PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE MUNCULNYA SI PAMUNGKAS
MUNCULNYA SI PAMUNGKAS
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Gambar Oleh: Jesco Setting
Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang
mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-
luruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Munculnya Si Pamungkas
SATU
Sesungguhnya, cukup banyak yang tidak dis-
ukai Ratih Ningrum istri dari Madewa Gumilang
atau Pendekar Bayangan Sukma. Namun sebagai
seorang istri yang amat setia, Ratih Ningrum ja-
rang memperlihatkan rasa tidak sukanya.
Seperti pagi ini, ketika datang tiga orang tamu
ke Perguruan Topeng Hitam. Perguruan Topeng Hi-
tam adalah sebuah perguruan silat yang namanya
cukup terkenal kala itu. Sebelum dipimpin oleh
Madewa Gumilang, Perguruan Topeng Hitam di-
pimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara. Dan
sebelum Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia
menyerahkan tampuk kekuasaan atau kepemim-
pinannya pada Madewa Gumilang. Itu terjadi bebe-
rapa puluh tahun yang lalu. Kala Pranata Kumala,
putra dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum
berusia lima tahun (baca: Dewi Cantik Penyebar
Maut).
Sekarang Pranata Kumala sudah dewasa, bah-
kan sudah memiliki seorang istri yang jelita. Is-
trinya bernama Ambarwati, putra dari seorang ke-
pala perampok di desa Pacitan daerah sekitar Pan-
tai Selatan (baca: Pendekar Kedok Putih).
Saat ini Pranata Kumala dan istrinya tengah
melakukan petualangan mereka, sama seperti hal-
nya yang pernah dilakukan Ratih Ningrum dan
suaminya.
Pagi ini sebenarnya Ratih Ningrum mengingin-
kan keberduaannya bersama suaminya tidak di
ganggu. Namun mendadak saja seorang murid
Perguruan Topeng Hitam masuk dan mengatakan
ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan
Ketua.
Sebagai seorang pendekar yang arif dan bijak-
sana tentu saja Madewa bermaksud menemui me-
reka. Dan ini sebenarnya membuat Ratih Ningrum
sedikit jengkel, karena merasa terganggu keber-
duaan mereka. Tetapi tentu saja dia diam saja.
Bahkan hatinya merasa bersalah karena siapa ta-
hu kedatangan ketiga orang itu membutuhkan
pertolongan mereka.
"Ya Tuhan... mengapa sikapku menjadi seperti
ini?" desisnya dalam hati.
Dan ketiga tamu yang datang itu sudah berdiri
di ruang pertemuan berhadapan dengan Madewa
Gumilang yang mengenakan pakaian berjubah pu-
tih dan Ratih Ningrum yang berpakaian ringkas
dengan sepasang pedang kembarnya yang tersam-
pir bersilangan di punggung.
Ketiga orang itu menjura di hadapan Madewa
Gumilang dan istrinya. "Salam hormat dari kami
bertiga, Ketua dan Nyonya Ketua," kata salah seo-
rang dari tamu itu. Dia seorang laki-laki yang kira-
kira berusia 60 tahun. Dia mengenakan pakaian
berwarna putih. Rambut serta kumis dan jenggot-
nya sudah memutih. Namun sikapnya masih ga-
gah.
"Salam hormat kembali dari kami, Orang
Tua...." kata Madewa sambil tersenyum arif. "Si-
lahkan duduk."
Ketiga tamu itu pun duduk.
Madewa menatap mereka satu per satu. Dari
wajah ketiga tamu itu nampak sekali ada kecema-
san yang terpancar dari mata dan wajah mereka.
Hmm... ada masalah apakah gerangan?
"Kalau boleh aku tahu sekarang, ada masalah
apakah hingga kalian datang ke sini?" tanyanya te-
tap tersenyum arif.
Laki-laki tua tadi menjura dulu sebelum berka-
ta, "Maafkan kelancangan kami bertiga yang
mengganggu ketenangan Ketua dan Nyonya Ketua.
Namaku Karna Jarot. Dan kedua pemuda yang
bersamaku itu adalah putra-putraku. Yang men-
genakan pakaian hitam dengan pedang di pung-
gungnya bernama Jaka Tama. Putraku yang per-
tama. Dan yang kedua bernama Seno Arga. Mak-
sud kedatangan kami ke sini, ingin meminta ban-
tuan dan pertolongan dari Ketua...."
"Hmm... pertolongan apa, Karna Jarot?"
"Ketua... kami adalah warga sebuah desa yang
permai dan indah. Seluruh penduduk desa kami,
desa Glagah Jajar, amat menjunjung tinggi per-
saudaraan. Dan di desa kami tinggal seorang kaya
yang bernama Juragan Wilada Tista. Namun yang
sungguh amat mengejutkan kami, Juragan yang
baik hati itu suatu malam ditemukan tewas den-
gan mengerikan. Lehernya hampir putus dari ke-
palanya. Sudah tentu kematian Juragan Wilada
Tista membuat hati kami semua penduduk yang
begitu menyukainya menjadi sedih sekali. Dan
yang membuat kami heran, para pengawalnya
yang berjumlah cukup banyak itu tak seorang pun
yang mendengar dan melihat bagaimana matinya
Juragan Wilada Tista. Namun kami tetap mendu-
ga, kalau Juragan Wilada Tista mati dibunuh
orang. Hanya sampai sekarang belum ketahuan
siapa orang yang mesti bertanggungjawab akan
kematian Juragan Wilada Tista."
"Kapan matinya juragan itu?"
"Sebulan yang lalu."
Madewa mengangguk-angguk. Karna Jarot ber-
kata lagi, "Ketua... tentunya ketua berpikir, men-
gapa hanya dengan kematian Juragan Wilada Tista
saya sampai mengganggu ketenangan ketua. Teta-
pi tidak sampai di sana saja ceritanya, Ketua. Se-
cara mengerikan dan berturut-turut satu per satu
keluarga Juragan Wilada Tista tewas. Dan kembali
tak seorang pengawal pun yang mengetahui siapa
yang membunuh mereka. Itulah sebabnya kami
meminta pertolongan kepada Ketua. Karena hanya
Perguruan Topeng Hitamlah yang kami rasakan ja-
raknya cukup dekat dengan desa kami, meskipun
kami harus berjalan kaki selama dua minggu...."
Madewa terdiam. Dia dapat merasakan kalau
ada sesuatu dibalik kematian keluarga Juragan
Wilada Tista dan dirinya sendiri. Agaknya si pem-
bunuh itu mempunyai dendam kesumat pada diri
Juragan Wilada Tista dan keluarganya.
"Karna Jarot... apakah kau tahu kalau Juragan
Wilada Tista mempunyai musuh?"
"Tidak, Ketua... Ah, biarkan putra saja Jaka
Tama yang menjawabnya, karena dia pun menjadi
pengawal Juragan Wilada Tista."
Pemuda yang berahang kukuh dan berwajah
tampan itu menjura pada Madewa Gumilang.
"Maafkan saya, Yang Agung Madewa Gumilang.
Setahu saya, majikan saya tidak mempunyai mu-
suh atau pun orang-orang yang mendendam pa-
danya. Dia begitu bersahabat pada siapa saja. Baik
kawan maupun lawan. Sikapnya selalu mengena-
kan orang lain. Saya pun berpikir, mana mungkin
ada orang yang tega mencelakakan orang sebaik
majikan saya. Apalagi sampai membunuhnya den-
gan cara mengerikan seperti itu."
"Berarti dia memang manusia yang bersih."
"Begitulah adanya, Ketua."
"Hmm... sebaiknya kalian beristirahat sajalah
dulu. Tentunya kalian letih berjalan beberapa hari
lamanya," kata Madewa Gumilang kemudian.
"Tidak, Ketua!" kata Karna Jarot. "Kami harus
segera kembali ke desa, karena kami kuatir terjadi
apa-apa lagi dengan orang-orang desa kami. Ke-
munculan si Pamungkas itu terlalu mengerikan."
"Si Pamungkas?"
"Ya, dia begitu pandai menyelinap dan selalu
membunuh lawannya dengan cara mengerikan.
Meskipun orang itu sebenarnya bukanlah lawan-
nya."
"Ketua..." kata Seno Arga yang sejak tadi diam
saja. "Saya pun berpikir, tentunya ilmu yang dimi-
liki si Pamungkas itu demikian tinggi, karena kami
sebagai pengawal Juragan Wilada Tista tak men-
dengar suara apa-apa. Dan rasa pengabdian kami
yang tinggi itulah kami bermaksud untuk mencari
si Pamungkas. Tentunya kami tak berani mengha-
dapi begitu saja tanpa mendapat bantuan dari pi-
hak mana pun juga. Ketua... mungkin dari pihak
Ketualah kami meminta bantuan. Terserah ban-
tuan apa yang hendak ketua kirimkan pada ka-
mi.... Yang pasti, kami akan mengucapkan banyak
terima kasih...."
Madewa tersenyum.
"Dengan senang hati, kami akan membantu ka-
lian mencari si Pamungkas. Tetapi sebaiknya ka-
lian beristirahatlah dulu. Menjelang senja bila ka-
lian tidak mau bermalam dan ingin kembali ke de-
sa, kalian bisa segera meninggalkan tempat ini..."
"Tidak, Ketua... saat ini juga kami akan kembali
ke Glagah Jajar."
"Terserah bila itu mau kalian."
"Kalau begitu... kami permisi, Ketua..." kata
Karna Jarot sambil berdiri yang diikuti oleh kedua
putranya. Ketiganya menjura serentak.
Lalu ketiganya pun meninggalkan Perguruan
Topeng Hitam dengan sedikit membawa kegembi-
raan karena Madewa Gumilang mau membantu
mereka dalam mencari si Pamungkas.
Mereka begitu geram sekali melihat pemban-
taian yang dilakukan oleh si Pamungkas itu den-
gan begitu mengerikan. Terutama hati Seno Arga
dan Jaka Tama. Kedua pemuda itu sudah hampir
dua tahun bekerja sebagai pengawal pribadi Jura-
gan Wilada Tista. Dan mereka tidak mengetahui
sedikit pun bagaimana cara orang itu masuk dan
membunuh Juragan Wilada Tista dan keluar-
ganya, padahal penjagaan sudah sedemikian ke-
tatnya.
Dan kini mereka sedikit terasa gembira, karena
bantuan yang diharapkan mungkin bisa dikabul
kan.
Sudah tentu akan dikabulkan! Madewa memang
selalu menolong orang yang dalam kesusahan. Be-
gitu banyak nama yang disandangnya. Orang-
orang rimba persilatan kadang menjulukinya Ma-
nusia Dewa karena kesaktian dan kearifannya
amat tinggi. Lalu Pendekar Budiman, karena dia
selalu menolong dan membela kebenaran. Yang te-
rakhir Pendekar Bayangan Sukma, karena dia
memiliki ilmu yang berkaitan dengan sukma.
Saat ini sepeninggal ketiga tamunya, Madewa
tengah mengumpulkan para muridnya yang sudah
selesai berlatih.
Dia menceritakan maksud dari kedatangan tiga
tamu tadi. Madewa pun memilih sepuluh orang
murid pilihannya untuk membantu ke desa Glagah
Jajar. Dan para murid pilihannya pun menyatakan
diri siap.
Bagi mereka pula, kebenaran harus ditegakkan.
Dan selama ini mereka amat salut dan bangga pa-
da ketua mereka, Madewa Gumilang. Yang tidak
hanya mengajarkan ilmu-ilmu pedang namun juga
selalu memberikan wejangan-wejangan yang amat
berguna dan bermanfaat bagi mereka.
Belum lagi sikapnya yang begitu arif dan bijak-
sana. Dalam memutuskan segala sesuatunya pun
Madewa begitu adil. Bahkan dia tidak membeda-
kan statusnya dengan status mereka yang ada di
antara mereka antara seorang guru dan murid. Ti-
dak pernah, tidak pernah Madewa melakukan itu.
Bahkan dia seakan hanyalah seorang sahabat
dan kadang bertindak sebagai orang tua.
Madewa menatap sepuluh murid pilihannya
yang tengah berdiri di hadapannya. Kesepuluh
muridnya mengenakan pakaian hitam-hitam den-
gan topeng yang menutup kepala berwarna hitam
pula. Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam se-
mua muridnya memang mengenakan pakaian ber-
pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Dan senjata mereka adalah sepasang pedang
dan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam.
Murid-murid Perguruan Topeng Hitam laki-laki
semua. Mungkin di perguruan itu yang perempuan
hanyalah Ratih Ningrum.
"Kalian siap menjalankan tugas yang kuberi-
kan?" bertanya Madewa pada para muridnya yang
dipilih.
Salah seorang menyahut, mewakili yang lain,
"Kami siap melakukannya, Ketua."
"Bagus! Dalam hal ini, janganlah bertindak ke-
palang tanggung. Bila ada keangkara-murkaan
yang terjadi di depan mata kalian, kalian harus
membasminya sampai ke akar-akarnya. Namun bi-
la tak ada keangkaramurkaan, janganlah kalian
sekali-sekali mencoba membuat keangkaramur-
kaan itu. Mengerti?"
"Kami mengerti, Ketua."
"Bagus! Aku minta... kalian selidiki dulu siapa
yang membuat onar di desa Glagah Jajar. Dan cari
tahu siapa si Pamungkas itu. Dan mau apa dia
muncul dengan menebarkan teror yang amat men-
gerikan. Mengerti."
"Ya, Ketua."
"Besok pagi, kalian sudah harus meninggalkan
Perguruan Topeng Hitam menuju ke desa Glagah
Jajar. Aku tidak ingin mendengar ada laporan
bahwa kalian telah membuat onar disana. Bukan-
nya membantu para penduduk desa Glagah Jajar."
"Semua kata-kata Ketua, akan kami junjung se-
tinggi-tingginya."
"Bila kalian memang membuktikan ucapan ka-
lian itu, sebelumnya aku mengucapkan terimaka-
sih."
Lalu Madewa kembali masuk ke dalam. Istrinya
yang sepertinya tengah menunggu berkata.
"Kanda... apakah akan terjadi lagi sesuatu ke-
pada kita?" Madewa menatap sepasang mata ben-
ing itu yang memancarkan sinar tidak enak.
"Entahlah, Dinda... hanya yang Maha Kuasa
yang tahu semua ini. Tetapi... mengapa Dinda ber-
kata demikian?"
Ratih Ningrum mendesah.
"Kanda... sebagai seorang istri, tentu saja aku
menginginkan hidup kita yang damai dan ten-
tram...."
Madewa merangkul bahu istrinya tersenyum.
Dia dapat mengerti maksud istrinya.
"Dinda... selama kejahatan masih banyak di
muka bumi ini, maka kita belum dapat hidup den-
gan damai dan tentram. Dinda... kita ditugaskan
oleh Gusti Allah untuk membasmi semua kejaha-
tan yang terjadi. Untuk itulah kita hidup, Dinda...
sebagai pembela kebenaran. Kau mengerti mak-
sudku, bukan?"
Ratih Ningrum tersenyum. Yah, dia tentu saja
dapat mengerti. Dan diam-diam dia semakin bang
ga pada suaminya. Cintanya semakin tumbuh
menjadi besar.
***
DUA
Tiga sosok itu melangkah pelan memasuki se-
buah hutan kecil. Suasana hutan begitu menye-
ramkan. Malam telah datang sejak dua jam yang
lalu. Suara binatang malam ramai terdengar.
Salah seorang dari tiga sosok itu berhenti me-
langkah. Menatap kedua sosok lain yang juga ber-
henti.
"Ada apa, Ayah?" yang berpakaian hitam-hitam
dengan pedang di punggung bertanya.
"Sebaiknya kita beristirahat di sini saja, Jaka.
Besok pagi barulah kita melanjutkan perjala-
nan...." kata yang dipanggil ayah itu yang tak lain
Karna Jarot. Dan kedua sosok tadi adalah Jaka
Tama dan Seno Arga.
Keduanya kini tiba di sebuah hutan kecil. Kare-
na tubuh yang dirasakan penat oleh Karna Jarot
maka dia menginginkan untuk beristirahat dan
bermalam di sini.
Namun belum lagi terdengar jawaban Jaka Ta-
ma, terdengar suara tawa yang menggema, mem-
bedah hutan kecil itu.
Dan secara tidak sengaja, tiga sosok itu menjadi
bersiaga. Penat mereka yang rasakan seolah hilang
begitu saja.
"Siapa yang tertawa itu, Ayah?" tanya Seno Arga.
"Entahlah," sahut Karna Jarot sambil meman-
dang berkeliling.
Suara tawa itu terdengar kembali.
Karna Jarot menjadi jengkel, karena tawa itu
seakan mengejek mereka yang kebingungan.
"Hei, orang yang tertawa! Keluarlah kau dari
tempat persembunyianmu?!" bentaknya dan sua-
ranya menggema keras.
Tetapi hanya tawa lagi yang terdengar keras.
Membuat ketiganya semakin bersiaga. Naluri
mengatakan, akan terjadi sesuatu yang tidak beres
di sini.
Tiba-tiba terdengar suara seperti membentak
dengan nada yang jengkel.
"Hhhh! Kalian adalah manusia-manusia yang
ingin mampus! Berani-beraninya kalian mening-
galkan desa Glagah Jajar untuk meminta ban-
tuan!"
"Siapa kau? Kalau kau berani, cepat ke luar!"
seru Karna Jarot sambil berkeliling lagi matanya.
"Hhh! Karna Jarot... kau akan mampus malam
ini bersama dengan kedua anakmu itu!"
"Bangsat! Bila kau benar-benar jantan, jangan
hanya bersembunyi saja!" bentak Karna Jarot dan
tiba-tiba dia bersalto ke samping yang diikuti oleh
kedua putranya karena tiba-tiba saja dirasakan
ada serangkum angin deras mengarah pada mere-
ka.
"Bangsat!" bentak Karna Jarot setelah hinggap
di bumi.
"Rupanya nyalimu begitu kecil, Bangsat!"
"Hahaha... mengapa kau terburu-buru ingin
mengenalku, Karna Jarot!"
"Karena aku ingin segera mencabut nyawamu,
Bangsat!"
"Kalau itu maumu, baiklah Karna Jarot! Aku
akan keluar dari persembunyianku!"
Tiba-tiba satu angin keras terasa menerpa keti-
ganya yang membuat ketiganya kembali bergulin-
gan menghindari angin itu. Terdengar suara 'krak'
yang cukup keras. Dan sebatang pohon jati kecil
tumbang oleh angin itu.
Suaranya jatuh berdebam.
Ketiganya terkejut melihat hasil dari serangan
angin itu.
Dan lebih terkejut lagi ketika mereka melihat
sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka.
Sosok itu mengenakan pakaian berwarna biru dan
mengenakan kedok penutup kepala dan wajahnya
yang berwarna biru pula.
Karna Jarot segera membentak, "Siapa kau
adanya, hah?!"
Orang itu tertawa.
"Hahaha... rupanya kau memiliki nyali yang cu-
kup besar, Karna Jarot... hingga kau berani mem-
bentakku!"
"Dan kau pun memiliki nyali yang sungguh be-
sar pula, karena kau berani muncul di hadapan-
ku!"
"Karna Jarot... kau memang orang yang gagah.
Sama seperti kedua putramu itu, Jaka Tama dan
Seno Arga!"
Jaka Tama mendengus.
"Siapa kau, Bangsat?!"
"Hahaha... aku sendiri tidak tahu namaku. Te-
tapi yang perlu kalian ketahui, kalianlah yang te-
lah memberikan nama padaku!"
"Apa maksudmu?!"
"Hahaha... bukankah kalian sedang mencari
orang yang membunuh Juragan Wilada Tista dan
keluarganya?!"
"Ya, akan kami cincang manusia kejam itu!" se-
ru Jaka Tama tegang.
"Agaknya Yang Maha Kuasa memang memper-
temukan kita di sini! Akulah yang telah menghan-
curkan keluarga Juragan Wilada Tista! Dan kalian
telah memberikan nama padaku, si Pamungkas!"
seru orang itu dan kembali tertawa dengan keras
yang membahana membedah seluruh hutan.
Mendengar kata-kata itu, wajah ketiganya men-
jadi tegang. Dari rasa tegang berubah perlahan-
lahan menjadi kemarahan yang amat sangat.
Karna Jarot mendengus.
"Hhh! Jadi kaulah orang yang telah membunuh
Juragan Wilada Tista dan menghancurkan keluar-
ganya?!"
"Benar, benar... akulah orangnya..."
"Mengapa kau melakukan hal yang keji itu pada
mereka, hah?!"
"Karena merekalah yang keji padaku! Hingga
aku terpaksa membunuh mereka!"
"Apa maksud dari kata-katamu itu, hah?!"
"Hahaha... tak perlu kita berpanjang lebar ber-
cakap-cakap, Karna Jarot karena hanya menim-
bulkan kebosanan padaku! Sebaiknya kalian ber
siaplah untuk mampus, karena kalian telah berani
mencari-cari aku!"
"Kami memang akan menangkap dan mengadi-
limu, Bangsat!" bentak Karna Jarot.
"Dan kau akan mampus di tangan kami!" seru
Jaka Tama sambil menyerbu ke depan.
Tetapi si Pamungkas hanya tertawa saja. Dia
memiringkan tubuhnya sedikit dan menggerakkan
kakinya ke arah kaki Jaka Tama dengan gerakan
sapuan. Jaka Tama terkejut karena tidak me-
nyangka orang itu dapat melakukannya dengan
cepat. Tak ada jalan lain selain membanting tubuh
ke kiri bergulingan. Tetapi orang itu terus menge-
jar dengan sapuan-sapuan kakinya.
Membuat Jaka Tama menjadi kewalahan dan
tunggang langgang. Dan ketika dia bisa berdiri
kembali, satu pukulan dari si Pamungkas mengge-
dor dadanya.
"Des!"
Tubuh Jaka Tama terhuyung ke belakang.
Dan begitu dia bisa menguasai keseimbangan-
nya, dia muntah darah.
Si Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... rupanya hanya begitu saja kebiasaan
manusia yang besar mulut!" katanya mengejek.
Sementara itu Karna Jarot yang sudah jengkel,
menjadi murka melihat putranya berhasil dikalah-
kan oleh si Pamungkas dengan sekali gebrak.
Maka dia pun langsung menyerang yang disusul
oleh Seno Arga. Menghadapi serangan keduanya,
si Pamungkas hanya terkekeh saja sambil meng-
hindar.
"Lebih baik kalian membunuh diri saja daripada
kucabut nyawa kalian dengan kekejaman!"
"Nyawamu yang akan kami cabut, Orang Ke-
jam!" bentak Karna Jarot sambil terus mencecar.
Namun Si Pamungkas benar-benar begitu hebat
dan tangguh. Serangan-serangan yang dilancarkan
oleh Karna Jarot dan Seno Arga hanya dihinda-
rinya dengan terkekeh.
"Kalian hanya membuang-buang tenaga saja
dengan percuma!"
"Kau akan merasakan kehebatan kami, Pa-
mungkas!" bentak Karna Jarot yang semakin jeng-
kel karena serangan-serangannya tak satu pun
yang mengenai sasaran.
"Hehehe... kehebatan macam begini yang kalian
perlihatkan? Hehehe... kalian pun berambisi untuk
menghabisiku? hehehe.... benar-benar pemimpi
rupanya!"
Mendengar kata-kata yang penuh ejekan dan
serangan-serangan yang tak pernah mengenai sa-
saran, membuat Karna Jarot dan Seno Arga men-
jadi semakin garang menyerang.
Keduanya semakin gila dan buas.
Namun sampai sejauh itu serangan-serangan
keduanya belum membuat si Pamungkas terdesak.
Bahkan secara tiba-tiba si Pamungkas melenting-
kan tubuhnya ke atas.
Dan berseru, "Kini kalian yang harus merasa-
kan serangan-seranganku!" Lalu tubuh yang ma-
sih melenting itu atas itu bersalto dua kali ke arah
Karna Jarot dan Seno Arga.
Langsung menyerang dengan hebat.
Kedua bapak beranak itu menjadi terkejut me-
nyaksikan dan menerima serangan-serangan bala-
san dari Pamungkas. Dan dengan satu gerak tipu
yang sungguh manis, tangan si Pamungkas berha-
sil memukul roboh Seno Arga yang langsung jatuh
pingsan.
Melihat hal itu Karna Jarot menjadi murka. Dia
menyerang kembali dengan hebat.
Namun dua jurus telah berlangsung, Karna Ja-
rot berhasil di desak oleh si Pamungkas.
"Karna Jarot! Aku tak meninggalkan lawan-
lawanku sebelum aku yakin dia sudah mampus!"
bentak si Pamungkas sambil menyerang.
"Jangan banyak bacot! Buktikan bila kau benar-
benar mampu melakukannya!" seru Karna Jarot
sambil menghindar dan membalas.
"Hehehe... baiklah... bila itu yang kau inginkan!"
sahut si Pamungkas dan bersalto. Kedua tangan-
nya tiba-tiba berbentuk seperti paruh bangau. Dan
dia menyerang dengan jurus Patuk Bangau.
Membuat Karna Jarot jadi kalang kabut karena
kedua tangan yang berbentuk paruh bangau itu
mencecarnya dengan hebat dan cepat.
"Hehehe... mengapa kau jadi pias begitu, hah?!"
"Diam kau, Bangsat!"
"Hehehe... memang seperti itu orang yang sudah
ingin mampus! Suka kebanyakan omong dan sela-
lu besar mulut!"
"Kau yang akan mampus di tanganku!"
"Hehehe... dalam keadaan seperti ini kau masih
bisa berbacot seperti itu!" seru si Pamungkas dan
tiba-tiba tubuhnya menyuruk ke depan dengan
kedua tangan yang siap untuk menghantam dada
Karna Jarot.
Karna Jarot menghindarinya dengan jalan ber-
guling. Dan yang tak pernah disangkanya begitu
tubuhnya berhasil menghindari serangan itu, si
Pamungkas melanjutkan serangannya ke pada Se-
no Arga yang sudah terkapar pingsan.
Tanpa ampun lagi kedua tangan yang berben-
tuk paruh bangau yang sudah dialiri tenaga dalam
yang kuat, menghantam kepala Seno Arga yang
tertelungkup.
Tidak terdengar jeritan.
Tidak terdengar pekikan.
Yang terdengar hanyalah suara krak yang cu-
kup keras, yang menandakan kalau tulang kepala
Seno Arga pecah, dan mengalirlah darah dari ke-
pala itu.
Seno Arga mati dalam keadaan yang menyedih-
kan.
Sedetik kemudian terdengar jeritan pilu dari
Karna Jarot, "Senooooo!"
Si Pamungkas cuma terkekeh saja.
Kekejamannya sudah terlihat.
Karna Jarot menjadi murka dan kemarahannya
sudah tidak terhingga lagi. Sepasang matanya be-
rapi-api dan berkilat berbahaya ketika menatap Si
Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa anakku dengan
nyawamu, Manusia kejam!"
Wajah yang tertutup kedok biru itu terkekeh.
"Atau... kau yang akan segera menyusul putramu itu!"
Sementara itu Jaka Tama yang masih merasa-
kan sakit di dadanya, menahan kegeramannya
yang luar biasa dan kepiluannya melihat adiknya
telah tewas. Dia tadi bergidik ngeri ketika melihat
si Pamungkas menurunkan tangan telengasnya.
Mendadak saja dia tidak merasakan lagi sakit-
nya. Rasa sakitnya telah berganti dengan rasa ma-
rah dan dendam yang menggelora.
Sambil menggeram keras dia menyerbu dengan
pedang di tangan ke arah si Pamungkas yang ma-
sih tertawa.
Namun kehebatan dan kelincahan si Pamung-
kas benar-benar luar biasa.
Dia hanya menggeser sedikit tubuhnya hingga
pedang itu melesat dari sasarannya. Namun Jaka
Tama yang sudah marah luar biasa terus menya-
betkan pedangnya ke dada si Pamungkas.
Gerakan itu dilakukan demikian cepat, sehingga
sepertinya si Pamungkas tidak bisa lagi untuk me-
loloskan diri. Namun suatu keajaiban terjadi.
Begitu pedang itu membentur dada si Pamung-
kas, bukan suara jeritan yang terdengar, malah
suara "trang" yang cukup keras yang terdengar.
Jaka Tama segera menarik serangannya dan
bersalto dengan kaget.
Dia menatap si Pamungkas tidak percaya. Bera-
du dengan apa pedangnya tadi hingga menimbul-
kan suara "trang"?
Melihat wajah yang pias karena terkejut itu, si
Pamungkas terkekeh.
"Hehehe... jangan heran, inilah yang dinamakan
ilmu kebal. Seribu Bobot Besi! Hehehe... senjata
macam apa pun tak akan pernah mampu melu-
kaiku karena tubuhku sudah sekeras besi!"
Jaka Tama bukanlah pemuda penakut. Dia ma-
lah menjadi penasaran. Dengan cepat dia menye-
rang lagi. Kali ini si Pamungkas tidak mengelak.
Malah sepertinya dengan sengaja menerima sa-
betan pedang itu.
Terdengar lagi suara, "Trang!"
"Trang!"
"Trang!"
Pedang yang disabetkan Jaka Tama sebanyak
tiga kali ke tubuh si Pamungkas memang seakan
membentur pada besi yang keras.
Tubuh si Pamungkas sudah berubah menjadi
sekeras besi. Bahkan boleh dikatakan tubuh itu
telah menjadi besi.
Karena merasa serangannya sia-sia, Jaka Tama
bersalto ke belakang berdiri bersisian dengan
ayahnya yang juga terkejut melihat ilmu yang di-
perlihatkan oleh si Pamungkas.
Mereka sadar, kalau ilmu yang dimiliki si Pa-
mungkas begitu tinggi dan hebat. Tetapi mereka
bukanlah orang-orang penakut.
Keinginan mereka mencari si Pamungkas untuk
membalas kematian Juragan Wilada Tista dan ke-
luarganya sudah menunjukkan kalau mereka ada-
lah orang-orang yang pemberani!
Dan sekarang mereka sudah menemukan dan
tengah berhadapan dengan orang yang mereka ca-
ri. Pantang bagi mereka untuk mundur meskipun
setinggi apa pun ilmu si Pamungkas!
Mereka lebih baik mati dengan cara kesatria daripada mundur seperti kucing di kejar anjing!
"Rupanya kau memiliki ilmu setan, Iblis!" geram
Karna Jarot.
"Dan kau jeri dengan ilmu setan yang kumiliki
ini bukan, Karna Jarot?" terkekeh si Pamungkas.
"Anjing buduk! Biarpun kau memiliki sejuta il-
mu setan lainnya, kau tak akan pernah mundur
menghadapimu!"
"Majulah kalau begitu!" seru si Pamungkas.
Dan kedua anak beranak itu pun menyerang
kembali dengan kegeraman yang luar biasa. Mere-
ka memang menyadari tak mungkin dapat menga-
lahkan si Pamungkas. Tetapi mereka telah berte-
kad untuk mengadu jiwa dengan manusia kejam
ini.
Namun serangan kedua orang itu hanya disam-
but dengan tawa saja. Si Pamungkas tidak berges-
er dari berdirinya. Dia membiarkan saja pukulan,
tendangan, sepakan, atau pun jotosan kedua
orang itu menghantam sekujur tubuhnya.
"Hehehe... keluarkanlah seluruh tenaga dalam
kalian dan ilmu yang kalian miliki!" terkekeh si
Pamungkas sambil memperhatikan keduanya yang
begitu bernafsu untuk merobohkannya.
Tetapi sampai sejauh itu malah keduanya yang
nampak kepayahan. Pedang di tangan Jaka Tama
sudah gompal-gompal. Sedangkan rasa Karna Ja-
rot merasakan tangannya ngilu luar biasa.
"Rupanya kalian tidak memiliki apa-apa kecuali
kenekatan yang tak berguna..."
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Pamung-
kas!" geram Karna Jarot yang sudah mengeluarkan ajian Karang Hawu. Namun ajian itu pun sia-
sia belaka karena tak menghasilkan sesuatu yang
menggembirakan.
Tiba-tiba kedua tangan si Pamungkas yang ter-
diam bergerak ketika keduanya kembali melancar-
kan serangan.
Kedua tangan itu menangkis serangan mereka
dan terdengar suara "krak!" bertanda tangan ke-
duanya telah patah.
Sambil menahan rasa sakit dan ngilu keduanya
mundur.
"Hahaha... mengapa harus mundur kalian? Ru-
panya kalian memang tak mempunyai apa-apa
yang patut dibanggakan. Keberanian kalian hanya
sia-sia belaka. Dan aku paling tidak suka mening-
galkan lawan-lawanku sebelum menjadi mayat!"
Ucapan itu bernada ancaman. Bernada kema-
tian.
Membuat Karna Jarot dan Jaka Tama menjadi
lebih bersiaga. Dan keduanya pun segera me-
nyambut serangan yang dilancarkan oleh si Pa-
mungkas dengan tiba-tiba.
Karena tangan keduanya sudah patah, tak ba-
nyak yang bisa diperbuat oleh mereka selain ber-
salto, bergulingan untuk menghindar.
Sampai tiba-tiba terdengar jeritan Jaka Tama
yang memilukan. Mendirikan bulu roma karena je-
ritan itu begitu keras.
Lehernya patah dihantam oleh pukulan tangan
kanan si Pamungkas yang sekeras besi. Mampus-
lah Jaka Tama dengan leher patah.
"Jakaaaaa!" jerit Karna Jarot yang mendirikan
bulu roma. Nafasnya mendengus-dengus. Tadi me-
lihat Seno Arga tewas dia sudah tak bisa memben-
dung lagi kemarahannya, dan kali ini kemarahan
itu semakin membludak.
Karna Jarot menjadi kalap.
Dia menerjang si Pamungkas yang hanya terke-
keh-kekeh menghindar. Dan memang tak banyak
yang bisa dilakukan Karna Jarot, karena sebuah
hantaman tangan kanan si Pamungkas yang men-
genai dadanya menghentikan perlawanannya.
Tubuh Karna Jarot ambruk dan mampus untuk
selama-lamanya.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha... itulah akibatnya bila berani mengha-
langi sepak terjang si Pamungkas!"
Lalu tubuh itu pun melesat dengan cepat seper-
ti angin.
Meninggalkan malam yang semakin larut.
Meninggalkan tiga sosok tubuh yang telah men-
jadi mayat!
***
TIGA
Sepuluh sosok tubuh yang berpakaian hitam-
hitam dengan bertopeng hitam pula dan sepasang
pedang di punggung masing-masing, menghenti-
kan laju kudanya begitu melihat tiga sosok tubuh
bergeletakan menjadi mayat.
Matahari saat ini tepat berada di atas kepala,
namun sinarnya tidak terlalu menyengat hingga ke
tanah. Karena hutan kecil yang ditumbuhi banyak
pohon itu menghalangi sinar panasnya.
Dua sosok tubuh melompat dari kuda mereka.
"Hei, bukankah ini adalah orang-orang yang da-
tang menemui Ketua!" serunya kaget setelah me-
meriksa mayat itu.
Sepuluh sosok tubuh itu adalah murid-murid
dari Perguruan Topeng Hitam yang diutus untuk
membantu desa Glagah Jajar mencari si Pamung-
kas.
"Benar! Ya, Tuhan... siapa yang telah melaku-
kan kekejaman seperti ini?!"
"Yang membunuh mereka ini tentunya seorang
yang kejam, yang begitu tega menghancurkan tu-
buh mereka seperti ini!"
"Pratama, bagaimana tindakan kita selanjut-
nya?!"
Yang dipanggil Pratama menatap kawannya.
"Sengkala, kita sudah dibebani tugas oleh Ketua
untuk mencari si Pamungkas, kita akan terus me-
lakukannya."
"Apakah tidak sebaiknya kita laporkan dulu ke-
pada Ketua, Pratama?"
Pratama terdiam. Lalu katanya, "Baiklah, dua
orang di antara kita kembali ke Perguruan! Lapor-
kan semua ini pada Ketua!"
Dan tanpa diperintahkan lagi dua orang dari
mereka segera membalikkan kuda-kuda mereka
dan melarikannya ke Perguruan Topeng Hitam.
"Lalu kita sendiri bagaimana, Pratama?"
"Kita tetap ke Glagah Jajar! Biarkan mereka
menyusul nanti!"
Lalu dengan sekali lompat Pratama sudah hing-
gap di kudanya. Begitu pula dengan Sengkala.
Belum lagi mereka menggebrak lari kuda mere-
ka, tiba-tiba satu sosok tubuh memegang cangkul
muncul dari balik hutan. Wajah orang itu begitu
buruk sekali. Bahkan boleh dibilang amat menge-
rikan. Sebelah matanya picek. Yang sebelah lagi
melotot keluar, berair. Wajah orang itu benar-
benar rusak. Hidungnya melesak ke dalam. Ram-
butnya agak botak. Bibir bagian atasnya pecah,
sedangkan bagian bawah agak turun. Belum lagi
leher orang itu yang berkeriput seperti luka terba-
kar.
Orang itu menatap heran pada orang-orang
yang menunggang kuda.
Begitu pula dengan para murid Perguruan To-
peng Hitam. Mereka tersentak kaget melihat beta-
pa buruk dan mengerikannya wajah itu. Bila ber-
temu dengan orang itu malam hari, tentu yang
bertemu akan menyangkanya setan gentayangan.
Tetapi bagi Pratama kemunculan orang ini bisa
dijadikan tempat untuk menjawab pertanyaannya.
"Ki Sanak yang baru muncul... siapakah geran-
gan Ki Sanak adanya?"
Orang yang berwajah sangat buruk itu keliha-
tan takut-takut. Tadi saja dia sudah kaget melihat
orang-orang bertopeng hitam itu.
"Aku... aku... Mandali Sewu, Ki Sanak...." ka-
tanya tergagap.
"Jangan takut, Mandali. Namaku Pratama... dan
mereka ini kawan-kawanku. Kami orang baik-baik.
Kami berasal dari Perguruan Topeng Hitam yang
bertempat di sebelah timur Gunung Slamet."
"Oh, salam kenal dariku untuk kalian semua,"
kata Mandali Sewu yang merasa agak tenang.
"Salam kenal kembali dari kami untukmu,
Mandali..." kata Pratama dengan suara bersaha-
bat. "Mandali... dapatkah kau menceritakan keja-
dian apa yang telah menimpa tiga mayat itu?"
"Oh, tidak... aku tidak tahu... Tadi pagi pun,
saat aku hendak menebang kayu di hutan ini, su-
dah kutemui tiga sosok mayat yang terkapar den-
gan tubuh yang mengerikan. Aku tidak tahu siapa
yang melakukannya. Dan sekarang, aku pun se-
benarnya bermaksud hendak menguburkan
mayat-mayat mereka dengan cangkul yang kuam-
bil dari rumah...."
Pratama mendesah. Sayang sekali orang ini ti-
dak tahu.
"Kau tinggal di mana, Mandali?"
"Cukup jauh dari hutan ini."
"Kerjamu menebang kayu?"
"Ya."
"Jadi kau tidak mengetahui kejadian apa yang
menimpa orang-orang ini?"
"Tidak."
"Ah, sayang sekali..."
"Memangnya ada hubungan apa kalian dengan
orang-orang yang telah menjadi mayat ini?"
"Mereka adalah warga desa Glagah Jajar. Yang
baru saja datang ke perguruan kami."
"Dengan maksud apa mereka datang?"
"Mereka hendak meminta bantuan kami untuk
menyelidiki dan menangkap seseorang yang dengan tangan telengasnya telah membunuh Juragan
Wilada Tista dan keluarganya."
"Oh, kejam sekali orang itu! Siapakah dia
adanya?"
"Kami juga belum mengetahui siapa dia. Tetapi
dia dinamakan si Pamungkas!"
"Si Pamungkas?"
"Ya. Kenalkah kau dengan orang itu?"
"Mengenalnya aku tidak. Tetapi tiga malam yang
lalu, ada kejadian yang mengerikan menimpa desa
Bojong Sawo. Di mana beberapa orang terpandang
di desa itu tewas secara mengerikan dengan tubuh
yang hancur dan luka yang amat parah! Orang-
orang di desa itu pun memanggil si pembunuh
dengan sebutan si Pamungkas. Entah dengan
maksud apa sebenarnya si Pamungkas itu menye-
barkan teror!"
"Oh, kau mengetahuinya?"
"Secara pasti tidak. Tetapi seorang sahabatku
tinggal di sana."
"Lalu?"
"Dialah yang menceritakan padaku siapa si Pa-
mungkas itu. Saat setelah membunuh orang ter-
pandang di desa itu, si Pamungkas kepergok oleh
beberapa petugas ronda. Namun ilmu yang dimiliki
orang berpakaian biru-biru dengan topeng biru
itu..."
"Orang berpakaian biru-biru dan bertopeng bi-
ru?" potong Pratama dan dia merasa beruntung
karena dapat mengetahui sedikit tentang si Pa-
mungkas.
"Ya! Si Pamungkas itu mengenakan pakaian biru-biru dan bertopeng biru! Tetapi para peronda
itu tak berhasil menangkapnya, bahkan beberapa
orang tewas dan beberapa orang lagi luka parah
karena ilmu yang dimiliki si Pamungkas begitu
tinggi!"
"Lalu bagaimana keadaan desa Bojong Sawo se-
karang?"
"Sudah tentu penjagaan diperketat. Dan semua
warga bersiaga dengan penuh! Karena mereka ku-
atir si Pamungkas akan muncul kembali dan me-
nyebarkan terornya!"
"Rupanya si Pamungkas itulah menjadi bibit
penyakit. Apakah ada yang mengetahui siapakah
dia sebenarnya?"
"Sampai sejauh ini belum ada yang mengetahui
siapa orang di balik topeng biru itu."
"Juga sebab-sebab dia melakukan teror?"
"Ya. Tak ada seorang pun yang tahu. Tetapi
mengingat adanya kejadian itu, ada yang menduga
kalau si Pamungkas itu mempunyai dendam ke-
sumat pada orang-orang yang dibunuhnya! Namun
tak seorang pun yang yakin akan dugaan itu!"
Pratama mendesah panjang. Kalau begitu si
Pamungkas sudah menyebarkan terornya ke setiap
desa. Dan ini tentunya amat meresahkan warga
desa.
Bila demikian adanya, Pratama bermaksud un-
tuk menyelidiki si Pamungkas di desa Bojong Sawo
sebelum ke desa Glagah Jajar. Barangkali saja di
sana dia dapat sesuatu yang bisa membawanya ke
pada si Pamungkas.
Lalu katanya pula pada Mandali Sewu, "Manda
li... sebelumnya aku mengucapkan terima kasih
banyak atas percakapan ini. Dan terima kasih ba-
nyak pula kau mau bersusah payah untuk men-
guburkan ketiga mayat ini. Tetapi maafkan kami
karena tidak dapat membantumu. Kami harus se-
gera berangkat untuk menyelidiki dan kalau bisa
menangkap si Pamungkas."
"Kudoakan semoga kalian berhasil. Mengenai
ketiga mayat ini, aku akan menguburkannya den-
gan senang hati."
"Terima kasih, Mandali. Kau baik sekali."
"Karena sebagai umat manusia, kita harus sal-
ing tolong menolong, bukan?"
"Kau betul, Mandali. Bila semua umat manusia
punya pendirian sepertimu itu, maka tak akan
pernah ada lagi pertumpahan darah yang bersim-
bah di muka bumi ini!"
"Berangkatlah kalian! Aku pun berdoa semoga
kalian cepat menemukan si Pamungkas dan me-
nangkapnya!"
"Terima kasih, Mandali!" kata Pratama lalu dia
mengajak teman-temannya untuk segera memacu
kuda kembali.
Perasaan di hati masing-masing begitu geram
dengan apa yang telah dilakukan si Pamungkas.
***
Senja hari delapan ekor kuda itu memasuki
perbatasan desa Bojong Sawo. Para warga desa
yang nampak tengah bersiap siaga menyambut
kedatangan si Pamungkas, sudah tentu menyam-
but dengan tidak enak pada para penunggang ku
da itu.
Tiga orang laki-laki gagah yang menjaga di per-
batasan desa Bojong Sawo, menghentikan laju ku-
da-kuda mereka.
Sikap ketiga orang itu nampak tidak bersaha-
bat. Di pinggang masing-masing tersampir sebilah
golok besar.
Pratama dan kawan-kawannya menjadi maklum
mengapa mereka bersikap seperti itu, karena ten-
tunya kedatangan mereka amat menarik perhatian
orang-orang itu. Karena teror yang dilakukan si
Pamungkas begitu mencekam dan membekas.
Tetapi mereka pun mengambil sikap yang ber-
sahabat.
"Maafkan kami, Ki Sanak... kalau kedatangan
kami mengejutkan kalian...." kata Pratama.
Salah seorang dari ketiga orang itu yang berwa-
jah seram membentak dengan suara kasar, "Hhh!
Siapakah kalian? Dan mau apa kalian datang ke
desa kami ini, hah?!"
"Hhh! Namaku Pratama, dan ini adalah kawan-
kawanku! Kami berasal dari Perguruan Topeng Hi-
tam!"
"Persetan kalian berasal dari mana! Yang kami
tanyakan, mau apa kalian datang ke desa kami
ini?!"
"Kami datang untuk mencari tahu tentang si
Pamungkas, yang mana kami telah mendapat ka-
bar kalau manusia kejam itu tengah melancarkan
terornya di desa ini!"
Ketiga orang itu memandang mereka dengan tidak percaya.
"Apakah kami bisa percaya?"
"Sudah tentu, karena kami dari golongan putih!"
Tiba-tiba yang seorang membentak, "Hhh! Ka-
lian jangan coba-coba mengelabui kami!"
"Apa maksud dari Ki Sanak?" tanya Pratama
yang dapat menangkap suara tidak senang dari
orang itu.
"Kami tahu siapa kalian?!"
"Jelaskan maksud Ki Sanak?"
"Kalian adalah anak buah dari si Pamungkas,
yang dikirim olehnya untuk memata-matai kami
dengan dalih dari golongan putih yang datang un-
tuk menyelidiki si Pamungkas!"
"Hei!" seru Pratama tercekat. "Dari mana da-
tangnya pikiran demikian hingga Ki Sanak berkata
seperti itu?!"
"Melihat dari pakaian yang kalian kenakan?!"
"Ada apa dengan pakaian kami?"
"Si Pamungkas mengenakan pakaian biru-biru
dan bertopeng biru pula. Sama seperti yang kalian
kenakan! Hanya beda warnanya saja. Sudah tentu
ini menandakan kalian anak buah si Pamungkas.
Dan dia adalah ketua dari kalian, karena dia ber-
pakaian dan bertopeng biru!"
"Tenang, Ki Sanak... kami datang jelas-jelas un-
tuk menyelidiki si Pamungkas dan membantu desa
ini dari teror yang dilancarkannya!"
"Jangan membual di hadapan kami!" bentak
orang itu seraya meloloskan goloknya yang amat
tajam.
Pratama dapat menduga kalau salah paham ini
bisa menjadi besar. Namun dia masih mencoba
menerangkan siapa mereka dan maksud apa me-
reka datang.
Tetapi agaknya orang itu memang benar-benar
pemarah dan keras kepala. Dia tidak perduli den-
gan kata-kata Pratama. Bahkan sambil menjerit
keras dia sudah menyerbu dengan goloknya ke
arah Pratama.
"Mampuslah kau, Manusia Laknat!"
Pratama pun tak mau kalau dirinya dijadikan
sasaran empuk golok tajam itu. Dia mengempos
tubuhnya bersalto dari kudanya.
"Tahan!" serunya begitu hinggap di tanah.
Orang itu berhenti menyerang. Tatapannya begi-
tu buas untuk membunuh. Nafasnya mendengus-
dengus.
"Hhh? Mau apa kau, Manusia Laknat?!"
"Tenang, Ki Sanak! Aku tahu kau begitu geram
dan emosi dengan apa yang dilakukan oleh si Pa-
mungkas! Tetapi yang perlu kau ingat, kami bu-
kanlah anak buah si Pamungkas! Dan kedatangan
kami bukan untuk membuat teror! Tetapi untuk
menyelidiki dan menangkap si Pamungkas! Teror
yang dilakukannya ini sama dengan yang terjadi di
desa Glagah Jajar! Dan tiga orang warga desa Gla-
gah Jajar telah datang ke perguruan kami untuk
meminta bantuan! Tetapi sayang, sepulang dari
perguruan kami, dia dicegat dan dibunuh si Pa-
mungkas!"
"Hhh! Siapa lagi kalau bukan kalian yang telah
membunuhnya, hah!?"
"Aku mempunyai dugaan seperti itu, karena si
Pamungkas tentunya marah ada yang berani mengadukan dan mencoba menghalangi perbuatan-
nya!"
"Hhh! Mana ada maling yang berteriak maling!"
"Kau begitu pemarah dan emosi sekali, Ki Sa-
nak!"
"Karena teror yang kalian lakukan dan ketua
kalian lakukan itu amat menyakitkan hati kami!"
Pratama mendesah. Dapat memaklumi menga-
pa orang ini bersikap seperti itu.
"Tenanglah, Ki Sanak... gunakanlah akal piki-
ranku secara sehat!"
"Aku sudah menggunakan akal dan pikiranku,
Settttaaan!"
"Kau hanya dibawa oleh emosi dan hawa naf-
sumu saja untuk membunuh kami! Kau telah
menduga salah terhadap kami! Karena kau begitu
dendam dan sakit hati dengan apa yang telah dila-
kukan si Pamungkas!"
"Ya, katakan pada Ketua kalian, aku Saburo
Manda tak akan mundur sejengkal pun untuk
menghadapinya! Juga untuk menghadapi orang-
orang seperti kalian!" bentak laki-laki yang berna-
ma Saburo Manda itu. Lalu dia menyerbu lagi ke
arah Pratama dengan goloknya!
"Tahan serangan!"
"Sabar, Ki Sanak!" seru Pratama namun segera
menghindari serangan golok itu.
Serangan yang dilakukan Saburo Manda begitu
kejam dan telengas. Goloknya selalu mengarah ke
bagian-bagian tubuh yang mematikan dari Prata-
ma. Ini menandakan bukan main geramnya dia.
Dan melihat dari gerakannya dan cara dia memegang golok, agaknya dia memang memiliki ilmu
silat yang cukup lumayan.
Golok itu berkelebat dengan cepat.
Namun sampai sejauh itu, Pratama belum juga
menurunkan tangan. Karena dia yakin kalau
orang itu sedang dilanda oleh emosi dan amarah-
nya.
Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewalahan
juga karena hanya menghindar saja sedangkan go-
lok di tangan Saburo Manda sudah terus mence-
carnya dengan kalap.
"Saburo.. hentikan seranganmu ini!" serunya
masih mencoba untuk tidak membalas.
"Anjing buduk! Kau harus mampus di tangan-
ku!" geram Saburo Manda tidak perduli. Dia malah
semakin mempergencar serangan-serangannya.
Goloknya berkelebat kesana kemari dengan he-
bat.
Membuat Pratama merasa kewalahan juga ak-
hirnya.
Karena terlalu sulit untuk menenangkan Sabu-
ro Manda, diapun akhirnya membalas semua se-
rangan-serangan itu.
"Maafkan aku, Saudara Saburo..." desisnya
sambil membalas dengan sebuah pedang yang te-
lah diloloskan dari sarungnya.
Yang sebuah lagi masih tertengger di tempat-
nya.
"Hhh! Jangan banyak lagak kau. Manusia bu-
suk! Sampai matipun aku tak akan pernah menye-
rah dari tanganmu!" geram Saburo Manda sengit
dan menyerang.
Pratama pun menangkis serangan golok itu
dengan pedangnya.
Suara nyaring yang ditimbulkan ketika dua sen-
jata itu beradu cukup keras terdengar.
Trang!
Trang!
Trang!
Dan tiga jurus kemudian, terlihat Saburo Man-
da ganti terdesak. Dia sebisanya menahan seran-
gan-serangan pedang yang dilancarkan oleh Pra-
tama.
Namun Pratama yang menduga kalau sikap dan
perbuatan Saburo Manda hanya dilandasi oleh
amarah dan sakit hatinya terhadap si Pamungkas
tidak menurunkan tangan telengas. Dia hanya
mencecar agar Saburo Manda melepaskan golok-
nya.
Dan dia berhasil melakukannya, dengan satu
gerak tipu yang cepat.
Pedangnya digerakkan ke arah samping kiri tu-
buh Saburo Manda. Saburo pun menggeser tu-
buhnya agak ke kanan dan menangkis dengan go-
loknya.
Trang!
Dan saat itulah Pratama melesat maju, meng-
hantam pergelangan tangan kanan Saburo Manda
yang sedang memegang golok dengan sisi bawah
tangan kirinya.
Golok itu pun terlepas.
Pratama menghentikan serangannya. Dia mena-
tap Saburo Manda yang melotot gusar.
"Anjing buduk!" geramnya.
"Tenanglah, Saudara... kita ini hanya salah pa-
ham. Atas nama Gusti Allah, aku bersumpah, ka-
mi ini datang dengan maksud baik. Untuk mem-
bantu kalian dan menyelidiki siapa adanya si Pa-
mungkas!"
"Orang jahat pun bisa bersumpah atas nama
Tuhan!" geram Saburo Manda.
"Kami adalah orang-orang golongan putih, yang
tidak sembarangan bersumpah atas nama Tuhan!"
"Bah! Orang golongan hitam pun banyak yang
mengaku-ngaku dari golongan putih! Lebih baik
kalian tinggalkan desa ini sebelum kupanggil para
penduduk!"
Pratama mendesah. Bingung dia menghadapi
kata-kata orang ini.
Didengarnya salah seorang dari kawan Saburo
berkata, "Ki Sanak... yah, kami pun bisa mengerti
perasaan Ki Sanak. Dari melihat sepak terjang
yang Ki Sanak lakukan terhadap Saburo Manda,
kami dapat menduga kalau Ki Sanak dari golongan
baik-baik..."
Mendengar kata-kata dari temannya itu, mem-
buat Saburo Manda memalingkan tubuhnya dan
berkata gusar, "Apa-apaan kau ini, Junggo?! Men-
gapa kau berpihak pada orang-orang yang telah
menebarkan teror di desa kita!"
Yang dipanggil Junggo cuma tersenyum.
"Saburo.. aku yakin sekali meskipun mereka
mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam
pula sama yang seperti dikenakan si Pamungkas,
hanya dia berwarna biru, aku tetap berkeyakinan
kalau mereka bukanlah orang-orang kejam itu!"
"Mengapa kau berkata demikian?"
"Karena bagi dia, dengan sekali gebrak kau da-
pat dikalahkan olehnya, Saburo! Tetapi dia tidak
menurunkan tangan telengas, tidak seperti yang
dilakukan oleh si Pamungkas!"
"Junggo.. kau rupanya tengah dikecoh oleh ke-
baikan berpura-pura dari orang ini! Kau bodoh,
Junggo! Dia hanya berpura-pura saja, untuk me-
nutupi siapa dirinya yang sebenarnya! Kau tahu,
banyak orang-orang jahat yang bertindak seperti
ini!"
"Tenanglah, Saburo... lebih baik kita ajak mere-
ka menemui Ki Lurah Wijayatikta! Nah, Ki Sanak...
mari ikut kami menemui Ki Lurah!" kata Junggo
pada Pratama.
Pratama menjura.
"Agaknya kami menemukan juga orang yang
mau mengerti siapa kami sebenarnya," katanya
sopan pada Junggo. Lalu pada Saburo Manda yang
masih berwajah memerah dia berkata, "Maafkan
atas kelancangan aku tadi, Saudara Saburo Man-
da..."
Saburo Manda hanya terdiam, tetapi mengikuti
juga ketika Junggo mengajak kedelapan orang itu
untuk menemui Ki Lurah Wijayatikta.
Yang seorang lagi tetap menjadi di perbatasan
desa Bojong Sawo.
***
EMPAT
Kemunculan si Pamungkas yang mengenakan
pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula mem-
buat geger rimba persilatan. Sepak terjangnya be-
gitu telengas dan kejam.
Dia seolah tidak mengenal ampun pada kor-
bannya.
Namun sampai sejauh itu belum ada yang tahu
ada maksud apa si Pamungkas melakukan semua
kekejaman ini!
Beberapa pendekar dari golongan putih pun
bermunculan untuk mencari si Pamungkas. Mere-
ka begitu marah mendengar sepak terjang yang di-
lakukannya.
Namun sampai sejauh ini belum terdengar di
mana dan siapa sesungguhnya si Pamungkas itu.
Dan yang lebih mengenaskan lagi, ketika orang-
orang golongan putih mendengar kabar, Jarot dan
istrinya, Yanti Kesuma, ditemukan tewas di se-
buah hutan kecil. Tubuh keduanya yang bergelar
Sepasang Pengantin Abadi, ditemukan dalam kea-
daan hancur dan luka yang mengerikan.
Menurut saksi mata, keduanya dibunuh oleh
orang yang berpakaian biru-biru dan mengenakan
topeng berwarna biru pula. Hal ini membuat
orang-orang dari golongan putih semakin marah.
"Kau yakin sekali kalau keduanya dibunuh oleh
orang berpakaian topeng biru?" tanya Ki Moro Se-
ta, atau yang bergelar si Tua Welas Asih. Dia ber-
mukim di gunung Tangkuban Perahu.
Saat ini si Tua Welas Asih bersama dua orang
sahabatnya, Renggo Petaka atau si Tangan Besi
dan Nimas Prilastri, si Dewi Baju Putih tengah be-
rada di hutan kecil di mana ditemukannya mayat
Sepasang Pengantin Abadi.
Dan mereka tengah menanyai saksi mata yang
melihat kejadian itu, yang tak lain si Mandali Se-
wu. Laki-laki berwajah buruk yang amat mengeri-
kan.
Tadi pun Dewi Berbaju Putih sedikit bergidik
melihat wajah yang amat mengerikan itu.
"Benar, Kakek Tua... saat saya hendak mene-
bang kayu, saya melihatnya sendiri. Kalau orang
yang berpakaian biru-biru dan bertopeng biru
yang membunuh kedua manusia ini."
"Kemana larinya orang itu?"
"Dia berlari ke arah barat. Dan dia bilang,
orang-orang golongan putih di rimba persilatan ini
akan dibasminya satu per satu."
"Apakah dia menyebutkan dirinya kalau dialah
si Pamungkas?"
"Benar, Kakek Tua. Dia menyatakan dirinya
dengan sebutan si Pamungkas! Orang itu begitu
kejam sekali, Kakek Tua! Kedua temanmu yang
tewas ini pun dihajarnya habis-habisan hingga tak
bisa berkutik lagi!"
Geram dan memerah wajah si Tua Welas Asih.
Dia dapat membayangkan bagaimana pedihnya
dan kalang kabutnya Sepasang Pengantin Abadi.
Menghadapi si Pamungkas dan menerima kema-
tian yang amat mengenaskan.
"Mandali.. kau yakin orang itu pergi ke arah Barat?"
"Benar, Kakek Tua!"
"Terima kasih atas penjelasanmu," kata si Tua
Welas Asih. Lalu berpaling kepada kedua teman-
nya. "Lebih baik kita susul dia sekarang sebelum
dia menurunkan tangan telengasnya lagi!"
Lalu ketiga orang itu pun bergerak dengan
menggunakan ilmu lari mereka. Mandali Sewu
sampai terkagum-kagum melihat mereka yang ti-
ba-tiba saja seperti menghilang.
"Bukan main! Mereka hebat sekali!" desisnya,
lalu menyandang kembali kapaknya untuk menca-
ri kayu.
Ketiga pendekar dari golongan putih itu seakan
saling beradu lari dan memperlihatkan ilmu lari
mereka masing-masing.
Ketiganya berkelebat demikian cepat.
Dan ketiganya menghentikan lari mereka ketika
ada dua jalan di hadapan mereka. Ketiganya saling
pandang.
"Hmm... arah mana kira-kira yang ditempuh
oleh si Pamungkas," kata si Tua Welas Asih..
"Aku pun tidak tahu," kata Dewi Berbaju Putih.
"Bagaimana bila kita berpisah saja di sini," usul
Renggo Petaka atau si Tangan Besi.
"Itu lebih baik," kata si Tua Welas Asih. "Kalian
pergi ke arah kiri, aku pergi ke arah kanan."
"Kalau begitu, baiklah," kata si Tangan Besi.
Namun belum lagi ketiganya berpisah, tiga buah
benda melayang dengan deras ke arah mereka.
Dan serentak ketiganya bergulingan menghindari
tiga benda yang mengarah kepada mereka.
"Bangsat! Siapa yang berani membokong secara
pengecut seperti ini?!" maki si Tua Welas Asih ke-
tika dia sudah berdiri.
Begitu pula dengan kedua temannya.
Dan bukan main terkejutnya mereka ketika me-
lihat benda apa yang hendak mengancam mereka.
Tiga buah daun yang kini menancap di tanah!
Walaupun terkejut tetapi ketiganya mendengus.
Sebuah ilmu tenaga dalam yang amat tinggi ten-
gah dipamerkan oleh pembokong mereka!
"Hei, Pembokong, Pengecut! Cepat kau ke luar
dari tempat persembunyianmu!" bentak si Tangan
Besi.
Tiba-tiba terdengar tawa yang cukup keras.
"Hahaha... rupanya kalian adalah orang-orang
hebat yang sedang mencari si Pamungkas!"
"Hahaha.. Kakek Tua... mau apa kau mencari
ke kiri dan ke kananmu... aku ada di atas pohon
tepat di depanmu!"
Serentak ketiganya menoleh ke atas, dan meli-
hat satu sosok duduk dengan santainya di sebuah
ranting yang kecil. Kedua kaki orang itu terjuntai.
Dan dia mengenakan pakaian biru dengan topeng
biru pula!
"Si Pamungkas!" seru Si Tangan Besi.
"Rupanya dia yang membokong kita!" bentak
Dewi Berbaju Putih. Lalu membentak pada sosok
tubuh yang dengan santainya menjuntai-juntaikan
kaki, "Pengecut! Turunlah kau dari tempatmu!"
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. bukankah aku orang yang sedang ka-
lian cari? Tentunya kalian gembira bukan dapat
bertemu denganku dan tak perlu lagi bersusah
payah mencariku?!"
"Kami akan mencincang tubuhmu. Manusia bu-
suk!" bentak Dewi Berbaju Putih lagi.
"Nimas Prilastri.. wajahmu memang cantik seka-
li, tetapi dalam keadaan marah seperti itu kau bu-
ruknya bukan main!"
"Perduli setan dengan kata-katamu! Kau harus
membayar nyawa pada orang yang telah kau bu-
nuh! Juga pada Sepasang Pengantin Abadi yang
kau bunuh dengan mengerikan!"
"Haha.. itu salah mereka sendiri! Mengapa me-
reka berani menghalangi perbuatanku?"
"Siapa pun akan menghalangi perbuatanmu,
Pamungkas!"
"Dan berarti mautlah sebagai ganjarannya!"
"Sombong!" bentak si Tangan Besi. "Turun kau
dari tempatmu, itu, biar aku cincang tubuhmu!"
"Hahaha... jangan terlalu sesumbar, Tangan Be-
si! Agaknya kau belum mengenal siapa aku!" seru
si Pamungkas dan tiba-tiba dia menggerakkan
tangannya ke arah si Tangan Besi.
Sebuah benda kembali melayang ke arahnya,
membuat si Tangan Besi harus bergulingan.
"Bangsat!" desisnya setelah berdiri.
"Hahaha.. maafkan, maafkan aku, Tangan Besi!
Daun itu jatuh tertiup angin.... hahahaha!"
Diam-diam si Tua Welas Asih dapat mengukur
ilmu dari si Pamungkas. Dan dia sungguh terkejut
ketika menyadari betapa tingginya kesaktian si
Pamungkas.
Hh! Siapa dia sebenarnya? Siapakah yang bera
da di balik topeng berwarna biru itu?
"Pamungkas... betapa banyaknya korban yang
jatuh di tanganmu. Dan rata-rata mereka tewas
secara mengerikan? Belum cukupkah kau menye-
barkan terormu ini?!"
"Hahaha... tidak akan pernah cukup, Kakek
Tua... Tidak akan pernah cukup. Sampai kapan-
pun aku akan membuat teror untuk membunuh
orang-orang seperti kau itu!"
"Dengan maksud apa kau sebenarnya melaku-
kan teror seperti ini?"
"Hahaha.. untuk apa kau ketahui? Toh percuma
karena sebentar lagi kau akan mampus!"
"Pamungkas., mati ada di tangan Tuhan. Dan
ketahuilah, kami tidak pernah menyukai sepak
terjangmu yang kejam dan telengas ini!"
"Aku? Hahaha.. aku kejam dan telengas? orang-
orang itulah yang membuatku jadi begini?"
"Apa maksudmu?"
"Hahaha.. ganti aku yang bertanya, apa mak-
sudmu menghalangi perbuatanku, Tua Welas
Asih!"
"Karena aku tak pernah menyukai kekejaman-
mu ini!"
"Lalu kau mencoba untuk menghentikannya!"
"Ya!"
"Hahaha... kau hanya bermimpi rupanya, Kakek
Tua! Siapa pun orangnya yang hendak mengha-
langi sepak terjangku, akan kubuat mampus se-
perti orang-orang terdahulu! Juga kalian, yang
akan kubuat berkalang tanah seperti Sepasang
Pengantin Abadi!"
"Manusia sombong!" geram Dewi Berbaju Putih
yang tak dapat menahan kemarahannya. "Orang
seperti kau tak layak untuk hidup!"
Setelah berkata begitu, dia mengibaskan tangan
kanannya ke arah si Pamungkas. Serangkum an-
gin deras mengarah pada si Pamungkas yang lang-
sung bersalto hinggap di bumi.
Sambaran angin itu mengenai batang pohon itu
hingga hangus!
Si Pamungkas terbahak.
"Bukan main! Ilmu Sambaran anginmu itu begi-
tu hebat, Dewi Berbaju Putih!"
"Manusia busuk! Kau harus mampus di tan-
ganku!" bentak Dewi Berbaju Putih dan sudah
bergerak menyerbu ke arah si Pamungkas yang
berdiri di hadapannya.
"Hahaha... kau tak sabaran sekali! Bukankah
lebih baik kau tenang sedikit! Dan kita bicarakan
persoalan ini! Barangkali saja kau sebenarnya
berminat padaku!" terbahak si Pamungkas sambil
menghindari serangan Dewi Berbaju Putih.
Keduanya pun sudah terlibat pertempuran yang
hebat.
Dan masing-masing memperlihatkan ketanggu-
han mereka.
Namun si Pamungkas menghadapinya dengan
tertawa. Bahkan terlihat kalau dia seakan enggan
untuk melayani Dewi Berbaju Putih.
Menyadari hal itu, Dewi Berbaju Putih menjadi
jengkel karena merasa si Pamungkas memper-
mainkannya. Dia kembali meningkatkan serangannya.
Tetapi si Pamungkas yang ilmunya begitu tinggi,
hanya membutuhkan tiga jurus untuk menyudahi
perlawanan Dewi Berbaju Putih. Ketika si Pa-
mungkas ingin membuat mampus wanita itu, Si
Tangan Besi sudah melayang memapaki.
"Des!"
Tangan telengas yang siap diturunkan oleh si
Pamungkas dipapakinya. Tubuh si Pamungkas
melayang bersalto, sementara si Tangan Besi me-
rasakan tangannya kesemutan.
Dia mendesis dalam hati, "Tinggi sekali tenaga
dalam bangsat ini!"
Sedangkan Dewi Berbaju Putih yang baru saja
selamat dari maut mendesah lega dalam hati. Dan
dia pun segera membantu si Tangan Besi menge-
royok si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. rupanya kalian sudah kelihatan sifat
kalian yang sesungguhnya! Tua Welas Asih, men-
gapa kau tidak turun tangan sekalian untuk men-
geroyokku, hah?!"
Mendengar kata-kata si Pamungkas yang mele-
deknya, Si Tua Welas Asih menjadi geram. Dia su-
dah menahan diri untuk tidak ikut dalam pertem-
puran itu. Namun kini keadaan sudah berubah.
Di samping geram, dia juga yakin ilmu yang di-
miliki si Pamungkas begitu tinggi.
Dalam sepuluh jurus saja kedua sahabatnya
yang mengeroyok si Pamungkas belum bisa ber-
buat apa-apa. Maka si Tua Welas Asih pun segera
menerjunkan diri.
"Kalau itu maumu, baiklah, Pamungkas! Jan
gan katakan aku pengecut karena hanya bisa
mengeroyokmu!"
"Hahahaha.. aku tidak pernah mengatakan ka-
lian pengecut! Kalian mencariku saja itu sudah
membuatku salut karena kalian begitu berani
menjual lagak!"
Meskipun dikeroyok oleh tiga pendekar dari go-
longan putih itu, si Pamungkas belum kelihatan
terdesak. Dia begitu hebat dan tangguh.
Kelincahan dan keperkasaannya membuka ma-
ta ketiganya semakin lebar. Dan ini membuat me-
reka menjadi amat penasaran.
Mereka pun jadi malu sendiri dengan gelar yang
selama ini mereka sandang. Karena sampai bebe-
rapa jurus mereka belum juga berhasil mengalah-
kan si Pamungkas, jangankan untuk mengalah-
kan, mendesak pun belum kelihatan.
"Hahaha.. hanya kepandaian seperti ini saja
yang sudah membuat kalian nekat dan berani
mencariku?"
"Jangan banyak bacot kau, Pamungkas!" geram
si Tangan Besi yang sudah mengeluarkan ilmu
tangan besinya. Namun tak sekalipun tangannya
mengenai sasarannya.
Begitu pula dengan Dewi Berbaju Putih yang
sudah mengeluarkan ajian terakhirnya, Gengga-
man Tangan Dewa. Namun kelincahan si Pamung-
kas dalam menghindar belum juga membuatnya
mampu untuk menjatuhkan tangan.
Si Tua Welas Asih pun merasa kalau dia dan
kedua sahabatnya tak akan mungkin bisa menga-
lahkan si Pamungkas.
Tiba-tiba si Pamungkas bersalto ke belakang.
Dan begitu hinggap di tanah dia sudah membuka
jurus Pukulan Patuk Bangaunya.
"Hahaha... rupanya permainan ini akan terus
berlanjut, Para Pendekar Sok Jago!" terbahak dia
sambil menyerang.
Dan ketiganya pun segera memapaki dengan
ajian masing-masing. Namun si Pamungkas lagi-
lagi memperlihatkan keperkasaannya. Kedua tan-
gannya yang berbentuk paruh bangau bergerak
demikian cepat, bahkan terlihat dua jurus beri-
kutnya Dewi Berbaju Putih yang dijadikan sasaran
pukulan-pukulannya.
"Hati-hati, Dewi!" seru si Tua Welas Asih. Sam-
bil mencoba membantu. Namun dia pun harus
menghindar ketika tangan kanan si Pamungkas
berkelebat ke belakang.
"Hahaha.. kalian tak akan bisa meloloskan diri
dari tanganku. Orang-orang sok Jago!"
"Kau yang tak akan bisa meloloskan diri dari
tangan kami!" seru si Tangan Besi yang juga mem-
bantu Dewi Berbaju Putih dengan serangan-
serangan tangannya yang menjadi sekeras besi.
Dewi Berbaju Putih sendiri menjadi kelabakan
ketika si Pamungkas menjadikan dirinya sasaran-
sasaran serangannya yang hebat dan cepat itu.
Dia sebisanya untuk bertahan.
Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua
Welas Asih yang mencoba membantu Dewi Berbaju
Putih. Tetapi si Pamungkas memang menunjukkan
kelasnya tersendiri. Serangan-serangan yang di-
lancarkan oleh si Tangan Besi dan si Tua Welas
Asih dengan mudahnya dihindari. Bahkan kakinya
pun dapat menghalangi niat mereka untuk mem-
bantu Dewi Berbaju Putih.
Hingga membuat keduanya mundur.
Kini tinggalkan Dewi Berbaju Putih sendiri yang
harus mempertahankan diri menghadapi serangan
yang dilancarkan si Pamungkas. Namun jelas ter-
lihat kalau kesaktian Dewi Berbaju Putih jauh be-
rada di bawah si Pamungkas.
Dua pukulan patuk bangau si Pamungkas tak
bisa dihindarinya lagi.
"Des!"
"Des!"
Dua pukulan itu mengenai sasarannya. Mem-
buat Dewi Berbaju Putih terhuyung dan merasa-
kan sakit yang luar biasa pada bagian tubuhnya
yang terkena pukulan si Pamungkas.
Si Pamungkas terbahak.
"Hahaha.. kini terimalah ajalmu, Dewi Berbaju
Putih!" desisnya. "Sayang, orang secantik kau ha-
rus mampus di tanganku sekarang juga!"
Lalu terlihat kedua tangan si Pamungkas beru-
bah menjadi semerah darah. Dan tatapannya pun
begitu mengerikan. Dia sudah melancarkan ajian
Sambar Nyawa.
Tiba-tiba tubuhnya memekik keras dan melun-
cur ke arah Dewi Berbaju Putih yang masih sem-
poyongan!
***
LIMA
Dewi Berbaju Putih tidak bisa berbuat apa-apa
lagi. Dia hanya bisa memejamkan mata.
Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua
Welas Asih keduanya nampak terpaku pada tem-
pat mereka masing-masing. Dan tak bisa berbuat
banyak untuk menghalangi niat si Pamungkas,
untuk membunuh Dewi Berbaju Putih.
Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa
yang ada di tangan si Pamungkas mengenai tepat
pada sasarannya.
"Des!"
"Aaaakhhh!"
Terdengar jeritan yang memilukan keluar dari
mulut Dewi Berbaju Putih. Dan tubuh itu pun me-
luncur dengan deras ke belakang. Menabrak se-
buah pohon besar hingga tubuh itu terpelanting
lagi ke depan dan ambruk ke tanah.
Saat ambruk itu barulah terlihat kalau sekujur
tubuh Dewi Berbaju Putih hangus dan perlahan-
lahan terlihat asap berbau sangit menguar dari tu-
buh itu. Lalu keanehan terjadi. Tubuh itu meledak!
Betapa kagetnya si Tua Welas Asih. Dan Si Tan-
gan Besi melihat hasil pukulan Sambar Nyawa
yang dilancarkan si Pamungkas!
Satu ajian yang benar-benar begitu kejam dan
menakutkan!
Si Pamungkas terbahak puas melihat hasil dari
perbuatannya. Lalu dia berpaling pada si Tua We-
las Asih dan si Tangan Besi yang wajah mereka be
rubah menjadi merah.
Geram dan jeri bercampur menjadi satu.
"Hahaha... aku tahu. kalian tentunya jeri meli-
hat ajian Sambar Nyawaku, bukan?!" seru si Pa-
mungkas dengan nada mengejek. "Nah, lebih baik
kalian membunuh diri saja sebelum akupun
punya niat untuk mencabut nyawa kalian!"
Merah padam wajah keduanya. Dan mereka
merasakan sakit hati dan panas di dada mereka.
Keduanya menggeram, menatap marah dengan
dingin pada si Pamungkas.
"Kau harus membayar nyawa sahabatku, Pa-
mungkas!" geram si Tua Welas Asih..
"Kami tak akan mengampunimu, Manusia bu-
suk!" kata si Tangan Besi menyambung kata-kata
si Tua Welas Asih.
Tetapi kata-kata keduanya hanya disambut ta-
wa oleh si Pamungkas.
"Kalian hanyalah orang-orang yang bisa menjual
lagak dan besar mulut! Cepat kalian membunuh
diri, sebelum aku menjadi marah!"
Si Tua Welas Asih mendengus.
"Hhh! Kami sudah bulatkan tekad untuk men-
cari dan menghentikan sepak terjangmu! Sekarang
kau sudah kami temukan, tak mungkin kami akan
kembali dengan tangan hampa, atau pun membu-
nuh diri secara pengecut! Kami bukanlah orang-
orang pengecut, Pamungkas!" seru si Tua Welas
Asih berapi-api. Hatinya panas bukan main.
"Bagus! Aku mau melihat lagi orang-orang bu-
kan pengecut seperti kalian!" seru si Pamungkas
dan tubuhnya sudah melayang dengan ajian Sambar Nyawa yang terapal di tangannya.
Kedua lawannya pun sudah tahu akan kekeja-
man ajian Sambar Nyawa yang dimiliki si Pa-
mungkas. Mereka pun tak berani untuk beradu
tangan dengan resiko yang mematikan. Dan hal ini
memudahkan si Pamungkas untuk mencecar dan
menurunkan tangan telengas pada keduanya.
"Hahaha... mengapa kalian tidak membalas?!"
ejeknya seakan-akan tidak tahu kalau kedua la-
wannya gentar.
Dan keduanya memang tak mau mengambil re-
siko yang mematikan itu. Sambil terus menghindar
keduanya berpikir keras untuk mematahkan se-
rangan si Pamungkas.
Namun karena mereka tak mau mengambil re-
siko, sulit bagi keduanya untuk menghentikan se-
rangan si Pamungkas. Bahkan keduanya pun te-
rus menghindar.
Sampai suatu ketika, si Tangan Besi terhuyung
karena kakinya berhasil dikait oleh kaki si Pa-
mungkas. Dan tubuh si Pamungkas pun sudah
menerjang dengan cepat ke arahnya.
Ajian Sambar Nyawanya siap untuk mencabut
nyawa si Tangan Besi yang sudah tidak mempu-
nyai kesempatan untuk menghindar lagi.
Namun mendadak saja tubuh si Pamungkas
bersalto ke belakang ketika dirasakannya ada an-
gin berdesing ke arahnya.
"Setan alas!" makinya geram ketika dia hinggap
di bumi.
Dan melihat benda apa yang menyambarnya.
Dua buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam
menancap di pohon sebagai ganti sasaran dari tu-
buhnya.
Dan bermunculanlah delapan orang mengena-
kan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.
Mereka tak lain adalah murid-murid Perguruan
Topeng Hitam yang diutus oleh Madewa Gumilang
untuk menyelidiki dan menangkap si Pamungkas.
Kedatangan mereka di desa Bojong Sawo dis-
ambut dengan baik oleh Ki Lurah Wijayatikta.
Bahkan Saburo Manda pun meminta maaf pada
Pratama karena salah paham yang dilakukannya.
Selama sepuluh hari mereka berada di desa Bo-
jong sawo, tak sekali pun ada tanda-tanda si Pa-
mungkas akan datang. Dan ini membuat mereka
menjadi bosan.
Lalu Pratama pun meminta izin untuk pergi ke
desa Glagah Jajar pada Ki Lurah Wijayatikta. Dan
dalam perjalanan mereka menuju desa Glagah Ja-
jar, secara tidak sengaja mereka tiba di tempat itu.
Di mana dua tokoh dari golongan putih sedang
berhadapan dengan si Pamungkas.
Para murid Perguruan Topeng Hitam terkejut
melihat salah seorang yang sedang bertanding itu
mengenakan pakaian dan bertopeng biru. Mereka
seperti disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang
itulah yang sedang mereka cari.
Dan Pratama pun segera melemparkan senjata
rahasia yang berbentuk topeng hitam ke arah si
Pamungkas yang tengah siap untuk menghabisi si
Tangan Besi.
Si Pamungkas melihat kedatangan orang-orang
itu. Tetapi kemudian dia berkata merandek, "Hhh!
Rupanya kalian para murid Perguruan Topeng Hi-
tam!"
"Dan kalau tidak salah, kaulah orang yang se-
dang kami cari yang berjuluk si Pamungkas!" ben-
tak Pratama.
Si Pamungkas terbahak. Dari rasa geramnya
seolah menjadi lucu mendengar kata-kata itu.
"Hahaha.. rupanya kalianlah yang diutus oleh
Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Suk-
ma untuk menangkapku? Hmm.... mengapa tidak
Pendekar Bayangan Sukma itu sendiri yang turun
tangan? Apakah dia sudah menjadi pengecut dan
penakut seperti anak perempuan?!"
Kata-kata si Pamungkas membuat wajah-wajah
yang berada di balik topeng hitam itu memerah.
Geram.
"Lancang bicara kau, Pamungkas! Ketua kami
tak perlu turun tangan untuk mencari orang cela-
ka seperti kau!"
"Duh, duh.. apakah kalian mampu untuk me-
nangkapku, hah?! Atau., kalian memang sudah ti-
dak sayang dengan nyawa yang kalian miliki?!"
"Manusia busuk! Kami rela mati demi kebena-
ran!"
"Bukan main! Rupanya ajaran si Pendekar
Bayangan Sukma sudah begitu meresap di hati ka-
lian! Namun sayang... sayang sekali, karena kalian
akan mengantarkan dan membuang nyawa dengan
percuma!"
"Monyet busuk!"
"Hahahaha..." Makian Pratama hanya disambut
tawa oleh si Pamungkas. "Bagus, bagus sekali.,
aku memang sudah lama ingin mengetahui sampai
di mana kehebatan akan ilmu Perguruan Topeng
Hitam. Hanya sayang... ketua kalian Pendekar
Bayangan Sukma tidak ada di sini. Tetapi ingat,
akan kubasmi Perguruan Topeng Hitam hingga ke
akar-akarnya!"
Murkalah Pratama.
Dia berseru seraya menggerakkan tangannya,
"Kurung orang itu! Dia telah lancang bicara meng-
hina dan meremehkan Ketua kita!"
Serentak delapan murid Perguruan Topeng Hi-
tam mengurung si Pamungkas yang hanya terba-
hak saja.
Si Tua Welas Asih merasa bisa bernafas kembali
melihat secara tidak disangka muncul delapan
murid Perguruan Topeng Hitam. Si Tua Welas Asih
sudah tahu siapa Pendekar Bayangan Sukma yang
menjadi ketua Perguruan Topeng Hitam.
Begitu pula halnya si Tangan Besi yang buru-
buru bersemedi untuk menghilangkan rasa sakit
di dadanya. Setelah dirasakan cukup pulih, dia
pun berdiri tegap. Siap membantu delapan murid
Perguruan Topeng Hitam yang mengurung si Pa-
mungkas.
Si Pamungkas terbahak kembali.
"Hahaha! Rupanya kalian benar-benar bosan
hidup! Baiklah, aku pun sudah bosan! bermain-
main seperti ini!"
Pratama pun meloloskan sepasang pedangnya
yang diikuti oleh beberapa orang temannya yang
lain.
"Pamungkas! Lebih baik kau menyerah saja daripada kami bunuh!"
"Hahaha... mengapa masih banyak bicara?! Ce-
pat kalian serang aku!"
"Bangsat! Tangkap orang itu!" seru Pratama se-
raya memulai serangannya yang disusul oleh tujuh
temannya.
Kembali di tempat itu terjadi pertempuran kem-
bali. Kali ini delapan orang berpakaian hitam-
hitam dan bertopeng hitam menggempur hebat sa-
tu sosok tubuh yang mengenakan pakaian dan to-
peng berwarna biru.
Pedang-pedang itu pun berkelebat menyambar
ke arah si Pamungkas yang kembali memperli-
hatkan kelincahannya. Si Tua Welas Asih pun tu-
rut membantu. Begitu pula dengan si Tangan Besi.
Mereka mengurung langkah si Pamungkas.
"Bangsat! Rupanya kalian memang benar-benar
bosan hidup!" bentak si Pamungkas dan diam-
diam dia mengeluarkan ajian Seribu Bobot Besi.
Sambil terbahak dia berseru, "Hahaha.. ayo se-
rang, hantam, bunuh aku!"
Para penyerangnya pertama kebingungan kare-
na tiba-tiba saja si Pamungkas diam tegak berdiri.
Tidak lagi menghindari serangan-serangan mereka.
Namun kesempatan itu pun mereka pergunakan
sebaik-baiknya.
Namun mereka terkejut melihat apa yang terja-
di. Begitu pukulan dan pedang mereka mengenai
sasarannya, malah tangan mereka yang menjadi
kesakitan.
Si Tua Welas Asih merasakan tangannya seolah
patah.
Si Tangan Besi merasakan tangannya kesemu-
tan.
Dan pedang-pedang yang dihantamkan oleh pa-
ra murid Perguruan Topeng Hitam malah menim-
bulkan suara, "Trang!"
Orang-orang itu mundur karena terkejut.
"Hahaha! Mengapa harus mundur? Ayo, bukan-
kah kalian ingin menangkap dan membunuhku?!
Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran ma-
sih memberi kalian bermain-main!"
Orang-orang itu pun kembali menyerang, na-
mun serangan itu terasa sia-sia belaka. Karena hal
yang sama yang mereka lihat.
Tiba-tiba si Pamungkas membuka kedua tan-
gannya. "Hahaha... agaknya aku sudah bosan
dengan permainan ini!" desisnya dan tiba-tiba tu-
buhnya melenting ke arah si Tua Welas Asih den-
gan kedua tangan yang kemerahan mengarah pada
dadanya.
"Ajian Sambar Nyawa!" desis si Tua Welas Asih.
Sambil bergulingan. Namun si Pamungkas terus
mencecar. Sedangkan pedang-pedang yang men-
genai tubuhnya dibiarkan saja, karena hanya me-
nimbulkan suara "trang" kembali.
Nasib si Tua Welas Asih. Seperti telur di ujung
tanduk. Dia sudah kebingungan dan kewalahan
menerima serangan ajian Sambar Nyawa yang di-
lancarkan oleh si Pamungkas.
Dan memang tak seorang pun dari sekian ba-
nyak yang bisa menolongnya. Maka tanpa ampun
lagi tubuh si Tua Welas Asih pun harus mampus
terkena sambaran ajian Sambar Nyawa.
Tubuhnyapun hangus dan meledak seperti yang
dialami Dewi Berbaju Putih.
Bau sangit pun kembali tercium. Si Tangan Besi
menjerit keras melihat lagi-lagi sahabatnya mati
dengan cara yang mengerikan.
Dengan menjerit geram dia menerjang ke arah si
Pamungkas dengan kalap.
"Kau harus membayar nyawa temanku, Manu-
sia Kejam!"
Namun si Pamungkas yang sekujur tubuhnya
sudah dialiri ajian Seribu Bobot Besi hanya terta-
wa saja menerima pukulan dari si Tangan Besi.
"Hhh! Kau membosankan aku, Tangan Besi!"
geramnya dan orang yang berpakaian dan berto-
peng biru itu pun menggerakkan tangannya.
"Des!"
Tepat mengenai dada si Tangan Besi.
Tubuh si Tangan Besi pun terpental dengan de-
ras ke belakang.
Lalu ambruk sebelumnya menabrak sebuah po-
hon. Kembali pemandangan yang seperti dialami si
Tua Welas Asih terlihat. Tubuh itu berubah han-
gus dan kemudian meledak menimbulkan kembali
bau sangit yang amat sangat.
Para murid Perguruan Topeng Hitam pun kem-
bali terkejut melihat kehebatan ajian Sambar Nya-
wa yang dimiliki oleh si Pamungkas. Tetapi biar-
pun begitu, mereka tidak takut sekalipun harus
mengorbankan nyawa.
Malah kembali dengan segera mereka mengu-
rung manusia berpakaian dan bertopeng biru itu.
Orang itu kembali terbahak. Tawanya membahana, mengerikan, mengundang kematian dan
membuat bulu roma berdiri.
Tiba-tiba dia berkata dengan suara merandek,
"Hhh! Berpikirlah kalian dua kali sebelum nekat
menantangku?! Aku yakin, sebenarnya kalian ma-
sih sayang dengan nyawa kalian! Hhh! Lebih baik
kalian beritahukan kepada ketua kalian, Pendekar
Bayangan Sukma! Untuk keluar dari sarang jan-
gan bersembunyi seperti anak perempuan! Aku, si
Pamungkas, akan membasminya hingga punah
dari muka bumi ini!"
Kembali wajah-wajah di balik topeng hitam itu
memerah.
Bukan main geram dan panas hati mereka
mendengar kata-kata si Pamungkas.
Sengkala pun melesat maju, disusul oleh yang
lain. Kembali pedang-pedang itu berkelebat ke
arah si Pamungkas. Namun lagi-lagi si Pamungkas
tidak bergeming dari berdirinya.
Dia malah terbahak. Seolah kegelian pedang-
pedang itu mengenai sekujur tubuhnya. Ajian Se-
ribu Bobot Besi yang telah mengalir dalam tubuh-
nya, tak satu pun yang membuat pedang-pedang
lawannya berhasil melukainya!
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum
mampus kubunuh!" berkata si Pamungkas dengan
gusar.
"Tak akan pernah kami mundur dari hadapan-
mu, Pamungkas!" sahut Sengkala gagah berani.
Si Pamungkas mendengus.
"Rupanya kalian benar-benar ingin mampus!"
desisnya marah dan kedua tangannya pun berge
rak. Menghantam dua orang murid Perguruan To-
peng Hitam dengan ajian Sambar Nyawanya.
Tanpa ampun lagi tubuh kedua orang itu pun
ambruk. Hangus.
Dan meledak.
Melihat hal itu, bukannya membuat nyali para
murid Perguruan Topeng Hitam menjadi ciut. Te-
tapi malah semakin membara.
"Bangsat! Kau harus membayar nyawa dua
saudara seperguruan kami!" dengus Sengkala dan
menyerang kembali.
Namun kembali serangannya sia-sia, malah tu-
buhnya hampir saja terkena sambaran pukulan
ajian Sambar Nyawa milik manusia berpakaian
dan bertopeng biru itu.
"Hahaha.. kembalilah kalian ke Perguruan To-
peng Hitam! Katakan pada ketua kalian agar jan-
gan turut campur urusanku! Bila dia masih mau
menentang, aku tak akan ragu-ragu lagi untuk
membunuhnya!"
Menyadari kesaktian manusia ini amat tinggi,
Sengkala memberi tanda kepada teman-temannya
untuk menghentikan penyerangan.
Lalu dia mendengus pada si Pamungkas.
"Manusia laknat! Hari ini kau menang! Tetapi
kami akan terus dendam padamu!"
"Lakukanlah bila itu yang kau inginkan! Haha-
ha... katakan pula pada Pendekar Bayangan Suk-
ma, bila dia ingin mencariku, aku berada di Bukit
Alas Waru!" tertawa si Pamungkas. Dan mendadak
saja tubuhnya berkelebat, meninggalkan tawa
yang masih membahana.
Bukan main malu, kecewa, sedih dan marahnya
para murid Perguruan Topeng Hitam itu. Lebih-
lebih menyaksikan dua kawan mereka harus
mampus dengan cara yang mengerikan di tangan
si Pamungkas.
Mereka pun menyadari kalau ilmu yang dimiliki
manusia itu begitu tinggi. Namun kekejaman yang
telah dilakukan manusia berpakaian dan berto-
peng biru itu telah membangkit dendam kesumat
yang amat sangat.
Mereka tidak bisa menerima tangan telengas
yang telah diturunkan manusia itu kepada dua
saudara seperguruan mereka. Namun memang tak
ada jalan lain selain menghentikan menyerang se-
belum maut pun yang akan mengundang mereka
datang.
Keenam sisa murid Perguruan Topeng Hitam itu
hanya bisa menahan tangis sambil menatap tubuh
dua saudara seperguruan mereka yang hancur.
"Bagaimana, Pratama?" tanya salah seorang.
Pratama yang terisak mendesah.
"Memang tidak ada jalan lain. Kita memang ha-
rus menghentikan serangan. Apa yang dilakukan
Sengkala benar."
"Tetapi dia telah membunuh Adi Jaya dan Pur-
nama!"
"Ya, tenanglah, lebih baik kita kembali ke per-
guruan. Dan bila kita diberi kesempatan lagi oleh
Ketua untuk mencari si Pamungkas, kita bersum-
pah untuk membalas dendam ini padanya!"
Lalu wajah-wajah itu pun tertunduk.
Hari semakin senja. Dan matahari kini hanya
menampakkan sisa-sisa biasnya di ufuk barat sa-
na.
Semilir angin mengantarkan kepergian enam
murid Perguruan Topeng Hitam sambil membawa
mayat kedua saudara Seperguruan mereka.
***
ENAM
Bukit Alas Waru adalah sebuah bukit yang
amat menyeramkan, letaknya di belakang gunung
merapi yang masih aktif. Bila dilihat dari kejau-
han, Bukit Alas Waru seperti memperingatkan ka-
lau tempat itu begitu mengerikan. Bahkan pernah
tersiar kabar, kalau Bukit Alas Waru tempat segala
dedemit bermukim.
Dan diterangi sinar bulan yang cukup, bukit
Alas Waru seperti raksasa yang tengah terdiam.
Dan sewaktu-waktu bisa bangun dengan mena-
kutkan.
Namun sosok tubuh yang berkelebat cepat itu,
seolah tidak menghiraukan keseraman dan keang-
keran Bukit Alas Waru. Sosok tubuh itu dengan
ringannya berlari mendaki bukit itu.
Geraknya ringan dan cepat.
Tak lama kemudian dia sudah tiba di sebuah
mulut goa yang terdapat di atas bukit Alas Waru.
Sinar bulan pun menerangi tubuhnya. Sosok itu
berpakaian dan bertopeng biru. Dia adalah si Pa-
mungkas!
"Kaukah itu, Topeng Biru..." terdengar suara
bernama serak dari dalam goa.
Si Pamungkas membungkukkan tubuhnya di
mulut goa.
"Benar, Guru..."
"Masuklah, Topeng Biru..."
Si Pamungkas pun memasuki goa itu. Mulut
goa yang kelihatan sempit merupakan sebuah lo-
rong yang cukup panjang. Di ujung sana nampak
terlihat ada cahaya yang amat terang menerangi
sebuah tempat yang mana lorong itu berubah dari
sempit menjadi semakin lebar.
Si Pamungkas tiba di tempat itu.
"Bagaimana, Topeng Biru? Apakah kau berhasil
mendapatkan Cincin Naga Sastra dari tangan Ju-
ragan Wilada Tista?"
Si Pamungkas berjalan ke arah suara itu. Dan
dia menjura kembali, di hadapan sebuah batu be-
sar yang panjang.
"Belum, guru."
"Apa maksudmu?" Nada suara itu berubah gu-
sar.
Tiba-tiba di batu yang panjang itu bergolek so-
sok tubuh tua yang lemah. Wajah orang itu amat
berkeriput. Dia seorang kakek yang berusia 70 ta-
hun dengan janggut, kumis dan rambut putih. Tu-
buh kakek itu nampak begitu lemah. Dan dia se-
pertinya sedang sakit.
"Juragan Wilada Tista mengaku tidak menyim-
pan cincin itu, Guru."
"Bagaimana tidak? Lima belas tahun yang lalu,
aku melihatnya sendiri Cincin Naga Sastra diberi
kan oleh Kyai Tapa Suci kepadanya, di saat kau
belum kuangkat sebagai muridku."
"Tetapi dia mengaku tidak memilikinya, Guru."
"Bangsat!" kakek yang sakit itu menggeram.
"Topeng Biru sakitku akibat Pukulan Sakti yang
dilancarkan oleh Kyai Tapa Suci lima belas tahun
yang lalu saat kami bertempur di puncak Semeru,
hanya bisa disembuhkan oleh air yang telah diren-
dam oleh Cincin Naga Sastra.
Pertarungan yang terjadi antara aku dengan
Kyai Tapa Suci berlangsung selama satu bulan pe-
nuh. Dan akhirnya kami sama-sama kuat dan
menderita luka dalam. Luka yang kuderita begitu
pahit sekali. Tetapi Kyai Tanpa Suci pun terkena
ajian Sambar Nyawa milikku.
Saat itu Wilada Tista adalah murid tunggalnya.
Dan sebelum Kyai Tapa Suci tewas dia memberi-
kan Cincin Naga Sastra pada Wilada Tista. Cincin
Naga Sastra itulah yang bisa menyembuhkan ini.
Untunglah saat itu aku dapat melarikan diri da-
ri kejaran Wilada Tista, bila tidak aku tentu sudah
mati!
Hingga akhirnya aku bertemu denganmu dan
kau kuangkat murid. Dengan maksud agar kau
dapat mencari Cincin Naga Sastra untuk mengoba-
ti luka dalam dan penyakit yang kuderita selama
bertahun-tahun ini.
Bahkan bila kau tidak kuberitahukan bagaima-
na cara menyerang Wilada Tista, belum tentu kau
dapat membunuhnya!"
"Dan sekarang kau kembali tanpa membawa
Cincin Naga Sastra! Keterlaluan!" si Kakek tua
yang bergelar Dewa Nyawa Maut menggeram ma-
rah pada si Pamungkas atau yang dipanggilnya
Topeng Biru.
Si Pamungkas menjura.
"Aku sudah mencarinya, guru. Bahkan keluar-
ganya pun kubantai karena tak seorang pun yang
memberitahukan padaku dimana Cincin Naga Sa-
stra itu berada. Bahkan tidak hanya sampai di sa-
na, sahabat kental Wilada Tista yang berada di de-
sa Bojong Sawo pun kubantai!"
"Bodoh! Murid macam apa kau ini, Topeng Bi-
ru? Hanya mencari Cincin Naga Sastra itu saja
kau tidak dapat?!"
Mendadak di balik topeng biru itu, seraut wajah
menjadi sengit. Dan rasa hormatnya perlahan-
lahan menghilang karena kesal dimaki bodoh.
Si Pamungkas memang dapat mengetahui akan
kesaktian gurunya, namun saat ini gurunya se-
dang sakit. Tadi pun gurunya tidak terlihat oleh
pandangan mata padahal dia tengah terbaring di
batu panjang itu. Gurunya sudah mengeluarkan
ajian Pembuta Mata. Satu-satunya ajian yang ti-
dak diturunkan padanya. Telah lama si Pamung-
kas sebenarnya ingin memiliki ajian yang aneh dan
hebat itu. Namun berulang kali gurunya menolak.
Dan kini dia telah berubah menjadi benci kare-
na dimaki bodoh.
"Maafkan aku, Guru...."
"Kau benar-benar bodoh, Topeng Biru! Kau tak
ubahnya seperti seekor keledai yang bodoh! Cepat
kau cari sampai dapat Cincin Naga Sastra itu! Aku
sudah bosan harus terbaring disini terus menerus!"
Si Pamungkas kembali menjura.
"Baik, Guru... semua titah Guru akan aku lak-
sanakan...." kata si Pamungkas lalu berbalik.
Namun tiba-tiba saja dia berbalik kembali dan
menghantam tubuh gurunya yang terbaring den-
gan ajian Sambar Nyawa.
Dewa Nyawa Maut tak menyangka akan hal itu.
Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa yang
telah diturunkan kepada Si Pamungkas, menghan-
tam dirinya!
"BUK!"
Sungguh kuat tubuh Dewa Nyawa Maut. Meski-
pun dia tengah sakit, namun ajian Sambar Nyawa
tidak langsung membuat tubuhnya hangus.
Sepasang mata tuanya berkilat-kilat marah me-
natap si Pamungkas yang tersenyum mirip iblis.
"Kau... kau... murid durhaka...."
Senyum itu semakin lebar, mengerikan.
"Mampuslah kau orang tua cerewet! Aku sudah
bosan berada di bawah kekuasaanmu! Hhh! Kau
sudah tidak berguna lagi sekarang!"
"Murid laknat... kukutuk kau... Ma-matiku ti-
tidak tenang... sebelum kau... kau mampus...."
"Hahaha... lebih baik kau memang mampus sa-
ja, Tua Bangka! Dan kau akan saksikan, kalau se-
luruh rimba persilatan akan membuka matanya
padaku! Dan akulah yang akan menguasai seluruh
rimba persilatan ini... ha ha ha...."
"Murid celaka..."
Tiba-tiba tawa itu terhenti. Sepasang mata di
balik topeng biru itu melotot.
"Apa kau bilang?!"
"Kau... kau murid celaka... hidupmu tidak akan
tenang... mati pun kau akan penasaran...."
"Bangsat tua! Kau masih bisa membacot ru-
panya!" geram si Pamungkas dan menghantam
kembali tubuh yang sudah sekarat dengan ajian
Sambar Nyawa.
Dan kali ini orang tua itu pun melayang. Tu-
buhnya hangus seketika dan meledak!
Bau sangit kembali menguar, menusuk hidung.
Si Pamungkas terbahak, puas dia melihat hasil
kerjanya sendiri.
"Lebih baik kau mampus saja, Orang sekarat!
Daripada hidupmu menyusahkan aku! Aku tidak
akan perduli lagi dengan Cincin Naga Sastra bera-
da di mana! Persetan dengan semua itu! Aku tidak
memerlukannya! Hahaha... yang kuperlukan, aku
akan menjadi jago nomor satu di dunia persila-
tan.... hahaha.. tak seorang pun yang dapat men-
galahkanku!"
Tawa manusia berpakaian dan bertopeng biru
itu membahana, menggema di dalam goa.
Keras.
Amat keras.
Saking keras.
Saking kerasnya tawa itu, dinding-dinding goa
pun berguguran. Obor yang terdapat di beberapa
tempat dalam goa itu padam seketika.
Lalu sosok si Pamungkas pun berkelebat keluar
dari dalam goa sebelum goa itu ambruk dan me-
nimbulkan suara bergemuruh. Dan merupakan
kuburan abadi bagi si Dewa Nyawa Maut!
Si Pamungkas begitu puas menyaksikan goa
yang telah berubah menjadi tumpukan batu.
Lalu terdengar tawanya yang keras.
Menggema di seluruh Bukit Alas Waru.
"Hahaha.. sebentar lagi aku akan menguasai
rimba persilatan ini! Dan akan kubunuh siapa pun
orangnya yang berani menentang sepak terjang-
ku!" serunya keras. Lalu kepalanya berpaling pada
goa yang kini telah menjadi tumpukan batu itu.
"Hhh! Jadilah itu kuburanmu yang abadi, Orang
Tua Cerewet!"
Lalu tubuh itu pun melesat berlari menuruni
bukit. Sama cepatnya ketika sosok tubuh itu me-
naiki Bukit Alas Waru!
Dan teror yang dilancarkan oleh manusia berto-
peng biru itu semakin menjadi-jadi. Sepak terjang-
nya begitu mengenaskan. Dan tidak tanggung-
tanggung menurunkan tangan.
Bahkan kekejamannya tidak hanya sampai di
sana saja.
Dia juga menculik beberapa anak perawan. Lalu
diperkosanya dengan buas. Si Pamungkas rupanya
memang ditakdirkan untuk menjadi manusia ke-
jam dan buas.
Anak perawan yang telah diperkosanya itu dis-
ayat-sayat wajahnya dengan kejam hingga terluka
mengerikan. Bahkan ada yang sebelah matanya
dicongkel hidup-hidup.
Entah dendam apa yang menyebabkan manusia
kejam itu berbuat seperti itu. Namun perbuatan-
nya memang sudah keterlaluan.
Para jago-jago dari golongan putih yang tidak
menyukai sepak terjang si Pamungkas pun ber-
munculan. Namun usaha mereka untuk menghen-
tikan sepak terjang manusia bertopeng biru itu
hanyalah sia-sia belaka.
Karena mereka harus mampus dengan tubuh
yang terluka mengerikan akibat ajian Sambar
Nyawa.
Ilmu yang dimiliki oleh si Pamungkas, warisan
dari Dewa Nyawa Maut memang begitu hebat.
Membuatnya menjadi pongah. Bahkan sekarang
setiap kali dia habis membunuh korbannya, dia
selalu melemparkan secarik kain berwarna biru,
yang menandakan itu hasil perbuatannya
Ini membuat orang-orang dari golongan putih
begitu marah.
Berbondong-bondong mereka mencari si Pa-
mungkas. Namun hasilnya tetap sama.
Mereka hanya mengantarkan nyawa dengan
percuma!
***
TUJUH
Pagi itu udara cerah. Angin semilir Awan-awan
putih di langit berarak lembut. Langit pun cerah
kebiruan. Matahari baru saja sepenggalah.
Satu sosok tubuh yang nampak tertatih-tatih
berjalan memasuki desa Glagah Jajar. Wajah
orang itu betapa buruknya, malah terkesan men-
gerikan. Dia adalah Mandali Sewu.
Sebenarnya Mandali Sewu adalah penduduk asli desa Glagah Jajar. Dia ditinggal mati oleh ayah
dan ibunya ketika dia berusia lima tahun. Pada
masa itu. Wilada Tista pun mempunyai putra yang
berusia lima tahun di samping putri sulungnya
yang berusia sembilan tahun.
Oleh Wilada Tista Mandali Sewu diangkat seba-
gai anak. Tetapi sudah lazimnya seorang anak
angkat, anak-anak kandung Wilada Tista tidak
pernah menyukainya.
Mereka selalu membuat Mandali Sewu menan-
gis. Namun dasar anak itu kuat mentalnya, selalu
saja ejekan, makian atau pun tamparan yang dila-
kukan anak-anak Juragan Wilada Tista hanya di-
terimanya dengan lapang dada. Dia tidak pernah
menangis lagi. Apalagi ketika Mandali Sewu beru-
sia dua belas tahun.
Dia tak pernah bersikap cengeng lagi. Sebenar-
nya Wilada Tista amat mengasihi anak itu. Tetapi
dia pernah marah besar ketika suatu saat Mandali
Sewu menghajar putra bungsunya karena tidak
tahan dipukuli.
Mandali Sewu ditampar hingga pingsan oleh Wi-
lada Tista.
Namun akhirnya Wilada Tista menjadi menyesal
sendiri. Dia pun meminta maaf pada bocah itu.
Yang membuatnya kuatir, ternyata putra bung-
su Wilada Tista mendendam pada Mandali Sewu.
Di suatu malam, anak itu memasuki kamar Man-
dali Sewu, dan mengguyur wajah Mandali Sewu
dengan air keras.
Lolongan bocah itu keras amat menyayat hati.
Wajahnya yang cukup tampan pun rusak akibat
guyuran air keras itu. Wilada Tista tidak mau
orang-orang desa mengetahui perbuatan jahat pu-
tranya. Lalu dia menyuruh beberapa pengawalnya
untuk membuang Mandali Sewu.
Sementara ketika para penduduk bertanya di
mana Mandali Sewu, Wilada Tista selalu menja-
wab, "Ada sepasang suami istri kaya yang tidak
mempunyai anak mengambilnya sebagai anak."
Dan nama Mandali Sewu pun perlahan-lahan
menghilang dari benak orang-orang desa
Kini mereka terkejut ketika melihat satu sosok
tubuh dengan wajah yang begitu buruk mengeri-
kan memasuki desa mereka
Orang-orang yang bertemu dengan manusia bu-
ruk itu, ada yang langsung menyingkir karena me-
nyangka dedemit yang datang. Ada yang menge-
rutkan keningnya. Ada yang bergidik.
Bahkan ada yang tidak tanggung lagi berucap,
"Huh! Buruk sekali wajahnya!"
"Siapa sih dia?"
"Dari mana asalnya?"
"Jangan-jangan., dia dedemit yang sedang me-
nyamar untuk mengganggu ketenangan kita!"
Suara-suara pun ramai terdengar. Tetapi Man-
dali Sewu terus melangkah. Tujuannya adalah ru-
mah Ki Lurah Sentot Prawira. Dia berharap Ki Lu-
rah masih mengenalinya
Namun sambutan dari istri Ki Lurah Sentot
Prawira amat mengenaskan hatinya ketika sosok
tubuh itu berdiri membukakan pintu.
"Oh!" Wajah Nyai Lurah kelihatan pias. Dan ma-
tanya mengerjap-ngerjap ketakutan. "Si-siapa kau?
Setan mana yang datang? Dan kau., kau mau
apa?!"
Dikatakan setan, Mandali Sewu mencoba terse-
nyum. Namun karena wajahnya yang begitu buruk
senyum seperti menyeringai. Malah lebih mena-
kutkan.
Membuat wajah Nyai Lurah semakin pias keta-
kutan. Ingin rasanya dia menutup pintu kembali.
Namun tatapan orang berwajah buruk itu seolah
menahannya.
"Saya, Nyai Lurah...."
"Saya., saya siapa?"
"Nyai Lurah... memang, tak seorang pun yang
mengenal saya... Usia saya kini sudah dua puluh
empat tahun, Nyai Lurah masih ingatkah Nyai Lu-
rah ketika Juragan Wilada Tista mengangkat seo-
rang anak yatim piatu?"
Nyai Lurah mengerjap-ngerjap lagi dan kepa-
lanya mengangguk angguk cepat.
"Iya, iya., aku ingat., tapi., tapi apa hubungan-
nya denganmu?"
"Nyai Lurah., akulah Mandali Sewu., bocah yang
diangkat anak oleh Juragan Wilada Tista..."
"Oh! Tapi... tapi.."
"Aku tahu maksud Nyai Lurah. Wajahku, bu-
kan? Mengapa wajahku menjadi buruk seperti
ini?"
"Oh, bukan... eh, iya, iya., mengapa, bukankah
kau memiliki wajah yang cukup bagus?"
Mandali Sewu terdiam. Dia jadi teringat peristi-
wa dua belas tahun yang lalu. Peristiwa yang amat
mengenaskan dan membuatnya sakit-hati.
Sebelum dia bercerita, muncul seorang laki-laki
setengah baya dari dalam Dia langsung bertanya
pada wanita yang masih berdiri di ambang pintu.
"Ada tamu, Nyai?"
Nyai Lurah menoleh. Yang datang itu suaminya,
Ki Lurah Sentot Prawira.
"Iya, Ki..."
"Siapa?" tanya Ki Lurah sambil melongok ke-
luar. Dia kelihatan terkejut melihat sosok tubuh
dengan wajah yang mengerikan di hadapannya.
Tetapi Ki Lurah mencoba untuk tersenyum.
Dalam hati dia bergumam, wajah itu mirip iblis
sekali.
Mandali Sewu pun menganggukkan kepalanya
"Saya, Ki..."
"Siapa?"
"Mandali Sewu, Ki.. bocah yang diangkat seba-
gai anak oleh Juragan Wilada Tista"
"Oh, Tuhan... rupanya kau, Mandali! Ayo, ayo
masuk!" sambut Ki Lurah ceria.
Lalu Mandali Sewu pun duduk di hadapannya.
Istri Ki Lurah menyediakan kopi dan singkong re-
bus. Setelah mencicipinya Ki Lurah bertanya
"Mandali.. ke mana saja kau selama ini? Dan.,
ah, maaf., mengapa wajahmu menjadi demikian
rusak?"
Mandali Sewu tercenung. Lalu dia pun menceri-
takan kejadian yang sesungguhnya yang telah me-
nimpanya
Ki Lurah Sentot Prawira mendesah panjang.
"Kami tidak pernah menyangka kalau kejadian
seperti itu yang menimpamu, Mandali.. Sungguh
kami tidak pernah menyangka. Karena selama ini
kami begitu percaya pada Juragan Wilada Tista,
dan kami pun percaya ketika dia mengatakan ada
sepasang suami istri kaya mengambilmu sebagai
anak mereka..."
"Itu bohong belaka, Ki..., Saya di buang di se-
buah hutan dekat sebuah bukit. Ah, sudahlah.,
kejadian itu sudah lama sekali. O ya, Ki.. sebenar-
nya saya pun ingin datang menjenguk ayah dan
ibu angkat saya. Bagaimana keadaan mereka, Ki?
Mereka sehat-sehat saja?"
Kali ini terlihat wajah Ki Lurah tercenung. Begi-
tu pula dengan Nyai Lurah.
"Kenapa Ki? Nyai? Apakah saya tidak pantas
untuk datang menjenguk. Tidak, saya tidak meng-
harapkan kembali diangkat sebagai anak. Tidak,
Ki. Saya hanya ingin menjenguk mereka. Biar ba-
gaimana pun selama tujuh tahun merekalah yang
merawat dan mengasihi saya. Ki..."
Terdengar helaan nafas panjang dari Ki Lurah
Sentot Prawira. Lalu perlahan-lahan dia menatap
wajah buruk yang sepertinya sedang menunggu
jawabannya.
"Maafkan aku, Mandali.."
"Hei, hei.. ada apa, Ki? Ada apa?"
"Orang tua angkatmu dan saudara-saudara
angkatmu telah mati mengerikan karena dibunuh
orang..."
"Ya, Tuhan! Kapan? Kapan itu terjadi, Ki? Men-
gapa mereka dibunuh orang?!"
"Tenang, Mandali.. tenanglah..." kata Ki Lurah
yang melihat Mandali Sewu menjadi kalap.
Pemuda yang berwajah buruk itu pun menghela
nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan ha-
tinya. Lalu ditatapnya Ki Lurah dalam-dalam.
"Ceritakanlah, Ki.. mengapa mereka sampai di-
bunuh orang? Dan siapa yang membunuh mereka,
Ki?"
Dengan perlahan dan kuatir mengejutkan Man-
dali Sewu kembali, Ki Lurah Sentot Prawira pun
menceritakan kejadian mengenaskan itu dua bu-
lan yang lalu.
"Jadi sampai sekarang pembunuhnya belum
tertangkap?"
"Belum Dan orang-orang memanggil si pembu-
nuh itu dengan sebutan si Pamungkas..."
"Si Pamungkas?! Oh!"
"Kau tahu siapa dia, Mandali?" tanya Ki Lurah
yang melihat Mandali Sewu terkejut.
"Tidak, Ki... tetapi, si Pamungkas itu pun telah
membuat teror di desa Bojong Sawo. Bukankah dia
mengenakan pakaian dan bertopeng biru, Ki?"
"Ya."
"Rupanya manusia kejam itu yang membunuh
keluarga angkatku."
"Tidak hanya mereka saja, Mandali. Juga orang-
orang rimba persilatan yang mencoba menghalangi
perbuatannya pun tewas dibunuh oleh si Pamung-
kas. Kekejaman manusia itu sudah mencapai se-
tinggi langit dan sedalam lautan!"
"Apakah kesaktiannya begitu tinggi, Ki?"
"Ya. Mengingat tak seorang pun dari rimba per-
silatan yang mampu untuk membunuhnya! Jan-
gankan untuk membunuh, menangkapnya saja
mereka tidak sanggup?!"
"Oh, Tuhan., dengan maksud apa manusia ke-
jam itu menebarkan terornya?"
"Tak seorang pun yang tahu maksudnya mene-
barkan teror kejam seperti itu. Namun yang men-
jadi desas-desus sekarang ini, adalah tentang Cin-
cin Naga Sastra yang dimiliki oleh Juragan Wilada
Tista."
"Cincin Naga Sastra?"
"Ya."
"Ada apa dengan cincin itu, Ki? Apakah itu se-
buah cincin sakti?"
"Aku sendiri pun tidak tahu. Ada seorang Kyai
tua yang bernama Kyai Paksi Brahma, sepuluh ha-
ri yang lalu datang ke desa ini. Dia bermaksud in-
gin menjumpai Juragan Wilada Tista. Ternyata se-
cara diam-diam ayah angkatmu itu murid seorang
sakti yang bernama Kyai Tapa Suci. Menurut Kyai
Paksi Brahma, kedatangannya mencari Juragan
Wilada Tista untuk mengambil Cincin Naga Sa-
stra..."
"Siapa sebenarnya Kyai Paksi Brahma itu, Ki?"
"Dia mengaku adik seperguruan dari Kyai Tapa
Suci"
"Dan bagaimana dengan cincin itu? Apakah dia
mendapatkannya dari tangan ayah angkatku?"
"Tidak. Tidak seorang pun yang tahu apakah
Juragan Wilada Tista benar-benar memiliki Cincin
Naga Sastra. Karena hanya dia sendiri yang tahu.
Tetapi manusia itu telah mati sekarang."
"Berarti cincin itu tidak ditemukan?"
"Tidak. Kyai Paksi Brahma pun tidak bisa ber
buat apa-apa karena Juragan Wilada Tista dan se-
luruh keluarganya telah tewas."
"Sebenarnya., semacam cincin apakah Cincin
Naga Sastra itu, Ki?"
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu."
"Apakah Kyai Paksi Brahma tidak memberita-
hu?"
"Dia memang memberitahu. Cincin itu dapat
menyembuhkan segala macam penyakit Bila cincin
itu direndam di air, lalu air itu diminum, segala
macam penyakit akan dapat disembuhkan. Yang
membuat dia kuatir, bila Cincin Naga Sastra dimi-
liki oleh orang jahat."
"Kenapa?"
"Karena bila setiap malam Jumat cincin itu di-
rendam dalam air dan airnya diminum, maka
orang yang meminumnya akan kebal oleh segala
macam penyakit, racun dan pukulan sakti macam
apapun."
"Bukan main! Sungguh hebat sekali khasiat
cincin itu, Ki."
"Benar. Itulah yang menguatirkan Kyai Paksi
Brahma bila cincin sakti itu jatuh ke tangan orang
jahat dan digunakan untuk kejahatan."
"Lalu... apakah Ki Lurah tahu di mana cincin itu
berada?"
"Aku tidak tahu."
"Bagaimana dengan Kyai Paksi Brahma? Apa-
kah dia tidak tahu juga di mana cincin itu bera-
da?"
"Ya."
"Ah, sayang sekali bila cincin itu jatuh ke tan
gan orang jahat."
"Kau benar, Mandali. Itu pun yang amat men-
guatirkan Kyai Paksi Brahma" kata Ki Lurah Sen-
tot Prawira yang juga menguatirkan kalau cincin
sakti itu jatuh ke tangan orang jahat. Lalu ditatap-
nya kembali Mandali Sewu, "Mandali.. apakah kau
akan menetap di sini?"
"Tidak, Ki."
"Mengapa?"
"Kedatanganku ke sini hanyalah untuk menjen-
guk orang tua angkatku. Tetapi mereka sudah
meninggal. Untuk apa lagi aku berada di sini?"
"Kau bisa tinggal di rumahku, Mandali..." kata
Ki Lurah.
Nyai Lurah pun berkata menyambung kata-kata
suaminya, "Benar, Mandali.. tinggallah bersama
kami. Rumah ini akan jadi rumahmu juga. Bukan
begitu, Ki?"
"Benar kata-kata istriku ini, Mandali. Rumah ini
akan menjadi rumahmu. Kau bisa tinggal di sini
bersama kami. Dan kau pun tahu bukan., kalau
kami selama ini tidak mempunyai anak?" mengu-
capkan kata-kata terakhir, Mandali Sewu dapat
melihat kalau wajah Ki Lurah Sentot Prawira men-
jadi murung.
Juga wajah istrinya. Di wajah wanita itu tersirat
rasa kekecewaan yang begitu mendalam. Dia se-
pertinya tidak sempurna menjadi seorang istri.
Mandali menatap wajah kedua orang tua itu
yang tiba-tiba menjadi murung.
"Maafkan aku, Ki.. Nyai.. Bukan aku menolak
untuk menerima kebaikanmu.. Tetapi aku tidak
ingin kalian dihina oleh warga desa yang tadi meli-
hatku seperti melihat setan karena wajahku yang
begini buruk., jadi., terima kasih banyak atas ke-
baikan kalian berdua..."
Ki Lurah tersenyum
"Ah, sudahlah... Itu terserah padamu, Mandali.
Tetapi bila kau tiba-tiba mempunyai keinginan un-
tuk tinggal di sini, kami akan menerimanya den-
gan senang hati. Dengan semua kerelaan yang ada
di hati kami.."
"Terima kasih, Ki.. kata-kata Ki Lurah akan
kuingat selama-lamanya..."
"Jadi kau hendak pergi sekarang?"
"Benar, Ki."
"Kamu tinggal dimana Mandali?"
"Di sebuah hutan kecil yang sangat jauh dari
sini, Ki."
"Tidakkah kau ingin melihat-lihat suasana desa
ini dan bermalam di sini dulu?"
"Sebenarnya keinginan itu ada, Ki. Tapi aku ti-
dak mau kedatanganku ke sini, malah membuat
orang-orang desa takut dan menaruh curiga."
"Kau jangan menghiraukan mereka, Mandali,"
kata Nyai Lurah.
"Memang tidak, Nyai. Tapi sudahlah., aku harus
pergi sekarang.. O iya, Ki.... dimana Kyai Paksi
Brahma tinggal sekarang?"
"Di ujung jalan desa ini. Penginapan milik si tua
Kerto Wongso."
"Terima kasih, Ki..." Lalu Mandali Sewu pun
bangkit dari duduknya. Disalami dan diciuminya
tangan kedua orang tua itu dengan penuh khidmat.
Lalu dia pun pergi meninggalkan rumah itu.
Air mata Nyai Lurah menitik perlahan-lahan
membasahi pipinya. Meskipun Mandali Sewu telah
berwajah buruk akibat perlakuan almarhum putra
dari Juragan Wilada Tista yang telah tewas menge-
rikan di tangan si Pamungkas, bagi Nyai Lurah dia
adalah Mandali Sewu, bocah yang baik hati dan
berwajah tampan dulu.
Ki Lurah dapat memaklumi perasaan istrinya
yang telah lama merindukan seorang anak. Namun
agaknya Yang Maha Kuasa belum mengizinkan pu-
tra bagi mereka yang dapat menghidupkan suasa-
na gembira dalam keluarga.
"Sudahlah, Nyai., biarkan Mandali pergi..."
"Tapi, Ki..." Nyai Lurah tersendat. Mengingsut
air matanya.
"Aku dapat mengerti perasaanmu, Nyai."
"Aku telah lama merindukan seorang anak, Ki.
Biarpun wajahnya buruk seperti. Mandali Sewu,
aku akan rela membesarkannya..."
"Begitu pula dengan aku, Nyai. Ya... agaknya
Gusti Allah belum memberikan apa yang kita in-
ginkan. Sudahlah, Nyai., kau perlu ingat, sebagai
umat manusia kita hanya bisa berusaha, dan Gus-
ti Allah jualah yang menentukan segalanya. Su-
dahlah, Nyai., biarkan Mandali Sewu mengambil
langkahnya sendiri. Ah... dia bukan anak kita,
Nyai.. Dia pun bukan anak kandung dari Juragan
Wilada Tista almarhum. Dia hanyalah anak ang-
katnya, Nyai..."
Nyai Lurah mengusap lagi air matanya. Kepedihan akan kerinduan pada seorang anak semakin
menjadi-jadi.
"Aku mengerti akan semuanya, Ki.." desisnya
sambil tersenyum
Ki Lurah Sentot Prawira tersenyum. Merangkul
bahu istrinya.
Dan kasih sayangnya semakin bertambah pada
wanita yang telah menemaninya hidup selama 35
tahun.
"Kita masuk, Nyai..."
Nyai Lurah cuma menganggukkan kepalanya
saja, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke
rumahnya
***
DELAPAN
Malam telah larut. Udara berhembus dingin. Di
langit mega-mega telah berubah menjadi hitam,
bertanda sebentar lagi hujan akan turun.
Mungkin deras dan membasahi semua yang ada
di muka bumi. Ada kalanya pula hujan membawa
berkah dan rahmat, namun ada kalanya pula hu-
jan membawa bencana.
Di penginapan Kerto Wongso suasana pun agak
sepi. Beberapa penjaga penginapan itu mera-
patkan pakaiannya untuk mengusir angin dingin
yang menembus hingga ke tulang sumsum
Di salah sebuah kamar dalam penginapan itu,
Kyai Paksi Brahma tercenung di tepi jendela ka-
marnya Hatinya risau memikirkan tentang Cincin
Naga Sastra milik kakak seperguruannya men-
diang Kyai Tapa Suci.
Cincin Naga Sastra adalah sebuah cincin sakti
yang bisa membuat orang yang memilikinya men-
jadi tahan penyakit, tahan segala macam pukulan
sakti macam mana pun. Yang dikuatirkan oleh
Kyai Paksi Brahma, bila cincin itu jatuh ke tangan
orang jahat dan menggunakannya untuk kejaha-
tan.
Kyai Paksi Brahma mendesah panjang. Tata-
pannya panjang menembus kepekatan malam Dia
seorang kakek yang berusia 65 tahun. Dengan pa-
kaian berwarna putih. Dan di pinggangnya terikat
sebuah angkin merah. Wajahnya sudah cukup
tua, dengan janggut yang putih dan rambut yang
putih pula yang diikat berbentuk kucir.
"Maafkan aku, Kakang Tapa Suci..." desahnya
pada angin, karena tidak ada siapa-siapa di sana.
Hanya dia seorang yang masih menatap kepekatan
malam. "Sebelum kau bertempur mati-matian
dengan Dewa Nyawa Maut, sebenarnya kau hen-
dak memberikan Cincin Naga Sastra warisan
Eyang Jagaladara padaku. Tapi ah... sayang saat
itu aku tidak ada di tempat., hingga kau memberi-
kan cincin itu pada Wilada Tista murid tunggal-
mu..."
Kembali Kyai Paksi Brahma mendesah panjang.
Tiba-tiba kedua telinganya menegang. Kakek
tua itu menangkap suara bergerak di atap.
"Hmm.. siapakah orang iseng yang hendak ber-
main-main denganku ini..." desisnya dalam hati.
Pendengaran kakek tua itu ternyata begitu ber
fungsinya hingga suara yang mencurigakan di atap
bisa didengarnya.
"Hmm.. lebih baik aku lihat saja siapa cecunguk
ini!" desisnya. Lalu dia melompat jendela tanpa
bersuara. Dan dengan sekali empos tubuhnya su-
dah berada di atap.
Pendatang yang bergerak amat pelan itu terke-
jut melihat sosok tubuh berpakaian putih itu ten-
gah berdiri di hadapannya
Kyai Paksi Brahma terbahak.
"Hahaha... rupanya kau yang nekat muncul di
hadapanku, Pamungkas!"
Orang yang ternyata si Pamungkas mendengus.
"Hhh! Rupanya nama besar Kyai Paksi Brahma
bukan omong kosong belaka!"
"Ada apa kau malam-malam begini menyatroni
ketenanganku, Pamungkas?!"
"Hhh! Jangan berlagak pilon, Paksi Brahma!
Aku datang untuk meminta Cincin Naga Sastra!"
"Hahaha.. tak kusangka orang kejam macam
kau ini menghendaki cincin sakti itu pula! Biarpun
aku tahu di mana cincin itu berada tetap tak akan
pernah kuberitahukan pada orang macam kau,
Pamungkas!"
"Jangan jual lagak di depanku, Paksi! Cepat be-
rikan cincin itu padaku!"
"Hahaha.. bagaimana bila tidak? Apakah kau
akan menurunkan tangan telengasmu padaku?
Pamungkas... kekejamanmu telah lama terdengar
dan menjadi ajang pembicaraan orang-orang rimba
persilatan, baik dari golongan putih maupun dari
golongan hitam! Dan ketahuilah., malam ini agak
nya akulah orang yang akan menghentikan sepak
terjang kekejamanmu, Pamungkas!"
"Hhh! Banyak omong kau, Paksi! Kata-katamu
itu membuat tanganku gatal untuk membunuh-
mu!"
"Majulah Pamungkas... kemunculanmu telah
membuatku ganti bertanya. Menurut kabar, kau-
lah yang membunuh Wilada Tista murid tunggal
kakak seperguruanku secara licik! Hhh... aku jadi
mencurigaimu, Pamungkas! Satu pikiran ada di
benakku! Kau pasti hendak mencari Cincin Naga
Sastra dari tangannya! Dan hanya satu orang yang
tahu tentang Cincin itu. Juragan Wilada Tista! Da-
ri semua kejadian yang ada kau tahu pula sebe-
narnya Wilada Tista murid dari Kyai Tapa Suci.
Dan kecurigaanku, kau adalah murid dari Dewa
Nyawa Maut yang bertempur habis-habisan den-
gan kakak seperguruanku! Entah di mana si Dewa
Nyawa Maut itu berada sekarang!"
Si Pamungkas terbahak. Wajah di balik topeng
biru itu agak terkejut mendengar kata-kata Kyai
Paksi Brahma. Rupanya orang tua itu cepat tang-
gap dengan semua kejadian yang ada. Dari rasa
terkejut itu berubah menjadi kegeraman.
"Paksi Brahma... dugaanmu tak meleset sedikit
pun! Aku memang murid tunggal dari si Dewa
Nyawa Maut yang ditugaskan olehnya untuk men-
cari Cincin Naga Sastra! Namun sayang, aku su-
dah bosan diperintah oleh si Tua sekarat itu. Dan
yang perlu kau ketahui, si Tua itu sudah mampus
di tanganku!"
"Hhh! Kau murid laknat Pamungkas! Kau tak
ubahnya seperti iblis!"
"Hahaha.. ya, ya... aku memang iblis! Dan iblis
itu akan merenggut nyawamu sekarang juga! Se-
rahkan Cincin Naga Sastra padaku cepat!"
"Kau pun menjual lagak di depanku! Aku yakin,
Cincin Naga Sastra telah berada di tanganmu! Kau
yang harus menyerahkannya kepadaku!"
"Bangsat! Aku bosan bermain kata-kata seperti
ini, Paksi! Tahan serangan!" seru si Pamungkas
dan tubuhnya sudah menyerbu menyerang dengan
cepat.
Kyai Paksi Brahma yang sudah menyangka
akan hal itu pun berkelit menerima serangan cepat
yang dilancarkan si Pamungkas. Dan di atap pen-
ginapan itu, dua tokoh sakti pun bertarung den-
gan hebatnya.
Cepat.
Dahsyat.
Dan mematikan!
Keduanya saling memperlihatkan kehebatan
dan kelincahan mereka. Keduanya pun saling be-
rambisi untuk menjatuhkan.
Si Pamungkas sendiri sudah mengeluarkan pu-
kulan Patuk Bangaunya yang dapat menghancur-
kan sebuah batu sebesar domba jantan.
Kelincahan si Pamungkas amat trampil dan he-
bat. Namun Kyai Paksi Brahma pun mengimban-
ginya dengan tak kalah cepatnya. Dia pun menge-
luarkan jurus Pukulan Penebas Nyawa.
"Hahaha.. rupanya kau punya kelebihan juga,
Paksi!" terbahak si Pamungkas padahal dia begitu
kaget melihat Kyai Paksi Brahma dapat mengim
banginya
"Tak lama lagi kau akan mampus di tanganku,
Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil terus
mencecar.
"Jangan sesumbar dulu! Hhh... aku jadi ingin
merasakan kehebatan pukulan saktimu itu, Pak-
si!" kata si Pamungkas, kemudian dia bersalto ke
belakang dan begitu hinggap dia merapal ajian Se-
ribu Bobot Besi.
Lalu tawanya pun meledak.
Kyai Paksi Brahma terkejut melihat sikap si
Pamungkas yang mendadak terdiam di tempatnya
sambil tertawa
"Hmm... punya rencana busuk apa lagi manusia
durjana ini?" desisnya dalam hati.
"Hei.. mengapa kau hanya terdiam saja, Paksi!
Ayo, seranglah aku bila kau benar-benar merasa
kuat dengan pukulan saktimu itu!" seru si Pa-
mungkas sambil terbahak.
"Hhh! Kau tak akan pernah luput dari tangan-
ku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil
menyerang dengan pukulan mautnya. Pukulan
Penebas Nyawa.
Si Pamungkas hanya terbahak saja. Dan dia te-
tap tak bergeming dari tempatnya.
Tubuh Kyai Paksi Brahma melesat dengan pu-
kulan lurus.
"Des!"
Pukulan saktinya itu pun tepat mengenai dada
si Pamungkas. Namun sungguh luar biasanya,
Pukulan Penebas Nyawa milik Kyai Paksi Brahma
tidak berakibat apa-apa bagi si Pamungkas. Padahal itu adalah pukulan sakti yang dimilikinya.
"Hahaha.. rupanya pukulan semacam itu yang
kau perlihatkan kepadaku, paksi!"
"Manusia keparat! Rupanya kau benar-benar
murid dari Dewa Nyawa Maut yang memiliki ajian
Seribu Bobot Besi!" geram Kyai Paksi Brahma.
"Hhh! Rupanya kau jeri dengan ajian yang ku-
miliki ini, bukan?!"
"Jangan gembira dulu! Kau rasakan ajianku
yang satu ini ajian Pemunah Rasa!"
"Hahaha.. keluarkan semua ilmu yang kau mili-
ki, Paksi Brahma!"
Menggeram marah dan panas hati Kyai Paksi
Brahma. Lalu sambil menjerit hebat kembali dia
menyerang si Pamungkas. Kali ini dengan ajian
Pemunah Rasa.
Namun ajian itu pun tak membawa banyak aki-
bat pada si Pamungkas. Tubuh yang telah dialiri
oleh ajian Seribu Bobot Besi itu tak bergeming se-
dikit pun.
Merahlah wajah Kyai Paksi Brahma
"Hahaha mengapa kau diam saja Paksi? Kau ta-
kut dengan ajian yang kumiliki ini?!"
"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pa-
mungkas!"
"Hahaha.. majulah biar kumusnahkan kau!" se-
ru si Pamungkas sambil merapal ajian Sambar
Nyawanya. Dan tiba-tiba saja tangannya perlahan-
lahan berubah kemerahan, lalu menjadi semerah
darah.
"Ajian Sambar Nyawa!"
"Agaknya kau cukup mengenal semua ilmu
yang dimiliki oleh guruku, si Dewa Nyawa Maut,
Paksi Brahma!"
"Tetapi jangan kau mengira aku takut dengan
semua yang dimiliki oleh gurumu itu, Pamungkas!"
"Hahaha.. aku ingin tahu sampai di mana kebe-
naran ucapanmu itu, Paksi Brahma!"
Lalu si Pamungkas pun menyerbu dengan ajian
Sambar Nyawanya yang hebat dan cepat Kyai Pak-
si Brahma sudah mengetahui akan kehebatan il-
mu itu.
Maka dia pun tak berani untuk berbentur tan-
gan. Atau pun berbenturan bagian tubuhnya yang
lain.
Dengan sebisanya dia menghindari serangan-
serangan yang dilancarkan oleh si Pamungkas.
Dan berkali-kali dia pun mencoba membalas.
Namun semua serangan balasannya hanya sia-
sia belaka karena tak satu pun yang bisa membuat
si Pamungkas jatuh. Jangankan untuk jatuh ber-
geming sajak tidak. Karena ajian Seribu Bobot Besi
yang dialiri ke suruh tubuhnya telah membuatnya
kebal dengan semua ajian yang dimiliki oleh Kyai
Paksi Brahma
Dan suara ribut yang terjadi karena pertarun-
gan keduanya membangunkan beberapa orang
termasuk pemilik rumah itu, Kerto Wongso.
"Hei, bukankah itu tamuku?!" desisnya.
"Benar! Dan yang bertarung dengannya bukan-
nya si Pamungkas? Orang yang berpakaian dan
bertopeng biru?!"
"Benar, itu si Pamungkas!"
"Bunuh dia!"
"Tangkap!"
"Ganyang!"
Seruan-seruan itu pun terdengar keras. Dan
beberapa orang yang hadir pun segera mengambil
senjata-senjata milik mereka dan langsung me-
lemparkannya kepada si Pamungkas.
Melihat hal itu, konsentrasi si Pamungkas ter-
hadap Kyai Paksi Brahma terpecah. Dia menjadi
geram.
Dengan jengkel dia menangkis beberapa senjata
yang datang ke arahnya dan senjata-senjata itu
melayang kembali kepada para pemiliknya.
Jeritan kesakitan pun terdengar.
Beberapa tubuh pun ambruk dan darah ber-
simbah. Hal itu membuat mereka menjadi geram.
Berlompatan mereka berusaha untuk naik ke atap,
namun semua perlawanan mereka pun sia-sia be-
laka.
Karena mereka pun harus mati dengan cara
yang mengenaskan.
Bahkan beberapa di antaranya pun tewas ter-
kena pukulan Sambar Nyawa yang dilemparkan si
Pamungkas dengan geram
Dan tubuh-tubuh itu pun hangus, lalu meledak.
Di antara orang-orang yang berdatangan itu
pun di antaranya berdiri Ki Lurah Sentot Prawira.
Yang menjadi geram dengan kemunculan si Pa-
mungkas.
"Hhh! Kau rupanya manusia laknat! Telah lama
kami menunggu kedatanganmu ke sini! Kau harus
membayar nyawa terhadap orang-orang yang kau
bunuh! Dan para perawan yang kau perkosa lalu
kau bunuh secara kejam!"
"Diam kau, Manusia tua! Lebih baik kau pulang
saja sebelum kucabut nyawamu!"
"Kami akan mengadu nyawa denganmu. Manu-
sia Keparat!"
Tetapi si Pamungkas cuma tertawa saja. Tiba-
tiba dia bersalto di belakang dan hinggap di tanah.
"Hahaha.. bila kalian penasaran ingin menang-
kap dan membunuhku, datanglah ke bukit Alas
Waru malam ini juga! Kyai Paksi Brahma... kau
pun harus ikut serta dan kucabut nyawamu nan-
ti!"
Lalu tubuh itu pun melesat cepat menerobos
kepekatan malam. Dan orang-orang yang marah
itu pun berlarian mengejar termasuk Kyai Paksi
Brahma, yang begitu dendam sekali!
***
SEMBILAN
Bukit Alas Waru tengah malam. Bulan di langit
renta, sepotong dan semakin hari semakin menua.
Bukit Alas Waru tetap menyeramkan.
Pohon-pohon yang tumbuh di sana seakan pa-
sukan setan yang tengah menunggu mangsa. Ter-
lalu mengerikan.
Namun sosok tubuh berpakaian biru dan berto-
peng biru itu terus berkelebat ke atas.
Tanpa memperdulikan semua keseraman yang
ada. Tubuhnya begitu lincah, ringan dan seolah-
olah kedua kakinya tidak menapak pada tanah.
Ketika tiba di atas, dia menjadi terkejut karena
melihat sosok tubuh berdiri tegar dengan wajah
yang welas asih dan senyum yang arif bijaksana.
Sosok itu mengenakan jubah berwarna putih yang
terkibar dihembuskan angin malam
Si Pamungkas menghentikan langkahnya.
Memperhatikan sosok tubuh yang berjubah putih
itu.
Tiba-tiba dia terbahak setelah mengenali.
"Hahaha... rupanya Pendekar Bayangan Sukma
yang telah hadir di tempatku ini?!"
Sosok yang ternyata Madewa Gumilang itu
mengembangkan senyum
"Bukankah kau yang mengundangku untuk
bertamu ke Bukit Alas Waru ini, Pamungkas?"
"Hahaha.. kunjunganmu telah membuat hatiku
senang... Madewa.. agaknya Gusti Allah menakdir-
kan kau untuk mati di Bukit Alas Waru ini..."
"Hahaha... sudah lama aku mendengar sepak
terjangmu yang telengas. Ah, agaknya kau sudah
amat dipengaruhi iblis, Pamungkas!"
"Persetan dengan ucapanmu, Madewa! Aku su-
dah lama ingin memusnahkanmu dari muka bu-
mi!"
"Sadarlah, Pamungkas..." kata Madewa yang be-
rada di sana sejak dua jam yang lalu. Setelah dibe-
ritahukan oleh para muridnya mengenai kematian
tiga orang tamunya dari desa Glagah Jajar, dia
pun langsung mendatangi Bukit Alas Waru seperti
yang diberitahukan oleh para muridnya. Dan Ma-
dewa melarang para muridnya untuk ikut serta.
Dan kini dia tengah berhadapan dengan si Pa
mungkas.
"Persetan dengan kata-katamu, Madewa!" geram
si Pamungkas sambil menyerang dengan ajian
Sambar Nyawa-nya
Madewa dapat menduga kalau ajian itu begitu
ganas karena hawa panas yang ditimbulkan setiap
kali tangan itu tergerak begitu menyengat. Dia pun
menghindarinya dengan jurus Ular Meloloskan Di-
ri.
Serangan-serangan yang dilancarkan oleh si
Pamungkas luput pada sasarannya. Hal ini mem-
buat si Pamungkas semakin geram.
"Jangan bisamu hanya menghindar saja Made-
wa! Balaslah bila kau mampu!"
"Pamungkas, sayang sekali ilmu yang kau miliki
ini kau gunakan untuk kejahatan!"
"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa! Ba-
laslah aku bila kau mampu!"
Perlahan-lahan Madewa pun menghentikan
menghindarnya. Dia pun berpikir untuk segera
membalas semua serangan si Pamungkas.
"Baiklah, Pamungkas.... bila itu maumu!" desis
Madewa sambil menyerang dengan Pukulan Tem-
bok Menghalau Badai. Namun Madewa menjadi
terkejut karena begitu tangannya menghantam ba-
gian tubuh si Pamungkas, dia merasakan tangan-
nya ngilu.
"Hahaha... jangan terkejut, Madewa! Inilah ajian
Seribu Bobot Besi yang kumiliki!"
Madewa pun mencoba kembali, namun lagi-lagi
hal yang sama diterimanya. Bahkan kini Si Pa-
mungkas pun kembali, melancarkan serangan
serangannya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara ramai bergemuruh.
Orang-orang yang mengejar si Pamungkas telah ti-
ba di Bukit Alas Waru. Di antara mereka termasuk
Kyai Paksi Brahma dan Ki Lurah Sentot Prawira.
Orang-orang itu pun segera mengurung si Pa-
mungkas. Namun mereka harus tewas tersambar
ajian Sambar Nyawa yang dimiliki manusia kejam
itu.
"Bangsat! Kau harus membayar semua nyawa
yang kau cabut, Pamungkas!" geram Ki Lurah Sen-
tot Prawira sambil menyerang dengan goloknya.
Serangan itu pun sia-sia belaka. Begitu pula
yang dialami oleh Kyai Paksi Brahma yang juga
menyerangkan pukulannya.
Namun satu keanehan terjadi, si Pamungkas ti-
dak menurunkan tangan telengas pada Ki Lurah
Sentot Prawira meskipun ada kesempatan. Ki Lu-
rah saja terkejut karena si Pamungkas seperti sen-
gaja menghentikan serangannya.
Tetapi dia tidak perduli, dia terus menyerang.
Namun lagi-lagi si Pamungkas menghentikan se-
rangannya pada Ki Lurah.
Lain halnya dengan Kyai Paksi Brahma. Si Pa-
mungkas malah berusaha untuk membunuhnya
dengan ajian Sambar Nyawa.
Madewa sendiri yang menyaksikan hal itu men-
jadi heran. Namun kegeramannya sudah sampai
puncaknya ketika menyaksikan kekejaman yang
dilakukan si Pamungkas.
"Pamungkas... kita bertarung sampai mati!"
dengusnya.
"Majulah Madewa!"
Madewa pun menyadari akan kehebatan ajian
Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang
dimiliki si Pamungkas.
Perlahan-lahan dia pun menghentikan gerakan-
nya. Dan kedua tangannya terangkum di dada. La-
lu mengembang ke kiri dan ke kanan. Saat terang-
kum tadi mengepul asap berwarna putih. Itulah
pukulan andalan yang dimiliki Madewa, warisan
dari gurunya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular
Sakti.
"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Kyai Paksi
Brahma. Dan seketika dia dapat menduga siapa
laki-laki berjubah putih itu. "Kaukah yang berna-
ma Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan
Sukma?"
"Ya, akulah orangnya, Kyai Paksi Brahma..."
"Salam kenal dariku, Pendekar Budiman..."
"Menyingkirlah Kyai dari sini. Dan Kau Ki Lu-
rah, kau pun harus menyingkir..."
"Madewa! Tunggu apa lagi kau?!" bentak si Pa-
mungkas yang tadi mendengar pukulan apa yang
tengah dilancarkan oleh Madewa Gumilang. "Aku
ingin mengetahui sampai di mana kehebatan Pu-
kulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Madewa!"
"Terpaksa ini kulakukan, Pamungkas!"
"Kau masih banyak omong saja! Kau membo-
sankan!" terdengar bentakan si Pamungkas lalu
menyerbu ke arah Madewa Gumilang dengan ajian
Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang
dipadukan.
Madewa pun segera menyongsong.
Yang menyaksikan bergidik ngeri.
Dan ketika kedua pukulan itu berbenturan, bu-
kit yang mereka pijak seolah bergoyang.
"DUAAARRR!"
Batu-batu pun berguguran. Debu berterbangan
tebal.
Dari debu itu terpental dua sosok tubuh ke be-
lakang. Madewa merasakan dadanya sesak. Dan
sungguh luar biasa yang dialami si Pamungkas.
Meskipun dia terhuyung, tetapi dia bisa menjaga
keseimbangannya dan berdiri tegak kembali.
"Hahaha.. rupanya hanya begitu saja kehebatan
Pukulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Made-
wa!" terbahak si Pamungkas.
Namun mendadak tubuhnya limbung. Dia me-
megangi dadanya yang terasa sakit. Dan semakin
lama tubuhnya semakin limbung. Yang memper-
hatikan menjadi keheranan. Dan tubuh itu pun
ambruk dengan jeritan yang keras.
Orang-orang segera mendekatinya.
Dan melihat orang kejam itu tengah sekarat. Ki
Lurah Sentot Prawira yang merasa heran karena si
Pamungkas seperti enggan untuk menurunkan
tangan telengas padanya, cepat menarik topeng bi-
ru yang menutupi wajah manusia kejam itu.
"Breeet!"
Dan pekikannya terdengar ketika melihat wajah
di balik topeng biru itu. Wajah yang amat buruk
mengerikan. Wajah Mandali Sewu!
"Mandali!" seru Ki Lurah. Begitu pula dengan
yang hadir di sana. Mereka pun terkejut melihat
Mandali Sewu di balik topeng biru itu. "Mandali..
mengapa., mengapa kau lakukan semua ini..."
Sepasang tangan Mandali Sewu Menggapai Ki
Lurah.
Wajahnya meringis menahan sakit.
"Maafkan aku, Ki..." sendatnya
"Semua ini kulakukan., karena aku mendendam
pada Juragan Wilada Tista dan keluarganya..."
sendatnya
"Kebetulan guruku menugaskanku untuk men-
cari Cincin Naga Sastra..." sendatnya.
"Lalu kubunuh manusia itu... kubunuh semua-
nya.. biar dendamku tuntas...." sendatnya.
"Maafkan aku, Ki..." sendatnya. Lalu kepala itu
pun terkulai selama-lamanya.
Orang-orang mendesah. Begitu pula dengan
Madewa Gumilang. Cincin Naga Sastra? Cincin
apa itu? desahnya dalam hati.
Sedangkan Kyai Paksi Brahma hanya terdiam.
Dia belum tahu di mana Cincin sakti itu berada
Sementara Ki Lurah Sentot Prawira menangis
tersedu-sedu karena tidak menyangka siapa di ba-
lik topeng biru itu.
Bagaimana dengan cincin sakti yang hebat itu?
Anda semua akan mengetahui jawabannya pada
cerita TIGA KESATRIA BERTOPENG
SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar