PENDEKAR BAYANGAN SUKMA EPISODE PRAHARA DI LAUT SELATAN
PRAHARA DI LAUT SELATAN
Oleh Fahri Asiza
Cetakan pertama
Penerbit Gultom Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Fahri A.
Serial Pendekar Bayangan Sukma
dalam episode:
Prahara di Laut Selatan
SATU
Angin laut berhembus dingin. Ombak bergulung-
gulung. Beberapa burung camar berterbangan di atas
Laut Selatan. Laut seperti menunjukkan kekuasaan-
nya. Seperti menampakkan keangkuhannya.
Bukit Karanghawu yang terletak di sebelah timur
dari pantai, nampak kokoh berdiri. Terlihat bukit itu
begitu sombong. Seolah membuktikan kekuatannya
dan membiarkan dihantam ombak yang seperti beru-
saha untuk merobohkannya.
Beberapa orang nelayan nampak sibuk membe-
reskan perlengkapannya. Sore sudah datang. Dan se-
bentar lagi malam akan menjelang. Pada malam-
malam seperti ini mereka sibuk untuk mencari ikan di
laut.
Bagi orang-orang seperti itu, keganasan Laut Se-
latan seolah tidak diperdulikan. Bagi mereka adalah
suatu keakraban. Kehidupan nelayan dengan laut
memang tak dapat untuk dipisahkan.
Tiba-tiba dari kejauhan terlihat debu mengepul
tebal. Disusul dengan teriakan-teriakan yang keras.
Para nelayan segera menghentikan kegiatannya.
Mereka memicingkan mata.
Memperhatikan beberapa penunggang kuda yang
berdatangan. Seolah saling berlomba untuk mencapai
mereka.
"Siapa mereka, Paman?" tanya seorang pemuda
yang baru berusia 18 tahun. Tubuhnya tegap. Dia
mengenakan baju putih yang ringkas dengan celana
hitam yang gombrang. Dia bernama Sobrang.
Yang dipanggil paman olehnya adalah seorang la-
ki-laki setengah baya. Postur tubuhnya pun tegap. Dia
mengenakan pakaian hitam-hitam.
"Entahlah, Sobrang. Aku tidak tahu," kata laki-
laki setengah baya yang bernama Ki Jibus.
"Melihat wajah mereka yang menyeramkan, se-
pertinya mereka datang dengan maksud tidak baik,
Paman."
"Benar, Sobrang. Kita sepertinya diharuskan ber-
hati-hati menghadapi mereka," kata Ki Jibus. Lalu dia
segera memanggil para nelayan yang lain untuk ber-
kumpul di dekatnya.
Para penunggang kuda yang berjumlah lima
orang itu sudah mendekat. Kuda-kuda mereka me-
ringkik keras saat tali kekang ditarik dan kini kuda-
kuda itu berdiri di hadapan para nelayan.
Ki Jibus yakin sekali, kalau dia tidak pernah ber-
jumpa atau pun mengenal orang-orang yang berpa-
kaian merah-merah dengan angkin hitam yang mem-
belit di pinggang. Dan di pinggang mereka terdapat pu-
la sebilah golok besar.
Salah seorang yang berwajah menyeramkan,
menggunakan ikat kepala warna hitam dengan kumis
dan jenggot yang baplang, berkata seperti mendengus.
"Siapa pemimpin kalian?!"
Ki Jibus yang merasa dia menjadi pemimpin para
penduduk yang hidup di pantai Laut Selatan segera
menyahut dengan nada bersahabat.
"Aku, Ki Sanak."
"Hmm...." Orang itu memperhatikan Ki Jibus.
"Siapa namamu?"
"Orang-orang memanggilku Ki Jibus."
"Bagus! Hmm... perkenalkan, namaku Secopati.
Dari gerombolan Orang-orang Bengis! Kami datang,
membawa salam dari pemimpin kami yang bernama
Nyai Prodo atau yang bergelar Malaikat Penghisap Da-
rah!"
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan
nada kesombongan dan keangkuhan, Ki Jibus semakin
yakin kalau kedatangan dari orang-orang ini dengan
maksud tidak baik.
Tetapi dia mencoba untuk berkata dengan nada
bersahabat, "Salam dari ketua Orang-orang Bengis
kami terima dengan senang hati! Atas nama penduduk
di Laut Selatan ini, aku mengucapkan pula salam
kembali untuk Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap
Darah!"
"Bagus! Dan mulai saat ini, setiap kepala keluar-
ga diharuskan untuk menyetor pajak kepada kami!"
Kening Ki Jibus berkerut. "Apa maksudmu, Ki
Sanak?"
"Jangan berpura-pura tidak tahu, Laki-laki tua!"
membentak Secopati. "Barang siapa yang setiap bulan
tidak menyetor pajak kepada kami, maka nasibnya
akan menyedihkan sekali! Masing-masing lima keping
uang perak!"
Orang-orang berseru kaget. Lima keping uang pe-
rak? Uang yang susah payah dikumpulkan, diha-
ruskan untuk diberikan kepada orang-orang ini?
Oh, sudah tentu mereka tidak akan mau meme-
nuhi permintaan itu.
Beberapa penduduk berseru-seru jengkel.
"Tidak bisa! Tidak bisa kalian seenaknya saja
meminta begitu kepada kami!"
"Ya! Memangnya kalian siapa hingga dengan
enaknya saja hendak memaksa kami untuk memberi-
kan uang setoran yang kalian katakan pajak!"
"Ya, pajak apa?"
"Setoran apa?!"
Kata-kata para penduduk membuat wajah Seco-
pati memerah. Tiba-tiba saja dengan gerakan yang
amat ringan dia melompat turun dari kudanya.
"Siapa yang hendak melawan kami, hah?!" ben
taknya.
Ki Jibus yang melihat suasana mulai tidak enak,
cepat-cepat memberi isyarat agar para penduduk yang
lain terdiam. Lalu dia sendiri menatap Secopati.
"Secopati... secara pribadi, aku pun tidak suka
dengan penindasan ini."
"Hm... lalu apa maumu, Ki?"
"Lebih baik kalian tinggalkan tempat ini. Dan
jangan datang lagi untuk mengganggu ketentraman
hidup kami!"
Secopati terbahak. Merasa lucu mendengar kata-
kata Ki Jibus.
"Meninggalkan tempat ini?! Hahaha... kami tak
akan pernah kembali sebelum kami yakin tugas kami
telah selesai, Ki!"
"Kalian sudah mendengarkan jawabanku. Dan
tugas kalian berarti telah selesai!"
Tiba-tiba Secopati merandek. Matanya melotot
nyalang. Nafasnya terdengar mendengus-dengus.
"Kamu menantang kami, Ki?!"
"Tidak... tidak pernah aku berbuat seperti itu.
Mencari permusuhan!"
"Tetapi menolak permintaan kami, sama artinya
dengan mencari mati!"
Ki Jibus pun mendengus. Dia sudah menjadi te-
ramat jengkel karena laki-laki ini begitu sombong.
"Secopati... sejengkal pun kami tak akan mundur
untuk menghadapi orang-orang seperti kau!"
"Bagus! Aku hendak melihat sampai di mana be-
sar mulutmu itu, Ki!" bentak Secopati dan secara tiba-
tiba dia bergerak menyerang ke arah Ki Jibus.
Pada masa mudanya Ki Jibus pernah mempelaja-
ri ilmu silat. Maka ketika tangan itu hendak menghan-
tam wajahnya, dia segera memiringkan tubuhnya. Se-
rangan itu meleset. Secopati sedikitnya terkejut. Na
mun dengan gerakan yang cepat pula dia kembali
menggerakkan tangannya. Dan menyusul dengan se-
buah tendangan ke arah dada Ki Jibus.
Ki Jibus menghindari serangan tangan itu den-
gan menangkis. Dan melompat ke belakang untuk
menghindari tendangan Secopati.
"Bagus!" desis Secopati yang diam-diam menjadi
kagum. "Pantas kau banyak bacot Ki, rupanya kau
punya kebisaan juga!"
"Kebisaanku ini sudah lama tidak kupakai, Seco-
pati! Tapi menghadapi orang-orang seperti kau ini,
mau tak mau aku akan menggunakannya!"
Para kepala keluarga yang berada di sana menja-
di tegang. Mereka pun segera bersiap untuk menyam-
but datangnya serangan lawan dan membantu Ki Ji-
bus.
"Ki... kubuat mampus kau hari ini!" membentak
Secopati seraya menyerbu.
Kali ini serangannya amat cepat dan penuh tena-
ga. Ki Jibus berusaha untuk mengimbanginya. Namun
dia kalah jauh di bawah Secopati.
Tiga buah pukulan Secopati mendarat tepat di
dadanya. Membuat Ki Jibus terhuyung ke belakang
dan muntah darah.
Secopati terbahak.
Dan tiba-tiba dia kembali menyerbu dengan mak-
sud untuk menghabisi nyawa Ki Jibus.
"Mampuslah kau, Ki!"
Secara tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan
dengan memegang sebuah dayung. Lalu dihantamkan-
nya pada Secopati. Hal ini membuat Secopati urung
untuk menyerang Ki Jibus. Dia menangkis ayunan
dayung yang cukup keras itu.
"Praaakkk!"
Dayung itu patah seketika.
Secopati bersalto dua kali ke belakang.
Dia mendengus melihat orang yang telah menye-
rangnya.
"Hhh! Kau pun mau mampus pula, Anak muda!"
Sobrang, yang mencoba menolong pamannya dari
kematian, membuang patahan dayung itu seraya men-
dengus.
"Kedatangan kalian ke sini kami terima sebagai
tamu, tetapi kalian malah berbuat yang tidak baik. Ja-
di jangan salahkan kami bila kami melawan dan men-
gusir kalian dari sini!" kata Sobrang dengan berani.
Dia pun muak melihat kesombongan dan sepak terjang
dari Gerombolan Orang-orang Bengis ini.
Secopati menjadi murka.
"Mampuslah kau, Anak muda!" geramnya seraya
menyerbu dengan ganas.
Sobrang pun pernah mendapatkan pelajaran il-
mu silat dari pamannya, Ki Jibus. Tetapi gerakan pe-
muda itu hanya baru sampai tahap dasar. Maka tanpa
ampun lagi dia pun berkali-kali menjadi sasaran se-
rangan Secopati.
"Sobraaaaangg!" jerit Ki Jibus ketika melihat pe-
muda pemberani itu ambruk dengan berlumur darah.
Sambil menahan rasa sakit di dadanya, Ki Jibus
berlari ke arah pemuda itu yang tergeletak.
"Sobrang! Sobrang!" jeritnya sambil menggun-
cang-guncangkan tubuh Sobrang.
Tetapi tubuh itu telah kaku dan menjadi mayat.
Ki Jibus tersedu-sedu di atas tubuh Sobrang.
Tiba-tiba dia mengangkat kepalanya. Menoleh
pada Secopati yang tengah berdiri gagah. Sepasang
mata Ki Jibus nyalang. Menyiratkan sinar dendam dan
amarah.
"Bangsat keji! Aku akan mengadu jiwa dengan-
mu!" geramnya. Lalu dia pun segera menyerang.
Beberapa kepala keluarga yang berada di sana,
pun tidak terima dengan kematian Sobrang. Berbekal
dayung yang dijadikan senjata mereka pun menyerbu
ke arah Secopati.
Beberapa teman Secopati pun segera melompat
dari kuda-kuda mereka. Dan serentak menyambut se-
rangan para penduduk yang marah.
Sebentar saja di tempat itu terjadi pertarungan
yang amat hebat.
Sebentar saja terdengar pekik dan jeritan yang
menyayat hati yang keluar dari mulut para kepala ke-
luarga yang gagah berani.
Dan sebentar saja di pantai Laut Selatan bergele-
takan beberapa mayat, yang ke semuanya mayat-
mayat dari kepala keluarga yang gagah berani itu.
Sementara itu Ki Jibus sendiri sudah luka parah.
Secopati sendiri terbahak-bahak sambil berkali-kali
memukul. Dia sengaja untuk menyiksa Ki Jibus lebih
dulu sebelum di buat mampus.
Dan ini merupakan satu siksaan yang amat me-
nyakitkan bagi Ki Jibus. Dia sudah ingin mati saja ra-
sanya seperti yang dialami oleh beberapa sahabatnya.
Namun Secopati memang bermaksud untuk memper-
mainkannya.
"Hahaha... mampuslah kau, Ki Jibus!" terbahak
Secopati sambil menendang tubuh Ki Jibus hingga ter-
pental beberapa tombak.
Sementara teman-teman Secopati pun terbahak.
Tubuh Ki Jibus ambruk dengan berlumur darah.
Dan nyawanya pun melayang saat itu juga.
Secopati meludah.
"Ciiih! Itulah akibatnya bila berani menentang
Secopati!"
"Secopati," memanggil salah seorang temannya.
Secopati berbalik. "Ada apa, Pronomuro?"
"Apakah kita hanya diam saja di sini? Bukankah
malam sudah datang?"
Secopati terbahak, mengerti apa yang dimaksud-
kan oleh temannya itu.
"Benar, benar! Malam pun sudah semakin dingin!
Angin laut sepertinya menusuk-nusuk sampai ke tu-
lang sumsum!"
"Nah, untuk apa lagi kita berlama-lama di sini?"
kata Pronomuro sambil terbahak pula.
Lalu kelima orang itu pun menaiki kuda mereka
masing-masing. Dan menggebraknya.
Sebentar saja terdengar jerit dan tangis dari anak
manusia ketika kelima orang itu mengobrak-abrik seisi
desa.
Bagi kaum wanita, lima perawan murni pun dis-
eret ke balik semak. Dan di sana mereka dipaksa un-
tuk menjadi pemuas nafsu bejat orang-orang itu.
Mereka hanya bisa menangis.
Merasakan sakit yang tak terkira. Tubuh mereka
bagaikan dicabik-cabik binatang buas.
Rasa sakit hati mereka sudah sampai ke dalam.
Ke lubuk hati yang paling dalam.
Kelima orang itu terbahak-bahak begitu selesai
melampiaskan nafsu bejat mereka.
Karena malu menanggung malu yang tak ter-
hingga, empat orang dari gadis itu langsung membu-
nuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri hingga
putus.
Bagi mereka memang lebih baik mati daripada
mengalami siksaan yang teramat pedih ini.
Secopati terbahak ketika dia keluar dari balik
semak itu.
Gadis yang baru saja diperkosanya hanya bisa
menahan tangis. Merasakan sakit hati yang terkira da-
lamnya. Menahan pedih tubuhnya yang terasa amat
perih.
Tiba-tiba dia mengambil sebatang kayu besar.
Dan dengan meradang marah dia menerjang ke arah
Secopati yang sedang tertawa-tawa bersama teman-
temannya.
"Mampuslah kau, orang jahaaaaat!" maki gadis
itu sambil menyerbu.
"Awas, Secopati!" memperingatkan Pronomuro.
Secopati sendiri sudah mendengar jeritan dan
desiran angin yang menerjang ke arahnya. Dia meng-
geram marah. Lalu memiringkan tubuhnya, dan ka-
kinya menjegal langkah gadis itu.
"Aaaahhh!"
Gadis itu tersuruk ke depan.
Tetapi sejurus kemudian dia bangkit kembali dan
kembali pula meradang. Dia pun menyerang lagi.
Kali ini Secopati tidak mau bertindak tanggung
lagi. Ayunan kayu itu ditangkisnya dengan tangan ka-
nannya. Dan tangan kirinya bergerak cepat menang-
kap leher gadis itu. Lalu memuntirnya.
Terdengar suara "krak" yang cukup keras diiringi
dengan jeritan yang menyayat hati.
Gadis itu mati dengan leher patah.
Secopati melempar tubuh gadis itu ke pasir pan-
tai.
Dia meludahi tubuh gadis yang telah menjadi
mayat itu.
"Ciiih! Anjing buduk!"
Pronomuro terbahak. "Rupanya dia kurang puas
dengan pelayananmu, Secopati!"
Wiroprogo pun terbahak. "Sebaiknya kau kasih
lagi dia kepuasan yang mendalam. Biar dia tidak pena-
saran dalam matinya!"
Secopati menggeram diejek seperti itu.
Lalu dia berkata, "Pragono... dan kau Jawinto...
jemput Nyai Prodo ke mari. Katakan, daerah ini telah
menjadi kekuasaan kita! Dan setiap keluarga diha-
ruskan untuk menyetor kepada kita lima keping uang
perak! Malam ini juga kau harus tiba di Gunung
Pengging!"
Pragono dan Jawinto segera mengambil kuda-
kuda mereka. Lalu tanpa banyak cakap lagi keduanya
segera menggebrak kuda-kuda mereka hingga mening-
galkan debu yang berterbangan.
Secopati berkata pada Pronomuro. "Mulai saat
ini, kita tak bisa berdiam diri saja. Daerah ini harus te-
rus kita kuasai! Kau pilihkan beberapa pemuda yang
cukup kuat!"
"Untuk apa?!"
"Kita akan melatih mereka untuk dijadikan seba-
gai pengawal! Dan cari gadis-gadis cantik untuk men-
jadi pemuas nafsu kita... hahaha!"
Pronomuro dan Wiroprogo pun terbahak.
"Kau memang hebat kalau soal mencari wanita,
Secopati!" kata Wiroprogo.
"Ini adalah salah satu kelebihanku!" kata Secopa-
ti. Lalu dia mengambil kudanya. Dan mulai mengelilin-
gi daerah itu. Setelah itu dinyalakannya beberapa obor
dan dilemparkan ke atas atap beberapa rumah.
Hingga penghuninya yang sudah ketakutan se-
makin menjadi ketakutan dan berhamburan keluar bi-
la tidak mau dimakan oleh api yang panas dan ganas
itu.
Secopati cuma terbahak-bahak.
Puas dia melihat hasil dari kebengisan yang telah
dilakukannya bersama teman-temannya.
***
DUA
Dua ekor kuda itu terus melesat menembus ke-
pekatan malam. Keduanya tak mengenal lelah. Jarak
dari Pelabuhan Ratu ke Gunung Pengging bukan main
jauhnya. Tetapi mereka harus tiba saat ini juga.
Pragono dan Jawinto terus memacu kuda-
kudanya.
Melewati sebuah hutan kecil, keduanya berpapa-
san dengan dua orang penunggang kuda pula. Kedua
penunggang kuda itu adalah seorang pemuda dan seo-
rang pemudi. Yang pemuda berwajah tampan dan ga-
gah. Sedangkan yang pemudi berwajah cantik jelita.
"Siapa kedua orang yang berpapasan dengan ki-
ta, Kakang?" bertanya yang pemudi.
"Entahlah, Rayi... aku sendiri tidak tahu."
"Kakang... apakah kita tidak sebaiknya beristira-
hat dulu. Aku sudah lelah sekali," kata pemudi itu lagi.
Yang pemuda itu mengiyakan. Lalu dia menghen-
tikan laju kudanya.
Begitu pula dengan yang pemudi.
"Masih jauhkah jalan yang harus kita tempuh,
Kakang?" tanya pemudi itu.
"Bila tidak ada halangan, besok pagi kita sudah
sampai ke Laut Selatan. Ah, Rayi... aku telah rindu
dengan rumah kita."
"Aku pun begitu, Kakang. Entah kenapa aku me-
rasa ada sesuatu yang terjadi di sana."
Siapakah sebenarnya kedua pemuda dan pemudi
itu? Keduanya tak lain adalah Pranata Kumala dan is-
trinya, Ambarwati. Keduanya memang telah lama me-
lakukan petualangan untuk mencari pengalaman hi-
dup. Sama seperti yang dilakukan oleh orang tua me-
reka, Madewa Gumilang atau Pendekar Bayangan
Sukma dan istrinya Ratih Ningrum.
Pranata Kumala adalah putra dari Madewa Gumi-
lang dan Ratih Ningrum. Sedangkan Ambarwati adalah
menantu mereka.
Ambarwati putri dari seorang kepala perampok
yang bernama Jedangmoro, yang memimpin Gerombo-
lan Golok Iblis. Mereka selalu beraksi di jalan menuju
desa Pacitan. Namun gerombolan itu berhasil ditum-
pas oleh Pranata Kumala.
Sedangkan Jedangmoro mati di tangannya sendi-
ri. (Baca: Pendekar Kedok Putih).
Dan kini, putri dari kepala perampok itu telah
menjadi istrinya. Kini keduanya tengah rindu dengan
rumah mereka di Laut Selatan. Dan keduanya ber-
maksud untuk menengok keadaan rumah mereka se-
jak mereka tinggalkan dulu dan bermaksud berpetua-
lang (Baca: Sepasang Manusia Srigala).
Pranata menatap istrinya setelah mendengar ka-
ta-kata istrinya tadi.
"Apa maksudmu, Rayi?"
"Entahlah, Kakang..." kata Ambarwati sambil me-
rebahkan kepalanya di dada suaminya. "Tapi pera-
saanku mengatakan demikian. Ah... aku takut terjadi
sesuatu dengan makam ayah, Kakang...."
Mendengar kata-kata istrinya, Pranata menjadi
teringat lagi kejadian beberapa tahun lalu. Ayah dari
istrinya ini telah mati di tangannya.
Namun Pranata amat mencintai istrinya.
Dirangkulnya tubuh istrinya itu dengan penuh
kasih sayang.
"Percayalah, Rayi... tidak akan terjadi apa-apa di
Laut Selatan. Dan tidak ada yang mengganggu makam
ayahmu...." katanya menenangkan istrinya. Namun
Pranata sendiri entah dari mana datangnya merasa
ada sesuatu yang tengah terjadi di Laut Selatan.
"Rasanya... aku... ah, entahlah, Kakang...."
"Tenanglah, Rayi... tenanglah...." kata Pranata
menenangkan istrinya. Dia merangkul lebih ketat lagi.
"Sebaiknya, kita jangan melanjutkan perjalanan ma-
lam ini. Kita istirahat saja dulu, sampai matahari
muncul kembali. Baru kita melanjutkan perjalanan la-
gi...."
Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh derap lang-
kah kuda yang mendekat. Siaga keduanya berdiri. Dan
melihat dua orang penunggang kuda mendekat.
Pranata memperhatikan kedua orang itu. Hmm,
kalau tidak salah, keduanya yang berpapasan dengan
kami tadi? Mau apa mereka datang kembali?
Terdengar salah seorang tertawa. "Nah, kau lihat
sendiri Jawinto! Benarkan ucapanku? Gadis itu begitu
cantik sekali! Kau percaya sekarang?"
Kedua orang yang ternyata Pragono dan Jawinto
itu terbahak. Tawa Jawinto lebih keras.
"Benar, Pragono. Matamu awas sekali rupanya!"
"Kalau soal wanita cantik, aku tahu, Jawinto!
Hahaha... tak sekali pun aku pernah melewatkan pe-
mandangan yang mengasyikkan ini... hahaha!"
Pranata Kumala dan istrinya menjadi makin sia-
ga dan waspada. Mereka dapat menangkap maksud ti-
dak baik dari kedua orang ini.
Pranata berkata, mencoba bersahabat, "Ki Sanak
berdua... ada apakah gerangan Ki Sanak berdua ber-
henti di hadapan kami..."
Jawinto terbahak.
"Hahaha... rupanya kau pandai berkata pula,
Anak muda? Hmm... ketahuilah, namaku Jawinto dan
ini temanku yang bernama Pragono. Kami adalah Ge-
rombolan Orang-orang Bengis. Ketua kami bernama
Nyai Prodo, atau Malaikat Penghisap Darah!"
"Sebuah nama yang cukup menakutkan!" kata
Pranata Kumala sambil tersenyum.
"Yah, memang telah menggetarkan seluruh rimba
persilatan, Anak Muda...."
"Lalu apa maksud dari Ki Sanak berdua?"
"Maksud kami? hahaha...." Jawinto berpaling pa-
da Pragono. "Dia bertanya maksud kita.... hahaha...."
Ambarwati yang berkarakter panasan menden-
gus. Dia sebal karena istirahat dan kemesraan bersa-
ma suaminya jadi terganggu karena kedatangan kedua
orang ini.
"Stop!" bentaknya. "Kalian mau apa sebenarnya?
Bila tak ada maksud... cepat kalian tinggalkan tempat
ini! Kalian sungguh membosankan!"
"Hei, dia berani membentak kita, Jawinto?" kata
Pragono sambil tertawa.
"Ya, ya... dan aku amat menyukai wanita yang
berkarakter seperti ini. Kau tahu sebabnya, Pragono?"
"Sudah tentu."
"Katakan, biar gadis itu mendengarnya juga!"
"Kalau dia karakternya panasan, sudah tentu di
ranjang pun dia akan mampu membuat suasana men-
jadi panas.... hahaha... bukankah begitu, Jawinto?"
"Tepat sekali! Dan aku memang menginginkan-
nya!" Jawinto pun terbahak.
Mengapa sebenarnya kedua anggota dari Gerom-
bolan Orang-orang Bengis itu muncul kembali. Bukan-
kah mereka sedang mengemban tugas untuk melapor-
kan hasil kerja mereka?
Ketika melewati Pranata Kumala dan Ambarwati
tadi, keduanya memang tak acuh saja. Tetapi begitu
melirik Ambarwati, sepasang mata Pragono menjadi
nanar. Gadis itu sungguh cantik sekali.
Sambil menghentakkan kudanya dia menjajari la-
ju kuda Jawinto.
"Winto! Gadis itu cantik sekali! Kau melihatnya?"
serunya yang sudah timbul birahinya.
"Sudahlah, Pragono... lupakan saja! Tugas ini le-
bih penting dari gadis itu!" kata Jawinto.
"Bodoh! Kau menyia-nyiakan kesempatan yang
begitu indah!"
"Tapi kita bisa kena marah oleh Nyai Prodo nan-
ti?"
"Jawinto... kau bodoh sekali. Bukankah yang
menyuruh melaporkan semua ini pada Nyai Prodo ada-
lah Secopati? Toh Nyai Prodo tidak tahu semua ini?
Bukankah dia menyuruh kita untuk kembali seminggu
kemudian? Ini baru lima hari. Masih ada lagi waktu
satu hari."
"Lalu apa maksudmu?" Jawinto menghentikan la-
ju kudanya.
Begitu pula dengan Pragono.
"Malam ini kita bersenang-senang lagi saja dulu.
Gadis itu amat cantik!"
Jawinto terbahak. Membenarkan kata-kata te-
mannya.
"Mengapa tidak?"
"Hahaha... bagus, bagus sekali! Kau akan melihat
nanti, kalau omonganku itu benar!"
Lalu keduanya pun kembali memutar kuda me-
reka ke jalan yang telah mereka tempuh tadi.
Sekarang keduanya tengah terbahak-bahak di
depan Ambarwati dan suaminya, Pranata Kumala.
Wajah Ambarwati memerah mendengar kata-kata
itu. Dia jadi mengerti apa maksud sesungguhnya dari
kedua orang ini? Menginginkannya!
Dan ini membuatnya semakin marah.
"Orang-orang busuk! Ucapan kalian begitu menji-
jikkan sekali!" makinya.
Jawinto terbahak. Berkata pada Pragono. "Kau
dengar itu Pragono... dia membentak kita?"
"Benar, dia begitu panasan sekali!"
Pranata Kumala yang tidak mau mencari keribu-
tan menyela sebelum istrinya berkata-kata lagi. Bila
kemarahan istrinya sudah naik, bisa jadi runyam. Mau
tak mau mereka harus bertempur dengan kedua orang
ini.
Dia pun mencoba berkata dengan nada bersaha-
bat, meskipun di hatinya ada rasa marah mendengar
kata-kata yang terdengar menjijikkan itu.
Pranata pun sudah dapat menangkap apa mak-
sud dari kedua laki-laki ini.
Tak lain ingin mendapatkan istrinya!
"Ki Sanak... rasanya, kita tak pernah bertemu.
Tak pernah berurusan apa-apa. Dan tak pernah punya
bibit permusuhan. Sekali kita bertemu, kalian telah
menyebarkan rasa tidak senang di hadapan kami. Le-
bih baik kalian tinggalkan kami secara damai. Dan
kami pun tak akan berbuat apa-apa. Silahkan...."
Mendengar kata-kata itu, Jawinto dan Pragono
menghentikan tawanya. Keduanya mendengus.
Jawinto berkata dengan suara yang ke luar ber-
samaan dengan dengusannya.
"Hhh! Punya nyali juga kau rupanya! Lebih baik
kau sendiri yang meninggalkan tempat ini, dan ting-
galkan gadis itu untuk kami!"
"Ki Sanak... namaku Pranata Kumala. Dan ini is-
triku, Ambarwati. Sudah tentu tak akan pernah kube-
rikan kepada siapa pun, juga kepada kalian!"
Jawinto terbahak. "Hahaha... biarpun kau mera-
sa memiliki nyali yang cukup berani, tapi itu tak ada
gunanya untuk menentang permintaan kami!"
"Tidak hanya pada kalian aku menentang per-
mintaan ini. Pada siapa pun akan kutentang!"
Kalau bulan saat ini tidak tertutup awan, akan
terlihat jelas wajah Jawinto yang memerah karena ma
rah.
"Setan alas! Kau berarti menantang kami, hah?"
"Siapa pun orangnya yang hendak meminta istri-
ku, atau yang ingin menindas kami, akan kutentang
sampai mati sekali pun!"
"Anjing!" memaki Jawinto sambil bersalto dari
kudanya. Kini dia berdiri berhadapan dengan Pranata
Kumala. "Mampuslah kau, Pranata!" serunya seraya
menyerbu.
Pranata Kumala yang sudah melihat gelagat tidak
baik itu segera memiringkan tubuhnya. Jawinto terke-
jut karena serangannya berhasil dielakkan dengan
mudah.
"Punya kebisaan juga kau rupanya, hah?!" ge-
ramnya jengkel.
"Lumayan untuk memukul orang kalap seperti
kau ini!" sahut Pranata dan menghindari lagi serangan
Jawinto yang kembali menyerbu.
Sementara itu Pragono tertawa melihat kawannya
belum berhasil melumpuhkan Pranata Kumala.
"Hahaha... masa kau tidak bisa mengalahkannya,
Jawinto?!" bahaknya sampai terguncang-guncang pe-
rutnya.
Namun kata-katanya itu cepat disambar oleh
Ambarwati.
"Orang jelek! Bila kau ingin bermain-main, cepat
kau turun dari kudamu! Biar aku yang melayani!"
Pragono terbelalak mendengar kata-kata Ambar-
wati. Namun sejurus kemudian dia tertawa.
"Hahaha... melayani kau, Manis? Boleh, boleh!
Agaknya aku pun sudah tidak sabar untuk mengelus
kulitmu yang halus!"
"Anjing buduk!" memaki Ambarwati sambil melo-
loskan pedangnya yang terdapat di punggungnya. "Ma-
julah!" bentaknya dengan gagah.
Pragono terbahak lagi. Dan tiba-tiba dia melom-
pat bersalto, langsung mengirimkan satu serangan ke
arah dada Ambarwati!
***
TIGA
Ambarwati yang sudah siap sejak tadi, segera
menyabetkan pedangnya ke arah Pragono. Pragono
menjadi urung menyerang dan dia kembali bersalto ke
belakang dan hinggap di bumi dengan ringannya.
"Hebat!" desisnya kagum.
"Dan aku akan memperlihatkan kepadamu Orang
jelek, bahwa masih ada kehebatan milikku yang harus
kau ketahui?!" maki Ambarwati.
Pragono terbahak.
"Hahaha... sudah tentu aku akan menikmatinya,
Manis! Tubuh bagian mana yang akan kau perli-
hatkan?!"
Merah padam wajah Ambarwati.
Dia pun menjadi murka.
"Anjing buduk!" makinya berang dan segera me-
lompat menyerbu.
"Bagus, bagus!" tertawa Pragono menyambut se-
rangan itu. Kini di tempat itu dan di tengah malam bu-
ta terjadi dua perkelahian yang hebat.
Jawinto sendiri sudah meloloskan goloknya un-
tuk segera menghabisi Pranata Kumala. Tetapi dengan
menggunakan jurus Kijang Kumala, Pranata berhasil
melepaskan diri dari kepungan golok itu.
Dia pun sudah mengeluarkan pula jurus Tangan
Bayangannya, warisan dari gurunya Ki Ageng Jayasih
yang bermukim di Gunung Muria (Baca: Kakek Sakti
dari Gunung Muria).
Pertarungan keduanya semakin hebat dan cepat.
Semakin tangguh dan berbahaya.
Begitu pula dengan Ambarwati yang terus mene-
kan Pragono dengan ilmu pedangnya.
Pragono yang semula menganggap enteng menja-
di kaget melihat kepandaian Ambarwati yang di luar
dugaannya. Dia pun segera meloloskan goloknya.
Tak lama kemudian pun terdengar suara senjata
beradu. Cukup keras.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Manis!" terta-
wa Pragono yang merasa berada di atas angin. Dengan
golok di tangannya dia seperti bisa menguasai Ambar-
wati.
Ambarwati sendiri merasakan tangannya kese-
mutan setiap kali pedangnya beradu dengan golok Pra-
gono.
Ini menandakan tenaga dalamnya kalah oleh
Pragono. Hanya berada satu tingkat di bawah Pragono.
Tetapi gadis yang keras kepala itu tak mau me-
nyerah begitu saja. Dia pun mengimbanginya dengan
menggunakan kelincahannya.
"Kau yang tak bisa lari dariku, Orang jelek!" ma-
kinya.
"Hahaha... sudah kewalahan begini kau masih
bisa banyak omong! Bagus, bagus sekali!"
"Anjing buduk!" maki Ambarwati sambil terus
mencoba menekan.
Namun serangan-serangannya berhasil dipatah-
kan oleh ayunan golok Pragono. Sampai suatu ketika,
Pragono mencecar dengan hebat.
Ambarwati sendiri menjadi kelabakan. Sebisanya
dia mencoba menangkis, menghindar dan membalas.
Namun sepertinya gerakannya sudah terkurung oleh
Pragono.
Pragono terkekeh. "Hahaha... rupanya ajal sudah
di ambang pintu untukmu, Manis... Nah, lebih baik
kau menyerah saja dan merelakan tubuhmu kunikma-
ti...."
"Ciiih! Lebih baik aku mampus daripada jatuh ke
tanganmu, Orang jelek!"
Pranata pun melihat istrinya dalam keadaan ter-
desak. Namun serangan-serangan yang dilancarkan
Jawinto menyulitkannya untuk membantu istrinya.
Dan dia melihat istrinya sudah benar-benar tak
mampu lagi menghindar. Golok di tangan Pragono su-
dah siap untuk mencabut nyawanya.
Tiba-tiba Pranata menggerakkan tangan kanan-
nya ke arah Pragono.
"Siiiing!"
Selarik sinar merah melesat ke arah Pragono.
Pragono terkejut. Dia mengurungkan niatnya un-
tuk menghabisi Ambarwati. Lalu dia dengan sigap me-
rundukkan kepalanya. Sinar merah itu melewati kepa-
lanya hanya beberapa senti.
Dan menerjang sebuah pohon yang terdapat di
hutan kecil itu hingga hangus.
"Bedebah!" maki Pragono pada Pranata.
Melihat lawannya lengah, Ambarwati pun segera
mengambil kesempatan. Dia mendadak saja menye-
rang.
Pragono terkejut. Namun pedang di tangan Am-
barwati telah lebih dulu mengenai sasarannya.
Terdengar jeritan Pragono keras.
Darah segar menyembur dari dadanya.
Dia menekap darah itu dengan tangannya. Ma-
tanya liar dan dendam menatap Ambarwati.
"Kau..."
Hanya itu yang diucapkannya. Hanya itu. Sele-
bihnya tubuhnya ambruk bersimbah darah.
Ambarwati mendengus.
Sementara itu melihat temannya telah tewas, Ja-
winto menjadi marah yang luar biasa. Dia terus men-
cecar Pranata Kumala dengan goloknya.
Namun menghadapi lawan yang telah kalap se-
perti ini, bagi Pranata bukanlah hal yang menyusah-
kan. Dia pun memapakinya serangan-serangan itu
dengan jurus Kijang Kumalanya dan jurus Tangan
Bayangannya yang membuat tangannya seolah menja-
di bayangan dan banyak, berkali-kali mengenai sasa-
rannya.
Dan tiba-tiba dia memekik.
"Des!"
Satu pukulan telak mengenai tepat di dada Ja-
winto yang terhuyung menahan rasa sakit.
"Bunuh saja, Kakang!" seru Ambarwati.
Pranata cuma tersenyum. "Tidak usah, Rayi. Dia
sudah kalah. Kita tidak boleh membunuh orang yang
sudah kalah."
"Tapi kalau kita yang kalah, kita tetap akan di-
bunuhnya, Kakang!"
"Tidak usah, Rayi... biarkan dia hidup dan me-
nyesali semua perbuatannya."
Namun menyesalkah Jawinto? Laki-laki itu ma-
lah menjadi geram. Lalu karena menyadari dia tidak
akan menang, bergegas dia melompat ke kudanya. Dan
segera menggebrak maju lari kudanya.
Meninggalkan Pragono yang telah menjadi mayat.
Dan membawa rasa sakit di dadanya yang amat terasa.
Pranata Kumala mendesah. "Ah, mengapa masih
banyaknya orang-orang jahat di muka bumi ini?"
Ambarwati mendekati suaminya.
"Mengapa dia tidak kau bunuh saja, Kakang?
Orang jahat seperti itu tidak layak untuk hidup," kata
Ambarwati menyesali sikap suaminya.
Pranata tersenyum. Berpaling pada istrinya.
"Tidak perlu, Rayi. Kita tidak perlu menurunkan
tangan telengas pada lawan yang sudah kalah.
"Mengapa, Kakang? Bila orang jahat seperti itu
kau biarkan hidup, maka kejahatannya akan semakin
merajalela. Apakah kau tidak mendengar kalau tadi dia
bilang dia dan kawannya yang telah mampus itu ang-
gota dari Gerombolan Orang-orang Bengis? Dari nama
gerombolannya saja itu sudah menandakan dia dan
mungkin beberapa orang teman lainnya, adalah orang-
orang yang kejam. Bengis! Lalu mengapa kau mem-
biarkannya hidup?"
"Rayi... mati ada di tangan Tuhan. Bila kita men-
cabut nyawa manusia itu, sama saja kita mendahului
Tuhan."
"Tapi kita mempertahankan nyawa, Kakang! Ka-
lau bukan kita yang mati, dia yang mati. Begitu pula
sebaliknya."
"Tetapi tadi aku tidak sedang mempertahankan
diri, Rayi."
"Kau bertarung dengannya itu tidak kau katakan
mempertahankan diri?"
"Bukan itu maksudku, Rayi...."
"Lalu apa, Kakang?" kata Ambarwati yang jadi
sebal karena suaminya selalu menentang kata-
katanya.
"Orang tadi sudah tidak berdaya, tidak dalam
keadaan bertempur melawanku? Dia sudah kalah. Itu-
kah yang kau namakan sedang bertempur?"
"Semula kau bertempur dengannya, bukan?"
"Iya! Dan bila orang itu mati di tanganku saat
bertempur, aku tidak apa-apa. Tetapi orang itu sudah
tidak berdaya, tidak sedang bertempur denganku. Bila
aku membunuhnya, sama saja aku dengan mencabut
nyawanya secara sengaja. Dan itu berarti mendahului
Tuhan, Rayi...."
Ambarwati terdiam. Sebenarnya dia mengerti dan
tahu maksud dari kata-kata suaminya. Namun kejeng-
kelan karena waktu istirahat dan kemesraan yang se-
dang diberikan oleh suaminya terganggu oleh orang-
orang itu, maka dia menjadi jengkel.
Seharusnya orang itu dibunuh saja! Begitu
maunya Ambarwati. Dengan alasan, bila dibiarkan hi-
dup maka kejahatan yang dilakukannya akan semakin
merajalela.
"Kau mengerti bukan, Rayi?" tanya Pranata Ku-
mala dengan suara mesra karena istrinya diam saja.
Ambarwati mengangkat kepalanya. Ah, semakin
lama dia semakin kagum terhadap suaminya. Dan rasa
cintanya semakin besar saja.
"Bagaimana, Rayi? Kau mengerti?" tanya Pranata
Kumala lagi.
Dan perlahan-lahan kepala itu mengangguk. Ada
senyum yang tersungging di bibirnya.
"Iya, Kakang...."
"Nah, itu baru istriku yang manis." Ambarwati
tersipu.
"Sebaiknya kita pindah dari tempat ini, Rayi... Ki-
ta cari tempat yang lebih sepi. Agar... hahaha... agar
aku bisa merangkulmu lebih erat...."
Ambarwati tersipu. Dia memukul-mukul bahu
suaminya dengan manja.
***
EMPAT
Pagi itu udara cerah. Matahari telah sepenggalah.
Sinarnya yang keemasan nampak telah memayungi seluruh dunia. Memberikan penghidupan bagi umat ma-
nusia melalui sinarnya. Ini menunjukkan salah satu
kekuatan dan kekuasaan Tuhan pada umat-Nya.
Sebagai manusia, kita memang harus mensyuku-
ri nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya.
Pagi itu pula di Perguruan Topeng Hitam, para
muridnya tengah berlatih. Memang setiap pagi murid-
murid Perguruan Topeng Hitam berlatih ilmu pedang.
Pedang memang senjata yang menjadi ciri khas
dari perguruan itu. Selain itu, mereka pun memiliki
senjata rahasia yang berbentuk topeng itu. Di samping
itu pula, semua murid-murid Perguruan Topeng Hitam
memakai pakaian hitam-hitam dan menutup wajah
mereka dengan topeng hitam.
Ketua dari Perguruan Topeng Hitam adalah Ma-
dewa Gumilang alias Pendekar Bayangan Sukma. Se-
benarnya perguruan itu dulu diketuai oleh Paksi Ulu-
dara atau yang berjuluk si Dewa Pedang. Namun sete-
lah si Dewa Pedang tewas di tangan Nindia, maka dia
pun menyerahkan tampuk kekuasaan itu pada Made-
wa Gumilang sebelum ajal menjemputnya (Baca: Dewi
Cantik Penyebar Maut).
Di bawah pimpinan Madewa Gumilang dan is-
trinya Ratih Ningrum, nama dan ketenaran Perguruan
Topeng Hitam seakan telah mengumandang ke seluruh
rimba persilatan.
Selama ini Madewa memang tidak pernah menga-
jarkan jurus, ilmu atau pun ajian yang dimilikinya ke-
pada murid-muridnya. Dia tidak mau merubah tradisi
yang telah mendarah daging di Perguruan Topeng Hi-
tam yang selalu bersenjatakan pedang.
Dia hanya mengajarkan jurus-jurus pedang yang
diciptakannya. Dibantu oleh Ratih Ningrum yang me-
miliki jurus Pedang Kembar warisan dari gurunya yang
bernama Mukti.
Selesai memberi petunjuk kepada para murid-
muridnya, Madewa menyuruh salah seorang murid pi-
lihan untuk memimpin berlatih. Dia sendiri melangkah
masuk ke dalam.
Sesampai di dalam, Madewa melihat istrinya
nampak sedang termenung. Perlahan-lahan dia men-
dekati.
"Dinda... ada apakah gerangan hingga Dinda ke-
lihatan bermuram durja?" tanyanya dengan mesra.
Ratih Ningrum mengangkat kepalanya. Terse-
nyum pada suaminya tercinta. Madewa dapat melihat
kalau sepasang mata itu seperti sedang rindu pada se-
suatu.
"Kanda...." desis Ratih Ningrum bagaikan desa-
han belaka.
"Ya, Dinda?! Katakanlah... ada apakah geran-
gan?"
Ratih Ningrum mendesah. "Apakah Kanda sudah
lupa... beberapa minggu yang lalu Kanda pernah ber-
janji pada Dinda, untuk menjenguk dan mencari Pra-
nata Kumala dan anak menantuku, Ambarwati?"
Madewa tersenyum. Rupanya soal itu. Ya, dia
masih ingat sebulan yang lalu dia memang pernah ber-
janji pada istrinya untuk mencari putra dan anak me-
nantunya. (Baca: Maut Buat Madewa Gumilang).
"Lalu?"
"Apakah Kanda menjadi orang yang tidak pernah
menepati janji?"
Madewa tersenyum. Arif dan bijaksana. Dia lalu
duduk di hadapan istrinya. Jubah putihnya tergerai di
lantai.
"Kanda tidak pernah akan berubah."
"Sampai kapan pun?"
"Sampai kapan pun."
"Lalu mengapa Kanda tidak memenuhi permin
taan Dinda dan mengabulkan semuanya?"
"Sudah tentu akan kukabulkan. Baik, besok pagi,
kita akan berangkat menuju Pantai Laut Selatan. Ba-
rangkali saja Pranata dan anak menantu kita Ambar-
wati, punya rasa rindu pula terhadap rumah mereka di
Laut Selatan."
Seketika sepasang mata Ratih Ningrum bersinar
cerah. Mirip seorang anak kecil yang diberi permen.
"Benarkah, Kanda?"
Madewa tersenyum.
"Mengapa tidak?"
"Oh! Aku sudah rindu sekali dengan Pranata
Kumala, Kanda. Aku sudah rindu sekali. Hei..."
"Kenapa, Dinda?"
"Apakah... apakah anak menantuku sudah ha-
mil?"
Madewa tersenyum. "Kau bisa menanyakannya
bila bertemu dengannya."
"Andaikata dia sudah hamil, aku akan menimang
cucu, Kanda... Oh, alangkah senangnya!"
Madewa tersenyum. "Dinda... bagaimana bila pu-
tra dan anak menantu kita tidak ada di Laut Selatan?"
"Oh!"
"Bagaimana, Dinda?"
Ratih Ningrum menatap wajah suaminya.
"Kanda akan memenuhi permintaanku, bukan?"
"Sudah tentu. Kau adalah wanita yang baik hati
dan setia, Dinda. Yang telah menemaniku hidup sela-
ma bertahun-tahun dalam suka dan duka. Mengapa
aku tidak akan memenuhi semua permintaanmu? Se-
pertinya aku tidak punya alasan untuk itu," kata Ma-
dewa sambil tersenyum.
Ratih Ningrum pun ikut tersenyum. Dia merasa
terharu dan bangga mendengar kata-kata suaminya.
Dulu, suaminya hanyalah perawat kuda di rumahnya,
dan dia tak pernah menyangka akan menjadi istrinya.
Sejak masih perawan dulu, Ratih Ningrum diam-diam
memang menyintai Madewa yang saat itu menjadi pe-
rawat kudanya. Namun percintaan itu ditentang oleh
ayahnya. Tetapi Ratih Ningrum nekat. Dan yang tak
pernah disangkanya, ayahnya yang bernama Biparse-
na adalah seorang tokoh hitam yang jahat (Baca: Pe-
dang Pusaka Dewa Matahari dan Dendam Orang-orang
Gagah).
"Kanda...." terdengar suaranya lagi. "Kita akan
cari Pranata Kumala dan Ambarwati sampai bertemu.
Aku sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan mereka.
Dan aku pun sudah tidak sabar ingin mengetahui
apakah anak menantuku sudah hamil atau belum."
"Ya."
"Kau mau memenuhinya, bukan?"
"Tentu."
"Kau memang suami yang setia, Madewa...."
"Kau juga seorang istri yang setia, Ratih...."
Keduanya saling tersenyum.
***
Keesokan paginya, dua ekor kuda jantan yang
gagah telah dikeluarkan dari kandang. Madewa tengah
menyampaikan pesannya pada murid-muridnya sepe-
ninggal dia dan istrinya untuk menuju Laut Selatan.
"Aku minta... jangan ada yang membuat keribu-
tan. Onar atau pun masalah. Bila memang ada, usa-
hakan kalian semua melakukannya dengan cara da-
mai. Jangan sampai timbul bibit permusuhan yang ter-
jadi di antara sesama! Mengerti?!"
Para muridnya pun mengangguk. Lalu Madewa
dan istrinya segera menaiki kuda-kuda mereka. Dan
memulai perjalanan menuju Laut Selatan.
Bagai seorang anak kecil Ratih Ningrum sudah
tidak sabar ingin bertemu dengan putra dan anak me-
nantunya. Di sepanjang jalan dia selalu tersenyum-
senyum.
Madewa Gumilang hanya membiarkan saja is-
trinya menikmati kebahagiaannya.
***
LIMA
Keadaan di Laut Selatan begitu menyedihkan se-
kali. Para penduduk yang tinggal di sana, kini telah
menjadi budak dari orang-orang jahat itu.
Nasib kaum wanita lebih menyedihkan lagi. Me-
reka di jadikan pemuas hawa nafsu mereka. Kadang
mereka digarap secara beramai-ramai dengan digilir.
Dan dalam waktu satu minggu saja, di tempat itu
telah berdiri sebuah bangunan yang cukup megah.
Yang dibangun dengan uang rakyat. Dan pekerjanya
pun para penduduk yang dengan paksa siang dan ma-
lam harus membanting tulang untuk mendirikan ban-
gunan itu.
Kini di salah sebuah ruangan itu, berkumpul Se-
copati, Pronomuro dan Wiroprogo. Mereka tengah
membicarakan Pragono dan Jawinto yang belum kem-
bali sampai sekarang ini.
"Apakah mereka belum tiba di sana?" menduga
Pronomuro.
"Kalau belum tiba tidak mungkin. Kupikir... ada
atau telah terjadi sesuatu pada diri mereka...." kata
Secopati.
"Apa maksudmu?"
"Mengingat sampai sekarang mereka belum kembali pula ke sini?"
"Apa kira-kira yang terjadi?" tanya Wiroprogo.
"Aku pun tidak tahu. Kalau pun mereka ada ha-
langan di jalan, mustahil mereka bisa dikalahkan.
Ataupun aku yakin mereka bisa mengatasi halangan
itu."
Ketiga orang itu memang sedang sibuk memikir-
kan Pragono dan Jawinto. Karena mereka tahu, waktu
yang diberikan oleh Nyai Prodo untuk menguasai selu-
ruh wilayah Laut Selatan, hanya satu minggu. Bila le-
bih dari waktu yang ditentukan, akan mendapat sangsi
yang mengerikan.
Harus mati dengan kepala terpenggal.
Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan di hadapan
mereka. Ketiganya serentak berdiri. Terkejut. Lebih
terkejut lagi ketika melihat bungkusan itu berdarah.
"Hei, apa itu?" seru Wiroprogo.
"Siapa yang telah melemparkannya?!" seru Seco-
pati.
Sedangkan Pronomuro telah melesat ke luar.
Namun di sana dia tidak melihat sesuatu yang mencu-
rigakan kecuali beberapa pemuda yang telah dilatih
dan dipaksa oleh ketiganya untuk menjadi penjaga
bangunan itu.
Pronomuro kembali lagi ke teman-temannya.
"Yah... tidak ada sesuatu yang mencurigakan!"
katanya.
"Lebih baik kita lihat isi bungkusan berdarah
itu!" kata Secopati.
Lalu dia pun membukanya. Dan terdengar jeritan
yang keras dari ketiganya begitu melihat isi bungkusan
itu.
"Jawinto!"
"Oh!"
"Mengapa sampai begini?!"
Bungkusan yang berlumur darah itu ternyata be-
risi kepala Jawinto yang terpisah dari tubuhnya. Sepa-
sang mata itu terbeliak seperti menahan rasa sakit.
Belum lagi ketiganya sempat berkata-kata, ter-
dengar suara kekehan di belakang mereka.
Serentak ketiganya menoleh.
"Nyai!" Dan seruan itu pun diucapkan secara ber-
samaan.
Sosok tubuh yang terkekeh itu tak lain adalah
Nyai Prodo. Dia seorang nenek bongkok. Rambutnya
yang putih beruban disanggul dengan sebuah tusuk
konde. Ketika dia terkekeh terlihat semua giginya ter-
buat dari perak.
"Hehehe... kalian terkejut, bukan?!" terkekeh lagi
Nyai Prodo.
"Nyai? Apa yang telah terjadi dengan Jawinto?
Siapa yang telah melakukannya?!" kata Secopati.
"Aku sendiri yang melakukannya?" terdengar su-
ara Nyai Prodo. Kali ini beraksen geram.
Ketiga orang itu menjadi terdiam. Secopati mem-
beranikan diri untuk mengangkat wajahnya dan berka-
ta.
"Mengapa, Nyai? Apa salahnya dia? Bukankah
dia dan Pragono sudah kuutus untuk melaporkan se-
mua ini pada Nyai? Sementara kami di sini memban-
gun gedung ini dan melabrak setiap desa?"
"Lalu apa yang kau pikir, kan?"
"Saya tidak tahu, Nyai?"
"Hhh! Kau pikir dia dan Pragono tiba di tempatku
seperti waktu yang kuberikan pada kalian?"
"Ya." Ketiganya menyahut serempak.
"Tidak!" sahut Nyai Prodo tegas. "Dia tiba di tem-
patku dua hari lewat dari waktu yang kutentukan da-
lam terluka parah."
"Terluka parah? Apa yang terjadi?" tanya Secopati
mewakili keheranan kedua temannya.
"Dia memang menceritakannya padaku kejadian
yang telah dialaminya. Dia dan Pragono bertempur
dengan sepasang suami istri yang Pranata Kumala dan
Ambarwati. Kedua suami istri muda itu memang
orang-orang yang tangguh hingga mereka bisa menga-
lahkan Pragono dan Jawinto...."
"Lalu bagaimana dengan Pragono?"
"Dia telah mampus, goblok!"
Ciut hatinya Secopati mendengar bentakan yang
keras itu.
Didengarnya lagi suara Nyai Prodo, "Ini semua
berkat kelalaian kedua teman kalian itu. Seharusnya
mereka bisa tiba di tempatku sebelum batas waktu
yang kutentukan. Tetapi sifat mata keranjang mereka
yang membuat mereka seperti ini."
"Hihihi... tapi aku tidak mau tahu soal itu. Jawin-
to telah lewat dari batas yang kuberikan untuk menga-
barkan hasil kerja kalian. Dan dia pun telah merasa-
kan hasil dari kelalaiannya! Kalian telah melihat sendi-
ri, bukan?"
Ketiga orang itu hanya terdiam. Dalam hati me-
reka pun sudah menduga, nasib yang sama akan di-
alami oleh mereka.
"Sial! Mengapa mata keranjang keduanya tidak
bisa mereka kekang dulu sebelum tugas selesai?" Maki
Secopati dalam hati.
Nyai Prodo terkikik melihat ketiga kepala itu
mengangguk seperti pasrah dan ketakutan.
"Untuk kalian kuampuni!"
Seketika ketiga kepala itu terangkat. Tiga pasang
mata berbinar tak percaya.
"Kalian telah melakukan tugas yang kuberikan
dengan baik. Dan ini bukanlah kelalaian kalian! Tetapi
kelalaian Pragono dan Jawinto. Biarkan saja kedua
orang itu mampus!"
"Terima kasih, Nyai...." kata Secopati. Lalu berka-
ta lagi, "Sebaiknya Nyai beristirahat dulu. Biar dilayani
oleh para pelayan di sini...."
Secopati menepuk tangannya tiga kali.
Tak lama kemudian muncul dua orang gadis ber-
pakaian minim. Wajah mereka nampak layu dan tak
berdaya. Mengalahkan kecantikan mereka.
"Layani Nyai Prodo dengan baik!"
"Baik, Tuan."
Nyai Prodo terkekeh.
"Hihihi... hebat, hebat sekali! Kalian telah bisa
menguasai mereka dengan sempurna!"
"Silahkan, Nyai... silahkan beristirahat...." kata
Secopati.
Nyai Prodo terkekeh lagi. "Secopati... aku memin-
ta kau carikan dua orang pemuda yang masih perjaka,
untuk menambah kehebatan ilmuku ini...."
"Semuanya akan Nyai dapatkan...."
"Dan satu lagi permintaanku, kalian cari sepa-
sang suami istri muda itu. Dan kalian bunuh!"
"Baik, Nyai...."
Lalu dengan diantarkan oleh dua gadis yang ber-
pakaian minim itu, Nyai Prodo menempati sebuah ka-
mar yang indah bagus. Di dalam kamar itu terdapat
makanan yang enak-enak dan buah-buahan yang ma-
sih segar-segar.
"Hihihi... inilah yang kuimpi-impikan sejak la-
ma...." serunya mengagumi ruangan itu.
Di luar, Secopati sedang menendang kepala Ja-
winto hingga menggelinding.
"Rasakan sendiri olehmu akibat kelalaianmu itu!"
dengusnya. Lalu dia berkata pada Wiroprogo, "Cepat
kau cari dua pemuda yang masih perjaka! Jangan
sampai kemarahan Nyai Prodo semakin menjadi-jadi,
dan kita dijadikan sasaran kemarahannya!"
Wiroprogo pun tak mau kalau kepalanya harus
berpisah dengan badannya. Dia pun bergegas berlari
ke luar untuk mencari dua orang pemuda yang perja-
ka, yang akan dipersembahkannya kepada Nyai Prodo.
"Pronomuro... agaknya kita memang harus men-
cari Pranata Kumala dan Ambarwati. Bila tidak, kema-
rahan Nyai Prodo bisa melanglang setinggi langit!" kata
Secopati pula.
"Benar, Secopati!" kata Pronomuro. "Aku pun tak
mau kalau dijadikan sasaran kemarahan Nyai Prodo.
Aku masih sayang dengan kepala dan tubuhku! Haha-
ha... masih banyak kenikmatan yang belum aku rasa-
kan lagi, Secopati!"
"Betul! Kita harus bersiap sekarang juga!"
Lalu kedua orang itu pun segera mengatur ren-
cana. Tak lama kemudian Wiroprogo datang kembali
dengan dua orang pemuda desa yang gagah dan ber-
wajah tampan.
"Bagaimana dengan keduanya ini?" tanya Wiro-
progo.
"Bagus!" sahut Secopati. "Pasti Nyai Prodo suka
menikmatinya! Bawa dia ke kamarnya sekarang juga,
Wiroprogo!"
Wiroprogo pun membawa kedua pemuda yang
bagaikan dicocok hidungnya menuju kamar Nyai Pro-
do.
***
ENAM
Nyai Prodo terkekeh melihat kedua pemuda itu.
Tetapi kedua pemuda itu malah terbelalak melihat wajah seram dari Nyai Prodo.
"Hehehe... jangan takut. Manis... masuklah...."
terkekeh Nyai Prodo. Lalu membentak pada dua gadis
yang tengah bersimpuh di kamarnya, "Kalian berdua
keluar!"
Kedua gadis itu keluar.
Nyai Prodo membawa kedua pemuda itu masuk.
Lalu dia sendiri mengunci pintu.
Kedua pemuda itu nampak ketakutan.
"Hehehe... mengapa harus takut, Manis... tidak
apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa...."
Salah seorang pemuda yang mempunyai sedikit
nyali berkata, "Apa... apa yang akan kami lakukan,
Nyai?"
"Hehehe... kalian hanya menemani aku tidur....
Itu saja...."
Keduanya bergidik dengan sepasang mata yang
terbelalak. Menemani tidur? Oh, Tuhan... kambing di-
beri obat perangsang pun belum tentu mau dengan
nenek jelek ini!
"Mengapa kalian kaget? Hehehe... kalian tidak
suka, ya?" suara Nyai Prodo tiba-tiba terdengar begitu
mesra sekali di telinga keduanya. Dan secara tiba-tiba
keduanya nampak terdiam. Terpengaruh. Diam-diam
Nyai Prodo tengah mengeluarkan ajian penyerat raga.
"Hehehe... coba kalian buka mata kalian baik-
baik, dan lihatlah siapa aku...."
Seperti tidak percaya pada tatapannya, kedua
pemuda itu terbelalak. Dia tidak melihat lagi wajah
yang menyeramkan itu. Melainkan melihat wajah yang
begitu cantik jelita. Mirip bidadari yang baru turun da-
ri kahyangan.
"Hehehe... bukankah aku cantik, Manis...." terke-
keh Nyai Prodo yang sudah menggunakan ajian Pem
balik Mata. Dan di pandangan kedua pemuda itu kini
mereka melihat seorang gadis yang amat jelita.
"Kau... kau siapa?" bertanya salah seorang sam-
bil menelan ludahnya.
"Aku yang akan menemani kalian tidur. Dan
memuaskan dahaga kalian...." suara Nyai Prodo ter-
dengar begitu mesra dan menggetarkan.
Dan kedua pemuda itu memang telah terkena
ajian Penyerat Raga dan Pembalik Mata. Secara tiba-
tiba saja keduanya secara bersamaan menubruk tu-
buh Nyai Prodo yang dalam pandangan mereka telah
berubah menjadi wanita yang cantik jelita.
Nyai Prodo terkekeh kegelian.
Kedua pemuda itu saling berebut untuk meng-
gumuli yang pertama. Dan ini membuat Nyai Prodo
makin keenakan.
Tak lama kemudian di kamar itu pun tercium
hawa mesum yang mendebarkan. Dan sekali-kali ter-
dengar suara kekehan Nyai Prodo diiringi dengan den-
gusan kedua pemuda itu.
Dan tak lama kemudian kedua pemuda itu pun
tergolek lemah tak berdaya dengan mata yang terpe-
jam. Menikmati dan merasakan apa yang telah mereka
alami barusan tadi.
Betapa menggetarkan.
Betapa mengasyikkan.
Membuat seluruh urat darah berpacu dengan ce-
pat.
Nyai Prodo perlahan-lahan bangkit mendekati
kedua pemuda itu.
Dia terkekeh. Dan secara tiba-tiba tangannya
menotok urat kaku di leher kedua pemuda itu. Yang
serentak membuka matanya.
Dalam pandangan mereka kini terlihat kembali
wajah asli Nyai Prodo.
Mereka jadi kaget.
Kemana gadis itu?
Mengapa muncul nenek peot ini lagi?
"Hehehe... jangan kaget... darah kalian dapat
menambah kekuatan ilmu Pemusnah Jiwa yang kumi-
liki.... hehehe...."
Dan tiba-tiba saja Nyai Prodo menciumi leher
pemuda yang satu. Buas. Dan tiba-tiba dia menggigit
leher itu.
Terdengar pekikan yang panjang dari pemuda
yang tak bisa berontak karena seluruh tubuhnya dira-
sakan kaku.
Terdengar bunyi berkecipak di mulut Nyai Prodo.
Darah dalam tubuh pemuda itu telah disedotnya hing-
ga kering. Lalu dia terkekeh sambil mengelap mulut-
nya yang berlepotan darah.
Pemuda yang satu lagi menjadi ngeri melihat pe-
mandangan yang baru saja terjadi di depan matanya.
Dia berusaha untuk memberontak, namun totokan
Nyai Prodo seakan mematikan seluruh tubuhnya.
Lebih ngeri lagi ketika Nyai Prodo berpaling pa-
danya.
"Hehehe... kau pun akan merasakan kenikmatan
itu, Manis...."
"Jangan... jangan, Nyai... ampuni aku...." desis
pemuda itu ketakutan.
"Hehehe... darahmu begitu segar. Begitu nikmat.
Hehehe...."
"Ampuni aku, Nyai... ampuni aku... akan kupe-
nuhi semua permintaanmu...."
Nyai Prodo terkekeh.
"Hehehe... benarkah kau akan melakukannya
dan memenuhi semua permintaanku?"
"Iya, iya, Nyai... ampuni aku... ampuni aku...
Nyai, ampuni aku...."
"Hehehe... bila kau mau berjanji untuk memenu-
hi semua permintaanku, maka aku akan kuampuni...."
"Baik, baik, Nyai... ampuni aku...."
"Kau belum mengatakan mau memenuhi semua
permintaanku?"
"Ya, ya... aku akan memenuhi semua permin-
taanmu, Nyai...."
"Bagus...."
Wajah pemuda itu sedikit lega. "Kau benar mau
mengampuniku, Nyai...."
"Ya, karena kau telah berjanji seperti itu...."
"Ya, ya... saya berjanji Nyai... saya berjanji...." ka-
ta pemuda itu dengan sungguh-sungguh.
"Baik, aku akan mengampunimu, Anak muda...."
kata Nyai Prodo sambil tersenyum. Entah senyum apa
yang tersirat sesungguhnya itu.
Wajah pemuda itu semakin lega. Dia mendesah.
Ah... betapa mengerikannya bila aku harus mengalami
hal yang sama seperti Manto, desisnya dalam hati.
Tiba-tiba dia melihat wajah Nyai Prodo semakin
dekat dengan tubuhnya.
"Oh, apa... apa, Nyai...."
"Aku ingin melihat apakah kau benar-benar mau
membuktikan ucapanmu itu...."
Pemuda itu menelan ludahnya.
"Ya, ya... Nyai... aku akan membuktikan...."
"Benar kau akan membuktikannya?" kata Nyai
Prodo dengan tersenyum.
"Ya, ya... aku akan membuktikannya, Nyai... Per-
cayalah...."
"Bagus! Aku hendak meminta darahmu...."
"Apa?" sepasang mata itu terbelalak. Mulutnya
sampai terbuka.
Namun pemuda itu tak bisa berkata-kata lagi se-
lain menjerit panjang ketika gigi-gigi Nyai Prodo meng
hunjam di lehernya.
Menyedot darahnya.
"AAAAAKKKKHHHHHH!"
***
TUJUH
Dua ekor kuda itu semakin mendekati suara de-
buran ombak. Ambarwati memacu kudanya kencang-
kencang. Dia sudah tidak sabar untuk melihat ombak
di mana dia dibesarkan di tempat ini.
"Ayo, cepat, Kakang!" serunya pada suaminya.
Wajahnya gembira bukan main. Dia seolah telah men-
cium hawa angin laut yang segar.
Pranata segera menyusul dengan menghentakkan
tali kekang kudanya. Mereka memang baru tiba di
Laut Selatan. Pranata masih menunggu kedatangan
Jawinto lagi. Karena dia yakin laki-laki itu akan datang
lagi dengan teman-temannya. Pranata jadi ingin men-
getahui siapa sebenarnya orang-orang itu. Dan siapa
sebenarnya pemimpin Gerombolan Orang-orang Bengis
itu.
Tetapi setelah lama ditunggu, ternyata tak ada
seorang pun yang muncul kembali. Lalu dia pun sege-
ra mengajak istrinya untuk berangkat menuju Laut Se-
latan.
Ambarwati menghentikan kudanya di tepi pantai.
Lalu dia melompat turun dan segera berlari ke laut.
Dibasahinya tubuhnya dengan air laut yang telah lama
dirindukannya. Telah lama dia ingin merasakan kem-
bali kesejukan angin dan air laut.
"Ke sini, Kakang!" serunya pada suaminya.
Pranata pun berlari, mendekati istrinya. Dengan
manja dan tawa yang gembira Ambarwati menyiram-
nyiramkan air laut ke tubuh suaminya.
"Hei, awas kamu, ya? Aku balas nanti!" kata Pra-
nata Kumala dan mulai membalas.
Jadilah keduanya saling menyiramkan air mirip
bocah-bocah kecil yang gembira bermain air.
Saat ini keduanya berada di sebelah utara dari
Gerombolan Orang-orang Bengis berada. Hingga keda-
tangan mereka belum diketahui.
Kedua suami istri itu masih asyik bermain-main
dengan air laut.
Pranata melihat betapa bahagianya wajah is-
trinya. Ah, istrinya sudah begitu rindu sekali nampak-
nya dengan suasana Laut Selatan.
Dibiarkannya istrinya bergembira bermain air
laut. Setelah dirasakannya cukup dan dilihatnya ma-
tahari sudah beranjak untuk memasuki peraduannya,
Pranata pun berkata.
"Rayi... sebentar lagi malam akan datang. Tidak-
kah kita bermaksud untuk melihat rumah kita dulu?"
Ambarwati pun menghentikan bermain airnya
"Baik, Kakang...." katanya sambil mengikuti
langkah suaminya yang naik ke pantai.
Sesampai di pantai, kembali dia melepas pandan-
gannya ke laut lepas itu. Ah, entah di mana air laut ini
berada. Batasnya tak pernah kelihatan.
Sedangkan Pranata yang sejak tadi memperhati-
kan sekelilingnya menjadi agak keheranan. Dia tak
melihat seorang nelayan pun berada di sana.
Bukankah sudah menjadi kebiasaan di sini, bila
sore datang mereka tengah bersiap-siap memper-
siapkan segala sesuatunya untuk mencari ikan? Dan
bila malam datang, mereka pun mulai memasang layar
untuk mendatangi laut lepas?
Tapi tak seorang pun berada di sini?
Mengapa? Dan ada apa?
Ambarwati yang sudah puas memperhatikan laut
lepas, menjadi keheranan begitu dia berpaling pada
suaminya, nampak suaminya tengah termangu.
"Ada apa, Kakang?"
Pranata tersenyum, memandang istrinya.
"Tidak apa-apa, Rayi?"
"Tetapi mengapa Kakang seperti tengah berpikir
sesuatu?"
Pranata lagi-lagi tersenyum.
"Apakah kau tidak melihat keanehan di tempat
ini, Rayi?" tanyanya.
"Maksud, Kakang?" tanya Ambarwati heran sete-
lah memperhatikan sekelilingnya. "Apanya yang aneh?"
"Kau tidak memperhatikannya?"
"Aku tidak tahu, Kakang. Kasih tahulah padaku
apa yang menurutmu aneh?"
"Rayi... bukankah kebiasaan para nelayan di sini
bila sore dan malam hari mereka akan mencari ikan ke
laut?" kata Pranata pula.
"Memang itu kebiasaan mereka, Bukan? Lalu
apanya yang aneh, Kakang?"
"Kau tidak memperhatikannya, Rayi?"
"Maksud, Kakang?"
"Perhatikanlah sekali lagi."
Kembali Ambarwati menatap sekeliling pesisir
pantai. Dan pandangannya pun kembali menatap laut
lepas. Hei, ya, ya... dia baru tahu dan mengerti apa
yang membuat suaminya aneh. Ya, dia tidak melihat
seorang nelayan pun yang tengah bersiap-siap atau
pun yang sudah berlayar ke lautan mencari ikan.
Kembali dia berpaling pada suaminya.
"Ya, aku tahu, Kakang."
"Bukankah ini sesuatu yang aneh?"
"Lagipula... aku pun tidak melihat seorang pen
duduk pun yang berkeliaran. Bukankah setiap sore
begini selalu banyak bocah-bocah kecil yang datang
dan ke luar untuk bermain?"
"Benar, Rayi...."
"Apakah telah terjadi sesuatu di sini, Kakang?"
"Aku pun tidak tahu."
"Apakah sebaiknya tidak kita selidiki dulu?"
"Boleh, Rayi. Tapi besok kita melakukannya. Se-
karang kita kembali ke rumah. Atau... kau ingin men-
jenguk makam ayahmu dulu sebelum malam semakin
datang?"
"Ya, boleh, Kakang."
"Ayo, Rayi!"
Lalu keduanya pun segera menaiki kuda masing-
masing. Makam Jedangmoro atau pimpinan perampok
Gerombolan Golok Iblis berada tak jauh dari sana.
Saat hendak mendatangi makam ayahnya, tak te-
rasa Ambarwati menitikkan air mata. Bukan sedih ka-
rena ayahnya telah meninggal. Bukan sedih karena
ayahnya mati dalam keadaan sesat.
"Kenapa, Rayi?" tanya Pranata Kumala yang me-
lihat wajah istrinya memerah dan sepasang matanya
berkaca-kaca.
"Ah, tidak, tidak... Kakang...." Ambarwati meng-
geleng-geleng kepalanya.
"Katakanlah, Rayi... ada apa?"
"Aku... aku teringat ayah, Kakang...."
"Kenapa?"
"Aku amat menyayangi kematiannya...."
"Karena ayahmu mati di tanganku? Ah... maaf-
kan aku, Rayi... sebelumnya aku tidak tahu kalau pe-
mimpin perampok itu ayahmu...."
"Kakang!" Ambarwati menghentikan kudanya.
Menatap suaminya. "Mengapa kau berkata demikian,
Kakang?"
"Aku tahu perasaanmu, Rayi...."
"Bukan itu maksudku, Kakang...."
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Rayi...."
"Demi Gusti Allah, bukan itu maksudku...."
"Lalu apa, Rayi?"
"Aku amat menyesali kematiannya sebagai orang
sesat. Itu yang aku sesali, Kakang. Bukan karena ayah
mati di tanganmu. Bukan, bukan itu. Aku tidak per-
nah memikirkannya sama sekali...."
Pranata Kumala mendesah lega.
"Sebaiknya kita terus ke makam ayahmu, Rayi...
Aku pun ingin meminta maaf...."
Lalu kedua kuda itu kembali berpacu. Dari ke-
jauhan Ambarwati dan Pranata dapat melihat dua
orang penjaga membawa tombak berdiri di muka ta-
man pemakaman itu.
"Hei, sejak kapan pemakaman ini di jaga?" desis
Ambarwati.
"Aku pun tidak tahu."
"Kakang..."
"Ya, Rayi?"
"Jangan-jangan perasaanku selama ini benar.
Aku selalu yakin kalau ada sesuatu yang terjadi di
Laut Selatan ini."
"Mungkin, Rayi. Sebaiknya kita datangi saja
orang-orang ini."
Pranata dan Ambarwati kembali menjalankan
kudanya. Lalu keduanya turun.
Dua orang yang menjaga membawa tombak itu
membentak.
"Dilarang masuk ke sini!"
"Hei, apa-apaan kalian ini?" membentak Ambar-
wati. "Aku datang untuk menjenguk makam ayahku!"
"Siapa kalian?"
"Aku Ambarwati... dan ini suamiku, Pranata Ku
mala. Kami... hei, bukankah kau Pak Rejo?"
Laki-laki yang dipanggil Pak Rejo itu memicing-
kan matanya. Lalu terdengar desisannya. "Kau... Am-
bar... Ambarwati?"
"Iya, aku, Ambar... Pak. Aku Ambarwati... putra
dari mendiang Jedangmoro...."
"Oh, Nak Ambar... selamat datang kembali di
Laut Selatan," kata Pak Rejo lalu memberi isyarat pada
pemuda yang nampak tegang dengan tombak siap di-
hunjamkan.
"Terima kasih, Pak Rejo," kata Ambarwati. Pak
Rejo... katakan, apa yang tengah terjadi di sini? Men-
gapa taman pemakaman ini di jaga?"
"Maafkan Bapak, Nak Ambar. Semua ini karena
orang-orang jahat itu...." kata Pak Rejo dengan nada
sedih.
"Apa maksud Bapak?"
"Mereka adalah Gerombolan Orang-orang Bengis,
yang dipimpin oleh seorang nenek yang amat kejam.
Kalau tidak salah dia bernama Nyai Prodo... dan berge-
lar Malaikat Penghisap Darah...."
Kening Pranata Kumala berkerut. Sepertinya dia
pernah mendengar nama itu. Ya, dia teringat sekarang.
Jawinto dan Pragono pernah mengatakan hal itu.
Hmm... rupanya mereka telah membuat prahara di si-
ni.
"Apa yang telah terjadi, Bapak?" tanya Ambarwati
lagi.
"Mereka begitu jahat. Mereka menguasai bebera-
pa desa yang terdapat di Laut Selatan. Dan mereka
menarik pajak yang amat menggigit. Bila ada pendu-
duk yang tidak membayar pajak, maka matilah sebagai
gantinya...."
"Pantas sejak tadi tak seorang penduduk pun
yang kulihat mencari ikan di laut?"
"Memang benar, Nak Ambar. Setiap hari Jumat
dan Sabtu, para penduduk dilarang untuk pergi men-
cari ikan."
"Kenapa?"
"Entahlah... aku sendiri tidak tahu...." sahut Pak
Rejo sedih. "Nak Ambar... kekejaman orang-orang itu
amat luar biasa. Terutama pemimpin mereka yang
bernama Nyai Prodo. Setiap malam Sabtu dan malam
Minggu, ada beberapa pemuda yang diharuskan me-
nemaninya tidur. Dan keesokan paginya semuanya te-
lah mati dengan darah yang kering. Dia memang patut
bergelar Malaikat Penghisap Darah, Nak Ambar..."
"Lalu mengapa taman pemakaman ini dijaga,
Pak?"
"Ini atas suruhan mereka. Tanpa izin dari orang-
orang itu, tak seorang pun yang kami perbolehkan un-
tuk masuk ke sini...."
"Mengapa?"
"Saya pun tidak tahu...."
"Pak Rejo..." berkata Pranata Kumala. "Bolehkah
kami sejenak untuk menjenguk makam orang tua ka-
mi?"
"Oh, silahkan, silahkan...."
Lalu sepasang suami istri muda itu pun mema-
suki tanah pemakaman. Keduanya bersimpuh dan
berdoa di makam Jedangmoro. Setelah itu keduanya
kembali lagi pada Pak Rejo.
"Kalian mau ke mana sekarang?" tanya laki-laki
setengah baya itu.
"Kami hendak mendatangi rumah kami," sahut
Pranata.
"Oh!" wajah Pak Rejo kelihatan pias.
"Kenapa, Pak Rejo?"
"Saranku... jangan kalian pergi ke sana."
"Kenapa?"
"Berarti kalian memasuki sarang orang-orang itu.
Rumah kalian tepat berada tak jauh dari bangunan
tempat orang-orang itu berada."
"Bangunan?"
"Ya, para penduduk desa telah disuruh dengan
paksa untuk membangun sebuah gedung tempat me-
reka tinggal."
"Kalau begitu... ceritakan pada kami bagaimana
keadaan di sana?"
Pak Rejo pun menceritakan segala sesuatunya
sejak orang-orang itu datang.
"Jadi kepala desa Ki Jibus pun tewas di tangan
orang-orang itu?"
"Ya."
"Berapa jumlah mereka, Pak Rejo?"
"Anak buahnya hanya tiga orang. Seharusnya li-
ma orang. Tetapi entah ke mana yang dua lagi."
"Berarti mereka hanya berempat?"
"Benar."
"Mengapa kalian tidak mencoba untuk melawan?"
"Itu sudah kami lakukan. Tetapi kami tidak ber-
daya menghadapi mereka. Malah rasanya hanya mem-
buang nyawa dengan percuma."
"Pak Rejo... bisakah malam ini kami menumpang
di rumahmu?" tanya Ambarwati.
"Oh, maaf, maaf... saya bukannya tidak mengi-
zinkan. Tetapi amat berbahaya bila mereka tahu ada
orang asing di sini...."
"Kami bukan orang asing, Pak Rejo..."
"Saya mengerti. Tapi bagi mereka, kalian adalah
orang-orang asing...."
"Kalau begitu, terima kasih, Pak Rejo. Kami akan
menginap untuk sementara di bukit itu...."
"Hati-hati, Nak Ambar, Nak Pranata...."
"Kami permisi, Pak Rejo...."
Lalu keduanya kembali menaiki kuda masing-
masing. Berbalik, tidak jadi meneruskan perjalanan
menuju rumah mereka. Mereka mengambil jalan yang
telah mereka lalui tadi.
***
DELAPAN
Malam telah larut. Bulan sepotong, tertutup
awan. Nampak cuaca mendung. Sebentar lagi terlihat
akan segera turun hujan.
Dua sosok tubuh itu bergerak dengan cepat, ber-
lompatan mendekati bangunan besar itu. Mereka pun
bergerak cepat menotok para penjaga hingga terdiam
kaku.
"Jangan dibunuh, Rayi... mereka hanyalah orang-
orang suruhan yang dipaksa oleh gerombolan orang-
orang jahat ini," berkata yang seorang.
"Ya, Kakang...." sahut yang seorang.
Keduanya tidak lain Pranata Kumala dan istrinya
Ambarwati. Setelah dua hari menginap di atas bukit,
keduanya pun segera bermaksud untuk menyelidiki
gerombolan itu. Karena mereka tidak tahan melihat
penderitaan rakyat.
Malam ini rencana itu mereka jalankan.
"Kita harus memasuki bangunan itu, Rayi."
"Tetapi temboknya terlalu tinggi, Kakang."
"Ya. Itu yang menyulitkan."
"Kakang..."
"Ya?"
"Itu ada bambu panjang. Bisa kita gunakan un-
tuk melompat tembok itu."
"Benar, Rayi. Kau berani melakukannya?"
"Aku berani, Kakang. Bersamamu apa pula yang
harus kutakutkan?"
Pranata tersenyum. Lalu mengambil sebatang
bambu panjang itu. Dia memberikannya kepada Am-
barwati.
"Sebaiknya kau dulu. Berani?"
"Ya," sahut Ambarwati mantap.
Lalu dia mengambil ancang-ancang. Hup. Tanpa
bersuara sedikit pun dia telah berada di balik tembok
itu. Pranata segera menangkap bambu yang terlempar
itu.
Kemudian dia sendiri pun berbuat yang sama.
Kini keduanya sudah berada di balik tembok itu.
Lalu mengendap ke balik rimbunnya bunga-bunga.
"Bukan main, bagus sekali bangunan itu, Rayi!"
desis Pranata.
"Iya, Kakang... tetapi semua ini dibuat oleh tan-
gan dan keringat para penduduk secara paksa!" sahu-
tan Ambarwati terdengar geram.
"Kita mendekati bangunan itu, Rayi...."
Keduanya pun berjingkat dengan menggunakan
ilmu meringankan tubuh mereka. Tak lama kemudian
keduanya pun sudah berada di dinding bangunan itu.
Merapat.
Dan samar-samar telinga keduanya menangkap
suara-suara dari dalam.
"Kalian belum menemukan juga orang yang telah
membunuh teman kalian itu?!" terdengar suara berna-
da geram dan terdengar nyaring.
Lalu di susul dengan suara pelan, "Maafkan ka-
mi, Nyai. Sampai saat ini kami belum menemukan-
nya."
"Bodoh!"
"Kami belum tahu orangnya, Nyai...."
"Kalian bisa mencarinya, bukan? Nama sepasang
suami istri itu Pranata Kumala dan Ambarwati!"
"Iya, Nyai..."
"Apa, iya?!"
"Kami akan mencarinya kembali."
"Cepat! Aku tidak suka..." tiba-tiba Nyai Prodo
menghentikan suaranya. Kepala bergerak ke arah kiri.
Dia berseru, "Siapa di situ?!"
Pranata Kumala dan Ambarwati terkejut. Ternya-
ta ilmu pendengaran milik nenek itu begitu hebat.
"Lari, Rayi! Lari!" seru Pranata Kumala.
Keduanya pun berlari. Tetapi di hadapan mereka
kini telah berdiri empat sosok tubuh dengan pandan-
gan geram.
Nyai Prodo mendengus.
"Hhh! Rupanya kucing-kucing liar!" dengusnya
menggeram.
Pranata Kumala berusaha untuk tenang. Dia me-
lindungi istrinya karena dilihatnya tatapan tiga laki-
laki di hadapannya begitu buas dan nanar terhadap is-
trinya.
"Hhh! Orang-orang jahat! Cepat kalian pergi dari
Laut Selatan ini!"
"Hehehe... rupanya kau bisa membentak juga ru-
panya?!" bentak Nyai Prodo. "Bagaimana bila kami ti-
dak mau pergi dari sini, hah?!"
"Terpaksa kalian akan berurusan denganku?!"
balas Pranata tak mau kalah.
Membulatlah mata Nyai Prodo mendengar kata-
kata itu.
"Tangkap mereka!" perintahnya.
Dan serentak tiga orang anak buahnya menyer-
bu. Pranata Kumala melayaninya dengan segera. Dia
berhadapan dengan Secopati dan Wiroprogo. Sedang-
kan Ambarwati menghadapi Pronomuro.
Seketika di halaman bangunan itu terjadi perke
lahian yang hebat.
Jurus demi jurus pun berlangsung dengan cepat.
Pranata segera memadukan jurus-jurusnya. Ki-
jang Kumala, Tangan Bayangan dan Pukulan Sinar
Merah. Menghadapi Pukulan Sinar Merah ini Secopati
dan Wiroprogo menjadi kewalahan juga.
Sementara itu Ambarwati pun harus mengelua-
rkan segenap kemampuannya untuk menandingi dan
mengimbangi Pronomuro yang telah meloloskan golok-
nya.
"Jangan dibunuh! Lumpuhkan keduanya! Aku
hendak memberi pelajaran pada mereka!" seru Nyai
Prodo.
Tiba-tiba dia melompat karena Pukulan Sinar
Merah yang dilepaskan Pranata Kumala mengarah pa-
danya.
"Bangsat!" makinya murka.
"Kau akan kubunuh, nenek Peot!"
"Tangkap mereka! Dan siksa!" geram Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo sebisanya mengeluarkan
segenap kemampuan mereka. Pukulan Sinar Merah
yang dilancarkan oleh Pranata Kumala yang membuat
mereka harus berhati-hati menghadapinya bila tidak
ingin tubuh mereka hangus terhantam sinar merah
itu.
Menyadari kedua lawannya ngeri menghadapi
Pukulan Sinar Merahnya, Pranata pun terus menye-
rang dengan pukulan warisan dari gurunya, Ki Ageng
Jayasih.
"Kalian mau lari ke mana, hah?!" ejeknya. "Bu-
kankah kalian disuruh untuk menangkap aku?!"
"Anjing buduk!" menggeram Secopati sambil me-
loloskan goloknya. Begitu pula dengan Wiroprogo yang
juga meloloskan goloknya.
Dengan golok di tangan keduanya pun segera
menyerang dengan membabi buta.
Namun lagi-lagi keduanya tak berani mendekat
karena Pukulan Sinar Merah yang dilepaskan Pranata
Kumala siap untuk menghabisi mereka.
Sementara itu Ambarwati pun bergerak dengan
hebat dan cepat. Dia ternyata bisa mengimbangi per-
mainan golok Pronomuro.
Yang jadi menggeram karena marah.
"Bangsat! Kubunuh kau!"
"Buktikanlah bila kau mampu!" ejek Ambarwati
yang semakin membuat Pronomuro menjadi panas.
Dan serangan-serangannya pun bertambah ce-
pat. Namun Ambarwati lagi-lagi bisa mengimbanginya.
Keduanya saling serang.
Keduanya saling balas.
Keduanya sama-sama menginginkan pertarungan
cepat selesai.
Melihat tiga anak buahnya belum mampu juga
mengatasi semua itu, Nyai Prodo menggeram marah.
"Hahaha?! Cepat kalian selesaikan pertarungan itu.
Aku sudah bosan!"
Namun tiga orang anak buahnya itu pun harus
bekerja keras. Meskipun demikian belum pula mampu
untuk mengalahkan keduanya.
Lagi Nyai Prodo menggeram marah. Dan tiba-tiba
dia bergerak ke arah Pranata Kumala dengan cepat.
Melihat dirinya diancam bahaya Pranata segera mele-
paskan Pukulan Sinar Merahnya.
Nyai Prodo menggeram seraya menghindar,
"Bangsat!"
"Mampuslah kau, Nenek jelek!" seru Pranata Ku-
mala dan menghindari serbuan kedua golok dari Seco-
pati dan Wiroprogo.
Dikatakan seperti itu, Nyai Prodo menjadi marah.
Dan dengan gerakan yang teramat aneh, dia berkele
bat. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Pranata.
Pranata segera berbalik dan melepaskan Pukulan
Sinar Merahnya, yang membuat Nyai Prodo urung un-
tuk segera menghantamkan pukulannya ke leher Pra-
nata Kumala.
"Bangsat!" geramnya.
"Kau yang bangsat, Nenek! Kelakuanmu seperti
anjing yang kelaparan!"
"Anjing buduk!"
"Kau yang mirip anjing buduk!"
Dikatakan seperti itu membuat Nyai Prodo men-
jadi murka. Dia menyerang seraya membentak, "Me-
nyingkir kalian!"
Secopati dan Wiroprogo yang merasa tak mampu
untuk mengalahkan pemuda itu cepat-cepat menying-
kir.
Kini Pranata pun harus menghadapi Nyai Prodo
yang menyerang dengan ganas. Menghadapi serangan-
serangan yang cepat itu membuat Pranata Kumala
menjadi kewalahan dan kebingungan. Entah jurus apa
yang digunakan oleh Nyai Prodo. Karena dalam pan-
dangannya Pranata melihat Nyai Prodo menjadi banyak
sekali.
Tiba-tiba dia merasakan satu pukulan keras
mengenai dadanya.
"Des!"
Tubuhnya terhuyung.
Pranata berusaha untuk menguasai keseimban-
gannya.
Dan setelah dia berdiri tegak kembali dia mem-
bentak, "Nenek peot! Kau menggunakan ilmu sihir!"
"Hehehe... perdulilah apa katamu. Nah, terimalah
kekalahanmu ini!" seru Nyai Prodo.
Lalu dia menyerbu kembali dengan gerakan se-
perti tadi hebat dan cepat. Pranata menjadi kebingun
gan. Dia melepaskan pukulan Sinar Merahnya dengan
asal saja. Pikirnya dia harus memusnahkan nenek itu.
Namun Nyai Prodo malah terbebas dari serangan
pukulan Sinar Merah. Tubuhnya berkelebat dengan
cepat.
Ke sana ke mari.
Membingungkan Pranata Kumala.
Melihat dirinya sudah terkepung oleh Nyai Prodo,
Pranata berseru pada istrinya, "Rayi... lari, lari kau da-
ri sini!"
Ambarwati pun melihat keadaan suaminya yang
nampak gawat.
Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena ha-
rus menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan
oleh Pronomuro.
"Tidak, Kakang..."
"Rayi! Lari, lari dari sini!"
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu!"
"Rayi, pergi dari sini! Pergi kataku!" membentak
Pranata Kumala.
Tak ada jalan lain bagi Ambarwati. Dia hanya
berpikir, bila mereka berdua ditawan, siapa yang akan
bisa membebaskan suaminya nanti.
Berpikiran demikian, lalu dia pun segera nekat
untuk menerobos kepungan dari Pronomuro yang sea-
kan tidak memberi jalan padanya.
Tetapi saat itu pikiran Ambarwati sedang bin-
gung. Maka dia pun nekat menyabetkan pedangnya
dengan membabi buta.
Semula Pronomuro berhasil menangkis.
Namun lama kelamaan dia menjadi kewalahan
sendiri sehingga akhirnya dia memberi jalan bagi Am-
barwati. Sepintas memang seperti memberi jalan, ka-
rena Pronomuro menghindar begitu saja. Tetapi setelah
Ambarwati berhasil lolos, Pronomuro mengejar dengan
golok terhunus.
"Rayi!" seru Pranata Kumala yang melihat bahaya
mengancam istrinya.
Dia pun tak perduli lagi dengan serangan-
serangan dari Nyai Prodo. Dia malah melepaskan Pu-
kulan Sinar Merahnya ke arah Pronomuro.
Sinar Merah itu tepat mengenai sasarannya.
"Akkhh!" Pronomuro terjengkang ke belakang
dengan tubuh separuh hangus.
Dan bersamaan pula dengan itu, terdengar jeri-
tan Pranata Kumala. Tengkuknya dipukul oleh Nyai
Prodo hingga pemuda itu pingsan.
Ambarwati masih sempat melihat betapa sua-
minya dalam keadaan terdesak masih mencoba menye-
lamatkan dirinya. Dan dia juga melihat betapa puku-
lan tangan Nyai Prodo telah membuat pingsan sua-
minya.
Sekilas ada perasaan untuk menolong suaminya.
Namun melihat serangan kembali datang dari Secopati
dan Wiroprogo yang mencoba menangkapnya, mem-
buatnya berpikir untuk melarikan diri.
"Kejar dia, jangan sampai lolos!" terdengar suara
Nyai Prodo.
Secopati dan Wiroprogo pun mengejar. Namun
Ambarwati telah berhasil mencapai pintu gerbang ke
bangunan itu. Dua orang pemuda yang menjaga, di-
tamparnya hingga pingsan.
Lalu dia terus berlari menerobos pekatnya ma-
lam.
Di tempat persembunyiannya, Ambarwati me-
nangis tersedu-sedu mengingat suaminya kini berada
di tangan orang-orang kejam itu.
"Kakang, Pranata...." sendatnya.
***
SEMBILAN
Dua ekor kuda itu memasuki pesisir Laut Sela-
tan. Penunggangnya tak lain Madewa Gumilang dan is-
trinya Ratih Ningrum.
"Lho, mengapa sepi sekali, Kanda? Ke mana para
nelayan di sini?" tanya Ratih Ningrum yang melihat
suasana amat sepi.
"Entahlah."
"Apakah kita tidak sebaiknya segera menuju ru-
mah Pranata Kumala dan istrinya, Kanda? Aku sudah
tidak sabar lagi untuk bertemu dengan mereka."
"Baik, Dinda...."
Sebelum keduanya menggerakkan kuda-kuda
mereka, tiba-tiba entah dari mana datangnya bermun-
culan sepuluh orang pemuda bersenjatakan tombak
mengurung mereka.
Madewa berpandangan dengan istrinya.
Lalu dia tersenyum arif dan bijaksana pada
orang-orang itu.
"Maaf... ada apa gerangan hingga kalian mengu-
rung jalan kami?"
Salah seorang membentak, "Ki Sanak... sebaik-
nya tinggalkan tempat ini!"
"Apa maksudmu yang sebenarnya?"
"Kami tidak ingin kalian berdua mati di sini!"
"Mengapa kami harus mati di sini!"
"Sebaiknya kalian cepat tinggalkan tempat ini?!"
seru orang itu lagi.
Madewa melihat kalau sepuluh pemuda yang
mengurung mereka tidak mempunyai niat jahat. Malah
mereka seperti hendak melindunginya dan istrinya
dengan mengusir mereka dari sini.
Hal ini membuatnya menjadi penasaran.
"Maafkan kami berdua, Saudara-saudara. Kami
datang untuk menjenguk putra dan anak menantu
kami...."
"Siapa nama putra dan anak menantumu?"
"Mereka bernama Pranata Kumala dan Ambarwa-
ti...."
"Mereka tidak ada di sini. Sudah lama mereka
pergi dari sini!"
"Tunggu...." berseru salah seorang pemuda. Lalu
dia berkata pada Madewa, "Benarkah kalian sedang
mencari orang yang bernama Pranata Kumala dan
Ambarwati?"
"Benar. Apakah kau tahu di mana mereka bera-
da?" tanya Madewa.
"Ya."
"Di mana?"
"Di atas bukit sana!" kata pemuda itu yang tak
lain adalah teman jaga Pak Rejo di taman pemakaman.
"Hei, mengapa mereka tinggal di sana? Bukankah
mereka mempunyai rumah di sini?"
"Maafkan, Orang tua... kami bukannya bermak-
sud jahat terhadap kau dan istrimu... Tetapi kami ti-
dak mau kalian berdua menjadi korban dari tangan
jahat orang-orang biadab itu."
"Apa maksudmu? O, ya. Namaku Madewa Gumi-
lang dan ini istriku Ratih Ningrum."
"Paman Madewa... di tempat ini telah berdiri ban-
gunan atau markas yang diduduki oleh orang-orang
jahat yang dipimpin oleh Nyai Prodo... atau Malaikat
Penghisap Darah. Kami bukannya tidak memperke-
nankan kalian untuk datang, sebelum orang-orang itu
melihat kedatangan kalian...."
"Baiklah... tapi katakan dulu mengapa putra dan
anak menantuku berada di atas bukit itu?"
"Karena rumah mereka tepat berada di dekat
bangunan atau markas orang-orang jahat itu."
"Terima kasih atas bantuan kalian. Kami permi-
si!" kata Madewa sambil memutar kudanya. Istrinya
menyusul.
"Kita segera ke bukit itu, Kanda," kata Ratih Nin-
grum.
"Baik, Dinda."
Lalu keduanya segera memacu kuda mereka me-
nuju bukit yang ditunjuk pemuda tadi.
Hati Ratih Ningrum mendadak cemas memikir-
kan nasib putra dan anak menantunya. Tetapi kalau
begitu, mereka benar berada di sini.
Perasaannya tidak salah.
***
Ambarwati tercekat mendengar derap langkah
kuda mendekati tempat kediamannya. Dia langsung
bersembunyi dan mengambil pedangnya.
"Di mana kira-kira mereka berada, Kanda?" ter-
dengar suara itu.
"Aku pun tidak tahu. Sebaiknya kita cari saja,
Dinda," terdengar lagi sahutan itu.
Ambarwati memejamkan pendengarannya.
Tidak salahkah pendengarannya. Bukankah itu
suara ayah dan ibu mertuanya.
Setelah hati-hati mengintip dari tempat persem-
bunyiannya, dan yakin kedua orang itu ayah dan ibu
mertuanya, Ambarwati pun ke luar dari persembu-
nyiannya.
"Ayah! Ibu!"
Keduanya menoleh. Dan melihat Ambarwati ter-
buru-buru mendekat. Ratih Ningrum merasa ada se-
suatu yang terjadi. Dia langsung melompat turun. Dan
benar saja anak menantunya itu menangis.
"Huhuhu... Ibu... Ibu...."
"Tenang, Ambar... tenanglah...." sahut Ratih Nin-
grum dengan suara keibuan. Dia mengusap-usap ram-
but Ambarwati. "Ceritakan Ambar... apa yang telah ter-
jadi...."
"Huhuhu... Kakang Pranata, Ibu... Kakang Prana-
ta.... huhuhu...."
"Hapus dulu air matamu dan hentikan tangismu.
Ceritakanlah dengan jelas pada ibu dan ayah...."
Ambarwati menghapus air matanya. Lalu dengan
tersendat dia pun bercerita apa yang telah terjadi.
Ratih Ningrum mencoba tersenyum walau dira-
sakan hatinya geram bukan main.
"Jadi suamimu berada dalam tangan mereka?"
"Benar, Ibu... aku sungguh cemas memikirkan
nasib Kakang Pranata...."
"Tenanglah, Ambar...." kata Ratih Ningrum. "Ibu
lihat kedua matamu bengkak. Kau kurang tidur, ya?"
Ambarwati menganggukkan kepalanya mirip
anak kecil.
"Sebaiknya kau tidur saja dulu. Biar ayah dan
ibu yang akan mengurus semua...."
"Aku ikut, aku ikut! Aku ingin melihat Kakang
Pranata... Bu...."
Ratih Ningrum tersenyum. Merasa geli melihat
manjanya anak menantunya itu.
"Ya, Ibu dan ayah akan mengajakmu. Nah, seka-
rang kau lebih baik tidur saja...."
Ambarwati mengangguk. Lalu dia pun merebah-
kan tubuhnya di rumput yang telah dialasi daun-daun
pisang.
Setelah anak menantunya pulas, Ratih Ningrum
berkata pada suaminya.
"Bagaimana, Kanda?"
"Secepatnya kita harus membebaskan Pranata
dan menumpas gerombolan itu."
"Ya," Ratih Ningrum mengangguk. "Aku geram
sekali mendengar berita putraku di tawan. Hhh! Akan
kubuat lumat bila kulihat putraku terluka!"
"Tenang, Dinda... kau sendiri yang tidak sabar
sekarang," kata Madewa tersenyum.
"Maafkan aku, Kanda...."
"Menurut mata batinku, aku melihat betapa
sengsaranya keadaan penduduk di pesisir Laut Selatan
ini. Dan betapa kejamnya orang-orang itu...."
"Kapan sebaiknya kita pergi, Kanda?"
"Besok pagi. Tapi..."
"Tapi apa?"
"Kau tidak marah bila kukatakan?"
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Biar aku yang pergi sendirian."
"Aku?"
"Jagalah anak Ambarwati. Kasihan, dia nampak-
nya mengalami goncangan jiwa. Bagaimana sedihnya
aku memikirkan apa yang dialami Ambarwati sebelum
kita datang. Mau ke mana dia mengadu dan membagi
perasaannya?"
"Tetapi lebih tega lagi bila kita membiarkannya di
sini."
"Bukan kita. Kau, Dinda...."
"Tetapi aku harus ikut, Kanda... Aku sudah tidak
sabar ingin berjumpa dengan Pranata Kumala...." kata
Ratih Ningrum ngotot.
"Sudah kuduga."
"Kenapa?"
"Kau pasti akan berkata demikian. Kau tak ada
bedanya dengan Ambarwati, Rayi...." tersenyum Made-
wa. "Ah, betapa waktu masih remaja kau pun seorang
gadis yang keras kepala. Dan..."
"Dan apa?" tanya Ratih Ningrum penasaran ka
rena suaminya menggantung kata-katanya dan terse-
nyum penuh arti. "Dan apa, Kanda?"
"Dan kau amat menyayangi suamimu ini, bu-
kan?"
Ratih Ningrum tersenyum, tersipu. Dia jadi terin-
gat akan album nostalgianya dulu.
"Ah, dalam keadaan seperti ini, Kanda masih
mau bermesra-mesraan saja!" omelnya pura-pura
cemberut.
Madewa tertawa.
"Baik, besok kita urus semuanya."
***
SEPULUH
"Berhenti!"
Beberapa orang penjaga di bangunan itu mem-
bentak kasar. Dan segera mengurung tiga orang yang
baru datang itu.
Madewa tersenyum arif dan bijaksana.
Jubah putihnya berkibar-kibar di hembus angin
pantai.
"Aku datang ingin bertemu dengan Nyai Prodo...."
"Ada perlu apa?"
"Katakan saja, ada tamu untuknya...."
"Katakan di sini, ada perlu apa?!"
Ambarwati yang sudah tidak sabar untuk melihat
keadaan suaminya tiba-tiba menggerakkan tangannya,
menampar mulut pemuda itu hingga berdarah.
"Cepat panggil dia ke mari!" geramnya.
Pemuda-pemuda yang lain menjadi makin men-
gurung mereka. Bagi para pemuda itu lebih baik mati
daripada disiksa oleh orang-orang bengis itu.
"Jangan banyak omong!" membentak lagi yang
lain seraya menghunuskan tombaknya.
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan, "Hei, bukan-
kah gadis ini yang membuat keributan tiga hari yang
lalu?!"
"Benar, benar dia!"
"Ayo tangkap!"
Serentak para pengurung itu segera melancarkan
serangan. Ambarwati yang geram malah menjadi se-
makin geram. Dia pun bergerak melesat dengan cepat
mengirimkan serangan.
"Manusia-manusia tidak berguna! Mau-maunya
kalian diperalat orang-orang jahat itu! Buka mata ka-
lian, aku Ambarwati putra dari Jedangmoro almar-
hum!" maki Ambarwati seraya menggerakkan tangan-
nya ke sana-ke mari.
Namun orang-orang itu tak mau tahu. Bagi me-
reka, bila bisa menangkap buronan ini maka tentunya
akan ada hadiah untuk mereka.
Madewa dan Ratih Ningrum pun menjadi sasaran
serangan mereka.
Namun serangan-serangan itu tak berarti banyak
bagi mereka.
Sebentar saja dengan sekali berkelebat, empat
buah tombak sudah berpindah tangan.
Dan dengan sekali tekan Madewa meremukkan
tombak-tombak itu.
Membuat mata para pengurungnya terbelalak.
Namun mereka tidak takut.
Mereka lebih takut pada orang-orang bengis itu.
Serentak mereka menyerang lagi.
"Tangkap orang-orang itu!"
Keributan pun terjadi lagi.
Dan suara ribut itu terdengar sampai ke dalam.
Secopati dan Wiroprogo pun muncul ke luar.
"Hei, apa yang terjadi?!" membentak Secopati.
"Mereka datang untuk menemui ketua! Dan kami
telah melarangnya! Namun mereka memaksa!" berkata
salah seorang yang tengah berusaha untuk menang-
kap Ambarwati.
Dan terbukalah mata Secopati ketika melihat
Ambarwati.
"Hhh! Rupanya gadis itu! Tangkap dia!" serunya.
Lalu berpaling pada Madewa dan Ratih Ningrum yang
telah berdiri tegak. Lawan-lawan mereka telah dibuat
pingsan. Mereka tidak membunuh, karena mereka ta-
hu orang-orang itu terpaksa melakukan perbuatan ja-
hat ini. "Siapa kalian berdua?!"
Madewa tersenyum.
"Kami datang untuk membebaskan putra kami!"
"Hhh... sebutkan nama kalian sebelum kalian
mampus di tangan kami...."
"Ah, namaku Madewa Gumilang..."
"Apa?!" terbelalak mata Secopati. "Sebutkan seka-
li lagi namamu!"
"Mengapa? Apakah namaku aneh kedengaran-
nya?" sahut Madewa tersenyum.
"Sebutkan namamu!" bentak Secopati penasaran.
"Baiklah... namaku Madewa Gumilang...."
"Hmm... Madewa Gumilang... apakah kau yang
bergelar Pendekar Bayangan Sukma?"
"Orang-orang rimba persilatan entah kenapa
menjuluki aku seperti itu...."
Secopati mendengus. Dia telah lama mendengar
sepak terjang dari Madewa Gumilang. Orang-orang
rimba persilatan seringkali membicarakannya. Dia
amat disegani oleh lawan maupun kawan.
Ada pula yang mengatakan bahwa Madewa Gu-
milang adalah manusia setengah dewa. Pendekar Bu-
diman. Dan yang lebih kondang disebut dengan Pen
dekar Bayangan Sukma.
"Hhh! Rupanya hari ini aku tengah berhadapan
dengan manusia setengah dewa!"
Madewa cuma tersenyum.
"Ini istriku, namanya Ratih Ningrum. Salam hor-
mat dari kami untuk kalian berdua. Nah, kami minta
dengan sangat, agar kalian melepaskan putra kami
Pranata Kumala...."
"Lepaskan suamiku!" terdengar bentakan Am-
barwati, dia sudah berhasil menjatuhkan lawan-
lawannya dan membuat mereka pingsan.
Secopati cuma tertawa.
"Tidak semudah itu kau mendapatkan suamimu,
Nona. Dan kau Madewa... tidak semudah itu kau bisa
meminta putramu...."
"Kau belum menyebutkan namamu, Ki Sanak."
"Namaku Secopati. Dan ini temanku bernama Wi-
roprogo."
"Lepaskan suamiku!" seru Ambarwati seraya
hendak menyerang.
Tetapi Ratih Ningrum dengan sigap menahannya.
"Sabar Ambar...." desisnya padahal dia sendiri
sudah tidak sabar untuk melihat putranya.
Namun Ratih Ningrum melihat suaminya masih
mencoba meminta secara baik-baik, tidak dengan jalan
kekerasan. Lalu didengarnya lagi suara suaminya ber-
kata pada Secopati.
"Secopati... kita tak punya bibit permusuhan
yang tersebar. Dan aku pun tidak mau menanamkan
bibit permusuhan di antara kita. Maka kuminta, le-
paskan putraku sekarang juga...."
"Hahaha... jangan mentang-mentang namamu
amat di takuti di rimba persilatan ini kau bisa meng-
gertak kami?"
"Aku tidak sedang menggertak. Aku hanya me
minta kau melepaskan putraku!"
"Bagaimana bila tidak kuizinkan?"
Madewa tersenyum penuh arif dan bijaksana.
"Agaknya kau lebih menyukai kekerasan daripa-
da persahabatan, Secopati...."
"Karena kita hidup di dunia yang keras, Madewa!"
kata Secopati dan langsung menyerang dengan hebat
ke arah Madewa.
Madewa menghindar dengan jalan bersalto.
Setelah hinggap di bumi dia berkata, "Apakah
memang tak ada jalan lagi, Secopati?"
"Sombong! Kau rasakan dulu ini!" geram Secopati
seraya menyerbu.
Madewa pun tak mau dirinya dijadikan sasaran
serangan dari Secopati. Maka dia pun segera menggu-
nakan jurus Ular Meloloskan Diri. Jurus menghindar-
nya yang mampu membuat tubuhnya bergerak laksa-
na seekor ular.
Secopati menjadi geram.
Dia menyerang dengan membabi buta.
Melihat hal itu, Wiroprogo pun datang memban-
tu. Kini Madewa diserang dari dua jurusan.
Hebat.
Cepat.
Mengundang maut.
Namun bagi Madewa serangan-serangan kedua
orang itu bukanlah sesuatu yang membingungkan.
Bahkan dengan menggunakan jurus Ular Mematuk
Katak, dia berhasil menggedor dada Wiroprogo yang
merasa bagai dihantam oleh sebuah godam yang amat
besar.
Lalu menyusul dia menghantam kaki Secopati
yang mengaduh keras dan merasakan tulang pahanya
patah.
"Apakah kalian hendak meneruskan pertarungan
ini?" tersenyum Madewa.
"Jangan sombong kau, Madewa!" geram Wiropro-
go seraya menyerang kembali.
Namun lagi-lagi serangannya berhasil dipatahkan
oleh Madewa dengan mudah.
Bahkan dia pun mengalami hal yang sama seper-
ti yang dialami Secopati.
Tiba-tiba terdengar kekehan dari belakang mere-
ka. Muncul Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah.
"Rupanya seorang pendekar besar sedang ber-
tandang ke rumahku. Silahkan dan jangan sungkan-
sungkan, Madewa Gumilang... hehehe...."
"Nyai Prodo... niat apa yang membuatmu mem-
buat huru-hara di Laut Selatan ini. Dan niat apa pula
yang mendorongmu untuk menawan putraku?"
"Hehehe... Madewa, Madewa... kita memang ber-
beda golongan... dan kau pun tak akan mengerti bila
kujelaskan," terkekeh nenek bongkok itu.
"Nyai Prodo... kupikir lebih baik kita selesaikan
semua ini secara damai... aku tak suka bila kekerasan
harus berbicara...."
"Madewa... sebenarnya sudah cukup lama aku
mendengar sepak-terjangmu sebagai Pendekar Budi-
man. Dan hari ini untuk mencoba kehebatanmu, Ma-
dewa...."
"Bukankah dengan cara begini kau sengaja me-
nanamkan bibit permusuhan?"
"Bila kau tidak menyukai kata-kata itu, lebih
baik kau ganti saja.... Ini adalah ajang uji coba kesak-
tian di antara kita. Bagaimana, kau tentunya setuju
bukan dengan usulku itu?"
"Nyai Prodo... bukankah ini semua bisa kita sele-
saikan secara damai?"
"Seperti tidak bisa, Madewa... karena kita berbe-
da golongan."
"Hmm... haruskah darah tertumpah di sini? Pa-
dahal sudah begitu banyak darah yang kau tumpah-
kan...."
"Bahkan aku menghirupnya, Madewa... hehehe...
aku memang ingin melihat sampai di mana nama be-
sarmu sebagai manusia setengah dewa...."
"Ah, hanya orang-orang saja yang menjuluki aku
seperti itu...."
"Hehehe... kau memang patut dijuluki sebagai
Pendekar Budiman, Madewa... kata-katamu itu sudah
menunjukkan bahwa kau memang patut menyandang
gelar seperti itu.... Cuma sayang, sayang sekali... kare-
na hari ini tak akan pernah lagi orang mendengar na-
ma besarmu... hehehe... hari ini kau akan mampus di
tanganku, Madewa...."
"Nyai Prodo... jangan bertindak bodoh dan mem-
buang nyawa dengan percuma...."
"Hehehe... siapa bilang aku hendak membuang
nyawa dengan percuma, karena nyawamulah yang
akan terbuang, Madewa... hehehe... dengan percuma...
ya, ya... dengan percuma...."
Dan tiba-tiba saja, sungguh amat tiba-tiba, Nyai
Prodo melesat dengan cepat ke arah Madewa. Dari an-
gin yang ditimbulkan oleh gerakannya, Madewa mera-
sakan hawa dingin menyerang ke arahnya.
Begitu hebat dan mampu membuang yang berte-
naga dalam rendah menggigil karena dinginnya.
"Tahan sekarang seranganku ini, Madewa! Pelaja-
ran pertama akan kita mulai!"
"Baik, Nyai Prodo! Kuterima tantanganmu!
Meskipun aku tidak menginginkannya!"
"Ingin atau tidak ingin, tahan seranganku!" ben-
tak Nyai Prodo.
Dan tubuh itu semakin cepat meluncur ke arah
Madewa siap untuk memusnahkannya.
SEBELAS
Madewa pun segera memapakinya dengan Puku-
lan Angin Salju. Karena kekuatan rasa dingin yang di-
timbulkan oleh gerakan Nyai Prodo begitu menyengat
sekali.
Dua pukulan itu beradu.
Dan masing-masing terpental ke belakang.
Masing-masing pula merasakan hawa dingin
yang menyengat keduanya. Segera keduanya mengalir-
kan tenaga dalam mereka.
Ratih Ningrum dan Ambarwati hanya menyaksi-
kan saja. Keduanya seolah lupa untuk mencari Prana-
ta Kumala.
Sementara Secopati dan Wiroprogo yang patah
tulang pahanya hanya bisa menyaksikan pula. Dan
keduanya secara perlahan-lahan beringsut menghin-
dari pertempuran itu.
"Hhh! Tidak percuma kau bergelar Pendekar
Bayangan Sukma, Madewa!"
"Ah, aku hanya sedikit memiliki kepandaian yang
tak patut kubanggakan!"
"Sombong!" geram Nyai Prodo.
Lalu dia menyerang kembali. "Tahan ajian Mega
Murni ini, Madewa!"
Kembali terjadi saling menyerang yang amat he-
bat. Jurus demi jurus telah keduanya lancarkan. Se-
rangan-serangan keduanya amat berbahaya dan pe-
nuh resiko. Namun sampai sejauh itu belum terlihat
siapa yang lebih unggul.
Madewa kembali menggunakan jurus meloloskan
dirinya. Ular Meloloskan Diri. Dan di tangannya telah
terangkum pukulan Tembok Menghalau Badai.
Namun ketika terjadi benturan, kembali terlihat
kalau keduanya seimbang.
Dan keduanya terhuyung.
Nyai Prodo menyeka darah yang ke luar dari mu-
lutnya. Sementara Madewa hanya terhuyung dan telah
kembali berdiri tegak tak kurang suatu apa.
Nyai Prodo merasakan satu pukulan yang hebat
mengenai dadanya. Dia pun dapat merasakan kalau
tenaga dalamnya kalah oleh Madewa Gumilang.
Dia menggeram murka.
"Anjing kurap! Kau harus mampus di tanganku,
Madewa!" bentaknya.
"Nyai Prodo... bukankah kita bisa memilih jalan
berdamai tanpa perlu saling bertarung?" kata Madewa
masih mencoba menyadarkan Nyai Prodo.
"Persetan dengan ucapanmu itu! Kau harus
mampus di tanganku, Madewa!" tiba-tiba Nyai Prodo
membuka kedua tangannya. Dan membuka jari-
jarinya. Lalu dia menekuk tangannya hingga ke bahu.
"Kau lihat ini, Madewa... inilah ajian dari ilmuku yang
terbaru, ajian Pemusnah Jiwa! Nah, bersiaplah kau
untuk mampus, Madewa!"
"Nyai Prodo... sadarlah... bahwa semua yang kita
lakukan ini tidak berguna...."
"Kau masih saja berkhotbah, Madewa! Memang
begitu orang yang sudah mau mampus!"
"Nyai Prodo...."
"Diam! Rasakan seranganku ini!" membentak
Nyai Prodo dan langsung menyerbu.
Dari jauh Madewa dapat merasakan angin panas
yang berkesiur ke arahnya. Dan dia pun dapat mendu-
ga kalau betapa ganasnya ilmu yang berada di tangan
Nyai Prodo atau Malaikat Penghisap Darah.
Madewa mencoba menghindar. Dia memang ber-
hasil menghindari serangan itu, namun angin panas
yang ke luar dari kedua tangan Nyai Prodo membuat
nya amat terkejut.
Ini amat berbahaya.
Dan berarti ini bukan main-main lagi.
"Hahaha... kau jeri melihat ilmuku yang satu ini,
Madewa!"
"Sadarlah, Nyai Prodo...."
"Hhh! Mampuslah kau, Madewa!"
Mendengar kata-kata itu dan melihat Nyai Prodo
telah siap untuk menyerang kembali, tiba-tiba Madewa
terdiam. Lalu dia merangkum kedua tangannya men-
jadi satu di dada. Dan terlihatlah asap putih yang
mengepul.
"Pukulan Bayangan Sukma!" terdengar seruan
Nyai Prodo terkejut. Tetapi sejurus kemudian dia ter-
kekeh. "Hehehe... tak ada satu ajian atau pun pukulan
yang bisa menandingi kehebatan ilmuku ini, Made-
wa....!"
"Sadarlah, Nyai Prodo... Kita hanya membuang
nyawa dengan percuma!" kata Madewa Gumilang yang
masih mencoba untuk menghindari pertarungan ini.
"Hehehe... kau jeri rupanya! Kita lihat ilmu siapa
yang paling tinggi, Madewa!"
Sehabis berkata begitu, Nyai Prodo menyerbu
dengan cepat. Madewa pun tak mau kalau dirinya di-
jadikan sasaran ajian yang hebat itu.
Maka dia pun menyerang pula, memapaki.
Orang-orang yang memperhatikan menjerit te-
gang.
Dan dua pukulan itu pun berbenturan hingga
menimbulkan suara mirip ledakan.
"Duaaarrr!"
Keras. Amat keras sekali.
Dan dari kedua pukulan yang beradu itu, me-
nimbulkan debu-debu yang berterbangan. Daun-daun
pun berguguran.
Lalu terpental dua sosok tubuh ke belakang.
Madewa terhuyung beberapa tombak.
Sedangkan Nyai Prodo hanya tiga tombak.
Dia terkekeh. "Hehehe... tak satu pun yang bisa
menandingi kehebatan ajian Pemusnah Jiwa milikku
ini, Madewa.... Kau harus mampus, Madewa!" geram-
nya dan menerjang lagi. Namun tiba-tiba dia ter-
huyung. "Oh... aku... aakh... Aaaakkh!" terdengar jeri-
tan panjang. Tubuh itu pun limbung dan ambruk.
Sepasang matanya melotot menampakkan bahwa
dia masih amat penasaran.
Madewa mendesah.
Ratih Ningrum dan Ambarwati seperti tersadar.
Lalu keduanya mencari Pranata Kumala. Keduanya
menemukan keadaan Pranata yang terluka parah ka-
rena disiksa.
Madewa memerintahkan untuk membawa pulang
Pranata ke Perguruan Topeng Hitam.
Setelah berkata pada para penduduk bahwa ke-
zaliman telah dikalahkan, Madewa pun mengajak ang-
gota keluarganya kembali ke Perguruan Topeng Hitam.
Lalu keempatnya pun meninggalkan Laut Selatan
yang baru saja terjadi prahara. Tanpa sempat menen-
gok tempat tinggal Ambarwati dan Pranata Kumala.
Sedangkan orang-orang menemukan Secopati
dan Wiroprogo telah mati membunuh diri.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar