PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE TANGAN HITAM ELANG PERAK
Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka
TANGAN HITAM
ELANG PERAK
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit Dilarang mengutip atau
mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Tangan Hitam Elang Perak
SATU
Arus kali Progo begitu deras membawa sebuah
perahu yang cukup besar dan bagus. Sekeliling perahu
itu dihiasi dengan ukiran-ukiran yang membentuk se-
perti hiasan-hiasan kerajaan. Pada kepala perahunya
tergambar sebuah kepala burung Elang. Dengan layar
berkembang dihembus angin, perahu itu semakin me-
laju menyusuri sepanjang kali. Salah seorang penum-
pangnya mengatur haluan. Kedua matanya tidak ber-
henti mengawasi sisi-sisi kali yang mereka lewati. Dari
dalam sebuah ruangan yang ter-dapat pada perahu
tersebut, ke luar seorang perempuan berumur tiga pu-
luhan. Seekor anjing berbulu hitam mengikuti lang-
kahnya.
"Kanda Adinaya..... Sudah sampai di manakah
kita?" kata perempuan itu.
"Masih jauh, istriku... masih jauh sekali..." ja-
wab orang yang berdiri mengatur haluan. Perempuan
itu mendekatinya.
"Aku ingin secepatnya sampai di desa Gerong-
sewu sebelum hari gelap. Udara di sini dingin sekali....
Kanda sendiri sudah merasakannya, bukan...?"
"Ya... ya.... Memang dingin di sini, tapi selain di
perahu ini kita harus tidur di mana? Pakailah seli-
mutku biar kau bisa tidur nyenyak...."
Perempuan itu masuk lagi ke dalam, anjing
berbulu hitam terus mengikutinya.
"Istriku... Apakah si Gerong sudah kau beri
makan?" tanya suaminya dari luar. Gerong yang di-
maksud adalah anjing peliharaannya.
"Kau yang lupa makan, Kanda...!" sahut is-
trinya dari dalam. Senja merambat pelan, angin makin
kencang berhembus. Suara dedaunan dari pohon-
pohon yang lebat di kedua sisi kali itu bergemeresek.
Suara binatang malam pun mulai terdengar. Sebentar-
sebentar lelaki itu mengusap-usap lengannya yang
nampak menggigil. Keadaan menjadi sunyi. Hanya su-
ara derit haluan yang bergerak ke kanan dan ke kiri
mengiringi perjalanan itu. Mendadak.....
"Hoooooooi...! Orang-orang Elang Perak..... Ke-
napa harus terburu-buru...!" teriakan nyaring meng-
gema dari sebelah kanan pinggir kali.
"Apa kalian tidak takut melintasi kali progo di
tengah malam buta begini...?" terdengar lagi teriakan
dari sebelah kiri. Sudah tentu orang yang memegang
haluan itu celingukan. Tanpa rasa takut ia menjawab.
"Ki Sanak.... Kalau kita satu perjalanan, Ki Sa-
nak boleh menumpang di perahuku ini...."
"Tidak disangka orang-orang Elang Perak ber-
budi luhur.... Sejak tadi kami memang sudah mengun-
tit kalian dan bermaksud singgah di perahu kalian...."
Mendengar suara-suara teriak, perempuan
yang sudah pulas tertidur bangun lagi. Dari dalam ia
langsung bertanya....
"Kanda.... bicara dengan siapa?"
Gerong menggonggong. Adinaya, suaminya ti-
dak menjawab pertanyaan sang istri. Malah ia melan-
jutkan percakapan dengan orang-orang yang bersem-
bunyi di balik pepohonan.
"Aku tahu Ki Sanak adalah orang-orang yang
berilmu tinggi, kalau hanya ingin menumpang, silah-
kan datang ke sini.... Mengapa harus malu-malu?" ka-
ta Adinaya tegas. Tiba-tiba saja dedaunan yang lebat
itu berguncang-guncang. Kemudian dari atas pepoho-
nan yang cukup tinggi, muncul beberapa sosok bayan-
gan berputar di udara. Lalu dengan mantap hinggap di
atas perahu tersebut. Dari sebelah pinggir kanan dua
orang, dari kiri dua orang. Keempat orang itu ber-
pakaian sama. Mereka nampak seperti prajurit-prajurit
kerajaan. Hanya perawakan mereka saja yang berbeda.
Hal itu dapat dilihat karena mereka tanpa mengenakan
baju. Rambut mereka disanggul ke atas, dan wajah
mereka hampir ditutupi dengan berewok yang menye-
ramkan. Meskipun Adinaya dan istrinya sudah melihat
kedatangan tamu-tamunya ini, mereka bersikap te-
nang-tenag saja.
"Ah.... kami kira siapa Ki Sanak-Ki Sanak ini....
Rupanya gerombolan begal Singa Kali Progo...." Ternya-
ta Adinaya sudah mengenal mereka sebelumnya....
"Guk... Guk.... Guk...." Gerong menggonggong
lagi. Nampaknya binatang itu tidak menyukai kehadi-
ran tamu tak diundang.
"Nama besar Singa Kali Progo tidak berarti apa-
apa dibanding orang-orang Elang Perak.... he... he....
he lagi pula.... Maksud kedatangan kami bukan hanya
untuk menumpang, saudara Adinaya.... juga untuk....
he... he... he...."
"Untuk apa, saudara Singa Kali Progo?" tanya
Adinaya ingin tahu. Sang istri sudah tahu gelagat, ma-
ka diam-diam ia mengencangkan ikat pinggangnya.
"Kalau bukan karena benda pusaka, mana be-
rani orang-orang Singa Kali Progo mengusik murid-
murid Elang Perak? He.... he... he...."
"Mana ada benda pusaka di sini! Bilang saja ka-
lau kalian mau merampok!.... Jangan banyak basa ba-
si saudara Singa Kali Progo! Kami sudah tahu segala
tindak tanduk kalian... huh!!" Isteri Adinaya geram.
"Aahhh.....Tidak perlu bertengkar, Nyonya....
Kami akan segera pergi kalau sudah mendapatkan
benda pusaka itu...." kata salah seorang kelompok
Singa Kali Progo.
"Sudah kukatakan benda pusaka itu tidak ada
pada kami. Sebaiknya kalian menyingkir...!" bentak pe-
rempuan itu.
"Guk...! Guk...! ukk....!" anjing itu menyalak-
nyalak keras.
"Ratih....! Bicaralah yang sopan.... Bagaimana-
pun juga kita harus menghormati mereka...." Adinaya
menengahi.
"Benar kata suami Nyonya.... percuma saja
mengusir kami! Kami tidak akan menyingkir dari sini...
Serahkan dulu pusaka......!"
"Setan Alas.... Heaaaaaaa...!" Ratih main me-
nyerang melancarkan sebuah pukulan ke wajah orang
yang berbicara tadi. Kalau saja orang itu tidak segera
mundur, mungkin ia sudah terjungkal. Tendangannya
memutar namun masih dapat dia tangkis. Seorang dari
kelompok begal itu datang membantu. Kini Ratih ha-
rus menghadapi dua orang. Tentu saja Adinaya tidak
tinggal diam melihat pengeroyokan itu. Ia melompat
memotong serangan kelompok begal yang menyerang
istrinya. Namun ia pun diikuti oleh anggota kelompok
Singa Kali Progo.
"Saudara Adinaya.... Biarkan saja istri mu ber-
main-main dengan kedua saudara ku... he... he... he....
Kalau kau mau ikut campur, terpaksa kami berdua
akan menghadapimu...."
"Keparat....! Orang-orang Singa Kali Progo me-
mang musti diberantas! Heaaaaaaa....!" Adinaya meng-
hadapi dua orang. Rentangan tangannya membuat ke-
dua orang bertampang menyeramkan itu jadi gelaga-
pan. Dan teriakan-teriakan terdengar berbarengan
dengan setiap gerakan mereka....
"Splaaaaak....!" Sabetan tangan mereka saling
beradu....
"Desssss...!" Tendangan Adinaya berhasil ma-
suk di lambung salah satu penyerangnya. Mendapat
tendangan yang sangat keras orang itu hanya terdo-
rong beberapa langkah ke belakang. Sungguh luar bi-
asa.... Kalau saja kelompok itu tidak memiliki ilmu si-
lat yang tinggi, tentunya pasangan suami istri yang ko-
sen dari perguruan Elang Perak sudah melempar jatuh
keempat anggota begal Singa Kali Progo itu...
Perkelahian hebat tak terelakkan lagi. Selain
suara-suara teriakan mereka maupun suara bera-
dunya pukulan.... Suara gonggongan Gerong ikut me-
ramaikan suasana di atas perahu yang melaju terus
mengikuti arus kali. Ranti cepat menepis di saat pe-
nyerangnya melancarkan tinjunya, lalu dengan telapak
tangannya yang setengah memutar Ranti dapat me-
nangkap lengan kiri itu. Kemudian lengan kiri Ranti
langsung menghajar tenggorokan manusia berewok
menyeramkan sampai berteriak kesakitan. Dua seran-
gan lagi datang. Kali ini dari arah yang berlainan.
"Hraaaaa....! Heaaaaaat....!" Ranti melompat
menghindar. Tapi begitu ia turun, sebuah hantaman
mengenai bagian belakang.
"Arggggg...! Ranti memekik kesakitan. Tubuh
Ranti berputar berusaha membalas sepakan itu...
"Hiaaaa....! Plaaak....!" Serangan yang begitu
dahsyatpun masih juga dapat dihindari oleh anggota
begal Singa Kali Progo.
Adinaya betul-betul khawatir terhadap istrinya.
Ingin sebenarnya ia membantu. Tapi lawan-lawan yang
ia hadapi semakin gencar melancarkan jurus-jurus
maut yang mematikan, Adinaya sendiri hampir kewa-
lahan menghadapinya. Gerong masih terus menggong-
gong. Manakala kedua tuannya sibuk bertempur.
Kalau hanya berkelit, Adinaya maupun Ratih
masih dapat mengelakan serangan-serangan yang di-
lancarkan oleh gerombolan Singa Kali Progo yang terdi-
ri dari empat orang itu. Tapi lantaran para penyerang-
nya memiliki kemampuan yang hampir setaraf, pasan-
gan suami istri itu harus kerja keras mengatasinya.
Gerong melompat menubruk, serta menggigit
salah seorang yang menyerang Ratih.
"WUAA....!!" Orang itu menjerit kalap. Lengan-
nya yang kekar reflek mencengkram leher Gerong.
"Kaiii-ing....! Praaaaak...!" kakinya mengin-
jak hancur kepala Gerong. Sesaat Gerong kelojotan,
kemudian diam tak berkutik.
"Gerooooong...." Ratih memekik.
"Batok kepala kalian akan sama hancurnya se-
perti anjing ini. Tapi gerombolan Singa Kali Progo ma-
sih bisa berbaik hati.... itu pun kalau kalian mau me-
nyerahkan pusaka itu...." kata orang berewok itu den-
gan menyeringai.
"Sungguh besar nyali kalian berani berkata be-
gitu terhadap orang-orang Elang Perak. Betul-betul ti-
dak tahu aturan. Itu berarti kalian telah menggali lo-
bang untuk kuburan kalian sendiri. Majulah. Telah
terlanjur kita bentrok, mengapa tidak kita teruskan
sampai titik darah penghabisan." kata Adinaya mena-
han amarah.
Istrinya, Ratih sudah bersiap-siap dengan ju-
rus-jurus andalannya. Begitu pula dengan gerombolan
Singa Kali Progo. Mereka tidak kalah sigapnya menge-
luarkan jurus-jurus yang ampuh. Keempat berewok itu
berjumpalitan mengelilingi pasangan suami istri dari
perguruan Elang Perak. Diselingi dengan beberapa pu-
kulan yang datang secara mendadak ke arah Adinaya
maupun Ratih.
Adinaya memutar lengannya lalu ia hentakkan
ke muka.
“Jebereeet....!" Pukulan itu beradu. Lengannya
terasa berdenyut. Matanya yang selalu awas dapat me-
lirik serangan yang datang dari belakang. Secepatnya
ia merunduk sambil mendorong kakinya,
"Wessssss...!" Serangan itu meleset. Gerombo-
lan Singa Kali Progo memang bukan lawan yang sem-
barangan. Kalau serangan tadi lolos, maka menyusul
lagi serangan baru. Selalu saja begitu.
Ratih mulai terdesak. Dua orang lawannya me-
nyerang secara bertubi-tubi. Bergerak dan atas dan
bawah. Ratih betul-betul tidak dapat membalas seran-
gan itu. Dapat menangkis atau menghindarinya saja
sudah bagus. Ia hanya mundur-mundur sambil men-
gibas-ngibaskan kedua tangannya. "Plaak! Plak!" Joto-
san itu dapat ditepis oleh Ratih. Tapi,
"Dess...!" Ratih tidak dapat menghindari ten-
dangan itu.... Keras sekali tubuhnya terbanting. Teria-
kan amarah Adinaya menggelegar.... "Hreaaaaaa....!"
Tinjunya menerobos mengenai tubuh salah satu la-
wannya yang berbadan besar. Lalu kakinya dengan ce-
pat menendang. "Plak! Hiaaaat...! Plaaaaaaak...!" Ten-
dangan beruntun itu masih dapat ditangkis.
"Ternyata kepandaian murid-murid per-guruan
Elang Perak hanya sebegini-begini saja. Mana? Apa
masih ada jurus-jurus yang lain?" kata salah seorang
lawannya mengejek. Mendengar perkataan yang begitu
nyelekit, Adinaya menjadi gusar bukan kepalang. Tan-
gannya terkembang ke atas, mengepak-ngepak bagai
sepasang sayap. Lalu jari-jari tangannya bergerak ka-
ku membentuk cakar Elang. Cakaran-cakaran itu ber-
kelebat ke sana ke mari. "Wus! Wus! Wus...!" Mendapat
serangan yang begitu, orang-orang Singa Kali Progo
menjatuhkan diri menyusup maju menghadapi caka-
ran-cakaran itu. Salah seorang dari mereka melompat.
"Bret... Bret... Bret!" Tubuh yang telanjang dada itu
tergores oleh cakaran-cakaran Adinaya. Jelas luka-
luka itu mengeluarkan darah. Tapi ia malah maju se-
makin dekat. "Bret... Bret!" Kembali cakar Adinaya me-
lukai dadanya. Di luar dugaan orang itu langsung me-
nubruk membekuk Adinaya. Tenaganya dikerahkan
agar Adinaya tak da-pat lepas. Adinaya meronta-ronta.
Dalam keadaan seperti itu orang-orang Singa Kali Pro-
go dengan mudah dapat melancarkan serangan.
"Dueeesss....!" Sebuah jotosan menghantam keras di
kepala Adinaya. "Bug! Desss!!" Tendangan dan puku-
lan tak dapat
dihindarinya.
"Kanda...!" Ratih memekik melihat suami nya
keteter. Bagaimanapun juga Ratih tidak dapat mem-
bantu suaminya. Karena ia sendiri terlalu sibuk men-
gurusi lawan-lawannya. Rasa khawatir selalu ada da-
lam pikiran Ratih. Makanya dalam setiap gerakannya
menjadi lamban, mungkin dikarenakan pikirannya
yang bercabang dua. Sampai-sampai serangan yang
begitu cepat tak bisa dihindarinya lagi. "Buuug!" Dua
jotosan sekaligus menghantam dada Ratih. Kontan na-
fasnya menjadi sesak. Pandangannya nanar. Sebelah
tangannya memegangi dada-nya yang terasa sakit.
Tanpa terasa darah keluar dari mulutnya. "Ohkkk...!"
Orang-orang berewok itu tertawa menyeringai. Tahu-
tahu satu pukulan lagi melayang ke perut Ratih.. Tu-
buh ramping itu terpental membentur tiang layar.
Sekali hentak, Adinaya berhasil melepaskan diri
dari bekukan lawannya. Meski-
pun tubuhnya sudah hancur memar, tenaga-
nya yang masih tersisa mengokohkan diri-nya berdiri
tegak setegar batu karang. Ke-empat manusia menye-
ramkan yang berdiri di depannya hanya memandang.
"Kau lihat di sana itu, saudara Adinaya.... Is-
trimu yang cerewet sudah kubikin mampus dengan tu-
lang rusuk yang remuk...! Apakah kau juga masih ke-
ras kepala...? Serahkan saja pusaka itu kepada ka-
mi...!"
"Keparaaaaattttt!" Bunuh saja aku sekalian!
Mati hidu pun tak akan kuserahkan pusaka itu.... Ma-
nusia-manusia busuk...!" Adinaya tetap berdiri tegar.
"Membunuh seorang yang hampir mampus apa
susahnya...! Jelas-jelas pusaka itu ada di sini, dan kau
sendiri hampir mampus... mengapa masih dipertahan-
kan juga...." kata orang yang berdiri paling depan. Lalu
ia mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tentu sa-
ja aba-aba itu dapat di-mengerti oleh ketiga orang
lainnya. Maka secepat kilat ketiga manusia yang men-
juluki kelompoknya Singa Kali Progo memberi hanta-
man berbareng. "Desss...! Desss...! Desss!" Tubuh Adi-
naya ambruk tak berkutik.
"Geledah seluruh isi perahu ini. Cari pusaka itu
sampai dapat...." perintah orang
yang memberi aba-aba tadi. Maka tanpa buang
waktu ketiga orang berewok berpencar menyusup
mencari sesuatu benda yang di anggap nya pusaka.
"Kalau perlu bongkar seluruh perahu mi ..." ka-
tanya lagi. Dan ia sendiri mendekati tubuh Adinaya.
Seluruh pakaiannya digeledah. Tidak ada satu apapun
di balik baju yang dikenakan Adinaya. Matanya melo-
tot marah. Lalu ia melirik ke arah Ratih. Tubuh pe-
rempuan itu pun tidak luput dari penggeledahan. Sa-
ma saja, ia tidak menemukan apa-apa. Sekalipun ia
sudah menelanjangi m ay at perempuan itu. Tak lama
ketiga prang berewok itu ke luar menemui pemimpin
nya.
"Kang Dawuk.... Di dalam perahu tidak |da
apa-apa! Kami sudah membongkar seluruh muatan
perahu ini, bahkan seluruh sudut sudah kami cari...."
"Apa kalian betul-betul mencarinya? Brengsek!
Kita sudah dua kali tertipu oleh orang-orang Elang Pe-
rak! Kapan sebenarnya pengiriman pusaka itu ke Ge-
rongsewu? Kapan..,? Apa kita harus menunggu di sini
terus?" Dawuk marah.
"Kalau begini terus, lama kelamaan bakal keta-
huan siapa yang selalu menjegal orang-orang Elang Pe-
rak. Kita-kita akan celaka." katanya lagi. Lalu ia me-
lompat meninggalkan perahu yang masih tetap me-
laju. Ketiga orang berewok itu mengikuti-nya. Sekali
lompat ketiganya sudah berada di pinggiran kali. Ke-
mudian menyusup dalam semak-semak yang lebat
mengikuti ke mana arah kepergian Dawuk, pemimpin-
nya.
*
**
DUA
Perahu yang dihiasi penuh dengan ukiran, me-
rambat pelan di pinggiran kali Progo. Layarnya masih
tetap berkembang karena hembusan angin begitu ken-
cang bertiup. Namun laju perahu itu seperti tak ter-
kendali Kadang-kadang kepala perahu yang ber-
gambar kepala burung Elang membentur tanah pinggi-
ran kali tersebut.
Di bagian atas perahu nampak begitu beranta-
kan. Nampaknya seperti habis di obrak-abrik oleh seseorang. Tidak jauh dari tiang layar tergeletak pula
bangkai seekor anjing hitam dengan kepala remuk.
Dekat haluan terlentang tubuh seorang lelaki dengan
nafas yang sebentar-sebentar terputus. Seluruh tubuh
lelaki itu penuh luka memar memerah mulai mem-
bengkak. Orang itu merangkak menyeret tubuhnya
mendekati mayat bugil di dekat tiang layar.
"Ratih.... Ratihhh..." Lelaki itu ambruk di atas
mayat bugil istrinya. Tangisnya hampir tidak kedenga-
ran. Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap ke
arah bangkai anjing yang tergeletak tidak jauh dari si-
tu. Hanya dengan tiga kali rangkakan ia sudah menca-
pai bangkai anjing yang sudah kaku beku. Tangannya
yang gemetar mengelus-elus leher binatang kesayan-
gannya. Ada sesuatu yang melingkar pada leher bina-
tang itu. Seutas tali hitam. Membentuk seuntai kalung.
Bandulannya pun dibungkus dengan kain hitam. En-
tah apa yang terbungkus di dalamnya. Laki-laki itu
menarik dengan sekali sentak. Maka kalung itu sudah
berada dalam genggamannya.
"Aaaaaaah.... Untung saja benda ini tidak jatuh
ke tangan mereka. Kalau tidak.... Bagaimana aku ha-
rus bertanggung jawab terhadap orang-orang Elang Pe-
rak.... Aaaa-ah...." katanya sambil berusaha bangun
dengan berpegangan pada pinggiran perahu yang pe-
nuh ukiran. Hampir ia tidak dapat berdiri. Seluruh tu-
buhnya terasa remuk. Untuk berjalan selangkah saja
ia harus menahan sakit yang tidak terkira.
"Paman.... Apa yang terjadi di perahu ini...?"
Bagai disambar petir lelaki itu mendengar suara orang
lain di atas perahunya. Seorang pemuda tanggung ta-
hu-tahu berada di hadapannya.
"Manusia busuk! Kau pun ingin pusaka ini,
bukan? Jangan mimpi.... Sebaiknya cepat tinggalkan
perahu ini. Pergi! Pergiiiii...!"
"Paman... Aku...."
"Orang-orang golongan hitam terlalu banyak
basa basi. Toh akhirnya akan terlihat juga maksud dan
tujuannya. Untuk apa lagi kalau bukan karena barang
pusaka...." Orang itu menyeruduk. Tangannya yang
menggenggam kalung hitam maju memukul. Anak
muda itu bergeser. Serangannya luput. Maka orang
yang sudah sekarat itu ambruk tak bangun-bangun
lagi. Anak muda ini pun semakin heran.
"Paman...! Paman...!" Diguncang-guncangkan
tubuh yang terluka parah itu. Namun tidak bergeming
sedikit pun. Adinaya betul-betul telah mati. Jemari
tangannya erat menggenggam kalung hitam.
"Paman ini menyebut-nyebut barang pusaka...
Dan mengira aku berdiri pada golongan hitam yang
bermaksud merebutnya.... Pusaka.... Pusaka apa?"
Anak muda mi makin heran.
"Siapa sebenarnya mereka ini?" Pikirnya lagi. Ia
memeriksa mayat Adinaya. Seluruh tubuhnya penuh
luka memar mengerikan. Yang menjadi perhatiannya
adalah seuntai kalung hitam yang tergenggam erat.
Semula ia tidak memperdulikannya, mungkin karena
bentuknya kurang menarik. Kalung itu hanya terbuat
dari seutas tali hitam yang berpusat pada sesuatu
yang terbungkus dengan kain hitam yang berwarna hi-
tam pula. Terdorong dengan perasaan ingin tahu, ak-
hirnya anak muda ini memberanikan diri mengambil
kalung hitam dari genggaman mayat yang tak dikenal-
nya.
"Kalung jelek seperti inikah yang dimaksudkan
benda pusaka? Aneh....! Benda apa pula yang terbung-
kus kain hitam ini? Dan apa yang dilihatnya setelah
kain pembungkusnya terbuka.... Tidak ada kejutan
sama sekali! Hanya kepala Elang terbuat dari Perak
sebesar telapak tangan. Ia pun jadi tersenyum...
"Serasi juga kepala Elang perak ini dengan tali
hitam... Kalau aku mengenakannya pasti akan lebih
cocok.... Lebih cocok disebut pengelana daripada sebe-
lumnya. Kupakai saja kalung ini. Pemiliknya pun su-
dah mati."
Dia betul-betul mengenakan kalung itu di le-
hernya. Dan ia merasa puas sekali. Bagaimana tidak.
Bajunya yang terbuat dari kulit binatang, kini dihiasi
dengan kalung berliontin kepala Burung Elang. Apalagi
liontin itu terbuat dari perak. Jarang sekali pengelana
mengenakan barang yang berharga. Walaupun dalam
bentuk perak maupun emas.
Setelah menatap kedua mayat dalam perahu
itu. Ia melompat ke pinggiran kali. Gerakannya sukar
diikuti pandangan mata. Tahu-tahu saja ia berada
jauh dari perahu. Di lihat dari gerakannya, tentulah
anak muda itu memiliki ilmu peringan tubuh yang
sangat luar biasa.
***
Kematian Adinaya dan istrinya menjadi masa-
lah besar bagi kalangan perguruan Elang Perak. Selu-
ruh anggota perguruan yang merupakan pentolan ber-
kumpul dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Ki
Randaka duduk paling menonjol di atas bantalan ber-
lapis sutra merah. Lainnya yang berjumlah kurang le-
bih empat belas orang duduk melingkar tanpa alas
bantalan apa-apa..
"Soal kematian Adinaya dan Ratih memang me-
rupakan pukulan berat bagi kita.... Sekarang yang jadi
masalah adalah pusaka Elang yang turut hilang ber
sama mereka....! Aku khawatir pusaka itu jatuh ke
tangan orang-orang golongan hitam...." kata Ki Randa-
ka.
"Pastilah ini perbuatan kelompok Singa Kali
Progo! Karena mereka penguasa sepanjang kali itu...!"
kata orang yang duduk di sebelah kanannya.
"Ya, pasti...! Siapa lagi kalau bukan perbuatan
mereka!" Yang lain ikut menimpali.
"Guru.... Sebaiknya kita cepat mencari gerom-
bolan pengacau itu. Kita ambil kembali pusaka
Elang.... Kalau perlu kita habisi mereka...!"
"Kalian jangan berperasangka buruk dulu ter-
hadap mereka!" bentak Ki Randaka. Suasana pun
menjadi hening kembali. Lalu ia melanjutkan lagi
pembicaraannya.
"Kelompok Singa Kali Progo sudah bertekuk lu-
tut terhadap kita. Mana mungkin mereka berani men-
gusik orang-orang Elang Perak? Kalian masih ingat ke-
tika mereka bersumpah? Dawuk pemimpin gerombolan
itu bilang, bahwa mereka akan lari menyingkir bila me-
lihat orang-orang Elang Perak!"
"Tapi, Guru..... Siapa yang tidak akan tergiur
dengan pusaka Elang itu...? Mereka bisa saja men-
gingkari sumpahnya. Segala perampok seperti mereka
mana pernah betul ucapannya."
"Memang betul apa yang kau ucapkan itu, Adi
Bahruna... tapi mana bisa kita main tuduh seenaknya.
Siapa tahu ada partai lain yang mencegat Adinaya, se-
hingga kelompok Singa Kali Progo menjadi kambing hi-
tam." pendapat Ki Randaka.
"Tidak....! Tidak masuk akal! Partai lain mana
mungkin berani beroperasi di daerah kekuasaan orang.
Kalau pun ada tentunya ke empat anggota Singa Kali
Progo sudah menjadi mayat." kata Bahruna yang du
duk urutan kelima dari sisi kiri Ki Randaka. Ki Randa-
ka terdiam berpikir.
"Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mempe-
roleh pusaka Elang itu kembali ke tangan kita?" tanya
Ki Randaka ketua Agung perguruan Elang Perak.
"Satu-satunya jalan, kita harus pergi ke Ge-
rongsewu. Tentunya mereka tengah menunggu-nunggu
pengiriman benda itu. Walaupun mereka percaya, ten-
tunya kita akan kehilangan nama besar."
Para pentolan perguruan Elang Perak tertun-
duk diam. Hanya Bahruna yang berani menatap Ki
Randaka.
"Apapun prasangka mereka, kita harus segera
pergi ke Gerongsewu. Setidak-tidaknya kita bisa minta
pendapatnya untuk memecahkan masalah ini. Kalau
kita hanya diam di sini terus, tidak ada gunanya. Per-
temuan empat partai besar tinggal beberapa hari lagi.
Kita harus menjelaskannya kepada para pendekar Ge-
rongsewu dari sekarang."
Ki Randaka berpikir sejenak, apa yang dikata-
kan Bahruna memang benar. Suasana ruangan itu jadi
hening.
"Guru..... Kalau boleh saya tahu, sudah berapa
kalikah Guru mengikuti pertemuan dengan para pen-
dekar Gerongsewu...?" tanya orang yang duduk pada
deretan keenam.
"Empat kali...! Minggu depan kita memasuki
pertemuan yang kelima." jawab Ki Randaka cepat.
"Empat kali Guru mengikuti pertemuan, dan
empat kali pula Guru keluar sebagai pemenang. Bu-
kankah itu sudah cukup menjadi ahli waris pusaka
Elang?" kata muridnya lagi.
"Kalau belum lima kali berturut-turut, belum
bisa disebut ahli waris. Atau mendapat julukan Pende
kar Elang.....Sebab di dalam liontin kepala Elang... ko-
non ilmu-ilmu itu pernah dikuasai oleh seorang pen-
dekar dari aliran lurus. Seorang pendekar yang tak ada
tandingannya. Sampai-sampai semua golongan lurus
maupun jahat ditumpas habis sampai ke akar-
akarnya. Setelah dunia persilatan kembali bersih. Pen-
dekar itu menghilang mengasingkan diri. Sampai se-
karang. Bahkan orang-orang partai persilatan sudah
melupakan kebesaran nama pendekar itu....." tutur Ki
Randaka.
"Kenapa Guru tidak melihat peta itu se-
belumnya?" kata orang yang duduk di sebelahnya.
"Sebagai orang yang berpihak pada golongan
lurus harus bersikap jujur. Kalau aku melihat peta itu
tanpa sepengetahuan partai lain, itu namanya perbua-
tan curang." Ki Randaka menjelaskan.
Pembicaraan kita sudah terlampau jauh me-
nyimpang. Kembali pada persoalan semula. Kita harus
cepat mendapatkan pusaka itu kembali. Dan harus ki-
ta putuskan bahwa besok kita berangkat. Sebagian
mencari keterangan di mana adanya pusaka itu. Seba-
gian lagi pergi ke Gerongsewu...."
"Ya.... Itu usul yang bagus. Aku setuju..!”
Ki Randaka bangkit berdiri lalu berjalan me-
ninggalkan ruangan itu. Empat belas muridnya tetap
diam di situ. Mereka masih membicarakan pusaka
Elang. Bahruna merencanakan pergerakan yang akan
dilakukan besok.
Pusaka Elang telah hilang. Dan hal itu mem-
buat perguruan Elang Perak seperti kehilangan kenda-
li. Ki Randaka harus bertanggung jawab. Sebab benda
itu telah resmi menjadi pusaka yang diperebutkan oleh
beberapa partai golongan lurus sejak belasan tahun
yang lalu.
Pertemuan partai-partai besar yang selalu di-
adakan di Gerongsewu tentunya tidak akan berlang-
sung tanpa pusaka Elang. Dan itu bukan berarti gagal
begitu saja. Partai-partai yang lain pun akan berpen-
dapat lain terhadap perguruan Elang Perak. Semua itu
tergantung pada Ki Randaka.
"Aku akan memimpin kalian ke Gerongsewu,
dan Bahruna bersama Wikalpa menyusuri sisi kanan
kali Progo untuk mencari gerombolan Singa Kali Pro-
go... Wagun dan Sambali bertugas di sisi kiri dengan
tugas yang sama. Yang lain menyebar ke desa-desa
untuk mencari tahu adanya pusaka itu. Kita berkum-
pul pada hari pertemuan...." kata Ki Randaka yang du-
duk kembali di atas bantalan berlapis sutra merah.
"Besok pagi-pagi sekali kita harus sudah be-
rangkat." katanya lagi. Setelah itu mereka bergegas ke
luar meninggalkan ruangan. Di luar suasana agak lain,
tidak tegang seperti tadi. Percakapan mereka masih te-
tap pada pokok persoalan. Hampir semua para pento-
lan Elang Perak membicarakan hal yang sama. Nam-
pak Wagun dan Wikalpa menuju kandang kuda. Wi-
kalpa berjalan ke samping kandang, mengambil se-
buah keranjang yang berisi makanan kuda. Dalam
kandang itu berderet enam belas ekor kuda dengan pe-
ralatan yang lengkap.
Di luar halaman nampak begitu sepi. Tidak se-
perti biasanya. Sudah dua hari orang-orang Elang Pe-
rak tidak melakukan kegiatan, mungkin karena masih
dalam suasana berkabung. Ki Randaka sendiri selalu
mengurung diri di dalam kamar pribadinya. Kecuali
hari ini ia bisa berkumpul dengan murid-muridnya
yang dianggapnya bisa memecahkan persoalan.
Langkahnya makin cepat ketika Ki Randaka
mendekati kamar pribadi. Pintu kamar Itu selalu ter
kunci. Lagipula tidak ada orang lain yang berani ma-
suk ke situ. Selain dirinya. Tanpa menoleh ia bermak-
sud membuka pintu, desiran angin dapat dirasakan-
nya. Bukan angin biasa.
"Wueesss:..!" Ki Randaka bergeser cepat.
"Creeeep...!" Sebatang anak panah menancap pada
pintu itu. Sebuah gulungan kertas melingkar pada ba-
tang anak panah. Cepat Ki Randaka menoleh ke arah
dari mana anak panah itu melesat. Sesosok tubuh
memegang busur berlompatan dari atas sebuah pohon
yang ada di luar pagar. Ki Randaka tidak bermaksud
mengejar, karena tidak mungkin ia bisa menda-
patkannya. Maka dengan tenang ia meraih anak panah
itu. Anak panah itu tidak berarti apa-apa dibanding
gulungan keras yang melekat di situ. Sudah pasti se-
pucuk surat. Ki Randaka langsung membuka dan
membacanya.
"Orang-orang Elang Perak tidak akan sampai ke
Gerongsewu. Dan pusaka Elang akan jatuh ke tangan
kami...."
Begitu isi surat itu. Ki Randaka meremas kertas
itu. Amarahnya memuncak. Tapi ia tetap berusaha
menguasai diri. Seperti tidak terjadi apa-apa ia mema-
suki kamar pribadinya.
Sebenarnya Bahruna dapat melihat kejadian
itu, tapi ia tidak berani menghampiri Ki Randaka yang
telah hanyut dengan sejuta beban di atas pundaknya.
Sebatang anak panah berani menerobos perguruan
Elang Perak. Berarti suatu penghinaan. Partai Elang
Perak berdiri paling atas dari daftar seluruh golongan
lurus, tapi kenapa masih ada juga partai lain yang be-
rani mengusik dalam keadaan yang terpojok seperti
ini. Bahruna tidak habis pikir. Sengaja ia merahasia-
kan kejadian yang barusan dilihatnya.
*
**
Satu-satunya desa yang paling ramai kala itu
tak lain, desa Wadaslintang. Hampir kebanyakan
orang-orang yang berada di situ para pendatang dari
desa-desa lain. Orang-Orang desa Wadaslintang meng-
gunakan situasi yang menguntungkan dengan berda-
gang atau membuka penginapan. Setiap harinya pen-
ginapan-penginapan di situ selalu dipenuhi oleh para
pendatang. Orang yang berlalu lalang pun hampir su-
kar dihitung dengan jari. Kebanyakan dari mereka ber-
jalan kaki. Hanya para pembesar saja mengendarai ke-
reta kuda. Untuk mencari penginapan, sudah tentu
para pembesar itu memilih tempat yang lebih bagus.
Paling tidak keamanannya terjamin. Sebuah pengina-
pan bertingkat sudah mulai dipenuhi para pengun-
jung. Seorang pelayan menyambut ramah tamunya
yang baru turun dari kereta kuda, orang itu berpera-
wakan gemuk. Pakaiannya pun begitu bagus. Penam-
pilannya seperti seorang ningrat. Dengan setengah me-
runduk, pelayan itu mengantar masuk ke dalam pen-
ginapan bertingkat itu.
*
* *
TIGA
Perempuan muda yang duduk di sudut ruan-
gan tetap tenang menghadapi hidangannya di atas me-
ja. Ia tidak perduli sama sekali dengan kehadiran seo-
rang lelaki gemuk yang mengambil tempat pada meja
kedua di hadapan perempuan muda itu. Pelayan yang
ramah itu masih terus mengikuti orang kaya yang su-
dah duduk menghadapi sebuah meja.
"Tuan... Tuan pesan makanan apa?" Kata pe-
layan itu dengan setengah membungkuk.
"He... he... he... Masa kau lupa dengan selera-
ku, apa kau bingung karena terlalu banyak tamu di si-
ni? He... he... he..."
"Oh, iya ya.... Saya lupa, Tuan. Wuah rupanya
saya sudah pikun. Habis terlalu banyak langganan di
sini. Jadi lupa dah...." Lalu pelayan itu bergegas ke da-
pur untuk mengambil pesanan yang paling disukai
tamunya. Sambil menunggu hidangan, laki-laki gemuk
itu mengarahkan pandangannya pada perempuan yang
duduk di hadapannya. Merasa diperhatikan ia men-
gangkat wajahnya membalas tatapan itu, kemudian
kembali menyantap hidangannya. Laki-laki gemuk itu
tersenyum. Tak lama datang lagi seorang pengunjung.
Kali ini seorang lelaki muda bertubuh tegap ber-
pakaian bulu binatang. Di lehernya melingkar seuntai
kalung hitam berliontin kepala Elang dari perak. Sebe-
lum ia mengambil tempat duduk, ia memberi hormat
pada lelaki gemuk dan perempuan muda. Lelaki ge-
muk itu menganggukan kepala, tapi perempuan itu
acuh. Seakan tidak mengetahui kehadiran pemuda
yang baru datang. Meja sang dipilihnya dekat sekali
dengan perempuan yang duduk di sebelah kirinya. Kini
giliran anak muda itu yang menjadi perhatian si lelaki
gemuk. Pandangannya tertuju pada kalung hitam. Ma-
tanya sebentar mengernyit setelah melihat liontin ke-
pala Elang sebesar telapak tangan. Jantungnya seakan
berdebar melihat liontin yang bergerak-gerak di leher
pemuda itu.
"Ini, Tuan.... Hidangannya. Maaf kalau terlalu
lama." Pelayan yang tadi ke dapur datang lagi memba-
wa sebuah nampan berisi sepiring nasi, sayur, ayam
goreng berikut sepundi arak. Ia meletakkan hidangan
itu dengan hati-hati sekali. Lalu mata pelayan itu me-
lihat tamu baru. Seorang pemuda. Maka ia mendekati
menyapa...
"Aden juga mau makan, bukan? Pesan apa?"
Anak muda itu tidak langsung menjawab, ia
merogoh saku baju kulitnya. Dikeluarkannya sekeping
uang logaman.
"Maaf, Pak... uang saya hanya segini. Apakah
masih bisa makan di sini?" kata pemuda itu pelan
sambil menyodorkan sekeping uang logam.
"Bi... bisa.... Tapi...."
"Kalau sekiranya uang ini tidak mencukupi, tak
apa, saya akan keluar saja..." Ia bermaksud bangkit.
"Pelayan... Sini...." Lelaki gemuk itu me-
manggil.
Si pelayan menghampiri tamu yang kaya ini.
Lalu lelaki gemuk membisikkan sesuatu. Pelayan itu
nampak manggut-manggut, kemudian ia bergegas me-
nuju dapur. Sepeninggal pelayan...
"Anak muda, kenapa berkecil hati? Duduklah
kembali, sekali-sekali menikmati hidangan di sini, pas-
ti akan merasa puas. Biar aku yang bayar... simpan
saja uang itu...."
"Ah... Terima kasih! Siapa Tuan yang baik hati
ini? Saya Wintara hanya seorang pengelana.... Memang
tidak sepantasnya datang ke tepat mewah ini...." Pe-
muda itu duduk lagi.
"Jangan terlalu merendah, anak muda ... Seo-
rang pengelana memiliki jiwa yang besar dibanding
dengan orang-orang seperti saya. Saya Raden Sintoro
Tinggil banyak mendengar pengalaman-pengalaman
yang hebat dari mulut para pengelana seperti anda....
"Ah itu pun terlalu berlebihan memberi penda-
pat...." tukas anak muda itu.
Pelayan tadi kembali datang. Ia membawa se-
buah nampan lagi dan meletakkan hidangan yang se-
rupa dengan lelaki gemuk yang menamakan dirinya
Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil menyila-
kan dengan telapak tangannya. Lalu ia pun menyantap
makanan yang sejak tadi. Setelah membalas dengan
senyuman, anak muda yang bernama Wintara mulai
ikut menyantap hidangan itu. Ruangan makan di pen-
ginapan itu makin lama makin penuh. Hampir setiap
meja berisi pengunjung. Beberapa pelayan nampak si-
buk berjalan ke sana ke mari melayani para pengun-
jung yang mulai membanjir.
Sesekali Raden Sintoro Tinggil melirik ke arah
Wintara. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya,
yang membuat selera makannya berkurang. Sementara
kalung hitam berliontin kepala Elang terayun-ayun
bergerak di saat Wintara menyantap lahap makannya.
Perempuan muda itu telah selesai makan. Ia
meneguk habis air minumnya. Ketika ia berdiri terlihat
sebilah pedang pendek terselip di pinggangnya yang
ramping. Tangannya melambai memanggil pelayan.
"Nona.... Biar saja saya yang bayar sekalian.
Kebetulan saya akan menginap di sini. Dan membawa
uang lebih...." Raden Sintoro Tinggil memotong lang-
kah pelayan yang melayani mereka.
"Maaf, Raden Sintoro Tinggil.... Aku bukan pen-
gelana macam anak muda itu...." cetusnya. "Pe-
layan...." Kembali ia memanggil.
Mendengar ucapan itu Wintara menoleh. Pe-
rempuan itu membalasnya dengan tatapan menan-
tang. Setan! Wintara malah nyengir. Raden Sintoro
Tinggil diam saja.
"Hebat... Perempuan semuda ini punya uang
begitu banyak.... Dari mana? Jangan-jangan...." kata
Wintara terputus.
"Apa!" Perempuan itu melompat sambil menca-
but pedang pendek. Ujung pedang itu cepat menempel
di tenggorokan Wintara.
"Teruskan kata-katamu..... Kalau saja kurang
enak kudengar, pedang ini akan menembus tulang le-
hermu...." bentak perempuan itu keras. Tentu saja
menjadi perhatian para pengunjung yang ada di situ.
"Jangan-jangan minta uang pada keka-
sihnya...." Wintara melanjutkan pembicaraannya.
"Huh...!" Pedang pendek berputar, tahu-tahu
sudah menancap pada ayam goreng yang berada da-
lam genggaman Wintara. Sekali sentak, daging ayam
itu terlempar ke luar. Bersamaan dengan itu tubuh
Wintara melesat bagai terbang. Menangkap daging
yang hampir jatuh ke tanah. Perempuan itu ikut me-
lompat, dengan beberapa kali lentingan ia sudah bera-
da di luar penginapan. Wintara asyik menggerogoti
daging ayam sambil nangkring di atas balok untuk
tambatan kuda.
"Pengelana rakus! Mau unjuk gigi di hadapan-
ku... rasakan ini!! Hreaaaaa..." Pedang pendek berkele-
bat tajam menusuk. Wintara menangkis dengan se-
buah tendangan. "Plaaak...!" Lalu ia melompat lagi
menjauhi serangan-serangan perempuan muda itu.
Ayam gorengnya telah habis, Wintara membuang sisa
tulangnya ke tanah. Seluruh orang-orang yang berada
di tempat itu keluar menyaksikan perkelahian itu. Me-
reka kagum dengan jurus-jurus yang di keluarkan oleh
dua pendekar muda. Dalam pertarungan itu Wintara
tidak pernah menyerang, dia lebih banyak menghindar
atau kalau perlu hanya menangkis. Sebagai seorang
pengelana tentunya ia membekali dirinya dengan ke-
pandaian ilmu silat. Tapi pengelana yang satu ini be-
tul-betul lain daripada yang lain. Melihat dari gerakan-
nya saja orang sudah tahu kalau ia memiliki ilmu yang
tidak boleh dianggap remeh. Begitu juga perempuan
muda ini. Gerakan yang sangat gesit terlihat seperti
seorang bidadari yang tengah menari-nari. Sebilah pe-
dang pendek berputar-putar ke kanan dan ke kiri me-
nyerang Wintara. Babatan-babatan itu menyerupai se-
rentetan sinar putih kebiruan. Meskipun dahsyatnya
serangan itu, Wintara masih dapat menghindar serta
menangkis. Sebenarnya usia perempuan muda itu
jauh lebih muda dibanding pengelana sakti. Apalagi
Wintara belum mengenalnya. Ia tidak boleh bertin-
dak gegabah. Dia sendiri pun terheran-heran, gadis
semuda ini memiliki ilmu silat yang jarang dimiliki
pendekar mana pun.
"Perempuan sombong.... Kalau aku mau me-
ringkusmu, sudah dari tadi kulakukan...." teriak
Wintara menyadarkan. Tapi perempuan itu tidak
memperdulikan ucapan Wintara. Malah "Hreaaaaa...!
Siuuuut...!" Dengan kedua genggaman tangannya pe-
dang itu menjurus deras. Serangan tersebut tidak ada
artinya sama sekali. Ia pun tidak akan berlama-lama
menghadapi perempuan muda itu. Sekali ia menepak-
kan tangannya... "Plaak...!" pedang pendek itu terlepas
dari kedua genggamannya. Bukan main kagetnya. Ke-
dua telapak tangannya terasa kesemutan. Gadis itu
memekik pelan. Wintara membalikkan tubuh bermak-
sud kembali ke dalam penginapan bertingkat itu.
Membiarkan perempuan muda berdiri sendirian di
luar. Tentu saja ia merasa dibuat malu. Maka dengan
penasaran ia menubruk lagi. Mendapat serangan yang
mendadak, Wintara bergerak cepat mengibaskan len-
gannya ke belakang. "Weeeessss! Jplaaaak!" Perem-
puan muda itu terbanting ke belakang. Sebentar ke-
mudian ia bangkit memungut pedang pendek miliknya.
Sambil mengacungkan pedangnya.
"Pengelana busuk! Hari ini kau boleh merasa
bangga atas kemenanganmu. Ingat...! Suatu hari ke-
lak, kepalamu bakal terbelah dua dengan pedang
ini...!" sumpahnya. Lalu ia berlari menerobos kerumu-
nan orang banyak yang tadi menonton perkelahian
mereka. Wintara mendengar. Tapi langkahnya terus
berjalan memasuki gedung penginapan. Ditemui orang
gemuk yang bernama Raden Sintoro Tinggil. Lelaki ge-
muk itu sudah ada di depan pintu menyambut Winta-
ra.
"Sungguh luar biasa kepandaian ilmu silatmu,
Wintara... Betul-betul pengelana sakti.... Semua orang
yang berada di sini mengira kau akan kalah oleh pe-
rempuan tadi, bagaimana tidak? Jurus-jurus pedang-
nya begitu hebat! Gerakannya pun sukar diduga...."
puji Raden Sintoro Tinggil. Ia merangkul Wintara kem-
bali ke tempat duduknya semula.
"Sebenarnya perempuan itulah yang hebat....
Bukan saya. Nasib saya sedang beruntung. Jadi keme-
nangan ini saya anggap tidak mutlak...." sela Wintara.
Raden Sintoro Tinggil diam sebentar, lalu....
"Kalau anda tertarik saya ada usul. Maukah
anda ikut saya ke Gerongsewu... Yaah sekedar men-
gawal. Saya khawatir akan ada orang-orang jahat
mengganggu perjalanan nanti...." kata Raden Sintoro
Tinggil.
"Ke Gerongsewu? Bukankah Tuan hendak
menginap di sini?" Wintara heran. Raden Sintoro Ting-
gil nampak kikuk mendengar ucapan Wintara.
"Be.... Benar.... Saya memang bermaksud men-
ginap di sini beberapa malam. Tapi tujuan saya tetap
ke Gerongsewu! Bertemu dengan orang hebat seperti
anda, pikiran saya berubah. Kalau anda mau menga-
wal, saya bersedia membayar mahal...."
"Kalau cuma sekedar mengawal, Tuan tidak
perlu membayar. Saya akan ikut dengan Tuan.... Ang-
gap saja sebagai balas jasa untuk hidangan yang nik-
mat ini...."
Raden Sintoro Tinggil senang mendengar kepu-
tusan Wintara. "Terima kasih.... Terima kasih...." Ia
menepuk-nepuk dada Wintara kegirangan. Beberapa
kali tepukannya menyentuh liontin kepala Elang dari
perak.... Tiba-tiba Wintara memekik"
"Awaaaas....!" Sebatang anak panah menghun-
jam deras ke arah tubuh Raden Sintoro Tinggil. Tapi
sebelum anak panah itu menancap pada sasaran, Win-
tara dapat menangkapnya. Tidak sempat lagi mereka
melihat dari mana anak panah itu berasal. Wintara
berlari ke luar. Orang-orang yang ada di sekitar situ
keheranan melihat Wintara celingukan mengawasi ru-
mah-rumah penduduk yang berderet memanjang. Ba-
ru disadarinya ada segulungan kertas melingkar pada
batang anak panah itu.
"Serahkan Pusaka Elang itu pada kami...!" Begi-
tulah tulisan yang tertera dalam gulungan kertas. Te-
ringat ia pada seuntai kalung hitam yang melingkar di
lehernya. Kalung itukah yang di maksud? Aneh-aneh
saja! Menginginkan benda pusaka, tapi tidak mau me-
nampakkan diri. Kalau saja benda ini miliknya mau
saja ia menyerahkannya. Karena ia sendiri merasa
benda yang melingkar di leher bukan miliknya. Ia men-
dapatkan benda itu dari tangan seseorang yang telah
menjadi mayat. Sudah pasti ada pihak lain yang menginginkan benda ini. Wintara meremas gulungan ker-
tas itu. Sampai sekecil mungkin, kemudian ia menyen-
tilkannya jauh-jauh. Barulah ia tahu sekarang, kalung
hitam yang berliontin kepala Elang ternyata benda pu-
saka. Sudah pasti ia bakal menghadapi pihak-pihak
lain, mungkin juga seluruh rimba persilatan yang
menginginkan pusaka tersebut. Yang jelas.... Sekarang
ia harus menahan benda itu dulu, jangan sampai ben-
da itu jatuh ke tangan orang yang bukan haknya.
Raden Sintoro Tinggil ke luar menemui Wintara.
Kelihatan lelaki gemuk itu gemetar. Setelah menoleh
ke kanan dan ke kiri ia berjalan cepat menarik tubuh
Wintara. Dirasakan lengan Raden Sintoro Tinggil begi-
tu dingin.
"Kau lihat sendiri, Wintara.... Belum apa-apa
sudah ada orang yang bermaksud membunuhku. Ce-
pat saja kita pergi dari tempat ini...." kata Raden Sinto-
ro Tinggil ketakutan. Wintara tersenyum. Sudah wajar
kalau ia begitu gugup dan gemetar. Karena tadi seba-
tang anak panah nyaris menembus di perutnya yang
gendut.
"Kenapa harus berangkat sekarang?"
"Lebih cepat lebih bagus.... Di Wadaslintang
sudah tidak aman lagi...." sergahnya sambil melangkah
menuju kereta kuda miliknya. Wintara mengikuti lang-
kah itu. Tanpa diperintah ia sudah naik dan duduk di
samping Raden Sintoro Tinggil yang mengendalikan
dua ekor kuda. Kereta mereka berada pada jalan yang
lebar dan tidak begitu ramai, Randen Sintoro tinggal
menghela kuda-kudanya. "Hea...! Heaaa...! Ctar...!
Ctaar...!" Dua kali sabetan cemeti membuat kuda-kuda
itu berlari kencang. Ternyata Raden Sintoro Tinggil
pandai mengendarai kereta kuda. Terbukti kuda-
kudanya menurut tanpa dipecuti lagi. Selama dalam
perjalanan itu, Wintara mengelus-elus liontin kepala
Elang. Kepada siapa ia harus mengembalikan benda
ini, pikirnya.... Apakah kedua mayat yang kutemukan
di perahu rusak beberapa hari yang lalu itu pemilik-
nya...? Kalau benar, mengapa mereka mati dengan pu-
saka tergenggam di tangan? Mereka ber-kelahi dengan
siapa? Sampai terluka parah begitu.... Bunuh diri? Je-
las tidak mungkin...! Wintara menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal. Tangannya menggenggam erat
liontin kepala Elang...
"Kenapa dengan kalung bagus itu?" teguran
Raden Sintoro Tinggil membuyarkan pikiran Wintara.
Ia jadi terperangah.
"Ah... tidak. Aku bermaksud hendak member-
sihkannya. Sudah lama tidak digosok...." Pintar Winta-
ra mencari jawaban.
"Aku tertarik juga dengan kalung itu, sean-
dainya hendak kau jual..... Aku berani membayar be-
rapa pun yang kau pinta...
"Heaaaaa!" Raden Sintoro Tinggil menghela ke-
dua kudanya yang mulai berlari pelan. Wintara meno-
leh.
"Maaf Tuan... Tidak akan saya jual...."
"Ahhhh sayang sekali...." Raden Sintoro Tinggil
kecewa.
Kereta kuda ke luar dari daerah perbatasan de-
sa Wadaslintang, larinya begitu cepat dan semakin
menjauh. Setelah menikung barulah kereta kuda itu
tidak nampak lagi, karena terhalang oleh pepohonan
dan semak-semak yang tinggi merimbun. Namun ma-
sih saja terdengar deru roda kereta menggilas tanah
berbatu disertai dengan gletar-gletar cemeti yang ma-
kin lama makin halus menghilang.
EMPAT
"Singa Kali Progo...!" Ki Randaka berteriak lan-
tang. Ia berdiri di atas sebuah perahu yang melaju ce-
pat menyusuri sepanjang kali itu. Kedua kakinya men-
gangkang lebar. Matanya nyalang mengawasi hutan
belukar yang terdapat pada kedua sisi kali.
"Singa Kali Progo...!" teriakannya makin lan-
tang, menggetarkan seluruh dedaunan dan riaknya air.
"Keluar Singa Kali Progo! Keluar...!!! Datanglah
kalian ke mari...!" Ki Randaka gemas.
"Bukannya kami tidak menghormati.... Tapi
kami sudah berjanji tidak akan menunjukkan diri di
hadapan orang-orang Elang Perak...!" terdengar jawa-
ban dari balik hutan di sisi kiri. Ki Randaka berbalik
menghadap di mana suara itu berasal.
"Ke marilah saudara-saudara Singa Kali Pro-
go...! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada ka-
lian.... Cepat ke mari...!"
"Begitu pentingkah...?" terdengar lagi suara dari
balik pepohonan. Suara itu makin dekat, hanya saja
orang yang berbicara tidak berani menampakkan diri.
Tapi Ki Randaka yakin, orang-orang yang dimaksud
berada di hadapannya.
"Ke marilah...! Mulai sekarang kucabut sumpah
kalian...!"
Maka bertebaran lah empat sosok tubuh dari
balik pepohonan. Setelah berjumpalitan di udara
keempatnya hinggap di atas perahu yang ditumpangi
Ki Randaka. Wajah keempatnya nampak begitu menyeramkan. Mereka rata-rata berewok sampai sebatas da-
da.
"Dawuk.... Kau sebagai pimpinan gerombolan
Singa Kali Progo harus berkata jujur padaku..... Kalian
telah menguasai sepanjang perairan kali Progo ini, bu-
kan...?" tanya Ki Randaka dengan tatapan yang penuh
curiga.
"Betul.... Sepanjang kali ini memang kami yang
menguasai...." jawab Dawuk tegas. Tiga orang teman-
nya diam berdiri tetap menghadap.
"Betulkah kalian tidak tahu atas kematian dua
orang murid dari perguruan Elang Perak? Ayo jawab!"
Ki Randaka membentak.
"Astaga....! Dua orang murid perguruan Elang
Perak memang pernah kami lihat melintasi perairan ini
dengan sebuah perahu... Tapi perihal kematian dua
orang itu kami betul-betul tidak tahu. Mana berani
kami mengusik orang-orang Elang Perak...." jelas Da-
wuk. "Baru melihatnya saja kami sudah lari...." ka-
tanya pula.
"Lalu siapa yang membunuh Adinaya dan is-
trinya...? Siapa pula yang membawa lari pusaka
Elang? Jelas-jelas perahu mereka terdampar di perai-
ran sini. Masihkah kalian tidak mengetahuinya?" tanya
Ki Randaka dengan nada marah.
"Ketua agung Elang Perak.... Bagaimana kami
harus mengakuinya...? Dibunuh di sini pun kami re-
la.... Mungkin ini kesalahan kami...." Dawuk berlutut
di hadapan Ki Randaka, tiga orang berewok lainnya
ikut berlutut di belakang Dawuk. "Silahkan ketua
agung Elang Perak menghukum kami.....
Atau bunuh saja kami berempat.... Kami pa-
srah...." kata Dawuk. Ki Randaka menatap pada keem-
pat orang yang berlutut di hadapannya. Mukanya merah padam. Kalau Ki Randaka mau menghajar kepala
mereka satu demi satu, mudah saja ia melakukannya.
Keempat batok kepala itu sudah siap diremukkan. Ta-
pi Ki Randaka bukan orang yang kejam seperti yang ki-
ta bayangkan.
"Bangun! Dan pergi dari sini.... Cari tahu sam-
pai dapat di mana Pusaka Elang berada. Kalau tidak
berhasil, aku tidak akan mengampuni kalian...." Suara
Ki Randaka angker.
Tanpa berani menoleh keempat anggota Singa
Kali Progo itu mundur perlahan. Lalu keempat orang
berewok itu melompat bareng menyeberang ke pinggir
kali. Ki Randaka masih tetap berdiri tegak terbawa pe-
rahu yang melaju menyusuri sepanjang kali Progo. Da-
ri balik celah-celah dedaunan, empat manusia berewok
mengawasi kepergian perahu itu. Ternyata mereka ti-
dak langsung pergi ketika Ki Randaka mengusirnya.
Mereka hanya pura-pura pergi, lalu kembali lagi. Da-
wuk mengepalkan tinjunya.
"Setan....! Tua bangka keparat itu mestinya di-
bikin mampus! Dia pikir hanya dirinya yang memiliki
kehebatan.... Heh! Benar-benar bangsat!" gerutunya.
"Kalian dengar tadi, mereka telah kehilangan Pusaka
Elang.... Kurasa itu hanya suatu alasan saja...!" ka-
tanya lagi.
"Benar, Kang.... Ketika mencegat Adinaya, pu-
saka Elang tidak ada padanya. Apakah ini hanya satu
tipuan belaka?" kata Sempor anggota nomer dua dari
urutan kelompok begal Singa Kali Progo.
"Bukan! Ini bukan tipuan! Yang jelas kita yang
kurang teliti sewaktu mengobrak-abrik perahu itu!"
Dungkil anggota nomer tiga memberi pendapat lain.
"Itu berarti pusaka Elang telah jatuh ke tangan
orang lain. Ahhhhh.... Jadi kacau semua! Ka
cauuuuuuuu...!" Dawuk geregetan. Ingin rasanya me-
nampar pipi ketiga anak buahnya. "Harapan untuk
memiliki pusaka Elang pupus sudah. Itu semua kare-
na ketololan kalian!" Amarah Dawuk meluap lagi. Den-
gan kesal ia menendangi batang pohon yang sangat
besar.
"Kita sudah kehilangan pusaka itu.... Kita su-
dah kehilangan kesempatan besar!!!!" teriak Dawuk
makin jadi. Tapi begitu Dawuk ingin membuka mulut-
nya lagi suaranya tidak sempat keluar.... Dua orang
laki-laki telah berdiri di situ, kehadiran dua orang itu
membuat kedua mata Dawuk terbelalak. Ketiga anggo-
ta Singa Kali Progo sempat kaget juga melihat kedua
orang yang berdiri di hadapannya.
"Baru kutahu sekarang siapa yang telah men-
coreng nama besar Elang Perak. Ternyata keempat
mahluk hina ini. Ayo Dawuk! Berteriaklah! Berteriak
seperti tadi. Kenapa diam?" kata salah satu dari kedua
orang itu. Kedua orang itu adalah Wagun dan Sambali
yang memergoki sekaligus mendengar percakapan me-
reka. Sudah tentu keempat anggota Singa Kali Progo
jadi blingsatan menghadapi mereka. Bukan karena ta-
kut. Bukan juga karena Wagun dan Sambali dari per-
guruan Elang Perak! Tapi karena percakapan dari ke-
lompok Singa Kali Progo yang sudah terlanjur ketele-
pasan bicara yang sempat didengar oleh Sambali mau-
pun Wagun. Apa-lagi mereka dari perguruan Elang Pe-
rak!
"Sekarang juga.... gerombolan Singa Kali Progo
musti dilenyapkan. Sekalipun kalian tidak menda-
patkan pusaka Elang, tapi kalian membunuh dua sau-
dara perguruan kami dengan maksud yang sama. Yai-
tu bermaksud merebut pusaka dari tangan kekuasaan
perguruan Elang Perak!" Wagun berkata polos. Tapi
kata-kata itu justru menggedor jantung Dawuk. Da-
wuk yang sudah terpojok, tak dapat berkata apa-apa
lagi. Setelah matanya melirik ke sana ke mari, Dawuk
memberi aba-aba dengan anggukan kepala. Ketiganya
mengerti apa yang di inginkan Dawuk. Maka. Tiga
orang berewok itu maju melancarkan pukulan.
Wagun melompat maju menghadapi serangan-
serangan itu. Sambali juga ikut ambil bagian. Ia memi-
lih lawan yang paling seram. Dua pukulannya dihan-
tamkan menyilang, tapi hanya dengan sebuah tendan-
gan ke atas serangan Sambali gagal mengenai sasaran.
Menyadari akan kehebatan lawannya, Sambali menge-
luarkan jurus-jurus andalannya. Lima jari tangannya
mekar menerobos hampir mengenai pipi Sempor. Sem-
por membalas dengan rentangan tangan yang sangat
cepat.
"Cplaak...!" Kedua tangan itu beradu. Sambali
terdorong mundur.
Wagun lebih repot lagi. Kedua lawannya menye-
rang bergantian. Kalau menghadapi hanya seorang la-
wan mungkin perkelahian itu tidak akan berlangsung
lama. Menghadapi orang-orang Singa Kali Progo yang
memiliki ilmu tidak rendah, Wagun mesti menguras
tenaga.
Dawuk sebagai pimpinan begal Singa Kali Progo
sengaja tidak turun tangan. Ia hanya berdiri tenang
melihat perkelahian Itu. Ketiga anak buahnya nampak
begitu gigih menggempur pertahanan Wagun dan
Sambali. Dari situ Dawuk sudah dapat mengukur ke-
kuatan kedua orang dari perguruan Elang Perak.
"Kalian harus menebus nyawa dua orang sau-
dara kami...!" teriak Sambali. Tinjunya melayang...
"Plaaak...!" Sambil melompat Sempor menang-
kis. Dan sebelum tubuhnya hinggap di tanah, tendangannya menerobos.
"Bug...!" Sambali tidak dapat menghindari. Ba-
gaimana ia bisa menghindar, andaikata bisa serangan
Dungkil yang lebih dahsyat pasti sudah mengenai pada
bagian yang mematikan. Sambali mundur mendekati
Wagun. Mereka berdua gabung menghadapi tiga ang-
gota Singa Kali Progo.
Hasilnya sama saja, mereka berdua malah ke-
walahan menghadapi lawan sebanyak tiga orang. Ten-
dangan mau pun pukulan terus dilancarkan oleh
Sambali. Wagun tidak kalah hebat, tinjunya yang be-
runtun berhasil memojokkan lawannya. Kemudian ia
kembali lagi membantu Sambali.
"Plaaak...!" Salah satu serangan dapat dipatah-
kan. Dua orang berewok menggeram sengit sambil me-
nerjang. Mendapat serangan seperti itu Wagun cepat-
cepat mundur. Lalu menghentakkan kedua kakinya,
sehingga tubuhnya terlempar ke atas. Masih dalam
keadaan berputar di udara, serentetan tendangan ter-
bang menjurus ke arahnya. Menyadari adanya seran-
gan itu Wagun membalikkan tubuhnya. Maka tendan-
gan terbang itu hanya melewati beberapa senti di
samping. Wagun hinggap di tanah dengan kedua kaki
yang terentang. Dungkil datang menyambut dengan
sambaran kaki memutar di bagian bawah.
"Wessss...!" Wagun bergulingan menghindari
serangan itu.
Sambali cepat merunduk ketika Sampor melan-
carkan tendangan memutar. Tendangan itu bergerak
secepat kilat, untuk menangkisnya saja sulit. Apalagi
membalasnya? Buru-buru Sambali menjauh. Tapi ia
mengambil langkah yang salah. Di belakangnya telah
berdiri Dawuk dengan senyum menyeramkan. Sudah
tentu Sambali menjadi sasaran empuk. Sebuah hantaman keras bersarang di bagian belakang kepalanya.
"Dessss!" Sambali terhuyung. Sempor yang se-
dari tadi susah merobohkan Sambali, sekarang ia me-
rasa ada kesempatan. Dua tinjunya sekaligus maju
menggedor dada Sambali. Tubuh Sambali terjungkal,
darah menyembur dari mulutnya. Berewok Dawuk
bergerak-gerak ketika ia tertawa ngakak melihat tubuh
Sambali yang hampir tidak bisa bangun.
"Ha... ha... ha... ha... ha...!" Sekali Dawuk me-
lompat, tubuhnya sudah berada di udara. Menukik ke
bawah dengan sebuah tendangan yang terarah kepada
Sambali. Telapak kaki yang disertai tenaga dalam itu
mematahkan tulang leher Sambali.
Wagun melihat Sambali tergeletak kaku, ma-
kanya ia cepat mengerahkan tenaga menyingkirkan
lawannya. Sebelah tangannya memutar menyabet ke-
pala Dungkil, kemudian berbalik ke arah perut.
"Jeegg!" Tubuh Dungkil terdorong. Cepat Wa-
gun melompat ke arah Dawuk yang masih menginjak
leher Sambali. Terjangannya secepat angin. Kedua tan-
gannya terentang dengan jari-jari yang membentuk ca-
kar Elang. Lalu menyambar menyilang menyerang Da-
wuk. Sebelah cakar itu berhasil menyambar.
"Breeeet!" Punggung Dawuk berdarah, ia lang-
sung melangkah mundur sambil menepis-nepis sam-
baran-sambaran cakar Elang yang dilancarkan oleh
Wagun. Dawuk menendang. Wagun juga menendang.
"Deessss!" Tendangan mereka beradu. Kedua-
nya terpental. Wagun masih sanggup berdiri meski
pun terhuyung, Dawuk terpeleset jatuh. Melihat itu
Wagun melesat terbang menjurus ke arah Dawuk den-
gan kedua cakaran yang siap menyambar.
"Buuug!" Meskipun Dawuk berada di bawah-
nya, ia dapat melancarkan tendangan keras. Wagun
terbanting. Langsung disambut oleh ketiga anak buah
Dawuk. Beberapa jotosan sempat bersarang di muka
dan dadanya. Gelagapan sekali Wagun menerima han-
taman-hantaman itu.
"Desss!" Sebuah tendangan lagi membuat Wa-
gun benar-benar terjatuh mencium tanah. Pandan-
gannya jadi suram, samar-samar ia melihat Dawuk
berdiri tertawa menyeringai. Ia bermaksud bangkit.
"Bug!" Hantaman Dungkil membuatnya jatuh
terduduk. Sempor menjambak krah baju Wagun sam-
pai terangkat. Dawuk langsung memberi hantaman-
hantaman yang beruntun di dada Wagun. Yang terak-
hir tendangan geledek Dawuk melontarkan tubuh Wa-
gun. Kain kerah dalam genggaman Sempor tertinggal.
Wagun kelojotan, sesaat kemudian ia diam tak berku-
tik.
"Buang mayat mereka ke kali!" perintah Dawuk.
"Ganduli tubuh mereka dengan batu besar." katanya
lagi. Ketiganya menyeret dua mayat itu ke pinggir kali.
Di situ mereka menelanjangi mayat Wagun dan Sam-
bali. Pakaian itu untuk mengikat batu besar yang dis-
atukan dengan tubuh-tubuh yang sudah tak bernya-
wa. Sempor agak kesulitan mengikat batu pada tubuh
Sambali, karena batu yang dipilihnya terlampau besar.
Dungkil datang membantu dengan mengganti batu
yang lebih kecil, maka selesailah pekerjaan itu. Kemba-
li mereka menyeret kedua mayat itu lebih dekat ke
pinggir kali. Dengan menendangi mayat-mayat itu me-
reka berusaha menjatuhkan kedua mayat itu, sampai
akhirnya….
"Byuuuuuur! Jbyuuurrr!" Keduanya tenggelam
ke dasar kali. Dari kejauhan Dawuk puas dengan pe-
kerjaan ketiga orang anak buahnya. Ketiganya meng-
hambur menemui Dawuk yang sejak tadi menunggu
mereka.
"Hampir saja kita celaka. Untung saja kita bisa
membereskannya dengan cepat...." desah Dawuk keti-
ka para anak buahnya tiba.
"Itu karena mulut Kang Dawuk yang kurang
hati-hati kalau bicara...! Hampir saja kita ketahuan be-
langnya!" kata Dungkil anggota nomer tiga pada uru-
tan Singa Kali Progo.
"Sudah! Tidak perlu dipermasalahkan... Seka-
rang kita menyingkir dari sini, paling tidak kita pergi
ke Gerongsewu. Tidak dapat pusaka Elang tidak apa-
apa. Tapi setidak-tidaknya kita bisa mengacaukan per-
temuan partai-partai besar. Sudah terlanjur, kenapa
mesti tanggung-tanggung.,.." usul Dawuk. Ketiga anak
buahnya manggut-manggut.
"Aku rasa tidak sedikit orang-orang golongan
hitam yang bakal datang ke sana...." Kuwusura anggo-
ta keempat yang jarang bicara ini memberikan penjela-
san. .
"Dengan maksud yang sama, kita bisa berga-
bung. Kalau seluruh orang-orang golongan hitam ber-
gabung, partai besar Elang bakal hancur..." kata
Dungkil semangat. Pikiran Dawuk jadi terang menden-
gar ucapan Dungkil.
"Jangan banyak bicara lagi. Ayo kita berang-
kat...." Dawuk berlari. Janggutnya yang sepanjang da-
da berkibar-kibar melawan angin. Sempor, Dungkil
dan Kuwusura mengikutinya dari belakang. Mereka
menelusuri pinggiran kali yang ditumbuhi pepohonan
lebat. Kadang-kadang juga mereka harus melompati
semak-semak belukar yang setinggi pusar bergerom-
hol. Keempat manusia begal Singa Kali Progo saling
mendahului berkejaran, Dawuk masih tetap di depan
memimpin. Di depannya menghadang beberapa pohon
besar berderet, Dawuk membelok, tidak langsung me-
nerobos.
"Kang Dawuk! Kenapa memilih ke jalan be-
sar...!" teriak Sempor setelah melihat Dawuk pemim-
pinnya menikung.
"Melalui pesisir kali akan memakan waktu la-
ma...!" jawab Dawuk lantang agar dapat di dengar oleh
ketiga anak buahnya. Larinya makin cepat. Begitu juga
dengan orang-orang yang mengikutinya. Memang be-
tul! Bila menempuh sepanjang pesisir kali mereka
akan banyak menemui rintangan. Selain pohon-pohon
besar yang tumbuh tidak beraturan. Semak-semak
yang ada di mana-mana, ada juga batu-batu kali yang
menonjol membentuk sebuah bukit kecil menghadang.
Sedangkan tempat yang mereka tuju masih sangat
jauh sekali. Tidak cukup memakan waktu satu hari.
Itulah sebabnya orang-orang Elang Perak memilih ja-
lan perairan kali Progo.
Dari hutan belukar mereka menembus sampai
kehamparan alang-alang. Dawuk masih terus berlari,
tidak perduli hamparan alang-alang menghalanginya.
Langkahnya yang sangat cepat menimbulkan suara
bergemerisik. Beberapa puluh meter lagi ia sudah
sampai pada jalanan besar. Tapi sengaja ia menghenti-
kan larinya. Dari kejauhan Dawuk melihat sesosok
bayangan putih menyusuri jalan besar yang terbentang
di matanya. Seorang perempuan muda berjalan terbu-
ru-buru. Sesuatu yang terselip di pinggangnya bersinar
menyilaukan tertimpa sinar matahari. Ternyata benda
yang terselip pada ikat pinggang yang berwarna kuning
adalah sebilah pedang, pedang pendek. Sekarang Da-
wuk tidak lagi berlari, ia malah merunduk menyama-
kan tinggi tubuhnya dengan alang-alang yang meng-
hampar luas. Sambil merunduk ia berjalan cepat, Ketiga anak buahnya yang mengikuti di belakang jadi ter-
heran-heran melihat sikap Dawuk. Ketika tiga anak
buahnya hampir mendekati, Dawuk memberi aba-aba
agar mereka segera ikut merunduk. Serempak mereka
me: runduk, meskipun dengan susah payah mereka
mendekat pemimpinnya. Dawuk masih memperhatikan
gerak gerik gadis itu. Lekuk-lekuk tubuh ramping itu
membuat mata Dawuk makin terbeliak.
*
* *
LIMA
"Kita akan merampok!" jelas Dawuk setengah
merunduk sambil menyibakkan alang-alang yang
mengganggu penglihatannya.
"Merampok? Apa tidak salah mencari mangsa?
Perempuan itu tidak membawa apa-apa, mana mung-
kin ia membawa harta..." Dungkil ikut memperhatikan
langkah-langkah seorang perempuan yang hampir
mendekat.
"Goblok...! Yang kumaksud bukan merampok
harta.... Tapi...." Dawuk kesal.
"He... he... he... he.... Sekian lama mendekam
dalam hutan, pengap rasanya. Masakah kita tidak mau
menghibur diri? He... he... he...." Sempor dapat men-
gerti maksud Dawuk. "Ayam betina di depan mata....
Tunggu apa lagi...." katanya lagi.
Sesekali perempuan muda itu menyeka kerin-
gat yang meleleh di keningnya. Panas terik matahari
betul-betul menguras keringat. Angin memang ber-
hembus, walau perlahan. Cukup menghibur perjalanan gadis itu. Rambutnya yang bagai ekor kuda berge-
rak mengikuti setiap langkahnya. Sebentar-sebentar ia
membetulkan letak pedang pendek yang terselip dalam
ikat pinggang. Tiba-tiba saja alang-alang di samping-
nya tersibak, dari balik alang-alang itu muncul empat
orang berewok. Langsung menghadang. Gadis itu ter-
sentak mundur, jari-jemarinya yang lentik siap mena-
rik gagang pedang pendek. Pandangannya tidak berke-
dip. Ia yakin sekali, kalau keempat orang itu tentu
akan bermaksud tidak baik. Melihat tampang keempat
orang itu saja sudah menyebalkan. Apalagi raut wajah
Dawuk dan Sempor, barangkali tikus pun akan lari
melihatnya.
"Menyingkirlah...! Jangan menghalangi jalan-
ku...!" hardik perempuan muda itu. Orang-orang yang
menghadangnya malah mendekat.
"Nona yang cantik. Nampaknya perjalanan No-
na masih sangat jauh, kami punya tempat peristiraha-
tan yang baik dan teduh. He... he... he...." Dawuk me-
rayu. Sempor berjalan mengelilingi gadis itu. Dungkil
dan Kurusuwa memandangi paras yang cantik menga-
gumkan.
"Ada urusan apa sehingga kalian menghalangi
jalanku? Menyingkirlah...! Aku tidak perlu istirahat.
Dan aku tidak butuh kalian temani...." tukas gadis itu
sengit, jemarinya erat menggenggam gagang pedang.
Tangan Sempor yang kasar mencolek pundaknya, ta-
pi.....
"Splaaak!" Cepat dia menepis.
"Jangan coba-coba menyentuh diriku, dan jan-
gan sampai aku yang muda ini terpaksa berbuat ku-
rang ajar...!" Gadis itu makin sengit. Pedang pendek
keluar dari sarungnya. Terhunus ke arah Sempor. Da-
wuk mendorong tubuh Sempor, lalu....
"Wueeeeeh.... Ayam betina ini cukup galak juga.
Orang galak biasanya akan ramah bila berada di atas
tempat tidur...." Dawuk mengejek.
"Kurang ajar.!" Pedang pendek berkelebat me-
nyambar muka Dawuk. Kalau saja Dawuk tidak cepat
mundur mulutnya sudah robek. Sempor yang berada
dekat situ langsung menepak lengan yang menggeng-
gam pedang. Gadis itu membalasnya dengan sebuah
tendangan.
"Buuug!" Sempor terhuyung. Pedang pendek
menjurus lagi terarah ke perut Sempor, rupanya gadis
ini tidak main-main lagi. Melihat keadaan yang mende-
sak, Dungkil mengalihkan serangan itu dengan ten-
dangan yang melintas mendesak dada. Cepat, gadis itu
mengibaskan lengan kirinya. Maka tendangan yang
mengarah ke dadanya meleset. Kuwusura menerjang,
sebuah babatan pedang hampir saja menggores di
punggungnya. Tapi dengan gerakan yang sangat cepat
ia sempat melancarkan sebuah jotosan.
"Akh...!" Gadis itu memekik. Dirasakan ngilu
menyengat tulang rusuk. Baru kali ini ia mendapatkan
pukulan yang demikian hebat. Tapi mana mau ia men-
galah, sekalipun lawannya itu berjumlah empat orang.
Dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, gadis itu me-
nyerang membabi buta pada keempat manusia bere-
wok. Dungkil setengah memutar tubuhnya, maka tu-
sukan pedang pendek luput. Semakin geram. Gadis itu
menarik pedangnya lalu digantikan dengan sebuah
tendangan keras ke depan.
"Buug!" Dungkil terguling. Dawuk melompat
mengganti posisi Dungkil. Ia pun tidak luput dari sam-
baran-sambaran pedang pendek.
"Wesss! Wesssss!" Susah payah Dawuk meng-
hindarinya. Sempor cepat datang membantu. Tendan
gan terbang melesat, teriakan Sempor nyaring.
"Heaaaaa!" Gadis itu merunduk sambil memba-
batkan pedangnya ke atas.
"Breeeet!" Paha Sempor tergores. Untung saja
tidak begitu dalam. Sewaktu pedang pendek membabat
paha Sempor, Sempor berhasil pula melancarkan pu-
kulan pada lengan yang menggenggam pedang. Gadis
itu pun kesakitan, terbukti lengannya bergetar. Sem-
por masih dapat berdiri walaupun sebelah tangannya
memegangi paha yang terluka itu. Dawuk melompat,
terbang dengan kedua tangan yang siap menghantam.
Gadis itu menyambut dengan babatan pedang yang
bergerak lemah. Ternyata tendangan Dawuk lebih dulu
menghantam pergelangan tangan, sampai pedang pen-
dek yang tergenggam erat terlepas. Lalu kedua tangan
yang tadi siap menghantam menarik baju putih yang
dikenakan. Gadis itu menepak kuat cengkraman Da-
wuk.
"Breeeeek!" Cengkraman Dawuk terlepas beri-
kut sobekan kain putih. Gadis itu menyadari kalau ba-
gian dadanya terbuka lebar, buru-buru ia menutupi
dengan sebelah tangannya.
"Manusia-manusia terkutuk! Aku akan menga-
du jiwa dengan kalian...!" Dia menyerang Dawuk den-
gan sebelah tangan. Dawuk hanya tertawa menyerin-
gai....
"Ha... ha... ha.... Hari ini empat begal Singa Kali
Progo akan pesta besar..." Dawuk menghindari seran-
gan-serangan itu.
"Keparat...!" Gadis itu memekik hebat. Dari
arah belakang Dungkil maju menyerang, tapi cepat ga-
dis itu membalikkan tubuhnya. Sebelah lengannya tadi
menutupi bagian dadanya berkelebat. Melihat buah
dada yang putih mulus, Dungkil terbeliak.
"Deeess!" Sampai-sampai ia tidak sempat
menghindari pukulan keras ke arah mukanya. Dungkil
menjerit memegangi muka. Hidungnya banyak ke luar
darah. Dawuk dan Sempor tertawa melihatnya. Gadis
itu menutup kembali bagian dadanya. Tapi bagaimana
bisa ia menghadapi keroyokan itu hanya mengandal-
kan sebelah lengannya? Apalagi serangan-serangan
mereka gencar makin kurang ajar. Mula-mula ia hanya
mengandalkan sebelah lengan, tapi lama kelamaan ha-
rus terpaksa mengerahkan kedua lengan. Membiarkan
dadanya yang putih halus terbuka lebar. Tanpa pedang
pendek keempat manusia berewok makin mudah me-
nyerang gadis itu. Sempor yang sudah tidak sabaran
melompat maju, gadis itu menyambut dengan tendan-
gan.
"Blaak!" Tendangan itu terhempas oleh gerakan
Sempor. Tapi tendangan berikutnya berkelebat menyi-
lang ke atas.
"Beeg!" Sempor sempoyongan, kepalanya terasa
pening. Dawuk maju lagi. Kuwusura menyerang dari
belakang. Menghadapi serangan dari dua arah cukup
menyulitkan. Dia bermaksud menyambut serangan
mana yang datang lebih dulu. Tapi yang disergap se-
rangan Dawuk. Karena kalau tidak segera diatasi,
mungkin tubuhnya sudah terkena dua pukulan sekali-
gus. Dawuk yang tidak pernah tanggung-tanggung
menghajar lawannya masih terus melancarkan seran-
gan beruntun. Gadis itu cepat memutar ke atas tan-
gannya, jotosan Dawuk meleset ke samping. Lolos dari
Dawuk kini ia menghadapi Kuwusura. Sebuah ten-
dangan geledek menghalangi langkah Kuwusura.
Namun cepat ia melompat menghindari tendangan itu.
Dungkil yang hidungnya masih keluar arah maju
menghantam pinggul gadis itu dengan keras. Sempor
malah berhasil menghajar punggungnya. Untuk Sem-
por gadis itu asih dapat membalas. Pukulan karate
menghantam tenggorokan Sempor. Tapi secepat kilat
Kuwusura melayangkan tamparannya.
"Ploookk!" Gadis itu terpelanting hebat.
"Bodoh...! Kalian tak perlu membunuhnya!
Tangkap dia hidup-hidup...!" Perintah Dawuk. Keti-
ganya berdiri tegar menyeramkan. Melihat lawan-
lawannya masih nampak segar bugar, gadis yang te-
lanjang dada itu jadi mengkirik. Cepat ia bangkit dan
berlari menerobos hamparan alang-alang. Ia berpikir
tidak mungkin dapat mengalahkan mereka, makanya
ia cepat melarikan diri...
"Kejar...! Kejar....! Giring dia ke dalam hutan!
Cepat....!" teriak Dawuk sambil mengejar. Ketiga anak
buahnya berlari mengikuti. Hamparan alang-alang
menyeruak oleh langkah-langkah mereka. Tanpa me-
noleh gadis itu berlari semakin kencang.
*
* *
Derak roda kereta disertai derap sepatu kuda
membuyarkan debu-debu sekitar jalan itu berterban-
gan. Geletar cemeti sesekali terdengar bercampur he-
laan si pengemudi kereta kuda itu. Penumpangnya
cuma satu orang, dengan si pengemudi jadi dua orang.
Keduanya bergoyang-goyang dalam lajunya kereta.
Wintara duduk diam dengan pandangan lurus ke de-
pan di samping Raden Sintoro Tinggil sibuk mengenda-
likan kuda-kudanya. Di hadapannya terlihat bayangan
sebuah gunung berwarna kebiruan kemudian warna
hijau menghampar di bawahnya. Pada sisi kanan kiri
jalan itu menghampar pula alang-alang menghijau
menari-nari tertiup oleh angin. Pandangan Wintara ter-
sentak melihat sesuatu yang aneh di ujung hamparan
yang menghijau setinggi satu meter itu. Sosok bayan-
gan putih berlari kencang sedang di belakangnya em-
pat orang bertubuh kekar-kekar mengejar. Wintara
mengernyitkan alisnya. lalu...
"Stop, Raden...! Stop dulu!" Wintara menahan
lengan Raden Sintoro Tinggil yang memegang tali ke-
mudi.
"Ada apa...?" Raden Sintoro Tinggil menarik tali
itu, maka tak lama kereta itu berhenti. Wintara lang-
sung lompat. "Raden tunggu saja di sini...!" katanya.
"Jangan ke mana-mana...!" Pesannya sambil lari me-
nyusuri jalanan itu. Pandangannya masih terus tera-
rah sosok bayangan putih. Sebuah benda sepanjang
dua jengkal bersinar menyilaukan mengganggu pengli-
hatan Wintara. Setelah mengamati benda itu Wintara
memungut nya dari tanah berpasir. Ternyata sebilah
pedang pendek. Ingatannya terlintas sewaktu ia berada
di desa Wadaslintang. Di sebuah penginapan. Dan seo-
rang wanita muda berkepandaian tinggi. Kenapa pe-
dang ini sampai terjatuh di sini tanpa sarung? Pikir
Wintara. Lalu siapa pula sosok bayangan putih yang
berlari kencang bagai angin itu? Siapa pula keempat
orang bertubuh kekar yang mengejarnya? Wintara ti-
dak perduli, dengan menggenggam pedang pendek ia
terus mengikuti ke mana arah orang-orang itu pergi.
Dawuk memasuki daerah hutan pesisir kali
Progo. Pohon-pohon besar tumbuh di mana-mana.
Semak-semak juga tumbuh merimbun tidak beratu-
ran. Dawuk celingukan mencari-cari gadis yang dike-
jarnya tadi. Ternyata buruannya telah hilang bersem-
bunyi. Sampai ketiga anak buahnya datang mengham-
piri, Dawuk belum juga menemukan tanda-tanda di
mana adanya gadis itu. Tentu saja mereka tidak akan
menemuinya. Tubuh gadis itu bergelantungan di atas
sebatang ranting pohon yang dirimbuni dedaunan hi-
jau melebat. Nafasnya diatur perlahan manakala
keempat pengejarnya berada di bawahnya. Nampak
Dawuk memberi aba-aba. Dan ketiga anak buahnya
menyebar.
Tapi.... "Kkrkrekraaaak...!" Ranting pohon itu
tidak cukup kuat menahan beban. Sudah tentu suara
itu menjadi perhatian keempat manusia berewok yang
berada di bawahnya. Dibarengi suara patahnya rant-
ing, melesat sosok tubuh ramping berjumpalitan ke
bawah. Hinggap begitu baik di tanah bererumputan.
Melihat itu Dawuk menyeringai lebar. Terjangannya
yang cepat membuat gadis itu gelagapan. Tahu-tahu
saja Dawuk sudah memeluk erat tubuhnya. Ketiga
anak buahnya ikut memegangi kedua tangan yang me-
ronta-ronta. Seorang lagi memegangi kedua kakinya.
Dawuk melumati habis jenjang leher gadis yang berada
di dalam dekapannya. Tangannya yang jahil menarik
kasar celana panjangnya sampai robek. Terlihat paha
yang putih mulus bergoyang-goyang meronta-ronta.
"Manusia-manusia bejad! Tidak ada pekerjaan
lainkah selain memperkosa anak gadis orang...?" Suara
itu begitu lantang terdengar. Serempak orang-orang
berewok menoleh ke arah suara itu. Wintara berdiri te-
nang sambil menggenggam sebilah pedang pendek.
Dawuk bangun melepaskan dekapannya. Sempor ber-
sama Dungkil masih memegangi tubuh gadis itu. Ku-
wusura juga ikut bangkit memandang bengis pada
orang yang baru datang itu.
"Tampang kalian semua mirip perampok. Ha...
ha... ha.... Mustahil kalau tidak sanggup membeli seo-
rang pelacur. Ha... ha... ha...." Wintara tertawa terbahak-bahak. Kalung hitam bergerak-gerak di lehernya.
Mata Dawuk terbelalak melihat liontin kepala Elang
dari perak bergerak-gerak saat Wintara tertawa. Da-
wuk mundur beberapa langkah kembali ke tempat se-
mula. Di luar dugaan jari telunjuknya bergerak cepat
menotok peredaran darah gadis itu membuat tidak sa-
darkan diri. Kemudian keduanya mendekati Dawuk
menghadapi pemuda itu. Wintara menyelipkan pedang
pendek di balik ikat pinggangnya. Kuwusura yang me-
rasa terganggu atas kehadiran pemuda itu langsung
menyerang. Hantamannya melesat cepat. Wintara
hanya menyingkir selangkah. Tangan kirinya menyo-
dok keras.
"Buuug!" Tubuh Kuwusura terguling. Wintara
memandangi tubuh Kuwusura bergulingan, padahal
hantaman itu tidak begitu keras. Dawuk langsung me-
lotot. Ia memberi aba-aba pada Dungkil dan Sempor
untuk menyerang. Wintara malah maju. Kedua tela-
pak tangannya menjurus ke depan, kemudian dua len-
gannya memutar mematahkan serangan Dungkil mau-
pun Sempor. Dungkil yang semula melancarkan tin-
junya jadi berbalik mundur mendapat balasan ki-
basan tangan Wintara. Sempor yang masih belum ya-
kin akan kehebatan Wintara menyeruduk menyerang.
Serudukannya disertai dengan beberapa pukulan yang
diarahkan pada perut maupun muka. Dengan mudah
Wintara menepis dan menyambutnya dengan sebuah
tendangan.
"Beeeeeeg!" Sempor terlempar bergulingan. Win-
tara masih berdiri menghadapi mereka. Bibirnya terse-
nyum ke arah gadis itu. Gadis itu sebenarnya masih
bisa menangkap arti senyuman itu. Hanya saja ia telah
terkena totokan dari Dawuk, sehingga ia tidak dapat
bergerak. Gadis itu pun sempat melihat pedang pendek
terselip dalam pinggang Wintara. Dawuk, Dungkil, dan
Sempor menyerang serempak. Belum sempat mereka
melancarkan hantaman, Wintara mencelat ke atas.
Masih dalam keadaan di udara Wintara meng-
hajar sekaligus mereka bertiga dengan sabetan kaki.
Ketiganya bergulingan. Tubuh Dawuk menabrak Sem-
por. Kemudian mereka bangkit lagi.
"Mata kalian buta semua...." bisik Dawuk pada
Sempor. Dungkil tidak mengerti. "Kau lihat kalung
yang melingkar di leher bocah itu...." bisiknya lagi. Se-
buah kalung hitam berliontin kepala Elang dari perak.
Dungkil, Sempor maupun Kuwusura tersentak kaget.
Kenapa bisa berada di tangan anak muda itu? Pikir
mereka.
"Pusaka sudah ada di depan mata... Langsung
saja kita rebut...." Kuwusura nekad maju. Terjangan-
nya bagai seekor banteng. Wintara yang sejak tadi
memperhatikan gerak gerik mereka melompat mundur,
kedua kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Den-
gan lentingan tubuh yang ringan, tahu-tahu Wintara
sudah berada di belakang Sempor. Lalu sodokan tela-
pak tangannya mendorong tubuh Sempor hingga ter-
pental.
"Kalian bertiga kenapa tidak maju sekalian?
Hayo maju! Jangan kasak kusuk macam anjing tu-
mang...." Wintara menantang. Dawuk jadi geram.
"Seraaaaang....!" Dawuk menerjang. Sempor
bersama Dungkil juga ikut menerjang. Mereka bertiga
menggempur dengan serangan-serangan dahsyat. Jo-
tosan Dawuk hampir mengenai kepala, Wintara cepat
menepak. Datang lagi tendangan dari arah kiri. Itu pun
nyaris menghantam perutnya. Sempor menyerang den-
gan dua pukulan beruntun. Kaki Wintara naik ke atas
menangkis, lalu maju ke depan menghajar pinggang
Dungkil. Terlempar masuk ke dalam semak-semak.
Dawuk melompat dengan teriakan nyaring menyerang,
Sempor melayangkan tinjunya. Tetapi gerakan Wintara
lebih cepat lagi, begitu habis menendang, tubuhnya te-
rus memutar. Loncat menjauh menghindari dua serga-
pan itu. Dawuk dan Sempor seperti sadar dari mim-
pinya. Serempak mereka membalikkan tubuhnya.
Dari dalam semak-semak Dungkil muncul
membantu dua orang temannya. Kemunculan Dungkil
mengejutkan Wintara. Kalau saja Wintara kurang
awas. Tentunya hantaman yang dilancarkan Dungkil
membuatnya terdorong atau terbanting. Kuwusura be-
rusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan sem-
poyongan. Ia melihat ketiga temannya susah payah
menghadapi pemuda itu.
"Plaaaaak!" Wintara berhasil menghajar pung-
gung Dawuk. Sempor membalas dengan tendangan,
tapi meleset menyerempet baju dari kulit binatang
yang dikenakan Wintara. Cepat Wintara menghantam
kaki Sempor dengan pukulan karate. Sempor tergul-
ing. Kuwusura tidak berani maju. Dawuk masih me-
megangi punggungnya yang terasa nyeri.
"Munduuuuur……!" Dawuk memberi perintah.
Seperti biasa, ia lari paling dulu Sempor dan Dungkil
langsung berjingkat menyusul. Kuwusura paling bela-
kangan. Wintara berdiri tenang memandangi keempat
orang berewok yang lari terbirit-birit. Apalagi melihat
langkah-langkah Kuwusura yang terpincang-pincang.
*
**
ENAM
Wintara memalingkan wajahnya saat ia melihat
tubuh gadis itu tergeletak telentang di atas tanah be-
rumput. Bagaimana tidak. Kulit dada yang putih mu-
lus terbuka lebar dari balik bajunya yang terkoyak. Ti-
dak pantas seorang pendekar sejati menatap peman-
dangan semacam itu. Kasihan. Gadis itu betul-betul
tak dapat bergerak. Mengeluarkan suara saja tidak
mampu. Dengan sedikit kikuk Wintara menghampiri
tubuh ramping itu, si gadis menatap dengan sorot ma-
ta yang penuh amarah. Wintara membuang muka lagi.
Jari telunjuk dan jari tengahnya menyatu lurus. Ia
memberanikan diri menyentuh kulit dada dengan ke-
dua jarinya itu. Merayap perlahan sampai pada sela-
sela dua bukit yang menonjol di bagian dada yang pu-
tih halus. Wajah gadis itu merah padam. Di luar du-
gaan Wintara cepat menotok di bagian itu. Si gadis ter-
sentak. Terbebas dari totokan, telapak tangannya re
flek melayang menyambar pipi Wintara. Pedas juga
tamparan itu. Cepat Wintara melompat mundur. Ia
mengerti perasaan gadis itu.
Sebenarnya si gadis pun mengerti apa yang di-
lakukan Wintara terhadap dirinya. Tidak ada maksud
apa-apa selain membebaskan totokan Dawuk. Tampa-
rannya hanya spontanitas yang terpaksa di luar piki-
rannya. Wajahnya masih merah padam, tangannya
pun cekatan membetulkan baju yang terkoyak itu.
"Manusia kurang ajar...! Aku sudah berjanji
akan membelah kepalamu. Sekarang malah berani
menunjukkan diri...." kata gadis itu dengan muka yang
memerah. Wintara tidak menyahut. Ia mencabut pe-
dang, pendek dari pinggangnya, kemudian ia melem
parkannya ke hadapan si gadis itu. Lain berkata...
"Itu milikmu..... Kutemukan tergeletak di ten-
gah jalan...." Wintara beranjak meninggalkan si gadis.
Gadis itu melompat menghadang langkah-langkah
Wintara. Ujung pedang yang tajam dingin menempel di
dada Wintara. Wintara tidak bereaksi....
"Nona.... Anggap saja perselisihan kita di Wa-
daslintang hanya persoalan kecil. Aku pun sudah me-
lupakannya. Bahkan sudah tidak ingat lagi. Sekarang
kita bertemu. Aku mempunyai kesan bahwa kau ada-
lah seorang pendekar yang sangat hebat...." kata Win-
tara tenang.
Gadis itu menatap tajam ke wajah Wintara.
Tangannya yang menggenggam pedang di tarik perla-
han. Setelah memasukan pedang pendek ke dalam sa-
rungnya, ia mengambil sesuatu dari balik ikat ping-
gang. Sekeping uang emas.
"Tolong belikan aku pakaian. Dan secepatnya
bawa ke mari...." Selintas Wintara teringat Raden Sin-
toro Tinggil yang menunggunya di jalan besar. Ingat
pula dengan perbekalan yang dibawa oleh orang kaya
itu. Mustahil kalau Raden Sintoro Tinggil tidak mem-
bawa bekal pakaian. Maka....
"Uang sebesar itu tidak mungkin akan ada
kembalinya, simpan saja. Dan tunggu aku di sini..."
Wintara beranjak, langkahnya setengah berlari. Ke luar
hutan dan menerobos hamparan alang-alang nan luas.
Kereta kuda masih menunggu di sana. Begitu juga Ra-
den Sintoro Tinggil. Ia masih nangkring di atas kursi
kereta. Ia berkedip ketika dilihatnya Wintara berlari
mendekatinya. !
"A-a-ada apa, anak muda...." tanyanya gagap.
"Maaf, Raden.... Apakah Raden membawa pa-
kaian salin?" kata Wintara begitu mendekati kereta
kuda.
"Bawa...." jawabnya cepat sambil menoleh ke
belakang, pandangannya tertuju pada sebuah bunta-
lan besar.
"Kalau boleh, saya pinjam dulu satu pasang.
Bukan buat saya, tapi...." Wintara tidak berani mene-
ruskan kata-katanya.
"Aaaah... Buat siapa pun tidak jadi masalah.
Aku tahu! Pasti untuk menolong seseorang. Iya kan?
He... he... he..... Kau boleh ambil sendiri dalam bunta-
lan itu..... Ambillah.."
Maaf. Kata itulah yang keluar dari mulut Win-
tara sebelum membuka buntalan kain yang ada di be-
lakang kereta.
Gadis itu masih berdiri menanti kedatangan
Wintara. Sebentar-sebentar ia menoleh ke hamparan
alang-alang. Kedua tangannya melipat di atas dada.
Udara di sekitar hutan memang menyegarkan, kicauan
burung tidak henti-hentinya bersahutan. Sayup-sayup
terdengar pula suara riak air kali Progo. Ia tersentak
ketika langkah-langkah Wintara kembali menemuinya.
"Pakailah. Mungkin kebesaran. Karena tubuh
Raden Sintoro Tinggil memang gemuk. Maaf aku tidak
tahu warna kesukaan mu...." Wintara melempar satu
pasang pakaian berwarna biru muda. Gadis itu me-
nangkapnya dengan sebelah lengan. Alisnya menger-
nyit. Raden Sintoro Tinggil? Mengapa kebetulan sekali
ia menjumpai orang-orang yang tadi berada di Wadas-
lintang? Ah! Masa bodoh... Yang penting sekarang ia
sudah mendapatkan sepasang pakaian.
"Dasar kurang ajar! Tunggu apalagi? Mau lihat
aku tukar pakaian?" Gadis itu setengah membentak.
Wintara jadi salah tingkah.
"Bu-bukan...! Aku tidak bermaksud ke situ.
Aku mau tanya.... Kemanakah tujuan Nona sebenar-
nya? Nona bisa menumpang di kereta Raden Sintoro
Tinggil...." tukas Wintara. Gadis itu melotot.
"Mau tahu urusan orang.... Dasar culas!"
"Kalau begitu.... Aku permisi. Mudah-mudahan
kita bisa bertemu lagi..." Setelah berkata begitu, Winta-
ra bergegas pergi meninggalkan gadis itu sendirian.
*
**
"Kang...! Kang Dawuk.... Tungguuuuu!" Kuwu-
sura berlari menyusul ketiga sahabatnya. Meski pun
dengan terpincang-pincang larinya cepat sekali. Masih
bisa melompat batu-batu terjal yang menghadang.
"Kangggg... Tungguuuuuuu!"
Dawuk tidak perduli dengan teriakan-teriakan
Kuwusura. Larinya semakin cepat. Dungkil dan Sem-
por setengah mati mengimbangi. Sebenarnya mereka
kasihan melihat Kuwusura yang berlari jauh terting-
gal....
"Kang....! Sudah sejauh ini kita berlari...!" Ke-
napa belum juga berhenti...!" teriak Dungkil.
"Tidak ada waktu lagi... Kita harus cepat me-
nemui Ki Randaka sekarang juga...! Sebaiknya kalian
tidak perlu ikut....! Awasi saja ke mana perginya pe-
muda sial itu,...!” jawab Dawuk dari kejauhan. Hebat!
Dawuk pemimpin begal Singa Kali Progo punya renca-
na lain. Ada rasa khawatir yang membebani pikiran
mereka. Takut kalau-kalau KI Randaka tidak akan
menerima kehadirannya. Atau menghajar habis-
habisan.
Sebentar saja Dawuk sudah hilang dari pan-
dangan mereka. Menyusuri sepanjang pinggiran kali
lebih mudah untuk menemukan Ki Randaka. Dawuk
berharap masih bisa menemuinya. Makanya larinya
makin cepat laksana kijang. Kadang-kadang pula ia
harus meloncat mempercepat langkahnya. Sekali lom-
patannya hampir mencapai sepuluh meter. Berlari dan
melompat. Begitu terus tanpa mengenai lelah. Hatinya
cukup tenang ketika dari jauh ia melihat sebuah pera-
hu dengan layar terkembang. Melaju mengikuti arus
air kali. Saking gembiranya ia tidak memperhatikan
tanah becek yang diinjaknya, ia pun tergelincir hampir
nyemplung ke kali. Dawuk bangun lagi kemudian me-
lanjutkan larinya.
"Ki Randakaaaaaaa.....!" Teriakannya nyaring
bergema. Lelaki tua yang berdiri mengendalikan ha-
luan menoleh mendengar teriakan yang bergema itu. Ia
melihat sosok tubuh berlari kencang berusaha menyu-
sul. Sosok bayangan itu begitu kecil, sehingga sukar
untuk mengenali siapa orang tersebut...
"Wagunkah....?" terkanya dalam hati. Ki Ran-
daka memutar layar agar laju perahunya sedikit ber-
kurang. Ia sengaja menanti orang yang berusaha me-
nyusulnya. Kalau Wagun atau Sambali kenapa ia ha-
rus tidak memakai baju? Lagipula seluruh muka orang
itu nampak hitam pekat dari kejauhan. Setelah agak
mendekat barulah ia tahu warna hitam pekat itu wa-
jahnya itu berewok yang sangat lebat. Pasti salah satu
anggota Singa Kali Progo, pikir Ki Randaka. Memang
betul. Dawuk terengah-engah dengan keringat mem-
banjiri seluruh tubuhnya, Ki Randaka memandang pe-
nuh keheranan.
"Cari mampus! Berani benar kau menghadang
jalanku...."
"Maaf, Ki Randaka.... Izinkanlah aku bicara sebentar saja...."
"Soal apa...?" tanya Ki Randaka.
"Pusaka Elang...." jelas Dawuk dengan nafas
ngos-ngosan. Bagai disambar petir Ki Randaka men-
dengar ucapan Dawuk.
"Mana pusaka itu...! Mana...!" Ki Randaka gu-
sar.
"Ada pada seorang yang sadis dan kejam.... Aku
sendiri melihat saudara Wagun dan Sambali dibunuh-
nya...."
"Bangsat! Kraaaak...!" Ki Randaka menghajar
hancur kayu haluan. Sekonyong-konyong tubuhnya
melesat berputar di udara, kemudian hinggap di hada-
pan Dawuk. Langsung mencengkeram leher Dawuk.
"Di mana manusia jahanam itu. Cepat.... Kata-
kan!" Ki Randaka murka sekali. Ia mengguncang-
guncangkan leher Dawuk yang hampir tidak bisa ber-
nafas.
"Tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Kelom-
pok kami pun tidak dapat mengatasinya...." Suara Da-
wuk hampir hilang. Cengkeraman Ki Randaka men-
gendur.
"Bagaimana kau bisa tahu pusaka Elang ada di
tangannya!" Ki Randaka membentak.
"Dikenakannya sebagai kalung dengan seutas
tali hitam!" Jawab Dawuk cepat. Cengkeramannya ter-
lepas. Ki Randaka ingat betul ketika ia mengikat pusa-
ka Elang dengan tali hitam. Juga membungkus pusaka
itu dengan kain hitam, lalu dengan sengaja ia menge-
nakannya pada seekor anjing yang ikut bersama Adi-
naya bersama istrinya membawa pusaka Elang ke Ge-
rongsewu. Pasti orang itu pula yang telah membunuh
Adinaya bersama istrinya, dan sampai tega pula meng-
hancurkan kepala anjing yang mengenakan kalung itu,
Keparat! Gerutu Ki Randaka....
"Antar aku ke sana...! Orang itu harus bertang-
gung jawab atas kematian orang-orang Elang Perak.
Dan pusaka Elang harus kembali berada dalam tan-
ganku...."
"Tenang... Tenang.... Tiga anak buahku tengah
menguntit perjalanannya...." kata Dawuk menenang-
kan suasana. Dawuk berjalan di depan, keringatnya
masih membanjir di sekujur tubuhnya. Wajah yang di-
tumbuhi janggut yang lebat mencereng terkena sinar
matahari.
*
**
Bulan bersinar penuh menerangi desa terpencil
yang jauh dari Wadaslintang. Beberapa gubuk terdapat
di situ dengan jarak yang berjauhan terhalang semak-
semak. Sebuah jalanan selebar hampir tiga meter
menghubungi dari gubuk ke gubuk. Desa yang sunyi
sepi, dengan keheningan malam yang diterangi rembu-
lan. Padahal hari masih sore, tapi para penduduknya
jarang ada yang keluar.
Sebuah kereta kuda tertambat di samping gu-
buk yang diterangi lampu obor. Di depan gubuk itu
terdapat sebuah balai. Di atasnya terbaring sosok tu-
buh gemuk seorang lelaki. Nampaknya telah tertidur
pulas. Di halaman gubuk banyak bertumpuk batu-
batu kali yang besarnya tidak beraturan. Seorang lela-
ki muda duduk pada tumpukan batu tersebut. Sambil
menatap ke langit memandangi bulan yang bergeser
sedikit demi sedikit. Ia menghirup udara malam da-
lam-dalam.
Pemilik gubuk ke luar membawa sepiring ma-
kanan dan meletakkan di atas balai yang cukup besar,
lalu ia ke luar menemui pemuda itu.
"Den.... Dimakan dulu singkong rebusnya.
Maklum saja, Aki tidak punya apa-apa...." Pemilik gu-
buk menyentuh baju bulu pemuda yang duduk di atas
bebatuan. Pemuda itu tersenyum, ia mengikuti lang-
kah orang tua si pemilik gubuk. Sampai di teras gu-
buk, ia membangunkan lelaki gemuk yang tertidur pu-
las di atas balai. Lelaki gemuk itu menggeliat.
"Raden.... Kopinya hampir dingin sebaiknya di-
minum saja..... Biar tidak ngantuk...."
Orang yang disebut Raden menguap lebar. Ma-
tanya masih sepat. Lesu ia menyambar gelas berisi ko-
pi yang sejak tadi berada di atas balai. Dihirupnya
sampai tinggal tiga perapat gelas.....Ahhhhhh.... Nik-
mat meskipun sudah terlanjur dingin. Tiba-tiba....
"Hieeeeeeeee...!" Dua ekor kuda yang ter-
tambat di samping gubuk meringkik nyaring. Ketiga
orang berada dalam teras gubuk tersentak. Pemuda itu
lari ke samping. Kuda-kuda itu diam kembali setelah
dielus-elus. Lalu mengawasi sekitar tempat itu. Gam-
pang saja! Karena malam itu terang bulan. Pemuda itu
melihat sosok tubuh ramping berjalan perlahan den-
gan langkah-langkah yang gagah. Hm... Gadis itu la-
gi.... Pikirnya.
"Nona, sudah tiga kali ini kita bertemu.... Pasti-
lah tujuan kita sama, Nona ingin ke Gerongsewu, bu-
kan....?" Pemuda itu langsung menegur. Tapi wanita
muda itu terus melangkah.
"Kalau bakal ketemu di sini, menyesal aku ti-
dak mengajakmu menumpang di kereta milik Raden
Sintoro Tinggil...."
Gadis itu tetap acuh. Kata-kata pemuda itu ti-
dak dihiraukan sama sekali. Ia melangkah terus menu-
ju gubuk yang masih terang. Ia melihat dua orang lelaki. Yang satu pendek gemuk yang pernah ditemuinya
di Wadaslintang, satu lagi bertubuh kurus. Pakaiannya
pun nampak lusuh dan kumal, Pastilah ia pemilik gu-
buk ini, pikirnya. Tanpa menoleh ke arah Raden Sinto-
ro Tinggil ia mendekati pemilik gubuk.
"Maaf, Ki.... Malam ini aku bermaksud menum-
pang beristirahat di sini...." kata gadis itu tanpa ragu-
ragu. Orang tua itu tidak langsung menjawab. Ia sen-
diri hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Seorang gadis cantik berpakaian serba biru muda,
bermaksud beristirahat di gubuknya. Baru kali ini ia
kedatangan tamu-tamu yang sangat ganjil. Apakah ini
alamat akan mendapat rezeki?
"Aki tidak perlu repot-repot melayani saya, cu-
kup saya beristirahat di luar...." kata gadis itu lagi.
"Ah.... Mana bisa begitu.... Pantangan bagi seo-
rang perempuan tidur di luar...." sergah Raden Sintoro
Tinggil.
"Terima kasih atas pinjaman sepasang baju ini,
Raden.... Kapan-kapan akan saya kembalikan..." jawab
gadis itu lain. Raden Sintoro Tinggil menunduk malu.
Pemilik gubuk memandang keduanya. Wintara sudah
ada di situ.
"Benar kata Raden Sintoro Tinggil itu, Nona....
Gubuk ini memang kecil, tapi sepuluh orang macam
Nona masih bisa menampung." kata pemilik gubuk itu.
"Justru kalau nona tidur di luar, saya tidak akan men-
gijinkannya...." katanya lagi. Gadis itu tersenyum. Ia
mengambil sekeping uang emas dari balik bajunya. La-
lu...
"Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
Ambillah ini sebagai oleh-oleh dari saya. Ayo..." Gadis
itu menarik lengan kurus si pemilik gubuk, lalu mele-
takkan uang emas itu ke dalam telapak tangan yang
gemetar. Seperti terbangun dari mimpi orang tua itu
membuka telapak tangan yang semula tergenggam.
Matanya melotot menatap kepingan uang logam ber-
warna keemasan.
"Aduuuh.... Orang-orang desa ini tidak percaya
saya memiliki uang sebanyak ini, Nona...." Pemilik gu-
buk malah ketakutan "Saya tidak bisa meneri-
manya...." katanya lagi sambil mengembalikan uang
emas itu.
"Kenapa musti bingung-bingung. Aki bagikan
saja orang-orang kampung sini, tentunya mereka akan
senang. Dan katakan pada mereka bahwa Aki mene-
mukan uang itu. Kan beres..."
Orang tua kurus itu mengangguk-angguk per-
lahan. Lalu ia masuk ke dalam menaruh uang logam
itu. Si gadis hanya mengawasinya, sebentar kemudian
ia ke luar dengan kedua tangan melipat di dada. Pan-
dangannya menatap ke atas. Wintara melangkah per-
lahan mengikuti gadis itu yang sudah berdiri dekat
tumpukan-tumpukan batu kali. Berat sekali ia menge-
luarkan kata-kata.
"Janggal rasanya kalau kita tidak saling berke-
nalan, Nona... Namaku Wintara.... Siapakah kiranya
Nona ini? Aku sampai di sini hanya mengantar Raden
Sintoro Tinggil ke Gerongsewu. Nona juga mau ke sa-
na, kan?" kata Wintara memberanikan diri.
"Pintar juga akalmu.... merasa punya ke-
beranian tinggi, pura-pura mengantarkannya. Padahal
ingin menguras seluruh isi kantong Raden Sintoro
Tinggil yang terkenal banyak uang...." jawab Gadis itu.
Wintara hanya senyum mendengarnya, lalu....
"Bukan aku yang menawarkan mengantar Ra-
den Sintoro Tinggil, tapi dia sendiri yang meminta. Ma-
lah tadinya ia ingin membayar mahal tapi dengan tulus
aku menolak...." jelas Wintara. Gadis itu menoleh.
"Begitu berani kau pergi ke Gerongsewu dengan
memamerkan pusaka Elang, betul-betul tidak tahu
penyakit...."
Wintara kaget setengah mati, jantungnya bagai
disiram air panas. Ternyata gadis yang selama ini tiga
kali bertemu, tahu adanya pusaka yang melingkar di
leher Wintara. Wintara langsung mengusap benda itu.
"Apakah kau juga ingin merebut pusaka ini.
Sudah banyak orang yang menginginkannya...." kata
Wintara polos.
"Aku tidak tertarik dengan segala benda pusa-
ka. Buat apa? Kalau nantinya menjadi malapetaka. Be-
tul! Aku akan ke Gerongsewu... Hanya untuk mencari
seorang pembunuh...." Kata gadis itu lirih.
"Pembunuh...?"
"Yah. Pembunuh Ayahku...." jawabnya cepat.
"Salah seorang dari orang-orang yang akan mengikuti
pertemuan adalah pembunuh Ayahku!" katanya lagi.
"Siapakah nama Ayahmu. Itu pun kalau boleh
kutahu...." tanya Wintara.
"Kau akan mati berdiri bila mendengarnya...."
"Katakanlah...."
"Lungo Paksi!" jelas sekali sebutan nama itu.
Astaga, Ternyata gadis cantik ini putri seorang tokoh
kosen yang termasyur dalam rimba persilatan. Pan-
tas.... Pantas... Ia pun memiliki ilmu yang tinggi pula
seperti ayahnya. Hanya sayang ia masih terlalu muda.
"E-e Nona...."
"Jangan pangil aku dengan sebutan itu lagi.
Namaku Tari Wening Asih.... Atau Tari Wening sing-
katnya...."
Tari Wening Asih.... Tari Wening.... Wening
Asih.... Tari.... Ah apa kira-kira yang cocok untuk sebutan gadis secantik itu? Wintara masih mencari-cari.
"Mereka mengkhianati Ayahku. Dengan tudu-
han telah bersekongkol pada orang-orang yang berdiri
di deretan aliran hitam. Sekali pun benar, mereka ti-
dak perlu membunuhnya dengan cara keji. Paling ti-
dak menghukumnya secara adilnya hukum persilatan
aliran lurus. Mereka menyeretnya sampai ke Gerong-
sewu. Salah seorang dari mereka telah menewaskan
Ayahku dengan sebuah pukulan Telapak Tangan Hi-
tam. Selain itu, tidak ada lagi tanda-tanda bekas pu-
kulan atau pun pembunuh Ayahku. Beberapa hari lagi
mereka akan berkumpul di Gerongsewu, untuk mengi-
kuti pertemuan yang diadakan tiap tiga tahun sekali..."
"Pertemuan...? Pertemuan untuk mengadu ke-
pandaian ilmu....?" tanya Wintara ingin tahu. Hampir
saja kedua tangannya menyentuh tubuh gadis itu yang
berdiri membelakanginya. Untung saja Wintara cepat
sadar dari ketololannya.
*
* *
TUJUH
"Wuaaaaaa...! Toloooooong...! Tolooooong...!"
Raden Sintoro Tinggil menjerit-jerit histeris. Pemilik
gubuk cepat ke luar. Begitu juga Wintara dan Tari
Wening Asih, keduanya segera melompat ke arah teria-
kan itu. Nampak Raden Sintoro Tinggil setengah ter-
tidur meronta-ronta. Lengan kanannya terangkat me-
nempel pada dinding kayu. Sebatang anak panah me-
nembus lengan baju sampai ke dinding kayu.
"Lenganku...! Lenganku....!"
Wintara menarik anak panah itu, cukup keras
juga menembus ke dinding kayu. Sebatang anak pa-
nah yang sama seperti yang didapat di desa Wadaslin-
tang. Sebelum mencabutnya Wintara sudah melihat
gulungan kertas mengelilingi batang anak panah itu.
Wintara tidak memperdulikan Raden Sintoro Tinggil
maupun orang lain yang berada di situ sekalipun pada
Tari Wening Asih. Ia langsung membaca isi surat itu....
Serahkan pusaka Elang pada kami.
Jangan coba-coba menolak, bila kepala kalian
ingin menggelinding ke tanah...
Wintara diam lalu menyerahkan kertas itu pada
Tari Wening Asih yang segera langsung membacanya.
Raden Sintoro Tinggil masih gemetaran ketakutan. Se-
kalipun yang ditembus batang anak panah itu hanya
lengan bajunya. Pemilik gubuk juga nampak ketakutan
"Tenang... tenang, Ki.... Aki tidak perlu takut.
Lagipula Aki tidak akan terlihat dalam urusan ini...."
kata Tari Wening Asih membujuk.
"Bagaimana Aki bisa tenang, Non.... Coba saja
lihat.... Orang kaya itu hampir saja dia terbunuh di si-
ni...." kata si pemilik gubuk gemetar.
"Percayalah.... Kami akan melindungi Aki juga
orang kaya itu." Tari Wening Asih menunjuk ke arah
lelaki gemuk yang duduk merungkut.
Anak panah masih dalam genggaman Wintara,
ia ke luar gubuk dengan perasaan yang tidak habis pi-
kir. Wintara menuju pada tumpukan batu kali, lalu ia
duduk di pinggirannya. Sebenarnya ia ingin menye-
rahkan pusaka itu pada si pemanah misterius. Tapi
apakah betul orang itu pemiliknya? Bagaimana kalau
bukan? Tentunya akan lebih parah lagi.... Wintara tidak takut pada ancaman yang tertulis dalam gulungan
kertas yang barusan dibacanya. Jangankan hanya se-
buah ancaman, tantangan pun pasti akan ia hadapi.
Tapi ini soal lain. Soal pusaka. Wintara sendiri tidak
tahu milik siapa pusaka yang tergantung di lehernya
ini. Ini yang membuat Wintara tak habis pikir. Dan
merasa terlibat. Dua kali Raden Sintoro Tinggil nyaris
membuang nyawa. Kenapa harus sasarannya Raden
Sintoro Tinggil? Bukan kepada dirinya yang mengena-
kan kalung hitam berliontin kepala Elang sebesar tela-
pak tangan. Kenapa? Dan berkali-kali hanya nyaris
merenggut nyawa Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro
Tinggil hanya seorang saudagar kaya yang tidak tahu
apa-apa soal pusaka Elang. Kenapa ia harus terlibat.
Apakah lantaran ia dekat dengan Wintara....? Wintara
makin tidak mengerti. Ada penyesalan sewaktu ia
mengambil kalung hitam dari orang yang sudah tak
bernyawa. Yang ditemukannya di pinggiran kali Progo.
"Win...." Terdengar suara halus menegurnya.
Wintara tahu itu suara Tari Wening Asih. Tapi Wintara
tetap tidak mau menoleh. Ia semakin hanyut dalam pi-
kiran yang datang bertubi-tubi merumit. Wintara me-
mejamkan matanya. Dirasakannya jemari lentik Tari
Wening Asih. Wintara tetap tidak menoleh.
"Aku tidak tahu pusaka ini milik siapa...! Aku
hanya menemukannya di pinggiran Kali Progo pada
seorang yang sudah tidak bernyawa....!" Wintara seten-
gah berteriak. Tari Wening Asih memandangi wajah
Wintara.
"Menemukan secara tidak sengaja. Itu sudah
berarti pusaka itu telah menjadi milikmu mutlak!" kata
Tari Wening Asih. Baru dirasakan oleh Wintara kata-
kata yang begitu lembut keluar dari mulut seorang wa-
nita yang diduganya tinggi hati.
"Tapi pusaka ini bukan milikku yang se-
mestinya. Aku tidak tahu ke mana pusaka Elang ini
mesti kubawa dan kuberikan pada siapa...?" kata Win-
tara dengan nada menyesali.
"Baru kali ini kulihat seorang pendekar kesatria
bertingkah cengeng. Baru menghadapi surat ancaman
saja, sudah belingsatan...."
Mendengar ucapan itu, Wintara langsung me-
matah belahkan anak panah yang tergenggam. Wintara
tidak tersinggung atas kata-kata Tari Wening Asih. Ta-
pi Wintara berpendapat gadis cantik itu justru tidak
tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Patahan-patahan
anak panah itu dilemparkan demikian kencang semba-
rangan, tapi.....
Beberapa jeritan terdengar panjang. Dari se-
mak-semak yang merimbun bergulingan tiga sosok tu-
buh memegang busur berkelojotan dan kemudian ka-
ku tak berkutik. Masing-masing kepalanya menancap
sebuah bekas patahan-patahan batang anak panah
yang barusan dilemparkan oleh Wintara. Wintara sen-
diri jadi terpana menyaksikannya. Tari Wening Asih
lain lagi. Ia segera memperhatikan seluruh semak-
semak merimbun yang berada di situ. Segerombolan
semak bergoyang. Tari Wening Asih melompat ke atas
gundukan pada tumpukan batu-batu kali. Secepat ki-
lat ia menendang batu yang paling menonjol.
"Weeessss!" Batu itu melesat ke arah semak-
semak yang bergoyang tadi. Sesosok tubuh keluar dari
situ dengan jeritan yang hebat. Busur panah terlem-
par. Sedangkan pemiliknya sudah terkapar dengan ke-
pala hancur.
"Kita sudah terkurung...." bisik Tari Wening
Asih. Sudah tentu bisikannya tertuju pada Wintara.
Wintara memandang ke arah gubuk. Raden Sintoro
Tinggil sudah tidak ada di situ. Mungkin ia telah ma-
suk ke dalam gubuk. Syukurlah di dalam gubuk ten-
tunya ia akan aman.
Tari Wening Asih menendangi setiap batu da-
lam tumpukan itu. Semua tendangannya terarah pada
semak-semak yang ada di situ. Namun tidak ada jeri-
tan satu pun dari hasil tendangan-tendangan batu itu.
Sungguh tenaganya terbuang percuma. Tapi ia cukup
puas. Itu berarti pasukan pemanah sudah tidak ada
lagi di sekitar situ. Wintara berlari memasuki gubuk
itu. Perlahan ia membuka pintu kamar. Dilihatnya Ra-
den Sintoro Tinggil sudah tertidur lelap bersama pemi-
lik gubuk dalam satu balai. Wintara menghela nafas,
kekhawatirannya sirna. Selagi Wintara masuk ke da-
lam gubuk, Tari Wening Asih berjaga di luar. Benar-
benar sunyi..... Tapi bukan berarti mereka masih bisa
beristirahat dengan tenang. Satu detik saja mereka
lengah, barangkali serangan semacam tadi akan da-
tang lagi.
"Benar katamu, Tari...." kata Wintara sambil ke
luar kamar. Tari Wening Asih menoleh ke arah suara
itu.
"Aku khawatir Raden Sintoro Tinggil dan pemi-
lik gubuk ini akan menjadi korban...." Sambungnya la-
gi. Ia menghampiri gadis itu.
"Kenapa musti takut? Kalau tadi pasukan pe-
manah mau membunuh mereka, tentunya mereka su-
dah menyerang dari tadi...." Pendapat gadis itu. Lalu
keduanya terdiam. Masing-masing dalam kebisuan-
nya. Suasana makin sunyi. Bulan di atas sana masih
menerangi desa terpencil itu, meski dengan sinar yang
redup. Berjalan merambat menelusuri sang waktu...
* * *
Sinar matahari menyilaukan mata Tari Wening
Asih yang tertidur memeluki kedua lututnya di atas
balai. Tubuhnya bersandar pada dinding kayu. Telin-
ganya dibisingkan oleh suara batu-batuan yang beradu
sangat keras. Cepat ia menoleh keluar. Nampak Winta-
ra mengumpulkan kembali batu-batu kali yang beran-
takan bekas semalam. Dengan malas Tari Wening Asih
menggeliat bangun.
"Tadinya aku yang akan membereskan batu-
batu itu. Ah.... Kenapa aku jadi terlambat bangun...."
kata gadis itu sekedar basa basi.
"Sekarang sudah beres....! Mau apalagi....?" ja-
wab Wintara sambil mengumbar senyum.
"Paling tidak mengucapkan terima kasih...."
Gadis itu menggeliat lagi melemaskan seluruh otot-
ototnya. Kemudian ia ke luar dari teras gubuk.
"Bagaimana dengan Raden Sintoro Tinggil....
Apakah dia sudah bangun...?" tanya Wintara sambil
meletakkan batu yang terakhir.
"Entahlah.... Sejak aku bangun dengkurnya
masih kedengaran." jawab Tari Wening Asih sambil
melangkah ke samping gubuk. Ia menuju surau. Air
pancuran terdengar gemericik. Wintara membetulkan
letak batu yang hampir menutupi empat mayat terse-
but dengan tikar bekas alas balai. Sudah dari tadi ia
menunggu pemilik gubuk itu keluar. Maksudnya agar
minta pertolongan pada orang-orang kampung untuk
menguburkan mayat-mayat itu sebagai mana mes-
tinya. Biasanya orang-orang kampung bangun lebih
awal sebelum matahari terbit. Aneh.... Apakah mereka
tidak mempunyai kesibukan sehari-hari.... Paling ti-
daknya mereka ke sawah atau mengambil air. Ini Ti-
dak!
Pintu gubuk berderit, lalu terkuak lebar. Mun-
cul Raden Sintoro Tinggil dengan muka masam. Ia
mengucek-ucek matanya yang masih terasa perih ka-
rena kurang tidur. Tak lama kemudian pemilik gubuk
ke luar menyusul. Tenang pikiran Wintara, ia langsung
menemui pemilik gubuk itu.
"Ki, tolong minta bantuan pada orang-orang se-
kitar sini untuk menguburkan empat mayat itu...." ka-
ta Wintara sambil menunjukkan ke tumpukkan batu-
batu kali. Raden Sintoro Tinggi dan pemilik gubuk me-
lihat empat mayat terbujur kaku ditutupi dengan se-
lembar tikar.
"Se-se-semalam ada serangan lagi...?" kata pe-
milik gubuk itu.
"Semuanya pasukan pemanah.... Entah dari
partai mana...!" kata Wintara tegas. Pemilik gubuk jadi
kikuk. Tapi ia melangkah dengan ragu-ragu mening-
galkan gubuknya untuk meminta bantuan. Desa ter-
pencil itu hanya terdapat beberapa gubuk. Semuanya
dapat dihitung dengan jari. Jaraknya berjauhan. Ada
kira-kira tiga puluh meter. Setengah berlari orang tua
itu menuju salah satu gubuk yang paling dekat dengan
gubuknya. Dari kejauhan nampak gubuk yang di-
tujunya begitu sepi.
"Go.... Wanggo....! Aih... apa sudah pada be-
rangkat ke sawah..... Go..... Wanggo....."
Orang itu memperhatikan keadaan muka gu-
buk. Pintunya memang terbuka sejak tadi. Makanya ia
masuk saja. Baru ia melangkahi pintu, mata serta mu-
lutnya terbuka lebar. Teriakannya parau terdengar
menyeruak.
"Arghhhhhht...!" Bagai terpaku ia tidak bisa
bergerak. Di hadapannya telah bermayat Wanggo be-
serta istri dan sanak saudaranya. Berikut kedua anak
nya yang masih kecil-kecil. Wanggo terlentang menin-
dih mayat istrinya dengan empat batang anak panah
menembus di bagian punggung dan perut. Istrinya
sendiri mati dengan rongga mata yang hancur tertem-
bus anak panah. Salah seorang saudara lelaki Wanggo
kepalanya hilang. Dua anaknya yang masih kecil-kecil
mati berpelukan dengan mulut berlumuran darah.
Hampir seluruh ruangan itu berhamburan anak-anak
panah. Orang tua itu bergidik, kedua kakinya gemetar.
Susah sekali ia beranjak dari situ. Setelah ia tersadar
barulah ia melangkah mundur. Kemudian berlari den-
gan muka yang pucat biru. Kedua langkahnya ter-
saruk-saruk menyusuri jalan itu lagi. Jalan yang pe-
nuh bertebaran dengan batu-batu kerikil tajam.
Tiga orang telah berdiri dekat tumpukan batu.
Menatap aneh pada orang tua yang berlari-lari mende-
kati mereka. Seraut wajah pucat dan penuh ketaku-
tan..
"Mereka.... Mereka.... Mereka tewas.... Se.....
Arghhhhhhhht!" Teriakannya terputus. Orang tua itu
jatuh tersungkur. Pada punggungnya tertancap seba-
tang anak panah. Ketiga orang yang berdiri di samping
tumpukan batu mundur keheranan. Wintara dan Tari
Wening Asih langsung memeriksa pemilik gubuk yang
sudah terkapar tak bernyawa.
"Keparat... Rupanya desa ini telah terkurung
oleh pasukan-pasukan pemanah...!" Tari Wening Asih
mengawasi seluruh pohon-pohon dan semak-semak
belukar. Tiba-tiba matanya yang jeli menangkap sesua-
tu, maka....
"Wintara, awaaaaaaas....!" Ia melompat sambil
mencabut pedang pendek dari pinggangnya. Belasan
anak panah menghujani mereka, Wintara juga melom-
pat menghindar sembari melindungi Raden Sintoro
Tinggil. Tari Wening Asih memutar pedang pendeknya
berkelebat bagai lingkaran kilat. Belasan anak panah
itu yang belum sampai mengenai sasaran patah dua
semua. Teriakan gadis itu melengking tinggi menyam-
but hujan panah yang tidak pernah habis-habisnya.
Tubuhnya yang ramping melesat ke udara berjumpali-
tan. Pedangnya terus ber-putar mematah belah seran-
gan yang dilancarkan oleh pasukan pemanah. Lengan
kirinya sibuk menangkapi batang anak-anak panah
yang masih melesat. Setelah berjumpalitan beberapa
kali tubuhnya hinggap di atas tumpukan batu kali.
Lengan kirinya yang banyak menggenggam anak pa-
nah dilemparkan ke arah asalnya, maka terdengar be-
berapa jeritan disertai dengan jatuhnya beberapa tu-
buh dari atas pohon, Satu, dua, tiga, empat... enam,
tujuh.... Semuanya tujuh orang. Mereka tewas seketika
oleh lemparan Tari Wening Asih.
Di halaman gubuk yang luas itu banyak ditum-
buhi pepohonan besar berdaun lebat. Pasukan pema-
nah memilih medannya di atas pohon sana, bersem-
bunyi di balik dedaunan. Bisa juga di balik rimbunnya
semak-semak.
Raden Sintoro Tinggil di belakang Wintara sam-
bil memegangi dengan tangan gemetar. Beberapa anak
panah mulai menyerang. Kali ini dari sebelah kanan
dari balik semak-semak. Lima batang anak panah ti-
dak berhasil mengenainya. Karena sabetan tangan
Wintara begitu cepat membuat kelima batang anak
panah itu mencelat menancap pada tiang kayu. Lima
orang ke luar dari semak-semak siap mengarahkan
anak panahnya lagi. Wintara hanya menunggu. Ia ti-
dak dapat berbuat banyak selain melindungi Raden
Sintoro Tinggil. Anak panah itu belum sempat melesat.
Tari Wening Asih yang melihat Wintara terdesak lang
sung menendangi tumpukan batu yang diinjaknya.
Lima tendangan berturut-turut tepat mengenai empat
orang itu sekaligus. Yang seorang lagi berhasil meng-
hindar... dan berusaha meloncat ke atas hinggap pada
cabang pohon didekatnya. Gadis itu menendang sekali
lagi.
"Weess...! Buug...!" Batu itu menghantam keras
dada orang itu. Lalu jatuh dengan kepala lebih dulu
menyentuh tanah. Tari Wening Asih menoleh Wintara
melemparkan senyum.
"Jangan marah. Nanti aku yang membereskan-
nya kembali." katanya. Wintara nyengir.
"Raden.... sebaiknya sembunyi dalam gubuk.
Biar mereka cepat ku atasi...." usul Wintara. Raden
Sintoro Tinggil cepat beranjak masuk ke dalam gubuk.
Dua batang anak panah melesat ke arah tubuh lelaki
gemuk itu. Wintara dapat melihat, maka cepat ia me-
nepakan tangannya. Dua anak panah itu menancap di
atas tanah. Merasa tidak ada yang perlu dilindungi,
Wintara melompat. Sekali hentakan saja, tubuhnya
sudah melesat cepat hinggap di atas pohon. Astaga...!
Pantas anak panah mereka tidak pernah habis. Di atas
pohon itu ia menemukan kurang lebih sepuluh orang
pemanah dengan perlengkapan yang sangat banyak.
Dalam keadaan yang dipenuhi dengan dedaunan, ma-
na sempat mereka dapat melihat kedatangan Wintara
yang sangat cepat itu. Dengan begitu Wintara mudah
menghajar mereka. Sekali hantamannya menjatuhkan
dua orang. Lalu seorang lagi.... Diam-diam Tari Wening
Asih kagum akan tindakan Wintara yang cukup meng-
gelikan.
Perkelahian di atas pohon itu akhirnya dapat
diketahui oleh para pemanah yang berada di situ. Me-
nyadari adanya penyerang gelap. Tujuh orang yang
masih tersisa berbalik mengarahkan anak panahnya.
Sebelum anak panah itu meluncur, Wintara melesat
berpindah tempat ke cabang lain sambil tangannya
menyambar seorang pemanah yang paling dekat.
"Beeg.... Twing... Twing...!" Di atas sana penge-
lana sakti bergelut menumbangkan lawan-lawannya
dari cabang ke cabang....
Di atas tumpukan batu Tari Wening Asih masih
sibuk menghadapi belasan anak panah dari pohon
yang lain. Pedang pendeknya berputar lebih cepat me-
nangkis melindungi tubuhnya dari hujan panah. Di
bawah kakinya telah bertumpuk puluhan anak panah
berserakan. Banyak juga yang patah dua akibat baba-
tan pedang pendek Tari Wening Asih....
*
* *
DELAPAN
Berdiri terus di atas tumpukan batu-batu tidak
lagi leluasa menghindari serangan-serangan para pe-
manah. Tari Wening Asih melompat ke samping. Ber-
gulingan menyusup ke dalam gubuk. Dia masih sem-
pat melirik pada beberapa pohon besar yang tumbuh
berderet di hadapan gubuk. Sudah pasti di atas tiap-
tiap pohon itu bersarang puluhan pemanah. Melihat
gadis itu bersembunyi dalam gubuk serangan panah
berhenti. Serombongan orang turun dengan meme-
gang busur. Semuanya berjumlah sebelas orang. Se-
lain busur, orang-orang itu bersenjatakan sebilah pe-
dang yang nampak terselip di pinggang mereka mas-
ing-masing. Sebagian malah sudah ada yang mulai
mencabut. Dengan mengendap-endap kesebelas orang itu mendekati gubuk. Tari Wening Asih yang mengintip
akan adanya bahaya bersiap-siap. Langkah-langkah
mereka terdengar kasar. Kira-kira jarak mereka ting-
gal dua langkah lagi, gadis itu mendobrak pintu gu-
buk. Mendorong ke depan melabrak kesebelas penye-
rangnya yang masih dicekam rasa kaget. Tiga orang ja-
tuh. Namun masih dapat bangun dengan cepat. Tapi
babatan pedang pendek membuat mereka jatuh lagi
sekaligus tewas, rata-rata tenggorokan mereka robek.
Yang lain membalas menyerang. Babatan-babatan pe-
dang berkelebat ke sana ke mari mencecar Tari Wening
Asih. Gadis itu merunduk sambil melancarkan tendan-
gan.
"Beeeg...!" Tendangan itu tak bisa dihindari.
Penyerang itu terpental berikut pedangnya. Tari Wen-
ing Asih mengangkat pedang pendeknya menyilang di
atas kepala menangkis babatan pedang yang hampir
saja membelah batok kepalanya.
Wintara baru saja memukul jatuh semua la-
wan-lawannya di atas pohon. Ia meluncur ke bawah
sambil melancarkan hantaman pada salah seorang
pengeroyok Tari Wening Asih. Mendapat bantuan dari
Wintara, gadis itu maju menyerang makin berseman-
gat. Tendangan disertai babatan pedang pendek men-
jatuh bangunkan lawan-lawannya. Begitu pula Winta-
ra. Meskipun tanpa senjata ia sanggup menghajar
pengeroyok itu sampai remuk ke tulang-tulangnya. Ti-
ba-tiba....
"Hentikann,..!" terdengar suara bentakan seseo-
rang. Dari atas pohon yang rindang, melompat seorang
pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala warna
merah. Paras pemuda itu cukup ganteng. Tangannya
yang menggenggam busur panah teracung.
"Hebat.... Tidak kosong nama besar Pengelana
Sakti. Pantas dapat merebut pusaka Elang dari tangan
orang-Orang Elang Perak...." kata pemuda berambut
gondrong dengan pandangan terarah pada kalung hi-
tam yang melingkar di leher Wintara.
"Kalau begitu pusaka ini milik orang-orang
Elang Perak! Lalu apakah maksudnya saudara pema-
nah ulung ingin merebut pusaka ini dari tanganku?
Aku saja berniat ingin mengembalikan pusaka yang se-
lalu membawa malapetaka...." jawab Wintara. Tari
Wening Asih berdiri menantang menatap pemuda gon-
drong di hadapannya.
"Serahkan saja padaku, maka kau bersama ga-
dismu tak akan terkena bencana...." kata pemuda itu
tidak main-main. Bersamaan dengan itu orang-orang
yang berada di atas pohon berlompatan ke bawah, se-
hingga seluruh halaman itu dikelilingi oleh pasukan-
pasukan pemanah. Belum lagi dari balik semak-
semak. Jumlah mereka semua hampir mencapai empat
puluh orang.... Gila! Wintara dan Tari Wening Asih be-
nar-benar telah terkurung.
"Tidak bisa! Tidak bisa! Jangan serahkan pusa-
ka Elang pada mereka,..! Jangan serahkan...!" Tiba-
tiba saja Raden Sintoro Tinggil berlari ke luar mende-
kati Wintara dan Tari Wening Asih. Wintara begitu ter-
kejut. Kenapa ia harus keluar. Bukankah ber-
sembunyi dalam gubuk lebih aman? Kenapa ia yang
penakut tiba-tiba saja berani keluar dalam keadaan
seperti ini. Untuk menyelamatkan diri saja belum ten-
tu Wintara bisa.... Ahhh... Keadaan jadi semakin ka-
cau. Di luar dugaan tangan Raden Sintoro Tinggil ber-
gerak cepat ke arah leher Wintara dan menarik putus
kalung hitam berliontin kepala burung Elang. Untuk
menepak tangan itu saja Wintara tidak keburu. Gera-
kan Raden Sintoro Tinggil begitu cepat. Tiba-tiba saja
tubuh gemuk itu berputar di udara dan hinggap di
atas atap jerami. Jemari tangannya menggenggam pu-
saka itu. Lalu....
"Ha... ha... ha... ha... ha... Bubar...! Bubar se-
mua. Pusaka ini telah menjadi milikku. Hua.... Ha...
ha.... ha...!" Tawanya lepas. Belum pernah Wintara
mendengar suara tawa Raden Sintoro Tinggil selepas
itu. Ternyata selama Raden Sintoro Tinggil berada de-
kat dengan Wintara ia berperan sebagai orang yang
dungu tulen. Wintara betul-betul terkecoh. Ia mengu-
tuki dirinya. Rona muka itu jelas terlihat oleh Tari
Wening Asih. Karena dirinya sendiri pun telah dibo-
hongi.
"Kalian semua cecoro-cecoro kerdil yang tiada
artinya bagiku. Hah...! Masih mau merebut pusaka ini
dari tangan Raden Sintoro Tinggil...? Ayo maju saja ka-
lau mau cepat-cepat kukirim ke akherat...!" katanya
sadis. Tubuh gemuk itu masih berdiri di atas atap je-
rami. Pemuda berambut gondrong merasa terhina
mendengar perkataan seperti itu. Maka ia memberi
aba-aba kepada seluruh anak buahnya. Mereka semua
mengangkat busur dengan anak panah yang siap di-
lancarkan. Sesaat kemudian.
"Sreeeengggg....!" Puluhan anak panah menghu-
jani lelaki bertubuh gemuk yang berdiri di atas atap.
Raden Sintoro Tinggil tetap berdiri di situ. Ketika pu-
luhan anak panah hampir mengenainya. Tubuh gemuk
itu berputar lurus dalam keadaan berdiri laksana gas-
ing. Maka batang-batang anak panah itu berpentalan.
Sungguh luar biasa. Wintara tidak menyangka sama
sekali akan kehebatan Raden Sintoro Tinggil. Rasa ka-
gum itu sirna dengan seketika. Wintara menatap ge-
ram. Mentah-mentah ia telah diperalat oleh Raden keparat itu.
"Hajar terus...! Hujani bangsat itu dengan pa-
nah-panah kalian. Ayo terus...." Pemuda gondrong itu
berteriak memerintahkan seluruh anak buahnya. Tu-
buh gemuk itu terus berputar, dan anak-anak panah
berpentalan. Tidak satu anak panah pun yang berhasil
melukai apalagi menyentuhnya. Yang terdengar hanya
suara gelak tawa terbahak-bahak.
"Ayo hujani terus. Hujani dengan anak panah
kalian...!" Teriak pemuda berambut gondrong itu.
"Maaf, Pameang.... Persediaan anak panah
hampir habis...." kata salah seorang anak buahnya.
Pemuda itu menggeram. Secepat kilat ia melesat ke
atas. Tubuh gemuk itu masih berputar selagi puluhan
anak panah menghujaninya. Ia melancarkan sebuah
pukulan dahsyat yang tidak kepalang tanggung kearah
tubuh yang berputar laksana gasing... Deeees...! Kedu-
anya jatuh bergulingan. Raden Sintoro Tinggil tidak
mengira akan mendapatkan serangan yang membuat-
nya jatuh.
Tapi benturan itu mengakibatkan pemuda gon-
drong itu harus mengeluarkan darah merah dari rong-
ga mulutnya. Ia cepat bangkit menyeka ceceran darah
di kedua sudut bibirnya.
"Seraaaang....!" Pemuda itu selalu berteriak
memerintahkan anak buahnya. Raden Sintoro Tinggil
yang telah berdiri lebih dulu tidak mundur selangkah
pun, ia malah menyambut serangan yang terdiri dari
puluhan orang banyaknya. Tinjunya yang mengepal
pusaka Elang menjatuhkan sekaligus tiga orang. Seka-
li saja ia menerjang, dua orang bergelimpangan tanpa
nyawa.
"Serang teruuuuuus...." perintah pemuda be-
rambut gondrong itu. Seluruh pasukan pemanah yang
kini bersenjatakan sebilah pedang merangsak menyerang Raden Sintoro Tinggil. Betul-betul ingin mencin-
cang habis. Seketika Raden Sintoro Tinggil tertawa ke-
ras. Hua... ha.... ha., ha., ha...." Disertai tenaga dalam
yang hebat suara tawa itu menggelegar hebat. Siapa
yang sangka tawa yang hebat itu disertai tenaga dalam
yang mampu memecahkan gendang telinga orang-
orang yang berada di sekitarnya. Kontan saja semua
pasukan pemanah berjatuhan dengan gendang telinga
yang pecah. Hampir semuanya para pasukan pemanah
itu mengeluarkan darah dari liang telinganya. Semen-
tara suara tawa Raden Sintoro Tinggil masih berku-
mandang keras. Pemuda gondrong itu pun terduduk
jatuh sambil menutupi kedua telinganya. Begitu juga
dengan Wintara dan Tari Wening Asih, keduanya me-
nutup telinga. Sekalipun mereka menutup telinga, ta-
wa yang disertai tenaga dalam itu nyaris saja menuli-
kan pendengaran mereka.
"Hua... ha... ha... ha...." Tawa maut itu terus
berkumandang. Dua ekor kuda yang tertambat di
samping gubuk meringkik-ringkik mendengar gelak
tawa yang disertai tenaga dalam penuh. Kelentingan
yang tergantung di leher kedua kuda itu bergerak-
gerak menimbulkan bunyi. Ada satu keanehan. Begitu
terdengar suara kelentingan, suara tawa yang disertai
tenaga dalam seakan mengendur. Wintara berjumpali-
tan ke samping gubuk menuju di mana kedua kuda itu
tertambat. Kedua telapak tangannya masih menutupi
kedua telinganya. Secepat kilat Wintara menarik dua
lonceng kecil yang melingkar di kedua leher kuda ter-
sebut. Lalu ia berjalan dengan tenang. Membunyikan
lonceng kecil itu. Ketika ia berjalan di halaman gubuk
itu, Wintara mengguncang-guncangkan kedua lonceng
kuda itu.
"Tinggg... Tinggg.... Tinggggg....!" Terus menerus
dibunyikan kelentingan itu. Suara tawa dahsyat yang
mampu memecahkan gendang telinga itu tidak ber-
fungsi lagi. Raden Sintoro Tinggil pun terkejut kare-
nanya. Ia menambah tenaga dalamnya. Teriakannya
makin dahsyat. Pasukan pemanah sudah banyak yang
bergulingan tak berkutik kehilangan pendengarannya.
Wintara makin kencang menggoyang-goyangkan kelen-
tingan kuda itu. Makin kencang pula suara tawa itu
terdengar. Tari Wening Asih bergulingan dengan kedua
telapak tangannya erat menutup kedua telinganya. Be-
gitu juga pemuda berambut gondrong. Setengah berlu-
tut ia menghadapi suara tawa yang maha dahsyat itu.
Wintara terus mengguncangkan kedua kelentingan itu
sambil merangsak menyerang Raden Sintoro Tinggi.
"Tingg... Tinggg... Ting....!" Raden Sintoro Tinggi
melompat menjauh dari serangan Wintara, Wintara
mengikuti terus ke mana melesatnya tubuh Raden Sin-
toro Tinggil. Kelentingannya masih terus berbunyi
mematahkan suara tawa yang maha dahsyat itu.
Raden Sintoro Tinggil menghentikan tawanya,
geram sekali ia menyerang Wintara. Pukulan telapak
tangannya yang dahsyat beradu dengan hantaman
Wintara.
"Blaarrr!" Keduanya terpental. Wintara ter-
guling menabrak tumpukan batu. Raden Sintoro Ting-
gil mundur terhuyung. Pemuda berambut gondrong
menyerang melancarkan tendangan ke arah Raden
Sintoro Tinggil yang masih terhuyung bersandar pada
batang pohon. Cepat Raden Sintoro menghindar. Ten-
dangan itu mengenai batang pohon. Tari Wening Asih
merangsak dengan sodokan pedang pendek.
"Weeees...!" Kembali Raden Sintoro Tinggil ber-
jumpalitan. Sambaran pedang pendek meleset.
Pasukan pemanah telah bergulingan. Ada juga
yang coba-coba berusaha bangkit. Namun mereka tak
ada yang berlangsung lama. Mereka jatuh lagi. Mereka
bergelimpangan bukan karena terkena pukulan mau-
pun hantaman, tapi karena mendengar suara tawa
yang maha dahsyat tadi. Telinga mereka rata-rata
mengeluarkan darah. Dan sudah tentu rasa sakit itu
teramat nyeri.
Serombongan pasukan kuda memasuki desa
terpencil. Ki Randaka memimpin paling depan me-
nunggangi kuda putih memacu kencang. Di belakang-
nya bersusulan empat ekor kuda yang ditunggangi
oleh orang-orang berewok. Bahruna dan Wikalpa men-
gikuti dengan cepat pula. Debu-debu membumbung
bagaikan asap kuning mengepul bersama derap-derap
beberapa pasang sepatu kuda. Tujuan mereka adalah
gubuk itu, di mana telah terjadi satu pertempuran.
Ki Randaka tidak langsung turun ketika tiba di
sana. Malah keempat manusia berewok yang turun da-
ri masing-masing kuda-nya. Langkah-langkahnya yang
beringas melalui orang-orang yang bergelimpangan.
Terkadang pula Dawuk menendangi orang-orang yang
menghalangi langkahnya. Mereka melangkah terus
mendekati pertarungan itu.
Raden Sintoro Tinggil bergerak setengah memu-
tar menghindari serangan berupa tendangan keras dari
Wintara. Cepat lelaki gemuk itu membalas menghan-
tam, tapi Tari Wening Asih menghalanginya dengan
babatan pedang. Maka gagallah hantaman yang akan
dilancarkan oleh Raden Sintoro Tinggil. Ia menarik
lengannya kemudian melesat ke arah pemuda beram-
but gondrong. Tangannya yang menggenggam pusaka
Elang maju menghantam. Mendapat serangan menda-
dak, si gondrong ini cepat merunduk menghindari han-
taman itu. Tapi tendangan Raden Sintoro Tinggil tidak
dapat dielakkan.
"Dueees...!" Pemuda itu mencelat ke belakang
dengan darah menyembur deras. Ia masih mampu
bangkit meski dengan tubuh yang sempoyongan. Em-
pat manusia berewok yang menamakan dirinya Begal
Singa Kali Progo sudah berada di situ. Dawuk menen-
dang lagi tubuh gondrong itu, sehingga tubuhnya
mencelat kembali menyambar Raden Sintoro Tinggil.
"Baaaag...!" Dua telapak tangan Raden Sintoro
Tinggil menghantam tubuh yang terlempar. Pemuda
gondrong mencelat ke atas tinggi sekali. Kemudian ja-
tuh di atas atap jerami. Atap jerami yang kurang begitu
kuat ambruk.
Tari Wening Asih tersentak begitu melihat ke-
lompok Singa Kali Progo. Rasa kagetnya membuat di-
rinya nyaris terhantam oleh pukulan Raden Sintoro
Tinggil. Untung Wintara cepat memotongnya dengan
sebuah tendangan. Raden Sintoro Tinggil melompat ke
samping ke tempat yang lebih leluasa. Menatap tajam
keempat orang berewok yang baru datang.
"Heh....! Ternyata begal-begal Singa Kali Progo
pun menginginkan pusaka ini... He... he.... he.... Jan-
gan mimpi. Kalau benda ini sudah berada dalam geng-
gaman tangan ku. Kalian atau siapa pun tak akan ada
yang dapat merebutnya. He... he.... he.... he...." Randen
Sintoro Tinggil tertawa terkekeh-kekeh.
"Raden Sintoro Tinggil...!" Terdengar suara ben-
takan parau. Semuanya menoleh ke arah suara itu.
Terutama Raden Sintoro Tinggil. Ia kenal betul dengan
orang yang barusan memanggilnya. Ki Randaka....
"Kembalikan pusaka itu pada kami, karena
benda itu milik perguruan Elang Perak...." kata Ki
Randaka melotot. Bahruna dan Wikalpa bersiap-siap
menyerang. Tari Wening Asih menatap nanar ke arah
Ki Randaka. Kedua bola matanya tidak berkedip. Ki
Randaka salah seorang yang akan menghadiri perte-
muan di Gerongsewu. Mungkinkah dia yang memiliki
pukulan Telapak Tangan Hitam? Yang telah membu-
nuh Lungo Paksi, ayah Tari Wening Asih.....? Kalau
iya, Pedang pendek ini akan bicara, pikirnya....
Wintara masih mengawasi gerak gerik Raden
Sintoro Tinggil. Dawuk terheran-heran melihat pusaka
Elang berada di tangan seorang lelaki gemuk. Kemarin
ia melihat pusaka itu melingkar di leher seorang pe-
muda berbaju kulit binatang. Sekarang... Pemuda yang
mengenakan pakaian kulit binatang itu ada di sini pu-
la....
"Cepat Raden.....! Serahkan pusaka milik ka-
mi...!" Ki Randaka menahan amarah.
"Apa...? Enak saja Ambillah olehmu sendiri...!"
ejek Raden Sintoro Tinggil. Ki Randaka langsung men-
cengkram leher Dawuk. Dawuk gelagapan.
"Siapa orang yang kau maksudkan ...itu, Da-
wuk....! Kau bilang seorang yang sadis dan kejam...,
Apakah Raden Sintoro yang kau maksudkan....?" kata
Ki Randaka. Suara itu hanya terdengar oleh Dawuk.....
"Be-be-betul, Ki.... Betul.... Kau lihat pusaka
Elang sudah berada di tangannya. Apakah itu bukan
suatu bukti yang cukup? Dan berhati-hatilah terhadap
pemuda dan gadis itu. Mungkin mereka temannya. Se-
karang mereka bentrok, sudah pasti berebutan pusa-
ka...." bisik Dawuk. Ki Randaka menatap kedua muda
mudi yang nampak berdiri tenang.
Tanpa diperintah lagi Bahruna dan Wikalpa
maju menyerang Raden Sintoro Tinggil dengan jurus-
jurus cakar Elang. Ki Randaka mendorong tubuh Da-
wuk, maksudnya agar membantu Bahruna dan Wikal-
pa. Maka serempak keempat manusia berewok jadi
ikut maju menyerang. Sebelum menghadapi mereka,
Raden Sintoro Tinggil menyusupkan pusaka Elang ke
dalam bajunya. Lalu ia melompat maju dengan kiba-
san-kibasan dua lengan sekaligus. Bahruna mencecar
bagian atas. Sedangkan Wikalpa berusaha mencabik-
cabik ke arah perut. Keempat begal Singa Kali Progo
mengelilingi. Sekali-sekali pukulan mereka melayang.
Cakaran Bahruna ditepak begitu saja. Cabikan-
cabikan Wikalpa disambut dengan tendangan memu-
tar. Lalu sekali Raden Sintoro Tinggil mengibaskan
lengannya dua orang murid Ki Randaka terhuyung ke
belakang. Empat manusia berewok susah payah
menggempur, namun akhirnya mereka pun dibuat
bergulingan ke tanah. Raden Sintoro Tinggil melompat
tendangan terbangnya terarah deras pada Bahruna.
Tapi cepat Wintara datang membantu dengan serangan
pukulan ke arah perut.
"Buuug...!" Raden Sintoro Tinggil jatuh berdiri
tegak ke tanah bagai tonggak. Wikalpa merangsak me-
nyerang, ia mengira Raden Sintoro Tinggil tengah men-
gambil nafas karena menahan sakit. Tapi di luar du-
gaan kedua kaki Raden Sintoro Tinggil tersentak ke
atas. Cepat sekali kedua telapak kaki itu menghantam
dada Wikalpa. Darah menyembur dari mulut Wikalpa
yang nampak berusaha bangkit kembali. Dawuk dan
Sempor menghantam dari belakang, cepat memutar
tubuh Raden Sintoro Tinggil sambil mengibaskan len-
gannya.
"Plaaak! Plak!" Keduanya terdorong mundur.
Kuwusura menendang keras. Namun lelaki gemuk itu
bersalto gesit menghindar, malah dalam keadaan se-
perti itu Raden Sintoro Tinggil sempat melayangkan
lengan kanannya. "Bee-eeg!" Kuwusura tumbang den-
gan tulang rusuk patah remuk.
Wintara membiarkan keempat manusia bere-
wok menghadapi Raden Sintoro Tinggil. Ia menjaga
dua orang murid dari perguruan Elang Perak. Karena
nyawa kedua orang itu lebih berharga. Tapi Bahruna
dan Wikalpa malah salah tanggap. Mereka menyerang.
Susah sekali Wintara memberi penjelasan, karena me-
reka berdua menyerang bergantian berturut-turut.
Dan tak mau perduli sergapan Wintara. Untuk memba-
las serangan sangat tidak mungkin, pikirnya. Seha-
rusnya mereka membutuhkan pertolongan untuk
mendapatkan pusaka miliknya kembali.
Tari Wening Asih berjalan mendekati Ki Randa-
ka. Ki Randaka sendiri telah siap siaga kalau-kalau
gadis itu menyerang secara mendadak.
"Kenapa tidak engkau sendiri yang menghada-
pinya, Ki Randaka? Apa kau pikir kedua muridmu itu
akan sanggup mengalahkan Raden Sintoro Tinggil
yang ilmunya setinggi langit...?" kata Tari Wening Asih
berjalan memutari Ki Randaka. Lalu katanya lagi...
"Apakah sengaja, kau akan membunuh kedua
muridmu melalui tangan orang lain. Hebat! Hebat!
Pantas nama Elang Perak semakin ditakuti. Karena
mereka telah bergabung dengan kelompok begal Singa
Kali Progo!"
"Tutup mulutmu! Kau pun gundiknya lelaki ke-
parat itu yang sama-sama akan ku hancurkan nan-
ti...." Amarah Ki Randaka meluap.
"Dengan apa kau akan menghancurkan kami,
he..! Dengan Telapak Tangan Hitam?"
"Lancang mulutmu. Jangan sebut-sebut nama
itu di hadapanku. Hreaaaaaaaaaa...!" Ki Randaka
menghantam. Gadis itu cepat mundur. "Wesss...!" An-
gin pukulannya begitu deras. Tari Wening Asih mem-
balas dengan sabetan pedang pendek yang memutar
menyilang ke wajah Ki Randaka. Secepat kilat Ki Ran-
daka mengangkat tangannya. "Plaaak!" Cakar Elang
menjurus ke perut gadis itu. Dengan kaki kanan caka-
ran itu dapat diatasi. Tari Wening Asih mundur berpu-
tar. Lalu tubuhnya melompat ke atas tumpukan batu-
batu kali. Ki Randaka maju menyerang. Tapi ia harus
menghadapi batu-batu, yang terlempar akibat tendan-
gan-tendangan Tari Wening Asih.
"Duar... Duar... Duar...!" Batu-batu yang me-
landanya hancur oleh empat kali cakaran Ki Randaka.
"Kita akan mengadu jiwa, pembunuh laknat...!"
teriak gadis itu meluncur dengan pedang pendek ter-
genggam kedua tangannya. Hampir saja tusukan pe-
dang itu menembus di lambung kiri Ki Randaka. Se-
waktu pedang Tari Wening Asih menjurus. Sesosok tu-
buh menabrak mereka berdua. Sosok tubuh Sempor.
Rupanya ia terlempar nyasar terkena pukulan Raden
Sintoro Tinggil. Ki Randaka mau pun Tari Wening Asih
terdiam sesaat. Di dada Sempor yang sudah tak ber-
nyawa itu mengepul asap. Di situ tergambar sebuah te-
lapak tangan berwarna hitam. Itulah Pukulan Telapak
Tangan Hitam. Mata Ki Randaka merah padam.
Bangsat...! Baru sekarang ketahuan biang ke-
ladinya. Ternyata yang membunuh sahabatku Lungo
Paksi, adalah kau..... Raden Sintoro Tinggil...," kata Ki
Randaka dengan nada marah.
"Kau pun akan segera menyusulnya, tua bang-
ka dungu!" Teriak Raden Sintoro Tinggil sambil meng-
hajar kepala Dawuk. Untung saja hanya menyerempet.
Ia hanya merasa sedikit pening dan cepat-cepat mun-
dur. Ki Randaka melesat meninggalkan Tari Wening
Asih yang tidak percaya dengan pembicaraan itu. Bu-
kan main rasa malunya. Ia telah berbuat kurang ajar
terhadap Ki Randaka. sekarang apa yang harus ia la
kukan? Pembunuh ayahnya ternyata Raden Sintoro
Tinggil. Bukan orang-orang yang akan mengikuti per-
temuan di Gerongsewu.
Dua hantaman sekaligus dilancarkan oleh Ki
Randaka. Raden Sintoro Tinggil menyambut serangan
itu dengan sabetan lengannya yang memutar ke atas.
"Ayo keluarkan pukulan Telapak Tangan Hitammu...!
Hayo.....!" Ki Randaka menyerang dengan puku-
lan-pukulan mematikan. Sudah tentu Raden Sintoro
Tinggil tidak akan mampu menghadapinya. Ia hanya
mundur terbang ke belakang. Lalu tubuhnya yang ge-
muk berputar ke atas membalas serangan. Sambil
berputar demikian, sebelah kakinya melayang menju-
rus ke bagian kepala Ki Randaka. Cepat Ki Randaka
merunduk sambil mendorong dua kepalan tangan yang
terarah di bagian perut.
"Dueer....!" Raden Sintoro Tinggil mencelat ke
belakang menabrak sebatang pohon besar.
"Kembalikan pusaka itu, Raden.... Maka kau
akan kuampuni..." Ki Randaka memberi kesempatan.
"Hayo... Tunggu apa lagi? Apa perlu kucabut nyawa-
mu...." kata Ki Randaka tidak sabaran.
Raden Sintoro Tinggil tidak menjawab. Pandan-
gannya menjurus tajam. Lalu kedua telapak tangannya
terangkat ke atas nampak seperti menyanggah. Kemu-
dian telapak-telapak tangan itu menyatu. Turun Ke
bawah.... Sampai sebatas dada. Kedua kakinya me-
renggang ke samping kanan dan kiri. Membuat tubuh-
nya semakin pendek.
Ki Randaka memandang aneh. Inikah jurus-
jurus pembuka pukulan Telapak Tangan Hitam? Hawa
dingin tenaga dalamnya saja sudah terasa.... Hebat....
Pantas pendekar sakti sahabatnya Lungo Paksi tewas
di tangannya.
Tiba-tiba Raden Sintoro Tinggil meng-
hantamkan kedua telapak tangannya ke depan dengan
hentakan yang sangat keras. Tentu saja di arahkan
kepada Ki Randaka yang sedari tadi memperhatikan-
nya. Ia sudah menduga kalau Raden Sintoro Tinggil te-
lah menghimpun tenaga dalam, begitu angin kencang
menghembusnya ia melesat ke atas sambil bersalto.
Pukulan tenaga dalam itu melesat mengenai sasaran
lain kepada tumpukan batu-batu kali.
"Blaaaarrrr...!" Batu-batu itu berpentalan tak
tentu arah memenuhi pelataran.
*
* *
SEMBILAN
Wintara masih menghadapi Bahruna dan Wi-
kalpa. Serangan-serangan mereka begitu gencar. Kalau
kurang-kurang mengimbangi tentunya Wintara akan
terdesak juga. Sebenarnya kepandaian mereka jauh di-
bandingkan dengan Wintara yang berjuluk Pengelana
Sakti. Karena Wintara tahu kedua orang yang dihada-
pinya murid-murid pilihan perguruan Elang Perak. Me-
reka tidak menyadari kalau dirinya tengah terancam.
Sengaja Wintara menghalangi mereka walau dengan
cara seperti ini. Menghadapi Wintara lebih baik, dari-
pada mereka harus berhadapan dengan Raden Sintoro
Tinggil. Tentunya akan membuang nyawa dengan sia-
sia.
Bahruna melancarkan tendangan, cakaran-
cakaran Wikalpa siap mencabik-cabik punggung Win-
tara. Sungguh tidak bisa dianggap main-main lagi.
Wintara merasa sudah membuang-buang waktu serta
tenaga dengan percuma. Mereka belum juga mengerti.
Selama menghadapi, Wintara tidak pernah membalas.
Apalagi berniat menyerang. Setidak-tidaknya mereka
merasakan keganjilan itu. Sampai sejauh ini mereka
malah berniat memojokkan Wintara. Mana bisa?
Wintara menghentakkan kakinya menghindari
serangan kedua orang itu. Tubuhnya melesat ke atas,
kedua orang itu berbalik hendak menyerang lagi. Tapi
dua totokan sekaligus mengenai tepat mengenai pung-
gung kedua orang itu Bahruna maupun Wikalpa diam
tak bergerak. Kemudian tubuh mereka ambruk ping-
san.
Mendapat kesempatan luang, kelompok Begal
Singa Kali Progo yang tinggal Dawuk dan Dungkil. Me-
reka berniat melarikan diri. Keduanya berlari menero-
bos semak-semak. Kali ini Dawuk tertinggal oleh
Dungkil. Tanpa menoleh mereka berdua lari kencang
bagai dikejar hantu. "Dungkil keparat...! Tunggu aku
setaaaan!" Teriakannya kesal. Kalau saja kakinya tidak
terasa sakit, Dawuk sudah dapat menyusul Dungkil.
Bahkan dapat mendahului seperti biasanya. Mana
mau Dungkil berhenti mengingat situasi sudah begitu
gawat! Biar saja Dawuk tertinggal. Toh tidak ada yang
mengejarnya. Siapa bilang! Langkah Dungkil terhenti
mendadak..... Ia tidak dapat meneruskan langkahnya.
Karena di hadapannya telah berdiri sosok tubuh ramp-
ing berpakaian serba biru. Mata Dungkil melotot tak
percaya. Dawuk melihat Dungkil berhenti, ia mengira
Dungkil menungguinya.... Tapi sesampainya ia di
samping Dungkil jantungnya tersentak setengah ma-
ti....
"Mau ke mana? Kita masih punya urusan bu-
kan....? Aku masih ingat.... Sekarang aku sudah berdiri di hadapan kalian. Mengapa kalian tidak tergiur un-
tuk memperkosa diriku...?" kata Tari Wening Asih te-
nang. Pedang pendeknya teracung mengancam. Mula-
mula ke arah Dawuk lalu bergerak perlahan ke arah
Dungkil.
"Berapa banyak wanita-wanita muda yang telah
menjadi korbanmu Singa Kali Progo? katakan.... Satu
orang, dua orang, tiga.... atau lebih dari lima!" Ayo ka-
takan.... Aku akan mengikuti hitungan kalian dengan
babatan-babatan pedangku...." Mata Tari Wening Asih
nampak jalang. Mereka berdua terdiam bukan karena
rasa takut menghadapi gadis cantik itu. Tapi merasa
kepergiannya tertunda. Mau tidak mau mereka harus
menyingkirkannya lebih dulu. Dawuk berteriak keras.
"Waaaaaaaaa!" Pandangan Tari Wening Asih te-
ralih kepada Dawuk. Maka pada kesempatan itu
Dungkil menepis lengan gadis itu yang menggenggam
pedang pendek. Ternyata teriakan Dawuk hanya se-
buah siasat. Agar Dungkil dapat bergerak cepat di saat
gadis itu lengah. Namun Dungkil hanya melakukan te-
pisan tangan. Tari Wening Asih membalas dengan
membabatkan pedangnya menyilang lalu disertai ten-
dangan ke depan mengarah muka. Dungkil tidak
mundur. Hanya badannya saja bergeser miring ke kiri.
Sebelah tangannya yang kekar menahan tendangan
itu. Dawuk maju dengan sodokan telapak tangan me-
nyerempet pinggang Tari Wening Asih.
"Kurang Ajar...!" Bentaknya sambil memutar
pedang pendek ke belakang. "Wesssss...! Beberapa
lembar rambut kasar Dawuk rontok terbabat pedang
itu. Saking cepat ia merunduk, Dawuk sampai terjatuh
duduk. Melihat itu Dungkil langsung menyerang lagi,
jangan sampai gadis itu menghajar Dawuk yang sudah
hilang keseimbangan tubuh. Gerakannya begitu cepat,
lengan-lengannya yang kekar menghantam berkali-kali
tendangan Tari Wening Asih. Walaupun pedangnya
berkelebat menyambar, Dungkil masih dapat menang-
kis bahkan sempat melancarkan sebuah pukulan ke
arah punggung gadis itu. Bersamaan dengan itu pula
pedang pendek menyambar cepat. Keduanya bergulin-
gan. Tari Wening Asih masih merasakan sakit pada
punggungnya. Dungkil berusaha bangkit. Tubuhnya
kaku.... Sepuluh jari tangannya meregang. Dari teng-
gorokannya mengalir cairan merah kental yang mulai
membanjiri dadanya. Sesat kemudian Dungkil ambruk
ke depan mencium tanah dengan nafas terputus.
"Sekarang giliranmu. Ayo bangkit...! Dan per-
cuma mengemis meminta ampun...." kata Tari Wening
Asih menatap jalan ke arah Dawuk. Ia menoleh ke
arah Dungkil yang telah menjadi mayat. Darah merah
masih terus keluar dari tenggorokkannya.
"Baik baik! Aku satu-satunya Singa Kali Progo
yang masih hidup akan mempertahankan nama besar
itu...." Dawuk bangkit perlahan. Tapi sebelum ia berdi-
ri tendangan keras menghantam tulang lehernya.
"Duee-esssss!" Tubuh Dawuk terguling. Kedua
tangannya memegangi tenggorokkannya dengan mata
mendelik menahan sakit. Lalu sebuah tendangan lagi
membuatnya jatuh terlentang terbanting demikian ke-
ras.
“Untuk manusia macam kau tidak perlu diberi
hati. Dengan cara apa pun kau memang lebih baik ma-
ti...." kata Tari Wening Asih sinis. Dawuk tidak ban-
gun-bangun lagi. Gadis itu melangkah pergi mening-
galkan kedua mayat itu. Tapi....
"Hreaaaaaaaaa...!" Sebuah teriakan menerjang
dari arah belakang. Cepat Tari Wening Asih merunduk
sambil membabatkan pedang pendek ke belakang....
"Breeeeet.....! Arghhhhhhh!" Terdengar rintihan pan-
jang yang keluar dari mulut Dawuk. Ia terduduk me-
megangi perutnya yang tergenang oleh cairan kental
berwarna merah kehitaman. Luka di perutnya meman-
jang sekitar dua jengkal. Ia masih tetap terduduk den-
gan wajah tertunduk kaku. Gadis itu mendekatinya....
Telapak kakinya mendorong tubuh itu.... Perlahan tu-
buh yang terduduk itu menggelosoh ambruk.
"Heaaaaa...! Wuus! Wuus!" Angin pukulan te-
naga dalam bergulung-gulung menghantam ke arah Ki
Randaka. Wintara yang berada di situ tidak luput men-
jadi sasaran. Keduanya baik Wintara maupun Ki Ran-
daka melompat-lompat menghindar.
"Bledaa-arrrr! Bledaaaaar! Dua batang pohon
hancur terkena sasaran pukulan itu. Wintara berlari
ke depan menyerang Raden Sintoro Tinggil... Larinya
begitu cepat. Kedua kakinya hampir tidak menyentuh
tanah. Sehingga tubuh Wintara nampak seperti ter-
bang. Sebuah tinjunya siap melayang.....
Kembali tubuh Raden Sintoro Tinggil berputar
tegak lurus. Ketika hantaman Wintara dilancarkan,
Raden Sintoro Tinggil menyambut dengan pukulan Te-
lapak Tangan Hitam... Hingga tinju itu beradu dengan
telapak tangan yang membara....
"Deesss!" Jari-jari tangan Wintara serasa
menghantam besi panas.... Ki Randaka mengeluarkan
jurus 'Sayap Menghempas Karang.' Begitu lengannya
mengibas tubuh Raden Sintoro Tinggil terdorong bebe-
rapa langkah. Terkejut sekali ia merasakan hawa pu-
kulan itu. Tapi mana mau Raden Sintoro Tinggil ber-
diam diri. Ia pun membalas serangan tadi.... Belum
sempat ia menyerang Wintara sudah memotong gera-
kan itu.
"Anak muda siapa sebenarnya kau...." teriak Ki
Randaka. Bersamaan dengan itu Wintara berhasil
mengenai muka Raden Sintoro Tinggil dengan sebuah
jotosan. Pukulan Telapak Tangan Hitam bergerak maju
ke dada Wintara. Cepat ia menangkis dengan kedua
tangannya yang dikibaskan menyilang. Lalu lengan ki-
rinya memutar menghantam perut Raden Sintoro Ting-
gil. Melihat anak muda itu begitu bersemangat menye-
rang Raden Sintoro Tinggil, Ki Rantaka melompat
membantu dengan melancarkan cakaran-cakaran... Di
serang dengan jarak dekat Raden Sintoro Tinggi mera-
sa kewalahan... Ia bergerak menghindar menjauh. Tapi
dengan gerakan yang sangat ringan Wintara melesat
mengikutinya.... Begitu juga dengan. Ki Randaka.... Ia
tidak kalah gesit melesat dengan kedua tangan meren-
tang bagai sayap-sayap elang.
Tari Wening Asih yang sudah berada di situ
langsung mencari posisi. Tendangannya berkelebat di
hadapan Raden Sintoro Tinggil. Langkahnya terhalang
oleh tendangan itu. Lelaki gemuk membalasnya.... Ga-
dis itu cepat bergeser. "Deeerrr!" Pukulan Telapak Tan-
gan Hitam menghantam batang pohon sampai berbe-
kas sebuah telapak menghitam juga mengepul asap hi-
tam.
"Mati di tangan pembunuh Ayahku.... Aku tidak
penasaran!" teriak Tari Wening Asih. Pedang pendek-
nya menyambar.... "Wuuuss...!"
"Tari.... Awas...!" teriak Wintara.
Hampir saja Tari Wening Asih terkena pukulan
maut itu. Untunglah ia cepat melompat jauh.... Raden
Sintoro Tinggil berdiri menghadapi tiga orang lawan-
nya. Kedua tangannya nampak membara kembali. lalu
memutar perlahan siap menghantam. Wintara menarik
nafas. Matanya mengikuti gerak gerik putaran tangan
Raden Sintoro Tinggil. Sekali lelaki gemuk itu maju
menyerang, Wintara membarengi dengan menjatuhkan
diri sambil kakinya menyambar langkah-langkah Ra-
den Sintoro Tinggil. Lalu Ki Randaka menyambut ja-
tuhnya tubuh itu dengan sebuah tendangan. Sayang
lolos. Sewaktu Raden Sindoro Tinggil jatuh ia sudah
tahu apa yang bakal terjadi. Maka ia cepat melintir,
sehingga tendangan itu nyasar. Benar-benar hebat....
Dalam keadaan yang demikian pun Raden Sintoro
Tinggil sempat menendang Wintara...
"Deess!" Wintara terdorong ke belakang. Tari
Wening Asih yang sudah menemukan pembunuh
orang tuanya maju membabatkan pedang pendek.
Sungguh tidak disangka babatan pedang yang cepat
dapat ditangkap oleh Raden Sintoro Tinggil. Bahkan
sewaktu gadis itu menariknya, pedang itu masih terus
melekat dalam genggaman Raden Sintoro Tinggil. Tari
Wening Asih seperti tidak percaya melihat pedang pen-
deknya melekat dalam genggamannya. Rasa panas me-
rambat cepat, ia melepaskan gagang pedang itu. Tapi
gadis itu tidak gentar menghadapi ilmu yang cukup
mengherankan. Apapun yang terjadi ia harus mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya. Mati hidup
ia harus berhadapan dengannya. Ki Randaka berbalik
ngeri melihat serangan-serangan gadis itu. Dan hampir
tidak mengerti siapa sebenarnya jago-jago muda ini.
Keduanya begitu berani menghadapi Raden Sintoro
Tinggil. Tanpa pedang gadis itu berusaha melancarkan
serangan. Ki Randaka melihat keteledoran yang mem-
bawa maut. Gerakannya yang cepat laksana burung
Elang menyambar tubuh gemuk itu.....
"Deeess!" Hantaman yang tidak seberapa keras,
namun cukup menyelamatkan gadis itu dari pukulan
Telapak Tangan Hitam. Tari Wening Asih senyum ke
arah Ki Randaka. Ki Randaka sendiri tidak mengerti
apa arti senyuman itu.
Raden Sintoro Tinggil menatap geram ketiga
orang lawannya.... Tiba-tiba saja mereka tersentak oleh
sebuah teriakan.. "Hhre-aaaa...!" Teriakan itu berasal
dari dalam sebuah gubuk... "Brak...! Kraaaak...!" Seso-
sok tubuh melesat ke atas menembus keluar dari atap
jerami yang telah lapuk. Sesosok tubuh tegap beram-
but gondrong dengan tubuh berlumuran darah serta
merta ia hinggap menginjak tanah tanpa bersuara.
"Mana pusaka itu...! Mana....! Serahkan pada-
ku...!" Pemuda gondrong itu terus berlari menjurus
melancarkan pukulan dahsyat. Raden Sintoro Tinggil
seakan tidak percaya melihat pemuda gondrong itu
masih tetap hidup. Keterpanaannya itu membuat pu-
kulan-pukulan pemuda gondrong itu bersarang di da-
danya berkali-kali. Namun tidak sedikit pun tubuh
Raden Sintoro Tinggil bergeser. Malah kedua telapak
tangannya menghantam keras ke dada pemuda be-
rambut gondrong itu membuatnya pula terlempar jauh
dengan dada mengepul asap hitam. Pemuda itu berke-
lojotan... Dan berusaha bangkit meskipun di dadanya
telah tertera bekas hantaman tadi.... Telapak Tangan
Hitam yang masih mengeluarkan asap hitam. Pemuda
itu mengerang. Tapi ia masih sanggup berdiri menge-
luarkan jurus-jurus yang sukar dimengerti. Wintara
maupun Tari Wening Asih berjaga-jaga. Apalagi Ki
Randaka.... Pemuda berambut gondrong itu melesat
menerjang Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil
bermaksud menghabiskan nyawa pemuda itu sekalian.
Tapi Ki Randaka menghalangi dengan cakaran-cakaran
Elang. Pemuda gondrong itu gagal melancarkan seran-
gan. Begitu pula Raden Sintoro Tinggil ia gagal melu-
matkan pemuda itu. Tentu saja pemuda itu tidak akan
merasa senang mendapat perlakuan seperti itu. Meski
pun dalam keadaan terluka parah, pemuda berambut
gondrong masih sempat melompat ke arah Raden Sin-
toro Tinggil.... Melancarkan serangan-serangan. Tapi
dalam keadaan lemah seperti itu bagaimana bisa ia
menyentuh tubuh Raden Sintoro Tinggil. Malah men-
guntungkan bagi Raden Sintoro Tinggil. Sekali ia ber-
gerak....
"Deee-esss!" Jurus Telapak Tangan Hitam
menghantam dada pemuda itu. Tidak pelak lagi pemu-
da berambut gondrong itu terlempar jauh dengan na-
fasnya yang terhenti. Raden Sintoro Tinggil menoleh
pada Wintara. Pandangannya begitu menyeramkan.
Sebelum Raden Sintoro Tinggil mengerahkan serangan,
Ki Randaka maju dengan mengeluarkan jurus 'Elang
Terbang Mencari Mangsa.' Raden Sintoro yang ber-
maksud melancarkan serangan dengan mengandalkan
pukulan Telapak Tangan Hitam terhalang. Karena
cengkeraman Ki Randaka berhasil menangkap perge-
langan tangan Raden Sintoro Tinggil. Tapi yang berha-
sil dicengkeramnya hanya sebelah lengan. Lengan yang
lainnya menghantam tubuh Ki Randaka.... Ki Randaka
terguling mendapat hantaman yang begitu dahsyat.
Dadanya mengepul asap hitam. Darah hitam keluar
dari mulutnya.
*
* *
SEPULUH
Sambil menahan nafas Ki Randaka bangkit. Ta-
ri Wening Asih memapah Ki Randaka. Wintara berjaga-
jaga... Matanya terus mengawasi gerak gerik Raden
Sintoro Tinggil yang bersiap-siap melancarkan pukulan
Telapak Tangan Hitam ke arah mereka...
"Ting...! Ting...! Ting...!" Lonceng kecil ber-
denting-denting di pergelangan tangan Wintara. Lon-
ceng kecil itu pula yang mematahkan pekikan dahsyat
Raden Sintoro Tinggil.
Sesaat Raden Sintoro Tinggil mendorong kedua
telapak tangannya yang membara. Wintara bergeser
sambil tangannya menjurus menghantam kedua len-
gan Raden Sintoro Tinggil. "Plak!" Tubuh lelaki gemuk
itu bergoyang. Wintara memberinya lagi sebuah ten-
dangan memutar. Cepat Raden Sintoro Tinggil melom-
pat membalas tendangan itu dengan tendangan yang
tidak kalah kerasnya. Lalu telapak tangannya me-
nyambar ke bawah. Sebelum pukulan Telapak Tangan
Hitam mengenai tubuhnya, Wintara bergulingan.
"Deeeerrrr!" Hantaman itu mengenai tanah. Te-
lapak tangan itu melesak ke dalam tanah sekitar lima
senti meter. Raden Sintoro Tinggil mencecar terus tu-
buh Wintara yang bergulingan menghindari serangan-
serangan itu. Tidak ada kesempatan bagi Wintara un-
tuk bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, sosok
tubuh ramping melesat dengan sebuah tendangan
yang tepat menghantam pinggang Raden Sintoro Ting-
gil...
"Beeeegg!" Lalu tubuh ramping itu berputar di
udara membentuk bulatan biru. Menukik lagi dengan
sebuah jotosan. "Plak!" Raden Sintoro Tinggil menam-
par hantaman itu. "Des! Tubuh ramping yang tak lain
adalah Tari Wening Asih mencelat membentur tiang
gubuk. Dengan terjangan yang cepat Raden Sintoro
Tinggil menyerang Tari Wening Asih. Wintara tersen-
tak. Sudah pasti gadis itu tidak bisa menghindari han-
taman yang akan dilancarkan oleh Raden Sintoro
Tinggil. Maka cepat Wintara menarik dua lonceng kecil
dari pergelangan tangannya. Melempar secepat kilat
bagai senjata rahasia.... Sedetik saja terlambat nyawa
Tari Wening Asih melayang...."Creep! Crep! Dua lon-
ceng kecil menancap tepat di kedua bola mata Raden
Sintoro.... "Wuaaarrk...!" Raden Sintoro Tinggil menge-
rang hebat. Dari kedua rongga matanya mengalir cai-
ran yang menjijikkan. Cairan itu menetes di tubuh Tari
Wening Asih yang terlentang di bawahnya. Raden Sin-
toro Tinggil berdiri mengangkangi sambil menjerit-jerit.
Dalam keadaan seperti itu Tari Wening Asih menen-
dang dengan sekuat tenaga.
"Duessssss!" Kontan tubuh gemuk itu mental
ke belakang beberapa meter. Wintara datang mengha-
jar dengan dua pukulan karate di tulang leher Raden
Sintoro Tinggil... Tari Wening Asih tidak memberi am-
pun. Dendamnya yang selama ini terpendam ia lam-
piaskan sekarang juga. Ia melompat berjumpalitan di
udara lalu kedua kakinya menginjak dengan keras di
dada lelaki yang sudah sekarat itu. Tidak sedikit darah
yang menyembur. Dan tubuh itu mengejang kaku den-
gan mata melotot, Wintara menarik nafas panjang. Tari
Wening Asih menoleh ke arahnya. Ki Randaka mena-
tap kagum, pikirannya masih bertanya-tanya.... Siapa-
kah mereka ini....
"Ugh!" Ki Randaka terbatuk. Pukulan Telapak
Tangan Hitam membekas di dadanya. Susah sekali ia
berusaha bangkit.
Wintara berjalan mendekati tubuh Bahruna
dan Wikalpa yang saling tindih. Ia menatap tubuh ke-
dua murid dari perguruan Elang Perak. Lalu ia meno-
tok kembali. Perlahan keduanya mulai siuman sekali-
pun pandangan mereka masih nampak kabur.... Sa-
mar-samar ia melihat seorang pemuda berpakaian kulit binatang berjalan menjauh. Hanya bagian belakang
saja yang mereka lihat.... Tari Wening Asih masih ber-
diri di samping mayat Raden Sintoro Tinggil. Meman-
dang penuh kebencian pada wajah lelaki gemuk yang
melotot tak berkutik. Setelah Wintara mendekatinya
barulah ia mundur selangkah.... Wintara merogoh ke
balik baju Raden Sintoro Tinggil. Dikeluarkannya sua-
tu benda berupa kalung hitam berliontin kepala bu-
rung Elang sebesar telapak tangan. Benda kekuning-
kuningan itu diberikan pada gadis yang masih berdiri
di situ. Ki Randaka memandang tegang. Benda itu di-
perhatikan oleh Tari Wening Asih. Lalu matanya tertu-
ju pada Ki Randaka, sebentar kemudian ia melangkah
mendekati.... Ki Randaka yang merasa didatangi gadis
itu segera bersiap-siap mengeluarkan jurus-jurus
Elang ... Gadis itu malah tersenyum....
"Maafkan aku, Ki.... Aku telah berlaku kurang
ajar." Sambil menyerahkan benda itu, Tari Wening
Asih berlutut menyembah Ki Randaka. Ki Randaka jadi
tak mengerti.
"Tidak seharusnya aku menuduh Ki Randaka
memiliki pukulan Telapak Tangan Hitam.... Sungguh
di luar dugaan semua prasangka buruk yang selama
ini mendekam di jantungku, cuma pikiran yang terlalu
ceroboh.... Tidak semestinya aku menuduh Ki Randa-
ka...." kata gadis itu lagi.
"Menuduhku...?" Ki Randaka makin heran.
"Ya.... Karena aku putri tunggal Lungo Paksi...!"
"Astaga.... Sudah sebesar inikah putri tunggal
Lungo Paksi?"
Ki Randaka hampir tidak percaya. Tari Wening
Asih mengangkat wajahnya, terlihat wajah yang begitu
cantik mempesona.
"Wajar saja kalau putri seorang pendekar menuntut kematian Ayahnya.... Aku tidak salahkan eng-
kau...." kata Ki Randaka sabar. "Tapi sekarang sudah
cukup jelas bukan... Yaaaah. Kematian Ayahmu me-
mang sangat disesalkan." kata Ki Randaka lagi. Lalu ia
mulai menuturkan sebuah cerita...
"Tiga tahun yang lalu saat kami mengadakan
pertemuan di Gerongsewu, kami telah kehilangan satu
peserta yang tidak lain adalah Lungo Paksi, Ayahmu....
Meskipun kurang satu orang pertemuan terus dilang-
sungkan.....Meskipun terasa ada kekurangan atau rasa
tidak enak.... Sepulang dari Gerongsewu, kami mene-
mukan jasad Lungo Paksi dalam keadaan tak bernya-
wa, di dadanya membekas pukulan Telapak Tangan
Hitam. Semula kami saling curiga terhadap sesama
teman. Tapi ternyata tidak satu pun di antara kami
yang memiliki pukulan dahsyat seperti itu. Kami coba
menghimpun untuk memecahkan ilmu itu dan beru-
saha menyelidiki siapa pelakunya. Dan ternyata...." Ki
Randaka tidak meneruskan kata-kata-nya, pandan-
gannya keluar mengarah pada sosok tubuh gemuk
yang tergeletak bergelimang darah. Lalu lengannya
yang menggenggam pusaka Elang menunjuk....
"Dia adalah kakak kandung Lungo Paksi...." ka-
tanya. Gadis itu tersentak kaget. Pandangannya cepat
menoleh ke arah tubuh Raden Sintoro Tinggil.
"Apakah semasa hidup Ayahmu tidak pernah
menceritakan tentang kakak kandungnya di Banta-
ran...?" tanya Ki Randaka. Gadis itu menggeleng. Lalu
ia bangkit.
"Kenapa mesti disesalkan? Orang semacam itu
memang tidak pantas dibiarkan hidup...! Siapapun dia
tanpa kecuali harus di musnahkan dari muka bumi.
Apa jadinya bila ia tetap hidup....!" Tiba-tiba saja gadis
itu berkata penuh semangat. Lalu Tari Wening Asih
membantu Ki Randaka bangkit. Bahruna dan Wikalpa
nampak telah pulih kembali. Mereka nampak geram
ketika melihat Wintara masih berdiri di situ. Maka
dengan serempak mereka menyerang.... Wintara tidak
mau membuang-buang tenaga lagi. Ia cepat melesat
menjauh meninggalkan mereka. Tahu-tahu tubuhnya
telah duduk di atas cabang sebuah pohon...
"Keparat... Turun kau.... Mari kita teruskan lagi
pertarungan kita...!" bentak Wikalpa. Tari Wening Asih
yang memapah Ki Randaka tersenyum geli.
"Siapakah pemuda itu, Nona.... Pasanganmu-
kah...?" tanya Ki Randaka.
"Bu-bukan... Dia hanya seorang pengelana. Ka-
lau tidak ada dia, mungkin kita semua tewas di tangan
Raden Sintoro Tinggil." jelas Tari Wening Asih. Bahru-
na menggantikan gadis itu memapah Ki Randaka.
"Seorang pengelana....? Aku pernah mendengar
nama besar seorang pemuda yang berjuluk Pengelana
Sakti. Benarkah dia orangnya...?" Ki Randaka berpikir.
Bahruna mendengar ucapan gurunya. Cukup kaget ju-
ga ia mendengar julukan itu. Kalau benar pemuda itu
si Pendekar Kelana Sakti.... Betapa malunya Bahruna.
Wikalpa masih memaki-maki pemuda yang duduk di
atas cabang sebuah pohon. Wintara cuma nyengir, lalu
tubuhnya melesat lagi pergi menjauh dari tempat itu.
Hanya Ki Randaka dan Tari Wening Asih yang tahu ke
mana perginya pemuda itu.
Wintara berjalan menyusuri jalanan berbatu,
pikirannya telah jernih.... Itu karena pusaka Elang su-
dah tidak berada di tangannya. Langkahnya pun sea-
kan bebas. Tidak ada lagi orang-orang dari rimba per-
silatan yang datang menghadang dengan alasan men-
cari benda pusaka. Tidak akan ada lagi.
Tubuh Wintara nampak kecil dari kejauhan
menyusuri daerah perbukitan yang menghijau. Berge-
rak sedikit demi sedikit menjauh semakin menghi-
lang.... Di belakangnya menyusul sosok tubuh kecil.
Dari kejauhan berwarna biru seperti langit di atas sa-
na. Sosok biru itu mengikuti ke mana Wintara melang-
kah....
T A M A T
0 komentar:
Posting Komentar