PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE MANUSIA BERTOPENG HITAM
SATU
Udara malam itu terasa begitu dingin menggigit tulang.
Hujan deras yang mengguyur bumi Desa Malayasati hampir
seharian tadi tak mampu menguak gelapnya langit yang
tertutup kabut tebal. Orang-orang pun enggan keluar rumah.
Kecuali sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tengah
melangkah ringan di jalanan yang sepi dan becek penuh
genangan air.
Sepasang kaki yang tengah melangkah itu terayun ringan
bagai tak menapak tanah becek. Langkah kakinya nyaris tak
terdengar sedikit pun, Di depan sebuah rumah besar
berhalaman luas dengan tembok tinggi yang mengelilinginya,
sepasang kaki itu menghentikan langkahnya. Tampak oleh si
empunya sepasang kaki itu pintu pagar yang tertutup rapat.
Pandangannya lalu terhenti pada dua orang yang meringkuk
tertidur di lantai beranda.
Mendadak sesosok tubuh yang berpakaian serba hitam itu
melenting ke udara, berputar dua kali, lalu meluruk dengan
cepat ke arah dua orang yang ada di hadapannya. Begitu
kakinya menyentuh lantai, tangannya bergerak cepat dan
menyambarnya. Kedua orang itu belum sempat menyadari
keadaan, mereka hanya sempat mengeluh pendek, lalu roboh
dengan kepala pecah.
"Hmm…." sesosok tubuh berpakaian serba hitam itu
menggumam pelan.
Sepasang kakinya yang terbalut kain hitam ketat, kembali
melangkah ringan melintasi beranda depan yang hanya
diterangi sebuah pelita kecil. Langkahnya yang ringan tak
bersuara, menandakan orang itu memiliki ilmu yang cukup
tinggi. Langkahnya terhenti saat mencapai depan pintu.
Perlahan-lahan tangannya terangkat ke depan.
"Hih!"
Dari kedua telapak tangannya yang terbuka, keluar asap
tipis yang menggumpal meluncur ke arah pintu. Kemudian,
perlahan-lahan pmtu terkuak tanpa menimbulkan suara
sedikitpun. Kakinya lalu melangkah memasuki ruangan.
"Hm, rumah ini sangat besar. Aku harus memeriksa setiap
kamar yang ada. Aku yakin dia ada di dalam rumah ini,"
gumamnya perlahan.
Dia lalu memasuki sebuah kamar yang terdekat
Nalurinya begitu tepat. Seorang laki laki bertubuh tambun
tergolek dalam tidur yang lelap dengan seorang perempuan
cantik yang punggungnya terbuka lebar.
"Tidurlah kau dengan lelap, babi gendut! Aku tak akan
membuatmu bangun lagi." orang itu mendengus sambil
matanya menatap liar. Lalu perlahan-lahan dia mengambil
pisau dari balik bajunya yang hitam pekat.
Namun mendadak laki-laki yang hendak ditikamnya
secepat kilat menyentakkan tangannya.
Plak! Keras sekali sentakan tangannya. Lalu disusul
gerakan tangan kanannya menyodok perut
"Huk!" orang yang berpakaian serba hitam itu mengeluh
pendek. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang.
"Bedebah! Siapa kau?" bentak lelaki itu sambil melompat
turun dari pembaringan.
Meskipun tubuhnya tambun seperti tong, gerakannya
amat gesit dan menyulitkan lawannya. Orang yang perpakaian
serba hitam itu mendengus seraya menyilangkan pisaunya di
depan dada. Dia mulai pasang kuda-kuda dan membuka jurus.
Lawannya pun tidak tinggal diam, sambil berpikir mencari
tahu siapa gerangan orang yang kurang ajar berani
menyatroninya.
"Buka topengmu, bangsat! Apa urusanmu datang
kemari?"
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Badaraka. Aku datang
diutus dewa keadilan untuk mencabut nyawamu," dingin
sekali suara orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu.
"Setan! Apapun alasanmu, kau telah lancang memasuki
kamar pribadiku. Kau harus mampus!" geram Badaraka.
Seketika Badaraka menyerang dengan jurus-jurus pendek
tangan kosong. Rupanya orang bertopeng hitam itu pun telah
menyiapkan jurus-jurus andalannya, sehingga dengan mudah
serangan-serangan Badaraka dapat dipatahkannya. Bahkan
kemudian beberapa kali dia berhasil mendesak lawannya ke
sudut kamar. Hingga pada suatu kesempatan, Badaraka
terjungkal setelah perutnya terkena tendangan maut.
Beruntung dia sempat mengegoskan badannya ketika
lawannya menggebrak dengan loncatan ke arah bagian
vitalnya.
Suara gaduh oleh pertarungan di kamar itu
membangunkan si perempuan cantik dari tidurnya yang lelap.
Ia menjerit ketakutan dan mencoba meloncat dari pembaringan
seraya memegangi kain untuk menutupi tubuhnya. Orang
bertopeng yang berpakaian serba hitam itu tangannya segera
bertindak cepat. Dan sebuah pisau meluncur bagai anak panah
lepas dari busurnya.
"Aaakh...!" perempuan cantik itu hanya bisa menjerit
tertahan begitu pisau tepat menancap di dadanya.
"Ratih...!" seru Badaraka terkejut
Badaraka jadi lengah, dan kesempatan yang sedikit itu
dimanfaatkan oleh lawannya. Secepat kilat dia meloncat
menghajar Badaraka dengan tendangan dan pukulan mautnya.
Badaraka kembali terjungkal dan sebuah pisau yang tertancap
di lehernya membuatnya menggelepar dan tak bernapas lagi.
Orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu
menolehkan kepalanya demi mendengar teriakan dan langkah-
langkah kaki yang berlari semakin dekat dan jelas terdengar.
Dia melompat menerjang jendela, lalu tubuhnya melenting
tinggi melewati pagar tembok rumah lawannya yang telah
binasa.
Orang-orang yang memburu ke arah kamar, langkahnya
mendadak tertahan demi melihat dua sosok tubuh terbujur
bersimbah darah. Kengerian begitu terpancar dari wajah-wajah
mereka. Beberapa saat mereka seperti mematung di pintu
kamar. Baru ketika seorang lelaki muda menerobos masuk,
mereka bergerak ke arah jendela yang jebol.
"Bedebah! Siapa yang melakukan ini?" geram anak muda
itu seraya mengepalkan tinjunya.
"Kejar! Cari, jangan sampai anjing itu lolos!" perintahnya
berang.
Orang-orang yang mendengar perintahnya langsung
berlompatan ke luar melalui jendela yang jebol. Di tangan
mereka masing-masing tergenggam golok. Anak muda itu
kemudian berlutut di samping mayat Badaraka. Tangannya
mencabut pisau yang tertancap di leher. Sesaat dia
memperhatikan pisau berlumuran darah yang tergenggam di
tangannya. Matanya beralih pada perempuan yang tergeletak
di pembaringan dengan kakinya terjuntai di lantai. Belum
sempat dia bergerak untuk mencabut pisau yang tertancap di
dada perempuan itu, terdengar seseorang berteriak memanggil
namanya.
"Santika, apa yang terjadi?"
Anak muda yang dipanggil Santika itu menoleh. Dia
langsung bangkit berdiri. Seolah tak membutuhkan jawaban,
lelaki muda yang barusan datang itu memandangi dua sosok
tubuh yang sudah tak bernyawa. Sejenak dia terdiam,
kemudian pandangannya beralih pada Santika.
"Siapa yang melakukan ini?" tanyanya berang.
"Seharusnya Kakang lebih tahu dari aku. Bukankah Kakang
Banulaga yang bertugas jaga malam?" Santika menatap tajam
pada Banulaga yang tidak lain adalah kakaknya sendiri.
"Ini sudah lewat tengah malam. Tugasku sudah
digantikan Wadalika," sergah Banulaga.
"Wadalika tewas di depan."
"Apa?!"
Belum lagi hilang rasa terkejut Banulaga, salah seorang
yang diperintah mengejar si pembunuh muncul dari balik
jendela. Dia langsung membungkuk hormat.
"Tuan Muda, seluruh kekuatan telah dikerahkan, tapi
tidak juga berhasil menemukan orang itu."
"Cari terus! Pembunuh Itu harus ditangkap!"
"Baik, Tuan Muda."
* * *
Kematian Badaraka membuat seluruh penduduk Desa
Malayasati gempar. Badaraka terkenal sebagai juragan kaya
yang menguasai hampir seluruh tanah, sawah ladang dan
perkebunan di desa ini. Orang-orang pun sudah bisa menduga
bahwa si pembunuh pasti bukan orang sembarangan dan
memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka tahu kalau Badaraka
juga memlliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan puluhan
centeng selalu menjagai rumahnya siang malam. Tapi tak ada
yang mampu menghadang sepak terjang pembunuh misterius
itu.
Kejadian di desa itu pun lalu terdengar sampai ke
pelosok-pelosok desa lainnya. Kematian Badaraka membuat
bekas lawan maupun kawannya memperhitungkan si
pembunuh yang misterius itu. Tak terkecuali para penduduk
yang mempunyai anak perempuan. Mereka tahu benar kalau
Badaraka mata keranjang dan gemar memakan daun muda.
Mereka dicekam ketakutan kalau-kalau si pembunuh malah
lebih kejam dan bejad dari Badaraka.
"Apa kau sudah mengerahkan orang-orangmu untuk
mencari pembunuh ayahmu?" tanya Widura, sahabat kental
Badaraka yang juga tuan tanah dari Desa Batujajar.
"Sudah, tapi orang-orangku kehilangan jejak."
"Aku menyesal sekali, seharusnya malam itu aku tahan
ayahmu agar ia menginap di rumahku."
Banulaga tersenyum masam. Dia tahu betul siapa Widura
ini. Laki-laki setengah baya yang tak jauh beda dengan
ayahnya. Laki-laki yang juga senang menyabung ayam, main
perempuan dan menghamburkan uangnya di meja judi.
Banulaga tahu kalau ayahnya baru pulang waktu larut
malam dengan menggandeng seorang perempuan ke
kamarnya. Dan hatinya benar-benar dibuat geram dan
penasaran, karena ayahnya mati saat lugasnya baru saja
digantikan oleh orang lain.
"Sudah hampir sore, aku harus kembali," kata Widura
pamitan.
"Terima kasih atas kedatangan Paman Widura kemari,"
ucap Banulaga.
"Sama-sama. Kalau perlu apa-apa hubungi aku,"
"Baik. Sekali lagi terima kasih, Paman," Banulaga
mengiringi Widura sampai ke luar pintu. Seorang laki-laki
muda menyongsong sambil menuntun kuda. Widura segera
melompat. Kedua orang itu langsung memacu kudanya
masing-masing keluar halaman rumah besar itu.
Banulaga menarik napas panjang. Pandangannya
merayapi keadaan sekitarnya. Tampak beberapa orang berjaga-
jaga di setiap sudut. Banulaga memang telah menyuruh orang-
orangnya untuk tetap waspada sekaligus mencari pembunuh
ayahnya. Banulaga terkejut begitu membalikkan tubuhnya,
tahu-tahu Santika sudah berdiri di ambang pintu.
"Ke mana saja kau?" tanya Banulaga.
"Di dalam," sahut Santika sambil melangkah ke luar.
"Santika, mau ke mana?"
"Ke luar!" sahut Santika acuh.
"Santika!"
Tapi Santika tetap saja berjalan ke luar, menghampiri
kudanya yang tertambat di pohon. Dalam sekejap saja dia
sudah menggebah kudanya meninggalkan tempat itu.
"Anak setan!" Banulaga hanya bisa mendengus kesal.
* * *
Sejak kematian Badaraka, praktis semua kekuasaan dan
kekayaan yang dimilikinya jatuh ke tangan Banulaga. Berbeda
dengan adiknya, Santika, Banulalaga mewarisi hampir semua
sifat-sifat ayahnya. Buah memang jatuh tidak jauh dari
pohonnya. Bukan hanya kegemaran pada perempuan-
perempuan cantik, tapi tingkah polahnya melebihi kekejaman
ayahnya.
"Badrun..!" Banulaga berteriak keras.
Orang yang dipanggil datang terbungkuk-bungkuk
menghampiri Banulaga yang berdiri bertolak pinggang dengan
congkak di depan pintu.
"Ada apa, Tuan Muda?" tanya Badrun.
"Tuan Muda. Panggil aku Tuan Besar, tahu!" bentak
Banulaga mendelik.
"Maaf, Tuan Besar. Saya sering lupa," Badrun nyengir.
"Sudah kau siapkan kuda?" Banulaga tak
memperdulikannya lagi, dia terus saja melangkah melewati
beranda.
"Sudah, Tuan Besar," sahut Badrun mengiringi langkah
majikannya.
"Hm," Banulaga menggumam kecil.
Badrun buru-buru mendahului Banulaga. Dia mendekati
seekor kuda putih berbadan tinggi besar dengan pelana
bersulamkan benang emas. Lalu menuntun kuda itu ke arah
tuannya.
Seperti ingin memperllhatkan ilmu meringankan
lubuhnya, Banulaga melompat ke atas punggung kudanya.
Tangannya menarik tali kekang. Sekilas dia melirik Badrun
yang masih berdiri di sampingnya.
"Ambil kudamu, ikut aku," kata Banulaga.
"Hendak ke mana, Tuan Besar?"
"Ikut! Jangan banyak omong!" Banulaga setengah
membentak.
"Iya, iya.., baik, Tuan Besar."
Badrun segera berlari kecil ke belakang rumah besar itu.
Tidak lama kemudian dia kembali dengan menunggang seekor
kuda hitam. Kedua kuda itu segera berpacu kencang
meninggalkan halaman rumah. Dua orang penjaga pintu
gerbang yang bersenjatakan golok segera membungkukkan
badannya memberi hormat.
Di sepanjang jalan desa, Banulaga mengendalikan
kudanya dengan sikap angkuh. Tidak sedikitpun bibirnya
menyunggingkan senyum. Juga tak mengangguk ketika
penduduk di sepanjang jalan desa yang dilewatinya
membungkukkan badannya.
Banulaga menjentikkan jarinya seraya menghentikan laju
kudanya. Matanya yang tajam menatap lurus pada sebuah
rumah di antara lebatnya pepohonan. Sebuah rumah
berdinding anyaman bambu dan beratapkan rumbia. Badrun
menghentakkan perut kudanya mendekati Banulaga yang tak
lepas lepasnya memandangi rumah yang ada di hadapannya.
"Kau tahu, rumah siapa Itu?" tanya Banulaga pelan.
"Yang mana, Tuan Besar?" Badrun malah bertanya lagi.
"Itu, goblok!"
"O..., Itu. Rumahnya Pak Karta. Memangnya kenapa
Tuan?"
"Hm..., tidak."
Banulaga menghentakkan kudanya kembali. Namun baru
saja kuda putih kesayangannya melangkah beberapa tindak, ia
menghentikan kudanya seketika. Dari pintu rumah Pak Karta
yang terkuak itu muncul seorang perempuan muda dengan
bakul bambu di pinggang kirinya. Mata Banulaga melotot, tak
lepas-lepasnya memandangi perempuan muda itu. Perempuan
itu berparas ayu. Banulaga tahu dibalik kainnya yang ketat ada
sesuatu yang montok dan merangsang birahinya. Perempuan
yang dipandanginya terkejut menyadari ada dua lelaki asing
tengah menjilati tubuhnya dengan pandangan penuh birahi.
Bibirnya yang tipis merekah terbuka, membuat Banulaga
menelan ludah. Ia seperti melihat dewi dari kahyangan.
Badrun pun jadi ikut mendelik menatap liar tubuh si gadis.
"Badrun, anak perawan siapa dia?" tanya Banulaga
berbisik
"Barangkali anaknya Pak Karta, Tuan Besar," sahut
Badrun.
"Kenapa barangkali?" Banulaga tak puas dengan Jawaban
pembantunya.
"Saya sendiri baru melihatnya, Tuan."
"Hmmm... sejak kapan Pak Karta punya anak perawan?"
Banulaga seperti bertanya pada dirinya sendiri. Lalu
perhatiannya kembali pada perempuan ayu yang kini sudah
melangkah melewati pekarangan samping rumah. Banulaga
menelan ludah yang membasahi tenggorokannya.
Tiba-tiba saja muncul seorang lelaki tua dari arah samping
belakang rumah. Laki-laki dengan pakaian dan celana longgar
hitam itu langsung membungkuk begitu melihat Banulaga
berada di depan rumahnya.
"Orang tua itu Pak Karta, Tuan Besar," ucap Badrun. Lalu
tanpa disuruh majikannya, dia setengah berteriak memanggil,
"Kemari kau, tua bangka!"
Yang dipanggil buru-buru mendekat sambil
menubungkukkan badannya. Badrun lalu menoleh pada
tuannya, seolah-olah menyilakan tuannya untuk mengorek
keterangan tentang perempuan muda itu. Banulaga pun cepat
menangkap maksud pembantunya. Ia menatap tajam pada Pak
Karta.
"Apakah ada yang salah pada diri saya, Tuan?" Pak Karta
bertanya dengan membungkukkan badan penuh hormat
dengan suara bergetar.
"Tidak," sahut Banulaga cepat.
Banulaga melirik pada Badrun, kemudian dia melompat
turun dari kudanya. Badrun juga berbuat yang sama, lalu
mengambil alih tali kekang kuda majikannya untuk
ditambatkan bersama-sama dengan kudanya sendiri.
"Dengan siapa kau tinggal di sini?" tanya Banulaga tanpa
rasa hormat sediktipun pada orang yang lebih tua umurnya.
"Saya..., saya tinggal sendiri di sini, Tuan," jawab Pak
Karta gugup.
"Kau berdusta, heh?"
Pak Karta mengangkat kepalanya. Matanya melirik pada
Badrun yang baru selesai menambatkan kuda. Tampak gagang
golok menyembul keluar di pinggang laki-laki bertubuh hitam
itu. Raut muka Pak Karta seketika menampakkan ketakutan.
"Siapa perempuan yang tadi keluar dari rumahmu?" tanya
Banulaga keras.
"Oh! Tu... Tuan sudah melihatnya?" orang tua itu kaget
"Anakmu?"
"Bu... bukan. Eh... iya, Tuan" gugup sekali Pak Karta
menjawab.
"Jawab yang benar!" bentak Badrun kasar.
"Eh... anu, Tuan, dia... dia anak saya."
"Hm...." Banulaga mengernyitkan alisnya. Matanya tajam
dan agak liar menatap ke wajah lelaki tua yang ada di
depannya. Kemudian terbayang kembali wajah perempuan
muda yang membangkitkan birahinya. "Cepat panggil anakmu
kemari!"
"Dia... dia masih kecil, Tuan!" Pak Karta berusaha
menolak secara halus.
Trak!
Badrun menghentakkan gagang goloknya dengan keras.
Pak Karta mengkeret melirik ke arah sumber suara itu.
"Ba... baik Tuan, saya panggilkan."
Banulaga sudah tak sabar, napasnya sudah naik turun tak
karuan. Badrun pun tersenyum kecil menyaksikan tuannya
salah tingkah. Tak lama kemudian mereka melihat Pak Karta
dan anak perempuannya tengah berjalan menuju ke arahnya.
Sampai Pak Karta dan perempuan muda itu berdiri di
hadapannya, matanya tak berkedip merayapi keindahan dan
kecantikan yang menggelorakan birahinya.
"Siapa namamu, gadis ayu?" tanya Banulaga tersenyum
menyeringai.
"Mega Lembayung," sahut si perempuan datar.
"Ah, nama yang cantik, secantik orangnya," desah
Banulaga merayu.
"Terima kasih."
"Pak Karta, aku bermaksud memboyong putrimu," kata
Banulaga tanpa basa-basi.
Merah padam muka Mega Lembayung mendengar kata-
kata itu. Sedangkan Pak Karta kebingungan mendengar
permintaan yang sejak tadi ia cemaskan. Mega Lembayung lalu
menatap tajam Banulaga. Hatinya penuh kemarahan dan
kebencian. Tatapan matanya yang tajam mengagetkan
Banulaga. Selama ini belum ada seorang pun yang berani
menatap wajahnya sedemikian rupa, apalagi seorang
perempuan.
Banulaga meremehkan tatapan itu. Dia lalu melangkah
menghampiri Mega Lembayung. Tangannya terulur hendak
menjamah. Tapi baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba Mega
Lembayung menyentakkan tangannya. Begitu keras sentakan
tangannya, hingga tubuhnya terdorong ke samping dua
langkah. Belum sempat Banulaga membalas, Mega Lembayung
menyampok kakinya.
Buk!
Banulaga terpental dan jatuh terduduk di tanah. Badrun
yang menyaksikan kejadian itu, langsung menghunus
goloknya. Sementara Banulaga melompat bangkit berdiri.
Bibirnya meringis menahan geram.
Baru kali ini dia kena batunya. Gadis itu terrryata punya
kepandaian yang tak bisa diremehkan.
"Perempuan laknat!" geram Banulaga sengit "Badrun,
ringkus dia!"
Badrun meloncat tepat di hadapan perempuan muda itu.
Pak Karta langsung mundur menjauh. Wajahnya pucat dan
tubuhnya gemetaran. Kengeriannya makin bertambah
manakala golok Badrun berkilat terkena sinar matahari.
Sementara Mega Lembayung menyingsingkan kainnya hingga
terlihat celana pangsinya.
* * *
DUA
"He he heehe...." Badrun terkekeh dengan mulut
menyeringai. Sikapnya benar-benar meremehkan Mega
Lembayung. Goloknya yang terhunus dia masukkan kembali
ke dalam sarungnya sambil matanya terus memandangi
lawannya, seolah-olah ingin menunjukkan kalau tanpa golok
pun dia bisa meringkusnya.
Tangannya terulur hendak mengangkat tangan gadis itu,
namun dengan cepat Mega Lembayung menyentakkannya.
"Uts!"
Badrun cepat-cepat menarik tangannya kembali, dan
segera meloncat meringkus lawannya. Mega Lembayung
memutar tubuhnya sedikit, lalu dengan cepat kaki kanannya
melayang ke arah perut Badrun yang menganggap remeh
lawannya, tak dapat lagi mengelak. Tendangan perempuan
muda itu amat telak dia rasakan.
Pembantu Banulaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya
terjengkang beberapa langkah ke belakang. Bibirnya meringis
menahan sakit di perutnya, dan pandangan matanya terasa
kabur. Badrun lalu mencoba bangkit dan menggerak-gerakkan
tangannya.
"Hiaaat...!"
Sambil bertenak nyaring Badrun melompat seraya
mengirimkan pukulan pendek. Mega Lembayung
memiringkan tubuhnya sedikit, dan tangannya terangkat
menangkis pukulan. Dua tangan itu beradu keras. Badrun
meringis merasakan tulang tangan kirinya seperti remuk. Kali
ini dia tak bisa menganggap remeh lagi pada Mega
Lembayung.
Sesaat Mega Lembayung memperhatikan lawannya.
Hingga detik ini dia hanya bermaksud mempertahankan diri.
Lalu dia melihat lawannya mulai membuka jurus-jurus
andalannya. Diapun tidak tinggal diam.
Badrun mulai kembali menyerang dengan jurus-jurus
tangan kosong. Dia mengirimkan pukulan tipuan dengan
tangan kanannya. Tapi secepat kilat Mega Lembayung berhasil
menangkisnya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya
mendorong ke depan, disusul dengan tendangan kakinya
bertubi-tubi. Badrun jadi kelabakan. Dia bergegas mundur,
namun dia masih merasakan dorongan angin dari tendangan
Mega Lembayung. Badrun bersalto dua kali sebelum kakinya
menjejak tanah.
"Phuih!" dengus Badrun menyemburkan ludahnya.
Sret!
Tanpa malu-malu lagi Badrun mencabut goloknya. Dia
lalu melompat ke depan beberapa langkah, lalu menyerang
lawannya dengan jurus-jurus pendek dan cepat Goloknya
berkelebatan mengurung gadis itu. Namun sampai lima jurus
telah ia kerahkan, Mega Lembayung tak tersentuh sedikitpun
oleh ujung goloknya yang tajam dan berkilat-kilat. Bahkan
beberapa kali pinggangnya terkena sodokan kaki lawannya.
Memasuke jurus ke sepuluh, Badrun mulai terdesak. Dia
tak punya kesempatan lagi untuk menyerang. Goloknya seperti
tumpul dan mati. Tepat memasuki jurus ke duabelas, dia
kecolongan, kaki kanan Mega Lembayung menendang
pinggangnya yang kosong. Badrun melenguh pendek, dan
tubuhnya terdorong ke samping. Belum lagi dia sempat
menguasai diri, datang lagi serangan cepat dan beruntun dari
lawannya.
"Akh!" Badrun memekik tertahan.
Saat laki-laki berkulit hitam legam itu hilang
keseimbangannya, Mega Lembayung menggebrak dengan
cepat ke arah dada. Badrun terjengkang roboh ke tanah. Darah
segar menyembur dari mulutnya. Dadanya terasa amat sesak.
Sulit untuk bernapas.
Badrun tengah berusaha bangkit, ketika gadis itu menjerit
keras dengan kaki tersentak ke depan. Kakinya nyaris
menghantam kepala Badrun, ketika mendadak sebuah sinar
keperakan meluncur ke arahnya. Mega Lembayung melenting
ke belakang menghindari sinar keperakan itu yang ternyata
sebuah golok.
"Pengecut!" dengus Mega Lembayung geram.
"Kau memang tidak bisa diajak senang, perempuan
setan!" geram Banulaga.
"Phuih! Kau bisa berbuat semaumu pada gadis lain. Tapi
jangan harap bisa memangsaku!"
"Kau memang cantik, tapi mulutmu kotor!"
"Tidak lebih kotor dari dirimu sendiri, bangsat!"
Banulaga menahan geram dan darahnya mendidih. Kalau
saja bukan perempuan cantik yang ada di hadapannya,
perempuan muda itu pasti sudah mati oleh jarum-jarum
beracunnya. Atau wajahnya sudah robek terkena sepasang
golok peraknya. Perempuan muda itu sudah telanjur
membangkitkan birahinya, hingga terasa sayang kalau dia
bunuh sebelum dinikmati kehangatan tubuhnya.
Banulaga meraba pinggangnya. Tangan kanannya lalu
menarik ikat pinggang yang melilit. Tampak sebuah cambuk
dari bahan kulit yang dipintal dengan urat kuat tergenggam di
tangannya. Suara cambuk itu menggelegar ketika Banulaga
mengebutkannya. Mega Lembayung beringsut mundur dua
tindak. Sepasang bola matanya yang indah menatap tajam
pada cambuk yang tergenggam di tangan Banulaga.
Banulaga segera menyerang Mega Lembayung dengan
cambuknya. Mega Lembayung berlompatan menghindari
ujung cambuk yang bergerak cepat mencecar tubuhnya.
Sementara dua pasang mata lainnya melihat dengan caranya
yang berbeda. Badrun melihatnya dengan senyum yang
mengejek, tanpa rasa malu telah dipecundangi oleh seorang
perempuan muda. Tapi sepasang mata lainnya begitu cemas
dan ketakutan melihat pertempuran itu dari balik sebatang
pohon. Pak Karta mulai meraba apa yang akan terjadi pada diri
Mega Lembayung.
Tiba-tiba tercium bau busuk yang menusuk hidung dan
amat memualkan. Cambuk Banulaga itu ternyata beracun.
Semakin gencar cambuk itu menghajar lawannya, baunya
semakin menyengat dan memabukkan. Mega Lembayung
sudah tak bisa menguasai diri, tubuhnya limbung mencium
bau busuk semakin memecah terkena cambuk bertubi-tubi.
Tap!
Perlawanan Mega Lembayung pun tampaknya mati
ketika ujung cambuk membelit tangan kanannya, lalu
terangkat dan disentakkan dengan keras oleh Banulaga yang
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuh Mega
Lembayung tersentak keras dan terbanting ke tanah.
"Ha ha ha...!" Banulaga tertawa puas melihat lawannya tak
berdaya.
Beruntung Mega Lembayung memiliki kekuatan dan
kepandaian yang lumayan, hingga sentakan cambuk itu tak
sampai merenggut jiwanya. Sementara tak jauh dari
tempatnya, tubuh Pak Karta tergeletak pingsan. Tubuhnya
yang ringkih tak mampu menahan bau busuk cambuk
Banulaga. Dia muntah-muntah sebelum akhirnya tergeletak
lemas
Mega Lembayung berusaha menghimpun kekuatannya
kembali. Dia mencoba bangkit, tapi Banulaga segera
menyambar tubuhnya dengan lecutan cambuknya. Pinggang
Mega Lembayung pun terbelit tanpa bisa mengelak. Banulaga
menarik cambuk itu kuat-kuat sambil memutarkan badannya,
dan tubuh perempuan muda yang malang itupun kembali
roboh.
Banulaga tertawa terbahak bahak melihat korban
keganasannya berkutat sendiri berusaha melepaskan belitan
cambuk di tubuhnya. Dia seperti tengah menonton adegan
lelucon.
Pinggang Mega Lembayung terbelit
oleh cambuk yang sangat bau dan beracun.
Kemudian Banulaga menarik cambuk itu
kuat-kuat sambil memutarkan badannya, dan
tubuh perempuan muda yang malang itupun
tersentak mengikuti gerakan tubuh Banulaga.
"Badrun!" Banulaga menjentikkan jarinya. Badrun yang
sedari tadi ikut terkekeh-kekeh melihat adegan itu langsung
menghampiri sambil menuntun kuda putih kesayangan
tuannya. Dia sudah hapal betul apa yang yang akan diperguat
Banulaga jika menghadapi musuh-musuhnya yang sudah tak
berdaya.
Banulaga pun langsung melompat ke atas punggung kuda
tanpa melepaskan gagang cambuknya. Tubuh Mega
Lembayung tersentak, terseret sempoyongan, lalu tersungkur
sampai cambuk itu terlepas sendiri dari tubuhnya yang memar
dan penuh luka cambukan.
"Ha ha ha...! Perempuan tolol! Rupanya kau lebih suka
dengan caraku begini, heh?" Banulaga tertawa ngakak dari atas
kudanya, lalu menoleh pada tubuh Pak Karta yang masih
tergeletak pingsan, "Ikat tua bangka itu di pohon!"
Badrun terkekeh sambil melangkah menghampiri laki-laki
tua itu, lalu digelandang dengan kakinya ke sebuah pohon.
Mega Lembayung yang melihatnya, mencoba bangkit dan
berlari mendekat.
"Iblis kejam!"
Tar!
Lecutan cambuk kembali mengenai tubuhnya, lalu ia
roboh seketika.
Badrun mulai mengikat tangan Pak Karta. Lalu dengan
tambang panjang dia mengikat leher laki-laki tua itu. Sedang
ujung satunya lagi dia ikatkan ke batu sebesar dua kali kepala
manusia.
Batu itu diletakkan di atas tonggak kayu, lalu di
limbungkan dengan tongkat yang dibelitkan dengan tambang
yang mengikat leher Pak Karta. Sedikit saja pak tua itu siuman
dan menggerakkan kepalanya, tongkat itu akan menarik batu
terjatuh ke tanah, dan leher Pak Karta pun akan tercekik.
"He he he...," Badrun terkekeh melihat hasil pekerjaannya
yang sempurna, lalu mendekati Mega Lembayung yang sudah
berdiri dengan cambuk yang membelit dadanya.
"Kau juga akan bernasib sama, Nona Manis. Kecuali kalau
kau mau Jadi... he he he...," Badrun kembali terkekeh.
"Cuih!" Mega Lembayung menyemburkan ludahnya,
dan,tepat menemplok di muka Badrun.
"Sompret!" Badrun jadi geregetan. Tangannya sudah
terangkat hendak menampar.
"Badrun!" sentak Banulaga cepat.
Badrun mendengus seraya menurunkan tangannya
kembali. Dengan muka cemberut dan menahan dongkol dia
menyeka ludah di mukanya. Laki-laki berkulit hitam legam itu
menghampiri kudanya yang tertambat di pohon. Matanya
melirik Mega Lembayung sebelum meloncat ke punggung
kudanya.
"Hiya!"
"Hiya!"
Tras!
Tiba-tiba saja cambuk yang membelit dada Mega
Lembayung terputus begitu Banulaga menyentakkan tali
kekang kudanya. Banulaga terkejut dan segera melenting dari
punggung kudanya. Badrun segera mengejar kuda putih
tunggangan tuannya ini.
"Bangsat!" geram Banulaga.
Dengan amarah yang memuncak, dia membuang
cambuknya yang sudah butut. Sedang Mega Lembayung
bergerak bangkit sambil melepaskan sisa cambuk yang melilit
di tubuhnya. Tak jauh dari gadis itu, berdiri seorang pemuda
tampan berpakaian rompi putih dengan pedang bergagang
kepala burung menyembul di pinggangnya. Pemuda itu tak
lain dari Pendekai Rajawali Sakti. Dia lalu menolong Mega
Lembayung melepaskan belitan cambuk.
"Terima kasih," ucap Mega Lembayung.
Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
tersenyum tipis. Matanya tak lepas menatap Banulaga yang
sudah mencabut golok peraknya. Tampak wajah Banulaga
yang merah-padam menahan amarah. Kemudian terdengar
suara langkah kuda mendekati mereka. Badrun muncul
dengan menuntun kuda putih dari atas punggung kudanya,
dan segera meloncat turun begitu melihat tuannya tengah
memandang orang asing yang belum dikenalnya. Tangannya
langsung mencabut golok.
"Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!" bentak
Banulaga sengit.
"Aku Rangga," sahut Rangga tenang. "Aku tidak suka
melihat kekejaman berlangsung di depan mataku."
"Setan alas!"
"Menyingkirlah, Nona. Bebaskan orang tuamu," kata
Rangga lembut.
"Hati-hati, orang itu kejam sekali," Mega Lembayung
mengingatkan.
"Hm," Rangga hanya tersenyum kecil.
"Badrun!" Banulaga menjentikan jarinya.
Badrun langsung melompat menyerang dengan goloknya.
Rangga hanya memiringkan tubuhya sedikit, dan tebasan
golok itu lewat di sampingnya. Secepat kilat tangan Pendekar
Rajawali Sakti itu mengibas ke arah dada. Namun Badrun
sudah lebih dulu bergerak ke kiri dan kibasan tangan Rangga
lewat di tempat yang kosong.
Kembali Badrun mengayunkan goloknya ke arah kepala,
dan Rangga mengangkat tangan kanannya. Tap! Golok Badrun
berhasil dijepit dengan dua jari tangan. Badrun berusaha
menarik goloknya ke luar dari jepitan jari yang bagaikan
sebuah penjepit baja itu. Rangga menggerakkan jarinya sedikit,
dan...
Trak!
Golok yang dijepit patah jadi dua. Badrun terkesima
menatap goloknya yang patah itu. Dan belum sempat ia
mengalihkan perhatian, mendadak kaki Rangga sudah
melayang deras menghantam dadanya.
Badrun terjengkang sejauh kira-kira dua batang tombak
ke belakang. Dari mulutnya memuncrat darah segar. Dan
belum lagi dia sempat bangun, Rangga sudah melompat bagai
kilat, dan kakinya langsung menjepit leher laki-laki berkulit
hitam legam itu.
"Hih!"
Trak
Badrun tak mampu lagi bersuara. Tulang lehernya
langsung patah. Hilang sudah nyawa dari badannya. Rangga
lalu memandang Banulaga yang masih terkesima melihat
kematian pembantunya yang hanya dengan sekali gebrak saja.
Banulaga cepat mengalihkan perhatiannya pada Rangga.
Dengan cepat dia meloncat sambil mengibaskan golok
kembarnya.
Rangga berkelit menghindari serangan cepat dua golok
kembar keperakan itu. Serangan Banulaga itu amat gencar dan
dahsyat. Dua golok di tangannya berkelebatan cepat, hingga
yang terlihat hanya dua berkas sinar putih keperakan yang
mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu.
Banulaga telah mengerahkan kekuatannya hingga jurus
ke sepuluh. Namun belum sedikitpun tubuh Rangga terkoyak
oleh golok kembarnya. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti ini
belum melayaninya secara sungguh-sungguh. Dia hanya
berkelit sekedar menghindari setiap serangan yang dilancarkan
Ranulaga.
Tiba-tiba Banulaga menyatukan goloknya ke tangan kiri.
"Hiaaa...!"
Banulaga meloncat sambil melontarkan jarum-jarum
mautnya yang beracun. Rangga terbeliak sesaat, lalu secepat
kilat tubuhnya melenting berputaran di udara menghindari
jarum-jarum beracun yang datangnya bagai hujan. Rangga
benar-benar dibuat kerepotan dengan serangan-serangan
jarum-jarum itu. Dia berjumpalitan di udara sambil matanya
mencari-cari celah untuk membalas.
Dan kesempatan itu pun datang ketika Banulaga
kehabisan jarum-jarum mautnya. Hanya sesaat memang, dan
itu juga cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas
serangan. Secepat kilat dia meluruk deras ke arah Banulaga.
Rangga langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa'. Kakinya bergerak cepat dan berputar
mengancam kepala lawan.
"Setan!" dengus Banulaga seraya menjatuhkan tubuhnya
ke tanah.
Serangan Rangga luput di tengah jalan. Dan begitu
kakinya mendarat, secepat kilat Banulaga mengibaskan
goloknya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melompat
menghindari tebasan golok itu. Banulaga buru-buru bangkit,
dan memisahkan golok kembarnya lagi. Kini kedua
tangannnya menggenggam senjata. Saat itu juga dia kembali
menyerang dengan dahsyat
Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali'. Dengan Jurus itu Banulaga jadi kerepotan, karena
setiap pukulan yang dilontarkan lawannya, menimbulkan
hawa panas yang sangat menyengat kulit, yang diiringi
dorongan angin pukulannya yang kencang, sehingga
menyulitkan Banulaga untuk bergerak.
Menyadari kekuatan dirinya yang tak bakal mampu
menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa
gerakan lagi, Banulaga segera melenting dan meloncat ke
punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda putih
tunggangannya. Rangga berdiri tegak memandang kepergian
Banulaga.
"Hm," Rangga menggumam pelan, lalu membalikkan
tubuhnya. Matanya langsung memandang Mega Lembayung
yang tengah menyadarkan orang tuanya. Rangga segera
menghampiri dan segera memeriksa keadaan Pak Karta.
Kemudian dia mengangkat dan membawa tubuh orang tua
yang malang itu ke depan rumahnya. Pak Karta dibaringkan di
balai-balai yang terbuat dari bambu.
"Ayahmu tidak apa-apa, cuma pingsan" kata Rangga. Lalu
dia memijit bagian tangan dan tengkuk Pak Karta sebentar.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami," ucap
Mega Lembayung. Kepalanya tetap tertunduk menatap wajah
laki-laki tua yang tergolek di hadapannya.
"Sudah menjadi kewajiban manusia untuk menolong
sesamanya," Rangga merendah.
Mega Lembayung mengangkat kepalanya, wajahnya
menatap paras tampan di depannya. Rangga memberikan
senyum simpatiknya dengan sedikit anggukan kepala.
"Siapa orang itu, dan kenapa dia menyiksa kalian?" tanya
Rangga.
Belum lagi Mega Lembayung menjawab, terdengar suara
batuk-batuk. Seketika dua pasang mata mengalihkan
tatapannya pada Pak Karta yang sudah mulai siuman. Lelaki
tua berbadan ringkih itu berusaha duduk. Mega Lembayung
segera membantu mengangkat tubuhnya. Laki-laki tua itu
duduk bersandar.
Sebentar dia mengatur napasnya, kemudian menatap
Rangga yang masih berdiri di depannya.
"Dia yang menolong kita, Kek," Mega Lembayung
menjelaskan.
"Siapa namanmu, Kisanak?" tanya Pak Karta.
"Rangga," sahut Rangga tersenyum ramah.
"Terima kasih, kau telah menolong kami yang tak berdaya
ini."
"Ah, cuma kebetulan saja," Rangga merendah.
"Hm..., tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah
kau seorang pengembara?"
"Benar, Pak. Saya cuma pengembara yang mencari hidup
dari satu tempat ke tempat lainnya."
Pak Karta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
mendadak dahinya berkerut melihat sesosok mayat tergeletak
di depan rumahnya. Kembali matanya menatap Rangga dan
Mega Lembayung bergantian. Dia lalu menarik napas panjang.
"Seharusnya tadi kau tak usah ke luar, Mega," Pak Karta
bergumam pelan seolah menyesali apa yang telah terjadi.
Lelaki tua itu mendesah perlahan. Kematian Badrun di
depan rumahnya tentu akan berbuntut panjang. Lebih-lebih
persoalannya langsung di tangan Banulaga yang mengangkat
dirinya sebagai pengganti Badaraka. Dia tidak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Banulaga tentu
tidak akan tinggal diam begitu saja.
"Maaf, Kek. Kedatanganku membuatmu susah," terdengar
pelan suara Mega Lembayung.
"Semuanya sudah terjadi. Banulaga tentu akan kembali
lagi menuntut balas."
"Aku akan menghadapinya, Kek."
"Tidak! Kau tak akan sanggup menghadapi orang-
orangnya Banulaga. Mereka orang-orang yang kejam dan
sangat tinggi kepandaiannya."
"Maaf, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Rangga
menyela.
Pak Karta memandang Pendekar Rajawali Sakti itu. Lalu
mengalihlan pandangannya pada Mega Lembayung.
"Sebaiknya kalian segera pergi meninggalkan desa ini
Lebih-lebih kau, anak muda. Kau telah membunuh Badrun,
meskipun niatmu hanya menolongku dan Mega. Banulaga
tidak akan membiarkan begitu saja orang yang membunuh
pembantunya, dan membuatnya kehilangan muka," Pak Karta
berujar lirih.
"Siapa Banulaga itu, Pak?"
"Dia pewaris dan pengganti ayahnya, Badaraka. Ayah dan
anaknya tidak jauh berbeda, mereka senang melampiaskan
nafsunya pada setiap perempuan cantik yang ditemuinya.
Bahkan Kepala Desa sendiri tunduk padanya. Dia bisa berbuat
apa saja yang dia kehendaki, termasuk perempuan cantik yang
sudah bersuami sekalipun, dia tidak peduli," kata Pak Karta
menjelaskan.
Rangga mengangguk kecil. Kini dia sudah bisa
memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu sekilas sudut
matanya melirik Mega Lembayung yang masih duduk di tepi
balai-balai bambu. Dalam hati kecilnya, iapun mengagumi
kecantikan Mega Lembayung yang nyaris menjadi korban
kebuasan Banulaga.
"Mega cucuku yang tinggal satu-satunya. Baru seminggu
dia tinggal di sini bersamaku. Dan sejak dia berada di sini aku
sudah mengkhawatirkan keselamatannya. Tapi memang
tinggal akulah satu-satunya yang dia miliki. Ayahnya
meninggal terbunuh saat mempertahankan istrinya yang
diboyong paksa oleh Badaraka. Ya, ibunya juga tewas bunuh
diri karena merasa malu dirinya sudah ternoda. Sekarang
putranya juga ingin mengambil paksa, seperti yang dilakukan
ayahnya pada ibu Mega," suara Pak Karta semakin lirih saat
menyudahi ceritanya.
"Kek..," Mega memegang tangan keriput kakeknya.
"Maafkan kakekmu, Mega. Aku memang merahasiakan
ini padamu. Baru sekarang aku terpaksa menceritakannya,"
ujar Pak Karta menatap kosong.
Rangga memandangi Mega Lembayung. Keningnya
sedikit berkerut mendengar cerita Pak Karta mengenai anak
gadis ini. Cerita yang sangat mirip dengan perjalanan
hidupnya. Dia sepertinya tengah melihat satu kilas balik dari
riwayat hidupnya sendiri yang dialami Mega saat ini. Dia bisa
memahami perasaan yang tengah bergayut di hati cucu Pak
Karta ini.
"Belum lama Badaraka dikuburkan. Hanya sebentar
penduduk Desa Malayasati ini menarik napas lega, dan
sekarang mereka seperti menanti perjalanan panjang bagaikan
neraka yang tak berujung," kembali Pak Karta berkata pelan.
"Sudahlah, Kek. Apapun yang akan terjadi aku akan
menghadapinya," kata Mega Lembayung lembut.
Pak Karta hanya tersenyum pahit.
* * *
TIGA
Kematian Badrun dan kegagalannya mendapatkan Mega
Lembayung membuahkan dendam kesumat di hati Banulaga.
Sebagai penguasa dan pewaris Badaraka, harga dirinya terasa
dilecehkan begitu saja oleh Pendekar Rajawali Sakti.
Banulaga mondar-mandir di beranda depan rumahnya.
Hatinya penuh luapan emosi. Seorang centengnya pun menjadi
sasaran kekesalannya dengan sebuah tendangan keras karena
lamban menambatkan kudanya. Sesaat kemudian dia berteriak
memanggil salah seorang kaki tangannya.
"Japra!"
Laki-laki yang dipanggil Japra itupun membungkukkan
badannya. Dia melangkah mendekati Banulaga yang bertolak
pinggang.
"Kau dan Sarkam pergi ke Gunung Kanji. Bilang pada
Resi Maespati, kalau aku membutuhkan kedatangannya.
Sekaligus kau ke Bukit Genting menemui Iblis Selaksa Racun.
Katakan aku yang meminta dia datang!" kata Banulaga.
"Sekarang, Tuan?" tanya Japra sopan.
"lya, sekarang!"
"Permisi, Tuan."
Japra melangkah pergi meninggalkan ruangan depan
yang luas itu. Tatapan Banulaga beralih pada seorang lagi yang
berdiri di sudut halaman. Banulaga memanggil dengan ujung
jarinya. Laki-laki bermata picek itu mendekati. Tidak
sedikitpun dia membungkuk seperti Japra.
"Aku perlu bantuanmu, Setan Mata Satu," kata Banulaga
pelan suaranya.
"Katakan saja, apa yang harus aku Iakukan?" berat sekali
suara Setan Mata Satu terdengar.
"Lenyapkan siapa saja yang ada di rumah Karta dan bawa
Mega Lembayung ke sini," kata Banulaga tegas.
"Ha ha ha...!" Setan Mata Satu tertawa keras mendengar
tugas yang diberikan padanya.
Kalau saja bukan Setan Mata Satu yang tertawa mungkin
sudah dirobek mulutnya. Dia tahu siapa Setan Mata Satu,
orang kepercayaan ayahnya yang memiliki kesaktian sangat
tinggi. Dia tak segan-segan membunuh siapa saja yang
mencoba menghalangi sepak terjangnya walaupun dia seorang
perempuan Membunuh orang baginya sama saja dengan
menekuk batang leher ayam.
"Kalau cuma itu persoalannya, kenapa kau harus
memanggil gurumu dan pamannya?" ada nada ejekan dari
Setan Mata Satu.
"Kau akan tahu kalau sudah berhadapan dengannya,
Setan Mata Satu," dengus Banulaga sengit.
"Apakah dia raja setan? Atau dewa yang menyamar jadi
manusia?" Setan Mata Satu bertanya lagi dengan nada
meremehkan.
"Bukan! Aku tidak sedang bercanda, Setan Mata Satu. Dia
masih sangat muda dan memiliki kepandaian yang sangat
tinggi. Kalau aku tak salah, julukannya Pendekar Rajawali
Sakti."
Setan Mata Satu seperti tak percaya mendengarnya. Nama
itu seperti pernah dikenalnya. Beberapa saat dia tercenung.
Benar! Nama Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong
dan sembarangan. Nama yang sudah terkenal, seorang
pendekar pilih tanding yang sudah banyak mengalahkan
tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sampai saat ini kesaktian
Pendekar Rajawali Sakti belum ada yang bisa menandinginya.
Rasanya mustahil kalau pendekar itu bisa nyasar sampai ke
sini.
Seratus orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya
pun belum tentu bisa mengalahkan kesaktian Pendekar
Rajawali Sakti. Pantas saja Banulaga sampai-sampai
mengundang guru dan paman gurunya untuk datang.
"Kenapa? Kau kelihatan terkejut mendengarnya, Setan
Mata Satu. Apakah kau gentar?" kali ini Banulaga mengejek.
"Phuih! Tidak ada kata gentar bagi Setan Mata Satu!"
dengus Setan Mata Satu, "Aku justru heran kenapa kau
keturunan Badaraka yang sakti tak bisa herbuat apa-apa
menghadapinya,"
Deg!
Panas hati Banulaga mendengarnya. Setan Mata Satu
memang pintar membalikkan omongan dari keadaan yang
sebenarnya. Dia sendiri sebenarnya gentar.
Banulaga menahan emosinya.
"Kalau begitu, laksanakan tugasmu sekarang juga."
"Tidak sekarang!"
"Kenapa? Kau takut?"
"Tidak, untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti aku
harus meminta bantuan saudaraku."
Banulaga tersenyum senang mendengarnya. Sejak tadi dia
ingin mengutarakannya. Tapi kalau Setan Mata Satu sendiri
yang mengatakannya, tidak ada alasan lagi untuk meminta.
Banulaga tahu siapa yang dimaksud Setan Mata Satu. Kakak
kandung Setan Mata Satu sendiri yang kini tinggal di pesisir
Pantai Selatan.
"Aku yakin, Kakang Raja Ular mau membantu," kata
Setan Mata Satu.
"Kalau begitu, berangkatiah sekarang juga,"
"Bukan aku, tapi seorang utusan yang akan membawa
suratku,"
'Terserah, apa yang kau anggap baik, lakukan saja."
"He he he... " Setan Mata Satu terkekeh.
* * *
Saat itu, Japra dan Sarkam yang diutus untuk menemui
Resi Maespati telah sampai di Gunung Kanji. Perjalanan dari
Desa Malayasati ke Gunung Kanji hanya memakan waktu
setengah hari berkuda. Tidak ada hambatan berarti yang
ditemui mereka sepanjang perjalanan.
Mereka hampir tak berkedip memandang laki-laki tua
dengan janggut dan kumis lebat. Seluruh rambutnya dibiarkan
bergerai tak teratur. Pakaiannya lusuh kecoklat-coklatan
seperti tak pernah ketemu air. Rasanya tidak pantas orang
yang penampilannya seperti gembel itu dipanggil resi.
"Hm..., kau utusan dari muridku?" tanya Resi Maespati,
suaranya terdengar pelan dan serak. Matanya merah dan tajam
bagai elang menatap tak berkedip pada Japra yang berdiri
paling depan.
"Benar, Resi," sahut Japra sambil membungkuk hormat.
"Apa tandanya kalau kau utusan Banulaga?"
"Ini."
Japra mengeluarkan sebuah cincin bermata cubung hitam
dari balik saku bajunya, lalu diberikannya pada Resi Maespati.
Sesaat lelaki tua yang berbaju kumal itu memandangi cincin
yang sudah berpindah ke tangannya. Kepalanya lalu
terangguk-angguk sambil memasukkan cincin itu ke dalam
saku bajunya yang longgar.
Bola mata yang bulat merah itu kembali menatap tajam
Japra dan Sarkam bergantian. Sepertinya dia tengah
meyakinkan dirinya bahwa kedua orang itu benar-benar
utusan Banulaga dari Desa Malayasati.
"Ada apa dia memanggilku?"
"Tuan Banulaga Bdak menjelaskan, Tapi dugaan hamba
mungkin ada hubungannya dengan kematian Tuan Besar
Badaraka," sahut Japra.
"Bicara yang benar!" bentak Resi Maespati tak percaya.
"Maaf, Resi. Sudah empat hari yang lalu Tuan Besar
Badaraka tewas terbunuh di...."
"Kurang ajar!" ucapan Japra terpotong oleh Resi Maespati
yang tampak geram.
Wajah tua yang lusuh itu berkerut menegang. Sepasang
matanya semakin merah menyala, giginya pun bergemeletuk
rapat. Lalu dadanya mengembang naik, mencoba menahan
amarahnya yang kian memuncak. Japra dan Sarkam yang
melihatnya jadi merasa ngeri dan ketakutan sendiri. Mereka
seolah melihat raja hutan yang terluka dan siap menerkam
mangsanya.
Bagaimanapun Badaraka dan kedua anaknya Banulaga
dan Santika, adalah murid-murid kesayangannya. Bahkan
antara dirinya dan Badaraka masih adi hubungan darah. Resi
Maespati adalah kakak misan dari orang tua Badaraka,
sehingga kedua anak Badaraka itu memanggilnya dengan
sebutan Eyang Guru. Dan hanya pada ketiga orang bapak dan
anak itulah dia mewariskan segenap ilmu yang dimilikinya
selama ini.
Lama sekali Resi Maespati terdiam. Dadanya yang
mengembang perlahan-lahan turun, bersamaan dengan
amarahnya yang sedikit mulai berkurang. Tatapannya kembali
kosong.
"Siapa pembunuhnya?" tanya Resi Maespati dingin.
"Belum terungkap, Resi. Kami berusaha sekuat tenaga
untuk melacaknya, tapi kami sama sekali tak menemukan
jejaknya," sahut Japra yang diikuti anggukan kepala Sarkam
membenarkan.
"Sebaiknya kau segera ke Bukit Genting. Katakan kalau
aku juga segera menemui Banulaga."
"Tuan Banulaga juga sudah memerintahkan begitu, Resi."
Japra dan Sarkam segera bangkit hendak mohon diri, tapi
langkahnya terlihat bimbang.
"Tunggu apa lagi?!"
"Ng..., anu. Anu, Resi... maaf, cincin itu...."
"Huh!"
Resi Maespati mendengus, lalu tangannya merogoh saku
bajunya. Japra segera menangkap cincin yang dilemparkan
sang resi ke arahnya.
Resi Maespati masih berdiri mematung di depan
Pondoknya sepeninggal Japra dan Sarkam. Tatapannya
menerawang jauh, entah apa yang tengah bergayut dalam
benaknya.
* * *
Empat orang tokoh sakti dunia persilatan itu saling
berpandangan satu sama lain, begitu Banulaga selesai
menceritakan bagaimana ayahnya mati terbunuh. Wajah-wajah
mereka membiaskan rasa dendam yang membara.
"Hm..., lantas hanya untuk meringkus seorang pembunuh
kau mengundang kami?" Raja Ular bertanya setengah
merendahkan Banulaga, sekaligus mengesankan
kesombongan.
"Bukan itu saja, dalam kejadian terpisah seorang
pembantuku pun mati terbunuh."
"Kau kalah?" sinis suara Resi Maespati bertanya.
"llmunya sangat tinggi, aku tidak sanggup
menandinginya," sahut Banulaga polos.
"Kau kenal dia sebelumnya?" tanya Resi Maespati lagi.
"Tidak..., aku baru kali ini bentrok dengannya. Kalau aku
tidak salah, orang itu dijuluki Pendekar Rajawali Sakti."
Keempat tamu yang tengah dijamu Banulaga itu
tercenung sesaat. Mereka sepertinya tengah mencri tahu
tentang nama yang baru terucap oleh Banulaga.
"Orangnya masih muda, selalu berbaju rompi putih....
Benar?" tanya Raja Ular.
Banulaga cuma mengangguk membenarkan.
"Tidak salah," celetuk Setan Mata Satu. "Aku pernah
mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepak terjangnya
harus diperhitungkan. Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang
tewas di tangannya."
"Ya, aku juga pernah melihatnya bertarung di Bukit
Setan," sambung Raja Ular.
"Kau juga ikut bertarung?" tanya Iblis Selaksa Racun.
"Tidak, untuk apa ikut bertarung? Aku tidak punya
kepentingan sama sekali. Aku cuma kebetulan lewat dan
sempat melihat beberapa jurus saja. Itu pun langsung selesai."
"Itu berarti kau sudah mengukur tingkat kepandaiannya,
kan?" sergah Resi Maespati cepat.
"Sulit..," Raja Ular menggeleng-gelengkan kepalanya.
Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun mengerutkan
alisnya. Mereka tahu siapa Raja Ular ini, seorang yang sudah
memiliki nama kondang dalam dunia persilatan, dan tak bisa
dipandang sebelah mata. Kalau Raja Ular saja tak sanggup
mengukur kepandaiannya, tentulah Pendekar Rajawali Sakti
itu mempunyai tingkat kepandaian yang sangat tinggi.
Suasana di beranda rumah itu lalu sepi tanpa suara.
Mereka larut dalam alam pikirannya masing-masing. Suasana
sepi itu baru terpecah bersamaan dengan lewatnya seseorang
di pelataran rumah.
"Japra!" Banulaga berteriak memanggilnya.
Japra yang tengah lewat di pelataran rumah itu segera
menghampiri, lalu membungkuk memberi hormat.
"Ada apa, Tuan?"
"Kau tahu di mana Santika sekarang?" tanya Banulaga.
"Tidak, Tuan."
"Cepat kau cari. Katakan aku dan Resi Maespati
mencarinya!"
"Baik, Tuan. Segera saya berangkat." Japra mohon diri.
Beberapa saat suasana di beranda rumah itu kembali sepi.
Lalu terdengar suara Resi Maespati yang seperti bergumam
pada dirinya sendiri.
"Apa tidak mungkin yang membunuh Badaraka Pendekar
Rajawali Sakti itu?"
"Tidak," sanggah Setan Mata Satu cepat "Pendekar
Rajawali Sakti tidak pemah muncul secara diam-diam.
Lagipula antara Badaraka dan Pendekar Rajawali Sakti itu
tidak ada persoalan apa-apa."
"Lalu kenapa dia membunuh Badrun?"
"Sebenarnya itu masalah pribadiku," kata Banulaga pelan.
Dengan sedikit menahan malu Banulaga menceritakan
kejadian yang dia alami bersama Badrun, yang akhirnya mati
terbunuh di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semua kepala
tergeleng-geleng mendengarnya. Banulaga benar-benar
menuruni sifat ayahnya yang gemar perempuan-perempuan
cantik. Lain halnya dengan Resi Maespati, meskipun kepalanya
tergeleng-geleng, tapi bibirnya yang tertutup misai lebat itu
tersenyum simpul.
Pada masa mudanya, Resi Maespati sendiri dalam setiap
langkah pengembaraannya tak lepas dari soal perempuan.
Sepertinya dia menyimpan dendam yang terpendam dengan
mereka, perempuan-perempuan cantik yang membangkitkan
gairahnya. Dan ini dia turunkan pada Badaraka, murid
kesayangannya yang kini telah tiada. Rupanya tanpa dia
ajarkan, Banulaga menuruni sifat dirinya dan ayahnya.
"Lantas, apa yang harus kami perbuat untukmu?" tanya si
Raja Ular.
"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti dan mencari
pembunuh ayahku," sahut Banulaga.
"Lalu, untuk apa kau punya centeng dan pembantu
puluhan orang?" terdengar nada sinis dari si Raja Ular.
Banulaga tersenyum kecut Pertanyaan bodoh! gerutunya
dalam hati. Tak mungkin mereka diundang kalau dia sendiri
mampu menghadapinya.
"Kakang, sebaiknya tidak terlalu banyak tanya. Kita sudah
banyak berhutang budi pada Badaraka," sergah Setan Mata
Satu yang tak enak dengan sikap kakaknya ini.
"Hm, baiklah. Demi mendiang Badaraka, aku akan
mempertaruhkan nyawa untukmu," kata si Raja Ular.
"Terima kasih," ucap Banulaga pelan.
* * *
EMPAT
Resi Maespati mencegah langkah Santika yang baru
pulang ketika pembicaraan di beranda rumah itu usai. Adik
Banulaga satu-satunya itu terkejut melihat Resi Maespati yang
berdiri di depannya. Buru-buru dia berlutut memberi hormat
pada gurunya. Resi Maespati menyentuh pundak Santika dan
memintanya berdiri.
"Kapan Eyang Resi datang?" tanya Santika.
"Siang tadi," sahut Resi Maespati tenang.
"Maaf, aku tidak tahu kalau Eyang mau datang sini. Aku
tidak bisa menyambut," kata Santika.
"Tidak apa, aku datang atas undangan kakakmu."
"Kakang Banulaga?" Santika mengernyitkan alisnya.
"Untuk apa Kakang Banulaga meminta Eyang datang?"
"Mencari pembunuh ayahmu."
Santika terdiam. Matanya menatap lurus pada Resi
Maespati, lalu tertunduk dalam-dalam. Sudah lima hari ayah
mereka dikuburkan. Dan selama itu tidak ada lagi kejadian
yang meminta korban. Kenapa baru sekarang Banulaga mau
mencari pembunuhnya? Bukankah itu sudah terlambat?
Santika jadi tak mengerti dengan sikap kakaknya. Tiga hari
setelah kematian ayah mereka, Banulaga langsung mengangkat
diri sebagai penggantinya tanpa mengajaknya berunding
terlebih dahulu.
Dan kini dia mengundang guru mereka untuk mencari
pembunuhnya. Santika melirik ke dalam, tampak beberapa
orang sedang duduk berbincang-bincang di ruangan tengah.
Santika tahu siapa mereka, kecuali satu yang tidak dia kenal.
Orang yang mengenakan pakaian hijau lumut dengan tongkat
berkepala ular di tangannya.
"Mereka semua diundang Banulaga," kata Resi Maespati
seolah mengerti apa yang tengah dipikirkan Santika saat ini.
"Siapa orang yang bertongkat ular itu?" tanya Santika.
"Si Raja Ular, kakaknya Setan Mata Satu."
"Hm...," Santika menggumam tak jelas.
"Aku mau bicara sedikit denganmu, Santika," kata Resi
Maespati.
Santika tak menolak ketika Resi Maespati mengajaknya
menuju ke arah samping rumah. Mereka lierjalan beriringan
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dan baru berhenti
melangkah setelah jauh berada di bagian belakang rumah yang
banyak ditumbuhi pepohonan dengan cahaya yang menerangi.
"Seharian kau tak berada di rumah. Ada urusan apa?" Resi
Maespati membuka suara lebih dulu.
"Bosan," sahut Santika acuh.
"Bosan? Lantas ke mana saja kau pergi seharian?"
"Ke mana saja, asalkan tidak melihat Banulaga."
"He! Kau ada masalah apa dengan kakakmu?" Resi
Maespati terkejut .
"Aku tak mau ribut dengan saudaraku sendiri. Rasanya
lebih baik menghindar daripada harus membunuhnya," ringan
sekali Santika menjawab.
Resi Maespati semakin terkejut. Sama sekali dia tidak tahu
kalau dalam hati Santika tersimpan bara yang sewaktu-waktu
bisa berkobar besar.
"Kau mau mengatakan persoalanmu padaku, Santika?"
pinta Resi Maespati.
"Mungkin, tapi percuma saja aku mengatakannya. Eyang
Resi pasti lebih memihak Kakang Banulaga daripada aku."
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena aku tidak bisa seperti Ayah atau Banulaga. Aku
bukan seperti mereka yang senang menghancurkan hidup
wanita, yang senang mengadu domba dan melihat penderitaan
orang lain bagai menonton pertunjukan. Eyang Resi bisa
melihat sendiri, bagaimana kehidupan penduduk yang setiap
hari membanting tulang menggarap sawah ladang. Semuanya
hanya untuk membayar hutang yang mencekik leher. Belum
lagi mereka menjual tanah dan sawah ladang dengan harga
yang tidak pantas, dan terpaksa menggarapnya dengan upah
yang tidak memadai. Apakah aku salah kalau aku ingin
merombak semua yang telah dilakukan ayah berpuluh-puluh
tahun?" begitu bersemangatnya Santika berbicara,
menumpahkan semua isi hatinya.
Resi Maespati terdiam mendengar tutur kata yang teratur
dan penuh semangat. Sedikitpun dia tidak menyalahkan
Santika, tapi memang harus diakui kalau dirinya tidak
menginginkan Santika merombak yang sudah ada. Sejak masih
kecil dan belajar ilmu olah kanuragan, Santika memang sudah
menampakkan pola berpikir dan tingkah laku yang berbeda
dengan prinsipnya. Dan sekarang semuanya terbuka jelas.
"Maaf, Eyang Resi. Aku tidak bisa mendukung semua
yang akan Kakang Banulaga lakukan. Aku telah memilih jalan
hidupku sendiri, ketenangan dan kedamaianlah yang aku
inginkan," kata Santika seraya berlalu.
Resi Maespati hanya bisa memandangi punggung Santika
tanpa dia bisa mencegahnya. Sementara sepasang mata lainnya
turut memandang kepergian Santika dan Resi Maespati yang
masih berdiri mematung dari rerimbunan pohon yang tak jauh
dari dua orang yang baru dilihatnya selesai berbicara.
"Dari mana saja, Eyang?" tegur Banulaga begitu kaki Resi
Maespati menginjak beranda rumah.
"Jalan-jalan menghirup udara segar," sahut Resi Maespati
terus melangkah.
"Aku lihat tadi Santika masuk ke kamarnya. Apakah
Eyang Resi sudah menemuinya?" tanya Banulaga seraya
mengikuti langkahnya.
"Sudah," sahut Resi Maespati pendek.
"Sejak kematian ayahanda, dia banyak berubah," gumam
Banulaga pelan.
"Kau tidak pernah menanyakannya?"
"Sudah, tapi dia tidak pernah mau menjawab."
"Hm...," Resi Maespati cuma bergumam.
"Malam sudah sangat larut Sebaiknya Eyang istirahat saja.
Kamar sudah disiapkan untuk Eyang," kata Banulaga sambil
menunjuk sebuah kamar yang pintunya masih terbuka.
Resi Maespati tidak berkata apa-apa, dan langsung
melangkah ke kamarnya. la tersenyum begitu tangannya
membuka pintu. Tampak sesosok tubuh ramping tergolek di
atas pembaringan. Tubuh yang indah itu hanya tertutup
selembar kain sutra merah muda yang halus dan tipis.
Keindahan dan lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat di
keremangan cahaya pelita. Tubuh yang ramping dan sintal itu
begitu menggairah kan. Resi Maespati menutup pintu dan....
* * *
Suara jeritan melengking begitu jelas terdengar. Disusul
pekikan tertahan, lalu..., buk! Seperti ada sesuatu yang terjatuh
ke tanah. Suara-suara gaduh dan teriakan pun saling susul
menyusul. Orang-orang seisi rumah Banulaga pun
berhamburan mencari sumber suara yang mengagetkan, yang
ternyata dari kamar Banulaga.
"Banulaga! Ada apa? Apa yang terjadi?" terdengar suara
Resi Maespati.
"Akh!" kembali terdengar suara pekikan tertahan dari
dalam kamar.
Seketika itu juga pintu kamar hancur berantakan disusul
dengan berlompatannya Resi Maespati, Iblis Selaksa Racun,
Setan Mata Satu dan si Raja Ular ke dalam kamar. Tampak
Banulaga terduduk di pinggir ranjang dengan tangan kiri
memegangi bahu kanannya. Darah merembes keluar dari sela-
sela jari.
Pada saat itu juga sebuah bayangan hitam berkelebat
cepat menembus jendela hingga hancur berantakan. Resi
Maespati langsung meloncat mengejar bayangan hitam itu,
disusul Iblis Selaksa Racun dan si Raja Ular. Sedang Setan Mata
Satu membantu Banulaga berdiri.
Setan Mata Satu tengah mengobati Banulaga ketika ketiga
orang yang mengejar bayangan hitam itu muncul kembali.
"Bagaimana?" tanya Setan Mata Satu.
"Dia seperti malaikat. Cepat sekali menghilang," sahut
Resi Maespati.
Laki-laki tua yang berwajah lusuh itu melirik ke arah
pembaringan. Tampak sebuah belati tertancap di leher
perempuan muda yang tubuhnya setengah telanjang. Iblis
Selaksa Racun cepat tanggap. Dicabutnya belati itu, lalu
diamatijnya sesaat
"Beracun," dengusnya.
Dia bergegas menghampiri Banulaga dan memeriksa
lukanya. Keningnya berkerut melihat warna kebiruan di
sekitar goresan luka yang memanjang. Iblis Selaksa Racun
cepat menekan luka itu dengan tangannya. Banulaga menjerit
keras merasakan bahunya yang terasa panas membakar. Dia
mencoba bertahan sekuat tenaga, tapi kemudian pingsan
bersamaan dengan tangan Iblis Selaksa Racun terangkat. Darah
merah kebiru-biruan keluar deras dari goresan lukanya yang
memanjang. Iblis Selaksa Racun bergumam tak jelas.
Dia mengeluarkan sebungkus bubuk putih dari saku baju,
lalu tangan kirinya menaburkan bubuk itu tepat di bagian luka.
Asap tipis mengepul kemudian terlihat lalu perlahan-lahan
luka itu mengering dan darah berhenti mengalir. Iblis Selaksa
Racun mendesah panjang sambil memasukkan kembali sisa
bubuk itu ke dalam saku bajunya.
"Racun yang hebat. Sangat cepat kerjanya," gumam Iblis
Selaksa Racun.
"Beruntung Banulaga punya kekuatan tubuh yang
lumayan, hingga nyawanya bisa tertolong."
"Apakah sudah ke luar semua racunnya?" tanya Setan
Mata Satu.
"Sudah, cuma lukanya tidak bisa hilang."
Beberapa saat keheningan mencekam seisi kamar Itu
Tidak seorang pun yang membuka suara. Mereka tengah
menelusuri jalan pikirannya masing-masing tentang
pembunuh misterius yang bergerak cepat dan tak bisa
dihadangnya. Mereka punya pandangan yang sama meski tak
terucapkan.
"Kau bisa melihat wajahnya, Kakang Maespati?" tanya
Iblis Selaksa Racua
"Tidak," sahut Maespati.
"Seluruh mukanya tertutup selubung hitam."
"Hm...," ketiga orang lainnya bergumam bersamaan.
* * *
Munculnya manusia bertopeng hitam yang misterius itu
membuat orang-orang Banulaga bertambah geram. Apalagi
ketika ditemukannya mayat Sarkam yang mati terbunuh
dengan kepala pecah. Sarkam yang pernah bersama Japra
diutus Banulaga untuk menemui Resi Maespati dan ketiga
tokoh lainnya itu tergeletak di samping kandang kuda
tuannya.
Banulaga merasa seperti dipermainkan dan dipecundangi,
lalu hampir semua centeng dan anak buahnya menjadi korban
amarahnya yang memuncak. Banulaga dan empat tokoh yang
menjadi tamunya tak menemui apa-apa yang bisa dijadikan
petunjuk dari tubuh Sarkam. Japra yang biasanya berdua
dengan Sarkam pun mengaku pada tuannya kalau dia tidak
bisa berbuat apa-apa karena dia memang sedang tidak
mendapat giliran jaga ketika temannya itu mati terbunuh.
Berbeda dengan kejadian yang dialami Banulaga, kali ini
tidak ada satu belati pun yang menancap pada tubuh Sarkam.
Tapi kematian Sarkam yang hanya selisih dua malam berselang
membuat Banulaga dan orang-orangnya tetap yakin kalau dua
peristiwa terakhir ini semuanya dilakukan oleh si Manusia
Bertopeng Hitam.
Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya tidak mempunyai
pilihan lain, kecuali menggembleng Banulaga dengan ilmu
ilmu yang mereka miliki dan menjadi andalannya. Mereka
yakin benar, kalau si Manusia Ber topeng Hitam akan datang
kembali untuk melenyapkan Banulaga. Seorang pembunuh
berilmu tinggi dan berdarah dingin tentu tidak akan berbuat
setengah-setengah untuk menghabisi setiap korban yang
diincarnya.
Sementara kakaknya terus mengasah ilmunya, Santika
nyaris tak pernah kelihatan batang hidungnya. Dini hari
menjelang fajar, dia sudah menggebah kudanya dan baru
pulang ke rumah saat Banulaga dan tamu-tamunya tengah
tertidur lelap. Banulaga yang sebenarnya merasa tidak enak
pada tamu-tamunya atas sikap adiknya ini tidak lagi peduli.
Dendam kesumatnya pada si Manusia Bertopeng Hitam juga
membuat otaknya tak lagi dijejali oleh bayangan Mega
Lembayung dan si Pendekar Rajawali Sakti.
Dua puluh satu hari pun berlalu sejak kejadian yang
menimpa Banulaga. Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya
merasa sudah cukup berbuat banyak untuk menurunkan
semua ilmu dan kepandaiannya pada putra sulung Badaraka
itu. Dan kini, mereka seperti sudah tidak sabar untuk
membekuk si Manusia Bertopeng Hitam.
Malam sudah menjelang larut, namun Banulaga dan
keempat tamu yang sudah menjadi gurunya itu masih duduk-
duduk di beranda tengah. Mereka sepertinya tengah
merundingkan rencana-rencana yang akan mereka lakukan.
"Banulaga, bagaimana dengan orang-orangmu?
Maksudku, yang kau tugasi untuk mengawasi rumah si Karta
dan gerak-gerik adikmu, Santika?" tanya Resi Maespati.
"Hmmm...," Banulaga bergumam. "Pendekar Rajawali
Sakti seperti angin, lenyap tidak berbekas... langkah Santika
pun sulit diraba," katanya pelan.
"Sejak kematian Sarkam pun tidak ada korban lagi..., kita
kehilangan jejak si Manusia Bertopeng Hitam yang misterius
itu," Setan Mata Satu berucap, menyambung kata-kata
Banulaga.
"Aku kira...," Iblis Selaksa Racun angkat bicara, "Selagi
kita semua masih berada di sini, Manusia Bertopeng Hitam itu
tidak akan muncul lagi. Paling tidak untuk sementara."
"Lantas, apa usulmu?" tanya si Raja Ular.
"Rencana kita tetap, jangan biarkan Manusia Bertopeng
Hitam itu mengajak kucing-kucingan..., lalu melecehkan
wibawamu di mata orang-orang desa ini, Banulaga," Iblis
Selaksa Racun mengalihkan perhati-annya pada Banulaga
sesaat, lalu kembali berujar, "Tapi sebaiknya kita berpencar....
Kita harus membagl tempat dan tugas kita masing-masing, lalu
menyatu pada sasaran yang kita tuju..." Iblis Selaksa Racun
berkata tenang mengajukan usulnya.
Semuanya lalu terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Sementara sepasang telinga yang tak jauh dari beranda rumah
itu pun seperti menunggu apa yang akan dibicarakan lagi.
"Japra!" suara Banulaga memecahkan heningnya suasana
beranda rumah itu. Yang dipanggil segera menghampiri sambil
membungkukkan badannya.
"Kau periksa seluruh ruangan dalam, lalu periksa
sekeliling rumah, semua teman-temanmu harus ada di
tempatnya. Lalu lakukan apa yang aku perintahkan padamu
siang tadi…, mengerti?"
"Baik, tuan…" Japra lalu bergegas meninggalkan tempat
Banulaga dan keempat tokoh sakti itu berkumpul. Sementara
di balik misainya, bibir Resi Maeaspati menyunggingkan
senyuman, dia tahu apa yang dimaksudkan Banulaga pada
Japra. Anak Badaraka ini memang persis bapaknya, tidak
mungkin tahan berhari-hari tanpa perempuan, dan dia
menyuruh Japra untuk menyediakannya.
Sepeninggal Japra, pembicaraan di beranda rumah pun
berlanjut ketika Resi Maespati membuka suaranya yang tenang
dan berat
"Bukan aku tidak percaya dengan orang-orangmu,
Banulaga..., tapi aku rasa, sebaiknya kita bicara di ruangan
dalam saja. Paman Iblis Selaksa Racun tidak keberatan, kan?"
Resi Maespati mengakhiri ucapannya sambil menoleh ke arah
Iblis Selaksa Racun, yang ditatap pun mengangguk kecil. Iblis
Selaksa Racun bangkit diikuti yang lainnya.
Pembicaraan mereka di ruangan dalam nyaris tidak
terdengar. Mereka berbicara satu sama lain dengan lirih dan
tekanan yang datar Dan sepasang telinga lainnya pun terpaksa
merapatkan tubuhnya ke dinding ruangan dalam.
Pembicaraan mereka baru usai ketika malam telah begitu
larut. Wajah-wajah yang tampak lelah itu pun segera
memasuki kamarnya masing masing, lalu terdengar suara
pintu tertutup saling susul menyusul.
Tidak lama setelah Banulaga dan keempat tamu dan
gurunya berangkat ke peraduan, terdengar suara derap
langkah kaki kuda yang semakin lama semakin jelas terdengar.
Banulaga yang sudah berhasrat untuk menggauli tubuh
montok yang ada di hadapannya, tidak lagi peduli pada
kehadiran Santika yang memacu kudanya sampai di rumah.
Tarsa, salah seorang pembantu setianya segera
menghampiri Santika yang baru turun dari kudanya, lalu
diterimanya tali kekang kuda untuk ditambatkan.
"Hm..., terima kasih, Tarsa. Aku selalu merepotkanmu
pada saat orang lain sedang nyenyak tidur," sopan sekali
ucapan Santika. Tarsa tersenyum kecil sambil
membungkukkan badan.
Santika lalu melangkahkan kakinya menuju ke bagian
belakang rumah lewat arah samping, seperti biasanya dia
lakukan jika pulang ke rumah sudah larut malam. Sesosok
bayangan hitam segera berkelebat cepat begitu menyadari
kehadiran Santika. Beruntung Santika tidak sempat
rnemergokinya. Bayangan hitam itu lenyap ditelan kegelapan
malam.
Di pembaringannya Santika tidak bisa langsung tertidur.
Pikiran dan benaknya menerawang jauh... membayangkan
kehidupan penduduk di Desa Malayasati yang sempat dia
amati. Kehidupan mereka bagaikan roda pedati yang tak bisa
berputar karena terperosok jalanan yang berlubang.
Penderitaan mereka karena keperluan sehari harinya yang sulit
didapat, menjadi semakin bertambah manakala mereka ingat
akan kewajibannya membayar hutang-hutang dengan bunga
yang mencekik leher pada orang-orang suruhan Banulaga.
Dan melihat kehadiran Santika dengan pembawaannya
yang tenang dan menyiratkan kedamaian, penduduk seperti
melihat keadaan yang bertolak bertolak belakang dan sulit
mereka mengerti. Sungguh suatu keadaan yang kontras jika
mereka membandingkan sikap Banulaga, yang tidak lain kakak
kandung Santika sendiri. Banulaga dan kaki tangannya tidak
segan-segn menghajar mereka dengan cambuk bila mereka
tidak bisa membayar hutangnya yang sudah lewat tempo.
Penduduk seperti tidak percaya manakala mereka melihat
sendiri Santika yang tak segan-segan membagikan beberapa
bonggol uang untuk mereka. Mereka seperti mulai melihat
sinar kehidupan yang akan merubah nasib mereka menjadi
lebih baik. Apalagi beberapa hari belakangan ini Banulaga dan
orang-orangnya tidak pernah muncul lagi menggedor rumah-
rumah mereka. Penduduk tidak tahu kalau selama ini
Banulaga dipusingkan oleh kehadiran Manusia Bertopeng
Hitam, juga Pendekar Rajawali Sakti yang telah
mempecundanginya. Dan kini dia hendak menuntut balas....
* * *
LIMA
Langit di sekitar kaki bukit itu sejuk cerah. Angin bertiup
sepoi-sepoi di antara pepohonan, seolah hendak membagi
kesejukannya pada siapa saja yang ditemuinya. Dengan
disirami sinar mentari pagi, sesosok tubuh tengah memacu
kudanya dengan kencang. Sesosok tubuh dengan paras yang
tampan itu kemudian memperlambat langkah kudanya, lalu
berhenti di bawah pohon yang rindang menakala dilihatnya
sesosok tubuh yang ramping berlari-lari kecil menuju ke
arahnya.
"Kakang Santika!" gadis ayu pemilik tubuh ramping itu
menyapanya.
Pemuda itu lalu meloncat turun dari kudanya. Tangannya
menggapai bahu si gadis. Beberapa saat lamanya mereka saling
berdiam diri sambil saling menggenggam tangan.
"Adakah yang mengganggumu selama aku pergi, Mega?"
tanya Santika lembut.
"Tidak," sahut gadis yang ternyata Mega Lembayung.
"Hanya...."
"Hanya apa?"
"Rumah kakekku selalu diamati...."
"Kau mengenali mereka?"
"Ya. Orang-orangnya Banulaga. Hanya seorang yang tidak
aku kenal "
Santika tidak bertanya lagi. Dia tahu siapa yang dimaksud
Mega Lembayung. Tentulah dia si Raja Ular. Dengan beberapa
orang-orangnya Banulaga menugaskan si Raja Ular untuk
mengawasi rumah Pak Karta. Banulaga rupanya masih
penasaran dan mengira Pendekar Rajawali Sakti akan muncul
lagi. Meskipun kematian Badrun sudah lama berlalu. Santika
sendiri ha nya sekali bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Itu pun Mega yang memperkenalkannya.
"Kakang...," tampak ragu-ragu Mega mau berkata.
"Ada apa?" tanya Santika sambil matanya menatap lembut
pada wajah Mega yang jelas terlihat cemas,
"Aku khawatir hubungan kita diketahui Banulaga.
Apalagi kudengar dia sedang dibayang-bayangi oleh Manusia
Bertopeng Hitam. Juga rasa dendamnya pada Pendekar
Rajawali Sakti tentu akan dia lampiaskan padamu, apalagi dia
gagal mendapatkan aku."
"Seandainya dia pun tahu, aku tidak akan membiarkan
kau jatuh ke tangannya. Percayalah Mega, aku akan
menghadapi Banulaga, meski empat orang tokoh sakti kini ada
di belakangnya."
"Aku percaya, Kakang. hanya sayangnya…"
"Kenapa...?"
Belum sempat Mega Lembayung membuka mulutnya,
mendadak mereka dikejutkan oleh sebuah tombak yang
meluncur deras, menancap di ujung kaki Santika. Belum lagi
hilang rasa terkejut mereka, mendadak muncul Banulaga yang
diiringi Setan Mata Satu dan lima orang kaki tangannya.
Santika menarik tangan Mega Lembayung hingga
tubuhnya berada di belakang tubuh Santika. Santika berdiri
dengan sikap menunggu apa yang akan terjadi.
"Santika, kau tahu siapa yang ada di belakangmu?" tanya
Banulaga dingin.
"Untuk apa kau bertanya begitu?" Santika sudah tidak
segan lagi bersikap menantang.
"Phuih! Berani kau bersikap begitu padaku, Santika!?"
"Sejak dulu aku pun sudah tidak menyukai sikapmu.
Maaf, aku mau pergi."
Santika menggamit tangan Mega Lembayung dan
mengajaknya pergi. Namun baru beberapa langkah, mendadak
lima orang bersenjata golok sudah mengepung. Santika
mendengus melihat wajah-wajah kasar yang sudah amat
dikenalnya. Wajah-wajah yang sama sekali tidak disukainya.
Kini mereka berdiri dengan golok terhunus seperti musuh.
"Hati-hati, Mega. Mereka memiliki kepandaian yang
cukup tinggi," bisik Santika.
"Aku tahu, Kakang," sahut Mega juga berbisik.
"Tinggalkan Mega di sini, dan kau boleh pergi!" seru
Banulaga tanpa malu-malu iagi.
"Iblis!" seru Santika geram. "Banulaga, aku serahkan Mega
kalau kau bisa melangkahi mayatku!"
"Anak tak tahu diuntung, berani kau menantangku, heh?!"
geram Banulaga. Seketika itu juga dia mencabut sepasang
golok kembarnya.
"Majulah, Banulaga!" tantang Santika.
Banulaga memberi isyarat pada lima orang yang
mengurung Santika dan Mega. Seketika itu juga mereka
berlompatan sambil mengibaskan goloknya. Santika yang
sudah hapal tingkat kepandaian mereka tidak lagi sungkan-
sungkan. Dia langsung mengerahkan jurus 'Ekor Naga
Menggempur Gunung Karang'.
Pukulan-pukulan Santika begitu cepat dan berubah-ubah
arahnya. Setiap pukulan yang dilancarkan memberikan
dorongan angin yang kuat dan hawa dingin yang menusuk
tulang. Salah seorang lawannya yang nekad maju, tak ayal lagi
tubuhnya terlontar ke belakang, lalu ambruk terlentang.
Keempat orang lainnya jadi ragu-ragu untuk melancarkan
serangannya. Pukulan-pukulan Santika yang kuat itu membuat
sekitar tempat pertarungan itu menjadi berantakan. Batu-batu
hancur terkena pukulan yang nyasar, dan debu-debu
beterbangan menghalangi mata.
"Awas, Kakang...!" tiba-fita Mega Lembayung memekik
keras.
Seketika itu juga Santika merunduk begitu merasakan
angin deras datang dari arah belakangnya. Dan sebuah golok
berkelebat cepat di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu
tangan kirinya bergerak cepat bagaikan kilat dan menghantam
perut pembokong itu.
"Huk!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar ke
belakang.
Tanpa membuang kesempatan lagi Santika mengerahkan
tenaga dalamnya dengan sebuah kibasan kakinya ke arah
dada. Orang yang membokongnya itu terjungkal ke belakang,
lalu roboh setelah punggungnya menghantam pohon besar
hingga bergetar. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah
segar. Sesaat dia menggeliat, lalu diam tak bergerak lagi
* * *
"Mundur!" Setan Mata Satu tiba-tiba membentak keras.
Empat orang bergolok yang memang sudah gentar
menghadapi Santika ini, langsung melompat mundur. Setan
Mata Satu melenting dan bersalto di udara, berputar dua kali,
lalu mendarat tepat beberapa langkah di depan Santika. Bola
matanya yang tinggal sebelah merayapi Santika dan Mega
Lembayung bergantian.
"Aku minta kau mengalah pada kakakmu, Santika," kata
Setan Mata Satu.
"Aku juga minta padamu untuk tidak ikut campur tangan
dalam urusan ini, Setan Mata Satu," balas Santika dengan
dingin.
"Hm..., aku tidak akan mencampuri kalau kau tidak
membunuh orang-orangku."
"Mereka yang memaksaku membunuh!"
"Dengar, Santika. Banulaga itu kakakmu, dia yang
menguasai Desa Malayasati ini. Mega sudah selayaknya
membaktikan diri pada penguasa di mana dia tinggal. Lebih-
lebih orang tuanya bekerja di ladang Banulaga. Santika, tidak
sepatutnya kau merintangi maksud kakakmu."
"Kau pintar bicara, Setan Mata Satu. Aku tidak rela
menyerahkan kekasihku hanya untuk dimangsa manusia-
manusia liar macam binatang! Sekali lagi, jangan kau campuri
urusan ini, lebih baik kau cari biji matamu yang hilang sebelah
itu!"
Deg!
Hati Setan Mata Satu panas seketika menerima
penghinaan semacam itu. Tapi dia masih bisa menyadari
keadaan.
"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Jangan salahkan
aku kalau kau sampai celaka di tanganku, Santika," Setan Mata
Satu masih bisa bicara dengan dingin dan datar.
Santika mencopot sepasang gelang pualamnya. Kedua
tangannya kini menggenggam gelang putih yang berkilat itu.
Dia paham benar siapa yang akan dihadapinya sekarang.
Seorang manusia setengah iblis yang tidak akan berkedip
membunuh orang. Santika juga menyadari kalau dirinya tidak
akan mampu menandingi si Setan Mata Satu ini. Tapi demi
gadis yang dicintainya, dia rela meinpertaruhkan nyawanya.
Tiba-tiba Setan Mata Satu mengibaskan tangannya ke
depan, dan seketika itu pula meluncur seberkas sinar
keemasan dari telapak tangannya. Santika melompat sambil
mendorong tubuh Mega Lembayung. Sinar itu menghantam
tempat yang kosong. Santika bergulingan di atas tanah, dan
secepat kilat dia bangkit kembali. Sementara Mega Lembayung
terpisah beberapa langkah di sebelah kanannya.
Setan Mata Satu kembali melancarkan serangan. Santika
berlompatan menghindari sambaran-sambaran sinar keemasan
yang meluncur deras dari telapak tangan Setan Mata Satu.
Santika menyadari kalau tenaganya tak akan mampu terus
bertahan berlompatan menghindari serangan Setan Mata Satu
yang amat gencar dan berbahaya ini.
"Hiaaat...!"
Saat itu juga tubuhnya melenting dan berputar di udara
tiga kali. Dengan satu dorongan tenaga dalamnya yang kuat,
Santika meluncur deras dengan kedua tangan terkepal ke
depan. Seluruh jari-jari tangannya terlindung gelang pualam
putih yang tergenggam.
"Uts!"
Setan Mata Satu menggeser kakinya ke samping sambil
memiringkan tubuhnya untuk menghindari terjangan Santika.
Namun belum sempat dia memperbaiki posisi, mendadak
Santika berputar cepat dengan tangan terentang. Setan Mata
Satu kaget, lalu cepat dia membanting dirinya ke tanah sambil
terus bergulingan menjauh.
Setan Mata Satu melakukan salto dan bangkit berdiri.
Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Santika sudah kembali
menyerang dengan jurus-jurus pendek yang cepat ke arah
lawannya, hingga Setan Mata Satu sama sekali tidak
menyangka kalau Santika yang masih muda dan kelihatan
lemah itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Gerakan-
gerakan dari setiap jurus yang dikeluarkannya begitu sulit
diikuti pandangan mata.
"Hup!"
Setan Mata Satu melompat ke atas, lalu berputar dua kali
sambil melontarkan kembali serangan berupa sinar keemasan
yang keluar dari tangannya. Saat Santika menghindari
muntahan sinar dari atas dengan jatuh bangun, mendadak
Setan Mata Satu menukik cepat seraya mengirimkan pukulan
mautnya.
Santika tak sempat lagi menghindar, secepat kilat
mengangat tangan kanannya mencegat pukulan maut itu.
Santika terjengkang sekitar dua tombak ke belakang, dan Setan
Mata Satu sendiri bergulingan di atas tanah karena terdorong
oleh cegatan tangan Santika.
Dalam sekejap saja mereka sudah saling berhadapan.
"Hmmm...," Setan Mata Satu bergumam pelan.
Dia tak menyangka Santika akan mampu mencegat
pukulannya, bahkan tanpa cidera sedikitpun. Santika tetap
kelihatan tegar. Setan Mata Satu tak menyangka kalau
lawannya yang jauh lebih muda itu ternyata mampu
menandinginya lebih dari dua puluh jurus.
"Kenapa berhenil, Setan Mata Satu? Apakah kau gentar
dan takut kehilangan biji matamu yang tinggal satu-satunya
itu?" ejek Santika memanasi.
"Phuih! Kurang ajar, kau berani menghinaku, heh?!
Jangan pongah dulu, Santika Semua yang kukeluarkan tadi
belum ada seujung kuku pun!" dengus Setan mata Satu
menutupi rasa terkejutnya.
"Kalau begitu, keluarkan saja semua ilmu simpananmu!"
kembali Santika menantang.
"Tahanlah aji 'Pukulan Karang Samudra'ku!" bentak Setan
Mata Satu.
Setan Mata Satu langsung merentangkan kedua kakinya
lebar-lebar, lalu kedua lututnya ditekuk. Kedua tangannya
menyilang di depan dada. Lalu perlahan-lahan tangannya
bergerak terbuka, bersamaan dengan menyempitnya kedua
kaki. Tampak kedua tangan Setan Mata Satu berubah menjadi
merah membara bagai terbakar.
Santika tidak tinggal diam melihat lawannya benar-benar
mengeluarkan jurus pamungkasnya. Santika segera merapal aji
'Gelang Menghalau Petir'. Dia menggosok kedua gelang
pualam putihnya. Seketika itu juga gelang di tangannya
memancarkan sinar hijau yang semakin lama semakin
menyilaukan dan memedihkan mata.
"Yeaaah...!" Setan Mata Satu berteriak nyaiing.
"Hiaat..!" Santika pun mulai menyerang.
Mereka melompat ke depan hampir bersamaan, dan
akhirnya kedua pasang tangan mereka saling berbenturan
keras. Suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar memecah
udara. Bunga-bunga api pun memercik ke segala arah. Dan
tubuh Santika dan Setan Mata Satu saling terpental ke belakang
dengan keras.
"Kakang...!" Jeritan Mega Lembayung melengking
kencang.
* * *
ENAM
Tubuh Santika terpental keras... laki meluncur deras
melewati puncak pepohonan. Dan ketika tubuhnya sedang
meluruk, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh
Santika, lalu menghilang bagai sinar yang lenyap tanpa bekas.
Sementara itu tubuh Setan Mata Satu juga terloncat keras
menghantam dinding batu hingga menimbulkan benturan
yang teramat dahsyat... lalu terbanting ke tanah. Tubuh Setan
Mata Satu tak bergerak sesaat, lalu terlihat dia menggelang-
gelengkan kepalanya sebentar sambil berusaha bangkit
Tubuhnya terhuyung-huyung sempoyongan, dan perlahan-
lahan dapat berdiri kembali dengan tegak. Mulutnya penuh
dengan darah, dan dari hidungnya mengalir darah kehitaman.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Banulaga yang langsung
menghampiri begitu tubuh Setan Mata Satu membentur
dinding batu.
"Tidak," sahut Setan Mata Satu. "Bagaimana Santika?"
"Hilang."
"Hilang...?"
"Ya, seseorang telah menyambar tubuhnya dan
membawanya pergi."
"Lalu, Mega Lembayung?"
Banulaga tersentak kaget, lalu....
"Aaakh...!"
Banulaga terkesiap. Baru saja dia menoleh ke arah Mega
Lembayung, seorang kaki tangannya roboh dengan belati
tertancap di lehernya. Lalu tubuh bertopeng hitam menyambar
tubuh Mega Lembayung. Banulaga menahan geramnya,
Manusia Bertopeng Hitam itu muncul lagi. Kali ini dia
membawa tubuh gadis yang selama ini diincarnya. Tiga orang
kaki tangannya yang tersisa hanya terpaku melihat Manusia
Bertopeng Hitam itu memanggul tubuh Mega Lembayung
dengan kecepatan tinggi
"Kurang ajar!" Setan Mata Satu mengumpat tanpa bisa
berbuat apa-apa.
Banulaga dan Setan Mata Satu benar-benar merasa
dipermainkan. Dua orang muncul sekaligus tanpa diduga-
duga dan menggagalkan niatnya.
"Aku yakin, si Pendekar Rajawali Sakti-lah yang
menyambar tubuh Santika tadi. Kali ini dua orang musuh kita
datang pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti dan
Manusia Bertopeng Hitam." Banulaga berucap dengan bibir
rapat dan gigi yang bergemeletuk menahan geram.
"Heh! Cepat kalian cari Mega Lembayung!" bentak
Banulaga pada anak buahnya. Ketiga orang yang diperintah itu
bergerak cepat ke arah Mega Lembayung yang dibawa pergi
oleh Manusia Bertopeng Hitam. Mereka tak bisa berbuat lain
kecuali melakukan perintah tuannya, meskipun sebenarnya
nyali mereka sudah hilang sama sekali.
"Aku khawatir kau mendapat luka dalam yang serius,"
kata Banulaga setelah mereka tinggal berdua.
"Aku tidak apa-apa. Aku justru keselamatan Santika,"
sahut Setan Mata Satu.
"Mampus pun aku tidak peduli!" dengus Banulaga.
"Bagaimanapun dia adikmu, Banulaga. Aku menyesal
telah mengeluarkan aji 'Pukulan Karang Samudra.' Ajian itu
sangat dahsyat, selama ini belum ada seorang pun yang
mampu bertahan hidup terkena ajian itu."
"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus
mendapatkan Mega Lembayung," sergah Banulaga tidak
peduli lagi soal Santika
"Kau saja yang cari. Aku mau semedi dalam tiga hari ini,"
sergah Setan Mata Satu.
Banulaga melongo mendengar penolakan Seta Mata Satu.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat laki-laki tinggi besar itu
berlalu dari hadapannya. Banulaga menghentakkan kakinya
kesal setelah punggung Setan Mata Satu lenyap di balik
kerimbunan pepohonan.
"Huh! Kenapa tidak kubunuh saja Santika tadi!" dengus
Banulaga sengit.
Banulaga membalikkan tubuhnya Kakinya terayun
mendekati kuda yang tertambat di pohon. Dia tahu kuda itu
milik Santika. Seekor kuda coklat bertubuh kekar hadiah dari
ayahnya ketika Santika lulus ujian tingkat pertama dalam ilmu
kanuragan.
Sesaat lamanya Banulaga tercenung memegang tali
kekang kuda milik adiknya itu. Dia masih belum bisa mengerti,
bagaimana Santika yang sedari kecil belajar ilmu olah
kanuragan dan kesaktian pada guru yang sama, mampu
menandingi tingkat kepandaian Setan Mata Satu. Terlebih lagi
saat dia melihat Santika mengeluarkan ajian 'Gelang
Menghalau Petir'. Karena sepanjang yang diketahuinya,
Santika belum pernah mempelajari ilmu itu. Dan gelang
pualam putih itu...? Bukankah gelang sakti milik ayah mereka?
Dia tidak tahu bagaimana Santika bisa mendapatkan benda
pusaka yang selama ini dia juga menginginkannya.
"Hup!"
Banulaga meloncat ke atas punggung kuda, lalu
menggebahnya dengan cepat meninggalkan tepian danau
menuju Desa Malayasati. Dia memacu kudanya bagaikan
kesetanan, hingga debu-debu mengepul beterbangan.
* * *
Tak seorang pun tahu ke mana Santika dan Mega
Lembayung pergi dibawa penolongnya. Juga Pak Karta yang
setengah mati dipaksa Banulaga dan orang-orangnya untuk
memberitahu di mana cucunya kini berada.
Muka dan sekujur tubuh Pak Karta penuh berlumuran
darah. Kedua tangannya terikat di beranda depan rumahnya.
Kakinya lemas tidak lagi mampu men han beban tubuhnya.
Seluruh wajahnya telah berubah kebiru-biruan dan penuh
benjolan-benjolan luka memar. Pakaiannya terkoyak-koyak
menampakkan kulit yang bergurat bekas cambukan rotan.
"Mudah saja bagiku untuk membunuhmu, tua bangka.
Semudah aku membalikkan telapak tangan. Tapi kau calon
mertuaku, kau akan bahagia jika Mega Lembayung jadi istriku.
Katakan di mana anakmu berada?" Banulaga mencoba
mengambil hati Pak Karta.
Pak Karta tetap saja membungkam. Kepalanya lemas tak
berdaya. Dia sudah tak mampu mengeluarkan barang sepatah
katapun. Kata-kata Banulaga pun seperti hilang tertiup angin.
Dan Banulaga pun menjadi gusar.
"Di mana Mega?" bentak Banulaga gusar.
Pelan-pelan kepala Pak Karta terangkat, dia seperti
mendapat kekuatan. Namun matanya tetap redup, meski di
balik itu terpancar sinar kebencian yang menyesak hingga ke
dasar hatinya.
"Phuih!"
Pak Karta menyemburkan ludah yang bercampur darah
dari rongga mulutnya. Ludah yang bercampur darah segar dan
kental itu tepat memuncrat ke muka Banulaga.
Banulaga terkesiap sesaat Lalu tangannya dengan cepat
melayang ke muka keriput itu beberapa kali. Darah segar
memuncrat dan membasahi tangan Banulaga. Lalu kepala laki-
laki tua itupun kembali terkulai.
"Ikat, dan seret dia keliling kampung! Biar semua orang
tahu bagaimana nasibnya kalau berani menentang Banulaga!"
Dua orang bertubuh kekar langsung bergerak Mereka
membuka ikatan tangan Pak Karta, lalu mengikatnya kembali
dengan tambang yang panjang dan kuat. Seorang lainnya
sudah siap di atas punggung kuda dengan ujung tambang di
tangannya.
Banulaga melompat ke punggung kuda putih
tunggangannya. Sebentar dia menyeka sisa darah yang masih
menempel di mukanya. Lalu dengan satu isyarat saja, orang
yang memegang ujung tali itu menggebah kudanya mengikuti
langkah kuda Banulaga yang bergerak cepat.
Nasib pak tua itu benar-benar ada di tangan Banulaga.
Dia diseret mengelilingi kampung dengan sorot mata
penduduk yang begitu iba menyaksikannya. Mereka yang
melihatnya hanya mampu mengelus dada, tak sanggup
menyaksikan tubuh tua yang malang itu lebih lama. Tak
seorang pun yang dapat memastikan apakah tubuh yang tua
renta itu masih dapat bernapas. Darah dan debu yang
menempel jadi satu di tubuhnya tak bisa lagi untuk mengenali
keadaannya
Mendadak tali yang mengikat lelaki tua itu terputus,
ketika tubuhnya yang terseret itu melewati tepi hutan. Tubuh
tua itu terguling-guling dengan tangannya yang masih terikat
kencang. Orang-orang Banulaga yang mengiringinya langsung
berlompatan turun dari kudanya.
Mereka segera mengepung sesosok tubuh yang tak lain si
Manusia Bertopeng Hitam. Golok-golok mereka yang terhunus
seperti siap menebas kepala Manusia Bertopeng Hitam itu
yang sudah berdiri di dekat tubuh pak Parta yang tergeletak
tak berdaya.
"Hmmm..., dengan cara seperti ini kau baru datang secara
jantan, meski kau tak berani menunjukkan batang hidungmu
yang sesungguhnya, Manusia Bertopeng Hitam. Aku tak perlu
repot-repot mencarimu uniuk membalaskan kematian ayahku,
juga ketololanmu yang gagal membunuhku."
"Tutup mulutmu, Banulaga! Kelak jika tiba saatnya, kau
akan tahu siapa aku yang sesungguhnya. Sekarang kau hanya
berani dengan orang-orang yang lemah tak berdaya. Hm..., aku
ingin tahu kepandaian-mu yang sesungguhnya, Banulaga."
"Keparat! Bunuh dia!" Banulaga berteriak lantang dengan
darah yang mendidih.
Orang-orang Banulaga yang mengepung Manusia
Bertopeng Hitam itu bergerak cepat Namun secepat kilat,
Manusia Bertopeng Hitam melenting ke udara, lalu mendarat
di tempat yang cukup jauh dari tubuh Pak Karta. Golok orang
orang Banulaga itu hanya berkelebat menebas angln. Lalu
bergerak cepat ke arah Manusia Bertopeng Hitam yang telah
berdiri kembali.
"Hiaaat... Hiya...!"
Orang-orang Banulaga itu segera merangsek si Manusia
Bertopeng Hitam. Mendapat serangan beruntun dari segala
penjuru, orang bertopeng hitam itu berkelit dan berlompatan
sambil sesekali membalas serangan. Manusia Bertopeng Hitam
itu bertarung tanpa mengeluarkan senjata belati andalannya.
Tapi sampai beberapa gebrakan berlalu, tak seujung golok pun
yang berkelebat bagai kilat itu menyentuh kulit tubuhnya.
"Lepas!" teriak orang bertopeng hitam itu tiba-tiba.
Bagaikan kilat, tangannya bergerak cepat menyampok
salah seorang pengeroyoknya yang terdekat. Gerakan
tangannya yang cepat tak bisa dihindari lagi. Seorang dari
pengeroyok itu menjerit kaget, dan goloknya melayang ke
udara. Dia merasakan pergelangan tangannya patah dan terasa
nyeri.
Belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak sebelah kaki
Manusia Bertopeng Hitam itu mendarat tepat di dada. Tak
ampun lagi pengeroyok yang nyalinya cukup besar itu
terjungkal ke tanah dengan mulutnya memuntahkan darah.
Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi mengibaskan
goloknya dari arah samping kiri. Manusia bertopeng itu
memutar tubuhnya dengan kaki terayun cepat.
Buk!
Kaki orang bertopeng ilu mendarat di perut, lalu tangan
kanannya meringkus tangan orang yang memegang golok.
Dengan sekali tekukan, tangan itu patah. Tangan orang
bertopeng hitam itu cepat menyambar golok yang hampir jatuh
ke tanah. lalu....
Bet!
"Aaakh...!" jeritan melengking terdengar. Orang bertopeng
hitam itu cepat melepaskan kempitannya, dan penyerangnya
langsung roboh dengan leher hampir putus terbabat goloknya
sendiri yang kini berpindah tangan. Dalam satu gebrakan saja,
dua orang pengeroyoknya kehilangan nyawa. Kini tinggal
enam orang lagi yang masih mengepung.
"Sebaiknya kalian pergi, aku malas jadi tukang jagal
manusia. Biarkan tuanmu menyelesaikan urusannya sendiri
denganku!" dengus orang bertopeng hitam itu.
"Serang, bunuh dia!" teriak Banulaga memerintah.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba salah seorang melompat sambil mengibaskan
goloknya. Orang bertopeng hitam itu segera berkelit
memiringkan tubuhnya sedikit, golok di tangan kanannya
langsung dia babatkan ke arah perut. Teriakan mengerang
terdengar menyayat, disusul tubuh yang roboh
menyemburkan darah segar dari perutnya yang terkoyak.
Orang bertopeng hitam itu menyilangkan golok rampasannya
di depan dada.
"Seraaang...!" Banulaga kembali memerintahkan orang-
orangnya.
Seketika itu juga lima orang yang tersisa langsung
merangsek. Kali ini jelas lerlihat kalau Manusia Bertopeng
Hitam itu bukan tandingan mereka. Dalam waktu singkat saja
dua orang lagi terjungkal bermandikan darah.
Banulaga mulai terllhat watak pengecutnya. Dia langsung
menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Orang
bertopeng itu mendengus kesal. Ketiga orang yang semakin
gencar menyerangnya tak memungkinkan dia mengejar
Banulaga.
"Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian!" seru orang
Bertopeng Hitam itu, lalu tubuhnya melenting, berputar di
udara, dan mendarat tepat di dekat tubuh Pak Karta. Secepat
kilat dia menyambar tubuh tua yang tak berdaya itu dan
membawanya pergi meninggalkan lawan-lawannya.
"Ayo, kembali!" seru salah seorang. Ketiga orang itu
langsung melompat ke punggung kudanya masing-masing,
meninggalkan lima sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa.
Beberapa orang penduduk yang melihat pertarungan itu dari
kejauhan begitu tercekam, lalu menarik napas lega ketika
tubuh tua Pak Karta disambar dengan cepat oleh
penyelamatnya.
* * *
Dua hari lamanya Pak Karta tidak sadarkan diri. Dan kini
pada hari yang ketiga, dia mulai membuka matanya perlahan-
lahan, lalu kembali tertutup manakala sinar matahari yang
menyelinap dari pintu rumah menerpa wajahnya. Kepalanya
kemudian mulai terlihat bergerak-gerak. Kesadarannya
tampak mulai pulih kembali.
"Kakek...," sapaan halus terdengar di telinganya.
Pelan pelan kelopak mata lelaki tua bertubuh ringkih itu
terbuka. Dilihatnya seraut wajah cantik yang tersenyum
lembut di depannya. Bibir Pak Karta lalu tersenyum bergetar.
Sesaat lamanya matanya menatap lekat wajah yang selama ini
memberinya harapan dan semangat hidup.
"Mega...," desis Pak Karta lemah.
"Oh, Kek...," Mega Lembayung tak kuasa lagi menahan air
matanya.
Mega menjatuhkan wajahnya memeluk tubuh lelaki tua
itu. Bersamaan itu pula pintu terkuak, lalu muncul sesosok
tubuh berwajah tampan mendekati dua insan yang tengah
saling berpelukan.
"Sudah siuman, Kek?" tanyanya lembut.
Pak Karta tersenyum dan mengangguk lemah melihat
pemuda tampan yang masih berdiri di samping balai-balai
bambu. Mata tuanya mengitari pemandangan yang ada di
depannya. Sebuah bilik berdinding bambu yang tidak begitu
besar, namun terlihat bersih dan rapi. Pandangannya lalu
beralih kembali pada wajah Mega dan pemuda tampan itu
bergantian.
"Maaf atas perlakuan kakakku yang kasar, hingga Kakek
mengalami nasib yang menyedihkan seperti ini," kata pemuda
tampan itu lembut.
Kepala Pak Karta menggeleng lemah. Bibirnya yang pucat
menyunggingkan senyuman. Periahan-lahan dia sudah bisa
merekam kembali kejadian yang menimpanya. Sebelumnya dia
tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah sesosok bayangan hitam
mengangkat tubuhnya. Dan yang dia tahu kini, tubuhnya
tengah tergolek lemah, lalu cucunya Mega Lembayung dan
pemuda tampan yang tak lain adalah Santika ada di dekatnya.
"Di mana kita sekarang, Mega?" suara Pak Karta bertanya
lemah.
"Di tempat yang aman, Kek," sahut Mega lembut.
Lalu terlihat oleh Pak Karta sesosok tubuh lainnya yang
juga berwajah tampan dengan pakaiannya berompi putih dan
sebuah pedang bergagang kepala burung yant tidak lain
adalah Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima kasih, kau pasti yang menyelamatkan aku," kata
Pak Karta.
"Bukan aku, Kek," sahut Rangga seraya menolehkan
wajahnya ke wajah Mega Lembayung, seolah meminta cucu
Pak Karta ini untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
Mega cepat tanggap.
"Maaf, Kek. Seseorang berpakaian serba hitamlah yang
membawa Kakek kemari. Dia pula yang telah menolongku
ketika aku dan Kakang Santika nyaris terbunuh oleh Banulaga
dan orang-orangnya, tapi belum sempat aku mengucapkan
terima kasih, orang yang berpakaian serba hitam itu pergi...,"
Mega menjelaskan dengan lirih.
"Benar, Kek," sambung Santika. "Dan akulah yang
diselamatkan oleh Pendekar Rajawali Sakti ini...." Santika lalu
menunjuk Rangga, Pendekar Rajawali Sakti itu hanya
tersenyum merendah, yang dibalas oleh anggukan dan
senyuman tipis Pak Karta.
"Terima kasih, Rangga. Untuk kedua kalinya kami
berhutang budi padamu," ucap Pak Karta.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong
sesamanya, Kek," Rangga mengucapkan kata-kata yang sama
ketika pertama kali menolong kakek dan cucunya ini.
Pak Karta kembali menyunggingkan senyumnya. Sesaat
lalu suasana hening menyelimuti mereka. Ke empat orang
yang ada di balik bilik bambu itu seperti tengah merenungi apa
yang selama ini telah terjadi....
Terdengar bibir Pak Karta bergumam pelan, lalu
wajahnya memandang ke arah Santika. Santika pun lalu seperti
menunggu apa yang akan diucapkan Pak Karta. Namun
beberapa saat bibirnya seperti terkunci, lalu pandangannya
beralih pada cucunya, Mega Lembayung.
"Kakang Santika banyak membantu," kata Mega
Lembayung seolah tahu apa yang tengah tersirat dalam benak
kakeknya, "...dia telah menyediakan kamarnya untukku
bersembunyi sampai keadaannya benar-benar aman dan
tenang...."
"Benar, Kek. Aku sendiri tidak menyukai sikap ayahku
dan Kakang Banulaga, dan aku tidak rela Mega Lembayung
menjadi korban kebuasannya," sambung Santika.
"Semuanya sudah terjadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Selain aku bertertma kasih padamu, Santika, dan kau,
Rangga... dengan saksi Yang Maha Kuasa dan kalian bertiga
yang ada di sini, aku berterima kasih juga pada orang yang
telah menyelamatkan aku dari amukan Banulaga yang kejam
dan telah menyiksaku... tolong sampaikan ucapan terima
kasihku jika kalian bertemu dengan orang itu lagi...," Pak Karta
mengakhiri ucapannya dengan nada lirih memetas.
"Kedudukan kita Juga semakin sulit, karena Kakang
Banulaga sudah tak menganggapku sebagai saudara lagi. Dia
sudah memandangku sebagai musuhnya," Santika
mengeluarkan isi hatinya.
Rangga yang sedari tadi lebih banyak diam, tak kuasa
pula untuk menahan isi hatinya.
"Benar, kata Kakek. Aku pun memahami posisimu,
Santika," sesaat Rangga menoleh ke wajah Santika, "... tapi kita
harus tetap berjuang demi kebenaran dan keadilan... untuk itu
perkenankanlah aku mohon diri...."
Pak Karta, Mega Lembayung dan Santika terkejut
mendengarnya.
"Kakang hendak ke mana?" tanya Mega Lembayung
"Percayalah, aku akan tetap berusaha berjuang bersama
kalian... dan aku rasa kita tak boleh memberi kesempatan
kepada Banulaga untuk menyusun kekuatannya kembali...,"
ketiga orang itu tercenung sesaat, dan bibir mereka tak
sanggup berucap memandang kepergian Pendekar Rajawali
Sakti itu.
Beberapa saat lamanya kellya orang yang berada di dalam
bilik bambu itu saling bi-rtatapan satu sama Iain. Mereka
membenarkan ucapan Rangga... bahwa banyak tantangan yang
harus mereka hadapi, dan mereka harus bersiap-siap kembali...
* * *
TUJUH
Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti belum lagi
melangkah jauh, ketika mendadak enam orang dengan golok
terhunus telah mengepungnya. Darah Rangga pun berdesir
cepat, matanya segera menyapu wajah pengepungnya satu per
satu, nampak olehnya wajah-wajah yang keras dan sangar
tengah menatapnya tajam. Wajah Rangga pun menegang
sesaat, lalu kembali berubah teduh. Senyuman tipis
tersungging di bibirnya.
"Aku hendak menuju ke Desa Malayasati, ada urusan apa
kalian menghalangi langkahku?" tanya Rangga tenang, meski
nalurinya menyatakan kalau mereka adalah orang-orang
Banulaga, yang tentu maksudnya sudah bisa diduga.
"Hmmm... kaukah si Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si
pengepung yang berada tepat di hadapan Rangga. Orang itu
tampaknya tak memerlukan jawaban, dia langsung
menyambung pertanyaannya sendiri, "Ketahuilah, majikanku
tidak ingin orang lain, apalagi kau yang jelas-jelas bukan orang
desa ini, untuk mencampuri urusan pribadinya."
Rangga tersenyum mengejek. "Kau pintar-pintar bodoh,
rupanya. Orang yang punya urusan pribadi tentu tidak akan
menyuruh orang lain. Dan aku tidak peduli dengan urusan
majikanmu,tapi kekejaman dan ketidakadilan tak akan
kubiarkan merajalela di depanku,... Menyingkirlah kalian, agar
tanganku tak lagi menghilangkan nyawa orang-orang dungu
yang hanya bisa menurut perintah majikannya."
"Kurang ajar! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-
baik, sekarang terimalah ajalmu!" teriak orang itu lantang,
sambil tangan kanannya terangkat memberi perintah kepada
kelima orang lainnya untuk menyerang.
Dengan sigap kedua kaki Rangga meloncat, tubuhnya
melayang sesaat menghindari kibasan golok yang berkelebat
cepat, lalu bersalto dua kali sebelum kakinya mendarat tepat di
belakang punggung lawan-lawannya. Dengan tumpuan kaki
kanannya Rangga memutarkan tubuhnya sedikit, lalu secepat
kilat kakinya melompat menghajar punggung dua orang
sekaligus. Dua orang yang terkena tendangan di
punggungnya, nasibnya begitu mengenaskan, tubuh mereka
yang terdorong ke depan terkena sabetan golok temannya
sendiri. Seorang dari mereka mukanya hancur oleh sabetan
golok yang menebas mulut dan pelipisnya, sedang seorang
lainnya mengerang sesaat ketika lehernya nyaris putus, lalu
roboh tak bergerak lagi.
Empat orang lainnya terhenyak kaget, terbayang
kengerian di wajah-wajah mereka, apalagi dua orang di antara
mereka yang goloknya bersimbah darah. Dua orang teman
mereka tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Lalu seperti
dibakar dendam, mereka kembali menyerang Rangga. Secepat
kilat Rangga merundukkan badannya, tangannya bergerak
menyambar pergelangan tangan kanan orang yang paling
depan, lalu dengan satu tekukan tangan yang disertai egosan
kakinya, dia melemparkan tubuh lawannya itu tepat
menghantam dada seorang temannya. Tubuh kedua orang itu
langsung roboh bertindihan ke tanah. Dan pada saat itu pula,
Rangga membungkukkan badannya menghindari kibasan
golok seorang lagi dari belakang, sambil kaki kirinya
menggibas lutut lawan, dan orang itu jatuh merunduk dengan
kepalanya menghantam lebih dulu ke tanah, dan segera
Rangga pun menyadari kalau masih ada seorang lainnya yang
hanya berdiri mematung tanpa berbuat apa-apa melihat teman-
temannya roboh tak berdaya.
"Hmmm...," Rangga menatap tajam pada seorang yang
tersisa, "kau rupanya bersikap ksatria..., mau menghadapiku
secara jantan tanpa keroyokan...,"
"Tunggu," orang yang berdiri mematung itu membuka
mulutnya. "Aku berdiri di pihak kebenaran dan keadilan,
meskipun aku hanya cecunguknya Banulaga," orang itu
kembali bersuara tanpa menghiraukan Rangga yang masih
diam terpaku.
"Siapa kau?" tanya Rangga sopan.
"Berhati-hatilah, Rangga." Orang itu malah tak menjawab,
"empat orang tokoh sakti kini ada di belakang Banulaga...
teruskanlah niatmu, biar aku berbuat dengan caraku sendiri."
Sejurus kemudian orang itu menatap lekat-lekat pada Rangga.
Rangga terkesiap sesaat, ketika otaknya mulai
menemukan titik terang. Orang ini pastilah si Manusia
Bertopeng Hitam yang kini dalam wujud sebenarnya.
"Dan ingat!" kembali orang itu berucap, "... kematian
Banulaga adalah bagianku!" Orang itu kemudian berkelebat
cepat meninggalkan Rangga dan lima tubuh lainnya yang
tergeletak tak bernyawa.
Beberapa saat lamanya Rangga tercenung. Dia tahu pasti
kalau orang itulah si Manusia Bertopeng Hitam yang tengah
diburu Banulaga dan orang-orangnya setelah kematian
Badaraka.
"Rangga...!"
Sebuah teguran mengagetkannya, lalu Rangga menoleh,
dilihatnya Santika dan Mega Lembayung tengah berlari
mendekat ke arahnya.
Santika dan Mega Lembayung tertegun menyaksikan
mayat-mayat bergelimpangan mengerikan. Lalu perlahan-
lahan wajah keduanya terangkat menatap Rangga. Mereka
mengerti apa yang telah terjadi. Karena tak lama setelah kaki
Rangga melangkah meninggalkan bilik bambu itu, mereka
telah melihat beberapa sosok tubuh membayangi kepergian
Pendekar Rajawali Sakti itu, namun mereka tak bisa ikut
berbuat banyak menyadari keadaan tubuh tua Pak Karta yang
lemah.
"Mega dan Santika, tolong uruskan mayat-mayat mereka,"
Rangga berkata pelan, lalu tubuhnya bergerak cepat
meninggalkan tempat itu. Mega dan Santika hanya sempat
memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu.
Seandainya Rangga mau menjelaskan semuanya yang
telah terjadi, Santika tentu tidak akan penasaran lagi apabila
mengetahui siapa Manusia Bertopeng Hitam yang sebenarnya,
karena seperti yang diucapkan oleh orang itu sendiri, dia kini
adalah cecunguknya Banulaga, kakaknya Santika.
Santika pun kemudian terkejut manakala matanya
tertumbuk pada sesosok tubuh yang amat dikenalnya, tubuh
Tarsa, pembantunya yang setia dan kini tergeletak tak
bernyawa. Darahnya lalu berdesir, dia tahu pasti, Tarsa pasti
tak bisa menolak perintah Banulaga, yang mengantarkannya
menemui nasib naas.
Matahari pun mulai terbenam ke ufuk Barat. Angin mulai
berhembus dingin menemani kedua orang yang tengah
mengurus mayat-mayat itu.
* * *
Pagi itu udara terasa begitu sejuk menyentuh pori-pori
kulit, sinar matahari yang terhalang oleh awan tipis dan
hembusan angin yang lembut, membuat orang-orang di Desa
Malayasati seperti tengah menikmati kedamaian dan
ketenangan.
Sesosok tubuh tegap dan berparas tampan terlihat tengah
mengayunkan langkahnya dengan ringan dan tenang. Baju
rompi putih yang senantiasa dikenakannya, menarik perhatian
orang-orang di jalan yang di lewatinya. Setiap langkahnya
seperti meninggalkan tanda tanya, Pendekar Rajawali Sakti
pemilik sesosok tubuh itu pun cepat menyadari. Keadaan
dirinya membuat orang-orang di desa ini ingin mengenakan
pakaian yang sebagus miliknya. Rangga pun melangkahkan
kakinya lebih cepat, lalu kakinya berbelok melangkah
memasuki sebuah kedai yang terlihat asri. Di depannya sebuah
bangunan besar seolah berdiri pongah menantang. Bangunan
besar itu sebuah rumah berhalaman luas dengan tembok tinggi
tebal menyerupai sebuah benteng.
Dari tempat duduknya Rangga sekilas menatap ke pintu
gerbang rumah itu, lalu kembali matanya beralih pada pelayan
kedai, seorang perempuan muda dengan guratan-guratan di
wajahnya yang masih menyiratkan keayuan. Rangga lalu
memesan seguci arak.
"Tunggu sebentar, bisakah Anda menemani saya duduk
di sini?" pinta Rangga begitu melihat wanita itu hendak
beranjak pergi meninggalkannya.
Wanita itu tidak menjawab. Dia langsung duduk di depan
Rangga. Hanya sebuah meja kayu kecil yang membatasi
keduanya. Sejenak Rangga memperhatikan wanita di
hadapannya yang kini tengah tertunduk.
"Siapa namamu?" tanya Rangga.
"Kanti," sahutnya pelan. Bibirnya menyunggingkan
senyum tipis yang terpaksa.
"Kau penduduk desa ini?" tanya Rangga lagi.
Perlahan-lahan kepala Kanti terangkat. Matanya menatap
bola mata Rangga Lalu kepalanya menggeleng pelan, rasa
takut dan cemas terlihat jelas di wajahnya.
"Kau juga bukan orang sini?" tanya Kanti lirih, setelah
beberapa saat lamanya dia terdiam.
"Ya, cuma kebetulan saja aku lewat sini," sahut Rangga
sambil mengajak Kanti tersenyum.
"Kalau begitu sebaiknya kau cepat pergi." Rangga terkejut,
dilihatnya wajah Kanti yang menoleh ke sana kemari seperti
takut ada yang memergoki.
"Kenapa?"
"Tuan Besar telah memerintahkan bahwa siapa saja
pendatang baru yang tidak punya keluarga di sini harus diusir.
Kalau tidak, akan dibunuh," Kanti menerangkan setengah
berbisik.
"Tuan Besar! Siapa dia?"
'Tuan Banulaga, penguasa Desa Malayasati ini. Dia
memiliki semua kedai dan penginapan di sini, juga sebagian
besar tanah desa. Dia bagaikan raja kecil yang semua
perintahnya harus ditaati."
Rangga menganggukkan kepalanya. Kemudian dari sudut
ekor matanya dia melihat pintu gerbang rumah besar itu
terbuka. Lalu muncul lima orang penunggang kuda yang
diikuti tidak kurang dari sepuluh orang penunggang kuda
lainnya. Mereka langsung bergerak ke arah Timur.
"Yang di depan itu Tuan Banulaga," kata Kanti seperti
tahu jalan pikiran Rangga yang masih terlihat memandangi
rombongan berkuda itu dengan sudut ekor matanya.
"Hmmm..., masih muda dan tampan," gumam Rangga.
"Ya, memang tampan, tapi kejam," suara Kanti tertekan.
"Lantas yang lainnya?" Rangga jadi tertarik ingin tahu.
"Yang empat orang, undangan khusus Tuan Besar.
Mereka semua berilmu tinggi dan sakti. Sedangka yang lainnya
cuma kaki tangan Banulaga, yang dia peralat untuk memeras
penduduk dan mencari perempuan-perempuan cantik
kegemarannya. Mereka amat sadis dan kejam."
"Tampaknya kau tahu persis," gumam Rangga. Matanya
menatap lurus pada perempuan muda depannya.
Kanti yang ditatap begitu, jadi menunduk mukanya
dalam-dalam. Seperti ada kesedihan da duka yang tengah
bergayut di dadanya. Lalu perlaha lahan dia mengangkat
wajahnya, menatap Rangga sesaat, lalu....
"Dua tahun aku disekap di sana. Selama itu aku harus
melayani nafsu setan mereka. Yah..., setelah aku tak
dibutuhkan lagi, aku dibuang dan dicampakkan di sini.
Mestinya aku lega keluar dari neraka, tapi di sini juga tidak
kalah mengerikan. Aku seperti sapi perahan mereka, entah
berapa laki-laki yang sudah meniduriku."
"Kau tidak berontak? Melarikan diri, misalnya?"
"Untuk apa? Percuma saja, Banulaga seperti mempunyai
seribu mata dan Jala yang tak mungkin bisa dilewati begitu
saja, sekali mereka melarikan diri. Tiang gantungan pun
menanti, atau menjadi santapan ular-ular berbisa."
Darah Rangga berdesir mendengar sebegitu jauh
perlakuan Banulaga dan orang-orangnya terhadap penduduk
yang tak berdaya.
"Kanti...!" tiba-tiba terdengar suara teriakan keras.
Rangga dan Kanti cepat menoleh ke arah datangnya
suara. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar penuh berewok
bertolak pinggang menatap tajam pada Rangga dan Kanti.
"Celaka,..," Kanti mendesah dengan wajahnya yang pucat
pasi.
"Siapa dia?" tanya Rangga yang melihat Kanti begitu
ketakutan, lalu matanya beralih pada sesosok tubuh tinggi
besar itu.
"Dia..., Suro Bledek. Dia orang kepercayaan Tuan
Banulaga yang mengurusi semua rumah penginapan dan kedai
minum, juga rumah perjudian di desa ini."
Laki-laki tinggi besar berwajah kasar itu melangkah
mendekat. Dengan sentakan kasar dia merenggut tangan Kanti,
hingga perempuan itu sempoyongan, lalu dengan satu
dorongan tangannya yang kuat dia membanting tubuh Kanti
ke tanah. Dan belum sempat ia bangun, perempuan malang itu
hendak ditendangnya, tapi mendadak....
"Aaakh...!" Suro Bledek menjerit keras.
Saat kakinya hampir mendarat di tubuh Kanti, Rangga
dengan cepat menyambar guci arak di mejanya, lalu
dilemparkannya tepat mengenai tulang kering kaki Suro
Bledek. Tentu saja lelaki yang seperti gorilla ini meraung
menahan sakit di kakinya terkena lemparan guci yang begitu
keras.
"Monyet buduk!" maki Suro Bledek sengit.
Sret!
Suro Bledek mencabut goloknya yang besar dan berkilat.
Dengan teriakannya yang nyaring dia menggibaskan goloknya
ke arah leher Rangga. Hanya dengan sedikit menarik tubuhnya
ke belakang, Rangga itu mengelakkan tebasan golok itu.
Bibirnya tersenyum mengejek, yang memancing kembali
amarah Suro Bledek.
Gagal menebas leher Rangga, Suro Bledek mengerang
panjang, lalu dengan gerakan-gerakan cepat, dia
menggibaskan kembali goloknya ke beberapa bagian tubuh
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga hanya berkelit mengelak
tanpa merubah posisi tubuhnya menghindari serangan gencar
Suro Bledek. Bahkan pada satu kesempatan, dengan pangkal
tangan kanannya yang terbuka dia menghantam keras tangan
kanan lawannya sehingga goloknya terlepas.
Belum lagi Suro Bledek menyadari keadaan, mendadak
tangan kanan Rangga mencekal tangannnya dengan satu
tarikan ke depan, tubuhnya yang terdorong maju dihadang
dengan hantaman lutut yang dahsyat tepat mengenai ulu
hatinya, lalu jatuh berdebum ke tanah.
"Bajingan!" geram Suro Bledek seraya bangkit, daya tahan
tubuhnya sungguh luar biasa.
Amarahnya tak lagi bisa dikendalikan, dia tidak dapat
lagi melihat siapa yang dihadapinya, dengan mendengus
kencang dia melompat menerkam Pendekar Rajawali Sakti itu.
Gerakan dan terjangan tubuhnya yang lamban dengan mudah
dapat dipatahkan oleh Rangga. Tubuh Suro Bledek pun
kembali terjungkal ke belakang menabrak meja hingga hancur
berantakan, ketika tangan kanan Rangga kembali menghantam
dadanya. Kekuatannya yang hanya mengandalkan tenaga luar
tak mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti.
"Nekad!" dengus Rangga begitu melihat Suro Bledek
hendak menerjang lagi.
Kali ini Rangga Tidak lagi memberi hati. Begitu serangan
Suro Bledek datang, dengan cepat dia membungkukkan
tubuhnya melewati ketiak lawanya, dan dengan cepat tangan
kirinya menghantam tengkuk, lalu disusul lutut kirinya
menghajar perut. Belum sempat Suro Bledek berbuat apa-apa,
Rangga sudah mencocor kepalanya dengan jurus 'Cakar
Rajawali'.
Bles!
"Aaakh...!" Suro Bledek mengerang panjang Beberapa saat
lelaki bertubuh tinggi besar itu berputar memegangi kepalanya
yang bocor dan retak. Darah bercucuran keluar merembes
melalui jari-jari tangannya, lalu tubuhnya ambruk ke tanah.
Cuma sebentar Suro Bledek sempat menggeliat, lalu tak
bergerak lagi.
Rangga memandang sekelilingnya, tampak orang-orang
berkerumun menyaksikan pertarungan yang tak seimbang itu.
Sementara Kanti berdiri di pojok dengan tubuh menggigil
ketakutan
"Tuan...," panggil Kanti bergetar begitu Rangga
melangkahkan kakinya ke luar.
Rangga menghentikan langkahnya dan menoleh. Kanti
bergegas menghampiri dengan air matanya yang deras
membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sinar matanya
seakan-akan memohon perlindungan.
"Tolonglah aku, Tuan. Mereka pasti akan membunuhku.
tolong Tuan...," pinta Kanti memelas.
Rangga menarik napasnya dalam-dalam. Dia bisa
memahami kedudukan perempuan ini sekarang, apalagi
berpasang-pasang mata telah melihat perrarungannya dengan
Suro Bledek. Pendekar Rajawali Sakti itu lalu mengangguk
pelan.
Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menggamit tangan
Kanti meninggalkan kedai dan orang-orang yang diam
mematung menyaksikannya. Rangga berjalan cepat, hingga
Kanti harus berlari-lari kecil mengimbanginya.
Orang-orang di sekitar kedai pun tak lama kemudian
pergi bubar. Tidak ada yang mau mengambil resiko dihajar
Banulaga dan orang-orangnya untuk menceritakan kejadian itu
dan menunjukkan di mana Kanti dan Pendekar Rajawali Sakti
berada.
* * *
Banulaga menahan geram dan sulit menerima kenyataan
kalau Suro Bledek, salah seorang kepercayaannya tewas
dengan mengenaskan. Musuh-musuhnya sudah mulai terang-
terangan merongrong kewibawaannya di depan orang banyak.
Karena bagaimanapun kejadian ini akan membuat nyali
penduduk Desa Malayasati bangkit, dan itu berarti akan
menghancurkan kekuasannya pelan-pelan tapi pasti. Hanya
orang bodoh yang mau kekuasaannya musnah begitu saja.
Saat Banulaga diliputi keberangan, mendadak muncul
Japra, salah seorang yang dia suruh melacak jejak Santika,
Mega Lembayung, dan Pendekar Rajawali Sakti. Japra segera
membungkukkan badannya, lalu dengan gemetar dia berujar.
"Maaf, Tuanku, Pendekar Rajawali Sakti... dia... dia ada di
rumah Pak Karta."
Mata Banulaga memerah seketika, raut mukanya
menegang. Terbayang kembali olehnya wajah Badrun yang
mati terbunuh.... Lalu dia sendiri yang tak bisa berbuat banyak
menghadapi pendekar itu. Mulut Banulaga kemudian tertutup
dengan giginya bergemeletuk keras.
"Di mana lima orang lainnya?" tanya Setan Mata Satu
memecahkan suasana tegang.
"Mereka semua tewas, Tuan.... Saya sendiri tak sempat
membopong Mega, karena dihadang oleh Santika dan Manusia
Bertopeng Hitam. Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu tak
mampu diringkus oleh Tarsa dan yang lainnya, malah kelima
orang itu kemudian tergeletak satu persatu dengan belati
tertancap di lehernya."
Suasana hening sesaat, Banulaga dan Resi Maespati serta
ketiga orang tokoh sakti lainnya saling berpandangan satu
sama lain.
"Dia harus mati. Sudah banyak orang-orangku yang tewas
di tangannya," geram Banulaga.
"Santika, Mega dan Pak Karta kemudian mengambil jalan
terpisah, Tuan..., hanya Pendekar Rajawali Sakti dan... yah,
Kanti, Tuan... ada di rumah Pak Karta," Japra kembali
menjelaskan dengan lutut bergetar.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang meringkus monyet
itu!" dengus Setan Mata Satu.
"Berangkatiah, bawa kepalanya ke sini!" Setan Mata Satu
tak banyak bicara lagi. Dia langsung melangkah pergi diiringi
pandangan mata Banulaga. Tak lama kemudian Banulaga
memandang ke arah Japra.
"Ikuti Setan Mata Satu, dan segera beritahu hasilnya!"
perintah Banulaga.
"Baik, Tuan," Japra segera mengikuti langkah Setan Mata
Satu dari kejauhan.
Banulaga kemudian kembali menatap kosong ke depan.
Pikirannya menerawang jauh, membayangkan apa yang akan
terjadi. Dia tidak menyangsikan kesaktian Setan Mata Satu.
Tapi diapun cemas, karena yang akan dihadapinya adalah
seorang pendekar pilih tanding yang sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Dan karena itu pula dia menyuruh Japra
untuk mengawasinya dari kejauhan. Dia tidak ingin korban di
pihaknya bertambah, lalu lawannya bebas berkeliaran
mempermalukan dan melecehkan kekuasaannya di mata
penduduk tanpa dia sendiri dapat meringkusnya langsung.
Mata Banulaga kemudian menatap si Raja Ular yang
tengah berdiri bersandar di pilar beranda depan. Banulaga
menghampiri kakak Setan Mata Satu itu, sementara Resi
Maespati dan Iblis Selaksa Racun hanya mengawasi dari
tempat duduknya. Tampak wajah Resi Maespati begitu tenang,
seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa. Dan tidak ada yang
tahu, kalau pembicaraannya dengan Santika sedikit banyak
mempengaruhi diri sang resi.
"Kau tidak ikut bersama Setan Mata Satu, Raja Ular?"
tanya Banulaga. Nadanya berharap agar si Raja Ular ikut serta
menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, hingga dia tak begitu
cemas menghadapi kemungkinan lain.
"Jangan kau sangsikan adikku. Tunggu saja, dia pasti
datang membawa kepala pesananmu," sahut si Raja Ular
tenang.
"Sama sekali aku tidak sangsi, hanya saja...." Banulaga
tidak meneruskan ucapannya.
Si Raja Ular menatap tajam. Keningnya sedikit berkerut.
"Dia hampir kalah ketika bertarung melawan Santika!"
Banulaga mengemukakan kecemasannya.
"Mustahil!" dengus si Raja Ular.
"Kau boleh tanyakan sendiri nanti kalau Setan Mata Satu
selamat."
Si Raja Ular Tidak berkata apa-apa lagi, kecuali matanya
menatap tajam Banulaga yang segera pergi meninggalkannya
masuk ke dalam rumah. Sungguh dia tidak percaya kalau
Setan Mata Satu hampir kalah menghadapi Santika, yang
belum banyak pengalaman dalam rimba persilatan. Ah,
mungkin saja Setan Mata Satu mengalah karena yang dihadapi
masih terhitung majikannya sendiri, si Raja Ular menghibur
diri.
Raja Ular pun kembali tenang. Dia Justru berpikiran kalau
Banulaga sendiri yang takut, lalu memutar balikkan keadaan
yang sebenarnya.
"Hhh...," Raja Ular mendesah panjang, kemudian kakinya
melangkah melintasi halaman rumah yang luas menuju pintu
gerbang yang dijaga enam orang bersenjata golok dan tombak.
Dua orang langsung membuka pintu melihat si Raja Ular
mendekat. Yang lainnya membungkukkan badan.
"Kalian berdua ikut aku," kata Raja Ular menunjuk dua
orang yang membukakan pintu.
"Ke mana, Tuan?" tanya salah seorang.
"Cari hiburan."
Kedua orang itu saling pandang, lalu mengangguk seraya
mengikuti langkah si Raja Ular.
"Hei, mau ke mana?" tanya salah seorang yang ditinggal.
"Jangan banyak tanya, kalian jaga saja!" bentak si Raja
Ular tanpa menoleh.
Dua orang yang mengikutinya pun tersenyum senang.
"Di mana tempat yang paling enak?" tanya si Raja Ular
tetap tanpa menoleh.
"Saya tahu, Tuan," kata salah seorang yang kelihatannya
masih muda dengan rambut kucai.
"Kau jalan duluan."
"lya, Tuan."
Kedua orang itu mendahului berjalan di depan, tapi si
Raja Ular malah menariknya. Dan mereka berjalan beriringan
dengan si Raja Ular di tengah-tengah seperti raja. Semua orang
yang berpapasan langsung menyingkir sambil
membungkukkan badan memberi hormat.
"He he he...," si Raja Ular terkekeh dalam hati.
* * *
DELAPAN
Setan Mata Satu memandangi sebuah rumah berdinding
bambu yang tampak sepi tak berpenghuni. Naluri dan
pendengarannya yang tajam seolah membisikkan kalau di
dalam rumah itu ada penghuninya. Setan Mata Satu pun
segera melenting tinggi ke udara, lalu hinggap dengan ringan
di atas atap.
Baru saja kakinya menjejak atap, mendadak atap itu jebol
berbarengan dengan munculnya seorang pemuda berompi
putih yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti. Setan Mata
Satu terkejut, namun dengan cepat dia dapat menguasai
dirinya kembali. Dua orang itu kini saling berhadapan di atas
atap.
"Hebat, kau bisa mengetahui kehadiranku," gumam Setan
Mata Satu.
"Mau apa kau mendatangiku seperti maling?" tanya
Rangga sinis.
"Aku ke sini sengaja mencarimu. Kau banyak berhutang
nyawa pada majikanku!"
"Hmmm..., tak kusangka Banulaga mempunyai begitu
banyak anjing.''
"Bangsat! Lancang sekali mulutmu," dengus Setan Mata
Satu geram.
"Menghadapi anjing buduk sepertimu, tidak perlu kata-
kata sopan."
"Kurobek mulutmu, keparat!"
Seketika itu juga Setan Mata Satu meloncat ke depan dan
menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pertarungan pun tak bisa
dihindari lagi, suatu pertarungan tangan kosong tingkat tinggi
berlangsung di atas atap. Sampai beberapa jurus Rangga hanya
ingih menjajagi lebih dulu kekuatan lawannya dengan jurus-
jurus tangan kosong yang ringan, namun gerakannya cepat
dan sulit diikuti mata.
Setan Mata Satu belum sedikitpun bisa menyentuh tubuh
Rangga, meski sudah lebih dari sepuluh jurus ia kerahkan. Dan
Rangga pun belum terpancing untuk mengeluarkan jurus
andalannya, sampai beberapa saat lamanya dia hanya berusaha
mengelak tanpa membalas serangan, hingga membuat Setan
Mata Satu geram merasa seperti dipermainkan.
"Phuih! Nama besar Pendekar Rajawali Sakti rupanya
cuma kosong, dan cuma bisa menghindar saja!" dengus Setan
Mata Satu kesal dan mencoba memancing.
"Begini saja kau belum bisa menyentuh kulitku," balas
Rangga tak kalah pedas.
"Bangsat! Kau akan merasakan jurus 'Tangan Maut'ku."
"Keluarkan saja semua jurus andalanmu."
Setan Mata Satu semakin berang. Segera dia
mengeluarkan jurus 'Tangan Maut yang amat berbahaya.
Gerakan-gerakannya cepat dan penuh tipuan. Namun
Pendekar Rajawali Sakti belum terpancing untuk
mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'nya, dia
masih meladeni Setan Mata Satu dengan senyum tersungging
di bibir.
Pendekar Rajawali Sakti akhirnya menyadari kalau jurus
'Tangan Maut' dari lawannya tak bisa lagi remehkan, bahkan
beberapa kali dia jatuh ban kerepotan menghindari serangan-
serangan gencar yang amat dahsyat. Dan dengan melentingkan
tubuhnya, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu melompat
turun ke pelataran rumah Pak Karta. Tak mungkin baginya
untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan di tempat yang
kurang leluasa.
Dua orang itu kini telah berhadapan kembali pelataran.
Rangga mulai memusatkan perhatiannya lalu perlahan-lahan
tapi pasti dia mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh
Rajawali', dan pertarungan ya sesungguhnya pun dimulai.
"Hiaaat...!"
Tiba-tiba Rangga berteriak keras, disusul gerakan kakinya
yang cepat menyusur tanah, dua tangannya mengibas cepat ke
arah leher dan dada. Setan Mata Satu melompat menghindari
serangan maut berhawa panas itu, namun begitu kakinya
menjejak tanah, dengan cepat kaki Rangga menyampoknya.
Tidak ada pilihan lain bagi Setan Mata Satu, kecuali
melentingkan tubuhnya ke atas, tapi berbarengan dengan itu
Rangga menghantamkan tangan kanannya ke depan, mendarat
tepat ke perut Setan Mata Satu tanpa bisa dihindari lagi.
"Hukl"
Setan Mata Satu mengeluh pendek, dua kali dia berputar
di udara, lalu menjejak tanah sejauh dua batang tombak. Setan
Mata Satu segera mengerahkan aji 'Pukulan Karang Samudra',
jurus pamungkasnya, dan Rangga pun segera mengeluarkan
penangkalnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma' tanpa
menggunakan pedang Rajawali Sakti.
"Yeaaah...!"
Tubuh Setan Mata Satu melompat ke depan, meluruk ke
arah Pendekar Rajawali Sakti, dan disambut oleh kedua tangan
lawannya.
Des!
Dua pasang tangan berbenturan keras, sinar merah dan
biru terpancar jelas, kedua tokoh sakti itu berdiri saling
berhadapan dengan tangannya saling menempel dan
mendorong satu sama lain. Dua cahaya merah dan biru itu
berbaur menjadi satu. Dua pasang mata mereka saling
bertatapan tajam, tampak wajah Setan Mata Satu yang
menegang, juga wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tegang
mulai berkeringat deras.
Lama sekali mereka saling mengadu kekuatan dengan
ilmu kesaktian pamungkasnya masing-masing. Perlahan-lahan
kaki Setan Mata Satu merembes ke dalam tanah. Sebaliknya
Rangga tetap berdiri dengan telapak kakinya seperti tidak
menginjak tanah.
"Hih!"
Setan Mata Satu menarik tangannya, wajahnya yang
sudah semakin memerah dan menegang, menjadi semakin
membara, manakala merasakan tangannya seperti terpatri
tanpa bisa dilepas.
"Celaka, tenagaku tersedot!" geram Setan Mata Satu dalam
hati.
Sementara perlahan-lahan kaki Rangga semakin meninggi
tak menyentuh tanah, tubuhnya pun menjadi miring dengan
tangannya menempel kencang, menyedot tenaga lawannya.
Itulah ilmu 'Cakra Buana Sukma' tingkat akhir tanpa pedang
Rajawali Sakti.
Kini keadaannya jadi benar-benar terbalik. Rangga berada
tepat di atas kepala Setan Mata Satu dengan tubuh terbalik.
Tubuh Setan Mata Satu perlahan-lahan semakin amblas ke
dalam tanah berbarengan dengan tenaganya yang mulai habis.
"Hih!"
Rangga menekan kuat-kuat, dan seketika tubuh Setan
Mata Satu semakin amblas sebatas pinggang. Setan Mata Satu
benar-benar tak berdaya. Dan saat itu juga Rangga
memukulkan tangannya ke arah dada Setan Mata Satu.
Dan....
"Aaakh...!"
Setan Mata Satu mengerang panjang.
Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti yang
mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', bagaikan
sebuah palu godam menghantam dada Setan Mata Satu. Dan
akhirnya tubuh Setan Mata Satu yang masih tertanam itu
terkulai tak bergerak-gerak lagi.
Rangga berdiri tegak menarik napas panjang. Matanya
menatap tajam pada tubuh yang tertanam ke tanah sampai
batas pinggang. Kemudian ia beranjak dari tempat itu menuju
ke rumah Pak Karta
Dia berhenti sesaat ketika dilihatnya pintu rumah terkuak.
Kanti yang muncul langsung menjerit ketika matanya melihat
ke arah tubuh Setan Mata Satu yang tertanam di tanah.
"Siapkan pakaianmu segera," kata Rangga begitu melihat
Kanti yang sudah mulai tenang.
"Untuk apa?" tanya Kanti heran.
"Engkau harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini
segera."
"Ke mana?" tanya Kanti tak mengerti.
"Kembali ke desamu," sahut Rangga.
"Tidak mungkin. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi
di sana. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal."
"Kalau begitu pergi saja ke Gunung Sumbing. Kau akan
menemui sebuah danau di sana. Di sekitar situ kau cari gubuk
yang dihuni teman-temanku. Katakan apa yang terjadi di sini,
dan aku yang menyuruhmu datang pada mereka."
"Lalu, kau sendiri hendak ke mana?"
"Menemui Banulaga," sahut Rangga singkat
Kanti tidak bersuara lagi
"Berangkat saja sekarang. Tidak ada waktu lagi"
Selesai berkata begitu, Rangga langsung meloncat.
Sebentar saja tubuhnya berkelebat, lalu menghilang dari
pandangan Kanti.
Kanti pun bergegas masuk ke dalam rumah Pak Karta
untuk mempersiapkan segala perbekalannya untuk di
perjalanan nanti. la harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu
karena ia tahu Banulaga dan pengikutnya tidak akan tinggal
diam melihat Setan Mata Satu tewas di tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Terlebih lagi ketika melihat mayat Setan Mata
Satu yang masih tertanam di halaman rumah Pak Karta. Ia jadi
merinding bulu kuduknya membayangkan tubuh yang tewas
mengerikan itu.
* * *
Setelah ia menempuh perjalanan yang tidak memerlukan
waktu yang lama, ia tiba di tempat yang disebutkan oleh
Rangga. Kanti memandangi keadaan di sekitar tepian Danau
Gunung Sumbing. Matanya lalu tertumbuk pada sebuah
gubuk berdinding bambu dan beratapkan rumbia. Perlahan
lahan dia melangkahkan kakinya menuju gubuk itu yang
terselip di antara bukit-bukit batu. Sepasang bola matanya
mengawasi sekitar gubuk itu. Pintu gubuk itu tertutup rapat
Namun dia melihat pelataran gubuk yang sempit itu bersih
dan terawat. Pasti mereka masih tinggal di sini, bisik Kanti
dalam hati.
Langkah kaki Kanti hampir mencapai pintu, ketika
mendadak…
"Aaakh!!" Kanti memekik tertahan.
Sesosok tubuh meloncat dan berdiri tepat di depannya.
"Tuan Muda...," bibir Kanti terucap pelan begitu
mengenali sosok tubuh itu ternyata Santika.
"Dari mana kau tahu tempat ini?" tanya Santika.
"Rangga," sahut Kanti.
"Rangga...!?" Mega Lembayung yang sudah berdiri di
samping Santika tersentak kaget.
"Dia yang menyuruhku datang ke sini,"
"Di mana kau ketemu dia?" tanya Santika sambil
melangkah mendekati Kanti.
"Di kedai minum...."
Kanti lalu menceritakan semua kejadian yang dia alami
bersama Rangga, juga tentang pertarungan Pendekar Rajawali
Sakti itu dengan seseorang.
"Bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanya Santika.
"Orangnya tinggi besar, berpakaian rapi seperti
bangsawan, hanya...."
"Teruskan," desak Mega, "Matanya cuma sebelah."
"Setan Mata Satu..," desis Santika.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya?" tanya Pak Karta yang
ikut bicara.
"Rangga dapat mengalahkannya, bahkan membunuhnya,"
sahut Kanti lagi.
"Sekarang Rangga di mana?" tanya Mega
"Katanya ia akan ke rumah Banulaga," jawab Kanti.
"Apakah ia meninggalkan pesan...?" tanya Santika.
"Tidak. Dia hanya menyuruhku ke sini untuk menemui
kalian," jawab Kanti lagi.
"Gawat!" seru Pak Karta mendesah.
Mega dan Santika memandang Pak Karta yang berdiri
tegak di belakang mereka. Laki-laki tua itu menggeleng-
gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Apa maksud Kakek?" tanya Santika.
"Rangga pasti pergi ke rumahmu untuk membuat
perhitungan dengan Banulaga dan pengikutnya," jelas Pak
Karta.
Santika dan Mega Lembayung tersentak. Mereka saling
pandang tanpa mengatakan apa-apa. Pelan-pelan tatapan
Santika beralih pada Kanti.
"Kau di sini saja bersama Kakek Karta dan Mega, aku
akan menyusul Rangga."
"Tapi...," suara Kanti seperti tercekat di kerongkongan.
"Jangan khawatir, tempat ini aman. Tidak ada seorang
pun yang tahu."
Santika segera berlalu meninggalkan ketiga orang itu. Pak
Karta hanya bisa memandangi kepergian Santika dengan mata
berkaca-kaca. Kengerian akan apa yang akan terjadi begitu
jelas tergambar di raut wajahnya. Ketiga orang itu lantas
bergegas masuk ke gubuk.
"Kau tidak membohongi kami, kan?" tanya Pak Karta
sedikit menaruh curiga. Dia tahu siapa Kanti. Wanita yang
selama dua tahun menjadi piaraan Badaraka, kemudian
dicampakkan ke kedai menjadi pemuas nafsu lelaki hidung
belang, Pak Karta tahu persis, ketika musibah datang menimpa
orang tuanya Mega.
"Aku memang perempuan kotor. Hidupku tidak pernah
bersih. Tapi aku masih punya naluri dan akal sehat," lirih suara
Kanti.
"Maaf, kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu.
Dalam keadaan seperti ini, aku harus waspada dan tidak
mudah percaya pada siapa saja," ujar Pak Karta lirih.
"Aku mengerti, Pak Karta. Aku pun dulu juga mengalami
nasib yang naas, karena perbuatan Badaraka semasa ia masih
hidup. Tapi waktu itu aku selalu berharap akan ada orang
yang bisa melenyapkan kekejaman Badaraka dan
cecunguknya," ucap Kanti lirih membayangkan masa latunya.
Suasana di dalam bilik bambu pun kemudian hening.
* * *
Banulaga mondar-mandir di beranda rumah dengan
tangannya sebentar-sebentar mengepal keras. Sementara ketiga
orang lainnya memandang ke pelataran rumah dengan
perasaan yang sulit ditebak. Mereka seperti tengah menunggu
sesuatu yang belum jelas hasirnya.
Malam sudah menjelang larut, dan hampir menjelang
tengah malam. Berarti ini adalah hari yang kedua kalinya sejak
Setan Mata Satu pergi meninggalkan Banulaga dan ketiga
orang itu. Namun hingga kini belum ada juga kabar beritanya.
Banulaga mencemaskan kemampuan Setan Mata Satu
menghadapi si Pendekar Rajawali Sakti. Japra, orang pertama
yang dia perintahkan untuk mengawasi Setan Mata Satu pun
belum kembali Dan kini, dia mengharapkan Sadim akan
muncul membawa kabar.
"Bagaimana pendapatmu, Eyang Resi?" tanya Banulaga.
"Hmm…." Resi Maespati yang ditanya bergumam sesaat,
"...sulit. Tunggu saja sampai malam ini. kalau Setan Mata Satu
belum muncul juga, kita tidak bisa hanya menunggu."
"Benar," kata Iblis Selaksa Racun. "Tidak ada jalan lain,
kita masing-masing tidak bisa lagi bertindak sendiri-sendiri..."
"Hmmm..., percuma nama besar yang kita punyai!'" tukas
Raja Ular sengit.
Ketiga orang lainnya memandangi Raja Ular. Mereka
kemudian seperti menunggu kakak Setan Mata Satu itu
memberikan pendapatnya.
"Menurutku...."
Belum sempat si Raja Ular melanjutkan ucapannya,
mereka dikejutkan dengan kedatangan Sadim.
"Tuan...!" Sadim semakin dekat dengan tubuh
sempoyongan, "... dia... dia... Japra, Tuan...," tak sanggup lagi
Sadim berkata, tubuhnya ambruk ke tanah, dan seketika
terlihat sebuah belati menancap tegak di tubuhnya.
"Bangsat!" geram Banulaga, matanya menatap tajam pada
sebilah belati di punggung Sadim. Tak lama kemudian mereka
saling bertatapan satu sama lain.
"Japra...?" dengus si Raja Ular, lalu dia menoleh ke arah
Banulaga. "Kau mengenali belati itu?"
"Persis, belari itu seperti yang menancap di tubuh
ayahku... ini pasti perbuatan si Manusia Bertopeng Hitam!"
geram Banulaga.
"Si Manusia Bertopeng Hitam itu pasti Japra, cecungukmu
sendiri, Banulaga...," kata Iblis Selaksa Racun menimpali.
Banulaga kembali menahan geram. Edan! Dia benar-benar
merasa tolol, Manusia Bertopeng Hitam itu ternyata
cecunguknya sendiri. Beberapa saat suasana tegang
menyelimuti pelataran rumah itu.
"Tenang, Banulaga," ucap Resi Maespati sambil menepuk
bahu Banulaga, "kau tidak bisa berpikir dengan tenang dalam
suasana seperti ini."
Suara Resi Maespati yang berwibawa, sedikit
menurunkan amarah Banulaga yang sudah amat memuncak.
Dia mulai terlihat bisa mengatur napasnya, meski batinnya
bergolak hebat.
Banulaga kemudian seperti tengah membayangkan apa
yang terjadi. Sebuah pertarungan yang tak mungkin
terelakkan. Dan... ah, mata Banulaga seolah redup. Dia mulai
berpikir kalau kematian akan pula menjemputnya. Meski
masih ada tiga orang tokoh sakti di belakangnya, tapi diapun
tahu... Pendekar Rajawali Sakti, Santika, dan si Japra alias
Manusia Bertopeng Hitam itu tentu akan bersatu.
"Banulaga, suruh pembantumu mengurus mayat itu,"
tegur Resi Maespati pelan.
Banulaga sedikit terkejut, lalu berteriak memanggil dua
orang pembantunya.
"Urus mayat ini!"
"Baik Tuan," dua orang pembantunya menyahut
bersamaan.
Suasana di beranda rumah kembali sunyi. Banulaga yang
sudah bisa menurunkan emosinya melangkah ke beranda, lalu
duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap tepat ke arah
Resi Maespati. Dan keempat orang itu pun kembali berjalan
dalam pikirannya masing-masing.
Si Raja Ular terlihat mulai gusar. Kedatangan Sadim
dengan belati tertancap di tubuhnya, membuatnya mulai was-
was dengan nasib adiknya, si Setan Mata Satu. Ia mulai
mengakui kebenaran Banulaga, kalau musuh-musuhnya tak
bisa dipandang dengan sebelah mata.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan yang
menggelegar.
"Hai, Banulaga. Keluar kau! Aku datang membawa pesan
terakhir dari cecungukmu si Setan Mata Satu."
Banulaga dan ketiga orang lainnya terkejut mendengar
suara yang bernada tantangan itu.
"Bangsat!" teriak si Raja Ular geram karena ia merasa
dipermalukan atas suara itu yang mengabarkan kematian
adiknya si Setan Mata Satu.
* * *
SEMBILAN
Si Raja Ular langsung melenting ke luar. Dia berdiri tegak
di tengah-tengah halaman yang luas dikelilingi tembok tinggi
dan tebal. Banulaga, Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun pun
sudah berdiri berjajar di belakangnya. Sementara malam terus
merayap dengan sinar rembulan yang menerangi, dan halaman
rumah Banulaga yang luas itu semakin terang oleh cahaya
puluhan obor yang tertancap di beranda rumah dan sekeliling
tembok.
"Setan keparat! Keluar kau!" teriakan si Raja Ular
terdengar menggema di keheningan malam di antara dinding-
dinding tembok yang tinggi. Raja Ular nampak tidak bisa lagi
menahan amarahnya.
Keadaan kembali sunyi. Tak ada sahutan. Sementara satu
per satu orang-orang Banulaga mulai melangkah ke luar
menuju halaman. Mereka mengambil posisi di belakang tokoh-
tokoh sakti itu dengan golok terhunus. Banulaga pun telah siap
dengan sepasang golok kembarnya. Hanya Resi Maespati dan
Iblis Selaksa Racun yang tak bersenjata. Kedua tokoh sakti ini
memang hanya mengandalkan ilmu silat tangan kosong dan
kesaktiannya.
Pandangan mata si Raja Ular menebar ke sekeliling
dengan tajam, telinganya pun terpasang penuh. Namun
beberapa saat lamanya si penantang itu tak menampakkan
batang hidungnya. Suasana pun semakin sunyi dan tegang.
"Pendekar Rajawali Sakti, keluar kau! Jangan bersembunyi
seperti tikus got!" teriak si Raja Ular keras. Teriakannya yang
disertai pengerahan tenaga dalam kembali menggema ke
segala penjuru. Beberapa saat kembali hening....
"Aku di sini...!"
Seketika semua menoleh ke atas. Dan sebuah bayangan
melayang dari atap, melakukan salto dua kali, lalu meluncur
cepat ke tanah. Si Pendekar Rajawali Sakti pun berdiri dengan
gagah di hadapan Raja Ular. Gerakannya yang cepat tanpa
menimbulkan suara sedikitpun menunjukkan tingkatan
ilmunya yang benar-benar tinggi, hingga yang melihatnya
terkesima takjub.
"Aku datang untuk menghukum kelaliman kalian!" suara
Pendekar Rajawali Sakti terdengar mantap dan berwibawa.
"Setan! Apa kau kira dirimu dewa, heh?!"
"Jangankan dewata... manusia dan binatang sekalipun
muak melihat tingkah polah kalian!"
"Keparat! Kurobek mulutmu!"
Si Raja Ular langsung memutar tongkatnya yang
berkepala ular cobra. Deru angin semakin mengguruh dahsyat
bersamaan tongkat itu berputar. Orang-orang Banulaga yang
berada di belakang tokoh-tokoh sakti itu pun mencari tempat
berlindung, mereka tak mau menanggung resiko tubuhnya
terhempas oleh angin yang semakin kencang bagai topan.
Tubuh Rangga tak bergeming sedikitpun. Bibirnya masih
sempat menyunggingkan senyuman yang mengejek, hingga
memancing Raja Ular lebih ganas lagi memainkan tongkatnya.
Mendadak kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti mendorong
ke depan, dan seketika dari telapak tangannya yang terbuka
meluncur sinar kebiruan....
Blar!
Suara ledakan menggelegar keras begitu sinar kebiruan
menghantam tongkat ular yang berputar cepat bagai baling-
baling itu, lalu tubuh Raja Ular pun terpental ke belakang. Dia
menggeram keras, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur
deras dengan ujung tongkat terhunus ke depan.
"Bagus, majulah, biar lebih mudah kupecahkan batok
kepalamu!"
Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit, lalu
memiringkan tubuhnya ke kiri, dan benturan keras pun
terdengar ketika tangan kanannya menyampok tongkat
berkepala ular itu. Tubuh si Raja Ular terlihat limbung, namun
dengan cepat dia menguasai diri.
Raja Ular tercenung sesaat. Selama ini belum ada seorang
pun lawannya sanggup menahan tongkat saktinya Tapi kali ini
tongkat saktinya tak berarti apa-apa. Pendekar Rajawali Sakti
masih mampu berdiri dengan tegar.
"Hmmm... aku harus menggunakan jurus 'Sengatan Cobra
Hitam'," gumam si Raja Ular.
Resi Maespati tertegun melihat si Raja Ular membuka
jurus 'Sengatan Cobra Hitam'. Dia tahu kalau itu adalah jurus
simpanan yang hanya akan dikerahkan kalau si Raja Ular
benar-benar menghadapi lawan yang sulit ditandingi.
Rangga sadar kalau jurus yang akan dikeluarkan si Raja
Ular kali ini amat berbahaya Dia segera membuka jurus
'Pukulan Maut Paruh Rajawali', satu jurus tingkat akhir dari
rangkaian jurus Rajawali Sakti. Dalam waktu singkat kedua
telapak tangannya berubah merah membara bagai terbakar.
Sementara tangan si Raja Ular berubah menjadi hitam kelam
dengan matanya semakin bulat mengecil.
"Sss...," si Raja Ular mendesis dengan lidahnya yang
bercabang menjulur bagai ular. Dia lalu menyerang Pendekar
Rajawali Sakti yang juga sudah siap dengan jurus andalannya.
Pertarungan adu kesaktian segera terjadi. Gerakan-gerakan si
Raja Ular lebih banyak ke bawah, dia mengegoskan tubuhnya
sebelum tiba-tiba melenting menyerang lawannya dari atas.
Rangga yang sudah banyak menghadapi tokoh rimba
persilatan tidak kaget lagi dengan jurus yang tengah
dikerahkan oleh si Raja ular. Dia selalu lebih dulu menguji
kehebatan lawannya sebelum bertindak dan mengetahui
kelemahannya, namun dengan tetap waspada tanpa
mengendorkan pertahanan diri.
Pendekar Rajawali Sakti tidak menghindar begitu tubuh
Raja Ular melenting ke atas, lalu dengan cepat meluruk
menyerangnya. Dengan sigap dia menangkap dan
menghentakkan tongkat yang menuju ke arah dadanya. Raja
Ular pun terkejut, sama sekali tak menyangka Pendekar
Rajawali Sakti akan mampu mencegat serangannya. Raja Ular
segera berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi cekalan
tangan lawannya begitu kuat. Kedua tokoh sakti itu saling
berhadapan berpegangan tongkat.
"Hsss...!" Raja Ular mendesis keras.
Rangga dapat merasakan ada getaran dan hawa dingin
menjalar dari tongkat yang dipegangnya. Dia tahu kalau
tongkat lawannya mengandung racun berbahaya yang bekerja
sangat cepat dan mematikan. Seketika itu juga dia
mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Perlahan-lahan
tangannya yang memerah berubah menjadi biru berkilauan.
Cahaya biru itu merambat menyelimuti tubuhnya, lalu
terkumpul kembali ke tangannya.
"Hsss, ahk!" Raja Ular merasakan ada sesuatu yang
menarik-narik di dalam tubuhnya. Satu tarikan yang semakin
lama semakin kuat dia rasakan.
Raja Ular terkejut begitu menyadari kalau kekuatan itu
mulai menyedot tenaga dalamnya. Raja Ular berusaha menarik
tongkatnya, tapi sia-sia, setiap tarikan tangannya semakin
menyedot tenaga dalamnya sendiri.
Raja Ular pun segera menghimpun hawa racun yang
terkandung di dalam tubuhnya, lalu dia emposkan ke tongkat
Seketika itu juga racun tersedol ke tubuh Pendekar Rajawali
Sakti.
"Huh, licik!" dengus Rangga.
Beruntung tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah kebal
terhadap segala jenis racun. Tapi untuk menjaga kemurnian aji
'Cakra Buana Sukma', dia mengeluarkan racun yang berada di
tubuhnya melalui mulut. Asap hitampun lalu tampak
mengepul, dan langsung hilang tersapu angin
"Edan!" dengus si Raja Ular. Dia seperti tidak percaya
melihat kenyataan itu.
"Huh!" Rangga menyemburkan racun dari mulutnya
dengan kencang ke wajah Raja Ular.
"Akh!" Raja Ular terkejut.
Buru-buru dia mencoba melepaskan kembali tangannya
dari tongkat, tapi tangannya seolah-olah sudah terpatri. Raja
Ular segera menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot oleh
Pendekar Rajawali Sakti. Asap racun yang berasal dari
tubuhnya sendiri kini mengepul di depan mukanya.
"Aaakh...!" Raja Ular menjerit melengking. Racun itu
berbalik menyerang dirinya sendiri, lalu bekerja dengan cepat
melelehkan tubuhnya. Dia menggeliat-geliat meregang nyawa.
Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pegangannya pada
tongkat. Seketika itu juga tubuh si Raja Ular terjerembab ke
tanah.
Tubuh Raja Ular yang sudah tak bernyawa itu kemudian
mencair, hingga berubah tinggal tengkorak. Suasana di
halaman rumah Banulaga pun dicekam oleh kengerian.
* * *
Tidak lama setelah tubuh Raja Ular berubah menjadi
tengkorak, mendadak muncul Santika. Lalu menyusul si
Manusia Bertopeng Hitam yang sudah berdiri di atas tembok
halaman. Tubuh Manusia Bertopeng Hitam itu melenting di
udara, lalu mendarat tak jauh dari tubuh Raja Ular yang sudah
menjadi tengkorak.
Dendam kesumatnya yang sudah memuncak membuat
Banulaga langsung meloncat menyerang Manusia Bertopeng
Hitam. Namun lawannya meladeni dengan tenang, dia seperti
sudah memperhitungkan kemampuan Banulaga. Sedangkan
Iblis Selaksa Racun menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Santika
yang belum mendapat lawan, menatap Resi Maespati. Sedikit
pun dia tidak gentar kalau terpaksa harus melawan gurunya
sendiri.
"Aku sudah menduga, kau pasti masih hidup," kata Resi
Maespati tersenyum tipis.
"Hyang Widi masih belum menghendaki nyawa-ku,
Eyang Resi. Dan aku datang bukan sebagai saudara," tenang
suara Santika, meski menyiratkan nada permusuhan.
Eyang Resi Maespati tersenyum. Dia masih bisa
menangkap kata-kata hormat dari muridnya ini. Meskipun dia
seorang Resi yang berjalan pada jalur sesat, tapi jiwa
kearifannya masih terlihat jelas. Tokoh sakti inipun tak
menghendaki kalau dia harus bertarung dengan Santika.
Bagaimanapun Santika adalah murid dan cucunya, meskipun
cuma cucu angkat.
"Maaf, jika Eyang Resi tidak senang, aku rela mati di
tangan Eyang, bagaimanapun Eyang adalah orang yang telah
membimbingku. Aku rela mati demi kebenaran dan keadilan"
"Sama sekall aku tidak menyalahkanmu, Santika. Aku
tahu, aku selama ini telah berada di jalan yang sesat. Berhari-
hari aku berada di sini, aku terus berpikir…, yah, rasanya tidak
pantas aku disebut resi. Sebutan itu terlalu suci bagiku.
Mungkin dengan perantaraan dirimu, Hyang Widi membuka
mata hatiku."
Santika seperti tidak percaya dengan pendengarannya
sendiri. Dia tahu benar jalan hidup gurunya selama ini. Dan
kata-kata gurunya ini, meluncur perlahan dan teratur bagai
seorang yang arif bijaksana tanpa noda dan dosa dunia.
"Aku tidak menyalahkanmu kalau kau tidak mempercayai
kata-kataku, Santika. Aku berkata jujur dan keluar dari lubuk
hatiku yang selama ini beku tertutup nafsu iblis," lanjut Resi
Maespati.
"Maaf, Eyang," ucap Santika pelan.
Resi Maespati tersenyum lebar. Dia memaklumi sikap
muridnya ini. Perlahan lahan tangannya merogoh ke balik
bajunya yang kumal. Lalu terlihat sebuah badik berlapiskan
emas murni tergenggam di tangannya.
Santika tahu itu adalah senjata pusaka kebanggaan dan
andalan gurunya. Dengan senjata itu Resi Maespati kebal
terhadap semua senjata dan racun. Napas dan hidup Resi
Maespati ada pada badik itu.
"Kau tentu tahu kalau aku tidak bisa lepas dari senjata
pusaka ini. Nyawaku ada di dalamnya." Resi Maespati
menghampiri Santika. Dengan bibir menyunggingkan senyum,
Resi Maespati menyodorkan badik itu pada Santika yang
masih memandang tak mengerti.
"Terimalah, benda ini lebih bermanfaat jika berada di
tanganmu," kata Resi Maespati pelan. Santika pun perlahan-
lahan mulai menyadari sikap gurunya, lalu tangannya
menjulur menerima badik itu.
Sementara itu, Banulaga yang tengah bertarung dengan
Manusia Bertopeng Hitam, sempat memperhatikan apa yang
diperbuat oleh Resi Maespati. Dia pun cepat melemparkan
jarum-jarum beracun ke arah tubuh Manusia Bertopeng Hitam,
dan ketika lawannya tengah berusaha menghindar, dengan
cepat dia meloncat ke arah Resi Maespati dan Santika, lalu satu
dari sepasang golok kembarnya menyambar tubuh Santika,
namun dengan sigap Resi Maespati mendorong tubuh Santika,
dan...
Cras!
Resi Maespati yang sudah hilang kesaktiannya, roboh
oleh golok Banulaga. Darah langsung menyembur keluar dari
dada yang robek dan terbelah lebar.
"Eyang Resi...!" pekik Santika terkejut
Bergegas Santika memburu dan memeluk tubuh yang
terkapar mandi darah. Napas Resi Maespati mulai tersengal.
Tebasan golok Banulaga yang dalam merobek jantungnya.
Sesaat Banulaga sendiri tercenung dia seperti tersadar akan apa
yang baru saja terjadi.
"Eyang...," rintih Santika lirih.
"Jangan sedih, Santika. Gunakan badik pusaka itu pada
jalan yang benar dan lurus... dan satu lagi pesanku...," Santika
cepat tanggap, di dekatkan telinganya pada mulut Resi
Maespati, "jaga bagian pusarmu, di situ kelemahanmu...," lalu
tubuh Resi Marspati pun terkulai lemah.... Dia mati di pelukan
muridnya sendiri.
Wajah sedih Santika yang menatap tubuh gurunya
perlahan-lahan terangkat. Matanya menatap tajam pada
Banulaga.
"Biadab! Bangsat'" geram Santika. Seketika Santika
melompat menerjang Banulaga yang masih diam terpaku.
Terjangan yang cepat disertai amarah itu meluncur deras.
Banulaga yang terlambat menyadari, tidak bisa lagi
menghindar... tubuhnya terjengkang ke belakang oleh kaki
Santika yang mendarat di dadanya.
Santika pun terlihat semakin garang. Dia menggeram
sesaat, tangannya menggenggam erat badik pemberian
gurunya... dan dia pun melompat kembali ke arah Banulaga....
"Tunggu...!"
Santika tersentak, badik yang nyaris ia babatkan ke tubuh
Banulaga pun tertahan Kemudian terlihat olehnya Manusia
Bertopeng Hitam menghampiri.
"Aku tak ingin kau membunuh Banulaga dengan
penyesalan, Santika...," si Manusia Bertopeng Hitam berkata
dingin, sesaat menatap Santika, lalu menoleh pada Banulaga
yang sudah berdiri kembali.
"Siapa kau?" tanya Santika penasaran.
Bret!
Santika dan Banulaga sama-sama terkejut. Orang yang
telah membuka topeng hitamnya itu sama sekali tak
dikenalnya. Juga bukan Japra yang disebutkan oleh Sadim
sebelum kematiannya.
"Aku Sagar," orang itu berkata dingin, lalu matanya
menatap Banulaga dan Santika berganti-ganti. "Aku adik
angkat Japra.... Ayah dan ibu angkatku mati oleh orang-orang
Badaraka," orang itu lalu menarik napasnya dalam-dalam,
"...dan bersama Kang Japra aku membunuh ayahmu,
Banulaga," orang itu menghentikan ucapannya kembali, lalu
menatap tajam pada Banulaga, yang ditatapnya pun menahan
geram. "Dan kau, Santika..., kau adalah anak Parti, perempuan
yang dimangsa oleh kebuasan Badaraka, ayahmu mati
membela kehormatan istrinya... tapi Badaraka mengambilmu
sebagai anak angkatnya, dan adikmu...," orang itu seperti
tercekat kerongkongannya, lalu mendadak muncul Japra.
"Benar, Santika, Sagar ini adikmu, yang dirawat oleh
orang tuaku," kata Japra lirih. Sejenak Santika dan Sagar saling
berpandangan....
Dan mendadak mereka dikejutkan oleh Banulaga yang
melonca kabur. Melihat itu, Sagar alias Manusia Bertopeng
Hitam segera melemparkan belatinya. Dan....
"Aaakh...!"
Banulaga mengerang panjang.... Sebuah belati menancap
tepat di tengkuknya, lalu tubuhnya pun berdebum jatuh ke
tanah.
* * *
Sementara itu Iblis Selaksa Racun yang tengah bertarung
dengan Pendekar Rajawali Sakti, langsung gentar begitu
menyadari tinggal dia sendiri yang masih hidup. Dia sudah
mengerahkan segenap kemampuannya hingga berpuluh-puluh
jurus, tapi belum juga mampu membuat lawannya kewalahan.
Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu beberapa kali membuatnya
berlompatan jungkir balik menghindari gibasan-gibasan
goloknya yang cepat.
Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti hanya
memainkan pedangnya dengan cepat, dia merasa belum perlu
untuk mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dan tiba-tiba dia
menyadari kalau Iblis Selaksa Racun berusaha mundur
mendekati tembok sambil menghindari kibasan goloknya. Tapi
Pendekar Rajawali Sakti segera menyodok perut lawannya.
Dugaannya tepat, Iblis Selaksa Racun melentingkan
tubuhnya meloncati tembok bangunan itu, tapi sebelum
tubuhnya melewati tembok tiba-tiba....
"Aaakh...!" Iblis Selaksa Racun menjerit tertahan.
Tubuhnya menabrak tembok sebentar, lalu roboh dengan
punggung menganga lebar berlumuran darah segar. Pedang
Rajawali Sakti telah menamatkan riwayat-nya.
Rangga menarik napasnya pelan, sebentar matanya
memandangi tubuh Iblis Selaksa Racun. Dia pun menoleh
begitu suara lembut terdengar memanggilnya.
Terlihat oleh Rangga, Mega Lembayung dan Pak Karta
berjalan mendekat ke arahnya. Di belakangnya menyusul
Santika dan dua orang yang tak dikenal oleh Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Orang-orang Banulaga pun kemudian mendekati Rangga
dan kelima orang lainnya, mereka yang berjumlah puluhan
berlutut dengan kepala tertunduk.
"Hukuman apa yang pantas untuk mereka?" tanya Santika
meminta pendapat.
"Sudah berapa lama mereka mengabdi di sini?" Rangga
balik bertanya.
"Sudah cukup lama, sejak aku remaja," sahut Santika.
"Menurutku, mereka urusan kalian yang di sini. Maaf, aku
tak mau mencampuri urusan pribadi kalian," kata Rangga
tegas.
"Lepaskan saja mereka, biar mereka menentukan jalan
hidupnya sendiri...," terdengar suara lembut berwibawa dari
arah belakang.
"Kakek...," desis Mega Lembayung begitu menoleh.
"Kalian boleh meninggalkan tempat ini," kata Santika
tegas. Tapi orang-orang itu masih tetap bertahan di tempatnya,
hingga mengundang geram Santika dan yang lainnya.
"Hm... baik," kata Santika pelan, "kalau kalian masih mau
mengabdi padaku... hilangkan sikap pongah kalian,
mengerti?!"
Semua kepala yang tertunduk langsung terangkat hampir
bersamaan. Bekas orang-orang Banulaga itu lalu membungkuk
memberi hormat, dan tanpa diperintah lagi mereka segera
mengurus mayat-mayat yang berserakan di halaman rumah.
Santika dan yang lainnya pun terkejut manakala mereka
menyadari Pendekar Rajawali Sakti tak lagi berada di
tempatnya. Sesaat mereka terdiam, lalu hanya bergumam
pelan, sepertinya mengucapkan terima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar