BTemplates.com

Blogroll

Rabu, 26 Februari 2025

PENDEKAR BLO'ON EPISODE PERJALANAN KE ALAM BAKA


matjenuh khairil

 

EPISODE:
I ANAK LANGIT & PENDEKAR LUGU
II SANG MAHA SESAT
III LIMA UTUSAN AKHERAT
IV PERJALANAN KE ALAM BAKA
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya
kebetulan belaka.

PERJALANAN 
KE ALAM BAKA
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting Oleh: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi 
dalam bentuk apapun tanpa ijin 
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Perjalanan Ke Alam Baka

1
Kuda berbulu putih tampak melesat melintas di 
jalan berbatu. Di kanan kiri jalan itu yang kelihatan 
hanya kegersangan dan padang tandus saja. Panas te-
rik seperti memanggang batok kepala, membuat otak 
terasa mendidih. Kabut beracun menghampar di se-
panjang lembah itu. Sementara laki-laki yang duduk di 
atas kuda tunggangan itu tidak lain adalah seorang la-
ki-laki berumur sekitar lima puluh lima tahun. Kumis-
nya putih sebagian, rambutnya pun demikian. Ia me-
makai baju selempang seperti seorang resi. Tampaknya 
dia dalam keadaan tergesa-gesa.
Jalan itu rupanya membelok menuju ke tempat 
yang lebih sulit dan dipenuhi dengan kabut dan lu-
bang-lubang mata air panas.
"Hiya! Hiya...!"
Laki-laki itu menggebah kuda tunggangannya, 
terdengar suara ringkikan keras. Tidak lama kemudian 
kuda itu pun tercebur ke dalam telaga beracun yang 
menganga di depannya.
"Hieekk...!"
Kuda terus meringkik keras memperdengarkan 
suara seperti hewan yang sedang sekarat dan meminta 
tolong pada majikannya. Tidak seorang pun mampu 
menolongnya. Sedangkan penunggangnya sendiri keti-
ka itu terpaksa berjuang menepi untuk menyela-
matkan selembar nyawanya. Setelah bersusah payah, 
laki-laki itu dapat juga naik ke daratan. Tetapi sesuatu 
yang sangat mengerikan terjadi pada dirinya. Ia 
melolong kesakitan. Tubuhnya menggelepar seperti 
seekor ayam dipotong. Rupanya tubuh laki-laki malang 
itu melepuh dan rusak di sana sini. Air telaga selain 
panas mendidih juga mengandung racun yang sangat

ganas. Rambut laki-laki ini rontok, kumisnya, jenggot-
nya dan semua bulu yang ada di tubuhnya rontok se-
perti tersiram air mendidih. Penderitaan laki-laki 
ini semakin bertambah menghebat, karena telaga air 
panas itu mengandung racun pula.
"Akh... taubat. Tuhan, mengapa begini buruk-
nya nasibku! Cabut saja nyawaku, aku tidak dapat 
melaksanakan tugas yang diberikan oleh baginda!" 
rintihnya. Dia tidak lain adalah Patih Luragung, untuk 
lebih jelasnya mengapa Patih ini sampai tersesat di 
Bukit Kematian (Dalam Episode Lima Utusan Akherat). 
Tertatih-tatih laki-laki yang telah kehilangan seluruh 
rambut dan kulitnya ini berdiri. Keadaannya memang 
sangat menyedihkan sekaligus mengerikan sekali. Wa-
laupun keadaannya sudah tidak memungkinkan un-
tuk mendaki ke puncak Bukit Kematian yang menju-
lang tinggi itu, Patih Luragung rupanya memaksakan 
diri juga.
"Tugas ini harus kulakukan, walaupun dengan 
sisa-sisa nyawaku!" desis sang Patih mengerang sakit. 
Sesungguhnya ia sudah tidak punya kemampuan apa-
apa lagi sejak ia bersama kudanya tercebur ke dalam 
telaga air panas. Kulitnya yang mengelupas itu meru-
pakan siksaan tersendiri yang sungguh dahsyat. Na-
mun ketika mengingat keselamatan kerajaan yang 
sangat terancam, maka Patih ini terpaksa melakukan 
pendakian juga. Bila ada batu atau ranting pohon 
mengenai dirinya, maka menjeritlah Patih Luragung 
seperti prajurit perang yang ditembus pedang.
"Keadaanku sama seperti orang yang dikuliti 
hidup-hidup. Sanggupkah aku mencapai puncak sa-
na?" bibir yang sudah kehilangan kumis itu menggeri-
mit sakit. "Akh...!" Patih Luragung tiba-tiba saja jatuh 
terguling, ia langsung tidak sadarkan diri. Angin men-
desir, begitu sepinya Bukit Kematian atau lebih dikenal

dengan Bukit Setan ini. Sehingga suara sehalus apa-
pun tetap terdengar dengan jelas namun menyeram-
kan.
Patih Luragung ternyata tidak sadarkan diri ka-
rena luka-luka melepuh di sekujur tubuhnya. Keadaan 
ini berlangsung cukup lama juga. Setelah hampir dua 
jam, maka dari atas Bukit Kematian terdengar suara 
bergemuruh yang disertai dengan suara ledakan-
ledakan dahsyat. Angin pun berhembus kencang. De-
bu beterbangan, berputar-putar di udara lalu melesat 
ke langit. Tidak lama setelah itu terdengar pula suara 
tawa bekakakan. Suara tawa serasa mengguncang 
puncak bukit dan meruntuhkan daun-daun kering.
Sosok tubuh tampak berkelebat menuruni bu-
kit. Hanya dalam waktu sekedipan saja sosok tubuh 
yang cuma memakai cawat ini telah berdiri di depan 
Patih Luragung yang tidak sadarkan diri. Orang ini 
ternyata berwajah sangat mengerikan, ia adalah mak-
hluk yang mengerikan di kolong langit ini, wajahnya 
seburuk setan. Matanya cuma satu terletak di ten-
gah-tengah hidung. Mulutnya lebar, gigi-giginya yang 
semerah darah tampak runcing tajam.
Melihat pada sosok tubuh Patih Luragung yang 
mengelupas tawanya malah semakin menggema me-
menuhi seantero lembah. Dengan seenaknya tubuh 
sang Patih ditentengnya. Di lain waktu ia telah berge-
rak kembali ke puncak bukit. Sungguh kedatangan 
dan kepergiannya cepat laksana setan gentayangan. 
Tidak lama suasana berubah sunyi kembali.
Patih Luragung yang dalam keadaan setengah 
matang ini langsung dibaringkan di atas lantai dingin. 
Kakek bermata satu ini melangkah menghampiri pera-
pian yang tidak pernah padam selama-lamanya. Di 
atas perapian batu terdapat sebuah kwali tanah beru-
kuran besar berisi air mendidih. Melihat ke dalam

tungku tersebut senyum angkernya terkembang.
"Sebentar lagi aku akan pesta besar! Ha ha 
ha...!" Tawa kakek bertampang iblis ini menggema. La-
lu ia menghampiri Patih Luragung. Pakaian Patih ma-
lang ini dicopotnya, sehingga keadaan Patih jadi mem-
bugil. Pada saat si kakek berjanggut menjela sampai ke 
mata kaki ini melemparkan pakaian sang Patih. Ter-
dengar suara bergemerincing.
"Eh, apalagi itu?" desisnya. Lalu dihampirinya 
benda terbuat dari logam itu. Benda berbentuk bulat 
itu semerah darah. Si kakek terkejut. Matanya yang 
mengerikan terbelalak, ia mengamati benda bulat itu 
dengan teliti. Bibirnya yang lebar bersungut-sungut.
"Benda ini milik Sang Maha Sesat?! Sungguh 
tidak dapat kupercaya? Batal keinginanku untuk me-
nikmati daging rebus yang lezat, heh... jadi orang ini 
diutus oleh Sang Maha Sesat. Permainan apalagi ini? 
Pasti ada masalah yang sangat besar sedang terjadi. 
Tapi bagaimana bapak moyangnya iblis dan setan itu 
mau mencampuri urusan manusia? Ha ha ha... aku 
mengerti sekarang. Dia pasti sedang mencari pengikut 
lagi dalam jumlah yang lebih besar. Ini sesuatu yang 
sangat menarik. Aku akan ke sana! Tapi orang malang 
ini harus kubuat sadar dulu, nanti ku sembuhkan!" 
gumamnya sinis.
Siapa sesungguhnya kakek bermata satu bergi-
gi macam gergaji ini? Dia seperti sudah sama kita ke-
tahui (Dalam episode Lima Utusan Akherat). Dia tiada 
lain adalah Pertapa Seribu Abad. Masih tergolong sa-
habat Sang Maha Sesat di bumi ini. Usianya sudah ra-
tusan tahun. Tapi belum juga mati, dalam umur yang 
panjang itu dihabiskannya untuk bertapa. Kebiasaan-
nya sangat aneh yaitu memakan daging manusia se-
tiap seminggu sekali. Ia hanya meninggalkan tempat 
pertapaannya apabila membutuhkan korban baru.

Setelah memperhatikan Patih Luragung cukup 
lama, Pertapa Seribu Abad mengambil sepotong kayu 
kecil berwarna merah darah. Ia mulai menyembuhkan 
tubuh sang Patih hingga babak belur. Si Patih mengge-
liat, kemudian melolong-lolong kesakitan seperti seekor 
kerbau yang disembelih.
"Akh... hentikan, aku hendak kau apakan?"
"Diam?!" Pertapa Seribu Abad membentak ge-
ram.
"Bagaimana aku bisa diam? Kau hendak mem-
bunuhku rupanya?" tanya sang Patih terus melolong-
lolong.
"Kalau kau mau hidup memang beginilah cara 
menyembuhkanmu!" dengus si kakek mengerikan. Pa-
tih Luragung menggeliat, menggelepar. Pemukulan itu 
terus berlangsung hingga pada akhirnya terjadilah se-
suatu yang sangat sulit dipercaya. Sekujur tubuh sang 
Patih yang terkena pukulan timbul warna merah se-
perti darah. Warna merah itu selanjutnya menghilang. 
Sehingga pada akhirnya tumbuhlah kulit-kulit ba-
ru di sekujur tubuhnya. Keadaan Patih Luragung 
kembali seperti sediakala. Hanya rambutnya saja yang 
tidak dapat tumbuh kembali, kumisnya, jenggotnya ju-
ga tidak tumbuh.
Kejut hati Patih Luragung bukan alang kepa-
lang. Ia sama sekali tidak menyangka kalau dirinya 
dapat sembuh seperti sediakala. Hanya sang Patih ter-
paksa merelakan seluruh rambutnya yang tidak 
mungkin tumbuh kembali lagi.
"Benar kau diperintahkan Sang Maha Sesat 
kemari?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Benar, Ki Pertapa. Sang Maha Sesat mengha-
rap kehadiran Anda di kerajaan Ujung Dunia. 
Akan ada peristiwa besar di sana." jelas Patih Lura-
gung dengan wajah tertunduk.

"Kerajaan Ujung Dunia diperintah oleh Raja La-
lim Durjana, betul?" tanya Pertapa Seribu Abad.
"Betul."
"Dia raja paling kejam di dunia, betul?"
"Juga betul, Ki." sahut sang Patih.
"Putrinya cantik-cantik, selirnya banyak. Beliau 
punya sahabat keparat hartawan Abdi Banda, betul?"
"Benul juga, eeh... betul juga, Ki." jawab laki-
laki ini sambil angguk-anggukkan kepala.
"Ha ha ha...! Ketahuilah, sesungguhnya jika 
cuma Lalim Durjana yang meminta bantuanku, tentu 
aku menolak. Namun mengingat Sang Maha Sesat 
adalah sahabatku. Dengan terpaksa aku meneri-
manya. Nah, sekarang kembalilah kepada rajamu...!" 
"Tapi...."
"Goblok. Aku tahu apa yang mau kau ucapkan. 
Kau hendak mengatakan apakah aku menerima pang-
gilan ini atau tidak bukan? Ketahuilah, kecepatanmu 
berlari sama dengan kecepatanku berjalan. Kecepatan-
ku berlari lebih cepat lagi dari hembusan topan. Jika 
kau memilih berjalan bersamaku, maka begitu sampai 
di kerajaan nyawamu akan putus dan kau langsung 
mampus. Pergi...!! Sebelum kesabaranku habis, Patih 
tuyul gundul." bentak Pertapa Seribu Abad.
Bentakan suara sang Pertapa saja sudah mem-
buat tubuh Patih Luragung tersentak kemudian ter-
banting. Laki-laki setengah baya ini jadi ciut nyalinya. 
Dengan cepat ia beringsut menjauh, lalu putar langkah 
dan mulai menuruni Bukit Kematian.
"Tolol, jangan lewat situ lagi, apa hendak cari 
mampus!"
"Jadi lewat mana...?" tanya Patih tanpa berani 
menoleh lagi.
"Ambil jalan yang di sebelah kiri!"
Patih Luragung pun mengambil jalan di sebelah

kiri. Pertapa Seribu Abad memperhatikan kepergian-
nya dengan tatapan matanya yang cuma satu. Lalu 
terdengar suara tawanya tergelak-gelak.
* * *
Laki-laki gendut pendek dan hanya memakai 
cawat ini terus berlari sambil mengempit kepala Pan-
glima Arung Garda. Sesekali ia menoleh ke belakang. 
Wajahnya yang mirip dengan muka kodok tampak ke-
takutan sekali. Bagaimana pun seumur hidupnya ia 
baru sekali ini ia melihat ada orang yang telah kehilan-
gan kepala, bahkan kepala itu ia sendiri yang memba-
wanya. Namun orang yang telah kehilangan kepala itu 
masih bertahan hidup bahkan terns mengikutinya ke-
mana pun ia pergi.
"Gher... grok... grok...!" Batang leher yang ter-
putus, serta lubang tenggorokan yang tersumbat darah 
kental itu terus mengeluarkan suara seakan meminta 
pada Raja Kodok supaya mengembalikan kepalanya 
yang terus dikempit sambil dibawa berlari.
"Celaka?! Benar-benar celaka Panglima ini. Ke-
palanya sudah kubawa tapi ia masih mengejarku te-
rus. Hhh, bagaimana ini? Apakah kepala ini harus ku-
berikan?! Tapi menurut Pendekar bertampang ketolol-
tololan itu aku harus membawa kepala ini ke kota raja. 
Entah apa maksud tujuannya aku tidak tahu?" kata 
Raja Kodok dalam hati.
Pemuda yang sekujur tubuhnya selalu basah 
seperti seekor kodok itu terus berlari dan berlari. Se-
mentara kodok-kodok yang berada di dalam sumpitnya 
mengeluarkan bunyian aneh seakan memberi seman-
gat pada Raja Kodok agar terus berlari.
"Gher... krok... krok kokok...!" Tubuh tanpa ke-
pala itu berkata (Kembalikan kepalaku, kepalaku itu
mau dibawa kemana? Kembalikan cepat orang jelek!). 
Mana Raja Kodok perduli. Malah larinya semakin ce-
pat, walaupun terkadang membuatnya menggelinding. 
Panglima Arung Garda pun mengejar dengan pontang-
panting.
Setelah menempuh jarak sekian jauhnya. Maka 
sampailah Raja Kodok di alun-alun istana. Di sana ia 
melihat seorang pemuda memakai baju putih dan seo-
rang kakek tua berpakaian putih pula sedang me-
nyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan di ha-
laman. Begitu melihat kemunculan Raja Kodok, maka 
pemuda baju putih tersentak kaget.
"Gusti Allah?! Maha besar Engkau dengan sega-
la keanehan yang kau ciptakan. Kepala siapa yang di-
bawanya?" desisnya agak tertegun. Si kakek yang tidak 
lain adalah Malaikat Penderitaan lain lagi. Ketika meli-
hat kehadiran Raja Kodok sambil mengempit kepala 
Panglima di keteknya malah menangis....
"Oh... oh.... Gusti...! Kulihat ada orang jelek 
membawa-bawa kepala tanpa badan membuat aku 
menderita." katanya di tengah-tengah isak tangisnya. 
Lalu muncul badan tanpa kepala menunjuk-nunjuk 
Raja Kodok. Tangis Malaikat Penderitaan semakin 
menghiba-hiba. "Ini lagi, yang ini lebih celaka. Sesung-
guhnya manusia itu sering memperbodoh diri sendiri. 
Menuntut ilmu di jalan yang sesat, setan gurunya, iblis 
menjadi petunjuknya. Manusia tidak dapat melawan 
kodrat, tidak bisa menentang takdir. Ilmumu yang me-
nahan rohmu terpisah dari ragamu. Orang paling jelek 
muka kodok. Serahkan kepala itu padaku!!" perintah 
Malaikat. Penderitaan.
Raja Kodok menjadi ragu-ragu. Ia teringat pe-
san Pendekar Blo'on. Apa yang harus dilakukannya ki-
ni? Menyerahkan kepala Panglima Arung Garda pada 
kakek yang suka menangis itu?

"Orang tua gagah cengeng. Bagaimana aku bisa 
mempercayaimu? Sedangkan Pendekar rambut macam 
rambut jagung meminta ku agar membawa kepala ini 
kemari. Dia tidak pesan supaya aku menyerahkan ke-
pala ini padamu!"
"Hu hu hu! Orang yang kau maksudkan pasti-
lah Anak Ajaib itu? Si konyol yang punya senjata dapat 
merintih-rintih. Aku dan pemuda ini masih terhitung 
sahabatnya. Serahkan kepala itu padaku?" Malaikat 
Penderitaan mengulangi perintahnya. Raja Kodok men-
jadi bingung. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Arung 
Garda untuk merebut kepalanya kembali. Kepala terja-
tuh, begitu menggelinding di atas tanah matanya lang-
sung terbuka, mulutnya menyeringai lalu terdengar 
suara tawanya yang menyeramkan. Raja Kodok menu-
bruk kepala tersebut. Namun sudah terlambat, sang 
kepala telah melayang dan melekat pada potongan le-
hernya. Begitu Arung Garda mengusap-usap bekas lu-
ka itu maka leher dan kepalanya menyatu seperti se-
diakala.
***
2
Pemuda baju putih yang tidak lain adalah 
Wahyu Sakaning Gusti alias Pendekar Lugu terkejut 
melongo. Malaikat Penderitaan langsung melompat. 
Gerakannya cepat seperti kilat. Di lain waktu ia sudah 
dapat menotok urat gerak di tubuh Panglima kejam ini. 
Sehingga membuatnya tidak mampu bergeser ke ma-
na-mana.
"Ada yang ingin kau katakan, Panglima sebe-
lum Anak Langit datang menjumpai kita dalam rangka

membuka Surat Kedamaian Dunia?" tanya Malaikat 
Penderitaan.
"Ada!" sahut Arung Garda. "Kau adalah manu-
sia paling pengecut. Kelak jika aku terbebas dari toto-
kan ini satu hal yang ingin kulakukan adalah me-
menggal kepalamu!" dengus laki-laki itu sengit.
"Hu hu hu...! Aku sangat menderita sekali 
mendengar ucapanmu. Tapi kau lebih menderita lagi 
karena niatmu tidak akan tercapai!"
"Huh, bagaimana kau tahu manusia busuk?"
"Tuhan Yang Maha Tahu. Ajal kematianku bu-
kan di tanganmu, ini menyangkut ketentuanNya. Agar 
kau tahu aku kelak akan mati bila di dunia ini muncul 
manusia yang punya empat mata empat telinga empat 
lubang hidung dua mulut. Aku memang sedih, aku 
menderita. Tapi aku lebih menderita lagi jika tidak ma-
ti-mati. Huk huk huk!"
"Manusia edan!" maki Panglima Arung Garda. 
"Aku memang penuh keedanan, namun kegi-
laanku jauh dari angkara murka yang membuat aku 
menderita, yang membuat orang lain tersakiti dan yang 
menyeret manusia dalam jurang penderitaan. Kau ada-
lah seorang pemimpin. Apa nanti jawabmu dalam pen-
gadilan negeri akherat tentang apa yang kau pimpin?!"
"Persetan!" dengus Panglima Arung Garda.
"Ya, kau memang sahabat setan, kau salah sa-
tu pengikutnya. Itu sebabnya kau selalu menyebut-
nyebut makhluk terkutuk itu. Seret dia dan kumpul-
kan bersama si Raja Tega...!"
Maka Raja Kodok tanpa bicara apa-apa lagi 
langsung memanggul Arung Garda kemudian didu-
dukkan dekat seorang laki-laki berwajah angker yang 
telah kehilangan dua tangan dan sebelah kaki. Untuk 
lebih jelasnya apa yang telah terjadi dan menimpa diri 
tokoh dari Sampuran Harimau ini (Ikuti Episode Lima

Utusan Akherat). Panglima Arung Garda tentu kaget 
setengah mati melihat Raja Tega dalam keadaan men-
genaskan. Laki-laki yang telah kehilangan tangan dan 
kaki itu seakan kehilangan kewibawaannya lagi.
"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya 
Arung Garda pelan.
"Bocah Setan berambut merah itu. Daripada 
begini nasibku lebih baik aku mati saja. Sayang aku 
tidak bisa melakukannya." Raja Tega menggeram.
"Begitu mudahnya manusia memilih mati. Bek-
al kebaikan apa yang sudah kau perbuat, Raja Tega? 
Apa kau pikir segala perbuatan baik buruk manusia 
kelak tidak ditanya?" kata Malaikat Penderitaan yang 
rupanya mendengar keluh kesah Raja Tega.
Laki-laki paling sadis ini bungkam, hanya ma-
tanya saja memandang pada si kakek dengan melotot. 
Rupanya ia sangat geram sekali. Malaikat Penderitaan 
kemudian beralih pada Raja Kodok. 
"Anak manusia. Siapakah engkau?"
"Aku... tidak punya nama yang pasti. Guruku 
menyebutku Raja Kodok!" jawab pemuda gendut pen-
dek muka kodok.
"Siapa gurumu?" 
"Guruku Bidadari Sungai Ilir."
Malaikat Penderitaan memandang ke langit. 
"Aku pernah mendengar manusia misterius itu. Hem, 
lalu mengapa kau sampai ke sini, apa yang kau cari?!" 
"Aku ini punya dendam yang tidak terkira. Aku 
mencari hartawan Abdi Banda. Orang yang telah 
membuat aku terlahir ke dunia, orang yang juga mem-
buat ibuku sengsara dan bunuh diri!" geram Raja Ko-
dok.
"Siapakah nama ibumu?" tanya Pendekar Lugu.
"Ararini." sahut Raja Kodok.
Sepontan paras pemuda baju putih berwajah

polos seakan tanpa dosa ini berubah memucat. Sekilas 
membayang masa lalu dalam ingatannya.
"Benarkah ibumu telah bunuh diri?" tanya 
Pendekar Lugu lagi.
"Benar."
"Semoga Tuhan mengampuni semua dosanya. 
Jika nanti kau telah bertemu dengan hartawan Abdi 
Banda, kau hendak kemana?" 
"Aku mau mencari paman Wahyu Sakaning 
Gusti. Konon ia adalah kekasih ibuku. Aku ingin minta 
maaf pada orang itu atas ketidak setiaan ibu dan juga 
minta maaf atas kesalahan kakekku."
"Ibumu tidak bersalah. Ia sekedar berbakti dan 
menyenangkan hati orang tua. Kesalahan kakekmu 
dapat dimaafkan, lalu apa keinginanmu yang lain?" 
suara Pendekar Lugu biasa-biasa saja tanpa ekspresi 
atau pun gejolak jiwa.
"Aku ingin berguru padanya. Menurut yang ku-
dengar paman Wahyu Sakaning Gusti tidak pernah 
marah, tidak sombong, tidak iri, tidak dengki dan tidak 
suka mencela orang lain. Sedangkan aku adalah orang 
yang masih penuh amarah, penuh dendam, dan penuh
kebencian. Bahkan pada diri sendiri pun aku benci."
"Nanti kau pasti akan bertemu dengan orang 
yang kau cari. Sebagai tanda niat baikmu itu, apakah 
kau mau membantu kami meringkus raja Lalim Dur-
jana dan kawan-kawannya yang bersembunyi di istana 
ini?"
"Tentu saja aku mau. Tapi aku harus tahu, sia-
pakah kau dan siapa pula kakek yang selalu meren-
gek-rengek seperti anak kecil itu?" tanya Raja Kodok.
"Aku Pendekar Lugu. Sedangkan kawan kita 
yang suka menangis itu adalah Malaikat Penderitaan." 
jelas si pemuda.
Raja Kodok anggukkan kepala. "Lalu apakah
sekarang aku harus mulai mencari raja Lalim Durja-
na?"
"Kau ikuti kami, memeriksa setiap lorong-
lorong yang ada secara bersama-sama." tegas Pendekar 
Lugu.
"Bagaimana dengan kedua setan pelayangan 
ini?" Raja Kodok kelihatan ragu-ragu.
"Biarkan saja, mereka tidak dapat pergi kema-
na-mana!" Malaikat Penderitaan yang menyahuti. Me-
reka bersama-sama memasuki istana yang besar itu. 
Apa yang mereka lakukan ini terutama bagi Pendekar 
Lugu dan Malaikat Penderitaan adalah untuk yang ke-
tiga kalinya setelah pencarian pertama dan kedua 
mengalami kegagalan.
* * *
"Masih sakitkah lukamu?" tanya Pemuda baju 
biru berambut hitam kemerah-merahan yang duduk di 
samping si gadis. Sebagaimana telah sama kita ketahui 
gadis berbaju hitam ringkas ini terluka setelah berta-
rung dengan Panglima Arung Garda.
"Kurasa sudah agak baikan sedikit. Luka-luka 
ini cepat mengering. Aku merasa berhutang nyawa pa-
damu." sahut Puspita Sari alias Rana Unggul.
"Hust, aku tidak menghutangkan apa-apa, kok. 
Yang punya nyawa kan Gusti Allah, bersukurlah kepa-
daNya?!" kata murid Penghulu Siluman Kera Putih dan 
Malaikat Berambut Api ini sambil membalut luka me-
manjang di bagian iga Puspita.
Puspita memandang cukup lama pada pemuda 
bertampang ketolol-tololan ini. Semakin ia memandang 
pada wajah tampan ketolol-tololan tersebut. Maka ha-
tinya pun semakin bertambah resah.
"Betulkanlah pakaianmu. Semakin lama aku

memandangmu, aku sih tahan-tahan saja. Tapi adikku 
tentu tersiksa." ujar Suro Blondo tampak menahan se-
nyum.
"Siapa adikmu?"
"Adik kecilku yang selalu ikut kemana saja aku 
pergi. Ha ha ha...!"
"Pemuda gendeng! Bicaramu selalu ngawur dan 
nyerempet-nyerempet terus!" gerutu Puspita bersun-
gut-sungut. Seraya membenahi pakaiannya yang agak 
berantakan. Wajahnya berubah kemerah-merahan.
"Yang nyerempet itu selalu membuat deg-
degan, penasaran sekaligus menegangkan." Sama se-
kali Puspita tidak menanggapi. Perlahan ia bangkit 
berdiri. Sementara itu Utusan dari Kapuas, Madura 
Indra Giri, telah selesai menguburkan mayat-mayat 
anggota mereka. Mereka ini sebagaimana kita ketahui 
tewas di tangan Panglima Arung Garda.
"Mari kita hampiri para utusan itu!" kata Si Bo-
cah Ajaib Suro Blondo. Si konyol membimbing Puspita 
Sari, gadis itu menceritakan semua tujuan para Lima 
Utusan Akherat pada si pemuda. Suro angguk-
anggukkan kepala. Kini ia semakin mengerti bahwa 
sebenarnya para Utusan itu orang-orang baik yang pa-
tut didukung keinginannya.
"Mmm... sukurlah Nona dalam keadaan baik-
baik saja. Kami semua sudah cemas. Panglima iblis itu 
benar-benar setan. Ilmunya aneh, badan sudah kehi-
langan kepala masih bisa jalan-jalan. Benar-benar gila. 
Aku hampir nggak percaya kalo tidak lihat sendiri!" ka-
ta Kalingga Jati penuh rasa takjub. 
"Anda sekalian, sebaiknya sekarang kita pergi 
ke Ujung Dunia."
"Pendekar, bagaimana pun kami harus mem-
bawa jenazah Manggar Kesuma, Bias dan Ubudana. 
Karena walau cuma mayat mereka juga harus me
nyaksikan apa yang ingin disampaikan oleh Anak Lan-
git." kata Kalingga Jati wakil dari Ujung Kulon yang te-
lah kehilangan ketuanya, yaitu Ubudana.
Suro garuk-garuk kepala. "Mungkinkah orang 
yang sudah menjadi mayat bisa menjadi saksi. Se-
dangkan lawan-lawan yang akan kita hadapi pun tidak 
sedikit. Apakah mereka tidak merepotkan?" tanya Pen-
dekar Mandau Jantan.
"Mayat pun bisa menjadi saksi." Dunga ikut bi-
cara. "Guru kami mengatakan bahwa mayat pun bisa 
menjadi saksi. Karena roh mereka sebelum dikubur-
kan jenazahnya tentu akan mengikuti kemana pun ja-
sad kasarnya dibawa pergi."
"Baiklah. Jika memang sudah begitu mau ka-
lian. Tapi hati-hatilah, siapa tahu mayat kawan-kawan 
kalian bisa ngompol atau memberaki kalian. Aku terus 
terang saja tidak bisa tanggung jawab." kata si konyol.
"Bercanda sih bercanda. Tapi jangan keterla-
luan!" Puspita mengingatkan.
Pendekar Blo'on langsung tutup mulutnya ra-
pat-rapat. 
* * *
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, te-
gang dan menyeramkan itu. Maka Patih Luragung 
sampai pula di ujung jalan menuju kota raja. Suasana 
setelah terjadi perang besar-besaran di kota raja me-
mang lengang sekali. Kini semua orang berubah me-
musuhi pihak kerajaan. Terlebih-lebih rakyat yang se-
lama ini hidupnya tertindas penuh penderitaan. Patih 
Luragung pun tidak berani muncul secara terang-
terangan. Ia tidak ubahnya seperti seekor tikus. Yang 
mudah curiga terhadap sesuatu yang bergerak di seki-
tarnya.

"Aku tidak tahu apakah paduka sekarang ini 
berada dalam keadaan aman atau malah sebaliknya. 
Mudah-mudahan saja Malaikat Penderitaan tidak 
mengetahui tempat persembunyiannya!" kata Patih 
yang sekarang telah berubah gundul ini penuh rasa 
harap.
Patih kemudian membelok di jalan kecil menu-
ju lorong rahasia yang menghubungkan ke tempat per-
sembunyian raja Lalim Durjana di bawah tanah. Be-
lum sempat Patih mencapai lorong utama. Tiba-tiba 
saja ia merasa ada hembusan angin menerpa wajah-
nya. Laki-laki ini tersentak kaget. Memandang jauh ke 
depannya, terlihat kabut putih menghampar di depan-
nya. Lalu terdengar suara seseorang....
"Patih, bagus kau telah melaksanakan tugas-
mu. Tapi kuingatkan padamu sebaiknya jangan kau 
masuk ruangan rahasia. Musuh-musuh kita sudah 
mulai berdatangan. Kita harus menjalankan sebuah 
siasat yang baik. Mari ikuti aku!"
"Siapa kau?" tanya Patih Luragung curiga.
"Aku sang Maha Sesat. Jangan banyak tanya-
tanya lagi. Ikutilah aku!" perintah suara tadi.
Patih rupanya memang merasa tidak punya pi-
lihan lain lagi. Ia terpaksa mengikuti perintah Sang 
Maha Sesat. Tidak lama kemudian mereka sudah 
sampai di kamar-kamar peraduan putri raja.
"Salah satu kelemahan laki-laki adalah tidak 
tahan menghadapi godaan perempuan cantik. Nah se-
karang kita coba, mudah-mudahan saja usaha ini 
mendatangkan hasil." Sang Maha Sesat mengisiki. 
"Nah sekarang kau bersiap-siaplah meringkus siapa 
saja yang masuk dalam jebakanku!"
Meskipun belum mengerti benar apa yang akan 
dilakukan makhluk alam gaib itu. Patih Luragung ke-
mudian bersembunyi di tempat yang aman. Sementara

kabut tadi sudah menyelinap memasuki kamar pera-
duan putri raja.
Pada waktu itulah terdengar suara langkah-
langkah mendekat ke arah kamar dimana kabut tipis 
tadi menghilang. Rupanya orang yang datang ini tidak 
lain adalah Si Raja Kodok. Sampai di depan pintu ia 
tertegun. Suara-suara sumbang kodok dalam kepis 
terdengar.
"Mengapa hatiku berdebar-debar. Apa mungkin 
raja bersembunyi di sini?" pikirnya. Dengan agak ragu-
ragu Raja Kodok mendorong pintu. Karena pintu da-
lam keadaan terkunci dari dalam. Maka ia mendo-
braknya dengan melepaskan pukulan dahsyat 'Kodok 
Menyanyi Hujan Menggila'.
"Bumm!"
Pintu kamar hancur berantakan. Raja Kodok 
melompat ke dalamnya. Ia terkesiap. Di atas ranjang ia 
melihat Puspita dalam keadaan setengah telanjang. 
Kaki dan tangannya dalam keadaan terikat.
"Tol... tolonglah aku...!" rintih gadis itu. 
"Siapa yang telah melakukan ini?" tanya Raja 
Kodok yang sudah datang menghampiri.
"Aku tidak tahu, aku dibokong. ia... ia hampir 
saja memperkosaku!" jawab Puspita, Raja Kodok lang-
sung melepaskan tali-tali yang mengikat tangan serta 
kaki Puspita. Begitu terbebas, gadis itu langsung me-
meluk Raja Kodok sehingga dadanya yang putih tidak 
terbalut apa-apa menekan keras dada Raja Kodok.
"Aku berterima kasih sekali padamu, Raja Ko-
dok. Aku hampir saja mendapat malu besar." desah si 
gadis tanpa melepaskan pelukannya.
"Aku heran, kemana perginya orang yang telah 
membuatmu malu?" tanya Raja Kodok.
"Di... dia langsung pergi begitu mendengar sua-
ra langkah-langkah orang kemari." Raja Kodok yang
setengah keheranan-heranan ini segera menjauhkan 
dirinya dari Puspita. Ia baru saja hendak mengatakan 
agar Puspita membenahi pakaiannya. Pada saat itulah 
Puspita dengan gerakan cepat menutup hidung Raja 
Kodok dengan telapak tangannya. 
"Haaar...!" Raja Kodok meronta.
Tapi usahanya ini sudah terlambat. Kabut tipis 
beracun telah terhirup olehnya. Raja Kodok terhuyung, 
lalu ia tersungkur tidak sadarkan diri. Puspita, terse-
nyum, kemudian tertawa mengakak. Puspita palsu ini 
kemudian memanggil Patih Luragung.
***
3
"Paman Patih, lihatlah kemari?! Dia merupakan 
bagianmu untuk mengamankannya. Setelah mereka 
semua terkumpul, seret ke alun-alun untuk menerima 
hukuman pancung!" dengus Sang Maha Sesat yang ki-
ni telah raib dari pandangan mata.
"Hmm, aku suka sekali melaksanakan tugas 
ini!" gumam Patih Luragung. Ia mengeluarkan segu-
lung tali dari balik pakaiannya. Maka tidak lama ke-
mudian Raja Kodok pun sudah dalam keadaan terikat. 
Kodok-kodok, dalam kepis memberontak melihat 
tuannya mendapat perlakuan sedemikian rupa. Tentu 
saja makhluk dua jenis alam ini tidak dapat keluar, 
karena penutup kepis dalam keadaan terkunci. Patih 
menyeret Raja Kodok untuk dibawanya ke tempat yang 
aman.
Sementara itu di ruangan lain, Pendekar Lugu 
masih belum menemukan apa-apa. Tadi mereka me-
mang sepakat untuk berpencar, namun sekarang timbul keragu-raguannya. Jangan-jangan jalan yang me-
reka tempuh malah membahayakan diri mereka. Pen-
dekar Lugu keluar dari kamar peraduan raja. Ia berge-
gas menuju ke kamar lainnya. Tiba-tiba saja ia melihat 
Raja Kodok dalam keadaan terikat terlentang di atas 
lantai tidak sadarkan diri.
"Raja Kodok?!" serunya kaget sekali.
Pendekar Lugu tanpa merasa curiga langsung 
menghampiri. Setelah memeriksa keadaan Raja Kodok. 
Maka semakin pucatlah wajahnya.
"Dia terkena racun jahat Sang Maha Sesat! Ti-
dak kusangka dia masih berkeliaran di istana ini. Ba-
gaimana cara aku menyembuhkannya?!" desis Pende-
kar Lugu cemas.
Baru saja Wahyu Sakaning Gusti hendak mem-
buka tali yang mengikat Raja Kodok. Pintu di bela-
kangnya menutup dengan suara keras. Cepat sekali
Pendekar Lugu menoleh ke belakang. Di saat itulah 
angin kencang berhembus disertai menebarnya bau 
wangi. Pendekar Lugu tiba-tiba saja terguling. Ia telah 
menghirup uap beracun yang sangat ganas. Nasibnya 
tidak ubahnya dengan kejadian yang dialami oleh Raja 
Kodok. Sosok Raja Kodok tadi menghilang, lalu terden-
gar suara tawa bekakakan penuh kemenangan.
"Sekarang hanya tinggal Malaikat Penderitaan! 
Orang satu ini sulit. Tentu dia tidak dapat ditipu, pa-
dahal Surat Kedamaian Dunia itu harus dapat kuambil 
agar isinya tidak dapat diketahui oleh orang-orang 
yang ingin menempuh jalan yang lurus!" kata Sang 
Maha Sesat. Kini muncul lagi Patih berkepala botak, ia 
pun melakukan tugasnya untuk yang kedua kalinya.
Sang Maha Sesat dalam gaibnya bergerak ke 
arah lain. Jika Malaikat Penderitaan saat itu sudah 
menemukan jalan menuju ke dalam ruangan rahasia. 
Maka pada waktu bersamaan pula Suro Blondo dan

kawan-kawannya sudah sampai di gerbang istana.
"Di sini terasa sepi sekali!" celetuk Dunga sete-
lah memperhatikan situasi di sekeliling mereka.
"Sepi menghanyutkan." sahut Suro. Keningnya 
berkerut-kerut, mulutnya termonyong-monyong. "Li-
hat... bukankah dua ekor kunyuk itu yang hampir 
membuat kita semua celaka? Eeh... ini yang aneh! Ke-
pala Arung Garda kok menempel lagi, herannya lagi 
dia dan Raja Tega seperti tidak berdaya. Coba kita li-
hat...!"
Kedelapan orang ini langsung mendatangi. Me-
lihat kedatangan mereka Panglima Arung Garda melo-
tot, sedangkan Raja Tega meludahi muka Pendekar 
Blo'on.
"Sial! Mestinya kau juga kehilangan gigi serta 
mulut. Ludahmu bau dosa. Kalau saja aku tidak malu 
sudah kukencingi kau punya muka!" gerutunya. 
"Kau...!" Suro menunjuk Arung Garda. "Bagai-
mana kepalamu yang sudah kucopot itu dapat me-
nyambung kembali?"
"Hh, tanyakan pada setan-setan di neraka!" 
dengus Panglima sinis. "Ingat! Jika aku terbebas dari 
pengaruh totokan jahanam ini, kaulah yang paling per-
tama kukirim ke neraka!" ancamnya. Suro menyerin-
gai. Ia mendekat, lalu ditariknya dua helai kumis 
Arung Garda.
"Akkh... bangsat sialan. Anak Setan...!" maki 
Panglima telenggas ini sambil meringis-ringis kesaki-
tan.
"Nah kucabut kumismu saja sudah kesakitan. 
Bagaimana kau bisa dengan sesuka hati menyakiti 
orang lain, membunuh manusia tanpa sebab. Apa kau 
kira nyawa manusia milik nenek moyangmu?" dengus 
murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Be-
rambut Api dingin.
"Sudahlah, biarkan saja. Sebaiknya kita susul 
kawan-kawan kita yang mungkin sedang berada di 
dalam sana." sergah Puspita Sari.
"Kau dan para utusan ini boleh bersama-sama 
memberitahukan kedatangan kita pada Malaikat Pen-
deritaan. Kurasa mereka sudah tidak sabar menunggu 
kedatangan Anak Langit!"
"Kau sendiri?"
"Biarkan aku tetap berada di sini menjaga sega-
la kemungkinan."
"Tuan Pendekar, menurutku keadaan di istana 
ini sudah aman. Sebaiknya kita semua masuk saja ke 
dalam." usul Dendra.
"Mana boleh begitu. Aku ragu raja Lalim Durja-
na minta bantuan sekutu-sekutunya. Jika kita semua 
berada di dalam. Tentu kita tidak akan tahu jika se-
waktu-waktu musuh datang kemari!"
"Dia benar." Yang bicara adalah Dunga. "Kita 
harus menjaga segala kemungkinan. Karena bukan 
mustahil raja telah melarikan diri, untuk kemudian 
kembali lagi ke sini dengan membawa bantuan."
Alasan yang dikatakan Dunga memupus kera-
gu-raguan di hati para utusan juga hati Puspita. Sete-
lah para utusan memasuki istana, kini hanya tinggal 
Suro saja yang berada di alun-alun istana. Ia mondar-
mandir sambil mengawasi tawanan. Namun bila orang-
orang ini memperhatikannya. Maka Pendekar Blo'on 
cepat-cepat memalingkan perhatiannya ke arah lain.
* * *
Pada waktu itu terdengar suara tangis sayup-
sayup di kejauhan. Angin tidak berhembus, matahari 
redup. Suasana sunyi seakan berada di sebuah daerah 
tanpa kehidupan. Semakin jelas sosok yang menangis

itu. Maka semakin kuatlah suara tangisnya. Hati se-
tiap orang tercenung, jiwa terguncang. Raja Tega, Pan-
glima Arung Garda tidak terkecuali Pendekar Blo'on 
sendiri ikut terseret dalam tangis. Maka menangislah 
mereka sejadi-jadinya. Keadaan mereka saat itu seperti 
orang yang sedang menyesali sesuatu. Terbayang dosa-
dosa yang mereka perbuat di masa lalu.
Raja Tega yang ikut terseret dalam tangis me-
nyedihkan itu kini meraung. Tidak ubahnya seperti 
orang yang kehilangan kekasih yang sangat dicin-
tainya. Pendekar Blo'on kerahkan tenaga dalam untuk 
menghilangkan pengaruh tangis yang menyedihkan 
itu. Namun ia sama sekali tidak berdaya melakukan-
nya. Ia duduk bersila, lalu pejamkan matanya. Diko-
songkannya hati, jiwa dan pikirannya. Sementara 
mulutnya terus termonyong-monyong.
Sekejap entah darimana datangnya. Di atas
tembok istana telah duduk seorang laki-laki tua me-
makai kupluk putih. Di tangannya memegang tasbih. 
Wajahnya tertunduk, jenggot panjang dan ia terus me-
nangis tiada henti.
"Huuuuuu... hu hu hu...! Kudengar keluh ma-
tahari, ia memancarkan cahaya penerang bumi yang 
sia-sia, karena begitu banyak manusia lalai menyem-
bah TuhanNya! Kudengar pula jeritan bumi, begitu be-
ratnya ia mengemban beban manusia-manusia berge-
limang dosa. Matahari diperbudak manusia, bumi diin-
jak-injak orang-orang kotor. Seandainya kalian tahu 
pasti apa yang aku ketahui. Tidak ada kesempatan ba-
gi kalian untuk tertawa dan menyia-nyiakan umur. Ka-
lian lebih banyak menangis daripada tertawa. Hidup 
delapan puluh lima tahun, hatiku selalu risau memi-
kirkan dosa-dosaku sendiri dan dosa orang lain. Ada-
kah manusia pernah berpikir untuk apa dia hidup, 
buat apa dia dilahirkan? Apakah hanya untuk mengurusi perut, memperturutkan hawa nafsu atau menjadi 
budak setan?! Hu hu hu...! Sekali-kali tidak demikian, 
jika kau mau berpikir. Manusia dilahirkan untuk ber-
bakti pada Gusti Allah. Aku kasihan... manusia keba-
nyakan lalai karena disibukkan mengurusi harta ben-
da dan mengumpulkan anak-anak. Harta yang kau 
kumpulkan dengan susah payah itu kelak akan kau 
tinggalkan, orang-orang yang kau cintai itu kelak akan 
meninggalkanmu dan kau akan dilupakannya. Jika 
aku sudah terbujur menyatu dengan tanah bekal apa-
kah yang aku bawa? Adakah harta benda dan anak-
anakku dapat menolongku dan menyelamatkan diriku 
dari sebuah azab yang pedih. Duh, betapa yang na-
manya manusia itu sangat sombong sekali, terlalu 
membanggakan diri karena keberhasilannya, kedudu-
kannya, kekayaannya, kecantikannya dan mereka ke-
banyakan sangat mencintai dunia. Janganlah begitu, 
nanti engkau akan tahu pasti. Jangan begitu kelak 
engkau akan menyesal, penyesalan yang sama sekali 
tidak berguna. Aku sibuk, aku sedih melihat kalian 
mengejar gemerlapnya dunia. Aku lebih sedih lagi me-
lihat dua alat pembunuh yang kini tidak berdaya. Oh, 
aku lebih suka merenung, perenunganku membuat 
aku menangis, tangisku karena penyesalan. Bukan 
untuk persoalan dunia yang penuh dengan kebusukan 
ini, tapi menyangkut urusanku dan urusan semua 
orang setelah mati. Hu hu hu...!"
Si kakek yang kedua matanya memerah dan 
bengkak-bengkak ini terus saja menangis. Raja Tega 
masih juga menangis, Arung Garda mulai dapat men-
guasai diri. Sedangkan Suro sudah berdiri dan tidak 
lagi menangis. Memandang ke atas tembok, ia melihat 
si kakek berjanggut panjang terus tundukkan kepala 
sambil menangis. Melihat ke bagian tangan, tasbih be-
sar itu terus berputar lambat namun pasti.

"Kisanak, siapakah Anda yang suka menangis?" 
tanya Pendekar Mandau Jantan sambil menyeka sisa 
air mata di pipinya.
"Hu hu hu, aku sibuk memikirkan dosa-
dosaku. Aku bingung dimana kelak aku ditempatkan? 
Apakah di sorga atau neraka? Aku lupa siapa diriku 
sendiri. Kudengar orang menyebutku sebagai 'Makhluk 
Sibuk', kudengar pula orang menyebutku 'Si Perenung 
Dosa'. Aku tidak perduli siapa aku, aku hanya perduli 
pada perbuatan baik burukku...!"
Suro tercengang, mulut melongo. Ia cepat tutup 
mulutnya dengan satu jari tangan. Ia jadi teringat pe-
san gurunya Malaikat Berambut Api ketika ia berada 
di puncak Mahameru dulu.
"Suro, di dunia ini ada seorang manusia yang 
tidak sempat memikirkan urusan dan kemewahan du-
nia karena terlalu sibuknya ia memikirkan dosa sendiri 
dan dosa orang lain. Ia tidak mau usilan, ia selalu me-
lerai setiap ada pertikaian. Ia menangisi kesalahannya 
di tempat sepi. Ia tidak pernah lupa mengingat Gusti 
Allah. Orang itu adalah Si Perenung Dosa atau Mak-
hluk Sibuk. Kepadanya dapat kau tanyakan apa arti 
dan hakekat hidup manusia yang sebenarnya. Lalu 
ada lagi manusia sejati yang selalu memikirkan bagai-
mana kiranya manusia bisa selamat dari murka Tu-
hanNya. Dia adalah Wahyu Sakaning Gusti. Sedang-
kan Malaikat Penderitaan. Dia tergolong manusia se-
tengah Malaikat. Ujudnya antara ada dan tiada, tapi 
juga dapat menjadi nyata. Masih banyak lagi golongan 
lurus yang hidupnya hanya ingin mengajak orang lain 
berbuat baik agar manusia tidak tersesat di dunia 
dan akherat. Justru orang-orang yang kusebutkan ini, 
kurang disukai oleh masyarakatnya. Keberadaannya 
bahkan dimusuhi, dicaci dan dihina. Namun sedikit 
pun mereka tidak membalas perlakuan buruk itu.
Orang-orang inilah sesungguhnya manusia yang be-
runtung...!"
Teringat akan pesan-pesan gurunya, tiba-tiba 
saja Suro berlutut. Kakek di atas tembok semakin ke-
ras tangisnya.
"Aku bukanlah apa-apa, mengapa kau meng-
hormat padaku? Mengapa engkau tidak menghormati 
dirimu sendiri, Bocah Ajaib?!" Ucapan Perenung Dosa 
ini membuat Pendekar Blo'on terkesima. Lalu ia bang-
kit lagi. Memandang ke atas tembok matanya berkaca-
kaca.
"Perenung Dosa, ketahuilah bahwa aku adalah 
manusia hina yang punya begitu banyak kesalahan. 
Dosa-dosaku tidak terhitung banyaknya. Hutangku ju-
ga banyak, hutang air, hutang makanan, hutang uda-
ra, hutang segala kenikmatan hidup yang aku nikmati. 
Aku hutang, penglihatan, hutang penciuman, hutang 
pendengaran, hutang nyawa dan anuku juga berhu-
tang pada Gusti Allah, sudilah kiranya kau memberi 
petunjuk padaku yang goblok ini!" kata Suro masih 
dengan merapatkan kedua tangannya.
Jika bukan Makhluk Sibuk yang mendengar 
ucapan si pemuda, tentu sudah tertawa mendengar-
nya.
"Apa yang kau sebutkan itu dalam arti yang 
luas. Semua itu cukup kau panjatkan dengan rasa 
syukur yang mendalam pada Tuhanmu. Ketahuilah 
sebaik-baiknya manusia adalah orang yang selalu me-
rasa dirinya punya banyak kesalahan dan dosa. Den-
gan demikian berarti ia akan lebih berhati-hati dalam 
bertindak, berpikir, menentukan langkah. Seburuk-
buruknya manusia adalah orang yang selalu mengang-
gap dirinya yang paling baik dan yang paling benar. 
Sedangkan orang lain dianggapnya salah semua. Hal-
hal seperti yang kusebutkan ini hanya menimbulkan

keangkuhan. Jika kau berbuat kebaikan anggap saja 
seperti kau membuang hajat, jangan kau ingat-ingat 
apa warnanya, bagaimana bentuknya, bulat, gepeng, 
atau encer. Jika kesalahan yang kau lakukan, sebaik-
nya kau sesalilah, dan berjanji dalam hati agar tidak 
membuat kesalahan lagi. Hu hu hu...!"
"Aku pun... hu hu hu...! Kalau boleh tahu da-
rimanakah asal-usulmu, Kek? Aku ingin tahu sesung-
guhnya tugas apa yang harus kulakukan dalam hidup 
ini?" kata Suro Blondo.
"Tugas manusia adalah berbuat kebaikan seba-
nyak-banyaknya. Mengenai asal usulku adalah dari 
lembah Penantian. Tempat itu jauhnya tujuh puluh 
tahun perjalanan kaki." sahut Makhluk Sibuk. Suro 
geleng-gelengkan kepala.
"Jauh amat, Kek." gumam Suro sambil garuk-
garuk kepala.
"Jika Gusti Allah menghendaki kelak kau akan 
sampai ke sana."
"Okh... oh...!"
"Bocah Ajaib, kau kedatangan tamu! Huk huk 
huk...!"
Baru selesai Makhluk Sibuk bicara. Tiba-tiba di 
depan Suro berkelebat sosok bayangan. Ketika Pende-
kar Mandau Jantan ini memandang ke depannya maka 
di situ sejarak dua tombak telah berdiri seorang kakek 
berbadan semampai, punya satu mata di tengah-
tengah kening dan bergigi runcing macam gergaji. Ka-
kek berambut putih hanya memakai cawat ini tertawa 
ngakak. Giginya yang merah berlumur darah yang su-
dah mengering terlihat sangat mengerikan.
"Jauh Bukit Kematian ku tinggalkan, aku da-
tang memenuhi panggilan sobatku Sang Maha Sesat. 
Ternyata di sini sepi-sepi saja, tidak ada penyambutan. 
Terkecuali seorang pemuda tolol dan tua bangka monyet yang duduk di tembok tanpa peradatan!" dengus 
Pertapa Seribu Abad.
Belum sempat Suro menyahuti, Makhluk Sibuk 
yang duduk sambil menangis di atas tembok menya-
huti....
"Manusia yang paling konyol di dunia adalah 
Bocah Ajaib dan gurunya. Manusia yang gemar mem-
bunuh tanpa perasaan adalah Si Raja Tega, hu hu 
hu... manusia yang menyamai iblis di dunia ini adalah 
orang bermata satu bergigi gergaji dan doyan daging 
saudaranya sendiri. Dialah orang paling jelek, berting-
kah laku seperti iblis yang selalu meresahkan dan 
menjerumuskan manusia dalam kesengsaraan. Aku 
sedih melihat dosa-dosanya tujuh langit tembus. Huk 
huk huk...!"
"Bangsat! Aku tahu siapa dirimu, kau terlalu 
sibuk memikirkan dosa-dosamu, itu sebabnya kau di-
juluki Perenung Dosa. Lihatlah dosa-dosa orang lain 
yang begitu banyaknya. Urusilah mereka jangan kau 
campuri kepentinganku!" kata Pertapa Seribu Abad. 
Rupanya kakek aneh ini sudah kenal dengan Makhluk 
Sibuk yang konon dengan petuah-petuahnya membuat 
orang menangis tiada henti. Jika Perenung Dosa sudah 
menangis, kabarnya binatang dan makhluk hidup 
lainnya juga terhanyut dalam tangisnya.
"Hu hu hu...! Aku selalu heran manusia ber-
buat dosa masih bisa tertawa. Tetapi aku lebih heran 
lagi Pertapa sepertimu, manusia yang kejahatannya 
melebihi setan dipanjangkan umurnya! Hu hu hu... 
aku suka merenung bahkan aku tidak pernah berhenti 
dari perenungan!" sahut Makhluk Sibuk di tengah-
tengah isak tangisnya yang semakin menggila.
***

4
Wajah Pertapa Seribu Abad berubah kelam 
membesi. Mata tunggalnya yang bulat besar kelihatan 
memerah. Semakin lama semakin bertambah merah 
laksana darah. Tiba-tiba dia berteriak keras, suara te-
riakan disusul dengan melesatnya sinar merah meng-
hantam ke arah tembok. Sosok Mahkluk Sibuk lenyap 
dari pandangan mata. Sinar merah menghamparkan 
panas luar biasa melabrak tembok benteng. 
"Buuuumm!" 
Terdengar suara berdebum, tembok hancur 
menjadi kepingan debu dan batu-batu kecil, tidak ter-
lukiskan bagaimana seandainya serangan itu menge-
nai manusia. Di bagian lain terdengar suara tangis ter-
sendat-sendat. Tidak lama Pertapa Seribu Abad me-
mandang ke arah itu. Ternyata Perenung Dosa telah 
duduk di sana sambil menyeka air matanya.
"Hmm, lebih tenang lagi kau merenung di da-
lam kubur. Aku akan mengirimmu ke sana dengan bo-
cah tolol ini!" dengus mata satu.
Tidak lama Pertapa Seribu Abad mengedipkan 
matanya ke arah Suro Blondo. Dua larik sinar merah 
menerjang Si Bocah Ajaib dengan kecepatan luar bi-
asa. Suro tertawa bekakakan.
"Orang gila!" Suro menggerutu. "Kau kira aku 
ini perempuan pake main kedip mata segala. Kalau 
pun aku perempuan mana aku mau dengan manusia 
jelak sepertimu!" Pendekar Blo'on melompat sejauh 
dua tombak selamatkan diri. Pukulan memang meng-
hantam tempat kosong, tetapi hawa pukulan membuat 
kulitnya seperti hangus.
Suro leletkan lidah, mulutnya termonyong-
monyong. Tiba-tiba saja pemuda itu menerjang ke depan. Karena serangan pemuda konyol itu sangat cepat 
datangnya dan ia sudah mempergunakan jurus 'Tawa 
Kera Siluman'. Tidak ada kesempatan lagi bagi Pertapa 
Seribu Abad lepaskan pukulan atau mengedipkan ma-
ta.
Ia menyambut serangan itu dengan tangan 
terkembang merobek dada, kaki kakek mata satu 
pun menghantam ke arah perut Suro. Pemuda itu 
menghindar ke samping, sedangkan tangannya me-
nangkis.
"Dhaak...!"
"Heps...!"
Pemuda ini jatuh terduduk. Tangannya beng-
kak membiru, dari bibirnya sempat terdengar suara 
tawa bekakakan. Pertapa Seribu Abad terus mencecar-
nya dengan serangan-serangan dahsyat. Pemuda itu 
kalang kabut dan berguling-guling menghindari.
Hingga kemudian terdesaklah pemuda ini. Tiba-
tiba ia bangkit berdiri dan dengan cepat tubuhnya ber-
kelebat lenyap dari pandangan lawannya. Sementara 
itu suara tawa terus terdengar di sekeliling Pertapa Se-
ribu Abad. Suara tawa itu bagi tokoh berkepandaian 
tinggi ini terasa cukup mengganggu juga. Tiba-tiba saja 
ia berteriak keras. Tinjunya secepat kilat menghantam 
wajah Suro. Suro merunduk, ketika kaki menyapu ke 
arah pinggang Pendekar Blo'on melompat. Si kakek 
mengejar, tapi Suro sudah menjatuhkan tubuhnya. La-
lu dengan bertumpu pada punggungnya, Suro lancar-
kan satu tendangan menggeledek.
"Duuk!"
"Ueh...!"
Kaki menggedor pinggang, tapi malah Suro 
yang kaget dan meringis kesakitan.
Tubuh lawannya keras bukan main, terpin-
cang-pincang Pendekar Blo'on bangkit berdiri.

Di saat itulah lawan menyerangnya dengan pu-
kulan yang sulit terelakan. Si Bocah Ajaib tarik kepa-
lanya ke belakang, perutnya agak ke depan, gerakan-
nya ini terkesan lucu, sebab begitu pukulan beralih ke 
perut. Maka kepalanya yang menyentak ke depan be-
radu dengan kepala lawannya. 
"Bletak!"
"Waduh...!" Suro menggerutu, dengan cepat ia 
mundur sambil usap-usap keningnya yang benjol. Ee... 
ternyata jidat lawannya juga benjol kok. Pertapa Seribu 
Abad selain geram juga kagum karena dengan gerakan 
yang serudak seruduk seperti monyet mabuk ternyata 
lawan masih mampu menghindar dari serangan-
serangan yang cukup ganas.
"Sungguh bocah ini tidak pernah kusangka 
punya kepandaian yang hebat. Gerakannya penuh 
dengan keajaiban. Aku telah tertipu dengan penampi-
lannya yang seperti orang goblok tidak punya kepan-
daian apa-apa." gerutu kakek mata tunggal dalam hati.
"Iblis Edan ini tidak boleh dikasih hati. Aku ta-
kut dia minta kepalaku! Aku harus punya satu cara 
untuk menghancurkan tubuhnya yang atos itu." pikir 
Suro Blondo.
Belum lagi Suro sempat mengambil keputusan 
yang tepat. Pertapa Seribu Abad sudah menghentak-
kan kedua tangannya masing-masing ke kiri dan ke 
kanan. Ketika kedua tangannya disilangkan ke depan 
dada. Berubahlah paras Makhluk Sibuk.
'"Sirna Raga?" desisnya. Lalu tangisnya sema-
kin bertambah keras. "Itu adalah pukulan sekaligus 
jurus yang paling keji!"
Pendekar Blo'on untuk beberapa saat lamanya 
terkesiap. "Kurasa inilah jurus yang mematikan bagi-
ku! Tangannya merah seperti bara, bau amis ini meru-
pakan tanda di kedua tangannya terkandung racun

yang Maha ganas. Aku tidak mungkin bentrok badan 
dengannya!" pikir si konyol. Begitu seriusnya ia meng-
hadapi serangan ganas itu, sampai-sampai di luar ke-
sadarannya mulutnya sudah pletat pletot.
"Heaaa...! Hancur..." teriak Pertapa Seribu Ab-
ad.
'"Neraka Hari Terakhir'! Hyaa...!" teriak Pende-
kar Blo'on.
Tubuh si kakek mata tunggal yang sudah mele-
sat kencang ke arahnya ini seakan tertahan-tahan di 
udara ketika ia melihat sinar merah kehitam-hitaman 
menyerbu ke arahnya. Sementara itu si kakek juga he-
ran mendengar suara jeritan-jeritan aneh di sekeliling-
nya. Jeritan itu seakan datang dari makhluk-makhluk 
penghuni neraka. Melihat tidak ada kesempatan ba-
ginya untuk menyelamatkan diri. Sambil memaki ia 
pergunakan kedua tangannya untuk melindungi tu-
buhnya. Maka dari sikap menyerang sekarang tangan-
nya diputar hebat.
"Buuuum!"
Pertapa Seribu Abad menjerit tertahan. Ia jatuh 
terduduk, nafasnya megap-megap, dadanya sakit se-
perti tertusuk ribuan barang jarum. Wajah laki-laki itu 
pucat. Memandang pada murid Penghulu Siluman Ke-
ra Putih sekaligus murid Malaikat Berambut Api. Pe-
muda itu tampak lebih konyol lagi. Rambutnya awut-
awutan, bibirnya meneteskan darah, baju bagian de-
pannya sobek. Ia tidak dapat lagi tersenyum, melain-
kan meringis kesakitan.
Suro segera atur jalan nafas, kerahkan tenaga 
dalam untuk menyembuhkan luka yang dideritanya. 
Dalam hati ia kaget juga 'Pukulan Neraka Hari Terak-
hir' adalah sebuah pukulan pada tingkatan paling 
tinggi dan merupakan warisan kakek Dewana. Per-
tapa Seribu Abad bukan saja dapat menangkis seran
gan maut itu, tapi ia masih bertahan hidup. Suro be-
lum pernah melihat lawan dapat bertahan seperti ini. 
Selagi Suro masih memejamkan mata, Pertapa Seribu 
Abad menyerbu ke arahnya. Tangannya cepat terayun 
menghantam batok kepala Suro. Pemuda ini memang 
sempat rasakan adanya sambaran angin, tapi untuk 
bergerak mustahil baginya. Karena konsentrasi masih 
berpusat pada bagian dada dalam usaha menyembuh-
kan luka. Kalau pun ia paksakan diri, akibatnya dapat 
membuat tubuhnya lumpuh.
Pada saat yang sangat kritis itu, berkelebat so-
sok bayangan, kemudian terdengar pergelangan tan-
gan seperti patah berderak.
"Aaa...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Tidak 
jauh darinya berdiri Makhluk Sibuk.
"Perenung Dosa, mengapa kau campuri urusan 
orang lain?" bentak kakek Pertapa. Ia mengurut-urut 
tangannya. Secara aneh tangan itu menyambung dan 
utuh kembali seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Huk hu hu hu...! Mencampuri urusan orang 
lain hanya menambah dosa bagiku! Tapi aku akan le-
bih berdosa lagi jika melihat pembunuhan terjadi di 
hadapanku, sementara aku hanya bersikap masa bo-
doh!"
"Bangsat! Rupanya kau mau minta bagian mati 
duluan!" geram Pertapa Seribu Abad.
"Untuk apa aku sibuk-sibuk mengurusi amarah 
setan. Aku sudah kelewat sibuk memikirkan dosaku 
dan dosa umat. Huk huk huk..,!" Makhluk Sibuk tiba-
tiba melompat. Sekali berkelebat ia sudah berada di 
atas genteng, nongkrong di sana sambil menangis.
Walaupun Pertapa Seribu Abad bermaksud 
mengejarnya, namun di depannya telah menghadang 
Pendekar Blo'on. Pemuda itu seka keningnya yang ber

keringat bercampur debu.
"Punya hubungan apa kau dengan Malaikat Be-
rambut Api?" tanya si kakek.
"Perlu apa kau bertanya? Ingin mengulur waktu 
atau mau mengulur jalan menuju akherat? Ha ha 
ha...!" dengus Pendekar Mandau Jantan.
"Huh, jangan bermimpi bocah konyol. Dan jan-
gan pula kau kira gurumu manusia yang paling hebat!" 
teriak Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja secara cu-
rang dan cepat ia mengedipkan matanya. Sinar me-
rah menyambar, Suro berusaha menghindar dengan 
cara seperti monyet bergelantungan berpindah tempat. 
Ternyata gerakannya yang cepat itu masih kalah cepat 
dengan gerakan lawannya. Serangan itu menyambar 
selangkangannya. Suro menjerit dan berguling-guling 
untuk memadamkan api. Kedua pahanya kiri kanan 
melepuh. Ia segera memeriksa. Mulutnya termonyong-
monyong.
Untung cuma pahanya saja yang melepuh, 
adiknya Suro yang sedang tidur tidak apa-apa.
"Bangsat betul kau. Sasaran lain masih ba-
nyak, kau malah memilih pusaka milik perempuan! 
Aku benar-benar tidak terima lahir batin." maki Suro.
"Set!"
Pendekar Blo'on cabut senjata ampuh Mandau 
Jantan di balik pakaiannya. Sinar hitam berkeredep 
menyilaukan mata. Ketika Suro mengalirkan tenaga 
dalam ke bagian senjata itu, maka semakin menghi-
tamlah Mandau Jantan di tangannya.
"Inilah senjata maut yang menghebohkan itu!" 
batin Pertapa Seribu Abad. Tiba-tiba saja ia membeset 
lengannya dengan mempergunakan ujung jemari tan-
gannya. Sesuatu yang sangat mengerikan dan sulit di-
percaya terlihat. Si kakek mengambil benda putih kecil 
sepanjang siku. Senjata itu tersimpan di bawah kulit di

dalam daging tangan Pertapa Seribu Abad. Di atas gen-
teng tangis Makhluk Sibuk semakin menjadi-jadi. Se-
mentara Suro yang sempat tercengang leletkan lidah-
nya. Kemudian ia menggerakkan senjata di tangannya. 
Sinar hitam bergulung-gulung disertai dengan terden-
garnya suara meringkik, menangis dan suara tawa. 
Suara yang aneh-aneh itu jelas berasal dari empat 
buah lubang miring yang terdapat di cekungan pipih 
yang terdapat di tengah-tengah mandau.
Walaupun sahabat Sang Maha Sesat ini sempat 
kaget juga. Namun ia segera putar pedang tipis pendek 
yang dikenal dengan nama 'Perenggut Jiwa Penghan-
cur Sukma'. Inilah pertempuran yang paling sengit pe-
nuh bahaya yang pernah dihadapi oleh Pendekar Ko-
nyol Suro Blondo. Sebab ketika itu masing-masing pi-
hak telah mengerahkan segenap kesaktian dan jurus-
jurus yang mereka miliki.
Sinar hitam dan sinar merah saling mendesak, 
mengurung atau terkadang menerobos pertahanan 
lawannya. Suro secara silih berganti merubah jurus-
jurus serangannya. Kini ia bahkan mempergunakan 
jurus 'Kacau Balau', untuk menghindari tusukan dan 
sabetan senjata lawan. Pemuda ini terhuyung kian 
kemari, gerakannya tidak beraturan sulit ditebak, 
bahkan Pertapa Seribu Abad sendiri sampai sejauh 
itu tidak dapat memecahkan jurus lawan yang penuh 
dengan bermacam-macam keanehan. Pertapa Seribu 
Abad melompat mundur seperti frustrasi, sebaliknya 
Suro melompat maju. Lalu tusukkan senjata ke lam-
bung si kakek. Orang ini menepisnya dengan memper-
gunakan senjata. 
Tring...!
Dua-duanya terhuyung ke belakang. Pucat wa-
jah Suro, tapi lawannya lebih pucat lagi. Benturan tadi 
membuat Suro merasa tangannya panas seperti terbakar. Sampai-sampai Suro membolang-balingkan senja-
tanya untuk menghilangkan hawa panas yang menye-
rang tangannya.
Kesempatan yang sekejap itu tidak disia-siakan 
Pertapa Seribu Abad. Ia menerjang ke depan sambil 
tusukkan pedang 'Perenggut Jiwa Penghancur Sukma'. 
Terdengar suara mendesing menyakitkan telinga. Suro 
berkelit ke samping selamatkan diri. Tangannya te-
rangkat, lalu diayunkannya Mandau Jantan menera-
bas pangkal lengan si kakek. 
"Hiiiiiik! Huuuuu! Ha ha ha...!"
Seiring dengan terdengarnya suara mandau 
yang aneh-aneh itu. Maka....
"Traas!"
"Auuuukh...!"
Pertapa Seribu Abad menjerit kesakitan. Poton-
gan tangan berikut pedangnya terjatuh. Pedang diten-
dang oleh si konyol sesuka hatinya. Senjata itu melesat 
ke udara. Tapi begitu sampai di angkasa terdengar su-
ara ledakan yang sungguh dahsyat sekali.
Keanehan lagi-lagi terjadi pada lawannya. Si 
kakek mata tunggal ini tiba-tiba menjerit seperti orang 
yang urat-urat di sekujur tubuhnya dicabuti. Suro ter-
lolong-lolong, terlebih-lebih ketika melihat Pertapa Se-
ribu Abad ambruk seperti orang lumpuh kehilangan 
tenaga dan kekuatan.
"Huk huk huk! Aku manusia paling sibuk, 
kau pendekar tolol tidak perlu sibuk memikirkan apa 
yang terjadi pada Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah, 
bahwa pedang Perenggut Jiwa Penghancur Sukma me-
rupakan sumber kekuatannya. Ia juga sumber kesak-
tian orang itu, kau telah menendangnya secara tidak 
sengaja. Kau tolol tapi pintar. Jika pedang itu terpisah 
sepuluh tombak dari tuannya, maka seperti yang kau 
saksikan itulah yang terjadi padanya." Makhluk Sibuk

mengisiki.
"Oh begitu. Ha ha ha...! Jadi setan jelek itu ada 
kelemahannya. Nah sekarang aku harus buat perhi-
tungan padanya!" Dengan penuh kegeraman Suro 
menghampiri. Mandau Jantan ditimang-timangnya. 
"Hancur pakaianku harus diganti dengan kulitmu. Aku 
juga ingin mencabuti gigimu yang jelek itu. Kemudian 
matamu yang menyalahi kodrat dan tidak pada tem-
patnya harus kupindahkan ke sebelah kiri. Nah apa
usulmu Pertapa Seribu Abad!" tanya Suro, cengar cen-
gir namun serius.
"Bangsat! Kalau kau mau membunuhku. bu-
nuh saja. Tidak perlu kau menyiksaku!' dengus si ka-
kek. Ia mengedipkan matanya. Namun tidak menim-
bulkan reaksi apa-apa. Ia benar-benar telah kehilan-
gan kesaktiannya.
"Mati bagimu terlalu enak, kau harus merasa-
kan penderitaan yang menyakitkan. Nah sekarang 
akan ku mulai dari gigimu, matamu tentu saja yang te-
rakhir kali mendapat giliran, agar mata yang cuma sa-
tu itu dapat melihat Mandau ini melakukan tugasnya!" 
kata Suro, lalu tersenyum sinis. Pada waktu itu pula ia 
mendengar suara bisikan.
"Apa nanti kata orang kau seorang Pendekar. 
Tapi menyakiti dan menganiaya orang yang sudah ti-
dak berdaya. Bukankah itu merupakan tindakan yang 
sangat pengecut?" Suro memandang ke atas genteng. 
Makhluk Sibuk alias Perenung Dosa sudah tidak terli-
hat lagi. Tapi Suro konyol tetap merasa yakin yang 
mengisiki barusan pastilah Perenung Dosa.
"Buah...! Kalau saja aku tidak takut disebut 
pengecut. Sekarang kau pasti telah merasakan pemba-
lasanku. Nanti setelah kawan-kawanmu kukumpulkan 
di sini. Kalian bersama-sama akan menuju ke Alam 
Baka!" kata Suro. Pemuda bertampang konyol ini lalu

menghampiri Pertapa Seribu Abad. Lalu tiba-tiba saja 
ia meremas tongkat milik si kakek. Tiba-tiba orang ini 
merasakan sekujur tubuhnya menjadi kaku. Ia hendak 
memaki karena sikap si pemuda yang konyol itu. Tapi 
suaranya tidak terdengar. Si Bocah Ajaib kemudian 
tertawa tergelak-gelak menuju ke istana. Lalu terden-
gar suaranya....
"Totokan pada tongkat membuat orang tidak 
dapat bergerak dan bicara. Lebih dari itu ia tidak 
mungkin bisa kurang ajar pada wanita selama lima ta-
hun! Sungguh manusia tidak berguna jika sudah lum-
puh segala-galanya...!" 
"Manusia edan keparat!" maki Pertapa Seribu 
Abad tanpa mampu berbuat apa-apa.
***
5
Malaikat Penderitaan menelusuri Lorong Raha-
sia di belakang istana. Dalam kesempatan itu pula ia 
melihat ada seorang laki-laki menghadang di depan 
kakek itu. Malaikat Penderitaan memandang ke depan. 
Kedua matanya menyipit seakan ingin menyelidik.
"Aku Malaikat Penderitaan, sebaiknya orang di 
depan menyingkir! Aku tidak mau cari perkara cari 
urusan." gumam si kakek pelan suara.
"Aku memang sengaja menunggu kedatangan-
mu ke sini. Ternyata kau datang juga. Nah... sekarang 
serahkanlah kitab yang kau bawa. Surat Kedamaian 
Dunia isinya tidak boleh diketahui oleh orang lain. Dia 
harus dimusnahkan dari muka bumi ini!" 
Malaikat Penderitaan tertawa, namun tawanya 
seperti orang yang sedang menangis.

"Hak hak hak. Mendengar permintaanmu 
hanya membuat aku menderita. Kau tidak punya hak 
apa-apa atas surat yang kubawa. Menyingkirlah!" tegas 
kakek bermuram durja itu sinis.
Laki-laki di depannya tarik salah satu kakinya 
ke belakang. Tampaknya ia telah siap melakukan se-
suatu.
"Malaikat Penderitaan." dengus laki-laki miste-
rius di depannya sengit. "Engkau, aku atau siapa saja 
sekarang ini tidak jauh bedanya dengan orang yang 
sedang melakukan perjalanan ke alam baka. Surat 
Kedamaian Dunia paling tidak harus kuketahui apa 
isinya, jika kau ingin terselamat dari perjalanan itu. 
Tetapi jika kau tidak menuruti kehendakku. Maka se-
sungguhnya perjalanan yang kau tempuh begitu sulit 
mendaki dan penuh onak duri!"
"Huh huh huh....! Hidupku sepenuhnya kugan-
tungkan pada Gusti Allah. Jika hari ini Ia memanggil-
ku untuk kembali, maka sedikit pun tiada berat bagi-
ku. Aku menerima semua yang terjadi dan yang sudah 
menjadi garisku dengan ikhlas. Namun jika kau me-
minta sesuatu yang menjadi tanggung jawabku, maka 
aku akan mempertahankannya hingga titik darah yang 
terakhir!" tegas Malaikat Penderitaan.
"Lebih baik kau ingkari, di sini hanya aku dan 
kau saja, tidak ada siapa-siapa yang melihat. Jika kau 
penuhi keinginanku ini, maka sepuluh puteri raja yang 
cantik-cantik menjadi milikmu, kau juga berhak men-
duduki tahta kerajaan menggantikan raja Lalim Durja-
na. Aku juga akan mengupayakan agar seluruh harta 
benda peninggalan hartawan Abdi Banda menjadi mi-
likmu!" bujuk laki-laki misterius.
"Huh, lezatnya kenikmatan dunia memang se-
mua orang ingin memiliki. Tapi ketahuilah, kau me-
minta pada orang yang salah, waktu yang kurang tepat. Wahai Sang Maha Sesat, jika kau berikan apa 
yang kau janjikan itu pada orang yang mencintai kehi-
dupan dunia, mungkin mereka tidak akan menolak. 
Malah mereka terus merasa kekurangan. Namun bagi-
ku dunia ini tidak ada apa-apanya. Sungguh pun kau 
persembahkan bintang di tangan kiriku dan seribu bi-
dadari cantik di sebelah kananku! Kau tidak dapat 
mengelabuhi aku. Pergilah, sebelum kesabaranku ha-
bis!" bentak Malaikat Penderitaan.
Sang Maha Sesat yang menyamar menjadi seo-
rang laki-laki tidak dikenal itu terkejut sendiri. Ia sela-
lu kehilangan cara untuk menghadapi Malaikat Pende-
ritaan, tokoh pikir, berilmu dan juga mengetahui sesu-
atu di balik kejadian. Baginya lebih baik menghadapi 
dan menggoda sejuta manusia yang bodoh dan punya 
pengetahuan dan ilmu kesaktian terbatas, walaupun 
sepanjang pagi dan malam berbakti pada TuhanNya.
"Meminta dengan cara baik-baik kau tidak 
memberi. Kukira tidak ada salahnya jika sekarang aku 
harus merampas kitab berisi surat Maha penting itu! 
Lihatlah...!"
Si kakek memandang ke depan. Terlihat oleh-
nya rambut laki-laki itu berubah menjadi ribuan ekor 
ular berbisa. Ketika laki-laki jelmaan Sang Maha Sesat 
ini menyentakkan kepalanya ke belakang. Dua puluh 
ekor ular besar meluncur deras meninggalkan kepala 
laki-laki itu. Ular-ular tersebut langsung menyerang si 
kakek dengan mulut ternganga siap memagut.
Malaikat Penderitaan lepaskan baju putihnya, 
bibirnya mendesis. Baju diputar dengan cepat. Yang 
keluar dari baju itu bukan saja hanya angin kencang 
menderu-deru, tapi juga sepuluh sinar api berbentuk 
memanjang berukuran lebih besar dan bergerak cepat 
memangsa ular-ular jejadian tersebut.
"Tub! Tub! Tub!"
"Ssst!" 
"Byaar!"
Dua puluh ekor ular besar berbisa ber-
warna hitam lenyap ditelan sepuluh lidah api yang 
bentuknya menyerupai ular besar. Malaikat Penderi-
taan menyerbu ke depan. Baju saktinya ia kebutkan ke 
arah Sang Maha Sesat. Laki-laki itu melompat mun-
dur, namun masih sempat terdengar suara raungan-
nya.
Tiba-tiba sambil terhuyung-huyung ia membu-
ka mulutnya lebar-lebar. Mata Sang Maha Sesat seka-
rang telah berubah merah seperti bara. Itulah ujud asli 
mata setan. Kemudian dari mulut yang terbuka itu ter-
lihat ada ular besar yang meluncur keluar. Ular itu 
bergerak meluncur ke arah si kakek. Panjang ular jeja-
dian itu tidak kurang dari dua batang tombak. Ular itu 
kemudian membelit si kakek. Kali ini kakek berjenggot 
putih itu kelihatan agak kewalahan. Ia berusaha mem-
bebaskan diri dari belitan ular yang semakin menye-
sakkan pernafasannya.
"Haaaaaa...!"
Malaikat Penderitaan melolong panjang. Dari 
bagian kepala hingga sekujur tubuhnya tiba-tiba beru-
bah mengecil dan licin berselimut lendir. Karena peru-
bahan itu terjadi secara tiba-tiba, praktis ia dapat 
membebaskan diri dari belitan ular tersebut.
Begitu dirinya terbebas dari ular milik Sang 
Maha Sesat, maka bajunya langsung dikibaskan.
"Braak!"
Terjadi keanehan, ular tadi terpental dan tu-
buhnya terpotong menjadi dua. Namun begitu menyen-
tuh tanah, ular jejadian itu pun lenyap tidak mening-
galkan bekas.
"Maha Sesat yang selalu memperdaya manusia, 
menipu manusia, menjerumuskan, menyesatkan den

gan berbagai macam cara. Apalagi yang akan kau la-
kukan untuk mencapai keinginanmu?" 
"Inilah dia....'"
Maha Sesat tiba-tiba saja mengangkat kedua 
tangannya ke udara. Tangan itu lalu diputar-putarnya. 
Maka tidak lama kemudian menyemburlah lidah api 
yang dalam waktu singkat telah membesar dan mela-
hap tubuh Malaikat Penderitaan.
Kakek berjanggut panjang berkemak-kemik. 
Wajahnya tertunduk sedangkan kedua tangannya ten-
gadah. Tiba-tiba di dalam lorong itu entah dari mana 
datangnya berhembuslah angin dingin bercampur air. 
Angin kencang itu menyapu habis sekaligus mema-
damkan api yang diciptakan oleh Sang Maha Sesat. 
Laki-laki penjelmaan bapak moyang setan ini terkejut. 
Dua kali ia bermaksud membuat hangus lawannya. 
Namun kelihatannya apa yang dilakukannya tidak 
mendatangkan hasil sebagaimana yang diharapkan-
nya.
Malaikat Penderitaan begitu terbebas langsung 
lepaskan pukulan 'Mengusir Iblis Merenggut Amal'. 
Kedua tangan si kakek yang didorongkannya ke depan 
itu tampak memutih. Sinar putih laksana cahaya na-
mun menyejukkan itu spontan melabrak lawannya 
Sang Maha Sesat menghindar. Akan tetapi sinar putih 
terus mengejarnya kemana pun lawan menghindar. 
Hingga kemudian satu sentuhan lembut menghantam 
tubuh jelmaan Sang Maha Sesat. Laki-laki itu menjerit 
keras. Ujudnya menjadi gumpalan kabut tipis. Malai-
kat Penderitaan segera dapat merasakan adanya bau 
wangi bunga mayat. Jeritan Sang Maha Sesat terus 
terdengar, semakin lama semakin menjauh. Lalu 
sayup-sayup terdengar suaranya penuh ancaman...
"Malaikat Penderitaan! Aku boleh kalah hari ini 
karena keteguhanmu. Tapi aku akan terus berusaha

menggoda anak cucu manusia, memperdaya mereka 
hingga di hari kiamat nanti mereka menjadi pengikut-
pengikut dan temanku di neraka. Ha ha ha...!"
"Oh... aku menderita mendengar ancamanmu, 
apa yang menjadi hakmu tetap hakmu, tapi apa yang 
menjadi hak Gusti Allah akan tetap kembali kepa-
daNya!" sahut Malaikat Penderitaan. Akhirnya sambil 
berkeluh kesah tentang penderitaannya ia terus mene-
lusuri ruangan rahasia yang ternyata cukup luas ba-
gaikan istana kedua.
* * *
Mayat Bias Pati, Manggar Kesuma dan Ubuda-
na masih terus dibawa-bawa oleh Lima Utusan Akhe-
rat. Padahal ketika itu mereka sudah jauh berada di 
dalam kerajaan yang telah ditinggalkan oleh rajanya.
"Kita tidak menemukan apa-apa di sini. Apa 
mungkin Surat Kedamaian berada di tangan Malaikat 
Penderitaan?" tanya Malai Berung.
"Hal itu tidak dapat dibantah lagi. Aku ikut 
mendengarkannya ketika Malaikat Penderitaan bicara 
pada Suro Blondo." kata Puspita.
"Mungkinkah Anak Langit sudi datang ke sini. 
Sedangkan aku pernah mendengar di sinilah tempat 
kerusakan tingkah laku manusia?" tanya Kalingga Ja-
ti.
"Sesuatu yang baik terkadang bisa saja datang 
di tempat-tempat yang buruk sekali pun. Walaupun 
tempat itu yang paling kotor di dunia!" jawab Dunga.
"Aku tidak melihat Raja Kodok. Aku khawatir 
terjadi sesuatu yang tidak diingini padanya!" kata Pus-
pita.
"Kurasa ia sudah sampai di sini. Coba sekarang 
kita sebaiknya mencari tahu dimana dia?" usul Den

dra.
Maka Puspita Sari dan Lima Utusan segera ber-
gegas memeriksa setiap ruangan yang ada. Pada waktu 
itu pula pintu di belakang mereka tertutup dengan 
hempasan yang sangat keras. 
"Blaam!"
"Celaka! Kita terjebak!" desis Engku Bonang. 
Kemudian terdengar suara tergelak-gelak. Me-
reka yang masuk ke dalam perangkap itu pun saling 
berpandangan.
"Setiap orang yang datang adalah tamu, tamu 
harus dimuliakan. Tapi jika tamu tidak tahu perada-
tan, maka kecelakaan besar baginya! Ha ha ha...!"
"Siapa kau?" bentak Puspita Sari. 
"Aku adalah orang yang dipercaya menjalankan 
tugas di sini! Nasib kalian tidak berbeda dengan nasib 
Pendekar Lugu dan Raja Kodok! Sekarang lihatlah ke-
cerdikanku!" dengus sebuah suara. 
Kemudian secara tidak terduga-duga dari setiap 
penjuru sudut menerobos asap berwarna putih kebiru-
biruan. Asap yang menebarkan bau wangi namun 
mengandung racun keji itu memang tidak terlihat nya-
ta. Akan tetapi keberadaannya sungguh sangat mem-
bahayakan!"
"Aku mencium bau yang sangat wangi. Eh... 
ekh...." Datuk Paja tidak dapat melanjutkan kata-
katanya, karena tiba-tiba saja ia tersungkur. Hidung 
dan mulutnya mengucurkan darah. Kawan-kawan 
utusan dari Kapuas ini segera menyadari apa yang 
tengah terjadi.
"Tutup pernafasan kalian!" Dunga berteriak 
memberi peringatan.
Segala-galanya memang sudah terlambat. Lima 
orang laki-laki tersungkur tidak sadarkan diri. Puspita 
yang memang sudah bersiaga sejak semula tidak sempat mengalami kejadian yang sangat mengerikan itu. 
Akan tetapi ia merasa kepalanya sakit mendenyut, ma-
tanya berkunang-kunang. Ketika pintu terbuka. Puspi-
ta masih sempat melihat seorang laki-laki kepala botak 
tanpa kumis tanpa jenggot tanpa alis menyeringai pa-
danya.
"Ha ha ha...! Betapa beruntungnya aku hari ini. 
Aku tidak pernah menyangka begitu lemahnya musuh-
musuh kerajaan. Lebih menguntungkan lagi karena di 
antara musuh-musuh yang pantas kubinasakan, ter-
dapat pula seorang gadis cantik! Ha ha ha...! Tunggu-
lah, sayang...!" kata si botak yang tidak lain adalah Pa-
tih Luragung.
Laki-laki itu kemudian mengeluarkan segulung 
besar tali. Mulailah ia mendekati lawan-lawannya yang 
sudah tidak sadarkan diri. Puspita tentu saja tidak 
tinggal diam, walaupun ketika itu sakit di kepalanya 
semakin mendera.
"Hei... jangan coba-coba menyentuh mereka!" 
teriak Puspita.
Dengan terhuyung-huyung ia menerjang. Tapi 
gerakannya kacau, karena kesadarannya mulai berku-
rang. Dengan mudah sekali Patih Luragung menghin-
dari serangan Puspita. Gadis itu berbalik, lalu le-
paskan tendangan ke perut sang Patih. Serangan ini 
kurang terarah, karena keseimbangan gadis itu berku-
rang.
"Ha ha ha! Dalam keadaanmu seperti ini, tidak 
ada yang lebih baik bagimu terkecuali melayaniku di 
tempat tidur. Tunggulah... nanti kita akan bersenang-
senang. Tapi kawan-kawanmu harus dibereskan dulu! 
Kurasa mereka siap menjalani hukuman pancung di 
alun-alun." Seru Luragung.
Lalu tubuhnya bergerak dengan cepat, ia ber-
maksud menotok Puspita.. Seandainya gadis ini dalam
keadaan normal, tentu Patih Luragung bisa dibuat ke-
teter. Sungguh pun begitu si gadis masih mampu ber-
kelit. Sangat disayangkan kesadarannya semakin ba-
nyak berkurang karena pengaruh racun pemberian 
Sang Maha Sesat yang dipergunakan oleh Patih Lura-
gung. Tidak lama kemudian gadis itu pun terjungkal 
dan tidak sadarkan diri.
"Hhm, akhirnya kau roboh juga tanpa aku ha-
rus bersusah payah menotokmu!" desis sang Patih. 
"Sang Maha Sesat memang hebat, Racun Pelumpuh 
Kekuatan ternyata memang ampuh. Sekarang aku ha-
rus mengikat orang-orang yang sangat bodoh ini." den-
gus si botak.
Akhirnya satu demi satu para Lima Utusan Ak-
herat itu diikatnya. Patih agak heran ketika melihat 
ada tiga mayat dengan luka-luka yang sungguh men-
gerikan sekali.
"Aku heran, mengapa orang-orang ini memba-
wa-bawa mayat kawannya? Inikah yang dikatakan oleh 
Panglima Arung Garda sebagai Lima Utusan Akherat. 
Mayat busuk begini sebaiknya ku bakar nanti di ten-
gah alun-alun. Sekarang aku harus mengusung mere-
ka ke halaman istana!" pikir sang Patih.
Setelah, Engku Bonang, Datuk Pala, Dendra, 
Malai, Kalingga dan Dunga diikatnya. Maka ia pun mu-
lai menggusung orang-orang ini ke halaman depan. 
Sampai di sana Patih menjadi kaget ketika melihat ada 
tiga orang laki-laki dalam keadaan tidak berdaya. Dua 
diantaranya ia kenal dengan baik.
"Apa yang terjadi padamu, Panglima?" tanya Pa-
tih Luragung. Setelah meletakkan tawanan dengan ca-
ra melemparkannya. Patih langsung menghampiri 
Panglima Arung Garda.
"Malaikat Penderitaan yang telah memperlaku-
kan aku begini! Tolong bebaskan totokanku!" pinta
Panglima.
"Bb... baik...!"
Dengan cepat Patih mengurut bagian yang kena 
totok. Tapi sama sekali ia tidak mampu berbuat ba-
nyak.
"Aku tidak bisa membebaskan totokan keparat 
ini, Panglima!"
Panglima Arung Garda mengeluh putus asa. 
"Mungkin ini sudah nasibku! Kerjakanlah apa yang 
menjadi tugasmu, selamatkan raja dari tangan Pende-
kar Blo'on dan Malaikat Penderitaan. Kau juga harus 
berhati-hati, karena belum lama tadi muncul Perenung 
Dosa!" pesan Panglima.
Patih Luragung anggukkan kepala. Seraya me-
noleh dan memandang penuh kengerian pada Raja Te-
ga.
"Siapa yang membuntungi tangan dan kaki-
mu?"
Raja Tega menggeram. "Pendekar Goblok Suro 
Blondo! Dendamku padanya sedalam lautan...!" 
"Eeh...!" Patih Luragung lebih kaget lagi ketika 
melihat Pertapa Seribu Abad. "Apa yang terjadi pada 
Anda, Kakek pertapa?" tanya si botak lagi dengan ken-
ing berkerut
***
6
"Ha ha ha...! Apa yang terjadi pada diriku ada-
lah karena kesalahanku sendiri. Bukan kesalahan sia-
pa-siapa. Bocah goblok itu mana bisa mengalahkan 
aku jika senjataku secara tidak sengaja ditendangnya 
ke langit. Itulah sumber kekuatanku sekaligus kelemahanku! Kupesankan padamu agar berhati-hati. Ka-
lau kau dapat melakukannya, ringkuslah dia, sebelum 
kau diringkusnya!" pesan Pertapa Seribu Abad.
"Apakah dia masuk ke dalam istana?" tanya Pa-
tih Luragung curiga.
"Ya. Mungkin dia mencari raja Lalim Durjana 
dan hartawan itu!" tegas si mata satu.
"Baiklah, berhubung tugas masih banyak. Aku 
mohon diri. Di dalam sana masih ada empat tawanan 
lagi yang harus kukeluarkan!" Tanpa menunggu jawa-
ban Pertapa Seribu Abad. Patih Luragung segera me-
ninggalkannya.
Setelah keluar masuk memanggul para utusan 
yang tidak sadarkan diri. Sekarang tibalah gilirannya 
menghadapi Puspita. Ia tersenyum melihat Puspita 
yang dalam keadaan menelentang. Lalu dielusnya pipi 
si gadis. Elusan dan rabaan itu beralih ke leher, ke-
mudian berpindah ke dada si gadis. Patih Luragung 
menelan ludah basahi bibir. Jantungnya berdetak ke-
ras.
"Ini benar-benar nasib baikku. Semuanya ma-
sih serba asli tidak seperti isteriku yang sudah kendor 
kedodoran. Untung benar-benar untung...!" serunya 
disertai tawa bergelak seperti orang gila.
"Mestinya kubawa ke ranjang, hitung-hitung 
seperti seorang pengantin. Tapi mana aku sabar... 
akh;..!" gumam Patih Luragung. Jemari tangan yang 
gemetaran itu kemudian melepaskan kancing baju 
Puspita. Sehingga terpampanglah pemandangan yang 
mempesona nafsu iblisnya. Patih telan ludah lagi, telan 
ludah lagi. Bisul kembar yang menonjol itu lalu dibe-
lainya dengan lembut. Rupanya ia merasa penasaran. 
Sehingga ia bermaksud melihat bagian lainnya sebe-
lum akhirnya memutuskan untuk memenuhi selera 
binatangnya. Baru saja tangannya menyentuh celana

panjang hitam Puspita. Pada waktu bersamaan mele-
sat sebuah benda kecil menghantam tangannya. 
"Bletak!"
"Aukkh.... Sakiit...!" teriaknya sambil mengibas-
ngibaskan tangannya yang benjol membiru. Kelabakan 
dan merasa terganggu ia bangkit berdiri. Memandang 
ke belakangnya tidak ada siapa-siapa terkecuali pintu 
besar yang dalam keadaan terbuka. Patih bangkit ber-
maksud menutup pintu, namun sebelum langkahnya 
sampai ke sana, pintu menutup dengan sendirinya.
"Eeh... apakah setan yang menggangguku?" pi-
kirnya. "Mungkin Sang Maha Sesat yang suka usil."
"Blak!"
Patih lebih kaget lagi karena secara tidak ter-
duga pintu terbuka kembali dengan sendirinya. Patih 
Luragung tiba-tiba saja tertawa.
"Maha Sesat, jangan kau bercanda. Apakah kau 
merasa iri jika aku bersenang-senang dengan gadis 
ini?!" tanyanya sambil tersenyum. Sebagai jawabannya 
terdengar suara dari seluruh penjuru arah.
"Tidak ada yang melarangmu bersenang-
senang, Patih. Tapi kau juga harus ingat, kalau mau 
mencangkul cangkullah ladang sendiri. Itu ladang bu-
kan hakmu, meskipun belum ada yang punya harus 
dijaga kebersihan dan kelestariannya. Kalau ladang itu 
kau cangkul, berarti nanti penggarap yang asli cuma 
kebagian sisa, kebagian ampas. Padahal cangkulan 
pertama itu paling berkesan bagi seorang suami!" ja-
wab suara itu.
Patih tersentak kaget, mustahil Sang Maha Se-
sat mencegahnya berbuat maksiat. Karena pekerjaan 
seperti itu merupakan sesuatu yang sangat dis-
ukainya.
"Maha Sesat, mengapa kau melarangku? Bu-
kankah setiap pengikutmu cenderung melakukan kesalahan dan menjauhi perintah Gusti Allah!" protes Pa-
tih Luragung.
"Sang Maha Sesat itu bapak moyangnya setan, 
sedangkan aku masih turunan manusia. Punya mata, 
punya hidung, punya telinga, punya satu mulut. Kita 
punya juga sama, tapi tidak ceroboh seperti kamu. Ka-
lau kebutuhanmu mendesak, bukankah masih banyak 
perempuan telanjang di luar sana?" 
Meskipun mulai dongkol dan curiga, Patih Lu-
ragung masih bertanya juga....
"Siapa yang kau maksudkan?"
"Kambing, kerbau, ayam dan lain-lain. Kurasa 
itulah pasangan yang paling cocok bagimu sesuai den-
gan selera nafsu rendahmu. Ha ha ha...!"
"Bangsat! Siapa kau?" teriak Patih Lura-
gung berubah merah padam wajahnya.
"Ha ha ha...! Patih jahanam! Kau membuat ga-
dis itu setengah malu. Kau elus pipinya, hukumannya 
tangan harus dipotong, kau pegang-pegang dadanya 
imbalannya anumu harus dipotong. Nah, kau harus 
memilih mana dulu yang harus kupotong?!"
"Manusia bangsat! Tunjukkan dirimu, jangan 
sembunyi seperti banci...!" dengus sang Patih.
"Jika pangeranmu ini sudah keluar tunjukkan 
diri. Maka kau harus merangkak di depanku, kemu-
dian garuklah rambutmu sepuluh kali seperti seekor 
monyet!"
Patih Luragung menggumam tidak jelas. Ber-
samaan dengan itu di depan pintu muncul seorang 
pemuda berbaju biru, rambut hitam kemerah-
merahan. Wajahnya tampan, namun terkesan tolol ke-
kanak-kanakan. Pemuda itu tersenyum, sambil se-
nyum ia garuk-garuk kepala. Patih Luragung yang se-
mula kaget, kini setelah melihat tampang si pemuda 
langsung tertawa tergelak-gelak.

"Ha ha ha! Kau rupanya, aku tidak menyangka 
kau iri hati melihat aku mau bersenang-senang den-
gan gadis itu. Jika kau mau, tentu kita bisa bergantian 
setelah aku nanti!"
Suro Blondo berubah serius. Mulutnya termo-
nyong-monyong. "Sorgamu-nerakaku, dan juga neraka 
kawanku itu. Akh... kau sudah melihatnya. Karena 
kau sudah melihat apa yang bukan menjadi hakmu, 
untuk kesalahan ini kau harus menyerahkan kedua 
matamu!" desis Pendekar Mandau Jantan alias Bocah 
Ajaib.
Mata Patih Luragung membulat lebar. Sekarang 
baru mengerti rupanya inilah pendekar yang dimak-
sudkan oleh Panglima Arung Garda. Berarti gadis itu 
adalah murid Datuk Alam Salindra, sekaligus calon is-
teri hartawan Abdi Banda. Untuk lebih jelasnya (Dalam 
Episode Sang Maha Sesat).
"Bagus?! Ternyata aku tidak usah bersusah 
payah meringkus dua kunyuk buronan yang selama ini 
merugikan hartawan Abdi Banda dan juga pihak kera-
jaan." kata Patih Luragung.
Tiba-tiba saja laki-laki berkepala gundul ini 
mengambil sebuah benda berbentuk bulat. Salah satu 
ujungnya langsung ditekan. Sehingga keluarlah asap 
tebal yang didahului dengan letupan kecil. Namun Su-
ro yang sudah mengetahui muslihat ini dan sempat 
pula melihat kejadian yang menimpa para utusan su-
dah tutup pernafasannya.
Mulut Suro menggembung, lalu....
"Puuuuh...!"
Maka asap beracun yang membuat orang tidak 
sadarkan diri dalam waktu yang lama berbalik menye-
rang Patih Luragung. Ternyata Patih ini sudah punya 
penangkalnya. Sehingga walau asap itu menyerang di-
rinya tidak mengakibatkan apa-apa.

"Ha ha ha...! Kau dapat bertahan dengan racun 
itu, Patih? Aku tahu racun yang dapat melumpuhkan 
kekuatan itu berasal dari Sang Maha Sesat. Aneh... 
aku tidak mencium bau bunga mayat. Kemanakah 
perginya Sang Maha Sesat? Aku yakin dia sudah jadi 
pecundang, bukan? Malaikat Penderitaan pasti telah 
mengusirnya. Apa sekarang jawabmu untuk memper-
tanggung jawabkan semua ini?" 
"Huh, untuk menghadapi Pendekar goblok se-
pertimu apa yang harus kutakutkan? Majulah aku 
akan membuatmu mati penasaran. Kau tidak akan 
mendapatkan gadismu itu. Jika nanti kau sudah se-
tengah mampus, aku akan memperkosanya di depan 
hidung dan matamu!" tegas Patih Luragung disertai se-
sungging senyum sinis.
"Begitu, Patih? Lagakmu kren amat. Ingin kuli-
hat apakah ucapanmu itu benar-benar terbukti, atau 
kau hanya sebangsanya anjing yang cuma dapat 
menggonggong tapi tidak bisa menggigit karena terlalu 
tua dan giginya ompong semua. Ha ha ha...!"
"Anak setan! Heaa...!"
"Setan gundul! Ufs...!" sahut Pendekar Blo'on 
menyambut serangan Patih Luragung. Pemuda beram-
but hitam kemerah-merahan ini langsung dorongkan 
kedua tangannya ke depan. Sedangkan kepalanya me-
runduk. Ketika tangannya hampir membentur dengan 
tangan lawannya. Maka Suro langsung tarik tangannya 
dan menggeser langkah ke samping. Kaki kanannya 
sedikit diangkat menggaet kaki lawannya. 
"Bruuk!"
Patih Luragung tersungkur mencium lantai 
mar-mar. Hidungnya mengucurkan darah. Sambil 
menggeram marah Patih bangkit berdiri. Tanpa meng-
hiraukan darah yang menetes, ia berbalik menerkam 
lawannya dengan satu lompatan yang sangat cepat se

kali. Ketika itu Suro sudah berjingkrak-jingkrak seperti 
tingkah seekor monyet. Terkadang ia bahkan melom-
pat-lompat, lalu tangannya mencakar-cakar atau ter-
kadang menggaruk tubuhnya sendiri.
"Nguk! Nguk!"
Melihat jurus-jurus lawan yang tidak ubahnya 
seperti gerakan-gerakan kunyuk ini. Patih Luragung 
jadi kesal saja. Ia pun akhirnya semakin memperhebat 
serangan dan mempercepat gerakan pula. Setiap gera-
kan yang dilakukan Patih Luragung mengeluarkan de-
sir angin dingin dan panas silih berganti. Rupanya in-
ilah jurus "Membalik Bumi Merubah Langit' salah satu 
dari kesekian banyak jurus-jurus simpanan yang dimi-
likinya.
Tiba-tiba saja tinju Patih Luragung meluncur 
cepat menghantam dada Suro. Pemuda itu terkesiap, 
ia terguling-guling selamatkan diri. Ternyata serangan 
itu cuma tipuan, karena begitu lawan berguling-guling, 
mendadak saja Patih lepaskan tendangan beruntun 
yang lebih dahsyat. Suro jadi kalang kabut. Si konyol 
segera berjumpalitan. Ketika ia melakukan gerakan 
kedua. Tepat pula kaki lawannya terangkat. Tidak am-
pun lagi....
"Dess!"
"Ehekgh...!"
Pendekar Blo'on menjerit keras, tubuhnya sam-
pai terputar-putar karena sedemikian kerasnya ten-
dangan. Akan tetapi murid Penghulu Siluman Kera Pu-
tih sekaligus Malaikat Berambut Api ini cepat men-
gambil tindakan. Tiba-tiba saja ia melompat ke depan. 
Ketika lawan menghadang dengan pukulan jarak jauh. 
Suro malah berputar mengelilingi lawannya. Sementa-
ra itu dari bibirnya terdengar suara lolongan panjang 
menghiba-hiba atau terkadang suara tawa bekakakan.
"Edan! Pemuda ini punya apa? Aku sama sekali

tidak dapat menyentuh apalagi mendekatinya?" batin 
Patih Luragung dalam kagetnya. Memang tidaklah 
mengherankan bila Patih kerajaan ini dibuat terkejut. 
Karena rupanya Suro ketika itu sudah menggabung-
kan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kobaskan 
Ekor' dan 'Tawa Kera Siluman'. Akibatnya tentu sangat 
terasa bagi Patih Luragung.
Namun sebagai orang yang sudah kenyang ma-
kan asam garam di dalam pertempuran. Tentu Patih 
tidak mudah terkecoh. Tiba-tiba saja ia menggebrak ke 
depan. Serangkaian serangan gencar dilakukannya, 
ternyata Suro bukannya mundur. Melainkan menyam-
but serangan itu dengan tidak kalah sengitnya. Patih 
kerajaan lepaskan tendangan menggeledek, si konyol 
coba menyambutnya.
Duuk!
"Walah... keparat betul tuyul gundul ini...!" ma-
ki si pemuda. Ia terhuyung-huyung ke belakang. Tan-
gan pemuda itu tampak memerah, setelah diusap-usap 
tangan tersebut tampak berubah biasa kembali, hanya 
warna merah saja yang belum hilang sepenuhnya.
Patih Luragung memandang ke depannya den-
gan tatapan seakan tidak percaya. "Bocah ini bisa se-
lamat dari tendangan 'Lintas Bisa'?" pikirnya sambil 
menggelengkan kepala tidak habis mengerti. Laki-laki 
berkepala gundul itu tiba-tiba saja mencabut senjata 
mautnya berbentuk cakar. Ketika senjata itu dis-
usupkan disela-sela jarinya. Maka lima buah cakar 
berbentuk mata pisau ini siap mencabik-cabik tubuh 
Suro. 
"Krtk! Krtk!"
"Anak setan. Jika kau punya senjata yang da-
pat kau andalkan. Sebaiknya kau pergunakan. Dalam 
dua jurus di depan, nyawamu pasti tidak akan selamat."


Suro sadar betul bahwa ucapan lawannya bu-
kan gertakan kosong belaka. Ia tersenyum sinis sambil 
garuk-garuk kepala. Ia lalu acungkan tinjunya, dengan 
tinju terkepal ia setengah berlari dan menyerang ke 
depan. Patih Luragung mengibaskan lima buah cakar 
berbentuk seperti mata pisau yang cukup tajam sekali 
menyambut serangan Si Bocah Ajaib.
Suro menarik tangannya. Cakar melesat mem-
beset tempat kosong. Pada waktu bersamaan tangan 
kiri Suro menerobos pertahanan lawannya. 
"Braak!"
Patih Luragung terguling-guling, kepalanya 
menghantam dinding. Pukulan tadi cukup keras juga 
sehingga membuat tulang rusuk Patih patah berderak. 
Ia bangkit, tapi malah darah yang menyembur dari 
mulutnya. Suro sambil menyeringai termonyong-
monyong cabut senjatanya. Melihat ke senjata Pende-
kar Blo'on yang sangat aneh bentuknya membuat Pa-
tih jadi keder juga, walaupun memang tidak sempat 
kehilangan nyali seluruhnya. Suro menggerakkan 
Mandau Jantan di tangannya.
"Ngiiik!"
Lalu digerakkannya lagi ke samping dengan ca-
ra berbeda dengan yang pertama.
"Huuu hu hu...!"
Setelah si konyol menggerakkan lagi ke atas.
"Haaa haha...!"
"Nah, sudah kau dengar bagaimana irama sen-
jataku ini. Sebelum aku meminta tangan dan matamu, 
perlu ku jelaskan padamu tiga arti suara senjata ini. 
Suara ringkik kuda sama artinya dengan penderitaan 
hidup manusia. Sedangkan suara tawa, itulah kejaha-
tan dan kesenangan manusia. Sedangkan Suara tan-
gis. Itulah pertanggung jawaban manusia dihari yang 
paling menentukan yaitu hari pembalasan!" kata Suro.

"Pemuda keparat! Kau hanya pandai berkhot-
bah?" maki Patih Luragung.
"Oh, kau rupanya tidak percaya dengan da-
tangnya hari kiamat. Sekarang aku dapat menunjuk-
kan salah satu contoh kecil! Hiyaa...!" Pemuda ini tiba-
tiba saja berteriak keras. Lalu pemuda ini menerjang 
ke arah lawannya. Sedangkan Mandau Jantan di tan-
gannya meluncur....
"Trak!"
Senjata itu tertahan cakar di tangan Patih. Tapi 
Suro terus menggerakkan tangannya yang bebas ke 
mata lawannya. Apa yang dilakukannya ini tidak ber-
langsung mulus. Karena tangan kiri Patih menahannya 
pula. Maka dalam keadaan saling tindih ini terjadilah 
dorong-mendorong. Masing-masing lawan kelihatannya 
memang berusaha menyerang atau bertahan. Suro me-
lotot, sedangkan Patih Luragung tegang berusaha se-
lamatkan matanya. Mandau terus ditekan, tapi lima 
cakar di jari Patih menahan. Apa yang sedang berlang-
sung ini memang terkesan lucu menggelikan tapi juga 
menegangkan.
***
7
Pendekar Blo'on lipat gandakan tenaga dalam-
nya. Mandau ditekannya, sedangkan tangan kiri terus 
terarah ke mata Patih Luragung. Sampai akhirnya Su-
ro membuat gerakan ringan tapi berbahaya. Mandau di 
tangannya bergerak.
"Traak!"
"Cress!" 
"Aaak...!"

Patih menjerit kesakitan. Cakar mautnya han-
cur, tangan putus mengucurkan darah. Bersamaan 
dengan itu pula Patih Luragung tidak dapat memper-
tahankan matanya. Dua jari tangan Pendekar Blo'on 
menghunjam di kedua matanya.
"Protk!"
Maka berteriaklah Patih Luragung seperti orang 
gila. Kedua matanya melesak dan hancur. Darah se-
makin bertambah banyak. Laki-laki ini memang benar-
benar mengalami penderitaan yang teramat sangat. Ia 
kemudian berdiri, lalu lari sekencangnya sambil men-
dekap kedua belah matanya yang mengucurkan darah. 
Karena matanya sudah tidak dapat melihat lagi, maka 
berulang kali ia jatuh bangun- menabrak dinding. Se-
tiap jatuh bangun lagi lalu lari demikianlah yang terja-
di seterusnya,
Murid Malaikat Berambut Api masukkan kem-
bali senjata ke dalam rangkanya. Ia mendekati Puspita 
dengan mata terpejam. Lalu setelah berjongkok di 
sampingnya dibenahinya pakaian si gadis yang sempat 
berantakan. Karena matanya tertutup, terkadang ia 
menyenggol dua daging yang menonjol itu. 
"Bangsat itu mudah-mudahan saja mendapat 
ganjaran yang setimpal!" gerutu Pendekar Blo'on. 
Setelah pakaian Puspita rapi, maka Suro mem-
buka matanya. Lalu ia meraba denyut nadi di perge-
langan tangannya. 
"Heh, jantungnya lemah sekali. Racunnya cu-
kup kuat, dia perlu pertolongan secepatnya." Karena 
Puspita masih belum sadar, maka Suro jadi bingung. 
Lalu garuk-garuk kepalanya
"Gila?! Kalau kutempelkan tangan ini ke da-
danya, nanti dia kira aku kurang ajar dan bermaksud 
macam-macam. Padahal aku harus menyalurkan tena-
ga dalamku." kata Suro.

Lama juga ia termenung memikirkan jalan ter-
baik. Sampai kemudian bibirnya yang cemberut itu 
tersenyum. Tanpa bicara apa-apa, Suro menelung-
kupkan badan si gadis. Kemudian kedua tangannya 
pun menempel ketat di punggung Puspita. Suro bersi-
la, lalu pejamkan matanya. Wajah yang penuh keko-
nyolan tersebut tampak tegang. Sebentar saja tubuh-
nya telah basah oleh keringat dan bergetar. Perlahan 
namun pasti. Dari ubun-ubun Pendekar kocak ini 
membersit kabut tipis. Ternyata bukan dari ubun-
ubun saja kabut tipis keluar, tapi dari lubang hidung 
dan mulutnya keluar kabut yang sama.
Ini merupakan suatu tanda bahwa Pemuda 
Ajaib yang terlahir pada malam satu Asyuro ini sedang 
mengerahkan seluruh hawa murni yang dimilikinya. 
Tubuh Puspita yang dingin mulai menghangat, hawa 
hangat ini terus menjalar ke sekujur tubuhnya. Pori-
pori Puspita berubah merah, lalu dari setiap pori-pori 
yang muncul ke permukaan itu keluar darah kental 
berwarna kehitam-kehitaman.
Pendekar Blo'on lalu menarik tangannya kem-
bali saat terdengar suara rintihan si gadis. Lalu ia ber-
semedhi untuk menghimpun kekuatan kembali. Perla-
han Suro membuka matanya. Sedangkan gadis berpa-
kaian hitam ini sudah duduk, namun tubuhnya masih 
terasa lemas.
"Kau...?!" Puspita terkejut melihat Suro telah 
berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi ketika tidak 
melihat kelima laki-laki utusan lima benua sudah ti-
dak ada lagi di situ.
"Kemana mereka?"
"Mereka siapa?" tanya Suro Blondo.
"Para utusan itu bersama-sama aku di sini. La-
lu seseorang menjebak kami!" jelas Puspita Sari. Ke-
mudian secara singkat Puspita menceritakan saat-saat
terakhir memasuki jebakan.
"Tidak perlu kau risaukan. Mereka sedang me-
nunggu hukum pancung dari Patih Luragung." tegas 
Suro. Lalu sambil garuk-garuk kepala ia melanjutkan 
ucapannya. "Tapi Patih yang hampir menodaimu itu 
entah becus menjalankan hukum pancung atau tidak."
"Apa maksudmu? Berterus teranglah...!" desak 
gadis itu rupanya penasaran.
"Lha wong tangannya sudah kupotong. Sedang-
kan matanya sudah kubutakan. Aku takut malah ia 
memancung burungnya sendiri."
"Jadi... dia hampir kurang ajar padaku?!" de-
sisnya dengan mata terbelalak lebar.
"Huh, kesalahanmu selalu kurang waspada, 
kau kelenger melulu. Bagian atas sih sudah diacak-
diacak oleh Patih gundul tadi. Cuma bagian bukit-
bukitnya saja. Sedangkan bagian hutan dan rimbanya 
aku jamin belum! Ha ha ha...!" Suro tertawa bergelak.
"Plak! Plaak!"
"Aduh...!"
Pendekar Blo'on jatuh terguling-guling. Se-
dangkan Puspita berdiri bertolak pinggang. Mata men-
delik memandang Suro dengan tatapan tidak suka.
"Kau...!" Suro terperangah.
"Ya, aku terpaksa menampar mulutmu yang 
kurang ajar. Aku tidak suka mendengar ucapanmu, 
kau tahu?" ketus suara Puspita.
Suro menyeka bibirnya yang berdarah. Ia me-
ringis kesakitan. Baru saja ia hendak buka mulut, satu 
tamparan menghantam hidungnya.
"Kau, mengapa kau menamparku!" Suro mem-
protes.
"Aku tidak suka mendengar kata-katamu yang 
kotor!" Pendekar Blo'on masih dapat tersenyum meski-
pun senyumnya terkesan dipaksakan.
"Kau rupanya lebih suka dibuka dan diraba-
raba oleh orang biadab dari pada sekedar kata-kataku 
yang kurang berkenan?!"
"Sungguh aku ingin membunuh mereka, tapi 
kuharap kau suka menjaga mulut dalam setiap kata-
katamu!"
Suro Blondo tiba-tiba saja terkekeh. "Perem-
puan bagiku adalah makhluk misterius, ceriwis dan 
menggemaskan. Sekali lagi kau berani menampar aku. 
Aku bersumpah pasti akan membalasmu dengan se-
buah ciuman yang tidak akan pernah kulepaskan!"
"Dasar pemuda gendeng!" dengus si gadis, wa-
jahnya berubah memerah. "Ke mana mereka?"
"Di halaman depan. Pergilah ke kamar yang su-
dah kubuka. Di sana Pendekar Lugu dan Raja Kodok 
masih dalam keadaan pingsan. Mereka sudah berusa-
ha kutolong. Dan kurasa sekarang mereka sudah sa-
dar!" Pendekar Blo'on lalu membalikkan tubuhnya dan 
berjalan ke ruangan lain tanpa menoleh-noleh lagi.
"Kau mau kemana?" 
"Tentu saja menjauh darimu, aku bosan kau 
gampari (gaploki) terus menerus. Bisa-bisa mulutku 
jontor dan mancung ke depan jika urusan gila ini sele-
sai!" sahut Si Bocah Ajaib sayup-sayup di kejauhan.
Puspita alias Rana Unggul tercenung menden-
gar kata-kata pemuda itu. Ia menyesal mengapa ia tu-
run tangan kasar terhadap pemuda yang telah menye-
lamatkan kehormatannya berulang kali. Padahal seca-
ra tidak sadar sekarang ia mencintai pemuda itu. Dia 
selalu berbuat salah, sedangkan pemuda itu sama se-
kali belum pernah menyakitinya. Tingkahnya yang ko-
nyol itu memang sudah menjadi sifatnya. Sifat yang 
dibawanya sejak lahir, mungkin. Tanpa pernah dibuat-
buat. 
"Oh, mudah-mudahan ia tidak merasa sakit hati atas perlakuanku!" rintih hati kecil Puspita. Kemu-
dian dengan perasaan tidak menentu ia meninggalkan 
ruangan megah tersebut untuk menuju ke ruangan 
lain dimana Raja Kodok dan Pendekar Lugu berada.
* * *
"Patihku tidak pernah kembali ke sini?!" kata 
laki-laki memakai mahkota kebesaran ditujukan pada 
seorang laki-laki bertubuh besar perut besar yang kini 
menjadi siterunya karena telah berani berzina dengan 
salah seorang selirnya yang bernama Seriti. Si gendut 
kikir yang tiada lain hartawan Abdi Banda beringsut 
menjauh.
"Paduka, Sang Maha Sesat adalah makhluk 
yang dapat dipercaya. Ia tidak mungkin memungkiri 
janjinya." 
"Hartawan keparat! Apa yang dikatakannya pa-
damu diantara kebenaran-kebenaran yang dia 
ucapkan?" Setengah sinis raja Lalim Durjana bertanya.
"Di... dia dapat menjaga keselamatan harta 
bendaku. Dia juga membuat aku panjang umur karena 
aku telah mematuhi saran dan perintahnya!" 
Lalim Durjana kerutkan keningnya, seraya 
mondar-mandir di depan sang hartawan yang kini be-
rubah menjadi seorang pesakitan.
"Dia berkata begitu padamu? Apakah kau su-
dah melihat harta bendamu masih utuh di tempat-
nya?"
"Aku belum melihatnya, baginda."
"Apakah kau juga ingin tahu bahwa kau pan-
jang umur jika aku memenggal kepalamu?!" dengus 
laki-laki itu sengit.
"Paduka, mengapa tuan berkata begitu?" tanya 
Abdi Banda ketakutan.

"Ha ha ha! Bukan aku bernama Lalim Durjana 
jika aku bukan seorang raja yang kejam dan penuh 
kedurjanaan. Ingat-ingatlah, aku tidak pernah melu-
pakan kesalahanmu, apalagi kesalahan itu menyang-
kut kehormatan dan harga diriku. Kau telah mengin-
jak-injak martabatku, Abdi Banda. Setiap kesalahan 
yang diperbuat oleh seseorang, aku tidak dapat lagi 
membedakan seorang kawan atau lawan. Nah, seka-
rang kepada siapa kau mau minta perlindungan selain 
kepadaku?!"
"Oh jangan. Aku janji tidak akan mengulangi 
kesalahan yang sama!" Hartawan Abdi Banda meratap.
"Mintalah perlindungan pada Sang Maha Se-
satmu, aku punya firasat dia sekarang sudah mening-
galkanmu!" Hartawan Abdi Banda menangis, mengge-
rung sambil memanggil-manggil Sang Maha Sesat.
Sementara itu Lalim Durjana sudah mengelua-
rkan sebuah pisau tipis yang berkilat-kilat karena ke-
tajamannya.
"Sekarang bukalah celanamu, punya kau harus 
dipotong untuk menebus kesalahanmu!" tegas Raja 
Ujung Dunia.
"Paduka??" Abdi Banda keluarkan seruan ka-
get.
"Buka kataku!" perintah Lalim Durjana seten-
gah membentak.
Dalam takutnya itu Abdi Banda ragu-ragu. Ra-
sanya kali ini memang tidak ada yang menyelamatkan 
atau membelanya lagi. Tubuh laki-laki gendut ini tam-
pak menggigil. Terlintas dalam pikirannya, jika ia kehi-
langan pusaka yang sangat berharga, berarti hidup ini 
rasanya sangat hampa sekali. Setiap ada gadis cantik 
ia nanti cuma bisa gigit jari. Atau cuma dapat telan lu-
dah tanpa, ia tahu bagaimana lagi nikmatnya sorga 
dunia.

Baginya lebih baik kehilangan semua harta 
bendanya dari pada harus kehilangan tongkat pusaka. 
Atau kehilangan seribu surat Maha penting yang ter-
simpan di gudang harta.
"Baginda jangan sakiti aku. Sebagai gantinya 
aku rela menyerahkan seluruh harta serta Surat Ke-
damaian Dunia yang tersimpan di gudang hutan la-
rangan. Percayalah baginda, asalkan jangan punya 
aku satu-satunya itu kau minta dengan paksa!" Suara 
hartawan kaya itu memelas sekali.
"Puah, ngomong apa kau? Aku tidak butuh har-
tamu, aku juga tidak membutuhkan segala macam su-
rat. Kau harus jalani hukuman untuk menegakkan 
kewibawaanku!" Raja Lalim Durjana tetap pada kepu-
tusannya.
Abdi Banda semakin kecut. Dia berdoa, tapi 
doa itu ditujukan pada siapa? Selama hidupnya ia ti-
dak pernah mengenal Tuhan, ia tidak pernah me-
nyembah atau melaksanakan perintahnya. Ia sering 
berhura-hura dan bangga dengan hartanya. Tuhan 
pasti membencinya, Tuhan pasti mentertawainya. 
"Berdoa pada setan, sedangkan Sang Maha Sesat yang 
menjadi panutannya tidak muncul. Keputusan terak-
hir ia pun berdoa pada setan....
"Oh setan, cegahlah orang ini. Aku tidak mau 
kehilangan apa yang aku punya. Perempuan bagiku 
adalah hidangan, mana mungkin aku menyantap hi-
dangan hanya dengan melihat-lihat saja langsung ke-
nyang. Aku juga takut mati, kalau yang satu dicabut-
nya, mungkin aku akan mati. Jangan... kumohon ga-
galkan usaha raja kejam ini...!" rintihnya dalam hati.
"Ha ha ha...! Selesaikah kau berdoa, Abdi Ban-
da? Ketahuilah, Tuhan pasti akan mencampakkan 
doamu ke tong sampah. Waktu senangmu saja kau ti-
dak pernah bersyukur dan berdoa. Ketahuilah, doamu

tidak ubahnya bualan busuk! Sekarang buka!!" teriak 
Lalim Durjana
"Paduka!" desis si gendut. Ia beringsut mundur 
ketika melihat raja Lalim Durjana bergerak mendekat 
ke arahnya.
"Jika kau tidak turut perintah, maka kedua ke-
palamu akan kupisahkan dari badanmu!" dengus sang 
raja penuh ancaman.
Karena merasa terdesak dan tidak punya pili-
han lain. Maka hartawan Abdi Banda akhirnya menjadi 
nekad. Ia sadar Lalim Durjana punya kesaktian jauh 
lebih tinggi dibandingkan dirinya. Namun rupanya har-
tawan ini menganut pepatah berbuat lebih baik dari 
pada tidak sama sekali.
"Di sini hanya tinggal kita berdua saja, Paduka. 
Aku punya keagungan kau punya kekuasaan. Jika kau 
terus memaksaku. Maka salah satu dari dua kebesa-
ran itu akan ada yang runtuh. Sekarang tinggal terse-
rah kau, memilih damai atau cari permusuhan!" 
Maka tertawalah raja Lalim Durjana mendengar 
ucapan sang hartawan.
"Kau tidak ubahnya dengan katak yang mau 
melawan lembu. Harapanmu itu hanya akan sia-sia 
saja, Abdi Banda! Kau pasti pecundang dan mati di 
tanganku!" dengus Lalim Durjana sengit sekaligus se-
makin bertambah marah.
"Aku tidak pernah mati, aku tidak akan mati 
selamanya sesuai petunjuk Sang Maha Sesat. Ha ha 
ha...!" Sambil tersenyum sinis, tiba-tiba saja Lalim 
Durjana menusukkan pisau kecil di tangannya. Gera-
kannya cepat, namun Abdi Banda yang sudah nekad 
itu berkelit selamatkan perutnya lalu tangannya 
menghantam pergelangan tangan lawan.
"Plak!"
Lalim Durjana terhuyung, pisau di tangannya

terlepas. Sesungguhnya hartawan itu hanya memper-
gunakan tenaga kasar saja. Karena tenaganya kelewat 
besar. Raja yang kurus ini nyaris jatuh. Ia menggeram, 
secepat kilat Lalim Durjana melompat. Kakinya me-
nyapu dan meluncur deras ke perut sang hartawan. Si 
gendut menangkisnya, raja Ujung Dunia menarik balik 
kakinya, serangan kaki digantikan pukulan tangan kiri 
kanan. Dengan gerakan yang lamban si gendut coba 
menangkisnya. Namun terlambat.... 
"Brak!"
"Akh...!" 
"Buum!"
Abdi Banda jatuh berdebum. Hidungnya han-
cur, tulang iganya retak, dan ia tidak dapat bangkit 
kembali. Raja Lalim Durjana menyeringai. Ia mencabut 
pedang pendek, sekali melompat ia sudah membuat 
celana hartawan itu robek. Lalu....
"Cres!"
Sekali lagi pedang itu berkelebat, maka putus-
lah milik hartawan itu. Abdi Banda meraung keras 
sambil pegangi sisa anunya yang mengucurkan darah. 
Abdi Banda totok urat nadi besar, darah terhenti, na-
mun rasa sakit itu tidak tertahankan. Begitu hebatnya 
ia menahan rasa sakit sampai diluar kesadarannya ia 
terkencing-kencing. Air yang mengalir keluar itu hanya 
membuat sang hartawan semakin menderita. Lalim 
Durjana tersenyum puas.
***
8
Belum sempat ia menyarungkan pedang kecil-
nya yang berlumuran darah. Pintu kamar besar itu

berderak terbuka. Seorang kakek tua berpakaian putih 
berjenggot putih masuk tanpa basa-basi. Raja Lalim 
Durjana tersentak kaget. Ia memandang pada kakek di 
depannya penuh rasa curiga. Kesempatan ini dipergu-
nakan oleh Abdi Banda untuk membetulkan pakaian-
nya yang dipenuhi darah. Lalim Durjana menyilangkan 
senjatanya di depan dada. Senyumnya sinis, kumisnya 
bergerak-gerak. Seakan kumis itu punya nyawa.
"Siapakah kau orang tua? Datang dengan 
membawa maksud buruk atau baik? Jika buruk se-
baiknya cepat angkat kaki tinggalkan ruangan rahasia 
ini. Jika maksudmu baik sejalan dengan keinginanku, 
ketahuilah aku punya puteri cantik-cantik, kau berhak 
mendapatkan salah seorang diantaranya!" Raja Lalim 
Durjana diam-diam lancarkan siasat jalankan taktik.
"Huk huk huk...!" Kakek baju putih alias Ma-
laikat Penderitaan tertawa, tapi tawanya seperti orang 
menangis. "Kemewahan dunia ini di mata Gusti Allah 
tidak lebih besar dari sebelah sayap nyamuk. Aku be-
nar-benar menderita mendengar tawaranmu. Namun 
aku lebih menderita lagi melihat cara dan jalan hidup 
yang kau tempuh! Ketahui pula olehmu, hari ini Anak 
Langit akan membuka sedikit rahasia dari sekian ba-
nyak rahasia besar Gusti Allah. Nanti kau akan me-
nyaksikannya, kau bahkan akan menjalaninya sebagai 
bukti dan contoh bagi orang-orang yang datang setelah 
kita!"
"Kau bicara apa, orang tua? Sungguh kata-
katamu sulit ku mengerti?!" Membentak Raja Lalim 
Durjana.
"Aku bicara tentang keadilan. Aku bicara ten-
tang kekejamanmu, aku juga bicara tentang kerakusan 
orang gendut itu akan harta! Kalian dengar, kerakusan 
dan kekejaman!"
"Puah! Manusia busuk tidak tahu diuntung.

Engkaukah yang berjuluk Malaikat Penderitaan?" 
tanya Lalim Durjana sinis.
"Aahk... aku menderita mendengar ucapanmu. 
Kata dan tebakanmu tidak ada yang salah. Yang patut 
kusesalkan adalah perbuatanmu. Maka sekarang ini 
sebaiknya kau menyerah!" 
Wajah Lalim Durjana berubah menegang, apa-
bila ia menarik nafas, maka desah nafasnya memburu. 
Pertanda ia berusaha meredam gejolak kemarahannya.
"Tidak perlu berdebat, Kat! Sebaiknya ringkus 
saja dulu kutu busuk yang bikin onar dipermukaan 
bumi itu. Atau kau merasa tidak sanggup? Kalau tidak 
becus, aku juga bisa meringkus mereka!" Tiba-tiba saja 
terdengar suara seseorang menimpali. Malaikat Pende-
ritaan maklum siapa yang datang. Tapi Lalim Durjana 
dan hartawan Abdi Banda sama memandang ke arah 
pintu. Di depan pintu berdiri seorang pemuda rambut 
hitam kemerahan pakai ikat kepala biru belang-belang 
kuning. Lagaknya cengar-cengir seperti pemuda ku-
rang waras. Ia bertolak pinggang kedua tangannya 
menyentuh ketiak. Sehingga membuat geli yang meli-
hatnya.
Melihat kemunculan pemuda tampan bertam-
pang ketolol-tololan, maka hartawan Abdi Banda 
bangkit berdiri, bahkan Lalim Durjana yang memang 
sudah pernah melihat pemuda ini ketika bentrok den-
gan Raja Tega di halaman istana langsung melompat 
ke depan. Untuk lebih jelasnya(Dalam episode Lima 
Utusan Akherat). 
Lalim Durjana melotot, melihat laki-laki jang-
kung itu melotot, maka Suro pun ikut melotot pula. 
Sehingga beberapa saat lamanya mereka saling pelotot-
pelototan.
"Haes, lama-lama pegal mataku!" Suro ke-
dipkan matanya. "Kalau dipikir-pikir sebaiknya kau

dan si gendut jelek yang telah kehilangan tongkat itu 
menyerah saja. Percuma kalian melawan, kau dengar 
tidak? Bukankah begitu, Kat?" Suro menoleh pada si 
kakek seakan minta dukungan.
"Anak setan! Kau berada di wilayah kekua-
saanku, masih juga kau berani jual lagak?" Lalim Dur-
jana mendengus geram, lalu katupkan mulutnya ra-
pat-rapat.
"Kekuasaan kepalamu peang?! Ha ha ha...! Bi-
cara apa kau raja jelek bau apek? Terhadap dirimu 
sendiri saja kau tidak punya kuasa." Pendekar Blo'on 
tersenyum mencibir. 
"Heaa...!"
Lalim Durjana tiba-tiba saja kirimkan pukulan 
ke arah Suro. Pemuda ini dengan mulut termonyong-
monyong langsung melompat dan berlindung di bela-
kang Malaikat Penderitaan. Pukulan Lalim Durjana 
praktis menghantam tembok di belakangnya. Tembok 
hancur, sebagian kamar runtuh hingga tanah menim-
buni ruangan itu.
"Kat, sekarang giliranmu! Dia sudah mulai gila, 
rupanya raja gendeng ini hendak mengubur kita hi-
dup-hidup di sini. Ayolah maju, tunggu apa lagi?" de-
sak Si Bocah Ajaib serius.
"Pendekar geblek! Menyingkirlah kau dari sini." 
bentak Malaikat Penderitaan. Kalau pun Pendekar 
Blo'on menyingkir, maka ia duduk sambil uncang-
uncang kaki di atas kursi mewah yang terletak di su-
dut ruangan. Rupanya sekarang raja Lalim Durjana te-
lah mencabut senjatanya. Satu tikaman telak dilaku-
kannya. Hartawan Abdi Banda tutup mata ketika meli-
hat berkelebatnya senjata itu. Sedangkan Malaikat 
Penderitaan hanya sedikit saja menggeser kakinya. La-
lu tangannya menyambar ujung senjata lawannya.
"Plak!"

"Heh!"
Senjata itu melesat ke atas dan tidak mengenai 
sasarannya. Dengan penuh rasa geram Lalim Durjana 
memutar senjata, setelah beberapa kali berkelebat-
kelebat di udara. Kemudian disertai teriakan keras ia 
melompat sambil babatkan senjatanya ke bahu si ka-
kek. Sama sekali Malaikat Penderitaan tidak menghin-
dar. Telak sekali senjata mengenai sasarannya.
"Craak!"
Lalim Durjana menjadi terkejut karena senja-
tanya seakan hanya menghantam batu cadas yang bu-
kan main-main kerasnya. Ia periksa senjatanya. Ter-
nyata senjata itu mengalami kerusakan. Kini ia menu-
sukkan senjata ke perut lawannya, ternyata si kakek 
sama sekali tidak menghindar. Malah ia seakan mem-
berikan perutnya untuk ditusuk. 
"Jheees!" 
Sebagian senjata Lalim Durjana menembus ke 
perut Malaikat Penderitaan. Ia tertawa, tawa khas se-
perti orang yang menangis sedih menghiba-hiba. Pe-
nuh kejut Lalim Durjana menarik senjatanya lagi dari 
perut lawan. 
Astaga! Senjata itu seakan berubah panjang 
dan tidak ada habis-habisnya meskipun sang raja su-
dah bergerak sampai di depan pintu.
Melihat kejadian ini Suro garuk-garuk kepala 
sambil bertepuk tangan. Ia bahkan berjingkrak-
jingkrak sehingga membuat kursi bergoyang-goyang 
dengan keras.
"Hebat! Ha ha ha....! Ternyata kau juga pandai 
main sulap, Kat. Menyesal jika kau tidak mau menga-
jari aku. Hebat...! Ha ha ha! Raja gelo itu bisa frustrasi 
melihat ulahmu, Kat!" celetuk Suro tiada henti berte-
puk tangan.
Malaikat Penderitaan sama sekali tidak me

nanggapi ucapan si konyol. Ia kemudian memegang 
badan pedang, senjata itu diketuk-ketuknya tiga kali. 
Tiba-tiba saja pedang milik Lalim Durjana memendek. 
Laki-laki itu pun tersentak dan ikut terbawa senja-
tanya. Ketika ia telah berada satu meter di depan Ma-
laikat Penderitaan. Maka kakek berjenggot putih ini 
menjatuhkan totokan bertubi-tubi.
"Tak! Tik! Tuuk!"
"Aaaaa...!"
Lalim Durjana menjerit kesakitan, ia menggele-
par, meliuk bahkan membanting-banting badannya. 
Ini merupakan sebuah siksaan yang sangat dahsyat 
melebihi sakitnya tertusuk seribu mata pedang. Begitu 
menderita Lalim Durjana sampai ia terkencing-
kencing.
Si kakek menggumam tidak jelas dan mencam-
pakkan senjata lawannya. Melihat kejadian itu, harta-
wan Abdi Banda bermaksud melarikan diri. Tapi Suro 
sudah menghadangnya.
"Eit... mau kemana kau gajah bunting! Ini ba-
gianmu!" desis Si Bocah Ajaib. Lalu ia menotok Abdi 
Banda, sehingga tubuh hartawan itu berubah kaku ti-
dak dapat digerakkan. Sementara itu raja Lalim Durja-
na terus berguling-guling sambil menjerit histeris.
"Apa yang kakek lakukan padanya?" tanya 
Suro kemudian.
"Dia harus merasakan penderitaan orang lain, 
begitulah rasanya. Nah, sekarang kau uruslah gendut 
kikir itu." perintah si kakek. Sekejap kemudian tubuh-
nya sudah berkelebat sambil menenteng raja Lalim 
Durjana
"Betul-betul hebat orang itu. Aku tidak tahu 
seberapa banyak kesaktian aneh yang dia miliki!" kata 
Pendekar Blo'on dalam hati. Lalu ia memandang tajam 
pada hartawan Abdi Banda, sementara itu keluarga raja, termasuk ratu dan puterinya sudah datang ke 
ruangan itu. Rupanya mereka kaget ketika mendengar 
jeritan sang raja. Kenyataannya Si Bocah Ajaib tidak 
begitu perduli, perhatiannya tetap tertuju pada harta-
wan Abdi Banda. Lalu terlihatlah senyumnya yang si-
nis disertai kata-kata yang cukup pedas....
"Ketika tempat-tempat maksiat, perjudian dan 
rumah madat kau dirikan. Itulah awal sebuah jiwa 
menjadi budak nafsu. Kau kotori bumi ini dengan ke-
maksiatan, dengan tawamu dan tawa orang-orang ber-
bau mesum. Hidupmu terangkat di atas tumpukan 
dan gelimang dosa. Dari desah dan erangan nafas ber-
lendir. Mata dan hatimu, jiwa dan pikiranmu terkunci 
mati. Lalu Sang Maha Sesat berdiri di atas segala, ke-
mudian bermunculanlah orang-orang dalam kemuna-
fikan, kau ambil pengawal-pengawal dari barisan setan 
yang terlaknat. Jalan hidupmu menyalahi kodrat, be-
tapa sia-sia hidup sepanjang usiamu. Itulah persoalan 
pertama yang perlu kusampaikan padamu." kata Suro 
serius. "Persoalan yang kedua adalah, kau telah meng-
himpun segala kebusukan dunia, kedengkiannya, kei-
riannya, kesombongan dan fitnahnya. Semua kau 
kumpulkan dalam sebuah singgasana harta yang pal-
su. Diantara sekian banyak wanita yang kau zinahi 
atas nama isteri. Ada satu kebiadapan yang kau per-
buat. Kau tatto tubuh si gadis malang. Dadanya, au-
ratnya dan tempat-tempat terlarang untuk menyem-
bunyikan sebuah peta tempat penyimpanan surat ke-
benaran. Kau memberi hanya mengharap imbalan, kau 
menyembah setan dan nafsumu sendiri. Aku si bodoh 
Pendekar Blo'on, telah bersumpah di depan mayat pe-
rempuan itu. Akan mentatto tubuhmu dengan gambar 
tongkat yang paling besar di dunia. Itulah simbol ke-
perkasaanmu yang kau puja-puja sampai mati!"
Maka pucatlah wajah hartawan Abdi Banda
demi mendengar ucapan Si Bocah Ajaib yang secara ti-
ba-tiba seperti orang yang sedang berpetuah itu. Ke-
luarga raja termasuk permaisuri dan putri-putrinya 
tercengang. Suro memberi isyarat pada mereka 
untuk segera menyingkir. 
"Ini bukan urusan kalian, menjauhlah jika in-
gin selamat!" perintah murid Penghulu Siluman Kera 
Putih. Maka tanpa berani membantah lagi keluarga 
kerajaan yang tidak ikut ambil bagian dalam masa-
lah besar itu langsung menyingkir. Suro mengeluarkan 
Mandau Jantan di tangannya. Lalu secepat kilat Man-
dau itu berkelebat di atas dada Abdi Banda. Laki-laki 
berperut besar seperti kuali besar tertelungkup menje-
rit setinggi langit. Hanya dalam waktu singkat dari pu-
sar Abdi Banda sampai ke dada terukirlah sebuah 
tongkat besar memakai topi waja.
"Apa yang menjadi janjiku telah kulaksanakan. 
Semoga arwah isterimu dapat tenang di alam sana!" 
desis Pendekar Blo'on. Tidak lama ia pun membe-
baskan totokan, setelah totokan terbebas maka Suro 
Blondo memerintahkan hartawan Abdi Banda berjalan 
menuju alun-alun.
* * *
Halaman istana yang luas itu kini secara aneh 
telah berubah menjadi sebuah tempat yang terasa as-
ing serba putih. Semua orang termasuk di dalamnya, 
Pertapa Seribu Abad, Raja Tega, Arung Garda dan Pa-
tih Luragung jadi terkejut. Mereka seakan telah dipin-
dahkan dari satu alam ke alam lainnya.
Yang membuat para tokoh sesat ini menjadi ka-
get, karena di tengah-tengah hamparan alam yang ser-
ba putih namun panas seperti membakar itu. Terdapat 
pula sebuah menara yang seakan menjulang ke langit.
Semula kejadian yang berlangsung singkat ini diawali 
dengan gelegar suara petir yang sambung menyam-
bung tiada henti. Kemudian mata mereka menjadi si-
lau pada waktu sinar putih melesat seakan datang dari 
langit. Lalu terlihat sinar putih lainnya yang lebih te-
rang, berpedar-pedar seperti cahaya bintang kejora.
Malaikat Penderitaan yang muncul kemudian 
bersama Lalim Durjana juga tidak kalah kagetnya. Ia 
langsung memuji kebesaran Gusti Allah atas segala 
keajaiban yang terjadi. Laki-laki tua ini memandang ke 
langit. Ia melihat sebuah cahaya besar bersinar menyi-
laukan mata. Sinar yang apabila mata terlalu lama 
memandangnya dapat menjadi buta. Raja Lalim Dur-
jana menggigil ketakutan, memandang ke tengah-
tengah halaman yang telah berubah menjadi sebuah 
daerah yang teramat asing itu terdapat. Dua menara 
yang satu berwarna putih berkilauan yang lainnya 
berwarna hitam pekat.
Di sanalah menunggu Pendekar Lugu, Raja Ko-
dok, Puspita. Dan juga para Utusan Akherat. Menung-
gu kabar yang selama ini mereka harap kedatangannya 
dengan perasaan takut, gembira, juga cemas. Tidak 
lama kemudian muncul Suro Blondo bersama harta-
wan Abdi Banda yang sudah dibuat tidak berkutik. 
Melihat kejadian yang serba aneh ini si pemuda ter-
cengang.
"Weleh-weleh... orang-orang, kita berada dima-
na sekarang? Apakah kita sudah mati. Apakah kita be-
rada di alam baka? Wah... bagaimana ini aku belum 
bertobat, belum juga kawin. Malaikat, Kat... kita bera-
da dimana?" tanya si konyol, saking bingungnya pe-
muda itu tidak henti-hentinya menggaruk kepala. 
Pendekar Lugu menyahuti. "Saudaraku, kini 
sudah saatnya Anak Langit berkenan memberi kabar 
kepada kita. Memberi petunjuk, agar setiap jiwa dapat

merenunginya. Kalian lihatlah, Lima Utusan Akherat 
sudah sadar dengan sendirinya atas kehendak Tuhan. 
Lihat ke langit!"
Suro memandang ke langit. Tapi tidak ada ke-
mampuan bagi matanya untuk menentang cahaya pu-
tih berpedar-pedar itu.
"Itukah Anak Langit?"
"Ya...!" Malaikat Penderitaan menyahuti.
Murid Malaikat Berambut Api baru saja hendak 
mengatakan sesuatu. Tiba-tiba saja cahaya putih ber-
gerak turun lebih rendah lagi. Lalu terdengar suara 
guntur menggelegar. Cahaya tadi mengalami peruba-
han yang sangat aneh dan membentuk ujud seperti 
seorang manusia biasa. Tapi tingginya tidak terkirakan 
bahkan menjulang tinggi ke langit. Kedua kaki orang 
ini tidak menyentuh tanah, melainkan mengambang 
menakjubkan. Ia memakai pakaian serba putih. Tela-
pak kakinya besar dan terompanya pun sangat besar 
sekali. Ketika ia mengulurkan tangannya ke arah Ma-
laikat Penderitaan. Maka kitab berisi Surat Kedamaian 
Dunia melesat dari balik pakaian si kakek berpindah 
ke tangannya. Kitab surat itu disentuhkannya ke dada. 
Bibir Anak Langit tersenyum betapa senyumannya 
penuh kedamaian. Entah mengapa para tokoh sesat 
sebaliknya malah menjadi sangat ketakutan sekali.
***
9
Anak Langit mengangkat tangannya. Semua 
orang yang berada di situ jatuh terduduk. Sekujur tu-
buh mereka menjadi lemas, penglihatan menjadi gon-
cang dan hati pun ikut terguncang.

"Aku adalah makhluk yang masih ciptaan Gusti 
Allah juga. Aku datang dari alam gaib, alam yang pe-
nuh dengan kebaikan dan lagi dilimpahi rahmat! Ka-
lian tidak mampu menembus alam itu dengan pengli-
hatan kalian. Tapi ketahuilah, bahwa setiap gerak-
gerik, langkah dan perbuatan manusia ada yang men-
gawasinya."
"Anak Langit? Bolehkah aku tahu siapa diri-
mu?" tanya Pendekar Blo'on serius.
"Aku adalah makhluk yang tidak pernah ber-
paling dari Tuhanku walau barang sekejap. Hanya itu 
saja yang perlu kau ketahui, hai anak manusia! Seka-
rang aku ingin mengatakan sesuatu yang juga pernah 
dikatakan pada orang-orang sebelum kalian. Ingat! Hi-
dup manusia itu sifatnya hanya sebentar saja. Waktu 
hidup manusia di dunia sangat sempit sekali bagi 
orang-orang yang mau berpikir. Maka beruntunglah 
orang-orang yang berbuat kebaikan di bumi ini, saling 
mengasihi dan berlomba-lomba dalam mengerjakan
kebaikan. Mereka tidak pernah lalai mengerjakan ke-
wajiban apa yang telah menjadi kewajibannya. Setiap 
manusia kelak akan mempertanggung-jawabkan per-
buatannya di hari pembalasan. Hari dimana yang se-
tiap jiwa tidak punya penolong. Ayah tidak dapat me-
wakili anaknya, anak tidak dapat mewakili ibunya. Ka-
rena semua orang sibuk dengan urusan masing-
masing. Ini adalah contoh yang sangat kecil. Nah seka-
rang aku ingin bertanya pada Pendekar Lugu. Apakah 
yang kau banggakan dalam hidupmu, hai anak manu-
sia?" Semua mata yang hadir kini tertuju pada Wahyu 
Sakaning Gusti. Pemuda itu tiba-tiba menangis terse-
du-sedu. Tangisnya begitu memilukan, sehingga baik 
golongan lurus maupun golongan sesat ikut-ikutan 
menangis.
"Sesungguhnya tidak ada yang aku banggakan

dalam hidupku. Aku adalah seorang pengelana yang 
menunggu datangnya ajal tiba. Aku tidak memiliki 
apa-apa, terkecuali kebaikan dan mengajak semua 
orang berbuat baik dan berbakti pada Tuhannya. 
Sungguh Ridhonya sangat ku dambakan, melebihi du-
nia dan seisinya..." kata Pendekar Lugu di tengah-
tengah sedu sedannya.
"Pendekar Lugu, aku melihat sebuah kese-
suaian antara ucapan dan isi hatimu. Gusti Allah Pen-
cipta seluruh makhluk meridhoimu. Wahai jiwa yang 
tenang. Jiwa yang tidak pernah marah, tidak dengki, 
tidak iri, tidak sombong, tidak takabur dan jiwa yang 
tidak pernah menyakiti sesama. Teruskanlah lang-
kahmu dalam keteguhan yang tidak pernah berpaling 
dari Tuhanmu. Kelak kau akan mendapatkan kebaha-
giaan yang tidak terhingga dari Tuhanmu." kata Anak 
Langit disertai senyum. 
Raja Kodok yang berada di samping Puspita 
tersentak kaget. Inilah orang yang aku cari. Pikirnya. 
Ia ingin mengatakan keinginannya untuk menjadi mu-
rid Pendekar Lugu. Namun mulutnya seperti terkunci. 
Anak Langit beralih pada Pendekar Blo'on. Lalu ada 
senyum menghias di bibirnya.
"Suro Blondo bocah yang terlahir pada malam 
satu Asyuro. Bagimu telah banyak diberi kelebihan. 
Antara lain dibalik ketololanmu tersimpan kecerdikan. 
Teruskanlah usahamu dalam menegakkan kebenaran: 
Satu sifat jelekmu terlalu mata keranjang. Kurangi dan 
hilangkanlah itu. Sebab matamu adalah kemaksiatan, 
telingamu, otakmu, hatimu, dan juga tangan serta ka-
kimu. Usahamu masih jauh dari sempurna, langkah-
mu masih panjang. Berusahalah memperbaiki diri, 
jangan takabur dan sombong. Nah sekarang apa 
usulmu?" Suro seka keningnya yang bermandikan ke-
ringat, lalu garuk-garuk kepala

"Anu... aku berada di tengah jalan membin-
gungkan. Jika aku tidak membunuh ya aku yang ter-
bunuh. Bagaimana ini, jika aku mati, aku ini masuk 
neraka atau sorga...?"
"Untuk menegakkan sebuah kebenaran, terka-
dang kau harus pergunakan senjata. Menurut catatan, 
kebaikan dan kesalahanmu masih kacau. Untuk itu 
perbanyaklah membenahi diri, jangan suka iseng. Se-
moga Gusti Allah memberikan yang terbaik di sisimu. 
Dia yang menentukan kau berada dimana sesuai amal 
dan kebaikanmu!"
"Tap...!"
"Berjumpa denganku waktunya singkat sekali. 
Waktumu habis, sekarang giliran Raja Kodok!" kata 
Anak Langit. Raja Kodok, dalam ketakutannya lang-
sung tunjuk tangan.
"Anak manusia, kulihat hatimu penuh dendam. 
Dendam dan amarah pada masa lalu yang sesungguh-
nya sebuah kenyataan. Jangan sesali diri dan kea-
daanmu. Jangan pula kau sesali mengapa kau terlahir 
ke dunia ini. Semua itu sudah digariskan oleh Tuhan 
padamu. Tidak usah berkeluh kesah lagi. Tidak perlu 
meratapi nasib, gantilah kemarahanmu dengan sabar, 
ganti dendammu dengan sifat welas asih. Jangan kau 
kutuki dirimu sendiri, karena hal itu hanya akan 
membuat Gusti Allah marah. Perjalanan hidupmu ma-
sih panjang. Sampai suatu ketika nanti ajal pasti da-
tang menjemputmu. Belajarlah lebih banyak pada 
Wahyu Sakaning Gusti. Sebab ia adalah sebaik-
baiknya manusia yang patut kau ikuti. Lalu sekarang 
apa usulmu?" tanya Anak Langit.
"Rasanya setelah mendengar pernyataanmu ti-
dak ada lagi yang aku usulkan. Kerisauanku selama 
ini telah terjawab. Wajahku begini buruk, aku ingin 
mengimbangi keburukanku dengan kebaikan. Dulu

aku begitu bernafsu untuk membalas dendam pada 
hartawan itu. Tetapi sekarang terserah bagaimana ke-
putusanmu. Karena aku tidak punya hak lagi atas jiwa 
orang lain!" 
"Hartawan itu sudah berada dalam ketentuan 
Tuhan. Jangan kau risaukan. Nah bagaimana dengan 
kau Malaikat Penderitaan?" Si Kakek tiba-tiba menje-
rit. Tangisnya meledak, ia bersujud sedangkan seku-
jur tubuhnya terguncang keras.
"Anak Langit, makhluk suci dalam kebenaran 
yang penuh rahmat tidak pernah ingkar. Hidup ini 
adalah sebuah penantian yang sangat panjang. Terka-
dang aku merasa lelah menjalaninya. Aku merasa hi-
dup ini adalah ujian dan cobaan demi cobaan. Aku 
menangis di tempat yang sepi melihat tingkah laku 
manusia. Aku melihat kecelakaan besar dari apa yang 
mereka buat sendiri. Aku melihat kekikiran manusia 
apabila dia berpunya. Aku mendengar rengekan mere-
ka bila dirinya ditimpa kesusahan. Kalau boleh aku 
meminta, bukalah pintu hati seluruh penghuni bumi 
ini untuk menuju ke jalan kebaikan. Jadikanlah mere-
ka saling kasih mengasihi antara sesamanya." pinta si 
kakek sambil tersedu-sedu.
"Malaikat Penderitaan, Gusti Allah Maha Tahu, 
Ia memberi petunjuk pada orang-orang yang dikehen-
dakinya, dan menyesatkan orang-orang yang dikehen-
dakinya pula. Barang siapa yang hatinya condong pada 
segala macam kepentingan dunia, ia adalah budak 
nafsu dan pengabdi setan. Jangan hal-hal semacam ini 
membuat hatimu gelisah dan sedih. Kelak setiap orang 
akan mendapat balasan sesuai dengan perbuatannya. 
Lalu apa pertanyaan yang lain?" Malaikat Penderitaan 
menggelengkan kepala, lalu menangis lagi dan terus 
menangis.
"Anak manusia yang bernama Puspita Sari. Kau

punya tujuan ingin membalas dendam seperti Raja 
Kodok. Abdi Banda memang termasuk manusia yang 
melampaui batas. Kau tidak perlu melakukannya da-
lam hari yang berbahagia ini. Karena kalian akan sa-
ma-sama menyaksikan apa yang bakal terjadi pada di-
rinya. Kau termasuk beruntung, dididik oleh guru yang 
sesat, tapi kau menemukan jalan terbaik. Untuk masa 
yang akan datang, jangan lagi kau menyamar sebagai 
laki-laki. Sebab Tuhan marah melihat perempuan ber-
prilaku seperti laki-laki dan laki-laki berprilaku se-
perti perempuan. Nah sekarang apa katamu?"
"Tidak ada lagi yang ingin kutanyakan. Semua-
nya sudah sangat jelas!" sahut Puspita dengan kepala 
tertunduk. Setelah itu perhatian Anak Langit beralih 
pada Lima Utusan Akherat baik yang masih hidup 
maupun yang sudah menjadi mayat.
"Kalian datang dari tempat-tempat yang sangat 
jauh. Kalian menanti dalam waktu yang cukup lama 
setelah menempuh perjalanan yang sangat panjang 
sekali. Sebelum aku bicara terakhir kali pada tokoh-
tokoh yang membuat keonaran di muka bumi ini. Tiba-
lah bagiku untuk membuka isi Surat Kedamaian Du-
nia." kata Anak Langit. Surat itu lalu diambilnya dari 
kitab tipis sebagai tempat penyimpanannya selama ini. 
Begitu surat dibuka, maka terpancarlah cahaya putih 
yang sangat terang benderang. Ada pun isi Surat Ke-
damaian Dunia seperti ini....
Anak manusia terlahir ke dunia membawa dua 
sifat
Sifat yang baik dan yang buruk 
Terserah manusia itu sifat yang mana yang 
akan disuburkannya 
Sesungguhnya nafsu dan setan saling berdampingan,

Sedangkan hati berdekatan dengan kalbu sifat 
luhur.
Antara nafsu dan keluhuran budi tidaklah ber-
jauhan
Terserah manusia, mana yang mau diikuti
Jika keluhuran budi, berarti manusia telah me-
nempuh jalan yang lurus lagi baik
Jika nafsu yang menjadi pegangannya 
Maka ia akan tersesat jauh dan menjadi pengi-
kut setan.
Dunia dan seisinya ini sesungguhnya tempat 
segala kebusukan, kepalsuan, sandiwara dan 
tidak ada apa-apanya. 
Ada pun yang lebih baik dari segala-galanya 
adalah disisi Zat yang menciptakan manusia.
Maka patuhilah perintahNya dan tinggalkan 
yang dilarangNya.
Sampai disini Anak Langit menghentikan pem-
bacaannya. Ia memperhatikan orang-orang di sekeli-
lingnya. Wajah-wajah yang tertunduk, tidak punya 
daya dan kekuatan apa pun. Mereka tidak mampu bi-
cara, tidak dapat menunjukkan keangkuhannya. Anak 
Langit kemudian kembali pada surat putih yang ber-
pedar-pedar memancarkan cahaya.
Isi penting surat ini untuk diketahui
Bahwa diantara seratus rahmat Gusti Allah
Cuma satu yang diturunkan di atas dunia ini 
Satu rahmat inilah yang dibagi-bagi pada, se-
luruh makhluk yang hidup bertebaran di mu-
ka bumi. 
Sehingga terlihat nyata antara serigala dengan 
anaknya saling mengasihi. 
Sembilan puluh sembilan rahmat tertahan di
langit untuk kepentingan seluruh manusia ke-
lak. 
Hal yang sedemikian ini terdapat dalam perka-
taanNya sejak manusia pertama diciptakan di 
permukaan bumi ini.
Anak Langit selesai sudah membaca Surat Ke-
damaian Dunia yang menjadi rebutan itu.
Ia melipat surat itu kembali dan memasukkan-
nya ke dalam kitab tipis tempat penyimpanan.
"Dengarlah kalian semuanya. Aku tegaskan pa-
da kalian untuk saling hormat menghormati, saling 
welas asih, saling mengajak untuk berbuat kebaikan. 
Jangan pula saling menyakiti sesamanya, jangan sal-
ing hasut, saling hina, saling dengki, iri, tamak, saling 
membunuh. Jangan pula durhaka pula pada Zat yang 
menciptakanmu, jangan durhaka pada orang tua, isteri 
jangan durhaka pada suami, atau yang muda durhaka 
pada yang tua. Jangan kalian tunggu jasad sampai 
terbujur baru ingat berbuat kebaikan. Hidup ini sing-
kat, waktu sangat berguna. Aku juga adalah makhluk 
yang diciptakanNya. Sama sekali aku tidak berkotbah 
pada kalian. Sebaik-baiknya manusia adalah yang 
menganggap dirinya bodoh dari pada orang bodoh 
mengaku pintar. Seburuk-buruknya manusia adalah 
yang menganggap dirinya paling benar." kata Anak 
Langit.
"Makhluk yang tercipta dari cahaya itu rupanya 
menyindirku!" pikir Pendekar Blo'on sambil seka air 
matanya. 
"Para Lima Utusan Akherat. Kalian semua 
sudah mendengar isi Surat Kedamaian Dunia. Meski-
pun kawan-kawan kalian sudah tiada, tapi sekarang 
ini arwah-arwah mereka juga hadir di sini ikut men-
dengarkan apa yang aku kabarkan pada kalian. Sampaikanlah pada guru kalian, masing-masing setelah 
kembali ke asal kalian kelak, tanpa ada yang kalian 
kurangi atau tambahi dari apa yang kalian dengar hari 
ini!" 
"Kami semua akan menyampaikan berita gem-
bira ini. Tidak dapat kami lukiskan betapa gembiranya 
hati kami bahwa sesungguhnya wangsit yang diterima 
oleh guru kami adalah sebuah kenyataan!" kata Dunga 
mewakili kawan-kawannya. 
"Sekarang tibalah giliran bagi para tokoh sesat." 
desah Anak Langit. Wajahnya yang penuh kearifan dan 
cinta kasih ini tiba-tiba saja berubah bengis. "Anak 
manusia yang bernama Abdi Banda? Menurut pengli-
hatan dan dari catatan yang tidak dapat dibantah. Se-
panjang usiamu hanya kau pergunakan untuk me-
numpuk harta yang tidak berguna. Kau mendapatkan-
nya dari gelimang kemaksiatan dan kau pergunakan 
untuk kemaksiatan pula. Betapa celakanya kau hidup 
di dunia, hidup hampir enam puluh tahun tidak sedi-
kit pun kulihat kebaikanmu. Tempat, yang paling kek-
al bagimu adalah neraka Jahanam. Nah sekarang sen-
tuhlah dua menara itu, Yang putih adalah menara ke-
beruntungan bagi orang-orang yang berbuat baik. Se-
dangkan yang hitam adalah seburuk-buruknya mena-
ra karena kejahatan. Cepat lakukan...!!" perintah Anak 
Langit.
Hartawan Abdi Banda terkesima, ia jelas tidak 
mau melakukannya. Karena ia tahu pasti apa yang 
bakal terjadi padanya. Tapi sungguh celaka kedua ka-
kinya bergerak dengan sendirinya tanpa mampu dice-
gah. Wajah hartawan itu sepucat kain kapan, tubuh-
nya menggigil. Dan saat itu ia benar-benar memaki 
dan menyumpahi kakinya karena terus berjalan ke 
arah menara tanpa dapat dicegah. Bukan ke menara 
putih, tapi ke menara hitam.

"Duhai celakalah aku...!" jerit hartawan Abdi 
Banda ketika tangannya melekat pada menara yang 
bentuknya empat persegi, panjang menjulang ke langit. 
Sang hartawan menjerit tubuhnya terbakar, pada saat 
itu ia melihat seluruh hartanya berdatangan ke arah-
nya dan berubah menjadi api yang membakar dirinya. 
Maka tewaslah hartawan Abdi Banda. Yang lain-
lainnya terperangah. Tokoh-tokoh golongan lurus me-
nangis tersedu-sedu.
"Jangan kalian heran, ajal hartawan itu me-
mang sudah sampai hari ini." ujar Anak Langit dituju-
kan pada tokoh-tokoh golongan lurus. "Nah sekarang 
tiba pula giliran anak manusia yang bernama Arung 
Garda dan Raja Tega. Sepanjang hidup kalian hampir 
tidak pernah berbuat kebaikan. Kalian menghilangkan 
jiwa-jiwa orang lain yang sesungguhnya milik Gusti Al-
lah. Pilihlah salah satu dari menara itu. Jika memang 
kebaikan kalian banyak tentu kalian akan memilih 
menara kebaikan, menara putih. Hari ini kalian tidak 
akan bisa bicara!"
Baik Raja Tega maupun Arung Garda menangis 
keras, tangisan itu berubah menjadi lolongan mengeri-
kan mendirikan bulu roma. Maka tanpa dapat diken-
dalikan lagi sesuai kehendak hati dan perintah otak, 
kaki mereka pun melangkah. Tapi langkah mereka bu-
kan menuju ke menara putih, melainkan menuju ke 
menara hitam.
"Ya Tuhan, beri aku tangguh untuk menghada-
pi siksaan ini. Aku ingin bertobat!" rintih hati Arung 
Garda dan Raja Tega.
Dalam pada itu terdengarlah suara Anak Lan-
git. "Sungguh taubat tidak akan berguna bila ajal su-
dah di tenggorokan. Tidak ada yang dapat menghenti-
kan dan menangguhkan walau barang sedetik!"
Tangan Arung Garda dan Raja Tega terulur, begitu menyentuh, maka menggelegarlah suara petir 
menghantam tubuh mereka. Jeritan terputus. Tubuh 
mereka cerai berai menjadi serpihan daging yang han-
gus berbau busuk bukan kepalang. Lalim Durjana dan 
Pertapa Seribu Abad terkesima, bagaimana pun Raja 
Tega telah kehilangan kedua tangan sebelah kaki. Da-
lam keadaan ia sendiri tidak punya kuasa untuk berdi-
ri. Namun pada waktu mendengar perintah Anak Lan-
git ia langsung berdiri, bahkan sisa tangannya yang 
buntung menyentuh menara hitam tersebut.
"Sekarang adalah bagian Lalim Durjana dan 
Pertapa Seribu Abad. Ketahuilah, selama ini kalian te-
lah bersekutu dengan Sang Maha Sesat. Di sini dalam 
pertemuan ini makhluk terlaknat itu memang belum 
terima ganjaran. Ganjaran baru diterimanya setelah 
bumi dan langit tergulung, gunung-gunung dihancur-
kan dan manusia beterbangan tanpa guna. Dia adalah 
makhluk yang durhaka pada Zat yang menciptakan-
nya. Kau Lalim Durjana selama hidupmu terlalu men-
dewa-dewakan kekuasaan, sedangkan Pertapa Seribu
Abad selain memakan daging sesamanya, juga penuh 
kebiadapan. Sekarang bangkitlah, kalian punya hak 
untuk menghampiri menara manapun yang kalian su-
kai. Sama seperti yang lainnya, sekarang pula ajal ka-
lian!"
"Apakah ajalku tidak dapat ditangguhkan?"
"Pertapa Seribu Abad, aku tidak punya kuasa 
apa-apa untuk memberi tangguh kematianmu. Semua 
ini adalah ketetapan Tuhan yang tidak dapat dirobah. 
Sekarang jalan...!!" perintah Anak Langit.
Secara aneh Pertapa Seribu Abad yang lumpuh 
itu berdiri, Lalim Durjana juga ikut berdiri. Lalu den-
gan menundukkan kepala mereka berjalan ke arah 
menara putih. Tapi sungguh aneh, kaki mereka mem-
belok ke menara yang hitam. Sungguh pun mereka

memaksakannya untuk menuju ke menara yang putih, 
tetap saja mereka menuju ke menara yang hitam. Tan-
gan mereka pun terulur dan menggapai.
"Bumm!" 
"Aaaa...!"
Menjeritlah kedua tokoh ini ketika tubuh mere-
ka tersengat cahaya hitam yang keluar dari menara 
itu. Dua-duanya terpelanting, lalu roboh dalam kea-
daan hangus, dada pecah dan isi kepala meleleh.
"Itulah balasan bagi orang-orang yang lalai dan 
melampaui batas. Sepeninggalku ini, akan timbul lagi 
kesesatan dan angkara murka di bumi ini...! Teruskan-
lah sebar kebaikan di muka bumi, musuh-musuh ka-
lian akan semakin tangguh, bahkan menyaru seperti 
kalian. Kitab berisi surat ini akan kubawa. Nah sela-
mat tinggal...!" kata Anak Langit. Ketika Anak Langit 
berubah ujudnya menjadi cahaya, maka cahaya itu 
kemudian melesat ke angkasa. Suasana di sekitarnya 
berubah sebagaimana sediakala. Dua menara lenyap, 
hamparan putih juga hilang. Yang terlihat hanya 
mayat-mayat para tokoh sesat yang bergelimpangan 
dalam keadaan menyedihkan. 
Malaikat Penderitaan juga menghilang, Pende-
kar Lugu dan Raja Kodok telah pergi tanpa sepengeta-
huan Suro Blondo. Menyusul sisa-sisa Lima Utusan 
Akherat. Yang tertinggal hanya Puspita Sari dan Patih 
Luragung, kakek buta itu menangisi diri sendiri.
"Aku tidak diadili, tapi sisa-sisa hidupku dalam 
kegelapan seperti ini. Oh, sungguh merupakan pende-
ritaan yang sangat pedih melebihi tertusuk seribu pe-
dang!" rintih sang Patih.
"Puspita, lebih baik kita tinggalkan orang buta 
maling ini. Aku takut dia iri melihat kita bermesra-
mesraan" kata Pendekar Blo'on.
"Pendekar geblek, contoh mengerikan saja belum lama terjadi. Kini kau berani pegang-pegang tan-
ganku!" dengus Puspita Sari.
"Walah, aku tidak pernah kesusu (Tergesa-gesa) 
kok jika memegangmu! Paling yang wajar-wajar saja 
tapi asyiiik...!"
"Orang sinting!" cibir si gadis dengan wajah me-
rona merah.
Suro tergelak-gelak, lalu tawanya menghilang di 
kejauhan. Puspita pun seakan tidak rela kehilangan 
sehingga ia mengejar. Angin dingin berhembus. Kera-
jaan Ujung Dunia berubah menjadi sepi. Hanya isak 
tangis Patih Luragung sesekali terdengar dalam penyesalan. 





                          TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar