BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 14 Desember 2024

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE TANGAN HITAM ELANG PERAK


PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE TANGAN HITAM ELANG PERAK

 Cerita ini adalah fiktif. 

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-

laka

TANGAN HITAM

ELANG PERAK

Oleh Buce L. Hadi

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

dalam bentuk apapun

tanpa ijin tertulis dari penerbit

Hak Cipta ada pada Penerbit Dilarang mengutip atau 

mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin 

tertulis dari penerbit.

Buce L. Hadi

Serial Pendekar Kelana Sakti

dalam episode: Tangan Hitam Elang Perak


SATU


Arus kali Progo begitu deras membawa sebuah 

perahu yang cukup besar dan bagus. Sekeliling perahu 

itu dihiasi dengan ukiran-ukiran yang membentuk se-

perti hiasan-hiasan kerajaan. Pada kepala perahunya 

tergambar sebuah kepala burung Elang. Dengan layar 

berkembang dihembus angin, perahu itu semakin me-

laju menyusuri sepanjang kali. Salah seorang penum-

pangnya mengatur haluan. Kedua matanya tidak ber-

henti mengawasi sisi-sisi kali yang mereka lewati. Dari 

dalam sebuah ruangan yang ter-dapat pada perahu 

tersebut, ke luar seorang perempuan berumur tiga pu-

luhan. Seekor anjing berbulu hitam mengikuti lang-

kahnya.

"Kanda Adinaya..... Sudah sampai di manakah 

kita?" kata perempuan itu.

"Masih jauh, istriku... masih jauh sekali..." ja-

wab orang yang berdiri mengatur haluan. Perempuan 

itu mendekatinya.

"Aku ingin secepatnya sampai di desa Gerong-

sewu sebelum hari gelap. Udara di sini dingin sekali.... 

Kanda sendiri sudah merasakannya, bukan...?"

"Ya... ya.... Memang dingin di sini, tapi selain di 

perahu ini kita harus tidur di mana? Pakailah seli-

mutku biar kau bisa tidur nyenyak...."

Perempuan itu masuk lagi ke dalam, anjing 

berbulu hitam terus mengikutinya.

"Istriku... Apakah si Gerong sudah kau beri 

makan?" tanya suaminya dari luar. Gerong yang di-

maksud adalah anjing peliharaannya.

"Kau yang lupa makan, Kanda...!" sahut is-

trinya dari dalam. Senja merambat pelan, angin makin


kencang berhembus. Suara dedaunan dari pohon-

pohon yang lebat di kedua sisi kali itu bergemeresek. 

Suara binatang malam pun mulai terdengar. Sebentar-

sebentar lelaki itu mengusap-usap lengannya yang 

nampak menggigil. Keadaan menjadi sunyi. Hanya su-

ara derit haluan yang bergerak ke kanan dan ke kiri 

mengiringi perjalanan itu. Mendadak.....

"Hoooooooi...! Orang-orang Elang Perak..... Ke-

napa harus terburu-buru...!" teriakan nyaring meng-

gema dari sebelah kanan pinggir kali.

"Apa kalian tidak takut melintasi kali progo di 

tengah malam buta begini...?" terdengar lagi teriakan 

dari sebelah kiri. Sudah tentu orang yang memegang 

haluan itu celingukan. Tanpa rasa takut ia menjawab.

"Ki Sanak.... Kalau kita satu perjalanan, Ki Sa-

nak boleh menumpang di perahuku ini...."

"Tidak disangka orang-orang Elang Perak ber-

budi luhur.... Sejak tadi kami memang sudah mengun-

tit kalian dan bermaksud singgah di perahu kalian...."

Mendengar suara-suara teriak, perempuan 

yang sudah pulas tertidur bangun lagi. Dari dalam ia 

langsung bertanya....

"Kanda.... bicara dengan siapa?"

Gerong menggonggong. Adinaya, suaminya ti-

dak menjawab pertanyaan sang istri. Malah ia melan-

jutkan percakapan dengan orang-orang yang bersem-

bunyi di balik pepohonan.

"Aku tahu Ki Sanak adalah orang-orang yang 

berilmu tinggi, kalau hanya ingin menumpang, silah-

kan datang ke sini.... Mengapa harus malu-malu?" ka-

ta Adinaya tegas. Tiba-tiba saja dedaunan yang lebat 

itu berguncang-guncang. Kemudian dari atas pepoho-

nan yang cukup tinggi, muncul beberapa sosok bayan-

gan berputar di udara. Lalu dengan mantap hinggap di


atas perahu tersebut. Dari sebelah pinggir kanan dua 

orang, dari kiri dua orang. Keempat orang itu ber-

pakaian sama. Mereka nampak seperti prajurit-prajurit 

kerajaan. Hanya perawakan mereka saja yang berbeda. 

Hal itu dapat dilihat karena mereka tanpa mengenakan 

baju. Rambut mereka disanggul ke atas, dan wajah 

mereka hampir ditutupi dengan berewok yang menye-

ramkan. Meskipun Adinaya dan istrinya sudah melihat 

kedatangan tamu-tamunya ini, mereka bersikap te-

nang-tenag saja.

"Ah.... kami kira siapa Ki Sanak-Ki Sanak ini.... 

Rupanya gerombolan begal Singa Kali Progo...." Ternya-

ta Adinaya sudah mengenal mereka sebelumnya....

"Guk... Guk.... Guk...." Gerong menggonggong 

lagi. Nampaknya binatang itu tidak menyukai kehadi-

ran tamu tak diundang.

"Nama besar Singa Kali Progo tidak berarti apa-

apa dibanding orang-orang Elang Perak.... he... he.... 

he lagi pula.... Maksud kedatangan kami bukan hanya 

untuk menumpang, saudara Adinaya.... juga untuk.... 

he... he... he...."

"Untuk apa, saudara Singa Kali Progo?" tanya 

Adinaya ingin tahu. Sang istri sudah tahu gelagat, ma-

ka diam-diam ia mengencangkan ikat pinggangnya.

"Kalau bukan karena benda pusaka, mana be-

rani orang-orang Singa Kali Progo mengusik murid-

murid Elang Perak? He.... he... he...."

"Mana ada benda pusaka di sini! Bilang saja ka-

lau kalian mau merampok!.... Jangan banyak basa ba-

si saudara Singa Kali Progo! Kami sudah tahu segala 

tindak tanduk kalian... huh!!" Isteri Adinaya geram.

"Aahhh.....Tidak perlu bertengkar, Nyonya.... 

Kami akan segera pergi kalau sudah mendapatkan 

benda pusaka itu...." kata salah seorang kelompok


Singa Kali Progo.

"Sudah kukatakan benda pusaka itu tidak ada 

pada kami. Sebaiknya kalian menyingkir...!" bentak pe-

rempuan itu.

"Guk...! Guk...! ukk....!" anjing itu menyalak-

nyalak keras.

"Ratih....! Bicaralah yang sopan.... Bagaimana-

pun juga kita harus menghormati mereka...." Adinaya 

menengahi.

"Benar kata suami Nyonya.... percuma saja

mengusir kami! Kami tidak akan menyingkir dari sini... 

Serahkan dulu pusaka......!"

"Setan Alas.... Heaaaaaaa...!" Ratih main me-

nyerang melancarkan sebuah pukulan ke wajah orang 

yang berbicara tadi. Kalau saja orang itu tidak segera 

mundur, mungkin ia sudah terjungkal. Tendangannya 

memutar namun masih dapat dia tangkis. Seorang dari 

kelompok begal itu datang membantu. Kini Ratih ha-

rus menghadapi dua orang. Tentu saja Adinaya tidak 

tinggal diam melihat pengeroyokan itu. Ia melompat 

memotong serangan kelompok begal yang menyerang 

istrinya. Namun ia pun diikuti oleh anggota kelompok 

Singa Kali Progo.

"Saudara Adinaya.... Biarkan saja istri mu ber-

main-main dengan kedua saudara ku... he... he... he.... 

Kalau kau mau ikut campur, terpaksa kami berdua 

akan menghadapimu...."

"Keparat....! Orang-orang Singa Kali Progo me-

mang musti diberantas! Heaaaaaaa....!" Adinaya meng-

hadapi dua orang. Rentangan tangannya membuat ke-

dua orang bertampang menyeramkan itu jadi gelaga-

pan. Dan teriakan-teriakan terdengar berbarengan 

dengan setiap gerakan mereka.... 

"Splaaaaak....!" Sabetan tangan mereka saling


beradu.... 

"Desssss...!" Tendangan Adinaya berhasil ma-

suk di lambung salah satu penyerangnya. Mendapat 

tendangan yang sangat keras orang itu hanya terdo-

rong beberapa langkah ke belakang. Sungguh luar bi-

asa.... Kalau saja kelompok itu tidak memiliki ilmu si-

lat yang tinggi, tentunya pasangan suami istri yang ko-

sen dari perguruan Elang Perak sudah melempar jatuh 

keempat anggota begal Singa Kali Progo itu...

Perkelahian hebat tak terelakkan lagi. Selain 

suara-suara teriakan mereka maupun suara bera-

dunya pukulan.... Suara gonggongan Gerong ikut me-

ramaikan suasana di atas perahu yang melaju terus 

mengikuti arus kali. Ranti cepat menepis di saat pe-

nyerangnya melancarkan tinjunya, lalu dengan telapak 

tangannya yang setengah memutar Ranti dapat me-

nangkap lengan kiri itu. Kemudian lengan kiri Ranti 

langsung menghajar tenggorokan manusia berewok 

menyeramkan sampai berteriak kesakitan. Dua seran-

gan lagi datang. Kali ini dari arah yang berlainan.

"Hraaaaa....! Heaaaaaat....!" Ranti melompat 

menghindar. Tapi begitu ia turun, sebuah hantaman 

mengenai bagian belakang. 

"Arggggg...! Ranti memekik kesakitan. Tubuh

Ranti berputar berusaha membalas sepakan itu...

"Hiaaaa....! Plaaak....!" Serangan yang begitu 

dahsyatpun masih juga dapat dihindari oleh anggota 

begal Singa Kali Progo.

Adinaya betul-betul khawatir terhadap istrinya. 

Ingin sebenarnya ia membantu. Tapi lawan-lawan yang 

ia hadapi semakin gencar melancarkan jurus-jurus 

maut yang mematikan, Adinaya sendiri hampir kewa-

lahan menghadapinya. Gerong masih terus menggong-

gong. Manakala kedua tuannya sibuk bertempur.


Kalau hanya berkelit, Adinaya maupun Ratih 

masih dapat mengelakan serangan-serangan yang di-

lancarkan oleh gerombolan Singa Kali Progo yang terdi-

ri dari empat orang itu. Tapi lantaran para penyerang-

nya memiliki kemampuan yang hampir setaraf, pasan-

gan suami istri itu harus kerja keras mengatasinya.

Gerong melompat menubruk, serta menggigit 

salah seorang yang menyerang Ratih. 

"WUAA....!!" Orang itu menjerit kalap. Lengan-

nya yang kekar reflek mencengkram leher Gerong.

"Kaiii-ing....! Praaaaak...!" kakinya mengin-

jak hancur kepala Gerong. Sesaat Gerong kelojotan, 

kemudian diam tak berkutik. 

"Gerooooong...." Ratih memekik. 

"Batok kepala kalian akan sama hancurnya se-

perti anjing ini. Tapi gerombolan Singa Kali Progo ma-

sih bisa berbaik hati.... itu pun kalau kalian mau me-

nyerahkan pusaka itu...." kata orang berewok itu den-

gan menyeringai.

"Sungguh besar nyali kalian berani berkata be-

gitu terhadap orang-orang Elang Perak. Betul-betul ti-

dak tahu aturan. Itu berarti kalian telah menggali lo-

bang untuk kuburan kalian sendiri. Majulah. Telah 

terlanjur kita bentrok, mengapa tidak kita teruskan 

sampai titik darah penghabisan." kata Adinaya mena-

han amarah. 

Istrinya, Ratih sudah bersiap-siap dengan ju-

rus-jurus andalannya. Begitu pula dengan gerombolan 

Singa Kali Progo. Mereka tidak kalah sigapnya menge-

luarkan jurus-jurus yang ampuh. Keempat berewok itu 

berjumpalitan mengelilingi pasangan suami istri dari 

perguruan Elang Perak. Diselingi dengan beberapa pu-

kulan yang datang secara mendadak ke arah Adinaya 

maupun Ratih.


Adinaya memutar lengannya lalu ia hentakkan 

ke muka. 

“Jebereeet....!" Pukulan itu beradu. Lengannya 

terasa berdenyut. Matanya yang selalu awas dapat me-

lirik serangan yang datang dari belakang. Secepatnya 

ia merunduk sambil mendorong kakinya, 

"Wessssss...!" Serangan itu meleset. Gerombo-

lan Singa Kali Progo memang bukan lawan yang sem-

barangan. Kalau serangan tadi lolos, maka menyusul 

lagi serangan baru. Selalu saja begitu.

Ratih mulai terdesak. Dua orang lawannya me-

nyerang secara bertubi-tubi. Bergerak dan atas dan 

bawah. Ratih betul-betul tidak dapat membalas seran-

gan itu. Dapat menangkis atau menghindarinya saja 

sudah bagus. Ia hanya mundur-mundur sambil men-

gibas-ngibaskan kedua tangannya. "Plaak! Plak!" Joto-

san itu dapat ditepis oleh Ratih. Tapi,

"Dess...!" Ratih tidak dapat menghindari ten-

dangan itu.... Keras sekali tubuhnya terbanting. Teria-

kan amarah Adinaya menggelegar.... "Hreaaaaaa....!" 

Tinjunya menerobos mengenai tubuh salah satu la-

wannya yang berbadan besar. Lalu kakinya dengan ce-

pat menendang. "Plak! Hiaaaat...! Plaaaaaaak...!" Ten-

dangan beruntun itu masih dapat ditangkis.

"Ternyata kepandaian murid-murid per-guruan 

Elang Perak hanya sebegini-begini saja. Mana? Apa 

masih ada jurus-jurus yang lain?" kata salah seorang 

lawannya mengejek. Mendengar perkataan yang begitu 

nyelekit, Adinaya menjadi gusar bukan kepalang. Tan-

gannya terkembang ke atas, mengepak-ngepak bagai 

sepasang sayap. Lalu jari-jari tangannya bergerak ka-

ku membentuk cakar Elang. Cakaran-cakaran itu ber-

kelebat ke sana ke mari. "Wus! Wus! Wus...!" Mendapat 

serangan yang begitu, orang-orang Singa Kali Progo


menjatuhkan diri menyusup maju menghadapi caka-

ran-cakaran itu. Salah seorang dari mereka melompat. 

"Bret... Bret... Bret!" Tubuh yang telanjang dada itu 

tergores oleh cakaran-cakaran Adinaya. Jelas luka-

luka itu mengeluarkan darah. Tapi ia malah maju se-

makin dekat. "Bret... Bret!" Kembali cakar Adinaya me-

lukai dadanya. Di luar dugaan orang itu langsung me-

nubruk membekuk Adinaya. Tenaganya dikerahkan 

agar Adinaya tak da-pat lepas. Adinaya meronta-ronta. 

Dalam keadaan seperti itu orang-orang Singa Kali Pro-

go dengan mudah dapat melancarkan serangan. 

"Dueeesss....!" Sebuah jotosan menghantam keras di 

kepala Adinaya. "Bug! Desss!!" Tendangan dan puku-

lan tak dapat

dihindarinya.

"Kanda...!" Ratih memekik melihat suami nya 

keteter. Bagaimanapun juga Ratih tidak dapat mem-

bantu suaminya. Karena ia sendiri terlalu sibuk men-

gurusi lawan-lawannya. Rasa khawatir selalu ada da-

lam pikiran Ratih. Makanya dalam setiap gerakannya 

menjadi lamban, mungkin dikarenakan pikirannya 

yang bercabang dua. Sampai-sampai serangan yang 

begitu cepat tak bisa dihindarinya lagi. "Buuug!" Dua 

jotosan sekaligus menghantam dada Ratih. Kontan na-

fasnya menjadi sesak. Pandangannya nanar. Sebelah 

tangannya memegangi dada-nya yang terasa sakit. 

Tanpa terasa darah keluar dari mulutnya. "Ohkkk...!" 

Orang-orang berewok itu tertawa menyeringai. Tahu-

tahu satu pukulan lagi melayang ke perut Ratih.. Tu-

buh ramping itu terpental membentur tiang layar.

Sekali hentak, Adinaya berhasil melepaskan diri 

dari bekukan lawannya. Meski-

pun tubuhnya sudah hancur memar, tenaga-

nya yang masih tersisa mengokohkan diri-nya berdiri


tegak setegar batu karang. Ke-empat manusia menye-

ramkan yang berdiri di depannya hanya memandang.

"Kau lihat di sana itu, saudara Adinaya.... Is-

trimu yang cerewet sudah kubikin mampus dengan tu-

lang rusuk yang remuk...! Apakah kau juga masih ke-

ras kepala...? Serahkan saja pusaka itu kepada ka-

mi...!"

"Keparaaaaattttt!" Bunuh saja aku sekalian! 

Mati hidu pun tak akan kuserahkan pusaka itu.... Ma-

nusia-manusia busuk...!" Adinaya tetap berdiri tegar.

"Membunuh seorang yang hampir mampus apa

susahnya...! Jelas-jelas pusaka itu ada di sini, dan kau 

sendiri hampir mampus... mengapa masih dipertahan-

kan juga...." kata orang yang berdiri paling depan. Lalu 

ia mengangkat tangannya memberi aba-aba. Tentu sa-

ja aba-aba itu dapat di-mengerti oleh ketiga orang 

lainnya. Maka secepat kilat ketiga manusia yang men-

juluki kelompoknya Singa Kali Progo memberi hanta-

man berbareng. "Desss...! Desss...! Desss!" Tubuh Adi-

naya ambruk tak berkutik.

"Geledah seluruh isi perahu ini. Cari pusaka itu 

sampai dapat...." perintah orang

yang memberi aba-aba tadi. Maka tanpa buang 

waktu ketiga orang berewok berpencar menyusup 

mencari sesuatu benda yang di anggap nya pusaka.

"Kalau perlu bongkar seluruh perahu mi ..." ka-

tanya lagi. Dan ia sendiri mendekati tubuh Adinaya. 

Seluruh pakaiannya digeledah. Tidak ada satu apapun 

di balik baju yang dikenakan Adinaya. Matanya melo-

tot marah. Lalu ia melirik ke arah Ratih. Tubuh pe-

rempuan itu pun tidak luput dari penggeledahan. Sa-

ma saja, ia tidak menemukan apa-apa. Sekalipun ia 

sudah menelanjangi m ay at perempuan itu. Tak lama 

ketiga prang berewok itu ke luar menemui pemimpin


nya.

"Kang Dawuk.... Di dalam perahu tidak |da 

apa-apa! Kami sudah membongkar seluruh muatan 

perahu ini, bahkan seluruh sudut sudah kami cari...."

"Apa kalian betul-betul mencarinya? Brengsek! 

Kita sudah dua kali tertipu oleh orang-orang Elang Pe-

rak! Kapan sebenarnya pengiriman pusaka itu ke Ge-

rongsewu? Kapan..,? Apa kita harus menunggu di sini 

terus?" Dawuk marah.

"Kalau begini terus, lama kelamaan bakal keta-

huan siapa yang selalu menjegal orang-orang Elang Pe-

rak. Kita-kita akan celaka." katanya lagi. Lalu ia me-

lompat meninggalkan perahu yang masih tetap me-

laju. Ketiga orang berewok itu mengikuti-nya. Sekali 

lompat ketiganya sudah berada di pinggiran kali. Ke-

mudian menyusup dalam semak-semak yang lebat 

mengikuti ke mana arah kepergian Dawuk, pemimpin-

nya.

*

**

DUA



Perahu yang dihiasi penuh dengan ukiran, me-

rambat pelan di pinggiran kali Progo. Layarnya masih 

tetap berkembang karena hembusan angin begitu ken-

cang bertiup. Namun laju perahu itu seperti tak ter-

kendali Kadang-kadang kepala perahu yang ber-

gambar kepala burung Elang membentur tanah pinggi-

ran kali tersebut.

Di bagian atas perahu nampak begitu beranta-

kan. Nampaknya seperti habis di obrak-abrik oleh seseorang. Tidak jauh dari tiang layar tergeletak pula 

bangkai seekor anjing hitam dengan kepala remuk. 

Dekat haluan terlentang tubuh seorang lelaki dengan 

nafas yang sebentar-sebentar terputus. Seluruh tubuh 

lelaki itu penuh luka memar memerah mulai mem-

bengkak. Orang itu merangkak menyeret tubuhnya 

mendekati mayat bugil di dekat tiang layar.

"Ratih.... Ratihhh..." Lelaki itu ambruk di atas 

mayat bugil istrinya. Tangisnya hampir tidak kedenga-

ran. Kemudian ia mengangkat wajahnya menatap ke 

arah bangkai anjing yang tergeletak tidak jauh dari si-

tu. Hanya dengan tiga kali rangkakan ia sudah menca-

pai bangkai anjing yang sudah kaku beku. Tangannya 

yang gemetar mengelus-elus leher binatang kesayan-

gannya. Ada sesuatu yang melingkar pada leher bina-

tang itu. Seutas tali hitam. Membentuk seuntai kalung. 

Bandulannya pun dibungkus dengan kain hitam. En-

tah apa yang terbungkus di dalamnya. Laki-laki itu 

menarik dengan sekali sentak. Maka kalung itu sudah 

berada dalam genggamannya.

"Aaaaaaah.... Untung saja benda ini tidak jatuh 

ke tangan mereka. Kalau tidak.... Bagaimana aku ha-

rus bertanggung jawab terhadap orang-orang Elang Pe-

rak.... Aaaa-ah...." katanya sambil berusaha bangun 

dengan berpegangan pada pinggiran perahu yang pe-

nuh ukiran. Hampir ia tidak dapat berdiri. Seluruh tu-

buhnya terasa remuk. Untuk berjalan selangkah saja 

ia harus menahan sakit yang tidak terkira.

"Paman.... Apa yang terjadi di perahu ini...?" 

Bagai disambar petir lelaki itu mendengar suara orang 

lain di atas perahunya. Seorang pemuda tanggung ta-

hu-tahu berada di hadapannya.

"Manusia busuk! Kau pun ingin pusaka ini, 

bukan? Jangan mimpi.... Sebaiknya cepat tinggalkan


perahu ini. Pergi! Pergiiiii...!"

"Paman... Aku...."

"Orang-orang golongan hitam terlalu banyak 

basa basi. Toh akhirnya akan terlihat juga maksud dan 

tujuannya. Untuk apa lagi kalau bukan karena barang 

pusaka...." Orang itu menyeruduk. Tangannya yang 

menggenggam kalung hitam maju memukul. Anak 

muda itu bergeser. Serangannya luput. Maka orang 

yang sudah sekarat itu ambruk tak bangun-bangun 

lagi. Anak muda ini pun semakin heran.

"Paman...! Paman...!" Diguncang-guncangkan 

tubuh yang terluka parah itu. Namun tidak bergeming 

sedikit pun. Adinaya betul-betul telah mati. Jemari 

tangannya erat menggenggam kalung hitam.

"Paman ini menyebut-nyebut barang pusaka... 

Dan mengira aku berdiri pada golongan hitam yang 

bermaksud merebutnya.... Pusaka.... Pusaka apa?" 

Anak muda mi makin heran. 

"Siapa sebenarnya mereka ini?" Pikirnya lagi. Ia 

memeriksa mayat Adinaya. Seluruh tubuhnya penuh 

luka memar mengerikan. Yang menjadi perhatiannya 

adalah seuntai kalung hitam yang tergenggam erat. 

Semula ia tidak memperdulikannya, mungkin karena 

bentuknya kurang menarik. Kalung itu hanya terbuat 

dari seutas tali hitam yang berpusat pada sesuatu 

yang terbungkus dengan kain hitam yang berwarna hi-

tam pula. Terdorong dengan perasaan ingin tahu, ak-

hirnya anak muda ini memberanikan diri mengambil 

kalung hitam dari genggaman mayat yang tak dikenal-

nya.

"Kalung jelek seperti inikah yang dimaksudkan 

benda pusaka? Aneh....! Benda apa pula yang terbung-

kus kain hitam ini? Dan apa yang dilihatnya setelah 

kain pembungkusnya terbuka.... Tidak ada kejutan


sama sekali! Hanya kepala Elang terbuat dari Perak 

sebesar telapak tangan. Ia pun jadi tersenyum...

"Serasi juga kepala Elang perak ini dengan tali 

hitam... Kalau aku mengenakannya pasti akan lebih 

cocok.... Lebih cocok disebut pengelana daripada sebe-

lumnya. Kupakai saja kalung ini. Pemiliknya pun su-

dah mati." 

Dia betul-betul mengenakan kalung itu di le-

hernya. Dan ia merasa puas sekali. Bagaimana tidak. 

Bajunya yang terbuat dari kulit binatang, kini dihiasi 

dengan kalung berliontin kepala Burung Elang. Apalagi 

liontin itu terbuat dari perak. Jarang sekali pengelana 

mengenakan barang yang berharga. Walaupun dalam 

bentuk perak maupun emas.

Setelah menatap kedua mayat dalam perahu 

itu. Ia melompat ke pinggiran kali. Gerakannya sukar 

diikuti pandangan mata. Tahu-tahu saja ia berada 

jauh dari perahu. Di lihat dari gerakannya, tentulah 

anak muda itu memiliki ilmu peringan tubuh yang 

sangat luar biasa.

***

Kematian Adinaya dan istrinya menjadi masa-

lah besar bagi kalangan perguruan Elang Perak. Selu-

ruh anggota perguruan yang merupakan pentolan ber-

kumpul dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Ki 

Randaka duduk paling menonjol di atas bantalan ber-

lapis sutra merah. Lainnya yang berjumlah kurang le-

bih empat belas orang duduk melingkar tanpa alas 

bantalan apa-apa..

"Soal kematian Adinaya dan Ratih memang me-

rupakan pukulan berat bagi kita.... Sekarang yang jadi 

masalah adalah pusaka Elang yang turut hilang ber


sama mereka....! Aku khawatir pusaka itu jatuh ke 

tangan orang-orang golongan hitam...." kata Ki Randa-

ka.

"Pastilah ini perbuatan kelompok Singa Kali 

Progo! Karena mereka penguasa sepanjang kali itu...!" 

kata orang yang duduk di sebelah kanannya.

"Ya, pasti...! Siapa lagi kalau bukan perbuatan 

mereka!" Yang lain ikut menimpali.

"Guru.... Sebaiknya kita cepat mencari gerom-

bolan pengacau itu. Kita ambil kembali pusaka 

Elang.... Kalau perlu kita habisi mereka...!"

"Kalian jangan berperasangka buruk dulu ter-

hadap mereka!" bentak Ki Randaka. Suasana pun 

menjadi hening kembali. Lalu ia melanjutkan lagi 

pembicaraannya.

"Kelompok Singa Kali Progo sudah bertekuk lu-

tut terhadap kita. Mana mungkin mereka berani men-

gusik orang-orang Elang Perak? Kalian masih ingat ke-

tika mereka bersumpah? Dawuk pemimpin gerombolan 

itu bilang, bahwa mereka akan lari menyingkir bila me-

lihat orang-orang Elang Perak!"

"Tapi, Guru..... Siapa yang tidak akan tergiur 

dengan pusaka Elang itu...? Mereka bisa saja men-

gingkari sumpahnya. Segala perampok seperti mereka 

mana pernah betul ucapannya."

"Memang betul apa yang kau ucapkan itu, Adi 

Bahruna... tapi mana bisa kita main tuduh seenaknya. 

Siapa tahu ada partai lain yang mencegat Adinaya, se-

hingga kelompok Singa Kali Progo menjadi kambing hi-

tam." pendapat Ki Randaka.

"Tidak....! Tidak masuk akal! Partai lain mana 

mungkin berani beroperasi di daerah kekuasaan orang. 

Kalau pun ada tentunya ke empat anggota Singa Kali 

Progo sudah menjadi mayat." kata Bahruna yang du


duk urutan kelima dari sisi kiri Ki Randaka. Ki Randa-

ka terdiam berpikir.

"Lalu bagaimana caranya agar kita bisa mempe-

roleh pusaka Elang itu kembali ke tangan kita?" tanya 

Ki Randaka ketua Agung perguruan Elang Perak.

"Satu-satunya jalan, kita harus pergi ke Ge-

rongsewu. Tentunya mereka tengah menunggu-nunggu 

pengiriman benda itu. Walaupun mereka percaya, ten-

tunya kita akan kehilangan nama besar."

Para pentolan perguruan Elang Perak tertun-

duk diam. Hanya Bahruna yang berani menatap Ki 

Randaka.

"Apapun prasangka mereka, kita harus segera 

pergi ke Gerongsewu. Setidak-tidaknya kita bisa minta 

pendapatnya untuk memecahkan masalah ini. Kalau 

kita hanya diam di sini terus, tidak ada gunanya. Per-

temuan empat partai besar tinggal beberapa hari lagi. 

Kita harus menjelaskannya kepada para pendekar Ge-

rongsewu dari sekarang."

Ki Randaka berpikir sejenak, apa yang dikata-

kan Bahruna memang benar. Suasana ruangan itu jadi 

hening.

"Guru..... Kalau boleh saya tahu, sudah berapa 

kalikah Guru mengikuti pertemuan dengan para pen-

dekar Gerongsewu...?" tanya orang yang duduk pada 

deretan keenam.

"Empat kali...! Minggu depan kita memasuki 

pertemuan yang kelima." jawab Ki Randaka cepat.

"Empat kali Guru mengikuti pertemuan, dan 

empat kali pula Guru keluar sebagai pemenang. Bu-

kankah itu sudah cukup menjadi ahli waris pusaka 

Elang?" kata muridnya lagi.

"Kalau belum lima kali berturut-turut, belum 

bisa disebut ahli waris. Atau mendapat julukan Pende


kar Elang.....Sebab di dalam liontin kepala Elang... ko-

non ilmu-ilmu itu pernah dikuasai oleh seorang pen-

dekar dari aliran lurus. Seorang pendekar yang tak ada 

tandingannya. Sampai-sampai semua golongan lurus 

maupun jahat ditumpas habis sampai ke akar-

akarnya. Setelah dunia persilatan kembali bersih. Pen-

dekar itu menghilang mengasingkan diri. Sampai se-

karang. Bahkan orang-orang partai persilatan sudah 

melupakan kebesaran nama pendekar itu....." tutur Ki 

Randaka.

"Kenapa Guru tidak melihat peta itu se-

belumnya?" kata orang yang duduk di sebelahnya.

"Sebagai orang yang berpihak pada golongan 

lurus harus bersikap jujur. Kalau aku melihat peta itu 

tanpa sepengetahuan partai lain, itu namanya perbua-

tan curang." Ki Randaka menjelaskan.

Pembicaraan kita sudah terlampau jauh me-

nyimpang. Kembali pada persoalan semula. Kita harus 

cepat mendapatkan pusaka itu kembali. Dan harus ki-

ta putuskan bahwa besok kita berangkat. Sebagian 

mencari keterangan di mana adanya pusaka itu. Seba-

gian lagi pergi ke Gerongsewu...."

"Ya.... Itu usul yang bagus. Aku setuju..!”

Ki Randaka bangkit berdiri lalu berjalan me-

ninggalkan ruangan itu. Empat belas muridnya tetap 

diam di situ. Mereka masih membicarakan pusaka 

Elang. Bahruna merencanakan pergerakan yang akan 

dilakukan besok.

Pusaka Elang telah hilang. Dan hal itu mem-

buat perguruan Elang Perak seperti kehilangan kenda-

li. Ki Randaka harus bertanggung jawab. Sebab benda 

itu telah resmi menjadi pusaka yang diperebutkan oleh 

beberapa partai golongan lurus sejak belasan tahun 

yang lalu.


Pertemuan partai-partai besar yang selalu di-

adakan di Gerongsewu tentunya tidak akan berlang-

sung tanpa pusaka Elang. Dan itu bukan berarti gagal

begitu saja. Partai-partai yang lain pun akan berpen-

dapat lain terhadap perguruan Elang Perak. Semua itu 

tergantung pada Ki Randaka.

"Aku akan memimpin kalian ke Gerongsewu, 

dan Bahruna bersama Wikalpa menyusuri sisi kanan 

kali Progo untuk mencari gerombolan Singa Kali Pro-

go... Wagun dan Sambali bertugas di sisi kiri dengan 

tugas yang sama. Yang lain menyebar ke desa-desa 

untuk mencari tahu adanya pusaka itu. Kita berkum-

pul pada hari pertemuan...." kata Ki Randaka yang du-

duk kembali di atas bantalan berlapis sutra merah.

"Besok pagi-pagi sekali kita harus sudah be-

rangkat." katanya lagi. Setelah itu mereka bergegas ke 

luar meninggalkan ruangan. Di luar suasana agak lain, 

tidak tegang seperti tadi. Percakapan mereka masih te-

tap pada pokok persoalan. Hampir semua para pento-

lan Elang Perak membicarakan hal yang sama. Nam-

pak Wagun dan Wikalpa menuju kandang kuda. Wi-

kalpa berjalan ke samping kandang, mengambil se-

buah keranjang yang berisi makanan kuda. Dalam 

kandang itu berderet enam belas ekor kuda dengan pe-

ralatan yang lengkap.

Di luar halaman nampak begitu sepi. Tidak se-

perti biasanya. Sudah dua hari orang-orang Elang Pe-

rak tidak melakukan kegiatan, mungkin karena masih 

dalam suasana berkabung. Ki Randaka sendiri selalu 

mengurung diri di dalam kamar pribadinya. Kecuali 

hari ini ia bisa berkumpul dengan murid-muridnya 

yang dianggapnya bisa memecahkan persoalan.

Langkahnya makin cepat ketika Ki Randaka 

mendekati kamar pribadi. Pintu kamar Itu selalu ter


kunci. Lagipula tidak ada orang lain yang berani ma-

suk ke situ. Selain dirinya. Tanpa menoleh ia bermak-

sud membuka pintu, desiran angin dapat dirasakan-

nya. Bukan angin biasa. 

"Wueesss:..!" Ki Randaka bergeser cepat. 

"Creeeep...!" Sebatang anak panah menancap pada 

pintu itu. Sebuah gulungan kertas melingkar pada ba-

tang anak panah. Cepat Ki Randaka menoleh ke arah 

dari mana anak panah itu melesat. Sesosok tubuh 

memegang busur berlompatan dari atas sebuah pohon 

yang ada di luar pagar. Ki Randaka tidak bermaksud 

mengejar, karena tidak mungkin ia bisa menda-

patkannya. Maka dengan tenang ia meraih anak panah 

itu. Anak panah itu tidak berarti apa-apa dibanding 

gulungan keras yang melekat di situ. Sudah pasti se-

pucuk surat. Ki Randaka langsung membuka dan 

membacanya.

"Orang-orang Elang Perak tidak akan sampai ke 

Gerongsewu. Dan pusaka Elang akan jatuh ke tangan 

kami...." 

Begitu isi surat itu. Ki Randaka meremas kertas 

itu. Amarahnya memuncak. Tapi ia tetap berusaha 

menguasai diri. Seperti tidak terjadi apa-apa ia mema-

suki kamar pribadinya.

Sebenarnya Bahruna dapat melihat kejadian 

itu, tapi ia tidak berani menghampiri Ki Randaka yang 

telah hanyut dengan sejuta beban di atas pundaknya. 

Sebatang anak panah berani menerobos perguruan 

Elang Perak. Berarti suatu penghinaan. Partai Elang 

Perak berdiri paling atas dari daftar seluruh golongan 

lurus, tapi kenapa masih ada juga partai lain yang be-

rani mengusik dalam keadaan yang terpojok seperti 

ini. Bahruna tidak habis pikir. Sengaja ia merahasia-

kan kejadian yang barusan dilihatnya.


*

**

Satu-satunya desa yang paling ramai kala itu 

tak lain, desa Wadaslintang. Hampir kebanyakan 

orang-orang yang berada di situ para pendatang dari 

desa-desa lain. Orang-Orang desa Wadaslintang meng-

gunakan situasi yang menguntungkan dengan berda-

gang atau membuka penginapan. Setiap harinya pen-

ginapan-penginapan di situ selalu dipenuhi oleh para 

pendatang. Orang yang berlalu lalang pun hampir su-

kar dihitung dengan jari. Kebanyakan dari mereka ber-

jalan kaki. Hanya para pembesar saja mengendarai ke-

reta kuda. Untuk mencari penginapan, sudah tentu 

para pembesar itu memilih tempat yang lebih bagus. 

Paling tidak keamanannya terjamin. Sebuah pengina-

pan bertingkat sudah mulai dipenuhi para pengun-

jung. Seorang pelayan menyambut ramah tamunya 

yang baru turun dari kereta kuda, orang itu berpera-

wakan gemuk. Pakaiannya pun begitu bagus. Penam-

pilannya seperti seorang ningrat. Dengan setengah me-

runduk, pelayan itu mengantar masuk ke dalam pen-

ginapan bertingkat itu.

*

* *

TIGA



Perempuan muda yang duduk di sudut ruan-

gan tetap tenang menghadapi hidangannya di atas me-

ja. Ia tidak perduli sama sekali dengan kehadiran seo-

rang lelaki gemuk yang mengambil tempat pada meja

kedua di hadapan perempuan muda itu. Pelayan yang 

ramah itu masih terus mengikuti orang kaya yang su-

dah duduk menghadapi sebuah meja.

"Tuan... Tuan pesan makanan apa?" Kata pe-

layan itu dengan setengah membungkuk.

"He... he... he... Masa kau lupa dengan selera-

ku, apa kau bingung karena terlalu banyak tamu di si-

ni? He... he... he..."

"Oh, iya ya.... Saya lupa, Tuan. Wuah rupanya 

saya sudah pikun. Habis terlalu banyak langganan di 

sini. Jadi lupa dah...." Lalu pelayan itu bergegas ke da-

pur untuk mengambil pesanan yang paling disukai 

tamunya. Sambil menunggu hidangan, laki-laki gemuk 

itu mengarahkan pandangannya pada perempuan yang 

duduk di hadapannya. Merasa diperhatikan ia men-

gangkat wajahnya membalas tatapan itu, kemudian 

kembali menyantap hidangannya. Laki-laki gemuk itu 

tersenyum. Tak lama datang lagi seorang pengunjung. 

Kali ini seorang lelaki muda bertubuh tegap ber-

pakaian bulu binatang. Di lehernya melingkar seuntai 

kalung hitam berliontin kepala Elang dari perak. Sebe-

lum ia mengambil tempat duduk, ia memberi hormat 

pada lelaki gemuk dan perempuan muda. Lelaki ge-

muk itu menganggukan kepala, tapi perempuan itu 

acuh. Seakan tidak mengetahui kehadiran pemuda 

yang baru datang. Meja sang dipilihnya dekat sekali 

dengan perempuan yang duduk di sebelah kirinya. Kini 

giliran anak muda itu yang menjadi perhatian si lelaki 

gemuk. Pandangannya tertuju pada kalung hitam. Ma-

tanya sebentar mengernyit setelah melihat liontin ke-

pala Elang sebesar telapak tangan. Jantungnya seakan 

berdebar melihat liontin yang bergerak-gerak di leher 

pemuda itu.

"Ini, Tuan.... Hidangannya. Maaf kalau terlalu


lama." Pelayan yang tadi ke dapur datang lagi memba-

wa sebuah nampan berisi sepiring nasi, sayur, ayam 

goreng berikut sepundi arak. Ia meletakkan hidangan 

itu dengan hati-hati sekali. Lalu mata pelayan itu me-

lihat tamu baru. Seorang pemuda. Maka ia mendekati 

menyapa...

"Aden juga mau makan, bukan? Pesan apa?"

Anak muda itu tidak langsung menjawab, ia 

merogoh saku baju kulitnya. Dikeluarkannya sekeping 

uang logaman.

"Maaf, Pak... uang saya hanya segini. Apakah 

masih bisa makan di sini?" kata pemuda itu pelan 

sambil menyodorkan sekeping uang logam.

"Bi... bisa.... Tapi...."

"Kalau sekiranya uang ini tidak mencukupi, tak 

apa, saya akan keluar saja..." Ia bermaksud bangkit.

"Pelayan... Sini...." Lelaki gemuk itu me-

manggil.

Si pelayan menghampiri tamu yang kaya ini. 

Lalu lelaki gemuk membisikkan sesuatu. Pelayan itu 

nampak manggut-manggut, kemudian ia bergegas me-

nuju dapur. Sepeninggal pelayan...

"Anak muda, kenapa berkecil hati? Duduklah 

kembali, sekali-sekali menikmati hidangan di sini, pas-

ti akan merasa puas. Biar aku yang bayar... simpan 

saja uang itu...."

"Ah... Terima kasih! Siapa Tuan yang baik hati

ini? Saya Wintara hanya seorang pengelana.... Memang 

tidak sepantasnya datang ke tepat mewah ini...." Pe-

muda itu duduk lagi.

"Jangan terlalu merendah, anak muda ... Seo-

rang pengelana memiliki jiwa yang besar dibanding 

dengan orang-orang seperti saya. Saya Raden Sintoro 

Tinggil banyak mendengar pengalaman-pengalaman


yang hebat dari mulut para pengelana seperti anda....

"Ah itu pun terlalu berlebihan memberi penda-

pat...." tukas anak muda itu.

Pelayan tadi kembali datang. Ia membawa se-

buah nampan lagi dan meletakkan hidangan yang se-

rupa dengan lelaki gemuk yang menamakan dirinya 

Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil menyila-

kan dengan telapak tangannya. Lalu ia pun menyantap 

makanan yang sejak tadi. Setelah membalas dengan 

senyuman, anak muda yang bernama Wintara mulai 

ikut menyantap hidangan itu. Ruangan makan di pen-

ginapan itu makin lama makin penuh. Hampir setiap 

meja berisi pengunjung. Beberapa pelayan nampak si-

buk berjalan ke sana ke mari melayani para pengun-

jung yang mulai membanjir.

Sesekali Raden Sintoro Tinggil melirik ke arah 

Wintara. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya, 

yang membuat selera makannya berkurang. Sementara 

kalung hitam berliontin kepala Elang terayun-ayun 

bergerak di saat Wintara menyantap lahap makannya.

Perempuan muda itu telah selesai makan. Ia 

meneguk habis air minumnya. Ketika ia berdiri terlihat 

sebilah pedang pendek terselip di pinggangnya yang 

ramping. Tangannya melambai memanggil pelayan.

"Nona.... Biar saja saya yang bayar sekalian. 

Kebetulan saya akan menginap di sini. Dan membawa 

uang lebih...." Raden Sintoro Tinggil memotong lang-

kah pelayan yang melayani mereka.

"Maaf, Raden Sintoro Tinggil.... Aku bukan pen-

gelana macam anak muda itu...." cetusnya. "Pe-

layan...." Kembali ia memanggil.

Mendengar ucapan itu Wintara menoleh. Pe-

rempuan itu membalasnya dengan tatapan menan-

tang. Setan! Wintara malah nyengir. Raden Sintoro


Tinggil diam saja.

"Hebat... Perempuan semuda ini punya uang 

begitu banyak.... Dari mana? Jangan-jangan...." kata 

Wintara terputus.

"Apa!" Perempuan itu melompat sambil menca-

but pedang pendek. Ujung pedang itu cepat menempel 

di tenggorokan Wintara.

"Teruskan kata-katamu..... Kalau saja kurang 

enak kudengar, pedang ini akan menembus tulang le-

hermu...." bentak perempuan itu keras. Tentu saja 

menjadi perhatian para pengunjung yang ada di situ.

"Jangan-jangan minta uang pada keka-

sihnya...." Wintara melanjutkan pembicaraannya.

"Huh...!" Pedang pendek berputar, tahu-tahu 

sudah menancap pada ayam goreng yang berada da-

lam genggaman Wintara. Sekali sentak, daging ayam

itu terlempar ke luar. Bersamaan dengan itu tubuh 

Wintara melesat bagai terbang. Menangkap daging 

yang hampir jatuh ke tanah. Perempuan itu ikut me-

lompat, dengan beberapa kali lentingan ia sudah bera-

da di luar penginapan. Wintara asyik menggerogoti 

daging ayam sambil nangkring di atas balok untuk 

tambatan kuda.

"Pengelana rakus! Mau unjuk gigi di hadapan-

ku... rasakan ini!! Hreaaaaa..." Pedang pendek berkele-

bat tajam menusuk. Wintara menangkis dengan se-

buah tendangan. "Plaaak...!" Lalu ia melompat lagi 

menjauhi serangan-serangan perempuan muda itu. 

Ayam gorengnya telah habis, Wintara membuang sisa

tulangnya ke tanah. Seluruh orang-orang yang berada 

di tempat itu keluar menyaksikan perkelahian itu. Me-

reka kagum dengan jurus-jurus yang di keluarkan oleh 

dua pendekar muda. Dalam pertarungan itu Wintara 

tidak pernah menyerang, dia lebih banyak menghindar


atau kalau perlu hanya menangkis. Sebagai seorang 

pengelana tentunya ia membekali dirinya dengan ke-

pandaian ilmu silat. Tapi pengelana yang satu ini be-

tul-betul lain daripada yang lain. Melihat dari gerakan-

nya saja orang sudah tahu kalau ia memiliki ilmu yang 

tidak boleh dianggap remeh. Begitu juga perempuan 

muda ini. Gerakan yang sangat gesit terlihat seperti 

seorang bidadari yang tengah menari-nari. Sebilah pe-

dang pendek berputar-putar ke kanan dan ke kiri me-

nyerang Wintara. Babatan-babatan itu menyerupai se-

rentetan sinar putih kebiruan. Meskipun dahsyatnya 

serangan itu, Wintara masih dapat menghindar serta 

menangkis. Sebenarnya usia perempuan muda itu 

jauh lebih muda dibanding pengelana sakti. Apalagi 

Wintara belum mengenalnya. Ia tidak boleh bertin-

dak gegabah. Dia sendiri pun terheran-heran, gadis 

semuda ini memiliki ilmu silat yang jarang dimiliki 

pendekar mana pun.

"Perempuan sombong.... Kalau aku mau me-

ringkusmu, sudah dari tadi kulakukan...." teriak 

Wintara menyadarkan. Tapi perempuan itu tidak 

memperdulikan ucapan Wintara. Malah "Hreaaaaa...! 

Siuuuut...!" Dengan kedua genggaman tangannya pe-

dang itu menjurus deras. Serangan tersebut tidak ada 

artinya sama sekali. Ia pun tidak akan berlama-lama 

menghadapi perempuan muda itu. Sekali ia menepak-

kan tangannya... "Plaak...!" pedang pendek itu terlepas 

dari kedua genggamannya. Bukan main kagetnya. Ke-

dua telapak tangannya terasa kesemutan. Gadis itu 

memekik pelan. Wintara membalikkan tubuh bermak-

sud kembali ke dalam penginapan bertingkat itu. 

Membiarkan perempuan muda berdiri sendirian di 

luar. Tentu saja ia merasa dibuat malu. Maka dengan 

penasaran ia menubruk lagi. Mendapat serangan yang


mendadak, Wintara bergerak cepat mengibaskan len-

gannya ke belakang. "Weeeessss! Jplaaaak!" Perem-

puan muda itu terbanting ke belakang. Sebentar ke-

mudian ia bangkit memungut pedang pendek miliknya. 

Sambil mengacungkan pedangnya.

"Pengelana busuk! Hari ini kau boleh merasa

bangga atas kemenanganmu. Ingat...! Suatu hari ke-

lak, kepalamu bakal terbelah dua dengan pedang 

ini...!" sumpahnya. Lalu ia berlari menerobos kerumu-

nan orang banyak yang tadi menonton perkelahian 

mereka. Wintara mendengar. Tapi langkahnya terus 

berjalan memasuki gedung penginapan. Ditemui orang 

gemuk yang bernama Raden Sintoro Tinggil. Lelaki ge-

muk itu sudah ada di depan pintu menyambut Winta-

ra.

"Sungguh luar biasa kepandaian ilmu silatmu, 

Wintara... Betul-betul pengelana sakti.... Semua orang 

yang berada di sini mengira kau akan kalah oleh pe-

rempuan tadi, bagaimana tidak? Jurus-jurus pedang-

nya begitu hebat! Gerakannya pun sukar diduga...." 

puji Raden Sintoro Tinggil. Ia merangkul Wintara kem-

bali ke tempat duduknya semula.

"Sebenarnya perempuan itulah yang hebat.... 

Bukan saya. Nasib saya sedang beruntung. Jadi keme-

nangan ini saya anggap tidak mutlak...." sela Wintara. 

Raden Sintoro Tinggil diam sebentar, lalu....

"Kalau anda tertarik saya ada usul. Maukah 

anda ikut saya ke Gerongsewu... Yaah sekedar men-

gawal. Saya khawatir akan ada orang-orang jahat 

mengganggu perjalanan nanti...." kata Raden Sintoro 

Tinggil.

"Ke Gerongsewu? Bukankah Tuan hendak 

menginap di sini?" Wintara heran. Raden Sintoro Ting-

gil nampak kikuk mendengar ucapan Wintara.


"Be.... Benar.... Saya memang bermaksud men-

ginap di sini beberapa malam. Tapi tujuan saya tetap 

ke Gerongsewu! Bertemu dengan orang hebat seperti 

anda, pikiran saya berubah. Kalau anda mau menga-

wal, saya bersedia membayar mahal...."

"Kalau cuma sekedar mengawal, Tuan tidak 

perlu membayar. Saya akan ikut dengan Tuan.... Ang-

gap saja sebagai balas jasa untuk hidangan yang nik-

mat ini...."

Raden Sintoro Tinggil senang mendengar kepu-

tusan Wintara. "Terima kasih.... Terima kasih...." Ia 

menepuk-nepuk dada Wintara kegirangan. Beberapa 

kali tepukannya menyentuh liontin kepala Elang dari 

perak.... Tiba-tiba Wintara memekik"

"Awaaaas....!" Sebatang anak panah menghun-

jam deras ke arah tubuh Raden Sintoro Tinggil. Tapi 

sebelum anak panah itu menancap pada sasaran, Win-

tara dapat menangkapnya. Tidak sempat lagi mereka 

melihat dari mana anak panah itu berasal. Wintara 

berlari ke luar. Orang-orang yang ada di sekitar situ 

keheranan melihat Wintara celingukan mengawasi ru-

mah-rumah penduduk yang berderet memanjang. Ba-

ru disadarinya ada segulungan kertas melingkar pada 

batang anak panah itu.

"Serahkan Pusaka Elang itu pada kami...!" Begi-

tulah tulisan yang tertera dalam gulungan kertas. Te-

ringat ia pada seuntai kalung hitam yang melingkar di 

lehernya. Kalung itukah yang di maksud? Aneh-aneh 

saja! Menginginkan benda pusaka, tapi tidak mau me-

nampakkan diri. Kalau saja benda ini miliknya mau 

saja ia menyerahkannya. Karena ia sendiri merasa 

benda yang melingkar di leher bukan miliknya. Ia men-

dapatkan benda itu dari tangan seseorang yang telah 

menjadi mayat. Sudah pasti ada pihak lain yang menginginkan benda ini. Wintara meremas gulungan ker-

tas itu. Sampai sekecil mungkin, kemudian ia menyen-

tilkannya jauh-jauh. Barulah ia tahu sekarang, kalung 

hitam yang berliontin kepala Elang ternyata benda pu-

saka. Sudah pasti ia bakal menghadapi pihak-pihak 

lain, mungkin juga seluruh rimba persilatan yang 

menginginkan pusaka tersebut. Yang jelas.... Sekarang 

ia harus menahan benda itu dulu, jangan sampai ben-

da itu jatuh ke tangan orang yang bukan haknya.

Raden Sintoro Tinggil ke luar menemui Wintara. 

Kelihatan lelaki gemuk itu gemetar. Setelah menoleh 

ke kanan dan ke kiri ia berjalan cepat menarik tubuh 

Wintara. Dirasakan lengan Raden Sintoro Tinggil begi-

tu dingin.

"Kau lihat sendiri, Wintara.... Belum apa-apa 

sudah ada orang yang bermaksud membunuhku. Ce-

pat saja kita pergi dari tempat ini...." kata Raden Sinto-

ro Tinggil ketakutan. Wintara tersenyum. Sudah wajar 

kalau ia begitu gugup dan gemetar. Karena tadi seba-

tang anak panah nyaris menembus di perutnya yang 

gendut.

"Kenapa harus berangkat sekarang?" 

"Lebih cepat lebih bagus.... Di Wadaslintang 

sudah tidak aman lagi...." sergahnya sambil melangkah 

menuju kereta kuda miliknya. Wintara mengikuti lang-

kah itu. Tanpa diperintah ia sudah naik dan duduk di 

samping Raden Sintoro Tinggil yang mengendalikan 

dua ekor kuda. Kereta mereka berada pada jalan yang 

lebar dan tidak begitu ramai, Randen Sintoro tinggal 

menghela kuda-kudanya. "Hea...! Heaaa...! Ctar...! 

Ctaar...!" Dua kali sabetan cemeti membuat kuda-kuda 

itu berlari kencang. Ternyata Raden Sintoro Tinggil 

pandai mengendarai kereta kuda. Terbukti kuda-

kudanya menurut tanpa dipecuti lagi. Selama dalam


perjalanan itu, Wintara mengelus-elus liontin kepala 

Elang. Kepada siapa ia harus mengembalikan benda 

ini, pikirnya.... Apakah kedua mayat yang kutemukan 

di perahu rusak beberapa hari yang lalu itu pemilik-

nya...? Kalau benar, mengapa mereka mati dengan pu-

saka tergenggam di tangan? Mereka ber-kelahi dengan 

siapa? Sampai terluka parah begitu.... Bunuh diri? Je-

las tidak mungkin...! Wintara menggaruk-garuk kepa-

lanya yang tidak gatal. Tangannya menggenggam erat 

liontin kepala Elang...

"Kenapa dengan kalung bagus itu?" teguran 

Raden Sintoro Tinggil membuyarkan pikiran Wintara. 

Ia jadi terperangah.

"Ah... tidak. Aku bermaksud hendak member-

sihkannya. Sudah lama tidak digosok...." Pintar Winta-

ra mencari jawaban.

"Aku tertarik juga dengan kalung itu, sean-

dainya hendak kau jual..... Aku berani membayar be-

rapa pun yang kau pinta... 

"Heaaaaa!" Raden Sintoro Tinggil menghela ke-

dua kudanya yang mulai berlari pelan. Wintara meno-

leh.

"Maaf Tuan... Tidak akan saya jual...."

"Ahhhh sayang sekali...." Raden Sintoro Tinggil 

kecewa.

Kereta kuda ke luar dari daerah perbatasan de-

sa Wadaslintang, larinya begitu cepat dan semakin 

menjauh. Setelah menikung barulah kereta kuda itu 

tidak nampak lagi, karena terhalang oleh pepohonan 

dan semak-semak yang tinggi merimbun. Namun ma-

sih saja terdengar deru roda kereta menggilas tanah 

berbatu disertai dengan gletar-gletar cemeti yang ma-

kin lama makin halus menghilang.


EMPAT


"Singa Kali Progo...!" Ki Randaka berteriak lan-

tang. Ia berdiri di atas sebuah perahu yang melaju ce-

pat menyusuri sepanjang kali itu. Kedua kakinya men-

gangkang lebar. Matanya nyalang mengawasi hutan 

belukar yang terdapat pada kedua sisi kali.

"Singa Kali Progo...!" teriakannya makin lan-

tang, menggetarkan seluruh dedaunan dan riaknya air.

"Keluar Singa Kali Progo! Keluar...!!! Datanglah 

kalian ke mari...!" Ki Randaka gemas.

"Bukannya kami tidak menghormati.... Tapi 

kami sudah berjanji tidak akan menunjukkan diri di 

hadapan orang-orang Elang Perak...!" terdengar jawa-

ban dari balik hutan di sisi kiri. Ki Randaka berbalik 

menghadap di mana suara itu berasal.

"Ke marilah saudara-saudara Singa Kali Pro-

go...! Ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada ka-

lian.... Cepat ke mari...!"

"Begitu pentingkah...?" terdengar lagi suara dari 

balik pepohonan. Suara itu makin dekat, hanya saja 

orang yang berbicara tidak berani menampakkan diri. 

Tapi Ki Randaka yakin, orang-orang yang dimaksud 

berada di hadapannya. 

"Ke marilah...! Mulai sekarang kucabut sumpah 

kalian...!" 

Maka bertebaran lah empat sosok tubuh dari 

balik pepohonan. Setelah berjumpalitan di udara 

keempatnya hinggap di atas perahu yang ditumpangi 

Ki Randaka. Wajah keempatnya nampak begitu menyeramkan. Mereka rata-rata berewok sampai sebatas da-

da.

"Dawuk.... Kau sebagai pimpinan gerombolan 

Singa Kali Progo harus berkata jujur padaku..... Kalian 

telah menguasai sepanjang perairan kali Progo ini, bu-

kan...?" tanya Ki Randaka dengan tatapan yang penuh 

curiga.

"Betul.... Sepanjang kali ini memang kami yang 

menguasai...." jawab Dawuk tegas. Tiga orang teman-

nya diam berdiri tetap menghadap.

"Betulkah kalian tidak tahu atas kematian dua 

orang murid dari perguruan Elang Perak? Ayo jawab!" 

Ki Randaka membentak.

"Astaga....! Dua orang murid perguruan Elang 

Perak memang pernah kami lihat melintasi perairan ini 

dengan sebuah perahu... Tapi perihal kematian dua 

orang itu kami betul-betul tidak tahu. Mana berani 

kami mengusik orang-orang Elang Perak...." jelas Da-

wuk. "Baru melihatnya saja kami sudah lari...." ka-

tanya pula.

"Lalu siapa yang membunuh Adinaya dan is-

trinya...? Siapa pula yang membawa lari pusaka 

Elang? Jelas-jelas perahu mereka terdampar di perai-

ran sini. Masihkah kalian tidak mengetahuinya?" tanya 

Ki Randaka dengan nada marah.

"Ketua agung Elang Perak.... Bagaimana kami 

harus mengakuinya...? Dibunuh di sini pun kami re-

la.... Mungkin ini kesalahan kami...." Dawuk berlutut 

di hadapan Ki Randaka, tiga orang berewok lainnya 

ikut berlutut di belakang Dawuk. "Silahkan ketua

agung Elang Perak menghukum kami.....

Atau bunuh saja kami berempat.... Kami pa-

srah...." kata Dawuk. Ki Randaka menatap pada keem-

pat orang yang berlutut di hadapannya. Mukanya merah padam. Kalau Ki Randaka mau menghajar kepala 

mereka satu demi satu, mudah saja ia melakukannya. 

Keempat batok kepala itu sudah siap diremukkan. Ta-

pi Ki Randaka bukan orang yang kejam seperti yang ki-

ta bayangkan.

"Bangun! Dan pergi dari sini.... Cari tahu sam-

pai dapat di mana Pusaka Elang berada. Kalau tidak 

berhasil, aku tidak akan mengampuni kalian...." Suara 

Ki Randaka angker. 

Tanpa berani menoleh keempat anggota Singa 

Kali Progo itu mundur perlahan. Lalu keempat orang 

berewok itu melompat bareng menyeberang ke pinggir 

kali. Ki Randaka masih tetap berdiri tegak terbawa pe-

rahu yang melaju menyusuri sepanjang kali Progo. Da-

ri balik celah-celah dedaunan, empat manusia berewok 

mengawasi kepergian perahu itu. Ternyata mereka ti-

dak langsung pergi ketika Ki Randaka mengusirnya. 

Mereka hanya pura-pura pergi, lalu kembali lagi. Da-

wuk mengepalkan tinjunya.

"Setan....! Tua bangka keparat itu mestinya di-

bikin mampus! Dia pikir hanya dirinya yang memiliki 

kehebatan.... Heh! Benar-benar bangsat!" gerutunya. 

"Kalian dengar tadi, mereka telah kehilangan Pusaka 

Elang.... Kurasa itu hanya suatu alasan saja...!" ka-

tanya lagi.

"Benar, Kang.... Ketika mencegat Adinaya, pu-

saka Elang tidak ada padanya. Apakah ini hanya satu 

tipuan belaka?" kata Sempor anggota nomer dua dari

urutan kelompok begal Singa Kali Progo.

"Bukan! Ini bukan tipuan! Yang jelas kita yang 

kurang teliti sewaktu mengobrak-abrik perahu itu!" 

Dungkil anggota nomer tiga memberi pendapat lain.

"Itu berarti pusaka Elang telah jatuh ke tangan 

orang lain. Ahhhhh.... Jadi kacau semua! Ka


cauuuuuuuu...!" Dawuk geregetan. Ingin rasanya me-

nampar pipi ketiga anak buahnya. "Harapan untuk 

memiliki pusaka Elang pupus sudah. Itu semua kare-

na ketololan kalian!" Amarah Dawuk meluap lagi. Den-

gan kesal ia menendangi batang pohon yang sangat 

besar.

"Kita sudah kehilangan pusaka itu.... Kita su-

dah kehilangan kesempatan besar!!!!" teriak Dawuk 

makin jadi. Tapi begitu Dawuk ingin membuka mulut-

nya lagi suaranya tidak sempat keluar.... Dua orang 

laki-laki telah berdiri di situ, kehadiran dua orang itu 

membuat kedua mata Dawuk terbelalak. Ketiga anggo-

ta Singa Kali Progo sempat kaget juga melihat kedua 

orang yang berdiri di hadapannya.

"Baru kutahu sekarang siapa yang telah men-

coreng nama besar Elang Perak. Ternyata keempat 

mahluk hina ini. Ayo Dawuk! Berteriaklah! Berteriak 

seperti tadi. Kenapa diam?" kata salah satu dari kedua 

orang itu. Kedua orang itu adalah Wagun dan Sambali 

yang memergoki sekaligus mendengar percakapan me-

reka. Sudah tentu keempat anggota Singa Kali Progo 

jadi blingsatan menghadapi mereka. Bukan karena ta-

kut. Bukan juga karena Wagun dan Sambali dari per-

guruan Elang Perak! Tapi karena percakapan dari ke-

lompok Singa Kali Progo yang sudah terlanjur ketele-

pasan bicara yang sempat didengar oleh Sambali mau-

pun Wagun. Apa-lagi mereka dari perguruan Elang Pe-

rak!

"Sekarang juga.... gerombolan Singa Kali Progo 

musti dilenyapkan. Sekalipun kalian tidak menda-

patkan pusaka Elang, tapi kalian membunuh dua sau-

dara perguruan kami dengan maksud yang sama. Yai-

tu bermaksud merebut pusaka dari tangan kekuasaan 

perguruan Elang Perak!" Wagun berkata polos. Tapi


kata-kata itu justru menggedor jantung Dawuk. Da-

wuk yang sudah terpojok, tak dapat berkata apa-apa 

lagi. Setelah matanya melirik ke sana ke mari, Dawuk 

memberi aba-aba dengan anggukan kepala. Ketiganya 

mengerti apa yang di inginkan Dawuk. Maka. Tiga 

orang berewok itu maju melancarkan pukulan. 

Wagun melompat maju menghadapi serangan-

serangan itu. Sambali juga ikut ambil bagian. Ia memi-

lih lawan yang paling seram. Dua pukulannya dihan-

tamkan menyilang, tapi hanya dengan sebuah tendan-

gan ke atas serangan Sambali gagal mengenai sasaran. 

Menyadari akan kehebatan lawannya, Sambali menge-

luarkan jurus-jurus andalannya. Lima jari tangannya 

mekar menerobos hampir mengenai pipi Sempor. Sem-

por membalas dengan rentangan tangan yang sangat 

cepat. 

"Cplaak...!" Kedua tangan itu beradu. Sambali 

terdorong mundur.

Wagun lebih repot lagi. Kedua lawannya menye-

rang bergantian. Kalau menghadapi hanya seorang la-

wan mungkin perkelahian itu tidak akan berlangsung 

lama. Menghadapi orang-orang Singa Kali Progo yang 

memiliki ilmu tidak rendah, Wagun mesti menguras 

tenaga.

Dawuk sebagai pimpinan begal Singa Kali Progo 

sengaja tidak turun tangan. Ia hanya berdiri tenang 

melihat perkelahian Itu. Ketiga anak buahnya nampak 

begitu gigih menggempur pertahanan Wagun dan 

Sambali. Dari situ Dawuk sudah dapat mengukur ke-

kuatan kedua orang dari perguruan Elang Perak.

"Kalian harus menebus nyawa dua orang sau-

dara kami...!" teriak Sambali. Tinjunya melayang...

"Plaaak...!" Sambil melompat Sempor menang-

kis. Dan sebelum tubuhnya hinggap di tanah, tendangannya menerobos. 

"Bug...!" Sambali tidak dapat menghindari. Ba-

gaimana ia bisa menghindar, andaikata bisa serangan 

Dungkil yang lebih dahsyat pasti sudah mengenai pada 

bagian yang mematikan. Sambali mundur mendekati 

Wagun. Mereka berdua gabung menghadapi tiga ang-

gota Singa Kali Progo.

Hasilnya sama saja, mereka berdua malah ke-

walahan menghadapi lawan sebanyak tiga orang. Ten-

dangan mau pun pukulan terus dilancarkan oleh 

Sambali. Wagun tidak kalah hebat, tinjunya yang be-

runtun berhasil memojokkan lawannya. Kemudian ia 

kembali lagi membantu Sambali. 

"Plaaak...!" Salah satu serangan dapat dipatah-

kan. Dua orang berewok menggeram sengit sambil me-

nerjang. Mendapat serangan seperti itu Wagun cepat-

cepat mundur. Lalu menghentakkan kedua kakinya, 

sehingga tubuhnya terlempar ke atas. Masih dalam 

keadaan berputar di udara, serentetan tendangan ter-

bang menjurus ke arahnya. Menyadari adanya seran-

gan itu Wagun membalikkan tubuhnya. Maka tendan-

gan terbang itu hanya melewati beberapa senti di 

samping. Wagun hinggap di tanah dengan kedua kaki 

yang terentang. Dungkil datang menyambut dengan 

sambaran kaki memutar di bagian bawah. 

"Wessss...!" Wagun bergulingan menghindari 

serangan itu.

Sambali cepat merunduk ketika Sampor melan-

carkan tendangan memutar. Tendangan itu bergerak 

secepat kilat, untuk menangkisnya saja sulit. Apalagi 

membalasnya? Buru-buru Sambali menjauh. Tapi ia 

mengambil langkah yang salah. Di belakangnya telah 

berdiri Dawuk dengan senyum menyeramkan. Sudah 

tentu Sambali menjadi sasaran empuk. Sebuah hantaman keras bersarang di bagian belakang kepalanya.

"Dessss!" Sambali terhuyung. Sempor yang se-

dari tadi susah merobohkan Sambali, sekarang ia me-

rasa ada kesempatan. Dua tinjunya sekaligus maju 

menggedor dada Sambali. Tubuh Sambali terjungkal, 

darah menyembur dari mulutnya. Berewok Dawuk 

bergerak-gerak ketika ia tertawa ngakak melihat tubuh 

Sambali yang hampir tidak bisa bangun. 

"Ha... ha... ha... ha... ha...!" Sekali Dawuk me-

lompat, tubuhnya sudah berada di udara. Menukik ke 

bawah dengan sebuah tendangan yang terarah kepada 

Sambali. Telapak kaki yang disertai tenaga dalam itu 

mematahkan tulang leher Sambali.

Wagun melihat Sambali tergeletak kaku, ma-

kanya ia cepat mengerahkan tenaga menyingkirkan 

lawannya. Sebelah tangannya memutar menyabet ke-

pala Dungkil, kemudian berbalik ke arah perut. 

"Jeegg!" Tubuh Dungkil terdorong. Cepat Wa-

gun melompat ke arah Dawuk yang masih menginjak 

leher Sambali. Terjangannya secepat angin. Kedua tan-

gannya terentang dengan jari-jari yang membentuk ca-

kar Elang. Lalu menyambar menyilang menyerang Da-

wuk. Sebelah cakar itu berhasil menyambar. 

"Breeeet!" Punggung Dawuk berdarah, ia lang-

sung melangkah mundur sambil menepis-nepis sam-

baran-sambaran cakar Elang yang dilancarkan oleh 

Wagun. Dawuk menendang. Wagun juga menendang.

"Deessss!" Tendangan mereka beradu. Kedua-

nya terpental. Wagun masih sanggup berdiri meski 

pun terhuyung, Dawuk terpeleset jatuh. Melihat itu 

Wagun melesat terbang menjurus ke arah Dawuk den-

gan kedua cakaran yang siap menyambar.

"Buuug!" Meskipun Dawuk berada di bawah-

nya, ia dapat melancarkan tendangan keras. Wagun


terbanting. Langsung disambut oleh ketiga anak buah 

Dawuk. Beberapa jotosan sempat bersarang di muka 

dan dadanya. Gelagapan sekali Wagun menerima han-

taman-hantaman itu. 

"Desss!" Sebuah tendangan lagi membuat Wa-

gun benar-benar terjatuh mencium tanah. Pandan-

gannya jadi suram, samar-samar ia melihat Dawuk 

berdiri tertawa menyeringai. Ia bermaksud bangkit.

"Bug!" Hantaman Dungkil membuatnya jatuh 

terduduk. Sempor menjambak krah baju Wagun sam-

pai terangkat. Dawuk langsung memberi hantaman-

hantaman yang beruntun di dada Wagun. Yang terak-

hir tendangan geledek Dawuk melontarkan tubuh Wa-

gun. Kain kerah dalam genggaman Sempor tertinggal. 

Wagun kelojotan, sesaat kemudian ia diam tak berku-

tik.

"Buang mayat mereka ke kali!" perintah Dawuk. 

"Ganduli tubuh mereka dengan batu besar." katanya 

lagi. Ketiganya menyeret dua mayat itu ke pinggir kali. 

Di situ mereka menelanjangi mayat Wagun dan Sam-

bali. Pakaian itu untuk mengikat batu besar yang dis-

atukan dengan tubuh-tubuh yang sudah tak bernya-

wa. Sempor agak kesulitan mengikat batu pada tubuh 

Sambali, karena batu yang dipilihnya terlampau besar. 

Dungkil datang membantu dengan mengganti batu 

yang lebih kecil, maka selesailah pekerjaan itu. Kemba-

li mereka menyeret kedua mayat itu lebih dekat ke 

pinggir kali. Dengan menendangi mayat-mayat itu me-

reka berusaha menjatuhkan kedua mayat itu, sampai 

akhirnya….

"Byuuuuuur! Jbyuuurrr!" Keduanya tenggelam 

ke dasar kali. Dari kejauhan Dawuk puas dengan pe-

kerjaan ketiga orang anak buahnya. Ketiganya meng-

hambur menemui Dawuk yang sejak tadi menunggu


mereka.

"Hampir saja kita celaka. Untung saja kita bisa 

membereskannya dengan cepat...." desah Dawuk keti-

ka para anak buahnya tiba.

"Itu karena mulut Kang Dawuk yang kurang 

hati-hati kalau bicara...! Hampir saja kita ketahuan be-

langnya!" kata Dungkil anggota nomer tiga pada uru-

tan Singa Kali Progo.

"Sudah! Tidak perlu dipermasalahkan... Seka-

rang kita menyingkir dari sini, paling tidak kita pergi 

ke Gerongsewu. Tidak dapat pusaka Elang tidak apa-

apa. Tapi setidak-tidaknya kita bisa mengacaukan per-

temuan partai-partai besar. Sudah terlanjur, kenapa 

mesti tanggung-tanggung.,.." usul Dawuk. Ketiga anak 

buahnya manggut-manggut.

"Aku rasa tidak sedikit orang-orang golongan 

hitam yang bakal datang ke sana...." Kuwusura anggo-

ta keempat yang jarang bicara ini memberikan penjela-

san. .

"Dengan maksud yang sama, kita bisa berga-

bung. Kalau seluruh orang-orang golongan hitam ber-

gabung, partai besar Elang bakal hancur..." kata 

Dungkil semangat. Pikiran Dawuk jadi terang menden-

gar ucapan Dungkil.

"Jangan banyak bicara lagi. Ayo kita berang-

kat...." Dawuk berlari. Janggutnya yang sepanjang da-

da berkibar-kibar melawan angin. Sempor, Dungkil 

dan Kuwusura mengikutinya dari belakang. Mereka 

menelusuri pinggiran kali yang ditumbuhi pepohonan 

lebat. Kadang-kadang juga mereka harus melompati 

semak-semak belukar yang setinggi pusar bergerom-

hol. Keempat manusia begal Singa Kali Progo saling 

mendahului berkejaran, Dawuk masih tetap di depan 

memimpin. Di depannya menghadang beberapa pohon


besar berderet, Dawuk membelok, tidak langsung me-

nerobos.

"Kang Dawuk! Kenapa memilih ke jalan be-

sar...!" teriak Sempor setelah melihat Dawuk pemim-

pinnya menikung.

"Melalui pesisir kali akan memakan waktu la-

ma...!" jawab Dawuk lantang agar dapat di dengar oleh 

ketiga anak buahnya. Larinya makin cepat. Begitu juga 

dengan orang-orang yang mengikutinya. Memang be-

tul! Bila menempuh sepanjang pesisir kali mereka 

akan banyak menemui rintangan. Selain pohon-pohon 

besar yang tumbuh tidak beraturan. Semak-semak 

yang ada di mana-mana, ada juga batu-batu kali yang 

menonjol membentuk sebuah bukit kecil menghadang. 

Sedangkan tempat yang mereka tuju masih sangat 

jauh sekali. Tidak cukup memakan waktu satu hari. 

Itulah sebabnya orang-orang Elang Perak memilih ja-

lan perairan kali Progo.

Dari hutan belukar mereka menembus sampai 

kehamparan alang-alang. Dawuk masih terus berlari, 

tidak perduli hamparan alang-alang menghalanginya. 

Langkahnya yang sangat cepat menimbulkan suara 

bergemerisik. Beberapa puluh meter lagi ia sudah

sampai pada jalanan besar. Tapi sengaja ia menghenti-

kan larinya. Dari kejauhan Dawuk melihat sesosok 

bayangan putih menyusuri jalan besar yang terbentang 

di matanya. Seorang perempuan muda berjalan terbu-

ru-buru. Sesuatu yang terselip di pinggangnya bersinar 

menyilaukan tertimpa sinar matahari. Ternyata benda 

yang terselip pada ikat pinggang yang berwarna kuning 

adalah sebilah pedang, pedang pendek. Sekarang Da-

wuk tidak lagi berlari, ia malah merunduk menyama-

kan tinggi tubuhnya dengan alang-alang yang meng-

hampar luas. Sambil merunduk ia berjalan cepat, Ketiga anak buahnya yang mengikuti di belakang jadi ter-

heran-heran melihat sikap Dawuk. Ketika tiga anak 

buahnya hampir mendekati, Dawuk memberi aba-aba 

agar mereka segera ikut merunduk. Serempak mereka 

me: runduk, meskipun dengan susah payah mereka 

mendekat pemimpinnya. Dawuk masih memperhatikan 

gerak gerik gadis itu. Lekuk-lekuk tubuh ramping itu 

membuat mata Dawuk makin terbeliak.

*

* *

LIMA



"Kita akan merampok!" jelas Dawuk setengah 

merunduk sambil menyibakkan alang-alang yang 

mengganggu penglihatannya.

"Merampok? Apa tidak salah mencari mangsa? 

Perempuan itu tidak membawa apa-apa, mana mung-

kin ia membawa harta..." Dungkil ikut memperhatikan 

langkah-langkah seorang perempuan yang hampir 

mendekat.

"Goblok...! Yang kumaksud bukan merampok 

harta.... Tapi...." Dawuk kesal.

"He... he... he... he.... Sekian lama mendekam 

dalam hutan, pengap rasanya. Masakah kita tidak mau 

menghibur diri? He... he... he...." Sempor dapat men-

gerti maksud Dawuk. "Ayam betina di depan mata.... 

Tunggu apa lagi...." katanya lagi.

Sesekali perempuan muda itu menyeka kerin-

gat yang meleleh di keningnya. Panas terik matahari 

betul-betul menguras keringat. Angin memang ber-

hembus, walau perlahan. Cukup menghibur perjalanan gadis itu. Rambutnya yang bagai ekor kuda berge-

rak mengikuti setiap langkahnya. Sebentar-sebentar ia 

membetulkan letak pedang pendek yang terselip dalam 

ikat pinggang. Tiba-tiba saja alang-alang di samping-

nya tersibak, dari balik alang-alang itu muncul empat 

orang berewok. Langsung menghadang. Gadis itu ter-

sentak mundur, jari-jemarinya yang lentik siap mena-

rik gagang pedang pendek. Pandangannya tidak berke-

dip. Ia yakin sekali, kalau keempat orang itu tentu 

akan bermaksud tidak baik. Melihat tampang keempat 

orang itu saja sudah menyebalkan. Apalagi raut wajah 

Dawuk dan Sempor, barangkali tikus pun akan lari 

melihatnya.

"Menyingkirlah...! Jangan menghalangi jalan-

ku...!" hardik perempuan muda itu. Orang-orang yang 

menghadangnya malah mendekat.

"Nona yang cantik. Nampaknya perjalanan No-

na masih sangat jauh, kami punya tempat peristiraha-

tan yang baik dan teduh. He... he... he...." Dawuk me-

rayu. Sempor berjalan mengelilingi gadis itu. Dungkil 

dan Kurusuwa memandangi paras yang cantik menga-

gumkan.

"Ada urusan apa sehingga kalian menghalangi 

jalanku? Menyingkirlah...! Aku tidak perlu istirahat. 

Dan aku tidak butuh kalian temani...." tukas gadis itu 

sengit, jemarinya erat menggenggam gagang pedang. 

Tangan Sempor yang kasar mencolek pundaknya, ta-

pi..... 

"Splaaak!" Cepat dia menepis.

"Jangan coba-coba menyentuh diriku, dan jan-

gan sampai aku yang muda ini terpaksa berbuat ku-

rang ajar...!" Gadis itu makin sengit. Pedang pendek 

keluar dari sarungnya. Terhunus ke arah Sempor. Da-

wuk mendorong tubuh Sempor, lalu....


"Wueeeeeh.... Ayam betina ini cukup galak juga. 

Orang galak biasanya akan ramah bila berada di atas 

tempat tidur...." Dawuk mengejek.

"Kurang ajar.!" Pedang pendek berkelebat me-

nyambar muka Dawuk. Kalau saja Dawuk tidak cepat 

mundur mulutnya sudah robek. Sempor yang berada 

dekat situ langsung menepak lengan yang menggeng-

gam pedang. Gadis itu membalasnya dengan sebuah 

tendangan. 

"Buuug!" Sempor terhuyung. Pedang pendek 

menjurus lagi terarah ke perut Sempor, rupanya gadis 

ini tidak main-main lagi. Melihat keadaan yang mende-

sak, Dungkil mengalihkan serangan itu dengan ten-

dangan yang melintas mendesak dada. Cepat, gadis itu

mengibaskan lengan kirinya. Maka tendangan yang 

mengarah ke dadanya meleset. Kuwusura menerjang, 

sebuah babatan pedang hampir saja menggores di 

punggungnya. Tapi dengan gerakan yang sangat cepat 

ia sempat melancarkan sebuah jotosan. 

"Akh...!" Gadis itu memekik. Dirasakan ngilu 

menyengat tulang rusuk. Baru kali ini ia mendapatkan 

pukulan yang demikian hebat. Tapi mana mau ia men-

galah, sekalipun lawannya itu berjumlah empat orang. 

Dengan jurus-jurus pedang yang ampuh, gadis itu me-

nyerang membabi buta pada keempat manusia bere-

wok. Dungkil setengah memutar tubuhnya, maka tu-

sukan pedang pendek luput. Semakin geram. Gadis itu 

menarik pedangnya lalu digantikan dengan sebuah 

tendangan keras ke depan. 

"Buug!" Dungkil terguling. Dawuk melompat 

mengganti posisi Dungkil. Ia pun tidak luput dari sam-

baran-sambaran pedang pendek. 

"Wesss! Wesssss!" Susah payah Dawuk meng-

hindarinya. Sempor cepat datang membantu. Tendan


gan terbang melesat, teriakan Sempor nyaring.

"Heaaaaa!" Gadis itu merunduk sambil memba-

batkan pedangnya ke atas. 

"Breeeet!" Paha Sempor tergores. Untung saja 

tidak begitu dalam. Sewaktu pedang pendek membabat 

paha Sempor, Sempor berhasil pula melancarkan pu-

kulan pada lengan yang menggenggam pedang. Gadis 

itu pun kesakitan, terbukti lengannya bergetar. Sem-

por masih dapat berdiri walaupun sebelah tangannya 

memegangi paha yang terluka itu. Dawuk melompat, 

terbang dengan kedua tangan yang siap menghantam. 

Gadis itu menyambut dengan babatan pedang yang 

bergerak lemah. Ternyata tendangan Dawuk lebih dulu 

menghantam pergelangan tangan, sampai pedang pen-

dek yang tergenggam erat terlepas. Lalu kedua tangan 

yang tadi siap menghantam menarik baju putih yang 

dikenakan. Gadis itu menepak kuat cengkraman Da-

wuk. 

"Breeeeek!" Cengkraman Dawuk terlepas beri-

kut sobekan kain putih. Gadis itu menyadari kalau ba-

gian dadanya terbuka lebar, buru-buru ia menutupi 

dengan sebelah tangannya.

"Manusia-manusia terkutuk! Aku akan menga-

du jiwa dengan kalian...!" Dia menyerang Dawuk den-

gan sebelah tangan. Dawuk hanya tertawa menyerin-

gai....

"Ha... ha... ha.... Hari ini empat begal Singa Kali 

Progo akan pesta besar..." Dawuk menghindari seran-

gan-serangan itu.

"Keparat...!" Gadis itu memekik hebat. Dari 

arah belakang Dungkil maju menyerang, tapi cepat ga-

dis itu membalikkan tubuhnya. Sebelah lengannya tadi 

menutupi bagian dadanya berkelebat. Melihat buah

dada yang putih mulus, Dungkil terbeliak.


"Deeess!" Sampai-sampai ia tidak sempat 

menghindari pukulan keras ke arah mukanya. Dungkil 

menjerit memegangi muka. Hidungnya banyak ke luar 

darah. Dawuk dan Sempor tertawa melihatnya. Gadis 

itu menutup kembali bagian dadanya. Tapi bagaimana 

bisa ia menghadapi keroyokan itu hanya mengandal-

kan sebelah lengannya? Apalagi serangan-serangan 

mereka gencar makin kurang ajar. Mula-mula ia hanya 

mengandalkan sebelah lengan, tapi lama kelamaan ha-

rus terpaksa mengerahkan kedua lengan. Membiarkan 

dadanya yang putih halus terbuka lebar. Tanpa pedang 

pendek keempat manusia berewok makin mudah me-

nyerang gadis itu. Sempor yang sudah tidak sabaran 

melompat maju, gadis itu menyambut dengan tendan-

gan. 

"Blaak!" Tendangan itu terhempas oleh gerakan 

Sempor. Tapi tendangan berikutnya berkelebat menyi-

lang ke atas. 

"Beeg!" Sempor sempoyongan, kepalanya terasa 

pening. Dawuk maju lagi. Kuwusura menyerang dari 

belakang. Menghadapi serangan dari dua arah cukup 

menyulitkan. Dia bermaksud menyambut serangan 

mana yang datang lebih dulu. Tapi yang disergap se-

rangan Dawuk. Karena kalau tidak segera diatasi, 

mungkin tubuhnya sudah terkena dua pukulan sekali-

gus. Dawuk yang tidak pernah tanggung-tanggung 

menghajar lawannya masih terus melancarkan seran-

gan beruntun. Gadis itu cepat memutar ke atas tan-

gannya, jotosan Dawuk meleset ke samping. Lolos dari 

Dawuk kini ia menghadapi Kuwusura. Sebuah ten-

dangan geledek menghalangi langkah Kuwusura. 

Namun cepat ia melompat menghindari tendangan itu. 

Dungkil yang hidungnya masih keluar arah maju 

menghantam pinggul gadis itu dengan keras. Sempor


malah berhasil menghajar punggungnya. Untuk Sem-

por gadis itu asih dapat membalas. Pukulan karate 

menghantam tenggorokan Sempor. Tapi secepat kilat 

Kuwusura melayangkan tamparannya. 

"Ploookk!" Gadis itu terpelanting hebat.

"Bodoh...! Kalian tak perlu membunuhnya! 

Tangkap dia hidup-hidup...!" Perintah Dawuk. Keti-

ganya berdiri tegar menyeramkan. Melihat lawan-

lawannya masih nampak segar bugar, gadis yang te-

lanjang dada itu jadi mengkirik. Cepat ia bangkit dan 

berlari menerobos hamparan alang-alang. Ia berpikir 

tidak mungkin dapat mengalahkan mereka, makanya 

ia cepat melarikan diri...

"Kejar...! Kejar....! Giring dia ke dalam hutan! 

Cepat....!" teriak Dawuk sambil mengejar. Ketiga anak 

buahnya berlari mengikuti. Hamparan alang-alang 

menyeruak oleh langkah-langkah mereka. Tanpa me-

noleh gadis itu berlari semakin kencang.

*

* *

Derak roda kereta disertai derap sepatu kuda 

membuyarkan debu-debu sekitar jalan itu berterban-

gan. Geletar cemeti sesekali terdengar bercampur he-

laan si pengemudi kereta kuda itu. Penumpangnya 

cuma satu orang, dengan si pengemudi jadi dua orang. 

Keduanya bergoyang-goyang dalam lajunya kereta. 

Wintara duduk diam dengan pandangan lurus ke de-

pan di samping Raden Sintoro Tinggil sibuk mengenda-

likan kuda-kudanya. Di hadapannya terlihat bayangan 

sebuah gunung berwarna kebiruan kemudian warna 

hijau menghampar di bawahnya. Pada sisi kanan kiri 

jalan itu menghampar pula alang-alang menghijau


menari-nari tertiup oleh angin. Pandangan Wintara ter-

sentak melihat sesuatu yang aneh di ujung hamparan 

yang menghijau setinggi satu meter itu. Sosok bayan-

gan putih berlari kencang sedang di belakangnya em-

pat orang bertubuh kekar-kekar mengejar. Wintara 

mengernyitkan alisnya. lalu...

"Stop, Raden...! Stop dulu!" Wintara menahan 

lengan Raden Sintoro Tinggil yang memegang tali ke-

mudi.

"Ada apa...?" Raden Sintoro Tinggil menarik tali 

itu, maka tak lama kereta itu berhenti. Wintara lang-

sung lompat. "Raden tunggu saja di sini...!" katanya. 

"Jangan ke mana-mana...!" Pesannya sambil lari me-

nyusuri jalanan itu. Pandangannya masih terus tera-

rah sosok bayangan putih. Sebuah benda sepanjang 

dua jengkal bersinar menyilaukan mengganggu pengli-

hatan Wintara. Setelah mengamati benda itu Wintara 

memungut nya dari tanah berpasir. Ternyata sebilah 

pedang pendek. Ingatannya terlintas sewaktu ia berada 

di desa Wadaslintang. Di sebuah penginapan. Dan seo-

rang wanita muda berkepandaian tinggi. Kenapa pe-

dang ini sampai terjatuh di sini tanpa sarung? Pikir 

Wintara. Lalu siapa pula sosok bayangan putih yang 

berlari kencang bagai angin itu? Siapa pula keempat 

orang bertubuh kekar yang mengejarnya? Wintara ti-

dak perduli, dengan menggenggam pedang pendek ia 

terus mengikuti ke mana arah orang-orang itu pergi.

Dawuk memasuki daerah hutan pesisir kali 

Progo. Pohon-pohon besar tumbuh di mana-mana. 

Semak-semak juga tumbuh merimbun tidak beratu-

ran. Dawuk celingukan mencari-cari gadis yang dike-

jarnya tadi. Ternyata buruannya telah hilang bersem-

bunyi. Sampai ketiga anak buahnya datang mengham-

piri, Dawuk belum juga menemukan tanda-tanda di


mana adanya gadis itu. Tentu saja mereka tidak akan 

menemuinya. Tubuh gadis itu bergelantungan di atas 

sebatang ranting pohon yang dirimbuni dedaunan hi-

jau melebat. Nafasnya diatur perlahan manakala 

keempat pengejarnya berada di bawahnya. Nampak 

Dawuk memberi aba-aba. Dan ketiga anak buahnya 

menyebar. 

Tapi.... "Kkrkrekraaaak...!" Ranting pohon itu 

tidak cukup kuat menahan beban. Sudah tentu suara 

itu menjadi perhatian keempat manusia berewok yang 

berada di bawahnya. Dibarengi suara patahnya rant-

ing, melesat sosok tubuh ramping berjumpalitan ke 

bawah. Hinggap begitu baik di tanah bererumputan. 

Melihat itu Dawuk menyeringai lebar. Terjangannya 

yang cepat membuat gadis itu gelagapan. Tahu-tahu 

saja Dawuk sudah memeluk erat tubuhnya. Ketiga 

anak buahnya ikut memegangi kedua tangan yang me-

ronta-ronta. Seorang lagi memegangi kedua kakinya. 

Dawuk melumati habis jenjang leher gadis yang berada 

di dalam dekapannya. Tangannya yang jahil menarik 

kasar celana panjangnya sampai robek. Terlihat paha 

yang putih mulus bergoyang-goyang meronta-ronta.

"Manusia-manusia bejad! Tidak ada pekerjaan 

lainkah selain memperkosa anak gadis orang...?" Suara 

itu begitu lantang terdengar. Serempak orang-orang 

berewok menoleh ke arah suara itu. Wintara berdiri te-

nang sambil menggenggam sebilah pedang pendek. 

Dawuk bangun melepaskan dekapannya. Sempor ber-

sama Dungkil masih memegangi tubuh gadis itu. Ku-

wusura juga ikut bangkit memandang bengis pada 

orang yang baru datang itu.

"Tampang kalian semua mirip perampok. Ha... 

ha... ha.... Mustahil kalau tidak sanggup membeli seo-

rang pelacur. Ha... ha... ha...." Wintara tertawa terbahak-bahak. Kalung hitam bergerak-gerak di lehernya. 

Mata Dawuk terbelalak melihat liontin kepala Elang 

dari perak bergerak-gerak saat Wintara tertawa. Da-

wuk mundur beberapa langkah kembali ke tempat se-

mula. Di luar dugaan jari telunjuknya bergerak cepat 

menotok peredaran darah gadis itu membuat tidak sa-

darkan diri. Kemudian keduanya mendekati Dawuk 

menghadapi pemuda itu. Wintara menyelipkan pedang 

pendek di balik ikat pinggangnya. Kuwusura yang me-

rasa terganggu atas kehadiran pemuda itu langsung 

menyerang. Hantamannya melesat cepat. Wintara 

hanya menyingkir selangkah. Tangan kirinya menyo-

dok keras. 

"Buuug!" Tubuh Kuwusura terguling. Wintara 

memandangi tubuh Kuwusura bergulingan, padahal 

hantaman itu tidak begitu keras. Dawuk langsung me-

lotot. Ia memberi aba-aba pada Dungkil dan Sempor 

untuk menyerang. Wintara malah maju. Kedua tela-

pak tangannya menjurus ke depan, kemudian dua len-

gannya memutar mematahkan serangan Dungkil mau-

pun Sempor. Dungkil yang semula melancarkan tin-

junya jadi berbalik mundur mendapat balasan ki-

basan tangan Wintara. Sempor yang masih belum ya-

kin akan kehebatan Wintara menyeruduk menyerang. 

Serudukannya disertai dengan beberapa pukulan yang 

diarahkan pada perut maupun muka. Dengan mudah 

Wintara menepis dan menyambutnya dengan sebuah 

tendangan. 

"Beeeeeeg!" Sempor terlempar bergulingan. Win-

tara masih berdiri menghadapi mereka. Bibirnya terse-

nyum ke arah gadis itu. Gadis itu sebenarnya masih 

bisa menangkap arti senyuman itu. Hanya saja ia telah 

terkena totokan dari Dawuk, sehingga ia tidak dapat 

bergerak. Gadis itu pun sempat melihat pedang pendek


terselip dalam pinggang Wintara. Dawuk, Dungkil, dan 

Sempor menyerang serempak. Belum sempat mereka 

melancarkan hantaman, Wintara mencelat ke atas.

Masih dalam keadaan di udara Wintara meng-

hajar sekaligus mereka bertiga dengan sabetan kaki. 

Ketiganya bergulingan. Tubuh Dawuk menabrak Sem-

por. Kemudian mereka bangkit lagi.

"Mata kalian buta semua...." bisik Dawuk pada 

Sempor. Dungkil tidak mengerti. "Kau lihat kalung 

yang melingkar di leher bocah itu...." bisiknya lagi. Se-

buah kalung hitam berliontin kepala Elang dari perak. 

Dungkil, Sempor maupun Kuwusura tersentak kaget. 

Kenapa bisa berada di tangan anak muda itu? Pikir 

mereka.

"Pusaka sudah ada di depan mata... Langsung 

saja kita rebut...." Kuwusura nekad maju. Terjangan-

nya bagai seekor banteng. Wintara yang sejak tadi 

memperhatikan gerak gerik mereka melompat mundur, 

kedua kakinya hampir tidak menyentuh tanah. Den-

gan lentingan tubuh yang ringan, tahu-tahu Wintara 

sudah berada di belakang Sempor. Lalu sodokan tela-

pak tangannya mendorong tubuh Sempor hingga ter-

pental.

"Kalian bertiga kenapa tidak maju sekalian? 

Hayo maju! Jangan kasak kusuk macam anjing tu-

mang...." Wintara menantang. Dawuk jadi geram.

"Seraaaaang....!" Dawuk menerjang. Sempor 

bersama Dungkil juga ikut menerjang. Mereka bertiga 

menggempur dengan serangan-serangan dahsyat. Jo-

tosan Dawuk hampir mengenai kepala, Wintara cepat 

menepak. Datang lagi tendangan dari arah kiri. Itu pun 

nyaris menghantam perutnya. Sempor menyerang den-

gan dua pukulan beruntun. Kaki Wintara naik ke atas 

menangkis, lalu maju ke depan menghajar pinggang


Dungkil. Terlempar masuk ke dalam semak-semak. 

Dawuk melompat dengan teriakan nyaring menyerang, 

Sempor melayangkan tinjunya. Tetapi gerakan Wintara 

lebih cepat lagi, begitu habis menendang, tubuhnya te-

rus memutar. Loncat menjauh menghindari dua serga-

pan itu. Dawuk dan Sempor seperti sadar dari mim-

pinya. Serempak mereka membalikkan tubuhnya.

Dari dalam semak-semak Dungkil muncul

membantu dua orang temannya. Kemunculan Dungkil 

mengejutkan Wintara. Kalau saja Wintara kurang 

awas. Tentunya hantaman yang dilancarkan Dungkil 

membuatnya terdorong atau terbanting. Kuwusura be-

rusaha bangkit walaupun masih dalam keadaan sem-

poyongan. Ia melihat ketiga temannya susah payah 

menghadapi pemuda itu. 

"Plaaaaak!" Wintara berhasil menghajar pung-

gung Dawuk. Sempor membalas dengan tendangan, 

tapi meleset menyerempet baju dari kulit binatang 

yang dikenakan Wintara. Cepat Wintara menghantam 

kaki Sempor dengan pukulan karate. Sempor tergul-

ing. Kuwusura tidak berani maju. Dawuk masih me-

megangi punggungnya yang terasa nyeri.

"Munduuuuur……!" Dawuk memberi perintah. 

Seperti biasa, ia lari paling dulu Sempor dan Dungkil 

langsung berjingkat menyusul. Kuwusura paling bela-

kangan. Wintara berdiri tenang memandangi keempat 

orang berewok yang lari terbirit-birit. Apalagi melihat 

langkah-langkah Kuwusura yang terpincang-pincang.

*

**


ENAM



Wintara memalingkan wajahnya saat ia melihat 

tubuh gadis itu tergeletak telentang di atas tanah be-

rumput. Bagaimana tidak. Kulit dada yang putih mu-

lus terbuka lebar dari balik bajunya yang terkoyak. Ti-

dak pantas seorang pendekar sejati menatap peman-

dangan semacam itu. Kasihan. Gadis itu betul-betul 

tak dapat bergerak. Mengeluarkan suara saja tidak 

mampu. Dengan sedikit kikuk Wintara menghampiri 

tubuh ramping itu, si gadis menatap dengan sorot ma-

ta yang penuh amarah. Wintara membuang muka lagi. 

Jari telunjuk dan jari tengahnya menyatu lurus. Ia 

memberanikan diri menyentuh kulit dada dengan ke-

dua jarinya itu. Merayap perlahan sampai pada sela-

sela dua bukit yang menonjol di bagian dada yang pu-

tih halus. Wajah gadis itu merah padam. Di luar du-

gaan Wintara cepat menotok di bagian itu. Si gadis ter-

sentak. Terbebas dari totokan, telapak tangannya re 

flek melayang menyambar pipi Wintara. Pedas juga 

tamparan itu. Cepat Wintara melompat mundur. Ia 

mengerti perasaan gadis itu.

Sebenarnya si gadis pun mengerti apa yang di-

lakukan Wintara terhadap dirinya. Tidak ada maksud 

apa-apa selain membebaskan totokan Dawuk. Tampa-

rannya hanya spontanitas yang terpaksa di luar piki-

rannya. Wajahnya masih merah padam, tangannya 

pun cekatan membetulkan baju yang terkoyak itu.

"Manusia kurang ajar...! Aku sudah berjanji 

akan membelah kepalamu. Sekarang malah berani 

menunjukkan diri...." kata gadis itu dengan muka yang 

memerah. Wintara tidak menyahut. Ia mencabut pe-

dang, pendek dari pinggangnya, kemudian ia melem


parkannya ke hadapan si gadis itu. Lain berkata...

"Itu milikmu..... Kutemukan tergeletak di ten-

gah jalan...." Wintara beranjak meninggalkan si gadis. 

Gadis itu melompat menghadang langkah-langkah 

Wintara. Ujung pedang yang tajam dingin menempel di 

dada Wintara. Wintara tidak bereaksi....

"Nona.... Anggap saja perselisihan kita di Wa-

daslintang hanya persoalan kecil. Aku pun sudah me-

lupakannya. Bahkan sudah tidak ingat lagi. Sekarang 

kita bertemu. Aku mempunyai kesan bahwa kau ada-

lah seorang pendekar yang sangat hebat...." kata Win-

tara tenang.

Gadis itu menatap tajam ke wajah Wintara. 

Tangannya yang menggenggam pedang di tarik perla-

han. Setelah memasukan pedang pendek ke dalam sa-

rungnya, ia mengambil sesuatu dari balik ikat ping-

gang. Sekeping uang emas.

"Tolong belikan aku pakaian. Dan secepatnya 

bawa ke mari...." Selintas Wintara teringat Raden Sin-

toro Tinggil yang menunggunya di jalan besar. Ingat 

pula dengan perbekalan yang dibawa oleh orang kaya 

itu. Mustahil kalau Raden Sintoro Tinggil tidak mem-

bawa bekal pakaian. Maka....

"Uang sebesar itu tidak mungkin akan ada 

kembalinya, simpan saja. Dan tunggu aku di sini..." 

Wintara beranjak, langkahnya setengah berlari. Ke luar 

hutan dan menerobos hamparan alang-alang nan luas. 

Kereta kuda masih menunggu di sana. Begitu juga Ra-

den Sintoro Tinggil. Ia masih nangkring di atas kursi 

kereta. Ia berkedip ketika dilihatnya Wintara berlari 

mendekatinya. ! 

"A-a-ada apa, anak muda...." tanyanya gagap.

"Maaf, Raden.... Apakah Raden membawa pa-

kaian salin?" kata Wintara begitu mendekati kereta


kuda.

"Bawa...." jawabnya cepat sambil menoleh ke 

belakang, pandangannya tertuju pada sebuah bunta-

lan besar.

"Kalau boleh, saya pinjam dulu satu pasang. 

Bukan buat saya, tapi...." Wintara tidak berani mene-

ruskan kata-katanya.

"Aaaah... Buat siapa pun tidak jadi masalah. 

Aku tahu! Pasti untuk menolong seseorang. Iya kan? 

He... he... he..... Kau boleh ambil sendiri dalam bunta-

lan itu..... Ambillah.."

Maaf. Kata itulah yang keluar dari mulut Win-

tara sebelum membuka buntalan kain yang ada di be-

lakang kereta.

Gadis itu masih berdiri menanti kedatangan 

Wintara. Sebentar-sebentar ia menoleh ke hamparan 

alang-alang. Kedua tangannya melipat di atas dada. 

Udara di sekitar hutan memang menyegarkan, kicauan 

burung tidak henti-hentinya bersahutan. Sayup-sayup 

terdengar pula suara riak air kali Progo. Ia tersentak 

ketika langkah-langkah Wintara kembali menemuinya.

"Pakailah. Mungkin kebesaran. Karena tubuh 

Raden Sintoro Tinggil memang gemuk. Maaf aku tidak 

tahu warna kesukaan mu...." Wintara melempar satu 

pasang pakaian berwarna biru muda. Gadis itu me-

nangkapnya dengan sebelah lengan. Alisnya menger-

nyit. Raden Sintoro Tinggil? Mengapa kebetulan sekali 

ia menjumpai orang-orang yang tadi berada di Wadas-

lintang? Ah! Masa bodoh... Yang penting sekarang ia 

sudah mendapatkan sepasang pakaian.

"Dasar kurang ajar! Tunggu apalagi? Mau lihat 

aku tukar pakaian?" Gadis itu setengah membentak. 

Wintara jadi salah tingkah.

"Bu-bukan...! Aku tidak bermaksud ke situ.


Aku mau tanya.... Kemanakah tujuan Nona sebenar-

nya? Nona bisa menumpang di kereta Raden Sintoro 

Tinggil...." tukas Wintara. Gadis itu melotot.

"Mau tahu urusan orang.... Dasar culas!"

"Kalau begitu.... Aku permisi. Mudah-mudahan 

kita bisa bertemu lagi..." Setelah berkata begitu, Winta-

ra bergegas pergi meninggalkan gadis itu sendirian.

*

**

"Kang...! Kang Dawuk.... Tungguuuuu!" Kuwu-

sura berlari menyusul ketiga sahabatnya. Meski pun 

dengan terpincang-pincang larinya cepat sekali. Masih 

bisa melompat batu-batu terjal yang menghadang.

"Kangggg... Tungguuuuuuu!"

Dawuk tidak perduli dengan teriakan-teriakan 

Kuwusura. Larinya semakin cepat. Dungkil dan Sem-

por setengah mati mengimbangi. Sebenarnya mereka 

kasihan melihat Kuwusura yang berlari jauh terting-

gal....

"Kang....! Sudah sejauh ini kita berlari...!" Ke-

napa belum juga berhenti...!" teriak Dungkil.

"Tidak ada waktu lagi... Kita harus cepat me-

nemui Ki Randaka sekarang juga...! Sebaiknya kalian 

tidak perlu ikut....! Awasi saja ke mana perginya pe-

muda sial itu,...!” jawab Dawuk dari kejauhan. Hebat! 

Dawuk pemimpin begal Singa Kali Progo punya renca-

na lain. Ada rasa khawatir yang membebani pikiran 

mereka. Takut kalau-kalau KI Randaka tidak akan 

menerima kehadirannya. Atau menghajar habis-

habisan.

Sebentar saja Dawuk sudah hilang dari pan-

dangan mereka. Menyusuri sepanjang pinggiran kali


lebih mudah untuk menemukan Ki Randaka. Dawuk 

berharap masih bisa menemuinya. Makanya larinya 

makin cepat laksana kijang. Kadang-kadang pula ia 

harus meloncat mempercepat langkahnya. Sekali lom-

patannya hampir mencapai sepuluh meter. Berlari dan 

melompat. Begitu terus tanpa mengenai lelah. Hatinya 

cukup tenang ketika dari jauh ia melihat sebuah pera-

hu dengan layar terkembang. Melaju mengikuti arus 

air kali. Saking gembiranya ia tidak memperhatikan 

tanah becek yang diinjaknya, ia pun tergelincir hampir 

nyemplung ke kali. Dawuk bangun lagi kemudian me-

lanjutkan larinya.

"Ki Randakaaaaaaa.....!" Teriakannya nyaring 

bergema. Lelaki tua yang berdiri mengendalikan ha-

luan menoleh mendengar teriakan yang bergema itu. Ia 

melihat sosok tubuh berlari kencang berusaha menyu-

sul. Sosok bayangan itu begitu kecil, sehingga sukar 

untuk mengenali siapa orang tersebut...

"Wagunkah....?" terkanya dalam hati. Ki Ran-

daka memutar layar agar laju perahunya sedikit ber-

kurang. Ia sengaja menanti orang yang berusaha me-

nyusulnya. Kalau Wagun atau Sambali kenapa ia ha-

rus tidak memakai baju? Lagipula seluruh muka orang 

itu nampak hitam pekat dari kejauhan. Setelah agak 

mendekat barulah ia tahu warna hitam pekat itu wa-

jahnya itu berewok yang sangat lebat. Pasti salah satu 

anggota Singa Kali Progo, pikir Ki Randaka. Memang 

betul. Dawuk terengah-engah dengan keringat mem-

banjiri seluruh tubuhnya, Ki Randaka memandang pe-

nuh keheranan.

"Cari mampus! Berani benar kau menghadang 

jalanku...."

"Maaf, Ki Randaka.... Izinkanlah aku bicara sebentar saja...."


"Soal apa...?" tanya Ki Randaka.

"Pusaka Elang...." jelas Dawuk dengan nafas 

ngos-ngosan. Bagai disambar petir Ki Randaka men-

dengar ucapan Dawuk.

"Mana pusaka itu...! Mana...!" Ki Randaka gu-

sar.

"Ada pada seorang yang sadis dan kejam.... Aku 

sendiri melihat saudara Wagun dan Sambali dibunuh-

nya...."

"Bangsat! Kraaaak...!" Ki Randaka menghajar 

hancur kayu haluan. Sekonyong-konyong tubuhnya 

melesat berputar di udara, kemudian hinggap di hada-

pan Dawuk. Langsung mencengkeram leher Dawuk.

"Di mana manusia jahanam itu. Cepat.... Kata-

kan!" Ki Randaka murka sekali. Ia mengguncang-

guncangkan leher Dawuk yang hampir tidak bisa ber-

nafas.

"Tidak ada yang bisa mengalahkan dia. Kelom-

pok kami pun tidak dapat mengatasinya...." Suara Da-

wuk hampir hilang. Cengkeraman Ki Randaka men-

gendur.

"Bagaimana kau bisa tahu pusaka Elang ada di 

tangannya!" Ki Randaka membentak.

"Dikenakannya sebagai kalung dengan seutas 

tali hitam!" Jawab Dawuk cepat. Cengkeramannya ter-

lepas. Ki Randaka ingat betul ketika ia mengikat pusa-

ka Elang dengan tali hitam. Juga membungkus pusaka 

itu dengan kain hitam, lalu dengan sengaja ia menge-

nakannya pada seekor anjing yang ikut bersama Adi-

naya bersama istrinya membawa pusaka Elang ke Ge-

rongsewu. Pasti orang itu pula yang telah membunuh 

Adinaya bersama istrinya, dan sampai tega pula meng-

hancurkan kepala anjing yang mengenakan kalung itu, 

Keparat! Gerutu Ki Randaka....


"Antar aku ke sana...! Orang itu harus bertang-

gung jawab atas kematian orang-orang Elang Perak. 

Dan pusaka Elang harus kembali berada dalam tan-

ganku...."

"Tenang... Tenang.... Tiga anak buahku tengah 

menguntit perjalanannya...." kata Dawuk menenang-

kan suasana. Dawuk berjalan di depan, keringatnya 

masih membanjir di sekujur tubuhnya. Wajah yang di-

tumbuhi janggut yang lebat mencereng terkena sinar 

matahari.

*

**

Bulan bersinar penuh menerangi desa terpencil 

yang jauh dari Wadaslintang. Beberapa gubuk terdapat 

di situ dengan jarak yang berjauhan terhalang semak-

semak. Sebuah jalanan selebar hampir tiga meter 

menghubungi dari gubuk ke gubuk. Desa yang sunyi 

sepi, dengan keheningan malam yang diterangi rembu-

lan. Padahal hari masih sore, tapi para penduduknya 

jarang ada yang keluar.

Sebuah kereta kuda tertambat di samping gu-

buk yang diterangi lampu obor. Di depan gubuk itu 

terdapat sebuah balai. Di atasnya terbaring sosok tu-

buh gemuk seorang lelaki. Nampaknya telah tertidur 

pulas. Di halaman gubuk banyak bertumpuk batu-

batu kali yang besarnya tidak beraturan. Seorang lela-

ki muda duduk pada tumpukan batu tersebut. Sambil 

menatap ke langit memandangi bulan yang bergeser 

sedikit demi sedikit. Ia menghirup udara malam da-

lam-dalam.

Pemilik gubuk ke luar membawa sepiring ma-

kanan dan meletakkan di atas balai yang cukup besar,


lalu ia ke luar menemui pemuda itu.

"Den.... Dimakan dulu singkong rebusnya. 

Maklum saja, Aki tidak punya apa-apa...." Pemilik gu-

buk menyentuh baju bulu pemuda yang duduk di atas 

bebatuan. Pemuda itu tersenyum, ia mengikuti lang-

kah orang tua si pemilik gubuk. Sampai di teras gu-

buk, ia membangunkan lelaki gemuk yang tertidur pu-

las di atas balai. Lelaki gemuk itu menggeliat.

"Raden.... Kopinya hampir dingin sebaiknya di-

minum saja..... Biar tidak ngantuk...."

Orang yang disebut Raden menguap lebar. Ma-

tanya masih sepat. Lesu ia menyambar gelas berisi ko-

pi yang sejak tadi berada di atas balai. Dihirupnya 

sampai tinggal tiga perapat gelas.....Ahhhhhh.... Nik-

mat meskipun sudah terlanjur dingin. Tiba-tiba....

"Hieeeeeeeee...!" Dua ekor kuda yang ter-

tambat di samping gubuk meringkik nyaring. Ketiga 

orang berada dalam teras gubuk tersentak. Pemuda itu 

lari ke samping. Kuda-kuda itu diam kembali setelah 

dielus-elus. Lalu mengawasi sekitar tempat itu. Gam-

pang saja! Karena malam itu terang bulan. Pemuda itu 

melihat sosok tubuh ramping berjalan perlahan den-

gan langkah-langkah yang gagah. Hm... Gadis itu la-

gi.... Pikirnya.

"Nona, sudah tiga kali ini kita bertemu.... Pasti-

lah tujuan kita sama, Nona ingin ke Gerongsewu, bu-

kan....?" Pemuda itu langsung menegur. Tapi wanita 

muda itu terus melangkah.

"Kalau bakal ketemu di sini, menyesal aku ti-

dak mengajakmu menumpang di kereta milik Raden 

Sintoro Tinggil...."

Gadis itu tetap acuh. Kata-kata pemuda itu ti-

dak dihiraukan sama sekali. Ia melangkah terus menu-

ju gubuk yang masih terang. Ia melihat dua orang lelaki. Yang satu pendek gemuk yang pernah ditemuinya 

di Wadaslintang, satu lagi bertubuh kurus. Pakaiannya 

pun nampak lusuh dan kumal, Pastilah ia pemilik gu-

buk ini, pikirnya. Tanpa menoleh ke arah Raden Sinto-

ro Tinggil ia mendekati pemilik gubuk.

"Maaf, Ki.... Malam ini aku bermaksud menum-

pang beristirahat di sini...." kata gadis itu tanpa ragu-

ragu. Orang tua itu tidak langsung menjawab. Ia sen-

diri hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

Seorang gadis cantik berpakaian serba biru muda, 

bermaksud beristirahat di gubuknya. Baru kali ini ia 

kedatangan tamu-tamu yang sangat ganjil. Apakah ini 

alamat akan mendapat rezeki?

"Aki tidak perlu repot-repot melayani saya, cu-

kup saya beristirahat di luar...." kata gadis itu lagi.

"Ah.... Mana bisa begitu.... Pantangan bagi seo-

rang perempuan tidur di luar...." sergah Raden Sintoro 

Tinggil.

"Terima kasih atas pinjaman sepasang baju ini, 

Raden.... Kapan-kapan akan saya kembalikan..." jawab 

gadis itu lain. Raden Sintoro Tinggil menunduk malu. 

Pemilik gubuk memandang keduanya. Wintara sudah 

ada di situ.

"Benar kata Raden Sintoro Tinggil itu, Nona.... 

Gubuk ini memang kecil, tapi sepuluh orang macam 

Nona masih bisa menampung." kata pemilik gubuk itu. 

"Justru kalau nona tidur di luar, saya tidak akan men-

gijinkannya...." katanya lagi. Gadis itu tersenyum. Ia 

mengambil sekeping uang emas dari balik bajunya. La-

lu...

"Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih. 

Ambillah ini sebagai oleh-oleh dari saya. Ayo..." Gadis 

itu menarik lengan kurus si pemilik gubuk, lalu mele-

takkan uang emas itu ke dalam telapak tangan yang


gemetar. Seperti terbangun dari mimpi orang tua itu 

membuka telapak tangan yang semula tergenggam. 

Matanya melotot menatap kepingan uang logam ber-

warna keemasan.

"Aduuuh.... Orang-orang desa ini tidak percaya 

saya memiliki uang sebanyak ini, Nona...." Pemilik gu-

buk malah ketakutan "Saya tidak bisa meneri-

manya...." katanya lagi sambil mengembalikan uang 

emas itu.

"Kenapa musti bingung-bingung. Aki bagikan 

saja orang-orang kampung sini, tentunya mereka akan 

senang. Dan katakan pada mereka bahwa Aki mene-

mukan uang itu. Kan beres..."

Orang tua kurus itu mengangguk-angguk per-

lahan. Lalu ia masuk ke dalam menaruh uang logam 

itu. Si gadis hanya mengawasinya, sebentar kemudian 

ia ke luar dengan kedua tangan melipat di dada. Pan-

dangannya menatap ke atas. Wintara melangkah per-

lahan mengikuti gadis itu yang sudah berdiri dekat 

tumpukan-tumpukan batu kali. Berat sekali ia menge-

luarkan kata-kata.

"Janggal rasanya kalau kita tidak saling berke-

nalan, Nona... Namaku Wintara.... Siapakah kiranya 

Nona ini? Aku sampai di sini hanya mengantar Raden 

Sintoro Tinggil ke Gerongsewu. Nona juga mau ke sa-

na, kan?" kata Wintara memberanikan diri.

"Pintar juga akalmu.... merasa punya ke-

beranian tinggi, pura-pura mengantarkannya. Padahal 

ingin menguras seluruh isi kantong Raden Sintoro 

Tinggil yang terkenal banyak uang...." jawab Gadis itu. 

Wintara hanya senyum mendengarnya, lalu....

"Bukan aku yang menawarkan mengantar Ra-

den Sintoro Tinggil, tapi dia sendiri yang meminta. Ma-

lah tadinya ia ingin membayar mahal tapi dengan tulus


aku menolak...." jelas Wintara. Gadis itu menoleh.

"Begitu berani kau pergi ke Gerongsewu dengan 

memamerkan pusaka Elang, betul-betul tidak tahu 

penyakit...."

Wintara kaget setengah mati, jantungnya bagai 

disiram air panas. Ternyata gadis yang selama ini tiga 

kali bertemu, tahu adanya pusaka yang melingkar di 

leher Wintara. Wintara langsung mengusap benda itu.

"Apakah kau juga ingin merebut pusaka ini. 

Sudah banyak orang yang menginginkannya...." kata 

Wintara polos.

"Aku tidak tertarik dengan segala benda pusa-

ka. Buat apa? Kalau nantinya menjadi malapetaka. Be-

tul! Aku akan ke Gerongsewu... Hanya untuk mencari 

seorang pembunuh...." Kata gadis itu lirih.

"Pembunuh...?"

"Yah. Pembunuh Ayahku...." jawabnya cepat. 

"Salah seorang dari orang-orang yang akan mengikuti 

pertemuan adalah pembunuh Ayahku!" katanya lagi.

"Siapakah nama Ayahmu. Itu pun kalau boleh 

kutahu...." tanya Wintara.

"Kau akan mati berdiri bila mendengarnya...."

"Katakanlah...."

"Lungo Paksi!" jelas sekali sebutan nama itu. 

Astaga, Ternyata gadis cantik ini putri seorang tokoh 

kosen yang termasyur dalam rimba persilatan. Pan-

tas.... Pantas... Ia pun memiliki ilmu yang tinggi pula 

seperti ayahnya. Hanya sayang ia masih terlalu muda.

"E-e Nona...."

"Jangan pangil aku dengan sebutan itu lagi. 

Namaku Tari Wening Asih.... Atau Tari Wening sing-

katnya...."

Tari Wening Asih.... Tari Wening.... Wening 

Asih.... Tari.... Ah apa kira-kira yang cocok untuk sebutan gadis secantik itu? Wintara masih mencari-cari.

"Mereka mengkhianati Ayahku. Dengan tudu-

han telah bersekongkol pada orang-orang yang berdiri 

di deretan aliran hitam. Sekali pun benar, mereka ti-

dak perlu membunuhnya dengan cara keji. Paling ti-

dak menghukumnya secara adilnya hukum persilatan 

aliran lurus. Mereka menyeretnya sampai ke Gerong-

sewu. Salah seorang dari mereka telah menewaskan 

Ayahku dengan sebuah pukulan Telapak Tangan Hi-

tam. Selain itu, tidak ada lagi tanda-tanda bekas pu-

kulan atau pun pembunuh Ayahku. Beberapa hari lagi 

mereka akan berkumpul di Gerongsewu, untuk mengi-

kuti pertemuan yang diadakan tiap tiga tahun sekali..."

"Pertemuan...? Pertemuan untuk mengadu ke-

pandaian ilmu....?" tanya Wintara ingin tahu. Hampir 

saja kedua tangannya menyentuh tubuh gadis itu yang 

berdiri membelakanginya. Untung saja Wintara cepat 

sadar dari ketololannya.

*

* *

TUJUH



"Wuaaaaaa...! Toloooooong...! Tolooooong...!" 

Raden Sintoro Tinggil menjerit-jerit histeris. Pemilik 

gubuk cepat ke luar. Begitu juga Wintara dan Tari 

Wening Asih, keduanya segera melompat ke arah teria-

kan itu. Nampak Raden Sintoro Tinggil setengah ter-

tidur meronta-ronta. Lengan kanannya terangkat me-

nempel pada dinding kayu. Sebatang anak panah me-

nembus lengan baju sampai ke dinding kayu. 

"Lenganku...! Lenganku....!"


Wintara menarik anak panah itu, cukup keras 

juga menembus ke dinding kayu. Sebatang anak pa-

nah yang sama seperti yang didapat di desa Wadaslin-

tang. Sebelum mencabutnya Wintara sudah melihat 

gulungan kertas mengelilingi batang anak panah itu. 

Wintara tidak memperdulikan Raden Sintoro Tinggil 

maupun orang lain yang berada di situ sekalipun pada 

Tari Wening Asih. Ia langsung membaca isi surat itu....

Serahkan pusaka Elang pada kami.

Jangan coba-coba menolak, bila kepala kalian 

ingin menggelinding ke tanah...

Wintara diam lalu menyerahkan kertas itu pada 

Tari Wening Asih yang segera langsung membacanya. 

Raden Sintoro Tinggil masih gemetaran ketakutan. Se-

kalipun yang ditembus batang anak panah itu hanya 

lengan bajunya. Pemilik gubuk juga nampak ketakutan

"Tenang... tenang, Ki.... Aki tidak perlu takut. 

Lagipula Aki tidak akan terlihat dalam urusan ini...." 

kata Tari Wening Asih membujuk.

"Bagaimana Aki bisa tenang, Non.... Coba saja 

lihat.... Orang kaya itu hampir saja dia terbunuh di si-

ni...." kata si pemilik gubuk gemetar.

"Percayalah.... Kami akan melindungi Aki juga 

orang kaya itu." Tari Wening Asih menunjuk ke arah 

lelaki gemuk yang duduk merungkut.

Anak panah masih dalam genggaman Wintara, 

ia ke luar gubuk dengan perasaan yang tidak habis pi-

kir. Wintara menuju pada tumpukan batu kali, lalu ia 

duduk di pinggirannya. Sebenarnya ia ingin menye-

rahkan pusaka itu pada si pemanah misterius. Tapi 

apakah betul orang itu pemiliknya? Bagaimana kalau 

bukan? Tentunya akan lebih parah lagi.... Wintara tidak takut pada ancaman yang tertulis dalam gulungan 

kertas yang barusan dibacanya. Jangankan hanya se-

buah ancaman, tantangan pun pasti akan ia hadapi. 

Tapi ini soal lain. Soal pusaka. Wintara sendiri tidak 

tahu milik siapa pusaka yang tergantung di lehernya 

ini. Ini yang membuat Wintara tak habis pikir. Dan 

merasa terlibat. Dua kali Raden Sintoro Tinggil nyaris 

membuang nyawa. Kenapa harus sasarannya Raden 

Sintoro Tinggil? Bukan kepada dirinya yang mengena-

kan kalung hitam berliontin kepala Elang sebesar tela-

pak tangan. Kenapa? Dan berkali-kali hanya nyaris 

merenggut nyawa Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro 

Tinggil hanya seorang saudagar kaya yang tidak tahu 

apa-apa soal pusaka Elang. Kenapa ia harus terlibat. 

Apakah lantaran ia dekat dengan Wintara....? Wintara 

makin tidak mengerti. Ada penyesalan sewaktu ia 

mengambil kalung hitam dari orang yang sudah tak 

bernyawa. Yang ditemukannya di pinggiran kali Progo.

"Win...." Terdengar suara halus menegurnya. 

Wintara tahu itu suara Tari Wening Asih. Tapi Wintara 

tetap tidak mau menoleh. Ia semakin hanyut dalam pi-

kiran yang datang bertubi-tubi merumit. Wintara me-

mejamkan matanya. Dirasakannya jemari lentik Tari 

Wening Asih. Wintara tetap tidak menoleh.

"Aku tidak tahu pusaka ini milik siapa...! Aku 

hanya menemukannya di pinggiran Kali Progo pada 

seorang yang sudah tidak bernyawa....!" Wintara seten-

gah berteriak. Tari Wening Asih memandangi wajah 

Wintara.

"Menemukan secara tidak sengaja. Itu sudah 

berarti pusaka itu telah menjadi milikmu mutlak!" kata 

Tari Wening Asih. Baru dirasakan oleh Wintara kata-

kata yang begitu lembut keluar dari mulut seorang wa-

nita yang diduganya tinggi hati.


"Tapi pusaka ini bukan milikku yang se-

mestinya. Aku tidak tahu ke mana pusaka Elang ini 

mesti kubawa dan kuberikan pada siapa...?" kata Win-

tara dengan nada menyesali.

"Baru kali ini kulihat seorang pendekar kesatria 

bertingkah cengeng. Baru menghadapi surat ancaman 

saja, sudah belingsatan...."

Mendengar ucapan itu, Wintara langsung me-

matah belahkan anak panah yang tergenggam. Wintara 

tidak tersinggung atas kata-kata Tari Wening Asih. Ta-

pi Wintara berpendapat gadis cantik itu justru tidak 

tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Patahan-patahan 

anak panah itu dilemparkan demikian kencang semba-

rangan, tapi.....

Beberapa jeritan terdengar panjang. Dari se-

mak-semak yang merimbun bergulingan tiga sosok tu-

buh memegang busur berkelojotan dan kemudian ka-

ku tak berkutik. Masing-masing kepalanya menancap 

sebuah bekas patahan-patahan batang anak panah 

yang barusan dilemparkan oleh Wintara. Wintara sen-

diri jadi terpana menyaksikannya. Tari Wening Asih 

lain lagi. Ia segera memperhatikan seluruh semak-

semak merimbun yang berada di situ. Segerombolan 

semak bergoyang. Tari Wening Asih melompat ke atas 

gundukan pada tumpukan batu-batu kali. Secepat ki-

lat ia menendang batu yang paling menonjol.

"Weeessss!" Batu itu melesat ke arah semak-

semak yang bergoyang tadi. Sesosok tubuh keluar dari 

situ dengan jeritan yang hebat. Busur panah terlem-

par. Sedangkan pemiliknya sudah terkapar dengan ke-

pala hancur.

"Kita sudah terkurung...." bisik Tari Wening 

Asih. Sudah tentu bisikannya tertuju pada Wintara. 

Wintara memandang ke arah gubuk. Raden Sintoro


Tinggil sudah tidak ada di situ. Mungkin ia telah ma-

suk ke dalam gubuk. Syukurlah di dalam gubuk ten-

tunya ia akan aman.

Tari Wening Asih menendangi setiap batu da-

lam tumpukan itu. Semua tendangannya terarah pada 

semak-semak yang ada di situ. Namun tidak ada jeri-

tan satu pun dari hasil tendangan-tendangan batu itu. 

Sungguh tenaganya terbuang percuma. Tapi ia cukup 

puas. Itu berarti pasukan pemanah sudah tidak ada 

lagi di sekitar situ. Wintara berlari memasuki gubuk 

itu. Perlahan ia membuka pintu kamar. Dilihatnya Ra-

den Sintoro Tinggil sudah tertidur lelap bersama pemi-

lik gubuk dalam satu balai. Wintara menghela nafas, 

kekhawatirannya sirna. Selagi Wintara masuk ke da-

lam gubuk, Tari Wening Asih berjaga di luar. Benar-

benar sunyi..... Tapi bukan berarti mereka masih bisa 

beristirahat dengan tenang. Satu detik saja mereka 

lengah, barangkali serangan semacam tadi akan da-

tang lagi.

"Benar katamu, Tari...." kata Wintara sambil ke 

luar kamar. Tari Wening Asih menoleh ke arah suara 

itu.

"Aku khawatir Raden Sintoro Tinggil dan pemi-

lik gubuk ini akan menjadi korban...." Sambungnya la-

gi. Ia menghampiri gadis itu.

"Kenapa musti takut? Kalau tadi pasukan pe-

manah mau membunuh mereka, tentunya mereka su-

dah menyerang dari tadi...." Pendapat gadis itu. Lalu 

keduanya terdiam. Masing-masing dalam kebisuan-

nya. Suasana makin sunyi. Bulan di atas sana masih 

menerangi desa terpencil itu, meski dengan sinar yang 

redup. Berjalan merambat menelusuri sang waktu...

* * *

Sinar matahari menyilaukan mata Tari Wening 

Asih yang tertidur memeluki kedua lututnya di atas 

balai. Tubuhnya bersandar pada dinding kayu. Telin-

ganya dibisingkan oleh suara batu-batuan yang beradu 

sangat keras. Cepat ia menoleh keluar. Nampak Winta-

ra mengumpulkan kembali batu-batu kali yang beran-

takan bekas semalam. Dengan malas Tari Wening Asih 

menggeliat bangun.

"Tadinya aku yang akan membereskan batu-

batu itu. Ah.... Kenapa aku jadi terlambat bangun...." 

kata gadis itu sekedar basa basi.

"Sekarang sudah beres....! Mau apalagi....?" ja-

wab Wintara sambil mengumbar senyum.

"Paling tidak mengucapkan terima kasih...." 

Gadis itu menggeliat lagi melemaskan seluruh otot-

ototnya. Kemudian ia ke luar dari teras gubuk.

"Bagaimana dengan Raden Sintoro Tinggil.... 

Apakah dia sudah bangun...?" tanya Wintara sambil 

meletakkan batu yang terakhir.

"Entahlah.... Sejak aku bangun dengkurnya 

masih kedengaran." jawab Tari Wening Asih sambil 

melangkah ke samping gubuk. Ia menuju surau. Air 

pancuran terdengar gemericik. Wintara membetulkan 

letak batu yang hampir menutupi empat mayat terse-

but dengan tikar bekas alas balai. Sudah dari tadi ia 

menunggu pemilik gubuk itu keluar. Maksudnya agar 

minta pertolongan pada orang-orang kampung untuk 

menguburkan mayat-mayat itu sebagai mana mes-

tinya. Biasanya orang-orang kampung bangun lebih 

awal sebelum matahari terbit. Aneh.... Apakah mereka 

tidak mempunyai kesibukan sehari-hari.... Paling ti-

daknya mereka ke sawah atau mengambil air. Ini Ti-

dak!


Pintu gubuk berderit, lalu terkuak lebar. Mun-

cul Raden Sintoro Tinggil dengan muka masam. Ia 

mengucek-ucek matanya yang masih terasa perih ka-

rena kurang tidur. Tak lama kemudian pemilik gubuk 

ke luar menyusul. Tenang pikiran Wintara, ia langsung 

menemui pemilik gubuk itu.

"Ki, tolong minta bantuan pada orang-orang se-

kitar sini untuk menguburkan empat mayat itu...." ka-

ta Wintara sambil menunjukkan ke tumpukkan batu-

batu kali. Raden Sintoro Tinggi dan pemilik gubuk me-

lihat empat mayat terbujur kaku ditutupi dengan se-

lembar tikar.

"Se-se-semalam ada serangan lagi...?" kata pe-

milik gubuk itu.

"Semuanya pasukan pemanah.... Entah dari 

partai mana...!" kata Wintara tegas. Pemilik gubuk jadi 

kikuk. Tapi ia melangkah dengan ragu-ragu mening-

galkan gubuknya untuk meminta bantuan. Desa ter-

pencil itu hanya terdapat beberapa gubuk. Semuanya 

dapat dihitung dengan jari. Jaraknya berjauhan. Ada 

kira-kira tiga puluh meter. Setengah berlari orang tua 

itu menuju salah satu gubuk yang paling dekat dengan 

gubuknya. Dari kejauhan nampak gubuk yang di-

tujunya begitu sepi.

"Go.... Wanggo....! Aih... apa sudah pada be-

rangkat ke sawah..... Go..... Wanggo....."

Orang itu memperhatikan keadaan muka gu-

buk. Pintunya memang terbuka sejak tadi. Makanya ia 

masuk saja. Baru ia melangkahi pintu, mata serta mu-

lutnya terbuka lebar. Teriakannya parau terdengar 

menyeruak. 

"Arghhhhhht...!" Bagai terpaku ia tidak bisa 

bergerak. Di hadapannya telah bermayat Wanggo be-

serta istri dan sanak saudaranya. Berikut kedua anak


nya yang masih kecil-kecil. Wanggo terlentang menin-

dih mayat istrinya dengan empat batang anak panah 

menembus di bagian punggung dan perut. Istrinya 

sendiri mati dengan rongga mata yang hancur tertem-

bus anak panah. Salah seorang saudara lelaki Wanggo 

kepalanya hilang. Dua anaknya yang masih kecil-kecil 

mati berpelukan dengan mulut berlumuran darah. 

Hampir seluruh ruangan itu berhamburan anak-anak 

panah. Orang tua itu bergidik, kedua kakinya gemetar. 

Susah sekali ia beranjak dari situ. Setelah ia tersadar 

barulah ia melangkah mundur. Kemudian berlari den-

gan muka yang pucat biru. Kedua langkahnya ter-

saruk-saruk menyusuri jalan itu lagi. Jalan yang pe-

nuh bertebaran dengan batu-batu kerikil tajam.

Tiga orang telah berdiri dekat tumpukan batu. 

Menatap aneh pada orang tua yang berlari-lari mende-

kati mereka. Seraut wajah pucat dan penuh ketaku-

tan..

"Mereka.... Mereka.... Mereka tewas.... Se..... 

Arghhhhhhhht!" Teriakannya terputus. Orang tua itu 

jatuh tersungkur. Pada punggungnya tertancap seba-

tang anak panah. Ketiga orang yang berdiri di samping 

tumpukan batu mundur keheranan. Wintara dan Tari 

Wening Asih langsung memeriksa pemilik gubuk yang 

sudah terkapar tak bernyawa.

"Keparat... Rupanya desa ini telah terkurung 

oleh pasukan-pasukan pemanah...!" Tari Wening Asih 

mengawasi seluruh pohon-pohon dan semak-semak 

belukar. Tiba-tiba matanya yang jeli menangkap sesua-

tu, maka....

"Wintara, awaaaaaaas....!" Ia melompat sambil 

mencabut pedang pendek dari pinggangnya. Belasan 

anak panah menghujani mereka, Wintara juga melom-

pat menghindar sembari melindungi Raden Sintoro


Tinggil. Tari Wening Asih memutar pedang pendeknya 

berkelebat bagai lingkaran kilat. Belasan anak panah 

itu yang belum sampai mengenai sasaran patah dua 

semua. Teriakan gadis itu melengking tinggi menyam-

but hujan panah yang tidak pernah habis-habisnya. 

Tubuhnya yang ramping melesat ke udara berjumpali-

tan. Pedangnya terus ber-putar mematah belah seran-

gan yang dilancarkan oleh pasukan pemanah. Lengan

kirinya sibuk menangkapi batang anak-anak panah 

yang masih melesat. Setelah berjumpalitan beberapa 

kali tubuhnya hinggap di atas tumpukan batu kali. 

Lengan kirinya yang banyak menggenggam anak pa-

nah dilemparkan ke arah asalnya, maka terdengar be-

berapa jeritan disertai dengan jatuhnya beberapa tu-

buh dari atas pohon, Satu, dua, tiga, empat... enam, 

tujuh.... Semuanya tujuh orang. Mereka tewas seketika 

oleh lemparan Tari Wening Asih.

Di halaman gubuk yang luas itu banyak ditum-

buhi pepohonan besar berdaun lebat. Pasukan pema-

nah memilih medannya di atas pohon sana, bersem-

bunyi di balik dedaunan. Bisa juga di balik rimbunnya 

semak-semak.

Raden Sintoro Tinggil di belakang Wintara sam-

bil memegangi dengan tangan gemetar. Beberapa anak 

panah mulai menyerang. Kali ini dari sebelah kanan 

dari balik semak-semak. Lima batang anak panah ti-

dak berhasil mengenainya. Karena sabetan tangan 

Wintara begitu cepat membuat kelima batang anak 

panah itu mencelat menancap pada tiang kayu. Lima 

orang ke luar dari semak-semak siap mengarahkan 

anak panahnya lagi. Wintara hanya menunggu. Ia ti-

dak dapat berbuat banyak selain melindungi Raden 

Sintoro Tinggil. Anak panah itu belum sempat melesat. 

Tari Wening Asih yang melihat Wintara terdesak lang


sung menendangi tumpukan batu yang diinjaknya.

Lima tendangan berturut-turut tepat mengenai empat 

orang itu sekaligus. Yang seorang lagi berhasil meng-

hindar... dan berusaha meloncat ke atas hinggap pada 

cabang pohon didekatnya. Gadis itu menendang sekali 

lagi. 

"Weess...! Buug...!" Batu itu menghantam keras 

dada orang itu. Lalu jatuh dengan kepala lebih dulu 

menyentuh tanah. Tari Wening Asih menoleh Wintara 

melemparkan senyum.

"Jangan marah. Nanti aku yang membereskan-

nya kembali." katanya. Wintara nyengir.

"Raden.... sebaiknya sembunyi dalam gubuk. 

Biar mereka cepat ku atasi...." usul Wintara. Raden 

Sintoro Tinggil cepat beranjak masuk ke dalam gubuk. 

Dua batang anak panah melesat ke arah tubuh lelaki 

gemuk itu. Wintara dapat melihat, maka cepat ia me-

nepakan tangannya. Dua anak panah itu menancap di 

atas tanah. Merasa tidak ada yang perlu dilindungi, 

Wintara melompat. Sekali hentakan saja, tubuhnya 

sudah melesat cepat hinggap di atas pohon. Astaga...! 

Pantas anak panah mereka tidak pernah habis. Di atas 

pohon itu ia menemukan kurang lebih sepuluh orang 

pemanah dengan perlengkapan yang sangat banyak. 

Dalam keadaan yang dipenuhi dengan dedaunan, ma-

na sempat mereka dapat melihat kedatangan Wintara 

yang sangat cepat itu. Dengan begitu Wintara mudah 

menghajar mereka. Sekali hantamannya menjatuhkan

dua orang. Lalu seorang lagi.... Diam-diam Tari Wening 

Asih kagum akan tindakan Wintara yang cukup meng-

gelikan.

Perkelahian di atas pohon itu akhirnya dapat 

diketahui oleh para pemanah yang berada di situ. Me-

nyadari adanya penyerang gelap. Tujuh orang yang

masih tersisa berbalik mengarahkan anak panahnya. 

Sebelum anak panah itu meluncur, Wintara melesat 

berpindah tempat ke cabang lain sambil tangannya 

menyambar seorang pemanah yang paling dekat.

"Beeg.... Twing... Twing...!" Di atas sana penge-

lana sakti bergelut menumbangkan lawan-lawannya 

dari cabang ke cabang....

Di atas tumpukan batu Tari Wening Asih masih 

sibuk menghadapi belasan anak panah dari pohon 

yang lain. Pedang pendeknya berputar lebih cepat me-

nangkis melindungi tubuhnya dari hujan panah. Di 

bawah kakinya telah bertumpuk puluhan anak panah 

berserakan. Banyak juga yang patah dua akibat baba-

tan pedang pendek Tari Wening Asih....

*

* *

DELAPAN



Berdiri terus di atas tumpukan batu-batu tidak 

lagi leluasa menghindari serangan-serangan para pe-

manah. Tari Wening Asih melompat ke samping. Ber-

gulingan menyusup ke dalam gubuk. Dia masih sem-

pat melirik pada beberapa pohon besar yang tumbuh 

berderet di hadapan gubuk. Sudah pasti di atas tiap-

tiap pohon itu bersarang puluhan pemanah. Melihat 

gadis itu bersembunyi dalam gubuk serangan panah 

berhenti. Serombongan orang turun dengan meme-

gang busur. Semuanya berjumlah sebelas orang. Se-

lain busur, orang-orang itu bersenjatakan sebilah pe-

dang yang nampak terselip di pinggang mereka mas-

ing-masing. Sebagian malah sudah ada yang mulai 

mencabut. Dengan mengendap-endap kesebelas orang itu mendekati gubuk. Tari Wening Asih yang mengintip 

akan adanya bahaya bersiap-siap. Langkah-langkah 

mereka terdengar kasar. Kira-kira jarak mereka ting-

gal dua langkah lagi, gadis itu mendobrak pintu gu-

buk. Mendorong ke depan melabrak kesebelas penye-

rangnya yang masih dicekam rasa kaget. Tiga orang ja-

tuh. Namun masih dapat bangun dengan cepat. Tapi 

babatan pedang pendek membuat mereka jatuh lagi 

sekaligus tewas, rata-rata tenggorokan mereka robek. 

Yang lain membalas menyerang. Babatan-babatan pe-

dang berkelebat ke sana ke mari mencecar Tari Wening 

Asih. Gadis itu merunduk sambil melancarkan tendan-

gan. 

"Beeeg...!" Tendangan itu tak bisa dihindari. 

Penyerang itu terpental berikut pedangnya. Tari Wen-

ing Asih mengangkat pedang pendeknya menyilang di 

atas kepala menangkis babatan pedang yang hampir 

saja membelah batok kepalanya.

Wintara baru saja memukul jatuh semua la-

wan-lawannya di atas pohon. Ia meluncur ke bawah 

sambil melancarkan hantaman pada salah seorang 

pengeroyok Tari Wening Asih. Mendapat bantuan dari 

Wintara, gadis itu maju menyerang makin berseman-

gat. Tendangan disertai babatan pedang pendek men-

jatuh bangunkan lawan-lawannya. Begitu pula Winta-

ra. Meskipun tanpa senjata ia sanggup menghajar 

pengeroyok itu sampai remuk ke tulang-tulangnya. Ti-

ba-tiba....

"Hentikann,..!" terdengar suara bentakan seseo-

rang. Dari atas pohon yang rindang, melompat seorang 

pemuda berambut gondrong dengan ikat kepala warna 

merah. Paras pemuda itu cukup ganteng. Tangannya 

yang menggenggam busur panah teracung.

"Hebat.... Tidak kosong nama besar Pengelana


Sakti. Pantas dapat merebut pusaka Elang dari tangan 

orang-Orang Elang Perak...." kata pemuda berambut 

gondrong dengan pandangan terarah pada kalung hi-

tam yang melingkar di leher Wintara.

"Kalau begitu pusaka ini milik orang-orang 

Elang Perak! Lalu apakah maksudnya saudara pema-

nah ulung ingin merebut pusaka ini dari tanganku? 

Aku saja berniat ingin mengembalikan pusaka yang se-

lalu membawa malapetaka...." jawab Wintara. Tari 

Wening Asih berdiri menantang menatap pemuda gon-

drong di hadapannya.

"Serahkan saja padaku, maka kau bersama ga-

dismu tak akan terkena bencana...." kata pemuda itu 

tidak main-main. Bersamaan dengan itu orang-orang 

yang berada di atas pohon berlompatan ke bawah, se-

hingga seluruh halaman itu dikelilingi oleh pasukan-

pasukan pemanah. Belum lagi dari balik semak-

semak. Jumlah mereka semua hampir mencapai empat 

puluh orang.... Gila! Wintara dan Tari Wening Asih be-

nar-benar telah terkurung.

"Tidak bisa! Tidak bisa! Jangan serahkan pusa-

ka Elang pada mereka,..! Jangan serahkan...!" Tiba-

tiba saja Raden Sintoro Tinggil berlari ke luar mende-

kati Wintara dan Tari Wening Asih. Wintara begitu ter-

kejut. Kenapa ia harus keluar. Bukankah ber-

sembunyi dalam gubuk lebih aman? Kenapa ia yang 

penakut tiba-tiba saja berani keluar dalam keadaan 

seperti ini. Untuk menyelamatkan diri saja belum ten-

tu Wintara bisa.... Ahhh... Keadaan jadi semakin ka-

cau. Di luar dugaan tangan Raden Sintoro Tinggil ber-

gerak cepat ke arah leher Wintara dan menarik putus 

kalung hitam berliontin kepala burung Elang. Untuk 

menepak tangan itu saja Wintara tidak keburu. Gera-

kan Raden Sintoro Tinggil begitu cepat. Tiba-tiba saja


tubuh gemuk itu berputar di udara dan hinggap di 

atas atap jerami. Jemari tangannya menggenggam pu-

saka itu. Lalu....

"Ha... ha... ha... ha... ha... Bubar...! Bubar se-

mua. Pusaka ini telah menjadi milikku. Hua.... Ha... 

ha.... ha...!" Tawanya lepas. Belum pernah Wintara 

mendengar suara tawa Raden Sintoro Tinggil selepas 

itu. Ternyata selama Raden Sintoro Tinggil berada de-

kat dengan Wintara ia berperan sebagai orang yang 

dungu tulen. Wintara betul-betul terkecoh. Ia mengu-

tuki dirinya. Rona muka itu jelas terlihat oleh Tari 

Wening Asih. Karena dirinya sendiri pun telah dibo-

hongi.

"Kalian semua cecoro-cecoro kerdil yang tiada 

artinya bagiku. Hah...! Masih mau merebut pusaka ini 

dari tangan Raden Sintoro Tinggil...? Ayo maju saja ka-

lau mau cepat-cepat kukirim ke akherat...!" katanya 

sadis. Tubuh gemuk itu masih berdiri di atas atap je-

rami. Pemuda berambut gondrong merasa terhina 

mendengar perkataan seperti itu. Maka ia memberi 

aba-aba kepada seluruh anak buahnya. Mereka semua 

mengangkat busur dengan anak panah yang siap di-

lancarkan. Sesaat kemudian. 

"Sreeeengggg....!" Puluhan anak panah menghu-

jani lelaki bertubuh gemuk yang berdiri di atas atap. 

Raden Sintoro Tinggil tetap berdiri di situ. Ketika pu-

luhan anak panah hampir mengenainya. Tubuh gemuk 

itu berputar lurus dalam keadaan berdiri laksana gas-

ing. Maka batang-batang anak panah itu berpentalan. 

Sungguh luar biasa. Wintara tidak menyangka sama 

sekali akan kehebatan Raden Sintoro Tinggil. Rasa ka-

gum itu sirna dengan seketika. Wintara menatap ge-

ram. Mentah-mentah ia telah diperalat oleh Raden keparat itu.


"Hajar terus...! Hujani bangsat itu dengan pa-

nah-panah kalian. Ayo terus...." Pemuda gondrong itu 

berteriak memerintahkan seluruh anak buahnya. Tu-

buh gemuk itu terus berputar, dan anak-anak panah 

berpentalan. Tidak satu anak panah pun yang berhasil 

melukai apalagi menyentuhnya. Yang terdengar hanya 

suara gelak tawa terbahak-bahak.

"Ayo hujani terus. Hujani dengan anak panah 

kalian...!" Teriak pemuda berambut gondrong itu.

"Maaf, Pameang.... Persediaan anak panah 

hampir habis...." kata salah seorang anak buahnya. 

Pemuda itu menggeram. Secepat kilat ia melesat ke 

atas. Tubuh gemuk itu masih berputar selagi puluhan 

anak panah menghujaninya. Ia melancarkan sebuah 

pukulan dahsyat yang tidak kepalang tanggung kearah 

tubuh yang berputar laksana gasing... Deeees...! Kedu-

anya jatuh bergulingan. Raden Sintoro Tinggil tidak 

mengira akan mendapatkan serangan yang membuat-

nya jatuh.

Tapi benturan itu mengakibatkan pemuda gon-

drong itu harus mengeluarkan darah merah dari rong-

ga mulutnya. Ia cepat bangkit menyeka ceceran darah 

di kedua sudut bibirnya.

"Seraaaang....!" Pemuda itu selalu berteriak 

memerintahkan anak buahnya. Raden Sintoro Tinggil 

yang telah berdiri lebih dulu tidak mundur selangkah 

pun, ia malah menyambut serangan yang terdiri dari 

puluhan orang banyaknya. Tinjunya yang mengepal 

pusaka Elang menjatuhkan sekaligus tiga orang. Seka-

li saja ia menerjang, dua orang bergelimpangan tanpa 

nyawa.

"Serang teruuuuuus...." perintah pemuda be-

rambut gondrong itu. Seluruh pasukan pemanah yang 

kini bersenjatakan sebilah pedang merangsak menyerang Raden Sintoro Tinggil. Betul-betul ingin mencin-

cang habis. Seketika Raden Sintoro Tinggil tertawa ke-

ras. Hua... ha.... ha., ha., ha...." Disertai tenaga dalam 

yang hebat suara tawa itu menggelegar hebat. Siapa 

yang sangka tawa yang hebat itu disertai tenaga dalam 

yang mampu memecahkan gendang telinga orang-

orang yang berada di sekitarnya. Kontan saja semua 

pasukan pemanah berjatuhan dengan gendang telinga 

yang pecah. Hampir semuanya para pasukan pemanah 

itu mengeluarkan darah dari liang telinganya. Semen-

tara suara tawa Raden Sintoro Tinggil masih berku-

mandang keras. Pemuda gondrong itu pun terduduk 

jatuh sambil menutupi kedua telinganya. Begitu juga 

dengan Wintara dan Tari Wening Asih, keduanya me-

nutup telinga. Sekalipun mereka menutup telinga, ta-

wa yang disertai tenaga dalam itu nyaris saja menuli-

kan pendengaran mereka.

"Hua... ha... ha... ha...." Tawa maut itu terus 

berkumandang. Dua ekor kuda yang tertambat di 

samping gubuk meringkik-ringkik mendengar gelak 

tawa yang disertai tenaga dalam penuh. Kelentingan 

yang tergantung di leher kedua kuda itu bergerak-

gerak menimbulkan bunyi. Ada satu keanehan. Begitu 

terdengar suara kelentingan, suara tawa yang disertai 

tenaga dalam seakan mengendur. Wintara berjumpali-

tan ke samping gubuk menuju di mana kedua kuda itu 

tertambat. Kedua telapak tangannya masih menutupi 

kedua telinganya. Secepat kilat Wintara menarik dua 

lonceng kecil yang melingkar di kedua leher kuda ter-

sebut. Lalu ia berjalan dengan tenang. Membunyikan 

lonceng kecil itu. Ketika ia berjalan di halaman gubuk 

itu, Wintara mengguncang-guncangkan kedua lonceng 

kuda itu. 

"Tinggg... Tinggg.... Tinggggg....!" Terus menerus


dibunyikan kelentingan itu. Suara tawa dahsyat yang 

mampu memecahkan gendang telinga itu tidak ber-

fungsi lagi. Raden Sintoro Tinggil pun terkejut kare-

nanya. Ia menambah tenaga dalamnya. Teriakannya 

makin dahsyat. Pasukan pemanah sudah banyak yang 

bergulingan tak berkutik kehilangan pendengarannya. 

Wintara makin kencang menggoyang-goyangkan kelen-

tingan kuda itu. Makin kencang pula suara tawa itu 

terdengar. Tari Wening Asih bergulingan dengan kedua 

telapak tangannya erat menutup kedua telinganya. Be-

gitu juga pemuda berambut gondrong. Setengah berlu-

tut ia menghadapi suara tawa yang maha dahsyat itu. 

Wintara terus mengguncangkan kedua kelentingan itu 

sambil merangsak menyerang Raden Sintoro Tinggi.

"Tingg... Tinggg... Ting....!" Raden Sintoro Tinggi 

melompat menjauh dari serangan Wintara, Wintara 

mengikuti terus ke mana melesatnya tubuh Raden Sin-

toro Tinggil. Kelentingannya masih terus berbunyi 

mematahkan suara tawa yang maha dahsyat itu.

Raden Sintoro Tinggil menghentikan tawanya, 

geram sekali ia menyerang Wintara. Pukulan telapak 

tangannya yang dahsyat beradu dengan hantaman 

Wintara. 

"Blaarrr!" Keduanya terpental. Wintara ter-

guling menabrak tumpukan batu. Raden Sintoro Ting-

gil mundur terhuyung. Pemuda berambut gondrong 

menyerang melancarkan tendangan ke arah Raden 

Sintoro Tinggil yang masih terhuyung bersandar pada 

batang pohon. Cepat Raden Sintoro menghindar. Ten-

dangan itu mengenai batang pohon. Tari Wening Asih

merangsak dengan sodokan pedang pendek.

"Weeees...!" Kembali Raden Sintoro Tinggil ber-

jumpalitan. Sambaran pedang pendek meleset.

Pasukan pemanah telah bergulingan. Ada juga


yang coba-coba berusaha bangkit. Namun mereka tak 

ada yang berlangsung lama. Mereka jatuh lagi. Mereka 

bergelimpangan bukan karena terkena pukulan mau-

pun hantaman, tapi karena mendengar suara tawa 

yang maha dahsyat tadi. Telinga mereka rata-rata 

mengeluarkan darah. Dan sudah tentu rasa sakit itu 

teramat nyeri.

Serombongan pasukan kuda memasuki desa 

terpencil. Ki Randaka memimpin paling depan me-

nunggangi kuda putih memacu kencang. Di belakang-

nya bersusulan empat ekor kuda yang ditunggangi 

oleh orang-orang berewok. Bahruna dan Wikalpa men-

gikuti dengan cepat pula. Debu-debu membumbung 

bagaikan asap kuning mengepul bersama derap-derap 

beberapa pasang sepatu kuda. Tujuan mereka adalah 

gubuk itu, di mana telah terjadi satu pertempuran.

Ki Randaka tidak langsung turun ketika tiba di 

sana. Malah keempat manusia berewok yang turun da-

ri masing-masing kuda-nya. Langkah-langkahnya yang 

beringas melalui orang-orang yang bergelimpangan. 

Terkadang pula Dawuk menendangi orang-orang yang 

menghalangi langkahnya. Mereka melangkah terus 

mendekati pertarungan itu.

Raden Sintoro Tinggil bergerak setengah memu-

tar menghindari serangan berupa tendangan keras dari 

Wintara. Cepat lelaki gemuk itu membalas menghan-

tam, tapi Tari Wening Asih menghalanginya dengan 

babatan pedang. Maka gagallah hantaman yang akan 

dilancarkan oleh Raden Sintoro Tinggil. Ia menarik 

lengannya kemudian melesat ke arah pemuda beram-

but gondrong. Tangannya yang menggenggam pusaka 

Elang maju menghantam. Mendapat serangan menda-

dak, si gondrong ini cepat merunduk menghindari han-

taman itu. Tapi tendangan Raden Sintoro Tinggil tidak


dapat dielakkan.

"Dueees...!" Pemuda itu mencelat ke belakang 

dengan darah menyembur deras. Ia masih mampu 

bangkit meski dengan tubuh yang sempoyongan. Em-

pat manusia berewok yang menamakan dirinya Begal 

Singa Kali Progo sudah berada di situ. Dawuk menen-

dang lagi tubuh gondrong itu, sehingga tubuhnya 

mencelat kembali menyambar Raden Sintoro Tinggil.

"Baaaag...!" Dua telapak tangan Raden Sintoro 

Tinggil menghantam tubuh yang terlempar. Pemuda 

gondrong mencelat ke atas tinggi sekali. Kemudian ja-

tuh di atas atap jerami. Atap jerami yang kurang begitu 

kuat ambruk.

Tari Wening Asih tersentak begitu melihat ke-

lompok Singa Kali Progo. Rasa kagetnya membuat di-

rinya nyaris terhantam oleh pukulan Raden Sintoro 

Tinggil. Untung Wintara cepat memotongnya dengan 

sebuah tendangan. Raden Sintoro Tinggil melompat ke 

samping ke tempat yang lebih leluasa. Menatap tajam 

keempat orang berewok yang baru datang.

"Heh....! Ternyata begal-begal Singa Kali Progo 

pun menginginkan pusaka ini... He... he.... he.... Jan-

gan mimpi. Kalau benda ini sudah berada dalam geng-

gaman tangan ku. Kalian atau siapa pun tak akan ada 

yang dapat merebutnya. He... he.... he.... he...." Randen 

Sintoro Tinggil tertawa terkekeh-kekeh.

"Raden Sintoro Tinggil...!" Terdengar suara ben-

takan parau. Semuanya menoleh ke arah suara itu. 

Terutama Raden Sintoro Tinggil. Ia kenal betul dengan 

orang yang barusan memanggilnya. Ki Randaka....

"Kembalikan pusaka itu pada kami, karena 

benda itu milik perguruan Elang Perak...." kata Ki 

Randaka melotot. Bahruna dan Wikalpa bersiap-siap 

menyerang. Tari Wening Asih menatap nanar ke arah


Ki Randaka. Kedua bola matanya tidak berkedip. Ki 

Randaka salah seorang yang akan menghadiri perte-

muan di Gerongsewu. Mungkinkah dia yang memiliki 

pukulan Telapak Tangan Hitam? Yang telah membu-

nuh Lungo Paksi, ayah Tari Wening Asih.....? Kalau 

iya, Pedang pendek ini akan bicara, pikirnya....

Wintara masih mengawasi gerak gerik Raden 

Sintoro Tinggil. Dawuk terheran-heran melihat pusaka 

Elang berada di tangan seorang lelaki gemuk. Kemarin 

ia melihat pusaka itu melingkar di leher seorang pe-

muda berbaju kulit binatang. Sekarang... Pemuda yang 

mengenakan pakaian kulit binatang itu ada di sini pu-

la....

"Cepat Raden.....! Serahkan pusaka milik ka-

mi...!" Ki Randaka menahan amarah.

"Apa...? Enak saja Ambillah olehmu sendiri...!" 

ejek Raden Sintoro Tinggil. Ki Randaka langsung men-

cengkram leher Dawuk. Dawuk gelagapan.

"Siapa orang yang kau maksudkan ...itu, Da-

wuk....! Kau bilang seorang yang sadis dan kejam..., 

Apakah Raden Sintoro yang kau maksudkan....?" kata 

Ki Randaka. Suara itu hanya terdengar oleh Dawuk.....

"Be-be-betul, Ki.... Betul.... Kau lihat pusaka 

Elang sudah berada di tangannya. Apakah itu bukan 

suatu bukti yang cukup? Dan berhati-hatilah terhadap 

pemuda dan gadis itu. Mungkin mereka temannya. Se-

karang mereka bentrok, sudah pasti berebutan pusa-

ka...." bisik Dawuk. Ki Randaka menatap kedua muda 

mudi yang nampak berdiri tenang.

Tanpa diperintah lagi Bahruna dan Wikalpa 

maju menyerang Raden Sintoro Tinggil dengan jurus-

jurus cakar Elang. Ki Randaka mendorong tubuh Da-

wuk, maksudnya agar membantu Bahruna dan Wikal-

pa. Maka serempak keempat manusia berewok jadi


ikut maju menyerang. Sebelum menghadapi mereka, 

Raden Sintoro Tinggil menyusupkan pusaka Elang ke 

dalam bajunya. Lalu ia melompat maju dengan kiba-

san-kibasan dua lengan sekaligus. Bahruna mencecar 

bagian atas. Sedangkan Wikalpa berusaha mencabik-

cabik ke arah perut. Keempat begal Singa Kali Progo 

mengelilingi. Sekali-sekali pukulan mereka melayang. 

Cakaran Bahruna ditepak begitu saja. Cabikan-

cabikan Wikalpa disambut dengan tendangan memu-

tar. Lalu sekali Raden Sintoro Tinggil mengibaskan 

lengannya dua orang murid Ki Randaka terhuyung ke 

belakang. Empat manusia berewok susah payah 

menggempur, namun akhirnya mereka pun dibuat 

bergulingan ke tanah. Raden Sintoro Tinggil melompat 

tendangan terbangnya terarah deras pada Bahruna. 

Tapi cepat Wintara datang membantu dengan serangan 

pukulan ke arah perut. 

"Buuug...!" Raden Sintoro Tinggil jatuh berdiri 

tegak ke tanah bagai tonggak. Wikalpa merangsak me-

nyerang, ia mengira Raden Sintoro Tinggil tengah men-

gambil nafas karena menahan sakit. Tapi di luar du-

gaan kedua kaki Raden Sintoro Tinggil tersentak ke 

atas. Cepat sekali kedua telapak kaki itu menghantam 

dada Wikalpa. Darah menyembur dari mulut Wikalpa 

yang nampak berusaha bangkit kembali. Dawuk dan 

Sempor menghantam dari belakang, cepat memutar 

tubuh Raden Sintoro Tinggil sambil mengibaskan len-

gannya. 

"Plaaak! Plak!" Keduanya terdorong mundur. 

Kuwusura menendang keras. Namun lelaki gemuk itu 

bersalto gesit menghindar, malah dalam keadaan se-

perti itu Raden Sintoro Tinggil sempat melayangkan 

lengan kanannya. "Bee-eeg!" Kuwusura tumbang den-

gan tulang rusuk patah remuk.


Wintara membiarkan keempat manusia bere-

wok menghadapi Raden Sintoro Tinggil. Ia menjaga 

dua orang murid dari perguruan Elang Perak. Karena 

nyawa kedua orang itu lebih berharga. Tapi Bahruna 

dan Wikalpa malah salah tanggap. Mereka menyerang. 

Susah sekali Wintara memberi penjelasan, karena me-

reka berdua menyerang bergantian berturut-turut. 

Dan tak mau perduli sergapan Wintara. Untuk memba-

las serangan sangat tidak mungkin, pikirnya. Seha-

rusnya mereka membutuhkan pertolongan untuk 

mendapatkan pusaka miliknya kembali.

Tari Wening Asih berjalan mendekati Ki Randa-

ka. Ki Randaka sendiri telah siap siaga kalau-kalau 

gadis itu menyerang secara mendadak.

"Kenapa tidak engkau sendiri yang menghada-

pinya, Ki Randaka? Apa kau pikir kedua muridmu itu 

akan sanggup mengalahkan Raden Sintoro Tinggil 

yang ilmunya setinggi langit...?" kata Tari Wening Asih 

berjalan memutari Ki Randaka. Lalu katanya lagi...

"Apakah sengaja, kau akan membunuh kedua 

muridmu melalui tangan orang lain. Hebat! Hebat! 

Pantas nama Elang Perak semakin ditakuti. Karena 

mereka telah bergabung dengan kelompok begal Singa 

Kali Progo!"

"Tutup mulutmu! Kau pun gundiknya lelaki ke-

parat itu yang sama-sama akan ku hancurkan nan-

ti...." Amarah Ki Randaka meluap.

"Dengan apa kau akan menghancurkan kami, 

he..! Dengan Telapak Tangan Hitam?"

"Lancang mulutmu. Jangan sebut-sebut nama 

itu di hadapanku. Hreaaaaaaaaaa...!" Ki Randaka

menghantam. Gadis itu cepat mundur. "Wesss...!" An-

gin pukulannya begitu deras. Tari Wening Asih mem-

balas dengan sabetan pedang pendek yang memutar


menyilang ke wajah Ki Randaka. Secepat kilat Ki Ran-

daka mengangkat tangannya. "Plaaak!" Cakar Elang 

menjurus ke perut gadis itu. Dengan kaki kanan caka-

ran itu dapat diatasi. Tari Wening Asih mundur berpu-

tar. Lalu tubuhnya melompat ke atas tumpukan batu-

batu kali. Ki Randaka maju menyerang. Tapi ia harus 

menghadapi batu-batu, yang terlempar akibat tendan-

gan-tendangan Tari Wening Asih. 

"Duar... Duar... Duar...!" Batu-batu yang me-

landanya hancur oleh empat kali cakaran Ki Randaka.

"Kita akan mengadu jiwa, pembunuh laknat...!" 

teriak gadis itu meluncur dengan pedang pendek ter-

genggam kedua tangannya. Hampir saja tusukan pe-

dang itu menembus di lambung kiri Ki Randaka. Se-

waktu pedang Tari Wening Asih menjurus. Sesosok tu-

buh menabrak mereka berdua. Sosok tubuh Sempor. 

Rupanya ia terlempar nyasar terkena pukulan Raden 

Sintoro Tinggil. Ki Randaka mau pun Tari Wening Asih

terdiam sesaat. Di dada Sempor yang sudah tak ber-

nyawa itu mengepul asap. Di situ tergambar sebuah te-

lapak tangan berwarna hitam. Itulah Pukulan Telapak 

Tangan Hitam. Mata Ki Randaka merah padam.

Bangsat...! Baru sekarang ketahuan biang ke-

ladinya. Ternyata yang membunuh sahabatku Lungo 

Paksi, adalah kau..... Raden Sintoro Tinggil...," kata Ki 

Randaka dengan nada marah.

"Kau pun akan segera menyusulnya, tua bang-

ka dungu!" Teriak Raden Sintoro Tinggil sambil meng-

hajar kepala Dawuk. Untung saja hanya menyerempet. 

Ia hanya merasa sedikit pening dan cepat-cepat mun-

dur. Ki Randaka melesat meninggalkan Tari Wening 

Asih yang tidak percaya dengan pembicaraan itu. Bu-

kan main rasa malunya. Ia telah berbuat kurang ajar 

terhadap Ki Randaka. sekarang apa yang harus ia la


kukan? Pembunuh ayahnya ternyata Raden Sintoro 

Tinggil. Bukan orang-orang yang akan mengikuti per-

temuan di Gerongsewu.

Dua hantaman sekaligus dilancarkan oleh Ki 

Randaka. Raden Sintoro Tinggil menyambut serangan 

itu dengan sabetan lengannya yang memutar ke atas. 

"Ayo keluarkan pukulan Telapak Tangan Hitammu...!

Hayo.....!" Ki Randaka menyerang dengan puku-

lan-pukulan mematikan. Sudah tentu Raden Sintoro 

Tinggil tidak akan mampu menghadapinya. Ia hanya 

mundur terbang ke belakang. Lalu tubuhnya yang ge-

muk berputar ke atas membalas serangan. Sambil 

berputar demikian, sebelah kakinya melayang menju-

rus ke bagian kepala Ki Randaka. Cepat Ki Randaka 

merunduk sambil mendorong dua kepalan tangan yang 

terarah di bagian perut. 

"Dueer....!" Raden Sintoro Tinggil mencelat ke 

belakang menabrak sebatang pohon besar.

"Kembalikan pusaka itu, Raden.... Maka kau 

akan kuampuni..." Ki Randaka memberi kesempatan. 

"Hayo... Tunggu apa lagi? Apa perlu kucabut nyawa-

mu...." kata Ki Randaka tidak sabaran.

Raden Sintoro Tinggil tidak menjawab. Pandan-

gannya menjurus tajam. Lalu kedua telapak tangannya 

terangkat ke atas nampak seperti menyanggah. Kemu-

dian telapak-telapak tangan itu menyatu. Turun Ke 

bawah.... Sampai sebatas dada. Kedua kakinya me-

renggang ke samping kanan dan kiri. Membuat tubuh-

nya semakin pendek.

Ki Randaka memandang aneh. Inikah jurus-

jurus pembuka pukulan Telapak Tangan Hitam? Hawa 

dingin tenaga dalamnya saja sudah terasa.... Hebat.... 

Pantas pendekar sakti sahabatnya Lungo Paksi tewas 

di tangannya.


Tiba-tiba Raden Sintoro Tinggil meng-

hantamkan kedua telapak tangannya ke depan dengan 

hentakan yang sangat keras. Tentu saja di arahkan 

kepada Ki Randaka yang sedari tadi memperhatikan-

nya. Ia sudah menduga kalau Raden Sintoro Tinggil te-

lah menghimpun tenaga dalam, begitu angin kencang 

menghembusnya ia melesat ke atas sambil bersalto. 

Pukulan tenaga dalam itu melesat mengenai sasaran 

lain kepada tumpukan batu-batu kali. 

"Blaaaarrrr...!" Batu-batu itu berpentalan tak 

tentu arah memenuhi pelataran.

*

* *

SEMBILAN



Wintara masih menghadapi Bahruna dan Wi-

kalpa. Serangan-serangan mereka begitu gencar. Kalau 

kurang-kurang mengimbangi tentunya Wintara akan 

terdesak juga. Sebenarnya kepandaian mereka jauh di-

bandingkan dengan Wintara yang berjuluk Pengelana 

Sakti. Karena Wintara tahu kedua orang yang dihada-

pinya murid-murid pilihan perguruan Elang Perak. Me-

reka tidak menyadari kalau dirinya tengah terancam. 

Sengaja Wintara menghalangi mereka walau dengan 

cara seperti ini. Menghadapi Wintara lebih baik, dari-

pada mereka harus berhadapan dengan Raden Sintoro 

Tinggil. Tentunya akan membuang nyawa dengan sia-

sia.

Bahruna melancarkan tendangan, cakaran-

cakaran Wikalpa siap mencabik-cabik punggung Win-

tara. Sungguh tidak bisa dianggap main-main lagi.

Wintara merasa sudah membuang-buang waktu serta 

tenaga dengan percuma. Mereka belum juga mengerti. 

Selama menghadapi, Wintara tidak pernah membalas. 

Apalagi berniat menyerang. Setidak-tidaknya mereka 

merasakan keganjilan itu. Sampai sejauh ini mereka 

malah berniat memojokkan Wintara. Mana bisa?

Wintara menghentakkan kakinya menghindari 

serangan kedua orang itu. Tubuhnya melesat ke atas, 

kedua orang itu berbalik hendak menyerang lagi. Tapi 

dua totokan sekaligus mengenai tepat mengenai pung-

gung kedua orang itu Bahruna maupun Wikalpa diam 

tak bergerak. Kemudian tubuh mereka ambruk ping-

san.

Mendapat kesempatan luang, kelompok Begal 

Singa Kali Progo yang tinggal Dawuk dan Dungkil. Me-

reka berniat melarikan diri. Keduanya berlari menero-

bos semak-semak. Kali ini Dawuk tertinggal oleh 

Dungkil. Tanpa menoleh mereka berdua lari kencang 

bagai dikejar hantu. "Dungkil keparat...! Tunggu aku 

setaaaan!" Teriakannya kesal. Kalau saja kakinya tidak 

terasa sakit, Dawuk sudah dapat menyusul Dungkil. 

Bahkan dapat mendahului seperti biasanya. Mana 

mau Dungkil berhenti mengingat situasi sudah begitu 

gawat! Biar saja Dawuk tertinggal. Toh tidak ada yang 

mengejarnya. Siapa bilang! Langkah Dungkil terhenti

mendadak..... Ia tidak dapat meneruskan langkahnya. 

Karena di hadapannya telah berdiri sosok tubuh ramp-

ing berpakaian serba biru. Mata Dungkil melotot tak 

percaya. Dawuk melihat Dungkil berhenti, ia mengira 

Dungkil menungguinya.... Tapi sesampainya ia di 

samping Dungkil jantungnya tersentak setengah ma-

ti....

"Mau ke mana? Kita masih punya urusan bu-

kan....? Aku masih ingat.... Sekarang aku sudah berdiri di hadapan kalian. Mengapa kalian tidak tergiur un-

tuk memperkosa diriku...?" kata Tari Wening Asih te-

nang. Pedang pendeknya teracung mengancam. Mula-

mula ke arah Dawuk lalu bergerak perlahan ke arah 

Dungkil.

"Berapa banyak wanita-wanita muda yang telah 

menjadi korbanmu Singa Kali Progo? katakan.... Satu 

orang, dua orang, tiga.... atau lebih dari lima!" Ayo ka-

takan.... Aku akan mengikuti hitungan kalian dengan 

babatan-babatan pedangku...." Mata Tari Wening Asih 

nampak jalang. Mereka berdua terdiam bukan karena 

rasa takut menghadapi gadis cantik itu. Tapi merasa 

kepergiannya tertunda. Mau tidak mau mereka harus 

menyingkirkannya lebih dulu. Dawuk berteriak keras.

"Waaaaaaaaa!" Pandangan Tari Wening Asih te-

ralih kepada Dawuk. Maka pada kesempatan itu 

Dungkil menepis lengan gadis itu yang menggenggam 

pedang pendek. Ternyata teriakan Dawuk hanya se-

buah siasat. Agar Dungkil dapat bergerak cepat di saat 

gadis itu lengah. Namun Dungkil hanya melakukan te-

pisan tangan. Tari Wening Asih membalas dengan 

membabatkan pedangnya menyilang lalu disertai ten-

dangan ke depan mengarah muka. Dungkil tidak 

mundur. Hanya badannya saja bergeser miring ke kiri. 

Sebelah tangannya yang kekar menahan tendangan 

itu. Dawuk maju dengan sodokan telapak tangan me-

nyerempet pinggang Tari Wening Asih. 

"Kurang Ajar...!" Bentaknya sambil memutar 

pedang pendek ke belakang. "Wesssss...! Beberapa 

lembar rambut kasar Dawuk rontok terbabat pedang 

itu. Saking cepat ia merunduk, Dawuk sampai terjatuh 

duduk. Melihat itu Dungkil langsung menyerang lagi, 

jangan sampai gadis itu menghajar Dawuk yang sudah 

hilang keseimbangan tubuh. Gerakannya begitu cepat,


lengan-lengannya yang kekar menghantam berkali-kali 

tendangan Tari Wening Asih. Walaupun pedangnya 

berkelebat menyambar, Dungkil masih dapat menang-

kis bahkan sempat melancarkan sebuah pukulan ke 

arah punggung gadis itu. Bersamaan dengan itu pula 

pedang pendek menyambar cepat. Keduanya bergulin-

gan. Tari Wening Asih masih merasakan sakit pada 

punggungnya. Dungkil berusaha bangkit. Tubuhnya 

kaku.... Sepuluh jari tangannya meregang. Dari teng-

gorokannya mengalir cairan merah kental yang mulai 

membanjiri dadanya. Sesat kemudian Dungkil ambruk 

ke depan mencium tanah dengan nafas terputus.

"Sekarang giliranmu. Ayo bangkit...! Dan per-

cuma mengemis meminta ampun...." kata Tari Wening 

Asih menatap jalan ke arah Dawuk. Ia menoleh ke 

arah Dungkil yang telah menjadi mayat. Darah merah 

masih terus keluar dari tenggorokkannya.

"Baik baik! Aku satu-satunya Singa Kali Progo 

yang masih hidup akan mempertahankan nama besar 

itu...." Dawuk bangkit perlahan. Tapi sebelum ia berdi-

ri tendangan keras menghantam tulang lehernya.

"Duee-esssss!" Tubuh Dawuk terguling. Kedua 

tangannya memegangi tenggorokkannya dengan mata 

mendelik menahan sakit. Lalu sebuah tendangan lagi 

membuatnya jatuh terlentang terbanting demikian ke-

ras. 

“Untuk manusia macam kau tidak perlu diberi 

hati. Dengan cara apa pun kau memang lebih baik ma-

ti...." kata Tari Wening Asih sinis. Dawuk tidak ban-

gun-bangun lagi. Gadis itu melangkah pergi mening-

galkan kedua mayat itu. Tapi.... 

"Hreaaaaaaaaa...!" Sebuah teriakan menerjang 

dari arah belakang. Cepat Tari Wening Asih merunduk 

sambil membabatkan pedang pendek ke belakang....


"Breeeeet.....! Arghhhhhhh!" Terdengar rintihan pan-

jang yang keluar dari mulut Dawuk. Ia terduduk me-

megangi perutnya yang tergenang oleh cairan kental 

berwarna merah kehitaman. Luka di perutnya meman-

jang sekitar dua jengkal. Ia masih tetap terduduk den-

gan wajah tertunduk kaku. Gadis itu mendekatinya.... 

Telapak kakinya mendorong tubuh itu.... Perlahan tu-

buh yang terduduk itu menggelosoh ambruk.

"Heaaaaa...! Wuus! Wuus!" Angin pukulan te-

naga dalam bergulung-gulung menghantam ke arah Ki 

Randaka. Wintara yang berada di situ tidak luput men-

jadi sasaran. Keduanya baik Wintara maupun Ki Ran-

daka melompat-lompat menghindar. 

"Bledaa-arrrr! Bledaaaaar! Dua batang pohon 

hancur terkena sasaran pukulan itu. Wintara berlari 

ke depan menyerang Raden Sintoro Tinggil... Larinya 

begitu cepat. Kedua kakinya hampir tidak menyentuh 

tanah. Sehingga tubuh Wintara nampak seperti ter-

bang. Sebuah tinjunya siap melayang.....

Kembali tubuh Raden Sintoro Tinggil berputar 

tegak lurus. Ketika hantaman Wintara dilancarkan, 

Raden Sintoro Tinggil menyambut dengan pukulan Te-

lapak Tangan Hitam... Hingga tinju itu beradu dengan 

telapak tangan yang membara....

"Deesss!" Jari-jari tangan Wintara serasa 

menghantam besi panas.... Ki Randaka mengeluarkan 

jurus 'Sayap Menghempas Karang.' Begitu lengannya 

mengibas tubuh Raden Sintoro Tinggil terdorong bebe-

rapa langkah. Terkejut sekali ia merasakan hawa pu-

kulan itu. Tapi mana mau Raden Sintoro Tinggil ber-

diam diri. Ia pun membalas serangan tadi.... Belum 

sempat ia menyerang Wintara sudah memotong gera-

kan itu.

"Anak muda siapa sebenarnya kau...." teriak Ki


Randaka. Bersamaan dengan itu Wintara berhasil 

mengenai muka Raden Sintoro Tinggil dengan sebuah 

jotosan. Pukulan Telapak Tangan Hitam bergerak maju 

ke dada Wintara. Cepat ia menangkis dengan kedua 

tangannya yang dikibaskan menyilang. Lalu lengan ki-

rinya memutar menghantam perut Raden Sintoro Ting-

gil. Melihat anak muda itu begitu bersemangat menye-

rang Raden Sintoro Tinggil, Ki Rantaka melompat 

membantu dengan melancarkan cakaran-cakaran... Di 

serang dengan jarak dekat Raden Sintoro Tinggi mera-

sa kewalahan... Ia bergerak menghindar menjauh. Tapi 

dengan gerakan yang sangat ringan Wintara melesat 

mengikutinya.... Begitu juga dengan. Ki Randaka.... Ia 

tidak kalah gesit melesat dengan kedua tangan meren-

tang bagai sayap-sayap elang.

Tari Wening Asih yang sudah berada di situ 

langsung mencari posisi. Tendangannya berkelebat di 

hadapan Raden Sintoro Tinggil. Langkahnya terhalang 

oleh tendangan itu. Lelaki gemuk membalasnya.... Ga-

dis itu cepat bergeser. "Deeerrr!" Pukulan Telapak Tan-

gan Hitam menghantam batang pohon sampai berbe-

kas sebuah telapak menghitam juga mengepul asap hi-

tam.

"Mati di tangan pembunuh Ayahku.... Aku tidak 

penasaran!" teriak Tari Wening Asih. Pedang pendek-

nya menyambar.... "Wuuuss...!"

"Tari.... Awas...!" teriak Wintara.

Hampir saja Tari Wening Asih terkena pukulan 

maut itu. Untunglah ia cepat melompat jauh.... Raden 

Sintoro Tinggil berdiri menghadapi tiga orang lawan-

nya. Kedua tangannya nampak membara kembali. lalu 

memutar perlahan siap menghantam. Wintara menarik 

nafas. Matanya mengikuti gerak gerik putaran tangan 

Raden Sintoro Tinggil. Sekali lelaki gemuk itu maju


menyerang, Wintara membarengi dengan menjatuhkan 

diri sambil kakinya menyambar langkah-langkah Ra-

den Sintoro Tinggil. Lalu Ki Randaka menyambut ja-

tuhnya tubuh itu dengan sebuah tendangan. Sayang 

lolos. Sewaktu Raden Sindoro Tinggil jatuh ia sudah 

tahu apa yang bakal terjadi. Maka ia cepat melintir, 

sehingga tendangan itu nyasar. Benar-benar hebat.... 

Dalam keadaan yang demikian pun Raden Sintoro 

Tinggil sempat menendang Wintara... 

"Deess!" Wintara terdorong ke belakang. Tari 

Wening Asih yang sudah menemukan pembunuh 

orang tuanya maju membabatkan pedang pendek. 

Sungguh tidak disangka babatan pedang yang cepat 

dapat ditangkap oleh Raden Sintoro Tinggil. Bahkan 

sewaktu gadis itu menariknya, pedang itu masih terus 

melekat dalam genggaman Raden Sintoro Tinggil. Tari 

Wening Asih seperti tidak percaya melihat pedang pen-

deknya melekat dalam genggamannya. Rasa panas me-

rambat cepat, ia melepaskan gagang pedang itu. Tapi 

gadis itu tidak gentar menghadapi ilmu yang cukup 

mengherankan. Apapun yang terjadi ia harus mengha-

dapi orang yang telah membunuh ayahnya. Mati hidup 

ia harus berhadapan dengannya. Ki Randaka berbalik 

ngeri melihat serangan-serangan gadis itu. Dan hampir 

tidak mengerti siapa sebenarnya jago-jago muda ini. 

Keduanya begitu berani menghadapi Raden Sintoro 

Tinggil. Tanpa pedang gadis itu berusaha melancarkan 

serangan. Ki Randaka melihat keteledoran yang mem-

bawa maut. Gerakannya yang cepat laksana burung 

Elang menyambar tubuh gemuk itu.....

"Deeess!" Hantaman yang tidak seberapa keras, 

namun cukup menyelamatkan gadis itu dari pukulan 

Telapak Tangan Hitam. Tari Wening Asih senyum ke 

arah Ki Randaka. Ki Randaka sendiri tidak mengerti


apa arti senyuman itu.

Raden Sintoro Tinggil menatap geram ketiga 

orang lawannya.... Tiba-tiba saja mereka tersentak oleh 

sebuah teriakan.. "Hhre-aaaa...!" Teriakan itu berasal 

dari dalam sebuah gubuk... "Brak...! Kraaaak...!" Seso-

sok tubuh melesat ke atas menembus keluar dari atap 

jerami yang telah lapuk. Sesosok tubuh tegap beram-

but gondrong dengan tubuh berlumuran darah serta 

merta ia hinggap menginjak tanah tanpa bersuara.

"Mana pusaka itu...! Mana....! Serahkan pada-

ku...!" Pemuda gondrong itu terus berlari menjurus 

melancarkan pukulan dahsyat. Raden Sintoro Tinggil 

seakan tidak percaya melihat pemuda gondrong itu 

masih tetap hidup. Keterpanaannya itu membuat pu-

kulan-pukulan pemuda gondrong itu bersarang di da-

danya berkali-kali. Namun tidak sedikit pun tubuh 

Raden Sintoro Tinggil bergeser. Malah kedua telapak 

tangannya menghantam keras ke dada pemuda be-

rambut gondrong itu membuatnya pula terlempar jauh 

dengan dada mengepul asap hitam. Pemuda itu berke-

lojotan... Dan berusaha bangkit meskipun di dadanya 

telah tertera bekas hantaman tadi.... Telapak Tangan 

Hitam yang masih mengeluarkan asap hitam. Pemuda 

itu mengerang. Tapi ia masih sanggup berdiri menge-

luarkan jurus-jurus yang sukar dimengerti. Wintara 

maupun Tari Wening Asih berjaga-jaga. Apalagi Ki 

Randaka.... Pemuda berambut gondrong itu melesat 

menerjang Raden Sintoro Tinggil. Raden Sintoro Tinggil 

bermaksud menghabiskan nyawa pemuda itu sekalian. 

Tapi Ki Randaka menghalangi dengan cakaran-cakaran 

Elang. Pemuda gondrong itu gagal melancarkan seran-

gan. Begitu pula Raden Sintoro Tinggil ia gagal melu-

matkan pemuda itu. Tentu saja pemuda itu tidak akan 

merasa senang mendapat perlakuan seperti itu. Meski


pun dalam keadaan terluka parah, pemuda berambut 

gondrong masih sempat melompat ke arah Raden Sin-

toro Tinggil.... Melancarkan serangan-serangan. Tapi 

dalam keadaan lemah seperti itu bagaimana bisa ia 

menyentuh tubuh Raden Sintoro Tinggil. Malah men-

guntungkan bagi Raden Sintoro Tinggil. Sekali ia ber-

gerak....

"Deee-esss!" Jurus Telapak Tangan Hitam 

menghantam dada pemuda itu. Tidak pelak lagi pemu-

da berambut gondrong itu terlempar jauh dengan na-

fasnya yang terhenti. Raden Sintoro Tinggil menoleh 

pada Wintara. Pandangannya begitu menyeramkan. 

Sebelum Raden Sintoro Tinggil mengerahkan serangan, 

Ki Randaka maju dengan mengeluarkan jurus 'Elang 

Terbang Mencari Mangsa.' Raden Sintoro yang ber-

maksud melancarkan serangan dengan mengandalkan 

pukulan Telapak Tangan Hitam terhalang. Karena 

cengkeraman Ki Randaka berhasil menangkap perge-

langan tangan Raden Sintoro Tinggil. Tapi yang berha-

sil dicengkeramnya hanya sebelah lengan. Lengan yang 

lainnya menghantam tubuh Ki Randaka.... Ki Randaka 

terguling mendapat hantaman yang begitu dahsyat. 

Dadanya mengepul asap hitam. Darah hitam keluar 

dari mulutnya.

*

* *

SEPULUH



Sambil menahan nafas Ki Randaka bangkit. Ta-

ri Wening Asih memapah Ki Randaka. Wintara berjaga-

jaga... Matanya terus mengawasi gerak gerik Raden

Sintoro Tinggil yang bersiap-siap melancarkan pukulan 

Telapak Tangan Hitam ke arah mereka... 

"Ting...! Ting...! Ting...!" Lonceng kecil ber-

denting-denting di pergelangan tangan Wintara. Lon-

ceng kecil itu pula yang mematahkan pekikan dahsyat 

Raden Sintoro Tinggil.

Sesaat Raden Sintoro Tinggil mendorong kedua 

telapak tangannya yang membara. Wintara bergeser 

sambil tangannya menjurus menghantam kedua len-

gan Raden Sintoro Tinggil. "Plak!" Tubuh lelaki gemuk 

itu bergoyang. Wintara memberinya lagi sebuah ten-

dangan memutar. Cepat Raden Sintoro Tinggil melom-

pat membalas tendangan itu dengan tendangan yang 

tidak kalah kerasnya. Lalu telapak tangannya me-

nyambar ke bawah. Sebelum pukulan Telapak Tangan 

Hitam mengenai tubuhnya, Wintara bergulingan.

"Deeeerrrr!" Hantaman itu mengenai tanah. Te-

lapak tangan itu melesak ke dalam tanah sekitar lima 

senti meter. Raden Sintoro Tinggil mencecar terus tu-

buh Wintara yang bergulingan menghindari serangan-

serangan itu. Tidak ada kesempatan bagi Wintara un-

tuk bangkit berdiri. Pada saat yang bersamaan, sosok 

tubuh ramping melesat dengan sebuah tendangan 

yang tepat menghantam pinggang Raden Sintoro Ting-

gil...

"Beeeegg!" Lalu tubuh ramping itu berputar di 

udara membentuk bulatan biru. Menukik lagi dengan 

sebuah jotosan. "Plak!" Raden Sintoro Tinggil menam-

par hantaman itu. "Des! Tubuh ramping yang tak lain 

adalah Tari Wening Asih mencelat membentur tiang 

gubuk. Dengan terjangan yang cepat Raden Sintoro 

Tinggil menyerang Tari Wening Asih. Wintara tersen-

tak. Sudah pasti gadis itu tidak bisa menghindari han-

taman yang akan dilancarkan oleh Raden Sintoro


Tinggil. Maka cepat Wintara menarik dua lonceng kecil 

dari pergelangan tangannya. Melempar secepat kilat 

bagai senjata rahasia.... Sedetik saja terlambat nyawa 

Tari Wening Asih melayang...."Creep! Crep! Dua lon-

ceng kecil menancap tepat di kedua bola mata Raden 

Sintoro.... "Wuaaarrk...!" Raden Sintoro Tinggil menge-

rang hebat. Dari kedua rongga matanya mengalir cai-

ran yang menjijikkan. Cairan itu menetes di tubuh Tari 

Wening Asih yang terlentang di bawahnya. Raden Sin-

toro Tinggil berdiri mengangkangi sambil menjerit-jerit. 

Dalam keadaan seperti itu Tari Wening Asih menen-

dang dengan sekuat tenaga. 

"Duessssss!" Kontan tubuh gemuk itu mental 

ke belakang beberapa meter. Wintara datang mengha-

jar dengan dua pukulan karate di tulang leher Raden 

Sintoro Tinggil... Tari Wening Asih tidak memberi am-

pun. Dendamnya yang selama ini terpendam ia lam-

piaskan sekarang juga. Ia melompat berjumpalitan di 

udara lalu kedua kakinya menginjak dengan keras di 

dada lelaki yang sudah sekarat itu. Tidak sedikit darah 

yang menyembur. Dan tubuh itu mengejang kaku den-

gan mata melotot, Wintara menarik nafas panjang. Tari 

Wening Asih menoleh ke arahnya. Ki Randaka mena-

tap kagum, pikirannya masih bertanya-tanya.... Siapa-

kah mereka ini.... 

"Ugh!" Ki Randaka terbatuk. Pukulan Telapak 

Tangan Hitam membekas di dadanya. Susah sekali ia 

berusaha bangkit.

Wintara berjalan mendekati tubuh Bahruna 

dan Wikalpa yang saling tindih. Ia menatap tubuh ke-

dua murid dari perguruan Elang Perak. Lalu ia meno-

tok kembali. Perlahan keduanya mulai siuman sekali-

pun pandangan mereka masih nampak kabur.... Sa-

mar-samar ia melihat seorang pemuda berpakaian kulit binatang berjalan menjauh. Hanya bagian belakang 

saja yang mereka lihat.... Tari Wening Asih masih ber-

diri di samping mayat Raden Sintoro Tinggil. Meman-

dang penuh kebencian pada wajah lelaki gemuk yang 

melotot tak berkutik. Setelah Wintara mendekatinya 

barulah ia mundur selangkah.... Wintara merogoh ke 

balik baju Raden Sintoro Tinggil. Dikeluarkannya sua-

tu benda berupa kalung hitam berliontin kepala bu-

rung Elang sebesar telapak tangan. Benda kekuning-

kuningan itu diberikan pada gadis yang masih berdiri 

di situ. Ki Randaka memandang tegang. Benda itu di-

perhatikan oleh Tari Wening Asih. Lalu matanya tertu-

ju pada Ki Randaka, sebentar kemudian ia melangkah 

mendekati.... Ki Randaka yang merasa didatangi gadis 

itu segera bersiap-siap mengeluarkan jurus-jurus 

Elang ... Gadis itu malah tersenyum....

"Maafkan aku, Ki.... Aku telah berlaku kurang 

ajar." Sambil menyerahkan benda itu, Tari Wening 

Asih berlutut menyembah Ki Randaka. Ki Randaka jadi 

tak mengerti.

"Tidak seharusnya aku menuduh Ki Randaka 

memiliki pukulan Telapak Tangan Hitam.... Sungguh 

di luar dugaan semua prasangka buruk yang selama 

ini mendekam di jantungku, cuma pikiran yang terlalu 

ceroboh.... Tidak semestinya aku menuduh Ki Randa-

ka...." kata gadis itu lagi.

"Menuduhku...?" Ki Randaka makin heran.

"Ya.... Karena aku putri tunggal Lungo Paksi...!"

"Astaga.... Sudah sebesar inikah putri tunggal 

Lungo Paksi?"

Ki Randaka hampir tidak percaya. Tari Wening 

Asih mengangkat wajahnya, terlihat wajah yang begitu 

cantik mempesona.

"Wajar saja kalau putri seorang pendekar menuntut kematian Ayahnya.... Aku tidak salahkan eng-

kau...." kata Ki Randaka sabar. "Tapi sekarang sudah 

cukup jelas bukan... Yaaaah. Kematian Ayahmu me-

mang sangat disesalkan." kata Ki Randaka lagi. Lalu ia 

mulai menuturkan sebuah cerita...

"Tiga tahun yang lalu saat kami mengadakan 

pertemuan di Gerongsewu, kami telah kehilangan satu 

peserta yang tidak lain adalah Lungo Paksi, Ayahmu.... 

Meskipun kurang satu orang pertemuan terus dilang-

sungkan.....Meskipun terasa ada kekurangan atau rasa 

tidak enak.... Sepulang dari Gerongsewu, kami mene-

mukan jasad Lungo Paksi dalam keadaan tak bernya-

wa, di dadanya membekas pukulan Telapak Tangan 

Hitam. Semula kami saling curiga terhadap sesama 

teman. Tapi ternyata tidak satu pun di antara kami 

yang memiliki pukulan dahsyat seperti itu. Kami coba 

menghimpun untuk memecahkan ilmu itu dan beru-

saha menyelidiki siapa pelakunya. Dan ternyata...." Ki 

Randaka tidak meneruskan kata-kata-nya, pandan-

gannya keluar mengarah pada sosok tubuh gemuk 

yang tergeletak bergelimang darah. Lalu lengannya 

yang menggenggam pusaka Elang menunjuk....

"Dia adalah kakak kandung Lungo Paksi...." ka-

tanya. Gadis itu tersentak kaget. Pandangannya cepat 

menoleh ke arah tubuh Raden Sintoro Tinggil.

"Apakah semasa hidup Ayahmu tidak pernah 

menceritakan tentang kakak kandungnya di Banta-

ran...?" tanya Ki Randaka. Gadis itu menggeleng. Lalu 

ia bangkit.

"Kenapa mesti disesalkan? Orang semacam itu 

memang tidak pantas dibiarkan hidup...! Siapapun dia 

tanpa kecuali harus di musnahkan dari muka bumi. 

Apa jadinya bila ia tetap hidup....!" Tiba-tiba saja gadis 

itu berkata penuh semangat. Lalu Tari Wening Asih


membantu Ki Randaka bangkit. Bahruna dan Wikalpa 

nampak telah pulih kembali. Mereka nampak geram 

ketika melihat Wintara masih berdiri di situ. Maka 

dengan serempak mereka menyerang.... Wintara tidak 

mau membuang-buang tenaga lagi. Ia cepat melesat 

menjauh meninggalkan mereka. Tahu-tahu tubuhnya 

telah duduk di atas cabang sebuah pohon...

"Keparat... Turun kau.... Mari kita teruskan lagi 

pertarungan kita...!" bentak Wikalpa. Tari Wening Asih 

yang memapah Ki Randaka tersenyum geli.

"Siapakah pemuda itu, Nona.... Pasanganmu-

kah...?" tanya Ki Randaka.

"Bu-bukan... Dia hanya seorang pengelana. Ka-

lau tidak ada dia, mungkin kita semua tewas di tangan 

Raden Sintoro Tinggil." jelas Tari Wening Asih. Bahru-

na menggantikan gadis itu memapah Ki Randaka.

"Seorang pengelana....? Aku pernah mendengar 

nama besar seorang pemuda yang berjuluk Pengelana 

Sakti. Benarkah dia orangnya...?" Ki Randaka berpikir. 

Bahruna mendengar ucapan gurunya. Cukup kaget ju-

ga ia mendengar julukan itu. Kalau benar pemuda itu 

si Pendekar Kelana Sakti.... Betapa malunya Bahruna. 

Wikalpa masih memaki-maki pemuda yang duduk di 

atas cabang sebuah pohon. Wintara cuma nyengir, lalu 

tubuhnya melesat lagi pergi menjauh dari tempat itu. 

Hanya Ki Randaka dan Tari Wening Asih yang tahu ke 

mana perginya pemuda itu.

Wintara berjalan menyusuri jalanan berbatu, 

pikirannya telah jernih.... Itu karena pusaka Elang su-

dah tidak berada di tangannya. Langkahnya pun sea-

kan bebas. Tidak ada lagi orang-orang dari rimba per-

silatan yang datang menghadang dengan alasan men-

cari benda pusaka. Tidak akan ada lagi.

Tubuh Wintara nampak kecil dari kejauhan


menyusuri daerah perbukitan yang menghijau. Berge-

rak sedikit demi sedikit menjauh semakin menghi-

lang.... Di belakangnya menyusul sosok tubuh kecil. 

Dari kejauhan berwarna biru seperti langit di atas sa-

na. Sosok biru itu mengikuti ke mana Wintara melang-

kah....





                       T A M A T

































0 komentar:

Posting Komentar