BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 05 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE SEPASANG WALET MERAH


matjenuh khairil

 

SEPASANG WALET MERAH

oleh Teguh S.

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Gambar sampul oleh Soeryadi

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Teguh S.

Serial Pendekar Rajawali Sakti

dalam episode:

Sepasang Walet Merah

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Bulan bersinar penuh, menampakkan

wajah bulat indah keemasan. Angin

bertiup lembut membawa butir-butir

embun yang menitik dari pucuk-pucuk

daun pepohonan yang meliuk-liuk seperti

menari. Malam semakin indah manakala

binatang-binatang malam mulai

menembang dengan suara-suara mereka

yang merdu.

Namun keindahan itu mendadak

pecah oleh suara-suara teriakan disertai

denting senjata beradu. Suara-suara itu

ternyata datang dari sebuah bukit batu

yang berdiri gagah menyerupai sebuah

batok kelapa terbelah. Di tempat itu

terlihat kilatan-kilatan cahaya putih

keperakan menyambar-nyambar di bawah

siraman cahaya bulan.

Trang! Trang!


Denting senjata beradu makin sering

terdengar. Pijaran-pijaran bunga api

berpencaran ke segala penjuru. Tiba-tiba

dua orang yang saling mengadu senjata itu

melompat ke belakang sejauh dua tombak,

bersamaan dengan terdengarnya suara

tawa terbahak-bahak

"Kakang Jaka, rupanya kita

kedatangan tamu kurang ajar malam ini,"

kata salah seorang dari mereka. Orang itu

bertubuh kecil ramping mengenakan

pakaian ketat berwarna serba merah.

Dari suaranya dapat dipastikan kalau

dia adalah seorang wanita. Sementara

yang diajak bicara melangkah perlahan ke

depan. Tampak jelas wajahnya yang

begitu tampan, berkeringat. Sinar matanya

tajam menyorot lurus ke depan.

Pakaiannya ketat dan serba merah pula.

"Tentu maksudnya sama dengan

tamu-tamu yan lain. Bersiaplah, Adik

Wulan," sahut pemuda itu yang dipanggil

Jaka.

"Ha ha ha...!"


Suara tawa itu kembali menggelegar.

Kedua muda-mudi itu sudah berdiri

berdampingan dengan senjata tombak

pendek bermata dua menyilang di depan

dada. Semakin lama suara tawa itu

semakin memekakkan telinga. Angin pun

mendadak bergemuruh disertai batu-batu

kerikil berlompatan. Jelas sekali kalau

suara tawa itu dibarengi pengerahan

tenaga dalam.

Rupanya dua orang muda ini sama

sekali tidak gentar dengan kedatangan

suara tawa itu. Mereka seperti tidak

terpengaruh, bahkan tetap berdiri tegak

dengan mata menatap lurus ke depan.

"Tapak Geni!" tiba-tiba Jaka berteriak

lantang.

Dengan cepat mereka mendorong

tangan kanan masing-masing ke depan

Seketika dari telapak tangan kanan yang

terbuka, meluncur deras seberkas sinar

merah yang kemudian menghantam

sebongkah batu besar.

Blar...!


Batu sebesar rumah itu pun hancur

berkeping-keping menimbulkan ledakan

yang sangat dahsyat Pada saat yang sama,

melesat sebuah bayangan hitam dari

bongkahan batu yang hancur.

Debu mengepul pekat menghalangi

sinar bulan menembus permukaan bumi.

Bayangan hitam itu berputar beberapa kali

di udara sebelum mendarat manis di tanah

berumput tebal. Jaka dan Wulan sudah

menarik tangan kanannya kembali.

Mereka masih berdiri tegak dengan mata

tajam memandang tubuh hitam yang telah

berdiri sekitar sepuluh langkah di depan.

"Sudah kuduga, dia pasti si Gila

Jubah Hitam," gumam Jaka begitu

mengenali sosok tubuh itu.

Si Gila Jubah Hitam, adalah tokoh

sakti yang tidak jelas golongannya.

Tingkahnya yang mirip orang gila sering

membuat bingung tokoh-tokoh rimba

persilatan, baik dari gotongan hitam

maupun putih.


"He he he..., tidak percuma bertahun-

tahun kalian mengurung diri di Bukit

Batok," si Gila Jubah Hitam terkekeh

sambil menggaruk-garuk rambutnya yang

panjang dan kusut.

Kalau dilihat dari wajah, pakaian,

dan tubuhnya orang pasti menyangka si

Gila Jubah Hitam ini seorang kakek-kakek.

Padahal dia masih berusia tiga puluh

tahun. Hanya karena tidak pernah

mengurus diri, jadi kelihatan seperti

berumur tujuh puluhan

"Mau apa kau datang ke sini?" tanya

Jaka. Matanya tetap tajam menatap si Gila

Jubah Hitam.

"Hanya mengunjungi kalian. Tidak

boleh?"

Jaka memandang adiknya yang

berdiri di sampingnya. Memang sulit

diduga niat dan keinginan orang itu.

Dalam sekejap saja bisa berubah. Jaka

kembali mengalihkan pandangan pada

laki-laki aneh yang kini telah duduk di


atas rerumputan. Dari kantung kulit yang

selalu dibawanya, dikeluarkan seguci arak.

"Kalian punya makanan?" tiba-tiba si

Gila Jubah Hitam bertanya. Sikapnya acuh,

seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Padahal mereka tadi sempat mengadu

ilmu, meskipun hanya satu jurus saja.

"Mana ada makanan di sini?" Wulan

jadi geli juga. Rasa tegang yang

menyelimuti dadanya berangsur-angsur

berkurang.

"Lho, kalian selama bertahun-tahun

di sini makan apa?" si Gila Jubah Hitam

seperti kebingungan. Kembali tangannya

garuk-garuk kepala.

"Apa saja, asal bisa dimakan," sahut

Wulan.

"Kau punya apa saja?"

Sekelebatan Wulan melihat seekor

rusa yang kemalaman di jalan. Secepat

kilat tangannya bergerak, lalu seberkas

cahaya keperakan pun meluncur deras.

Tak pelak lagi, rusa gemuk itu terjungkal

langsung mati. Jaka tersenyum akan


ketangkasan adiknya melempar bintang

perak yang menjadi andalan senjata

rahasia mereka berdua.

"Itu!" sahut Wulan menunjuk rusa

yang mati dengan leher tertembus bintang

bersegi delapan dari perak.

"He he he....!" si Gila Jubah Hitam

terkekeh, lalu berdiri.

Wulan hampir saja tertawa melihat

tingkahnya yang seperti anak kecil

mendapat mainan. Dengan berjingkrak

kegirangan dihampirinya rusa yang ter-

geletak itu. Sambil menari-nari dan

bernyanyi-nyanyi tidak karuan, si Gila itu

mengangkat rusa gemuk bagai

mengangkat sekantung kapas.

Si Gila Jubah Hitam kembali ke

tempatnya semula seraya menjatuhkan

rusa itu di depannya. Dia kembali duduk

dan meminum arak langsung dari guci.

Dengan lengan baju, disekanya mulut

yang basah oleh arak.

Orang aneh itu mencabut bintang

bersegi delapan yang menancap di leher


rusa, lalu dengan cepat dilemparkannya

kembali pada Wulan. Tangkas sekali gadis

itu menangkap senjata rahasia miliknya.

Dimasukannya kembali senjata itu ke

dalam kantung yang tersembunyi di balik

baju, setelah sebelumnya dibersihkan dari

noda darah.

"Aku senang sekali rusa ini dimasak

wanita cantik yang baik hati," kata si Gila

menatap Wulan.

Wulan memandang Jaka. Kakaknya

hanya tersenyum dan menganggukkan

kepala. Jaka tahu betul tabiat orang aneh

ini. Dia akan selalu baik kalau ada yang

membuatnya baik lebih dulu.

Wulan menghampiri laki-laki aneh

itu, lalu dikeluarkan sebilah pisau dari

lipatan bajunya. Kini rusa malang itu

mulai dikulitinya. Sementara Jaka

mengumpulkan ranting dan membuat api.

Sebentar saja rusa itu telah terpanggang di

atas api


"He he he...," si Gila terkekeh senang.

Perutnya mendadak lapar sekali mencium

bau harum daging panggang.

Laki-laki aneh itu menggeser

duduknya mendekati rusa panggang yang

masih di atas api. Hidungnya kembang

kempis mencium bau harum yang lezat.

Tangannya menjulur hendak mencuil

daging rusa, tapi Wulan telah terlebih

dulu menepisnya.

"Nanti, belum matang!" rungut

Wulan, persis seorang ibu pada anaknya.

"Aku sudah lapar, boleh mencicipi

sedikit saja," rengek si Gila Jubah Hitam.

"Kubilang nanti! Kita pesta sama-

sama!"

"Pesta...! Kau bilang kita akan pesta?"

mata si Gila Jubah Hitam seketika

berbinar-binar.

"Iya, kenapa?"

"Wah, wah! Nasibku memang mujur

malam Ini. Datang membuat ribut, malah

ditawari pesta. Maafkan aku," Si Gila

Jubah Hitam mendadak murung.


"Sudahlah, yang penting malam ini

kita akan pesta dan gembira!" Jaka

menimpali.

"He he he..., kalian memang baik!"

orang aneh itu terkekeh lagi.

Wulan tersenyum dan mengerling

pada kakaknya. Jaka cepat memahami arti

kerlingan itu, dan segera bangkit beranjak

dari situ.

"Mau ke mana kakakmu?" tanya si

Gila Jubah Hitam.

"Mengambil arak," sahut Wulan terus

membalik-balik rusa panggangnya.

"Arak..?! Wah, jadi kita benar-benar

pesta?"

Wulan mengangguk dan tersenyum

manis. Si Gila Jubah Hitam kembali

berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Mulutnya tidak henti-hentinya bernyanyi.

Tawa Wulan tidak tertahankan lagi.

Sementara Jaka telah kembali dengan lima

guci arak di pelukan tangannya. Si Gila

Jubah Hitam makin gembira. Apalagi Jaka


juga membawa gelas perak indah sebagai

pelengkap pesta mereka.

* * *

Laki-laki aneh yang dikenal sebagai si

Gila Jubah Hitam kini tengah duduk

bersandar di pohon. Dibiarkan saja

perutnya yang kekenyangan itu terbuka.

Jaka dan Wulan duduk tidak jauh dari

situ. Wulan sejak tadi tersenyum-senyum

melihat tingkah polah si Gila Jubah Hitam

yang selalu memancing tawa itu.

Nafsu makan si Gila ini juga luar

biasa. Setengah badan rusa gemuk Itu,

dihabiskannya sendiri. Sedangkan Wulan

dan Jaka saja hanya makan sekedarnya.

Sengaja mereka makan berlambat-lambat

untuk mengimbangi makan laki-laki aneh

itu.

"Sudah berapa orang yang datang ke

sini?" tanya Si Gila Jubah Hitam tiba-tiba.

Suaranya terdengar teperti bergumam.


"Maksudmu?" tanya Jaka sambil

memandang adiknya.

"Aku yakin, aku bukan orang

pertama yang datang ke Bukit Batok ini,"

gumam si Gila Jubah Hitam tidak

menghiraukan pertanyaan Jaka.

"Memang bukan. Aku dan adikku

sudah sepuluh tahun tinggal di sini," sahut

Jaka seenaknya.

"Bukan kalian, tapi yang lain!"

"O... maksudmu orang-orang yang...,"

Jaka tidak melanjutkan kata-katanya.

"Iya, mereka yang gila pusaka!"

sambung si Gila sambil membenahi letak

bajunya.

"Aku tidak mengerti, kenapa mereka

mengira kami yang menyimpan benda

pusaka itu," kata Wulan seperti mengeluh.

"Jadi kalian tidak menyimpannya?"

tanya si Gila Jubah Hitam.

"Jangankan menyimpan, melihat

bentuknya pun belum pernah! Dengar

namanya saja baru-baru ini," sahut Wulan.

Si Gila menatap Wulan tajam.


"Kau pasti tidak percaya!" dengus

Wulan agak Jengkel.

"Entahlah. Yang jelas aku tidak

peduli dengan benda pusaka macam itu,"

sahut si Gila Jubah Hitam.

"Lantas, kenapa kau ke sini?" tanya

Jaka. Si Gila Jubah Hitam tak menjawab.

Hanya kepalanya yang terdongak

menengadah. Ada kemurungan terpencar

dari sinar matanya yang cekung. Desah

nafasnya berat, lalu perlahan-lahan

kepalanya tertunduk. Sepertinya sedang

mengenang sesuatu sehingga wajahnya

kelihatan murung.

Kedua anak muda itu saling

berpandangan. Mereka benar-benar tidak

mengerti dengan perubahan yang tiba-tiba

pada si Gila Jubah Hitam Beberapa saat

mereka hanya berdiam diri saja. Jaka

mengalihkan pandangannya kembali pada

laki-laki aneh itu. Wulan juga

mengarahkan pandangannya ke sana. Si

Gila Jubah Hitam masih tertunduk, diam.



"Ada yang menyusahkanmu?" tanya

Wulan lembut

Kembali si Gila Jubah Hitam

mendesah berat. Pelan-pelan kepalanya

terangkat. Matanya langsung tertumbuk

pada wajah Wulan. Gadis ini tersentak

melihat butir-butir air bening menetes dari

sudut mata laki-laki aneh ini. Wulan

menggeser duduknya lebih dekat

"Kau menangis, kenapa?" tanya

Wulan pelan dan lembut

"Oh, ah! Tidak..., tidak !" si Gila Jubah

Hitam gugup. Cepat-cepat diseka air

matanya dengan lengan baju.

"Aku menangkap kesedihan di

wajahmu. Kalau kau percaya pada kami,

ungkapkanlah! Mungkin kami bisa

membantu mengatasi kesedihanmu," lebih

lembut suara Wulan.

"Aku tidak yakin kalian akan

menemukan," parau suara si Gila Jubah

Hitam.

Wulan dan Jaka saling

berpandangan. Belum dapat mengerti


maksudnya. Mereka segera menggeser

duduknya agar lebih dekat lagi pada

orang aneh ini

"Kalau kau bersedia mengatakannya,

kami berjanji akan membantu

kesulitanmu," kata Jaka seraya meletakkan

tangannya ke punggung laki-laki itu.

"Persoalan yang kalian hadapi

sekarang, lebih berat daripada

persoalanku. Aku tidak ingin menambah

beban buat kalian lagi. Dosaku akan

semakin besar dan menumpuk," lirih suara

si Gila Jubah Hitam.

"Kami tidak punya persoalan apa-

apa. Kami mengasingkan diri ke Bukit

Batok ini karena ingin memperdalam

ilmu-ilmu yang kami miliki," kata Wulan

meyakinkan.

"Jangan bohongi diri kalian sendiri!

Kalian tengah berhadapan dengan tokoh-

tokoh rimba persilatan yang gila benda

pusaka! Mereka menyangka kalian yang

menyimpan benda itu. Atau paling tidak,


mengetahui di mana letak

penyimpanannya."

Kembali sepasang anak muda itu

saling berpandangan. Memang dalam

beberapa hari ini sudah empat orang yang

datang mencari benda pusaka Cupu

Manik Tunjung Biru. Empat orang yang

hanya memiliki kepandaian tanggung itu,

tentu saja harus rela melepaskan nyawa

mereka di tangan sepasang anak muda ini.

Di kalangan rimba persilatan, sepasang

anak muda ini dikenal sebagai Sepasang

Walet Merah.

Kemunculan si Gila Jubah Hitam di

Bukit Batok ini memang sedikit

menambah persoalan baru bagi Sepasang

Walet Merah. Entah ada hubungannya

dengan Cupu Manik Tunjung Biru atau

tidak, tetapi yang jelas saat ini tokoh-tokoh

rimba persilatan tengah geger ingin

mendapatkan benda pusaka itu.

Tidak jelas bersumber dari mulut

siapa, kini Sepasang Walet Merah menjadi

sasaran buruan. Tokoh-tokoh rimba


persilatan menduga sepasang anak muda

inilah yang paling tahu tentang benda itu.

Padahal yang menjadi buruan tidak tahu

sama sekali tentang benda itu. Mengapa

orang-orang menyangka kalau Sepasang

Walet Merah yang menyimpannya?

"Dari mana kau dengar kabar bohong

itu?" tanya Jaka.

"Semua orang rimba persilatan sudah

tahu, dan mereka pasti mengatakan kalau

mereka tahu sendiri," sahut si Gila Jubah

Hitam.

"Dan kau juga akan mengatakan

begitu? Juga menyangka kalau kami

menyimpan benda yang kami sendiri tidak

tahu sama sekali? Iya?" desak Jaka agak

sewot juga.

"He he he...," tiba-tiba si Gila kumat

lagi edannya.

"Mereka semua mengatakan aku gila.

Padahal, siapa sebenarnya yang gila?" si

Gila Jubah Hitam memberi pertanyaan

yang cukup sulit.


"Baiklah! Aku tidak peduli apakah

kau, mereka, atau kami yang gila. Aku

hanya ingin tahu, untuk apa kau datang ke

sini, kenapa tiba-tiba kau sedih, dan untuk

apa datang memberi kabar tidak enak?"

Jaka memberondong pertanyaan.

"Banyak amat?! Yang mana harus aku

jawab lebih dulu?" si Gila Jubah Hitam

bingung.

"Terserah!" jawab Jaka.

Si Gila menggaruk-garuk kepalanya.

Mulutnya komat-kamit mengulangi

pertanyaan-pertanyaan Jaka tadi. Wulan

yang memperhatikannya tidak dapat

menahan geli. Mendadak saja perutnya

mules karena menahan tawa.

"Kebanyakan, ah! Aku akan pergi!"

dengus si Gila.

"Hey...,!" Jaka terkejut.

Tapi laki-laki aneh itu telah lebih

cepat menghilang. Tokoh satu ini memang

boleh juga tingkat kepandaiannya. Dalam

keadaan duduk saja masih bisa mencelat

dengan cepat. Jaka yang masih sempat



mengetahui arah perginya, akan mengejar.

Tetapi Wulan telah lebih cepat

mencegahnya.

"Sudahlah, Kakang. Satu saat nanti

kita pasti tahu," kata Wulan lembut.

"Aku masih penasaran. Adik Wulan,"

sahut Jaka.

"Aku juga, tapi tidak ada gunanya

mendesak. Bisa-bisa dia berbalik

memusuhi kita."

"Memang sulit juga menghadapi

orang seperti itu," Jaka mengangkat

bahunya.

"He he he...!"

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh

suara tawa. Tidak salah lagi kalau suara

itu milik si Gila Jubah Hitam. Sepasang

Walet Merah paham betul dengan

suaranya.

"Terima kasih, kalian telah berbaik

hati mengundangku pesta. Lain waktu kita

jumpa lagi, sobat!"

Jaka yang akan membuka mulut

untuk menjawab, jadi mengurungkan


niatnya. Wulan telah lebih cepat menepuk

pundaknya. Dan memang suara itu tidak

terdengar lagi. Si Gila Jubah Hitam benar-

benar telah pergi meninggalkan Bukit

Batok. Hebat juga pengerahan tenaga

dalam orang aneh itu. Dia dapat

mengirimkan suara dari jarak yang cukup

jauh.

"Aku rasa sebaiknya kita mendahului

mereka." kata Jaka.

"Jadi, kita turun kembali merambah

rimba persilatan?" nada suara Wulan

seperti tidak setuju.

"Terpaksa," desah Jaka sambil

mengangkat bahunya

"Yaaah, lagi pula kita memperdalam

ilmu silat memang untuk menjaga dan

mempersiapkan diri. Mungkin sudah

waktunya," pelan suara Wulan.

"Kita berangkat besok saat fajar."

"Baiklah."

* * *


Fajar baru saja menyingsing. Dua

ekor kuda hitam berlari menuruni lereng

Bukit Batok. Penunggangnya Sepasang

Walet Merah. Wulan memperlambat lari

kudanya ketika mencapai kaki bukit.

"Sebaiknya kita lebih cepat lagi

meninggalkan bukit ini, Adik Wulan," ujar

Jaka.

"Untuk apa ? Toh tidak ada yang

harus diburu."

Jaka mengangkat bahunya. Benar

juga kata Wulan tadi. Mereka memang

tidak sedang memburu seseorang. Jadi

untuk apa harus cepat-cepat? Dan lagi,

dengan berjalan seperti ini tidak akan

menarik perhatian orang.

"Semalaman aku berpikir," kata Jaka

agak bergumam.

"Tentang apa?" tanya Wulan.

"Tentang Cupu Manik Tunjung Biru."

"Apa yang kau pikirkan dari benda

itu?"

"Aku berpikir sebaiknya kita mencari

keterangan tentang benda itu."


"Maksudmu?"

"Yaaah, kita harus tahu jenis benda

apa, untuk apa, dan kenapa orang-orang

sampai menginginkannya? Tidak mungkin

mereka berani mempertaruhkan nyawa

untuk sebuah benda kalau tidak

bermanfaat sama sekali!" Jaka

mengemukakan pikirannya.

"Si Gila Jubah Hitam mengatakan

kalau benda itu merupakan benda pusaka.

Jelas banyak kegunaannya," Wulan

menimpali.

"Kau tahu benda apa itu?"

"Kalau aku tahu, kau pun pasti tahu,

Kakang."

"Susah juga, ya. Kita sendiri tidak

tahu, tapi orang menyangka lain."

"Itulah hidup."

Mereka tertawa bersama, tapi tidak

tahu apa yang ditertawakan. Namun

mendadak tawa mereka berhenti. Seketika

itu juga, mereka menarik tali kekang

kudanya. Belum sempat menarik napas,


mendadak secercah sinar keemasan

meluncur deras ke arah mereka.

"Awas, Kakang...!" teriak Wulan.

Dengan sigap Jaka melompat dari

kudanya melesat ke udara sambil bersalto

dua kali. Sinar keemasan Itu lewat di

bawah kakinya, dan hampir menyambar

Wulan. Untung gadis itu tak kalah sigap

dengan Jaka. Dia melompat cepat dari

kudanya.

Sepasang Walet Merah dengan manis

mendarat di atas tanah dan berdiri tegak

berdampingan. Hampir bersamaan,

mereka mencabut tombak yang kedua

ujungnya bermata tajam.

Kembali dua berkas sinar keemasan

meluncur deras ke arah mereka. Tapi

Sepasang Walet Merah sama sekati tidak

bergeming. Dan ketika dua sinar

keemasan itu hampir menyentuh tubuh,

dengan cepat masing-masing

menggerakkan tongkatnya.

Trak! Trak!


Dua sinar itu meluruk ke tanah.

Tampak sebentuk bunga anggrek dari

bahan logam keemasan menggeletak di

ujung kaki mereka.

"Dewi Anggrek Emas," desis Wulan

mengenali senjata itu.

Belum lagi selesai kata-kata terucap,

tiba-tiba di depan mereka muncul seorang

wanita cantik. Dia mengenakan baju

berwarna kuning keemasan. Pada

rambutnya yang panjang terkepang,

terselip bunga anggrek berwarna kuning

emas. Wanita itu adalah Dewi Anggrek

Emas. Tangannya menggenggam

setangkai bunga anggrek yang sangat

besar.

"Panjang jodoh kita bisa bertemu di

sini," suara Dewi Anggrek Emas terdengar

lembut mempesona. Kedua matanya yang

bulat indah tidak lepas menatap wajah

Jaka.

"Apa yang kau inginkan. Dewi

Anggrek Emas? Mengapa kau

menghadang jalan kami?" tanya Wulan


ketus. Dia benci melihat pandangan mata

itu terhadap kakaknya.

"Sepuluh tahun tidak bertemu, rasa

rindu sekali. Apakah perasaanmu sama

denganku, Jaka?" Dewi Anggrek Emas

tidak menghiraukan pertanyaan Wulan.

"Tentu saja aku rindu," sahut Jaka.

"Kakang!" bentak Wulan kesal.

Jaka menatap adiknya yang kelihatan

sewot. Dia paham betul kalau Wulan

membenci wanita itu. Rasa benci itu

memang dapat dimaklumi. Sebab, mes-

kipun Dewi Anggrek Emas memiliki

wajah cantik dan bentuk tubuh indah,

namun tingkah lakunya liar. Segala

macam cara selalu digunakannya untuk

menjerat pemuda-pemuda tampan untuk

memuaskan nafsunya.

Dewi Anggrek Emas sampai

sekarang masih penasaran karena belum

juga dapat menundukkan Jaka. Hatinya

belum puas kalau pemuda tampan itu

belum lunduk di bawah kakinya. Hanya


saja yang jadi ganjalan utamanya adalah

Wulan.

"Dewi Anggrek Emas! Kalau kau

tidak ada keperluan penting, sebaiknya

angkat kaki dari sini!" bentak Wulan

penuh kebencian.

"Justru aku datang memang sengaja

mencari kalian," sahut Dewi Anggrek

Emas.

"Kau pasti sama seperti yang lain.

Menyangka kami memiliki benda keparat

itu!" dengus Wulan.

"Sebaiknya kalian serahkan saja

benda pusaka itu padaku. Bukankah

dengan demikian kalian akan selamat?"

Dewi Anggrek Emas mengerling genit

pada Jaka.

"Kami tidak tahu di mana benda itu!

Jelas?!" lantang suara Wulan.

"Benar begitu, Jaka?" tanya Dewi

Anggrek Emas dengan suara dibuat

selembut mungkin.

"Mungkin," sahut Jaka sambil

mengangkat bahunya. Dia senang


membuat wanita ini jadi penasaran. Jaka

tahu betul kalau Dewi Anggrek Emas

selalu menginginkan dirinya. Maka setiap

bertemu, Jaka selalu mempermainkannya

dengan halus.

"Dan itu berarti benda pusaka ada

pada kalian, bukan?"

"Tanyakan saja sendiri pada Wulan,"

kata Jaka.

Wulan jadi gemas melihat sikap

kakaknya yang seperti memberi angin

pada wanita liar itu. Rasanya ingin

memaki-maki, namun saat ini bukanlah

waktu yang tepat. Wulan jadi tambah

geregetan melihat Jaka tersenyum-

senyum. Di tangannya tidak lagi tergeng-

gam tombak bermata dua. Senjata itu sejak

tadi sudah diselipkan di pinggangnya.

"Kalau benar benda itu ada padaku,

kau mau apa?" gemas Wulan menantang.

Dewi Anggrek Emas hanya tertawa

saja.

"Nenek jelek, rebut benda pusaka itu

dari tanganku!" teriak Wulan mengejek.


"Kadal buduk! Kurobek mulutmu!"

geram Dewi Anggrek Emas. Muka dan

telinganya merah saat itu juga ketika

dipanggil nenek jelek.

Secepat kilat Dewi Anggrek Emas

melompat sambil mengibaskan bunga

anggrek raksasa yang menjadi senjata

kebanggaannya. Wulan yang sudah muak

sejak tadi langsung menggeser kakinya ke

samping. Dan tombak bermata dua pun

digerakkan dengan cepat ke atas.

Trang!

Dua senjata beradu sangat keras

sehingga menimbulkan pijaran bunga api.

Dewi Anggrek Emas lantas melesatkan

tubuhnya dan berputar satu kali tanpa

menjejak tanah lebih dulu, lalu kembali

menyerang dari atas.

Wulan segera memutar tombak

pendeknya seolah-olah memayungi

kepalanya dari gempuran lawan. Namun

tanpa diduga sama sekali, Dewi Anggrek

Emas mengegos ke samping, lalu kakinya

melayang deras ke iga Tawan.


"Ih!" Wulan tersentak. Buru-buru

digerakkan tangannya menangkis kaki

yang mengarah ke iganya, sambil

memiringkan tubuh sedikit.

Dewi Anggrek Emas tidak ingin

mengambil resiko. Cepat ditarik kakinya

kembali dan dijejakkan di tanah. Namun

baru saja kakinya sampai di tanah, Wulan

menyerangnya dengan satu tombak

mengarah dada.

Tidak ada pilihan lain bagi Dewi

Anggrek Emas. Ditangkis tombak pendek

itu dengan senjatanya yang berbentuk

bunga anggrek raksasa.

Trang!

Kembali dua senjata beradu keras.

Seketika tangan Wulan seperti kesemutan.

Bergegas ditarik pulang senjatanya.

Demikian juga yang dialami Dewi

Anggrek Emas. Jari-jari tangannya menjadi

kaku. Hampir saja senjatanya lepas kalau

tidak segera dipindahkannya ke tangan

kiri.


Pertarungan yang baru berlangsung

dua jurus itu mendapat perhatian serius

dari Jaka. Diam-diam dikaguminya

kemajuan Wulan. Dua kali adu senjata,

dua kali pula Wulan hampir melontarkan

senjata lawan. Kelihatannya selama

sepuluh tahun ini, Dewi Anggrek Emas

tidak mengalami perubahan. Baru dua

jurus saja, Jaka telah dapat menilainya

"Kenapa berhenti, takut?" ejek Wulan.

"Sepuluh orang sepertimu, aku tidak

akan mundur setapak pun!" dengus Dewi

Anggrek Emas.

"Bersiaplah! Terima jurus 'Mata

geledek'ku!"

Selesai berkata demikian, Wulan

menggerakkan kakinya menyusur tanah

dengan cepat. Tombaknya dibolak-

balikkan cepat ke depan. Dua ujung

tombak yang bermata tajam mengarah ke

dada lawan.

Dewi Anggrek Emas menyambut

serangan itu dengan jurus 'Anggrek Maut'


itu diputar-putar bagai baling-baling.

Tubuhnya meliuk-liuk bagai karet.

"Lihat kaki!" teriak Wulan keras dan

tiba-tiba.

Secepat itu pula ujung tombaknya

mengibas ke kaki lawan. Dewi Anggrek

Emas menggeser kakinya segera, tetapi

ternyata terpedaya. Serangan Wulan yang

mengarah ke kaki hanya tipuan saja.

Sedangkan dalam waktu yang hampir

bersamaan, kaki kanannya naik cepat dan

menyambar pinggang.

"Setan!" dengus Dewi Anggrek Emas

kaget. Cepat-cepat Dewi Anggrek Emas

mengarahkan senjatanya untuk

melindungi pinggangnya. Tapi lagi-lagi

tertipu. Ternyata kaki Wulan tidak sampai

menyambar pinggang. Justru pada saat

kaki itu bergerak, Wulan membarengi

dengan memutar tombaknya ke atas.

Kali ini Dewi Anggrek Emas tidak

bisa lagi mengelak Tombak itu sangat

cepat menyambar ke lehernya. Mau tidak


mau Dewi Anggrek Emas menangkis de-

ngan tangan kirinya yang masih bebas.

"Akh!" Dewi anggrek emas memekik

tertahan.

Dengan cepat dia melompat sejauh

dua tombak ke belakang. Tangan kirinya

sobek cukup lebar. Darah segar mengucur

deras. Dewi Anggrek Emas segera

menotok jalan darah di tangan yang luka

itu. Sekejap saja darah berhenti mengalir

* * *

DUA



Dewi Anggrek Emas memandang

sengit pada lawannya. Giginya terkatup

rapat dengan geraham bergemeletuk

menahan geram. Dia hampir tidak percaya

kalau Wulan memperoleh kemajuan

begitu pesat. Jurus-jurusnya makin

berbahaya. Gerakannya sangat cepat,

sukar diduga arah dan tujuannya.

Sementara Jaka yang sejak tadi

mengawasi dengan seksama pertarungan

itu, tersenyum-senyum melihat Dewi

Anggrek Emas mendapat luka. Di-

acungkan ibu jarinya saat Wulan menoleh

dengan bibir tersungging senyum.

"Jangan besar kepala dulu, Wulan.

Aku belum kalah," desis Dewi Anggrek

Emas dongkol.

"Kau ingin adu kesaktian?" Wulan

menantang.

"Bersiaplah! Terima jurus 'Anggrek

Seribu'ku!"


Dewi Anggrek Emas memasukkan

senjata bunga anggrek raksasanya ke balik

ikat pinggang. Kemudian direntangkan

kedua belah tangannya ke samping.

Dengan diiringi jerit melengking, secara

cepat kedua tangannya bergerak. Seketika

benda-benda yang memancarkan sinar

keemasan bertebaran deras ke arah Wulan.

"Hait..!"

Wulan berjumpalitan menghindari

serbuan anggrek emas yang dilontarkan

Dewi Anggrek Emas. Senjata yang

berbentuk bunga anggrek berwarna emas

itu datang bagai hujan tumpah dari langit.

Begitu derasnya sehingga Wulan agak

kerepotan menghindarinya.

Trang! Trang! Trang!

Beberapa kali tombak bermata dua

beradu menahan serangan anggrek-

anggrek emas yang datang tanpa henti.

Bahkan kini Dewi Anggrek Emas meng-

gerakkan kakinya dengan cepat seperti

ingin memutari tubuh Wulan.



Wulan sadar betul melihat keadaan

ini. Tanpa menunggu waktu lagi, tombak

bermata dua itu pun diputar-putar bagai

baling-baling. Dewi Anggrek Emas sangat

terkejut melihat tubuh Wulan seperti

hilang di balik gulungan sinar keperakan.

Dengan hati panas diliputi penasaran yang

tinggi, Dewi Anggrek Emas makin

mempercepat gerakan sambil melontarkan

senjata andalannya.

"Habiskan semua senjatamu, Nenek

Sihir!" teriak Wulan mengejek.

"Phuih!"Dewi Anggrek Emas makin

geram hatinya mendengar ejekan itu.

Dewi Anggrek Emas semakin cepat

bergerak memutari tubuh Wulan. Senjata

anggreknya menyebar dari segala penjuru.

Namun sampai sejauh itu belum ada satu

pun yang dapat menembus benteng per-

tahanan Wulan. Sinar keperakan yang

menyelimuti tubuh gadis itu sulit

ditembus. Dewi Anggrek Emas makin

geram.


Tiba-tiba Dewi Anggrek Emas

menjerit melengking, lalu tubuhnya

melompat tinggi ke udara. Tangannya

bergerak cepat melontarkan senjata

andalannya dari udara.

"Setan!" dengus Wulan terkejut

dengan perubahan serangan yang tiba-

tiba.

Anggrek-anggrek emas itu datang

sangat cepat dari atas kepalanya Wulan

Bdak mungkin merobah lagi

pertahanannya Bagian atas memang

lowong, dan tidak ada pilihan lain. Segera

Wulan menjatuhkan diri dan bergulingan

di tanah. Anggrek-anggrek emas itu

meluruk deras menancap di tanah

beberapa jengkal saja dari tubuh Wulan.

"Mampus kau!" jerit Dewi Anggrek

Emas.

Setelah berkata demikian, dengan

cepat Dewi Anggrek Emas meluruk ke

bawah sambil tidak henti melontarkan

senjatanya. Seperti bermata saja, senjata itu

mengejar ke mana saja Wulan


menghindari sambil bergulingan. Wulan

tidak punya kesempatan lagi

menggunakan tombaknya.

"Pakai ujung tombakmu, Wulan.

Pinjam tenaga!" tiba-tiba Jaka berteriak

keras.

"Baik, Kakang!" balas Wulan.

Tanpa menunggu lagi, Wulan

menekan ujung tongkatnya ke tanah.

Ketika sebuah senjata meluncur deras ke

arahnya, dengan cepat Wulan

membalikkan tombaknya. Sebelah ujung

tombaknya menutuk senjata bunga

anggrek itu. Kemudian dengan meminjam

tenaga dari tongkatnya, Wulan langsung

melompat ke angkasa.

"Curang!" sungut Dewi Anggrek

Emas.

Manis sekali kaki Wulan mendarat di

tanah. Senjata tombak bermata dua

kembali menyilang di depan dada. Sesaat

Wulan memberikan kerlingan mata pada

Jaka, yang kemudian dibalas dengan

senyuman. Sedangkan Dewi Anggrek


Emas kelihatan bersungut-sungut setelah

lawannya mampu menandingi jurus

'Anggrek Seribu' nya tanpa mendapat

celaka sedikit pun

"Jaka, hadapi aku!" bentak Dewi

Anggrek Eams sengit.

"Tidak perlu manis. Adikku pun

sudah cukup," tenang dan lembut Jaka

menyahuti.

Tetapi kelembutan suara Jaka justru

menyakitkan di telinga Dewi Anggrek

Emas. Jelas, kata-kata yang diucapkan

tenang itu mengandung nada ejekan serta

meremehkan dirinya. Dewi Anggrek Emas

makin dongkol saja.

"Bagaimana, Nenek Sihir?

Menyerah?" tantang Wulan.

"Phuih!" tambah geram hati Dewi

Anggrek Emas "Jaka, jangan salahkan aku

kalau adikmu yang masih bau kencur ini

mati di tanganku!"

"Apa tidak sebaliknya?" ejek Wulan.

"Tikus busuk! Terima seranganku!"


Seketika saja Dewi Anggrek Emas

mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Lalu

dengan gerakan perlahan, tangannya

diturunkan hingga sejajar dengat ketiak.

"Hati-hati, Wulan. Dia mengeluarkan

ajian 'Wisanggeni'," kata Jaka

memperingatkan. "Lawan dengan 'Bayu

Segara'!"

"Baik, Kakang," sahut Wulan.

Segera saja Wulan menekuk kaki

kanannya ke depan. Sedangkan kaki

kirinya ditarik ke belakang agak

menyamping. Kemudian tangan kirinya

dipentang lurus ke depan, lalu tangan

kanannya ditempelkan di siku kiri.

"Aji 'Wisanggeni'...!" teriak Dewi

Anggrek Emas melengking.

Seketika tubuhya mencelat bagai

anak panah lepas dari busur. Pada saat

yang bersamaan kaki Wulan bergerak

cepat menyusur tanah. Tangannya

merentang ke samping, lalu dengan cepat

dikebut ke depan.


Pada saat yang sama, Dewi Anggrek

Emas telah mendorong kedua tangannya

ke depan pula. Maka kedua pasang tangan

itu pun beradu keras hingga menimbulkan

suara ledakan dahsyat. Tubuh Dewi

Anggrek Emas terjengkang ke belakang

dua depa. Sedangkan Wulan melentingkan

tubuhnya ke angkasa. Dua kali berputar di

udara, kemudian dengan cepat meluruk

bagai seekor elang menerkam mangsa, ter-

arah ke kepala Dewi Anggrek Emas.

Dewi Anggrek Emas yang

terjengkang itu belum dapat menguasai

diri. Dia terkejut sekali karena Wulan telah

menyerang kembali dari atas kepalanya.

"Setan!" umpat Dewi Anggrek Emas.

Tanpa pikir panjang lagi,

disambutnya serangan Wulan yang

mendadak. Kembali dua pasang telapak

tangan beradu. Begitu dahsyatnya

serangan itu sampai-sampai kaki Dewi

Anggrek Emas melesak masuk ke tanah

hingga sebatas lutut Wulan kembali


melenting berputar dua kali di udara, lalu

dengan lincah mendarat ke tanah.

"Hoek!" Dewi Anggrek Emas

memuntahkan darah kental kehitaman.

Wajah wanita itu mendadak merah.

Betapa malunya Dewi Anggrek Emas

karena dapat dikalahkan oleh seorang

gadis yang dulu menjadi bulan-bulanan

dirinya. Setelah menyeka mulutnya, Dewi

Anggrek Emas mengerahkan tenaga

dalamnya. Dan....

"Hait..!"

Tubuh Dewi Anggrek Emas terlonjak

ke atas. Kakinya telah keluar dari tanah.

Kini tubuhnya melesat ke udara dan

membuat putaran tiga kali sebelum

menjejak tanah. Tubuhnya sedikit limbung

ketika kakinya sampai di tanah. Dari

mulutnya kembali memuntahkan kental

kehitaman. Matanya menjadi perih

berkunang-kunang.

"Kau terluka dalam, Dewi Anggrek

Emas. Perlu waktu satu bulan untuk


memulihkan kekuatanmu," kata Wulan

kalem.

"Bocah setan! Aku tidak akan

melupakan penghinaan ini. Satu saat

kelak, akan kubalas kau!" dengus Dewi

Anggrek Emas dendam.

"Aku rasa dalam satu bulan belum

tentu kau dapat memulihkan tenaga

dalammu," Jaka menimpali.

Dewi Anggrek Emas mendengus. Dia

baru tahu kalau aji 'Bayu Segara' yang

dilepaskan Wulan dapat menyedot

setengah lebih tenaga dalam yang di-

milikinya. Memang bukan sedikit waktu

yang dibutuhkan untuk memulihkannya

Aji 'Bayu Segara' memang tidak

kelihatan akibatnya secara langsung Tapi

siapa saja yang terkena ajian itu, dapat

dipastikan lebih dari setengah tenaga

dalamnya akan tersedot. Dan lagi jurus-

jurus serta ilmu-ilmu kesaktiannya juga

akan berkurang kehebatannya Tidak nyata

secara fisik, tapi mampu membuat mental

seorang tokoh jadi frustasi.


"Tunggu pembalasanku, Wulan!"

teriak Dewi Anggrek Emas.

Setelah berkata demikian, Dewi

Anggrek Emas segera melompat pergi.

Tetapi tanpa diduga sekali, lompatannya

jadi lambat dan pendek seperti orang

sedang belajar ilmu olah kanuragan. Dia

benar-benar lupa kalau setengah kekuatan

tenaga dalamnya telah tersedot. Melihat

kenyataan ini, Dewi Anggrek Emas

menjadi geram setengah mati. Matanya

merah menyala menatap Wulan yang

hanya tersenyum-senyum.

"Jangan gunakan tenaga dalam, bisa

mati lemas nanti," kata Jaka kalem.

"Huh!" Dewi Anggrek Emas

bersungut-sungut.

Hatinya benar-benar tidak dapat

melupakan penghinaan ini. Dendam

terbalut rapat di dasar hatinya. Sambil

menggerutu jengkel, Dewi Anggrek Emas

melangkah pergi tanpa berani lagi

menggunakan tenaga dalamnya.


"Kau tidak apa-apa, Wulan?" tanya

Jaka ketika Dewi Anggrek Emas sudah

tidak kelihatan lagu

"Tidak," sahut Wulan cepat.

"Tapi kau harus semadi sebentar

untuk memulihkan tenagamu. Barangkali

ada sedikit pengaruh aji 'Wisanggeni' di

jalan darahmu," kata Jaka penuh

perhatian.

Wulan tersenyum, lalu duduk

bersimpuh di bawah pohon yang

berumput tebal. Segera diambilnya sikap

bersemadi, memusatkan seluruh perhatian

dan semua indranya dari hubungan

dengan dunia fana. Disatukan diri dan

jiwanya kepada Sang Pencipta. Perlahan-

lahan Wulan merasakan tubuhnya kian

ringan, darahnya mengalir tenang. Hawa

sejuk mulai merembes masuk ke seluruh

jaringan syarafnya.

Hawa sejuk nyaman perlahan-lahaan

berganti menjadi panas. Semakin lama

panas yang menyambar ke seluruh

tubuhnya semakin menyengat. Keringat


mulai menitik di kening dan seputar

lehernya. Selanjutnya tubuh Wulan bagai

terserang demam. Dan....

"Hoek!" Wulan memuntahkan darah

merah kental dari mulutnya dua kali.

Berangsur-angsur seluruh jiwa dan

raganya kembali tenang. Wajah yang

memerah pun kembali pulih seperti

semula. Cerah bagai bayi tanpa dosa.

Perlahan-lahan Wulan membuka matanya

yang bulat bening seperti bertaburkan

bintang berkilauan. Dengan lengan baju

diseka mulutnya Segera Wulan bangkit

berdiri. Matanya langsung tertuju pada

Jaka yang duduk bersandar di bawah

pohon rindang. Kakaknya itu pun tengah

memperhatikannya dengan bibir

tersenyum.

"Sudah?" tanya Jaka setelah Wulan

mendekat.

Wulan mengangguk.

"Kau terkena aji 'Wisanggeni' tadi,"

kata Jaka sambil bangkit dari duduknya.



"Bagaimana kau tahu?" tanya Wulan.

Kakinya terus melangkah mendekati kuda

yang setia menunggu sambil merumput.

"Aku melihat noda merah pada

telapak tanganmu," sahut Jaka seraya

melompat ringan ke atas punggung kuda.

Wulan segera naik ke punggung

kudanya sendiri. Sikapnya tenang,

setenang air sungai mengalir. Digebah

kudanya perlahan agar berjalan lambat-

lambat saja Jaka juga menyentak tali

kekang kudanya. Dua ekor kuda dengan

penunggang Sepasang Walet Merah itu

berjalan perlahan.

"Kalau saja aji 'Bayu Segara' mu

sudah sempurna, pasti perempuan itu

akan mati tanpa luka," kata Jaka setengah

bergumam.

"Yah, seharusnya aku

menyempurnakannya dulu baru turun

bukit lagi," desah Wulan.

"Kau bisa melakukannya dalam

perjalanan."

"Apa mungkin?"



"Kenapa tidak? Setiap lawan yang

terkena aji 'Bayu Segara' akan menitipkan

sebagian tenaga dalamnya padamu.

Dengan demikian kau tidak perlu susah-

susah bersemedi menyempurnakan tenaga

dalam. Enak, kan?"

"Kau lupa, Wulan. Aji 'Bayu Segara'

hanya cocok dimiliki wanita. Sedangkan

aku melatih padanannya yang dapat

menunjang ajianmu itu. Namanya, aji

'Tirta Segara'."

"Maaf, aku lupa," Wulan tersipu.

"Kita dipersiapkan eyang resi untuk

menjadi Sepasang Walet Merah. Jadi apa

yang kita miliki ini saling menunjang.

Memang tidak ada salahnya kalau di-

lakukan sendiri-sendiri. Tapi akan lebih

sempurna jika dilakukan bersama-sama

dalam satu jiwa."

"Itu kan pesan Eyang Resi, Kakang."

"Iya, aku hanya memperingatkan saja

kok." Wulan mendadak tercenung. Dia

ingat dengan kata-kata yang diucapkan

guru mereka sebelum meninggal. Semua


yang telah diturunkan dan dikuasai kakak

beradik ini akan lebih sempurna jika

memakan jantung burung walet merah

yang hanya ada sepasang saja di dunia ini.

Dan sepasang jantung itu telah disimpan

eyang resi dalam satu tempat. Sayang

beliau belum sempat menyebutkan,

dimana jantung sepasang walet merah Ku

disimpan.

"Kakang..," kata Wulan.

"Ada apa?" tanya Jaka.

"Kau Ingat pesan terakhir Eyang

Resi?" Wulan balik bertanya.

"Pesan apa?" Jaka belum mengerti.

"Coba kau ingat-ingat dulu," kata

Wulan seolah-olah memberi teka-teki.

Jaka mengerutkan keningnya. Terlalu

banyak pesan yang dibenkan guru mereka

sebelum meninggal.

Jaka mencoba untuk mengingat satu

per satu. Menduduk dia tersentak ketika

teringat salah satu pesan yang hampir

terlupakan. Hanya satu kalimat saja, dan

kelihatannya tidak begitu penting.


"Aku rasa ini ada hubungannya

dengan tokoh-tokoh rimba persilatan yang

tengah mencari-cari kita," kata Wulan.

"Mungkin juga," gumam Jaka.

Keningnya masih berkerut

* * *

Hari sudah menjelang senja. Matahari

bersiap-siap pergi tidur. Di atas

pepohonan, burung-burung nampak sibuk

kembali ke sarangnya. Sedangkan di

bawahnya, terlihat dua ekor kuda yang

tengah ditunggangi Sepasang Walet

Merah. Mereka terus berjalan menyusuri

lereng Bukit Batok. Tidak jauh dari situ,

terlihat sebuah desa yang mulai kelihatan

sepi. Desa yang satu-satunya terdekat

dengan lereng bukit ini dinamakan Desa

Batok.

Suasana sepi itu tiba-tiba pecah oleh

teriakan keras disusul dengan munculnya

sesosok tubuh menjebol atap sebuah

rumah. Sosok tubuh berpakaian ketat


serba putih itu bersalto beberapa kali. Di

sebuah dahan pohon sosok itu hinggap

dengan manis. Matanya memandang

sebentar pada rumah yang baru saja

dijebolnya, lalu kembali mendarat di

tanah. Gerakannya ringan, menandakan

orang itu memiliki kepandaian yang tidak

rendah.

Sepasang Walet Merah segera

menghentikan langkah kudanya. Serentak

mereka melompat turun dan menuntun

kuda mendekati sebuah pohon di pinggir

jalan utama desa itu. Wulan mengamati

rumah yang ternyata sebuah penginapan.

Tatapannya lalu beralih pada orang

berpakaian ketat serba putih yang berdiri

tegang menghadap ke pintu rumah

penginapan.

"Sarmapala," desah Wulan mengenali

orang itu.

Brak!

Tiba-tiba saja pintu rumah

penginapan itu hancur berantakan.

Kemudian disusul berkelebatnya seberkas


cahaya merah meluncur deras ke arah

Sarmapala. Dalam waktu yang bersamaan,

Sarmapala melompat ke udara. Sinar

merah itu lewat di bawah kakinya, lalu

tepat menghantam pohon yang berada di

belakang laki-laki muda itu. Seketika

pohon itu meledak dan tumbang.

Sarmapala kembali mendarat manis di ta-

nah.

"Klabang Hijau, ke luar kau! Jangan

seperti tikus bersembunyi di parit!" bentak

Sarmapala keras.

"He he he.... Sungguh besar nyalimu,

Sarmapala. Tapi lebih besar bualanmu

daripada besarnya gunung," terdengar

suara keras dari dalam penginapan.

"Nyalimu yang seperti liur! Kalau

jantan, ke luar!" balas Sarmapala dengan

tajam.

Belum lagi selesai bibir Sarmapala

berkata, tiba-tiba berkelebat sebuah

bayangan hijau ke luar dari pintu rumah

penginapan yang hancur berantakan.

Sekejap saja di depan Sarmapala sudah


berdiri seorang laki-laki tua bertubuh

bungkuk dengan tongkat hijau di

tangannya. Bajunya yang menyerupai

jubah, seluruhnya berwarna hijau. Bahkan

wajah dan tangannya pun berwarna hijau.

Dia kini tengah memandang Sarmapala

dengan tajam.

"Sarmapala bisa mati di tangan

Klabang Hijau." desis Jaka ketika melihat

laki-laki tua berdiri dengan tiba-tiba di

depan Sarmapala.

"Kau akan membantu Sarmapala,

Kakang?" tanya Wulan

"Tidak," Sahut Jaka tegas.

Seperti apapun bahayanya

Sarmapala, tidak bakalan Jaka membantu.

Dia tidak pernah menyukai laki-laki itu

yang selalu saja menginginkan Wulan

menerima cintanya, meskipun Sarmapala

seorang pendekar digdaya yang berhati

lurus.

Jaka masih ingat ketika Sarmapala

mempermalukannya di depan orang

banyak. Saat itu tubuh Jaka dibuat babak


belur hanya karena salah pengertian yang

sepele. Meskipun dulu hidup

bergelandang dan mengemis, tapi Jaka

tidak pernah melakukan perbuatan yang

merugikan orang lain.

Waktu itu, Sarmapala masih remaja,

sama seperti dirinya yang masih berusia

sekitar lima belas tahun. Dia anak seorang

pembesar kerajaan yang sangat dihormati

dan disegani. Suatu saat, di pusat kerajaan

sedang diadakan pesta besar-besaran me-

nyambut datangnya peringatan Dasawarsa

Kerajaan. Dalam keadaan seluruh

penduduk bersenang-senang, tiba-tiba

terjadi ribut-ribut

Keributan itu berawal dari seorang

wanita setengah baya yang kecopetan.

Kebetulan Jaka yang waktu itu masih

bergelandang berada dekat dengan

kejadian itu. Semua orang langsung

menuduhnya mencopet wanita setengah

baya itu. Sarmapala yang saat itu juga

berada di sana bersama sejumlah prajurit,

segera bertindak tanpa bertanya lebih


dulu. Tentu saja, Jaka yang hanya seorang

gelandangan dan awam terhadap ilmu

kanuragan, menjadi babak belur.

Untunglah seorang kakek tua cepat

menolongnya dan membawanya dari

tempat itu. Kakek yang bernama Eyang

Resi Suralaga lalu mengangkat Jaka

sebagai anak sekaligus murid bersama

cucu kakek itu yang bernama Wulan.

Kejadian itu tidak terlupakan bagi Jaka

hingga saat ini.

"Kakang...," Wulan mencolek lengan

Jaka.

"Oh!" Jaka tersentak dari

lamunannya.

"Kita di sini terus, Kakang?" tanya

Wulan

"Sebentar, biarkan mereka selesai

dulu dengan urusannya, baru kita

lanjutkan perjalanan," jawab Jaka.

Wulan tidak membantah. Dia cukup

mengerti perasaan Jaka saat ini. Wulan

pun tahu peristiwa yang sekitar dua puluh

tahun yang lalu. Saat itu dia masih berusia


sekitar lima tahun. Masih jelas dalam

ingatannya bagaimana kedaan Jaka waktu

itu. Tetapi Wulan tidak menyalahkan Jaka

ataupun Sarmapala. Baginya hal itu hanya

salah pengertian saja. Lain halnya dengan

Jaka. Rupanya dia mengingatnya sebagai

sesuatu yang tidak patut dilupakan. Dan

itu memang hak seseorang, dan Wulan

tidak ingin mencampurinya.

Sementara itu Sarmapala sudah

bertarung melawan Klabang Hijau. Jaka

yang selalu memperhatikan dengan serius,

sudah bisa menghitung kalau pertarungan

itu sudah berjalan hampir lima jurus. Dan

kelihatannya Sarmapala sudah sangat

terdesak sekali.

Kepandaian Klabang Hijau memang

jauh di atas Sarmapala. Hanya saja sikap

Sarmapala yang congkak dan tinggi hati

membuatnya enggan mengakui keung-

gulan lawan. Hidupnya yang serba

kecukupan dan dikelilingi para pengawal,

membuatnya selalu memandang rendah

pada siapa. Rupanya ini berlanjut sampai


dewasa. Lebih-lebih sekarang menjabat

sebagai Kepala Pasukan Kerajaan, semakin

jelas sikap congkaknya. Namun demikian,

Sarmapala selalu berjalan dalam alur yang

lurus.

Kini Sarmapala telah mengeluarkan

jurus-jurus ilmu pedang andalannya.

Sementara Klabang Hijau kelihatan masih

melayaninya setengah-setengah. Bahkan

sampai lewat tiga puluh jurus, Klabang

Hijau belum sekali pun membalas setiap

serangan Sarmapala. Dia hanya berkelit

menghindar, sambil terkekeh tidak henti-

hentinya Hal ini membuat Sarmapala

semakin gusar dan panas hatinya.

"Klabang Hijau, jangan hanya berkelit

saja! Serang aku!" teriak Sarmapala jengkel

karena merasa diremehkan.

"He he he.... Aku tidak pemah

berurusan dengan pihak kerajaan. Bahkan

selamanya aku tidak ingin berurusan!"

sahut Klabang Hijau.


"Jangan katakan aku kejam kalau

pedangku menembus jantungmu!" dengus

Sarmapala.

"Silakan, kalau kau mampu."

Mendengar tantangan ini, Sarmapala

makin geram hatinya. Dia pun segera

memperhebat serangan-serangannya

Pedang pusaka warisan Ayahandanya,

berkelebat cepat mengarah ke bagian-

bagian tubuh lawan. Rasa penasaran di

dalam hatinya semakin menebal. Tetapi

sampai sejauh ini, pedangnya belum

sedikit pun menyentuh ujung jubah orang

tua itu. Hingga pada suatu saat...

"Tahan...!" seru Klabang Hijau keras.

"Celaka!" sentak Jaka dan Wulan

hampir berbarengan.

Apa yang dilakukan Klabang Hijau?

* * *


TIGA


Tiba-tiba saja Klabang Hijau melesat

ke udara. Setelah berputar satu kali, dalam

keadaan masih di atas, disentakkan tangan

kanannya Sepasang Walet Merah tahu

betul kalau Klabang Hijau tengah menge-

luarkan jurus 'Kala Wisa' yang sangat

berbahaya.

Tidak semua tokoh mampu

menandingi jurus 'Kala Wisa' termasuk

Sarmapala yang hanya mengandalkan

ilmu kanuragan dan sedikit menguasai

ilmu kesaktian lainnya. Dapat dipastikan

jika 'Kala Wisa' menghantam Sarmapala,

dia pasti tewas seketika dengan tubuh

membiru. Pukulan jarak jauh 'Kala Wisa'

memiliki gelombang racun yang sangat

mematikan.

Cras!

Pada detik yang sangat kritis dan

mendebarkan itu, tiba-tiba saja sebuah


bayangan berkelebat cepat memapak

serangan Klabang Hijau.

"Setan belang! Siapa berani

mencampuri urusanku?!" umpat Klabang

Hijau gusar, karena serangannya patah di

tengah jalan.

'Tidak kusangka, nama besar Klabang

Hijau ternyata hanya untuk menakut-

nakuti bocah kemarin sore," terdengar

suara serak dan parau.

Semua mata langsung tertuju pada

arah suara tadi. Tampak seorang

perempuan tua berambut putih se-

luruhnya, berdiri di atas batu besar sebesar

kerbau. Orang mengenalinya dari sabuk

hitam yang melilit pinggangnya.

Namanya, Nenek Sumbing.

"Tidak ada gunanya kalian mengadu

nyawa di sini," kata Nenek Sumbing lagi.

Suaranya tetap terdengar serak dan parau.

"Ha ha ha..., ternyata mulutnya yang

somplak mampu juga memberi nasehat,"

Sarmapala tertawa mengejek.



Nenek Sumbing hanya tersenyum.

Bibirnya yang telah sobek bagian atas

semakin jelek dipandang. Senyuman itu

juga lebih mirip seringaian. Gigi-giginya

yang hitam mencuat ke luar.

"Kau datang ke desa ini tentunya

bermaksud ke Bukit Batok. Aku rasa

langkahmu hanya untuk mengantar

nyawa saja, anak muda," tenang Nenek

Sumbing berkata.

Merah padam wajah Sarmapala

ketika mendengar ucapan Nenek Sumbing

yang bernada tenang itu, namun membuat

panas telinga. Jelas kalau perempuan tua

itu meremehkan dirinya.

"Nenek jelek! Semua orang tahu

kalau Cupu Manik Tunjung Biru milik

siapa saja yang berhasil mendapatkannya.

Pusaka itu bukan hanya milik kalian kaum

rimba persilatan!" kata Sarmapala keras

dengan nada gusar.

Kata-kata yang diucapkan lantang

dan keras, membuat Sepasang Walet

Merah yang sejak tadi mengamati mereka,



menjadi tersentak kaget. Ternyata berita

tentang pusaka Cupu Manik Tunjung Biru

sudah tersebar begitu luas. Bukan hanya

tokoh-tokoh rimba persilatan saja yang

ingin memilikinya, tetapi orang-orang

kerajaan seperti Sarmapala ini pun juga

tertarik.

"Rasanya tidak ada gunanya berdebat

di sini. Kalau kau punya nyali, kita dapat

saling mengadu nyawa nanti di Goa

Larangan Bukit Batok," kata Nenek

Sumbing seraya mencelat tinggi dan

lenyap di antara rumah-rumah penduduk.

"Perhitungan kita belum selesai,

Klabang Hijau," Sarmapala langsung

menatap Klabang Hijau. Dia tidak peduli

lagi dengan Nenek Sumbing yang entah

sudah pergi ke mana.

"He he he...," Klabang Hijau terkekeh,

kemudian dibalikkan tubuhnya, lalu

melangkah.

"Hey, tunggu! Kau tidak bisa pergi

begitu saja sebelum salah satu di antara

kita mati!" teriak Sarmapala lantang.


"Percuma aku melayanimu. Buang-

buang tenaga saja," dengus Klabang Hijau

terus saja berlalu.

Dengan kemarahan memuncak,

Sarmapala berteriak nyaring sambil

melompat membabatkan pedangnya.

Namun ketika mata pedangnya hampir

menyentuh tubuh Klabang Hijau, sekejap

saja sasarannya telah melompat tinggi dan

telah hinggap di atas genteng rumah

penginapan.

"Kutunggu kau di Goa Larangan

Bukit Batok," kata Klabang Hijau sambil

melompat dan hilang di antara

pepohonan.

"Pengecut!" umpat Sarmapala geram.

Sambil bersungut-sungut, dihampiri

kudanya yang ditambatkan di depan

rumah penginapan. Setelah melompat

ringan ke punggung kuda putih tunggang-

annya, kuda itu pun melesat bagai anak

panah lepas dari busur ketika digebah tali

kekangnya.


Sepasang Walet Merah yang sejak

tadi memperhatikan, hanya diam saja

melihat kejadian itu. Masing-masing sibuk

dengan pikirannya. Sebentar saja keadaan

di depan rumah penginapan kembali

sunyi lengang. Sementara senja telah

semakin merayap menjelang malam.

Suasana gelap mulai menyelimuti desa itu.

"Mereka pasti menuju makam Eyang

Resi," gumam Jaka.

Wulan hanya memandang Jaka tanpa

bicara.

"Kau dengar kata-kata Nenek

Sumbing tadi, Wulan?" tanya Jaka.

"Ya," sahut Wulan.

"Mereka menyangka Cupu Manik

Tunjung Biru ada di Goa Larangan Bukit

Batok. Dan kau tahu di dalam goa itu

Eyang Resi Suralaga dimakamkan.

Apakah kita hanya berdiam diri saja?"

"Aku tidak rela makam eyang

diobrak-abrik tangan-tangan kotor!"

dengus Wulan geram.


Tanpa banyak bicara lagi, mereka

melompat ke punggung kuda masing-

masing. Secepat kilat digebah kuda

tunggangan mereka, kembali ke Bukit

Batok. Sepasang Walet Merah kini

semakin yakin bahwa benda pusaka yang

tengah diperebutkan dan dicari-cari tokoh-

tokoh rimba persilatan adalah milik Eyang

Resi Suralaga.

Benda pusaka yang bernama Cupu

Manik Tunjung Biru kini jadi rebutan

setelah pemiliknya meninggal dunia.

Eyang Resi Suralaga memang tidak pernah

cerita panjang lebar mengenai hal itu.

Tetapi kata-kata terakhirnya yang

merupakan teka-teki, kini hampir

terungkap. Bahkan sekarang jadi

permasalahan serius.

Sepasang Walet Merah belum tahu,

apa manfaat pusaka itu bagi orang lain.

Mereka sampai rela mengadu nyawa

hanya untuk memperebutkan sebuah cupu

yang belum ketahuan bentuk dan

khasiatnya.


Bagi Sepasang Walet Merah cupu itu

sangat bermanfaat. Tapi bagi orang lain?

Ini yang menjadi pertanyaan.

* * *

Bukit Batok tampak berdiri angkuh

terselimut kabut tebal yang bergerak

tertiup angin. Bukit yang semula tidak

dikenal, kini mendadak jadi pusat

perhatian. Setiap hari selalu saja ada yang

pergi ke sana. Tujuan mereka hanya satu.

Cupu Manik Tunjung Biru.

Kini Goa Larangan Bukit Batok ramai

oleh tokoh-tokoh rimba persilatan baik

dari golongan putih maupun hitam.

Mereka datang sendiri-sendiri, dan ada

pula yang bersama murid-muridnya.

Bahkan terlihat pula serombongan

prajurit-prajurit kerajaan yang dibagi

beberapa kelompok. Masing-masing

kelompok dipimpin seorang punggawa

atau pembesar kerajaan.



Walaupun maksud memiliki Cupu

Manik Tunjung Biru berlainan, tapi yang

jelas orang-orang dari segala penjuru telah

berdatangan ke Bukit batok. Tempat itu

kini seperti akan diadakan pesta saja.

Bahkan ada beberapa kelompok orang

yang hanya memiliki kepandaian pas-

pasan ikut hadir. Mereka rata-rata hanya

ingin melihat saja tokoh-tokoh tingkat

tinggi saling bertarung untuk

memperebutkan benda yang bukan

miliknya.

"Tidak kusangka, Cupu Manik

Tunjung Biru punya daya tarik luar biasa,"

gumam seorang pemuda sambil

menggeleng-gelengkan kepalanya.

Pemuda itu bertubuh kurus

jangkung. Sepasang matanya bulat

cekung, masuk ke dalam di antara dua

pipinya yang kempot. Namun masih juga

terlihat garis garis ketampanannya dengan

kulit yang kuning langsat. Pakaiannya

rapih perlente bagai seorang pangeran.

Disampingnya berdiri seorang pemuda de


ngan bentuk tubuh dan wajah yang sama.

Pakaiannya pun persis sama. Sulit

membedakan kalau mereka berdampingan

bersama. Mereka dikenal dengan julukan

si Setan Kembar.

"Kau lihat, Adik Sencaki. Pihak

kerajaan ternyata berminat juga dengan

Cupu Manik Tunjung Biru," kata pemuda

itu lagi yang bernama Sencaka.

"Ya, mereka datang secara terbuka,"

sahut Sencaki. Matanya meneliti keadaan

sekitar. Sepertinya tempat ini tidak ada

lagi tempat untuk bersembunyi.

Di balik pepohonan, batu-batu,

bahkan di pucuk-pucuk pohon sudah

dihuni tokoh-tokoh rimba persilatan yang

selalu mengincar kesempatan untuk me-

nembus Goa Larangan.

Tiba-tiba mata Sencaki yang tajam

menangkap sepasang anak muda

berpakaian serba merah tengah duduk di

atas punggung kuda. Memang agak jauh

dari tempat ini, tapi jelas kalau mereka

tengah mengawasi keadaan sekitarnya.


"Bukankah itu Sepasang Walet

Merah?" Sencaki seperti bertanya pada diri

sendiri.

"Benar. Rupanya kau melihat juga,"

sahut Sencaka.

"Kelihatannya mereka tenang-tenang

saja, Kakang," kata Sencaki tidak

mengalihkan perhatian pada Sepasang

Walet Mwrah.

"Mungkin cupu itu telah berada di

tangannya," sahut Sencaka menebak.

"Kalau begitu, untuk apa kita berada

di sini? Bukankah lebih baik merebut cupu

itu dari tangan mereka?'

"Jangan terburu nafsu. Lihat dulu

perkembangan. Biarkan orang-orang

dungu itu saling bunuh! Dengan

demikian, rintangan kita berkurang."

Sencaki mengangguk-anggukan

kepalanya. Matanya tetap tidak berkedip

mengawasi Sepasang Walet Merah yang

berada di puncak bukit. Dari puncak itu

memang bisa terlihat jelas keadaan di

sekitar Goa Larangan.


"Aku yakin Sepasang Walet Merah

tidak rela tempat ini dijadikan ajang

pertempuran," gumam Sencaki.

"Mereka juga harus berpikir dua kali

untuk langsung turun tangan. Kau lihat

saja di situ. Ada Nenek Sumbing, Klabang

Hijau, Pendekar Mata Elang, dan hampir

seluruh tokoh sakti tumplek di tempat ini.

Kita sendiri belum tentu mampu

menandingi salah satu di antara mereka."

"Jadi, menurutmu bagaimana,

Kakang?"

"Diam di sini sambil mengamati

perkembangan. Dan kau jangan lepas

mengawasi setiap gerak Sepasang Walet

Merah."

Sencaki mengangguk-anggukan

kepalanya. Dia mengerti maksud kakak

kembarnya ini. Dalam keadaan seperti ini,

memang bukan tenaga dan kesaktian yang

diperlukan, tapi kelicikan dan kecerdikan

lah yang bermain. Siapa yang lebih cerdik,

dia yang berhasil mendapatkan Cupu

Manik Tunjung Biru.


Tapi bukan si Setan Kembar saja yang

punya pikiran seperti itu. Tidak jauh dari

mereka, juga terlihat lima orang bertubuh

kekar dengan golok tersampir di

punggung. Mereka lebih di kenal dengan

sebutan Lima Golok Neraka.

"Rasanya aku sudah tidak sabar lagi,"

gumam salah seorang dari Lima Golok

Neraka yang mengenakan baju berwarna

kuning.

"Sabar, Baga Kuning. Kita datang ke

sini untuk mendapatkan Cupu Manik

Tunjung Biru. Bukan untuk mengantarkan

nyawa sia-sia!" kata seorang lagi yang

mengenakan baju biru.

Memang kelima orang itu dapat

dikenal namanya dari pakaian yang

dikenakan. Warna yang berbeda

merupakan ciri khas dari nama mereka.

"Lalu sampai kapan kita harus

menunggu? Rasanya tanganku sudah

gatal," sembur Baga Ungu.

"Ingat, Baga Ungu, Baga Kuning, dan

kalian semua. Keadaan seperti ini sudah


kita duga sebelumnya. Dan cara yang

terbaik bukan dengan jalan adu otot dan

ilmu kesaktian, tapi!" kata Baga Biru

sambil telunjuknya diketuk-ketukan ke

keningnya sendiri. Memang, adik-adiknya

sudah tidak sabaran lagi untuk

mendapatkan benda pusaka itu.

"Lalu bagaimana menurut

pikiranmu?" tanya Baga Putih.

Baga Biru tidak segera menjawab. Dia

sendiri tengah memikirkan cara terbaik

agar dapat memenangkan persaingan ini

tanpa terlalu menguras tenaga.

Masalahnya, yang datang ke Bukit Batok

ini bukanlah orang-orang sembarangan.

Mereka rata-rata memiliki kepandaian

yang cukup tinggi. Jadi tidak mungkin

menghadapi mereka semua dengan

mengandalkan ilmu olah kanuragan dan

kesaktian.

Langkah yang terpenting sekarang

adalah dapat menjaga emosi, dan mencari

yang tepat tanpa harus mengeluarkan

banyak tenaga. Tentu saja hal ini


membutuhkan kerja otak yang berat.

Kecerdikan lebih berperan untuk

memenangkan persaingan ini.

Pada saat Baga Biru memeras otak,

tiba-tiba terdengar ribut-ribut yang disusul

suara jerit kematian. Tampak satu pasukan

berseragam prajurit kerajaan porak-

poranda bagai diterjang banteng liar yang

mengamuk. Beberapa mayat terlihat

bergelimpangan dengan dada tertembus

batang panah.

"Ada apa?" tanya Baga Biru.

"Ada orang gila membantai prajurit

kerajaan," sahut Baga Kuning.

Mata Baga Biru membeliak melihat

anak-anak panah datang bagai hujan

membantai para prajurit itu. Bukan hanya

satu kelompok pasukan saja yang

mengalami hal ini Kelompok-kelompok

lain pun ikut kacau dengan datangnya

hujan panah secara tiba-tiba itu. Jerit

melengking disertai tumbangnya beberapa

tubuh manusia mewarnai keadaan Bukit

Batok.


Semua orang yang ada di situ

langsung memusatkan perhatian pada

kejadian yang datang secara tiba-tiba itu.

Terlihat beberapa prajurit yang masih

hidup berusaha menyelamatkan diri.

Namun karena derasnya anak panah yang

datang, seperti tak ada kesempatan lagi

buat mereka untuk meloloskan diri. Satu

dua anak panah dapat mereka hindari,

tapi anak panah berikutnya berhasil

menembus tubuh mereka.

Malang benar nasib mereka. Siapakah

orang yang begitu tega dan kejam

membantai puluhan orang tanpa diberi

kesempatan sedikit pun untuk balas

menyerang? Anak-anak panah itu bagai

datang dari segala penjuru. Hanya mata

yang telah terlatih baik saja yang dapat

melihat kalau anak panah itu datang dari

satu arah.

Kini jeritan kematian yang menyayat

itu sebentar saja sudah tidak terdengar

lagi. Yang ada hanya tubuh-tubuh

bergelimpangan tidak tentu arah. Darah


membanjiri rerumputan. Bau anyir darah

mulai tercium dibawa angin.

* * *

"Ha ha ha..., mampus kalian semua

anjing-anjing Pasirwatu!" terdengar suara

menggelegar bersamaan dengan

berhentinya hujan panah.

Terlihat seorang laki-laki muda

dengan tubuh tinggi tegap berdiri di atas

sebuah batu besar yang bertumpuk-

tumpuk. Di tangan kanannya tergenggam

sebuah busur. Sedangkan di pinggangnya

tergantung sebuah kantong anak panah

yang telah kosong. Pongah sekali lagaknya

sambil berdiri membelakangi matahari.

Matanya tajam memandangi mayat-

mayat prajurit Kerajaan Pasirwatu.

Mendadak dibuangnya busur, dan dengan

gerakan lincah, kedua tangannya

mencabut tombak pendek bermata tiga

yang terselip di pinggang. Dialah

Rakawigirang.


Rakawigirang membantai habis

prajurit Pasirwatu memang ada alasannya.

Lima tahun lalu putri Kerajaan Pasirwatu

pernah disayembarakan. Ternyata pemuda

bernama Rakawigirang ini ikut pula dalam

sayembara itu. Tapi dia dapat dikalahkan

oleh putri yang disayembarakan itu.

Memang putri itu seorang yang digdaya.

Rupanya dari peristiwa itu Rakawigirang

memendam dendam.

"Siapa yang akan membela anjing-

anjing Pasirwatu? Tunjukkan muka!"

teriak Rakawigirang pongah menantang.

"Rakawigirang, tingkahmu sungguh

menjijikan!" suara balasan terdengar

menggeram, disusul munculnya seorang

laki-laki muda berpakaian ketat serba

putih.

"O, rupanya masih ada juga tikus

busuk Pasirwatu," Rakawigirang

tersenyum sinis melihat Sarmapala

muncul.

Sarmapala, salah seorang abdi utama

dengan jabatan kepala pasukan prajurit


Kerajaan Pasirwatu. Hatinya murka

melihat pembantaian brutal yang di-

lakukan Rakawigirang. Lebih-lebih kata-

kata yang terlontar dari mulut

Rakawigirang sangat menyakitkan telinga.

"Kurobek mulutmu, Rakawigirang!"

geram Sarmapala.

"Majulah! Keluarkan senjatamu!"

tantang Rakawigirang.

"Menghadapimu tidak perlu

menggunakan senjata!"

Rakawigirang segera menyelipkan

kembali dua tombak bermata tiga ke

pinggangnya, lalu melesat ke udara dan

bersalto dua kali. Dengan manis kakinya

menjejak tanah sejauh lima langkah di

depan Sarmapala.

"Kau datang ke sini tentu ingin

mencari Cupu Manik Tunjung Biru,

bukan? Nah, sebelum itu hadapi aku

dulu!" kata Rakawigirang pongah.

"Bersiaplah!" dengus Sarmapala

enggan bertele-tele.


Bibirnya belum lagi kering

mengucapkan kata-kata itu, Sarmapala

langsung membuka jurus-jurus tangan

kosong. Sedangkan Rakawigirang tampak

berdiri tenang dengan mata tajam

mengawasi setiap kembangan jurus

tangan kosong Sarmapala. Bibirnya ter-

sungging senyuman tipis. Dia sudah tidak

aneh lagi menghadapi jurus-jurus itu,

karena telah pernah berhadapan sewaktu

melawan putri Rasmala dari Kerajaan

Pasirwatu lima tahun lalu. Tentu saja

Sarmapala juga mendapatkan sumber

yang sama.

Seandainya putri sombong itu ada di

sini, belum tentu dapat mengalahkan

Rakawigirang lagi. Selama lima tahun

Rakawigirang memperdalam ilmu-

ilmunya. Apalagi kini dia mempelajari

ilmu baru yang lebih dahsyat dan dapat

diandalkan.

"Tahan serangan!" teriak Sarmapala

tiba-tiba.


Bersamaan dengan itu, kaki

Sarmapala bergerak cepat melompat

menerjang Rakawigirang Masih dalam

posisi di atas tanah, digerakkan kakinya

dengan cepat ke arah bagian-bagian tubuh

lawan.

Rakawigirang yang sudah

mengetahui gerakan-gerakan itu

sebelumnya, hanya memiringkan

tubuhnya sedikit ke kiri dan ke kanan

menghindari sabetan kaki lawan yang

beruntun. Tidak sedikit pun digeser ka-

kinya.

Serangan pertama Sarmapala gagal

total. Segera dibukanya serangan baru

dengan jurus kedua. Kali ini tubuh

Sarmapala dimiringkan ke kanan. Sebelah

kakinya menekuk. Dengan cepat, tangan

kanannya menyambar kepala lawan.

Pembahan serangan yang cepat dan

mendadak itu tidak diduga sebelumnya

oleh Rakawigirang. Dia kaget, lalu cepat-

cepat menundukkan kepala. Tapi tanpa

diduga sama sekali, kaki kanan Sarmapala


yang tertekuk bergerak cepat menendang

ke depan.

"Setan!" dengus Rakawigirang sengit.

Jarak mereka begitu dekat dan tidak

mungkin Rakawigirang mengelak.

Terpaksa diayunkan tangannya memapak

tendangan itu.

Buk!

Benturan keras terjadi antara tangan

dan kaki. Seketika itu juga Rakawigirang

melompat dua kali ke belakang. Bibirnya

meringis menahan sakit yang amat sangat

pada tangannya.

"Babi buntung, keluarkan senjatamu!"

umpat Rakawigirang sambil meringis.

Untung tulang tangannya tidak patah.

Hanya memar sedikit.

"Sudah kubilang, menghadapimu

tidak perlu menggunakan senjata," sahut

Sarmapala dingin.

"Setan! Jangan menyesal kalau kau

mati di ujung senjataku!" geram

Rakawigirang sambil mencabut tongkat

pendek berujung tiga dari pinggangnya.


"Ha ha ha..., anak kecil pun tidak

akan gentar melihat mainanmu!" ejek

Sarmapala.

"Hiyaaa...!" Rakawigirang tidak lagi

bisa menahan amarahnya. Langsung saja

dia melompat dengan dua senjata di

tangan terhunus ke depan.

Sarmapala melesat tinggi ke udara

menghindari terjangan yang bagai banteng

mengamuk itu. Ujung senjata

Rakawigirang meleset beberapa rambut di

bawah kaki Sarmapala. Dua kali dia

bersalto di udara, lalu mendarat di

belakang Rakawigirang.

"Mampus kau!" bentak Rakawigirang.

Dengan cepat tubuhnya berputar.

Satu ujung tombak itu mengancam perut

sedangkan tombak lainnya mengarah ke

leher. Sarmapala yang baru saja mendarat

ke tanah, segera melenting ke belakang

beberapa tombak menghindari serangan

yang begitu cepat

"Setan!" dengus Sarmapala. "Lima

tahun begitu pesat kemajuannya."



Belum lagi Sarmapala bernapas

sedikit, telah datang lagi serangan

selanjutnya. Sarmapala hanya bisa berkelit

dan melompat menghindari setiap serang-

an lawan. Namun sampai lewat lima jurus,

Rakawigirang belum menyentuhkan ujung

senjatanya ke tubuh Sarmapala. Gerakan

Sarmapala benar-benar cepat berkelit

menghindari setiap serangan beruntun

lagi berbahaya.

Namun setelah lewat sepuluh jurus,

kelihatan Sarmapala mulai terdesak.

Beberapa kali harus jatuh bangun

menghindari senjata lawan yang nyaris

menikam tubuhnya. Rakawigirang benar-

benar tidak memberi kesempatan pada

lawan untuk bernapas. Dia mendesak

terus dengan jurus-jurus mautnya.

Bret!

Tiba-tiba saja ujung senjata

Rakawigirang berhasil merobek baju

Sarmapala. Bukan main terkejutnya

pemuda itu. Cepat-cepat dia melompat

tinggi ke udara, dan menarik pedangnya.


"Bagus! Aku sungkan membunuh

lawan tanpa memegang senjata!" seru

Rakawigirang.

Sebenarnya Sarmapala enggan

menggunakan senjata. Tetapi karena

serangan-serangan lawan sangat

berbahaya, terpaksa dikeluarkan juga

senjatanya. Mau tidak mau dia harus

menahan malu karena telah meremehkan

lawan tadi.

Kini pertarungan mulai berjalan

seimbang. Sarmapala tidak lagi harus jatuh

bangun menghindari serangan. Bahkan

kini serangan-serangannya kelihatan

mengganas. Sebentar saja telah dua puluh

jurus terlewati. Namun sejauh ini belum

ada yang kelihatan terdesak.

"Awas kepala!" teriak Sarmapala tiba-

tiba. Dengan cepat disabetkan pedangnya

ke arah kepala lawan. Begitu cepatnya

sabetan pedang Sarmapala membuat

Rakawigirang tidak punya pilihan lain.

Dengan cepat pula diangkatnya satu

senjatanya untuk melindungi kepala.


Trang!

Dua senjata beradu keras sehingga

menimbulkan pijaran bunga api. Tangan

Rakawigirang pun sampai-sampai

bergetar hebat. Belum lagi hilang rasa

kagetnya, tiba-tiba saja Sarmapala

memutar pedangnya dan....

Bret!

"Akh!" Rakawigirang memekik

tertahan.

Darah mengucur dari perut yang

sobek tergores ujung pedang Sarmapala.

Cepat-cepat Rakawigirang melompat dua

depa ke belakang. Dia meringis menahan

perih yang menyayat perutnya. Darah

terus merembes membasahi bajunya.

"Setan!" geram Rakawigirang sengit.

"Melawan Gusti Putri saja kau tak

mampu, apalagi melawan aku...?"

Sarmapala mengejek.

Rakawigirang mendengus geram.

Setelah menotok beberapa jalan darah

sekitar perutnya, dia kembali menyerang

dengan ganas. Sarmapala kini tidak


sungkan-sungkan lagi. Ditandinginya

Rakawigirang dengan jurus-jurus pedang

mautnya. Pertarungan kembali

berlangsung seru.

Tepat pada jurus yang kelima puluh,

Sarmapala merubah jurusnya. Ditarik

pedangnya ke samping, seakan-akan

memberikan kebebasan lawan untuk

menikam tubuhnya yang kosong. Hal ini

dimanfaatkan oleh Rakawigirang yang

sudah kalap dibalut amarah.

Dengan cepat ditusukan kedua

senjatanya ke arah perut dan dada. Semua

orang melihat pasti akan menyangka

Sarmapala sengaja bunuh diri dengan

membuka jurus pertahanannya. Namun

apa yang terjadi selanjutnya?

Trang! Trang!

Tepat pada saat ujung-ujung senjata

Rakawigirang hampir mencapai sasaran,

mendadak Sarmapala mendoyongkan

tubuhnya ke belakang. Dalam keadaan

doyong ke belakang itu, tangan Sarmapala

yang semula terentang, riba-riba bergerak



cepat mengarahkan pedangnya dari

bawah ke atas.

"Akh" pekik Rakawigirang terkejut

Rakawigirang tidak mungkin

menarik senjatanya lagi. Dengan bebas

Sarmapala memapak Dua senjata tombak

pendek bermata cabang tiga itu pun

terpental ke udara. Belum lagi hilang rasa

kagetnya, secepat kilat Sarmapala

membuat setengah putaran pada

pedangnya. Dan....

"Aaaa...!" Rakawigirang menjerit

melengking

Ujung pedang Sarmapala berhasil

menembus tepat dada Rakawigirang

hingga tembus ke punggung. Sambil

mendengus, Sarmapala mengayunkan

kakinya menendang tubuh lawan yang

telah tertembus pedang. Rakawigirang

pun terlontar ke belakang bersamaan

dengan tertariknya pedang keluar dari

tubuhnya. Darah segar menyembur dari

tubuh Rakawigirang.


Rakawigirang menggeletak tidak

bernyawa lagi. Sarmapala berdiri tegak

menatap tubuh lawannya yang telah

menjadi mayat. Setelah membersihkan

mata pedang dari noda darah,

dimasukkannya pedang itu ke sarungnya

di punggung.

* * *


EMPAT


Sarmapala melangkah ringan.

Matanya mengamati ke sekeliling. Dia

tahu benar kalau di sekitarnya

bersembunyi tokoh-tokoh rimba persilatan

baik dari golongan hitam maupun putih.

Dan tentunya mereka telah menyaksikan

pertarungan tadi. Tapi sepertinya

Sarmapala tidak peduli. Langkahnya terus

terayun menuju ke Goa Larangan.

Tetapi bani saja kakinya melangkah

sekitar tiga tombak, tiba-tiba di depannya

meluncur sebuah bayangan berwarna

hijau, yang kemudian berhenti di

depannya. Ternyata bayangan itu adalah

Klabang Hijau yang telah berdiri angker

dengan sikap menantang.

"Belum saatnya kau melangkah ke

sana, anak setan," kata Klabang Hijau

dingin.

"Hm, rupanya Klabang Hijau masih

juga penasaran," gumam Sarmapala.


"Aku belum puas kalau belum

mematahkan lehermu!"

"Silakan kalau kau mampu."

"Bersiaplah untuk mati, anak setan!

Arwah cucuku yang kau nodai belum

puas kalau kau belum mampus di

tanganku!"

Setelah berkata demikian, Klabang

Hijau segera mengerahkan aji 'Kala Wisa'.

Sarmapala yakin kalau lawannya kali ini

tidak main-main lagi untuk menggunakan

kesaktiannya. Makanya dia pun tidak

menganggap remeh, segera disiapkan aji

'Guntur Geni', ajian yang cukup dahsyat.

Dua orang memiliki persoalan

pribadi sudah siap-siap dengan ilmu

kesaktian masing-masing. Dan sebenarnya

Klabang Hijau ke Bukit Batok ini hanya

untuk menemui Sarmapala. Klabang Hijau

tahu betul kalau manusia satu ini sangat

gila akan benda-benda pusaka yang

memiliki kekuatan tinggi. Selain itu,

Sarmapala juga gemar mempelajari ilmu-

ilmu kesaktian. Tidak heran kalau dia


selalu meninggalkan tugas-tugasnya

sebagai kepala pasukan kerajaan hanya

karena ingin memenuhi ambisinya.

Klabang Hijau tidak pernah tertarik

dengan Cupu Manik Tunjung Biru. Dia

tahu kalau benda pusaka itu milik Eyang

Resi Suralaga yang mangkat beberapa

tahun lalu. Klabang Hijau pun tahu kalau

mendiang tokoh tua itu memiliki cucu

perempuan dan seorang murid laki-laki

yang diangkat menjadi cucunya. Jadi

sudah pasti kalau Cupu Manik Tunjung

Biru harus jatuh ketangan cucu-cucunya

sebagai pewaris yang sah.

"Aji 'Kala Wisa'!"

"Aji 'Guntur Geni'!"

Dua teriakan keras terdengar hampir

bersamaan waktunya, disusul dengan

melesatnya dua tubuh lengkap dengan

kesaktian masing-masing. Klabang Hijau

meluncur deras dengan kedua telapak

tangan terbuka ke depan. Sedangkan

Sarmapala melompat dengan kedua

tangan terkepal ke depan. Hingga pada


satu titik di udara, dua pasang tangan

bertemu.

Biar!

Ledakan keras terjadi diikuti

berpencarnya bunga api yang berwarna-

warni ke segala arah. Dia bergulingan

beberapa tombak.

Sementara itu Sarmapala tidak kalah

jauhnya terpental. Punggungnya sampai

menghantam sebuah batu besar hingga

hancur berkeping-keping. Debu mengepul

dari batu yang hancur itu. Sarmapala

menggeletak di antara batu-batuan yang

berserakan terlanggar tubuhnya. Dari

mulut, hidung, dan telinga keluar darah

kental kehitaman. Pelan-pelan dia

berusaha bangkit berdiri. Tetapi baru saja

bangun sedikit, dari mulutnya kembali

memuntahkan darah kental kehitaman.

Sarmapala berusaha duduk, dan segera

mengambil sikap bersemedi.

Lain halnya dengan Klabang Hijau.

Setelah bergulingan di tanah beberapa

kali, dengan cepat dia langsung


mengambil posisi bersemedi. Dari sudut

bibirnya juga mengalir darah kental

kehitaman. Namun keadaannya tidak

separah Sarmapala.

Dengan menyalurkan hawa mumi ke

seluruh tubuh, tidak lama kemudian

tenaga Klabang Hijau telah pulih kembali.

Masih dalam posisi bersila, tubuhnya

terangkat naik dan bergerak ke depan

menghampiri Sarmapala yang telah

membuka matanya.

"Edan!" dengus Sarmapala ketika

lawannya sudah kembali menyerang

dengan posisi bersila.

Dengan cepat ditarik tangan kirinya

ke atas, lalu perlahan-lahan turun, tangan

kanannya menyilang di dada dengan

telapak tangan terbuka. Perlahan-lahan

tubuhnya juga terangkat naik.

Wush!

Klabang Hijau mengebut dua

tangannya ke depan ketika jaraknya

dengan Sarmapala sudah dekat. Dan

bersamaan dengan itu, Sarmapala


mendorong dua telapak tangannya ke

depan. Kembali dua pasang telapak

tangan bertema Namun kali ini tidak

diiring dengan ledakan. Mereka sama-

sama mendorong rapat Tubuh mereka

juga berada sejauh batang anak panah di

atas tanah.

Perubahan mulai terlihat pada wajah

kedua orang itu. Tegang sekali. Asap putih

mengepul dari telapak tangan yang

menyatu rapat. Dua tubuh yang masih

mengambang di atas tanah itu perlahan-

lahan bergerak berputar. Semakin lama

putaran itu semakin cepat. Yang terlihat

kini hanya berupa bayangan berputar

pada satu titik.

"Aaaa...!" tiba-tiba terdengar teriakan

memilukan.

Sejurus kemudian, tampak satu

tubuh terpental dari lingkaran yang

berputar cepat. Ternyata itu adalah tubuh

Sarmapala. Dia menggelepar-gelepar

sebentar, lalu diam tak bergerak lagi.

Seluruh tubuhnya hangus bagai terbakar.


Sementara Klabang Hijau telah

duduk di tanah masih dengan sikap

bersemedi. Kedua tangannya menyatu

rapat di depan dada. Terlihat dari

pergelangan tangan hingga telapak

berwarna merah bagai darah. Agak lama

dia bersemedi, sampai berangsur-angsur

warna merah di tangannya memudar, dan

hilang sana sekali. Klabang Hijau

membuka matanya, lalu menarik napas

dalam-dalam sebentar, dan bangkit

berdiri. Matanya sempat melihat mayat

Sarmapala yang hangus menggeletak di

tanah.

"Sungguh hebat aji 'Guntur Geri',"

gumam Klabang Hijau memuji kesaktian

lawannya yang telah tewas.

* * *

Malam baru saja menjelang. Udara

dingin menyelimuti seluruh puncak Bukit

Batok. Kabut tebal datang bergulung-

gulung sedikit menghalangi


pemandangan. Namun semua itu tidak

menghalangi tokoh-tokoh rimba persilatan

untuk tetap tinggal di sana. Sementara

lolongan anjing hutan semakin ramai

terdengar saling sambut. Beberapa ekor

bahkan telah menghampiri mayat-mayat

yang bergelimpangan di sekitar Goa La-

rangan.

Pesta pora anjing-anjing liar itu tidak

luput dari perhatian Sepasang Walet

Merah yang masih berdiri di puncak

tertinggi bukit ini. Sepuluh tahun mereka

tinggal di Bukit Batok, setiap jengkal tanah

dapat mereka hafal dengan baik. Mereka

dapat memandang dengan leluasa di

bawahnya hingga dapat tahu siapa-siapa

saja yang datang ke tempat itu dengan

tujuan yang sama, mencari Cupu Manik

Tunjung Biru.

"Kematian yang sia-sia," gumam

Wulan lirih.

"Hanya orang tolol yang membuang

nyawa percuma."


Sepasang Walet Merah terkejut

mendengar suara yang datang tiba-tiba

dari belakang. Tampak seorang laki-laki

berpakaian kumuh berdiri dengan tangan

membawa guci arak. Wulan langsung

tersenyum mengetahui orang yang ada di

depannya itu.

"Kau datang lagi, Gila Jubah Hitam?"

lembut suara Wulan.

"Ya. Aku datang untuk menyaksikan

orang-orang tolol memperebutkan

pepesan kosong," sahut si Gila Jubah

Hitam.

Kata-katanya belum lagi hilang

ditelan angin, wajah si Gila Jubah Hitam

kembali kelihatan murung. Matanya yang

cekung menatap Wulan sayu.

"Aku senang jika kalian tidak lagi

memanggilki dengan sebutan si Gila Jubah

Hitam," lirih suaranya

"Lantas, kami harus memanggilmu

apa?" tanya Jaka.

"Sebenarnya namaku Atmaya."


"Atmaya...?!" hampir bersamaan Jaka

dan Wulan berseru kaget

"Kenapa kalian kaget?" tanya si Gila

Jubah Hitam atau Atmaya.

"Bagaimana mungkin kami tidak

kaget? Eyang Resi Suralaga sering

menyebut-nyebut namamu," kata Jaka.

"Benar begitu?" tanya Atmaya tidak

percaya.

"Kau lihat aku berbohong?" Jaka

malah balik bertanya.

"Bohong atau tidak, itu urusanmu.

Aku hanya ingin tahu si Suralaga bicara

apa saja tentang aku?"

"Kau jangan sembarangan menyebut

Eyang Resi dengan namanya saja!" dengus

Wulan gusar. Dia tidak senang kakeknya

seperti tidak dihormati.

"He he he..., rupanya kau tidak

senang aku menyebut namanya saja,"

Atmaya dapat mengetahui perasaan

Wulan.

"Kakek Atmaya, sebenarnya ada

hubungan apa antara kau dengan eyang


resi?" tanya Jaka mencoba mendinginkan

suasana.

"Pertanyaanku belum dijawab, kau

sudah bertanya lagi!" Atmaya seolah-olah

bersungut kesal.

"Baiklah," Jaka mengalah. "Eyang resi

sering menyebut namamu, tapi beliau

tidak pernah bercerita tentang dirimu

yang sebenarnya. Beliau hanya beri pesan

agar kami mencarimu setelah penyelesaian

dan penyempurnaan semua ilmu."

"Untuk apa dia menyuruh kalian

mencariku?" tanya Atmaya.

"Aku sendiri tidak tahu," sahut Jaka.

Atmaya memandang Wulan.

"Aku tahu, tapi jawab dulu

pertanyaan Kakang Jaka," kata Wulan

mengerti arti pandangan Atmaya.

"He he he..., kau memang mirip

dengan ibumu. Cantik dan cerdik!"

Atmaya terkekeh.

"Kau tahu ibuku?" Wulan kaget

campur penasaran.


Memang tidak pernah disangka kalau

Atmaya atau si Gila Jubah Hitam tahu

banyak tentang diri Wulan. Tentu saja

gadis ini makin penasaran ingin

mengetahui orang tua ini sebenarnya.

Tampaknya dia tahu banyak tentang

Eyang Resi Suralaga dan dirinya.

"Aku tahu siapa ibumu. Wanita

cantik, cerdas, dan pandai dalam segala

hal. Tidak heran kalau banyak pemuda

yang ingin mempersuntingnya," Atmaya

seperti sedang mengenang masa lalu.

Wulan semakin heran dengan

kebenaran ucapan Atmaya. Meskipun

ibunya meninggal ketika dia berusia tiga

tahun, tapi Wulan kenal betul dengan

ibunya. Ibunya meninggal karena menjadi

korban musuh-musuh suaminya. Malang

sekali nasibnya. Wulan tidak menyalahkan

ayahnya yang memang seorang pendekar.

Pendekar mana pun pasti punya banyak

musuh,

"Sayang aku terlambat datang waktu

itu. Aku hanya mendapatkan ibumu telah


meninggal. Sedangkan kau sendiri dibawa

Suralaga ke Bukit Batok ini. Aku tidak

dapat berbuat apa-apa lagi karena

memang dia lebih berhak merawatmu

daripada aku," lanjut Atmaya.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya

Wulan. Suara terdengar bergetar.

"Meskipun Suralaga lebih tua

umurnya dari aku, tapi dalam urutan

keluarga dia adik misanku," lanjut Atmaya

"Jadi...," Wulan tidak bisa berkata-

kata lagi. pandangnya laki-laki yang

berdiri di depannya setengah tidak

percaya.

"Ya. Kau adalah cucuku, Wulan."

"Kakek...!"

Wulan langsung menubruk Atmaya

dan memeluknya. Tidak dapat lagi

ditahannya air mata haru. Sedangkan

Atmaya tampak berkaca-kaca matanya.

Bagi Wulan pertemuan itu benar-benar

mengharukan dan tiba-tiba sekali. Jaka

hanya dapat menatap dengan pandangan

kosong, seperti sedang mimpi saja.


Cukup lama mereka saling

berpelukan menumpahkan rasa. yang

terpendam dalam dada Pelan-pelan

Atmaya melepaskan pelukan gadis itu.

Matanya masih berkaca-kaca memandang

wajah Wulan yang bersimbah air mata.

Dengan tangan bergetar, diusapnya air

mata di wajah gadis itu.

"Kenapa baru sekarang kakek datang

ke sini?" tanya Wulan setelah tenang

kembali.

"Aku sudah janji pada Suralaga untuk

tidak menganggumu," sahut Atmaya.

"Menggangguku? Apa maksud

kakek?" tanya Wulan tidak mengerti.

"Semua peristiwa menyedihkan itu

berawal dari ulahku. Aku telah menyebar

kabar yang sebenarnya sangat rahasia.

Aku menyesal dan merasa berdosa. Ketika

aku berniat merawatmu, Suralaga tidak

mengijinkan. Tapi aku berjanji akan

datang lagi sampai kau selesai mewarisi

seluruh ilmu-ilmu Suralaga Aku hanya

bisa memberimu rahasia tentang cupu."


"Rahasia tentang cupu? Lalu, rahasia

yang kakek sebar?" tanya Jaka.

"Ya mengenai cupu itu," sahut

Atmaya.

"Cupu? Maksud kakek, Cupu Manik

Tunjung Biru?" desak Jaka lagi.

"Benar. Cupu itu sebenarnya ada

padaku dan kusimpan di suatu tempat.

Tapi aku mengatakan kalau benda itu

dipegang ayahmu," sahut Atmaya meman-

dang Wulan.

"Kenapa kakek berbuat demikian?"

tanya Wulan sedikit menyesalkan.

"Aku sakit hati pada ayahmu. Beliau

telah membuatku malu di depan keluarga

sehingga aku diusir dari keluarga besar,"

sebentar Atmaya terdiam. Setelah menarik

napas panjang, dilanjutkannya lagi.

"Sebenarnya memang salahku juga. Aku

mencuri pedang pusaka miliknya dan

kusembunyikan. Ternyata perbuatanku

dilihat oleh si Suralaga. Aku ditantang

oleh ayahmu. Kami lalu bertarung dan aku

kalah. Tapi itu tidak berarti pedang


pusakanya kukembalikan. Setelah aku

mengabarkan kabar bohong tentang cupu

itu pada orang-orang, baru aku sadar

bahwa jiwa ayahmu terancam oleh orang-

orang yang gila benda pusaka. Aku pun

berniat akan mengembalikan pedang milik

ayahmu, tapi terlambat"

Beberapa saat kemudian keadaan

menjadi sunyi. Pundak Atmaya

berguncang-guncang menahan isak tangis

penyesalan.

"Kalau saja pedang itu kukembalikan

pada ayahmu tentu dia tidak akan

terbunuh," kata Atmaya lagi. "Ah,

sudahlah. Semuanya telah berlalu. Semua

sudah takdir Yang Maha Kuasa, Kek,"

lembut suara Wulan.

"Kau tidak dendam padaku, Wulan?"

Atmaya memandang sayu pada Wulan.

"Untuk apa? Tinggal kau satu-

satunya kakekku sekarang. Lagi pula

semua yang telah terjadi tidak perlu

dijadikan dendam yang tidak akan pernah

berkesudahan."


Atmaya tidak dapat menahan

harunya. Langsung dipeluknya Wulan

dengan perasaan haru yang dalam. Betapa

besar jiwa gadis ini. Setelah pelukan itu

lepas, Wulan mengajak Atmaya dan Jaka

duduk di bawah pohon. Mereka duduk

melingkar tanpa membuat api unggun.

Padahal udara di puncak Bukit Batok

dingin menusuk pada malam hari. Tapi

buat tokoh rimba persilatan seperti

mereka, dengan mudah saja mengusir

hawa dingin lewat penyaluran hawa

murni ke seluruh tubuh.

"Aku tidak menyangka kalau mereka

masih menginginkan Cupu Manik

Tunjung Biru," kata Atmaya agak

bergumam setelah lama terdiam.

"Sebenarnya apa sih istimewanya

cupu itu, Kek?" tanya Wulan.

Atmaya menatap Wulan dan Jaka

bergantian. Bibirnya tersungging

senyuman. Wulan heran jugal melihat

wajah kakek itu mendadak jadi cerah lagi.

Memang aneh si Gila Jubah Hitam ini,



sehingga orang yang diajak bicara sering

kali mengerutkan kening.

"Kakek akan menjelaskannya,

bukan?" desak Jaka.

"Apa Suralaga tidak pernah

memberitahu kalian berdua?" Atmaya

balik bertanya.

Sepasang Walet Merah menggeleng

bersamaan.

"Edan! Rupanya dia lebih gila

daripada aku!" rungut Atmaya.

Lagi-lagi Wulan dan Jaka saling

berpandangan. Sulit sekali memperoleh

keterangan dari laki-laki aneh ini.

Persoalan yang dibicarakan, selalu saja

dibolak-balik. Ada rahasia apa yang

sebenarnya dibalik Cupu Manik Tunjung

Biru, sehingga tokoh-tokoh rimba

persilatan nekad mengadu nyawa untuk

memperebutkannya?

* * *

Malam terus merambat bertambah

larut. Suasana puncak Bukit Batok

sebenarnya sunyi senyap. Tapi seakan-

akan suara anjing-anjing liar yang berpesta

menikmati mayat-mayat di sekitar Goa

Larangan, terus merusak suasana itu.

Angin yang berhembus agak kencang,

menyebarkan bau anyir darah. Mencekam

sekali seperti mengandung hawa

kemahan.

Wulan masih tetap duduk bersimpuh

di depan Atmaya. Jaka yang duduk di

samping gadis itu, tidak berkedip

mengamati Atmaya. Wajah laki-laki yang

diam membisu itu, seperti tengah

memikirkan sesuatu. Desahan napasnya

terdengar keras dan tiba-tiba. Kemudian

perlahan-lahan kepalanya terangkat mene-

ngadah. Secara mendadak digelengkan

kepalanya sambil menyemburkan ludah

dengan keras.

"Akh!"

Seketika itu juga Sepasang Walet

Merah terkejut mendengar keluhan


tertahan, disusul dengan suara benda

berat jatuh ke semak-semak. Jaka segera

melompat ke arah datangnya suara

keluhan pendek tadi

"Bawa dia ke sini!" seru Atmaya berat

penuh wibawa.

Jaka yang belum hilang rasa

terkejutnya, mendapatkan seorang laki-

laki muda terkapar di semak-semak Segera

diseretnya tubuh orang itu ke depan

Atmaya. Kelihatannya orang itu masih

bernapas, dengan setemplokan ludah

kental menempel di keningnya Rupanya

semburan ludah Atmaya tadi disertai

pengerahan tenaga dalam. Sungguh luar

biasa, Atmaya Dia cepat tahu kalau di

sekitar sini ada orang yang mengintai.

Padahal Sepasang Walet Merah tidak

mendengar apa-apa tadi.

"Bangun!" dengus Atmaya sambil

mengetuk jidat orang yang terkapar di

depannya.

Seketika itu juga orang itu bangun.

Tiba-tiba saja ludah yang menempel di


jidat orang itu langsung hilang, dan

lengket menepel di ujung ranting kering

yang dipegang Atmaya. Aneh.

"Ampun, Ki, jangan bunuh aku," kata

orang itu segera berlutut di depan Atmaya

"Siapa yang menyuruhmu memata-

mataiku?" tanya Atmaya dingin suaranya

Jaka memperhatikan laki-laki yang

kelihatan masih muda dan sebaya dengan

dirinya. Dia sendiri heran dengan sikap

orang itu yang seperti ketakutan di depan

Atmaya. Padahal, kalau dilihat dari cara

mengintip tadi, sepertinya dia memiliki

kepandaian yang lumayan. Sampai-

sampai sepasang Walet Merah tidak me-

ngetahui kehadirannya

"Kau datang ke sini bersama gurumu,

heh?" tegas dan berat suara Atmaya.

"I..., akh!"

Belum lagi orang itu mengucapkan

satu kata, tiba-tiba tubuhnya terjungkal. Di

keningnya menancap sebuah paku emas.

Wulan dan Jaka serentak melompat dan

bersiaga dengan tombak pendek bermata


dua pada ujung-ujungnya. Sedangkan

Atmaya masih tetap duduk bersila di

tempatnya. Dia seperti tidak terpengaruh

sama sekali.

"Paku Emas...," gumam Atmaya

dengan mata menatap lurus pada paku

emas yang tertancap pada kening orang

itu.

Sret! Sret!

Dua kilatan sinar kuning melesat

cepat ke arah Atmaya. Dengan sigap,

digerakkan tangan kanannya. Dan...

Tap! Tap!

Seketika itu di jari-jari tangan Atmaya

sudah terselip dua batang paku emas

Secepat kilat Atmaya menggerakkan

tangannya, dan kembali sinar kuning

melesat ke arah yang berlawanan menuju

serangan gelap tadi.

"Aaaakh...!"

Terdengar dua kali teriakan kesakitan

saling susul. Kemudian terlihat dua sosok

tubuh terguling, tersuruk dari semak


semak. Masing-masing keningnya tertan-

cap sebuah paku emas.

"Hm..., hanya cunguk busuk!"

gumam Atmaya agak mendengus.

"Siapa mereka, Kakang?" tanya

Wulan.

"Orang-orang partai Paku Emas,"

jawab Jaka setengah berbisik

"Kau tahu mereka?"

"Ya. Dari senjata yang digunakan.

Eyang resi pernah cerita padaku tentang

partai itu."

Wulan mengangguk-anggukkan

kepalanya. Jika Eyang Resi Suralaga

menceritakan seseorang atau sebuah

partai, tentulah ada maksudnya. Paling

tidak mereka yang diceritakan punya

tingkatan kepandaian yang cukup tinggi

dan punya nama dalam rimba persilatan.

Ketika Wulan akan membuka

mulutnya lagi tiba-tiba beberapa sinar

kuning kembali meluncur deras ke arah

mereka dan Atmaya. Jelas di sekitar sini

tidak hanya tiga orang saja dari partai


Paku Emas. Selain mereka yang telah

tewas tadi masih ada beberapa orang yang

mengintai. Bahkan kemungkinan guru

mereka juga hadir di sini.

Tring! Tring!

Sepasang Walet Merah menangkis

serangan-serangan itu dengan memutar-

mutar tombak pendek senjata andalan

mereka. Paku-paku emas yang meng-

ancam jiwa, rontok di tengah jalan tersapu

senjata Sepasang Walet Merah.

Sementara itu Atmaya hanya

melompat-lompat berkelit menghindari

serangan beruntun yang datang bagai

hujan. Paku-paku itu datang saling susul

tidak hentinya mengancam tubuh si Gila

Jubah Hitam.

"Hanya beginikah tikus-tikus yang

kau bawa, Jenggala?" Atmaya berkata

nyaring mengejek

Setelah berkata demikian, tangannya

bergerak cepat Dan tiba-tiba saja beberapa

paku emas berbalik arah, disusul dengan

terdengar jerit kematian. Beberapa tubuh


terjungkal dari semak-semak dan balik

pohon.

"Gunakan 'Sapuan Badai', Adik

Wulan!" seru Jaka ketika melihat Atmaya

berhasil merobohkan beberapa orang lagi

dengan senjata lawannya pula.

"Baik, Kakang!" sahut Wulan.

Seketika itu juga Sepasang Walet Merah

melompat dan berpegangan tangan.

Tombak mereka berputar bagai baling-

baling. Bagai terjadi angin topan saja,

paku-paku yang berkelebatan mengancam

jiwa mereka tertiup keras dan berbalik

arah mengarah ke pemiliknya. Kembali

terdengar jerit melengking disusul dengan

robohnya beberapa orang dari semak-

semak. Senjata makan tuan.

Deru angin dari ajian Sepasang Walet

Merah terus bekerja dan semakin dahsyat

Pohon-pohon kecil mulai melayang

tercabut sampai ke akar-akarnya. Batu-

batu kerikil berterbangan tersapu angin

dari jurus 'Sapuan Badai' milik Sepasang

Walet Merah. Bahkan kini pohon-pohon


besar mulai tumbang. Kembali jerit

kematian dan kepanikan yang menyayat

"He he he..., bagus, bagus!" Atmaya

terkekeh gembira.

Dengan sikap tenang dia berdiri

sambil melipat tangannya di dada.

Sepertinya tidak terpengaruh sama sekali

dengan jurus 'Sapuan Badai' Suara Atmaya

terdengar terus terkekeh. Gilanya seperti

kumat lagi

Namun angin badai tidak bertahan

lama ketika tiba-tiba saja dua berkas sinar

kuning berhasil menembus badai buatan

itu. Dua sinar kuning itu mengarah deras

ke kepala Sepasang Walet Merah.

"Awas, Kakang!" teriak Wulan

langsung melompat sambil melepaskan

pegangan tangannya pada Jaka.

Seketika itu juga Jaka melompat ke

arah yang berlawanan. Dua sinar kuning

meluruk cepat mengenai sasaran kosong

dan hanya menghantam sebuah pohon

besar. Terdengar suara ledakan yang

dahsyat. Ternyata berasal dari pohon yang


hancur berkeping-keping dihantam dua

sinar kuning tadi.

"Tidak percuma kalian menguras

ilmu si tua bangka Suralaga. Sayang,

kalian harus lebih banyak membuka mata

dan telinga," terdengar suara menggema

yang disertai pengerahan tenaga dalam.

Sepasang Walet Merah kembali

melompat dan berdiri berdampingan.

Mata mereka melayang mengamati ke

sekitarnya yang gelap diselimuti kabut

tebal. Suara itu seperti datang dari segala

arah. Jelas, sumber suara itu milik orang

yang cukup tinggi ilmunya. Dia dapat

memperdengarkan suara tanpa diketahui

di mana orangnya. Sepasang Walet Merah

memang telah menyadari sejak semula

kalau yang datang ke Bukit Batok adalah

orang-orang yang berilmu cukup tinggi.

"Muncullah, Jenggala. Aku tidak suka

main petak umpet macam anak kecil!" seru

Atmaya atau si Gila Jubah Hitam.

Suaranya pun dikeluarkan dengan


pengerahan tenaga dalam yang cukup

sempurna.

"Ha ha ha...!" kembali terdengar

suara. Kali ini suara tawa keras disertai

pengerahan tenaga dalam yang kuat.

Suara itu terdengar menggelegar dan

menyakitkan telinga.

Saat setelah suara tawa itu berhenti,

dari sebuah batu besar muncul sesosok

tubuh berpakaian serba kuning yang ketat.

Pada bagian dadanya tersulam gambar

sebuah paku dari benang emas yang

indah. Dia berambut panjang yang

digulung ke atas. Beberapa helai dibiarkan

meriap sampai bahu.

Wulan agak tersekat juga ketika

melihat wajah orang itu. Tak disangka

sama sekali kalau wajah itu begitu tampan

dengan kulit putih bersih. Dua bola

matanya bening bagai bayi baru lahir.

Bibirnya merah seperti bibir seorang gadis,

dengan senyum tersungging. Tubuhnya

pun ramping, namun


"Dia kah yang bernama Jenggala?"

Wulan bertanya dalam hati.

* * *


LIMA


Jenggala. Wajah yang tampan itu

tenang saja berdiri sekitar lima tombak di

depan mereka. Sungguh tidak sesuai sekali

dengan namanya. Wulan dibuat tak

berkedip menatap laki-laki muda itu. Pikir

Wulan, nama Jenggala adalah seorang

laki-laki tua renta dengan wajah yang

buruk. Ternyata dugaannya meleset Yang

berdiri di depannya adalah seorang pe-

muda dengan pandangan mata

mempesona serta senyum memikat setiap

gadis yang meliriknya.

"Oh!" Wulan tersentak ketika Jaka

menyenggol sikunya dengan keras.

"Jangan terpesona dengan

ketampanannya," bisik Jaka sambil

menekan suaranya.

Seketika wajah Wulan memerah.

Malu. Ternyata sejak tadi Jaka

memperhatikannya Wulan jadi salah

tingkah setelah kepergok tengah


mengagumi ketampanan seorang pria.

Apalagi suara Jaka tadi seperti ditekan

dengan maksud mengingatkan Wulan

agar jangan terlalu terbawa perasaannya

sendiri.

"Jenggala, apa maksudmu datang ke

sini?" tanya Atmaya setelah lama saling

berdiam diri.

"Huh! Kau sendiri, ada apa muncul di

sini?" Jenggala balas bertanya tanpa

menjawab.

"Urusanku di sini tidak ada sangkut

pautnya denganmu!" dengus Atmaya

"Kalau begitu, menyingkirlah! Aku

ada perlu sedikit dengan Sepasang Walet

Merah!"

"Kutu busuk! Pongah sekali

lagakmu!" rungut Atmaya sambil

menghentakkan kakinya ke tanah dengan

kesal.

"Mungkin aku pongah, tapi tidak

bejat sepertimu!" sinis suara Jenggala.

Sambil menggeram berat, si Gila

Jubah Hitam langsung menggerakkan


tangan kanannya. Dengan seketika dari

telapak tangannya yang terbuka, meluncur

seberkas sinar merah ke arah Jenggala. Si

Gila Jubah Hitam rupanya tidak sungkan-

sungkan lagi mengerahkan kesaktiannya.

"Uts!" Jenggala melompat ke atas

menghindari sinar merah yang meluncur

deras mengancam nyawanya.

Sinar merah itu terus meluncur, lalu

menghantam pohon di belakang Jenggala.

Akibatnya memang tidak langsung.

Perlahan-lahan daun-daun pohon itu ber-

guguran. Pengaruh sinar merah itu terus

bekerja, sedikit demi sedikit mulai

kelihatan hasilnya. Batang pohon mulai

hangus seluruhnya, kemudian luruh

hancur jadi debu. Sungguh hebat ilmu

'Arang Geni' yang dilepaskan si Gila Jubah

Hitam.

Tanpa memberi kesempatan, si Gila

Jubah Hitam segera menyerang kembali

lawannya yang masih berada di udara.

Mau tidak mau Jenggala bersalto di udara

menghindari sinar-sinar merah itu. Baru


saja kakinya sampai di tanah, kembali dia

harus melesat ke udara sambil jungkir

balik beberapa kali. Sinar-sinar merah itu

terus mengancam jiwanya.

"Setan!" umpat Jenggala geram.

Seketika itu juga dilontarkan paku-

paku emas andalannya ke arah si Gila

Jubah Hitam atau Atmaya. Kini gantian si

Gila Jubah Hitam yang harus jumpalitan

menghindari paku-paku emas, sambil

melancarkan ajian 'Arang Geni'. Sinar-

sinar merah dan kuning saling berkelebat

di tengah kegelapan malam yang pekat

oleh selimut kabut tebal.

Sepasang Walet Merah hanya terpaku

saja melihat pemandangan yang indah

namun mengancam nyawa itu. Sinar-sinar

merah dan kuning yang berseliweran itu

kadang-kadang berbenturan hingga

nienimbulkan percikan bunga-bunga api

berwarna kebiru-biruan.

Sedikit demi sedikit jarak mereka

makin dekat saja. Namun sinar-sinar yang

indah tapi mengandung maut itu semakin



jarang terlihat. Selanjutnya yang terlihat

hanya kelebatan-kelebatan dua tubuh

yang saling balas menyerang

mempergunakan jurus-jurus silat yang

cukup tinggi.

"Tampaknya pertarungan ini akan

berjalan lama," gumam Jaka seperti bicara

sendiri.

"Kau menyangka begitu, Kakang?"

tanya Wulan tanpa mengalihkan

pandangannya pada pertarungan itu.

"Ya. Mereka tokoh-tokoh sakti yang

sudah cukup punya nama dalam rimba

persilatan. Aku yakin tingkat kepandaian

mereka seimbang," sahut Jaka sambil

menjatuhkan diri, duduk di rerumputan.

Wulan menoleh sebentar, lalu ikut

duduk di samping Jaka. Kembali

pandangan terarah pada pertarungan itu.

Bagi Wulan dan Jaka ini adalah kesem-

patan buat mereka menyaksikan

pertarungan dua tokoh sakti yang sudah

cukup punya nama dengan jurus-jurus

silat cukup tinggi. Tiba-tiba Wulan


tersentak ketika Atmaya merubah

jurusnya.

"Kakang, bukankah itu jurus

'Kelelawar Sakti'," tanya Wulan disela-sela

keterkejutannya.

"Benar. Rupanya Kakek Atmaya dan

Eyang Suralaga memiliki ilmu yang sama,"

sahut Jaka yang juga mengenali jurus itu.

"Sungguh dahsyat jurus 'Kelelawar

Sakti', sayang eyang resi tidak

mengajarkannya padaku," gumam Wulan.

"Kau sudah memiliki padanannya,

Wulan," kata Jaka menangkap nada

kekecewaan pada Wulan.

"Tapi, apakah jurus 'Pukulan Batara

Karang" sehebat dan sedahsyat jurus

'Kelelawar Sakti'?"

"Dua jurus itu memiliki kehebatan

dan kelemahan sendiri-sendiri. Tapi jika

keduanya dipadukan dengan satu

kerjasama yang serasi, sangat sulit dicari

tandingannya," Jaka menjelaskan.



"Kalau begitu, Eyang Resi pasti

menurunkan jurus 'Kelelawar Sakti'

padamu?" tanya Wulan.

"Benar," sahut Jaka

"Kenapa kita tidak berlatih

kerjasamanya, Kakang?"

"Tanpa berlatih pun, jika kita

gunakan secara bersama-sama sudah

merupakan satu kesatuan jurus yang

ampuh."

Wulan menganggguk-anggukan

kepalanya. Namun dalam hati masih

belum mengerti dengan sikap eyang resi

yang tidak pernah bercerita tentang

kedahsyatan jurus-jurus yang

dipelajarinya bila dipadukan dengan

jurus-jurus yang dimiliki Jaka. Memang

dalam beberapa jurus, mereka dapat

bekerjasama secara kompak. Tapi

sepertinya masih banyak yang belum

diketahui Wulan. Sedangkan Jaka seperti

tahu banyak tentang jurus-jurus yang

diberikan Eyang Resi Suralaga.


Apakah Eyang Resi hanya memilih

Jaka untuk mengetahui banyak tentang

jurus-jurus itu? Kalau memang demikian,

berarti Eyang Resi Suralaga bersikap pilih

kasih! Memberikan teka-teki padanya, tapi

kuncinya diberikan kepada Jaka. Sungguh

tidak adil! Benak Wulan terus berkecamuk.

Sementara itu pertarungan antara

Atmaya dan Jenggala terus berlangsung

semakin seru. Dua puluh jurus telah

berlalu dengan cepat, tapi belum ada

tanda-tanda yang terdesak. Kelihatannya

mereka masih seimbang, entah sampai

berapa jurus lagi. Sepasang Walet Merah

tidak berkedip mengamati setiap gerakan

juris yang mereka keluarkan.

Walaupun mata Wulan tertuju pada

pertarungan itu, tapi benaknya teras

bertanya-tanya tentang sikap Eyang Resi

Suralaga yang dirasanya tidak adil

* * *


Ketika lewat lima puluh jurus,

mendadak Jenggala melompat mundur

sejauh lima lompatan katak. Keringat telah

membasahi sekujur tubuhnya. Wajahnya

yang tampan kelihatan memerah. Dengus

napasnya memburu.

Sedangkan keadaan Atmaya tidak

jauh berbeda dengan, lawannya. Baju

kumal yang dikenakannya telah basah

oleh keringat. Garis-garis wajahnya

terlihat menegang. Selama malang

melintang di rimba persilatan, baru kali ini

Atmaya mendapat lawan yang tangguh.

Kali ini dia benar-benar serius

menghadapi lawannya hingga

menghabiskan lima puluh jurus.

"Aku akui kau hebat Atmaya Tapi

belum cukup untuk memiliki Cupu Manik

Tunjung Biru," kata Jenggala dengan

tenang.

"He he he..., cupu itu memang bukan

hakku, dan bukan pula hakmu," sahut

Atmaya terkekeh.


"Cupu itu milik semua orang, maka

aku berhak pula memilikinya!" dengus

Jenggala.

"Aku yakin, kau tidak bisa

menggunakannya," sinis penuh ejekan

suara Atmaya.

Jenggala hanya mendengus saja.

Memang secara jujur, dia belum tahu

kegunaan cupu itu. Tapi dari kabar yang

tersiar, di dalam cupu itu terukir tulisan

tentang jurus-jurus sakti. Di dalam cupu

itu pun terdapat jantung Walet Merah

yang berkhasiat untuk menolak berbagai

racun yang terganas sekali pun. Secara

alamiah, tubuh orang yang memakan

jantung itu akan timbul hawa murni secara

terus menerus dan teratur. Tidak mustahil

kekuatan tenaga dalam akan berlipat

ganda.

Goresan tulisan yang terdapat dalam

Cupu Manik Tunjung Biru adalah jurus-

jurus sakti Walet Merah. Semua yang

terdapat pada Cupu Manik Tunjung Biru

sebenarnya yang berhak memilikinya



hanya Sepasang Walet Merah. Jadi secara

langsung mereka adalah ahli waris dari

ilmu Walet Merah. Eyang Resi Suralaga

sendiri, dulu telah mempersiapkan jurus-

jurus dasar Walet Merah untuk Wulan dan

Jaka Untuk lebih menguasai dan

menyempurnakan jurus-jurus itu, mereka

harus menemukannya pada Cupu Manik

Tunjang Biru. Jika kelak terlaksana, tidak

mustahil mereka menjadi sepasang

pendekar yang tangguh dan sulit dicari

tandingannya.

Sementara itu Jenggala telah bersiap-

siap dengan jurus andalannya. Kedua

kakinya terpentang lebar ke samping

Tangan kirinya terkepal ke atas, dan

tangan kanan terbuka di depan dada.

Atmaya paham betul kalau Jenggala

hendak mengeluarkan jurus 'Tapak

Karang Waja'.

"Aku tidak boleh main-main," Usik

Atmaya dalam hati.

Segera saja digeser sebelah kaki

kanannya ke depan agak menyamping.


Kemudian kaki kirinya ditekuk sehingga

lututnya hampir menyentuh tanah.

Sedangkan kedua tangannya terbuka

menyilang di dada.

"Jurus 'Naga Wisa'!" sentak Wulan

mengenali jurus yang diperagakan

Atmaya.

Memang yang diperagakan Atmaya

adalah jurus andalan yang sangat ampuh

dan berbahaya. Jari-jari tangannya

membiru, mengandung racun yang me-

matikan. Lebih dahsyat lagi kalau seluruh

tubuh Atmaya telah timbul sisik-sisik

seperti seekor naga. Ini berarti dia telah

sampai pada tingkat terakhir jurus 'Naga

Wisa'.

Apa yang dibayangkan Wulan

memang kenyataan. Seluruh tubuh

Atmaya perlahan-lahan muncul sisik-sisik

yang berkilauan. Jari-jari tangan

seluruhnya sudah membiru. Lebih

menakutkan lagi, kedua bola mata Atmaya

merah menyala bagai bola api yang siap


membakar apa saja. Bahkan dari mulutnya

menjulur lidah yang bercabang.

"Gawat!" Jenggala pasti mati!" desis

Wulan.

Wulan tahu betul kehebatan jurus

'Naga Wisa' karena jurus itu pernah

dipelajarinya dari Eyang Resi Suralaga

meski belum sampai tingkat terakhir.

Gadis ini baru menguasai tingkat kelima.

Sedangkan jurus 'Naga Wisa' ada sepuluh

tingkatan. Gambaran mengenai jurus-jurus

selanjutnya itu, sudah diketahuinya

karena Eyang Resi Suralaga sudah

memperlihatkan semuanya

"Kau cemas?" Jaka berbisik melihat

Wulan seperti gelisah,

"Ah, tidak!" sahut Wulan gugup.

Cepat-cepat dia bersikap wajar.

Jaka semakin yakin kalau Wulan

sudah terpikat dengan ketampanan

Jenggala. Memang tidak bisa dipungkiri

kalau sebenarnya Jaka cemburu, tapi dia

tidak bisa berbuat apa-apa. Hubungannya

dengan Wulan hanya sebatas seperti kakak


beradik saja, meskipun satu sama lain

telah sama-sama tahu kalau mereka

bukanlah saudara.

Kembali Sepasang Walet Merah

memusatkan perhatian pada kedua tokoh

yang sudah siap dengan jurus andalan

masing-masing. Atmaya kini berdiri tegak

dengan bola mata merah menyala

mengarah pada Jenggala yang telah siap

dengan jurus 'Tapak Karang Waja'

"Aku tidak peduli setan apa yang

merasuk dalam tubuhmu, Atmaya," desis

Jenggala. "Malam ini kau harus mampus

oleh 'Tapak Karang Waja'!"

Selesai berkata, Jenggala langsung

menarik turun tangan kirinya. Dengan

satu teriakan keras, kakinya terangkat lalu

dijejakkan ke tanah dengan kuat Dalam

sekejap saja, tubuh Jenggala sudah

meluncur deras ke arah Atmaya.

"Mampus kau, Atmaya!" teriak

Jenggala lantang.

"Aaaargh...!" Atmaya menggeram

dahsyat


Sungguh sangat sukar dipercaya,

Atmaya sedikit pun tidak merobah

posisinya. Dia tetap berdiri tegar

walaupun Jenggala telah menyerang

dengan mengerahkan jurus andalannya

Dan pada detik selanjutnya...

Blarr!!!

"Aaaargh...!"

"Aaaakh...!"

Suara ledakan dahsyat saling susul

bersama jerit melengking dan geraman

keras ketika kedua telapak tangan

Jenggala membentur dada Atmaya.

Seketika dua tubuh terpental keras ke

belakang.

Badan Jenggala membentur pohon

besar hingga hancur. Tidak berhenti di

situ, beberapa pohon tumbang terhantam

tubuh yang terus meluncur itu Luncuran

tubuh Jenggala baru berhenti ketika jatuh

bergulingan di tanah, lalu menghantam

batu sebesar kerbau hingga hancur

berantakan. Jenggala menggeletak dengan

darah kental keluar dari mulutnya.


"Kakek...!" jerit Wulan histeris.

Memang, nasib yang dialami si Gila

Jubah Hitam tidak jauh berbeda Tubuhnya

terpental jauh ke belakang membentur

dinding bukit cadas yang keras. Dinding

batu cadas itu hancur dan menimbulkan

getaran yang amat kuat bagai terjadi

gempa. Atmaya, atau si Gila Jubah Hitam

menggelatak di antara reruntuhan batu-

batu cadas. Dari mulut dan hidungnya

mengalir darah segar.

"Kakek...," rintih Wulan menghambur

ke arah si Gila Jubah Hitam. Gadis Ini

semakin yakin kalau laki-laki itu memang

kakeknya. Jurus-jurus yang dimiliki sangat

mirip dengan Eyang Resi Suralaga.

Ketika Wulan akan menubruk,

tangan Atmaya bergerak lemah mencegah.

Wulan berhenti. Matanya menatap cemas

terhadap keadaan kakeknya. Seluruh

tubuh laki-laki itu penuh sisik keperakan.

Dadanya bergerak pelan dan tersengal. Di

dadanya juga terlihat ada tanda dua tapak

tangan berwarna merah kehitaman.



"Jangan dekat, Wulan. Kau belum

sempurna menguasai jurus 'Naga Wisa'.

Sangat berbahaya bagimu," lemah suara

Atmaya.

"Kek...," suara Wulan tersekat di

tenggorokan.

"Cupu Manik Tunjung Biru milikmu

dan Jaka. Di dalamnya banyak tersimpan

jurus-jurus maut yang harus kalian kuasai

penuh sebagai Sepasang Walet Merah.

Dua jantung yang ada di dalamnya harus

kalian makan. Aku yakin, ketak kalian

akan menjadi sepasang pendekar yang

sulit dicari tandingannya," semakin lemah

suara Atmaya. Sinar matanya pun semakin

redup.

Wulan tak kuasa lagi membendung

air matanya. Sementara Jaka hanya berdiri

saja di samping gadis itu yang berlutut di

sisi tubuh Atmaya

"Hanya satu pesanku, jadilah kalian

sepasang pendekar yang berada di jalan

lurus. Kalian tidak boleh berpisah satu

sama lain. Aku senang jika kalian


menurunkan ilmu pada anak cucu kalian,

juga cucu-cucu buyutku. Wulan..., kau

bersedia meluluskan permintaanku, juga

permintaan Suralaga?"

Mulut Wulan seperti terkunci. Dia

hanya memandang pada Jaka yang telah

berlutut juga. Memang sulit untuk

meluluskan permintaan terakhir itu. Di

antara mereka berdua sudah terjalin tali

persaudaraan yang erat. Hal ini sulit bagi

Wulan yang telah menganggap Jaka

sebagai kakaknya. Entah bagi Jaka.

"Aku akan mati tersenyum jika kalian

mau berjanji," kata-kata Atmaya makin

melemah. Beberapa kali dia terbatuk-batuk

dan diiringi dengan darah yang muncrat

dari mulutnya.

Tidak ada pilihan lain bagi Wulan

kecuali mengangguk Jaka pun ikut

menganggukkan kepalan ketika Atmaya

memandang lemah kepadanya. Laki-laki

kumal itu tersenyum bahagia.

"Jika aku mati, timbuni saja dengan

batu-batu. Jangan kalian sentuh tubuhku.



Sangat berbahaya. Racun yang berada di

seluruh tubuhku akan mematikan kalian

seketika! Se... lamat..., ting..., gal!"

"Kek...!"

Wulan tidak bisa berkata apa-apa

lagi. Atmaya atau si Gila Jubah Hitam

telah menghembuskan napasnya yang

terakhir. Bibirnya menyungging senyum.

Sesaat keadaan menjadi sunyi lengang.

Bahu Wulan terguncang-guncang,

menangis terisak. Sedangkan Jaka hanya

tertunduk dengan hati terbalut duka dan

berbagai perasaan lainnya. Pesan terakhir

Atmaya sangat persis dengan pesan Eyang

Resi Suralaga sebelum meninggal.

"Jenggala, kubunuh kau!" geram

Wulan tiba-tiba!

"Wulan...!"

Jaka tidak bisa berbuat apa-apa lagi

untuk mencegah gadis itu yang tiba-tiba

kalap. Wulan telah melompat cepat sambil

menghunus tombak pendek bermata dua.

Ketika sampai di tubuh Jenggala, langsung

senjata andalannya berkelebat cepat.


Tetapi apa yang terjadi? Wulan

langsung mundur ketika ujung senjatanya

menyentuh jasad Jenggala. Hanya terkena

ujungnya saja, jasad itu segera hancur jadi

debu. Benar-benar dahsyat jurus 'Naga

Wisa'. Jasad Jenggala kini menjadi tepung

dalam seketika. Baru kali ini Wulan

menyaksikan keampuhan jurus 'Naga

Wisa' yang sesungguhnya.

"Wulan...."

Wulan menoleh. Matanya basah oleh

air bening yang merembang di kelopak

matanya yang bulat indah. Jaka

mengambil senjata di tangan Wulan, dan

diselipkan di pinggang gadis itu.

Pandangan matanya lembut lurus ke arah

bola mata Wulan. Sesaat mereka hanya

terdiam saling pandang.

"Sebaiknya kita kubur dulu jenazah

Kakek Atmaya," bisik Jaka lembut.

Wulan menoleh ke arah jasad

Atmaya. Hatinya sedih melihat satu-

satunya keluarga terakhir telah meninggal

dunia. Sepertinya baru sedetik mereka


bertemu. Dan kini harus berpisah untuk

selama-lamanya. Maut kembali

memisahkan Wulan dari orang-orang

yang dicintainya

* * *

Pagi baru saja menjelang. Matahari

mengukir dirinya dengan sinar kemerahan

menyapu lembut mengusir kabut. Burung-

burung membangunkan teman-temannya

untuk mencari makan entah di mana. Di

samping tumpukkan batu, Wulan masih

berdiri mematung membayangkan

kenangan-kenangan manis yang telah

dialaminya. Sedangkan Jaka masih setia

menunggu di samping gadis itu. Sudah

cukup lama mereka saling berdiam diri.

Masing-masing sibuk dengan pikirannya.

"Wulan...," bisik Jaka tiba-tiba sambil

menepuk pundak Wulan lembut.

Wulan mengangkat kepalanya dan

tersentak kaget. Tiba-tiba saja di depan

mereka telah duduk bersila seorang


pemuda berambut panjang. Laki-laki

muda itu hanya mengenakan rompi

dengan pedang bergagang kepala burung

tersampir di punggungnya. Dialah

Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga, atau Pendekar Rajawali Sakti

juga mengangkat kepalanya pelan-pelan.

Jarak mereka tidak terlalu jauh, hanya

sekitar dua tombak lebih. Secara serentak,

Sepasang Walet Merah telah

menggenggam tombaknya masing-masing

yang masih terselip di pinggang.

Kehadiran Rangga yang tidak diketahui

sama sekali, membuat Sepasang Walet

Merah cepat waspada.

"Maaf, mungkin kehadiranku

membuat kalian terkejut," kata Rangga

lembut disertai senyum terkembang.

"Kau datang ke sini tentunya ingin

mencari Cupu Manik Tunjung Biru,

bukan?" Wulan langsung menuduh.

"Benda atau makanan itu?" tanya

Rangga sambil berdiri.


"Jangan berlagak bodoh!" sentak

Wulan sengit

"Kehadiranmu tanpa kami ketahui

sudah menandakan kalau kau bukan

orang sembarangan. Tentunya maksud

dan tujuanmu sama seperti yang lain,"

ucap Jaka masih dapat bersikap sabar dan

lunak.

"Maaf," ucap Rangga sedikit hormat

"Aku di sini memang telah sejak malam

tadi"

"Nah, jelas sekarang! Kau mengintai

kami dan mengira kami menyimpan cupu

itu!" ucap Wulan ketus. "Ayo, Kakang.

Orang ini jelas-jelas menginginkan Cupu

Manik Tunjung Biru!"

"Tunggu, Wulan!" Jaka cepat-cepat

mencegah tangan Wulan yang akan

menarik senjatanya.

"Apakah kehadiranku di sini

mengganggu?" tanya Rangga.

"Maaf atas kekasaran sikap adikku,"

ucap Jaka sudah dapat menuai kalau

Rangga tidak bermaksud buruk. "Kalau


boleh tahu, siapa namamu dan bermaksud

apa datang ke Bukit Batok ini?"

"Namaku Rangga. Aku datang ke sini

secara kebetulan saja. Sebenarnya aku

hanya ingin lewat saja. Tetapi ketika aku

melihat begitu banyak orang dan mayat

bergelimpangan, lalu aku singgah

sebentar," Rangga menjelaskan secara

jujur. "Apa kedatanganku mengganggu?"

"Jangan percaya kata-katanya,

Kakang!" kembali ketus suara Wulan.

Rangga hanya tersenyum saja

mendengar suara tanpa persahabatan itu.

Bisa dimakluminya sikap gadis cantik ini.

Semalam dia telah tahu permasalahannya

yang sedang terjadi. Itulah sebabnya,

mengapa tidak dilanjutkan perjalanannya.

Hati nuraninya merasa tergerak ingin

membantu sepasang anak muda yang

tengah dilanda bahaya ini.

Rangga sama sekali tidak

menyalahkan sikap Wulan yang terlalu

emosi itu. Tapi Rangga kagum dengan

sikap Jaka yang lebih sabar dan tenang


dalam menghadapi persoalan. Benar-benar

sikap seorang ksatria sejati

Baru saja Rangga ingin membuka

mulutnya, tiba-tiba terdengar suara tawa

mengikik, yang disusul dengan kelebatan

bayangan Dan detik itu juga muncul

seorang perempuan tua berambut putih.

Pada bibir bagian atasnya terdapat luka

panjang sehingga giginya yang hitam

terlihat mencuat

"Nenek Sumbing," desis Jaka

mengenali perempuan tua itu.

Wulan sedikit terkejut dengan

kedatangan perempuan tua itu yang

secara tiba-tiba di Bukit Batok ini.

Memang telah diduga sebelumnya,

tapi tak disangka harus begini cepat

berhadapan dengan tokoh tua yang sulit

diukur tingkat kepandaiannya.

Belum lagi hilang rasa terkejutnya,

tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua

berpakaian serba hijau. Dari warna

pakaiannya, jelas kalau dia adalah

Klabang Hijau. Kemunculannya didasari



oleh rasa penasaran melihat Nenek

Sumbing yang telah berhasil meng-

gagalkan aji 'Kala Wisa' ketika Klabang

Hijau berhadapan dengan Sarmapala di

depan penginapan.

Klabang Hijau yang gemar mencari

lawan untuk mengadu kesaktian, seperti

merasa ditantang dengan kata-kata Nenek

Sumbing waktu itu. Makanya setelah

dilampiaskan dendamnya pada

Sarmapala, dia tidak segera pergi.

Ditunggu saat yang tepat untuk bertemu

nenek jelek ini. Dan inilah saat yang tepat

ketika dia melihat Nenek Sumbing muncul

di Bukit Batok.

"He he he..., kita bertemu lagi, nenek

usil," Klabang Hijau terkekeh.

"Huh! Aku tidak ada urusan

denganmu!" dengus Nenek Sumbing.

"Siapa bilang? Kau telah berani

mencampuri urusanku, berarti kau sudah

berani menantangku!" jawab Klabang

Hijau.


Nenek Sumbing segera teringat

kejadian di depan rumah penginapan.

Baru disadari kalau sikapnya telah

membuat persoalan baru bagi Klabang

Hijau. Dia tahu tabiat tokoh tua yang aneh

ini. Kegemarannya adalah berkelana

hanya untuk mengukur tingkat

kepandaiannya saja. Memang diakui,

sampai detik ini belum ada seorang pun

yang mampu mengalahkannya.

Klabang Hijau sendiri tidak peduli

dengan kemelut yang terjadi dalam rimba

persilatan. Baginya seorang lawan lebih

menarik perhatian daripada segala macam

tetek bengek persoalan dunia. Dia tidak

peduli dengan cupu yang tengah

diperebutkan. Dia ke sini hanya ingin

bertarung dengan Nenek Sumbing. Itu

saja. Wataknya memang hampir sama

dengan si Gila Jubah Hitam. Dia tidak bisa

dimasukkan dalam salah satu golongan.

"Sekarang aku menagih

tantanganmu, Nenek Sumbing!" tegas

nada suara Klabang Hijau.


"Hh...!" Nenek Sumbing mendesah

panjang Sebenarnya, tidak ada setitik pun

niatan di hatinya untuk mencari perkara

dengan Klabang Hijau. Tapi sekarang

dihadapkan pada salah satu pilihan yang

amat sulit Terpaksa harus dihadapinya

Klabang Hijau lebih dulu, dan

menangguhkan mencari Cupu Manik

Tunjung Biru.

* * *


ENAM


6

Klabang Hijau memutar-mutar

tongkatnya yang berwarna hijau. Tidak

pakai basa-basi lagi, segera

dikeluarkannya jurus 'Tongkat Sakti

Membelah Badai'. Putaran tongkat yang

cepat menimbulkan suara menderu. Hawa


panas mulai menyebar ke sekitarnya.

Semakin lama semakin menyengat

Sementara Nenek Sumbang masih

terdiri tegak menatap tajam putaran

tongkat itu. Tampaknya tidak gentar dan

terpengaruh oleh hawa panas yang

semakin menyengat. Padahal daun-daun

pepohonan di sekitarnya sampai

berguguran hingga berwarna kuning

kering.

"Jangan gunakan hawa murni," bisik

Rangga.

Sepasang Walet Merah telah

menyalurkan hawa murni menjadi terkejut

mendengarnya. Segera saja mereka

hentikan penyaluran hawa murni itu.

"Ke sinilah. Pegang tanganku!" bisik

Rangga lagi.

Jaka yang sejak semula sudah

menduga kalau Rangga tidak bermaksud

buruk, langsung menarik tangan Wulan

dan membawanya mendekati Rangga.

Cepat dipegangnya tangan Pendekar

Rajawali Sakti. Seketika tubuh Jaka teraliri


hawa dingin yang nyaman, sehingga

udara panas yang menyengat hilang

begitu saja.

"Pegang tanganku, sebelum kau

terkena akibatnya!" perintah Rangga pada

Wulan.

'Tidak apa-apa, Adik Wulan. Kau

akan selamat," lembut suara Jaka

Wulan masih kelihatan ragu-ragu.

Tapi udara panas kian menyengat kulit,

membuatnya harus melangkah juga ke

samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

Lebih-lebih ketika melihat Jaka segar

setelah tangannya menggenggam tangan

Rangga

Tiga orang itu akhirnya saling

berpegangan tangan. Sekejap saja hawa

panas yang menyengat di tubuh Wulan

berganti menjadi sejuk dan nyaman. Hati

Wulan kini malah menjadi malu sendiri

karena telah menyangka buruk pada

Rangga. Mendadak saja tangan Wulan

malah menjadi dingin karena digenggam

terus oleh seorang laki-laki tampan. Baru


kali ini tangannya digenggam sedemikian

rupa sehingga mendadak saja dadanya

berdetak keras tidak beraturan.

Ganggaman seorang laki-laki tampan lagi

asing yang menggetarkan itu.

Selama hidupnya, laki-laki yang

dekat hanya Jaka. Tidak heran kalau dia

jadi salah tingkah ketika tangannya

digenggam laki-laki lain. Wulan bagaikan

sekuntum bunga yang belum pernah

terjamah oleh tangan iseng manusia. Dia

bagaikan bunga yang belum tahu

bentuknya kumbang. Gadis itu pun

memejamkan matanya untuk

menghilangkan segala macam perasaan

yang berkecamuk dalam dadanya.

Sementara itu Klabang Hijau semakin

hebat memutar tongkatnya. Putaran itu

membentuk sinar hijau yang melingkar

dan mengeluarkan kilat yang menyambar-

nyambar. Seperti bermata saja, ujung kilat

itu menyambar tubuh Nenek Sumbing

Tentu saja hal ini membuat si nenek tua


berlompatan ke sana kemari, menghindari

sambaran kilat.

"Setan! Terima sabuk saktiku!" umpat

Nenek Sumbing merasa kewalahan

menghadapi serangan Klabang Hijau.

Selesai dengan kata-katanya, Nenek

Sumbing melepaskan sabuk hitamnya.

Dengan seketika dikebutkan sabuk itu

beberapa kali. Suara menggelegar bagai

guntur terdengar memekakkan telinga.

Ujung sabuk hitam itu selalu menghalau

arah kilat yang menyambar ke arahnya.

"Hiya...!" Nenek Sumbing tiba-tiba

menjerit tinggi.

Seketika itu juga tubuhnya melesat

tinggi ke angkasa sambil berjungkir balik

tiga kali. Tubuh itu langsung meluncur

cepat ke bawah, tepat ke arah kepala

Klabang Hijau. Bersamaan dengan itu,

tangannya bergerak cepat mengecutkan

sabuk hitamnya.

Trak!

Ujung sabuk menembus lingkaran

hijau yang menutupi seluruh tubuh


Klabang Hijau. Hal ini membuat serangan

Klabang Hijau menjadi berantakan. Dalam

sekejap lingkaran yang menyelimuti

tubuhnya buyar. Kesempatan ini tidak

disia-siakan oleh Nenek Sumbing. Dengan

cepat diayunkan kakinya ke arah dada

lawan.

"Uts!"

Klabang Hijau langsung menyabet

kaki itu dengan tongkatnya. Namun

secepat kilat Nenek Sumbing menarik

kakinya. Dengan gerakan yang tak terduga

Nenek Sumbing mengebutkan sabuknya

ke kepala lawan. Untunglah Klabang

Hijau cepat menarik kepalanya ke

belakang, sehingga ujung sabuk lewat di

depan mukanya

Pertarungan terus berlangsung

berganti-ganti jurus, saling sambung tanpa

henti. Tampaknya dalam jurus-jurus awal

mereka masih kelihatan seimbang.

Pada saat yang sama, Jaka

mengalihkan pandangannya ke Goa

Larangan. Matanya tiba-tiba saja mendelik


ketika melihat lima orang sedang

mendekati mulut goa.

"Wulan...," bisik Jaka.

"Aku sudah tahu. Ayo kita halangi,"

potong Wulan cepat.

Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang

Walet Merah segera melepaskan

genggamannya pada Rangga, langsung

melompat cepat ke arah Goa Larangan.

Mereka tidak lagi menghiraukan

pertarungan dua tokoh sakti itu.

Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti seperti

acuh saja terhadap Sepasang Walet Merah.

Dia dengan seksama memperhatikan

setiap pertarungan itu.

"Berhenti!" teriak Wulan melengking.

Teriakan yang disertai tenaga dalam,

membuat terkejut lima orang yang

berpakaian dengan warna berbeda itu.

Mereka adalah Lima Golok Neraka.

Mereka semakin terkejut ketika

melihat Sepasang Walet Merah tiba-tiba

saja telah meluruk dan berdiri di depan


mulut goa. Di tangan mereka telah ter-

genggam senjata tombak bermata dua.

* * *

"Sungguh beruntung sekali bertemu

langsung dengan kalian," kata Baga Biru,

salah satu dari Lima Golok Neraka yang

tertua.

"Huh! Kalian orang-orang tidak tahu

diri! Datang hanya untuk merusak

peristirahatan orang!" dengus Wulan.

"Kalau begitu, serahkan saja Cupu

Manik Tunjung Biru pada kami," kata

Baga Biru lagi.

"Langkahi dulu mayat kami!" seru

Wulan menantang.

Baga Biru menjentikan dua jarinya.

Seketika itu juga empat orang lainnya

serentak mencabut senjata masing-masing

yang berupa golok besar dengan sebelah

sisinya bergerigi. Senjata-senjata itu

berkilatan tertimpa sinar matahari. Baga

Kuning dan Baga Ungu menggeser


posisinya berada di sebelah kiri Baga Biru.

Sedangkan Baga Merah dan Baga Putih

mengambil tempat di kanannya.

"Hati-hati, Wulan. Tampaknya

mereka punya kepandaian cukup tinggi,"

bisik Jaka. Jika dilihat dari cara mereka

mengambil posisi saja, sudah terlihat kalau

ilmu peringan tubuh mereka tidak rendah.

Kaki-kaki mereka seperti tidak bergerak,

tapi tiba-tiba saja telah siap dengan posisi

masing-masing.

Wulan tidak bersuara. Matanya tajam

menatap pada lima orang yang sudah siap

dengan senjata di tangan. Sedikit pun

hatinya tidak merasa gentar. Setinggi apa

pun tingkat kepandaian lawan, harus

dipertahankan hak miliknya sampai titik

darah penghabisan.

"Hiyaaat...!" tiba-tiba Wulan memekik

keras.

Seketika itu juga tombaknya

berpindah ke tangan kiri, sedang tangan

kanannya bergerak cepat Cahaya

keperakan berkelebat keluar dari tangan


kanan Wulan. Ternyata gadis itu telah

menyerang lebih dulu dengan

melemparkan bintang-bintang besi bersegi

delapan.

Cring! Cring! Cring!

Lima Golok Neraka mengebut-

ngebutkan senjatanya menangkis bintang-

bintang besi yang meluncur cepat

mengancam jiwa. Wulan terus menghujani

lima orang itu dengan senjata rahasianya.

Namun sampai sejauh ini, tak satu pun

senjata itu menyentuh kulit lawan.

Semuanya rontok di tengah jalan.

"Hanya sampai di sinikah kepandaian

murid Suralaga?" Baga Biru mengejek.

"Kurobek mulutmu, bangsat'" Wulan

seperti kalap mendengar ejekan yang

membawa-bawa nama Eyang Resi

Suralaga.

Setelah berkata demikian, Wulan

langsung mencelat menerjang Baga Biru.

Ujung tombaknya berkelebat mengancam

leher.

Trang!


Baga Biru menangkis serangan itu

dengan mengayunkan goloknya. Wulan

mencelat lagi ke belakang sejauh satu

batang tombak. Tangannya terasa ke-

semutan ketika ujung tombaknya

berbenturan dengan golok Baga Biru.

Padahal dia menyerang dengan

mengerahkan tenaga dalam.

Itu baru satu dari Lima Golok

Neraka. Bagaimana jika semuanya

bergabung bersatu padu? Ada sedikit rasa

gentar terselip di hati Wulan. Dia sadar

kalau lawannya mempunyai tingkat

kepandaian yang jauh di atasnya. Ternyata

hal ini pun dirasakan oleh Jaka. Segera dia

melompat menghampiri Wulan.

"Kita hadapi bersama. Adik Wulan

Tahan emosimu," kata Jaka setengah

berbisik.

Tanpa banyak bicara lagi, Wulan

segera memegang tangan Jaka. Mereka

langsung mengerahkan jurus 'Tapak Geni'.

Melihat Sepasang Walet Merah telah siap

akan menyerang lagi, Baga Biru memberi



isyarat pada yang lain. Serentak mereka

merapat dan menyatukan ujung-ujung

golok.

"Tapak Geni...!" Wulan dan Jaka

berteriak bersamaan.

Seketika itu juga mereka mendorong

tangan ke depan. Dari telapak tangan

mereka meluncur sinar merah ke arah

Lima Golok Neraka.

Dalam waktu yang bersamaan, dari

ujung-ujung golok yang menyatu, keluar

seberkas sinar bagai kilat. Pada satu titik,

kedua sinar itu saling bertemu. Ledakan

keras pun tetjadi disertai percikan bunga

api. Belum tuntas suara ledakan keras tadi,

kembali Sepasang Walet Merah

mengerahkan ajiannya. Lima Golok

Neraka pun tak kalah sigap untuk

menyambut serangan itu.

Suara ledakan kembali terdengar

beruntun. Lima Golok Neraka mulai

bergerak maju sambil terus menyatukan

ujung goloknya. Semakin lama jarak

mereka semakin dekat saja. Ketika jarak


mereka hanya tinggal setengah tombak

lagi, tiba-tiba Baga Biru melepaskan diri

seraya mengibaskan goloknya.

"Awas!" teriak Jaka sambil

melepaskan pegangannya pada tangan

Wulan.

Sepasang Walet Merah melompat ke

samping menghindari tebasan golok Baga

Biru. Tanpa diduga sama sekali, Baga Biru

melompat ke arah Jaka seraya menebaskan

goloknya. Jaka yang belum siap benar,

sedapat mungkin menangkis serangan itu

yang mengancam iganya dengan tombak

pendek bermata dua.

Trang!

Serangan cepat Baga Biru memang

berhasil dipatahkan, tetapi dengan cepat

Baga Biru melayangkan kakinya.

Buk!

Tanpa dapat dihindari lagi, kaki itu

bersarang telak di dada Jaka. Tubuh Jaka

terdorong ke belakang sejauh dua tombak.

Baga Biru tidak memberi kesempatan


lawannya untuk bernapas. Dia langsung

melompat sambil berteriak nyaring.

Jaka yang masih sempoyongan

dengan dada sesak, terkejut mendapati

lawannya sudah kembali menyerang Tapi

belum sempat dia berbuat sesuatu, tiba-

tiba...

Cras!

Ujung tombak Baga Biru menggores

dada Jaka. Darah segar keluar deras dari

luka yang dalam dan memanjang. Kembali

Baga Biru mengirimkan satu tendangan

keras. Buk! Tendangan itu tepat bersarang

di luka yang diderita Jaka.

"Akh!" Jaka memekik pendek dan

tertahan. Tubuhnya tersuruk ke belakang

dan membentur pohon. Jaka meluruk

roboh di tanah. Darah semakin mengalir

deras dari dadanya yang terluka. Dalam

keadaan kritis, Jaka masih berusaha untuk

bangkit. Matanya berkunang-kunang.

Bibirnya meringis menahan sakit yang

amat sangat. Seluruh tulang dadanya

terasa remuk.


"Kakang...!" Wulan memekik cemas

melihat keadaan Jaka yang kritis.

Dengan dada penuh diliputi berbagai

perasaan, gadis itu berlari ke arah Jaka

yang tertunduk bersandar di pohon.

Tampaknya dia sudah tidak sanggup lagi

untuk dapat berdiri. Napasnya satu dua.

Wulan langsung menubruk tubuh Jaka

dan memeluknya.

"Kakang...," suara Wulan tercekat.

Dilepaskan pelukannya sambil matanya

nanar melihat darah membasahi tubuh

Jaka.

Cepat-cepat Wulan menotok

beberapa bagian tubuh Jaka untuk

membekukan aliran darah. Seketika darah

itu tidak mengalir. Wulan membuka ikat

kepalanya dan membalut luka Jaka yang

cukup lebar. Selesai menolong Jaka, dia

berdiri membalikkan tubuh menghadapi

Lima Golok Neraka.

"Kubunuh kalian!" pekik Wulan

mengkelap.


Selesai mengatakan itu, Wulan

langsung berteriak nyaring. Tubuhnya

yang ramping berkelebat cepat bagai

seekor burung walet Diterjangnya Lima

Golok Neraka seraya mengarahkan dua

ujung tombaknya ke bagian-bagian tubuh

lawan yang mematikan.

Wulan bertarung bagai singa betina

terluka. Tidak dipedulikannya lagi lawan

yang jauh lebih tinggi tingkat

kepandaiannya. Rasa marah dan dendam

membalut seluruh perasaan takut gadis

ini, sehingga tidak dapat berpikir jernih

lagi. Serangan-serangannya memang

hebat, tapi kurang terkontrol. Lima Golok

Neraka dengan mudah dapat menghindari

setiap serangan Wulan yang gencar.

* * *

Baga Biru yang mengetahui Wulan

yang tak terkontrol itu, dengan tenang

selalu dapat mengantisipasinya. Bibirnya

tersenyum ketika tahu beberapa


kelemahan pada setiap serangan Wulan

yang beruntun. Dia pun mencari-cari

kesempatan yang baik untuk menjatuhkan

lawan sambil membuatnya malu.

Baga Biru memberi isyarat kepada

yang lain untuk terus bertahan sambil

mendesak Wulan. Empat orang itu

mengangguk sambil tersenyum-senyum.

Wulan tidak sadar kalau Lima Golok

Neraka mempunyai rencana kotor

terhadapnya. Dia terus saja menyerang

membabi buta.

"Hup!" Baga Biru menurunkan

tangan kanannya setelah melempar golok

ke tangan kirinya.

Wulan yang sibuk menghadang

empat golok, tidak memperhatikan Baga

Biru. Tiba-tiba saja tangan kanan Baga Biru

menepuk bokong gadis itu.

"Auw!" Wulan memekik kaget

"Ha ha ha...!" Lima Golok Neraka

tertawa terbahak-bahak bersama-sama.

Wajah Wulan seketika merah padam.

Sambil mendengus geram, tangannya


bergerak cepat menerjang leher Baga Biru.

Namun terjangan tangan yang

menggenggam tongkat itu hanya dilayani

dengan mengegoskan kepala sedikit ke

samping. Bahkan tangan kanan Baga Biru

menjulur ke depan.

"Setan!" maki Wulan sambil

melompat mundur. Tangan Baga Biru

hampir saja menyentuh buah dadanya.

Laki-laki itu makin tertawa-tawa liar. Bola

matanya jalang penuh nafsu memandang

paras Wulan yang cantik.

"Serahkan saja Cupu Manik Tunjung

Biru, dan kau akan senang bila jadi

istriku," kata Baga Biru.

"Phuih!" Wulan semakin geram

hatinya.

Lima Golok Neraka kembali tertawa

gelak. Mereka melangkah maju mendekati

Wulan. Dada mereka bergolak penuh

nafsu. Liur mereka seperti tak tertahan

memandangi kecantikan Wulan.

Mendadak mereka melompat serempak

Wulan menjadi bingung. Sedapat mungkin


diputarnya tombak pendek bermata dua

untuk melindungi dirinya.

Trang! Trang!

"Akh!" Wulan menjerit tertahan.

Tangannya bergetar kesemutan ketika

tombak pendeknya beradu dengan golok

mereka.

Pada saat yang tepar, ujung golok

Baga Biru berkelebat cepat.

Bret...! Bagian dada baju Wulan

sobek, sehingga kulit bukitnya yang putih,

terbuka. Dua bukit kembar terlihat akan

mencuat hendak keluar.

Wulan memekik kaget bukan main.

Buru-buru ditutupinya bagian yang

terbuka itu dengan tangannya. Wajahnya

semakin merah karena marah campur

malu. Baga Biru yang sempat melihat

kemulusan kulit dua bulat kembar itu,

semakin bernafsu. Perhatiannya terhadap

Cupu Manik Tunjung Biru terasa hilang

seketika. Kini dia hanya terpusat pada

gadis cantik yang sudah tidak berdaya di

depannya.



"He he he...," Baga Biru terkekeh.

Liurnya menetes menahan gejolak birahi.

"Kubunuh kalian!" geram Wulan.

Baga Biru tidak peduli. Kakinya

melangkah maju mendekati Wulan yang

sibukmemegangi sobekan baju di

dadanya. Dengan kalap gadis itu

menerjang Baga Biru. Tapi laki-laki ini

hanya memiringkan sedikit tubuhnya,

sehingga tusukan tombak pendek Wulan

hanya lewat menyambar tempat kosong.

Bahkan tangan kiri Baga Biru berhasil

menjambret bahu gadis itu.

Bret!

"Akh!" lagi lagi Wulan memekik.

Kini bahunya terbuka lebar sampai ke

punggung. Keadaan Wulan benar-benar

tidak menguntungkan saat ini. Sebagian

tubuhnya kini telah terbuka lebar. Kulit

tubuhnya yang putih mulus terlihat

leluasa membangkitkan gairah lima laki-

laki yang menatapnya liar penuh nafsu.

Baga Biru sudah tidak bisa lagi

menahan gejolak nafsunya. Sambil


mengerahkan ilmu meringankan tubuh,

dia melompat menerjang. Wulan yang

sudah tak berdaya hanya bisa mendelik,

serta repot berusaha menutupi tubuhnya.

Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba....

"Akh...!" tubuh Baga Biru yang

hampir mencapai Wulan, tiba-tiba saja

terjengkang ke belakang.

Empat orang lainnya hanya

ternganga. Di depan Wulan kini berdiri

seorang pemuda tampan berbaju rompi

dengan pedang di punggung Laki-laki

muda itu tidak lain dari Rangga, atau

Pendekar Rajawali Sakti.

"Rangga...," Wulan mendesah.

"Menyingkirlah. Bawa saudaramu ke

tempat yang aman," kata Rangga pelan,

namun tegas suaranya.

Sementara itu Baga Biru terlempar

sejauh dua batang tombak ke belakang

telah berdiri kembali. Mukanya merah

padam karena ada orang yang berani

menghalangi maksudnya. Dengan cepat

dia melompat menerjang Rangga.


Rangga hanya memiringkan sedikit

tubuhnya menghindari tebasan golok Baga

Biru. Kemudian tangan kirinya bergerak

cepat menotok pergelangan tangan lawan.

Baga Biru terperanjat, cepat-cepat ditarik

tangannya sambil berputar mengarahkan

mata goloknya ke perut Rangga.

Lagi-lagi Pendekar Rajawali Sakti

hanya mengegos sedikit Tangan kanannya

segera bergerak menotok kembali

pergelangan tangan lawan. Makin kalap

saja Baga Biru. Dua serangannya gagal

total, bahkan dua kali pula hampir terkena

totokan pada jalan darah di pergelangan

tangannya.

"Serang, anjing keparat ini!" teriak

Baga Biru keras.

Seketika itu juga empat orang

saudaranya segera bergerak mengepung

Pendekar Rajawali Sakti. Golok mereka

berkelebatan menyerang ke bagian-bagian

tubuh yang mematikan. Pendekar Rajawali

Sakti hanya mengegoskan tubuhnya ke


kiri dan ke kanan menghindari setiap

tebasan golok lawan.

Semakin lama serangan Lima Golok

Neraka semakin dahsyat mematikan.

Menyadari lawannya bukan hanya

sekedar nama kosong belaka. Rangga

mengeluarkan jurus 'Cakar Rajawali'. Kini

gerakan tubuhnya semakin cepat. Kedua

tangannya bergerak mencari sasaran.

Kesepuluh jari tangannya menjadi keras

bagai baja.

Pendekar Rajawali Sakti menarik

kepalanya ke belakang ketika golok Baga

Kuning mengarah ke lehernya. Secepat

kilat dinaikkan tangan kiri, dan

disentilnya ujung golok yang berada tepat

di depan lehernya.

Tring!

Baga Kuning kaget bukan main.

Tangannya bergetar hebat bagai terkena

sengatan ribuan kalajengking. Cepat-cepat

ditarik pulang senjatanya. Baga Kuning

segera mundur dua tindak ke belakang.


Seluruh tangan kanannya seperti mati,

sulit digerakan.

Satu demi satu Pendekar Rajawali

Sakti menyentil ujung-ujung golok

lawannya. Mereka semua langsung

melompat mundur karena seperti

tersengat tangan mereka. Merah Padam

wajah Lima Golok Neraka. Segera

dipindahkan golok mereka ke tangan kiri.

Bagi mereka, tangan kanan atau kiri sama

aktifnya.

"Aku masih mau memaafkan kalian.

Nah, pergilah. Benda itu bukan milik

kalian," ujar Pendekar Rajawali Sakti.

"Kutu busuk! Jangan sok jadi

pahlawan, kau!" bentak Baga Biru berang.

"Aku peringatkan sekali lagi. Pergilah

kalian sebelum aku jatuhkan tangan maut

pada kalian!" dingin suara Rangga.

"Seraaang...!" Baga Biru berteriak

lantang.

Serempak Lima Golok Neraka

berlompatan menyerang Pendekar

Rajawali Saku. Namun serangan yang


mendadak dan cepat itu hanya menemui

tempat kosong saja. Rangga telah lebih

dulu menjejak kakinya dan melesat ke atas

dengan menggunakan jurus 'Sayap

Rajawali Membelah Mega'.

Tentu saja hal ini membuat kelima

penyerangnya kebingungan. Dan di

tengah-tengah kebingungan itu, tiba-tiba

saja Rangga menggerakan tangannya

dengan cepat.

Plak! Plak!

Lima kali tangan Rangga menem-

peleng kepala mereka. Lima Golok Neraka

bergulingan di tanah. Rangga masih

memberikan kelonggaran bagi lawannya

dengan tidak mengerahkan seluruh

kekuatan. Hanya saja kepala Lima Golok

Neraka dibuat benjol sebesar telur ayam.

"Setan!" dengus Baga Biru sambil

menggeleng-gelengkan kepalanya

mencoba menghilangkan rasa pening.

Baga Biru cepat melejit ke atas ketika

rasa pening di kepalanya hilang.

Diayunkan goloknya dengan cepat disertai


pengerahan tenaga dalam yang penuh.

Pendekar Rajawali Sakti tidak sedikit pun

berkelit Dia seperti menanti datangnya

golok itu. Dan ketika ujung golok hampir

mencapai tubuhnya, dengan cepat

dijepitnya ujung golok itu dengan dua jari

tangannya.

"Trek!"

Baga Biru hanya melompong melihat

goloknya patah dengan mudah oleh

Pendekar Rajawali Sakti. Belum lagi hilang

rasa bingungnya, tiba-tiba sebelah tangan

Rangga berkelebat cepat. Baga Biru tidak

mampu lagi berkelit. Lehernya terbabat

tangan Pendekar Rajawali Sakti, dan

disusul dengan tendangan telak

menghantam dadanya.

Baga Biru tidak mampu lagi bersuara.

Tubuhnya melayang deras ke tanah tanpa

kepala lagi. Tangan Pendekar Rajawali

Sakti yang setajam pedang telah

memisahkan kepala dari badannya. Empat

orang lainnya hanya bisa melongo


menyaksikan Baga Biru menggeletak

tanpa kepala lagi.

"Siapa di antara kalian yang ingin

menyusul?" keras dan lantang suara

Rangga.

Empat orang dari Lima Golok Neraka

saling berpandangan. Di wajah mereka

tergambar jelas rasa kengerian yang amat

sangat Buru-buru mereka menggotong

tubuh Baga Biru yang sudah tidak

memiliki kepala lagi. Tiga orang

menggotong badan, seorang lagi

membawa kepala Baga- Biru. Bergegas

mereka meninggalkan Bukit Batok.

Sementara Pendekar Rajawali Sakti

masih melayang tegak lurus di angkasa,

dan perlahan-lahan turun kembali. Ketika

kakinya sampai di tanah, segera

dihampirinya Wulan yang tengah

merawat luka-luka Jaka. Gadis itu

menoleh ketika merasa di dekatnya ada

orang lain.

"Bagaimana lukanya?" tanya Rangga.


"Aku masih tidak tahu. Dia masih

belum sadar juga," sahut Wulan lirih.

"Bawa saudaramu ke goa itu. Biar

aku yang jaga di luar," kata Rangga.

"Goa Larangan...?!" Wulan terkejut

"Iya. Kenapa?" Rangga heran.

"Apa kau tidak tahu kalau goa itu

sekarang jadi pusat perhatian semua

orang?"

Rangga hanya mengerutkan

keningnya. Dia semakin paham dengan

apa yang tengah terjadi di Bukit Batok ini.

Rupanya orang-orang yang berkumpul di

tempat ini menduga kalau Cupu Manik

Tunjung Biru ada di dalam Goa Larangan.

Rangga menatap mulut goa yang tampak

hitam gelap. Tiba-tiba matanya menyipit.

Dilihatnya sebuah titik cahaya di dalam

kegelapan goa itu. Cahaya itu terlihat jauh

di relung goa.

"Cahaya Cupu Manik Tunjung Biru

kah itu?" tanya Rangga dalam hati.

Mendadak saja cahaya itu hilang dari

pandangan matanya. Rangga menoleh ke


arah Wulan, lalu jongkok di samping

tubuh Jaka yang masih belum siuman.

Dadanya tampak bergerak lemah,

menandakan masih hidup. Rangga

menempelkan telapak tangannya di dada

yang bergerak lemah itu.

"Racun...," desis Rangga kaget.

"Apa?!" Wulan semakin cemas.

"Dia harus cepat ditolong "

Wulan tidak bisa berkata apa-apa

lagi. Didiamkan saja ketika Rangga

menyobek baju bagian dada Jaka.

Selanjutnya kedua tangan Rangga

menempel di dada yang bidang itu.

Perlahan-lahan kedua tangan Rangga

bergetar. Sebentar kemudian, asap putih

mengepul dari tangan yang menempel di

dada itu.

"Buka balutannya," kata Rangga.

Wulan segera membuka kain

pembalut luka Jaka. Tampak darah yang

menghitam seperti mendidih, meleleh

keluar dari luka yang lebar dan panjang

Dari mulut Jaka juga mengalir darah


kehitaman. Rangga menyalurkan hawa

murni melalui kedua telapak tangannya ke

seluruh tubuh Jaka. Dicobanya untuk

mengeluarkan racun yang bersarang di

dalam tubuh salah seorang dari Sepasang

Walet Merah.

Sedikit demi sedikit darah yang

keluar berubah merah segar. Rangga

melepaskan tangannya setelah darah yang

mengandung racun tuntas.

"Bisa minta kain bajumu sedikit?"

pinta Rangga. Tanpa membantah lagi,

Wulan lantas menyobek bajunya. Tidak

dipedulikan lagi sebagian tubuhnya yang

terbuka. Pikirannya hanya terpusat pada

keselamatan Jaka. Rangga membalut luka

di dada Jaka dengan kain sobekan baju

Wulan. Kemudian diangkatnya tubuh Jaka

dan dibawa ke rimbunan pepohonan.

Wulan mengikuti sambil mengikat

cabikan-cabikan bajunya. Yang penting

tubuhnya tidak terlalu lebar terbuka.


****


TUJUH


Tanpa ragu-ragu lagi Wulan

menceritakan semua tentang Cupu Manik

Tunjung Biru yang diketahuinya. Wulan

merasa yakin kalau Pendekar Rajawali

Sakti tidak seperti tokoh-tokoh lain yang

datang hanya untuk merebut benda yang

bukan miliknya.

Rangga mendengarkannya dengan

serius. Sedikit pun dia tidak bersuara

sampai Wulan selesai dengan ceritanya.

Bahkan sampai lama Wulan terdiam,

masih juga belum membuka mulut.

Wulan memandang Jaka yang

kelihatan tidur pulas di sampingnya.

Hanya sebentar Jaka sadar tadi, lalu

merasa lelah dan mengantuk. Sampai

sekarang Jaka belum juga bangun. Wulan

kembali teringat pesan terakhir Eyang Resi

Suralaga dan Kakek Atmaya.

"Kau tunggu di sini, Wulan," kata

Rangga tiba-tiba seraya bangit berdiri.


"Kau akan ke mana?" tanya Wulan

"Ke Goa Larangan," sahut Rangga.

"Untuk apa ke sana?"

"Aku akan

mencoba masuk ke

dalam goa itu,

Wulan," ujar

Rangga sambil

berbalik

menghadap ke

muka goa.

"Rangga...!"

teriak Wulan

mencemaskan kepergian Rangga yang nekat ingin

masuk ke goa itu. Sebab banyak pihak lain yang tidak

akan membiarkan Rangga masuk begitu saja!

"Mengambil Cupu Manik Tunjung

Biru. Jangan khawatir, cupu itu akan

menjadi milik kalian berdua."

"Aku tidak yakin benda itu ada di

sana," Wulan setengah bergumam.


"Kau bilang, selama ini tinggal di goa

itu. Berarti Eyang Resi Suralaga juga

tinggal di sana. Aku yakin beliau pasti

menyimpan benda itu di sana juga."

"Aku kenal betul Goa Larangan, tapi

aku belum pernah melihat benda itu.

Namanya saja baru dengar sekarang-

sekarang ini," polos sekali Wulan berkata.

"Tidak ada salahnya kan aku ke

sana?"

"Mereka tidak akan membiarkanmu

masuk ke goa itu."

"Aku akan coba." Rangga segera

melangkah, tapi...,

"Rangga..," suara Wulan agak tersekat

di tenggorokan.

Rangga berbalik. Dilihatnya Wulan

telah berdiri. Tampak bagian atas bajunya

terbuka. Kulit dada yang putih terlihat

jelas seakan dua bukit kembarnya ingin

keluar. Darah muda Pendekar Rajawali

Sakti sedikit bergetar melihat

pemandangan itu. Cepat-cepat dialihkan

perhatiannya ke arah lain.


Wulan menangkap sikap Rangga, jadi

merasa canggung dan serba salah. Dia

tidak bisa berbuat apa-apa untuk

menutupi dadanya yang terbuka. Hanya

tangannya saja yang sibuk agar kemulusan

tubuhnya sedikit tidak terlihat oleh orang

lain. Keadaanlah yang membuatnya

menahan malu.

"Aku tidak tahu harus berkata apa.

Budimu terlalu besar bagi kami berdua,"

pelan suara Wulan.

"Ah, sudahlah. Aku senang jika dapat

mengembalikan cupu itu padamu," sahut

Rangga.

Wulan ingin berkata lagi, tapi Rangga

telah lebih cepat menghilang dari

hadapannya. Cepat sekali Rangga pergi,

sampai-sampai gadis itu tidak melihat

arahnya pergi. Wulan menarik napas

panjang, lalu kembali duduk di samping

Jaka yang terbaring lelap.

Mata Wulan merayapi wajah Jaka

yang tampak lelap. Seolah-olah baru

disadarinya kalau laki-laki yang selama



sekian tahun selalu bersama-sama bukan

saudaranya. Wulan seperti baru pertama

kali melihat wajah Jaka yang tampan, yang

selama ini lepas dan perhatiannya.

Rasanya tidak berlebihan kalau dua

kakeknya menginginkan Wulan dan Jaka

menjadi sepasang pendekar suami istri.

"Jaka...," Wulan mendesah ketika

melihat kelopak mata Jaka bergerak-gerak.

Jaka menggeleng-gelengkan

kepalanya, lalu perlahan-lahan membuka

matanya. Yang pertama kali dilihatnya

adalah wajah Wulan yang duduk di sam-

pingnya. Pelan-pelan dia berusaha

bangun. Tubuhnya memang masih terasa

lemah, tapi kesegaran mulai merambat ke

seluruh tubuhnya. Jaka duduk bersandar

di pohon.

"Wulan...!" Jaka tersentak kaget ketika

melihat keadaan Wulan yang sobek-sobek

bajunya "Kau.... Kenapa begini?"

"Aku..., aku tidak apa-apa. Hanya

bajuku saja yang rusak," sahut Wulan.

"Seorang pendekar telah menolong kita."


"Pendekar...?"

"Iya. Dia menamakannya Pendekar

Rajawali Sakti"

Jaka berusaha mengingat-ingat.

Rasanya tidak pernah dengar nama itu.

Namun begitu, dalam hatinya

mengucapkan terima kasih pada pendekar

yang telah menolong mereka.

"Dia yang tadi pagi bersama kita,"

kata Wulan seolah-olah mengingatkan

"O..., Itu," Jaka jadi teringat dengan

laki-laki muda yang sebaya dengannya.

Ternyata matahatinya tidak salah menilai.

"Dia juga yang menyembuhkanmu

dari racun Lima Golok Neraka," sambung

Wulan.

Jaka langsung menatap Wulan.

Dirasakan ada nada-nada aneh pada suara

Wulan. Laki-laki itu memang masih muda

dan tampan. Ilmunya pun sangat tinggi.

Buktinya, dengan mudah Lima Golok

Neraka dapat dikalahkannya. Tidak aneh

kalau Wulan seperti terpikat karenanya.

Secara jujur, Jaka cemburu juga. Namun


dia tidak berusaha memperlihatkan cem-

burunya pada Wulan. Memang sulit bagi

mereka untuk menghilangkan perasaan

saudara yang telah tertanam sejak lama.

"Aku sudah ceritakan semuanya pada

pendekar itu. Kau tidak keberatan, kan?"

kata Wulan

"Oh, tidak," sahut Jaka. "Asal kau

tidak ceritakan tentang permintaan Eyang

Resi dan Kakek Atmaya yang terakhir."

"Juga itu."

"Apa...?" Jaka kaget bukan main.

"Tapi ditangagapinya dengan baik .

Katanya kita memang cocok untuk...,"

Wulan tidak melanjutkan ucapannya.

Kepalanya tertunduk, tidak sanggup lagi

meneruskan kata-kata yang hanya

karangannya sendiri. Dia sebenarnya

hanya ingin tahu perasaan Jaka saja.

"Wulaa..," Jaka meletakkan tangannya

ke pundak gadis itu yang terbuka.

Seketika aliran darah Jaka seperti

terhenti. Baru kali ini dia menyentuh

pundak Wulan tanpa penghalang. Sangat


halus kulit pundak itu. Rasanya Jaka

seperti sulit bernapas. Debar jantungnya

pun kian cepat berdetak.

Perlahan-lahan Wulan mengangkat

kepalanya. Pandangannya langsung

tertuju pada satu titik perasaan yang sukar

diungkapkan. Seketika dirasakan ada

sesuatu yang lain pada dirinya. Dia tidak

mengerti perasaan apa yang tengah

melanda dirinya. Yang jelas, debar

jantungnya jadi semakin kuat saja.

Tangan Jaka yang berada di pundak

Wulan, perlahan-lahan merayap naik. Lalu

dengan lembut jari-jari tangannya

mengusap pipi yang halus bagai sutra.

Wulan membiarkan saja ketika tangan itu

secara perlahan-lahan menarik kepalanya.

Dia malah memejamkan matanya ketika

desah napas Jaka mengusap kulit

wajahnya. Begitu hangat dan lembut

Seketika itu juga, Wulan seperti

terserang demam luar biasa ketika bibir

Jaka menyentuh bibirnya dengan lembut

Jaka merasakan seluruh tubuh Wulan

menggigil. Cepat-cepat dilepaskan

bibirnya yang memagut tadi. Sungguh

mati, Jaka tidak tahu kenapa Wulan

demikian

"Wulan, kau kenapa?" tanya Jaka

seperti orang bodoh.

"Aku...," Wulan tidak sanggup

berkata-kata lagi. Wajahnya menyemburat

merah. Kepalanya kembali tertunduk.

"Maafkan aku, Wulan. Tidak

seharusnya aku berbuat seperti ini

padamu," pelan suara Jaka.

Wulan mengangkat kepalanya.

Mereka kembali saling pandang. Entah

kenapa, tiba-tiba saja Wulan jadi seperti

takut kehilangan Jaka. Apakah ini yang

dinamakan cinta? Begitu cepatkah cinta itu

datang?

"Kita akan selalu bersama kan,

Kakang?" lirih suara Wulan.

"Tentu," sahut Jaka tersenyum

Tanpa berpikir banyak, Wulan segera

menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan

Jaka. Sesaat mereka saling berpelukan


tanpa berkata-kata lagi. Kini hanya hati

dan debar jantung mereka yang terpaut

jadi satu. Mengalun dalam irama cinta

yang indah.

Dengan jari-jari tangannya, Jaka

mengangkat dagu gadis itu. Mata mereka

kembali bertemu. Jaka secara lembut

mendekatkan wajahnya. Yang terjadi kini

hanya desahan napas dari dua insan

berlainan jenis yang menyatukan bibir

mereka dengan rapat. Anehnya, Wulan

seperti sudah biasa saja melakukannya.

Dibalasnya kecupan dan lumatan bibir

Jaka penuh dengan gelora cinta.

Mendapat balasan yang bergelora

dari Wulan, gairah Jaka bangkit seketika.

Pelan-pelan dibaringkan tubuh ramping

itu di atas rerumputan. Tangannya kini

mulai merayap menjelajahi tubuh indah

yang terbaring pasrah. Luka yang ada

pada tubuh Jaka seakan-akan lenyap saat

itu juga, terbawa desah napas Wulan yang

memburu hangat menggairahkan.

"Oh, Kakang...," desah Wulan.


* * *

Sementara itu Pendekar Rajawali

Sakti semakin dekat dengan Goa

Larangan. Malam yang berkabut tebal

hanya menampakkan bayangan tubuhnya

saja yang bergerak ringan bagai melayang

di atas tanah. Tanpa disadari dua pasang

mata mengawasi setiap geraknya yang

tersembunyi tidak jauh dari situ.

"Uts!" tiba-tiba Pendekar Rajawali

Sakti melompat.

Seberkas sinar kebiruan menyambar

cepat ke arah tubuhnya. Untungnya

Pendekar Rajawali Sakti selalu waspada.

Sinar biru itu hanya lewat sedikit di bawah

kakinya. Dua kali jumpalitan di udara, lalu

dengan manis menjejakkan kakinya di

tanah.

"Rupanya ada juga yang ingin main-

main denganku," gumam Rangga pelan.

Baru saja selasai bergumam, sinar

biru kembali meluncur menyambar tubuh

Rangga. Pendekar ini hanya memiringkan



tubuhnya sedikit, maka sinar itu hanya

lewat di depan dadanya. Matanya yang

tajam, segera dapat mengetahui dari mana

datangnya sinar-sinar itu.

"Keluar, kalian!" dengus Rangga.

Dengan kekuatan luar biasa, tangan

kanannya bergerak mengibas. Seberkas

cahaya kemerahan pun meluncur deras

dari telapak tangannya. Sinar itu langsung

menghantam pohon besar tidak jauh

darinya. Pohon itu pun tumbang tanpa

menimbulkan suara ledakan sedikit pun.

Dari pohon yang tumbang itu,

berkelebat dua sosok bayangan putih.

Dalam sekejap saja di depan Rangga telah

berdiri dua orang dengan pakaian, wajah,

dan bentuk tubuh yang sama.

"Ah, rupanya Setan Kembar dari

Gunung Wetan tertarik juga dengan kabar

kosong," kata Rangga mengenali dua laki-

laki kembar di depannya.

"Kami sudah mendengar nama

besarmu, Pendekar Rajawali Sakti.


Beruntung sekali bisa bertemu di sini,"

kata Sencaka.

"Tentunya maksudku berbeda

dengan kalian."

"Aku tidak peduli dengan alasanmu

datang ke Bukit Batok. Yang jelas, siapa

saja berani mendekati Goa Larangan,

harus mati!" dingin suara Sencaki.

"Apa ada larangan seperti nama goa

itu?" Rangga berlagak pion.

"Aku yang melarang!" dengus

Sencaki

"Apakah goa ini milikmu?"

"Jangan banyak bacot!" bentak

Sencaki yang tidak pernah dapat meredam

emosi. Lain dengan saudara kembarnya

yang lebih tenang dan kalem dalam

wataknya. Mereka memang selalu sama

dalam banyak hal, tapi dalam watak

mereka berbeda jauh.

"Meskipun kau punya nama besar

yang bisa membuat jantung orang copot

tapi kami tidak gentar menghadapimu!"

lanjut Sencaki.


"Aku pun tahu nama besar kalian,

tapi aku muak dengan sepak terjang

kalian!" Rangga tidak kalah dingin serta

pedas suaranya.

"Bersiaplah untuk mati!" dengus

Sencaki seraya mencabut senjata

andalannya berupa sepasang pedang

pendek melengkung.

Sret!

Sencaka pun telah mencabut senjata

yang sama bentuknya dengan Sencaki.

Rangga tetap berdiri tenang walaupun dua

orang dari Setan Kembar telah mencabut

senjatanya. Pendekar Rajawali Sakti sama

sekali tidak menyentuh gagang

pedangnya. Dia sengaja bersikap seolah-

olah meremehkan, untuk memancing

kemarahan lawan.

"Cabut pedangmu!" dengus Sencaki

Rangga hanya tersenyum tanpa

mempedulikan bentakan Sencaki

"Jangan salahkan kami bila kau mati

tanpa senjata," kata Sencaka. Suaranya

masih terdengar tenang dan tanpa emosi.

"Silakan kalau kalian mampu"

Setan Kembar segera bergerak

membuka jurus. Rangga masih tetap

tenang, namun dua bola matanya tajam

mengamati setiap gerakan lawan. Sambil

berteriak nyaring, dua orang kembar itu

melompat menyerang.

Sadar kalau lawan memiliki

kepandaian cukup tinggi, Rangga

melayaninya dengan jurus 'Cakar Ra-

jawali'. Tubuhnya bergerak cepat

menghindari setiap sabetan dan tusukan

pedang lawan yang sangat berbahaya dan

mematikan. Hingga pada saat yang tepat

Rangga berhasil menyentil ujung pedang

Sencaki. Namun dengan cepat Sencaki

memutar pedangnya menyabet ke perut

Rangga;

"Uh!" Rangga mendengus sambil

menarik perutnya ke belakang.

Ujung pedang Sencaki lewat di depan

perut Rangga. Tampaknya Sencaki tidak

terpengaruh oleh sentilan jari Pendekar

Rajawali Sakti. Bahkan semakin ganas saja

menyerang Demikian pula dengan

saudara kembarnya yang selalu

mendukung setiap serangan Sencaki.

Tidak jarang ujung pedang Sencaka

hampir bersarang di tubuh Pendekar

Rajawali Sakti.

"Nampaknya mereka bisa

menandingi jurus 'Cakar Rajawali'. Hm...,

akan kucoba lagi," bisik Rangga dalam

hati.

Pada saat yang tepat pedang Sencaki

masuk mengarah dada Pendekar Rajawali

Sakti. Dengan cepat tangan Rangga

bergerak menjepit pedang Itu dengan dua

jarinya. Jepitan itu sangat kuat dan disertai

pengerahan tenaga dalam yang tinggi.

Tapi hanya sekali sentak saja, Sencaki

berhasi melepaskan jepitan itu Bahkan dia

langsung memutar pedangnya mengarah

ke leher. Rangga benar-benar terkejut.

Pendekar Rajawali Sakti tidak punya

pilihan lain. Segera dikerahkan jurus

'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Seketika

itu juga tubuhnya mencelat ke udara.


Pedang Sencaki hanya menyambar tempat

kosong di bawah kaki Rangga.

Tetapi sungguh di luar dugaan sama

sekali. Setelah Pendekar Rajawali Saka

melesat ke udara, ternyata Setan Kembar

pun bisa melayang bagai burung. Apalagi

serangan-serangan mereka juga semakin

dahsyat. Baru kali ini Pendekar Rajawali

Sakti menemui lawan yang mampu

menandingi duel di udara. Sungguh lawan

yang cukup tangguh. Kibasan-kibasan

tangan pendekar muda itu selalu dapat

dihindari lawan. Namun serangan-

serangan balasan Setan Kembar juga tidak

kalah dahsyatnya. Empat buah pedang

pendek seperti mengurung Pendekar

Rajawali Sakti.

"Sungguh hebat kalian," puji Rangga

dalam hati.

Dengan cepat Pendekar Rajawali

Sakti merubah jurusnya. Kini- dia melesat

tinggi, lalu secepat itu pula menukik

dengan kaki bergerak mengancam kepala

lawan. Jelas, ini adalah jurus 'Rajawali


Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu

cepat gerakan kakinya, sehingga membuat

Setan Kembar kewalahan. Secepat itu pula

mereka merubah jurusnya.

Kembali pertarungan beijalan

seimbang. Rangga terus saja menukik

turun dan menjejakkan kakinya di tanah

dengan gerakan indah. Setan Kembar juga

segera turun sambil terus menyerang,

membuat Pendekar Rajawali Sakti sedikit

kewalahan juga.

"Terpaksa harus kugunakan jurus

‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’" dengus

Rangga dalam hati.

* * *

Ketika Pendekar Rajawali Sakti

merubah jurusnya, baru kelihatan kalau

lawan mulai terdesak sedikit demi sedikit.

Gerakan pendekar muda ini selalu penuh

tipuan. Bahkan setiap pukulannya

mengandung hawa panas yang luar biasa.


Hal ini membuat Setan Kembar menjadi

kacau dalam permainan jurus-jurusnya.

"Hm..,."

Rangga mendengus ketika melihat

Sencaki sedikit lowong pertahanannya.

Dengan cepat dimiringkan tubuhnya

menghindari tebasan pedang Sencaka.

Tapi tanpa diduga, tangan kirinya

menyodok iga Sencaki yang kosong.

Sencaki yang tengah memusatkan

perhatiannya pada kaki lawan, benar-

benar terkejut Padahal dia tadi ingin cepat-

cepat melompat, tapi pukulan tangan kiri

Rangga bagai kilat datangnya. Tanpa

ampun lagi iga Sencaki terhantam

'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Aaaakh!" Sencaki memekik keras.

Sencaki terjungkal beberapa langkah

ke belakang. Tampak pada bagian iganya

seperti hangus terbakar. Warna hitam

sebesar kepalan tangan menghanguskan

bajunya, tembus sampai ke bagian tubuh.

Melihat saudara kembarnya terkena

pukulan, Sencaka pun memperhebat


serangannya. Dua pedang pendeknya

berkelebat cepat mengancam tubuh

Pendekar Rajawali Sakti.

Sementara itu Sencaki yang roboh,

berusaha bangun kembali Mulutnya

meringis kesakitan merasakan tulang-

tulang iganya remuk. Cepat digerakkan

jari-jari tangannya ke bagian sekitar luka

hitam di iga. Walaupun masih terasa nyeri,

Sencaki bergerak berdiri.

"Bangsat!" umpat Sencaki geram.

Segera dia terjun lagi dalam

pertarungan. Sencaka agak senang juga

melihat saudaranya mampu melanjutkan

pertarungan lagi. Sedangkan Rangga

sedikit terkejut karena pukulan mautnya

tidak membuat lawan tewas. Bahkan kini

mampu menyerang kembali dengan

ganas.

Sret!

Rangga tidak ada pilihan lagi. Segera

dicabut pedang saktinya. Seketika keadaan

malam yang diliputi kabut menjadi terang


oleh sinar biru yang terpancar dari pedang

pusaka itu.

Betapa terkejutnya Setan Kembar

melihat pamor pedang itu. Tapi rasa

terkejut itu pun lenyap ketika Rangga

mengibaskan pedangnya.

Trang! Trang!

Dua kali terdengar senjata

berbenturan. Kali ini Setan Kembar

terlonjak dan langsung mencelat mundur

dua langkah. Mata mereka membelalak

melihat sebuah pedang mereka masing-

masing buntung. Bahkan akibat benturan

itu, tangan mereka seperti kaku.

Rasa kaget yang menyentak jantung

mereka belum lagi hilang, Rangga kini

kembali menyerang dengan menggunakan

jurus gabungan antara 'Cakar Rajawali'

dengan 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'.

"Awas...!" seru Sencaka keras.

Sencaki yang masih dalam keadaan

terluka, tidak dapat mengelak cepat.

Terpaksa ditangkisnya pedang yang

mengancam jiwanya.


Trang! Pedang Sencaki buntung!

Dan tanpa diduga sama sekali,

pedang Rangga terus menerobos tanpa

henti.

"Aaaakh...!" Sencaki menjerit

melengking.

Pedang itu telah membuat leher

Sencaki hampir putus. Sebentar masih

mampu bertahan, tapi tak lama ambruk

dan menggelepar di tanah. Darahnya

mengucur deras dari leher yang koyak.

"Sencaki...!" teriak Sencaka kaget.

Benar-benar hampir tak percaya Sencaka

melihat saudara kembarnya tewas

mengerikan.

Sencaka memang tidak bisa berbuat

banyak lagi. Pedang itu kini telah

berkelebat lagi mengancam dirinya.

Pikirannya cerdik. Dia tidak mau

mengambil resiko dengan menghadang

pedang itu dengan pedangnya. Cepat-

cepat dia melompat sejauh satu tombak ke

belakang. Pedang Pendekar Rajawali Sakti

hanya menebas bagian kosong


"Kubunuh kau, bangsat!" geram

Sencaka. Secepat kilat Sencaka menyerang

Rangga dengan melompat. Tapi kalah

cepat dengan Rangga. Karena baru saja

akan melompat, pedang Rangga telah

lebih dulu mengibas. Sencaka yang

dirasuki amarah tidak dapat lagi

menghindar. Pedang itu tepat menancap

di dadanya. Dengan satu jeritan

melengking panjang, tubuh Sencaka roboh

mandi darah.

Rangga kembali memasukkan

pedang pusaka ke dalam sarung di

punggung. Kembali gelap menyelimuti

sekitarnya. Sebentar Rangga memandangi

dua mayat lawannya, lalu cepat melompat

ke arah mulut goa.

* * *


DELAPAN


Rangga mengamati sebentar mulut

goa yang gelap pekat Kakinya melangkah

ringan memasuki Goa Larangan Semakin

masuk, semakin lembab udaranya. Rangga

mengerahkan ilmu 'Mata Dewa Elang' se-

hingga dapat melihat jelas dalam keadaan

gelap sekali pun

Kakinya terus melangkah lebih dalam

lagi, dan baru berhenti melangkah ketika

didapatkannya sebuah makam yang indah

di depannya. Segera Rangga berlutut

dengan sikap memberi hormat. Dari cerita

Wulan dapat dipastikan kalau ini makam

Eyang Resi Suralaga. Pendekar Rajawali

Sakti kembali berdiri.

"Maaf, saya datang untuk membantu

cucu-cucumu," kata Rangga sopan

Baru saja Rangga selesai berkata, tiba-

tiba makam itu bergetar yang semakin

lama semakin kuat. Rangga tetap berdiri

tenang. Matanya tertuju pada makam yang


masih bergetar bagai terjadi gempa. Tiba-

tiba asap putih mengepul perlahan-lahan

di tengah-tengah makam. Kian lama kian

menebal.

Rangga kembali memberi hormat,

namun matanya tetap tertuju ke arah

makam yang masih mengepulkan asap

putih tebal. Pelan-pelan getaran itu

melemah bersamaan dengan pudarnya

asap, hingga akhirnya hilang sama sekali.

Goa kembali tenang.

"Apakah Eyang Resi berkenan cupu

itu saya bawa untuk Sepasang Walet

Merah?" Rangga bertanya halus dan

sopan.

Rangga menunggu beberapa saat

sambil tetap menjura hormat Matanya

tertuju pada sebuah benda berbentuk

kendi berwarna keemasan yang muncul

setelah asap tebal menghilang. Itulah

Cupu Manik Tunjung Biru. Besarnya

seukuran kepala orang dewasa, berada

tepat di tengah-tengah makam.


Tiba-tiba saja cupu itu bergerak-gerak

dan melayang ke arah Rangga. Pendekar

Rajawali Sakti ini pun berdiri seraya

mengeluarkan tangannya. Cupu Manik

Tunjung Biru berhenti tepat di telapak

tangannya. Tanpa ragu-ragu lagi, dia

menjura dan berbalik. Kembali

dilangkahkan kakinya menuju luar goa.

Ketika kakinya baru melangkah

sejauh dua tombak di depan mulut Goa

Larangan, tiba-tiba di depannya muncul

seorang perempuan tua dengan rambut

yang serba putih.

"Nenek Sumbing," gumam Rangga

mengenali perempuan tua itu. "Apakah

telah kau selesaikan pertarunganmu?"

"Hik hik hik..," Nenek Sumbing

tertawa ngikik. "Sangat mudah

melenyapkan si tua Klabang Hijau."

Pendekar Rajawali Sakti tak perlu

penjelasan lagi. Dia cepat mengerti kalau

Klabang Hijau telah tewas di tangan

perempuan tua ini. Jadi jelas, tingkat


kepandaian Nenek Sumbing tidak bisa

diremehkan.

"Heh! Rupanya kau sudah berhasil

menemukan Cupu Manik Tunjung Biru,

bocah!" seru Nenek Sumbing. Matanya

jelalatan memandang benda yang berada

di kempitan ketiak Pendekar Rajawali

Sakti.

"Benda pusaka ini akan kuserahkan

pada pemiliknya," sahut Rangga.

"Kalau begitu, kau tak usah repot-

repot mencarinya. Benda itu milikku."

"Aku sudah tahu siapa pemiliknya.

Yang pasti bukan kau, Nenek Sumbing."

"Kampret jelek! Berani umbar bacot

di depanku. Apa kau punya nyawa

rangkap?" Nenek Sumbing mendelik

gusar.

"Bukan hanya rangkap, tapi seribu."

Nenek Sumbing berjingkrak geram.

Kata-kata Rangga yang diucapkan tenang

itu sangat menyakitkan telinganya. Jelas

mengandung tantangan meski tidak

diucapkan secara langsung.


"Bocah, serahkan saja cupu itu!

Jangan sampai kuturunkan tangan kejam

padamu!" dengus Nenek Sumbing

mengancam.

"Aku rasa kau telah kejam sejak

dulu," sahut Rangga kalem.

"Setan belang! Rupanya kau tidak

bisa diajak damai!"

"Tidak ada kata damai untuk orang

serakah sepertimu."

Nenek Sumbing tidak bisa lagi

menahan geram. Seketika itu juga

diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.

Namun terjangan itu luput, karena

pendekar ini telah menggeser kakinya

sedikit ke kanan. Nenek Sumbing yang

semula menganggap remeh, semakin

gusar. Segera dia berbalik dan menyerang

kembali dengan jurus-jurus tangan kosong

Perhatiannya terpusat penuh pada cupu

yang aman dalam ketiak Pendekar

Rajawali Sakti.

Dalam lima jurus saja, Rangga paham

kalau Nenek Sumbing mengarahkan jurus


jurusnya hanya untuk merebut Cupu

Manik Tunjung Biru. Namun demikian,

pertahanan Nenek Sumbing juga sangat

kokoh. Beberapa kali Rangga mencoba

untuk membuka pertahanan itu dengan

pancingan, tapi kenyataannya gagal.

Nenek Sumbing seperti mampu membaca

ke mana arah gerakan dan tujuan lawan.

Sebenarnya, pertarungan itu berjalan

lamban seperti dua orang yang sedang

berlatih olah kanuragan. Sampai matahari

terbit di ufuk Timur, mereka hanya

menyelesaikan sepuluh jurus tangan

kosong. Rangga penasaran juga melihat

Nenek Sumbing seperti main-main.

"Aku tidak punya waktu untuk main-

main denganmu, Nenek Sumbing!" seru

Rangga agak gusar.

"Siapa yang main-main? Lihat

tanganku!" dengus Nenek Sumbing.

Belum lagi kering mulutnya berkata,

Nenek Sumbing memiringkan badannya

ke kiri sambil tangan kanannya dengan

cepat didorong ke depan. Rangga hanya


berkelit ke kanan, karena serangan itu

mudah dibaca. Tapi tak diduga sama

sekali, kaki perempuan itu terangkat naik

cepat

Buk!

Rangga tersentak ketika dirasakan

perutnya terkena hantaman kaki

perempuan tua itu. Dua langkah dia

terdorong ke belakang, lalu dengan cepat

menguasai diri. Dan memang benar,

Nenek Sumbing sudah kembali

menyerang dengan jurus-jurus yang cepat

"Awas kaki!" seru Nenek Sumbing

tiba-tiba.

Rangga hanya mengangkat kaki

kanan sedikit ketika kaki Nenek Sumbing

bergerak cepat menyambar. Dan sebelum

perempuan tua itu berdiri dengan leluasa,

dengan cepat kaki Pendekar Rajawali Sakti

terayun ke depan.

"Uts!" Nenek Sumbing cepat menarik

kepalanya.

Kibasan kaki Rangga meleset

beberapa senti di depan muka Nenek


Sumbing. Masih dalam keadaan kaki

kanan di atas, Rangga menaikkan kaki

kirinya. Cepat sekali Rangga bergerak

memutar tubuh. Dan tanpa diduga kaki

kiri pendekar itu melayang ke arah dada.

"Ukh!" Nenek Sumbing yang tidak

menyangka secepat itu datangnya

serangan susulan, tidak bisa mengelak

lagi.

Satu tombak Nenek Sumbing

terjengkang ke belakang. Dadanya terasa

sesak terkena tendangan yang disertai

dengan pengerahan tenaga dalam yang

sempurna. Nenek Sumbing mendengus,

sambil mengerahkan hawa murni ke

seluruh tubuhnya. Ini dilakukan untuk

menghilangkan rasa sesak yang me-

nyelimuti dadanya.

* * *

Duel dua tokoh tingkat tinggi itu

terjadi sampai matahari naik cukup tinggi.

Sampai sejauh ini belum ada yang terlihat


terdesak. Masing-masing sudah me-

ngeluarkan jurus-jurus andalan yang

sangat berbahaya.

Pada kesempatan yang

memungkinkan, Rangga menggunakan

jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.

Tubuhnya melayang cepat ke angkasa.

Tidak diduga, Nenek Sumbing pun

mampu melesat cepat mengejar Pendekar

Rajawali Sakti.

"Jangan lari, Bocah!" seru Nenek

Sumbing.

Tangan Nenek Sumbing bergerak

cepat melontarkan benda-benda kecil

berbentuk jarum. Senjata rahasia itu

melesat cepat ke arah Pendekar Rajawali

Sakti. Saat itu juga Rangga memang telah

siap dengan jurusnya itu, sehingga dengan

mudah tangannya mengibas cepat

menghalau serangan jarum-jarum Nenek

Sumbing. Gerakannya bagai sepasang

sayap burung saja yang hendak

menghalau kumpulan awan di langit.



Jarum-jarum senjata rahasia Nenek

Sumbing pun rontok di tengah, jalan.

Bahkan beberapa di antaranya berbalik

menyerang sang pemilik. Tentu saja

Nenek Sumbing terkejut. Segera dia

jumpalitan di udara menghindari senjata

rahasianya sendiri.

Pada saat perempuan itu sibuk

dengan senjata rahasianya sendiri, Rangga

dengan cepat merubah jurusnya menjadi

'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'.

Begitu cepat gerakan kakinya meluruk

mengincar kepala lawan. Nenek Sumbing

tidak mampu mengelak lagi. Terpaksa

dihadangnya kaki itu dengan tangannya.

Krek!

"Akh!" Nenek Sumbing memekik

tertahan.

Bunyi tulang patah terdengar cukup

keras. Tampak tangan kiri perempuan tua

itu seperti layu, menyambar disamping

tubuhnya. Nenek Sumbing merasa tidak

menguntungkan bertarung di udara.

Cepat-cepat dia kembali turun.


Sementara itu Rangga tenis

mengikutinya dengan tetap mengerahkan

jurus 'Rajawali Menukik Menyambar

Mangsa'. Ketika kaki Nenek Sumbing

sampai di tanah, tiba-tiba dari atas datang

serangan bagai seekor rajawali hendak

menyambar mangsa.

Nenek Sumbing menjerit kaget. Buru-

buru dijatuhkan tubuhnya dan

bergulingan di tanah. Kaki Rangga

menyambar tempat kosong. Tapi secepat

itu pula Rangga kembali melesat ke udara,

lalu turun kembali langsung menyambar

lawan yang bergulingan di tanah. Nenek

Sumbing benar-benar seperti seekor tikus

yang terancam oleh elang lapar.

Tiga kali serangan Rangga berhasil

dihindari. Kini Pendekar Rajawali Sakti

merubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut

Paruh Rajawali' ketika kakinya menjejak

tanah. Mendapat sedikit kesempatan,

Nenek Sumbing bergegas bangkit

"Tamat riwayatmu, Nenek Sumbing!"

seru Rangga keras.



Seketika Nenek Sumbing harus

menerima serangan jurus 'Pukulan Maut

Paruh Rajawali'. Kedua tangan Rangga

bergerak cepat mengarah ke bagian-bagian

tubuh yang mematikan. Perempuan tua itu

kembali repot menghindari serangan yang

datang beruntun bagai hujan yang tumpah

dari langit. Lebih-lebih hanya sebelah

tangan saja yang bergerak menahan

gempuran itu.

Beberapa kali Nenek Sumbing

hampir kecolongan. Jurus yang

dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti penuh

dengan tipuan. Dan lagi, setiap ayunan

tangannya mengandung hawa panas

menyengat kulit. Hal ini membuat Nenek

Sumbing kian sulit mengatur napasnya.

"Ikh!" Nenek Sumbing kembali

tersentak ketika tangan kiri Rangga tiba-

tiba menerobos mengarah dada.

Buru-buru Nenek Sumbing melompat

ke belakang. Dalam keadaan tangan masih

mengarah sasaran, kaki Rangga sudah

bergerak cepat melompat sambil


menyepak. Nenek Sumbing segera

mengegoskan tubuhnya ke kiri. Sepakan

kaki Rangga luput dari sasaran.

"Hiya...!" Rangga berteriak nyaring.

Dengan kaki masih melayang, tangan

kanan Pendekar Rajawali Sakti berkelebat

cepat. Kali ini Nenek Sumbing tidak bisa

lagi menghindar. Hawa panas yang

datang lebih dulu, membuat tubuhnya

kaku. Dan....

"Aaaakh...!" Nenek Sumbing menjerit

menyayat hati.

Tangan kanan Rangga telak masuk ke

bagian dada perempuan tua itu. Seketika

tubuh Nenek Sumbing terlontar keras ke

belakang, dan baru berhenti setelah

menabrak pohon yang cukup besar. Tubuh

itu pun terhempas keras di tanah. Tampak

dari mulutnya darah kental kehitaman

muncrat membasahi pakaian.

Nenek Sumbing meregang nyawa

sebentar, lalu diam dengan dada melesak

ke dalam. Rangga berdiri tegak

memandang tubuh tua yang menggeletak


tak bernyawa lagi Kemudian mata Rangga

beredar ke sekeliling. Bibirnya

menyungging senyum, karena yakin tidak

ada lagi orang-orang yang terlihat di

sekitar tempat ini.

Mereka yang rata-rata memiliki

kepandaian di bawah Nenek Sumbing,

segera melarikan diri ketika melihat

perempuan tua itu tewas. Rangga

mengalihkan pandangannya ke arah

Wulan yang berdiri memapah Jaka.

Pendekar Rajawali Sakti itu pun

tersenyum seraya melangkah mendekati

Sepasang Walet Merah. Cupu Manik

Tunjung Biru masih berada di dalam

kempitan ketiaknya.

* * *

Rangga menyerahkan Cupu Manik

Tunjung Biru kepada Sepasang Walet

Merah. Wulan yang menerimanya tidak

mampu untuk berkata-kata lagi selain

matanya saja yang berkaca-kaca


meluapkan keharuan. Agak lama mereka

tidak saling bicara.

"Aku rasa tempat ini tidak aman

untuk kalian berdua," kata Rangga

memulai pembicaraan.

Wulan menatap Jaka sebentar, lalu

kembali memandang Pendekar Rajawali

Sakti.

"Jika kalian setuju, aku punya tempat

cukup baik," kata Rangga lagi.

"Boleh kami tahu?" tanya Jaka.

"Tentu saja. Tempat itu bernama

Pulau Karang. Memang tempatnya di

seberang laut, tapi kalian bisa menyewa

perahu dari para nelayan."

"Di mana letaknya?" tanya Wulan.

"Kalau ingin ke sana, pergi saja ke

arah selatan. Jika telah sampai pantai,

minta tolonglah pada nelayan untuk

mengantarkan. Rata-rata mereka tahu

tempat itu."

Wulan mengerutkan keningnya.

"Jangan khawatir. Di sana ada banyak

pulau karang Kalian bisa memilihnya


salah satu. Sulit bagi orang lain untuk

mencari pulau yang akan kalian tempati.

Bahkan nelayan yang mengantar kalian

belum tentu dapat ingat."

"Bagaimana, Kakang?" tanya Wulan

meminta pendapat

"Aku rasa itu lebih baik," sahut Jaka

menerima penuh usul Pendekar Rajawali

Sakti.

"Tapi keadaanmu..."

"Aku tidak apa-apa. Hanya luka ini

perlu sedikit perawatan lagi."

Sepasang Walet Merah kembali

menoleh pada Rangga, tapi pendekar

muda itu telah tidak ada lagi di

tempatnya. Tentu saja mereka jadi

mencari-cari. Rangga seolah-olah lenyap

ditelan bumi, hilang tanpa jelas ke mana

perginya. Bahkan suaranya pun tak

terdengar saat pergi.

"Sungguh tinggi ilmunya," gumam

Jaka kagum.


"Ya. Kalau saja seluruh tokoh sakti

seperti dia, dunia ini pasti aman," sahut

Wulan bergumam pula.

Jaka memandang Wulan dan

tersenyum. Tangannya melingkar di

pundak gadis itu. Wulan juga tersenyum

sambil melingkarkan tangannya di

pinggang Jaka. Sesaat mereka berdiri

mematung.

"Kita berangkat sekarang?" usul Jaka

setelah lama terdiam.

"Sebentar, aku ganti pakaian dulu,

"sahut Wulan baru sadar kalau pakaiannya

cabik-cabik tidak karuan.

Sepasang Walet Merah mengayunkan

kakinya menuju ke Goa Larangan. Goa itu

sebenarnya memang tempat tinggal

mereka. Bertahun-tahun mereka tinggal di

sana, dan sebentar lagi harus hengkang

dari situ. Entah untuk waktu berapa lama,

atau mungkin tak lama lagi.

"Sebenarnya aku berat meninggalkan

tempat ini," bisik Wulan.

"Aku juga," sahut Jaka

"Tapi kita harus berlatih lagi untuk

menyempurnakan ilmu 'Walet Merah'."

"Kau tetap ingin jadi pendekar?" Jaka

bertanya.

"Kenapa?" Wulan balas bertanya.

"Tidak apa-apa," desah Jaka.

"Kau tidak suka, Kakang?"

"Aku suka, tapi aku lebih suka jadi

orang biasa. Punya ladang, keluarga, dan

anak-anak yang manis. Hidup tentram

tanpa selalu dibayangi bahaya."

"Kita akan hidup tentram setelah

menguasai ilmu "Walet Merah'," sahut

Wulan.

Jaka hanya tersenyum saja. Wulan tak

kalah dengan senyumnya yang manis. Dan

matahari pun tersenyum seperti

mengiringi sepasang anak manusia

memasuki goa. Tanpa diketahui, sepasang

mata mengawasi dari jarak yang tidak

begitu jauh. Sepasang mata itu milik

Pendekar Rajawali Sakti. Bibirnya

menyungging senyum, lalu berbalik dan

melangkah pergi.



                           TAMAT


0 komentar:

Posting Komentar