BTemplates.com

Blogroll

Senin, 06 Januari 2025

PENDEKAR RAJAWALI SAKTI EPISODE IBLIS WAJAH SERIBU


matjenuh khairil

 

SATU


Semua orang membungkukkan badannya ketika tiga ekor 

kuda berpacu cepat melintasi jalan tanah berdebu. Mereka 

tahu kalau tiga orang yang menunggang kuda itu adalah 

pembesar dari kerajaan Limbangan. Yang berada di atas 

kuda putih adalah Panglima Lohgender, sedang yang 

menunggang kuda hitam dengan kedua kaki depannya 

belang putih, adalah orang kepercayaan Panglima 

Lohgender, juga anak angkatnya. Pemuda berwajah 

tampan dengan tubuh tegap itu bernama Arya Duta. 

Satunya lagi seorang pemuda yang menunggang kuda 

coklat bernama Braja Duta. 

Langkah-langkah kaki kuda itu berhenti di depan sebuah 

rumah yang dijaga ketat oleh beberapa prajurit. Bergegas 

mereka rurun dan kudanya masing-masing. Dua orang ber-

pakaian prajurit Kadipaten Karang Asem segera mendekat. 

Panglima Lohgender, Arya Duta dan Braja Duta melangkah 

beriringan menuju ke serambi rumah besar itu. 

"Gusti Adipati sudah lama menunggu, Gusti Panglima," 

kata salah seorang lelaki tua yang segera menyongsong di 

serambi rumah. 

"Hm, di mana gustimu?" tanya Panglima Lohgender 

penuh wibawa. 

"Ada di ruang tengah, Gusti Panglima." 

Panglima Lohgender dari Kerajaan Limbangan itu terus 

melangkahkan kakinya menuju ruangan tengah di mana 

Adipati Prahasta telah menunggunya. Dua orang penjaga 

pintu langsung membungkuk memberi hormat. 

"Masuklah, Adi Lohgender!" satu suara besar dan berat 

menyambut begitu kaki Panglima Lohgender melewati 

pintu menuju ruangan tengah. 

"Ada apa gerangan kau memintaku datang ke Karang 

Asem, Kakang Prahasta?" tanya Panglima Lohgender



begitu duduk di kursi. 

"Ada persoalan penting," sahut Adipati Prahasta. 

"Pribadi?" tanya Lohgender sambil matanya melirik Arya 

Duta dan Braja Duta yang masih berdiri di belakang 

panglima itu. 

"Tidak," sahut Adipati Prahasta "Dan memang sebaiknya 

Arya Duta dan Braja Duta mengetahui persoalan ini" 

Adipati Karang Asem itu mempersilakan Arya Duta dan 

Braja Duta duduk. Mereka mengambil tempat di samping 

Panglima Lohgender. Beberapa saat lamanya mereka 

terdiam saling berpandangan. Panglima Lohgender seperti 

menangkap sesuatu yang tengah menyusahkan Adipati 

Karang Asem ini. 

"Aku tidak melihat istri dan anakmu. Di mana mereka?" 

tanya Panglima Lohgender memecah kebisuan. 

"Aku ungsikan ke Kadipaten Sedana." sahut Adipati 

Prahasta 

"Diungsikan...?" tanya Panglima Lohgender terperanjat. 

"Terpaksa, demi keselamatan mereka." 

"Edan! Cuma karena kekacauan saja Kakang meng-

ungsikan keluarga? Atau..., ah, jelaskan seperlunya, 

Kakang." Panglima Lohgender sudah bisa menduga-duga. 

Adipati Prahasta terdiam sesaat, lalu…. 

"Awalnya memang cuma kejadian biasa, perampokan, 

pembunuhan, dan lain-lainnya. Aku sudah memerintahkan 

prajurit kadipaten untuk lebih memperkuat penjagaan. 

Memang ada hasilnya, semua bisa teratasi dengan baik. 

Tapi dua minggu terakhir ini...," Adipati Prahasta meng-

hentikan kalimatnya. 

"Teruskan," pinta Panglima Lohgender. "Mereka 

menjarah semua harta benda para petinggi kadipaten. 

Bahkan juga nyawanya. Dan yang lebih menghebohkan 

lagi, mereka selalu menculik pemuda-pemuda di sini." 

lanjut Adipati Prahasta. 

"Siapa mereka?" 

"Aku tidak tahu," sahut Adipati Prahasta. 

"Bagaimana mungkin kau tidak tahu, Kakang?"


"Mereka seperti setan saja. Tidak ada jejak, juga 

kedatangannya tanpa bisa diduga sebelumnya. Kau bisa 

bayangkan, Adi Lohgender. Para petinggi kadipaten jadi 

resah karenanya, bahkan sudah tiga orang mengundurkan 

diri, dan lima keluarga petinggi kembali ke kota raja." 

"Hm..., sudah kau sebar telik sandi untuk menyelidiki?" 

tanya Panglima Lohgender seperti bergumam. 

"Sudah. Tapi sampat sekarang belum ada hasilnya. 

Malah tiga telik sandi tewas dengan keadaan yang 

mengerikan " 

Panglima Lohgender diam termenung. Keningnya ber-

kerut dalam, pertanda dia tengah berpikir keras. Dia 

merasa heran dan bingung dengan turut diculiknya para 

pemuda oleh gerombolan pengacau itu. Apalagi jika dia 

ingat, kalau masih ada kadipaten-kadipaten lain yang jauh 

lebih kecil dari Kadipaten Karang Asem ini, tapi tak ada 

kekacauan dan penculikan-penculikan seperti yang terjadi 

di kadipaten ini. 

Panglima Lohgender menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Sulit dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang meng-

geluti pikirannya. 

"Baiklah, untuk sementara aku akan tinggal di sini 

beberapa hari. Kalau keadaannya semakin memburuk, 

Braja Duta bisa membawa prajurit-prajurit pilihannya ke 

sini," kata Panglima Lohgender. 

"Terima kasih, Adi Lohgender. Aku sudah putus asa 

menghadapi mereka," sambut Adipati Prahasta gembira. 

"Hmmm... berapa orang prajurit Kadipaten Karang 

Asem?" tanya Panglima Lohgender. 

"Dua ratus orang," sahut Adipati Prahasta "Untuk 

sementara, kurasa cukup untuk menjaga segala 

kemungkinan." 

"Kalau begitu, sebaiknya Adi Lohgender beristirahat dulu 

barang sejenak. Tentunya sangat melelahkan menunggang 

kuda dan menempuh perjalanan jauh." 

Adipati Prahasta bangkit berdiri diikuti Panglima 

Lohgender dan kedua anak angkatnya. Dia sendiri yang


mengantarkan langsung Panglima perang Kerajaan 

Limbangan itu ke tempat peristirahatannya. Sedangkan 

Arya Duta meminta izin untuk berjalan-jalan menghirup 

udara segar di luar. 

Arya Duta adalah anak angkat Panglima Lohgender. 

Selain sebagai orang kepercayaan panglima, dia juga 

memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu kesaktiannya bahkan 

hampir menyamai sang Panglima itu sendiri. Arya Duta ber-

jalan-jalan mengelilingi rumah kediaman sang adipati yang 

besar dengan halaman yang luas ditata indah. Dia berjalan-

jalan sambil mengamati keadaan sekitarnya, terutama 

pengaturan penjagaan para prajurit di sekitar kediaman 

Adipati Karang Asem ini. 

"Hm…, cukup rapi penjagaan di sini," gumam Arya Duta 

dalam hati. Dia merasa cukup puas dengan pengaturan 

penjagaan di lingkungan kadipaten. 

*** 

Udara malam ini terasa tak menentu, sebentar panas 

dan sebentar kemudian terasa begitu dingin oleh sapuan 

angin yang bertiup kencang. Langit pun tertutup awan 

hitam yang bergulung-gulung, lalu kembali terang. Cuaca 

yang tak menentu ini seperti memberikan firasat buruk 

pada prajurit-prajurit Karang Asem yang tengah berjaga-

jaga di seputar kediaman Adipati Prahasta, yang semangat-

nya kembali terpompa oleh kedatangan Panglima 

Lohgender dan kedua anak angkatnya. 

Tampak di halaman belakang kediaman Adipati, Arya 

Duta tengah berbincang-bincang dengan dua orang 

prajurit, yang dilihat dari pakaiannya seperti kepala 

pasukan. Mereka adalah Balungpati dan Welut Putih. Dari 

sikap dan caranya berbicara, tampak jelas kalau Arya Duta 

sangat menghormati keduanya, meski pangkat yang 

disandang jauh lebih tinggi dari mereka. 

"Seharusnya Paman berdua tidak perlu ikut berjaga 

malam," kata Arya Duta "Biar kami yang muda-muda ini


saja yang berjaga." 

"Malah sebaliknya Gusti Arya Duta perlu beristirahat. 

Seharian penuh Gusti menempuh perjalanan panjang 

dengan berkuda, tentu sangat melelahkan," sahut 

Balungpati. 

"Aku sudah cukup beristirahat sore tadi, Paman 

Balungpati." sambut Arya Duta tersenyum ramah. 

"Oh, ya, kenapa Gusti Panglima tidak membawa 

pasukan ke sini?" tanya Welung Putih. 

"Ayahanda Lohgender belum merasa perlu untuk 

mengerahkan prajurit kerajaan. Entah kalau keadaannya 

semakin memburuk," sahut Arya Duta tanpa bermaksud 

menyombongkan diri. 

"Mereka bukan orang-orang sembarangan, Gusti Arya 

Duta. Aku sendiri sangsi dengan kekuatan prajurit 

kadipaten," kata Balungpati agak bergumam. 

"Paman pernah bertemu dengan mereka?" tanya Arya 

Duta. 

"Pernah, ketika gerombolan pengacau itu mendatangi 

rumah Kepala Desa Karang Asem Wetan," sahut 

Balungpati. 

"Berapa orang mereka?" 

"Waktu itu cuma empat orang, tapi rata-rata mereka 

memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sepuluh orang 

prajuritku mati terbunuh, dan aku sendiri mendapat luka 

yang cukup parah." 

"Lalu, apa yang terjadi?" 

"Mereka menculik putra Kepala Desa itu." 

"Hanya itu?" 

"Iya. Mereka tidak sempat bergerak lebih jauh, karena 

Welut Putih dan tiga puluh orang prajurit keburu datang." 

Arya Duta memandang Welut Putih. 

"Sayang, aku tidak sempat bentrok dengan mereka," 

kata Welut Putih mengakui. 

"Paman tidak berusaha mengejar?" 

"Percuma, seperti lenyap tak berbekas, tidak ketahuan 

arahnya ke mana mereka pergi," sahut Welut Putih.



Arya Duta menghela napas panjang. Hatinya sudah men-

duga kalau yang akan dihadapinya adalah orang-orang dari 

kalangan rimba persilatan yang terbiasa malang melintang 

di dunia bebas, dunia yang selalu diukur dengan ilmu 

kesaktian. 

Seandainya dugaan Arya Duta benar, tentu tidak 

mungkin hanya mengandalkan para prajurit yang cuma 

menguasal ilmu olah kanuragan tanpa sedikitpun memiliki 

kesaktian. Prajurit pilihan kerajaan pun akan sangat sulit 

menandingi, apalagi prajurit-prajurit kadipaten yang 

kemampuannya masih jauh dibawah rata-rata. 

Saat anak muda itu termenung, sekilas matanya 

menangkap sekelebat bayangan hitam melewati tembok 

benteng Kadipaten Karang Asem, lalu berkelebat ke atas 

atap. Arya Duta langsung melenting ke arah bayangan tadi 

menghilang di balik atap Balungpati dan Welut Putih 

segera bertindak mengikuti Arya Duta. 

"Berhenti…!" teriak Arya Duta begitu kakinya menjejak 

atap. 

Bayangan hitam itu berbalik cepat, dan seketika dua 

sinar kehijauan meluncur deras ke arah Arya Duta. Anak 

muda itu bukanlah pemuda kosong, secepat kilat dia 

melentingkan tubuhnya menghindari sinar kehijauan itu. 

Dan belum lagi kakinya menjejak atap, kembali dua sinar 

kehijauan meluncur ke arahnya. 

"Hup!" 

Tap, tap! 

Arya Duta menangkap dua sinar kehijauan itu sambil 

berputar di udara, kemudian dengan manis kakinya men-

jejak atap. Namun mendadak, ketika matanya tengah 

melirik dua paku yang berwarna hijau di tangannya, 

bayangan hitam itu melesat cepat ke bawah. 

"Hey..!" 

Arya Duta segera melompat turun ke tanah, tapi 

bayangan hitam itu lenyap seketika begitu kakinya 

menginjak tanah. Arya Duta mengedarkan pandangannya 

ke sekeliling. Matanya yang tajam seolah menembus



kepekatan malam. Arya Duta lalu menoleh ketika 

telinganya mendengar langkah-langkah kaki mendekati. 

Tampak Balungpati dan Welut Putih berlarian meng-

hampiri, yang disusul Panglima Lohgender dan Braja Duta 

di belakang mereka. 

"Ada apa, Arya Duta?" tanya Panglima Lohgender. 

"Ada seseorang yang tampaknya bermaksud tidak baik," 

sahut Arya Duta. 

"Seseorang...?" 

"Iya, pakaiannya serba hitam." Arya Duta menyodorkan 

dua buah paku berwarna hijau dengan telapak tangannya 

yang terbuka. Panglima Lohgender memperhatikannya 

sejenak, lalu mengambilnya sebuah dari tangan anak 

angkatnya itu. 

"Ayah mengenalinya?" tanya Arya Duta. 

"Tidak...." sahut Panglima Lohgender seperti ragu-ragu 

nada suaranya. 

Arya Duta baru saja mau membuka mulutnya hendak 

bertanya lagi, ketika tiba-tiba terdengar teriakan minta 

tolong dari arah dalam kediaman adipati. Arya Duta 

langsung meloncat dan berlari cepat diikuti oleh Balungpati 

dan Welut Putih menuju ke ruang dalam. 

"Balungpati, atur penjagaan!" seru Panglima Lohgender. 

"Baik, Gusti," sahut Balungpati. 

Balungpati membelokkan larinya. Sedangkan Welut 

Putih tetap berlari cepat mengikuti Arya Duta dan Panglima 

Lohgender yang berlari cepat seraya mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh. 

*** 

"Kakang, buka pintunya!" tertak Panglima Lohgender 

sambil menggedor pintu. 

Pintu kamar dari kayu jati berukir itu terkuak. Tampak 

Adipati Prahasta ke luar dengan tubuh sempoyongan dan 

rupa acak-acakan. Pakaiannya basah oleh darah segar 

yang mengucur deras dari bahu kanannya. Panglima


Lohgender langsung menerobos masuk ke dalam. Matanya 

membelalak lebar ketika dilihatnya keadaan kamar yang 

berantakan. 

"Apa yang terjadi, Kakang'" tanya Panglima Lohgender. 

"Dia ingin membunuhku," sahut Adipati Prahasta. 

"Dia... dia siapa?" 

"Aku tidak tahu, sulit untuk mengenalinya. Seluruh 

tubuhnya terselubung baju hitam." 

Arya Duta ikut memeriksa mendekati Panglima 

Lohgender. Sepuluh anak panah yang ditemukannya ter-

tancap di lantai, dia sodorkan ke ayah angkatnya. Panglima 

Lohgender mengerutkan keningnya melihat anak panah 

berwarna hijau yang kini berada di tangannya. Sepertinya 

Panglima Kerajaan Limbangan itu mengenali senjata di 

tangannya ini, tapi serasa sulit untuk mengingat-ingat, 

siapa pemilik senjata berwarna hijau ini. 

"Kau sempat bentrok dengannya, Arya Duta?" tanya 

Panglima Lohgender. 

"Sedikit," sahut Arya Duta. 

"Bagaimana rupanya" 

"Kejadiannya terlalu cepat, sulit untuk mengenali 

wajahnya," sahut Arya Duta seraya mengingat-ingat. 

"Hm…, sudahlah, sebaiknya kau bantu Balungpati 

mengatur penjagaan di luar." 

"Baik, Ayah " 

Arya Duta segera berlalu diikuti Braja Duta. Sepeninggal 

kedua anak angkatnya itu, Panglima Lohgender masih 

termenung menatap dua senjata di tangannya. Kemudian 

dia melangkah ke luar dan kamar itu. Langkahnya terhenti 

saat melihat Welut Putih berdiri di depan pintu kamar yang 

tertutup. Panglima Lohgender tahu kalau kamar itu biasa-

nya ditempati oleh putra adipati. Dan tadi dia sempat 

melihat Adipati Prahasta masuk ke dalam kamar itu 

dibimbing Welut Putih. 

"Kenapa kau di sini?" tanya Panglima Lohgender. 

"Gusti Adipati ada di dalam, hamba diperintahkan untuk 

menjaga di sini," sahut Welut Putih penuh hormat.


"Bagaimana lukanya?" 

"Gusti Adipati ingin mengobatinya sendiri. Katanya tidak 

mau diganggu.” 

"Baiklah. Perintahkan beberapa prajurit untuk berjaga-

jaga di sekitar kamar ini," perintah Panglima Lohgender. 

"Hamba laksanakan Gusti Panglima" 

Panglima Lohgender segera berlalu. Welut Putih juga 

lekas beranjak meninggalkan tempat itu. Tak lama 

kemudian dia sudah kembali lagi dengan sepuluh orang 

prajurit. Langsung dia mengatur penjagaan di sekitar 

kamar itu. Welut Putih sendiri mengambil tempat tidak jauh 

dari pintu kamar. 

Sementara Panglima Lohgender terus melangkah 

menuju ke luar. Dia berdiri di depan pintu beranda sambil 

matanya tajam mengamati keadaan sekitarnya. Sementara 

di tangan kanannya masih tergenggam satu paku dan satu 

anak panah berwarna hijau yang ditemukan oleh anak 

angkatnya. Pikirannya masih diselimuti oleh berbagai 

kejadian-kejadian yang serba misterius di Kadipaten 

Karang Asem ini. 

"Aku seperti pernah mengenal senjata ini, siapa ya...? 

Hm... Orang itu pasti memiliki tingkat kepandaian yang 

sangat tinggi," gumam Panglima Lohgender. Matanya tidak 

lepas memandangi dua senjata di tangannya dengan 

kening berkerut dalam. 

"Ayah..." tiba-tiba Braja Duta sudah berada di samping-

nya. 

Panglima Lohgender berpaling menatap Braja Duta. 

"Ada apa?" tanya Panglima Lohgender. 

"Dua orang prajurit yang bertugas di bagian belakang 

tewas," Braja Duta melaporkan. 

"Apa...?!" Panglima Lohgender terperanjat. 

"Di leher mereka tertancap paku hijau," sambung Braja 

Duta. 

"Edan! Bagaimana mungkin bisa terjadi?" 

"Orang itu pasti dari kalangan rimba persilatan, dan 

ilmunya tentu tinggi sekali," kata Braja Duta menduga.



"Kau yakin...?" Panglima Lohgender seperti ragu-ragu. 

"Rasanya tidak mungkin orang biasa bisa melakukannya 

tanpa kita ketahui." 

Panglima Lohgender bergumam tak jelas. Matanya 

kembali menatap dua senjata di tangannya. Dia tengah 

berusaha mengingat-ingat saat dirinya malang-melintang di 

dunia persilatan, sebelum menjadi Panglima tertinggi 

Kerajaan Limbangan. Tapi beberapa saat lamanya dia tak 

mampu mengungkapnya. Dia yakin kalau pernah melihat 

senjata ini, tapi kapan dan di mana? Siapa pemiliknya? 

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang selalu mengganggu 

pikirannya saat ini. 

"Kita harus menghentikannya sebelum jatuh korban 

lebih banyak lagi, Ayah," kata Braja Duta. 

"Kalau dugaanmu benar, seribu prajurit pun tidak akan 

mampu menandinginya, Braja Duta," sahut Panglima 

Lohgender seperti bergumam. 

"Kita harus minta bantuan orang-orang dari rimba 

persilatan juga," Braja Duta menyarankan. 

"Orang-orang seperti itu tidak pernah mau ikut campur 

dalam persoalan kerajaan. Puluhan tahun aku malang-

melintang dalam rimba persilatan, dan aku tahu persis 

watak-watak mereka." 

"Lantas apa yang akan kita lakukan?" 

Panglima Lohgender tidak segera menjawab. Memang 

sulit kalau harus menghadapi orang-orang rimba per-

silatan. Sedangkan selama ini dia tidak pernah lagi 

mengetahui perkembangannya. Tugas-tugas kerajaan telah 

menyita banyak waktunya untuk terus mengamati per-

kembangan dunia persilatan saat ini. 

Mendadak saja Panglima Lohgender tersentak. Dia ter-

ingat dengan satu nama ketika terjadi peristiwa di Desa 

Pasir Batang, meskipun dia tidak mengalaminya sendiri, 

tapi dari cerita yang sempat didengar, ada seorang 

pendekar muda digdaya yang ilmunya sangat tinggi, sukar 

dicari tandingannya. Pada saat ia sedang berpikir begitu, 

Arya Duta datang menghampirinya.


"Arya Duta, kau pernah mendengar peristiwa di Desa 

Pasir Batang?" tanya Panglima Lohgender langsung ber-

tanya pada Arya Duta. 

"Ya, desa yang hampir musnah oleh Raja Dewa 

Angkara." sahut Arya Duta. 

"Kau pasti tahu, siapa yang menumpas iblis itu?" 

"Pendekar Rajawali Sakti." 

"Benar!" 

Arya Duta menatap ayahnya tak mengerti. "Hanya kau 

satu-satunya yang kuandalkan, Arya Duta. Pergi dan carilah 

di mana pendekar itu berada," kata Panglima Lohgender 

bernada memerintah. 

"Maksud Ayah...?" Arya Duta masih belum mengerti. 

"Katakan padanya tentang keadaan di sini. Aku yakin 

pendekar itu mau membantu," sahut Panglima Lohgender. 

"Di mana mencarinya? Tempat tinggal pendekar itu tak 

menentu. Lagi pula membutuhkan waktu yang tidak 

pendek untuk mencarinya, Ayah. Bisa-bisa Kadipaten 

Karang Asem ini sudah hangus lebih dulu." 

"Ini perintah, Arya Duta!" sentak Panglima Lohgender 

melihat anak angkatnya seperti putus asa. 

"Baik, Ayah. Besok pagi-pagi sekali aku berangkat," 

sahut Arya Duta cepat-cepat. 

"Kalau perlu, bawa beberapa prajurit" 

"Tidak perlu seorang pun. Aku bisa melaksanakannya 

sendiri," sanggah Arya Duta sengit mendapat tugas yang 

dirasakannya tidak masuk akal itu. 

"Sebelum kau kembali, aku tidak meninggalkan 

kadipaten ini," kata Panglima Lohgender tegas. 

Arya Duta diam saja. Dia tidak menyanggah sedikitpun. 

Dia menelan ludahnya yang terasa pahit. Mencari seorang 

pendekar, apa lagi yang mengembara sama saja mencari 

jarum di padang luas. Tugas yang tidak berat, tapi terasa 

mustahil untuk dilaksanakan. 

"Dan kau, Braja Duta." lanjut Panglima Lohgender pada 

anak angkatnya yang satu lagi. "Segera kembali ke 

Limbangan. Persiapkan prajurit pilihan. Suatu saat aku

akan kirim utusan ke sana." 

"Baik. Ayah." sahut Braja Duta segera beranjak pergi. 

***


DUA


Matahari pagi belum lagi merayap naik menyinari bumi, 

ketika kuda yang ditunggangi Arya Duta berpacu cepat 

meninggalkan rumah kediaman Adipati Karang Asem. Di 

sepanjang jalan yang dilaluinya, belum terlihat seorang 

penduduk pun memulai kesibukannya. Arya Duta terus 

memacu kudanya dengan kencang ke arah Barat dari 

Kadipaten Karang Asem. 

Ketika dia hendak melewati perbatasan, Arya Duta 

menghentikan laju kudanya. Telinganya mendengar 

langkah-langkah kaki kuda yang mengikuti dari belakang. 

Arya Duta memalingkan kepalanya ke belakang. Tampak 

dua ekor kuda berpacu cepat semakin mendekat. 

"Ada apa Paman berdua menyusulku?" tanya Arya Duta 

setelah kedua penunggang kuda itu berada di dekatnya. 

"Maaf, hamba berdua diperintahkan Gusti Panglima 

untuk mendampingi Gusti Arya Duta," sahut Balungpati 

penuh hormat. 

"Keamanan Kadipaten Karang Asem lebih penting 

daripada ikut bersamaku." kata Arya Duta. Nadanya jelas 

tidak menyetujui perjalanannya diikuti oleh siapapun. 

"Tapi, Gusti...," Welut Putih hendak menjelaskan. 

"Tidak perlu dijelaskan, Paman Welut Putih. Kalian 

berdua tentu serba salah. Tapi baiklah, karena perintah ini 

datangnya dari Panglima tertinggi Kerajaan Limbangan, 

aku tidak bisa menolaknya lagi," sergah Arya Duta. 

"Terima kasih, Gusti." ucap Balungpati. 

Arya Duta kemudian menggebah kudanya pelan-pelan, 

Balungpati dan Welut Putih segera mengikuti. Ketiga kuda 

itu pun akhirnya berpacu cepat meninggalkan perbatasan 

Kadipaten Karang Asem. Sementara matahari mulai 

menampakkan cahayanya di ufuk Timur. Sinarnya yang 

kemerahan membias indah memantul dari pucuk-pucuk 

pohon.


"Kau tahu, apa yang menjadi tugas kita, Paman 

Balungpati?" tanya Arya Duta ketika mereka menjalankan 

kudanya pelan-pelan meniti bukit terjal. 

"Mencari Pendekar Rajawali Sakti, Gusti," sahut 

Balungpati. 

"Kau tahu, di mana pendekar itu biasanya tinggal?" 

Balungpati tidak langsung menjawab. Matanya me-

mandang Welut Putih yang memacu kudanya di samping 

kiri Arya Duta. Welut Putih menggelengkan kepalanya. 

"Kami tidak tahu, Gusti," kata Balungpati. Mereka ber-

dua memang pernah mendengar nama itu, tapi tidak 

pernah bertemu langsung. 

Mereka kembali terdiam beberapa saat lamanya. 

Mereka seperti tengah menelusuri jalan pikiran masing-

masing. Tak seorang pun dari mereka bertiga yang 

mengetahui, ke mana harus memulai pencariannya. Men-

cari tokoh rimba persilatan bukanlah pekerjaan ringan, dan 

bukannya tidak mungkin akan menemui banyak rintangan. 

Bagi kaum rimba persilatan, alasan tidaklah penting. 

Sulit memastikan siapa kawan dan siapa lawan. Yang jelas 

siapa yang dekat dengan lawan, dia pasti juga lawan. 

*** 

Sementara itu di suatu tempat yang berlembah dan 

berbukit, tampak Rangga alias si Pendekar Rajawali Sakti 

tengah duduk di atas sebuah batu di pinggir sungai. Air 

sungai mengalir lembut memantulkan pernik-pernik sinar 

matahari. Seutas tali yang mengikat bambu kecil ter-

genggam di tangannya. Pandangannya tidak lepas dari 

seutas tali yang mengambang di permukaan air. 

"Ugh, lama banget. Dari tadi cuma dapat dua ekor!" 

gumamnya mengeluh seraya melirik dua ekor ikan dalam 

wadah anyaman bambu. 

"Banyak ikan yang kau dapatkan, Kakang?" sebuah 

teguran lembut tiba-tiba terdengar dari arah belakang. 

Rangga menoleh dan cemberut begitu dilihatnya Pandan


Wangi tengah menuju ke arahnya. Dia menenteng hampir 

sepuluh ekor ikan yang besar-besar di tangan. Dalam hati, 

Rangga mengakui kalah pintar dengan Pandan Wangi yang 

dalam waktu yang bersamaan bisa mendapatkan ikan 

lebih banyak dari yang didapatkannya. 

"Mana hasilmu?" tanya Pandan Wangi setelah dekat 

"Tuh...!" Rangga menunjuk dengan bibirnya. 

Pandan Wangi tertawa terpingkal-pingkal seperti 

mengejek melihat ke dalam wadah anyaman bambu. Di 

dalam wadah itu hanya terdapat dua ekor ikan kecil-kecil. 

Sementara Rangga hanya menggerutu kecil. Tahu kalau 

hasilnya akan begini. lebih baik kupakai tombak saja dari 

tadi, rutuknya dalam hati. 

"Aku buat api dulu, ya?" kata Pandan Wangi sera-ya 

meletakkan ikan hasil pancingannya di wadah Rangga. 

Lalu segera dia berlari ringan menuju ke pinggir hutan 

untuk mencari kayu bakar. 

"Jangan jauh-jauh, Pandan!" seru Rangga. 

"Iya, Kakang. Pancing terus biar banyak, ha ha ha...!" 

sahut Pandan Wangi seraya tertawa mengejek. 

"Sialan!" rutuk Rangga sengit. 

Rangga kembali menekuni pancingnya. Sebentar-

sebentar matanya melirik ikan di dalam wadah, lalu 

berganti ke tepi hutan di mana tubuh Pandan Wangi lenyap 

dalam pandangannya. Pendekar Rajawali Sakti itu akhirnya 

kesal sendiri. Sudah cukup lama dia menunggu, tapi tak 

seekor ikan pun mau menyentuh umpannya. Dia lalu 

bangkit berdiri dan membuang pancingannya dengan kesal 

ke dalam sungai. 

"Huh, sudah tahu aku tidak bisa mancing, malah diajak!" 

gerutu Rangga dalam hati. 

Kaki Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian melangkah 

hendak menuju ke tepi hutan. Dia baru menyadari kalau 

Pandan Wangi sudah terlalu lama pergi kalau hanya untuk 

mencari kayu bakar sekadarnya. Namun baru beberapa 

langkah dia berjalan, mendadak terlihat Pandan Wangi 

berlari-lari menghampiri. Wajahnya seperti orang


kebingungan. 

"Ada apa?" tanya Rangga begitu Pandan Wangi sudah 

ada di dekatnya. 

"Aku lihat dua orang berkuda menuju kemari." sahut 

Pandan Wangi masih sedikit terengah napasnya. 

"Kau bisa mengenalinya?" 

"Tidak, Kakang. Tapi kelihatannya mereka seperti 

prajurit Kerajaan Limbangan." 

"Ah, biarkan saja mereka, Pandan. Yang penting mereka 

tidak mengganggu kita," kata Rangga kemudian. 

Kedua sejoli itu lalu berjalan melangkah kembali ke 

tepian sungai. Namun tiba-tiba saja terlihat oleh mereka 

dua orang berkuda muncul ke luar dari hutan. Benar 

dugaan Pandan Wangi, Rangga mengenali kedua orang itu 

dari sabuknya yang bersulam bunga melati. Sulaman itu 

menandakan kalau mereka prajurit dari Kerajaan 

Limbangan. 

Kedua prajurit berkuda itu menghentikan lari kudanya di 

depan Rangga dan Pandan Wangi. Mereka lalu melompat 

turun dari punggung kudanya masing-masing. Dengan 

langkah tegap, salah seorang dari mereka menghampiri 

Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi yang berjuluk 

si Kipas Maut. 

"Maaf, Kisanak. Boleh aku bertanya?" suara prajurit itu 

terdengar sopan dan ramah. 

"Silakan." sahut Rangga juga sopan. 

"Apa Kisanak melihat tiga orang berkuda melintasi jalan 

ini?" tanya prajurit itu langsung. Dari tanda pangkat yang 

dikenakannya, jelas kalau dia seorang punggawa. 

Rangga memandangi Pandan Wangi. Kemudian meng-

geleng hampir berbarengan. Sejak pagi tadi, mereka 

memang tidak melihat seorang pun melintas di sini. 

Bahkan sudah hampir satu purnama mereka belum 

melihat orang lain selain mereka berdua yang datang ke 

hutan ini. 

"Hm, apakah Kisanak berdua tinggal di sekitar hutan 

ini?" tanya prajurit yang berpangkat punggawa itu lagi.


"Iya," sahut Rangga 

"Maaf, apakah Paman berdua dari Kerajaan 

Limbangan?" tanya Pandan Wangi ingin memastikan. 

"Benar, kami prajurit dari Limbangan. Aku bernama 

Garulungan, dan temanku ini Paringgan. Kami adalah para 

punggawa yang ditugasi menyusul Wakil Panglima 

Lohgender yang bernama Gusti Arya Duta. Beliau 

didampingi dua orang kepala pasukan dari Kadipaten 

Karang Asem," Garulungan menjelaskan. 

"Kadipaten Karang Asem tidak jauh dari sini. Cuma 

setengah hari perjalanan berkuda," gumam Pandan Wangi. 

"Benar, Nini. Dan kami juga baru dari sana sebelum 

mendapat tugas dari Gusti Panglima Lohgender," sahut 

Garulungan. 

"Ada keperluan apa Tuan Punggawa mencarinya?" tanya 

Rangga berlaku sopan pada punggawa Kerajaan 

Limbangan ini. 

"Kami mendapatkan tugas menyampaikan sesuatu pada 

Gusti Arya Duta dari Panglima Lohgender," sahut 

Garulungan lagi. 

"Sayang sekali, sejak pagi tadi tidak ada orang yang 

lewat di sini. Kecuali Tuan Punggawa berdua," ujar Rangga. 

"Gusti Arya Duta bersama Balungpati dan Welut Putih 

sudah meninggalkan Kadipaten Karang Asem tujuh hari 

yang lalu. Mereka bertiga tengah menjalankan tugas 

khusus dari Gusti Panglima Lohgender." Paringgan ikut 

nimbrung menjelaskan. 

Rangga dan Pandan Wangi menatap punggawa yang 

sudah berdiri di samping temannya itu. Kelihatannya 

Paringgan lebih muda daripada Garulungan. 

"Oh! Tentunya mereka sudah terlalu jauh dari sini," kata 

Rangga. 

"Apakah Kisanak dan Nini tidak melihat pada tujuh hari 

yang lalu?" tanya Garulungan setengah mendesak. 

"Tidak," sahut Rangga tegas. 

"Terima kasih, kalau begitu kami mohon diri." ucap 

Garulungan agak kecewa.


Selesai berkata begitu, Garulungan langsung melompat 

ke punggung kudanya. Paringgan juga melakuan hal yang 

sama. Kuda mereka meringklk kecil mendengus-dengus 

sambil menghentak-hentakkan kaki depannya. 

"Tunggu dulu, Tuan Punggawa!" seru Rangga mencegah 

begitu Garulungan mau menggebah kudanya. 

Garulungan tidak jadi menggebah kudanya. Dia 

menatap sedikit tajam pada Rangga yang berdiri agak ke 

depan dari Pandan Wangi. 

"Boleh kami tahu, tugas apa yang tengah diemban oleh 

Gusti Arya Duta?" tanya Rangga. 

"Gusti Panglima menugaskannya untuk mencari 

Pendekar Rajawali Sakti," sahut Garulungan. 

"Jika kisanak tahu atau melihat pendekar itu, tolong 

katakan kalau Gusti Panglima Lohgender menunggunya di 

Kadipaten Karang Asem!" sambung Paringgan. 

Kedua punggawa Kerajaan Limbangan itu langsung 

menggebah kudanya. Rangga yang mendengar nama 

julukannya disebut, terperangah kaget. Dia baru tersadar 

setelah tangan Pandan Wangi menyikut iganya. Rangga 

lalu mengarahkan pandangannya ke arah hutan. Tapi dua 

orang punggawa itu sudah lenyap di balik lebatnya Hutan 

Tarik ini. 

Rangga mengalihkan pandangannya pada Pandan 

Wangi. Beberapa saat lamanya mereka saling pandang dan 

terdiam membisu Pandan Wangi sendiri sempat kaget juga 

mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut tadi. Dia 

tidak mengerti, dengan tugas yang diemban Arya Duta dari 

Panglima tertinggi Kerajaan Limbangan. 

"Aneh...! Untuk apa pihak kerajaan mencariku?" Rangga 

bergumam sendiri. 

"Bukan pihak kerajaan, Kakang. Tapi Panglima 

Lohgender," ralat Pandan Wangi. 

"Sama saja,” dengus Rangga. 

"Tidak! Sekarang Panglima Lohgender ada di Kadipaten 

Karang Asem. Tentu bukan tugas kerajaan. Barangkali saja 

dia punya urusan pribadi denganmu, Kakang."


"Rasanya tidak mungkin. Pandan. Ketemu langsung saja 

belum pernah." 

"Hm... kalau begitu, kira-kira urusan apa, ya...? 

"Entahlah," Rangga mendesah malas. 

"Apa tidak sebaiknya kita pergi saja ke Kadipaten 

Karang Asem, Kakang?" Pandan Wangi mengusulkan. 

"Kau sudah menamatkan Kitab Naga Sewu?" Rangga 

malah balik bertanya. 

"Sudah tiga hari yang lalu," sahut Pandan Wangi. 

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang!" seru Rangga. 

"Sebentar, Kakang. Bukankah kau ingin makan ikan 

bakar?" Pandan Wangi mengingatkan. 

"Oh. iya.... ya. Aku lupa. Cepat Pandan, lapar juga nih 

perut!" 

Pandan Wangi tersenyum lebar, lalu melangkah sambil 

membawa ranting-ranting kering menuju ke arah sebuah 

goa yang cukup besar dan bersih. Di goa itu mereka tinggal 

selama berada di Hutan Tarik ini. 

Rangga mengikutinya dari belakang. Dia membuang 

jauh-jauh pikiran tentang Panglima Lohgender yang sedang 

menunggunya di Kadipaten Karang Asem, dan Arya Duta 

yang saat ini tengah mencarinya. Dia membayangkan ikan 

bakar olahan Pandan Wangi yang tentunya sangat nikmat, 

apalagi makannya bersama gadis cantik itu.... 

*** 

Sementara di tempat yang jauh di seputar Hutan Tarik, 

Arya Duta dan dua orang pendampingnya dari Kadipaten 

Karang Asem tengah beristirahat melepaskan lelahnya. 

Memasuki hari ketujuh pencariannya, mereka belum 

mendapatkan titik terang untuk menemukan Pendekar 

Rajawali Sakti. Arya Duta duduk bersandar di sebuah 

pohon rindang dengan wajah lesu menyimpan keputus-

asaan. Sementara Balungpati dan Welut Putih duduk 

menghadapi api unggun yang membakar tiga ekor kelinci. 

Bau harum daging kelinci bakar menyeruak hidung.


Balungpati mengambil satu dan menyerahkannya pada 

Arya Duta. Anak angkat Panglima Lohgender itu 

menerimanya dengan malas. Lalu memakan pelan-pelan 

tanpa ada gairah. 

"Apa sebaiknya kita kembali saja, Gusti?" Balungpati 

mengusulkan. 

"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda Lohgender tidak 

akan menerima kita dengan tangan kosong," sahut Arya 

Duta. 

"Lalu, sampai kapan kita harus berada di Hutan Tarik ini, 

Gusti?" tanya Welut Putih. Nada suaranya jelas 

menyiratkan kebosanan. 

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu," sahut Arya Duta 

mendesah. 

"Gusti Arya Duta kelihatan putus asa," Balungpati 

berkata pelan, seperti untuk dirinya sendiri. 

"Tidak..., tapi mungkin juga, Paman," sahut Arya Duta 

tanpa kepastian. Matanya lalu silih berganti menatap 

Balungpati dan Welut Putih. "Aku sedang memikirkan arah 

kita selanjutnya..., mungkin lebih baik kita lupakan saja 

soal Pendekar Rajawali Sakti itu. Bagaimana pendapat 

Paman berdua?" 

Kedua pendamping Arya Duta itu saling berpandangan 

sesaat. 

"Maksud Gusti?" tanya Balungpati. 

"Aku lebih suka mencari sarang pengacau-pengacau itu," 

sahut Arya Duta. 

"Pekerjaan bunuh diri, Gusti!" selak Welut Putih. 

"Itu lebih baik daripada melakukan pekerjaan yang 

belum tentu ada hasilnya, Paman." 

Balungpati dan Welut Putih tidak menyanggah. 

Keduanya hanya saling pandang sesaat, lalu suasana di 

antara mereka pun kembali hening tak bersuara. 

Balungpati dan Welut Putih memang tidak bisa 

menyalahkan Arya Duta. Tugas yang diembannya dari 

Panglima Lohgender memang nyaris tak masuk akal. 

Kehidupan kasar dan keras penuh pengembaraan dari


kaum persilatan membuat mereka tidak bisa berharap 

banyak untuk dapat menemukan Pendekar Rajawali Sakti. 

Suasana hening sepi itu tiba-tiba pecah oleh suara 

gemerisik dari ranting dan dedaunan yang terinjak kaki. 

Suara langkah-langkah kaki itu semakin dekat dan jelas 

terdengar. Arya Duta dan dua orang pendampingnya segera 

bangkit berdiri. 

"Sembunyi!" seru Arya Duta berbisik. 

Seketika ketiga orang itu berlompatan masuk ke dalam 

semak belukar. Tak berapa lama kemudian, dua sosok 

tubuh berpakaian serba hitam tampak terlihat mendekat 

ke depan bara api yang masih menyala mengepulkan 

aroma harum daging kelinci bakar. Salah seorang lalu 

membungkuk. Sebentar dia mengamati daging-daging 

kelinci yang masih tersisa. Orang itu kemudian 

mengedarkan pandangannya berkeliling. 

"Hmmm..., ada tikus masuk ke sini, Kakang Pekik," 

dengusnya bergumam. 

"Benar. Hati-hatilah, Adi Jaran!" sahut orang yang 

dipanggil Pekik. 

"Mungkin mereka telik sandi dari Kadipaten Karang 

Asem, Kakang," Jaran kembali bergumam pelan. 

"Mungkin, akhir-akhir ini memang banyak telik sandi 

berkeliaran di sekitar hutan ini." 

"Kalau begitu, kita harus...." 

Pekik buru-buru mendekap mulut Jaran. Telinga Pekik 

yang tajam, cepat dapat mendengar suara gemerisik 

ranting dan dedaunan dari arah semak belukar. Lalu 

dengan cepat dia mengebutkan tangannya ke kanan. 

Seberkas sinar kehijauan meluncur deras ke arah semak di 

sebelah kanannya. Seketika itu juga tiga sosok tubuh 

berlompatan ke luar dari semak. Pekik dan Jaran pun 

langsung mencabut pedangnya. Arya Duta berdiri tegak 

didampingi oleh Balungpati dan Welut Putih di kiri dan 

kanannya. 

"Huh! Rupanya benar dugaanmu, Adi Jaran. Kita 

kedatangan tiga tikus dari Kadipaten Karang Asem,"



dengus Pekik. 

"Kalianlah yang menggerogoti lumbung kami!" bentak 

Balungpati sengit. 

"Ha... ha... ha..., mana ada tikus punya lumbung?" Jaran 

tertawa terbahak-bahak. 

Seketika itu juga Welut Putih melompat menerjang 

dengan satu teriakan nyaring. Balungpati pun segera 

mengikuti. Pertarungan satu lawan satu tak terelakkan lagi. 

Welut Putih mengirimkan jurus-jurus mautnya ke arah 

Jaran yang telah siaga dengan pedang andalannya. 

Sementara Balungpati mulai mencecar Pekik dengan 

gerakan-gerakan sapuan tangannya yang gesit dan cepat. 

Arya Duta mengamati pertarungan yang semakin seru 

itu dari jarak hanya beberapa batang tombak. Sret..! Welut 

Putih langsung mencabut goloknya, dan mengibaskannya 

dengan cepat ke arah lawannya. Namun dengan cepat 

sekali Jaran mengelakkannya sambil menyodokkan ujung 

pedangnya ke arah perut. Welut Putih menggeser kakinya 

ke samping, dan sambil menjatuhkan diri, dia meng-

egoskan kakinya dengan kuat menyampok kaki kiri lawan. 

Jaran yang tidak menduga, langsung terjungkal. Tubuhnya 

terbanting keras ke tanah dengan muka lebih dulu men-

cium tanah. Welut Putih tidak tinggal diam, segera dia 

meloncat bangkit. Tubuhnya langsung melayang di udara 

sesaat, kemudian kedua kakinya menghajar punggung 

Jaran beberapa kali. 

Bug...! 

"Aaakh...!" Darah segar pun muncrat dari mulut Jaran 

yang hanya bisa memekik tertahan. 

Sebentar kepalanya terangkat, lalu terkulai jatuh ke 

tanah begitu golok Welut Putih membabat lehernya. Hanya 

sebentar saja Jaran sanggup menggelepar, kemudian diam 

tak berkutik lagi. Dari mulut dan lehernya mengucur darah 

segar. Welut Putih segera melangkah menjauhi mayat 

lawannya. 

"Paman Balungpati, gunakan senjata!" teriak Arya Duta 

tiba-tiba.


Welut Putih segera menoleh ke arah pertarungan antara 

Balungpati dengan Pekik. Balungpati yang memang terlihat 

sudah terdesak itu, langsung mencabut pedangnya. Kini 

pertarungan kembali berlangsung seimbang. 

Tring! 

Dua pedang beradu di angkasa. Percikan bunga api ber-

pijar dari dua senjata yang beradu keras itu. Tampak Pekik 

melompat mundur dengan mulut menyeringai. Tangan 

kanannya tampak gemetar dan memerah saga. Dia kalah 

kuat beradu tenaga dengan lawannya. 

"Mampus kau, setaaan...!" teriak Balungpati keras. 

Saat itu juga Balungpati melompat bagai kilat sambil 

mengibaskan pedangnya. Serangan Balungpati yang cepat 

membuat Pekik terperangah. Buru-buru dia mengangkat 

pedangnya untuk menangkis. 

Tring! 

"Akh!" Pekik memekik tertahan. 

Pedang di tangannya terlontar, mencelat jauh ke udara. 

Pada saat iItu juga, Balungpati memutar pedangnya, dan... 

Cras! 

"Aaa...!" 

Tubuh Pekik sempoyongan diiringi oleh erangan 

panjang, lalu roboh ke tanah dengan darah segar muncrat 

dari dadanya yang robek terbabat pedang. Balungpati 

memandangi tubuh lawannya sesaat, kemudian 

memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya di 

pinggang. Sesaat kemudian Balungpati berbalik meng-

hadap pada Arya Duta dan Welut Putih yang berdiri di 

samping pemuda itu. 

"Aku yakin, mereka adalah para pengacau di Kadipaten 

Karang Asem," kata Arya Duta. 

"Benar, Gusti," sahut Balungpati. "Hanya saja mereka 

cuma cecunguk." 

"Dan yang pasti, sarang mereka ada di sekitar Hutan 

Tarik ini," sambung Welut Putih. 

"Hm..., kita sudah melacak hutan ini selama tujuh hari. 

Tapi tidak ada tanda-tanda kalau dijadikan sarang


pengacau," gumam Arya Duta pelan. "Bagaimana pen-

dapatmu, Paman Balungpati?" 

"Sebaiknya jelajahi lagi hutan ini. Kalau memang sarang 

mereka di sini, kita bisa melaporkannya pada Gusti 

Panglima Lohgender," sahut Balungpati. 

"Kalau begitu, mari kita berangkat sekarang juga," ajak 

Arya Duta. 

"Baik, Gusti," hampir berbarengan Balungpati dan Welut 

Putih menyahuti. 

Ketiga orang itu pun segera melanjutkan perjalanan, 

menjelajahi kembali Hutan Tarik ini. Arya Duta kini punya 

semangat lagi setelah yakin akan menemukan sarang 

pengacau itu. Untuk sesaat dia bisa melupakan tugas 

utamanya, mencari Pendekar Rajawali Sakti. 

***


TIGA


Suasana kota Kadipaten Karang Asem tampak begitu 

tenang dan lengang. Udara malam yang terasa sejuk oleh 

hembusan angin lembut, seperti ikut menyiratkan 

kedamaian. Rangga atau si Pendekar Rajawali Sakti pun 

benar-benar menikmati suasana di keheningan malam 

bersama Pandan Wangi. Sudah dua hari ini mereka tinggal 

di sebuah penginapan yang cukup besar. 

"Seharusnya kau memesan dua kamar, Kakang," kata 

Pandan Wangi agak ketus. 

Rangga hanya diam saja membisu sambil matanya 

menatap ke luar dari jendela yang terbuka lebar. Sudah 

dua hari ini Pandan Wangi selalu menggerutu kesal 

lantaran Rangga hanya memesan satu kamar untuk 

mereka berdua. Rangga bisa memaklumi kalau gadis itu 

merasa risih berada dalam satu kamar bersama pemuda 

yang hanya sahabat saja. Tapi Rangga punya alasan 

tersendiri memesan satu kamar untuk mereka berdua. 

"Tidak mungkin, Pandan," kata Rangga begitu telinganya 

mendengar gerutuan Pandan Wangi yang tidak berhenti. 

Tapi tatapan Pendekar Rajawali Sakti itu tetap tidak ber-

paling dari jendela yang terbuka lebar. 

"Kenapa tidak mungkin? Bukankah bekal kita cukup 

untuk memesan dua kamar?" sergah Pandan Wangi ber-

nada kesal. 

"Memang...," desah Rangga agak acuh. Dia tetap tidak 

memalingkan mukanya. Matanya tetap menatap keramai-

an yang mulai nampak di luar sana. Keramaian yang jarang 

dia nikmati di malam hari, kalau tidak kebetulan berada 

pada suatu kota. 

"Lalu, kenapa kau hanya menyewa satu kamar?" 

"Karena aku sudah mengatakan kalau kau istriku pada 

pemilik penginapan ini," sahut Rangga kalem sambil 

mengulum senyum di bibirnya.


"Edan!" dengus Pandan Wangi. 

"Ingat, Pandan. Kita datang ke sini dengan satu tujuan. 

Dan aku belum mau menarik perhatian orang," Rangga 

berusaha menjelaskan. 

"Aku tidak mengerti maksudmu?" 

"Kita datang berdua. Kalau menyewa dua kamar, tentu 

bisa menarik perhatian orang. Aku tidak mau kita menemui 

kesulitan sebelum tahu maksud Panglima Lohgender 

mencariku. Kau harus mengerti, Pandan. Toh, kita tidak 

melakukan apa-apa di sini, kan?" 

"Tapi, kau kan bisa mengaku aku ini adikmu, atau apa 

saja yang lain asal jangan itu!" sergah Pandan Wangi tetap 

tidak setuju dengan alasan Rangga. 

"Mungkin itu bisa kulakukan kalau keadaannya lain." 

"Lain bagaimana?" 

"Aku bisa mengaku kau sebagai adik kalau sudah tahu 

alasan Panglima Lohgender mencariku. Sedangkan sampai 

saat ini, kita belum tahu apa-apa. Apakah dia itu lawan 

atau kawan? Aku hanya bermaksud untuk menjaga segala 

kemungkinan saja." 

"Kalau cuma itu alasanmu, aku bisa menjaga diri!" 

"Aku percaya, apalagi kau sekarang sudah menguasai 

Pedang Naga Geni dan Ilmu Naga Sewu yang dahsyat. Kau 

bukan lagi gadis lemah yang selalu minta dilindungi." 

"Ah, sudahlah!" tukas Pandan Wangi. Dia sadar kalau 

tidak akan bisa menang berdebat dengan pemuda itu. 

"Sekarang, apa rencanamu selanjutnya?" suara Pandan 

Wangi mulai melembut. 

"Menyelidiki kadipaten." sahut Rangga. 

"Bukankah Kakang sudah lakukan itu semalam?" 

"Semalam aku hanya melihat-lihat dari luarnya saja. 

Penjagaan di sana kelihatannya sangat ketat. Prajurit-

prajurit Kerajaan Limbangan tampaknya sudah mulai ber-

datangan ke Kadipaten Karang Asem ini," kata Rangga 

memberitahu. 

"Mungkin...." 

"Ssst...'" Rangga memotong ucapan Pandan Wangi


cepat-cepat sambil menyilangkan jarinya di sudut bibir 

gadis itu. 

Pandan Wangi langsung terdiam. Matanya mendelik me-

rasakan ujung jari telunjuk Rangga menyentuh bibirnya. 

Segera dia menarik kepalanya ke belakang. Mendadak 

saja jantungnya jadi berdebar keras. Entah apa yang 

tengah dirasakannya saat ini. 

"Kau di sini saja, tutup jendela setelah aku ke luar," kata 

Rangga berbisik pelan. 

Pandan Wangi belum sempat lagi membuka mulut, tiba-

tiba saja tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu sudah mencelat 

ke luar meloncati jendela. Dengan masih diliputi tanda 

tanya, gadis itu segera menutup jendela setelah meng-

amati keadaan di luar sebentar. Dia mencoba mengerah-

kan pendengarannya dengan tajam, tapi tidak terdengar 

apa-apa, selain suara percakapan orang-orang yang ramai 

di luar penginapan ini. 

Sementara itu, Rangga yang tadi sempat mendengar 

sekilas suara mencurigakan di atas atap, langsung 

melompat naik ke atas kamar penginapannya. Matanya 

yang setajam mata rajawali, menangkap sesosok bayangan 

hitam berkelebat cepat dari satu atap ke atap rumah 

lainnya. Rangga segera mengikutinya dari jarak yang cukup 

jauh. 

Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bergerak ringan bagai 

kapas tertiup angin. Melenting indah mengikuti jejak si 

bayangan hitam itu. Sesaat kening Rangga berkerut, begitu 

melihat bayangan hitam itu arahnya menuju ke rumah 

kediaman Adipati Karang Asem. Rangga langsung 

melentingkan tubuhnya ke sebuah pohon yang besar dan 

rimbun ketika bayangan hitam itu berhenti di sebuah 

pohon dekat tembok kadipaten. Orang yang mengenakan 

baju serba hitam itu sepertinya tengah mengamati 

keadaan. 

"Hm..., siapa orang itu? Apa maksudnya dia berada di 

dekat benteng kadipaten?" gumam Rangga dalam hati. 

Matanya tajam memperhatikan bayangan hitam yang


tengah diincarnya. 

Orang berbaju hitam itu melenting lagi melewati tembok 

benteng kadipaten yang tinggi dan kokoh. Rangga segera 

melompat mengikuti dengan gerakan yang ringan tak 

bersuara. Sesosok tubuh yang dikuntit itu lalu menyelinap 

ke tembok rumah, kemudian mengendap-endap mendekati 

sebuah jendela. Tampaknya cahaya pelita membias ke luar 

begitu jendela dibuka. Dengan satu gerakan ringan, sosok 

tubuh berbaju hitam itu meloncat masuk ke dalam. Rangga 

segera mendekat. 

"Kamar tidur...," bisik Rangga dalam hati. 

Dari sebuah celah kecil, dia bisa melihat keadaan 

kamar. Tampak orang yang berpakaian hitam itu 

menghadap ke arahnya. Tapi tubuhnya membelakangi 

pelita, sehingga agak sulit dikenali wajahnya. Rangga 

mengalihkan perhatiannya pada seseorang yang duduk 

membelakangi. 

"Hm..., aku harus menggunakan ilmu pembeda gerak 

dan suara," gumam Rangga dalam hati. 

*** 

Di dalam kamar besar dan indah itu, orang berpakaian 

serba hitam menghenyakkan tubuhnya di kursi meng-

hadapi sebuah meja bundar dari batu pualam putih ber-

lapiskan perak. Di seberangnya duduk seorang laki-laki 

berpakaian mewah bertubuh gemuk dan kekar. Laki-laki itu 

adalah Adipati Prahasta. 

"Ada apa kau datang kemari?" tanya Adipati Prahasta. 

Nada suaranya jelas kurang senang. 

"Aku ingin meminta tanggung jawabmu, Prahasta," sahut 

orang berpakaian serba hitam itu. Suaranya kecil dan 

halus, namun menyiratkan ancaman dan kekejaman. 

"Tanggung jawab apa?" Adipati Prahasta mendelik. 

"Memperkuat kadipaten dengan mendatangkan prajurit 

dari kerajaan." 

"Aku tidak melakukan itu. Panglima Lohgender yang


mengirim utusan untuk mendatangkan prajurit-prajurit dari 

Kerajaan Limbangan. Aku tidak tahu menahu masalah itu!" 

suara Adipati Prahasata jelas tertahan nadanya. 

"Kau seorang adipati, kau yang berkuasa di sini, bukan 

Panglima Lohgender!" 

"Seorang Panglima Kerajaan lebih berkuasa daripada 

seorang adipati. Dia bisa bertindak menurut caranya 

sendiri di sini, kalau memang menurutnya keadaan tidak 

tentram." 

"Jangan banyak bicara, Prahasta! Aku datang ke sini 

hanya untuk memintamu menarik kembali pulang prajurit 

Kerajaan Limbangan!" 

"Mustahil!" dengus Adipati Prahasta. 

"Kau harus melakukannya, Prahasta. Atau.... Hih!" 

Tiba-tiba saja orang berbaju hitam itu mengibaskan 

tangannya. Secercah sinar kehijauan meluncur deras ke 

arah jendela, lalu secepat kilat tubuhnya melompat 

menerobos jendela. Adipati Prahasta segera bangkit dan 

mendekati jendela. 

Rangga yang berhasil menghindari serangan mendadak 

itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan bersamaan 

dengan kakinya menjejak tanah, sesosok tubuh serba 

hitam itu langsung menyerangnya dengan cepat. Pendekar 

Rajawali Sakti itu kembali melentingkan tubuhnya ke 

udara, sehingga serangan orang berbaju hitam itu lolos 

begitu saja. 

Orang berbaju serba hitam itu menyadari kalau lawan-

nya bukanlah orang sembarangan. Tanpa banyak mem-

buang waktu lagi, dia langsung melompat kabur melewati 

pagar tembok yang tinggi. Gerakannya sangat cepat, dan 

tidak menimbulkan suara sedikitpun, pertanda kalau dia 

memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. 

"Hup!" 

Rangga segera melentingkan tubuhnya mengejar orang 

berbaju serba hitam itu. Seketika saja dua sosok tubuh 

langsung lenyap di balik tembok tinggi tebal dan kokoh. 

Sementara Adipati Prahasta jadi bengong tak dapat ber


buat apa-apa. Dua bayangan bergerak sangat cepat seperti 

menghilang begitu saja tanpa diketahui ujudnya lebih 

dahulu. 

*** 

Orang berpakaian serba hitam itu lenyap tak berbekas 

begitu sampai di Hutan Tarik. Rangga terus mengejar 

sampai jauh masuk ke dalam hutan yang gelap dan lebat 

ini. Ilmu pembeda gerak dan suara yang dia kerahkan pun 

tak mampu menemukan jejak orang berpakaian serba 

hitam itu. Rangga menghentikan pengejarannya. Dia berdiri 

mematung sambil matanya tetap mengedarkan pandangan 

ke sekelilingnya. Suasana hutan yang hanya disinari oleh 

bulan yang tidak begitu terang cahayanya, membuat 

pandangan Rangga agak terhalang. Sesaat kemudian 

kepalanya tertunduk meneliti tanah di sekitarnya, berusaha 

mencari jejak-jejak tapak kaki buruannya. 

Mendadak saja Rangga terkejut ketika tiba-tiba dia 

menyadari kalau dirinya sudah terkepung dari segala 

penjuru. Dia memutar tubuhnya memandangi sepuluh 

orang berpakaian serba hitam yang berkelebatan cepat ke 

luar dari balik semak dan pepohonan. Masing-masing 

sudah menghunus senjata di tangannya. 

"Serang...!" 

"Yeaaah...!" 

Teriakan-teriakan keras begitu nyaring terdengar disertai 

berlompatannya tubuh-tubuh terbalut baju hitam 

menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Pertarungan seru di 

tengah hutan itu pun tidak terelakkan lagi. Cahaya 

keperakan berkelebatan dari segala panjuru mengurung 

tubuh Rangga. 

Rangga yang belum tahu persis kekuatan lawan-

lawannya, masih terus berlompatan, berkelit menghindari 

serangan-serangan yang datang secara beruntun. Satu kali 

pun dia belum balas menyerang, tapi tiba-tiba saja ter-

dengar jeritan-jeritan melengking disusul jatuhnya dua



tubuh hitam berlumuran darah. 

Mata Pendekar Rajawali Sakti yang tajam dan terlatih, 

langsung dapat melihat jelas meskipun dalam kegelapan 

malam. Dua tubuh lawannya itu ambruk oleh sabetan golok 

dan pedang yang cepat tanpa diduga dari arah belakang. 

Tampak tiga orang dengan senjata terhunus muncul secara 

mendadak. Dua di antara mereka, senjatanya telah basah 

oleh darah. Ketiga orang itu langsung masuk ke dalam 

ajang pertarungan. Rangga segera melentingkan tubuhnya 

ke udara menjauhi pertarungan. Nampak jelas kalau ketiga 

orang itu adalah para prajurit. 

Satu orang dengan sabuk bergambar bunga melati, 

adalah jelas dari Kerajaan Limbangan. Dan dua orang lagi 

dapat dipastikan prajurit dari Kadipaten Karang Asem. 

Tidak berapa lama kemudian, tampak ketiga orang itu 

berada di atas angin. Satu per satu tubuh-tubuh berbaju 

serba hitam itu bertumbangan bersimbah darah. 

"Mundur...!" terdengar suara teriakan keras melengking 

kecil. 

Seketika itu juga empat orang berpakaian hitam yang 

tersisa langsung berlompatan kabur. Tubuh-tubuh mereka 

lenyap di balik kelebatan Hutan Tarik ini. Tiga orang yang 

ternyata Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih itu 

langsung menyarungkan kembali senjatanya. Mereka 

mengambil napas sesaat, lalu bergegas menghampiri 

Rangga yang berdiri saja di bawah sebatang pohon besar. 

"Kau tidak apa-apa, Kisanak?" tanya Arya Duta setelah 

berada di depan Rangga. 

"Tidak," sahut Rangga tersenyum. Tanpa bantuan 

mereka pun dia dapat menghabisi sepuluh orang ber-

pakaian serba hitam itu. Tapi Rangga tidak mau 

mengecewakan ketiga orang yang telah bersusah payah 

membantunya. 

"Siapa Kisanak, dan kenapa bisa bentrok dengan 

gerombolan pengacau itu?" tanya Arya Duta lagi, dia tidak 

mengenali siapa Rangga. 

"Namaku Rangga, aku tidak tahu kenapa orang-orang itu


menyerangku." sahut Rangga. 

"Kisanak tinggal di mana?" tanya Balungpati. 

"Aku pengembara, aku tidak punya tempat tinggal yang 

tetap." sahut Rangga terdengar tenang suaranya. 

"Hm, kalau begitu, sebaiknya cepat tinggalkan Hutan 

Tarik ini. Terlalu bahaya bagi orang yang berjalan sendirian, 

apalagi malam hari begini." Welut Putih menyarankan. 

"Terima kasih," ucap Rangga seraya tersenyum. "Boleh 

aku tahu, siapa Paman bertiga ini?" 

"Aku Arya Duta, dan ini Paman Balungpati dan Paman 

Welut Putih. Kami di sini sedang menjalankan tugas dari 

Panglima Lohgender," Arya Duta menjelaskan. 

"Apa tugas itu untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti?" 

tanya Rangga sambil menyembunyikan rasa kagetnya. 

"Benar!" sahut Arya Duta kaget. "Darimana Kisanak 

tahu?" 

"Kebetulan aku kemarin bertemu dua orang utusan dari 

Panglima Lohgender yang ditugaskan mencari Paman 

bertiga. Kedua utusan itu dari Kerajaan Limbangan," sahut 

Rangga. 

"Oh, siapa mereka?" desak Arya Duta. 

"Mereka mengaku punggawa kerajaan. Kalau tidak 

salah, namanya Punggawa Garulungan dan Punggawa 

Paringgan." 

"Ah, mereka itu punggawa pilihan Panglima Lohgender," 

desah Arya Duta. 

"Pasti keadaan di Kadipaten Karang Asem semakin 

gawat, Gusti. Sampai-sampai Gusti Panglima mengutus 

dua punggawa pilihan ke sini," sergah Balungpati hormat. 

"Ya, rupanya Ayahanda Lohgender sudah mengirim 

pasukan ke kadipaten," desah Arya Duta. 

"Maaf, Kalau boleh aku tahu, kenapa Panglima 

Lohgender mencari Pendekar Rajawali Sakti?" tanya 

Rangga memancing. 

Arya Duta menceritakan keadaan dan persoalan per-

soalan yang tengah dihadapi Kadipaten Karang Asem. 

Dugaannya tentang keterlibatan tokoh-tokoh persilatan


yang sama dengan dugaan Panglima Lohgender, membuat 

Panglima Kerajaan Limbangan itu menugaskan mereka 

untuk mencari Pendekar Rajawali Sakti. Hingga Arya Duta 

selesai bercerita, dia sama sekali belum tahu kalau 

sesungguhnya orang yang dicari ada di hadapannya. 

Rangga hanya mengangguk-anggukkan kepalanya 

sesaat. Dia kini mengerti sepenuhnya, mengapa Panglima 

Lohgender mencari dirinya. Rupanya ada persoalan serius 

yang sedang dihadapi Kadipaten Karang Asem. Kadipaten 

itu memang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan 

Limbangan. 

"Sudah sepuluh hari ini kami berada di Hutan Tarik," 

Arya Duta melanjutkan. "Tapi kami justru sempat bentrok 

dengan gerombolan pengacau, termasuk yang Kisanak 

lawan tadi..., aku yakin, orang-orang itu ada hubungannya 

dengan keadaan di Kadipaten Karang Asem sekarang, dan 

sarang mereka pasti ada di tengah hutan ini." 

"Maaf, Paman. Kalau boleh aku memberi saran. Paman 

bertiga sebaiknya tidak usah dulu mencari sarang 

gerombolan pengacau itu. Sebaiknya Paman bertiga 

kembali saja ke Kadipaten Karang Asem," kata Rangga. 

"Kisanak...!" bentak Balungpati. "Kau tahu, dengan siapa 

kau berhadapan, heh?" 

"Maaf, Paman. Aku hanya memberi saran. Karena 

kemarin sore, kalau tidak salah lihat, Pendekar Rajawali 

Sakti yang sedang Paman cari itu ada di Kadipaten Karang 

Asem." 

"Apa...?!" Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih melongo 

tak percaya. 

"Aku seorang pengembara, aku kenal tokoh-tokoh rimba 

persilatan. Pendekar Rajawali Sakti menginap bersama 

saudara perempuannya di Penginapan Cagar Ayu," kata 

Rangga sambil mengulum senyum di dalam hati, lalu 

lanjutnya. "Aku kenal betul Pendekar Rajawali Sakti. Dia 

pasti mau membantu menumpas gerombolan pengacau 

itu." 

"Kau tidak main-main, Kisanak?" Balungpati masih tidak


percaya. 

"Percayalah padaku, saudara perempuan Pendekar 

Rajawali Sakti itu berjuluk si Kipas Maut. Aku rasa mereka 

tidak akan tinggal lama di sana. Kalau Paman bertiga tidak 

segera menemui, mungkin tidak akan bertemu lagi untuk 

selamanya." 

"Apa jaminanmu?" selak Welut Putih. 

"Leher! Aku tidak akan keluar dari Hutan Tarik. Aku akan 

menggantikan tugas Paman bertiga untuk mencari sarang 

gerombolan pengacau itu," kata Rangga tegas. 

Arya Duta menatap Balungpati dan Welut Putih ber-

gantian. 

"Paman bertiga telah menolongku, dan kini aku akan 

membalas budi dengan mencari sarang gerombolan itu," 

lanjut Rangga. 

"Baiklah, Kisanak. Kalau kau coba-coba mempermain-

kan aku, jangan katakan aku kejam kalau lehermu 

kupenggal!" kata Arya Duta tidak main-main. 

Rangga hanya tersenyum seraya menganggukkan 

kepalanya. Tanpa banyak bicara lagi, Arya Duta segera 

mengajak Balungpati dan Welut Putih meninggalkan 

tempat itu. Sesaat Rangga memperhatikan kepergian 

ketiga orang yang tengah mencari dirinya. Dia kini paham 

benar akan apa yang tengah terjadi di Kadipaten Karang 

Asem. 

"Kau percaya kata-kata Rangga barusan tadi, Paman 

Balungpati?" tanya Arya Duta selepas mereka dari Hutan 

Tarik. 

"Tampaknya dia bisa dipercaya, Gusti. Seorang 

pengembara tahu banyak tentang dunia persilatan dari 

pada kita," sahut Balungpati. 

"Sebaiknya kita langsung ke Penginapan Pagar Ayu, 

Gusti," tambah Welut Putih. 

"Baiklah, kalau ternyata dia membohongi kita, segera 

kembali ke Hutan Tarik." 

***

Pandan Wangi yang sendirian di kamar, jadi gelisah tak 

menentu. Benaknya dipenuhi oleh perasaan cemas yang 

berkepanjangan. Meskipun dia yakin akan kemampuan 

Rangga, tapi ketidakpastian keadaan Kadipaten Karang 

Asem ini selalu membuat pikirannya tak pernah tenang 

kalau Rangga ke luar. 

Suara ketukan di pintu mengagetkan Pandan Wangi. 

Matanya menatap tajam pintu yang diketuk berulang-ulang. 

Tangannya segera meraba kipas baja putih yang terselip di 

pinggang. Lalu perlahan-lahan dia melangkah mendekati 

pintu. 

"Siapa...?" tanya Pandan Wangi keras. 

"Kami, dari Kadipaten Karang Asem hendak bertemu 

dengan si Kipas Maut!" terdengar suara sahutan dari luar. 

Pandan Wangi tersentak kaget. Buru-buru dia membuka 

pintu. Tiga orang berdiri di depan pintu kamar peng-

inapannya. Yang berdiri di tengah seorang pemuda dengan 

sabuk bergambar bunga melati. Dan dua orang lagi 

berpakaian prajurit kadipaten. 

"Apakah Nona yang berjuluk si Kipas Maut?" tanya Arya 

Duta. 

"Benar," sahut Pandan Wangi agak tertahan suaranya. 

"Boleh kami bertemu dengan Pendekar Rajawali Sakti?" 

"Sayang, dia pergi." 

"Ke mana perginya?" 

"Aku tidak tahu, dia hanya mengatakan kalau hendak ke 

luar melihat-lihat suasana kadipaten ini," sahut Pandan 

Wangi menjelaskan tidak terinci. 

"Kalau begitu, baiklah kami akan menunggu di depan," 

kata Arya Duta seraya berbalik. 

"Eh, tunggu dulu!" sergah Pandan Wangi. 

Arya Duta mengurungkan langkahnya. 

"Ada maksud apa Paman bertiga mencari Pendekar 

Rajawali Sakti?" tanya Pandan Wangi. 

"Bagaimana, Paman?" Arya Dula meminta pendapat 

pada dua orang pendampingnya.


"Sebaiknya jelaskan saja maksud kita yang sebenarnya, 

Gusti." sahut Balungpati. 

Arya Duta segera menjelaskan maksudnya setelah 

mendapat anggukan dari Welut Putih. Juga dia jelaskan 

pertemuannya dengan seorang pengembara yang mem-

beritahukan kalau si Kipas Maut dan Pendekar Rajawali 

Sakti ada di penginapan ini. Kemudian setelah berbasa-

basi sebentar, mereka bertiga meninggalkan Pandan 

Wangi yang masih diam terpaku di ambang pintu. 

"Oh!" Pandan Wangi terkejut begitu dia membalikkan 

tubuhnya. 

Tanpa diketahuinya Rangga tengah berbaring di tempat 

tidur. Bibirnya tersenyum memandangi Pandan Wangi yang 

tengah menghampirinya. Gadis itu melirik jendela yang 

masih tertutup. Dia sempat menutup pintu kamar dan 

menguncinya rapat-rapat. 

"Dari mana kau masuk, Kakang?" tanya Pandan Wangi 

seraya duduk di tepi pembaringan. 

"Itu..!" Rangga menunjuk langit langit kamar yang 

terbuka 

"Edan!" dengus Pandan Wangi "Bagaimana kalau hujan 

nanti?" 

Rangga tak menyahuti sama sekali, seketika itu juga 

tubuhnya melesat ke atas. Hanya sekejap kemudian, dia 

sudah kembali berbaring di tempat tidur. Pandan Wangi 

mendongak sebentar. Atap kamar ini sudah tertutup rapi 

kembali. 

"Baru saja ada tiga orang mencarimu, Kakang." kata 

Pandan Wangi 

"Aku tahu, dan aku yang menyuruh mereka ke sini," kata 

Rangga kalem. Bibirnya tetap mengulum senyum. 

"Kenapa kau tidak berterus terang saja?" tanya Pandan 

Wangi tidak kaget lagi. Dia memang sudah menduga 

sebelumnya. 

"Belum saatnya," sahut Rangga kalem. 

"Sekarang mereka menunggu di depan." 

"Biar sajalah, aku mau tidur dulu.”


Pandan Wangi mendelik melihat Rangga memunggungi-

nya. Gadis itu jadi kelabakan sendiri. Kamar ini cuma ada 

satu tempat tidur. Kalau Rangga sudah tidur di situ, lalu dia 

mau tidur di mana...? 

"Ada apa?" tanya Rangga merasakan tangan Pandan 

Wangi menggoyang-goyangkan tubuhnya. 

"Kau tidur di bawah!" sentak Pandan Wangi mem-

berengut. 

"Dingin, ah! Tidur saja di sini." Rangga menepuk sebelah-

nya. 

"Kakang!" seru Pandan Wangi gemas. Matanya mendelik 

lebar. 

Rangga tak mempedulikan. Dia sudah mendengkur lagi. 

Pandan Wangi hanya bisa menggerutu kesal. Gadis itu 

merasa kebingungan karena selama ini belum pernah 

sekalipun dia tidur dengan laki-laki. Sebentar dia menarik 

napas panjang. Rasa kantuk semakin kuat menyerang diri-

nya. 

"Uh! Masa bodohlah." dengusnya kesal. 

Gadis itu langsung saja membaringkan tubuhnya di 

samping Rangga yang memunggunginya. Dia pun memekik 

kaget ketika Rangga berbalik, dan tangannya merentang di 

atas dada. Pandan Wangi menyentakkan tangan Rangga. 

Mukanya jadi bersemu merah dadu. Dadanya mendadak 

saja berdegup kencang. 

Pandan Wangj memandangi Rangga yang tertidur pulas. 

Sementara angin dingin menyusup masuk dari celah-celah 

dinding bambu. Pandan Wangi bergidik kedinginan, dan 

tanpa disadarinya tubuhnya semakin merapat dengan 

pemuda di sampingnya. Dengus napas pemuda itu hangat 

menerpa wajah yang bersemu merah. 

"Kakang...," panggil Pandan Wangi lirih. 

"Hmmm...," Rangga cuma bergumam tak jelas. 

Pandan Wangi mendesah panjang, lalu perlahan-lahan 

matanya mulai terpejam. Dia tidak peduli lagi pada tangan 

Rangga yang mulai nakal memeluk tubuhnya. Gadis itu 

merasakan kehangatan yang mulai menjalari tubuhnya.


Dalam tidurnya bibirnya mengembangkan senyum ke-

damaian. 

***


EMPAT


Sebuah bangunan menyerupai benteng, tampak berdiri 

megah di dataran sebuah jurang yang lebar dan dalam di 

bagian Timur Hutan Tarik. Kayu-kayu besar berdiri berjajar 

mengelilinginya. Di belakangnya tiga buah bangunan kecil 

dan sebuah bangunan panjang tampak berdiri dengan 

angkuhnya, seolah tengah mengawal bangunan yang 

menyerupai benteng itu. Sementara puluhan orang-orang 

berpakaian serba hitam terlihat pula di sekitar bangunan 

yang paling besar itu. 

Di dalam bangunan bagian tengah itu, tampak tengah 

berkumpul lima orang berpakaian serba hitam. Mereka 

duduk menghadapi seorang pemuda tampan yang wajah-

nya diliputi kegusaran. Di sebelahnya duduk seorang 

wanita setengah baya dengan raut wajah murung, namun 

masih terlihat garis-garis kecantikannya. Mata pemuda itu 

menatap satu per satu orang-orang berpakaian serba 

hitam di hadapannya. Lalu pandangannya terhenti pada 

wanita setengah baya di sebelahnya. 

"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Kau 

tidak akan berhasil menentang ayahmu. Apalagi sekarang 

dia sudah meminta bantuan adiknya, Panglima Lohgender 

yang bukan lawanmu," kata wanita setengah baya itu. 

"Tidak, Ibu. Pantang bagi Rakapati surut sebelum 

mencapai cita-cita," Rakapati tegas membantah. "Masalah 

Paman Lohgender, Klenting Kuning yang akan meng-

hadapi." 

Perempuan yang duduk paling kiri, tersenyum men-

dengar namanya disebut oleh Rakapati. Wanita berbaju 

hitam berparas cantik itu memandang wanita setengah 

baya yang duduk di samping Rakapati. Wanita itu adalah 

Puspa Lukita, Ibu Rakapati yang juga selir dari Adipati 

Prahasta. 

"Ingat, anakku. Aku hanya seorang selir dari Adipati


Prahasta. Kau tidak berhak menuntut ayahmu untuk 

menyerahkan kedudukannya padamu," kata Puspa Lukita 

lembut. 

"Apapun yang terjadi, Kadipaten Karang Asem harus jadi 

milikku. Akulah yang berhak menjadi Adipati Karang Asem. 

Prahasta bukan ayahku dan ibu jangan menutup mata saja 

dengan apa yang telah dia lakukan. Masih jelas dalam 

ingatanku, bagaimana dia membunuh Ayahanda Siran-

dana. Menghancurkan Kerajaan Karang Asem. Dan kini dia 

menduduki tanah kelahiranku sebagai Adipati. Tidak, Ibu! 

Karang Asem harus kembali menjadi sebuah kerajaan, dan 

aku akan menghancurkan Kerajaan Limbangan!" suara 

Rakapati terdengar penuh letupan dendam. 

Puspa Lukita tak lagi bisa bersuara. Dia memang tak 

bisa menutupi kenyataan sesungguhnya yang telah 

dibeberkan oleh putranya ini. Kadipaten Karang Asem, 

dulunya memang sebuah kerajaan kecil yang diperintah 

oleh Prabu Sirandana, ayah kandung Rakapati. Kerajaan 

kecil itu hancur dan hanya dijadikan sebuah kadipaten oleh 

Raja Limbangan yang memperluas wilayahnya. Dan Puspa 

Lukita pun bisa memahami jalan pemikiran anaknya untuk 

memperoleh kembali apa yang menjadi haknya, hanya 

jalan yang ditempuh Rakapati dengan mengundang tokoh-

tokoh hitam rimba persilatanlah yang membuatnya selalu 

gusar dan cemas. 

Puspa Lukita menatap orang-orang berpakaian serba 

hitam di depannya. Dia tahu siapa mereka, Klenting 

Kuning, Setan Cakar Racun, Iblis Kembar Teluk Naga dan 

yang duduknya paling kanan adalah si Perempuan Iblis 

Peminum Darah. Mereka adalah tokoh-tokoh hitam rimba 

persilatan. 

Tokoh-tokoh sakti itu memang sengaja diundang 

Rakapati untuk menggulingkan Adipati Prahasta, dan juga 

melatih para pemuda yang diambil dari desa-desa di 

Kadipaten Karang Asem untuk memperkuat barisannya. 

Pemuda-pemuda yang semula merasa diculik itu akhirnya 

dengan sukarela mendukung rencana Rakapati setelah


mengetahui maksud dan tujuan yang sebenarnya. Apalagi 

kepemimpinan Adipati Prahasta yang mereka rasakan 

kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. 

"Setan Cakar Racun, laporkan apa yang kau alami 

semalam?" Rakapati menatap si Setan Cakar Racun. 

"Tidak ada yang perlu dilaporkan, semua berjalan 

aman," sahut Setan Cakar Racun. 

"Klenting Kuning...?" Rakapati mengalihkan perhatian-

nya. 

"Sesuai perintah, aku menemui Adipati Prahasta. Hanya 

saja ada gangguan sedikit," sahut Klenting Kuning dengan 

suaranya yang lembut merayu. 

"Lalu bagaimana?" 

"Seperti biasa, Adipati Prahasta tetap tidak mau turun 

dari jabatannya " 

"Hm...," Rakapati bergumam. "Kau sendiri?" Rakapati 

menatap Perempuan Iblis Peminum Darah. 

"Gagal," sahul Perempuan Iblis Peminum Darah. 

Rakapati mengerutkan keningnya. 

"Aku tidak berhasil mendesak dia untuk menarik 

pasukan Kerajaan Limbangan dari Kadipaten Karang 

Asem. Mungkin kau sudah mendengar semuanya tadi 

pagi... " 

"Ya, aku sudah dengar cerita kejadian di tepi Hutan 

Tarik. Yang aku ingin tahu, siapa orang itu?" pelan suara 

Rakapati. 

"Aku tidak tahu. Tapi dia mempunyai tingkat kepandaian 

yang sangat tinggi, mampu melayani sepuluh orang pilihan 

bersenjata lengkap dengan tangan kosong. Tanpa adanya 

campur tangan Arya Duta dan dua orang pemimpin 

pasukan dari kadipalen pun aku rasa dia bisa 

menghancurkan sepuluh orang pilihan kita," Perempuan 

Iblis Peminum Darah menjelaskan. 

"Bagaimana ciri-cirinya?" Klenting Kuning bertanya ragu. 

"Aku rasa orangnya masih muda. Dan kalau aku tidak 

salah, dia membawa pedang di punggungnya," sahut 

Perempuan Iblis Peminum Darah.


"Apakah pedang itu bergagang kepala burung?" tebak 

Klenting Kuning. 

"Tidak salah!" seru Perempuan Iblis Peminum Darah. 

"Dia memakai pakaian rompi putih?" desak Klenting 

Kuning lagi. Dia merasa yakin dugaannya tidak meleset. 

"Iya..., iya! Dia memakai pakaian rompi putih. Rambut-

nya panjang terikat, hanya wajahnya saja aku tidak bisa 

jelas melihatnya. Keadaan terlalu gelap, dan kejadiannya 

juga sangat cepat" 

Klenting Kuning tidak bertanya lagi. Dia terdiam dan 

hanya mendesah panjang. Rakapati yang melihat 

perubahan wajah wanita cantik itu, jadi penasaran. 

"Siapa dia, Klenting Kuning?" tanya Rakapati. 

"Aku yakin, dia pasti Pendekar Rajawali Sakti," pelan 

Klenting Kuning menyahut. 

Empat orang tokoh sakti lainnya diam tepekur kala 

mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut. Mereka 

memang pernah mendengar kehebatan nama itu. Dan 

mereka juga tahu kalau Klenting Kuning pernah ber-

hadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti di Bukit Setan. 

Rakapati yang belum mengetahui dan mendengar nama 

itu, sama sekali tidak terkejut. Tapi demi melihat kelima 

orang yang diundangnya langsung diam tepekur, dia 

seperti menangkap sesuatu yang mencemaskan. Namun 

dia pun segera menyadari kalau bukanlah hal yang aneh 

jika Adipati Prahasta juga meminta bantuan tokoh-tokoh 

persilatan seperti yang kini dia lakukan. Hal itu memang 

sudah dia perhitungkan sejak semula. 

"Kalau sampai Pendekar Rajawali Sakti itu membantu 

mereka, aku khawatir rencana kita akan hancur. 

“Tidak seorang pun yang bisa menandingi 

kepandaiannya saal ini.'' Klenting Kuning kembali 

mengeluarkan isi hatinya. 

"Aku yakin, dia pasti memihak mereka," sergah 

Perempuan Ibiis Peminum Darah. "Waktu itu aku ketemu 

dia di Kadipatenan. Untungnya aku masih sempat bisa 

meloloskan diri, meskipun beberapa orang menjadi



korban." 

"Apa sebaiknya kita undang tokoh sakti yang lebih tinggi 

darinya, Rakapati?" usul Naga Hitam, salah seorang dari 

Iblis Kembar Teluk Naga. 

“Tidak perlu!" semak Klenting Kuning keras. 

Semua mata langsung menatap Klenting Kuning. 

"Kalian tidak perlu memikirkan Pendekar Rajawali Sakti. 

Aku bisa mengatasi dia!" kata Klenting Kuning tegas. 

Tak ada lagi yang membuka suara. Mereka paham kalau 

Klenting Kuning mampu mengatasi Pendekar Rajawali 

Sakti. Mereka pernah mendengar Klenting Kuning sempat 

bentrok di Bukit Setan. Dan mereka juga tahu kelebihan 

wanita cantik itu. Perempuan cantik berjuluk Iblis Wajah 

Seribu itu memiliki aji 'Pelebur Jiwa' yang tak bisa 

ditandingi siapapun. Pendekar Rajawali Sakti sendiri 

pernah dibuatnya tidak berdaya, untung saja muncul si 

Kipas Maut, sehingga pendekar muda itu berhasil selamat. 

"Yang penting sekarang, lakukan semua yang telah 

direncanakan Rakapati. Masalah Pendekar Rajawali Sakti 

itu urusanku. Aku sendiri yang akan menanganinya nanti, 

juga si Lohgender tua itu!" kata Klenting Kuning angkuh. 

Kembali suasana hening tanpa suara. 

"Ada lagi yang ingin dikatakan?" tanya Rakapati 

memecah keheningan. 

"Tidak!" sahut mereka serempak. 

"Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini disudahi." 

Rakapati berdiri dan melangkah diikuti ibunya 

meninggalkan ruangan tengah dari rumah besar itu. 

Klenting Kuning dan keempat orang lainnya bergegas ke 

luar. Mereka berpencar begitu sampai di luar pintu ruangan 

pertemuan ini. 

*** 

Malam baru saja datang menjelang. Suasana di bagian 

Timur Hutan Tarik nampak sepi. Beberapa orang terlihat 

berjaga-jaga di seputar benteng. Sementara itu di dalam


salah satu kamar yang besar dan indah dari salah satu 

bangunan yang berdiri di dalam benteng, tampak sesosok 

tubuh ramping tergolek di atas pembaringan. Punggungnya 

yang putih mulus terbuka lebar, hanya selembar kain tipis 

merah muda menutupi tubuh itu dari pinggang ke bawah. 

Tubuh yang ramping indah itu berbalik menghadap ke 

pintu kamar. Klenting Kuning, pemilik tubuh indah Itu 

menatap pintu. Tangannya menarik kain untuk menutupi 

tubuhnya. Matanya yang dihiasi bulu mata lentik, agak 

menyipit mendengar pintu kamarnya diketuk. Ketukan yang 

hanya sesaat dan harus itu terdengar hampir tidak jelas. 

"Masuk...!" seru Klenting Kuning lembut. 

Pintu kamar terkuak, lalu muncul Rakapati yang 

langsung melangkah masuk. Sebentar dia menutup pintu 

dan menguncinya. Lalu kembali melangkah perlahan 

mendekati Klenting Kuning yang tersenyum manis. Mata-

nya berbinar menyambut kedatangan pemuda tampan itu. 

Rakapati duduk di tepi pembaringan. 

"Kau tidak pergi bersama mereka, Klenting Kuning?" 

tanya Rakapati lembut. Tangannya mengusap-usap pipi 

halus wanita itu. 

"Untuk apa?" 

Klenting Kuning beringsut bangun dan duduk. 

"Klenting Kuning, ada yang ingin kutanyakan padamu." 

kata Rakapati lirih. 

"Kau bisa menundanya, kan?" balas Klenting Kuning 

manja. 

"Tidak, aku harus mengatakannya sekarang." 

"Baiklah, apa yang akan kau tanyakan?" 

"Tentang Pendekar Rajawali Sakti itu." 

Klenting Kuning menatap lurus ke bola mata Rakapati. 

"Kau bisa saja mengaku mampu menghadapi dia, tapi 

aku menangkap nada suaramu yang lain. Apakah tidak ada 

yang bisa menandinginya?" tanya Rakapati. 

"Aku sendiri tidak tahu, sampai saat ini belum ada yang 

bisa menandinginya," pelan suara Klenting Kuning. 

“Tapi kau tidak usah cemas, bagaimanapun digdayanya


dia, pasti punya kelemahan. Aku bisa mengetahuinya 

dalam waktu singkat. Percayalah." 

Rakapati terdiam beberapa saat. Sejak nama Pendekar 

Rajawali Sakti muncul dalam pembicaraan siang tadi, dia 

jadi gelisah dan gusar. Meskipun belum pernah bertemu 

secara langsung, tapi dari ucapan Klenting Kuning, 

Rakapati sudah bisa menilai sampai di mana tingkat 

kepandaian pendekar itu. 

Rasa khawatir mulai menggeluti dirinya. Kalau sampai 

pendekar itu memihak pada Adipati Prahasta, kesulitan 

besar pasti bakal dihadapinya. Perhitungannya semula 

mengundang tokoh-tokoh sakti adalah untuk menghadapi 

Panglima Lohgender, yang dikenal sebagai tokoh sakti 

rimba persilatan sebelum menjadi orang penting di 

Kerajaan Limbangan. 

"Ah, sudahlah. Kita bicarakan soal itu nanti, Rakapati. 

Kau tentu bisa melupakannya sebentar saja, kan?" kata 

Klenting Kuning seraya menarik kembali leher pemuda itu. 

*** 

Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Panglima 

Lohgender tengah membicarakan soal gerombolan 

pengacau dengan Pendekar Rajawali Sakti, Pandan Wangi, 

Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih. Mereka duduk 

melingkar menghadapi sebuah meja bundar dari kayu Jati 

berukir. 

"Aku yakin, sarang mereka di Hutan Tarik," kata Arya 

Duta. 

"Hutan Tarik sangat luas, keadaannya juga sulit untuk 

dijelajahi. Berbukit-bukit dan banyak lembah yang dalam," 

sahut Panglima Lohgender. 

"Dua kali aku bentrok dengan mereka di hutan itu, 

Ayah," kata Arya Duta tetap pada pendiriannya. 

"Apa kau sudah mencoba untuk mencari sarang 

mereka?" tanya Panglima Lohgender. 

"Sudah."


"Ketemu?" 

Arya Duta menggelengkan kepalanya. 

"Sebentar, apa boleh aku menyelak?" pinta Rangga. 

"Silakan." sahut Panglima Lohgender. 

"Tiga hari aku mengamati keadaan di Kadipaten Karang 

Asem ini, tapi tidak ada tanda-tanda kekacauan, bahkan 

penduduk pun melakukan tugasnya seperti biasa," tutur 

Rangga. Dia sengaja tak menceritakan kalau dia sempat 

memergoki seseorang berpakaian serba hitam di 

Kadipaten Karang Asem ini. Dan itu tidak mungkin dia 

katakan. 

"Memang, sekarang ini Kadipaten Karang Asem aman, 

penduduk tak lagi terlihat resah." Panglima Lohgender 

menyahuti. 

"Lalu, kekacauan apa lagi yang terjadi?" tanya Rangga 

tidak mengerti. 

"Gerombolan itu kini mengalihkan sasarannya pada para 

petinggi kadipaten, terutama yang dari Kerajaan 

Limbangan dulu," Panglima Lohgender menjelaskan. 

"Hm, apakah tidak terpikir kalau ini pemberontakan?" 

gumam Rangga seperti bertanya untuk dirinya sendiri. 

"Pikiran itu sudah ada," Panglima Lohgender berkata 

pelan. "Hanya saja belum ada ritik terang, siapa dalang dari 

semua ini." 

"Bisa diceritakan riwayat Kadipaten Karang Asem ini?" 

pinta Pandan Wangi menyelak membuka suara. 

"Apa ada hubungannya?" Arya Duta bertanya. Dia kurang 

mengerti dengan jalan pikiran Pandan Wangi. 

"Mungkin...," sahut Pandan Wangi pelan. 

"Baiklah," sergah Panglima Lohgender. "Aku akan 

menceritakannya sedikit." 

Panglima Lohgender menceritakan tentang riwayat 

Kadipaten Karang Asem ini yang dulunya merupakan satu 

kerajaan dengan nama Kerajaan Karang Asem. Kerajaan 

Karang Asem dan Kerajaan Limbangan, dulunya bersatu, 

dan terpecah setelah rajanya mangkat. Kerajaan 

Limbangan tetap berdiri sebagai kerajaan besar, sedang


kan Karang Asem berdiri sebagai kerajaan kecil. Kedua 

kerajaan itu kembali terlibat pertikaian ketika Kerajaan 

Karang Asem mencoba untuk memperluas wilayah dengan 

menyerobot wilayah Kerajaan Limbangan. Namun Kerajaan 

Karang Asem yang lebih kecil itu akhirnya takluk dan 

dijadikan sebuah kadipaten. Lalu ditunjuk Adipati Prahasta 

untuk memerintah di Karang Asem menggantikan Raja 

Prabu Sirandana yang tewas terbunuh dalam perang. 

"Apakah Raja Limbangan dan Raja Karang Asem ada 

hubungan keluarga?" tanya Pandan Wangi. 

"Mereka saudara satu ayah lain ibu. Prabu Wardana 

adalah putra mahkota dari permaisuri, sedangkan Prabu 

Sirandana adalah anak dari selir." 

"Saat Kerajaan Karang Asem jatuh, apakah Prabu 

Sirandana punya putra?" tanya Pandan Wangi lagi. 

"Ada, namanya Rakapati, dan ibunya bernama Puspa 

Lukita. Saat itu Rakapati masih kecil…," sahut Panglima 

Lohgender. 

"Hm.... ada kemungkinan Rakapati mau mengembalikan 

Karang Asem menjadi kerajaan kembali," gumam Pandan 

Wangi seperti bicara untuk dirinya sendiri. 

"Tidak mungkin!" tukas Balungpati menyanggah. 

"Kenapa tidak...?" 

"Gusti Putri Puspa Lukita kini menjadi istri Adipati 

Prahasta. Dan sekarang beliau diungsikan bersama 

putranya ke Desa Putu di Kadipaten Sedana," sanggah 

Balungpati lagi. 

"Ada yang mengantar ke sana?" tanya Rangga mulai 

mengerti jalan pikiran Pandan Wangi. 

"Lima puluh orang prajurit." sahut Welut Putih. "Dan 

mereka semua baru boleh kembali kalau keadaan sudah 

teratasi." 

"Hm..., sejak tadi aku tidak melihat Gusti Adipati. Di 

mana beliau?" Pandan Wangi bertanya setengah ber-

gumam. 

"Sejak dia diserang dua kali, selalu mengurung diri di 

kamarnya," sahut Panglima Lohgender.


Pandan Wangi melirik Rangga. Yang dilirik pun cepat 

mengerti. Kemudian Rangga bangkit berdiri diikuti Pandan 

Wangi. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka berpamitan 

dan meninggalkan ruangan itu. 

"Apa pendapatmu, Kakang?" tanya Pandan Wangi 

setelah mereka melewati pintu gerbang kadipaten. 

"Entahlah, aku harus menyelidikinya dulu. Ini bukan 

persoalan biasa," sahut Rangga mendesah. 

"Ya, jangan sampai kita salah langkah...." 

***


LIMA


Rangga belum bisa memastikan, apakah dia akan 

membantu Panglima Lohgender atau tidak. Tidak mudah 

menentukan pihak yang benar dan salah dalam masalah 

ini. Rangga juga tidak bisa menyalahkan Rakapati 

seandainya memang benar dia ingin memberontak. 

Rakapati punya hak untuk mengembalikan kejayaan 

Kerajaan Karang Asem. Dan Panglima Lohgender juga 

punya hak untuk mempertahankan kelangsungan hidup 

Kadipaten Karang Asem. 

Siang itu Rangga sengaja menjelajahi Hutan Tarik yang 

diduga menjadi markas gerombolan pengacau menurut 

Panglima Lohgender. Langkah kakinya pelan-pelan, namun 

matanya selalu tajam meneliti sekitarnya. Dia juga 

mengerahkan Ilmu pembeda gerak dan suara. 

"Hm, ada orang di tengah hutan begini. Siapa dia...?" 

gumam Rangga dalam hati ketika matanya menangkap 

sesosok tubuh tidak jauh darinya. 

Rangga melangkah menghampiri sosok tubuh bungkuk 

berbaju hitam lusuh itu. Sosok tubuh itu membelakanginya. 

Sepertinya dia tengah memunguti kayu-kayu kering yang 

banyak berserakan di sekitar hutan ini. Sosok tubuh itu 

menoleh saat mendengar langkah-langkah kaki meng-

hampirinya. 

"Sampurasun...," sapa Rangga ramah. 

"Rampes...," sahut orang itu. 

Sejcnak Rangga mengamati orang itu. Seorang laki-laki 

tua bertubuh bungkuk kurus dengan rambut yang sudah 

memutih semua. Namun pancaran sinar matanya begitu 

tajam. Seikat kayu kering terkepit di ketiaknya. 

"Tuan pasti seorang pendekar...," laki-laki tua bungkuk 

itu menebak langsung. Rangga hanya tersenyum saja. 

"Tuan mencari sesuatu di hutan ini?" tanyanya seperti 

menyelidik.


"Mungkin, Ki...," sahut Rangga terputus. 

"Panggil saja aku Ki Rumpung. Orang-orang biasanya 

memanggilku begitu." 

"Ki Rumpung pernah melihat orang-orang berpakaian 

hitam di sekitar hutan ini?" tanya Rangga langsung. 

"Sering, Tuan." 

"Sering...?" 

"Ya, mereka adalah pasukan budiman yang selalu mem-

bela rakyat jelata. Aki tidak merasa terganggu, bahkan 

mereka sering menolongku mencari kayu bakar atau 

memborong semua kayu bakar yang aku peroleh." 

"Aki tahu siapa mereka?" kejar Rangga. 

"Sudah aku katakan, mereka adalah orang-orang 

budiman yang suka membantu siapa saja yang lemah." 

"Maksudku, tempat tinggal mereka...," ralat Rangga. 

"Untuk apa kau cari mereka? Apakah kau suruhan dari 

Kerajaan Limbangan?" Ki Rumpung jadi curiga. 

"Bukan, justru aku ingin lebih jelas mengetahui 

persoalannya sebelum memutuskan untuk berpihak pada 

yang mana, atau sama sekali tidak memihak keduanya," 

Rangga menjelaskan. 

"Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti." 

"Dari mana kau tahu, Ki?" 

"Semua orang sudah tahu, kalau Panglima Lohgender 

sedang mencari Pendekar Rajawali Sakti untuk meminta 

bantuan. Hm..., sayang sekali kau berada di pihak yang 

salah." 

Rangga memandangi kakek tua itu semakin tajam. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Ki Rumpung segera berlalu. 

Rangga sedikit berkerut keningnya begitu melihat laki-laki 

tua itu berjalan seperti tidak menapak tanah saja. 

"Hey...!" tiba-tiba Rangga tersentak. 

Secepat kilat dia melompat, tapi saat itu juga tubuh laki-

laki tua itu sudah lenyap seperti ditelan bumi. Rangga 

mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia baru 

menyadari kalau kulit tangan kakek tua itu putih halus 

seperti tangan seorang wanita, meskipun wajahnya penuh


keriput. Dan suaranya.... 

"Aku seperti pernah mendengar suara itu. Tapi di 

mana...? Kapan aku mendengar...?" Rangga bertanya-tanya 

sendiri. 

Pendekar Rajawali Sakti itu kembali melanjutkan 

langkahnya pelan-pelan sambil berpikir terus tentang 

kakek tua yang ditemuinya tadi. Kata-kata laki-laki tua itu 

menjadikan beban pikirannya saat ini. 

"Pasti dia bukan orang sembarangan. Hm..., siapa 

dia...?" gumam Rangga dalam hati bertanya-tanya. 

*** 

Rangga kembali berhenti melangkah ketika sampai di 

tepi Hutan Tarik ini. Telinganya yang tajam setajam mata 

pisau, mendengar suara erangan lirih dari arah semak di 

depannya. Hanya dengan satu lompatan saja, Rangga 

sudah bisa mencapai semak belukar itu. Matanya mem-

beliak lebar begitu menyaksikan seorang laki-laki ber-

pakaian prajurit Kerajaan Limbangan tengah berusaha 

memperkosa seorang wanita. 

"Binatang!" geram Rangga. 

Buk! 

Hanya sekali tendang saja, laki-laki berpakaian prajurit 

itu, langsung menggelimpang roboh tak bangun lagi. Dari 

mulutnya merembes darah kental kehitaman. Wanita muda 

dengan pakaian sudah sobek-sobek di sana sini, langsung 

beringsut bangun. Tangannya segera menutupi bagian 

dada dan beberapa bagian tubuhnya yang terbuka, tapi ke-

adaan kain dan baju yang koyak, tidak bisa menyembunyi-

kan kulit putih mulus dari pandangan Rangga. 

"Kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga. 

"Tidak, terima kasih Tuan telah menyelamatkanku," 

sahut wanita itu seraya menyusut air matanya. 

"Kenapa kau bisa sampai ke sini?" tanya Rangga melirik 

tubuh laki-laki berpakaian prajurit yang menggeletak tak 

bernyawa lagi.


Rupanya Rangga tadi menendang dengan mengerahkan 

jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', sehingga 

membuat laki-laki itu langsung tewas tanpa bersuara lagi. 

"Aku sedang mencari Ayahku. Katanya prajurit itu tahu 

dan mau mengantarkan. Tapi...," wanita itu tidak melanjut-

kan kata-katanya. 

"Sudahlah, kau sudah selamat sekarang. Sebaiknya kau 

cepat pulang. Di mana rumahmu?" 

"Tidak jauh dari sini. Itu dekat bukit batu," wanita itu 

menunjuk ke arah Selatan. 

Rangga mengarahkan pandangannya ke arah bukit batu 

yang tidak jauh dari tepi Hutan Tarik ini. Tampak sebuah 

pondok kecil berdiri di antara batu-batu yang menggunung. 

Sejak dia berada di sekitar Hutan Tarik ini, sepertinya tidak 

ada satu rumah pun di bukit batu itu. Bahkan ketika dia ke 

sini tadi pagi, tidak ada pondok di situ. 

Belum sempat Rangga menyadari apa yang terjadi, 

mendadak dia menoleh menatap wanita itu. Wanita cantik 

yang hampir diperkosa itu, melingkarkan tangannya pada 

Rangga. Tidak ada rasa ketakutan lagi. Senyumnya malah 

mengembang lebar, dan sikapnya manja menggoda. 

Rangga melepaskan tangan wanita itu yang memegangi 

lengannya. Dia melangkah mundur beberapa tindak. 

"Kau telah menyelamatkan aku, Tuan. Sekarang aku 

milikmu, kau bisa berbuat apa saja pada diriku," kata 

wanita itu. 

Rangga memandangi wanita itu dengan penuh selidik. 

Hari ini dia menemukan orang-orang yang dirasakan aneh. 

Pendekar Rajawali Sakti itu langsung terlonjak mundur 

begitu matanya melihat satu noda hitam pada leher wanita 

itu. Dia pernah melihat noda itu sebelumnya. 

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga. Wanita itu 

tersenyum manis. Mendadak saja tubuhnya berputar 

cepat. Semakin lama putarannya semakin cepat, dan 

terlihat hanya sebuah bayangan saja. 

"Iblis Wajah Seribu...." desis Rangga begitu putaran 

tubuh itu terhenti.


Kini di depan Rangga berdiri seorang wanita cantik 

mengenakan baju serba kuning. Wajahnya cantik dengan 

sekuntum bunga terselip di telinga. Rambutnya panjang 

terikat ke depan. Di pinggangnya terselip sebatang pedang 

pendek bergagang kepala tengkorak. Dialah Klenting 

Kuning atau yang lebih dikenal dengan julukan Iblis Wajah 

Seribu. 

"Hebat! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali 

Sakti," puji Klenting Kuning mengumbar senyum. 

"Untuk apa kau berada di sini, Klenting Kuning?" tanya 

Rangga ketus. 

"Kau sudah bisa menjawab sendiri, Rangga," sahut 

Klenting Kuning kalem. 

"O..., jadi kekacauan di Kadipaten Karang Asem, karena 

ulahmu...?" 

"Aku hanya membela kebenaran." 

"Kau bicara kebenaran, kebenaran apa yang kau bela?" 

"Hak!" 

Tanpa dijelaskan lagi, Rangga sudah bisa mengetahui 

maksud kata-kata Klenting Kuning. Dia kini mengerti 

kejadian di Kadipaten Karang Asem. Dugaannya sudah 

tidak bisa dibantah lagi. Rangga bisa memastikan kalau 

Rakapati yang ada di belakang semua peristiwa itu. Dan 

alasannya pun sudah pasti, Rakapati ingin merebut 

kembali Karang Asem, dan mendirikan Kerajaan Karang 

Asem. Sayangnya, maksud baik itu ditunggangi oieh tokoh-

tokoh hitam rimba persilatan, seperti Klenting Kuning ini. 

"Kau seorang pendekar yang tangguh dan bijaksana. 

Pikirkanlah sebelum kau mengambil keputusan membantu 

Panglima Lohgender!" kata Klenting Kuning. 

Sebelum Rangga bisa mengeluarkan suara, Klenting 

Kuning sudah mencelat pergi. Dalam sekejap mata saja, 

wanita yang berjuluk Iblis Wajah Seribu itu sudah hilang 

dari pandangan. Beberapa saat lamanya Rangga masih 

berdiri mematung memandangi kepergian wanita itu. 

Kemudian kakinya terayun melangkah menuju ke 

Kadipaten Karang Asem.


Posisi Pendekar Rajawali Sakti kali ini memang sulit. Dia 

belum bisa memastikan siapa di antara kedua belah pihak 

yang bersalah? Hanya Rangga menyesalkan tindakan 

Rakapati yang bersekutu dengan tokoh-tokoh rimba 

persilatan golongan hitam. Pendekar Rajawali Sakti itu 

terus melangkah pelan-pelan dengan kepala dipenuhi ber-

bagai macam pikiran. 

*** 

Dua bayangan berkelebatan di keheningan malam 

menuju ke arah Timur Hutan Tarik. Tepat di tepi sebuah 

lembah yang dalam dan lebar, dua sosok tubuh yang ber-

kelebatan itu berhenti. Mereka berdiri tegak memandang 

ke dalam lembah itu. Tampak sebuah bangunan besar di-

kelilingi pagar tinggi tebal bagal benteng. 

"Kau yakin itu sarang mereka, Pandan?" 

"Ya, begitulah keterangan yang aku dapatkan?" 

Dua orang yang ternyata Pendekar Rajawali Sakti dan si 

Kipas Maut itu terdiam sesaat. Mata mereka tak lepas 

memandang ke arah lembah itu. 

"Hm..., seperti sarang gerombolan perampok," gumam 

Rangga setengah berbisik. "Pantas saja sulit ditemukan." 

Rangga lalu memandangi keadaan sekitarnya. Daerah di 

bagian Timur Hutan Tarik ini memang sulit dicapai. 

Benteng itu dikelilingi oleh lembah besar dan dalam 

dengan bukit-bukit terjal dan berbatu. Tak satupun terlihat 

ada jembatan atau jalan menuju ke lembah itu. 

"Dari mana kau peroleh keterangan itu, Pandan?" tanya 

Rangga. 

"Seseorang yang patut dipercaya," sahut Pandan Wangi. 

Rangga menatap gadis di sampingnya. 

"Dia mengatakan kalau Rakapati menyusun kekuatan 

untuk memberontak, bahkan dia ingin membalas dendam 

pada Adipati Prahasta yang telah membunuh ayah 

kandungnya," lanjut Pandan Wangi tidak mempedulikan 

tatapan Rangga.


"Hm..., jadi benar Rakapati ingin mengembalikan Karang 

Asem menjadi sebuah kerajaan," gumam Rangga. 

"Ya." 

"Kalau begitu permasalahannya, kita tidak perlu ikut 

campur dalam masalah ini. Aku tidak tahu, mana yang 

benar dan mana yang salah," kata Rangga. 

"Lalu, bagaimana dengan permintaan Panglima 

Lohgender?" tanya Pandan Wangi tersenyum tipis. 

"Aku yang akan mengatakannya nanti, aku harap dia 

mau mengerti," sahut Rangga. 

Pandan Wangi semakin lebar senyumnya. Dia tidak 

menyadari kalau Rangga memperhatikannya sejak tadi. 

Senyum Pandan Wangi langsung hilang ketika mereka 

mendengar suara gemerisik di belakang. 

Belum lagi mereka dapat berbuat apa-apa, tiba-tiba dari 

balik semak dan pepohonan bermunculan tubuh-tubuh ter-

balut kain hitam. Jumlah mereka tidak kurang dari dua 

puluh orang. Semuanya menghunus senjata berupa golok 

panjang yang besar dan berkilat. Tanpa bicara apa pun, 

mereka langsung menyerang. 

"Hati-hati, Pandan...!" seru Rangga seraya melenting 

menghindari tebasan golok orang berbaju hitam itu. 

Tidak kurang dari sepuluh orang langsung mengeroyok 

Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga tidak sempat lagi 

memperhatikan Pandan Wangi. Dia sibuk menghindar 

setiap serangan yang datang bagai hujan. Silih berganti 

tanpa henti, seakan-akan tidak memberikan kesempatan 

padanya untuk membalas. 

"Sial! Aku harus menggunakan jurus 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega'!" dengus Rangga dalam hati. 

Seketika itu juga Rangga mengerahkan jurus 'Sayap 

Rajawali Membelah Mega'. Kedua tangannya segera ter-

bentang lebar ke samping. Saat itu juga dia bergerak cepat 

mengibas-ngibaskan kedua tangannya bagai sayap seekor 

burung rajawali. 

"Aaakh...!" 

Satu jeritan melengking terdengar ketika tangan Rangga


menghajar kepala penyerangnya. Belum lagi hilang suara 

jeritan itu, datang tagi jeritan lainnya, disusul rubuhnya 

sesosok tubuh hitam dengan kepala pecah. 

"Heh! Di mana Pandan...?!" Rangga tersentak kaget 

ketika dia sempat melirik ke arah Pandan Wangi tadi 

berada. 

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak lagi melihat Pandan 

Wangi. Bahkan ketika dia berhasil menjatuhkan satu lawan 

lagi, terdengar suara siulan panjang melengking tinggi. 

Seketika itu juga orang-orang berpakaian hitam yang 

mengeroyoknya langsung berlompatan, lenyap di balik 

kegelapan dan kelebatan hutan ini. 

"Pandan...!" teriak Rangga keras. 

Tak ada sahutan sama sekali, hanya gema suaranya 

saja yang kembali terdengar memantul. Rangga mengedar-

kan pandangannya berkeliling. Suasana di sekitar tempat 

ini sunyi sepi. Tak seorangpun terlihat. Hanya tiga sosok 

mayat saja yang menggeletak dekat kakinya. 

"Aneh...," desis Rangga pelan. 

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak jadi melangkah. 

Telinganya yang tajam langsung mendengar suara langkah-

langkah kaki yang mengusik semak dan daun-daun kering. 

Rangga langsung bersiaga menghadapi segala kemung-

kinan. 

"Oh...!" 

*** 

"Kebetulan sekali bertemu di sini," kata Arya Duta yang 

datang bersama dengan Balungpati dan Welut Putih. 

Rangga tidak mempedulikan kata-kata Arya Duta. 

Pandangannya lurus menatap Pandan Wangi yang datang 

bersama ketiga laki-laki itu. Baru saja Pandan Wangi ber-

samanya, dan hilang ketika dia dikeroyok sepuluh orang 

berpakaian hitam. Kini gadis itu datang bersama Arya Duta 

dan kedua pendampingnya dari Kadipaten Karang Asem. 

"Kenapa kau memandangku seperti itu, Kakang?" tanya


Pandan Wangi jengah. 

"Oh, tidak..," Rangga langsung mengalihkan perhatian-

nya pada Arya Duta. 

"Sejak pagi tadi kau tidak kelihatan, Pendekar Rajawali 

Sakti. Nini Pandan Wangi cemas, dan memintaku untuk 

mencarimu," kata Arya Duta. 

"Hm...." Rangga hanya bergumam tak jelas. 

"Kebetulan ada seseorang yang melihatmu di hutan ini, 

dan kami langsung mencarimu ke sini," sambung Balung-

pati. 

"Bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya 

Rangga. 

"Kami mendengar suara pertarungan tadi," Arya Duta 

melirik tiga mayat di dekat kaki Rangga. 

Rangga memandang tiga sosok mayat itu sejenak, lalu 

perhatiannya mengarah pada lembah, di mana berdiri 

sebuah bangunan besar bagai benteng. Arya Duta, Balung-

pati, Welut Putih dan Pandan Wangi juga meng-arahkan 

pandangan yang sama. Sesaat kemudian mereka saling 

berpandangan. 

"Apakah itu sarang gerombolan pengacau?" tanya Arya 

Duta. 

"Mungkin," sahut Rangga pelan, hampir tidak terdengar 

suaranya. 

"Hal ini harus segera dilaporkan pada Panglima 

Lohgender," sambung Balungpati. 

"Benar, Ayahanda Lohgender memang sedang me-

nunggumu juga, Tuan Pendekar," kata Arya Duta. 

Rangga tidak menyahuti. Ia masih disibukkan dengan 

kejadian-kejadian yang dialaminya sejak pagi sampai 

malam ini. Kemunculan Iblis Wajah Seribu memang bisa 

memusingkan kepala. Wanita cantik yang sebenarnya ber-

nama Klenting Kuning itu bisa merubah-rubah wajah-nya. 

Barusan saja Rangga kembali terkecoh, dan terjebak 

sampai ke sini. Dia yakin kalau yang bersamanya tadi 

adalah si Iblis Wajah Seribu yang menyamar jadi Pandan 

Wangi. Rangga melangkah tanpa bicara lagi. Tangannya


sempat menarik tangan Pandan Wangi. Sementara Arya 

Duta, Balungpati dan Welut Putih mengiringi di belakang. 

"Kau ada di penginapan sore tadi, Pandan?" tanya 

Rangga setengah berbisik. 

"Tidak, aku ada di Kadipaten Karang Asem bersama 

Panglima Lohgender," sahut Pandan Wangi. 

Rangga terdiam, tidak bertanya lagi. Jelas sudah kalau 

yang ditemuinya di penginapan tadi sore bukanlah Pandan 

Wangi, melainkan si Iblis Wajah Seribu. Dan yang meng-

ajaknya kembali ke hutan ini sudah tentu si wanita iblis itu. 

Rangga mengumpat dalam hati karena tidak bisa mem-

bedakan, dan selalu terkecoh dengan penyamaran 

Klenting Kuning yang begitu sempurna. 

"Hm..., aku tidak boleh lengah. Aku harus 

memperhatikan leher setiap orang," gumam Rangga dalam 

hati. 

Rangga memang sudah bisa mengetahui kalau noda 

pada leher Klenting Kuning tidak bisa hilang, meskipun dia 

bisa merubah wajah seribu kali. Tanda itulah satu-satunya 

yang menjadi patokan Rangga. Tapi memang sulit, karena 

noda itu letaknya agak tersembunyi, dan bisa ditutupi 

dengan rambut. 

*** 

Panglima Lohgender menyambut kedatangan Rangga 

dan Pandan Wangi yang diiringi oleh Arya Duta, Balungpati 

dan Welut Putih di depan pintu benteng penjara yang tinggi 

dan kokoh. Mereka kemudian masuk ke salah satu 

ruangan pengap yang hanya diterangi sebuah pelita kecil. 

Cuma Arya Duta yang ikut masuk, sedangkan Balungpati 

dan Welut Putih berjaga di depan pintu yang tertutup rapat. 

Pandan Wangi menyipitkan matanya ketika seorang 

lelaki muda yang tangan dan kakinya terikat rantai besi di 

dinding ruangan. Keadaannya tampak begitu payah, 

seluruh tubuhnya jelas menampakkan luka bekas 

cambukan pecut yang menggaris merah. Darah kering 

menutupi hampir seluruh tubuhnya yang biru lebam.


Gadis itu bergidik merasa ngeri begitu menyadari 

mereka tengah berada di ruang penyiksaan. Dinding-

dinding batu dipenuhi dengan rantai rantai yang bergayut 

dan darah kering yang mengotori. Di salah satu sudut, 

tampak sebuah lubang besar dengan sebuah tiang ber-

bentuk palang pintu di atasnya. Seuntai tambang men-

juntai melintang di palang tiang. Pandan Wangi tak kuasa 

lama memandangi lubang besar yang penuh ular berbisa. 

Meskipun dia seorang gadis pendekar, tapi ngeri juga 

melihat berbagai macam alat penyiksaan itu. Pandan 

Wangi langsung mengalihkan perhatiannya, dia tidak tega 

melihat sesosok tubuh tergantung yang sudah tidak utuh 

lagi, habis sudah disantap ular-ular lapar. 

"Kakang...," bisik Pandan Wangi. Tangannya memeluk 

tangan kanan Rangga tanpa disadari. 

"Ada keperluan apa Tuan Panglima memanggilku?" 

tanya Rangga setelah berbisik pada Pandan Wangi agar 

tenang. 

"Lihat orang itu, Kisanak. Dialah salah seorang 

pengacau yang membuat resah Kadipaten Karang Asem," 

Panglima Lohgender menunjuk orang yang terikat di 

dinding. 

Rangga tak bergeming untuk melihatnya. Matanya tetap 

tertuju pada Panglima Lohgender yang didampingi Arya 

Duta 

"Orang itu sudah mengakui semuanya, bahwa 

gerombolan mereka adalah gerombolan perampok yang 

terdiri dari orang-orang rimba persilatan yang sangat tinggi 

ilmunya. Dan yang terpenting lagi, sarang mereka ada di 

Hutan Tarik," Panglima Lohgender menjelaskan. Nada 

suaranya terdengar bangga. 

"Lalu, apa maksud Tuan Panglima mengundangku ke 

sini?" tanya Rangga. 

"Aku ingin meminta kesediaanmu menumpas 

gerombolan pengacau itu. Kau seorang pendekar pilih 

tanding yang sulit dicari bandingannya." 

“Tuan Panglima percaya dengan keterangan itu?"


Pandan Wangi ikut bertanya. 

"Dia memberikan pengakuan setelah merasakan pedih-

nya penyiksaan," sahut Panglima Lohgender. 

"Apakah dia penduduk Kadipaten Karang Asem?" tanya 

Pandan Wangi lagi. 

"Aku tidak tahu. Yang jelas dia salah satu dari pengacau-

pengacau itu. Dia tertangkap saat hendak membunuh se-

orang bendahara kadipaten. Hm..., untung Arya Duta cepat 

mengetahui dan berhasil menangkapnya hidup-hidup, 

meski sayang, dua orang lainnya tewas." 

“Bagaimana, Kakang?" Pandan Wangi meminta 

pendapat. 

"Sebaiknya Paman Balungpati diminta mengenali orang 

ini. Dia kan penduduk asli dari Karang Asem ini, paling 

tidak dia bisa memastikan apakah orang itu penduduk 

Karang Asem atau bukan," kata Rangga tanpa mem-

pedulikan pertanyaan Pandan Wangi. 

"Balungpati...!" teriak Panglima Lohgender. 

Yang dipanggil segera masuk. 

"Kau kenal dengan orang ini?" Panglima Lohgender 

mengangkat muka orang yang terikat rantai itu dengan 

ujung tongkatnya. 

"Akh...!" Balungpati nampak terkejut. Wajahnya seketika 

memucat. Matanya tak berkedip menatap orang yang 

berwajah biru lebam di depannya. 

"Kau kenal dia, Balungpati?" desak Panglima Lohgender. 

"Dia..., dia...," Balungpati seperti tercekat suaranya di 

tenggorokan. 

"Siapa dia. Balungpati?" 

"Dia Karman, Gusti Panglima. Salah seorang prajurit 

Kadipaten Karang Asem yang ditugaskan mengawal Gusti 

Ayu Puspa Lukita dan Gusti Rakapati ke Kadipaten 

Sedana," suara Balungpati terdengar gagap. 

"Lihat sekali lagi, Paman. Mungkin Paman salah lihat." 

kata Arya Duta tidak percaya. 

"Benar, Gusti. Dia Karman Prajurit kadipaten ini," sahut 

Balungpati yakin.


"Baiklah, Balungpati. Kau boleh ke luar," desah 

Panglima Lohgender. 

Balungpati memberi hormat, lalu berbalik dan me-

langkah ke luar. Pintu segera ditutup kembali oleh Arya 

Duta. Raut wajah Panglima Lohgender berubah begitu 

mendengar penuturan Balungpati. Sama sekali dia tidak 

menduga kalau orang yang telah disiksanya itu salah se-

orang prajurit pengawal yang ditugaskan ke Kadipaten 

Sedana. 

Panglima Lohgender lalu teringat pembicaraannya 

dengan Pendekar Rajawali Sakti di balai agung kadipaten. 

Dia terpaksa mengakui dugaan pendekar itu yang semula 

tak ditanggapinya dengan serius. Dia memang tak 

mengenali satu per satu prajurit kadipaten yang merupa-

kan salah satu kadipaten dari Kerajaan Limbangan. 

"Arya Duta, siapkan seluruh prajurit. Berangkat malam 

ini juga ke Hutan Tarik!" perintah Panglima Lohgender. 

"Tunggu dulu!" cegah Rangga sebelum Arya Duta sempat 

melangkah. 

Panglima Lohgender dan Arya Duta memandang 

Pendekar Rajawali Sakti itu. 

"Apakah Tuan Panglima yakin kalau mereka ada di 

hutan itu?" tanya Rangga. 

"Telik sandi yang kusebar ke sana sudah mengetahui 

letak sarang mereka dengan pasti. Dan aku sudah men-

dapat laporannya sore tadi," sahut Panglima Lohgender. 

Rangga yang mulutnya sudah terbuka hendak berucap 

lagi, jadi mendengus karena Panglima Lohgender sudah 

memerintahkan Arya Duta untuk segera melakukan 

perintahnya. Arya Duta segera berlalu. Panglima Lohgender 

memandang ke arah Rangga dan Pandan Wangi sesaat, 

lalu beranjak ke luar dari ruangan pengap ini. 

Rangga langsung menarik tangan Pendan Wangi ke luar 

dari ruangan pengap berbau tidak sedap itu. Mereka 

sejenak berdiri di depan pintu memandang kepergian 

empat ekor kuda yang dipacu cepat menuju kembali ke 

kadipatenan. Saat kedua pendekar itu hendak melangkah



pergi, tiba-tiba salah seekor kuda itu berbalik dan meng-

hampiri dengan cepat. Welut Putih langsung melompat 

turun begitu sampai di depan kedua pendekar itu. 

"Gusti Panglima meminta Tuan dan Nini Pendekar mau 

ikut serta ke Hutan Tarik," kata Welut Putih. 

"Baiklah, aku menyusul nanti." sahut Rangga. 

"Akan kusampaikan." 

Welut Putih langsung melompat naik kembali ke 

punggung kudanya. Secepat kilat dia menggebah kuda itu. 

Bagai anak panah lepas dari busur, kuda itu melesat cepat 

meninggalkan Rangga dan Pandan Wangi. Saat itu dua 

orang prajurit kadipaten datang, dan langsung berjaga-jaga 

di depan pintu penjara. 

"Ayo kita pergi, Pandan," ajak Rangga Tanpa banyak 

bicara lagi, Rangga dan Pandan Wangi mencelat cepat. 

Dalam sekejap saja hilang dari pandangan mata. 

"Edan! Orang apa dewa...?" dengus salah seorang 

penjaga. 

"Tolol! Namanya juga pendekar!" sergah seorang 

penjaga lainnya. 

"Hebat, ya...?!" 

*** 

Hutan Tarik yang semula sunyi senyap, kini tampak 

dipenuhi ratusan prajurit yang mengepung lembah yang 

mengelilingi benteng kokoh di seberangnya. Beberapa 

prajurit terlihat sibuk membuat jembatan dari bambu yang 

disambung-sambung sampai menjangkau seberang 

lembah sana. 

Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya menyaksi-

kan saja. Rangga melihat benteng itu sama persis dengan 

yang pernah dilihatnya di sebelah Timur Hutan Tarik ini, 

hanya bedanya, yang sekarang berada di sebelah Barat 

hutan ini. Dan letak benteng itu juga ada di seberang 

lembah, bukannya berada di dasar lembah. 

Sementara itu sepuluh jembatan bambu sudah hampir


terpasang. Dan kelihatannya cukup kuat untuk dilintasi dua 

puluh orang prajurit sekaligus. Panglima Lohgender yang 

didampingi Arya Duta, Balungpati dan Welut Putih, tampak 

berdiri tegap memandang ke arah benteng di seberang 

sana. 

"Kau lihat ada perbedaan pada benteng itu, Pandan?" 

tanya Rangga. 

"Ya," sahut Pandan Wangi. “Tidak seperti kemarin 

malam." 

"Aku tidak tahu, benteng mana yang asli," gumam 

Rangga. 

"Serang...!" tiba-tiba terdengar perintah teriakan lantang 

dari Panglima Lohgender. 

Pekik peperangan langsung menggema, disusul dengan 

berlariannya para prajurit melintasi jembatan bambu yang 

bergoyang goyang. Pasukan panah juga langsung beraksi 

memuntahkan anak-anak panah menghujani benteng itu. 

Arya Duta melenting tinggi bagai burung melompati 

lembah, lalu dengan manis mendarat di seberang. 

Kemudian tubuhnya kembali melenting melewati pagar 

benteng. Tak lama kemudian dia keluar sambil melenting-

kan tubuhnya menyeberangi lembah. Dia langsung men-

darat tepat di depan Panglima Lohgender. 

"Kosong! Benteng itu kosong!" seru Arya Duta 

melaporkan. 

"Apa ...?!"Panglima Lohgender tampak kaget tak 

percaya. 

"Benteng itu kosong," Arya Duta mengulangi. 

"Berhenti...!" teriak Panglima Lohgender seketika. 

Seketika itu juga semua prajurit menghentikan aksinya. 

Sebagian lagi prajurit ke luar dari dalam benteng. Mereka 

langsung kembali menyeberangi lembah itu. 

"Setan!" geram Panglima Lohgender. 

Wajah panglima itu merah padam. Gerahamnya ber-

gemeletuk menahan geram. Dia merasa dirinya tengah di-

permainkan mentah-mentah. Sementara semua prajurit 

sudah kembali dari seberang lembah. Mereka menunggu


perintah selanjutnya. 

"Balungpati, Welut Putih!" 

"Hamba, Gusti," sahut Balungpati dan Welut Putih ber-

barengan. 

"Bawa separuh prajurit ke kadipaten!" perintah Panglima 

Lohgender. 

"Hamba laksanakan segera, Gusti Panglima." 

Balungpati dan Welut Putih langsung menjalankan 

perintah itu. Mereka membawa tidak kurang dari tiga ratus 

orang prajurit untuk kembali ke Kadipaten Karang Asem. 

"Arya Duta!" 

"Ya, Ayahanda." 

"Bawa seratus prajurit, geledah seluruh hutan ini!" 

Arya Duta juga tidak membantah. Dia segera membawa 

seratus orang prajurit pilihan untuk menggeledah hutan ini. 

Panglima Lohgender menghampiri Pendekar Rajawali Sakti 

dan Pandan Wangi yang masih tetap berdiri tak bergeming 

dari tempatnya. Wajah Panglima itu kelihatan tegang dan 

menahan geram yang amat sangat. 

"Sebaiknya Panglima kembali ke kadipaten," kata 

Rangga mendahului sebelum Panglima Lohgender 

membuka suara. 

"Hm...," Panglima Lohgender hanya bergumam. 

"Benar, Panglima. Aku merasa mereka sengaja men-

dahului dan merebut Kadipaten Karang Asem di saat 

kosong," sambung Pandan Wangi. 

"Pasti ada orang yang berkhianat!" dengus Panglima 

Lohgender geram. 

"Ayo, Pandan. Kita pergi sekarang," ajak Rangga 

Pandan Wangi menurut saja. Mereka langsung 

melompat dan lenyap di balik kerimbunan pepohonan. 

Panglima Lohgender segera memerintahkan sisa pasukan-

nya untuk kembali ke Kadipaten Karang Asem. Kata-kata 

kedua pendekar itu menjadi pertimbangannya juga. 

Memang ada kemungkinan para gerombolan pengacau itu 

mendahului di saat seluruh pasukan berada di Hutan Tarik.


ENAM


Rangga tidak langsung kembali ke Kadipaten Karang 

Asem. Dia mengajak Pandan Wangi untuk melihat benteng 

yang sama persis di sebelah Timur Hutan Tarik ini. Keada-

an hutan yang banyak lembah dan bukitnya memang sulit 

untuk dikenali bagian-bagiannya. Pendekar Rajawali Sakti 

itu tertegun sejenak memandang ke dasar lembah di 

depannya. 

Tampak benteng yang kemarin malam dia lihat, kini 

sudah jadi puing-pulng. Asap tipis masih mengepul dari 

bara api. Seluruh bangunan benteng itu hangus terbakar. 

Tapi anehnya, tidak ada satu mayat pun yang kelihatan. 

Rangga memandang Pandan Wangi yang berdiri di 

sebelahnya. Gadis itu juga memandang padanya. 

"Mereka pasti sudah ada di Kadipaten Karang Asem 

sekarang," kata Pandan Wangi. 

"Hebat! Ini pasti pekerjaan Iblis Wajah Seribu," gumam 

Rangga memuji. 

"lblis Wajah Seribu...?!" Pandan Wangi mendelik kaget. 

"Ya. beberapa kali aku sempat terkecoh. Kemarin 

malam pun aku dikecoh hingga sampai ke sini," Rangga 

mengakui. 

"Jadi...!?" 

"Dia menyamar jadi dirimu." 

"Iblis!" geram Pandan Wangi. 

Sesaat mereka diam merenung. 

"Aku harus membunuh perempuan iblis itu, Kakang!" 

tekad Pandan Wangi. 

Rangga hanya tersenyum saja. Dia tidak mengecilkan 

kepandaian Pandan Wangi. Tapi Iblis Wajah Seribu bukan-

lah tandingan gadis itu. Selain bisa merubah wajahnya, 

Iblis Wajah Seribu juga sangat tinggi tingkat kepandaian-

nya. 

"Ayo, Kakang. Kita harus segera ke Kadipaten Karang


Asem!" ajak Pandan Wangi. 

"Tunggu..!" sentak Rangga tiba-tiba. 

Pada saat itu, muncul Arya Duta dengan tergopoh-

gopoh. Pakaiannya compang camping. Pemuda itu 

langsung terjatuh begitu sampai di depan Rangga dan 

Pandan Wangi. Rangga segera membantu Arya Duta 

berdiri. 

"Ada apa?" tanya Rangga. 

"Tolong, pasukanku habis terbantai di tepi hutan..," 

sahut Arya Duta tersendat-sendat. 

Sejenak Rangga menatap Pandan Wangi. Tanpa bicara 

lagi, gadis itu segera melompat cepat meninggalkan kedua 

pemuda itu. Rangga langsung mengikuti. Tapi.... 

"Pandan, tunggu!" teriak Rangga keras. 

Pandan Wangi langsung menghentikan larinya. 

"Cepat kembali!" seru Rangga. 

Secepat kilat, Rangga melompat ke tepi lembah di 

sebelah Timur Hutan Tarik. Pandan Wangi yang sempat 

kebingungan, langsung mengikuti. Mereka terperanjat, 

karena Arya Duta yang ditinggalkan, kini sudah tidak ada 

lagi. Sesaat mereka berpandangan. 

"Sial! Iblis itu mengecohkan kita!" umpat Rangga. 

Pandan Wangi menatap Rangga lekat-lekat. 

"Ayo, kita langsung ke kadipaten. Dia pasti sengaja mau 

menghambat perjalanan kita!" kata Rangga. 

Kedua pendekar itu segera melompat dengan mem-

pergunakan ilmu meringankan tubuh. Sekejap saja tubuh 

mereka sudah lenyap seperti ditelan bumi. Sementara itu 

dari balik pohon besar, muncul seorang wanita cantik 

dengan mengenakan baju kuning. Di tangannya ter-

genggam selembar pakaian lusuh compang-camping. 

Bibirnya menyunggingkan senyum, lalu melenting ke arah 

mana kedua pendekar itu pergi. 

***


Sementara itu di Kadipaten Karang Asem, Rakapati 

berhasil melumpuhkan pertahanan kadipaten, termasuk 

Braja Duta yang tewas setelah cukup lama bertahan meng-

hadapi pasukan kepercayaan Rakapati. 

Setelah itu Rakapati menerobos masuk ke dalam 

bangunan utama kadipaten. Wajahnya menegang begitu 

pintu sebuah kamar berhasil didobrak. Tampak, Adipati 

Prahasta duduk tenang di tengah-tengah ruangan 

pribadinya. Rakapati mengayunkan langkahnya mendekati 

adipati itu yang juga ayah tirinya. 

"Aku sudah menduga, kau yang ada di belakang semua 

kejadian ini," kata Adipati Prahasta pelan dan datar 

suaranya. 

"Karang Asem sudah aku kuasai, dan sebentar lagi 

Kerajaan Karang Asem akan berdiri kembali. Akulah Raja 

Karang Asem yang syah! Dan kau, Prahasta, kau harus 

mati di tiang gantungan seperti penjahat!" dingin dan 

kedengaran tertekan suara Rakapati. 

Rakapati menggerakkan tangannya. Dua orang ber-

pakaian serba hitam segera masuk. Tanpa menunggu 

perintah lagi, mereka langsung meringkus Adipati Prahasta. 

Laki-laki gemuk itu tidak sedikitpun memberikan per-

lawanan. Tangan dan tubuhnya diikat tambang. 

Baru saja Rakapati hendak menghampiri Adipati 

Prahasta, tiba-tiba seorang berpakaian hitam lainnya 

datang. Dia berbisik di telinga Rakapati. Sesaat Rakapati 

memandang ke arah Adipati Prahasta, kemudian dia 

menoleh pada orang yang berbisik di telinganya tadi. 

"Suruh dia tunggu di Balai Agung," kata Rakapati. 

Rakapati kemudian memerintahkan beberapa orang 

untuk menjaga Adipati Prahasta. Kemudian dia bergegas 

ke luar kamar itu. Langkahnya lebar-lebar dan terburu-buru 

menuju ke Balai Agung. Dia tidak menoleh sedikitpun saat 

memasuki ruangan besar yang indah itu. Rakapati 

langsung menuju ke kursi yang letaknya tinggi dengan 

ukiran berlapiskan emas. Dia duduk di kursi itu dengan 

sikap agung bagai seorang raja besar. Sesaat matanya


merayapi sekitarnya, kemudian pandangannya menatap 

pada dua laki-laki yang duduk bersimpuh di depannya. 

Kedua orang laki-laki itu adalah Balungpati dan Welut 

Putih. 

Balungpati dan Welut Putih memberikan sembah 

hormat. Rakapati mengangkat tangannya sedikit. Di 

belakang Balungpati dan Welut Putih, duduk empat orang 

berpakaian serba hitam. Mereka adalah Setan Cakar 

Racun, Iblis Kembar Teluk Naga dan Perempuan Iblis 

Peminum Darah. Rakapati tersenyum lebar penuh 

kemenangan. Dia berhasil menguasai Kadipaten Karang 

Asem tanpa perlawanan yang berarti. Pasukannya terlalu 

tangguh bagi para pengawal kadipaten, sehingga dengan 

mudah dapat ditundukkan 

"Hamba membawa sekitar tiga ratus orang prajurit 

Gusti." kata Balungpati sambil menyembah. 

"Hm, bagus!" dengus Rakapati gembira. "Apakah mereka 

akan setia padaku?" 

"Mereka orang-orang pilihan hamba. Dan sebagian 

besar adalah murid-murid dari Welut Putih," Balungpati 

menoleh pada Welut Putih yang duduk di sampingnya. 

"Benar, Gusti. Hamba sudah lama sekali menunggu 

kesempatan ini. Hamba dan Kakang Balungpati memang 

sengaja menjadi prajurit di Kadipaten Karang Asem ini. 

Hamba selalu berharap dan mempersiapkan para pemuda 

dan prajurit-prajurit yang setia pada junjungan Gusti Prabu 

Sirandana. Mereka semua dapat diandalkan, Gusti. Hamba 

sendiri yang melatih mereka semua," kata Welut Putih 

menjelaskan. 

"Terima kasih. Aku terharu sekali dengan kesetiaan 

Paman berdua. Maaf, kalau aku sempat mencurigai kalian 

dan membenci karena kalian mengabdi pada musuh," 

Rakapati bersikap berjiwa besar. "Aku janji, tidak akan 

melupakan jasa-jasa kalian yang telah banyak memberikan 

keterangan berharga padaku." 

Balungpati dan Welut Putih segera memberi hormat. 

"Nah, mulai sekarang, aku serahkan kepemimpinan


prajurit pada paman berdua." kata Rakapati. 

"Hamba laksanakan, Gusti." sahut Balungpati dan Welut 

Putih berbarengan. 

"Atur penjagaan, dan sapu bersih setiap prajurit 

Limbangan yang ditemui." 

Balungpati dan Welut Putih kembali memberikan 

sembah. Kemudian mereka beringsut pergi dari ruangan 

besar itu. Rakapati memandangi empat orang berpakaian 

serba hitam yang masih duduk bersimpuh di lantai. Mereka 

segera berdiri dan mengambil tempat duduk di kursi yang 

berjajar rapi di depan Rakapati duduk. 

"Aku minta kalian semua masih tetap tinggal di sini 

untuk beberapa saat. Aku khawatir Panglima Lohgender 

dan Arya Duta menyerang ke sini. Mereka harus mati, juga 

semua prajurit Limbangan harus mati." kata Rakapati. 

"Jangan khawatir, tanpa prajurit pun aku sanggup 

menghabiskan mereka," kata Naga Hitam, salah satu dari 

Iblis Kembar Teluk Naga. 

"Aku percaya, kalian adalah tokoh-tokoh sakti pilih 

tanding. Tapi jangan anggap remeh Panglima Lohgender. 

Dia juga sukar dicari tandingannya." 

"Serahkan dia padaku!" Perempuan Iblis Peminum 

Darah menepuk dada sambil terkekeh. 

Rakapati tersenyum senang. Kemudian dia bangkit 

berdiri, dan meninggalkan ruangan itu. Empat orang tokoh 

hitam rimba persilatan itu segera angkat kaki. 

Mereka membuka baju hitam yang dikenakan, dan 

membuangnya begitu saja. Mereka memang lebih senang 

mengenakan pakaian yang sudah menjadi ciri khas mereka 

sendiri-sendiri. 

*** 

Panglima Lohgender yang sudah bergabung dengan Arya 

Duta, tiba di perbatasan Kadipaten Karang Asem dengan 

Hutan Tarik. Hampir enam ratus orang prajurit mengikuti 

dari belakang. Mereka terus bergerak langsung menuju


kediaman Adipati Prahasta. Panglima Lohgender merasa-

kan suatu keanehan. Sepanjang jalan yang dilalui tampak 

sepi. Tak seorang penduduk pun dijumpai. Semua rumah 

tertutup rapat Arya Duta juga merasakan hal yang sama. 

Arya Duta mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dia me-

lompat dari punggung kudanya diikuti para prajurit yang 

berada di belakangnya. Keadaan ganjil ini membuat Arya 

Duta dan Panglima Lohgender bersikap lebih waspada. 

Panglima Lohgender memerintahkan sepuluh prajurit 

untuk memeriksa keadaan. Namun baru saja mereka me-

langkah beberapa depa, puluhan anak panah meluncur 

dengan cepat ke arah mereka, hingga tak ayal lagi tubuh-

tubuh mereka roboh satu per satu dengan jeritan tertahan. 

"Setan!" geram Arya Duta melihat sepuluh orang 

prajuritnya langsung tewas tertembus anak panah. 

Seketika itu juga dari balik pepohonan dan rumah-

rumah penduduk serta gerumbul semak belukar, ber-

munculan orang-orang berpakaian serba hitam. Mereka 

berlompatan dan berlarian menyerang. 

"Serang...!" teriak Arya Duta keras. 

Pertempuran tak dapat dihindari. Para prajurit Kerajaan 

Limbangan bertempur bagai singa lapar dan terluka. Setiap 

tebasan pedang atau hunjaman tombak, selalu meminta 

nyawa. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur jadi 

satu. Tubuh-tubuh bersimbah darah bergelimpangan tak 

tentu arah. Dekat perbatasan Kadipaten Karang Asem 

berubah jadi ajang pertempuran. Denting senjata dan 

desingan anak panah hiruk pikuk membelah udara. Tak 

terhitung lagi, berapa korban yang jatuh di kedua belah 

pihak. 

"Welut Putih!" Arya Duta tersentak melihat Welut Putih 

datang dan langsung menyerang para prajurit Kerajaan 

Limbangan. 

Arya Duta melentingkan tubuhnya ke arah Welut Putih. 

Pedangnya langsung berkelebat dengan cepat Welut Putih 

terperangah sejenak, langsung dia melompat menghindari 

tebasan pedang Arya Duta. Mereka berhadapan saling


tatap dengan sinar mata merah membara. 

"Pengkhianat!" geram Arya Duta. 

"Hhh! Kau lupa, Arya Duta. Aku putra Karang Asem," 

balas Welut Putih mendesis. 

"Seharusnya sejak semula aku mencurigaimu, Welut 

Putih." 

"Terlambat, karena sebentar lagi kau akan mampus! 

Juga seluruh prajuritmu!" 

"Setan! Kubunuh kau, pengkhianat!" geram Arya Duta. 

Arya Duta langsung menerjang dengan garang. 

Pedangnya berkelebatan cepat mengurung tubuh Welut 

Putih. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, keduanya telah 

mengerahkan puluhan jurus andalannya. Saat memasuki 

jurus ketiga puluh, tampak Welut Putih kelihatan mulai ter-

desak. Welut Putih memang bukan tandingan Arya Duta. 

Dia bisa berbangga di Kadipaten Karang Asem, tapi tingkat 

kepandaiannya masih berada di bawah anak angkat 

Panglima Kerajaan Limbangan itu. 

"Mampus kau..!" bentak Arya Duta tiba-tiba. 

Seketika kakinya melayang mengarah ke dada Welut 

Putih yang sedikit lowong. Welut Putih menangkis dengan 

mengibaskan senjatanya, namun rupanya tendangan itu 

hanyalah tipuan belaka, karena Arya Duta segera menarik 

kakinya dibarengi dengan kibasan pedang ke arah leher. 

Crash! 

"Aaakh...!" Welut Putih mengerang panjang. 

Darah langsung muncrat dari leher yang terbabat 

menganga lebar, lalu tubuh itu tersuruk jatuh ke tanah. 

Sebentar menggelepar, kemudian diam tak bergerak lagi. 

Welut Putih mati mengenaskan oleh tebasan pedang orang 

yang pernah menghormatinya dengan panggilan paman. 

"Manusia busuk, aku lawanmu!" 

Terdengar bentakan keras disertai pengerahan tenaga 

dalam. Arya Duta langsung menoleh dan melompat ke luar 

dari arena pertarungannya dengan Welut Putih tadi. Ludah-

nya menyembur begitu melihat seorang laki-laki tua ber-

jubah-hitam. Tubuhnya kurus kering, tinggi bagai galah


bambu. Dialah si Setan Cakar Racun. 

"He... he... he ... seharusnya aku serahkan pada Iblis 

Wajah Seribu dia pasti senang padamu." Setan Cakar 

Racun terkekeh melihat ketampanan wajah Arya Duta. 

"Phuih! Jangan banyak bacot kau iblis! Majulah, kalau 

kau mau merasakan pedangku!" dengus Arya Duta. 

Satu bayangan kuning tiba-tiba saja meluncur, dan men-

dadak sudah berdiri di samping Setan Cakar Racun se-

orang perempuan cantik mengenakan baju kuning dengan 

bunga terselip di telinganya. Baju yang ketat, membentuk 

tubuh ramping indah, membuat mata Arya Duta tak sempat 

berkedip memandangnya. 

"Ah, baru ternat di hatiku, kau sudah datang." sambut 

Setan Cakar Racun menyeringai melihat Klenting Kuning 

atau Iblis Wajah Seribu sudah berdiri di sampingnya. 

"Terima kasih, kau tahu benar seleraku," sahut Klenting 

Kuning tersenyum manis. 

Klenting Kuning menatap Arya Duta tak berkedip. Wajah 

tampan itu membuat seleranya bangkit penuh gejolak. 

Beberapa kali Klenting Kuning menelan ludahnya sendiri. 

Dia memang selalu bergairah jika melihat pemuda tampan, 

apalagi yang memiliki tingkal kepandaian tinggi, gairahnya 

langsung bangkit seketika. 

"Aku tinggal dulu, Manis. Bersenang-senanglah kalian." 

kata Setan Cakar Racun langsung mencelat pergi. Suara 

terkekeh terdengar dari mulutnya yang tipis kecil. 

"Hm..., siapa namamu, bocah bagus?" tanya Klenting 

Kuning lembut sambil mengulas senyum menggoda. 

"Jangan coba-coba merayuku, perempuan iblis!" dengus 

Arya Duta. "Aku tidak peduli dengan kecantikan wajahmu, 

siapa saja yang berada di belakang Rakapati, harus 

mampus di ujung pedangku!" 

"Ha... ha... ha...," Klenting Kuning tertawa renyah. "Aku 

suka pemuda tampan sepertimu " 

"Phuih!" 

Arya Duta langsung berteriak nyaring melengking. 

Tubuhnya melenting tinggi ke udara, lalu dengan cepat


menukik sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali. 

Klenting Kuning hanya memekik manja, dia memiringkan 

tubuhnya sedikit hingga pedang Arya Duta hanya 

menyambar angin. 

Klenting Kuning masih menyunggingkan senyuman 

manis menggoda. Gerakan tubuhnya amat gemulai. Dia 

seolah menganggap remeh lawannya. Meskipun begitu, 

belum sedikitpun ujung pedang Arya Duta menyentuh 

ujung rambutnya. Setiap kali pedang Arya Duta berkelebat 

cepat. Klenting Kuning hanya berkelit sedikit dengan 

gerakan lemah gemulai. Tanpa terasa, pertarungan sudah 

berlangsung lebih dari sepuluh jurus. 

"Hiyaaa...!" tiba-tiba Arya Duta berteriak nyaring. Sambil 

melompat, dia mengibaskan pedangnya dengan cepat. 

Klenting Kuning memekik manja, dia segera mundur, dan 

kibasan pedang Arya Duta kembali menemui tempat 

kosong. Pada saat tubuh pemuda itu masih berada di atas, 

seketika tangan Klenting Kuning mendorong ke arah tubuh 

pemuda itu. Seberkas sinar kehijauan meluncur deras. 

"Akh!" Arya Duta memekik tertahan. 

Tanpa dapat dicegah lagi. Jarum hijau yang dilepaskan 

Klenting Kuning menembus dadanya. Arya Duta langsung 

jatuh roboh tak berkutik. Tubuhnya serasa lemas tak ber-

tenaga. Klenting Kuning semakin lebar senyumnya. Dia 

melangkah menghampiri tubuh pemuda itu. Hanya dengan 

sekali angkat saja, tubuh Arya Duta sudah berada di dalam 

kempitannya. 

"Kita akan bersenang-senang dulu, bocah bagus," kata 

Klenting Kuning seraya mencelat kabur. 

"Arya Duta...!" seru Panglima Lohgender. 

Panglima Kerajaan Limbangan itu segera melompat 

hendak menyerang, namun beberapa orang berpakaian 

serba hitam sudah lebih dulu menghadangnya. Terpaksa 

Panglima Lohgender harus melayani para penyerangnya. 

Perhatiannya pada Arya Duta jadi terganggu. 

***


Saat itu Rangga dan Pandan Wangi sudah tiba di 

Kadipaten Karang Asem. Mereka terkejut melihat per-

tempuran sudah berjalan sengit. Tampak Panglima 

Lohgender bertarung bagai banteng teriuka sambil ber-

teriak-teriak memberi semangat pada para prajuritnya. 

Rangga menahan tangan Pandan Wangi yang mau terjun 

ke kancah pertempuran. 

"Ingat, Pandan. Jangan campuri urusan mereka. Kita 

baru terjun kalau ada tokoh rimba persilatan ikut campur," 

kata Rangga. 

Belum juga Pandan Wangi membuka mulut, matanya 

langsung menangkap dua orang laki-laki kembar ber-

kelebatan cepat menghajar para prajurit Kerajaan 

Limbangan. Tanpa menunggu lagi, gadis itu segera 

mengibaskan cekalan tangan Rangga. Bagai anak panah 

lepas dari busurnya, Pandan Wangi langsung melentingkan 

tubuhnya ke arah dua orang kembar itu. 

Kedatangan Pandan Wangi membuat Iblis Kembar Teluk 

Naga terkejut. Apalagi gadis itu langsung menyerangnya. 

Pandan Wangi sengaja membawa mereka ke luar dari 

arena pertempuran. Mereka bertarung di luar dari para 

prajurit yang saling baku hantam. Pandan Wangi bertempur 

dengan menggunakan kipas baja saktinya. 

Beberapa kali si Kipas Maut itu mematahkan serangan-

serangan Iblis Kembar Teluk Naga, sehingga membuat 

tokoh kembar itu kerepotan menghadapinya. Tapi pada 

jurus-jurus selanjutnya, kelihatan sekali kalau keadaan ber-

balik. Pandan Wangi kini jadi kewalahan, dan selalu ter-

desak. Kerjasama tokoh kembar itu sangat rapi dan saling 

susul serangannya. 

"Pandan, gunakan Pedang Naga Geni!" teriak Rangga. 

Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya per-

tarungan, bisa mengetahui kalau Pandan Wangi sudah 

sangat terdesak sekali. Tapi dia tidak mau ikut campur 

membela gadis itu. Rangga berpegang teguh pada prinsip-

nya sebagai seorang pendekar. 

Sret!


Iblis Kembar Teluk Naga langsung melompat mundur 

begitu melihat pamor pedang Naga Geni. Udara di sekitar 

gadis itu mendadak jadi terasa panas. 

Pandan Wangi bagaikan sosok malaikat pencabut nyawa 

dengan pedang Naga Geni di tangannya. 

Mendadak, Pandan Wangi merasakan sesuatu yang 

aneh menjalari tubuhnya. Gadis itu merasakan tubuhnya 

jadi ringan bagaikan kapas. Dan nafsu untuk membunuh 

mengalir deras merasuk ke dalam tubuhnya tanpa ter-

kendali. Pamor pedang Naga Geni mulai merasuki tubuh 

dan jiwa gadis itu. Mendadak saja, Pandan Wangi berteriak 

nyaring, dan tubuhnya melenting tinggi ke udara. Pedang 

yang memancarkan sinar merah menyala bagai api itu ber-

putar-putar cepat meluruk ke arah Iblis Kembar Teluk 

Naga. 

Iblis Kembar Teluk Naga berlompatan begitu merasakan 

hawa panas menyambar tubuhnya. Mereka sampai ter-

perangah merasakan kedahsyatan pedang itu. Namun 

Pandan Wangi tidak lagi memberi kesempatan lagi. 

Serangan pertama gagal, langsung disusul dengan 

serangan berikutnya yang tidak kalah cepatnya. 

"Awas, Adi Naga Putih...!" teriak Naga Hitam tiba-tiba. 

Saat itu Pedang Naga Geni sudah berkelebat cepat 

membabat ke arah dada Naga Putih. Begitu cepatnya 

tebasan pedang itu, sehingga membuat Naga Putih tak 

bisa berbuat apa-apa lagi, dan.... 

"Aaakh...!" Naga Putih memekik keras. 

Darah langsung muncrat ke luar dari dada yang terbelah 

hangus terbabat pedang Naga Geni di tangan Pandan 

Wangi. Belum lagi tubuh Naga Putih ambruk ke tanah. 

Pandan Wangi sudah kembali melenting ke arah Naga 

Hitam. Tentu saja satu dari Iblis Kembar Teluk Naga itu ter-

peranjat bukan main. 

"Hih!" Naga Hitam mengangkat senjatanya. 

Tring! 

Dua senjata beradu keras memercikkan bunga api. 

Naga Hitam tersentak kaget, karena senjatanya buntung


jadi dua bagian. Belum lagi hilang rasa kagetnya, tahu-tahu 

dia sudah terlempar tinggi ke udara. Kaki Pandan Wangi 

melayang di udara, secepat kilat Pandan Wangi mencelat 

mengejar. 

"Hiya, hiyaaa...!" 

"Aaakh...!" Naga Hitam menjerit melengking. 

Dua tebasan beruntun memotong tubuh Naga Hitam jadi 

tiga bagian. Tubuh yang terpotong-potong itu meluruk jatuh 

ke tanah. Pandan Wangi kembali meluruk turun, dan 

langsung menghajar orang-orang yang berpakaian hitam. 

Kegemparan langsung pecah, karena Pandan Wangi 

bagaikan malaikat pembantai yang sulit dibendung. 

"Celaka!" desis Rangga yang selalu memperhatikan 

gadis itu. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi. Pendekar Rajawali 

Sakti itu langsung melompat menghampiri Pandan Wangi. 

“Pandan! Cepat lepaskan pedang itu!" seru Rangga 

sambil berlompatan menghindari tebasan pedang Pandan 

Wangi. 

"Tidak bisa, Kakang. Pedang ini bergerak sendiri 

mengendalikan diriku!" sahut Pandan Wangi sedikit 

terengah. 

"Kalian semua menyingkir!" teriak Rangga menyuruh 

orang-orang yang ada di sekitar Pandan Wangi menyingkir. 

Pandan Wangi benar-benar tidak bisa mengendalikan 

pedang Naga Geni. Dia kini malah menyerang Rangga yang 

berusaha membawanya menjauh dari arena pertempuran. 

Pada saal itu, dua sosok tubuh melayang menghampiri. 

Mereka adalah Perempuan Iblis Peminum Darah dan Setan 

Cakar Racun. Melihat Pandan Wangi tidak terkendalikan 

oleh pedangnya sendiri, kedua tokoh hitam itu memanfaat-

kannya. 

"Setan alas! Kalian mau mampus, heh!" bentak Rangga 

geram. 

"He... he... he..., Setan Cakar Racun, kau hadapi yang 

betina. Biar aku yang melayani bocah bagus ini." kata 

Perempuan Iblis Peminum Darah.



"Tapi ingat, kau jangan membunuhnya. Serahkan dia 

pada Iblis Wajah Seribu sebagai hadiah," sahut Setan 

Cakar Racun. 

"Phuih! Aku juga senang padanya, biar dia nanti bekas-

ku!" 

"Terserah kaulah!" 

Setan Cakar Racun segera merangsek Pandan Wangi. 

Sementara Perempuan Iblis Peminum Darah, langsung 

menggempur Rangga. Hal ini membuat Pendekar Rajawali 

Sakti itu jadi muak. Sementara dia juga mengkhawatirkan 

keadaan Pandan Wangi yang tidak bisa lagi mengendalikan 

dirinya akibat pengaruh pedang Naga Geni. 

Rasa geram yang sudah melanda Rangga, membuat 

Pendekar Rajawali Sakti itu tidak dapat lagi mengendalikan 

dirinya. Dia langsung mencabut pedang Rajawali Sakti dari 

warangkanya. Seketika itu juga cahaya biru berkilau 

menyemburat terang dari pedang itu. Perempuan Iblis 

Peminum Darah terkesiap melihat pamor pedang itu. 

"Mampus kau iblis, hiyaaa...!" teriak Rangga nyaring. 

Secepat kilat Rangga mengayunkan pedangnya ke arah 

tubuh lawannya. Perempuan Iblis yang sempat ter-

perangah, langsung melentingkan tubuhnya menghindar, 

tapi serangan Rangga yang begitu cepat, masih bisa 

melukai kaki wanita itu. 

"Akh!" Perempuan Ibtis Peminum Darah memekik ter-

tahan. 

Belum juga dia sempat menginjakkan kakinya ke tanah, 

Rangga sudah mengibaskan pedangnya kembali. Kali ini 

jeritan melengking terdengar dari mulut si Perempuan Iblis 

Peminum Darah. Rangga langsung menolehkan kepalanya 

ke arah Pandan Wangi. 

"Hiya...!" 

Pendekar Rajawali Sakti itu melompat cepat bagai kilat 

seraya mengibaskan pedangnya. Setan Cakar Racun yang 

tengah kerepotan membendung serangan Pandan Wangi, 

tidak sempat lagi menghindari terjangan Rangga. Dia men-

jerit keras begitu merasakan lehernya terbabat pedang.


"Ayo, Pandan. Cepat ikuti aku!" seru Rangga. 

Rangga sengaja mengadukan pedangnya dengan 

pedang Naga Geni di tangan Pandan Wangi. Seketika itu 

juga, Pandan Wangi mengalihkan perhatiannya pada 

Rangga yang sudah mencelat pergi ke arah Hutan Tarik. 

Pandan Wangi yang sudah tidak bisa mengendalikan 

pengaruh Pedang Naga Geni, langsung saja melompat 

mengejar Pendekar Rajawali Sakti. Dua tubuh langsung 

berkejaran menuju ke Hutan Tarik. Sementara pertarungan 

antara para prajurit Kerajaan Limbangan yang dipimpin 

langsung oleh Panglima Lohgender, terus berlangsung 

sengit. Tapi kini sudah kelihatan kalau para pengikut 

Rakapati mulai terdesak. 

"Panglima, cepat cari Rakapati di dalam!" terdengar 

suara Rangga menggema, padahal orangnya sudah tidak 

ada lagi. 

Panglima Lohgender tidak terkejut lagi. Dia paham kalau 

seorang pendekar digdaya, pasti mampu mengirimkan 

suara tanpa ujud. Segera saja dia melompat ke luar dari 

kancah pertempuran. Sejenak dia bisa melupakan Arya 

Duta yang dibawa Iblis Wajah Seribu. 

***


TUJUH


Rakapati bergegas ke dalam istana kadipaten. Dia 

langsung menuju ke kamar pribadi adipati. Di sana Adipati 

Prahasta masih duduk terikat dengan wajah tenang dan 

bibir menyunggingkan senyuman. Senyumnya semakin 

lebar begitu melihat Rakapati masuk menghampiri. 

"Sebaiknya kau urungkan saja niatmu, Rakapati. Tanpa 

mengadakan pertumpahan darah pun aku akan menyerah-

kan Kadipaten Karang Asem ini padamu," kata Adipati 

Prahasta. 

"Diam kau!" bentak Prahasta gusar. 

"Percuma saja kau melawan, prajurit Limbangan bukan-

lah tandinganmu. Lebih-lebih Panglima Lohgender. Kau 

akan menyesal seumur hidup," Adipati Prahasta yang 

teramat menyintai anak tirinya ini berusaha menyadar-

kannya. 

Rakapati menjulurkan kepalanya mendekati wajah 

Adipati Prahasta. Mukanya merah padam dengan bola 

mata merah menyala. Perlahan-lahan dia mengeluarkan 

kelewang dari balik bajunya. Adipati Prahasta tetap ter-

senyum melihat senjata berkilat di tangan anak tirinya. 

"Bunuhlah aku, Rakapati. Kalau itu membuatmu jadi 

puas," tenang sekali Adipati Prahasta berkata. 

"Kau memang harus mari, Prahasta. Harus...!" desis 

Rakapati tegang. 

"Hidupku pun tidak ada gunanya. Bertahun-tahun aku 

menginginkan seorang anak. Kini meskipun hanya seorang 

anak tiri yang kudapat, aku tidak merasa menyesal. Aku 

memang tidak mungkin lagi mempunyai keturunan. Ayo, 

bunuhlah aku. Aku puas karena anak yang kudidik dan 

kubesarkan, memiliki semangat dan cita-cita pada tanah 

kelahirannya. Aku bangga memilikimu, Rakapati," kata 

Adipati Prahasta dengan mata berkaca-kaca. Namun nada 

suaranya tetap tenang mencerminkan kebanggaan.


Rakapati jadi terdiam terpaku mendengar kata-kata 

Adipati Prahasta yang begitu menyentuh sampai ke lubuk 

hatinya yang paling dalam. Secara jujur, hati kecilnya 

mengakui kalau selama ini dia benar-benar merasakan 

kasih sayang penuh dari ayah tirinya ini. Tak pernah 

sedikitpun Adipati Prahasta memperlakukannya sebagai 

anak tiri yang tanpa hak di Kadipaten Karang Asem. 

Tiga kali Adipati Prahasta menikah, tapi tak seorangpun 

dari istrinya yang mampu melahirkan keturunan. Dan 

begitu dia menikahi Puspa Lukita yang sudah memiliki 

seorang anak laki-laki, seluruh cinta dan kasih sayangnya 

dia tumpahkan pada anak tirinya. Meskipun seharusnya 

Puspa Lukita dan Rakapati menjadi tawanan perang pada 

masa runtuhnya Kerajaan Karang Asem. Dan dengan restu 

Raja Limbangan, dia menikahi Puspa Lukita. Kini anak 

yang dia didik dan dia asuh sejak berumur empat tahun, 

menempelkan kelewang di lehernya. Namun Adipati 

Prahasta tidak sedikitpun merasa menyesal atau murka 

dengan sikap Rakapati. Dalam hatinya justru dia merasa 

bangga karena Rakapati ingin mengembalikan Karang 

Asem pada masa jayanya. Adipati Prahasta sendiri 

sebenarnya tidak setuju ketika harus menggempur 

Kerajaan Karang Asem ketika itu. 

"Rakapati, di mana ibumu?" tanya Adipati Prahasta. 

"Untuk apa kau tanyakan ibuku?" dengus Rakapati 

masih bersikap bermusuhan, namun nada suaranya sudah 

sedikit melunak. 

"Sebaiknya kau bawa ibumu ke Kadipaten Sedana. Kau 

tidak akan berhasil dengan hanya kekuatanmu yang ada 

sekarang. Prajurit-prajurit Limbangan terlalu kuat bagimu. 

Susunlah kekuatan yang lebih besar lagi di Kadipaten 

Sedana jika kau masih tetap ingin mengembalikan 

kejayaan Karang Asem. Aku yakin, pamanmu mau 

membantu perjuanganmu, Rakapati," kata Adipati 

Prahasta. 

Rakapati menjauhkan kelewangnya dari leher Adipati 

Prahasta. Kepalanya menoleh demi mendengar langkah


langkah kaki memasuki kamar ini. Tampak seorang wanita 

setengah baya namun masih kelihatan cantik, melangkah 

menghampiri. 

"Ibu...," Rakapati melangkah mundur dua tindak. 

"Saran ayahmu benar, anakku. Pergilah ke Kadipaten 

Sedana. Temui pamanmu Winicitra. Berikan ini padanya," 

kata Puspa Lukita sambil menyerahkan kalung hitam 

bercincin emas. 

"Ibu...," suara Rakapati seperti tersedak di tenggorokan. 

"Pergilah, anakku. Tinggallah di Bukit Kapur bersama 

Eyang Wanakara. Beliau seorang pertapa sakti. Ibu yakin 

beliau mau menerimamu karena kau anak tunggal dari 

Sirandana. Paman Winicitra akan mengantarkanmu ke 

sana. Tunjukkan kalung ini pada Eyang Wanakara. Beliau 

pasti sudah tahu melihat kalung ini." 

Rakapati tidak mampu berkata-kata lagi. Dia menerima 

saja pemberian ibunya, dan menyimpannya dibalik lipatan 

sabuk. Rakapati memandang Adipati Prahasta yang 

tersenyum dan menganggukkan kepala padanya. 

Kebekuan dan ketegaran hati Ratapati seketika itu juga 

mencair luluh tersiram kelembutan dan kasih sayang. 

Terbetik rasa sesal di hatinya karena telah berlaku tidak 

terpuji pada laki-laki yang begitu mencintai dirinya. 

"Balungpati, aku serahkan anakku padamu. Jaga 

keselamatannya," kata Puspa Lukita. 

Balungpati membungkuk hormat. Tanpa diperintah lagi, 

dia segera melepaskan ikatan di tubuh Adipati Prahasta. 

Balungpati langsung memeluk kaki laki-laki tua gemuk itu. 

Dia benar-benar menyesal telah mengkhianati orang yang 

sungguh bijaksana dan patut dijadikan teladan. Adipati 

Prahasta memegang pundak Balungpati dan membawanya 

berdiri. 

"Tidak perlu kau bersikap begitu, Balungpati. Aku 

serahkan keselamatan Rakapati padamu." kata Adipati 

Prahasta lembut. 

"Maafkan hamba, Gusti," ucap Balungpati tersedak. 

Adipati Prahasta menepuk-nepuk pundak kepala


pasukan itu. Sementara Rakapati bersujud di kaki ibunya, 

dan mencium punggung tangan wanita setengah baya itu. 

Sejenak dia memandang pada Adipati Prahasta setelah 

bangkit berdiri. Sesaat kemudian, kedua laki-laki yang 

semula bermusuhan itu, saling berpelukan erat. Agak lama 

juga mereka saling berpelukan, kemudian berpandangan 

tanpa berkata-kata lagi. 

"Kelak kau akan mengembalikan kejayaan Kerajaan 

Karang Asem, anakku," bisik Adipati Prahasta. 

"Ayah...," Rakapati tak mampu lagi berkata-kata. 

"Cepatlah pergi. Panglima Lohgender menuju ke sini!" 

seru Adipati Prahasta agak ditahan suaranya. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, Rakapati dan Balungpati 

langsung melompat ke luar dari jendela. Dalam sekejap 

saja tubuh mereka lenyap di balik tembok kadipaten yang 

tinggi dan tebal. Saat itu Panglima Lohgender bersama 

beberapa orang prajurit sudah memasuki kamar itu. 

"Kakang tidak apa-apa?" tanya Panglima Lohgender 

sedikit cemas. 

"Tidak," sahut Adipati Prahasta tersenyum. 

"Kakang Prahasta, sebaiknya hentikan pertempuran. 

Korban sudah terlalu banyak yang jatuh," kata Puspa 

Lukita. 

Adipati Prahasta tersenyum, kemudian mengangguk. 

Tanpa berkata apa-apa lagi, dia langsung melangkah ke 

luar kamar itu dan memerintahkan kepada prajurit-prajurit 

yang sedang bertempur untuk menghentikan pertempuran. 

Setelah dilihatnya pertempuran mereda, Adipati 

Prahasta pun segera berkata. 

"Hai, para prajurit kebanggaanku, marilah kita bersatu 

kembali membangun Kadipaten Karang Asem ini seperti 

semula. Janganlah kita terpecah belah hanya karena 

adanya beda pendapat di antara kita!" 

"Setujuuu ..." para prajurit berteriak serentak, 

menyatakan kegembiraannya melihat pemimpin mereka 

telah siap membangun kembali kadipaten yang tadinya ter-

pecah belah ini.


Para prajurit yang tadinya memihak Rakapati, segera 

berbalik kembali memihak Adipati Prahasta. Apalagi ketika 

mereka melihat pemimpin mereka tidak kelihatan lagi 

batang hidungnya. 

Kadipaten Karang Asem sudah tenang kembali dengan 

munculnya Adipati Prahasta bersama Puspa Lukita. 

Panglima Lohgender juga tidak bertanya-tanya lagi setelah 

mendapat penjelasan kalau Rakapati sudah melarikan diri. 

Tapi Adipati Prahasta dan Puspa Lukita tidak mau 

mengatakan ke mana Rakapati pergi. Tapi sebenarnya 

yang menjadi beban pikiran Panglima Lohgender, bukanlah 

kepergian Rakapati, tapi hilangnya Arya Duta yang dibawa 

kabur oleh Iblis Wajah Seribu dalam keadaan pingsan. 

Ke mana Iblis Wajah Seribu atau Klenting Kuning mem-

bawa Arya Duta? 

Di sebuah pondok kecil dekat tepi Hutan Tarik, tampak 

Klenting Kuning berdiri memandangi Arya Duta yang lemas 

tak berdaya karena jalan darahnya tertotok Iblis Wajah 

Seribu itu. Hanya matanya saja yang mendelik penuh 

amarah melihat wanita cantik itu tersenyum-senyum. 

Klenting Kuning menghampiri dipan kayu di mana Arya 

Duta terbaring lemas tanpa daya, kemudian dia duduk di 

tepi dipan itu. Tangannya lembut membelai-belai leher dan 

dada pemuda itu. Gerakan lembut jari-jemari tangan 

Klenting Kuning itu, rupanya membuka totokan pada leher, 

sehinga Arya Duta bisa menggerak-gerakkan kepalanya. 

"Perempuan jalang! Apa yang akan kau lakukan?" 

sentak Arya Duta ketika jari-jari tangan Klenting Kuning 

membuka bajunya. 

"Diamlah, bocah bagus. Kau akan merasakan nikmatnya 

sorga," desah Klenting Kuning tak dapat lagi menahan 

gejolak di dadanya. 

"Ikh...!" Arya Duta memalingkan mukanya ke samping 

begitu Klenting Kuning mulai menciumi leher dan wajah-

nya. 

Iblis Wajah Seribu itu semakin bernapsu. Napasnya 

mulai memburu, mendengus-dengus hangat di seputar


leher dan wajah Arya Duta. Pemuda itu tidak menyadari 

kalau Klenting Kuning menyebarkan ajiannya yang sangat 

ampuh untuk menaklukkan laki-laki. Periahan-lahan, aji 

'Pelebur Jiwa' meresap ke dalam tubuh dan mengacaukan 

syaraf-syaraf Arya Duta. 

"Oh...," Arya Duta mulai mendesah. 

Sekuat tenaga dia berusaha untuk melawan gejolak 

yang semakin membara di dadanya. Arya Duta meng-

geleng-gelengkan kepalanya dengan kelopak mata ter-

pejam rapat. Rasanya sia-sia saja dia melawan sesuatu 

yang aneh dalam dirinya. Perasaan itu semakin mem-

belenggu tak terkendalikan lagi. 

Arya Duta merasakan kepalanya jadi pening, dan 

matanya yang mulai terbuka, berkunang-kunang. Dadanya 

semakin berdebar kencang, bergemuruh bagai ombak di 

lautan. Sedikit demi sedikit, kesadaran Arya Duta mulai 

menghilang, hingga akhirnya dia lupa sama sekali. Pada 

saat itulah Klenting Kuning melepaskan totokan di tubuh 

pemuda itu. 

Arya Duta bukannya memberontak, tapi kini dia malah 

membalas semua kehangatan yang diberikan Klenting 

Kuning. Bau harum yang menyebar dari tubuh wanita itu, 

semakin membuat Arya Duta mabuk. 

"Aaah….” Klenting Kuning mendesah lirih. 

*** 

Klenting Kuning tersenyum penuh kepuasan. Tangannya 

bergerak cepat merapikan pakaiannya, lalu tangannya 

sudah menggenggam sebilah pisau kecil berwarna hijau. 

Wanita itu masih tersenyum menatap Arya Duta yang 

tergolek lemah tanpa daya. Seluruh tubuhnya bersimbah 

keringat. Kedua matanya membeliak lebar melihat Klenting 

Kuning menggenggam pisau. 

"Sayang, aku harus membunuhmu. Aku tidak mau mati 

di tangan laki-laki yang telah memuaskan diriku." gumam 

Klenting Kuning pelan.


Mata Arya Duta semakin membeliak lebar tanpa mampu 

mengeluarkan suara, meskipun mulutnya terbuka lebar. 

"Pergilah dengan tenang ke neraka, hi... hi... hi...!" Arya 

Duta berusaha menjerit sekuat-kuatnya ketika pisau hijau 

itu menghunjam dadanya dengan dalam. Tak ada suara 

yang ke luar dari mulut pemuda itu. Dia juga tidak 

mengejang, hanya raut mukanya saja yang menegang 

kaku. Darah muncrat ke luar dari dada yang berlubang 

tertembus pisau 

"Ha... ha... ha...!" Klenting Kuning tertawa renyah. 

Arya Duta langsung tewas tanpa mampu melakukan 

perlawanan sedikitpun. Klenting Kuning menarik pisaunya 

dari tubuh pemuda malang itu, dan menyelipkannya ke 

balik bajunya. Tawanya kembali terdengar renyah dan 

lepas. 

"Tak ada seorang pun yang mampu menghadapi 

Klenting Kuning!" katanya pongah. 

"Kecuali aku!" 

Tawa Klenting Kuning langsung berhenti seketika begitu 

terdengar suara jawaban keras menggema. Suara itu 

seolah terdengar dari segala penjuru. Si Iblis Wajah Seribu 

itu langsung melentingkan tubuhnya ke luar dari pondok. 

Dua kali dia bersalto di udara sebelum mendarat ringan di 

atas atap. 

"Setan! Siapa kau!" bentak Klenting Kuning 

"Aku!" 

Klenting Kuning terperanjat ketika dia menoleh. Tampak 

Pendekar Rajawali Sakti berdiri tenang di atas atap itu 

juga. Klenting Kuning semakin terperanjat, karena Pandan 

Wangi juga berada di tempat ini. Gadis itu menunggu di 

bawah. 

"Kau terkejut, Klenting Kuning?" 

"Huh! Mau apa kau ke sini?" dengus Klenting Kuning 

tidak menghiraukan pertanyaan Rangga, atau Pendekar 

Rajawali Sakti. 

Klenting Kuning memang terkejut, tapi dia juga gembira 

melihat Pendekar Rajawali Sakti. Sejak dia gagal me


nundukkan pemuda itu, rasa penasarannya semakin men-

jadi. Dia belum puas kalau belum bisa menundukkan pen-

dekar tampan itu. (Baca Serial Pendekar Rajawali Sakti 

dalam kisah, Pertarungan di Bukit Setan). 

"Kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu, Klenting 

Kuning." 

"Kakang Rangga, Arya Duta tewas!" teriak Pandan Wangi 

dari bawah. 

"Iblis!" geram Rangga. 

"Ha... ha... ha...!" Klenting Kuning tertawa pongah. Dia 

langsung melompat turun dan tanpa banyak bicara lagi 

menyerang Pandan Wangi. 

Mendapat serangan mendadak, Pandan Wangi sedikit 

kerepotan juga. Tapi dia segera menjatuhkan diri, dan 

langsung melentingkan tubuhnya menjauh. Klenting 

Kuning tidak memberikan kesempatan pada gadis itu. Dia 

segera melancarkan serangan-serangan berikutnya yang 

lebih dahsyat lagi. 

Rangga yang menyaksikan pertarungan itu, segera 

melompat turun. Dia berdiri tegak menyaksikan per-

tarungan dua wanita cantik itu. Dalam beberapa jurus, per-

tarungan masih berjalan seimbang. Tapi pada jurus ke lima 

betas, tampak kalau Pandan Wangi mulai terdesak. Be-

berapa kali pukulan dan tendangan Klenting Kuning men-

darat telak di tubuh si Kipas Maut itu. 

"Gunakan Pedang Naga Geni, Pandan!" seru Rangga 

keras. 

"Tidak!" sahut Pandan Wangi segera mencabut senjata 

kebanggaannya berupa kipas baja putih. 

Pandan Wangi tidak mau lagi menggunakan pedang 

Naga Geni. Dia hampir mati dengan pedang berpengaruh 

liar itu. Kalau saja Rangga tidak membantunya dengan 

pedang Rajawali Sakti, entah apa yang akan terjadi pada 

diri gadis itu. 

"Bagus! Dengan senjata, kau akan lebih cepat kukirim 

ke neraka!" dengus Klenting Kuning. 

"Mampus kau, iblis! Hiyaaa...!"


Pandan Wangi segera menyerang Iblis Wajah Seribu itu 

dengan senjata kipas di tangan. Klenting Kuning masih 

melayaninya dengan tangan kosong. Biarpun Pandan 

Wangi sudah menggunakan senjata kebanggaannya, tapi 

setelah mellewati sepuluh jurus lagi, gadis itu masih juga 

terdesak hebat. 

Rangga yang menyaksikan pertarungan itu, jadi cemas 

juga. Klenting Kuning memang bukan tandingan Pandan 

Wangi, meskipun gadis itu sudah hampir menguasai ajl 

'Naga Sewu', tapi masih belum sempurna. Dan nampaknya 

Klenting Kuning masih terlalu tangguh bagi Pandan Wangi 

yang mengeluarkan aji 'Naga Sewu’. Keadaan Pandan 

Wangi semakin mem prihatinkan. Dia jadi bulanan bulanan 

Klenting Kuning pada jurus-jurus terakhir. 

"Pandan, mundur...'" seru Rangga langsung melompat 

ke tengah-tengah pertempuran. 

Pandan Wangi menyeka darah yang memenuhi mulut-

nya. Matanya tajan menatap Klenting Kuning. Bagai-

manapun juga, dia harus mengakui tidak akan mampu 

menandingi Iblis Wajah Seribu itu dalam lima jurus lagi. 

Pandan Wangi segera melangkah mundur beberapa tindak. 

"Aku suka bertempur denganmu, Rangga. Tapi aku lebih 

suka berkasih mesra denganmu," kata Klenting Kuning. 

"Biar kubunuh perempuan liar itu, Kakang!" sentak 

Pandan Wangi geram. 

"Ah, rupanya kau juga menyukai Rangga. Boleh, aku 

senang punya saingan." sambut Klenting Kuning 

mengerling genit pada Rangga. 

"Bedebah!" merah padam muka Pandan Wangi. 

Dengan kasar dia menyentakkan tangan Rangga yang 

berusaha mencegahnya. Tanpa buang waktu lagi, Pandan 

Wangi langsung menenang si Iblis Wajah Seribu itu. 

Amarah yang meluap-luap membuat gadis itu nekad. Dia 

langsung mencabut Pedang Naga Geni, meskipun tahu 

bahayanya bagi lawan maupun yang menggunakannya. 

"Eh!" Klenting Kuning terkesiap kaget melihat pamor 

pedang yang mengeluarkan cahaya merah menyala itu.


Kekagetan Klenting Kuning tidaklah lama, karena dia 

harus segera berlompatan menghindari serangan Pandan 

Wangi. Setiap kibasannya selalu mengandung hawa panas 

yang luar biasa. Klenting Kuning jadi hati-hati menghadapi 

Pandan Wangi yang menggunakan pedang Naga Geni. 

Dua puluh jurus segera berlalu dengan cepat, 

tampaknya Pandan Wangi sudah tidak bisa lagi menguasai 

pedang itu. Gerakan-gerakannya tak terkendali, mukanya 

merah dan kedua bola matanya menyala-nyala menimbul-

kan napsu membunuh. Sementara Klenting Kuning 

semakin kerepotan menghadapi serangan Pandan Wangi 

yang aneh dan tak terkendali, dia kelihatan terdesak 

sekali. Napasnya tersengal-sengal karena udara di 

sekitarnya semakin menipis. 

"Hiyaaa..!" tiba-tiba Pandan Wangi berteriak nyaring. 

Secepat kilat Klenting Kuning melentingkan tubuhnya ke 

udara. Dan pada saat itu juga, pedang Naga Geni 

berkelebat cepat menebas tubuh yang sedang bersalto di 

udara itu. 

"Aaakh..." terdengar jeritan menyayat dari mulut Iblis 

Wajah Seribu itu. Tubuhnya terbagi menjadi dua bagian 

dan jatuh di tanah. 

"Pandan...!" panggil Rangga keras sambil mencabut 

pedangnya. 

Cring! 

"Ayo lawan aku!" seru Rangga sambil menghunus 

pedang Rajawali Sakti. 

"Kakang...!" Pandan Wangi tersentak kaget. 

"Ayo, cepat! lawan aku!" seru Rangga. Pada saat itu, 

Panglima Lohgender bersama sekitar dua puluh orang 

prajurit tiba di tempat itu. Panglima Kerajaan Limbangan 

itu terkejut melihat dua pendekar saling berhadapan 

dengan senjata terhunus dan di bawah kaki mereka 

tergeletak potongan tubuh seorang perempuan. Panglima 

Lohgender tidak mengerti, kenapa dua pendekar beraliran 

putih itu bisa saling berhadapan?



DELAPAN


"Menyingkir, Panglima. Pedang itu sangat berbahaya!" seru 

Rangga saat melihat Panglima Lohgender mau meng-

hampiri. 

"Apa yang terjadi?" tanya Panglima Lohgender meng-

urungkan langkahnya. 

"Tidak ada waktu untuk menjelaskan, cepat menyingkir!" 

sahut Rangga. 

Pada saat itu, Pandan Wangi sudah melompat 

menerjang. Rangga mengangkat pedangnya, dan langsung 

mengadunya dengan pedang Naga Geni. Dua senjata sakti 

beradu keras di udara. Percikan bunga api memercik indah 

disertai suara ledakan keras menggelegar. 

Rangga segera mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali 

Membelah Mega'. Tubuhnya melenting deras ke udara, lalu 

menukik seraya memular pedangnya dengan cepat. 

Pandan Wangi juga memutar pedangnya di atas kepala. 

Tring! 

Rangga sengaja membabat ujung pedang gadis itu, lalu 

tangannya dengan cepat sekali menjambret sarung pedang 

Naga Geni yang menempel di punggung Pandan Wangi. 

Bagaikan kilat, tubuh Rangga kembali melenting ke udara. 

Kembali dia menukik tajam sambil mengarahkan sarung 

pedang di tangannya ke ujung pedang Naga Geni. 

Slap! 

Cahaya merah langsung hilang begitu pedang Naga Geni 

masuk ke dalam warangkanya. Dan Rangga juga segera 

memasukkan pedang pusakanya ke dalam warangkanya di 

punggung. Pandan Wangi jaruh terduduk lemas dengan 

pedang menggeletak di tanah. Wajahnya jadi pucat pasi. 

Rangga menghampiri dan memungut pedang yang meng-

geletak di tanah. 

"Ini pedangmu," kata Rangga sambil menyerahkan 

pedang itu.


Pandan Wangi mengangkat kepalanya memandang 

Rangga. Perlahan-lahan dia berdiri, dan menggelengkan 

kepalanya lemah beberapa kali. Dua kali dia hampir mati 

oleh pengaruh pedang Naga Geni itu 

"Kau takut?" tanya Rangga. 

"Aku tidak bisa menggunakan pedang itu, Kakang." ucap 

Pandan Wangi lirih. 

"Kau harus bisa Pandan. Kau harus menaklukkan 

pengaruh pedang ini " Rangga memberi semangat. 

Pandan Wangi kembali menggeleng lemah. 

"Kalau kau tidak mau memilikinya. Lalu siapa yang akan 

memiliki pedang ini?" 

"Terserah padamu, Kakang. Atau kau saja yang 

memilikinya. Kau bisa menaklukkan pedang itu." 

"Tidak mungkin. Pandan. Aku sudah memiliki senjata. 

Dan kedua senjata ini sangat berlawanan, tidak mungkin 

bisa bersatu." 

"Tapi aku tidak sanggup lagi menggunakannya. Pedang 

itu liar sekali, dia bisa membunuh siapa saja yang 

memegangnya. Tenagaku tersedot, aku tidak bisa 

mengendalikannya, Kakang," kehih Pandan Wangi. 

"Kau belum sepenuhnya menguasai ilmu 'Naga Sewu'. 

Aku yakin, kalau kau sudah sempurna menguasai ilmu itu, 

pasti kau bisa menaklukkan pedang ini. Pedang Naga Geni 

hanya bisa dipergunakan oleh orang yang menguasai ilmu 

'Naga Sewu' dengan sempurna," Rangga menjelaskan. 

Pandan Wangi menatap Rangga. 

"Seperti juga halnya Pedang Rajawali Sakti, harus 

digunakan dengan jurus-jurus Rajawali Sakti. Tidak akan 

ada seorangpun yang bisa menggunakan Pedang Rajawali 

Sakti kalau tidak menguasai dengan sempurna jurus-jurus 

Rajawali Sakti," lanjut Rangga. 

"Apa mungkin aku bisa menguasai ilmu 'Naga Sewu'. 

Kakang?" tanya Pandan Wangi kembali bangkit semangat-

nya. 

"Kenapa tidak? Kau sudah menguasai dasar-dasarnya, 

kau tinggal memperdalam dan menyempurnakannya. Yang


penting sekarang, kitab Naga Sewu masih ada di 

tanganmu. Pelajari lagi kitab itu dan sempurna kan jurus-

jurus 'Naga Sewu'," Rangga terus mendorong semangat 

Pandan Wangi yang hampir padam. 

"Berapa lama?" 

"Tergantung dari kesungguhanmu, Pandan." 

Pandan Wangi tidak lagi menolak ketika Rangga 

menyodorkan Pedang Naga Geni yang sudah aman 

tersimpan di warangkanya. Gadis itu mengenakan kembali 

pedang pusaka itu ke punggungnya. Rangga tersenyum 

dan menoleh menatap Panglima Lohgender dan beberapa 

prajurit yang menyertainya. 

"Aku akan mengantarkanmu ke suatu tempat agar kau 

tenang menyempurnakan jurus-jurus 'Naga Sewu'," kata 

Rangga setengah berbisik. 

"Kau sendiri?" tanya Pandan Wangi yang sudah bisa 

menangkap maksud Rangga. 

"Aku akan meneruskan perjalanan panjang ini." sahut 

Rangga. 

"Jadi kita berpisah?" 

"Kelak kita akan bertemu lagi, dan kau sudah menjadi 

seorang pendekar wanita yang tangguh," sahut Rangga 

tetap membesarkan hati gadis itu. 

"Oh, Kakang..." desah Pandan Wangi terharu. 

Kalau saja tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, 

mau rasanya Pandan Wangi memeluk pemuda tampan 

yang sudah menggores relung hatinya ini. Pandan Wangi 

hanya bisa menatap dalam-dalam dengan berbagai macam 

perasaan yang sukar dilukiskan. Mereka menghampiri 

Panglima Lohgender yang menunggu dengan jarak agak 

jauh. 

*** 

"Apa yang terjadi?" tanya Panglima Lohgender. 

"Pandan Wangi tidak bisa mengendalikan pedangnya," 

sahut Rangga.



Panglima Lohgender memandang Rangga dan Pandan 

Wangi bergantian. Dia masih belum mengerti dengan 

penjelasan singkat itu. Dia sudah banyak makan asam 

garamnya dunia persilatan, tapi belum pernah menemukan 

hal seperti ini, sebuah senjata ampuh mampu mengacau-

kan kendali pemiliknya. 

"Pedang itu bernama Naga Geni, dia baru saja 

kehilangan pemiliknya. Dan Pandan Wangi adalah ahli 

waris tunggalnya. Tapi dia belum bisa menguasai senjata 

itu, harus perlu waktu untuk bisa bersama-sama sejalan 

dengan Pedang Naga Geni." Rangga mencoba men-

jelaskan. 

"Apakah pedang itu berbahaya?" tanya Panglima 

Lohgender. 

"Ya, sangat berbahaya sekali jika orang berwatak jahat 

yang memilikinya. Pedang itu punya hawa dan pengaruh 

membunuh yang sangat dahsyat, sulit untuk menaklukkan-

nya, jika tidak dibarengi dengan jurus-jurus yang sesuai." 

Panglima Lohgender ingin bertanya lagi, tapi pertanyaan 

yang sudah sampai di tenggorokan tidak jadi ke luar, 

karena salah seorang prajuritnya berlari-lari dengan napas 

terengah-engah. 

"Gusti Panglima..." prajurit itu langsung membungkuk 

hormat. 

"Ada apa?" tanya Panglima Lohgender. 

"Gusti Arya Duta..." 

Rangga yang mendengar itu langsung melompat masuk 

ke dalam gubuk kecil di antara gundukan batu berbukit 

Pandan Wangi juga segera mengikuti, disusul oleh 

Panglima Lohgender. Betapa terkejutnya Panglima 

Lohgender begitu melihat Arya Duta tergolek dengan dada 

berlumuran darah. 

Pandan Wangi langsung memalingkan mukanya. karena 

Arya Duta tidak mengenakan pakaian sepotongpun. 

Rangga segera memungut kain yang teronggok di lantai 

gubuk kecil ini, dan menutupi tubuh Arya Duta. Panglima 

Lohgender tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya


memandang Rangga dengan mata sedikit berkaca-kaca. 

"Maaf, aku terlambat menolongnya. Dia tewas di tangan 

si Iblis Wajah Seribu," kata Rangga pelan. 

Panglima Lohgender tidak berkata apa-apa lagi. Dia 

langsung melangkah ke luar dengan wajah terselimut 

duka. Terlebih lagi ada salah seorang prajurit yang lolos 

dan menceritakan semua peristiwa atas meninggalnya 

Braja Duta bersama para pengawal lainnya. Panglima 

Lohgender merasa terpukul sekali dengan kematian kedua 

anak angkatnya, yang sangat dipercayai dan diandalkan-

nya. 

Dua orang prajurit segera masuk ke dalam. Mereka 

segera merawat jenazah Arya Duta. Tanpa menunggu lama, 

mereka segera memakamkan mayat Arya Duta. Setelah itu 

Rangga segera mengajak Pandan Wangi meninggalkan 

Kadipaten Karang Asem. 

*** [ 

Suasana di Kadipaten Karang Asem sudah kembali 

normal. Panglima Lohgender juga akan meninggalkan 

kadipaten itu keesokan harinya bersama sisa-sisa prajurit 

yang masih hidup. 

Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi telah jauh 

meninggalkan perbatasan kadipaten itu. 

Dalam perjalanan, Rangga heran dengan perangai 

Pandan Wangi yang tiba-tiba berubah menjadi pendiam. Ia 

tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan gadis itu. 

"Apa yang kau pikirkan, Pandan?" tanya Rangga. 

"Tidak ada," sahut Pandan Wangi. 

"Kau masih memikirkan Pedang Naga Geni?" tebak 

Rangga. 

"Mungkin," sahut Pandan Wangi mendesah. 

"Aku akan mengantarkanmu sampai ke pantai. dari sana 

kau bisa langsung menuju ke Pulau Karang. Aku yakin, 

dalam waktu tidak lama kau sudah bisa menguasai pedang 

itu," kata Rangga. 

Pandan Wangi tidak menjawab. Dia tetap melangkah


pelan-pelan dengan kepala tertunduk. Jelas sekali kalau 

sikapnya ini jauh berubah dari sebelumnya. Belum pernah 

Rangga melihat Pandan Wangi diam begitu. 

"Terus terang saja, Pandan. Apa yang menyusahkan 

pikiranmu?" desak Rangga tidak tahan melihat sikap 

Pandan Wangi begitu. 

Pandan Wangi menghentikan langkahnya Dia menatap 

Rangga dalam-dalam. Sepertinya ada yang hendak dikata-

kan, tapi terasa sulit mengucapkannya. Hanya tatapan 

matanya saja yang banyak bicara. 

"Kau memikirkan Klenting Kuning..?" tanya Rangga 

menebak dengan suara agak ditahan. 

Pandan Wangi tampak tersentak. Buru-buru dia 

memalingkan mukanya menatap ke arah lain. Pelan-pelan 

kakinya kembali terayun melangkah. Sementara matahari 

sudah semakin tinggi mencapai atas kepala. 

"Kau cemburu pada perempuan yang sudah jadi mayat 

itu?" tebak Rangga lagi. 

"Tidak!" sahut Pandan Wangi tegas. Namun dari nada 

suaranya jelas-jelas tertahan. 

"Lalu?" desak Rangga 

"Berapa lama lagi kita sampai di Pantai Utara?" Pandan 

Wangi mengalihkan pembicaraan. Sepertinya dia segan 

membicarakan Klenting Kuning. 

"Menjelang senja nanti baru sampai," sahut Rangga 

maklum. 

"Kita menginap di mana?" 

"Terserah, tapi kalau kau mau, bisa langsung 

menyeberang. Perjalanan ke Pulau Karang tidak ber-

bahaya. Pulau itu jadi tempat persinggahan para nelayan." 

Pandan Wangi mendesah berat. Sebenarnya dia tidak 

ingin berpisah dengan Pendekar Rajawali Sakti ini, tapi 

demi kesempumaan ilmunya, dia harus bisa menekan 

perasaannya. Segala sesuatu memang membutuhkan 

pengorbanan, dan Pandan Wangi menyadari kalau dirinya 

harus berkorban demi masa depannya sendiri. Dia tidak 

ingin menyandang senjata tanpa dapat mempergunakan


nya. Pedang Naga Geni sangat dahsyat, dan pengaruhnya 

sungguh luar biasa. 

"Kakang...," Pandan Wangi menghentikan langkahnya. 

"Ada apa?" tanya Rangga. 

"Ah, tidak...," Pandan Wangi mendesah. Kembali dia 

melangkah. 

"Ada apa, Pandan. Katakan saja." 

"Kau tidak terpikir untuk masa depan, Kakang?" tanya 

Pandan Wangi pelan. 

"Mungkin, tapi sekarang ini aku belum memikirkannya. 

Entah kalau nanti," sahut Rangga merasa aneh dalam nada 

pertanyaan itu. 

"Sampai kapan kau akan mengembara?" 

"Mungkin sampai aku tidak sanggup lagi melakukan-

nya." 

"Kau tidak ingin kembali ke tanah kelahiranmu?" 

Rangga tidak segera menjawab. Perlahan dia menarik 

napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan 

juga. Dia memang rindu dengan tanah kelahirannya, tapi 

dia tidak tahu letak yang pasti, di mana Kerajaan Karang 

Setra? Entah, bagaimana keadaannya sekarang ini. Dua 

puluh tahun dia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di 

sana. Setelah peristiwa mengerikan di Lembah Bangkai, 

tepatnya di tepi Danau Cubung. (Baca serial Pendekar 

Rajawali Sakti, dalam kisah, Iblis Lembah Tengkorak) 

"Satu saat nanti..." desah Rangga pelan, seperti untuk 

dirinya sendiri. 

"Pasti, Kakang." sahut Pandan Wangi. 

Rangga hanya tersenyum saja. Mereka kembali me-

lanjutkan perjalanannya menuju ke Utara. Rangga me-

langkah pelan-pelan dengan kenangan kembali pada dua 

puluh tahun lalu. Dia jadi teringat dengan kedua orang 

tuanya yang tewas terbunuh. Sementara Pandan Wangi 

berjalan santai di sampingnya. Dia juga sibuk dengan pikirannya sendiri. 



                          SELESAI 



0 komentar:

Posting Komentar