BTemplates.com

Blogroll

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE MANUSIA BERTOPENG HITAM


matjenuh khairil


SATU


Udara malam itu terasa begitu dingin menggigit tulang. 

Hujan deras yang mengguyur bumi Desa Malayasati hampir 

seharian tadi tak mampu menguak gelapnya langit yang 

tertutup kabut tebal. Orang-orang pun enggan keluar rumah. 

Kecuali sesosok tubuh berpakaian serba hitam yang tengah 

melangkah ringan di jalanan yang sepi dan becek penuh 

genangan air. 

Sepasang kaki yang tengah melangkah itu terayun ringan 

bagai tak menapak tanah becek. Langkah kakinya nyaris tak 

terdengar sedikit pun, Di depan sebuah rumah besar 

berhalaman luas dengan tembok tinggi yang mengelilinginya, 

sepasang kaki itu menghentikan langkahnya. Tampak oleh si 

empunya sepasang kaki itu pintu pagar yang tertutup rapat. 

Pandangannya lalu terhenti pada dua orang yang meringkuk 

tertidur di lantai beranda. 

Mendadak sesosok tubuh yang berpakaian serba hitam itu 

melenting ke udara, berputar dua kali, lalu meluruk dengan 

cepat ke arah dua orang yang ada di hadapannya. Begitu 

kakinya menyentuh lantai, tangannya bergerak cepat dan 

menyambarnya. Kedua orang itu belum sempat menyadari 

keadaan, mereka hanya sempat mengeluh pendek, lalu roboh 

dengan kepala pecah. 

"Hmm…." sesosok tubuh berpakaian serba hitam itu 

menggumam pelan. 

Sepasang kakinya yang terbalut kain hitam ketat, kembali 

melangkah ringan melintasi beranda depan yang hanya 

diterangi sebuah pelita kecil. Langkahnya yang ringan tak 

bersuara, menandakan orang itu memiliki ilmu yang cukup 

tinggi. Langkahnya terhenti saat mencapai depan pintu. 

Perlahan-lahan tangannya terangkat ke depan. 

"Hih!"



Dari kedua telapak tangannya yang terbuka, keluar asap 

tipis yang menggumpal meluncur ke arah pintu. Kemudian, 

perlahan-lahan pmtu terkuak tanpa menimbulkan suara 

sedikitpun. Kakinya lalu melangkah memasuki ruangan. 

"Hm, rumah ini sangat besar. Aku harus memeriksa setiap 

kamar yang ada. Aku yakin dia ada di dalam rumah ini," 

gumamnya perlahan. 

Dia lalu memasuki sebuah kamar yang terdekat 

Nalurinya begitu tepat. Seorang laki laki bertubuh tambun 

tergolek dalam tidur yang lelap dengan seorang perempuan 

cantik yang punggungnya terbuka lebar. 

"Tidurlah kau dengan lelap, babi gendut! Aku tak akan 

membuatmu bangun lagi." orang itu mendengus sambil 

matanya menatap liar. Lalu perlahan-lahan dia mengambil 

pisau dari balik bajunya yang hitam pekat. 

Namun mendadak laki-laki yang hendak ditikamnya 

secepat kilat menyentakkan tangannya. 

Plak! Keras sekali sentakan tangannya. Lalu disusul 

gerakan tangan kanannya menyodok perut 

"Huk!" orang yang berpakaian serba hitam itu mengeluh 

pendek. Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang. 

"Bedebah! Siapa kau?" bentak lelaki itu sambil melompat 

turun dari pembaringan. 

Meskipun tubuhnya tambun seperti tong, gerakannya 

amat gesit dan menyulitkan lawannya. Orang yang perpakaian 

serba hitam itu mendengus seraya menyilangkan pisaunya di 

depan dada. Dia mulai pasang kuda-kuda dan membuka jurus. 

Lawannya pun tidak tinggal diam, sambil berpikir mencari 

tahu siapa gerangan orang yang kurang ajar berani 

menyatroninya. 

"Buka topengmu, bangsat! Apa urusanmu datang 

kemari?" 

"Kau tak perlu tahu siapa aku, Badaraka. Aku datang 

diutus dewa keadilan untuk mencabut nyawamu," dingin 

sekali suara orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu.

"Setan! Apapun alasanmu, kau telah lancang memasuki 

kamar pribadiku. Kau harus mampus!" geram Badaraka. 

Seketika Badaraka menyerang dengan jurus-jurus pendek 

tangan kosong. Rupanya orang bertopeng hitam itu pun telah 

menyiapkan jurus-jurus andalannya, sehingga dengan mudah 

serangan-serangan Badaraka dapat dipatahkannya. Bahkan 

kemudian beberapa kali dia berhasil mendesak lawannya ke 

sudut kamar. Hingga pada suatu kesempatan, Badaraka 

terjungkal setelah perutnya terkena tendangan maut. 

Beruntung dia sempat mengegoskan badannya ketika 

lawannya menggebrak dengan loncatan ke arah bagian 

vitalnya. 

Suara gaduh oleh pertarungan di kamar itu 

membangunkan si perempuan cantik dari tidurnya yang lelap. 

Ia menjerit ketakutan dan mencoba meloncat dari pembaringan 

seraya memegangi kain untuk menutupi tubuhnya. Orang 

bertopeng yang berpakaian serba hitam itu tangannya segera 

bertindak cepat. Dan sebuah pisau meluncur bagai anak panah 

lepas dari busurnya. 

"Aaakh...!" perempuan cantik itu hanya bisa menjerit 

tertahan begitu pisau tepat menancap di dadanya. 

"Ratih...!" seru Badaraka terkejut 

Badaraka jadi lengah, dan kesempatan yang sedikit itu 

dimanfaatkan oleh lawannya. Secepat kilat dia meloncat 

menghajar Badaraka dengan tendangan dan pukulan mautnya. 

Badaraka kembali terjungkal dan sebuah pisau yang tertancap 

di lehernya membuatnya menggelepar dan tak bernapas lagi. 

Orang bertopeng yang berpakaian serba hitam itu 

menolehkan kepalanya demi mendengar teriakan dan langkah-

langkah kaki yang berlari semakin dekat dan jelas terdengar. 

Dia melompat menerjang jendela, lalu tubuhnya melenting 

tinggi melewati pagar tembok rumah lawannya yang telah 

binasa. 

Orang-orang yang memburu ke arah kamar, langkahnya 

mendadak tertahan demi melihat dua sosok tubuh terbujur


bersimbah darah. Kengerian begitu terpancar dari wajah-wajah 

mereka. Beberapa saat mereka seperti mematung di pintu 

kamar. Baru ketika seorang lelaki muda menerobos masuk, 

mereka bergerak ke arah jendela yang jebol. 

"Bedebah! Siapa yang melakukan ini?" geram anak muda 

itu seraya mengepalkan tinjunya. 

"Kejar! Cari, jangan sampai anjing itu lolos!" perintahnya 

berang. 

Orang-orang yang mendengar perintahnya langsung 

berlompatan ke luar melalui jendela yang jebol. Di tangan 

mereka masing-masing tergenggam golok. Anak muda itu 

kemudian berlutut di samping mayat Badaraka. Tangannya 

mencabut pisau yang tertancap di leher. Sesaat dia 

memperhatikan pisau berlumuran darah yang tergenggam di 

tangannya. Matanya beralih pada perempuan yang tergeletak 

di pembaringan dengan kakinya terjuntai di lantai. Belum 

sempat dia bergerak untuk mencabut pisau yang tertancap di 

dada perempuan itu, terdengar seseorang berteriak memanggil 

namanya. 

"Santika, apa yang terjadi?" 

Anak muda yang dipanggil Santika itu menoleh. Dia 

langsung bangkit berdiri. Seolah tak membutuhkan jawaban, 

lelaki muda yang barusan datang itu memandangi dua sosok 

tubuh yang sudah tak bernyawa. Sejenak dia terdiam, 

kemudian pandangannya beralih pada Santika. 

"Siapa yang melakukan ini?" tanyanya berang. 

"Seharusnya Kakang lebih tahu dari aku. Bukankah Kakang 

Banulaga yang bertugas jaga malam?" Santika menatap tajam 

pada Banulaga yang tidak lain adalah kakaknya sendiri. 

"Ini sudah lewat tengah malam. Tugasku sudah 

digantikan Wadalika," sergah Banulaga. 

"Wadalika tewas di depan." 

"Apa?!"


Belum lagi hilang rasa terkejut Banulaga, salah seorang 

yang diperintah mengejar si pembunuh muncul dari balik 

jendela. Dia langsung membungkuk hormat. 

"Tuan Muda, seluruh kekuatan telah dikerahkan, tapi 

tidak juga berhasil menemukan orang itu." 

"Cari terus! Pembunuh Itu harus ditangkap!" 

"Baik, Tuan Muda." 

* * * 

Kematian Badaraka membuat seluruh penduduk Desa 

Malayasati gempar. Badaraka terkenal sebagai juragan kaya 

yang menguasai hampir seluruh tanah, sawah ladang dan 

perkebunan di desa ini. Orang-orang pun sudah bisa menduga 

bahwa si pembunuh pasti bukan orang sembarangan dan 

memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka tahu kalau Badaraka 

juga memlliki ilmu silat yang cukup tinggi, dan puluhan 

centeng selalu menjagai rumahnya siang malam. Tapi tak ada 

yang mampu menghadang sepak terjang pembunuh misterius 

itu. 

Kejadian di desa itu pun lalu terdengar sampai ke 

pelosok-pelosok desa lainnya. Kematian Badaraka membuat 

bekas lawan maupun kawannya memperhitungkan si 

pembunuh yang misterius itu. Tak terkecuali para penduduk 

yang mempunyai anak perempuan. Mereka tahu benar kalau 

Badaraka mata keranjang dan gemar memakan daun muda. 

Mereka dicekam ketakutan kalau-kalau si pembunuh malah 

lebih kejam dan bejad dari Badaraka. 

"Apa kau sudah mengerahkan orang-orangmu untuk 

mencari pembunuh ayahmu?" tanya Widura, sahabat kental 

Badaraka yang juga tuan tanah dari Desa Batujajar. 

"Sudah, tapi orang-orangku kehilangan jejak." 

"Aku menyesal sekali, seharusnya malam itu aku tahan 

ayahmu agar ia menginap di rumahku."


Banulaga tersenyum masam. Dia tahu betul siapa Widura 

ini. Laki-laki setengah baya yang tak jauh beda dengan 

ayahnya. Laki-laki yang juga senang menyabung ayam, main 

perempuan dan menghamburkan uangnya di meja judi. 

Banulaga tahu kalau ayahnya baru pulang waktu larut 

malam dengan menggandeng seorang perempuan ke 

kamarnya. Dan hatinya benar-benar dibuat geram dan 

penasaran, karena ayahnya mati saat lugasnya baru saja 

digantikan oleh orang lain. 

"Sudah hampir sore, aku harus kembali," kata Widura 

pamitan. 

"Terima kasih atas kedatangan Paman Widura kemari," 

ucap Banulaga. 

"Sama-sama. Kalau perlu apa-apa hubungi aku," 

"Baik. Sekali lagi terima kasih, Paman," Banulaga 

mengiringi Widura sampai ke luar pintu. Seorang laki-laki 

muda menyongsong sambil menuntun kuda. Widura segera 

melompat. Kedua orang itu langsung memacu kudanya 

masing-masing keluar halaman rumah besar itu. 

Banulaga menarik napas panjang. Pandangannya 

merayapi keadaan sekitarnya. Tampak beberapa orang berjaga-

jaga di setiap sudut. Banulaga memang telah menyuruh orang-

orangnya untuk tetap waspada sekaligus mencari pembunuh 

ayahnya. Banulaga terkejut begitu membalikkan tubuhnya, 

tahu-tahu Santika sudah berdiri di ambang pintu. 

"Ke mana saja kau?" tanya Banulaga. 

"Di dalam," sahut Santika sambil melangkah ke luar. 

"Santika, mau ke mana?" 

"Ke luar!" sahut Santika acuh. 

"Santika!" 

Tapi Santika tetap saja berjalan ke luar, menghampiri 

kudanya yang tertambat di pohon. Dalam sekejap saja dia 

sudah menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. 

"Anak setan!" Banulaga hanya bisa mendengus kesal.


* * * 

Sejak kematian Badaraka, praktis semua kekuasaan dan 

kekayaan yang dimilikinya jatuh ke tangan Banulaga. Berbeda 

dengan adiknya, Santika, Banulalaga mewarisi hampir semua 

sifat-sifat ayahnya. Buah memang jatuh tidak jauh dari 

pohonnya. Bukan hanya kegemaran pada perempuan-

perempuan cantik, tapi tingkah polahnya melebihi kekejaman 

ayahnya. 

"Badrun..!" Banulaga berteriak keras. 

Orang yang dipanggil datang terbungkuk-bungkuk 

menghampiri Banulaga yang berdiri bertolak pinggang dengan 

congkak di depan pintu. 

"Ada apa, Tuan Muda?" tanya Badrun. 

"Tuan Muda. Panggil aku Tuan Besar, tahu!" bentak 

Banulaga mendelik. 

"Maaf, Tuan Besar. Saya sering lupa," Badrun nyengir. 

"Sudah kau siapkan kuda?" Banulaga tak 

memperdulikannya lagi, dia terus saja melangkah melewati 

beranda. 

"Sudah, Tuan Besar," sahut Badrun mengiringi langkah 

majikannya. 

"Hm," Banulaga menggumam kecil. 

Badrun buru-buru mendahului Banulaga. Dia mendekati 

seekor kuda putih berbadan tinggi besar dengan pelana 

bersulamkan benang emas. Lalu menuntun kuda itu ke arah 

tuannya. 

Seperti ingin memperllhatkan ilmu meringankan 

lubuhnya, Banulaga melompat ke atas punggung kudanya. 

Tangannya menarik tali kekang. Sekilas dia melirik Badrun 

yang masih berdiri di sampingnya. 

"Ambil kudamu, ikut aku," kata Banulaga. 

"Hendak ke mana, Tuan Besar?"


"Ikut! Jangan banyak omong!" Banulaga setengah 

membentak. 

"Iya, iya.., baik, Tuan Besar." 

Badrun segera berlari kecil ke belakang rumah besar itu. 

Tidak lama kemudian dia kembali dengan menunggang seekor 

kuda hitam. Kedua kuda itu segera berpacu kencang 

meninggalkan halaman rumah. Dua orang penjaga pintu 

gerbang yang bersenjatakan golok segera membungkukkan 

badannya memberi hormat. 

Di sepanjang jalan desa, Banulaga mengendalikan 

kudanya dengan sikap angkuh. Tidak sedikitpun bibirnya 

menyunggingkan senyum. Juga tak mengangguk ketika 

penduduk di sepanjang jalan desa yang dilewatinya 

membungkukkan badannya. 

Banulaga menjentikkan jarinya seraya menghentikan laju 

kudanya. Matanya yang tajam menatap lurus pada sebuah 

rumah di antara lebatnya pepohonan. Sebuah rumah 

berdinding anyaman bambu dan beratapkan rumbia. Badrun 

menghentakkan perut kudanya mendekati Banulaga yang tak 

lepas lepasnya memandangi rumah yang ada di hadapannya. 

"Kau tahu, rumah siapa Itu?" tanya Banulaga pelan. 

"Yang mana, Tuan Besar?" Badrun malah bertanya lagi. 

"Itu, goblok!" 

"O..., Itu. Rumahnya Pak Karta. Memangnya kenapa 

Tuan?" 

"Hm..., tidak." 

Banulaga menghentakkan kudanya kembali. Namun baru 

saja kuda putih kesayangannya melangkah beberapa tindak, ia 

menghentikan kudanya seketika. Dari pintu rumah Pak Karta 

yang terkuak itu muncul seorang perempuan muda dengan 

bakul bambu di pinggang kirinya. Mata Banulaga melotot, tak 

lepas-lepasnya memandangi perempuan muda itu. Perempuan 

itu berparas ayu. Banulaga tahu dibalik kainnya yang ketat ada 

sesuatu yang montok dan merangsang birahinya. Perempuan 

yang dipandanginya terkejut menyadari ada dua lelaki asing


tengah menjilati tubuhnya dengan pandangan penuh birahi. 

Bibirnya yang tipis merekah terbuka, membuat Banulaga 

menelan ludah. Ia seperti melihat dewi dari kahyangan. 

Badrun pun jadi ikut mendelik menatap liar tubuh si gadis. 

"Badrun, anak perawan siapa dia?" tanya Banulaga 

berbisik 

"Barangkali anaknya Pak Karta, Tuan Besar," sahut 

Badrun. 

"Kenapa barangkali?" Banulaga tak puas dengan Jawaban 

pembantunya. 

"Saya sendiri baru melihatnya, Tuan." 

"Hmmm... sejak kapan Pak Karta punya anak perawan?" 

Banulaga seperti bertanya pada dirinya sendiri. Lalu 

perhatiannya kembali pada perempuan ayu yang kini sudah 

melangkah melewati pekarangan samping rumah. Banulaga 

menelan ludah yang membasahi tenggorokannya. 

Tiba-tiba saja muncul seorang lelaki tua dari arah samping 

belakang rumah. Laki-laki dengan pakaian dan celana longgar 

hitam itu langsung membungkuk begitu melihat Banulaga 

berada di depan rumahnya. 

"Orang tua itu Pak Karta, Tuan Besar," ucap Badrun. Lalu 

tanpa disuruh majikannya, dia setengah berteriak memanggil, 

"Kemari kau, tua bangka!" 

Yang dipanggil buru-buru mendekat sambil 

menubungkukkan badannya. Badrun lalu menoleh pada 

tuannya, seolah-olah menyilakan tuannya untuk mengorek 

keterangan tentang perempuan muda itu. Banulaga pun cepat 

menangkap maksud pembantunya. Ia menatap tajam pada Pak 

Karta. 

"Apakah ada yang salah pada diri saya, Tuan?" Pak Karta 

bertanya dengan membungkukkan badan penuh hormat 

dengan suara bergetar. 

"Tidak," sahut Banulaga cepat. 

Banulaga melirik pada Badrun, kemudian dia melompat 

turun dari kudanya. Badrun juga berbuat yang sama, lalu


mengambil alih tali kekang kuda majikannya untuk 

ditambatkan bersama-sama dengan kudanya sendiri. 

"Dengan siapa kau tinggal di sini?" tanya Banulaga tanpa 

rasa hormat sediktipun pada orang yang lebih tua umurnya. 

"Saya..., saya tinggal sendiri di sini, Tuan," jawab Pak 

Karta gugup. 

"Kau berdusta, heh?" 

Pak Karta mengangkat kepalanya. Matanya melirik pada 

Badrun yang baru selesai menambatkan kuda. Tampak gagang 

golok menyembul keluar di pinggang laki-laki bertubuh hitam 

itu. Raut muka Pak Karta seketika menampakkan ketakutan. 

"Siapa perempuan yang tadi keluar dari rumahmu?" tanya 

Banulaga keras. 

"Oh! Tu... Tuan sudah melihatnya?" orang tua itu kaget 

"Anakmu?" 

"Bu... bukan. Eh... iya, Tuan" gugup sekali Pak Karta 

menjawab. 

"Jawab yang benar!" bentak Badrun kasar. 

"Eh... anu, Tuan, dia... dia anak saya." 

"Hm...." Banulaga mengernyitkan alisnya. Matanya tajam 

dan agak liar menatap ke wajah lelaki tua yang ada di 

depannya. Kemudian terbayang kembali wajah perempuan 

muda yang membangkitkan birahinya. "Cepat panggil anakmu 

kemari!" 

"Dia... dia masih kecil, Tuan!" Pak Karta berusaha 

menolak secara halus. 

Trak! 

Badrun menghentakkan gagang goloknya dengan keras. 

Pak Karta mengkeret melirik ke arah sumber suara itu. 

"Ba... baik Tuan, saya panggilkan." 

Banulaga sudah tak sabar, napasnya sudah naik turun tak 

karuan. Badrun pun tersenyum kecil menyaksikan tuannya 

salah tingkah. Tak lama kemudian mereka melihat Pak Karta 

dan anak perempuannya tengah berjalan menuju ke arahnya.


Sampai Pak Karta dan perempuan muda itu berdiri di 

hadapannya, matanya tak berkedip merayapi keindahan dan 

kecantikan yang menggelorakan birahinya. 

"Siapa namamu, gadis ayu?" tanya Banulaga tersenyum 

menyeringai. 

"Mega Lembayung," sahut si perempuan datar. 

"Ah, nama yang cantik, secantik orangnya," desah 

Banulaga merayu. 

"Terima kasih." 

"Pak Karta, aku bermaksud memboyong putrimu," kata 

Banulaga tanpa basa-basi. 

Merah padam muka Mega Lembayung mendengar kata-

kata itu. Sedangkan Pak Karta kebingungan mendengar 

permintaan yang sejak tadi ia cemaskan. Mega Lembayung lalu 

menatap tajam Banulaga. Hatinya penuh kemarahan dan 

kebencian. Tatapan matanya yang tajam mengagetkan 

Banulaga. Selama ini belum ada seorang pun yang berani 

menatap wajahnya sedemikian rupa, apalagi seorang 

perempuan. 

Banulaga meremehkan tatapan itu. Dia lalu melangkah 

menghampiri Mega Lembayung. Tangannya terulur hendak 

menjamah. Tapi baru saja tangannya bergerak, tiba-tiba Mega 

Lembayung menyentakkan tangannya. Begitu keras sentakan 

tangannya, hingga tubuhnya terdorong ke samping dua 

langkah. Belum sempat Banulaga membalas, Mega Lembayung 

menyampok kakinya. 

Buk! 

Banulaga terpental dan jatuh terduduk di tanah. Badrun 

yang menyaksikan kejadian itu, langsung menghunus 

goloknya. Sementara Banulaga melompat bangkit berdiri. 

Bibirnya meringis menahan geram. 

Baru kali ini dia kena batunya. Gadis itu terrryata punya 

kepandaian yang tak bisa diremehkan. 

"Perempuan laknat!" geram Banulaga sengit "Badrun, 

ringkus dia!"


Badrun meloncat tepat di hadapan perempuan muda itu. 

Pak Karta langsung mundur menjauh. Wajahnya pucat dan 

tubuhnya gemetaran. Kengeriannya makin bertambah 

manakala golok Badrun berkilat terkena sinar matahari. 

Sementara Mega Lembayung menyingsingkan kainnya hingga 

terlihat celana pangsinya. 

* * *


DUA


"He he heehe...." Badrun terkekeh dengan mulut 

menyeringai. Sikapnya benar-benar meremehkan Mega 

Lembayung. Goloknya yang terhunus dia masukkan kembali 

ke dalam sarungnya sambil matanya terus memandangi 

lawannya, seolah-olah ingin menunjukkan kalau tanpa golok 

pun dia bisa meringkusnya. 

Tangannya terulur hendak mengangkat tangan gadis itu, 

namun dengan cepat Mega Lembayung menyentakkannya. 

"Uts!" 

Badrun cepat-cepat menarik tangannya kembali, dan 

segera meloncat meringkus lawannya. Mega Lembayung 

memutar tubuhnya sedikit, lalu dengan cepat kaki kanannya 

melayang ke arah perut Badrun yang menganggap remeh 

lawannya, tak dapat lagi mengelak. Tendangan perempuan 

muda itu amat telak dia rasakan. 

Pembantu Banulaga itu mengeluh pendek. Tubuhnya 

terjengkang beberapa langkah ke belakang. Bibirnya meringis 

menahan sakit di perutnya, dan pandangan matanya terasa 

kabur. Badrun lalu mencoba bangkit dan menggerak-gerakkan 

tangannya. 

"Hiaaat...!" 

Sambil bertenak nyaring Badrun melompat seraya 

mengirimkan pukulan pendek. Mega Lembayung 

memiringkan tubuhnya sedikit, dan tangannya terangkat 

menangkis pukulan. Dua tangan itu beradu keras. Badrun 

meringis merasakan tulang tangan kirinya seperti remuk. Kali 

ini dia tak bisa menganggap remeh lagi pada Mega 

Lembayung. 

Sesaat Mega Lembayung memperhatikan lawannya. 

Hingga detik ini dia hanya bermaksud mempertahankan diri.



Lalu dia melihat lawannya mulai membuka jurus-jurus 

andalannya. Diapun tidak tinggal diam. 

Badrun mulai kembali menyerang dengan jurus-jurus 

tangan kosong. Dia mengirimkan pukulan tipuan dengan 

tangan kanannya. Tapi secepat kilat Mega Lembayung berhasil 

menangkisnya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya 

mendorong ke depan, disusul dengan tendangan kakinya 

bertubi-tubi. Badrun jadi kelabakan. Dia bergegas mundur, 

namun dia masih merasakan dorongan angin dari tendangan 

Mega Lembayung. Badrun bersalto dua kali sebelum kakinya 

menjejak tanah. 

"Phuih!" dengus Badrun menyemburkan ludahnya. 

Sret! 

Tanpa malu-malu lagi Badrun mencabut goloknya. Dia 

lalu melompat ke depan beberapa langkah, lalu menyerang 

lawannya dengan jurus-jurus pendek dan cepat Goloknya 

berkelebatan mengurung gadis itu. Namun sampai lima jurus 

telah ia kerahkan, Mega Lembayung tak tersentuh sedikitpun 

oleh ujung goloknya yang tajam dan berkilat-kilat. Bahkan 

beberapa kali pinggangnya terkena sodokan kaki lawannya. 

Memasuke jurus ke sepuluh, Badrun mulai terdesak. Dia 

tak punya kesempatan lagi untuk menyerang. Goloknya seperti 

tumpul dan mati. Tepat memasuki jurus ke duabelas, dia 

kecolongan, kaki kanan Mega Lembayung menendang 

pinggangnya yang kosong. Badrun melenguh pendek, dan 

tubuhnya terdorong ke samping. Belum lagi dia sempat 

menguasai diri, datang lagi serangan cepat dan beruntun dari 

lawannya. 

"Akh!" Badrun memekik tertahan. 

Saat laki-laki berkulit hitam legam itu hilang 

keseimbangannya, Mega Lembayung menggebrak dengan 

cepat ke arah dada. Badrun terjengkang roboh ke tanah. Darah 

segar menyembur dari mulutnya. Dadanya terasa amat sesak. 

Sulit untuk bernapas.


Badrun tengah berusaha bangkit, ketika gadis itu menjerit 

keras dengan kaki tersentak ke depan. Kakinya nyaris 

menghantam kepala Badrun, ketika mendadak sebuah sinar 

keperakan meluncur ke arahnya. Mega Lembayung melenting 

ke belakang menghindari sinar keperakan itu yang ternyata 

sebuah golok. 

"Pengecut!" dengus Mega Lembayung geram. 

"Kau memang tidak bisa diajak senang, perempuan 

setan!" geram Banulaga. 

"Phuih! Kau bisa berbuat semaumu pada gadis lain. Tapi 

jangan harap bisa memangsaku!" 

"Kau memang cantik, tapi mulutmu kotor!" 

"Tidak lebih kotor dari dirimu sendiri, bangsat!" 

Banulaga menahan geram dan darahnya mendidih. Kalau 

saja bukan perempuan cantik yang ada di hadapannya, 

perempuan muda itu pasti sudah mati oleh jarum-jarum 

beracunnya. Atau wajahnya sudah robek terkena sepasang 

golok peraknya. Perempuan muda itu sudah telanjur 

membangkitkan birahinya, hingga terasa sayang kalau dia 

bunuh sebelum dinikmati kehangatan tubuhnya. 

Banulaga meraba pinggangnya. Tangan kanannya lalu 

menarik ikat pinggang yang melilit. Tampak sebuah cambuk 

dari bahan kulit yang dipintal dengan urat kuat tergenggam di 

tangannya. Suara cambuk itu menggelegar ketika Banulaga 

mengebutkannya. Mega Lembayung beringsut mundur dua 

tindak. Sepasang bola matanya yang indah menatap tajam 

pada cambuk yang tergenggam di tangan Banulaga. 

Banulaga segera menyerang Mega Lembayung dengan 

cambuknya. Mega Lembayung berlompatan menghindari 

ujung cambuk yang bergerak cepat mencecar tubuhnya. 

Sementara dua pasang mata lainnya melihat dengan caranya 

yang berbeda. Badrun melihatnya dengan senyum yang 

mengejek, tanpa rasa malu telah dipecundangi oleh seorang 

perempuan muda. Tapi sepasang mata lainnya begitu cemas 

dan ketakutan melihat pertempuran itu dari balik sebatang



pohon. Pak Karta mulai meraba apa yang akan terjadi pada diri 

Mega Lembayung. 

Tiba-tiba tercium bau busuk yang menusuk hidung dan 

amat memualkan. Cambuk Banulaga itu ternyata beracun. 

Semakin gencar cambuk itu menghajar lawannya, baunya 

semakin menyengat dan memabukkan. Mega Lembayung 

sudah tak bisa menguasai diri, tubuhnya limbung mencium 

bau busuk semakin memecah terkena cambuk bertubi-tubi. 

Tap! 

Perlawanan Mega Lembayung pun tampaknya mati 

ketika ujung cambuk membelit tangan kanannya, lalu 

terangkat dan disentakkan dengan keras oleh Banulaga yang 

mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tubuh Mega 

Lembayung tersentak keras dan terbanting ke tanah. 

"Ha ha ha...!" Banulaga tertawa puas melihat lawannya tak 

berdaya. 

Beruntung Mega Lembayung memiliki kekuatan dan 

kepandaian yang lumayan, hingga sentakan cambuk itu tak 

sampai merenggut jiwanya. Sementara tak jauh dari 

tempatnya, tubuh Pak Karta tergeletak pingsan. Tubuhnya 

yang ringkih tak mampu menahan bau busuk cambuk 

Banulaga. Dia muntah-muntah sebelum akhirnya tergeletak 

lemas 

Mega Lembayung berusaha menghimpun kekuatannya 

kembali. Dia mencoba bangkit, tapi Banulaga segera 

menyambar tubuhnya dengan lecutan cambuknya. Pinggang 

Mega Lembayung pun terbelit tanpa bisa mengelak. Banulaga 

menarik cambuk itu kuat-kuat sambil memutarkan badannya, 

dan tubuh perempuan muda yang malang itupun kembali 

roboh. 

Banulaga tertawa terbahak bahak melihat korban 

keganasannya berkutat sendiri berusaha melepaskan belitan 

cambuk di tubuhnya. Dia seperti tengah menonton adegan 

lelucon.


Pinggang Mega Lembayung terbelit 

oleh cambuk yang sangat bau dan beracun. 

Kemudian Banulaga menarik cambuk itu 

kuat-kuat sambil memutarkan badannya, dan 

tubuh perempuan muda yang malang itupun 

tersentak mengikuti gerakan tubuh Banulaga. 

"Badrun!" Banulaga menjentikkan jarinya. Badrun yang 

sedari tadi ikut terkekeh-kekeh melihat adegan itu langsung 

menghampiri sambil menuntun kuda putih kesayangan 

tuannya. Dia sudah hapal betul apa yang yang akan diperguat 

Banulaga jika menghadapi musuh-musuhnya yang sudah tak 

berdaya. 

Banulaga pun langsung melompat ke atas punggung kuda 

tanpa melepaskan gagang cambuknya. Tubuh Mega 

Lembayung tersentak, terseret sempoyongan, lalu tersungkur 

sampai cambuk itu terlepas sendiri dari tubuhnya yang memar 

dan penuh luka cambukan. 

"Ha ha ha...! Perempuan tolol! Rupanya kau lebih suka 

dengan caraku begini, heh?" Banulaga tertawa ngakak dari atas 

kudanya, lalu menoleh pada tubuh Pak Karta yang masih 

tergeletak pingsan, "Ikat tua bangka itu di pohon!" 

Badrun terkekeh sambil melangkah menghampiri laki-laki 

tua itu, lalu digelandang dengan kakinya ke sebuah pohon. 

Mega Lembayung yang melihatnya, mencoba bangkit dan 

berlari mendekat. 

"Iblis kejam!" 

Tar! 

Lecutan cambuk kembali mengenai tubuhnya, lalu ia 

roboh seketika. 

Badrun mulai mengikat tangan Pak Karta. Lalu dengan 

tambang panjang dia mengikat leher laki-laki tua itu. Sedang


ujung satunya lagi dia ikatkan ke batu sebesar dua kali kepala 

manusia. 

Batu itu diletakkan di atas tonggak kayu, lalu di 

limbungkan dengan tongkat yang dibelitkan dengan tambang 

yang mengikat leher Pak Karta. Sedikit saja pak tua itu siuman 

dan menggerakkan kepalanya, tongkat itu akan menarik batu 

terjatuh ke tanah, dan leher Pak Karta pun akan tercekik. 

"He he he...," Badrun terkekeh melihat hasil pekerjaannya 

yang sempurna, lalu mendekati Mega Lembayung yang sudah 

berdiri dengan cambuk yang membelit dadanya. 

"Kau juga akan bernasib sama, Nona Manis. Kecuali kalau 

kau mau Jadi... he he he...," Badrun kembali terkekeh. 

"Cuih!" Mega Lembayung menyemburkan ludahnya, 

dan,tepat menemplok di muka Badrun. 

"Sompret!" Badrun jadi geregetan. Tangannya sudah 

terangkat hendak menampar. 

"Badrun!" sentak Banulaga cepat. 

Badrun mendengus seraya menurunkan tangannya 

kembali. Dengan muka cemberut dan menahan dongkol dia 

menyeka ludah di mukanya. Laki-laki berkulit hitam legam itu 

menghampiri kudanya yang tertambat di pohon. Matanya 

melirik Mega Lembayung sebelum meloncat ke punggung 

kudanya. 

"Hiya!" 

"Hiya!" 

Tras! 

Tiba-tiba saja cambuk yang membelit dada Mega 

Lembayung terputus begitu Banulaga menyentakkan tali 

kekang kudanya. Banulaga terkejut dan segera melenting dari 

punggung kudanya. Badrun segera mengejar kuda putih 

tunggangan tuannya ini. 

"Bangsat!" geram Banulaga. 

Dengan amarah yang memuncak, dia membuang 

cambuknya yang sudah butut. Sedang Mega Lembayung 

bergerak bangkit sambil melepaskan sisa cambuk yang melilit


di tubuhnya. Tak jauh dari gadis itu, berdiri seorang pemuda 

tampan berpakaian rompi putih dengan pedang bergagang 

kepala burung menyembul di pinggangnya. Pemuda itu tak 

lain dari Pendekai Rajawali Sakti. Dia lalu menolong Mega 

Lembayung melepaskan belitan cambuk. 

"Terima kasih," ucap Mega Lembayung. 

Rangga, alias Pendekar Rajawali Sakti itu hanya 

tersenyum tipis. Matanya tak lepas menatap Banulaga yang 

sudah mencabut golok peraknya. Tampak wajah Banulaga 

yang merah-padam menahan amarah. Kemudian terdengar 

suara langkah kuda mendekati mereka. Badrun muncul 

dengan menuntun kuda putih dari atas punggung kudanya, 

dan segera meloncat turun begitu melihat tuannya tengah 

memandang orang asing yang belum dikenalnya. Tangannya 

langsung mencabut golok. 

"Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!" bentak 

Banulaga sengit. 

"Aku Rangga," sahut Rangga tenang. "Aku tidak suka 

melihat kekejaman berlangsung di depan mataku." 

"Setan alas!" 

"Menyingkirlah, Nona. Bebaskan orang tuamu," kata 

Rangga lembut. 

"Hati-hati, orang itu kejam sekali," Mega Lembayung 

mengingatkan. 

"Hm," Rangga hanya tersenyum kecil. 

"Badrun!" Banulaga menjentikan jarinya. 

Badrun langsung melompat menyerang dengan goloknya. 

Rangga hanya memiringkan tubuhya sedikit, dan tebasan 

golok itu lewat di sampingnya. Secepat kilat tangan Pendekar 

Rajawali Sakti itu mengibas ke arah dada. Namun Badrun 

sudah lebih dulu bergerak ke kiri dan kibasan tangan Rangga 

lewat di tempat yang kosong. 

Kembali Badrun mengayunkan goloknya ke arah kepala, 

dan Rangga mengangkat tangan kanannya. Tap! Golok Badrun 

berhasil dijepit dengan dua jari tangan. Badrun berusaha


menarik goloknya ke luar dari jepitan jari yang bagaikan 

sebuah penjepit baja itu. Rangga menggerakkan jarinya sedikit, 

dan... 

Trak! 

Golok yang dijepit patah jadi dua. Badrun terkesima 

menatap goloknya yang patah itu. Dan belum sempat ia 

mengalihkan perhatian, mendadak kaki Rangga sudah 

melayang deras menghantam dadanya. 

Badrun terjengkang sejauh kira-kira dua batang tombak 

ke belakang. Dari mulutnya memuncrat darah segar. Dan 

belum lagi dia sempat bangun, Rangga sudah melompat bagai 

kilat, dan kakinya langsung menjepit leher laki-laki berkulit 

hitam legam itu. 

"Hih!" 

Trak 

Badrun tak mampu lagi bersuara. Tulang lehernya 

langsung patah. Hilang sudah nyawa dari badannya. Rangga 

lalu memandang Banulaga yang masih terkesima melihat 

kematian pembantunya yang hanya dengan sekali gebrak saja. 

Banulaga cepat mengalihkan perhatiannya pada Rangga. 

Dengan cepat dia meloncat sambil mengibaskan golok 

kembarnya. 

Rangga berkelit menghindari serangan cepat dua golok 

kembar keperakan itu. Serangan Banulaga itu amat gencar dan 

dahsyat. Dua golok di tangannya berkelebatan cepat, hingga 

yang terlihat hanya dua berkas sinar putih keperakan yang 

mengurung tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Banulaga telah mengerahkan kekuatannya hingga jurus 

ke sepuluh. Namun belum sedikitpun tubuh Rangga terkoyak 

oleh golok kembarnya. Tampaknya Pendekar Rajawali Sakti ini 

belum melayaninya secara sungguh-sungguh. Dia hanya 

berkelit sekedar menghindari setiap serangan yang dilancarkan 

Ranulaga. 

Tiba-tiba Banulaga menyatukan goloknya ke tangan kiri. 

"Hiaaa...!"


Banulaga meloncat sambil melontarkan jarum-jarum 

mautnya yang beracun. Rangga terbeliak sesaat, lalu secepat 

kilat tubuhnya melenting berputaran di udara menghindari 

jarum-jarum beracun yang datangnya bagai hujan. Rangga 

benar-benar dibuat kerepotan dengan serangan-serangan 

jarum-jarum itu. Dia berjumpalitan di udara sambil matanya 

mencari-cari celah untuk membalas. 

Dan kesempatan itu pun datang ketika Banulaga 

kehabisan jarum-jarum mautnya. Hanya sesaat memang, dan 

itu juga cukup bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas 

serangan. Secepat kilat dia meluruk deras ke arah Banulaga. 

Rangga langsung mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik 

Menyambar Mangsa'. Kakinya bergerak cepat dan berputar 

mengancam kepala lawan. 

"Setan!" dengus Banulaga seraya menjatuhkan tubuhnya 

ke tanah. 

Serangan Rangga luput di tengah jalan. Dan begitu 

kakinya mendarat, secepat kilat Banulaga mengibaskan 

goloknya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti harus melompat 

menghindari tebasan golok itu. Banulaga buru-buru bangkit, 

dan memisahkan golok kembarnya lagi. Kini kedua 

tangannnya menggenggam senjata. Saat itu juga dia kembali 

menyerang dengan dahsyat 

Rangga segera mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh 

Rajawali'. Dengan Jurus itu Banulaga jadi kerepotan, karena 

setiap pukulan yang dilontarkan lawannya, menimbulkan 

hawa panas yang sangat menyengat kulit, yang diiringi 

dorongan angin pukulannya yang kencang, sehingga 

menyulitkan Banulaga untuk bergerak. 

Menyadari kekuatan dirinya yang tak bakal mampu 

menandingi kesaktian Pendekar Rajawali Sakti dalam beberapa 

gerakan lagi, Banulaga segera melenting dan meloncat ke 

punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda putih 

tunggangannya. Rangga berdiri tegak memandang kepergian 

Banulaga.


"Hm," Rangga menggumam pelan, lalu membalikkan 

tubuhnya. Matanya langsung memandang Mega Lembayung 

yang tengah menyadarkan orang tuanya. Rangga segera 

menghampiri dan segera memeriksa keadaan Pak Karta. 

Kemudian dia mengangkat dan membawa tubuh orang tua 

yang malang itu ke depan rumahnya. Pak Karta dibaringkan di 

balai-balai yang terbuat dari bambu. 

"Ayahmu tidak apa-apa, cuma pingsan" kata Rangga. Lalu 

dia memijit bagian tangan dan tengkuk Pak Karta sebentar. 

"Terima kasih, kau telah menyelamatkan kami," ucap 

Mega Lembayung. Kepalanya tetap tertunduk menatap wajah 

laki-laki tua yang tergolek di hadapannya. 

"Sudah menjadi kewajiban manusia untuk menolong 

sesamanya," Rangga merendah. 

Mega Lembayung mengangkat kepalanya, wajahnya 

menatap paras tampan di depannya. Rangga memberikan 

senyum simpatiknya dengan sedikit anggukan kepala. 

"Siapa orang itu, dan kenapa dia menyiksa kalian?" tanya 

Rangga. 

Belum lagi Mega Lembayung menjawab, terdengar suara 

batuk-batuk. Seketika dua pasang mata mengalihkan 

tatapannya pada Pak Karta yang sudah mulai siuman. Lelaki 

tua berbadan ringkih itu berusaha duduk. Mega Lembayung 

segera membantu mengangkat tubuhnya. Laki-laki tua itu 

duduk bersandar. 

Sebentar dia mengatur napasnya, kemudian menatap 

Rangga yang masih berdiri di depannya. 

"Dia yang menolong kita, Kek," Mega Lembayung 

menjelaskan. 

"Siapa namanmu, Kisanak?" tanya Pak Karta. 

"Rangga," sahut Rangga tersenyum ramah. 

"Terima kasih, kau telah menolong kami yang tak berdaya 

ini." 

"Ah, cuma kebetulan saja," Rangga merendah.


"Hm..., tampaknya kau bukan penduduk desa ini. Apakah 

kau seorang pengembara?" 

"Benar, Pak. Saya cuma pengembara yang mencari hidup 

dari satu tempat ke tempat lainnya." 

Pak Karta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan 

mendadak dahinya berkerut melihat sesosok mayat tergeletak 

di depan rumahnya. Kembali matanya menatap Rangga dan 

Mega Lembayung bergantian. Dia lalu menarik napas panjang. 

"Seharusnya tadi kau tak usah ke luar, Mega," Pak Karta 

bergumam pelan seolah menyesali apa yang telah terjadi. 

Lelaki tua itu mendesah perlahan. Kematian Badrun di 

depan rumahnya tentu akan berbuntut panjang. Lebih-lebih 

persoalannya langsung di tangan Banulaga yang mengangkat 

dirinya sebagai pengganti Badaraka. Dia tidak bisa 

membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Banulaga tentu 

tidak akan tinggal diam begitu saja. 

"Maaf, Kek. Kedatanganku membuatmu susah," terdengar 

pelan suara Mega Lembayung. 

"Semuanya sudah terjadi. Banulaga tentu akan kembali 

lagi menuntut balas." 

"Aku akan menghadapinya, Kek." 

"Tidak! Kau tak akan sanggup menghadapi orang-

orangnya Banulaga. Mereka orang-orang yang kejam dan 

sangat tinggi kepandaiannya." 

"Maaf, sebenarnya apa yang telah terjadi?" Rangga 

menyela. 

Pak Karta memandang Pendekar Rajawali Sakti itu. Lalu 

mengalihlan pandangannya pada Mega Lembayung. 

"Sebaiknya kalian segera pergi meninggalkan desa ini 

Lebih-lebih kau, anak muda. Kau telah membunuh Badrun, 

meskipun niatmu hanya menolongku dan Mega. Banulaga 

tidak akan membiarkan begitu saja orang yang membunuh 

pembantunya, dan membuatnya kehilangan muka," Pak Karta 

berujar lirih. 

"Siapa Banulaga itu, Pak?"



"Dia pewaris dan pengganti ayahnya, Badaraka. Ayah dan 

anaknya tidak jauh berbeda, mereka senang melampiaskan 

nafsunya pada setiap perempuan cantik yang ditemuinya. 

Bahkan Kepala Desa sendiri tunduk padanya. Dia bisa berbuat 

apa saja yang dia kehendaki, termasuk perempuan cantik yang 

sudah bersuami sekalipun, dia tidak peduli," kata Pak Karta 

menjelaskan. 

Rangga mengangguk kecil. Kini dia sudah bisa 

memahami persoalan yang sebenarnya. Lalu sekilas sudut 

matanya melirik Mega Lembayung yang masih duduk di tepi 

balai-balai bambu. Dalam hati kecilnya, iapun mengagumi 

kecantikan Mega Lembayung yang nyaris menjadi korban 

kebuasan Banulaga. 

"Mega cucuku yang tinggal satu-satunya. Baru seminggu 

dia tinggal di sini bersamaku. Dan sejak dia berada di sini aku 

sudah mengkhawatirkan keselamatannya. Tapi memang 

tinggal akulah satu-satunya yang dia miliki. Ayahnya 

meninggal terbunuh saat mempertahankan istrinya yang 

diboyong paksa oleh Badaraka. Ya, ibunya juga tewas bunuh 

diri karena merasa malu dirinya sudah ternoda. Sekarang 

putranya juga ingin mengambil paksa, seperti yang dilakukan 

ayahnya pada ibu Mega," suara Pak Karta semakin lirih saat 

menyudahi ceritanya. 

"Kek..," Mega memegang tangan keriput kakeknya. 

"Maafkan kakekmu, Mega. Aku memang merahasiakan 

ini padamu. Baru sekarang aku terpaksa menceritakannya," 

ujar Pak Karta menatap kosong. 

Rangga memandangi Mega Lembayung. Keningnya 

sedikit berkerut mendengar cerita Pak Karta mengenai anak 

gadis ini. Cerita yang sangat mirip dengan perjalanan 

hidupnya. Dia sepertinya tengah melihat satu kilas balik dari 

riwayat hidupnya sendiri yang dialami Mega saat ini. Dia bisa 

memahami perasaan yang tengah bergayut di hati cucu Pak 

Karta ini.



"Belum lama Badaraka dikuburkan. Hanya sebentar 

penduduk Desa Malayasati ini menarik napas lega, dan 

sekarang mereka seperti menanti perjalanan panjang bagaikan 

neraka yang tak berujung," kembali Pak Karta berkata pelan. 

"Sudahlah, Kek. Apapun yang akan terjadi aku akan 

menghadapinya," kata Mega Lembayung lembut. 

Pak Karta hanya tersenyum pahit. 

* * *


TIGA


Kematian Badrun dan kegagalannya mendapatkan Mega 

Lembayung membuahkan dendam kesumat di hati Banulaga. 

Sebagai penguasa dan pewaris Badaraka, harga dirinya terasa 

dilecehkan begitu saja oleh Pendekar Rajawali Sakti. 

Banulaga mondar-mandir di beranda depan rumahnya. 

Hatinya penuh luapan emosi. Seorang centengnya pun menjadi 

sasaran kekesalannya dengan sebuah tendangan keras karena 

lamban menambatkan kudanya. Sesaat kemudian dia berteriak 

memanggil salah seorang kaki tangannya. 

"Japra!" 

Laki-laki yang dipanggil Japra itupun membungkukkan 

badannya. Dia melangkah mendekati Banulaga yang bertolak 

pinggang. 

"Kau dan Sarkam pergi ke Gunung Kanji. Bilang pada 

Resi Maespati, kalau aku membutuhkan kedatangannya. 

Sekaligus kau ke Bukit Genting menemui Iblis Selaksa Racun. 

Katakan aku yang meminta dia datang!" kata Banulaga. 

"Sekarang, Tuan?" tanya Japra sopan. 

"lya, sekarang!" 

"Permisi, Tuan." 

Japra melangkah pergi meninggalkan ruangan depan 

yang luas itu. Tatapan Banulaga beralih pada seorang lagi yang 

berdiri di sudut halaman. Banulaga memanggil dengan ujung 

jarinya. Laki-laki bermata picek itu mendekati. Tidak 

sedikitpun dia membungkuk seperti Japra. 

"Aku perlu bantuanmu, Setan Mata Satu," kata Banulaga 

pelan suaranya. 

"Katakan saja, apa yang harus aku Iakukan?" berat sekali 

suara Setan Mata Satu terdengar. 

"Lenyapkan siapa saja yang ada di rumah Karta dan bawa 

Mega Lembayung ke sini," kata Banulaga tegas.


"Ha ha ha...!" Setan Mata Satu tertawa keras mendengar 

tugas yang diberikan padanya. 

Kalau saja bukan Setan Mata Satu yang tertawa mungkin 

sudah dirobek mulutnya. Dia tahu siapa Setan Mata Satu, 

orang kepercayaan ayahnya yang memiliki kesaktian sangat 

tinggi. Dia tak segan-segan membunuh siapa saja yang 

mencoba menghalangi sepak terjangnya walaupun dia seorang 

perempuan Membunuh orang baginya sama saja dengan 

menekuk batang leher ayam. 

"Kalau cuma itu persoalannya, kenapa kau harus 

memanggil gurumu dan pamannya?" ada nada ejekan dari 

Setan Mata Satu. 

"Kau akan tahu kalau sudah berhadapan dengannya, 

Setan Mata Satu," dengus Banulaga sengit. 

"Apakah dia raja setan? Atau dewa yang menyamar jadi 

manusia?" Setan Mata Satu bertanya lagi dengan nada 

meremehkan. 

"Bukan! Aku tidak sedang bercanda, Setan Mata Satu. Dia 

masih sangat muda dan memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Kalau aku tak salah, julukannya Pendekar Rajawali 

Sakti." 

Setan Mata Satu seperti tak percaya mendengarnya. Nama 

itu seperti pernah dikenalnya. Beberapa saat dia tercenung. 

Benar! Nama Pendekar Rajawali Sakti bukanlah nama kosong 

dan sembarangan. Nama yang sudah terkenal, seorang 

pendekar pilih tanding yang sudah banyak mengalahkan 

tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sampai saat ini kesaktian 

Pendekar Rajawali Sakti belum ada yang bisa menandinginya. 

Rasanya mustahil kalau pendekar itu bisa nyasar sampai ke 

sini. 

Seratus orang yang kepandaiannya sama dengan dirinya 

pun belum tentu bisa mengalahkan kesaktian Pendekar 

Rajawali Sakti. Pantas saja Banulaga sampai-sampai 

mengundang guru dan paman gurunya untuk datang.


"Kenapa? Kau kelihatan terkejut mendengarnya, Setan 

Mata Satu. Apakah kau gentar?" kali ini Banulaga mengejek. 

"Phuih! Tidak ada kata gentar bagi Setan Mata Satu!" 

dengus Setan Mata Satu, "Aku justru heran kenapa kau 

keturunan Badaraka yang sakti tak bisa herbuat apa-apa 

menghadapinya," 

Deg! 

Panas hati Banulaga mendengarnya. Setan Mata Satu 

memang pintar membalikkan omongan dari keadaan yang 

sebenarnya. Dia sendiri sebenarnya gentar. 

Banulaga menahan emosinya. 

"Kalau begitu, laksanakan tugasmu sekarang juga." 

"Tidak sekarang!" 

"Kenapa? Kau takut?" 

"Tidak, untuk menghadapi Pendekar Rajawali Sakti aku 

harus meminta bantuan saudaraku." 

Banulaga tersenyum senang mendengarnya. Sejak tadi dia 

ingin mengutarakannya. Tapi kalau Setan Mata Satu sendiri 

yang mengatakannya, tidak ada alasan lagi untuk meminta. 

Banulaga tahu siapa yang dimaksud Setan Mata Satu. Kakak 

kandung Setan Mata Satu sendiri yang kini tinggal di pesisir 

Pantai Selatan. 

"Aku yakin, Kakang Raja Ular mau membantu," kata 

Setan Mata Satu. 

"Kalau begitu, berangkatiah sekarang juga," 

"Bukan aku, tapi seorang utusan yang akan membawa 

suratku," 

'Terserah, apa yang kau anggap baik, lakukan saja." 

"He he he... " Setan Mata Satu terkekeh. 

* * * 

Saat itu, Japra dan Sarkam yang diutus untuk menemui 

Resi Maespati telah sampai di Gunung Kanji. Perjalanan dari 

Desa Malayasati ke Gunung Kanji hanya memakan waktu


setengah hari berkuda. Tidak ada hambatan berarti yang 

ditemui mereka sepanjang perjalanan. 

Mereka hampir tak berkedip memandang laki-laki tua 

dengan janggut dan kumis lebat. Seluruh rambutnya dibiarkan 

bergerai tak teratur. Pakaiannya lusuh kecoklat-coklatan 

seperti tak pernah ketemu air. Rasanya tidak pantas orang 

yang penampilannya seperti gembel itu dipanggil resi. 

"Hm..., kau utusan dari muridku?" tanya Resi Maespati, 

suaranya terdengar pelan dan serak. Matanya merah dan tajam 

bagai elang menatap tak berkedip pada Japra yang berdiri 

paling depan. 

"Benar, Resi," sahut Japra sambil membungkuk hormat. 

"Apa tandanya kalau kau utusan Banulaga?" 

"Ini." 

Japra mengeluarkan sebuah cincin bermata cubung hitam 

dari balik saku bajunya, lalu diberikannya pada Resi Maespati. 

Sesaat lelaki tua yang berbaju kumal itu memandangi cincin 

yang sudah berpindah ke tangannya. Kepalanya lalu 

terangguk-angguk sambil memasukkan cincin itu ke dalam 

saku bajunya yang longgar. 

Bola mata yang bulat merah itu kembali menatap tajam 

Japra dan Sarkam bergantian. Sepertinya dia tengah 

meyakinkan dirinya bahwa kedua orang itu benar-benar 

utusan Banulaga dari Desa Malayasati. 

"Ada apa dia memanggilku?" 

"Tuan Banulaga Bdak menjelaskan, Tapi dugaan hamba 

mungkin ada hubungannya dengan kematian Tuan Besar 

Badaraka," sahut Japra. 

"Bicara yang benar!" bentak Resi Maespati tak percaya. 

"Maaf, Resi. Sudah empat hari yang lalu Tuan Besar

Badaraka tewas terbunuh di...." 

"Kurang ajar!" ucapan Japra terpotong oleh Resi Maespati 

yang tampak geram. 

Wajah tua yang lusuh itu berkerut menegang. Sepasang 

matanya semakin merah menyala, giginya pun bergemeletuk


rapat. Lalu dadanya mengembang naik, mencoba menahan 

amarahnya yang kian memuncak. Japra dan Sarkam yang 

melihatnya jadi merasa ngeri dan ketakutan sendiri. Mereka 

seolah melihat raja hutan yang terluka dan siap menerkam 

mangsanya. 

Bagaimanapun Badaraka dan kedua anaknya Banulaga 

dan Santika, adalah murid-murid kesayangannya. Bahkan 

antara dirinya dan Badaraka masih adi hubungan darah. Resi 

Maespati adalah kakak misan dari orang tua Badaraka, 

sehingga kedua anak Badaraka itu memanggilnya dengan 

sebutan Eyang Guru. Dan hanya pada ketiga orang bapak dan 

anak itulah dia mewariskan segenap ilmu yang dimilikinya 

selama ini. 

Lama sekali Resi Maespati terdiam. Dadanya yang 

mengembang perlahan-lahan turun, bersamaan dengan 

amarahnya yang sedikit mulai berkurang. Tatapannya kembali 

kosong. 

"Siapa pembunuhnya?" tanya Resi Maespati dingin. 

"Belum terungkap, Resi. Kami berusaha sekuat tenaga 

untuk melacaknya, tapi kami sama sekali tak menemukan 

jejaknya," sahut Japra yang diikuti anggukan kepala Sarkam 

membenarkan. 

"Sebaiknya kau segera ke Bukit Genting. Katakan kalau 

aku juga segera menemui Banulaga." 

"Tuan Banulaga juga sudah memerintahkan begitu, Resi." 

Japra dan Sarkam segera bangkit hendak mohon diri, tapi 

langkahnya terlihat bimbang. 

"Tunggu apa lagi?!" 

"Ng..., anu. Anu, Resi... maaf, cincin itu...." 

"Huh!" 

Resi Maespati mendengus, lalu tangannya merogoh saku 

bajunya. Japra segera menangkap cincin yang dilemparkan 

sang resi ke arahnya. 

Resi Maespati masih berdiri mematung di depan 

Pondoknya sepeninggal Japra dan Sarkam. Tatapannya


menerawang jauh, entah apa yang tengah bergayut dalam 

benaknya. 

* * * 

Empat orang tokoh sakti dunia persilatan itu saling 

berpandangan satu sama lain, begitu Banulaga selesai 

menceritakan bagaimana ayahnya mati terbunuh. Wajah-wajah 

mereka membiaskan rasa dendam yang membara. 

"Hm..., lantas hanya untuk meringkus seorang pembunuh 

kau mengundang kami?" Raja Ular bertanya setengah 

merendahkan Banulaga, sekaligus mengesankan 

kesombongan. 

"Bukan itu saja, dalam kejadian terpisah seorang 

pembantuku pun mati terbunuh." 

"Kau kalah?" sinis suara Resi Maespati bertanya. 

"llmunya sangat tinggi, aku tidak sanggup 

menandinginya," sahut Banulaga polos. 

"Kau kenal dia sebelumnya?" tanya Resi Maespati lagi. 

"Tidak..., aku baru kali ini bentrok dengannya. Kalau aku 

tidak salah, orang itu dijuluki Pendekar Rajawali Sakti." 

Keempat tamu yang tengah dijamu Banulaga itu 

tercenung sesaat. Mereka sepertinya tengah mencri tahu 

tentang nama yang baru terucap oleh Banulaga. 

"Orangnya masih muda, selalu berbaju rompi putih.... 

Benar?" tanya Raja Ular. 

Banulaga cuma mengangguk membenarkan. 

"Tidak salah," celetuk Setan Mata Satu. "Aku pernah 

mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti. Sepak terjangnya 

harus diperhitungkan. Sudah banyak tokoh-tokoh sakti yang 

tewas di tangannya." 

"Ya, aku juga pernah melihatnya bertarung di Bukit 

Setan," sambung Raja Ular. 

"Kau juga ikut bertarung?" tanya Iblis Selaksa Racun.



"Tidak, untuk apa ikut bertarung? Aku tidak punya 

kepentingan sama sekali. Aku cuma kebetulan lewat dan 

sempat melihat beberapa jurus saja. Itu pun langsung selesai." 

"Itu berarti kau sudah mengukur tingkat kepandaiannya, 

kan?" sergah Resi Maespati cepat. 

"Sulit..," Raja Ular menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun mengerutkan 

alisnya. Mereka tahu siapa Raja Ular ini, seorang yang sudah 

memiliki nama kondang dalam dunia persilatan, dan tak bisa 

dipandang sebelah mata. Kalau Raja Ular saja tak sanggup 

mengukur kepandaiannya, tentulah Pendekar Rajawali Sakti 

itu mempunyai tingkat kepandaian yang sangat tinggi. 

Suasana di beranda rumah itu lalu sepi tanpa suara. 

Mereka larut dalam alam pikirannya masing-masing. Suasana 

sepi itu baru terpecah bersamaan dengan lewatnya seseorang 

di pelataran rumah. 

"Japra!" Banulaga berteriak memanggilnya. 

Japra yang tengah lewat di pelataran rumah itu segera 

menghampiri, lalu membungkuk memberi hormat. 

"Ada apa, Tuan?" 

"Kau tahu di mana Santika sekarang?" tanya Banulaga. 

"Tidak, Tuan." 

"Cepat kau cari. Katakan aku dan Resi Maespati 

mencarinya!" 

"Baik, Tuan. Segera saya berangkat." Japra mohon diri. 

Beberapa saat suasana di beranda rumah itu kembali sepi. 

Lalu terdengar suara Resi Maespati yang seperti bergumam 

pada dirinya sendiri. 

"Apa tidak mungkin yang membunuh Badaraka Pendekar 

Rajawali Sakti itu?" 

"Tidak," sanggah Setan Mata Satu cepat "Pendekar 

Rajawali Sakti tidak pemah muncul secara diam-diam. 

Lagipula antara Badaraka dan Pendekar Rajawali Sakti itu 

tidak ada persoalan apa-apa." 

"Lalu kenapa dia membunuh Badrun?"


"Sebenarnya itu masalah pribadiku," kata Banulaga pelan. 

Dengan sedikit menahan malu Banulaga menceritakan 

kejadian yang dia alami bersama Badrun, yang akhirnya mati 

terbunuh di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Semua kepala 

tergeleng-geleng mendengarnya. Banulaga benar-benar 

menuruni sifat ayahnya yang gemar perempuan-perempuan 

cantik. Lain halnya dengan Resi Maespati, meskipun kepalanya 

tergeleng-geleng, tapi bibirnya yang tertutup misai lebat itu 

tersenyum simpul. 

Pada masa mudanya, Resi Maespati sendiri dalam setiap 

langkah pengembaraannya tak lepas dari soal perempuan. 

Sepertinya dia menyimpan dendam yang terpendam dengan 

mereka, perempuan-perempuan cantik yang membangkitkan 

gairahnya. Dan ini dia turunkan pada Badaraka, murid 

kesayangannya yang kini telah tiada. Rupanya tanpa dia 

ajarkan, Banulaga menuruni sifat dirinya dan ayahnya. 

"Lantas, apa yang harus kami perbuat untukmu?" tanya si 

Raja Ular. 

"Melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti dan mencari 

pembunuh ayahku," sahut Banulaga. 

"Lalu, untuk apa kau punya centeng dan pembantu 

puluhan orang?" terdengar nada sinis dari si Raja Ular. 

Banulaga tersenyum kecut Pertanyaan bodoh! gerutunya 

dalam hati. Tak mungkin mereka diundang kalau dia sendiri 

mampu menghadapinya. 

"Kakang, sebaiknya tidak terlalu banyak tanya. Kita sudah 

banyak berhutang budi pada Badaraka," sergah Setan Mata 

Satu yang tak enak dengan sikap kakaknya ini. 

"Hm, baiklah. Demi mendiang Badaraka, aku akan 

mempertaruhkan nyawa untukmu," kata si Raja Ular. 

"Terima kasih," ucap Banulaga pelan. 

* * *


EMPAT


Resi Maespati mencegah langkah Santika yang baru 

pulang ketika pembicaraan di beranda rumah itu usai. Adik 

Banulaga satu-satunya itu terkejut melihat Resi Maespati yang 

berdiri di depannya. Buru-buru dia berlutut memberi hormat 

pada gurunya. Resi Maespati menyentuh pundak Santika dan 

memintanya berdiri. 

"Kapan Eyang Resi datang?" tanya Santika. 

"Siang tadi," sahut Resi Maespati tenang. 

"Maaf, aku tidak tahu kalau Eyang mau datang sini. Aku 

tidak bisa menyambut," kata Santika. 

"Tidak apa, aku datang atas undangan kakakmu." 

"Kakang Banulaga?" Santika mengernyitkan alisnya. 

"Untuk apa Kakang Banulaga meminta Eyang datang?" 

"Mencari pembunuh ayahmu." 

Santika terdiam. Matanya menatap lurus pada Resi 

Maespati, lalu tertunduk dalam-dalam. Sudah lima hari ayah 

mereka dikuburkan. Dan selama itu tidak ada lagi kejadian 

yang meminta korban. Kenapa baru sekarang Banulaga mau 

mencari pembunuhnya? Bukankah itu sudah terlambat? 

Santika jadi tak mengerti dengan sikap kakaknya. Tiga hari 

setelah kematian ayah mereka, Banulaga langsung mengangkat 

diri sebagai penggantinya tanpa mengajaknya berunding 

terlebih dahulu. 

Dan kini dia mengundang guru mereka untuk mencari 

pembunuhnya. Santika melirik ke dalam, tampak beberapa 

orang sedang duduk berbincang-bincang di ruangan tengah. 

Santika tahu siapa mereka, kecuali satu yang tidak dia kenal. 

Orang yang mengenakan pakaian hijau lumut dengan tongkat 

berkepala ular di tangannya. 

"Mereka semua diundang Banulaga," kata Resi Maespati 

seolah mengerti apa yang tengah dipikirkan Santika saat ini.


"Siapa orang yang bertongkat ular itu?" tanya Santika. 

"Si Raja Ular, kakaknya Setan Mata Satu." 

"Hm...," Santika menggumam tak jelas. 

"Aku mau bicara sedikit denganmu, Santika," kata Resi 

Maespati. 

Santika tak menolak ketika Resi Maespati mengajaknya 

menuju ke arah samping rumah. Mereka lierjalan beriringan 

tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, dan baru berhenti 

melangkah setelah jauh berada di bagian belakang rumah yang 

banyak ditumbuhi pepohonan dengan cahaya yang menerangi. 

"Seharian kau tak berada di rumah. Ada urusan apa?" Resi 

Maespati membuka suara lebih dulu. 

"Bosan," sahut Santika acuh. 

"Bosan? Lantas ke mana saja kau pergi seharian?" 

"Ke mana saja, asalkan tidak melihat Banulaga." 

"He! Kau ada masalah apa dengan kakakmu?" Resi 

Maespati terkejut . 

"Aku tak mau ribut dengan saudaraku sendiri. Rasanya 

lebih baik menghindar daripada harus membunuhnya," ringan 

sekali Santika menjawab. 

Resi Maespati semakin terkejut. Sama sekali dia tidak tahu 

kalau dalam hati Santika tersimpan bara yang sewaktu-waktu 

bisa berkobar besar. 

"Kau mau mengatakan persoalanmu padaku, Santika?" 

pinta Resi Maespati. 

"Mungkin, tapi percuma saja aku mengatakannya. Eyang 

Resi pasti lebih memihak Kakang Banulaga daripada aku." 

"Kenapa kau berkata begitu?" 

"Karena aku tidak bisa seperti Ayah atau Banulaga. Aku 

bukan seperti mereka yang senang menghancurkan hidup 

wanita, yang senang mengadu domba dan melihat penderitaan 

orang lain bagai menonton pertunjukan. Eyang Resi bisa 

melihat sendiri, bagaimana kehidupan penduduk yang setiap 

hari membanting tulang menggarap sawah ladang. Semuanya 

hanya untuk membayar hutang yang mencekik leher. Belum


lagi mereka menjual tanah dan sawah ladang dengan harga 

yang tidak pantas, dan terpaksa menggarapnya dengan upah 

yang tidak memadai. Apakah aku salah kalau aku ingin 

merombak semua yang telah dilakukan ayah berpuluh-puluh 

tahun?" begitu bersemangatnya Santika berbicara, 

menumpahkan semua isi hatinya. 

Resi Maespati terdiam mendengar tutur kata yang teratur 

dan penuh semangat. Sedikitpun dia tidak menyalahkan 

Santika, tapi memang harus diakui kalau dirinya tidak 

menginginkan Santika merombak yang sudah ada. Sejak masih 

kecil dan belajar ilmu olah kanuragan, Santika memang sudah 

menampakkan pola berpikir dan tingkah laku yang berbeda 

dengan prinsipnya. Dan sekarang semuanya terbuka jelas. 

"Maaf, Eyang Resi. Aku tidak bisa mendukung semua 

yang akan Kakang Banulaga lakukan. Aku telah memilih jalan 

hidupku sendiri, ketenangan dan kedamaianlah yang aku 

inginkan," kata Santika seraya berlalu. 

Resi Maespati hanya bisa memandangi punggung Santika 

tanpa dia bisa mencegahnya. Sementara sepasang mata lainnya 

turut memandang kepergian Santika dan Resi Maespati yang 

masih berdiri mematung dari rerimbunan pohon yang tak jauh 

dari dua orang yang baru dilihatnya selesai berbicara. 

"Dari mana saja, Eyang?" tegur Banulaga begitu kaki Resi 

Maespati menginjak beranda rumah. 

"Jalan-jalan menghirup udara segar," sahut Resi Maespati 

terus melangkah. 

"Aku lihat tadi Santika masuk ke kamarnya. Apakah 

Eyang Resi sudah menemuinya?" tanya Banulaga seraya 

mengikuti langkahnya. 

"Sudah," sahut Resi Maespati pendek. 

"Sejak kematian ayahanda, dia banyak berubah," gumam 

Banulaga pelan. 

"Kau tidak pernah menanyakannya?" 

"Sudah, tapi dia tidak pernah mau menjawab." 

"Hm...," Resi Maespati cuma bergumam.


"Malam sudah sangat larut Sebaiknya Eyang istirahat saja. 

Kamar sudah disiapkan untuk Eyang," kata Banulaga sambil 

menunjuk sebuah kamar yang pintunya masih terbuka. 

Resi Maespati tidak berkata apa-apa, dan langsung 

melangkah ke kamarnya. la tersenyum begitu tangannya 

membuka pintu. Tampak sesosok tubuh ramping tergolek di 

atas pembaringan. Tubuh yang indah itu hanya tertutup 

selembar kain sutra merah muda yang halus dan tipis. 

Keindahan dan lekuk-lekuk tubuhnya begitu jelas terlihat di 

keremangan cahaya pelita. Tubuh yang ramping dan sintal itu 

begitu menggairah kan. Resi Maespati menutup pintu dan.... 

* * * 

Suara jeritan melengking begitu jelas terdengar. Disusul 

pekikan tertahan, lalu..., buk! Seperti ada sesuatu yang terjatuh 

ke tanah. Suara-suara gaduh dan teriakan pun saling susul 

menyusul. Orang-orang seisi rumah Banulaga pun 

berhamburan mencari sumber suara yang mengagetkan, yang 

ternyata dari kamar Banulaga. 

"Banulaga! Ada apa? Apa yang terjadi?" terdengar suara 

Resi Maespati. 

"Akh!" kembali terdengar suara pekikan tertahan dari 

dalam kamar. 

Seketika itu juga pintu kamar hancur berantakan disusul 

dengan berlompatannya Resi Maespati, Iblis Selaksa Racun, 

Setan Mata Satu dan si Raja Ular ke dalam kamar. Tampak 

Banulaga terduduk di pinggir ranjang dengan tangan kiri 

memegangi bahu kanannya. Darah merembes keluar dari sela-

sela jari. 

Pada saat itu juga sebuah bayangan hitam berkelebat 

cepat menembus jendela hingga hancur berantakan. Resi 

Maespati langsung meloncat mengejar bayangan hitam itu, 

disusul Iblis Selaksa Racun dan si Raja Ular. Sedang Setan Mata 

Satu membantu Banulaga berdiri.


Setan Mata Satu tengah mengobati Banulaga ketika ketiga 

orang yang mengejar bayangan hitam itu muncul kembali. 

"Bagaimana?" tanya Setan Mata Satu. 

"Dia seperti malaikat. Cepat sekali menghilang," sahut 

Resi Maespati. 

Laki-laki tua yang berwajah lusuh itu melirik ke arah 

pembaringan. Tampak sebuah belati tertancap di leher 

perempuan muda yang tubuhnya setengah telanjang. Iblis 

Selaksa Racun cepat tanggap. Dicabutnya belati itu, lalu 

diamatijnya sesaat 

"Beracun," dengusnya. 

Dia bergegas menghampiri Banulaga dan memeriksa 

lukanya. Keningnya berkerut melihat warna kebiruan di 

sekitar goresan luka yang memanjang. Iblis Selaksa Racun 

cepat menekan luka itu dengan tangannya. Banulaga menjerit 

keras merasakan bahunya yang terasa panas membakar. Dia 

mencoba bertahan sekuat tenaga, tapi kemudian pingsan 

bersamaan dengan tangan Iblis Selaksa Racun terangkat. Darah 

merah kebiru-biruan keluar deras dari goresan lukanya yang 

memanjang. Iblis Selaksa Racun bergumam tak jelas. 

Dia mengeluarkan sebungkus bubuk putih dari saku baju, 

lalu tangan kirinya menaburkan bubuk itu tepat di bagian luka. 

Asap tipis mengepul kemudian terlihat lalu perlahan-lahan 

luka itu mengering dan darah berhenti mengalir. Iblis Selaksa 

Racun mendesah panjang sambil memasukkan kembali sisa 

bubuk itu ke dalam saku bajunya. 

"Racun yang hebat. Sangat cepat kerjanya," gumam Iblis 

Selaksa Racun. 

"Beruntung Banulaga punya kekuatan tubuh yang 

lumayan, hingga nyawanya bisa tertolong." 

"Apakah sudah ke luar semua racunnya?" tanya Setan 

Mata Satu. 

"Sudah, cuma lukanya tidak bisa hilang." 

Beberapa saat keheningan mencekam seisi kamar Itu 

Tidak seorang pun yang membuka suara. Mereka tengah


menelusuri jalan pikirannya masing-masing tentang 

pembunuh misterius yang bergerak cepat dan tak bisa 

dihadangnya. Mereka punya pandangan yang sama meski tak 

terucapkan. 

"Kau bisa melihat wajahnya, Kakang Maespati?" tanya 

Iblis Selaksa Racua 

"Tidak," sahut Maespati. 

"Seluruh mukanya tertutup selubung hitam." 

"Hm...," ketiga orang lainnya bergumam bersamaan. 

* * * 

Munculnya manusia bertopeng hitam yang misterius itu 

membuat orang-orang Banulaga bertambah geram. Apalagi 

ketika ditemukannya mayat Sarkam yang mati terbunuh 

dengan kepala pecah. Sarkam yang pernah bersama Japra 

diutus Banulaga untuk menemui Resi Maespati dan ketiga 

tokoh lainnya itu tergeletak di samping kandang kuda 

tuannya. 

Banulaga merasa seperti dipermainkan dan dipecundangi, 

lalu hampir semua centeng dan anak buahnya menjadi korban 

amarahnya yang memuncak. Banulaga dan empat tokoh yang 

menjadi tamunya tak menemui apa-apa yang bisa dijadikan 

petunjuk dari tubuh Sarkam. Japra yang biasanya berdua 

dengan Sarkam pun mengaku pada tuannya kalau dia tidak 

bisa berbuat apa-apa karena dia memang sedang tidak 

mendapat giliran jaga ketika temannya itu mati terbunuh. 

Berbeda dengan kejadian yang dialami Banulaga, kali ini 

tidak ada satu belati pun yang menancap pada tubuh Sarkam. 

Tapi kematian Sarkam yang hanya selisih dua malam berselang 

membuat Banulaga dan orang-orangnya tetap yakin kalau dua 

peristiwa terakhir ini semuanya dilakukan oleh si Manusia 

Bertopeng Hitam. 

Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya tidak mempunyai 

pilihan lain, kecuali menggembleng Banulaga dengan ilmu



ilmu yang mereka miliki dan menjadi andalannya. Mereka 

yakin benar, kalau si Manusia Ber topeng Hitam akan datang 

kembali untuk melenyapkan Banulaga. Seorang pembunuh 

berilmu tinggi dan berdarah dingin tentu tidak akan berbuat 

setengah-setengah untuk menghabisi setiap korban yang 

diincarnya. 

Sementara kakaknya terus mengasah ilmunya, Santika 

nyaris tak pernah kelihatan batang hidungnya. Dini hari 

menjelang fajar, dia sudah menggebah kudanya dan baru 

pulang ke rumah saat Banulaga dan tamu-tamunya tengah 

tertidur lelap. Banulaga yang sebenarnya merasa tidak enak 

pada tamu-tamunya atas sikap adiknya ini tidak lagi peduli. 

Dendam kesumatnya pada si Manusia Bertopeng Hitam juga 

membuat otaknya tak lagi dijejali oleh bayangan Mega 

Lembayung dan si Pendekar Rajawali Sakti. 

Dua puluh satu hari pun berlalu sejak kejadian yang 

menimpa Banulaga. Resi Maespati dan ketiga tokoh lainnya 

merasa sudah cukup berbuat banyak untuk menurunkan 

semua ilmu dan kepandaiannya pada putra sulung Badaraka 

itu. Dan kini, mereka seperti sudah tidak sabar untuk 

membekuk si Manusia Bertopeng Hitam. 

Malam sudah menjelang larut, namun Banulaga dan 

keempat tamu yang sudah menjadi gurunya itu masih duduk-

duduk di beranda tengah. Mereka sepertinya tengah 

merundingkan rencana-rencana yang akan mereka lakukan. 

"Banulaga, bagaimana dengan orang-orangmu? 

Maksudku, yang kau tugasi untuk mengawasi rumah si Karta 

dan gerak-gerik adikmu, Santika?" tanya Resi Maespati. 

"Hmmm...," Banulaga bergumam. "Pendekar Rajawali 

Sakti seperti angin, lenyap tidak berbekas... langkah Santika 

pun sulit diraba," katanya pelan. 

"Sejak kematian Sarkam pun tidak ada korban lagi..., kita 

kehilangan jejak si Manusia Bertopeng Hitam yang misterius 

itu," Setan Mata Satu berucap, menyambung kata-kata 

Banulaga.


"Aku kira...," Iblis Selaksa Racun angkat bicara, "Selagi 

kita semua masih berada di sini, Manusia Bertopeng Hitam itu 

tidak akan muncul lagi. Paling tidak untuk sementara." 

"Lantas, apa usulmu?" tanya si Raja Ular. 

"Rencana kita tetap, jangan biarkan Manusia Bertopeng 

Hitam itu mengajak kucing-kucingan..., lalu melecehkan 

wibawamu di mata orang-orang desa ini, Banulaga," Iblis 

Selaksa Racun mengalihkan perhati-annya pada Banulaga 

sesaat, lalu kembali berujar, "Tapi sebaiknya kita berpencar.... 

Kita harus membagl tempat dan tugas kita masing-masing, lalu 

menyatu pada sasaran yang kita tuju..." Iblis Selaksa Racun 

berkata tenang mengajukan usulnya. 

Semuanya lalu terdiam untuk beberapa saat lamanya. 

Sementara sepasang telinga yang tak jauh dari beranda rumah 

itu pun seperti menunggu apa yang akan dibicarakan lagi. 

"Japra!" suara Banulaga memecahkan heningnya suasana 

beranda rumah itu. Yang dipanggil segera menghampiri sambil 

membungkukkan badannya. 

"Kau periksa seluruh ruangan dalam, lalu periksa 

sekeliling rumah, semua teman-temanmu harus ada di 

tempatnya. Lalu lakukan apa yang aku perintahkan padamu 

siang tadi…, mengerti?" 

"Baik, tuan…" Japra lalu bergegas meninggalkan tempat 

Banulaga dan keempat tokoh sakti itu berkumpul. Sementara 

di balik misainya, bibir Resi Maeaspati menyunggingkan 

senyuman, dia tahu apa yang dimaksudkan Banulaga pada 

Japra. Anak Badaraka ini memang persis bapaknya, tidak 

mungkin tahan berhari-hari tanpa perempuan, dan dia 

menyuruh Japra untuk menyediakannya. 

Sepeninggal Japra, pembicaraan di beranda rumah pun 

berlanjut ketika Resi Maespati membuka suaranya yang tenang 

dan berat 

"Bukan aku tidak percaya dengan orang-orangmu, 

Banulaga..., tapi aku rasa, sebaiknya kita bicara di ruangan 

dalam saja. Paman Iblis Selaksa Racun tidak keberatan, kan?"


Resi Maespati mengakhiri ucapannya sambil menoleh ke arah 

Iblis Selaksa Racun, yang ditatap pun mengangguk kecil. Iblis 

Selaksa Racun bangkit diikuti yang lainnya. 

Pembicaraan mereka di ruangan dalam nyaris tidak 

terdengar. Mereka berbicara satu sama lain dengan lirih dan 

tekanan yang datar Dan sepasang telinga lainnya pun terpaksa 

merapatkan tubuhnya ke dinding ruangan dalam. 

Pembicaraan mereka baru usai ketika malam telah begitu 

larut. Wajah-wajah yang tampak lelah itu pun segera 

memasuki kamarnya masing masing, lalu terdengar suara 

pintu tertutup saling susul menyusul. 

Tidak lama setelah Banulaga dan keempat tamu dan 

gurunya berangkat ke peraduan, terdengar suara derap 

langkah kaki kuda yang semakin lama semakin jelas terdengar. 

Banulaga yang sudah berhasrat untuk menggauli tubuh 

montok yang ada di hadapannya, tidak lagi peduli pada 

kehadiran Santika yang memacu kudanya sampai di rumah. 

Tarsa, salah seorang pembantu setianya segera 

menghampiri Santika yang baru turun dari kudanya, lalu 

diterimanya tali kekang kuda untuk ditambatkan. 

"Hm..., terima kasih, Tarsa. Aku selalu merepotkanmu 

pada saat orang lain sedang nyenyak tidur," sopan sekali 

ucapan Santika. Tarsa tersenyum kecil sambil 

membungkukkan badan. 

Santika lalu melangkahkan kakinya menuju ke bagian 

belakang rumah lewat arah samping, seperti biasanya dia 

lakukan jika pulang ke rumah sudah larut malam. Sesosok 

bayangan hitam segera berkelebat cepat begitu menyadari 

kehadiran Santika. Beruntung Santika tidak sempat 

rnemergokinya. Bayangan hitam itu lenyap ditelan kegelapan 

malam. 

Di pembaringannya Santika tidak bisa langsung tertidur. 

Pikiran dan benaknya menerawang jauh... membayangkan 

kehidupan penduduk di Desa Malayasati yang sempat dia 

amati. Kehidupan mereka bagaikan roda pedati yang tak bisa


berputar karena terperosok jalanan yang berlubang. 

Penderitaan mereka karena keperluan sehari harinya yang sulit 

didapat, menjadi semakin bertambah manakala mereka ingat 

akan kewajibannya membayar hutang-hutang dengan bunga 

yang mencekik leher pada orang-orang suruhan Banulaga. 

Dan melihat kehadiran Santika dengan pembawaannya 

yang tenang dan menyiratkan kedamaian, penduduk seperti 

melihat keadaan yang bertolak bertolak belakang dan sulit 

mereka mengerti. Sungguh suatu keadaan yang kontras jika 

mereka membandingkan sikap Banulaga, yang tidak lain kakak 

kandung Santika sendiri. Banulaga dan kaki tangannya tidak 

segan-segn menghajar mereka dengan cambuk bila mereka 

tidak bisa membayar hutangnya yang sudah lewat tempo. 

Penduduk seperti tidak percaya manakala mereka melihat 

sendiri Santika yang tak segan-segan membagikan beberapa 

bonggol uang untuk mereka. Mereka seperti mulai melihat 

sinar kehidupan yang akan merubah nasib mereka menjadi 

lebih baik. Apalagi beberapa hari belakangan ini Banulaga dan 

orang-orangnya tidak pernah muncul lagi menggedor rumah-

rumah mereka. Penduduk tidak tahu kalau selama ini 

Banulaga dipusingkan oleh kehadiran Manusia Bertopeng 

Hitam, juga Pendekar Rajawali Sakti yang telah 

mempecundanginya. Dan kini dia hendak menuntut balas.... 

* * *


LIMA


Langit di sekitar kaki bukit itu sejuk cerah. Angin bertiup 

sepoi-sepoi di antara pepohonan, seolah hendak membagi 

kesejukannya pada siapa saja yang ditemuinya. Dengan 

disirami sinar mentari pagi, sesosok tubuh tengah memacu 

kudanya dengan kencang. Sesosok tubuh dengan paras yang 

tampan itu kemudian memperlambat langkah kudanya, lalu 

berhenti di bawah pohon yang rindang menakala dilihatnya 

sesosok tubuh yang ramping berlari-lari kecil menuju ke 

arahnya. 

"Kakang Santika!" gadis ayu pemilik tubuh ramping itu 

menyapanya. 

Pemuda itu lalu meloncat turun dari kudanya. Tangannya 

menggapai bahu si gadis. Beberapa saat lamanya mereka saling 

berdiam diri sambil saling menggenggam tangan. 

"Adakah yang mengganggumu selama aku pergi, Mega?" 

tanya Santika lembut. 

"Tidak," sahut gadis yang ternyata Mega Lembayung. 

"Hanya...." 

"Hanya apa?" 

"Rumah kakekku selalu diamati...." 

"Kau mengenali mereka?" 

"Ya. Orang-orangnya Banulaga. Hanya seorang yang tidak 

aku kenal " 

Santika tidak bertanya lagi. Dia tahu siapa yang dimaksud 

Mega Lembayung. Tentulah dia si Raja Ular. Dengan beberapa 

orang-orangnya Banulaga menugaskan si Raja Ular untuk 

mengawasi rumah Pak Karta. Banulaga rupanya masih 

penasaran dan mengira Pendekar Rajawali Sakti akan muncul 

lagi. Meskipun kematian Badrun sudah lama berlalu. Santika 

sendiri ha nya sekali bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti. 

Itu pun Mega yang memperkenalkannya. 

"Kakang...," tampak ragu-ragu Mega mau berkata.


"Ada apa?" tanya Santika sambil matanya menatap lembut 

pada wajah Mega yang jelas terlihat cemas, 

"Aku khawatir hubungan kita diketahui Banulaga. 

Apalagi kudengar dia sedang dibayang-bayangi oleh Manusia 

Bertopeng Hitam. Juga rasa dendamnya pada Pendekar 

Rajawali Sakti tentu akan dia lampiaskan padamu, apalagi dia 

gagal mendapatkan aku." 

"Seandainya dia pun tahu, aku tidak akan membiarkan 

kau jatuh ke tangannya. Percayalah Mega, aku akan 

menghadapi Banulaga, meski empat orang tokoh sakti kini ada 

di belakangnya." 

"Aku percaya, Kakang. hanya sayangnya…" 

"Kenapa...?" 

Belum sempat Mega Lembayung membuka mulutnya, 

mendadak mereka dikejutkan oleh sebuah tombak yang 

meluncur deras, menancap di ujung kaki Santika. Belum lagi 

hilang rasa terkejut mereka, mendadak muncul Banulaga yang 

diiringi Setan Mata Satu dan lima orang kaki tangannya. 

Santika menarik tangan Mega Lembayung hingga 

tubuhnya berada di belakang tubuh Santika. Santika berdiri 

dengan sikap menunggu apa yang akan terjadi. 

"Santika, kau tahu siapa yang ada di belakangmu?" tanya 

Banulaga dingin. 

"Untuk apa kau bertanya begitu?" Santika sudah tidak 

segan lagi bersikap menantang. 

"Phuih! Berani kau bersikap begitu padaku, Santika!?" 

"Sejak dulu aku pun sudah tidak menyukai sikapmu. 

Maaf, aku mau pergi." 

Santika menggamit tangan Mega Lembayung dan 

mengajaknya pergi. Namun baru beberapa langkah, mendadak 

lima orang bersenjata golok sudah mengepung. Santika 

mendengus melihat wajah-wajah kasar yang sudah amat 

dikenalnya. Wajah-wajah yang sama sekali tidak disukainya. 

Kini mereka berdiri dengan golok terhunus seperti musuh.


"Hati-hati, Mega. Mereka memiliki kepandaian yang 

cukup tinggi," bisik Santika. 

"Aku tahu, Kakang," sahut Mega juga berbisik. 

"Tinggalkan Mega di sini, dan kau boleh pergi!" seru 

Banulaga tanpa malu-malu iagi. 

"Iblis!" seru Santika geram. "Banulaga, aku serahkan Mega 

kalau kau bisa melangkahi mayatku!" 

"Anak tak tahu diuntung, berani kau menantangku, heh?!" 

geram Banulaga. Seketika itu juga dia mencabut sepasang 

golok kembarnya. 

"Majulah, Banulaga!" tantang Santika. 

Banulaga memberi isyarat pada lima orang yang 

mengurung Santika dan Mega. Seketika itu juga mereka 

berlompatan sambil mengibaskan goloknya. Santika yang 

sudah hapal tingkat kepandaian mereka tidak lagi sungkan-

sungkan. Dia langsung mengerahkan jurus 'Ekor Naga 

Menggempur Gunung Karang'. 

Pukulan-pukulan Santika begitu cepat dan berubah-ubah 

arahnya. Setiap pukulan yang dilancarkan memberikan 

dorongan angin yang kuat dan hawa dingin yang menusuk 

tulang. Salah seorang lawannya yang nekad maju, tak ayal lagi 

tubuhnya terlontar ke belakang, lalu ambruk terlentang. 

Keempat orang lainnya jadi ragu-ragu untuk melancarkan 

serangannya. Pukulan-pukulan Santika yang kuat itu membuat 

sekitar tempat pertarungan itu menjadi berantakan. Batu-batu 

hancur terkena pukulan yang nyasar, dan debu-debu 

beterbangan menghalangi mata. 

"Awas, Kakang...!" tiba-fita Mega Lembayung memekik 

keras. 

Seketika itu juga Santika merunduk begitu merasakan 

angin deras datang dari arah belakangnya. Dan sebuah golok 

berkelebat cepat di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu 

tangan kirinya bergerak cepat bagaikan kilat dan menghantam 

perut pembokong itu.


"Huk!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar ke 

belakang. 

Tanpa membuang kesempatan lagi Santika mengerahkan 

tenaga dalamnya dengan sebuah kibasan kakinya ke arah 

dada. Orang yang membokongnya itu terjungkal ke belakang, 

lalu roboh setelah punggungnya menghantam pohon besar 

hingga bergetar. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah 

segar. Sesaat dia menggeliat, lalu diam tak bergerak lagi 

* * * 

"Mundur!" Setan Mata Satu tiba-tiba membentak keras. 

Empat orang bergolok yang memang sudah gentar 

menghadapi Santika ini, langsung melompat mundur. Setan 

Mata Satu melenting dan bersalto di udara, berputar dua kali, 

lalu mendarat tepat beberapa langkah di depan Santika. Bola 

matanya yang tinggal sebelah merayapi Santika dan Mega 

Lembayung bergantian. 

"Aku minta kau mengalah pada kakakmu, Santika," kata 

Setan Mata Satu. 

"Aku juga minta padamu untuk tidak ikut campur tangan 

dalam urusan ini, Setan Mata Satu," balas Santika dengan 

dingin. 

"Hm..., aku tidak akan mencampuri kalau kau tidak 

membunuh orang-orangku." 

"Mereka yang memaksaku membunuh!" 

"Dengar, Santika. Banulaga itu kakakmu, dia yang 

menguasai Desa Malayasati ini. Mega sudah selayaknya 

membaktikan diri pada penguasa di mana dia tinggal. Lebih-

lebih orang tuanya bekerja di ladang Banulaga. Santika, tidak 

sepatutnya kau merintangi maksud kakakmu." 

"Kau pintar bicara, Setan Mata Satu. Aku tidak rela 

menyerahkan kekasihku hanya untuk dimangsa manusia-

manusia liar macam binatang! Sekali lagi, jangan kau campuri


urusan ini, lebih baik kau cari biji matamu yang hilang sebelah 

itu!" 

Deg! 

Hati Setan Mata Satu panas seketika menerima 

penghinaan semacam itu. Tapi dia masih bisa menyadari 

keadaan. 

"Baiklah, kalau itu yang kau inginkan. Jangan salahkan 

aku kalau kau sampai celaka di tanganku, Santika," Setan Mata 

Satu masih bisa bicara dengan dingin dan datar. 

Santika mencopot sepasang gelang pualamnya. Kedua 

tangannya kini menggenggam gelang putih yang berkilat itu. 

Dia paham benar siapa yang akan dihadapinya sekarang. 

Seorang manusia setengah iblis yang tidak akan berkedip 

membunuh orang. Santika juga menyadari kalau dirinya tidak 

akan mampu menandingi si Setan Mata Satu ini. Tapi demi 

gadis yang dicintainya, dia rela meinpertaruhkan nyawanya. 

Tiba-tiba Setan Mata Satu mengibaskan tangannya ke 

depan, dan seketika itu pula meluncur seberkas sinar 

keemasan dari telapak tangannya. Santika melompat sambil 

mendorong tubuh Mega Lembayung. Sinar itu menghantam 

tempat yang kosong. Santika bergulingan di atas tanah, dan 

secepat kilat dia bangkit kembali. Sementara Mega Lembayung 

terpisah beberapa langkah di sebelah kanannya. 

Setan Mata Satu kembali melancarkan serangan. Santika 

berlompatan menghindari sambaran-sambaran sinar keemasan 

yang meluncur deras dari telapak tangan Setan Mata Satu. 

Santika menyadari kalau tenaganya tak akan mampu terus 

bertahan berlompatan menghindari serangan Setan Mata Satu 

yang amat gencar dan berbahaya ini. 

"Hiaaat...!" 

Saat itu juga tubuhnya melenting dan berputar di udara 

tiga kali. Dengan satu dorongan tenaga dalamnya yang kuat, 

Santika meluncur deras dengan kedua tangan terkepal ke 

depan. Seluruh jari-jari tangannya terlindung gelang pualam 

putih yang tergenggam.



"Uts!" 

Setan Mata Satu menggeser kakinya ke samping sambil 

memiringkan tubuhnya untuk menghindari terjangan Santika. 

Namun belum sempat dia memperbaiki posisi, mendadak 

Santika berputar cepat dengan tangan terentang. Setan Mata 

Satu kaget, lalu cepat dia membanting dirinya ke tanah sambil 

terus bergulingan menjauh. 

Setan Mata Satu melakukan salto dan bangkit berdiri. 

Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Santika sudah kembali 

menyerang dengan jurus-jurus pendek yang cepat ke arah 

lawannya, hingga Setan Mata Satu sama sekali tidak 

menyangka kalau Santika yang masih muda dan kelihatan 

lemah itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Gerakan-

gerakan dari setiap jurus yang dikeluarkannya begitu sulit 

diikuti pandangan mata. 

"Hup!" 

Setan Mata Satu melompat ke atas, lalu berputar dua kali 

sambil melontarkan kembali serangan berupa sinar keemasan 

yang keluar dari tangannya. Saat Santika menghindari 

muntahan sinar dari atas dengan jatuh bangun, mendadak 

Setan Mata Satu menukik cepat seraya mengirimkan pukulan 

mautnya. 

Santika tak sempat lagi menghindar, secepat kilat 

mengangat tangan kanannya mencegat pukulan maut itu. 

Santika terjengkang sekitar dua tombak ke belakang, dan Setan 

Mata Satu sendiri bergulingan di atas tanah karena terdorong 

oleh cegatan tangan Santika. 

Dalam sekejap saja mereka sudah saling berhadapan. 

"Hmmm...," Setan Mata Satu bergumam pelan. 

Dia tak menyangka Santika akan mampu mencegat 

pukulannya, bahkan tanpa cidera sedikitpun. Santika tetap 

kelihatan tegar. Setan Mata Satu tak menyangka kalau 

lawannya yang jauh lebih muda itu ternyata mampu 

menandinginya lebih dari dua puluh jurus.


"Kenapa berhenil, Setan Mata Satu? Apakah kau gentar 

dan takut kehilangan biji matamu yang tinggal satu-satunya 

itu?" ejek Santika memanasi. 

"Phuih! Kurang ajar, kau berani menghinaku, heh?! 

Jangan pongah dulu, Santika Semua yang kukeluarkan tadi 

belum ada seujung kuku pun!" dengus Setan mata Satu 

menutupi rasa terkejutnya. 

"Kalau begitu, keluarkan saja semua ilmu simpananmu!" 

kembali Santika menantang. 

"Tahanlah aji 'Pukulan Karang Samudra'ku!" bentak Setan 

Mata Satu. 

Setan Mata Satu langsung merentangkan kedua kakinya 

lebar-lebar, lalu kedua lututnya ditekuk. Kedua tangannya 

menyilang di depan dada. Lalu perlahan-lahan tangannya 

bergerak terbuka, bersamaan dengan menyempitnya kedua 

kaki. Tampak kedua tangan Setan Mata Satu berubah menjadi 

merah membara bagai terbakar. 

Santika tidak tinggal diam melihat lawannya benar-benar 

mengeluarkan jurus pamungkasnya. Santika segera merapal aji 

'Gelang Menghalau Petir'. Dia menggosok kedua gelang 

pualam putihnya. Seketika itu juga gelang di tangannya 

memancarkan sinar hijau yang semakin lama semakin 

menyilaukan dan memedihkan mata. 

"Yeaaah...!" Setan Mata Satu berteriak nyaiing. 

"Hiaat..!" Santika pun mulai menyerang. 

Mereka melompat ke depan hampir bersamaan, dan 

akhirnya kedua pasang tangan mereka saling berbenturan 

keras. Suara ledakan dahsyat terdengar menggelegar memecah 

udara. Bunga-bunga api pun memercik ke segala arah. Dan 

tubuh Santika dan Setan Mata Satu saling terpental ke belakang 

dengan keras. 

"Kakang...!" Jeritan Mega Lembayung melengking 

kencang. 

* * *


ENAM


Tubuh Santika terpental keras... laki meluncur deras 

melewati puncak pepohonan. Dan ketika tubuhnya sedang 

meluruk, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh 

Santika, lalu menghilang bagai sinar yang lenyap tanpa bekas. 

Sementara itu tubuh Setan Mata Satu juga terloncat keras 

menghantam dinding batu hingga menimbulkan benturan 

yang teramat dahsyat... lalu terbanting ke tanah. Tubuh Setan 

Mata Satu tak bergerak sesaat, lalu terlihat dia menggelang-

gelengkan kepalanya sebentar sambil berusaha bangkit 

Tubuhnya terhuyung-huyung sempoyongan, dan perlahan-

lahan dapat berdiri kembali dengan tegak. Mulutnya penuh 

dengan darah, dan dari hidungnya mengalir darah kehitaman. 

"Kau tidak apa-apa?" tanya Banulaga yang langsung 

menghampiri begitu tubuh Setan Mata Satu membentur 

dinding batu. 

"Tidak," sahut Setan Mata Satu. "Bagaimana Santika?" 

"Hilang." 

"Hilang...?" 

"Ya, seseorang telah menyambar tubuhnya dan 

membawanya pergi." 

"Lalu, Mega Lembayung?" 

Banulaga tersentak kaget, lalu.... 

"Aaakh...!" 

Banulaga terkesiap. Baru saja dia menoleh ke arah Mega 

Lembayung, seorang kaki tangannya roboh dengan belati 

tertancap di lehernya. Lalu tubuh bertopeng hitam menyambar 

tubuh Mega Lembayung. Banulaga menahan geramnya, 

Manusia Bertopeng Hitam itu muncul lagi. Kali ini dia 

membawa tubuh gadis yang selama ini diincarnya. Tiga orang 

kaki tangannya yang tersisa hanya terpaku melihat Manusia 

Bertopeng Hitam itu memanggul tubuh Mega Lembayung 

dengan kecepatan tinggi


"Kurang ajar!" Setan Mata Satu mengumpat tanpa bisa 

berbuat apa-apa. 

Banulaga dan Setan Mata Satu benar-benar merasa 

dipermainkan. Dua orang muncul sekaligus tanpa diduga-

duga dan menggagalkan niatnya. 

"Aku yakin, si Pendekar Rajawali Sakti-lah yang 

menyambar tubuh Santika tadi. Kali ini dua orang musuh kita 

datang pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti dan 

Manusia Bertopeng Hitam." Banulaga berucap dengan bibir 

rapat dan gigi yang bergemeletuk menahan geram. 

"Heh! Cepat kalian cari Mega Lembayung!" bentak 

Banulaga pada anak buahnya. Ketiga orang yang diperintah itu 

bergerak cepat ke arah Mega Lembayung yang dibawa pergi 

oleh Manusia Bertopeng Hitam. Mereka tak bisa berbuat lain 

kecuali melakukan perintah tuannya, meskipun sebenarnya 

nyali mereka sudah hilang sama sekali. 

"Aku khawatir kau mendapat luka dalam yang serius," 

kata Banulaga setelah mereka tinggal berdua. 

"Aku tidak apa-apa. Aku justru keselamatan Santika," 

sahut Setan Mata Satu. 

"Mampus pun aku tidak peduli!" dengus Banulaga. 

"Bagaimanapun dia adikmu, Banulaga. Aku menyesal 

telah mengeluarkan aji 'Pukulan Karang Samudra.' Ajian itu 

sangat dahsyat, selama ini belum ada seorang pun yang 

mampu bertahan hidup terkena ajian itu." 

"Ah, sudahlah. Yang penting sekarang, kita harus 

mendapatkan Mega Lembayung," sergah Banulaga tidak 

peduli lagi soal Santika 

"Kau saja yang cari. Aku mau semedi dalam tiga hari ini," 

sergah Setan Mata Satu. 

Banulaga melongo mendengar penolakan Seta Mata Satu. 

Dia tidak bisa berbuat apa-apa melihat laki-laki tinggi besar itu 

berlalu dari hadapannya. Banulaga menghentakkan kakinya 

kesal setelah punggung Setan Mata Satu lenyap di balik 

kerimbunan pepohonan.


"Huh! Kenapa tidak kubunuh saja Santika tadi!" dengus 

Banulaga sengit. 

Banulaga membalikkan tubuhnya Kakinya terayun 

mendekati kuda yang tertambat di pohon. Dia tahu kuda itu 

milik Santika. Seekor kuda coklat bertubuh kekar hadiah dari 

ayahnya ketika Santika lulus ujian tingkat pertama dalam ilmu 

kanuragan. 

Sesaat lamanya Banulaga tercenung memegang tali 

kekang kuda milik adiknya itu. Dia masih belum bisa mengerti, 

bagaimana Santika yang sedari kecil belajar ilmu olah 

kanuragan dan kesaktian pada guru yang sama, mampu 

menandingi tingkat kepandaian Setan Mata Satu. Terlebih lagi 

saat dia melihat Santika mengeluarkan ajian 'Gelang 

Menghalau Petir'. Karena sepanjang yang diketahuinya, 

Santika belum pernah mempelajari ilmu itu. Dan gelang 

pualam putih itu...? Bukankah gelang sakti milik ayah mereka? 

Dia tidak tahu bagaimana Santika bisa mendapatkan benda 

pusaka yang selama ini dia juga menginginkannya. 

"Hup!" 

Banulaga meloncat ke atas punggung kuda, lalu 

menggebahnya dengan cepat meninggalkan tepian danau 

menuju Desa Malayasati. Dia memacu kudanya bagaikan 

kesetanan, hingga debu-debu mengepul beterbangan. 

* * * 

Tak seorang pun tahu ke mana Santika dan Mega 

Lembayung pergi dibawa penolongnya. Juga Pak Karta yang 

setengah mati dipaksa Banulaga dan orang-orangnya untuk 

memberitahu di mana cucunya kini berada. 

Muka dan sekujur tubuh Pak Karta penuh berlumuran 

darah. Kedua tangannya terikat di beranda depan rumahnya. 

Kakinya lemas tidak lagi mampu men han beban tubuhnya. 

Seluruh wajahnya telah berubah kebiru-biruan dan penuh


benjolan-benjolan luka memar. Pakaiannya terkoyak-koyak 

menampakkan kulit yang bergurat bekas cambukan rotan. 

"Mudah saja bagiku untuk membunuhmu, tua bangka. 

Semudah aku membalikkan telapak tangan. Tapi kau calon 

mertuaku, kau akan bahagia jika Mega Lembayung jadi istriku. 

Katakan di mana anakmu berada?" Banulaga mencoba 

mengambil hati Pak Karta. 

Pak Karta tetap saja membungkam. Kepalanya lemas tak 

berdaya. Dia sudah tak mampu mengeluarkan barang sepatah 

katapun. Kata-kata Banulaga pun seperti hilang tertiup angin. 

Dan Banulaga pun menjadi gusar. 

"Di mana Mega?" bentak Banulaga gusar. 

Pelan-pelan kepala Pak Karta terangkat, dia seperti 

mendapat kekuatan. Namun matanya tetap redup, meski di 

balik itu terpancar sinar kebencian yang menyesak hingga ke 

dasar hatinya. 

"Phuih!" 

Pak Karta menyemburkan ludah yang bercampur darah 

dari rongga mulutnya. Ludah yang bercampur darah segar dan 

kental itu tepat memuncrat ke muka Banulaga. 

Banulaga terkesiap sesaat Lalu tangannya dengan cepat 

melayang ke muka keriput itu beberapa kali. Darah segar 

memuncrat dan membasahi tangan Banulaga. Lalu kepala laki-

laki tua itupun kembali terkulai. 

"Ikat, dan seret dia keliling kampung! Biar semua orang 

tahu bagaimana nasibnya kalau berani menentang Banulaga!" 

Dua orang bertubuh kekar langsung bergerak Mereka 

membuka ikatan tangan Pak Karta, lalu mengikatnya kembali 

dengan tambang yang panjang dan kuat. Seorang lainnya 

sudah siap di atas punggung kuda dengan ujung tambang di 

tangannya. 

Banulaga melompat ke punggung kuda putih 

tunggangannya. Sebentar dia menyeka sisa darah yang masih 

menempel di mukanya. Lalu dengan satu isyarat saja, orang


yang memegang ujung tali itu menggebah kudanya mengikuti 

langkah kuda Banulaga yang bergerak cepat. 

Nasib pak tua itu benar-benar ada di tangan Banulaga. 

Dia diseret mengelilingi kampung dengan sorot mata 

penduduk yang begitu iba menyaksikannya. Mereka yang 

melihatnya hanya mampu mengelus dada, tak sanggup 

menyaksikan tubuh tua yang malang itu lebih lama. Tak 

seorang pun yang dapat memastikan apakah tubuh yang tua 

renta itu masih dapat bernapas. Darah dan debu yang 

menempel jadi satu di tubuhnya tak bisa lagi untuk mengenali 

keadaannya 

Mendadak tali yang mengikat lelaki tua itu terputus, 

ketika tubuhnya yang terseret itu melewati tepi hutan. Tubuh 

tua itu terguling-guling dengan tangannya yang masih terikat 

kencang. Orang-orang Banulaga yang mengiringinya langsung 

berlompatan turun dari kudanya. 

Mereka segera mengepung sesosok tubuh yang tak lain si 

Manusia Bertopeng Hitam. Golok-golok mereka yang terhunus 

seperti siap menebas kepala Manusia Bertopeng Hitam itu 

yang sudah berdiri di dekat tubuh pak Parta yang tergeletak 

tak berdaya. 

"Hmmm..., dengan cara seperti ini kau baru datang secara 

jantan, meski kau tak berani menunjukkan batang hidungmu 

yang sesungguhnya, Manusia Bertopeng Hitam. Aku tak perlu 

repot-repot mencarimu uniuk membalaskan kematian ayahku, 

juga ketololanmu yang gagal membunuhku." 

"Tutup mulutmu, Banulaga! Kelak jika tiba saatnya, kau 

akan tahu siapa aku yang sesungguhnya. Sekarang kau hanya 

berani dengan orang-orang yang lemah tak berdaya. Hm..., aku 

ingin tahu kepandaian-mu yang sesungguhnya, Banulaga." 

"Keparat! Bunuh dia!" Banulaga berteriak lantang dengan 

darah yang mendidih. 

Orang-orang Banulaga yang mengepung Manusia 

Bertopeng Hitam itu bergerak cepat Namun secepat kilat, 

Manusia Bertopeng Hitam melenting ke udara, lalu mendarat


di tempat yang cukup jauh dari tubuh Pak Karta. Golok orang 

orang Banulaga itu hanya berkelebat menebas angln. Lalu 

bergerak cepat ke arah Manusia Bertopeng Hitam yang telah 

berdiri kembali. 

"Hiaaat... Hiya...!" 

Orang-orang Banulaga itu segera merangsek si Manusia 

Bertopeng Hitam. Mendapat serangan beruntun dari segala 

penjuru, orang bertopeng hitam itu berkelit dan berlompatan 

sambil sesekali membalas serangan. Manusia Bertopeng Hitam 

itu bertarung tanpa mengeluarkan senjata belati andalannya. 

Tapi sampai beberapa gebrakan berlalu, tak seujung golok pun 

yang berkelebat bagai kilat itu menyentuh kulit tubuhnya. 

"Lepas!" teriak orang bertopeng hitam itu tiba-tiba. 

Bagaikan kilat, tangannya bergerak cepat menyampok 

salah seorang pengeroyoknya yang terdekat. Gerakan 

tangannya yang cepat tak bisa dihindari lagi. Seorang dari 

pengeroyok itu menjerit kaget, dan goloknya melayang ke 

udara. Dia merasakan pergelangan tangannya patah dan terasa 

nyeri. 

Belum lagi dia berbuat sesuatu, mendadak sebelah kaki 

Manusia Bertopeng Hitam itu mendarat tepat di dada. Tak 

ampun lagi pengeroyok yang nyalinya cukup besar itu 

terjungkal ke tanah dengan mulutnya memuntahkan darah. 

Dan pada saat yang bersamaan, seorang lagi mengibaskan 

goloknya dari arah samping kiri. Manusia bertopeng itu 

memutar tubuhnya dengan kaki terayun cepat. 

Buk! 

Kaki orang bertopeng ilu mendarat di perut, lalu tangan 

kanannya meringkus tangan orang yang memegang golok. 

Dengan sekali tekukan, tangan itu patah. Tangan orang 

bertopeng hitam itu cepat menyambar golok yang hampir jatuh 

ke tanah. lalu.... 

Bet! 

"Aaakh...!" jeritan melengking terdengar. Orang bertopeng 

hitam itu cepat melepaskan kempitannya, dan penyerangnya


langsung roboh dengan leher hampir putus terbabat goloknya 

sendiri yang kini berpindah tangan. Dalam satu gebrakan saja, 

dua orang pengeroyoknya kehilangan nyawa. Kini tinggal 

enam orang lagi yang masih mengepung. 

"Sebaiknya kalian pergi, aku malas jadi tukang jagal 

manusia. Biarkan tuanmu menyelesaikan urusannya sendiri 

denganku!" dengus orang bertopeng hitam itu. 

"Serang, bunuh dia!" teriak Banulaga memerintah. 

"Yeaaah...!" 

Tiba-tiba salah seorang melompat sambil mengibaskan 

goloknya. Orang bertopeng hitam itu segera berkelit 

memiringkan tubuhnya sedikit, golok di tangan kanannya 

langsung dia babatkan ke arah perut. Teriakan mengerang 

terdengar menyayat, disusul tubuh yang roboh 

menyemburkan darah segar dari perutnya yang terkoyak. 

Orang bertopeng hitam itu menyilangkan golok rampasannya 

di depan dada. 

"Seraaang...!" Banulaga kembali memerintahkan orang-

orangnya. 

Seketika itu juga lima orang yang tersisa langsung 

merangsek. Kali ini jelas lerlihat kalau Manusia Bertopeng 

Hitam itu bukan tandingan mereka. Dalam waktu singkat saja 

dua orang lagi terjungkal bermandikan darah. 

Banulaga mulai terllhat watak pengecutnya. Dia langsung 

menggebah kudanya meninggalkan tempat itu. Orang 

bertopeng itu mendengus kesal. Ketiga orang yang semakin 

gencar menyerangnya tak memungkinkan dia mengejar 

Banulaga. 

"Maaf, aku tidak ada urusan dengan kalian!" seru orang 

Bertopeng Hitam itu, lalu tubuhnya melenting, berputar di 

udara, dan mendarat tepat di dekat tubuh Pak Karta. Secepat 

kilat dia menyambar tubuh tua yang tak berdaya itu dan 

membawanya pergi meninggalkan lawan-lawannya. 

"Ayo, kembali!" seru salah seorang. Ketiga orang itu 

langsung melompat ke punggung kudanya masing-masing,


meninggalkan lima sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa. 

Beberapa orang penduduk yang melihat pertarungan itu dari 

kejauhan begitu tercekam, lalu menarik napas lega ketika 

tubuh tua Pak Karta disambar dengan cepat oleh 

penyelamatnya. 

* * * 

Dua hari lamanya Pak Karta tidak sadarkan diri. Dan kini 

pada hari yang ketiga, dia mulai membuka matanya perlahan-

lahan, lalu kembali tertutup manakala sinar matahari yang 

menyelinap dari pintu rumah menerpa wajahnya. Kepalanya 

kemudian mulai terlihat bergerak-gerak. Kesadarannya 

tampak mulai pulih kembali. 

"Kakek...," sapaan halus terdengar di telinganya. 

Pelan pelan kelopak mata lelaki tua bertubuh ringkih itu 

terbuka. Dilihatnya seraut wajah cantik yang tersenyum 

lembut di depannya. Bibir Pak Karta lalu tersenyum bergetar. 

Sesaat lamanya matanya menatap lekat wajah yang selama ini 

memberinya harapan dan semangat hidup. 

"Mega...," desis Pak Karta lemah. 

"Oh, Kek...," Mega Lembayung tak kuasa lagi menahan air 

matanya. 

Mega menjatuhkan wajahnya memeluk tubuh lelaki tua 

itu. Bersamaan itu pula pintu terkuak, lalu muncul sesosok 

tubuh berwajah tampan mendekati dua insan yang tengah 

saling berpelukan. 

"Sudah siuman, Kek?" tanyanya lembut. 

Pak Karta tersenyum dan mengangguk lemah melihat 

pemuda tampan yang masih berdiri di samping balai-balai 

bambu. Mata tuanya mengitari pemandangan yang ada di 

depannya. Sebuah bilik berdinding bambu yang tidak begitu 

besar, namun terlihat bersih dan rapi. Pandangannya lalu 

beralih kembali pada wajah Mega dan pemuda tampan itu 

bergantian.


"Maaf atas perlakuan kakakku yang kasar, hingga Kakek 

mengalami nasib yang menyedihkan seperti ini," kata pemuda 

tampan itu lembut. 

Kepala Pak Karta menggeleng lemah. Bibirnya yang pucat 

menyunggingkan senyuman. Periahan-lahan dia sudah bisa 

merekam kembali kejadian yang menimpanya. Sebelumnya dia 

tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah sesosok bayangan hitam 

mengangkat tubuhnya. Dan yang dia tahu kini, tubuhnya 

tengah tergolek lemah, lalu cucunya Mega Lembayung dan 

pemuda tampan yang tak lain adalah Santika ada di dekatnya. 

"Di mana kita sekarang, Mega?" suara Pak Karta bertanya 

lemah. 

"Di tempat yang aman, Kek," sahut Mega lembut. 

Lalu terlihat oleh Pak Karta sesosok tubuh lainnya yang 

juga berwajah tampan dengan pakaiannya berompi putih dan 

sebuah pedang bergagang kepala burung yant tidak lain 

adalah Pendekar Rajawali Sakti. 

"Terima kasih, kau pasti yang menyelamatkan aku," kata 

Pak Karta. 

"Bukan aku, Kek," sahut Rangga seraya menolehkan 

wajahnya ke wajah Mega Lembayung, seolah meminta cucu 

Pak Karta ini untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. 

Mega cepat tanggap. 

"Maaf, Kek. Seseorang berpakaian serba hitamlah yang 

membawa Kakek kemari. Dia pula yang telah menolongku 

ketika aku dan Kakang Santika nyaris terbunuh oleh Banulaga 

dan orang-orangnya, tapi belum sempat aku mengucapkan 

terima kasih, orang yang berpakaian serba hitam itu pergi...," 

Mega menjelaskan dengan lirih. 

"Benar, Kek," sambung Santika. "Dan akulah yang 

diselamatkan oleh Pendekar Rajawali Sakti ini...." Santika lalu 

menunjuk Rangga, Pendekar Rajawali Sakti itu hanya 

tersenyum merendah, yang dibalas oleh anggukan dan 

senyuman tipis Pak Karta.


"Terima kasih, Rangga. Untuk kedua kalinya kami 

berhutang budi padamu," ucap Pak Karta. 

"Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong 

sesamanya, Kek," Rangga mengucapkan kata-kata yang sama 

ketika pertama kali menolong kakek dan cucunya ini. 

Pak Karta kembali menyunggingkan senyumnya. Sesaat 

lalu suasana hening menyelimuti mereka. Ke empat orang 

yang ada di balik bilik bambu itu seperti tengah merenungi apa 

yang selama ini telah terjadi.... 

Terdengar bibir Pak Karta bergumam pelan, lalu 

wajahnya memandang ke arah Santika. Santika pun lalu seperti 

menunggu apa yang akan diucapkan Pak Karta. Namun 

beberapa saat bibirnya seperti terkunci, lalu pandangannya 

beralih pada cucunya, Mega Lembayung. 

"Kakang Santika banyak membantu," kata Mega 

Lembayung seolah tahu apa yang tengah tersirat dalam benak 

kakeknya, "...dia telah menyediakan kamarnya untukku 

bersembunyi sampai keadaannya benar-benar aman dan 

tenang...." 

"Benar, Kek. Aku sendiri tidak menyukai sikap ayahku 

dan Kakang Banulaga, dan aku tidak rela Mega Lembayung 

menjadi korban kebuasannya," sambung Santika. 

"Semuanya sudah terjadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa 

lagi. Selain aku bertertma kasih padamu, Santika, dan kau, 

Rangga... dengan saksi Yang Maha Kuasa dan kalian bertiga 

yang ada di sini, aku berterima kasih juga pada orang yang 

telah menyelamatkan aku dari amukan Banulaga yang kejam 

dan telah menyiksaku... tolong sampaikan ucapan terima 

kasihku jika kalian bertemu dengan orang itu lagi...," Pak Karta 

mengakhiri ucapannya dengan nada lirih memetas. 

"Kedudukan kita Juga semakin sulit, karena Kakang 

Banulaga sudah tak menganggapku sebagai saudara lagi. Dia 

sudah memandangku sebagai musuhnya," Santika 

mengeluarkan isi hatinya.


Rangga yang sedari tadi lebih banyak diam, tak kuasa 

pula untuk menahan isi hatinya. 

"Benar, kata Kakek. Aku pun memahami posisimu, 

Santika," sesaat Rangga menoleh ke wajah Santika, "... tapi kita 

harus tetap berjuang demi kebenaran dan keadilan... untuk itu 

perkenankanlah aku mohon diri...." 

Pak Karta, Mega Lembayung dan Santika terkejut 

mendengarnya. 

"Kakang hendak ke mana?" tanya Mega Lembayung 

"Percayalah, aku akan tetap berusaha berjuang bersama 

kalian... dan aku rasa kita tak boleh memberi kesempatan 

kepada Banulaga untuk menyusun kekuatannya kembali...," 

ketiga orang itu tercenung sesaat, dan bibir mereka tak 

sanggup berucap memandang kepergian Pendekar Rajawali 

Sakti itu. 

Beberapa saat lamanya kellya orang yang berada di dalam 

bilik bambu itu saling bi-rtatapan satu sama Iain. Mereka 

membenarkan ucapan Rangga... bahwa banyak tantangan yang 

harus mereka hadapi, dan mereka harus bersiap-siap kembali... 

* * *


TUJUH


Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti belum lagi 

melangkah jauh, ketika mendadak enam orang dengan golok 

terhunus telah mengepungnya. Darah Rangga pun berdesir 

cepat, matanya segera menyapu wajah pengepungnya satu per 

satu, nampak olehnya wajah-wajah yang keras dan sangar 

tengah menatapnya tajam. Wajah Rangga pun menegang 

sesaat, lalu kembali berubah teduh. Senyuman tipis 

tersungging di bibirnya. 

"Aku hendak menuju ke Desa Malayasati, ada urusan apa 

kalian menghalangi langkahku?" tanya Rangga tenang, meski 

nalurinya menyatakan kalau mereka adalah orang-orang 

Banulaga, yang tentu maksudnya sudah bisa diduga. 

"Hmmm... kaukah si Pendekar Rajawali Sakti?" tanya si 

pengepung yang berada tepat di hadapan Rangga. Orang itu 

tampaknya tak memerlukan jawaban, dia langsung 

menyambung pertanyaannya sendiri, "Ketahuilah, majikanku 

tidak ingin orang lain, apalagi kau yang jelas-jelas bukan orang 

desa ini, untuk mencampuri urusan pribadinya." 

Rangga tersenyum mengejek. "Kau pintar-pintar bodoh, 

rupanya. Orang yang punya urusan pribadi tentu tidak akan 

menyuruh orang lain. Dan aku tidak peduli dengan urusan 

majikanmu,tapi kekejaman dan ketidakadilan tak akan 

kubiarkan merajalela di depanku,... Menyingkirlah kalian, agar 

tanganku tak lagi menghilangkan nyawa orang-orang dungu 

yang hanya bisa menurut perintah majikannya." 

"Kurang ajar! Rupanya kau tidak bisa diajak bicara baik-

baik, sekarang terimalah ajalmu!" teriak orang itu lantang, 

sambil tangan kanannya terangkat memberi perintah kepada 

kelima orang lainnya untuk menyerang. 

Dengan sigap kedua kaki Rangga meloncat, tubuhnya 

melayang sesaat menghindari kibasan golok yang berkelebat


cepat, lalu bersalto dua kali sebelum kakinya mendarat tepat di 

belakang punggung lawan-lawannya. Dengan tumpuan kaki 

kanannya Rangga memutarkan tubuhnya sedikit, lalu secepat 

kilat kakinya melompat menghajar punggung dua orang 

sekaligus. Dua orang yang terkena tendangan di 

punggungnya, nasibnya begitu mengenaskan, tubuh mereka 

yang terdorong ke depan terkena sabetan golok temannya 

sendiri. Seorang dari mereka mukanya hancur oleh sabetan 

golok yang menebas mulut dan pelipisnya, sedang seorang 

lainnya mengerang sesaat ketika lehernya nyaris putus, lalu 

roboh tak bergerak lagi. 

Empat orang lainnya terhenyak kaget, terbayang 

kengerian di wajah-wajah mereka, apalagi dua orang di antara 

mereka yang goloknya bersimbah darah. Dua orang teman 

mereka tewas hanya dalam satu gebrakan saja. Lalu seperti 

dibakar dendam, mereka kembali menyerang Rangga. Secepat 

kilat Rangga merundukkan badannya, tangannya bergerak 

menyambar pergelangan tangan kanan orang yang paling 

depan, lalu dengan satu tekukan tangan yang disertai egosan 

kakinya, dia melemparkan tubuh lawannya itu tepat 

menghantam dada seorang temannya. Tubuh kedua orang itu 

langsung roboh bertindihan ke tanah. Dan pada saat itu pula, 

Rangga membungkukkan badannya menghindari kibasan 

golok seorang lagi dari belakang, sambil kaki kirinya 

menggibas lutut lawan, dan orang itu jatuh merunduk dengan 

kepalanya menghantam lebih dulu ke tanah, dan segera 

Rangga pun menyadari kalau masih ada seorang lainnya yang 

hanya berdiri mematung tanpa berbuat apa-apa melihat teman-

temannya roboh tak berdaya. 

"Hmmm...," Rangga menatap tajam pada seorang yang 

tersisa, "kau rupanya bersikap ksatria..., mau menghadapiku 

secara jantan tanpa keroyokan...," 

"Tunggu," orang yang berdiri mematung itu membuka 

mulutnya. "Aku berdiri di pihak kebenaran dan keadilan, 

meskipun aku hanya cecunguknya Banulaga," orang itu


kembali bersuara tanpa menghiraukan Rangga yang masih 

diam terpaku. 

"Siapa kau?" tanya Rangga sopan. 

"Berhati-hatilah, Rangga." Orang itu malah tak menjawab, 

"empat orang tokoh sakti kini ada di belakang Banulaga... 

teruskanlah niatmu, biar aku berbuat dengan caraku sendiri." 

Sejurus kemudian orang itu menatap lekat-lekat pada Rangga. 

Rangga terkesiap sesaat, ketika otaknya mulai 

menemukan titik terang. Orang ini pastilah si Manusia 

Bertopeng Hitam yang kini dalam wujud sebenarnya. 

"Dan ingat!" kembali orang itu berucap, "... kematian 

Banulaga adalah bagianku!" Orang itu kemudian berkelebat 

cepat meninggalkan Rangga dan lima tubuh lainnya yang 

tergeletak tak bernyawa. 

Beberapa saat lamanya Rangga tercenung. Dia tahu pasti 

kalau orang itulah si Manusia Bertopeng Hitam yang tengah 

diburu Banulaga dan orang-orangnya setelah kematian 

Badaraka. 

"Rangga...!" 

Sebuah teguran mengagetkannya, lalu Rangga menoleh, 

dilihatnya Santika dan Mega Lembayung tengah berlari 

mendekat ke arahnya. 

Santika dan Mega Lembayung tertegun menyaksikan 

mayat-mayat bergelimpangan mengerikan. Lalu perlahan-

lahan wajah keduanya terangkat menatap Rangga. Mereka 

mengerti apa yang telah terjadi. Karena tak lama setelah kaki 

Rangga melangkah meninggalkan bilik bambu itu, mereka 

telah melihat beberapa sosok tubuh membayangi kepergian 

Pendekar Rajawali Sakti itu, namun mereka tak bisa ikut 

berbuat banyak menyadari keadaan tubuh tua Pak Karta yang 

lemah. 

"Mega dan Santika, tolong uruskan mayat-mayat mereka," 

Rangga berkata pelan, lalu tubuhnya bergerak cepat 

meninggalkan tempat itu. Mega dan Santika hanya sempat 

memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti itu.


Seandainya Rangga mau menjelaskan semuanya yang 

telah terjadi, Santika tentu tidak akan penasaran lagi apabila 

mengetahui siapa Manusia Bertopeng Hitam yang sebenarnya, 

karena seperti yang diucapkan oleh orang itu sendiri, dia kini 

adalah cecunguknya Banulaga, kakaknya Santika. 

Santika pun kemudian terkejut manakala matanya 

tertumbuk pada sesosok tubuh yang amat dikenalnya, tubuh 

Tarsa, pembantunya yang setia dan kini tergeletak tak 

bernyawa. Darahnya lalu berdesir, dia tahu pasti, Tarsa pasti 

tak bisa menolak perintah Banulaga, yang mengantarkannya 

menemui nasib naas. 

Matahari pun mulai terbenam ke ufuk Barat. Angin mulai 

berhembus dingin menemani kedua orang yang tengah 

mengurus mayat-mayat itu. 

* * * 

Pagi itu udara terasa begitu sejuk menyentuh pori-pori 

kulit, sinar matahari yang terhalang oleh awan tipis dan 

hembusan angin yang lembut, membuat orang-orang di Desa 

Malayasati seperti tengah menikmati kedamaian dan 

ketenangan. 

Sesosok tubuh tegap dan berparas tampan terlihat tengah 

mengayunkan langkahnya dengan ringan dan tenang. Baju 

rompi putih yang senantiasa dikenakannya, menarik perhatian 

orang-orang di jalan yang di lewatinya. Setiap langkahnya 

seperti meninggalkan tanda tanya, Pendekar Rajawali Sakti 

pemilik sesosok tubuh itu pun cepat menyadari. Keadaan 

dirinya membuat orang-orang di desa ini ingin mengenakan 

pakaian yang sebagus miliknya. Rangga pun melangkahkan 

kakinya lebih cepat, lalu kakinya berbelok melangkah 

memasuki sebuah kedai yang terlihat asri. Di depannya sebuah 

bangunan besar seolah berdiri pongah menantang. Bangunan 

besar itu sebuah rumah berhalaman luas dengan tembok tinggi 

tebal menyerupai sebuah benteng.


Dari tempat duduknya Rangga sekilas menatap ke pintu 

gerbang rumah itu, lalu kembali matanya beralih pada pelayan 

kedai, seorang perempuan muda dengan guratan-guratan di 

wajahnya yang masih menyiratkan keayuan. Rangga lalu 

memesan seguci arak. 

"Tunggu sebentar, bisakah Anda menemani saya duduk 

di sini?" pinta Rangga begitu melihat wanita itu hendak 

beranjak pergi meninggalkannya. 

Wanita itu tidak menjawab. Dia langsung duduk di depan 

Rangga. Hanya sebuah meja kayu kecil yang membatasi 

keduanya. Sejenak Rangga memperhatikan wanita di 

hadapannya yang kini tengah tertunduk. 

"Siapa namamu?" tanya Rangga. 

"Kanti," sahutnya pelan. Bibirnya menyunggingkan 

senyum tipis yang terpaksa. 

"Kau penduduk desa ini?" tanya Rangga lagi. 

Perlahan-lahan kepala Kanti terangkat. Matanya menatap 

bola mata Rangga Lalu kepalanya menggeleng pelan, rasa 

takut dan cemas terlihat jelas di wajahnya. 

"Kau juga bukan orang sini?" tanya Kanti lirih, setelah 

beberapa saat lamanya dia terdiam. 

"Ya, cuma kebetulan saja aku lewat sini," sahut Rangga 

sambil mengajak Kanti tersenyum. 

"Kalau begitu sebaiknya kau cepat pergi." Rangga terkejut, 

dilihatnya wajah Kanti yang menoleh ke sana kemari seperti 

takut ada yang memergoki. 

"Kenapa?" 

"Tuan Besar telah memerintahkan bahwa siapa saja 

pendatang baru yang tidak punya keluarga di sini harus diusir. 

Kalau tidak, akan dibunuh," Kanti menerangkan setengah 

berbisik. 

"Tuan Besar! Siapa dia?" 

'Tuan Banulaga, penguasa Desa Malayasati ini. Dia 

memiliki semua kedai dan penginapan di sini, juga sebagian


besar tanah desa. Dia bagaikan raja kecil yang semua 

perintahnya harus ditaati." 

Rangga menganggukkan kepalanya. Kemudian dari sudut 

ekor matanya dia melihat pintu gerbang rumah besar itu 

terbuka. Lalu muncul lima orang penunggang kuda yang 

diikuti tidak kurang dari sepuluh orang penunggang kuda 

lainnya. Mereka langsung bergerak ke arah Timur. 

"Yang di depan itu Tuan Banulaga," kata Kanti seperti 

tahu jalan pikiran Rangga yang masih terlihat memandangi 

rombongan berkuda itu dengan sudut ekor matanya. 

"Hmmm..., masih muda dan tampan," gumam Rangga. 

"Ya, memang tampan, tapi kejam," suara Kanti tertekan. 

"Lantas yang lainnya?" Rangga jadi tertarik ingin tahu. 

"Yang empat orang, undangan khusus Tuan Besar. 

Mereka semua berilmu tinggi dan sakti. Sedangka yang lainnya 

cuma kaki tangan Banulaga, yang dia peralat untuk memeras 

penduduk dan mencari perempuan-perempuan cantik 

kegemarannya. Mereka amat sadis dan kejam." 

"Tampaknya kau tahu persis," gumam Rangga. Matanya 

menatap lurus pada perempuan muda depannya. 

Kanti yang ditatap begitu, jadi menunduk mukanya 

dalam-dalam. Seperti ada kesedihan da duka yang tengah 

bergayut di dadanya. Lalu perlaha lahan dia mengangkat 

wajahnya, menatap Rangga sesaat, lalu.... 

"Dua tahun aku disekap di sana. Selama itu aku harus 

melayani nafsu setan mereka. Yah..., setelah aku tak 

dibutuhkan lagi, aku dibuang dan dicampakkan di sini. 

Mestinya aku lega keluar dari neraka, tapi di sini juga tidak 

kalah mengerikan. Aku seperti sapi perahan mereka, entah 

berapa laki-laki yang sudah meniduriku." 

"Kau tidak berontak? Melarikan diri, misalnya?" 

"Untuk apa? Percuma saja, Banulaga seperti mempunyai 

seribu mata dan Jala yang tak mungkin bisa dilewati begitu 

saja, sekali mereka melarikan diri. Tiang gantungan pun 

menanti, atau menjadi santapan ular-ular berbisa."


Darah Rangga berdesir mendengar sebegitu jauh 

perlakuan Banulaga dan orang-orangnya terhadap penduduk 

yang tak berdaya. 

"Kanti...!" tiba-tiba terdengar suara teriakan keras. 

Rangga dan Kanti cepat menoleh ke arah datangnya 

suara. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar penuh berewok 

bertolak pinggang menatap tajam pada Rangga dan Kanti. 

"Celaka,..," Kanti mendesah dengan wajahnya yang pucat 

pasi. 

"Siapa dia?" tanya Rangga yang melihat Kanti begitu 

ketakutan, lalu matanya beralih pada sesosok tubuh tinggi 

besar itu. 

"Dia..., Suro Bledek. Dia orang kepercayaan Tuan 

Banulaga yang mengurusi semua rumah penginapan dan kedai 

minum, juga rumah perjudian di desa ini." 

Laki-laki tinggi besar berwajah kasar itu melangkah 

mendekat. Dengan sentakan kasar dia merenggut tangan Kanti, 

hingga perempuan itu sempoyongan, lalu dengan satu 

dorongan tangannya yang kuat dia membanting tubuh Kanti 

ke tanah. Dan belum sempat ia bangun, perempuan malang itu 

hendak ditendangnya, tapi mendadak.... 

"Aaakh...!" Suro Bledek menjerit keras. 

Saat kakinya hampir mendarat di tubuh Kanti, Rangga 

dengan cepat menyambar guci arak di mejanya, lalu 

dilemparkannya tepat mengenai tulang kering kaki Suro 

Bledek. Tentu saja lelaki yang seperti gorilla ini meraung 

menahan sakit di kakinya terkena lemparan guci yang begitu 

keras. 

"Monyet buduk!" maki Suro Bledek sengit. 

Sret! 

Suro Bledek mencabut goloknya yang besar dan berkilat. 

Dengan teriakannya yang nyaring dia menggibaskan goloknya 

ke arah leher Rangga. Hanya dengan sedikit menarik tubuhnya 

ke belakang, Rangga itu mengelakkan tebasan golok itu.


Bibirnya tersenyum mengejek, yang memancing kembali 

amarah Suro Bledek. 

Gagal menebas leher Rangga, Suro Bledek mengerang 

panjang, lalu dengan gerakan-gerakan cepat, dia 

menggibaskan kembali goloknya ke beberapa bagian tubuh 

Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga hanya berkelit mengelak 

tanpa merubah posisi tubuhnya menghindari serangan gencar 

Suro Bledek. Bahkan pada satu kesempatan, dengan pangkal 

tangan kanannya yang terbuka dia menghantam keras tangan 

kanan lawannya sehingga goloknya terlepas. 

Belum lagi Suro Bledek menyadari keadaan, mendadak 

tangan kanan Rangga mencekal tangannnya dengan satu 

tarikan ke depan, tubuhnya yang terdorong maju dihadang 

dengan hantaman lutut yang dahsyat tepat mengenai ulu 

hatinya, lalu jatuh berdebum ke tanah. 

"Bajingan!" geram Suro Bledek seraya bangkit, daya tahan 

tubuhnya sungguh luar biasa. 

Amarahnya tak lagi bisa dikendalikan, dia tidak dapat 

lagi melihat siapa yang dihadapinya, dengan mendengus 

kencang dia melompat menerkam Pendekar Rajawali Sakti itu. 

Gerakan dan terjangan tubuhnya yang lamban dengan mudah 

dapat dipatahkan oleh Rangga. Tubuh Suro Bledek pun 

kembali terjungkal ke belakang menabrak meja hingga hancur 

berantakan, ketika tangan kanan Rangga kembali menghantam 

dadanya. Kekuatannya yang hanya mengandalkan tenaga luar 

tak mampu menandingi Pendekar Rajawali Sakti. 

"Nekad!" dengus Rangga begitu melihat Suro Bledek 

hendak menerjang lagi. 

Kali ini Rangga Tidak lagi memberi hati. Begitu serangan 

Suro Bledek datang, dengan cepat dia membungkukkan 

tubuhnya melewati ketiak lawanya, dan dengan cepat tangan 

kirinya menghantam tengkuk, lalu disusul lutut kirinya 

menghajar perut. Belum sempat Suro Bledek berbuat apa-apa, 

Rangga sudah mencocor kepalanya dengan jurus 'Cakar 

Rajawali'.


Bles! 

"Aaakh...!" Suro Bledek mengerang panjang Beberapa saat 

lelaki bertubuh tinggi besar itu berputar memegangi kepalanya 

yang bocor dan retak. Darah bercucuran keluar merembes 

melalui jari-jari tangannya, lalu tubuhnya ambruk ke tanah. 

Cuma sebentar Suro Bledek sempat menggeliat, lalu tak 

bergerak lagi. 

Rangga memandang sekelilingnya, tampak orang-orang 

berkerumun menyaksikan pertarungan yang tak seimbang itu. 

Sementara Kanti berdiri di pojok dengan tubuh menggigil 

ketakutan 

"Tuan...," panggil Kanti bergetar begitu Rangga 

melangkahkan kakinya ke luar. 

Rangga menghentikan langkahnya dan menoleh. Kanti 

bergegas menghampiri dengan air matanya yang deras 

membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sinar matanya 

seakan-akan memohon perlindungan. 

"Tolonglah aku, Tuan. Mereka pasti akan membunuhku. 

tolong Tuan...," pinta Kanti memelas. 

Rangga menarik napasnya dalam-dalam. Dia bisa 

memahami kedudukan perempuan ini sekarang, apalagi 

berpasang-pasang mata telah melihat perrarungannya dengan 

Suro Bledek. Pendekar Rajawali Sakti itu lalu mengangguk 

pelan. 

Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menggamit tangan 

Kanti meninggalkan kedai dan orang-orang yang diam 

mematung menyaksikannya. Rangga berjalan cepat, hingga 

Kanti harus berlari-lari kecil mengimbanginya. 

Orang-orang di sekitar kedai pun tak lama kemudian 

pergi bubar. Tidak ada yang mau mengambil resiko dihajar 

Banulaga dan orang-orangnya untuk menceritakan kejadian itu 

dan menunjukkan di mana Kanti dan Pendekar Rajawali Sakti 

berada. 

* * *


Banulaga menahan geram dan sulit menerima kenyataan 

kalau Suro Bledek, salah seorang kepercayaannya tewas 

dengan mengenaskan. Musuh-musuhnya sudah mulai terang-

terangan merongrong kewibawaannya di depan orang banyak. 

Karena bagaimanapun kejadian ini akan membuat nyali 

penduduk Desa Malayasati bangkit, dan itu berarti akan 

menghancurkan kekuasannya pelan-pelan tapi pasti. Hanya 

orang bodoh yang mau kekuasaannya musnah begitu saja. 

Saat Banulaga diliputi keberangan, mendadak muncul 

Japra, salah seorang yang dia suruh melacak jejak Santika, 

Mega Lembayung, dan Pendekar Rajawali Sakti. Japra segera 

membungkukkan badannya, lalu dengan gemetar dia berujar. 

"Maaf, Tuanku, Pendekar Rajawali Sakti... dia... dia ada di 

rumah Pak Karta." 

Mata Banulaga memerah seketika, raut mukanya 

menegang. Terbayang kembali olehnya wajah Badrun yang 

mati terbunuh.... Lalu dia sendiri yang tak bisa berbuat banyak 

menghadapi pendekar itu. Mulut Banulaga kemudian tertutup 

dengan giginya bergemeletuk keras. 

"Di mana lima orang lainnya?" tanya Setan Mata Satu 

memecahkan suasana tegang. 

"Mereka semua tewas, Tuan.... Saya sendiri tak sempat 

membopong Mega, karena dihadang oleh Santika dan Manusia 

Bertopeng Hitam. Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu tak 

mampu diringkus oleh Tarsa dan yang lainnya, malah kelima 

orang itu kemudian tergeletak satu persatu dengan belati 

tertancap di lehernya." 

Suasana hening sesaat, Banulaga dan Resi Maespati serta 

ketiga orang tokoh sakti lainnya saling berpandangan satu 

sama lain. 

"Dia harus mati. Sudah banyak orang-orangku yang tewas 

di tangannya," geram Banulaga. 

"Santika, Mega dan Pak Karta kemudian mengambil jalan 

terpisah, Tuan..., hanya Pendekar Rajawali Sakti dan... yah,


Kanti, Tuan... ada di rumah Pak Karta," Japra kembali 

menjelaskan dengan lutut bergetar. 

"Kalau begitu, biar aku sendiri yang meringkus monyet 

itu!" dengus Setan Mata Satu. 

"Berangkatiah, bawa kepalanya ke sini!" Setan Mata Satu 

tak banyak bicara lagi. Dia langsung melangkah pergi diiringi 

pandangan mata Banulaga. Tak lama kemudian Banulaga 

memandang ke arah Japra. 

"Ikuti Setan Mata Satu, dan segera beritahu hasilnya!" 

perintah Banulaga. 

"Baik, Tuan," Japra segera mengikuti langkah Setan Mata 

Satu dari kejauhan. 

Banulaga kemudian kembali menatap kosong ke depan. 

Pikirannya menerawang jauh, membayangkan apa yang akan 

terjadi. Dia tidak menyangsikan kesaktian Setan Mata Satu. 

Tapi diapun cemas, karena yang akan dihadapinya adalah 

seorang pendekar pilih tanding yang sukar diukur tingkat 

kepandaiannya. Dan karena itu pula dia menyuruh Japra 

untuk mengawasinya dari kejauhan. Dia tidak ingin korban di 

pihaknya bertambah, lalu lawannya bebas berkeliaran 

mempermalukan dan melecehkan kekuasaannya di mata 

penduduk tanpa dia sendiri dapat meringkusnya langsung. 

Mata Banulaga kemudian menatap si Raja Ular yang 

tengah berdiri bersandar di pilar beranda depan. Banulaga 

menghampiri kakak Setan Mata Satu itu, sementara Resi 

Maespati dan Iblis Selaksa Racun hanya mengawasi dari 

tempat duduknya. Tampak wajah Resi Maespati begitu tenang, 

seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa. Dan tidak ada yang 

tahu, kalau pembicaraannya dengan Santika sedikit banyak 

mempengaruhi diri sang resi. 

"Kau tidak ikut bersama Setan Mata Satu, Raja Ular?" 

tanya Banulaga. Nadanya berharap agar si Raja Ular ikut serta 

menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, hingga dia tak begitu 

cemas menghadapi kemungkinan lain.

"Jangan kau sangsikan adikku. Tunggu saja, dia pasti 

datang membawa kepala pesananmu," sahut si Raja Ular 

tenang. 

"Sama sekali aku tidak sangsi, hanya saja...." Banulaga 

tidak meneruskan ucapannya. 

Si Raja Ular menatap tajam. Keningnya sedikit berkerut. 

"Dia hampir kalah ketika bertarung melawan Santika!" 

Banulaga mengemukakan kecemasannya. 

"Mustahil!" dengus si Raja Ular. 

"Kau boleh tanyakan sendiri nanti kalau Setan Mata Satu 

selamat." 

Si Raja Ular Tidak berkata apa-apa lagi, kecuali matanya 

menatap tajam Banulaga yang segera pergi meninggalkannya 

masuk ke dalam rumah. Sungguh dia tidak percaya kalau 

Setan Mata Satu hampir kalah menghadapi Santika, yang 

belum banyak pengalaman dalam rimba persilatan. Ah, 

mungkin saja Setan Mata Satu mengalah karena yang dihadapi 

masih terhitung majikannya sendiri, si Raja Ular menghibur 

diri. 

Raja Ular pun kembali tenang. Dia Justru berpikiran kalau 

Banulaga sendiri yang takut, lalu memutar balikkan keadaan 

yang sebenarnya. 

"Hhh...," Raja Ular mendesah panjang, kemudian kakinya 

melangkah melintasi halaman rumah yang luas menuju pintu 

gerbang yang dijaga enam orang bersenjata golok dan tombak. 

Dua orang langsung membuka pintu melihat si Raja Ular 

mendekat. Yang lainnya membungkukkan badan. 

"Kalian berdua ikut aku," kata Raja Ular menunjuk dua 

orang yang membukakan pintu. 

"Ke mana, Tuan?" tanya salah seorang. 

"Cari hiburan." 

Kedua orang itu saling pandang, lalu mengangguk seraya 

mengikuti langkah si Raja Ular. 

"Hei, mau ke mana?" tanya salah seorang yang ditinggal.


"Jangan banyak tanya, kalian jaga saja!" bentak si Raja 

Ular tanpa menoleh. 

Dua orang yang mengikutinya pun tersenyum senang. 

"Di mana tempat yang paling enak?" tanya si Raja Ular 

tetap tanpa menoleh. 

"Saya tahu, Tuan," kata salah seorang yang kelihatannya 

masih muda dengan rambut kucai. 

"Kau jalan duluan." 

"lya, Tuan." 

Kedua orang itu mendahului berjalan di depan, tapi si 

Raja Ular malah menariknya. Dan mereka berjalan beriringan 

dengan si Raja Ular di tengah-tengah seperti raja. Semua orang 

yang berpapasan langsung menyingkir sambil 

membungkukkan badan memberi hormat. 

"He he he...," si Raja Ular terkekeh dalam hati. 

* * *


DELAPAN


Setan Mata Satu memandangi sebuah rumah berdinding 

bambu yang tampak sepi tak berpenghuni. Naluri dan 

pendengarannya yang tajam seolah membisikkan kalau di 

dalam rumah itu ada penghuninya. Setan Mata Satu pun 

segera melenting tinggi ke udara, lalu hinggap dengan ringan 

di atas atap. 

Baru saja kakinya menjejak atap, mendadak atap itu jebol 

berbarengan dengan munculnya seorang pemuda berompi 

putih yang tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti. Setan Mata 

Satu terkejut, namun dengan cepat dia dapat menguasai 

dirinya kembali. Dua orang itu kini saling berhadapan di atas 

atap. 

"Hebat, kau bisa mengetahui kehadiranku," gumam Setan 

Mata Satu. 

"Mau apa kau mendatangiku seperti maling?" tanya 

Rangga sinis. 

"Aku ke sini sengaja mencarimu. Kau banyak berhutang 

nyawa pada majikanku!" 

"Hmmm..., tak kusangka Banulaga mempunyai begitu 

banyak anjing.'' 

"Bangsat! Lancang sekali mulutmu," dengus Setan Mata 

Satu geram. 

"Menghadapi anjing buduk sepertimu, tidak perlu kata-

kata sopan." 

"Kurobek mulutmu, keparat!" 

Seketika itu juga Setan Mata Satu meloncat ke depan dan 

menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pertarungan pun tak bisa 

dihindari lagi, suatu pertarungan tangan kosong tingkat tinggi 

berlangsung di atas atap. Sampai beberapa jurus Rangga hanya 

ingih menjajagi lebih dulu kekuatan lawannya dengan jurus-

jurus tangan kosong yang ringan, namun gerakannya cepat 

dan sulit diikuti mata.


Setan Mata Satu belum sedikitpun bisa menyentuh tubuh 

Rangga, meski sudah lebih dari sepuluh jurus ia kerahkan. Dan 

Rangga pun belum terpancing untuk mengeluarkan jurus 

andalannya, sampai beberapa saat lamanya dia hanya berusaha 

mengelak tanpa membalas serangan, hingga membuat Setan 

Mata Satu geram merasa seperti dipermainkan. 

"Phuih! Nama besar Pendekar Rajawali Sakti rupanya 

cuma kosong, dan cuma bisa menghindar saja!" dengus Setan 

Mata Satu kesal dan mencoba memancing. 

"Begini saja kau belum bisa menyentuh kulitku," balas 

Rangga tak kalah pedas. 

"Bangsat! Kau akan merasakan jurus 'Tangan Maut'ku." 

"Keluarkan saja semua jurus andalanmu." 

Setan Mata Satu semakin berang. Segera dia 

mengeluarkan jurus 'Tangan Maut yang amat berbahaya. 

Gerakan-gerakannya cepat dan penuh tipuan. Namun 

Pendekar Rajawali Sakti belum terpancing untuk 

mengeluarkan rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti'nya, dia 

masih meladeni Setan Mata Satu dengan senyum tersungging 

di bibir. 

Pendekar Rajawali Sakti akhirnya menyadari kalau jurus 

'Tangan Maut' dari lawannya tak bisa lagi remehkan, bahkan 

beberapa kali dia jatuh ban kerepotan menghindari serangan-

serangan gencar yang amat dahsyat. Dan dengan melentingkan 

tubuhnya, Rangga atau Pendekar Rajawali Sakti itu melompat 

turun ke pelataran rumah Pak Karta. Tak mungkin baginya 

untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan di tempat yang 

kurang leluasa. 

Dua orang itu kini telah berhadapan kembali pelataran. 

Rangga mulai memusatkan perhatiannya lalu perlahan-lahan 

tapi pasti dia mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh 

Rajawali', dan pertarungan ya sesungguhnya pun dimulai. 

"Hiaaat...!" 

Tiba-tiba Rangga berteriak keras, disusul gerakan kakinya 

yang cepat menyusur tanah, dua tangannya mengibas cepat ke


arah leher dan dada. Setan Mata Satu melompat menghindari 

serangan maut berhawa panas itu, namun begitu kakinya 

menjejak tanah, dengan cepat kaki Rangga menyampoknya. 

Tidak ada pilihan lain bagi Setan Mata Satu, kecuali 

melentingkan tubuhnya ke atas, tapi berbarengan dengan itu 

Rangga menghantamkan tangan kanannya ke depan, mendarat 

tepat ke perut Setan Mata Satu tanpa bisa dihindari lagi. 

"Hukl" 

Setan Mata Satu mengeluh pendek, dua kali dia berputar 

di udara, lalu menjejak tanah sejauh dua batang tombak. Setan 

Mata Satu segera mengerahkan aji 'Pukulan Karang Samudra', 

jurus pamungkasnya, dan Rangga pun segera mengeluarkan 

penangkalnya, yaitu aji 'Cakra Buana Sukma' tanpa 

menggunakan pedang Rajawali Sakti. 

"Yeaaah...!" 

Tubuh Setan Mata Satu melompat ke depan, meluruk ke 

arah Pendekar Rajawali Sakti, dan disambut oleh kedua tangan 

lawannya. 

Des! 

Dua pasang tangan berbenturan keras, sinar merah dan 

biru terpancar jelas, kedua tokoh sakti itu berdiri saling 

berhadapan dengan tangannya saling menempel dan 

mendorong satu sama lain. Dua cahaya merah dan biru itu 

berbaur menjadi satu. Dua pasang mata mereka saling 

bertatapan tajam, tampak wajah Setan Mata Satu yang 

menegang, juga wajah Pendekar Rajawali Sakti yang tegang 

mulai berkeringat deras. 

Lama sekali mereka saling mengadu kekuatan dengan 

ilmu kesaktian pamungkasnya masing-masing. Perlahan-lahan 

kaki Setan Mata Satu merembes ke dalam tanah. Sebaliknya 

Rangga tetap berdiri dengan telapak kakinya seperti tidak 

menginjak tanah. 

"Hih!" 

Setan Mata Satu menarik tangannya, wajahnya yang 

sudah semakin memerah dan menegang, menjadi semakin


membara, manakala merasakan tangannya seperti terpatri 

tanpa bisa dilepas. 

"Celaka, tenagaku tersedot!" geram Setan Mata Satu dalam 

hati. 

Sementara perlahan-lahan kaki Rangga semakin meninggi 

tak menyentuh tanah, tubuhnya pun menjadi miring dengan 

tangannya menempel kencang, menyedot tenaga lawannya. 

Itulah ilmu 'Cakra Buana Sukma' tingkat akhir tanpa pedang 

Rajawali Sakti. 

Kini keadaannya jadi benar-benar terbalik. Rangga berada 

tepat di atas kepala Setan Mata Satu dengan tubuh terbalik. 

Tubuh Setan Mata Satu perlahan-lahan semakin amblas ke 

dalam tanah berbarengan dengan tenaganya yang mulai habis. 

"Hih!" 

Rangga menekan kuat-kuat, dan seketika tubuh Setan 

Mata Satu semakin amblas sebatas pinggang. Setan Mata Satu 

benar-benar tak berdaya. Dan saat itu juga Rangga 

memukulkan tangannya ke arah dada Setan Mata Satu. 

Dan.... 

"Aaakh...!" 

Setan Mata Satu mengerang panjang. 

Tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti yang 

mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', bagaikan 

sebuah palu godam menghantam dada Setan Mata Satu. Dan 

akhirnya tubuh Setan Mata Satu yang masih tertanam itu 

terkulai tak bergerak-gerak lagi. 

Rangga berdiri tegak menarik napas panjang. Matanya 

menatap tajam pada tubuh yang tertanam ke tanah sampai 

batas pinggang. Kemudian ia beranjak dari tempat itu menuju 

ke rumah Pak Karta 

Dia berhenti sesaat ketika dilihatnya pintu rumah terkuak. 

Kanti yang muncul langsung menjerit ketika matanya melihat 

ke arah tubuh Setan Mata Satu yang tertanam di tanah. 

"Siapkan pakaianmu segera," kata Rangga begitu melihat 

Kanti yang sudah mulai tenang.


"Untuk apa?" tanya Kanti heran. 

"Engkau harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini 

segera." 

"Ke mana?" tanya Kanti tak mengerti. 

"Kembali ke desamu," sahut Rangga. 

"Tidak mungkin. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi 

di sana. Kedua orang tuaku sudah lama meninggal." 

"Kalau begitu pergi saja ke Gunung Sumbing. Kau akan 

menemui sebuah danau di sana. Di sekitar situ kau cari gubuk 

yang dihuni teman-temanku. Katakan apa yang terjadi di sini, 

dan aku yang menyuruhmu datang pada mereka." 

"Lalu, kau sendiri hendak ke mana?" 

"Menemui Banulaga," sahut Rangga singkat 

Kanti tidak bersuara lagi 

"Berangkat saja sekarang. Tidak ada waktu lagi" 

Selesai berkata begitu, Rangga langsung meloncat. 

Sebentar saja tubuhnya berkelebat, lalu menghilang dari 

pandangan Kanti. 

Kanti pun bergegas masuk ke dalam rumah Pak Karta 

untuk mempersiapkan segala perbekalannya untuk di 

perjalanan nanti. la harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu 

karena ia tahu Banulaga dan pengikutnya tidak akan tinggal 

diam melihat Setan Mata Satu tewas di tangan Pendekar 

Rajawali Sakti. Terlebih lagi ketika melihat mayat Setan Mata 

Satu yang masih tertanam di halaman rumah Pak Karta. Ia jadi 

merinding bulu kuduknya membayangkan tubuh yang tewas 

mengerikan itu. 

* * * 

Setelah ia menempuh perjalanan yang tidak memerlukan 

waktu yang lama, ia tiba di tempat yang disebutkan oleh 

Rangga. Kanti memandangi keadaan di sekitar tepian Danau 

Gunung Sumbing. Matanya lalu tertumbuk pada sebuah 

gubuk berdinding bambu dan beratapkan rumbia. Perlahan


lahan dia melangkahkan kakinya menuju gubuk itu yang 

terselip di antara bukit-bukit batu. Sepasang bola matanya 

mengawasi sekitar gubuk itu. Pintu gubuk itu tertutup rapat 

Namun dia melihat pelataran gubuk yang sempit itu bersih 

dan terawat. Pasti mereka masih tinggal di sini, bisik Kanti 

dalam hati. 

Langkah kaki Kanti hampir mencapai pintu, ketika 

mendadak… 

"Aaakh!!" Kanti memekik tertahan. 

Sesosok tubuh meloncat dan berdiri tepat di depannya. 

"Tuan Muda...," bibir Kanti terucap pelan begitu 

mengenali sosok tubuh itu ternyata Santika. 

"Dari mana kau tahu tempat ini?" tanya Santika. 

"Rangga," sahut Kanti. 

"Rangga...!?" Mega Lembayung yang sudah berdiri di 

samping Santika tersentak kaget. 

"Dia yang menyuruhku datang ke sini," 

"Di mana kau ketemu dia?" tanya Santika sambil 

melangkah mendekati Kanti. 

"Di kedai minum...." 

Kanti lalu menceritakan semua kejadian yang dia alami 

bersama Rangga, juga tentang pertarungan Pendekar Rajawali 

Sakti itu dengan seseorang. 

"Bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanya Santika. 

"Orangnya tinggi besar, berpakaian rapi seperti 

bangsawan, hanya...." 

"Teruskan," desak Mega, "Matanya cuma sebelah." 

"Setan Mata Satu..," desis Santika. 

"Lalu, bagaimana kelanjutannya?" tanya Pak Karta yang 

ikut bicara. 

"Rangga dapat mengalahkannya, bahkan membunuhnya," 

sahut Kanti lagi. 

"Sekarang Rangga di mana?" tanya Mega 

"Katanya ia akan ke rumah Banulaga," jawab Kanti. 

"Apakah ia meninggalkan pesan...?" tanya Santika.


"Tidak. Dia hanya menyuruhku ke sini untuk menemui 

kalian," jawab Kanti lagi. 

"Gawat!" seru Pak Karta mendesah. 

Mega dan Santika memandang Pak Karta yang berdiri 

tegak di belakang mereka. Laki-laki tua itu menggeleng-

gelengkan kepalanya beberapa kali. 

"Apa maksud Kakek?" tanya Santika. 

"Rangga pasti pergi ke rumahmu untuk membuat 

perhitungan dengan Banulaga dan pengikutnya," jelas Pak 

Karta. 

Santika dan Mega Lembayung tersentak. Mereka saling 

pandang tanpa mengatakan apa-apa. Pelan-pelan tatapan 

Santika beralih pada Kanti. 

"Kau di sini saja bersama Kakek Karta dan Mega, aku 

akan menyusul Rangga." 

"Tapi...," suara Kanti seperti tercekat di kerongkongan. 

"Jangan khawatir, tempat ini aman. Tidak ada seorang 

pun yang tahu." 

Santika segera berlalu meninggalkan ketiga orang itu. Pak 

Karta hanya bisa memandangi kepergian Santika dengan mata 

berkaca-kaca. Kengerian akan apa yang akan terjadi begitu 

jelas tergambar di raut wajahnya. Ketiga orang itu lantas 

bergegas masuk ke gubuk. 

"Kau tidak membohongi kami, kan?" tanya Pak Karta 

sedikit menaruh curiga. Dia tahu siapa Kanti. Wanita yang 

selama dua tahun menjadi piaraan Badaraka, kemudian 

dicampakkan ke kedai menjadi pemuas nafsu lelaki hidung 

belang, Pak Karta tahu persis, ketika musibah datang menimpa 

orang tuanya Mega. 

"Aku memang perempuan kotor. Hidupku tidak pernah 

bersih. Tapi aku masih punya naluri dan akal sehat," lirih suara 

Kanti. 

"Maaf, kalau kata-kataku menyinggung perasaanmu. 

Dalam keadaan seperti ini, aku harus waspada dan tidak 

mudah percaya pada siapa saja," ujar Pak Karta lirih.


"Aku mengerti, Pak Karta. Aku pun dulu juga mengalami 

nasib yang naas, karena perbuatan Badaraka semasa ia masih 

hidup. Tapi waktu itu aku selalu berharap akan ada orang 

yang bisa melenyapkan kekejaman Badaraka dan 

cecunguknya," ucap Kanti lirih membayangkan masa latunya. 

Suasana di dalam bilik bambu pun kemudian hening. 

* * * 

Banulaga mondar-mandir di beranda rumah dengan 

tangannya sebentar-sebentar mengepal keras. Sementara ketiga 

orang lainnya memandang ke pelataran rumah dengan 

perasaan yang sulit ditebak. Mereka seperti tengah menunggu 

sesuatu yang belum jelas hasirnya. 

Malam sudah menjelang larut, dan hampir menjelang 

tengah malam. Berarti ini adalah hari yang kedua kalinya sejak 

Setan Mata Satu pergi meninggalkan Banulaga dan ketiga 

orang itu. Namun hingga kini belum ada juga kabar beritanya. 

Banulaga mencemaskan kemampuan Setan Mata Satu 

menghadapi si Pendekar Rajawali Sakti. Japra, orang pertama 

yang dia perintahkan untuk mengawasi Setan Mata Satu pun 

belum kembali Dan kini, dia mengharapkan Sadim akan 

muncul membawa kabar. 

"Bagaimana pendapatmu, Eyang Resi?" tanya Banulaga. 

"Hmm…." Resi Maespati yang ditanya bergumam sesaat, 

"...sulit. Tunggu saja sampai malam ini. kalau Setan Mata Satu 

belum muncul juga, kita tidak bisa hanya menunggu." 

"Benar," kata Iblis Selaksa Racun. "Tidak ada jalan lain, 

kita masing-masing tidak bisa lagi bertindak sendiri-sendiri..." 

"Hmmm..., percuma nama besar yang kita punyai!'" tukas 

Raja Ular sengit. 

Ketiga orang lainnya memandangi Raja Ular. Mereka 

kemudian seperti menunggu kakak Setan Mata Satu itu 

memberikan pendapatnya. 

"Menurutku...."



Belum sempat si Raja Ular melanjutkan ucapannya, 

mereka dikejutkan dengan kedatangan Sadim. 

"Tuan...!" Sadim semakin dekat dengan tubuh 

sempoyongan, "... dia... dia... Japra, Tuan...," tak sanggup lagi 

Sadim berkata, tubuhnya ambruk ke tanah, dan seketika 

terlihat sebuah belati menancap tegak di tubuhnya. 

"Bangsat!" geram Banulaga, matanya menatap tajam pada 

sebilah belati di punggung Sadim. Tak lama kemudian mereka 

saling bertatapan satu sama lain. 

"Japra...?" dengus si Raja Ular, lalu dia menoleh ke arah 

Banulaga. "Kau mengenali belati itu?" 

"Persis, belari itu seperti yang menancap di tubuh 

ayahku... ini pasti perbuatan si Manusia Bertopeng Hitam!" 

geram Banulaga. 

"Si Manusia Bertopeng Hitam itu pasti Japra, cecungukmu 

sendiri, Banulaga...," kata Iblis Selaksa Racun menimpali. 

Banulaga kembali menahan geram. Edan! Dia benar-benar 

merasa tolol, Manusia Bertopeng Hitam itu ternyata 

cecunguknya sendiri. Beberapa saat suasana tegang 

menyelimuti pelataran rumah itu. 

"Tenang, Banulaga," ucap Resi Maespati sambil menepuk 

bahu Banulaga, "kau tidak bisa berpikir dengan tenang dalam 

suasana seperti ini." 

Suara Resi Maespati yang berwibawa, sedikit 

menurunkan amarah Banulaga yang sudah amat memuncak. 

Dia mulai terlihat bisa mengatur napasnya, meski batinnya 

bergolak hebat. 

Banulaga kemudian seperti tengah membayangkan apa 

yang terjadi. Sebuah pertarungan yang tak mungkin 

terelakkan. Dan... ah, mata Banulaga seolah redup. Dia mulai 

berpikir kalau kematian akan pula menjemputnya. Meski 

masih ada tiga orang tokoh sakti di belakangnya, tapi diapun 

tahu... Pendekar Rajawali Sakti, Santika, dan si Japra alias 

Manusia Bertopeng Hitam itu tentu akan bersatu.


"Banulaga, suruh pembantumu mengurus mayat itu," 

tegur Resi Maespati pelan. 

Banulaga sedikit terkejut, lalu berteriak memanggil dua 

orang pembantunya. 

"Urus mayat ini!" 

"Baik Tuan," dua orang pembantunya menyahut 

bersamaan. 

Suasana di beranda rumah kembali sunyi. Banulaga yang 

sudah bisa menurunkan emosinya melangkah ke beranda, lalu 

duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap tepat ke arah 

Resi Maespati. Dan keempat orang itu pun kembali berjalan 

dalam pikirannya masing-masing. 

Si Raja Ular terlihat mulai gusar. Kedatangan Sadim 

dengan belati tertancap di tubuhnya, membuatnya mulai was-

was dengan nasib adiknya, si Setan Mata Satu. Ia mulai 

mengakui kebenaran Banulaga, kalau musuh-musuhnya tak 

bisa dipandang dengan sebelah mata. 

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan yang 

menggelegar. 

"Hai, Banulaga. Keluar kau! Aku datang membawa pesan 

terakhir dari cecungukmu si Setan Mata Satu." 

Banulaga dan ketiga orang lainnya terkejut mendengar 

suara yang bernada tantangan itu. 

"Bangsat!" teriak si Raja Ular geram karena ia merasa 

dipermalukan atas suara itu yang mengabarkan kematian 

adiknya si Setan Mata Satu. 

* * *


SEMBILAN


Si Raja Ular langsung melenting ke luar. Dia berdiri tegak 

di tengah-tengah halaman yang luas dikelilingi tembok tinggi 

dan tebal. Banulaga, Resi Maespati dan Iblis Selaksa Racun pun 

sudah berdiri berjajar di belakangnya. Sementara malam terus 

merayap dengan sinar rembulan yang menerangi, dan halaman 

rumah Banulaga yang luas itu semakin terang oleh cahaya 

puluhan obor yang tertancap di beranda rumah dan sekeliling 

tembok. 

"Setan keparat! Keluar kau!" teriakan si Raja Ular 

terdengar menggema di keheningan malam di antara dinding-

dinding tembok yang tinggi. Raja Ular nampak tidak bisa lagi 

menahan amarahnya. 

Keadaan kembali sunyi. Tak ada sahutan. Sementara satu 

per satu orang-orang Banulaga mulai melangkah ke luar 

menuju halaman. Mereka mengambil posisi di belakang tokoh-

tokoh sakti itu dengan golok terhunus. Banulaga pun telah siap 

dengan sepasang golok kembarnya. Hanya Resi Maespati dan 

Iblis Selaksa Racun yang tak bersenjata. Kedua tokoh sakti ini 

memang hanya mengandalkan ilmu silat tangan kosong dan 

kesaktiannya. 

Pandangan mata si Raja Ular menebar ke sekeliling 

dengan tajam, telinganya pun terpasang penuh. Namun 

beberapa saat lamanya si penantang itu tak menampakkan 

batang hidungnya. Suasana pun semakin sunyi dan tegang. 

"Pendekar Rajawali Sakti, keluar kau! Jangan bersembunyi 

seperti tikus got!" teriak si Raja Ular keras. Teriakannya yang 

disertai pengerahan tenaga dalam kembali menggema ke 

segala penjuru. Beberapa saat kembali hening.... 

"Aku di sini...!" 

Seketika semua menoleh ke atas. Dan sebuah bayangan 

melayang dari atap, melakukan salto dua kali, lalu meluncur


cepat ke tanah. Si Pendekar Rajawali Sakti pun berdiri dengan 

gagah di hadapan Raja Ular. Gerakannya yang cepat tanpa 

menimbulkan suara sedikitpun menunjukkan tingkatan 

ilmunya yang benar-benar tinggi, hingga yang melihatnya 

terkesima takjub. 

"Aku datang untuk menghukum kelaliman kalian!" suara 

Pendekar Rajawali Sakti terdengar mantap dan berwibawa. 

"Setan! Apa kau kira dirimu dewa, heh?!" 

"Jangankan dewata... manusia dan binatang sekalipun 

muak melihat tingkah polah kalian!" 

"Keparat! Kurobek mulutmu!" 

Si Raja Ular langsung memutar tongkatnya yang 

berkepala ular cobra. Deru angin semakin mengguruh dahsyat 

bersamaan tongkat itu berputar. Orang-orang Banulaga yang 

berada di belakang tokoh-tokoh sakti itu pun mencari tempat 

berlindung, mereka tak mau menanggung resiko tubuhnya 

terhempas oleh angin yang semakin kencang bagai topan. 

Tubuh Rangga tak bergeming sedikitpun. Bibirnya masih 

sempat menyunggingkan senyuman yang mengejek, hingga 

memancing Raja Ular lebih ganas lagi memainkan tongkatnya. 

Mendadak kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti mendorong 

ke depan, dan seketika dari telapak tangannya yang terbuka 

meluncur sinar kebiruan.... 

Blar! 

Suara ledakan menggelegar keras begitu sinar kebiruan 

menghantam tongkat ular yang berputar cepat bagai baling-

baling itu, lalu tubuh Raja Ular pun terpental ke belakang. Dia 

menggeram keras, lalu berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur 

deras dengan ujung tongkat terhunus ke depan. 

"Bagus, majulah, biar lebih mudah kupecahkan batok 

kepalamu!" 

Pendekar Rajawali Sakti menggeser kakinya sedikit, lalu 

memiringkan tubuhnya ke kiri, dan benturan keras pun 

terdengar ketika tangan kanannya menyampok tongkat


berkepala ular itu. Tubuh si Raja Ular terlihat limbung, namun 

dengan cepat dia menguasai diri. 

Raja Ular tercenung sesaat. Selama ini belum ada seorang 

pun lawannya sanggup menahan tongkat saktinya Tapi kali ini 

tongkat saktinya tak berarti apa-apa. Pendekar Rajawali Sakti 

masih mampu berdiri dengan tegar. 

"Hmmm... aku harus menggunakan jurus 'Sengatan Cobra 

Hitam'," gumam si Raja Ular. 

Resi Maespati tertegun melihat si Raja Ular membuka 

jurus 'Sengatan Cobra Hitam'. Dia tahu kalau itu adalah jurus 

simpanan yang hanya akan dikerahkan kalau si Raja Ular 

benar-benar menghadapi lawan yang sulit ditandingi. 

Rangga sadar kalau jurus yang akan dikeluarkan si Raja 

Ular kali ini amat berbahaya Dia segera membuka jurus 

'Pukulan Maut Paruh Rajawali', satu jurus tingkat akhir dari 

rangkaian jurus Rajawali Sakti. Dalam waktu singkat kedua 

telapak tangannya berubah merah membara bagai terbakar. 

Sementara tangan si Raja Ular berubah menjadi hitam kelam 

dengan matanya semakin bulat mengecil. 

"Sss...," si Raja Ular mendesis dengan lidahnya yang 

bercabang menjulur bagai ular. Dia lalu menyerang Pendekar 

Rajawali Sakti yang juga sudah siap dengan jurus andalannya. 

Pertarungan adu kesaktian segera terjadi. Gerakan-gerakan si 

Raja Ular lebih banyak ke bawah, dia mengegoskan tubuhnya 

sebelum tiba-tiba melenting menyerang lawannya dari atas. 

Rangga yang sudah banyak menghadapi tokoh rimba 

persilatan tidak kaget lagi dengan jurus yang tengah 

dikerahkan oleh si Raja ular. Dia selalu lebih dulu menguji 

kehebatan lawannya sebelum bertindak dan mengetahui 

kelemahannya, namun dengan tetap waspada tanpa 

mengendorkan pertahanan diri. 

Pendekar Rajawali Sakti tidak menghindar begitu tubuh 

Raja Ular melenting ke atas, lalu dengan cepat meluruk 

menyerangnya. Dengan sigap dia menangkap dan 

menghentakkan tongkat yang menuju ke arah dadanya. Raja


Ular pun terkejut, sama sekali tak menyangka Pendekar 

Rajawali Sakti akan mampu mencegat serangannya. Raja Ular 

segera berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi cekalan 

tangan lawannya begitu kuat. Kedua tokoh sakti itu saling 

berhadapan berpegangan tongkat. 

"Hsss...!" Raja Ular mendesis keras. 

Rangga dapat merasakan ada getaran dan hawa dingin 

menjalar dari tongkat yang dipegangnya. Dia tahu kalau 

tongkat lawannya mengandung racun berbahaya yang bekerja 

sangat cepat dan mematikan. Seketika itu juga dia 

mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'. Perlahan-lahan 

tangannya yang memerah berubah menjadi biru berkilauan. 

Cahaya biru itu merambat menyelimuti tubuhnya, lalu 

terkumpul kembali ke tangannya. 

"Hsss, ahk!" Raja Ular merasakan ada sesuatu yang 

menarik-narik di dalam tubuhnya. Satu tarikan yang semakin 

lama semakin kuat dia rasakan. 

Raja Ular terkejut begitu menyadari kalau kekuatan itu 

mulai menyedot tenaga dalamnya. Raja Ular berusaha menarik 

tongkatnya, tapi sia-sia, setiap tarikan tangannya semakin 

menyedot tenaga dalamnya sendiri. 

Raja Ular pun segera menghimpun hawa racun yang 

terkandung di dalam tubuhnya, lalu dia emposkan ke tongkat 

Seketika itu juga racun tersedol ke tubuh Pendekar Rajawali 

Sakti. 

"Huh, licik!" dengus Rangga. 

Beruntung tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah kebal 

terhadap segala jenis racun. Tapi untuk menjaga kemurnian aji 

'Cakra Buana Sukma', dia mengeluarkan racun yang berada di 

tubuhnya melalui mulut. Asap hitampun lalu tampak 

mengepul, dan langsung hilang tersapu angin 

"Edan!" dengus si Raja Ular. Dia seperti tidak percaya 

melihat kenyataan itu. 

"Huh!" Rangga menyemburkan racun dari mulutnya 

dengan kencang ke wajah Raja Ular.



"Akh!" Raja Ular terkejut. 

Buru-buru dia mencoba melepaskan kembali tangannya 

dari tongkat, tapi tangannya seolah-olah sudah terpatri. Raja 

Ular segera menyadari kalau tenaga dalamnya tersedot oleh 

Pendekar Rajawali Sakti. Asap racun yang berasal dari 

tubuhnya sendiri kini mengepul di depan mukanya. 

"Aaakh...!" Raja Ular menjerit melengking. Racun itu 

berbalik menyerang dirinya sendiri, lalu bekerja dengan cepat 

melelehkan tubuhnya. Dia menggeliat-geliat meregang nyawa. 

Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan pegangannya pada 

tongkat. Seketika itu juga tubuh si Raja Ular terjerembab ke 

tanah. 

Tubuh Raja Ular yang sudah tak bernyawa itu kemudian 

mencair, hingga berubah tinggal tengkorak. Suasana di 

halaman rumah Banulaga pun dicekam oleh kengerian. 

* * * 

Tidak lama setelah tubuh Raja Ular berubah menjadi 

tengkorak, mendadak muncul Santika. Lalu menyusul si 

Manusia Bertopeng Hitam yang sudah berdiri di atas tembok 

halaman. Tubuh Manusia Bertopeng Hitam itu melenting di 

udara, lalu mendarat tak jauh dari tubuh Raja Ular yang sudah 

menjadi tengkorak. 

Dendam kesumatnya yang sudah memuncak membuat 

Banulaga langsung meloncat menyerang Manusia Bertopeng 

Hitam. Namun lawannya meladeni dengan tenang, dia seperti 

sudah memperhitungkan kemampuan Banulaga. Sedangkan 

Iblis Selaksa Racun menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Santika 

yang belum mendapat lawan, menatap Resi Maespati. Sedikit 

pun dia tidak gentar kalau terpaksa harus melawan gurunya 

sendiri. 

"Aku sudah menduga, kau pasti masih hidup," kata Resi 

Maespati tersenyum tipis.


"Hyang Widi masih belum menghendaki nyawa-ku, 

Eyang Resi. Dan aku datang bukan sebagai saudara," tenang 

suara Santika, meski menyiratkan nada permusuhan. 

Eyang Resi Maespati tersenyum. Dia masih bisa 

menangkap kata-kata hormat dari muridnya ini. Meskipun dia 

seorang Resi yang berjalan pada jalur sesat, tapi jiwa 

kearifannya masih terlihat jelas. Tokoh sakti inipun tak 

menghendaki kalau dia harus bertarung dengan Santika. 

Bagaimanapun Santika adalah murid dan cucunya, meskipun 

cuma cucu angkat. 

"Maaf, jika Eyang Resi tidak senang, aku rela mati di 

tangan Eyang, bagaimanapun Eyang adalah orang yang telah 

membimbingku. Aku rela mati demi kebenaran dan keadilan" 

"Sama sekall aku tidak menyalahkanmu, Santika. Aku 

tahu, aku selama ini telah berada di jalan yang sesat. Berhari-

hari aku berada di sini, aku terus berpikir…, yah, rasanya tidak 

pantas aku disebut resi. Sebutan itu terlalu suci bagiku. 

Mungkin dengan perantaraan dirimu, Hyang Widi membuka 

mata hatiku." 

Santika seperti tidak percaya dengan pendengarannya 

sendiri. Dia tahu benar jalan hidup gurunya selama ini. Dan 

kata-kata gurunya ini, meluncur perlahan dan teratur bagai 

seorang yang arif bijaksana tanpa noda dan dosa dunia. 

"Aku tidak menyalahkanmu kalau kau tidak mempercayai 

kata-kataku, Santika. Aku berkata jujur dan keluar dari lubuk 

hatiku yang selama ini beku tertutup nafsu iblis," lanjut Resi 

Maespati. 

"Maaf, Eyang," ucap Santika pelan. 

Resi Maespati tersenyum lebar. Dia memaklumi sikap 

muridnya ini. Perlahan lahan tangannya merogoh ke balik 

bajunya yang kumal. Lalu terlihat sebuah badik berlapiskan 

emas murni tergenggam di tangannya. 

Santika tahu itu adalah senjata pusaka kebanggaan dan 

andalan gurunya. Dengan senjata itu Resi Maespati kebal


terhadap semua senjata dan racun. Napas dan hidup Resi 

Maespati ada pada badik itu. 

"Kau tentu tahu kalau aku tidak bisa lepas dari senjata 

pusaka ini. Nyawaku ada di dalamnya." Resi Maespati 

menghampiri Santika. Dengan bibir menyunggingkan senyum, 

Resi Maespati menyodorkan badik itu pada Santika yang 

masih memandang tak mengerti. 

"Terimalah, benda ini lebih bermanfaat jika berada di 

tanganmu," kata Resi Maespati pelan. Santika pun perlahan-

lahan mulai menyadari sikap gurunya, lalu tangannya 

menjulur menerima badik itu. 

Sementara itu, Banulaga yang tengah bertarung dengan 

Manusia Bertopeng Hitam, sempat memperhatikan apa yang 

diperbuat oleh Resi Maespati. Dia pun cepat melemparkan 

jarum-jarum beracun ke arah tubuh Manusia Bertopeng Hitam, 

dan ketika lawannya tengah berusaha menghindar, dengan 

cepat dia meloncat ke arah Resi Maespati dan Santika, lalu satu 

dari sepasang golok kembarnya menyambar tubuh Santika, 

namun dengan sigap Resi Maespati mendorong tubuh Santika, 

dan... 

Cras! 

Resi Maespati yang sudah hilang kesaktiannya, roboh 

oleh golok Banulaga. Darah langsung menyembur keluar dari 

dada yang robek dan terbelah lebar. 

"Eyang Resi...!" pekik Santika terkejut 

Bergegas Santika memburu dan memeluk tubuh yang 

terkapar mandi darah. Napas Resi Maespati mulai tersengal. 

Tebasan golok Banulaga yang dalam merobek jantungnya. 

Sesaat Banulaga sendiri tercenung dia seperti tersadar akan apa 

yang baru saja terjadi. 

"Eyang...," rintih Santika lirih. 

"Jangan sedih, Santika. Gunakan badik pusaka itu pada 

jalan yang benar dan lurus... dan satu lagi pesanku...," Santika 

cepat tanggap, di dekatkan telinganya pada mulut Resi 

Maespati, "jaga bagian pusarmu, di situ kelemahanmu...," lalu


tubuh Resi Marspati pun terkulai lemah.... Dia mati di pelukan 

muridnya sendiri. 

Wajah sedih Santika yang menatap tubuh gurunya 

perlahan-lahan terangkat. Matanya menatap tajam pada 

Banulaga. 

"Biadab! Bangsat'" geram Santika. Seketika Santika 

melompat menerjang Banulaga yang masih diam terpaku. 

Terjangan yang cepat disertai amarah itu meluncur deras. 

Banulaga yang terlambat menyadari, tidak bisa lagi 

menghindar... tubuhnya terjengkang ke belakang oleh kaki 

Santika yang mendarat di dadanya. 

Santika pun terlihat semakin garang. Dia menggeram 

sesaat, tangannya menggenggam erat badik pemberian 

gurunya... dan dia pun melompat kembali ke arah Banulaga.... 

"Tunggu...!" 

Santika tersentak, badik yang nyaris ia babatkan ke tubuh 

Banulaga pun tertahan Kemudian terlihat olehnya Manusia 

Bertopeng Hitam menghampiri. 

"Aku tak ingin kau membunuh Banulaga dengan 

penyesalan, Santika...," si Manusia Bertopeng Hitam berkata 

dingin, sesaat menatap Santika, lalu menoleh pada Banulaga 

yang sudah berdiri kembali. 

"Siapa kau?" tanya Santika penasaran. 

Bret! 

Santika dan Banulaga sama-sama terkejut. Orang yang 

telah membuka topeng hitamnya itu sama sekali tak 

dikenalnya. Juga bukan Japra yang disebutkan oleh Sadim 

sebelum kematiannya. 

"Aku Sagar," orang itu berkata dingin, lalu matanya 

menatap Banulaga dan Santika berganti-ganti. "Aku adik 

angkat Japra.... Ayah dan ibu angkatku mati oleh orang-orang 

Badaraka," orang itu lalu menarik napasnya dalam-dalam, 

"...dan bersama Kang Japra aku membunuh ayahmu, 

Banulaga," orang itu menghentikan ucapannya kembali, lalu 

menatap tajam pada Banulaga, yang ditatapnya pun menahan


geram. "Dan kau, Santika..., kau adalah anak Parti, perempuan 

yang dimangsa oleh kebuasan Badaraka, ayahmu mati 

membela kehormatan istrinya... tapi Badaraka mengambilmu 

sebagai anak angkatnya, dan adikmu...," orang itu seperti 

tercekat kerongkongannya, lalu mendadak muncul Japra. 

"Benar, Santika, Sagar ini adikmu, yang dirawat oleh 

orang tuaku," kata Japra lirih. Sejenak Santika dan Sagar saling 

berpandangan.... 

Dan mendadak mereka dikejutkan oleh Banulaga yang 

melonca kabur. Melihat itu, Sagar alias Manusia Bertopeng 

Hitam segera melemparkan belatinya. Dan.... 

"Aaakh...!" 

Banulaga mengerang panjang.... Sebuah belati menancap 

tepat di tengkuknya, lalu tubuhnya pun berdebum jatuh ke 

tanah. 

* * * 

Sementara itu Iblis Selaksa Racun yang tengah bertarung 

dengan Pendekar Rajawali Sakti, langsung gentar begitu 

menyadari tinggal dia sendiri yang masih hidup. Dia sudah 

mengerahkan segenap kemampuannya hingga berpuluh-puluh 

jurus, tapi belum juga mampu membuat lawannya kewalahan. 

Bahkan Pendekar Rajawali Sakti itu beberapa kali membuatnya 

berlompatan jungkir balik menghindari gibasan-gibasan 

goloknya yang cepat. 

Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti hanya 

memainkan pedangnya dengan cepat, dia merasa belum perlu 

untuk mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Dan tiba-tiba dia 

menyadari kalau Iblis Selaksa Racun berusaha mundur 

mendekati tembok sambil menghindari kibasan goloknya. Tapi 

Pendekar Rajawali Sakti segera menyodok perut lawannya. 

Dugaannya tepat, Iblis Selaksa Racun melentingkan 

tubuhnya meloncati tembok bangunan itu, tapi sebelum 

tubuhnya melewati tembok tiba-tiba....


"Aaakh...!" Iblis Selaksa Racun menjerit tertahan. 

Tubuhnya menabrak tembok sebentar, lalu roboh dengan 

punggung menganga lebar berlumuran darah segar. Pedang 

Rajawali Sakti telah menamatkan riwayat-nya. 

Rangga menarik napasnya pelan, sebentar matanya 

memandangi tubuh Iblis Selaksa Racun. Dia pun menoleh 

begitu suara lembut terdengar memanggilnya. 

Terlihat oleh Rangga, Mega Lembayung dan Pak Karta 

berjalan mendekat ke arahnya. Di belakangnya menyusul 

Santika dan dua orang yang tak dikenal oleh Pendekar 

Rajawali Sakti itu. 

Orang-orang Banulaga pun kemudian mendekati Rangga 

dan kelima orang lainnya, mereka yang berjumlah puluhan 

berlutut dengan kepala tertunduk. 

"Hukuman apa yang pantas untuk mereka?" tanya Santika 

meminta pendapat. 

"Sudah berapa lama mereka mengabdi di sini?" Rangga 

balik bertanya. 

"Sudah cukup lama, sejak aku remaja," sahut Santika. 

"Menurutku, mereka urusan kalian yang di sini. Maaf, aku 

tak mau mencampuri urusan pribadi kalian," kata Rangga 

tegas. 

"Lepaskan saja mereka, biar mereka menentukan jalan 

hidupnya sendiri...," terdengar suara lembut berwibawa dari 

arah belakang. 

"Kakek...," desis Mega Lembayung begitu menoleh. 

"Kalian boleh meninggalkan tempat ini," kata Santika 

tegas. Tapi orang-orang itu masih tetap bertahan di tempatnya, 

hingga mengundang geram Santika dan yang lainnya. 

"Hm... baik," kata Santika pelan, "kalau kalian masih mau 

mengabdi padaku... hilangkan sikap pongah kalian, 

mengerti?!" 

Semua kepala yang tertunduk langsung terangkat hampir 

bersamaan. Bekas orang-orang Banulaga itu lalu membungkuk


memberi hormat, dan tanpa diperintah lagi mereka segera 

mengurus mayat-mayat yang berserakan di halaman rumah. 

Santika dan yang lainnya pun terkejut manakala mereka 

menyadari Pendekar Rajawali Sakti tak lagi berada di 

tempatnya. Sesaat mereka terdiam, lalu hanya bergumam 

pelan, sepertinya mengucapkan terima kasih pada Pendekar Rajawali Sakti. 



                              SELESAI 




 

0 komentar:

Posting Komentar