BTemplates.com

Blogroll

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR MABUK EPISODE MURKA SANG NYAI


 

Hak cipta dan copy right pada penerbit dibawah 

lindungan undang-undang. 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. 



SATU



AWAN hitam menaungi wilayah Perguruan Merpati 

Wingit. Dari sebuah lembah tampak terlihat jelas 

reruntuhan bangunan joglo yang merupakan bangunan 

terdepan setelah halaman laga Perguruan Merpati 

Wingit. Dari sanalah sepasang mata menatap dengan 

sedikit menyipit, tersimpan dendam dalam hati yang 

luka mengharu melihat porak-porandanya perguruan 

tersebut.

Sepasang mata menyipit dendam milik perempuan 

berpakaian merah dadu itu masih memandangi makam-

makam di samping pagar wilayah perguruan. Berjajar 

makam yang tanahnya masih tampak baru ditimbunkan 

itu, seakan barisan pisau tajam yang menggores hati 

perempuan berselendang putih di pinggangnya. 

Perempuan itu tak lain adalah Selendang Kubur, 


murid Perguruan Merpati Wingit yang sudah lama tak 

kembali ke perguruannya, karena tergoda cinta murid 

sinting si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk, 

Suto Sinting. 

Kabar tentang porak-porandanya perguruan tersebut 

didengar telinga Selendang Kubur dari sudut sebuah 

kedai, di mana tiga orang bercerita tentang amukan 

Perawan Sesat yang konon berhasil melukai gurunya, 

Nyai Betari Ayu. Celoteh di sudut kedai itu juga 

mengisahkan cerita tentang kematian Dewi Murka yang 

disaksikan sendiri oleh mata seorang lelaki besar tanpa 

isi yang dikenal dengan nama Singo Bodong, (Baca 

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan 

Sesat").

Selendang Kubur tak sampai hati untuk tinggal diam 

melihat keadaan di perguruannya. Niatnya untuk 

memburu cinta pada Suto Sinting tertangguhkan. Apa 

pun amarah sang Guru nantinya, ia siap menerima 

hukumannya, ia juga tak bisa menahan duka mendengar 

gurunya; Nyai Betari Ayu, terluka oleh pukulan lawan. 

Dengan dendam membesi di hati, Selendang Kubur 

melangkahkan kaki memasuki pintu gerbang perguruan 

yang telah hancur itu. Suasana pelataran laga tampak 

sepi. Selendang Kubur menarik napas untuk menahan 

luapan api kemarahan yang telah membakar dada. Maka, 

segera ia melesat ke serambi samping, dan di sana ia 

temui sang Guru sedang duduk merenung dengan wajah 

tetap berwibawa walau tampak guratan dukanya.

Melihat siapa yang muncul di depannya, Nyai Betari 


Ayu terkesiap sekejap, ia segera menarik napas meredam 

kemarahan, ia mengangkat wajah, memandang tajam 

muridnya yang lama tak kunjung tiba. Sang murid 

menundukkan wajah, sebagai ungkapan rasa bersalah 

dan pasrah menerima hukuman sang Guru. 

Betari Ayu segera perdengarkan suaranya dengan 

lembut tapi penuh kharisma bagi murid yang baru datang 

itu.

"Kaukah yang berdiri di depanku, Selendang 

Kubur?!"

Sedikit tunduk kepala Selendang Kubur saat 

menjawab, "Benar, Nyai Guru. Saya datang." 

"O, syukurlah. Ternyata kau masih ingat jalan pulang 

ke perguruanmu ini." 

"Maafkan saya, Nyai Guru. Saya memang bersalah."

"O, tidak! Kau tidak bersalah!" tukas Nyai Guru 

Betari Ayu. "Perguruan ini hampir hancur bukan karena 

ulahmu, melainkan ulah muridnya si Nyai Lembah 

Asmara. Perawan Sesat namanya."

"Saya merasa bersalah, karena saat itu saya tidak ada 

di sini, Guru." 

"Bukan hanya kamu, tapi Dewi Murka juga tidak ada 

di sini."

"Dewi Murka juga sudah tewas di tangan Perawan 

Sesat, Guru!" 

Tersentak hati Betari Ayu. Terbungkam mulutnya 

tanpa bisa mengucap sepatah kata pun mendengar Dewi 

Murka tewas di tangan Perawan Sesat. Semakin 

tertimbun dendam hati Betari Ayu rasanya. Tetapi ia 


berusaha untuk menahan diri agar tidak hanyut dalam 

kobaran dendam yang membara itu. 

Dewi Murka dan Selendang Kubur adalah orang kuat 

di Perguruan Merpati Wingit. Kepada salah satu dari 

kedua orang itulah Betari Ayu ingin menyerahkan 

tampuk pimpinannya. Menurut pandangan hatinya, 

hanya dua orang itulah yang bisa dan pantas menjadi 

penggantinya, sebagai Ketua Perguruan Merpati Wingit. 

Tetapi sebelum niatnya terlaksana, satu dari kedua orang 

pilihannya itu telah tewas. Kini tinggal Selendang Kubur 

yang menjadi satu-satunya calon pengganti dirinya, 

sebelum ia pergi mengasingkan diri menjadi seorang 

pertapa.

Tetapi, mampukah Selendang Kubur 

mempertahankan perguruannya jika sekarang hatinya 

telah ditaburi dendam terhadap orang-orang Bukit 

Garinda yang dikuasai oleh Nyai Lembah Asmara? 

Bukankah beberapa orang kuat di perguruan itu telah 

tewas juga di tangan perempuan iblis utusan Nyai 

Lembah Asmara? Dewi Murka, Murbawati, dan orang-

orang kuat lainnya telah tiada. Padahal mereka adalah 

benteng bagi Perguruan Merpati Wingit.

Belum lagi jika Betari Ayu memikirkan Pendekar 

Mabuk yang berhasil dibujuk Perawan Sesat untuk 

dibawa ke Bukit Garinda, makin perih hati Nyai Betari 

Ayu sebenarnya. Karena di dalam hati Nyai Guru itu, 

tertanam cinta yang rapi tersembunyi. Baik sang Guru 

maupun sang murid tidak saling mengetahui bahwa 

mereka sebenarnya sama-sama mencintai Suto dan 

sama-sama merasa kehilangan pemuda itu.

Melihat termenungnya sang Guru, Selendang Kubur 

segera ucapkan kata penuh hati-hati,

"Nyai Guru, siapa wanita yang berjuluk Perawan 

Sesat itu sebenarnya, dan di mana ia tinggal, Guru?" 

"Apa maksudmu bertanya begitu, Selendang Kubur?" 

"Saya harus pergi menemuinya, membuat 

perhitungan dengannya, Guru. Saya harus menebus 

nyawa saudara-saudara saya yang menjadi korban 

keganasan Perawan Sesat itu."

"Haruskah kita menebus dendam berdarah ini, 

Selendang Kubur?" 

Pertanyaan ini sungguh sulit dijawab oleh Selendang 

Kubur. 

Pandang matanya sesaat menyirat ke wajah gurunya, 

lalu tundukkan kepala lagi seraya berkata,

"Tidak ada darah yang tidak membekas, Guru. Dan 

untuk menghilangkan darah itu hanya dengan 

pembalasan setimpal, Nyai Guru."

Diam sekejap sang Guru sebelum memperdengarkan 

suara lembutnya,

"Akan selesaikah masalah yang dirampungkan 

dengan dendam dan pembalasan? Akan berhentikah 

pertikaian yang dibayar dengan kesumat dendam, 

Selendang Kubur?" 

Lirih suara Selendang Kubur menjawab, "Tidak, 

Guru." 

"Ya. Tidak akan terselesaikan. Pasti akan berbuntut 

panjang. Dan itu akan menuntut kita untuk lebih 

bermusuhan lagi." 

"Tapi harga diri perguruan tetap harus ditegakkan, 

Guru. Nama baik dan wibawa Nyai Guru sendiri juga 

harus terjaga oleh sikap kita. Jika tak ada pembalasan 

datang dari kita, maka hancur sudah citra perguruan dan 

terinjak-injak sudah wibawa serta kehormatan Nyai 

Guru, yang menjadi ketua perguruan ini." 

"Memang benar apa katamu. Itu pula yang sedang 

kupertimbangkan sejak tadi. Dan aku belum mempunyai 

keputusan, Selendang Kubur. Aku masih mencari sisi 

baik dari bencana ini."

"Guru terlalu sabar," terdengar Selendang Kubur 

ucapkan kata dalam kebimbangan dan rasa takut. Tapi 

Nyai Guru Betari Ayu hanya tersenyum tipis dan pahit. 

Nyai Guru alihkan pandangan sambil ia langkahkan kaki 

menuju ke taman. Selendang Kubur mengikutinya 

dengan mulut tak terucap dalam waktu beberapa kejap. 

Setelah Nyai Guru berhenti di sisi tanaman mawar 

berbunga ungu, Selendang Kubur beranikan diri ajukan 

pertanyaan.

"Sebenarnya apa permasalahan yang membuat wanita 

gila berjuluk Perawan Sesat itu mengobrak-abrik tempat 

kita, Guru?"

Sebelum lontarkan jawaban, Nyai Guru tarik napas 

terpendam di dada. Ia tekan gemuruh yang hampir tak 

terkendali di sela bayangan seorang pemuda tampan 

bergelar Pendekar Mabuk itu. Kejap berikutnya Betari 

Ayu lepaskan kata,

"Titik masalahnya adalah Suto."


Terperanjat Selendang Kubur mendengar nama 

pemuda yang diincar hatinya disebut oleh sang Guru. 

Ketika sorot pandang Selendang Kubur membentur 

tatapan wibawa sang Guru, terdengarlah kata dari sang 

Guru yang menjelaskan maksud jawabannya tadi,

"Suto kutemukan terluka parah di sebuah bukit. Aku 

segera membawanya kemari dan kurawat hingga 

sembuh. Begitu Suto pergi, datang Perawan Sesat 

menuduhku menyembunyikan Suto. Lalu, mengamuklah 

dia di sini, mencabut nyawa saudara-saudara 

seperguruanmu dengan seenaknya saja. Beruntung 

nyawaku masih terlindung oleh kemunculan Suto yang 

segera menyerang Perawan Sesat itu."

"Lalu, ke mana Suto sekarang, Guru?" 

"Terbujuk oleh omongan Perawan Sesat. Suto pergi 

ke Bukit Garinda menemui gurunya Perawan Sesat yang 

bergelar Nyai Lembah Asmara itu."

"Untuk apa Suto ke sana?" 

"Nyai Lembah Asmara adalah perempuan sakti, keji, 

tapi mandul, ia hanya bisa memperoleh keturunan dari 

benih lelaki tanpa pusar. Pendekar Mabuk itulah lelaki 

tanpa pusar. Nyai Lembah Asmara akan menjadikan 

Suto sebagai lelaki pembenih, yang akan menurunkan 

bibitnya kepada Nyai Lembah Asmara."

"Itu berarti Suto akan kawin dengan Nyai Lembah 

Asmara?!"

Selendang Kubur ucapkan kata dengan tegang. Sang 

Guru masih memberi jawaban dengan kalem.

"Setidaknya, Suto akan dikuasai oleh Nyai Lembah


Asmara dan dipaksa agar mau melayani hasratnya. 

Padahal aku tahu persis, Nyai Lembah Asmara 

mempunyai racun yang tak dapat dilawan dengan ilmu 

apa pun. Racun itu bernama Racun Darah Asmara. 

Racun itu dipancarkan lewat sorot pandangan matanya. 

Siapa pun lelaki yang terkena sorot mata beracun, bisa 

luluh hatinya dan terbuai jiwanya, serta terbakar 

birahinya. Itulah kehebatan Racun Darah Asmara. Aku 

yakin, Pendekar Mabuk tak bisa menghindari racun itu. 

ia akan tunduk dengan cinta dan rayuan Nyai Lembah 

Asmara."

Terasa panas sekujur dada Selendang Kubur, karena 

saat itu darah terasa mendidih. Terbayang kelicikan Nyai 

Lembah Asmara yang akan mempengaruhi Suto dengan 

memakai racun berbahaya itu. Maka tergugah pula 

dendam yang paling dalam, yaitu ingin menggempur 

orang-orang Bukit Garinda, yang menjadi wilayah 

kekuasaan Nyai Lembah Asmara.

"Jika begitu, Guru," Selendang Kubur angkat bicara, 

"Saya akan gagalkan kunjungan Suto ke Bukit Garinda. 

Saya akan cegah Nyai Lembah Asmara itu menggunakan 

racun tersebut!" 

"Jangan gegabah, Selendang Kubur. Nyai Lembah 

Asmara bukan orang berilmu rendah. Tinggi ilmumu 

hanya mencapai separo dari ilmunya. Kau tak mungkin 

sanggup mengunggulinya. Aku sendiri merasa kalah 

tinggi dengan ilmunya." 

"Saya tidak peduli, Guru! Yang jelas, sekarang juga 

saya mohon pamit untuk pergi ke Bukit Garinda!"


Selendang Kubur berkobar-kobar semangatnya. Mata 

jelinya menjadi nanar penuh kilasan lidah api amarah 

yang berkobar-kobar di dalam hatinya. Napasnya pun 

kelihatan lebih memburu.

"Tahanlah amukan hatimu, Selendang Kubur. Jangan 

mati konyol tanpa perhitungan sedikit pun!" 

"Suto harus segera diselamatkan, Guru! Saya sudah 

bisa bayangkan kalau Suto menanamkan benih pada 

rahim Nyai Lembah Asmara, dan benih itu menjadi 

keturunan sang Nyai Lembah Asmara, sudah pasti 

keturunan itu akan menjadi manusia tanpa tanding, 

Guru." 

"Memang. Itulah sebabnya Lembah Asmara tidak 

bisa punya keturunan, sebab satu kali dia punya 

keturunan maka anaknya akan menjadi manusia tanpa 

tanding. Padahal Nyai Lembah Asmara mempunyai 

aliran hitam. Tidak menutup kemungkinan kalau 

anaknya nantinya akan menjadi orang sesat yang tidak 

bisa dikalahkan oleh pendekar mana pun!" 

"Karena itu saya harus segera gagalkan rencana 

tersebut, Guru!" sergah Selendang Kubur. 

"Aku tak bisa memberi keputusan sekarang. Biarkan 

aku duduk di sini merenungkan putusan yang lebih 

baik." 

Dalam hati Betari Ayu merasa khawatir terhadap jiwa 

Selendang Kubur. Tinggal satu murid yang menjadi 

benteng perguruannya. Jika Selendang Kubur tewas di 

tangan Nyai Lembah Asmara, habis sudah benteng 

Perguruan Merpati Wingit. Tetapi sang Guru juga


melihat nyala dendam dan bela pati dari sang murid. Jika 

ia patahkan dengan larangan berangkat ke Bukit 

Garinda, pupus sudah semangat sang murid, susut sudah 

jiwa bela patinya, patah pula semangatnya.

"Haruskah kuturunkan ilmu yang ada dalam Kitab 

Wedar Kesuma itu untuknya?" pikir Betari Ayu dalam 

renungan panjangnya. Tapi, renungan itu terputus oleh 

kehadiran murid lainnya yang memberanikan diri 

menghadap dengan tergopoh-gopoh. 

"Ada apa kau menghadapku dengan wajah pucat, 

Prahasti?"

"Guru, pedang pusaka Jalaganda dicuri oleh 

Selendang Kubur dan dibawanya lari, Guru!" 

Tersentak jantung Betari Ayu mendengarnya, ia 

gumamkan kata,

"Jalaganda dicuri? Selendang Kubur lari? Jelas,

arahnya pasti ke Bukit Garinda. Anak itu tak bisa 

dikekang amarahnya. Berbahaya sekali. Tidakkah ia 

sadari bahwa pedang Jalaganda adalah pusaka yang 

hanya dipakai untuk pertarungan terakhir bagi orang 

yang sudah bosan hidup? Memang orang yang 

menggunakan Jalaganda bisa memperoleh kemenangan 

walau melawan seribu lawan, tapi selesai itu orang yang 

menggunakannya akan mati. Jalaganda akan pulang 

sendiri ke tempatnya tanpa pembawanya!"

Cemas hati Betari Ayu bagai meruncingkan luka. 

Jalaganda bukan pedang sembarang pedang. Jalaganda

merupakan pedang warisan eyang guru dari Betari Ayu 

yang merupakan pedang kemenangan dan kekalahan.


Hanya tokoh-tokoh tua zaman dulu yang menggunakan 

pedang Jalaganda untuk bertarung, karena usai itu ia 

sudah siap mati tanpa meninggalkan dendam lagi. 

Sedangkan Betari Ayu tidak ingin satu-satunya murid 

andal yang tersisa itu mati bersama kemenangan 

pertarungannya. Nyai Betari Ayu masih membutuhkan 

Selendang Kubur untuk tetap menghidupkan 

perguruannya itu. 

"Aku harus segera menyusul Selendang Kubur. Aku 

tidak izinkan dia menggunakan pedang Jalaganda, agar 

ia tak ikut punah seperti yang lainnya. Dialah yang akan 

kujadikan penerus ilmu-ilmu Merpati Wingit dan 

mengembangkannya ke seluruh penjuru dunia," pikir 

Betari Ayu sambil berkemas mengenakan jubah 

kuningnya yang terbuat dari kain sutera lembut dan tipis. 

Ikat kepala dari tali merah berbintik-bintik kuning 

keemasan, dengan kedua ujung terdapat logam runcing 

berbentuk mata tombak kecil, yang bisa pula digunakan 

sebagai pengikat rambutnya yang panjang digelung rapi 

di atas kepala, ia menarik napas beberapa kali. Terasa 

enteng badannya. Terasa sembuh betul luka-lukanya 

akibat minum tuak pemberian Pendekar Mabuk, sebelum 

pemuda itu pergi bersama Perawan Sesat.

Kalau bukan karena pusaka Jalaganda, Nyai Guru 

Betari Ayu tidak akan keluar dari padepokannya. 

Jalaganda memang berbahaya. Selendang Kubur sendiri 

sebenarnya mengetahui akibat penggunaan pedang 

pusaka Jalaganda. Tetapi agaknya ia sudah siapkan diri 

untuk mati demi harga diri perguruannya.


Gerakannya begitu cepat ketika ia menuju ke arah 

Bukit Garinda. Pedang Jalaganda disarungkan di 

punggung, melintang dengan gagahnya. Dalam hati 

Selendang Kubur terucap kata,

"Akan kutunjukkan pada Suto, bahwa aku rela mati 

demi menyelamatkan dirinya dari Racun Darah Asmara. 

Akan kubuktikan pula kepada Nyai Guru, bahwa aku 

rela hancur demi nama baik dan kehormatan martabat 

perguruan. Tetapi... apakah Suto mau tahu dan mau 

percaya bahwa semua ini kulakukan demi cintaku 

padanya? Sudah layakkah aku berkorban untuk dia?" 

Tiba-tiba tanah lereng yang ada di depan Selendang 

Kubur itu longsor. Batu-batu besar yang ada di lereng itu 

menggelinding berjatuhan ke arahnya. Selendang Kubur 

cepat jejakkan kaki dan melenting di udara, hindari 

bebatuan besar yang bisa bikin tubuhnya gepeng mirip 

tape.

"Tak mungkin batu itu runtuh menggelinding 

sendiri," pikir Selendang Kubur setelah keadaan menjadi 

tenang. "Tak mungkin tanah itu longsor sendiri tanpa 

ada getaran bumi sedikit pun. Pasti ada orang yang 

sengaja mencelakai diriku." 

Mata jeli itu menjadi makin tajam, melirik ke sana-

sini dengan liar. Sementara tubuh Selendang Kubur 

bersembunyi di celah batu yang ada di seberang lereng 

yang tadi longsor tanahnya. Tetapi untuk beberapa kejap 

hanya angin yang berhembus di sekelilingnya. Tak ada 

gerakan yang mencurigakan, atau kelebatan yang 

menarik perhatian.


Kejap berikutnya barulah Selendang Kubur 

menangkap sosok bayangan lelaki berbaju merah dan 

bercelana hitam. Serta-merta Selendang Kubur lancarkan 

pukulan jarak jauh dari tempat persembunyiannya. 

Lelaki pendek sedikit gemuk itu tersentak kaget 

merasakan hawa panas sedang mengalir menuju ke 

arahnya dari arah belakang. Cepat-cepat ia balikkan 

tubuh dan menghadang pukulan hawa panas itu dengan 

satu sentakan tangan kosong ke arah depan. 

Rupanya ia sengaja adukan pukulan tenaga dalamnya 

dengan hawa panas yang mau membokongnya itu. 

Kedua pukulan tersebut beradu dan memancarkan 

kerlapan cahaya pijar yang begitu menyilaukan mata. 

Pecahnya cahaya itu tidak menimbulkan bunyi, 

melainkan mengguncangkan pepohonan yang ada di 

sekelilingnya.

"Siapa orang yang berani membokongku itu?!" pikir 

lelaki bergelang akar bahar di tangan kirinya. Matanya 

memandang tajam ke sekeliling, sampai akhirnya ia 

temukan sosok perempuan muncul dari celah dua batu 

besar. Lelaki yang sudah dikenal Selendang Kubur 

sebagai pelayan si Gila Tuak, gurunya Suto, yang 

berjuluk Pujangga Keramat itu, segera serukan kata 

kemarahan,

"Selendang Kubur, kau serang mengapa aku dari 

belakang?!"

Buat Selendang Kubur, dia sudah tidak asing lagi 

mendengar ucapan aneh Pujangga Keramat. Sebab ia 

tahu persis Pujangga Keramat adalah manusia yang tidak


pernah bisa menyusun kalimat. Dengan mudah 

Selendang Kubur mengerti maksud kata-kata Pujangga 

Keramat, ia dekati lelaki itu dengan tenang, tiada gentar 

sedikit pun. 

"Kau menyerangku lebih dulu, Pujangga Keramat." 

"Bilang siapa?! Aku datang baru saja, kau serang aku 

tahu-tahu dari belakang! Maksud apamu, hah?!" 

Melihat kerut dahi dan kecemberutan wajah Pujangga 

Keramat, Selendang Kubur temukan kejujuran kata 

orang itu. Tapi dalam hati Selendang Kubur segera 

tanyakan pada diri sendiri, "Lantas, siapa yang membuat 

lereng itu longsor dan batu-batu menggelinding 

menyerangku jika bukan Pujangga Keramat?!"

* * 

 

DUA



MELIHAT sikapnya tidak bermusuhan, Pujangga 

Keramat pun ajukan tanya kepada Selendang Kubur, 

"Selendang Kubur, kau tahukah di mana Pendekar 

Mabuk ada?"

"Ada perlu pentingkah kau mencari Pendekar Mabuk, 

Pujangga Keramat?"

"Penting sangat! Ki Gila Tuak mencari Suto suruh 

aku. Ke mana-mana aku cari sudah dia, tapi kudengar 

tidak kabarnya," kata Pujangga Keramat sambil ikuti 

langkah kaki Selendang Kubur pelan-pelan. Mereka 

bagaikan jalan seiring melewati bekas longsoran tanah.

"Aku dapat dari Ki Gila Tuak pesan penting untuk


Pendekar Mabuk," tambah Pujangga Keramat. 

"Penting sekalikah itu?"

"Penting biasa luar!" jawab Pujangga Keramat 

dengan sedikit ngotot, yang maksudnya menyatakan 

bawah pesan itu luar biasa penting. Kemudian, kejap 

berikutnya Pujangga Keramat serukan kata lagi dengan 

semangat,

"Suto punya tugas satu kerjakan ia belum. Pusaka 

Manik Intan yang ada di dasar telaga bersama Tuaknya 

Setan itu, belum ambil ianya. Cemas Ki Gila Tuak 

jadinya. Takut ia kalau Pusaka Manik Intan jatuh di 

orang-orang sesat tangan."

"Pusaka Manik Intan?!" gumam Selendang Kubur 

sambil menghentikan langkah di luar kesadarannya. Saat 

ia termenung memikirkan kabar itu, Pujangga Keramat 

sudah ucapkan kata lagi,

"Ki Gila Tuak suruh jaga aku itu telaga, sampai 

datang Suto aku tak tahu. Karena itu aku carilah dia!"

Selendang Kubur sendiri baru ingat bahwa menurut 

kabarnya, Pusaka Tuak Setan itu terkubur di dasar telaga 

bersama satu pusaka lagi milik Bidadari Jalang, yaitu 

Pusaka Manik Intan. Sedangkan Bidadari Jalang juga 

merupakan gurunya Pendekar Mabuk yang dulu sering 

tampil sebagai tokoh sesat, tapi sekarang sudah beralih 

ke golongan putih sejak mempunyai murid Suto (Baca 

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa 

Pusar").

Terawang ingatan Selendang Kubur kepada Suto, 

bahwa Pendekar Mabuk itu beberapa kali ia temui tapi


tak terlihat Cincin Manik Intan tersemat di jarinya. Itu 

pertanda Pusaka Manik Intan belum ditemukan oleh 

Suto. Sedangkan Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh 

Suto pada saat diperebutkan dari tangan si Mawar Hitam 

dari Pulau Hantu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Pusaka Tuak Setan"). Selendang Kubur belum 

mengetahui hal itu, sehingga hatinya pun bertanya-tanya, 

apakah Tuak Setan berhasil dilenyapkan oleh Suto, atau 

diminum oleh seseorang dari golongan sesat? 

"Selendang Kubur," ucap Pujangga Keramat lagi, 

"Jika tahu kau Suto di mana, tolong kasih aku tahu 

tentang dianya. Dia harus cepat cari itu pusaka sebelum 

jatuh ke orang-orang sesat tangan."

"Pujangga Keramat, sebenarnya aku tahu di mana 

Pendekar Mabuk. Tapi keadaannya sangat tidak 

memungkinkan untuk dihubungi secepat ini." 

"Kasihlah tahu aku!" desak Pujangga Keramat.

"Dia ada di Bukit Garinda, sedang dalam bahaya. 

Aku sendiri sedang menuju ke sana untuk membebaskan 

Suto dari rencana jahat Nyai Lembah Asmara, penguasa 

Bukit Garinda itu!"

Pujangga Keramat kerutkan dahi tajam-tajam. "Aku 

pernah seperti dengarnya itu nama Nyai. Kalau tak salah, 

dia ratu keji dingin darah!" 

"Memang benar! Menurut keterangan dari guruku 

juga begitu. Tapi aku tak takut, Pujangga Keramat. Aku 

tidak gentar. Aku harus bisa membebaskan Suto dari 

cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara itu!"

"Oho, ada cengkeraman mesra jugalah? Itu tanda


cemburu kau padanya! He he he...!" Pujangga Keramat 

terkekeh jelek, tapi tidak menyakitkan hati, hanya 

membuat Selendang Kubur sunggingkan senyum 

malunya sedikit.

Pujangga Keramat goda hati perempuan itu, "Ada 

hatilah kau padanya, Selendang Kubur?" 

"Ya," jawab Selendang Kubur singkat tapi tegas.

"Suto cintalah juga dengan kau?"

"Aku tak tahu apakah dia cinta juga padaku atau 

tidak, yang jelas aku tak rela kalau Pendekar Mabuk 

berada dalam cengkeraman mesra Nyai Lembah 

Asmara! Lebih baik aku bertarung sampai mati dengan 

nyai keji itu!" Selendang Kubur tak sadar ucapkan kata 

dalam geram amarah tertahan.

"Kuingat-ingatkan, jangan kaulah gegabah serang dia 

nyai! Kau bisa binasalah di tangannya, Selendang 

Kubur," Pujangga Keramat tampakkan sikap bijaknya. 

Tapi Selendang Kubur agaknya kurang peduli dengan 

saran itu, sehingga ia cepat ucapkan kata,

"Aku sudah siap mati untuk Pendekar Mabuk!" 

Pujangga Keramat angguk-anggukkan kepala. 

Renungkan kata-kata itu beberapa saat sambil 

melangkahkan kaki pelan-pelan, lalu pada kejap berikut 

dia berkata,

"Begitu kalau, ikut sajalah aku ke sana! Sama-sama 

kita bebaskan Suto dari itu tangan nyai!" 

"Kau mau ikut ke Bukit Garinda?"

"Iyalah! Kupunya tugas untuk Suto-nya sendiri!"

"Tapi bagaimana dengan tugasmu menjaga Manik


Intan itu?" 

"Cepatlah aku pulangkan telaga setelah selesai 

sampaikan pesan dari Suto gurunya."

Selendang Kubur tidak merasa keberatan. Sekalipun 

susah diajak bicara, tapi Pujangga Keramat bisa menjadi 

penambah kekuatan dalam penyerangan ke Bukit 

Garinda. Tetapi ada satu hal yang membuat hati 

Selendang Kubur gelisah, ia menangkap suara napas 

orang dari suatu persembunyian, ia pun bisikkan kata 

pada Pujangga Keramat,

"Tahukah kau ada yang mengintai kita, Pujangga 

Keramat?"

"Ya, aku tahulah!" jawab Pujangga Keramat dengan 

bahasa yang menurutnya sudah benar dan selalu indah. 

"Kita jebak dia, Pujangga Keramat! Kita cepat 

menghilang di balik gerombolan bebatuan di sebelah 

kanan sana."

Pujangga Keramat hanya anggukkan kepala pelan. 

Kejap berikutnya dua tokoh itu jejakkan kaki dan 

melesat cepat bagaikan terbang. Menghilang di balik 

gerombolan bebatuan yang menggugus. Dari sanalah 

mata mereka saling berpencar, menyusuri tiap jengkal 

tempat dengan liar.

"Ssst...!" colek Pujangga Keramat. "Ke timur 

lihatlah!"

Selendang Kubur tetapkan pandang matanya ke arah 

timur. Kepalanya kian tunduk merunduk. Di sana 

tampak sosok tubuh sedikit gemuk berpakaian serba 

hitam. Tepian pakaian orang itu dililit kain kuning emas


kecil. Wajah orang itu berkumis dan bercambang tipis. 

Matanya sedikit sipit memancarkan kebengisan. Sebuah 

pedang bersarung perak berukir ada di pinggang kirinya. 

Pujangga Keramat kembali bisikkan kata,

"Ingatkah kau itu orang?"

"Ya. Kalau tak salah dia yang bernama Datuk Marah 

Gadai!"

"Dia yang intai kita tadi sejak."

"Kurasa begitu. Tapi untuk apa dia intai kita?"

"Tak tahu akulah!" sambil Pujangga Keramat sedikit 

angkat kepala dan pundaknya tanda tidak tahu-menahu 

maksud Datuk Marah Gadai.

"Kita sikat dia sajalah!" bisik Pujangga Keramat lagi.

"Jangan dulu. Kita kepingin tahu dulu, apa maksud 

dan tujuannya intai kita dari sana!" seraya Selendang 

Kubur tahankan tangannya ke pundak Pujangga 

Keramat.

Datuk Marah Gadai salah satu dari tokoh sakti yang 

ingin menguasai tanah Jawa kelihatan sedang mencari-

cari barang intaiannya. Ia berdiri di sebuah batu, 

terlindung semak ilalang tinggi bagian depannya, ia tak 

tahu ada yang mengintainya dari samping kirinya. 

Kejap berikutnya Datuk Marah Gadai tampak 

kecewa. Kemudian ia tinggalkan tempat itu dalam satu 

lompatan bertenaga ringan. Dan pada saat ia melesat 

pergi, tampak pula sosok bayangan berpakaian hitam 

pula yang menyusul kepergiannya. Sosok yang 

menyusul itu sempat tertangkap oleh mata Selendang 

Kubur. Hatinya mengucap kata bernada heran,


"Dirgo Mukti...?! Untuk apa dia menyusul Datuk 

Marah Gadai? Atau mungkin mereka memang 

bersepakat mengintaiku dari kejauhan?" 

Dirgo Mukti, seorang pemuda tampan yang mengaku 

dirinya Manusia Sontoloyo. Selama ini, Selendang 

Kubur mengira Dirgo Mukti tidak punya niat jahat 

kepadanya, selain niat ingin mencicipi kehangatan 

tubuhnya dengan kenakalan hidung belangnya itu. Tapi 

memang hal itu tak pernah diberikan oleh Selendang 

Kubur. Dirgo Mukti yang pernah menolongnya dari luka 

parah itu memang kecewa, tapi haruskah kekecewaan 

Dirgo Mukti itu membuatnya bergabung dengan Datuk 

Marah Gadai dan bekerja sama untuk menundukkan 

dirinya? Atau, mungkin memang sejak dulu mereka 

mempunyai jalinan hubungan akrab yang baru sekarang 

diketahui Selendang Kubur? 

Ternyata keadaan sesungguhnya tidak seperti dalam 

kecamuk hati Selendang Kubur. Dirgo Mukti adalah 

Dirgo Mukti, Datuk Marah Gadai adalah Datuk Marah 

Gadai. Mereka tak punya hubungan, bahkan mereka 

belum saling kenal secara hadap-hadapan. Mereka hanya 

saling kenal nama dari mulut ke mulut saja. Jika hari itu 

Dirgo Mukti melesat di belakang Datuk Marah Gadai, 

itu hanyalah sesuatu yang bersifat kebetulan saja. 

Kebetulan mereka sama-sama mendengar keterangan 

Pujangga Keramat tadi mengenai cincin pusaka Manik 

Intan, sehingga di dalam hati mereka saling mempunyai 

keinginan untuk memiliki cincin tersebut. 

Dari balik persembunyiannya tadi, Dirgo Mukti


sempat menangkap adanya orang lain yang juga 

bersembunyi mengintai Selendang Kubur. Pada awal 

tujuan Dirgo bersembunyi hanya untuk menjaga 

keselamatan Selendang Kubur. Sebab bagaimanapun 

juga alotnya perempuan itu, Dirgo Mukti masih punya 

gairah untuk bercumbu dengan Selendang Kubur. 

Namun demi ia melihat orang lain bersembunyi 

mengintai Selendang Kubur, ia jadi curiga. Lebih curiga 

lagi setelah dengar pula penuturan dari Pujangga 

Keramat tentang pusaka cincin Manik Intan itu. Ketika 

ia melihat lelaki sedikit gemuk itu melesat pergi, naluri 

Dirgo mengatakan, bahwa lelaki itu pergi ke Telaga 

Manik Intan. Maka segera ia ikuti kepergiannya. Karena 

tiba-tiba dalam pikiran Dirgo Mukti timbul niat untuk 

memiliki pusaka tersebut.

Dirgo Mukti mendengar adanya Pusaka Tuak Setan 

dan Pusaka Manik Intan dari gurunya. Konon, Pusaka 

Tuak Setan mampu mengeluarkan badai yang dapat 

menyapu tanah Jawa dalam satu kali hembusan napas 

seseorang yang telah meminumnya. Sedangkan Pusaka 

Manik Intan adalah cincin yang bisa menyalurkan tenaga 

dalam seratus kali lipat dari tenaga dalam yang 

dikeluarkan oleh pemakainya. Dalam pikiran Dirgo 

terbetik kata-kata.

"Kalau aku bisa memiliki cincin itu, maka aku pasti 

bisa mengalahkan Pendekar Mabuk dalam pertarungan 

bulan depan di Bukit Jagal. Dan kalau aku bisa 

mengalahkan Suto, maka sebagai taruhannya Peri 

Malam akan tunduk kepada cintaku, mau menerima


cintaku dan mau kuajak tidur bersama sepanjang masa. 

Bisa tak bisa aku harus bisa mendapatkan Cincin Pusaka 

Manik Intan itu!" 

Memang benar pemikiran Dirgo Mukti. Ia perlu 

memiliki cincin tersebut karena kekuatan dahsyat yang 

ada di dalamnya. Cincin Pusaka Manik Intan adalah 

cincin yang bukan sembarang cincin. Menurut penuturan 

para tokoh tua di rimba persilatan, cincin itu adalah 

jelmaan dari air mata seorang bidadari yang menangis. 

Karena dendam tak bisa terlampiaskan, amarah bidadari 

itu hanya bisa tercurah dalam bentuk tangis. Air mata itu 

menggumpal dan membeku keras menjadi batu, yang 

kemudian ditemukan oleh tokoh sakti pada zaman dulu 

yang menjadi Guru dari si Gila Tuak dan Bidadari 

Jalang, yaitu pasangan suami-istri Eyang Purbapati dan 

Eyang Nini Galih.

Karena pusaka itu berbahaya di tangan Bidadari 

Jalang yang lebih sering mengumbar nafsu angkara 

murkanya, maka si Gila Tuak bersepakat untuk saling 

menghancurkan atau menguburkan pusaka-pusaka yang 

berbahaya bagi keselamatan orang banyak. Gila Tuak 

menguburkan Pusaka Tuak Setan dan Bidadari Jalang 

menguburkan Pusaka Manik Intan. Dan inilah adalah 

siasat dari Gila Tuak yang ingin mengurangi ilmu 

saudara seperguruannya itu agar kesesatan langkahnya 

tidak terlalu banyak menimbulkan korban. Sebab jika 

Bidadari Jalang memiliki cincin pusaka yang tercipta 

dari tetesan air mata bidadari murka itu, maka habis 

sudah seluruh penduduk bumi ini dibinasakan oleh


kemurkaannya.

Tetapi sejak Bidadari Jalang mengangkat Suto 

sebagai muridnya juga, setelah banyak ilmunya 

diturunkan kepada bocah tanpa pusar itu, maka 

persoalan Cincin Manik Intan diserahkan sepenuhnya 

kepada Suto. Bidadari Jalang tidak mau peduli apakah 

cincin itu akan dimusnahkan atau dipakai sendiri oleh 

Pendekar Mabuk, yang penting jangan sampai jatuh ke 

tangan orang-orang sesat. Memang, si Gila Tuak 

menyarankan agar cincin itu ikut dimusnahkan saja. Tapi 

agaknya cincin itu punya pertalian jiwa dengan Pusaka 

Tuak Setan. Di mana Tuak Setan berada di situ pula 

cincin itu tinggal. Padahal Tuak Setan ada di dalam 

tubuh Pendekar Mabuk, apakah cincin itu juga harus 

berada di antara jari tangan Pendekar Mabuk?

Yang jelas cincin itu sekarang sedang dalam incaran 

Datuk Marah Gadai. Dalam hati orang yang dari dulu 

mengejar-ngejar Pusaka Tuak Setan itu berkata,

"Tak kuperoleh Pusaka Tuak Setan, asalkan Pusaka 

Cincin Manik Intan itu kudapatkan, puaslah hatiku! 

Sungguh aku tak menyangka kalau cincin itu masih ada 

di dasar telaga. Tempo hari aku mencarinya sampai 

susah payah, belum juga kutemukan. Kupikir telah 

diambil oleh Suto Sinting, ternyata menurut keterangan 

pelayan si Gila Tuak tadi, cincin tersebut masih ada di 

dasar telaga. Sampai sehari penuh harus berendam pun, 

aku tak merasa keberatan!"

Namun baru saja Datuk Marah Gadai pijakkan 

kakinya di tanah tepi telaga, tahu-tahu hatinya


dikejutkan oleh munculnya sesosok pemuda tampan 

yang melompat bagaikan terbang melalui atas kepalanya. 

Pemuda itu mendaratkan kakinya tepat di depan Datuk 

Marah Gadai dalam keadaan memunggungi. Jaraknya 

antara lima langkah. Pemuda bersenjata kapak dua mata 

itu tak lain adalah Dirgo Mukti yang mengangkat diri 

sebagai Manusia Sontoloyo.

Dirgo Mukti segera balikkan badan menjadi saling 

berhadapan dengan Datuk Marah Gadai. Orang yang 

usianya antara sepuluh tahun lebih tua darinya itu segera 

kerutkan kening sambil usapkan kumis sedikit. Dadanya 

terbusung ke depan dengan kepala sedikit ditarik ke 

belakang, lalu melontarkan tanya dengan suaranya yang 

tergolong besar, 

"Siapa kau, Anak Muda?!" tanya Datuk Marah Gadai 

dengan lagak bijaknya.

"Rupanya kau tokoh baru di rimba persilatan ini, 

sehingga tidak mengenali diriku!" kata Dirgo Mukti 

dengan angkuhnya. 

Datuk Marah Gadai serukan tawa bernada mengejek. 

"Kau itu anak ingusan, mana mungkin aku 

mengenalimu? Bukan karena aku tokoh baru di dunia 

persilatan, tapi karena kau terlambat muncul karena 

masih menetek ibumu, jadi aku tidak mengenalimu!" 

"Bicaralah dengan tutur kata yang baik dan sopan, 

Pak Tua!"

Makin terkekeh geli Datuk Marah Gadai dipanggil 

dengan sebutan 'pak tua'. Baginya itu panggilan yang 

belum waktunya muncul. Tapi karena yang menyerukan


adalah mulut bocah ingusan, Datuk Marah Gadai pun 

merasa tidak perlu mempermasalahkannya. Yang 

menjadi masalah adalah maksud dan tujuan anak muda 

di depannya itu. 

"Sebutkan namamu atau kuhabiskan nyawamu 

sekarang juga?" Datuk mulai mengawali ancamannya 

dengan sudut mata menatap bengis.

"Kurasa kau tak perlu mengancam Dirgo Mukti yang 

sudah kesohor kesaktiannya ini, Pak Tua! Tentunya kau 

pun pernah mendengar gelar kejayaanku sebagai 

Manusia Sontoloyo, yang merupakan satu-satunya tokoh 

tangguh yang sulit ditumbangkan!" 

"Ha ha ha ha.... Manusia Sontoloyo! Nama baru yang 

benar-benar nama untuk orang loyo. Ha ha ha...!" 

"Tutup mulutmu, Kambing tua!" sentak Dirgo Mukti 

dengan mata menatap tajam. Tetapi sentakannya itu 

tidak membuat Datuk Marah Gadai hentikan tawanya, 

melainkan justru pertambah keras tawanya yang 

bergelak-gelak itu. Dirgo Mukti menggeram sambil 

keraskan kepalan tangannya.

Kejap berikutnya, Datuk Marah Gadai ucapkan kata,

"Dirgo Mukti, seharusnya kau berhati-hati dalam 

bicara dengan Datuk Marah Gadai ini!" sambil Datuk 

tepukkan dada sendiri. 

Dirgo Mukti sedikit picingkan mata pertanda pikirkan 

sesuatu, ia pernah mendengar nama Datuk Marah Gadai,

tapi bukan dari gurunya, melainkan dari mulut 

Selendang Kubur. Seingatnya, Selendang Kubur pernah 

menceritakan bahwa orang yang bernama Datuk Marah


Gadai itu juga tokoh sakti yang sukar ditumbangkan. Hal 

itu membuat Dirgo Mukti ingin sekali menjajalnya.

Datuk berkata lagi, "Ketahuilah, Dirgo Mukti, Datuk 

Marah Gadai adalah orang yang sulit memberikan 

ampunan bagi lawannya. Jadi kusarankan cepat angkat 

kaki dari depanku jika kau punya maksud memusuhiku, 

Sontoloyo!" 

Dirgo Mukti sunggingkan senyum sinisnya. 'Tidak 

ada aturan mundur dalam sejarah kependekaran Dirgo 

Mukti! Apalagi aku tahu maksudmu datang ke telaga ini, 

yaitu ingin mendapatkan Pusaka Cincin Manik Intan! 

Hhmm...! Tak akan kubiarkan pusaka itu jatuh ke 

tanganmu, Datuk Marah Gadai!"

Tadi, ketika Dirgo menyebutkan Cincin Manik Intan, 

mata Datuk Marah Gadai terperanjat sekejap. Perasaan 

bermusuhan tiba-tiba meletup keras di hatinya, sebab 

Dirgo Mukti adalah orang pertama yang dianggapnya 

jadi penghalang niatnya yang sudah yakin bahwa cincin 

itu masih ada di dasar telaga. Karena itu, Datuk Marah 

Gadai pun segera kepalkan kedua tangannya dan berkata 

geram,

"Jangan harap kau bernapas esok pagi jika kau ingin 

menguasai cincin pusaka itu juga, Sontoloyo!" 

"Buktikan omonganmu! Aku ingin menakar seberapa 

tinggi ilmu yang kau miliki sebenarnya, Datuk Marah 

Gadai!"

"Kurang ajar! Anak kambing muda berani 

menantangku?! Hiih...!" 

Datuk Marah Gadai melancarkan pukulan jarak jauh


dengan sentakkan tangan kirinya ke depan. Tapi Dirgo 

segera hentakkan kakinya dan melesat terbang ke arah 

Datuk Marah Gadai dengan kaki miring melayang. 

Datuk Marah Gadai segera silangkan tangan di atas 

kepala untuk menangkis tendangan kaki lawannya. 

Plakkk...! Kaki tertangkis, tangan kanan Datuk Marah 

Gadai menghentak tepat mengenai dada si Manusia 

Sontoloyo. Blegh...! 

"Hegh...!" Dirgo Mukti tersentak dengan napas 

tertahan, ia tak menyangka pukulan Datuk Marah Gadai 

begitu keras, berat, dan cepat. Tubuhnya terlempar 

cukup jauh dari pukulan itu. Datuk Marah Gadai segera 

melompat mengejar Dirgo Mukti yang terjerembab 

dalam jarak sepuluh langkah darinya. Sebuah pukulan 

jarak jauh dihantamkan oleh Datuk Marah Gadai, 

membuat Dirgo Mukti terpaksa melesat jauh lagi untuk 

menghindari. 

Ketika mereka baku hantam di sebelah sana, diam-

diam seseorang yang telah mendengar percakapan tadi 

masuk ke dalam telaga. Melihat cara menceburkan diri 

ke tengah telaga tanpa suara sedikit pun, jelaslah dia 

orang berilmu tinggi. Air pun tak memercik banyak. 

Jelas pula orang itu mengincar Pusaka Cincin Manik 

Intan. 

 * 

* *


TIGA



CAHAYA pagi menerobos dedaunan hutan. Pendekar 

Mabuk berlari sambil memanggul Perawan Sesat yang 

terluka parah karena pukulannya. Pendekar Mabuk 

terpaksa berhenti sejenak untuk memeriksa luka dalam 

Perawan Sesat itu. Ternyata keadaan bertambah 

membahayakan jiwa perempuan yang berambut acak-

acakan itu.

"Perjalanan ini tak bisa dilanjutkan," pikir Suto. 

"Bisa-bisa perempuan ini mati sebelum kutemukan 

daerah yang bernama Bukit Garinda. Aku harus 

berusaha menyembuhkannya dulu. Kalau dia mati, aku 

akan kehilangan jejak tentang tempat tinggal kekasihku, 

Dyah Sariningrum." 

Suto memang tidak tahu bahwa dirinya telah 

dikelabui oleh Perawan Sesat. Rasa cinta Suto kepada 

seseorang yang bernama Dyah Sariningrum dijadikan 

kesempatan melumpuhkan amukan Suto pada saat geger 

di Perguruan Merpati Wingit. (Baca serial Pendekar 

Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat"). Suto Sinting 

percaya, bahwa Perawan Sesat diutus oleh gurunya 

untuk membawa Suto ke Bukit Garinda, dan gurunya itu 

bernama Dyah Sariningrum. Suto memang tak pikir-

pikir lagi begitu mendengar nama Dyah Sariningrum 

disebutkan. Bahkan ia sendiri yang mendesak Perawan 

Sesat agar segera dibawa ke Bukit Garinda. Karenanya, 

walau susah payah ia harus menggendong Perawan Sesat 

yang terluka oleh pukulan tabung tuaknya, Suto merasa 

masih punya tenaga untuk berlari satu hari satu malam


lagi. Sayang, hal itu tidak bisa ia lanjutkan mengingat 

keadaan Perawan Sesat kian bertambah parah.

Sekujur tubuh Perawan Sesat bukan hanya pucat 

kebiru-biruan, tapi juga mengeluarkan bintik-bintik 

merah dari setiap pori-porinya. Ini yang mencemaskan 

Suto. Sebab dia tahu pukulan jurus 'Bumbung Bernyawa' 

itu punya akibat sangat buruk bagi orang yang ilmu 

tenaga dalamnya tidak terlalu tinggi. Darah bisa 

memercik keluar dari pori-pori tubuh, dan orang itu akan 

menemui ajal secara mengerikan.

Baru saja Suto Sinting yang berpakaian coklat tua 

dengan celana putih itu ingin melakukan penyembuhan 

terhadap luka Perawan Sesat, tiba-tiba ia dikejutkan 

dengan hembusan angin cepat di arah belakangnya. 

Hembusan angin itu dirasakan bukan hembusan angin 

sembarangan. Cepat pula Pendekar Mabuk kibaskan 

bumbung tuaknya ke belakang sambil putar tubuhnya. 

Wuuut...! 

"Aahg...!" 

Kibasan angin bumbung itu membuat seseorang 

bertubuh kurus kering terpental jatuh ke belakang dalam 

jarak empat langkah. Orang itu menyeringai memegangi 

pinggangnya yang terasa mau patah itu. Ia bangkit 

dengan menggeliat sakit dan menggerutu, 

"Sial! Begitukah sambutanmu kepada orang yang 

tidak memusuhimu, Suto?" 

"O, maafkan aku, Peramal Pikun! Kukira kau musuh 

yang ingin memukulku dari belakang!" 

Peramal Pikun, orang yang sudah berambut uban


merata dengan alis dan jenggotnya pun putih semua, 

sedikit terpincang-pincang mendekati Suto. Dari mulut 

tuanya masih mengeluarkan gerutuan yang membuat 

Pendekar Mabuk jadi tersenyum geli,

"Aku tak pernah membokong musuhku, kecuali 

kepepet!"

Peramal Pikun hentikan langkah setelah jaraknya 

hanya dua tindak dari Suto. Matanya terkesiap sekejap 

ketika memandang sosok tubuh Perawan Sesat yang 

dibaringkan oleh Pendekar Mabuk di rerumputan. Kejap 

berikutnya orang tua kurus kering itu terkekeh dalam 

tawanya, sambil ia lirikkan mata kepada Suto dengan 

menggoda, 

"He he he... aku tahu, aku tahu! Kau ingin perkosa 

gadis ini, bukan? He he he boleh!" Peramal Pikun 

manggut-manggut. "Menurut ramalanku, kau akan 

berhasil perkosa gadis ini, Suto. Lakukanlah, aku 

bersembunyi dulu!" 

Cepat tangan Pendekar Mabuk menarik kain 

pembalut tubuh Peramal Pikun di bagian pundak. Bett...! 

Langkah lelaki tua yang mirip tulang dibungkus kulit itu 

jadi berhenti. Wajahnya dipalingkan ke belakang dengan 

malu-malu. Suto tersenyum dan berkata, 

"Tetaplah di sini! Aku tidak akan perkosa dia. Dia 

pingsan. Kalau dia tidak pingsan, mungkin aku yang 

akan diperkosanya, atau barangkali kau juga, Pak Tua!" 

"Aku...?! O, itu tidak mungkin. Aku sudah tidur 

semalaman dengan Perawan Sesat ini dalam sebuah gua, 

tapi dia agaknya tidak berminat menikmati tubuh


kurusku ini!" 

"Kau sudah bersamanya sebelum ini?"

"Ya. Dia yang desak aku dan ancam aku untuk 

menunjukkan di mana dirimu berada. Dia memang ingin 

sekali bertemu denganmu. Lalu, kami berpencar, aku ke 

utara dan dia ke selatan. Rupanya dia yang beruntung, 

bisa bertemu denganmu. Tapi..., oh, ya... kenapa ia 

pingsan, Suto?" 

"Terkena pukulanku!" jawab Suto sambil membuka 

tutup bumbung tuaknya, ia menenggak beberapa teguk 

ketika Peramal Pikun bertanya,

"Apakah lukanya parah?" 

"Sangat parah. Karena itu aku membutuhkan tempat 

untuk menyembuhkan luka-lukanya. Aku tahu, pukulan 

itu sebentar lagi akan membuat ia semaput!" 

"Lalu, kenapa kau ingin menyembuhkannya? 

Bukankah kau yang telah memukulnya dengan sengaja?"

"Ya. Tapi aku waktu itu tidak tahu, bahwa ia akan 

membawaku kepada seseorang yang menjadi kekasihku, 

yaitu orang yang bernama Dyah Sariningrum!" 

Terkesiap mata Peramal Pikun seketika itu juga. 

Terperanjat ia dalam kejut tertahan. Ada napas yang 

ditariknya satu sentakan. Dan pada saat itu, Suto melihat 

ada darah mengalir keluar dari lubang telinga Peramal 

Pikun. Keluarnya darah itu pernah dilihat oleh Suto 

beberapa waktu yang lalu, ketika, ia menyebutkan nama 

Dyah Sariningrum (Baca serial Pendekar Mabuk dalam 

episode: "Darah Asmara Gila"). Melihat keanehan itu, 

hati Suto jadi bertanya-tanya,


"Mengapa tiap kali kusebutkan nama Dyah 

Sariningrum telinga Peramal Pikun itu jadi berdarah?! 

Wajahnya pun kulihat terperanjat dan sorot matanya 

secepatnya beralih pandang ke arah lain. Dalam indera 

penglihatanku, ada rasa takut dan waswas dalam hati 

Peramal Pikun jika kusebutkan nama perempuan yang 

sangat kurindukan dan ingin kutemui itu. Mengapa ia 

begitu? Pasti ada rahasia aneh yang tersimpan dalam 

olehnya." 

Darah itu hanya menggumpal di tepi lubang telinga 

Peramal Pikun. Tapi agaknya Peramal Pikun tidak 

menyadari atau memang berpura-pura tidak mengetahui 

keluarnya darah kental itu. Bahkan Peramal Pikun segera 

alihkan pembicaraan kepada masalah lukanya Perawan 

Sesat itu.

"Suto, kalau kau butuh tempat untuk mengobati 

perempuan ini, bawalah dia ke pondokku yang kebetulan 

tak jauh dari sini!"

"Ada siapa saja di pondokmu itu, Peramal Pikun?" 

"Tak ada siapa pun selain diriku!" jawab Peramal 

Pikun. 

"Baiklah. Tapi sebelum itu aku ingin ajukan satu 

pertanyaan tentang kekasihku yang...." 

"Ikutilah aku!" potong Peramal Pikun, ia segera 

menjejakkan kaki ke tanah dan tubuh kurusnya 

melenting di udara, melesat ke arah tikungan jalan. Suto 

terkesiap sejenak, lalu bergegas mengangkat tubuh 

Perawan Sesat dan membawanya lari menyusul Peramal 

Pikun.


Pendekar Mabuk memang sangat penasaran dengan 

perempuan cantik idaman hatinya yang ia temukan 

dalam semadinya di dalam gua, tempat tinggal gurunya. 

Kalau saja waktu ia bersemadi sukmanya tidak dipakai 

melayang ke mana-mana, hanya khusus untuk mencari 

Pusaka Tuak Setan, mungkin ia tak sempat jumpa 

dengan perempuan cantik bernama Dyah Sariningrum. 

Tetapi menurut si Gila Tuak, gurunya itu, jika Suto 

sempat bertemu dengan perempuan dalam semadinya, 

maka perempuan itulah yang kelak menjadi jodoh Suto 

dalam waktu yang tak terbatas. Tapi di mana Dyah 

Sariningrum berada, sampai saat ini Pendekar Mabuk 

belum bisa menemukan tempatnya yang pasti. (Baca 

serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak 

Setan").

Satu-satunya orang yang dianggap mampu menjadi 

penunjuk jalan untuk menemukan tempat tinggal Dyah 

Sariningrum adalah Peramal Pikun. Hanya orang kurus 

kering itulah yang menjadi satu-satunya orang yang 

dicurigai Suto telah menyimpan rahasia tentang jati diri 

kekasih idaman hatinya itu. Tapi agaknya tak mudah 

mengorek keterangan dari mulut Peramal Pikun 

mengenai Dyah Sariningrum. Karena setelah mereka tiba 

di pondok tempat bernaungnya Peramal Pikun, lelaki tua 

renta itu langsung mengajaknya bicara mengenai 

kesaktian dan kehebatan ilmu-ilmu yang dimiliki 

Perawan Sesat itu.

"Aku tahu dia punya guru yang sangat tinggi 

ilmunya," kata Peramal Pikun.


"Apakah gurunya itu yang bernama Dyah 

Sariningrum?!" pancing Suto, tapi Peramal Pikun tidak 

menjawab. Hanya tubuhnya kentara sedikit mengalami 

sentakan halus. Kemudian kembali telinganya tampak 

mengeluarkan darah tak banyak. Peramal Pikun pun 

kembali alihkan bicara,

"Lakukanlah penyembuhan dengan segera, sebelum 

nyawa perempuan liar ini melayang. Agaknya dia 

memang orang yang kau butuhkan. Dia bisa 

membantumu." 

"Kau yakin begitu?"

"Tidak," jawab Peramal Pikun sambil keluar dari 

pondoknya yang beratap rumbia, yang terletak di tengah 

kerimbunan hutan liar. 

Malam mulai datang. Cahaya purnama berpendar di 

atas memandangi bumi. Sejenak Pendekar Mabuk ingat 

janji pertarungannya dengan Manusia Sontoloyo pada 

purnama kedua nanti. Tapi untuk sementara ia 

kesampingkan dulu tantangan Dirgo Mukti tersebut, ia 

masih membutuhkan pemusatan pikiran untuk 

penyembuhan luka Perawan Sesat. 

Ketika malam semakin kelam, selesai sudah 

penyembuhan yang dilakukannya terhadap Perawan 

Sesat. Suto tinggal menunggu perempuan itu siuman. 

Untuk membuang rasa penat di dalam pondok 

berdinding anyaman pandan itu, Suto melangkah keluar. 

Ditatapnya Peramal Pikun yang duduk di atas sebuah 

batu, lima langkah dari pondoknya, merenung sambil 

dongakkan kepala, bak sedang mengamati indahnya


rembulan. 

Pendekar Mabuk mendekatinya sambil menenteng 

bumbung tuak yang tak pernah jauh dari jangkauannya 

itu. Ia duduk di batang pohon kering yang tumbang 

miring. Di sana ia teguk tuaknya beberapa kali, 

kemudian ia segera ajukan tanya kepada Peramal Pikun,

"Aku ingin sekali mengetahui suatu rahasia yang 

amat penting bagi hidupku. Maukah kau menjawabnya?" 

Peramal Pikun tidak menjawab, melainkan justru 

bertanya, "Bagaimana keadaan Perawan Sesat itu?"

"Sudah membaik. Sebentar waktu dia akan siuman." 

"Dia cantik. Kau sepaham dengan pendapatku?"

"Ya. Memang cantik. Tapi jiwanya liar dan buas." 

"Itulah yang amat kusayangkan. Barangkali memang 

begitulah perangai jati dirinya yang tak bisa dipungkiri 

lagi. Sebagai orang tua, aku menaruh rasa kagum 

terhadap keberanian dan jiwanya. Dia pemberani dan 

tegas, pendiriannya sekeras batu gunung! Tak ada 

ruginya punya istri macam dia."

Suto hanya sunggingkan senyum malas. Sepertinya ia 

tidak tertarik dengan percakapan itu. Tapi demi 

menyenangkan hati si kurus kering itu, Suto tetap 

mendengarkan kata-katanya.

"Perempuan itu bukan hanya bisa melindungi dirinya 

sendiri, tapi juga akan bisa melindungi suami dan anak-

anaknya kelak. Semangat cintanya pun menggebu-gebu. 

Menurut ramalanku, dia seorang perempuan yang 

mempunyai kehangatan cinta yang akan berkobar 

sepanjang masa."


Sekali lagi Suto sunggingkan senyum dan lontarkan 

tawa pendek serta pelan, ia tidak kasih ulasan, sehingga 

Peramal Pikun segera ajukan pertanyaan,

"Apa kau tidak tertarik padanya, Suto?" 

"Tidak!" jawab Pendekar Mabuk tegas. 

"Jangan lihat liarnya, tapi lihatlah hasil akhirnya 

nanti!" 

Suto makin kekehkan tawa geli. "Aku tak ada minat 

sedikit pun untuk jatuh cinta kepada perempuan lain, 

kecuali kekasihku yang...." 

"Hentikan!" sergah Peramal Pikun dengan wajah 

tegang dan bersungguh-sungguh. Bahkan ia cepat berdiri 

dengan tutupkan telinga memakai kedua tangannya. Suto 

memandang dengan heran. Sebelum lontarkan tanya, 

Peramal Pikun sudah lebih dulu bicara, 

"Jangan sebut lagi nama itu!" 

"Kenapa?"

"Kali ini aku bisa marah jika kau sebutkan nama 

orang yang kau rindukan itu!" 

"Aku butuh alasan, Peramal Pikun!" 

"Tidak ada alasan!"

"Kau membuatku bingung!" 

"Tidak perlu bingung! Aku hanya minta, jangan sebut 

nama itu. Tak sulit menuruti permintaanku, bukan?!" 

Suto menarik napas panjang. Ketegangan yang terjadi 

ingin diredakan kembali. Untuk itu Suto tak berani 

mendesak Peramal Pikun lagi, dan dia memilih diam 

adalah yang terbaik untuk suasana malam itu. Hening 

pun menembus hati sanubari mereka masing-masing


sehingga Peramal Pikun mendahului bicara.

"Sejak kapan kau kenal perempuan yang menjadi 

idaman hatimu itu, Suto?" 

"Sejak kutemukan dia, Peramal Pikun!" jawab Suto 

kalem.

"Di mana kau temukan dia?"

"Di alam semadiku!"

Terkesiap mata Peramal Pikun menatap wajah Suto 

dalam cahaya rembulan malam,. Suto diam saja walau 

tahu dipandang dalam keheningan. Lama kemudian 

Peramal Pikun kembali bertanya,

"Sejauh mana kau bertemu dengan dia di alam 

semadimu?"

"Hanya sekadar pertemuan biasa. Dia menangis 

memandangiku. Dia sebutkan namanya tiga kali, seakan 

mengharap kehadiranku. Dan aku tak sadar, ternyata aku 

telah melelehkan air mata darah."

Sekali lagi wajah Peramal Pikun terperanjat 

mendengarnya. Mulutnya sedikit ternganga bengong, 

seakan tak bisa dipakai bicara.

Pendekar Mabuk tetap tenang, ia meneguk tuaknya 

dua kali tegukan, kemudian menghempaskan napas 

lewat mulut, pertanda menikmati rasa enak dalam 

kecapan rasa tuaknya. Pada saat itulah terdengar suara 

Peramal Pikun berkata pelan,

"Barangkali memang kaulah orang yang ditunggu-

tunggunya!" 

"Tapi aku tak tahu siapa dia dan di mana dia berada! 

Aku tak bisa menemukan arah tempat tinggalnya. Dan


aku yakin, kau pasti banyak tahu tentang dia, Peramal 

Pikun. Aku berharap kau mau menolongku 

menunjukkan di mana dia tinggal." 

Setelah bungkam sejenak, Peramal Pikun ucapkan 

kata pelan lagi,

"Aku tak berani, Suto!"

"Maksudmu bagaimana, Peramal Pikun?"

"Aku tak berani tunjukkan di mana dia berada." 

"Kenapa?"

"Aku takut dia murka!" 

"Murka kepadaku atau kepadamu?"

"Kepadaku!"

"Mengapa di murka?" desak Pendekar Mabuk 

semakin penasaran. 

"Karena...," Peramal Pikun berhenti bicara, ia melirik 

ke kanan-kiri, takut ada yang mencuri dengar 

percakapan itu. Dan ternyata dugaannya benar. Memang 

ada yang mencuri dengar. Peramal Pikun segera 

menjebaknya dengan kata-kata,

"Kalau sudah merasa enak badanmu, keluarlah 

Perawan Sesat! Duduklah di sini bersama kami!"

Perawan Sesat sudah sembuh. Badannya terasa lebih 

segar dari sebelum ia jatuh terluka parah. Perempuan 

berambut acak-acakan lurus berkesan jabrik itu segera 

langkahkan kaki keluar dari pondok. Merasa sedikit 

malu karena perbuatannya diketahui oleh Peramal Pikun. 

Pendekar Mabuk memandang kehadiran Perawan 

Sesat yang berpakaian ketat. Dalam cahaya rembulan, 

wajah Perawan Sesat semakin cantik, menggairahkan


lelaki. Peramal Pikun terkekeh lirih bagai gumam 

melihat kehadiran Perawan Sesat yang kelihatan segar 

itu. Walau tak ada senyum di wajahnya, tapi menurut 

pandangan dua mata lelaki yang ada di situ, Perawan 

Sesat memang bisa membuat pikiran setiap lelaki 

menjadi sesat karena daya tariknya. Namun di balik 

semua dugaan itu, justru Perawan Sesat dalam hatinya 

memuji dan mengagumi wajah tampan yang dimiliki 

Suto Sinting itu. 

Ada rasa kecewa terselip di hati Suto, karena 

kehadiran Perawan Sesat membuat penjelasan rahasia 

dari mulut Peramal Pikun itu terputus. Tetapi, Suto yakin 

dia akan memperoleh keterangan lebih lanjut setelah 

Perawan Sesat pergi tidur. Mungkin setelah hari 

melewati pertengahan petang nanti.

"Ada di mana aku ini?" tanya Perawan Sesat.

"Di pondokku," jawab Peramal Pikun. 

"Siapa yang membawaku kemari?" 

"Aku," jawab Suto tegas dengan pandangan mata 

mendebarkan hati. Namun Perawan Sesat tak mau 

tunjukkan debaran hatinya, ia tetap berwajah angkuh dan 

berkesan dingin. 

"Kau telah menyerangku dan membuatku hampir 

mati?!"

"Ya!"

"Lalu siapa yang sembuhkan lukaku?" 

"Aku juga!"

"Kenapa kau sembuhkan aku?"

"Iseng-iseng saja," jawab Suto dengan santai,


berkesan menyepelekan pertanyaan itu.

Cepat sekali kaki Perawan Sesat berkelebat 

menampar pipi Suto. Cepat pula tangan kanan Pendekar 

Mabuk berkelebat naik sampai telapak tangannya yang 

merapatkan jari itu berhenti di depan pipinya. Kaki yang 

sudah meluncur itu membalik sebelum menyentuh 

tangan Pendekar Mabuk. Hampir membuat Perawan 

Sesat terpelanting jatuh kalau tidak segera ditopang oleh 

tangan kurus Peramal Pikun.

"Jangan coba-coba meremehkan aku!" hardiknya 

kepada Suto. 

"Perawan Sesat, kau ini sudah diselamatkan 

nyawamu oleh Suto. Bukannya berterima kasih malah 

mengancam!" tukas Peramal Pikun.

Perawan Sesat menuding tegas di depan hidung 

Peramal Pikun, 

"Kau jangan turut campur urusanku kalau mau punya 

umur panjang!" 

Peramal Pikun dan Pendekar Mabuk justru terkekeh 

geli melihat kegalakan perempuan yang tadi hampir mati 

itu. Perawan Sesat menggeram gemas.

 * 

* *


EMPAT


EPAT sekali Perawan Sesat berlari dalam satu 

lompatan demi lompatan bertenaga ringan, ia sengaja 

menyuruh Suto mengikuti arah kepergiannya dengan 

maksud untuk mengukur kecepatan gerak Suto


dibandingkan dirinya. Perawan Sesat tetap menunjukkan 

kekerasan jiwanya, dan tak mau menampakkan rasa 

tertariknya kepada Pendekar Mabuk. Bahkan ia sering 

unjuk ilmu kepada Suto, yang oleh Suto hanya 

ditertawakan dalam hati.

Seperti kali ini, ia berlari cepat sekali bagaikan 

kilasan anak panah yang kecepatannya tak mampu 

diikuti oleh pandangan mata. Ia sengaja menyuruh Suto 

mengikutinya dan ia yakin Suto kebingungan mengikuti 

gerakannya.

Pada satu tempat rindang, Perawan Sesat sengaja 

berhenti dan berpaling ke belakang, ia tidak melihat Suto 

di sana. Ia tertawa sendiri merasa berhasil memperdaya 

Suto sehingga pria tampan bertubuh kekar itu tidak 

mampu mengikuti kecepatan geraknya. Perawan Sesat 

pun berseru, 

"Hoi, Suto...! Ayo lekas susul aku! Jangan seperti 

pengantin sunat langkahmu, Suto!" 

Terdengar jawaban agak jauh, "Aku di sini, Perawan 

Sesat!"

Seketika itu juga Perawan Sesat terperanjat kaget. Ia 

palingkan wajah ke arah depan. Ternyata Pendekar 

Mabuk sudah berdiri di atas sebuah pohon kira-kira dua 

puluh langkah lebih dulu darinya. Suto berdiri sambil 

bersandar pada sebatang pohon. Senyumnya mekar di

wajah tampannya, yang membuat Perawan Sesat 

menggeram gemas sekali.

"Edan! Ternyata dia lebih cepat dariku! Dia sudah 

ada di depanku...! Malu aku kalau tidak bisa melecehkan


dirinya!"

Wuuut...! Perawan Sesat melompat satu jejakan kaki. 

Tubuhnya sudah mencapai tempat di mana Pendekar 

Mabuk berdiri sambil menenggak tuaknya. Mata Suto 

sudah mulai memerah, tanda mulai dihinggapi perasaan 

mabuk. Tetapi agaknya Suto Sinting tetap mampu 

mengendalikan segala rasa dan pikiran, bahkan tampak 

lebih tajam dari sebelum ia dikuasai oleh 

kemabukannya. 

"Apakah arah Bukit Garinda masih jauh?" tanya Suto. 

"Masih beberapa hari lagi," jawab Perawan Sesat. 

"Kalau kita tempuh dengan kecepatan lari seperti tadi, 

mungkin hanya memakan waktu sehari semalam. Kita 

harus bisa tempuh dengan kecepatan siluman!"

"Apa itu kecepatan siluman?" Suto kerutkan dahi 

mirip orang tolol. Sikapnya membuat Perawan Sesat 

tertawa mirip kuntilanak. Tawa bersuara serak itu 

terhenti, dan berganti kata-kata yang tetap bersuara 

serak-serak basah,

"Kecepatan siluman adalah kecepatan batin yang 

tidak menggunakan otot tubuh kita. Seperti misalnya kita 

akan mencapai gundukan tanah yang membukit itu, kita 

tak perlu berlari cepat seperti tadi. Cukup dengan satu 

kedipan mata sudah bisa sampai ke puncak gundukan 

tanah itu. Contohnya seperti ini...!" 

Perawan Sesat segera tunjukkan kebolehan ilmu 

silumannya, ia memejamkan mata sambil menarik napas 

panjang-panjang. Dadanya menjadi penuh dengan 

gumpalan napas. Tangannya bergerak memutar di depan


wajah bagai orang menari lemah gemulai. Jika napas 

dihentakkan lewat hidung, maka tubuhnya akan lenyap 

dan muncul di puncak gundukan tanah yang membukit 

itu.

Sebelum ia hentakkan napas lewat hidung, tiba-tiba ia 

mendengar suara Suto Sinting berseru, "Hoii... lekas! 

Jangan lama-lama!"

Napas tak jadi dihentakkan. Begitu mata dibuka 

Perawan Sesat kembali terperangah melihat Suto sudah 

lebih dulu ada di atas gundukan tanah yang membukit 

itu. Ia melambai-lambaikan tangan memanggil Perawan 

Sesat.

Geram Perawan Sesat semakin menjadi. "Kurang 

ajar! Dia lebih cepat pindahkan diri ke sana! Tinggi juga 

ilmu orang itu! Aku kalah cepat dengan ilmu 

silumannya. Rupanya ia tadi berlagak bodoh di 

depanku!" 

Segera Perawan Sesat menyusul Suto ke atas bukit. 

Jllig...! Tubuhnya tiba dengan cepat di atas bukit-bukitan 

itu. Tetapi ia kehilangan Pendekar Mabuk. Ia mencari-

cari Suto, yang ternyata sudah berada di bawah pohon 

rindang, jauh darinya. Gerakan menenggak bumbung 

tuak terlihat samar-samar. Sekali lagi Perawan Sesat 

menggeram penuh kejengkelan. 

"Dasar sinting! Didekati malah sudah kabur sejauh 

itu. Edan betul dia! Aku tak bisa mencapai tempat sejauh 

itu hanya dengan satu jurus saja. Harus memakai dua 

jurus alias dua langkah siluman. Hmmm...! Dia benar-

benar mempermainkan aku! Membuatku malu jika


begini! Sayang sekali dia tampan dan menggairahkan. 

Kalau tidak, sudah kuhajar habis dia!" 

"Cepat...!" Suto Sinting melambai dengan suara kecil 

karena jauhnya.

Perawan Sesat hanya menggeram dalam hati dan 

berkata, "Pantas kalau Nyai Lembah Asmara terpikat 

pada lelaki tanpa pusar itu, selain tampan dan 

menggairahkan, ia juga berilmu tinggi! Ah, sulit sekali 

aku menghindari rasa tertarikku kepadanya. Hasratku 

sejak tadi menyala-nyala ingin mencumbunya. Tapi 

agaknya ia tidak tergiur padaku. Hmmm... aku harus 

menggunakan ilmu 'Pelet Sukma' biar dia terpikat dan 

mau diajak bercumbu di bawah pohon itu!" 

Kejap, berikutnya Perawan Sesat sudah tiba di tempat 

Suto duduk santai di bawah pohon rindang. Dengan 

cepat ia tatapkan pandangan matanya ke mata Suto. 

Senyum Suto mekar ketika dipandang perempuan itu. 

Kejap kemudian napas Perawan Sesat disentakkan lewat 

hidung. Wusss...! Pelan tapi berbahaya, karena itulah 

yang dinamakan ilmu 'Pelet Sukma' yang mampu 

membuat setiap lelaki mabuk birahi.

Tetapi ada satu keanehan yang dirasakan oleh 

Perawan Sesat. Ketika napasnya terhempas lewat hidung 

tadi, tiba-tiba napas itu memantul balik terasa masuk 

kembali ke dalam hidung. Namun hati Perawan Sesat 

sangsi akan hal itu, karena perasaan seperti itu belum 

pernah dialami. Peristiwa berbaliknya hembusan napas 

itu belum pernah terjadi. Perawan Sesat tetap harapkan 

Suto mulai tergiur dengan kemolekan tubuhnya.


Perawan Sesat mulai memamerkan belahan dadanya 

yang sungguh montok itu. 

Pendekar Mabuk tertawa kecil dengan mata merah 

karena mabuk, ia segera berdiri dan Perawan Sesat ikut 

berdiri. Kemudian dalam sekejap Suto melompat pergi 

bagai tak peduli.

"Sutooo...!" Perawan Sesat bagai merengek tak mau 

ditinggal, ia menyusul Suto dengan gairah cinta yang 

meledak-ledak dalam dadanya, ia ingin memeluk Suto 

dan mencumbunya habis-habisan. Tapi Suto sukar 

ditangkapnya. Suto melesat lagi menjauh sambil 

menghamburkan tawa bagaikan menggoda. Perawan 

Sesat bertambah penasaran mendengar suara tawa Suto. 

Ia mengejar untuk menangkap Suto dalam pelukan. Tapi 

Suto melesat ke atas dan hinggap di salah satu dahan 

pohon. 

"Suto, turunlah! Peluklah aku, Suto!" seru Perawan 

Sesat sambil sibuk merayapi tubuhnya sendiri.

Suto Sinting tertawa-tawa sambil duduk di dahan, 

menenggak tuak dalam bumbung. Sesekali ia 

memandang ke bawah, dan tawanya makin bertambah 

melihat Perawan Sesat sibuk sendiri. Perawan Sesat baru 

menyadari bahwa ilmu 'Pelet Sukma' yang membuat 

seseorang jadi terpancing gairahnya itu telah membalik 

dan mengenai dirinya sendiri. Akibatnya, Perawan Sesat 

sendiri yang tak bisa mengendalikan gairah birahinya.

Setelah apa yang diinginkan tercapai oleh dirinya 

sendiri, barulah Perawan Sesat menyadari hal itu dan 

berkata di hatinya,


"Jahanam orang itu! Ilmu 'Pelet Sukma'-ku membalik 

mengenai diriku sendiri. Sebaiknya aku tidak 

menyerahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara! Akan 

kupakai sendiri orang itu dengan segala caraku 

menundukkan hatinya! Aku tak rela dan akan merasa 

kehilangan besar jika Suto berada dalam pelukan Nyai 

Lembah Asmara. Sebaiknya kubawa lari ke tempat lain 

saja Pendekar Mabuk yang benar-benar memabukkan 

hatiku itu! Peduli amat dengan tugas ini! Aku tak 

sanggup menjalankan tugas, karena aku tak mampu 

menghindari godaan hatiku ini!" 

Kejap berikutnya, Perawan Sesat mendongak ke atas 

dan berseru, "Kita lanjutkan perjalanan kita, Suto!" 

"Apakah kau sudah selesai dengan pekerjaan 

tanganmu?" ledek Suto membuat wajah Perawan Sesat 

menjadi merah. Perempuan itu tidak melayani ejekan 

tersebut, ia seolah-olah tidak mendengarnya. Kini ia 

berseru kembali,

"Tidakkah kau ingin bertemu dengan kekasihmu; 

Dyah Sariningrum?!"

Pancingan ini membuat Pendekar Mabuk turun dari 

atas pohon dalam satu lompatan bagaikan terbang. 

Rambutnya yang panjang meriap ke atas pada saat ia 

meluncur ke bawah. Indah sekali dilihatnya, bagai 

seekor rajawali gagah yang siap menerkam mangsanya.

Suto mulai oleng berdirinya karena pengaruh mabuk 

tuak itu. Bahkan bicaranya pun mulai mengambang tak 

tentu arah. 

"Bawalah cepat aku kepadanya! Jangan bikin aku


bertambah rindu lagi kepada Dyah Sariningrum!"

"Ya, aku akan membawamu lekas-lekas ke sana. Dia 

juga sudah lama menunggumu! Tapi ada satu 

permintaan dariku sebagai syarat!"

"He he he... kamu mulai banyak tingkah, Perawan 

Sesat! Apa syarat yang kau inginkan itu, hah?!" hardik 

Pendekar Mabuk kemudian. 

"Kau telah membuat pedang gadingku lenyap tak 

berbekas!"

"He he he... itulah kehebatan ilmu 'Sembur Siluman' 

yang kumiliki. Jangan hanya pedangmu, gunung pun 

kalau kusembur dengan tuak dalam mulutku mampu 

lenyap dalam sekejap. Tapi, itu hanya kekuatan ilmu 

siluman yang serupa dengan sihir. Kudapatkan ilmu itu 

perpaduan dari ilmu kakek guruku dan bibi guruku! He 

he he...." 

"Aku tak berani menghadap Dyah Sariningrum jika 

aku kehilangan pedang gading itu. Sebab ia akan marah 

padaku habis-habisan. Pedang itu adalah pedang 

miliknya yang dipinjamkan padaku!" 

"O ho ho ho... jadi itu pedang milik kekasihku?" 

"Ya! Kalau kau tak bisa mengembalikan, aku tak 

berani membawamu ke sana!" bujuk Perawan Sesat 

dengan hati berdebar-debar. 

"Untuk mengembalikan pedangmu, itu bukan 

pekerjaan yang sulit. Tapi untuk menahan niatmu agar 

tidak menggunakan pedang gading sebagai alat 

pengumbar nafsu amarah, itu yang sulit! Aku tak berani 

membuat pedang itu kembali lagi."


"Jika begitu, kita tak jadi menemui Dyah 

Sariningrum. Karena Nyai Lembah Asmara akan murka 

jika pedang gadingnya hilang." 

"Nyai...?! O, jadi Dyah Sariningrum itu seorang 

Nyai?"

"Ya!"

"Pantas Peramal Pikun tak berani menyebutkannya," 

kata Suto dengan suara mengayun bergelombang. 

"Lekas wujudkan pedang itu!" kata Perawan Sesat 

sambil serahkan gagang pedang yang masih dibawanya 

dengan tujuan digunakan sebagai bukti kepada teman 

atau gurunya tentang kehebatan ilmu Suto. 

Gagang pedang dengan benang sutera merah di 

bagian ujung bawahnya digenggam kuat oleh Pendekar 

Mabuk. Matanya yang mulai seperti orang mengantuk 

itu sebentar waktu melirik Perawan Sesat. Ia nyengir dan 

berkata,

"Janjilah padaku, kau tidak akan mengumbar 

amarahmu dengan menggunakan pedang ini!" 

"Iya, iya! Aku berjanji! Cerewet kamu!" sentak 

Perawan Sesat.

"O, kalau kamu katakan aku cerewet aku akan isi 

pedang ini dengan sebuah pisang!" 

"Sudahlah!" sentaknya lagi tak sabar. "Kau tidak 

cerewet! Tapi cepat kembalikan pedangku itu!"

"Hei, kau bilang ini pedang milik Nyai Dyah 

Sariningrum! Tapi sekarang kau bilang pedangku?! 

Mana yang benar?!"

"Maksudku, itu pedang dalam tanggung jawabku.


Jadi sudah kuanggap seperti pedangku sendiri!" 

"O ho ho ho... begitu rupanya!" Suto manggut-

manggut. 

"Iya. Lekas, jangan banyak bicara lagi!" bentak 

Perawan Sesat.

"Aih, kau bentak-bentak aku?! Aku tak mau!" 

"Tidak, tidak! Aku tidak bentak kamu lagi!"

"Aku tidak mau!" Suto Sinting menggeleng dan 

membuang pedang itu ke semak belukar. 

"Jahanam kau! Kenapa kau buang gagang pedang 

itu?! Dasar sinting!" Perawan Sesat bergegas ke semak 

belukar untuk mengambil gagang pedangnya. Suto 

hanya tertawa-tawa sambil buka tutup bumbung dan ia 

kembali tenggak tuak di dalamnya.

"Benar-benar edan orang itu!" gerutu Perawan Sesat 

sambil mencari gagang pedang yang tadi dibuang Suto. 

"Habis ini kuhajar sebentar dia, biar tahu adat sedikit 

terhadapku! Seenaknya saja dia buang gagang pedang 

itu. Dia tidak tahu kalau di dalam gagang pedang masih 

tersimpan racun yang mematikan dan bisa kugunakan 

untuk membunuh dirinya!" 

Langkah kaki menyusuri semak terhenti. Mata 

Perawan Sesat terbelalak lebar, ia melihat gagang 

pedangnya tergeletak di antara rerumputan ilalang. Tapi 

kali ini mata pedangnya sudah kembali utuh seperti 

sediakala. Rupanya Pendekar Mabuk telah 

mengembalikan mata pedang gading yang lenyap oleh 

ilmu 'Sembur Siluman'-nya itu. Tapi ia sengaja membuat 

susah Perawan Sesat agar perempuan itu menggerutu


dan bersungut-sungut, ia sengaja permainkan perawan 

galak berambut acak-acakan itu. Padahal Suto Sinting 

bisa mengembalikan pedang itu seperti sediakala dengan 

kekuatan matanya. Tapi ia tidak mau mengembalikan 

dan menyerahkan pedang begitu saja kepada perempuan 

bermata liar itu.

Melihat mata pedang kembali seperti sediakala, hati 

Perawan Sesat merasa girang. Tapi keberaniannya untuk 

bertindak semena-mena juga lebih membara. Dengan 

bekal Pusaka Pedang Gading itu, Perawan Sesat merasa 

sanggup melumpuhkan lawannya. 

"Pedangmu sudah kembali, Nona! Alangkah baiknya 

jika kita cepat-cepat menemui Nyai yang menungguku!" 

kata Suto. 

Perawan Sesat berkata, "Tidak sekarang, Suto! Aku 

masih punya satu syarat lagi yang harus kau penuhi!"

"Kau punya syarat berapa sebenarnya, Nona?" tanya 

Pendekar Mabuk gusar.

"Satu syarat lagi! Hanya satu! Setelah ini kau kuantar 

menghadap Nyai! Aku bersumpah, tidak akan minta 

syarat lagi!"

"He he he he... apa syarat yang kau inginkan, Nona?!" 

"Layanilah cintaku!" Perawan Sesat segera mendekat.

Suto membelalakkan mata ngantuknya. Ia tertawa 

keras sambil mundur beberapa langkah, tangannya 

menuding-nuding Perawan Sesat.

"Kalau kau tak mau, kau tidak kuajak menghadap 

Nyai, Suto!" bentak Perawan Sesat memanfaatkan rindu 

di hati Suto sebagai senjata untuk mengancam dan


memperdayai Pendekar Mabuk itu. 

Suto gelengkan kepala. "Itu tidak boleh terjadi, Nona 

manis!"

"Harus terjadi!" tegas Perawan Sesat. "Dekatlah 

kemari, Suto. Peluklah aku, Sayang...!" 

"Hua ha ha ha ha... aku dipanggil sayang? Aduh, 

Mak... kering darahku, melorot jantungku. Hua ha ha 

ha...!" Pengaruh mabuk Pendekar Mabuk semakin tinggi. 

Tawanya kian keras membuat Perawan Sesat bertambah 

dongkol hatinya. Bahkan ia sempat berniat mencabut 

pedang untuk memaksa Suto. Tapi ketika ingat bahwa 

Suto Sinting masih bisa membuat lenyap pedangnya itu, 

maka niat tersebut dibunuhnya sendiri. Perawan Sesat 

hanya bisa membatin, 

"Agaknya butuh kesabaran untuk menundukkan

lelaki yang satu ini. Bukan dengan kekuatan ilmu, 

melainkan dengan kekuatan hati yang sabar dan tekun! 

Percuma saja adu kekerasan dengan dia, tidak akan 

membawa hasil apa-apa kecuali suasana yang semakin 

lebih kacau lagi. Biarlah kusabarkan hatiku sampai tiba 

saatnya ia sendiri membutuhkan diriku." 

Segera Perawan Sesat ucapkan kata, "Baiklah, Suto! 

Lupakan satu persyaratan itu. Jika kau tak bisa sekarang, 

kapan waktu pun masih bisa kau melunasinya. Sekarang 

kita pergi dari sini secepatnya, Suto!"

"Tapi aku tidak punya hutang janji padamu, Perawan 

Sesat!"

"Terserah anggapanmu saat ini, karena aku tahu kamu 

sedang kebanyakan minum tuak! Lupakan dulu


persyaratan satu itu!"

Perawan Sesat segera mengajak Pendekar Mabuk 

untuk tinggalkan tempat, menjauhi arah Bukit Garinda. 

Perawan Sesat memang bermaksud membawa lari Suto 

ke tempat lain, yang sudah ada dalam benaknya. 

Tetapi tiba-tiba di depan langkah Perawan Sesat dan 

Pendekar Mabuk melesat benda kecil berbentuk bintang 

dari lempengan baja tajam. Dan benda kecil itu melesat 

cepat menimbulkan bunyi, ziing...! Kemudian benda itu 

menancap di pohon persis di depan sebelah kiri Perawan 

Sesat.

Juub... jub...!

Tertahan serentak langkah Perawan Sesat. Tertahan 

pula tubuh limbung Pendekar Mabuk. Mata mereka 

berkilas cepat menyapu sekeliling, tapi si pelempar 

senjata rahasia berbentuk bintang itu tidak kelihatan 

tempat persembunyiannya. Perawan Sesat segera sigap 

dan berdiri dalam posisi siap menyerang. Matanya liar 

penuh waspada. 

* *


LIMA



TANGAN Perawan Sesat hendak mencabut senjata 

rahasia berbentuk bintang segi enam. Tapi dengan cepat 

kaki Pendekar Mabuk menendang tangan Perawan Sesat. 

Plakk...! Cepat sekali Perawan Sesat menarik tangannya


kembali, tapi gerakan itu terlambat. Mata liar Perawan 

Sesat memandang lurus ke arah Suto yang bermata sayu. 

"Apa maksudmu menendang tanganku?!" geram 

Perawan Sesat.

"Senjata itu beracun. Hanya pemiliknya yang bisa 

memegang dan tidak terkena racunnya!" 

"Aku lebih tahu daripada kau, Suto!" sentak Perawan 

Sesat. "Senjata bintang persegi enam seperti itu adalah 

senjata milik temanku sendiri. Itu senjatanya Putri Alam 

Baka! Senjata itu tidak beracun dan tidak berbahaya. 

Hanya sebagai senjata peluka saja, Suto!"

"Lantas mengapa daun-daun pohon ini menjadi layu 

semua. Lihatlah ke atas! He he he...!"

Terkesiap mata Perawan Sesat setelah memandang ke 

atas. Daun-daun pohon itu benar-benar menjadi layu 

berkeriput. Bahkan sebagian besar langsung berubah 

menjadi kuning. Dalam hati Perawan Sesat membatin, 

"Gila! Apa yang dikatakannya memang benar. Senjata 

itu memang beracun. Jika begitu, senjata itu pasti bukan 

milik Putri Alam Baka. Setahuku, senjata Putri Alam 

Baka tidak beracun! Dan lagi, jika benar senjata itu milik 

Putri Alam Baka, dengan maksud apa ia menyerangku 

menggunakan senjata berbahaya itu?"

Sebelum Perawan Sesat ucapkan kata, Suto lebih dulu 

bertanya, "Apakah kau yakin bahwa kedua senjata itu 

milik temanmu?"

"Aku jadi sangsi. Aku tak bisa mengenalinya. 

Seingatku, senjata milik Putri Alam Baka mempunyai 

goresan gambar panah cakra pada bagian sisi


pinggirnya." 

Perawan Sesat mencoba mengamat-amati kedua 

senjata itu, tapi ia merasa kesulitan mengenalinya, 

karena kedua senjata itu melesak masuk ke batang pohon 

hampir seluruhnya. Tinggal sedikit sisa yang terlihat 

belum masuk ke batang pohon. Perawan Sesat kembali 

berkata dalam hatinya,

"Aku jadi sangsi juga, apakah senjata ini berbentuk 

bintang segi enam atau segi berapa? Jika melihat ukuran 

runcing pada bagian yang tak masuk ke dalam batang, 

kelihatannya bintang segi enam. Tapi siapa tahu dia 

bersegi lima atau delapan?"

"Minggirlah, Perawan Sesat. Biar kukeluarkan senjata 

itu dari batang pohon!" kata Pendekar Mabuk lalu ia 

tersentak satu kali karena cegukan. Kejap berikutnya ia 

sentakkan tabung bambunya itu ke batang pohon dengan 

pelan. Dugh...! Hhrrr...! Daun-daun pun rontok banyak 

akibat sodokan bambu tabung itu. Jika bukan dialiri 

tenaga dalam cukup besar, tak mungkin pohon sebesar 

itu terguncang dan daunnya berguguran hanya dengan 

gerakan sepelan itu. Perawan Sesat menyimpan kagum 

sambil mengibaskan tangannya menghindari rontokan 

daun di kepala. 

Sodokan itu membuat dua senjata berbentuk 

lempengan bintang dari logam baja putih itu tersentak 

keluar dari batang pohon, jatuh tepat di kaki pohon 

depan yang tak berumput. Perawan Sesat pun segera 

menghampiri dan memeriksanya dengan sebatang 

ranting kayu kering. Dan ternyata kedua senjata itu


memang mempunyai goresan gambar panah cakra.

"Hmmm... jelas ini milik Sumbi, atau Putri Alam 

Baka!" gumam Perawan Sesat tanpa memandang Suto.

"Apa benar itu milik temanmu?" 

Perawan Sesat menjawab jujur, "Ya. Ini milik 

temanku." 

"Apa temanmu itu suka memakai baju kuning?" 

"Ya. Dari mana kau tahu?" Perawan Sesat kerutkan 

dahinya. 

Suto tertawa dalam tawa mabuk, ia segera garuk-

garuk kepalanya sambil berkata, "Sebentar lagi ia akan 

muncul!" 

Tiba-tiba Suto bergerak cepat memutar dan kakinya 

menendang pohon yang tadi terkena senjata bintang itu. 

Duugh...! 

Pohon tidak bergerak, seperti kena tendangan tanpa 

tenaga sedikit pun. Bahkan satu daun pun tak ada yang 

jatuh, padahal daun pohon itu telah layu. Perawan Sesat 

juga merasa heran melihat tendangan cepat Pendekar 

Mabuk itu tidak mengguncangkan daun pohon sedikit 

pun. 

Tetapi kejap berikutnya empat pohon yang berjejeran 

sederet dengan pohon yang ditendangnya itu mulai 

tergucang bagai dihembus badai. Perawan Sesat 

terkesima melihat pohon yang keempat dari jajaran 

pohon itu saja yang berguncang kuat, hingga dahan-

dahannya meliuk terombang-ambing. Dan dari atas 

pohon berdaun rimbun itu melesatlah dua sosok manusia 

turun dalam gerakan bersalto satu kali. Wuuus...!


Wussh...! 

Jleg...! Jleg...! 

Dua sosok manusia mendaratkan kakinya dengan 

tepat di depan Perawan Sesat dalam jarak lima langkah. 

Perawan Sesat kembali terkesiap melihat kemunculan 

dua perempuan yang sudah dikenalnya. Untuk sesaat 

mereka beradu pandang dalam wajah tegang. Pada saat 

itu Perawan Sesat sempat berkata dalam hati mengenai 

tendangan Suto tadi, "Luar biasa dia menyalurkan tenaga 

dalamnya. Pohon yang ditendang tetap tenang, pohon 

keempatnya yang terkena sasaran! Jelas hal itu jurus 

penyaluran tenaga dalam yang sangat tinggi!"

Perawan Sesat cepat singkirkan bayangan tendangan 

Pendekar Mabuk tadi dari otaknya, kembali ia curahkan 

perhatian pada kedua perempuan yang masing-masing 

mengenakan pakaian ketat merah dan kuning. Bentuk 

potongan pakaiannya sama dengan bentuk potongan 

pakaian yang dikenakan Perawan Sesat. Hanya berbeda 

pada warnanya saja.

Potongan pakaian yang sama menunjukkan bahwa 

mereka berasal dari satu perguruan.

Yang berpakaian merah dengan baju tanpa lengan 

dan belahan dada sedikit terbuka lebar adalah Maharani. 

Rambutnya dikepang dua, ditaruh di depan dada. Di 

tangannya tergenggam sebuah kipas warna merah 

berbunga-bunga hitam. Perawan Sesat kenal betul, 

bahwa Maharani mempunyai tingkat ilmu yang setaraf 

dengannya. Maharani juga sering menjadi utusan bagi 

Nyai Lembah Asmara.


Perempuan satunya lagi mempunyai rambut dikepang 

satu. Cukup panjang rambutnya itu hingga bisa melilit di 

sekitar leher, sisanya jatuh di depan dada kanan. 

Perempuan berkepang satu itu mengenakan ikat 

pinggang tali merah. Di sana terselip sebatang bambu 

kuning berukuran satu hasta. Bambu itu adalah seruling 

berlilit pita merah di bagian ujung tempat meniupnya. 

Perempuan yang mempunyai senjata seruling itulah yang 

bernama Sumbi, alias Putri Alam Baka. Tingkat ilmunya 

lebih tinggi satu tingkat dari Perawan Sesat ataupun 

Maharani. Selain sering menjadi utusan bagi Nyai 

Lembah Asmara, Putri Alam Baka juga merupakan 

orang kepercayaan Nyai Lembah Asmara yang menjadi 

wakil tertinggi dan dikenal sebagai orang kedua di Bukit 

Garinda.

Jelas Perawan Sesat sedikit gentar melihat Putri Alam 

Baka sampai turun tangan dan menyerangnya dari 

tempat persembunyian. Cara memandangnya pun 

tampak bermusuhan. Perawan Sesat semakin curiga dan 

waswas. Sekalipun Putri Alam Baka adalah teman 

sendiri, tetapi tingkat perbedaan ilmu dan kedudukan, 

membuat Perawan Sesat merasa sungkan kepada Putri 

Alam Baka. Karena itu, kehadiran Putri Alam Baka 

membuat Perawan Sesat ajukan tanya,

"Sepenting apakah keperluanmu hingga datang 

menemuiku, Sumbi?" 

"Sejak keberangkatanmu, kami memang sudah 

membuntuti!" jawab Putri Alam Baka. Tak ada senyum 

di bibirnya. Sikapnya pun kelihatan dingin. Dalam


keadaan rambut lebih rapi, Putri Alam Baka dan 

Maharani tampak lebih cantik dari Perawan Sesat.

Tetapi kecantikan itu tidak membuat Pendekar 

Mabuk tertarik, ia bahkan bersikap sebagai pendengar 

dan penonton yang baik. Ia duduk di tanah yang sedikit 

lebih tinggi, punggungnya bersandarkan batang pohon, 

sambil sesekali menenggak tuak.

Perawan Sesat merasa heran mendengar dirinya 

diikuti oleh Maharani dan Sumbi sejak 

keberangkatannya dari Bukit Garinda. Tentang 

bagaimana cara mereka menguntit hingga tidak 

diketahui gerakannya, bukan hal yang dipikirkan 

Perawan Sesat, karena ia merasa mampu melakukan 

penguntitan tanpa suara. Tapi apa sebab mereka 

menguntitnya, itu yang menjadi pikiran Perawan Sesat. 

Mengapa mereka harus menguntitnya? Mengapa seorang 

wakil Nyai Lembah Asmara sampai turun tangan dan 

mau menjadi penguntit? Pasti ada sesuatu yang tak lazim 

menurut dugaan Perawan Sesat.

Lalu, hal itu pun ditanyakan oleh Perawan Sesat 

dengan nada tetap tegas dan berkesan angker,

"Untuk apa kalian mengikutiku sejak dari 

keberangkatan?"

"Nyai menugaskannya!" jawab Putri Alam Baka 

dengan sikap berdiri tegap dengan kedua kaki tegak 

sedikit merenggang.

"Untuk apa Nyai menugaskan kalian?"

"Kecurigaan, menjaga kewaspadaan, sekaligus 

memberikan perlindungan padamu, Perawan Sesat!"


"Omong kosong!" sentak Perawan Sesat 

menyanggah. "Buktinya kalian tidak muncul saat lelaki 

itu menyerangku di Perguruan Merpati Wingit!" sambil 

Perawan Sesat menuding Suto Sinting. 

"Ketika kami hendak turun tangan, pemuda tampan 

itu sudah lebih dulu membawamu pergi," jawab Putri 

Alam Baka lebih berkesan kalem dan berwibawa.

Perawan Sesat melirik Suto sesaat. Pendekar tampan 

itu hanya senyum-senyum saja memandang perdebatan 

tersebut. Sesekali badannya tersentak karena cegukan. 

Tapi agaknya ia sengaja tidak mau ikut campur urusan 

ketiga perempuan itu. 

Kembali mata Perawan Sesat memandang Maharani 

dan Putri Alam Baka, setelah ia mendengar suara 

Maharani yang kecil itu berkata,

"Kurasa kau salah arah, Rukmi. Bukit Garinda ada di 

sebelah barat, mengapa kau membawa lari pemuda itu ke 

arah timur?"

"Itu urusanku, Maharani!" 

"Tugas kami adalah meluruskan jalanmu, Rukmi," 

kata Maharani dengan memanggil nama asli Perawan 

Sesat.

Putri Alam Baka segera berkata pula, "Aku 

menangkap adanya pengkhianatan tugas dalam hal ini! 

Pasti kau akan menguasai pemuda itu dan tidak akan 

menyerahkannya kepada Nyai Lembah Asmara!"

"Itu pun urusanku, Sumbi!" kata Perawan Sesat 

dengan tetap perlihatkan ketegasannya dalam bersikap. 

Sambungnya lagi,


"Susah payah kucari dan kutemukan pemuda itu, 

mengapa ia harus kuserahkan pada perempuan lain, 

hah?! Lihatlah sendiri, betapa tampan dan 

menggairahkan Suto tanpa pusar itu? Lihatlah...! 

Haruskah aku serahkan pemuda setampan itu, kepada 

orang lain?!" 

Mata kedua teman Perawan Sesat itu melirik ke arah 

Pendekar Mabuk. Yang dilirik justru memperlebarkan 

senyum sambil melambai kecil penuh goda. Putri Alam 

Baka cepat palingkan wajah, memandang ke arah 

Perawan Sesat. Tapi Maharani masih menikmati 

ketampanan yang begitu mengagumkan hatinya. Tak 

sadar hatinya berdebar-debar. 

Perawan Sesat berkata lagi, "Kalian pikir aku 

perempuan bodoh yang tidak bisa membedakan, mana 

lelaki mahal mana lelaki murahan?! Kupertaruhkan 

nyawaku untuk mendapatkan dia, wajar kan kalau 

sekarang aku memilikinya?"

"Tapi kau mengemban tugas, Perawan Sesat! Kita 

selalu dididik untuk tidak mengutamakan kepentingan 

pribadi dalam menunaikan tugas dari Nyai!"

"Ya. Lantas siapa yang bisa memenuhi kebutuhan 

pribadi kita? Nyai...?! Apakah beliau sanggup memenuhi 

kebutuhan pribadi kita, jika pribadi kita menghendaki 

seorang kekasih seperti pemuda itu?!"

"Rukmi...!" sentak Maharani. "Jelasnya kau akan 

melakukan pembangkangan terhadap perintah nyai kita!" 

"Aku hanya menuntut hakku dan perasaanku! Aku 

suka pada Suto Sinting itu!"


"Sudah lama kita berteman, Rukmi," ucap Putri Alam 

Baka dengan nada rendah dan lebih berkesan tenang dari 

Maharani. Lalu ia berkata lagi,

"Jangan sampai aku mengambil tindakan tegas 

untukmu. Jangan sampai aku menjatuhkan hukuman 

berat untuk teman sendiri, Rukmi. Kuingatkan, jaga 

nafsumu. Serahkan Suto kepada Nyai Lembah Asmara 

sesuai tugasmu. Kurasa Nyai Ratu punya kebijaksanaan 

tersendiri untuk dirimu, Perawan Sesat!"

"Aku tetap tidak akan menyerahkan Pendekar Mabuk 

kepada Nyai!"

"Kalau begitu kau menghendaki kami menghajarmu, 

Rukmi!" sentak Maharani lagi sambil hentikan gerakan 

tangan yang sejak tadi mengipas-ngipas di depan 

dadanya yang sekal itu.

Mendengar gertakan itu, Perawan Sesat 

menyunggingkan senyum sinis meremehkan, ia berkata,

"Apa pun tindakan yang akan kau ambil, aku sudah 

siap menghadapinya, Maharani! Kalian boleh paksa aku 

dengan cara apa pun. Tapi aku tetap tidak akan 

menyerahkan Suto ke tangan Nyai!"

Terdengar ucapan pelan bernada sinis dari Maharani 

kepada Putri Alam Baka.

"Ternyata apa yang dikhawatirkan Nyai Lembah 

Asmara memang benar-benar terjadi, Sumbi! Perawan 

Sesat melakukan pembangkangan!" 

"Cuih...!" Perawan Sesat meludah dengan benci. 

"Kau memang layak mendapat julukan penjilat kotor, 

Maharani! Sejak dulu kau selalu menjadi penjilat agar


mendapat perhatian dari Nyai Lembah Asmara!"

"Itu urusanku, Rukmi!" jawab Maharani menirukan 

jawaban Perawan Sesat tadi. Kini ia maju dua langkah, 

berada lebih depan dari Putri Alam Baka. Rupanya ia 

ambil alih sendiri perkara itu, sehingga Putri Alam Baka 

mundur satu tindak.

"Perawan Sesat!" geramnya dengan mata menyipit 

tajam. "Jika kau bersikeras untuk tidak menyerahkan 

pemuda itu kepada Nyai Lembah Asmara, kau harus 

melangkahi mayatku dulu!" 

"Aku tak keberatan!" jawab Perawan Sesat. "Seribu 

mayat dirimu akan kulangkahi dalam sekejap, 

Maharani!"

"Cabut pedangmu!" sentak Maharani sambil ia mulai 

pasang kuda-kuda untuk menyerang. 

Perawan Sesat melangkah pelan ke kiri, kembali lagi 

ke kanan sambil matanya melirik ke arah Maharani 

dengan senyum meremehkan.

"Pedangku tak akan kucabut! Karena untuk 

membuatmu menjadi mayat cukup menggunakan 

kelingkingku, Maharani!" 

"Mulut sombong busuk!" geram Maharani, kemudian 

ia kibaskan kipasnya dari kiri ke kanan dalam keadaan 

terbuka dan miring. Wuuus...! 

Tenaga dalam bagaikan ditebarkan dalam gerakan 

cepat, melesat ke arah Perawan Sesat. Dengan lincah 

perempuan berambut acak-acakan itu sentakkan ujung 

jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat naik ke 

atas sambil ia sentakkan pula tangan kirinya ke depan.


Wuugh...! 

Tenaga dalam dari kipas mengenai tempat kosong. 

Sementara itu tenaga dalam dari tangan Perawan Sesat 

menghempas ke wajah perempuan berkelabang dua. 

Dengan gerakan cepat Maharani menutup wajah dengan 

cara bentangkan kipasnya di depan mata. Brett...!

Begggh...! 

Pukulan tenaga dalam Perawan Sesat bagai 

menghantam lereng sebuah gunung. Hempasannya 

membalik ke arah Perawan Sesat, tapi ketika itu Perawan 

Sesat sudah pijakkan kakinya ke tanah, sehingga yang 

menjadi sasaran adalah dahan pohon yang segera retak 

dan jatuh berdebum dalam jarak dua langkah dari tempat 

duduk Pendekar Mabuk. 

Brruk...! Suto tersentak kaget, namun tak ada kata 

yang keluar dari mulut Suto selain suara cegukan. Di 

dalam hatinya Suto berkata,

"Kurasa Perawan Sesat akan tumbang di tangan salah 

satu dari kedua perempuan lawannya itu. Bila Perawan 

Sesat tak mampu menghadapi dua lawannya, bisa-bisa 

aku tak jadi ditemukan dengan Dyah Sariningrum. Tapi, 

haruskah aku ikut campur tangan dalam urusan mereka? 

Atau sebaliknya kutinggal pergi saja?"

Dugaan Pendekar Mabuk itu ternyata benar. Dalam 

satu kesempatan Putri Alam Baka tahu-tahu menyerang

Perawan Sesat yang sedang menghadapi Maharani. 

Sungguh di luar dugaan Perawan Sesat, bahwa Putri 

Alam Baka sampai hati melawan teman dengan 

menggunakan seruling pusakanya. Seruling itu


disentakkan dari jarak jauh. Lubang di bagian ujung 

bawah seruling mengeluarkan cahaya biru berkilap bagai 

lidah-lidah petir. 

Dalam sekejap, tubuh Perawan Sesat bagaikan 

dikurung oleh kilauan-kilauan cahaya biru yang 

berbentuk mirip ranting-ranting pohon. Perawan Sesat 

terjerat. Tubuhnya mengeras dan akhirnya jatuh 

berdebum ke tanah. Ketika kilatan-kilatan cahaya biru 

itu berhenti mengelilingi tubuhnya, Perawan Sesat 

berusaha bangkit dalam keadaan mulut berdarah dan 

kulit mengelupas kecil-kecil.

"Habiskan saja dia, Maharani!" perintah Putri Alam 

Baka.

Maka, perempuan berbaju merah itu menutupkan 

kipasnya dan menebaskan kipas itu ke depan. Cahaya 

merah menyembur bagai semburan dari dasar gunung 

berapi. Woos...! Bukan tak mungkin tubuh Perawan 

Sesat akan terbakar habis oleh jurus maut itu.

Tetapi, pada saat itu jari telunjuk Pendekar Mabuk 

melakukan gerakan menyentil dari depan lututnya. 

Tuus...! Tak ada yang melihat gerakan jari menyentil itu. 

Tetapi ternyata jurus 'Jari Guntur' itu telah membuat 

tubuh Maharani terpental keras bagai ditendang kuda. 

Mulutnya sampai memperdengarkan suara, "Heeegh...!" 

Dan tubuhnya segera melayang ke belakang, jatuh dalam 

jarak tiga langkah di samping Perawan Sesat.

Tentu saja jatuhnya Maharani membuat Putri Alam 

Baka menjadi tercengang kaget, ia menyangka kekuatan 

tenaga dalam itu datang dari tubuh Perawan Sesat.


Maka, dengan semangat membunuh lebih menyala-nyala 

lagi, Putri Alam Baka segera sentakkan tangan kanannya 

dengan telapak tangan terbuka, ia bagai mendorong 

sesuatu dari samping ke depan dengan keras. Pukulan 

jarak jauh itu akan menghancurkan kepala Perawan 

Sesat yang sudah tak berdaya itu.

Tetapi, Suto segera melakukan gerakan kecil. Jempol 

tangannya dirapatkan dengan jari telunjuk. Lalu, ia 

sentakkan kedua jari itu seperti memanggil ayam atau 

burung, triik...! 

Gerakan tangan Putri Alam Baka hampir mencapai 

ujungnya, tahu-tahu kedua kakinya bagai ada yang 

menyepak dari belakang. Wuus...! Kedua kaki itu 

terangkat kuat-kuat, tubuh Putri Alam Baka terpelanting 

jatuh. Bruuk...! 

Pukulan pamungkasnya tidak jadi dilancarkan. Tetapi 

pada saat itu, Suto menangkap kelebatan sosok tubuh 

yang menyambar Perawan Sesat. Wesss...! Cepat sekali 

gerakannya. Tahu-tahu orang tersebut telah 

menggendong tubuh Perawan Sesat di pundak kirinya, 

berdiri agak jauh dari kedua lawan, juga agak jauh dari 

Suto sendiri. Melihat keadaan tubuh orang yang baru 

datang berbadan kurus kering, tak salah lagi penglihatan 

Suto, bahwa orang itu adalah Peramal Pikun. 

"Suto, uruslah kedua perempuan itu! Aku akan 

membawa Perawan Sesat ke pondokku. Dia terluka 

parah!" 

"Hei...!" Suto hanya bisa memanggil tak bisa berkata 

apa pun karena Peramal Pikun segera melesat pergi


meninggalkan tempat itu. 

"Kejar...!" perintah Putri Alam Baka kepada 

Maharani.

Tapi sebelum Maharani bergerak mengejar, Suto 

melentingkan tubuh ke udara dengan menggunakan 

tumitnya untuk menjejak tanah. Dalam satu gerakan 

jungkir balik, Pendekar Mabuk sudah berada di depan 

Maharani. Ia terkekeh-kekeh dengan suara sumbang. 

"Tak perlu dikejar. Ada baiknya kalau kalian segera 

bawa aku menghadap nyaimu itu. Aku sendiri ingin 

segera bertemu!" kata Pendekar Mabuk kemudian karena 

ia menyangka nyai mereka adalah Dyah Sariningrum.

* * 

ENAM



SEBUAH bangunan mirip istana kecil bertengger 

megah di lereng sebuah bukit. Bukit itu adalah Bukit 

Garinda. Dulu wilayah itu dikuasai oleh Nyai Guru 

Betari Ayu. Kala itu, Betari Ayu punya persahabatan 

baik dengan seorang teman yang bernama Wulandari. 

Dan pada waktu Wulandari mendirikan Partai 

Perempuan Sakti, Betari Ayu tidak mau bergabung, 

tetapi sebagai tanda persahabatan ia pinjamkan tanah di 

lereng Bukit Garinda itu kepada Wulandari. Waktu demi 

waktu berlalu akhirnya tanah di lereng Bukit Garinda 

dikuasai sepenuhnya oleh Wulandari, yang kemudian 

dikenal dengan julukan Nyai Lembah Asmara.


Bangunan yang mirip istana kecil itu dikelilingi oleh 

tembok tinggi yang menyerupai benteng. Batas salah 

satu sisi tembok ada yang mencapai tepian pantai laut 

utara. Bangunan itu berkesan megah, mempunyai pintu 

gerbang yang jaraknya lebih dari seratus langkah dari 

pusat bangunannya sendiri. 

Di tanah yang jaraknya lebih dari seratus langkah itu, 

dibangun pula rumah-rumah kecil yang merupakan 

pemukiman para anak buah Nyai Lembah Asmara. Juga 

dibangun tempat-tempat khusus untuk berlatih ilmu. Di 

sana dipersiapkan sepasukan-prajurit wanita yang kelak 

akan menjadi benteng utama dari negeri yang ingin 

didirikan oleh Nyai Lembah Asmara. Mereka adalah 

kaum wanita yang tangguh dan terpilih. Cantik dan 

menggiurkan, adalah syarat utama untuk menjadi anak 

buah Nyai Lembah Asmara. Di sana, cinta bebas 

berkeliaran. Pria hanya merupakan barang yang bisa 

dibeli dan dijadikan satu kebutuhan hidup bila sewaktu-

waktu diperlukan. 

Nyai Lembah Asmara dan anak buahnya dikenal 

sebagai perempuan-perempuan pemburu cinta yang tak 

segan-segan membantai lelaki yang habis dikencaninya. 

Mereka ditempa oleh Nyai Lembah Asmara untuk 

menjadi perempuan yang berjaya di atas kaum lelaki 

mana pun juga. Karena menurut ramalan seorang ahli 

nujum dari Mongol yang pernah bertemu dengan Nyai. 

Sang Nyai akan bisa berdiri sebagai ratu di atas segala 

ratu di bumi ini, jika ia bisa mempunyai negara yang 

seluruh punggawa dan prajuritnya adalah perempuan.


Sang Nyai rupanya benar-benar ingin menjadi ratu di 

atas segala ratu di bumi.

Kaum lelaki jarang hadir di lingkungan kekuasaan 

sang Nyai. Kalaupun ada lelaki di sana, mereka hanyalah 

alat pemuas dahaga para wanita Bukit Garinda. Tak ada 

lelaki yang masuk ke benteng tinggi itu keluar dalam 

keadaan segar. Paling tidak mereka meninggalkan Bukit 

Garinda dalam keadaan layu dan pucat bagai mayat. 

Bahkan sering sekali mereka keluar dalam keadaan luka 

parah dan tewas sebelum mencapai kaki bukit.

Nyai Lembah Asmara selalu menempa jiwa anak 

buahnya untuk tidak terlalu banyak memberi kemanisan 

kepada kaum lelaki. Bahkan mereka selalu dianjurkan 

untuk tidak mudah memberi maaf atau ampun kepada 

kaum lelaki. Sekali cabut pedang, pantang dimasukkan 

kembali sebelum memenggal kepala seorang lelaki. 

Tetapi terhadap lawan wanita, Nyai tidak menyalahkan 

anak buahnya jika ada yang punya kebijakan ataupun 

tenggang rasa.

Satu-satunya mantan murid Nyai yang melarikan diri 

dari Bukit Garinda karena tak tahan terhadap kekangan 

peraturan di sana adalah Peri Malam, yang kemudian 

bertemu dengan penguasa Pulau Hantu berjuluk Si 

Mawar Hitam, lalu diangkat sebagai muridnya. Pada 

waktu itu, Peri Malam belum mempunyai ilmu tinggi 

dan masih berada di jajaran para murid tingkat dasar.

Sayang pada waktu Peri Malam melihat Perawan 

Sesat bersama Dirgo, si Manusia Sontoloyo itu, ia tidak 

mengenali siapa Perawan Sesat. Karena pada waktu Peri


Malam meninggalkan Bukit Garinda, Perawan Sesat 

belum menjadi anak buah Nyai Lembah Asmara. Peri 

Malam hanya bisa simpulkan, bahwa Perawan Sesat 

adalah perempuan yang membahayakan, karena dapat 

merebut hati Pendekar Mabuk dengan kecantikan dan 

daya tariknya yang aneh itu (Baca serial Pendekar 

Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat').

Pengejaran Peri Malam saat melihat Suto melarikan 

Perawan Sesat ternyata menemui jalan buntu, ia 

kehilangan jejak Pendekar Mabuk. Tapi rasa cinta yang 

makin berkembang di hatinya, membuat Peri Malam 

pantang menyerah untuk tetap mencari Suto Sinting, ia 

selalu mengandalkan indera penciumannya untuk 

melacak ke mana arah perginya Suto.

Sampai tiba pada langkah berikutnya, Peri Malam 

mulai mencium bau keringat Suto yang punya aroma 

tuak bumbung. Mata tajam Peri Malam segera melirik 

sekeliling. Bahkan ia sentakkan kaki dan melenting di 

udara untuk hinggap di salah satu dahan pohon. Dari 

sana ia memandang segala penjuru, terutama ke arah 

datangnya aroma keringat tuak itu.

"Pasti dia ada di sekitar sini," pikir Peri Malam. "Bau 

keringatnya hanya samar-samar, itu berarti jaraknya 

cukup jauh dari sini. Hmmm... agaknya aroma keringat 

Pendekar Mabuk lebih tajam ke arah utara. Itu berarti dia 

berada di sebelah utara sana! Aku harus melacaknya 

terus!"

Kelebat bayangan kuning adalah kelebat gerakan Peri 

Malam yang berpakaian kuning kunyit. Rambutnya yang


lurus melewati pundak masih diikat dengan rantai emas 

berbatu merah delima di keningnya. 

Bayangan kuning kunyit itu hinggap kembali ke 

dahan pohon lain. Peri Malam lemparkan pandangan 

mata ke arah jauh. Ia terkesiap sekejap dan hatinya 

berkata,

"Oh, rupanya aku mendekati Bukit Garinda?! 

Dinding bentengnya terlihat jelas dari sini. Dan anehnya 

aroma keringat Suto semakin jelas pula. Apakah Suto 

berada di dalam benteng sana? Celaka! Celaka kalau dia 

ada di sana! Bukan hal mudah membebaskan Pendekar 

Mabuk dari dalam benteng Bukit Garinda itu. Pasti aku 

harus berhadapan dengan anak buah Nyai Lembah 

Asmara. Ilmuku tak seimbang. Dia bukan lawanku. 

Tapi, aku harus bisa menyelamatkan Suto dari 

cengkeraman Nyai. Suto hanya akan dijadikan sapi 

perahan saja di sana. Aku sendiri sangsi, apakah Suto 

bisa melawan ilmunya Nyai jika ia melakukan 

pembangkangan?! Dan yang paling berbahaya adalah 

ilmu 'Racun Darah Asmara' milik Nyai! Suto tak akan 

bisa melawan racun yang amat ganas itu!"

Peri Malam hentikan kecamuk hatinya. Bahkan ia 

pun alihkan perhatian ke bawah pohon. Ternyata di sana 

ada dua manusia yang terhenti langkahnya karena 

memandang bangunan di lereng Bukit Garinda. Mereka 

adalah seorang lelaki agak pendek dan sedikit gemuk, 

bersama seorang perempuan berlilit selendang putih di 

bagian pinggangnya, menyandang pedang di 

punggungnya. Mereka adalah Pujangga Keramat dan


Selendang Kubur. Rupanya mereka sibuk mengamat-

amati bagian pintu gerbang benteng itu, sampai tak 

menyadari ada sesosok tubuh bertahi lalat di sudut 

dagunya diam mengawasi di atas kepala mereka.

"Aku yakin Suto ada di dalam benteng itu, Paman 

Pujangga Keramat," kata Selendang Kubur menirukan 

panggilan Suto terhadap Pujangga Keramat.

"Harus kita masuk bisa ke sana!" kata Pujangga 

Keramat dengan susunan kata yang selalu harus disusun 

kembali oleh lawan bicaranya.

"Tapi sebelum kita mendobrak masuk, ada baiknya 

kalau kita selidiki dulu apakah Suto benar-benar ada di 

sana, dan di sebelah mana. Jadi kita tidak buang-buang 

waktu dan tenaga jika harus membantai habis orang-

orangnya Nyai Lembah Asmara."

"Setuju aku gagasanmu dengan!"

Kemudian, Pujangga Keramat memasukkan jari 

telunjuknya ke mulut. Sebentar kemudian dikeluarkan 

lagi. Jari telunjuk yang basah oleh ludahnya itu diangkat 

ke atas dengan tangan teracung naik. Ia pejamkan mata 

sebentar. Selendang Kubur memandangi dengan dahi 

kerut. Heran melihat apa yang dilakukan Pujangga 

Keramat.

Kejap berikut, Pujangga Keramat turunkan tangan 

dan berkata, 

"Suto memang ada benteng di dalam." 

"Maksudmu, Suto ada di dalam benteng itu?" 

"Ya!" jawabnya tegas.

Selendang Kubur manggut-manggut sambil menatap


bangunan itu. Hatinya membatin geli melihat cara 

Pujangga Keramat melacak Suto.

"Cara yang dipakai seperti cara orang yang mencari 

tahu arah angin berhembus. Tapi hebat juga dia, bisa 

lacak Suto pakai jari telunjuk yang dibasahi."

Peri Malam yang bertengger di atas mereka juga 

ingin tertawa geli melihat cara Pujangga Keramat 

melacak Suto. Hampir saja ia hamburkan tawa kalau 

tidak segera tutup mulutnya pakai tangan.

Pujangga Keramat berkata kepada Selendang Kubur, 

"Aku tangkap Pendekar Mabuk dan seorang 

perempuan." 

"Pasti dia si Perawan Sesat itu!"

"Sesat bukan! Perempuan itu ada lalat bertahi di 

dagunya, ada kuning kunyit di pakaiannya...." 

"Peri Malam!" sahut Selendang Kubur cepat dan 

terkejap. Ia segera palingkan wajah pandang Pujangga 

Keramat. "Itu ciri-ciri Peri Malam!" katanya 

menegaskan.

"Mungkin, ya!" 

"Apakah dia berada bersama Suto?" tegang wajah 

Selendang Kubur tak bisa disembunyikan. 

"Bersama Suto tidak! Itu perempuan tidak ada Suto di 

sampingnya." 

"Lantas, ada di mana perempuan itu jika tidak ada di 

samping Pendekar Mabuk?"

"Bertengger dia kepala kita di atas," jawab Pujangga 

Keramat membingungkan Selendang Kubur. 

Di atas pohon, Peri Malam menggerutu dalam hati,


"Sial! Rupanya orang itu tadi bukan hanya melacak 

Suto, namun juga melacak diriku yang ada di atasnya. 

Hm... tak ada guna aku tetap diam di sini!" 

Saat Selendang Kubur kerutkan dahi untuk susun 

kembali kata-kata Pujangga Keramat tadi, tahu-tahu 

angin berhembus cepat dari atas kepalanya. Selendang 

Kubur cepat lompatkan tubuh ke kanan, hindari 

hembusan angin yang mencurigakan itu. 

Jleeg...! 

Hembusan angin hilang, Peri Malam menampakkan 

diri. Ia tampakkan kedua kaki di tanah dengan mantap, 

jarak empat langkah dari Selendang Kubur yang 

bersebelahan dengan Pujangga Keramat. Peri Malam 

segera sunggingkan senyum sinis pada Selendang 

Kubur. 

"Kita bertemu lagi, Selendang Kubur!" ucap Peri 

Malam dengan sorot mata tajam.

Selendang Kubur tak mau kalah, ia ucapkan kata 

pedas,

"Mungkin kau ingin serahkan nyawa padaku, Peri 

Malam! Aku pun siap menebas lehermu dengan 

pedangku!" 

Tangan Selendang Kubur bergerak ke belakang, mau 

pegang gagang pedang Jalaganda. Tapi itu hanya 

gertakan belaka. Buktinya ia segera turunkan tangan 

setelah Peri Malam sunggingkan senyum lebar dan 

ucapkan kata,

"Tak mungkin kau mau tebas leherku pakai 

pedangmu. Kau akan merasa sayang jika darahku


melumuri pedangmu. Aku tahu, kau bawa pedang itu 

hanya untuk melawan Nyai Lembah Asmara! Pedang itu 

adalah senjata pamungkasmu untuk merebut Suto dari 

tangan Nyai!"

"Tapi jika kau ingin merampas Pendekar Mabuk, aku 

pun siap tebaskan pedang ini ke lehermu, kapan saja aku 

mau!"

"Kau tak akan mampu, Selendang Kubur," Peri 

Malam cibirkan bibir dan berpaling membelakangi 

Selendang Kubur, menatap ke arah bangunan ber-

benteng hitam keabu-abuan itu. 

Selendang Kubur menghempaskan napas jengkel, ia 

perdengarkan geram dari mulutnya. Saat ia ingin 

bergerak maju, tangan Pujangga Keramat menghalangi 

langkahnya. Selendang Kubur cepat menatap.

"Biar kubuktikan bahwa aku mampu menebas batang 

lehernya!" 

"Tak perlunya ada!" kata Pujangga Keramat.

Peri Malam balikkan badan, lalu berkata pada 

Selendang Kubur, "Tepat apa kata dia, tak perlu kau 

tebas batang leherku untuk saat ini. Kau hanya akan 

buang-buang waktu dan tenaga. Aku tahu, saat ini waktu 

dan tenagamu amat berguna buat loloskan Suto keluar 

dari benteng itu! Tapi ketahuilah, Selendang Kubur... tak 

semudah menimba air jika kau ingin loloskan Pendekar 

Mabuk keluar dari benteng itu. Kau harus berhadapan 

dengan Nyai Lembah Asmara yang punya ilmu cukup 

tinggi, dan lebih tinggi dari kita bertiga! Kau akan mati 

sia-sia jika nekat masuk ke sana dan mencari Suto."


"Mati itu nomor sepuluh. Nomor satu adalah loloskan 

Suto dari cengkeraman mesra Nyai Lembah Asmara!" 

Selendang Kubur ucapkan kata itu dengan mata 

menyipit dendam. 

"Itu pun tak mudah kau lakukan," kata Peri Malam 

sambil lepaskan tawa mengikik. "Kau akan mati sebelum 

sampai berhadapan dengan Nyai Lembah Asmara. Dia 

punya anak buah berilmu tinggi semua. Tak ada yang 

bisa masuk ke sana untuk menarik keluar Suto kecuali 

aku!"

"Cuih...!" Selendang Kubur meludah ke samping. 

"Ilmu kanuraganmu belum ada seujung kuku hitamku, 

beraninya berlagak mau selamatkan Pendekar Mabuk 

dari dalam sana?! Bercerminlah dulu, Peri Malam!"

"Jangan remehkan aku, Setan!" geram Peri Malam. 

"Nyatanya beberapa kali kau bertemu denganku, kau tak 

sanggup mengalahkan aku! Kalau aku tak punya rasa 

kasihan padamu, sudah sejak kemarin nyawamu kukirim 

ke neraka!"

"Mulut besar! Mari kita buktikan sekarang, siapa 

yang harus pergi ke neraka. Kau atau aku! Hiaaat...!"

Selendang Kubur sentakkan kaki kirinya ke tanah dan 

tubuhnya melayang terbang ke arah Peri Malam. Kaki 

kanannya lurus ke samping dan berusaha menendang 

kepala Peri Malam dengan tendangan miring. 

"Hup...!" 

Plak...! 

Peri Malam sedikit lompatkan badan sambil kibaskan 

tangannya untuk menangkis kaki Selendang Kubur.


Tangkisan itu cukup pelan, tapi membuat Selendang 

Kubur terjengkang jatuh. Sementara itu, Peri Malam 

sigap kembali berdiri, menunggu serangan berikutnya. 

Selendang Kubur bisikkan kata di hatinya, "Lumayan 

juga tangkisan tangannya. Dia salurkan tenaga dalamnya 

tadi hingga bikin kakiku sedikit kesemutan!"

Di sisi lain, Peri Malam juga bisikkan kata dalam 

hatinya, "Setan! Linu juga tulangku menangkis 

tendangannya. Pasti dia salurkan tenaga dalamnya ke 

kaki. Agaknya dia tidak main-main! Aku harus lebih 

waspada lagi."

Melihat Selendang Kubur bangkit kembali, Peri 

Malam segera sentakkan kaki ke tanah dan melesat naik 

tubuhnya, berjungkir balik satu kali di udara. 

Wuuus...! 

Tepat pada saat itu, Selendang Kubur pun melesat 

naik ke udara dan bersalto satu kali di udara. Wusss...! 

Kedua tangan mereka siap di udara dengan tenaga 

dalam yang tidak main-main. Wajah mereka sama-sama 

tampakkan kegeraman dan nafsu untuk saling 

membunuh. 

Tiba-tiba Pujangga Keramat hentakkan kakinya ke 

tanah dan lompatlah tubuhnya melayang maju ke 

pertengahan antara dua perempuan itu. Dengan cepat 

kedua kaki Pujangga Keramat sentakkan kaki ke kiri dan 

ke kanan secara bersamaan.

Beegh... begh...! 

Dua tendangan samping yang dilakukan secara 

serentak itu mengenai perut dua perempuan itu


Tendangan tersebut juga bukan tendangan main-main. 

Buktinya dua-duanya sama-sama tersentak ke belakang, 

bahkan sama-sama membentur pohon.

Jleeg...! Pujangga Keramat kembali berdiri sigap di 

tanah setelah melakukan tendangan serentak, ia pandangi 

kedua perempuan yang saling menahan rasa mual di 

perut mereka, dan berusaha sama-sama berdiri lagi.

"Kebo dekil!" sentak Peri Malam. "Mengapa kau ikut 

campur urusan kami, hah? Ini urusan perempuan!" 

"Tak maksud punya aku ikut campur. Hanya aku 

sekadar unjukkan rasa tak suka aku perselisihan kalian 

dengan!" 

"Ngomong apa kau ini, hah?!" Peri Malam makin 

menyentak.

"Singkir dulu permusuhan!" kata Pujangga Keramat 

kepada Selendang Kubur, lalu palingkan wajah pada Peri 

Malam dan ucapkan kata,

"Sama-sama kalian punya ingin, sama-sama 

selamatkan Suto, jadi sama-sama kalian satukan untuk 

kekuatan menyerang!"

"O, kau berharap kita bersatu menyerang benteng itu 

untuk selamatkan Pendekar Mabuk?!"

"Ya. Itulah maksud yang aku!" 

"Selendang Kubur!" ketus Peri Malam setelah merasa 

tetap bingung mengartikan kata-kata Pujangga Keramat. 

"Coba jelaskan apa maksudnya?"

"Dia ingin kita bersatu menembus benteng itu, 

membawa lari Suto!"

"Hmm...! Lalu, kau sendiri bagaimana?"


"Gagasannya cukup bagus. Kita satukan kekuatan 

kita untuk mengalahkan Nyai Lembah Asmara. Kita 

keluarkan Suto dari sana. Setelah itu kita adu nyawa 

kita, siapa hidup dapatkan Suto!"

"Baik! Aku setuju!" jawab Peri Malam dengan tegas, 

tanpa ada sedikit pun keraguan dan kegentaran.

 

* * 

TUJUH



ORANG-ORANG Bukit Garinda seperti hanyut 

dalam mimpi semua saat melihat kedatangan Suto 

Sinting. Tak ada mata yang berkedip ketika Pendekar 

Mabuk melintas di depan mereka di bawah pengawalan 

Maharani dan Putri Alam Baka.

Suto dibawa masuk ke sebuah ruangan lebar beratap 

tinggi, mempunyai pilar-pilar kokoh dan lantai yang 

mengkilap. Agaknya ruangan itu merupakan bangsal 

pertemuan bagi mereka. Di sana hanya ada satu tempat 

duduk yang menyerupai singgasana raja berwarna 

kuning keemasan. Letaknya pada lantai yang bertangga 

empat baris. Lebih tinggi dari lantai lainnya. 

Tepat di belakang singgasana itu ada lorong bertirai 

kain ungu. Dari lorong itu segera muncul seorang 

perempuan bertubuh tinggi dan sekal. Wajahnya cantik 

namun berkesan keras. Pakaiannya hijau pupus, atau 

hijau muda dengan mengenakan pakaian model jubah

warna merah dadu. Rambutnya panjang diriap,


mengenakan mahkota kecil berhias batu-batuan permata 

putih, ia juga mengenakan kalung permata bersusun dua, 

gelang gemerincing di tangan kanan-kiri dan anting 

panjang berkilap sebagai pelengkap perhiasannya.

Ia mempunyai bentuk wajah lonjong; berhidung 

mancung, bibirnya agak tebal dan lebar, ia mempunyai 

mata lebar berbulu lentik. Tepian matanya berwarna 

hitam, menampakkan kesan buas dan galak.

Orang itulah yang dihormati oleh mereka sebagai 

Nyai Lembah Asmara. Ketika ia muncul dari lorong 

bertirai ungu, semua yang ada di situ merendahkan 

badan dengan satu kaki berlutut di lantai dan kepala 

menunduk sekejap. Hanya Suto yang masih berdiri 

sambil pandang kanan-kiri dengan heran dan kagum 

melihat bangunan mewah itu. Ia bahkan tidak begitu 

tertarik untuk memperhatikan Nyai Lembah Asmara 

yang segera duduk di singgasananya. 

"Putri Alam Baka!" Nyai Lembah Asmara mengawali 

suaranya yang lantang. "Di mana Perawan Sesat yang 

kau kawal itu?"

"Dia melakukan pembangkangan, Nyai!"

Wajah sang Nyai tampak makin mengeras menahan 

amarah mendengar kabar tersebut, ia menggeram, 

"Sudah kuduga sebelumnya!" Kemudian ia serukan kata 

kepada Putri Alam Baka,

"Apa tindakanmu terhadap dia?!" 

"Membunuhnya." 

"Bagus! Ha ha ha...!" Nyai Lembah Asmara tertawa 

lepas, berkesan kasar dan liar. Maharani dan Putri Alam


Baka saling pandang dalam senyum kebanggaan. Hanya 

Suto yang tidak tertawa karena merasa heran saat 

memandangi Nyai Lembah Asmara itu.

"Di mana orang yang bernama Dyah Sariningrum?" 

pikir Pendekar Mabuk, "Sejak tadi tak kulihat wajah 

Dyah Sariningrum. Apakah Perawan Sesat telah 

menipuku?" 

Terdengar suara Nyai Lembah Asmara serukan tanya 

kepada Putri Alam Baka,

"Siapa pemuda yang kau bawa ini, Sumbi?!" 

"Orang bawaan Perawan Sesat. Siapa lagi dia kalau 

bukan Pendekar Mabuk, lelaki tanpa pusar yang Nyai 

cari-cari itu."

"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus, bagus...!" makin 

meledak tawa Nyai Lembah Asmara, makin tampak 

kegirangannya, makin terpana pula ia memandangi 

Pendekar Mabuk. Kejap berikutnya ia melambaikan 

jemarinya yang berkuku panjang dan runcing, ia 

memanggil Suto agar mendekatinya.

"Datanglah kemari, Suto. Dekatlah padaku." 

Suto diam dengan mata merah bagai orang 

mengantuk karena mabuk. Mulutnya sedikit terbuka 

berkesan bengong, seakan tidak mengerti apa maksud 

kata-kata Nyai Lembah Asmara.

"Dekatlah padaku, Suto!" suara Nyai agak meninggi, 

ini menandakan ia mulai tak sabar lagi.

Putri Alam Baka segera bangkit dan mendekati Suto, 

lalu ia bisikkan kata ke telinga Suto.

"Kau dipanggil. Dekatlah sana!"


"Siapa?"

"Kau...!" 

"Ah, aku tak pernah butuhkan dia," kata Pendekar 

Mabuk bersuara sumbang. "Kalau dia butuh aku, biarlah 

dia yang mendekatiku." 

"Jangan bikin dia marah, Suto! Cepatlah 

mendekatinya." 

"Tak mau! Aku tak butuh dia!" Suto Sinting 

bersungut-sungut dan buang muka. Sikap Suto 

mencemaskan hati Maharani, Putri Alam Baka, dan 

orang-orang yang ada di situ. Selama ini tak ada orang 

yang berani menolak panggilan Nyai Lembah Asmara. 

Penolakan itu bisa membuat Nyai menjadi murka.

Tapi agaknya Nyai Lembah Asmara tidak bersikap 

seperti biasanya, ia justru tertawa semakin kegirangan 

melihat Suto menolak panggilannya, ia berseru kepada 

anak buahnya, 

"Lihat! Lihatlah dia! Penolakannya itu menandakan 

bahwa ia tidak mudah tertarik dengan seorang 

perempuan. Itu pertanda dia punya harga diri yang cukup 

tinggi dan sudah sepantasnya aku mendapatkan pria 

yang punya harga diri tinggi. Penolakannya itu 

menandakan pula bahwa dia... masih perjaka! Ha ha 

ha...!" 

Yang lain ikut tertawa bagai mendukung 

kegembiraan Nyai Lembah Asmara. Tapi Suto tetap 

tidak mau ikut tertawa, ia bahkan menatap tiap wajah 

yang ada di situ, mencari seraut wajah yang pernah ia 

temui di alam semadinya, juga yang sering hadir di alam


mimpinya. Wajah itu adalah wajah Dyah Sariningrum. 

Nyai Lembah Asmara bangkit dan langkahkan kaki 

menuruni tangga dengan pelan-pelan. Sisa tawanya 

masih sesekali terdengar bagaikan gumam, ia mendekati 

Suto dengan tatapan mata yang tajam berseri-seri. Orang 

yang ada di dekat Suto segera menyingkir jauh, memberi 

jalan untuk sang Nyai Lembah Asmara.

"Perkasa sekali...," ucap sang Nyai Lembah Asmara 

dengan suara mirip orang mendesah kagum. "Tampan, 

gagah, dan sungguh menggairahkan...!" 

Nyai Lembah Asmara mengelilingi Suto Sinting 

dengan sorot pandangan mata tak berkedip. Suto hanya 

diam dengan sedikit mulut terbuka melongo, sambil 

matanya ikut memandangi Nyai Lembah Asmara dengan 

perasaan heran.

"Lihat ototnya," kata Nyai kepada Maharani, 

"Ototnya tampak keras, besar, tapi halus lembut. Laki-

laki gagah perkasa seperti inilah yang akan memberiku 

keturunan seorang penerus kesaktianku. Dia yang akan 

merajai seluruh kekuatan di rimba persilatan. Dia tak 

akan ada tandingnya! Dan anakku nanti jika perempuan 

tentu akan secantik ibunya, jika lelaki tentu akan 

setampan ayahnya."

Wajah mereka berseri-seri, seakan ikut menyambut 

rencana kehadiran sang bayi dengan gembira. Nyai 

Lembah Asmara semakin bangga melihat wajah-wajah 

anak buahnya berseri gembira, dia semakin yakin bahwa 

sebentar lagi dia akan mempunyai keturunan dari 

seorang pendekar tampan yang bertubuh kekar perkasa


itu.

"Kalian tahu!" serunya lagi, "Pendekar Mabuk inilah 

satu-satunya lelaki yang bisa memberiku keturunan, 

sebab ia lelaki tanpa pusar. Kalian tahu kehebatan lelaki 

tanpa pusar? Oh, dia adalah orang yang punya napas 

panjang, tidak cepat lelah, punya ketangguhan dalam 

bercinta dan punya kesanggupan memberikan 

kehangatan." 

"Woww...!" mereka menyahut serempak penuh 

ungkapan rasa kagum.

"Tapi sayang, hanya aku yang bisa menikmati dia! 

Karena dia laki-laki istimewa yang tak bisa kubagikan 

kepada Putri Alam Baka, atau kepada Maharani, atau 

kepada kalian semua!"

Suto tak peduli celoteh itu. Dengan tenangnya ia buka 

tutup bumbung tuak, dan ia tenggak beberapa teguk 

dengan rasa lega. Mata mereka memandang tanpa kedip. 

Sebagian perempuan yang ada di situ saling berdebar-

debar gemas ketika melihat Pendekar Mabuk dongakkan 

kepala untuk menenggak tuak dalam bumbung. 

Pendekar Mabuk yang tampak bidang dadanya, 

kelihatan lebih perkasa dan menggairahkan.

Nyai Lembah Asmara tersenyum-senyum dan berkata 

kepada Maharani,

"Aku sudah tak tahan lagi. Bawa dia ke kamarku, 

Maharani! Tapi awas, jangan sampai kau menyentuhnya 

lagi. Dia sudah menjadi kekuasaanku, dari ujung rambut 

sampai ujung kakinya!"

"Baik, Nyai!" Maharani berikan hormat pertanda


patuh dan taat. Lalu ia bicara kepada Suto, 

"Mari kuantar ke kamar, Suto!"

"Ke mana...?!" mata Suto makin sayu.

"Ke kamar peraduan," jawab Maharani. "Nyai sudah 

tak bisa bersabar lagi. Kau harus segera masuk ke kamar 

peraduan bersama beliau!"

"Aku kemari bukan mencari kamar," kata Suto 

Sinting. "Aku mencari kekasihku yang selalu hadir

dalam mimpiku!"

Nyai Lembah Asmara menyahut, "Akulah 

kekasihmu, Suto!" 

"Bukan! Kau bukan kekasihku. Wajahnya tidak 

seperti kamu! Dia lebih cantik dan lebih anggun 

dibandingkan dirimu, Nyai!" 

Maharani mundur dari Suto ketika dilihatnya wajah 

Nyai Lembah Asmara menegang. Mata Nyai Lembah 

Asmara mulai memancarkan murka yang tertahan. Nyai 

Lembah Asmara mendekati Suto, sementara Suto masih 

berdiri dengan tubuh goyang karena mabuk. Agaknya 

Nyai berusaha menahan murkanya dengan napas ditarik 

dalam-dalam dan diendapkan di dalam dada. Saat itu, 

Suto Sinting berkata sumbang, 

"Aku kecewa datang ke sini! Perawan Sesat 

mendustaiku. Aku kecewa ketemu kamu, Nyai!"

"Kekecewaanmu akan sirna setelah kita berada di 

dalam kamar!" kata Nyai Lembah Asmara geram.

Pendekar Mabuk gelengkan kepala sambil bersungut-

sungut. "Kurasa sama saja. Di dalam kamar dan di luar 

kamar, sama saja kau bikin aku kecewa, karena kau


bukan orang yang ada dalam mimpiku!"

"Aku bisa hadir kapan saja kau ingin kehadiranku, 

Suto!" 

Suto kembali gelengkan kepala. "Aku mau pulang 

saja," katanya seenaknya, ia melangkah dengan limbung. 

Nyai Lembah Asmara segera mencekal lengan Suto. 

Ditariknya tubuh itu, didekatkan wajahnya, ditatapnya 

lekat-lekat, lalu dengan nada geram ia berkata,

"Kekasihmu ada di dalam kamar, Suto!" 

"Benarkah begitu?" Pendekar Mabuk tampak tertarik. 

Nyai Lembah Asmara memanfaatkan itu dengan berkata,

"Dia sudah menunggumu lama di sana." 

"Kalau begitu, antarkan aku ke kamar!"

Nyai Lembah Asmara tersenyum lebar. Maka ia pun 

segera menggandeng Suto dan melangkahkan kaki 

menuju lantai yang tinggi, melewati singgasana, 

menerobos tirai ungu, dan hilang ke dalam lorong 

tersebut.

Orang-orang yang ada di luar, di sekeliling Maharani 

dan Putri Alam Baka, mulai bergaung seperti lebah. 

Mereka saling memuji ketampanan Pendekar Mabuk, 

mereka saling menyanjung daya pikat Suto yang 

membakar gairah mereka. Bahkan di salah satu sudut 

ada perempuan yang berusaha memuaskan khayalan 

indahnya bersama Suto. 

Kamar peraduan Nyai Lembah Asmara sangat indah, 

luas, dan bersih. Baunya wangi cendana. Di sana ada 

pembaringan yang berlapis sutera merah jambu, empuk, 

dan lebar. Lantainya berlapiskan permadani tebal warna


hijau muda. Ruangan itu diterangi oleh cahaya api dari 

tungku berbatu bara yang ada di sisi kanan-kiri ruangan. 

Sungguh romantis sebenarnya suasana di peraduan itu, 

sayangnya Suto tidak tergugah kemesraannya, ia bahkan 

masih bingung mencari kekasihnya di dalam kamar 

tersebut.

"Mana kekasihku? Tak kulihat ada di kamar ini!"

katanya seperti bicara sendiri, tapi didengar oleh Nyai 

Lembah Asmara.

"Akulah kekasihmu, Suto," kata Nyai Lembah 

Asmara sambil melepas mahkota dan melepas pula 

jubah merah jambunya.

Suto bersungut-sungut memandangnya, lalu berkata, 

"Bukan kamu! Sudah kubilang wajahnya lebih cantik 

dan lebih menggairahkan dari dirimu, Nyai!" 

"Jangan bicara begitu, Suto. Itu sama saja kau 

membangkitkan amarahku!"

"Aku tidak peduli! Memang menurut penilaianku dia 

lebih cantik dari dirimu, Nyai! Aku tak mau bohongi 

diriku sendiri." 

"Jangan banyak bicara, Suto! Sebaiknya lekas lepasi 

pakaianmu. Aku sudah tak sanggup menahan gejolak 

hasratku untuk mencumbumu!" sambil Nyai Lembah 

Asmara mendekat, ia meraih pundak Pendekar Mabuk, 

menatap dengan mata berbinar-binar penuh gairah. 

Suto Sinting mengelak dan melangkah ke perapian. 

"Kau bohong padaku, Nyai. Kau sama dustanya dengan 

Perawan Sesat.

Napas panjang ditarik oleh Nyai Lembah Asmara


untuk meredam kemarahannya. Selama ini belum pernah 

ada lelaki yang menolak ajakan mesra Nyai. Belum 

pernah ada lelaki yang menjauhi saat Nyai Lembah 

Asmara mendekatinya. Tapi kali ini Suto ternyata berani 

melakukan hal itu. Nyai merasa terhina, tapi ia tetap 

meredam amarahnya, karena ia berpikir,

"Mungkin ciri-ciri lelaki tanpa pusar memang begini. 

Harus ditundukkan dulu sebelum ia memberiku 

keindahan yang kudamba!" 

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi. Sisa air tuak 

di bibir disapu dengan tangan kirinya. Bumbung itu 

dipegang dengan tangan kiri. Kemudian 

dilangkahkannya kaki mendekati pintu.

"Aku mau pulang!" ucapnya kemudian. 

Nyai Lembah Asmara segera melompat ke depan 

Suto. Melihat Nyai menghadang langkahnya, Suto 

berkata dengan tubuh limbung. 

"Minggirlah, Nyai. Aku mau keluar dari kamar ini."

"Berbaringlah di ranjangku, Suto. Kau akan 

kuterbangkan tinggi-tinggi mencapai awan-awan indah. 

Kita akan berlayar mengarungi lautan cinta yang penuh 

dengan kenikmatan dan kemesraan, Suto!" 

"Aku tidak bersedia, Nyai!"

"Jangan bantah perintahku, Suto!" Nyai Lembah 

Asmara menyentak agak pelan.

"Aku tak mau tunduk dengan perintah siapa pun, 

kecuali perintah dari guruku dan kekasihku!" 

"Kau memancing kemarahanku, Suto. Kau akan 

menerima akibatnya!"


"Aku tak menghendaki keributan di antara kita. Tapi 

kalau kau mau lampiaskan marah padaku, silakan saja, 

Nyai! Aku juga bisa lampiaskan kekecewaanku atas 

kebohonganmu itu!" 

Mata Nyai Lembah Asmara mulai menyipit tanda

menahan kemarahan yang dalam. Tangannya 

menggenggam kuat, napasnya mulai tak teratur. Suto 

masih memandang dengan mata sayu tanpa senyum. 

Sesekali tubuhnya tersentak karena cegukan.

Tiba-tiba kaki kanan Nyai Lembah Asmara bergerak 

menyentak ke depan, menendang dada Suto. Beegh...! 

Dada Suto terkena tendangan itu dengan telak. Pendekar 

Mabuk tersentak ke belakang, mundur tiga tindak. Tapi 

ia justru tersenyum dalam keadaan masih tetap berdiri 

walau tubuhnya limbung.

"Tak seberapa berat tendanganmu, Nyai. Adakah 

yang lebih berat lagi dari yang tadi?" kata Suto Sinting 

sambil menyunggingkan senyum.

"Aku tak ingin mencelakai dirimu, Suto!"

"Kenapa? Bukankah kau marah padaku?"

"Memang kau adalah lelaki yang menjengkelkan. 

Seharusnya kau menerima hukuman dariku. Tapi kau 

adalah pembenihku. Aku tak akan hancurkan 

pembenihku sendiri." 

"Pembenih? Apa itu pembenih?" Pendekar Mabuk 

kerutkan dahi.

"Aku harus dapatkan benih kesuburan darimu, supaya 

aku bisa mengandung dan melahirkan keturunanku." 

"Mengapa aku yang kau pilih?"


"Jika bukan kamu, tak akan bisa aku mengandung 

bayi. Kau adalah lelaki tanpa pusar. Menurut guruku, 

aku hanya bisa mengandung dari benih lelaki tanpa 

pusar. Kaulah orangnya, Suto." 

"Jadi aku dibawa ke sini hanya untuk menjadi

pembenih? Hanya untuk memberimu keturunan?" 

"Ya!" jawab Nyai Lembah Asmara tegas. "Di 

samping itu... hatiku sesungguhnya telah terpikat 

padamu begitu kutatap dirimu dari singgasana tadi." 

Pendekar Mabuk tertawa terkekeh dengan suara 

sumbang karena mabuknya itu. 

"He he he... cepat sekali kau terpikat pada seorang 

pria, Nyai. Alangkah murahannya hatimu itu!"

"Baru sekarang kualami perasaan itu, Suto! Kepada 

lelaki lain aku hanya terpikat karena birahi semata. 

Kepadamu, bukan hanya karena birahi yang ingin 

dipenuhi, tapi karena hati yang selama ini kosong dan 

ingin dipenuhi cinta seorang lelaki sepertimu!"

"He he he he...! Rayuanmu merontokkan gunung 

batu, Nyai. Tapi tak akan bisa melelehkan hatiku. 

Sebaiknya, lupakan saja tentang pembenih. Carilah 

lelaki lain yang tanpa pusar! Aku tidak mau 

melayanimu, Nyai. Aku harus segera pergi dari sini!"

"Suto...!" sentak Nyai Lembah Asmara mulai 

tampakkan ketidaksabarannya. "Kau tak punya pilihan 

lain. Kau harus mau memberiku benih dan melayani 

asmaraku, Suto! Kalau sekali lagi kau menolaknya, kau 

akan menyesal!"

"Aku pilih menyesal," kata Pendekar Mabuk semakin


nekat bicara. Kata-kata itu membuat Nyai Lembah 

Asmara semakin geram, penuh dengan kejengkelan hati.

Crrap...! Tiba-tiba dari mata lebar Nyai Lembah 

Asmara memancarkan sinar ungu dalam sekejap. Sinar 

itu menembus masuk ke bola mata Suto yang mengantuk 

itu. Suto merasa silau sejenak dan kibaskan tangannya, 

tapi sinar ungu itu sudah telanjur masuk ke dalam kedua 

bola matanya. Sinar ungu itulah yang dikhawatirkan 

Betari Ayu sebagai sinar 'Racun Darah Asmara'.

Tubuh Pendekar Mabuk tiba-tiba merasa panas. 

Keringat pun mulai bermunculan dari tiap pori-pori 

tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat, hatinya berdesir-

desir. Dalam hati Suto Sinting bertanya pada diri sendiri, 

"Kenapa aku ini? Mengapa aku jadi berdebar-debar 

dan darahku seperti sedang mengalir dengan cepatnya. 

Oh, begitu indahnya wajah di depanku itu. Alangkah 

menggairahkannya perempuan ini. Aku-aku terpikat 

olehnya. Oh, aku jadi ingin memeluknya. Aneh sekali. 

Ini pasti gairah yang hadir di luar kemauan hati kecilku. 

Oh, aku telah terkena kekuatan hitam yang membuat 

gairahku meledak-ledak. Aku harus melawan! Harus 

melawan." 

Tapi ketika Pendekar Mabuk didekati Nyai Lembah 

Asmara, ia tidak mengelak dan diam saja menerima 

sentuhan jemari Nyai Lembah Asmara di bagian

dadanya. Bahkan ketika Nyai Lembah Asmara sedikit 

tengadah kepala dengan bibir merekah, Suto 

memandangnya makin penuh gairah. 

"Ciumlah aku...," perintah Nyai Lembah Asmara


bernada bisik. 

Suto pun mencium bibir itu. Mengecup dan 

melumatnya yang segera mendapat perlawanan tak kalah 

panas dari Nyai Lembah Asmara sendiri. Hanya saja di 

dalam hati Suto, terlintas pertanyaan-pertanyaan yang 

menggundahkan hatinya. 

"Mengapa aku mau? Mengapa aku menurut? 

Mengapa bibir ini kupagut? Apakah aku harus pasrah 

dan membiarkan hasratku dipenuhi oleh kehangatan 

tubuhnya? Ah..., mengapa jiwaku jadi bimbang begini?!" 

Pendekar Mabuk menurut ketika tubuhnya di dorong 

ke belakang dan jatuh terbaring di ranjang empuk itu. 

Blukkk...! Nyai Lembah Asmara menerkamnya.

 * 

* * 

DELAPAN



CINTA mengamuk di hati dan jiwa Nyai Lembah 

Asmara. Amukan cinta itu begitu gemuruhnya, hingga 

menutup kedua gendang telinga Nyai Lembah Asmara 

dari seruan dan pekikan di luar kamar. Apalagi saat itu 

Pendekar Mabuk pun tampak ingin meronta dan 

melawan kekuatan racun Darah Asmara dengan 

kekuatan batinnya. 

Suara-suara pekik, jerit, dan seruan keras itu datang 

dari orang-orang yang sedang menghadapi tiga sosok 

manusia nekat, yaitu Pujangga Keramat, Selendang 

Kubur, dan Peri Malam. Mereka mengamuk di pintu 

gerbang, lalu menerobos masuk membantai orang-orang


yang menghalangi langkah mereka.

Jarum beracun milik Peri Malam mulai beraksi 

kembali. Bambu kecil berukuran yang sejengkal yang 

selalu diselipkan di belahan dadanya itu meluncurkan 

jarum beracun saat bambu itu ditiup oleh Peri Malam. 

Banyak leher yang jadi sasaran jarum beracun itu dan 

membuat korbannya membusuk lalu mati.

Selendang putih milik murid Nyai Betari Ayu itu pun 

melecut ke sana-sini. Selendang Kubur mengamuk 

bersama selendang pusakanya yang mampu 

mengeluarkan percikan api petir dan menyambar kepala-

kepala anak buah Nyai Lembah Asmara, ia sengaja 

belum mau menggunakan pedang Jalaganda-nya, karena 

pedang itu dipersiapkan untuk melawan Nyai Lembah 

Asmara yang kesohor keji dengan tingginya ilmu yang 

dimiliki.

Pujangga Keramat pun tak mau hanya sebagai 

penonton, ia sebagai pelayan dari si Gila Tuak, gurunya 

Suto Sinting, merasa lebih bertanggung jawab terhadap 

keselamatan Suto. Karena itu, ia menerobos masuk ke 

bangsal pertemuan mencari Suto di sana.

"Cari Suto di dalam, biar aku dan Peri Malam yang 

menghadapi tikus-tikus ini, Paman!" seru Selendang

Kubur sebelum Pujangga Keramat menerobos masuk ke 

bangsal pertemuan.

Sampai di sana ia berseru, "Sutooo...! Di mana ada 

kau, Suto!" 

Tiba-tiba dari arah samping melesatlah gelombang 

panas yang menuju ke arah Pujangga Keramat. Wuuss...!


Pukulan jarak jauh disentakkan dari kipas Maharani.

Merasakan adanya gelombang hawa panas yang ingin 

menghantamnya, Pujangga Keramat segera sentakkan 

kaki dan lompat tinggi dengan bersalto di udara satu 

kali. Tapi tangannya pun bergerak menyentak ke arah 

samping memberi pukulan jarak jauh sebagai balasan

Wuugh...! Pukulan ini lebih besar dari milik 

Maharani. Tapi Maharani sangat waspada dan sudah 

menduga hal itu akan terjadi. Maka sebelum pukulan itu 

itu melesat lebih jauh, Maharani sentakkan kakinya ke 

lantai dan tubuhnya melenting di udara. 

Hiaaat...!" 

Dueerrr...! Brusss..! 

Tenaga dalam Maharani menghantam pilar, tenaga 

dalam Pujangga Keramat menghantam dinding. Pilar 

menjadi gompal, dinding menjadi retak. Tapi keduanya 

tak pernah peduli. Keduanya sudah saling berhadapan 

dan siap menyerang sewaktu-waktu.

"Suto mana?!" sentak Pujangga Keramat.

"Kau langkahi bangkaiku baru kau bisa melihat di 

mana Suto!' kata Maharani sambil tetap membuka 

kipasnya di dada. Kedua kakinya merenggang rendah, 

satu tangannya naik di atas kepala.

Pujangga Keramat menggeram. "Mati kau jangan aku 

salahkan." 

Setelah berkata demikian, Pujangga Keramat 

melejitkan tubuh ke depan dengan tangan siap 

dihantamkan. Maharani pun segera sentakkan kaki dan 

tubuhnya melayang naik, melesat cepat dengan kipas

terbuka di depan. Saat Pujangga Keramat hantamkan 

kedua tangannya Maharani menahan pukulan itu dengan 

kipasnya.

Braagh.. ! 

Wuusssh...! 

Tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang, 

sama-sama jatuh ke lantai, hampir membentur pilar. Tapi 

keduanya sama-sama jatuh dalam posisi berdiri 

merendah. 

"Haaaghh...! Pujangga Keramat hembuskan napas 

berat untuk mengumpulkan tenaganya kembali. 

Sama juga yang dilakukan oleh Maharani, hanya saja 

hembusan napas berat Maharani tak menimbulkan 

bunyi. 

"Besar juga tenaga dalamnya," pikir Maharani. "Siapa 

orang ini? Aku tak pernah melihatnya! Tapi agaknya ia 

punya urusan penting dengan Pendekar Mabuk. 

Mungkin juga ada hubungan lain dengan Suto. Aku tak 

boleh gegabah melawannya." 

Pujangga Keramat menggerak-gerakkan tangan di 

depan wajah sampai kesepuluh jarinya menjadi keras 

sekali. Ketika tangan kanannya ditarik sampai di telinga, 

tangan kirinya tetap sedikit terlipat di depan dada, ia 

berhenti dari segala gerakannya. Matanya memancarkan 

penglihatan yang tajam dan bernafsu untuk membunuh. 

"Suto katakan di mana?!" bentaknya.

"Sudah kubilang, Suto ada di balik bangkaiku!" 

"Hiaaat...!" Pujangga Keramat bagaikan terbang 

menuju lawannya. Maharani pun cepat jejakkan kaki lagi


dan melesat terbang menyambut kehadiran jurus 

lawannya.

Tapi tiba-tiba sebelum mereka saling bertemu, 

seberkas sinar putih keperakan melesat cepat 

menghantam tubuh Pujangga Keramat.

Craas...!

"Haagh...!" Pujangga Keramat lebarkan mata. Sinar 

putih itu bagai mata pedang yang amat tajam. Merobek 

perutnya dari pinggang kanan sampai ke pinggang kiri. 

Tak disangkal lagi, tubuh itu pun jatuh tanpa daya. 

Darah memercik ke mana-mana. Pujangga Keramat 

masih sempat erangkan suara dan berusaha bangkit. 

Namun baru satu kaki yang bisa menapak, ia sudah 

rubuh lagi tak berkutik selamanya. 

Maharani cepat gerakkan kepalanya berpaling ke 

samping. Di sana ada wajah Putri Alam Baka yang 

sedang berdiri dingin dan tajam tatap matanya. Putri 

Alam Baka serukan kata,

"Terlalu lamban kau, Maharani! Dalam satu jurus 

orang itu sebenarnya harus sudah bisa kau robohkan!" 

"Dia terlalu kuat untukku!" 

"Omong kosong! Kau hanya coba-coba tadi. Terlalu 

lama untuk membunuh orang macam dia!" 

"Baiklah! Aku memang terlalu lamban untuk kali

ini!"

Putri Alam Baka bergegas langkahkan kaki menuju 

luar sambil ia berkata, 

"Hancurkan dua kunyuk tak tahu sopan itu! Salah 

satunya kukenal dia sebagai Sundari! Bekas orang kita


yang lari menjadi murid si Mawar Hitam!"

"Tapi kita tidak punya urusan dengan penguasa Pulau 

Hantu itu!" kata Maharani sambil ikuti langkah Putri 

Alam Baka dan lompati mayat Pujangga Keramat.

"Tak peduli apa urusan mereka mengamuk di sini, 

tugas kita adalah hancurkan mereka jika perlu tanpa sisa 

sedikit pun!" 

Selendang Kubur sedang terpojok di salah satu 

bangunan seperti barak, ia menghadapi tiga lawannya

yang bersenjata tombak semua. Selendangnya berkelebat 

cepat bagaikan kilat, menyambar ke sana-sini, dan 

akhirnya tiga lawannya itu pun tumbang tak berkutik 

lagi.

Baru saja ia hendak lentingkan tubuh menuju ke arah 

Peri Malam yang dikeroyok oleh lima lawan itu, tiba-

tiba sesosok tubuh meluncur turun dari atap barak. 

Jleeg...! Orang itu berdiri di depan Selendang Kubur 

dengan mata memandang tajam.

"Nyai...?!" sentak Selendang Kubur. Ia terkejut sekali 

memandang orang yang muncul di depan itu. Sekejap ia 

tak bisa bicara. Orang yang ada di depannya itu cepat 

ulurkan tangan dan berkata, "Serahkan pedang itu!" 

"Tidak bisa, Nyai. Saya sudah siap mati demi 

Pendekar Mabuk!" 

"Jangan bodoh, Selendang Kubur! Serahkan pedang 

itu padaku!" 

Selendang Kubur sempat sangsi dan ragu-ragu. Kalau 

saja yang meminta orang lain, sudah pasti ia tak ragu-

ragu untuk mempertahankan. Tapi kali ini yang


memintanya adalah gurunya sendiri, Nyai Betari Ayu. 

Selendang Kubur punya rasa takut untuk 

mempertahankan pedang Jalaganda itu, ia memang tidak 

pernah menduga Nyai Betari Ayu mau turun tangan 

untuk urusan di Bukit Garinda itu. 

''Nyai, saya...." 

"Serahkan pedang itu, dan aku yang akan menghadapi 

Nyai Lembah Asmara!" kata Betari Ayu tanpa senyum 

dan keramahan seperti biasanya. Selendang Kubur 

melihat kemarahan mulai merona di wajah Nyai Guru 

Betari Ayu. Selendang Kubur melihat kesungguhan 

sikap gurunya yang ingin melawan Nyai Lembah 

Asmara itu. Karenanya, Selendang Kubur pun segera 

menyerahkan pedang Jalaganda itu kepada Nyai Guru 

Betari Ayu.

"Kalau Nyai gunakan pedang itu, berarti Nyai akan 

mati di ujung kemenangan," Selendang Kubur 

memberanikan diri ingatkan gurunya tentang pusaka 

keramat pedang Jalaganda. 

Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Tidak akan 

kugunakan pedang ini!" 

"Tapi... tapi Nyai Guru akan kalah menghadap Nyai 

Lembah Asmara jika tanpa menggunakan pedang pusaka 

itu, Nyai!" 

Seorang penyerang bersenjata kapak melesat terbang, 

sasarannya adalah punggung Betari Ayu, Selendang 

Kubur tersentak kaget melihat serangan mendadak yang 

mengancam gurunya itu. Tapi, belum sampai Selendang 

Kubur lepaskan pukulan jarak jauhnya, tubuh Nyai Guru


Betari Ayu sudah lebih dulu berkelebat memutar, tangan 

kanannya terangkat tegak di depan mata dengan kelima 

jari tangan merapat. Lalu, melesatlah sinar putih 

menyilaukan sebesar lidi.

Zuiitt...!

Crrasss...! 

Cras, craasss...! 

Sinar putih menyilaukan itu menembus tubuh lawan 

yang memegang kapak. Orang tersebut jatuh ke tanah, 

bagian ulu hatinya berlubang sebesar bumbung tuak 

milik Pendekar Mabuk. Orang itu tak bergerak ataupun 

bersuara sedikit pun. Matanya tetap mendelik namun 

nyawanya telah melesat pergi tinggalkan raga.

Selendang Kubur masih terkesima melihat kekuatan 

dahsyat yang dimiliki gurunya. Lebih terbengong lagi 

ketika Selendang Kubur mengetahui, dua orang yang ada 

di belakang korban pertama itu juga terkena tembusan 

sinar putih menyilaukan. Kedua orang yang sedang 

melawan Peri Malam itu tumbang tak berkutik dengan 

luka bolong seperti luka orang bersenjata kapak tadi. 

Rupanya sinar menyilaukan itu bisa menembus dua-tiga 

tubuh lawan sekaligus. Dan hal itu belum pernah 

disaksikan oleh Selendang Kubur selama ia menjadi 

murid Nyai Betari Ayu.

"Tak kusangka Guru mempunyai simpanan ilmu 

sedahsyat itu!" katanya di dalam hati.

Sinar putih menyilaukan itu keluar cepat bagaikan 

kilat dari sebuah cincin di jari tengah tangan kanan 

Betari Ayu. Cincin itulah yang dinamakan Pusaka Manik


Intan. Melihat keindahan cincin berwarna putih berlian 

itu, Selendang Kubur ajukan tanya, 

"Mengapa baru sekarang Guru gunakan cincin itu?"

"Karena baru kudapatkan dari Telaga Manik Intan."

"Hah....?!" Selendang Kubur terperanjat. "Jadi... 

itukah yang dinamakan Cincin Manik Intan?" 

"Betul, Selendang Kubur. Nah, sekarang hadapilah 

mereka, aku akan menerobos masuk ke kamar Nyai 

Lembah Asmara!"

"Baik, Guru...!" 

Seperti kilat tubuh Betari Ayu melesat. Selendang 

Kubur masih terkesima dengan cincin pusaka yang 

ternyata ada di tangan gurunya. 

"Pantas Nyai Guru tidak mau menggunakan pedang 

itu tapi berani menghadapi Nyai Lembah Asmara, 

rupanya dia sudah punya pusaka lain yang bisa 

diandalkan untuk mengalahkan lawannya! Heran sekali 

aku, mengapa cincin itu bisa ada di tangan Guru? 

Padahal tokoh persilatan sedang memperebutkan cincin 

yang seharusnya menjadi milik Suto Sinting itu?!" 

Selendang Kubur tak tahu, gurunya telah menyelam 

ke dalam Telaga Manik Intan saat Datuk Marah Gadai 

mengejar Dirgo Mukti. Sampai cincin itu ditemukan 

oleh Betari Ayu, kedua orang itu masih sibuk saling 

kejar dan saling adu kekuatan. Betari Ayu cepat 

tinggalkan Telaga Manik Intan tanpa diketahui oleh 

Datuk Marah Gadai maupun Manusia Sontoloyo, Dirgo 

Mukti itu.

Nyai Betari Ayu merasa memperoleh kekuatan yang


tak lagi menyangsikan hatinya. Cincin Manik Intan 

disematkan di jari tengah kanan. Dengan bersenjatakan 

cincin dahsyat itu, ia yakin bisa kalahkan Nyai Lembah 

Asmara tanpa harus menggunakan pedang Jalaganda. 

Tetapi di ujung tangga menuju bangsal pertemuan, 

dua sosok perempuan berwajah garang menghadangnya. 

Mereka adalah Maharani dan Putri Alam Baka. Langkah 

Betari Ayu pun terhenti karenanya.

"O, rupanya kau yang menjadi biang keributan ini, 

Betari Ayu?!" 

"Maharani dan Putri Alam Baka!" sahut Betari Ayu 

yang sudah mengenal mereka sejak dulu. "Barangkali 

dugaan kalian benar, akulah biang keributan ini. Tapi 

jika Perawan Sesat, orangmu itu, tidak lebih dulu 

melakukan pembantaian perguruanku, aku tidak akan 

datang kemari menuntut balas!" 

"Kau menuntut balas atau menuntut kembalinya 

Suto?' Maharani sunggingkan senyum sinis menyindir. 

"Mana yang terbaik, itu yang kuambil!" jawab Betari 

Ayu dengan sikap kalem, ia harus bisa menahan luapan 

amarahnya agar Cincin Manik Intan tidak 

menyemburkan kekuatannya ke sembarang arah. Ia pun 

menahan tenaga dalamnya agar tidak mudah terlepas

sebelum cincin itu diarahkan pada sasarannya.

Nyai Betari Ayu tenangkan diri dan tetap bisu 

sebelum kedua lawannya bergerak. Mata Betari Ayu tak 

pernah lepas dari gerak kewaspadaan. Karenanya, ketika 

Maharani tebarkan kipasnya dalam gerakan kecil, Betari 

Ayu cepat hadangkan tangan kiri ke depan untuk men


han pukulan jarak jauh yang dilepas kan secara diam-

diam itu.

Deeb...! 

Pukulan itu bisa tertahan. Maharani mundur setindak 

karena tersentak. Tapi dari cincin di tangan kirinya 

melesat sinar menyilaukan ke arah samping secara tak 

sengaja. Sinar itu mengenai seorang lawan yang sedang 

berhadapan dengan Selendang Kubur. 

Melihatan kilatan sinar menyilaukan dari cincin itu, 

maka Maharani dan Putri Alam Baka terbelalak seketika. 

Karena mereka melihat ada satu orang lagi yang rubuh 

dalam keadaan tubuh bolong karena terkena tembusan 

sinar putih menyilaukan itu. Orang yang rubuh dan 

menjadi korban kedua adalah orang yang sedang 

berhadapan dengan Peri Malam. 

Cepat-cepat Putri Alam Baka menutupi 

kekagumannya dengan sunggingkan senyum sinis di 

bibir, ia berkata kepada Betari Ayu, 

"Kau pamer ilmu, Betari Ayu? Kau pikir kami takut 

dan menjadi gentar melihat pusaka pada cincinmu itu? 

Hmm...! Itu satu permainan anak kecil saja!"

"Alangkah memalukan sekali jika murid Nyai 

Lembah Asmara akan mati karena permainan anak 

kecil!" kata Betari Ayu.

"Mulut congkak! Kau pikir kau mampu menghadapi 

kami berdua?!" sentak Maharani.

"Barangkali perlu ditambah gurumu sekalian suruh 

menghadapiku! Tak akan mundur setindak pun aku 

menghadapi kalian bertiga, yang sepatutnya telah kuusir


dari tanahku ini!" 

"Jahanam...!" geram Maharani. Lalu ia sentakkan 

kipasnya dalam keadaan tertutup. Dari ujung kipas itu 

keluar sinar merah berkilap melesat ke arah tubuh Nyai 

Betari Ayu.

Betari Ayu cepat sentakkan telapak tangan kirinya ke 

depan. Cahaya pendar keluar dari telapak tangan itu. 

Bersifat menahan cahaya merah dari kipas Maharani. 

Tapi ternyata justru cahaya merah itu berbalik arah 

setelah membentur cahaya pendar di telapak tangan 

Betari Ayu. Wuuugh...! 

"Heegh...!" Maharani buka mulut dengan napas 

tersentak tertahan. Pukulan dari kipasnya membalik dan 

mengenai dirinya, ia jatuh terjengkang ke belakang 

dengan sukar bernapas.

Melihat temannya jatuh oleh pukulan tangan kiri 

Betari Ayu, Putri Alam Baka segera cabut serulingnya 

dari pinggang sambil menggeram.

"Rupanya kau memang cari mampus, Betari Ayu! 

Hiaaat...!" 

Putri Alam Baka lompatkan diri sambil tebaskan 

serulingnya dari atas ke bawah, berhenti ke arah dada 

Betari Ayu. Tapi dengan lincah tubuh Betari Ayu 

melesat lompat ke samping, dan kakinya menendang 

kepala Putri Alam Baka. Plakkk...! 

Tendangan itu berhasil ditangkis Putri Alam Baka 

yang berkekuatan tenaga dalam. Nyai Betari Ayu 

tersentak limbung dan jatuh ke tangga. Putri Alam Baka 

cepat lancarkan serangannya yang kedua, setelah


serangan pertama terhindar dan justru mengenai tubuh 

orangnya sendiri yang sedang berlari ke pintu gerbang. 

Wuusss...! Seruling itu diacungkan ke depan, keluar 

cahaya kuning dari dalam lubang seruling. Cahaya 

kuning itu melesat ke punggung Betari Ayu. Tapi 

dengan cepat Betari Ayu palingkan badan dan sentakkan 

tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. Cahaya 

pendar kembali berkilap dari telapak tangan itu. Tenaga 

dalam yang dilepaskan Putri Alam Baka itu membentur 

cahaya pendar, dan membalik mengenai dada Putri Alam 

Baka. Beeegh...! 

"Nggkk...!" Putri Alam Baka tersentak mendelik 

ketika ulu hatinya terkena pukulannya sendiri, ia 

terhuyung ke belakang dan jatuh. 

Nyai Betari Ayu cepat lari tinggalkan mereka, ia 

masuk ke bangunan megah itu. Semua pintu ditendang, 

didobrak paksa, sambil sesekali menghantam rubuh 

orang yang menghalanginya. Dan ketika semua pintu 

kamar telah didobrak habis, ternyata Suto tidak 

ditemukan di dalamnya, maka Betari Ayu pun masuk ke 

lorong bertirai ungu. Satu pintu di kamar lorong itu 

didobraknya. 

"Hiaaat...!"

Dengan satu tendangan lompat, Betari Ayu 

menendang pintu tersebut. Namun sebelum ia 

menyentuh pintu, tubuhnya telah terpental ke belakang 

dengan sendirinya. Bruukkk...! 

"Sial! Rupanya pintu itu dilapisi tenaga dalam 

berperisai. Pasti di kamar itulah Suto disekap oleh Nyai


Lembah Asmara!" pikir Betari Ayu, kemudian ia bangkit 

dan segera menyentakkan tenaga dalamnya yang 

disalurkan melalui Cincin Manik Intan. 

Duaarrr...! 

Pintu itu hancur menjadi serpihan-serpihan yang 

menebar ke mana-mana. Asap mengepul menghalangi 

penglihatan Betari Ayu. Untuk sejenak ia diamkan asap 

sampai menipis. Kemudian, kejap berikutnya ia 

lompatkan diri masuk ke dalam kamar itu.

Ternyata kamar itu kosong. Tak ada Suto, tak ada 

Nyai Lembah Asmara. Tapi keadaan ranjang porak-

poranda. Barang-barang di situ pun berantakan semua. 

Entah karena ledakan pintu tadi atau karena sesuatu hal? 

Yang jelas, di sana masih tergeletak jubah merah jambu 

milik Nyai Lembah Asmara. Juga sebuah mahkota masih 

ada di atas meja dekat ranjang, dan salah satu dinding 

kamar itu ternyata jebol membentuk lubang besar. 

Apakah dinding itu juga jebol karena sinar dari Cincin 

Manik Intan, atau karena hal lain. Nyai Betari Ayu tak 

bisa pastikan diri.

"Tapi aku yakin, mereka berdua tadi ada di sini!" 

pikir Betari Ayu. "Wulandari pasti membawa Suto 

kemari dan bercumbu di sini. Lantas, ke mana ia 

membawa Pendekar Mabuk pergi? Apakah mereka 

bersembunyi? Lalu di mana letak persembunyian 

mereka?!"

* *


SEMBILAN


BUKIT Garinda menjadi porak-poranda. Di mana-

mana mayat bertebaran bagai sisi lain dari neraka 

jahanam. Sebagian dari mereka ada yang sengaja 

meloloskan diri, lari tunggang-langgang entah ke mana 

tujuannya. Ada yang berusaha menyusuri pantai, ada 

pula yang berusaha mendaki ke atas bukit.

Mereka yang belum mati sempat menyerukan erang 

kesakitan. Ada yang berusaha bangkit untuk 

menyembunyikan diri atau lari, ada pula yang hanya 

diam saja menahan sakit sambil menunggu pertolongan. 

Sementara yang pingsan tetap saja pingsan, entah kapan 

akan siuman.

Yang jelas, sosok tubuh Maharani dan Putri Alam 

Baka sudah tak terlihat di anak tangga menuju ruang 

pertemuan itu. Entah mereka bersembunyi atau 

melarikan diri, yang jelas suasana di situ kembali sepi. 

Hanya langkah-langkah kaki Selendang Kubur dan Peri 

Malam saja yang tampak melesat ke sana-sini mencari 

lawan yang perlu ditumbangkan. 

Peri Malam terluka di lengan sisi kirinya. Darah 

mengucur dari luka senjata tajam. Tapi ia tidak 

menghiraukan. Justru semangatnya kian bertambah. 

Selendang Kubur terluka di dada kiri. Biru lebam 

dada itu. Tapi agaknya ia juga tidak menghiraukan 

lukanya, ia masih tetap memburu mangsa yang perlu 

ditumbangkan dengan selendang pusakanya. 

Suasana lenggang menimbulkan suara langkah jelas 

dari bangsal pertemuan sebuah pedang disambarnya dan


berdenting memecah sepi. Kedua wajah cepat berpaling 

ke arah suara itu. Peri Malam dan Selendang Kubur 

sama siapnya menghadapi serangan dari arah itu.

Tapi ternyata yang muncul adalah Nyai Betari Ayu 

dengan mata bergerak liar mencari lawannya. Ketika 

mata itu bertatap pandang dengan mata Peri Malam dan 

Selendang Kubur, keliaran mata Betari Ayu pun surut. 

Tak menjadi segarang tadi, melainkan kembali tampak 

bijak dan berwibawa. 

"Bagaimana dengan Suto, Nyai?" tanya Selendang 

Kubur. 

"Hilang entah ke mana!"

"Hilang...?!" Peri Malam tersentak kaget. Wajahnya 

kian menegang.

"Nyai Lembah Asmara sendiri bagaimana?"

"Juga hilang!" jawab Betari Ayu. Nadanya seperti 

hampir putus asa. 

Peri Malam gusar. "Tak mungkin mereka hilang 

begitu saja! Pasti Suto telah dilarikan oleh perempuan 

liar itu!"

"Ke mana arah larinya mereka?" tanya Selendang 

Kubur kepada Peri Malam.

Jawab Peri Malam, "Ada dua arah yang bisa untuk 

melarikan diri. Melalui lantai di dalam kamar itu, atau 

menjebol dinding kamar!" 

"Lantai...?!" Selendang Kubur kerutkan dahi. 

"Ada pintu rahasia di lantai kamar Nyai Lembah 

Asmara. Gunanya untuk meloloskan diri sampai ke 

pantai. Ada jalan tembus ke sana. Atau mereka lari


dengan menjebol dinding menuju puncak bukit!" 

"Kau bisa tahu hal itu dari mana?" tanya Betari Ayu.

"Dulu aku bekas murid Nyai Lembah Asmara dan 

pernah tinggal di sini sebagai pelayan Nyai. Tugasku 

membersihkan kamarnya!"

Selendang Kubur dan Nyai Betari Ayu angguk-

anggukkan kepala sambil pandangi Peri Malam. Yang 

dipandang tampak masih gusar dan cemas. Kemudian 

setelah sama-sama bungkam sesaat, Peri Malam ucapkan 

kata,

"Aku akan mengejarnya ke pantai! Akan kuhadang di 

jalan tembus sana!"

"Aku ikut kamu!" kata Selendang Kubur dengan rasa 

waswas, takut kalau ganti Peri Malam yang bawa kabur 

Pendekar Mabuk. 

Betari Ayu berkata, "Baiklah. Aku akan periksa 

puncak bukit!" 

Agaknya memang Betari Ayu yang mujur. Karena, 

pada waktu terjadi keributan yang menimbulkan suara 

gaduh bersama ledakan-ledakan menggelegar itu. Nyai 

Lembah Asmara mulai curiga dengan suasana di luar 

kamar, ia segera bergegas memeriksa keadaan di luar 

kamar, ia melihat kemunculan Betari Ayu saat 

menyerang orang bersenjata kapak dengan Cincin Manik 

Intan. 

"Celaka! Dia memiliki pusaka yang dahsyat!" pikir 

Nyai Lembah Asmara kala itu. "Mudah saja untuk 

mengalahkannya, tapi aku tak punya waktu. Bisa-bisa 

Pendekar Mabuk sadar dari pengaruh racunku, lalu ia


melarikan diri. Hmmm...! Sebaiknya, selagi Suto masih 

dalam pengaruh racunku itu, aku harus mencari tempat 

yang aman supaya ia cepat-cepat membuahiku!" 

Pendekar Mabuk bukan hanya mabuk oleh tuak, 

namun juga mabuk oleh racun Darah Asmara yang tak 

mampu dilawannya itu. Tubuhnya berkeringat dan 

wajahnya memerah menahan gairahnya.

Nyai Lembah Asmara segera berkata kepada Suto, 

"Kita harus cepat menyingkir untuk sementara, Suto!" 

"Tak perlu, Nyai! Dekatlah padaku sekarang juga, 

peluklah aku!"

"Mereka akan menemukan kita di sini, Suto! Kita 

harus pergi supaya kemesraan kita tidak diganggu. Aku 

punya tempat yang aman untuk memadu kasih kita!" 

"Ah, Nyai... mengapa kamu takut dengan suara 

gaduh? Aku tidak merasa takut sedikit pun, Nyai! 

Lupakan tentang urusan mereka. Sebaiknya kita kerjakan 

urusan kita sendiri, Nyai!" 

"Tidak, Suto! Aku tidak suka dengan suasana ini! 

Jelas akan mengganggu kemesraan dan kenikmatan 

bercumbu kita, Suto!" 

"Oh, ho ho ho...! Benar juga, Nyai. Benar!" Pendekar 

Mabuk tertawa dan bicara dalam pengaruh tuak dan 

racun birahinya itu. "Kalau begitu, lekas bawa aku pergi 

ke tempat yang lebih mesra lagi, Nyai!"

Nyai Lembah Asmara berpikir, "Aku tadi melihat ada 

Sundari, bekas murid dan pelayan di kamarku ini! Kalau 

aku lewat pintu lantai, pasti Sundari tahu ke mana arah 

lariku. Hmmm... sebaiknya aku ke puncak saja. Kubawa


Pendekar Mabuk ke dalam gua yang cukup aman untuk 

memadu kemesraan dengannya!"

Nyai Lembah Asmara sentakkan tangan kirinya ke 

depan. Wuuut...!

Blarrr...! Dinding kamar jebol dengan satu sentakan 

tenaga dalam tanpa sinar itu, ia segera membawa lari 

Pendekar Mabuk. Tapi keadaan Suto sangat lemah dan 

lamban untuk bergerak lari. Tanpa ragu-ragu, Nyai 

Lembah Asmara menggendong tubuh Suto, 

memanggulnya di pundak. Pendekar Mabuk hanya diam 

saja sambil tetap memegang tabung bumbung bambu. 

Sesekali ia tersentak karena cegukan, mulutnya 

berceloteh apa saja karena pengaruh mabuknya, sampai 

Nyai Lembah Asmara sempat membentak agar Pendekar 

Mabuk diam dan tidak bersuara. 

Keadaan mereka yang belum sampai lepas pakaian 

itu segera melesat keluar dari kamar melalui jebolan 

tembok. Nyai Lembah Asmara membawa lari Suto ke 

arah puncak bukit. Gerakannya tetap seperti anak panah 

yang melesat dari busurnya, walau saat itu ada beban di 

pundaknya. 

Sebuah gua yang pintunya tertutup oleh ilalang lebar 

menjadi sasaran arah Nyai Lembah Asmara. Gua itu 

tidak mudah ditemukan orang, tidak pula mudah dilihat 

karena kerimbunan semak ilalang yang menutup mulut 

gua. Tapi buat Nyai Lembah Asmara, gua itu sudah 

bukan tempat asing lagi, karena ia sering membawa 

seorang pria untuk bercinta di dalam gua tersebut. Gua 

itu terletak pada satu lereng, hampir mencapai puncak


bukit. 

Ketika Nyai Lembah Asmara tiba di depan gua itu, ia 

turunkan tubuh Pendekar Mabuk dari pundaknya. 

Pendekar Mabuk pun berdiri dengan sempoyongan. 

Matanya semakin sayu karena mabuk, juga karena racun 

birahi yang menyerangnya.

"Di sini saja, Nyai!" kata Suto dengan suara sumbang 

sambil meraih baju Nyai Lembah Asmara dan ingin 

melepaskannya. Tapi Nyai Lembah Asmara menolak 

sambil berkata,

"Jangan di sini! Kita masuk ke dalam gua itu!"

"Mana ada gua, Nyai?"

"Itu, di depan kita. Kau tidak melihatnya karena 

kerimbunan semak ilalang di mulut gua!" 

Pendekar Mabuk dituntun mendekati gua. Tiba-tiba 

kakinya yang lemas terkulai dan jatuhlah Suto, merosot 

ke bawah tebing sambil tetap berpegangan bumbung 

tuaknya.

"Sutooo...?!" sentak Nyai Lembah Asmara dengan 

cemas. Cepat-cepat ia lompatkan tubuh dan bersalto dua 

kali. Tubuh Nyai Lembah Asmara mendahului gerakan 

Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah tebing. 

Sebatang ranting kering dipakai berpijak kaki Nyai 

Lembah Asmara. Ranting itu seharusnya patah, tapi 

karena ilmu peringan tubuh yang digunakan Nyai 

Lembah Asmara cukup tinggi, sehingga ia bisa berdiri 

dengan tenang di atas ranting kering yang besarnya dua 

kali ukuran lidi.

Tubuh Pendekar Mabuk yang meluncur ke bawah itu


ditangkap oleh kedua tangan Nyai Lembah Asmara. 

Andai tidak, tubuh Pendekar Mabuk akan jatuh ke 

jurang yang cukup dalam. Mungkin juga Suto akan mati 

dihujam bambu-bambu runcing yang sengaja dipasang 

oleh Nyai Lembah Asmara sebagai jebakan para musuh 

yang hendak menyerangnya dari atas bukit. 

Sentakan halus kaki Nyai Lembah Asmara segera 

membuat tubuhnya melesat ke atas sambil menopang 

tubuh Suto. Kini, ia berhasil membawa Pendekar Mabuk 

ke tanah sedikit datar dan aman dari bahaya kemiringan 

tebing.

"Enak sekali terbang denganmu, Nyai!" Suto 

menceracau. "Aku juga bisa terbang seperti kamu. 

Huup...!" 

Pendekar Mabuk menyentakkan kakinya dan dalam 

sekejap tubuhnya melayang ke atas dan berjungkir balik 

dua kali. Tubuh itu segera hinggap di salah satu batu 

yang ada di puncak bukit. Pendekar Mabuk berdiri 

dengan keadaan limbung, mencemaskan hati Nyai 

Lembah Asmara.

Ia berseru dari sana, "Nyai...! Aku bisa sampai di 

sini! He he he... he he...!" 

Bruukkk...! Suto jatuh dari batu besar itu. Tubuhnya 

terhempas di tanah. Nyai Lembah Asmara menggeram 

jengkel dan menggerutu, 

"Bocah sinting! Katanya ingin kemesraan malah 

mengajak bercanda gila-gilaan begitu. Huuup...!" 

Nyai Lembah Asmara menyusul Pendekar Mabuk di 

atas puncak bukit dengan melesatkan diri dan bersalto


dua kali juga. Suto sedang menggeliat bangkit ketika 

kedua kaki Nyai Lembah Asmara mendarat di tanah 

sampingnya. Jleeg...! 

"Aku jatuh, Nyai. He he he.... Enak sekali jatuhnya!" 

kata Suto yang semakin parah dipengaruhi tuaknya.

"Suto, kita tak punya waktu untuk bercanda. Lekaslah 

ke dalam gua, Suto. Aku tak sabar menunggu kemesraan 

dan kehangatan tubuhmu!"

"Di sini sajalah, Nyai! Di alam bebas ini lebih mesra! 

He he he...!" Pendekar Mabuk makin mengacau, ia 

berdiri dengan sempoyongan, ia merenggut tubuh Nyai 

Lembah Asmara, sehingga wajah mereka saling tatap 

dalam jarak dekat. Nyai berpikir saat itu,

"Kalau memang dia maunya di sini, biarlah di sini! 

Aku pun sudah tak tahan lagi!" 

Pendekar Mabuk tersenyum-senyum ketika wajah 

Nyai Lembah Asmara mendekat ingin mencium 

bibirnya. Jemari Suto sedikit menaikkan dagu Nyai 

Lembah Asmara, dan mata Nyai jadi terpejam. Tapi tiba-

tiba tangan Suto menyentak, mendorong dagu itu ke 

belakang membuat tubuh Nyai pun tersentak limbung 

dalam keadaan mundur tiga tindak. 

"Oh, maaf Nyai... aku hampir jatuh!" kata Suto 

sambil sempoyongan. Nyai Lembah Asmara ingin marah

namun segera memaklumi keadaan Pendekar Mabuk 

yang dalam pengaruh mabuk tuak itu. 

"Suto, lekaslah berbaring saja! Biar aku yang menjadi 

pelayan cintamu, Suto," kata Nyai Lembah Asmara 

sambil berkemas untuk melepasi pakaiannya.


"Baik. Baik. Aku akan berbaring, tapi... tapi di atas 

batu itu! Aku ingin berbaring ke sana! Huupp...!" 

Tiba-tiba Pendekar Mabuk melompat ke atas batu 

besar yang tingginya dua kali tinggi tubuhnya, Suto 

bagaikan terbang dan hinggap di atas batu datar dalam 

keadaan sudah berbaring. 

Tetapi pada waktu ia melompat tadi, ada satu batu 

kecil sebesar genggaman tangan anak-anak melesat pula 

dari sentakan kakinya. Batu itu melesat ke arah Nyai 

Lembah Asmara dengan cepat. Plokkk! 

Nyai Lembah Asmara tak sempat menghindari batu 

yang di luar dugaan kedatangannya. Maka, tersentaklah 

ia ketika batu itu mengenai tulang pipinya dan 

membekas biru. Ia menyeringai kesakitan sambil 

tundukkan wajahnya, memengangi luka memar dari 

hantaman batu tersebut.

"Gila, tingkahnya aneh-aneh saja, sampai wajahku 

terkena batu yang begini sakitnya. Uuh... kurasakan 

sentakan batu itu sangat kuat dan berat. Mungkin hanya 

karena keadaan tubuhku sedang dilanda gairah, sehingga 

terkena batu begitu kecil saja terasa sakit." 

Terdengar Suto berseru, "Nyaiii... aku berbaring di 

sini...!" nada suaranya meliuk-liuk tak jelas iramanya. 

"Kalau kau tak segera datang aku akan turun, Nyai...!" 

Segera Nyai Lembah Asmara yang jantungnya sudah 

berdetak-detak karena dorongan nafsu yang makin 

menggelora itu, melesat dengan satu lompatan kecil, 

menghampiri Pendekar Mabuk yang berbaring di atas 

batu. Pikir sang Nyai, "Biarlah di atas batu itu aku


bercumbu, yang penting gairahku segera terpenuhi 

dulu!" 

Ketika Nyai Lembah Asmara sampai di atas batu, 

berdiri di dekat Pendekar Mabuk, tiba-tiba Suto bangkit 

dengan satu gerakan memutar, hingga kakinya menyapu 

kaki Nyai Lembah Asmara. Plakkk...!

Brukkk...! 

Nyai terpelanting jatuh dan terjungkal turun dari atas 

batu. Pundaknya menghantam tanah lebih dulu. 

Sebongkah batu terpendam menjadi benturan telinga 

kirinya. Prukkk....! 

"Aauh...!" ia memekik kesakitan.

"Waduh, maaf...! Maaf, Nyai...! Kupikir kau belum 

datang, karenanya aku bangkit dengan cepat ingin 

menyusulmu turun dari batu ini! Maaf, aku tak sengaja 

menendang kakimu, Nyai!" 

Nyai Lembah Asmara berpikir juga, "Sapuan kakinya 

tak mungkin bisa merobohkan kuda-kudaku jika tidak 

diiringi kekuatan tenaga dalam! Oh, daun telingaku luka 

berdarah. Sial! Dalam keadaan mabuk dia masih dialiri 

tenaga dalam di sekujur tubuhnya. Oh, alangkah 

indahnya jika cumbuannya nanti juga dialiri tenaga 

dalam. Jelas ia akan mampu mempertahankan gairahnya 

yang menurutku sudah meluap-luap seperti yang 

kurasakan saat ini...."

"Nyai, naiklah! Lekas! Aku sekarang berdiri biar bisa 

melihat kedatanganmu! Naiklah, Nyai!" seru Suto 

sambil berdiri di tepian batu dengan tubuh meliuk ke 

sana-sini, bagaikan diombang-ambingkan oleh angin.


Tangannya pun menggapai-gapai seperti ingin jatuh.

Nyai berteriak, "Suto, awas! Nanti kau jatuh! Jangan 

ke tepian!" 

"Lekaslah naik sebelum aku sempat jatuh, Nyai!"

Takut Pendekar Mabuk jatuh, Nyai Lembah Asmara 

pun segera melompat menyongsong gerakan tubuh 

Pendekar Mabuk yang mulai limbung ke depan. Tangan 

Pendekar Mabuk bergerak-gerak mencari keseimbangan 

sambil berseru, "Eee, eh eh eh...!"

"Awas, Suto...!" Nyai Lembah Asmara makin berseru 

cemas.

Ketika tubuhnya mendekati Pendekar Mabuk, tiba-

tiba Suto jatuh ke depan. Tangannya bergerak-gerak 

bagai ingin mencari pegangan.

"Waaaoow...!" Suto berteriak dalam nada kegirangan. 

Tubuhnya beradu dengan tubuh Nyai Lembah 

Asmara di udara. Tangan Suto cepat bergerak dan 

mengenai dada Nyai Lembah Asmara. Plak plak plak...! 

Lalu, Nyai Lembah Asmara tersentak ke belakang dalam 

keadaan terbang, Suto jatuh ke bawah dalam keadaan 

terguling dua kali. Ia jatuh terduduk sambil mengerang 

kesakitan memegangi pinggangnya. Bumbung tuak 

masih menyilang di punggungnya. 

"Aduh. sakitnya punggungku...!" rintihnya pelan. 

Tetapi Nyai Lembah Asmara tidak hiraukan rintihan 

itu. Ia melihat dadanya hangus tiga tempat akibat 

gerakan tangan Pendekar Mabuk tadi. Napasnya pun 

mulai terasa sesak. Dada itu terasa panas sekali bagian 

dalamnya. Nyai Lembah Asmara mulai membatin,


"Kurang ajar! Rupanya sejak tadi dia menyerangku 

dengan jurus mabuknya! Uuh... sakit sekali dadaku. 

Gerakan tangannya tak seberapa keras, tapi mempunyai 

kekuatan tenaga dalam yang menghanguskan kulit 

dadaku! Aduh, sesak sekali napasku, jangan-jangan 

racun Darah Asmara telah membalik meracuni tubuhku 

sendiri! Tak biasanya aku mempunyai gairah sebegini 

besarnya!"

Terdengar Pendekar Mabuk berseru, "Nyai, tolong 

aku berdiri!" ia mengulurkan tangan, minta ditarik. Tapi 

Nyai Lembah Asmara hanya diam saja. Nyai Lembah 

Asmara hanya memandang dengan mata kian nanar, 

antara sayu dicekam birahi dengan sayu menahan sakit.

Tak disadari dari mulut Nyai Lembah Asmara mulai 

melelehkan darah segar ketika ia terbatuk satu kali. 

Bahkan batuk yang kedua membuat darah kental 

menyembur ke luar dari mulut. Nyai Lembah Asmara 

sangat kaget melihat mulutnya mengeluarkan darah 

kental sedikit kehitaman.

"Jahanam!" geramnya dalam hati. "Rupanya dia telah 

berhasil melukaiku secara diam-diam! Ini sudah bukan 

luka ringan saja. Ini sudah bukan satu hal yang bersifat

kebetulan tapi pasti direncanakan olehnya! Aku harus 

menyerangnya! Aku harus membalasnya! Tapi 

bagaimana jika ia terluka? Aku tak bisa menikmati 

kemesraannya. Padahal aku sudah tak bisa menahan 

gairahku lagi. Oh, aku ingin dicumbunya sekarang juga! 

Ya, sekarang juga!"

Masih saja Suto menyerukan kata, "Nyai, tolonglah


aku! Tarik tanganku agar aku bisa berdiri...!" 

Nyai Lembah Asmara segera melompat bagai singa 

menerkam mangsanya. Wuuttt...! Ia menerkam tubuh 

Pendekar Mabuk dan mengajaknya berguling untuk 

bercumbu. Tetapi saat tubuh itu melayang, Pendekar 

Mabuk segera menyentakkan tangannya yang sejak tadi 

teracung ke atas. Gerakan tangan itu seperti orang ingin 

bangkit dan menggunakan tangan itu untuk bertolak dari 

sebuah batu di sampingnya. Tapi gerakan lembut itu 

ternyata memancarkan satu kekuatan tenaga dalam yang 

membuat kepala Nyai Lembah Asmara tersentak naik ke 

atas dengan pekik tertahan. 

Beegh..! Leher Nyai Lembah Asmara jadi sasaran 

tenaga dalam Suto. Akibatnya, mulut Nyai Lembah 

Asmara kembali menyemburkan darah kental dan 

berwarna kehitam hitaman. Pendekar Mabuk berlagak 

kaget dan berseru,

"Nyai.. ? Kenapa kau, Nyai?! Kenapa...?!"

Nyai Lembah Asmara yang terkenal keji dan buas itu 

tergeletak dalam keadaan tersengal-sengal. Matanya 

terbeliak sambil sesekali menyemburkan darah dari 

mulutnya. 

Pendekar Mabuk berjalan mundur seperti orang 

ketakutan melihat Nyai Lembah Asmara tersentak-

sentak tubuhnya. Padahal itu hanya kepura-puraan 

Pendekar Mabuk. 

Tiba-tiba sekelebat bayangan melesat di atas kepala 

Suto. Cepat sekali Pendekar Mabuk sentakkan 

tangannya ke atas sambil menundukkan kepalanya.


"Wah, burung apa itu yang datang?!" 

Sentakkan tangan itu rupanya mengeluarkan kekuatan 

tenaga dalam. Dan kelebat bayangan itu juga 

menyentakkan tenaga dalam ke ubun-ubun Suto. 

Akibatnya, dua tenaga dalam itu beradu dan 

menimbulkan gelegar yang teredam.

Beeggh...! 

Wuuut...! Suto tersentak ke samping dan hampir 

jatuh, ia hanya sempoyongan saja dan segera 

berpegangan dinding batu. Sedangkan bayangan itu 

segera jatuh dengan kaki sigap ke tanah. Bayangan itu 

milik seorang nenek berkulit keriput, yang bersenjatakan 

tengkorak seekor kambing.

"Oh, kau rupanya, si Mawar Hitam!" kata Pendekar 

Mabuk. 

"Syukul kau ingat padaku, Suto! Kau masih punya 

hutang pusaka Tuak Setan padaku! Sekalang aku belum 

ingin menagihnya, tapi suatu saat nanti, aku ingin 

menagihnya dalimu," kata Mawar Hitam yang tak bisa 

menyembulkan hufur 'r' itu. Ia adalah penguasa Pulau 

Hantu, bekas gurunya Peri Malam.

"Lalu, sekarang kau mau apa, Mawar Hitam?!"

"Aku tahu sejak tadi kau selang pelempuan ini 

dengan lagak mabukmu! Dia tidak melasa, dan akhil-nya 

dia jatuh begini. Kasihan!"

"Mata tuamu memang jeli, Mawar Hitam! Tak sejeli 

mata perempuan yang sedang dimabuk birahi karena 

racunnya yang berhasil kukembalikan tadi. Kalau kau 

tahu begitu, sekarang mau apa kau?"


"Aku belum mau ulusan sama kamu, mulid sinting!

Tapi tunggu kalau aku sudah ambil semua ilmu yang ada 

dalam dili pelempuan ini! Aku akan balas kekalahanku 

tempo hali!" 

Sebelum Pendekar Mabuk lontarkan kata, tiba-tiba 

nenek kempot keriput itu bergerak cepat. Tubuh Nyai 

Lembah Asmara diangkatnya bagai mengangkat batang 

pisang, lalu ia segera jejakkan kaki dan melesat pergi 

dengan cepat menuruni lereng bukit. Pendekar Mabuk 

hanya mengejar sampai tiga langkah ke depan, lalu 

membiarkan nenek kempot itu pergi membawa Nyai 

Lembah Asmara.

Tiba-tiba dari arah belakang Pendekar Mabuk ada 

suara memanggil, "Suto...?!" 

Oh, rupanya Nyai Betari Ayu datang agak terlambat, 

ia tidak menyaksikan pertarungan Pendekar Mabuk yang 

mirip pertarungan sinting itu. Ia tidak melihat bagaimana 

Pendekar Mabuk merubuhkan Nyai Lembah Asmara, ia 

hanya melihat Pendekar Mabuk melangkah dengan 

sempoyongan mendekatinya. 

"Kau tidak apa-apa, Suto?" 

"Tidak, Nyai. Racun kiriman Nyai Lembah Asmara 

berhasil kubalikkan saat dia mencium bibirku... he he 

he...." 

"Dia mencium bibirmu, Suto?!" Betari Ayu sempat 

kaget dan punya perasaan tak suka mendengarnya. Ia 

palingkan wajah dan cemberut. Pendekar Mabuk tertawa 

terkekeh-kekeh. Tapi tawanya menjadi hilang ketika ia 

melihat jari tengah tangan kanan Betari Ayu


mengenakan cincin bermata putih berlian. Pendekar 

Mabuk terbayang penuturan dari gurunya tentang ciri-

ciri Cincin Manik Intan. Dan, saat itulah mata Pendekar 

Mabuk terbelalak melihat Cincin Manik Intan ada di 

tangan Nyai Betari Ayu.

"Haruskah aku bertarung dengannya merebut cincin 

itu?!" pikir Pendekar Mabuk dengan hati gundah gulana. 


                           SELESAI



PENDEKAR MABUK

Ikuti kisah selanjutnya 

Serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: 

PERTARUNGAN Di BUKIT JAGAL


0 komentar:

Posting Komentar