. Jika kau
penuhi keinginanku ini, maka sepuluh puteri raja yang
cantik-cantik menjadi milikmu, kau juga berhak men-
duduki tahta kerajaan menggantikan raja Lalim Durja-
na. Aku juga akan mengupayakan agar seluruh harta
benda peninggalan hartawan Abdi Banda menjadi mi-
likmu!" bujuk laki-laki misterius.
"Huh, lezatnya kenikmatan dunia memang se-
mua orang ingin memiliki. Tapi ketahuilah, kau me-
minta pada orang yang salah, waktu yang kurang tepat. Wahai Sang Maha Sesat, jika kau berikan apa
yang kau janjikan itu pada orang yang mencintai kehi-
dupan dunia, mungkin mereka tidak akan menolak.
Malah mereka terus merasa kekurangan. Namun bagi-
ku dunia ini tidak ada apa-apanya. Sungguh pun kau
persembahkan bintang di tangan kiriku dan seribu bi-
dadari cantik di sebelah kananku! Kau tidak dapat
mengelabuhi aku. Pergilah, sebelum kesabaranku ha-
bis!" bentak Malaikat Penderitaan.
Sang Maha Sesat yang menyamar menjadi seo-
rang laki-laki tidak dikenal itu terkejut sendiri. Ia sela-
lu kehilangan cara untuk menghadapi Malaikat Pende-
ritaan, tokoh pikir, berilmu dan juga mengetahui sesu-
atu di balik kejadian. Baginya lebih baik menghadapi
dan menggoda sejuta manusia yang bodoh dan punya
pengetahuan dan ilmu kesaktian terbatas, walaupun
sepanjang pagi dan malam berbakti pada TuhanNya.
"Meminta dengan cara baik-baik kau tidak
memberi. Kukira tidak ada salahnya jika sekarang aku
harus merampas kitab berisi surat Maha penting itu!
Lihatlah...!"
Si kakek memandang ke depan. Terlihat oleh-
nya rambut laki-laki itu berubah menjadi ribuan ekor
ular berbisa. Ketika laki-laki jelmaan Sang Maha Sesat
ini menyentakkan kepalanya ke belakang. Dua puluh
ekor ular besar meluncur deras meninggalkan kepala
laki-laki itu. Ular-ular tersebut langsung menyerang si
kakek dengan mulut ternganga siap memagut.
Malaikat Penderitaan lepaskan baju putihnya,
bibirnya mendesis. Baju diputar dengan cepat. Yang
keluar dari baju itu bukan saja hanya angin kencang
menderu-deru, tapi juga sepuluh sinar api berbentuk
memanjang berukuran lebih besar dan bergerak cepat
memangsa ular-ular jejadian tersebut.
"Tub! Tub! Tub!"
"Ssst!"
"Byaar!"
Dua puluh ekor ular besar berbisa ber-
warna hitam lenyap ditelan sepuluh lidah api yang
bentuknya menyerupai ular besar. Malaikat Penderi-
taan menyerbu ke depan. Baju saktinya ia kebutkan ke
arah Sang Maha Sesat. Laki-laki itu melompat mun-
dur, namun masih sempat terdengar suara raungan-
nya.
Tiba-tiba sambil terhuyung-huyung ia membu-
ka mulutnya lebar-lebar. Mata Sang Maha Sesat seka-
rang telah berubah merah seperti bara. Itulah ujud asli
mata setan. Kemudian dari mulut yang terbuka itu ter-
lihat ada ular besar yang meluncur keluar. Ular itu
bergerak meluncur ke arah si kakek. Panjang ular jeja-
dian itu tidak kurang dari dua batang tombak. Ular itu
kemudian membelit si kakek. Kali ini kakek berjenggot
putih itu kelihatan agak kewalahan. Ia berusaha mem-
bebaskan diri dari belitan ular yang semakin menye-
sakkan pernafasannya.
"Haaaaaa...!"
Malaikat Penderitaan melolong panjang. Dari
bagian kepala hingga sekujur tubuhnya tiba-tiba beru-
bah mengecil dan licin berselimut lendir. Karena peru-
bahan itu terjadi secara tiba-tiba, praktis ia dapat
membebaskan diri dari belitan ular tersebut.
Begitu dirinya terbebas dari ular milik Sang
Maha Sesat, maka bajunya langsung dikibaskan.
"Braak!"
Terjadi keanehan, ular tadi terpental dan tu-
buhnya terpotong menjadi dua. Namun begitu menyen-
tuh tanah, ular jejadian itu pun lenyap tidak mening-
galkan bekas.
"Maha Sesat yang selalu memperdaya manusia,
menipu manusia, menjerumuskan, menyesatkan den
gan berbagai macam cara. Apalagi yang akan kau la-
kukan untuk mencapai keinginanmu?"
"Inilah dia....'"
Maha Sesat tiba-tiba saja mengangkat kedua
tangannya ke udara. Tangan itu lalu diputar-putarnya.
Maka tidak lama kemudian menyemburlah lidah api
yang dalam waktu singkat telah membesar dan mela-
hap tubuh Malaikat Penderitaan.
Kakek berjanggut panjang berkemak-kemik.
Wajahnya tertunduk sedangkan kedua tangannya ten-
gadah. Tiba-tiba di dalam lorong itu entah dari mana
datangnya berhembuslah angin dingin bercampur air.
Angin kencang itu menyapu habis sekaligus mema-
damkan api yang diciptakan oleh Sang Maha Sesat.
Laki-laki penjelmaan bapak moyang setan ini terkejut.
Dua kali ia bermaksud membuat hangus lawannya.
Namun kelihatannya apa yang dilakukannya tidak
mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkan-
nya.
Malaikat Penderitaan begitu terbebas langsung
lepaskan pukulan 'Mengusir Iblis Merenggut Amal'.
Kedua tangan si kakek yang didorongkannya ke depan
itu tampak memutih. Sinar putih laksana cahaya na-
mun menyejukkan itu spontan melabrak lawannya
Sang Maha Sesat menghindar. Akan tetapi sinar putih
terus mengejarnya kemana pun lawan menghindar.
Hingga kemudian satu sentuhan lembut menghantam
tubuh jelmaan Sang Maha Sesat. Laki-laki itu menjerit
keras. Ujudnya menjadi gumpalan kabut tipis. Malai-
kat Penderitaan segera dapat merasakan adanya bau
wangi bunga mayat. Jeritan Sang Maha Sesat terus
terdengar, semakin lama semakin menjauh. Lalu
sayup-sayup terdengar suaranya penuh ancaman...
"Malaikat Penderitaan! Aku boleh kalah hari ini
karena keteguhanmu. Tapi aku akan terus berusaha
menggoda anak cucu manusia, memperdaya mereka
hingga di hari kiamat nanti mereka menjadi pengikut-
pengikut dan temanku di neraka. Ha ha ha...!"
"Oh... aku menderita mendengar ancamanmu,
apa yang menjadi hakmu tetap hakmu, tapi apa yang
menjadi hak Gusti Allah akan tetap kembali kepa-
daNya!" sahut Malaikat Penderitaan. Akhirnya sambil
berkeluh kesah tentang penderitaannya ia terus mene-
lusuri ruangan rahasia yang ternyata cukup luas ba-
gaikan istana kedua.
* * *
Mayat Bias Pati, Manggar Kesuma dan Ubuda-
na masih terus dibawa-bawa oleh Lima Utusan Akhe-
rat. Padahal ketika itu mereka sudah jauh berada di
dalam kerajaan yang telah ditinggalkan oleh rajanya.
"Kita tidak menemukan apa-apa di sini. Apa
mungkin Surat Kedamaian berada di tangan Malaikat
Penderitaan?" tanya Malai Berung.
"Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Aku ikut
mendengarkannya ketika Malaikat Penderitaan bicara
pada Suro Blondo." kata Puspita.
"Mungkinkah Anak Langit sudi datang ke sini.
Sedangkan aku pernah mendengar di sinilah tempat
kerusakan tingkah laku manusia?" tanya Kalingga Ja-
ti.
"Sesuatu yang baik terkadang bisa saja datang
di tempat-tempat yang buruk sekali pun. Walaupun
tempat itu yang paling kotor di dunia!" jawab Dunga.
"Aku tidak melihat Raja Kodok. Aku khawatir
terjadi sesuatu yang tidak diingini padanya!" kata Pus-
pita.
"Kurasa ia sudah sampai di sini. Coba sekarang
kita sebaiknya mencari tahu dimana dia?" usul Den
dra.
Maka Puspita Sari dan Lima Utusan segera ber-
gegas memeriksa setiap ruangan yang ada. Pada waktu
itu pula pintu di belakang mereka tertutup dengan
hempasan yang sangat keras.
"Blaam!"
"Celaka! Kita terjebak!" desis Engku Bonang.
Kemudian terdengar suara tergelak-gelak. Me-
reka yang masuk ke dalam perangkap itu pun saling
berpandangan.
"Setiap orang yang datang adalah tamu, tamu
harus dimuliakan. Tapi jika tamu tidak tahu perada-
tan, maka kecelakaan besar baginya! Ha ha ha...!"
"Siapa kau?" bentak Puspita Sari.
"Aku adalah orang yang dipercaya menjalankan
tugas di sini! Nasib kalian tidak berbeda dengan nasib
Pendekar Lugu dan Raja Kodok! Sekarang lihatlah ke-
cerdikanku!" dengus sebuah suara.
Kemudian secara tidak terduga-duga dari setiap
penjuru sudut menerobos asap berwarna putih kebiru-
biruan. Asap yang menebarkan bau wangi namun
mengandung racun keji itu memang tidak terlihat nya-
ta. Akan tetapi keberadaannya sungguh sangat mem-
bahayakan!"
"Aku mencium bau yang sangat wangi. Eh...
ekh...." Datuk Paja tidak dapat melanjutkan kata-
katanya, karena tiba-tiba saja ia tersungkur. Hidung
dan mulutnya mengucurkan darah. Kawan-kawan
utusan dari Kapuas ini segera menyadari apa yang
tengah terjadi.
"Tutup pernafasan kalian!" Dunga berteriak
memberi peringatan.
Segala-galanya memang sudah terlambat. Lima
orang laki-laki tersungkur tidak sadarkan diri. Puspita
yang memang sudah bersiaga sejak semula tidak sempat mengalami kejadian yang sangat mengerikan itu.
Akan tetapi ia merasa kepalanya sakit mendenyut, ma-
tanya berkunang-kunang. Ketika pintu terbuka. Puspi-
ta masih sempat melihat seorang laki-laki kepala botak
tanpa kumis tanpa jenggot tanpa alis menyeringai pa-
danya.
"Ha ha ha...! Betapa beruntungnya aku hari ini.
Aku tidak pernah menyangka begitu lemahnya musuh-
musuh kerajaan. Lebih menguntungkan lagi karena di
antara musuh-musuh yang pantas kubinasakan, ter-
dapat pula seorang gadis cantik! Ha ha ha...! Tunggu-
lah, sayang...!" kata si botak yang tidak lain adalah Pa-
tih Luragung.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan segulung
besar tali. Mulailah ia mendekati lawan-lawannya yang
sudah tidak sadarkan diri. Puspita tentu saja tidak
tinggal diam, walaupun ketika itu sakit di kepalanya
semakin mendera.
"Hei... jangan coba-coba menyentuh mereka!"
teriak Puspita.
Dengan terhuyung-huyung ia menerjang. Tapi
gerakannya kacau, karena kesadarannya mulai berku-
rang. Dengan mudah sekali Patih Luragung menghin-
dari serangan Puspita. Gadis itu berbalik, lalu le-
paskan tendangan ke perut sang Patih. Serangan ini
kurang terarah, karena keseimbangan gadis itu berku-
rang.
"Ha ha ha! Dalam keadaanmu seperti ini, tidak
ada yang lebih baik bagimu terkecuali melayaniku di
tempat tidur. Tunggulah... nanti kita akan bersenang-
senang. Tapi kawan-kawanmu harus dibereskan dulu!
Kurasa mereka siap menjalani hukuman pancung di
alun-alun." Seru Luragung.
Lalu tubuhnya bergerak dengan cepat, ia ber-
maksud menotok Puspita.. Seandainya gadis ini dalam
keadaan normal, tentu Patih Luragung bisa dibuat ke-
teter. Sungguh pun begitu si gadis masih mampu ber-
kelit. Sangat disayangkan kesadarannya semakin ba-
nyak berkurang karena pengaruh racun pemberian
Sang Maha Sesat yang dipergunakan oleh Patih Lura-
gung. Tidak lama kemudian gadis itu pun terjungkal
dan tidak sadarkan diri.
"Hhm, akhirnya kau roboh juga tanpa aku ha-
rus bersusah payah menotokmu!" desis sang Patih.
"Sang Maha Sesat memang hebat, Racun Pelumpuh
Kekuatan ternyata memang ampuh. Sekarang aku ha-
rus mengikat orang-orang yang sangat bodoh ini." den-
gus si botak.
Akhirnya satu demi satu para Lima Utusan Ak-
herat itu diikatnya. Patih agak heran ketika melihat
ada tiga mayat dengan luka-luka yang sungguh men-
gerikan sekali.
"Aku heran, mengapa orang-orang ini memba-
wa-bawa mayat kawannya? Inikah yang dikatakan oleh
Panglima Arung Garda sebagai Lima Utusan Akherat.
Mayat busuk begini sebaiknya ku bakar nanti di ten-
gah alun-alun. Sekarang aku harus mengusung mere-
ka ke halaman istana!" pikir sang Patih.
Setelah, Engku Bonang, Datuk Pala, Dendra,
Malai, Kalingga dan Dunga diikatnya. Maka ia pun mu-
lai menggusung orang-orang ini ke halaman depan.
Sampai di sana Patih menjadi kaget ketika melihat ada
tiga orang laki-laki dalam keadaan tidak berdaya. Dua
diantaranya ia kenal dengan baik.
"Apa yang terjadi padamu, Panglima?" tanya Pa-
tih Luragung. Setelah meletakkan tawanan dengan ca-
ra melemparkannya. Patih langsung menghampiri
Panglima Arung Garda.
"Malaikat Penderitaan yang telah memperlaku-
kan aku begini! Tolong bebaskan totokanku!" pinta
Panglima.
"Bb... baik...!"
Dengan cepat Patih mengurut bagian yang kena
totok. Tapi sama sekali ia tidak mampu berbuat ba-
nyak.
"Aku tidak bisa membebaskan totokan keparat
ini, Panglima!"
Panglima Arung Garda mengeluh putus asa.
"Mungkin ini sudah nasibku! Kerjakanlah apa yang
menjadi tugasmu, selamatkan raja dari tangan Pende-
kar Blo'on dan Malaikat Penderitaan. Kau juga harus
berhati-hati, karena belum lama tadi muncul Perenung
Dosa!" pesan Panglima.
Patih Luragung anggukkan kepala. Seraya me-
noleh dan memandang penuh kengerian pada Raja Te-
ga.
"Siapa yang membuntungi tangan dan kaki-
mu?"
Raja Tega menggeram. "Pendekar Goblok Suro
Blondo! Dendamku padanya sedalam lautan...!"
"Eeh...!" Patih Luragung lebih kaget lagi ketika
melihat Pertapa Seribu Abad. "Apa yang terjadi pada
Anda, Kakek pertapa?" tanya si botak lagi dengan ken-
ing berkerut
***
6
"Ha ha ha...! Apa yang terjadi pada diriku ada-
lah karena kesalahanku sendiri. Bukan kesalahan sia-
pa-siapa. Bocah goblok itu mana bisa mengalahkan
aku jika senjataku secara tidak sengaja ditendangnya
ke langit. Itulah sumber kekuatanku sekaligus kelemahanku! Kupesankan padamu agar berhati-hati. Ka-
lau kau dapat melakukannya, ringkuslah dia, sebelum
kau diringkusnya!" pesan Pertapa Seribu Abad.
"Apakah dia masuk ke dalam istana?" tanya Pa-
tih Luragung curiga.
"Ya. Mungkin dia mencari raja Lalim Durjana
dan hartawan itu!" tegas si mata satu.
"Baiklah, berhubung tugas masih banyak. Aku
mohon diri. Di dalam sana masih ada empat tawanan
lagi yang harus kukeluarkan!" Tanpa menunggu jawa-
ban Pertapa Seribu Abad. Patih Luragung segera me-
ninggalkannya.
Setelah keluar masuk memanggul para utusan
yang tidak sadarkan diri. Sekarang tibalah gilirannya
menghadapi Puspita. Ia tersenyum melihat Puspita
yang dalam keadaan menelentang. Lalu dielusnya pipi
si gadis. Elusan dan rabaan itu beralih ke leher, ke-
mudian berpindah ke dada si gadis. Patih Luragung
menelan ludah basahi bibir. Jantungnya berdetak ke-
ras.
"Ini benar-benar nasib baikku. Semuanya ma-
sih serba asli tidak seperti isteriku yang sudah kendor
kedodoran. Untung benar-benar untung...!" serunya
disertai tawa bergelak seperti orang gila.
"Mestinya kubawa ke ranjang, hitung-hitung
seperti seorang pengantin. Tapi mana aku sabar...
akh;..!" gumam Patih Luragung. Jemari tangan yang
gemetaran itu kemudian melepaskan kancing baju
Puspita. Sehingga terpampanglah pemandangan yang
mempesona nafsu iblisnya. Patih telan ludah lagi, telan
ludah lagi. Bisul kembar yang menonjol itu lalu dibe-
lainya dengan lembut. Rupanya ia merasa penasaran.
Sehingga ia bermaksud melihat bagian lainnya sebe-
lum akhirnya memutuskan untuk memenuhi selera
binatangnya. Baru saja tangannya menyentuh celana
panjang hitam Puspita. Pada waktu bersamaan mele-
sat sebuah benda kecil menghantam tangannya.
"Bletak!"
"Aukkh.... Sakiit...!" teriaknya sambil mengibas-
ngibaskan tangannya yang benjol membiru. Kelabakan
dan merasa terganggu ia bangkit berdiri. Memandang
ke belakangnya tidak ada siapa-siapa terkecuali pintu
besar yang dalam keadaan terbuka. Patih bangkit ber-
maksud menutup pintu, namun sebelum langkahnya
sampai ke sana, pintu menutup dengan sendirinya.
"Eeh... apakah setan yang menggangguku?" pi-
kirnya. "Mungkin Sang Maha Sesat yang suka usil."
"Blak!"
Patih lebih kaget lagi karena secara tidak ter-
duga pintu terbuka kembali dengan sendirinya. Patih
Luragung tiba-tiba saja tertawa.
"Maha Sesat, jangan kau bercanda. Apakah kau
merasa iri jika aku bersenang-senang dengan gadis
ini?!" tanyanya sambil tersenyum. Sebagai jawabannya
terdengar suara dari seluruh penjuru arah.
"Tidak ada yang melarangmu bersenang-
senang, Patih. Tapi kau juga harus ingat, kalau mau
mencangkul cangkullah ladang sendiri. Itu ladang bu-
kan hakmu, meskipun belum ada yang punya harus
dijaga kebersihan dan kelestariannya. Kalau ladang itu
kau cangkul, berarti nanti penggarap yang asli cuma
kebagian sisa, kebagian ampas. Padahal cangkulan
pertama itu paling berkesan bagi seorang suami!" ja-
wab suara itu.
Patih tersentak kaget, mustahil Sang Maha Se-
sat mencegahnya berbuat maksiat. Karena pekerjaan
seperti itu merupakan sesuatu yang sangat dis-
ukainya.
"Maha Sesat, mengapa kau melarangku? Bu-
kankah setiap pengikutmu cenderung melakukan kesalahan dan menjauhi perintah Gusti Allah!" protes Pa-
tih Luragung.
"Sang Maha Sesat itu bapak moyangnya setan,
sedangkan aku masih turunan manusia. Punya mata,
punya hidung, punya telinga, punya satu mulut. Kita
punya juga sama, tapi tidak ceroboh seperti kamu. Ka-
lau kebutuhanmu mendesak, bukankah masih banyak
perempuan telanjang di luar sana?"
Meskipun mulai dongkol dan curiga, Patih Lu-
ragung masih bertanya juga....
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Kambing, kerbau, ayam dan lain-lain. Kurasa
itulah pasangan yang paling cocok bagimu sesuai den-
gan selera nafsu rendahmu. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Siapa kau?" teriak Patih Lura-
gung berubah merah padam wajahnya.
"Ha ha ha...! Patih jahanam! Kau membuat ga-
dis itu setengah malu. Kau elus pipinya, hukumannya
tangan harus dipotong, kau pegang-pegang dadanya
imbalannya anumu harus dipotong. Nah, kau harus
memilih mana dulu yang harus kupotong?!"
"Manusia bangsat! Tunjukkan dirimu, jangan
sembunyi seperti banci...!" dengus sang Patih.
"Jika pangeranmu ini sudah keluar tunjukkan
diri. Maka kau harus merangkak di depanku, kemu-
dian garuklah rambutmu sepuluh kali seperti seekor
monyet!"
Patih Luragung menggumam tidak jelas. Ber-
samaan dengan itu di depan pintu muncul seorang
pemuda berbaju biru, rambut hitam kemerah-
merahan. Wajahnya tampan, namun terkesan tolol ke-
kanak-kanakan. Pemuda itu tersenyum, sambil se-
nyum ia garuk-garuk kepala. Patih Luragung yang se-
mula kaget, kini setelah melihat tampang si pemuda
langsung tertawa tergelak-gelak.
"Ha ha ha! Kau rupanya, aku tidak menyangka
kau iri hati melihat aku mau bersenang-senang den-
gan gadis itu. Jika kau mau, tentu kita bisa bergantian
setelah aku nanti!"
Suro Blondo berubah serius. Mulutnya termo-
nyong-monyong. "Sorgamu-nerakaku, dan juga neraka
kawanku itu. Akh... kau sudah melihatnya. Karena
kau sudah melihat apa yang bukan menjadi hakmu,
untuk kesalahan ini kau harus menyerahkan kedua
matamu!" desis Pendekar Mandau Jantan alias Bocah
Ajaib.
Mata Patih Luragung membulat lebar. Sekarang
baru mengerti rupanya inilah pendekar yang dimak-
sudkan oleh Panglima Arung Garda. Berarti gadis itu
adalah murid Datuk Alam Salindra, sekaligus calon is-
teri hartawan Abdi Banda. Untuk lebih jelasnya (Dalam
Episode Sang Maha Sesat).
"Bagus?! Ternyata aku tidak usah bersusah
payah meringkus dua kunyuk buronan yang selama ini
merugikan hartawan Abdi Banda dan juga pihak kera-
jaan." kata Patih Luragung.
Tiba-tiba saja laki-laki berkepala gundul ini
mengambil sebuah benda berbentuk bulat. Salah satu
ujungnya langsung ditekan. Sehingga keluarlah asap
tebal yang didahului dengan letupan kecil. Namun Su-
ro yang sudah mengetahui muslihat ini dan sempat
pula melihat kejadian yang menimpa para utusan su-
dah tutup pernafasannya.
Mulut Suro menggembung, lalu....
"Puuuuh...!"
Maka asap beracun yang membuat orang tidak
sadarkan diri dalam waktu yang lama berbalik menye-
rang Patih Luragung. Ternyata Patih ini sudah punya
penangkalnya. Sehingga walau asap itu menyerang di-
rinya tidak mengakibatkan apa-apa.
"Ha ha ha...! Kau dapat bertahan dengan racun
itu, Patih? Aku tahu racun yang dapat melumpuhkan
kekuatan itu berasal dari Sang Maha Sesat. Aneh...
aku tidak mencium bau bunga mayat. Kemanakah
perginya Sang Maha Sesat? Aku yakin dia sudah jadi
pecundang, bukan? Malaikat Penderitaan pasti telah
mengusirnya. Apa sekarang jawabmu untuk memper-
tanggung jawabkan semua ini?"
"Huh, untuk menghadapi Pendekar goblok se-
pertimu apa yang harus kutakutkan? Majulah aku
akan membuatmu mati penasaran. Kau tidak akan
mendapatkan gadismu itu. Jika nanti kau sudah se-
tengah mampus, aku akan memperkosanya di depan
hidung dan matamu!" tegas Patih Luragung disertai se-
sungging senyum sinis.
"Begitu, Patih? Lagakmu kren amat. Ingin kuli-
hat apakah ucapanmu itu benar-benar terbukti, atau
kau hanya sebangsanya anjing yang cuma dapat
menggonggong tapi tidak bisa menggigit karena terlalu
tua dan giginya ompong semua. Ha ha ha...!"
"Anak setan! Heaa...!"
"Setan gundul! Ufs...!" sahut Pendekar Blo'on
menyambut serangan Patih Luragung. Pemuda beram-
but hitam kemerah-merahan ini langsung dorongkan
kedua tangannya ke depan. Sedangkan kepalanya me-
runduk. Ketika tangannya hampir membentur dengan
tangan lawannya. Maka Suro langsung tarik tangannya
dan menggeser langkah ke samping. Kaki kanannya
sedikit diangkat menggaet kaki lawannya.
"Bruuk!"
Patih Luragung tersungkur mencium lantai
mar-mar. Hidungnya mengucurkan darah. Sambil
menggeram marah Patih bangkit berdiri. Tanpa meng-
hiraukan darah yang menetes, ia berbalik menerkam
lawannya dengan satu lompatan yang sangat cepat se
kali. Ketika itu Suro sudah berjingkrak-jingkrak seperti
tingkah seekor monyet. Terkadang ia bahkan melom-
pat-lompat, lalu tangannya mencakar-cakar atau ter-
kadang menggaruk tubuhnya sendiri.
"Nguk! Nguk!"
Melihat jurus-jurus lawan yang tidak ubahnya
seperti gerakan-gerakan kunyuk ini. Patih Luragung
jadi kesal saja. Ia pun akhirnya semakin memperhebat
serangan dan mempercepat gerakan pula. Setiap gera-
kan yang dilakukan Patih Luragung mengeluarkan de-
sir angin dingin dan panas silih berganti. Rupanya in-
ilah jurus "Membalik Bumi Merubah Langit' salah satu
dari kesekian banyak jurus-jurus simpanan yang dimi-
likinya.
Tiba-tiba saja tinju Patih Luragung meluncur
cepat menghantam dada Suro. Pemuda itu terkesiap,
ia terguling-guling selamatkan diri. Ternyata serangan
itu cuma tipuan, karena begitu lawan berguling-guling,
mendadak saja Patih lepaskan tendangan beruntun
yang lebih dahsyat. Suro jadi kalang kabut. Si konyol
segera berjumpalitan. Ketika ia melakukan gerakan
kedua. Tepat pula kaki lawannya terangkat. Tidak am-
pun lagi....
"Dess!"
"Ehekgh...!"
Pendekar Blo'on menjerit keras, tubuhnya sam-
pai terputar-putar karena sedemikian kerasnya ten-
dangan. Akan tetapi murid Penghulu Siluman Kera Pu-
tih sekaligus Malaikat Berambut Api ini cepat men-
gambil tindakan. Tiba-tiba saja ia melompat ke depan.
Ketika lawan menghadang dengan pukulan jarak jauh.
Suro malah berputar mengelilingi lawannya. Sementa-
ra itu dari bibirnya terdengar suara lolongan panjang
menghiba-hiba atau terkadang suara tawa bekakakan.
"Edan! Pemuda ini punya apa? Aku sama sekali
tidak dapat menyentuh apalagi mendekatinya?" batin
Patih Luragung dalam kagetnya. Memang tidaklah
mengherankan bila Patih kerajaan ini dibuat terkejut.
Karena rupanya Suro ketika itu sudah menggabung-
kan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kobaskan
Ekor' dan 'Tawa Kera Siluman'. Akibatnya tentu sangat
terasa bagi Patih Luragung.
Namun sebagai orang yang sudah kenyang ma-
kan asam garam di dalam pertempuran. Tentu Patih
tidak mudah terkecoh. Tiba-tiba saja ia menggebrak ke
depan. Serangkaian serangan gencar dilakukannya,
ternyata Suro bukannya mundur. Melainkan menyam-
but serangan itu dengan tidak kalah sengitnya. Patih
kerajaan lepaskan tendangan menggeledek, si konyol
coba menyambutnya.
Duuk!
"Walah... keparat betul tuyul gundul ini...!" ma-
ki si pemuda. Ia terhuyung-huyung ke belakang. Tan-
gan pemuda itu tampak memerah, setelah diusap-usap
tangan tersebut tampak berubah biasa kembali, hanya
warna merah saja yang belum hilang sepenuhnya.
Patih Luragung memandang ke depannya den-
gan tatapan seakan tidak percaya. "Bocah ini bisa se-
lamat dari tendangan 'Lintas Bisa'?" pikirnya sambil
menggelengkan kepala tidak habis mengerti. Laki-laki
berkepala gundul itu tiba-tiba saja mencabut senjata
mautnya berbentuk cakar. Ketika senjata itu dis-
usupkan disela-sela jarinya. Maka lima buah cakar
berbentuk mata pisau ini siap mencabik-cabik tubuh
Suro.
"Krtk! Krtk!"
"Anak setan. Jika kau punya senjata yang da-
pat kau andalkan. Sebaiknya kau pergunakan. Dalam
dua jurus di depan, nyawamu pasti tidak akan selamat."
Suro sadar betul bahwa ucapan lawannya bu-
kan gertakan kosong belaka. Ia tersenyum sinis sambil
garuk-garuk kepala. Ia lalu acungkan tinjunya, dengan
tinju terkepal ia setengah berlari dan menyerang ke
depan. Patih Luragung mengibaskan lima buah cakar
berbentuk seperti mata pisau yang cukup tajam sekali
menyambut serangan Si Bocah Ajaib.
Suro menarik tangannya. Cakar melesat mem-
beset tempat kosong. Pada waktu bersamaan tangan
kiri Suro menerobos pertahanan lawannya.
"Braak!"
Patih Luragung terguling-guling, kepalanya
menghantam dinding. Pukulan tadi cukup keras juga
sehingga membuat tulang rusuk Patih patah berderak.
Ia bangkit, tapi malah darah yang menyembur dari
mulutnya. Suro sambil menyeringai termonyong-
monyong cabut senjatanya. Melihat ke senjata Pende-
kar Blo'on yang sangat aneh bentuknya membuat Pa-
tih jadi keder juga, walaupun memang tidak sempat
kehilangan nyali seluruhnya. Suro menggerakkan
Mandau Jantan di tangannya.
"Ngiiik!"
Lalu digerakkannya lagi ke samping dengan ca-
ra berbeda dengan yang pertama.
"Huuu hu hu...!"
Setelah si konyol menggerakkan lagi ke atas.
"Haaa haha...!"
"Nah, sudah kau dengar bagaimana irama sen-
jataku ini. Sebelum aku meminta tangan dan matamu,
perlu ku jelaskan padamu tiga arti suara senjata ini.
Suara ringkik kuda sama artinya dengan penderitaan
hidup manusia. Sedangkan suara tawa, itulah kejaha-
tan dan kesenangan manusia. Sedangkan Suara tan-
gis. Itulah pertanggung jawaban manusia dihari yang
paling menentukan yaitu hari pembalasan!" kata Suro.
"Pemuda keparat! Kau hanya pandai berkhot-
bah?" maki Patih Luragung.
"Oh, kau rupanya tidak percaya dengan da-
tangnya hari kiamat. Sekarang aku dapat menunjuk-
kan salah satu contoh kecil! Hiyaa...!" Pemuda ini tiba-
tiba saja berteriak keras. Lalu pemuda ini menerjang
ke arah lawannya. Sedangkan Mandau Jantan di tan-
gannya meluncur....
"Trak!"
Senjata itu tertahan cakar di tangan Patih. Tapi
Suro terus menggerakkan tangannya yang bebas ke
mata lawannya. Apa yang dilakukannya ini tidak ber-
langsung mulus. Karena tangan kiri Patih menahannya
pula. Maka dalam keadaan saling tindih ini terjadilah
dorong-mendorong. Masing-masing lawan kelihatannya
memang berusaha menyerang atau bertahan. Suro me-
lotot, sedangkan Patih Luragung tegang berusaha se-
lamatkan matanya. Mandau terus ditekan, tapi lima
cakar di jari Patih menahan. Apa yang sedang berlang-
sung ini memang terkesan lucu menggelikan tapi juga
menegangkan.
***
7
Pendekar Blo'on lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Mandau ditekannya, sedangkan tangan kiri terus
terarah ke mata Patih Luragung. Sampai akhirnya Su-
ro membuat gerakan ringan tapi berbahaya. Mandau di
tangannya bergerak.
"Traak!"
"Cress!"
"Aaak...!"
Patih menjerit kesakitan. Cakar mautnya han-
cur, tangan putus mengucurkan darah. Bersamaan
dengan itu pula Patih Luragung tidak dapat memper-
tahankan matanya. Dua jari tangan Pendekar Blo'on
menghunjam di kedua matanya.
"Protk!"
Maka berteriaklah Patih Luragung seperti orang
gila. Kedua matanya melesak dan hancur. Darah se-
makin bertambah banyak. Laki-laki ini memang benar-
benar mengalami penderitaan yang teramat sangat. Ia
kemudian berdiri, lalu lari sekencangnya sambil men-
dekap kedua belah matanya yang mengucurkan darah.
Karena matanya sudah tidak dapat melihat lagi, maka
berulang kali ia jatuh bangun- menabrak dinding. Se-
tiap jatuh bangun lagi lalu lari demikianlah yang terja-
di seterusnya,
Murid Malaikat Berambut Api masukkan kem-
bali senjata ke dalam rangkanya. Ia mendekati Puspita
dengan mata terpejam. Lalu setelah berjongkok di
sampingnya dibenahinya pakaian si gadis yang sempat
berantakan. Karena matanya tertutup, terkadang ia
menyenggol dua daging yang menonjol itu.
"Bangsat itu mudah-mudahan saja mendapat
ganjaran yang setimpal!" gerutu Pendekar Blo'on.
Setelah pakaian Puspita rapi, maka Suro mem-
buka matanya. Lalu ia meraba denyut nadi di perge-
langan tangannya.
"Heh, jantungnya lemah sekali. Racunnya cu-
kup kuat, dia perlu pertolongan secepatnya." Karena
Puspita masih belum sadar, maka Suro jadi bingung.
Lalu garuk-garuk kepalanya
"Gila?! Kalau kutempelkan tangan ini ke da-
danya, nanti dia kira aku kurang ajar dan bermaksud
macam-macam. Padahal aku harus menyalurkan tena-
ga dalamku." kata Suro.
Lama juga ia termenung memikirkan jalan ter-
baik. Sampai kemudian bibirnya yang cemberut itu
tersenyum. Tanpa bicara apa-apa, Suro menelung-
kupkan badan si gadis. Kemudian kedua tangannya
pun menempel ketat di punggung Puspita. Suro bersi-
la, lalu pejamkan matanya. Wajah yang penuh keko-
nyolan tersebut tampak tegang. Sebentar saja tubuh-
nya telah basah oleh keringat dan bergetar. Perlahan
namun pasti. Dari ubun-ubun Pendekar kocak ini
membersit kabut tipis. Ternyata bukan dari ubun-
ubun saja kabut tipis keluar, tapi dari lubang hidung
dan mulutnya keluar kabut yang sama.
Ini merupakan suatu tanda bahwa Pemuda
Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro ini sedang
mengerahkan seluruh hawa murni yang dimilikinya.
Tubuh Puspita yang dingin mulai menghangat, hawa
hangat ini terus menjalar ke sekujur tubuhnya. Pori-
pori Puspita berubah merah, lalu dari setiap pori-pori
yang muncul ke permukaan itu keluar darah kental
berwarna kehitam-kehitaman.
Pendekar Blo'on lalu menarik tangannya kem-
bali saat terdengar suara rintihan si gadis. Lalu ia ber-
semedhi untuk menghimpun kekuatan kembali. Perla-
han Suro membuka matanya. Sedangkan gadis berpa-
kaian hitam ini sudah duduk, namun tubuhnya masih
terasa lemas.
"Kau...?!" Puspita terkejut melihat Suro telah
berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi ketika tidak
melihat kelima laki-laki utusan lima benua sudah ti-
dak ada lagi di situ.
"Kemana mereka?"
"Mereka siapa?" tanya Suro Blondo.
"Para utusan itu bersama-sama aku di sini. La-
lu seseorang menjebak kami!" jelas Puspita Sari. Ke-
mudian secara singkat Puspita menceritakan saat-saat
terakhir memasuki jebakan.
"Tidak perlu kau risaukan. Mereka sedang me-
nunggu hukum pancung dari Patih Luragung." tegas
Suro. Lalu sambil garuk-garuk kepala ia melanjutkan
ucapannya. "Tapi Patih yang hampir menodaimu itu
entah becus menjalankan hukum pancung atau tidak."
"Apa maksudmu? Berterus teranglah...!" desak
gadis itu rupanya penasaran.
"Lha wong tangannya sudah kupotong. Sedang-
kan matanya sudah kubutakan. Aku takut malah ia
memancung burungnya sendiri."
"Jadi... dia hampir kurang ajar padaku?!" de-
sisnya dengan mata terbelalak lebar.
"Huh, kesalahanmu selalu kurang waspada,
kau kelenger melulu. Bagian atas sih sudah diacak-
diacak oleh Patih gundul tadi. Cuma bagian bukit-
bukitnya saja. Sedangkan bagian hutan dan rimbanya
aku jamin belum! Ha ha ha...!" Suro tertawa bergelak.
"Plak! Plaak!"
"Aduh...!"
Pendekar Blo'on jatuh terguling-guling. Se-
dangkan Puspita berdiri bertolak pinggang. Mata men-
delik memandang Suro dengan tatapan tidak suka.
"Kau...!" Suro terperangah.
"Ya, aku terpaksa menampar mulutmu yang
kurang ajar. Aku tidak suka mendengar ucapanmu,
kau tahu?" ketus suara Puspita.
Suro menyeka bibirnya yang berdarah. Ia me-
ringis kesakitan. Baru saja ia hendak buka mulut, satu
tamparan menghantam hidungnya.
"Kau, mengapa kau menamparku!" Suro mem-
protes.
"Aku tidak suka mendengar kata-katamu yang
kotor!" Pendekar Blo'on masih dapat tersenyum meski-
pun senyumnya terkesan dipaksakan.
"Kau rupanya lebih suka dibuka dan diraba-
raba oleh orang biadab dari pada sekedar kata-kataku
yang kurang berkenan?!"
"Sungguh aku ingin membunuh mereka, tapi
kuharap kau suka menjaga mulut dalam setiap kata-
katamu!"
Suro Blondo tiba-tiba saja terkekeh. "Perem-
puan bagiku adalah makhluk misterius, ceriwis dan
menggemaskan. Sekali lagi kau berani menampar aku.
Aku bersumpah pasti akan membalasmu dengan se-
buah ciuman yang tidak akan pernah kulepaskan!"
"Dasar pemuda gendeng!" dengus si gadis, wa-
jahnya berubah memerah. "Ke mana mereka?"
"Di halaman depan. Pergilah ke kamar yang su-
dah kubuka. Di sana Pendekar Lugu dan Raja Kodok
masih dalam keadaan pingsan. Mereka sudah berusa-
ha kutolong. Dan kurasa sekarang mereka sudah sa-
dar!" Pendekar Blo'on lalu membalikkan tubuhnya dan
berjalan ke ruangan lain tanpa menoleh-noleh lagi.
"Kau mau kemana?"
"Tentu saja menjauh darimu, aku bosan kau
gampari (gaploki) terus menerus. Bisa-bisa mulutku
jontor dan mancung ke depan jika urusan gila ini sele-
sai!" sahut Si Bocah Ajaib sayup-sayup di kejauhan.
Puspita alias Rana Unggul tercenung menden-
gar kata-kata pemuda itu. Ia menyesal mengapa ia tu-
run tangan kasar terhadap pemuda yang telah menye-
lamatkan kehormatannya berulang kali. Padahal seca-
ra tidak sadar sekarang ia mencintai pemuda itu. Dia
selalu berbuat salah, sedangkan pemuda itu sama se-
kali belum pernah menyakitinya. Tingkahnya yang ko-
nyol itu memang sudah menjadi sifatnya. Sifat yang
dibawanya sejak lahir, mungkin. Tanpa pernah dibuat-
buat.
"Oh, mudah-mudahan ia tidak merasa sakit hati atas perlakuanku!" rintih hati kecil Puspita. Kemu-
dian dengan perasaan tidak menentu ia meninggalkan
ruangan megah tersebut untuk menuju ke ruangan
lain dimana Raja Kodok dan Pendekar Lugu berada.
* * *
"Patihku tidak pernah kembali ke sini?!" kata
laki-laki memakai mahkota kebesaran ditujukan pada
seorang laki-laki bertubuh besar perut besar yang kini
menjadi siterunya karena telah berani berzina dengan
salah seorang selirnya yang bernama Seriti. Si gendut
kikir yang tiada lain hartawan Abdi Banda beringsut
menjauh.
"Paduka, Sang Maha Sesat adalah makhluk
yang dapat dipercaya. Ia tidak mungkin memungkiri
janjinya."
"Hartawan keparat! Apa yang dikatakannya pa-
damu diantara kebenaran-kebenaran yang dia
ucapkan?" Setengah sinis raja Lalim Durjana bertanya.
"Di... dia dapat menjaga keselamatan harta
bendaku. Dia juga membuat aku panjang umur karena
aku telah mematuhi saran dan perintahnya!"
Lalim Durjana kerutkan keningnya, seraya
mondar-mandir di depan sang hartawan yang kini be-
rubah menjadi seorang pesakitan.
"Dia berkata begitu padamu? Apakah kau su-
dah melihat harta bendamu masih utuh di tempat-
nya?"
"Aku belum melihatnya, baginda."
"Apakah kau juga ingin tahu bahwa kau pan-
jang umur jika aku memenggal kepalamu?!" dengus
laki-laki itu sengit.
"Paduka, mengapa tuan berkata begitu?" tanya
Abdi Banda ketakutan.
"Ha ha ha! Bukan aku bernama Lalim Durjana
jika aku bukan seorang raja yang kejam dan penuh
kedurjanaan. Ingat-ingatlah, aku tidak pernah melu-
pakan kesalahanmu, apalagi kesalahan itu menyang-
kut kehormatan dan harga diriku. Kau telah mengin-
jak-injak martabatku, Abdi Banda. Setiap kesalahan
yang diperbuat oleh seseorang, aku tidak dapat lagi
membedakan seorang kawan atau lawan. Nah, seka-
rang kepada siapa kau mau minta perlindungan selain
kepadaku?!"
"Oh jangan. Aku janji tidak akan mengulangi
kesalahan yang sama!" Hartawan Abdi Banda meratap.
"Mintalah perlindungan pada Sang Maha Se-
satmu, aku punya firasat dia sekarang sudah mening-
galkanmu!" Hartawan Abdi Banda menangis, mengge-
rung sambil memanggil-manggil Sang Maha Sesat.
Sementara itu Lalim Durjana sudah mengelua-
rkan sebuah pisau tipis yang berkilat-kilat karena ke-
tajamannya.
"Sekarang bukalah celanamu, punya kau harus
dipotong untuk menebus kesalahanmu!" tegas Raja
Ujung Dunia.
"Paduka??" Abdi Banda keluarkan seruan ka-
get.
"Buka kataku!" perintah Lalim Durjana seten-
gah membentak.
Dalam takutnya itu Abdi Banda ragu-ragu. Ra-
sanya kali ini memang tidak ada yang menyelamatkan
atau membelanya lagi. Tubuh laki-laki gendut ini tam-
pak menggigil. Terlintas dalam pikirannya, jika ia kehi-
langan pusaka yang sangat berharga, berarti hidup ini
rasanya sangat hampa sekali. Setiap ada gadis cantik
ia nanti cuma bisa gigit jari. Atau cuma dapat telan lu-
dah tanpa, ia tahu bagaimana lagi nikmatnya sorga
dunia.
Baginya lebih baik kehilangan semua harta
bendanya dari pada harus kehilangan tongkat pusaka.
Atau kehilangan seribu surat Maha penting yang ter-
simpan di gudang harta.
"Baginda jangan sakiti aku. Sebagai gantinya
aku rela menyerahkan seluruh harta serta Surat Ke-
damaian Dunia yang tersimpan di gudang hutan la-
rangan. Percayalah baginda, asalkan jangan punya
aku satu-satunya itu kau minta dengan paksa!" Suara
hartawan kaya itu memelas sekali.
"Puah, ngomong apa kau? Aku tidak butuh har-
tamu, aku juga tidak membutuhkan segala macam su-
rat. Kau harus jalani hukuman untuk menegakkan
kewibawaanku!" Raja Lalim Durjana tetap pada kepu-
tusannya.
Abdi Banda semakin kecut. Dia berdoa, tapi
doa itu ditujukan pada siapa? Selama hidupnya ia ti-
dak pernah mengenal Tuhan, ia tidak pernah me-
nyembah atau melaksanakan perintahnya. Ia sering
berhura-hura dan bangga dengan hartanya. Tuhan
pasti membencinya, Tuhan pasti mentertawainya.
"Berdoa pada setan, sedangkan Sang Maha Sesat yang
menjadi panutannya tidak muncul. Keputusan terak-
hir ia pun berdoa pada setan....
"Oh setan, cegahlah orang ini. Aku tidak mau
kehilangan apa yang aku punya. Perempuan bagiku
adalah hidangan, mana mungkin aku menyantap hi-
dangan hanya dengan melihat-lihat saja langsung ke-
nyang. Aku juga takut mati, kalau yang satu dicabut-
nya, mungkin aku akan mati. Jangan... kumohon ga-
galkan usaha raja kejam ini...!" rintihnya dalam hati.
"Ha ha ha...! Selesaikah kau berdoa, Abdi Ban-
da? Ketahuilah, Tuhan pasti akan mencampakkan
doamu ke tong sampah. Waktu senangmu saja kau ti-
dak pernah bersyukur dan berdoa. Ketahuilah, doamu
tidak ubahnya bualan busuk! Sekarang buka!!" teriak
Lalim Durjana
"Paduka!" desis si gendut. Ia beringsut mundur
ketika melihat raja Lalim Durjana bergerak mendekat
ke arahnya.
"Jika kau tidak turut perintah, maka kedua ke-
palamu akan kupisahkan dari badanmu!" dengus sang
raja penuh ancaman.
Karena merasa terdesak dan tidak punya pili-
han lain. Maka hartawan Abdi Banda akhirnya menjadi
nekad. Ia sadar Lalim Durjana punya kesaktian jauh
lebih tinggi dibandingkan dirinya. Namun rupanya har-
tawan ini menganut pepatah berbuat lebih baik dari
pada tidak sama sekali.
"Di sini hanya tinggal kita berdua saja, Paduka.
Aku punya keagungan kau punya kekuasaan. Jika kau
terus memaksaku. Maka salah satu dari dua kebesa-
ran itu akan ada yang runtuh. Sekarang tinggal terse-
rah kau, memilih damai atau cari permusuhan!"
Maka tertawalah raja Lalim Durjana mendengar
ucapan sang hartawan.
"Kau tidak ubahnya dengan katak yang mau
melawan lembu. Harapanmu itu hanya akan sia-sia
saja, Abdi Banda! Kau pasti pecundang dan mati di
tanganku!" dengus Lalim Durjana sengit sekaligus se-
makin bertambah marah.
"Aku tidak pernah mati, aku tidak akan mati
selamanya sesuai petunjuk Sang Maha Sesat. Ha ha
ha...!" Sambil tersenyum sinis, tiba-tiba saja Lalim
Durjana menusukkan pisau kecil di tangannya. Gera-
kannya cepat, namun Abdi Banda yang sudah nekad
itu berkelit selamatkan perutnya lalu tangannya
menghantam pergelangan tangan lawan.
"Plak!"
Lalim Durjana terhuyung, pisau di tangannya
terlepas. Sesungguhnya hartawan itu hanya memper-
gunakan tenaga kasar saja. Karena tenaganya kelewat
besar. Raja yang kurus ini nyaris jatuh. Ia menggeram,
secepat kilat Lalim Durjana melompat. Kakinya me-
nyapu dan meluncur deras ke perut sang hartawan. Si
gendut menangkisnya, raja Ujung Dunia menarik balik
kakinya, serangan kaki digantikan pukulan tangan kiri
kanan. Dengan gerakan yang lamban si gendut coba
menangkisnya. Namun terlambat....
"Brak!"
"Akh...!"
"Buum!"
Abdi Banda jatuh berdebum. Hidungnya han-
cur, tulang iganya retak, dan ia tidak dapat bangkit
kembali. Raja Lalim Durjana menyeringai. Ia mencabut
pedang pendek, sekali melompat ia sudah membuat
celana hartawan itu robek. Lalu....
"Cres!"
Sekali lagi pedang itu berkelebat, maka putus-
lah milik hartawan itu. Abdi Banda meraung keras
sambil pegangi sisa anunya yang mengucurkan darah.
Abdi Banda totok urat nadi besar, darah terhenti, na-
mun rasa sakit itu tidak tertahankan. Begitu hebatnya
ia menahan rasa sakit sampai diluar kesadarannya ia
terkencing-kencing. Air yang mengalir keluar itu hanya
membuat sang hartawan semakin menderita. Lalim
Durjana tersenyum puas.
***
8
Belum sempat ia menyarungkan pedang kecil-
nya yang berlumuran darah. Pintu kamar besar itu
berderak terbuka. Seorang kakek tua berpakaian putih
berjenggot putih masuk tanpa basa-basi. Raja Lalim
Durjana tersentak kaget. Ia memandang pada kakek di
depannya penuh rasa curiga. Kesempatan ini dipergu-
nakan oleh Abdi Banda untuk membetulkan pakaian-
nya yang dipenuhi darah. Lalim Durjana menyilangkan
senjatanya di depan dada. Senyumnya sinis, kumisnya
bergerak-gerak. Seakan kumis itu punya nyawa.
"Siapakah kau orang tua? Datang dengan
membawa maksud buruk atau baik? Jika buruk se-
baiknya cepat angkat kaki tinggalkan ruangan rahasia
ini. Jika maksudmu baik sejalan dengan keinginanku,
ketahuilah aku punya puteri cantik-cantik, kau berhak
mendapatkan salah seorang diantaranya!" Raja Lalim
Durjana diam-diam lancarkan siasat jalankan taktik.
"Huk huk huk...!" Kakek baju putih alias Ma-
laikat Penderitaan tertawa, tapi tawanya seperti orang
menangis. "Kemewahan dunia ini di mata Gusti Allah
tidak lebih besar dari sebelah sayap nyamuk. Aku be-
nar-benar menderita mendengar tawaranmu. Namun
aku lebih menderita lagi melihat cara dan jalan hidup
yang kau tempuh! Ketahui pula olehmu, hari ini Anak
Langit akan membuka sedikit rahasia dari sekian ba-
nyak rahasia besar Gusti Allah. Nanti kau akan me-
nyaksikannya, kau bahkan akan menjalaninya sebagai
bukti dan contoh bagi orang-orang yang datang setelah
kita!"
"Kau bicara apa, orang tua? Sungguh kata-
katamu sulit ku mengerti?!" Membentak Raja Lalim
Durjana.
"Aku bicara tentang keadilan. Aku bicara ten-
tang kekejamanmu, aku juga bicara tentang kerakusan
orang gendut itu akan harta! Kalian dengar, kerakusan
dan kekejaman!"
"Puah! Manusia busuk tidak tahu diuntung.
Engkaukah yang berjuluk Malaikat Penderitaan?"
tanya Lalim Durjana sinis.
"Aahk... aku menderita mendengar ucapanmu.
Kata dan tebakanmu tidak ada yang salah. Yang patut
kusesalkan adalah perbuatanmu. Maka sekarang ini
sebaiknya kau menyerah!"
Wajah Lalim Durjana berubah menegang, apa-
bila ia menarik nafas, maka desah nafasnya memburu.
Pertanda ia berusaha meredam gejolak kemarahannya.
"Tidak perlu berdebat, Kat! Sebaiknya ringkus
saja dulu kutu busuk yang bikin onar dipermukaan
bumi itu. Atau kau merasa tidak sanggup? Kalau tidak
becus, aku juga bisa meringkus mereka!" Tiba-tiba saja
terdengar suara seseorang menimpali. Malaikat Pende-
ritaan maklum siapa yang datang. Tapi Lalim Durjana
dan hartawan Abdi Banda sama memandang ke arah
pintu. Di depan pintu berdiri seorang pemuda rambut
hitam kemerahan pakai ikat kepala biru belang-belang
kuning. Lagaknya cengar-cengir seperti pemuda ku-
rang waras. Ia bertolak pinggang kedua tangannya
menyentuh ketiak. Sehingga membuat geli yang meli-
hatnya.
Melihat kemunculan pemuda tampan bertam-
pang ketolol-tololan, maka hartawan Abdi Banda
bangkit berdiri, bahkan Lalim Durjana yang memang
sudah pernah melihat pemuda ini ketika bentrok den-
gan Raja Tega di halaman istana langsung melompat
ke depan. Untuk lebih jelasnya(Dalam episode Lima
Utusan Akherat).
Lalim Durjana melotot, melihat laki-laki jang-
kung itu melotot, maka Suro pun ikut melotot pula.
Sehingga beberapa saat lamanya mereka saling pelotot-
pelototan.
"Haes, lama-lama pegal mataku!" Suro ke-
dipkan matanya. "Kalau dipikir-pikir sebaiknya kau
dan si gendut jelek yang telah kehilangan tongkat itu
menyerah saja. Percuma kalian melawan, kau dengar
tidak? Bukankah begitu, Kat?" Suro menoleh pada si
kakek seakan minta dukungan.
"Anak setan! Kau berada di wilayah kekua-
saanku, masih juga kau berani jual lagak?" Lalim Dur-
jana mendengus geram, lalu katupkan mulutnya ra-
pat-rapat.
"Kekuasaan kepalamu peang?! Ha ha ha...! Bi-
cara apa kau raja jelek bau apek? Terhadap dirimu
sendiri saja kau tidak punya kuasa." Pendekar Blo'on
tersenyum mencibir.
"Heaa...!"
Lalim Durjana tiba-tiba saja kirimkan pukulan
ke arah Suro. Pemuda ini dengan mulut termonyong-
monyong langsung melompat dan berlindung di bela-
kang Malaikat Penderitaan. Pukulan Lalim Durjana
praktis menghantam tembok di belakangnya. Tembok
hancur, sebagian kamar runtuh hingga tanah menim-
buni ruangan itu.
"Kat, sekarang giliranmu! Dia sudah mulai gila,
rupanya raja gendeng ini hendak mengubur kita hi-
dup-hidup di sini. Ayolah maju, tunggu apa lagi?" de-
sak Si Bocah Ajaib serius.
"Pendekar geblek! Menyingkirlah kau dari sini."
bentak Malaikat Penderitaan. Kalau pun Pendekar
Blo'on menyingkir, maka ia duduk sambil uncang-
uncang kaki di atas kursi mewah yang terletak di su-
dut ruangan. Rupanya sekarang raja Lalim Durjana te-
lah mencabut senjatanya. Satu tikaman telak dilaku-
kannya. Hartawan Abdi Banda tutup mata ketika meli-
hat berkelebatnya senjata itu. Sedangkan Malaikat
Penderitaan hanya sedikit saja menggeser kakinya. La-
lu tangannya menyambar ujung senjata lawannya.
"Plak!"
"Heh!"
Senjata itu melesat ke atas dan tidak mengenai
sasarannya. Dengan penuh rasa geram Lalim Durjana
memutar senjata, setelah beberapa kali berkelebat-
kelebat di udara. Kemudian disertai teriakan keras ia
melompat sambil babatkan senjatanya ke bahu si ka-
kek. Sama sekali Malaikat Penderitaan tidak menghin-
dar. Telak sekali senjata mengenai sasarannya.
"Craak!"
Lalim Durjana menjadi terkejut karena senja-
tanya seakan hanya menghantam batu cadas yang bu-
kan main-main kerasnya. Ia periksa senjatanya. Ter-
nyata senjata itu mengalami kerusakan. Kini ia menu-
sukkan senjata ke perut lawannya, ternyata si kakek
sama sekali tidak menghindar. Malah ia seakan mem-
berikan perutnya untuk ditusuk.
"Jheees!"
Sebagian senjata Lalim Durjana menembus ke
perut Malaikat Penderitaan. Ia tertawa, tawa khas se-
perti orang yang menangis sedih menghiba-hiba. Pe-
nuh kejut Lalim Durjana menarik senjatanya lagi dari
perut lawan.
Astaga! Senjata itu seakan berubah panjang
dan tidak ada habis-habisnya meskipun sang raja su-
dah bergerak sampai di depan pintu.
Melihat kejadian ini Suro garuk-garuk kepala
sambil bertepuk tangan. Ia bahkan berjingkrak-
jingkrak sehingga membuat kursi bergoyang-goyang
dengan keras.
"Hebat! Ha ha ha....! Ternyata kau juga pandai
main sulap, Kat. Menyesal jika kau tidak mau menga-
jari aku. Hebat...! Ha ha ha! Raja gelo itu bisa frustrasi
melihat ulahmu, Kat!" celetuk Suro tiada henti berte-
puk tangan.
Malaikat Penderitaan sama sekali tidak me
nanggapi ucapan si konyol. Ia kemudian memegang
badan pedang, senjata itu diketuk-ketuknya tiga kali.
Tiba-tiba saja pedang milik Lalim Durjana memendek.
Laki-laki itu pun tersentak dan ikut terbawa senja-
tanya. Ketika ia telah berada satu meter di depan Ma-
laikat Penderitaan. Maka kakek berjenggot putih ini
menjatuhkan totokan bertubi-tubi.
"Tak! Tik! Tuuk!"
"Aaaaa...!"
Lalim Durjana menjerit kesakitan, ia menggele-
par, meliuk bahkan membanting-banting badannya.
Ini merupakan sebuah siksaan yang sangat dahsyat
melebihi sakitnya tertusuk seribu mata pedang. Begitu
menderita Lalim Durjana sampai ia terkencing-
kencing.
Si kakek menggumam tidak jelas dan mencam-
pakkan senjata lawannya. Melihat kejadian itu, harta-
wan Abdi Banda bermaksud melarikan diri. Tapi Suro
sudah menghadangnya.
"Eit... mau kemana kau gajah bunting! Ini ba-
gianmu!" desis Si Bocah Ajaib. Lalu ia menotok Abdi
Banda, sehingga tubuh hartawan itu berubah kaku ti-
dak dapat digerakkan. Sementara itu raja Lalim Durja-
na terus berguling-guling sambil menjerit histeris.
"Apa yang kakek lakukan padanya?" tanya
Suro kemudian.
"Dia harus merasakan penderitaan orang lain,
begitulah rasanya. Nah, sekarang kau uruslah gendut
kikir itu." perintah si kakek. Sekejap kemudian tubuh-
nya sudah berkelebat sambil menenteng raja Lalim
Durjana
"Betul-betul hebat orang itu. Aku tidak tahu
seberapa banyak kesaktian aneh yang dia miliki!" kata
Pendekar Blo'on dalam hati. Lalu ia memandang tajam
pada hartawan Abdi Banda, sementara itu keluarga raja, termasuk ratu dan puterinya sudah datang ke
ruangan itu. Rupanya mereka kaget ketika mendengar
jeritan sang raja. Kenyataannya Si Bocah Ajaib tidak
begitu perduli, perhatiannya tetap tertuju pada harta-
wan Abdi Banda. Lalu terlihatlah senyumnya yang si-
nis disertai kata-kata yang cukup pedas....
"Ketika tempat-tempat maksiat, perjudian dan
rumah madat kau dirikan. Itulah awal sebuah jiwa
menjadi budak nafsu. Kau kotori bumi ini dengan ke-
maksiatan, dengan tawamu dan tawa orang-orang ber-
bau mesum. Hidupmu terangkat di atas tumpukan
dan gelimang dosa. Dari desah dan erangan nafas ber-
lendir. Mata dan hatimu, jiwa dan pikiranmu terkunci
mati. Lalu Sang Maha Sesat berdiri di atas segala, ke-
mudian bermunculanlah orang-orang dalam kemuna-
fikan, kau ambil pengawal-pengawal dari barisan setan
yang terlaknat. Jalan hidupmu menyalahi kodrat, be-
tapa sia-sia hidup sepanjang usiamu. Itulah persoalan
pertama yang perlu kusampaikan padamu." kata Suro
serius. "Persoalan yang kedua adalah, kau telah meng-
himpun segala kebusukan dunia, kedengkiannya, kei-
riannya, kesombongan dan fitnahnya. Semua kau
kumpulkan dalam sebuah singgasana harta yang pal-
su. Diantara sekian banyak wanita yang kau zinahi
atas nama isteri. Ada satu kebiadapan yang kau per-
buat. Kau tatto tubuh si gadis malang. Dadanya, au-
ratnya dan tempat-tempat terlarang untuk menyem-
bunyikan sebuah peta tempat penyimpanan surat ke-
benaran. Kau memberi hanya mengharap imbalan, kau
menyembah setan dan nafsumu sendiri. Aku si bodoh
Pendekar Blo'on, telah bersumpah di depan mayat pe-
rempuan itu. Akan mentatto tubuhmu dengan gambar
tongkat yang paling besar di dunia. Itulah simbol ke-
perkasaanmu yang kau puja-puja sampai mati!"
Maka pucatlah wajah hartawan Abdi Banda
demi mendengar ucapan Si Bocah Ajaib yang secara ti-
ba-tiba seperti orang yang sedang berpetuah itu. Ke-
luarga raja termasuk permaisuri dan putri-putrinya
tercengang. Suro memberi isyarat pada mereka
untuk segera menyingkir.
"Ini bukan urusan kalian, menjauhlah jika in-
gin selamat!" perintah murid Penghulu Siluman Kera
Putih. Maka tanpa berani membantah lagi keluarga
kerajaan yang tidak ikut ambil bagian dalam masa-
lah besar itu langsung menyingkir. Suro mengeluarkan
Mandau Jantan di tangannya. Lalu secepat kilat Man-
dau itu berkelebat di atas dada Abdi Banda. Laki-laki
berperut besar seperti kuali besar tertelungkup menje-
rit setinggi langit. Hanya dalam waktu singkat dari pu-
sar Abdi Banda sampai ke dada terukirlah sebuah
tongkat besar memakai topi waja.
"Apa yang menjadi janjiku telah kulaksanakan.
Semoga arwah isterimu dapat tenang di alam sana!"
desis Pendekar Blo'on. Tidak lama ia pun membe-
baskan totokan, setelah totokan terbebas maka Suro
Blondo memerintahkan hartawan Abdi Banda berjalan
menuju alun-alun.
* * *
Halaman istana yang luas itu kini secara aneh
telah berubah menjadi sebuah tempat yang terasa as-
ing serba putih. Semua orang termasuk di dalamnya,
Pertapa Seribu Abad, Raja Tega, Arung Garda dan Pa-
tih Luragung jadi terkejut. Mereka seakan telah dipin-
dahkan dari satu alam ke alam lainnya.
Yang membuat para tokoh sesat ini menjadi ka-
get, karena di tengah-tengah hamparan alam yang ser-
ba putih namun panas seperti membakar itu. Terdapat
pula sebuah menara yang seakan menjulang ke langit.
Semula kejadian yang berlangsung singkat ini diawali
dengan gelegar suara petir yang sambung menyam-
bung tiada henti. Kemudian mata mereka menjadi si-
lau pada waktu sinar putih melesat seakan datang dari
langit. Lalu terlihat sinar putih lainnya yang lebih te-
rang, berpedar-pedar seperti cahaya bintang kejora.
Malaikat Penderitaan yang muncul kemudian
bersama Lalim Durjana juga tidak kalah kagetnya. Ia
langsung memuji kebesaran Gusti Allah atas segala
keajaiban yang terjadi. Laki-laki tua ini memandang ke
langit. Ia melihat sebuah cahaya besar bersinar menyi-
laukan mata. Sinar yang apabila mata terlalu lama
memandangnya dapat menjadi buta. Raja Lalim Dur-
jana menggigil ketakutan, memandang ke tengah-
tengah halaman yang telah berubah menjadi sebuah
daerah yang teramat asing itu terdapat. Dua menara
yang satu berwarna putih berkilauan yang lainnya
berwarna hitam pekat.
Di sanalah menunggu Pendekar Lugu, Raja Ko-
dok, Puspita. Dan juga para Utusan Akherat. Menung-
gu kabar yang selama ini mereka harap kedatangannya
dengan perasaan takut, gembira, juga cemas. Tidak
lama kemudian muncul Suro Blondo bersama harta-
wan Abdi Banda yang sudah dibuat tidak berkutik.
Melihat kejadian yang serba aneh ini si pemuda ter-
cengang.
"Weleh-weleh... orang-orang, kita berada dima-
na sekarang? Apakah kita sudah mati. Apakah kita be-
rada di alam baka? Wah... bagaimana ini aku belum
bertobat, belum juga kawin. Malaikat, Kat... kita bera-
da dimana?" tanya si konyol, saking bingungnya pe-
muda itu tidak henti-hentinya menggaruk kepala.
Pendekar Lugu menyahuti. "Saudaraku, kini
sudah saatnya Anak Langit berkenan memberi kabar
kepada kita. Memberi petunjuk, agar setiap jiwa dapat
merenunginya. Kalian lihatlah, Lima Utusan Akherat
sudah sadar dengan sendirinya atas kehendak Tuhan.
Lihat ke langit!"
Suro memandang ke langit. Tapi tidak ada ke-
mampuan bagi matanya untuk menentang cahaya pu-
tih berpedar-pedar itu.
"Itukah Anak Langit?"
"Ya...!" Malaikat Penderitaan menyahuti.
Murid Malaikat Berambut Api baru saja hendak
mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja cahaya putih ber-
gerak turun lebih rendah lagi. Lalu terdengar suara
guntur menggelegar. Cahaya tadi mengalami peruba-
han yang sangat aneh dan membentuk ujud seperti
seorang manusia biasa. Tapi tingginya tidak terkirakan
bahkan menjulang tinggi ke langit. Kedua kaki orang
ini tidak menyentuh tanah, melainkan mengambang
menakjubkan. Ia memakai pakaian serba putih. Tela-
pak kakinya besar dan terompanya pun sangat besar
sekali. Ketika ia mengulurkan tangannya ke arah Ma-
laikat Penderitaan. Maka kitab berisi Surat Kedamaian
Dunia melesat dari balik pakaian si kakek berpindah
ke tangannya. Kitab surat itu disentuhkannya ke dada.
Bibir Anak Langit tersenyum betapa senyumannya
penuh kedamaian. Entah mengapa para tokoh sesat
sebaliknya malah menjadi sangat ketakutan sekali.
***
9
Anak Langit mengangkat tangannya. Semua
orang yang berada di situ jatuh terduduk. Sekujur tu-
buh mereka menjadi lemas, penglihatan menjadi gon-
cang dan hati pun ikut terguncang.
"Aku adalah makhluk yang masih ciptaan Gusti
Allah juga. Aku datang dari alam gaib, alam yang pe-
nuh dengan kebaikan dan lagi dilimpahi rahmat! Ka-
lian tidak mampu menembus alam itu dengan pengli-
hatan kalian. Tapi ketahuilah, bahwa setiap gerak-
gerik, langkah dan perbuatan manusia ada yang men-
gawasinya."
"Anak Langit? Bolehkah aku tahu siapa diri-
mu?" tanya Pendekar Blo'on serius.
"Aku adalah makhluk yang tidak pernah ber-
paling dari Tuhanku walau barang sekejap. Hanya itu
saja yang perlu kau ketahui, hai anak manusia! Seka-
rang aku ingin mengatakan sesuatu yang juga pernah
dikatakan pada orang-orang sebelum kalian. Ingat! Hi-
dup manusia itu sifatnya hanya sebentar saja. Waktu
hidup manusia di dunia sangat sempit sekali bagi
orang-orang yang mau berpikir. Maka beruntunglah
orang-orang yang berbuat kebaikan di bumi ini, saling
mengasihi dan berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan. Mereka tidak pernah lalai mengerjakan ke-
wajiban apa yang telah menjadi kewajibannya. Setiap
manusia kelak akan mempertanggung-jawabkan per-
buatannya di hari pembalasan. Hari dimana yang se-
tiap jiwa tidak punya penolong. Ayah tidak dapat me-
wakili anaknya, anak tidak dapat mewakili ibunya. Ka-
rena semua orang sibuk dengan urusan masing-
masing. Ini adalah contoh yang sangat kecil. Nah seka-
rang aku ingin bertanya pada Pendekar Lugu. Apakah
yang kau banggakan dalam hidupmu, hai anak manu-
sia?" Semua mata yang hadir kini tertuju pada Wahyu
Sakaning Gusti. Pemuda itu tiba-tiba menangis terse-
du-sedu. Tangisnya begitu memilukan, sehingga baik
golongan lurus maupun golongan sesat ikut-ikutan
menangis.
"Sesungguhnya tidak ada yang aku banggakan
dalam hidupku. Aku adalah seorang pengelana yang
menunggu datangnya ajal tiba. Aku tidak memiliki
apa-apa, terkecuali kebaikan dan mengajak semua
orang berbuat baik dan berbakti pada Tuhannya.
Sungguh Ridhonya sangat ku dambakan, melebihi du-
nia dan seisinya..." kata Pendekar Lugu di tengah-
tengah sedu sedannya.
"Pendekar Lugu, aku melihat sebuah kese-
suaian antara ucapan dan isi hatimu. Gusti Allah Pen-
cipta seluruh makhluk meridhoimu. Wahai jiwa yang
tenang. Jiwa yang tidak pernah marah, tidak dengki,
tidak iri, tidak sombong, tidak takabur dan jiwa yang
tidak pernah menyakiti sesama. Teruskanlah lang-
kahmu dalam keteguhan yang tidak pernah berpaling
dari Tuhanmu. Kelak kau akan mendapatkan kebaha-
giaan yang tidak terhingga dari Tuhanmu." kata Anak
Langit disertai senyum.
Raja Kodok yang berada di samping Puspita
tersentak kaget. Inilah orang yang aku cari. Pikirnya.
Ia ingin mengatakan keinginannya untuk menjadi mu-
rid Pendekar Lugu. Namun mulutnya seperti terkunci.
Anak Langit beralih pada Pendekar Blo'on. Lalu ada
senyum menghias di bibirnya.
"Suro Blondo bocah yang terlahir pada malam
satu Asyuro. Bagimu telah banyak diberi kelebihan.
Antara lain dibalik ketololanmu tersimpan kecerdikan.
Teruskanlah usahamu dalam menegakkan kebenaran:
Satu sifat jelekmu terlalu mata keranjang. Kurangi dan
hilangkanlah itu. Sebab matamu adalah kemaksiatan,
telingamu, otakmu, hatimu, dan juga tangan serta ka-
kimu. Usahamu masih jauh dari sempurna, langkah-
mu masih panjang. Berusahalah memperbaiki diri,
jangan takabur dan sombong. Nah sekarang apa
usulmu?" Suro seka keningnya yang bermandikan ke-
ringat, lalu garuk-garuk kepala
"Anu... aku berada di tengah jalan membin-
gungkan. Jika aku tidak membunuh ya aku yang ter-
bunuh. Bagaimana ini, jika aku mati, aku ini masuk
neraka atau sorga...?"
"Untuk menegakkan sebuah kebenaran, terka-
dang kau harus pergunakan senjata. Menurut catatan,
kebaikan dan kesalahanmu masih kacau. Untuk itu
perbanyaklah membenahi diri, jangan suka iseng. Se-
moga Gusti Allah memberikan yang terbaik di sisimu.
Dia yang menentukan kau berada dimana sesuai amal
dan kebaikanmu!"
"Tap...!"
"Berjumpa denganku waktunya singkat sekali.
Waktumu habis, sekarang giliran Raja Kodok!" kata
Anak Langit. Raja Kodok, dalam ketakutannya lang-
sung tunjuk tangan.
"Anak manusia, kulihat hatimu penuh dendam.
Dendam dan amarah pada masa lalu yang sesungguh-
nya sebuah kenyataan. Jangan sesali diri dan kea-
daanmu. Jangan pula kau sesali mengapa kau terlahir
ke dunia ini. Semua itu sudah digariskan oleh Tuhan
padamu. Tidak usah berkeluh kesah lagi. Tidak perlu
meratapi nasib, gantilah kemarahanmu dengan sabar,
ganti dendammu dengan sifat welas asih. Jangan kau
kutuki dirimu sendiri, karena hal itu hanya akan
membuat Gusti Allah marah. Perjalanan hidupmu ma-
sih panjang. Sampai suatu ketika nanti ajal pasti da-
tang menjemputmu. Belajarlah lebih banyak pada
Wahyu Sakaning Gusti. Sebab ia adalah sebaik-
baiknya manusia yang patut kau ikuti. Lalu sekarang
apa usulmu?" tanya Anak Langit.
"Rasanya setelah mendengar pernyataanmu ti-
dak ada lagi yang aku usulkan. Kerisauanku selama
ini telah terjawab. Wajahku begini buruk, aku ingin
mengimbangi keburukanku dengan kebaikan. Dulu
aku begitu bernafsu untuk membalas dendam pada
hartawan itu. Tetapi sekarang terserah bagaimana ke-
putusanmu. Karena aku tidak punya hak lagi atas jiwa
orang lain!"
"Hartawan itu sudah berada dalam ketentuan
Tuhan. Jangan kau risaukan. Nah bagaimana dengan
kau Malaikat Penderitaan?" Si Kakek tiba-tiba menje-
rit. Tangisnya meledak, ia bersujud sedangkan seku-
jur tubuhnya terguncang keras.
"Anak Langit, makhluk suci dalam kebenaran
yang penuh rahmat tidak pernah ingkar. Hidup ini
adalah sebuah penantian yang sangat panjang. Terka-
dang aku merasa lelah menjalaninya. Aku merasa hi-
dup ini adalah ujian dan cobaan demi cobaan. Aku
menangis di tempat yang sepi melihat tingkah laku
manusia. Aku melihat kecelakaan besar dari apa yang
mereka buat sendiri. Aku melihat kekikiran manusia
apabila dia berpunya. Aku mendengar rengekan mere-
ka bila dirinya ditimpa kesusahan. Kalau boleh aku
meminta, bukalah pintu hati seluruh penghuni bumi
ini untuk menuju ke jalan kebaikan. Jadikanlah mere-
ka saling kasih mengasihi antara sesamanya." pinta si
kakek sambil tersedu-sedu.
"Malaikat Penderitaan, Gusti Allah Maha Tahu,
Ia memberi petunjuk pada orang-orang yang dikehen-
dakinya, dan menyesatkan orang-orang yang dikehen-
dakinya pula. Barang siapa yang hatinya condong pada
segala macam kepentingan dunia, ia adalah budak
nafsu dan pengabdi setan. Jangan hal-hal semacam ini
membuat hatimu gelisah dan sedih. Kelak setiap orang
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya.
Lalu apa pertanyaan yang lain?" Malaikat Penderitaan
menggelengkan kepala, lalu menangis lagi dan terus
menangis.
"Anak manusia yang bernama Puspita Sari. Kau
punya tujuan ingin membalas dendam seperti Raja
Kodok. Abdi Banda memang termasuk manusia yang
melampaui batas. Kau tidak perlu melakukannya da-
lam hari yang berbahagia ini. Karena kalian akan sa-
ma-sama menyaksikan apa yang bakal terjadi pada di-
rinya. Kau termasuk beruntung, dididik oleh guru yang
sesat, tapi kau menemukan jalan terbaik. Untuk masa
yang akan datang, jangan lagi kau menyamar sebagai
laki-laki. Sebab Tuhan marah melihat perempuan ber-
prilaku seperti laki-laki dan laki-laki berprilaku se-
perti perempuan. Nah sekarang apa katamu?"
"Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan. Semua-
nya sudah sangat jelas!" sahut Puspita dengan kepala
tertunduk. Setelah itu perhatian Anak Langit beralih
pada Lima Utusan Akherat baik yang masih hidup
maupun yang sudah menjadi mayat.
"Kalian datang dari tempat-tempat yang sangat
jauh. Kalian menanti dalam waktu yang cukup lama
setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang
sekali. Sebelum aku bicara terakhir kali pada tokoh-
tokoh yang membuat keonaran di muka bumi ini. Tiba-
lah bagiku untuk membuka isi Surat Kedamaian Du-
nia." kata Anak Langit. Surat itu lalu diambilnya dari
kitab tipis sebagai tempat penyimpanannya selama ini.
Begitu surat dibuka, maka terpancarlah cahaya putih
yang sangat terang benderang. Ada pun isi Surat Ke-
damaian Dunia seperti ini....
Anak manusia terlahir ke dunia membawa dua
sifat
Sifat yang baik dan yang buruk
Terserah manusia itu sifat yang mana yang
akan disuburkannya
Sesungguhnya nafsu dan setan saling berdampingan,
Sedangkan hati berdekatan dengan kalbu sifat
luhur.
Antara nafsu dan keluhuran budi tidaklah ber-
jauhan
Terserah manusia, mana yang mau diikuti
Jika keluhuran budi, berarti manusia telah me-
nempuh jalan yang lurus lagi baik
Jika nafsu yang menjadi pegangannya
Maka ia akan tersesat jauh dan menjadi pengi-
kut setan.
Dunia dan seisinya ini sesungguhnya tempat
segala kebusukan, kepalsuan, sandiwara dan
tidak ada apa-apanya.
Ada pun yang lebih baik dari segala-galanya
adalah disisi Zat yang menciptakan manusia.
Maka patuhilah perintahNya dan tinggalkan
yang dilarangNya.
Sampai disini Anak Langit menghentikan pem-
bacaannya. Ia memperhatikan orang-orang di sekeli-
lingnya. Wajah-wajah yang tertunduk, tidak punya
daya dan kekuatan apa pun. Mereka tidak mampu bi-
cara, tidak dapat menunjukkan keangkuhannya. Anak
Langit kemudian kembali pada surat putih yang ber-
pedar-pedar memancarkan cahaya.
Isi penting surat ini untuk diketahui
Bahwa diantara seratus rahmat Gusti Allah
Cuma satu yang diturunkan di atas dunia ini
Satu rahmat inilah yang dibagi-bagi pada, se-
luruh makhluk yang hidup bertebaran di mu-
ka bumi.
Sehingga terlihat nyata antara serigala dengan
anaknya saling mengasihi.
Sembilan puluh sembilan rahmat tertahan di
langit untuk kepentingan seluruh manusia ke-
lak.
Hal yang sedemikian ini terdapat dalam perka-
taanNya sejak manusia pertama diciptakan di
permukaan bumi ini.
Anak Langit selesai sudah membaca Surat Ke-
damaian Dunia yang menjadi rebutan itu.
Ia melipat surat itu kembali dan memasukkan-
nya ke dalam kitab tipis tempat penyimpanan.
"Dengarlah kalian semuanya. Aku tegaskan pa-
da kalian untuk saling hormat menghormati, saling
welas asih, saling mengajak untuk berbuat kebaikan.
Jangan pula saling menyakiti sesamanya, jangan sal-
ing hasut, saling hina, saling dengki, iri, tamak, saling
membunuh. Jangan pula durhaka pula pada Zat yang
menciptakanmu, jangan durhaka pada orang tua, isteri
jangan durhaka pada suami, atau yang muda durhaka
pada yang tua. Jangan kalian tunggu jasad sampai
terbujur baru ingat berbuat kebaikan. Hidup ini sing-
kat, waktu sangat berguna. Aku juga adalah makhluk
yang diciptakanNya. Sama sekali aku tidak berkotbah
pada kalian. Sebaik-baiknya manusia adalah yang
menganggap dirinya bodoh dari pada orang bodoh
mengaku pintar. Seburuk-buruknya manusia adalah
yang menganggap dirinya paling benar." kata Anak
Langit.
"Makhluk yang tercipta dari cahaya itu rupanya
menyindirku!" pikir Pendekar Blo'on sambil seka air
matanya.
"Para Lima Utusan Akherat. Kalian semua
sudah mendengar isi Surat Kedamaian Dunia. Meski-
pun kawan-kawan kalian sudah tiada, tapi sekarang
ini arwah-arwah mereka juga hadir di sini ikut men-
dengarkan apa yang aku kabarkan pada kalian. Sampaikanlah pada guru kalian, masing-masing setelah
kembali ke asal kalian kelak, tanpa ada yang kalian
kurangi atau tambahi dari apa yang kalian dengar hari
ini!"
"Kami semua akan menyampaikan berita gem-
bira ini. Tidak dapat kami lukiskan betapa gembiranya
hati kami bahwa sesungguhnya wangsit yang diterima
oleh guru kami adalah sebuah kenyataan!" kata Dunga
mewakili kawan-kawannya.
"Sekarang tibalah giliran bagi para tokoh sesat."
desah Anak Langit. Wajahnya yang penuh kearifan dan
cinta kasih ini tiba-tiba saja berubah bengis. "Anak
manusia yang bernama Abdi Banda? Menurut pengli-
hatan dan dari catatan yang tidak dapat dibantah. Se-
panjang usiamu hanya kau pergunakan untuk me-
numpuk harta yang tidak berguna. Kau mendapatkan-
nya dari gelimang kemaksiatan dan kau pergunakan
untuk kemaksiatan pula. Betapa celakanya kau hidup
di dunia, hidup hampir enam puluh tahun tidak sedi-
kit pun kulihat kebaikanmu. Tempat, yang paling kek-
al bagimu adalah neraka Jahanam. Nah sekarang sen-
tuhlah dua menara itu, Yang putih adalah menara ke-
beruntungan bagi orang-orang yang berbuat baik. Se-
dangkan yang hitam adalah seburuk-buruknya mena-
ra karena kejahatan. Cepat lakukan...!!" perintah Anak
Langit.
Hartawan Abdi Banda terkesima, ia jelas tidak
mau melakukannya. Karena ia tahu pasti apa yang
bakal terjadi padanya. Tapi sungguh celaka kedua ka-
kinya bergerak dengan sendirinya tanpa mampu dice-
gah. Wajah hartawan itu sepucat kain kapan, tubuh-
nya menggigil. Dan saat itu ia benar-benar memaki
dan menyumpahi kakinya karena terus berjalan ke
arah menara tanpa dapat dicegah. Bukan ke menara
putih, tapi ke menara hitam.
"Duhai celakalah aku...!" jerit hartawan Abdi
Banda ketika tangannya melekat pada menara yang
bentuknya empat persegi, panjang menjulang ke langit.
Sang hartawan menjerit tubuhnya terbakar, pada saat
itu ia melihat seluruh hartanya berdatangan ke arah-
nya dan berubah menjadi api yang membakar dirinya.
Maka tewaslah hartawan Abdi Banda. Yang lain-
lainnya terperangah. Tokoh-tokoh golongan lurus me-
nangis tersedu-sedu.
"Jangan kalian heran, ajal hartawan itu me-
mang sudah sampai hari ini." ujar Anak Langit dituju-
kan pada tokoh-tokoh golongan lurus. "Nah sekarang
tiba pula giliran anak manusia yang bernama Arung
Garda dan Raja Tega. Sepanjang hidup kalian hampir
tidak pernah berbuat kebaikan. Kalian menghilangkan
jiwa-jiwa orang lain yang sesungguhnya milik Gusti Al-
lah. Pilihlah salah satu dari menara itu. Jika memang
kebaikan kalian banyak tentu kalian akan memilih
menara kebaikan, menara putih. Hari ini kalian tidak
akan bisa bicara!"
Baik Raja Tega maupun Arung Garda menangis
keras, tangisan itu berubah menjadi lolongan mengeri-
kan mendirikan bulu roma. Maka tanpa dapat diken-
dalikan lagi sesuai kehendak hati dan perintah otak,
kaki mereka pun melangkah. Tapi langkah mereka bu-
kan menuju ke menara putih, melainkan menuju ke
menara hitam.
"Ya Tuhan, beri aku tangguh untuk menghada-
pi siksaan ini. Aku ingin bertobat!" rintih hati Arung
Garda dan Raja Tega.
Dalam pada itu terdengarlah suara Anak Lan-
git. "Sungguh taubat tidak akan berguna bila ajal su-
dah di tenggorokan. Tidak ada yang dapat menghenti-
kan dan menangguhkan walau barang sedetik!"
Tangan Arung Garda dan Raja Tega terulur, begitu menyentuh, maka menggelegarlah suara petir
menghantam tubuh mereka. Jeritan terputus. Tubuh
mereka cerai berai menjadi serpihan daging yang han-
gus berbau busuk bukan kepalang. Lalim Durjana dan
Pertapa Seribu Abad terkesima, bagaimana pun Raja
Tega telah kehilangan kedua tangan sebelah kaki. Da-
lam keadaan ia sendiri tidak punya kuasa untuk berdi-
ri. Namun pada waktu mendengar perintah Anak Lan-
git ia langsung berdiri, bahkan sisa tangannya yang
buntung menyentuh menara hitam tersebut.
"Sekarang adalah bagian Lalim Durjana dan
Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah, selama ini kalian te-
lah bersekutu dengan Sang Maha Sesat. Di sini dalam
pertemuan ini makhluk terlaknat itu memang belum
terima ganjaran. Ganjaran baru diterimanya setelah
bumi dan langit tergulung, gunung-gunung dihancur-
kan dan manusia beterbangan tanpa guna. Dia adalah
makhluk yang durhaka pada Zat yang menciptakan-
nya. Kau Lalim Durjana selama hidupmu terlalu men-
dewa-dewakan kekuasaan, sedangkan Pertapa Seribu
Abad selain memakan daging sesamanya, juga penuh
kebiadapan. Sekarang bangkitlah, kalian punya hak
untuk menghampiri menara manapun yang kalian su-
kai. Sama seperti yang lainnya, sekarang pula ajal ka-
lian!"
"Apakah ajalku tidak dapat ditangguhkan?"
"Pertapa Seribu Abad, aku tidak punya kuasa
apa-apa untuk memberi tangguh kematianmu. Semua
ini adalah ketetapan Tuhan yang tidak dapat dirobah.
Sekarang jalan...!!" perintah Anak Langit.
Secara aneh Pertapa Seribu Abad yang lumpuh
itu berdiri, Lalim Durjana juga ikut berdiri. Lalu den-
gan menundukkan kepala mereka berjalan ke arah
menara putih. Tapi sungguh aneh, kaki mereka mem-
belok ke menara yang hitam. Sungguh pun mereka
memaksakannya untuk menuju ke menara yang putih,
tetap saja mereka menuju ke menara yang hitam. Tan-
gan mereka pun terulur dan menggapai.
"Bumm!"
"Aaaa...!"
Menjeritlah kedua tokoh ini ketika tubuh mere-
ka tersengat cahaya hitam yang keluar dari menara
itu. Dua-duanya terpelanting, lalu roboh dalam kea-
daan hangus, dada pecah dan isi kepala meleleh.
"Itulah balasan bagi orang-orang yang lalai dan
melampaui batas. Sepeninggalku ini, akan timbul lagi
kesesatan dan angkara murka di bumi ini...! Teruskan-
lah sebar kebaikan di muka bumi, musuh-musuh ka-
lian akan semakin tangguh, bahkan menyaru seperti
kalian. Kitab berisi surat ini akan kubawa. Nah sela-
mat tinggal...!" kata Anak Langit. Ketika Anak Langit
berubah ujudnya menjadi cahaya, maka cahaya itu
kemudian melesat ke angkasa. Suasana di sekitarnya
berubah sebagaimana sediakala. Dua menara lenyap,
hamparan putih juga hilang. Yang terlihat hanya
mayat-mayat para tokoh sesat yang bergelimpangan
dalam keadaan menyedihkan.
Malaikat Penderitaan juga menghilang, Pende-
kar Lugu dan Raja Kodok telah pergi tanpa sepengeta-
huan Suro Blondo. Menyusul sisa-sisa Lima Utusan
Akherat. Yang tertinggal hanya Puspita Sari dan Patih
Luragung, kakek buta itu menangisi diri sendiri.
"Aku tidak diadili, tapi sisa-sisa hidupku dalam
kegelapan seperti ini. Oh, sungguh merupakan pende-
ritaan yang sangat pedih melebihi tertusuk seribu pe-
dang!" rintih sang Patih.
"Puspita, lebih baik kita tinggalkan orang buta
maling ini. Aku takut dia iri melihat kita bermesra-
mesraan" kata Pendekar Blo'on.
"Pendekar geblek, contoh mengerikan saja belum lama terjadi. Kini kau berani pegang-pegang tan-
ganku!" dengus Puspita Sari.
"Walah, aku tidak pernah kesusu (Tergesa-gesa)
kok jika memegangmu! Paling yang wajar-wajar saja
tapi asyiiik...!"
"Orang sinting!" cibir si gadis dengan wajah me-
rona merah.
Suro tergelak-gelak, lalu tawanya menghilang di
kejauhan. Puspita pun seakan tidak rela kehilangan
sehingga ia mengejar. Angin dingin berhembus. Kera-
jaan Ujung Dunia berubah menjadi sepi. Hanya isak
tangis Patih Luragung sesekali terdengar dalam penyesalan.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar