WIRO SABLENG EPISODE DELAPAN SUKMA MERAH
DELAPAN SUKMA MERAH
Kucing putih terkapar di tangga candi. Seperti
kesetanan delapan anak kucing merah langsung
membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok
kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa.
Di atas pohon Ratu Randang yang bersembunyi dibalik
kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin,
bulu kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa
yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib dirinya
kalau tadi sampai terlambat keluar dad sosok kucing putih
itu.
"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka?
Binatang sungguhan atau jejadian? Benjolan merah di
kening. Jumlah yang delapan. Mereka pasti ada hubungan
dengan dua Sinuhun keparat itu...!"
SATU
HUJAN rintik-rintik masih terus turun walau langit
tampak cerah. Candi Kalasan menjulang gagah
meski banyak bagian candi rusak dan tertutup lumut
karena tidak terawat. Konon candi ini dibangun puluhan
tahun silam oleh Raja Kedua dalam silsilah Mataram Kuna
yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran.
Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Tabir
Delapan Mayat) ketika Pendekar 212 Wiro Sableng dan
Empat Mayat Aneh berada di halaman candi, tiba-tiba
menggelegar suara mengorok keras. Begitu memandang
ke bagian belakang candi, Wiro melihat satu sosok raksasa
menyembul, melebihi tingginya candi!
Mahluk ini mengenakan jubah biru tak berkancing
menyibak dada penuh ditumbuhi bulu. Kepala botak
memiliki sebuah tanduk berwarna merah. Kumis dan
janggut serta sepasang alis hitam berkilat, mencuat ke
atas. Mahluk mengerikan ini memiliki sepasang mata
besar menjorok keluar, berwarna putih dengan titik kecil
aneh di sebelah tengah. Dari balik candi dia mengangkat
tangan kiri, menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng
sambil hembuskan nafas yang memerihkan mata.
"Arwah Ketual" Ucap Wiro. Lalu pada Empat Mayat Aneh
yang ada di dekatnya, Wiro memberi tahu. "Sebelumnya
mahluk ini bermaksud jahat hendak membunuhku. Kali ini
kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli
larangan Sepasang Arwah Bisu! Aku akan menghabisinya!"
Empat Mayat Aneh saling pandang mendengar ucapan
Wiro.
"Pemuda keparat! Lancangnya kau berani menyebut
langsung namaku! Semua orang di Bhumi Mataram
memanggilku dengan sebutan Kanjeng!" Arwah Ketua
memaki marah. Tanduk di kepalanya pancarkan cahaya
merah terang.
Wiro pencongkan mulut lalu prett! Keluarkan suara
seperti orang kentut.
Mayat Aneh Kedua berkata. "Aku mencium bau amis."
"Bau amis itu adalah bau amis sosok Ketua Jin Seratus
Perut Bumi yang disusupkan masuk ke dalam tubuh Arwah
Ketua. Ini semua perbuatan jahat keji Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk
raksasa ini. Tapi kalau dia memang ingin membunuhku,
apa boleh buat. Aku terpaksa menghabisinya lebih dulu!"
"Kalau dalam tubuhnya memang ada roh jahat Ketua
Jin Seratus Perut Bumi, lebih baik serahkan pada kami.
Biar kami menguliti!" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu memberi
isyarat pada tiga saudaranya.
"Kalian akan mengulitinya? Seperti menguliti kerbau?!"
tanya Wiro sambil menggaruk kepala heran. "Ah, ini satu
ilmu baru yang ingin sekali aku menyaksikannya!"
Empat Mayat Aneh saling mendekat lalu tempelkan dua
tangan satu sama lain.
"Delapan Pahat Pengikis Arwah!"
Empat Mayat Aneh serentak sama keluarkan seruan.
"Sreettt!"
Gulungan kain putih yang membungkus sepasang
tangan Mayat Aneh bergulung membuka sampai ke
pergelangan. Delapan tangan tersingkap.
"Dess! Dess! Dess! Desss!"
Ujung tangan yang seharusnya berupa lima jari ternyata
berubah berbentuk sebuah pahat besar. Delapan pahat
angker terpentang berkilau saking tajamnya.
Mahluk raksasa Arwah Ketua kembali keluarkan suara
mengorok. Demikian hebatnya hingga tanah bergetar.
Mulut menyeringai memperlihatkan gigi dan taring besar
tajam mengerikan. Tangan kanan diletakkan di bagian atas
candi lalu mencengkeram seolah siap hendak mematah
menghancurkan.
Melihat hal ini Mayat Aneh Kesatu usap mata, Mayat
Aneh Kedua mengusap mulut sambil menunjuk ke arah
candi dan berteriak.
"Mahluk raksasa! Siapapun kau adanya! Jika kau berani
merusak Candi Kalasan biar kami berempat mewakili
kemurkaan Para Dewa!"
"Siapa takut murkanya Dewa!" jawab Arwah Ketua
takabur. "Junjunganku adalah Sinuhun Merah Penghisap
Arwah!"
"Jelas sudah! Jelas sudah kaki tangan siapa mahluk ini
adanya!" Berkata Mayat Aneh Keempat.
Arwah Ketua kembali menyeringai. Tampangnya yang
angker tampak kaku membesi. Tangan kanan diturunkan
ke partengahan bangunan candi. Lalu sambil keluarkan
teriakan menggelegar dia membuat gerakan mendorong.
"Rrreeekkkkkk!"
Candi Kalasan bergoyang keras lalu bergeser ke depan
hampir setengah tombak! Empat Mayat Aneh cepat
melompat berpencar. Dua ke samping kiri candi, dua
lainnya ke sebelah kanan candi. Sementara Wiro sendiri
menyaksikan apa yang dilakukan Arwah Ketua terkagum-
kagum, sesaat jadi lupa kalau mahluk raksasa ini punya
niat hendak membunuhnya.
"Saudara-saudaraku! Saat menguliti sudah tiba!
Lakukan sekarang juga!" Berteriak Mayat Aneh Kesatu.
Empat Mayat Aneh kemudian melesat ke udara.
Delapan tangan berbentuk pahat menderu ke arah Arwah
Ketua.
"Mahluk-mahluk salah ujud! Kalian memang sudah
saatnya disingkirkan dari Bhumi Mataram untuk selama-
lamanya!" Membentak Arwah Ketua. Dua tangan dipentang
ke udara. Dua telapak tangan dikembang lalu digerakkan
dibolak balik! Tidak ada sambaran angin, tidak ada
getaran, bahkan tidak ada suaral Namun saat itu juga
Empat Mayat Aneh dapatkan diri mereka yang tengah
melesat di udara dan hanya tinggal sepejangkauan dari
sosok lawan tiba-tiba mengapung tak mampu bergerak.
Naik tidak, turunpun tidak!
"Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah!" Teriak
Mayat Aneh Kesatu yang mengenali nama ilmu kesaktian
yang dikeluarkan Arwah Ketua untuk menyerang diri dan
tiga saudaranya.
"Celaka kita semua!" Berteriak Mayat Aneh Ketiga.
"Pelihara mulut hanya bicara kebaikan! Mengapa
menyumpahi diri sendiri! Pergunakan akal! Menangkal
serangan memakai kesaktian lawan! Lekas kalian
menyirap membayangkan Batu Asmasewu yang ada dalam
tubuh Arwah Ketua! Pasti tembus!" Yang berteriak adalah
Mayat Aneh Kedua.
Batu Asmasewu adalah sebuah batu sakti luar biasa,
berukuran seujung ibu jari tangan, berwarna hijau
bergemerlap. Batu sakti ini selalu dibawa kemana-mana
oleh Arwah Ketua karena berada di dalam rongga dadanya.
Setelah berteriak, diikuti oleh tiga saudaranya Mayat
Aneh Kedua pejamkan mata membayangkan sosok tubuh
Arwah Ketua di bagian dada!
"Celaka!" Mayat Aneh Keempat berteriak.
Menyusul Mayat Aneh Ketiga berseru. "Batu Asmasewu
tidak terlihat di dalam tubuh mahluk raksasa itu!"
"Jangan-jangan sudah digasak Sinuhun keparat!" Teriak
Mayat Aneh Kesatu.
Arwah Ketua yang masih berada di belakang Candi
Kalasan tertawa bergelak.
"Ajal kalian sudah di depan mata! Ha ...ha...ha!"
Mayat Aneh Keempat gerakkan tangan hendak
menekap bagian bawah perut tapi sampai saat itu dia
sama sekali tidak mampu menggerakkan tangan ataupun
kaki. Namun mahluk ini tidak kehabisan akal.
"Air Dosa Penangkal llmu Gaib!" Teriak Mayat Aneh
Keempat.
Tiga Mayat aneh lainnya tersentak kaget lalu!
"Rrrrttttt! "
"Edan!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak kaget
ketika menyaksikan apa yang terjadi. Gulungan kain putih
yang membungkus bagian bawah perut Empat Mayat Aneh
bergulung membuka. Empat burung lucu tak bersayap
mencuat keluar lalu serrrrr! Empat larik air kencing
menderu deras ke arah sosok Arwah Ketua.
"Jahanam kurang ajar!" Arwah Ketua memaki marah.
Tampangnya yang garang tampak berubah. Sementara
Empat Mayat Aneh tertawa haha-hihi. Arwah Ketua
keluarkan suara mengorok keras. Mahluk raksasa ini cepat
melompat mundur menghindari siraman empat larik air
kencing. Namun serangan aneh berupa semburan air
kencing itu tidak semuanya dapat dihindari!
Arwah Ketua menggeliat dan berteriak keras ketika ada
sebagian curahan air kencing menyiprat mengenai pipi kiri
serta membasahi bahu kanan.
"Tembus!" Teriak Mayat Aneh Keempat.
DUA
BEGITU air kencing mengenai kepala dan bahunya,
ilmu kesaktian Arwah Ketua Menahan Angin
Menggantung Arwah yang menguasai Empat Mayat Aneh
sera merta menjadi musnah. Saat itu juga Empat Mayat
Aneh mampu menggerakkan lagi dua tangan dan kaki.
Sementara gulungan kain putih di bagian bawah perut
kembali bertaut, Empat Mayat Aneh melesat dua tombak
ke atas, jungkir balik satu kali lalu secepat kilat melayang
turun ke arah Arwah Ketua. Delapan tangan berbentuk
pahat besar dan luar biasa tajam menderu mengerikan.
Arwah Ketua mengorok marah. Dua tangan dipentang
untuk melindungi diri dengan ilmu yang disebut Seribu
Arwah Menutup Awan Memagar Langit. Namun delapan
tangan berbentuk pahat besar keburu menyusup. Lalu
terdengar suara sett...sett berulang kali disertai teriakan
kesakitan menggelegar dari mulut Arwah Ketua. Dari
tempatnya berdiri Wiro hanya melihat cahaya delapan
pahat berkiblat tiada henti. Beberapa kejapan mata berlalu
tiba-tiba braakkk!
Satu benda aneh terkapar di halaman candi, tepat di
depan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat murid Sinto
Gendeng tersurut kaget dua langkah. Hidung mencium bau
amis luar biasa santar. Mata mendelik memperhatikan.
Padahal saat itu dia tengah memikirkan sesuatu. Yaitu air
kencing Empat Mayat Aneh yang mampu memusnahkan
ilmu kesaktian Arwah Ketua. Dia coba mengingat-ingat dan
menghubungkan hal yang barusan disaksikan dengan satu
kejadian lain di masa lalu. Namun jalan pikirannya jadi
buyar. Ketika dia menatap ke depan, astaga!
Satu benda aneh menyerupai kulit binatang teronggok
di tanah setinggi pinggang. Bagian yang berasal dari kepala
memiliki cula merah, kumis, alis serta janggut hitam.
Bagian dada dipenuhi bulu! Lalu ada bagian membentuk
dua tangan dan kaki. Wiro merasa tengkuknya merinding
dingin.
"Ilmu menguliti mahluk.... Delapan Pahat Pengikis
Arwah," ucap Wiro dengan suara bergetar. "Apa ini benar
tubuh Arwah Ketua yang telah dikuliti? Lalu mana ujud
asalnya? Mana tulang belulangnya? Tidak ada daging,
tidak ada darah!"
Wiro melirik ke arah Empat Mayat Aneh. Empat mahluk
itu ternyata dalam keadaan tegak mematung. Gulungan
kain putih yang menutup kepala, di bagian mulut tampak
berwarna merah. Wiro terkejut.
"Mereka terluka di dalam...."
Baru saja Wiro keluarkan ucapan tiba-tiba satu benda
merah panas menyala laksana ular besar dan panjang
melesat ke arah lehernya.
Walau belum jelas mengetahui benda apa yang
menyerang Wiro cepat jatuhkan diri sambil menghantam
dengan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung.
Satu raungan keras menggelegar di tempat itu.
Memandang ke depan Wiro melihat sosok Ketua Jin
Seratus Perut Bumi yang kaki kirinya buntung sebatas
paha terjajar beberapa langkah ke belakang. Benda merah
panas yang bukan lain adalah lidah panjangnya putus di
sebelah tengah. Bagian yang terlampar ke udara berubah
menjadi kobaran api lalu lenyap. Bagian lidah yang masih
berada dalam mulut kepulkan asap merah disertai
hamparan bau amis!
"Mahluk jahanam dari alam delapan ratus tahun
mendatang! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!"
Ketua Seratus Jin Perut Bumi keluarkan ancaman.
Suaranya sember karena lidah telah menjadi pendek. Dua
tangan dipentang. Didahului teriakan keras mendadak
sontak dua lengan menjulur panjang dan sepuluh jari
mencuat berubah menjadi cakar elang raksasa!
"Breettt!"
Baju Pendekar 212 robek di bagian dada terkena
sambaran cakar tangan kiri Ketua Seratus Jin Perut Bumi.
Empat Mayat Aneh yang baru saja selesai mengobati
luka dalam mereka dengan cara menghimpun hawa sakti
gaib berseru kaget.
"Sahabat! Biar kami habisi mahluk laknat alam roh ini!"
Teriak Mayat Aneh Ketiga.
"Yang satu ini bagianku!" Jawab Wiro lalu tidak
menunggu lebih lama dia melesat ke udara. Dua kaki
menderu mengirimkan tendangan berantai ke arah muka
Ketua Seratus Jin Perut Bumi.
"Praakk.... praakk!"
Wajah Ketua Seratus Jin Perut Bumi remuk di bagian
dagu dan pipi kiri. Namun sosoknya tetap berdiri malah
menggereng garang seperti harimau terluka. Hebatnya,
dagu dan pipi yang hancur sesaat kemudian kembali
bertaut seperti semula! Tampang menyeringai, mulut
terbuka lalu meniup!
"Wusss!"
Satu gelombang angin amis berwarna kehitaman
menderu menyambar ke arah Pendekar 212. Bersamaan
dengan itu dua tangan Ketua Jin Seratus Perut Bumi
berkelebat ke depan. Gerakan yang luar biasa cepat nyaris
menelikung tubuh Wiro kalau Empat Mayat Aneh tidak
menghalangi dengan serangan delapan tangan yang masih
berbentuk pahat besar!
"Crass! Crasss!"
Dua pahat menghunjam lengan kiri kanan. Ketua Jin
Seratus Perut Bumi mengerang pendek lalu dukk! Kaki
kanannya yang masih utuh berhasil menendang Mayat
Aneh Ketiga hingga mencelat mental dan jatuh di atas peti
mati. Megap-megap sebentar lalu diam tak berkutik, entah
mati entah sudah menemui ajal!
Tiga Mayat Aneh lainnya berteriak marah. Mereka siap
menyerbu namun Wiro yang tidak mau membuang waktu
segera berteriak.
"Sahabat bertiga lekas menyingkir!"
"Kau mau melakukan apa? Mahluk keparat ini telah
membunuh saudara kami Mayat Aneh Ketiga. Biar kami…..
" Berteriak Mayat Aneh Keempat.
"Kalau begitu kalian lekas menolong Mayat Aneh Ketiga
sebelum rohnya minggat!" balas berteriak Wiro.
Tiga Mayat Aneh merasa kurang senang. Ketika mereka
memandang ke arah Wiro. Saat itulah mereka melihat satu
cahaya putih menyilaukan menderu dahsyat keluar dari
tangan kanan pemuda yang mereka kenal dengan sebutan
Kesatria Panggilan itu.
Mayat Aneh Keempat cepat dorong dua saudaranya
hingga terpelanting jatuh lalu dia sendiri jatuhkan diri
bergulingan di tanah.
"Wusss!"
Sinar putih menderu dahsyat. Seantero halaman Candi
Kalasan mendadak sontak menjadi panas luar biasa.
Melihat datangnya serangan dahsyat begitu rupa dan
sebelumnya sudah mengetahui sampai dimana kehebatan
ilmu kesaktian Wiro, Ketua Jin Seratus Perut Bumi tidak
berani membalas serangan dengan serangan pula.
Secepat kilat dia amblaskan diri ke dalam tanah. Tapi baru
sebatas pinggul masuk ke dalam tanah, Pukulan Sinar
Matahari menghajar tubuhnya!
Maka terjadilah satu pemandangan mengerikan. Tubuh
sebelah atas Ketua Seratus Jin Perut Bumi hancur lebur
menjadi puluhan cabikan gosong! Sosok sebelah bawah
yang amblas di dalam tanah kepulkan asap menebar bau
amis.
Tiga Mayat Aneh tidak memperhatikan apa yang terjadi
dengan Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Mendengar teriakan
Wiro tadi mereka memang jadi kawatir akan keadaan
Mayat Aneh Ketiga.
Mayat Aneh Kedua berbisik.
"Tugas kita membawa gadis kaki satu itu sudah selesai.
Soal orang tua yang dulu menyuruh kita tidak ada di sini itu
bukan urusan kita lagi! Lebih baik kita segera menolong
Saudara Ketiga dan pergi dari sini!"
Tiga Mayat Aneh lantas belompatan ke arah peti mati.
Sesaat kemudian peti itu mengeluarkan suara menderu.
Dari bagian dasar peti menyembur cahaya hitam
kecoklatan. Di lain kejap peti mati telah melesat tinggi ke
udara.
Wiro merasa hanya meminta Tiga Mayat Aneh menolong
saudaranya, bukan pergi meninggalkan tempat itu. Ketika
dia hendak berteriak memanggil tiba-tiba wuttt!
Dari dalam tanah melesat kutungan tubuh bagian
bawah Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Kaki kiri buntung
sebatas paha. Ketika Wiro memperhatikan kaki kanan
mahluk jin ini kejutnya bukan kepalang. Kaki kanan yang
masih utuh sebatas lutut kebawah tampak berwarna putih
perak serta mengeluarkan hawa panas. "Kaki itu seperti
tanganku yang menyirap Pukulan Sinar Matahari," pikir
Pendekar 212. Bagaimana mungkin!"
Tiba-tiba kaki kanan menendang ke depan.
"Wuss!"
Selarik sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa
panas menyerupai Pukulan Sinar Matahari, bedanya yang
datang ini berupa tendangan, menderu ke arah Wiro.
"Gila!" Teriak Wiro.
TIGA
KETIKA cahaya putih panas yang menyerang Wiro
berkiblat di udara sekonyong-konyong ada orang
berseru.
"Kalian bermain petir-petiran! Mengapa aku tidak
diajak!"
Lalu ada teriakan susulan.
"Manusia tolol! Lekas menyingkir! Kau mau mampus! itu
bukan petir!"
Seorang mengenakan pakaian merah muda melesat
turun dari atas satu pohon besar di halaman Candi
Kalasan. Tidak perduli peringatan orang dia tetap saja
berkelebat menyongsong datangnya sambaran cahaya
putih perak panas menyilaukan yang melesat dari kaki
kanan Ketua Seratus Jin Perut Bumi. Lalu dengan kedua
tangannya ujung cahaya putih ditangkap, dibuntal sambil
berguling-guling di tanah! Tertawa haha-hihi seperti anak
kecil yang kegirangan bermain-main!
Siapa lagi yang punya kemampuan aneh, hebat dan gila
seperti itu kalau bukan gadis langka Jaka Pesolek yang
berjuluk Si Penangkap Petir! Sebelumnya dia juga pernah
menangkap serangan Lentera Iblis yang dilancarkan
Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan yang
disangkanya petir. Saat itu Jaka Pesolek tidak mengalami
cidera sebaliknya pecahan serangan Lentera Iblis
memusnahkan puluhan Jin Perut Bumi. Sang Ketua sendiri
putus paha kirinya ( Baca serial sebelumnya berjudul "Jaka
Pesolek Penangkap Petir")
Selagi Wiro masih terkesiap kaget sekaligus kawatir
kalau kali ini Jaka Pesolek akan menemui celaka karena
membuntal Sinar Matahari, Ketua Seratus Jin Perut Bumi
yang sosoknya hanya berupa buntungan sebatas pinggang
ke bawah memutar tubuh ke arah si gadis. Di udara
terdengar suara bentakan keras.
"Mahluk jahanam! Banci keparat! Kau membunuh
puluhan anak buahku! Kau juga yang membuat kaki kiriku
buntung! Kau muncul tanpa kucari! Sekarang kau ikut aku
ke neraka alam roh! Tapi nyawamu harus minggat dulu dari
tubuhmu yang salah kaprah!"
Kaki kanan yang masih berwarna putih perak dan panas
kembali menendang. Kali ini tanpa menyemburkan cahaya.
Namun jika sampai menghantam Jaka Pesolek pada
bagian dada yang diincar, kejap itu juga gadis itu akan
meregang nyawa dengan dada jebol tembus sampai ke
punggung, tubuh hangus!
Wiro yang merasa dirinya telah diselamatkan Jaka
Pesolek dari serangan balik Sinar Matahari yang
dilancarkan Ketua Seratus Jin Perut Bumi melompat satu
tombak ke udara lalu dari atas melepas pukulan sakti
Tangan Dewa Menghantam Tanah ke arah kutungan tubuh
Ketua Seratus in Perut Bumi. Namun dia kalah cepat
dengan Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat.
Marah karena dirinya dimaki banci keparat Jaka
Pesolek berteriak.
"Ihhh! Tubuh tinggal sepotong! Mulut saja tidak punya!
Masih bisa bicara tak karuan! Ini makan pencarianmu!"
Jaka Pesolek kemudian lemparkan buntalan cahaya
putih yang ada di kedua tangannya.
"Wusss!"
Cahaya putih yang sebenamya adalah cahaya Pukulan
Sinar Matahari menderu ke depan lalu!
"Blaarr!"
Satu letusan dahsyat menggelegar. Potongan tubuh
Ketua Seratus Jin Perut Bumi bertaburan ke udara dalam
bentuk ratusan keping tulang dan daging! Asap hitam bau
amis mengepul memenuhi halaman Candi Kalasan. Di
kejauhan terdengar suara mahtuk meraung beberapa kali.
Ketika suara raungan lenyap dan asap hitam pupus, lapat-
lapat terdengar suara aneh. Suara kucing mengeong,
banyak sekali!
Wiro yang masih mengapung di udara dan tadi hendak
melepaskan pukulan sakti untuk menghajar potongan
tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi sesaat merasa
tercekat namun kemudian cepat-cepat melayang turun
mendatangi Jaka Pesolek yang tertelentang di tanah
dengan tubuh mengepul. Wiro ulurkan tangan untuk
membantu si gadis bangkit berdiri. Ketika tangannya
bersentuhan dengan tangan Jaka Pesolek, Wiro tersentak
kaget dan kibas-kibaskan tangannya. Tangan Jaka Pesolek
panas laksana api!
"Oala! Aku belum mengeluarkan sisa panas di dalam
tubuhku." Kata Jaka Pesolek. Nafas ditahan di bagian perut
lalu berlahan-lahan mulut meniup. Kepulan asap putih
panas keluar dari dalam mulut, liang hidung dan telinga.
Sesaat kemudian tampak gadis ini tersenyum.
"Sobatku hebat! Kau tidak apa-apa?" Tanya Wiro yang
saat itu masih dalam keadaan membungkuk.
"Ah, aku senang bertemu kau lagi," jawab Jaka Pesolek
lalu enak saja dua tangannya dipagutkan ke leher Wiro. Si
gadis berusaha menarik Wiro ke bawah agar wajah mereka
saling bersentuhan.
Tiba-tiba ada suara teriakan.
"Jaka Pesolek! Awas di belakangmu!"
"Wiro ada serangan cahaya merah di depanmu!"
Wiro yang dalam keadaan membungkuk tersentak
kaget. Ketika dia mengangkat kepala di atasnya berkelebat
ganas delapan larik cahaya merah pekat.
"Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!"
Kembali ada yang berteriak.
Kedudukan dirinya tidak memungkinkan Wiro untuk
menangkis serangan ganas itu. Yang bisa dilakukannya
adalah segera menjatuhkan diri, bergulingan di tanah
bersama Jaka Pesolek.
Sinar merah menyambar. Hampir bersamaan dari
sebuah pohon besar melesat dua larik sinar lain. Satu
bercahaya biru, satu lagi berwarna hijau. Kelihatannya dua
sinar ini berusaha menangkis atau memotong serangan
cahaya merah. Namun cahaya merah melesat lebih cepat.
"Bummm!"
Delapan dentuman menggelegar secara bersamaan.
Saat itu juga di halaman Candi Kalasan tampak menguak
delapan lobang besar dikobari api. Tanah yang atau
muncrat ke udara berhamburan ke bawah mengotori tubuh
serta pakaian Wiro dan Jaka Pesolek.
"lhhh! Aku takut! Ada orang membuat liang kubur untuk
kita! Tapi mengapa sampai delapan?!" Jaka Pesolek
keluarkan ucapan sambil kencangkan rangkulannya di
tubuh Wiro.
"Gadis konyol! Kau sudah diselamatkan! Sekarang
jangan pergunakan kesempatan mau bersuka-sukaan!
Pura-pura ketakutan tapi niatmu sebenarnya hanya ingin
memeluk pemuda itu!"
Dua orang berkelebat dari atas pohon besar. Salah
seorang diantaranya menarik dua tangan dan kaki Jaka
Pesolek yang dirangkulkan ke punggung dan pinggang
Pendekar 212.
"Hik...hik! Siapa yang mau bersuka-sukaan?! Enak saja
bicara!"
Jaka Pesolek terpaksa lepaskan rangkulan lalu
melompat bangun sementara Wiro juga sudah berdiri
sambil mesem-mesem. Keduanya membersihkan tanah
yang menutupi pakaian dan mengotori rambut serta wajah.
Memandang berkeliling keduanya melihat di tempat itu kini
telah ada Ratu Randang dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Jaka Pesolek tahu kalau yang tadi bicara adalah Ratu
Randang. Setelah mencibir pada si nenek dia berkata.
"Nek, aku tahu kau cemburu. Tapi jangan kelewatan.
Aku baru sekali ini memeluknya. Kau sendiri sudah
puluhan kali menciumnya! Hik...hik!"
Wajah si nenek cantik bersemu merah. "Gadis bengal!
Jaga mulutmu! Jangan sampai kutampar!" Mengancam
Ratu Randang.
Jaka Pesolek menyahuti. "Nek, kita sudah senasib. Kita
sudah bersahabat, jangan galak-galak padaku."
Wiro garuk-garuk kepala. Sekali memperhatikan dia
melihat kalau bulu-bulu halus seperti kumis tipis di atas
bibir Jaka Pesolek tidak ada lagi. Lalu dia menoleh ke arah
Kunti Ambiri yang berdiri sambil memegang delapan
kuntum kecil Bunga Matahari.
"Heran, mengapa wajah gadis alam roh ini tampak
jernih ayu tidak galak seperti biasanya? Di tangannya ada
delapan Bunga Matahari kecil. Dari mana dia
mendapatnya?" Wiro membatin. Ketika dia berpaling pada
Ratu Randang, kembali Wiro terheran-heran. Dilihatnya
nenek itu lebih cantik dan lebih muda dari sebelumnya.
Raut tubuhnyapun tampak lebih molek.
"Nek..."
"Apa?! Barusan matamu kulihat jelalatan memandang.
Ayo, ada apa?!"
"Anu Nek...Hemmm, bibirmu kulihat tidak jontor lagi."
"Kalau tidak jontor memangnya kenapa? Apa kau mau
membuat jontor lagi?!"
"Nek! Kau sendiri mengundang pemuda ini untuk
bersuka-sukaan! Jelas kau mau minta dicium `kan?!" Jaka
Pesolek berteriak yang segera dibentak oleh Ratu
Randang.
Wiro berpaling pada Dewi Ular.
"Kunti, kau menyuruhku datang ke Candi Kalasan ini.
Ketika aku pertama kali sampai di sini aku menemui
Empat Mayat Aneh. Aku sengaja rnenyelinap masuk ke
dalam peti mati. Ternyata peti itu kosong. Sahabat kita
Dewi Kaki Tunggal tidak ada di dalam peti. Lalu muncul
mahluk raksasa bernama Arwah Ketua...."
"Kami bertiga sempat melihat apa yang terjad di sini.
Kami berada di atas pohon besar sana," menjawab Kunti
Ambiri. "Cuma mengenai lenyapnya Dewi Kaki Tunggal
memang merupakan satu hal yang mengherankan...."
Tiba-tiba Wiro ingat pada sosok Arwah Ketua yang tadi
dikuliti Empat Mayat Aneh. Onggokan kulit tubuh, tangan,
kaki serta kepala Arwah Ketua masih tidak bergeser dari
tempat semula. Puluhan lalat entah dari mana datangnya
mengerubungi.
"Apa yang akan kita lakukan dengan onggokan kulit
ini?" Wiro minta pendapat.
"Mengapa dipusingkan? Bakar saja!" Berkata Jaka
Pesolek.
Tiba-tiba terdengar suara mengorok keras. Seperti
orang marah. Siapa yang mengorok tidak ketahuan.
Keempat orang itu sama-sama terkejut dan saling
pandang. Wiro perhatikan lagi onggokan kulit setinggi
pinggang lalu gelengkan kepala.
"Aku melihat onggokan kulit itu seperti hidup. Apa kalian
tidak melihat ada gerakan berdenyut-denyut?"
EMPAT
KEMBALI terdengar suara mengorok. Kali ini lebih
perlahan dan halus.
"Kita datang kesini bukan untuk mengurusi kulit busuk
itu," kata Jaka Pesolek. "Lagi pula bukankah mahluk itu
sebelumnya hendak membunuhmu?!"
"Dia bertindak diluar sadar karena dirasuk mahluk jin
yang dimasukkan Sinuhun keparat ke dalam tubuh dan
otaknya. Jin itu sudah menemui ajal di tanganmu, kita
harus menolong Arwah Ketua. Jika dia hidup lagi aku rasa
sifatnya kembali seperti semula. Bukan mahluk jahat.
Mungkin dia bisa membantu kita," kata Wiro pula.
"Menolongnya? Oala! Apa yang kini terjadi atas dirinya
sudah pantas diterimanya sebagai hukuman dari Para
Dewa!" Menyahuti Jaka Pesolek.
"Wiro, bagaimana kita menolongnya? Kau bisa
melakukan apa?" Ratu Randang bertanya.
Wiro menggaruk kepala. Dia menatap ke arah candi.
Lalu memandang ke langit.
"Terus terang aku sendiri memang tidak tahu
bagaimana menolong mahluk ini. Mungkin untuk
sementara kulitnya kita masukkan saja ke dalam Candi
Kalasan biar rohnya tenang dan tidak gentayangan."
Saat itu terdengar lagi suara mengorok halus. Wiro
melirik ke arah onggokan kulit tubuh Arwah Ketua. Hatinya
bimbang tapi nyata-nyata suara mengorok itu datang dari
arah onggokan kulit.
"Candi adalah bangunan suci. Tidak pantas menjadi
tempat mahluk busuk dan jahat seperti Arwah Ketua!" Lagi-
lagi Jaka Pesolek mengatakan ketidak senangannya.
Wiro menggaruk kepala kembali. Ketika pandangannya
membentur delapan kuntum kecil Bunga Matahari di
tangan Dewi Ular maka diapun bertanya.
"Kunti, dari mana kau dapat delapan Bunga Matahari
kecil itu. Aku ingat bunga yang besar dibawa kabur Jaka
Pesolek. Sekarang dimana bunga itu."
Jaka Pesolek mengangkat bahu.
"Bunga Matahari besar telah berubah menjadi delapan
Bunga Matahari kecil" Menerangkan Dewi Ular.
"Bagaimana mungkin?"
"Nyi Loro Jonggrang yang melakukan."
Saat itu Wiro lebih memperhatikan raut wajah serta
sikap Dewi Ular dari pada mendengarkan apa yang
diucapkannya. Raut wajah gadis cantik ini tidak garang
seperti yang selama ini dilihatnya. Sikapnya tidak kaku dan
sombong. Lalu gerak geriknyapun tampak anggun. Dan
kemudian Wiro juga menyadari kalau nada suara si gadis
terdengar agak lembut.
"Wiro, apakah kau mendengarkan apa yang barusan
dikatakan Kunti Ambiri?" Ratu Randang bertanya, diam-
diam merasa tidak suka melihat Wiro memperhatikan si
gadis lama-lama dan hampir tidak berkesip.
"Ya, aku mendengar, Nek." Jawab Wiro. Lalu pada Dewi
Ular dia bertanya. "Kunti, Nyi Loro Jonggrang
itu...maksudmu patung Nyi Loro Jonggrang di Candi
Prambanan?" Dewi Ular mengangguk.
"Patung itu muncul dari dalam telaga. Luar biasa hebat
dan hidup. Bisa bergerak bisa bicara." Kata Dewi Ular pula.
Wiro jadi ingat ketika atas permintaan Sakuntaladewi
alias Dewi Kaki Tunggal dia membawa Bunga Matahari
besar dan Ni Gatri menemui patung Nyi Loro Jonggrang di
Candi Siwa yang berada di kawasan Prambanan. (Baca
serial Wiro Sableng berjudul "Sepasang Arwah Bisu")
"Luar biasa. Bagaimana ceritanya?!" Tanya Wiro pula.
"Kunti sebaiknya segera saja kau beritahu pada Wiro
apa yang telah terjadi. Jangan lupa menyampaikan pesan
Nyi Loro Jonggrang." Berkata Ratu Randang.
Kunti Ambiri kemudian menceritakan mulai dari saat dia
bersama Ratu Randang dan Jaka Pesolek berada di satu
telaga lalu tiba-tiba muncul patung Nyi Loro Jonggrang.
"Patung cantik dan sakti itu menolong dan memberi
berkah pada kami bertiga. Nyi Loro Jonggrang pula yang
merubah Bunga Matahari besar hingga menjadi delapan
Bunga Matahari kecil. Nyi Loro kemudian menyuruh kami
agar cepat-cepat datang ke Candi Kalasan ini. Ada pesan
untukmu dan delapan Bunga Matahari kecil ini harus aku
serahkan padamu."
Wiro ingat ucapan kakek sakti Kumbara Gandamayana
tentang Candi Kalasan. Dia ingin mengetahui apa ada
kaitan antara yang dikatakan Nyi Loro Jonggrang dan yang
pemah diucapkan Dewi Ular. "Kunti, tunggu dulu.
Sebelumnya kau juga mengatakan akan menungguku di
candi ini. Apakah itu ada hubungannya dengan permintaan
Nyi Loro Jonggrang."
Dewi Ular menggeleng lalu menerangkan. "Aku minta
kau datang ke sini karena ketika masih berhubungan
dengan dua Sinuhun, aku pernah mendengar mereka
bercakap-cakap dan mengatakan Candi Kalasan akan
mereka jadikan sebagai salah satu benteng dan tempat
rahasia dari keberadaan satu benda sangat bertuah."
"Benda apa?" tanya Wiro.
"Aku tidak pasti." Jawab Dewi Ular. "Mereka menyebut
benda itu Mahkota di atas Mahkota."
"Mahkota Kerajaan masih ada di tangan Sri Maharaja
Rakai Kayuwangi." Ratu Randang ikut bicara.
Tiba-tiba Dewi Ular ingat sesuatu. Dia menggerakkan
tangan kiri meraba ke atas kepala dimana berada sebuah
mahkota kecil terbuat dari perak berbentuk kepala ular,
bermata batu mustika hijau. Mahkota perak ini adalah
pemberian Sinuhun Merah Penghisap Arwah pengganti
mahkota asli yang terbuat dari emas. Seperti diketahui
pada waktu itu baik Sinuhun Merah maupun Sinuhun
Muda sama-sama berpantang tidak boleh bersentuhan
dengan emas murni. Saat itu Dewi Ular baru menyadari
keanehan bahwa mahkota masih ada di atas kepalanya
padahal sebelumnya dia bersama mahkota perak telah
tercebur ke dalam telaga.
"Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku memakai mahkota
ini. Nyi Loro mengatakan aku telah berubah secara lahir
dan batin. Aku mohon jangan ada lagi pada semua sahabat
yang ada di sini memanggilku dengan nama Dewi Ular..."
Wiro terheran-heran mendengar ucapan Dewi Ular.
Dalam hati Wiro berkata. "Aneh, tapi kelihatannya gadis ini
benar-benar telah mengalami perubahan. Mudah-mudahan
saja dia tidak menipu."
Habis keluarkan ucapan Dewi Ular tanggalkan mahkota
perak dari atas kepala lalu dilempar ke tanah. Tidak
sengaja mahkota yang dilempar jatuh di atas onggokan
kulit tubuh Arwah Ketua. Saat itu juga mahkota perak
mental ke udara. Lima tombak di atas tanah mahkota
meledak. Puluhan kepingan berubah menjadi asap kuning
bercampur hitam lalu lenyap dari pemandangan. Onggokan
kulit tubuh Arwah Ketua tampak bergerak-gerak sementara
suara mengorok terdengar berulang kali. Tiba-tiba saja
Wiro ingat pada ilmu kesaktian yang dimilikinya yaitu yang
didapat dari Ratu Duyung.
Dengan cepat Wiro menerapkan Ilmu Menembus
Pandang. Saat itu juga dia melihat, di dalam onggokan kulit
ada sosok Arwah Ketua mengkerut bergelung. Wajah
tampak memelas. Sepasang mata menatap sayu ke arah
Wiro. Mulut terbuka bergerak-gerak. Lalu sayup-sayup Wiro
mendengar ngiangan suara di telinganya.
"Aku mohon, masukkan aku ke Candi Kalasan. Lakukan
dengan tendangan kaki kanan. Jangan mempergunakan
lebih dari sepertiga tenaga dalammu. Dari Candi Kalasan
aku akan mencari jalan sendiri ke tempat kediamanku di
Candi Miring. Aku tidak akan melupakan budi baikmu."
"Arwah Ketua...apakah kau yang barusan bicara?" Wiro
bertanya ingin meyakinkan.
Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara
mengorok halus.
"Wiro,kau barusan bicara dengan siapa?" Ratu Randang
bertanya. Ketika tadi Arwah Ketua mengeluarkan ucapan,
nenek ini dan juga Kunti Ambiri hanya mendengar suara
perlahan tidak jelas.
Wiro tidak perdulikan pertanyaan Ratu Randang
melangkah mendekati onggokan kulit. Sambil melangkah
dia melihat ke jurusan pintu depan Candi kalasan yang
berada dalam jarak sekitar lima tombak dari onggokan
kulit.
"Aku diminta tolong. Aku harus menendang. Aku harus
mempergunakan tidak lebih dari sepertiga tenaga dalam.
Mengapa?"
Kembali Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang.
Walau onggokan kulit masih bergerak berdenyut-denyut
namun di dalamnya Wiro tidak melihat lagi sosok Arwah
Ketua. Setelah membuang kebimbangan yang ada dalam
hatinya Wiro lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua.
"Wuuuuttt!"
Kaki kanan menendang ke arah onggokan kulit.
Puluhan lalat yang mengerubung beterbangan lenyap ke
udara.
"Dess!"
Wiro merasa seperti menendang tumpukan kapas!
LIMA
GUNDUKAN besar onggokan kulit mencelat ke udara
lalu melesat ke arah pintu depan Candi Kalasan.
Hanya satu jengkal onggokan kulit itu akan lenyap
masuk ke dalam Candi Kalasan mendadak dari langit
sebelah timur menyambar delapan larik sinar merah.
"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit menyerang
lagi! Awas ada cahaya kuning menyertai!" Teriak Ratu
Randang. Si nenek langsung pukulkan dua tangan ke
udara. Dua cahaya biru berkiblat. Dewi Ular juga tidak
tinggal diam. Sambil sedikit merunduk dia menghantam ke
atas. Dua sinar hijau menggebubu.
"Kalian menyingkir saja. Biar aku menangkap serangan
gila itu!" Jaka Pesolek berteriak. Tapi sebelum sempat
bergerak bahunya telah dipegang Wiro dengan tangan kiri
sementara tangan kanan melepas Pukulan Tangan Dewa
Menghantam Matahari. Satu cahaya putih menyambar ke
udara.
Langit laksana runtuh, tanah bergetar hebat. Candi
Kalasan bergoyang-goyang ketika bentrokan beberapa
sinar sakti menimbulkan dentuman dahsyat, menggelegar
dua kali disertai taburan cahaya api. Wiro dan Jaka Pesolek
jatuh terduduk ke tanah. Si gadis langsung terkulai
pingsan. Wiro cepat menolong. Di tempat lain Dewi Ular
dan Ratu Randang terhempas jatuh, megap-megap
beberapa saat sebelum mampu berdiri dengan wajah
pucat.
Wiro turunkan tangan kanan yang tadi memukul. Di
kejauhan tiba-tiba terdengar lagi suara aneh,suara kucing
mengeong riuh.
"Nek, Kunti, kalian terluka di dalam..." Wiro berseru.
"Aku baik-baik saja," jawab Ratu Randang.
"Aku juga!" ucap Dewi Ular.
Kedua perempuan yang berpura-pura ini tersenyum lalu
sama mengusap pinggiran mulut yang ada lelehan
darahnya.
"Ada kekuatan lain menyertai serangan Delapan Arwah
Sesat Menembus Langit," kata Ratu Randang.
"Aku juga melihat. Ada cahaya kuning agak redup
melapisi cahaya merah!" kata Wiro. Melihat akibat yang
ditimbulkan yaitu sampai ketiga orang itu menderita cidera
Wiro yakin kalau kekuatan yang menyertai serangan
delapan sinar merah tadi bukan cuma berasal dari Sinuhun
Muda atau Sinuhun Merah.Tapi ada satu kekuatan lain
yang lebih dahsyat.
"Ah sayang aku tidak bisa menangkap delapan petir itu!"
Terdengar ucapan Jaka Pesolek yang baru saja siuman
setelah ditolong Wiro.
Ratu Randang dan Dewi Ular cepat-cepat mengobati
luka dalam masing-masing dengan cara mengerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti ke dada. Wiro membantu
dengan menempelkan telapak tangan kiri kanan ke
punggung kedua orang itu sambil mengerahkan tenaga
dalam dan hawa sakti. Setelah batuk-batuk beberapa kali
baik Ratu Randang maupun Dewi Ular tampak cerah merah
kembali wajah mereka.
"Kalian bertiga, apakah tadi juga mendengar suara
kucing mengeong?" Wiro bertanya.
Jaka Pesolek menggeleng. "Mana mungkin ada kucing
di sekitar sini."
Ratu Randang clan Dewi Ular sama-sama mengatakan
bahwa mereka memang mendangar suara kucing
mengeong. Dan ini merupakan kali kedua suara aneh itu
terdengar.
Wiro tiba-tiba ingat pada onggokan kulit Arwah Ketua
yang tadi ditendangnya. Apakah berhasil masuk ke dalam
Candi Kalasan atau musnah terkena serangan delapan
sinar merah. Dengan cepat dia berlari ke arah candi
langsung masuk ke dalam. Jaka Pesolek, Ratu Randang
dan Dewi Ular sesaat saling pandang lalu menyusul
mengikuti Wiro.
Di dalam candi sama sekali tidak ditemukan onggokan
kulit Arwah Ketua. Namun pada salah satu dinding dalam
candi terlihat guratan membentuk tulisan berbunyi : Jangan
tinggalkan candi. Mahkota di atas Mahkota ada di sini.
Sesuatu akan terjadi pada saat sang surya berada di titik
tertinggi. Arwah Ketua.
"Onggokan kulit Arwah Ketua lenyap. Menurut kalian
apakah guratan tulisan ini benar Arwah Ketua yang
membuat? Bagaimana kalau ada satu mahluk lain
melarikan kulit Arwah Ketua lalu membuat tulisan sebagai
jebakan?" Wiro bertanya sambil memandang pada tiga
orang di hadapannya.
Jaka Pesolek hendak menjawab tapi Ratu Randang
memberi isyarat agar dia menutup mulut.
"Mungkin aku bisa mencari tahu dan membuktikan apa
gurat tulisan itu memang Arwah Ketua yang membuat."
Kata Ratu Randang lalu melangkah mendekat dinding. Dua
telapak tangan dikembang dan diusapkan di atas dinding
candi tepat di permukaan guratan tulisan. Dua kaki
digeser-geser ke lantai batu. Perlahan-lahan mulutnya
berucap menyebut nama ilmu yang akan disirap. "Tangan
Langit Kaki Bumi."
Tiba-tiba dess!
Gurat tulisan di dinding candi mengepulkan asap
kelabu. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar
suara mengorok.
"Tulisan di dinding memang Arwah Ketua yang
membuat." Berkata Ratu Randang sambil menurunkan
kedua tangan dan mengusap wajah.
Wiro merasa lega. "Berarti mahluk raksasa itu berada
dalam keadaan selamat dan saat ini dia tengah dalam
perjalanan ke Candi Miring tempat kediamannya."
"Bagaimana kau tahu kalau Arwah Ketua tinggal di
Candi Miring?" tanya Ratu Randang.
"Ketika masih berbentuk onggokan kulit, dia memberi
tahu padaku lewat suara mengiang," jawab Pendekar 212.
Dia kembali memperhatikan tulisan di dinding. "Kalian mau
menunggu sampai tengah hari seperti yang ditulis Arwah
Ketua?" Wiro bertanya.
"Sebaiknya memang begitu," jawab Ratu Randang.
"Mahkota di atas Mahkota, aku masih tidak mengerti
apa yang dimaksudkan." Dewi Ular berkata sambil duduk di
tangga candi.
"Kalau aku bicara jangan kalian melecehkan," berkata
Jaka Pesolek.
"Memangnya kau mau bicara apa?" tanya Dewi Ular.
Dewi Ular bertanya baik-baik, tapi Jaka Pesolek
menjawab dengan bergurau mempermainkan.
"Sobatku cantik, maksudku aku belum mau bicara soal
celana dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang. Aku belum
akan memberikannya padamu. Selain masih enak dan
sejuk celana ini mantap dipakainya. Hik...hik...hik!"
Tahu dipermainkan Dewi Ular tenang-tenang saja balas
mempermainkan Jaka Pesolek.
"Silahkan kau pakai dan jangan dicuci-cuci. Apa kau
tidak tahu itu bukan celana dalam sembarangan? Anumu
bisa berjamur dan gatalan! Anumu bisa ubanan!
Hik...hik...hik!" Dewi Ular lalu lalu tertawa cekikikan.
"Jaka Pesolek, apa sebenarnya yang hendak kau
katakan?!" Ratu Randang bertanya.
"Ah, kalau kau yang bertanya Nek, aku mau memberi
jawaban apa adanya," sahut Jaka Pesolek. Lalu si gadis
menyambung. "Menurut pengertianku, yang disebut
Mahkota di atas Mahkota itu adalah sebuah benda yang
jauh lebih berharga dari Mahkota Raja Mataram. Dan
seperti yang ditulis si mahluk raksasa benda itu ada di
Candi Kalasan sini."
Wiro perhatikan wajah si gadis dan dalam hati
membatin. "Gadis ini bukan cuma pandai menangkap petir
tapi otaknya juga jalan." Wiro lalu berkata pada yang lain-
lainnya. "Empat Mayat Aneh membawa Dewi Kaki Tunggal
ke tempat ini. Sayang mereka sudah pergi hingga tak bisa
ditanyai. Tapi sebelum pergi mereka memberi tahu bahwa
ada seseorang yang menyuruh mereka membawa Dewi
Kaki Tunggal ke sini. Menurut mereka orang itu adalah
seorang Empu bernama Semirang Biru..."
Ratu Randang keluarkan suara tertahan. Wiro berpaling
pada si nenek. "Nek Ratu, apa kau kenal Empu itu?"
"Cukup kenal. Dia adalah Empu yang diperintahkan Sri
Maharaja Mataram untuk membuat sebuah senjata sakti
berupa sebilah keris yang diberi nama Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi."
"Hal itu memang dijelaskan oleh Empat Mayat Aneh,"
kata Wiro pula. "Tapi Empat Mayat Aneh tidak sempat
meneruskan keterangan karena tiba-tiba muncul Arwah
Ketua yang ujudnya telah disusupi Ketua Jin Seribu Perut
Bumi." `
"Kalau aku boleh bicara lagi," tiba-tiba Jaka Pesolek
menyeletuk. Sebelum meneruskan ucapan dia keluarkan
cermin pemberian Nyi Loro Jonggrang. Setelah mematut
rambut dan wajahnya baru dia berkata. "Kalau aku boleh
mengemukakan pendapat, jangan-jangan keris sakti itu
yang dikatakan sebagai Mahkota di atas Mahkota oleh dua
Sinuhun. Dan senjata itu ada di Candi Kalasan. Tapi di
sebelah mana? Di dalam candi, di luar, di halaman, di
bawah...."
"Sudah! Jaka Pesolek jangan kau nyerocos terus!" Dewi
Ular memotong ucapan Jaka Pesolek sambil layangkan
pandangan ke ujung barat halaman luas Candi Kalasan.
Parasnya berubah ketika pandangan mata membentur
sosok seseorang yangberlari cepat ke arah candi. Saking
cepatnya dua kakinya seolah tidak menyentuh tanah
sementara debu beterbangan di belakangnya.
"Hai! Lihat! Ada orang datang!" Dewi Ular berdiri.
"Astaga! Bagaimana mungkin! Sendirian pula!"
Kurang dari sekejapan mata orang itu sudah sampai di
depan tangga Candi Kalasan. Sadar berhadapan dengan
siapa Dewi Ular cepat-cepat membungkuk memberi hormat
walau hatinya bertanya-tanya.
ENAM
RATU RANDANG dan Jaka Pesolek segera
menghambur ke pintu depan candi begitu
mendengar seruan Dewi Ular. Wiro untuk beberapa lama
masih memperhatikan keadaan bagian dalam candi
berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan
petunjuk.
Ketika sampai di ambang pintu candi, Jaka Pesolek dan
Ratu Randang sama terkejut. Orang yang tengah diberi
penghormatan oleh Dewi Ular dan berdiri di depan tangga
candi bukan lain adalah Sri Maharaja Mataram Rakai
Kayuwangi Dyah Lokapala.
Ratu Randang buru-buru menuruni tangga. Sampai di
hadapan Raja dia juga membungkuk hormat seraya
berkata.
"Yang Mulia, saya gembira melihat Yang Mulia tidak
kurang suatu apa. Tapi kalau saya boleh bertanya
bukankah Yang Mulia sebelumnya diantar Rauh Kalidathi
melakukan perjalanan ke satu tempat rahasia? Saya
merasa heran tiba-tiba Yang Mulia muncul di sini seorang
diri, di tempat sejauh ini. Tanpa seorang pengawalpun..."
"Aku memang telah sampai di tempat rahasia itu.
Semua dalam keadaan selamat. Keadaan aman. Atas
petunjuk seseorang aku perlu segera ke sini." Jawab Raja
sambil matanya melirik ke arah delapan Bunga Matahari
kecil yang ada di tangan Dewi Ular.
"Yang Mulia, bukan saya hendak berlaku lancang. Kalau
boleh bertanya siapa orang yang memberi petunjuk itu dan
apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Bertanya Ratu
Randang.
Raja Mataram usap dagunya yang ditumbuhi janggut
kasar hitam. "Aku...aku tidak bisa memberi tahu padamu
siapa orang itu Ratu Randang. Tapi aku ke sini untuk
menjemput Jaka Pesolek. Gadis berpakaian merah muda
itu."
Mendengar Raja datang untuk menjemput dirinya,
walau agak heran, senangnya Jaka Pesolek bukan main.
Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan Raja lalu
berlutut.
"Saya merasa sangat terhormat kalau Yang Mulia
datang ke sini untuk menjemput saya. Menjemput mau
dibawa kemana, saya menurut saja..." Jaka Pesolek
kedipkan mata dan basahi bibir dengan ujung lidah.
"Jaka Pesolek, berdirilah. Aku ingin kau membawaku ke
satu tempat dimana Ni Gatri berada. Gadis yang diculik itu
dalam keadaan bahaya. Kau memiliki ilmu gerakan kilat.
Kita harus cepat sampai kesana..."
"Yang Mulia, saya senang Yang Mulia mempercayai
saya. Perintah Yang Mulia tentu saja akan saya
laksanakan. Tapi mohon maaf. Bagaimana mungkin saya
mampu membawa diri Yang Mulia yang begini besar dan
berat….”
"Kau tak usah kawatir. Aku akan memanggulmu. Kau
hanya mengerahkan ilmu kepandaianmu untuk membuat
kita bisa melesat laksana kilat. Dan kau tahu, tempat yang
bakal kita datangi itu banyak petirnya."
Wajah Jaka Pesolek tampak berseri girang mendengar
kata-kata terakhir sang Raja Mataram.
"Kalau begitu kata Yang Mulia saya menurut saja." Kata
Jaka Pesolek. Lalu gadis itu keluarkan kaca kecil dan kotak
hiasnya. Dengan cepat dia membedaki wajah, menebalkan
alis dan memerahkan bibir.
"Jaka, simpan peralatanmu. Kita harus segera pergi."
Raja Mataram jadi tidak sabaran melihat apa yang
dilakukan Jaka Pesolek.
"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya hendak berjalan
bersama Raja Mataram. Rasanya tidak pantas kalau wajah
celemongan dan rambut acak-acakan," kata Jaka Pesolek
pula sambil tersenyum lalu setelah mematik dan mengatur
rambut, cepat-cepat menyimpan cermin dan kotak bedak.
Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah muncul di
ambang pintu candi. Jaka Pesolek dilihatnya tengah
hendak dipanggul oleh seorang lelaki tinggi besar
mengenakan mahkota. Wiro segera mengenali kalau orang
itu adalah Raja Mataram.
"Jaka Pesolek! Kau mau pergi kemana?!" Wiro berteriak
bertanya.
"Tidak usah dijawab, kita harus pergi cepat. Sekarang
juga!" Raja berbisik pada Jaka Posolek. Si gadis
condongkan tubuh, siap merangkul dan naik ke bahu Raja
yang siap memanggulnya.
"Aneh, Raja Mataram muncul seorang diri padahal
seharusnya ada di Sumur Api bersama Rauh Kalidhati,
mungkin juga sudah ditemani kakek sakti Kumara
Gandamayana. Gadis itu mau dibawa kemana? Mengapa
dia tidak menjawab pertanyaanku?" Berpikir sampai di sini
dan mendadak muncul rasa syak wasangka dalam hatinya,
entah mengapa Pendekar 212 segera saja merapal aji
kesaktian. Begitu pandangannya membentur sosok Raja
Mataram kaget Wiro bukan alang kepalang sampai dia
berteriak keras. Tidak menunggu lebih lama dia segera
melompat ke halaman candi. Sambil melompat Wiro
berteriak.
"Jaka! Cepat jauhi orang itu!"
"Hai! Ada apa ini? Raja hendak..."
Ucapan Jaka Pesolek terputus karena saat itu dengan
tangan kirinya Wiro mendorong si gadis dengan satu
pukulan jarak jauh sementara tangan kanan lancarkan
jurus pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar,
ditujukan ke arah Raja Mataram.
Ratu Randang dan Dewi Ular tentu saja kaget melihat
apa yang dilakukan Wiro. Namun dalam kagetnya untuk
beberapa ketika mereka hanya tertegun berdiam diri.
Serangan yang dilancarkan Wiro dengan telak menghajar
kepala Raja Mataram hingga mahkotanya remuk dan
tercampak jatuh sementara sosoknya terjengkang di tanah.
Namun kepala sang Raja tetap utuh tanpa cidera
sedikitpun!
Sosok Raja yang terkapar di tanah cepat berdiri lalu
sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Jaka
Pesolek. Tangan kanan diangkat. Dari ujung ibu jari muncul
cahaya merah terang yang dengan cepat berubah
membentuk lingkaran besar berupa roda bergigi tajam
berkilauan. Dengan suara menderu roda bergigi ini
menyambar ke arah Jaka Pesolek. Sekali tubuh si gadis
kena dilibas pasti akan hancur terkutung-kutung
mengerikan!
"Cakra Dewa Membersih Bumi!" Ucap Ratu Randang
kaget. Lalu berkata pada Dewi Ular. "Kunti, setahuku Raja
tidak pernah memiliki ilmu aneh seperti itu!"
"Orang hendak mencelakai sahabat Jaka Pesolek!
Jangan berdiam diri!" Teriak Dewi Ular yang akhirnya sadar
melihat apa yang terjadi dan berteriak keras. Lalu wuuttt!
Dari pusarnya melesat keluar sosok besar seekor ular
hitam kepala putih. Dengan cepat binatang ini menyusup
ke bagian bawah roda merah bergigi dan menyundul tiga
kali.
"Tringg...tring...tring!"
Tiga kali bunga api bermuncratan.
Roda merah terpental setengah tombak ke atas tapi
masih terus menyambar ke arah Jaka Pesolek walau kini
lebih tinggi dari sasaran hingga serangannya hanya
mengenai udara kosong.
"Jaka! Lekas menyingkir! Sembunyi di balik pohon besar
sana!" Teriak Ratu Randang.
"Kau punya ilmu gerakan kilat! Mengapa tidak
dipergunakan!" Menyusul berteriak Dewi Ular.
Mendengar teriakan kedua orang itu Jaka Pesolek
segera berkelebat ke balik pohon besar. Roda besar bergigi
tiba-tiba membuat gerakan berputar lalu, melesat
mengejar ke arah Jaka Pesolek.
"Wusss!" Crasss!" "Braakk!"
TUJUH
POHON besar putus di bagian tengah lalu tumbang
dengan suara bergemuruh. Terdengar Jaka Pesolek
menjerit lalu suara jeritannya lenyap.
Raja Mataram gerak-gerakkan ujung ibu jari tangan
kanan. Di udara roda merah bergigi berputar-putar di atas
tumbangan pohon. Agaknya tengah mencari Jaka Pesolek.
Ketika tidak berhasil menemukan gadis itu, roda bergigi
berputar dan kini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng sementara Raja Mataram tampak berdiri dengan
dua kaki renggang, tubuh tak bergerak dan ibu jari tangan
kanan terus diacung ke atas mengendalikan arah gerakan
senjata dahsyatnya.
"Yang Mulia, hentikan serangan!" Dewi Ular berteriak.
Raja Mataram hanya menyeringai. Ibu jari ditudingkan
lurus ke arah Wiro. Membuat gerak serangan roda merah
menjadi dua kali lebih cepat!
"Celaka Kunti!" teriak Ratu Randang. "Jangan-jangan
Raja sudah berada dibawah kuasa dan kendali dua
Sinuhun!" Lalu nenek ini coba memotong serangan roda
bergigi dengan pukulan sakti bernama Di Dalam Gelap
Tangan Penghukum Membelah Jagat. Selarik cahaya biru
berkiblat. Begitu cahaya biru membentur roda merah satu
letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru
saling menyabung di udara. Ratu Randang terpekik, tubuh
terbanting ke tanah. Walau sanggup berdiri dengan cepat
namun tampak wajahnya pucat pasi. Dewi Ular cepat
mendatangi dan memeriksa. Ternyata si nenek tidak
menderita cidera. Di udara cahaya biru lenyap. Sebaliknya
cahaya roda merah kembali menderu dan meneruskan
serangan ke arah Wiro.
Menyaksikan apa yang terjadi Wiro segera melepas
pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.Yang
diarah adalah roda merah bergigi. Cahaya putih membeset
ke udara. Seperti tadi satu letusan keras menggelegar, kali
ini lebih dahsyat. Roda merah terpental dua tombak ke
udara tapi tetap utuh bahkan kembali melesat turun untuk
menyerang Wiro!
Wiro sendiri saat itu walau hanya merasa getaran kecil
di dada, namun dapatkan dua kakinya melesak sampai
setengah jengkal ke dalam tanah. Ketika melihat roda
merah bergigi kembali menderu ke arahnya, sang
pendekar kertakkan rahang.
"Pukulan sakti Datuk Rao tidak mempan. Apa aku harus
lagi-lagi menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari?"
Pikir Wiro. Ketika dia siap merapal aji pukulan sakti itu dan
ujung tangan kanannya mulai berubah menjadi seputih
perak mendadak dari samping kanan set ...set:..set
melesat sepuluh benda aneh berwarna hitam berbelang
merah. Ternyata benda itu adalah sepuluh ekor ular.
"Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi! Pasti Kunti
Ambiri!" Wiro berkata dalam hati. Dia pernah melihat dan
mengenali ujud sepuluh ular. Dia melirik rucap dalam hati
seraya melirik ke arah Dewi Ular. Wiro melihat gadis alam
roh ini berdiri dengan dua kaki merenggang, kepala
menyondak. Dari sepuluh liang yang ada di kepala dan
tubuhnya tampak asap hitam bercampur merah mengepul.
Karena memang sepuluh ekor ular ganas itu keluar dari
dua liang hidung, dua mata, dua lobang telinga, mulut,
pusar, dubur dan kemaluan.
Sambil berdiri Dewi Ular acungkan jari tangan kanan.
Ibu jari mencuat ke atas sama seperti yang dilakukan Raja
Mataram. Mulut berucap perlahan.
"Anak-anak, santapanmu adalah ujung jari Raja
Mataram! Itu pangkal bahala!"
Sepuluh ular merah hitam yang melesat di udara
kibaskan buntut, kepala mendongak, mulut mendesis.
"Wutttt!”
Sepuluh mulut ular bertaring luar biasa tajam disertai
semburan racun sangat jahat menyambar ke arah ibu jari
tangan kanan Raja Mataram yang sampai saat itu masih
diacungkan ke udara.
"Greeekk!"
Raja Mataram menjerit keras ketika ibu jari tangan
kanan sampai setengah bagian telapak lenyap diterkam
sepuluh ular. Darah menyembur sementara sepasang kaki
Raja tampak goyah dan terhuyung ke belakang. Di langit
tiba-tiba ada cahaya kuning kemerahan berkelebat disertai
suara riuh kucing mengeong.
"Blaarr!"
Roda merah bergigi meledak. Kepingannya
menghunjam masuk ke dalam tanah.
Wiro yang tadi hendak menyerang Raja Mataram
dengan Pukulan Sinar Matahari kini hantamkan pukulan
sakti pada cahaya kuning merah yang menyerang dirinya.
Untuk kesekian kalinya kawasan Candi Kalasan dilanda
gelegar suara letusan dahsyat. Halaman bergetar,
bangunan candi nampak bergoyang. Tanah dan debu
beterbangan ke udara. Dalam keadaan seperti itu Raja
Mataram pergunakan kesempatan untuk melarikan diri.
Sekali menjejak tanah seharusnya dia sudah mampu
melesat ke udara. Namun gerakannya lamban. Dua kaki
seperti diganduli batu. Tangan kanan yang putus masih
mengucurkan darah hitam pekat. Itu pertanda racun ular
sudah merasuk di seluruh pembuluh darahnya.
Raja Mataram keluarkan teriakan keras seolah putus
asa. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah.
Ketika ada satu bayangan samar terlihat di dalam
tubuhnya, saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng
melompat ke hadapan Raja sambil lancarkan tendangan
kaki kanan.
"Praakk!"
Kalau sebelumnya tendangan Wiro tidak mampu
menciderai kali ini kepala Raja Mataram remuk
mengerikan. Sosok terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.
Sekujur tubuh tampak hitam berbelang merah. Racun
Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi sungguh luar biasa
jahat. Kalaupun kepalanya tidak hancur dilanda tendangan
Wiro, sang Raja tetap saja tidak akan mampu bertahan
hidup dari ganasnya racun ular!
"Celaka! Kita telah membunuh Raja Mataram!" Ratu
Randng keluarkan suara tercekat. Dewi Ular tertegun tak
bergerak. Wiro garuk-garuk kepala sambil berkata.
"Para sababat, jangan kawatir. Tidak satupun dari kita
yang telah membunuh Yang Mulia Raja Mataram."
"Kau...kau bicara apa Wiro? Kau saksikan sendiri..."
Ratu Randang hentikan ucapannya sewaktu Wiro
menunjuk ke arah tubuh Raja yang tergelimpang di
halaman candi. Belum sempat Wiro mengatakan sesuatu,
saat itu terjadi keanehan. Asap kelabu tiba-tiba mengepul
keluar dari mayat Raja. Begitu kepulan asap menghilang
tertiup angin, sosok mayat Raja ikut lenyap. Di tanah kini
tampak tergelimpang sosok mayat seorang tua berpakaian
selempang kain putih. Kepala hancur tapi tidak ada darah
membasahi wajah ataupun pakaiannya.
Ratu Randang keluarkan suara tercekat. Tangan kanan
kemudian ditekapkan ke mulut.
Wiro berpaling.
"Ratu, kau kenal siapa adanya orang tua ini?" Tanya
Wiro pada si nenek.
Ratu Randang anggukkan kepala. Turunkan tangan
yang menutup mulut, menarik nafas dalam baru bicara.
DELAPAN
KAKEK ini bernama Sedayu Galiwardhana.
Menerangkan Ratu Randang. "Menurut Empu
Semirang Biru ketika berada di Istana Mataram kakek
inilah yang mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tapi
sebenarnya dia sudah menemui ajal terbunuh beberapa
tahun silam...." (Agar lebih jelas mengenai riwayat Sedayu
Galiwardhana, harap baca serial "Mimba Purana. Satria
Lonceng Dewa")
"Berarti arwahnya telah dihisap oleh Sinuhun Merah,
dimunculkan kembali ke dunia nyata, dikuasai lalu
dikendalikan." Berkata Dewi Ular.
"Kau benar Kunti," sahut Ratu Randang. Si nenek
berpaling pada Pendekar 212. "Wiro, aku menduga kau
sebelumnya sudah tahu kalau sosok Raja yang tadi datang
kesini bukan Raja Mataram sungguhan. Benar begitu?"
Bertanya Ratu Randang.
"Benar Nek. Ketika aku menerapkan Ilmu Menembus
Pandang, aku melihat sosok kakek ini dalam tubuh Raja.
Lalu semuanya berlangsung serba cepat. Aku tidak sempat
memberitahu."
"Akan kita apakan mayat kakek ini?" bertanya Dewi Ular.
"Tidak perlu diapa-apakan. Ujudnya akan segera lenyap
kembali ke alam roh..." Berujar Ratu Randang. Baru saja si
nenek selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar
suara ngeongan kucing.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang, menatap ke
arah datangnya suara mengeong tadi yaitu di udara lepas
sebelah barat sana. Walau dia tidak melihat apa-apa
namun sepasang matanya terasa agak perih dan denyutan
jantung menyentak.
Dewi Ular memandang berkeliling lalu berkata.
"Suara kucing mengeong itu. Aku sudah mendengar
beberapa kali. Aku punya dugaan jangan-jangan binatang
itu ada sangkut paut dengan ...."
Tiba-tiba ada suara bergemerisik disusul teriakan
seseorang.
"Aku terpendam di bawah dedaunan lebat. Mengapa
tidak ada sahabat yang menolong?!"
"Astaga! Itu suara Jaka Pesolek!" Ratu Randang lalu lari
ke arah pohon besar yang tumbang. Wiro dan Dewi Ular
menyusul. Dari balik daun pohon yang lebat tampak Jaka
Pesolek berusaha menyeruak keluar.
Meski ikut menolong tapi Dewi Ular tersenyum mesem-
mesem melihat keadaan si gadis. Rambut awut-awutan,
wajah kacau balau, pakaian kotor dan ada yang robek di
sebelah bahu serta punggung.
"Ihhh! Ada semut rangrang merah!" Pekik Jaka pesolek
ketika dilihatnya banyak semut rangrang besar menjalar di
bagian perut pakaiannya.
"Tidak apa-apa. Semut itu tidak akan menggigitmu
karena kau pakai celana dalam dari Nyi Loro Jonggrang!"
Kata Dewi Ular pula. "Kalau kau tidak percaya coba saja
masukkan semut-semut itu ke dalam celanamu!
Hik...hik...hik!"
Jaka Pesolek julurkan lidahnya.
"Nek, aku punya dugaan Sinuhun Merah sengaja
mendatangkan jejadian kakek yang sudah mati itu dalam
ujud Raja Mataram sengaja hendak membunuh Jaka
Pesolek."
"Jaka, kau punya silang sengketa apa dengan kakek
bernama Sedayu Galiwardhana itu?" Bertanya Dewi Ular
pada Jaka Pesolek.
"Kenal saja tidak. Kapan matinyapun aku tidak tahu.
Bagaimana mungkin aku punya silang sengketa dengan
kakek itu," jawab Jaka Pesolek pula.
"Tapi orang hendak membunuhmu, pasti ada
alasannya." Ucap Ratu Randang.
Jaka Pesolek hanya mengangkat bahu. Lalu sadar akan
keadaan dirinya yang tidak karuan rupa karena barusan
keluar dari timbunan lebat daun pohon besar, gadis ini
segera ambil kaca dan kotak hiasnya.
"Kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dicuri kakek itu dan
dia tahu-tahu muncul di sini, bisa saja senjata sakti milik
Raja Mataram itu berada di sekitar sini. Mungkin di dalam
Candi Kalasan" Wiro tatap wajah tiga orang di hadapannya.
Lalu menyambung ucapannya. "Aku ingat tulisan Arwah
Ketua di dinding yang memberi tahu bahwa Mahkota di
atas Mahkota ada di dalam candi. Mungkin apa yang aku
duga dan apa yang tadi dikatakan Jaka Pesolek benar
adanya. Keris sakti yang diumpamakan sebagai Mahkota di
atas Mahkota itu ada di Candi Kalasan. Bagaimana kalau
kita masuk lagi ke dalam candi untuk menyelidik."
"Tulisan Arwah Ketua di dinding candi. Apakah peristiwa
mahluk jejadian hendak membunuh Jaka Pesolek tadi yang
dimaksudkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi dan
kita jangan meninggalkan candi?" Dewi Ular berkata,
membuat semua orang memandang ke langit lalu
memperhatikan bayang-bayang tubuh mereka di tanah
halaman candi.
"Masih ada bayang-bayang walau tinggal pendek.
Berarti sang surya belum mencapai titik tertinggi." Kata
Wiro.
"Berarti apa yang dikatakan Arwah Ketua masih belum
terjadi tapi segera akan terjadi." Jaka Pesolek keluarkan
ucapan. Ada bayangan rasa kawatir pada nada suara dan
raut wajah gadis ini.
Ratu Randang mendekati Wiro dan berkata setengah
berbisik agar tidak terdengar oleh Jaka Pesolek.
"Wiro, gadis itu tidak punya ilmu kesaktian apa-apa.
Kecuali gerakan kilat serta kehebatannya menangkap
petir. Apakah menurutmu orang hendak membunuhnya
karena dua kemampuannya yang luar biasa itu? Dia
mampu menangkap petir dan pukulan sakti mengandung
hawa panas lalu melemparkan buntalan petir atau pukulan
sakti pada musuh. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi
dengan Ketua serta puluhan anak buah Seratus Jin Perut
Bumi."
Untuk beberapa lama Wiro terdiam mendengar ucapan
Ratu Randang.
"Nek, kalau dugaanmu betul, berarti nyawa gadis itu
masih akan terus terancam. Kita harus melindunginya."
Jaka Pesolek menyimpan cermin dan kotak bedaknya.
Sambil melirik pada Wiro dan Ratu Randang gadis ini
berkata.
"Aku tahu kalian berbisik-bisik merasani diriku "
"Kami kawatir akan keselamatanmu," berkata Ratu
Randang.
"Kalau begitu baiknya aku pergi saja dari sini. Aku mau
mencari tempat yang banyak petirnya." Kata Jaka Pesolek
pula.
"Walau kau punya gerakan kilat, tapi berada seorang
diri, bahaya dan celaka bisa lebih cepat menimpamu. Apa
kejadian tadi tidak membuat dirimu kawatir? Kau jangan
pergi kemana-mana."
Setelah berpikir sejurus akhimya Jaka Pesolek berkata.
"Kalian semua orang baik. Tapi aku rasa aku memang
harus pergi. Nanti kapan-kapan aku menemuimu lagi." Jaka
Pesolek berpaling pada Dewi Ular. Kedipkan mata dan
bertanya. "Kunti, apa kau masih mau mengambil celana
dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang? Kalau kau
menginginkan akan aku tanggalkan dan berikan padamu
sekarang juga."
"Kau boleh memakai celana itu sampai bulukan!" Jawab
Dewi Ular lalu pencongkan mulut.
"Ah, kau masih marah padaku. Aku minta maaf. Aku
harus pergi sekarang."
Jaka Pesolek seperti hendak melambaikan tangan
sebagai tanda berpisah. Di saat yang sama di kejauhan
terdengar suara gema lonceng. Di langit sebelah timur ada
kilasan cahaya kuning lembut. Laksana kilat cahaya kuning
ini melesat ke bawah dan tahu-tahu telah melingkari tanah
dimana Jaka Pesolek berdiri.
"Wusss!"
Cahaya kuning menjalar ke atas, membungkus tubuh
dan kepala Jaka Pesolek. Lalu desss....desss! Tubuh Jaka
Pesolek amblas masuk dan lenyap ke dalam tanah.
Wiro, Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama berseru
kaget. Ketiganya berusaha mengejar tapi terlambat. Jauh
dari dalam tanah masih terdengar sayup-sayup suara
jeritan Jaka Pesolek lalu hening.
"Ada yang menculik Jaka pesolek. lni pasti pekerjaan
dua Sinuhun keparat! Kalian berdua tunggu di sini!" Kata
Wiro sambil cepat menerapkan ilmu kesaktian yang
diberikan Kumara Gandamayana. Dia hunjamkan dua kaki
ke tanah. Saat itu juga sosoknya masuk lenyap ke dalam
bumi!
Ratu Randang tersentak kaget.
"Oala! Baru tahu aku kalau dia punya ilmu bisa masuk
ke dalam tanah!" ucap si nenek sambil berpaling pada
Dewi Ular.
Kunti Ambiri sendiri yang juga rnemiliki sejenis ilmu
yang hampir sama dan didapat dari Sinuhun Merah
Penghisap Arwah ketika hubungan mereka masih baik
mengangkat tangan kanan yang memegang delapan Bunga
Matahari kecil seraya berkata.
"Nek, aku mau menyusul Wiro. Aku belum
menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang dan belum
menyerahkan delapan Bunga Matahari ini pada Wiro! Kau
tunggu di sini! Jangan kemana-mana!"
"Wuttt! Desss!"
Sosok Dewi Ular juga lenyap masuk ke dalam tanah.
"Sialan! Aku ditinggal sendirian!" -
Si nenek mengomel panjang pendek sambil melangkah
mundar mandir. Tiba-tiba dia hentikan langkah, menatap
ke tanab. Astaga! Tubuhnya tidak lagi membentuk bayang-
bayang. Dia mendongak ke langit.
Sang surya bersinar terik.
"Tepat tengah hari. Ini rupanya yang disampaikan Arwah
Ketua melalui tulisan di dinding candi. Tapi apa sebenarnya
yang terjadi? Apakah aku harus menunggu di sini seorang
diri?" Ratu Randang kembali melangkah mundar mandir.
Tiba-tiba dia hentakkan kaki dan berhenti melangkah.
"Benar-benar gila! Mengapa tidak tadi-tadi Kunti Ambiri
menyampaikan pesan dan menyerahkan delapan Bunga
Matahari kecil pada pemuda itu. Celaka! Jangan-jangan."
Sepasang mata juling Ratu Randang membesar.
"Oala...Jangan-jangan gadis itu sengaja melakukan karena
ingin berdua-dua di dalam tanah dengan Wiro! Edan!"
Saking kesalnya si nenek merasa tubuhnya jadi lemas.
Dia memandang berkeliling. Keadaan di sekitar Candi
Kalasan tampak sunyi. Silir tiupan angin terasa aneh di
jangat. Beberapa pohon kecil tampak bergoyang-goyang
ranting dan dedaunannya, namun tidak mengeluarkan
suara bergemerisik. Perasaan si nenek tidak enak.
"Aku kawatir bahaya maut bisa saja datang tidak
terduga. Lebih baik aku merubah diri menjadi mahluk
hidup lain apa saja."
Lalu si nenek merapal ajian kesaktian. Sesaat
kemudian sosok Ratu Randang berubah samar lalu lenyap,
berganti menjadi seekor kucing putih, duduk menjelepok di
depan tangga paling bawah pintu depan Candi Kalasan
sambil menjilati kaki dan tubuhnya.
SEMBILAN
AIR TERJUN mencurah bergemuruh jatuh ke dalam
telaga dangkal. Di seberang sana, di atas sebuah
batu besar di tepi telaga anak lelaki berambut tebal dan
beralis kereng berusia sekitar dua belas tahun duduk
setengah berbaring sambil mengelus kening anak
perempuan yang tergolek tak bergerak mata terpicing.
Sesekali kening itu diciumnya. Anak perempuan ini
berwajah ayu, bertubuh sintal, berusia empat belas tahun.
Perlahan-lahan anak lelaki yang memakai anting-anting
emas di telinga kirinya itu dekatkan wajah ke telinga anak
perempuan. Setelah mencium lembut pipi kiri anak
perempuan itu dia berbisik.
"Ni Gatri, bangunlah. Pagi sudah datang, mentari telah
memperlihatkan diri. Tidakkah kau ingin menghirup udara
segar serta melihat pemandangan indah sekitar telaga?"
Si anak lelaki lalu kembangkan telapak tangan kanan
dan disapukan di atas wajah anak perempuan yang
ternyata adalah Ni Gatri. Dua kali menyapukan tangan
sepasang mata Ni Gatri masih terpejam dan keadaannya
masih seperti tadi seolah tidur nyenyak.
"Aneh, mengapa tidak bangun?" ucap si anak lelaki.
Tangan kanannya kembali disapukan di atas wajah Ni
Gatri. Tetap saja anak perempuan itu terus terlelap.
Anak lelaki bergerak duduk di atas batu, memandang
berkeliling. Matanya menatap ke arah air terjun yang
mencurah bergemuruh.
"Ah....mungkin ini sebabnya. Suara deru air terjun
membuat pendengaran Ni Gatri terhalang. Aku tahu itu
bukan air terjun biasa." Anak lelaki tersenyum. Lalu tangan
kanan di angkat sambil mulut berucap.
"Air terjun! Berhentilah mencurah barang beberapa
lama!"
"Wuttt!”
Selarik sinar kuning kemerahan menyambar keluar dari
telapak tangan kanan anak lelaki, melesat ke arah curahan
air terjun. Dan astaga! Seolah ada satu kekuatan dahsyat
yang menahan, curahan air terjun terbendung sepuluh
tombak di atas telaga! Keadaan di tempat itu kini serta
merta menjadi senyap.
Dengan tenang si anak lelaki kembali usapkan telapak
tangan kanan di atas wajah Ni Gatri. Kali ini, hanya sekali
mengusap sepasang mata Ni Gatri langsung terbuka
nyalang dan tubuh bergerak bangkit lalu duduk clan
memandang berkeliling.
"Ni Gatri, aku senang kau sudah bangun dari tidurmu..."
Si anak lelaki tekapkan dua tangannya di pipi Ni Gatri.
Ni Gatri yang saat itu tengah menatap ke arah air terjun
pergunakan dua tangan untuk manyibakkan tekapan
sepasang tangan si anak lelaki darl wajahnya.
"Aku tidak tidur. Aku tahu. Kau telah menyirapku. Kau
telah menyihirku!" Tiba-tiba Ni Gatri keluarkan ucapan
keras.
Si anak lelaki tertawa. "Adikku sayang, kau ini bicara
apa? Aku tidak, menyirapmu. Siapa yang telah
menyihirmu? Apa wajahku kau lihat seperti nenek angker
tukang sihir?"
"Aku tahu dan ingat sernua apa yang telah terjadi. Kau
tak perlu berdusta!"
"Kalau begitu, apakah kau masih ingat namaku?" tanya
si anak lelaki pula.
"Namamu Dirga Purana. Kau anak jahat yang
menculikku!"
"Ha ...ha! Aku senang kau masih ingat namaku. Adikku
sayang, lihatlah berkeliling. Tidakkah tempat ini indah
sekali dan kita berdua bisa bermain bersenang-senang di
sini. Aku akan gembira selangit kalau kita bisa mandi
berdua-dua di telaga berair jernih dan sejuk ini."
Ni Gatri tertawa sinis.
"Katamu umurmu dua belas tahun. Aku empat belas
tahun! Bagaimana kau bisa-bisaan memanggil aku
adikmu? Aku bukan adikmu! Aku tidak mau bermain
denganmu. Apa lagi mandi bersamamu di telaga! Kau anak
jahat! Aku ingin pulang!"
"Pulang? Pulang kemana? Rumahmu, rumah kita
berdua ada di Bhumi Mataram ini."
Ni Gatri menggeleng. Ketika anak lelaki bernama Dirga
Purana itu hendak memegang wajahnya Ni Gatri cepat
membentak.
"Jangan kau berani menyentuh diriku!"
"Kau adikku sayang. Kau kekasih buah hatiku! Mengapa
aku tidak boleh menyentuhmu?!"
"Ihh! Kau bicara seperti orang gila! Mungkin juga kau
sudah kemasukan mahluk halus penghuni telaga!"
"Ssshhh, jangan bicara seperti itu. Dengar, aku memang
gila. Tergila-gila padamu!" Anak lelaki itu kembali gerakkan
tangan hendak memegang wajah Ni Gatri.
"Kalau kau berani menyentuhku lagi...!" Mengancam Ni
Gatri.
Dirga Purana tertawa. "Kau anak berani. Aku suka orang
berani. Jika aku menyentuh tubuhmu lagi, kau hendak
berbuat apa?
“Menamparku? Memukulku?"
"Aku akan membunuhmu!" Jawab Ni Gatri dan matanya
menyorot tajam ke arah mata Dirga Purana.
"Hebat!" Kata Dirga Purana pula. "Aku ingin kau
membuktikan ucapanmu!" Lalu anak lelaki ini condongkan
tubuh dan ulurkan tangan. Sambil merangkul dia jatuhkan
diri diatas tubuh Ni Gatri hingga anak perempuan ini jatuh
tertelentang di batu dan di atasnya Dirga Purana
menghimpit. Dalam usia yang masih dua belas tahun anak
lelaki itu memperlihatkan sikap seperti orang dewasa.
Ciumannya bertubi-tubi jatuh di wajah Ni Gatri. (Mengenai
siapa anak lelaki bernama Dirga Purana silahkan pembaca
ikuti riwayatnya dalam serial "Mimba Purana Satria
Lonceng Dewa" karangan Bastian Tito)
Ni Gatri berteriak, dua tangan berusaha memukul, dua
kaki mencoba menendang. Namun begitu Dirga Purana
meniup keningnya, kekuatan anak perempuan ini serta
merta hilang. Tubuhnya mendadak lemas hingga tidak
mampu bergerak bahkan berteriakpun dia tidak bisa. Ni
Gatri hanya tinggal pasrah diperlakukan secara tidak
senonoh seperti itu.
Semakin memuncak nafsunya, semakin gila dan kurang
ajar perbuatan Dirga Purana. Dalam keadaan diri Ni Gatri
dipermalukan seperti itu tiba-tiba satu bayangan merah
samar berkelebat dari depan gua yang terletak di balik air
terjun. Sosok ini laksana berlari di atas air telaga, bergerak
cepat ke arah batu besar dimana Dirga Purana dan Ni Gatri
berada.
"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Saya tidak
tidak ingin mengganggu kesenanganmu...."
Dirga Purana angkat kepala. Sebelum menoleh ke arah
datangnya suara dia membentak.
"Tidak ingin menganggu tapi berani muncul! Siapa yang
bicara?!"
"Saya berada di sini. Saya Sinuhun Merah Penghisap
Arwah." Terdengar suara jawaban.
Dirga Purana berpaling ke kiri. Di situ dia melihat sosok
samar merah yang perlahan-lahan berubah utuh. Sosok itu
seorang kakek berpakaian dan mengenakan belangkon
merah. Di bagian depan belangkon tersemat sebuah
hiasan berbentuk bintang sudut delapan terbuat dari suasa
muda atau perunggu. Delapan benjolan merah yang ada di
kening kelihatan memancar terang pertanda ada gejolak
hati yang tidak senang kalau tidak mau dikatakan marah.
Hal ini juga kelihatan dari kumis, sepasang alis serta
janggut merahnya yang berjingkrak. Sepasang mata yang
seluruhnya nyaris berwarna merah tampak menyorot
menatap ke arah si anak lelaki.
"Sinuhun, aku benar-benar tidak senang dengan
kedatanganmu! Aku tidak suka melihat caramu
memandangku! Apa harus aku ingatkan dengan siapa kau
berhadapan saat ini?!"
Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa tubuhnya
bergetar. Cepat dia membungkuk lalu luruskan tubuh dan
berkata.
"Maafkan saya Kesatria Junjungan. Tapi keadaan di
pihak kita saat ini benar-benar buruk. Sejak kau membawa
gadis dari alam delapan ratus tahun mendatang itu, kau
seperti lupa segala-galanya..."
"Apakah kau berani melarangku berbuat yang aku suka,
Sinuhun Merah?!" Dirga Purana membentak seraya bangkit
dan berdiri di atas batu sambil berkacak pinggang. Wajah
bocahnya tampak berubah tua dan angker.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk
sekali lagi.
"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Mana
mungkin saya berani melarang.Namun selama beberapa
waktu belakangan ini Junjungan sepertinya tidak tahu lagi
apa yang terjadi di pihak kita..."
"Memangnya apa yang terjadi, Sinuhun?"
"Ketua Seratus Jin Perut Bumi dan seluruh anak
buahnya musnah! Arwah Ketua yang saya tugaskan
mencegat Raja Mataram terpaksa lebih dahulu saya
perintahkan pergi membunuh Kesatria Panggilan. Tapi
nasibnya nahas. Empat Mayat Aneh menguliti kulit luarnya.
Kesatria Panggilan kemudian memasukkannya ke dalam
Candi Kalasan. Dari situ dia mampu bertahan hidup dan
mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu Kumara
Gandamayana berhasil keluar dari dalam tanah. Dia
ditolong oleh Kesatria Panggilan dengan satu ilmu luar
biasa sakti. Kesatria Roh Jemputan tidak tahu ilmu apa
yang dimiliki keparat itu! Sekarang Kumara Gandamayana
bergabung dengan Rauh Kalidathi mengamankan Raja
Mataram...."
"Hanya semua itu saja, apakah kau merasa seolah
langit sudah runtuh, bumi sudah terbelah dan air laut
menyapu daratan?!" Tanya Dirga Purana ketus.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah terdiam seketika.
Namun ketika bicara lagi suaranya terdengar keras, tandas
walau bergetar.
"Bukan itu saja Kesatria Junjungan...."
"Lalu apa?!"
"Karena sibuk dengan anak perempuan itu Kesatria
Junjungan sampai lupa memperhatikan sesajen untuk
Delapan Sukma Merah!"
Dirga Purana tersentak kaget. Dari kepalanya langsung
memancar cahaya kuning kemerahan.
Saat itu juga tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh.
Di udara menyambar keras bau kemenyan membuat
orang bisa merinding walau saat itu di siang bolong!
Wajah Dirga Purana berubah.
Tiba-tiba seolah terjun dari langit, delapan benda merah
melayang turun. Laksana burung, delapan benda itu
hinggap di tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dan
mereka ternyata bukan burung! Empat meriung di atas
kepala. Dua mengendap di bahu kiri, dua lagi di bahu
kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah!
"Rakanda Delapan Sukma Merah!" Ucap Dirga Purana.
Anak ini memanggil delapan mahluk dengan sebutan
Rakanda seolah mereka adalah kakak-kakaknya! Anak ini
kemudian membungkuk sambil kembangkan dua tangan
kesamping. Setelah meluruskan tubuh dia berpaling pada
Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan membentak.
"Sinuhun Merah! Jangan salahkan diriku! Kau yang
terlambat memberi tahu mengingatkan!"
Sinuhun Merah Penghisap Arwah diam-diam merasa
jengkel karena dirinya dipersalahkan. Namun dengan
tenang mahluk alam roh ini menjawab.
"Kesatria Junjungan. Tiada ada gunanya kita saling
salah menyalahkan. Lebih baik cepat dicari jalan sebelum
Delapan Sukma Merah berubah buas dan mencabik-cabik
tubuh kita karena haus dan lapar! Saat ini saya merasakan
tubuh Delapan Sukma Merah mulai memanas. Jalan bagi
saudara kembar senyawaku Sinuhun Muda Ghama
Karadipa untuk mendapatkan tahta Kerajaan masih sulit.
Jangan Junjungan menambah beban kesusahan..."
Rahang Dirga Purana menggembung. Dia hendak
mendamprat namun saat itu suara ngeongan riuh kembali
menggelegar.
SEPULUH
RAKANDA Delapan Sukma Merah, kami tidak berlaku
sengaja melupakan sesajen kalian minggu ini. Aku
akan menggantikan dengan hidangan yang lebih lezat.
Kemarilah!"
Habis berkata anak lelaki bernama Dirga Purana
bertepuk tangan tiga kali. Lalu dua tangan diulurkan.
Kembali terdengar suara mengeong. Delapan sosok merah
kecil yang berada di kepala dan bahu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah melompat masuk ke dalam gendongan
dua tangan Dirga Purana.
Ternyata delapan mahluk itu adalah delapan ekor anak
kucing berbulu merah. Binatang-binatang cilik ini memiliki
beberapa keanehan kalau tidak mau dibilang
menyeramkan. Antaranya sepasang mata yang seluruhnya
berwarna merah. Dua telinga lebih besar dari anak kucing
biasa, mencuat runcing di bagian atas. Sepasang taring
muncul di sela bibir kiri kanan. Ketika mulut terbuka
kelihatan lidah merah sepanjang satu jengkal. Lalu pada
kening setiap anak kucing ini terdapat satu tonjolan daging
seujung jari kelingking berwarna merah pekat. Jika
diperhatikan, kepala delapan anak kucing itu lebih
menyerupai kepala kelelawar.
Dirga Purana dekatkan delapan ekor anak kucing yang
digendongnya ke wajahnya, menciumnya satu persatu lalu
berbisik. "Rakanda Delapan Sukma Merah, aku tahu kalian
lapar dan haus. Aku harap Rakanda semua tidak marah.
Sebagai ganti sesajen aku akan memberikan santapan
yang sangat sedap untuk kalian. Kalian pasti suka. Dari sini
aku sudah mencium kelezatannya."
Delapan ekor anak kucing berbulu merah mengeon
keras. Lidah panjang merah mencuat keluar. Benjolan
merah di kening memancarkan cahaya terang. Delapan
anak kucing ulurkan kepala dan dua kaki depan ke arah Ni
Gatri. Mulut dibuka lebar sambil keluarkan suara setengah
mengeong setengah mengaum! Ni Gatri terpekik
ketakutan. Dia hendak melompat turun dari atas batu tapi
aneh, tubuhnya terasa berat.
"Ssss! Rakanda semua, jangan ganggu anak
perempuan itu. Dia adalah kekasihku." '
Delapan anak kucing merah menggeram halus lalu
mengeong keras!
Dirga Purana tekap delapan anak kucing ke dadanya
sambil digoyang-goyang tidak beda seorang ayah
menenangkan anaknya yang cerewet. Ketika binatang-
binatang itu berhenti mengeong dan tampak tenang Dirga
Purana pejamkan mata. Kepala mendongak ke langit.
Hidung mencium dalam-dalam. Sesaat kemudian mulutnya
tampak menyeringai.
"Rakanda Delapan Sukma Merah, mohon dimaafkan
seribu maaf di atas langit dan di dalam bumi. Sekali ini
Sesajen Atap Langit tidak dapat kami berikan pada
Rakanda berdelapan. Sebagai penggantinya telah tersedia
santapan lezat yang saat ini telah menunggu dan berada di
Candi Kalasan. Kalian pasti menyukai. Pergilah, tapi ingat
dan harap bersabar, jangan menyantap hidangan sebelum
sang surya melewati titik tertingginya."
Dirga Purana kembangkan dua tangannya yang sejak
tadi menggendong delapan anak kucing berbulu merah.
Delapan anak kucing mengeong keras, telinga besar
berkibas-kibas. Lalu benar-benar seperti kelelawar, mereka
melayang ke udara, mengeong panjang. Berputar-putar
delapan kali di atas kepala si anak lelaki kemudian
berrr…..! Melesat ke arah timur.
KUCING putih yang duduk di tangga depan Candi
Kalasan yang tengah menjilati sepasang kaki depannya
tiba-tiba tersentak dan dongakkan kepala. Dua mata
membesar menatap ke arah matahari yang memancarkan
cahaya terik menyilaukan.
"Aku mencium bahaya. Tapi belum tahu datangnya dari
mana.Mungkin dari arah langit, bisa juga dari dalam
tanah."
Binatang itu, yang bukan lain adalah ujud jejadian si
nenek sakti Ratu Randang yang tengah melindungi diri
dengan ilmu kesaktian langka berucap dalam hati. Sekali
lagi sepasang matanya menatap ke arah matahari. Tiba-
tiba di balik cahaya yang menyilaukan dia melihat ada
delapan titik merah. Walau darah tersirap hati tercekat
namun Ratu Randang bersikap tenang.
"Hemmm, aku sudah menduga. Siapa lagi yang punya
pekerjaan kalau bukan dua Sinuhun keparat itu. Mereka
pasti akan mengirim serangan. Aku harus mencari
selamat" Ratu Randang membatin lalu merapal satu aji
kesaktian yang telah beberapa kali diterapkannya antara
lain ketika menghadapi dan memperdayai dua Sinuhun,
Swara Pancala dan Iblis Menjunjung Dupa Kesatu dan
Kedua.
Cepat sekali, laksana kilat menyambar delapan titik
merah yang tadi terlihat jauh di langit melesat turun ke
bumi dan di lain kejap nyaris tanpa mengeluarkan suara
delapan ekor kucing merah Delapan Sukma Merah telah
menjejakkan empat kaki di depan tangga Candi Kalasan.
Mereka berpencar demikian rupa membentuk lingkaran,
mengurung kucing putih di tengah-tengah! Tubuh diangkat,
berdiri diatas dua kaki belakang. Kuku-kuku dua kaki
depan mencuat sampai satu jengkal menyerupai pisau
pendek berkeluk berwarna merah pekat gelap pertanda
ada racun jahatnya. Mulut dipentang lebar memperlihatkan
barisan gigi lancip serta sepasang taring runcing dan lidah
panjang.
Didahului suara mengeong dahsyat, delapan anak
kucing berbulu merah menyergap kucing putih. Dari
benjolan merah di kening masing-masing menyembur
cahaya merah. Tanah di depan tangga candi berhamburan
ke udara.
Kucing putih besar yang diserang tidak tinggal diam.
Sambil balas mengeong binatang ini melompat ke udara
menghindarkan serangan delapan cahaya merah serta
sergapan delapan anak kucong. Begitu berhasil
selamatkan diri kucing putih mengeong tak kalah keras lalu
melesat menyusup ke bawah lancarkan serangan balasan.
Namun kedahsyatan serangan delapan anak kucing
yang disebut Delapan Sukma Merah itu benar-benar luar
biasa dan mengerikan. Selagi kucing putih masih
mengambang di udara mereka menerkam.
Kucing putih terkapar di tangga candi. Kaki kanan
sebelah depan buntung disambar tebasan cakar berbentuk
pisau. Binatang ini terguling menggelepar di tanah
sementara seperti kesetanan delapan anak kucing
langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat
sosok kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak
bersisa. Di udara bulu-bulu putih beterbangan membuat
pemandangan bertambah angker. Di halaman candi sesaat
masih menggehang darah binatang ini sebelum meresap
masuk ke dalam tanah.
Di atas pohon besar tak jauh dari Candi Kalasan, Ratu
Randang yang bersembunyi di balik kerimbunan dedaunan
merasa tengkuk menjadi dingin dan bulu kuduk merinding.
Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia
membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai
terlambat keluar dari sosok kucing putih itu.
"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka?
Binatang sungguhan atau jejadian? Aku merasa dan
melihat ada kekuatan luar biasa dahsyat dalam tubuh
mereka. Benjolan merah di kening mereka. Jumlah yang
delapan, pertanda dugaanku tidak meleset. Mereka pasti
ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu...!".
Belum sempat si nenek berpikir lebih jauh dibawah
sana delapan anak kucing mengeong aneh. Delapan
kepala mendongak ke langit. Buntut dikibas Kian kemari.
Sepasang mata menjorok keluar. Dari mulut keluar darah
membusah. Darah kucing putih. Mereka sudah menyantap
daging sampai ke tulang, sudah menghirup darah kucing
putih. Tapi mereka tetap merasa lapar dan haus!
Tiba-tiba serentak delapan binatang ini palingkan
kepala ke arah pohon besar dimana Ratu Randang
bersembunyi membuat si nenek tercekat pucat.
"Celaka, apa delapan anak kucing keparat itu tahu
kalau yang mereka santap tadi bukan kucing benaran? Apa
mereka tahu aku sembunyi di sini?"
Tidak tunggu lebih lama si nenek segera merapal lagi aji
kesaktian. Kejap itu juga tubuhnya berubah menjadi seekor
kadal, menempel di dahan pohon. Tetapi delapan ekor
anak kucing yang bukan binatang sembarangan itu tidak
dapat ditipu. Delapan pasang mata merah berputar liar.
Didahului ngeongan keras mereka melesat ke atas pohon
besar.
Ratu Randang cepat keluar dari dalam sosok kadal
pohon.
Namun sekali ini dia tidak punya kesempatan untuk
mengubah diri lagi memperdayai delapan anak kucing!
Begitu dua kakinya menjejakkan tanah, delapan anak
kucing merah sudah terjun dari atas pohon. Mulut
terpentang lebar, empat kaki dengan cakar laksana pisau
menyambar ganas!
"Hyang Jagat Bathara! Tamat riwayatku!" Jerit Ratu
Randang dalam hati. Saat itu dia melihat satu-satunya
tempat untuk cari selamat adalah sebuah batu besar tinggi
yang belum selesai dibentuk menjadi sebuah candi kecil.
Ratu Randang segera merapal aji kesaktian
Menunggang Kabut Menembus Batu. Dia juga membarangi
dengan ilmu kesaktian Insan Berjalan Tanpa Bayangan
agar tubuhnya tidak kelihatan.
"Wuuttt!"
"Desss!"
Sosok Ratu Randang amblas lenyap masuk ke dalam
batu namun delapan anak kucing mampu melihat ke arah
mana lari dan lenyapnya si nenek karena ilmu Insan
Berjalan Tanpa Bayangan asal muasalnya diperoleh Ratu
Randang dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan
Sinuhun Muda Ghama Karadipa sewaktu mereka masih
berhubungan dekat.
Di dalam batu, baru saja merasa sudah aman tiba-tiba
braak! Batu besar kokoh bergetar di delapan tempat!
SEBELAS
RATU RANDANG tersentak kaget ketika di dalam batu
dia melihat delapan sosok anak kucing berbulu
merah muncul dan tahu-tahu sudah mengurungnya! Tidak
mau memberi waktu pada si nenek, delapan kucing
langsung menyerang! Mulut bertaring siap melumat, kaki
berkuku seperti pisau siap mencabik! Didahului suara
mengeong dahsyat yang membuat batu bergetar, delapan
kucing menyerbu!
Ratu Randang berteriak keras.
"Sang Hyang Widhi! Saya minta perlindungan padaMu!"
Begitu berteriak si nenek gerakkan dua tangan sambil
merapal aji kesaktian Di Dalam Gelap Tangan Penghukum
Membelah Jagat. Dua larik cahaya biru berkiblat. Batu
bergoyang keras lalu blaar! Batu besar runtuh, hancur
berkeping-keping. Ratu Randang terpental dua tombak,
jatuh terbanting di tanah. Belum sempat bergerak bangun
suara ngeongan menggelegar dan delapan anak kucing
merah tahu-tahu sudah berada di atasnya! Belasan cakar
berbentuk pisau merah pekat berkelebat ganas!
Ratu Randang coba selamatkan diri dengan
melancarkan serangan Tombak Dewa Memancung
Berhala. Kehebatan ilmu kesaktian ini adalah jumlah sinar
biru yang membentuk tombak akan muncul sesuai jumlah
lawan yang diserang. Kalau lawan hanya seorang maka
tombak sakti akan melesat satu buah. Jika lawan ada tiga,
tombak akan keluar tiga. Saat itu cahaya biru yang
membentuk tombak berkiblat delapan buah yaitu sesuai
dengan jumlah anak kucing merah yang menjadi sasaran.
Namun jarak antara si nenek dengan delapan lawan
saat itu sudah terlalu dekat. Dia tidak leluasa bergerak
melancarkan serangan. Walau delapan cahaya biru
menyambar keluar dari tangannya tapi breett!
Si nenek kena serangan lebih dulu. Anak kucing merah
yang melesat di sebelah kiri berhasil merobek lengan
kanan pakaian dan melukai tangannya. Saat itu juga Ratu
Randang merasa sekujur tubuhnya menjadi panas,
padahal luka di tangan kanan hanya berupa goresan
pendek! Sepasang lutut Ratu Randang goyah, pandangan
menjadi buram. Hanya sekejapan lagi. Delapan Sukma
Merah akan mencabik-cabik tubuhnya mendadak ada
suara bersiur disertai munculnya sebuah benda aneh
menebar cahaya menyilaukan. Cahaya ini adalah pantulan
sinar matahari. Walau hanya merupakan pantulan tapi
mengandung hawa panas luar biasa. Hingga delapan anak
kucing merah mengeong keras lalu bersurut menjauhi
sambaran cahaya panas.
Benda aneh itu menyerupai sebuah tabir putih besar.
Bagian bawah menancap di tanah menghambat
memisahkan delapan anak kucing merah dongan sosok
Ratu Randang yang nyaris tidak berdaya.
Tabir putih ternyata merupakan sebuah cermin aneh.
Delapan anak kucing menggerung keras. Mereka merasa
aneh melihat sosok mereka berada di dalam cermin dan
berubah buas. Benjolan merah di kening pancarkan sinar
terang. Enam belas kaki depan dipentang lalu berkelebat
berusaha mencabik permukaan cermin dengan cakar
pisau. Tapi tabir cermin seperti dilindungi lapisan sangat
licin, tak mampu dicabik atau dipecahkan, bahkan
tergorespun tidak!
Delapan anak kucing mengeong keras, melangkah
mundur. Serentak mereka menerjang ke depan,
menghantamkan kepala ke arah tabir cermin putih.
Sebelumnya, delapan anak kucing angker ini mampu
menghancurkan batu besar dengan hantaman kepala
mereka. Namun kali ini kekuatan kepala mereka yang
dahsyat tidak sanggup memecahkan cermin.
"Dukkk! Dukkk!"
Tabir cermin hanya bergetar sedikit.
Delapan anak kucing menjadi marah. Didahului suara
mengeong mereka kembali menyerang. Kali ini dengan
lebih dulu menghantamkan delapan larik sinar merah yang
memancar dari delapan benjolan di kening.
"Wusss!"
Delapan cahaya merah angker berkiblat.
"Kraakkk....kraakk!"
Tabir kaca putih berlubang di delapon tempat lalu
hancur berkeping-keping dan akhirnya musnah. Ketika
tabir lenyap dari pemandangan delapan kucing merah
melompat ke depan. Mereka menggerung marah karena
tidak menemukan Ratu Randang. Padahal mereka tahu
sebelumnya si nenek telah terkapar tak berdaya di tanah di
balik tabir cermin putih. Delapan kucing mengeong
dahsyat. Empat memandang berkeliling, empat lagi
mengeruk-ngeruk tanah. Semuanya mengendus dalam-
dalam. Tapi mereka tidak mencium bau sosok si nenek.
Padahal penciuman mereka bisa menjajagi seseorang yang
berada lebih dari dua ratus tombak jauhnya!
Delapan ekor kucing berpandang-pandangan satu sama
lain seolah saling bicara tanpa suara. Setelah mengeong
keras yang kali ini menyerupai suara raungan anjing di
malam buta, delapan mahluk itu melesat ke udara ke arah
matahari yang bersinar terik.
HANYA beberapa ketika sebelum delapan anak kucing
merah menghancurkan tabir cermin putih, di belakang
sana entah dari mana datangnya mendadak ada sosok
seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu berkelebat.
Kakek ini langsung mengangkat tubuh Ratu Randang yang
tidak berdaya, menggendongnya ke arah sebuah pohon
besar. Dalam satu kejapan saja sosok si kakek dan si
nenek telah masuk ke dalam batang pohon. Lalu ada
cahaya berpijar ke bawah dan di lain saat sosok kedua
orang itu lenyap di arah akar pohon.
Ratu Randang yang berada dalam keadaan setengah
sadar, buka mata lebar-lebar tapi tetap saja sepasang
mata itu setengah terpejam. Dia hanya mampu melihat
samar wajah si kakek. Ketika mulutnya berucap, suaranya
perlahan parau pertanda daya kekuatannya benar-benar
terkuras oleh racun jahat cakar pisau anak kucing berbulu
merah.
"Kumara Gandamayana. Kau….. "
Si nenek merasa gembira dan menyebut nama orang
yang menggendongnya.
Seperti diketahui Kumara Gandamayana adalah kakek
sakti pembantu utama Raja Mataram yang sebelumnya
dituturkan setelah dikeluarkan oleh Wiro dari dalam tanah
bergabung dengan Rauh Kalidhati untuk membawa sang
Raja ke satu tempat rahasia.
"Aku bukan Kumara Gandamayana." Si kakek
menjawab.
Tenggorokan Ratu Randang tercekat. Alis mencuat dan
kening mengkeret.
"Bagaimana mungkin kau bicara dusta. Apa kau kira
aku tidak mengenali lagi dirimu. Sobat tua, walau aku
keracunan tapi aku belum buta..."
"Aku bukan Kumara Gandamayana." Kembali si kakek
mengulang ucapan.
"Lalu...lalu kau siapa? Setannya, atau jejadiannya atau
apanya?" Tanya Ratu Randang heran. Pandangan matanya
semakin redup. Suara bertambah perlahan tapi
pendengaran masih cukup jelas.
"Aku berpantang memberi tahu nama." Si kakek berikan
jawaban.
Mulut Ratu Randang bergerak pencong tanda jengkel
mendengar jawaban orang tua berjubah dan bersorban
kelabu.
"Sebetulnya kalau kau memang orang baik dan sakti,
tidak perlu menolong diriku. Bukankah lebih baik kau
memusnahkan delapan anak kucing celaka itu? Pahalamu
lebih besar. Aku yang sudah tua rongsokan dan bau tanah
ini perlu apa ditolong? Menyelamatkan Kerajaan jauh lebih
penting dari menyelamatkan diriku."
"Jalan pikiran dan ucapanmu betul. Tapi mohon maaf.
Aku berpantang membunuh mahluk hidup. Sekalipun
semut atau anak kucing, apa lagi yang namanya
manusia..."
Ratu Randang tertawa tapi tidak bersuara. Hanya
mulutnya saja yang kembali tampak pencong.
"Orang tua, kau punya banyak pantangan rupanya. Tapi
agaknya kau tidak punya pantangan menggendong
perempuan sekalipun tua bangka sepertiku! Kurasakan
nafasmu mengengah dan detak jantungmu bergemuruh.
Aku kawatir sebenarnya kau bukan bermaksud
menolongku tapi tengah membawa aku ke satu tempat
untuk digerayangi. Hik...hik...hik."
"Desss!"
Si kakek terkejut. Tubuh Ratu Randang sampai terlepas
dari gendongannya dan mental ke udara. Sebelum jatuh ke
bawah si kakek cepat-cepat menangkap tubuh Ratu
Randang lalu digendong kembali. Mulut dikancing tak mau
lagi bicara.
"Eh, kita ini berada dimana sebenarnya? Aku melihat
semua benda berwarna coklat kehitaman. Mengapa tidak
ada matahari, mana pepohonan. Tidak ada angin..."
Si kakek diam saja.
Ratu Randang pejamkan kedua matanya, lalu berlaku
sama. Dia tidak bergerak. Tak mau bicara. Bahkan
nafasnya yang sudah sesakpun sengaja ditahan. Kini si
kakek jadi kawatir. Dia berhenti berlari dan pandangi wajah
si nenek. Lalu pipi kirinya di dekatkan ke hidung Ratu
Randang. Tidak ada hembusan nafas. Ganti telinga kirinya
didekapkan ke dada si nenek.
Saat itu terdengar tawa Ratu Randang.
"Kau mulai nakal. Kau berbuat apa menyentuh dadaku
dengan telinga. Mengapa tidak dengan tangan? Hik...hik..."
"Semakin banyak kau bicara semakin cepat racun Cakar
Sukma Merah bekerja di tubuhmu dan tambah cepat kau
menemui ajal." Si kakek akhirnya keluarkan ucapan.
"Aku...aku memang sudah mati..." Kata Ratu Randang.
Lalu dari tenggorokannya terdengar suara gheekkk!
Kakek berjubah dan bersorban kelabu terkejut. Dia
memandang berkeliling sambil dalam hati berucap.
"Kurasa aku sudah berada delapan tombak di dalam
perut bumi. Mudah-mudahan Para Dewa menolong diriku
dan dirinya."
Padahal, walau sakarat si nenek sebenarnya berpura-
pura!
Dengan cepat Ratu Randang diturunkan dari
gendongan. Dibaringkan lalu dua tangan kanan menotok
ubun-ubun si nenek. Luka di tangan kanan diremas
demikian rupa hingga darah kehitaman mengucur deras.
Begitu darah berhenti mengucur kakek ini totok dada kiri
Ratu Randang di arah jantung.
"Huaahh!"
Si nenek muntahkan darah kental bercampur sisa
racun!
Ratu Randang buka sepasang mata. Mulut tertawa.
Tubuh tidak terasa lemas lagi. Pemandangannya terang. Si
kakek merasa lega.
Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan
berkata.
"Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dari
racun Cakar Sukma Merah. Tapi mengapa kau tidak
menolongku dari tadi?"
"Ada pantangan...."
"Oala! Lagi-lagi pantangan!"
"Maksudku, racun Cakar Sukma Merah tidak bisa
dimusnahkan sebelum masuk ke perut bumi sedalam
delapan tombak."
"Astaga! Memangnya saat ini kita berada dimana?"
Tanya Ratu Randang sambil memandang berkeliling. "Aku
baru sadar, tak ada cahaya terang, tak ada matahari. Tak
ada pepohonan atau rimba belantara. Tak ada bebukitan.
Juga tak ada sapuan angin. Semua berwarna kecoklatan,
kadang-kadang hitam."
"Kita berada di dalam tanah. Di perut bumi..."
Menjelaskan si kakek.
"Oala! Pantas....aneh tapi nyata. Aku berada dalam
tanah tapi nafas tidak sesak, mata tidak kerurupan tanah,
bisa bergerak kemana-mana. Eh Kek, kau mau membawa
aku kemana? Mengapa aku dibawa masuk ke dalam tanah
padahal di luar sana kalau kau mau ajak aku jalan-jalan
pemandangan jauh lebih indah..."
"Seperti kataku tadi, racun Cakar Sukma Merah hanya
bisa dimusnahkan kalau kau berada delapan tombak di
bawah tanah."
"Oo...begitu?"
Ratu Randang manggut-manggut.
"Sekarang aku sudah selamat dari racun jahat. Lalu kau
mau membawa aku kemana?"
"Aku mau membawamu ke dalam tanah di bawah Candi
Plaosan Lor..."
"Lagi-lagi jalan-jalan di dalam tanah." Kata Ratu
Randang sambil unjukkan wajah cemberut. "Tapi ya sudah!
Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?"
Ratu Randang lalu perhatikan si kakek mulai dari ujung
sorban sampai ke kaki yang berkasut putih.
"Ada apa?
"Sorban di kepalamu, wajahmu, jubahmu dan sepasang
kasut putih di kedua kakimu. Lalu juga suaramu! Semua
menyatakan bahwa kau jelas-jelas adalah Kumara
Gandamayana, orang kepercayaan Raja Rakai Kayuwangi,
sobatku di Bhumi Mataram. Tapi mengapa kau tidak mau
mengaku? Kau tiba-tiba saja menjadi aneh dan sombong!"
"Aku memang aneh tapi tidak sombong. Selain itu aku
berpantang untuk mengatakan siapa diriku. Biar nanti kau
tahu dari orang lain saja siapa diriku."
"Orang lain siapa?"
"Aku akan membawamu menemui orang itu. Beberapa
sahabatmu sudah ada di sana..."
"Maksudmu siapa...?" Ratu Randang bertanya.
Namun tidak terduga orang tua bersorban kelabu tiup
wajah si nenek. Saat itu juga Ratu Radang merasa kantuk
yang amat sangat Nenek ini menguap satu kali lalu tertidur
lelap dalam keadaan berdiri. Si kakek cepat
menggendongnya.
DUA BELAS
SEKARANG mari kita ikuti apa yang terjadi dengan
Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi. Diceritakan
sebelumnya (baca "Tabir Delapan Mayat") bahwa gadis
berkaki satu itu telah dibawa oleh Empat Mayat Aneh ke
Candi Kalasan. Menurut pengakuan Empat Mayat Aneh
kepada Wiro si gadis dibawa atas suruhan seorang kakek
bernama Empu Semirang Biru. Sang Empu adalah orang
yang atas perintah Raja Mataram membuat Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi, tinggal di lereng Gunung Bismo.
DITUTURKAN dalam serial pertama ("Malam Jahanam Di
Mataram") menjelang akan datangnya malapetaka Malam
Jahanam di Bhumi Mataram, selagi berada di Istana
bersama Raja dan para pejabat serta petinggi Kerajaan
tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan kelabu dan tahu-
tahu Empu Semirang Biru tak ada lagi di tempatnya berdiri.
Penculikan di siang bolong, dalam Istana, di tengah sekian
orang banyak itu tentu saja sangat menggemparkan.
Beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha mengejar
si penculik. Namun si penculik bersama Sang Empu lenyap
laksana ditelan bumi! Semenjak itu Empu Semirang Biru
maupun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak diketahui lagi
dimana rimbanya.
KETIKA peti mati hitam besar menjejak halaman Candi
Kalasan, Empat Mayat Aneh segera membuka penutup peti
mati untuk mengeluarkan Sakuntaladewi. Begitu penutup
peti terpentang lebar, Empat Mayat Aneh berseru kaget.
Sosok gadis cantik berkaki satu itu tidak ada di dalam peti.
Peti dalam keadaan kosong. Sebagian lantai peti mati
tampak jebol seperti habis dibongkar!
Semula Empat Mayat Aneh mengira Sakuntaladewi alias
Dewi Kaki Tunggal berhasil membongkar alas peti mati lalu
menyusup keluar, mungkin masuk ke dalam tanah. Peti
mati digeser. Namun di tanah tidak tampak bekas-bekas
adanya tanah yang terbongkar atau berlubang!
Mayat Aneh Kesatu jitak-jitak keningnya sendiri. Mayat
Aneh Kedua menduga si gadis telah diculik oleh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Mayat Aneh Keempat menyelidik
masuk ke dalam Candi Kalasan namun tak lama kemudian
tubuhnya terlempar keluar candi. Gulungan kain putih yang
melibat sekujur tubuh sampai kepala berwama hitam
mengepulkan asap. Di sudut mulut tampak lelehan darah.
Tiga Mayat Aneh segera mengobati saudara mereka
Mayat Aneh Keempat. Saat itu muncul Delapan Tabir
Mayat yaitu delapan sosok mayat busuk mengerikan
ciptaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Melihat mahluk
apa yang muncul dan sadar kalau mereka tidak akan
mampu menghadapi, Tiga Mayat Aneh cepat melempar
masuk lebih dahulu Mayat Aneh Keempat ke dalam peti
mati. Ketika mereka siap hendak melarikan diri, Tabir
Delapan Mayat menyerbu dengan ilmu ganas disebut
Delapan Telunjuk Arwah Busuk.
Sekejap lagi peti mati akan hancur lebur dilanda
serangan, tiba-tiba dari dalam peti mati muncul Mayat
Aneh Keempat menangkis dengan dua pukulan yang
memancarkan sinar putih berkilau dan menghampar hawa
panas.
Ternyata dibelakang sosok Mayat Aneh Keempat
bersembunyi Pendekar 212. Dialah yang melepas Pukulan
Sinar Matahari dengan mempergunakan sosok dan dua
tangan Mayat Aneh Keempat sebagai perantara.
Sebelumnya secara cepat Wiro juga telah menolong
menyembuhkan luka dalam yang dialami Mayat Aneh
Keempat. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan di
pihaknya, Tabir Delapan Mayat sendiri kemudian
diperintahkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lewat
suara mengiang agar segera meninggalkan kawasan Candi
Kalasan.
Empat Mayat Aneh tidak dapat menerangkan kemana
dan bagaimana lenyapnya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki
Tunggal yang mereka bawa di dalam peti. Kepada Wiro
mereka akhirnya memberi tahu bahwa mereka
diperintahkan oleh Empu Semirang Biru untuk membawa
Sakuntaladewi ke Candi Kalasan. Tapi kakek itu sendiri
tidak ditemui. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul
sosok raksasa Arwah Ketua. Apa yang terjadi selanjutnya
telah diceritakan di permulaan buku ini. Lalu apa
sebenarnya yang terjadi dengan Sakuntaladewi?
Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja?
SEWAKTU peti mati hitam hanya tinggal dua jengkal
akan menyentuh tanah halaman Candi Kalasan tiba-tiba,
tanpa diketahui Empat Mayat Aneh, lebih dari separuh
lantai peti mati terkuak.
Di dalam peti Sakuntaladewi tersentak kaget ketika
sepasang tangan mendadak muncul mencekal
pinggangnya. Gadis kaki satu ini berteriak. Tapi tak ada
suara yang keluar dari mulutnya. Dia lalu pergunakan
tangan kiri kanan untuk memukul dua tangan yang
mencekal pinggangnya.Tapi astaga! Dua tangannya
laksana memukul udara kosong! Selagi tidak tahu mau
berbuat apa sekonyong-konyong tubuhnya ditarik ke
bawah.
"Hai! Bumi dan langit milik Yang Maha Kuasa! Siapa
yang hendak berbuat jahat membenam diriku ke dalam
tanah!" Gadis berkaki satu itu membentak. Mendadak dia
merasa ada angin dingin menyapu wajahnya. Setelah itu
gadis ini tak ingat apa-apa lagi.
Ketika sadar dan membuka mata Sakuntaladewi
dapatkan dirinya dalam satu tempat bercahaya redup.
Gadis ini cepat bangun dan berdiri, menatap berkeliling.
Ternyata dia berada dalam satu ruangan berbentuk
segitiga. Dia tidak melihat orang atau sepotong bendapun
dalam ruangan, tapi dia ingat, sebelumnya dia berada
dalam peti mati. Dia sempat melihat peti itu turun di
halaman Candi Kalasan. Lalu tiba-tiba lantai peti mati
terkuak dan dua tangan menarik tubuhnya ke bawah.
"Siapa yang menarik tubuhku? Manusia atau mahluk
alam gaib? Aku berada dimana saat ini?"
Sakuntaladewi menunggu beberapa lama. Lalu gadis ini
mulai melangkah dengan kaki tunggalnya mengitari
ruangan. Dia mengelus dinding yang ternyata adalah tanah
merah keras.
Tiba-tiba Sakuntaladewi dikejutkan oleh suara
mengiang.
"Anak gadis berkaki satu, kau berada dalam Ruang Segi
Tiga Nyawa. Kau tidak akan melihat benda apapun dalam
ruangan ini termasuk diriku sebelum kau mengusap
wajahmu tiga kalil dengan tangan kanan."
Sakuntaladewi memandang berkeliling. Dia tidak bisa
mengetahui dari arah mana datangnya suara tadi walau
ngiangan terdengar sangat jelas tanda sumber suara
berada dekat dengan dirinya.
"Siapa yang barusan bicara?" tanya si gadis. Tak ada
jawaban. Tapi ada suara seperti orang menarik nafas.
Sakuntaladewi menatap ke atas, ke arah atap ruangan
yang berbentuk kerucut. Dalam hati dia berkata. "Suaranya
seperti suara orang sudah berusia lanjut...."
Si gadis pejamkan mata. Nafas ditahan seketika lalu
dihembuskan. "Hemm...aku merasakan ada dua detakan
jantung. Satu berada dalam ruangan ini. Satu lagi di luar
ruangan." Lalu kembali gadis ini menegur. "Hai, siapa yang
tadi bicara? Mengapa tidak mau unjukkan diri?"
"Lakukan saja apa yang tadi disarankan. Kita tidak
punya waktu lama." Suara mengiang menjawab. Kali ini
bukan suara orang tua tapi menyerupai suara anak lelaki.
"Penghuni Ruang Segi Tiga Nyawa. Jika kalian
bersahabat dengan diriku harap perlihatkan diri."
"Sakuntaladewi, lakukan saja apa yang dikatakan
orang. Kita tidak punya waktu banyak."
Kembali terdengar suara mengiang anak lelaki
mengulang ucapan.
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal terkejut.
"Mahluk yang bicara tahu namaku..." Ucap si gadis dalam
hati.
Tiba-tiba ada suara seperti angin berdesir di atap
sebelah atas. Lalu sayup-sayup terdengar suara tambur
dan tiupan suling.
Sakuntaladewi mendongak ke atas atap yang berbentuk
kerucut.
Astaga!
Samar-samar dia melihat sepasang kakek nenek
berselempang kain putih di atas sana, mengambang diluar
atap.
"Kakek nenek berdua...."
Sakantaladewi rundukkan tubuh memberi
penghormatan. Dadanya berdebar tapi dia tetap berlaku
tenang.
Dua kakek nenek di atap Ruang Segi Tiga Nyawa
gerakkan tangan dan jari jemari mereka. Menyampaikan
ucapan bahasa orang bisu! Kedua orang tua itu bukan lain
adalah Sepasang Arwah Bisu yang merupakan kakek
nenek Sakuntaladewi.
TIGA BELAS
SAKUNTALADEWI perhatikan gerakan jari dan tangan
sepasang kakek nenek. Namun kedua orang itu
masih terlalu samar hingga Sakuntaladewi tidak dapat
membaca atau mengartikan apa yang tengah dikatakan
Sepasang Arwah Bisu melalui gerakan jari dan tangan
mereka.
Sakuntaladewi menunggu sebentar. Begitu sosok kakek
dan neneknya berubah jelas, gadis ini segera membuat
gerakan jari dan tangan bahasa orang bisu tanpa
memperdulikan apa yang hendak disampaikan dua kakek
nenek di atas sana.
"Kakek nenek berdua, apakah datang untuk
mengeluarkan saya dari dalam ruangan ini?"
Kakek berselempang kain putih langsung membalas
menjawab dengan gerakan jari dan tangan pula.
"Cucuku Sakuntaladewi, kami berdua datang bukan
untuk mengeluarkanmu dari tempat dimana saat ini kau
berada "
Karuan saja Sakuntaladewi menjadi kaget. Dia adalah
cucu darah daging dua kakak sakti. Tapi mereka muncul
justru bukan untuk menolongnya!
Nenek berselempang kain putih gerakkan jari dan
tangan.
"Cucuku, jangan unjukkan air muka kecewa. Se-
sungguhnya kau berada dalam satu keberuntungan dan
kesempatan besar untuk menolong Raja dan Kerajaan
Mataram."
Karena masi belum bisa mengerti Sakuntaladewi diam
saja.
Si kakek lalu menggerakkan tangan.
"Kami datang untuk meminta agar kau mengikuti apa
yang disampaikan orang melalui suara mengiang. Karena
itu adalah petunjuk Para Dewa. Kau akan menghadapi satu
kejadian besar. Jika kau berbuat bakti maka kau akan
menerima pahala besar termasuk penentuan jodoh bagi
masa depanmu. Lekas lakukan sebelum orang dan roh
jahat muncul membuat kekacauan dan menghalangi
tindakanmu."
Sakuntaladewi terkejut. Dia bertanya dengan membuat
gerakan tangan bahasa orang bisu.
"Kek, apa yang kau maksudkan dengan penentuan
jodoh? Apakah..."
Nenek berselempang kain putih memotong gerakan
tangan bahasa yang disampaikan Sakuntaladewi.
"Cucuku, dari dulu kau selalu banyak bertanya. Padahal
keadaan sudah sangat mendesak. Lekas usap wajahmu
tiga kali dengan tangan kanan."
Di kejauhan sayup-sayup kembali terdengar suara
tambur dan suling. Sosok sepasang kakek nenek perlahan-
lahan berubah samar. Sakuntaladewi tersentak.
"Tunggu!" Sakuntaladewi berseru namun Sepasang
Arwah bisu raib sudah. Keadaan dalam ruangan terasa
sangat sunyi. Keredupan semakin temaram.
Sakuntaladewi angkat tangan kanan. Telapak
dikembangkan, dipandangi beberapa lama. Lalu wajah
diusap tiga kali berturut-turut. Begitu salesai mengusap di
kejauhan terdengar suara dentangan lonceng. Lalu ada
cahaya kuning lembut menyapu seantero ruangan. Tempat
yang disebut Ruang Segi Tiga Nyawa itu, yang tadinya
redup mendadak berubah terang. Ternyata ruangan itu
cukup luas dan keseluruhan lantai, dinding serta atap yang
berbentuk kerucut merupakan tanah merah keras.
Ketika menatap ke arah depan yang adalah ujung salah
satu dari sudut segi tiga dalam ruangan, Sakuntaladewi
terkejut. Tadi sewaktu pertama kali ruangan berubah
terang dia tidak melihat benda itu.
Benda yang dilihat Sakuntaladewi adalah seuntai rantai
besar merah, bergulung demikian rupa, mengambang di
dalam ruangan seolah melingkari sesuatu.
"Rantai besi aneh. Empat Mayat Aneh membawaku ke
Candi Kalasan lalu ada orang menarikku masuk ke dalam
ruangan ini. Apakah hanya untuk melihat rantai ini? Empat
Mayat Aneh mengatakan ada seseorang yang menyuruh-
nya. Di ruangan ini sama sekali tidak ada sepotong ma-
nusiapun!"
Dalam keadaan hati tidak enak kembali Sakuntaladewi
menatap ke arah rantai besi besar. Tiba-tiba rantai itu
memancarkan cahaya merah seolah berubah menjadi bara
api walau tidak ada hawa panas terasa menebar. Belum
habis kejut si gadis, di dalam gulungan rantai menyala
perlahan-lahan muncul sosok seorang kakek bertubuh
kurus kering, hanya mengenakan sehelai kain putih
sebatas pinggang ke bawah. Tulang-tulang iga bertonjolan
seperti jerangkong. Muka yang tinggal kulit pelapis tulang
membuat tampangnya nyaris menyerupai tengkorak hidup
namun anehnya tampang itu tidak menyorotkan ke-
angkeran atau rasa seram bagi orang yang melihatnya.
Selain itu si orang tua memiliki rambut, kumis serta janggut
berwarna biru.
Kakek itu duduk bersila di lantai tanah merah. Seluruh
tubuhnya digulung oleh rantai merah besar menyala.
Setelah terpana beberapa ketika menyaksikan sosok
tua dalam libatan rantai merah Sakuntaladewi
membungkuk memberi penghormatan. Dia maklum orang
tua itu pasti bukan orang sembarangan. Lalu gadis ini
beranikan diri menegur.
"Orang tua, saya tersesat masuk ke tempat ini. Mohon-
maaf kalau saya mengganggu ketenteramanmu..."
Orang tua di dalam gulungan rantai merah mengangkat
kepala sedikit, menatap tapi tidak menjawab.
"Kalau saya boleh tahu kau ini siapa?" Bertanya
Sakuntaladewi.
"Aku seorang Empu. Berasal dari Gunung Bismo.
Namaku Semirang Biru." Si orang tua dalam gulungan
rantai besi keluarkan ucapan untuk pertama kalinya.
"Empu Semirang Biru?" Sakuntaladewi berpikir sejenak.
Tiba-tiba dia ingat. "Orang tua, kalau namamu memang itu,
saya pernah menyirap cerita. Bukankah kau pembuat Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi yang dikabarkan lenyap diculik
orang dari dalam Istana Mataram sebelum bencana Malam
Jahanam melanda Bhumi Mataram?”
"Cerita itu memang benar "
"Empu, maaf kalau saya memotong bicaramu. Empat
Mayat Aneh membawa saya ke Candi Kalasan. Katanya
atas suruhan seseorang..."
"Akulah orangnya yang menyuruh."
"Ooo..." Sakuntaladewi ternganga.
"Tapi saya rasa saat ini saya tidak berada di kawasan
Candi Kalasan. Ada orang yang membobol peti mati di
mana saya berada, lalu menarik saya masuk ke dalam
tanah. Saya berusaha mengetahui orang itu tapi keburu
tidak sadarkan diri."
"Anak gadis, ketahuilah saat ini kau berada tepat
dibawah Candi Plaosan Lor. Sesungguhnya aku sudah
beberapa hari menunggumu."
Untuk kesekian kalinya Sakuntaladewi dibuat
tercengang.
"Empu, rantai merah yang melingkari tubuhmu, apakah
rantai itu milikmu atau...."
"Ada seseorang sakti tapi tidak berhati putih. Karena
tidak bisa membunuhku karena aku mendapat
perlindungan dari Para Dewa orang sakti itu lalu
membelenggu aku dengan rantai merah ini yang disebut
Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Rantai ini adalah benda
curian milik seorang pertapa sakti dipuncak Gunung
Semeru."
“Empu, siapa orang jahat yang mengikat dirimu dengan
rantai itu?" Bertanya Sakuntaladewi.
"Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana."
Lagi-lagi Sakuntaladewi dibuat terkejut.
"Kalau begitu biar aku coba membebaskan dirimu dari
rantai itu," kata si gadis pula.
Empu Semirang Biru gelengkan kepala.
"Ada hal lain yang lebih penting yang dapat kau lakukan.
Jika kau berhasil maka kau akan mampu memutuskan
rantai merah ini. Kau sendiri kemungkinan akan bebas dari
azab sengsara yang kau derita selama ini."
Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang
Biru. Dia pegang rantai merah di bagian bahu kiri kanan si
orang tua dan berkata. Walau rantai itu tampak merah
menyala namun dua tangannya terasa dingin aneh hingga
gadis itu menggigil dan giginya bergemeletukan.
Sakuntaladewi tarik kedua tangannya. Menatap Empu
Semirang Biru dengan perasaan heran karena orang tua ini
sama sekali tidak tampak kedinginan. Padahal sekujur
tubuhnya digulung rantai.
"Hal apa Empu? Katakan apa yang harus saya
lakukan?"
Empu berambut biru itu dongakkan kepala,
memandang ke arah atap runcing Ruang Segi Tiga Nyawa.
Sakuntaladewi ikuti pandangan si orang tua. Begitu dia
melihat ke atas, dadanya berdebar, darah berdesir dan
sepasang bola mata membesar.
"Tadi benda itu tidak ada di sana. Apakah "
EMPAT BELAS
DI ATAP ruangan segi tiga yang berbentuk kerucut,
menancap sebilah keris. Bagian yang menancap
adalah gagang yang masih telanjang sementara bagian
badan dan ujung yang runcing menukik ke bawah.
Keseluruhan badan keris yang memiliki luk sembilan
memancarkan cahaya biru. Anehnya, di sebelah kanan
badan keris, mulai dari ujung runcing sampai ke bagian
bawah yang melebar lancip, tampak gabungan cahaya
tujuh warna, memanjang dan bergelombang mengikuti luk
keris yang sembilan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi.
Walau berada jauh di atas atap ruang segi tiga namun
Sakuntaladewi bisa merasa dan mencium tebaran bau
harum keluar dari badan keris.
"Sakuntaladewi, senjata tak bergagang itu adalah Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Kelak senjata itu akan menjadi
benda pusaka Kerajaan Mataram. Aku yang membuatnya
atas petintah Yang Mulia Rakai Kayuwangi Raja Mataram.
Kini aku dan keris bertuah berada dalam perlindungan
Para Dewa di Ruang Segi Tiga Nyawa ini! Tapi aku tetap
merasa kawatir."
Sakuntaladewi tegak tak bergerak. Mata tak berkedip.
Tanpa mengalihkan pandangan gadis ini bertanya.
"Empu, bagaimana kejadiannya keris sakti Kerajaan
dan dirimu bisa berada di tempat ini?"
"Semua gara-gara perbuatan dua Sinuhun yang berhasil
membujuk anak lelaki sakti bemama Kesatria Junjungan
itu." Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, hanya
kau yang mampu menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi. Namun kita masih memerlukan bantuan
seseorang.
Bukankah kau mengenal seorang gadis yang punya
kepandaian menangkap petir?"
"Maksud Empu gadis bernama Jaka Pesolek?" Tanya
Sakuntaladewi.
"Kalau memang itu namanya maka itulah orangnya."
"Saya tidak tahu dia berada di mana. Terakhir sekali dia
masih berada di Bukit Batu Hangus sewaktu Empat Mayat
Aneh memasukkan saya ke dalam peti mati."
"Aku punya firasat sebentar lagi gadis itu akan sampai
di tempat ini. Biar kita bersabar menunggu. " Kata Empu
Semirang Biru pula.
"Empu, di sini tidak ada petir. Lagi pula kalau hanya
untuk mengambil dan menyelamatkan keris sakti di atas
atap sana, saya bisa melakukan."
Habis keluarkan ucapan Sakuntaladewi jejakkan kaki
tunggalnya ke lantai tanah merah.
"Desss!"
"Wutt!”
"Hyang Jagat Bathara! Jangan lakukan!" Teriak Empu
Semirang Biru.
Tapi terlambat!
Tubuh Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal melesat
membal ke atas atap berbentuk kerucut dimana Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi. Tangan dipentang siap untuk
menjangkau senjata sakti. Namun baru satu tombak dia
berada di atas lantai ruangan tiba-tiba di atas sana Keris
Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya terang putih
menyilaukan. Warna putih ini bukanlah warna atau
kekuatan asli yang mengendap dalam tubuh keris. Kejap
itu juga terdengar suara menggelegar. Lalu blaarr! Kilauan
cahaya putih panas menyambar keluar dari keris sakti!
Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat! Dinding dan
atap ruangan yang terbuat dari tanah merah keras
berguguran, membuat keadaan dalam ruangan sesaat
menjadi redup merah. Empu Semirang Biru kembali
berteriak. Mulut menggembung lalu meniup. Satu
gelombang angin menderu menerpa ke arah
Sakuntaladewi, mendorong tubuh si gadis agar tidak
berada di arah lurus datangnya cahaya putih yang laksana
petir. Namun sambaran cahaya putih menyilaukan dan
panas datang lebih cepat.
Sakuntaladewi sendiri saat itu menjerit ketika melihat
kilatan putih panas menggebubu ke arahnya. Untuk
melindungi diri gadis ini segera keluarkan jurus Enam
Belas Gerakan Tangan Bisu. Selain itu tubuhnya yang telah
terdorong ke samping akibat tiupan Empu Semirang Biru
segera dibanting ke kiri hingga menghantam dinding ruang
segi tiga.
"Wusss!"
Cahaya putih panas menyambar ganas.
Kembali terdengar jeritan si gadis. Lalu tubuhnya
melayang jatuh ke bawah tapi masih sanggup berdiri di
atas kakinya yang cuma satu. Wajah tampak pucat.
Pakaiannya yang berwama jingga hangus hitam di sisi
sebelah kanan.
"Sakuntaladewi, kau tidak apa-apa?!" Empu Semirang
Biru berteriak cemas.
"Berkat pertolongan Empu melepas tiupan sakti tadi,
saya selamat. Saya hanya merasa sedikit kehilangan
keseimbangan. Pakaian hangus, tubuh sebelah kanan
seperti mati rasa..." Menjawab Sakuntaladewi sambil
bersandar ke dinding. Nafas sesak dada turun naik. Selagi
dia berusaha mengatur jalan darah dan mengalirkan hawa
sakti di dalam tubuh, tiba-tiba kaki tunggalnya merasakan
getaran-getaran di tanah.
"Ada orang berjalan cepat. Menuju ke sini..." Ucap si
gadis dalam hati. Baru saja membatin begitu tiba-tiba dari
arah kanan ruang segi tiga tampak samar-samar cahaya
kuning. Cahaya kuning lenyap. Lalu ada suara seperti orang
melengak kaget, disusul ucapan.
"Aku takut. Aku mau kencing. Tapi tadi aku mendengar
suara petir menggelegar. Senang juga rasanya.
Oala...dimana aku ini sebenamya berada! Hai, di depan
sana ada cahaya terang kemerahan..."
Sakuntaladewi segera mengenali suara orang. Sesaat
kemudian orangnya muncul, mencuat keluar dari dinding
tanah merah sebelah kanan, tegak terheran-heran. Ketika
pandangannya membentur sosok Sakuntaladewi orang ini
langsung berteriak girang!
"Sobatku cantik! Ternyata kau ada di sini!"
"Huss! Jangan berteriak! Beri hormat dulu pada orang
tua penghuni ruangan."
"Penghuni ruangan katamu! Hai apakah dia seorang
lelaki gagah?!" Jaka pesolek segera saja keluarkan cermin
dan kotak bedaknya. Setelah berkaca dan memoles bedak
serta pemerah bibir dan merapikan rambut, gadis ini
simpan semua benda itu dan berpaling pada
Sakuntaladewi.
"Mana? Siapa? Mana orang gagah itu?"
Sakuntaladewi geleng-geleng kepala. Dia menunjuk ke
kiri. Jaka Pesolek mula-mula hanya menampak gulungan
rantai merah. Sesaat kemudian baru melihat sosok kakek
yang ada dalam libatan rantai. Si gadis terperangah karena
sebelumnya menyangka yang yang disebut sebagai
penghuni ruangan itu adalah seorang lelaki muda dan
gagah. Ternyata seorang kakek berwajah tengkorak dan
bertubuh seperti jerangkong.
"Gadis berbaju merah, apakah kau masih ingin
kencing?" Orang tua di dalam gulungan rantai merah
bertanya.
Jaka Pesolek menatap tak berkesip. Tersenyum lalu
anggukkan kepala. "Sekarang malah sudah terdesak.
Rasanya sudah diujung-ujung..."
Empu Semirang Biru ikutan tersenyum. Dia meniup ke
arah tubuh Jaka Pesolek. "Tahan dulu kencingmu sampai
nanti."
Jaka Pesolek terperangah. Dia merasa ada hawa dingin
menyapu tubuh. Buru-buru gadis ini memegang bagian
bawah perutnya. Aneh, rasa terdesak ingin kencingnya
telah lenyap. Sambil tersenyum dia berkata.
"Kek, ilmu menahan kencingmu boleh juga. Apa ada
ilmu lain yang lebih mantap.Misalnya membuat besar……”
"Huss! Jangan bicara sembarangan!" Bentak Sakunta-
ladewi. Lalu dia berpaling pada Empu Semirang Biru dan
berkata.
"Empu, ini gadis bernama Jaka Pesolek yang Empu cari."
Sepasang mata Empu Semirang Biru membesar, kening
mengerenyit.
"Dewa Maha besar. Akhirnya orang yang ditunggu sudah
datang." Kata Empu Semirang Biru pula. Tapi sungguh aku
tidak mengira. Yang namanya Jaka Pesolek itu ternyata
adalah seorang gadis cantik."
Jaka Pesolek tersenyum dan terbatuk-batuk. "Kek,
terima kasih atas pujianmu," katanya. "Aku ini manusia
paling beruntung di dunia. Karena dalam ujudku yang
seperti ini sebenamya aku bisa jantan bisa betina."
Kepala Empu Semirang Biru tertegak. Wajah terheran-
heran.
Sakuntaladewi cepat berkata. "Empu, harap jangan
dengarkan ucapannya."
Empu Semirang Biru untuk pertama kalinya keluarkan
suara tertawa.
Tiba-tiba orang tua ini sadar. "Hyang Jagat Bathara
mohon ampunMu. Tidak sepantasnya aku tertawa.
Masalah besar masih menggantung..."
"Empu, orang yang Empu tunggu sudah berada di sini.
Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Bertanya
Sakuntaladewi.
Empu Semirang Biru mengangguk. "Aku ingin bertanya
dulu. Jaka Pesolek, gadis cantik yang pandai menangkap
petir. Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini. Padahal
aku baru menyusun rencana bersama Sakuntaladewi
untuk mencarimu..."
"Waktu berada di Candi Kalasan, tiba-tiba ada cahaya
kuning menyelubungi diriku. Tahu-tahu aku sudah amblas
masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah anehnya aku
seperti berada di alam terbuka saja. Cuma suasananya
memang agak gelap. Lalu ada satu cahaya kuning disertai
gema suara lonceng di kejauhan. Cahaya kuning itu
bergerak ke depan. Aku mengikuti dan akhimya sampai di
tempat ini."
"Cahaya kuning dan suara lonceng?" Ucap Empu
Semirang Biru. "Para Dewa telah menolongmu melalui
kepanjangan tangan seorang anak sakti bernama Mimba
Purana. Aku bersyukur kau bisa selamat sampai di sini.
Kau memang sudah sangat ditunggu-tunggu. Sekarang...."
Belum sempat si orang tua menyelesaikan ucapan tiba-
tiba ada suara perempuan berseru.
"Aku mendengar orang bicara! Tadi ada suara seperti
petir menyambar. Apakah kedatanganku juga sudah
ditunggu?!"
Sesaat kemudian satu bayangan hijau berkelebat
memasuki bagian terang merah Ruang Segi Tiga Nyawa
disertai menebarnya bau harum.
"Hai! Kalian berdua ada di sini rupanya. Tapi mana sang
Kesatria Panggilan?!"
LIMA BELAS
YANG MUNCUL temyata Kunti Ambiri alias Dewi Ular.
Rambut panjang hitam yang tergerai lepas tidak lagi
bermahkota membuat wajahnya tambah cantik. Namun
wajah yang tadi cerah gembira kini kelihatan kecewa
karena tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat
itu. Ketika memandang ke arah Empu Semirang Biru yang
berada dalam gulungan rantai merah, Kunti Ambiri tampak
terkejut. Tapi dia tidak lupa membungkuk memberi
penghormatan.
"Kek, apa yang terjadi denganmu. Kau ini memang
senang nyaman tinggal berada di dalam gulungan rantai
atau kau tengah menjalani hukuman?"
"Tak usah memikirkan diriku." Menyahuti Empu
Semirang Biru. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi dan
bertanya. "Sahabatmu yang baru datang ini, apa dia juga
bisa jantan bisa betina?"
"Weleh! Aku disamakan dengan si pencuri celana dalam
ini! Puiiih!" Ucap Kunti Ambiri sambil menunjuk Jaka
Pesolek lalu tertawa gelak-gelak. Empu Semirang Biru yang
tidak tahu cerita celana dalam itu tentu saja terheran-
heran sementara Jaka pesolek mesem-mesem jengkel.
Kunti Ambiri kembali membungkuk ke arah si orang tua
lalu berkata. "Kek, aku Kunti Ambiri dan aku perempuan
betulan." Lalu gadis dari alam roh ini berpaling ke arah
Sakuntaladewi. "Sahabat, aku lihat pakaianmu hangus di
sisi kanan. Tadi aku mendengar suara menggelegar
disertai kilatan terang seperti petir menyambar. Apa yang
terjadi di sini. Tempat apa ini namanya?"
Sakuntaladewi menunjuk ke atas atap ruangan.
"Tadi aku mencoba mengambil keris yang menancap di
atas sana. Tak terduga senjata itu mengeluarkan cahaya
putih panas menggelegar laksana petir. Untung kakek itu
menyelamatkan diriku..."
Kunti Ambiri memandang ke atas. Yang lain-lain ikut
memperhatikan.
"Keris tidak bergagang. Menancap di atap ruangan. Aku
yakin senjata sakti ini yang oleh dua Sinuhun disebut
sebagai Mahkota di atas Mahkota. Aku mencium hawa
aneh dibalik keharuman yang menebar. Senjata itu dihuni
kekuatan jahat."
"Kau benar Kunti Ambiri," berkata Empu Semirang Biru.
"Mungkin kau belum tahu. Aku membuat keris itu atas
perintah Raja Mataram. Keris bernama Keris Kanjeng
Sepuh Pelangi. Keris dicuri oleh dua Sinuhun dengan
memperalat arwah seorang pertapa sakti bernama Sedayu
Galiwardhana yang saat ini telah menemui kematian untuk
kedua kalinya. Para Dewa menciptakan Ruang Segi Tiga
Nyawa ini untuk melindungi keris. Dua Sinuhun dan kaki
tangannya termasuk anak sakti Dirga Purana tidak mampu
menembus ruangan ini untuk mengambil keris..."
"Tapi Kek, tadi aku mudah saja masuk ke ruangan ini.
Apa ilmu kesaktianku jauh lebih hebat dari dua Sinuhun
dan anak bernama Dirga Purana itu? Berkata Kunti Ambiri
yang membuat Jaka Pesolek mencibir.
"Para Dewa telah membuat aturan," jawab Empu
Semirang Biru. "Siapa saja orang atau mahluk yang
memiliki benjolan di keningnya tidak akan bisa menembus
ruangan ini. Mereka adalah dua Sinuhun dan para
pengikutnya. Tapi mereka tidak tinggal diam. Agar tidak
ada orang yang dapat mengambil senjata itu mereka lalu
memasukkan satu kekuatan jahat ke dalam keris berupa
sambaran petir ganas. Siapa saja yang coba mendekat apa
lagi berniat mengambil keris pasti akan dihantam petir
yang keluar dari dalam keris. Dewa Agung! Keris itu harus
diselamatkan sebelum dua Sinuhun dan lelaki sakti
bernama Dirga Purana bisa menemukan cara untuk
merampasnya. Tapi kekuatan jahat yang ada dalam keris
menjadi penghalang sangat berbahaya. Sakuntaladewi
sudah merasakan..."
"Keris Kanjeng Sepuh Pelangi...." Ucap Kunti Ambiri. Dia
berpaling kembali memperhatikan Sakuntaladewi. Tiba-tiba
gadis kaki satu ini bertanya.
"Kek, berapa jumlah luk keris buatanmu itu?"
"Sembilan." Jawab Empu Semirang Biru.
"Sakuntaladewi, apa yang ada di dalam pikiranmu?" Si
orang tua bertanya.
"Saya merasakan ada sesuatu. Apakah Yang Mulia Raja
Mataram yang minta agar Empu menciptakan keris berluk
sembilan?"
Empu Semirang Biru terpana mendengar pertanyaan si
gadis.
"Tidak. Utusan Sri Baginda Raja Mataram hanya
menyerahkan logam sakti cikal bakal untuk pembuatan
keris. Selagi aku membuat senjata itu seorang kakek aneh
muncul. Dia merubah kedua tanganku menjadi bara api
hingga aku mampu membuat dan membentuk keris dalam
waktu sangat cepat. Ketika keris selesai baru aku sadari
kalau senjata itu memiliki sembilan luk. Sakuntaladewi,
katakan apa yang ada dalam benakmu."
Gadis berkaki satu usap pakaiannya yang hangus. Dari
dalam gulungan rantai besi Empu Semirang Biru berkata.
"Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu." Lalu orang tua
ini meniup ke arah si gadis. Inilah satu-satunya ilmu
kesaktian yang dimilikinya. Pakaian jingga itu masih
tampak hangus namun mati rasa yang dialaminya pada sisi
kanan tubuh lenyap seketika.
"Empu, terima kasih. Lagi-lagi kau menolongku."
"Sakuntaladewi, kau belum menjawab pertanyaanku.
Katakan apa yang ada dalam benakmu. Mengapa kau
menanyakan jumlah luk Keris Kanjeng Sepuh Pelangi?"
"Saya tidak tahu Empu. Hal itu muncul saja dalam jalan
pikiran saya. Saya menaruh dugaan jumlah luk yang
sembilan merupakan..."
"Sudahlah, mengapa membicarakan luk keris itu." Kunti
Ambiri memotong bicara Sakuntaladewi. Lalu pada sang
Empu dia berkata. "Kek, aku ingin sekali menolongmu.
Izinkan aku mengambil keris di atap ruangan."
"Kunti Ambiri, aku tahu kau bukan gadis sembarangan.
Tapi jangan berani mencoba...."
Sebelum selesai si orang tua berucap Kunti Ambiri telah
berdiri dengan dua kaki terkembang. Perut dibusungkan
kedepan.
"Desss!"
Dari pusar Kunti Ambiri melesat keluar seekor ular
hitam besar berkepala putih.
"Ambil keris di atas atap!" Memerintah Kunti Ambiri.
Sambil keluarkan suara mendesis keras ular hitam
kepala putih melesat ke atas atap. Seperti tadi
kejadiannya, pada saat sosok binatang jejadian ini baru
berada sekitar satu tombak di atas lantai ruangan tiba-tiba
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya putih
terang. Lalu terdengar suara menggelegar yang
menggoncang seantero ruangan. Cahaya putih panas
menyilaukan berkiblat.
"Wusss!"
"Blaarr!"
Tubuh ular hitam kepala putih hancur berubah menjadi
puluhan kepingan dikobari api. Luruh jatuh ke lantai
ruangan bersama runtuhan debu clan tanah merah.
Kunti Ambiri terpekik melihat apa yang terjadi. Seperti
kalap dia siap melompat ke atas atap. Dua tangan
dipentang pertanda akan segera melancarkan dua pukulan
sakti.
"Kunti! Jangan! Tetap di tempatmu!" Empu Semirang
Biru berteriak.
Sakuntaladewi cepat menghalangi namun Jaka Pesolek
bertindak lebih cepat. Dengan gerakan kilat dia menelikung
pinggang Kunti Ambiri lalu menjatuhkan diri ke lantai
sambil menarik tubuh gadis alam roh itu.
"Tujuh puluh tahun aku memelihara mahluk itu.
Sekarang dia mati percuma. Lihat saja pembalasanku!"
"Sssttt, mengapa bicara menyebut bilangan tahun
segala. Sama saja kau memberi tahu kalau dirimu
sebenarnya sudah tua bangka!" Berkata Jaka Pesolek
setengah berbisik.
Kunti Ambiri hendak menyemprot. Tapi Jaka Pesolek
mendahului bicara. "Sssshhh, apa kau lupa ucapan Nyi
Loro Jonggrang. Kau sudah berubah jadi orang baik.
Jangan kesusu bertindak. Kita berada di tempat aneh.
Salah bertindak bisa konyol. Biar aku yang akan
mengambil keris di atas atap. Tanganku sudah gatal
karena sudah lama tidak bermain petir-petiran. Yang satu
ini cuma petir kecil. Kalau keris sudah dapat akan aku
berikan padamu biar hatimu senang..."
"Sakuntaladewi, Jaka Pesolek, dengar apa apa yang aku
katakan." Empu Semirang Biru yang sempat mendengar
ucapan Jaka pesolek berkata. "Kalian berdua memang
sudah diatur agar bisa datang ke sini. Sebelumnya aku
menunggu kalian di Candi Kalasan. Tapi keadaan tidak
mengizinkan. Para Dewa memindahkan diriku ke tempat ini
dan membuat Ruang Segi Tiga Nyawa untuk melindungi
diriku dan keris sakti..."
"Kek, mengapa Para Dewa tidak sekalian menolong
memusnahkan rantai besi merah yang melibat sekujur
tubuhmu?" Kunti Ambiri bertanya.
"Semua sudah diatur. Rantai besi ini hanya bisa diputus
oleh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sekarang jangan ada
yang bertanya sebelum aku memberi tahu satu petunjuk
sesuai apa yang aku terima dari satu mahluk sakti.
Sakuntaladewi kau melesatlah ke atap. Seperti tadi keris
sakti yang telah diisi kekuatan jahat pasti akan menghan-
tamkan cahaya kilat seperti petir. Jaka Pesolek, kau punya
kewajiban menangkap petir. Pada saat petir sudah
dilumpuhkan kekuatannya kau Sakuntaladewi cepat
mengambil keris di atas atap..."
"Oala! Mengapa gadis itu! Aku juga bisa melakukan!"
Tiba-tiba satu suara menggema di luar Ruang Segi Tiga
Nyawa.
ENAM BELAS
DARI dinding sebelah kiri mencuat masuk ke dalam
ruangan seorang perempuan berusia lebih dari
setengah abad, rambut hitam agak awut-awutan. Pakaian
kotor. Walau sudah berusia lanjut tapi memiliki tubuh
molek serta wajah cantik.
Melihat Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek,
perempuan yang baru datang yang bukan lain adalah Ratu
Randang langsung menegur.
"Kalian bertiga ternyata ada di sini." Lalu perempuan
yang biasa dipanggil dengan sebutan Ratu atau Nenek ini
berpaling ke arah Empu Semirang Biru, yang terakhir kali
dilihatnya di Istana Raja Mataram sebelum diculik oleh
seseorang.
"Sahabat lama Empu Semirang Biru, tidak kusangka
kau punya tetirahan ditempat ini. Terima salam hormatku."
Setelah membungkuk Ratu Randang mendekati sang
Empu, meraba rantai merah yang menggelung sekujur
tubuh si kakek. "Aku bersedih melihat keadaanmu. Sayang
tingkat ilmuku tidak mungkin aku dapat melepaskan rantai
ini. Aku bisa menduga apa yang terjadi denganmu. Ini pasti
pekerjaan dua Sinuhun jahanam!"
Empu Semirang Biru tersenyum.
"Ratu Randang, aku gembira bisa bertemu denganmu
lagi. Aku baik-baik saja. Jangan kawatirkan diriku. Ratu,
bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Empu
Semirang Biru pula.
"Ketika berada di depan Candi Kalasan sendirian,
menyamar sebagai seekor kucing putih, sekonyong-
konyong ada delapan anak kucing merah melesat dari
langit. Langsung menyerangku." Si nenek memperlihatkan
pakaiannya yang robek serta bekas luka di tangannya.
"Delapan anak kucing merah!" Kata Empu Semirang
Biru pula. "Binatang itu adalah peliharaan anak lelaki jahat
bernama Dirga Purana, junjungan dua Sinuhun."
"Aku juga menduga begitu," jawab Ratu Randang. Lalu
meneruskan ceritanya. "Ketika aku dibuat tak berdaya dan
siap dijadikan mangsa dicabik-cabik tiba-tiba ada orang
menarik tubuhku hingga amblas masuk ke dalam tanah.
Aku memperhatikan. Ternyata orang itu adalah Kumara
Gandamayana, orang kepercayaan Raja Mataram dan juga
sahabatku.Tapi anehnya dia tidak mengaku kalau dirinya
adalah Kumara Gandamayana. Padahal sorban di kepala
dan jubah kelabu serta kasut putih yang dikenakannya
sangat aku kenali. Ketika aku memaksa agar dia
menerangkan siapa dirinya sebenarnya, orang tua itu
malah berkata siapa dirinya bisa ditanyakan pada orang
yang akan aku temui. Aku kemudian disirap hingga tertidur.
Ketika terbangun aku telah berada beberapa langkah dari
tempat ini. Dan ternyata orang yang kutemui adalah dirimu.
Nah, cerita apa yang bisa kau berikan padaku Empu
Semirang Biru?"
Sambil bertanya Ratu Randang melirik ke atap ruangan
dimana masih menancap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Dia
juga memandang berkeliling. Merasa heran tidak melihat
Wiro berada di tempat itu. Padahal sebelumnya sewaktu
masih berada di Candi Kalasan sang pendekar
mengatakan akan menyusul Kunti Ambiri.
"Mengenai kakek bersorban dan berjubah kelabu itu,
dia memang mempunyai banyak pantangan. Salah satu
diantaranya dia tidak akan mau memberi tahu nama. Aku
sendiripun tidak tahu siapa namanya...."
"Oala! Jauh jauh kesini ternyata kau sendiri tidak tahu
siapa nama kakek yang menolongku!" Tukas Ratu
Randang.
"Soal nama tidak penting." Menyahuti Empu Semirang
Biru. "Walau tidak tahu nama tapi aku tahu siapa dia
sebenamya. Dia adalah Embah Buyut dari Kumara
Gandamayana."
Ratu Randang terkejut. "Jadi dia adalah kakek dari
kakek dari kakeknya Kumara Gandamayana. Pantas wajah
kakek itu mirip sekali dengan Kumara Gandamayana. Lalu
pakaian, sorban kelabu serta kasut putihnya juga sama."
"Dia juga adalah orangnya yang menculik aku dari
Istana Mataram. Aku diselamatkan di tempat yang aman
bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang berhasil
direbut kembali dari roh jejadian pertapa Sedayu
Galiwardhana. Para Dewa kemudian memindahkan aku ke
tempat ini karena kawatir dua Sinuhun Muda akan
merampas senjata itu kembali dan membunuh aku. Walau
diriku belum berhasil mereka babisi tapi mereka
membuatku begini rupa. Digulung dengan Rantai Kepala
Arwah Kaki Roh. Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga
Purana ikut membantu mereka..."
"Anak bernama Dirga Purana itu, menurut riwayat dia
adalah saudara kembar anak lelaki sakti Mimba Purana,
Satria Lonceng Dewa."
"Memang begitu riwayatnya Ratu. Dirga Purana tumbuh
sebagai seorang anak jahat, berpihak pada dua Sinuhun.
Mimba Purana menjadi anak baik, berpihak pada Raja
Mataram." Kata Empu Semirang Biru pula.
Ratu Randang menatap ke atap ruangan. "Empu,
senjata sakti yang bakal menjadi Pusaka Istana Mataram
itu, mengapa berada di atas sana?"
"Inilah yang menjadi persoalan," jawab Empu Semirang
Biru. "Karena tidak dapat menguasai senjata sakti itu dua
Sinuhun menyusupkan kekuatan jahat berupa sambaran
kilat atau petir. Siapa saja yang mendekat keris pasti akan
dihantam hangus bahkan leleh!"
"Ooo, kebetulan aku sudah hampir satu hari tidak
bermain petir-petiran. Jika diizinkan biar aku membuntal
petir yang keluar dari dalam keris lalu mengambil senjata
itu." Jaka Pesolek menyeletuk.
"Jaka Pesolek, aku yakin kau bisa memberangus petir
yang keluar dari dalam keris sakti. Itu memang bantuan
yang sangat aku harapkan. Tapi tidak ada orang yang bisa
menyentuh apa lagi mencabut senjata itu dari atas atap
sana kecuali gadis bernama Sakuntaladewi ini."
Semua orang yang berada di ruangan itu sama-sama
terkejut. Jaka Pesolek langsung mendekati Sakuntaladewi
dan berbisik. "Aku cemburu. Keris sakti itu jenis
kelaminnya pasti laki-laki dan ujudnya seorang pemuda
gagah. Kalau tidak mengapa cuma kau seorang yang bisa
meraba dan mencabutnya? Usapan tanganmu pasti
mantap! Dari dulu sebenarnya aku sudah tahu!
Hik...hik..hik?"
Tanpa berpaling Sakuntaladewi mencubit perut Jaka
Pesolek yang berada di belakangnya sampai gadis ini
bergumam kesakitan. Tapi mulutnya masih saja usil. "Nah,
apa kataku. Cubitanmu saja membuat tubuhku glenyer-
glenyer. Ayo cubit lagi. Tapi ke sebelah bawah sedikit! Hik...
hik... hik."
"Dasar pencuri celana!" Kunti Ambiri mendamprat Jaka
Pesolek. "Kau kira ini tempat apa! Orang tengah
menghadapi perkara besar bicara sembarangan!"
Jaka Pesolek mencibir lalu menjauhi Sakuntaladewi dan
Kunti Ambiri.
Saat itu terdengar Ratu Randang bertanya.
"Sahabatku Empu Semirang Biru. Mengapa hanya
sobatku muda Sakuntaladewi yang bisa menyentuh dan
mencabut keris sakti itu?"
"Inilah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Karena keris
sakti konon hanya bisa disentuh dan dicabut dari atas
ruangan oleh seorang gadis yang memiliki cacat tubuh.
Itulah keadilan Yang Maha Kuasa. Setiap insan yang cacat
pasti diberi kelebihan."
Semua orang terkejut mendengar jawaban sang Empu
dan sama-sama memandang ke arah Sakuntaladewi, gadis
yang dua pahanya dempet dan hanya punya satu kaki.
Selagi kesunyian menggantung di dalam Ruang Segi
Tiga Nyawa tiba-tiba di atas atap terdengar suara
mengeong riuh dan keras. Ketika semua orang menatap ke
atas, di luar atap tampak delapan ekor anak kucing
berbulu merah membuka mulut memperlihatkan taring
sambil mementang, cakar kaki depan yang menyerupai
pisau. Tiga dari delapan anak kucing itu bulu merahnya
kelihatan lebih pekat bahkan tampak kehitaman.
"Delapan Sukma Merah...." Desis Empu Semirang Biru.
"Kalian tidak usah takut. Mereka memiliki benjolan di
kening. Mereka tidak akan sanggup menembus masuk ke
dalam ruangan ini...."
"Empu, sebaiknya kita cepat saja mengambil keris itu."
Kata Kunti Ambiri.
Empu Semirang Biru anggukkan kepala, memandang ke
arah Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi. Di atas atap suara
ngeongan delapan anak kucing semakin keras hingga
ruangan terasa bergetar!
Diam-diam Empu Semirang Biru merasa dadanya
berdebar. Orang tua ini membatin. "Bagaimana kalau dua
Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru lalu sanggup
menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Dewa
Agung, lindungi kami semua di ruangan ini. Selamatkan
Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk
jahat."
Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan
kekawatirannya tiba-tiba brakkk!
Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-
robek dipenuhi noda darah. Di wajah ada tiga guratan luka.
"Wiro!"
Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-
sama berteriak. Jaka Pesolek tidak berteriak tapi melompat
lebih dulu menjatuhkan diri di samping sosok yang terbujur
di lantai, langsung memeluknya.
TAMAT
Segera menyusul serlal selanjutnya dengan judul:
SESAJEN ATAP LANGIT
0 komentar:
Posting Komentar