BTemplates.com

Blogroll

Sabtu, 16 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE MALAM JAHANAM DI MATARAM


Malam Jahanam Di Mataram


 SATU


KESUNYIAN malam menjelang pagi di lereng Gunung 

Bismo tiba-tiba saja pecah dihentak oleh suara 

dentrangan benda keras tak berkeputusan. Suara ini 

datang dari bagian belakang sebuah gubuk tak berdinding 

terletak di bawah naungan pohon besar. Di atas sehelai 

tikar butut yang diberi bantalan jerami kering duduk 

seorang tua. Tubuh yang kurus hanya dibalut sehelai kain 

putih dari pinggang ke bawah. Demikian kurusnya hingga 

muka seolah tinggal kulit pelapis tulang. Tulang-tulang iga 

bertonjolan seperti jerangkong. 

Di samping kanan si orang tua, di atas tanah terletak 

sebuah pedupaan menyala yang asapnya menebar harum 

bau kemenyan. Di sebelah kiri ada satu keranjang bambu 

kecil berisi kembang tujuh rupa. 

Orang tua ini berambut panjang riap-riapan, kumis dan 

janggut berwarna biru. Walau wajahnya seperti tengkorak 

namun tidak membayangkan keangkeran. Sepasang mata 

bening memiliki sorot pandang penuh semangat. Saat itu 

dia duduk menghadapi setumpuk bara menyala. Di depan 

bara menyala ada sebuah bantalan besi. Di atas bantalan 

besi ini membelintang sebatang besi panjang. 

Ada keanehan, walau batangan besi merah panas 

menyala namun cahaya yang dipancarkan berwarna redup 

kebiruan. Ini satu pertanda besi itu bukan besi biasa, 

mungkin mengandung satu kekuatan atau hawa sakti. 

Si muka tengkorak duduk sambil tangan kiri memegang 

batangan besi membara dengan sebuah japitan besi yang 

pegangannya dibalut kain untuk menolak panas. Di tangan 

kanan dia menggenggam sebuah palu besi. Palu ini 

dipukulkan tiada henti pada batangan besi menyala. Setiap



kali palu besi beradu dengan batangan besi menyala, 

bunga api memercik terang disertai suara dentrangan 

keras. 

Sambil memukul besi orang tua itu tiada henti menge–

luarkan ucapan perlahan yang lebih mirip nyanyian. 

Tempa besi selagi panas

Tugas suci sebagai abdi

Jangan berhenti sebelum jadi

Tempa besi selagi panas

Puasa dua puluh tujuh hari

Pergunakan hati dan pikiran

Bekerja dengan ketulusan

Tempa besi selagi panas

Selalu ingat

Manusia hanya pelaku

Yang punya kehendak adalah Dewa

Tempa besi selagi panas

Antara Bhumi dan Swargaloka

Kuasa Dewa sudahlah jelas

Karenanya memohon pada Yang Kuasa

Tiada yang lain tempat meminta

Trang... trang... trang! 

Untuk kesekian kali terdengar suara dentrang berke–

panjangan dari beradunya palu dan batangan besi disertai 

percikan bunga api, mengiringi suara nyanyian orang tua 

bermuka tengkorak. 

Mendadak suara nyanyian mengalun perlahan lalu 

lenyap sama sekali. Bersamaan dengan itu tangan yang 

tengah menempa palu ke batangan besi merah menyala 

berhenti memukul. Ada sesuatu yang jadi penyebab. 

Perlahan-lahan orang tua ini angkat kepala. 

Sepasang mata beningnya melihat dua kaki berkasut


putih di bawah ujung sehelai jubah sutera kelabu. Dua kaki 

berkasut kulit itu sama sekali tidak menjejak tanah! 

Perlahan-lahan orang tua itu letakkan palu di atas tikar. 

Tangan kiri melepas japitan dari batangan besi yang tadi 

ditempa. Lalu dia angkat kepala lebih tinggi dan meman–

dang ke atas. Kini dia dapat melihat keseluruhan sosok 

berjubah sutera kelabu itu. 

Orang ini ternyata seorang kakek berwajah jernih. Di 

kepalanya ada gulungan kain kelabu menyerupai sorban. 

Alis, kumis, serta janggut yang putih memberi gambaran, 

kalau usianya tidak di bawah si orang tua penempa besi. Di 

pinggang melingkar ikat pinggang berbentuk tasbih besar 

terbuat dari kayu berwarna coklat dan mengeluarkan bau 

mewangi. 

“Saya merasa mendapat kehormatan besar atas 

kunjungan seorang sahabat yang agaknya datang dari 

jauh. Namun karena saya tidak mengenal, bolehkah saya 

bertanya siapa gerangan adanya sahabat?” 

Sehabis menyapa orang tua di depan tumpukan bara 

menyala segera hendak berdiri, maksudnya akan mem–

bungkuk memberi salam hormat pada kakek yang berdiri di 

hadapannya. 

Kakek yang disapa tersenyum lalu berkata. 

“Empu Semirang Biru, tak usah berdiri. Tetap saja 

duduk di tempatmu. Kata-kata dalam nyanyianmu tadi 

sungguh indah dan suaramu menyanyi sungguh bagus...” 

“Terima kasih sahabat telah memuji. Tapi...” Orang tua 

yang dipanggil dengan nama Empu Semirang Biru terheran-

heran orang yang tak dikenal mengetahui namanya. Sete–

lah menatap wajah jernih orang di hadapannya sesaat baru 

dia meneruskan ucapan. “Tapi saya mempunyai dugaan, 

sahabat datang ke sini bukan tertarik oleh nyanyian saya. 

Atau mungin saya salah menduga...” 

“Empu Semirang Biru, kau sungguh arif. Perasaan dan 

pandangan matamu tajam karena kau mempergunakan 

hati sanubari yang tulus. Walau tadi saya katakan kata-

kata dalam nyanyianmu sungguh indah dan suaramu


sungguh bagus, tapi memang saya datang ke sini bukan 

karena nyanyianmu tadi. Sudah tersurat di kahyangan sana 

sejak satu purnama yang lalu, bahwa malam Jum’at Kliwon 

ini, setelah kau melakukan puasa selikur, saya harus 

datang menemuimu. Saya merasa sangat berbahagia bisa 

berjumpa dengan seorang empu, seorang ahli pembuat 

senjata ternama untuk Kerajaan Mataram...” 

“Sahabat keliwat memuji. Sahabat belum memberi tahu 

siapa sahabat adanya.” Empu Semirang Biru menjawab 

dan kembali menyatakan keingintahuannya siapa adanya 

kakek bersorban dan berjubah kelabu itu yang membekal 

ikat pinggang berbentuk tasbih besar menebar bahu 

harum. 

Orang yang ditanya bukannya menjawab pertanyaan 

Empu Semirang, malah balik mengajukan pertanyaan. 

“Empu Semirang Biru, pekerjaan apa dan untuk siapa 

yang tengah kau lakukan saat ini?” 

Semula Empu Semirang Biru merasa segan untuk 

menerangkan. Namun karena diam-diam menyadari orang 

di hadapannya bukan orang sembarangan maka dia men–

jawab juga. 

“Sahabat, saya tengah menempa sebilah keris, atas 

kepercayaan dan permintaan Sri Maharaja Rakai Kayu–

wangi dari Mataram.” 

“Terima kasih sahabat telah mau memberi tahu. Kalau 

saya boleh bertanya, dengan cara menempa begitu rupa, 

belum lagi mengukir dan mengikir, berapa lama perkiraan 

keris itu akan selesai dikerjakan?” 

“Saya menjanjikan pada utusan Sri Maharaja, keris 

akan selesai dalam waktu dua puluh tujuh hari ditambah 

dua puluh satu hari. Dua puluh tujuh hari masa untuk saya 

berpuasa dan dua puluh satu hari waktu untuk menger–

jakan pembuatan keris. Tapi sang utusan minta agar saya 

menyerahkan keris itu dalam tempo tujuh hari. Berarti saya 

harus bekerja keras. Malam ini adalah malam pertama 

saya memulai pekerjaan...” 

“Apakah Sri Maharaja memberi tahu pada sahabat apa


gerangan nama yang akan diberikan pada keris itu jika 

kelak sudah selesai dan diserahkan?” 

“Mohon maaf, saya tidak bisa memberitahukan hal itu,” 

jawab Empu Semirang Biru. “Saya tidak boleh bicara terlalu 

jauh sampai ke situ. Saya tidak berani melangkahi Sri 

Maharaja...” 

Kakek di hadapannya anggukkan kepala sambil ter–

senyum. 

“Kanjeng Sepuh Pelangi, bukankah itu nama yang akan 

diberikan pada keris yang sahabat buat?” 

Empu Semirang Biru tercengang.



DUA


KAKEK bersorban dan berjubah sutera kelabu di 

hadapan Empu Semirang Biru tersenyum. “Apakah 

saya salah mengira dan menyebut nama?” 

“Bagaimana sahabat mengetahui hal itu?” Bertanya Empu 

Semirang. 

“Sesuai namanya bukankah keris itu akan menjadi 

sepuh dari semua keris yang sudah dimiliki Sri Baginda dan 

Kerajaan Mataram walau usia pembuatannya seolah bayi 

yang baru dilahirkan. Namun bahan logam keris tersebut 

diketahui berusia hampir seribu tahun dan berasal dari 

perut kawah Gunung Merapi lapisan ke tujuh. Itu sebabnya 

dia menjadi sepuh dari semua keris yang ada di Mataram 

ini.” 

Empu Semirang Biru angguk-anggukkan kepala men–

dengar apa yang diucapkan kakek yang berdiri di hada–

pannya tanpa menjejak tanah itu. 

“Sahabat, kau tahu lebih banyak dari saya tentang keris 

yang akan saya buat. Apakah sahabat seorang keperca–

yaan Sri Maharaja Mataram yang sengaja datang hendak 

menguji saya? Atau mungkin saya berhadapan dengan...” 

Kakek bersorban kelabu cepat memotong ucapan 

Empu Semirang Biru. 

“Empu Semirang, kerajaan tidak bisa menunggu sam–

pai tujuh hari untuk pembuatan keris bernama Kanjeng 

Sepuh Pelangi itu...” 

“Saya tidak mengerti. Utusan Sri Maharaja sendiri yang 

memberi tahu kalau saya harus menyelesaikan pembuatan 

keris dalam waktu tujuh hari. Sekarang sahabat mengata–

kan kerajaan tidak bisa menunggu sampai tujuh hari. Apa–

kah saat ini saya berhadapan dengan utusan Sri Maharaja


Mataram yang datang membawa perintah baru. Tapi 

bagaimana saya tahu kalau...” 

“Empu, ketahuilah. Keadaan telah berubah. Akan 

terjadi satu petaka besar menimpa Bhumi Mataram. 

Malapetaka itu diperkirakan akan muncul dalam waktu 

tujuh hari dari sekarang. Itu sebabnya Sri Maharaja 

meminta agar sahabat menyelesaikan pembuatan keris 

dalam waktu lebih cepat. Tiga hari, tidak boleh lebih...” 

“Kalau itu perintah Sri Maharaja Mataram akan saya 

lakukan. Tapi bagaimana saya bisa memastikan kalau itu 

memang perintah beliau sementara saya masih belum 

tahu siapa sahabat ini adanya. Sahabat, saya juga sangat 

ingin mengetahui, malapetaka apakah yang akan terjadi di 

Bhumi Mataram? Kemudian bagaimana mungkin saya 

mampu membuat sebilah keris hanya dalam waktu tiga 

hari...” 

Tubuh kakek berjubah kelabu perlahan-lahan turun ke 

bawah hingga akhirnya kedua kaki berkasut menginjak 

tanah. Begitu dua kaki menginjak tanah, Empu Semirang 

Biru merasakan ada hawa aneh menjalar ke dalam tubuh 

dan berakhir di ujung sepuluh jari tangannya. 

“Empu Semirang, mengenai siapa diri saya kau boleh 

menganggap saya adalah utusan Sri Maharaja Mataram. 

Mengenai malapetaka yang akan terjadi, kelak akan kau 

ketahui tak lama setelah keris Kanjeng Sepuh Pelangi 

selesai kau buat. Lalu mengenai bagaimana mungkin 

dapat membuat keris tersebut dalam waktu tiga hari, saya 

harap sahabat mau melakukan apa yang akan saya kata–

kan.” 

Empu Semirang Biru menatap wajah orang yang berdiri 

di hadapannya dengan hati terus bertanya-tanya. 

“Sahabat Empu Semirang, tebarkan bunga tujuh rupa di 

atas bara menyala...” 

Empu Semirang Biru terdiam namun perlahan-lahan dia 

menggerakkan tangan, mengambil bunga tujuh rupa di 

dalam keranjang bambu lalu menebarkan di atas tum–

pukan bara menyala. Aneh! Semua kembang yang ditebar


mengambang sejarak setengah jengkal dari atas bara 

menyala! 

“Sekarang ulurkan dua tanganmu. Masukkan dan 

benamkan ke dalam bara yang menyala.” 

Tentu saja ucapan kakek bersorban kelabu membuat 

Empu Semirang terkejut. Namun orang tua muka teng–

korak ini masih bisa tersenyum dan berkata. 

“Sahabat, apakah tidak keliru pendengaran saya...?” 

“Kau telah mendengar. Sekarang lakukan apa yang 

saya katakan.” 

“Sahabat, saya bukannya takut memasukkan tangan ke 

dalam bara menyala. Namun kalau saya menurutkan 

perintahmu, kedua tangan saya akan hancur leleh sampai 

ke tulang. Maka saya tidak akan mungkin meneruskan 

pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi.” 

“Memang begitu jalan pikiran dalam dunia nyata. 

Namun di balik kenyataan ada yang lebih nyata. Yaitu 

Kuasa Para Dewa. Sahabat jangan membuat saya me–

nunggu terlalu lama. Segera masukkan kedua tanganmu 

ke bawah tumpukan bara menyala. Para Dewa akan mem–

berkatimu.” 

Empu Semirang Biru tarik nafas dalam. Dalam hati dia 

mengucap. 

“Sang Hyang Jagat Bathara, saya mohon perlindungan–

Mu. Kalau memang begini harus kejadiannya maka itulah 

yang harus saya lakukan.” Orang tua bermuka tengkorak 

ini pejamkan kedua mata lalu tanpa ragu-ragu Empu Semi–

rang Biru masukkan kedua tangannya sampai pergelangan 

ke dalam tumpukan bara menyala merah! 

Wusss! 

Asap putih mengepul dari tumpukan bara menyala. 

Menerbangkan bunga tujuh rupa yang mengambang di 

udara. Asap dan kembang-kembang kemudian lenyap tak 

berbekas. 

Ketika dua tangannya masuk ke dalam tumpukan bara 

menyala, dua tangan itu tidak cidera, apa lagi leleh. Empu 

Semirang tidak merasa sakit dan tidak merasa panas.


Malah dia merasa sejuk pada kedua tangannya. Apa yang 

terjadi. Mengapa bisa begini? 

Perlahan-lahan sang Empu buka kedua matanya. Dia 

memandang dengan perasaan heran luar biasa. Dia meli–

hat sendiri bagaimana dua tangannya kiri kanan sampai ke 

pergelangan menyusup masuk ke dalam tumpukan bara 

merah menyala. Tetapi dia sama sekali tidak merasa sakit. 

Malah merasa sejuk. Dua tangannya sama sekali tidak 

hancur atau leleh! 

“Kuasa Dewa telah berlaku. Empu Semirang, sekarang 

tarik keluar dua tanganmu dari dalam bara menyala.” 

Mendengar perintah orang berjubah kelabu Empu 

Semirang Biru perlahan-lahan tarik kedua tangan, dikelu–

arkan dari dalam bara menyala. 

Astaga! Muka tengkorak sang Empu berubah. Sepasang 

mata menatap tak berkesip. Walau tidak merasa sakit 

namun dia melihat bagaimana kedua tangannya mulai dari 

pergelangan sampai ke ujung jari telah berubah menjadi 

merah menyala, memancarkan hawa panas luar biasa. 

“Sahabat, apa yang terjadi dengan dua tanganku...?” 

Walau tetap tenang namun bagaimanapun juga nada suara 

Empu Semirang Biru membayangkan rasa khawatir. 

“Empu sahabatku, tidak usah takut Dengan Kuasa 

Dewa, dua tanganmu kini memiliki kekuatan dan kemam–

puan luar biasa. Kini untuk membuat keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi kau tidak lagi memerlukan palu, japitan, bantalan 

besi maupun bara menyala untuk menggarang besi bahan 

pembuat keris. Kau cukup mempergunakan dua tanganmu 

untuk melakukan semua itu. Dan kau akan mampu me–

nyelesaikan pekerjaan dalam waktu tiga hari. Kekuatan 

dahsyat yang ada di tanganmu hanya bisa dipergunakan 

untuk membuat keris. Tidak bisa dipergunakan untuk 

pekerjaan lain. Bahkan tangan-tangan yang panas itu tidak 

akan menciderai dirimu atau makhluk lain. Kalau kau tak 

percaya, usapkanlah dua tangan ke wajahmu.” 

Karena memang sulit untuk percaya Empu Semirang 

Biru walau agak takut-takut usapkan juga dua tangannya


ke wajah. Sejuk! Itulah yang dirasakan! 

“Sahabat, saya sangat berterima kasih padamu...” 

“Jangan berterima kasih pada saya. Tapi berterima 

kasih pada Yang Maha Kuasa,” jawab kakek berjubah 

sutera kelabu. 

Empu Semirang Biru rundukkan tubuh hingga kening 

menyentuh tanah. Mulutnya berulang kali menyebut nama 

Yang Maha Kuasa, menyampaikan terima kasih. Ketika 

tubuh diluruskan dan kepala diangkat kembali ternyata 

kakek bersorban dan berjubah kelabu tidak ada lagi di 

hadapannya. “Ah sayang sekali. Aku tidak mengetahui 

nama orang tua gagah berjubah kelabu tadi...” Empu 

Semirang merasa agak kecewa. Namun cepat-cepat kem–

bali menyebut nama Yang Maha Kuasa berulang kali. Mata 

menatap batangan besi yang akan dijadikan bahan utama 

pembuat keris dan masih tergeletak di atas bantalan besi. 

Tangan diulurkan memegang batangan besi. Ketika jari-

jarinya mengusap dengan sedikit menekan, lempengan 

besi seolah lilin lembut, begitu mudah dibentuk. “Dewa 

Bathara Agung, saya insan yang lemah sungguh sangat 

bersyukur dan berterima kasih. Engkau telah memberi 

rakhmat dan kemampuan tiada tara pada saya... Terima 

kasih... terima kasih.” 

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan bina–

tang. Panjang dan menggidikkan. Empu Semirang tercekat 

sesaat. 

“Setahuku tidak pernah ada anjing hutan atau srigala di 

Gunung Bismo ini. Makhluk apakah yang tadi meraung...?” 

Orang tua ahli pembuat senjata ini memandang ke arah 

kegelapan di kejauhan. Dia lalu menatap ke langit dan 

kembali tercekat. Di langit biru gelap tak berbintang tam–

pak sama-samar awan kelabu berbentuk lingkaran besar. 

Di kejauhan, sekali lagi terdengar suara raungan panjang. 

Awan kelabu berbentuk lingkaran perlahan-lahan sirna. 

“Mudah-mudahan dugaanku keliru. Tapi aku 

mendengar suara dan melihat pertanda tidak baik. Aku 

harus segera mengerjakan pembuatan keris ini...”


Tidak menunggu lebih lama, saat itu juga Empu Semi–

rang Biru dengan sepuluh jari tangan merah menyala dan 

memancarkan hawa panas luar biasa mulai bekerja. 

Batangan besi berusia seribu tahun bahan dasar pembu–

atan keris ditarik hingga berubah panjang tiga jengkal. 

Salah satu ujung diusap ditekan-tekan hingga menjadi 

runcing. Batangan besi yang agak berbentuk bulat itu 

kemudian ditekan-tekan di antara dua telapak tangan dan 

berubah menjadi pipih. Kini batangan besi telah menjadi 

bentuk dasar sebuah senjata berupa keris atau pisau. 

Setengah terkesiap Empu Semirang memperhatikan hasil 

pekerjaan yang sulit dipercaya. Kalau begini kemampuan 

yang diberikan Dewa padanya, jangankan tiga hari. Dua 

haripun rasanya dia sanggup merampungkan membuat 

keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

“Dewa Bathara Agung, ilmu kesaktian yang Kau berikan 

pada saya sungguh luar biasa. Sekali lagi saya mengucap–

kan terima kasih...” Sang Empu membungkuk berulang-

ulang. Gerakannya terhenti ketika tiba-tiba dia merasa ada 

suara terpaan angin. Memandang ke depan dia melihat 

seorang perempuan muda berwajah cantik, berpakaian 

tipis merah tahu-tahu telah berdiri di hadapannya.



TIGA


SEUMUR hidup belum pernah Empu Semirang Biru 

melihat perempuan secantik ini. Untuk beberapa 

lama dia diam menatap setengah terpesona. Apalagi 

perempuan di hadapannya itu mengenakan pakaian merah 

yang demikian tipis hingga aurat di balik pakaian itu terli–

hat nyaris jelas. Benarkah manusia atau bidadari yang 

berdiri di depannya itu. Sadar akan dirinya, si orang tua 

cepat-cepat tundukkan kepala, alihkan pandangan pada 

batangan besi merah menyala yang ada dipegang di 

tangan kiri. 

Perempuan cantik tertawa merdu. Suaranya terdengar 

selembut buku perindu ketika menyapa, “Empu Semirang, 

salam sejahtera untukmu. Kau mengalihkan pandangan 

mata. Apakah aku terlihat sebagai satu makhluk yang 

menyeramkan...” 

“Tidak, kau tidak menyeramkan. Harus saya akui 

seumur hidup baru kali ini aku melihat perempuan secantik 

dirimu.” Jawab sang Empu polos. “Kau tahu namaku, 

sebaliknya aku tidak tahu siapa dirimu. Kau berasal dari 

mana, apa maksud keperluanmu datang ke sini. Kalau aku 

boleh mendapat penjelasan...” 

“Orang tua, namaku Sri Padmi Kameswari. Aku berasal 

dari satu negeri yang jauh, berada antara bumi dan langit 

di atas Mataram. Aku terpesat datang ke tempatmu karena 

mencium wanginya bau kemenyan di dalam pedupaan, 

harumnya bunga tujuh rupa serta kekuatan gaib yang ada 

pada dirimu dan berpusat pada lempengan besi merah 

menyala yang ada di tangan kirimu.” 

Empu Semirang Biru untuk beberapa lama hanya 

menatap, tidak mengeluarkan ucapan. Diam-diam dia


mulai menduga-duga. 

Perempuan cantik mengaku bernama Sri Padmi Ka–

meswari kembali berkata, “Sampai di sini, melihat dirimu 

aku sungguh kagum luar biasa. Kau memiliki sepasang 

tangan menyerupai bara menyala. Kau memegang bata–

ngan besi yang juga merah menyala pertanda panas luar 

biasa. Aku rasa tidak ada satu orang lain pun di dunia ini 

yang memiliki kesaktian seperti dirimu...” 

“Sri Padmi, apa yang kau saksikan ini semua adalah 

kehebatan dan anugerah dari Dewa. Aku sendiri tetap saja 

seorang tua renta yang tidak punya ilmu kepandaian apa-

apa...” 

“Empu Semirang, kau keliwat merendah diri. Walau kau 

memencilkan diri di Gunung Bismo ini, siapa orangnya di 

delapan penjuru Bhumi Mataram yang tidak tahu nama 

dan dirimu. Kalau boleh bertanya, batangan besi apa yang 

ada di tangan kirimu. Agaknya kau tengah mengerjakan 

pembuatan satu senjata yang dapat aku duga pastilah satu 

senjata sakti mandraguna...” 

“Kau benar, aku memang tengah menempa besi ini 

untuk dijadikan senjata.” 

“Luar biasa! Tapi akan lebih luar biasa bila kita berdua 

bisa saling bantu membantu...” 

“Saling bantu membantu bagaimana maksud Ajeng?” 

Tanya Empu Semirang Biru. 

Sri Padmi Kameswari mengangkat ke atas pakaian 

merah tipis yang dikenakannya hingga menyingsing sampai 

ke pangkal paha yang putih dan bagus berisi. Empu Semi–

rang cepat melengos membuang muka walau tadi dia 

sempat melihat ada sebuah benda hijau berbentuk lem–

pengan besi menempel terikat pada paha kiri perempuan 

muda itu. 

Dengan gerakan yang sengaja dilakukan seperlahan 

mungkin, Sri Padmi tanggalkan benang tipis pengikat 

lempengan besi hijau. Perlahan-lahan pula dia baru menu–

runkan kembali pakaian yang tadi disingsingkan tinggi-

tinggi. Tujuannya adalah untuk memancing agar si orang


tua tergoda memandang, paling tidak melirik keindahan 

auratnya. 

“Empu Semirang, jangan membuang muka terus-

terusan. Aku akan menawarkan satu keberuntungan 

padamu. Itulah yang aku maksudkan dengan saling bantu 

membantu.” 

Tahu kalau perempuan muda itu telah menurunkan 

pakaiannya menutupi aurat, baru Empu Semirang mema–

lingkan kepala. 

Sambil mengacungkan lempengan besi hijau Sri Padmi 

berkata. “Empu, besi hijau ini berasal dari kepundan 

sebuah gunung di laut utara. Usianya hampir dua ribu 

tahun. Jadi jauh lebih tua dari lempengan besi yang Empu 

pergunakan sebagai bahan pembuatan senjata. Ini berarti 

kesaktiannya juga jauh lebih tinggi. Aku akan menyerahkan 

besi hijau ini pada Empu dan Empu menyerahkan lem–

pengan besi yang Empu pegang itu kepada saya. Sebagai 

tambahan saya akan memberikan sekantung batu permata 

yang harganya sama dengan kursi emas tahta Raja Mata–

ram.” 

Kalau tadi Sri Padmi menyingsingkan bagian bawah 

pakaiannya untuk mengambil lempengan besi hijau maka 

kini tanpa rasa jengah dia membuka lebar-lebar bagian 

atas dada pakaiannya. Dari antara celah dua payudaranya 

si cantik ini kemudian mengambil sebuah kantong kain 

berwarna kuning. Lalu dalam keadaan dada masih tersing–

kap dia membungkuk, meletakkan kantong kain di hada–

pan Empu Semirang. Ikatan kantong dibuka hingga terlihat 

isinya yaitu setumpuk batu permata serta tiga batangan 

emas. Lempengan besi hijau diletakkan di samping kanan 

kantong kain. 

Sambil tersenyum dan menutup pakaiannya sebelah 

atas Sri Padmi berucap, “Empu tidak mengatakan apa-apa. 

Apakah itu satu pertanda bahwa Empu menyetujui mak–

sudku saling bantu membantu? Kalau begitu saya harap 

Empu mau menyerahkan lempengan besi biru di tangan 

kiri Empu.”


“Sri Padmi, maafkan diriku. Aku tidak mungkin meneri–

ma tawaranmu. Betapapun luar biasanya besi hijau itu 

namun aku tidak mungkin menukar dengan besi biru yang 

masih menyala ini. Besi ini amanat orang. Aku tidak boleh 

menukarnya dengan benda apapun, sekalipun satu gunung 

emas...” 

“Empu, apakah Empu tidak menyadari kalau aku mem–

berikan satu keuntungan besar padamu? Kau tidak akan 

merugi karena menukar besi biru dengan besi hijau. Selain 

itu kau kini memiliki pula sekantong benda berharga. Kalau 

ada yang memberimu gunung emas, bagaimana mungkin 

kau akan mengangkatnya? Hik... hik... hik.” Sri Padmi ter–

tawa cekikikan. 

“Maafkan saya Ajeng. Saya tidak bisa menerima per–

mintaan Ajeng. Silahkan ambil kembali besi hijau sakti dan 

kantong itu...” 

Sri Padmi Kameswari masih belum mau mengalah. Dia 

duduk seenaknya, setengah mencangkung di hadapan 

sang Empu. 

“Empu...” Ucap Sri Padmi dengan suara lembut sambil 

tangan kanan diletakkan di atas lengan kiri Empu Semi–

rang yang memegang besi merah menyala. “Kalau harta 

sekantong itu masih belum ada artinya, aku siap memberi 

imbalan yang lain. Apapun yang Empu minta...” 

“Ajeng... maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi per–

mintaanmu. Saat ini aku harus cepat memulai pekerjaan. 

Pertemuan kita cukup sampai di sini...” 

“Empu Semirang, aku tahu. Selain sakti Empu juga 

seorang berhati polos dan jujur. Harap Empu mau mem–

percayai saya. Kita saling bertukar lempengan besi. Lalu...” 

Empu Semirang gelengkan kepala. 

“Empu...” Sri Padmi eluskan tangannya di lengan si 

orang tua. “Seperti kataku tadi, apapun imbalan yang 

Empu minta akan aku berikan. Termasuk diri saya...” 

“Ajeng, dengan segala hormat aku minta Ajeng segera 

meninggalkan tempat ini...” 

Sri Padmi masih belum mau surut. Dengan gerakan


sangat cepat dia tanggalkan pakaian merahnya. Dalam 

keadaan tidak selembar benangpun menutupi aurat dia 

kemudian duduk di pangkuan Empu Semirang dan meme–

luk orang tua ini. 

Sekujur tubuh si orang tua bergetar hebat! 

“Cukup! Lekas kau pergi dari sini!” bentak Empu Semi–

rang. 

Sri Padmi tertawa merdu. “Empu, berikan lempengan 

besi itu padaku. Diriku akan menjadi milikmu selama-

lamanya...” 

Tiba-tiba tangan kanannya bergerak menyambar ke 

arah lempengan besi menyala di tangan kiri Empu Semi–

rang. 

“Perempuan kurang ajar!” Rutuk Empu Semirang. 

Sekali dia bergerak, tubuhnya yang dalam keadaan duduk 

di atas tikar melesat ke udara. Kaki kanan menendang 

hingga Sri Padmi Kameswari terpental. Empu Semirang 

terkejut sendiri. Dari mana dia memiliki ilmu kepandaian 

silat hingga mampu melompat dan menendang! 

“Empu, kita masih ada waktu untuk bicara. Jangan 

perturutkan kemarahanmu. Aku tidak berniat jahat pada–

mu. Aku justru pasrah menyerahkan diri...” Sri Padmi kem–

bangkan dua kakinya. 

“Makhluk jahanam! Perlihatkan dirimu sebenarnya!” 

Bentak Empu Semirang. 

Sri Padmi terpekik lalu tertawa panjang. Tawa yang 

terdengar menggidikkan. Dengan sikap penuh menggoda 

dia geliatkan pinggul lalu melangkah mendekati sang 

Empu. Tiba-tiba gadis ini melompat sambil tangan ber–

usaha merampas lempengan besi yang dipegang si orang 

tua. Namun Empu Semirang memukul sambaran tangan itu 

dengan tangan kanan. 

Buukkk! 

Tangan kanan merah menyala Empu Semirang beradu 

keras dengan lengan kanan Sri Padmi Kameswari.



EMPAT


SI PADMI menjerit keras ketika, desss...! Kraak! 

Lengan kanannya yang kena dipukul berderak dan 

berubah hangus mengepulkan asap. Empu Semirang 

sendiri terkejut tidak menyangka. Dia merasa menyesal 

telah melakukan pukulan. Seperti yang telah dibuktikannya 

sendiri, walau tangan itu telah menjadi bara membara dan 

panas luar bisa namun ketika dipakai mengusap wajah, dia 

sama sekali tidak mengalami cidera sedikitpun. Mengapa 

sekarang ketika memukul perempuan muda cantik itu 

pukulannya mendatangkan petaka? 

“Ini pasti kuasa Dewa...” Empu Semirang membatin. 

Dalam menahan sakit yang amat sangat, Sri Padmi 

Kameswari berteriak, “Orang tua celaka! Kau tidak akan 

pernah melihat fajar menyingsing besok pagi! Kau akan 

mampus dan lempengan besi itu akan menjadi milikku! 

Rohmu akan tergantung antara langit dan bumi! Ha... ha... 

ha! Mataram akan dilanda bencana! Negeri itu akan 

menjadi neraka! Semua orang akan menemui ajal secara 

mengerikan!” 

Suara lembut perempuan muda cantik itu berubah 

menjadi keras dan kasar parau. 

Wuss! 

Satu kilatan cahaya berwarna hitam keluar dari dalam 

tubuhnya. Di lain kejap sosok Sri Padmi Kameswari ber–

ubah dahsyat mulai dari kepala sampai ke kaki. Pakaian 

yang tadinya jubah merah tipis kini masih berbentuk jubah 

tapi terbuat dari kain tebal hitam. Rambut yang sebelum–

nya hitam legam berkilat kini tampak kasar awut-awutan 

seperti ijuk. Wajah yang cantik jelita berganti menjadi 

wajah jelek seorang nenek keriput. Di keningnya terlihat


delapan benjolan sebesar ujung ibu jari berwarna merah 

dan selalu mengepulkan asap. Tubuh yang tadi elok kini 

kelihatan kurus kering dan bungkuk. Ketika menyeringai 

kelihatan deretan gigi hitam bercaling. Sepuluh jari tangan 

berubah menjadi paku besar berwarna hitam, memancar–

kan sinar menggidikkan. 

“Makhluk terkutuk! Katakan siapa kau sebenarnya. 

Siapa yang mengutus dirimu datang untuk berbuat kejaha–

tan di tempat ini!” 

Sri Padmi Kameswari kembali tertawa panjang. Tawa–

nya tidak lagi semerdu sebelumnya tapi angker menggidik–

kan. 

“Namaku Gendeng Pakumati. Aku datang memang 

untuk berbuat kejahatan. Merampas lempengan besi yang 

hendak kaujadikan keris. Kalau kau bertanya siapa yang 

mengutus diriku maka aku adalah utusan dari alam arwah! 

Ha... ha... ha!” 

Selesai berucap dan tertawa bekakakan Sri Padmi 

Kameswari alias Gendeng Pakumati kembangkan sepuluh 

jari lalu dijentikkan ke arah Empu Semirang. Sepuluh paku 

hitam melesat, menyerang sepuluh bagian tubuh sang 

Empu. 

Empu Semirang Biru adalah seorang yang ahli dalam 

membuat senjata. Kalau dia memiliki ilmu kesaktian maka 

ilmu itu adalah hanya sebatas untuk membuat senjata. Dia 

sama sekali tidak memiliki ilmu silat ataupun ilmu sakti 

untuk bertarung. Bahkan tenaga yang dimiliki hanya tenaga 

luar atau tenaga kasar. Bukan tenaga dalam mengandung 

hawa sakti. Ketika sepuluh paku dengan ganas menyam–

bar ke arahnya tentu saja orang tua ini tidak kuasa untuk 

mengelak apalagi menangkis. Dalam keadaan seperti itu si 

orang tua sama sekali tidak merasa takut sekalipun dia 

akan menemui ajal. Yang dikhawatirkannya adalah bagai–

mana dia harus menyelamatkan lempengan besi cikal 

bakal keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

Hanya beberapa saat lagi paku-paku maut itu akan 

menghajar Empu Semirang Biru tiba-tiba lempengan besi

merah menyala di tangan kiri orang tua ini melesat ke 

udara, menderu dari kiri ke kanan. Sembilan cahaya aneh 

berkiblat membentuk sisi lingkaran besar, tidak beda 

dengan taburan pelangi di langit luas. Lalu terdengar suara 

bedentrangan sepuluh kali berturut-turut. Sepuluh paku 

hitam hancur berkeping-keping, luruh ke tanah. Empu 

Semirang tertegun tercengang-cengang. 

Setelah melindungi sang Empu dari serangan maut, 

lempengan besi merah menyala melesat ke bawah dan 

menyusup ke dalam genggaman tangan kanan si orang 

tua. Ketika Empu Semirang memandang ke depan, sosok 

Sri Padmi Kameswari alias Gendeng Pakumati tak ada lagi. 

“Makhluk jahat. Dia pergi begitu saja. Meninggalkan 

lempengan besi hijau sakti dan sekantung perhiasan...” 

Ketika Empu Semirang memperhatikan, orang tua ini 

terkejut dan ada rasa tak percaya. Agar lebih jelas dia 

membungkuk memeriksa. Ternyata lempengan besi hijau 

telah berubah menjadi potongan bambu. Puluhan batu 

permata di dalam kantong kain kini hanya merupakan batu 

kerikil dan tiga batangan emas berubah menjadi besi butut 

karatan! 

Empu Semirang Biru hela nafas dalam berulang kali lalu 

letakkan lempengan besi merah di atas kening sambil 

mulut berkata. 

“Kanjeng Sepuh Pelangi. Dirimu belum lagi berbentuk 

sebilah keris namun kau telah mampu menyelamatkan diri 

saya. Terima kasih Kanjeng. Terima kasih wahai Para Dewa 

di Swargaloka... 

Empu Semirang memandang berkeliling. Setelah 

memastikan bahwa nenek jahat tadi benar-benar telah 

meninggalkan tempat itu maka dia kembali duduk di atas 

bantalan jerami kering untuk melanjutkan lagi pembuatan 

keris sakti.


LIMA


HARI pasar di Demak sekali ini tidak seperti biasanya, 

lebih ramai dari yang sudah-sudah. Penyebabnya 

hari itu ada pertunjukan Kuda Lumping Cahaya 

Utara pimpinan Ki Sugeng Jambul dari Semarang. Ketika 

Pendekar 212 Wiro Sableng sampai ke tempat itu seorang 

anak perempuan cantik belia berusia empat belas tahun, 

berdandan menor mencorong tengah menunjukkan kebo–

lehannya. Sambil mengunyah sirih gadis ini berjalan ber–

keliling, melompat-lompat, menunggang kuda lumping 

terbuat dari kajang. Tambur dan terompet saling berebut 

riuh keras-kerasan, ditingkah suara kerincingan perak di 

kedua kaki dan tangan si gadis. Ketika mata gadis ini mulai 

membeliak terbalik-balik dan mulut meracau tak karuan 

pertanda dia mulai kesurupan, seorang lelaki berpakaian 

hitam berjambul tinggi, sambil memegang cemeti mende–

kat dari belakang. Lelaki separuh baya ini adalah Ki 

Sugeng Jambul, pimpinan rombongan kuda lumping. 

Seorang pemuda gagah berambut panjang mendatangi 

dari arah depan membawa sebatang semprong kaca lampu 

minyak di tangan kanan dan bendera merah berbentuk 

segi tiga di tangan kiri. 

Ki Sugeng Jambul putar cemeti di udara. Cemeti men–

deru keras. Tiba-tiba taar... taar! Cemeti dicambukkan ke 

punggung si gadis. 

Brett! Breett! 

Pakaian si gadis robek di dua tempat. Asap mengepul. 

Namun kulit punggungnya sama sekali tidak cidera. Malah 

sambil terus melompat-lompat mengelilingi kalangan per–

tunjukan gadis ini mulai menyanyi-nyanyi kecil dan sesekali 

tertawa cekikikan. Cairan merah daun sirih campur kapur,


tembakau dan pinang meleleh membasahi dagunya. Ki 

Sugeng Jambul mencambuk lagi sampai empat kali lalu 

menari-nari mengelilingi si gadis yang menunggang kuda 

lumping. 

Pemuda di hadapan si gadis tiba-tiba mengacungkan 

semprong kaca. Tangan kiri mengibar-ngibarkan bendera 

merah segi tiga. 

“Ni Gatri. Saatnya makan siang! Makan! Makan sampai 

habis!” 

Semprong kaca disusupkan ke dalam tangan kanan si 

gadis yang saat itu menggoleng-goleng kepala, melenggak-

lenggok pinggul. Sesaat kemudian sambil terus bernyanyi 

gadis pemain kuda lumping bernama Ni Gatri ini mulai 

menggigit ujung semprong. 

Kraakk! 

Ujung semprong rontok. Kaca masuk ke dalam mulut. 

Terdengar suara kerauk-kerauk keras ketika pecahan kaca 

semprong dikunyah seperti enaknya orang mengunyah 

kerupuk. 

“Makan! Habiskan!” Kembali pemuda yang tadi mem–

berikan semprong kaca berseru sambil mengebut-ngebut 

bendera. 

Ni Gatri masukkan semprong kaca ke dalam mulut. 

Digigit lalu, krauk! Semprong berderak patah dan Ni Gatri 

kembali komat-kamit mengunyah pecahan kaca. Sepasang 

mata meram melek seolah-olah dia tengah menyantap 

makanan sangat sedap. Suara terompet dan tambur 

semakin menjadi-jadi. Semprong utuh akhirnya habis 

dimakan Ni Gatri. 

Suara terompet dan tambur mereda sedikit. Saat itu 

seorang anggota pertunjukan menyeret sebuah papan 

besar berbentuk empat persegi ke tengah kalangan. 

Seluruh permukaan papan ini ditancapi puluhan paku 

sepanjang tiga perempat jengkal. Di antara paku-paku 

runcing ditebar pecahan beling. 

Bersamaan dengan melengking keras tiupan terompet 

serta menggelegar tabuhan tambur, Ni Gatri melompat ke


udara. Kuda lumping dari kajang dilempar. Setelah berpu–

tar di udara beberapa kali kuda lumping ini lalu ditangkap 

oleh Ki Sugeng Jambul. Kuda lumping kemudian diserah–

kan pada salah seorang anak buahnya. Ni Gatri sendiri 

saat itu menari-nari mengelilingi papan berpaku. Setiap 

satu kali putaran kepala didongakkan lalu mulut mengum–

bar tawa panjang. Orang-orang yang menonton kalau tadi 

bertepuk tangan kini tampak berdiri hening, mata tak 

berkesip. Mereka ingin menyaksikan apa yang kemudian 

akan dilakukan oleh si gadis kembang pertunjukan. 

Ki Sugeng Jambul usap mukanya dua kali dengan 

tangan kiri. Mulut komat-kamit membaca mantera. Cemeti 

dipecut ke udara hingga mengeluarkan suara menggelegar 

seperti petir menyambar. Pecutan cemeti ini merupakan 

tanda bagi Ni Gatri untuk segera melompat ke atas papan 

yang ditancapi puluhan paku serta tebaran beling. Tiupan 

terompet dan tabuhan tambur berubah perlahan. Semua 

orang menahan nafas, menatap dengan mata tidak 

berkedip. Ni Gatri berteriak keras. Bersamaan dengan itu 

dia melompat. Tubuhnya yang padat elok sesaat meng–

apung di udara lalu dengan cepat melayang turun. Dua 

kaki mengarah papan berpaku! 

Hanya beberapa jengkal lagi telapak kaki gadis berusia 

empat belas tahun itu akan bersentuhan dengan paku tiba-

tiba entah dari mana datangnya satu cahaya putih berke–

lebat di udara lalu masuk ke dalam tubuh Ni Gatri. Kejap 

itu juga tubuh Ni Gatri naik lagi ke atas lalu jungkir balik. 

Ketika melayang turun kepalanya lebih dulu mengarah 

puluhan paku yang menancap di papan. Orang banyak 

berteriak tegang dan ngeri! Orang yang memiliki kepan–

daian tertentu akan segera mengetahui bahwa gerakan 

yang tadi dibuat Ni Gatri bukan gerakan pertunjukan. Tapi 

ada satu kekuatan yang membuat tubuhnya jungkir balik 

tak karuan di udara lalu jatuh ke bawah dengan kepala 

lebih dulu! 

Melihat hal ini Ki Sugeng Jambul berteriak keras. 

“Tahan! Hentikan pertunjukan! Ada orang luar hendak


mencelakai Ni Gatri!” 

Suara terompet dan tabuh serta merta berhenti. Orang 

banyak berseru tegang. Semua anggota perkumpulan 

sama membaca mantera penolak bahala. Sementara Ki 

Sugeng Jambul dengan cepat melesat ke depan untuk 

selamatkan Ni Gatri. Namun dia kalah cepat. Satu baya–

ngan putih mendahului gerakannya, menyambar tubuh Ni 

Gatri lalu gadis itu dibaringkan di tanah di tepi kalangan 

pertunjukan. 

Orang banyak mengerubung, ingin tahu bagaimana 

keadaan Ni Gatri. Saat itu Ni Gatri terbaring di tanah 

dengan mata terpejam. Dada sesak turun naik, nafas 

megap-megap. Kunyahan sirih bercampur cairan kental 

berwarna merah meleleh di sudut bibir kiri kanan. Ki 

Sugeng Jambul menyeruak di sela-sela kerumunan orang 

banyak. Dia segera memeriksa keadaan Ni Gatri. 

“Gadis ini tidak apa-apa. Tidak ada orang jahat yang 

hendak mencelakainya. Cahaya putih satu pertanda bahwa 

yang tadi masuk ke dalam tubuhnya adalah roh baik-

baik...” kata seorang pemuda. 

Ki Sugeng Jambul angkat kepala, berpaling ke arah 

orang yang bicara. Seorang pemuda berambut gondrong, 

berikat kepala dan berpakaian serba putih. Pemuda tak 

dikenalnya ini tentu saja adalah Pendekar 212 Wiro Sa–

bleng yang sebelumnya ikut menonton pertunjukan kuda 

lumping. 

“Anak muda, aku tahu kau yang barusan menolong 

gadis ini. Untuk itu aku sangat berterima kasih. Kalau aku 

boleh bertanya siapakah adanya dirimu. Lalu bagaimana 

kau tahu tidak ada orang berniat jahat. Bahwa ada roh 

baik-baik masuk ke dalam tubuhnya. Padahal aku dan 

semua orang di sini jelas-jelas melihat kepala Ni Gatri 

hampir saja amblas ditancap puluhan paku!” 

Murid Sinto Gendeng diberondong pertanyaan seperti 

itu garuk-garuk kepala lebih dulu baru menyahut, “Aku, aku 

hanya seorang pengelana yang kebetulan lewat di pasar 

ini. Aku tertarik dengan pertunjukan kuda lumpingmu.


Mengenai roh baik-baik itu, dugaanku berdasarkan cahaya 

putih yang masuk ke dalam tubuh gadis ini. Kalau roh jahat 

warnanya pasti tidak putih. Buktinya anak buahmu ini tidak 

cidera, tidak menyemburkan darah. Keadaannya hanya 

pingsan karena terkejut dan takut. Sebentar lagi dia pasti 

siuman.” 

Sebenarnya Wiro mengetahui apa yang terjadi dengan 

si gadis. Sebelum cahaya putih berkiblat masuk ke dalam 

tubuh Ni Gatri, lebih dulu ada sekilas cahaya hitam me–

nyambar. Cahaya hitam itu memiliki kekuatan jahat yang 

bisa membuat sekujur tubuh si gadis menjadi hangus. Lalu 

muncul cahaya putih memusnahkan kekuatan jahat caha–

ya hitam. Di saat yang bersamaan sosok si gadis sudah 

keburu melayang jatuh ke bawah. Semua apa yang dilihat–

nya itu tidak diceritakan Wiro pada Ki Sugeng Jambul. 

Khawatir akan tambah merusak suasana. 

Wiro letakkan telapak tangan kirinya di atas kening Ni 

Gatri. Hawa sakti sejuk dialirkan. Sesaat kemudian gadis 

itu tampak menggerakkan kepala lalu ada tarikan nafas 

panjang. Menyusul mata yang terpejam dibuka. Begitu 

memandang, yang pertama sekali dilihatnya adalah Pen–

dekar 212 Wiro Sableng. Si gadis tersenyum. 

“Kau...” Ucap Ni Gatri. “Akhirnya kutemui juga dirimu...” 

Wiro mengerenyit, kepala digaruk. 

Ki Sugeng Jambul dan semua anak buahnya terheran-

heran mendengar ucapan Ni Gatri. 

Ni Gatri bangkit lalu duduk bersimpuh di tanah. Sepa–

sang matanya tidak beralih dari memperhatikan Pendekar 

212. 

Ki Sugeng Jambul dan semua anggota pertunjukan 

kuda lumping saling pandang. Suara yang keluar dari mulut 

Ni Gatri bukan suara si gadis. Tapi suara laki-laki. Suara 

seorang kakek-kakek. Wiro sendiri diam-diam juga merasa 

heran. Dia ingat pada cahaya putih yang masuk belaka–

ngan ke tubuh Ni Gatri. 

“Ni Gatri, apa yang terjadi. Mengapa suaramu berubah. 

Apa kau kenal dengan pemuda ini?” Bertanya Ki Sugeng


Jambul. 

“Ki Sugeng, saya memang tidak mengenal pemuda ini. 

Tapi saya yakin dialah orangnya.” Ni Gatri menjawab 

dengan suara anehnya. 

“Orangnya apa? Siapa dia Ni Gatri?” tanya Ki Sugeng 

Jambul heran dan tidak mengerti. 

Seorang tua bermata belok, berdestar merah dan 

menyandang sarung, menyeruak di antara kerumunan 

orang banyak lalu mendekati Ki Sugeng Jambul dan 

berkata, “Ki Sugeng, saya curiga. Jangan-jangan pemuda 

berambut gondrong ini yang punya pekerjaan. Dia men–

celakai Ni Gatri lalu pura-pura menolong. Dia pasti punya 

maksud jahat yang tersembunyi...” 

Mendengar ucapan orang tanpa berpikir lagi Ki Sugeng 

Jambul langsung percaya. Dia pandangi Wiro dengan mata 

melotot. Sementara Wiro sendiri delikkan mata pada kakek 

bermata belok yang barusan bicara pada Ki Sugeng Jam–

bul. 

“Anak muda, apa niat yang ada dalam dirimu. Hendak 

mencelakai Ni Gatri lalu pura-pura menolongnya!” 

Pendekar 212 jadi kesal mendengar ucapan Ki Sugeng 

Jambul. “Ki Sugeng, kalau aku memang hendak mencela–

kai anak buahmu, apa perlunya aku kemudian menye–

lamatkannya? Apa kau kira aku orang goblok seperti 

dirimu?!” 

Wajah Ki Sugeng Jambul kelihatan merah. Namun dia 

menjawab juga. “Karena kau pasti punya niat jahat ter–

sembunyi!” 

Wiro geleng-geleng kepala lalu bangkit berdiri. Ni Gatri 

ikut berdiri. Ki Sugeng juga buru-buru berdiri. 

“Jangan kau berani pergi dari sini sebelum aku tahu 

siapa kau sebenarnya dan mempertanggungjawabkan 

perbuatanmu!” 

“Tidak ada yang harus aku pertanggungjawabkan. Kau 

sendiri tadi mengucapkan terima kasih karena aku telah 

menolong gadis itu. Sekarang gara-gara ucapan kakek 

bermata bongsang itu kau punya pikiran yang bukan-bukan


terhadapku! Lebih baik kau urus gadis itu. Usianya masih 

terlalu muda untuk kau pekerjakan sebagai pemain kuda 

lumping! Dia bekerja keras bahkan menyabung nyawa. 

Sementara kau yang dapat uang banyak!” 

Wiro memutar tubuh siap untuk pergi. Namun Ki 

Sugeng Jambul yang saat itu menjadi marah mendengar 

ucapan murid Sinto Gendeng putar lengannya yang meme–

gang cambuk. Ujung cambuk menggelegar di udara me–

ngeluarkan percikan api pertanda gerakan yang dilakukan 

mengandung aliran tenaga dalam cukup tinggi. Ki Sugeng 

Jambul sekali lagi gerakkan lengan. 

Seetttt! 

Cambuk dengan kecepatan luar biasa tahu-tahu sudah 

melibat Pendekar 212 mulai dari bahu sampai ke perge–

langan kaki hingga dia tidak mampu bergerak lagi. 

Wiro tertawa cengengesan. Dalam hati dia berkata, “Ki 

Sugeng, kalau aku membalas perbuatanmu ini, melepas 

libatan cambuk lalu memasukkannya ke lobang hidungmu 

dan keluar dari lobang pantat baru kau tahu rasa!” 

Ni Gatri maju satu langkah. Matanya menatap ke dada 

Wiro tajam-tajam. Dalam hati gadis ini membatin, “Me–

mang dia orangnya. Aku melihat pancaran cahaya senjata 

mustika itu ada di dalam tubuhnya...” 

Ni Gatri lalu ulurkan tangan kanan. Lima jari dijentik–

kan. Lima sambaran angin berdesir. 

Dess! 

Cambuk yang melibat Wiro putus secara bersamaan di 

lima tempat. Ki Sugeng Jambul berseru kaget. Tidak bisa 

percaya Ni Gatri mampu dan memiliki ilmu untuk melaku–

kan hal itu. Wiro juga merasakan hal yang sama. Ada satu 

kekuatan dahsyat dalam tubuh Ni Gatri yang bukan saja 

telah melindunginya tapi juga memberi kemampuan untuk 

melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh tokoh 

silat berkepandaian tinggi. 

“Paman, jangan ganggu pemuda itu. Biarkan dia pergi 

dari sini...” Kata-kata itu meluncur keluar dari mulut Ni 

Gatri dan lagi-lagi merupakan suara kakek-kakek.


“Ni Gatri! Apa yang terjadi dengan dirimu Mengapa kau 

bicara begitu?!” 

“Pemuda berambut gondrong ini telah memasukkan 

roh jahat ke dalam tubuh Ni Gatri! Semua orang menjauh 

cepat! Sebentar lagi tubuh gadis ini akan meledak!” Ber–

kata kakek berdestar merah. Ucapannya membuat semua 

orang menjadi gempar dan cepat menjauh. 

Sebaliknya Ni Gatri malah melangkah mendekati orang 

tua berdestar merah ini. Tangan kirinya menuding, “Kaulah 

pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak memasukkan 

angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa 

Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu! 

Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan 

mahluk paling hina di muka bumi ini!” 

Kakek berdestar tertawa. Ketika tertawa mulutnya 

terbuka, dan astaga! Kelihatan dia memiliki lidah panjang 

merah dan bercabang dua! “Tidak hari ini masih banyak 

hari lain kau akan menerima celaka!” 

Selesai keluarkan ucapan orang tua itu siap berkelebat 

pergi namun Ni Gatri tusukkan telunjuk tangan kirinya yang 

sejak tadi menuding. 

Wutt...! 

Selarik cahaya biru membentuk garis panjang menderu. 

Ujungnya tepat mendarat di pertengahan kening si kakek. 

Didahului jeritan keras yang kemudian berubah menjadi 

suara lolongan anjing, sosok si kakek lenyap. Di tempat itu 

kini kelihatan seekor anjing hitam, kurus kering dan kulit–

nya penuh koreng budukan Di keningnya ada delapan 

benjolan sebesar ujung jari telunjuk berwarna merah. 

Semua orang yang ada di tempat itu menjadi gempar! 

“Makhluk celaka! Kau telah menerima kutukan Dewa! 

Sekarang pergi dari sini!” Ni Gatri berteriak keras lalu 

menendang dengan kaki kanan. 

Dukkk! 

Anjing hitam buduk perubahan sosok kakek berdestar 

merah mencelat mental. Sambil terkaing-kaing kesakitan 

binatang ini menghambur lari, menyelinap di antara kaki


orang banyak dan lenyap ke arah timur. 

Di saat bersamaan selarik cahaya putih berkelebat 

keluar dari tubuh Ni Gatri. Ni Gatri jatuh terduduk di tanah. 

Mukanya pucat. Seluruh wajah dan tubuh basah oleh 

keringat. Gadis ini memandang berkeliling. Ketika melihat 

Ki Sugeng Jambul dia berkata, “Paman, dada saya sakit. 

Tolong... Mana kakak tadi?” Suara Ni Gatri sekarang 

kembali ke suara aslinya. Suara anak perempuan usia 

empat belas tahun. Bukan lagi suara aneh kakek-kakek. 

Beberapa teman Ni Gatri cepat menolong gadis ini 

berdiri. Ki Sugeng Jambul memandang berkeliling. Pemuda 

gondrong berpakaian putih yang tadi menyelamatkan Ni 

Gatri dilihatnya tak ada lagi di tempat itu.


ENAM



TAK LAMA meninggalkan Demak, akhirnya Wiro sampai 

di sebuah lembah. Cahaya matahari yang terik serasa 

membakar jagat. Wiro ingin beristirahat dulu barang 

sebentar. Dia pergi duduk di bawah kerindangan sebatang 

pohon randu. Di hadapannya terbentang pesawahan luas. 

Padi menguning, bergoyang-goyang seperti ombak ketika 

angin bertiup. Di ujung pesawahan menjulang gunung biru 

kehijauan. 

Angin bertiup sepoi basah. Hawa sejuk membuat murid 

Sinto Gendeng duduk melunjur terkantuk-kantuk. Namun 

dia tidak bisa memejamkan mata walau untuk sesaat. 

Peristiwa di Demak seolah terbayang di pelupuk matanya. 

“Gadis pemain kuda lumping itu. Dia kemasukan roh 

putih. Ketika dia menatap ke arahku pandangannya aneh. 

Mulut berucap. Suaranya bukan suara perempuan. Tapi 

suara laki-laki. Suara seorang tua. Kau... Akhirnya kutemui 

juga dirimu. Lalu ketika dia bicara dengan lelaki bernama 

Ki Sugeng itu, dia mengatakan, Ki Sugeng saya memang 

tidak mengenal pemuda ini. Tapi saya yakin dialah orang–

nya. Aneh, apa arti semua ucapan gadis yang kemasukan 

roh putih itu. Ada apa dengan diriku. Roh putih di dalam 

tubuhnya agaknya menguasai jalan pikiran dan mengatur 

setiap ucapan. Dari ucapan gadis itu agaknya ada orang 

tengah mencari diriku. Aku harus menyelidik siapa dan dari 

mana berasalnya roh itu...” 

Selagi mengingat-ingat kejadian di pasar di Demak itu 

tiba-tiba ada suara berkerincingan dan jeritan perempuan 

minta tolong. Lalu ada suara anjing menggonggong. 

“Siang bolong dikejar anjing! Ada-ada saja! Wiro tidak 

beranjak dari duduknya tapi kepala dipalingkan ke arah


datangnya suara jeritan dan gonggongan anjing. 

Sesaat kemudian dari balik semak belukar lebat berlari 

keluar seorang anak perempuan. Wajah menunjukkan rasa 

takut yang amat sangat. Hanya beberapa langkah di bela–

kangnya mengejar seekor anjing berbulu hitam berkulit 

penuh budukan. Mulut menganga memperlihatkan gigi dan 

taring runcing. Air liur menjela-jela. Siap menerkam kaki 

anak perempuan yang dikejarnya. Tepat di depan Wiro 

anak perempuan itu seperti kehabisan tenaga lalu jatuh 

tersungkur. Tangan bergelang kerincingan perak masih 

mampu menggapai ke depan ke arah Wiro. Kepala diang–

kat, mulut berucap. “Tolong... Den Mas tolong diriku.” 

Wiro serta merta mengenali, anak perempuan itu bukan 

lain adalah gadis pemain kuda lumping di Demak. Ni Gatri. 

Anak buah Ki Sugeng Jambul. 

Baru saja si gadis belia empat belas tahun itu berucap 

minta tolong, anjing buduk hitam yang di kepalanya ada 

delapan benjolan merah telah melompat menerkam kaki 

kanan Ni Gatri. Wiro yang tahu kalau anjing hitam buduk itu 

bukan binatang biasa, cepat melompat lalu menendang 

dengan kaki kanan. Tendangan yang dilepas Wiro tidak 

disertai tenaga dalam, hanya mengandalkan tenaga luar 

atau tenaga kasar. Walau begitu untuk ukuran seekor 

anjing, kalau sampai kena paling tidak kepalanya akan 

remuk! 

Apa yang terjadi membuat Pendekar 212 terkejut. 

Tendangan kaki kanannya mendarat tepat di kepala sebe–

lah kiri anjing hitam. Binatang ini meraung kesakitan. 

Tubuh terpental sampai satu tombak. Tapi kepalanya tidak 

hacur! Malah setelah berguling beberapa kail, didahului 

raungan keras anjing ini laksana terbang melompat ke 

arah Wiro. Mulut menganga lebar keluarkan suara mende–

ngus, dua kaki depan siap mencakar. 

“Binatang jejadian kurang ajar!” Maki Pendekar 212. 

Kini tangan kanannya yang bekerja. Melepas pukulan sakti 

Tangan Dewa Menghantam Matahari. Karena tahu anjing 

jejadian ini memiliki ilmu dan kekuatan hebat, Wiro kini


tidak kepalang tanggung. Pukulan yang dipelajarinya dari 

Kitab Putih Wasiat Dewa itu sanggup meluluh lantak batu 

besar. Apalagi hanya seekor anjing! Sekalipun binatang ini 

mungkin dibentengi oleh kekuatan dahsyat yang berasal 

dari roh jahat! 

Wuttt! 

Angin pukulan yang tidak memancarkan warna men–

deru. Anjing hitam melolong keras. Tubuh terpental tiga 

tombak, terhempas di tanah dalam keadaan tidak berben–

tuk lagi! Dari kepalanya yang hancur di mana terdapat 

delapan benjolan merah mengepul delapan asap merah, 

bergelung di udara lalu melesat ke arah matahari terbe–

nam dan lenyap dari pemandangan. 

Di tempat itu menghampar bau kemenyan! Lalu tampak 

satu bayangan samar seorang lelaki tua berpakaian hitam. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara, “Anak muda, 

jangan pernah mengira kalau aku sudah menemui ajal! 

Delapan Sukma Merah tidak pernah mati! Ha... ha... ha!” 

“Edan!” maki murid Sinto Gendeng. “Delapan Sukma 

Merah! Apa itu? Persetan! Mengapa harus aku pikirkan!” 

Wiro ingat pada gadis pemain kuda lumping yang saat 

itu sembunyi di balik pohon randu. “Ni Gatri, kau tidak apa-

apa?” tanya Wiro. 

“Terima kasih Den Mas telah menolong Gatri. Saya 

tidak apa-apa...” 

“Hemm...” Wiro bergumam. “Jangan panggil aku Den 

Mas. Panggil saja kakak.” 

Ni Gatri tertawa senang. Wajahnya yang tadi pucat kini 

tampak berdarah kembali. 

“Bagaimana ceritanya sampai kau dikejar anjing hitam 

buduk itu. Bukankah kau seharusnya bersama rombongan 

pemain kuda lumpingmu?” 

“Gatri melarikan diri. Gatri tahu Paman Sugeng Jambul 

pasti marah. Tapi Gatri tidak perduli...” 

“Mengapa kau melarikan diri?” tanya Wiro lagi. 

“Saya ingin mencari Kakak.” 

“Mencariku? Heh! Mengapa mencariku...”


“Gatri suka sama Kakak.” 

Wiro jadi melongo mendengar jawaban anak perawan 

belia itu. 

“Selain itu Kakak sudah menyelamatkan Gatri. Mulai 

sekarang Gatri mau ikut Kakak...” 

“Urusan berabe!” kata Wiro dalam hati sambil garuk-

garuk kepala. “Ada baiknya aku tanyai dulu anak ini...” 

Sebelum bertanya Wiro memegang bahu kiri Ni Gatri untuk 

mengetahui apakah masih ada makhluk luar yang mende–

kam dalam tubuh anak perempuan itu. Tak ada getaran, 

tak ada hawa aneh. Berarti Ni Gatri utuh tidak ada penga–

ruh jahat dari luar. 

Waktu bahunya dipegang Ni Gatri balas memegang 

lengan Wiro. Wiro tarik tangannya lalu bertanya, “Ni Gatri, 

kau ingat kejadian di pasar Tuban?” 

Yang ditanya anggukkan kepala. “Kalau Kakak tidak 

menolong pasti waktu itu Gatri sudah mati. Kepala menan–

cap di paku. Ihhh... ngerinya. Untung ada Kakak. Gatri 

sangat berterima kasih...” 

“Itu tidak penting. Yang aku ingin tahu apa kau ingat 

kalau saat itu kau memandang padaku dan berkata Akhir–

nya kutemui dirimu. Lalu pada Ki Sugeng Jambul kau 

mengatakan kalau kau tidak mengenal diriku. Tapi kau 

yakin akulah orangnya. Suaramu bicara saat itu bukan 

suara aslimu tapi menyerupai suara orang tua. Kau ingat Ni 

Gatri?” 

Si gadis tampak berpikir-pikir. Kemudian dia meng–

gelengkan kepala. “Kakak, Gatri hanya ingat melihat 

wajahmu. Tapi Gatri tidak tahu apa yang Gatri ucapkan.” 

“Pada kakek berdestar merah kau berkata Kaulah 

pembawa roh jahat itu! Kau yang hendak memasukkan 

angkara murka ke dalam tubuhku. Tapi Dewa Penguasa 

Jagat melindungi diriku, menghancurkan kejahatanmu! 

Sekarang tinggalkan tempat ini atau kau akan kujadikan 

makhluk paling hina di muka bumi ini. Kau ingat Ni Gatri 

kalau kau pernah mengucapkan kata-kata itu?” 

“Maafkan saya Kakak. Gatri ingat semua yang terjadi.


Yang Gatri saksikan dengan mata. Tapi apa yang Gatri 

ucapkan Gatri tidak bisa mengingat kembali...” 

“Baik, sekarang aku tanya lagi. Apa kau ingat sewaktu 

menusukkan jari telunjuk tangan kiri ke arah seorang 

kakek berdestar merah?” 

“Ingat,” jawab anak perempuan pemain kuda lumping 

itu. “Ada sinar biru keluar dari jari telunjuk Gatri. Lalu 

kakek itu berubah jadi anjing hitam budukan. Kepalanya 

benjal-benjol.” 

Wiro menggaruk kepala. 

“Kakak, apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku? 

Kakek yang berubah menjadi anjing hitam itu, mengapa dia 

hendak mencelakai Gatri.” 

“Kakek itu juga hendak mencelakai diriku,” jawab Wiro. 

“Ada yang mengirimnya untuk membantu roh jahat yang 

sengaja dimasukkan ke dalam dirimu. Agaknya tujuan 

utamanya adalah mencelakai diriku. Tapi ada roh putih 

yang mendahului masuk ke dalam dirimu. Sekarang sudah 

aman. Kau tak perlu takut.” 

“Gatri tidak pernah takut kalau Kakak ada di dekat 

Gatri,” jawab anak perempuan itu lalu dengan sikap 

kekanak-kanakan sandarkan kepalanya di dada Wiro. Sang 

pendekar menghindar dengan pura-pura duduk di bawah 

pohon besar. Gatri ikutan duduk di sebelahnya. 

“Setelah aku pergi apa yang terjadi?” Wiro bertanya. 

“Paman Sugeng Jambul menyuruh kami berkemas-

kemas dan segera meninggalkan pasar. Katanya akan 

meneruskan perjalanan ke Japara. Waktu itulah saya meli–

hat ada kesempatan. Saya menyelinap di antara orang 

banyak yang masih berkerumun di situ lalu melarikan diri. 

Saya hanya mengingat-ingat ke arah mana sebelumnya 

Kakak pergi. Di tengah jalan, di pinggiran kota tahu-tahu 

muncul anjing hitam itu mengejar saya. Saya heran saya 

bisa berlari cepat sekali. Saya bersyukur akhirnya bisa 

menemui Kakak. Saya mau ikut ke mana Kakak pergi. Saya 

tidak punya ayah, tidak punya ibu. Juga tidak punya 

saudara...


“Lalu Ki Sugeng Jambul yang kau panggil paman itu?” 

“Dia hanya paman-pamanan. Dia memelihara saya 

sejak kecil, menganggap sebagal anak sendiri. Tapi setelah 

saya meningkat dewasa seperti ini sikapnya jadi lain. Dia 

sering meraba-raba tubuh saya. Kalau tak ada orang dia 

suka mencium saya. Dia juga suka mengintip saya kalau 

lagi mandi...” 

“Kuda lumping keparat!” Maki Wiro dalam hati. “Gadis 

ini agaknya dijadikan perantara oleh roh putih untuk men–

cari diriku. Lalu ada roh hitam yang berusaha menghalangi. 

Siapa mereka?” 

Wiro perhatikan Ni Gatri seketika. Dia mendengar apa 

yang dikatakan Gatri tadi tentang sang paman Ki Sugeng 

Jambul. Dalam hati murid Sinto Gendeng berkata. “Tidak 

heran kalau pamanmu itu bisa blingsatan. Walau berdan–

dan mencorong wajahmu sebenarnya cantik. Tubuhmu 

yang sedang mekar sintal membuat jantung lelaki bisa 

berhenti berdetak kalau terlalu lama memandang!” 

“Ni Gatri, walau pamanmu itu punya sikap tidak baik 

tapi dia telah memeliharamu sejak kecil. Kurasa sebaiknya 

kau kembali menemuinya. Kalau perlu aku bersedia 

mengantar. Kalau kau memang mau meninggalkannya kau 

harus menjelaskan secara baik-baik...” 

“Saya akan menuruti ucapan Kakak. Asal setelah lepas 

dari Ki Sugeng Jambul saya boleh ikut bersama Kakak.” 

Jawab Ni Gatri pula. 

Wiro jadi garuk-garuk kepala lagi. Dia sadar tidak 

mungkin membawa gadis belia itu kembali ke rombongan 

kuda lumping yang dipimpin Ki Sugeng Jambul. Dalam hati 

dia berkata, “Cepat atau lambat Gatri pasti akan dilalap si 

Jambul keparat itu. Kasihan Ni Gatri.” 

“Ni Gatri, berapa usiamu...” Murid Sinto Gendeng ber–

tanya. 

“Empat belas tahun, Kakak,” jawab si gadis beila. Lalu 

menambahkan. “Di kampung, gadis seusia saya sudah 

dianggap tua kalau belum kawin.” 

“Begitu?” ujar Pendekar 212 sambil tertawa lebar. Lalu


dia berpikir-pikir. “Kalau anak perawan secantik ini sampai 

terlunta-lunta sebatangkara, pasti banyak lelaki jahat 

mempergunakan kesempatan.” 

“Ni Gatri, aku akan ke kotaraja. Perjalanan cukup 

jauh...” 

“Jangankan ke kotaraja. Ke ujung duniapun kalau 

bersama Kakak Gatri pasti mau ikut.” Ni Gatri memotong 

ucapan Wiro, membuat murid Sinto Gendeng ketar-ketir. 

“Di kotaraja aku banyak punya sahabat. Aku akan 

carikan seorang yang paling baik untukmu. Kau bisa tinggal 

bersamanya. Syukur-syukur kau nanti bisa dipekerjakan di 

Keraton Sri Sultan. Kau mau...?” 

“Saya menurut saja apa kata Kakak. Asal saya tidak 

jauh dari Kakak...” 

Wiro manggut-manggut. Dalam hati sang pendekar 

membatin. “Ni Gatri, kalau saja kau tiga atau empat tahun 

lebih tua mungkin jalan ceritanya bisa jadi lain.”


TUJUH



KEMBALI ke lereng Gunung Bismo yang merupakan 

salah satu dari beberapa gunung di dataran tinggi 

Dieng. Malam itu adalah malam kedua Empu Semi–

rang Biru mengerjakan pembuatan keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi. Sejak malam pertama memulai pekerjaan, dia 

tidak beranjak dari bantalan jerami kering yang diduduki–

nya, tak pernah berhenti bekerja kecuali untuk sekedar 

minum. Sepuluh jari sang Empu yang berwarna merah 

menyala dan mengandung panas luar biasa, bergerak 

leluasa di atas batangan besi keramat yang telah mem–

bentuk badan keris. Saat itu dia tengah memperhalus 

bagian-bagian tertentu. Semakin diperhalus semakin 

terang cahaya biru yang memancar dari senjata yang 

belum bergagang itu. Selain cahaya biru yang menyelu–

bungi seluruh badan keris berluk sembilan ini, masih ada 

kumpulan cahaya yang hanya terlihat di sisi sebelah kanan 

keris, berupa lengkungan sembilan warna mulai dari ujung 

runcing sampai ke bagian bawah yang lebih menonjol dan 

juga runcing tipis. Walau senjata ini diputar berlainan arah, 

tujuh gabungan warna yang melengkung seperti pelangi 

kecil tetap berada di sebelah kanan keris. 

Empu Semirang juga merasakan ada bau harum dan 

aliran hawa sejuk keluar dari badan Kanjeng Sepuh Pelangi 

memasuki tangan, padahal saat itu tangannya masih 

merah membara. 

“Sang Hyang Jagat Bathara, terima kasih Kau telah 

melindungi dan memberi kemampuan pada saya untuk 

membuat keris ini. Seumur hidup belum pernah saya 

membuat senjata luar biasa sakti seperti ini. Hanya dengan 

mempergunakan jari-jari telanjang begini rupa. Sungguh


besar kuasaMu. Dengan perkenanMu wahai Bathara Agung 

mudah-mudahan paling lambat menjelang fajar menying–

sing keris sakti mandraguna ini sudah sempurna keram–

pungannya. Saya tinggal menunggu kedatangan Raden 

Ageng Daksa, utusan Sri Maharaja Mataram untuk meng–

ambil keris ini yang menurut janjinya akan datang tengah 

malam besok...” 

Empu Semirang Biru kemudian letakkan keris yang 

masih merah menyala itu di atas kening bahkan beberapa 

kali dicium penuh khidmat tanpa wajahnya yang berkulit 

tipis hangus atau terluka. 

Ternyata sebelum fajar menyingsing Empu Semirang 

telah selesai dengan pekerjaannya. Sambil mengusap-usap 

keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak putus-putusnya orang 

tua bermuka tengkorak berambut biru riap-riapan ini 

memanjatkan puji syukur dan berterima kasih pada Yang 

Maha Kuasa karena telah dipercaya untuk membuat keris 

tersebut dan diberi kemampuan serta pertolongan untuk 

melaksanakannya. 

Ketika fajar menyingsing dan ufuk bumi sebelah timur 

mulai tampak terang, wajah Empu Semirang tampak ber–

seri-seri. Keris Kanjeng Sepuh Pelangi berluk sembilan 

diletakkan di atas pangkuan. Dielus-elus seraya berkata. 

“Kanjeng Sepuh Pelangi, besok tengah malam utusan Raja 

Mataram akan datang membawa sarung dan gagang 

pelengkap dirimu. Tak lupa pula sebuah kotak kaca beralas 

beludru merah untuk menyimpanmu. Setelah itu kau akan 

dibawa ke kotaraja. Entah kapan aku akan melihatmu 

lagi...” 

Tidak terasa sepasang mata orang tua ini telah ber–

kaca-kaca. Empu Semirang Biru geleng-gelengkan kepala, 

tertawa sendiri. 

“Aneh, mengapa aku harus menangis...” katanya. 

Tangan kanannya kembali mengusap keris berluk sembilan 

itu. 

Tiba-tiba dua tangan yang merah menyala itu berubah 

kembali ke bentuk aslinya. Empu Semirang tidak menjadi


terkejut. Malah dia membungkuk dalam-dalam dan berkata 

perlahan. “Pekerjaan sudah selesai. Adalah pantas kalau 

Yang Maha Kuasa mengambil kembali ilmu kesaktian yang 

diberikanNya.” 

Angin pagi bertiup dari arah barat. Empu Semirang 

hendak mengusap wajah, tiba-tiba dia ingat sesuatu. Lalu 

memandang ke arah timur. 

“Fajar telah menyingsing. Tapi aneh, aku sama sekali 

tidak mendengar suara ayam hutan berkokok seperti 

biasanya. Apa binatang-binatang itu lupa menyambut 

kedatangan bahagia pagi atau mereka masih pada tertidur 

lelap semua...?” 

Untuk pertama kalinya Empu Semirang merasa letih. 

Orang tua ini menguap lalu perlahan-lahan bangkit berdiri. 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dibungkus dengan sehelai 

kain putih, dipegang di tangan kanan. Dari lereng gunung 

tempat kediamannya itu dia bisa melihat gunung Prahu di 

arah utara dan gunung Sundoro di sebelah selatan. Karena 

kabut pagi masih cukup tebal mula-mula Empu Semirang 

tidak melihat jelas puncak dua gunung itu. Namun begitu 

angin bertiup membuat kabut bergerak membuyar, sang 

Empu kini bisa melihat puncak gunung. Begitu matanya 

memperhatikan hatinya langsung tercekat. 

“Lingkaran besar awan kelabu. Muncul kembali. Kali ini 

di atas puncak Gunung Sundoro...” Ucap orang tua beram–

but, kumis dan berjanggut biru ini. Dia langsung ingat 

peristiwa pada malam dua hari lalu ketika pertama kali 

hendak memulai pekerjaan membuat keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi. Saat itu di langit kelam dia melihat jelas lingkaran 

awan kelabu yang menurut pengalaman dan pengetahu–

annya merupakan satu pertanda tidak baik. 

“Mengapa sekarang lingkaran awan kelabu itu muncul 

lagi...?” Baru saja sang Empu berucap begitu tiba-tiba di 

kejauhan terdengar suara raung srigala. “Suara lolongan 

srigala. Sama seperti yang aku dengar malam itu. Pertanda 

apa ini? Dewa Jagat Bhatara, kalau ada sesuatu yang 

buruk, aku mohon perlindunganMu.”


Empu Semirang pegang keris di dalam gulungan kain 

erat-erat. Dia bermaksud duduk kembali di atas bantalan 

jerami kering. Tidak sengaja matanya memandang ke 

selatan, di mana menjulang puncak gunung Prahu. Untuk 

kedua kalinya orang tua ahli pembuat senjata ini tercekat. 

Di atas puncak Gunung Prahu juga ada kelihatan lingkaran 

awan kelabu. 

“Aneh... Ada beberapa keanehan. Ayam hutan tidak 

berkokok menyambut pagi. Suara raung srigala di kejauhan 

padahal di gunung ini tidak pernah ada binatang seperti 

itu. Lalu gulungan awan kelabu berbentuk lingkaran besar 

di langit dan di atas dua puncak gunung...” Lama orang tua 

ini tegak merenung. Wajahnya jelas menunjukkan kegeli–

sahan. 

Sekonyong-konyong seseorang berkelebat di antara 

pepohonan lalu melayang turun sambil menegur. “Empu 

Semirang. Mengapa unjukkan wajah muram. Padahal kau 

telah berhasil menyelesaikan pembuatan keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi dengan sempurna dan satu hari lebih cepat 

dari yang ditentukan...” 

Empu Semirang tersentak dari renungnya. Dia menge–

nali suara orang itu. Dalam hati orang tua ini membatin, 

“Heran, mengapa dia datang satu hari lebih cepat dari 

perjanjian. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku telah 

menyelesaikan pembuatan keris sakti...”




DELAPAN


EMPU Semirang memutar tubuh. Di depan gubuk 

berdiri seorang lelaki separuh baya, mengenakan 

baju lurik hitam sebatas dada. Di atas kepala ber–

tengger topi tinggi hitam bersulam benang emas. Di leher 

tergantung empat buah kalung terbuat dari emas, masing-

masing dihias batu permata berlainan warna. Di pinggang 

sebelah belakang tersisip sebilah keris bergagang perak 

berukir-ukir dihias empat batu permata berwarna merah 

darah. Dari dandanannya dapat diketahui kalau dia adalah 

seorang pejabat tinggi Kerajaan Mataram. Orang inilah 

yang beberapa waktu lalu atas perintah Sri Maharaja 

Mataram mendatangi Empu Semirang, membawa besi 

sakti berusia seribu tahun yang berasal dari perut kawah 

gunung Merapi lapis ke tujuh. 

Jauh di belakang orang yang berdiri di hadapannya, 

Empu Semirang melihat puncak Gunung Prahu. Di langit di 

atas gunung itu masih kelihatan lingkaran besar awan 

kelabu. Empu Semirang tidak mengerti mengapa hatinya 

mendadak merasa tidak enak. 

“Raden Ageng Daksa, salam sejahtera bagimu dan bagi 

Raja Mataram Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Dyah Loka–

pala. Atas kuasa Para Dewa saya telah diberi kemampuan 

menyelesaikan pembuatan keris Kanjeng Sepuh Pelangi 

satu hari lebih cepat. Bersyukur Raden telah mengetahui 

dan segera datang hingga saya tidak perlu menunggu 

sampai besok.” Empu Semirang tidak mau menceritakan 

kejadian munculnya orang tua gagah berjubah dan bersor–

ban kelabu. 

“Sri Maharaja pasti senang sekali. Kelak rahmat 

anugerahnya akan melimpah diberikan kepada Empu.”


Kata orang bertopi tinggi hitam bernama Raden Ageng 

Daksa. 

“Terima kasih Raden berucap begitu. Namun saya tidak 

mengharapkan apapun sebagal imbalan. Sudah menjadi 

tugas saya melakukan apa yang diperintahkan Raja Mata–

ram...” Jawab Empu Semirang Biru sambil menatap wajah 

pejabat tinggi Kerajaan yang berdiri di hadapannya. Bebe–

rapa saat dia memperhatikan mata kiri pejabat itu. 

Merasa tidak enak dipandang seperti itu Raden Ageng 

Daksa buru-buru berkata, “Empu Semirang, waktuku tidak 

lama. Bolehkah aku melihat senjata sakti keramat itu 

sebelum aku bawa ke kotaraja dan diserahkan pada Sri 

Maharaja?” 

“Tentu saja Raden” jawab Empu Semirang. Sejenak dia 

kembali memperhatikan pejabat kerajaan itu. Ada yang 

tidak dimengertinya. Namun dia melangkah juga mende–

kati. Di hadapan Raden Ageng Daksa sang Empu membuka 

kain putih yang membungkus Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

Sepasang mata Raden Ageng Daksa tampak berkilat-

kilat. Wajah menunjukkan kekaguman tak terperikan. 

“Luar biasa!” katanya. “Sinar biru seputar badan. Sinar 

pelangi kecil di sisi kanan. Pancaran hawa sejuk dan bau 

harum semerbak. Tepat seperti yang diriwayatkan dalam 

kitab Puji dan Doa. Tidak salah! Inilah Kerja Kanjeng Sepuh 

Pelangi.” 

Setelah menghela nafas lega, sambil tersenyum Raden 

Ageng Daksa berkata. “Empu Semirang Biru, tolong keris 

sakti dibungkus kembali baik-baik. Aku akan membawanya 

ke kotaraja sekarang juga.” 

Ketika Raden Ageng Daksa memperhatikan keris Kan–

jeng Sepuh Pelangi diam-diam Empu Semirang kembali 

memperhatikan mata kiri pejabat kerajaan itu. Lalu ketika 

sang pejabat memintanya membungkus keris sakti sang 

Empu menyampaikan ucapan dan pertanyaan yang sebe–

narnya sejak tadi ingin dikatakan. 

“Raden Ageng Daksa, sewaktu Raden datang tempo 

hari membawa besi bertuah cikal bakal Keris Kanjeng


Sepuh Pelangi, Raden mengatakan jika datang untuk 

mengambil keris maka Raden akan membawa gagang dan 

sarung senjata ini. Apakah saat ini Raden ada membawa 

kedua barang itu?” 

Raden Ageng Daksa tampak terkejut. Lalu pejabat ini 

pukul kepalanya sendiri. “Astaga! Betapa alpanya diriku ini. 

Karena tergesa-gesa aku sampai lupa membawa gagang 

dan sarung untuk Kanjeng Sepuh Pelangi. Mohon maafkan 

diriku. Namun Empu tak usah kawatir. Gagang dan sarung 

itu kusimpan di rumahku di kotaraja. Gagang dan sarung 

nanti bisa disisipkan langsung di hadapan Sri Maharaja 

Mataram. Apakah Empu tidak berniat ikut bersamaku ke 

istana menemui Sri Maharaja Mataram?” 

“Terima kasih Raden mau mengajak. Namun mohon 

dimaafkan. Saya tidak dapat pergi. Masih ada beberapa 

pekerjaan penting yang harus diselesaikan.” 

“Tidak jadi apa. Aku sudah terbiasa datang sendiri dan 

kembali sendiri...” Raden Ageng Daksa tertawa. Lalu dia 

ulurkan tangan untuk mengambil bungkusan kain putih di 

dalam mana terbungkus keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

Namun Empu Semirang dengan cepat kembali keluar–

kan ucapan sambil bersurut mundur sedikit. “Saya tidak 

melihat Raden membawa kotak kaca untuk menyimpan 

keris sakti. Apakah Raden juga melupakan benda itu?” 

Raden Ageng Daksa menggigit bibir lalu tersenyum. 

Sambil memegang bahu Empu Semirang dengan tangan 

kiri dia berkata. “Kotak itu sebenarnya tidak aku lupakan. 

Tapi mengingat membawa-bawa kotak kaca hanya akan 

merepotkan perjalanan, apalagi perjalanan jauh, di sam–

ping aku takut terjadi hal tak terduga hingga kotak kaca 

bisa saja pecah, maka kotak aku tinggalkan sementara di 

rumah tukang kayu yang membuatnya di pinggiran kota–

raja. Nah, aku sudah menjelaskan. Sekarang izinkan aku 

mengambil Keris Kanjeng Sepuh Pelangi...” 

Raden Ageng Daksa segera ulurkan tangan kanan 

untuk mengambil keris sakti dalam bungkusan kain putih. 

“Maafkan saya Raden, saya tidak bisa menyerahkan


Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pada Raden...” 

Raden Ageng Daksa tampak terkejut dan juga heran. 

Wajah berkerut. Mata agak membesar. Dua tangan diren–

tangkan ke samping. 

“Kenapa Empu? Mengapa Empu tidak bisa menyerah–

kan keris itu padaku? Empu bermaksud mau mengantar 

sendiri, hendak langsung menyerahkan kepada Sri Maha–

raja Mataram?” 

Empu Semirang Biru menggeleng. “Tidak, saya tiada 

niat menyerahkan sendiri senjata bertuah itu kepada Sri 

Maharaja...” 

“Lalu apa alasan Empu tidak bisa menyerahkan Kan–

jeng Sepuh Pelangi kepadaku?” Sambil bertanya Raden 

Ageng Daksa bergerak satu langkah mendekati sang Empu. 

“Raden, terus terang saya katakan saya menaruh curiga 

pada Raden. Saya tidak tahu siapa Raden ini sebenarnya!” 

“Empu menaruh curiga pada diriku? Apa Empu sudah 

hilang pikiran tidak tahu siapa aku? Pejabat yang dipercaya 

dan diutus Raja Mataram! Jangan berani menghina diriku! 

Katakan apa yang menjadi kecurigaan Empu...” 

“Sekarang rasanya bukan hanya curiga. Tapi tahu. 

Sangat mengetahui...” 

“Empu, seperti aku katakan tadi aku tidak punya waktu 

lama. Jangan bicara berteka-teki! Serahkan Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi padaku!” 

“Tidak! Saya akan mempertahankan senjata keramat 

ini sekalipun maut tantangannya! Karena saya tahu Raden 

bukan Raden Ageng Daksa yang sebenarnya!” 

Sepasang mata Raden Ageng Daksa membeliak besar. 

“Empu! Matamu sudah buta, otakmu sudah tidak waras 

atau ada setan mana yang masuk ke dalam kepalamu 

hingga bicara tidak karuan!” Suara Raden Ageng Daksa 

keras sekali pertanda dia mulai marah.




SEMBILAN


RADEN, saya memang sudah tua renta. Usia hampir 

delapan puluh tahun. Tapi saya belum pikun. Tidak 

buta. Otak saya masih waras. Dan tidak ada setan 

yang masuk ke dalam diri saya. Saya tidak pula bicara tak 

karuan. Saya yakin yang berdiri di depan saya saat ini 

bukan Raden Ageng Daksa yang asli. Raden Ageng Daksa 

yang saya kenal memiliki bintik hitam di bagian putih mata 

kirinya...” 

“Empu Semirang, ucapanmu tadi sama saja dengan 

mengatakan diriku adalah makhluk jejadian yang...” 

“Bukan hanya makhluk jejadian. Tapi makhluk yang 

punya maksud jahat. Hendak menipu diriku dan merampas 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi! Bukankah begitu? Siapapun 

kau adanya lebih baik segera pergi dari sini sebelum Para 

Dewa murka dan menjatuhkan kutuk atas dirimu!” 

Dalam amarah yang menggelegak orang di hadapan 

Empu Semirang berteriak dahsyat. Bersamaan dengan itu 

dia menerjang. Kaki kanan ditendangkan ke perut si orang 

tua hingga orang tua ini mencelat dua tombak. Punggung 

menghantam salah satu tiang gubuk, membuat atap gubuk 

yang sudah reyot itu runtuh menimbun sosok Empu Semi–

rang. Bungkusan kain putih berisi keris sakti terlepas dari 

tangan. Dengan cepat segera disambar oleh orang yang 

dituduh bukan sebagai Raden Ageng Daksa asli. 

Meski muntahkan darah segar dan satu tulang iga di 

bagian bawah patah, Empu Semirang masih bisa menyu–

sup keluar dari timbunan atap gubuk. 

“Demi Bathara Agung, aku mohon kembalikan Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi padaku. Kau boleh membunuh aku 

tapi jangan ambil senjata itu...”


Raden Ageng Daksa tertawa bergelak. 

“Siapa kau sebenarnya? Mengapa merampas senjata 

itu. Kembalikan padaku!” 

“Empu Semirang, kalau kau ingin tahu siapa diriku buka 

matamu lebar-lebar. Lihat baik-baik!” 

Raden Ageng Daksa usap wajahnya. 

Wusss! 

Segulung asap hitam mengepul dari tubuh dan kepala. 

Sosok Raden Ageng Daksa lenyap. Di balik kepulan asap 

yang kemudian menipis kini berdiri seorang kakek beram–

but putih panjang, bermata juling, bertubuh kurus jang–

kung, berpakaian putih sepinggang. Di keningnya terdapat 

delapan benjolan sebesar ujung ibu jari berwarna merah 

dan mengepulkan asap. Tangan kanan memegang bung–

kusan kain putih, tangan kiri memegang sebatang tongkat 

bambu kuning. 

“Resi Karbayana... Aku benar-benar tak menyangka,” 

ucap Empu Semirang begitu mengenali siapa adanya orang 

tua di hadapannya. “Apa yang terjadi dengan dirimu?! 

Mengapa ada benjolan di keningmu...” 

Orang yang disebut sebagai Resi Karbayana tertawa 

gelak-gelak. “Empu, kau keliru. Aku bukan Resi Karbayana, 

karena resi itu telah kubunuh tiga hari yang lewat! Lihat 

baik-baik!” Mulut berucap muka diusap. 

Wusss! 

Sekali lagi asap hitam mengepul dan sesaat kemudian 

bersamaan dengan lenyapnya sosok orang tua berambut 

dan berpakaian putih itu, kini muncul sosok lain yang juga 

seorang tua. Seperti Resi Karbayana tadi, orang tua ini juga 

memegang bungkusan kain putih berisi keris sakti Kanjeng 

Sepuh Pelangi. Meski di kening orang ini juga terdapat 

delapan benjolan merah namun Empu Semirang tetap 

masih bisa mengenali. 

“Sahabat Sedayu Galiwardhana, pertapa sakti dari 

Gunung Merbabu...” ucap Empu Semirang dengan suara 

bergetar dan menatap heran. “Bagaimana mungkin. Tidak 

salahkah mataku melihat? Bukankah kau sudah meninggal


beberapa waktu yang lalu...” 

“Kalau ada kekuatan seratus jin yang membawaku 

kembali ke Bhumi Mataram, tidak ada satu kekuatan lain 

pun yang bisa mencegah! Ha... ha... ha!” 

“Sedayu Galiwardhana, jangan bicara takabur...” 

“Empu Semirang, seharusnya kau aku habisi saat ini 

juga sebagaimana aku menghabisi Resi Karbayana. Tapi 

aku sengaja membiarkan kau tetap hidup. Selain meng–

ingat persahabatan kita di masa lalu aku juga ingin kau 

menjadi salah satu dari beberapa gelintir manusia yang 

akan menjadi saksi terjadinya malapetaka besar yang akan 

menimpa Bhumi Mataram! Ha... ha... ha! Tunggu keda–

tangan Malam Jahanam!” Setelah puas tertawa Sedayu 

Galiwardhana angkat tangan kanannya. 

“Tunggu! Sedayu, kalau kau ingin aku memberi kesak–

sian katakan apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu. 

Siapa yang menguasai dan mengendalikan rohmu?! Lalu 

malapetaka apa yang kau maksudkan akan menimpa 

Bhumi Mataram?” 

“Delapan Sukma Merah adalah penguasa tujuh samu–

dera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi! Ha... ha... ha.” 

Itulah jawaban Sedayu Galiwardhana yang tidak dimengerti 

Empu Semirang Biru. 

“Sedayu! Kembalikan keris itu!” 

Suara Empu Semirang terputus sampai di situ. Dari 

ujung ibu jari tangan kanan Sedayu Galiwardhana melesat 

selarik cahaya merah. Begitu cahaya ini menyentuh Empu 

Semirang tak ampun lagi orang tua ini terkulai lemas, 

roboh dan masuk kembali ke dalam reruntuhan gubuk. 

Sebelum jatuh pingsan Empu Semirang masih sempat 

mengucapkan doa, “Sang Hyang Jagat Bathara. Kalau saya 

memang harus mati saat ini saya pasrah. Tapi tolong 

selamatkan Keris Kanjeng Sepuh pelangi yang dirampas 

Sedayu Galiwardhana. Mungkin dia tidak sadar apa yang 

dilakukannya. Untuk itu wahai Yang Maha Kuasa tolong 

sahabat saya itu. Selamatkan rohnya dari kungkungan 

amarah murka yang menguasainya.”


Siang itu di langit mendadak muncul mendung tebal. 

Udara di puncak Gunung Bismo berubah kelam dan siuran 

angin menderu kencang. Tak lama kemudian hujan lebat 

turun membasahi bumi. Ketika malam tiba Empu Semirang 

masih berada di antara reruntuhan gubuknya. (Mengenai 

riwayat Sedayu Galidharna silahkan dibaca serial Mimba 

Purana Satria Lonceng Dewa. Telah terbit episode 

“Perawan Sumur Api”, “Arwah Candi Miring”, “Pangeran 

Bunga Bangkai”, “Dewi Tangan Jerangkong”, dst.)



SEPULUH


TAK LAMA setelah Empu Semirang pingsan di tengah 

reruntuhan atap gubuk, seseorang berkelebat dari 

lereng timur Gunung Bismo. Dalam waktu singkat dia 

sudah berada di bagian belakang gubuk. Dengan cepat 

orang ini mengeluarkan Empu Semirang dari bawah rerun–

tuhan atap lalu memanggulnya di bahu kiri. Sebelum 

meninggalkan tempat itu dia memeriksa lebih dulu teruta–

ma sekitar tempat Empu Semirang mengerjakan pembua–

tan senjata. Dengan beberapa kali tendangan saja dia 

melempar jauh reruntuhan gubuk, melanjutkan pemerik–

saan. Namun dia tidak menemukan apa yang dicarinya. 

“Kalau takdir Yang Maha Kuasa telah terjadi. Tidak satu 

insan pun di muka bumi ini mampu menolak. Semoga Para 

Dewa memberi petunjuk...” 

Habis keluarkan ucapan orang ini segera berkelebat 

pergi, membawa Empu Semirang Biru. 

Empu Semirang Biru tidak tahu berapa lama dia berada 

dalam kedaaan pingsan. Ketika siuman dia dapatkan diri 

terbaring di atas kasur empuk di dalam satu kamar tidak 

seberapa besar. Orang tua ini coba mengingat-ingat. Dia 

ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Namun dia tidak 

mengetahui di mana dia berada saat itu dan bagaimana 

bisa sampai di tempat itu. Selagi dia menduga-duga tiba-

tiba pintu kamar terbuka. Seorang berpakaian prajurit 

lengkap dengan tombak di tangan masuk mengiringi seo–

rang pelayan membawa secangkir minuman dan sepiring 

makanan. Pelayan ini juga membawa sehelai pakaian ber–

warna biru. Kepada Empu Semirang pelayan memberitahu 

kalau dia selesai makan dan minum, dia harus mengganti 

pakaiannya yang basah lalu keluar dari kamar. Kedua


orang itu keluar dari kamar tanpa Empu Semirang sempat 

bertanya. 

“Jangan-jangan aku berada di dalam istana raja,” kata 

sang Empu dalam hati. “Lalu bagaimana aku bisa berada 

di sini? Siapa yang membawa?” 

Empu Semirang hanya meneguk minuman hangat 

dalam cangkir. Dia sama sekali tidak menyentuh makanan 

di atas piring. Ketika dia keluar dari kamar, perajurit dan 

pelayan tadi sudah ada di depan pintu. Pelayan masuk ke 

dalam kamar, si prajurit meminta Empu Semirang meng–

ikutinya. Sewaktu melewati satu taman terbuka baru dia 

tahu kalau saat itu siang hari. Orang tua ini tidak bisa 

menduga apakah ini hari yang sama saat keris sakti 

dirampas orang atau ini adalah hari keesokannya. Hanya 

satu hal yang diyakininya. Saat itu dia memang berada di 

istana Sri Maharaja Mataram di kotaraja. 

“Secepat inikah aku bisa sampai di kotaraja dan masuk 

ke dalam istana? Pasti ada orang sakti yang menerbang–

kan diriku dari Gunung Bismo ke sini,” pikir Empu Semi–

rang. 

“Prajurit, aku mau dibawa ke mana?” Empu Semirang 

bertanya. Orang yang ditanya hanya menoleh sebentar tapi 

tidak menjawab. 

Ternyata orang tua ahli pembuat senjata itu diantar 

memasuki sebuah ruangan pertemuan besar. Di dekat 

pintu banyak pengawal melakukan penjagaan. Di dalam 

ruangan itu telah berada lebih dari sepuluh orang. Salah 

seorang di antaranya duduk di atas sebuah kursi besar di 

lantai yang agak tinggi sementara yang lain-lain duduk 

berderet di atas bangku panjang dialas kasur. 

Empu Semirang merasa agak tegang. Orang yang duduk 

di atas kursi besar bukan lain adalah Sri Maharaja Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala. Dalam hati Empu Semirang 

berkata, “Orang membawa aku ke hadapan Raja Mataram. 

Pasti ada sangkut pautnya dengan Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi yang hilang. Agaknya Raja dan semua orang yang 

ada di sini akan memberi putusan hukum atas diriku. Aku


pasrah menerima hukuman. Aku telah berlaku lalai hingga 

keris sakti milik kerajaan lenyap dirampas orang.” 

Empu Semirang jatuhkan diri, bersujud sedekat mung–

kin di hadapan Sri Maharaja Mataram sambil mulutnya 

berucap. “Sembah sujud dan hormat saya untuk Sri Maha–

raja Mataram. Saya sadar kesalahan saya. Saya Empu 

Semirang Biru siap menerima hukuman.” 

Tiba-tiba ada orang mendatangi dan menyuruhnya 

berdiri. “Empu Semirang, kita tidak punya waktu lama. Ini 

pertemuan sangat penting dan sangat rahasia. Menyang–

kut keselamatan Mataram dan rakyatnya. Kau dibawa ke 

istana ini, menghadap Sri Maharaja Mataram bukan untuk 

diadili atau dijatuhi hukuman. Sri Maharaja Mataram dan 

kami semua yang ada di sini ingin mendapat penjelasan 

mengenai apa yang terjadi dengan dirimu. Lalu ke mana 

lenyapnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Aku akan mewakili 

Sri Maharaja Mataram sebagal juru tanya.” 

Empu Semirang perlahan-lahan berdiri. Di hadapannya 

tegak seorang lelaki separuh baya yaitu orang yang baru–

san bicara dan membantunya berdiri. Orang ini mengena–

kan topi tinggi, pakaian lurik hitam sebatas pinggang dan 

empat kalung tergantung di leher. Inilah Raden Ageng 

Daksa. Karena masih ada perasaan khawatir Empu 

Semirang memperhatikan mata kiri orang. Seperti yang 

pernah dilihat sebelumnya salah satu bagian putih mata 

orang itu terdapat tanda atau bintik berwarna hitam. 

Berarti dia memang sebenarnya Raden Ageng Daksa. 

“Raden...” 

Raden Ageng Daksa memberi tanda agar Empu Semi–

rang tidak bicara dulu. Dia diantar dan dipersilahkan duduk 

pada satu bantalan tinggi di deretan paling depan tak jauh 

dari duduknya Sri Maharaja Mataram. Raden Ageng Daksa 

sendiri kemudian mengambil tempat duduk di hadapan 

Empu Semirang. Pintu ruangan ditutup pengawal dari luar. 

Di atas sebuah meja di tengah ruangan, Empu Semi–

rang melihat sebuah mangkok besar terbuat dari porselin 

putih. Di dalam mangkok yang hampir sebesar pelukan


tangan ini terdapat air berwarna kehijau-hijauan. Di atas air 

mengambang asap tipis yang juga berwarna hijau. “Air 

Penjajak Bala...” Ucap sang Empu dalam hati begitu 

mengenali mangkok dan isinya karena dia telah pernah 

melihat sebelumnya. Di atas meja juga terletak gagang dan 

sarung keris berlapis emas serta kotak kaca. Orang tua ini 

kemudian perhatikan orang-orang yang ada dalam 

ruangan. 

Sri Maharaja Rakai Kayuwangi duduk di atas kursi 

kebesaran. Walau sikapnya gagah, Raja yang baru berusia 

tiga puluh tahun ini agaknya sedang dalam kegelisahan 

karena sambil duduk berkali-kali dia mengusapkan dua 

telapak tangannya satu sama lain. 

Di deretan bangku panjang sebelah depan duduk 

seorang kakek berjubah biru gelap. Rambut, kumis dan 

janggut sangat putih hampir menyerupai kapas. Dia duduk 

dengan tubuh bungkuk bertopang sebuah tongkat tembaga 

yang ujungnya berbentuk lingkaran. Kening, leher dan 

pinggang diikat sehelai kain hitam yang penuh sulaman 

aksara bertuliskan huruf Palawa. Usianya sulit diduga. 

Empu Semirang mengenali orang tua ini bernama Umbut 

Watukura dan di Bhumi Mataram biasa dipanggil dengan 

sebutan Eyang Dukun. Sebelum dan sampai Sri Maharaja 

Rakai Kayuwangi memegang tahta kerajaan, Eyang Dukun 

dipercaya untuk menjaga keselamatan kerajaan dan rak–

yat. Konon Eyang Dukun mempunyai hampir lima puluh 

murid atau anak buah tersebar di seluruh Bhumi Mataram. 

Di samping Eyang Dukun duduk seorang lelaki bertubuh 

tinggi tegap, berkumis melintang dan berjanggut tebal, 

membekal dua bilah keris di belakang pinggang. Di dada 

kirinya yang berotot ada jarahan gambar burung rajawali 

mengembangkan sayap. Orang ini adalah Garung Para–

wata, panglima pasukan kerajaan. Pada ujung bangku yang 

diduduki Empu Semirang duduk seorang perempuan yang 

walau usia sudah lebih dari setengah abad tapi masih 

berpenampilan cantik dan segar. Tubuh tinggi semampai 

dibalut kulit sawo matang. Di atas pinggul yang besar ter–


dapat pinggang ramping. Lalu di sebelah atas menonjol 

dada yang montok. Rambut yang sebenarnya sudah putih 

dicat hitam, dikuncir tinggi di atas kepala. Di bawah alis 

kereng melengkung, perempuan ini memiliki sepasang 

mata yang agak jereng. Konon mata yang jereng ini menja–

di daya tarik sendiri bagi orang laki-laki di kalangan istana. 

Perempuan bernama Ratu Randang ini dikenal sebagai 

penasihat Sri Maharaja dan masih merupakan kerabat 

sangat dekat pada garis keturunan raja-raja Mataram. 

Selama hidup sampai seusianya sekarang Ratu Randang 

belum pernah mempunyai suami. Namun tersiar kabar 

yang tidak sedap di kalangan istana bahwa Ratu Randang 

punya simpanan beberapa orang pemuda gagah. Hanya 

saja sebegitu jauh tidak ada satu orangpun yang bisa 

membuktikan hal itu atau mengetahui siapa adanya 

pemuda-pemuda tersebut. Sambil menunggu dimulainya 

pembicaraan Ratu Randang mempermainkan cincin emas 

berbatu permata yang berderetan di jari-jari tangan kanan 

kiri. 

Selagi Empu Semirang memperhatikan tak sengaja 

Ratu Randang memandang ke arahnya. Perempuan ini 

layangkan senyum dan kedipkan mata. Sang Empu hanya 

balas mengangguk lalu cepat-cepat alihkan padangan ke 

jurusan lain. 

Pandangan Empu Semirang kemudian tertuju pada 

seorang lelaki tua gemuk bercelana dan memakai baju 

rompi berwarna merah. Di atas kepalanya bertengger topi 

yang juga berwarna merah. Rambut merah menjulai di 

bawah topi panjang sekuduk. Si gemuk ini memiliki sepa–

sang mata yang sangat sipit hingga tampak seolah-olah dia 

meram terus-terusan sepanjang hari. Pipinya yang tembam 

bergerak-gerak karena mulutnya tak bisa diam selalu 

berkomat kamit. Sepuluh jari tangan selalu digesek-gesek–

kan satu sama lain. Dalam kalangan Istana Mataram si 

gemuk ini dikenal sebagal tabib sakti bernama Soka Kan–

dawa berjuluk Sepuluh Jari Dewa. 

Kecuali beberapa tokoh silat istana yang memiliki


jabatan tinggi. Empu Semirang tidak mengenal siapa 

adanya orang-orang lain yang ada di tempat itu. Tapi 

adalah pasti mereka orang-orang yang sangat dipercaya 

hingga diminta hadir dalam pertemuan penting dan rahasia 

itu. 

Raden Ageng Daksa berdiri dari duduknya. Lelaki 

berusia enam puluh tahun ini punya ilmu kesaktian tinggi 

dengan kedudukan sebagai pejabat penting kepercayaan 

Sri Maharaja. Boleh dikatakan setingkat lebih tinggi di atas 

Panglima Pasukan Kerajaan Garung Parawata. Membung–

kuk ke arah Sri Maharaja kaku menanyakan apakah perte–

muan penting dan rahasia itu bisa segera dimulai. Raja 

memberi jawaban dengan anggukan kepala.


SEBELAS


SETELAH menatap sebentar ke dalam mangkok 

porselen putih berisi Air Penjajak Bala, Raden Ageng 

Daksa berpaling pada Empu Semirang Biru. “Empu, 

kami di Istana Mataram tadi malam mendapat petunjuk 

dari Para Dewa di Swargaloka kalau Empu telah berhasil 

menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng Sepuh Pelangi 

hanya dalam waktu dua hari. Ini adalah aneh tapi sungguh 

luar biasa. Namun menyusul petunjuk yang menggembira–

kan itu telah terjadi sesuatu di tempat kediaman Empu di 

Gunung Bismo. Jelasnya Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang 

baru saja Empu selesaikan pembuatannya hilang. Namun 

kami tidak mengetahui jelas bagaimana kejadiannya. Sri 

Maharaja memerintahkan aku melakukan penyelidikan. 

Ketika fajar menyingsing ketika aku datang ke tempat 

kediaman Empu di lereng Gunung Bismo, Empu aku temu–

kan dalam keadaan pingsan, tertimbun di bawah runtuhan 

atap dan dinding gubuk. Bersyukur kepada Yang Maha 

Kuasa Empu masih dipanjangkan umur walau mengalami 

cidera. Selagi Empu masih dalam kedaaan pingsan, Tabib 

Sepuluh Jari Dewa telah mengobati hingga tidak ada yang 

perlu Empu khawatirkan lagi...” 

Embu Semirang memandang ke arah Tabib Soka 

Kandawa alias Sepuluh Jari Dewa. Dua telapak tangan 

dirapatkan di depan dada lalu tubuh dibungkukkan mem–

beri penghormatan sebagai tanda ucapan terima kasih 

yang tulus. Tabib bertubuh gemuk berambut merah itu 

tersenyum. Manggut-manggut sambil mata yang sipit 

dikedap-kedip. Tampangnya tampak lucu. 

Raden Ageng Daksa lanjutkan ucapan. “Empu Semi–

rang, saat ini Maharaja Mataram dan kami semua di sini


ingin mengetahui apa yang terjadi. Harap Empu menerang–

kan sejelas-jelasnya. Jangan ada satu halpun yang terlupa 

atau terlewatkan...” 

Setelah menghatur sembah kepada Sri Maharaja Rakai 

Kayuwangi dan membungkuk hormat pada orang-orang 

yang ada dalam ruangan, Empu Semirang segera memberi 

penuturan. Orang tua ini memulai ceritanya dari keda–

tangan orang tua misterius bersorban dan berjubah kelabu 

ke gubuknya di lereng Gunung Bismo. 

“Orang tua yang tidak saya kenal itu pertama kali 

datang tidak menjejakkan kaki di tanah. Tubuh mengam–

bang di udara. Dia menyuruh saya memasukkan dua 

tangan ke dalam tumpukan bara menyala. Walau mula-

mula saya merasa takut namun saya ikuti juga. Ketika dua 

tangan saya tarik ternyata dua tangan saya telah berubah 

menjadi bara api yang sangat panas. Tapi tidak menciderai. 

Dengan tangan seperti itu saya bisa lebih mudah dan lebih 

cepat mengerjakan pembuatan keris...” 

Sri Maharaja Mataram berpaling pada Umbut Watukara. 

“Eyang Dukun harap kau memeriksa ke dalam Air Penjajak 

Bala. Selidiki siapa orang itu.” Lalu Sri Maharaja berpaling 

pada Ratu Randang. “Ada sesuatu yang akan kau katakan 

Ratu Randang...” 

“Jika dua kaki tidak menginjak tanah berarti ada dua 

kemungkinan. Pertama orang itu sebangsa jin putih yang 

menjelma jadi manusia. Atau kedua, mungkin dia adalah 

orang yang sangat dekat dengan kekuasaan Para Dewa di 

Swargaloka. Yang manapun dia sebenarnya maka dia 

adalah makhluk baik. Tapi dalam jaman edan seperti 

sekarang ini musang bisa saja berbulu domba. Ular bisa 

berkepala sepuluh. Jerangkong bisa jadi perempuan cantik, 

tapi bukan aku ya... Hik... hik... hik...” 

“Terima kasih Ratu Randang,” ucap Sri Maharaja lalu 

dia memberi tanda pada Eyang Dukun. 

Kakek bungkuk si dukun sakti membungkuk hormat, 

lalu berdiri dan melangkah ke hadapan mangkok porselen 

di atas meja. Sebelum memandang ke dalam air di dalam


mangkok terlebih dulu dia berkata pada semua orang yang 

ada di tempat itu untuk membantu. Maka semua orang 

segera rangkapkan dua tangan di atas dada, ada juga yang 

merapatkan dua telapak tangan lalu diletakkan di atas 

kepala. Mereka serentak mengerahkan tenaga dalam dan 

kesaktian yang dimiliki. 

Eyang Dukun sapukan tongkat tembaga di atas mang–

kok porselen, dari kiri ke kanan tiga kail berturut-turut. 

Kepulan asap putih menebal. Air hijau di dalam mangkok 

bergejolak seperti mendidih. Sesaat kemudian asap lenyap 

dan air tenang kembali. 

Eyang Dukun lebih membungkukkan diri lalu menatap 

ke dalam air. Sesaat kemudian dengan wajah tampak 

merah dan keringatan dia melangkah mundur lalu mem–

bungkuk ke arah Sri Maharaja Rakai Kayuwangi. 

“Sri Maharaja Mataram, ilmu kepandaian saya tidak 

dapat menjajaki keberadaan orang itu, melihat ujud atau 

mengetahui siapa adanya. Saya hanya melihat kilatan 

cahaya putih beberapa kali di dalam air. Satu pertanda 

siapapun adanya orang tua itu dia berasal dari alam arwah 

dan memiliki roh putih. Agaknya keberadaannya mendapat 

perlindungan dari Para Dewa di Kahyangan. Tongkat saya 

telah meresap kilatan cahaya putih di dalam air. Kita hanya 

bisa mengharap paling cepat tujuh hari di muka baru bisa 

mengetahui atau paling tidak mengadakan sambung rasa 

dengan roh tersebut...” 

Sri Maharaja berpaling pada Raden Ageng Daksa. 

Lalu orang kepercayaan Raja itu berkata. “Waktu kita 

sangat pendek. Kita tidak bisa menunggu sampai tujuh 

hari. Sesuatu yang mengerikan akan terjadi sebelum tujuh 

hari. Mungkin nanti malam, besok pagi atau lusa...” 

Raden Ageng Daksa kemudian berpaling pada Ratu 

Randang, satu-satunya perempuan di ruangan itu. 

“Ratu, bagaimana menurut jalan pikiranmu?” 

“Aku akan menemui makhluk bernama Arwah Ketua 

begitu selesai pertemuan ini. Aku rasa dia bisa memberi 

petunjuk. Bukankah petunjuk yang kita terima sebelumnya


berasal dari dirinya...?” 

“Terima kasih Ratu Randang. Lakukan hal itu secepat 

pertemuan ini selesai,” kata Raden Ageng Daksa pula 

(Siapa adanya Arwah Ketua harap baca “Arwah Candi 

Miring” serial kedua Satria Lonceng Dewa). 

Ratu Randang susun sepuluh jari di atas kepala. 

“Perintah akan aku laksanakan.” 

Empu Semirang lalu melanjutkan penuturan. Dia men–

ceritakan munculnya seorang perempuan muda berwajah 

cantik sekali mengaku bernama Sri Padmi Kameswari. 

Perempuan ini merayu dan membujuknya untuk menukar 

besi sakti biru dengan besi hijau. Karena terus-terusan 

menolak perempuan itu kemudian coba merampas besi 

biru cikal bakal Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang belum 

jadi, masih berbentuk besi kasar panjang dan polos. 

“Sosok perempuan muda cantik itu kemudian berubah 

menjadi nenek buruk dengan delapan benjolan merah di 

kening. Dia mengaku bernama Gendeng Pakumati. Dia 

menyerang saya dengan sepuluh senjata berbentuk paku 

yang keluar dari ujung jarinya. Saya tidak mungkin menye–

lamatkan diri. Tiba-tiba terjadi kehebatan yang aneh. Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi yang masih merupakan lempengan 

besi kasar melesat ke udara menghancurkan sepuluh 

paku. Sebelum pergi si nenek meneriakkan semacam 

kutukan. Bahwa Mataram akan dilanda bencana. Berubah 

menjadi neraka. Semua orang akan menemui ajal secara 

mengerikan...” 

Ketika Empu Semirang hentikan ceritanya, keadaan di 

ruangan besar itu untuk beberapa lama menjadi hening. 

Sampai akhirnya Raden Ageng Daksa meminta sang Empu 

melanjutkan penuturan. 

“Ujian dan bahaya rupanya belum berhenti atas diri 

saya. Pagi hari sesaat setelah fajar menyingsing yaitu sete–

lah saya menyelesaikan pembuatan Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi, saya kedatangan Raden Ageng Daksa...” 

Raden Ageng Daksa terkejut, langsung berdiri dari 

duduknya. Sri Maharaja Mataram kerenyitkan kening.


Semua orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah 

orang kepercayaan Raja Mataram itu. 

“Empu Semirang,” ujar Raden Ageng Daksa pula. “Aku 

tidak mendatangimu pada pagi hari. Tapi baru pada malam 

hari. Bagaimana kau bisa mengatakan...” 

“Saya tahu Raden. Yang datang memang bukan Raden, 

tapi seseorang yang merubah ujud seperti Raden.” Jawab 

Empu Semirang. “Pertama kali melihat saya sudah tahu 

kalau dia bukan Raden yang asli. Ada beberapa hal yang 

membuat saya curiga. Di antaranya Raden tidak datang 

membawa sarung dan gagang keris serta kotak kaca untuk 

menyimpan senjata itu. Kemudian, ini yang paling tidak 

masuk akal. Di mata kiri orang itu tidak ada bintik hitam 

seperti keadaan mata kiri Raden...” 

“Ahh...” Raden Ageng Daksa menghela nafas lega. “Kau 

cerdik Empu.” 

“Karena saya menolak memberikan keris, dalam 

marahnya orang itu tiba-tiba merubah diri. Ujudnya kini 

menjadi ujud Resi Karbayana. Di kepalanya ada delapan 

benjolan merah...” 

Semua orang termasuk Sri Maharaja terkejut men–

dengar ucapan Empu Semirang. 

Sang Empu lanjutkan cerita. “Ketika saya menegur 

mengapa dia jadi berkeadaan seperti itu makhluk itu 

mengatakan kalau dia bukan Resi Karbayana karena resi 

itu telah dibunuhnya tiga hari lalu. Lalu ujud sang resi ber–

ubah menjadi sosok Sedayu Galiwardhana pertapa sakti 

dari Gunung Merbabu. Seperti yang lain-lainnya, di kening–

nya juga terdapat delapan benjolan merah berasap...” 

Sri Maharaja Mataram bangkit berdiri dari kursinya. 

“Empu Semirang ini satu keanehan yang dahsyat. Kecuali 

kalau semua ceritamu adalah dusta belaka! Semua orang 

di Mataram tahu kalau pertapa suci Sedayu Galiwardhana 

telah tewas beberapa waktu lalu dalam perkara yang ada 

hubungannya dengan Sumur Api dan Empat Gading ber–

surat...” (Baca serial Mimba Satria Lonceng Dewa, “Pende–

kar Bhumi Mataram”).


Mendengar teguran sang Raja, Empu Semirang segera 

jatuhkan diri, berlutut dan berkata. “Ampun beribu ampun 

wahai Sri Maharaja Mataram. Saya ini orang bodoh, tetapi 

saya tidak pernah berani bicara dusta di hadapan Sri 

Maharaja.” 

Hening seketika. Sang Empu lanjutkan bicaranya. “Yang 

muncul kali ini memang roh sahabat saya Sedayu Galiwa–

rdhana karena ujudnya tidak berubah menjadi ujud makh–

luk lain. Dia mengatakan sengaja tidak membunuh saya 

karena dia ingin saya menjadi salah seorang saksi atas 

malapetaka besar yang akan menimpa Bhumi Mataram. 

Dia berteriak. Tunggu kedatangan Malam Jahanam. Saya 

bertanya siapa yang menguasai dan mengendalikan roh–

nya. Malapetaka besar apa yang akan terjadi di Mataram. 

Dia menjawab bahwa Delapan Sukma Merah adalah 

penguasa tujuh samudera, tujuh lapis langit dan tujuh lapis 

bumi. Sedayu Galiwardhana kemudian lenyap bersama 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang ada dalam bungkusan 

kain putih. Saya mengaku salah karena saya tidak bisa 

mempertahankan senjata bertuah itu. Saya siap menerima 

hukuman...” Empu Semirang meratap. 

“Hal buruk telah terjadi di Mataram tanpa kita bisa 

mencegah. Tapi yang lebih buruk agaknya segera akan 

datang,” Sri Maharaja Rakai Kayuwangi duduk kembali ke 

kursi lalu berkata. “Malam Jahanam. Apa yang akan terjadi. 

Delapan Sukma Merah! Makhluk apa itu? Ratu Randang, 

coba kau periksa. Eyang Dukun lihat dalam Air Penjajak 

Bala. Satu hal yang jadi pertanyaan, mengapa roh Sedayu 

Galiwardhana, siapapun yang mengendalikannya, meram–

pas Keris Kanjeng Sepuh Pelangi...” 

Ratu Randang segera pejamkan mata. Kepala men–

dongak. Dua tangan dikembang ke depan, agak ke sam–

ping. Kakek yang disebut Eyang Dukun cepat melangkah 

dan menunduk di depan mangkok porselen putih. 

Keadaan di dalam ruangan kembali diselimut kesu–

nyian. Semua mata memperhatikan Ratu Randang dan 

Eyang Dukun. Tiba-tiba tubuh Ratu Randang terdorong dua


langkah ke belakang. Mata masih terpejam nafas 

mengengah. Dada turun naik. Dia berteriak keras. 

“Jahanam kurang ajar! Siapa yang meraba dadaku!” 

Jeritan perempuan berusia lebih setengah abad ini 

membuat semua orang melengak kaget. Raden Ageng 

Daksa cepat mengusap kening Ratu Randang lalu menun–

tunnya ke tempat duduk. 

“Ratu Randang, tak ada yang meraba dirimu. Duduk 

dan tenanglah. Katakan apa yang kau lihat...” 

Ratu Randang buka kedua matanya, memandang men–

delik pada Raden Ageng Daksa. 

“Ageng Daksa, apa kata Raden?! Lihat ini!” teriak Ratu 

Randang. Lalu brettt! Dia robek dada pakaiannya sendiri. 

Semua mata memandang membeliak besar. Di kiri kanan 

dada montok yang tersingkap itu kelihatan tanda jari 

tangan berwarna merah. Jumlahnya hanya delapan tanpa 

jari tengah! 

“Kenapa cuma delapan jari? Tidak utuh sepuluh?!” 

Hampir semua orang yang melihat bertanya-tanya seperti 

itu. 

Di depan mangkok besar Eyang Dukun mengangkat 

tongkat tembaganya tinggi-tinggi. Dari mulut keluar suara 

menggembor. Ketika dia memutar tubuh kelihatan bagai–

mana kedua matanya telah digenangi darah merah dan 

kental! 

“Delapan Sukma Merah! Makhluk itu ada di sini!” Eyang 

Dukun berteriak. 

Semua orang menjadi geger! Di atap ruangan tampak 

cairan merah kental meleleh berjatuhan ke lantai. Di saat 

bersamaan seluruh ruangan bergoyang keras. Dinding dan 

lantai retak-retak. 

“Selamatkan Sri Maharaja Rakai Kayuwangi!” Teriak 

Ratu Randang. 

Garung Parawata segera melompat merangkul raja lalu 

melarikannya ke arah pintu. Raden Ageng Daksa menda–

hului membuka jalan dengan melepas pukulan sakti 

tangan kosong hingga pintu ruangan hancur berantakan.




DUA BELAS



SEMAKIN jauh sang surya menggelincir ke ufuk teng–

gelamnya di sebelah barat, keadaan di kotaraja ter–

utama di kawasan istana tampak semakin mence–

kam. Di luar tembok istana puluhan prajurit melakukan 

perondaan. Pasukan kerajaan di bawah pimpinan Garung 

Parawata dalam jumlah besar ditempatkan di beberapa 

kawasan untuk berjaga-jaga. Sampai ke desa-desa terma–

suk beberapa candi besar pasukan kerajaan terutama yang 

menunggangi kuda melakukan pengawasan. Hal ini men–

datangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Untuk menghi–

ndarkan kekacauan Raden Ageng Daksa memang memberi 

perintah agar tidak memberi tahu adanya bahaya. Selain 

itu memang belum diketahui malapetaka apa yang akan 

terjadi atau kapan akan terjadinya. Namun rakyat Mataram 

yang rata-rata memiliki tingkat pemikiran cukup tinggi tidak 

mau berdiam diri. Sejak matahari terbenam mereka ter–

utama orang laki-laki berada di luar rumah. Kentongan siap 

dipukul jika mendadak muncul bahaya. Kebanyakan dari 

mereka menduga akan ada serangan dari kaum pembe–

rontak dari wilayah selatan. Karenanya orang laki-laki rata-

rata membekal senjata berupa golok atau tombak. 

Menjelang malam tiba Sri Maharaja dan semua pejabat 

penting kecuali Panglima Garung Parawata berkumpul di 

sebuah ruangan rahasia. Sementara istri-istri Sri Maharaja 

bersama puluhan perempuan lain dan anak-anak dikum–

pulkan di Kaputren, dijaga hampir seratus pengawal. 

Ruangan bekas tempat pertemuan kini dalam keadaan 

porak-poranda. Atap runtuh, dinding dan lantai jebol. Selain 

itu cairan aneh berwarna merah yang menebar bau busuk 

menggenang di lantai.


Di satu ruangan dalam kawasan istana, Umbut Watu–

kura alias Eyang Dukun ditemani Tabib Soka Kandawa 

alias Sepuluh Jari Dewa tengah melakukan penyelidikan. 

Dari dalam ruang pertemuan yang telah ambruk Eyang 

Dukun sebelumnya mengambil secawan air merah yang 

menggenangi lantai. Dua orang sakti itu duduk saling 

berhadapan. Sang Dukun letakkan dua tangan di bahu 

sang Tabib sementara Tabib ini juga melakukan hal yang 

sama, meletakkan dua tangan di bahu kiri kanan Eyang 

Dukun. Cawan berisi cairan diletakkan di lantai di antara 

keduanya. 

Setelah beberapa lama saling mengerahkan tenaga 

dalam dan hawa sakti, Eyang Dukun duluan bicara. 

“Aku melihat banyak Gunung...” 

“Aku melihat banyak sungai,” berucap Tabib Soka Kan–

dawa. 

“Ada delapan lingkaran merah aneh di langit gelap...” 

Menimpali Eyang Dukun. 

“Aku medengar suara jeritan-jeritan angker seolah 

keluar dari dalam jurang batu yang dalam...” 

Eyang Dukun turunkan dua tangannya dari bahu Tabib 

Soka Kandawa. 

“Kita harus segera menemui Sri Maharaja. Aku khawatir 

Malam Jahanam yang dikatakan roh Sedayu Galiwardhana 

kepada Empu Semirang akan terjadi malam ini. Malam 

Selasa Pahing...” 

“Aku juga menduga begitu,” menyahuti Tabib Soka 

Kandawa. “Tapi apa yang sebenarnya akan terjadi? 

Bagaimana caranya kita menolak dan menangkal...” 

“Aku akan meminta Sri Maharaja mengeluarkan Kereta 

Kencana Kanjeng Ratu Adil. Meletakkan kereta itu di 

wuwungan istana. Selain itu kita juga harus memagari 

seluruh Bhumi Mataram dengan doa Empat Penjuru Angin 

Menolak Bala. Kita harus melakukannya malam ini juga!” 

Kedua orang itu segera meninggalkan ruangan 

bergegas menemui Sri Maharaja Mataram dan para tokoh 

kerajaan lainnya.


*** 

LANGIT di atas Mataram gelap tidak berbintang. Angin 

dari selatan, jauh dari arah laut bertiup kencang. Cabang 

pepohonan bergoyang, ranting berderak dan dedaunan 

bergesekan mengeluarkan suara gemerisik berkepan–

jangan. Ketika hujan rintik-rintik mulai turun di halaman 

istana, ratusan orang kebanyakan di antaranya adalah 

anak murid Eyang Dukun duduk di halaman seputar 

tembok istana. Mereka melafatkan doa memohon perlin–

dungan pada Yang Maha Kuasa untuk Sri Maharaja Rakai 

Kayuwangi dan keluarga serta kerabat istana dan juga 

seluruh rakyat Mataram. Sekitar tiga puluh orang terpencar 

di empat sudut halaman, menabuh gendang kecil, meng–

ikuti naik turun, panjang pendek suara doa bersama. Upa–

cara sakral itu dipimpin oleh Eyang Dukun. Diikuti oleh Sri 

Maharaja, Raden Ageng Daksa, Empu Semirang, Ratu 

Randang, Tabib Sepuluh Jari Dewa dan banyak lagi para 

pejabat serta petinggi kerajaan. Hujan yang mulai turun 

agak lebat tidak mereka perdulikan. 

Mendekati tengah malam sebagaimana yang direnca–

nakan Eyang Dukun dan disetujui Sri Maharaja, Kereta 

Kencana Putih dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di 

halaman samping kiri istana. Kereta putih tanpa kuda ini 

dibawa ke bagian depan istana, dikelilingi oleh empat 

tokoh kerajaan yaitu Raden Ageng Daksa, Eyang Dukun, 

Ratu Randang dan seorang kakek berkepala botak, ber–

jubah kuning yang merupakan tokoh disegani karena 

ketinggian ilmunya. Orang ini bernama Klingkit Kuning 

karena selalu mengenakan pakaian dan ikat kepala ber–

wana kuning. 

Keempat orang itu berdiri sambil tangan kanan masing-

masing memegang roda Kereta Kencana. Raden Ageng 

Daksa dan Ratu Randang di sebelah depan sementara 

Eyang Dukun dan Klingkit Kuning di bagian belakang. 

Eyang Dukun angkat tangan kiri ke atas. Suara doa dan 

tabuhan gendang serta merta berubah perlahan. Raden


Ageng Daksa, Klingkit Kuning dan Ratu Randang letakkan 

tangan kanan di atas kepala. Sri Maharaja Rakai Kayu–

wangi silangkan dua tangan di depan dada, kepala ditun–

dukkan, mulut berucap. 

“Wahai Para Dewa di Swargaloka. Jika memang ada 

bahala dan bencana yang akan menimpa kerajaan dan 

rakyat Mataram, kami mohon perlindungan dariMu. Buang 

jauh-jauh bencana itu ke tengah laut dan hukum orang-

orang atau makhluk yang telah melakukan kejahatan. 

Wahai Yang Maha Kuasa, hanya kepadaMu tempat kami 

meminta tolong dan berlindung. Dengarkan dan kabulkan 

permintaan kami...” 

Begitu selesai Raja Mataram mengucapkan doa per–

mohonan, empat orang yang memegang roda kereta ber–

teriak keras lalu tubuh mereka melesat ke udara. Semua 

mata yang ada di tempat itu menyaksikan bagaimana 

Kereta Kencana Putih ikut naik ke udara lalu perlahan-

lahan diturunkan di atas wuwungan istana. Empat orang 

yang tadi mengangkat kereta segera melayang turun 

kembali. 

Angin dari laut yang semula bertiup kencang kini mere–

da. Langit yang tadi gelap kini mulai terang. 

“Terima kasih Yang Maha Kuasa. Engkau telah mende–

ngar permohonan kami.” Berkata Sri Maharaja Mataram 

yang kini berdiri dikelilingi keempat orang yang tadi mem–

bawa terbang Kereta Kencana Putih ke atas wuwungan. 

Empu Semirang yang juga berada di tempat itu meng–

usap muka tengkoraknya berulang kali. Sewaktu dia 

mengusap rambutnya yang berwarna biru tak sengaja dia 

menatap ke langit. Saat itu juga dia tersentak kaget. Muka 

berubah pucat. Tadi langit yang gelap telah berubah terang 

dan bersih. Tapi kini di langit kelihatan lingkaran besar 

awan berwarna kelabu. 

“Astaga. Dewa Jagat Bathara...” Empu Semirang meng–

ucap. Wajah tak berdaging orang tua ini tampak pucat. 

“Ada apa Empu...?” Tanya Tabib Soka Kandawa yang 

berdiri di sebelah Empu Semirang.


“Memandanglah ke langit. Ada lingkaran besar awan 

kelabu. Pertanda buruk itu muncul kembali...” 

Tabib gemuk bermata sipit menatap ke langit. “Aku 

tidak melihat apa-apa. Langit bersih...” Kata si gemuk. 

Empu Semirang tidak puas. Dia memegang bahu 

seorang perajurit di samping kirinya. “Prajurit coba kau 

melihat ke langit. Apakah kau melihat ada lingkaran awan 

berwarna kelabu?” 

Si prajurit melakukan apa yang disuruh. Sesaat kemu–

dian dia menggeleng. “Saya tidak melihat apa-apa Empu...” 

“Ada yang tidak beres. Mengapa cuma aku sendiri yang 

melihat pertanda buruk itu. Sekarang juga ada suara lolo–

ngan srigala di kejauhan...” Empu Semirang segera mene–

mui Raden Ageng Daksa. Menceritakan apa yang dilihat 

dan didengarnya serta arti pertanda semua itu. 

“Empu, kau tak usah khawatir. Bumi Mataram telah 

dilindungi seribu doa Empat Penjuru Angin Menolak Bala. 

Kereta Kencana Ratu Adil sudah naik ke atas wuwungan 

istana untuk menangkal segala macam kejahatan. Para 

Dewa tidak mungkin berlepas tangan tidak melindungi 

Mataram dan rakyatnya...” 

“Tapi Raden...” 

“Sudahlah Empu, lebih baik kita sama-sama ikut mera–

pal doa walau saat ini keadaan cuaca sudah cerah. Hujan 

mulai berhenti turun...” 

Baru saja Raden Ageng Daksa mengeluarkan ucapan 

tiba-tiba di kejauhan terdengar suara bergemuruh. Tanah 

halaman istana terasa bergetar. Semua orang tercekat 

merinding. Saat itulah satu bayangan kelabu entah dari 

mana datangnya melesat menyambar tubuh Empu Semi–

rang. Dalam sekejapan mata saja orang tua ahli pembuat 

senjata itu telah dipanggul dibawa melompat melewati 

tembok halaman istana sebelah timur. 

“Ada yang menculik Empu Semirang. Lekas cegah!” 

Teriak Raden Ageng Daksa. Lalu dengan cepat melesat ke 

arah lenyapnya sang Empu. Beberapa orang berkepan–

daian tinggi termasuk Ratu Randang ikut mengejar.


Namun sang Empu dan si penculik tidak kelihatan lagi. 

“Jangan-jangan si penculik itu yang telah meraba dada–

ku meninggalkan bekas...” Ucap Ratu Randang perlahan. 

“Kau tak usah mengawatirkan bekas itu. Kalau kau 

izinkan aku bisa mengobati hingga hilang.” 

Ratu Randang berpaling pada Soka Kandawa si tabib 

sakti yang barusan bicara. Tabib gemuk ini kedipkan mata 

sipitnya sambil sunggingkan senyum. 

“Aku lebih baik tidak sembuh daripada kau raba-raba!” 

Kata Ratu Randang dengan wajah bersungut. Lalu dia 

mendekati Raden Ageng Daksa. “Raden, kurasa ini saatnya 

aku harus pergi menemui Arwah Ketua di Candi Miring.” 

Raden Ageng Daksa yang tidak bisa memberi keputu–

san minta persetujuan Sri Maharaja. Raja anggukkan 

kepala tanda mengizinkan namun disertai ucapan agar 

Ratu Randang cepat kembali. 

Sementara di kejauhan suara bergemuruh terdengar 

semakin keras. 

“Seperti suara arus sungai mengamuk deras...” ucap 

Klingkit Kuning. 

“Lekas semua kembali ke istana,” kata Raden Ageng 

Daksa.



TIGA BELAS



PADA malam hari saat ratusan orang memenuhi hala–

man Istana Mataram mulai memanjatkan doa Empat 

Penjuru Angin Menolak Bala, jauh dari kotaraja terjadi 

keanehan dashyat di hulu tiga sungai besar yang mengalir 

ke selatan melewati Bhumi Mataram. Hulu sungai yang 

bermula di puncak tiga gunung tenggelam dalam hujan 

lebat tiada tara. Arus sungai membuntai tinggi dan deras, 

mengalir dengan cepat ke arah hilir. Lapat-lapat di kejau–

han terdengar suara raungan srigala. Lalu lingkaran awan 

kelabu besar yang sejak tadi menggantung di langit ber–

gerak memecah menjadi delapan lingkaran lebih kecil. 

Perlahan-lahan delapan lingkaran awan kelabu ini bergerak 

turun mendekati hulu tiga sungai. Sementara melayang ke 

bawah warnanya yang kelabu berubah menjadi merah. 

Petir menyabung, guntur menggelegar. Delapan lingka–

ran merah tiba-tiba memancarkan sinar merah terang. Lalu 

ribuan percikan aneh bersama curahan hujan melayang ke 

bawah, masuk ke hulu sungai di tiga gunung. Dalam waktu 

singkat air sungai yang tadinya kecoklat-coklatan dan 

penuh buntalan lumpur kini berubah menjadi merah 

seperti darah! 

Penduduk belasan desa yang dilewati tiga aliran sungai 

menjadi geger dan sangat ketakutan ketika banjir besar 

datang melanda lewat tengah malam itu. Pekik jerit ter–

utama perempuan dan anak-anak terdengar di mana-mana 

menegakkan bulu kuduk. Suara berbagai ternak menam–

bah kengerian. Ratusan rumah dan pepohonan diterabas 

hanyut tanpa ampun. Suara kentongan memberi tahu 

datangnya bahaya terdengar di berbagai penjuru. Pendu–

duk yang berhasil menyelamatkan diri berusaha lari ke


bukit. Namun arus banjir datang lebih cepat menyapu 

semua yang menghalang. 

Menjelang tengah malam Garung Parawata, panglima 

pasukan kerajaan bersama selusin anak buahnya meng–

hambur masuk ke dalam istana. Dia memberi tahu terjadi–

nya banjir aneh di utara Bhumi Mataram. 

“Lewat tengah malam banjir akan sampai di kotaraja. 

Sri Maharaja dan semua orang yang ada di sini sebaiknya 

lekas pergi ke Bukit Batu Hangus. Rasanya itu satu-satunya 

tempat paling tinggi dekat kotaraja yang bisa dijadikan 

tempat penyelamatan...” 

Malam itu juga Sri Maharaja Rakai Kayuwangi bersama 

para istri dan putera puterinya, para kerabat istana, dite–

mani Kepala Pasukan Kerajaan, dukun sakti Umbut Watu–

kura alias Eyang Dukun, Tabib Sepuluh Jari Dewa alias 

Soka Kandawa, Klingkit Kuning, puluhan pejabat tinggi 

kerajaan, dengan dikawal ratusan prajurit berangkat me–

nuju Bukit Batu Hangus yang terletak di barat laut kotaraja. 

Bukit Batu Hangus merupakan satu bukit yang banyak 

batu-batu besar berwarna hitam gosong. Keadaan di sini 

sangat panas pada siang hari sedang pada malam teruta–

ma menjelang pagi dingin luar biasa. Angin bertiup ken–

cang dari berbagai penjuru. Di bukit ini terdapat beberapa 

mata air jernih dan cegukan-cegukan batu membentuk goa 

besar yang dapat dipergunakan untuk berlindung. 

Sebelum meninggalkan istana Sri Maharaja menyem–

patkan diri menatap ke wuwungan istana di mana diletak–

kan Kereta Kencana Putih. Raja Mataram ini hela nafas 

dalam. “Kesaktian Kereta ternyata tidak mampu menolak 

bencana yang datang. Insan hanya berusaha. Yang Maha 

Kuasa yang jadi penentu...” 

Tiba-tiba ada delapan larik sinar merah menyambar 

disertai gelegar laksana suara petir. Kereta Kencana Putih 

hancur berkeping-keping. Meninggalkan kepulan asap 

putih dan merah di udara. 

Sepasang mata Sri Maharaja tampak berkaca-kaca. 

Lalu dia memberi tanda pada kusir kereta untuk segera


meninggalkan tempat itu. Sementara di kejauhan terde–

ngar suara gemuruh air tanda banjir besar semakin dekat. 

Sepanjang perjalanan menuju Bukit Batu Hangus pasu–

kan Mataram menolong penduduk banyak desa dan 

diikutsertakan naik ke bukit. 

Tepat tengah malam, banjir besar tiga aliran sungai 

yang airnya berwarna merah mencapai kotaraja. Walau 

gejolak derasnya agak berkurang namun tetap saja men–

datangkan bencana mengenaskan. 

Ratusan rumah hancur dihanyutkan. Ratusan pohon 

bertumbangan. Sebagian bangunan istana roboh. Ke mana 

mata memandang yang terlihat hanya air berwarna merah 

setinggi dada manusia, apungan mayat orang-orang yang 

tidak mampu menyelamatkan diri serta bangkai binatang. 

Bau busuk menghampar di mana-mana. Dalam keadaan 

seperti itu dari delapan arah di kejauhan terdengar suara 

lolongan srigala seperti saling bersahut-sahutan. Malam 

Jahanam seperti yang dikatakan roh Sedayu Galiwardhana 

benar-benar kejadian, menimpa Bhumi Mataram! Namun 

kejahanaman itu agaknya tidak berhenti hanya sampai di 

situ. 

Di Bukit Batu Hangus Sri Maharaja duduk termenung di 

atas sebuah batu besar. 

“Sri Maharaja, untuk sementara Sri Maharaja cukup 

aman di sini. Izinkan saya kembali ke kotaraja untuk 

mengawasi keadaan. Secepatnya banjir surut saya akan 

datang memberi tahu. Saya membawa serta sepuluh 

prajurit...” Panglima Pasukan Garung Parawata berkata 

sambil memegang tali kekang kuda tunggangannya. 

Untuk beberapa lama sang Maharaja hanya berdiam 

diri, tak bisa menjawab. 

“Sri Maharaja, kalau Sri Maharaja tidak mengizinkan, 

saya tidak memaksa...” 

“Panglima kau boleh pergi. Bawa serta Eyang Dukun. 

Kita harus terus mencari tahu siapa penyebab semua 

bencana ini. Malam Jahanam bukan kehendak alam. Tapi 

ada makhluk jahat yang melakukan. Malam ini aku akan


bertapa di puncak bukit batu. Aku akan mencoba masuk ke 

alam roh agar dapat berhubungan dengan roh pertapa 

Sedayu Galiwardha. Dia satu-satunya makhluk yang me–

nyebut-nyebut Malam Jahanam ketika mendatangi Empu 

Semirang di Gunung Bismo dan mencuri Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi. Kalau kita bisa menemuinya rasanya kita 

mungkin akan mendapatkan senjata sakti itu kembali. 

Panglima, tunggu sampai aku berada di puncak bukit. 

Setelah itu baru kau dan Eyang Dukun boleh pergi...” 

Panglima Garung Parawata dan Eyang Dukun sama-

sama membungkuk. Keduanya, para istri dan putra putri 

serta semua orang yang ada di tempat itu memperhatikan 

kepergian raja mereka menuju puncak Bukit Batu Hangus. 

Di puncak bukit Sri Maharaja Mataram tampak sebagai 

sosok hitam samar yang duduk bersila sementara hujan 

lebat terus mendera dan tiupan angin kencang sekali. 

“Sri Maharaja berada di tempat tinggi dan terbuka. Aku 

khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu atas dirinya...” Berka–

ta Eyang Dukun setengah berbisik pada Panglima Garung 

Parawata. 

“Kita semua yang ada di sini memiliki jimat bertuah 

dalam tubuh masing-masing. Mari sama kita keluarkan dan 

kita pergunakan untuk memagari puncak bukit. Mudah-

mudahan dengan kuasa Para Dewa dapat membantu 

melindungi raja kita...” 

Habis berkata begitu Garung Parawata membuat gera–

kan seperti mengorek mata kanan. Dari mata itu keluar 

sebentuk benda bulat bercahaya biru. 

Eyang Dukun segera pula meletakkan tangan kanan di 

atas dada kiri. Tangan itu membuat gerakan mencengke–

ram lalu dibetot. Ketika genggaman dibuka terlihat benda 

berbentuk bintang bersudut empat berwarna putih. 

Tabib Sepuluh Jari Dewa tidak mau ketinggalan. Dia 

rentangkan sepuluh jari. Sepuluh sinar hijau mencuat 

keluar. Ditangkap dengan kedua tangan lalu digulung 

hingga berubah menjadi bulat sebesar kelereng. 

Klingkit Kuning gosok-gosok ubun-ubun di atas kepala


botak. Lalu dia mendehem tiga kali. Saat itu juga dari batok 

kepalanya melesat sebuah benda berbentuk mata tombak. 

Dengan cepat orang tua berjubah kuning ini menangkap 

benda itu. 

Setelah semua orang yang memiliki jimat mengeluarkan 

jimat tersebut dari tubuh masing-masing maka didahului 

dengan rapalan doa meminta pertolongan Para Dewa, 

semua jimat dilempar ke arah Puncak Bukit Batu Hitam. 

Sekejapan di udara tampak berbagai warna cahaya jimat 

melesat menembus hujan lebat. 

“Eyang, kita pergi sekarang,” kata Panglima Garung 

Parawata pada Eyang Dukun sambil mengendus. Dia 

mencium bau sesuatu. “Ada bau aneh...” 

“Aku sudah mencium dari tadi,” jawab Eyang Dukun. 

Kedua orang ini naik ke atas kuda tunggangan masing-

masing. Namun belum sempat dua kuda itu melangkah 

menuruni bukit, tiba-tiba kedua binatang ini meringkik 

keras lalu roboh. Terguling di tanah hanya mampu meng–

gerak-gerakkan kepala dan ekor sementara empat kaki 

masing-masing tak berkutik sedikitpun alias lumpuh! 

Garung Parawata dan Eyang Dukun dengan sigap 

melompat. Namun begitu dua kaki mereka menyentuh 

tanah, kedua orang ini serta merta roboh karena sepasang 

kaki mendadak terasa lemas dan tak kuasa digerakkan 

lagi. 

“Dewa Jagat Bathara! Apa yang terjadi dengan kedua 

kakiku?!” Teriak Garung Parawata. 

Tabib Sepuluh Jari Dewa dalam kejutnya segera men–

datangi kedua orang itu dengan maksud hendak menolong. 

Tapi setengah jalan si gemuk ini jatuh terguling. Dua kaki–

nya juga mendadak lumpuh! 

Semua orang yang ada di Bukit Batu Hangus berpe–

kikan. Karena secara bersamaan mereka juga mengalami 

kejadian yang sama. Lumpuh, tak mampu berdiri, tak bisa 

menggerakkan kaki! 

Jerit pekik kembali memenuhi Bukit Batu Hangus ketika 

semua orang entah bagaimana kejadiannya tahu-tahu di


kening mereka muncul delapan benjolan sebesar ibu jari 

berwarna merah. Saat itu pula tubuh mereka menggigil 

laksana diserang demam panas! Benjolan serupa juga 

tampak di kening belasan kuda yang ada di atas bukit! 

Apa yang dialami orang-orang yang berada di Bukit Batu 

Hangus malam itu ternyata menimpa pula semua orang 

dan binatang yang berada dan masih hidup di Bhumi 

Mataram. Lumpuh dan ditumbuhi delapan benjolan di 

kening serta diserang demam panas. 


TAMAT 


Dapatkah kerajaan dan rakyat Mataram diselamatkan 

dari bencana yang datang menimpa pada Malam Jaha–

nam? Apakah Mimba Purana, Satria Lonceng Dewa yang 

baru berusia dua belas tahun mampu menjadi penyela–

mat? Bagaimana nasib Sri Maharaja Rakai Kayuwangi yang 

tengah bertapa di puncak Bukit Batu Hangus? Apakah dia 

juga mengalami malapetaka yang sama? Siapa sebenarnya 

dalang di balik semua kejadian mengerikan itu? Apa atau 

siapa adanya Delapan Sukma Merah? 

Ikuti serial berikutnya: 


EMPAT MAYAT ANEH



0 komentar:

Posting Komentar