BTemplates.com

Blogroll

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE UTUSAN DARI NEGERI LELUHUR


Utusan Dari Negeri Leluhur

 

UTUSAN DARI NEGERI LELUHUR

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Utusan Dari Negeri Leluhur



SATU


Dingin angin malam terasa menusuk sumsum 

tulang. Sesekali terlihat kilat membelah kegelapan 

malam. Kemudian disusul pula dengan gelegar 

petir mengusik suasana yang sangat sepi. Yang 

mengherankan justru di atas langit sana tidak 

terlihat tanda-tanda akan turunnya hujan. Bah-

kan gumpalan awan pun tidak begitu tebal seba-

gaimana mestinya.

Malam terus berlalu tidak ubahnya bagai 

rangkak roda pedati. Sementara suara petir saling 

susul menyusul, seolah bagai hendak memporak 

porandakan hutan lebat yang terdapat di pinggi-

ran danau Sengguling.

Traaat...! 

Glegerrr...!

Rentetan petir selanjutnya nampak menyam-

bar permukaan air danau Sengguling. Air di da-

lam danau itu bergelombang hebat, bahkan jauh 

lebih besar lagi bila dibandingkan dengan gelom-

bang mengganas di laut luar. Lalu air di dalam 

danau itu bergejolak tidak ubahnya air panas 

yang mendidih. Keadaan seperti itu berlangsung 

cukup lama. Bahkan tanpa terasa sekarang air 

danau itu membumbung tinggi, seolah ada sesua-

tu yang meronta dan berusaha membebaskan diri 

dari dasar danau itu. 

Glueerr...!

"Harrking...! Bloop... bloop...!" suara jeritan 

yang sangat keras terdengar. Lalu dari dalam da


nau itu segera terlihat seberkas sinar biru terang 

melesat ke permukaan danau Sengguling. Selan-

jutnya terdengar pula suara tawa berkepanjangan 

tiada henti. Suara tawa yang membuat sakit gen-

dang telinga itu terdengar serak dan berat, tidak 

ubahnya bagai suara laki-laki. Namun di lain saat 

berubah kecil dan merdu mirip suara gadis can-

tik. Dan pabila air di atas danau itu kembali ber-

golak. Maka yang terdengar adalah suara raungan 

binatang buas yang kelaparan.

Ketika sinar biru kehijau-hijauan semakin 

menebar memenuhi permukaan danau Senggul-

ing. Di sela-sela hujan petir yang tiada kunjung 

henti, terlihat sosok tubuh muncul di permukaan 

danau itu. Semakin lama ujud sosok berwarna 

serba biru itu semakin bertambah jelas. Dan 

seandainya saja saat itu ada orang yang sempat 

menyaksikan ujud dari sosok berwarna serba biru 

itu. Dapat dipastikan orang itu tidak sadarkan di-

ri seketika itu juga. Bagaimana tidak? Sosok yang 

muncul di permukaan danau Sengguling. Tepat-

nya bukanlah seorang sosok manusia biasa. Bu-

kan pula binatang buas yang menakutkan. Bah-

kan lebih mengerikan dari sekedar itu. Tubuh 

berwarna serba hijau itu lebih tepat bila di kata-

kan sebagai makhluk yang sangat mengerikan. 

Tubuhnya dari bagian dada ke bawah berujud 

seekor ular yang sangat panjang. Sedangkan dari 

bagian dada ke atas berujud kepala seorang gadis 

yang memiliki kecantikan luar biasa sekali.

Anehnya tubuh yang berujud menyeramkan 

itu dapat berubah-ubah seirama dengan gelegar


petir yang membelah di kegelapan malam. Terka-

dang wajah cantik yang tidak ubahnya bagai putri 

kahyangan itu menjelma menjadi sesosok wajah 

laki-laki menyeramkan. Berkumis serta berjam-

bang lebat. Pabila sosok yang dapat berubah-

ubah itu menyeringai. Maka akan terlihatlah dua 

pasang taring yang sangat panjang lagi tajam. 

Dan pada saat suara petir kembali terdengar, ma-

ka ujud laki-laki itu telah berubah pula menjadi 

seekor ular naga, bahkan di lain saat telah pula 

berubah menjadi bagian kepala binatang buas 

yang sangat besar. 

Traat... 

Gleger...!

Suara halilintar kembali membelah angkasa 

kelam. Ular besar yang menebarkan bau harum 

itu pun telah berubah kembali menjadi seorang 

gadis yang sangat jelita. Kemudian ketika ada se-

buah kekuatan yang tidak terlihat menghentak-

kan tubuhnya yang dapat berubah-ubah itu. Ma-

ka gadis berwajah rupawan itu nampak melayang 

ke udara. Dengan gerakan yang sangat manis, 

kedua kakinya beberapa saat setelahnya menda-

rat pula di pinggiran danau Sengguling. Gadis 

berkulit serba biru bagai orang yang menderita 

keracunan itu nampak menggigil untuk beberapa 

saat lamanya. Pandangan matanya nanar mem-

perhatikan keadaan di sekelilingnya dengan pera-

saan keheranan. Seolah ia merasa serba asing 

menghadapi suasana yang terdapat di sekeliling-

nya. Belum lagi rasa heran itu sirna melihat kea-

daan di sekelilingnya. Kesunyian malam segera


saja terkoyak dengan terdengarnya suara yang le-

bih keras lagi dengan bunyi petir yang telah berla-

lu.

"Dasamuka...! Sebagai Panglima perang di 

Negeri Bunian. Dan sebagai makhluk lelembut 

yang telah meruntuhkan pamor Raja Piton Utara. 

(Untuk lebih jelasnya siapa Raja Ular Piton Utara. 

Terdapat dalam Episode Utusan Orang-Orang Se-

sat) Kau harus dapat mempengaruhi titisan bekas 

Raja Negeri Bunian yang berjuluk Pendekar Hina 

Kelana itu. Dan kau harus pula menarik pemuda 

itu ke alam kita, yaitu Alam Gaib! Tetapi andai sa-

ja kamu mengalami kesulitan, paling tidak kau 

harus dapat membunuhnya. Karena bagaimana-

pun di suatu saat kelak. Jika saja ayahandanya 

telah selesai menjalani tapanya. Maka pemuda itu 

akan menjadi ancaman yang sangat besar terha-

dap kelangsungan tahta yang sekarang berada 

dalam genggamanku. Tidak boleh... hal itu tidak 

terjadi. Bahkan kalau perlu sampai kapanpun ti-

tisan Raja Piton Utara itu tidak boleh mengetahui 

di mana letak tapa ayahandanya...!" perintah sua-

ra dalam kegaiban itu menekankan.

"Ampun seribu ampun yang mulia Maha Dira-

ja...!" tubuh berbentuk ular dengan wajah berujud 

seorang gadis berwajah cantik dan bernama Da-

samuka itu membungkukkan kepalanya dalam-

dalam. "Bukankah sampai sekarang hamba masih 

belum mengetahui di mana pemuda yang berna-

ma Buang Sengketa itu berada...?"

Mengumandang suara yang terasa mendiri-

kan bulu roma, saat suara tanpa rupa itu tertawa


tergelak-gelak. 

"Sebagai Panglima perang di Negeri Alam 

Gaib. Sebagai makhluk lelembut yang memiliki 

berbagai macam siasat. Mengapa kau sekarang 

telah berubah menjadi dungu. Buang Sengketa 

hanyalah titisan bekas Raja di Negeri kita. Seba-

gai titisan sudah barang tentu tubuhnya masih 

berujud manusia biasa. Dengan inderamu yang 

sangat peka terhadap alam kasar. Tentu tidak ada 

kesulitan bagimu untuk menemukannya...!" ge-

ram suara gaib itu. Bukan main gemetarnya so-

sok berujud setengah ular dan setengah manusia 

itu mendengar suara orang yang sangat dijun-

jungnya itu dalam keadaan marah.

"Maa... maafkan hamba, yang mulia Sangka 

Negara. Cuma sejauh ini hamba belum mengeta-

hui sampai di mana kesaktian yang dimiliki oleh 

pemuda itu. Pula apakah hamba harus tetap da-

lam keadaan begini berada di tengah-tengah ke-

hidupan alam manusia?" tanya makhluk lelembut 

yang bernama Dasamuka itu, takjub.

"Hemm... he... ha... ha...!" suara dalam gaib 

itu tertawa panjang. Suara tawanya menggema ke 

seluruh pelosok rimba, kemudian hilang lenyap di 

telan ke dalam air danau Sengguling yang telah 

kembali tenang. Setelah suara tawa itu sirna sa-

ma sekali. Maka suara dalam gaib itu pun melan-

jutkan. "Kusadari manusia titisan yang bernama 

Buang Sengketa itu memiliki kesaktian yang he-

bat. Karena pada dasarnya, gurunya yang berna-

ma Si Bangkotan Koreng Seribu itu adalah manu-

sia sakti mandraguna. Ia memiliki pukulan yang


tidak dapat dianggap enteng. Di samping sebuah 

cambuk yang menyimpan kesaktian luar biasa. 

Tapi setiap manusia bagaimanapun hebatnya 

pasti memiliki kelemahan. Dan kelemahan itu 

terdapat pada hari kelahirannya. Selain itu kau 

juga pasti memiliki berbagai macam cara lain un-

tuk menghadapinya. Sedangkan yang lainnya ju-

ga termasuk ujudmu. Kau dapat merubah sosok 

tubuhmu menjadi seorang gadis cantik. Atau apa 

saja seperti apa yang kau kehendaki...!"

"Baiklah yang mulia Maha Diraja. Sekarang 

hamba paham. Dan hamba berjanji akan menja-

lankan perintah dengan sebaik-baiknya...!"

"Ingat. Janji seorang siluman adalah janji 

ksatria. Kuharap kau tidak akan mengecewakan 

aku...!" kata suara dalam kegaiban itu setengah 

mengancam. Sedangkan sosok mengerikan yang 

bernama Dasamuka itu hanya mengangguk pe-

nuh takjub. Tidak lama setelah itu suara dalam 

gaib itu pun lenyap. Sedangkan sosok aneh yang 

merupakan Panglima perang di alam lelembut se-

gera merubah dirinya menjadi seorang gadis yang 

sangat cantik, berpakaian kembang-kembang. 

Dengan rambut tergerai memanjang, sedangkan 

di bagian punggungnya menggelantung sebilah 

pedang berwarna kuning keemasan. Bila dilihat 

sepintas lalu, maka orang akan beranggapan ga-

dis ini tentu seorang pendekar persilatan yang 

memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan pe-

nyamarannya yang sangat sesuai itu. Utusan dari 

Negeri Alam Gaib itu telah siap melakukan tugas-

nya.


DUA


Dengan langkah lesu. Pemuda berwajah tam-

pan dengan rambut di kuncir itu terus menelusu-

ri jalan lebar yang terdapat di pinggiran desa Te-

pus. Siang itu panas matahari memang benar-

benar terasa menyengat batok kepala. Bahkan 

pada jalan yang dilalui oleh pemuda berpakaian 

merah itu tidak seorangpun yang dijumpainya. 

Padahal desa yang terdapat di pinggiran desa itu 

termasuk sebuah desa yang sangat padat pendu-

duk. Ataukah karena panas yang luar biasa itu, 

sehingga mereka malas meninggalkan rumahnya? 

Dalam hati pemuda tampan yang tidak lain Pen-

dekar Hina Kelana adanya, merasakan ada sesua-

tu yang tidak wajar pada musim kemarau di ta-

hun ini. Tetapi ia sendiri masih belum mengeta-

hui apa penyebabnya. Dalam suasana panas yang 

tiada tertahankan itu, Pendekar Hina Kelana alias 

Buang Sengketa tiba-tiba saja menghentikan 

langkahnya. Kemudian terlihat sepasang matanya 

menyipit memandang ke satu arah.

"Hemm. Musim kemarau tahun ini memang 

benar-benar lebih gila dari biasanya. Di mana-

mana kulihat sungai kering. Masa bodoh! Seka-

rang aku memerlukan warung. Selain itu aku pun 

sangat haus sekali. Ah... agaknya di depan sana 

ada warung yang memadai untuk sekedar mele-

paskan lelah. Baiknya aku cepat-cepat ke sana...!" 

batin Buang Sengketa. Kemudian tanpa menghi-

raukan suasana di sekelilingnya, pemuda ini pun



kembali mengayunkan langkah. Hanya dalam 

waktu yang sangat singkat pemuda itu telah 

sampai di sana. Dan pemuda itu tak dapat mena-

han senyumnya ketika membaca tulisan yang 

terdapat di depan pintu masuk warung tersebut. 

Tapi sebentar kemudian sikapnya telah berubah 

biasa kembali.

Pemuda keturunan Raja di Negeri Alam Gaib 

ini selanjutnya mengambil tempat di sudut ruan-

gan. Sesaat ia memperhatikan keadaan di dalam 

ruangan itu. Ia sempat menghitung pengunjung 

warung itu jumlahnya tidak lebih dari sebelas 

orang. Diantara mereka terdapat beberapa orang 

laki-laki bertampang kasar bersenjatakan pedang 

bergagang sejengkal dan berukir kepala burung 

nuri. Namun hanya sekilas saja pemuda itu 

memperhatikan mereka. Selanjutnya dengan si-

kap sopan ia melambaikan tangannya ke arah 

pemilik warung yang nampak baru saja selesai 

melayani pengunjung lainnya. Dengan perasaan 

enggan pemilik warung itu datang menghampiri. 

Buang Sengketa sebenarnya merasa heran den-

gan sikap dan sambutan pemilik warung itu. Tapi 

karena terdorong oleh perasaan lapar dan haus 

luar biasa. Maka si pemuda bersikap tidak perdu-

li.

"Tuan mau pesan apa...?" tanya pemilik wa-

rung itu mendahului. Sikapnya kaku, wajahnya 

tidak sedikitpun membersitkan keramah-

tamahan.

"Tolong sediakan nasi berikut lauk pauknya. 

Jangan lupa bawakan tiga kendi arak yang masih


baru...!" pesan Buang Sengketa tanpa sempat 

memperhatikan bagaimana raut muka pemilik 

warung saat itu.

"Silahkan tuan menunggu sebentar...!" kata 

laki-laki tua itu dengan sikapnya yang tidak bero-

bah sama sekali. Seperginya laki-laki pemilik wa-

rung tersebut. Buang Sengketa kembali memper-

hatikan mereka yang berada di dalam ruangan itu 

dengan seksama. Tapi ia tidak menemukan 

adanya sesuatu yang mencurigakan pada para 

pengunjung itu. Bahkan mereka-mereka itu den-

gan sikap acuh terus melahap hidangannya mas-

ing-masing. Si pemuda merasa jengah sendiri. 

"Heran. Aku tidak melihat adanya tanda-tanda 

yang sangat mencurigakan di tempat ini. Bahkan 

sikap merekapun tidak menunjukkan keanehan. 

Hanya saja mereka sangat acuh pada orang lain. 

Tapi mengapa perasaanku semakin tidak enak. 

Hemm...!" Buang Sengketa menggumam seorang 

diri. Dan entah mengapa tiba-tiba saja alis ma-

tanya nampak berkerut. Lalu terdengar helaan 

nafasnya yang sangat berat.

"Akhir-akhir ini perasaanku memang selalu 

tidak enak. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi 

di depan sana. Semuanya kuserahkan sepenuh-

nya pada Sang Hyang Widi Wasa...!" batinnya lagi 

dengan tatapan hampa. Dan tanpa disadarinya 

pemilik warung itu cukup lama hanya untuk me-

nyediakan makanan dan minuman yang dipesan 

oleh Buang Sengketa. Seandainya saja saat itu 

pikiran si pemuda tidak sedang terpecah-pecah. 

Tentu ia dapat merasakan keganjilan ini. Tapi karena pemuda ini memang sedang dalam keadaan 

tidak enak perasaan. Maka ketika pemilik warung 

itu datang setengah jam kemudian membawa ma-

kanan yang di pesan olehnya, Buang Sengketa 

terlihat biasa-biasa saja. Bahkan wajahnya pun 

tidak menyiratkan kecurigaan apa-apa.

"Silahkan dinikmati, tuan...!" kata laki-laki 

tua itu setelah meletakkan seluruh pesanan 

Buang Sengketa. Tak lama kemudian pemilik wa-

rung itu pun segera meninggalkan si pemuda, lalu 

menghilang di belakang pintu dapur. Pendekar ki-

ta ini karena sangat lapar sekali, tanpa merasa 

curiga mulai menyantap hidangan yang terletak di 

atas meja. Tidak seorang pun yang perduli meli-

hat cara si pemuda menikmati hidangannya itu.

Hanya dalam waktu yang singkat, sepiring 

nasi berikut lauk pauknya di tambah lagi dengan 

tiga guci arak telah amblas ke dalam perut pemu-

da itu. Di luar sepengetahuan Buang Sengketa. 

Dari balik dapur sana sepasang mata nampak 

memperhatikan setiap gerak geriknya dengan ta-

tapan penuh kelicikan. Sementara itu Buang 

Sengketa sendiri mulai merasakan adanya sesua-

tu yang tidak beres dalam makanan yang telah 

habis di santapnya tadi. Mula-mula pemuda itu 

merasakan pandangan matanya yang mengabur, 

sedangkan kepalanya terasa pula mulai berde-

nyut-denyut. Si pemuda lama-kelamaan merasa-

kan kepalanya semakin bertambah berat. Dan ra-

sa mengantuk tiba-tiba menyerangnya sedemi-

kian hebat. Pendekar Hina Kelana merasa terkejut 

bukan alang kepalang ketika merasakan keane


han-keanehan itu. Dengan cepat ia segera menge-

rahkan tenaga dalamnya untuk mengusir penga-

ruh obat yang telah bercampur dengan makanan 

yang disantapnya. Namun sejauh itu ia merasa 

tidak mampu mengusir hawa aneh yang terus 

berputar di bagian perutnya.

"Keparaat... pemilik warung ini rupanya telah 

membubuhi makanan yang kupesan dengan obat 

penghilang ingatan. Rasanya dugaanku ini tidak 

keliru, Ya... pastilah serbuk penghilang ingatan. 

Kalau begitu orang-orang acuh setengah gila itu 

pastilah telah memakan hidangan-hidangan ter-

kutuk itu sehingga membuat mereka pada lupa 

ingatan...! Hem... aku harus mencoba mengerah-

kan seluruh hawa murni yang kumiliki. Kalau ti-

dak, mungkin pemilik warung celaka itu memiliki 

tujuan tertentu terhadap setiap orang yang hadir 

di warungnya...!" batin pemuda itu. Sementara 

rasa kantuk terus menyerangnya tanpa ampun.

Dengan kedua mata terpejam. Buang Sengke-

ta kembali mengerahkan seluruh hawa murni 

yang dimilikinya. Mula-mula pemuda itu berusa-

ha mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya 

ke seluruh bagian perutnya. Rupanya obat peng-

hilang ingatan itu ternyata memiliki kekuatan di 

luar perhitungan Buang Sengketa. Sehingga sete-

lah mengerahkan tenaga dalamnya secara beru-

lang-ulang. Barulah beberapa saat setelah itu, se-

cara perlahan pemuda itu mulai mampu mengu-

sir pengaruh obat penghilang ingatan itu dari da-

lam tubuhnya. Keringat dingin membasahi seku-

jur tubuh Buang Sengketa. Sebenarnya ia merasa


sangat terkejut sekali mendapat cobaan yang ti-

dak pernah disangka-sangkanya itu. Menurutnya 

siapapun yang telah melakukan perbuatan seperti 

itu, pastilah bukan orang sembarangan. Melihat 

apa yang pernah terjadi dengan dirinya. Juga 

termasuk pada orang-orang yang berada di dalam 

ruangan itu. Pendekar Hina Kelana mulai dapat 

menarik kesimpulan, orang tersebut pastilah 

mempunyai niat yang sangat buruk. 

Dengan nanar, pendekar berwajah tampan itu 

melirik ke arah bagian dapur. Namun ia tidak me-

lihat pemilik warung itu di sana. Sementara para 

pendatang yang memenuhi seisi ruangan itu telah 

bergerak pula meninggalkan tempat itu satu demi 

satu. Sebagaimana halnya yang terjadi pada Pen-

dekar Hina Kelana tadi, maka orang yang jumlah-

nya belasan orang itu telah berubah menjadi 

orang yang hilang ingatan. Tingkah mereka yang 

aneh, serta gelak suara tawa yang sumbang ter-

dengar semakin bertambah menjauh dari warung 

itu. Buang Sengketa nampak tercenung lama se-

kali. Ketika ia teringat akan sesuatu, maka den-

gan suara serak dan berat ia pun memanggil pe-

milik warung.

"Pak tua... cobalah kemari sebentar...!" si pe-

muda menunggu untuk beberapa saat lamanya. 

Tapi pemilik warung itu tidak juga muncul seba-

gaimana yang diharapkannya.

"Bapak pemilik warung...!" teriak Buang den-

gan suara sedikit keras, menahan kesal. Dari 

arah bagian depan warung, orang yang di panggil-

panggilnya itu muncul. Dengan tergopoh-gopoh ia


menghampiri.

"Tu... tuan memanggil saya...?" tanyanya den-

gan suara terbata-bata.

Si pemuda tidak menyahut. Sebaliknya di-

pandanginya laki-laki tua itu dari ujung rambut 

hingga ke ujung kakinya yang nampak gemeta-

ran.

"Tuan memanggil saya...?" ulang laki-laki itu. 

Nada suaranya menampakkan ketidak sabaran 

hatinya.

"Hemm... Pak tua...? Apa yang telah kau la-

kukan dengan makanan yang kau hidangkan pa-

daku...?" tanya pemuda itu dengan pandangan 

menyelidik. Mendapat pertanyaan seperti itu. La-

ki-laki berusia enam puluh tahun itu semakin 

bertambah ketakutan sekali. Bahkan wajahnya 

pun nampak berubah pucat.

"Apa yang tu... tuan maksudkan? Saya tidak 

mengerti sama sekali...!" jawab laki-laki itu den-

gan wajah tertunduk.

Buang dapat merasakan ada sesuatu yang di 

sembunyikan oleh orang itu.

"Pak tua! Kau jangan berpura-pura bodoh. 

Kau telah membubuhkan sesuatu pada semua 

makanan yang dipesan oleh orang-orang yang da-

tang ke warungmu ini, termasuk makanan yang 

kau berikan padaku. Apakah kau masih mau me-

nutup-nutupi?"

"Sa... saya...! Tidak melakukan apa-apa...!" 

belum lagi pemilik warung itu sempat mengakhiri 

kata-katanya. Tangan pemuda yang kokoh itu te-

lah menyambar bagian krah baju orang itu. Dengan sekali sentak, tubuh pemilik warung yang ku-

rus itu telah terangkat tinggi-tinggi.

"Kau harus mengatakan apa yang telah terjadi 

di sini! Atau kau bekerja untuk siapa, heh...!" ge-

ram Buang Sengketa. Sementara dengan sengaja 

ia telah mendekatkan wajahnya sendiri dengan 

wajah orang itu. Laki-laki tua itu merasa kaget 

bukan main. Tubuhnya yang kurus kering itu 

menggapai-gapai. Tapi ia merasa tetap tidak 

mampu berbuat sesuatu.

"Saya... tidak tahu dengan pembicaraan 

tuan...!" ucap laki-laki itu.

Apa yang baru saja dikatakan oleh laki-laki 

itu benar-benar membuat kesabaran si pemuda 

benar-benar habis. Dengan mengerahkan sedikit 

tenaga dalam yang dimilikinya. Buang Sengketa 

semakin mempererat cekalannya. Sekejap saja 

pemilik warung itu merasa sulit bernafas. 

"Kerk... lep... lepaskan tuan. Baiklah... baik-

lah... saya akan mengatakan yang sebenarnya.... "

"Mengapa tidak kau lakukan sejak tadi, 

he...?" Buang segera melepaskan cekalannya 

hingga membuat laki-laki itu jatuh terduduk. 

Namun dengan cepat ia telah bangkit kembali. 

Dengan perasaan takut-takut, laki-laki itu mem-

perhatikan sekeliling warungnya. Seolah ia mera-

sa khawatir apa yang akan dikatakannya itu di-

dengar oleh orang lain.

"Kau tidak perlu merasa ragu untuk menga-

takan hal yang terjadi di sini. Seandainya kau ta-

kut dengan keselamatanmu. Sedapatnya aku 

akan melindungimu." Pendekar Hina Kelana sekali lagi berusaha meyakinkan pemilik warung itu.

Ada perasaan lega tercermin lewat tatapan 

matanya, ketika mendengar kata-kata Buang 

Sengketa. Akhirnya tanpa merasa ragu-ragu lagi, 

dengan suaranya yang lirih, ia pun berkata, "Saya 

diperintahkan oleh se...!" sebelum pemilik warung 

itu sempat mengatakan segala sesuatunya. Dari 

bagian belakang dapur warung itu berhembus 

angin yang sangat kencang, bahkan langsung 

menghantam tubuh laki-laki tua tersebut. Masih 

untung si pemuda dengan cepat dapat menghin-

dar, sehingga ia selamat dari serangan yang tiada 

terduga-duga itu. Sementara pemilik warung 

langsung terjerembab jatuh tanpa mampu menge-

luarkan suara walau barang sedikitpun. Buang 

segera memburu laki-laki itu, tapi alangkah terke-

jutnya dia begitu mendapatkan tubuh pemilik wa-

rung itu sudah tidak bernyawa lagi. Melihat kea-

daan pemilik warung yang membiru dan agak ke-

hitam-hitaman. Sadarlah Buang Sengketa bahwa 

laki-laki tua itu mendapat pukulan beracun yang 

teramat ganas sekali.

"Racun ganas 'Banas Pati'...?" sentaknya den-

gan mata terbelalak tidak percaya. "Bagaimana 

mungkin racun sejenis itu dimiliki oleh kaum per-

silatan. Bukankah racun yang sangat mematikan 

itu hanya milik makhluk-makhluk di alam gaib 

sana? Mungkinkah ini merupakan pertanda tidak 

baik bagiku...?" gumam si pemuda sambil mem-

perhatikan keadaan mayat pemilik warung. Lalu 

ketika ia teringat sesuatu, maka dengan cepat tu-

buhnya melesat ke arah bagian dapur. Dengan teliti diperhatikannya segenap ruangan itu. Namun 

ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan di 

sana.

"Aku yakin kalaupun orang yang telah mela-

kukan pembunuhan keji itu berilmu tinggi mung-

kin tidak semudah itu luput dari pengawasanku. 

Sejak tadi aku tidak melihat sesuatu yang mencu-

rigakan di sini. Mungkin ada baiknya kalau kuca-

ri orang itu...!" berkata begitu Buang Sengketa se-

gera berlalu meninggalkan warung dan pemilik-

nya yang telah tergeletak menjadi mayat.


TIGA



Tiga orang penunggang kuda nampak mema-

cu lari kuda-kuda tunggangan itu dengan kecepa-

tan laksana terbang. Debu mengepul tinggi ke 

udara, sementara tiga ekor kuda tunggangan itu 

terus mengeluarkan suara meringkik disepanjang 

jalan yang mereka lalui. Nampaknya kuda-kuda 

itu dalam keadaan kelelahan yang teramat san-

gat. Terbukti di seluruh permukaan kulitnya telah 

mengeluarkan keringat bercampur lendir. Bahkan 

dari bagian mulut serta hidungnya pun telah pula 

berbusa. Namun agaknya para penunggangnya 

yang berpakaian serba putih dan bersenjata pe-

dang itu tidak perduli dengan keadaan tunggan-

gannya. Beberapa kali pecut di tangan mereka 

mendera kuda-kuda tunggangan yang dalam kea-

daan letih itu. Sekilas para penunggang kuda itu 

terlihat bagai tidak memiliki perasaan sama sekali. Terbukti mereka terus memacu kuda-kuda 

tunggangan itu, meskipun mereka tahu binatang 

tunggangan itu sudah dalam keadaan kepayahan.

"Heaa... heaa... cepatlah kalian bergerak. Ka-

mi sudah tidak tahan merasakan penyakit yang 

aneh ini...!" sambil berteriak-teriak begitu. Tangan 

penunggang kuda yang berada di bagian paling 

depan terus melecuti kuda tunggangannya.

"Hieehh...!" kuda yang berada di bagian paling 

depan meringkik keras. Kemudian tersungkur ro-

boh tanpa mampu bangkit kembali. Sementara 

penunggangnya yang berpakaian serba putih 

nampak bersalto beberapa kali di udara, selan-

jutnya dengan tubuh terhuyung-huyung, menje-

jakkan kakinya di atas permukaan tanah. Detik-

detik selanjutnya dua ekor kuda tunggangan 

lainnya pun ikut tersungkur pula menyusul yang 

pertama. Binatang tunggangan itu nampak berke-

lojotan, dari mulut serta lubang hidungnya men-

geluarkan cairan seperti busa. Ketiga laki-laki 

berpakaian serba putih itupun saling berpandan-

gan sesamanya, setelah sebelumnya memperhati-

kan kuda milik mereka yang sudah tidak berkutik 

lagi.

"Saudara-saudaraku. Tiada jalan selamat bagi 

kita...?" kata orang pertama sambil menggaruk-

garuk seluruh kulit tubuhnya yang terasa gatal 

sekali.

"Kalau begitu kita tidak akan mempunyai ke-

sempatan untuk mencari obat penyakit terkutuk 

ini?" jawab yang lainnya sambil melakukan gera-

kan-gerakan yang tidak jauh berbeda dengan


orang pertama tadi. 

"Kalau tidak kita harus meminum darah di 

antara kita sendiri...!" kata orang pertama dengan 

pandangan liar dan, penuh nafsu membunuh.

"Kakang Baruna...! Tidak salahkah apa yang 

aku dengar ini?" Sentak dua orang lainnya. Pe-

muda yang dipanggil Baruna itu menyeringai 

sambil menggelengkan kepalanya berulang-ulang.

"Sama sekali tidak salah. Bukankah kau 

mendengar sendiri, bahwa penyakit yang kita de-

rita ini hanya dapat disembuhkan pabila kita te-

lah meminum darah orang lain...?"

"Tapi perempuan terkutuk itu tidak mengata-

kan darah kita dapat menyembuhkan penyakit ib-

lis ini...?" tukas salah seorang dari dua orang 

lainnya tanpa mampu menyembunyikan kegusa-

rannya.

"Ha... ha... ha...! Kita tidak mempunyai pili-

han lain lagi, sobat-sobatku. Datangnya kematian 

itu sudah semakin dekat sekali. Kuda-kuda tung-

gangan kita sudah pada mati semua. Sedangkan 

untuk mencapai desa terdekat dari tempat ini 

masih jauh lagi. Salah kita sendiri... kita sudah 

terlanjur menikmati tubuh perawan cantik itu. Ki-

ta telah terjebak dalam rayuannya. Tidak ada ja-

lan lain, diantara kita harus rela berkorban untuk 

kelangsungan hidup yang lainnya...!" pemuda 

yang bernama Baruna itu kemudian tertawa men-

gekeh. Sedangkan dua orang lainnya nampak sal-

ing berpandangan sesamanya.

"Itu tindakan keji sekali, kakang Baruna. Ka-

kang harus ingat, binatang buas sekalipun tidak


pernah memakan daging saudaranya sendiri...!" 

bantah yang lainnya merasa kurang sependapat 

dengan pemuda yang bernama Baruna itu.

"Hekk... kek... kek...! Kita bukan binatang so-

bat-sobatku. Sudah kukatakan untuk kesembu-

han, pemenang diantara kita semuanya harus 

merelakan darahnya untuk kepentingan yang 

lainnya...!"

"Apakah dengan meminum darah diantara ki-

ta, penyakit yang kita derita tidak akan kambuh 

lagi?"

"Kambuh atau sembuh selama-lamanya se-

mua itu tidak menjadi soal. Yang terpenting saat 

ini aku atau siapa saja sama-sama membutuhkan 

darah untuk menangkal penyakit terkutuk ini. 

Aku sudah tidak tahan, gatal... gataal sekali...!' 

bersamaan dengan kata-katanya itu Baruna sege-

ra mencabut senjatanya yang berupa sebilah pe-

dang panjang yang mengkilat-kilat karena keta-

jamannya.

"Bara... Dirga...! Cepatlah cabut senjata ka-

lian. Diantara kita harus ada yang menyerahkan 

darahnya melalui pertarungan yang adil. Cepat-

lah... sheaa...!"

Dengan perasaan tidak sabar dan tanpa me-

nunggu lebih lama lagi, Baruna langsung menye-

rang dua orang lainnya yang bernama Bara dan 

Dirga. Karena telah mengetahui apa yang diingin-

kan oleh kawannya yang satu ini. Maka baik Bara 

dan Dirga tentu saja tidak tinggal diam begitu sa-

ja. Dengan gerakan yang ringan mereka menghin-

dari serangan pedang yang dilakukan oleh Baru


na. Begitu mereka terbebas dari serangan ganas 

itu. Maka mereka pun segera pula mencabut pe-

dangnya. Baruna tertawa mengekeh begitu meli-

hat dua orang kawannya mempergunakan senjata 

untuk menghadapinya. Karena hal seperti itulah 

yang diharapkannya sejak dari tadi. Meskipun 

tubuh mereka sedang dalam keadaan tersiksa 

akibat penyakit gatal-gatal yang sangat mengeri-

kan itu. Nampaknya Baruna menyadari siapa 

yang menjadi lawannya. Mereka itu tidak lain ma-

sih merupakan sahabat-sahabat baiknya sendiri. 

Sebagai kaum persilatan golongan putih dan ter-

jebak dalam perangkap perempuan iblis yang ba-

ru mereka kenal. Tentu saja dalam hati kecilnya 

merasa tidak tega menghabisi kawan sendiri tan-

pa perlawanan dari mereka. Itulah sebabnya keti-

ka dua orang kawannya mencabut senjatanya. 

Pemuda yang bernama Baruna itu merasa berse-

mangat untuk segera menyudahi kawannya sen-

diri.

Kenyataannya mereka merupakan kaum per-

silatan yang telah banyak makan asam dan ber-

pengalaman dalam hal ilmu olah kanuragan. Ten-

tu saja bagi mereka masing-masing tidak dapat 

begitu saja menjatuhkan lawan dengan mudah. 

Mereka memiliki jurus-jurus silat yang sama. 

Bahkan permainan pedang mereka pun berasal 

dari sumber yang sama pula. Hanya dengan men-

gandalkan kecepatan sajalah agaknya mereka ba-

ru dapat menjatuhkan lawan yang sebenarnya 

masih merupakan kawan dekat mereka sendiri.

"Hiaat...!" dengan mempergunakan ilmu me


ringankan tubuh Baruna berusaha mendesak Ba-

ra dan Dirga. Tetapi meskipun dua orang ini me-

rupakan adik seperguruannya sendiri. Tetapi 

menghadapi keduanya dalam waktu yang bersa-

maan adalah merupakan sebuah kenyataan yang 

tidak mudah. Berulang kali serangan-serangan 

yang dibangun oleh Baruna dapat dikandaskan 

oleh Bara dan Dirga. Bahkan sebaliknya sekarang 

kedua saudara seperguruannya itu kelihatan mu-

lai melakukan pengeroyokan terhadap Baruna.

Menghadapi tekanan dari dua orang lawan 

yang hampir seimbang dengan kepandaiannya 

sendiri. Tentu bagi Baruna menjadi masalah ter-

sendiri yang harus cepat di cari jalan keluarnya. 

Terlebih-lebih lagi saat itu penyakit gatal-gatal di 

seluruh tubuhnya semakin menjadi-jadi. Setelah 

pertarungan berlangsung lebih dari tiga puluh ju-

rus. Baruna segera mengerahkan ilmu pedang 

andalannya yang diberi nama 'Kilat Pedang 

Menghadang Bencana' yang sangat dikenal kare-

na kecepatannya. Melihat perubahan jurus pe-

dang yang dimainkan Baruna dengan tiba-tiba 

itu. Baik Bara maupun Dirga nampak terkesima. 

Mereka sama-sama menyadari apa yang dilaku-

kan oleh Baruna merupakan jurus pedang terhe-

bat yang pernah diwariskan oleh guru mereka. 

Merasa tidak punya jalan lain. Bara dan Dirga 

langsung memutar pedangnya membentuk perisai 

diri yang sangat kokoh. Berulang kali pedang di 

tangan mereka saling berbenturan sehingga me-

nimbulkan percikan bunga api. Tapi Baruna yang 

sudah dikendalikan nafsu setan itu sudah tidak


memperdulikan semua itu. Dengan kecepatan 

yang sulit untuk diduga-duga Baruna melakukan 

satu tendangan mengarah pada bagian perut Ba-

ra, sedangkan tusukan pedangnya mengarah pa-

da bagian darah leher Dirga.

"Hiaat...!" tubuh Dirga berkelit menghindar 

sambil memutar pedang di tangannya dengan se-

bat.

Traang...! Traaang...!

"Uaaah...!"

Baruna mengeluarkan teriakan melengking 

tinggi manakala ia berusaha menghindari seran-

gan balik Dirga. Namun hal yang terjadi pada saat 

yang sama Bara menusukkan pedangnya menga-

rah pada bagian perutnya. Dengan langkah ter-

huyung-huyung Baruna terus mendekap perut-

nya yang mengeluarkan banyak darah. Bara dan 

Dirga saling berpandangan.

"Sekarang saatnyalah kita meminum darah 

kawan kita sendiri. Adik Bara! Ayo, kita tampung 

darah kakang Baruna, sebelum darah itu tertum-

pah ke bumi...!" ajak Dirga.

Serta merta pemuda berpakaian serba putih 

itu memburu ke arah Baruna yang sudah jatuh 

terhempas dalam keadaan tidak berdaya. Tidak 

jauh bedanya dengan binatang buas. Dirga segera 

menghirup darah kawannya sendiri yang terus 

merembas tiada henti. Sementara itu pemuda 

yang bernama Bara, rupanya merasa tidak tega 

menghirup darah kawannya sendiri. Nampak 

hanya memandangi kawannya dengan pandangan 

tiada berkedip sedikitpun.


Namun beberapa saat kemudian Bara menje-

rit-jerit setinggi langit. Tubuhnya menggelepar di 

atas tanah. Sedangkan kedua tangannya terus 

bergerak cepat menggaruk-garuk di sana sini. 

Keanehan yang terjadi atas diri Bara ini rupanya 

tidak luput dari perhatian Dirga yang baru saja 

selesai menghirup darah Baruna yang telah ter-

diam dalam keadaan tewas.

"Adik Bara... apa yang terjadi dengan diri-

mu?" sentaknya penuh kejut.

"Gatal... gatal sekali. Ouhgk... tobaat...!" te-

riak Bara terus menggelepar-gelepar tanpa henti.

"Sudah kukatakan padamu bahwa kita harus 

meminum darah kakang Baruna! Tapi kau tetap 

tidak mau mengindahkan perkataan ku...!" tukas 

Dirga tanpa merasa mampu untuk berbuat sesua-

tu.

"Kakang Dirga. Aku merasa lebih baik mati 

daripada harus meminum darah saudara seper-

guruan kita sendiri...!" bantah Bara, sedangkan 

tangannya tiada henti-hentinya menggaruk-garuk 

di sana sini.

"Dan sekarang kau telah merasakan akibat-

nya, bukan...!" kata Dirga tanpa maksud menge-

jek saudaranya yang sedang dalam keadaan seka-

rat itu.

"Kau... kau benar, kakang. Tapi aku mengin-

ginkan kematian yang lebih cepat. Aku tidak ingin 

tubuhku tersiksa seperti ini...!"

"Apa yang harus kita lakukan?" Dirga ru-

panya merasa semakin tidak tega melihat adik 

seperguruannya ini. Tidak mengherankan kalau



akhirnya ia menjadi kebingungan sendiri.

"Bunuh... hbnuhlah aku, kakang! Percepat-

lah kematianku, agar diriku tidak tersiksa lebih 

lama lagi...!" rintih Bara,

Pada saat itu di sekujur tubuhnya mulai ber-

munculan benjolan-benjolan sebesar telur burung 

puyuh. Benjolan-benjolan itu semakin bertambah 

besar dan berkembang cepat memenuhi seluruh 

permukaan kulit tubuhnya.

"Wuaarhgk... tidak tahan... mengapa kau 

hanya diam saja kakang. Cepatlah lakukan apa 

yang kuminta."

Bagaimana pun Dirga merupakan orang yang 

paling menyayangi Bara. Sudah barang tentu ia 

merasa tidak sanggup memenuhi permintaan adik 

seperguruannya. Lain halnya ketika ia membu-

nuh Baruna. Semua itu terdorong oleh rasa ingin 

membela diri. Kalaupun akhirnya ia berhasil dan 

langsung menghirup darah kakang seperguruan-

nya sendiri. Semua semata-mata hanya ingin 

membuktikan ancaman penyakit yang sedang 

menyerang mereka, kenyataannya perempuan 

berwajah jelita berhati iblis itu memang tidak 

berbohong. Setelah meminum darah Baruna, ter-

nyata penyakit gatal-gatal yang menyiksa dirinya 

sudah tidak menggejala lagi. Mungkin nasibnya 

tidak jauh beda dengan apa yang dialami oleh Ba-

ra andai dia tidak meminum darah saudara se-

perguruannya sendiri tadi.

"Aku tidak sanggup melakukannya, adikku. 

Aku merasa tidak tega... karena... karena aku 

sangat menyayangimu...!" desah Dirga. Tanpa di

sadarinya air matanya pun menetes. Wajahnya 

tertunduk lesu. Nampaknya ia merasa tidak be-

rani memperhatikan adik seperguruan, apalagi

saat itu benjolan-benjolan di tubuhnya telah be-

rubah bertambah besar.

Top... bloop... bloop...!

"Tobaat... agrrhk...!"

Ketika benjolan-benjolan sebesar telur angsa 

itu meletus dan memperdengarkan bunyi mele-

tup-letup. Tidak ayal lagi tubuh Bara terus meng-

gelepar-gelepar bagai kerbau disembelih. Darah 

kotor bercampur dengan nanah yang meleleh tia-

da henti menebarkan aroma busuk yang sangat 

menusuk indera penciuman. Bahkan tidak lama 

setelah itu, dari benjolan-benjolan yang tidak ter-

hitung jumlahnya itu, nampak merayap binatang-

binatang kecil yang berbentuk bulat memanjang. 

Melihat keganjilan-keganjilan itu, tentu saja Dirga 

semakin membelalakkan matanya tidak percaya.

"Bara...!" pekiknya tertahan. Secara replek ia 

mendekati tubuh yang menebarkan bau busuk 

itu. Setelah jaraknya dekat. Dengan jelas ia dapat 

melihat, bahwa binatang yang berserabutan ke-

luar dari bekas luka-luka benjolan dan berwarna 

kuning keemasan itu tidak lain merupakan ujud 

dari ular-ular berbisa yang sangat mematikan se-

kali.

"Ahgkk...!" Dirga langsung mendekap wajah-

nya dengan mempergunakan kedua telapak tan-

gannya. Sama sekali ia tidak menduga karena ke-

cerobohan mereka sendiri akan membawa akibat 

separah itu.



"Kakang... cepatlah menjauh. Tinggalkan diri-

ku, ular-ular yang sama juga akan memangsa mu 

jika kau tidak mendapat darah lagi dalam waktu 

sepekan mendatang. Cepat kau tinggalkan aku 

yang sudah di ambang ajal ini...!" kata Bara den-

gan suara patah-patah.

Dirga sebenarnya semenjak melihat ular-ular 

berwarna keemasan itu mulai merasakan reaksi 

yang terjadi di dalam tubuhnya. Ia merasakan se-

luruh pembuluh darahnya bergerak-gerak. Seolah 

di dalam pembuluh darahnya itu ada makhluk 

hidup yang berusaha mencari jalan ke luar. Itulah 

sebabnya ketika mendapat peringatan Bara, hing-

ga kemudian Bara pun tewas beberapa saat sete-

lahnya. Dirga dengan tergopoh-gopoh segera me-

ninggalkan tempat itu.



EMPAT


Dunia persilatan menjadi gempar dengan 

munculnya wabah penyakit yang sangat aneh itu. 

Korban demi korban bergelimpangan dan rata-

rata dari setiap korban yang tewas di sekujur tu-

buhnya berlubang-lubang disertai cairan nanah 

yang menebarkan bau sangat busuk sekali. Bah-

kan beberapa kaum persilatan ada yang sempat 

menyaksikan dari tubuh korban adanya ular-ular 

berwarna kuning keemasan keluar dari benjolan-

benjolan yang sangat mirip dengan bisul.

Penyelidikan mengenai keberadaan penyakit 

yang aneh dan telah menimbulkan banyak korban


itupun dilakukan. Terutama oleh kalangan golon-

gan putih yang merasa penasaran dengan adanya 

wabah penyakit itu. Namun sampai sejauh itu 

apa yang dilakukan oleh mereka masih juga be-

lum mendatangkan hasil. Bahkan beberapa orang 

diantara mereka ada yang tidak kembali. Hilang 

misterius tidak tentu rimbanya. Kabar yang me-

nyita perhatian berbagai kalangan itu akhirnya 

sampai juga pada pemuda berperiuk yang sudah 

tidak asing lagi bagi kita. Bahkan di beberapa 

tempat ia sempat menyaksikan sendiri korban-

korban yang jatuh dengan keganasan penyakit 

yang sangat misterius itu. Meskipun mayat-mayat 

mereka menebarkan bau busuk yang sangat me-

nyengat hidung, tapi Buang Sengketa masih sem-

pat memeriksanya. Dan berulang kali pemuda itu 

berdecak keheranan saat melihat keadaan mayat-

mayat itu.

"Tubuh mereka tidak ubahnya dengan daging 

busuk. Padahal aku dapat memperhitungkan me-

reka tewas baru beberapa jam yang lalu saja. Pe-

nyakit aneh yang tidak wajar sekali." gumam pe-

muda itu. Dalam posisi tegak berdiri, perhatian-

nya tidak pernah beralih dari mayat-mayat yang 

menggeletak di depannya. "Perasaanku semakin 

tidak enak saja. Aku tidak tahu apa yang bakal 

terjadi padaku. Namun darah di dalam tubuhku 

terus menyentak-nyentak hingga membuatku se-

makin bertambah gelisah. Ada baiknya aku men-

cari sebuah tempat yang tenang. Bagaimanapun 

aku harus menghubungi guruku...!" teringat 

sampai ke sana. Tak ayal lagi pemuda itu pun


bergegas menuju semak-semak yang terdapat ti-

dak begitu jauh dari tempatnya berdiri.

"Mungkin di sinilah tempat yang terlindung 

dari penglihatan siapapun." gumamnya lagi sete-

lah sebelumnya memperhatikan daerah itu den-

gan cermat. Tidak lama setelahnya, Buang Seng-

keta segera mengetrapkan ajian 'Tinggal Rogo' un-

tuk menjumpai roh almarhum gurunya Si Bang-

kotan Koreng Seribu. Mula-mula yang dilakukan 

oleh pemuda berwajah sangat tampan itu adalah 

mengosongkan pikirannya dari segala beban yang 

berbau keduniawian. Lalu secara lambat namun 

cukup pasti, antara alam bawah sadarnya mulai 

menyatu dengan perasaannya yang mendalam.

Plaash...!

Tidak dapat di cegah lagi, roh Buang Sengketa 

pun melesat meninggalkan raga kasarnya. Namun 

sebelum jasad halus itu benar-benar menjauh da-

ri raga kasarnya. Mendadak seberkas sinar ca-

haya berwarna biru kehijau-hijauan mengha-

dangnya. Kemudian muncul pula cahaya putih 

bersih yang melesat cepat ke arah cahaya biru ta-

di.

"Plaaapsh...!"

Cahaya kebiru-biruan itu segera melesat men-

jauh sebelum cahaya putih bersih itu menghan-

tamnya dengan telak. Secara perlahan cahaya pu-

tih itu bergerak mendekati roh Buang Sengketa. 

Cahaya berwarna seputih kapas itu secara perla-

han membentuk badan halus yang sangat di ken-

al oleh Pendekar Hina Kelana. Tidak salah lagi, 

itulah roh gurunya yang sangat diseganinya itu.


"Kakek... eh... guru...! Sudah terlalu lama kita 

tidak bertemu...!" ucapnya konyol.

"Eeh... murid keblinger tidak tahu adat. Bera-

ni sekali kau meninggalkan raga kasarmu, 

heh...?" Si Bangkotan Koreng Seribu bersungut-

sungut.

"Akhir-akhir ini perasaanku selalu tidak enak, 

guru! Aku merasakan sesuatu yang mengheran-

kan. Tapi aku tidak dapat memastikan apa dan 

bagaimana ujudnya.!" pemuda itu berubah serius.

Laki-laki aneh itu nampak merengut. Kemu-

dian dengan disertai tawanya yang panjang, ia 

pun berucap dengan penuh keyakinan.

"Muridku yang keblinger. Sebenarnya aku 

pun ingin menjumpaimu. Hanya saja waktu di da-

lam alamku mengharuskan agar aku mengawasi 

bahaya besar yang sedang mengintai keselama-

tanmu...!" jelas Si Bangkotan Koreng Seribu pri-

hatin.

"Apa... apa yang guru maksudkan? Apakah 

kelainan perasaan yang selama beberapa hari ini 

kurasakan ada kaitannya dengan apa yang guru 

katakan itu?" tanya si pemuda penuh perhatian.

"Benar sekali. Bahaya besar yang sedang 

mengancammu itu ada sangkut pautnya dengan 

wabah penyakit yang sedang melanda dunia per-

silatan saat ini. Padahal yang menjadi sasaran 

utama dari semua apa yang terjadi itu sesung-

guhnya adalah kau!"

"Maksud guru bagaimana?"

"Tahukah kau tentang orang-orang yang te-

was secara menggenaskan itu?" tanyanya tanpa

menghiraukan pertanyaan Buang Sengketa. 

"Ya... bahkan tadipun aku sempat melihat 

beberapa mayat yang bergelimpangan. Mereka 

meninggal dengan cara tidak wajar sekali...!"

"Tentu saja ingat. Sungguhpun sampai hari 

ini aku masih belum dapat mengenali bagaimana 

rupa ayahandaku yang bernama Raja Piton Utara 

dari Negeri lelembut itu, aku masih tetap mengin-

gatnya...!" kata si pemuda sendu.

"Bagus... kalau kau mau mengingat tentang 

asal usulmu dan orang yang telah menyebab-

kanmu lahir ke dunia ini. Ketahuilah... bahwa 

saat sekarang ini, maut sedang membayang-

bayangi dirimu. Seandainya kau lengah sedikit, 

maka tubuhmu akan membujur kaku untuk se-

lama-lamanya...!" laki-laki setengah dewa itu 

memperingatkan.

"Guru! Bicaralah terus terang. Aku benar-

benar tidak mengerti ke mana arah pembica-

raanmu itu...?" kata si pemuda kesal.

Laki-laki yang telah meninggal lebih dari tiga 

tahun yang lalu itu menyeringai. Kemudian se-

sungging senyum penuh kearifan menghias di bi-

birnya.

"Perlu kau ketahui, seorang Panglima perang 

dari Negeri leluhur ayahmu berniat membawamu 

ke Negeri Alam Gaib...!"

"Ha... apakah guru sedang tidak bercanda...?" 

sergah pemuda itu dengan mata membelok.

"Aku bicara serius bocah tolol...!"

"Tapi apa tujuan yang sebenarnya...?"

"Dalam Negeri kegelapan sana, yang tidak dapat ditembus oleh penglihatan biasa. Kau adalah 

seorang pangeran. Kau adalah anak Raja. Meski-

pun hanya titisan belaka. Ayahmu yang telah me-

ninggalkan tahtanya karena ingin menebus dosa-

dosanya dan bertapa di samudra luas, karena 

mengawini manusia biasa. Telah menyebabkan 

perebutan kekuasaan antara makhluk lelembut 

yang baik dan makhluk lelembut yang jahat. Tapi 

orang-orang yang sealiran dengan ayahandamu 

Raja Piton Utara dapat dikalahkan oleh kelompok 

yang jahat, dan berkuasa sampai saat ini. Kalau-

pun mereka mengutus salah seorang Panglima 

perangnya ke alam dunia fana ini. Sudah jelas 

semua itu atas titah Rajanya yang bernama 

'Sangka Negara'. Karena kau masih merupakan ti-

tisan dari alam lelembut itu, tujuan mereka jelas 

ingin menghukummu. Atau paling tidak membu-

nuhmu...!"

"Bukankah semua itu hanya merupakan pe-

kerjaan yang membabi buta saja? Guru, sendiri 

cukup tahu bahwa selama ini untuk menjumpai 

ayahandaku saja sangat sulit. Apalagi aku sampai 

berkeliaran di Negeri orang gaib...!"

"Secara logika memang begitu, muridku. Tapi 

bagi pemimpin yang sedang berkuasa di Negeri 

ayahandamu. Kau tidak jauh berbeda dengan 

seorang musuh yang harus dibinasakan...!"

"Ah, alangkah mengerikan sekali... tapi apa-

kah aku dapat menandingi kesaktian yang dimili-

ki oleh makhluk lelembut itu, guru...?" tanya si 

pemuda harap-harap cemas.

"Menurut hematku, Panglima perang dari Ne


geri Bunian yang bernama 'Dasamuka' itu memi-

liki kepandaian yang tidak dapat diukur. Bahkan 

mungkin saja senjata andalan yang di wariskan 

oleh ayahandamu itu akan berhadapan dengan 

senjata yang tidak kalah hebatnya dengan senjata 

dari alam yang sama. Aku berharap Cambuk Ge-

lap Sayuto dan Jurus Koreng Seribu hasil cip-

taanku terakhir dapat mengatasinya. Hanya satu 

hal yang harus selalu kau waspadai, kau mesti 

berhati-hati dengan lawan yang bakal kau hadapi 

itu. Karena dengan segala tipu muslihatnya. Dia 

dapat merobah ujudnya menjadi makhluk mau-

pun manusia yang sangat mirip dengan orang-

orang yang pernah dekat denganmu...!" kalimat 

terakhir yang diucapkan oleh roh gurunya itu be-

risi peringatan keras, agar si pemuda berhati-hati 

selalu.

"Baiklah, kek...! Aku merasa sangat berterima 

kasih sekali dengan segala petunjukmu itu. Tapi 

untuk sementara ini aku bermaksud ingin jalan-

jalan di alam gaib, seperti di alammu ini, guru...!" 

kata pemuda itu konyol. Tentu saja ucapan pe-

muda barusan membuat laki-laki pemurung itu 

menjadi berang sekali.

"Apa...? Dengan mempergunakan ajian 

'Tinggal Rogo' itu engkau bermaksud pesiar...?"

"Tidak, guru... aku cuma bermaksud jalan-

jalan saja...!" Buang Sengketa mengekeh.

"Jalan-jalan dengan pesiar apa bedanya...?"

"He... he... he...! Pesisir hanya dilakukan oleh 

orang-orang kaya atau raja-raja. Sedangkan ja-

lan-jalan hanya dilakukan oleh orang-orang susah dan pengelana seperti diriku ini...!"

"Goblok, tolol... murid gendeng! Apakah eng-

kau ingin melihat jasadmu yang kau tinggalkan 

dicincang oleh para golongan sesat atau binatang 

buas... cepat kau kembali ke dalam jasadmu. 

Atau aku harus menggebukmu terlebih dahu-

lu...?" ancam Si Bangkotan Koreng Seribu. Pen-

dekar Hina Kelana menyadari dalam keadaan se-

perti itu, gurunya benar-benar dalam keadaan se-

rius. Maka iapun tidak berani bertingkah macam-

macam lagi. Dengan sikap hormat Buang Sengke-

ta menjura.

"Bai... baiklah, guru. Kalau guru sudah ber-

kata demikian aku tidak akan membantah lagi. 

Aku akan kembali pada alam kenyataan...!" ber-

kata begitu, Buang Sengketa bermaksud mening-

galkan arwah gurunya. Namun tiba-tiba saja Si 

Bangkotan Koreng Seribu memanggilnya.

"Hai bocah, tunggu dulu...!"

Buang Sengketa membalik. Kemudian me-

mandang gurunya dengan perasaan tidak men-

gerti.

"Ada apa, guru...?"

"Apakah kau sudah ingat dengan pesan-

pesanku tadi...?" tanyanya begitu serius.

"Tentu saja murid akan tetap mengingat-

nya...!"

"Kalau begitu... ya, sudah! Pergilah sana...!"

Buang Sengketa menggerutu.

"Dasar orangtua sinting!" celetuknya. Kemu-

dian tanpa menoleh-noleh lagi ia pun segera kem-

bali ke dalam jasadnya yang masih tetap mematung di balik sebatang pohon besar. Tak lama 

kemudian tubuh pendekar itu telah bergerak-

gerak kembali sebagaimana sediakala.


LIMA


Daerah di sekitar danau Sengguling, hampir 

sepenuhnya dilingkupi hutan lebat dan jarang di-

jarah oleh kalangan manapun. Hutan perawan itu 

selalu mendatangkan kesan menyeramkan bagi 

semua orang. Itulah sebabnya penduduk desa 

yang berdiam agak jauh dari hutan itu tidak seo-

rangpun yang berani berburu maupun mencari 

hasil hutan lainnya. Padahal daerah itu dikenal 

sebagai daerah yang dihuni berbagai jenis bina-

tang hutan yang dapat dimakan dagingnya. Tapi 

siapa yang sudi memasuki danau Sengguling 

yang banyak menyimpan misteri itu? Hanya saja 

akhir-akhir ini ada kalangan persilatan yang sen-

gaja datang dari daerah yang jauh dan melakukan 

penyelidikan di tempat itu.

Semua itu sudah barang tentu ada kaitannya 

dengan menyebarnya penyakit aneh yang akhir-

akhir ini melanda beberapa kalangan persilatan, 

baik dari golongan putih maupun golongan hitam. 

Yang membuat semuanya menjadi panik, justru 

karena mereka yang telah terserang wabah terku-

tuk itu meminta banyak korban yang tidak berdo-

sa. Mereka yang terserang penyakit itu kembali ke 

dunia ramai dengan membawa petaka baru bagi 

orang lain. Tindak tanduk mereka cenderung beringas, lebih dari itu mereka juga menjadi manu-

sia penghisap darah demi kesembuhan sementara 

atas penyakit yang diderita oleh mereka.

Namun sejauh ini segala usaha kaum persila-

tan golongan putih dalam mencari sumber sebab 

terjadinya malapetaka itu masih juga belum men-

datangkan hasil. Bahkan telah banyak diantara 

mereka tidak pernah kembali lagi ke daerah atau-

pun perguruannya. Kalaupun ada mereka itu te-

lah ikut tertular penyakit yang sangat mena-

kutkan itu. Sesungguhnya apakah yang terjadi di 

daerah hutan Sengguling akhir-akhir ini? Hanya 

penduduk di sekitar hutan itu sajalah yang tahu. 

Namun tidak seorang pun diantara mereka yang 

berani buka bicara pada orang diluaran sana. Se-

bab mereka merasa takut dibasmi oleh seorang 

bidadari cantik penguasa hutan itu. Mereka terin-

gat pada perjanjian kedua belah pihak yang men-

gatakan mereka tidak akan saling bermusuhan 

selama penduduk yang berdiam di sekitar daerah 

itu tidak pernah menceritakan kejadian apapun 

yang terjadi di sekitar tempat itu. Kenyataannya 

sampai hari itu semua penduduk yang berada di 

sana tidak mendapat gangguan apa-apa dari 

orang yang menamakan dirinya 'Dasamuka' itu.

Begitupun sebenarnya hati mereka kian hari 

terus diliputi perasaan cemas yang teramat san-

gat. Mereka merasa berdosa pada kalangan persi-

latan, karena selama ini mereka tetap merahasia-

kan adanya sosok yang berubah-ubah ujud itu. 

Terkadang ada juga keinginan di hati mereka un-

tuk secara diam-diam melaporkan kejadian itu


pada tokoh-tokoh persilatan ataupun mencegah 

keinginan para penyelidik itu untuk memasuki 

hutan itu. Namun niat mereka selalu saja tidak 

kesampaian, pabila mengingat keselamatan anak 

istri mereka. Beberapa penduduk desa yang tewas 

secara mengerikan karena berusaha memberi ka-

bar pada tokoh-tokoh persilatan sudah cukup 

menjadi pelajaran bagi yang lainnya agar mereka 

tidak bertindak gegabah.

Tetapi haruskah mereka bertahan dengan 

perjanjian yang pernah mereka buat beberapa 

purnama yang lalu itu? Sementara hampir setiap 

malam selalu saja terdengar suara tawa merdu 

dan berakhir dengan suara lolongan orang kesaki-

tan yang membuat berdiri bulu kuduk orang-

orang desa itu? Diam dan terus diam. Begitulah 

yang terus mereka lakukan ketika pada pagi yang 

sangat sejuk itu beberapa orang penunggang ku-

da berpakaian serba cokelat melewati desa mere-

ka. Bahkan ketika para penduduk itu mendengar 

derap langkah kuda yang dipacu cepat ke arah 

desa mereka. Pintu-pintu rumah langsung ter-

kunci rapat. Tepat seperti apa yang diduga oleh 

orang-orang desa yang telah mengunci pintu. Be-

gitu rombongan orang-orang berkuda sampai di 

jalanan desa yang menghubungkan ke hutan da-

nau Sengguling. Maka rombongan berkuda itu 

menghentikan kuda-kuda tunggangan.

"Mengapa kita berhenti di sini, kakek Singo 

Inggil...?" yang bertanya seperti itu adalah seo-

rang laki-laki yang berada di bagian paling bela-

kang. Berbadan kekar, berkumis serta jambang


berwarna cokelat sedangkan di bagian punggung-

nya menggelantung sebuah tombak bermata gan-

da. Kalangan persilatan mengenalnya sebagai 

Gantara Sona alias si Tombak Bayangan. Ia men-

dapat julukan seperti itu karena kecepatannya 

dalam mempergunakan tombak. Sedangkan laki-

laki yang dipanggil dengan nama 'Singo Inggil' ter-

sebut dalam dunia persilatan sangat di kenal 

dengan julukan 'Singa Muka Merah'. Laki-laki da-

ri Selatan itu memang sengaja datang ke daerah 

danau Sengguling. Atas ajakan Gantara Sona cu-

cunya yang merasa kehilangan beberapa orang 

muridnya di daerah itu.

Sementara itu laki-laki tua berambut serba 

putih dan memakai topi kupluk (Topi jelek yang

biasa di pakai oleh orang-orang setengah sinting), 

nampak memperhatikan Gantara Sona dan mu-

rid-muridnya yang turut menyertai rombongan 

itu. Sepasang matanya yang agak sipit nampak 

berkeriapan.

"Mengapa kita berhenti...?" tanya laki-laki 

renta berusia tujuh puluh lima tahun itu seolah 

mengulangi pertanyaan yang diajukan oleh cu-

cunya.

"Betul... mengapa kita berhenti di sini. Pa-

dahal danau Sengguling masih jauh lagi di depan 

sana?" kata Gantara Sona protes.

Laki-laki renta berwatak aneh itu melompat 

dari punggung kudanya. Begitu kakinya menjejak 

di atas tanah berpasir. Lalu bagian jemari kakinya 

itu menoreh-noreh di atas tanah itu hingga me-

nimbulkan guratan-guratan yang tidak di mengerti oleh Gantara Sona cucunya sendiri. Tiba-tiba 

wajah yang keriput itu nampak berkerut. Sepa-

sang matanya yang cekung nampak berputar-

putar bagai orang kesurupan. Detik selanjutnya 

laki-laki renta berperangai aneh itu tertawa ter-

bahak-bahak. Meskipun Gantara Sona sudah pa-

ham betul dengan watak kakek buyutnya itu. 

Namun ia menjadi penasaran juga.

"Memang ada apa kek...! Kita telah menunda 

perjalanan dan membuang-buang waktu percuma 

dengan berhenti di tempat sepi seperti ini...!" 

Melihat cucunya merasa sudah tidak sabaran 

lagi. Maka Singo Inggil langsung menghentikan 

tawanya. Lalu bagai ditujukan pada dirinya sendi-

ri seraya pun berkata.

"Heh... siapa bilang kita telah menunda perja-

lanan? Siapa kata kita berada di tempat yang se-

pi? Tidak tahukah kau berpasang-pasang mata 

dari balik pintu rumah itu memandangi kita den-

gan wajah menghiba? Mereka merasa kasihan ke-

pada kita. Tapi mereka tetap tidak dapat berbuat 

sesuatu, karena mereka masih sayang pada kese-

lamatan anak istri. Tapi jangan salahkan, karena 

mereka memang tidak mampu memberi selamat 

pada orang lain...!"

"Aku tidak mengerti apa yang kakek maksud-

kan...?" Gantara Sona semakin bertambah jengkel 

saja melihat ulah kakeknya. Namun sang kakek 

tetap acuh, bahkan dengan sikap seolah tidak 

perduli. Laki-laki renta itu melanjutkan ucapan-

nya, "Di depan sana adalah sorga dunia yang 

mematikan bagi siapa saja yang coba-coba menikmatinya. Di kanan kiri adalah mereka yang se-

tengah mati di landa ketakutan. Sedangkan di be-

lakang sana, seorang bocah keturunan alam kege-

lapan sedang di landa kebingungan. Di Tengga-

ra... si Peramal Sinting sedang berleha-leha...!" 

sebentar Singa Muka merah berpaling pada cu-

cunya. Wajahnya membersitkan rasa iba yang 

tiada dapat di tutup-tutupinya.

"Cucuku... apakah kita harus meneruskan 

perjalanan ini?" dari nada ucapannya saja Ganta-

ra Sona dapat melihat kalau kakeknya tidak ber-

selera untuk meneruskan perjalanan. Semua itu 

jelas menarik perhatian Gantara Sona yang sela-

ma beberapa tahun terakhir ini menjadi ketua 

perguruan 'Tombak Merah' menggantikan kedu-

dukan ayahandanya.

"Sebenarnya ada apa, kek...? Mengapa kakek 

mengatakan hal seperti itu...?" tanyanya setelah 

berusaha mencerna makna dari semua ucapan 

yang baru saja di katakan oleh Singo Inggil.

"Kabar buruk, cucuku...! Kita akan menjadi 

pecundang orang itu. Dia memiliki ilmu kepan-

daian yang tiada bandingnya di alam mayapada 

ini. Murid-muridmu, engkau dan aku menjadi ti-

dak berarti di hadapannya... akh... kalau dipikir-

pikir memang tidak meleset apa yang pernah di-

katakan oleh si Peramal Sinting sahabatku itu. 

Bahwa kita akan menghadapi orang yang tidak 

sebanding dengan kekuatan yang kita miliki. Dia 

terlalu hebat. Bahkan orang itu unggul dalam se-

gala-galanya." kata Singo Inggil. Sebaliknya Gan-

tara Sona merasa kaget bukan alang kepalang.


Dia sadar betul siapa kakeknya. Di daerah Teng-

gara Gunung Sinabung, orangtua itu merupakan 

seorang tokoh yang sangat disegani baik oleh 

kaum persilatan golongan lurus maupun kaum 

persilatan golongan sesat. Apalagi sekarang ini 

Singo Inggil telah berhasil menciptakan pukulan 

tangan kosong yang diberi nama pukulan 

'Menguak Kabut Kegelapan' yang sudah tidak per-

lu diragukan akan kedahsyatannya itu. Dan ke-

nyataannya sang kakek masih tetap mengatakan 

bahwa apa yang akan mereka lakukan hanyalah 

merupakan pekerjaan sia-sia belaka? Gantara 

Sona berpikir mungkin saja lawan yang akan me-

reka hadapi merupakan seorang tokoh sesat yang 

memiliki kepandaian yang tidak terukur. Namun 

sebagai ketua perguruan dan berjiwa muda tentu 

Gantara Sona tidak mau terima begitu saja.

"Aku sudah begitu banyak kehilangan murid, 

kek... siapapun orang itu dengan berbagai cara 

harus kita adili. Keberadaannya hanya akan 

membuat jatuhnya korban semakin bertambah 

banyak lagi...!" tukas ketua perguruan 'Tombak 

Merah'.

"Ternyata ketika kecil dulu kau belum ke-

nyang betul menetek pada ibumu." sentak Singo 

Inggil dengan wajah memerah. "Kau harus ingat, 

bukan muridmu saja yang telah menjadi korban. 

Namun telah begitu banyak kalangan persilatan 

yang tewas secara sia-sia. Kau sudah kuberi kete-

rangan tentang bahaya yang menghadang kita, 

andai saja kita meneruskan perjalanan ini. Ma-

sihkah kau hendak menyongsong maut?"


Mendengar kata-kata kakeknya, Gantara So-

na sebenarnya merasa malu dengan murid-

muridnya. Namun untuk bertindak nekad me-

langgar peringatan kakeknya tentu saja dia tidak 

punya keberanian. Namun ketika terlintas satu 

akal di benaknya, laki-laki berusia tiga puluh lima 

tahun inipun berucap. "Baiklah, kek. Kalau kakek 

sudah berkata begitu aku tidak dapat memban-

tahnya lagi, tapi...!" sebelum Gantara Sona sem-

pat melanjutkan ucapannya. Mendadak dari arah 

depan mereka muncul belasan orang penunggang 

kuda yang tidak mereka kenal sama sekali. Begitu 

mereka sampai di depan Singo Inggil, cucu dan 

murid-muridnya. Maka mereka tanpa berkata-

kata lagi langsung menyerang Gantara Sona dan 

murid-muridnya. Dengan perasaan heran ber-

campur penasaran, Gantara Sona dan murid-

muridnya berusaha menghindari serangan-

serangan ganas mereka. Sementara Singo Inggil 

alias Singa Muka Merah di sela-sela gelak ta-

wanya langsung berkata, "Sudah kukatakan di 

depan kita sana adalah sorga yang mematikan, 

cucuku. Mereka orang-orang gila ini pastilah baru 

saja mencicipi sorga dunia. Sehingga mereka 

menjadi gila karena penyakit yang didapatnya da-

ri sorga itu...!"

"Tidak ada hujan tidak ada angin tahu-tahu 

orang-orang tolol ini menyerang kita, kek! Lalu 

apa tindakan kita terhadap mereka?" tanya Gan-

tara Sona sambil terus menghela kuda tunggan-

gannya menghindari datangnya serangan senjata 

orang-orang tidak di kenal itu dengan gesit sekali.


"Hak... hak... ha...! Setiap mereka yang telah 

keluar dari sorga mematikan itu. Pastilah mereka 

membawa bibit penyakit yang sangat mematikan. 

Apa yang mereka butuhkan untuk menyembuh-

kan penyakitnya adalah darah. Darah kita! Begi-

tulah menurut Peramal Sinting. Nah kalau eng-

kau merasa sayang dengan darahmu. Lindungilah 

dirimu dan murid-muridmu, bunuh pendatang 

dari sorga itu... bunuh...!" selesai dengan kata-

katanya itu Singo Inggil segera memapak seran-

gan-serangan senjata para pendatang itu dengan 

mempergunakan jurus-jurus tangan kosong yang 

sangat hebat. Tubuh laki-laki tua itu berkelebat 

lenyap sehingga tinggal merupakan sambaran an-

gin kencang menderu-deru. Dapat dibayangkan 

betapa tingginya ilmu silat yang dimiliki oleh Sin-

ga Muka Merah ini. Tapi lawan-lawannya yang te-

lah terserang wabah penyakit aneh itu juga bukan 

lawan yang dapat dianggap enteng. Mereka terdiri 

dari tokoh persilatan golongan sesat yang memili-

ki kepandaian dua tingkat di bawah Singa Muka 

Merah. Menghadapi laki-laki tua renta dan Gan-

tara Sona bisa saja mereka kerepotan. Tetapi ke-

tika rombongan berkuda lainnya berhadapan 

dengan murid utama Gantara Sona yang berjum-

lah tidak kurang dari enam orang itu. Maka da-

lam waktu yang singkat satu demi satu jerit dan 

lolong kematian pun terdengar. Yang lebih menge-

rikan lagi para penyerang itu begitu lawannya ro-

boh dengan tubuh bermandi darah. Mereka ber-

serabutan memburu dan langsung menghisap da-

rah yang menyembur dari luka sabetan pedang.


Tindakan mereka tidak jauh bedanya dengan pri-

laku binatang buas yang senantiasa haus darah.

Demi melihat muridnya mengalami kejadian 

yang sangat tragis itu. Gantara Sona menjadi 

sangat murka sekali. Begitupun halnya dengan 

Singo Inggil. Terlebih lebih dalam waktu yang 

singkat enam orang muridnya sudah tidak bersisa 

meski hanya seorang pun.

"Keparaat... merekakah yang telah terjangkit 

penyakit menjijikkan itu, kek...!" sentak Gantara 

Sona semakin memperhebat serangan. Bahkan 

untuk selanjutnya ia telah mencabut senjatanya 

yang berupa tombak berwarna merah.

"Tidak salah. Mereka menyedot darah murid-

muridmu demi kesembuhan penyakit yang mere-

ka derita. Ayo... tunggu apa lagi... kita harus ber-

hasil membunuh mereka secara keseluruhannya 

agar tidak akan menimbulkan korban lebih ba-

nyak lagi." perintah Singa Muka Merah. Saat itu 

laki-laki renta itu mulai mengetrapkan pukulan 

tangan kosong yang sangat diandalkannya. Yaitu 

pukulan 'Menguak Kabut Kegelapan'. Tetapi keti-

ka Singa Muka Merah sedang berkonsentrasi un-

tuk mengetrapkan pukulan 'Menguak Kabut Ke-

gelapan'. Beberapa orang pendatang yang baru 

saja selesai menghisap darah murid-murid pergu-

ruan Tombak Merah, telah meluruk ke arahnya. 

Semua itu sudah barang tentu tidak luput dari 

perhatian Gantara Sona. Hanya saja ia tidak da-

pat berbuat banyak karena pada saat yang sama 

ketua perguruan 'Tombak Merah' ini sedang sibuk 

melayani tiga orang para pengeroyoknya yang di


antara sesamanya memiliki kepandaian yang be-

rimbang. 

Wuuuk... wukk...!

Sambil memutar tombaknya yang bermata 

ganda, Gantara Sona melepaskan pukulan anda-

lan 'Kabut Merah' dalam usahanya mencegah tin-

dakan lawan yang berusaha menyerang kakek-

nya.

Weess...!

Dari arah lain kiranya Singa Muka Merah te-

lah pula melepaskan pukulan 'Menguak Kabut 

Kegelapan' yang sangat dahsyat itu. Tak ayal lagi 

tiga orang pendatang yang melakukan serangan 

kilat itu sudah tidak dapat menghindari pukulan 

yang dilepas oleh Singa Muka Merah, sungguh 

pun mereka telah memutar pedangnya memben-

tuk perisai diri.

Bleder... bleder...!

"Wuaarkgh...!"

Tiga laki-laki bertampang sadis dan berkulit 

hitam legam itu langsung terpelanting roboh. Tu-

buh mereka yang terkena pukulan berhawa panas 

itu nampak berubah biru seketika itu juga.

"Lebih baik kalian enyah ke neraka...!" gu-

mam Singa Muka Merah. Lalu dengan cepat ia 

berpaling pada cucunya yang sedang terlibat per-

tarungan dengan pendatang lainnya. Namun ia 

dapat bernafas lega manakala dilihatnya Gantara 

Sona telah menjatuhkan lawan-lawannya dalam 

waktu yang sangat singkat. Hingga sekarang 

hanya tinggal seorang saja yang di hadapinya. 

Namun lawan yang hanya bersisa seorang ini pun



tidak bertahan lama. Gantara Sona yang sangat 

disegani karena kecepatannya dalam mempergu-

nakan tombak itu segera memperhebat serangan-

nya. Ujung tombak yang bermata ganda itu berge-

rak menyambar ke berbagai bagian tubuh yang 

mematikan. Dalam gebrakan-gebrakan selanjut-

nya penyerang yang tidak pernah mau bicara itu 

sudah terdesak hebat. Sungguhpun ia telah beru-

saha memutar pedangnya dengan segenap ke-

mampuan yang dimilikinya.

Jraas... srees...! 

"Agkhh...!"

Laki-laki penyerang itu menjerit-jerit setinggi 

langit. Tubuhnya tertembus mata tombak dari 

bagian perut hingga sampai pada bagian pung-

gung. Dengan mata agak terpejam, Gantara Sona 

mencabut senjatanya yang menancap di tubuh 

lawannya. Tapi ketika tombak itu telah di sentak-

kan oleh ketua perguruan 'Tombak Merah'. Laki-

laki itu sempat membelalakkan matanya. 

"Ular emas...?"

Kenyataannya ular-ular sebesar ibu jari tan-

gan itu berserabutan keluar dari mayat lawannya. 

Dan pabila ia memandang ke arah mayat-mayat 

lainnya, maka hal yang sama tidak luput dari 

perhatiannya. Sementara saat itu pun kakeknya 

sedang sibuk membunuh ular-ular yang berbau 

amis menjijikkan itu. 

"Bagaimana ini, kakek...?" tanya Gantara So-

na nampak agak panik karena ular-ular berwarna 

kuning keemasan itu sekarang telah pula menye-

rang dirinya.

"Kita harus menyingkir dari tempat ini...!" 

berkata begitu Singa Muka Merah bermaksud 

mendapatkan kuda tunggangan mereka. Namun 

mereka lebih terkejut lagi ketika kuda tunggangan 

mereka telah terkapar mati. Sedangkan di atas 

tubuh mereka terdapat ratusan ular sejenis men-

gerubuti.

"Celaka... seluruh kuda tunggangan mati se-

muanya...!"

"Kalau begitu jalan kaki saja...!"Singa Muka 

Merah bersungut-sungut.

"Ke mana...?"

"Kepalang tanggung. Kita selidiki saja sarang 

iblis itu...!"

Akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi mereka 

segera meninggalkan tempat itu.


ENAM


Dalam perasaan yang serba tidak menentu 

itu, Buang Sengketa terus mengayunkan lang-

kahnya. Sesekali ia pun mengerahkan ajian Sepi 

Angin yang selama malang melintang dalam dunia 

persilatan dikenal sebagai ilmu lari cepat yang ti-

dak perlu lagi diragukan akan kehebatannya. Kini 

setelah mendengar kabar dan keberadaan penye-

bab terjadinya malapetaka itu. Hatinya telah men-

jadi mantap untuk segera sampai di daerah da-

nau Sengguling, dalam usahanya menemukan 

seorang musuh yang menurut cerita Si Bangkotan 

Koreng Seribu merupakan seorang Panglima perang utama di Negeri leluhur ayahandanya.

Hanya saja terkadang ada sesuatu yang dis-

esalkan oleh pemuda yang tidak pernah lekang 

dengan periuknya ini. Mengapa manusia alam ke-

gelapan itu kalau hanya menghendaki jiwanya, 

begitu tega menyebarkan bencana di mana-mana. 

Dalam keadaan berjalan seperti itu, tiba-tiba ia 

mendengar suara sesuatu yang sangat mencuri-

gakan. 

Sraaak...!

Langkah Pendekar Hina Kelana langsung ter-

henti. Ia mencoba mempertajam pendengarannya. 

Weer...! 

Buang Sengketa jadi terkesima manakala me-

rasakan adanya sambaran angin kencang yang 

sangat panas menderu cepat dari bagian bela-

kangnya. Secara replek pemuda itu langsung 

membantingkan tubuhnya ke samping kiri. Se-

rangan gelap itu luput dari sasarannya. Sebalik-

nya sinar panas yang berwarna biru itu menghan-

tam sebatang pohon sebesar sepelukan orang de-

wasa. Pohon itu memperdengarkan suara berde-

rak ketika pukulan itu menghancurkan batang 

bagian bawahnya.

Krotaak... bruaak...! Pohon itu roboh berde-

bum. Untung saja si pemuda cepat-cepat meng-

hindar, jika tidak tubuhnya pasti tertindih rubu-

han pohon itu.

"Pembokong gelap. Cepat-cepatlah tunjukkan 

diri. Jika tidak aku akan menghantammu dengan 

cara yang sama...!" geram Buang Sengketa mera-

sa tidak sabaran lagi. Namun setelah beberapa


saat menunggu, tidak ada reaksi dari orang yang 

telah menyerangnya tadi. Sebaliknya sebagai ja-

waban, tiga pukulan susulan dengan kekuatan 

berlipat ganda kembali menderu cepat ke arah 

Pendekar Hina Kelana. Pada pukulan pertama 

yang berhasil dielakkan si pemuda tadi saja ia 

sudah dapat merasakan kehebatannya. Sekarang 

sadarlah pemuda itu, apapun alasan pembokong 

gelap itu yang jelas orang itu, pastilah menghen-

daki jiwanya.

Kini tanpa merasa sungkan-sungkan lagi. 

Buang Sengketa langsung merangkapkan kedua 

tangannya. Setelah mengerahkan setengah dari 

tenaga dalam yang dimilikinya. Maka tak ayal lagi 

pemuda itu langsung melepaskan pukulan 'Empat 

Anasir Kehidupan'. Pada detik itu juga melesatlah 

serangkum gelombang berwarna Ultra Violet yang 

menimbulkan rebawa panas bukan alang kepa-

lang. Dua lesatan sinar yang berintikan tenaga 

sakti itu saling menderu dengan kecepatan yang 

sangat sulit diikuti oleh kasat mata.

Blaam... dummm...!

Terdengar dua kali suara ledakan keras ma-

nakala dua pukulan yang dilepas oleh si pemuda 

dan si pembokong itu bertemu di udara. Tanah di 

sekitar tempat itu bergetar hebat. Tubuh Buang 

Sengketa tergetar hebat. Bahkan kakinya terbe-

nam ke tanah sampai sedalam mata kaki. Dengan 

cepat pemuda itu mengurut jalan darah dan ba-

gian dadanya yang terasa sesak dan berdenyut-

denyut sakit. Sebaliknya dari semak-semak itu 

terdengar keluhan pendek yang diakhiri dengan



suara tawa berkepanjangan.

"Ternyata gelar Pendekar Hina Kelana bukan-

lah sekedar nama kosong. Tapi jangan bangga du-

lu, karena aku memiliki seribu satu cara untuk 

menjemput rohmu!"

"Ki sanak! Siapakah engkau yang sebenar-

nya? Sedangkan aku merasa sekalipun kita be-

lum pernah bertemu dalam waktu-waktu sebe-

lumnya...!"

"Aku...? Hik... hik... hik...! Aku hanyalah seo-

rang abdi yang di utus oleh seseorang untuk 

membawamu ke sebuah tempat yang tidak kau 

mengerti, sekarang juga...!"

Buang Sengketa kontan terperangah kaget, 

begitu mendengar penjelasan orang yang bersem-

bunyi di balik semak-semak belukar itu. Dalam 

hati ia berpikir, mungkin inikah orangnya yang 

dikatakan oleh roh gurunya itu? Kalaulah benar 

apa yang menjadi dugaannya. Sudah sangat jelas 

baginya, bahwa sekaranglah saat-saat yang men-

debarkan itu harus terjadi. Tapi walau bagaima-

napun Pendekar Hina Kelana adalah seorang pe-

muda yang sangat cerdik. Dia tidak ingin bertin-

dak gegabah dalam melakukan penilaian.

"Kau ingin membawaku ke sebuah tempat? 

Apakah tempat yang kau maksudkan itu merupa-

kan sebuah Negeri kegelapan... Negeri Bunian...?" 

pancing pemuda itu dengan keadaan bersiaga pe-

nuh. 

Sebagai jawaban kembali terdengar suara ta-

wa yang serasa membuat ciut pembuluh darah 

dan mengguncang seisi dada. Andai saja pemuda


ini tidak melindungi dirinya dengan tenaga dalam 

yang dimilikinya. Pada saat itu pastilah ia telah 

terjungkal roboh akibat pengaruh suara tawa 

yang di sertai dengan pengerahan tenaga dalam 

yang tidak terhingga itu. Orang ini benar-benar 

memiliki ilmu bagaikan iblis dari neraka. Suara 

tawanya juga kupikir dapat menggugurkan orok 

di dalam kandungan. Hemm... suara tawa itu ti-

dak ubahnya bagai lengkingan ilmu Pemenggal 

Roh. Benar-benar sangat mirip sekali. Hem, aku 

mencium adanya bau siluman di tempat ini. Aku 

merasa yakin kalaupun ia bukan orang yang di-

maksud oleh kakek guru, yang pasti mungkin sa-

ja ia merupakan seorang pesuruh Panglima pe-

rang Negeri lelembut yang bernama Dasamuka 

itu, batin si pemuda.

Dalam kesempatan itu mendadak suara tawa 

terhenti.

"Kau tidak perlu banyak tanya, Pangeran,..! 

Gurumu yang setengah Dewa itu telah mencerita-

kan segala sesuatunya tentang kami. Kuperintah-

kan padamu, lebih baik kau menyerah secara su-

karela daripada aku harus memaksamu, titisan 

Raja Piton Utara...!"

Setiap kata-kata yang terucap dari mulut pe-

suruh dari alam lelembut itu tidak ubahnya bagai 

serentetan suara petir yang menggelegar di siang 

hari. Hingga memaksa Buang Sengketa secara te-

rus menerus harus mengerahkan tenaga dalam-

nya untuk melindungi diri. Pendekar Hina Kelana 

terdiam sesaat lamanya. Pikirannya berjalan ce-

pat mencari jalan keluar yang akan di tempuh


nya. Namun manakala ia teringat tentang wabah 

penyakit dan sekian banyak orang yang telah 

menjadi korban utusan dari Negeri Bunian itu 

hanya karena demi memancing kehadirannya. 

Maka kemarahan pun sudah tidak mampu di 

bendungnya lagi. Sambil memandang geram ke 

arah semak-semak itu pemuda berpakaian merah 

dengan rambut di kuncir ini berucap, "Ternyata 

bangsa kalian lebih keji bila dibandingkan dengan 

bangsa manusia. Kalian sebarkan teror di mana-

mana hanya karena menghendaki jiwaku. Kalian 

lebih tamak dari manusia. Dan lebih celaka lagi 

kalian menganggapku sebagai musuh utama da-

lam kerajaan yang telah dikuasai oleh golongan 

sesat sebangsanya iblis. Padahal sedikit pun aku 

tidak pernah mengetahui tentang Negeri lelembut 

yang bernama Bunian itu. Aku hanyalah seorang 

titisan dan terlahir sebagai manusia biasa. Tapi 

Raja-Raja kalian yang sedang berkuasa sekarang 

ini malah menganggapku sebagai musuh besar 

dan memerintahkan Panglimanya untuk membu-

ruku. Huh... seandainya saja bangsa manusia 

banyak tahu tentang cara-cara yang kalian tem-

puh. Tidak dapat kubayangkan betapa mereka 

akan mentertawai ketololan kalian itu. Satu hal 

yang tidak dapat kumaafkan, kalian telah mem-

buat sekian banyak manusia menderita karena 

diperbudak nafsu terkutuk dan terperangkap da-

lam jebakan yang telah kalian buat." geram 

Buang Sengketa secara panjang lebar.

"Aku hanya menjalankan perintah. Apapun 

tanggapanmu tentang apa yang harus kukerjakan


itu. Yang terpenting bagiku adalah menangkap-

mu...!"

"Bagaimana kalau aku menolak perintahmu 

itu...?" pancing si pemuda dengan nada berapi-

api.

"Kalau kau tidak mau menurut. Dengan 

membunuhmu, juga merupakan sebuah kehor-

matan yang sangat tinggi dari Raja kami untuk-

ku...!" jawab suara itu dingin.

"Keparat. Kalau kau merupakan seorang pe-

suruh yang berjiwa ksatria. Tunjukkanlah tam-

pangmu. Mari kita bertarung hingga salah seo-

rang diantara kita ada yang terbujur menjadi 

mayat...!"

"Kau tidak akan sanggup melihat ujudku, 

Pangeran. Kalau kau tetap tidak percaya, nah se-

karang lihatlah...!" begitu selesai dengan ucapan-

nya. Maka sekarang persis di hadapan si pemuda 

telah berdiri sesosok ujud yang sangat mengeri-

kan. Orang itu memiliki satu badan tiga kepala. 

Satu kepala berujud bermulut lebar memiliki se-

belah mata. Sedangkan mata lainnya hanya 

membentuk sebuah rongga yang menjorok ke da-

lam serta berwarna merah darah. Sedangkan ke-

pala lainnya berbentuk kepala harimau bertaring 

panjang dengan mata memancarkan sinar aneh 

yang sangat berpengaruh. Kepala ketiga berujud 

kepala seekor naga yang memiliki sepasang mata 

mencorong sedangkan dari mulutnya selalu me-

nyemburkan lidah api. Tepatnya dari bagian dada 

ke bawah memiliki tubuh tidak ubahnya bagai 

manusia biasa. Namun dari bagian dada ke atas


berkepala tiga dengan ujud yang berbeda-beda.

"Makhluk siluman. Barangkali engkaulah 

makhluk neraka yang diutus oleh Rajamu untuk 

menangkap seorang titisan Raja alam kegelapan 

yang tidak tahu menahu dengan persoalan yang 

kalian hadapi...!" karena perasaan ngerinya meli-

hat penampilan utusan Panglima Dasamuka itu, 

tanpa sadar Buang Sengketa melangkah mundur 

sebanyak empat langkah.

"Grrr... auuum...! Hieeekk... ha... ha... ha...!" 

terdengar suara bergemuruh tidak ubahnya bagai 

suara rentetan halilintar ketika secara serentak 

satu badan tiga kepala yang berlainan bentuk itu 

mengeluarkan suara tawa. Pendekar Hina Kelana 

kembali menutup indera pendengarannya dan se-

gera melindungi diri dengan pengerahan tenaga 

dalam yang tinggi.

"Tiada keselamatan bagimu, titisan Raja Piton 

Utara...! Kami akan selalu memburumu selama 

kau tidak mau menyerah secara sukarela...!"

"Meskipun ujudmu seperti iblis. Aku tetap ti-

dak akan pernah menyerah kepada utusan Raja 

yang telah tersesat dari Negeri lelembut (Alam 

Gaib) dan asal kau tahu saja. Tindakan kalian 

yang telah menimbulkan banyak korban tidak 

akan pernah mendapat pengampunan dariku...!" 

tukas Pendekar Hina Kelana dengan semangat 

membara.

"Dalam alam nyata, aku memang harus men-

gakui kehebatan yang kau miliki, Pangeran! Tapi 

aku bukanlah manusia seperti lawan-lawanmu 

terdahulu. Kau pasti tidak dapat menghindar dari


kematian...!"

Setelah berkata begitu bagian kepala yang be-

rujud Naga itupun melancarkan serangan dengan 

semburan-semburan lidah api dari mulutnya. 

Bahkan pada saat itu juga tubuhnya bergerak ce-

pat. Kedua tangannya yang berkuku runcing ba-

gai kuku harimau menyambar ke arah bagian da-

da Buang Sengketa. Menghadapi serangan men-

dadak yang datangnya secara bersamaan itu, 

Buang Sengketa nampak kalang kabut. Bahkan 

dalam gebrakan-gebrakan pertama saja ia sudah 

kelihatan terdesak hebat. Dapat dibayangkan be-

tapa tingginya kepandaian yang dimiliki oleh utu-

san Panglima perang alam gaib itu. Tetapi Pende-

kar Hina Kelana bukanlah seorang lawan yang 

dengan mudah dapat dijatuhkan begitu saja. Ia 

adalah merupakan murid tunggal seorang tokoh 

setengah Dewa yang namanya saja melegenda di 

dalam rimba persilatan. Dalam menghadapi teka-

nan-tekanan lawan yang semakin lama semakin 

bertambah menghebat itu, si pemuda tidak men-

jadi gugup. Mengandalkan ilmu meringankan tu-

buh yang sudah sangat sempurna serta di du-

kung oleh gerak cepat ajian Sepi Angin. Sejauh itu 

ia masih dapat menghindari setiap serangan-

serangan ganas yang datang.

"Graaaung...!" 

Manusia atau lebih tepatnya makhluk beru-

jud mengerikan itu menggeram hebat. Sementara 

bagian kepala yang berujud naga tiada henti-

hentinya menyemburkan lidah api. Sedangkan 

tangan yang berbentuk bagian kaki depan hari


mau itu tiada henti-hentinya melakukan sabetan 

dan pukulan yang membuat daerah di sekitar 

tempat pertempuran menjadi porak poranda. 

Buang Sengketa tidak hanya sekedar menghindar 

dan menangkis setiap serangan yang datang. 

Dengan mempergunakan jurus si Gila Mengamuk 

dan jurus si Jadah Terbuang secara silih berganti, 

Buang Sengketa mulai melepaskan pukulan 'Si 

Hina Kelana Merana'. Agaknya pemuda itu cukup 

menyadari betapa lawan yang dihadapinya kali ini 

benar-benar merupakan seorang lawan yang san-

gat tangguh. Sehingga ia merasa percuma jika ia 

harus mempergunakan pukulan 'Empat Anasir 

Kehidupan', yaitu pukulan sakti yang kehebatan-

nya setingkat di bawah pukulan si Hina Kelana 

Merana.

Manakala pemuda berkuncir berpakaian me-

rah dan telah basah oleh keringat melambaikan 

tangannya. Maka serangkum gelombang sinar 

merah menyala dan menimbulkan rebawa panas 

luar biasa menderu dahsyat memapaki datangnya 

sinar merah kebiru-biruan yang datang akibat 

pukulan yang dilepas oleh lawannya maupun 

yang tersembur lewat mulut kepala naga itu.

Bledemm... Blaamm...!

Daerah di sekitar tempat terjadinya pertem-

puran itu benar-benar porak poranda. Bumi ber-

getar bagai hendak kiamat saja layaknya. Debu 

dan pasir mengepul ke udara. Sementara itu tu-

buh Buang Sengketa terpelanting sejauh lima 

tombak. Pemuda itu jatuh terhempas. Beberapa 

kali ia terbatuk. Tidak ayal lagi darah menyemburkeluar lewat celah-celah bibirnya. Wajah pemuda 

itu berubah pucat pasi. Dada dirasakannya sesak 

dan sulit bernafas. Namun nampaknya ia tidak 

mempunyai banyak kesempatan untuk berleha-

leha. Dengan cepat ia segera menghimpun hawa 

murni untuk menyembuhkan luka dalam yang di 

deritanya. Selanjutnya dengan sigap pula ia telah 

bangkit berdiri. Pada saat itu ia melihat lawan te-

lah mulai menyerangnya kembali. Yang membuat 

pemuda itu keheranan adalah, dari benturan pu-

kulan sakti itu tidak membuat lawannya terluka 

sama sekali. Pemuda itu tidak dapat membayang-

kan betapa tingginya ilmu yang dimiliki oleh la-

wannya.

"Kau tidak akan pernah terhindar dari kema-

tian, Pangeran. Percayalah...!"

Utusan dari Negeri Bunian itu kembali meng-

geram. Pada saat itu ia telah menyerang kembali 

dengan mempergunakan jurus-jurus tangan ko-

song 'Dalam Kegelapan Menguak Tabir'. Saat itu 

juga permainan silat benar-benar berubah total. 

Tubuhnya menerjang kian kemari. Sepasang tan-

gannya yang berkuku panjang dan tajam menga-

rah pada bagian dada si pemuda. Sementara kaki 

kanan utusan itu melancarkan tendangan kilat 

mengarah pada bagian bawah perut Buang Seng-

keta. Pendekar Hina Kelana juga tidak tinggal di-

am. Ia segera menggabungkan jurus Memben-

dung Gelombang Menimba Samudra dengan jurus 

si Gila Mengamuk. Maka tak ayal lagi tubuhnya 

pun meliuk-liuk bagai seorang pemabukan. Se-

mentara kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam itu diputarnya sedemikian rupa se-

hingga membentuk sebuah perisai diri yang ko-

koh.

Melihat apa yang dilakukan oleh pemuda itu, 

lawannya memperdengarkan suara ribut. Kemu-

dian dengan cepat tubuhnya bergerak, lalu meng-

hantamkan satu pukulan dan satu tendangan se-

cara berturut-turut. Buang Sengketa bergerak 

menangkis.

Plaak! Dueees...!

"Aiihh... benar-benar iblis...!" Buang Sengketa 

memekik tertahan, tubuhnya nampak limbung. Ia 

merasakan bagian tubuhnya terasa sakit luar bi-

asa. Akibat membentur kaki dan tangan lawan 

yang berusaha menerobos pertahanannya. Selagi 

tubuh pemuda itu masih dalam keadaan ter-

huyung-huyung. Lawan kembali lancarkan ten-

dangan dua kali berturut-turut. Buang yang sem-

pat merasakan betapa tingginya tenaga dalam la-

wannya, berusaha mengelakkan serangan itu se-

dapat-dapatnya. Namun tetap saja salah satu dari 

serangan itu menghantam bagian punggungnya. 

Duuuk...!

"Akhg... hoeekk...!" Pendekar Hina Kelana 

kembali memuntahkan darah kental. Wajahnya

yang pucat semakin bertambah pucat. Sementara 

itu demi melihat lawannya jatuh terduduk dan 

nampak berusaha menyalurkan hawa murninya. 

Makhluk suruhan Panglima Dasamuka itu telah 

bersiap-siap untuk menyudahi pertempuran. Itu-

lah sebabnya tanpa membuang-buang waktu lagi 

ia memburu Buang Sengketa sambil melancarkan



jurus pamungkasnya.

"Haaarkgh... Uaam...!" tubuh lawan yang me-

lesat cepat itu dengan tangan dan kuku-kuku 

terkembang bermaksud mengarah pada bagian 

tengkuk Buang Sengketa yang masih dalam kea-

daan dan posisi terduduk. Tentu saja gerakan 

yang sangat cepat itu sudah tidak dapat dihindari 

oleh si pemuda, karena pada saat itu ia sedang 

mengobati luka dalam dengan pengerahan hawa 

murni. Dalam keadaan yang sangat gawat itu di 

luar dugaan Buang Sengketa memilih alternatip 

lain. Secara replek ia menggerakkan tangannya 

dengan sikap bagai orang yang pasrah menerima 

nasib.

Beet! 

Creep... creep...!

Kedua tangan berkuku runcing yang tidak 

jauh bedanya dengan kuku-kuku harimau itu 

gagal mencapai sasarannya. Sebaliknya sekarang 

tangan si pemuda dengan tangan lawannya saling 

melekat erat. Makhluk utusan Panglima perang 

Negeri Bunian itu merasakan adanya sesuatu 

yang mengalir deras lewat kedua belah tangan-

nya, ia meronta dan terus berusaha membe-

baskan tangannya yang melekat erat pada tangan 

lawannya. Tetapi semakin besar ia mengerahkan 

tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari 

pengaruh daya hisap lawannya, ia merasakan 

tangannya melekat bertambah erat.

"Wuaaarrrk...!" makhluk satu badan tiga ke-

pala itu menggerung hebat. Ia merasakan tena-

ganya semakin berkurang dan tubuhnya lemas



bagai tidak bertulang. Rupanya dalam keadaan 

kepepet seperti itu, Buang Sengketa sempat 

mempergunakan jurus Koreng Seribu. Sehingga 

secara tidak langsung ia dapat terhindar dari ba-

haya maut yang mengancamnya.

Sementara itu setelah sekian lama Buang 

Sengketa berhasil menyedot tenaga dalam lawan-

nya. Dengan gerakan yang tiada disangka-sangka, 

ia menyentakkan kedua tangannya dengan mem-

pergunakan tenaga yang tersisa.

"Heaaa...!"

"Haarkgh...!" begitu tangan si pemuda berge-

rak menyamping. Maka tubuh sang utusan itu 

langsung melayang di udara. Kemudian jatuh ter-

banting dengan posisi terduduk. Namun makhluk 

berkepala tiga itu nampaknya masih belum juga 

jera. Meskipun ia merasakan tubuhnya sudah ti-

dak bertenaga, kenyataannya ia masih nekad 

hendak melakukan penyerangan kembali. Buang 

Sengketa yang sudah berdiri dan dalam keadaan 

terhuyung-huyung segera mencabut senjatanya 

yang berupa pusaka Golok Buntung.

Saat itu juga kilatan sinar merah menyala 

nampak berpendar-pendar manakala senjata an-

dalan itu tergenggam di tangan si pemuda.

Udara di sekitarnya mendadak berubah men-

jadi dingin luar biasa. Sementara wajah si pemu-

da secara drastis berubah kelam membesi. Unsur 

siluman saat itu benar-benar telah menguasai ji-

wanya. Utusan Panglima perang Dasamuka tentu 

saja merasa terkejut bukan alang kepalang. Ia 

paham betul akan keampuhan senjata yang berada dalam genggaman pemuda itu. Bagaimanapun 

bila dibandingkan dengan Panglima Dasamuka ia 

bukanlah memiliki arti apa-apa. Ilmu kepandaian 

yang dimiliki oleh utusan itu masih jauh di bawah

Panglima Dasamuka. Kalau Panglima Dasamuka 

mungkin saja dapat menandingi pusaka yang be-

rada di dalam genggaman si pemuda. Namun ti-

dak demikian halnya dengan dirinya. Pusaka itu 

sewaktu-waktu dapat menghancur leburkan ba-

dan halusnya. Sadar dan memikir sampai ke situ. 

Dengan cepat ia segera mengambil keputusan.

"Dengan Pusaka Golok Buntung. Kau bisa sa-

ja membuat aku kalah, Pangeran. Tetapi atasan-

ku, tidak mungkin dapat kau kalahkan. Tunggu-

lah Pangeran. Saat kematian akan segera datang 

padamu. Tunggu...!" berkata begitu, badan kasar 

utusan Panglima perang itu lenyap begitu saja. 

Buang Sengketa berdiri termangu.

Dengan lesu ia kembali menyarungkan pusa-

ka Golok Buntung pada tempatnya. Tapi pemuda 

itu tiba-tiba saja merasakan kepalanya berde-

nyut-denyut sakit. Pandangan matanya menga-

bur.

"Ah... apa yang telah terjadi pada diriku. Up... 

apakah karena aku telah begitu banyak menyedot 

tenaga dalam manusia siluman itu. Eeh... menga-

pa reaksinya malah jadi begini... pandanganku... 

aakh...!"

Pendekar Hina Kelana tiba-tiba saja jatuh ter-

sungkur. Tubuhnya terasa panas tidak tertahan-

kan. Bersamaan dengan keluhan tertahan, saat-

saat selanjutnya ia tidak dapat mengingat apa


apa lagi. Pada saat si pemuda tidak sadarkan diri 

itu dari arah lainnya muncul seorang laki-laki 

bertubuh pendek berkepala botak. Laki-laki ku-

rus berpakaian lusuh dengan celana sebatas 

dengkul itu menggenggam sebuah tasbih serta 

sebuah kendi kecil berisi batu kali. Begitu sampai 

di depan si pemuda yang dalam keadaan tergele-

tak, ia geleng-gelengkan kepalanya. Dengan cepat 

ia memeriksa keadaan si pemuda. Dan betapa 

terperanjatnya kakek botak itu demi melihat wa-

jah orang yang akan ditolongnya.

"Titisan Raja Piton Utara... ah... ah... tentu 

dia baru saja habis bertarung mati-matian. Kea-

daan di sekitar tempat ini porak poranda. Bocah 

malang pembela kebenaran. Kini keselamatanmu 

terancam pula. Aku yang tua koplok ini akan me-

nyelamatkanmu, demi keselamatan yang lain-

nya...!" tanpa membuang-buang waktu lagi kakek 

tua itu segera memanggul tubuh Buang Sengketa 

yang tidak sadarkan diri. Kemudian berlari cepat 

ke arah Timur. 


TUJUH


Di dalam sebuah ruangan gua batu pualam 

putih. Nampak seorang laki-laki berusia tiga pu-

luhan tergeletak tidak berdaya. Tubuhnya dalam 

keadaan tertotok kaku. Siapakah laki-laki berku-

mis serta jambang lebat ini? Orang itu tidak lain 

Gantara Sona ketua perguruan Tombak Merah 

yang terjebak dalam perangkap seorang wanita


cantik yang berdiam di sekitar hutan di pinggiran 

danau Sengguling. Mengapa ketua perguruan 

Tombak Merah itu sampai tertawan?

Ketika murid-muridnya tewas di tangan 

orang-orang penunggang kuda yang menyerang 

mereka secara mendadak. Gantara Sona bersama 

dengan kakeknya Singa Muka Merah yang semula 

berniat membatalkan perjalanannya dalam usaha 

menemukan tempat persembunyian orang yang 

menamakan dirinya utusan dari alam kegelapan. 

Akhirnya demi melihat kematian murid-muridnya 

segera meneruskan perjalanan mereka. Namun 

setelah sampai di daerah kekuasaan utusan Ne-

geri Bunian itu mereka menjadi terpisah antara 

satu dengan lainnya setelah mendengar adanya 

suara jeritan menyayat dari dua arah yang berbe-

da. Karena cenderung didorong oleh perasaan 

kemanusiaan mereka itulah maka bermaksud 

melakukan pertolongan. Gantara Sona berlari ke 

arah Timur. Sedangkan Singa Muka Merah, ka-

keknya menuju ke arah Utara. Kiranya di luar ke-

sadaran mereka semua itu hanyalah berupa jeba-

kan semata yang memang telah diatur oleh Da-

samuka.

Ketika Gantara Sona telah sampai di tempat 

kejadian ia melihat seorang gadis cantik sedang di 

perkosa oleh seorang laki-laki bertampang kasar. 

Yang sebenarnya apa yang di lihat Gantara Sona 

hanyalah berupa tipuan mata belaka. Pada saat ia 

hendak melakukan pertolongan itulah, tanpa dis-

adarinya dari arah belakangnya berkelebat 

bayangan ungu ke arahnya. Gantara Sona sebenarnya sempat merasakan adanya sambaran an-

gin dingin di belakangnya. Tetapi ketika ia meno-

leh segala-galanya menjadi terlambat. Bayangan 

ungu itu dengan tepat telah menotok urat gerak-

nya. Sehingga ketua perguruan Tombak Merah itu 

tidak dapat berbuat banyak meskipun ia telah 

mempergunakan seluruh kekuatannya untuk 

membebaskan totokan gadis jelita berpakaian 

serba ungu itu. Yang membuat heran Gantara 

Sona adalah karena begitu ia melihat gadis yang 

akan di tolongnya itu sudah tidak berada di tem-

pat. Barulah ia sadar bahwa dirinya telah ditipu 

mentah-mentah.

Tanpa berkata apa-apa, gadis berpakaian ser-

ba ungu itu kemudian membawa Gantara Sona 

memasuki sebuah goa. Sebelum mereka mema-

suki pintu gua yang sangat menyeramkan itu, di 

sepanjang jalan yang dilalui gadis berpakaian 

serba ungu itu, Gantara Sona sempat melihat be-

gitu banyak bekas tengkorak manusia berserakan 

tak karuan ujudnya. Bahkan berulang kali ia ha-

rus menahan nafas ketika penciumannya yang ta-

jam itu mengendus bau busuk yang menyengat. 

Sejauh itu pun Gantara Sona tidak dapat berkata 

apa-apa, karena urat bicaranya pun dalam kea-

daan tertotok.

Di sebuah ruangan yang sangat indah Ganta-

ra Sona dibaringkan. Ruangan itu tidak ubahnya 

bagai sebuah peraduan putri Raja. Bau wangi 

semerbak membuat dadanya yang tadinya terasa 

sesak kini telah berubah lapang. Gadis berpa-

kaian ungu yang telah membawanya ke dalam



gua itu, untuk beberapa saat menghilang dari 

pandangan Gantara Sona. Lelaki ketua perguruan 

Tombak Merah itu merasa cemas sekali demi 

memikirkan nasib buruk yang mungkin saja akan 

menimpanya. Apalagi bila mengingat nasib para 

pendahulunya. Meskipun sebagai ketua pergu-

ruan ia tidak dapat menyembunyikan perasaan 

kecutnya.

Detik-detik menegangkan dalam sejarah hi-

dup Gantara Sona, saat itu semakin lama sema-

kin memuncak. Apalagi pabila mengingat malam 

semakin bertambah larut. Gantara Sona yang 

menyadari kehebatan gadis berpakaian serba un-

gu yang memiliki kecantikan bagai bidadari itu, 

merasa itulah detik-detik terakhir kehidupannya 

di dunia ini. Begitupun ia masih berharap, semo-

ga kakeknya Singa Muka Merah luput dari pe-

rangkap dan segera datang memberikan pertolon-

gan untuk dirinya.

Kreseek...!

Begitu Gantara Sona menoleh, tiba-tiba di 

ruangan gua yang telah ditata bagai sebuah pera-

duan putri Raja itu telah berdiri seorang gadis 

yang telah membawa Gantara Sona ke tempat itu 

dengan pakaiannya yang sangat tipis dan tembus 

pandang. Dengan bibir menyunggingkan seulas 

senyum manis. Gadis itu berjalan menghampiri 

Gantara Sona yang dalam keadaan terbaring ka-

ku di atas ranjang. Sekarang sadarlah Gantara 

Sona apa yang dilakukan oleh gadis itu terhadap-

nya.

Gadis itu selanjutnya berdiri di depan ran


jang, dengan sikap menantang ia pun berkata, 

"Kau bersama dengan kakekmu telah begitu be-

rani memasuki daerah kekuasaanku, anak ma-

nusia... hi... hi... hi...! Kau harus menjadi seorang 

budak yang paling setia dan mau menuruti segala 

perintahku...!" sambil berkata begitu gadis berpa-

ras jelita, dengan lekuk-lekuk tubuhnya yang 

sangat menggiurkan itu melambaikan tangannya, 

sehingga Gantara Sona merasa terbebas dari pen-

garuh totokan. Begitu terbebas ia bermaksud me-

nerjang gadis itu. Namun ketika gadis berpakaian 

tembus pandang itu kembali melambaikan tan-

gannya. Maka ia merasakan tubuhnya menjadi 

sulit untuk di gerakkan. Secara praktis Gantara 

Sona kembali jatuh terduduk.

"Kurang ajar, siapakah kau bocah...!" bentak 

ketua perguruan Tombak Merah itu merasa di 

permainkan.

Yang dibentak malah tertawa terkekeh-kekeh. 

Sementara di depan Gantara Sona ia sengaja 

menggerak-gerakkan tubuhnya yang berpakaian 

minim itu. Gantara Sona sudah barang tentu ce-

pat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain. 

Sebagai seorang lelaki yang telah memiliki tenaga 

dalam taraf lumayan. Ia segera mengosongkan pi-

kirannya untuk menghindari jebakan selanjutnya 

yang sengaja dipamerkan oleh gadis berkulit ha-

lus mulus itu. Tapi bukanlah utusan dari Negeri 

alam gaib jika gadis itu tidak mampu memancing 

perhatian lawannya.

"Kau bertanya siapa aku? Apakah tentang as-

al usul itu perlu.,,?"


"Sangat perlu sekali, karena aku akan men-

gadakan perhitungan dengan orang yang telah 

menyebarkan bibit malapetaka...!"

"Lebih baik kau lupakan saja orang yang su-

dah mati. Ah... apakah kau tidak ingin merasakan 

betapa indahnya sorga dunia itu...!" pancing gadis 

itu sambil mengelus bagian wajah Gantara Sona 

secara lembut. Gantara Sona sebenarnya merasa 

sangat marah sekali mendapat perlakuan tidak 

senonoh seperti itu. Tetapi ia merasa tidak mem-

punyai kekuatan untuk menghajar gadis itu, ka-

rena seluruh persendian tubuhnya terasa kaku. 

Tidak dapat yang dilakukannya terkecuali mema-

ki gadis itu dengan kata-kata kasar.

"Bangsat pengecut. Cepat lepaskan aku lalu 

kita bertarung sampai seribu jurus...!" sentak 

Gantara Sona dengan wajah merah padam. Seba-

liknya gadis berpakaian merangsang itu malah 

tertawa terkekeh-kekeh.

"Jangan berkata sembarangan, tuan! Kema-

tian bukanlah jalan penyelesaian yang terbaik. 

Apalagi mengingat sampai saat ini tuan belum 

pernah kawin... tentu saja jika tuan sampai bina-

sa, tuan akan merasa menyesal sekali. Karena 

tuan belum pernah merasakan betapa hebatnya 

sorga dunia ini...!"

"Keparat! Perempuan berengsek... sampai ka-

pan pun aku tidak akan pernah termakan oleh 

rayuanmu...!"

"Begitukah...? Hik... hi... hi... jangan terlalu 

percaya diri, tuan. Karena tuan belum pernah 

merasakan bagaimana hebatnya aku...!" belum



lagi selesai dengan kata-katanya. Gadis itu senga-

ja menggerakkan tangannya menyentuh bagian 

samping perut Gantara Sona. Mendadak laki-laki 

itu menggeliat-geliat bagai orang yang sedang di-

landa birahi. Pandangan mata ketua perguruan 

Tombak Merah itu nampak berbinar-binar ketika 

melihat gadis berpakaian transparan yang berdiri 

tegak dengan sikap menantang tidak jauh di de-

pannya.

"Hemm... sudah kukatakan. Siapapun yang 

telah memasuki daerah kekuasaanku, semuanya 

tidak pernah terlepas dari kenikmatan dan kema-

tian. Tetapi sebelum kematian itu tiba. Kau me-

mang harus menikmati bagaimana indahnya sor-

ga...!" kata gadis itu penuh kelicikan. Sementara 

Gantara Sona yang sudah terpengaruh gairah 

akibat syaraf birahinya dibangkitkan oleh si gadis 

terlihat berubah bagai tidak ubahnya dengan 

orang yang kesetanan.

"Sekarang... semua orang di atas permukaan 

bumi ini harus tunduk terhadap segala keingi-

nanku...!"

Setelah berkata begitu, gadis berkulit putih 

mulus berambut panjang dan memiliki bentuk 

tubuh menggiurkan itu nampak menghampiri 

ranjang yang di duduki oleh Gantara Sona. Ketua 

perguruan Tombak Merah yang sudah berada da-

lam pengaruhnya nampak sudah tidak sabar lagi 

melihat si gadis yang sedang sibuk melepas pa-

kaian tipisnya satu demi satu. Begitu melihat ga-

dis berkulit putih mulus itu sudah tidak menge-

nakan selembar benangpun, sehingga menampakkan seluruh lekuk liku tubuhnya yang meng-

gairahkan. Maka Gantara Sona pun segera mele-

pas pakaian yang melekat di tubuhnya. Selesai 

dengan pekerjaannya, Gantara Sona dengan tu-

buh gemetaran segera merangkak mendekati tu-

buh si gadis yang dalam keadaan terlentang den-

gan sikap pasrah.

Sebentar saja Gantara Sona sudah menindih 

tubuh si gadis. Kedua insan berlainan jenis itu 

kini saling berpelukan dengan erat. Lampu di da-

lam ruangan mendadak berobah padam. Semen-

tara tubuh Gantara Sona terus bergerak cepat, 

bahkan semakin lama semakin menggila. Se-

dangkan tubuh yang berada di bawahnya ikut 

mengimbangi dengan tidak kalah hebatnya. Di 

dalam gua semakin bertambah gelap gulita. Yang 

terdengar hanyalah erangan dan rintihan-rintihan 

kecil. Di luar gua terdengar suara lolongan seriga-

la hutan saling bersahut-sahutan.

Dalam pada itu dari dalam ruangan gua itu 

mendadak terdengar suara jerit kesakitan. Di su-

sul dengan menyalanya lampu yang terdapat di 

seluruh tempat itu. Di dalam ruangan yang tidak 

ubahnya bagai sebuah tempat peraduan puteri 

Raja. Gantara Sona nampak menjerit-jerit. Ham-

pir di sekujur tubuhnya terdapat benjolan-

benjolan sebesar jari kelingking. Sementara kedua 

tangannya menggaruk-garuk ke seluruh permu-

kaan kulit tubuhnya. Yang lebih mengerikan lagi. 

Dari bagian selangkangan ketua perguruan Tom-

bak Merah bercampur dengan anak-anak ular 

berwarna kuning keemasan yang jumlahnya sangat banyak sekali.

"Arggkh... wuaagkh... sakiiiit... tobaaat...!" te-

riak Gantara Sona. Sementara pada saat itu dari 

bagian mulut, hidung serta telinga laki-laki itu 

darah nampak menggelogok ke luar di sertai den-

gan ular-ular berwarna kuning yang jumlahnya 

tidak terhitung. Gadis cantik yang tadi sempat 

bercinta dengan Gantara Sona langsung tergelak-

gelak. Nampaknya ia begitu puas dengan hasil 

pekerjaannya yang gemilang itu. Bahkan sesaat 

setelah itu dengan sengaja ia menunjukkan wajah 

aslinya yang tidak lain dan tidak bukan Dasamu-

ka adanya. Panglima perang dari Negeri Bunian 

yang dapat merubah ujudnya menjadi seribu satu 

wajah.

"Kau... kau... orang yang telah menyebar ma-

lapetaka itu...?" dalam keadaan kelojotan seperti 

itu, Gantara Sona masih sempat mengenali orang 

yang dapat berubah-ubah itu.

"Betul... akulah Panglima perang dari Negeri 

kegelapan yang segera membuatmu mampus. 

Hiiih...!" dengan sekali cengkeram tubuh telan-

jang Gantara Sona telah terangkat tinggi-tinggi. 

Dengan kekuatan yang sangat besar, ia melem-

parkan tubuh ketua perguruan Tombak Merah 

hingga akhirnya remuk dan tidak berkutik lagi se-

telah membentur batu pualam yang sangat keras 

luar biasa. Sambil tertawa mengekeh, Dasamuka 

beranjak menuju ke arah ruangan lainnya.


DELAPAN


Dengan wajah tertunduk pembantu utama 

Panglima perang dari Negeri Bunian itu melapor-

kan segala sesuatunya yang terjadi. Panglima Da-

samuka nampak mendengarkan penjelasan ba-

wahannya itu dengan sikap serius. Namun di lain 

saat Dasamuka nampak gusar sekali. Ujud tu-

buhnya yang dapat berubah-ubah itu nampak 

menegang. Dan ketika pembantu utamanya itu 

selesai menjelaskan segala sesuatunya orang ini 

pun langsung berucap, "Jadi kau tidak dapat 

mengalahkannya, Amarta Rupa? Lalu bagaimana 

kau bisa menghindari pusaka Golok Buntung 

itu...?"

Pembantu setia yang bernama Amarta Rupa 

itu menjura beberapa kali. Tubuhnya yang memi-

liki tiga kepala itu mengangguk lesu.

"Benar sekali yang mulia Panglima. Hamba 

sadar daya tahan badan halus hamba tidak 

mungkin sanggup menerima ketajaman senjata 

milik Baginda Raja Piton Utara yang telah menga-

singkan diri itu. Sungguh pun senjata itu tidak 

sepenuhnya utuh. Tapi dari rebawanya saja ham-

ba sudah tidak sanggup menghadapinya. Tetapi 

hamba yakin, gusti Panglima pasti mampu men-

galahkan pemuda itu. Karena hamba melihat gus-

ti memiliki segala-galanya...!"

"Bueeh... kau masih terlalu mengagung-

agungkan Raja Piton Utara yang telah menyingkir 

di laut merah itu. Apakah kau tidak melihat betapa hebatnya 'Cambuk Wisang Geni' milikku? Pula 

betapapun hebatnya titisan Piton Utara itu, aku 

dengan mudah dapat mempelajari kehebatan ju-

rus-jurus yang dimilikinya hanya dalam waktu 

sekedipan mata. Apakah kau mau mengingkari 

betapapun hebatnya anak manusia, namun ia te-

tap tidak akan mampu menandingi kehebatan pa-

ra siluman sesat. Kau harus selalu ingat akan ke-

lebihan itu...?" bentak Dasamuka dengan kema-

rahan yang tidak dapat ditahannya lagi.

"Hamba mengerti, Panglima...! Maafkanlah 

ketololan hamba yang memiliki ilmu rendah 

ini...!"

"Kau memang tolol... ilmumu memang ren-

dah. Hemm... apakah kau telah bosan menjadi si-

luman yang harus selalu siap mengabdi kepada 

junjungan kita,..!" Panglima perang dari alam ke-

gelapan itu semakin bertambah marah. Sepasang 

matanya yang senantiasa memerah itu berobah 

menyala bagai bara api. Bagi Amarta Rupa ia cu-

kup menyadari arti dari setiap perobahan mata 

sang pimpinannya. Tidak ayal lagi dengan tubuh 

menggigil ia langsung menyembah beberapa kali.

"Ampuni hamba, Panglima. Sampai dunia ini 

kiamat, hamba tidak pernah merasa bosan men-

jadi makhluk siluman. Gusti Panglima harus per-

caya dengan perkataan hamba ini...!" sedu Amar-

ta Rupa dengan suara memelas sekali.

"Wuark... hak... hak... hak...! Rupanya eng-

kau tahu juga bahwa aku akan segera menjatuh-

kan hukuman padamu. Tapi tahukah kau men-

gapa hukuman itu harus kau jalankan?"


"Ampun Panglima. Hamba tahu, karena ham-

ba telah gagal menjalankan titah yang Panglima 

berikan kepada hamba...!"

"Bagus...! Kalau kau sudah memahaminya, 

berarti aku tidak perlu bersusah payah menje-

laskannya padamu. Ingat aku juga hanya menja-

lankan perintah, Amarta Rupa. Aku tidak dapat 

menolongmu. Karena seandainya pun aku gagal 

menangkap pemuda titisan Raja Piton Utara, aku 

sendiri juga tidak dapat menyelamatkan diri. Raja 

Sangka Negara pernah berkata padaku. Jika aku 

sampai gagal melakukan tugasku kali ini. Aku ti-

dak akan pernah kembali ke Negeri Bunian. Aku 

akan dikutuk menjadi tumbuhan yang terus 

mengapung mengikuti arus air sungai sampai 

dunia ini kiamat...!"

"Oh...! Hamba tidak sanggup membayang-

kannya, Gusti... mungkin sudah nasib kita seba-

gai siluman harus begitu...!" kata Amarta Rupa 

merasa prihatin.

"Sudahlah, jangan kau bicarakan tentang per-

jalanan sebuah nasib di depan Panglima perang 

Negeri lelembut. Sekarang bersiap-siaplah engkau 

menjalani hukuman kekal yang akan segera ku-

laksanakan...!"

"Kalau semua itu memang sudah merupakan 

titah yang tidak dapat kita bantah dengan segala 

kemurahan hamba telah siap menerimanya, gus-

ti...!" kata Amarta Rupa.

Lalu dengan sikapnya yang pasrah, ia pun 

menjatuhkan diri dengan posisi berlutut. Kemu-

dian terdengar suara menguik dari kepalanya


yang berujud kepala seekor naga. Selanjutnya 

terdengar pula suara auman dari bagian kepala 

yang berujud harimau. Terakhir kali terdengar 

nada kata-kata yang bersikap pasrah, serentak 

kembali membungkuk hormat sebanyak tiga kali.

Panglima perang Dasamuka segera mengang-

kat kedua belah tangannya tinggi-tinggi. Tangan-

tangan itu selanjutnya tergetar, tubuh yang beru-

jud seekor ular naga itu pun nampak menggigil, 

sementara bagian tangannya yang telah terang-

kap menjadi satu sekarang berselimut kabut tebal 

berwarna kebiru-biruan.

"Bersiap-siaplah, Amarta Rupa abdiku...!"

"Hamba telah siap sejak tadi, gusti Pangli-

ma...!" dengan kepala tetap menunduk Amarta 

Rupa menyahuti.

"Hooosss... zeeeess... weeeer...!"

Blaaaam...!

"Arrrggk...!"

Dengan sekali mendorongkan tangannya ke 

depan. Serangkum gelombang berhawa panas 

luar biasa menderu dan langsung menghantam 

badan halus Amarta Rupa. Makhluk gaib itupun 

memperdengarkan pekikan tertahan. Hingga ak-

hirnya sirna tanpa bekas sedikitpun juga.

"Hemm... demi menjalankan perintah aku te-

lah kehilangan seorang pembantu yang sangat 

baik. Pendekar Hina Kelana... kali ini berhadapan 

denganku, kau benar-benar akan menjadi mayat 

Hina. Dan aku harus membawa rohmu ke dalam 

Negeri leluhurmu. Untuk menerima hukuman da-

ri yang mulia Raja Sangka Negara... hi... hi...!" begitu tertawa, ujud Dasamuka yang memiliki wajah 

mengerikan dan bertubuh naga itu telah kembali 

berubah menjadi seorang gadis cantik yang san-

gat menggiurkan.


SEMBILAN


Setelah gagal mencari cucunya yang telah ter-

jebak oleh teriakan-teriakan orang yang meminta 

tolong. Singa Muka Merah merasa putus asa. Se-

bagai tokoh yang telah kenyang makan asam ga-

ram persilatan. Sekali ini ia benar-benar merasa 

tertipu mentah-mentah. Oleh sosok yang menye-

but-nyebut dirinya sebagai utusan dari Negeri 

Bunian itu. Semuanya sudah kepalang tanggung, 

saat itu pun ia sudah merasa bahwa cucunya ti-

dak mungkin dapat diselamatkan lagi. Dari arah 

Timur, kemudian ia berbalik ke arah Utara guna 

menemui sahabat baiknya, si Peramal Sinting 

yang pada perjumpaan sebelumnya telah berjanji 

untuk menyusul dirinya di daerah hutan rimba 

danau Sengguling.

Demikianlah ketika Singa Muka Merah se-

dang melakukan perjalanan cepat dengan hati di 

liputi perasaan was-was. Mendadak ia melihat 

berkelebatnya sesosok bayangan putih tidak jauh 

di depannya. Dengan perasaan curiga ia pun se-

gera melakukan pengejaran. Tapi yang membuat-

nya heran, justru karena bayangan serba putih 

itu lenyap begitu saja bagai di telan bumi, padah-

al ia telah mengerahkan kecepatan ilmu larinya


secara maksimal. 

"Dasar setan... gerakannya sangat cepat luar 

biasa. Padahal tadi aku sempat melihat dia mem-

bawa beban di punggungnya. Melihat kecepatan 

dan gerak tubuhnya yang cepat, kurasa tidak sa-

lah penglihatanku. Bahwa itulah orangnya si Pe-

ramal Sinting. Tapi mengapa ia malah melarikan 

diri ketika aku mengejarnya...?" batin Singa Muka 

Merah dengan perasaan tidak mengerti.

"Sebaiknya akan kucari di sekitar tempat ini. 

Aku yakin Peramal Sinting pastilah belum jauh 

dari tempat ini...!"

Belum lagi Singo Inggil alias Singa Muka Me-

rah bergerak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba dari 

berbagai arah berlompatan beberapa sosok tubuh 

dengan senjata terhunus mengepung laki-laki be-

rusia tujuh puluh lima tahun itu. Sedikit banyak-

nya tentu saja Singo Inggil menjadi terkejut. Na-

mun beberapa saat kemudian setelah meneliti 

keadaan dan penampilan para pengepungnya. 

Singa Muka Merah pun tergelak-gelak.

"Kau... kau... dan kau...! Kalau tidak salah 

beginilah tampangnya orang-orang yang telah 

menjadi korban siluman iblis itu. Aku tahu tu-

juan kalian mengepungku pastilah menginginkan 

darahku...!" ejek Singa Muka Merah.

"Betul... kami memang membutuhkan darah 

tuamu untuk menyembuhkan penyakit terkutuk 

ini...!" jawab salah seorang dari enam orang laki-

laki berpakaian serba hitam itu berterus terang.

"Darah tuaku sudah pasti tidak enak untuk 

kalian jadikan obat. Pula mana mungkin cukup



untuk kalian bagi enam. Bagaimana kalau ku tu-

kar dengan darah gajah atau babi hutan saja..."

"Keparat, kau tua bangka. Kami membutuh-

kan kesembuhan. Dan kami tidak perduli apakah 

darahmu cukup untuk dibagi berenam atau tidak. 

Yang penting kau harus menyerahkan darah-

mu...!"

"Kalau kalian memang menghendakinya, si-

lahkan kalian ambil sendiri, jika memang memili-

ki kemampuan...!" kata Singa Muka Merah den-

gan sikap tenang.

Mendapat tantangan sedemikian rupa sudah 

barang pasti keenam laki-laki bertampang kasar 

itu menjadi sangat murka sekali. Itulah sebabnya 

dengan mempergunakan senjatanya yang berupa 

golok dan pedang. Mereka segera menyerang Sin-

ga Muka Merah tanpa berkata apa-apa lagi.

Tetapi Singa Muka Merah malah menyambut-

nya dengan tawa mengekeh. Hanya dalam waktu 

sekejap hujan senjata pun sudah tidak dapat te-

relakkan lagi. Menghadapi manusia-manusia 

haus darah, Singa Muka Merah sudah barang 

tentu tidak mau bertindak ayal-ayalan lagi. Den-

gan gerakan gesit ia pun mulai melepaskan puku-

lan-pukulan andalannya. Namun keenam orang 

lawannya kiranya tidak berilmu rendah.

Dengan sigap mereka masih dapat menghin-

dari setiap serangan yang datang, dengan cara 

memutar senjata mereka sehingga membentuk 

perisai diri.

"Caaiiit...!" tiga orang di antara keenam orang 

itu melakukan penyerangan secara berbareng.


Senjata di tangan mereka menderu keras men-

gancam bagian tubuh Singa Muka Merah. Se-

dangkan tiga orang lainnya juga berusaha mende-

sak laki-laki tua itu dari bagian belakang. Menda-

pat serangan hebat dari berbagai jurusan itu. 

Tentu tokoh dari bagian Tenggara Gunung Sina-

bung ini tidak menghendaki dirinya mati konyol. 

Dengan sigap ia melentikkan tubuhnya ke udara. 

Selanjutnya, masih dengan posisi seperti itu ia te-

lah bersiap-siap pula melepaskan pukulan anda-

lannya yang sudah tidak asing lagi. Yaitu 

'Menguak Kabut Kegelapan'

"Haiiit...!" sambil berteriak nyaring, Singa 

Muka Merah masih dalam keadaan berjumpalitan 

di udara nampak mendorongkan tangannya ke 

arah mereka yang berada di bawahnya.

Wuuss... weeerr,..!

Bledarr...!

Wuaarhhk...! Ekghh...!"

Tiga orang pengeroyoknya langsung terjeng-

kang roboh dengan tubuh hangus. Hanya sekejap

saja tubuh orang-orang berpakaian serba hitam 

itu berkelojotan. Selanjutnya terdiam untuk sela-

ma-lamanya. Kenyataan ini tentu saja membuat 

tiga orang lainnya yang memiliki kepandaian lebih 

tinggi menjadi terkejut sekali. Mulanya mereka ti-

dak menyangka bahwa lawannya yang sudah 

sangat tua itu memiliki kepandaian sedemikian 

hebatnya. Tapi sungguhpun sekarang mereka te-

lah mengetahui kehebatan lawan. Nampaknya 

mereka tetap tidak ingin mengurungkan maksud 

mereka semula. Apalagi bila mengingat bahwa la


wan telah membunuh tiga orang kawan mereka. 

Maka dengan bentakan-bentakan gusar. Salah 

seorang dari mereka yang memiliki badan lebih 

tinggi dan bertampang angker langsung memben-

tak.

"Kau benar-benar manusia keparat, orangtua! 

Tindakanmu sangat telenggas. Tapi kau jangan 

bangga dulu. Karena kami enam iblis dari gunung 

Slamet akan mengirimmu ke neraka...!"

"Enam Iblis dari gunung Slamet. Hemm...!" 

Singa Muka Merah berkata seperti orang yang se-

dang menggumam. "Semestinya kalian memang 

berenam... tetapi sekarang hanya tinggal tiga 

orang saja. Tiga orang yang sudah pada mampus 

itu malah sudah bertukar nama menjadi tiga iblis 

dari gunung tidak slamet... ha... ha... ha...!"

Apa yang baru saja dikatakan oleh Singa Mu-

ka Merah tentu saja tidak ubahnya bagai sebuah 

tamparan keras bagi tiga orang laki-laki bertam-

pang kasar ini.

"Sial dangkalan. Tua renta ini memang meng-

hendaki agar kita cepat-cepat mencabut nya-

wanya...!" tukas lainnya. Saat itu mereka telah 

bersiap-siap untuk menyerang Singa Muka Merah 

yang sedang dalam keadaan posisi terkurung.

"Bunuuuh...!" teriak laki-laki berbadan tinggi 

semampcd itu sambil mengayunkan senjatanya 

mengarah batok kepala Singa Muka Merah. Un-

tuk yang kesekian kalinya. Laki-laki tua itu kem-

bali melentikkan tubuhnya ke udara. Selanjutnya 

dengan gerakan-gerakan yang sangat ringan seka-

li ia melayani permainan pedang dan golok di tan


gan lawannya.

Tiba-tiba laki-laki berbadan tinggi semampai 

itu melakukan satu lompatan yang di susul den-

gan ayunan pedang mengarah pada bagian dada 

Singa Muka Merah. Jarak ayunan senjata lawan 

itu berada sangat dekat sekali dengan posisi si 

kakek tua. Nampaknya ia merasa tidak punya pi-

lihan lain, karena pada saat lainnya dari bagian 

belakangnya juga menderu hawa dingin yang be-

rasal dari sambaran pedang lainnya. Dengan ce-

pat Singa Muka Merah menggeser langkahnya ke 

samping kiri. Tubuh ia bungkukkan serendah 

mungkin. Serangan pertama yang dilakukan oleh 

si tinggi semampai luput, dan berlalu setengah 

jengkal di atas kepala kakek tua itu. Begitu dili-

hatnya penyerang yang berada di bagian bela-

kangnya, maka dengan gerakan kilat, Singa Muka

Merah langsung menjatuhkan diri. Begitu tubuh-

nya telah berada di atas tanah. Dengan bertumpu 

pada kedua tangannya, bagian kaki kanannya 

melakukan dua tendangan berturut-turut. 

Duuk! Duuk...!

Tidak dapat dicegah lagi tubuh kedua orang 

itu jatuh berdebum. Dengan sebat Singa Muka 

Merah melompat berdiri. Dari arah samping sen-

jata si tinggi semampai melesat dengan satu teba-

san mengarah pada bagian pelipisnya.

"Uts... hampir saja...!" seru laki-laki tua itu 

sambil menggeser tubuhnya ke samping kiri dua 

langkah. Satu sodokan keras segera dilakukan 

oleh Singa Muka Merah, dengan telak.

Duuuk... gusraaak!


"Argkh...!" pimpinan Enam Iblis dari gunung 

Slamet itu keluarkan jeritan tertahan. Bagian tu-

lang rusuknya nampak patah. Sementara ia beru-

saha bangkit berdiri, dua orang lainnya telah me-

nyerang Singa Muka Merah dengan kemarahan 

yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi.

"Pergunakan jurus 'Iblis Gunung Membasmi 

Keledai Dungu'...!" teriak si Tinggi semampai ke-

pada kawan-kawannya.

"Bagus... pergunakanlah jurus para iblis 

penghantar kidung kematian yang kalian mili-

ki!..!" geram Singa Muka Merah.

Pada saat itu juga tanpa menyia-nyiakan ke-

sempatan lagi laki-laki tua ini segera menge-

trapkan pukulan andalannya, 'Menguak Kabut 

Kegelapan' yang sangat dahsyat itu.

Hanya dalam waktu yang sangat singkat, tu-

buh Singa Muka Merah nampak menggeletar he-

bat. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat, 

sementara dari kedua tangannya yang nampak 

merapat itu nampak mengepul uap putih mene-

barkan bau sangit. Iblis dari gunung Slamet 

nampak terkesima melihat kehebatan orangtua 

itu. Namun mereka yang terserang penyakit ter-

kutuk itu rasanya sudah tidak punya pilihan lain 

lagi. Dengan cepat mereka segera memutar senja-

tanya. 

Werrt...!

Singa Muka Merah segera mendorongkan tan-

gannya ke arah depan. 

Wuuuk! Wuuuk...!

Tak ayal lagi selarik sinar berwarna seputih


kapas melesat sedemikian cepatnya ke arah ke-

dua lawannya. Tidak dapat di cegah lagi.

Bledar... bledarrr...!

"Argk... ngeek...!" senjata di tangan kedua la-

wannya hancur berkeping-keping. Sementara tu-

buh mereka terpelanting roboh dengan menyem-

burkan darah kental berwarna kehitam-hitaman. 

Begitu tubuh-tubuh yang sudah dalam keadaan 

tidak berdaya itu menggelepar beberapa kali. Se-

saat kemudian diam membeku. Singa Muka Me-

rah segera berpaling pada ketua iblis dari gunung 

Slamet. Kemudian kembali terdengar gelak suara 

tawanya.

"Hanya tinggal kau seorang...! Sekarang kau 

harus percaya, iblis dari gunung Slamet benar-

benar telah keliru memberi nama. Dan mau tidak 

mau, suka tidak suka sekarang kau harus ber-

ganti nama menjadi Enam Iblis dari gunung cela-

ka...!" kata Singa Muka Merah tanpa kehilangan 

tawanya.

"Jahanamm... kau telah membunuh semua 

saudara-saudaraku. Hadss...!" dengan nekad si 

tinggi semampai yang sudah terluka parah itu be-

rusaha merangsak Singa Muka Merah. Namun 

sampai sejauh itu, mana lagi kekuatan yang tersi-

sa. Menghadapi kakek tua itu secara berenam sa-

ja mereka tidak dapat mengalahkan kakek tua 

itu, jangankan lagi sekarang ia hanya seorang diri 

dan terluka parah pula.

Tapi si tinggi semampai ini benar-benar ter-

masuk manusia nekad.

"Heaa...!" sambil berteriak begitu tangannya

kembali mengayunkan pedang di tangannya. Na-

mun dengan gerakan yang sangat indah, Singa 

Muka Merah berhasil menghindarinya, bahkan.

Buuk...! Dess...! Dess...!

Sebentar saja pimpinan iblis gunung Slamet 

itu telah menjadi bulan-bulanan lawannya. Ketika 

satu tendangan yang berisi tenaga dalam meng-

hantam tubuh laki-laki berpakaian serba hitam 

itu. Tidak ayal lagi tubuhnya terpelanting sejauh 

tiga tombak. Terdengar suara tulang berderak pa-

tah saat mana tubuh yang malang itu menghan-

tam pohon tidak begitu jauh dari tempat Singa 

Muka Merah berdiri.

"Akhirnya kau mampus juga, biang penya-

kit...! Agaknya kematian memang lebih baik 

buatmu...! Tapi... akh... aku juga jadi kehilangan 

jejak sahabatku, si Peramal Sinting...!"

Singa Muka Merah celingukan memperhati-

kan daerah sekitarnya. Tapi ia tidak melihat tan-

da-tanda sahabatnya bersembunyi di tempat itu. 

Maka dengan langkah lesu ia kembali berjalan ke 

arah lain.


SEPULUH


"Siapakah anda, orang tua...?" tanya Buang 

Sengketa ketika terjaga dari pingsannya. Laki-laki 

berkepala botak memakai celana sebatas lutut. 

Dan tidak pernah berhenti berkomat-kamit sambil 

memutar tasbih serta menguncang-guncangkan 

kendi di tangannya hanya melirik ke arah Buang


Sengketa sekilas. Kemudian tanpa menghiraukan 

pertanyaan si pemuda ia berkata pelan.

"Aku tahu luka dalammu telah sembuh sama 

sekali. Hanya saja aku memang sengaja mem-

buatmu tertidur sampai lama sekali. Supaya ba-

tinmu sedikit tenang. Karena aku tahu jalan hi-

dup dan suratan nasibmu yang tertulis harus kau 

lalui dengan kekerasan demi kekerasan...! Eng-

kau titisan Raja Negeri Alam Gaib, bukan...!?" 

ujar si Peramal Sinting seolah-olah bertanya.

Tentu saja Buang Sengketa dibuat terperan-

gah. Seingatnya seumur hidup baru sekali ini ia 

berjumpa dengan orangtua aneh ini. Tapi yang 

membuatnya heran, mengapa dan dari mana

orangtua berbadan pendek ini mengetahui asal-

usulnya?

"Siapakah namamu, kek. Dan bagaimana an-

da tahu siapa diriku ini...?"

"Siapa namaku, he... he... he...! Aku sendiri 

pun tidak tahu. Orang-orang hanya selalu me-

nyebutku dengan nama si Peramal Sinting...! Dan 

mengenai keberadaanmu tentu saja dengan mu-

dah dapat kuketahui...!"

Semakin bertambah terkejut sajalah hati 

Pendekar Hina Kelana, begitu si kakek tua me-

nyebut gelar kebesarannya. Siapa yang tidak 

mengenal orangtua berbadan pendek ini? Seorang 

tokoh angkatan tua yang jarang berkeliaran di da-

lam rimba persilatan namun namanya terkenal di 

mana-mana karena ketepatannya dalam hal ram-

al meramal.

"Maafkan aku, orangtua! Betapa beruntung


nya manusia hina sepertiku ini, karena hari ini 

sang Hyang Widi telah mempertemukan diriku 

dengan tokoh hebat sepertimu...!" kata Buang 

Sengketa dengan sikap menghormat.

Si Peramal Sinting yang memiliki tabiat aneh 

itu kembali tertawa tergelak-gelak.

"Kau terlalu menyanjungku setinggi langit, 

bocah. Padahal dirimu sendiri merupakan murid 

seorang tokoh setengah Dewa, si Bangkotan Ko-

reng Seribu... masihkah kau mau mungkir...?"

"Ah...!" desah Buang Sengketa. Kemudian se-

telah memperhatikan laki-laki berwatak aneh itu 

untuk sekian saat lamanya, maka Buang Sengke-

ta pun dengan diliputi rasa keingintahuan segera 

bertanya.

"Engkaukah yang telah menyelamatkanku da-

ri tangan si keparat, utusan Panglima iblis itu?"

"Nyawa merupakan urusan sang Hyang Widi. 

Aku hanya mendapati dirimu dalam keadaan ter-

luka. Sedangkan mengenai hal-hal lainnya mung-

kin saja aku telah mengetahuinya sebelum kau 

mengalaminya...!" kata si Peramal Sinting tanpa 

maksud-maksud tertentu.

"Hemm... aku tahu... karena kau seorang pe-

ramal yang hebat...! Tapi bagaimana pun aku ha-

rus berterima kasih kepadamu...!"

"Simpanlah rasa terima kasihmu untuk 

menghadapi lawan yang saat ini sedang bertarung 

dengan sahabatku, Singa Muka Merah...!" sahut 

si Peramal Sinting sambil memandang lurus-lurus 

ke depannya.

"Di mana ada pertarungan, orangtua... aku



tidak melihatnya sama sekali...!"

Tanpa berkata, si Peramal Sinting menunjuk 

ke arah depan mereka, Buang mengikuti dengan 

lirikan matanya.

"Dia sekarang sedang berhadapan dengan 

musuh yang akan membinasakanmu...!" jelas si 

Peramal Sinting tanpa berpaling sedikitpun juga

"Kalau begitu kita harus segera menolongnya, 

orangtua...!" sambut si pemuda. Namun ia men-

jadi malu sendiri ketika ia melihat ke arah si Pe-

ramal Sinting, laki-laki berbadan pendek itu su-

dah tidak berada di tempatnya.

"Ilmu lari cepat dan ilmu meringankan tubuh 

yang sudah sangat sempurna sehingga aku sendi-

ri sampai tidak tahu kalau dia sudah tidak berada 

di tempat." Tanpa membuang-buang waktu lagi 

pemuda inipun segera bergerak menyusul si Pe-

ramal Sinting menuju tempat terjadinya pertem-

puran.

Begitu pemuda itu sampai di tempat itu, dili-

hatnya si Peramal Sinting sedang berusaha mati-

matian menolong seorang laki-laki tua berambut 

serta berjenggot serba putih. Buang Sengketa 

hanya dapat menduga mungkin kakek tua itulah 

yang dikatakan oleh Peramal Sinting sebagai sa-

habatnya itu. Melihat cara-cara bertempur kedua 

tokoh tua itu melawan seorang laki-laki yang 

memiliki badan berujud ular naga. Sebenarnya 

Buang Sengketa sudah dapat mengetahui bahwa 

kedua tokoh tua itu memiliki kepandaian yang 

sangat mengagumkan. Terlebih-lebih si Peramal 

Sinting. Hanya dengan mempergunakan tasbih


yang terus diputarnya sedemikian rupa sambil 

melakukan tangkisan-tangkisan dengan memper-

gunakan kendi di tangannya ia berhasil menghin-

dari pukulan jarak jauh yang dilepaskan oleh la-

wannya.

"Manusia tua renta. Lebih baik kalian me-

nyingkir, aku Panglima dari Negeri lelembut tidak 

punya urusan dengan kalian. Yang kubutuhkan 

adalah orang yang berjuluk Pendekar Hina Kela-

na...!"

"Berurusan dengan pemuda itu, sama saja ar-

tinya berurusan denganku. Karena pemuda itu 

masih merupakan sahabatku...!" jawab si Peramal 

Sinting tanpa sungkan-sungkan.

"Bagus... harrkh... kalau begitu akupun harus 

membunuhmu...!" berkata begitu dengan mem-

pergunakan ekornya. Makhluk mengerikan ber-

kepala manusia bertubuh ular naga itu segera 

mengibaskan ekornya. Sementara dari tangannya 

melesat sinar biru kemerah-merahan.

Mendapat serangan beruntun yang datangnya 

tidak ubahnya bagai dari segala penjuru itu. Ten-

tu saja Singa Muka Merah maupun si Peramal 

Sinting nampak kerepotan juga. Untung pada 

saat itu Buang Sengketa yang terus mengikuti ja-

lannya pertarungan sejak dari tadi, segera mele-

paskan pukulan si Hina Kelana Merana.

Weert... jdaar... jdaarr...!"

Mengetahui datangnya sinar merah dari arah 

lain mengarah bagian tubuhnya. Maka Panglima 

perang kerajaan iblis itu mengurungkan niatnya 

untuk menyerang si Peramal Sinting. Dengan


mempergunakan ekornya ia memapaki serangan 

mendadak yang di lancarkan Buang Sengketa.

Blaaamm...!

Satu ledakan dahsyat menggemuruh di ang-

kasa. Singa Muka Merah merasa terkejut sekali, 

begitupun halnya dengan si Peramal Sinting. Be-

gitu mereka menoleh, maka hati mereka pun 

menjadi lega begitu melihat Pendekar Hina Kelana 

telah berdiri di tempat itu dengan tangan menyi-

lang di depan dada.

"Kau, Buang Sengketa?" tanya Dasamuka 

dengan pandangan meremehkan.

"Betul, akulah orang yang kau cari-cari itu...!" 

jawab Pendekar Hina Kelana dengan sikap sangat 

tenang sekali.

"Hemm... bagus...! Kuperintahkan padamu 

untuk menyerah, kemudian menjalani hukuman 

di Negeri Bunian...!" bentak Dasamuka dengan 

suaranya yang menggemuruh bagai petir.

"Kau sekarang bukan sedang berada di Nege-

rimu, sehingga dengan sesukamu dapat memerin-

tah orang lain untuk menyerah... pula aku tidak 

punya urusan dengan Negeri kalian...!"

"Kau merupakan titisan Raja Piton Utara, su-

dah selayaknya kau menerima hukuman dari Ra-

ja yang sekarang berkuasa...!"

"Keparaat, kau hendak membantah perintah 

seorang Panglima perang? Kuperintahkan sekali 

lagi padamu untuk segera menyerah..,!"

"Mengharap aku menyerah? Tidak yang kau 

bayangkan...!" dengus si pemuda dengan sikap 

waspada.


"Kalau begitu kau harus mati...!" 

"Kalau tidak ada kemungkinan lainnya. Jalan 

seperti itu memang lebih baik aku sukai...!"

"Arrkgh... mampuslah kau...!" setelah usai 

berkata begitu. Sekarang Dasamuka dengan se-

genap perhatiannya segera menyerang Buang 

Sengketa dengan pukulan-pukulan yang memati-

kan. Tentu saja Buang Sengketa bermaksud me-

layaninya dengan mempergunakan jurus-jurus si-

lat andalannya. Namun dalam pada itu pendenga-

rannya yang tajam itu mendengar suara bisikan 

dari si Peramal Sinting.

"Jangan kau pergunakan jurus-jurus silatmu, 

karena dengan mudah ia dapat menirunya. Lebih 

baik kau layani dia dengan mempergunakan pu-

kulan andalan yang kau miliki, karena ia benar-

benar menghendaki nyawamu...!" 

Buang Sengketa segera mengerti apa yang 

dimaksud oleh si Peramal Sinting yang saat itu 

malah duduk ongkang-ongkang sambil berusaha 

mengobati luka-luka yang diderita oleh Singa Mu-

ka Merah. Di luar sepengetahuannya, kiranya pe-

san yang dikirim oleh si Peramal Sinting lewat il-

mu menyusupkan suara tadi sempat diketahui 

oleh Dasamuka. Sehingga dalam keadaan menye-

rang Buang Sengketa, Dasamuka masih sempat 

mengirimkan pukulan andalannya ke arah si Pe-

ramal Sinting. 

Wuusst...!

Segelombang hawa panas dan dingin yang 

sangat menyengat, menderu ke arah si Peramal 

Sinting yang nampak serius mengobati sahabat


nya. Namun Dasamuka harus terperangah, kare-

na meskipun masih dalam keadaan mengerahkan

tenaga dalamnya si Peramal Sinting masih mam-

pu menghalau pukulan itu dengan hanya memu-

tar tasbih di tangan kirinya.

"Biarkan saja bangsanya memedi itu berta-

rung mati-matian melawan si bocah gembel mu-

ridnya si Bangkotan Koreng Seribu. Aku harus 

dapat mengeluarkan racun yang mengeram di da-

lam tubuhmu yang lapuk, Singa Muka Merah...!" 

kata si Peramal Sinting dengan sikap konyol.

Sementara itu pertarungan antara dua tokoh 

sakti dari alam gaib dan alam nyata itu sedang 

berlangsung seru-serunya. Masing-masing lawan-

nya nampaknya telah mengerahkan pukulan-

pukulan amdalannya.

Bahkan Pendekar Hina Kelana yang telah 

mengerahkan pukulan Empat Anasir Kehidupan 

dan si Hina Kelana Merana secara silih berganti. 

Sampai sejauh itu masih belum dapat meng-

goyahkan pertahanan lawannya. Padahal saat itu 

ia sendiri sudah mulai terluka akibat benturan-

benturan tenaga dalam yang terjadi. Lebih dari 

itu, sebenarnya Buang Sengketa merasa penasa-

ran dengan daya tahan yang dimiliki oleh utusan 

dari Negeri lelembut itu. Selama malang melin-

tang di dalam rimba persilatan, belum ada tokoh 

manapun yang tahan terhadap pukulan Empat 

Anasir Kehidupan, terlebih-lebih pukulan si Hina 

Kelana Merana. Tetapi sekarang tokoh dari Negeri 

Bunian mampu menahannya. Rasanya ia tidak 

punya pilihan lain lagi. Apalagi saat dilihatnya


bagian badan lawan yang berbentuk tubuh ular 

naga itu kembali bergerak melibasnya. Maka 

Buang Sengketa pun segera mencabut senjata 

andalannya yang berupa pusaka Golok Buntung. 

Guuung...!

Terdengar suara mendengung-dengung bagai 

raungan puluhan harimau terluka. Senjata di 

tangan pemuda itu langsung memancarkan sinar 

merah menyala. Sedangkan udara di sekitarnya 

sontak berubah menjadi dingin. Baik si Peramal 

Sinting maupun Singa Muka Merah sama-sama 

terperangah begitu melihat pamor yang keluar da-

ri senjata andalan itu. Dasamuka sendiripun 

nampak menggigil kedinginan. Namun ketika ia 

mengeluarkan cambuk 'Wisang Geni' yang selama 

ini merupakan senjata pusaka, satu-satunya mi-

lik Panglima perang itu. Maka pengaruh hawa 

dingin itu menjadi sirna seketika. Dengan suara 

meraung, Dasamuka berkata, "Kita sama-sama 

memiliki senjata andalan, bocah. Kalaupun aku 

tidak berhasil membawamu ke alamku, biarlah 

kita mati bersama-sama...!"

Sebelum kata-kata Dasamuka berakhir, 

Buang Sengketa yang telah menderita luka dalam 

dan sedang dilanda kemarahan itu segera men-

dahului melakukan serangan. Senjata di tangan-

nya menderu, tubuhnya berkelebat cepat laksana 

tinggal merupakan bayang-bayang merah. Semen-

tara cambuk Wisang Geni di tangan Dasamuka 

terus melecut ke segala arah. Dan ketika senjata-

senjata pusaka itu saling berbenturan. Maka ter-

lihat percikan lidah api.


"Hiaat... ciaaat...!"

Setelah sekian lama pemuda itu tidak juga 

berhasil melukai lawannya. Maka saat selanjut-

nya ia segera melepas cambuk 'Gelap Sayuto'

yang melilit di bagian pinggangnya. Ketika senjata 

pasangan Golok Buntung itu melecut di udara. 

Tidak dapat dicegah lagi, langitpun mendadak be-

robah mendung. Awan hitam pekat disertai gele-

gar suara petir sambung menyambung tiada hen-

ti. Kemudian siang yang panas itupun berubah 

menjadi gelap gulita.

Perobahan yang sangat mendadak ini tentu 

saja membuat mereka yang berada di sekitar 

tempat itu menjadi terkejut sekali. Terlebih-lebih 

Dasamuka yang menjadi lawannya. Dengan gera-

kan cepat lalu ia berusaha memutar cambuk Wi-

sang Geni di tangannya. Dan lagi-lagi terlihat 

bunga api berpijar di dalam kegelapan itu saat 

mana senjata-senjata sakti itu saling berbenturan 

dengan senjata lawannya.

"Haat...!"

Kembali Buang Sengketa melecutkan cam-

buknya memapaki datangnya lecutan cambuk 

Wisang Geni di tangan Dasamuka.

Breet...! 

Kedua senjata ampuh itu pun saling melihat 

dan melilit. Tarik menarik pun terjadilah. Kesem-

patan itu tidak di sia-siakan oleh Buang Sengke-

ta. Dengan cepat tubuhnya kembali bergerak. 

Senjata di tangan kanannya terayun dengan te-

lak.

Blaar...!


Terdengar satu letupan yang keras, disertai 

suara jeritan membahana. Ujud Dasamuka yang 

tersambar ketajaman Golok Buntung itu menjadi 

sirna seketika. Buang Sengketa segera mengem-

balikan senjata andalannya ke tempatnya. Secara 

perlahan angin yang tadinya bertiup kencang se-

karang menjadi reda. Begitupun halnya dengan 

gelegar suara petir yang tadinya saling sambung 

menyambung sekarang lenyap sama sekali.

"Dia tidak akan dapat kembali ke Negerinya, 

pendekar Golok Buntung...!" kata si Peramal Sint-

ing sambil menepuk-nepuk bahunya.

"Lawan yang sangat tangguh, orangtua!" ko-

mentar si pemuda. "Oh ya, ke mana perginya ka-

kek Singa Muka Merah?"

"Laki-laki renta itu selamanya paling takut 

dengan suara halilintar. Dan dia telah kabur se-

jak tadi...!"

"Hemm...!" hanya gumaman yang tak terden-

gar. Sementara matahari di langit sana semakin 

condong di ufuk Barat. Desau angin mengibarkan 

anak-anak rambut pemuda berwajah tampan dan 

juga mengelus bagian kepala si Peramal Sinting 

yang botak plontos.



                               TAMAT



0 komentar:

Posting Komentar