BTemplates.com

Blogroll

Senin, 18 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE DELAPAN SUKMA MERAH


Delapan Sukma Merah



 DELAPAN SUKMA MERAH


Kucing putih terkapar di tangga candi. Seperti 

kesetanan delapan anak kucing merah langsung 

membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat sosok 

kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak bersisa. 

Di atas pohon Ratu Randang yang bersembunyi dibalik 

kerimbunan dedaunan merasa tengkuk menjadi dingin, 

bulu kuduk merinding. Mata tak berkesip menyaksikan apa 

yang terjadi. Dia membayangkan bagaimana nasib dirinya 

kalau tadi sampai terlambat keluar dad sosok kucing putih 

itu. 

"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka? 

Binatang sungguhan atau jejadian? Benjolan merah di 

kening. Jumlah yang delapan. Mereka pasti ada hubungan 

dengan dua Sinuhun keparat itu...!"


SATU


HUJAN rintik-rintik masih terus turun walau langit 

tampak cerah. Candi Kalasan menjulang gagah 

meski banyak bagian candi rusak dan tertutup lumut 

karena tidak terawat. Konon candi ini dibangun puluhan 

tahun silam oleh Raja Kedua dalam silsilah Mataram Kuna 

yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkaran. 

Seperti dituturkan dalam episode sebelumnya (Tabir 

Delapan Mayat) ketika Pendekar 212 Wiro Sableng dan 

Empat Mayat Aneh berada di halaman candi, tiba-tiba 

menggelegar suara mengorok keras. Begitu memandang 

ke bagian belakang candi, Wiro melihat satu sosok raksasa 

menyembul, melebihi tingginya candi! 

Mahluk ini mengenakan jubah biru tak berkancing 

menyibak dada penuh ditumbuhi bulu. Kepala botak 

memiliki sebuah tanduk berwarna merah. Kumis dan 

janggut serta sepasang alis hitam berkilat, mencuat ke 

atas. Mahluk mengerikan ini memiliki sepasang mata 

besar menjorok keluar, berwarna putih dengan titik kecil 

aneh di sebelah tengah. Dari balik candi dia mengangkat 

tangan kiri, menunjuk ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng 

sambil hembuskan nafas yang memerihkan mata.


"Arwah Ketual" Ucap Wiro. Lalu pada Empat Mayat Aneh 

yang ada di dekatnya, Wiro memberi tahu. "Sebelumnya 

mahluk ini bermaksud jahat hendak membunuhku. Kali ini 

kalau dia hendak melakukan kembali, aku tidak perduli 

larangan Sepasang Arwah Bisu! Aku akan menghabisinya!" 

Empat Mayat Aneh saling pandang mendengar ucapan 

Wiro. 

"Pemuda keparat! Lancangnya kau berani menyebut 

langsung namaku! Semua orang di Bhumi Mataram 

memanggilku dengan sebutan Kanjeng!" Arwah Ketua 

memaki marah. Tanduk di kepalanya pancarkan cahaya 

merah terang. 

Wiro pencongkan mulut lalu prett! Keluarkan suara 

seperti orang kentut. 

Mayat Aneh Kedua berkata. "Aku mencium bau amis." 

"Bau amis itu adalah bau amis sosok Ketua Jin Seratus 

Perut Bumi yang disusupkan masuk ke dalam tubuh Arwah 

Ketua. Ini semua perbuatan jahat keji Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. Aku menaruh kasihan pada mahluk 

raksasa ini. Tapi kalau dia memang ingin membunuhku, 

apa boleh buat. Aku terpaksa menghabisinya lebih dulu!" 

"Kalau dalam tubuhnya memang ada roh jahat Ketua 

Jin Seratus Perut Bumi, lebih baik serahkan pada kami. 

Biar kami menguliti!" Kata Mayat Aneh Ketiga lalu memberi 

isyarat pada tiga saudaranya. 

"Kalian akan mengulitinya? Seperti menguliti kerbau?!" 

tanya Wiro sambil menggaruk kepala heran. "Ah, ini satu 

ilmu baru yang ingin sekali aku menyaksikannya!" 

Empat Mayat Aneh saling mendekat lalu tempelkan dua 

tangan satu sama lain. 

"Delapan Pahat Pengikis Arwah!" 

Empat Mayat Aneh serentak sama keluarkan seruan. 

"Sreettt!" 

Gulungan kain putih yang membungkus sepasang


tangan Mayat Aneh bergulung membuka sampai ke 

pergelangan. Delapan tangan tersingkap. 

"Dess! Dess! Dess! Desss!" 

Ujung tangan yang seharusnya berupa lima jari ternyata 

berubah berbentuk sebuah pahat besar. Delapan pahat 

angker terpentang berkilau saking tajamnya. 

Mahluk raksasa Arwah Ketua kembali keluarkan suara 

mengorok. Demikian hebatnya hingga tanah bergetar. 

Mulut menyeringai memperlihatkan gigi dan taring besar 

tajam mengerikan. Tangan kanan diletakkan di bagian atas 

candi lalu mencengkeram seolah siap hendak mematah 

menghancurkan. 

Melihat hal ini Mayat Aneh Kesatu usap mata, Mayat 

Aneh Kedua mengusap mulut sambil menunjuk ke arah 

candi dan berteriak. 

"Mahluk raksasa! Siapapun kau adanya! Jika kau berani 

merusak Candi Kalasan biar kami berempat mewakili 

kemurkaan Para Dewa!" 

"Siapa takut murkanya Dewa!" jawab Arwah Ketua 

takabur. "Junjunganku adalah Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah!" 

"Jelas sudah! Jelas sudah kaki tangan siapa mahluk ini 

adanya!" Berkata Mayat Aneh Keempat. 

Arwah Ketua kembali menyeringai. Tampangnya yang 

angker tampak kaku membesi. Tangan kanan diturunkan 

ke partengahan bangunan candi. Lalu sambil keluarkan 

teriakan menggelegar dia membuat gerakan mendorong. 

"Rrreeekkkkkk!" 

Candi Kalasan bergoyang keras lalu bergeser ke depan 

hampir setengah tombak! Empat Mayat Aneh cepat 

melompat berpencar. Dua ke samping kiri candi, dua 

lainnya ke sebelah kanan candi. Sementara Wiro sendiri 

menyaksikan apa yang dilakukan Arwah Ketua terkagum-

kagum, sesaat jadi lupa kalau mahluk raksasa ini punya


niat hendak membunuhnya. 

"Saudara-saudaraku! Saat menguliti sudah tiba! 

Lakukan sekarang juga!" Berteriak Mayat Aneh Kesatu. 

Empat Mayat Aneh kemudian melesat ke udara. 

Delapan tangan berbentuk pahat menderu ke arah Arwah 

Ketua. 

"Mahluk-mahluk salah ujud! Kalian memang sudah 

saatnya disingkirkan dari Bhumi Mataram untuk selama-

lamanya!" Membentak Arwah Ketua. Dua tangan dipentang 

ke udara. Dua telapak tangan dikembang lalu digerakkan 

dibolak balik! Tidak ada sambaran angin, tidak ada 

getaran, bahkan tidak ada suaral Namun saat itu juga 

Empat Mayat Aneh dapatkan diri mereka yang tengah 

melesat di udara dan hanya tinggal sepejangkauan dari 

sosok lawan tiba-tiba mengapung tak mampu bergerak. 

Naik tidak, turunpun tidak! 

"Ilmu Menahan Angin Menggantung Arwah!" Teriak 

Mayat Aneh Kesatu yang mengenali nama ilmu kesaktian 

yang dikeluarkan Arwah Ketua untuk menyerang diri dan 

tiga saudaranya. 

"Celaka kita semua!" Berteriak Mayat Aneh Ketiga. 

"Pelihara mulut hanya bicara kebaikan! Mengapa 

menyumpahi diri sendiri! Pergunakan akal! Menangkal 

serangan memakai kesaktian lawan! Lekas kalian 

menyirap membayangkan Batu Asmasewu yang ada dalam 

tubuh Arwah Ketua! Pasti tembus!" Yang berteriak adalah 

Mayat Aneh Kedua. 

Batu Asmasewu adalah sebuah batu sakti luar biasa, 

berukuran seujung ibu jari tangan, berwarna hijau 

bergemerlap. Batu sakti ini selalu dibawa kemana-mana 

oleh Arwah Ketua karena berada di dalam rongga dadanya. 

Setelah berteriak, diikuti oleh tiga saudaranya Mayat 

Aneh Kedua pejamkan mata membayangkan sosok tubuh 

Arwah Ketua di bagian dada!


"Celaka!" Mayat Aneh Keempat berteriak. 

Menyusul Mayat Aneh Ketiga berseru. "Batu Asmasewu 

tidak terlihat di dalam tubuh mahluk raksasa itu!" 

"Jangan-jangan sudah digasak Sinuhun keparat!" Teriak 

Mayat Aneh Kesatu. 

Arwah Ketua yang masih berada di belakang Candi 

Kalasan tertawa bergelak. 

"Ajal kalian sudah di depan mata! Ha ...ha...ha!" 

Mayat Aneh Keempat gerakkan tangan hendak 

menekap bagian bawah perut tapi sampai saat itu dia 

sama sekali tidak mampu menggerakkan tangan ataupun 

kaki. Namun mahluk ini tidak kehabisan akal. 

"Air Dosa Penangkal llmu Gaib!" Teriak Mayat Aneh 

Keempat. 

Tiga Mayat aneh lainnya tersentak kaget lalu! 

"Rrrrttttt! " 

"Edan!" Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak kaget 

ketika menyaksikan apa yang terjadi. Gulungan kain putih 

yang membungkus bagian bawah perut Empat Mayat Aneh 

bergulung membuka. Empat burung lucu tak bersayap 

mencuat keluar lalu serrrrr! Empat larik air kencing 

menderu deras ke arah sosok Arwah Ketua. 

"Jahanam kurang ajar!" Arwah Ketua memaki marah. 

Tampangnya yang garang tampak berubah. Sementara 

Empat Mayat Aneh tertawa haha-hihi. Arwah Ketua 

keluarkan suara mengorok keras. Mahluk raksasa ini cepat 

melompat mundur menghindari siraman empat larik air 

kencing. Namun serangan aneh berupa semburan air 

kencing itu tidak semuanya dapat dihindari! 

Arwah Ketua menggeliat dan berteriak keras ketika ada 

sebagian curahan air kencing menyiprat mengenai pipi kiri 

serta membasahi bahu kanan. 

"Tembus!" Teriak Mayat Aneh Keempat.


DUA


BEGITU air kencing mengenai kepala dan bahunya, 

ilmu kesaktian Arwah Ketua Menahan Angin 

Menggantung Arwah yang menguasai Empat Mayat Aneh 

sera merta menjadi musnah. Saat itu juga Empat Mayat 

Aneh mampu menggerakkan lagi dua tangan dan kaki. 

Sementara gulungan kain putih di bagian bawah perut 

kembali bertaut, Empat Mayat Aneh melesat dua tombak 

ke atas, jungkir balik satu kali lalu secepat kilat melayang 

turun ke arah Arwah Ketua. Delapan tangan berbentuk 

pahat besar dan luar biasa tajam menderu mengerikan. 

Arwah Ketua mengorok marah. Dua tangan dipentang 

untuk melindungi diri dengan ilmu yang disebut Seribu 

Arwah Menutup Awan Memagar Langit. Namun delapan 

tangan berbentuk pahat besar keburu menyusup. Lalu 

terdengar suara sett...sett berulang kali disertai teriakan 

kesakitan menggelegar dari mulut Arwah Ketua. Dari 

tempatnya berdiri Wiro hanya melihat cahaya delapan 

pahat berkiblat tiada henti. Beberapa kejapan mata berlalu 

tiba-tiba braakkk! 

Satu benda aneh terkapar di halaman candi, tepat di 

depan Pendekar 212 Wiro Sableng membuat murid Sinto 

Gendeng tersurut kaget dua langkah. Hidung mencium bau 

amis luar biasa santar. Mata mendelik memperhatikan. 

Padahal saat itu dia tengah memikirkan sesuatu. Yaitu air 

kencing Empat Mayat Aneh yang mampu memusnahkan 

ilmu kesaktian Arwah Ketua. Dia coba mengingat-ingat dan 

menghubungkan hal yang barusan disaksikan dengan satu 

kejadian lain di masa lalu. Namun jalan pikirannya jadi 

buyar. Ketika dia menatap ke depan, astaga! 

Satu benda aneh menyerupai kulit binatang teronggok


di tanah setinggi pinggang. Bagian yang berasal dari kepala 

memiliki cula merah, kumis, alis serta janggut hitam. 

Bagian dada dipenuhi bulu! Lalu ada bagian membentuk 

dua tangan dan kaki. Wiro merasa tengkuknya merinding 

dingin. 

"Ilmu menguliti mahluk.... Delapan Pahat Pengikis 

Arwah," ucap Wiro dengan suara bergetar. "Apa ini benar 

tubuh Arwah Ketua yang telah dikuliti? Lalu mana ujud 

asalnya? Mana tulang belulangnya? Tidak ada daging, 

tidak ada darah!" 

Wiro melirik ke arah Empat Mayat Aneh. Empat mahluk 

itu ternyata dalam keadaan tegak mematung. Gulungan 

kain putih yang menutup kepala, di bagian mulut tampak 

berwarna merah. Wiro terkejut. 

"Mereka terluka di dalam...." 

Baru saja Wiro keluarkan ucapan tiba-tiba satu benda 

merah panas menyala laksana ular besar dan panjang 

melesat ke arah lehernya. 

Walau belum jelas mengetahui benda apa yang 

menyerang Wiro cepat jatuhkan diri sambil menghantam 

dengan pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung. 

Satu raungan keras menggelegar di tempat itu. 

Memandang ke depan Wiro melihat sosok Ketua Jin 

Seratus Perut Bumi yang kaki kirinya buntung sebatas 

paha terjajar beberapa langkah ke belakang. Benda merah 

panas yang bukan lain adalah lidah panjangnya putus di 

sebelah tengah. Bagian yang terlampar ke udara berubah 

menjadi kobaran api lalu lenyap. Bagian lidah yang masih 

berada dalam mulut kepulkan asap merah disertai 

hamparan bau amis! 

"Mahluk jahanam dari alam delapan ratus tahun 

mendatang! Hari ini aku mengadu nyawa denganmu!" 

Ketua Seratus Jin Perut Bumi keluarkan ancaman. 

Suaranya sember karena lidah telah menjadi pendek. Dua 

tangan dipentang. Didahului teriakan keras mendadak 

sontak dua lengan menjulur panjang dan sepuluh jari 

mencuat berubah menjadi cakar elang raksasa!


"Breettt!" 

Baju Pendekar 212 robek di bagian dada terkena 

sambaran cakar tangan kiri Ketua Seratus Jin Perut Bumi. 

Empat Mayat Aneh yang baru saja selesai mengobati 

luka dalam mereka dengan cara menghimpun hawa sakti 

gaib berseru kaget. 

"Sahabat! Biar kami habisi mahluk laknat alam roh ini!" 

Teriak Mayat Aneh Ketiga. 

"Yang satu ini bagianku!" Jawab Wiro lalu tidak 

menunggu lebih lama dia melesat ke udara. Dua kaki 

menderu mengirimkan tendangan berantai ke arah muka 

Ketua Seratus Jin Perut Bumi. 

"Praakk.... praakk!" 

Wajah Ketua Seratus Jin Perut Bumi remuk di bagian 

dagu dan pipi kiri. Namun sosoknya tetap berdiri malah 

menggereng garang seperti harimau terluka. Hebatnya, 

dagu dan pipi yang hancur sesaat kemudian kembali 

bertaut seperti semula! Tampang menyeringai, mulut 

terbuka lalu meniup! 

"Wusss!" 

Satu gelombang angin amis berwarna kehitaman 

menderu menyambar ke arah Pendekar 212. Bersamaan 

dengan itu dua tangan Ketua Jin Seratus Perut Bumi 

berkelebat ke depan. Gerakan yang luar biasa cepat nyaris 

menelikung tubuh Wiro kalau Empat Mayat Aneh tidak 

menghalangi dengan serangan delapan tangan yang masih 

berbentuk pahat besar! 

"Crass! Crasss!" 

Dua pahat menghunjam lengan kiri kanan. Ketua Jin 

Seratus Perut Bumi mengerang pendek lalu dukk! Kaki 

kanannya yang masih utuh berhasil menendang Mayat 

Aneh Ketiga hingga mencelat mental dan jatuh di atas peti 

mati. Megap-megap sebentar lalu diam tak berkutik, entah 

mati entah sudah menemui ajal! 

Tiga Mayat Aneh lainnya berteriak marah. Mereka siap 

menyerbu namun Wiro yang tidak mau membuang waktu 

segera berteriak.


"Sahabat bertiga lekas menyingkir!" 

"Kau mau melakukan apa? Mahluk keparat ini telah 

membunuh saudara kami Mayat Aneh Ketiga. Biar kami….. 

" Berteriak Mayat Aneh Keempat. 

"Kalau begitu kalian lekas menolong Mayat Aneh Ketiga 

sebelum rohnya minggat!" balas berteriak Wiro. 

Tiga Mayat Aneh merasa kurang senang. Ketika mereka 

memandang ke arah Wiro. Saat itulah mereka melihat satu 

cahaya putih menyilaukan menderu dahsyat keluar dari 

tangan kanan pemuda yang mereka kenal dengan sebutan 

Kesatria Panggilan itu. 

Mayat Aneh Keempat cepat dorong dua saudaranya 

hingga terpelanting jatuh lalu dia sendiri jatuhkan diri 

bergulingan di tanah. 

"Wusss!" 

Sinar putih menderu dahsyat. Seantero halaman Candi 

Kalasan mendadak sontak menjadi panas luar biasa. 

Melihat datangnya serangan dahsyat begitu rupa dan 

sebelumnya sudah mengetahui sampai dimana kehebatan 

ilmu kesaktian Wiro, Ketua Jin Seratus Perut Bumi tidak 

berani membalas serangan dengan serangan pula. 

Secepat kilat dia amblaskan diri ke dalam tanah. Tapi baru 

sebatas pinggul masuk ke dalam tanah, Pukulan Sinar 

Matahari menghajar tubuhnya! 

Maka terjadilah satu pemandangan mengerikan. Tubuh 

sebelah atas Ketua Seratus Jin Perut Bumi hancur lebur 

menjadi puluhan cabikan gosong! Sosok sebelah bawah 

yang amblas di dalam tanah kepulkan asap menebar bau 

amis. 

Tiga Mayat Aneh tidak memperhatikan apa yang terjadi 

dengan Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Mendengar teriakan 

Wiro tadi mereka memang jadi kawatir akan keadaan 

Mayat Aneh Ketiga. 

Mayat Aneh Kedua berbisik. 

"Tugas kita membawa gadis kaki satu itu sudah selesai. 

Soal orang tua yang dulu menyuruh kita tidak ada di sini itu 

bukan urusan kita lagi! Lebih baik kita segera menolong


Saudara Ketiga dan pergi dari sini!" 

Tiga Mayat Aneh lantas belompatan ke arah peti mati. 

Sesaat kemudian peti itu mengeluarkan suara menderu. 

Dari bagian dasar peti menyembur cahaya hitam 

kecoklatan. Di lain kejap peti mati telah melesat tinggi ke 

udara. 

Wiro merasa hanya meminta Tiga Mayat Aneh menolong 

saudaranya, bukan pergi meninggalkan tempat itu. Ketika 

dia hendak berteriak memanggil tiba-tiba wuttt! 

Dari dalam tanah melesat kutungan tubuh bagian 

bawah Ketua Jin Seratus Perut Bumi. Kaki kiri buntung 

sebatas paha. Ketika Wiro memperhatikan kaki kanan 

mahluk jin ini kejutnya bukan kepalang. Kaki kanan yang 

masih utuh sebatas lutut kebawah tampak berwarna putih 

perak serta mengeluarkan hawa panas. "Kaki itu seperti 

tanganku yang menyirap Pukulan Sinar Matahari," pikir 

Pendekar 212. Bagaimana mungkin!" 

Tiba-tiba kaki kanan menendang ke depan. 

"Wuss!" 

Selarik sinar putih menyilaukan dan menghampar hawa 

panas menyerupai Pukulan Sinar Matahari, bedanya yang 

datang ini berupa tendangan, menderu ke arah Wiro. 

"Gila!" Teriak Wiro.


TIGA


KETIKA cahaya putih panas yang menyerang Wiro 

berkiblat di udara sekonyong-konyong ada orang 

berseru. 

"Kalian bermain petir-petiran! Mengapa aku tidak 

diajak!" 

Lalu ada teriakan susulan. 

"Manusia tolol! Lekas menyingkir! Kau mau mampus! itu 

bukan petir!" 

Seorang mengenakan pakaian merah muda melesat 

turun dari atas satu pohon besar di halaman Candi 

Kalasan. Tidak perduli peringatan orang dia tetap saja 

berkelebat menyongsong datangnya sambaran cahaya 

putih perak panas menyilaukan yang melesat dari kaki 

kanan Ketua Seratus Jin Perut Bumi. Lalu dengan kedua 

tangannya ujung cahaya putih ditangkap, dibuntal sambil 

berguling-guling di tanah! Tertawa haha-hihi seperti anak 

kecil yang kegirangan bermain-main! 

Siapa lagi yang punya kemampuan aneh, hebat dan gila 

seperti itu kalau bukan gadis langka Jaka Pesolek yang 

berjuluk Si Penangkap Petir! Sebelumnya dia juga pernah 

menangkap serangan Lentera Iblis yang dilancarkan 

Pangeran Matahari alias Kesatria Roh Jemputan yang 

disangkanya petir. Saat itu Jaka Pesolek tidak mengalami 

cidera sebaliknya pecahan serangan Lentera Iblis 

memusnahkan puluhan Jin Perut Bumi. Sang Ketua sendiri 

putus paha kirinya ( Baca serial sebelumnya berjudul "Jaka 

Pesolek Penangkap Petir") 

Selagi Wiro masih terkesiap kaget sekaligus kawatir 

kalau kali ini Jaka Pesolek akan menemui celaka karena


membuntal Sinar Matahari, Ketua Seratus Jin Perut Bumi 

yang sosoknya hanya berupa buntungan sebatas pinggang 

ke bawah memutar tubuh ke arah si gadis. Di udara 

terdengar suara bentakan keras. 

"Mahluk jahanam! Banci keparat! Kau membunuh 

puluhan anak buahku! Kau juga yang membuat kaki kiriku 

buntung! Kau muncul tanpa kucari! Sekarang kau ikut aku 

ke neraka alam roh! Tapi nyawamu harus minggat dulu dari 

tubuhmu yang salah kaprah!" 

Kaki kanan yang masih berwarna putih perak dan panas 

kembali menendang. Kali ini tanpa menyemburkan cahaya. 

Namun jika sampai menghantam Jaka Pesolek pada 

bagian dada yang diincar, kejap itu juga gadis itu akan 

meregang nyawa dengan dada jebol tembus sampai ke 

punggung, tubuh hangus! 

Wiro yang merasa dirinya telah diselamatkan Jaka 

Pesolek dari serangan balik Sinar Matahari yang 

dilancarkan Ketua Seratus Jin Perut Bumi melompat satu 

tombak ke udara lalu dari atas melepas pukulan sakti 

Tangan Dewa Menghantam Tanah ke arah kutungan tubuh 

Ketua Seratus in Perut Bumi. Namun dia kalah cepat 

dengan Jaka Pesolek yang punya gerakan kilat. 

Marah karena dirinya dimaki banci keparat Jaka 

Pesolek berteriak. 

"Ihhh! Tubuh tinggal sepotong! Mulut saja tidak punya! 

Masih bisa bicara tak karuan! Ini makan pencarianmu!" 

Jaka Pesolek kemudian lemparkan buntalan cahaya 

putih yang ada di kedua tangannya. 

"Wusss!" 

Cahaya putih yang sebenamya adalah cahaya Pukulan 

Sinar Matahari menderu ke depan lalu! 

"Blaarr!" 

Satu letusan dahsyat menggelegar. Potongan tubuh 

Ketua Seratus Jin Perut Bumi bertaburan ke udara dalam 

bentuk ratusan keping tulang dan daging! Asap hitam bau 

amis mengepul memenuhi halaman Candi Kalasan. Di 

kejauhan terdengar suara mahtuk meraung beberapa kali.


Ketika suara raungan lenyap dan asap hitam pupus, lapat-

lapat terdengar suara aneh. Suara kucing mengeong, 

banyak sekali! 

Wiro yang masih mengapung di udara dan tadi hendak 

melepaskan pukulan sakti untuk menghajar potongan 

tubuh Ketua Seratus Jin Perut Bumi sesaat merasa 

tercekat namun kemudian cepat-cepat melayang turun 

mendatangi Jaka Pesolek yang tertelentang di tanah 

dengan tubuh mengepul. Wiro ulurkan tangan untuk 

membantu si gadis bangkit berdiri. Ketika tangannya 

bersentuhan dengan tangan Jaka Pesolek, Wiro tersentak 

kaget dan kibas-kibaskan tangannya. Tangan Jaka Pesolek 

panas laksana api! 

"Oala! Aku belum mengeluarkan sisa panas di dalam 

tubuhku." Kata Jaka Pesolek. Nafas ditahan di bagian perut 

lalu berlahan-lahan mulut meniup. Kepulan asap putih 

panas keluar dari dalam mulut, liang hidung dan telinga. 

Sesaat kemudian tampak gadis ini tersenyum. 

"Sobatku hebat! Kau tidak apa-apa?" Tanya Wiro yang 

saat itu masih dalam keadaan membungkuk. 

"Ah, aku senang bertemu kau lagi," jawab Jaka Pesolek 

lalu enak saja dua tangannya dipagutkan ke leher Wiro. Si 

gadis berusaha menarik Wiro ke bawah agar wajah mereka 

saling bersentuhan. 

Tiba-tiba ada suara teriakan. 

"Jaka Pesolek! Awas di belakangmu!" 

"Wiro ada serangan cahaya merah di depanmu!" 

Wiro yang dalam keadaan membungkuk tersentak 

kaget. Ketika dia mengangkat kepala di atasnya berkelebat 

ganas delapan larik cahaya merah pekat. 

"Serangan Delapan Arwah Sesat Menembus Langit!" 

Kembali ada yang berteriak. 

Kedudukan dirinya tidak memungkinkan Wiro untuk 

menangkis serangan ganas itu. Yang bisa dilakukannya 

adalah segera menjatuhkan diri, bergulingan di tanah 

bersama Jaka Pesolek. 

Sinar merah menyambar. Hampir bersamaan dari


sebuah pohon besar melesat dua larik sinar lain. Satu 

bercahaya biru, satu lagi berwarna hijau. Kelihatannya dua 

sinar ini berusaha menangkis atau memotong serangan 

cahaya merah. Namun cahaya merah melesat lebih cepat. 

"Bummm!" 

Delapan dentuman menggelegar secara bersamaan. 

Saat itu juga di halaman Candi Kalasan tampak menguak 

delapan lobang besar dikobari api. Tanah yang atau 

muncrat ke udara berhamburan ke bawah mengotori tubuh 

serta pakaian Wiro dan Jaka Pesolek. 

"lhhh! Aku takut! Ada orang membuat liang kubur untuk 

kita! Tapi mengapa sampai delapan?!" Jaka Pesolek 

keluarkan ucapan sambil kencangkan rangkulannya di 

tubuh Wiro. 

"Gadis konyol! Kau sudah diselamatkan! Sekarang 

jangan pergunakan kesempatan mau bersuka-sukaan! 

Pura-pura ketakutan tapi niatmu sebenarnya hanya ingin 

memeluk pemuda itu!" 

Dua orang berkelebat dari atas pohon besar. Salah 

seorang diantaranya menarik dua tangan dan kaki Jaka 

Pesolek yang dirangkulkan ke punggung dan pinggang 

Pendekar 212. 

"Hik...hik! Siapa yang mau bersuka-sukaan?! Enak saja 

bicara!" 

Jaka Pesolek terpaksa lepaskan rangkulan lalu 

melompat bangun sementara Wiro juga sudah berdiri 

sambil mesem-mesem. Keduanya membersihkan tanah 

yang menutupi pakaian dan mengotori rambut serta wajah. 

Memandang berkeliling keduanya melihat di tempat itu kini 

telah ada Ratu Randang dan Kunti Ambiri alias Dewi Ular. 

Jaka Pesolek tahu kalau yang tadi bicara adalah Ratu 

Randang. Setelah mencibir pada si nenek dia berkata. 

"Nek, aku tahu kau cemburu. Tapi jangan kelewatan. 

Aku baru sekali ini memeluknya. Kau sendiri sudah 

puluhan kali menciumnya! Hik...hik!" 

Wajah si nenek cantik bersemu merah. "Gadis bengal! 

Jaga mulutmu! Jangan sampai kutampar!" Mengancam


Ratu Randang. 

Jaka Pesolek menyahuti. "Nek, kita sudah senasib. Kita 

sudah bersahabat, jangan galak-galak padaku." 

Wiro garuk-garuk kepala. Sekali memperhatikan dia 

melihat kalau bulu-bulu halus seperti kumis tipis di atas 

bibir Jaka Pesolek tidak ada lagi. Lalu dia menoleh ke arah 

Kunti Ambiri yang berdiri sambil memegang delapan 

kuntum kecil Bunga Matahari. 

"Heran, mengapa wajah gadis alam roh ini tampak 

jernih ayu tidak galak seperti biasanya? Di tangannya ada 

delapan Bunga Matahari kecil. Dari mana dia 

mendapatnya?" Wiro membatin. Ketika dia berpaling pada 

Ratu Randang, kembali Wiro terheran-heran. Dilihatnya 

nenek itu lebih cantik dan lebih muda dari sebelumnya. 

Raut tubuhnyapun tampak lebih molek. 

"Nek..." 

"Apa?! Barusan matamu kulihat jelalatan memandang. 

Ayo, ada apa?!" 

"Anu Nek...Hemmm, bibirmu kulihat tidak jontor lagi." 

"Kalau tidak jontor memangnya kenapa? Apa kau mau 

membuat jontor lagi?!" 

"Nek! Kau sendiri mengundang pemuda ini untuk 

bersuka-sukaan! Jelas kau mau minta dicium `kan?!" Jaka 

Pesolek berteriak yang segera dibentak oleh Ratu 

Randang. 

Wiro berpaling pada Dewi Ular. 

"Kunti, kau menyuruhku datang ke Candi Kalasan ini. 

Ketika aku pertama kali sampai di sini aku menemui 

Empat Mayat Aneh. Aku sengaja rnenyelinap masuk ke 

dalam peti mati. Ternyata peti itu kosong. Sahabat kita 

Dewi Kaki Tunggal tidak ada di dalam peti. Lalu muncul 

mahluk raksasa bernama Arwah Ketua...." 

"Kami bertiga sempat melihat apa yang terjad di sini. 

Kami berada di atas pohon besar sana," menjawab Kunti 

Ambiri. "Cuma mengenai lenyapnya Dewi Kaki Tunggal 

memang merupakan satu hal yang mengherankan...." 

Tiba-tiba Wiro ingat pada sosok Arwah Ketua yang tadi


dikuliti Empat Mayat Aneh. Onggokan kulit tubuh, tangan, 

kaki serta kepala Arwah Ketua masih tidak bergeser dari 

tempat semula. Puluhan lalat entah dari mana datangnya 

mengerubungi. 

"Apa yang akan kita lakukan dengan onggokan kulit 

ini?" Wiro minta pendapat. 

"Mengapa dipusingkan? Bakar saja!" Berkata Jaka 

Pesolek. 

Tiba-tiba terdengar suara mengorok keras. Seperti 

orang marah. Siapa yang mengorok tidak ketahuan. 

Keempat orang itu sama-sama terkejut dan saling 

pandang. Wiro perhatikan lagi onggokan kulit setinggi 

pinggang lalu gelengkan kepala. 

"Aku melihat onggokan kulit itu seperti hidup. Apa kalian 

tidak melihat ada gerakan berdenyut-denyut?"


EMPAT


KEMBALI terdengar suara mengorok. Kali ini lebih 

perlahan dan halus. 

"Kita datang kesini bukan untuk mengurusi kulit busuk 

itu," kata Jaka Pesolek. "Lagi pula bukankah mahluk itu 

sebelumnya hendak membunuhmu?!" 

"Dia bertindak diluar sadar karena dirasuk mahluk jin 

yang dimasukkan Sinuhun keparat ke dalam tubuh dan 

otaknya. Jin itu sudah menemui ajal di tanganmu, kita 

harus menolong Arwah Ketua. Jika dia hidup lagi aku rasa 

sifatnya kembali seperti semula. Bukan mahluk jahat. 

Mungkin dia bisa membantu kita," kata Wiro pula. 

"Menolongnya? Oala! Apa yang kini terjadi atas dirinya 

sudah pantas diterimanya sebagai hukuman dari Para 

Dewa!" Menyahuti Jaka Pesolek. 

"Wiro, bagaimana kita menolongnya? Kau bisa 

melakukan apa?" Ratu Randang bertanya. 

Wiro menggaruk kepala. Dia menatap ke arah candi. 

Lalu memandang ke langit. 

"Terus terang aku sendiri memang tidak tahu 

bagaimana menolong mahluk ini. Mungkin untuk 

sementara kulitnya kita masukkan saja ke dalam Candi 

Kalasan biar rohnya tenang dan tidak gentayangan." 

Saat itu terdengar lagi suara mengorok halus. Wiro 

melirik ke arah onggokan kulit tubuh Arwah Ketua. Hatinya 

bimbang tapi nyata-nyata suara mengorok itu datang dari 

arah onggokan kulit. 

"Candi adalah bangunan suci. Tidak pantas menjadi 

tempat mahluk busuk dan jahat seperti Arwah Ketua!" Lagi-

lagi Jaka Pesolek mengatakan ketidak senangannya.


Wiro menggaruk kepala kembali. Ketika pandangannya 

membentur delapan kuntum kecil Bunga Matahari di 

tangan Dewi Ular maka diapun bertanya. 

"Kunti, dari mana kau dapat delapan Bunga Matahari 

kecil itu. Aku ingat bunga yang besar dibawa kabur Jaka 

Pesolek. Sekarang dimana bunga itu." 

Jaka Pesolek mengangkat bahu. 

"Bunga Matahari besar telah berubah menjadi delapan 

Bunga Matahari kecil" Menerangkan Dewi Ular. 

"Bagaimana mungkin?" 

"Nyi Loro Jonggrang yang melakukan." 

Saat itu Wiro lebih memperhatikan raut wajah serta 

sikap Dewi Ular dari pada mendengarkan apa yang 

diucapkannya. Raut wajah gadis cantik ini tidak garang 

seperti yang selama ini dilihatnya. Sikapnya tidak kaku dan 

sombong. Lalu gerak geriknyapun tampak anggun. Dan 

kemudian Wiro juga menyadari kalau nada suara si gadis 

terdengar agak lembut. 

"Wiro, apakah kau mendengarkan apa yang barusan 

dikatakan Kunti Ambiri?" Ratu Randang bertanya, diam-

diam merasa tidak suka melihat Wiro memperhatikan si 

gadis lama-lama dan hampir tidak berkesip. 

"Ya, aku mendengar, Nek." Jawab Wiro. Lalu pada Dewi 

Ular dia bertanya. "Kunti, Nyi Loro Jonggrang 

itu...maksudmu patung Nyi Loro Jonggrang di Candi 

Prambanan?" Dewi Ular mengangguk. 

"Patung itu muncul dari dalam telaga. Luar biasa hebat 

dan hidup. Bisa bergerak bisa bicara." Kata Dewi Ular pula. 

Wiro jadi ingat ketika atas permintaan Sakuntaladewi 

alias Dewi Kaki Tunggal dia membawa Bunga Matahari 

besar dan Ni Gatri menemui patung Nyi Loro Jonggrang di 

Candi Siwa yang berada di kawasan Prambanan. (Baca 

serial Wiro Sableng berjudul "Sepasang Arwah Bisu") 

"Luar biasa. Bagaimana ceritanya?!" Tanya Wiro pula. 

"Kunti sebaiknya segera saja kau beritahu pada Wiro 

apa yang telah terjadi. Jangan lupa menyampaikan pesan 

Nyi Loro Jonggrang." Berkata Ratu Randang.


Kunti Ambiri kemudian menceritakan mulai dari saat dia 

bersama Ratu Randang dan Jaka Pesolek berada di satu 

telaga lalu tiba-tiba muncul patung Nyi Loro Jonggrang. 

"Patung cantik dan sakti itu menolong dan memberi 

berkah pada kami bertiga. Nyi Loro Jonggrang pula yang 

merubah Bunga Matahari besar hingga menjadi delapan 

Bunga Matahari kecil. Nyi Loro kemudian menyuruh kami 

agar cepat-cepat datang ke Candi Kalasan ini. Ada pesan 

untukmu dan delapan Bunga Matahari kecil ini harus aku 

serahkan padamu." 

Wiro ingat ucapan kakek sakti Kumbara Gandamayana 

tentang Candi Kalasan. Dia ingin mengetahui apa ada 

kaitan antara yang dikatakan Nyi Loro Jonggrang dan yang 

pemah diucapkan Dewi Ular. "Kunti, tunggu dulu. 

Sebelumnya kau juga mengatakan akan menungguku di 

candi ini. Apakah itu ada hubungannya dengan permintaan 

Nyi Loro Jonggrang." 

Dewi Ular menggeleng lalu menerangkan. "Aku minta 

kau datang ke sini karena ketika masih berhubungan 

dengan dua Sinuhun, aku pernah mendengar mereka 

bercakap-cakap dan mengatakan Candi Kalasan akan 

mereka jadikan sebagai salah satu benteng dan tempat 

rahasia dari keberadaan satu benda sangat bertuah." 

"Benda apa?" tanya Wiro. 

"Aku tidak pasti." Jawab Dewi Ular. "Mereka menyebut 

benda itu Mahkota di atas Mahkota." 

"Mahkota Kerajaan masih ada di tangan Sri Maharaja 

Rakai Kayuwangi." Ratu Randang ikut bicara. 

Tiba-tiba Dewi Ular ingat sesuatu. Dia menggerakkan 

tangan kiri meraba ke atas kepala dimana berada sebuah 

mahkota kecil terbuat dari perak berbentuk kepala ular, 

bermata batu mustika hijau. Mahkota perak ini adalah 

pemberian Sinuhun Merah Penghisap Arwah pengganti 

mahkota asli yang terbuat dari emas. Seperti diketahui 

pada waktu itu baik Sinuhun Merah maupun Sinuhun 

Muda sama-sama berpantang tidak boleh bersentuhan 

dengan emas murni. Saat itu Dewi Ular baru menyadari


keanehan bahwa mahkota masih ada di atas kepalanya 

padahal sebelumnya dia bersama mahkota perak telah 

tercebur ke dalam telaga. 

"Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku memakai mahkota 

ini. Nyi Loro mengatakan aku telah berubah secara lahir 

dan batin. Aku mohon jangan ada lagi pada semua sahabat 

yang ada di sini memanggilku dengan nama Dewi Ular..." 

Wiro terheran-heran mendengar ucapan Dewi Ular. 

Dalam hati Wiro berkata. "Aneh, tapi kelihatannya gadis ini 

benar-benar telah mengalami perubahan. Mudah-mudahan 

saja dia tidak menipu." 

Habis keluarkan ucapan Dewi Ular tanggalkan mahkota 

perak dari atas kepala lalu dilempar ke tanah. Tidak 

sengaja mahkota yang dilempar jatuh di atas onggokan 

kulit tubuh Arwah Ketua. Saat itu juga mahkota perak 

mental ke udara. Lima tombak di atas tanah mahkota 

meledak. Puluhan kepingan berubah menjadi asap kuning 

bercampur hitam lalu lenyap dari pemandangan. Onggokan 

kulit tubuh Arwah Ketua tampak bergerak-gerak sementara 

suara mengorok terdengar berulang kali. Tiba-tiba saja 

Wiro ingat pada ilmu kesaktian yang dimilikinya yaitu yang 

didapat dari Ratu Duyung. 

Dengan cepat Wiro menerapkan Ilmu Menembus 

Pandang. Saat itu juga dia melihat, di dalam onggokan kulit 

ada sosok Arwah Ketua mengkerut bergelung. Wajah 

tampak memelas. Sepasang mata menatap sayu ke arah 

Wiro. Mulut terbuka bergerak-gerak. Lalu sayup-sayup Wiro 

mendengar ngiangan suara di telinganya. 

"Aku mohon, masukkan aku ke Candi Kalasan. Lakukan 

dengan tendangan kaki kanan. Jangan mempergunakan 

lebih dari sepertiga tenaga dalammu. Dari Candi Kalasan 

aku akan mencari jalan sendiri ke tempat kediamanku di 

Candi Miring. Aku tidak akan melupakan budi baikmu." 

"Arwah Ketua...apakah kau yang barusan bicara?" Wiro 

bertanya ingin meyakinkan. 

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara 

mengorok halus.


"Wiro,kau barusan bicara dengan siapa?" Ratu Randang 

bertanya. Ketika tadi Arwah Ketua mengeluarkan ucapan, 

nenek ini dan juga Kunti Ambiri hanya mendengar suara 

perlahan tidak jelas. 

Wiro tidak perdulikan pertanyaan Ratu Randang 

melangkah mendekati onggokan kulit. Sambil melangkah 

dia melihat ke jurusan pintu depan Candi kalasan yang 

berada dalam jarak sekitar lima tombak dari onggokan 

kulit. 

"Aku diminta tolong. Aku harus menendang. Aku harus 

mempergunakan tidak lebih dari sepertiga tenaga dalam. 

Mengapa?" 

Kembali Wiro menerapkan Ilmu Menembus Pandang. 

Walau onggokan kulit masih bergerak berdenyut-denyut 

namun di dalamnya Wiro tidak melihat lagi sosok Arwah 

Ketua. Setelah membuang kebimbangan yang ada dalam 

hatinya Wiro lakukan apa yang dikatakan Arwah Ketua. 

"Wuuuuttt!" 

Kaki kanan menendang ke arah onggokan kulit. 

Puluhan lalat yang mengerubung beterbangan lenyap ke 

udara. 

"Dess!" 

Wiro merasa seperti menendang tumpukan kapas!


LIMA


GUNDUKAN besar onggokan kulit mencelat ke udara 

lalu melesat ke arah pintu depan Candi Kalasan. 

Hanya satu jengkal onggokan kulit itu akan lenyap 

masuk ke dalam Candi Kalasan mendadak dari langit 

sebelah timur menyambar delapan larik sinar merah. 

"Delapan Arwah Sesat Menembus Langit menyerang 

lagi! Awas ada cahaya kuning menyertai!" Teriak Ratu 

Randang. Si nenek langsung pukulkan dua tangan ke 

udara. Dua cahaya biru berkiblat. Dewi Ular juga tidak 

tinggal diam. Sambil sedikit merunduk dia menghantam ke 

atas. Dua sinar hijau menggebubu. 

"Kalian menyingkir saja. Biar aku menangkap serangan 

gila itu!" Jaka Pesolek berteriak. Tapi sebelum sempat 

bergerak bahunya telah dipegang Wiro dengan tangan kiri 

sementara tangan kanan melepas Pukulan Tangan Dewa 

Menghantam Matahari. Satu cahaya putih menyambar ke 

udara. 

Langit laksana runtuh, tanah bergetar hebat. Candi 

Kalasan bergoyang-goyang ketika bentrokan beberapa 

sinar sakti menimbulkan dentuman dahsyat, menggelegar 

dua kali disertai taburan cahaya api. Wiro dan Jaka Pesolek 

jatuh terduduk ke tanah. Si gadis langsung terkulai 

pingsan. Wiro cepat menolong. Di tempat lain Dewi Ular 

dan Ratu Randang terhempas jatuh, megap-megap 

beberapa saat sebelum mampu berdiri dengan wajah 

pucat. 

Wiro turunkan tangan kanan yang tadi memukul. Di 

kejauhan tiba-tiba terdengar lagi suara aneh,suara kucing 

mengeong riuh. 

"Nek, Kunti, kalian terluka di dalam..." Wiro berseru. 

"Aku baik-baik saja," jawab Ratu Randang.


"Aku juga!" ucap Dewi Ular. 

Kedua perempuan yang berpura-pura ini tersenyum lalu 

sama mengusap pinggiran mulut yang ada lelehan 

darahnya. 

"Ada kekuatan lain menyertai serangan Delapan Arwah 

Sesat Menembus Langit," kata Ratu Randang. 

"Aku juga melihat. Ada cahaya kuning agak redup 

melapisi cahaya merah!" kata Wiro. Melihat akibat yang 

ditimbulkan yaitu sampai ketiga orang itu menderita cidera 

Wiro yakin kalau kekuatan yang menyertai serangan 

delapan sinar merah tadi bukan cuma berasal dari Sinuhun 

Muda atau Sinuhun Merah.Tapi ada satu kekuatan lain 

yang lebih dahsyat. 

"Ah sayang aku tidak bisa menangkap delapan petir itu!" 

Terdengar ucapan Jaka Pesolek yang baru saja siuman 

setelah ditolong Wiro. 

Ratu Randang dan Dewi Ular cepat-cepat mengobati 

luka dalam masing-masing dengan cara mengerahkan 

tenaga dalam dan hawa sakti ke dada. Wiro membantu 

dengan menempelkan telapak tangan kiri kanan ke 

punggung kedua orang itu sambil mengerahkan tenaga 

dalam dan hawa sakti. Setelah batuk-batuk beberapa kali 

baik Ratu Randang maupun Dewi Ular tampak cerah merah 

kembali wajah mereka. 

"Kalian bertiga, apakah tadi juga mendengar suara 

kucing mengeong?" Wiro bertanya. 

Jaka Pesolek menggeleng. "Mana mungkin ada kucing 

di sekitar sini." 

Ratu Randang clan Dewi Ular sama-sama mengatakan 

bahwa mereka memang mendangar suara kucing 

mengeong. Dan ini merupakan kali kedua suara aneh itu 

terdengar. 

Wiro tiba-tiba ingat pada onggokan kulit Arwah Ketua 

yang tadi ditendangnya. Apakah berhasil masuk ke dalam 

Candi Kalasan atau musnah terkena serangan delapan 

sinar merah. Dengan cepat dia berlari ke arah candi 

langsung masuk ke dalam. Jaka Pesolek, Ratu Randang


dan Dewi Ular sesaat saling pandang lalu menyusul 

mengikuti Wiro. 

Di dalam candi sama sekali tidak ditemukan onggokan 

kulit Arwah Ketua. Namun pada salah satu dinding dalam 

candi terlihat guratan membentuk tulisan berbunyi : Jangan 

tinggalkan candi. Mahkota di atas Mahkota ada di sini. 

Sesuatu akan terjadi pada saat sang surya berada di titik 

tertinggi. Arwah Ketua. 

"Onggokan kulit Arwah Ketua lenyap. Menurut kalian 

apakah guratan tulisan ini benar Arwah Ketua yang 

membuat? Bagaimana kalau ada satu mahluk lain 

melarikan kulit Arwah Ketua lalu membuat tulisan sebagai 

jebakan?" Wiro bertanya sambil memandang pada tiga 

orang di hadapannya. 

Jaka Pesolek hendak menjawab tapi Ratu Randang 

memberi isyarat agar dia menutup mulut. 

"Mungkin aku bisa mencari tahu dan membuktikan apa 

gurat tulisan itu memang Arwah Ketua yang membuat." 

Kata Ratu Randang lalu melangkah mendekat dinding. Dua 

telapak tangan dikembang dan diusapkan di atas dinding 

candi tepat di permukaan guratan tulisan. Dua kaki 

digeser-geser ke lantai batu. Perlahan-lahan mulutnya 

berucap menyebut nama ilmu yang akan disirap. "Tangan 

Langit Kaki Bumi." 

Tiba-tiba dess! 

Gurat tulisan di dinding candi mengepulkan asap 

kelabu. Bersamaan dengan itu sayup-sayup terdengar 

suara mengorok. 

"Tulisan di dinding memang Arwah Ketua yang 

membuat." Berkata Ratu Randang sambil menurunkan 

kedua tangan dan mengusap wajah. 

Wiro merasa lega. "Berarti mahluk raksasa itu berada 

dalam keadaan selamat dan saat ini dia tengah dalam 

perjalanan ke Candi Miring tempat kediamannya." 

"Bagaimana kau tahu kalau Arwah Ketua tinggal di 

Candi Miring?" tanya Ratu Randang. 

"Ketika masih berbentuk onggokan kulit, dia memberi


tahu padaku lewat suara mengiang," jawab Pendekar 212. 

Dia kembali memperhatikan tulisan di dinding. "Kalian mau 

menunggu sampai tengah hari seperti yang ditulis Arwah 

Ketua?" Wiro bertanya. 

"Sebaiknya memang begitu," jawab Ratu Randang. 

"Mahkota di atas Mahkota, aku masih tidak mengerti 

apa yang dimaksudkan." Dewi Ular berkata sambil duduk di 

tangga candi. 

"Kalau aku bicara jangan kalian melecehkan," berkata 

Jaka Pesolek. 

"Memangnya kau mau bicara apa?" tanya Dewi Ular. 

Dewi Ular bertanya baik-baik, tapi Jaka Pesolek 

menjawab dengan bergurau mempermainkan. 

"Sobatku cantik, maksudku aku belum mau bicara soal 

celana dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang. Aku belum 

akan memberikannya padamu. Selain masih enak dan 

sejuk celana ini mantap dipakainya. Hik...hik...hik!" 

Tahu dipermainkan Dewi Ular tenang-tenang saja balas 

mempermainkan Jaka Pesolek. 

"Silahkan kau pakai dan jangan dicuci-cuci. Apa kau 

tidak tahu itu bukan celana dalam sembarangan? Anumu 

bisa berjamur dan gatalan! Anumu bisa ubanan! 

Hik...hik...hik!" Dewi Ular lalu lalu tertawa cekikikan. 

"Jaka Pesolek, apa sebenarnya yang hendak kau 

katakan?!" Ratu Randang bertanya. 

"Ah, kalau kau yang bertanya Nek, aku mau memberi 

jawaban apa adanya," sahut Jaka Pesolek. Lalu si gadis 

menyambung. "Menurut pengertianku, yang disebut 

Mahkota di atas Mahkota itu adalah sebuah benda yang 

jauh lebih berharga dari Mahkota Raja Mataram. Dan 

seperti yang ditulis si mahluk raksasa benda itu ada di 

Candi Kalasan sini." 

Wiro perhatikan wajah si gadis dan dalam hati 

membatin. "Gadis ini bukan cuma pandai menangkap petir 

tapi otaknya juga jalan." Wiro lalu berkata pada yang lain-

lainnya. "Empat Mayat Aneh membawa Dewi Kaki Tunggal 

ke tempat ini. Sayang mereka sudah pergi hingga tak bisa


ditanyai. Tapi sebelum pergi mereka memberi tahu bahwa 

ada seseorang yang menyuruh mereka membawa Dewi 

Kaki Tunggal ke sini. Menurut mereka orang itu adalah 

seorang Empu bernama Semirang Biru..." 

Ratu Randang keluarkan suara tertahan. Wiro berpaling 

pada si nenek. "Nek Ratu, apa kau kenal Empu itu?" 

"Cukup kenal. Dia adalah Empu yang diperintahkan Sri 

Maharaja Mataram untuk membuat sebuah senjata sakti 

berupa sebilah keris yang diberi nama Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi." 

"Hal itu memang dijelaskan oleh Empat Mayat Aneh," 

kata Wiro pula. "Tapi Empat Mayat Aneh tidak sempat 

meneruskan keterangan karena tiba-tiba muncul Arwah 

Ketua yang ujudnya telah disusupi Ketua Jin Seribu Perut 

Bumi." ` 

"Kalau aku boleh bicara lagi," tiba-tiba Jaka Pesolek 

menyeletuk. Sebelum meneruskan ucapan dia keluarkan 

cermin pemberian Nyi Loro Jonggrang. Setelah mematut 

rambut dan wajahnya baru dia berkata. "Kalau aku boleh 

mengemukakan pendapat, jangan-jangan keris sakti itu 

yang dikatakan sebagai Mahkota di atas Mahkota oleh dua 

Sinuhun. Dan senjata itu ada di Candi Kalasan. Tapi di 

sebelah mana? Di dalam candi, di luar, di halaman, di 

bawah...." 

"Sudah! Jaka Pesolek jangan kau nyerocos terus!" Dewi 

Ular memotong ucapan Jaka Pesolek sambil layangkan 

pandangan ke ujung barat halaman luas Candi Kalasan. 

Parasnya berubah ketika pandangan mata membentur 

sosok seseorang yangberlari cepat ke arah candi. Saking 

cepatnya dua kakinya seolah tidak menyentuh tanah 

sementara debu beterbangan di belakangnya. 

"Hai! Lihat! Ada orang datang!" Dewi Ular berdiri. 

"Astaga! Bagaimana mungkin! Sendirian pula!" 

Kurang dari sekejapan mata orang itu sudah sampai di 

depan tangga Candi Kalasan. Sadar berhadapan dengan 

siapa Dewi Ular cepat-cepat membungkuk memberi hormat 

walau hatinya bertanya-tanya.


ENAM


RATU RANDANG dan Jaka Pesolek segera 

menghambur ke pintu depan candi begitu 

mendengar seruan Dewi Ular. Wiro untuk beberapa lama 

masih memperhatikan keadaan bagian dalam candi 

berusaha mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan 

petunjuk. 

Ketika sampai di ambang pintu candi, Jaka Pesolek dan 

Ratu Randang sama terkejut. Orang yang tengah diberi 

penghormatan oleh Dewi Ular dan berdiri di depan tangga 

candi bukan lain adalah Sri Maharaja Mataram Rakai 

Kayuwangi Dyah Lokapala. 

Ratu Randang buru-buru menuruni tangga. Sampai di 

hadapan Raja dia juga membungkuk hormat seraya 

berkata. 

"Yang Mulia, saya gembira melihat Yang Mulia tidak 

kurang suatu apa. Tapi kalau saya boleh bertanya 

bukankah Yang Mulia sebelumnya diantar Rauh Kalidathi 

melakukan perjalanan ke satu tempat rahasia? Saya 

merasa heran tiba-tiba Yang Mulia muncul di sini seorang 

diri, di tempat sejauh ini. Tanpa seorang pengawalpun..." 

"Aku memang telah sampai di tempat rahasia itu. 

Semua dalam keadaan selamat. Keadaan aman. Atas 

petunjuk seseorang aku perlu segera ke sini." Jawab Raja 

sambil matanya melirik ke arah delapan Bunga Matahari 

kecil yang ada di tangan Dewi Ular. 

"Yang Mulia, bukan saya hendak berlaku lancang. Kalau 

boleh bertanya siapa orang yang memberi petunjuk itu dan 

apa yang akan Yang Mulia lakukan?" Bertanya Ratu 

Randang. 

Raja Mataram usap dagunya yang ditumbuhi janggut


kasar hitam. "Aku...aku tidak bisa memberi tahu padamu 

siapa orang itu Ratu Randang. Tapi aku ke sini untuk 

menjemput Jaka Pesolek. Gadis berpakaian merah muda 

itu." 

Mendengar Raja datang untuk menjemput dirinya, 

walau agak heran, senangnya Jaka Pesolek bukan main. 

Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan Raja lalu 

berlutut. 

"Saya merasa sangat terhormat kalau Yang Mulia 

datang ke sini untuk menjemput saya. Menjemput mau 

dibawa kemana, saya menurut saja..." Jaka Pesolek 

kedipkan mata dan basahi bibir dengan ujung lidah. 

"Jaka Pesolek, berdirilah. Aku ingin kau membawaku ke 

satu tempat dimana Ni Gatri berada. Gadis yang diculik itu 

dalam keadaan bahaya. Kau memiliki ilmu gerakan kilat. 

Kita harus cepat sampai kesana..." 

"Yang Mulia, saya senang Yang Mulia mempercayai 

saya. Perintah Yang Mulia tentu saja akan saya 

laksanakan. Tapi mohon maaf. Bagaimana mungkin saya 

mampu membawa diri Yang Mulia yang begini besar dan 

berat….” 

"Kau tak usah kawatir. Aku akan memanggulmu. Kau 

hanya mengerahkan ilmu kepandaianmu untuk membuat 

kita bisa melesat laksana kilat. Dan kau tahu, tempat yang 

bakal kita datangi itu banyak petirnya." 

Wajah Jaka Pesolek tampak berseri girang mendengar 

kata-kata terakhir sang Raja Mataram. 

"Kalau begitu kata Yang Mulia saya menurut saja." Kata 

Jaka Pesolek. Lalu gadis itu keluarkan kaca kecil dan kotak 

hiasnya. Dengan cepat dia membedaki wajah, menebalkan 

alis dan memerahkan bibir. 

"Jaka, simpan peralatanmu. Kita harus segera pergi." 

Raja Mataram jadi tidak sabaran melihat apa yang 

dilakukan Jaka Pesolek. 

"Maafkan saya Yang Mulia. Tapi saya hendak berjalan 

bersama Raja Mataram. Rasanya tidak pantas kalau wajah 

celemongan dan rambut acak-acakan," kata Jaka Pesolek


pula sambil tersenyum lalu setelah mematik dan mengatur 

rambut, cepat-cepat menyimpan cermin dan kotak bedak. 

Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng telah muncul di 

ambang pintu candi. Jaka Pesolek dilihatnya tengah 

hendak dipanggul oleh seorang lelaki tinggi besar 

mengenakan mahkota. Wiro segera mengenali kalau orang 

itu adalah Raja Mataram. 

"Jaka Pesolek! Kau mau pergi kemana?!" Wiro berteriak 

bertanya. 

"Tidak usah dijawab, kita harus pergi cepat. Sekarang 

juga!" Raja berbisik pada Jaka Posolek. Si gadis 

condongkan tubuh, siap merangkul dan naik ke bahu Raja 

yang siap memanggulnya. 

"Aneh, Raja Mataram muncul seorang diri padahal 

seharusnya ada di Sumur Api bersama Rauh Kalidhati, 

mungkin juga sudah ditemani kakek sakti Kumara 

Gandamayana. Gadis itu mau dibawa kemana? Mengapa 

dia tidak menjawab pertanyaanku?" Berpikir sampai di sini 

dan mendadak muncul rasa syak wasangka dalam hatinya, 

entah mengapa Pendekar 212 segera saja merapal aji 

kesaktian. Begitu pandangannya membentur sosok Raja 

Mataram kaget Wiro bukan alang kepalang sampai dia 

berteriak keras. Tidak menunggu lebih lama dia segera 

melompat ke halaman candi. Sambil melompat Wiro 

berteriak. 

"Jaka! Cepat jauhi orang itu!" 

"Hai! Ada apa ini? Raja hendak..." 

Ucapan Jaka Pesolek terputus karena saat itu dengan 

tangan kirinya Wiro mendorong si gadis dengan satu 

pukulan jarak jauh sementara tangan kanan lancarkan 

jurus pukulan Di Balik Gunung Memukul Halilintar, 

ditujukan ke arah Raja Mataram. 

Ratu Randang dan Dewi Ular tentu saja kaget melihat 

apa yang dilakukan Wiro. Namun dalam kagetnya untuk 

beberapa ketika mereka hanya tertegun berdiam diri. 

Serangan yang dilancarkan Wiro dengan telak menghajar 

kepala Raja Mataram hingga mahkotanya remuk dan


tercampak jatuh sementara sosoknya terjengkang di tanah. 

Namun kepala sang Raja tetap utuh tanpa cidera 

sedikitpun! 

Sosok Raja yang terkapar di tanah cepat berdiri lalu 

sekali lompat saja dia sudah berada di hadapan Jaka 

Pesolek. Tangan kanan diangkat. Dari ujung ibu jari muncul 

cahaya merah terang yang dengan cepat berubah 

membentuk lingkaran besar berupa roda bergigi tajam 

berkilauan. Dengan suara menderu roda bergigi ini 

menyambar ke arah Jaka Pesolek. Sekali tubuh si gadis 

kena dilibas pasti akan hancur terkutung-kutung 

mengerikan! 

"Cakra Dewa Membersih Bumi!" Ucap Ratu Randang 

kaget. Lalu berkata pada Dewi Ular. "Kunti, setahuku Raja 

tidak pernah memiliki ilmu aneh seperti itu!" 

"Orang hendak mencelakai sahabat Jaka Pesolek! 

Jangan berdiam diri!" Teriak Dewi Ular yang akhirnya sadar 

melihat apa yang terjadi dan berteriak keras. Lalu wuuttt! 

Dari pusarnya melesat keluar sosok besar seekor ular 

hitam kepala putih. Dengan cepat binatang ini menyusup 

ke bagian bawah roda merah bergigi dan menyundul tiga 

kali. 

"Tringg...tring...tring!" 

Tiga kali bunga api bermuncratan. 

Roda merah terpental setengah tombak ke atas tapi 

masih terus menyambar ke arah Jaka Pesolek walau kini 

lebih tinggi dari sasaran hingga serangannya hanya 

mengenai udara kosong. 

"Jaka! Lekas menyingkir! Sembunyi di balik pohon besar 

sana!" Teriak Ratu Randang. 

"Kau punya ilmu gerakan kilat! Mengapa tidak 

dipergunakan!" Menyusul berteriak Dewi Ular. 

Mendengar teriakan kedua orang itu Jaka Pesolek 

segera berkelebat ke balik pohon besar. Roda besar bergigi 

tiba-tiba membuat gerakan berputar lalu, melesat 

mengejar ke arah Jaka Pesolek. 

"Wusss!" Crasss!" "Braakk!"


TUJUH


POHON besar putus di bagian tengah lalu tumbang 

dengan suara bergemuruh. Terdengar Jaka Pesolek 

menjerit lalu suara jeritannya lenyap. 

Raja Mataram gerak-gerakkan ujung ibu jari tangan 

kanan. Di udara roda merah bergigi berputar-putar di atas 

tumbangan pohon. Agaknya tengah mencari Jaka Pesolek. 

Ketika tidak berhasil menemukan gadis itu, roda bergigi 

berputar dan kini melesat ke arah Pendekar 212 Wiro 

Sableng sementara Raja Mataram tampak berdiri dengan 

dua kaki renggang, tubuh tak bergerak dan ibu jari tangan 

kanan terus diacung ke atas mengendalikan arah gerakan 

senjata dahsyatnya. 

"Yang Mulia, hentikan serangan!" Dewi Ular berteriak. 

Raja Mataram hanya menyeringai. Ibu jari ditudingkan 

lurus ke arah Wiro. Membuat gerak serangan roda merah 

menjadi dua kali lebih cepat! 

"Celaka Kunti!" teriak Ratu Randang. "Jangan-jangan 

Raja sudah berada dibawah kuasa dan kendali dua 

Sinuhun!" Lalu nenek ini coba memotong serangan roda 

bergigi dengan pukulan sakti bernama Di Dalam Gelap 

Tangan Penghukum Membelah Jagat. Selarik cahaya biru 

berkiblat. Begitu cahaya biru membentur roda merah satu 

letusan dahsyat menggelegar. Cahaya merah dan biru 

saling menyabung di udara. Ratu Randang terpekik, tubuh 

terbanting ke tanah. Walau sanggup berdiri dengan cepat 

namun tampak wajahnya pucat pasi. Dewi Ular cepat 

mendatangi dan memeriksa. Ternyata si nenek tidak 

menderita cidera. Di udara cahaya biru lenyap. Sebaliknya 

cahaya roda merah kembali menderu dan meneruskan 

serangan ke arah Wiro.


Menyaksikan apa yang terjadi Wiro segera melepas 

pukulan Tangan Dewa Menghantam Batu Karang.Yang 

diarah adalah roda merah bergigi. Cahaya putih membeset 

ke udara. Seperti tadi satu letusan keras menggelegar, kali 

ini lebih dahsyat. Roda merah terpental dua tombak ke 

udara tapi tetap utuh bahkan kembali melesat turun untuk 

menyerang Wiro! 

Wiro sendiri saat itu walau hanya merasa getaran kecil 

di dada, namun dapatkan dua kakinya melesak sampai 

setengah jengkal ke dalam tanah. Ketika melihat roda 

merah bergigi kembali menderu ke arahnya, sang 

pendekar kertakkan rahang. 

"Pukulan sakti Datuk Rao tidak mempan. Apa aku harus 

lagi-lagi menghantam dengan Pukulan Sinar Matahari?" 

Pikir Wiro. Ketika dia siap merapal aji pukulan sakti itu dan 

ujung tangan kanannya mulai berubah menjadi seputih 

perak mendadak dari samping kanan set ...set:..set 

melesat sepuluh benda aneh berwarna hitam berbelang 

merah. Ternyata benda itu adalah sepuluh ekor ular. 

"Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi! Pasti Kunti 

Ambiri!" Wiro berkata dalam hati. Dia pernah melihat dan 

mengenali ujud sepuluh ular. Dia melirik rucap dalam hati 

seraya melirik ke arah Dewi Ular. Wiro melihat gadis alam 

roh ini berdiri dengan dua kaki merenggang, kepala 

menyondak. Dari sepuluh liang yang ada di kepala dan 

tubuhnya tampak asap hitam bercampur merah mengepul. 

Karena memang sepuluh ekor ular ganas itu keluar dari 

dua liang hidung, dua mata, dua lobang telinga, mulut, 

pusar, dubur dan kemaluan. 

Sambil berdiri Dewi Ular acungkan jari tangan kanan. 

Ibu jari mencuat ke atas sama seperti yang dilakukan Raja 

Mataram. Mulut berucap perlahan. 

"Anak-anak, santapanmu adalah ujung jari Raja 

Mataram! Itu pangkal bahala!" 

Sepuluh ular merah hitam yang melesat di udara 

kibaskan buntut, kepala mendongak, mulut mendesis. 

"Wutttt!”


Sepuluh mulut ular bertaring luar biasa tajam disertai 

semburan racun sangat jahat menyambar ke arah ibu jari 

tangan kanan Raja Mataram yang sampai saat itu masih 

diacungkan ke udara. 

"Greeekk!" 

Raja Mataram menjerit keras ketika ibu jari tangan 

kanan sampai setengah bagian telapak lenyap diterkam 

sepuluh ular. Darah menyembur sementara sepasang kaki 

Raja tampak goyah dan terhuyung ke belakang. Di langit 

tiba-tiba ada cahaya kuning kemerahan berkelebat disertai 

suara riuh kucing mengeong. 

"Blaarr!" 

Roda merah bergigi meledak. Kepingannya 

menghunjam masuk ke dalam tanah. 

Wiro yang tadi hendak menyerang Raja Mataram 

dengan Pukulan Sinar Matahari kini hantamkan pukulan 

sakti pada cahaya kuning merah yang menyerang dirinya. 

Untuk kesekian kalinya kawasan Candi Kalasan dilanda 

gelegar suara letusan dahsyat. Halaman bergetar, 

bangunan candi nampak bergoyang. Tanah dan debu 

beterbangan ke udara. Dalam keadaan seperti itu Raja 

Mataram pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. 

Sekali menjejak tanah seharusnya dia sudah mampu 

melesat ke udara. Namun gerakannya lamban. Dua kaki 

seperti diganduli batu. Tangan kanan yang putus masih 

mengucurkan darah hitam pekat. Itu pertanda racun ular 

sudah merasuk di seluruh pembuluh darahnya. 

Raja Mataram keluarkan teriakan keras seolah putus 

asa. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh berlutut di tanah. 

Ketika ada satu bayangan samar terlihat di dalam 

tubuhnya, saat itu pula Pendekar 212 Wiro Sableng 

melompat ke hadapan Raja sambil lancarkan tendangan 

kaki kanan. 

"Praakk!" 

Kalau sebelumnya tendangan Wiro tidak mampu 

menciderai kali ini kepala Raja Mataram remuk 

mengerikan. Sosok terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.


Sekujur tubuh tampak hitam berbelang merah. Racun 

Sepuluh Ular Akhirat Turun Ke Bumi sungguh luar biasa 

jahat. Kalaupun kepalanya tidak hancur dilanda tendangan 

Wiro, sang Raja tetap saja tidak akan mampu bertahan 

hidup dari ganasnya racun ular! 

"Celaka! Kita telah membunuh Raja Mataram!" Ratu 

Randng keluarkan suara tercekat. Dewi Ular tertegun tak 

bergerak. Wiro garuk-garuk kepala sambil berkata. 

"Para sababat, jangan kawatir. Tidak satupun dari kita 

yang telah membunuh Yang Mulia Raja Mataram." 

"Kau...kau bicara apa Wiro? Kau saksikan sendiri..." 

Ratu Randang hentikan ucapannya sewaktu Wiro 

menunjuk ke arah tubuh Raja yang tergelimpang di 

halaman candi. Belum sempat Wiro mengatakan sesuatu, 

saat itu terjadi keanehan. Asap kelabu tiba-tiba mengepul 

keluar dari mayat Raja. Begitu kepulan asap menghilang 

tertiup angin, sosok mayat Raja ikut lenyap. Di tanah kini 

tampak tergelimpang sosok mayat seorang tua berpakaian 

selempang kain putih. Kepala hancur tapi tidak ada darah 

membasahi wajah ataupun pakaiannya. 

Ratu Randang keluarkan suara tercekat. Tangan kanan 

kemudian ditekapkan ke mulut. 

Wiro berpaling. 

"Ratu, kau kenal siapa adanya orang tua ini?" Tanya 

Wiro pada si nenek. 

Ratu Randang anggukkan kepala. Turunkan tangan 

yang menutup mulut, menarik nafas dalam baru bicara.


DELAPAN


KAKEK ini bernama Sedayu Galiwardhana. 

Menerangkan Ratu Randang. "Menurut Empu 

Semirang Biru ketika berada di Istana Mataram kakek 

inilah yang mencuri Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Tapi 

sebenarnya dia sudah menemui ajal terbunuh beberapa 

tahun silam...." (Agar lebih jelas mengenai riwayat Sedayu 

Galiwardhana, harap baca serial "Mimba Purana. Satria 

Lonceng Dewa") 

"Berarti arwahnya telah dihisap oleh Sinuhun Merah, 

dimunculkan kembali ke dunia nyata, dikuasai lalu 

dikendalikan." Berkata Dewi Ular. 

"Kau benar Kunti," sahut Ratu Randang. Si nenek 

berpaling pada Pendekar 212. "Wiro, aku menduga kau 

sebelumnya sudah tahu kalau sosok Raja yang tadi datang 

kesini bukan Raja Mataram sungguhan. Benar begitu?" 

Bertanya Ratu Randang. 

"Benar Nek. Ketika aku menerapkan Ilmu Menembus 

Pandang, aku melihat sosok kakek ini dalam tubuh Raja. 

Lalu semuanya berlangsung serba cepat. Aku tidak sempat 

memberitahu." 

"Akan kita apakan mayat kakek ini?" bertanya Dewi Ular. 

"Tidak perlu diapa-apakan. Ujudnya akan segera lenyap 

kembali ke alam roh..." Berujar Ratu Randang. Baru saja si 

nenek selesai berucap tiba-tiba di kejauhan terdengar 

suara ngeongan kucing. 

Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang, menatap ke 

arah datangnya suara mengeong tadi yaitu di udara lepas 

sebelah barat sana. Walau dia tidak melihat apa-apa 

namun sepasang matanya terasa agak perih dan denyutan 

jantung menyentak.


Dewi Ular memandang berkeliling lalu berkata. 

"Suara kucing mengeong itu. Aku sudah mendengar 

beberapa kali. Aku punya dugaan jangan-jangan binatang 

itu ada sangkut paut dengan ...." 

Tiba-tiba ada suara bergemerisik disusul teriakan 

seseorang. 

"Aku terpendam di bawah dedaunan lebat. Mengapa 

tidak ada sahabat yang menolong?!" 

"Astaga! Itu suara Jaka Pesolek!" Ratu Randang lalu lari 

ke arah pohon besar yang tumbang. Wiro dan Dewi Ular 

menyusul. Dari balik daun pohon yang lebat tampak Jaka 

Pesolek berusaha menyeruak keluar. 

Meski ikut menolong tapi Dewi Ular tersenyum mesem-

mesem melihat keadaan si gadis. Rambut awut-awutan, 

wajah kacau balau, pakaian kotor dan ada yang robek di 

sebelah bahu serta punggung. 

"Ihhh! Ada semut rangrang merah!" Pekik Jaka pesolek 

ketika dilihatnya banyak semut rangrang besar menjalar di 

bagian perut pakaiannya. 

"Tidak apa-apa. Semut itu tidak akan menggigitmu 

karena kau pakai celana dalam dari Nyi Loro Jonggrang!" 

Kata Dewi Ular pula. "Kalau kau tidak percaya coba saja 

masukkan semut-semut itu ke dalam celanamu! 

Hik...hik...hik!" 

Jaka Pesolek julurkan lidahnya. 

"Nek, aku punya dugaan Sinuhun Merah sengaja 

mendatangkan jejadian kakek yang sudah mati itu dalam 

ujud Raja Mataram sengaja hendak membunuh Jaka 

Pesolek." 

"Jaka, kau punya silang sengketa apa dengan kakek 

bernama Sedayu Galiwardhana itu?" Bertanya Dewi Ular 

pada Jaka Pesolek. 

"Kenal saja tidak. Kapan matinyapun aku tidak tahu. 

Bagaimana mungkin aku punya silang sengketa dengan 

kakek itu," jawab Jaka Pesolek pula. 

"Tapi orang hendak membunuhmu, pasti ada 

alasannya." Ucap Ratu Randang.


Jaka Pesolek hanya mengangkat bahu. Lalu sadar akan 

keadaan dirinya yang tidak karuan rupa karena barusan 

keluar dari timbunan lebat daun pohon besar, gadis ini 

segera ambil kaca dan kotak hiasnya. 

"Kalau Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dicuri kakek itu dan 

dia tahu-tahu muncul di sini, bisa saja senjata sakti milik 

Raja Mataram itu berada di sekitar sini. Mungkin di dalam 

Candi Kalasan" Wiro tatap wajah tiga orang di hadapannya. 

Lalu menyambung ucapannya. "Aku ingat tulisan Arwah 

Ketua di dinding yang memberi tahu bahwa Mahkota di 

atas Mahkota ada di dalam candi. Mungkin apa yang aku 

duga dan apa yang tadi dikatakan Jaka Pesolek benar 

adanya. Keris sakti yang diumpamakan sebagai Mahkota di 

atas Mahkota itu ada di Candi Kalasan. Bagaimana kalau 

kita masuk lagi ke dalam candi untuk menyelidik." 

"Tulisan Arwah Ketua di dinding candi. Apakah peristiwa 

mahluk jejadian hendak membunuh Jaka Pesolek tadi yang 

dimaksudkannya sebagai sesuatu yang akan terjadi dan 

kita jangan meninggalkan candi?" Dewi Ular berkata, 

membuat semua orang memandang ke langit lalu 

memperhatikan bayang-bayang tubuh mereka di tanah 

halaman candi. 

"Masih ada bayang-bayang walau tinggal pendek. 

Berarti sang surya belum mencapai titik tertinggi." Kata 

Wiro. 

"Berarti apa yang dikatakan Arwah Ketua masih belum 

terjadi tapi segera akan terjadi." Jaka Pesolek keluarkan 

ucapan. Ada bayangan rasa kawatir pada nada suara dan 

raut wajah gadis ini. 

Ratu Randang mendekati Wiro dan berkata setengah 

berbisik agar tidak terdengar oleh Jaka Pesolek. 

"Wiro, gadis itu tidak punya ilmu kesaktian apa-apa. 

Kecuali gerakan kilat serta kehebatannya menangkap 

petir. Apakah menurutmu orang hendak membunuhnya 

karena dua kemampuannya yang luar biasa itu? Dia 

mampu menangkap petir dan pukulan sakti mengandung 

hawa panas lalu melemparkan buntalan petir atau pukulan


sakti pada musuh. Kau saksikan sendiri apa yang terjadi 

dengan Ketua serta puluhan anak buah Seratus Jin Perut 

Bumi." 

Untuk beberapa lama Wiro terdiam mendengar ucapan 

Ratu Randang. 

"Nek, kalau dugaanmu betul, berarti nyawa gadis itu 

masih akan terus terancam. Kita harus melindunginya." 

Jaka Pesolek menyimpan cermin dan kotak bedaknya. 

Sambil melirik pada Wiro dan Ratu Randang gadis ini 

berkata. 

"Aku tahu kalian berbisik-bisik merasani diriku " 

"Kami kawatir akan keselamatanmu," berkata Ratu 

Randang. 

"Kalau begitu baiknya aku pergi saja dari sini. Aku mau 

mencari tempat yang banyak petirnya." Kata Jaka Pesolek 

pula. 

"Walau kau punya gerakan kilat, tapi berada seorang 

diri, bahaya dan celaka bisa lebih cepat menimpamu. Apa 

kejadian tadi tidak membuat dirimu kawatir? Kau jangan 

pergi kemana-mana." 

Setelah berpikir sejurus akhimya Jaka Pesolek berkata. 

"Kalian semua orang baik. Tapi aku rasa aku memang 

harus pergi. Nanti kapan-kapan aku menemuimu lagi." Jaka 

Pesolek berpaling pada Dewi Ular. Kedipkan mata dan 

bertanya. "Kunti, apa kau masih mau mengambil celana 

dalam pemberian Nyi Loro Jonggrang? Kalau kau 

menginginkan akan aku tanggalkan dan berikan padamu 

sekarang juga." 

"Kau boleh memakai celana itu sampai bulukan!" Jawab 

Dewi Ular lalu pencongkan mulut. 

"Ah, kau masih marah padaku. Aku minta maaf. Aku 

harus pergi sekarang." 

Jaka Pesolek seperti hendak melambaikan tangan 

sebagai tanda berpisah. Di saat yang sama di kejauhan 

terdengar suara gema lonceng. Di langit sebelah timur ada 

kilasan cahaya kuning lembut. Laksana kilat cahaya kuning 

ini melesat ke bawah dan tahu-tahu telah melingkari tanah


dimana Jaka Pesolek berdiri. 

"Wusss!" 

Cahaya kuning menjalar ke atas, membungkus tubuh 

dan kepala Jaka Pesolek. Lalu desss....desss! Tubuh Jaka 

Pesolek amblas masuk dan lenyap ke dalam tanah. 

Wiro, Ratu Randang dan Dewi Ular sama-sama berseru 

kaget. Ketiganya berusaha mengejar tapi terlambat. Jauh 

dari dalam tanah masih terdengar sayup-sayup suara 

jeritan Jaka Pesolek lalu hening. 

"Ada yang menculik Jaka pesolek. lni pasti pekerjaan 

dua Sinuhun keparat! Kalian berdua tunggu di sini!" Kata 

Wiro sambil cepat menerapkan ilmu kesaktian yang 

diberikan Kumara Gandamayana. Dia hunjamkan dua kaki 

ke tanah. Saat itu juga sosoknya masuk lenyap ke dalam 

bumi! 

Ratu Randang tersentak kaget. 

"Oala! Baru tahu aku kalau dia punya ilmu bisa masuk 

ke dalam tanah!" ucap si nenek sambil berpaling pada 

Dewi Ular. 

Kunti Ambiri sendiri yang juga rnemiliki sejenis ilmu 

yang hampir sama dan didapat dari Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah ketika hubungan mereka masih baik 

mengangkat tangan kanan yang memegang delapan Bunga 

Matahari kecil seraya berkata. 

"Nek, aku mau menyusul Wiro. Aku belum 

menyampaikan pesan Nyi Loro Jonggrang dan belum 

menyerahkan delapan Bunga Matahari ini pada Wiro! Kau 

tunggu di sini! Jangan kemana-mana!" 

"Wuttt! Desss!" 

Sosok Dewi Ular juga lenyap masuk ke dalam tanah. 

"Sialan! Aku ditinggal sendirian!" - 

Si nenek mengomel panjang pendek sambil melangkah 

mundar mandir. Tiba-tiba dia hentikan langkah, menatap 

ke tanab. Astaga! Tubuhnya tidak lagi membentuk bayang-

bayang. Dia mendongak ke langit. 

Sang surya bersinar terik. 

"Tepat tengah hari. Ini rupanya yang disampaikan Arwah


Ketua melalui tulisan di dinding candi. Tapi apa sebenarnya 

yang terjadi? Apakah aku harus menunggu di sini seorang 

diri?" Ratu Randang kembali melangkah mundar mandir. 

Tiba-tiba dia hentakkan kaki dan berhenti melangkah. 

"Benar-benar gila! Mengapa tidak tadi-tadi Kunti Ambiri 

menyampaikan pesan dan menyerahkan delapan Bunga 

Matahari kecil pada pemuda itu. Celaka! Jangan-jangan." 

Sepasang mata juling Ratu Randang membesar. 

"Oala...Jangan-jangan gadis itu sengaja melakukan karena 

ingin berdua-dua di dalam tanah dengan Wiro! Edan!" 

Saking kesalnya si nenek merasa tubuhnya jadi lemas. 

Dia memandang berkeliling. Keadaan di sekitar Candi 

Kalasan tampak sunyi. Silir tiupan angin terasa aneh di 

jangat. Beberapa pohon kecil tampak bergoyang-goyang 

ranting dan dedaunannya, namun tidak mengeluarkan 

suara bergemerisik. Perasaan si nenek tidak enak. 

"Aku kawatir bahaya maut bisa saja datang tidak 

terduga. Lebih baik aku merubah diri menjadi mahluk 

hidup lain apa saja." 

Lalu si nenek merapal ajian kesaktian. Sesaat 

kemudian sosok Ratu Randang berubah samar lalu lenyap, 

berganti menjadi seekor kucing putih, duduk menjelepok di 

depan tangga paling bawah pintu depan Candi Kalasan 

sambil menjilati kaki dan tubuhnya.


SEMBILAN


AIR TERJUN mencurah bergemuruh jatuh ke dalam 

telaga dangkal. Di seberang sana, di atas sebuah 

batu besar di tepi telaga anak lelaki berambut tebal dan 

beralis kereng berusia sekitar dua belas tahun duduk 

setengah berbaring sambil mengelus kening anak 

perempuan yang tergolek tak bergerak mata terpicing. 

Sesekali kening itu diciumnya. Anak perempuan ini 

berwajah ayu, bertubuh sintal, berusia empat belas tahun. 

Perlahan-lahan anak lelaki yang memakai anting-anting 

emas di telinga kirinya itu dekatkan wajah ke telinga anak 

perempuan. Setelah mencium lembut pipi kiri anak 

perempuan itu dia berbisik. 

"Ni Gatri, bangunlah. Pagi sudah datang, mentari telah 

memperlihatkan diri. Tidakkah kau ingin menghirup udara 

segar serta melihat pemandangan indah sekitar telaga?" 

Si anak lelaki lalu kembangkan telapak tangan kanan 

dan disapukan di atas wajah anak perempuan yang 

ternyata adalah Ni Gatri. Dua kali menyapukan tangan 

sepasang mata Ni Gatri masih terpejam dan keadaannya 

masih seperti tadi seolah tidur nyenyak. 

"Aneh, mengapa tidak bangun?" ucap si anak lelaki. 

Tangan kanannya kembali disapukan di atas wajah Ni 

Gatri. Tetap saja anak perempuan itu terus terlelap. 

Anak lelaki bergerak duduk di atas batu, memandang 

berkeliling. Matanya menatap ke arah air terjun yang 

mencurah bergemuruh. 

"Ah....mungkin ini sebabnya. Suara deru air terjun 

membuat pendengaran Ni Gatri terhalang. Aku tahu itu 

bukan air terjun biasa." Anak lelaki tersenyum. Lalu tangan 

kanan di angkat sambil mulut berucap.


"Air terjun! Berhentilah mencurah barang beberapa 

lama!" 

"Wuttt!” 

Selarik sinar kuning kemerahan menyambar keluar dari 

telapak tangan kanan anak lelaki, melesat ke arah curahan 

air terjun. Dan astaga! Seolah ada satu kekuatan dahsyat 

yang menahan, curahan air terjun terbendung sepuluh 

tombak di atas telaga! Keadaan di tempat itu kini serta 

merta menjadi senyap. 

Dengan tenang si anak lelaki kembali usapkan telapak 

tangan kanan di atas wajah Ni Gatri. Kali ini, hanya sekali 

mengusap sepasang mata Ni Gatri langsung terbuka 

nyalang dan tubuh bergerak bangkit lalu duduk clan 

memandang berkeliling. 

"Ni Gatri, aku senang kau sudah bangun dari tidurmu..." 

Si anak lelaki tekapkan dua tangannya di pipi Ni Gatri. 

Ni Gatri yang saat itu tengah menatap ke arah air terjun 

pergunakan dua tangan untuk manyibakkan tekapan 

sepasang tangan si anak lelaki darl wajahnya. 

"Aku tidak tidur. Aku tahu. Kau telah menyirapku. Kau 

telah menyihirku!" Tiba-tiba Ni Gatri keluarkan ucapan 

keras. 

Si anak lelaki tertawa. "Adikku sayang, kau ini bicara 

apa? Aku tidak, menyirapmu. Siapa yang telah 

menyihirmu? Apa wajahku kau lihat seperti nenek angker 

tukang sihir?" 

"Aku tahu dan ingat sernua apa yang telah terjadi. Kau 

tak perlu berdusta!" 

"Kalau begitu, apakah kau masih ingat namaku?" tanya 

si anak lelaki pula. 

"Namamu Dirga Purana. Kau anak jahat yang 

menculikku!" 

"Ha ...ha! Aku senang kau masih ingat namaku. Adikku 

sayang, lihatlah berkeliling. Tidakkah tempat ini indah 

sekali dan kita berdua bisa bermain bersenang-senang di 

sini. Aku akan gembira selangit kalau kita bisa mandi 

berdua-dua di telaga berair jernih dan sejuk ini."


Ni Gatri tertawa sinis. 

"Katamu umurmu dua belas tahun. Aku empat belas 

tahun! Bagaimana kau bisa-bisaan memanggil aku 

adikmu? Aku bukan adikmu! Aku tidak mau bermain 

denganmu. Apa lagi mandi bersamamu di telaga! Kau anak 

jahat! Aku ingin pulang!" 

"Pulang? Pulang kemana? Rumahmu, rumah kita 

berdua ada di Bhumi Mataram ini." 

Ni Gatri menggeleng. Ketika anak lelaki bernama Dirga 

Purana itu hendak memegang wajahnya Ni Gatri cepat 

membentak. 

"Jangan kau berani menyentuh diriku!" 

"Kau adikku sayang. Kau kekasih buah hatiku! Mengapa 

aku tidak boleh menyentuhmu?!" 

"Ihh! Kau bicara seperti orang gila! Mungkin juga kau 

sudah kemasukan mahluk halus penghuni telaga!" 

"Ssshhh, jangan bicara seperti itu. Dengar, aku memang 

gila. Tergila-gila padamu!" Anak lelaki itu kembali gerakkan 

tangan hendak memegang wajah Ni Gatri. 

"Kalau kau berani menyentuhku lagi...!" Mengancam Ni 

Gatri. 

Dirga Purana tertawa. "Kau anak berani. Aku suka orang 

berani. Jika aku menyentuh tubuhmu lagi, kau hendak 

berbuat apa? 

“Menamparku? Memukulku?" 

"Aku akan membunuhmu!" Jawab Ni Gatri dan matanya 

menyorot tajam ke arah mata Dirga Purana. 

"Hebat!" Kata Dirga Purana pula. "Aku ingin kau 

membuktikan ucapanmu!" Lalu anak lelaki ini condongkan 

tubuh dan ulurkan tangan. Sambil merangkul dia jatuhkan 

diri diatas tubuh Ni Gatri hingga anak perempuan ini jatuh 

tertelentang di batu dan di atasnya Dirga Purana 

menghimpit. Dalam usia yang masih dua belas tahun anak 

lelaki itu memperlihatkan sikap seperti orang dewasa. 

Ciumannya bertubi-tubi jatuh di wajah Ni Gatri. (Mengenai 

siapa anak lelaki bernama Dirga Purana silahkan pembaca 

ikuti riwayatnya dalam serial "Mimba Purana Satria


Lonceng Dewa" karangan Bastian Tito) 

Ni Gatri berteriak, dua tangan berusaha memukul, dua 

kaki mencoba menendang. Namun begitu Dirga Purana 

meniup keningnya, kekuatan anak perempuan ini serta 

merta hilang. Tubuhnya mendadak lemas hingga tidak 

mampu bergerak bahkan berteriakpun dia tidak bisa. Ni 

Gatri hanya tinggal pasrah diperlakukan secara tidak 

senonoh seperti itu. 

Semakin memuncak nafsunya, semakin gila dan kurang 

ajar perbuatan Dirga Purana. Dalam keadaan diri Ni Gatri 

dipermalukan seperti itu tiba-tiba satu bayangan merah 

samar berkelebat dari depan gua yang terletak di balik air 

terjun. Sosok ini laksana berlari di atas air telaga, bergerak 

cepat ke arah batu besar dimana Dirga Purana dan Ni Gatri 

berada. 

"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Saya tidak 

tidak ingin mengganggu kesenanganmu...." 

Dirga Purana angkat kepala. Sebelum menoleh ke arah 

datangnya suara dia membentak. 

"Tidak ingin menganggu tapi berani muncul! Siapa yang 

bicara?!" 

"Saya berada di sini. Saya Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah." Terdengar suara jawaban. 

Dirga Purana berpaling ke kiri. Di situ dia melihat sosok 

samar merah yang perlahan-lahan berubah utuh. Sosok itu 

seorang kakek berpakaian dan mengenakan belangkon 

merah. Di bagian depan belangkon tersemat sebuah 

hiasan berbentuk bintang sudut delapan terbuat dari suasa 

muda atau perunggu. Delapan benjolan merah yang ada di 

kening kelihatan memancar terang pertanda ada gejolak 

hati yang tidak senang kalau tidak mau dikatakan marah. 

Hal ini juga kelihatan dari kumis, sepasang alis serta 

janggut merahnya yang berjingkrak. Sepasang mata yang 

seluruhnya nyaris berwarna merah tampak menyorot 

menatap ke arah si anak lelaki. 

"Sinuhun, aku benar-benar tidak senang dengan 

kedatanganmu! Aku tidak suka melihat caramu


memandangku! Apa harus aku ingatkan dengan siapa kau 

berhadapan saat ini?!" 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah merasa tubuhnya 

bergetar. Cepat dia membungkuk lalu luruskan tubuh dan 

berkata. 

"Maafkan saya Kesatria Junjungan. Tapi keadaan di 

pihak kita saat ini benar-benar buruk. Sejak kau membawa 

gadis dari alam delapan ratus tahun mendatang itu, kau 

seperti lupa segala-galanya..." 

"Apakah kau berani melarangku berbuat yang aku suka, 

Sinuhun Merah?!" Dirga Purana membentak seraya bangkit 

dan berdiri di atas batu sambil berkacak pinggang. Wajah 

bocahnya tampak berubah tua dan angker. 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat membungkuk 

sekali lagi. 

"Kesatria Junjungan, mohon saya dimaafkan. Mana 

mungkin saya berani melarang.Namun selama beberapa 

waktu belakangan ini Junjungan sepertinya tidak tahu lagi 

apa yang terjadi di pihak kita..." 

"Memangnya apa yang terjadi, Sinuhun?" 

"Ketua Seratus Jin Perut Bumi dan seluruh anak 

buahnya musnah! Arwah Ketua yang saya tugaskan 

mencegat Raja Mataram terpaksa lebih dahulu saya 

perintahkan pergi membunuh Kesatria Panggilan. Tapi 

nasibnya nahas. Empat Mayat Aneh menguliti kulit luarnya. 

Kesatria Panggilan kemudian memasukkannya ke dalam 

Candi Kalasan. Dari situ dia mampu bertahan hidup dan 

mencari jalan menyelamatkan diri. Lalu Kumara 

Gandamayana berhasil keluar dari dalam tanah. Dia 

ditolong oleh Kesatria Panggilan dengan satu ilmu luar 

biasa sakti. Kesatria Roh Jemputan tidak tahu ilmu apa 

yang dimiliki keparat itu! Sekarang Kumara Gandamayana 

bergabung dengan Rauh Kalidathi mengamankan Raja 

Mataram...." 

"Hanya semua itu saja, apakah kau merasa seolah 

langit sudah runtuh, bumi sudah terbelah dan air laut 

menyapu daratan?!" Tanya Dirga Purana ketus.


Sinuhun Merah Penghisap Arwah terdiam seketika. 

Namun ketika bicara lagi suaranya terdengar keras, tandas 

walau bergetar. 

"Bukan itu saja Kesatria Junjungan...." 

"Lalu apa?!" 

"Karena sibuk dengan anak perempuan itu Kesatria 

Junjungan sampai lupa memperhatikan sesajen untuk

Delapan Sukma Merah!" 

Dirga Purana tersentak kaget. Dari kepalanya langsung 

memancar cahaya kuning kemerahan. 

Saat itu juga tiba-tiba terdengar suara mengeong riuh. 

Di udara menyambar keras bau kemenyan membuat 

orang bisa merinding walau saat itu di siang bolong! 

Wajah Dirga Purana berubah. 

Tiba-tiba seolah terjun dari langit, delapan benda merah 

melayang turun. Laksana burung, delapan benda itu 

hinggap di tubuh Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Dan 

mereka ternyata bukan burung! Empat meriung di atas 

kepala. Dua mengendap di bahu kiri, dua lagi di bahu 

kanan Sinuhun Merah Penghisap Arwah! 

"Rakanda Delapan Sukma Merah!" Ucap Dirga Purana. 

Anak ini memanggil delapan mahluk dengan sebutan 

Rakanda seolah mereka adalah kakak-kakaknya! Anak ini 

kemudian membungkuk sambil kembangkan dua tangan 

kesamping. Setelah meluruskan tubuh dia berpaling pada 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan membentak. 

"Sinuhun Merah! Jangan salahkan diriku! Kau yang 

terlambat memberi tahu mengingatkan!" 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah diam-diam merasa 

jengkel karena dirinya dipersalahkan. Namun dengan 

tenang mahluk alam roh ini menjawab. 

"Kesatria Junjungan. Tiada ada gunanya kita saling 

salah menyalahkan. Lebih baik cepat dicari jalan sebelum 

Delapan Sukma Merah berubah buas dan mencabik-cabik 

tubuh kita karena haus dan lapar! Saat ini saya merasakan 

tubuh Delapan Sukma Merah mulai memanas. Jalan bagi 

saudara kembar senyawaku Sinuhun Muda Ghama


Karadipa untuk mendapatkan tahta Kerajaan masih sulit. 

Jangan Junjungan menambah beban kesusahan..." 

Rahang Dirga Purana menggembung. Dia hendak 

mendamprat namun saat itu suara ngeongan riuh kembali 

menggelegar.


SEPULUH


RAKANDA Delapan Sukma Merah, kami tidak berlaku 

sengaja melupakan sesajen kalian minggu ini. Aku 

akan menggantikan dengan hidangan yang lebih lezat. 

Kemarilah!" 

Habis berkata anak lelaki bernama Dirga Purana 

bertepuk tangan tiga kali. Lalu dua tangan diulurkan. 

Kembali terdengar suara mengeong. Delapan sosok merah 

kecil yang berada di kepala dan bahu Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah melompat masuk ke dalam gendongan 

dua tangan Dirga Purana. 

Ternyata delapan mahluk itu adalah delapan ekor anak 

kucing berbulu merah. Binatang-binatang cilik ini memiliki 

beberapa keanehan kalau tidak mau dibilang 

menyeramkan. Antaranya sepasang mata yang seluruhnya 

berwarna merah. Dua telinga lebih besar dari anak kucing 

biasa, mencuat runcing di bagian atas. Sepasang taring 

muncul di sela bibir kiri kanan. Ketika mulut terbuka 

kelihatan lidah merah sepanjang satu jengkal. Lalu pada 

kening setiap anak kucing ini terdapat satu tonjolan daging 

seujung jari kelingking berwarna merah pekat. Jika 

diperhatikan, kepala delapan anak kucing itu lebih 

menyerupai kepala kelelawar. 

Dirga Purana dekatkan delapan ekor anak kucing yang 

digendongnya ke wajahnya, menciumnya satu persatu lalu 

berbisik. "Rakanda Delapan Sukma Merah, aku tahu kalian 

lapar dan haus. Aku harap Rakanda semua tidak marah. 

Sebagai ganti sesajen aku akan memberikan santapan 

yang sangat sedap untuk kalian. Kalian pasti suka. Dari sini 

aku sudah mencium kelezatannya." 

Delapan ekor anak kucing berbulu merah mengeon


keras. Lidah panjang merah mencuat keluar. Benjolan 

merah di kening memancarkan cahaya terang. Delapan 

anak kucing ulurkan kepala dan dua kaki depan ke arah Ni 

Gatri. Mulut dibuka lebar sambil keluarkan suara setengah 

mengeong setengah mengaum! Ni Gatri terpekik 

ketakutan. Dia hendak melompat turun dari atas batu tapi 

aneh, tubuhnya terasa berat. 

"Ssss! Rakanda semua, jangan ganggu anak 

perempuan itu. Dia adalah kekasihku." ' 

Delapan anak kucing merah menggeram halus lalu 

mengeong keras! 

Dirga Purana tekap delapan anak kucing ke dadanya 

sambil digoyang-goyang tidak beda seorang ayah 

menenangkan anaknya yang cerewet. Ketika binatang-

binatang itu berhenti mengeong dan tampak tenang Dirga 

Purana pejamkan mata. Kepala mendongak ke langit. 

Hidung mencium dalam-dalam. Sesaat kemudian mulutnya 

tampak menyeringai. 

"Rakanda Delapan Sukma Merah, mohon dimaafkan 

seribu maaf di atas langit dan di dalam bumi. Sekali ini

Sesajen Atap Langit tidak dapat kami berikan pada 

Rakanda berdelapan. Sebagai penggantinya telah tersedia 

santapan lezat yang saat ini telah menunggu dan berada di 

Candi Kalasan. Kalian pasti menyukai. Pergilah, tapi ingat 

dan harap bersabar, jangan menyantap hidangan sebelum 

sang surya melewati titik tertingginya." 

Dirga Purana kembangkan dua tangannya yang sejak 

tadi menggendong delapan anak kucing berbulu merah. 

Delapan anak kucing mengeong keras, telinga besar 

berkibas-kibas. Lalu benar-benar seperti kelelawar, mereka 

melayang ke udara, mengeong panjang. Berputar-putar 

delapan kali di atas kepala si anak lelaki kemudian 

berrr…..! Melesat ke arah timur. 

KUCING putih yang duduk di tangga depan Candi 

Kalasan yang tengah menjilati sepasang kaki depannya 

tiba-tiba tersentak dan dongakkan kepala. Dua mata 

membesar menatap ke arah matahari yang memancarkan


cahaya terik menyilaukan. 

"Aku mencium bahaya. Tapi belum tahu datangnya dari 

mana.Mungkin dari arah langit, bisa juga dari dalam 

tanah." 

Binatang itu, yang bukan lain adalah ujud jejadian si 

nenek sakti Ratu Randang yang tengah melindungi diri 

dengan ilmu kesaktian langka berucap dalam hati. Sekali 

lagi sepasang matanya menatap ke arah matahari. Tiba-

tiba di balik cahaya yang menyilaukan dia melihat ada 

delapan titik merah. Walau darah tersirap hati tercekat 

namun Ratu Randang bersikap tenang. 

"Hemmm, aku sudah menduga. Siapa lagi yang punya 

pekerjaan kalau bukan dua Sinuhun keparat itu. Mereka 

pasti akan mengirim serangan. Aku harus mencari 

selamat" Ratu Randang membatin lalu merapal satu aji 

kesaktian yang telah beberapa kali diterapkannya antara 

lain ketika menghadapi dan memperdayai dua Sinuhun, 

Swara Pancala dan Iblis Menjunjung Dupa Kesatu dan 

Kedua. 

Cepat sekali, laksana kilat menyambar delapan titik 

merah yang tadi terlihat jauh di langit melesat turun ke 

bumi dan di lain kejap nyaris tanpa mengeluarkan suara 

delapan ekor kucing merah Delapan Sukma Merah telah 

menjejakkan empat kaki di depan tangga Candi Kalasan. 

Mereka berpencar demikian rupa membentuk lingkaran, 

mengurung kucing putih di tengah-tengah! Tubuh diangkat, 

berdiri diatas dua kaki belakang. Kuku-kuku dua kaki 

depan mencuat sampai satu jengkal menyerupai pisau 

pendek berkeluk berwarna merah pekat gelap pertanda 

ada racun jahatnya. Mulut dipentang lebar memperlihatkan 

barisan gigi lancip serta sepasang taring runcing dan lidah 

panjang. 

Didahului suara mengeong dahsyat, delapan anak 

kucing berbulu merah menyergap kucing putih. Dari 

benjolan merah di kening masing-masing menyembur 

cahaya merah. Tanah di depan tangga candi berhamburan 

ke udara.


Kucing putih besar yang diserang tidak tinggal diam. 

Sambil balas mengeong binatang ini melompat ke udara 

menghindarkan serangan delapan cahaya merah serta 

sergapan delapan anak kucong. Begitu berhasil 

selamatkan diri kucing putih mengeong tak kalah keras lalu 

melesat menyusup ke bawah lancarkan serangan balasan. 

Namun kedahsyatan serangan delapan anak kucing 

yang disebut Delapan Sukma Merah itu benar-benar luar 

biasa dan mengerikan. Selagi kucing putih masih 

mengambang di udara mereka menerkam. 

Kucing putih terkapar di tangga candi. Kaki kanan 

sebelah depan buntung disambar tebasan cakar berbentuk 

pisau. Binatang ini terguling menggelepar di tanah 

sementara seperti kesetanan delapan anak kucing 

langsung membantai mencabik-cabik. Dalam waktu singkat 

sosok kucing putih lenyap, bahkan tulangnyapun tidak 

bersisa. Di udara bulu-bulu putih beterbangan membuat 

pemandangan bertambah angker. Di halaman candi sesaat 

masih menggehang darah binatang ini sebelum meresap 

masuk ke dalam tanah. 

Di atas pohon besar tak jauh dari Candi Kalasan, Ratu 

Randang yang bersembunyi di balik kerimbunan dedaunan 

merasa tengkuk menjadi dingin dan bulu kuduk merinding. 

Mata tak berkesip menyaksikan apa yang terjadi. Dia 

membayangkan bagaimana nasib dirinya kalau tadi sampai 

terlambat keluar dari sosok kucing putih itu. 

"Delapan anak kucing merah. Binatang apa mereka? 

Binatang sungguhan atau jejadian? Aku merasa dan 

melihat ada kekuatan luar biasa dahsyat dalam tubuh 

mereka. Benjolan merah di kening mereka. Jumlah yang 

delapan, pertanda dugaanku tidak meleset. Mereka pasti 

ada hubungan dengan dua Sinuhun keparat itu...!". 

Belum sempat si nenek berpikir lebih jauh dibawah 

sana delapan anak kucing mengeong aneh. Delapan 

kepala mendongak ke langit. Buntut dikibas Kian kemari. 

Sepasang mata menjorok keluar. Dari mulut keluar darah 

membusah. Darah kucing putih. Mereka sudah menyantap


daging sampai ke tulang, sudah menghirup darah kucing 

putih. Tapi mereka tetap merasa lapar dan haus! 

Tiba-tiba serentak delapan binatang ini palingkan 

kepala ke arah pohon besar dimana Ratu Randang 

bersembunyi membuat si nenek tercekat pucat. 

"Celaka, apa delapan anak kucing keparat itu tahu 

kalau yang mereka santap tadi bukan kucing benaran? Apa 

mereka tahu aku sembunyi di sini?" 

Tidak tunggu lebih lama si nenek segera merapal lagi aji 

kesaktian. Kejap itu juga tubuhnya berubah menjadi seekor 

kadal, menempel di dahan pohon. Tetapi delapan ekor 

anak kucing yang bukan binatang sembarangan itu tidak 

dapat ditipu. Delapan pasang mata merah berputar liar. 

Didahului ngeongan keras mereka melesat ke atas pohon 

besar. 

Ratu Randang cepat keluar dari dalam sosok kadal 

pohon. 

Namun sekali ini dia tidak punya kesempatan untuk 

mengubah diri lagi memperdayai delapan anak kucing! 

Begitu dua kakinya menjejakkan tanah, delapan anak 

kucing merah sudah terjun dari atas pohon. Mulut 

terpentang lebar, empat kaki dengan cakar laksana pisau 

menyambar ganas! 

"Hyang Jagat Bathara! Tamat riwayatku!" Jerit Ratu 

Randang dalam hati. Saat itu dia melihat satu-satunya 

tempat untuk cari selamat adalah sebuah batu besar tinggi 

yang belum selesai dibentuk menjadi sebuah candi kecil. 

Ratu Randang segera merapal aji kesaktian 

Menunggang Kabut Menembus Batu. Dia juga membarangi 

dengan ilmu kesaktian Insan Berjalan Tanpa Bayangan

agar tubuhnya tidak kelihatan. 

"Wuuttt!" 

"Desss!" 

Sosok Ratu Randang amblas lenyap masuk ke dalam 

batu namun delapan anak kucing mampu melihat ke arah 

mana lari dan lenyapnya si nenek karena ilmu Insan 

Berjalan Tanpa Bayangan asal muasalnya diperoleh Ratu


Randang dari Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan 

Sinuhun Muda Ghama Karadipa sewaktu mereka masih 

berhubungan dekat. 

Di dalam batu, baru saja merasa sudah aman tiba-tiba 

braak! Batu besar kokoh bergetar di delapan tempat!


SEBELAS


RATU RANDANG tersentak kaget ketika di dalam batu 

dia melihat delapan sosok anak kucing berbulu 

merah muncul dan tahu-tahu sudah mengurungnya! Tidak 

mau memberi waktu pada si nenek, delapan kucing 

langsung menyerang! Mulut bertaring siap melumat, kaki 

berkuku seperti pisau siap mencabik! Didahului suara 

mengeong dahsyat yang membuat batu bergetar, delapan 

kucing menyerbu! 

Ratu Randang berteriak keras. 

"Sang Hyang Widhi! Saya minta perlindungan padaMu!" 

Begitu berteriak si nenek gerakkan dua tangan sambil 

merapal aji kesaktian Di Dalam Gelap Tangan Penghukum 

Membelah Jagat. Dua larik cahaya biru berkiblat. Batu 

bergoyang keras lalu blaar! Batu besar runtuh, hancur 

berkeping-keping. Ratu Randang terpental dua tombak, 

jatuh terbanting di tanah. Belum sempat bergerak bangun 

suara ngeongan menggelegar dan delapan anak kucing 

merah tahu-tahu sudah berada di atasnya! Belasan cakar 

berbentuk pisau merah pekat berkelebat ganas! 

Ratu Randang coba selamatkan diri dengan 

melancarkan serangan Tombak Dewa Memancung 

Berhala. Kehebatan ilmu kesaktian ini adalah jumlah sinar 

biru yang membentuk tombak akan muncul sesuai jumlah 

lawan yang diserang. Kalau lawan hanya seorang maka 

tombak sakti akan melesat satu buah. Jika lawan ada tiga, 

tombak akan keluar tiga. Saat itu cahaya biru yang 

membentuk tombak berkiblat delapan buah yaitu sesuai 

dengan jumlah anak kucing merah yang menjadi sasaran. 

Namun jarak antara si nenek dengan delapan lawan


saat itu sudah terlalu dekat. Dia tidak leluasa bergerak 

melancarkan serangan. Walau delapan cahaya biru 

menyambar keluar dari tangannya tapi breett! 

Si nenek kena serangan lebih dulu. Anak kucing merah 

yang melesat di sebelah kiri berhasil merobek lengan 

kanan pakaian dan melukai tangannya. Saat itu juga Ratu 

Randang merasa sekujur tubuhnya menjadi panas, 

padahal luka di tangan kanan hanya berupa goresan 

pendek! Sepasang lutut Ratu Randang goyah, pandangan 

menjadi buram. Hanya sekejapan lagi. Delapan Sukma 

Merah akan mencabik-cabik tubuhnya mendadak ada 

suara bersiur disertai munculnya sebuah benda aneh 

menebar cahaya menyilaukan. Cahaya ini adalah pantulan 

sinar matahari. Walau hanya merupakan pantulan tapi 

mengandung hawa panas luar biasa. Hingga delapan anak 

kucing merah mengeong keras lalu bersurut menjauhi 

sambaran cahaya panas. 

Benda aneh itu menyerupai sebuah tabir putih besar. 

Bagian bawah menancap di tanah menghambat 

memisahkan delapan anak kucing merah dongan sosok 

Ratu Randang yang nyaris tidak berdaya. 

Tabir putih ternyata merupakan sebuah cermin aneh. 

Delapan anak kucing menggerung keras. Mereka merasa 

aneh melihat sosok mereka berada di dalam cermin dan 

berubah buas. Benjolan merah di kening pancarkan sinar 

terang. Enam belas kaki depan dipentang lalu berkelebat 

berusaha mencabik permukaan cermin dengan cakar 

pisau. Tapi tabir cermin seperti dilindungi lapisan sangat 

licin, tak mampu dicabik atau dipecahkan, bahkan 

tergorespun tidak! 

Delapan anak kucing mengeong keras, melangkah 

mundur. Serentak mereka menerjang ke depan, 

menghantamkan kepala ke arah tabir cermin putih. 

Sebelumnya, delapan anak kucing angker ini mampu 

menghancurkan batu besar dengan hantaman kepala 

mereka. Namun kali ini kekuatan kepala mereka yang 

dahsyat tidak sanggup memecahkan cermin.


"Dukkk! Dukkk!" 

Tabir cermin hanya bergetar sedikit. 

Delapan anak kucing menjadi marah. Didahului suara 

mengeong mereka kembali menyerang. Kali ini dengan 

lebih dulu menghantamkan delapan larik sinar merah yang 

memancar dari delapan benjolan di kening. 

"Wusss!" 

Delapan cahaya merah angker berkiblat. 

"Kraakkk....kraakk!" 

Tabir kaca putih berlubang di delapon tempat lalu 

hancur berkeping-keping dan akhirnya musnah. Ketika 

tabir lenyap dari pemandangan delapan kucing merah 

melompat ke depan. Mereka menggerung marah karena 

tidak menemukan Ratu Randang. Padahal mereka tahu 

sebelumnya si nenek telah terkapar tak berdaya di tanah di 

balik tabir cermin putih. Delapan kucing mengeong 

dahsyat. Empat memandang berkeliling, empat lagi 

mengeruk-ngeruk tanah. Semuanya mengendus dalam-

dalam. Tapi mereka tidak mencium bau sosok si nenek. 

Padahal penciuman mereka bisa menjajagi seseorang yang 

berada lebih dari dua ratus tombak jauhnya! 

Delapan ekor kucing berpandang-pandangan satu sama 

lain seolah saling bicara tanpa suara. Setelah mengeong 

keras yang kali ini menyerupai suara raungan anjing di 

malam buta, delapan mahluk itu melesat ke udara ke arah 

matahari yang bersinar terik. 

HANYA beberapa ketika sebelum delapan anak kucing 

merah menghancurkan tabir cermin putih, di belakang 

sana entah dari mana datangnya mendadak ada sosok 

seorang kakek berjubah dan bersorban kelabu berkelebat. 

Kakek ini langsung mengangkat tubuh Ratu Randang yang 

tidak berdaya, menggendongnya ke arah sebuah pohon 

besar. Dalam satu kejapan saja sosok si kakek dan si 

nenek telah masuk ke dalam batang pohon. Lalu ada 

cahaya berpijar ke bawah dan di lain saat sosok kedua 

orang itu lenyap di arah akar pohon. 

Ratu Randang yang berada dalam keadaan setengah


sadar, buka mata lebar-lebar tapi tetap saja sepasang 

mata itu setengah terpejam. Dia hanya mampu melihat 

samar wajah si kakek. Ketika mulutnya berucap, suaranya 

perlahan parau pertanda daya kekuatannya benar-benar 

terkuras oleh racun jahat cakar pisau anak kucing berbulu 

merah. 

"Kumara Gandamayana. Kau….. " 

Si nenek merasa gembira dan menyebut nama orang 

yang menggendongnya. 

Seperti diketahui Kumara Gandamayana adalah kakek 

sakti pembantu utama Raja Mataram yang sebelumnya 

dituturkan setelah dikeluarkan oleh Wiro dari dalam tanah 

bergabung dengan Rauh Kalidhati untuk membawa sang 

Raja ke satu tempat rahasia. 

"Aku bukan Kumara Gandamayana." Si kakek 

menjawab. 

Tenggorokan Ratu Randang tercekat. Alis mencuat dan 

kening mengkeret. 

"Bagaimana mungkin kau bicara dusta. Apa kau kira 

aku tidak mengenali lagi dirimu. Sobat tua, walau aku 

keracunan tapi aku belum buta..." 

"Aku bukan Kumara Gandamayana." Kembali si kakek 

mengulang ucapan. 

"Lalu...lalu kau siapa? Setannya, atau jejadiannya atau 

apanya?" Tanya Ratu Randang heran. Pandangan matanya 

semakin redup. Suara bertambah perlahan tapi 

pendengaran masih cukup jelas. 

"Aku berpantang memberi tahu nama." Si kakek berikan 

jawaban. 

Mulut Ratu Randang bergerak pencong tanda jengkel 

mendengar jawaban orang tua berjubah dan bersorban 

kelabu. 

"Sebetulnya kalau kau memang orang baik dan sakti, 

tidak perlu menolong diriku. Bukankah lebih baik kau 

memusnahkan delapan anak kucing celaka itu? Pahalamu 

lebih besar. Aku yang sudah tua rongsokan dan bau tanah 

ini perlu apa ditolong? Menyelamatkan Kerajaan jauh lebih


penting dari menyelamatkan diriku." 

"Jalan pikiran dan ucapanmu betul. Tapi mohon maaf. 

Aku berpantang membunuh mahluk hidup. Sekalipun 

semut atau anak kucing, apa lagi yang namanya 

manusia..." 

Ratu Randang tertawa tapi tidak bersuara. Hanya 

mulutnya saja yang kembali tampak pencong. 

"Orang tua, kau punya banyak pantangan rupanya. Tapi 

agaknya kau tidak punya pantangan menggendong 

perempuan sekalipun tua bangka sepertiku! Kurasakan 

nafasmu mengengah dan detak jantungmu bergemuruh. 

Aku kawatir sebenarnya kau bukan bermaksud 

menolongku tapi tengah membawa aku ke satu tempat 

untuk digerayangi. Hik...hik...hik." 

"Desss!" 

Si kakek terkejut. Tubuh Ratu Randang sampai terlepas 

dari gendongannya dan mental ke udara. Sebelum jatuh ke 

bawah si kakek cepat-cepat menangkap tubuh Ratu 

Randang lalu digendong kembali. Mulut dikancing tak mau 

lagi bicara. 

"Eh, kita ini berada dimana sebenarnya? Aku melihat 

semua benda berwarna coklat kehitaman. Mengapa tidak 

ada matahari, mana pepohonan. Tidak ada angin..." 

Si kakek diam saja. 

Ratu Randang pejamkan kedua matanya, lalu berlaku 

sama. Dia tidak bergerak. Tak mau bicara. Bahkan 

nafasnya yang sudah sesakpun sengaja ditahan. Kini si 

kakek jadi kawatir. Dia berhenti berlari dan pandangi wajah 

si nenek. Lalu pipi kirinya di dekatkan ke hidung Ratu 

Randang. Tidak ada hembusan nafas. Ganti telinga kirinya 

didekapkan ke dada si nenek. 

Saat itu terdengar tawa Ratu Randang. 

"Kau mulai nakal. Kau berbuat apa menyentuh dadaku 

dengan telinga. Mengapa tidak dengan tangan? Hik...hik..." 

"Semakin banyak kau bicara semakin cepat racun Cakar 

Sukma Merah bekerja di tubuhmu dan tambah cepat kau 

menemui ajal." Si kakek akhirnya keluarkan ucapan.


"Aku...aku memang sudah mati..." Kata Ratu Randang. 

Lalu dari tenggorokannya terdengar suara gheekkk! 

Kakek berjubah dan bersorban kelabu terkejut. Dia 

memandang berkeliling sambil dalam hati berucap. 

"Kurasa aku sudah berada delapan tombak di dalam 

perut bumi. Mudah-mudahan Para Dewa menolong diriku 

dan dirinya." 

Padahal, walau sakarat si nenek sebenarnya berpura-

pura! 

Dengan cepat Ratu Randang diturunkan dari 

gendongan. Dibaringkan lalu dua tangan kanan menotok 

ubun-ubun si nenek. Luka di tangan kanan diremas 

demikian rupa hingga darah kehitaman mengucur deras. 

Begitu darah berhenti mengucur kakek ini totok dada kiri 

Ratu Randang di arah jantung. 

"Huaahh!" 

Si nenek muntahkan darah kental bercampur sisa 

racun! 

Ratu Randang buka sepasang mata. Mulut tertawa. 

Tubuh tidak terasa lemas lagi. Pemandangannya terang. Si 

kakek merasa lega. 

Dengan cepat Ratu Randang bangkit berdiri dan 

berkata. 

"Terima kasih kau telah menyelamatkan diriku dari 

racun Cakar Sukma Merah. Tapi mengapa kau tidak 

menolongku dari tadi?" 

"Ada pantangan...." 

"Oala! Lagi-lagi pantangan!" 

"Maksudku, racun Cakar Sukma Merah tidak bisa 

dimusnahkan sebelum masuk ke perut bumi sedalam 

delapan tombak." 

"Astaga! Memangnya saat ini kita berada dimana?" 

Tanya Ratu Randang sambil memandang berkeliling. "Aku 

baru sadar, tak ada cahaya terang, tak ada matahari. Tak 

ada pepohonan atau rimba belantara. Tak ada bebukitan. 

Juga tak ada sapuan angin. Semua berwarna kecoklatan, 

kadang-kadang hitam."


"Kita berada di dalam tanah. Di perut bumi..." 

Menjelaskan si kakek. 

"Oala! Pantas....aneh tapi nyata. Aku berada dalam 

tanah tapi nafas tidak sesak, mata tidak kerurupan tanah, 

bisa bergerak kemana-mana. Eh Kek, kau mau membawa 

aku kemana? Mengapa aku dibawa masuk ke dalam tanah 

padahal di luar sana kalau kau mau ajak aku jalan-jalan 

pemandangan jauh lebih indah..." 

"Seperti kataku tadi, racun Cakar Sukma Merah hanya 

bisa dimusnahkan kalau kau berada delapan tombak di 

bawah tanah." 

"Oo...begitu?" 

Ratu Randang manggut-manggut. 

"Sekarang aku sudah selamat dari racun jahat. Lalu kau 

mau membawa aku kemana?" 

"Aku mau membawamu ke dalam tanah di bawah Candi 

Plaosan Lor..." 

"Lagi-lagi jalan-jalan di dalam tanah." Kata Ratu 

Randang sambil unjukkan wajah cemberut. "Tapi ya sudah! 

Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?" 

Ratu Randang lalu perhatikan si kakek mulai dari ujung 

sorban sampai ke kaki yang berkasut putih. 

"Ada apa? 

"Sorban di kepalamu, wajahmu, jubahmu dan sepasang 

kasut putih di kedua kakimu. Lalu juga suaramu! Semua 

menyatakan bahwa kau jelas-jelas adalah Kumara 

Gandamayana, orang kepercayaan Raja Rakai Kayuwangi, 

sobatku di Bhumi Mataram. Tapi mengapa kau tidak mau 

mengaku? Kau tiba-tiba saja menjadi aneh dan sombong!" 

"Aku memang aneh tapi tidak sombong. Selain itu aku 

berpantang untuk mengatakan siapa diriku. Biar nanti kau 

tahu dari orang lain saja siapa diriku." 

"Orang lain siapa?" 

"Aku akan membawamu menemui orang itu. Beberapa 

sahabatmu sudah ada di sana..." 

"Maksudmu siapa...?" Ratu Randang bertanya. 

Namun tidak terduga orang tua bersorban kelabu tiup


wajah si nenek. Saat itu juga Ratu Radang merasa kantuk 

yang amat sangat Nenek ini menguap satu kali lalu tertidur 

lelap dalam keadaan berdiri. Si kakek cepat 

menggendongnya.


DUA BELAS


SEKARANG mari kita ikuti apa yang terjadi dengan 

Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi. Diceritakan 

sebelumnya (baca "Tabir Delapan Mayat") bahwa gadis 

berkaki satu itu telah dibawa oleh Empat Mayat Aneh ke 

Candi Kalasan. Menurut pengakuan Empat Mayat Aneh 

kepada Wiro si gadis dibawa atas suruhan seorang kakek 

bernama Empu Semirang Biru. Sang Empu adalah orang 

yang atas perintah Raja Mataram membuat Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi, tinggal di lereng Gunung Bismo. 

DITUTURKAN dalam serial pertama ("Malam Jahanam Di 

Mataram") menjelang akan datangnya malapetaka Malam 

Jahanam di Bhumi Mataram, selagi berada di Istana 

bersama Raja dan para pejabat serta petinggi Kerajaan 

tiba-tiba saja berkelebat satu bayangan kelabu dan tahu-

tahu Empu Semirang Biru tak ada lagi di tempatnya berdiri. 

Penculikan di siang bolong, dalam Istana, di tengah sekian 

orang banyak itu tentu saja sangat menggemparkan. 

Beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha mengejar 

si penculik. Namun si penculik bersama Sang Empu lenyap 

laksana ditelan bumi! Semenjak itu Empu Semirang Biru 

maupun Keris Kanjeng Sepuh Pelangi tidak diketahui lagi 

dimana rimbanya. 

KETIKA peti mati hitam besar menjejak halaman Candi 

Kalasan, Empat Mayat Aneh segera membuka penutup peti 

mati untuk mengeluarkan Sakuntaladewi. Begitu penutup 

peti terpentang lebar, Empat Mayat Aneh berseru kaget.


Sosok gadis cantik berkaki satu itu tidak ada di dalam peti. 

Peti dalam keadaan kosong. Sebagian lantai peti mati 

tampak jebol seperti habis dibongkar! 

Semula Empat Mayat Aneh mengira Sakuntaladewi alias 

Dewi Kaki Tunggal berhasil membongkar alas peti mati lalu 

menyusup keluar, mungkin masuk ke dalam tanah. Peti 

mati digeser. Namun di tanah tidak tampak bekas-bekas 

adanya tanah yang terbongkar atau berlubang! 

Mayat Aneh Kesatu jitak-jitak keningnya sendiri. Mayat 

Aneh Kedua menduga si gadis telah diculik oleh Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah. Mayat Aneh Keempat menyelidik 

masuk ke dalam Candi Kalasan namun tak lama kemudian 

tubuhnya terlempar keluar candi. Gulungan kain putih yang 

melibat sekujur tubuh sampai kepala berwama hitam 

mengepulkan asap. Di sudut mulut tampak lelehan darah. 

Tiga Mayat Aneh segera mengobati saudara mereka 

Mayat Aneh Keempat. Saat itu muncul Delapan Tabir 

Mayat yaitu delapan sosok mayat busuk mengerikan 

ciptaan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Melihat mahluk 

apa yang muncul dan sadar kalau mereka tidak akan 

mampu menghadapi, Tiga Mayat Aneh cepat melempar 

masuk lebih dahulu Mayat Aneh Keempat ke dalam peti 

mati. Ketika mereka siap hendak melarikan diri, Tabir 

Delapan Mayat menyerbu dengan ilmu ganas disebut 

Delapan Telunjuk Arwah Busuk. 

Sekejap lagi peti mati akan hancur lebur dilanda 

serangan, tiba-tiba dari dalam peti mati muncul Mayat 

Aneh Keempat menangkis dengan dua pukulan yang 

memancarkan sinar putih berkilau dan menghampar hawa 

panas. 

Ternyata dibelakang sosok Mayat Aneh Keempat 

bersembunyi Pendekar 212. Dialah yang melepas Pukulan 

Sinar Matahari dengan mempergunakan sosok dan dua 

tangan Mayat Aneh Keempat sebagai perantara. 

Sebelumnya secara cepat Wiro juga telah menolong 

menyembuhkan luka dalam yang dialami Mayat Aneh 

Keempat. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan di


pihaknya, Tabir Delapan Mayat sendiri kemudian 

diperintahkan Sinuhun Merah Penghisap Arwah lewat 

suara mengiang agar segera meninggalkan kawasan Candi 

Kalasan. 

Empat Mayat Aneh tidak dapat menerangkan kemana 

dan bagaimana lenyapnya Sakuntaladewi alias Dewi Kaki 

Tunggal yang mereka bawa di dalam peti. Kepada Wiro 

mereka akhirnya memberi tahu bahwa mereka 

diperintahkan oleh Empu Semirang Biru untuk membawa 

Sakuntaladewi ke Candi Kalasan. Tapi kakek itu sendiri 

tidak ditemui. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba muncul 

sosok raksasa Arwah Ketua. Apa yang terjadi selanjutnya 

telah diceritakan di permulaan buku ini. Lalu apa 

sebenarnya yang terjadi dengan Sakuntaladewi? 

Bagaimana dia bisa lenyap begitu saja? 

SEWAKTU peti mati hitam hanya tinggal dua jengkal 

akan menyentuh tanah halaman Candi Kalasan tiba-tiba, 

tanpa diketahui Empat Mayat Aneh, lebih dari separuh 

lantai peti mati terkuak. 

Di dalam peti Sakuntaladewi tersentak kaget ketika 

sepasang tangan mendadak muncul mencekal 

pinggangnya. Gadis kaki satu ini berteriak. Tapi tak ada 

suara yang keluar dari mulutnya. Dia lalu pergunakan 

tangan kiri kanan untuk memukul dua tangan yang 

mencekal pinggangnya.Tapi astaga! Dua tangannya 

laksana memukul udara kosong! Selagi tidak tahu mau 

berbuat apa sekonyong-konyong tubuhnya ditarik ke 

bawah. 

"Hai! Bumi dan langit milik Yang Maha Kuasa! Siapa 

yang hendak berbuat jahat membenam diriku ke dalam 

tanah!" Gadis berkaki satu itu membentak. Mendadak dia 

merasa ada angin dingin menyapu wajahnya. Setelah itu 

gadis ini tak ingat apa-apa lagi. 

Ketika sadar dan membuka mata Sakuntaladewi 

dapatkan dirinya dalam satu tempat bercahaya redup. 

Gadis ini cepat bangun dan berdiri, menatap berkeliling.


Ternyata dia berada dalam satu ruangan berbentuk 

segitiga. Dia tidak melihat orang atau sepotong bendapun 

dalam ruangan, tapi dia ingat, sebelumnya dia berada 

dalam peti mati. Dia sempat melihat peti itu turun di 

halaman Candi Kalasan. Lalu tiba-tiba lantai peti mati 

terkuak dan dua tangan menarik tubuhnya ke bawah. 

"Siapa yang menarik tubuhku? Manusia atau mahluk 

alam gaib? Aku berada dimana saat ini?" 

Sakuntaladewi menunggu beberapa lama. Lalu gadis ini 

mulai melangkah dengan kaki tunggalnya mengitari 

ruangan. Dia mengelus dinding yang ternyata adalah tanah 

merah keras. 

Tiba-tiba Sakuntaladewi dikejutkan oleh suara 

mengiang. 

"Anak gadis berkaki satu, kau berada dalam Ruang Segi 

Tiga Nyawa. Kau tidak akan melihat benda apapun dalam 

ruangan ini termasuk diriku sebelum kau mengusap 

wajahmu tiga kalil dengan tangan kanan." 

Sakuntaladewi memandang berkeliling. Dia tidak bisa 

mengetahui dari arah mana datangnya suara tadi walau 

ngiangan terdengar sangat jelas tanda sumber suara 

berada dekat dengan dirinya. 

"Siapa yang barusan bicara?" tanya si gadis. Tak ada 

jawaban. Tapi ada suara seperti orang menarik nafas. 

Sakuntaladewi menatap ke atas, ke arah atap ruangan 

yang berbentuk kerucut. Dalam hati dia berkata. "Suaranya 

seperti suara orang sudah berusia lanjut...." 

Si gadis pejamkan mata. Nafas ditahan seketika lalu 

dihembuskan. "Hemm...aku merasakan ada dua detakan 

jantung. Satu berada dalam ruangan ini. Satu lagi di luar 

ruangan." Lalu kembali gadis ini menegur. "Hai, siapa yang 

tadi bicara? Mengapa tidak mau unjukkan diri?" 

"Lakukan saja apa yang tadi disarankan. Kita tidak 

punya waktu lama." Suara mengiang menjawab. Kali ini 

bukan suara orang tua tapi menyerupai suara anak lelaki. 

"Penghuni Ruang Segi Tiga Nyawa. Jika kalian 

bersahabat dengan diriku harap perlihatkan diri."


"Sakuntaladewi, lakukan saja apa yang dikatakan 

orang. Kita tidak punya waktu banyak." 

Kembali terdengar suara mengiang anak lelaki 

mengulang ucapan. 

Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal terkejut. 

"Mahluk yang bicara tahu namaku..." Ucap si gadis dalam 

hati. 

Tiba-tiba ada suara seperti angin berdesir di atap 

sebelah atas. Lalu sayup-sayup terdengar suara tambur 

dan tiupan suling. 

Sakuntaladewi mendongak ke atas atap yang berbentuk 

kerucut. 

Astaga! 

Samar-samar dia melihat sepasang kakek nenek 

berselempang kain putih di atas sana, mengambang diluar 

atap. 

"Kakek nenek berdua...." 

Sakantaladewi rundukkan tubuh memberi 

penghormatan. Dadanya berdebar tapi dia tetap berlaku 

tenang. 

Dua kakek nenek di atap Ruang Segi Tiga Nyawa 

gerakkan tangan dan jari jemari mereka. Menyampaikan 

ucapan bahasa orang bisu! Kedua orang tua itu bukan lain 

adalah Sepasang Arwah Bisu yang merupakan kakek 

nenek Sakuntaladewi.


TIGA BELAS


SAKUNTALADEWI perhatikan gerakan jari dan tangan 

sepasang kakek nenek. Namun kedua orang itu 

masih terlalu samar hingga Sakuntaladewi tidak dapat 

membaca atau mengartikan apa yang tengah dikatakan 

Sepasang Arwah Bisu melalui gerakan jari dan tangan 

mereka. 

Sakuntaladewi menunggu sebentar. Begitu sosok kakek 

dan neneknya berubah jelas, gadis ini segera membuat 

gerakan jari dan tangan bahasa orang bisu tanpa 

memperdulikan apa yang hendak disampaikan dua kakek 

nenek di atas sana. 

"Kakek nenek berdua, apakah datang untuk 

mengeluarkan saya dari dalam ruangan ini?" 

Kakek berselempang kain putih langsung membalas 

menjawab dengan gerakan jari dan tangan pula. 

"Cucuku Sakuntaladewi, kami berdua datang bukan 

untuk mengeluarkanmu dari tempat dimana saat ini kau 

berada " 

Karuan saja Sakuntaladewi menjadi kaget. Dia adalah 

cucu darah daging dua kakak sakti. Tapi mereka muncul 

justru bukan untuk menolongnya! 

Nenek berselempang kain putih gerakkan jari dan 

tangan. 

"Cucuku, jangan unjukkan air muka kecewa. Se-

sungguhnya kau berada dalam satu keberuntungan dan 

kesempatan besar untuk menolong Raja dan Kerajaan 

Mataram." 

Karena masi belum bisa mengerti Sakuntaladewi diam 

saja. 

Si kakek lalu menggerakkan tangan.


"Kami datang untuk meminta agar kau mengikuti apa 

yang disampaikan orang melalui suara mengiang. Karena 

itu adalah petunjuk Para Dewa. Kau akan menghadapi satu 

kejadian besar. Jika kau berbuat bakti maka kau akan 

menerima pahala besar termasuk penentuan jodoh bagi 

masa depanmu. Lekas lakukan sebelum orang dan roh 

jahat muncul membuat kekacauan dan menghalangi 

tindakanmu." 

Sakuntaladewi terkejut. Dia bertanya dengan membuat 

gerakan tangan bahasa orang bisu. 

"Kek, apa yang kau maksudkan dengan penentuan 

jodoh? Apakah..." 

Nenek berselempang kain putih memotong gerakan 

tangan bahasa yang disampaikan Sakuntaladewi. 

"Cucuku, dari dulu kau selalu banyak bertanya. Padahal 

keadaan sudah sangat mendesak. Lekas usap wajahmu 

tiga kali dengan tangan kanan." 

Di kejauhan sayup-sayup kembali terdengar suara 

tambur dan suling. Sosok sepasang kakek nenek perlahan-

lahan berubah samar. Sakuntaladewi tersentak. 

"Tunggu!" Sakuntaladewi berseru namun Sepasang 

Arwah bisu raib sudah. Keadaan dalam ruangan terasa 

sangat sunyi. Keredupan semakin temaram. 

Sakuntaladewi angkat tangan kanan. Telapak 

dikembangkan, dipandangi beberapa lama. Lalu wajah 

diusap tiga kali berturut-turut. Begitu salesai mengusap di 

kejauhan terdengar suara dentangan lonceng. Lalu ada 

cahaya kuning lembut menyapu seantero ruangan. Tempat 

yang disebut Ruang Segi Tiga Nyawa itu, yang tadinya 

redup mendadak berubah terang. Ternyata ruangan itu 

cukup luas dan keseluruhan lantai, dinding serta atap yang 

berbentuk kerucut merupakan tanah merah keras. 

Ketika menatap ke arah depan yang adalah ujung salah 

satu dari sudut segi tiga dalam ruangan, Sakuntaladewi 

terkejut. Tadi sewaktu pertama kali ruangan berubah 

terang dia tidak melihat benda itu. 

Benda yang dilihat Sakuntaladewi adalah seuntai rantai


besar merah, bergulung demikian rupa, mengambang di 

dalam ruangan seolah melingkari sesuatu. 

"Rantai besi aneh. Empat Mayat Aneh membawaku ke 

Candi Kalasan lalu ada orang menarikku masuk ke dalam 

ruangan ini. Apakah hanya untuk melihat rantai ini? Empat 

Mayat Aneh mengatakan ada seseorang yang menyuruh-

nya. Di ruangan ini sama sekali tidak ada sepotong ma-

nusiapun!" 

Dalam keadaan hati tidak enak kembali Sakuntaladewi 

menatap ke arah rantai besi besar. Tiba-tiba rantai itu 

memancarkan cahaya merah seolah berubah menjadi bara 

api walau tidak ada hawa panas terasa menebar. Belum 

habis kejut si gadis, di dalam gulungan rantai menyala 

perlahan-lahan muncul sosok seorang kakek bertubuh 

kurus kering, hanya mengenakan sehelai kain putih 

sebatas pinggang ke bawah. Tulang-tulang iga bertonjolan 

seperti jerangkong. Muka yang tinggal kulit pelapis tulang 

membuat tampangnya nyaris menyerupai tengkorak hidup 

namun anehnya tampang itu tidak menyorotkan ke-

angkeran atau rasa seram bagi orang yang melihatnya. 

Selain itu si orang tua memiliki rambut, kumis serta janggut 

berwarna biru. 

Kakek itu duduk bersila di lantai tanah merah. Seluruh 

tubuhnya digulung oleh rantai merah besar menyala. 

Setelah terpana beberapa ketika menyaksikan sosok 

tua dalam libatan rantai merah Sakuntaladewi 

membungkuk memberi penghormatan. Dia maklum orang 

tua itu pasti bukan orang sembarangan. Lalu gadis ini 

beranikan diri menegur. 

"Orang tua, saya tersesat masuk ke tempat ini. Mohon-

maaf kalau saya mengganggu ketenteramanmu..." 

Orang tua di dalam gulungan rantai merah mengangkat 

kepala sedikit, menatap tapi tidak menjawab. 

"Kalau saya boleh tahu kau ini siapa?" Bertanya 

Sakuntaladewi. 

"Aku seorang Empu. Berasal dari Gunung Bismo. 

Namaku Semirang Biru." Si orang tua dalam gulungan


rantai besi keluarkan ucapan untuk pertama kalinya. 

"Empu Semirang Biru?" Sakuntaladewi berpikir sejenak. 

Tiba-tiba dia ingat. "Orang tua, kalau namamu memang itu, 

saya pernah menyirap cerita. Bukankah kau pembuat Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi yang dikabarkan lenyap diculik 

orang dari dalam Istana Mataram sebelum bencana Malam 

Jahanam melanda Bhumi Mataram?” 

"Cerita itu memang benar " 

"Empu, maaf kalau saya memotong bicaramu. Empat 

Mayat Aneh membawa saya ke Candi Kalasan. Katanya 

atas suruhan seseorang..." 

"Akulah orangnya yang menyuruh." 

"Ooo..." Sakuntaladewi ternganga. 

"Tapi saya rasa saat ini saya tidak berada di kawasan 

Candi Kalasan. Ada orang yang membobol peti mati di 

mana saya berada, lalu menarik saya masuk ke dalam 

tanah. Saya berusaha mengetahui orang itu tapi keburu 

tidak sadarkan diri." 

"Anak gadis, ketahuilah saat ini kau berada tepat 

dibawah Candi Plaosan Lor. Sesungguhnya aku sudah 

beberapa hari menunggumu." 

Untuk kesekian kalinya Sakuntaladewi dibuat 

tercengang. 

"Empu, rantai merah yang melingkari tubuhmu, apakah 

rantai itu milikmu atau...." 

"Ada seseorang sakti tapi tidak berhati putih. Karena 

tidak bisa membunuhku karena aku mendapat 

perlindungan dari Para Dewa orang sakti itu lalu 

membelenggu aku dengan rantai merah ini yang disebut 

Rantai Kepala Arwah Kaki Roh. Rantai ini adalah benda 

curian milik seorang pertapa sakti dipuncak Gunung 

Semeru." 

“Empu, siapa orang jahat yang mengikat dirimu dengan 

rantai itu?" Bertanya Sakuntaladewi. 

"Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga Purana." 

Lagi-lagi Sakuntaladewi dibuat terkejut. 

"Kalau begitu biar aku coba membebaskan dirimu dari


rantai itu," kata si gadis pula. 

Empu Semirang Biru gelengkan kepala. 

"Ada hal lain yang lebih penting yang dapat kau lakukan. 

Jika kau berhasil maka kau akan mampu memutuskan 

rantai merah ini. Kau sendiri kemungkinan akan bebas dari 

azab sengsara yang kau derita selama ini." 

Sakuntaladewi melangkah mendekati Empu Semirang 

Biru. Dia pegang rantai merah di bagian bahu kiri kanan si 

orang tua dan berkata. Walau rantai itu tampak merah 

menyala namun dua tangannya terasa dingin aneh hingga 

gadis itu menggigil dan giginya bergemeletukan. 

Sakuntaladewi tarik kedua tangannya. Menatap Empu 

Semirang Biru dengan perasaan heran karena orang tua ini 

sama sekali tidak tampak kedinginan. Padahal sekujur 

tubuhnya digulung rantai. 

"Hal apa Empu? Katakan apa yang harus saya 

lakukan?" 

Empu berambut biru itu dongakkan kepala, 

memandang ke arah atap runcing Ruang Segi Tiga Nyawa. 

Sakuntaladewi ikuti pandangan si orang tua. Begitu dia 

melihat ke atas, dadanya berdebar, darah berdesir dan 

sepasang bola mata membesar. 

"Tadi benda itu tidak ada di sana. Apakah "


EMPAT BELAS


DI ATAP ruangan segi tiga yang berbentuk kerucut, 

menancap sebilah keris. Bagian yang menancap 

adalah gagang yang masih telanjang sementara bagian 

badan dan ujung yang runcing menukik ke bawah. 

Keseluruhan badan keris yang memiliki luk sembilan 

memancarkan cahaya biru. Anehnya, di sebelah kanan 

badan keris, mulai dari ujung runcing sampai ke bagian 

bawah yang melebar lancip, tampak gabungan cahaya 

tujuh warna, memanjang dan bergelombang mengikuti luk 

keris yang sembilan. Inilah Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. 

Walau berada jauh di atas atap ruang segi tiga namun 

Sakuntaladewi bisa merasa dan mencium tebaran bau 

harum keluar dari badan keris. 

"Sakuntaladewi, senjata tak bergagang itu adalah Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi. Kelak senjata itu akan menjadi 

benda pusaka Kerajaan Mataram. Aku yang membuatnya 

atas petintah Yang Mulia Rakai Kayuwangi Raja Mataram. 

Kini aku dan keris bertuah berada dalam perlindungan 

Para Dewa di Ruang Segi Tiga Nyawa ini! Tapi aku tetap 

merasa kawatir." 

Sakuntaladewi tegak tak bergerak. Mata tak berkedip. 

Tanpa mengalihkan pandangan gadis ini bertanya. 

"Empu, bagaimana kejadiannya keris sakti Kerajaan 

dan dirimu bisa berada di tempat ini?" 

"Semua gara-gara perbuatan dua Sinuhun yang berhasil 

membujuk anak lelaki sakti bemama Kesatria Junjungan 

itu." Jawab Empu Semirang Biru. "Sakuntaladewi, hanya 

kau yang mampu menyelamatkan Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi. Namun kita masih memerlukan bantuan


seseorang. 

Bukankah kau mengenal seorang gadis yang punya 

kepandaian menangkap petir?" 

"Maksud Empu gadis bernama Jaka Pesolek?" Tanya 

Sakuntaladewi. 

"Kalau memang itu namanya maka itulah orangnya." 

"Saya tidak tahu dia berada di mana. Terakhir sekali dia 

masih berada di Bukit Batu Hangus sewaktu Empat Mayat 

Aneh memasukkan saya ke dalam peti mati." 

"Aku punya firasat sebentar lagi gadis itu akan sampai 

di tempat ini. Biar kita bersabar menunggu. " Kata Empu 

Semirang Biru pula. 

"Empu, di sini tidak ada petir. Lagi pula kalau hanya 

untuk mengambil dan menyelamatkan keris sakti di atas 

atap sana, saya bisa melakukan." 

Habis keluarkan ucapan Sakuntaladewi jejakkan kaki 

tunggalnya ke lantai tanah merah. 

"Desss!" 

"Wutt!” 

"Hyang Jagat Bathara! Jangan lakukan!" Teriak Empu 

Semirang Biru. 

Tapi terlambat! 

Tubuh Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal melesat 

membal ke atas atap berbentuk kerucut dimana Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi. Tangan dipentang siap untuk 

menjangkau senjata sakti. Namun baru satu tombak dia 

berada di atas lantai ruangan tiba-tiba di atas sana Keris 

Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya terang putih 

menyilaukan. Warna putih ini bukanlah warna atau 

kekuatan asli yang mengendap dalam tubuh keris. Kejap 

itu juga terdengar suara menggelegar. Lalu blaarr! Kilauan 

cahaya putih panas menyambar keluar dari keris sakti! 

Ruang Segi Tiga Nyawa bergoncang hebat! Dinding dan 

atap ruangan yang terbuat dari tanah merah keras 

berguguran, membuat keadaan dalam ruangan sesaat 

menjadi redup merah. Empu Semirang Biru kembali 

berteriak. Mulut menggembung lalu meniup. Satu


gelombang angin menderu menerpa ke arah 

Sakuntaladewi, mendorong tubuh si gadis agar tidak 

berada di arah lurus datangnya cahaya putih yang laksana 

petir. Namun sambaran cahaya putih menyilaukan dan 

panas datang lebih cepat. 

Sakuntaladewi sendiri saat itu menjerit ketika melihat 

kilatan putih panas menggebubu ke arahnya. Untuk 

melindungi diri gadis ini segera keluarkan jurus Enam 

Belas Gerakan Tangan Bisu. Selain itu tubuhnya yang telah 

terdorong ke samping akibat tiupan Empu Semirang Biru 

segera dibanting ke kiri hingga menghantam dinding ruang 

segi tiga. 

"Wusss!" 

Cahaya putih panas menyambar ganas. 

Kembali terdengar jeritan si gadis. Lalu tubuhnya 

melayang jatuh ke bawah tapi masih sanggup berdiri di 

atas kakinya yang cuma satu. Wajah tampak pucat. 

Pakaiannya yang berwama jingga hangus hitam di sisi 

sebelah kanan. 

"Sakuntaladewi, kau tidak apa-apa?!" Empu Semirang 

Biru berteriak cemas. 

"Berkat pertolongan Empu melepas tiupan sakti tadi, 

saya selamat. Saya hanya merasa sedikit kehilangan 

keseimbangan. Pakaian hangus, tubuh sebelah kanan 

seperti mati rasa..." Menjawab Sakuntaladewi sambil 

bersandar ke dinding. Nafas sesak dada turun naik. Selagi 

dia berusaha mengatur jalan darah dan mengalirkan hawa 

sakti di dalam tubuh, tiba-tiba kaki tunggalnya merasakan 

getaran-getaran di tanah. 

"Ada orang berjalan cepat. Menuju ke sini..." Ucap si 

gadis dalam hati. Baru saja membatin begitu tiba-tiba dari 

arah kanan ruang segi tiga tampak samar-samar cahaya 

kuning. Cahaya kuning lenyap. Lalu ada suara seperti orang 

melengak kaget, disusul ucapan. 

"Aku takut. Aku mau kencing. Tapi tadi aku mendengar 

suara petir menggelegar. Senang juga rasanya. 

Oala...dimana aku ini sebenamya berada! Hai, di depan


sana ada cahaya terang kemerahan..." 

Sakuntaladewi segera mengenali suara orang. Sesaat 

kemudian orangnya muncul, mencuat keluar dari dinding 

tanah merah sebelah kanan, tegak terheran-heran. Ketika 

pandangannya membentur sosok Sakuntaladewi orang ini 

langsung berteriak girang! 

"Sobatku cantik! Ternyata kau ada di sini!" 

"Huss! Jangan berteriak! Beri hormat dulu pada orang 

tua penghuni ruangan." 

"Penghuni ruangan katamu! Hai apakah dia seorang 

lelaki gagah?!" Jaka pesolek segera saja keluarkan cermin 

dan kotak bedaknya. Setelah berkaca dan memoles bedak 

serta pemerah bibir dan merapikan rambut, gadis ini 

simpan semua benda itu dan berpaling pada 

Sakuntaladewi. 

"Mana? Siapa? Mana orang gagah itu?" 

Sakuntaladewi geleng-geleng kepala. Dia menunjuk ke 

kiri. Jaka Pesolek mula-mula hanya menampak gulungan 

rantai merah. Sesaat kemudian baru melihat sosok kakek 

yang ada dalam libatan rantai. Si gadis terperangah karena 

sebelumnya menyangka yang yang disebut sebagai 

penghuni ruangan itu adalah seorang lelaki muda dan 

gagah. Ternyata seorang kakek berwajah tengkorak dan 

bertubuh seperti jerangkong. 

"Gadis berbaju merah, apakah kau masih ingin 

kencing?" Orang tua di dalam gulungan rantai merah 

bertanya. 

Jaka Pesolek menatap tak berkesip. Tersenyum lalu 

anggukkan kepala. "Sekarang malah sudah terdesak. 

Rasanya sudah diujung-ujung..." 

Empu Semirang Biru ikutan tersenyum. Dia meniup ke 

arah tubuh Jaka Pesolek. "Tahan dulu kencingmu sampai 

nanti." 

Jaka Pesolek terperangah. Dia merasa ada hawa dingin 

menyapu tubuh. Buru-buru gadis ini memegang bagian 

bawah perutnya. Aneh, rasa terdesak ingin kencingnya 

telah lenyap. Sambil tersenyum dia berkata.


"Kek, ilmu menahan kencingmu boleh juga. Apa ada 

ilmu lain yang lebih mantap.Misalnya membuat besar……” 

"Huss! Jangan bicara sembarangan!" Bentak Sakunta-

ladewi. Lalu dia berpaling pada Empu Semirang Biru dan 

berkata. 

"Empu, ini gadis bernama Jaka Pesolek yang Empu cari." 

Sepasang mata Empu Semirang Biru membesar, kening 

mengerenyit. 

"Dewa Maha besar. Akhirnya orang yang ditunggu sudah 

datang." Kata Empu Semirang Biru pula. Tapi sungguh aku 

tidak mengira. Yang namanya Jaka Pesolek itu ternyata 

adalah seorang gadis cantik." 

Jaka Pesolek tersenyum dan terbatuk-batuk. "Kek, 

terima kasih atas pujianmu," katanya. "Aku ini manusia 

paling beruntung di dunia. Karena dalam ujudku yang 

seperti ini sebenamya aku bisa jantan bisa betina." 

Kepala Empu Semirang Biru tertegak. Wajah terheran-

heran. 

Sakuntaladewi cepat berkata. "Empu, harap jangan 

dengarkan ucapannya." 

Empu Semirang Biru untuk pertama kalinya keluarkan 

suara tertawa. 

Tiba-tiba orang tua ini sadar. "Hyang Jagat Bathara 

mohon ampunMu. Tidak sepantasnya aku tertawa. 

Masalah besar masih menggantung..." 

"Empu, orang yang Empu tunggu sudah berada di sini. 

Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Bertanya 

Sakuntaladewi. 

Empu Semirang Biru mengangguk. "Aku ingin bertanya 

dulu. Jaka Pesolek, gadis cantik yang pandai menangkap 

petir. Bagaimana kau bisa sampai ke tempat ini. Padahal 

aku baru menyusun rencana bersama Sakuntaladewi 

untuk mencarimu..." 

"Waktu berada di Candi Kalasan, tiba-tiba ada cahaya 

kuning menyelubungi diriku. Tahu-tahu aku sudah amblas 

masuk ke dalam tanah. Di dalam tanah anehnya aku 

seperti berada di alam terbuka saja. Cuma suasananya


memang agak gelap. Lalu ada satu cahaya kuning disertai 

gema suara lonceng di kejauhan. Cahaya kuning itu 

bergerak ke depan. Aku mengikuti dan akhimya sampai di 

tempat ini." 

"Cahaya kuning dan suara lonceng?" Ucap Empu 

Semirang Biru. "Para Dewa telah menolongmu melalui 

kepanjangan tangan seorang anak sakti bernama Mimba 

Purana. Aku bersyukur kau bisa selamat sampai di sini. 

Kau memang sudah sangat ditunggu-tunggu. Sekarang...." 

Belum sempat si orang tua menyelesaikan ucapan tiba-

tiba ada suara perempuan berseru. 

"Aku mendengar orang bicara! Tadi ada suara seperti 

petir menyambar. Apakah kedatanganku juga sudah 

ditunggu?!" 

Sesaat kemudian satu bayangan hijau berkelebat 

memasuki bagian terang merah Ruang Segi Tiga Nyawa 

disertai menebarnya bau harum. 

"Hai! Kalian berdua ada di sini rupanya. Tapi mana sang 

Kesatria Panggilan?!"


LIMA BELAS


YANG MUNCUL temyata Kunti Ambiri alias Dewi Ular. 

Rambut panjang hitam yang tergerai lepas tidak lagi 

bermahkota membuat wajahnya tambah cantik. Namun 

wajah yang tadi cerah gembira kini kelihatan kecewa 

karena tidak melihat Pendekar 212 Wiro Sableng di tempat 

itu. Ketika memandang ke arah Empu Semirang Biru yang 

berada dalam gulungan rantai merah, Kunti Ambiri tampak 

terkejut. Tapi dia tidak lupa membungkuk memberi 

penghormatan. 

"Kek, apa yang terjadi denganmu. Kau ini memang 

senang nyaman tinggal berada di dalam gulungan rantai 

atau kau tengah menjalani hukuman?" 

"Tak usah memikirkan diriku." Menyahuti Empu 

Semirang Biru. Lalu dia berpaling pada Sakuntaladewi dan 

bertanya. "Sahabatmu yang baru datang ini, apa dia juga 

bisa jantan bisa betina?" 

"Weleh! Aku disamakan dengan si pencuri celana dalam 

ini! Puiiih!" Ucap Kunti Ambiri sambil menunjuk Jaka 

Pesolek lalu tertawa gelak-gelak. Empu Semirang Biru yang 

tidak tahu cerita celana dalam itu tentu saja terheran-

heran sementara Jaka pesolek mesem-mesem jengkel. 

Kunti Ambiri kembali membungkuk ke arah si orang tua 

lalu berkata. "Kek, aku Kunti Ambiri dan aku perempuan 

betulan." Lalu gadis dari alam roh ini berpaling ke arah 

Sakuntaladewi. "Sahabat, aku lihat pakaianmu hangus di 

sisi kanan. Tadi aku mendengar suara menggelegar 

disertai kilatan terang seperti petir menyambar. Apa yang 

terjadi di sini. Tempat apa ini namanya?" 

Sakuntaladewi menunjuk ke atas atap ruangan. 

"Tadi aku mencoba mengambil keris yang menancap di


atas sana. Tak terduga senjata itu mengeluarkan cahaya 

putih panas menggelegar laksana petir. Untung kakek itu 

menyelamatkan diriku..." 

Kunti Ambiri memandang ke atas. Yang lain-lain ikut 

memperhatikan. 

"Keris tidak bergagang. Menancap di atap ruangan. Aku 

yakin senjata sakti ini yang oleh dua Sinuhun disebut 

sebagai Mahkota di atas Mahkota. Aku mencium hawa 

aneh dibalik keharuman yang menebar. Senjata itu dihuni 

kekuatan jahat." 

"Kau benar Kunti Ambiri," berkata Empu Semirang Biru. 

"Mungkin kau belum tahu. Aku membuat keris itu atas 

perintah Raja Mataram. Keris bernama Keris Kanjeng 

Sepuh Pelangi. Keris dicuri oleh dua Sinuhun dengan 

memperalat arwah seorang pertapa sakti bernama Sedayu 

Galiwardhana yang saat ini telah menemui kematian untuk 

kedua kalinya. Para Dewa menciptakan Ruang Segi Tiga 

Nyawa ini untuk melindungi keris. Dua Sinuhun dan kaki 

tangannya termasuk anak sakti Dirga Purana tidak mampu 

menembus ruangan ini untuk mengambil keris..." 

"Tapi Kek, tadi aku mudah saja masuk ke ruangan ini. 

Apa ilmu kesaktianku jauh lebih hebat dari dua Sinuhun 

dan anak bernama Dirga Purana itu? Berkata Kunti Ambiri 

yang membuat Jaka Pesolek mencibir. 

"Para Dewa telah membuat aturan," jawab Empu 

Semirang Biru. "Siapa saja orang atau mahluk yang 

memiliki benjolan di keningnya tidak akan bisa menembus 

ruangan ini. Mereka adalah dua Sinuhun dan para 

pengikutnya. Tapi mereka tidak tinggal diam. Agar tidak 

ada orang yang dapat mengambil senjata itu mereka lalu 

memasukkan satu kekuatan jahat ke dalam keris berupa 

sambaran petir ganas. Siapa saja yang coba mendekat apa 

lagi berniat mengambil keris pasti akan dihantam petir 

yang keluar dari dalam keris. Dewa Agung! Keris itu harus 

diselamatkan sebelum dua Sinuhun dan lelaki sakti 

bernama Dirga Purana bisa menemukan cara untuk 

merampasnya. Tapi kekuatan jahat yang ada dalam keris


menjadi penghalang sangat berbahaya. Sakuntaladewi 

sudah merasakan..." 

"Keris Kanjeng Sepuh Pelangi...." Ucap Kunti Ambiri. Dia 

berpaling kembali memperhatikan Sakuntaladewi. Tiba-tiba 

gadis kaki satu ini bertanya. 

"Kek, berapa jumlah luk keris buatanmu itu?" 

"Sembilan." Jawab Empu Semirang Biru. 

"Sakuntaladewi, apa yang ada di dalam pikiranmu?" Si 

orang tua bertanya. 

"Saya merasakan ada sesuatu. Apakah Yang Mulia Raja 

Mataram yang minta agar Empu menciptakan keris berluk 

sembilan?" 

Empu Semirang Biru terpana mendengar pertanyaan si 

gadis. 

"Tidak. Utusan Sri Baginda Raja Mataram hanya 

menyerahkan logam sakti cikal bakal untuk pembuatan 

keris. Selagi aku membuat senjata itu seorang kakek aneh 

muncul. Dia merubah kedua tanganku menjadi bara api 

hingga aku mampu membuat dan membentuk keris dalam 

waktu sangat cepat. Ketika keris selesai baru aku sadari 

kalau senjata itu memiliki sembilan luk. Sakuntaladewi, 

katakan apa yang ada dalam benakmu." 

Gadis berkaki satu usap pakaiannya yang hangus. Dari 

dalam gulungan rantai besi Empu Semirang Biru berkata. 

"Semoga Yang Maha Kuasa menolongmu." Lalu orang tua 

ini meniup ke arah si gadis. Inilah satu-satunya ilmu 

kesaktian yang dimilikinya. Pakaian jingga itu masih 

tampak hangus namun mati rasa yang dialaminya pada sisi 

kanan tubuh lenyap seketika. 

"Empu, terima kasih. Lagi-lagi kau menolongku." 

"Sakuntaladewi, kau belum menjawab pertanyaanku. 

Katakan apa yang ada dalam benakmu. Mengapa kau 

menanyakan jumlah luk Keris Kanjeng Sepuh Pelangi?" 

"Saya tidak tahu Empu. Hal itu muncul saja dalam jalan 

pikiran saya. Saya menaruh dugaan jumlah luk yang 

sembilan merupakan..." 

"Sudahlah, mengapa membicarakan luk keris itu." Kunti


Ambiri memotong bicara Sakuntaladewi. Lalu pada sang 

Empu dia berkata. "Kek, aku ingin sekali menolongmu. 

Izinkan aku mengambil keris di atap ruangan." 

"Kunti Ambiri, aku tahu kau bukan gadis sembarangan. 

Tapi jangan berani mencoba...." 

Sebelum selesai si orang tua berucap Kunti Ambiri telah 

berdiri dengan dua kaki terkembang. Perut dibusungkan 

kedepan. 

"Desss!" 

Dari pusar Kunti Ambiri melesat keluar seekor ular 

hitam besar berkepala putih. 

"Ambil keris di atas atap!" Memerintah Kunti Ambiri. 

Sambil keluarkan suara mendesis keras ular hitam 

kepala putih melesat ke atas atap. Seperti tadi 

kejadiannya, pada saat sosok binatang jejadian ini baru 

berada sekitar satu tombak di atas lantai ruangan tiba-tiba 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi pancarkan cahaya putih 

terang. Lalu terdengar suara menggelegar yang 

menggoncang seantero ruangan. Cahaya putih panas 

menyilaukan berkiblat. 

"Wusss!" 

"Blaarr!" 

Tubuh ular hitam kepala putih hancur berubah menjadi 

puluhan kepingan dikobari api. Luruh jatuh ke lantai 

ruangan bersama runtuhan debu clan tanah merah. 

Kunti Ambiri terpekik melihat apa yang terjadi. Seperti 

kalap dia siap melompat ke atas atap. Dua tangan 

dipentang pertanda akan segera melancarkan dua pukulan 

sakti. 

"Kunti! Jangan! Tetap di tempatmu!" Empu Semirang 

Biru berteriak. 

Sakuntaladewi cepat menghalangi namun Jaka Pesolek 

bertindak lebih cepat. Dengan gerakan kilat dia menelikung 

pinggang Kunti Ambiri lalu menjatuhkan diri ke lantai 

sambil menarik tubuh gadis alam roh itu. 

"Tujuh puluh tahun aku memelihara mahluk itu. 

Sekarang dia mati percuma. Lihat saja pembalasanku!"


"Sssttt, mengapa bicara menyebut bilangan tahun 

segala. Sama saja kau memberi tahu kalau dirimu 

sebenarnya sudah tua bangka!" Berkata Jaka Pesolek 

setengah berbisik. 

Kunti Ambiri hendak menyemprot. Tapi Jaka Pesolek 

mendahului bicara. "Sssshhh, apa kau lupa ucapan Nyi 

Loro Jonggrang. Kau sudah berubah jadi orang baik. 

Jangan kesusu bertindak. Kita berada di tempat aneh. 

Salah bertindak bisa konyol. Biar aku yang akan 

mengambil keris di atas atap. Tanganku sudah gatal 

karena sudah lama tidak bermain petir-petiran. Yang satu 

ini cuma petir kecil. Kalau keris sudah dapat akan aku 

berikan padamu biar hatimu senang..." 

"Sakuntaladewi, Jaka Pesolek, dengar apa apa yang aku 

katakan." Empu Semirang Biru yang sempat mendengar 

ucapan Jaka pesolek berkata. "Kalian berdua memang 

sudah diatur agar bisa datang ke sini. Sebelumnya aku 

menunggu kalian di Candi Kalasan. Tapi keadaan tidak 

mengizinkan. Para Dewa memindahkan diriku ke tempat ini 

dan membuat Ruang Segi Tiga Nyawa untuk melindungi 

diriku dan keris sakti..." 

"Kek, mengapa Para Dewa tidak sekalian menolong 

memusnahkan rantai besi merah yang melibat sekujur 

tubuhmu?" Kunti Ambiri bertanya. 

"Semua sudah diatur. Rantai besi ini hanya bisa diputus 

oleh Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Sekarang jangan ada 

yang bertanya sebelum aku memberi tahu satu petunjuk 

sesuai apa yang aku terima dari satu mahluk sakti. 

Sakuntaladewi kau melesatlah ke atap. Seperti tadi keris 

sakti yang telah diisi kekuatan jahat pasti akan menghan-

tamkan cahaya kilat seperti petir. Jaka Pesolek, kau punya 

kewajiban menangkap petir. Pada saat petir sudah 

dilumpuhkan kekuatannya kau Sakuntaladewi cepat 

mengambil keris di atas atap..." 

"Oala! Mengapa gadis itu! Aku juga bisa melakukan!" 

Tiba-tiba satu suara menggema di luar Ruang Segi Tiga 

Nyawa.



ENAM BELAS


DARI dinding sebelah kiri mencuat masuk ke dalam 

ruangan seorang perempuan berusia lebih dari 

setengah abad, rambut hitam agak awut-awutan. Pakaian 

kotor. Walau sudah berusia lanjut tapi memiliki tubuh 

molek serta wajah cantik. 

Melihat Kunti Ambiri, Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek, 

perempuan yang baru datang yang bukan lain adalah Ratu 

Randang langsung menegur. 

"Kalian bertiga ternyata ada di sini." Lalu perempuan 

yang biasa dipanggil dengan sebutan Ratu atau Nenek ini 

berpaling ke arah Empu Semirang Biru, yang terakhir kali 

dilihatnya di Istana Raja Mataram sebelum diculik oleh 

seseorang. 

"Sahabat lama Empu Semirang Biru, tidak kusangka 

kau punya tetirahan ditempat ini. Terima salam hormatku." 

Setelah membungkuk Ratu Randang mendekati sang 

Empu, meraba rantai merah yang menggelung sekujur 

tubuh si kakek. "Aku bersedih melihat keadaanmu. Sayang 

tingkat ilmuku tidak mungkin aku dapat melepaskan rantai 

ini. Aku bisa menduga apa yang terjadi denganmu. Ini pasti 

pekerjaan dua Sinuhun jahanam!" 

Empu Semirang Biru tersenyum. 

"Ratu Randang, aku gembira bisa bertemu denganmu 

lagi. Aku baik-baik saja. Jangan kawatirkan diriku. Ratu, 

bagaimana kau bisa sampai ke sini?" tanya Empu 

Semirang Biru pula. 

"Ketika berada di depan Candi Kalasan sendirian, 

menyamar sebagai seekor kucing putih, sekonyong-

konyong ada delapan anak kucing merah melesat dari 

langit. Langsung menyerangku." Si nenek memperlihatkan


pakaiannya yang robek serta bekas luka di tangannya. 

"Delapan anak kucing merah!" Kata Empu Semirang 

Biru pula. "Binatang itu adalah peliharaan anak lelaki jahat 

bernama Dirga Purana, junjungan dua Sinuhun." 

"Aku juga menduga begitu," jawab Ratu Randang. Lalu 

meneruskan ceritanya. "Ketika aku dibuat tak berdaya dan 

siap dijadikan mangsa dicabik-cabik tiba-tiba ada orang 

menarik tubuhku hingga amblas masuk ke dalam tanah. 

Aku memperhatikan. Ternyata orang itu adalah Kumara 

Gandamayana, orang kepercayaan Raja Mataram dan juga 

sahabatku.Tapi anehnya dia tidak mengaku kalau dirinya 

adalah Kumara Gandamayana. Padahal sorban di kepala 

dan jubah kelabu serta kasut putih yang dikenakannya 

sangat aku kenali. Ketika aku memaksa agar dia 

menerangkan siapa dirinya sebenarnya, orang tua itu 

malah berkata siapa dirinya bisa ditanyakan pada orang 

yang akan aku temui. Aku kemudian disirap hingga tertidur. 

Ketika terbangun aku telah berada beberapa langkah dari 

tempat ini. Dan ternyata orang yang kutemui adalah dirimu. 

Nah, cerita apa yang bisa kau berikan padaku Empu 

Semirang Biru?" 

Sambil bertanya Ratu Randang melirik ke atap ruangan 

dimana masih menancap Keris Kanjeng Sepuh Pelangi. Dia 

juga memandang berkeliling. Merasa heran tidak melihat 

Wiro berada di tempat itu. Padahal sebelumnya sewaktu 

masih berada di Candi Kalasan sang pendekar 

mengatakan akan menyusul Kunti Ambiri. 

"Mengenai kakek bersorban dan berjubah kelabu itu, 

dia memang mempunyai banyak pantangan. Salah satu 

diantaranya dia tidak akan mau memberi tahu nama. Aku 

sendiripun tidak tahu siapa namanya...." 

"Oala! Jauh jauh kesini ternyata kau sendiri tidak tahu 

siapa nama kakek yang menolongku!" Tukas Ratu 

Randang. 

"Soal nama tidak penting." Menyahuti Empu Semirang 

Biru. "Walau tidak tahu nama tapi aku tahu siapa dia 

sebenamya. Dia adalah Embah Buyut dari Kumara


Gandamayana." 

Ratu Randang terkejut. "Jadi dia adalah kakek dari 

kakek dari kakeknya Kumara Gandamayana. Pantas wajah 

kakek itu mirip sekali dengan Kumara Gandamayana. Lalu 

pakaian, sorban kelabu serta kasut putihnya juga sama." 

"Dia juga adalah orangnya yang menculik aku dari 

Istana Mataram. Aku diselamatkan di tempat yang aman 

bersama Keris Kanjeng Sepuh Pelangi yang berhasil 

direbut kembali dari roh jejadian pertapa Sedayu 

Galiwardhana. Para Dewa kemudian memindahkan aku ke 

tempat ini karena kawatir dua Sinuhun Muda akan 

merampas senjata itu kembali dan membunuh aku. Walau 

diriku belum berhasil mereka babisi tapi mereka 

membuatku begini rupa. Digulung dengan Rantai Kepala 

Arwah Kaki Roh. Seorang anak lelaki sakti bernama Dirga 

Purana ikut membantu mereka..." 

"Anak bernama Dirga Purana itu, menurut riwayat dia 

adalah saudara kembar anak lelaki sakti Mimba Purana, 

Satria Lonceng Dewa." 

"Memang begitu riwayatnya Ratu. Dirga Purana tumbuh 

sebagai seorang anak jahat, berpihak pada dua Sinuhun. 

Mimba Purana menjadi anak baik, berpihak pada Raja 

Mataram." Kata Empu Semirang Biru pula. 

Ratu Randang menatap ke atap ruangan. "Empu, 

senjata sakti yang bakal menjadi Pusaka Istana Mataram 

itu, mengapa berada di atas sana?" 

"Inilah yang menjadi persoalan," jawab Empu Semirang 

Biru. "Karena tidak dapat menguasai senjata sakti itu dua 

Sinuhun menyusupkan kekuatan jahat berupa sambaran 

kilat atau petir. Siapa saja yang mendekat keris pasti akan 

dihantam hangus bahkan leleh!" 

"Ooo, kebetulan aku sudah hampir satu hari tidak 

bermain petir-petiran. Jika diizinkan biar aku membuntal 

petir yang keluar dari dalam keris lalu mengambil senjata 

itu." Jaka Pesolek menyeletuk. 

"Jaka Pesolek, aku yakin kau bisa memberangus petir 

yang keluar dari dalam keris sakti. Itu memang bantuan


yang sangat aku harapkan. Tapi tidak ada orang yang bisa 

menyentuh apa lagi mencabut senjata itu dari atas atap 

sana kecuali gadis bernama Sakuntaladewi ini." 

Semua orang yang berada di ruangan itu sama-sama 

terkejut. Jaka Pesolek langsung mendekati Sakuntaladewi 

dan berbisik. "Aku cemburu. Keris sakti itu jenis 

kelaminnya pasti laki-laki dan ujudnya seorang pemuda 

gagah. Kalau tidak mengapa cuma kau seorang yang bisa 

meraba dan mencabutnya? Usapan tanganmu pasti 

mantap! Dari dulu sebenarnya aku sudah tahu! 

Hik...hik..hik?" 

Tanpa berpaling Sakuntaladewi mencubit perut Jaka 

Pesolek yang berada di belakangnya sampai gadis ini 

bergumam kesakitan. Tapi mulutnya masih saja usil. "Nah, 

apa kataku. Cubitanmu saja membuat tubuhku glenyer-

glenyer. Ayo cubit lagi. Tapi ke sebelah bawah sedikit! Hik... 

hik... hik." 

"Dasar pencuri celana!" Kunti Ambiri mendamprat Jaka 

Pesolek. "Kau kira ini tempat apa! Orang tengah 

menghadapi perkara besar bicara sembarangan!" 

Jaka Pesolek mencibir lalu menjauhi Sakuntaladewi dan 

Kunti Ambiri. 

Saat itu terdengar Ratu Randang bertanya. 

"Sahabatku Empu Semirang Biru. Mengapa hanya 

sobatku muda Sakuntaladewi yang bisa menyentuh dan 

mencabut keris sakti itu?" 

"Inilah kuasa dan petunjuk Para Dewa. Karena keris 

sakti konon hanya bisa disentuh dan dicabut dari atas 

ruangan oleh seorang gadis yang memiliki cacat tubuh. 

Itulah keadilan Yang Maha Kuasa. Setiap insan yang cacat 

pasti diberi kelebihan." 

Semua orang terkejut mendengar jawaban sang Empu 

dan sama-sama memandang ke arah Sakuntaladewi, gadis 

yang dua pahanya dempet dan hanya punya satu kaki. 

Selagi kesunyian menggantung di dalam Ruang Segi 

Tiga Nyawa tiba-tiba di atas atap terdengar suara 

mengeong riuh dan keras. Ketika semua orang menatap ke


atas, di luar atap tampak delapan ekor anak kucing 

berbulu merah membuka mulut memperlihatkan taring 

sambil mementang, cakar kaki depan yang menyerupai 

pisau. Tiga dari delapan anak kucing itu bulu merahnya 

kelihatan lebih pekat bahkan tampak kehitaman. 

"Delapan Sukma Merah...." Desis Empu Semirang Biru. 

"Kalian tidak usah takut. Mereka memiliki benjolan di 

kening. Mereka tidak akan sanggup menembus masuk ke 

dalam ruangan ini...." 

"Empu, sebaiknya kita cepat saja mengambil keris itu." 

Kata Kunti Ambiri. 

Empu Semirang Biru anggukkan kepala, memandang ke 

arah Jaka Pesolek dan Sakuntaladewi. Di atas atap suara 

ngeongan delapan anak kucing semakin keras hingga 

ruangan terasa bergetar! 

Diam-diam Empu Semirang Biru merasa dadanya 

berdebar. Orang tua ini membatin. "Bagaimana kalau dua 

Sinuhun memiliki ilmu penangkal baru lalu sanggup 

menembus masuk ke dalam Ruang Segi Tiga Nyawa. Dewa 

Agung, lindungi kami semua di ruangan ini. Selamatkan 

Keris Kanjeng Sepuh Pelangi dari tangan mahluk-mahluk 

jahat." 

Baru saja Empu Semirang Biru membatinkan 

kekawatirannya tiba-tiba brakkk! 

Satu sosok terkapar di lantai ruangan. Pakaian robek-

robek dipenuhi noda darah. Di wajah ada tiga guratan luka. 

"Wiro!" 

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri sama-

sama berteriak. Jaka Pesolek tidak berteriak tapi melompat 

lebih dulu menjatuhkan diri di samping sosok yang terbujur 

di lantai, langsung memeluknya. 


TAMAT 


Segera menyusul serlal selanjutnya dengan judul: 


SESAJEN ATAP LANGIT







0 komentar:

Posting Komentar