PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE IBLIS WAJAH SERIBU
SATU
Semua orang membungkukkan badannya ketika tiga ekor
kuda berpacu cepat melintasi jalan tanah berdebu. Mereka
tahu kalau tiga orang yang menunggang kuda itu adalah
pembesar dari kerajaan Limbangan. Yang berada di atas
kuda putih adalah Panglima Lohgender, sedang yang
menunggang kuda hitam dengan kedua kaki depannya
belang putih, adalah orang kepercayaan Panglima
Lohgender, juga anak angkatnya. Pemuda berwajah
tampan dengan tubuh tegap itu bernama Arya Duta.
Satunya lagi seorang pemuda yang menunggang kuda
coklat bernama Braja Duta.
Langkah-langkah kaki kuda itu berhenti di depan sebuah
rumah yang dijaga ketat oleh beberapa prajurit. Bergegas
mereka rurun dan kudanya masing-masing. Dua orang ber-
pakaian prajurit Kadipaten Karang Asem segera mendekat.
Panglima Lohgender, Arya Duta dan Braja Duta melangkah
beriringan menuju ke serambi rumah besar itu.
"Gusti Adipati sudah lama menunggu, Gusti Panglima,"
kata salah seorang lelaki tua yang segera menyongsong di
serambi rumah.
"Hm, di mana gustimu?" tanya Panglima Lohgender
penuh wibawa.
"Ada di ruang tengah, Gusti Panglima."
Panglima Lohgender dari Kerajaan Limbangan itu terus
melangkahkan kakinya menuju ruangan tengah di mana
Adipati Prahasta telah menunggunya. Dua orang penjaga
pintu langsung membungkuk memberi hormat.
"Masuklah, Adi Lohgender!" satu suara besar dan berat
menyambut begitu kaki Panglima Lohgender melewati
pintu menuju ruangan tengah.
"Ada apa gerangan kau memintaku datang ke Karang
Asem, Kakang Prahasta?" tanya Panglima Lohgender
begitu duduk di kursi.
"Ada persoalan penting," sahut Adipati Prahasta.
"Pribadi?" tanya Lohgender sambil matanya melirik Arya
Duta dan Braja Duta yang masih berdiri di belakang
panglima itu.
"Tidak," sahut Adipati Prahasta "Dan memang sebaiknya
Arya Duta dan Braja Duta mengetahui persoalan ini"
Adipati Karang Asem itu mempersilakan Arya Duta dan
Braja Duta duduk. Mereka mengambil tempat di samping
Panglima Lohgender. Beberapa saat lamanya mereka
terdiam saling berpandangan. Panglima Lohgender seperti
menangkap sesuatu yang tengah menyusahkan Adipati
Karang Asem ini.
"Aku tidak melihat istri dan anakmu. Di mana mereka?"
tanya Panglima Lohgender memecah kebisuan.
"Aku ungsikan ke Kadipaten Sedana." sahut Adipati
Prahasta
"Diungsikan...?" tanya Panglima Lohgender terperanjat.
"Terpaksa, demi keselamatan mereka."
"Edan! Cuma karena kekacauan saja Kakang meng-
ungsikan keluarga? Atau..., ah, jelaskan seperlunya,
Kakang." Panglima Lohgender sudah bisa menduga-duga.
Adipati Prahasta terdiam sesaat, lalu….
"Awalnya memang cuma kejadian biasa, perampokan,
pembunuhan, dan lain-lainnya. Aku sudah memerintahkan
prajurit kadipaten untuk lebih memperkuat penjagaan.
Memang ada hasilnya, semua bisa teratasi dengan baik.
Tapi dua minggu terakhir ini...," Adipati Prahasta meng-
hentikan kalimatnya.
"Teruskan," pinta Panglima Lohgender. "Mereka
menjarah semua harta benda para petinggi kadipaten.
Bahkan juga nyawanya. Dan yang lebih menghebohkan
lagi, mereka selalu menculik pemuda-pemuda di sini."
lanjut Adipati Prahasta.
"Siapa mereka?"
"Aku tidak tahu," sahut Adipati Prahasta.
"Bagaimana mungkin kau tidak tahu, Kakang?"
"Mereka seperti setan saja. Tidak ada jejak, juga
kedatangannya tanpa bisa diduga sebelumnya. Kau bisa
bayangkan, Adi Lohgender. Para petinggi kadipaten jadi
resah karenanya, bahkan sudah tiga orang mengundurkan
diri, dan lima keluarga petinggi kembali ke kota raja."
"Hm..., sudah kau sebar telik sandi untuk menyelidiki?"
tanya Panglima Lohgender seperti bergumam.
"Sudah. Tapi sampat sekarang belum ada hasilnya.
Malah tiga telik sandi tewas dengan keadaan yang
mengerikan "
Panglima Lohgender diam termenung. Keningnya ber-
kerut dalam, pertanda dia tengah berpikir keras. Dia
merasa heran dan bingung dengan turut diculiknya para
pemuda oleh gerombolan pengacau itu. Apalagi jika dia
ingat, kalau masih ada kadipaten-kadipaten lain yang jauh
lebih kecil dari Kadipaten Karang Asem ini, tapi tak ada
kekacauan dan penculikan-penculikan seperti yang terjadi
di kadipaten ini.
Panglima Lohgender menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sulit dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang meng-
geluti pikirannya.
"Baiklah, untuk sementara aku akan tinggal di sini
beberapa hari. Kalau keadaannya semakin memburuk,
Braja Duta bisa membawa prajurit-prajurit pilihannya ke
sini," kata Panglima Lohgender.
"Terima kasih, Adi Lohgender. Aku sudah putus asa
menghadapi mereka," sambut Adipati Prahasta gembira.
"Hmmm... berapa orang prajurit Kadipaten Karang
Asem?" tanya Panglima Lohgender.
"Dua ratus orang," sahut Adipati Prahasta "Untuk
sementara, kurasa cukup untuk menjaga segala
kemungkinan."
"Kalau begitu, sebaiknya Adi Lohgender beristirahat dulu
barang sejenak. Tentunya sangat melelahkan menunggang
kuda dan menempuh perjalanan jauh."
Adipati Prahasta bangkit berdiri diikuti Panglima
Lohgender dan kedua anak angkatnya. Dia sendiri yang
mengantarkan langsung Panglima perang Kerajaan
Limbangan itu ke tempat peristirahatannya. Sedangkan
Arya Duta meminta izin untuk berjalan-jalan menghirup
udara segar di luar.
Arya Duta adalah anak angkat Panglima Lohgender.
Selain sebagai orang kepercayaan panglima, dia juga
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu kesaktiannya bahkan
hampir menyamai sang Panglima itu sendiri. Arya Duta ber-
jalan-jalan mengelilingi rumah kediaman sang adipati yang
besar dengan halaman yang luas ditata indah. Dia berjalan-
jalan sambil mengamati keadaan sekitarnya, terutama
pengaturan penjagaan para prajurit di sekitar kediaman
Adipati Karang Asem ini.
"Hm…, cukup rapi penjagaan di sini," gumam Arya Duta
dalam hati. Dia merasa cukup puas dengan pengaturan
penjagaan di lingkungan kadipaten.
***
Udara malam ini terasa tak menentu, sebentar panas
dan sebentar kemudian terasa begitu dingin oleh sapuan
angin yang bertiup kencang. Langit pun tertutup awan
hitam yang bergulung-gulung, lalu kembali terang. Cuaca
yang tak menentu ini seperti memberikan firasat buruk
pada prajurit-prajurit Karang Asem yang tengah berjaga-
jaga di seputar kediaman Adipati Prahasta, yang semangat-
nya kembali terpompa oleh kedatangan Panglima
Lohgender dan kedua anak angkatnya.
Tampak di halaman belakang kediaman Adipati, Arya
Duta tengah berbincang-bincang dengan dua orang
prajurit, yang dilihat dari pakaiannya seperti kepala
pasukan. Mereka adalah Balungpati dan Welut Putih. Dari
sikap dan caranya berbicara, tampak jelas kalau Arya Duta
sangat menghormati keduanya, meski pangkat yang
disandang jauh lebih tinggi dari mereka.
"Seharusnya Paman berdua tidak perlu ikut berjaga
malam," kata Arya Duta "Biar kami yang muda-muda ini
saja yang berjaga."
"Malah sebaliknya Gusti Arya Duta perlu beristirahat.
Seharian penuh Gusti menempuh perjalanan panjang
dengan berkuda, tentu sangat melelahkan," sahut
Balungpati.
"Aku sudah cukup beristirahat sore tadi, Paman
Balungpati." sambut Arya Duta tersenyum ramah.
"Oh, ya, kenapa Gusti Panglima tidak membawa
pasukan ke sini?" tanya Welung Putih.
"Ayahanda Lohgender belum merasa perlu untuk
mengerahkan prajurit kerajaan. Entah kalau keadaannya
semakin memburuk," sahut Arya Duta tanpa bermaksud
menyombongkan diri.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan, Gusti Arya
Duta. Aku sendiri sangsi dengan kekuatan prajurit
kadipaten," kata Balungpati agak bergumam.
"Paman pernah bertemu dengan mereka?" tanya Arya
Duta.
"Pernah, ketika gerombolan pengacau itu mendatangi
rumah Kepala Desa Karang Asem Wetan," sahut
Balungpati.
"Berapa orang mereka?"
"Waktu itu cuma empat orang, tapi rata-rata mereka
memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sepuluh orang
prajuritku mati terbunuh, dan aku sendiri mendapat luka
yang cukup parah."
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Mereka menculik putra Kepala Desa itu."
"Hanya itu?"
"Iya. Mereka tidak sempat bergerak lebih jauh, karena
Welut Putih dan tiga puluh orang prajurit keburu datang."
Arya Duta memandang Welut Putih.
"Sayang, aku tidak sempat bentrok dengan mereka,"
kata Welut Putih mengakui.
"Paman tidak berusaha mengejar?"
"Percuma, seperti lenyap tak berbekas, tidak ketahuan
arahnya ke mana mereka pergi," sahut Welut Putih.
Arya Duta menghela napas panjang. Hatinya sudah men-
duga kalau yang akan dihadapinya adalah orang-orang dari
kalangan rimba persilatan yang terbiasa malang melintang
di dunia bebas, dunia yang selalu diukur dengan ilmu
kesaktian.
Seandainya dugaan Arya Duta benar, tentu tidak
mungkin hanya mengandalkan para prajurit yang cuma
menguasal ilmu olah kanuragan tanpa sedikitpun memiliki
kesaktian. Prajurit pilihan kerajaan pun akan sangat sulit
menandingi, apalagi prajurit-prajurit kadipaten yang
kemampuannya masih jauh dibawah rata-rata.
Saat anak muda itu termenung, sekilas matanya
menangkap sekelebat bayangan hitam melewati tembok
benteng Kadipaten Karang Asem, lalu berkelebat ke atas
atap. Arya Duta langsung melenting ke arah bayangan tadi
menghilang di balik atap Balungpati dan Welut Putih
segera bertindak mengikuti Arya Duta.
"Berhenti…!" teriak Arya Duta begitu kakinya menjejak
atap.
Bayangan hitam itu berbalik cepat, dan seketika dua
sinar kehijauan meluncur deras ke arah Arya Duta. Anak
muda itu bukanlah pemuda kosong, secepat kilat dia
melentingkan tubuhnya menghindari sinar kehijauan itu.
Dan belum lagi kakinya menjejak atap, kembali dua sinar
kehijauan meluncur ke arahnya.
"Hup!"
Tap, tap!
Arya Duta menangkap dua sinar kehijauan itu sambil
berputar di udara, kemudian dengan manis kakinya men-
jejak atap. Namun mendadak, ketika matanya tengah
melirik dua paku yang berwarna hijau di tangannya,
bayangan hitam itu melesat cepat ke bawah.
"Hey..!"
Arya Duta segera melompat turun ke tanah, tapi
bayangan hitam itu lenyap seketika begitu kakinya
menginjak tanah. Arya Duta mengedarkan pandangannya
ke sekeliling. Matanya yang tajam seolah menembus
kepekatan malam. Arya Duta lalu menoleh ketika
telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati.
Tampak Balungpati dan Welut Putih berlarian meng-
hampiri, yang disusul Panglima Lohgender dan Braja Duta
di belakang mereka.
"Ada apa, Arya Duta?" tanya Panglima Lohgender.
"Ada seseorang yang tampaknya bermaksud tidak baik,"
sahut Arya Duta.
"Seseorang...?"
"Iya, pakaiannya serba hitam." Arya Duta menyodorkan
dua buah paku berwarna hijau dengan telapak tangannya
yang terbuka. Panglima Lohgender memperhatikannya
sejenak, lalu mengambilnya sebuah dari tangan anak
angkatnya itu.
"Ayah mengenalinya?" tanya Arya Duta.
"Tidak...." sahut Panglima Lohgender seperti ragu-ragu
nada suaranya.
Arya Duta baru saja mau membuka mulutnya hendak
bertanya lagi, ketika tiba-tiba terdengar teriakan minta
tolong dari arah dalam kediaman adipati. Arya Duta
langsung meloncat dan berlari cepat diikuti oleh Balungpati
dan Welut Putih menuju ke ruang dalam.
"Balungpati, atur penjagaan!" seru Panglima Lohgender.
"Baik, Gusti," sahut Balungpati.
Balungpati membelokkan larinya. Sedangkan Welut
Putih tetap berlari cepat mengikuti Arya Duta dan Panglima
Lohgender yang berlari cepat seraya mengerahkan ilmu
meringankan tubuh.
***
"Kakang, buka pintunya!" tertak Panglima Lohgender
sambil menggedor pintu.
Pintu kamar dari kayu jati berukir itu terkuak. Tampak
Adipati Prahasta ke luar dengan tubuh sempoyongan dan
rupa acak-acakan. Pakaiannya basah oleh darah segar
yang mengucur deras dari bahu kanannya. Panglima
Lohgender langsung menerobos masuk ke dalam. Matanya
membelalak lebar ketika dilihatnya keadaan kamar yang
berantakan.
"Apa yang terjadi, Kakang'" tanya Panglima Lohgender.
"Dia ingin membunuhku," sahut Adipati Prahasta.
"Dia... dia siapa?"
"Aku tidak tahu, sulit untuk mengenalinya. Seluruh
tubuhnya terselubung baju hitam."
Arya Duta ikut memeriksa mendekati Panglima
Lohgender. Sepuluh anak panah yang ditemukannya ter-
tancap di lantai, dia sodorkan ke ayah angkatnya. Panglima
Lohgender mengerutkan keningnya melihat anak panah
berwarna hijau yang kini berada di tangannya. Sepertinya
Panglima Kerajaan Limbangan itu mengenali senjata di
tangannya ini, tapi serasa sulit untuk mengingat-ingat,
siapa pemilik senjata berwarna hijau ini.
"Kau sempat bentrok dengannya, Arya Duta?" tanya
Panglima Lohgender.
"Sedikit," sahut Arya Duta.
"Bagaimana rupanya"
"Kejadiannya terlalu cepat, sulit untuk mengenali
wajahnya," sahut Arya Duta seraya mengingat-ingat.
"Hm…, sudahlah, sebaiknya kau bantu Balungpati
mengatur penjagaan di luar."
"Baik, Ayah "
Arya Duta segera berlalu diikuti Braja Duta. Sepeninggal
kedua anak angkatnya itu, Panglima Lohgender masih
termenung menatap dua senjata di tangannya. Kemudian
dia melangkah ke luar dan kamar itu. Langkahnya terhenti
saat melihat Welut Putih berdiri di depan pintu kamar yang
tertutup. Panglima Lohgender tahu kalau kamar itu biasa-
nya ditempati oleh putra adipati. Dan tadi dia sempat
melihat Adipati Prahasta masuk ke dalam kamar itu
dibimbing Welut Putih.
"Kenapa kau di sini?" tanya Panglima Lohgender.
"Gusti Adipati ada di dalam, hamba diperintahkan untuk
menjaga di sini," sahut Welut Putih penuh hormat.
"Bagaimana lukanya?"
"Gusti Adipati ingin mengobatinya sendiri. Katanya tidak
mau diganggu.”
"Baiklah. Perintahkan beberapa prajurit untuk berjaga-
jaga di sekitar kamar ini," perintah Panglima Lohgender.
"Hamba laksanakan Gusti Panglima"
Panglima Lohgender segera berlalu. Welut Putih juga
lekas beranjak meninggalkan tempat itu. Tak lama
kemudian dia sudah kembali lagi dengan sepuluh orang
prajurit. Langsung dia mengatur penjagaan di sekitar
kamar itu. Welut Putih sendiri mengambil tempat tidak jauh
dari pintu kamar.
Sementara Panglima Lohgender terus melangkah
menuju ke luar. Dia berdiri di depan pintu beranda sambil
matanya tajam mengamati keadaan sekitarnya. Sementara
di tangan kanannya masih tergenggam satu paku dan satu
anak panah berwarna hijau yang ditemukan oleh anak
angkatnya. Pikirannya masih diselimuti oleh berbagai
kejadian-kejadian yang serba misterius di Kadipaten
Karang Asem ini.
"Aku seperti pernah mengenal senjata ini, siapa ya...?
Hm... Orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang
sangat tinggi," gumam Panglima Lohgender. Matanya tidak
lepas memandangi dua senjata di tangannya dengan
kening berkerut dalam.
"Ayah..." tiba-tiba Braja Duta sudah berada di samping-
nya.
Panglima Lohgender berpaling menatap Braja Duta.
"Ada apa?" tanya Panglima Lohgender.
"Dua orang prajurit yang bertugas di bagian belakang
tewas," Braja Duta melaporkan.
"Apa...?!" Panglima Lohgender terperanjat.
"Di leher mereka tertancap paku hijau," sambung Braja
Duta.
"Edan! Bagaimana mungkin bisa terjadi?"
"Orang itu pasti dari kalangan rimba persilatan, dan
ilmunya tentu tinggi sekali," kata Braja Duta menduga.
"Kau yakin...?" Panglima Lohgender seperti ragu-ragu.
"Rasanya tidak mungkin orang biasa bisa melakukannya
tanpa kita ketahui."
Panglima Lohgender bergumam tak jelas. Matanya
kembali menatap dua senjata di tangannya. Dia tengah
berusaha mengingat-ingat saat dirinya malang-melintang di
dunia persilatan, sebelum menjadi Panglima tertinggi
Kerajaan Limbangan. Tapi beberapa saat lamanya dia tak
mampu mengungkapnya. Dia yakin kalau pernah melihat
senjata ini, tapi kapan dan di mana? Siapa pemiliknya?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu
pikirannya saat ini.
"Kita harus menghentikannya sebelum jatuh korban
lebih banyak lagi, Ayah," kata Braja Duta.
"Kalau dugaanmu benar, seribu prajurit pun tidak akan
mampu menandinginya, Braja Duta," sahut Panglima
Lohgender seperti bergumam.
"Kita harus minta bantuan orang-orang dari rimba
persilatan juga," Braja Duta menyarankan.
"Orang-orang seperti itu tidak pernah mau ikut campur
dalam persoalan kerajaan. Puluhan tahun aku malang-
melintang dalam rimba persilatan, dan aku tahu persis
watak-watak mereka."
"Lantas apa yang akan kita lakukan?"
Panglima Lohgender tidak segera menjawab. Memang
sulit kalau harus menghadapi orang-orang rimba per-
silatan. Sedangkan selama ini dia tidak pernah lagi
mengetahui perkembangannya. Tugas-tugas kerajaan telah
menyita banyak waktunya untuk terus mengamati per-
kembangan dunia persilatan saat ini.
Mendadak saja Panglima Lohgender tersentak. Dia ter-
ingat dengan satu nama ketika terjadi peristiwa di Desa
Pasir Batang, meskipun dia tidak mengalaminya sendiri,
tapi dari cerita yang sempat didengar, ada seorang
pendekar muda digdaya yang ilmunya sangat tinggi, sukar
dicari tandingannya. Pada saat ia sedang berpikir begitu,
Arya Duta datang menghampirinya.
"Arya Duta, kau pernah mendengar peristiwa di Desa
Pasir Batang?" tanya Panglima Lohgender langsung ber-
tanya pada Arya Duta.
"Ya, desa yang hampir musnah oleh Raja Dewa
Angkara." sahut Arya Duta.
"Kau pasti tahu, siapa yang menumpas iblis itu?"
"Pendekar Rajawali Sakti."
"Benar!"
Arya Duta menatap ayahnya tak mengerti. "Hanya kau
satu-satunya yang kuandalkan, Arya Duta. Pergi dan carilah
di mana pendekar itu berada," kata Panglima Lohgender
bernada memerintah.
"Maksud Ayah...?" Arya Duta masih belum mengerti.
"Katakan padanya tentang keadaan di sini. Aku yakin
pendekar itu mau membantu," sahut Panglima Lohgender.
"Di mana mencarinya? Tempat tinggal pendekar itu tak
menentu. Lagi pula membutuhkan waktu yang tidak
pendek untuk mencarinya, Ayah. Bisa-bisa Kadipaten
Karang Asem ini sudah hangus lebih dulu."
"Ini perintah, Arya Duta!" sentak Panglima Lohgender
melihat anak angkatnya seperti putus asa.
"Baik, Ayah. Besok pagi-pagi sekali aku berangkat,"
sahut Arya Duta cepat-cepat.
"Kalau perlu, bawa beberapa prajurit"
"Tidak perlu seorang pun. Aku bisa melaksanakannya
sendiri," sanggah Arya Duta sengit mendapat tugas yang
dirasakannya tidak masuk akal itu.
"Sebelum kau kembali, aku tidak meninggalkan
kadipaten ini," kata Panglima Lohgender tegas.
Arya Duta diam saja. Dia tidak menyanggah sedikitpun.
Dia menelan ludahnya yang terasa pahit. Mencari seorang
pendekar, apa lagi yang mengembara sama saja mencari
jarum di padang luas. Tugas yang tidak berat, tapi terasa
mustahil untuk dilaksanakan.
"Dan kau, Braja Duta." lanjut Panglima Lohgender pada
anak angkatnya yang satu lagi. "Segera kembali ke
Limbangan. Persiapkan prajurit pilihan. Suatu saat aku
akan kirim utusan ke sana."
"Baik. Ayah." sahut Braja Duta segera beranjak pergi.
***
DUA
Matahari pagi belum lagi merayap naik menyinari bumi,
ketika kuda yang ditunggangi Arya Duta berpacu cepat
meninggalkan rumah kediaman Adipati Karang Asem. Di
sepanjang jalan yang dilaluinya, belum terlihat seorang
penduduk pun memulai kesibukannya. Arya Duta terus
memacu kudanya dengan kencang ke arah Barat dari
Kadipaten Karang Asem.
Ketika dia hendak melewati perbatasan, Arya Duta
menghentikan laju kudanya. Telinganya mendengar
langkah-langkah kaki kuda yang mengikuti dari belakang.
Arya Duta memalingkan kepalanya ke belakang. Tampak
dua ekor kuda berpacu cepat semakin mendekat.
"Ada apa Paman berdua menyusulku?" tanya Arya Duta
setelah kedua penunggang kuda itu berada di dekatnya.
"Maaf, hamba berdua diperintahkan Gusti Panglima
untuk mendampingi Gusti Arya Duta," sahut Balungpati
penuh hormat.
"Keamanan Kadipaten Karang Asem lebih penting
daripada ikut bersamaku." kata Arya Duta. Nadanya jelas
tidak menyetujui perjalanannya diikuti oleh siapapun.
"Tapi, Gusti...," Welut Putih hendak menjelaskan.
"Tidak perlu dijelaskan, Paman Welut Putih. Kalian
berdua tentu serba salah. Tapi baiklah, karena perintah ini
datangnya dari Panglima tertinggi Kerajaan Limbangan,
aku tidak bisa menolaknya lagi," sergah Arya Duta.
"Terima kasih, Gusti." ucap Balungpati.
Arya Duta kemudian menggebah kudanya pelan-pelan,
Balungpati dan Welut Putih segera mengikuti. Ketiga kuda
itu pun akhirnya berpacu cepat meninggalkan perbatasan
Kadipaten Karang Asem. Sementara matahari mulai
menampakkan cahayanya di ufuk Timur. Sinarnya yang
kemerahan membias indah memantul dari pucuk-pucuk
pohon.
"Kau tahu, apa yang menjadi tugas kita, Paman
Balungpati?" tanya Arya Duta ketika mereka menjalankan
kudanya pelan-pelan meniti bukit terjal.
"Mencari Pendekar Rajawali Sakti, Gusti," sahut
Balungpati.
"Kau tahu, di mana pendekar itu biasanya tinggal?"
Balungpati tidak langsung menjawab. Matanya me-
mandang Welut Putih yang memacu kudanya di samping
kiri Arya Duta. Welut Putih menggelengkan kepalanya.
"Kami tidak tahu, Gusti," kata Balungpati. Mereka ber-
dua memang pernah mendengar nama itu, tapi tidak
pernah bertemu langsung.
Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya.
Mereka seperti tengah menelusuri jalan pikiran masing-
masing. Tak seorang pun dari mereka bertiga yang
mengetahui, ke mana harus memulai pencariannya. Men-
cari tokoh rimba persilatan bukanlah pekerjaan ringan, dan
bukannya tidak mungkin akan menemui banyak rintangan.
Bagi kaum rimba persilatan, alasan tidaklah penting.
Sulit memastikan siapa kawan dan siapa lawan. Yang jelas
siapa yang dekat dengan lawan, dia pasti juga lawan.
***
Sementara itu di suatu tempat yang berlembah dan
berbukit, tampak Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti
tengah duduk di atas sebuah batu di pinggir sungai. Air
sungai mengalir lembut memantulkan pernik-pernik sinar
matahari. Seutas tali yang mengikat bambu kecil ter-
genggam di tangannya. Pandangannya tidak lepas dari
seutas tali yang mengambang di permukaan air.
"Ugh, lama banget. Dari tadi cuma dapat dua ekor!"
gumamnya mengeluh seraya melirik dua ekor ikan dalam
wadah anyaman bambu.
"Banyak ikan yang kau dapatkan, Kakang?" sebuah
teguran lembut tiba-tiba terdengar dari arah belakang.
Rangga menoleh dan cemberut begitu dilihatnya Pandan
Wangi tengah menuju ke arahnya. Dia menenteng hampir
sepuluh ekor ikan yang besar-besar di tangan. Dalam hati,
Rangga mengakui kalah pintar dengan Pandan Wangi yang
dalam waktu yang bersamaan bisa mendapatkan ikan
lebih banyak dari yang didapatkannya.
"Mana hasilmu?" tanya Pandan Wangi setelah dekat
"Tuh...!" Rangga menunjuk dengan bibirnya.
Pandan Wangi tertawa terpingkal-pingkal seperti
mengejek melihat ke dalam wadah anyaman bambu. Di
dalam wadah itu hanya terdapat dua ekor ikan kecil-kecil.
Sementara Rangga hanya menggerutu kecil. Tahu kalau
hasilnya akan begini. lebih baik kupakai tombak saja dari
tadi, rutuknya dalam hati.
"Aku buat api dulu, ya?" kata Pandan Wangi sera-ya
meletakkan ikan hasil pancingannya di wadah Rangga.
Lalu segera dia berlari ringan menuju ke pinggir hutan
untuk mencari kayu bakar.
"Jangan jauh-jauh, Pandan!" seru Rangga.
"Iya, Kakang. Pancing terus biar banyak, ha ha ha...!"
sahut Pandan Wangi seraya tertawa mengejek.
"Sialan!" rutuk Rangga sengit.
Rangga kembali menekuni pancingnya. Sebentar-
sebentar matanya melirik ikan di dalam wadah, lalu
berganti ke tepi hutan di mana tubuh Pandan Wangi lenyap
dalam pandangannya. Pendekar Rajawali Sakti itu akhirnya
kesal sendiri. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi tak
seekor ikan pun mau menyentuh umpannya. Dia lalu
bangkit berdiri dan membuang pancingannya dengan kesal
ke dalam sungai.
"Huh, sudah tahu aku tidak bisa mancing, malah diajak!"
gerutu Rangga dalam hati.
Kaki Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah
hendak menuju ke tepi hutan. Dia baru menyadari kalau
Pandan Wangi sudah terlalu lama pergi kalau hanya untuk
mencari kayu bakar sekadarnya. Namun baru beberapa
langkah dia berjalan, mendadak terlihat Pandan Wangi
berlari-lari menghampiri. Wajahnya seperti orang
kebingungan.
"Ada apa?" tanya Rangga begitu Pandan Wangi sudah
ada di dekatnya.
"Aku lihat dua orang berkuda menuju kemari." sahut
Pandan Wangi masih sedikit terengah napasnya.
"Kau bisa mengenalinya?"
"Tidak, Kakang. Tapi kelihatannya mereka seperti
prajurit Kerajaan Limbangan."
"Ah, biarkan saja mereka, Pandan. Yang penting mereka
tidak mengganggu kita," kata Rangga kemudian.
Kedua sejoli itu lalu berjalan melangkah kembali ke
tepian sungai. Namun tiba-tiba saja terlihat oleh mereka
dua orang berkuda muncul ke luar dari hutan. Benar
dugaan Pandan Wangi, Rangga mengenali kedua orang itu
dari sabuknya yang bersulam bunga melati. Sulaman itu
menandakan kalau mereka prajurit dari Kerajaan
Limbangan.
Kedua prajurit berkuda itu menghentikan lari kudanya di
depan Rangga dan Pandan Wangi. Mereka lalu melompat
turun dari punggung kudanya masing-masing. Dengan
langkah tegap, salah seorang dari mereka menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang berjuluk
si Kipas Maut.
"Maaf, Kisanak. Boleh aku bertanya?" suara prajurit itu
terdengar sopan dan ramah.
"Silakan." sahut Rangga juga sopan.
"Apa Kisanak melihat tiga orang berkuda melintasi jalan
ini?" tanya prajurit itu langsung. Dari tanda pangkat yang
dikenakannya, jelas kalau dia seorang punggawa.
Rangga memandangi Pandan Wangi. Kemudian meng-
geleng hampir berbarengan. Sejak pagi tadi, mereka
memang tidak melihat seorang pun melintas di sini.
Bahkan sudah hampir satu purnama mereka belum
melihat orang lain selain mereka berdua yang datang ke
hutan ini.
"Hm, apakah Kisanak berdua tinggal di sekitar hutan
ini?" tanya prajurit yang berpangkat punggawa itu lagi.
"Iya," sahut Rangga
"Maaf, apakah Paman berdua dari Kerajaan
Limbangan?" tanya Pandan Wangi ingin memastikan.
"Benar, kami prajurit dari Limbangan. Aku bernama
Garulungan, dan temanku ini Paringgan. Kami adalah para
punggawa yang ditugasi menyusul Wakil Panglima
Lohgender yang bernama Gusti Arya Duta. Beliau
didampingi dua orang kepala pasukan dari Kadipaten
Karang Asem," Garulungan menjelaskan.
"Kadipaten Karang Asem tidak jauh dari sini. Cuma
setengah hari perjalanan berkuda," gumam Pandan Wangi.
"Benar, Nini. Dan kami juga baru dari sana sebelum
mendapat tugas dari Gusti Panglima Lohgender," sahut
Garulungan.
"Ada keperluan apa Tuan Punggawa mencarinya?" tanya
Rangga berlaku sopan pada punggawa Kerajaan
Limbangan ini.
"Kami mendapatkan tugas menyampaikan sesuatu pada
Gusti Arya Duta dari Panglima Lohgender," sahut
Garulungan lagi.
"Sayang sekali, sejak pagi tadi tidak ada orang yang
lewat di sini. Kecuali Tuan Punggawa berdua," ujar Rangga.
"Gusti Arya Duta bersama Balungpati dan Welut Putih
sudah meninggalkan Kadipaten Karang Asem tujuh hari
yang lalu. Mereka bertiga tengah menjalankan tugas
khusus dari Gusti Panglima Lohgender." Paringgan ikut
nimbrung menjelaskan.
Rangga dan Pandan Wangi menatap punggawa yang
sudah berdiri di samping temannya itu. Kelihatannya
Paringgan lebih muda daripada Garulungan.
"Oh! Tentunya mereka sudah terlalu jauh dari sini," kata
Rangga.
"Apakah Kisanak dan Nini tidak melihat pada tujuh hari
yang lalu?" tanya Garulungan setengah mendesak.
"Tidak," sahut Rangga tegas.
"Terima kasih, kalau begitu kami mohon diri." ucap
Garulungan agak kecewa.
Selesai berkata begitu, Garulungan langsung melompat
ke punggung kudanya. Paringgan juga melakuan hal yang
sama. Kuda mereka meringklk kecil mendengus-dengus
sambil menghentak-hentakkan kaki depannya.
"Tunggu dulu, Tuan Punggawa!" seru Rangga mencegah
begitu Garulungan mau menggebah kudanya.
Garulungan tidak jadi menggebah kudanya. Dia
menatap sedikit tajam pada Rangga yang berdiri agak ke
depan dari Pandan Wangi.
"Boleh kami tahu, tugas apa yang tengah diemban oleh
Gusti Arya Duta?" tanya Rangga.
"Gusti Panglima menugaskannya untuk mencari
Pendekar Rajawali Sakti," sahut Garulungan.
"Jika kisanak tahu atau melihat pendekar itu, tolong
katakan kalau Gusti Panglima Lohgender menunggunya di
Kadipaten Karang Asem!" sambung Paringgan.
Kedua punggawa Kerajaan Limbangan itu langsung
menggebah kudanya. Rangga yang mendengar nama
julukannya disebut, terperangah kaget. Dia baru tersadar
setelah tangan Pandan Wangi menyikut iganya. Rangga
lalu mengarahkan pandangannya ke arah hutan. Tapi dua
orang punggawa itu sudah lenyap di balik lebatnya Hutan
Tarik ini.
Rangga mengalihkan pandangannya pada Pandan
Wangi. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang dan
terdiam membisu Pandan Wangi sendiri sempat kaget juga
mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut tadi. Dia
tidak mengerti, dengan tugas yang diemban Arya Duta dari
Panglima tertinggi Kerajaan Limbangan.
"Aneh...! Untuk apa pihak kerajaan mencariku?" Rangga
bergumam sendiri.
"Bukan pihak kerajaan, Kakang. Tapi Panglima
Lohgender," ralat Pandan Wangi.
"Sama saja,” dengus Rangga.
"Tidak! Sekarang Panglima Lohgender ada di Kadipaten
Karang Asem. Tentu bukan tugas kerajaan. Barangkali saja
dia punya urusan pribadi denganmu, Kakang."
"Rasanya tidak mungkin. Pandan. Ketemu langsung saja
belum pernah."
"Hm... kalau begitu, kira-kira urusan apa, ya...?
"Entahlah," Rangga mendesah malas.
"Apa tidak sebaiknya kita pergi saja ke Kadipaten
Karang Asem, Kakang?" Pandan Wangi mengusulkan.
"Kau sudah menamatkan Kitab Naga Sewu?" Rangga
malah balik bertanya.
"Sudah tiga hari yang lalu," sahut Pandan Wangi.
"Kalau begitu, kita berangkat sekarang!" seru Rangga.
"Sebentar, Kakang. Bukankah kau ingin makan ikan
bakar?" Pandan Wangi mengingatkan.
"Oh. iya.... ya. Aku lupa. Cepat Pandan, lapar juga nih
perut!"
Pandan Wangi tersenyum lebar, lalu melangkah sambil
membawa ranting-ranting kering menuju ke arah sebuah
goa yang cukup besar dan bersih. Di goa itu mereka tinggal
selama berada di Hutan Tarik ini.
Rangga mengikutinya dari belakang. Dia membuang
jauh-jauh pikiran tentang Panglima Lohgender yang sedang
menunggunya di Kadipaten Karang Asem, dan Arya Duta
yang saat ini tengah mencarinya. Dia membayangkan ikan
bakar olahan Pandan Wangi yang tentunya sangat nikmat,
apalagi makannya bersama gadis cantik itu....
***
Sementara di tempat yang jauh di seputar Hutan Tarik,
Arya Duta dan dua orang pendampingnya dari Kadipaten
Karang Asem tengah beristirahat melepaskan lelahnya.
Memasuki hari ketujuh pencariannya, mereka belum
mendapatkan titik terang untuk menemukan Pendekar
Rajawali Sakti. Arya Duta duduk bersandar di sebuah
pohon rindang dengan wajah lesu menyimpan keputus-
asaan. Sementara Balungpati dan Welut Putih duduk
menghadapi api unggun yang membakar tiga ekor kelinci.
Bau harum daging kelinci bakar menyeruak hidung.
Balungpati mengambil satu dan menyerahkannya pada
Arya Duta. Anak angkat Panglima Lohgender itu
menerimanya dengan malas. Lalu memakan pelan-pelan
tanpa ada gairah.
"Apa sebaiknya kita kembali saja, Gusti?" Balungpati
mengusulkan.
"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda Lohgender tidak
akan menerima kita dengan tangan kosong," sahut Arya
Duta.
"Lalu, sampai kapan kita harus berada di Hutan Tarik ini,
Gusti?" tanya Welut Putih. Nada suaranya jelas
menyiratkan kebosanan.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu," sahut Arya Duta
mendesah.
"Gusti Arya Duta kelihatan putus asa," Balungpati
berkata pelan, seperti untuk dirinya sendiri.
"Tidak..., tapi mungkin juga, Paman," sahut Arya Duta
tanpa kepastian. Matanya lalu silih berganti menatap
Balungpati dan Welut Putih. "Aku sedang memikirkan arah
kita selanjutnya..., mungkin lebih baik kita lupakan saja
soal Pendekar Rajawali Sakti itu. Bagaimana pendapat
Paman berdua?"
Kedua pendamping Arya Duta itu saling berpandangan
sesaat.
"Maksud Gusti?" tanya Balungpati.
"Aku lebih suka mencari sarang pengacau-pengacau itu,"
sahut Arya Duta.
"Pekerjaan bunuh diri, Gusti!" selak Welut Putih.
"Itu lebih baik daripada melakukan pekerjaan yang
belum tentu ada hasilnya, Paman."
Balungpati dan Welut Putih tidak menyanggah.
Keduanya hanya saling pandang sesaat, lalu suasana di
antara mereka pun kembali hening tak bersuara.
Balungpati dan Welut Putih memang tidak bisa
menyalahkan Arya Duta. Tugas yang diembannya dari
Panglima Lohgender memang nyaris tak masuk akal.
Kehidupan kasar dan keras penuh pengembaraan dari
kaum persilatan membuat mereka tidak bisa berharap
banyak untuk dapat menemukan Pendekar Rajawali Sakti.
Suasana hening sepi itu tiba-tiba pecah oleh suara
gemerisik dari ranting dan dedaunan yang terinjak kaki.
Suara langkah-langkah kaki itu semakin dekat dan jelas
terdengar. Arya Duta dan dua orang pendampingnya segera
bangkit berdiri.
"Sembunyi!" seru Arya Duta berbisik.
Seketika ketiga orang itu berlompatan masuk ke dalam
semak belukar. Tak berapa lama kemudian, dua sosok
tubuh berpakaian serba hitam tampak terlihat mendekat
ke depan bara api yang masih menyala mengepulkan
aroma harum daging kelinci bakar. Salah seorang lalu
membungkuk. Sebentar dia mengamati daging-daging
kelinci yang masih tersisa. Orang itu kemudian
mengedarkan pandangannya berkeliling.
"Hmmm..., ada tikus masuk ke sini, Kakang Pekik,"
dengusnya bergumam.
"Benar. Hati-hatilah, Adi Jaran!" sahut orang yang
dipanggil Pekik.
"Mungkin mereka telik sandi dari Kadipaten Karang
Asem, Kakang," Jaran kembali bergumam pelan.
"Mungkin, akhir-akhir ini memang banyak telik sandi
berkeliaran di sekitar hutan ini."
"Kalau begitu, kita harus...."
Pekik buru-buru mendekap mulut Jaran. Telinga Pekik
yang tajam, cepat dapat mendengar suara gemerisik
ranting dan dedaunan dari arah semak belukar. Lalu
dengan cepat dia mengebutkan tangannya ke kanan.
Seberkas sinar kehijauan meluncur deras ke arah semak di
sebelah kanannya. Seketika itu juga tiga sosok tubuh
berlompatan ke luar dari semak. Pekik dan Jaran pun
langsung mencabut pedangnya. Arya Duta berdiri tegak
didampingi oleh Balungpati dan Welut Putih di kiri dan
kanannya.
"Huh! Rupanya benar dugaanmu, Adi Jaran. Kita
kedatangan tiga tikus dari Kadipaten Karang Asem,"
dengus Pekik.
"Kalianlah yang menggerogoti lumbung kami!" bentak
Balungpati sengit.
"Ha... ha... ha..., mana ada tikus punya lumbung?" Jaran
tertawa terbahak-bahak.
Seketika itu juga Welut Putih melompat menerjang
dengan satu teriakan nyaring. Balungpati pun segera
mengikuti. Pertarungan satu lawan satu tak terelakkan lagi.
Welut Putih mengirimkan jurus-jurus mautnya ke arah
Jaran yang telah siaga dengan pedang andalannya.
Sementara Balungpati mulai mencecar Pekik dengan
gerakan-gerakan sapuan tangannya yang gesit dan cepat.
Arya Duta mengamati pertarungan yang semakin seru
itu dari jarak hanya beberapa batang tombak. Sret..! Welut
Putih langsung mencabut goloknya, dan mengibaskannya
dengan cepat ke arah lawannya. Namun dengan cepat
sekali Jaran mengelakkannya sambil menyodokkan ujung
pedangnya ke arah perut. Welut Putih menggeser kakinya
ke samping, dan sambil menjatuhkan diri, dia meng-
egoskan kakinya dengan kuat menyampok kaki kiri lawan.
Jaran yang tidak menduga, langsung terjungkal. Tubuhnya
terbanting keras ke tanah dengan muka lebih dulu men-
cium tanah. Welut Putih tidak tinggal diam, segera dia
meloncat bangkit. Tubuhnya langsung melayang di udara
sesaat, kemudian kedua kakinya menghajar punggung
Jaran beberapa kali.
Bug...!
"Aaakh...!" Darah segar pun muncrat dari mulut Jaran
yang hanya bisa memekik tertahan.
Sebentar kepalanya terangkat, lalu terkulai jatuh ke
tanah begitu golok Welut Putih membabat lehernya. Hanya
sebentar saja Jaran sanggup menggelepar, kemudian diam
tak berkutik lagi. Dari mulut dan lehernya mengucur darah
segar. Welut Putih segera melangkah menjauhi mayat
lawannya.
"Paman Balungpati, gunakan senjata!" teriak Arya Duta
tiba-tiba.
Welut Putih segera menoleh ke arah pertarungan antara
Balungpati dengan Pekik. Balungpati yang memang terlihat
sudah terdesak itu, langsung mencabut pedangnya. Kini
pertarungan kembali berlangsung seimbang.
Tring!
Dua pedang beradu di angkasa. Percikan bunga api ber-
pijar dari dua senjata yang beradu keras itu. Tampak Pekik
melompat mundur dengan mulut menyeringai. Tangan
kanannya tampak gemetar dan memerah saga. Dia kalah
kuat beradu tenaga dengan lawannya.
"Mampus kau, setaaan...!" teriak Balungpati keras.
Saat itu juga Balungpati melompat bagai kilat sambil
mengibaskan pedangnya. Serangan Balungpati yang cepat
membuat Pekik terperangah. Buru-buru dia mengangkat
pedangnya untuk menangkis.
Tring!
"Akh!" Pekik memekik tertahan.
Pedang di tangannya terlontar, mencelat jauh ke udara.
Pada saat iItu juga, Balungpati memutar pedangnya, dan...
Cras!
"Aaa...!"
Tubuh Pekik sempoyongan diiringi oleh erangan
panjang, lalu roboh ke tanah dengan darah segar muncrat
dari dadanya yang robek terbabat pedang. Balungpati
memandangi tubuh lawannya sesaat, kemudian
memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya di
pinggang. Sesaat kemudian Balungpati berbalik meng-
hadap pada Arya Duta dan Welut Putih yang berdiri di
samping pemuda itu.
"Aku yakin, mereka adalah para pengacau di Kadipaten
Karang Asem," kata Arya Duta.
"Benar, Gusti," sahut Balungpati. "Hanya saja mereka
cuma cecunguk."
"Dan yang pasti, sarang mereka ada di sekitar Hutan
Tarik ini," sambung Welut Putih.
"Hm..., kita sudah melacak hutan ini selama tujuh hari.
Tapi tidak ada tanda-tanda kalau dijadikan sarang
pengacau," gumam Arya Duta pelan. "Bagaimana pen-
dapatmu, Paman Balungpati?"
"Sebaiknya jelajahi lagi hutan ini. Kalau memang sarang
mereka di sini, kita bisa melaporkannya pada Gusti
Panglima Lohgender," sahut Balungpati.
"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang juga," ajak
Arya Duta.
"Baik, Gusti," hampir berbarengan Balungpati dan Welut
Putih menyahuti.
Ketiga orang itu pun segera melanjutkan perjalanan,
menjelajahi kembali Hutan Tarik ini. Arya Duta kini punya
semangat lagi setelah yakin akan menemukan sarang
pengacau itu. Untuk sesaat dia bisa melupakan tugas
utamanya, mencari Pendekar Rajawali Sakti.
***
TIGA
Suasana kota Kadipaten Karang Asem tampak begitu
tenang dan lengang. Udara malam yang terasa sejuk oleh
hembusan angin lembut, seperti ikut menyiratkan
kedamaian. Rangga atau si Pendekar Rajawali Sakti pun
benar-benar menikmati suasana di keheningan malam
bersama Pandan Wangi. Sudah dua hari ini mereka tinggal
di sebuah penginapan yang cukup besar.
"Seharusnya kau memesan dua kamar, Kakang," kata
Pandan Wangi agak ketus.
Rangga hanya diam saja membisu sambil matanya
menatap ke luar dari jendela yang terbuka lebar. Sudah
dua hari ini Pandan Wangi selalu menggerutu kesal
lantaran Rangga hanya memesan satu kamar untuk
mereka berdua. Rangga bisa memaklumi kalau gadis itu
merasa risih berada dalam satu kamar bersama pemuda
yang hanya sahabat saja. Tapi Rangga punya alasan
tersendiri memesan satu kamar untuk mereka berdua.
"Tidak mungkin, Pandan," kata Rangga begitu telinganya
mendengar gerutuan Pandan Wangi yang tidak berhenti.
Tapi tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak ber-
paling dari jendela yang terbuka lebar.
"Kenapa tidak mungkin? Bukankah bekal kita cukup
untuk memesan dua kamar?" sergah Pandan Wangi ber-
nada kesal.
"Memang...," desah Rangga agak acuh. Dia tetap tidak
memalingkan mukanya. Matanya tetap menatap keramai-
an yang mulai nampak di luar sana. Keramaian yang jarang
dia nikmati di malam hari, kalau tidak kebetulan berada
pada suatu kota.
"Lalu, kenapa kau hanya menyewa satu kamar?"
"Karena aku sudah mengatakan kalau kau istriku pada
pemilik penginapan ini," sahut Rangga kalem sambil
mengulum senyum di bibirnya.
"Edan!" dengus Pandan Wangi.
"Ingat, Pandan. Kita datang ke sini dengan satu tujuan.
Dan aku belum mau menarik perhatian orang," Rangga
berusaha menjelaskan.
"Aku tidak mengerti maksudmu?"
"Kita datang berdua. Kalau menyewa dua kamar, tentu
bisa menarik perhatian orang. Aku tidak mau kita menemui
kesulitan sebelum tahu maksud Panglima Lohgender
mencariku. Kau harus mengerti, Pandan. Toh, kita tidak
melakukan apa-apa di sini, kan?"
"Tapi, kau kan bisa mengaku aku ini adikmu, atau apa
saja yang lain asal jangan itu!" sergah Pandan Wangi tetap
tidak setuju dengan alasan Rangga.
"Mungkin itu bisa kulakukan kalau keadaannya lain."
"Lain bagaimana?"
"Aku bisa mengaku kau sebagai adik kalau sudah tahu
alasan Panglima Lohgender mencariku. Sedangkan sampai
saat ini, kita belum tahu apa-apa. Apakah dia itu lawan
atau kawan? Aku hanya bermaksud untuk menjaga segala
kemungkinan saja."
"Kalau cuma itu alasanmu, aku bisa menjaga diri!"
"Aku percaya, apalagi kau sekarang sudah menguasai
Pedang Naga Geni dan Ilmu Naga Sewu yang dahsyat. Kau
bukan lagi gadis lemah yang selalu minta dilindungi."
"Ah, sudahlah!" tukas Pandan Wangi. Dia sadar kalau
tidak akan bisa menang berdebat dengan pemuda itu.
"Sekarang, apa rencanamu selanjutnya?" suara Pandan
Wangi mulai melembut.
"Menyelidiki kadipaten." sahut Rangga.
"Bukankah Kakang sudah lakukan itu semalam?"
"Semalam aku hanya melihat-lihat dari luarnya saja.
Penjagaan di sana kelihatannya sangat ketat. Prajurit-
prajurit Kerajaan Limbangan tampaknya sudah mulai ber-
datangan ke Kadipaten Karang Asem ini," kata Rangga
memberitahu.
"Mungkin...."
"Ssst...'" Rangga memotong ucapan Pandan Wangi
cepat-cepat sambil menyilangkan jarinya di sudut bibir
gadis itu.
Pandan Wangi langsung terdiam. Matanya mendelik me-
rasakan ujung jari telunjuk Rangga menyentuh bibirnya.
Segera dia menarik kepalanya ke belakang. Mendadak
saja jantungnya jadi berdebar keras. Entah apa yang
tengah dirasakannya saat ini.
"Kau di sini saja, tutup jendela setelah aku ke luar," kata
Rangga berbisik pelan.
Pandan Wangi belum sempat lagi membuka mulut, tiba-
tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mencelat
ke luar meloncati jendela. Dengan masih diliputi tanda
tanya, gadis itu segera menutup jendela setelah meng-
amati keadaan di luar sebentar. Dia mencoba mengerah-
kan pendengarannya dengan tajam, tapi tidak terdengar
apa-apa, selain suara percakapan orang-orang yang ramai
di luar penginapan ini.
Sementara itu, Rangga yang tadi sempat mendengar
sekilas suara mencurigakan di atas atap, langsung
melompat naik ke atas kamar penginapannya. Matanya
yang setajam mata rajawali, menangkap sesosok bayangan
hitam berkelebat cepat dari satu atap ke atap rumah
lainnya. Rangga segera mengikutinya dari jarak yang cukup
jauh.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak ringan bagai
kapas tertiup angin. Melenting indah mengikuti jejak si
bayangan hitam itu. Sesaat kening Rangga berkerut, begitu
melihat bayangan hitam itu arahnya menuju ke rumah
kediaman Adipati Karang Asem. Rangga langsung
melentingkan tubuhnya ke sebuah pohon yang besar dan
rimbun ketika bayangan hitam itu berhenti di sebuah
pohon dekat tembok kadipaten. Orang yang mengenakan
baju serba hitam itu sepertinya tengah mengamati
keadaan.
"Hm..., siapa orang itu? Apa maksudnya dia berada di
dekat benteng kadipaten?" gumam Rangga dalam hati.
Matanya tajam memperhatikan bayangan hitam yang
tengah diincarnya.
Orang berbaju hitam itu melenting lagi melewati tembok
benteng kadipaten yang tinggi dan kokoh. Rangga segera
melompat mengikuti dengan gerakan yang ringan tak
bersuara. Sesosok tubuh yang dikuntit itu lalu menyelinap
ke tembok rumah, kemudian mengendap-endap mendekati
sebuah jendela. Tampaknya cahaya pelita membias ke luar
begitu jendela dibuka. Dengan satu gerakan ringan, sosok
tubuh berbaju hitam itu meloncat masuk ke dalam. Rangga
segera mendekat.
"Kamar tidur...," bisik Rangga dalam hati.
Dari sebuah celah kecil, dia bisa melihat keadaan
kamar. Tampak orang yang berpakaian hitam itu
menghadap ke arahnya. Tapi tubuhnya membelakangi
pelita, sehingga agak sulit dikenali wajahnya. Rangga
mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang duduk
membelakangi.
"Hm..., aku harus menggunakan ilmu pembeda gerak
dan suara," gumam Rangga dalam hati.
***
Di dalam kamar besar dan indah itu, orang berpakaian
serba hitam menghenyakkan tubuhnya di kursi meng-
hadapi sebuah meja bundar dari batu pualam putih ber-
lapiskan perak. Di seberangnya duduk seorang laki-laki
berpakaian mewah bertubuh gemuk dan kekar. Laki-laki itu
adalah Adipati Prahasta.
"Ada apa kau datang kemari?" tanya Adipati Prahasta.
Nada suaranya jelas kurang senang.
"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Prahasta," sahut
orang berpakaian serba hitam itu. Suaranya kecil dan
halus, namun menyiratkan ancaman dan kekejaman.
"Tanggung jawab apa?" Adipati Prahasta mendelik.
"Memperkuat kadipaten dengan mendatangkan prajurit
dari kerajaan."
"Aku tidak melakukan itu. Panglima Lohgender yang
mengirim utusan untuk mendatangkan prajurit-prajurit dari
Kerajaan Limbangan. Aku tidak tahu menahu masalah itu!"
suara Adipati Prahasata jelas tertahan nadanya.
"Kau seorang adipati, kau yang berkuasa di sini, bukan
Panglima Lohgender!"
"Seorang Panglima Kerajaan lebih berkuasa daripada
seorang adipati. Dia bisa bertindak menurut caranya
sendiri di sini, kalau memang menurutnya keadaan tidak
tentram."
"Jangan banyak bicara, Prahasta! Aku datang ke sini
hanya untuk memintamu menarik kembali pulang prajurit
Kerajaan Limbangan!"
"Mustahil!" dengus Adipati Prahasta.
"Kau harus melakukannya, Prahasta. Atau.... Hih!"
Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu mengibaskan
tangannya. Secercah sinar kehijauan meluncur deras ke
arah jendela, lalu secepat kilat tubuhnya melompat
menerobos jendela. Adipati Prahasta segera bangkit dan
mendekati jendela.
Rangga yang berhasil menghindari serangan mendadak
itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersamaan
dengan kakinya menjejak tanah, sesosok tubuh serba
hitam itu langsung menyerangnya dengan cepat. Pendekar
Rajawali Sakti itu kembali melentingkan tubuhnya ke
udara, sehingga serangan orang berbaju hitam itu lolos
begitu saja.
Orang berbaju serba hitam itu menyadari kalau lawan-
nya bukanlah orang sembarangan. Tanpa banyak mem-
buang waktu lagi, dia langsung melompat kabur melewati
pagar tembok yang tinggi. Gerakannya sangat cepat, dan
tidak menimbulkan suara sedikitpun, pertanda kalau dia
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi.
"Hup!"
Rangga segera melentingkan tubuhnya mengejar orang
berbaju serba hitam itu. Seketika saja dua sosok tubuh
langsung lenyap di balik tembok tinggi tebal dan kokoh.
Sementara Adipati Prahasta jadi bengong tak dapat ber
buat apa-apa. Dua bayangan bergerak sangat cepat seperti
menghilang begitu saja tanpa diketahui ujudnya lebih
dahulu.
***
Orang berpakaian serba hitam itu lenyap tak berbekas
begitu sampai di Hutan Tarik. Rangga terus mengejar
sampai jauh masuk ke dalam hutan yang gelap dan lebat
ini. Ilmu pembeda gerak dan suara yang dia kerahkan pun
tak mampu menemukan jejak orang berpakaian serba
hitam itu. Rangga menghentikan pengejarannya. Dia berdiri
mematung sambil matanya tetap mengedarkan pandangan
ke sekelilingnya. Suasana hutan yang hanya disinari oleh
bulan yang tidak begitu terang cahayanya, membuat
pandangan Rangga agak terhalang. Sesaat kemudian
kepalanya tertunduk meneliti tanah di sekitarnya, berusaha
mencari jejak-jejak tapak kaki buruannya.
Mendadak saja Rangga terkejut ketika tiba-tiba dia
menyadari kalau dirinya sudah terkepung dari segala
penjuru. Dia memutar tubuhnya memandangi sepuluh
orang berpakaian serba hitam yang berkelebatan cepat ke
luar dari balik semak dan pepohonan. Masing-masing
sudah menghunus senjata di tangannya.
"Serang...!"
"Yeaaah...!"
Teriakan-teriakan keras begitu nyaring terdengar disertai
berlompatannya tubuh-tubuh terbalut baju hitam
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pertarungan seru di
tengah hutan itu pun tidak terelakkan lagi. Cahaya
keperakan berkelebatan dari segala panjuru mengurung
tubuh Rangga.
Rangga yang belum tahu persis kekuatan lawan-
lawannya, masih terus berlompatan, berkelit menghindari
serangan-serangan yang datang secara beruntun. Satu kali
pun dia belum balas menyerang, tapi tiba-tiba saja ter-
dengar jeritan-jeritan melengking disusul jatuhnya dua
tubuh hitam berlumuran darah.
Mata Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dan terlatih,
langsung dapat melihat jelas meskipun dalam kegelapan
malam. Dua tubuh lawannya itu ambruk oleh sabetan golok
dan pedang yang cepat tanpa diduga dari arah belakang.
Tampak tiga orang dengan senjata terhunus muncul secara
mendadak. Dua di antara mereka, senjatanya telah basah
oleh darah. Ketiga orang itu langsung masuk ke dalam
ajang pertarungan. Rangga segera melentingkan tubuhnya
ke udara menjauhi pertarungan. Nampak jelas kalau ketiga
orang itu adalah para prajurit.
Satu orang dengan sabuk bergambar bunga melati,
adalah jelas dari Kerajaan Limbangan. Dan dua orang lagi
dapat dipastikan prajurit dari Kadipaten Karang Asem.
Tidak berapa lama kemudian, tampak ketiga orang itu
berada di atas angin. Satu per satu tubuh-tubuh berbaju
serba hitam itu bertumbangan bersimbah darah.
"Mundur...!" terdengar suara teriakan keras melengking
kecil.
Seketika itu juga empat orang berpakaian hitam yang
tersisa langsung berlompatan kabur. Tubuh-tubuh mereka
lenyap di balik kelebatan Hutan Tarik ini. Tiga orang yang
ternyata Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih itu
langsung menyarungkan kembali senjatanya. Mereka
mengambil napas sesaat, lalu bergegas menghampiri
Rangga yang berdiri saja di bawah sebatang pohon besar.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak?" tanya Arya Duta setelah
berada di depan Rangga.
"Tidak," sahut Rangga tersenyum. Tanpa bantuan
mereka pun dia dapat menghabisi sepuluh orang ber-
pakaian serba hitam itu. Tapi Rangga tidak mau
mengecewakan ketiga orang yang telah bersusah payah
membantunya.
"Siapa Kisanak, dan kenapa bisa bentrok dengan
gerombolan pengacau itu?" tanya Arya Duta lagi, dia tidak
mengenali siapa Rangga.
"Namaku Rangga, aku tidak tahu kenapa orang-orang itu
menyerangku." sahut Rangga.
"Kisanak tinggal di mana?" tanya Balungpati.
"Aku pengembara, aku tidak punya tempat tinggal yang
tetap." sahut Rangga terdengar tenang suaranya.
"Hm, kalau begitu, sebaiknya cepat tinggalkan Hutan
Tarik ini. Terlalu bahaya bagi orang yang berjalan sendirian,
apalagi malam hari begini." Welut Putih menyarankan.
"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. "Boleh
aku tahu, siapa Paman bertiga ini?"
"Aku Arya Duta, dan ini Paman Balungpati dan Paman
Welut Putih. Kami di sini sedang menjalankan tugas dari
Panglima Lohgender," Arya Duta menjelaskan.
"Apa tugas itu untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti?"
tanya Rangga sambil menyembunyikan rasa kagetnya.
"Benar!" sahut Arya Duta kaget. "Darimana Kisanak
tahu?"
"Kebetulan aku kemarin bertemu dua orang utusan dari
Panglima Lohgender yang ditugaskan mencari Paman
bertiga. Kedua utusan itu dari Kerajaan Limbangan," sahut
Rangga.
"Oh, siapa mereka?" desak Arya Duta.
"Mereka mengaku punggawa kerajaan. Kalau tidak
salah, namanya Punggawa Garulungan dan Punggawa
Paringgan."
"Ah, mereka itu punggawa pilihan Panglima Lohgender,"
desah Arya Duta.
"Pasti keadaan di Kadipaten Karang Asem semakin
gawat, Gusti. Sampai-sampai Gusti Panglima mengutus
dua punggawa pilihan ke sini," sergah Balungpati hormat.
"Ya, rupanya Ayahanda Lohgender sudah mengirim
pasukan ke kadipaten," desah Arya Duta.
"Maaf, Kalau boleh aku tahu, kenapa Panglima
Lohgender mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya
Rangga memancing.
Arya Duta menceritakan keadaan dan persoalan per-
soalan yang tengah dihadapi Kadipaten Karang Asem.
Dugaannya tentang keterlibatan tokoh-tokoh persilatan
yang sama dengan dugaan Panglima Lohgender, membuat
Panglima Kerajaan Limbangan itu menugaskan mereka
untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti. Hingga Arya Duta
selesai bercerita, dia sama sekali belum tahu kalau
sesungguhnya orang yang dicari ada di hadapannya.
Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
sesaat. Dia kini mengerti sepenuhnya, mengapa Panglima
Lohgender mencari dirinya. Rupanya ada persoalan serius
yang sedang dihadapi Kadipaten Karang Asem. Kadipaten
itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Limbangan.
"Sudah sepuluh hari ini kami berada di Hutan Tarik,"
Arya Duta melanjutkan. "Tapi kami justru sempat bentrok
dengan gerombolan pengacau, termasuk yang Kisanak
lawan tadi..., aku yakin, orang-orang itu ada hubungannya
dengan keadaan di Kadipaten Karang Asem sekarang, dan
sarang mereka pasti ada di tengah hutan ini."
"Maaf, Paman. Kalau boleh aku memberi saran. Paman
bertiga sebaiknya tidak usah dulu mencari sarang
gerombolan pengacau itu. Sebaiknya Paman bertiga
kembali saja ke Kadipaten Karang Asem," kata Rangga.
"Kisanak...!" bentak Balungpati. "Kau tahu, dengan siapa
kau berhadapan, heh?"
"Maaf, Paman. Aku hanya memberi saran. Karena
kemarin sore, kalau tidak salah lihat, Pendekar Rajawali
Sakti yang sedang Paman cari itu ada di Kadipaten Karang
Asem."
"Apa...?!" Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih melongo
tak percaya.
"Aku seorang pengembara, aku kenal tokoh-tokoh rimba
persilatan. Pendekar Rajawali Sakti menginap bersama
saudara perempuannya di Penginapan Cagar Ayu," kata
Rangga sambil mengulum senyum di dalam hati, lalu
lanjutnya. "Aku kenal betul Pendekar Rajawali Sakti. Dia
pasti mau membantu menumpas gerombolan pengacau
itu."
"Kau tidak main-main, Kisanak?" Balungpati masih tidak
percaya.
"Percayalah padaku, saudara perempuan Pendekar
Rajawali Sakti itu berjuluk si Kipas Maut. Aku rasa mereka
tidak akan tinggal lama di sana. Kalau Paman bertiga tidak
segera menemui, mungkin tidak akan bertemu lagi untuk
selamanya."
"Apa jaminanmu?" selak Welut Putih.
"Leher! Aku tidak akan keluar dari Hutan Tarik. Aku akan
menggantikan tugas Paman bertiga untuk mencari sarang
gerombolan pengacau itu," kata Rangga tegas.
Arya Duta menatap Balungpati dan Welut Putih ber-
gantian.
"Paman bertiga telah menolongku, dan kini aku akan
membalas budi dengan mencari sarang gerombolan itu,"
lanjut Rangga.
"Baiklah, Kisanak. Kalau kau coba-coba mempermain-
kan aku, jangan katakan aku kejam kalau lehermu
kupenggal!" kata Arya Duta tidak main-main.
Rangga hanya tersenyum seraya menganggukkan
kepalanya. Tanpa banyak bicara lagi, Arya Duta segera
mengajak Balungpati dan Welut Putih meninggalkan
tempat itu. Sesaat Rangga memperhatikan kepergian
ketiga orang yang tengah mencari dirinya. Dia kini paham
benar akan apa yang tengah terjadi di Kadipaten Karang
Asem.
"Kau percaya kata-kata Rangga barusan tadi, Paman
Balungpati?" tanya Arya Duta selepas mereka dari Hutan
Tarik.
"Tampaknya dia bisa dipercaya, Gusti. Seorang
pengembara tahu banyak tentang dunia persilatan dari
pada kita," sahut Balungpati.
"Sebaiknya kita langsung ke Penginapan Pagar Ayu,
Gusti," tambah Welut Putih.
"Baiklah, kalau ternyata dia membohongi kita, segera
kembali ke Hutan Tarik."
***
Pandan Wangi yang sendirian di kamar, jadi gelisah tak
menentu. Benaknya dipenuhi oleh perasaan cemas yang
berkepanjangan. Meskipun dia yakin akan kemampuan
Rangga, tapi ketidakpastian keadaan Kadipaten Karang
Asem ini selalu membuat pikirannya tak pernah tenang
kalau Rangga ke luar.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Pandan Wangi.
Matanya menatap tajam pintu yang diketuk berulang-ulang.
Tangannya segera meraba kipas baja putih yang terselip di
pinggang. Lalu perlahan-lahan dia melangkah mendekati
pintu.
"Siapa...?" tanya Pandan Wangi keras.
"Kami, dari Kadipaten Karang Asem hendak bertemu
dengan si Kipas Maut!" terdengar suara sahutan dari luar.
Pandan Wangi tersentak kaget. Buru-buru dia membuka
pintu. Tiga orang berdiri di depan pintu kamar peng-
inapannya. Yang berdiri di tengah seorang pemuda dengan
sabuk bergambar bunga melati. Dan dua orang lagi
berpakaian prajurit kadipaten.
"Apakah Nona yang berjuluk si Kipas Maut?" tanya Arya
Duta.
"Benar," sahut Pandan Wangi agak tertahan suaranya.
"Boleh kami bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti?"
"Sayang, dia pergi."
"Ke mana perginya?"
"Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau hendak ke
luar melihat-lihat suasana kadipaten ini," sahut Pandan
Wangi menjelaskan tidak terinci.
"Kalau begitu, baiklah kami akan menunggu di depan,"
kata Arya Duta seraya berbalik.
"Eh, tunggu dulu!" sergah Pandan Wangi.
Arya Duta mengurungkan langkahnya.
"Ada maksud apa Paman bertiga mencari Pendekar
Rajawali Sakti?" tanya Pandan Wangi.
"Bagaimana, Paman?" Arya Dula meminta pendapat
pada dua orang pendampingnya.
"Sebaiknya jelaskan saja maksud kita yang sebenarnya,
Gusti." sahut Balungpati.
Arya Duta segera menjelaskan maksudnya setelah
mendapat anggukan dari Welut Putih. Juga dia jelaskan
pertemuannya dengan seorang pengembara yang mem-
beritahukan kalau si Kipas Maut dan Pendekar Rajawali
Sakti ada di penginapan ini. Kemudian setelah berbasa-
basi sebentar, mereka bertiga meninggalkan Pandan
Wangi yang masih diam terpaku di ambang pintu.
"Oh!" Pandan Wangi terkejut begitu dia membalikkan
tubuhnya.
Tanpa diketahuinya Rangga tengah berbaring di tempat
tidur. Bibirnya tersenyum memandangi Pandan Wangi yang
tengah menghampirinya. Gadis itu melirik jendela yang
masih tertutup. Dia sempat menutup pintu kamar dan
menguncinya rapat-rapat.
"Dari mana kau masuk, Kakang?" tanya Pandan Wangi
seraya duduk di tepi pembaringan.
"Itu..!" Rangga menunjuk langit langit kamar yang
terbuka
"Edan!" dengus Pandan Wangi "Bagaimana kalau hujan
nanti?"
Rangga tak menyahuti sama sekali, seketika itu juga
tubuhnya melesat ke atas. Hanya sekejap kemudian, dia
sudah kembali berbaring di tempat tidur. Pandan Wangi
mendongak sebentar. Atap kamar ini sudah tertutup rapi
kembali.
"Baru saja ada tiga orang mencarimu, Kakang." kata
Pandan Wangi
"Aku tahu, dan aku yang menyuruh mereka ke sini," kata
Rangga kalem. Bibirnya tetap mengulum senyum.
"Kenapa kau tidak berterus terang saja?" tanya Pandan
Wangi tidak kaget lagi. Dia memang sudah menduga
sebelumnya.
"Belum saatnya," sahut Rangga kalem.
"Sekarang mereka menunggu di depan."
"Biar sajalah, aku mau tidur dulu.”
Pandan Wangi mendelik melihat Rangga memunggungi-
nya. Gadis itu jadi kelabakan sendiri. Kamar ini cuma ada
satu tempat tidur. Kalau Rangga sudah tidur di situ, lalu dia
mau tidur di mana...?
"Ada apa?" tanya Rangga merasakan tangan Pandan
Wangi menggoyang-goyangkan tubuhnya.
"Kau tidur di bawah!" sentak Pandan Wangi mem-
berengut.
"Dingin, ah! Tidur saja di sini." Rangga menepuk sebelah-
nya.
"Kakang!" seru Pandan Wangi gemas. Matanya mendelik
lebar.
Rangga tak mempedulikan. Dia sudah mendengkur lagi.
Pandan Wangi hanya bisa menggerutu kesal. Gadis itu
merasa kebingungan karena selama ini belum pernah
sekalipun dia tidur dengan laki-laki. Sebentar dia menarik
napas panjang. Rasa kantuk semakin kuat menyerang diri-
nya.
"Uh! Masa bodohlah." dengusnya kesal.
Gadis itu langsung saja membaringkan tubuhnya di
samping Rangga yang memunggunginya. Dia pun memekik
kaget ketika Rangga berbalik, dan tangannya merentang di
atas dada. Pandan Wangi menyentakkan tangan Rangga.
Mukanya jadi bersemu merah dadu. Dadanya mendadak
saja berdegup kencang.
Pandan Wangj memandangi Rangga yang tertidur pulas.
Sementara angin dingin menyusup masuk dari celah-celah
dinding bambu. Pandan Wangi bergidik kedinginan, dan
tanpa disadarinya tubuhnya semakin merapat dengan
pemuda di sampingnya. Dengus napas pemuda itu hangat
menerpa wajah yang bersemu merah.
"Kakang...," panggil Pandan Wangi lirih.
"Hmmm...," Rangga cuma bergumam tak jelas.
Pandan Wangi mendesah panjang, lalu perlahan-lahan
matanya mulai terpejam. Dia tidak peduli lagi pada tangan
Rangga yang mulai nakal memeluk tubuhnya. Gadis itu
merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuhnya.
Dalam tidurnya bibirnya mengembangkan senyum ke-
damaian.
***
EMPAT
Sebuah bangunan menyerupai benteng, tampak berdiri
megah di dataran sebuah jurang yang lebar dan dalam di
bagian Timur Hutan Tarik. Kayu-kayu besar berdiri berjajar
mengelilinginya. Di belakangnya tiga buah bangunan kecil
dan sebuah bangunan panjang tampak berdiri dengan
angkuhnya, seolah tengah mengawal bangunan yang
menyerupai benteng itu. Sementara puluhan orang-orang
berpakaian serba hitam terlihat pula di sekitar bangunan
yang paling besar itu.
Di dalam bangunan bagian tengah itu, tampak tengah
berkumpul lima orang berpakaian serba hitam. Mereka
duduk menghadapi seorang pemuda tampan yang wajah-
nya diliputi kegusaran. Di sebelahnya duduk seorang
wanita setengah baya dengan raut wajah murung, namun
masih terlihat garis-garis kecantikannya. Mata pemuda itu
menatap satu per satu orang-orang berpakaian serba
hitam di hadapannya. Lalu pandangannya terhenti pada
wanita setengah baya di sebelahnya.
"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Kau
tidak akan berhasil menentang ayahmu. Apalagi sekarang
dia sudah meminta bantuan adiknya, Panglima Lohgender
yang bukan lawanmu," kata wanita setengah baya itu.
"Tidak, Ibu. Pantang bagi Rakapati surut sebelum
mencapai cita-cita," Rakapati tegas membantah. "Masalah
Paman Lohgender, Klenting Kuning yang akan meng-
hadapi."
Perempuan yang duduk paling kiri, tersenyum men-
dengar namanya disebut oleh Rakapati. Wanita berbaju
hitam berparas cantik itu memandang wanita setengah
baya yang duduk di samping Rakapati. Wanita itu adalah
Puspa Lukita, Ibu Rakapati yang juga selir dari Adipati
Prahasta.
"Ingat, anakku. Aku hanya seorang selir dari Adipati
Prahasta. Kau tidak berhak menuntut ayahmu untuk
menyerahkan kedudukannya padamu," kata Puspa Lukita
lembut.
"Apapun yang terjadi, Kadipaten Karang Asem harus jadi
milikku. Akulah yang berhak menjadi Adipati Karang Asem.
Prahasta bukan ayahku dan ibu jangan menutup mata saja
dengan apa yang telah dia lakukan. Masih jelas dalam
ingatanku, bagaimana dia membunuh Ayahanda Siran-
dana. Menghancurkan Kerajaan Karang Asem. Dan kini dia
menduduki tanah kelahiranku sebagai Adipati. Tidak, Ibu!
Karang Asem harus kembali menjadi sebuah kerajaan, dan
aku akan menghancurkan Kerajaan Limbangan!" suara
Rakapati terdengar penuh letupan dendam.
Puspa Lukita tak lagi bisa bersuara. Dia memang tak
bisa menutupi kenyataan sesungguhnya yang telah
dibeberkan oleh putranya ini. Kadipaten Karang Asem,
dulunya memang sebuah kerajaan kecil yang diperintah
oleh Prabu Sirandana, ayah kandung Rakapati. Kerajaan
kecil itu hancur dan hanya dijadikan sebuah kadipaten oleh
Raja Limbangan yang memperluas wilayahnya. Dan Puspa
Lukita pun bisa memahami jalan pemikiran anaknya untuk
memperoleh kembali apa yang menjadi haknya, hanya
jalan yang ditempuh Rakapati dengan mengundang tokoh-
tokoh hitam rimba persilatanlah yang membuatnya selalu
gusar dan cemas.
Puspa Lukita menatap orang-orang berpakaian serba
hitam di depannya. Dia tahu siapa mereka, Klenting
Kuning, Setan Cakar Racun, Iblis Kembar Teluk Naga dan
yang duduknya paling kanan adalah si Perempuan Iblis
Peminum Darah. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam rimba
persilatan.
Tokoh-tokoh sakti itu memang sengaja diundang
Rakapati untuk menggulingkan Adipati Prahasta, dan juga
melatih para pemuda yang diambil dari desa-desa di
Kadipaten Karang Asem untuk memperkuat barisannya.
Pemuda-pemuda yang semula merasa diculik itu akhirnya
dengan sukarela mendukung rencana Rakapati setelah
mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya. Apalagi
kepemimpinan Adipati Prahasta yang mereka rasakan
kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
"Setan Cakar Racun, laporkan apa yang kau alami
semalam?" Rakapati menatap si Setan Cakar Racun.
"Tidak ada yang perlu dilaporkan, semua berjalan
aman," sahut Setan Cakar Racun.
"Klenting Kuning...?" Rakapati mengalihkan perhatian-
nya.
"Sesuai perintah, aku menemui Adipati Prahasta. Hanya
saja ada gangguan sedikit," sahut Klenting Kuning dengan
suaranya yang lembut merayu.
"Lalu bagaimana?"
"Seperti biasa, Adipati Prahasta tetap tidak mau turun
dari jabatannya "
"Hm...," Rakapati bergumam. "Kau sendiri?" Rakapati
menatap Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Gagal," sahul Perempuan Iblis Peminum Darah.
Rakapati mengerutkan keningnya.
"Aku tidak berhasil mendesak dia untuk menarik
pasukan Kerajaan Limbangan dari Kadipaten Karang
Asem. Mungkin kau sudah mendengar semuanya tadi
pagi... "
"Ya, aku sudah dengar cerita kejadian di tepi Hutan
Tarik. Yang aku ingin tahu, siapa orang itu?" pelan suara
Rakapati.
"Aku tidak tahu. Tapi dia mempunyai tingkat kepandaian
yang sangat tinggi, mampu melayani sepuluh orang pilihan
bersenjata lengkap dengan tangan kosong. Tanpa adanya
campur tangan Arya Duta dan dua orang pemimpin
pasukan dari kadipalen pun aku rasa dia bisa
menghancurkan sepuluh orang pilihan kita," Perempuan
Iblis Peminum Darah menjelaskan.
"Bagaimana ciri-cirinya?" Klenting Kuning bertanya ragu.
"Aku rasa orangnya masih muda. Dan kalau aku tidak
salah, dia membawa pedang di punggungnya," sahut
Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Apakah pedang itu bergagang kepala burung?" tebak
Klenting Kuning.
"Tidak salah!" seru Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Dia memakai pakaian rompi putih?" desak Klenting
Kuning lagi. Dia merasa yakin dugaannya tidak meleset.
"Iya..., iya! Dia memakai pakaian rompi putih. Rambut-
nya panjang terikat, hanya wajahnya saja aku tidak bisa
jelas melihatnya. Keadaan terlalu gelap, dan kejadiannya
juga sangat cepat"
Klenting Kuning tidak bertanya lagi. Dia terdiam dan
hanya mendesah panjang. Rakapati yang melihat
perubahan wajah wanita cantik itu, jadi penasaran.
"Siapa dia, Klenting Kuning?" tanya Rakapati.
"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," pelan
Klenting Kuning menyahut.
Empat orang tokoh sakti lainnya diam tepekur kala
mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Mereka
memang pernah mendengar kehebatan nama itu. Dan
mereka juga tahu kalau Klenting Kuning pernah ber-
hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti di Bukit Setan.
Rakapati yang belum mengetahui dan mendengar nama
itu, sama sekali tidak terkejut. Tapi demi melihat kelima
orang yang diundangnya langsung diam tepekur, dia
seperti menangkap sesuatu yang mencemaskan. Namun
dia pun segera menyadari kalau bukanlah hal yang aneh
jika Adipati Prahasta juga meminta bantuan tokoh-tokoh
persilatan seperti yang kini dia lakukan. Hal itu memang
sudah dia perhitungkan sejak semula.
"Kalau sampai Pendekar Rajawali Sakti itu membantu
mereka, aku khawatir rencana kita akan hancur.
“Tidak seorang pun yang bisa menandingi
kepandaiannya saal ini.'' Klenting Kuning kembali
mengeluarkan isi hatinya.
"Aku yakin, dia pasti memihak mereka," sergah
Perempuan Ibiis Peminum Darah. "Waktu itu aku ketemu
dia di Kadipatenan. Untungnya aku masih sempat bisa
meloloskan diri, meskipun beberapa orang menjadi
korban."
"Apa sebaiknya kita undang tokoh sakti yang lebih tinggi
darinya, Rakapati?" usul Naga Hitam, salah seorang dari
Iblis Kembar Teluk Naga.
“Tidak perlu!" semak Klenting Kuning keras.
Semua mata langsung menatap Klenting Kuning.
"Kalian tidak perlu memikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
Aku bisa mengatasi dia!" kata Klenting Kuning tegas.
Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka paham kalau
Klenting Kuning mampu mengatasi Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka pernah mendengar Klenting Kuning sempat
bentrok di Bukit Setan. Dan mereka juga tahu kelebihan
wanita cantik itu. Perempuan cantik berjuluk Iblis Wajah
Seribu itu memiliki aji 'Pelebur Jiwa' yang tak bisa
ditandingi siapapun. Pendekar Rajawali Sakti sendiri
pernah dibuatnya tidak berdaya, untung saja muncul si
Kipas Maut, sehingga pendekar muda itu berhasil selamat.
"Yang penting sekarang, lakukan semua yang telah
direncanakan Rakapati. Masalah Pendekar Rajawali Sakti
itu urusanku. Aku sendiri yang akan menanganinya nanti,
juga si Lohgender tua itu!" kata Klenting Kuning angkuh.
Kembali suasana hening tanpa suara.
"Ada lagi yang ingin dikatakan?" tanya Rakapati
memecah keheningan.
"Tidak!" sahut mereka serempak.
"Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini disudahi."
Rakapati berdiri dan melangkah diikuti ibunya
meninggalkan ruangan tengah dari rumah besar itu.
Klenting Kuning dan keempat orang lainnya bergegas ke
luar. Mereka berpencar begitu sampai di luar pintu ruangan
pertemuan ini.
***
Malam baru saja datang menjelang. Suasana di bagian
Timur Hutan Tarik nampak sepi. Beberapa orang terlihat
berjaga-jaga di seputar benteng. Sementara itu di dalam
salah satu kamar yang besar dan indah dari salah satu
bangunan yang berdiri di dalam benteng, tampak sesosok
tubuh ramping tergolek di atas pembaringan. Punggungnya
yang putih mulus terbuka lebar, hanya selembar kain tipis
merah muda menutupi tubuh itu dari pinggang ke bawah.
Tubuh yang ramping indah itu berbalik menghadap ke
pintu kamar. Klenting Kuning, pemilik tubuh indah Itu
menatap pintu. Tangannya menarik kain untuk menutupi
tubuhnya. Matanya yang dihiasi bulu mata lentik, agak
menyipit mendengar pintu kamarnya diketuk. Ketukan yang
hanya sesaat dan harus itu terdengar hampir tidak jelas.
"Masuk...!" seru Klenting Kuning lembut.
Pintu kamar terkuak, lalu muncul Rakapati yang
langsung melangkah masuk. Sebentar dia menutup pintu
dan menguncinya. Lalu kembali melangkah perlahan
mendekati Klenting Kuning yang tersenyum manis. Mata-
nya berbinar menyambut kedatangan pemuda tampan itu.
Rakapati duduk di tepi pembaringan.
"Kau tidak pergi bersama mereka, Klenting Kuning?"
tanya Rakapati lembut. Tangannya mengusap-usap pipi
halus wanita itu.
"Untuk apa?"
Klenting Kuning beringsut bangun dan duduk.
"Klenting Kuning, ada yang ingin kutanyakan padamu."
kata Rakapati lirih.
"Kau bisa menundanya, kan?" balas Klenting Kuning
manja.
"Tidak, aku harus mengatakannya sekarang."
"Baiklah, apa yang akan kau tanyakan?"
"Tentang Pendekar Rajawali Sakti itu."
Klenting Kuning menatap lurus ke bola mata Rakapati.
"Kau bisa saja mengaku mampu menghadapi dia, tapi
aku menangkap nada suaramu yang lain. Apakah tidak ada
yang bisa menandinginya?" tanya Rakapati.
"Aku sendiri tidak tahu, sampai saat ini belum ada yang
bisa menandinginya," pelan suara Klenting Kuning.
“Tapi kau tidak usah cemas, bagaimanapun digdayanya
dia, pasti punya kelemahan. Aku bisa mengetahuinya
dalam waktu singkat. Percayalah."
Rakapati terdiam beberapa saat. Sejak nama Pendekar
Rajawali Sakti muncul dalam pembicaraan siang tadi, dia
jadi gelisah dan gusar. Meskipun belum pernah bertemu
secara langsung, tapi dari ucapan Klenting Kuning,
Rakapati sudah bisa menilai sampai di mana tingkat
kepandaian pendekar itu.
Rasa khawatir mulai menggeluti dirinya. Kalau sampai
pendekar itu memihak pada Adipati Prahasta, kesulitan
besar pasti bakal dihadapinya. Perhitungannya semula
mengundang tokoh-tokoh sakti adalah untuk menghadapi
Panglima Lohgender, yang dikenal sebagai tokoh sakti
rimba persilatan sebelum menjadi orang penting di
Kerajaan Limbangan.
"Ah, sudahlah. Kita bicarakan soal itu nanti, Rakapati.
Kau tentu bisa melupakannya sebentar saja, kan?" kata
Klenting Kuning seraya menarik kembali leher pemuda itu.
***
Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Panglima
Lohgender tengah membicarakan soal gerombolan
pengacau dengan Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi,
Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih. Mereka duduk
melingkar menghadapi sebuah meja bundar dari kayu Jati
berukir.
"Aku yakin, sarang mereka di Hutan Tarik," kata Arya
Duta.
"Hutan Tarik sangat luas, keadaannya juga sulit untuk
dijelajahi. Berbukit-bukit dan banyak lembah yang dalam,"
sahut Panglima Lohgender.
"Dua kali aku bentrok dengan mereka di hutan itu,
Ayah," kata Arya Duta tetap pada pendiriannya.
"Apa kau sudah mencoba untuk mencari sarang
mereka?" tanya Panglima Lohgender.
"Sudah."
"Ketemu?"
Arya Duta menggelengkan kepalanya.
"Sebentar, apa boleh aku menyelak?" pinta Rangga.
"Silakan." sahut Panglima Lohgender.
"Tiga hari aku mengamati keadaan di Kadipaten Karang
Asem ini, tapi tidak ada tanda-tanda kekacauan, bahkan
penduduk pun melakukan tugasnya seperti biasa," tutur
Rangga. Dia sengaja tak menceritakan kalau dia sempat
memergoki seseorang berpakaian serba hitam di
Kadipaten Karang Asem ini. Dan itu tidak mungkin dia
katakan.
"Memang, sekarang ini Kadipaten Karang Asem aman,
penduduk tak lagi terlihat resah." Panglima Lohgender
menyahuti.
"Lalu, kekacauan apa lagi yang terjadi?" tanya Rangga
tidak mengerti.
"Gerombolan itu kini mengalihkan sasarannya pada para
petinggi kadipaten, terutama yang dari Kerajaan
Limbangan dulu," Panglima Lohgender menjelaskan.
"Hm, apakah tidak terpikir kalau ini pemberontakan?"
gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.
"Pikiran itu sudah ada," Panglima Lohgender berkata
pelan. "Hanya saja belum ada ritik terang, siapa dalang dari
semua ini."
"Bisa diceritakan riwayat Kadipaten Karang Asem ini?"
pinta Pandan Wangi menyelak membuka suara.
"Apa ada hubungannya?" Arya Duta bertanya. Dia kurang
mengerti dengan jalan pikiran Pandan Wangi.
"Mungkin...," sahut Pandan Wangi pelan.
"Baiklah," sergah Panglima Lohgender. "Aku akan
menceritakannya sedikit."
Panglima Lohgender menceritakan tentang riwayat
Kadipaten Karang Asem ini yang dulunya merupakan satu
kerajaan dengan nama Kerajaan Karang Asem. Kerajaan
Karang Asem dan Kerajaan Limbangan, dulunya bersatu,
dan terpecah setelah rajanya mangkat. Kerajaan
Limbangan tetap berdiri sebagai kerajaan besar, sedang
kan Karang Asem berdiri sebagai kerajaan kecil. Kedua
kerajaan itu kembali terlibat pertikaian ketika Kerajaan
Karang Asem mencoba untuk memperluas wilayah dengan
menyerobot wilayah Kerajaan Limbangan. Namun Kerajaan
Karang Asem yang lebih kecil itu akhirnya takluk dan
dijadikan sebuah kadipaten. Lalu ditunjuk Adipati Prahasta
untuk memerintah di Karang Asem menggantikan Raja
Prabu Sirandana yang tewas terbunuh dalam perang.
"Apakah Raja Limbangan dan Raja Karang Asem ada
hubungan keluarga?" tanya Pandan Wangi.
"Mereka saudara satu ayah lain ibu. Prabu Wardana
adalah putra mahkota dari permaisuri, sedangkan Prabu
Sirandana adalah anak dari selir."
"Saat Kerajaan Karang Asem jatuh, apakah Prabu
Sirandana punya putra?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Ada, namanya Rakapati, dan ibunya bernama Puspa
Lukita. Saat itu Rakapati masih kecil…," sahut Panglima
Lohgender.
"Hm.... ada kemungkinan Rakapati mau mengembalikan
Karang Asem menjadi kerajaan kembali," gumam Pandan
Wangi seperti bicara untuk dirinya sendiri.
"Tidak mungkin!" tukas Balungpati menyanggah.
"Kenapa tidak...?"
"Gusti Putri Puspa Lukita kini menjadi istri Adipati
Prahasta. Dan sekarang beliau diungsikan bersama
putranya ke Desa Putu di Kadipaten Sedana," sanggah
Balungpati lagi.
"Ada yang mengantar ke sana?" tanya Rangga mulai
mengerti jalan pikiran Pandan Wangi.
"Lima puluh orang prajurit." sahut Welut Putih. "Dan
mereka semua baru boleh kembali kalau keadaan sudah
teratasi."
"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat Gusti Adipati. Di
mana beliau?" Pandan Wangi bertanya setengah ber-
gumam.
"Sejak dia diserang dua kali, selalu mengurung diri di
kamarnya," sahut Panglima Lohgender.
Pandan Wangi melirik Rangga. Yang dilirik pun cepat
mengerti. Kemudian Rangga bangkit berdiri diikuti Pandan
Wangi. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka berpamitan
dan meninggalkan ruangan itu.
"Apa pendapatmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi
setelah mereka melewati pintu gerbang kadipaten.
"Entahlah, aku harus menyelidikinya dulu. Ini bukan
persoalan biasa," sahut Rangga mendesah.
"Ya, jangan sampai kita salah langkah...."
***
LIMA
Rangga belum bisa memastikan, apakah dia akan
membantu Panglima Lohgender atau tidak. Tidak mudah
menentukan pihak yang benar dan salah dalam masalah
ini. Rangga juga tidak bisa menyalahkan Rakapati
seandainya memang benar dia ingin memberontak.
Rakapati punya hak untuk mengembalikan kejayaan
Kerajaan Karang Asem. Dan Panglima Lohgender juga
punya hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup
Kadipaten Karang Asem.
Siang itu Rangga sengaja menjelajahi Hutan Tarik yang
diduga menjadi markas gerombolan pengacau menurut
Panglima Lohgender. Langkah kakinya pelan-pelan, namun
matanya selalu tajam meneliti sekitarnya. Dia juga
mengerahkan Ilmu pembeda gerak dan suara.
"Hm, ada orang di tengah hutan begini. Siapa dia...?"
gumam Rangga dalam hati ketika matanya menangkap
sesosok tubuh tidak jauh darinya.
Rangga melangkah menghampiri sosok tubuh bungkuk
berbaju hitam lusuh itu. Sosok tubuh itu membelakanginya.
Sepertinya dia tengah memunguti kayu-kayu kering yang
banyak berserakan di sekitar hutan ini. Sosok tubuh itu
menoleh saat mendengar langkah-langkah kaki meng-
hampirinya.
"Sampurasun...," sapa Rangga ramah.
"Rampes...," sahut orang itu.
Sejcnak Rangga mengamati orang itu. Seorang laki-laki
tua bertubuh bungkuk kurus dengan rambut yang sudah
memutih semua. Namun pancaran sinar matanya begitu
tajam. Seikat kayu kering terkepit di ketiaknya.
"Tuan pasti seorang pendekar...," laki-laki tua bungkuk
itu menebak langsung. Rangga hanya tersenyum saja.
"Tuan mencari sesuatu di hutan ini?" tanyanya seperti
menyelidik.
"Mungkin, Ki...," sahut Rangga terputus.
"Panggil saja aku Ki Rumpung. Orang-orang biasanya
memanggilku begitu."
"Ki Rumpung pernah melihat orang-orang berpakaian
hitam di sekitar hutan ini?" tanya Rangga langsung.
"Sering, Tuan."
"Sering...?"
"Ya, mereka adalah pasukan budiman yang selalu mem-
bela rakyat jelata. Aki tidak merasa terganggu, bahkan
mereka sering menolongku mencari kayu bakar atau
memborong semua kayu bakar yang aku peroleh."
"Aki tahu siapa mereka?" kejar Rangga.
"Sudah aku katakan, mereka adalah orang-orang
budiman yang suka membantu siapa saja yang lemah."
"Maksudku, tempat tinggal mereka...," ralat Rangga.
"Untuk apa kau cari mereka? Apakah kau suruhan dari
Kerajaan Limbangan?" Ki Rumpung jadi curiga.
"Bukan, justru aku ingin lebih jelas mengetahui
persoalannya sebelum memutuskan untuk berpihak pada
yang mana, atau sama sekali tidak memihak keduanya,"
Rangga menjelaskan.
"Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti."
"Dari mana kau tahu, Ki?"
"Semua orang sudah tahu, kalau Panglima Lohgender
sedang mencari Pendekar Rajawali Sakti untuk meminta
bantuan. Hm..., sayang sekali kau berada di pihak yang
salah."
Rangga memandangi kakek tua itu semakin tajam.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Rumpung segera berlalu.
Rangga sedikit berkerut keningnya begitu melihat laki-laki
tua itu berjalan seperti tidak menapak tanah saja.
"Hey...!" tiba-tiba Rangga tersentak.
Secepat kilat dia melompat, tapi saat itu juga tubuh laki-
laki tua itu sudah lenyap seperti ditelan bumi. Rangga
mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia baru
menyadari kalau kulit tangan kakek tua itu putih halus
seperti tangan seorang wanita, meskipun wajahnya penuh
keriput. Dan suaranya....
"Aku seperti pernah mendengar suara itu. Tapi di
mana...? Kapan aku mendengar...?" Rangga bertanya-tanya
sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melanjutkan
langkahnya pelan-pelan sambil berpikir terus tentang
kakek tua yang ditemuinya tadi. Kata-kata laki-laki tua itu
menjadikan beban pikirannya saat ini.
"Pasti dia bukan orang sembarangan. Hm..., siapa
dia...?" gumam Rangga dalam hati bertanya-tanya.
***
Rangga kembali berhenti melangkah ketika sampai di
tepi Hutan Tarik ini. Telinganya yang tajam setajam mata
pisau, mendengar suara erangan lirih dari arah semak di
depannya. Hanya dengan satu lompatan saja, Rangga
sudah bisa mencapai semak belukar itu. Matanya mem-
beliak lebar begitu menyaksikan seorang laki-laki ber-
pakaian prajurit Kerajaan Limbangan tengah berusaha
memperkosa seorang wanita.
"Binatang!" geram Rangga.
Buk!
Hanya sekali tendang saja, laki-laki berpakaian prajurit
itu, langsung menggelimpang roboh tak bangun lagi. Dari
mulutnya merembes darah kental kehitaman. Wanita muda
dengan pakaian sudah sobek-sobek di sana sini, langsung
beringsut bangun. Tangannya segera menutupi bagian
dada dan beberapa bagian tubuhnya yang terbuka, tapi ke-
adaan kain dan baju yang koyak, tidak bisa menyembunyi-
kan kulit putih mulus dari pandangan Rangga.
"Kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga.
"Tidak, terima kasih Tuan telah menyelamatkanku,"
sahut wanita itu seraya menyusut air matanya.
"Kenapa kau bisa sampai ke sini?" tanya Rangga melirik
tubuh laki-laki berpakaian prajurit yang menggeletak tak
bernyawa lagi.
Rupanya Rangga tadi menendang dengan mengerahkan
jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sehingga
membuat laki-laki itu langsung tewas tanpa bersuara lagi.
"Aku sedang mencari Ayahku. Katanya prajurit itu tahu
dan mau mengantarkan. Tapi...," wanita itu tidak melanjut-
kan kata-katanya.
"Sudahlah, kau sudah selamat sekarang. Sebaiknya kau
cepat pulang. Di mana rumahmu?"
"Tidak jauh dari sini. Itu dekat bukit batu," wanita itu
menunjuk ke arah Selatan.
Rangga mengarahkan pandangannya ke arah bukit batu
yang tidak jauh dari tepi Hutan Tarik ini. Tampak sebuah
pondok kecil berdiri di antara batu-batu yang menggunung.
Sejak dia berada di sekitar Hutan Tarik ini, sepertinya tidak
ada satu rumah pun di bukit batu itu. Bahkan ketika dia ke
sini tadi pagi, tidak ada pondok di situ.
Belum sempat Rangga menyadari apa yang terjadi,
mendadak dia menoleh menatap wanita itu. Wanita cantik
yang hampir diperkosa itu, melingkarkan tangannya pada
Rangga. Tidak ada rasa ketakutan lagi. Senyumnya malah
mengembang lebar, dan sikapnya manja menggoda.
Rangga melepaskan tangan wanita itu yang memegangi
lengannya. Dia melangkah mundur beberapa tindak.
"Kau telah menyelamatkan aku, Tuan. Sekarang aku
milikmu, kau bisa berbuat apa saja pada diriku," kata
wanita itu.
Rangga memandangi wanita itu dengan penuh selidik.
Hari ini dia menemukan orang-orang yang dirasakan aneh.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terlonjak mundur
begitu matanya melihat satu noda hitam pada leher wanita
itu. Dia pernah melihat noda itu sebelumnya.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga. Wanita itu
tersenyum manis. Mendadak saja tubuhnya berputar
cepat. Semakin lama putarannya semakin cepat, dan
terlihat hanya sebuah bayangan saja.
"Iblis Wajah Seribu...." desis Rangga begitu putaran
tubuh itu terhenti.
Kini di depan Rangga berdiri seorang wanita cantik
mengenakan baju serba kuning. Wajahnya cantik dengan
sekuntum bunga terselip di telinga. Rambutnya panjang
terikat ke depan. Di pinggangnya terselip sebatang pedang
pendek bergagang kepala tengkorak. Dialah Klenting
Kuning atau yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Wajah
Seribu.
"Hebat! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali
Sakti," puji Klenting Kuning mengumbar senyum.
"Untuk apa kau berada di sini, Klenting Kuning?" tanya
Rangga ketus.
"Kau sudah bisa menjawab sendiri, Rangga," sahut
Klenting Kuning kalem.
"O..., jadi kekacauan di Kadipaten Karang Asem, karena
ulahmu...?"
"Aku hanya membela kebenaran."
"Kau bicara kebenaran, kebenaran apa yang kau bela?"
"Hak!"
Tanpa dijelaskan lagi, Rangga sudah bisa mengetahui
maksud kata-kata Klenting Kuning. Dia kini mengerti
kejadian di Kadipaten Karang Asem. Dugaannya sudah
tidak bisa dibantah lagi. Rangga bisa memastikan kalau
Rakapati yang ada di belakang semua peristiwa itu. Dan
alasannya pun sudah pasti, Rakapati ingin merebut
kembali Karang Asem, dan mendirikan Kerajaan Karang
Asem. Sayangnya, maksud baik itu ditunggangi oieh tokoh-
tokoh hitam rimba persilatan, seperti Klenting Kuning ini.
"Kau seorang pendekar yang tangguh dan bijaksana.
Pikirkanlah sebelum kau mengambil keputusan membantu
Panglima Lohgender!" kata Klenting Kuning.
Sebelum Rangga bisa mengeluarkan suara, Klenting
Kuning sudah mencelat pergi. Dalam sekejap mata saja,
wanita yang berjuluk Iblis Wajah Seribu itu sudah hilang
dari pandangan. Beberapa saat lamanya Rangga masih
berdiri mematung memandangi kepergian wanita itu.
Kemudian kakinya terayun melangkah menuju ke
Kadipaten Karang Asem.
Posisi Pendekar Rajawali Sakti kali ini memang sulit. Dia
belum bisa memastikan siapa di antara kedua belah pihak
yang bersalah? Hanya Rangga menyesalkan tindakan
Rakapati yang bersekutu dengan tokoh-tokoh rimba
persilatan golongan hitam. Pendekar Rajawali Sakti itu
terus melangkah pelan-pelan dengan kepala dipenuhi ber-
bagai macam pikiran.
***
Dua bayangan berkelebatan di keheningan malam
menuju ke arah Timur Hutan Tarik. Tepat di tepi sebuah
lembah yang dalam dan lebar, dua sosok tubuh yang ber-
kelebatan itu berhenti. Mereka berdiri tegak memandang
ke dalam lembah itu. Tampak sebuah bangunan besar di-
kelilingi pagar tinggi tebal bagal benteng.
"Kau yakin itu sarang mereka, Pandan?"
"Ya, begitulah keterangan yang aku dapatkan?"
Dua orang yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut itu terdiam sesaat. Mata mereka tak lepas
memandang ke arah lembah itu.
"Hm..., seperti sarang gerombolan perampok," gumam
Rangga setengah berbisik. "Pantas saja sulit ditemukan."
Rangga lalu memandangi keadaan sekitarnya. Daerah di
bagian Timur Hutan Tarik ini memang sulit dicapai.
Benteng itu dikelilingi oleh lembah besar dan dalam
dengan bukit-bukit terjal dan berbatu. Tak satupun terlihat
ada jembatan atau jalan menuju ke lembah itu.
"Dari mana kau peroleh keterangan itu, Pandan?" tanya
Rangga.
"Seseorang yang patut dipercaya," sahut Pandan Wangi.
Rangga menatap gadis di sampingnya.
"Dia mengatakan kalau Rakapati menyusun kekuatan
untuk memberontak, bahkan dia ingin membalas dendam
pada Adipati Prahasta yang telah membunuh ayah
kandungnya," lanjut Pandan Wangi tidak mempedulikan
tatapan Rangga.
"Hm..., jadi benar Rakapati ingin mengembalikan Karang
Asem menjadi sebuah kerajaan," gumam Rangga.
"Ya."
"Kalau begitu permasalahannya, kita tidak perlu ikut
campur dalam masalah ini. Aku tidak tahu, mana yang
benar dan mana yang salah," kata Rangga.
"Lalu, bagaimana dengan permintaan Panglima
Lohgender?" tanya Pandan Wangi tersenyum tipis.
"Aku yang akan mengatakannya nanti, aku harap dia
mau mengerti," sahut Rangga.
Pandan Wangi semakin lebar senyumnya. Dia tidak
menyadari kalau Rangga memperhatikannya sejak tadi.
Senyum Pandan Wangi langsung hilang ketika mereka
mendengar suara gemerisik di belakang.
Belum lagi mereka dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba dari
balik semak dan pepohonan bermunculan tubuh-tubuh ter-
balut kain hitam. Jumlah mereka tidak kurang dari dua
puluh orang. Semuanya menghunus senjata berupa golok
panjang yang besar dan berkilat. Tanpa bicara apa pun,
mereka langsung menyerang.
"Hati-hati, Pandan...!" seru Rangga seraya melenting
menghindari tebasan golok orang berbaju hitam itu.
Tidak kurang dari sepuluh orang langsung mengeroyok
Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga tidak sempat lagi
memperhatikan Pandan Wangi. Dia sibuk menghindar
setiap serangan yang datang bagai hujan. Silih berganti
tanpa henti, seakan-akan tidak memberikan kesempatan
padanya untuk membalas.
"Sial! Aku harus menggunakan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'!" dengus Rangga dalam hati.
Seketika itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Sayap
Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya segera ter-
bentang lebar ke samping. Saat itu juga dia bergerak cepat
mengibas-ngibaskan kedua tangannya bagai sayap seekor
burung rajawali.
"Aaakh...!"
Satu jeritan melengking terdengar ketika tangan Rangga
menghajar kepala penyerangnya. Belum lagi hilang suara
jeritan itu, datang tagi jeritan lainnya, disusul rubuhnya
sesosok tubuh hitam dengan kepala pecah.
"Heh! Di mana Pandan...?!" Rangga tersentak kaget
ketika dia sempat melirik ke arah Pandan Wangi tadi
berada.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak lagi melihat Pandan
Wangi. Bahkan ketika dia berhasil menjatuhkan satu lawan
lagi, terdengar suara siulan panjang melengking tinggi.
Seketika itu juga orang-orang berpakaian hitam yang
mengeroyoknya langsung berlompatan, lenyap di balik
kegelapan dan kelebatan hutan ini.
"Pandan...!" teriak Rangga keras.
Tak ada sahutan sama sekali, hanya gema suaranya
saja yang kembali terdengar memantul. Rangga mengedar-
kan pandangannya berkeliling. Suasana di sekitar tempat
ini sunyi sepi. Tak seorangpun terlihat. Hanya tiga sosok
mayat saja yang menggeletak dekat kakinya.
"Aneh...," desis Rangga pelan.
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi melangkah.
Telinganya yang tajam langsung mendengar suara langkah-
langkah kaki yang mengusik semak dan daun-daun kering.
Rangga langsung bersiaga menghadapi segala kemung-
kinan.
"Oh...!"
***
"Kebetulan sekali bertemu di sini," kata Arya Duta yang
datang bersama dengan Balungpati dan Welut Putih.
Rangga tidak mempedulikan kata-kata Arya Duta.
Pandangannya lurus menatap Pandan Wangi yang datang
bersama ketiga laki-laki itu. Baru saja Pandan Wangi ber-
samanya, dan hilang ketika dia dikeroyok sepuluh orang
berpakaian hitam. Kini gadis itu datang bersama Arya Duta
dan kedua pendampingnya dari Kadipaten Karang Asem.
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Kakang?" tanya
Pandan Wangi jengah.
"Oh, tidak..," Rangga langsung mengalihkan perhatian-
nya pada Arya Duta.
"Sejak pagi tadi kau tidak kelihatan, Pendekar Rajawali
Sakti. Nini Pandan Wangi cemas, dan memintaku untuk
mencarimu," kata Arya Duta.
"Hm...." Rangga hanya bergumam tak jelas.
"Kebetulan ada seseorang yang melihatmu di hutan ini,
dan kami langsung mencarimu ke sini," sambung Balung-
pati.
"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya
Rangga.
"Kami mendengar suara pertarungan tadi," Arya Duta
melirik tiga mayat di dekat kaki Rangga.
Rangga memandang tiga sosok mayat itu sejenak, lalu
perhatiannya mengarah pada lembah, di mana berdiri
sebuah bangunan besar bagai benteng. Arya Duta, Balung-
pati, Welut Putih dan Pandan Wangi juga meng-arahkan
pandangan yang sama. Sesaat kemudian mereka saling
berpandangan.
"Apakah itu sarang gerombolan pengacau?" tanya Arya
Duta.
"Mungkin," sahut Rangga pelan, hampir tidak terdengar
suaranya.
"Hal ini harus segera dilaporkan pada Panglima
Lohgender," sambung Balungpati.
"Benar, Ayahanda Lohgender memang sedang me-
nunggumu juga, Tuan Pendekar," kata Arya Duta.
Rangga tidak menyahuti. Ia masih disibukkan dengan
kejadian-kejadian yang dialaminya sejak pagi sampai
malam ini. Kemunculan Iblis Wajah Seribu memang bisa
memusingkan kepala. Wanita cantik yang sebenarnya ber-
nama Klenting Kuning itu bisa merubah-rubah wajah-nya.
Barusan saja Rangga kembali terkecoh, dan terjebak
sampai ke sini. Dia yakin kalau yang bersamanya tadi
adalah si Iblis Wajah Seribu yang menyamar jadi Pandan
Wangi. Rangga melangkah tanpa bicara lagi. Tangannya
sempat menarik tangan Pandan Wangi. Sementara Arya
Duta, Balungpati dan Welut Putih mengiringi di belakang.
"Kau ada di penginapan sore tadi, Pandan?" tanya
Rangga setengah berbisik.
"Tidak, aku ada di Kadipaten Karang Asem bersama
Panglima Lohgender," sahut Pandan Wangi.
Rangga terdiam, tidak bertanya lagi. Jelas sudah kalau
yang ditemuinya di penginapan tadi sore bukanlah Pandan
Wangi, melainkan si Iblis Wajah Seribu. Dan yang meng-
ajaknya kembali ke hutan ini sudah tentu si wanita iblis itu.
Rangga mengumpat dalam hati karena tidak bisa mem-
bedakan, dan selalu terkecoh dengan penyamaran
Klenting Kuning yang begitu sempurna.
"Hm..., aku tidak boleh lengah. Aku harus
memperhatikan leher setiap orang," gumam Rangga dalam
hati.
Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau noda
pada leher Klenting Kuning tidak bisa hilang, meskipun dia
bisa merubah wajah seribu kali. Tanda itulah satu-satunya
yang menjadi patokan Rangga. Tapi memang sulit, karena
noda itu letaknya agak tersembunyi, dan bisa ditutupi
dengan rambut.
***
Panglima Lohgender menyambut kedatangan Rangga
dan Pandan Wangi yang diiringi oleh Arya Duta, Balungpati
dan Welut Putih di depan pintu benteng penjara yang tinggi
dan kokoh. Mereka kemudian masuk ke salah satu
ruangan pengap yang hanya diterangi sebuah pelita kecil.
Cuma Arya Duta yang ikut masuk, sedangkan Balungpati
dan Welut Putih berjaga di depan pintu yang tertutup rapat.
Pandan Wangi menyipitkan matanya ketika seorang
lelaki muda yang tangan dan kakinya terikat rantai besi di
dinding ruangan. Keadaannya tampak begitu payah,
seluruh tubuhnya jelas menampakkan luka bekas
cambukan pecut yang menggaris merah. Darah kering
menutupi hampir seluruh tubuhnya yang biru lebam.
Gadis itu bergidik merasa ngeri begitu menyadari
mereka tengah berada di ruang penyiksaan. Dinding-
dinding batu dipenuhi dengan rantai rantai yang bergayut
dan darah kering yang mengotori. Di salah satu sudut,
tampak sebuah lubang besar dengan sebuah tiang ber-
bentuk palang pintu di atasnya. Seuntai tambang men-
juntai melintang di palang tiang. Pandan Wangi tak kuasa
lama memandangi lubang besar yang penuh ular berbisa.
Meskipun dia seorang gadis pendekar, tapi ngeri juga
melihat berbagai macam alat penyiksaan itu. Pandan
Wangi langsung mengalihkan perhatiannya, dia tidak tega
melihat sesosok tubuh tergantung yang sudah tidak utuh
lagi, habis sudah disantap ular-ular lapar.
"Kakang...," bisik Pandan Wangi. Tangannya memeluk
tangan kanan Rangga tanpa disadari.
"Ada keperluan apa Tuan Panglima memanggilku?"
tanya Rangga setelah berbisik pada Pandan Wangi agar
tenang.
"Lihat orang itu, Kisanak. Dialah salah seorang
pengacau yang membuat resah Kadipaten Karang Asem,"
Panglima Lohgender menunjuk orang yang terikat di
dinding.
Rangga tak bergeming untuk melihatnya. Matanya tetap
tertuju pada Panglima Lohgender yang didampingi Arya
Duta
"Orang itu sudah mengakui semuanya, bahwa
gerombolan mereka adalah gerombolan perampok yang
terdiri dari orang-orang rimba persilatan yang sangat tinggi
ilmunya. Dan yang terpenting lagi, sarang mereka ada di
Hutan Tarik," Panglima Lohgender menjelaskan. Nada
suaranya terdengar bangga.
"Lalu, apa maksud Tuan Panglima mengundangku ke
sini?" tanya Rangga.
"Aku ingin meminta kesediaanmu menumpas
gerombolan pengacau itu. Kau seorang pendekar pilih
tanding yang sulit dicari bandingannya."
“Tuan Panglima percaya dengan keterangan itu?"
Pandan Wangi ikut bertanya.
"Dia memberikan pengakuan setelah merasakan pedih-
nya penyiksaan," sahut Panglima Lohgender.
"Apakah dia penduduk Kadipaten Karang Asem?" tanya
Pandan Wangi lagi.
"Aku tidak tahu. Yang jelas dia salah satu dari pengacau-
pengacau itu. Dia tertangkap saat hendak membunuh se-
orang bendahara kadipaten. Hm..., untung Arya Duta cepat
mengetahui dan berhasil menangkapnya hidup-hidup,
meski sayang, dua orang lainnya tewas."
“Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta
pendapat.
"Sebaiknya Paman Balungpati diminta mengenali orang
ini. Dia kan penduduk asli dari Karang Asem ini, paling
tidak dia bisa memastikan apakah orang itu penduduk
Karang Asem atau bukan," kata Rangga tanpa mem-
pedulikan pertanyaan Pandan Wangi.
"Balungpati...!" teriak Panglima Lohgender.
Yang dipanggil segera masuk.
"Kau kenal dengan orang ini?" Panglima Lohgender
mengangkat muka orang yang terikat rantai itu dengan
ujung tongkatnya.
"Akh...!" Balungpati nampak terkejut. Wajahnya seketika
memucat. Matanya tak berkedip menatap orang yang
berwajah biru lebam di depannya.
"Kau kenal dia, Balungpati?" desak Panglima Lohgender.
"Dia..., dia...," Balungpati seperti tercekat suaranya di
tenggorokan.
"Siapa dia. Balungpati?"
"Dia Karman, Gusti Panglima. Salah seorang prajurit
Kadipaten Karang Asem yang ditugaskan mengawal Gusti
Ayu Puspa Lukita dan Gusti Rakapati ke Kadipaten
Sedana," suara Balungpati terdengar gagap.
"Lihat sekali lagi, Paman. Mungkin Paman salah lihat."
kata Arya Duta tidak percaya.
"Benar, Gusti. Dia Karman Prajurit kadipaten ini," sahut
Balungpati yakin.
"Baiklah, Balungpati. Kau boleh ke luar," desah
Panglima Lohgender.
Balungpati memberi hormat, lalu berbalik dan me-
langkah ke luar. Pintu segera ditutup kembali oleh Arya
Duta. Raut wajah Panglima Lohgender berubah begitu
mendengar penuturan Balungpati. Sama sekali dia tidak
menduga kalau orang yang telah disiksanya itu salah se-
orang prajurit pengawal yang ditugaskan ke Kadipaten
Sedana.
Panglima Lohgender lalu teringat pembicaraannya
dengan Pendekar Rajawali Sakti di balai agung kadipaten.
Dia terpaksa mengakui dugaan pendekar itu yang semula
tak ditanggapinya dengan serius. Dia memang tak
mengenali satu per satu prajurit kadipaten yang merupa-
kan salah satu kadipaten dari Kerajaan Limbangan.
"Arya Duta, siapkan seluruh prajurit. Berangkat malam
ini juga ke Hutan Tarik!" perintah Panglima Lohgender.
"Tunggu dulu!" cegah Rangga sebelum Arya Duta sempat
melangkah.
Panglima Lohgender dan Arya Duta memandang
Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Apakah Tuan Panglima yakin kalau mereka ada di
hutan itu?" tanya Rangga.
"Telik sandi yang kusebar ke sana sudah mengetahui
letak sarang mereka dengan pasti. Dan aku sudah men-
dapat laporannya sore tadi," sahut Panglima Lohgender.
Rangga yang mulutnya sudah terbuka hendak berucap
lagi, jadi mendengus karena Panglima Lohgender sudah
memerintahkan Arya Duta untuk segera melakukan
perintahnya. Arya Duta segera berlalu. Panglima Lohgender
memandang ke arah Rangga dan Pandan Wangi sesaat,
lalu beranjak ke luar dari ruangan pengap ini.
Rangga langsung menarik tangan Pendan Wangi ke luar
dari ruangan pengap berbau tidak sedap itu. Mereka
sejenak berdiri di depan pintu memandang kepergian
empat ekor kuda yang dipacu cepat menuju kembali ke
kadipatenan. Saat kedua pendekar itu hendak melangkah
pergi, tiba-tiba salah seekor kuda itu berbalik dan meng-
hampiri dengan cepat. Welut Putih langsung melompat
turun begitu sampai di depan kedua pendekar itu.
"Gusti Panglima meminta Tuan dan Nini Pendekar mau
ikut serta ke Hutan Tarik," kata Welut Putih.
"Baiklah, aku menyusul nanti." sahut Rangga.
"Akan kusampaikan."
Welut Putih langsung melompat naik kembali ke
punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda itu.
Bagai anak panah lepas dari busur, kuda itu melesat cepat
meninggalkan Rangga dan Pandan Wangi. Saat itu dua
orang prajurit kadipaten datang, dan langsung berjaga-jaga
di depan pintu penjara.
"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga Tanpa banyak
bicara lagi, Rangga dan Pandan Wangi mencelat cepat.
Dalam sekejap saja hilang dari pandangan mata.
"Edan! Orang apa dewa...?" dengus salah seorang
penjaga.
"Tolol! Namanya juga pendekar!" sergah seorang
penjaga lainnya.
"Hebat, ya...?!"
***
Hutan Tarik yang semula sunyi senyap, kini tampak
dipenuhi ratusan prajurit yang mengepung lembah yang
mengelilingi benteng kokoh di seberangnya. Beberapa
prajurit terlihat sibuk membuat jembatan dari bambu yang
disambung-sambung sampai menjangkau seberang
lembah sana.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya menyaksi-
kan saja. Rangga melihat benteng itu sama persis dengan
yang pernah dilihatnya di sebelah Timur Hutan Tarik ini,
hanya bedanya, yang sekarang berada di sebelah Barat
hutan ini. Dan letak benteng itu juga ada di seberang
lembah, bukannya berada di dasar lembah.
Sementara itu sepuluh jembatan bambu sudah hampir
terpasang. Dan kelihatannya cukup kuat untuk dilintasi dua
puluh orang prajurit sekaligus. Panglima Lohgender yang
didampingi Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih, tampak
berdiri tegap memandang ke arah benteng di seberang
sana.
"Kau lihat ada perbedaan pada benteng itu, Pandan?"
tanya Rangga.
"Ya," sahut Pandan Wangi. “Tidak seperti kemarin
malam."
"Aku tidak tahu, benteng mana yang asli," gumam
Rangga.
"Serang...!" tiba-tiba terdengar perintah teriakan lantang
dari Panglima Lohgender.
Pekik peperangan langsung menggema, disusul dengan
berlariannya para prajurit melintasi jembatan bambu yang
bergoyang goyang. Pasukan panah juga langsung beraksi
memuntahkan anak-anak panah menghujani benteng itu.
Arya Duta melenting tinggi bagai burung melompati
lembah, lalu dengan manis mendarat di seberang.
Kemudian tubuhnya kembali melenting melewati pagar
benteng. Tak lama kemudian dia keluar sambil melenting-
kan tubuhnya menyeberangi lembah. Dia langsung men-
darat tepat di depan Panglima Lohgender.
"Kosong! Benteng itu kosong!" seru Arya Duta
melaporkan.
"Apa ...?!"Panglima Lohgender tampak kaget tak
percaya.
"Benteng itu kosong," Arya Duta mengulangi.
"Berhenti...!" teriak Panglima Lohgender seketika.
Seketika itu juga semua prajurit menghentikan aksinya.
Sebagian lagi prajurit ke luar dari dalam benteng. Mereka
langsung kembali menyeberangi lembah itu.
"Setan!" geram Panglima Lohgender.
Wajah panglima itu merah padam. Gerahamnya ber-
gemeletuk menahan geram. Dia merasa dirinya tengah di-
permainkan mentah-mentah. Sementara semua prajurit
sudah kembali dari seberang lembah. Mereka menunggu
perintah selanjutnya.
"Balungpati, Welut Putih!"
"Hamba, Gusti," sahut Balungpati dan Welut Putih ber-
barengan.
"Bawa separuh prajurit ke kadipaten!" perintah Panglima
Lohgender.
"Hamba laksanakan segera, Gusti Panglima."
Balungpati dan Welut Putih langsung menjalankan
perintah itu. Mereka membawa tidak kurang dari tiga ratus
orang prajurit untuk kembali ke Kadipaten Karang Asem.
"Arya Duta!"
"Ya, Ayahanda."
"Bawa seratus prajurit, geledah seluruh hutan ini!"
Arya Duta juga tidak membantah. Dia segera membawa
seratus orang prajurit pilihan untuk menggeledah hutan ini.
Panglima Lohgender menghampiri Pendekar Rajawali Sakti
dan Pandan Wangi yang masih tetap berdiri tak bergeming
dari tempatnya. Wajah Panglima itu kelihatan tegang dan
menahan geram yang amat sangat.
"Sebaiknya Panglima kembali ke kadipaten," kata
Rangga mendahului sebelum Panglima Lohgender
membuka suara.
"Hm...," Panglima Lohgender hanya bergumam.
"Benar, Panglima. Aku merasa mereka sengaja men-
dahului dan merebut Kadipaten Karang Asem di saat
kosong," sambung Pandan Wangi.
"Pasti ada orang yang berkhianat!" dengus Panglima
Lohgender geram.
"Ayo, Pandan. Kita pergi sekarang," ajak Rangga
Pandan Wangi menurut saja. Mereka langsung
melompat dan lenyap di balik kerimbunan pepohonan.
Panglima Lohgender segera memerintahkan sisa pasukan-
nya untuk kembali ke Kadipaten Karang Asem. Kata-kata
kedua pendekar itu menjadi pertimbangannya juga.
Memang ada kemungkinan para gerombolan pengacau itu
mendahului di saat seluruh pasukan berada di Hutan Tarik.
ENAM
Rangga tidak langsung kembali ke Kadipaten Karang
Asem. Dia mengajak Pandan Wangi untuk melihat benteng
yang sama persis di sebelah Timur Hutan Tarik ini. Keada-
an hutan yang banyak lembah dan bukitnya memang sulit
untuk dikenali bagian-bagiannya. Pendekar Rajawali Sakti
itu tertegun sejenak memandang ke dasar lembah di
depannya.
Tampak benteng yang kemarin malam dia lihat, kini
sudah jadi puing-pulng. Asap tipis masih mengepul dari
bara api. Seluruh bangunan benteng itu hangus terbakar.
Tapi anehnya, tidak ada satu mayat pun yang kelihatan.
Rangga memandang Pandan Wangi yang berdiri di
sebelahnya. Gadis itu juga memandang padanya.
"Mereka pasti sudah ada di Kadipaten Karang Asem
sekarang," kata Pandan Wangi.
"Hebat! Ini pasti pekerjaan Iblis Wajah Seribu," gumam
Rangga memuji.
"lblis Wajah Seribu...?!" Pandan Wangi mendelik kaget.
"Ya. beberapa kali aku sempat terkecoh. Kemarin
malam pun aku dikecoh hingga sampai ke sini," Rangga
mengakui.
"Jadi...!?"
"Dia menyamar jadi dirimu."
"Iblis!" geram Pandan Wangi.
Sesaat mereka diam merenung.
"Aku harus membunuh perempuan iblis itu, Kakang!"
tekad Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia tidak mengecilkan
kepandaian Pandan Wangi. Tapi Iblis Wajah Seribu bukan-
lah tandingan gadis itu. Selain bisa merubah wajahnya,
Iblis Wajah Seribu juga sangat tinggi tingkat kepandaian-
nya.
"Ayo, Kakang. Kita harus segera ke Kadipaten Karang
Asem!" ajak Pandan Wangi.
"Tunggu..!" sentak Rangga tiba-tiba.
Pada saat itu, muncul Arya Duta dengan tergopoh-
gopoh. Pakaiannya compang camping. Pemuda itu
langsung terjatuh begitu sampai di depan Rangga dan
Pandan Wangi. Rangga segera membantu Arya Duta
berdiri.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Tolong, pasukanku habis terbantai di tepi hutan..,"
sahut Arya Duta tersendat-sendat.
Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi. Tanpa bicara
lagi, gadis itu segera melompat cepat meninggalkan kedua
pemuda itu. Rangga langsung mengikuti. Tapi....
"Pandan, tunggu!" teriak Rangga keras.
Pandan Wangi langsung menghentikan larinya.
"Cepat kembali!" seru Rangga.
Secepat kilat, Rangga melompat ke tepi lembah di
sebelah Timur Hutan Tarik. Pandan Wangi yang sempat
kebingungan, langsung mengikuti. Mereka terperanjat,
karena Arya Duta yang ditinggalkan, kini sudah tidak ada
lagi. Sesaat mereka berpandangan.
"Sial! Iblis itu mengecohkan kita!" umpat Rangga.
Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat.
"Ayo, kita langsung ke kadipaten. Dia pasti sengaja mau
menghambat perjalanan kita!" kata Rangga.
Kedua pendekar itu segera melompat dengan mem-
pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja tubuh
mereka sudah lenyap seperti ditelan bumi. Sementara itu
dari balik pohon besar, muncul seorang wanita cantik
dengan mengenakan baju kuning. Di tangannya ter-
genggam selembar pakaian lusuh compang-camping.
Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu melenting ke arah
mana kedua pendekar itu pergi.
***
Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Rakapati
berhasil melumpuhkan pertahanan kadipaten, termasuk
Braja Duta yang tewas setelah cukup lama bertahan meng-
hadapi pasukan kepercayaan Rakapati.
Setelah itu Rakapati menerobos masuk ke dalam
bangunan utama kadipaten. Wajahnya menegang begitu
pintu sebuah kamar berhasil didobrak. Tampak, Adipati
Prahasta duduk tenang di tengah-tengah ruangan
pribadinya. Rakapati mengayunkan langkahnya mendekati
adipati itu yang juga ayah tirinya.
"Aku sudah menduga, kau yang ada di belakang semua
kejadian ini," kata Adipati Prahasta pelan dan datar
suaranya.
"Karang Asem sudah aku kuasai, dan sebentar lagi
Kerajaan Karang Asem akan berdiri kembali. Akulah Raja
Karang Asem yang syah! Dan kau, Prahasta, kau harus
mati di tiang gantungan seperti penjahat!" dingin dan
kedengaran tertekan suara Rakapati.
Rakapati menggerakkan tangannya. Dua orang ber-
pakaian serba hitam segera masuk. Tanpa menunggu
perintah lagi, mereka langsung meringkus Adipati Prahasta.
Laki-laki gemuk itu tidak sedikitpun memberikan per-
lawanan. Tangan dan tubuhnya diikat tambang.
Baru saja Rakapati hendak menghampiri Adipati
Prahasta, tiba-tiba seorang berpakaian hitam lainnya
datang. Dia berbisik di telinga Rakapati. Sesaat Rakapati
memandang ke arah Adipati Prahasta, kemudian dia
menoleh pada orang yang berbisik di telinganya tadi.
"Suruh dia tunggu di Balai Agung," kata Rakapati.
Rakapati kemudian memerintahkan beberapa orang
untuk menjaga Adipati Prahasta. Kemudian dia bergegas
ke luar kamar itu. Langkahnya lebar-lebar dan terburu-buru
menuju ke Balai Agung. Dia tidak menoleh sedikitpun saat
memasuki ruangan besar yang indah itu. Rakapati
langsung menuju ke kursi yang letaknya tinggi dengan
ukiran berlapiskan emas. Dia duduk di kursi itu dengan
sikap agung bagai seorang raja besar. Sesaat matanya
merayapi sekitarnya, kemudian pandangannya menatap
pada dua laki-laki yang duduk bersimpuh di depannya.
Kedua orang laki-laki itu adalah Balungpati dan Welut
Putih.
Balungpati dan Welut Putih memberikan sembah
hormat. Rakapati mengangkat tangannya sedikit. Di
belakang Balungpati dan Welut Putih, duduk empat orang
berpakaian serba hitam. Mereka adalah Setan Cakar
Racun, Iblis Kembar Teluk Naga dan Perempuan Iblis
Peminum Darah. Rakapati tersenyum lebar penuh
kemenangan. Dia berhasil menguasai Kadipaten Karang
Asem tanpa perlawanan yang berarti. Pasukannya terlalu
tangguh bagi para pengawal kadipaten, sehingga dengan
mudah dapat ditundukkan
"Hamba membawa sekitar tiga ratus orang prajurit
Gusti." kata Balungpati sambil menyembah.
"Hm, bagus!" dengus Rakapati gembira. "Apakah mereka
akan setia padaku?"
"Mereka orang-orang pilihan hamba. Dan sebagian
besar adalah murid-murid dari Welut Putih," Balungpati
menoleh pada Welut Putih yang duduk di sampingnya.
"Benar, Gusti. Hamba sudah lama sekali menunggu
kesempatan ini. Hamba dan Kakang Balungpati memang
sengaja menjadi prajurit di Kadipaten Karang Asem ini.
Hamba selalu berharap dan mempersiapkan para pemuda
dan prajurit-prajurit yang setia pada junjungan Gusti Prabu
Sirandana. Mereka semua dapat diandalkan, Gusti. Hamba
sendiri yang melatih mereka semua," kata Welut Putih
menjelaskan.
"Terima kasih. Aku terharu sekali dengan kesetiaan
Paman berdua. Maaf, kalau aku sempat mencurigai kalian
dan membenci karena kalian mengabdi pada musuh,"
Rakapati bersikap berjiwa besar. "Aku janji, tidak akan
melupakan jasa-jasa kalian yang telah banyak memberikan
keterangan berharga padaku."
Balungpati dan Welut Putih segera memberi hormat.
"Nah, mulai sekarang, aku serahkan kepemimpinan
prajurit pada paman berdua." kata Rakapati.
"Hamba laksanakan, Gusti." sahut Balungpati dan Welut
Putih berbarengan.
"Atur penjagaan, dan sapu bersih setiap prajurit
Limbangan yang ditemui."
Balungpati dan Welut Putih kembali memberikan
sembah. Kemudian mereka beringsut pergi dari ruangan
besar itu. Rakapati memandangi empat orang berpakaian
serba hitam yang masih duduk bersimpuh di lantai. Mereka
segera berdiri dan mengambil tempat duduk di kursi yang
berjajar rapi di depan Rakapati duduk.
"Aku minta kalian semua masih tetap tinggal di sini
untuk beberapa saat. Aku khawatir Panglima Lohgender
dan Arya Duta menyerang ke sini. Mereka harus mati, juga
semua prajurit Limbangan harus mati." kata Rakapati.
"Jangan khawatir, tanpa prajurit pun aku sanggup
menghabiskan mereka," kata Naga Hitam, salah satu dari
Iblis Kembar Teluk Naga.
"Aku percaya, kalian adalah tokoh-tokoh sakti pilih
tanding. Tapi jangan anggap remeh Panglima Lohgender.
Dia juga sukar dicari tandingannya."
"Serahkan dia padaku!" Perempuan Iblis Peminum
Darah menepuk dada sambil terkekeh.
Rakapati tersenyum senang. Kemudian dia bangkit
berdiri, dan meninggalkan ruangan itu. Empat orang tokoh
hitam rimba persilatan itu segera angkat kaki.
Mereka membuka baju hitam yang dikenakan, dan
membuangnya begitu saja. Mereka memang lebih senang
mengenakan pakaian yang sudah menjadi ciri khas mereka
sendiri-sendiri.
***
Panglima Lohgender yang sudah bergabung dengan Arya
Duta, tiba di perbatasan Kadipaten Karang Asem dengan
Hutan Tarik. Hampir enam ratus orang prajurit mengikuti
dari belakang. Mereka terus bergerak langsung menuju
kediaman Adipati Prahasta. Panglima Lohgender merasa-
kan suatu keanehan. Sepanjang jalan yang dilalui tampak
sepi. Tak seorang penduduk pun dijumpai. Semua rumah
tertutup rapat Arya Duta juga merasakan hal yang sama.
Arya Duta mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia me-
lompat dari punggung kudanya diikuti para prajurit yang
berada di belakangnya. Keadaan ganjil ini membuat Arya
Duta dan Panglima Lohgender bersikap lebih waspada.
Panglima Lohgender memerintahkan sepuluh prajurit
untuk memeriksa keadaan. Namun baru saja mereka me-
langkah beberapa depa, puluhan anak panah meluncur
dengan cepat ke arah mereka, hingga tak ayal lagi tubuh-
tubuh mereka roboh satu per satu dengan jeritan tertahan.
"Setan!" geram Arya Duta melihat sepuluh orang
prajuritnya langsung tewas tertembus anak panah.
Seketika itu juga dari balik pepohonan dan rumah-
rumah penduduk serta gerumbul semak belukar, ber-
munculan orang-orang berpakaian serba hitam. Mereka
berlompatan dan berlarian menyerang.
"Serang...!" teriak Arya Duta keras.
Pertempuran tak dapat dihindari. Para prajurit Kerajaan
Limbangan bertempur bagai singa lapar dan terluka. Setiap
tebasan pedang atau hunjaman tombak, selalu meminta
nyawa. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur jadi
satu. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan tak
tentu arah. Dekat perbatasan Kadipaten Karang Asem
berubah jadi ajang pertempuran. Denting senjata dan
desingan anak panah hiruk pikuk membelah udara. Tak
terhitung lagi, berapa korban yang jatuh di kedua belah
pihak.
"Welut Putih!" Arya Duta tersentak melihat Welut Putih
datang dan langsung menyerang para prajurit Kerajaan
Limbangan.
Arya Duta melentingkan tubuhnya ke arah Welut Putih.
Pedangnya langsung berkelebat dengan cepat Welut Putih
terperangah sejenak, langsung dia melompat menghindari
tebasan pedang Arya Duta. Mereka berhadapan saling
tatap dengan sinar mata merah membara.
"Pengkhianat!" geram Arya Duta.
"Hhh! Kau lupa, Arya Duta. Aku putra Karang Asem,"
balas Welut Putih mendesis.
"Seharusnya sejak semula aku mencurigaimu, Welut
Putih."
"Terlambat, karena sebentar lagi kau akan mampus!
Juga seluruh prajuritmu!"
"Setan! Kubunuh kau, pengkhianat!" geram Arya Duta.
Arya Duta langsung menerjang dengan garang.
Pedangnya berkelebatan cepat mengurung tubuh Welut
Putih. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, keduanya telah
mengerahkan puluhan jurus andalannya. Saat memasuki
jurus ketiga puluh, tampak Welut Putih kelihatan mulai ter-
desak. Welut Putih memang bukan tandingan Arya Duta.
Dia bisa berbangga di Kadipaten Karang Asem, tapi tingkat
kepandaiannya masih berada di bawah anak angkat
Panglima Kerajaan Limbangan itu.
"Mampus kau..!" bentak Arya Duta tiba-tiba.
Seketika kakinya melayang mengarah ke dada Welut
Putih yang sedikit lowong. Welut Putih menangkis dengan
mengibaskan senjatanya, namun rupanya tendangan itu
hanyalah tipuan belaka, karena Arya Duta segera menarik
kakinya dibarengi dengan kibasan pedang ke arah leher.
Crash!
"Aaakh...!" Welut Putih mengerang panjang.
Darah langsung muncrat dari leher yang terbabat
menganga lebar, lalu tubuh itu tersuruk jatuh ke tanah.
Sebentar menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi.
Welut Putih mati mengenaskan oleh tebasan pedang orang
yang pernah menghormatinya dengan panggilan paman.
"Manusia busuk, aku lawanmu!"
Terdengar bentakan keras disertai pengerahan tenaga
dalam. Arya Duta langsung menoleh dan melompat ke luar
dari arena pertarungannya dengan Welut Putih tadi. Ludah-
nya menyembur begitu melihat seorang laki-laki tua ber-
jubah-hitam. Tubuhnya kurus kering, tinggi bagai galah
bambu. Dialah si Setan Cakar Racun.
"He... he... he ... seharusnya aku serahkan pada Iblis
Wajah Seribu dia pasti senang padamu." Setan Cakar
Racun terkekeh melihat ketampanan wajah Arya Duta.
"Phuih! Jangan banyak bacot kau iblis! Majulah, kalau
kau mau merasakan pedangku!" dengus Arya Duta.
Satu bayangan kuning tiba-tiba saja meluncur, dan men-
dadak sudah berdiri di samping Setan Cakar Racun se-
orang perempuan cantik mengenakan baju kuning dengan
bunga terselip di telinganya. Baju yang ketat, membentuk
tubuh ramping indah, membuat mata Arya Duta tak sempat
berkedip memandangnya.
"Ah, baru ternat di hatiku, kau sudah datang." sambut
Setan Cakar Racun menyeringai melihat Klenting Kuning
atau Iblis Wajah Seribu sudah berdiri di sampingnya.
"Terima kasih, kau tahu benar seleraku," sahut Klenting
Kuning tersenyum manis.
Klenting Kuning menatap Arya Duta tak berkedip. Wajah
tampan itu membuat seleranya bangkit penuh gejolak.
Beberapa kali Klenting Kuning menelan ludahnya sendiri.
Dia memang selalu bergairah jika melihat pemuda tampan,
apalagi yang memiliki tingkal kepandaian tinggi, gairahnya
langsung bangkit seketika.
"Aku tinggal dulu, Manis. Bersenang-senanglah kalian."
kata Setan Cakar Racun langsung mencelat pergi. Suara
terkekeh terdengar dari mulutnya yang tipis kecil.
"Hm..., siapa namamu, bocah bagus?" tanya Klenting
Kuning lembut sambil mengulas senyum menggoda.
"Jangan coba-coba merayuku, perempuan iblis!" dengus
Arya Duta. "Aku tidak peduli dengan kecantikan wajahmu,
siapa saja yang berada di belakang Rakapati, harus
mampus di ujung pedangku!"
"Ha... ha... ha...," Klenting Kuning tertawa renyah. "Aku
suka pemuda tampan sepertimu "
"Phuih!"
Arya Duta langsung berteriak nyaring melengking.
Tubuhnya melenting tinggi ke udara, lalu dengan cepat
menukik sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali.
Klenting Kuning hanya memekik manja, dia memiringkan
tubuhnya sedikit hingga pedang Arya Duta hanya
menyambar angin.
Klenting Kuning masih menyunggingkan senyuman
manis menggoda. Gerakan tubuhnya amat gemulai. Dia
seolah menganggap remeh lawannya. Meskipun begitu,
belum sedikitpun ujung pedang Arya Duta menyentuh
ujung rambutnya. Setiap kali pedang Arya Duta berkelebat
cepat. Klenting Kuning hanya berkelit sedikit dengan
gerakan lemah gemulai. Tanpa terasa, pertarungan sudah
berlangsung lebih dari sepuluh jurus.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Arya Duta berteriak nyaring. Sambil
melompat, dia mengibaskan pedangnya dengan cepat.
Klenting Kuning memekik manja, dia segera mundur, dan
kibasan pedang Arya Duta kembali menemui tempat
kosong. Pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas,
seketika tangan Klenting Kuning mendorong ke arah tubuh
pemuda itu. Seberkas sinar kehijauan meluncur deras.
"Akh!" Arya Duta memekik tertahan.
Tanpa dapat dicegah lagi. Jarum hijau yang dilepaskan
Klenting Kuning menembus dadanya. Arya Duta langsung
jatuh roboh tak berkutik. Tubuhnya serasa lemas tak ber-
tenaga. Klenting Kuning semakin lebar senyumnya. Dia
melangkah menghampiri tubuh pemuda itu. Hanya dengan
sekali angkat saja, tubuh Arya Duta sudah berada di dalam
kempitannya.
"Kita akan bersenang-senang dulu, bocah bagus," kata
Klenting Kuning seraya mencelat kabur.
"Arya Duta...!" seru Panglima Lohgender.
Panglima Kerajaan Limbangan itu segera melompat
hendak menyerang, namun beberapa orang berpakaian
serba hitam sudah lebih dulu menghadangnya. Terpaksa
Panglima Lohgender harus melayani para penyerangnya.
Perhatiannya pada Arya Duta jadi terganggu.
***
Saat itu Rangga dan Pandan Wangi sudah tiba di
Kadipaten Karang Asem. Mereka terkejut melihat per-
tempuran sudah berjalan sengit. Tampak Panglima
Lohgender bertarung bagai banteng teriuka sambil ber-
teriak-teriak memberi semangat pada para prajuritnya.
Rangga menahan tangan Pandan Wangi yang mau terjun
ke kancah pertempuran.
"Ingat, Pandan. Jangan campuri urusan mereka. Kita
baru terjun kalau ada tokoh rimba persilatan ikut campur,"
kata Rangga.
Belum juga Pandan Wangi membuka mulut, matanya
langsung menangkap dua orang laki-laki kembar ber-
kelebatan cepat menghajar para prajurit Kerajaan
Limbangan. Tanpa menunggu lagi, gadis itu segera
mengibaskan cekalan tangan Rangga. Bagai anak panah
lepas dari busurnya, Pandan Wangi langsung melentingkan
tubuhnya ke arah dua orang kembar itu.
Kedatangan Pandan Wangi membuat Iblis Kembar Teluk
Naga terkejut. Apalagi gadis itu langsung menyerangnya.
Pandan Wangi sengaja membawa mereka ke luar dari
arena pertempuran. Mereka bertarung di luar dari para
prajurit yang saling baku hantam. Pandan Wangi bertempur
dengan menggunakan kipas baja saktinya.
Beberapa kali si Kipas Maut itu mematahkan serangan-
serangan Iblis Kembar Teluk Naga, sehingga membuat
tokoh kembar itu kerepotan menghadapinya. Tapi pada
jurus-jurus selanjutnya, kelihatan sekali kalau keadaan ber-
balik. Pandan Wangi kini jadi kewalahan, dan selalu ter-
desak. Kerjasama tokoh kembar itu sangat rapi dan saling
susul serangannya.
"Pandan, gunakan Pedang Naga Geni!" teriak Rangga.
Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya per-
tarungan, bisa mengetahui kalau Pandan Wangi sudah
sangat terdesak sekali. Tapi dia tidak mau ikut campur
membela gadis itu. Rangga berpegang teguh pada prinsip-
nya sebagai seorang pendekar.
Sret!
Iblis Kembar Teluk Naga langsung melompat mundur
begitu melihat pamor pedang Naga Geni. Udara di sekitar
gadis itu mendadak jadi terasa panas.
Pandan Wangi bagaikan sosok malaikat pencabut nyawa
dengan pedang Naga Geni di tangannya.
Mendadak, Pandan Wangi merasakan sesuatu yang
aneh menjalari tubuhnya. Gadis itu merasakan tubuhnya
jadi ringan bagaikan kapas. Dan nafsu untuk membunuh
mengalir deras merasuk ke dalam tubuhnya tanpa ter-
kendali. Pamor pedang Naga Geni mulai merasuki tubuh
dan jiwa gadis itu. Mendadak saja, Pandan Wangi berteriak
nyaring, dan tubuhnya melenting tinggi ke udara. Pedang
yang memancarkan sinar merah menyala bagai api itu ber-
putar-putar cepat meluruk ke arah Iblis Kembar Teluk
Naga.
Iblis Kembar Teluk Naga berlompatan begitu merasakan
hawa panas menyambar tubuhnya. Mereka sampai ter-
perangah merasakan kedahsyatan pedang itu. Namun
Pandan Wangi tidak lagi memberi kesempatan lagi.
Serangan pertama gagal, langsung disusul dengan
serangan berikutnya yang tidak kalah cepatnya.
"Awas, Adi Naga Putih...!" teriak Naga Hitam tiba-tiba.
Saat itu Pedang Naga Geni sudah berkelebat cepat
membabat ke arah dada Naga Putih. Begitu cepatnya
tebasan pedang itu, sehingga membuat Naga Putih tak
bisa berbuat apa-apa lagi, dan....
"Aaakh...!" Naga Putih memekik keras.
Darah langsung muncrat ke luar dari dada yang terbelah
hangus terbabat pedang Naga Geni di tangan Pandan
Wangi. Belum lagi tubuh Naga Putih ambruk ke tanah.
Pandan Wangi sudah kembali melenting ke arah Naga
Hitam. Tentu saja satu dari Iblis Kembar Teluk Naga itu ter-
peranjat bukan main.
"Hih!" Naga Hitam mengangkat senjatanya.
Tring!
Dua senjata beradu keras memercikkan bunga api.
Naga Hitam tersentak kaget, karena senjatanya buntung
jadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa kagetnya, tahu-tahu
dia sudah terlempar tinggi ke udara. Kaki Pandan Wangi
melayang di udara, secepat kilat Pandan Wangi mencelat
mengejar.
"Hiya, hiyaaa...!"
"Aaakh...!" Naga Hitam menjerit melengking.
Dua tebasan beruntun memotong tubuh Naga Hitam jadi
tiga bagian. Tubuh yang terpotong-potong itu meluruk jatuh
ke tanah. Pandan Wangi kembali meluruk turun, dan
langsung menghajar orang-orang yang berpakaian hitam.
Kegemparan langsung pecah, karena Pandan Wangi
bagaikan malaikat pembantai yang sulit dibendung.
"Celaka!" desis Rangga yang selalu memperhatikan
gadis itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pendekar Rajawali
Sakti itu langsung melompat menghampiri Pandan Wangi.
“Pandan! Cepat lepaskan pedang itu!" seru Rangga
sambil berlompatan menghindari tebasan pedang Pandan
Wangi.
"Tidak bisa, Kakang. Pedang ini bergerak sendiri
mengendalikan diriku!" sahut Pandan Wangi sedikit
terengah.
"Kalian semua menyingkir!" teriak Rangga menyuruh
orang-orang yang ada di sekitar Pandan Wangi menyingkir.
Pandan Wangi benar-benar tidak bisa mengendalikan
pedang Naga Geni. Dia kini malah menyerang Rangga yang
berusaha membawanya menjauh dari arena pertempuran.
Pada saal itu, dua sosok tubuh melayang menghampiri.
Mereka adalah Perempuan Iblis Peminum Darah dan Setan
Cakar Racun. Melihat Pandan Wangi tidak terkendalikan
oleh pedangnya sendiri, kedua tokoh hitam itu memanfaat-
kannya.
"Setan alas! Kalian mau mampus, heh!" bentak Rangga
geram.
"He... he... he..., Setan Cakar Racun, kau hadapi yang
betina. Biar aku yang melayani bocah bagus ini." kata
Perempuan Iblis Peminum Darah.
"Tapi ingat, kau jangan membunuhnya. Serahkan dia
pada Iblis Wajah Seribu sebagai hadiah," sahut Setan
Cakar Racun.
"Phuih! Aku juga senang padanya, biar dia nanti bekas-
ku!"
"Terserah kaulah!"
Setan Cakar Racun segera merangsek Pandan Wangi.
Sementara Perempuan Iblis Peminum Darah, langsung
menggempur Rangga. Hal ini membuat Pendekar Rajawali
Sakti itu jadi muak. Sementara dia juga mengkhawatirkan
keadaan Pandan Wangi yang tidak bisa lagi mengendalikan
dirinya akibat pengaruh pedang Naga Geni.
Rasa geram yang sudah melanda Rangga, membuat
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat lagi mengendalikan
dirinya. Dia langsung mencabut pedang Rajawali Sakti dari
warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru berkilau
menyemburat terang dari pedang itu. Perempuan Iblis
Peminum Darah terkesiap melihat pamor pedang itu.
"Mampus kau iblis, hiyaaa...!" teriak Rangga nyaring.
Secepat kilat Rangga mengayunkan pedangnya ke arah
tubuh lawannya. Perempuan Iblis yang sempat ter-
perangah, langsung melentingkan tubuhnya menghindar,
tapi serangan Rangga yang begitu cepat, masih bisa
melukai kaki wanita itu.
"Akh!" Perempuan Ibtis Peminum Darah memekik ter-
tahan.
Belum juga dia sempat menginjakkan kakinya ke tanah,
Rangga sudah mengibaskan pedangnya kembali. Kali ini
jeritan melengking terdengar dari mulut si Perempuan Iblis
Peminum Darah. Rangga langsung menolehkan kepalanya
ke arah Pandan Wangi.
"Hiya...!"
Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagai kilat
seraya mengibaskan pedangnya. Setan Cakar Racun yang
tengah kerepotan membendung serangan Pandan Wangi,
tidak sempat lagi menghindari terjangan Rangga. Dia men-
jerit keras begitu merasakan lehernya terbabat pedang.
"Ayo, Pandan. Cepat ikuti aku!" seru Rangga.
Rangga sengaja mengadukan pedangnya dengan
pedang Naga Geni di tangan Pandan Wangi. Seketika itu
juga, Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada
Rangga yang sudah mencelat pergi ke arah Hutan Tarik.
Pandan Wangi yang sudah tidak bisa mengendalikan
pengaruh Pedang Naga Geni, langsung saja melompat
mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Dua tubuh langsung
berkejaran menuju ke Hutan Tarik. Sementara pertarungan
antara para prajurit Kerajaan Limbangan yang dipimpin
langsung oleh Panglima Lohgender, terus berlangsung
sengit. Tapi kini sudah kelihatan kalau para pengikut
Rakapati mulai terdesak.
"Panglima, cepat cari Rakapati di dalam!" terdengar
suara Rangga menggema, padahal orangnya sudah tidak
ada lagi.
Panglima Lohgender tidak terkejut lagi. Dia paham kalau
seorang pendekar digdaya, pasti mampu mengirimkan
suara tanpa ujud. Segera saja dia melompat ke luar dari
kancah pertempuran. Sejenak dia bisa melupakan Arya
Duta yang dibawa Iblis Wajah Seribu.
***
TUJUH
Rakapati bergegas ke dalam istana kadipaten. Dia
langsung menuju ke kamar pribadi adipati. Di sana Adipati
Prahasta masih duduk terikat dengan wajah tenang dan
bibir menyunggingkan senyuman. Senyumnya semakin
lebar begitu melihat Rakapati masuk menghampiri.
"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Tanpa
mengadakan pertumpahan darah pun aku akan menyerah-
kan Kadipaten Karang Asem ini padamu," kata Adipati
Prahasta.
"Diam kau!" bentak Prahasta gusar.
"Percuma saja kau melawan, prajurit Limbangan bukan-
lah tandinganmu. Lebih-lebih Panglima Lohgender. Kau
akan menyesal seumur hidup," Adipati Prahasta yang
teramat menyintai anak tirinya ini berusaha menyadar-
kannya.
Rakapati menjulurkan kepalanya mendekati wajah
Adipati Prahasta. Mukanya merah padam dengan bola
mata merah menyala. Perlahan-lahan dia mengeluarkan
kelewang dari balik bajunya. Adipati Prahasta tetap ter-
senyum melihat senjata berkilat di tangan anak tirinya.
"Bunuhlah aku, Rakapati. Kalau itu membuatmu jadi
puas," tenang sekali Adipati Prahasta berkata.
"Kau memang harus mari, Prahasta. Harus...!" desis
Rakapati tegang.
"Hidupku pun tidak ada gunanya. Bertahun-tahun aku
menginginkan seorang anak. Kini meskipun hanya seorang
anak tiri yang kudapat, aku tidak merasa menyesal. Aku
memang tidak mungkin lagi mempunyai keturunan. Ayo,
bunuhlah aku. Aku puas karena anak yang kudidik dan
kubesarkan, memiliki semangat dan cita-cita pada tanah
kelahirannya. Aku bangga memilikimu, Rakapati," kata
Adipati Prahasta dengan mata berkaca-kaca. Namun nada
suaranya tetap tenang mencerminkan kebanggaan.
Rakapati jadi terdiam terpaku mendengar kata-kata
Adipati Prahasta yang begitu menyentuh sampai ke lubuk
hatinya yang paling dalam. Secara jujur, hati kecilnya
mengakui kalau selama ini dia benar-benar merasakan
kasih sayang penuh dari ayah tirinya ini. Tak pernah
sedikitpun Adipati Prahasta memperlakukannya sebagai
anak tiri yang tanpa hak di Kadipaten Karang Asem.
Tiga kali Adipati Prahasta menikah, tapi tak seorangpun
dari istrinya yang mampu melahirkan keturunan. Dan
begitu dia menikahi Puspa Lukita yang sudah memiliki
seorang anak laki-laki, seluruh cinta dan kasih sayangnya
dia tumpahkan pada anak tirinya. Meskipun seharusnya
Puspa Lukita dan Rakapati menjadi tawanan perang pada
masa runtuhnya Kerajaan Karang Asem. Dan dengan restu
Raja Limbangan, dia menikahi Puspa Lukita. Kini anak
yang dia didik dan dia asuh sejak berumur empat tahun,
menempelkan kelewang di lehernya. Namun Adipati
Prahasta tidak sedikitpun merasa menyesal atau murka
dengan sikap Rakapati. Dalam hatinya justru dia merasa
bangga karena Rakapati ingin mengembalikan Karang
Asem pada masa jayanya. Adipati Prahasta sendiri
sebenarnya tidak setuju ketika harus menggempur
Kerajaan Karang Asem ketika itu.
"Rakapati, di mana ibumu?" tanya Adipati Prahasta.
"Untuk apa kau tanyakan ibuku?" dengus Rakapati
masih bersikap bermusuhan, namun nada suaranya sudah
sedikit melunak.
"Sebaiknya kau bawa ibumu ke Kadipaten Sedana. Kau
tidak akan berhasil dengan hanya kekuatanmu yang ada
sekarang. Prajurit-prajurit Limbangan terlalu kuat bagimu.
Susunlah kekuatan yang lebih besar lagi di Kadipaten
Sedana jika kau masih tetap ingin mengembalikan
kejayaan Karang Asem. Aku yakin, pamanmu mau
membantu perjuanganmu, Rakapati," kata Adipati
Prahasta.
Rakapati menjauhkan kelewangnya dari leher Adipati
Prahasta. Kepalanya menoleh demi mendengar langkah
langkah kaki memasuki kamar ini. Tampak seorang wanita
setengah baya namun masih kelihatan cantik, melangkah
menghampiri.
"Ibu...," Rakapati melangkah mundur dua tindak.
"Saran ayahmu benar, anakku. Pergilah ke Kadipaten
Sedana. Temui pamanmu Winicitra. Berikan ini padanya,"
kata Puspa Lukita sambil menyerahkan kalung hitam
bercincin emas.
"Ibu...," suara Rakapati seperti tersedak di tenggorokan.
"Pergilah, anakku. Tinggallah di Bukit Kapur bersama
Eyang Wanakara. Beliau seorang pertapa sakti. Ibu yakin
beliau mau menerimamu karena kau anak tunggal dari
Sirandana. Paman Winicitra akan mengantarkanmu ke
sana. Tunjukkan kalung ini pada Eyang Wanakara. Beliau
pasti sudah tahu melihat kalung ini."
Rakapati tidak mampu berkata-kata lagi. Dia menerima
saja pemberian ibunya, dan menyimpannya dibalik lipatan
sabuk. Rakapati memandang Adipati Prahasta yang
tersenyum dan menganggukkan kepala padanya.
Kebekuan dan ketegaran hati Ratapati seketika itu juga
mencair luluh tersiram kelembutan dan kasih sayang.
Terbetik rasa sesal di hatinya karena telah berlaku tidak
terpuji pada laki-laki yang begitu mencintai dirinya.
"Balungpati, aku serahkan anakku padamu. Jaga
keselamatannya," kata Puspa Lukita.
Balungpati membungkuk hormat. Tanpa diperintah lagi,
dia segera melepaskan ikatan di tubuh Adipati Prahasta.
Balungpati langsung memeluk kaki laki-laki tua gemuk itu.
Dia benar-benar menyesal telah mengkhianati orang yang
sungguh bijaksana dan patut dijadikan teladan. Adipati
Prahasta memegang pundak Balungpati dan membawanya
berdiri.
"Tidak perlu kau bersikap begitu, Balungpati. Aku
serahkan keselamatan Rakapati padamu." kata Adipati
Prahasta lembut.
"Maafkan hamba, Gusti," ucap Balungpati tersedak.
Adipati Prahasta menepuk-nepuk pundak kepala
pasukan itu. Sementara Rakapati bersujud di kaki ibunya,
dan mencium punggung tangan wanita setengah baya itu.
Sejenak dia memandang pada Adipati Prahasta setelah
bangkit berdiri. Sesaat kemudian, kedua laki-laki yang
semula bermusuhan itu, saling berpelukan erat. Agak lama
juga mereka saling berpelukan, kemudian berpandangan
tanpa berkata-kata lagi.
"Kelak kau akan mengembalikan kejayaan Kerajaan
Karang Asem, anakku," bisik Adipati Prahasta.
"Ayah...," Rakapati tak mampu lagi berkata-kata.
"Cepatlah pergi. Panglima Lohgender menuju ke sini!"
seru Adipati Prahasta agak ditahan suaranya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rakapati dan Balungpati
langsung melompat ke luar dari jendela. Dalam sekejap
saja tubuh mereka lenyap di balik tembok kadipaten yang
tinggi dan tebal. Saat itu Panglima Lohgender bersama
beberapa orang prajurit sudah memasuki kamar itu.
"Kakang tidak apa-apa?" tanya Panglima Lohgender
sedikit cemas.
"Tidak," sahut Adipati Prahasta tersenyum.
"Kakang Prahasta, sebaiknya hentikan pertempuran.
Korban sudah terlalu banyak yang jatuh," kata Puspa
Lukita.
Adipati Prahasta tersenyum, kemudian mengangguk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung melangkah ke
luar kamar itu dan memerintahkan kepada prajurit-prajurit
yang sedang bertempur untuk menghentikan pertempuran.
Setelah dilihatnya pertempuran mereda, Adipati
Prahasta pun segera berkata.
"Hai, para prajurit kebanggaanku, marilah kita bersatu
kembali membangun Kadipaten Karang Asem ini seperti
semula. Janganlah kita terpecah belah hanya karena
adanya beda pendapat di antara kita!"
"Setujuuu ..." para prajurit berteriak serentak,
menyatakan kegembiraannya melihat pemimpin mereka
telah siap membangun kembali kadipaten yang tadinya ter-
pecah belah ini.
Para prajurit yang tadinya memihak Rakapati, segera
berbalik kembali memihak Adipati Prahasta. Apalagi ketika
mereka melihat pemimpin mereka tidak kelihatan lagi
batang hidungnya.
Kadipaten Karang Asem sudah tenang kembali dengan
munculnya Adipati Prahasta bersama Puspa Lukita.
Panglima Lohgender juga tidak bertanya-tanya lagi setelah
mendapat penjelasan kalau Rakapati sudah melarikan diri.
Tapi Adipati Prahasta dan Puspa Lukita tidak mau
mengatakan ke mana Rakapati pergi. Tapi sebenarnya
yang menjadi beban pikiran Panglima Lohgender, bukanlah
kepergian Rakapati, tapi hilangnya Arya Duta yang dibawa
kabur oleh Iblis Wajah Seribu dalam keadaan pingsan.
Ke mana Iblis Wajah Seribu atau Klenting Kuning mem-
bawa Arya Duta?
Di sebuah pondok kecil dekat tepi Hutan Tarik, tampak
Klenting Kuning berdiri memandangi Arya Duta yang lemas
tak berdaya karena jalan darahnya tertotok Iblis Wajah
Seribu itu. Hanya matanya saja yang mendelik penuh
amarah melihat wanita cantik itu tersenyum-senyum.
Klenting Kuning menghampiri dipan kayu di mana Arya
Duta terbaring lemas tanpa daya, kemudian dia duduk di
tepi dipan itu. Tangannya lembut membelai-belai leher dan
dada pemuda itu. Gerakan lembut jari-jemari tangan
Klenting Kuning itu, rupanya membuka totokan pada leher,
sehinga Arya Duta bisa menggerak-gerakkan kepalanya.
"Perempuan jalang! Apa yang akan kau lakukan?"
sentak Arya Duta ketika jari-jari tangan Klenting Kuning
membuka bajunya.
"Diamlah, bocah bagus. Kau akan merasakan nikmatnya
sorga," desah Klenting Kuning tak dapat lagi menahan
gejolak di dadanya.
"Ikh...!" Arya Duta memalingkan mukanya ke samping
begitu Klenting Kuning mulai menciumi leher dan wajah-
nya.
Iblis Wajah Seribu itu semakin bernapsu. Napasnya
mulai memburu, mendengus-dengus hangat di seputar
leher dan wajah Arya Duta. Pemuda itu tidak menyadari
kalau Klenting Kuning menyebarkan ajiannya yang sangat
ampuh untuk menaklukkan laki-laki. Periahan-lahan, aji
'Pelebur Jiwa' meresap ke dalam tubuh dan mengacaukan
syaraf-syaraf Arya Duta.
"Oh...," Arya Duta mulai mendesah.
Sekuat tenaga dia berusaha untuk melawan gejolak
yang semakin membara di dadanya. Arya Duta meng-
geleng-gelengkan kepalanya dengan kelopak mata ter-
pejam rapat. Rasanya sia-sia saja dia melawan sesuatu
yang aneh dalam dirinya. Perasaan itu semakin mem-
belenggu tak terkendalikan lagi.
Arya Duta merasakan kepalanya jadi pening, dan
matanya yang mulai terbuka, berkunang-kunang. Dadanya
semakin berdebar kencang, bergemuruh bagai ombak di
lautan. Sedikit demi sedikit, kesadaran Arya Duta mulai
menghilang, hingga akhirnya dia lupa sama sekali. Pada
saat itulah Klenting Kuning melepaskan totokan di tubuh
pemuda itu.
Arya Duta bukannya memberontak, tapi kini dia malah
membalas semua kehangatan yang diberikan Klenting
Kuning. Bau harum yang menyebar dari tubuh wanita itu,
semakin membuat Arya Duta mabuk.
"Aaah….” Klenting Kuning mendesah lirih.
***
Klenting Kuning tersenyum penuh kepuasan. Tangannya
bergerak cepat merapikan pakaiannya, lalu tangannya
sudah menggenggam sebilah pisau kecil berwarna hijau.
Wanita itu masih tersenyum menatap Arya Duta yang
tergolek lemah tanpa daya. Seluruh tubuhnya bersimbah
keringat. Kedua matanya membeliak lebar melihat Klenting
Kuning menggenggam pisau.
"Sayang, aku harus membunuhmu. Aku tidak mau mati
di tangan laki-laki yang telah memuaskan diriku." gumam
Klenting Kuning pelan.
Mata Arya Duta semakin membeliak lebar tanpa mampu
mengeluarkan suara, meskipun mulutnya terbuka lebar.
"Pergilah dengan tenang ke neraka, hi... hi... hi...!" Arya
Duta berusaha menjerit sekuat-kuatnya ketika pisau hijau
itu menghunjam dadanya dengan dalam. Tak ada suara
yang ke luar dari mulut pemuda itu. Dia juga tidak
mengejang, hanya raut mukanya saja yang menegang
kaku. Darah muncrat ke luar dari dada yang berlubang
tertembus pisau
"Ha... ha... ha...!" Klenting Kuning tertawa renyah.
Arya Duta langsung tewas tanpa mampu melakukan
perlawanan sedikitpun. Klenting Kuning menarik pisaunya
dari tubuh pemuda malang itu, dan menyelipkannya ke
balik bajunya. Tawanya kembali terdengar renyah dan
lepas.
"Tak ada seorang pun yang mampu menghadapi
Klenting Kuning!" katanya pongah.
"Kecuali aku!"
Tawa Klenting Kuning langsung berhenti seketika begitu
terdengar suara jawaban keras menggema. Suara itu
seolah terdengar dari segala penjuru. Si Iblis Wajah Seribu
itu langsung melentingkan tubuhnya ke luar dari pondok.
Dua kali dia bersalto di udara sebelum mendarat ringan di
atas atap.
"Setan! Siapa kau!" bentak Klenting Kuning
"Aku!"
Klenting Kuning terperanjat ketika dia menoleh. Tampak
Pendekar Rajawali Sakti berdiri tenang di atas atap itu
juga. Klenting Kuning semakin terperanjat, karena Pandan
Wangi juga berada di tempat ini. Gadis itu menunggu di
bawah.
"Kau terkejut, Klenting Kuning?"
"Huh! Mau apa kau ke sini?" dengus Klenting Kuning
tidak menghiraukan pertanyaan Rangga, atau Pendekar
Rajawali Sakti.
Klenting Kuning memang terkejut, tapi dia juga gembira
melihat Pendekar Rajawali Sakti. Sejak dia gagal me
nundukkan pemuda itu, rasa penasarannya semakin men-
jadi. Dia belum puas kalau belum bisa menundukkan pen-
dekar tampan itu. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti
dalam kisah, Pertarungan di Bukit Setan).
"Kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu, Klenting
Kuning."
"Kakang Rangga, Arya Duta tewas!" teriak Pandan Wangi
dari bawah.
"Iblis!" geram Rangga.
"Ha... ha... ha...!" Klenting Kuning tertawa pongah. Dia
langsung melompat turun dan tanpa banyak bicara lagi
menyerang Pandan Wangi.
Mendapat serangan mendadak, Pandan Wangi sedikit
kerepotan juga. Tapi dia segera menjatuhkan diri, dan
langsung melentingkan tubuhnya menjauh. Klenting
Kuning tidak memberikan kesempatan pada gadis itu. Dia
segera melancarkan serangan-serangan berikutnya yang
lebih dahsyat lagi.
Rangga yang menyaksikan pertarungan itu, segera
melompat turun. Dia berdiri tegak menyaksikan per-
tarungan dua wanita cantik itu. Dalam beberapa jurus, per-
tarungan masih berjalan seimbang. Tapi pada jurus ke lima
betas, tampak kalau Pandan Wangi mulai terdesak. Be-
berapa kali pukulan dan tendangan Klenting Kuning men-
darat telak di tubuh si Kipas Maut itu.
"Gunakan Pedang Naga Geni, Pandan!" seru Rangga
keras.
"Tidak!" sahut Pandan Wangi segera mencabut senjata
kebanggaannya berupa kipas baja putih.
Pandan Wangi tidak mau lagi menggunakan pedang
Naga Geni. Dia hampir mati dengan pedang berpengaruh
liar itu. Kalau saja Rangga tidak membantunya dengan
pedang Rajawali Sakti, entah apa yang akan terjadi pada
diri gadis itu.
"Bagus! Dengan senjata, kau akan lebih cepat kukirim
ke neraka!" dengus Klenting Kuning.
"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi segera menyerang Iblis Wajah Seribu itu
dengan senjata kipas di tangan. Klenting Kuning masih
melayaninya dengan tangan kosong. Biarpun Pandan
Wangi sudah menggunakan senjata kebanggaannya, tapi
setelah mellewati sepuluh jurus lagi, gadis itu masih juga
terdesak hebat.
Rangga yang menyaksikan pertarungan itu, jadi cemas
juga. Klenting Kuning memang bukan tandingan Pandan
Wangi, meskipun gadis itu sudah hampir menguasai ajl
'Naga Sewu', tapi masih belum sempurna. Dan nampaknya
Klenting Kuning masih terlalu tangguh bagi Pandan Wangi
yang mengeluarkan aji 'Naga Sewu’. Keadaan Pandan
Wangi semakin mem prihatinkan. Dia jadi bulanan bulanan
Klenting Kuning pada jurus-jurus terakhir.
"Pandan, mundur...'" seru Rangga langsung melompat
ke tengah-tengah pertempuran.
Pandan Wangi menyeka darah yang memenuhi mulut-
nya. Matanya tajan menatap Klenting Kuning. Bagai-
manapun juga, dia harus mengakui tidak akan mampu
menandingi Iblis Wajah Seribu itu dalam lima jurus lagi.
Pandan Wangi segera melangkah mundur beberapa tindak.
"Aku suka bertempur denganmu, Rangga. Tapi aku lebih
suka berkasih mesra denganmu," kata Klenting Kuning.
"Biar kubunuh perempuan liar itu, Kakang!" sentak
Pandan Wangi geram.
"Ah, rupanya kau juga menyukai Rangga. Boleh, aku
senang punya saingan." sambut Klenting Kuning
mengerling genit pada Rangga.
"Bedebah!" merah padam muka Pandan Wangi.
Dengan kasar dia menyentakkan tangan Rangga yang
berusaha mencegahnya. Tanpa buang waktu lagi, Pandan
Wangi langsung menenang si Iblis Wajah Seribu itu.
Amarah yang meluap-luap membuat gadis itu nekad. Dia
langsung mencabut Pedang Naga Geni, meskipun tahu
bahayanya bagi lawan maupun yang menggunakannya.
"Eh!" Klenting Kuning terkesiap kaget melihat pamor
pedang yang mengeluarkan cahaya merah menyala itu.
Kekagetan Klenting Kuning tidaklah lama, karena dia
harus segera berlompatan menghindari serangan Pandan
Wangi. Setiap kibasannya selalu mengandung hawa panas
yang luar biasa. Klenting Kuning jadi hati-hati menghadapi
Pandan Wangi yang menggunakan pedang Naga Geni.
Dua puluh jurus segera berlalu dengan cepat,
tampaknya Pandan Wangi sudah tidak bisa lagi menguasai
pedang itu. Gerakan-gerakannya tak terkendali, mukanya
merah dan kedua bola matanya menyala-nyala menimbul-
kan napsu membunuh. Sementara Klenting Kuning
semakin kerepotan menghadapi serangan Pandan Wangi
yang aneh dan tak terkendali, dia kelihatan terdesak
sekali. Napasnya tersengal-sengal karena udara di
sekitarnya semakin menipis.
"Hiyaaa..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak nyaring.
Secepat kilat Klenting Kuning melentingkan tubuhnya ke
udara. Dan pada saat itu juga, pedang Naga Geni
berkelebat cepat menebas tubuh yang sedang bersalto di
udara itu.
"Aaakh..." terdengar jeritan menyayat dari mulut Iblis
Wajah Seribu itu. Tubuhnya terbagi menjadi dua bagian
dan jatuh di tanah.
"Pandan...!" panggil Rangga keras sambil mencabut
pedangnya.
Cring!
"Ayo lawan aku!" seru Rangga sambil menghunus
pedang Rajawali Sakti.
"Kakang...!" Pandan Wangi tersentak kaget.
"Ayo, cepat! lawan aku!" seru Rangga. Pada saat itu,
Panglima Lohgender bersama sekitar dua puluh orang
prajurit tiba di tempat itu. Panglima Kerajaan Limbangan
itu terkejut melihat dua pendekar saling berhadapan
dengan senjata terhunus dan di bawah kaki mereka
tergeletak potongan tubuh seorang perempuan. Panglima
Lohgender tidak mengerti, kenapa dua pendekar beraliran
putih itu bisa saling berhadapan?
DELAPAN
"Menyingkir, Panglima. Pedang itu sangat berbahaya!" seru
Rangga saat melihat Panglima Lohgender mau meng-
hampiri.
"Apa yang terjadi?" tanya Panglima Lohgender meng-
urungkan langkahnya.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, cepat menyingkir!"
sahut Rangga.
Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat
menerjang. Rangga mengangkat pedangnya, dan langsung
mengadunya dengan pedang Naga Geni. Dua senjata sakti
beradu keras di udara. Percikan bunga api memercik indah
disertai suara ledakan keras menggelegar.
Rangga segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali
Membelah Mega'. Tubuhnya melenting deras ke udara, lalu
menukik seraya memular pedangnya dengan cepat.
Pandan Wangi juga memutar pedangnya di atas kepala.
Tring!
Rangga sengaja membabat ujung pedang gadis itu, lalu
tangannya dengan cepat sekali menjambret sarung pedang
Naga Geni yang menempel di punggung Pandan Wangi.
Bagaikan kilat, tubuh Rangga kembali melenting ke udara.
Kembali dia menukik tajam sambil mengarahkan sarung
pedang di tangannya ke ujung pedang Naga Geni.
Slap!
Cahaya merah langsung hilang begitu pedang Naga Geni
masuk ke dalam warangkanya. Dan Rangga juga segera
memasukkan pedang pusakanya ke dalam warangkanya di
punggung. Pandan Wangi jaruh terduduk lemas dengan
pedang menggeletak di tanah. Wajahnya jadi pucat pasi.
Rangga menghampiri dan memungut pedang yang meng-
geletak di tanah.
"Ini pedangmu," kata Rangga sambil menyerahkan
pedang itu.
Pandan Wangi mengangkat kepalanya memandang
Rangga. Perlahan-lahan dia berdiri, dan menggelengkan
kepalanya lemah beberapa kali. Dua kali dia hampir mati
oleh pengaruh pedang Naga Geni itu
"Kau takut?" tanya Rangga.
"Aku tidak bisa menggunakan pedang itu, Kakang." ucap
Pandan Wangi lirih.
"Kau harus bisa Pandan. Kau harus menaklukkan
pengaruh pedang ini " Rangga memberi semangat.
Pandan Wangi kembali menggeleng lemah.
"Kalau kau tidak mau memilikinya. Lalu siapa yang akan
memiliki pedang ini?"
"Terserah padamu, Kakang. Atau kau saja yang
memilikinya. Kau bisa menaklukkan pedang itu."
"Tidak mungkin. Pandan. Aku sudah memiliki senjata.
Dan kedua senjata ini sangat berlawanan, tidak mungkin
bisa bersatu."
"Tapi aku tidak sanggup lagi menggunakannya. Pedang
itu liar sekali, dia bisa membunuh siapa saja yang
memegangnya. Tenagaku tersedot, aku tidak bisa
mengendalikannya, Kakang," kehih Pandan Wangi.
"Kau belum sepenuhnya menguasai ilmu 'Naga Sewu'.
Aku yakin, kalau kau sudah sempurna menguasai ilmu itu,
pasti kau bisa menaklukkan pedang ini. Pedang Naga Geni
hanya bisa dipergunakan oleh orang yang menguasai ilmu
'Naga Sewu' dengan sempurna," Rangga menjelaskan.
Pandan Wangi menatap Rangga.
"Seperti juga halnya Pedang Rajawali Sakti, harus
digunakan dengan jurus-jurus Rajawali Sakti. Tidak akan
ada seorangpun yang bisa menggunakan Pedang Rajawali
Sakti kalau tidak menguasai dengan sempurna jurus-jurus
Rajawali Sakti," lanjut Rangga.
"Apa mungkin aku bisa menguasai ilmu 'Naga Sewu'.
Kakang?" tanya Pandan Wangi kembali bangkit semangat-
nya.
"Kenapa tidak? Kau sudah menguasai dasar-dasarnya,
kau tinggal memperdalam dan menyempurnakannya. Yang
penting sekarang, kitab Naga Sewu masih ada di
tanganmu. Pelajari lagi kitab itu dan sempurna kan jurus-
jurus 'Naga Sewu'," Rangga terus mendorong semangat
Pandan Wangi yang hampir padam.
"Berapa lama?"
"Tergantung dari kesungguhanmu, Pandan."
Pandan Wangi tidak lagi menolak ketika Rangga
menyodorkan Pedang Naga Geni yang sudah aman
tersimpan di warangkanya. Gadis itu mengenakan kembali
pedang pusaka itu ke punggungnya. Rangga tersenyum
dan menoleh menatap Panglima Lohgender dan beberapa
prajurit yang menyertainya.
"Aku akan mengantarkanmu ke suatu tempat agar kau
tenang menyempurnakan jurus-jurus 'Naga Sewu'," kata
Rangga setengah berbisik.
"Kau sendiri?" tanya Pandan Wangi yang sudah bisa
menangkap maksud Rangga.
"Aku akan meneruskan perjalanan panjang ini." sahut
Rangga.
"Jadi kita berpisah?"
"Kelak kita akan bertemu lagi, dan kau sudah menjadi
seorang pendekar wanita yang tangguh," sahut Rangga
tetap membesarkan hati gadis itu.
"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi terharu.
Kalau saja tidak ada orang lain di sekitar tempat itu,
mau rasanya Pandan Wangi memeluk pemuda tampan
yang sudah menggores relung hatinya ini. Pandan Wangi
hanya bisa menatap dalam-dalam dengan berbagai macam
perasaan yang sukar dilukiskan. Mereka menghampiri
Panglima Lohgender yang menunggu dengan jarak agak
jauh.
***
"Apa yang terjadi?" tanya Panglima Lohgender.
"Pandan Wangi tidak bisa mengendalikan pedangnya,"
sahut Rangga.
Panglima Lohgender memandang Rangga dan Pandan
Wangi bergantian. Dia masih belum mengerti dengan
penjelasan singkat itu. Dia sudah banyak makan asam
garamnya dunia persilatan, tapi belum pernah menemukan
hal seperti ini, sebuah senjata ampuh mampu mengacau-
kan kendali pemiliknya.
"Pedang itu bernama Naga Geni, dia baru saja
kehilangan pemiliknya. Dan Pandan Wangi adalah ahli
waris tunggalnya. Tapi dia belum bisa menguasai senjata
itu, harus perlu waktu untuk bisa bersama-sama sejalan
dengan Pedang Naga Geni." Rangga mencoba men-
jelaskan.
"Apakah pedang itu berbahaya?" tanya Panglima
Lohgender.
"Ya, sangat berbahaya sekali jika orang berwatak jahat
yang memilikinya. Pedang itu punya hawa dan pengaruh
membunuh yang sangat dahsyat, sulit untuk menaklukkan-
nya, jika tidak dibarengi dengan jurus-jurus yang sesuai."
Panglima Lohgender ingin bertanya lagi, tapi pertanyaan
yang sudah sampai di tenggorokan tidak jadi ke luar,
karena salah seorang prajuritnya berlari-lari dengan napas
terengah-engah.
"Gusti Panglima..." prajurit itu langsung membungkuk
hormat.
"Ada apa?" tanya Panglima Lohgender.
"Gusti Arya Duta..."
Rangga yang mendengar itu langsung melompat masuk
ke dalam gubuk kecil di antara gundukan batu berbukit
Pandan Wangi juga segera mengikuti, disusul oleh
Panglima Lohgender. Betapa terkejutnya Panglima
Lohgender begitu melihat Arya Duta tergolek dengan dada
berlumuran darah.
Pandan Wangi langsung memalingkan mukanya. karena
Arya Duta tidak mengenakan pakaian sepotongpun.
Rangga segera memungut kain yang teronggok di lantai
gubuk kecil ini, dan menutupi tubuh Arya Duta. Panglima
Lohgender tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya
memandang Rangga dengan mata sedikit berkaca-kaca.
"Maaf, aku terlambat menolongnya. Dia tewas di tangan
si Iblis Wajah Seribu," kata Rangga pelan.
Panglima Lohgender tidak berkata apa-apa lagi. Dia
langsung melangkah ke luar dengan wajah terselimut
duka. Terlebih lagi ada salah seorang prajurit yang lolos
dan menceritakan semua peristiwa atas meninggalnya
Braja Duta bersama para pengawal lainnya. Panglima
Lohgender merasa terpukul sekali dengan kematian kedua
anak angkatnya, yang sangat dipercayai dan diandalkan-
nya.
Dua orang prajurit segera masuk ke dalam. Mereka
segera merawat jenazah Arya Duta. Tanpa menunggu lama,
mereka segera memakamkan mayat Arya Duta. Setelah itu
Rangga segera mengajak Pandan Wangi meninggalkan
Kadipaten Karang Asem.
*** [
Suasana di Kadipaten Karang Asem sudah kembali
normal. Panglima Lohgender juga akan meninggalkan
kadipaten itu keesokan harinya bersama sisa-sisa prajurit
yang masih hidup.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi telah jauh
meninggalkan perbatasan kadipaten itu.
Dalam perjalanan, Rangga heran dengan perangai
Pandan Wangi yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam. Ia
tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
"Apa yang kau pikirkan, Pandan?" tanya Rangga.
"Tidak ada," sahut Pandan Wangi.
"Kau masih memikirkan Pedang Naga Geni?" tebak
Rangga.
"Mungkin," sahut Pandan Wangi mendesah.
"Aku akan mengantarkanmu sampai ke pantai. dari sana
kau bisa langsung menuju ke Pulau Karang. Aku yakin,
dalam waktu tidak lama kau sudah bisa menguasai pedang
itu," kata Rangga.
Pandan Wangi tidak menjawab. Dia tetap melangkah
pelan-pelan dengan kepala tertunduk. Jelas sekali kalau
sikapnya ini jauh berubah dari sebelumnya. Belum pernah
Rangga melihat Pandan Wangi diam begitu.
"Terus terang saja, Pandan. Apa yang menyusahkan
pikiranmu?" desak Rangga tidak tahan melihat sikap
Pandan Wangi begitu.
Pandan Wangi menghentikan langkahnya Dia menatap
Rangga dalam-dalam. Sepertinya ada yang hendak dikata-
kan, tapi terasa sulit mengucapkannya. Hanya tatapan
matanya saja yang banyak bicara.
"Kau memikirkan Klenting Kuning..?" tanya Rangga
menebak dengan suara agak ditahan.
Pandan Wangi tampak tersentak. Buru-buru dia
memalingkan mukanya menatap ke arah lain. Pelan-pelan
kakinya kembali terayun melangkah. Sementara matahari
sudah semakin tinggi mencapai atas kepala.
"Kau cemburu pada perempuan yang sudah jadi mayat
itu?" tebak Rangga lagi.
"Tidak!" sahut Pandan Wangi tegas. Namun dari nada
suaranya jelas-jelas tertahan.
"Lalu?" desak Rangga
"Berapa lama lagi kita sampai di Pantai Utara?" Pandan
Wangi mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia segan
membicarakan Klenting Kuning.
"Menjelang senja nanti baru sampai," sahut Rangga
maklum.
"Kita menginap di mana?"
"Terserah, tapi kalau kau mau, bisa langsung
menyeberang. Perjalanan ke Pulau Karang tidak ber-
bahaya. Pulau itu jadi tempat persinggahan para nelayan."
Pandan Wangi mendesah berat. Sebenarnya dia tidak
ingin berpisah dengan Pendekar Rajawali Sakti ini, tapi
demi kesempumaan ilmunya, dia harus bisa menekan
perasaannya. Segala sesuatu memang membutuhkan
pengorbanan, dan Pandan Wangi menyadari kalau dirinya
harus berkorban demi masa depannya sendiri. Dia tidak
ingin menyandang senjata tanpa dapat mempergunakan
nya. Pedang Naga Geni sangat dahsyat, dan pengaruhnya
sungguh luar biasa.
"Kakang...," Pandan Wangi menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" tanya Rangga.
"Ah, tidak...," Pandan Wangi mendesah. Kembali dia
melangkah.
"Ada apa, Pandan. Katakan saja."
"Kau tidak terpikir untuk masa depan, Kakang?" tanya
Pandan Wangi pelan.
"Mungkin, tapi sekarang ini aku belum memikirkannya.
Entah kalau nanti," sahut Rangga merasa aneh dalam nada
pertanyaan itu.
"Sampai kapan kau akan mengembara?"
"Mungkin sampai aku tidak sanggup lagi melakukan-
nya."
"Kau tidak ingin kembali ke tanah kelahiranmu?"
Rangga tidak segera menjawab. Perlahan dia menarik
napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan
juga. Dia memang rindu dengan tanah kelahirannya, tapi
dia tidak tahu letak yang pasti, di mana Kerajaan Karang
Setra? Entah, bagaimana keadaannya sekarang ini. Dua
puluh tahun dia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di
sana. Setelah peristiwa mengerikan di Lembah Bangkai,
tepatnya di tepi Danau Cubung. (Baca serial Pendekar
Rajawali Sakti, dalam kisah, Iblis Lembah Tengkorak)
"Satu saat nanti..." desah Rangga pelan, seperti untuk
dirinya sendiri.
"Pasti, Kakang." sahut Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Mereka kembali me-
lanjutkan perjalanannya menuju ke Utara. Rangga me-
langkah pelan-pelan dengan kenangan kembali pada dua
puluh tahun lalu. Dia jadi teringat dengan kedua orang
tuanya yang tewas terbunuh. Sementara Pandan Wangi
berjalan santai di sampingnya. Dia juga sibuk dengan pikirannya sendiri.
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar