BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 21 Desember 2024

PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE MUNCULNYA SI PAMUNGKAS


Munculnya Si Pamungkas

 

MUNCULNYA SI PAMUNGKAS

Oleh Fahri Asiza

Cetakan pertama, 1991

Penerbit Gultom Agency, Jakarta

Gambar Oleh: Jesco Setting

Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang 

mengcopy atau memperbanyak sebagian atau se-

luruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Fahri A.

Serial Pendekar Bayangan Sukma 

dalam episode:

Munculnya Si Pamungkas


SATU


Sesungguhnya, cukup banyak yang tidak dis-

ukai Ratih Ningrum istri dari Madewa Gumilang 

atau Pendekar Bayangan Sukma. Namun sebagai 

seorang istri yang amat setia, Ratih Ningrum ja-

rang memperlihatkan rasa tidak sukanya.

Seperti pagi ini, ketika datang tiga orang tamu 

ke Perguruan Topeng Hitam. Perguruan Topeng Hi-

tam adalah sebuah perguruan silat yang namanya 

cukup terkenal kala itu. Sebelum dipimpin oleh 

Madewa Gumilang, Perguruan Topeng Hitam di-

pimpin oleh si Dewa Pedang Paksi Uludara. Dan 

sebelum Paksi Uludara tewas di tangan Nindia, dia 

menyerahkan tampuk kekuasaan atau kepemim-

pinannya pada Madewa Gumilang. Itu terjadi bebe-

rapa puluh tahun yang lalu. Kala Pranata Kumala, 

putra dari Madewa Gumilang dan Ratih Ningrum 

berusia lima tahun (baca: Dewi Cantik Penyebar 

Maut).

Sekarang Pranata Kumala sudah dewasa, bah-

kan sudah memiliki seorang istri yang jelita. Is-

trinya bernama Ambarwati, putra dari seorang ke-

pala perampok di desa Pacitan daerah sekitar Pan-

tai Selatan (baca: Pendekar Kedok Putih).

Saat ini Pranata Kumala dan istrinya tengah 

melakukan petualangan mereka, sama seperti hal-

nya yang pernah dilakukan Ratih Ningrum dan 

suaminya.

Pagi ini sebenarnya Ratih Ningrum mengingin-

kan keberduaannya bersama suaminya tidak di


ganggu. Namun mendadak saja seorang murid 

Perguruan Topeng Hitam masuk dan mengatakan 

ada tiga orang tamu yang ingin bertemu dengan 

Ketua.

Sebagai seorang pendekar yang arif dan bijak-

sana tentu saja Madewa bermaksud menemui me-

reka. Dan ini sebenarnya membuat Ratih Ningrum 

sedikit jengkel, karena merasa terganggu keber-

duaan mereka. Tetapi tentu saja dia diam saja. 

Bahkan hatinya merasa bersalah karena siapa ta-

hu kedatangan ketiga orang itu membutuhkan 

pertolongan mereka.

"Ya Tuhan... mengapa sikapku menjadi seperti 

ini?" desisnya dalam hati.

Dan ketiga tamu yang datang itu sudah berdiri 

di ruang pertemuan berhadapan dengan Madewa 

Gumilang yang mengenakan pakaian berjubah pu-

tih dan Ratih Ningrum yang berpakaian ringkas 

dengan sepasang pedang kembarnya yang tersam-

pir bersilangan di punggung.

Ketiga orang itu menjura di hadapan Madewa 

Gumilang dan istrinya. "Salam hormat dari kami 

bertiga, Ketua dan Nyonya Ketua," kata salah seo-

rang dari tamu itu. Dia seorang laki-laki yang kira-

kira berusia 60 tahun. Dia mengenakan pakaian 

berwarna putih. Rambut serta kumis dan jenggot-

nya sudah memutih. Namun sikapnya masih ga-

gah.

"Salam hormat kembali dari kami, Orang 

Tua...." kata Madewa sambil tersenyum arif. "Si-

lahkan duduk."

Ketiga tamu itu pun duduk.


Madewa menatap mereka satu per satu. Dari 

wajah ketiga tamu itu nampak sekali ada kecema-

san yang terpancar dari mata dan wajah mereka. 

Hmm... ada masalah apakah gerangan?

"Kalau boleh aku tahu sekarang, ada masalah 

apakah hingga kalian datang ke sini?" tanyanya te-

tap tersenyum arif.

Laki-laki tua tadi menjura dulu sebelum berka-

ta, "Maafkan kelancangan kami bertiga yang 

mengganggu ketenangan Ketua dan Nyonya Ketua. 

Namaku Karna Jarot. Dan kedua pemuda yang 

bersamaku itu adalah putra-putraku. Yang men-

genakan pakaian hitam dengan pedang di pung-

gungnya bernama Jaka Tama. Putraku yang per-

tama. Dan yang kedua bernama Seno Arga. Mak-

sud kedatangan kami ke sini, ingin meminta ban-

tuan dan pertolongan dari Ketua...."

"Hmm... pertolongan apa, Karna Jarot?"

"Ketua... kami adalah warga sebuah desa yang 

permai dan indah. Seluruh penduduk desa kami, 

desa Glagah Jajar, amat menjunjung tinggi per-

saudaraan. Dan di desa kami tinggal seorang kaya 

yang bernama Juragan Wilada Tista. Namun yang 

sungguh amat mengejutkan kami, Juragan yang 

baik hati itu suatu malam ditemukan tewas den-

gan mengerikan. Lehernya hampir putus dari ke-

palanya. Sudah tentu kematian Juragan Wilada 

Tista membuat hati kami semua penduduk yang 

begitu menyukainya menjadi sedih sekali. Dan 

yang membuat kami heran, para pengawalnya 

yang berjumlah cukup banyak itu tak seorang pun 

yang mendengar dan melihat bagaimana matinya


Juragan Wilada Tista. Namun kami tetap mendu-

ga, kalau Juragan Wilada Tista mati dibunuh 

orang. Hanya sampai sekarang belum ketahuan 

siapa orang yang mesti bertanggungjawab akan 

kematian Juragan Wilada Tista."

"Kapan matinya juragan itu?"

"Sebulan yang lalu."

Madewa mengangguk-angguk. Karna Jarot ber-

kata lagi, "Ketua... tentunya ketua berpikir, men-

gapa hanya dengan kematian Juragan Wilada Tista 

saya sampai mengganggu ketenangan ketua. Teta-

pi tidak sampai di sana saja ceritanya, Ketua. Se-

cara mengerikan dan berturut-turut satu per satu 

keluarga Juragan Wilada Tista tewas. Dan kembali 

tak seorang pengawal pun yang mengetahui siapa 

yang membunuh mereka. Itulah sebabnya kami 

meminta pertolongan kepada Ketua. Karena hanya 

Perguruan Topeng Hitamlah yang kami rasakan ja-

raknya cukup dekat dengan desa kami, meskipun 

kami harus berjalan kaki selama dua minggu...."

Madewa terdiam. Dia dapat merasakan kalau 

ada sesuatu dibalik kematian keluarga Juragan 

Wilada Tista dan dirinya sendiri. Agaknya si pem-

bunuh itu mempunyai dendam kesumat pada diri 

Juragan Wilada Tista dan keluarganya.

"Karna Jarot... apakah kau tahu kalau Juragan 

Wilada Tista mempunyai musuh?"

"Tidak, Ketua... Ah, biarkan putra saja Jaka 

Tama yang menjawabnya, karena dia pun menjadi 

pengawal Juragan Wilada Tista."

Pemuda yang berahang kukuh dan berwajah 

tampan itu menjura pada Madewa Gumilang.


"Maafkan saya, Yang Agung Madewa Gumilang. 

Setahu saya, majikan saya tidak mempunyai mu-

suh atau pun orang-orang yang mendendam pa-

danya. Dia begitu bersahabat pada siapa saja. Baik 

kawan maupun lawan. Sikapnya selalu mengena-

kan orang lain. Saya pun berpikir, mana mungkin 

ada orang yang tega mencelakakan orang sebaik 

majikan saya. Apalagi sampai membunuhnya den-

gan cara mengerikan seperti itu."

"Berarti dia memang manusia yang bersih."

"Begitulah adanya, Ketua."

"Hmm... sebaiknya kalian beristirahat sajalah 

dulu. Tentunya kalian letih berjalan beberapa hari 

lamanya," kata Madewa Gumilang kemudian.

"Tidak, Ketua!" kata Karna Jarot. "Kami harus 

segera kembali ke desa, karena kami kuatir terjadi 

apa-apa lagi dengan orang-orang desa kami. Ke-

munculan si Pamungkas itu terlalu mengerikan."

"Si Pamungkas?"

"Ya, dia begitu pandai menyelinap dan selalu 

membunuh lawannya dengan cara mengerikan. 

Meskipun orang itu sebenarnya bukanlah lawan-

nya."

"Ketua..." kata Seno Arga yang sejak tadi diam 

saja. "Saya pun berpikir, tentunya ilmu yang dimi-

liki si Pamungkas itu demikian tinggi, karena kami 

sebagai pengawal Juragan Wilada Tista tak men-

dengar suara apa-apa. Dan rasa pengabdian kami 

yang tinggi itulah kami bermaksud untuk mencari 

si Pamungkas. Tentunya kami tak berani mengha-

dapi begitu saja tanpa mendapat bantuan dari pi-

hak mana pun juga. Ketua... mungkin dari pihak


Ketualah kami meminta bantuan. Terserah ban-

tuan apa yang hendak ketua kirimkan pada ka-

mi.... Yang pasti, kami akan mengucapkan banyak 

terima kasih...."

Madewa tersenyum.

"Dengan senang hati, kami akan membantu ka-

lian mencari si Pamungkas. Tetapi sebaiknya ka-

lian beristirahatlah dulu. Menjelang senja bila ka-

lian tidak mau bermalam dan ingin kembali ke de-

sa, kalian bisa segera meninggalkan tempat ini..."

"Tidak, Ketua... saat ini juga kami akan kembali 

ke Glagah Jajar."

"Terserah bila itu mau kalian."

"Kalau begitu... kami permisi, Ketua..." kata 

Karna Jarot sambil berdiri yang diikuti oleh kedua 

putranya. Ketiganya menjura serentak.

Lalu ketiganya pun meninggalkan Perguruan 

Topeng Hitam dengan sedikit membawa kegembi-

raan karena Madewa Gumilang mau membantu 

mereka dalam mencari si Pamungkas.

Mereka begitu geram sekali melihat pemban-

taian yang dilakukan oleh si Pamungkas itu den-

gan begitu mengerikan. Terutama hati Seno Arga 

dan Jaka Tama. Kedua pemuda itu sudah hampir 

dua tahun bekerja sebagai pengawal pribadi Jura-

gan Wilada Tista. Dan mereka tidak mengetahui 

sedikit pun bagaimana cara orang itu masuk dan 

membunuh Juragan Wilada Tista dan keluar-

ganya, padahal penjagaan sudah sedemikian ke-

tatnya.

Dan kini mereka sedikit terasa gembira, karena 

bantuan yang diharapkan mungkin bisa dikabul


kan.

Sudah tentu akan dikabulkan! Madewa memang 

selalu menolong orang yang dalam kesusahan. Be-

gitu banyak nama yang disandangnya. Orang-

orang rimba persilatan kadang menjulukinya Ma-

nusia Dewa karena kesaktian dan kearifannya 

amat tinggi. Lalu Pendekar Budiman, karena dia 

selalu menolong dan membela kebenaran. Yang te-

rakhir Pendekar Bayangan Sukma, karena dia 

memiliki ilmu yang berkaitan dengan sukma.

Saat ini sepeninggal ketiga tamunya, Madewa 

tengah mengumpulkan para muridnya yang sudah 

selesai berlatih.

Dia menceritakan maksud dari kedatangan tiga 

tamu tadi. Madewa pun memilih sepuluh orang 

murid pilihannya untuk membantu ke desa Glagah 

Jajar. Dan para murid pilihannya pun menyatakan 

diri siap.

Bagi mereka pula, kebenaran harus ditegakkan. 

Dan selama ini mereka amat salut dan bangga pa-

da ketua mereka, Madewa Gumilang. Yang tidak

hanya mengajarkan ilmu-ilmu pedang namun juga 

selalu memberikan wejangan-wejangan yang amat 

berguna dan bermanfaat bagi mereka.

Belum lagi sikapnya yang begitu arif dan bijak-

sana. Dalam memutuskan segala sesuatunya pun 

Madewa begitu adil. Bahkan dia tidak membeda-

kan statusnya dengan status mereka yang ada di 

antara mereka antara seorang guru dan murid. Ti-

dak pernah, tidak pernah Madewa melakukan itu.

Bahkan dia seakan hanyalah seorang sahabat 

dan kadang bertindak sebagai orang tua.


Madewa menatap sepuluh murid pilihannya 

yang tengah berdiri di hadapannya. Kesepuluh 

muridnya mengenakan pakaian hitam-hitam den-

gan topeng yang menutup kepala berwarna hitam 

pula. Ciri khas dari Perguruan Topeng Hitam se-

mua muridnya memang mengenakan pakaian ber-

pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.

Dan senjata mereka adalah sepasang pedang 

dan senjata rahasia yang berbentuk topeng hitam. 

Murid-murid Perguruan Topeng Hitam laki-laki 

semua. Mungkin di perguruan itu yang perempuan 

hanyalah Ratih Ningrum.

"Kalian siap menjalankan tugas yang kuberi-

kan?" bertanya Madewa pada para muridnya yang 

dipilih.

Salah seorang menyahut, mewakili yang lain, 

"Kami siap melakukannya, Ketua."

"Bagus! Dalam hal ini, janganlah bertindak ke-

palang tanggung. Bila ada keangkara-murkaan 

yang terjadi di depan mata kalian, kalian harus 

membasminya sampai ke akar-akarnya. Namun bi-

la tak ada keangkaramurkaan, janganlah kalian 

sekali-sekali mencoba membuat keangkaramur-

kaan itu. Mengerti?"

"Kami mengerti, Ketua."

"Bagus! Aku minta... kalian selidiki dulu siapa 

yang membuat onar di desa Glagah Jajar. Dan cari 

tahu siapa si Pamungkas itu. Dan mau apa dia 

muncul dengan menebarkan teror yang amat men-

gerikan. Mengerti."

"Ya, Ketua."

"Besok pagi, kalian sudah harus meninggalkan


Perguruan Topeng Hitam menuju ke desa Glagah 

Jajar. Aku tidak ingin mendengar ada laporan 

bahwa kalian telah membuat onar disana. Bukan-

nya membantu para penduduk desa Glagah Jajar."

"Semua kata-kata Ketua, akan kami junjung se-

tinggi-tingginya."

"Bila kalian memang membuktikan ucapan ka-

lian itu, sebelumnya aku mengucapkan terimaka-

sih."

Lalu Madewa kembali masuk ke dalam. Istrinya 

yang sepertinya tengah menunggu berkata.

"Kanda... apakah akan terjadi lagi sesuatu ke-

pada kita?" Madewa menatap sepasang mata ben-

ing itu yang memancarkan sinar tidak enak.

"Entahlah, Dinda... hanya yang Maha Kuasa 

yang tahu semua ini. Tetapi... mengapa Dinda ber-

kata demikian?"

Ratih Ningrum mendesah.

"Kanda... sebagai seorang istri, tentu saja aku 

menginginkan hidup kita yang damai dan ten-

tram...."

Madewa merangkul bahu istrinya tersenyum. 

Dia dapat mengerti maksud istrinya.

"Dinda... selama kejahatan masih banyak di 

muka bumi ini, maka kita belum dapat hidup den-

gan damai dan tentram. Dinda... kita ditugaskan 

oleh Gusti Allah untuk membasmi semua kejaha-

tan yang terjadi. Untuk itulah kita hidup, Dinda... 

sebagai pembela kebenaran. Kau mengerti mak-

sudku, bukan?"

Ratih Ningrum tersenyum. Yah, dia tentu saja 

dapat mengerti. Dan diam-diam dia semakin bang


ga pada suaminya. Cintanya semakin tumbuh 

menjadi besar.

***

DUA



Tiga sosok itu melangkah pelan memasuki se-

buah hutan kecil. Suasana hutan begitu menye-

ramkan. Malam telah datang sejak dua jam yang 

lalu. Suara binatang malam ramai terdengar.

Salah seorang dari tiga sosok itu berhenti me-

langkah. Menatap kedua sosok lain yang juga ber-

henti.

"Ada apa, Ayah?" yang berpakaian hitam-hitam 

dengan pedang di punggung bertanya.

"Sebaiknya kita beristirahat di sini saja, Jaka. 

Besok pagi barulah kita melanjutkan perjala-

nan...." kata yang dipanggil ayah itu yang tak lain 

Karna Jarot. Dan kedua sosok tadi adalah Jaka 

Tama dan Seno Arga.

Keduanya kini tiba di sebuah hutan kecil. Kare-

na tubuh yang dirasakan penat oleh Karna Jarot 

maka dia menginginkan untuk beristirahat dan 

bermalam di sini.

Namun belum lagi terdengar jawaban Jaka Ta-

ma, terdengar suara tawa yang menggema, mem-

bedah hutan kecil itu.

Dan secara tidak sengaja, tiga sosok itu menjadi 

bersiaga. Penat mereka yang rasakan seolah hilang 

begitu saja.

"Siapa yang tertawa itu, Ayah?" tanya Seno Arga.

"Entahlah," sahut Karna Jarot sambil meman-

dang berkeliling.

Suara tawa itu terdengar kembali.

Karna Jarot menjadi jengkel, karena tawa itu 

seakan mengejek mereka yang kebingungan.

"Hei, orang yang tertawa! Keluarlah kau dari 

tempat persembunyianmu?!" bentaknya dan sua-

ranya menggema keras.

Tetapi hanya tawa lagi yang terdengar keras.

Membuat ketiganya semakin bersiaga. Naluri 

mengatakan, akan terjadi sesuatu yang tidak beres 

di sini.

Tiba-tiba terdengar suara seperti membentak 

dengan nada yang jengkel.

"Hhhh! Kalian adalah manusia-manusia yang 

ingin mampus! Berani-beraninya kalian mening-

galkan desa Glagah Jajar untuk meminta ban-

tuan!"

"Siapa kau? Kalau kau berani, cepat ke luar!" 

seru Karna Jarot sambil berkeliling lagi matanya.

"Hhh! Karna Jarot... kau akan mampus malam 

ini bersama dengan kedua anakmu itu!"

"Bangsat! Bila kau benar-benar jantan, jangan 

hanya bersembunyi saja!" bentak Karna Jarot dan 

tiba-tiba dia bersalto ke samping yang diikuti oleh 

kedua putranya karena tiba-tiba saja dirasakan 

ada serangkum angin deras mengarah pada mere-

ka.

"Bangsat!" bentak Karna Jarot setelah hinggap 

di bumi.

"Rupanya nyalimu begitu kecil, Bangsat!"


"Hahaha... mengapa kau terburu-buru ingin 

mengenalku, Karna Jarot!"

"Karena aku ingin segera mencabut nyawamu, 

Bangsat!"

"Kalau itu maumu, baiklah Karna Jarot! Aku 

akan keluar dari persembunyianku!"

Tiba-tiba satu angin keras terasa menerpa keti-

ganya yang membuat ketiganya kembali bergulin-

gan menghindari angin itu. Terdengar suara 'krak' 

yang cukup keras. Dan sebatang pohon jati kecil 

tumbang oleh angin itu.

Suaranya jatuh berdebam.

Ketiganya terkejut melihat hasil dari serangan 

angin itu.

Dan lebih terkejut lagi ketika mereka melihat 

sosok tubuh yang telah berdiri di hadapan mereka. 

Sosok itu mengenakan pakaian berwarna biru dan 

mengenakan kedok penutup kepala dan wajahnya 

yang berwarna biru pula.

Karna Jarot segera membentak, "Siapa kau 

adanya, hah?!"

Orang itu tertawa.

"Hahaha... rupanya kau memiliki nyali yang cu-

kup besar, Karna Jarot... hingga kau berani mem-

bentakku!"

"Dan kau pun memiliki nyali yang sungguh be-

sar pula, karena kau berani muncul di hadapan-

ku!"

"Karna Jarot... kau memang orang yang gagah. 

Sama seperti kedua putramu itu, Jaka Tama dan 

Seno Arga!"

Jaka Tama mendengus.


"Siapa kau, Bangsat?!"

"Hahaha... aku sendiri tidak tahu namaku. Te-

tapi yang perlu kalian ketahui, kalianlah yang te-

lah memberikan nama padaku!"

"Apa maksudmu?!"

"Hahaha... bukankah kalian sedang mencari 

orang yang membunuh Juragan Wilada Tista dan 

keluarganya?!"

"Ya, akan kami cincang manusia kejam itu!" se-

ru Jaka Tama tegang.

"Agaknya Yang Maha Kuasa memang memper-

temukan kita di sini! Akulah yang telah menghan-

curkan keluarga Juragan Wilada Tista! Dan kalian 

telah memberikan nama padaku, si Pamungkas!" 

seru orang itu dan kembali tertawa dengan keras 

yang membahana membedah seluruh hutan.

Mendengar kata-kata itu, wajah ketiganya men-

jadi tegang. Dari rasa tegang berubah perlahan-

lahan menjadi kemarahan yang amat sangat.

Karna Jarot mendengus.

"Hhh! Jadi kaulah orang yang telah membunuh 

Juragan Wilada Tista dan menghancurkan keluar-

ganya?!"

"Benar, benar... akulah orangnya..."

"Mengapa kau melakukan hal yang keji itu pada 

mereka, hah?!"

"Karena merekalah yang keji padaku! Hingga 

aku terpaksa membunuh mereka!"

"Apa maksud dari kata-katamu itu, hah?!"

"Hahaha... tak perlu kita berpanjang lebar ber-

cakap-cakap, Karna Jarot karena hanya menim-

bulkan kebosanan padaku! Sebaiknya kalian ber


siaplah untuk mampus, karena kalian telah berani 

mencari-cari aku!"

"Kami memang akan menangkap dan mengadi-

limu, Bangsat!" bentak Karna Jarot.

"Dan kau akan mampus di tangan kami!" seru 

Jaka Tama sambil menyerbu ke depan.

Tetapi si Pamungkas hanya tertawa saja. Dia 

memiringkan tubuhnya sedikit dan menggerakkan 

kakinya ke arah kaki Jaka Tama dengan gerakan 

sapuan. Jaka Tama terkejut karena tidak me-

nyangka orang itu dapat melakukannya dengan 

cepat. Tak ada jalan lain selain membanting tubuh 

ke kiri bergulingan. Tetapi orang itu terus menge-

jar dengan sapuan-sapuan kakinya.

Membuat Jaka Tama menjadi kewalahan dan 

tunggang langgang. Dan ketika dia bisa berdiri 

kembali, satu pukulan dari si Pamungkas mengge-

dor dadanya.

"Des!"

Tubuh Jaka Tama terhuyung ke belakang.

Dan begitu dia bisa menguasai keseimbangan-

nya, dia muntah darah.

Si Pamungkas terkekeh.

"Hehehe... rupanya hanya begitu saja kebiasaan 

manusia yang besar mulut!" katanya mengejek.

Sementara itu Karna Jarot yang sudah jengkel, 

menjadi murka melihat putranya berhasil dikalah-

kan oleh si Pamungkas dengan sekali gebrak.

Maka dia pun langsung menyerang yang disusul 

oleh Seno Arga. Menghadapi serangan keduanya, 

si Pamungkas hanya terkekeh saja sambil meng-

hindar.


"Lebih baik kalian membunuh diri saja daripada 

kucabut nyawa kalian dengan kekejaman!"

"Nyawamu yang akan kami cabut, Orang Ke-

jam!" bentak Karna Jarot sambil terus mencecar.

Namun Si Pamungkas benar-benar begitu hebat 

dan tangguh. Serangan-serangan yang dilancarkan 

oleh Karna Jarot dan Seno Arga hanya dihinda-

rinya dengan terkekeh.

"Kalian hanya membuang-buang tenaga saja 

dengan percuma!"

"Kau akan merasakan kehebatan kami, Pa-

mungkas!" bentak Karna Jarot yang semakin jeng-

kel karena serangan-serangannya tak satu pun 

yang mengenai sasaran.

"Hehehe... kehebatan macam begini yang kalian 

perlihatkan? Hehehe... kalian pun berambisi untuk 

menghabisiku? hehehe.... benar-benar pemimpi 

rupanya!"

Mendengar kata-kata yang penuh ejekan dan 

serangan-serangan yang tak pernah mengenai sa-

saran, membuat Karna Jarot dan Seno Arga men-

jadi semakin garang menyerang.

Keduanya semakin gila dan buas.

Namun sampai sejauh itu serangan-serangan 

keduanya belum membuat si Pamungkas terdesak. 

Bahkan secara tiba-tiba si Pamungkas melenting-

kan tubuhnya ke atas.

Dan berseru, "Kini kalian yang harus merasa-

kan serangan-seranganku!" Lalu tubuh yang ma-

sih melenting itu atas itu bersalto dua kali ke arah 

Karna Jarot dan Seno Arga.

Langsung menyerang dengan hebat.


Kedua bapak beranak itu menjadi terkejut me-

nyaksikan dan menerima serangan-serangan bala-

san dari Pamungkas. Dan dengan satu gerak tipu 

yang sungguh manis, tangan si Pamungkas berha-

sil memukul roboh Seno Arga yang langsung jatuh 

pingsan.

Melihat hal itu Karna Jarot menjadi murka. Dia 

menyerang kembali dengan hebat.

Namun dua jurus telah berlangsung, Karna Ja-

rot berhasil di desak oleh si Pamungkas.

"Karna Jarot! Aku tak meninggalkan lawan-

lawanku sebelum aku yakin dia sudah mampus!" 

bentak si Pamungkas sambil menyerang.

"Jangan banyak bacot! Buktikan bila kau benar-

benar mampu melakukannya!" seru Karna Jarot 

sambil menghindar dan membalas.

"Hehehe... baiklah... bila itu yang kau inginkan!" 

sahut si Pamungkas dan bersalto. Kedua tangan-

nya tiba-tiba berbentuk seperti paruh bangau. Dan 

dia menyerang dengan jurus Patuk Bangau.

Membuat Karna Jarot jadi kalang kabut karena 

kedua tangan yang berbentuk paruh bangau itu 

mencecarnya dengan hebat dan cepat.

"Hehehe... mengapa kau jadi pias begitu, hah?!"

"Diam kau, Bangsat!"

"Hehehe... memang seperti itu orang yang sudah 

ingin mampus! Suka kebanyakan omong dan sela-

lu besar mulut!"

"Kau yang akan mampus di tanganku!"

"Hehehe... dalam keadaan seperti ini kau masih 

bisa berbacot seperti itu!" seru si Pamungkas dan 

tiba-tiba tubuhnya menyuruk ke depan dengan


kedua tangan yang siap untuk menghantam dada 

Karna Jarot.

Karna Jarot menghindarinya dengan jalan ber-

guling. Dan yang tak pernah disangkanya begitu 

tubuhnya berhasil menghindari serangan itu, si 

Pamungkas melanjutkan serangannya ke pada Se-

no Arga yang sudah terkapar pingsan.

Tanpa ampun lagi kedua tangan yang berben-

tuk paruh bangau yang sudah dialiri tenaga dalam 

yang kuat, menghantam kepala Seno Arga yang 

tertelungkup.

Tidak terdengar jeritan.

Tidak terdengar pekikan.

Yang terdengar hanyalah suara krak yang cu-

kup keras, yang menandakan kalau tulang kepala 

Seno Arga pecah, dan mengalirlah darah dari ke-

pala itu.

Seno Arga mati dalam keadaan yang menyedih-

kan.

Sedetik kemudian terdengar jeritan pilu dari 

Karna Jarot, "Senooooo!"

Si Pamungkas cuma terkekeh saja.

Kekejamannya sudah terlihat.

Karna Jarot menjadi murka dan kemarahannya 

sudah tidak terhingga lagi. Sepasang matanya be-

rapi-api dan berkilat berbahaya ketika menatap Si 

Pamungkas.

"Kau harus membayar nyawa anakku dengan 

nyawamu, Manusia kejam!"

Wajah yang tertutup kedok biru itu terkekeh.

"Atau... kau yang akan segera menyusul putramu itu!"


Sementara itu Jaka Tama yang masih merasa-

kan sakit di dadanya, menahan kegeramannya 

yang luar biasa dan kepiluannya melihat adiknya 

telah tewas. Dia tadi bergidik ngeri ketika melihat 

si Pamungkas menurunkan tangan telengasnya.

Mendadak saja dia tidak merasakan lagi sakit-

nya. Rasa sakitnya telah berganti dengan rasa ma-

rah dan dendam yang menggelora.

Sambil menggeram keras dia menyerbu dengan 

pedang di tangan ke arah si Pamungkas yang ma-

sih tertawa.

Namun kehebatan dan kelincahan si Pamung-

kas benar-benar luar biasa.

Dia hanya menggeser sedikit tubuhnya hingga 

pedang itu melesat dari sasarannya. Namun Jaka 

Tama yang sudah marah luar biasa terus menya-

betkan pedangnya ke dada si Pamungkas.

Gerakan itu dilakukan demikian cepat, sehingga 

sepertinya si Pamungkas tidak bisa lagi untuk me-

loloskan diri. Namun suatu keajaiban terjadi.

Begitu pedang itu membentur dada si Pamung-

kas, bukan suara jeritan yang terdengar, malah 

suara "trang" yang cukup keras yang terdengar.

Jaka Tama segera menarik serangannya dan 

bersalto dengan kaget.

Dia menatap si Pamungkas tidak percaya. Bera-

du dengan apa pedangnya tadi hingga menimbul-

kan suara "trang"?

Melihat wajah yang pias karena terkejut itu, si 

Pamungkas terkekeh.

"Hehehe... jangan heran, inilah yang dinamakan 

ilmu kebal. Seribu Bobot Besi! Hehehe... senjata


macam apa pun tak akan pernah mampu melu-

kaiku karena tubuhku sudah sekeras besi!"

Jaka Tama bukanlah pemuda penakut. Dia ma-

lah menjadi penasaran. Dengan cepat dia menye-

rang lagi. Kali ini si Pamungkas tidak mengelak.

Malah sepertinya dengan sengaja menerima sa-

betan pedang itu.

Terdengar lagi suara, "Trang!"

"Trang!"

"Trang!"

Pedang yang disabetkan Jaka Tama sebanyak

tiga kali ke tubuh si Pamungkas memang seakan 

membentur pada besi yang keras.

Tubuh si Pamungkas sudah berubah menjadi 

sekeras besi. Bahkan boleh dikatakan tubuh itu 

telah menjadi besi.

Karena merasa serangannya sia-sia, Jaka Tama 

bersalto ke belakang berdiri bersisian dengan 

ayahnya yang juga terkejut melihat ilmu yang di-

perlihatkan oleh si Pamungkas.

Mereka sadar, kalau ilmu yang dimiliki si Pa-

mungkas begitu tinggi dan hebat. Tetapi mereka 

bukanlah orang-orang penakut.

Keinginan mereka mencari si Pamungkas untuk 

membalas kematian Juragan Wilada Tista dan ke-

luarganya sudah menunjukkan kalau mereka ada-

lah orang-orang yang pemberani!

Dan sekarang mereka sudah menemukan dan 

tengah berhadapan dengan orang yang mereka ca-

ri. Pantang bagi mereka untuk mundur meskipun 

setinggi apa pun ilmu si Pamungkas!

Mereka lebih baik mati dengan cara kesatria daripada mundur seperti kucing di kejar anjing!

"Rupanya kau memiliki ilmu setan, Iblis!" geram 

Karna Jarot.

"Dan kau jeri dengan ilmu setan yang kumiliki 

ini bukan, Karna Jarot?" terkekeh si Pamungkas.

"Anjing buduk! Biarpun kau memiliki sejuta il-

mu setan lainnya, kau tak akan pernah mundur 

menghadapimu!"

"Majulah kalau begitu!" seru si Pamungkas.

Dan kedua anak beranak itu pun menyerang 

kembali dengan kegeraman yang luar biasa. Mere-

ka memang menyadari tak mungkin dapat menga-

lahkan si Pamungkas. Tetapi mereka telah berte-

kad untuk mengadu jiwa dengan manusia kejam 

ini.

Namun serangan kedua orang itu hanya disam-

but dengan tawa saja. Si Pamungkas tidak berges-

er dari berdirinya. Dia membiarkan saja pukulan, 

tendangan, sepakan, atau pun jotosan kedua 

orang itu menghantam sekujur tubuhnya.

"Hehehe... keluarkanlah seluruh tenaga dalam 

kalian dan ilmu yang kalian miliki!" terkekeh si 

Pamungkas sambil memperhatikan keduanya yang 

begitu bernafsu untuk merobohkannya.

Tetapi sampai sejauh itu malah keduanya yang 

nampak kepayahan. Pedang di tangan Jaka Tama 

sudah gompal-gompal. Sedangkan rasa Karna Ja-

rot merasakan tangannya ngilu luar biasa.

"Rupanya kalian tidak memiliki apa-apa kecuali 

kenekatan yang tak berguna..."

"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Pamung-

kas!" geram Karna Jarot yang sudah mengeluarkan ajian Karang Hawu. Namun ajian itu pun sia-

sia belaka karena tak menghasilkan sesuatu yang 

menggembirakan.

Tiba-tiba kedua tangan si Pamungkas yang ter-

diam bergerak ketika keduanya kembali melancar-

kan serangan.

Kedua tangan itu menangkis serangan mereka 

dan terdengar suara "krak!" bertanda tangan ke-

duanya telah patah.

Sambil menahan rasa sakit dan ngilu keduanya 

mundur.

"Hahaha... mengapa harus mundur kalian? Ru-

panya kalian memang tak mempunyai apa-apa 

yang patut dibanggakan. Keberanian kalian hanya 

sia-sia belaka. Dan aku paling tidak suka mening-

galkan lawan-lawanku sebelum menjadi mayat!"

Ucapan itu bernada ancaman. Bernada kema-

tian.

Membuat Karna Jarot dan Jaka Tama menjadi 

lebih bersiaga. Dan keduanya pun segera me-

nyambut serangan yang dilancarkan oleh si Pa-

mungkas dengan tiba-tiba.

Karena tangan keduanya sudah patah, tak ba-

nyak yang bisa diperbuat oleh mereka selain ber-

salto, bergulingan untuk menghindar.

Sampai tiba-tiba terdengar jeritan Jaka Tama 

yang memilukan. Mendirikan bulu roma karena je-

ritan itu begitu keras.

Lehernya patah dihantam oleh pukulan tangan 

kanan si Pamungkas yang sekeras besi. Mampus-

lah Jaka Tama dengan leher patah.

"Jakaaaaa!" jerit Karna Jarot yang mendirikan


bulu roma. Nafasnya mendengus-dengus. Tadi me-

lihat Seno Arga tewas dia sudah tak bisa memben-

dung lagi kemarahannya, dan kali ini kemarahan 

itu semakin membludak.

Karna Jarot menjadi kalap.

Dia menerjang si Pamungkas yang hanya terke-

keh-kekeh menghindar. Dan memang tak banyak 

yang bisa dilakukan Karna Jarot, karena sebuah 

hantaman tangan kanan si Pamungkas yang men-

genai dadanya menghentikan perlawanannya.

Tubuh Karna Jarot ambruk dan mampus untuk 

selama-lamanya.

Si Pamungkas terbahak.

"Hahaha... itulah akibatnya bila berani mengha-

langi sepak terjang si Pamungkas!"

Lalu tubuh itu pun melesat dengan cepat seper-

ti angin.

Meninggalkan malam yang semakin larut.

Meninggalkan tiga sosok tubuh yang telah men-

jadi mayat!

***

TIGA



Sepuluh sosok tubuh yang berpakaian hitam-

hitam dengan bertopeng hitam pula dan sepasang 

pedang di punggung masing-masing, menghenti-

kan laju kudanya begitu melihat tiga sosok tubuh 

bergeletakan menjadi mayat.

Matahari saat ini tepat berada di atas kepala, 

namun sinarnya tidak terlalu menyengat hingga ke


tanah. Karena hutan kecil yang ditumbuhi banyak 

pohon itu menghalangi sinar panasnya.

Dua sosok tubuh melompat dari kuda mereka.

"Hei, bukankah ini adalah orang-orang yang da-

tang menemui Ketua!" serunya kaget setelah me-

meriksa mayat itu.

Sepuluh sosok tubuh itu adalah murid-murid 

dari Perguruan Topeng Hitam yang diutus untuk 

membantu desa Glagah Jajar mencari si Pamung-

kas.

"Benar! Ya, Tuhan... siapa yang telah melaku-

kan kekejaman seperti ini?!"

"Yang membunuh mereka ini tentunya seorang 

yang kejam, yang begitu tega menghancurkan tu-

buh mereka seperti ini!"

"Pratama, bagaimana tindakan kita selanjut-

nya?!"

Yang dipanggil Pratama menatap kawannya.

"Sengkala, kita sudah dibebani tugas oleh Ketua 

untuk mencari si Pamungkas, kita akan terus me-

lakukannya."

"Apakah tidak sebaiknya kita laporkan dulu ke-

pada Ketua, Pratama?"

Pratama terdiam. Lalu katanya, "Baiklah, dua 

orang di antara kita kembali ke Perguruan! Lapor-

kan semua ini pada Ketua!"

Dan tanpa diperintahkan lagi dua orang dari 

mereka segera membalikkan kuda-kuda mereka 

dan melarikannya ke Perguruan Topeng Hitam.

"Lalu kita sendiri bagaimana, Pratama?"

"Kita tetap ke Glagah Jajar! Biarkan mereka 

menyusul nanti!"



Lalu dengan sekali lompat Pratama sudah hing-

gap di kudanya. Begitu pula dengan Sengkala.

Belum lagi mereka menggebrak lari kuda mere-

ka, tiba-tiba satu sosok tubuh memegang cangkul 

muncul dari balik hutan. Wajah orang itu begitu 

buruk sekali. Bahkan boleh dibilang amat menge-

rikan. Sebelah matanya picek. Yang sebelah lagi 

melotot keluar, berair. Wajah orang itu benar-

benar rusak. Hidungnya melesak ke dalam. Ram-

butnya agak botak. Bibir bagian atasnya pecah, 

sedangkan bagian bawah agak turun. Belum lagi 

leher orang itu yang berkeriput seperti luka terba-

kar.

Orang itu menatap heran pada orang-orang 

yang menunggang kuda.

Begitu pula dengan para murid Perguruan To-

peng Hitam. Mereka tersentak kaget melihat beta-

pa buruk dan mengerikannya wajah itu. Bila ber-

temu dengan orang itu malam hari, tentu yang 

bertemu akan menyangkanya setan gentayangan.

Tetapi bagi Pratama kemunculan orang ini bisa 

dijadikan tempat untuk menjawab pertanyaannya.

"Ki Sanak yang baru muncul... siapakah geran-

gan Ki Sanak adanya?"

Orang yang berwajah sangat buruk itu keliha-

tan takut-takut. Tadi saja dia sudah kaget melihat 

orang-orang bertopeng hitam itu.

"Aku... aku... Mandali Sewu, Ki Sanak...." ka-

tanya tergagap.

"Jangan takut, Mandali. Namaku Pratama... dan 

mereka ini kawan-kawanku. Kami orang baik-baik. 

Kami berasal dari Perguruan Topeng Hitam yang


bertempat di sebelah timur Gunung Slamet."

"Oh, salam kenal dariku untuk kalian semua," 

kata Mandali Sewu yang merasa agak tenang.

"Salam kenal kembali dari kami untukmu, 

Mandali..." kata Pratama dengan suara bersaha-

bat. "Mandali... dapatkah kau menceritakan keja-

dian apa yang telah menimpa tiga mayat itu?"

"Oh, tidak... aku tidak tahu... Tadi pagi pun, 

saat aku hendak menebang kayu di hutan ini, su-

dah kutemui tiga sosok mayat yang terkapar den-

gan tubuh yang mengerikan. Aku tidak tahu siapa 

yang melakukannya. Dan sekarang, aku pun se-

benarnya bermaksud hendak menguburkan 

mayat-mayat mereka dengan cangkul yang kuam-

bil dari rumah...."

Pratama mendesah. Sayang sekali orang ini ti-

dak tahu.

"Kau tinggal di mana, Mandali?"

"Cukup jauh dari hutan ini."

"Kerjamu menebang kayu?"

"Ya."

"Jadi kau tidak mengetahui kejadian apa yang 

menimpa orang-orang ini?"

"Tidak."

"Ah, sayang sekali..."

"Memangnya ada hubungan apa kalian dengan 

orang-orang yang telah menjadi mayat ini?"

"Mereka adalah warga desa Glagah Jajar. Yang 

baru saja datang ke perguruan kami."

"Dengan maksud apa mereka datang?"

"Mereka hendak meminta bantuan kami untuk 

menyelidiki dan menangkap seseorang yang dengan tangan telengasnya telah membunuh Juragan 

Wilada Tista dan keluarganya."

"Oh, kejam sekali orang itu! Siapakah dia 

adanya?"

"Kami juga belum mengetahui siapa dia. Tetapi 

dia dinamakan si Pamungkas!"

"Si Pamungkas?"

"Ya. Kenalkah kau dengan orang itu?"

"Mengenalnya aku tidak. Tetapi tiga malam yang 

lalu, ada kejadian yang mengerikan menimpa desa 

Bojong Sawo. Di mana beberapa orang terpandang 

di desa itu tewas secara mengerikan dengan tubuh 

yang hancur dan luka yang amat parah! Orang-

orang di desa itu pun memanggil si pembunuh 

dengan sebutan si Pamungkas. Entah dengan 

maksud apa sebenarnya si Pamungkas itu menye-

barkan teror!"

"Oh, kau mengetahuinya?"

"Secara pasti tidak. Tetapi seorang sahabatku 

tinggal di sana."

"Lalu?"

"Dialah yang menceritakan padaku siapa si Pa-

mungkas itu. Saat setelah membunuh orang ter-

pandang di desa itu, si Pamungkas kepergok oleh 

beberapa petugas ronda. Namun ilmu yang dimiliki 

orang berpakaian biru-biru dengan topeng biru 

itu..."

"Orang berpakaian biru-biru dan bertopeng bi-

ru?" potong Pratama dan dia merasa beruntung 

karena dapat mengetahui sedikit tentang si Pa-

mungkas.

"Ya! Si Pamungkas itu mengenakan pakaian biru-biru dan bertopeng biru! Tetapi para peronda 

itu tak berhasil menangkapnya, bahkan beberapa 

orang tewas dan beberapa orang lagi luka parah 

karena ilmu yang dimiliki si Pamungkas begitu 

tinggi!"

"Lalu bagaimana keadaan desa Bojong Sawo se-

karang?"

"Sudah tentu penjagaan diperketat. Dan semua 

warga bersiaga dengan penuh! Karena mereka ku-

atir si Pamungkas akan muncul kembali dan me-

nyebarkan terornya!"

"Rupanya si Pamungkas itulah menjadi bibit 

penyakit. Apakah ada yang mengetahui siapakah 

dia sebenarnya?"

"Sampai sejauh ini belum ada yang mengetahui 

siapa orang di balik topeng biru itu."

"Juga sebab-sebab dia melakukan teror?"

"Ya. Tak ada seorang pun yang tahu. Tetapi 

mengingat adanya kejadian itu, ada yang menduga 

kalau si Pamungkas itu mempunyai dendam ke-

sumat pada orang-orang yang dibunuhnya! Namun 

tak seorang pun yang yakin akan dugaan itu!"

Pratama mendesah panjang. Kalau begitu si 

Pamungkas sudah menyebarkan terornya ke setiap 

desa. Dan ini tentunya amat meresahkan warga 

desa.

Bila demikian adanya, Pratama bermaksud un-

tuk menyelidiki si Pamungkas di desa Bojong Sawo 

sebelum ke desa Glagah Jajar. Barangkali saja di 

sana dia dapat sesuatu yang bisa membawanya ke 

pada si Pamungkas.

Lalu katanya pula pada Mandali Sewu, "Manda


li... sebelumnya aku mengucapkan terima kasih 

banyak atas percakapan ini. Dan terima kasih ba-

nyak pula kau mau bersusah payah untuk men-

guburkan ketiga mayat ini. Tetapi maafkan kami 

karena tidak dapat membantumu. Kami harus se-

gera berangkat untuk menyelidiki dan kalau bisa 

menangkap si Pamungkas."

"Kudoakan semoga kalian berhasil. Mengenai 

ketiga mayat ini, aku akan menguburkannya den-

gan senang hati."

"Terima kasih, Mandali. Kau baik sekali."

"Karena sebagai umat manusia, kita harus sal-

ing tolong menolong, bukan?"

"Kau betul, Mandali. Bila semua umat manusia 

punya pendirian sepertimu itu, maka tak akan 

pernah ada lagi pertumpahan darah yang bersim-

bah di muka bumi ini!"

"Berangkatlah kalian! Aku pun berdoa semoga 

kalian cepat menemukan si Pamungkas dan me-

nangkapnya!"

"Terima kasih, Mandali!" kata Pratama lalu dia 

mengajak teman-temannya untuk segera memacu 

kuda kembali.

Perasaan di hati masing-masing begitu geram 

dengan apa yang telah dilakukan si Pamungkas.

***

Senja hari delapan ekor kuda itu memasuki 

perbatasan desa Bojong Sawo. Para warga desa 

yang nampak tengah bersiap siaga menyambut 

kedatangan si Pamungkas, sudah tentu menyam-

but dengan tidak enak pada para penunggang ku


da itu.

Tiga orang laki-laki gagah yang menjaga di per-

batasan desa Bojong Sawo, menghentikan laju ku-

da-kuda mereka.

Sikap ketiga orang itu nampak tidak bersaha-

bat. Di pinggang masing-masing tersampir sebilah 

golok besar.

Pratama dan kawan-kawannya menjadi maklum 

mengapa mereka bersikap seperti itu, karena ten-

tunya kedatangan mereka amat menarik perhatian 

orang-orang itu. Karena teror yang dilakukan si 

Pamungkas begitu mencekam dan membekas.

Tetapi mereka pun mengambil sikap yang ber-

sahabat.

"Maafkan kami, Ki Sanak... kalau kedatangan 

kami mengejutkan kalian...." kata Pratama.

Salah seorang dari ketiga orang itu yang berwa-

jah seram membentak dengan suara kasar, "Hhh! 

Siapakah kalian? Dan mau apa kalian datang ke 

desa kami ini, hah?!"

"Hhh! Namaku Pratama, dan ini adalah kawan-

kawanku! Kami berasal dari Perguruan Topeng Hi-

tam!"

"Persetan kalian berasal dari mana! Yang kami 

tanyakan, mau apa kalian datang ke desa kami 

ini?!"

"Kami datang untuk mencari tahu tentang si 

Pamungkas, yang mana kami telah mendapat ka-

bar kalau manusia kejam itu tengah melancarkan 

terornya di desa ini!"

Ketiga orang itu memandang mereka dengan tidak percaya.


"Apakah kami bisa percaya?"

"Sudah tentu, karena kami dari golongan putih!"

Tiba-tiba yang seorang membentak, "Hhh! Ka-

lian jangan coba-coba mengelabui kami!"

"Apa maksud dari Ki Sanak?" tanya Pratama 

yang dapat menangkap suara tidak senang dari 

orang itu.

"Kami tahu siapa kalian?!"

"Jelaskan maksud Ki Sanak?"

"Kalian adalah anak buah dari si Pamungkas, 

yang dikirim olehnya untuk memata-matai kami 

dengan dalih dari golongan putih yang datang un-

tuk menyelidiki si Pamungkas!"

"Hei!" seru Pratama tercekat. "Dari mana da-

tangnya pikiran demikian hingga Ki Sanak berkata 

seperti itu?!"

"Melihat dari pakaian yang kalian kenakan?!"

"Ada apa dengan pakaian kami?"

"Si Pamungkas mengenakan pakaian biru-biru 

dan bertopeng biru pula. Sama seperti yang kalian 

kenakan! Hanya beda warnanya saja. Sudah tentu 

ini menandakan kalian anak buah si Pamungkas. 

Dan dia adalah ketua dari kalian, karena dia ber-

pakaian dan bertopeng biru!"

"Tenang, Ki Sanak... kami datang jelas-jelas un-

tuk menyelidiki si Pamungkas dan membantu desa 

ini dari teror yang dilancarkannya!"

"Jangan membual di hadapan kami!" bentak 

orang itu seraya meloloskan goloknya yang amat 

tajam.

Pratama dapat menduga kalau salah paham ini 

bisa menjadi besar. Namun dia masih mencoba


menerangkan siapa mereka dan maksud apa me-

reka datang.

Tetapi agaknya orang itu memang benar-benar 

pemarah dan keras kepala. Dia tidak perduli den-

gan kata-kata Pratama. Bahkan sambil menjerit 

keras dia sudah menyerbu dengan goloknya ke 

arah Pratama.

"Mampuslah kau, Manusia Laknat!"

Pratama pun tak mau kalau dirinya dijadikan 

sasaran empuk golok tajam itu. Dia mengempos 

tubuhnya bersalto dari kudanya.

"Tahan!" serunya begitu hinggap di tanah.

Orang itu berhenti menyerang. Tatapannya begi-

tu buas untuk membunuh. Nafasnya mendengus-

dengus.

"Hhh? Mau apa kau, Manusia Laknat?!"

"Tenang, Ki Sanak! Aku tahu kau begitu geram 

dan emosi dengan apa yang dilakukan oleh si Pa-

mungkas! Tetapi yang perlu kau ingat, kami bu-

kanlah anak buah si Pamungkas! Dan kedatangan 

kami bukan untuk membuat teror! Tetapi untuk 

menyelidiki dan menangkap si Pamungkas! Teror 

yang dilakukannya ini sama dengan yang terjadi di 

desa Glagah Jajar! Dan tiga orang warga desa Gla-

gah Jajar telah datang ke perguruan kami untuk 

meminta bantuan! Tetapi sayang, sepulang dari 

perguruan kami, dia dicegat dan dibunuh si Pa-

mungkas!"

"Hhh! Siapa lagi kalau bukan kalian yang telah 

membunuhnya, hah!?"

"Aku mempunyai dugaan seperti itu, karena si 

Pamungkas tentunya marah ada yang berani mengadukan dan mencoba menghalangi perbuatan-

nya!"

"Hhh! Mana ada maling yang berteriak maling!"

"Kau begitu pemarah dan emosi sekali, Ki Sa-

nak!"

"Karena teror yang kalian lakukan dan ketua 

kalian lakukan itu amat menyakitkan hati kami!"

Pratama mendesah. Dapat memaklumi menga-

pa orang ini bersikap seperti itu.

"Tenanglah, Ki Sanak... gunakanlah akal piki-

ranku secara sehat!"

"Aku sudah menggunakan akal dan pikiranku, 

Settttaaan!"

"Kau hanya dibawa oleh emosi dan hawa naf-

sumu saja untuk membunuh kami! Kau telah 

menduga salah terhadap kami! Karena kau begitu 

dendam dan sakit hati dengan apa yang telah dila-

kukan si Pamungkas!"

"Ya, katakan pada Ketua kalian, aku Saburo 

Manda tak akan mundur sejengkal pun untuk 

menghadapinya! Juga untuk menghadapi orang-

orang seperti kalian!" bentak laki-laki yang berna-

ma Saburo Manda itu. Lalu dia menyerbu lagi ke 

arah Pratama dengan goloknya! 

"Tahan serangan!"

"Sabar, Ki Sanak!" seru Pratama namun segera 

menghindari serangan golok itu.

Serangan yang dilakukan Saburo Manda begitu 

kejam dan telengas. Goloknya selalu mengarah ke 

bagian-bagian tubuh yang mematikan dari Prata-

ma. Ini menandakan bukan main geramnya dia.

Dan melihat dari gerakannya dan cara dia memegang golok, agaknya dia memang memiliki ilmu 

silat yang cukup lumayan.

Golok itu berkelebat dengan cepat.

Namun sampai sejauh itu, Pratama belum juga 

menurunkan tangan. Karena dia yakin kalau 

orang itu sedang dilanda oleh emosi dan amarah-

nya.

Tetapi lama kelamaan dia menjadi kewalahan 

juga karena hanya menghindar saja sedangkan go-

lok di tangan Saburo Manda sudah terus mence-

carnya dengan kalap.

"Saburo.. hentikan seranganmu ini!" serunya 

masih mencoba untuk tidak membalas.

"Anjing buduk! Kau harus mampus di tangan-

ku!" geram Saburo Manda tidak perduli. Dia malah 

semakin mempergencar serangan-serangannya.

Goloknya berkelebat kesana kemari dengan he-

bat.

Membuat Pratama merasa kewalahan juga ak-

hirnya.

Karena terlalu sulit untuk menenangkan Sabu-

ro Manda, diapun akhirnya membalas semua se-

rangan-serangan itu.

"Maafkan aku, Saudara Saburo..." desisnya 

sambil membalas dengan sebuah pedang yang te-

lah diloloskan dari sarungnya.

Yang sebuah lagi masih tertengger di tempat-

nya.

"Hhh! Jangan banyak lagak kau. Manusia bu-

suk! Sampai matipun aku tak akan pernah menye-

rah dari tanganmu!" geram Saburo Manda sengit 

dan menyerang.


Pratama pun menangkis serangan golok itu 

dengan pedangnya.

Suara nyaring yang ditimbulkan ketika dua sen-

jata itu beradu cukup keras terdengar.

Trang!

Trang!

Trang!

Dan tiga jurus kemudian, terlihat Saburo Man-

da ganti terdesak. Dia sebisanya menahan seran-

gan-serangan pedang yang dilancarkan oleh Pra-

tama.

Namun Pratama yang menduga kalau sikap dan 

perbuatan Saburo Manda hanya dilandasi oleh 

amarah dan sakit hatinya terhadap si Pamungkas 

tidak menurunkan tangan telengas. Dia hanya 

mencecar agar Saburo Manda melepaskan golok-

nya.

Dan dia berhasil melakukannya, dengan satu 

gerak tipu yang cepat.

Pedangnya digerakkan ke arah samping kiri tu-

buh Saburo Manda. Saburo pun menggeser tu-

buhnya agak ke kanan dan menangkis dengan go-

loknya.

Trang!

Dan saat itulah Pratama melesat maju, meng-

hantam pergelangan tangan kanan Saburo Manda 

yang sedang memegang golok dengan sisi bawah 

tangan kirinya.

Golok itu pun terlepas.

Pratama menghentikan serangannya. Dia mena-

tap Saburo Manda yang melotot gusar.

"Anjing buduk!" geramnya.


"Tenanglah, Saudara... kita ini hanya salah pa-

ham. Atas nama Gusti Allah, aku bersumpah, ka-

mi ini datang dengan maksud baik. Untuk mem-

bantu kalian dan menyelidiki siapa adanya si Pa-

mungkas!"

"Orang jahat pun bisa bersumpah atas nama 

Tuhan!" geram Saburo Manda.

"Kami adalah orang-orang golongan putih, yang 

tidak sembarangan bersumpah atas nama Tuhan!"

"Bah! Orang golongan hitam pun banyak yang 

mengaku-ngaku dari golongan putih! Lebih baik 

kalian tinggalkan desa ini sebelum kupanggil para 

penduduk!"

Pratama mendesah. Bingung dia menghadapi 

kata-kata orang ini.

Didengarnya salah seorang dari kawan Saburo 

berkata, "Ki Sanak... yah, kami pun bisa mengerti 

perasaan Ki Sanak. Dari melihat sepak terjang 

yang Ki Sanak lakukan terhadap Saburo Manda, 

kami dapat menduga kalau Ki Sanak dari golongan 

baik-baik..."

Mendengar kata-kata dari temannya itu, mem-

buat Saburo Manda memalingkan tubuhnya dan 

berkata gusar, "Apa-apaan kau ini, Junggo?! Men-

gapa kau berpihak pada orang-orang yang telah 

menebarkan teror di desa kita!"

Yang dipanggil Junggo cuma tersenyum.

"Saburo.. aku yakin sekali meskipun mereka 

mengenakan pakaian hitam dan bertopeng hitam 

pula sama yang seperti dikenakan si Pamungkas, 

hanya dia berwarna biru, aku tetap berkeyakinan 

kalau mereka bukanlah orang-orang kejam itu!"


"Mengapa kau berkata demikian?"

"Karena bagi dia, dengan sekali gebrak kau da-

pat dikalahkan olehnya, Saburo! Tetapi dia tidak 

menurunkan tangan telengas, tidak seperti yang 

dilakukan oleh si Pamungkas!"

"Junggo.. kau rupanya tengah dikecoh oleh ke-

baikan berpura-pura dari orang ini! Kau bodoh, 

Junggo! Dia hanya berpura-pura saja, untuk me-

nutupi siapa dirinya yang sebenarnya! Kau tahu, 

banyak orang-orang jahat yang bertindak seperti 

ini!"

"Tenanglah, Saburo... lebih baik kita ajak mere-

ka menemui Ki Lurah Wijayatikta! Nah, Ki Sanak... 

mari ikut kami menemui Ki Lurah!" kata Junggo 

pada Pratama.

Pratama menjura.

"Agaknya kami menemukan juga orang yang 

mau mengerti siapa kami sebenarnya," katanya 

sopan pada Junggo. Lalu pada Saburo Manda yang 

masih berwajah memerah dia berkata, "Maafkan 

atas kelancangan aku tadi, Saudara Saburo Man-

da..."

Saburo Manda hanya terdiam, tetapi mengikuti 

juga ketika Junggo mengajak kedelapan orang itu 

untuk menemui Ki Lurah Wijayatikta.

Yang seorang lagi tetap menjadi di perbatasan 

desa Bojong Sawo.

***


EMPAT


Kemunculan si Pamungkas yang mengenakan 

pakaian biru-biru dan bertopeng biru pula mem-

buat geger rimba persilatan. Sepak terjangnya be-

gitu telengas dan kejam.

Dia seolah tidak mengenal ampun pada kor-

bannya.

Namun sampai sejauh itu belum ada yang tahu 

ada maksud apa si Pamungkas melakukan semua 

kekejaman ini!

Beberapa pendekar dari golongan putih pun 

bermunculan untuk mencari si Pamungkas. Mere-

ka begitu marah mendengar sepak terjang yang di-

lakukannya.

Namun sampai sejauh ini belum terdengar di 

mana dan siapa sesungguhnya si Pamungkas itu.

Dan yang lebih mengenaskan lagi, ketika orang-

orang golongan putih mendengar kabar, Jarot dan 

istrinya, Yanti Kesuma, ditemukan tewas di se-

buah hutan kecil. Tubuh keduanya yang bergelar 

Sepasang Pengantin Abadi, ditemukan dalam kea-

daan hancur dan luka yang mengerikan.

Menurut saksi mata, keduanya dibunuh oleh 

orang yang berpakaian biru-biru dan mengenakan 

topeng berwarna biru pula. Hal ini membuat 

orang-orang dari golongan putih semakin marah.

"Kau yakin sekali kalau keduanya dibunuh oleh 

orang berpakaian topeng biru?" tanya Ki Moro Se-

ta, atau yang bergelar si Tua Welas Asih. Dia ber-

mukim di gunung Tangkuban Perahu.


Saat ini si Tua Welas Asih bersama dua orang 

sahabatnya, Renggo Petaka atau si Tangan Besi 

dan Nimas Prilastri, si Dewi Baju Putih tengah be-

rada di hutan kecil di mana ditemukannya mayat 

Sepasang Pengantin Abadi.

Dan mereka tengah menanyai saksi mata yang 

melihat kejadian itu, yang tak lain si Mandali Se-

wu. Laki-laki berwajah buruk yang amat mengeri-

kan.

Tadi pun Dewi Berbaju Putih sedikit bergidik 

melihat wajah yang amat mengerikan itu.

"Benar, Kakek Tua... saat saya hendak mene-

bang kayu, saya melihatnya sendiri. Kalau orang 

yang berpakaian biru-biru dan bertopeng biru 

yang membunuh kedua manusia ini."

"Kemana larinya orang itu?"

"Dia berlari ke arah barat. Dan dia bilang, 

orang-orang golongan putih di rimba persilatan ini 

akan dibasminya satu per satu."

"Apakah dia menyebutkan dirinya kalau dialah 

si Pamungkas?"

"Benar, Kakek Tua. Dia menyatakan dirinya 

dengan sebutan si Pamungkas! Orang itu begitu 

kejam sekali, Kakek Tua! Kedua temanmu yang 

tewas ini pun dihajarnya habis-habisan hingga tak 

bisa berkutik lagi!"

Geram dan memerah wajah si Tua Welas Asih. 

Dia dapat membayangkan bagaimana pedihnya

dan kalang kabutnya Sepasang Pengantin Abadi. 

Menghadapi si Pamungkas dan menerima kema-

tian yang amat mengenaskan.

"Mandali.. kau yakin orang itu pergi ke arah Barat?"

"Benar, Kakek Tua!"

"Terima kasih atas penjelasanmu," kata si Tua 

Welas Asih. Lalu berpaling kepada kedua teman-

nya. "Lebih baik kita susul dia sekarang sebelum 

dia menurunkan tangan telengasnya lagi!"

Lalu ketiga orang itu pun bergerak dengan 

menggunakan ilmu lari mereka. Mandali Sewu 

sampai terkagum-kagum melihat mereka yang ti-

ba-tiba saja seperti menghilang.

"Bukan main! Mereka hebat sekali!" desisnya, 

lalu menyandang kembali kapaknya untuk menca-

ri kayu.

Ketiga pendekar dari golongan putih itu seakan 

saling beradu lari dan memperlihatkan ilmu lari 

mereka masing-masing.

Ketiganya berkelebat demikian cepat.

Dan ketiganya menghentikan lari mereka ketika 

ada dua jalan di hadapan mereka. Ketiganya saling 

pandang.

"Hmm... arah mana kira-kira yang ditempuh 

oleh si Pamungkas," kata si Tua Welas Asih..

"Aku pun tidak tahu," kata Dewi Berbaju Putih.

"Bagaimana bila kita berpisah saja di sini," usul 

Renggo Petaka atau si Tangan Besi.

"Itu lebih baik," kata si Tua Welas Asih. "Kalian 

pergi ke arah kiri, aku pergi ke arah kanan."

"Kalau begitu, baiklah," kata si Tangan Besi.

Namun belum lagi ketiganya berpisah, tiga buah 

benda melayang dengan deras ke arah mereka. 

Dan serentak ketiganya bergulingan menghindari 

tiga benda yang mengarah kepada mereka.


"Bangsat! Siapa yang berani membokong secara 

pengecut seperti ini?!" maki si Tua Welas Asih ke-

tika dia sudah berdiri.

Begitu pula dengan kedua temannya.

Dan bukan main terkejutnya mereka ketika me-

lihat benda apa yang hendak mengancam mereka. 

Tiga buah daun yang kini menancap di tanah!

Walaupun terkejut tetapi ketiganya mendengus. 

Sebuah ilmu tenaga dalam yang amat tinggi ten-

gah dipamerkan oleh pembokong mereka!

"Hei, Pembokong, Pengecut! Cepat kau ke luar 

dari tempat persembunyianmu!" bentak si Tangan 

Besi.

Tiba-tiba terdengar tawa yang cukup keras.

"Hahaha... rupanya kalian adalah orang-orang 

hebat yang sedang mencari si Pamungkas!"

"Hahaha.. Kakek Tua... mau apa kau mencari 

ke kiri dan ke kananmu... aku ada di atas pohon 

tepat di depanmu!"

Serentak ketiganya menoleh ke atas, dan meli-

hat satu sosok duduk dengan santainya di sebuah 

ranting yang kecil. Kedua kaki orang itu terjuntai. 

Dan dia mengenakan pakaian biru dengan topeng 

biru pula!

"Si Pamungkas!" seru Si Tangan Besi.

"Rupanya dia yang membokong kita!" bentak 

Dewi Berbaju Putih. Lalu membentak pada sosok 

tubuh yang dengan santainya menjuntai-juntaikan 

kaki, "Pengecut! Turunlah kau dari tempatmu!"

Si Pamungkas terbahak.

"Hahaha.. bukankah aku orang yang sedang ka-

lian cari? Tentunya kalian gembira bukan dapat


bertemu denganku dan tak perlu lagi bersusah 

payah mencariku?!"

"Kami akan mencincang tubuhmu. Manusia bu-

suk!" bentak Dewi Berbaju Putih lagi.

"Nimas Prilastri.. wajahmu memang cantik seka-

li, tetapi dalam keadaan marah seperti itu kau bu-

ruknya bukan main!"

"Perduli setan dengan kata-katamu! Kau harus 

membayar nyawa pada orang yang telah kau bu-

nuh! Juga pada Sepasang Pengantin Abadi yang 

kau bunuh dengan mengerikan!"

"Haha.. itu salah mereka sendiri! Mengapa me-

reka berani menghalangi perbuatanku?"

"Siapa pun akan menghalangi perbuatanmu, 

Pamungkas!"

"Dan berarti mautlah sebagai ganjarannya!"

"Sombong!" bentak si Tangan Besi. "Turun kau 

dari tempatmu, itu, biar aku cincang tubuhmu!"

"Hahaha... jangan terlalu sesumbar, Tangan Be-

si! Agaknya kau belum mengenal siapa aku!" seru 

si Pamungkas dan tiba-tiba dia menggerakkan 

tangannya ke arah si Tangan Besi.

Sebuah benda kembali melayang ke arahnya, 

membuat si Tangan Besi harus bergulingan.

"Bangsat!" desisnya setelah berdiri.

"Hahaha.. maafkan, maafkan aku, Tangan Besi! 

Daun itu jatuh tertiup angin.... hahahaha!"

Diam-diam si Tua Welas Asih dapat mengukur 

ilmu dari si Pamungkas. Dan dia sungguh terkejut 

ketika menyadari betapa tingginya kesaktian si 

Pamungkas.

Hh! Siapa dia sebenarnya? Siapakah yang bera


da di balik topeng berwarna biru itu?

"Pamungkas... betapa banyaknya korban yang 

jatuh di tanganmu. Dan rata-rata mereka tewas 

secara mengerikan? Belum cukupkah kau menye-

barkan terormu ini?!"

"Hahaha... tidak akan pernah cukup, Kakek 

Tua... Tidak akan pernah cukup. Sampai kapan-

pun aku akan membuat teror untuk membunuh 

orang-orang seperti kau itu!"

"Dengan maksud apa kau sebenarnya melaku-

kan teror seperti ini?"

"Hahaha.. untuk apa kau ketahui? Toh percuma 

karena sebentar lagi kau akan mampus!"

"Pamungkas., mati ada di tangan Tuhan. Dan 

ketahuilah, kami tidak pernah menyukai sepak 

terjangmu yang kejam dan telengas ini!"

"Aku? Hahaha.. aku kejam dan telengas? orang-

orang itulah yang membuatku jadi begini?"

"Apa maksudmu?"

"Hahaha.. ganti aku yang bertanya, apa mak-

sudmu menghalangi perbuatanku, Tua Welas 

Asih!"

"Karena aku tak pernah menyukai kekejaman-

mu ini!"

"Lalu kau mencoba untuk menghentikannya!"

"Ya!"

"Hahaha... kau hanya bermimpi rupanya, Kakek 

Tua! Siapa pun orangnya yang hendak mengha-

langi sepak terjangku, akan kubuat mampus se-

perti orang-orang terdahulu! Juga kalian, yang 

akan kubuat berkalang tanah seperti Sepasang 

Pengantin Abadi!"


"Manusia sombong!" geram Dewi Berbaju Putih 

yang tak dapat menahan kemarahannya. "Orang 

seperti kau tak layak untuk hidup!"

Setelah berkata begitu, dia mengibaskan tangan 

kanannya ke arah si Pamungkas. Serangkum an-

gin deras mengarah pada si Pamungkas yang lang-

sung bersalto hinggap di bumi.

Sambaran angin itu mengenai batang pohon itu 

hingga hangus!

Si Pamungkas terbahak.

"Bukan main! Ilmu Sambaran anginmu itu begi-

tu hebat, Dewi Berbaju Putih!"

"Manusia busuk! Kau harus mampus di tan-

ganku!" bentak Dewi Berbaju Putih dan sudah 

bergerak menyerbu ke arah si Pamungkas yang 

berdiri di hadapannya.

"Hahaha... kau tak sabaran sekali! Bukankah 

lebih baik kau tenang sedikit! Dan kita bicarakan 

persoalan ini! Barangkali saja kau sebenarnya 

berminat padaku!" terbahak si Pamungkas sambil 

menghindari serangan Dewi Berbaju Putih.

Keduanya pun sudah terlibat pertempuran yang 

hebat.

Dan masing-masing memperlihatkan ketanggu-

han mereka.

Namun si Pamungkas menghadapinya dengan 

tertawa. Bahkan terlihat kalau dia seakan enggan 

untuk melayani Dewi Berbaju Putih.

Menyadari hal itu, Dewi Berbaju Putih menjadi 

jengkel karena merasa si Pamungkas memper-

mainkannya. Dia kembali meningkatkan serangannya.


Tetapi si Pamungkas yang ilmunya begitu tinggi, 

hanya membutuhkan tiga jurus untuk menyudahi 

perlawanan Dewi Berbaju Putih. Ketika si Pa-

mungkas ingin membuat mampus wanita itu, Si 

Tangan Besi sudah melayang memapaki.

"Des!"

Tangan telengas yang siap diturunkan oleh si 

Pamungkas dipapakinya. Tubuh si Pamungkas 

melayang bersalto, sementara si Tangan Besi me-

rasakan tangannya kesemutan.

Dia mendesis dalam hati, "Tinggi sekali tenaga 

dalam bangsat ini!"

Sedangkan Dewi Berbaju Putih yang baru saja 

selamat dari maut mendesah lega dalam hati. Dan 

dia pun segera membantu si Tangan Besi menge-

royok si Pamungkas.

Si Pamungkas terbahak.

"Hahaha.. rupanya kalian sudah kelihatan sifat 

kalian yang sesungguhnya! Tua Welas Asih, men-

gapa kau tidak turun tangan sekalian untuk men-

geroyokku, hah?!"

Mendengar kata-kata si Pamungkas yang mele-

deknya, Si Tua Welas Asih menjadi geram. Dia su-

dah menahan diri untuk tidak ikut dalam pertem-

puran itu. Namun kini keadaan sudah berubah.

Di samping geram, dia juga yakin ilmu yang di-

miliki si Pamungkas begitu tinggi.

Dalam sepuluh jurus saja kedua sahabatnya 

yang mengeroyok si Pamungkas belum bisa ber-

buat apa-apa. Maka si Tua Welas Asih pun segera 

menerjunkan diri.

"Kalau itu maumu, baiklah, Pamungkas! Jan



gan katakan aku pengecut karena hanya bisa 

mengeroyokmu!"

"Hahahaha.. aku tidak pernah mengatakan ka-

lian pengecut! Kalian mencariku saja itu sudah 

membuatku salut karena kalian begitu berani 

menjual lagak!"

Meskipun dikeroyok oleh tiga pendekar dari go-

longan putih itu, si Pamungkas belum kelihatan 

terdesak. Dia begitu hebat dan tangguh.

Kelincahan dan keperkasaannya membuka ma-

ta ketiganya semakin lebar. Dan ini membuat me-

reka menjadi amat penasaran.

Mereka pun jadi malu sendiri dengan gelar yang 

selama ini mereka sandang. Karena sampai bebe-

rapa jurus mereka belum juga berhasil mengalah-

kan si Pamungkas, jangankan untuk mengalah-

kan, mendesak pun belum kelihatan.

"Hahaha.. hanya kepandaian seperti ini saja 

yang sudah membuat kalian nekat dan berani 

mencariku?"

"Jangan banyak bacot kau, Pamungkas!" geram 

si Tangan Besi yang sudah mengeluarkan ilmu 

tangan besinya. Namun tak sekalipun tangannya 

mengenai sasarannya.

Begitu pula dengan Dewi Berbaju Putih yang 

sudah mengeluarkan ajian terakhirnya, Gengga-

man Tangan Dewa. Namun kelincahan si Pamung-

kas dalam menghindar belum juga membuatnya 

mampu untuk menjatuhkan tangan.

Si Tua Welas Asih pun merasa kalau dia dan 

kedua sahabatnya tak akan mungkin bisa menga-

lahkan si Pamungkas.


Tiba-tiba si Pamungkas bersalto ke belakang. 

Dan begitu hinggap di tanah dia sudah membuka 

jurus Pukulan Patuk Bangaunya.

"Hahaha... rupanya permainan ini akan terus 

berlanjut, Para Pendekar Sok Jago!" terbahak dia 

sambil menyerang.

Dan ketiganya pun segera memapaki dengan 

ajian masing-masing. Namun si Pamungkas lagi-

lagi memperlihatkan keperkasaannya. Kedua tan-

gannya yang berbentuk paruh bangau bergerak 

demikian cepat, bahkan terlihat dua jurus beri-

kutnya Dewi Berbaju Putih yang dijadikan sasaran 

pukulan-pukulannya.

"Hati-hati, Dewi!" seru si Tua Welas Asih. Sam-

bil mencoba membantu. Namun dia pun harus 

menghindar ketika tangan kanan si Pamungkas 

berkelebat ke belakang.

"Hahaha.. kalian tak akan bisa meloloskan diri 

dari tanganku. Orang-orang sok Jago!"

"Kau yang tak akan bisa meloloskan diri dari 

tangan kami!" seru si Tangan Besi yang juga mem-

bantu Dewi Berbaju Putih dengan serangan-

serangan tangannya yang menjadi sekeras besi.

Dewi Berbaju Putih sendiri menjadi kelabakan 

ketika si Pamungkas menjadikan dirinya sasaran-

sasaran serangannya yang hebat dan cepat itu. 

Dia sebisanya untuk bertahan.

Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua 

Welas Asih yang mencoba membantu Dewi Berbaju 

Putih. Tetapi si Pamungkas memang menunjukkan 

kelasnya tersendiri. Serangan-serangan yang di-

lancarkan oleh si Tangan Besi dan si Tua Welas


Asih dengan mudahnya dihindari. Bahkan kakinya 

pun dapat menghalangi niat mereka untuk mem-

bantu Dewi Berbaju Putih.

Hingga membuat keduanya mundur.

Kini tinggalkan Dewi Berbaju Putih sendiri yang 

harus mempertahankan diri menghadapi serangan 

yang dilancarkan si Pamungkas. Namun jelas ter-

lihat kalau kesaktian Dewi Berbaju Putih jauh be-

rada di bawah si Pamungkas.

Dua pukulan patuk bangau si Pamungkas tak 

bisa dihindarinya lagi.

"Des!"

"Des!"

Dua pukulan itu mengenai sasarannya. Mem-

buat Dewi Berbaju Putih terhuyung dan merasa-

kan sakit yang luar biasa pada bagian tubuhnya 

yang terkena pukulan si Pamungkas.

Si Pamungkas terbahak.

"Hahaha.. kini terimalah ajalmu, Dewi Berbaju 

Putih!" desisnya. "Sayang, orang secantik kau ha-

rus mampus di tanganku sekarang juga!"

Lalu terlihat kedua tangan si Pamungkas beru-

bah menjadi semerah darah. Dan tatapannya pun 

begitu mengerikan. Dia sudah melancarkan ajian 

Sambar Nyawa.

Tiba-tiba tubuhnya memekik keras dan melun-

cur ke arah Dewi Berbaju Putih yang masih sem-

poyongan!

***


LIMA


Dewi Berbaju Putih tidak bisa berbuat apa-apa 

lagi. Dia hanya bisa memejamkan mata.

Begitu pula dengan si Tangan Besi dan si Tua 

Welas Asih keduanya nampak terpaku pada tem-

pat mereka masing-masing. Dan tak bisa berbuat 

banyak untuk menghalangi niat si Pamungkas, 

untuk membunuh Dewi Berbaju Putih.

Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa 

yang ada di tangan si Pamungkas mengenai tepat 

pada sasarannya.

"Des!"

"Aaaakhhh!"

Terdengar jeritan yang memilukan keluar dari 

mulut Dewi Berbaju Putih. Dan tubuh itu pun me-

luncur dengan deras ke belakang. Menabrak se-

buah pohon besar hingga tubuh itu terpelanting 

lagi ke depan dan ambruk ke tanah.

Saat ambruk itu barulah terlihat kalau sekujur 

tubuh Dewi Berbaju Putih hangus dan perlahan-

lahan terlihat asap berbau sangit menguar dari tu-

buh itu. Lalu keanehan terjadi. Tubuh itu meledak!

Betapa kagetnya si Tua Welas Asih. Dan Si Tan-

gan Besi melihat hasil pukulan Sambar Nyawa 

yang dilancarkan si Pamungkas!

Satu ajian yang benar-benar begitu kejam dan 

menakutkan!

Si Pamungkas terbahak puas melihat hasil dari 

perbuatannya. Lalu dia berpaling pada si Tua We-

las Asih dan si Tangan Besi yang wajah mereka be


rubah menjadi merah.

Geram dan jeri bercampur menjadi satu.

"Hahaha... aku tahu. kalian tentunya jeri meli-

hat ajian Sambar Nyawaku, bukan?!" seru si Pa-

mungkas dengan nada mengejek. "Nah, lebih baik 

kalian membunuh diri saja sebelum akupun 

punya niat untuk mencabut nyawa kalian!"

Merah padam wajah keduanya. Dan mereka 

merasakan sakit hati dan panas di dada mereka.

Keduanya menggeram, menatap marah dengan 

dingin pada si Pamungkas.

"Kau harus membayar nyawa sahabatku, Pa-

mungkas!" geram si Tua Welas Asih..

"Kami tak akan mengampunimu, Manusia bu-

suk!" kata si Tangan Besi menyambung kata-kata 

si Tua Welas Asih.

Tetapi kata-kata keduanya hanya disambut ta-

wa oleh si Pamungkas.

"Kalian hanyalah orang-orang yang bisa menjual 

lagak dan besar mulut! Cepat kalian membunuh 

diri, sebelum aku menjadi marah!"

Si Tua Welas Asih mendengus.

"Hhh! Kami sudah bulatkan tekad untuk men-

cari dan menghentikan sepak terjangmu! Sekarang 

kau sudah kami temukan, tak mungkin kami akan 

kembali dengan tangan hampa, atau pun membu-

nuh diri secara pengecut! Kami bukanlah orang-

orang pengecut, Pamungkas!" seru si Tua Welas 

Asih berapi-api. Hatinya panas bukan main.

"Bagus! Aku mau melihat lagi orang-orang bu-

kan pengecut seperti kalian!" seru si Pamungkas 

dan tubuhnya sudah melayang dengan ajian Sambar Nyawa yang terapal di tangannya.

Kedua lawannya pun sudah tahu akan kekeja-

man ajian Sambar Nyawa yang dimiliki si Pa-

mungkas. Mereka pun tak berani untuk beradu 

tangan dengan resiko yang mematikan. Dan hal ini 

memudahkan si Pamungkas untuk mencecar dan 

menurunkan tangan telengas pada keduanya.

"Hahaha... mengapa kalian tidak membalas?!" 

ejeknya seakan-akan tidak tahu kalau kedua la-

wannya gentar.

Dan keduanya memang tak mau mengambil re-

siko yang mematikan itu. Sambil terus menghindar 

keduanya berpikir keras untuk mematahkan se-

rangan si Pamungkas.

Namun karena mereka tak mau mengambil re-

siko, sulit bagi keduanya untuk menghentikan se-

rangan si Pamungkas. Bahkan keduanya pun te-

rus menghindar.

Sampai suatu ketika, si Tangan Besi terhuyung 

karena kakinya berhasil dikait oleh kaki si Pa-

mungkas. Dan tubuh si Pamungkas pun sudah 

menerjang dengan cepat ke arahnya.

Ajian Sambar Nyawanya siap untuk mencabut 

nyawa si Tangan Besi yang sudah tidak mempu-

nyai kesempatan untuk menghindar lagi.

Namun mendadak saja tubuh si Pamungkas 

bersalto ke belakang ketika dirasakannya ada an-

gin berdesing ke arahnya.

"Setan alas!" makinya geram ketika dia hinggap 

di bumi.

Dan melihat benda apa yang menyambarnya. 

Dua buah senjata rahasia berbentuk topeng hitam


menancap di pohon sebagai ganti sasaran dari tu-

buhnya.

Dan bermunculanlah delapan orang mengena-

kan pakaian hitam-hitam dan bertopeng hitam.

Mereka tak lain adalah murid-murid Perguruan 

Topeng Hitam yang diutus oleh Madewa Gumilang 

untuk menyelidiki dan menangkap si Pamungkas.

Kedatangan mereka di desa Bojong Sawo dis-

ambut dengan baik oleh Ki Lurah Wijayatikta. 

Bahkan Saburo Manda pun meminta maaf pada 

Pratama karena salah paham yang dilakukannya.

Selama sepuluh hari mereka berada di desa Bo-

jong sawo, tak sekali pun ada tanda-tanda si Pa-

mungkas akan datang. Dan ini membuat mereka 

menjadi bosan.

Lalu Pratama pun meminta izin untuk pergi ke 

desa Glagah Jajar pada Ki Lurah Wijayatikta. Dan 

dalam perjalanan mereka menuju desa Glagah Ja-

jar, secara tidak sengaja mereka tiba di tempat itu. 

Di mana dua tokoh dari golongan putih sedang 

berhadapan dengan si Pamungkas.

Para murid Perguruan Topeng Hitam terkejut 

melihat salah seorang yang sedang bertanding itu 

mengenakan pakaian dan bertopeng biru. Mereka 

seperti disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang 

itulah yang sedang mereka cari.

Dan Pratama pun segera melemparkan senjata 

rahasia yang berbentuk topeng hitam ke arah si 

Pamungkas yang tengah siap untuk menghabisi si 

Tangan Besi.

Si Pamungkas melihat kedatangan orang-orang 

itu. Tetapi kemudian dia berkata merandek, "Hhh!


Rupanya kalian para murid Perguruan Topeng Hi-

tam!"

"Dan kalau tidak salah, kaulah orang yang se-

dang kami cari yang berjuluk si Pamungkas!" ben-

tak Pratama.

Si Pamungkas terbahak. Dari rasa geramnya 

seolah menjadi lucu mendengar kata-kata itu.

"Hahaha.. rupanya kalianlah yang diutus oleh 

Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Suk-

ma untuk menangkapku? Hmm.... mengapa tidak 

Pendekar Bayangan Sukma itu sendiri yang turun 

tangan? Apakah dia sudah menjadi pengecut dan 

penakut seperti anak perempuan?!"

Kata-kata si Pamungkas membuat wajah-wajah 

yang berada di balik topeng hitam itu memerah. 

Geram.

"Lancang bicara kau, Pamungkas! Ketua kami 

tak perlu turun tangan untuk mencari orang cela-

ka seperti kau!"

"Duh, duh.. apakah kalian mampu untuk me-

nangkapku, hah?! Atau., kalian memang sudah ti-

dak sayang dengan nyawa yang kalian miliki?!"

"Manusia busuk! Kami rela mati demi kebena-

ran!"

"Bukan main! Rupanya ajaran si Pendekar 

Bayangan Sukma sudah begitu meresap di hati ka-

lian! Namun sayang... sayang sekali, karena kalian 

akan mengantarkan dan membuang nyawa dengan 

percuma!"

"Monyet busuk!"

"Hahahaha..." Makian Pratama hanya disambut 

tawa oleh si Pamungkas. "Bagus, bagus sekali.,


aku memang sudah lama ingin mengetahui sampai 

di mana kehebatan akan ilmu Perguruan Topeng 

Hitam. Hanya sayang... ketua kalian Pendekar 

Bayangan Sukma tidak ada di sini. Tetapi ingat, 

akan kubasmi Perguruan Topeng Hitam hingga ke 

akar-akarnya!"

Murkalah Pratama.

Dia berseru seraya menggerakkan tangannya, 

"Kurung orang itu! Dia telah lancang bicara meng-

hina dan meremehkan Ketua kita!"

Serentak delapan murid Perguruan Topeng Hi-

tam mengurung si Pamungkas yang hanya terba-

hak saja.

Si Tua Welas Asih merasa bisa bernafas kembali 

melihat secara tidak disangka muncul delapan 

murid Perguruan Topeng Hitam. Si Tua Welas Asih 

sudah tahu siapa Pendekar Bayangan Sukma yang 

menjadi ketua Perguruan Topeng Hitam.

Begitu pula halnya si Tangan Besi yang buru-

buru bersemedi untuk menghilangkan rasa sakit 

di dadanya. Setelah dirasakan cukup pulih, dia 

pun berdiri tegap. Siap membantu delapan murid 

Perguruan Topeng Hitam yang mengurung si Pa-

mungkas.

Si Pamungkas terbahak kembali.

"Hahaha! Rupanya kalian benar-benar bosan 

hidup! Baiklah, aku pun sudah bosan! bermain-

main seperti ini!"

Pratama pun meloloskan sepasang pedangnya 

yang diikuti oleh beberapa orang temannya yang 

lain.

"Pamungkas! Lebih baik kau menyerah saja daripada kami bunuh!"

"Hahaha... mengapa masih banyak bicara?! Ce-

pat kalian serang aku!"

"Bangsat! Tangkap orang itu!" seru Pratama se-

raya memulai serangannya yang disusul oleh tujuh 

temannya.

Kembali di tempat itu terjadi pertempuran kem-

bali. Kali ini delapan orang berpakaian hitam-

hitam dan bertopeng hitam menggempur hebat sa-

tu sosok tubuh yang mengenakan pakaian dan to-

peng berwarna biru.

Pedang-pedang itu pun berkelebat menyambar 

ke arah si Pamungkas yang kembali memperli-

hatkan kelincahannya. Si Tua Welas Asih pun tu-

rut membantu. Begitu pula dengan si Tangan Besi.

Mereka mengurung langkah si Pamungkas.

"Bangsat! Rupanya kalian memang benar-benar 

bosan hidup!" bentak si Pamungkas dan diam-

diam dia mengeluarkan ajian Seribu Bobot Besi. 

Sambil terbahak dia berseru, "Hahaha.. ayo se-

rang, hantam, bunuh aku!"

Para penyerangnya pertama kebingungan kare-

na tiba-tiba saja si Pamungkas diam tegak berdiri. 

Tidak lagi menghindari serangan-serangan mereka. 

Namun kesempatan itu pun mereka pergunakan 

sebaik-baiknya.

Namun mereka terkejut melihat apa yang terja-

di. Begitu pukulan dan pedang mereka mengenai 

sasarannya, malah tangan mereka yang menjadi 

kesakitan.

Si Tua Welas Asih merasakan tangannya seolah 

patah.


Si Tangan Besi merasakan tangannya kesemu-

tan.

Dan pedang-pedang yang dihantamkan oleh pa-

ra murid Perguruan Topeng Hitam malah menim-

bulkan suara, "Trang!"

Orang-orang itu mundur karena terkejut.

"Hahaha! Mengapa harus mundur? Ayo, bukan-

kah kalian ingin menangkap dan membunuhku?! 

Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran ma-

sih memberi kalian bermain-main!"

Orang-orang itu pun kembali menyerang, na-

mun serangan itu terasa sia-sia belaka. Karena hal 

yang sama yang mereka lihat.

Tiba-tiba si Pamungkas membuka kedua tan-

gannya. "Hahaha... agaknya aku sudah bosan 

dengan permainan ini!" desisnya dan tiba-tiba tu-

buhnya melenting ke arah si Tua Welas Asih den-

gan kedua tangan yang kemerahan mengarah pada 

dadanya.

"Ajian Sambar Nyawa!" desis si Tua Welas Asih. 

Sambil bergulingan. Namun si Pamungkas terus 

mencecar. Sedangkan pedang-pedang yang men-

genai tubuhnya dibiarkan saja, karena hanya me-

nimbulkan suara "trang" kembali.

Nasib si Tua Welas Asih. Seperti telur di ujung 

tanduk. Dia sudah kebingungan dan kewalahan 

menerima serangan ajian Sambar Nyawa yang di-

lancarkan oleh si Pamungkas.

Dan memang tak seorang pun dari sekian ba-

nyak yang bisa menolongnya. Maka tanpa ampun 

lagi tubuh si Tua Welas Asih pun harus mampus 

terkena sambaran ajian Sambar Nyawa.


Tubuhnyapun hangus dan meledak seperti yang 

dialami Dewi Berbaju Putih.

Bau sangit pun kembali tercium. Si Tangan Besi 

menjerit keras melihat lagi-lagi sahabatnya mati 

dengan cara yang mengerikan.

Dengan menjerit geram dia menerjang ke arah si 

Pamungkas dengan kalap.

"Kau harus membayar nyawa temanku, Manu-

sia Kejam!"

Namun si Pamungkas yang sekujur tubuhnya 

sudah dialiri ajian Seribu Bobot Besi hanya terta-

wa saja menerima pukulan dari si Tangan Besi.

"Hhh! Kau membosankan aku, Tangan Besi!" 

geramnya dan orang yang berpakaian dan berto-

peng biru itu pun menggerakkan tangannya.

"Des!"

Tepat mengenai dada si Tangan Besi.

Tubuh si Tangan Besi pun terpental dengan de-

ras ke belakang.

Lalu ambruk sebelumnya menabrak sebuah po-

hon. Kembali pemandangan yang seperti dialami si 

Tua Welas Asih terlihat. Tubuh itu berubah han-

gus dan kemudian meledak menimbulkan kembali 

bau sangit yang amat sangat.

Para murid Perguruan Topeng Hitam pun kem-

bali terkejut melihat kehebatan ajian Sambar Nya-

wa yang dimiliki oleh si Pamungkas. Tetapi biar-

pun begitu, mereka tidak takut sekalipun harus 

mengorbankan nyawa.

Malah kembali dengan segera mereka mengu-

rung manusia berpakaian dan bertopeng biru itu.

Orang itu kembali terbahak. Tawanya membahana, mengerikan, mengundang kematian dan 

membuat bulu roma berdiri.

Tiba-tiba dia berkata dengan suara merandek, 

"Hhh! Berpikirlah kalian dua kali sebelum nekat 

menantangku?! Aku yakin, sebenarnya kalian ma-

sih sayang dengan nyawa kalian! Hhh! Lebih baik 

kalian beritahukan kepada ketua kalian, Pendekar 

Bayangan Sukma! Untuk keluar dari sarang jan-

gan bersembunyi seperti anak perempuan! Aku, si 

Pamungkas, akan membasminya hingga punah 

dari muka bumi ini!"

Kembali wajah-wajah di balik topeng hitam itu 

memerah.

Bukan main geram dan panas hati mereka 

mendengar kata-kata si Pamungkas.

Sengkala pun melesat maju, disusul oleh yang 

lain. Kembali pedang-pedang itu berkelebat ke 

arah si Pamungkas. Namun lagi-lagi si Pamungkas 

tidak bergeming dari berdirinya.

Dia malah terbahak. Seolah kegelian pedang-

pedang itu mengenai sekujur tubuhnya. Ajian Se-

ribu Bobot Besi yang telah mengalir dalam tubuh-

nya, tak satu pun yang membuat pedang-pedang 

lawannya berhasil melukainya!

"Cepat kalian tinggalkan tempat ini sebelum 

mampus kubunuh!" berkata si Pamungkas dengan 

gusar.

"Tak akan pernah kami mundur dari hadapan-

mu, Pamungkas!" sahut Sengkala gagah berani.

Si Pamungkas mendengus.

"Rupanya kalian benar-benar ingin mampus!" 

desisnya marah dan kedua tangannya pun berge


rak. Menghantam dua orang murid Perguruan To-

peng Hitam dengan ajian Sambar Nyawanya.

Tanpa ampun lagi tubuh kedua orang itu pun 

ambruk. Hangus.

Dan meledak.

Melihat hal itu, bukannya membuat nyali para 

murid Perguruan Topeng Hitam menjadi ciut. Te-

tapi malah semakin membara.

"Bangsat! Kau harus membayar nyawa dua 

saudara seperguruan kami!" dengus Sengkala dan 

menyerang kembali.

Namun kembali serangannya sia-sia, malah tu-

buhnya hampir saja terkena sambaran pukulan 

ajian Sambar Nyawa milik manusia berpakaian 

dan bertopeng biru itu.

"Hahaha.. kembalilah kalian ke Perguruan To-

peng Hitam! Katakan pada ketua kalian agar jan-

gan turut campur urusanku! Bila dia masih mau 

menentang, aku tak akan ragu-ragu lagi untuk 

membunuhnya!"

Menyadari kesaktian manusia ini amat tinggi, 

Sengkala memberi tanda kepada teman-temannya 

untuk menghentikan penyerangan.

Lalu dia mendengus pada si Pamungkas.

"Manusia laknat! Hari ini kau menang! Tetapi 

kami akan terus dendam padamu!"

"Lakukanlah bila itu yang kau inginkan! Haha-

ha... katakan pula pada Pendekar Bayangan Suk-

ma, bila dia ingin mencariku, aku berada di Bukit 

Alas Waru!" tertawa si Pamungkas. Dan mendadak 

saja tubuhnya berkelebat, meninggalkan tawa 

yang masih membahana.


Bukan main malu, kecewa, sedih dan marahnya 

para murid Perguruan Topeng Hitam itu. Lebih-

lebih menyaksikan dua kawan mereka harus 

mampus dengan cara yang mengerikan di tangan 

si Pamungkas.

Mereka pun menyadari kalau ilmu yang dimiliki 

manusia itu begitu tinggi. Namun kekejaman yang 

telah dilakukan manusia berpakaian dan berto-

peng biru itu telah membangkit dendam kesumat 

yang amat sangat.

Mereka tidak bisa menerima tangan telengas 

yang telah diturunkan manusia itu kepada dua 

saudara seperguruan mereka. Namun memang tak 

ada jalan lain selain menghentikan menyerang se-

belum maut pun yang akan mengundang mereka 

datang.

Keenam sisa murid Perguruan Topeng Hitam itu 

hanya bisa menahan tangis sambil menatap tubuh 

dua saudara seperguruan mereka yang hancur.

"Bagaimana, Pratama?" tanya salah seorang.

Pratama yang terisak mendesah.

"Memang tidak ada jalan lain. Kita memang ha-

rus menghentikan serangan. Apa yang dilakukan 

Sengkala benar."

"Tetapi dia telah membunuh Adi Jaya dan Pur-

nama!"

"Ya, tenanglah, lebih baik kita kembali ke per-

guruan. Dan bila kita diberi kesempatan lagi oleh 

Ketua untuk mencari si Pamungkas, kita bersum-

pah untuk membalas dendam ini padanya!"

Lalu wajah-wajah itu pun tertunduk.

Hari semakin senja. Dan matahari kini hanya


menampakkan sisa-sisa biasnya di ufuk barat sa-

na.

Semilir angin mengantarkan kepergian enam 

murid Perguruan Topeng Hitam sambil membawa 

mayat kedua saudara Seperguruan mereka.

***

ENAM



Bukit Alas Waru adalah sebuah bukit yang 

amat menyeramkan, letaknya di belakang gunung 

merapi yang masih aktif. Bila dilihat dari kejau-

han, Bukit Alas Waru seperti memperingatkan ka-

lau tempat itu begitu mengerikan. Bahkan pernah 

tersiar kabar, kalau Bukit Alas Waru tempat segala 

dedemit bermukim.

Dan diterangi sinar bulan yang cukup, bukit 

Alas Waru seperti raksasa yang tengah terdiam. 

Dan sewaktu-waktu bisa bangun dengan mena-

kutkan.

Namun sosok tubuh yang berkelebat cepat itu, 

seolah tidak menghiraukan keseraman dan keang-

keran Bukit Alas Waru. Sosok tubuh itu dengan 

ringannya berlari mendaki bukit itu.

Geraknya ringan dan cepat.

Tak lama kemudian dia sudah tiba di sebuah 

mulut goa yang terdapat di atas bukit Alas Waru.

Sinar bulan pun menerangi tubuhnya. Sosok itu 

berpakaian dan bertopeng biru. Dia adalah si Pa-

mungkas!


"Kaukah itu, Topeng Biru..." terdengar suara 

bernama serak dari dalam goa.

Si Pamungkas membungkukkan tubuhnya di 

mulut goa.

"Benar, Guru..."

"Masuklah, Topeng Biru..."

Si Pamungkas pun memasuki goa itu. Mulut 

goa yang kelihatan sempit merupakan sebuah lo-

rong yang cukup panjang. Di ujung sana nampak 

terlihat ada cahaya yang amat terang menerangi 

sebuah tempat yang mana lorong itu berubah dari 

sempit menjadi semakin lebar.

Si Pamungkas tiba di tempat itu.

"Bagaimana, Topeng Biru? Apakah kau berhasil 

mendapatkan Cincin Naga Sastra dari tangan Ju-

ragan Wilada Tista?"

Si Pamungkas berjalan ke arah suara itu. Dan 

dia menjura kembali, di hadapan sebuah batu be-

sar yang panjang.

"Belum, guru."

"Apa maksudmu?" Nada suara itu berubah gu-

sar.

Tiba-tiba di batu yang panjang itu bergolek so-

sok tubuh tua yang lemah. Wajah orang itu amat 

berkeriput. Dia seorang kakek yang berusia 70 ta-

hun dengan janggut, kumis dan rambut putih. Tu-

buh kakek itu nampak begitu lemah. Dan dia se-

pertinya sedang sakit.

"Juragan Wilada Tista mengaku tidak menyim-

pan cincin itu, Guru."

"Bagaimana tidak? Lima belas tahun yang lalu, 

aku melihatnya sendiri Cincin Naga Sastra diberi


kan oleh Kyai Tapa Suci kepadanya, di saat kau 

belum kuangkat sebagai muridku."

"Tetapi dia mengaku tidak memilikinya, Guru."

"Bangsat!" kakek yang sakit itu menggeram. 

"Topeng Biru sakitku akibat Pukulan Sakti yang 

dilancarkan oleh Kyai Tapa Suci lima belas tahun 

yang lalu saat kami bertempur di puncak Semeru, 

hanya bisa disembuhkan oleh air yang telah diren-

dam oleh Cincin Naga Sastra.

Pertarungan yang terjadi antara aku dengan 

Kyai Tapa Suci berlangsung selama satu bulan pe-

nuh. Dan akhirnya kami sama-sama kuat dan 

menderita luka dalam. Luka yang kuderita begitu 

pahit sekali. Tetapi Kyai Tanpa Suci pun terkena 

ajian Sambar Nyawa milikku.

Saat itu Wilada Tista adalah murid tunggalnya. 

Dan sebelum Kyai Tapa Suci tewas dia memberi-

kan Cincin Naga Sastra pada Wilada Tista. Cincin 

Naga Sastra itulah yang bisa menyembuhkan ini.

Untunglah saat itu aku dapat melarikan diri da-

ri kejaran Wilada Tista, bila tidak aku tentu sudah 

mati!

Hingga akhirnya aku bertemu denganmu dan 

kau kuangkat murid. Dengan maksud agar kau 

dapat mencari Cincin Naga Sastra untuk mengoba-

ti luka dalam dan penyakit yang kuderita selama 

bertahun-tahun ini.

Bahkan bila kau tidak kuberitahukan bagaima-

na cara menyerang Wilada Tista, belum tentu kau 

dapat membunuhnya!"

"Dan sekarang kau kembali tanpa membawa 

Cincin Naga Sastra! Keterlaluan!" si Kakek tua


yang bergelar Dewa Nyawa Maut menggeram ma-

rah pada si Pamungkas atau yang dipanggilnya 

Topeng Biru.

Si Pamungkas menjura.

"Aku sudah mencarinya, guru. Bahkan keluar-

ganya pun kubantai karena tak seorang pun yang 

memberitahukan padaku dimana Cincin Naga Sa-

stra itu berada. Bahkan tidak hanya sampai di sa-

na, sahabat kental Wilada Tista yang berada di de-

sa Bojong Sawo pun kubantai!"

"Bodoh! Murid macam apa kau ini, Topeng Bi-

ru? Hanya mencari Cincin Naga Sastra itu saja 

kau tidak dapat?!"

Mendadak di balik topeng biru itu, seraut wajah 

menjadi sengit. Dan rasa hormatnya perlahan-

lahan menghilang karena kesal dimaki bodoh.

Si Pamungkas memang dapat mengetahui akan 

kesaktian gurunya, namun saat ini gurunya se-

dang sakit. Tadi pun gurunya tidak terlihat oleh 

pandangan mata padahal dia tengah terbaring di 

batu panjang itu. Gurunya sudah mengeluarkan 

ajian Pembuta Mata. Satu-satunya ajian yang ti-

dak diturunkan padanya. Telah lama si Pamung-

kas sebenarnya ingin memiliki ajian yang aneh dan 

hebat itu. Namun berulang kali gurunya menolak.

Dan kini dia telah berubah menjadi benci kare-

na dimaki bodoh.

"Maafkan aku, Guru...."

"Kau benar-benar bodoh, Topeng Biru! Kau tak 

ubahnya seperti seekor keledai yang bodoh! Cepat 

kau cari sampai dapat Cincin Naga Sastra itu! Aku 

sudah bosan harus terbaring disini terus menerus!"

Si Pamungkas kembali menjura.

"Baik, Guru... semua titah Guru akan aku lak-

sanakan...." kata si Pamungkas lalu berbalik.

Namun tiba-tiba saja dia berbalik kembali dan 

menghantam tubuh gurunya yang terbaring den-

gan ajian Sambar Nyawa.

Dewa Nyawa Maut tak menyangka akan hal itu. 

Maka tanpa ampun lagi ajian Sambar Nyawa yang 

telah diturunkan kepada Si Pamungkas, menghan-

tam dirinya!

"BUK!"

Sungguh kuat tubuh Dewa Nyawa Maut. Meski-

pun dia tengah sakit, namun ajian Sambar Nyawa 

tidak langsung membuat tubuhnya hangus.

Sepasang mata tuanya berkilat-kilat marah me-

natap si Pamungkas yang tersenyum mirip iblis.

"Kau... kau... murid durhaka...."

Senyum itu semakin lebar, mengerikan.

"Mampuslah kau orang tua cerewet! Aku sudah 

bosan berada di bawah kekuasaanmu! Hhh! Kau 

sudah tidak berguna lagi sekarang!"

"Murid laknat... kukutuk kau... Ma-matiku ti-

tidak tenang... sebelum kau... kau mampus...."

"Hahaha... lebih baik kau memang mampus sa-

ja, Tua Bangka! Dan kau akan saksikan, kalau se-

luruh rimba persilatan akan membuka matanya 

padaku! Dan akulah yang akan menguasai seluruh 

rimba persilatan ini... ha ha ha...."

"Murid celaka..."

Tiba-tiba tawa itu terhenti. Sepasang mata di 

balik topeng biru itu melotot.


"Apa kau bilang?!"

"Kau... kau murid celaka... hidupmu tidak akan 

tenang... mati pun kau akan penasaran...."

"Bangsat tua! Kau masih bisa membacot ru-

panya!" geram si Pamungkas dan menghantam 

kembali tubuh yang sudah sekarat dengan ajian 

Sambar Nyawa.

Dan kali ini orang tua itu pun melayang. Tu-

buhnya hangus seketika dan meledak!

Bau sangit kembali menguar, menusuk hidung.

Si Pamungkas terbahak, puas dia melihat hasil 

kerjanya sendiri.

"Lebih baik kau mampus saja, Orang sekarat! 

Daripada hidupmu menyusahkan aku! Aku tidak 

akan perduli lagi dengan Cincin Naga Sastra bera-

da di mana! Persetan dengan semua itu! Aku tidak 

memerlukannya! Hahaha... yang kuperlukan, aku 

akan menjadi jago nomor satu di dunia persila-

tan.... hahaha.. tak seorang pun yang dapat men-

galahkanku!"

Tawa manusia berpakaian dan bertopeng biru 

itu membahana, menggema di dalam goa.

Keras.

Amat keras.

Saking keras.

Saking kerasnya tawa itu, dinding-dinding goa 

pun berguguran. Obor yang terdapat di beberapa 

tempat dalam goa itu padam seketika.

Lalu sosok si Pamungkas pun berkelebat keluar 

dari dalam goa sebelum goa itu ambruk dan me-

nimbulkan suara bergemuruh. Dan merupakan 

kuburan abadi bagi si Dewa Nyawa Maut!


Si Pamungkas begitu puas menyaksikan goa 

yang telah berubah menjadi tumpukan batu.

Lalu terdengar tawanya yang keras.

Menggema di seluruh Bukit Alas Waru.

"Hahaha.. sebentar lagi aku akan menguasai 

rimba persilatan ini! Dan akan kubunuh siapa pun 

orangnya yang berani menentang sepak terjang-

ku!" serunya keras. Lalu kepalanya berpaling pada 

goa yang kini telah menjadi tumpukan batu itu. 

"Hhh! Jadilah itu kuburanmu yang abadi, Orang 

Tua Cerewet!"

Lalu tubuh itu pun melesat berlari menuruni 

bukit. Sama cepatnya ketika sosok tubuh itu me-

naiki Bukit Alas Waru!

Dan teror yang dilancarkan oleh manusia berto-

peng biru itu semakin menjadi-jadi. Sepak terjang-

nya begitu mengenaskan. Dan tidak tanggung-

tanggung menurunkan tangan.

Bahkan kekejamannya tidak hanya sampai di 

sana saja.

Dia juga menculik beberapa anak perawan. Lalu 

diperkosanya dengan buas. Si Pamungkas rupanya 

memang ditakdirkan untuk menjadi manusia ke-

jam dan buas.

Anak perawan yang telah diperkosanya itu dis-

ayat-sayat wajahnya dengan kejam hingga terluka 

mengerikan. Bahkan ada yang sebelah matanya 

dicongkel hidup-hidup.

Entah dendam apa yang menyebabkan manusia 

kejam itu berbuat seperti itu. Namun perbuatan-

nya memang sudah keterlaluan.

Para jago-jago dari golongan putih yang tidak


menyukai sepak terjang si Pamungkas pun ber-

munculan. Namun usaha mereka untuk menghen-

tikan sepak terjang manusia bertopeng biru itu 

hanyalah sia-sia belaka.

Karena mereka harus mampus dengan tubuh 

yang terluka mengerikan akibat ajian Sambar 

Nyawa.

Ilmu yang dimiliki oleh si Pamungkas, warisan 

dari Dewa Nyawa Maut memang begitu hebat. 

Membuatnya menjadi pongah. Bahkan sekarang 

setiap kali dia habis membunuh korbannya, dia 

selalu melemparkan secarik kain berwarna biru, 

yang menandakan itu hasil perbuatannya

Ini membuat orang-orang dari golongan putih 

begitu marah.

Berbondong-bondong mereka mencari si Pa-

mungkas. Namun hasilnya tetap sama.

Mereka hanya mengantarkan nyawa dengan 

percuma!

***

TUJUH



Pagi itu udara cerah. Angin semilir Awan-awan 

putih di langit berarak lembut. Langit pun cerah 

kebiruan. Matahari baru saja sepenggalah.

Satu sosok tubuh yang nampak tertatih-tatih 

berjalan memasuki desa Glagah Jajar. Wajah 

orang itu betapa buruknya, malah terkesan men-

gerikan. Dia adalah Mandali Sewu.

Sebenarnya Mandali Sewu adalah penduduk asli desa Glagah Jajar. Dia ditinggal mati oleh ayah 

dan ibunya ketika dia berusia lima tahun. Pada 

masa itu. Wilada Tista pun mempunyai putra yang 

berusia lima tahun di samping putri sulungnya 

yang berusia sembilan tahun.

Oleh Wilada Tista Mandali Sewu diangkat seba-

gai anak. Tetapi sudah lazimnya seorang anak 

angkat, anak-anak kandung Wilada Tista tidak 

pernah menyukainya.

Mereka selalu membuat Mandali Sewu menan-

gis. Namun dasar anak itu kuat mentalnya, selalu 

saja ejekan, makian atau pun tamparan yang dila-

kukan anak-anak Juragan Wilada Tista hanya di-

terimanya dengan lapang dada. Dia tidak pernah 

menangis lagi. Apalagi ketika Mandali Sewu beru-

sia dua belas tahun.

Dia tak pernah bersikap cengeng lagi. Sebenar-

nya Wilada Tista amat mengasihi anak itu. Tetapi 

dia pernah marah besar ketika suatu saat Mandali 

Sewu menghajar putra bungsunya karena tidak 

tahan dipukuli.

Mandali Sewu ditampar hingga pingsan oleh Wi-

lada Tista.

Namun akhirnya Wilada Tista menjadi menyesal 

sendiri. Dia pun meminta maaf pada bocah itu.

Yang membuatnya kuatir, ternyata putra bung-

su Wilada Tista mendendam pada Mandali Sewu. 

Di suatu malam, anak itu memasuki kamar Man-

dali Sewu, dan mengguyur wajah Mandali Sewu 

dengan air keras.

Lolongan bocah itu keras amat menyayat hati. 

Wajahnya yang cukup tampan pun rusak akibat


guyuran air keras itu. Wilada Tista tidak mau 

orang-orang desa mengetahui perbuatan jahat pu-

tranya. Lalu dia menyuruh beberapa pengawalnya 

untuk membuang Mandali Sewu.

Sementara ketika para penduduk bertanya di 

mana Mandali Sewu, Wilada Tista selalu menja-

wab, "Ada sepasang suami istri kaya yang tidak 

mempunyai anak mengambilnya sebagai anak."

Dan nama Mandali Sewu pun perlahan-lahan 

menghilang dari benak orang-orang desa

Kini mereka terkejut ketika melihat satu sosok 

tubuh dengan wajah yang begitu buruk mengeri-

kan memasuki desa mereka

Orang-orang yang bertemu dengan manusia bu-

ruk itu, ada yang langsung menyingkir karena me-

nyangka dedemit yang datang. Ada yang menge-

rutkan keningnya. Ada yang bergidik.

Bahkan ada yang tidak tanggung lagi berucap, 

"Huh! Buruk sekali wajahnya!"

"Siapa sih dia?"

"Dari mana asalnya?"

"Jangan-jangan., dia dedemit yang sedang me-

nyamar untuk mengganggu ketenangan kita!"

Suara-suara pun ramai terdengar. Tetapi Man-

dali Sewu terus melangkah. Tujuannya adalah ru-

mah Ki Lurah Sentot Prawira. Dia berharap Ki Lu-

rah masih mengenalinya

Namun sambutan dari istri Ki Lurah Sentot 

Prawira amat mengenaskan hatinya ketika sosok 

tubuh itu berdiri membukakan pintu.

"Oh!" Wajah Nyai Lurah kelihatan pias. Dan ma-

tanya mengerjap-ngerjap ketakutan. "Si-siapa kau?


Setan mana yang datang? Dan kau., kau mau 

apa?!"

Dikatakan setan, Mandali Sewu mencoba terse-

nyum. Namun karena wajahnya yang begitu buruk 

senyum seperti menyeringai. Malah lebih mena-

kutkan.

Membuat wajah Nyai Lurah semakin pias keta-

kutan. Ingin rasanya dia menutup pintu kembali. 

Namun tatapan orang berwajah buruk itu seolah 

menahannya.

"Saya, Nyai Lurah...."

"Saya., saya siapa?"

"Nyai Lurah... memang, tak seorang pun yang 

mengenal saya... Usia saya kini sudah dua puluh 

empat tahun, Nyai Lurah masih ingatkah Nyai Lu-

rah ketika Juragan Wilada Tista mengangkat seo-

rang anak yatim piatu?"

Nyai Lurah mengerjap-ngerjap lagi dan kepa-

lanya mengangguk angguk cepat.

"Iya, iya., aku ingat., tapi., tapi apa hubungan-

nya denganmu?"

"Nyai Lurah., akulah Mandali Sewu., bocah yang 

diangkat anak oleh Juragan Wilada Tista..."

"Oh! Tapi... tapi.."

"Aku tahu maksud Nyai Lurah. Wajahku, bu-

kan? Mengapa wajahku menjadi buruk seperti 

ini?"

"Oh, bukan... eh, iya, iya., mengapa, bukankah 

kau memiliki wajah yang cukup bagus?"

Mandali Sewu terdiam. Dia jadi teringat peristi-

wa dua belas tahun yang lalu. Peristiwa yang amat 

mengenaskan dan membuatnya sakit-hati.


Sebelum dia bercerita, muncul seorang laki-laki 

setengah baya dari dalam Dia langsung bertanya 

pada wanita yang masih berdiri di ambang pintu.

"Ada tamu, Nyai?"

Nyai Lurah menoleh. Yang datang itu suaminya, 

Ki Lurah Sentot Prawira.

"Iya, Ki..."

"Siapa?" tanya Ki Lurah sambil melongok ke-

luar. Dia kelihatan terkejut melihat sosok tubuh 

dengan wajah yang mengerikan di hadapannya. 

Tetapi Ki Lurah mencoba untuk tersenyum.

Dalam hati dia bergumam, wajah itu mirip iblis 

sekali.

Mandali Sewu pun menganggukkan kepalanya

"Saya, Ki..."

"Siapa?"

"Mandali Sewu, Ki.. bocah yang diangkat seba-

gai anak oleh Juragan Wilada Tista"

"Oh, Tuhan... rupanya kau, Mandali! Ayo, ayo 

masuk!" sambut Ki Lurah ceria.

Lalu Mandali Sewu pun duduk di hadapannya. 

Istri Ki Lurah menyediakan kopi dan singkong re-

bus. Setelah mencicipinya Ki Lurah bertanya

"Mandali.. ke mana saja kau selama ini? Dan., 

ah, maaf., mengapa wajahmu menjadi demikian 

rusak?"

Mandali Sewu tercenung. Lalu dia pun menceri-

takan kejadian yang sesungguhnya yang telah me-

nimpanya

Ki Lurah Sentot Prawira mendesah panjang.

"Kami tidak pernah menyangka kalau kejadian 

seperti itu yang menimpamu, Mandali.. Sungguh


kami tidak pernah menyangka. Karena selama ini 

kami begitu percaya pada Juragan Wilada Tista, 

dan kami pun percaya ketika dia mengatakan ada 

sepasang suami istri kaya mengambilmu sebagai 

anak mereka..."

"Itu bohong belaka, Ki..., Saya di buang di se-

buah hutan dekat sebuah bukit. Ah, sudahlah., 

kejadian itu sudah lama sekali. O ya, Ki.. sebenar-

nya saya pun ingin datang menjenguk ayah dan 

ibu angkat saya. Bagaimana keadaan mereka, Ki? 

Mereka sehat-sehat saja?"

Kali ini terlihat wajah Ki Lurah tercenung. Begi-

tu pula dengan Nyai Lurah.

"Kenapa Ki? Nyai? Apakah saya tidak pantas 

untuk datang menjenguk. Tidak, saya tidak meng-

harapkan kembali diangkat sebagai anak. Tidak, 

Ki. Saya hanya ingin menjenguk mereka. Biar ba-

gaimana pun selama tujuh tahun merekalah yang 

merawat dan mengasihi saya. Ki..."

Terdengar helaan nafas panjang dari Ki Lurah 

Sentot Prawira. Lalu perlahan-lahan dia menatap 

wajah buruk yang sepertinya sedang menunggu 

jawabannya.

"Maafkan aku, Mandali.."

"Hei, hei.. ada apa, Ki? Ada apa?"

"Orang tua angkatmu dan saudara-saudara 

angkatmu telah mati mengerikan karena dibunuh 

orang..."

"Ya, Tuhan! Kapan? Kapan itu terjadi, Ki? Men-

gapa mereka dibunuh orang?!"

"Tenang, Mandali.. tenanglah..." kata Ki Lurah 

yang melihat Mandali Sewu menjadi kalap.


Pemuda yang berwajah buruk itu pun menghela 

nafas panjang. Mencoba untuk menenangkan ha-

tinya. Lalu ditatapnya Ki Lurah dalam-dalam.

"Ceritakanlah, Ki.. mengapa mereka sampai di-

bunuh orang? Dan siapa yang membunuh mereka, 

Ki?"

Dengan perlahan dan kuatir mengejutkan Man-

dali Sewu kembali, Ki Lurah Sentot Prawira pun 

menceritakan kejadian mengenaskan itu dua bu-

lan yang lalu.

"Jadi sampai sekarang pembunuhnya belum 

tertangkap?"

"Belum Dan orang-orang memanggil si pembu-

nuh itu dengan sebutan si Pamungkas..."

"Si Pamungkas?! Oh!"

"Kau tahu siapa dia, Mandali?" tanya Ki Lurah 

yang melihat Mandali Sewu terkejut.

"Tidak, Ki... tetapi, si Pamungkas itu pun telah 

membuat teror di desa Bojong Sawo. Bukankah dia 

mengenakan pakaian dan bertopeng biru, Ki?"

"Ya."

"Rupanya manusia kejam itu yang membunuh 

keluarga angkatku."

"Tidak hanya mereka saja, Mandali. Juga orang-

orang rimba persilatan yang mencoba menghalangi 

perbuatannya pun tewas dibunuh oleh si Pamung-

kas. Kekejaman manusia itu sudah mencapai se-

tinggi langit dan sedalam lautan!"

"Apakah kesaktiannya begitu tinggi, Ki?"

"Ya. Mengingat tak seorang pun dari rimba per-

silatan yang mampu untuk membunuhnya! Jan-

gankan untuk membunuh, menangkapnya saja


mereka tidak sanggup?!"

"Oh, Tuhan., dengan maksud apa manusia ke-

jam itu menebarkan terornya?"

"Tak seorang pun yang tahu maksudnya mene-

barkan teror kejam seperti itu. Namun yang men-

jadi desas-desus sekarang ini, adalah tentang Cin-

cin Naga Sastra yang dimiliki oleh Juragan Wilada 

Tista."

"Cincin Naga Sastra?"

"Ya."

"Ada apa dengan cincin itu, Ki? Apakah itu se-

buah cincin sakti?"

"Aku sendiri pun tidak tahu. Ada seorang Kyai 

tua yang bernama Kyai Paksi Brahma, sepuluh ha-

ri yang lalu datang ke desa ini. Dia bermaksud in-

gin menjumpai Juragan Wilada Tista. Ternyata se-

cara diam-diam ayah angkatmu itu murid seorang 

sakti yang bernama Kyai Tapa Suci. Menurut Kyai 

Paksi Brahma, kedatangannya mencari Juragan 

Wilada Tista untuk mengambil Cincin Naga Sa-

stra..."

"Siapa sebenarnya Kyai Paksi Brahma itu, Ki?"

"Dia mengaku adik seperguruan dari Kyai Tapa 

Suci"

"Dan bagaimana dengan cincin itu? Apakah dia 

mendapatkannya dari tangan ayah angkatku?"

"Tidak. Tidak seorang pun yang tahu apakah 

Juragan Wilada Tista benar-benar memiliki Cincin 

Naga Sastra. Karena hanya dia sendiri yang tahu. 

Tetapi manusia itu telah mati sekarang."

"Berarti cincin itu tidak ditemukan?"

"Tidak. Kyai Paksi Brahma pun tidak bisa ber


buat apa-apa karena Juragan Wilada Tista dan se-

luruh keluarganya telah tewas."

"Sebenarnya., semacam cincin apakah Cincin 

Naga Sastra itu, Ki?"

"Entahlah... aku sendiri tidak tahu."

"Apakah Kyai Paksi Brahma tidak memberita-

hu?"

"Dia memang memberitahu. Cincin itu dapat 

menyembuhkan segala macam penyakit Bila cincin 

itu direndam di air, lalu air itu diminum, segala 

macam penyakit akan dapat disembuhkan. Yang 

membuat dia kuatir, bila Cincin Naga Sastra dimi-

liki oleh orang jahat."

"Kenapa?"

"Karena bila setiap malam Jumat cincin itu di-

rendam dalam air dan airnya diminum, maka 

orang yang meminumnya akan kebal oleh segala 

macam penyakit, racun dan pukulan sakti macam 

apapun."

"Bukan main! Sungguh hebat sekali khasiat 

cincin itu, Ki."

"Benar. Itulah yang menguatirkan Kyai Paksi 

Brahma bila cincin sakti itu jatuh ke tangan orang 

jahat dan digunakan untuk kejahatan."

"Lalu... apakah Ki Lurah tahu di mana cincin itu 

berada?"

"Aku tidak tahu."

"Bagaimana dengan Kyai Paksi Brahma? Apa-

kah dia tidak tahu juga di mana cincin itu bera-

da?"

"Ya."

"Ah, sayang sekali bila cincin itu jatuh ke tan


gan orang jahat."

"Kau benar, Mandali. Itu pun yang amat men-

guatirkan Kyai Paksi Brahma" kata Ki Lurah Sen-

tot Prawira yang juga menguatirkan kalau cincin 

sakti itu jatuh ke tangan orang jahat. Lalu ditatap-

nya kembali Mandali Sewu, "Mandali.. apakah kau 

akan menetap di sini?"

"Tidak, Ki."

"Mengapa?"

"Kedatanganku ke sini hanyalah untuk menjen-

guk orang tua angkatku. Tetapi mereka sudah 

meninggal. Untuk apa lagi aku berada di sini?"

"Kau bisa tinggal di rumahku, Mandali..." kata 

Ki Lurah.

Nyai Lurah pun berkata menyambung kata-kata 

suaminya, "Benar, Mandali.. tinggallah bersama 

kami. Rumah ini akan jadi rumahmu juga. Bukan 

begitu, Ki?"

"Benar kata-kata istriku ini, Mandali. Rumah ini 

akan menjadi rumahmu. Kau bisa tinggal di sini 

bersama kami. Dan kau pun tahu bukan., kalau 

kami selama ini tidak mempunyai anak?" mengu-

capkan kata-kata terakhir, Mandali Sewu dapat 

melihat kalau wajah Ki Lurah Sentot Prawira men-

jadi murung.

Juga wajah istrinya. Di wajah wanita itu tersirat 

rasa kekecewaan yang begitu mendalam. Dia se-

pertinya tidak sempurna menjadi seorang istri.

Mandali menatap wajah kedua orang tua itu 

yang tiba-tiba menjadi murung.

"Maafkan aku, Ki.. Nyai.. Bukan aku menolak 

untuk menerima kebaikanmu.. Tetapi aku tidak


ingin kalian dihina oleh warga desa yang tadi meli-

hatku seperti melihat setan karena wajahku yang 

begini buruk., jadi., terima kasih banyak atas ke-

baikan kalian berdua..."

Ki Lurah tersenyum

"Ah, sudahlah... Itu terserah padamu, Mandali. 

Tetapi bila kau tiba-tiba mempunyai keinginan un-

tuk tinggal di sini, kami akan menerimanya den-

gan senang hati. Dengan semua kerelaan yang ada 

di hati kami.."

"Terima kasih, Ki.. kata-kata Ki Lurah akan 

kuingat selama-lamanya..."

"Jadi kau hendak pergi sekarang?"

"Benar, Ki."

"Kamu tinggal dimana Mandali?"

"Di sebuah hutan kecil yang sangat jauh dari 

sini, Ki."

"Tidakkah kau ingin melihat-lihat suasana desa 

ini dan bermalam di sini dulu?"

"Sebenarnya keinginan itu ada, Ki. Tapi aku ti-

dak mau kedatanganku ke sini, malah membuat 

orang-orang desa takut dan menaruh curiga."

"Kau jangan menghiraukan mereka, Mandali," 

kata Nyai Lurah.

"Memang tidak, Nyai. Tapi sudahlah., aku harus 

pergi sekarang.. O iya, Ki.... dimana Kyai Paksi 

Brahma tinggal sekarang?"

"Di ujung jalan desa ini. Penginapan milik si tua 

Kerto Wongso."

"Terima kasih, Ki..." Lalu Mandali Sewu pun 

bangkit dari duduknya. Disalami dan diciuminya 

tangan kedua orang tua itu dengan penuh khidmat.

Lalu dia pun pergi meninggalkan rumah itu.

Air mata Nyai Lurah menitik perlahan-lahan 

membasahi pipinya. Meskipun Mandali Sewu telah 

berwajah buruk akibat perlakuan almarhum putra 

dari Juragan Wilada Tista yang telah tewas menge-

rikan di tangan si Pamungkas, bagi Nyai Lurah dia 

adalah Mandali Sewu, bocah yang baik hati dan 

berwajah tampan dulu.

Ki Lurah dapat memaklumi perasaan istrinya 

yang telah lama merindukan seorang anak. Namun 

agaknya Yang Maha Kuasa belum mengizinkan pu-

tra bagi mereka yang dapat menghidupkan suasa-

na gembira dalam keluarga.

"Sudahlah, Nyai., biarkan Mandali pergi..."

"Tapi, Ki..." Nyai Lurah tersendat. Mengingsut 

air matanya.

"Aku dapat mengerti perasaanmu, Nyai."

"Aku telah lama merindukan seorang anak, Ki. 

Biarpun wajahnya buruk seperti. Mandali Sewu, 

aku akan rela membesarkannya..."

"Begitu pula dengan aku, Nyai. Ya... agaknya 

Gusti Allah belum memberikan apa yang kita in-

ginkan. Sudahlah, Nyai., kau perlu ingat, sebagai 

umat manusia kita hanya bisa berusaha, dan Gus-

ti Allah jualah yang menentukan segalanya. Su-

dahlah, Nyai., biarkan Mandali Sewu mengambil 

langkahnya sendiri. Ah... dia bukan anak kita, 

Nyai.. Dia pun bukan anak kandung dari Juragan 

Wilada Tista almarhum. Dia hanyalah anak ang-

katnya, Nyai..."

Nyai Lurah mengusap lagi air matanya. Kepedihan akan kerinduan pada seorang anak semakin 

menjadi-jadi.

"Aku mengerti akan semuanya, Ki.." desisnya 

sambil tersenyum

Ki Lurah Sentot Prawira tersenyum. Merangkul 

bahu istrinya.

Dan kasih sayangnya semakin bertambah pada 

wanita yang telah menemaninya hidup selama 35 

tahun.

"Kita masuk, Nyai..."

Nyai Lurah cuma menganggukkan kepalanya 

saja, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke 

rumahnya

***

DELAPAN



Malam telah larut. Udara berhembus dingin. Di 

langit mega-mega telah berubah menjadi hitam, 

bertanda sebentar lagi hujan akan turun.

Mungkin deras dan membasahi semua yang ada 

di muka bumi. Ada kalanya pula hujan membawa 

berkah dan rahmat, namun ada kalanya pula hu-

jan membawa bencana.

Di penginapan Kerto Wongso suasana pun agak 

sepi. Beberapa penjaga penginapan itu mera-

patkan pakaiannya untuk mengusir angin dingin 

yang menembus hingga ke tulang sumsum

Di salah sebuah kamar dalam penginapan itu, 

Kyai Paksi Brahma tercenung di tepi jendela ka-

marnya Hatinya risau memikirkan tentang Cincin


Naga Sastra milik kakak seperguruannya men-

diang Kyai Tapa Suci.

Cincin Naga Sastra adalah sebuah cincin sakti 

yang bisa membuat orang yang memilikinya men-

jadi tahan penyakit, tahan segala macam pukulan 

sakti macam mana pun. Yang dikuatirkan oleh 

Kyai Paksi Brahma, bila cincin itu jatuh ke tangan 

orang jahat dan menggunakannya untuk kejaha-

tan.

Kyai Paksi Brahma mendesah panjang. Tata-

pannya panjang menembus kepekatan malam Dia 

seorang kakek yang berusia 65 tahun. Dengan pa-

kaian berwarna putih. Dan di pinggangnya terikat 

sebuah angkin merah. Wajahnya sudah cukup 

tua, dengan janggut yang putih dan rambut yang 

putih pula yang diikat berbentuk kucir.

"Maafkan aku, Kakang Tapa Suci..." desahnya 

pada angin, karena tidak ada siapa-siapa di sana. 

Hanya dia seorang yang masih menatap kepekatan 

malam. "Sebelum kau bertempur mati-matian 

dengan Dewa Nyawa Maut, sebenarnya kau hen-

dak memberikan Cincin Naga Sastra warisan 

Eyang Jagaladara padaku. Tapi ah... sayang saat 

itu aku tidak ada di tempat., hingga kau memberi-

kan cincin itu pada Wilada Tista murid tunggal-

mu..."

Kembali Kyai Paksi Brahma mendesah panjang.

Tiba-tiba kedua telinganya menegang. Kakek 

tua itu menangkap suara bergerak di atap.

"Hmm.. siapakah orang iseng yang hendak ber-

main-main denganku ini..." desisnya dalam hati.

Pendengaran kakek tua itu ternyata begitu ber


fungsinya hingga suara yang mencurigakan di atap 

bisa didengarnya.

"Hmm.. lebih baik aku lihat saja siapa cecunguk 

ini!" desisnya. Lalu dia melompat jendela tanpa 

bersuara. Dan dengan sekali empos tubuhnya su-

dah berada di atap.

Pendatang yang bergerak amat pelan itu terke-

jut melihat sosok tubuh berpakaian putih itu ten-

gah berdiri di hadapannya

Kyai Paksi Brahma terbahak.

"Hahaha... rupanya kau yang nekat muncul di 

hadapanku, Pamungkas!"

Orang yang ternyata si Pamungkas mendengus.

"Hhh! Rupanya nama besar Kyai Paksi Brahma 

bukan omong kosong belaka!"

"Ada apa kau malam-malam begini menyatroni 

ketenanganku, Pamungkas?!"

"Hhh! Jangan berlagak pilon, Paksi Brahma! 

Aku datang untuk meminta Cincin Naga Sastra!"

"Hahaha.. tak kusangka orang kejam macam 

kau ini menghendaki cincin sakti itu pula! Biarpun 

aku tahu di mana cincin itu berada tetap tak akan 

pernah kuberitahukan pada orang macam kau, 

Pamungkas!"

"Jangan jual lagak di depanku, Paksi! Cepat be-

rikan cincin itu padaku!"

"Hahaha.. bagaimana bila tidak? Apakah kau 

akan menurunkan tangan telengasmu padaku? 

Pamungkas... kekejamanmu telah lama terdengar 

dan menjadi ajang pembicaraan orang-orang rimba 

persilatan, baik dari golongan putih maupun dari 

golongan hitam! Dan ketahuilah., malam ini agak


nya akulah orang yang akan menghentikan sepak 

terjang kekejamanmu, Pamungkas!"

"Hhh! Banyak omong kau, Paksi! Kata-katamu 

itu membuat tanganku gatal untuk membunuh-

mu!"

"Majulah Pamungkas... kemunculanmu telah 

membuatku ganti bertanya. Menurut kabar, kau-

lah yang membunuh Wilada Tista murid tunggal 

kakak seperguruanku secara licik! Hhh... aku jadi 

mencurigaimu, Pamungkas! Satu pikiran ada di 

benakku! Kau pasti hendak mencari Cincin Naga 

Sastra dari tangannya! Dan hanya satu orang yang 

tahu tentang Cincin itu. Juragan Wilada Tista! Da-

ri semua kejadian yang ada kau tahu pula sebe-

narnya Wilada Tista murid dari Kyai Tapa Suci. 

Dan kecurigaanku, kau adalah murid dari Dewa 

Nyawa Maut yang bertempur habis-habisan den-

gan kakak seperguruanku! Entah di mana si Dewa 

Nyawa Maut itu berada sekarang!"

Si Pamungkas terbahak. Wajah di balik topeng 

biru itu agak terkejut mendengar kata-kata Kyai 

Paksi Brahma. Rupanya orang tua itu cepat tang-

gap dengan semua kejadian yang ada. Dari rasa 

terkejut itu berubah menjadi kegeraman.

"Paksi Brahma... dugaanmu tak meleset sedikit 

pun! Aku memang murid tunggal dari si Dewa 

Nyawa Maut yang ditugaskan olehnya untuk men-

cari Cincin Naga Sastra! Namun sayang, aku su-

dah bosan diperintah oleh si Tua sekarat itu. Dan 

yang perlu kau ketahui, si Tua itu sudah mampus 

di tanganku!"

"Hhh! Kau murid laknat Pamungkas! Kau tak


ubahnya seperti iblis!"

"Hahaha.. ya, ya... aku memang iblis! Dan iblis 

itu akan merenggut nyawamu sekarang juga! Se-

rahkan Cincin Naga Sastra padaku cepat!"

"Kau pun menjual lagak di depanku! Aku yakin, 

Cincin Naga Sastra telah berada di tanganmu! Kau 

yang harus menyerahkannya kepadaku!"

"Bangsat! Aku bosan bermain kata-kata seperti 

ini, Paksi! Tahan serangan!" seru si Pamungkas 

dan tubuhnya sudah menyerbu menyerang dengan 

cepat.

Kyai Paksi Brahma yang sudah menyangka 

akan hal itu pun berkelit menerima serangan cepat 

yang dilancarkan si Pamungkas. Dan di atap pen-

ginapan itu, dua tokoh sakti pun bertarung den-

gan hebatnya.

Cepat.

Dahsyat.

Dan mematikan!

Keduanya saling memperlihatkan kehebatan 

dan kelincahan mereka. Keduanya pun saling be-

rambisi untuk menjatuhkan.

Si Pamungkas sendiri sudah mengeluarkan pu-

kulan Patuk Bangaunya yang dapat menghancur-

kan sebuah batu sebesar domba jantan.

Kelincahan si Pamungkas amat trampil dan he-

bat. Namun Kyai Paksi Brahma pun mengimban-

ginya dengan tak kalah cepatnya. Dia pun menge-

luarkan jurus Pukulan Penebas Nyawa.

"Hahaha.. rupanya kau punya kelebihan juga, 

Paksi!" terbahak si Pamungkas padahal dia begitu 

kaget melihat Kyai Paksi Brahma dapat mengim


banginya

"Tak lama lagi kau akan mampus di tanganku, 

Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil terus 

mencecar.

"Jangan sesumbar dulu! Hhh... aku jadi ingin 

merasakan kehebatan pukulan saktimu itu, Pak-

si!" kata si Pamungkas, kemudian dia bersalto ke 

belakang dan begitu hinggap dia merapal ajian Se-

ribu Bobot Besi.

Lalu tawanya pun meledak.

Kyai Paksi Brahma terkejut melihat sikap si 

Pamungkas yang mendadak terdiam di tempatnya 

sambil tertawa

"Hmm... punya rencana busuk apa lagi manusia 

durjana ini?" desisnya dalam hati.

"Hei.. mengapa kau hanya terdiam saja, Paksi! 

Ayo, seranglah aku bila kau benar-benar merasa 

kuat dengan pukulan saktimu itu!" seru si Pa-

mungkas sambil terbahak.

"Hhh! Kau tak akan pernah luput dari tangan-

ku, Pamungkas!" seru Kyai Paksi Brahma sambil 

menyerang dengan pukulan mautnya. Pukulan 

Penebas Nyawa.

Si Pamungkas hanya terbahak saja. Dan dia te-

tap tak bergeming dari tempatnya.

Tubuh Kyai Paksi Brahma melesat dengan pu-

kulan lurus.

"Des!"

Pukulan saktinya itu pun tepat mengenai dada 

si Pamungkas. Namun sungguh luar biasanya, 

Pukulan Penebas Nyawa milik Kyai Paksi Brahma 

tidak berakibat apa-apa bagi si Pamungkas. Padahal itu adalah pukulan sakti yang dimilikinya.

"Hahaha.. rupanya pukulan semacam itu yang 

kau perlihatkan kepadaku, paksi!"

"Manusia keparat! Rupanya kau benar-benar 

murid dari Dewa Nyawa Maut yang memiliki ajian 

Seribu Bobot Besi!" geram Kyai Paksi Brahma.

"Hhh! Rupanya kau jeri dengan ajian yang ku-

miliki ini, bukan?!"

"Jangan gembira dulu! Kau rasakan ajianku 

yang satu ini ajian Pemunah Rasa!"

"Hahaha.. keluarkan semua ilmu yang kau mili-

ki, Paksi Brahma!"

Menggeram marah dan panas hati Kyai Paksi 

Brahma. Lalu sambil menjerit hebat kembali dia 

menyerang si Pamungkas. Kali ini dengan ajian 

Pemunah Rasa.

Namun ajian itu pun tak membawa banyak aki-

bat pada si Pamungkas. Tubuh yang telah dialiri 

oleh ajian Seribu Bobot Besi itu tak bergeming se-

dikit pun.

Merahlah wajah Kyai Paksi Brahma

"Hahaha mengapa kau diam saja Paksi? Kau ta-

kut dengan ajian yang kumiliki ini?!"

"Hhh! Aku akan mengadu jiwa denganmu, Pa-

mungkas!"

"Hahaha.. majulah biar kumusnahkan kau!" se-

ru si Pamungkas sambil merapal ajian Sambar 

Nyawanya. Dan tiba-tiba saja tangannya perlahan-

lahan berubah kemerahan, lalu menjadi semerah 

darah.

"Ajian Sambar Nyawa!"

"Agaknya kau cukup mengenal semua ilmu


yang dimiliki oleh guruku, si Dewa Nyawa Maut, 

Paksi Brahma!"

"Tetapi jangan kau mengira aku takut dengan 

semua yang dimiliki oleh gurumu itu, Pamungkas!"

"Hahaha.. aku ingin tahu sampai di mana kebe-

naran ucapanmu itu, Paksi Brahma!"

Lalu si Pamungkas pun menyerbu dengan ajian 

Sambar Nyawanya yang hebat dan cepat Kyai Pak-

si Brahma sudah mengetahui akan kehebatan il-

mu itu.

Maka dia pun tak berani untuk berbentur tan-

gan. Atau pun berbenturan bagian tubuhnya yang 

lain.

Dengan sebisanya dia menghindari serangan-

serangan yang dilancarkan oleh si Pamungkas. 

Dan berkali-kali dia pun mencoba membalas.

Namun semua serangan balasannya hanya sia-

sia belaka karena tak satu pun yang bisa membuat 

si Pamungkas jatuh. Jangankan untuk jatuh ber-

geming sajak tidak. Karena ajian Seribu Bobot Besi 

yang dialiri ke suruh tubuhnya telah membuatnya 

kebal dengan semua ajian yang dimiliki oleh Kyai 

Paksi Brahma

Dan suara ribut yang terjadi karena pertarun-

gan keduanya membangunkan beberapa orang 

termasuk pemilik rumah itu, Kerto Wongso.

"Hei, bukankah itu tamuku?!" desisnya.

"Benar! Dan yang bertarung dengannya bukan-

nya si Pamungkas? Orang yang berpakaian dan 

bertopeng biru?!"

"Benar, itu si Pamungkas!"

"Bunuh dia!"


"Tangkap!"

"Ganyang!"

Seruan-seruan itu pun terdengar keras. Dan 

beberapa orang yang hadir pun segera mengambil 

senjata-senjata milik mereka dan langsung me-

lemparkannya kepada si Pamungkas.

Melihat hal itu, konsentrasi si Pamungkas ter-

hadap Kyai Paksi Brahma terpecah. Dia menjadi 

geram.

Dengan jengkel dia menangkis beberapa senjata 

yang datang ke arahnya dan senjata-senjata itu 

melayang kembali kepada para pemiliknya.

Jeritan kesakitan pun terdengar.

Beberapa tubuh pun ambruk dan darah ber-

simbah. Hal itu membuat mereka menjadi geram. 

Berlompatan mereka berusaha untuk naik ke atap, 

namun semua perlawanan mereka pun sia-sia be-

laka.

Karena mereka pun harus mati dengan cara 

yang mengenaskan.

Bahkan beberapa di antaranya pun tewas ter-

kena pukulan Sambar Nyawa yang dilemparkan si 

Pamungkas dengan geram

Dan tubuh-tubuh itu pun hangus, lalu meledak.

Di antara orang-orang yang berdatangan itu 

pun di antaranya berdiri Ki Lurah Sentot Prawira. 

Yang menjadi geram dengan kemunculan si Pa-

mungkas.

"Hhh! Kau rupanya manusia laknat! Telah lama 

kami menunggu kedatanganmu ke sini! Kau harus 

membayar nyawa terhadap orang-orang yang kau 

bunuh! Dan para perawan yang kau perkosa lalu


kau bunuh secara kejam!"

"Diam kau, Manusia tua! Lebih baik kau pulang 

saja sebelum kucabut nyawamu!"

"Kami akan mengadu nyawa denganmu. Manu-

sia Keparat!"

Tetapi si Pamungkas cuma tertawa saja. Tiba-

tiba dia bersalto di belakang dan hinggap di tanah.

"Hahaha.. bila kalian penasaran ingin menang-

kap dan membunuhku, datanglah ke bukit Alas 

Waru malam ini juga! Kyai Paksi Brahma... kau 

pun harus ikut serta dan kucabut nyawamu nan-

ti!"

Lalu tubuh itu pun melesat cepat menerobos 

kepekatan malam. Dan orang-orang yang marah 

itu pun berlarian mengejar termasuk Kyai Paksi 

Brahma, yang begitu dendam sekali!

***

SEMBILAN



Bukit Alas Waru tengah malam. Bulan di langit 

renta, sepotong dan semakin hari semakin menua. 

Bukit Alas Waru tetap menyeramkan.

Pohon-pohon yang tumbuh di sana seakan pa-

sukan setan yang tengah menunggu mangsa. Ter-

lalu mengerikan.

Namun sosok tubuh berpakaian biru dan berto-

peng biru itu terus berkelebat ke atas.

Tanpa memperdulikan semua keseraman yang 

ada. Tubuhnya begitu lincah, ringan dan seolah-

olah kedua kakinya tidak menapak pada tanah.


Ketika tiba di atas, dia menjadi terkejut karena 

melihat sosok tubuh berdiri tegar dengan wajah 

yang welas asih dan senyum yang arif bijaksana. 

Sosok itu mengenakan jubah berwarna putih yang 

terkibar dihembuskan angin malam

Si Pamungkas menghentikan langkahnya. 

Memperhatikan sosok tubuh yang berjubah putih 

itu.

Tiba-tiba dia terbahak setelah mengenali.

"Hahaha... rupanya Pendekar Bayangan Sukma 

yang telah hadir di tempatku ini?!"

Sosok yang ternyata Madewa Gumilang itu 

mengembangkan senyum

"Bukankah kau yang mengundangku untuk 

bertamu ke Bukit Alas Waru ini, Pamungkas?"

"Hahaha.. kunjunganmu telah membuat hatiku 

senang... Madewa.. agaknya Gusti Allah menakdir-

kan kau untuk mati di Bukit Alas Waru ini..."

"Hahaha... sudah lama aku mendengar sepak 

terjangmu yang telengas. Ah, agaknya kau sudah 

amat dipengaruhi iblis, Pamungkas!"

"Persetan dengan ucapanmu, Madewa! Aku su-

dah lama ingin memusnahkanmu dari muka bu-

mi!"

"Sadarlah, Pamungkas..." kata Madewa yang be-

rada di sana sejak dua jam yang lalu. Setelah dibe-

ritahukan oleh para muridnya mengenai kematian 

tiga orang tamunya dari desa Glagah Jajar, dia 

pun langsung mendatangi Bukit Alas Waru seperti 

yang diberitahukan oleh para muridnya. Dan Ma-

dewa melarang para muridnya untuk ikut serta. 

Dan kini dia tengah berhadapan dengan si Pa


mungkas.

"Persetan dengan kata-katamu, Madewa!" geram 

si Pamungkas sambil menyerang dengan ajian 

Sambar Nyawa-nya

Madewa dapat menduga kalau ajian itu begitu 

ganas karena hawa panas yang ditimbulkan setiap 

kali tangan itu tergerak begitu menyengat. Dia pun 

menghindarinya dengan jurus Ular Meloloskan Di-

ri.

Serangan-serangan yang dilancarkan oleh si 

Pamungkas luput pada sasarannya. Hal ini mem-

buat si Pamungkas semakin geram.

"Jangan bisamu hanya menghindar saja Made-

wa! Balaslah bila kau mampu!"

"Pamungkas, sayang sekali ilmu yang kau miliki 

ini kau gunakan untuk kejahatan!"

"Jangan berkhotbah di depanku, Madewa! Ba-

laslah aku bila kau mampu!"

Perlahan-lahan Madewa pun menghentikan 

menghindarnya. Dia pun berpikir untuk segera 

membalas semua serangan si Pamungkas.

"Baiklah, Pamungkas.... bila itu maumu!" desis 

Madewa sambil menyerang dengan Pukulan Tem-

bok Menghalau Badai. Namun Madewa menjadi 

terkejut karena begitu tangannya menghantam ba-

gian tubuh si Pamungkas, dia merasakan tangan-

nya ngilu.

"Hahaha... jangan terkejut, Madewa! Inilah ajian 

Seribu Bobot Besi yang kumiliki!"

Madewa pun mencoba kembali, namun lagi-lagi 

hal yang sama diterimanya. Bahkan kini Si Pa-

mungkas pun kembali, melancarkan serangan


serangannya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara ramai bergemuruh. 

Orang-orang yang mengejar si Pamungkas telah ti-

ba di Bukit Alas Waru. Di antara mereka termasuk 

Kyai Paksi Brahma dan Ki Lurah Sentot Prawira.

Orang-orang itu pun segera mengurung si Pa-

mungkas. Namun mereka harus tewas tersambar 

ajian Sambar Nyawa yang dimiliki manusia kejam 

itu.

"Bangsat! Kau harus membayar semua nyawa 

yang kau cabut, Pamungkas!" geram Ki Lurah Sen-

tot Prawira sambil menyerang dengan goloknya.

Serangan itu pun sia-sia belaka. Begitu pula 

yang dialami oleh Kyai Paksi Brahma yang juga 

menyerangkan pukulannya.

Namun satu keanehan terjadi, si Pamungkas ti-

dak menurunkan tangan telengas pada Ki Lurah 

Sentot Prawira meskipun ada kesempatan. Ki Lu-

rah saja terkejut karena si Pamungkas seperti sen-

gaja menghentikan serangannya.

Tetapi dia tidak perduli, dia terus menyerang. 

Namun lagi-lagi si Pamungkas menghentikan se-

rangannya pada Ki Lurah.

Lain halnya dengan Kyai Paksi Brahma. Si Pa-

mungkas malah berusaha untuk membunuhnya 

dengan ajian Sambar Nyawa.

Madewa sendiri yang menyaksikan hal itu men-

jadi heran. Namun kegeramannya sudah sampai 

puncaknya ketika menyaksikan kekejaman yang 

dilakukan si Pamungkas.

"Pamungkas... kita bertarung sampai mati!" 

dengusnya.


"Majulah Madewa!"

Madewa pun menyadari akan kehebatan ajian 

Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang 

dimiliki si Pamungkas.

Perlahan-lahan dia pun menghentikan gerakan-

nya. Dan kedua tangannya terangkum di dada. La-

lu mengembang ke kiri dan ke kanan. Saat terang-

kum tadi mengepul asap berwarna putih. Itulah 

pukulan andalan yang dimiliki Madewa, warisan 

dari gurunya Ki Rengsersari atau Pendekar Ular 

Sakti.

"Pukulan Bayangan Sukma!" seru Kyai Paksi 

Brahma. Dan seketika dia dapat menduga siapa 

laki-laki berjubah putih itu. "Kaukah yang berna-

ma Madewa Gumilang alias Pendekar Bayangan 

Sukma?"

"Ya, akulah orangnya, Kyai Paksi Brahma..."

"Salam kenal dariku, Pendekar Budiman..."

"Menyingkirlah Kyai dari sini. Dan Kau Ki Lu-

rah, kau pun harus menyingkir..."

"Madewa! Tunggu apa lagi kau?!" bentak si Pa-

mungkas yang tadi mendengar pukulan apa yang 

tengah dilancarkan oleh Madewa Gumilang. "Aku 

ingin mengetahui sampai di mana kehebatan Pu-

kulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Madewa!"

"Terpaksa ini kulakukan, Pamungkas!"

"Kau masih banyak omong saja! Kau membo-

sankan!" terdengar bentakan si Pamungkas lalu 

menyerbu ke arah Madewa Gumilang dengan ajian 

Sambar Nyawa dan ajian Seribu Bobot Besi yang 

dipadukan.

Madewa pun segera menyongsong.


Yang menyaksikan bergidik ngeri.

Dan ketika kedua pukulan itu berbenturan, bu-

kit yang mereka pijak seolah bergoyang.

"DUAAARRR!"

Batu-batu pun berguguran. Debu berterbangan 

tebal.

Dari debu itu terpental dua sosok tubuh ke be-

lakang. Madewa merasakan dadanya sesak. Dan 

sungguh luar biasa yang dialami si Pamungkas. 

Meskipun dia terhuyung, tetapi dia bisa menjaga 

keseimbangannya dan berdiri tegak kembali.

"Hahaha.. rupanya hanya begitu saja kehebatan 

Pukulan Bayangan Sukma yang kau miliki, Made-

wa!" terbahak si Pamungkas.

Namun mendadak tubuhnya limbung. Dia me-

megangi dadanya yang terasa sakit. Dan semakin 

lama tubuhnya semakin limbung. Yang memper-

hatikan menjadi keheranan. Dan tubuh itu pun 

ambruk dengan jeritan yang keras.

Orang-orang segera mendekatinya.

Dan melihat orang kejam itu tengah sekarat. Ki 

Lurah Sentot Prawira yang merasa heran karena si 

Pamungkas seperti enggan untuk menurunkan 

tangan telengas padanya, cepat menarik topeng bi-

ru yang menutupi wajah manusia kejam itu.

"Breeet!"

Dan pekikannya terdengar ketika melihat wajah 

di balik topeng biru itu. Wajah yang amat buruk 

mengerikan. Wajah Mandali Sewu!

"Mandali!" seru Ki Lurah. Begitu pula dengan 

yang hadir di sana. Mereka pun terkejut melihat 

Mandali Sewu di balik topeng biru itu. "Mandali..


mengapa., mengapa kau lakukan semua ini..."

Sepasang tangan Mandali Sewu Menggapai Ki 

Lurah.

Wajahnya meringis menahan sakit.

"Maafkan aku, Ki..." sendatnya

"Semua ini kulakukan., karena aku mendendam 

pada Juragan Wilada Tista dan keluarganya..." 

sendatnya

"Kebetulan guruku menugaskanku untuk men-

cari Cincin Naga Sastra..." sendatnya.

"Lalu kubunuh manusia itu... kubunuh semua-

nya.. biar dendamku tuntas...." sendatnya.

"Maafkan aku, Ki..." sendatnya. Lalu kepala itu 

pun terkulai selama-lamanya.

Orang-orang mendesah. Begitu pula dengan 

Madewa Gumilang. Cincin Naga Sastra? Cincin 

apa itu? desahnya dalam hati.

Sedangkan Kyai Paksi Brahma hanya terdiam. 

Dia belum tahu di mana Cincin sakti itu berada

Sementara Ki Lurah Sentot Prawira menangis 

tersedu-sedu karena tidak menyangka siapa di ba-

lik topeng biru itu.

Bagaimana dengan cincin sakti yang hebat itu? 

Anda semua akan mengetahui jawabannya pada 

cerita TIGA KESATRIA BERTOPENG



                            SELESAI




0 komentar:

Posting Komentar