BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 04 Januari 2025

PENDEKAR GAGAK RIMANG EPISODE BANJIR DARAH DI KERATON WIDUNG


Matjenuh khairil

 

BANJIR DARAH DI KERATON WIDUNG

Oleh Fredy S.

Cetakan pertama

Penerbit Gultom Agency, Jakarta 

Setting Oleh: Trianto S.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Fredy S.

Serial Pendekar Gagak Rimang dalam episode:

Banjir Darah Di Keraton Widung 

128 hal.; 12 x 18 cm


SATU


Pekat malam dengan rembulan enggan terse-

nyum, nampak satu bayangan berkuda terus memacu 

kudanya dengan cepat. Sosok penunggang kuda itu 

adalah seorang laki-laki kurus tinggi dengan wajah ti-

rus yang menyeramkan. Rambutnya yang tergerai pan-

jang bak milik anak perawan itu diikat dengan secarik 

kain merah yang nampak lusuh. Dia memacu kudanya 

bagaikan sedang dikejar wabah penyakit atau bagai-

kan sedang memburu harta karun karena kuatir dida-

hului orang lain.

Sepintas pakaian laki-laki itu mirip orang kera-

ton. Di pinggangnya terselip sebuah keris bersarung. 

Angkin batiknya yang lusuh pun melilit di pinggang-

nya. Tubuhnya sedikit membungkuk dengan berupaya 

untuk memacu kudanya semakin cepat. Terlihat sedi-

kit wajahnya yang keletihan. Namun dia berusaha agar 

tetap kelihatan segar.

Kudanya memang telah dipacu dengan cepat.

Sudah tiga hari laki-laki itu memacu kudanya 

tanpa berhenti. Laki-laki bernama Prakesti itu seakan 

tidak memperdulikan kelelahannya. Tidak perduli be-

tapa lapar dan dahaga dirinya. Yang dia inginkan ha-

nyalah mencapai tujuan yang dicarinya. Meskipun dia 

merasa tidak yakin dengan apa yang dilakukannya kali 

ini.

Berulang kali dia terbayang kegagalan, namun 

dia tidak mau bila hingga gagal.

Memang dia mempunyai kepentingan yang ti-

dak bisa ditinggalkan. Baginya ini sebuah beban yang 

harus dilaksanakan.

Sebenarnya Prakesti adalah salah seorang Pan-

glima perang di Keraton Widung yang telah memimpin


pasukannya dalam menumpas para perampok yang 

bermukim di salah sebuah bukit. Sepak terjangnya 

amat membanggakan sang Prabu. Belum lagi dengan 

banyaknya jasa-jasa yang dilakukan.

Karena jasanya itu sang Prabu Keraton Widung 

menganugerahkannya bintang jasa sebagai Panglima. 

Sudah tentu itu membuat kebanggaan tersendiri pada 

Prakesti. Di samping sang Prabu sendiri pun menyukai 

kecakapan Prakesti.

Hanya sayang, setelah menjadi orang keper-

cayaan dan kebanggaan sang Prabu, kesombongannya 

mulai muncul. Sifatnya sudah berubah.

Dia kini seakan mengangkat kepala setiap kali 

melangkah. Tidak lagi menampakkan sikap sebagai 

seorang Panglima yang menjadi panutan para anak 

buahnya. Tidak lagi memperlihatkan sikapnya yang 

dulu akrab dengan rakyat.

Bahkan kini sikapnya justru berbalik. Dia ber-

buat semena-mena terhadap rakyat. Dengan menga-

tasnamakan prabu Keraton Widung, Prakesti selalu 

berupaya mendapatkan keuntungan dari rakyat.

Ini disebabkan oleh keserakahannya. Bahkan 

dia pun dengan semena-mena menikahi para perawan 

orang, bahkan ada dengan secara paksa. Jumlah selir-

nya pun tidak terhitung lagi. Yang lebih sadis lagi, dia 

terkadang pun suka memperkosa istri orang. Dan me-

ninggalkanya begitu saja.

Bila ada yang berani menghalangi atau menolak per-

buatannya tidak segan-segan dia menyiksa. Bahkan 

membunuh, lalu mayatnya dibenamkan di laut Kapur.

Dia juga menjadi pengunjung tetap tempat ple-

siran Nyi Ratih Dewi. Padahal sebelumnya dia adalah 

orang yang paling anti dengan hal-hal seperti itu. Bah-

kan dia banyak menasehati teman-temannya agar ti-

dak terjerumus ke sana.


Namun semua itu kini telah berubah sejak dia 

menjadi Panglima perang Keraton Widung. Hal ini 

membuat para anak buahnya banyak yang kecewa, 

namun bila mereka membantah perintahnya, maka 

kemarahan yang luar biasa yang didapat.

Prakesti memang dasarnya orang licik, di depan 

prabu dia bisa mengambil sikap manis, sehingga cu-

kup lama rasanya sang Prabu tidak mengambil sikap 

apa-apa atas ulahnya. Karena memang sesungguhnya 

sang Prabu tidak mengetahui hal. Ini cukup menggeli-

sahkan sekali.

Bahkan sang Prabu semakin bangga terhadap 

Prakesti karena menurutnya Panglima Prakesti adalah 

satu sosok yang amat membanggakan.

Namun bukan main terkejutnya Prabu kala su-

atu hari datang sepasang suami istri setengah baya 

yang melaporkan anak gadis mereka dibawa kabur 

oleh Panglima Prakesti. Sang istri saat melaporkan hal 

itu terus menangis terisak-isak.

Semula hal ini membuat sang Prabu Kamansu-

ra tidak percaya dengan hal itu. Karena menurutnya 

tidak mungkin Prakesti melakukan hal itu. Bukan apa-

apa, karena dia yakin Prakesti seorang bawahan yang 

amat setia.

Akan tetapi dia cukup terkejut ketika beberapa 

orang punggawanya maju menghadap dan mencerita-

kan semuanya. Keberanian beberapa orang punggawa

itu disebabkan karena datangnya sepasang suami istri 

itu.

"Punggawa! Kalian berbicara apa, hah?!" bentak 

Prabu Kamansura tidak suka.

Punggawa itu menunduk. "Maafkan hamba, 

Paduka... sesungguhnya hal ini telah lama sekali ada 

di hati hamba. Namun hamba tidak berani mengutara-

kannya, karena masih memandang nama Panglima


Prakesti.

Namun yang menjadi masalah sekarang, ham-

ba pun ternyata tidak bisa menutup mata atas perbua-

tan Panglima Prakesti yang se makin lama semakin 

semena-mena.

Maafkan hamba, Paduka... hamba tidak tahan 

melihat penderitaan rakyat atas ulah yang telah dila-

kukan oleh Panglima Prakesti!."

Prabu Kamansura tercenung. Benarkah apa 

yang telah dikatakan oleh orang-orang yang duduk 

bersila di hadapannya? Benarkah perlakuan Panglima 

Prakesti yang amat dibanggakan seperti itu?

Hatinya pun perlahan-lahan mulai goyah dan 

ingin mencari tahu kebenaran itu. Apalagi isak tangis 

wanita di pangkuan laki-laki yang berwajah sendu itu 

pun cukup menggoyahkan perasaannya. Menggelisah-

kan.

Meskipun di dasar hatinya masih ada rasa se-

dikit tidak percaya dengan omongan yang didengarnya.

"Baiklah... aku akan menyelidiki kebenaran-

nya...." katanya kemudian dengan desahan nafas yang 

terdengar amat berat itu, karena dia masih tetap tidak 

percaya atas ulah Panglima Prakesti. Benarkah demi-

kian?

Wanita yang terisak itu tiba-tiba mengangkat 

kepalanya. "Paduka... tolong hamba, Paduka... tolong 

hamba... kembalikan putri hamba... kembalikan...."

"Tenanglah, Nyai...."

"Huhuhu.... Paduka... tolong hamba Paduka... 

tolonglah hamba...."

Hati Prabu Kamansura pun mulai goyah. Saat 

itu juga dia memerintahkan orang-orangnya untuk 

menyelidiki sepak terjang Panglima Prakesti di luar. 

Prabu Kamansura tidak perlu lagi menunggu terlalu 

lama karena orang-orangnya pun segera melaporkan


hal yang sama.

Satu hari satu malam Sang Prabu Kamansura 

berusaha menganalisa semuanya. Dan akhirnya dia 

memutuskan, agar jawaban bisa lebih jelas, dari mulut 

Panglima Prakesti sendiri.

Dipanggilnya Panglima Prakesti untuk segera 

dihadapkan padanya. Dan Panglima itu tidak bisa 

mengelak lagi dari apa yang diutarakan prabu dengan 

suara penuh kekecewaan dan berat yang amat sangat.

Prakesti hanya menundukkan kepala, bagaikan 

orang yang menyesali sikap perbuatannya. Namun di 

hatinya geram bukan main. Sepasang matanya menyi-

pit dengan sinar yang mengerikan. Nafasnya tertahan.

Hatinya memanas.

Dan perlahan-lahan dendam mulai bersemi di 

hatinya. Dendam yang harus di balaskannya. Dia me-

mang tidak bisa membantah apa yang dituduhkan oleh 

sang Prabu. Namun yang membuatnya geram, karena 

ada yang mengadukan sepak terjangnya. Keparat!

Hhh! Dia tidak akan menerima. Dan dia tidak 

hanya akan membalas kepada orang yang telah lan-

cang mengadu, tetapi juga kepada Keraton Widung!!

Sementara Prabu Kamansura meskipun dalam 

keadaan geram yang luar biasa sekali hanya duduk 

terkulai lemas di singgasananya. Dia betul-betul amat 

kecewa dengan Prakesti, Panglima yang selama ini di-

banggakannya ternyata tak lebih dari seekor ular ber-

bisa yang ganas menggigit.

Suaranya pelan saat berkata, "Prakesti... aku 

amat kecewa terhadapmu... sekarang kau tinggal pilih 

kebijaksanaan yang kuberikan ini...."

"Apa, Paduka?" kata Panglima Prakesti sambil 

mengangkat kepalanya. Suaranya terdengar angkuh 

sekali. Hatinya membara panas dan kegeraman yang 

berlipat ganda. Kesombongannya justru makin meningkat, mengalahkan alam sadarnya untuk menyesali

apa yang telah dilakukannya.

"Kau tinggalkan keraton ini dengan segala 

pangkat dan derajat mu, ataukah kau meninggalkan 

perbuatan yang selama ini telah kau lakukan?"

Dasar licik, dendam dan penuh emosi, tanpa 

berkata dan hanya menganggukkan kepala, Panglima 

Prakesti bangkit. Lalu beranjak meninggalkan tempat 

itu dengan penuh kesombongan dan rasa percaya diri.

Kepalanya terangkat, langkahnya kaku dan te-

gap namun mencerminkan kesombongan yang luar bi-

asa.

Prabu Kamansura hanya mendesah panjang. 

Padahal sungguh betapa kecewanya dia dengan sikap 

yang diperlihatkan oleh Panglima Prakesti.

Kali ini hatinya semakin kecewa melihat sikap 

tak acuhnya Prakesti.

Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan 

dia berharap Panglima Prakesti segera pergi dari kera-

ton karena sesungguhnya dia menginginkan wilayah

keratonnya aman, sentosa bahkan terkejut luar biasa 

justru Panglima Prakesti sendiri yang membuat ulah 

dan teror! Luar biasa! Dia tidak pernah menyangka hal 

itu.

Sementara Panglima Prakesti segera menge-

maskan barang-barangnya, dengan dada membara pe-

nuh dendam, lalu pergi dengan kudanya meninggalkan 

keraton.

Dia tidak terima semua ini. Dia harus menun-

tut balas. Maka dipacunya kudanya tanpa tujuan yang 

pasti dengan kemarahan yang semakin menggelora, 

dengan niat untuk membalas semua perlakukan Kera-

ton Widung terhadapnya.

Karena tidak tahu tujuan, maka dia memacu 

kudanya asal saja. Yang diinginkan hanya meninggal


kan wilayah Keraton Widung. Melupakan semuanya 

dan kala datang kembali siap dengan segala dendam 

yang ada.

Pada suatu malam, dia singgah di sebuah desa. 

Di sebuah kedai yang cukup ramai barulah dia mengisi 

perutnya. Di sana pula dia bertemu dengan seorang 

kakek tua.

Basa basi perkenalan pun terjadi. Memang da-

sarnya Prakesti bisa mengambil hati orang dan pandai 

berbicara, maka percakapan itu pun segera terjadi 

dengan segera.

Dari percakapan yang terjadi, dia menangkap 

ada satu hal yang amat menarik perhatiannya. Perha-

tiannya pun kini semakin besar.

"Hutan larangan, Orang tua?"

"Benar, Prakesti.... Hutan Larangan telah lama 

dibicarakan orang."

"Ada apakah dengan Hutan Larangan itu, 

Orang tua?"

"Konon kabarnya di Hutan Larangan ada pe-

nunggunya yang bisa mengabulkan segala permintaan 

siapa saja."

"Benarkah, Orang tua?"

"Kebenaran itu aku belum mengetahuinya. Na-

mun bila kau berminat, kau bisa datang ke sana.... 

Aku pun tidak tahu kepastiannya apakah memang be-

nar bisa mengabulkan permintaan kita ataukah tidak."

Karena dendam yang terus makin berkobar, 

tentu saja Prakesti tidak perlu berpikir dua kali. Dia 

langsung mengiyakan dengan nada suara yang pasti.

"Aku sungguh berminat dengan hal itu, Orang 

tua...."

"Sungguh?"

"Ya. Apakah ada sesuatu yang berbahaya, 

Orang tua?"


"Aku tidak mengetahui secara pasti. Namun 

konon kabarnya pula, kau harus berhati-hati di sana. 

Karena banyak jebakan yang dipasang secara tersem-

bunyi...."

"Bagaimana cara mengatasinya?"

"Aku tidak tahu tentang itu. Aku juga tidak ta-

hu jebakan apa yang ada di sana. Bila kau memang 

berminat, kau bisa mencari tahu sendiri hal itu...."

"Baiklah... biar aku cari sendiri hal itu. Berita-

hukan arah mana yang harus kutempuh?"

Lalu orang tua itu pun menceritakan arah yang 

harus dituju Prakesti. Maka dengan penuh semangat 

dan dendam yang semakin membara, langsung di-

arahkannya kudanya saat itu juga ke Hutan Larangan.

"Orang-orang keraton bangsat... kalian akan 

merasakan segala akibatnya nanti!!"

Semakin kencang kudanya dipacu.

*

* *

DUA



Hutan Larangan adalah sebuah hutan yang 

amat menyeramkan sekali. Suasananya cukup mence-

kam. Geresek dedaunan yang dihembus angin bagai-

kan bisikan para iblis yang sedang bercengkrama. Hati 

Prakesti menjadi sedikit ragu setelah menyaksikan hal 

itu. Benarkah ini tempatnya? Namun dengan ciri dan 

tanda yang dijelaskan orang tua yang ditemuinya, ti-

dak salah lagi. Memang inilah tempat yang dicarinya.

Sungguh menyeramkan sekali.

Lalu dia pun turun dari kudanya dan menam-

batkannya di sebuah dahan pohon. Dia pun bergerak


maju dengan hati yang sedikit berdebar.

Langkahnya gagah namun kaku. Dia merasa-

kan hawa yang mencekam menerpanya. Pepohonan 

yang tinggi bagaikan makhluk-makhluk raksasa yang 

siap menerkamnya.

Namun hatinya telah bulat untuk mencari pe-

nunggu Hutan Larangan ini.

Benar-benar sebuah Hutan Larangan yang 

mengerikan, atau lebih tepat Hutan Kematian. Karena 

barang siapa yang berani da-tang ke sana, maka hanya 

kematian belaka yang akan diterimanya. Dan larangan 

itu tertuju pada siapa saja. Tidak terkecuali dirinya.

Dibawanya langkahnya menyelusuri hutan 

yang nampak susah sekali untuk dijangkau, karena 

cahaya matahari tidak bisa masuk menembus karena 

terhalang oleh pepohonan yang amat tinggi dan jalan 

setapak yang tidak tentu arah. Karena pepohonan yang 

tumbuh bagaikan tidak teratur.

Agaknya hutan itu memang tidak pernah di-

jangkau orang. Namun tekadnya sudah bulat untuk ke 

sana. Hawa dingin dan suasana yang mencekam me-

nyambut kedatangannya begitu dia tiba di tengah-

tengah hutan.

Celingukan dia sebentar sementara suara bina-

tang hutan bagaikan mengusik dan tidak menyukai 

kedatangannya.

Kembali dibawanya langkahnya perlahan-

lahan.

Walaupun samar dan sedikit tidak percaya dili-

hatnya di ujung sana ada sebuah gubuk yang jelek se-

kali. Gubuk itu kelihatan menyeramkan. Namun laki-

laki yang telah mantap dengan tekadnya itu terus me-

langkahkan kakinya.

Dilihatnya pula di sekitar gubuk itu banyak 

terdapat tulang belulang. Bahkan ada satu sosok


mayat yang hancur dan belatung-belatung yang ribuan 

jumlahnya tengah asyik menggerogotinya.

Pemandangan yang mendebarkan.

Sejenak Prakesti bergidik ngeri menyaksikan 

hal itu. Bagaimana tidak, karena pemandangan itu 

amat menakutkan sekali. Dia jadi penasaran untuk 

mengetahui apa yang sesungguhnya akan terjadi nan-

ti?

Kembali diayunkan langkahnya.

Beberapa meter dari gubuk itu, mendadak te-

linganya mendengar desiran angin yang menyambar 

dengan cepat ke arahnya. Seketika laki-laki itu bersal-

to ke samping dengan cepat.

"Hiaaaatt...!!"

"Wuuuttt...! Wuuuuuuttt...!!"

Dua buah tombak yang letaknya tersembunyi 

tadi melesat tidak mengenai sasaran. Dan menancap 

pada sebatang pohon besar yang berdiri di dekat gu-

buk itu.

Belum lagi Prakesti bisa bernafas dengan lega, 

mendadak didengarnya kembali desiran angin yang 

bertambah kuat. Kali ini bagaikan seribu lebah yang 

datang siap menyengat.

Memang tidak sia-sia Prakesti mendapatkan 

bintang Panglima atas keperkasaannya.

Dengan gerakan yang amat sigap sekali dia ber-

salto ke sana ke mari, karena penglihatannya menang-

kap kilatan sebuah benda kecil berbentuk jarum.

Jarum berbisa yang ganas dan amat beracun 

itu pun gagal mengenai sasarannya.

Prakesti semakin waspada, karena dia semakin 

yakin bahaya inilah yang akan menggagalkannya un-

tuk bertemu dengan Penunggu Hutan Larangan.

Maka dipasang mata, telinga dan segenap inde-

ranya untuk mengetahui sesuatu yang peka.


Kembali mendadak muncul sebuah kabut hi-

tam yang mengandung hawa beracun bertebaran ke 

arahnya.

Sejenak laki-laki itu terkejut lalu dengan cepat 

menarik nafas, dan menahannya sekuat tenaga semen-

tara kedua tangannya bergerak ke muka, seketika te-

rasa ada angin yang keluar dan mengibas ke arah ka-

but hitam itu.

Namun angin yang keluar itu ternyata tidak 

mampu mengusir gumpalan kabut yang terus mendera 

ke arahnya.

Prakesti menjadi kalang kabut.

Nafasnya sudah sesak sekali.

Kekuatirannya mulai muncul, belum lagi tena-

ganya yang terasa amat lelah terkuras dan keringat 

pun mulai bercucuran di sekujur tubuhnya.

Namun dia terus berusaha untuk mengusir ka-

but itu. Ditahannya nafasnya di perut, diolah dan dike-

luarkannya kembali bersama hawa murni yang menga-

lir.

Kembali pula dia menggerakkan tangannya 

dengan sikap mendorong. Dan perlahan-lahan kabut 

hitam itu menguak, menyebar dan menghilang.

Meskipun demikian, kewaspadaan Prakesti ti-

dak menghilang. Dia justru semakin waspada. Nafas-

nya dihembuskan karena terasa sudah amat sesak se-

kali. Cukup menyiksanya sedemikian rupa. Mau pecah 

rasanya.

Semua indera yang dimilikinya dipasang untuk 

mengetahui keadaan sekelilingnya.

Tiba-tiba terdengar suara terkekeh yang menye-

ramkan, menggema ke seluruh hutan itu. Kepala Pra-

kesti berputar dengan waspada mencari asal suara itu.

Namun dia tidak bisa mengetahui yang pasti, 

karena suara itu bisa berpindah-pindah tempat.


"He-he-he... laki-laki berikat kepala merah... 

mau apa kau ke sini, hah?!"

Suara itu keras, dingin dan menyeramkan.

Mendengar suara itu Prakesti mendesah sedi-

kit. Bahaya apa lagi yang kini tengah mengancamnya.

"He-he-he... kau tidak perlu takut, laki-laki be-

rikat kepala merah! Aku muncul dengan senang hati 

menyambut kedatanganmu itu... he-he-he...."

Kali ini mendadak saja Prakesti menjatuhkan 

tubuhnya bagaikan menjura. Meskipun dia masih be-

lum mengerti apa yang akan terjadi kemudian.

Namun mendengar kata-kata tadi, dia bagaikan 

dihadapkan oleh satu kenyataan, bahwa kedatangan-

nya disambut oleh Penunggu Hutan Larangan.

"Eyang... aku datang menghadap pada mu...."

"He-he-he... bagus, bagus...." "Terima kasih, 

Eyang...." "Ada keperluan apa kau datang mengha-

dap?"

"Betul, Eyang... aku memang sengaja datang 

menghadap padamu, Eyang...."

"Katakanlah... dengan suka rela aku menyam-

butnya...."

"Aku butuh pertolonganmu, Eyang...."

"Pertolongan apa?"

"Ada masalah rumit yang mengganggu pikiran-

ku... dan aku tidak kuasa menghadapinya sendiri...."

"Katakanlah... kau telah lulus menghadapi 

ujian yang telah kulakukan! Banyak yang telah datang 

ke mari untuk meminta bantuanku, namun banyak 

pula yang mati karena tidak lulus menghadapi rintan-

gan dari Kabut Beracun... sementara kau telah lulus 

dengan selamat.

Kau bisa melihat betapa banyaknya tulang be-

lulang manusia-manusia bodoh yang datang dengan 

kesombongannya. Hhh! Aku tidak pernah menyukai


manusia-manusia bodoh seperti itu! Biarlah mereka 

mampus!

Kaulah satu-satu yang berhasil lulus dari ujian 

yang telah kuberikan. Hhh! Lima belas tahun aku 

menjadi penunggu Hutan Larangan, baru kali ini aku 

mendapatkan seorang manusia yang hebat dan cerdik.

Nah, katakanlah apa yang kau inginkan...."

Wajah Prakesti berbinar gembira. Kini dia su-

dah tidak tegang dan takut lagi.

"Baiklah, Eyang... sebelumnya aku mengu-

capkan terima kasih, Eyang.... Sebelumnya, aku ada-

lah seorang Panglima di Keraton Widung, namun telah 

disingkirkan.

Hal ini menjadikan aku mendendam Eyang dan 

aku tidak akan bisa hidup tenang bila dendam ini be-

lum kubalas. Sampai kapan pun Eyang, karena ini 

adalah menyangkut harga diriku yang paling dalam...."

"Lalu maksudmu?"

"Aku ingin membalas dendam pada mereka, 

Eyang... agar mereka tahu kalau aku tidak bisa di-

mainkan begitu saja. Aku tidak puas, Eyang...."

"He-he-he... jadi itu masalah yang sedang 

mengganggu pikiranmu?"

"Benar, Eyang.... Bantulah aku membalaskan 

semua dendam ini...."

"He-he-he... soal itu gampang sekali, gampang 

sekali... tidak jadi soal buatku...."

"Terima kasih, Eyang...."

"Karena kau telah lulus dari ujian yang kula-

kukan, maka secara otomatis aku akan membantu-

mu... aku menyukaimu.... Nah, siapakah namamu...."

"Namaku Prakesti, Eyang...."

"Nah, dengarlah Prakesti... dengan mudahnya 

pula kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan 

dan membalas semua dendam yang mengganggu hi


dupmu...."

"Terima kasih, Eyang...."

"Majulah lagi, lebih dekat dengan istanaku yang 

jelek ini...." Kali ini suara itu terdengar dari gubuk 

yang makin menyeramkan.

Perlahan Prakesti berdiri dari berlututnya, lalu 

dengan sikap yakin, dia melangkah ke gubuk itu.

"He-he-he... bagus, bagus... kau akan menjadi 

pengabdi ku yang setia.... Berlututlah, Prakesti!!"

Kembali Prakesti berlutut. Dendam di hatinya 

semakin membara pada Keraton Widung.

"Bagus! Pejamkan matamu sekarang!" 

Dia pun memejamkan matanya namun hatinya 

bergemuruh hebat dan kuatir kejadian apa yang akan 

terjadi.

"He-he-he... tak lama lagi kau akan menjadi 

penguasa tunggal di muka bumi ini.... Kau suka, bu-

kan?"

"Benar, Eyang... dan aku akan lebih suka lagi 

bila Keraton Widung telah rata dengan tanah...."

"He-he-he... tak lama lagi kau bahkan akan

menguasai semuanya...."

"Terima kasih, Eyang...."

"Sekarang, konsentrasikan pikiranmu pada su-

atu hal yang amat kosong sekali, kosongkan pikiran-

mu! Jangan ada satu pikiran pun yang akan meng-

ganggu konsentrasi mu ini. Lakukanlah...."

"Baik, Eyang...." Mata itu semakin rapat terpe-

jam.

"Memang, telah lama aku menunggu saat yang 

tepat untuk menitis kepada manusia. Sekarang aku ti-

dak akan bertindak tanggung lagi.

Dan agaknya engkaulah yang menjadi titisan

ku.... Bersiaplah, aku akan menitis padamu.

Kita bersatu untuk membuat onar di muka


bumi ini dan memporak-porandakan siapa pun juga 

yang berani mengganggu kerja kita... Ha-ha-ha...!!"

Prakesti pun melakukan apa yang diisyaratkan 

oleh Penunggu Hutan Larangan, meskipun dia amat 

penasaran sekali hendak melihat seperti apa wujud 

Penunggu Hutan Larangan ini.

Akan tetapi pikiran itu pun sekarang menguap. 

Yang penting baginya, dia bisa membalaskan dendam 

pada Keraton Widung. Pada orang-orang yang telah 

menghinanya.

Dia pun berkonsentrasi penuh. Perlahan-lahan 

dirasakannya sesuatu memasuki tubuhnya melalui 

ubun-ubunnya, dirasakan pula ada sesuatu yang 

mengalir dalam darahnya.

Tubuhnya sedikit bergetar kala dia merasakan 

hal itu menggelora.

Dan dirasakannya getaran panas namun aneh 

di sekujur tubuhnya. Semakin lama semakin panas. 

Tubuhnya bergetar hebat, berguncang sementara ali-

ran darahnya dirasakan semakin kuat dan cepat.

Jantungnya berpacu lima kali cepat dari semu-

la. Menggetar ke sekujur tubuhnya.

Hal itu berlangsung cukup lama. Keringat di 

tubuhnya terus mengalir dan mengalir kian deras. Per-

lahan-lahan gelombang tubuhnya yang bergerak ber-

henti.

Tak lama kemudian dia membuka matanya, 

dan dirasakannya tubuhnya lebih bergairah dan rin-

gan. Sorot matanya dirasakan lebih tajam dari semula.

Hatinya terasa lega karena apa yang diingin-

kannya telah berhasil.

Penunggu Hutan Larangan telah menitis di tu-

buhnya, menjadikannya semakin perkasa.

Dia merasa gembira karena apa yang menjadi 

tujuannya akan benar-benar terjadi.


Mendadak dia menengadahkan kepalanya ke 

langit yang kelam. Karena hari telah datang menjadi 

malam. Suara binatang malam kian ramai terdengar, 

menjadikan hutan larangan itu bertambah mengeri-

kan.

Namun dia tidak kuatir lagi dengan hal itu, tak 

ada lagi yang akan di takutkannya karena dia merasa 

dirinya telah menjadi amat perkasa.

Perlahan dia jatuh terduduk dengan kedua lu-

tut yang tertekuk. Kedua tangannya di angkat ke atas, 

lalu terdengar tawanya terbahak-bahak dengan keras-

nya. Suaranya menggema ke pelosok hutan, menga-

lahkan suara binatang malam yang berlomba seakan 

unjuk gigi.

"Ha-ha-ha.... ya, ya... akulah yang akan men-

guasai rimba persilatan ini!

Manusia-manusia busuk, kalian telah membu-

atku malu terhadap diriku sendiri! Aku tak akan per-

nah memaafkan apa yang telah kalian perbuat terha-

dapku!

Tak akan pernah!

Sampai kapan pun satu persatu kalian akan 

kucari dan kubunuh!!"

Masih tertawa keras penuh kemenangan yang 

luar biasa, Prakesti menjatuhkan kepalanya ke tanah.

Menyembah tiga kali ke arah gubuk itu. Lalu 

dia pun kembali keluar dari Hutan Larangan.

Gema tawanya masih terdengar keras.

"Lihat nanti kalian, manusia-manusia busuk! 

Kalian akan merasakan akibatnya dari yang akan ku-

lakukan!!"

*

* *


TIGA


Dua bulan setelah pengusiran Panglima Prakes-

ti dari Keraton Widung.

Desa Kaung adalah desa yang letaknya paling 

dekat dari Keraton Widung. Keraton Widung memba-

wahi tiga puluh buah desa yang menjadikan batas wi-

layahnya.

Desa Kaung dikenal sebagai desa yang paling 

dekat hubungannya dengan Keraton Widung, karena 

secara tidak langsung dengan kedudukannya yang ti-

dak jauh dari keraton menjadikan orang-orangnya 

amat dekat.

Malam ini langit di awan nampak kelam. Bulan 

tertutup oleh awan. Suasana betapa gulita. Belum lagi 

udara yang berhembus dingin seakan mengisyaratkan 

akan terjadi sesuatu. Hal ini pun menyelimuti suasana 

Desa Kaling yang sunyi senyap bagaikan mati, seperti 

tak ada penghuninya. Bagaikan desa mati.

Padahal desa itu adalah sebuah desa yang 

makmur dan ramai bila siang hari. Juga biasanya desa 

itu pada malam hari selalu ramai. Namun entah men-

gapa malam ini keadaan desa itu menyeramkan.

Sunyi.

Hening bagaikan mati.

Hanya suara binatang malam yang terdengar 

ramai bagaikan sedang unjuk diri.

Mereka bergembira menikmati keheningan ma-

lam ini yang dapat mereka manfaatkan untuk mencari 

makan, bermain, bersenda gurau maupun saling me-

lepaskan hasrat birahinya. Karena bila siang hari, me-

reka merasa terganggu sekali dengan kegiatan para 

manusia.

Langit di atas muram. Bulan pun hanya sepo


tong, seakan malam ini sudah diisyaratkan akan terja-

di sesuatu.

Dan keheningan itu semakin mencekam belaka, 

semakin membuat para penduduk lebih suka menarik 

selimut dan mendekap guling mereka erat-erat daripa-

da keluar rumah

atau memikirkan hal-hal yang tidak-tidak. Atau 

lebih suka saling melepaskan syahwat mereka pada 

pasangan masing-masing di alam yang dingin seperti 

ini.

Bukankah ini lebih mengasyikkan? Daripada 

memikirkan yang tidak-tidak. Dan ini hanya meng-

ganggu tidur mereka saja. Maka kadang dari bilik 

bambu itu terdengar desahan nafas terengah-engah 

disusul dengan erangan penuh kenikmatan.

Namun mendadak saja desa yang sunyi dengan 

sinar bulan yang bersinar temaram itu tiba-tiba men-

jadi kacau balau.

Bermula dari terdengarnya tawa panjang yang 

amat mengerikan sekali, menggema menebarkan hawa 

kematian disusul dengan api yang berkobar di atap 

beberapa rumah hingga membuat penghuninya harus 

berlarian menyelamatkan diri.

Seketika desa yang sepi menghening itu beru-

bah total, bagaikan kegiatan siang hari.

Jeritan-jeritan keras terdengar.

"Api...! Api!!"

"Tolong....! Tolong...!"

"Cepat padamkan...!!"

"Gila! Dari mana datangnya api itu...?!"

"Tolong...! Tolong...!!"

Seruan ramai terdengar ditingkahi dengan ge-

rak cepat para penduduk yang membantu memadam-

kan api semakin membahana. Sementara angin ter-

hembus kencang.


Kerja cepat dan bantu membantu pun terjadi. 

Mereka bergerak dengan cepat. Berantai memadamkan 

api.

Namun belum lagi api yang satu berhasil dipa-

damkan, belum lagi para penduduk dapat menarik na-

fas lega, mendadak saja api-api itu menyambar lagi 

rumah-rumah yang lain. Cepat, karena angin yang 

berhembus demikian kuat. Menebarkan api-api itu 

membakar atap-atap rumah.

Keadaan semakin kacau balau saja.

Kepanikan semakin menjadi-jadi.

"Tolong...! Api...!!"

"Air! Air...!"

"Cepat padamkan...!!"

Kembali seruan-seruan ramai terdengar. Dan 

yang paling menyayat hati, salah seorang penduduk 

berlarian dari rumahnya dengan tubuh terbakar. Api 

dengan cepat menyambar tubuh laki-laki itu.

"Tolong...! Tolong...!!" serunya kepanasan dan 

berlarian ke sana ke mari. Para penduduk berusaha 

untuk memadamkan api di tubuh orang itu, namun 

api lebih cepat menyambar dan membakarnya. Mem-

buat tubuh itu berlarian sementara api terus memba-

kar dengan ganasnya.

Karena api yang semakin besar dan jasad yang 

kepanasan, orang itu pun terhempas ke tanah dan ter-

guling kepanasan di tanah dengan lolongan yang amat 

panjang sekali. 

"Aa-aaaakkkh...!! Tolong...! Tolong...!!"

Jeritan itu amat menyayat hati sekali.

Orang-orang hanya terpana sehingga mereka 

lupa untuk menolong laki-laki.

Dan belum lagi mereka tersadar dari keterpa-

naan mereka, kembali dari rumah yang terbakar dan 

puing yang ambruk itu terdengar jeritan yang amat


menyayat.

Lalu disusul dengan sosok anak beranak yang 

berlarian keluar dalam keadaan terbakar. Api bagaikan 

menjilat-jilat tubuh keduanya.

Rupanya mereka tadi tertidur sementara laki-

laki yang terbakar lebih dulu berupaya hendak mem-

bangunkan anak istrinya, namun api telah menyambar 

seluruh tubuhnya.

Anak beranak itu pun berlarian dengan api 

yang berkobar menyala.

Jeritan mereka amat menyayat.

Kali ini para penduduk berusaha untuk meno-

longnya, namun gagal karena api telah membesar dan 

membakar tubuh anak beranak itu.

Bau hangus yang sangit pun menguar menu-

suk hidung.

Para penduduk yang menyaksikan hanya bisa 

mendesah dengan hati pilu. Beberapa kaum wanita 

histeris melihatnya. Mereka tundukkan kepala dengan 

terisak.

Api terus berkobar.

Hal ini membuat para penduduk menjadi cemas 

dan lambat laun kecurigaan mereka pun muncul. Dari 

mana datangnya api itu? Tidak seperti biasanya hal 

seperti ini terjadi.

Belum lagi keheranan mereka terjawab, men-

dadak saja melayang satu sosok tubuh dengan gera-

kan yang amat ringan sekali ke arah mereka.

Melenting dari satu tempat dengan gerakan 

yang amat fantastik sekali. Diiringi dengan gema tawa 

yang amat keras, panjang dan bertalu-talu.

*

* *


EMPAT


Sosok itu tinggi kurus. Rambutnya yang pan-

jang terikat di keningnya secarik kain merah. Tubuh 

itu berdiri gagah berkacak ping-gang. Dia adalah Pra-

kesti, atau Panglima pengkhianat yang telah di titisi 

oleh Penunggu Hutan Larangan.

Karena dendamnya yang telah membludak me-

luap, dia pun sudah melaksanakan aksinya.

Desa Kaung yang terdekat dengan Keraton Wi-

dung, makanya dia langsung membuat onar di sana.

Lalu terdengar suaranya terkekeh.

"He-he-he...! Jangan kaget, manusia-manusia 

goblok! Manusia-manusia desa Kaung yang bodoh me-

lompong! Bila hendak cari-

mencari siapa yang telah berbuat seperti itu, 

akulah orangnya!!" Suaranya nyaring dan terdengar 

cukup mengerikan.

Para penduduk desa pun tidak perlu memper-

hatikan lebih jelas siapa yang tengah berdiri di hada-

pan mereka, karena api yang berkobar dapat meneran-

gi suasana.

"Panglima Prakesti!!"

"Panglima pengkhianat!!"

"Dia rupanya yang membuat onar!!"

Seruan-seruan itu pun terdengar. Namun men-

dengar pengakuannya yang terus terang dengan nada 

yang amat sombong sekali, membuat para penduduk 

menjadi marah.

"He-he-he... ya, aku adalah Panglima Prakesti 

yang datang untuk membalaskan sakit hatiku!!"

"Keparat! Kurung dia!!"

"Tangkap!!"

Mereka dengan serempak segera mengepung


sosok Prakesti yang hanya terkekeh saja. Merasa lucu 

melihat keberanian orang-orang itu yang menurutnya 

hanya suatu kesia-siaan belaka.

"He-he-he... kalian mau apa, hah?! Mau cari 

mampus rupanya!!"

"Manusia busuk! Pengkhianat! Seharusnya kau 

berpikir apa yang selama ini telah kau lakukan, hah?!"

"Perbuatanmu sungguh-sungguh keji!!"

"Keparat hina! Kematianlah yang tepat untuk-

mu!!"

Seruan-seruan marah itu terdengar gegap gem-

pita. Para penduduk mengambil sikap siap menyerang. 

Bahkan ada pula yang kembali dulu ke rumah untuk 

membawa senjata. Mereka semakin geram mengetahui 

siapa yang membuat ulah.

Namun semua itu hanya disambut dengan ke-

kehan belaka oleh Prakesti. Dia merasa misinya berha-

sil. Dengan cara seperti ini, maka beritanya pun akan 

tersebar hingga ke Keraton Widung bahwa dia datang 

untuk menuntut balas.

"He-he-he... tidak salah, kalian memang tidak 

salah! Kemunculanku ini memang untuk membalas 

dendam! Dendam yang semakin hidup di hatiku terha-

dap Keraton Widung! Namun aku tidak akan membu-

nuh kalian bila kalian mau menuruti semua keinginan 

dan kata-kataku!"

"Keparat! Tak akan pernah kami mau mengiku-

ti apa keinginanmu, Pengkhianat busuk!"

"Aku pun tidak akan memaksa!"

"Sekali pun kau memaksa, kami tidak akan 

pernah menurutinya!"

"Bagus, itu berarti kalian akan mendapatkan 

akibatnya!!" "Anjing buduk! Bunuh dia!!"

Serentak orang-orang yang mengepung itu me-

nyerbu dengan gebrakan yang cepat dan suara yang


gegap gempita. Agaknya mereka tidak mengetahui ka-

lau Panglima pengkhianat itu kini sudah menjadi titi-

san dari Penunggu Hutan Larangan.

Kesaktiannya amat berlipat ganda.

Dia hanya mengibaskan tangan kanannya saja 

sambil terkekeh-kekeh. Dan beberapa sosok tubuh 

terpental ke belakang dengan kepala putus.

"Keparat!"

"Keji!"

"Cincang!!"

"Bunuh!!"

Namun lagi-lagi hal seperti itu terjadi. Bahkan 

terdengar lima orang sekaligus menjerit dan ambruk 

dengan kepala buntung. Dan sepasang mata mereka 

mendelik pertanda mereka tidak rela untuk mati.

"Iblis!"

"Keparat!"

"Jangan takut, Saudara-saudara! Bunuh 

dia...!!"

Seruan-seruan itu terdengar amat bersemangat 

sekali. Dan kembali dengan gigih dan gagah berani me-

reka menyerbu ke arah Prakesti yang hanya tertawa 

karena merasa lucu melihat kenekatan mereka.

Dia amat senang sekali dengan perbuatannya. 

Sepasang matanya bersinar bagaikan mata iblis.

Dia memang telah di rasuki iblis. Hatinya kini 

dikendalikan oleh dendam yang amat sangat.

Kali ini berkelebatan senjata-senjata tajam di 

tangan. Namun tanpa berpindah tempat dari posisinya, 

seakan menganggap enteng belaka senjata-senjata 

yang bergerak ke arahnya Prakesti terkekeh-kekeh.

Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali, 

tangannya bergerak.

"Wuuut...!! Plak.... Plakk...!!".

Beberapa buah senjata terlepas disusul dengan



gamparan beberapa kali. Rasa sakit yang amat luar bi-

asa mereka rasakan kala tamparan tangan itu mampir 

di pipi mereka.

Pikir mereka, rasa sakit itu akan segera meng-

hilang. Namun justru malah semakin menjadi-jadi. 

Bahkan yang membuat mereka kaget, karena mereka 

rasakan pusing yang amat luar biasa dan kepala yang 

amat berat.

Belum lagi secara pasti mereka menyadari apa 

yang terjadi, tiba-tiba saja tubuh mereka limbung dan 

ambruk dengan meregang nyawa tanpa mengerti dan 

tak sempat menjerit.

Lalu muncrat darah dari tubuh mereka dengan 

jantung yang menguak lebar keluar seperti mau lepas. 

Pemandangan yang amat mengerikan sekali.

Justru orang-orang yang menyaksikan yang 

menjerit ketakutan. Hingga mereka akhirnya menyada-

ri dengan siapa mereka sedang berhadapan.

Bukan Prakesti yang dulu, yang hanya men-

gandalkan kekuatannya sebagai Panglima Keraton Wi-

dung, namun sosok iblis yang telah bersemayam di ha-

tinya.

"Bangsat!"

"Iblis...!! Kau manusia iblis...!!"

"He-he-he... bukankah sejak tadi sudah kuka-

takan, aku akan membunuh siapa saja yang mengha-

langi niatku untuk membalas. Dan semua ini akan ku-

lakukan sampai kapan pun juga! Hingga Keraton Wi-

dung runtuh! Kalian lihatlah sendiri nanti, betapa se-

mua desa yang berada di wilayah Keraton Widung 

akan ku bumi ratakan dengan tanah!!

Meskipun mereka menyadari betapa tingginya 

ilmu manusia iblis ini, namun mereka tidak takut. 

Bahkan mereka menjadi geram yang amat luar biasa 

sekali. Bagi mereka, mati adalah sebuah kata yang



amat menyenangkan.

Mereka rela mati membela kebenaran, karena 

mereka tidak ingin kezaliman yang disebarkan oleh 

Panglima pengkhianat ini akan terus berlanjut.

Mereka semakin nekat menyerang.

Namun lagi-lagi semuanya itu hanyalah sia-sia 

belaka saja, karena manusia itu amat tangguh dan 

sakti. Hingga tak lama kemudian terlihatlah peman-

dangan yang amat mengerikan. Puluhan sosok tubuh 

yang tak berdosa harus bergelimang tanah dengan 

nyawa yang melayang.

Tanah telah bersimbah darah.

Kekejian telah melanda.

Sungguh mengerikan. Prakesti adalah manusia 

yang diamuk dendam dan diliputi titisan iblis!!

Sosok tak dikenal itu terkekeh-kekeh. Terlihat 

sekali kalau dia begitu amat senang dengan apa yang 

telah dilakukannya. Nyawa telah dianggap murah. 

Dendamnya makin berlipat ganda.

"He-he-he.., rasakan itu! Rasakan! Sudah kupe-

ringatkan jangan sekali-sekali berani menantangku! 

He-he-he... tak akan pernah. kuberikan kesempatan 

kalian untuk hidup!!"

Tiba-tiba dia menengadah menatap langit yang 

pekat. Tawanya berkumandang.

Lalu terdengar seruannya yang keras. "Orang-

orang Keraton Widung, nasib kalian tidak akan lama 

lagi akan rata dengan bumi!!" Suara itu menggema 

mengerikan.

Diiringi dengan kekehan yang amat kuat. Nyar-

ing. Tiba-tiba saja sosok itu berhenti tertawa. Dan se-

pasang matanya yang berada di balik rambut panjang 

yang terikat secarik kain merah di keningnya menden-

gus.

Lalu, "Wuuuuuuuttt...!!" tubuhnya bergerak,


melayang dengan cepat menyambar dua orang anak 

perawan yang langsung dilarikannya.

Sementara kedua anak perawan itu meronta-

ronta hendak membebaskan diri. Dan gerakan mereka 

pun terhenti ketika dengan gerakan yang tak terlihat 

pula, sosok tubuh itu telah menotoknya hingga mereka 

terdiam kaku.

Kekehannya terus berkumandang keras. Amat 

keras.

Sejak peristiwa itu menyusul kembali peristiwa-

peristiwa yang mengerikan di setiap desa yang masuk 

wilayah Keraton Widung. Desa-desa itu telah menjadi 

simbahan darah yang amat deras. Dalam jangka waktu 

yang tidak lama, banyak desa-desa yang habis dima-

kan api dan mayat-mayat yang bergelimpangan.

Sosok-sosok yang tak berdosa pun bergeletakan 

tanpa nyawa. Burung-burung pemakan bangkai ber-

terbangan ke sana ke mari siap menikmati hidangan 

makan mereka. Semakin lama semakin berkumpul bu-

rung pemakan bangkai.

Dan mereka pun dengan bergembira ria me-

nikmati apa yang telah terhidang.

***

Hingga suatu hari tibalah di desa itu seorang 

penunggang kuda yang langsung menghentikan laju 

kudanya.

Sosok yang menunggang kuda itu mengenakan 

caping bambu yang menutupi hampir sebagian wajah-

nya. Di punggungnya terdapat sebilah golok yang ber-

sarungkan batang kayu berwarna kekuningan. Dia 

memperhatikan sekelilingnya.

Di balik caping itu nampak kerutan pada ke-

ningnya. Heran melihat mayat-mayat yang bergelimpangan dengan api yang masih tersisa membakar ru-

mah-rumah di sana. Bau anyir darah dan sangitnya 

mayat membusuk menguar.

"Oh, Tuhan... ada apa gerangan yang telah ter-

jadi di desa ini?" desisnya pilu.

Lalu dia pun melompat dari punggung ku-

danya. Sosok bercaping yang tidak lain adalah Pandu 

atau Pendekar Gagak Rimang melangkah melihati 

mayat-mayat itu untuk menyaksikan lebih dekat lagi.

Dia menahan nafasnya agar bau busuk yang 

menguar dari mayat-mayat itu tidak masuk ke hi-

dungnya. Dan mengibas-ngibaskan tangannya mengu-

sir burung-burung pemakan bangkai yang sedang 

asyik menikmati hidangan mereka. Lalu berkepakan 

terbang karena merasa keasyikan mereka terganggu.

Berterbangan di atas areal itu.

"Tuhan siapakah yang telah berbuat kekejian 

seperti ini?" desisnya pilu.

Matanya seakan tidak percaya dengan kekejian 

itu kala melihat beberapa tubuh tanpa kepala. Mayat-

mayat itu sudah amat membusuk, bahkan banyak be-

latung-belatung yang hinggap di beberapa sosok 

mayat. Asyik menggerogotinya hingga nampak tulang 

belulangnya.

Dia juga melihat mayat-mayat anak perawan 

yang mati dalam keadaan mengerikan.

Telanjang bulat, bertanda sebelum dibunuh 

mereka diperkosa terlebih dahulu. Karena terlihat ada 

di antara para wanita itu kemaluannya berdarah. Dan 

terlihat pula ada beberapa wanita yang puting payuda-

ranya hilang!

Keji!

Murid Eyang Ringkih Ireng dan Gunung Kidul 

menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya dia tak 

percaya melihat kenyataan yang terjadi.


"Bangsat!!" tiba-tiba dia menggeram. Hatinya 

panas dan marahnya pun muncul. "Hhh! Mungkin ada 

seorang atau beberapa orang kejam yang telah berbuat 

keji di sini!! Tetapi siapakah dia? Mengapa kejam seka-

li?"

Kembali dia melangkahkan kaki, mengamati si-

sa-sisa api yang masih membakar beberapa puing.

Hatinya panas, sedih, dan geram melihat ke-

nyataan ini. Tak pernah diterimanya!!

Tiba-tiba Pandu mendesah, "Eyang... masih ba-

nyak rupanya keangkaramurkaan yang terjadi di dunia 

ini.... Maafkan aku, Eyang... aku tidak bisa berpangku 

tangan saja melihat kenyataan yang menyedihkan 

ini....

Aku akan mencari orang yang telah membuat 

onar ini, Eyang.... Berilah restumu pada kami...."

Lalu kembali dia menaiki kudanya dan dipa-

cunya kudanya, sementara untuk saat ini dia tidak ta-

hu harus ke mana mencari keterangan.

*

* *

LIMA



Pandu terus memacu kudanya. Wajahnya ma-

sih geram. Dan di benaknya terbayang sosok-sosok 

mayat yang tak berdosa bergeletakan secara mengeri-

kan. Betapa kejinya manusia yang telah berbuat seper-

ti itu!

Sungguh biadab! Tak ubahnya bagaikan bina-

tang yang rakus dan tak mengenai perikemanusiaan!

Hatinya tidak pernah menerima kenyataan itu. 

Dia tetap bertekad untuk mengetahui siapa yang telah


berbuat seperti itu. Sampai kapan pun dia akan men-

carinya!

Di sebuah tempat yang cukup sepi, dia meng-

hentikan kudanya di samping dia pun tidak tahu arah 

mana yang harus dituju. Dia pun bermaksud beristi-

rahat.

Di tambatkannya kudanya di sebuah pohon 

yang rindang. Kerindangan yang temaram dengan uda-

ra yang sejuk membuatnya menjadi lapar.

Dibuka bekalnya yang tadi dibelinya di sebuah 

desa. Tadi pun dia bertanya mengenai hal yang telah 

dilihatnya pada warga desa di sana, namun mereka 

semuanya mengaku tidak tahu.

Bahkan mereka terlihat keheranan, dengan apa 

yang dikatakan oleh Pandu. Merasa tak ada gunanya 

untuk bertanya lebih lanjut, maka dia pun langsung 

menggebrak kudanya setelah membayar apa yang di-

belinya.

"Hmm... agaknya kejahatan itu belum sampai 

ke desa ini," gumam Pandu.

Di bawah pohon yang rindang ini dia bermak-

sud hendak mengisi perutnya. Selera makannya sema-

kin timbul setelah melihat betapa nasi dan lauk yang 

dibelinya mengundang nafsu makannya. Perutnya ber-

keruyukan.

Akan tetapi belum sempat dia menikmati ma-

kannya, tiba-tiba pendengarannya yang tajam dan ter-

latih mendengar suara jeritan minta tolong.

Suara wanita yang ketakutan ditingkahi dengan 

beberapa suara laki-laki yang terkekeh-kekeh.

Semula Pandu tidak menanggapi hal tersebut. 

Namun setelah mendengar jeritan minta tolong yang 

keras dan berkali-kali, Pandu mengurungkan makan-

nya, lalu dia menggebrak kudanya mencari sumber 

suara itu.


Di tepi sebuah sungai, dilihatnya sosok tubuh 

mungil milik seorang gadis desa yang manis sedang 

mundur ketakutan. Di hadapannya melangkah secara 

perlahan-lahan mendekatinya tiga sosok laki-laki den-

gan wajah yang menyeramkan dengan seringaian buas 

dan kekehan yang panjang.

Salah seorang laki-laki itu berkata, "He-he-he... 

kau tak akan bisa melarikan diri, Manis... ayo, turuti-

lah kata-kataku... bersikaplah yang manis... atau kau 

ingin merasakan akibatnya nanti...."

"Ya, ya... bila tidak, desa tempat kau tinggal 

akan kami ratakan dengan bumi, seperti apa yang te-

lah kami lakukan selama ini...."

Pandu yang mendengar dari tempatnya terce-

kat. Merekalah yang telah membuat onar?

Dia jadi bermaksud hendak mendengarnya le-

bih lanjut ketimbang untuk langsung menolong gadis 

itu. Didengarnya lagi suara salah seorang berkata,

"Bukankah kau lebih baik menuruti permin-

taan kami.... Daripada keluargamu dan orang-orang di 

desamu akan mampus bergelimang darah...."

Wajah gadis yang ketakutan itu semakin pucat. 

Tak ubahnya mayat belaka. Gadis yang bernama Suri 

itu mundur terus, kakinya semakin masuk ke sungai.

"Tidak, tidak... jangan, jangan ganggu aku...! 

Pergi, pergi kalian!!"

Ketiga laki-laki dengan wajah menyeramkan itu 

terkekeh-kekeh. Wajah Suri makin pucat. Matanya 

makin terbelalak dan pias. Dia sungguh tidak me-

nyangka kalau akan menghadapi hal seperti ini.

Sungai ini memang biasa dijadikannya sebagai 

tempat mencuci, maupun mandi. Selama ini tidak ada 

gangguan apa pun. Dia bahkan tidak menyangka ka-

lau orang-orang ini muncul karena tidak pernah terjadi 

apa-apa.


Semula dia hendak mandi, namun urung kala 

didengarnya suara bergeresek di belakangnya dan ke-

tika dia menolehkan kepalanya dilihatnya tiga sosok 

menyeramkan secara perlahan-lahan mendekat ke 

arahnya sambil terkekeh-kekeh.

Kontan dia mengetatkan kainnya dengan wajah 

ketakutan dan pias. Hatinya berdebar karena dia yakin 

kalau ketiga laki-laki itu bermaksud jahat.

Benar saja dugaannya, karena ketiga laki-laki 

itu mendekatinya dan berkata meminta dilayaninya. 

Ngeri Suri mendengar permintaan yang bernada halus 

namun di balik semua itu terdengar bagaikan anca-

man belaka.

Salah seorang dari ketiga itu perutnya besar, 

terguncang-guncang hebat dengan kekehan yang amat 

kuat sementara sepasang matanya yang melotot lebar 

itu seakan siap untuk menerkam. Terbuka bagaikan 

ingin melompat keluar.

Sementara kedua temannya menyeringai den-

gan tatapan buas bak seekor srigala melihat mangsa di 

hadapannya yang ciut ketakutan. Wajah buas dengan 

mata yang siap menerkam itu membuat Suri rasanya 

mati berdiri.

"He-he-he... sudah kukatakan, Manis... kau tak 

akan bisa melarikan diri dari tangan ku...." terkekeh 

laki-laki yang bernama Parango. "Jangan kau anggap 

aku bodoh, Manis... he-he-he... ketahuilah... aku bu-

kanlah laki-laki goblok yang akan melepaskan mangsa 

yang sudah ada di tangan! Bukan begitu, teman-

teman? Apakah kita akan melepaskan kelinci bulat 

dan mengasyikkan yang sudah ada di mata kita ini?"

Kedua temannya menyeringai lalu terkekeh-

kekeh.

"Tentu, Kakang... ayam bulat ini membuat sele-

raku semakin memuncak saja."


"Aku pun tidak tahan untuk segera mengga-

rapnya, Kakang...."

"He-he-he... kau dengar itu, Manis? Mereka saja 

sudah tidak sabar menunggu, apalagi aku?! Nah, ber-

siaplah...."

Pucat pasi wajah Suri. Dia terus mundur ke be-

lakang dan berkali-kali terjatuh karena semakin lama 

sungai itu semakin dalam.

"Tolong... tolong aku, tolong...!!" seru gadis itu 

celingukan ketakutan.

Bagaikan anak ayam kehilangan induk dia ce-

lingukan, mencari jalan untuk melarikan diri.

Namun semuanya sudah terbatas. Di sekeli-

lingnya hanya ada air dan air. Sungai telah jadi batas 

yang menggelisahkan. Lainnya pohon-pohon besar 

yang bagaikan orang tengah berusaha mendekatinya.

Menyadari kenyataan itu, dia hanya bisa men-

desah panjang. Sedih. Kuatir dan bingung. Sebagai 

akhirnya gadis itu segugukan mengisak.

"Tolong.... tolong jangan ganggu aku.... Jangan 

ganggu aku orang jahat...."

"He-he-he... aku tak pernah mengganggu mu, 

Manis...." seru Parango sambil terus mendekati Suri 

masuk ke sungai, sementara kedua temannya hanya 

menyeringai.

Dan dengan gerakan yang amat cepat sekali Pa-

rango bersalto dengan ringannya dan "hup!" dia bersal-

to ke belakang dua kali. Kala dia hinggap di tanah, di 

punggungnya telah tersandar tubuh Suri.

Karena gadis itu terendam ke air sehingga pa-

kaiannya basah dan mencetak lekuk tubuhnya yang 

menawan. Semakin membuat mereka bertambah ber-

nafsu.

Gadis itu meronta-ronta minta dilepaskan se-

mentara Parango hanya terkekeh-kekeh belaka.


"He-he-he... maafkan aku, teman-teman... ter-

paksa aku yang pertama kali membelah durian ini... 

he-he-he...."

"Sisanya pun kami suka, Kakang... kami tak 

akan pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada...."

Sebelum mereka tiba di sini dan berniat hendak 

memperkosa Suri, Krona telah menemukan sebuah 

gubuk yang tak jauh dari sana.

Dia pun segera mengemukakannya.

"Tempat itu lumayan, Kakang.... Dapat dijadi-

kannya sebagai tempat kita berpesta," katanya sambil 

terkekeh-kekeh.

Parango pun terkekeh, "Ingat, kalian tak ada 

yang boleh mengikutiku ke sana. Lebih baik kalian 

tunggu di sini, dan bila sudah selesai aku akan me-

manggil kalian...."

"Soal itu beres, Kakang...."

Parango pun segera membawa Suri ke gubuk 

yang disebutkan Krona.

Sementara Suri hanya pasrah dengan kea-

daannya. Suasana di sekitar sana sunyi. Tak terlihat 

pun seorang manusia kecuali mereka. Sekuat tenaga 

meronta-ronta sambil menggebuk-gebuk tubuh Paran-

go.

Namun semuanya sia-sia belaka, bahkan sam-

bil terkekeh-kekeh panjang Parango merasakan suatu 

kenikmatan kala kedua tangan mungil itu menyentuh-

nyentuh tubuhnya.

Nikmat.

Bagaikan dipijit.

Tak lama kemudian Parango sudah menemu-

kan gubuk yang dikatakan Krona tadi. Lalu sambil 

menyeringai dia menurunkan tubuh gadis itu di gubuk 

yang sepi dan langsung menciuminya penuh nafsu.

Dalam ketakutan yang amat mencekam, Suri


mencoba terus berusaha memberontak, namun justru 

berontakannya malah menambah nafsu Parango se-

makin kuat dan menjadi-jadi. Semakin membuatnya 

tidak sabar untuk segera memangsa korbannya.

"He-he-he... mengapa harus berontak, Manis.... 

Kaulah istriku yang tersayang...." Lalu dengan gerakan 

yang cepat tangannya sudah menotok urat kaku di

leher Suri sehingga gadis itu terdiam. Hanya matanya 

saja yang melotot, menampakkan kekecewaan, kesedi-

han, kemarahan dan ketakutan yang menggumpal 

menjadi satu. Parango terkekeh lagi dengan seringaian 

yang tak lepas dari bibirnya, "He-he-he... sebenarnya 

aku tidak suka menikmati tubuhmu dalam keadaan 

tertotok ini, namun apa daya... terpaksa semua kula-

kukan...."

Lalu dengan leluasa dia menciumi tubuh gadis 

itu dengan penuh gairah. Suri hanya memejamkan 

matanya dan pasrah saat laki-laki menyeramkan itu 

mulai melucuti pakaiannya satu persatu sambil terke-

keh-kekeh.

Dengusan nafasnya mirip srigala kelaparan 

buas, dan siap menyiangi mangsanya.

Kengerian seakan memuncak dialami gadis itu. 

Batinnya menjerit. Hatinya berontak. Jiwanya mencari 

pegangan. Tragedi ini amat mencekam.

Namun pada saat yang kritis bagi kehormatan 

gadis itu, mendadak saja dia mendengar suara jeritan 

keras. Lalu disusul dengan ambruknya tubuh Parango 

di atas tubuhnya.

Gadis itu yang sudah pasrah dengan apa yang 

akan terjadi, menjerit keras. Kaget.

Lebih kaget lagi ketika di bagian dadanya ter-

tetes cairan berwarna merah. Darah. Menjerit gugup 

gadis itu.

"Aaaaaakkkhhhhhkh! Tolong...!!" Lalu dia mendorong tubuh Parango yang gemuk itu pindah dari tu-

buhnya. "Tolong...! Tolong...!"

Sambil menjerit-jerit dia menggerak-gerakkan 

kakinya menendang dan menggeser tubuh Parango 

dan merapikan pakaiannya. Gadis itu meskipun gem-

bira namun juga heran, siapa yang telah membunuh 

laki-laki gemuk itu. Serta ketakutan.

Namun dia tidak perduli siapa pun orangnya 

yang telah menolongnya, yang penting dia sudah ter-

bebas dari orang ini. Jahanam yang hampir saja 

menghancurkan masa depannya. Hanya satu yang di-

inginkannya sekarang, lari sejauh-jauhnya!

Akan tetapi begitu dia tiba di luar gubuk, la-

rinya tertahan, karena di hadapannya telah berdiri dua 

orang laki-laki teman Parango tadi!

*

* *

ENAM



Krona dan kawannya Mawang semula hanya 

terkekeh saja setelah Parango membawa pergi Suri. 

Namun keduanya sungguh amat terkejut ketika men-

dengar jeritan keras bagaikan kematian. Jeritan? Ya, 

jeritan!

Serentak keduanya segera bergerak karena jeri-

tan itu jelas milik Parango.

Benar saja, karena keduanya melihat gadis itu 

telah berdiri di ambang pintu dan siap melarikan diri.

Krona segera menangkap gadis itu yang meski-

pun meronta-ronta namun sia-sia belaka, sementara 

Mawang segera masuk ke dalam gubuk itu.

Terdengarlah jeritannya, "Kakang Paran


goooo...!!"

Sambil menyeret tubuh Suri yang terpaksa 

mengikutinya, Krona pun melihat mayat Parango yang 

tertelungkup dalam keadaan setengah telanjang.

Hatinya geram bukan main. Tangannya lang-

sung melayang ke pipi Suri hingga dia terpelanting.

"Gadis keparat! Mampuslah kau!!"

Terjengkang gadis itu ke tanah dan kala dia 

mengangkat kepalanya darah sudah bersimbah di bi-

birnya. Ketika Krona hendak mengangkat kakinya 

dengan maksud hendak menghabisi Suri, Mawang ti-

ba-tiba membentak.

"Tahan!!"

Krona mendengus. "Hhh! Kenapa kau larang 

aku untuk membunuh gadis keparat ini, hah?!"

"Benar, aku memang melarangmu...."

"Keparat kau, Mawang! Kenapa, hah?!"

Mawang menyeringai.

"Kurasa terlalu ringan bagi gadis itu untuk mati 

begitu saja. Dia telah menghabisi Kakang Parango en-

tah dengan apa. Sudah layaknya dia pun kita nikmati 

dulu sebelum kita bunuh.

"Bagaimana, Krona? Kau setuju, bukan?"

Krona terkekeh.

"He-he-he... ya, ya... sungguh bodoh sekali... 

mengapa aku sampai lupa dengan hal itu. Kau benar, 

Mawang! Bagus, mari kita nikmati gadis itu!!"

Lalu dengan buasnya Krona menerkam Suri 

yang masih tergeletak di tanah. Di samping geram me-

lihat kakangnya mati, juga timbul kembali gairah naf-

sunya.

Pakaiannya yang sudah kacau balau semrawut 

dengan memperlihatkan beberapa bagian tubuhnya 

ngablak terbuka, semakin membuat orang-orang itu 

bernafsu sekali.



"Rasakan pembalasan kami, Manis.... Hhh! Tu-

buhmu begitu ranum dan sungguh menggairahkan se-

kali...." ujar Krona sambil menciumi tubuh Suri yang 

berusaha meronta.

"Jangan... hu-hu-hu... jangan, tolong... le-

paskan... lepaskan aku...!!"

Dia berharap keajaiban seperti tadi terulang 

kembali, namun sia-sia karena tidak ada kejadian apa-

apa. Tenaganya sudah makin habis, kelelahannya ma-

kin terasa.

Namun mendadak saja sebelum kehormatan 

gadis itu berhasil dirampas, terdengar bentakan yang 

amat kuat, "Keparat...! Lepaskan gadis itu...!!"

Tersentak Krona mendengarnya. Mendengus 

dia menghentikan aksinya dan melihat siapa yang te-

lah membentak itu. Wajahnya menampakkan kegera-

man.

Keningnya berkerut, karena dia merasa tidak 

pernah mengenai pemuda mengenakan caping yang 

menutupi sebagian wajahnya dan duduk di atas kuda 

hitam yang gagah itu. Dipicingkannya matanya agar 

bisa melihat lebih jelas siapa yang datang.

Namun dia yakin tidak pernah mengenai atau 

melihat laki-laki ini sebelumnya.

Begitu pula dengan Mawang yang langsung 

mendengus. Sementara Suri hanya terisak belaka. Ke-

takutan akan tragedi yang menyeramkan ini amat me-

nakutkannya sekali.

"Hhh! Siapa kau, Ki Sanak?!" bentaknya ber-

campur geram sementara tangan kanannya memegang 

tangkai golok di pinggangnya.

Pemuda bercaping itu tersenyum. Namun di ba-

lik senyumnya terdapat kebencian yang amat sangat 

akan perbuatan yang sedang mereka lakukan.

"Nam aku Pandu, dan aku adalah orang yang


tidak pernah menyukai perbuatanmu itu...."

Mawang mendengus.

"Pandu... lebih baik kau segera menyingkir saja 

dari tempat ini. Jangan coba-coba mencari keributan

dengan kami!"

"Baiklah, dengan senang hati aku akan me-

ninggalkan tempat ini, tetapi bila aku yakin kalau kau 

pun menghentikan perbuatan busukmu itu!"

"Keparat! Agaknya kau adalah manusia usil 

yang kerjanya hanya mengganggu orang saja!"

"Tidak. Kerja ku pengelana, asalku dari Gu-

nung Kidul. Dan aku bukanlah orang usil yang ker-

janya mengganggu kesenangan orang lain. Juga meng-

ganggu orang lain!"

"Bila sudah begini, apakah kau tidak meng-

ganggu kami? Atau kau memang ingin

mampus?!"

"Maafkan aku, Ki Sanak... sungguh aku tidak 

pernah menyukai perbuatanmu? Hmm... bila kau mau 

menjawab pertanyaanku ini, dengan senang hati aku 

akan pergi meninggalkan kalian...."

"Bagus! Kemukakan cobalah apa yang hendak 

kau tanyakan?"

"Hmm... apakah kalian yang telah membuat 

onar di desa-desa dengan membunuhi mereka secara 

kejam?"

Mendengar kata-kata itu wajah Mawang dan 

Krona bersinar. Senyum bangga mengembang di bibir 

mereka.

"Memang, kamilah yang telah melakukannya. 

Nah, bila kau sudah mengetahui hal itu, mengapa kau 

tidak segera pergi dari sini, hah?"

"Mengapa kalian melakukan hal itu?" "Hhh! Ka-

rena kamilah yang perkasa!" "Apakah kalian suka me-

nantang orang lain?"


"Ha-ha-ha... kau makin pintar saja. Orang Ber-

caping! Yah, karena kamilah yang perkasa...."

Hati Pandu berdebar. Berarti merekalah yang 

hampir seminggu lamanya dia cari.

Pandu melangkah setindak ke depan.

"Ki Sanak... sekali lagi kukatakan, aku bukan-

lah orang yang usil dan mau mencampuri urusan 

orang lain. Namun bila kulihat kejahatan sedang ber-

langsung di mataku, apakah aku harus berdiam diri? 

Membiarkan saja?" Pandu tersenyum lalu menggeleng-

kan kepalanya. "Nampaknya tidak mungkin, Sobat.... 

Aku tidak akan pernah tinggal diam melihat kejahatan 

yang sedang berlangsung di mataku! Apalagi kalian 

sekarang nampaknya begitu memaksa sekali kepada 

gadis itu!! kata Pandu.

"Hei, apa maksudmu, hah?!" "Mengapa kalian 

masih bertanya lagi, hah?"

Murid tunggal Eyang Ringkih Ireng dari Gu-

nung Kidul itu tetap tersenyum. Namun dia geram bu-

kan main. Dia tidak pernah suka akan hal ini. Maka 

dia pun bertekad untuk ikut campur urusan orang 

lain.

"Keparat! Kau menantang kami, hah?!"

"Bukankah kalian yang berkata tadi, kalian su-

ka menantang orang lain untuk menunjukkan keper-

kasaan kalian? Dan aku bersedia melayani kalian!"

"Anjing buduk!"

Pandu tersenyum. "Bila kalian takut, lebih baik 

kalian segera menyingkir... atau kalian akan menjadi 

mayat seperti laki-laki gembrot yang mampus di da-

lam!"

Mendengar kata-kata itu wajah Krona dan Ma-

wang menggeram. Mereka sadar, kalau yang telah 

membunuh kakang mereka adalah pemuda ini. Bukan 

gadis yang nampak hampir mati itu.


Begitu pula dengan Suri, meskipun ketakutan 

namun hatinya cukup bisa mendesah lega mendengar 

kata-kata tadi.

"Keparat! Rupanya kaulah yang membunuh 

Kakang Parango!"

"Dan aku pun akan membunuh kalian bila ka-

lian tidak segera menyingkir dari sini!!"

"Anjing buduk! Demi Kakang Parango, kau ha-

rus mampus, Keparat!!"

Setelah berkata begitu, maka dia pun maju me-

nyerbu dengan kepalan tangan yang penuh tenaga di-

iringi dengan jeritan yang cukup keras.

Namun murid Eyang Ringkih Ireng dengan ge-

rakan yang manis menggerakkan tubuhnya ke kiri. 

Pukulan yang dilepaskan oleh Krona meleset. Namun 

dia tidak mau hanya sampai di sana saja. Kembali tan-

gannya mencecar menyerang dengan ganasnya.

Pandu sendiri tidak mau tubuhnya dijadikan 

sasaran pukulan-pukulan yang ganas itu. Dia pun 

menggunakan jurus menghindarnya. Jurus Gagak 

Terbang Lalu.

Tubuhnya bagaikan seekor burung bangau 

dengan lincah dan cepatnya menghindari serangan-

serangan ganas yang dilancarkan oleh Krona.

Hasilnya memang sungguh luar biasa. Krona 

cukup pontang panting menyerang namun tak satu 

pun serangannya yang berhasil mengenai sasaran.

Melihat hal itu Mawang pun segera membantu. 

Namun hasilnya tetap sama, dia pun sia-sia dalam me-

lakukan aksi penyerangannya.

Hatinya menjadi geram sekali.

"Keparat bercaping! Mengapa bisa kau sejak ta-

di hanya menghindar saja? Mengapa kau tidak balas 

menyerang?" serunya untuk menutupi kejengkelannya.

Wajah yang sebagian tertutupi caping itu menyeringai.

"Hmm... tak kusangka, kau berani juga berkata 

demikian."

"Settannn...! Kau pikir kami takut, hah?!" ge-

ram Mawang dengan wajah yang semakin memerah.

"Kau dan kawanmu itu sebenarnya jeri meng-

hadapiku, bukan? Kata-katamu tadi itu sebagai penu-

tup rasa ketakutan kalian!" Pandu tertawa.

"Keparat! Coba serang kami!!"

"Hhh! Bila itu yang kau inginkan, maka dengan 

senang hati aku akan melakukannya!!" seru Pandu.

Dan dengan tiba-tiba dia bersalto ke belakang 

dan langsung melenting kembali saat kedua kakinya 

menyentuh permukaan tanah. Kedua tangannya mem-

bentuk kuncup paruh bangau yang siap mematuk 

dengan cepatnya. Gerakannya sungguh mengejutkan. 

Penuh tenaga dan gebrakan bersemangat.

Mawang yang tidak menyangka kalau lawannya 

demikian cepat mengubah jurusnya menjadi terkejut. 

Dia sejenak kebingungan, lalu dicobanya untuk me-

mapaki.

"Plak...!!"

Benturan itu terjadi. Dirasakannya tangannya 

ngilu. Belum lagi dia bisa menguasai dirinya yang ter-

dorong ke belakang, Pandu sudah mencecar dengan 

serangan beruntun. Seakan tidak mau memberi ke-

sempatan bagi lawannya untuk bernafas.

Dia pun bagaikan terdesak mencoba mundur 

beberapa langkah untuk menghindari serangan itu se-

cara perlahan.

Namun serangan yang dilakukan Pandu demi-

kian cepat. Dan hebat. Hingga mau tidak mau bagi 

Mawang kembali dia memapaki karena memang tidak 

ada jalan lain.

Dia pun segera membendung serangan itu dengan kedua tangan memapaki ke atas.

"Wuut...!! Plak...! Plak...!!"

Benturan itu kembali terjadi. Karena Pandu be-

rada di posisi atas sedangkan Mawang di bawah, maka 

benturan itu menjadikan tubuh Mawang tertekan.

Dan Pandu pun segera memutar tubuhnya ba-

gaikan terbang, serangannya mengarah pada kepala 

Mawang.

Mawang yang sudah tidak bisa menguasai ke-

seimbangan tubuhnya pun pasrah melihat serangan 

itu.

"Mampukah kau, keparat!!" geram Pandu.

Namun, "Wuuut...! Plak...!"

Benturan itu terjadi, cukup mengejutkan Pan-

du. Di saat yang kritis, Krona mencoba menyela-

matkan kawannya. Dan ini cukup berhasil.

Pandu sendiri tidak menyangka hal itu. Begitu 

tangannya membentur tangan Krona, dia merasakan 

tangannya bagaikan menabrak sebuah dinding yang 

tebal.

Dan mau tidak mau dia pun langsung bersalto 

ke belakang karena getaran benturan yang dirasakan 

pada tangannya itu bagaikan menghunjam dada. Pan-

du pun tidak mau dalam keadaan tidak siap bila ma-

nusia itu mendadak menyerangnya.

Krona sendiri merasakan tangannya menjadi 

kaku dari benturan itu.

Namun belum lagi dia hinggap di bumi, Ma-

wang yang marah bukan alang kepalang dan bisa 

mengambil kesempatan itu untuk menguasai keseim-

bangannya sudah menyerbu dengan goloknya. Golok 

tajam berkilat itu bagaikan memiliki mata yang tajam 

untuk segera melaksanakan tugasnya.

Berkelebat ke sana ke mari dengan hebatnya.

Kali ini Pandu cukup kerepotan dibuatnya. Belum lagi dengan serangan-serangan Krona yang ganas 

dan memiliki tenaga dalam yang cukup besar.

Dia yang pontang panting dibuatnya.

"He-he-he... itulah akibatnya bila terlalu ba-

nyak mau tahu urusan orang lain, dan sok menjadi 

pahlawan! Kami paling tidak suka dengan orang yang 

sok menjadi pahlawan! Dan kau perlu tahu, pemuda 

keparat.... kami tidak pernah memaafkan perbuatan-

mu itu... apalagi kau telah membunuh kakang kami, 

hah?! Lebih baik kau membunuh diri saja daripada 

harus mati kami siksa!"

Wajah di balik caping bambu itu meskipun ha-

rus berusaha menyelamatkan diri dengan gerakan-

gerakan menghindar yang cepat, tersenyum.

"Hmm... nampaknya kalian sudah begitu gem-

bira sekali dengan apa yang telah kalian lakukan ini!! 

Namun kalian lupa, kalian belum melihat kelanjutan 

dari pertarungan kita...!! Dan sebentar lagi kalian akan 

segera melihatnya...."

"Hhh! Aku pun sudah tidak sabar ingin segera 

melihat kau mampus!!" seru Krona dan terus semakin 

gencar mencecar. Begitu pula dengan Mawang.

Keyakinan mereka untuk mengalahkan pemuda 

ini semakin kuat. Dan mereka berjanji akan mencin-

cang tubuh pemuda sialan ini sebelum mereka bunuh!

Kembali pertarungan itu terjadi.

Sengit dan hebat.

Kali ini Pandu memang tidak mau bertindak 

tanggung-tanggung lagi. Hatinya geram bukan main 

dengan apa yang telah keduanya lakukan. Keduanya 

jelas tidak memberinya kesempatan untuk menghindar 

dan membalas.

Maka dia pun bermaksud memberikan pelaja-

ran pada kedua laki-laki beringas. Di samping dia pun 

geram karena merasa yakin kedua laki-laki inilah yang


telah membuat teror di desa-desa hingga memakan 

korban jiwa yang banyak.

"Maafkan aku, Eyang..." desisnya. "Aku tidak 

bisa menahan diri lagi untuk memberi pelajaran kepa-

da manusia-manusia kejam ini....

Tiba-tiba saja Pandu melenting ke angkasa, lalu 

dia berputar dua kali. Lalu sambil berseru hebat dia 

pun mulai mengadakan serangan balasan.

Gencar menyerang, membuat kedua lawannya 

menjadi terkejut, karena mereka tidak menyangka pe-

muda itu masih bisa pula untuk membalas. Hal ini 

menjadikan keduanya kalang kabut dan diam-diam 

mereka pun menyadari kalau ternyata pemuda itu 

amat tangguh sekali.

Namun meskipun demikian, kedua terus beru-

saha untuk bertahan sekaligus menyerang. Hingga ak-

hirnya nampak keduanya bersiaga dengan sepasang 

tangan mengepal penuh tenaga.

Nampak jelas keduanya tengah menghimpun 

tenaga sakti.

Krona menggeram, "Pemuda sialan! Rasakanlah 

ilmu Sepasang Setan Kembar kami ini!!"

Pandu hanya menyeringai meskipun dia tahu 

apa yang akan terjadi. Meskipun dia tidak bisa menge-

tahui secara pasti ilmu apa Sepasang Setan Kembar 

itu, namun dia bisa menduga kalau ilmu itu tentulah 

ilmu yang amat dahsyat sekali.

Dilihatnya kedua lawannya secara bersamaan 

menengadah, lalu mengangkat kedua tangan mereka 

ke atas dan melipatnya dengan gerakan tangan masuk 

ke perut, lalu bergerak ke depan. Membentuk sebuah 

jurus dengan kaki kiri di depan sementara kaki kanan 

menekuk, menopang berat tubuh dan kedua tangan 

yang membentuk sepasang cakar.

"Manusia keparat! Bersiaplah kau untuk mampus!!" geram Mawang.

"Kakang Parango... lihatlah, kami akan memba-

las semua dendam dan kesal di hatimu!!" seru Krona 

keras. Dan mendadak angin berkesiur cepat, dingin 

dan menebarkan hawa kematian. Mampu membuat 

bulu roma berdiri.

Lalu keduanya menderu maju ke depan dengan 

pekikan yang amat kuat. Sepasang Setan Kembar pun 

diperlihatkan.

Ternyata gerakan silat Sepasang Setan Kembar 

adalah sebuah gerakan dua menjadi satu yang dilaku-

kan dengan cepat dan penuh tenaga dahsyat. Mereka 

menyerang silih berganti dengan maksud untuk men-

gaburkan perhatian lawan dan membuat lawan menja-

di kebingungan. Selain itu dengan gerakan yang cepat 

dan gesit pula, seakan keduanya hendak menghalau 

sebuah serangan yang dilakukan dengan cepat pula.

Pandu sendiri yang sejak tadi hanya menghin-

dar dengan jurus Bangau Terbang Lalu pun sekarang 

bisa menebak, kalau ilmu Sepasang Setan Kembar itu 

hanya bisa dikalahkan dengan cara memporak poran-

dakan barisan lawan. Dengan memisahkan keduanya 

agar tidak menjadi satu kembali.

Maka dia pun segera melakukan hal itu dengan 

menyerang Krona namun tiba-tiba mendadak berbalik 

menyerang Mawang. Membuat keduanya menjadi ter-

kejut, karena pemuda bercaping itu bisa menebak ke-

lemahan dari ilmu mereka.

Akan tetapi itu bukanlah suatu hambatan bagi 

keduanya, karena dengan tiba-tiba saja mereka meru-

bah jurus, kali ini menjaga jarak dan menyerang sam-

bil bersalto. Membuat Pandu yang justru kebingungan.

Namun murid Eyang Ringkih Ireng bukanlah 

seorang pendekar sembarangan, mendadak saja dia 

mengibaskan tangan kanannya.


"Wuuut!! selarik sinar putih berkelebat ke arah 

Mawang, membuat Mawang sejenak kebingungan. Dan 

mendengus terkejut.

"Keparaattt.!!"

Itu adalah Pukulan Sinar Putih warisan dari 

gurunya dari Bukit Paringin di Gunung Kidul.

Kali ini dia berhasil membuat keduanya menja-

di panik dan kebingungan.

Namun mendadak keduanya mengubah seran-

gannya dan kembali bersatu sambil bersalto ke sana 

ke mari. Suatu ketika mendadak saja keduanya sudah 

menderu maju ke depan dengan tangan yang terang-

kum tenaga yang berlipat ganda, siap memusnahkan 

Pandu dari muka bumi ini.

Pandu tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran 

serangan itu. Dia pun bersiap. Namun begitu kedua-

nya hampir berbenturan, mendadak saja Pandu me-

lenting ke atas, bersalto dan menghindari adu tenaga 

yang dahsyat itu!

Sementara keduanya tidak bisa mengerem lagi 

tenaganya. Tak ayal tangan keduanya yang telah te-

rangkum tenaga sakti itu menderu terus dan mener-

jang sebuah pohon besar di hadapannya.

"Duaaaarr...! Brakkk...! Buuuummm...!!"

Pohon besar itu patah dan ambruk berdebum 

ke tanah. Keduanya merasakan tangannya cukup ngi-

lu, namun belum lagi mereka menyadari apa yang 

akan terjadi, mendadak saja dirasakannya sesuatu 

menghantam leher mereka. Keras.

"Prakkk...! Prakk...!!"

Tubuh keduanya menjerit sejenak, lalu mengge-

losoh ambruk dengan leher patah. Pandu tidak dapat 

menguasai kemarahannya, di samping rasa kekesa-

lannya karena kedua manusia itu amat mengesalkan 

juga telah membuat teror yang amat kejam.


Pandu mendesah panjang. "Maafkan aku, 

Eyang...." desisnya pada angin.

Pemuda itu mendesah panjang dan kala dia 

membalikkan tubuhnya hendak menjumpai Suri, ter-

nyata gadis itu telah berdiri di hadapannya.

Kepalanya tertunduk dan kedua tangannya 

mendekap bagian dadanya, karena pakaiannya yang 

compang camping menampakkan beberapa bagian tu-

buhnya dengan jelas. Dia cukup malu dengan kea-

daannya seperti ini, Namun apa boleh buat, dia me-

mang harus menerima semua ini.

Lagi pula dia ingin sekali mengetahui siapa 

yang telah menolongnya.

Sekali lagi dia meyakinkan, kalau dia tidak 

pernah mengenai pemuda itu sebelumnya. Apalagi wa-

jahnya sebagian tertutup oleh caping bambu, justru 

membuatnya semakin penasaran sekali ingin menge-

tahui rupa pemuda penolongnya. Meskipun demikian 

begitu besarnya rasa terima kasihnya pada pemuda 

itu.

Pandu mendesah panjang, Hatinya merasa te-

renyuh melihat keadaan gadis itu. Dia pun tersenyum, 

mencoba agar gadis yang kelihatan masih ketakutan 

itu merasa nyaman.

"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu...." 

katanya lembut sambil menampakkan senyumnya. 

"Kau aman sekarang, Dik... orang-orang yang meng-

ganggumu telah mampus!"

Dan kelembutan itu mampu membuat Suri 

mengangkat kepalanya. Hatinya sedikit merasa tenang 

dan lebih berani menghadapi pemuda itu. Sementara 

hatinya yakin, kalau pemuda itu benar-benar ikhlas 

menolongnya.

"Kakang...." desisnya pelan. "Maafkan aku... ka-

lau kejadian tadi justru malah menyusahkanmu...."


"Mengapa kau berkata demikian, Dik? Itu me-

mang sudah kewajibanku.... Kewajiban siapa saja un-

tuk saling tolong menolong. Tak terkecuali siapa pun 

orangnya...."

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...."

"Sudahlah... tidak perlu dipikirkan...." "Terima 

kasih, Kakang...." "Namaku Pandu...."

"Namaku Suri, Kakang.... Sekali lagi kuucapkan 

terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...."

Pandu tersenyum. "Sudah lebih dari tiga kali 

kata terima kasih itu kau ucapkan, Dik Suri..."

"Aku tulus mengucapkannya, Kakang...."

"Baiklah, sekarang ceritakanlah bagaimana ke-

jadian itu sampai menimpamu, dan katakan pula apa 

yang telah menimpa dirimu?"

Mendengar pertanyaan itu, kepala Suri kembali 

tertunduk. Nampak jelas kalau dia tidak mau lagi 

mengingat kejadian tadi. Kejadian yang menakutkan.

Seperti menyadari keberatan gadis itu untuk 

berkata, Pandu yang merasa gadis itu masih sock aki-

bat kejadian yang barusan menimpanya, segera beru-

cap.

"Bila pertanyaan itu menyinggung dan membe-

ratkan hatimu... maafkanlah aku, Dik.... Kau tidak 

perlu menjawabnya bila kau tidak mau...."

Dan perlahan-lahan pula kepala gadis itu te-

rangkat kembali. Sepasang matanya berbinar, menam-

pakkan sedikit kesedihan. Masih terlihat bias ketaku-

tan di wajahnya.

Perlahan-lahan pula kepalanya menggeleng.

"Tidak, Kakang... sungguh, aku tidak keberatan 

untuk menceritakannya.... Namun sekali lagi maafkan 

aku, setelah ini jangan kau buat aku teringat lagi keja-

dian tadi...."

"Baiklah, Dik... aku hanya ingin mengetahui


secara pasti, bahwa kau tidak mengalami sesuatu yang 

bisa merusak masa depanmu nanti...."

Lalu dengan suara yang tersendat gadis itu pun 

menceritakan apa yang telah dialaminya dan di akhir 

ceritanya gadis itu menangis segugukan.

Hati Pandu menjadi tak enak, karena seper-

tinya dia membangkitkan lagi kenangan buruk yang 

telah menimpa gadis itu. Walau dia sedikit lega karena 

gadis itu belum sampai terusak kehormatannya.

Lalu dengan hati-hati dia merangkulnya semata 

untuk menenangkan gadis itu.

"Tenanglah, Dik... semuanya sudah berlalu.... 

Kau aman bersamaku...."

Gadis itu mendesah. "Iya, Kakang...."

"Nah, marilah kuantar kau pulang...."

Mendengar kata-kata itu, Suri menundukkan 

kepalanya. Apalagi saat itu hatinya tengah bergetar 

merasakan rangkulan pemuda itu. Meskipun dia se-

sungguhnya penasaran ingin melihat wajah yang ada 

di balik caping bambu itu.

Namun dia merasa sudah cukup damai berada 

dalam rangkulannya, dia bagaikan mendapat sebuah 

tempat untuk berlindung dan bernaung. Nyaman seka-

li rasanya. Dirasakannya sensasi ganjil penuh kenik-

matan mengalir di sekujur tubuhnya, yang tak pernah 

dirasakan sebelumnya selama ini.

Penuh pesona.

"Mari, Nimas.... Kurasa... orang tuamu sudah 

cukup cemas menunggumu...."

"Kau tidak keberatan mengantarkan aku,

Kakang?" desis gadis itu bagaikan desahan.

Pandu tersenyum. "Mengapa mesti keberatan? 

Mengantar gadis cantik sepertimu, siapa pun akan su-

ka rela melakukannya bukan? Atau kau sesungguhnya 

yang tidak mau?"


"Aku mau, Kakang!" kata gadis itu cepat namun 

buru-buru menundukkan kepalanya dengan wajah 

memerah. Malu karena ketahuan sebenarnya dia me-

mang mengharapkan dan gembira menyambut semua 

itu.

Dengan dibimbing oleh Pandu, gadis itu pun 

naik ke kuda. Lalu Pandu sendiri duduk di belakang-

nya. Di gebraknya kuda itu dengan cepat.

Hati Suri merasa nyaman sekali. Malah dia in-

gin tidak segera sampai ke rumahnya. Dia masih ingin 

menikmati kebersamaan ini lebih lama lagi.

Hari pun semakin naik, sementara ketegangan 

yang baru saja terjadi, sudah berganti dengan kegem-

biraan yang mempesona, singgah di hati perawan yang 

baru saja nyaris menjadi korban nafsu binatang ma-

nusia durjana.

Betapa nyamannya andaikata dia memiliki pe-

muda seperti Kakang Pandu ini. Hatinya makin berge-

tar galau menyadari dia tengah duduk berdua bersama 

pemuda ini dalam satu kuda.

*

* *

TUJUH



Sudah tiga hari Pandu tinggal di rumah Suri. 

Kehidupan gadis itu sungguh amat sederhana sekali. 

Tidak ada barang yang bisa dikatakan mewah berada 

di sana.

Desanya pun terkesan desa yang miskin. Ayah-

nya hanyalah seorang penebang kayu di hutan. Yang 

begitu gigih dalam mempertahankan hidup.

Kartogulo, ayah Suri, seorang laki-laki perkasa.


Usianya kira-kira 52 tahun. Sejak Suri berusia dua bu-

lan, dialah yang mengasuh bayi kecil itu, karena is-

trinya meninggal dua bulan setelah melahirkan Suri, 

putrinya semata wayang. Karena kasih yang besar dan 

cinta yang dalam terhadap istri dan anaknya, Kartogu-

lo tidak menikah lagi.

Bahkan dia dengan penuh sayang mengasuh 

Suri hingga seperti sekarang ini.

Dan tiga hari belakangan ini, dia seringkali me-

lihat putrinya amat gembira. Tidak seperti biasanya. 

Yang jelas sejak pemuda yang bernama Pandu itu 

menginap di sana. Bahkan terkadang Kartogulo juga 

sering melihat keduanya bercanda di halaman bela-

kang. Hal ini diam-diam membuat hatinya cukup ba-

hagia, bahkan dia ingin sekali mengangkat pemuda itu 

sebagai menantunya. Sebagai pendamping Suri.

Diam-diam dia pun amat menyukai pemuda 

itu. Menurut Kartogulo, sudah saatnya Suri menikah. 

Sebenarnya sudah banyak yang melamar anak gadis-

nya, namun setiap kali ditolak. Terlihat pula kalau pu-

trinya enggan untuk menikah dengan pemuda yang 

banyak telah melamarnya.

Namun kedatangan Pandu, pemuda yang telah 

menyelamatkan putrinya dari orang-orang jahat itu, 

agaknya membawa angin segar pada hari-hari pu-

trinya.

Putrinya terlihat ceria sekali.

Sementara sebenarnya Pandu sudah ingin me-

ninggalkan tempat ini. Dia bukannya tidak tahu kalau 

gadis itu diam-diam menaruh hati padanya. Jelas dari 

sikap dan gayanya yang manja padanya.

Inilah yang membuatnya hendak pergi dari sini, 

karena dia tidak mau gadis itu akan kecewa. Sudah 

banyak gadis-gadis yang menaruh hati padanya, na-

mun harus kecewa.


Pandu sendiri sebenarnya punya angan-angan 

untuk hidup tenang bersama anak dan istri serta ru-

mah mungil yang sederhana. Namun dia tidak mung-

kin melakukan hal itu, karena kelananya belum selesai 

dia lakukan.

Pada suatu malam, Kartogulo mengajaknya 

bercakap-cakap. Dalam kesempatan itu Pandu pun 

mencoba mengorek keterangan mengenai teror yang 

terjadi.

Dia masih beranggapan, kalau tiga orang yang 

telah mati dibunuhnya itulah yang membuat teror. 

Namun yang mengejutkan adalah jawaban yang dibe-

rikan oleh Kartogulo.

"Maafkan aku, Pandu... kupikir... bukan mere-

kalah yang membuat teror...."

"Mengapa demikian, Paman?"

"Karena dua malam yang lalu, desa di sebelah 

Utara Keraton Widung pun dilanda kerusuhan. Banyak 

korban yang mati. Namun tak seorang pun yang bisa 

menjelaskan siapa yang telah membuat onar seperti 

itu...."

"Bagaimana, Paman?"

"Jadi dugaanku... ketiga orang yang hendak 

berbuat jahat kepada putriku itu... bukanlah orang 

yang selama ini kau cari. Bila memang mereka, mana 

mungkin mereka bisa berbuat onar lagi. Bukankah 

mereka telah mati?"

Pandu terdiam.

Mendesah. "Benar, Paman... berarti masih ada 

orang lain yang melakukannya...."

"Ya... ketiga orang itu hanya berlagak sebagai 

pembuat teror yang mengerikan, agar orang-orang 

yang hendak dijadikan sasaran kejahatan mereka 

menjadi ketakutan...."

"Benar, Paman... tetapi saya belum mengerti...


mengapa hal seperti ini terjadi? Dan kapan pertama 

kali kejadian ini dimulai, Paman?"

Kartogulo mendesah. Suri datang dengan bebe-

rapa gelas teh pahit dan ubi rebus. Dia pun sudah 

berdandan demikian manisnya. Dan dengan gaya yang 

anggun dia menghidangkan semua itu. Menatanya.

"Silahkan, Bapak... Kakang...."

"Terima kasih, Dik Suri...."

Kartogulo tersenyum. Tidak biasanya anak ga-

disnya berdandan demikian cantik. Dia tersenyum ke-

tika anak gadisnya itu duduk di sampingnya.

"Boleh saya mendengarkan percakapan itu, Ba-

pak?" tanya gadis itu dengan suara yang lembut na-

mun sambil menundukkan kepala. Karena rasanya ti-

dak pantas dan terlalu lancang bagi seorang gadis 

ikut-ikut berbicara, apalagi mendengarkan percakapan 

seorang pemuda dengan ayahnya.

"Kau harus meminta izin pada Nak Pandu, 

Nduk.... Bila Pandu mengizinkan, silahkan...." kata 

Kartogulo sambil tersenyum.

Gadis itu mengangkat kepalanya pada Pandu. 

"Bagaimana, Kakang? Boleh aku mendengar?" katanya 

dengan suara yang terdengar malu-malu. Dan wajah-

nya yang cantik, alami milik seorang gadis desa mero-

na merah.

Pandu hanya mengangguk. Pemuda itu tidak 

mengenakan capingnya. Wajahnya yang demikian 

tampan membuat batin Suri makin terguncang.

Pandu sendiri dapat melihat kilatan mata pe-

nuh cinta yang terpancar dari sepasang mata indah 

itu. Ini membuatnya menjadi resah.

"Silahkan, Dik Suri..." katanya pelan, lalu ber-

kata pada Kartogulo. "Bagaimana dengan pertanyaan-

ku tadi, Paman? Apakah Paman bisa menceritakan-

nya?"


Kartogulo menghisap dan menghembuskan 

asap tembakaunya. "Baiklah.... tentu aku bisa mence-

ritakannya, tetapi ini hanya dugaanku saja, Pandu...."

"Maksud, Paman?"

"Dugaan sementara karena sesungguhnya aku 

sendiri tidak yakin dengan apa yang ada dalam benak-

ku ini. Terus terang, ini memang hanya dugaanku...."

"Tidak apa-apa, Paman... ceritakanlah pada-

ku...."

"Sebenarnya, desa ini adalah wilayah dari ke-

kuasaan Keraton Widung... yang banyak membawahi 

desa-desa lainnya.... Keraton Widung adalah sebuah 

keraton yang penuh kegembiraan, di mana sang Prabu 

Kamansura memerintahkan negaranya penuh dengan 

rasa perikemanusiaan dan kasih sayang.

Di samping itu, Keraton Widung memiliki seo-

rang Panglima yang gagah berani. Dia bernama Prakes-

ti. Hanya sayang, sikap dan tingkah laku Prakesti sete-

lah diangkat menjadi Panglima jauh berubah...."

"Maksud, Paman?"

"Dia bertindak sewenang-wenang pada pendu-

duk dengan mengatasnamakan Keraton Widung. Se-

pak terjangnya sungguh sudah di luar batas. Karena 

ulahnya itulah dia dipanggil menghadap Prabu Ka-

mansura dan diusir dari keraton.

Beberapa bulan sejak pengusiran itu, mulailah 

terjadi teror pembunuhan yang melanda desa-desa. 

Aku sendiri tidak mengerti siapa yang berbuat seperti 

itu. Namun sejak Panglima Prakesti pergilah terjadinya 

tragedi seperti itu.... Mungkin karena selama ini tidak 

ada yang langsung turun tangan menghadapi kejadian 

seperti itu.

Biasanya Panglima Prakesti sendiri yang turun 

tangan menghadapi masalah seperti itu selama ini, 

hingga cukup aman rasanya tanpa gangguan apa


pun...."

"Apakah bukan dia yang datang membalas 

dendam, Paman?" tanya Pandu hati-hati.

"Bisa jadi. Namun siapa yang bisa melakukan 

hal seperti itu, bahwa desa-desa itu bagaikan diinjak-

injak oleh segerombolan gajah liar...."

"Mengapa Paman beranggapan seperti itu?"

"Bila hal itu memang dilakukan oleh Prakesti... 

tentunya dengan bantuan orang lain...."

"Mungkinkah bila dia melakukannya sendiri?"

"Tidak mungkin." 

"Mengapa?"

"Karena ilmu yang dimilikinya tidak mungkin 

dia bisa berbuat seperti itu...." 

"Kenapa?"

"Karena ilmunya tidak sampai seperti itu...."

Pandu hanya mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. Dia pun menjadi bingung dengan apa yang dice-

ritakan oleh Kartogulo, sehingga dia menjadi penasa-

ran untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya.

"Paman... di manakah letak Keraton Widung?"

"Di sebelah tenggara desa ini. Mengapa kau 

bertanya seperti itu, Pandu?"

"Aku sendiri tidak tahu untuk apa, Paman... te-

tapi firasat ku mengatakan akan terjadi sesuatu di Ke-

raton Widung."

"Lalu?"

"Aku akan menyelidikinya ke sana." 

"Kakang!" Terdengar suara Suri bagaikan terta-

han. Dia tidak mau kalau Pandu akan meninggalkan-

nya. Dengan berkata-kata seperti itu, dia yakin Pandu 

akan melaksanakan niatnya. Dan dia tidak mau pe-

muda yang diam-diam dicintainya itu pergi meninggal-

kannya.

"Mengapa, Dik Suri?"


Mendengar pertanyaan itu Suri langsung me-

nundukkan kepalanya. Malu.

"Dia menggeleng-gelengkan kepalanya resah.

"Ah, tidak, tidak.... Kakang... aku tidak apa-

apa...." desisnya dengan nada gugup.

Pandu hanya tersenyum walau dia sesungguh-

nya tahu apa yang dimaui oleh gadis itu. Namun dia 

tidak hendak memberikan harapan padanya. Dia tidak 

mau mengecewakan gadis itu. Makanya dia harus per-

gi meninggalkan rumah ini. Ini adalah alasan yang 

amat tepat sekali.

"Paman... kalau begitu, besok pagi aku hendak 

pergi ke Keraton Widung...."

"Untuk apa, Pandu?" tanya Kartogulo yang juga 

dapat meraba apa yang menyebabkan putrinya bersi-

kap seperti itu. Sebenarnya dalam hati dia pun tidak 

ingin pemuda ini pergi dari rumahnya.

"Entahlah... namun perasaanku tetap menga-

takan, kalau akan terjadi sesuatu di Keraton Wi-

dung...." kata Pandu bersikeras dengan berbagai ala-

san.

"Hmm... aku tidak bisa memaksakan kehen-

dakmu untuk membatalkan niatmu itu... tapi bila bo-

leh, aku hendak memintamu untuk tetap saja tinggal 

di sini...."

Pandu mendesah panjang. Masalah ini sudah 

menjurus ke hal yang rumit. Dan dia tidak mau bila 

terlibat terlalu jauh di dalamnya.

"Paman... bukan maksudku sekali-sekali untuk 

menolak permintaanmu, namun aku hanyalah seorang 

kelana yang kerjanya berkelana entah sampai kapan. 

Jadi maafkan aku, bila aku tidak bisa memenuhi per-

mintaanmu, Paman.

Dan kuucapkan banyak terima kasih atas ban-

tuanmu itu.... Aku tak akan pernah melupakannya.



Kartogulo hanya tersenyum sambil melirik pu-

trinya yang kian tertunduk.

"Kalau itu maumu, aku pun tidak bisa memak-

sa.... Hmm, sudah larut rupanya. Lebih baik kita sege-

ra saja tidur...."

Belum habis kalimat Kartogulo, Suri tiba-tiba 

saja sudah berlari masuk ke dalam sambil terisak. 

Pandu hanya mendesah panjang sementara Kartogulo

tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang bisa dia perbuat 

untuk menenangkan anak gadisnya, karena Pandu 

sendiri tidak memperlihatkan sikap bahwa dia hendak 

mengambil putrinya sebagai istri. Maka dia hanya di-

am saja. Sementara itu sepanjang malam Suri menan-

gis di kamarnya. Dia telah jatuh cinta pada Pandu dan 

bila pemuda itu pergi akan merana hatinya. Nelangsa. 

Namun sejauh ini dia pun sadar kalau pemuda itu 

bersikap selalu baik padanya. Bahkan amat baik. 

Meskipun demikian tak sekali pun dia pernah men-

dengar kata-kata cinta yang diucapkan oleh Pandu pa-

dahal dia begitu amat mengharapkannya sekali.

Gadis itu terus terisak. Dia tidak sanggup 

membayangkan perpisahan dengan pemuda yang di-

cintainya, pemuda yang mampu mengusik cintanya 

yang selama ini terpendam. Dalam hati dia berdoa se-

moga hari tidak cepat berganti. Biar lebih lama Pandu 

berada di rumahnya.

Namun mau dibuat seperti apa pun hari tetap 

berganti. Kokok ayam jantan sudah terdengar di ke-

jauhan. Menandakan ufuk sudah mulai menyingsing.

Dan sepanjang malam itu sekejap pun mata 

Suri tidak mau terpejam. Pikirannya selalu terbayang 

bahwa pemuda yang dicintainya akan pergi mening-

galkannya.

Lemas tubuhnya bangkit dari kamarnya, lalu 

mandi di sumur belakang. Tak ada kegairahannya se


perti hari-hari lalu selama Pandu berada di sana. Be-

nar-benar telah hilang gairahnya yang berbinar-binar 

itu.

Hatinya lelah.

Jiwanya nelangsa.

Bahkan dia merasa tak bertenaga, semua se-

mangatnya pudar. Namun dia tidak mau menunjuk-

kan semua itu di hadapan Pandu maupun ayahnya.

Dia harus kelihatan tegar.

Dia harus memperlihatkan sikap biasa saja. 

Karena bukankah pagi ini dia masih sempat melihat 

dan berbincang-bincang meskipun sejenak pada pu-

jaannya?

Setelah mandi dan berdandan, dia pun me-

nyiapkan teh pahit dan ubi rebus seperti biasanya. La-

lu dibawanya ke beranda depan di mana biasanya 

ayahnya bercakap-cakap bersama pemuda yang dicin-

tainya.

Namun tak dilihatnya Pandu berada di sana. 

Hanya ayahnya yang sedang asyik menghisap dan 

menghembuskan asap rokoknya sambil menatap ke 

depan, sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang 

amat mengganggunya.

"Bapak..." desisnya.

Kartogulo mengangkat wajahnya dan terse-

nyum melihat putrinya telah berada di sampingnya.

"Sudah bangun, Nduk?"

"Sudah, Bapak.... Bapak di mana Kakang Pan-

du?"

Kartogulo mendesah panjang. Dia merasa tidak 

tega untuk memberitahukan hal ini pada putrinya, 

namun dia memang harus memberitahunya.

"Dia sudah pergi sejak pagi tadi, Nduk...."

"Oh!" Wajah itu pucat. "Mengapa dia tidak 

memberitahukan hal itu padaku, Bapak?"


"Karena pikirnya kau masih tidur."

"Sepanjang malam aku tidak bisa tidur, Bapak! 

Aku tidak mau dia pergi... aku... aku mencintainya, 

Bapak...." Dan bobollah air mata Suri.

Kartogulo mendesah panjang. Diapun sebenar-

nya tahu maksud dari Pandu mengapa pergi pagi-pagi 

sekali, karena dia tidak mau mengecewakan Suri.

Namun gadis itu telah kecewa.

Mendadak dia berbalik lari ke kamarnya sambil 

terisak berkepanjangan. Hatinya luluh lantak. Jiwanya 

melayang. Cintanya tak terbalas.

Mengapa Kakang Pandu tidak bilang padanya? 

Mengapa tidak berpamitan? Mengapa harus juga me-

ninggalkannya? Mengapa meninggalkan cinta yang 

mestinya dipenuhi? Masih banyak sejuta mengapa 

yang lainnya.

Namun gadis itu telah menangis tersedu-sedu.

Kartogulo hanya mendesah panjang dengan ha-

ti yang masygul. Menyesali rasa cinta putrinya.

Namun dia pun tak bisa memaksakan apa pun 

terhadap Pandu. Hanya masih terngiang kata-kata 

pemuda itu, "Sampaikan salamku pada Suri, Paman... 

bila dia memang jodohku, pasti aku akan kembali... 

dan tak akan ke mana meskipun lautan telah ku sebe-

rangi dan gunung ku daki...."

Kartogulo hanya menganggukkan kepala saja. 

Dia sudah cukup senang mendengar kata-kata pemu-

da itu. Namun bisakah diharapkan lagi pemuda itu 

kembali?

Karena semuanya terasa tidak mungkin. Pemu-

da itu adalah pengelana sejati. Kartogulo merasa ber-

syukur bisa bertemu dengan pemuda seperti Pandu.

"Selamat jalan, Nak...."

*

* *


DELAPAN


Berita tentang teror yang terjadi di desa-desa 

pun terdengar hingga ke telinga Prabu Kamansura. Dia 

amat sedih sekali memikirkan semua itu. Kesedihan-

nya karena ulah Panglima Prakesti dan pengusiran 

Panglima yang amat dibanggakannya itu belum meng-

hilang, kini ditambah lagi dengan laporan-laporan yang 

masuk.

Bahwa wilayah Keraton Widung sedang dilanda 

bencana.

Ini semakin memusingkan kepalanya. Ada apa 

sebenarnya? Apa yang telah terjadi di wilayah keraton-

nya? Siapa yang telah membuat teror seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu hinggap di kepa-

lanya.

Prabu Kamansura pun segera mengumpulkan 

beberapa orang kepercayaannya. Dari hasil musyawa-

rah yang dilakukan, lalu di utuslah beberapa orang 

untuk menyelidiki hal itu. Karena inilah cara yang ter-

baik.

Namun hingga seminggu lamanya mereka tidak 

kembali ke keraton, juga tak ada berita yang masuk. 

Menyusul Prabu Kamansura menyuruh yang lainnya. 

Dan berita pun di dapat kala mereka kembali, bahwa 

kelompok yang pertama telah mampus dengan menge-

rikan di tepi jurang!

Bukan main cemasnya Prabu Kamansura me-

mikirkan hal ini. Dia pun segera memerintahkan un-

tuk menjaga segenap penjuru Keraton Widung, karena 

Prabu Kamansura mencium sesuatu yang tidak enak 

yang nampaknya akan segera terjadi di Keraton Wi-

dung ini. Sebuah hal yang mengerikan.

Penjagaan ketat pun dilakukan.


Keamanan semakin dijaga.

Selama seminggu terakhir ini tidak ada keja-

dian apa pun juga. Semuanya nampak biasa-biasa saja 

tanpa ada kejadian yang menggelisahkan.

Namun pada suatu malam, berkelebatlah satu

sosok tubuh dengan gerakan yang amat ringan sekali 

dari balik semak ke semak lain.

Sepasang mata yang memerah dan liar itu 

memperhatikan sekelilingnya. Sepi. Namun dia melihat 

betapa banyaknya penjaga yang lalu lalang di segenap 

penjuru Keraton Widung.

Sosok itu mendesah. Pancaran matanya me-

nampakkan sinar dendam yang amat sangat. "Hmm... 

rupanya kedatanganku sudah siap disambut? Baik-

lah... aku pun tidak ingin bertindak tanggung-

tanggung lagi terhadap manusia-manusia ini. Aku 

akan tetap menuntut balas!!"

Tiba-tiba dia muncul dari persembunyiannya 

dan berjalan ke arah Keraton Widung dengan langkah 

ringan namun pasti, seolah tak ada yang perlu ditaku-

tinya. Tiga orang penjaga segera melihatnya dan salah 

seorang membentak.

"Berhenti! Siapa kau?!"

Namun sosok itu terus saja melangkah. Mem-

buat ketiganya menjadi siaga dan siap menggunakan 

tombak di tangan, karena mereka pun sulit melihat 

wajah sosok itu disebabkan rembulan yang bersinar 

redup dan langit yang kelam.

"Berhenti! Atau terpaksa kami tangkap!!"

Akan tetapi mendadak saja, sosok itu mengi-

baskan tangannya. "Wuuutt...!!" Serangkum angin ke-

ras mengibas ke depan dan bagaikan sebilah pisau 

bergerak ke leher ketiganya. "Cras...!!" Angin yang se-

perti pisau itu menyambar dan membuat putus leher 

ke tiga penjaga itu.


Darah segar mengalir, lalu disusul dengan tu-

buh yang ambruk tanpa sempat menjerit lagi. Sungguh 

gerakan dan ilmu yang amat hebat sekali.

"Sosok tubuh yang baru saja menurunkan tan-

gan telengas itu, berkelebat kembali setelah memper-

hatikan sekelilingnya. Melompati tembok tinggi dan 

tebal yang mengurung empat persegi panjang Keraton 

Widung.

Dengan sekali melompat dia sudah tiba di ha-

laman Keraton Widung. Namun belum lagi dia sempat 

berbuat apa-apa, mendadak berpuluh punggawa men-

gurungnya dengan tombak di tangan. Wajah mereka 

demikian buas.

Sosok itu mendengus. Dan baru sadar kalau 

kedatangannya memang sudah diketahui. Dia juga me-

rasa kalau tiga nyawa penjaga tadi sengaja dikorban-

kan untuk memancingnya masuk ke halaman keraton.

Dia melihat dari pintu depan keraton, muncul 

Prabu Kamansura disertai oleh tiga pengawal setianya. 

Mahesa Bungaran atau yang bergelar si Tangan Kilat. 

Ki Abdi Suro yang bergelar Dewa Tongkat Api dan Nyai 

Lastri Harum yang bergelar Bidadari Bulan Purnama. 

Ketiganya adalah orang-orang yang mengabdikan diri 

pada Prabu Kamansura segenap jiwa dan raga.

Sosok itu makin terkejut, dan baru menyadari 

kalau dia tengah terjebak.

"Prakesti... sudah kuduga, kau akan datang 

menuntut balas...." kata Prabu Kamansura. "Aku pun 

telah menduga, kalau kaulah yang telah membuat 

onar di berbagai desa di wilayah Keraton Widung ini!!

Sosok yang datang itu memang tak lain adalah 

Panglima Prakesti yang datang untuk membalaskan 

dendamnya. Meskipun dia terkejut, namun dia terke-

keh dengan penuh kesombongan.

"He-he-he... bagus, kau memang benar, Pra



bu... aku, Prakesti tidak pernah menerima apa yang te-

lah kau perbuat terhadapku!" katanya congkak.

"Prakesti... mengapa kau masih berbuat seperti 

itu? Masih menaruh dendam? Apakah kau lupa, bah-

wa semua ini adalah kesalahan yang telah kau perbuat 

sendiri?"

"Persetan dengan semua itu! Yang pasti, aku ti-

dak akan pernah menerima apa yang telah kau dan 

rakyat mu perbuat! Sampai ka-pan pun aku akan 

membalas dendam dan sakit hatiku ini!"

Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat rupanya 

orang yang tidak sabar sekali.

Dia maju selangkah dan membentak, "Prakes-

ti... kau sudah selayaknya untuk mampus! Pergilah 

dari sini sebelum kemarahan kami naik!"

"He-he-he... mengapa kau nampak begitu pe-

marah sekali, Mahesa Bungaran?" suara itu terdengar 

amat mengejek, membuat telinga Mahesa Bungaran 

memerah dan semakin bertambah kesal. Dia sudah 

kesal dengan kesombongan yang diperlihatkan oleh 

Prakesti, dan kini semakin kesal karena dia di ejek se-

perti itu? Tidak sadarkah kau? He-he-he... juga dengan 

dua aki dan nini yang nampaknya sudah layak untuk 

menghuni liang kubur! Kalian memang sudah sepatut-

nya untuk mampus! Nah, bukankah lebih baik kalian 

membunuh diri saja daripada harus bersusahpayah 

mati secara mengerikan? Apalagi di tanganku... he-he-

he...."

Memerah wajah tiga pengawal setia Prabu Ka-

mansura itu. Sementara Ki Abdi Suredan Nyai Lastri 

Harum secara bersamaan melangkah setindak ke de-

pan.

"Prakesti... kau tidak bisa belajar menghormati 

orang tua nampaknya? Baiklah... sebagai orang tua... 

aku hendak memberimu pelajaran!" kata Ki Abdi Suro


sambil mendengus.

"He-he-he... tidak salahkah pendengaran ku? 

Bagus, bagus... aku akan lebih cepat mengantarkanmu 

untuk pergi ke liang kubur! Begitu pula dengan kau, 

Nyai pesot!!"

Memerah wajah Nyai Lastri Harum. Mendadak 

saja dia mengibaskan tangan kanannya ke arah Pra-

kesti.

Serangkum angin dingin keras menderu me-

nerpa ke arah sosok yang tegak jangkung berikat kepa-

la merah itu. Rupanya Nyai Lastri Harum mengelua-

rkan ilmu Bidadari Memainkan Angin dalam tingkat 

tinggi karena dia bermaksud memang hendak mengha-

jar Prakesti.

Dalam pikirannya, Prakesti tidak akan berhasil 

menghindari serangannya itu. Namun dia terbelalak 

dengan mata yang seakan ingin melompat keluar, ka-

rena mendadak saja dengan satu gerakan yang amat 

lincahnya Prakesti melesat melayang sementara Bida-

dari Memainkan Angin yang dilepaskan oleh Nyai La-

stri Harum menghantam tembok yang mengelilingi Ke-

raton Widung. Keras.

Dan menimbulkan suara berdebat dengan ke-

rasnya..

"Duuuaarr...!" Tembok itu jebol dan runtuh.

Bersamaan dengan itu terdengar suara terke-

keh yang amat keras, "He-he-heh... jangan terkejut, 

Nini peot! Tak akan mudah kau untuk membunuh 

aku! Justru ajalmu yang telah tiba juga dengan kedua 

temanmu yang bagaikan kambing ompong!"

Lalu sosok yang melayang itu hinggap di tanah 

dengan ringannya. Dan terkekeh seolah bangga dengan 

demonstrasi yang baru saja ditunjukkannya.

Semakin terbelalak mereka melihat kenyataan 

itu. Mereka tidak pernah menyangka Prakesti memiliki


ilmu yang begitu tinggi. Nyai Lastri Harum yang bisa 

menguasai dirinya hanya mendengus, sedikit merasa 

terkejut karena Prakesti ini bukan lagi Prakesti yang 

dulu.

Justru Mahesa Bungaran yang menjadi penasa-

ran.

"Bangsat busuk!!" geramnya. "Jangan merasa 

berbangga dulu karena kau bisa menghindari serangan 

Bidadari Bulan Purnama, hah?!!"

Prakesti terkekeh yang terdengar begitu nyaring 

dan menyeramkan. Dingin, menebarkan hawa kema-

tian. Cukup mengundang rasa ngeri yang luar biasa.

"Bidadari Bulan Purnama? He-he-he... nenek 

peot itu kau katakan bagai bulan purnama? Ha-ha-

ha... rupanya kau sudah kena pelet dan terbalik ma-

tamu melihat betapa buruknya wajah itu dan kau ka-

takan sebagai bulan purnama? Benar-benar tolol."

"Seetttaaannn!!"

"He-he-he... salahmu sendiri, Mahesa goblok! 

Mengapa kau mau kena pelet nenek peot itu, hah? Ta-

wanya mengejek. "Kalau begini, apakah aku bersalah? 

He-he-he... dasar goblok! Dan biasanya orang goblok 

seperti kalian ini tidak akan pernah mau mengaku sa-

lah! Yah... memang goblok! Dan tak ku sangka kau se-

goblok itu, Mahesa Bungaran!! Kau terkena guna-guna 

nenek peot itu rupanya... ha-ha-ha...!!"

"Keparat!" Wajah Mahesa Bungaran memerah.

"He-he-he... mengapa mesti marah? Itu salah-

mu! Salahmu sendiri! Kau ini memang manusia gob-

lok, tapi tidak mau mengakui kegoblokkan kalian! Da-

sar seperti keledai dungu!"

Mahesa Bungaran mendengus, kata-kata itu 

amat menyakitkan sekali. "Keparat! Untuk menebus 

kesalahanku itu, kusarankan agar kau lebih baik 

membunuh diri saja!" serunya geram. "Hhh! Atau aku


yang akan membunuhmu? Dan agaknya Dewata me-

mang telah menakdirkan kau untuk mati di tanganku!"

"He-he-he... mati di tanganmu? Jangan asal 

mengumbar bacot! Dengan apa kau hendak membu-

nuhku, Mahesa Bungaran?" serunya dengan suara 

mengejek. "Aku bukanlah orang yang kau lihat bebe-

rapa bulan yang lalu!"

"Sombong! Dengan ini kau akan kubunuh, Ma-

nusia laknat!!" geram Mahesa Bungaran sambil men-

gangkat kedua tangannya yang terkepal dengan keras 

menandakan kemarahan Mahesa Bungaran yang su-

dah pada puncaknya.

Lagi-lagi Ki Ronggo Jibus terkekeh-kekeh. Ma-

lah sekali-sekali menggeleng-gelengkan kepalanya den-

gan sikap yang meremehkan sekali.

"Bukan main.... Tangan Kilat, hah? He-he-he... 

hendak membunuhku dengan ilmu taik kucing itu? 

Jangan bermimpi di siang bolong kau!"

Kukatakan sekali lagi, aku bukanlah Prakesti 

yang dulu! Dan jangan menganggap ringan yang seka-

rang! Ketahuilah bahwa kaulah dengan dua cecoro mu 

itu yang akan mampus!!"

"Bangsat keparat!" geram Mahesa Bungaran 

dengan wajah yang memerah buas. Kemarahannya su-

dah amat memuncak sekali. Dia merasa ditertawakan 

dan dianggap remeh. Dia adalah seorang pendekar

yang gagah. Tak pernah dia mundur menghadapi tan-

tangan siapa pun juga. Lagipula, dia memang begitu 

benci dengan Prakesti sejak belangnya yang dulu keta-

huan.

Maka mendengar ejekan itu dia pun segera 

mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, lalu 

membentak nyaring. "Tahan serangan, Manusia bu-

suk...!! Ciiiaaaaaaatttt...!!!!" serunya pula dan bersa-

maan dengan itu tubuhnya pun melesat menerjang

dengan cepat ke arah Prakesti yang masih terbahak.

*

* *

SEMBILAN



Ilmu Tangan Kilatnya sudah siap terangkum di 

dada. Sebuah permainan ilmu silat yang amat hebat 

sekali. Gerakannya sungguh cepat dan tangguh, layak 

disebut bagaikan gerakan kilat. Di samping itu kedua 

tangannya yang telah dialirkan tenaga dalam yang 

kuat terhimpun, siap menjebol dada kerempeng Pra-

kesti hingga berantakan.

Pukulan itu amat kuat sekali dan dengan pu-

kulan semacam itu Mahesa Bungaran akan mampu 

membuat pecah sebongkah batu sebesar kambing atau 

menumbangkan sebatang pohon kelapa.

Namun kali ini yang dihadapinya bukanlah 

Prakesti yang dikenalnya, namun Prakesti yang telah 

di titisi oleh Penunggu Hutan Larangan yang siap 

membantunya.

Sosok itu hanya tetap terkekeh-kekeh. Dia ti-

dak mengelak atau menangkis serangan itu, melainkan 

diterimanya pukulan Mahesa Bungaran yang mengan-

dung tenaga dalam yang kuat di dadanya.

"Wuuuuuuutttt... bukkkkk!!"

Seharusnya alam perkiraan Mahesa Bungaran, 

dada itu akan jebol berantakan, namun betapa terke-

jutnya dia ketika merasa betapa tangannya seolah ber-

temu dengan benda yang bukan main kerasnya.

Membuatnya sejenak kaget. Dan tak sadar dia 

menjerit kecil sambil menarik kembali tangannya.

"Ilmu iblis!!" geramnya sambil berjumpalitan


menjauh dari sosok itu.

Prakesti terbahak.

"Mahesa Bungaran atau si Tangan Kilat yang 

telah malang melintang di rimba persilatan dan menja-

di pengawal setia Prabu Kamansura, rupanya tidak ta-

hu betapa tingginya langit dan betapa dalamnya lau-

tan!

Sudah kukatakan sejak tadi, aku bukanlah 

Prakesti yang dulu.... He-he-he... kali ini baru terbuka 

bukan mata kalian, bukan? Bahwa aku tidak bisa di-

anggap sepele dan main-main!! Nah, mengapa kalian 

tidak segera saja membunuh diri, hah?!"

"Keparat! Ilmu apa yang telah kau gunakan ta-

di?!" seru Mahesa Bungaran yang masih kaget.

"He-he-he... kau jeri, bukan?" "Rupanya kau 

penganut ilmu iblis! Tidak mungkin dalam waktu pen-

dek kau bisa menguasai ilmu seperti itu, hah?!"

"Itulah yang dinamakan ilmu Bobot Penghancur 

Dunia! Di muka bumi ini, hanya akulah seorang yang 

memiliki ilmu itu! Jangan terkejut, karena ilmu inilah 

yang akan memusnahkan kalian! Memusnahkan ma-

nusia-manusia busuk yang hanya besar bacot belaka!!"

"Anjing keparat! Kita akan melihat siapa yang 

mati duluan menghadapi Dewata! Ku bunuh kau, 

bangsat!!" seru Panggoro seraya melesat menyerbu 

kembali, kali ini dengan kecepatan dan tenaga penuh.

"He-he-he... mengapa hanya kau saja yang me-

nyerang? Mengapa kedua temanmu itu tidak, hah?! 

Apakah kedua teman hanya ingin jadi penonton saja? 

Ataukah takut menghadapiku?!"

Mendengar kata-kata yang mengejek itu, mem-

buat Ki Abdi Suro segera melesat menyerang dengan 

tongkatnya. Begitu pula dengan Nyai Lastri Harum.

Sebenarnya mereka malu dengan cara menge-

royok seperti ini. Namun apa boleh buat, karena mereka pun mulai yakin dengan kehebatan Prakesti seka-

rang.

"Bagus! Itulah yang aku inginkan? Mengapa ti-

dak sejak tadi kalian melakukannya, hah?!"

Prakesti hanya tertawa belaka. Lagi-lagi dia ti-

dak berbuat apa-apa. Tetap di posisinya semula sambil 

berucap ringan, "He-he-he... kalian akan sia-sia belaka 

menyerang aku! Lebih baik kalian membunuh diri sa-

ja!!"

Tiga serangan yang dilancarkan sekaligus itu 

pun segera bergerak mencari sasaran. Berkelebat amat 

cepat. Dari berbagai penjuru siap memusnahkan ma-

nusia itu.

"Buk...!!"

"Trak...!!"

"Des...!!"

Tiga serangan itu telah mencari sasarannya. 

Namun seperti yang dialami oleh Mahesa Bungaran ta-

di kalau pukulannya mengenai sasaran yang amat 

kuat, begitu pula yang sekarang. Mereka amat terkejut 

karena serangan yang mereka lancarkan bagaikan

menghantam gunung batu!

"He-he-he... kalian akan sia-sia saja menyerang 

dan melawan aku, hah?!"

Meskipun cukup terkejut, namun tidak mem-

buat ketiganya jeri. Ketiganya adalah jago golongan pu-

tih yang selalu membela kebenaran dan pantang mun-

dur. Mereka tidak takut menghadapi ilmu semacam 

yang dimiliki oleh Prakesti. Namun tak urung mereka 

seakan disadarkan oleh betapa tingginya ilmu yang 

dimiliki oleh manusia bejat durjana itu. Namun meski-

pun demikian mereka tidak gentar meskipun mereka 

tahu Prakesti yang sekarang bukanlah Prakesti yang 

dulu.

Dan bersamaan dengan itu serentak ketiganya


bersalto ke belakang dengan gerakan yang amat ringan 

sekali. Prakesti terkekeh-kekeh, merasa lawan-

lawannya jeri dan ketakutan dengan apa yang dimili-

kinya.

Akan tetapi kekehannya itu terhenti karena ma-

tanya langsung terbelalak melihat tiga sosok tubuh 

yang bersalto ke belakang tadi kini melompat kembali 

ke arahnya dengan pukulan lurus ke depan.

Namun sama seperti halnya tadi, Ki Ronggo Ji-

bus tidak berusaha untuk mengelak ataupun menang-

kis serangan itu. Dia tetap terkekeh-kekeh mengejek. 

Namun mendadak terdengar seruannya, "Hei... 

hiaaaaatttt!!"

Sebelum ketiga pukulan itu siap menghantam 

tubuhnya bagaikan melihat setan Prakesti bersalto 

menghindar. Gerakannya cepat dan ringan. Karena di-

rasakannya dorongan tenaga angin yang amat panas 

yang siap hinggap di tubuhnya dari salah satu seran-

gan itu.

"Api Tongkat Neraka!" serunya keras sambil 

hinggap di tanah bagaikan sesobek kapas dengan rin-

gannya.

Rupanya Ki Abdi Surolah yang telah mengelua-

rkan jenis pukulan panas yang rupanya ditakuti oleh 

Prakesti.

Ilmu andalannya pun telah digunakan. Walau-

pun sesungguhnya tadi pun dia sebenarnya ragu, apa-

kah ilmu andalannya itu memang bisa diandalkan un-

tuk menghadapi Prakesti.

Namun kenyataannya membawa hasil!

"Ha-ha-ha... untuk kau cepat menghindar, Ma-

nusia busuk! Bila tidak, kau akan mampus terbakar 

dengan tubuh hangus!" bentak Ki Abdi Suro. "Rupanya 

itulah kelemahan ilmu kebal yang kau miliki, hah?!"

Wajah yang mengerikan itu semakin menye


ramkan kala menyeringai. "He-he-he... memang, ilmu 

api panas mu itulah yang membuka jalan keluar bagi 

kalian! Karena ilmu kebal ku ini hanya bisa dikalah-

kan oleh hawa panas. Dan aku sungguh tidak meng-

hendaki bila kenyataannya demikian...." Dia terkekeh 

lagi. "Akan tetapi kalian tidak boleh lupa, kalau yang 

kalian hadapi kali ini adalah Prakesti, manusia yang 

telah memiliki berjuta ilmu yang hanya beberapa ge-

lentir saja dipergunakan untuk menghadapi sekaligus 

membunuh kalian!"

"Jangan banyak omong kau, Keparat!" geram Ki 

Abdi Suro sambil mengibaskan tangannya. "Mahesa 

Bungaran, keluarkan ilmu Tangan Sambar Kilat yang 

bisa menimbulkan panas! Nyai Lastri Harum, gunakan 

ilmu Bidadari Memainkan Apimu itu! Ayo kita gempur 

kembali manusia jahanam ini! Prakesti.... Sambut se-

rangan... hiiiaaaaattt!!" Tubuh itu melesat kembali 

dengan gerakan yang amat cepat. Permainan Api 

Tongkat Neraka yang hebat itu telah meluncur dari 

kanan kiri mengarah ke arah kedau pelipis kepala la-

wan.

"Wuuuutttt.... Plaaakk...!!!"

Kedua serangan itu tertahan dengan dua buah 

tangan yang cepat digerakkan oleh Ki Ronggo Jibus. 

Dan secepat itu pula dia memutar kedua tangannya 

untuk menangkap pergelangan tongkat Ki Abdi Suro.

Namun Ki Abdi Suro dengan lihainya menge-

lakkan sambaran tangan Prakesti pada tongkatnya. 

Lalu mengayunkannya lagi dengan posisi menggebuk.

Namun serangan itu berhasil dielakkan oleh 

Prakesti. Akan tetapi belum lagi dia menginjakkan ka-

kinya ke bumi, Mahesa Bungaran dan Nyai Lastri Ha-

rum telah menyerbu ke muka dengan seruan yang ke-

ras.

Pertempuran yang amat sengit pun terjadi.


Orang-orang yang menonton-nya kadang berdecak ka-

gum.

Sementara Prabu Kamansura mendesah pan-

jang seraya mengelus dada. Dia tidak pernah me-

nyangka kalau ilmu yang dimiliki Prakesti itu maju be-

gitu pesatnya.

Kembali diperhatikannya pertempuran yang 

sengit itu.

Mendadak Prakesti memapaki serangan yang 

dilakukan oleh Mahesa Bungaran.

Dan dengan gerakan yang amat cepat dia ber-

hasil menangkap kedua tangan Mahesa Bungaran, 

memuntirnya hingga tubuh Mahesa Bungaran mengi-

kuti gerak tubuhnya.

Ki Abdi Suro dan Nyai Lastri Harum sendiri 

menjadi sangat terkejut sekali.

Dan sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, 

tiba-tiba saja Prakesti kembali menggerakkan kedua 

tangannya ke belakang hingga tubuh Mahesa Bunga-

ran kembali mau tidak mau mengikutinya. Bersamaan 

tubuh Mahesa Bungaran membelakanginya, dengan 

cepat tangan kanan Prakesti bergerak.

"Praaakkk...!!!"

Tangan yang penuh tenaga sakti itu menghan-

tam hingga pecah kepala Mahesa Bungaran yang lang-

sung ambruk tanpa sempat berteriak, dia hanya mera-

sakan sakit yang luar biasa. Lalu sakit itu lenyap se-

lama-lamanya karena nyawanya sudah melayang me-

nemui Sang Penciptanya.

Orang-orang terkejut. Terpana, karena tidak 

mengira Prakesti dapat melakukan hal itu.

Begitu pula dengan Prabu Kamansura yang 

mendesis di hati, "Kejam!"

Hanya terdengar seruan Ki Abdi Suro kalap dan 

tubuhnya melayang menerjang, "Manusia keparat! Kau


benar-benar manusia iblis!!"

Prakesti hanya terkekeh melihat keterpanaan 

yang lainnya. Namun menghadapi serangan tongkat 

api Ki Abdi Suro dia hanya menghindar ke kiri dan 

langsung menangkis dengan kibasan tangan kanannya 

kala dirasakannya ada hawa panas menyambar dari 

belakang tengkuknya, karena Ki Abdi Suro langsung 

bersalto ke muka dengan maksud menghabisi Prakesti.

Namun laki-laki itu dengan ringannya berhasil 

menghindari serangan Ki Abdi Suro. Dan langsung 

bergulingan kala dirasakannya dorongan angin panas 

sudah menyerbu.

Nyai Lastri Harum telah datang membantu ka-

wannya untuk menghabisi Prakesti.

"He-he-he... rupanya kalian amat penasaran 

sekali denganku! Baiklah, aku pun sudah jenuh den-

gan permainan ini! He-he-he... lebih baik kalian mam-

pus saja sekarang!"

*

* *

SEPULUH



Bersamaan Prakesti berkata demikian, dia pun 

berkelebat cepat. Kali ini tidak bertindak tanggung lagi. 

Dia memang bermaksud hendak menghabisi Ki Abdi 

Suro dan Nyai Lastri Harum.

Kedua tokoh itu terkejut karena serangan yang 

dilakukan oleh Prakesti demikian gencarnya, disusul 

pula dengan serangan-serangan yang berbahaya. Ke-

duanya menjadi panik dan kalang kabut.

Mereka sia-sia mempertahankan diri. Karena 

suatu ketika tubuh Prakesti berputar ke angkasa, ber



salto dua kali dan langsung menyerang ke arah kedu-

anya.

Sejenak keduanya menjadi gugup. Sebisanya 

mereka bertahan, namun apa daya karena kelihaian 

dan kesaktian yang dimiliki oleh Prakesti demikian 

tingginya.

Maka tanpa ampun lagi keduanya terhantam 

pukulan sakti Prakesti dan terpelanting beberapa me-

ter. Seruan jerit kesakitan terdengar. Lalu ambruk un-

tuk selamanya.

Prakesti terbahak. "He-he-he... itulah sebabnya 

bila berani menantang aku!" Tiba-tiba dia mendengus, 

matanya yang terpancar sinar dendam mengarah pada 

Prabu Kamansura, "Hhh! Prabu brengsek! Kini gili-

ranmu-lah memetik ajal!!" geramnya.

Lalu dia pun langsung menyerbu ke muka, na-

mun beberapa orang prajurit segera menghadangnya. 

Terjadi kembali pertempuran yang amat sengit. Semen-

tara sebagai seorang pemimpin, Prabu Kamansura 

hanya terpaku di tempatnya berdiri. Dia tidak mencoba 

untuk melarikan diri atau berusaha menyelamatkan 

diri. Baginya tidak mungkin dia melakukan hal itu se-

mentara para punggawa-nya harus menyabung nyawa.

Banjir darah pun memenuhi halaman Keraton 

Widung diiringi dengan jeritan kematian. Prakesti 

mengamuk membabi buta. Setiap kali tangannya ber-

kelebat langsung mampus dengan kepala buntung be-

berapa sosok tubuh.

Dia membabi buta dengan kemarahan yang 

memuncak, namun para punggawa yang jumlahnya 

begitu banyak pantang menyerah meskipun mereka 

harus mengorbankan nyawa. Bahkan mereka semakin 

gigih mempertahankan diri.

Namun apalah artinya bagi mereka, karena ke-

saktian Prakesti sungguh tiada batasnya.


Tiba-tiba terdengar seruan keras, "Hentikan!!"

Sejenak pertempuran itu berhenti. Para pung-

gawa Keraton Widung mundur beberapa langkah. Pra-

bu Kamansura yang berseru tadi melangkah dengan 

gagahnya.

"Prakesti, lebih baik kini kau hadapi aku!" ka-

tanya gagah.

Prakesti terbahak. "Bagus, bagus... mengapa 

bukannya dari tadi, justru setelah banyak punggawa

mu yang mampus kau baru berani mengorbankan di-

rimu! Hhh! Mampuslah kau!!"

Lalu tubuh Prakesti melayang ke muka, me-

nyerbu dengan ganasnya ke arah Prabu Kamansura. 

Sang prabu pun sebenarnya memiliki ilmu kanuragan. 

Namun ilmu yang dimilikinya ternyata tidak ada ar-

tinya bagi Prakesti.

Dia pun mendesak hebat. Sebentar saja desa-

kan itu sudah membawa hasil. Prabu Kamansura ha-

rus pontang-panting mempertahankan diri.

Hingga suatu ketika tak ada lagi kesempatan 

baginya untuk menghindar. Prakesti sudah menyerbu 

dengan suara yang lantang dan ganas.

"Mampuslah kau!!"

Namun belum lagi tubuhnya menghajar Prabu 

Kamansura, mendadak melesat selarik sinar putih ke 

arahnya.

"Wuuuuutt...!!"

Membuat Prakesti harus bersalto bila tidak in-

gin tubuhnya tersambar sinar putih itu.

"Bangsat!" geramnya sambil memandang berke-

liling dan dilihatnya satu sosok di atas kuda hitam 

yang mengenakan caping bambu. Dia adalah Pandu 

yang telah tiba di Keraton Widung dan langsung me-

motong serangan dari Prakesti terhadap Prabu Kaman-

sura.


Pemuda itu tersenyum. Melompat ringan dari 

kudanya. Menyembah hormat pada Prabu Kamansura 

yang bersyukur. Lalu mendengus pada Prakesti.

"Hhh! Rupanya inilah tampang manusia yang 

berkhianat! Bagus! Dosamu sudah tidak terhimpun 

banyaknya, kau lebih baik mampus!!"

"Keparat! Siapa kau, hah?"

"Aku adalah Pandu... orang kebanyakan me-

nyebutku dengan sebutan Pendekar Gagak Rimang!"

"Hhh! Pendekar taik kucing! Lebih baik kau 

pergi dari sini, sebelum kemarahanku justru memun-

cak padamu!"

"Tidak, aku justru ingin merasakan kemarahan

mu, Panglima khianat!"

"Anjing buduk! Mampuslah kau!!"

Prakesti pun mengalihkan serangannya pada 

Pandu. Pendekar Gagak Rimang mencoba menghinda-

rinya, namun terkejut bukan kepalang karena menda-

dak saja Prakesti mengibaskan tangannya dan serang-

kum angin dingin berkesiur dengan hebat.

"Keparat!" seru Pandu kaget dan menghindar 

dengan jalan bersalto.

Namun manusia itu dengan gencarnya terus 

mencecar hebat. Pandu menjadi pontang panting di-

buatnya.

"Hahaha... mampuslah kau, Manusia usil!!"

Serangan-serangan yang berbahaya itu sema-

kin gencar mengarah pada Pandu. Murid Eyang Ring-

kih Ireng terkejut semakin kaget. Tiba-tiba terdengar 

suara di telinganya. "Cucuku... bila kau ingin mela-

wannya, hantamlah matanya... karena dia adalah titi-

san dari Penunggu Hutan Larangan...."

"Eyang...."

"Lakukanlah...."

Pandu pun bersalto menghindari gempuran itu,


hingga suatu ketika dia pun terbebas dan seperti yang 

dibisiki oleh gurunya itu dia pun mencecar kedua mata 

Prakesti. Benar saja, karena manusia itu berulangkali 

menghindarkan kedua matanya dari serangan Pandu.

Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena 

Pandu sudah mengeluarkan ilmu Cakar Gagak Ri-

mang. Dan pada suatu kesempatan dia pun berhasil 

menghantamkan ajiannya itu ke wajah Prakesti dan 

kedua jarinya terbuka, mencolok mata Prakesti.

Terdengar seruan keras bagaikan lolongan sri-

gala. Lalu tubuh itu ambruk. Pandu mendesah pan-

jang dan melihat ada bayangan yang lepas dari tubuh 

Prakesti.

"Hahaha... aku, Penunggu Hutan Larangan 

akan terus memperdaya manusia untuk bersekutu 

denganku! Sampai kapan pun!"

Semuanya terkejut. Tak terkecuali Prabu Ka-

mansura. Namun yang membuatnya lebih terkejut, ka-

rena sosok pemuda yang telah menolongnya telah le-

nyap.

Hanya terdengar ringkik kudanya belaka.



                              TAMAT

 


0 komentar:

Posting Komentar