BTemplates.com

Blogroll

Senin, 18 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE DELAPAN POCONG MENARI


 

Delapan Pocong Kematian


SATU


MALAM Selasa Kliwon. Di dalam Puri Kesatu di 

Negeri Atap Langit, Ken Parantili benamkan wajah 

ke dada Pendekar 212, tangan merangkul 

pinggang, lalu perempuan muda ini angkat kepalanya. 

“Kita harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah. 

Suara gamelan mulai terdengar perlahan. Pertanda 

Penguasa Atap Langit dalam perjalanan ke tempat ini. Aku 

harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap 

Langit datang. Apa yang harus kau lakukan nanti akan 

akan aku beri tahu.” 

Ken Parantili menarik tangan Wiro. Keduanya 

melangkah menembus dinding. Di luar Kawasan Atap 

Langit kembali terdengar suara teriakan. 

“Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke 

Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!” 

Ini adalah teriakan yang kedua kali. Setelah gema 

teriakan lenyap dan keadaan sunyi sebentar, tiba-tiba 

menggelegar teriakan balasan. Udara bergetar. Hawa 

dingin terasa tambah mencucuk. 

“Makhluk yang berteriak! Aku Penguasa Atap Langit! 

Aku mengenali suaramu! Bukankah kau Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah?!” 

“Benar sekali, Penguasa Atap Langit. Terima kasih kau 

mau menjawab.” 

“Kau berani berada di Kawasan Atap Langit bukan pada 

hari yang yang ditentukan. Itu pelanggaran pertama. 

Pelanggaran kedua, kau datang membawa kabar seolah 

penghuni Negeri Atap Langit termasuk diriku adalah 

makhluk-makhluk tolol yang tidak tahu menjaga keamanan



Negeri! Apa maksudmu berteriak ada penyusup masuk ke 

Kawasan Atap Langit? Para pengawalku, Tiga Kelelawar 

Raksasa dan dua ratus Arwah Hitam Putih telah melakukan 

penyelidikan. Negeri dalam keadaan aman! Bagaimana 

kau bisa mengatakan ada penyusup! Apakah kau sengaja 

hendak berbaik budi menjilat untuk mendapatkan 

sesuatu? Apakah kau hendak memaksa agar aku memberi 

ilmu hingga kau bisa masuk ke dalam Ruang Segi Tiga 

Nyawa?” 

“Penguasa Atap Langit! Keinginan untuk masuk ke 

Ruang Segi Tiga Nyawa sudah aku lupakan!” 

“Karena keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi sudah 

lenyap, sudah keduluan diambil orang! Dan kau hanya 

dapat keris palsu butut! Ha... ha... ha!” 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti terhenyak. 

“Dia tahu apa yang terjadi,” katanya dalam hati. Dia 

mendongak ke langit lalu menyahuti ucapan orang. 

“Penguasa Atap Langit! Aku datang bukan untuk menjilat 

tapi memang hendak berbaik budi! Kau telah banyak 

menolong diriku dan saudara kembar satu nyawa. Kau juga 

telah banyak membantu Ksatria Junjungan Dirga Purana. 

Apa salahnya kalau aku memberi tahu bahwa dirimu saat 

ini terancam bahaya besar?” 

Dari dalam Kawasan Atap Langit menggelegar tawa 

bergelak sang Penguasa. 

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku peringatkan 

dirimu! Lekas menjauh dari kawasan kekuasaanku! Kau 

baru boleh muncul lagi pada bulan purnama yang akan 

datang!” 

“Tapi Penguasa Atap Langit! Aku tidak bicara dusta. Aku 

tidak mengarang cerita...” 

“Sinuhun Merah! Ini peringatan terakhir! Kau ingin aku 

menyuruh Tiga Kelelawar Raksasa membakar tubuhmu 

hingga leleh! Atau kau mau dua ratus makhluk Arwah 

Hitam Putih mengorek jantungmu yang ada di dalam 

rongga dada sebelah kanan?!” Ancaman Penguasa Atap 

Langit rupanya tidak tanggung-tanggung.


“Penguasa Atap Langit. Aku minta maaf. Aku pergi 

sekarang! Aku hanya berusaha berbuat kebaikan...” 

“Aku tidak perlu kebaikan dari makhluk semacammu. 

Bukankah selama ini kau dan orang-orangmu yang selalu 

meminta kebaikan padaku?! Kebaikan dan ilmu yang aku 

berikan kerap kali kau salah gunakan! Bukankah aku 

sudah mengingatkan sebelumnya?!” 

Di puncak Gunung Semeru yang gelap dan dingin, 

mengambang di atas satu gundukan batu, makhluk alam 

roh serba merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

mendengus. Dalam hati dia menyumpah, “Makhluk 

congkak! Rohmu memang bisa amblas berkali-kali! Tapi 

sekali ini kau akan menyesal sampai ke liang neraka! 

Begitu kau mampus aku akan menguasai Kawasan Atap 

Langit!” 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah sampai tiga 

kali. Ludahnya berwarna merah. Lalu cepat dia berkelebat 

pergi. 

“Tunggu!” Suara Penguasa Atap Langit menggelegar. 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah tahan gerakan. 

“Sinuhun Merah, aku memberi perintah padamu! Saat 

ini juga harap kau segera menemui anak lelaki usia dua 

belas tahun bernama Dirga Purana. Katakan padanya 

sebelum tengah hari besok, dia harus sudah 

mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri ke 

hadapanku!” 

Sesaat Sinuhun Merah tertegun mendengar ucapan 

Penguasa Atap Langit itu. Dalam hati dia membatin. “Aku 

punya dugaan, gadis cilik itu pasti akan dijadikan gundik 

baru.” Ucap Sinuhun Merah dalam hati. “Sang Junjungan 

sedang mabuk cinta dengan anak perempuan ayu 

bertubuh molek itu. Apa dia mau menyerahkan?” 

“Sinuhun Merah! Kau mendengar apa yang aku 

katakan?!” 

“Aku mendengar. Aku akan menemui Ksatria Junjungan 

Dirga Purana untuk menyampaikan pesanmu.” 

“Bukan cuma disampaikan! Tapi juga untuk


dilaksanakan!” 

“Baik, perintahmu akan aku laksanakan! Aku sendiri 

yang akan membawa anak perempuan itu ke hadapanmu!” 

“Tidak perlu kamu! Aku sudah bosan terlalu sering 

melihat tampang merahmu! Suruh makhluk lain yang bisa 

dipercaya! Kau mengerti?!” 

“Aku mengerti,” jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

dengan menahan gelegak amarah. Sebelum meninggalkan 

tempat itu dia semburkan ludah merah dua kali. Kaki 

kanan digebrak hingga lereng batu yang menebingi bagian 

atas kawah Gunung Semeru hancur berantakan. 

Ketika melayang dekat pinggiran kawah Gunung 

Semeru makhluk alam roh yang punya nyawa kembar 

dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa ini walau gelap 

kelam namun di bawah sana dia masih bisa melihat sosok 

empat orang mendekam kedinginan di depan perapian 

yang apinya telah padam. 

Orang-orang itu adalah Ratu Randang, Kunti Ambiri, 

Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti diceritakan 

sebelumnya mereka dilemparkan di tengah jalan oleh 

belahan batang pohon beringin sewaktu Pendekar 212 

Wiro Sableng diterbangkan menuju Negeri Atap Langit. 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah memperhatikan 

keadaan di puncak gunung. Menatap ke arah kawah yang 

gelap lalu mengendus dalam-dalam. 

“Hemm...” Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergumam 

sambil usap janggut merahnya. “Aku mencium baunya 

walau sudah jadi jerangkong! Makhluk bernama Lor 

Pengging Jumena itu masih mendekam di sekitar kawah. 

Agaknya tengah menjaga keempat orang itu. Sayang aku 

ada keperluan lebih penting. Kalau tidak apa susahnya 

mencelakai keempat orang itu! Ratu Randang, kau tunggu 

pembalasanku! Kau terlalu banyak menipu diriku dan 

nyawa kembarku! Aku akan betot semua ilmu yang pernah 

kuberikan padamu, sekalian dengan jantung, hati, limpa 

dan ginjalmu!” (Diceritakan sebelumnya makhluk bernama 

Lor Pengging Jumena itu adalah yang juga dikenal dengan


panggilan Embah Buyut Kumara Gandamayana). 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah lalu melesat 

ke timur. Saat itu memang ada yang merisaukan hatinya. 

Dia belum mengetahui apakah Empu Semirang Biru yang 

telah diracunnya berhasil menemukan Sri Maharaja 

Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di tempat 

persembunyiannya. 

*** 

Kembali Ke Puri Kesatu, di dalam ruang tidur Selir 

Pertama. Ken Parantili melangkah ke arah meja di mana 

ada tiga bunga mawar segar dalam tiga jambangan kaca. 

Di atas meja juga terdapat sebuah gelas kaca tinggi berisi 

cairan kuning. Ken Parantili meneguk habis cairan di dalam 

gelas kaca. Lalu mengambil dua kuntum bunga mawar dari 

dalam jambangan kaca sebelah tengah dan 

menyelipkannya di atas telinga kiri kanan yang dicanteli 

anting-anting mutiara, disepit dengan untaian rambut. 

Bunga mawar ketiga diletakkan di balik dada pakaian. 

“Wiro, kita segera masuk ke ruang tidur besar di 

sebelah. Ikuti aku.” 

Seperti angin meniup udara kosong, kedua orang itu 

masuk ke kamar besar menembus dinding. Begitu berada 

di kamar besar tempat di mana Penguasa Atap Langit akan 

datang untuk terakhir kali menemui dirinya, Ken Parantili 

berkata pada Wiro. “Aku akan membaringkan diri di atas 

tempat tidur. Kau berdirilah di sudut sebelah kiri kepala 

tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara. Penguasa 

Atap Langit tidak akan melihat dirimu karena rambutku 

masih menempel di dadamu. Namun untuk menjaga 

segala kemungkinan, sesuai pesan Nyai Roro Manggut, aku 

harap sekarang juga kau mengeluarkan ilmu kesaktian 

yang diberikannya yaitu Ilmu Meraga Sukma. Sukmamu 

berdiri di sudut kanan, raga aslimu berdiri ke sudut kiri.” 

“Ketika Penguasa Atap Langit hendak membunuhmu, 

apa aku tetap tinggal diam, tidak berusaha menolong?


Bukankah itu budi yang harus aku lakukan?” 

“Kau bukannya tidak melakukan apa-apa. Semua yang 

telah kau lakukan dan apa yang aku katakan jika kau turuti 

maka itu sudah pertolongan besar bagiku. Penguasa Atap 

Langit tidak akan mampu membunuhku karena 

sebelumnya kau telah berbaring di atas tempat tidur ini. 

Begitu dia mencium bekas bau tubuh dan keringatmu, 

apalagi kalau sampai bersentuhan, ilmu kesaktiannya 

menjadi rontok! Karena itu adalah pantangan bagi hampir 

semua ilmu kesaktiannya. Tidak ada selir yang boleh 

berselingkuh...” 

“Tapi aku ingat percakapan kita beberapa waktu lalu 

tentang Selir Ketiga Windu Resmi. Dia dicurigai 

berselingkuh dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah. 

Mengapa Penguasa Atap Langit tidak celaka?” 

“Selir itu tidak berselingkuh di tempat ketiduran 

Penguasa Atap Langit yang ada di Puri Ketiga. Selain itu 

giliran kematiannya masih dua purnama di muka. Lalu saat 

ini dia sudah jadi mayat, kau timbun di pinggir Telaga 

Bersuci dan Bersegar Diri. Jadi tak ada lagi yang perlu 

dibicarakan menyangkut selir itu.” 

“Tapi kita berdua tidak pernah melakukan 

perselingkuhan. Maksudku berbuat yang bukan-bukan di 

atas tempat tidur.” Kata Wiro pula agak mesem-mesem. 

“Itu benar. Tapi yang menjadi masalah besar bagi 

Penguasa Atap Langit adalah jika dia mencium apalagi 

sampai bersentuhan dengan bau badan atau keringat 

lelaki lain. Dan lelaki itu ditakdirkan dirimu adanya...” 

“Ini yang aku tidak mengerti. Mengapa musti aku?!” 

Ujar Wiro pula. 

“Aku tidak tahu mengapa harus kau. Jika kau kelak 

bertemu dengan Nyi Roro Manggut, kau bisa tanyakan hal 

itu padanya. Karena dia yang memberitahu kalau hanya 

kau yang bisa menyelamatkan diriku.” 

“Nenek sakti itu...” 

“Husss!” Ken Parantili memotong ucapan Wiro. 

“Sahabatku, kau tahu siapa dia sebenarnya. Aslinya


bukankah dia seorang gadis cantik jelita?” 

Wiro ternganga. Tidak menyangka sang selir tahu 

banyak dan begitu jauh. Wiro mendadak ingat. Ketika 

orang kepercayaan Penguasa Laut Selatan itu memberikan 

Ilmu Meraga Sukma padanya, si nenek sakti terlebih dulu 

menguji dirinya secara berat dengan berbagai cara. Salah 

satu di antaranya adalah merayu dan menggodanya untuk 

menyentuh auratnya lalu melakukan hubungan badan. 

Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Hal 

yang sama akan segera terjadi. Apa aku sanggup menahan 

diri seperti dulu. Selir ini selain cantik kurasa punya 

pengalaman soal begituan...” (Mengenai riwayat Wiro 

mendapat ilmu kesaktian dari Nyi Roro Manggut dapat 

dibaca dalam serial “Meraga Sukma”). 

Ken Parantili tatap wajah sang pendekar sejurus lalu 

meneruskan ucapan. “Nyi Roro Manggut berpesan, pada 

saat Penguasa Atap Langit hendak melaksanakan niatnya 

membunuh diriku, maka kau harus segera mengeluarkan 

Ilmu Meraga Sukma.” 

Wiro anggukkan kepala. Lalu berkata. “Seorang kakek 

sakti yang dipanggil Embah Buyut Kumara Gandamayana 

memberi tahu. Orang luar kalau pun bisa masuk ke dalam 

Negeri Atap Langit tidak akan mampu melihat ujud 

Penguasa Atap Langit. Kecuali jika dia berdiri kaki ke atas 

kepala ke bawah. Apa aku harus berjungkir balik untuk 

bisa melihatnya?” 

Ken Parantili menggeleng. “Kau sudah mandi di Telaga 

Bersuci dan Bersegar Diri yang memiliki delapan pancuran. 

Matamu akan sama dengan mata semua penghuni Negeri 

Atap Langit. Tak ada halangan atau kekuatan yang 

menyekat pandanganmu.” 

“Yang mampu melihat..., ujud asliku atau sukmaku?” 

Tanya Wiro. 

“Dua-duanya. Sebaliknya Penguasa Atap Langit tidak 

bisa melihat dirimu dan sukmamu karena rambut 

penangkal milikku yang menempel di tubuhmu. Nah, kau 

sudah siap. Atau masih ada yang ingin ditanyakan?”


Wiro jadi tegang walau sesaat. “Aku sudah siap,” 

jawabnya kemudian setengah berbisik. 

“Suara gamelan sudah lenyap. Berarti Penguasa Atap 

Langit sudah ada di dekat Puri Kesatu. Siap untuk masuk 

ke sini.” 

Wiro tergagap ketika begitu selesai bicara Ken Parantili 

goyangkan tubuh. Seluruh pakaian yang tadi melekat 

melindungi auratnya lenyap entah ke mana! Kini yang 

melekat di tubuhnya adalah mahkota emas berbentuk atap 

di kepala, anting-anting dan kalung mutiara serta tiga 

kuntum bunga mawar merah. Dua tersepit di telinga kiri 

kanan, satu lagi menempel di dada. Dalam keadaan 

seperti itu Ken Parantili naik ke atas tempat tidur. Tubuh 

kemudian ditutup dengan sehelai kain sutera merah muda 

yang sebelumnya terlipat di bawah salah satu bantal besar. 

***


DUA


SELAGI Wiro terpana dengan apa yang disaksikannya, 

Ken Parantili berkata. “Saatnya kau merapal dan 

menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Berdiri di dua 

sudut ruangan di kiri kanan kepala tempat tidur. Jangan 

bergerak, jangan bersuara, apapun yang terjadi.” 

Pendekar 212 segera melangkah ke sudut kiri ruangan. 

Duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha lalu 

diangkat dan disilangkan di atas dada. Sepasang mata 

dipejam. Mulut merapal aji kesaktian. Satu sosok berupa 

bayangan samar keluar dari tubuh Wiro, membentuk ujud 

kembar utuh lalu melayang dan berdiri di sudut kanan 

ruangan. Perlahan-lahan Wiro asli bangkit berdiri. 

Hanya sesaat setelah Wiro menerapkan Ilmu Meraga 

Sukma, satu kaki berkasut hijau mencuat di langit-langit 

ruangan. Bersamaan dengan itu ada suara orang berucap. 

“Ken Parantili, Selir Pertama penghuni Puri Kesatu. Aku 

Penguasa Atap Langit, aku datang! Apakah kau sudah 

bersiap diri?” 

Di langit-langit ruangan, Wiro melihat satu kaki lagi 

muncul menjuntai. 

“Yang Mulia Penguasa Atap Langit, saya Selir Pertama 

telah siap di atas tempat tidur. Saya menunggu dengan 

segala kerinduan.” Walau bicara mesra sebenarnya Ken 

Parantili telah muak dengan segala basa basi itu. Apalagi 

dia tahu kalau kedatangan Penguasa Atap Langit kali ini 

merupakan kedatangan terakhir, yang bukan saja seperti 

biasa untuk mengumbar nafsu tapi juga membekal niat 

jahat hendak membunuhnya. 

Dua kaki di langit-langit meluncur ke bawah. Kelihataan


sosok berjubah hijau tapi yang kelihatan baru dari kaki 

sampai ke pinggang. 

“Ken Parantili, apakah kau telah meneguk habis Cairan 

Kuning Minuman Penggoda?” 

“Saya sudah menghabiskan minuman itu Yang Mulia,” 

jawab Ken Parantili sambil mengusap tenggorokan. 

“Apakah kau juga telah memperelok diri dengan tiga 

kuntum bunga mawar merah pengharum nafas, pelancar 

dan pemanas aliran darah?” 

“Sudah Yang Mulia.” 

“Selir Pertama Ken Parantili, apakah kau sadar kalau 

malam ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Dan bahwa 

malam ini kau akan menemui kematian di tanganku?” 

Ken Parantili merasa tubuhnya bergetar dan dingin. 

“Saya sadar Yang Mulia.” Jawab sang selir kemudian. 

“Apakah kau berani menolak kematian atas dirimu?” 

“Kalau itu sudah takdir diri saya mana saya berani 

menolak.” 

“Apa kau ada permintaan, setelah kau mati ke mana 

jenazahmu akan dikirimkan?” 

Ken Parantili terdiam karena tidak menduga akan 

ditanya seperti itu. Akhirnya Selir Pertama ini menjawab. 

“Saya tidak punya orang tua tidak punya saudara. Tidak 

punya sanak tidak punya kadang. Bahkan desa kelahiran 

pun saya tidak pernah tahu. Jika Yang Mulia sudi, mohon 

jenazah saya dimasukkan ke dalam kawah Gunung 

Semeru. Saya hanya minta satu hal, sebelum jenazah saya 

dilempar ke kawah Gunung Semeru, harap jantung saya 

yang ada di tangan Yang Mulia dikembalikan ke dalam 

tubuh saya. Agar saya bisa menghadap Para Dewa di 

Kahyangan secara utuh!” 

“Itu pintamu, itu yang akan terjadi. Tetapi soal 

jantungmu, aku yang akan mengatur karena sudah 

dimasukan ke Ruang Jantung Sembilan Belas. Sekarang 

aku akan turun menemuimu!” 

Sosok berjubah hijau melayang turun ke bawah, berdiri 

di samping tempat tidur. Wiro asli dan Wiro sukma sama


sama memperhatikan dengan mata tak berkesip. Ternyata 

Penguasa Atap Langit bertubuh sedang, berkulit bersih 

putih dan berwajah jernih. Di atas kepala yang rambutnya 

disanggul ke atas, terdapat sebuah mahkota emas 

berbentuk atap. Ukurannya jauh lebih besar dari mahkota 

kepunyaan Ken Parantili dan ditaburi ratna mutu manikam. 

Wiro agak terkesiap. Tadinya dia mengira Penguasa 

Atap Langit memiliki tubuh tinggi besar, bertampang 

angker, paling tidak memelihara berewok dan kumis 

melintang. Ternyata perkiraannya jauh meleset. Penguasa 

Atap Langit juga tidak mengenakan pakaian kebesaran 

mewah. Pakaiannya sederhana saja, sehelai jubah panjang 

berwarna hijau. 

“Tampangnya memang bersih jernih. Tidak ada 

keangkeran. Tapi sepasang mata tampak dingin dan bibir 

tipis panjang tanda makhluk ini menyembunyikan 

kekejaman dahsyat dalam dirinya,” Wiro berucap dalam 

hati sambil sepasang mata terus memperhatikan. 

Penguasa Atap Langit untuk beberapa lama tegak di 

tepi tempat tidur, memperhatikan Ken Parantili yang 

terbaring tertutup kain sutera tipis merah sebatas leher. 

Dengan gerakan tenang dia melangkah mendekati tempat 

tidur. Tangan kiri menjangkau mahkota emas di atas 

kepala sang selir lalu sekali tangan digerakkan mahkota itu 

melesat ke atas, menancap di langit-langit kamar. 

“Kau tampak cantik sekali malam ini.” Penguasa Atas 

Langit memuji. 

“Mungkin hanya kecantikan ini yang bisa saya berikan 

terakhir kali pada Yang Mulia” kata Ken Parantili. 

“Kalau begitu pejamkan kedua matamu. Kita segera 

mulai.” Tangan kiri Penguasa Atap Langit kembali sibakkan 

rambut di wajah sang selir sebelah kiri lalu mengambil 

bunga mawar yang terselip di telinga. Bunga digoyang-

goyang di bawah hidung lalu lenyap dimasukkan ke dalam 

mulut. Tidak tampak dia mengunyah atau menelan. 

Dengan tangan kanan Penguasa Atap Langit mengambil 

bunga mawar kedua yang terselip di telinga kanan. Seperti


bunga pertama, bunga ini juga dimasukkan ke dalam 

mulut. Setelah menatap wajah Ken Parantili sebentar, 

Penguasa Atap Langit susupkan tangan kanan ke bawah 

kain sutera merah yang menutupi tubuh Ken Parantili. 

Tangan menyusup dari arah leher, meluncur ke bawah. 

Ketika tangan dikeluarkan dari balik kain merah, terlihat 

dia memegang bunga mawar ketiga. Bunga inipun 

dimasukkan ke dalam mulut setelah lebih dulu digoyang di 

bawah hidung. 

Dari dua sudut ruangan, sosok asli Pendekar 212 dan 

sosok sukma terus memperhatikan. Tiba-tiba Penguasa 

Atap Langit angkat tangan kanan. Tangan itu dalam 

keadaan terkepal diarahkan ke kepala Ken Parantili. 

“Aneh, mengapa dia ingin cepat-cepat membunuh selir 

itu! Akan memecahkan kepalanya! Bukankah dia ingin 

bersenang-senang dulu? Agaknya apa yang terjadi tidak 

seperti yang dikatakan Ken parantili.” Sosok asli Pendekar 

212 langsung saja menyiapkan serangan pukulan sakti di 

tangan kanan. 

Tangan kanan Penguasa Atap Langit yang mengepal 

bergerak, bukan berupa serangan memukul kepala yang 

mematikan, tapi berubah menjadi usapan di atas wajah 

Ken Parantili. Wiro asli dan Wiro sukma dapat melihat jelas 

kalau jari tengah dari lima jari tangan yang dikembang 

dilipat ke telapak tangan. 

“Sepertinya dia hendak membunuh selir itu dengan 

Pukulan Sukma Merah. Tapi mengapa tangan dan jari-

jarinya tidak berubah merah.” Wiro membatin. 

Tidak mau keduluan dia segera angkat tangan kanan 

yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti. Ini 

kesalahan yang tidak disadarinya. 

Tangan kanan Penguasa Atap Langit ternyata lagi-lagi 

tidak melancarkan serangan melainkan bergerak ke atas 

kepalanya sendiri. Gerakan tertahan sebentar ketika 

kepala digoyangkan. 

Wuttt! 

Mahkota emas besar di atas kepala Penguasa Atap


Langit melesat ke atas dan menancap di langit-langit 

kamar, tepat menutupi mahkota emas yang lebih kecil, 

milik Ken Parantili. Penguasa Atap Langit menyeringai. 

“Mahkota besar memayungi mahkota kecil, pertanda 

baik bagimu. Kau akan menemui kematian dengan 

tenang!” kata Penguasa Atap Langit pada Ken Parantili. 

Wiro yang sudah tidak sabaran ingin menghantam, 

perlahan-lahan kembali turunkan tangan yang masih dialiri 

tenaga dalam. Kesalahan kedua! 

Penguasa Atap Langit merasa dingin pada daun telinga 

kiri kanan. Sepasang mata menatap wajah Ken Parantili. 

“Selir Pertama penghuni Puri Kesatu! Aku seperti merasa 

ada hawa aneh bergerak di dalam kamar ini.” 

Penguasa Atap Langit memandang berkeliling. Dia tidak 

melihat ada orang atau benda lain di tempat itu. “Aku ingat 

Sinuhun Merah Penghisan Arwah. Jangan-jangan benar apa 

yang diberitahukannya padaku melalui teriakan dari luar 

Kawasan Atap Langit. Aku Curiga! Buka dua matamu!” 

***


TIGA


PERLAHAN-LAHAN Ken Parantili buka kedua matanya. 

Sekujur tubuh terasa dingin. Dia menduga paling 

tidak salah satu dari sosok Wiro telah membuat 

gerakan. “Sudah diberi tahu agar jangan bergerak...” Ken 

Parantili melirik ke arah sosok asli Wiro yang berdiri di 

sudut kiri ruangan. “Mungkin dia mengira Penguasa Atap 

Langit hendak membunuhku, mungkin dia membuat 

gerakan hendak mendahului menyerang. Berarti dia 

mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Celaka!” 

Ken Parantili menjadi tegang. Dia hendak memberi 

tanda dengan kedipan mata ke arah Wiro namun takut 

ketahuan Penguasa Atap Langit. “Aku harus cepat-cepat 

mengajaknya naik ke tempat tidur. Agar tubuhnya 

bersentuhan dengan basahan keringat Wiro yang masih 

menempel di bantal dan kasur...” 

Sementara itu Wiro asli dan Wiro sukma terkesiap kaget 

saling pandang. Wiro baru menyadari kalau dia telah 

melakukan kesalahan. Membuat gerakan. 

Wiro melihat Ken Parantili membuka kedua mata, 

menggeliat sambil menurunkan kain merah yang menutupi 

tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada. Penguasa Atap 

Langit tampaknya tidak terpengaruh dengan tubuh yang 

tersingkap itu. Sebaliknya sosok asli wiro dan sukmanya 

ternganga dan terbeliak. 

Lalu terdengar Ken Parantili berucap. “Yang Mulia, yang 

kau dengar adalah desau halus gerakan dua kakiku di atas 

kasur. Aku pasrah menunggu saat kematianku. Tapi aku 

tidak tahan menunggu saat-saat terakhir kau mencumbuku 

di atas ranjang ini. Aku ingin menghembuskan nafas


terakhir tanpa beban.” 

“Begitu...?” Penguasa Atap Langit menyeringai lalu 

melangkah mundar-mandir di samping tempat tidur. 

Beberapa kali dia menarik nafas dalam mengendus-endus. 

Di sudut kiri kamar dia berhenti. Walau saat itu jaraknya 

hanya satu langkah dari sosok asli Wiro, namun dia tidak 

bisa melihat atau mencium bau tubuh sang pendekar. Ini 

karena rambut sakti sang selir yang masih menempel di 

tubuh Wiro. Selain itu Ken Parantili telah membuat 

penangkal yaitu dengan menyuruh Wiro mandi di Telaga 

Bersuci dan Bersegar Diri hingga Penguasa Atap Langit 

tidak mampu mencium sosok sang pendekar. 

“Selir Pertama, aku percaya apa yang kau ucapkan 

barusan.” Berkata Penguasa Atap Langit lalu dia bergerak 

mendekati tempat tidur. Tangan kanan diangkat ke atas 

kepala membuka gulungan rambut yang dikonde. Begitu 

konde terlepas terlihat kalau dia memiliki rambut hitam 

berkilat tergerai panjang sampai ke punggung, menebar 

bau harum. 

Di atas tempat tidur Ken Parantili sengaja tersenyum 

untuk menutupi rasa tegang yang memagut sampai ke 

wajah. 

Dada berdebar turun naik, Penguasa Atap Langit 

luruskan dua jari telunjuk tangan kiri kanan lalu diguratkan 

di atas sepasang alis. Begitu digurat kedua alisnya tampak 

kereng hitam dan tebal berkeluk. Lalu ibu jari tangan 

kanan disapukan di atas bibir. Bibir yang tadinya agak 

pucat kini kelihatan merah segar. Dua telapak tangan 

ditekapkan ke pipi. Sepasang pipi kini tampak merah segar 

bercahaya! 

Di sudut ruangan sebelah kiri Wiro asli memperhatikan 

apa yang dilakukan Penguasa Atap Langit dengan 

tercengang-cengang. “Apa yang dilakukan makhluk itu? 

Wajahnya seperti dipoles dandanan apik. Oala, mengapa 

wajahnya seperti perempuan. Lumayan cantik tapi hidung 

agak besar. He... he!” 

Wiro kemudian melihat Penguasa Atap Langit


melambai-lambaikan dua tangan di atas kepala, sepuluh 

jari dijentik-jentik. Aneh, dari ujung-ujung jari bertabur 

kerlap-kerlip percikan terang seperti bunga api. Dua tangan 

disapukan mulai dari kepala sampai ke kaki. Bau harum 

semerbak membalut tubuh Penguasa Atap Langit. Menebar 

ke seluruh sudut ruangan. Wiro sampai terpana karena 

belum pernah mencium bau harum semerbak seperti itu. 

Saluran pernafasan dan dadanya terasa sejuk dan segar. 

Namun aliran darah berubah mengencang. 

Penguasa Atap Langit berdiri lurus-lurus. Mata menatap 

berbinar ke arah Ken Parantili. Tiba-tiba dia goyangkan 

tubuh dan saat itu juga jubah hijau yang dikenakannya 

merosot sampai ke pinggang. 

Pendekar 212 dan sukmanya hampir saja 

mengeluarkan seruan tertahan saking kaget. Dua pasang 

mata menatap membelalak ke arah dada Penguasa Atap 

Langit. “Astaga, jadi benar! Tapi edan... mengapa ada bulu 

di pertengahan dada?!” 

Ternyata Penguasa Atap Langit memiliki dada putih 

bagus seperti seorang perempuan! Hanya saja di bagian 

tengah dada terlihat ada bulunya. 

“Wah! Mengapa jubah tidak ditanggalkan seluruhnya 

hingga aku bisa melihat lebih jelas, makhluk ini lelaki atu 

perempuan, atau sebangsa banci!” ucap wiro dalam hati. 

Dia jadi ingat pada Jaka pesolek. Sepasang mata terus 

memperhatikan. 

“Kekasihku Ken Parantili, walau hidupmu hanya tingal 

setengah malaman, aku harap kau akan menghiburku 

seperti yang sudah-sudah.” 

Wiro dan sukmanya sama melengak. Suara Penguasa 

Atap Langit yang terdengar di dalam kamar jelas adalah 

suara perempuan, halus dan lembut. 

“Penguasa Atap Langit! Diriku milikmu. Mudah-

mudahan aku bisa memberikan yang lebih baik pada saat 

terakhir ini...” 

“Selir edan, jelas tahu mau dibunuh malah bicara 

bermesra-mesra!” sosok asli Wiro menggerutu dalam hati.


Tanpa melepas seluruh jubahnya Penguasa Atap Langit 

bergerak naik ke atas tempat tidur lalu membaringkan 

tubuh di samping Ken Parantili. Ketika dia hendak 

memeluk dan mencium sang selir, tiba-tiba dessss... desss! 

Asap kelabu mengepul dari bantal dan kain tebal 

penutup tempat tidur yang masih basah oleh keringat Wiro! 

Penguasa Atap Langit menjerit keras, tubuh terpental ke 

udara lalu jatuh tergelimpang di lantai permadani. Wajah 

tampak pucat! 

Suara jeritan Penguasa Atap Langit tadi bukan suara 

lelaki sakti yang menggelegar. Tapi itu adalah suara jeritan 

perempuan! 

“Selir jahanam! Kau membawa lelaki tidur di atas 

ranjangku!” Teriak Penguasa Atap Langit. Kini suaranya 

kembali berubah menjadi suara laki-laki. Menggelegar 

keras di dalam ruangan hingga menimbulkan getaran 

hebat! Sekujur tubuh mengepulkan asap kelabu. Wajah 

yang sebelumnya jernih dipoles dandanan apik dan juga 

tubuh sebelah atas yang tersingkap putih dan bagus 

perlahan-lahan berubah berkerenyut lalu memutih dan 

leleh seperti timah mencair. Jubah hijau yang masih 

melekat di tubuh sebelah bawah tampak putih gosong. 

Menyaksikan apa yang terjadi Wiro hampir tak percaya. 

Hanya karena bersentuhan dengan bau badan dan 

keringatnya yang menempel di bantal serta tempat tidur, 

Penguasa Atap Langit yang memiliki kesaktian hebat itu 

ternyata benar-benar mengalami celaka luar biasa. 

Dalam keadaan seperti itu Penguasa Atap Langit 

berusaha bangkit tapi dia hanya mampu terduduk di lantai. 

Dua tangan diangkat ke atas. Lalu menjerit lagi. Setelah itu 

mulut berkomat-kamit pertanda ada sesuatu yang 

dirapalnya. 

Lalu setengah megap-megap dia berkata. “Selir 

jahanam! Kau merontokkan sembilan ilmu kesaktianku, 

tapi jangan mengira aku tidak akan mampu membunuhmu! 

Jangan kira kau bisa lolos dari kematian! Aku masih 

menyimpan ilmu yang tidak bisa dimusnahkan oleh


keringat dan bau tubuh lelaki yang berselingkuh 

denganmu! Aku akan mencari tahu siapa adanya bangsat 

penyusup itu sekarang juga! Akan kubunuh! Biar kau 

saksikan bagaimana aku membantai lelaki selingkuhanmu! 

Baru setelah itu kau kuhabisi!” 

Ken Parantili terkejut mendengar ucapan Penguasa 

Atap Langit. Dia cepat goyangkan tubuh. Saat itu pakaian 

putih berenda yang sebelumnya dikenakan kembali muncul 

membalut tubuhnya yang sejak tadi dalam keadaan 

telanjang hanya terlindung kain sutera tipis. Dengan cepat 

perempuan ini melompat dari tempat tidur. 

“Kau mau lari ke mana?!” Hardik Penguasa Atap Langit. 

Tubuhnya yang leleh kini mampu berdiri walau terhuyung-

huyung. Kelihatannya sebagian kekuatannya mulai pulih. 

Jubah gosong putih yang tadi masih menggantung 

sepinggang rontok jatuh ke lantai permadani. Ternyata 

bagian tubuh dari pinggang sampai ke kaki juga sudah 

memutih leleh pula! 

Wiro asli dan Wiro sukma buka mata lebar-lebar, 

menatap ke bagian bawah perut Penguasa Atap Langit. 

Namun keadaan tubuh yang leleh putih begitu rupa sulit 

untuk memastikan apa sebenarnya jenis kelamin 

Penguasa Atap Langit. “Sial, aku tidak bisa melihat apa dia 

punya kelamin lelaki atau perempuan. Mungkin juga dia 

punya dua kelamin. Weehhh!” Wiro berkata dalam hati. 

“Ken Parantili, kau tidak bisa lolos. Aku telah menutup 

semua dinding, lantai dan atap! Tidak ada jalan keluar 

bagimu!” Penguasa Atap Langit berteriak mengancam. 

Ken Parantili memandang seputar kamar, mendongak 

ke langit-langit. Wajah selir ini berubah pucat ketika dia 

melihat bagaimana lantai yang ditutupi permadani, dinding 

dan langit-langit kamar yang berwarna merah muda 

bergaris kuning kini berubah menjadi hitam pekat bergaris 

merah berbuhul-buhul menyerupai jaring. 

“Jaring Sukma Merah!” ucap Ken Parantili. “Aku masih 

bisa menembus. Tapi bagaimana dengan Wiro?” 

Benda putih aneh di pertengahan langit-langit yang


menjadi penerang ruangan tiba-tiba meredup. Rasa tegang 

dan takut yang amat sangat terlihat di wajah Ken Parantili. 

“Kalau aku memang harus mati aku pasrah. Tapi 

bagaimanapun aku harus menolong pemuda itu!” 

Tiba-tiba Selir Pertama itu berteriak keras. Tangan 

kanan diangkat setinggi dada lalu dihantamkan ke arah 

Penguasa Atap Langit yang saat itu berdiri angker di tengah 

ruangan. 

Wusss! 

Selarik sinar kebiru-biruan menyembur lalu membentuk 

buntalan ombak, mengeluarkan suara menderu seperti air 

mendidih melesat dari telapak tangan kanan Ken Parantili. 

Uap luar biasa panas mengepul! 

Dapatkan dirinya diserang Penguasa Atap Langit malah 

tertawa bergelak. “Ombak Neraka Mendidih! Kau 

mendapatkan ilmu itu dariku! Mana mungkin bisa 

mencelakaiku! Selir jahanam! Saatnya kau menerima 

kematian di tanganku! Tubuhmu akan aku buat jadi babi 

rebus!” 

Penguasa Atap Langit tekuk sepasang lutut. Dua tangan 

membuat gerakan menggapai ke udara. Hanya beberapa 

jengkal lagi buntalan air mendidih akan mengguyur 

tubuhnya, tiba-tiba sang penguasa membentak keras dan 

pukulkan dua tangan ke atas. 

Dess! Desss! 

Gelombang air mendidih serta merta tertahan 

menggantung di udara. Penguasa Atap Langit bantingkan 

kaki kanan ke lantai membuat permadani hangus. 

Byuuuuurr! Pukulan Ombak Mendidih berbalik 

menghambur ke arah Ken Parantili! 

Penguasa Atap Langit mendadak sontak terkejut besar 

ketika melihat di dalam ruangan Ken Parantili bukannya 

ketakutan atau mencoba selamatkan diri tapi malah berdiri 

kaki merenggang tangan berkacak di pinggang. 

Tiba-tiba selir ini teriakan ucapan. “Ombak hanya ada di 

laut! Di darat topan prahara yang berkuasa!” 

“Kurang ajar! Dari mana dia tahu rapal penangkal itu!”


Penguasa Atap Langit tersentak kaget sampai keluarkan 

suara menggembor keras. 

Di hadapannya Ken Parantili membungkuk sambil 

mendorongkan dua tangan dan kepala. Di dalam ruangan 

bergemuruh deru angin. Lantai, empat dinding dan langit-

langit bergoyang. Pukulan Ombak Neraka Mendidih

berbalik menyerang Penguasa Atap Langit. Didahului suara 

hardikan marah Penguasa Atap Langit cepat angkat tangan 

kiri. Lima larik sinar hitam mencuat. 

“Kipas Hitam Menyapu Puncak Semeru!” Ken Parantili 

berseru kaget dalam hati, mengenali dan menyebut nama 

ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Penguasa Atap 

Langit. Cepat-cepat dia bersurut mundur hingga punggung 

menyentuh dinding ruangan. Sinar hitam menderu 

menebar membentuk lima kipas raksasa, langsung 

menghantam ke depan memusnahkan serangan balik yang 

dilancarkan Ken Parantili. Gelombang air biru 

bermuncratan ke seluruh ruangan membuat goncangan 

hebat, lalu raib tanpa bekas tanpa membuat ruangan jadi 

basah. 

Penguasa Atap Langit rupanya tidak mau memberi 

kesempatan lagi. Dengan cepat dia jentikkan lima jari 

tangan kanan. Lima sinar biru sangat halus menyambar 

tanpa suara ke arah lima jalan darah di tubuh Ken 

Parantili. 

“Lima Jarum Penjahit Raga!” Dada Ken Parantili 

berdegup. Darah tersirap dan wajah berubah pucat. 

“Celaka! Aku tidak tahu ilmu penangkalnya!” 

Dreett... dreett 

***


EMPAT


DUA UJUD Wiro yang berada di sudut ruangan 

tersentak kaget ketika melihat bagaimana Ken 

Parantili tertegak kaku. Sekujur tubuh mulai dari 

leher sampai ke betis dilibat cahaya halus kebiru-biruan 

seolah rajutan benang yang menjahit lima bagian 

tubuhnya. Mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan 

dan sepasang kaki hingga dia tidak bisa bergerak. Di atas 

kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum 

sepanjang satu jengkal berwarna biru. 

“Wiro! Lekas lari! Tinggalkan tempat ini!” Ken Parantili 

berteriak. 

“Ha... ha! Jadi bergundal teman selingkuhanmu itu 

bernama Wiro. Nama aneh, orang dari mana dia?! Aku mau 

lihat tampangnya. Apa dia lebih sakti dariku hingga bisa 

menembus Jaring Sukma Merah yang telah membungkus 

seluruh Puri Kesatu!” 

Sadar kalau Wiro tidak mungkin menembus ilmu Jaring 

Sukma Merah, Ken Parantili kembali berteriak. “Wiro! 

Cepat terapkan ilmu yang kau keluarkan di tepi telaga!” 

Mendengar teriakan Ken Parantili, Pendekar 212 

segera gerakkan kaki kanan ke depan. 

Rrrrttttt! 

Permadani merah di lantai ruangan robek besar ketika 

Wiro menoreh dengan ujung ibu jari kaki kanan. Tapi lantai 

tidak terbelah! Wiro asli terbelalak. Wiro sukma melengak. 

Ken Parantili terkejut. Tidak menyangka Penguasa Atap 

Langit masih punya kesaktian untuk mementahkan 

serangan Membelah Bumi Menyedot Arwah yang 

dilancarkan Wiro.


Sepasang mata Penguasa Atap Langit mendelik. Dia 

menyaksikan permadani robek memanjang tapi tidak 

melihat siapa yang melakukan. Kini dia benar-benar yakin. 

Walau tidak dapat melihat ujud tapi dalam ruangan itu ada 

makhluk lain. Mungkin manusia biasa, bisa juga makhluk 

alam arwah. 

Penguasa Atap Langit dongakkan kepala. Mulut komat-

kamit lalu meniup tiga kali berturut-turut. Dalam ruangan 

muncul segulung cahaya kuning melayang berputar-putar. 

Selain mengeluarkan suara tiupan angin menguing yang 

menyakitkan telinga, gulungan angin bercahaya kuning 

juga punya kemampuan menyedot! 

“Celaka! Dia mengeluarkan ilmu Raja Arwah Meniup 

Puncak Langit!” Kejut Ken Parantili. Lalu dia berteriak 

memperingatkan. “Wiro awas! Tekap dadamu! Jangan 

sampai rambutku terlepas tanggal dari tubuhmu!” 

Namun terlambat. Saat itu gulungan cahaya kuning 

telah memutar tiga kali di atas kepala Wiro lalu melesat ke 

atas menembus langit-langit kamar. 

Wuuusss! 

Tubuh Wiro terangkat sampai setengah tombak. 

Pakaiannya berkibar-kibar, dada baju tersibak. Permadani 

penutup lantai melekuk ke atas. Tempat tidur besar naik 

ke udara sampai dua jengkal lalu terhempas ke bawah. 

Mendengar teriakan Ken Parantili Wiro cepat dekapkan 

dua tangan di depan dada. Namun saat itu sehelai rambut 

Ken Parantili yang melekat di dadanya terbetot ke atas, 

menyusup keluar dari balik pakaian, melesat dan 

menancap laksana batangan lidi di langit-langit kamar! 

Ken Parantili berteriak tegang. Rasanya dia ingin 

menjambak putus rambut di kepala dan melemparkan ke 

arah Wiro. Namun saat itu dia tak mampu bergerak akibat 

Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga. Dua tangan menempel ke 

badan seolah dijahit! 

Begitu rambut yang selama ini menjadi pelindungnya 

tidak ada lagi di tubuh, dua sosok Wiro yang asli dan yang 

sukma serta merta terlihat jelas oleh Penguasa Atap Langit.


Sesaat Penguasa Atap Langit terkesiap. Sepasang mata 

mendelik besar, pancarkan cahaya merah menyala 

pertanda amarahnya sudah mendidih sampai kepala. Dia 

tidak menyangka kalau ternyata ada dua orang lelaki muda 

di dalam kamar yang berarti Selir Pertama telah 

berselingkuh bukan hanya dengan satu orang tapi dengan 

dua orang sekaligus! 

“Dua pemuda aneh berambut gondrong. Pakaian, 

tampang sama. Apa mereka kembar?!” Amarah Penguasa 

Atap Langit meledak. “Selir jahanam! Kau melindungi dua 

bangsat ini dengan rambutmu hingga dia tidak terlihat dan 

bisa lolos masuk ke dalam Negeri Atap Langit. Jadi dua 

pemuda gembel bejat ini yang telah menidurimu!” 

“Yang Mulia, kau sengaja unjukkan kemarahan untuk 

sembunyikan rasa takutmu pada dua kekasihku yang 

gagah dan hebat itu! Hik... hik!” Ken Parantili mengejek lalu 

tertawa cekikikan. Padahal dalam hati saat itu dia merasa 

sangat takut. 

“Kau akan menyaksikan! Saat ini juga keduanya akan 

kubantai habis!” Teriak Penguasa Atap Langit. 

“Tidak usah keduanya. Coba kau hadapi yang satu di 

sudut kamar sebelah kiri saja. Apa kau sanggup 

membunuhnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah.” 

Menyebut Ken Parantili. Suara keras, air muka 

sunggingkan ejekan, membuat amarah Penguasa Atap 

Langit semakin menggelegak. Sosok Wiro yang ada di 

sudut kiri ruangan adalah sosok yang asli. 

Ditantang seperti itu meledaklah amarah Penguasa 

Atap Langit. Dia terpancing! Sambil berjingkrak, dua tangan 

dihantamkan ke arah Wiro asli dan Wiro sukma. Kecuali 

jari tengah yang dilipat ke bawah telapak, empat jari 

lainnya mencuat lurus ke depan. 

Wusss! 

Delapan larik sinar merah pekat berkiblat. Empat ke 

arah raga asli Wiro, empat lagi ke sudut kanan ruangan di 

mana berdiri sukma Pendekar 212. Inilah perbedaan 

antara Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sang


Penguasa. Sebagai pemilik ilmu kesaktian Delapan Sukma 

Merah tersebut, Penguasa Atap Langit langsung 

melancarkan serangan dari delapan jari tangannya. 

Sementara Dua Sinuhun lebih mengandalkan delapan 

benjolan yang ada di kening. Jika benjolan lenyap maka 

lenyap pula ilmu kesaktian itu. 

“Wiro! Ingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar 

Diri!” Berteriak Ken Parantili. Dia sengaja tidak meneriaki 

agar Wiro menancapkan delapan jari tangan karena kuatir 

jika Penguasa Atap Langit mengetahui hal itu, mungkin 

sekali dia akan membatalkan serangan lalu menggempur 

dengan ilmu kesaktian lain. 

“Selir jahanam! Benar-benar kurang ajar! Jadi kau...” 

Hardik kemarahan Penguasa Atap Langit tidak selesai. 

Saat itu di sudut kiri ruangan Wiro lipat jari tengah masing-

masing tangan ke arah telapak. Tanpa berpaling, delapan 

jari yang mencuat lurus kemudian ditancapkan ke dinding 

di belakangnya. 

Kraakk! 

Di sudut kamar sebelah kanan sukma Wiro lakukan hal 

yang sama. Delapan jari tangan bukan ditancap ke dinding 

kamar tapi diarahkan ke atas batok kepala sendiri! 

Kreekkk! 

Delapan jari tangan tenggelam menancap ke dalam 

batok kepala. Tapi hebatnya tidak ada darah yang meleleh 

atau otak yang muncrat. Malah sukma Pendekar 212 

senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata! 

Kamar besar tidak berjendela tidak berpintu bergetar 

keras. Lantai laksana mau amblas. Penguasa Atap Langit 

luar biasa kaget melihat apa yang dilakukan Wiro asli, dan 

lebih melengak lagi menyaksikan apa yang diperbuat 

sukma Wiro. 

“Makhluk apa keparat yang satu ini! Manusia biasa 

tidak mungkin mencucuk kepalanya sendiri sampai 

berlubang. Juga tidak ada darah mengucur!” 

Penguasa Atap Langit kemudian sadar kalau dirinya 

telah termakan pancingan orang. Dia berteriak sambil


menunjuk ke arah Ken Parantili. “Selir keparat! Kau 

memberi tahu cara menangkal pada dua gembel...!” 

Makian Penguasa Atap Langit terhenti. Saat itu ada 

kekuatan aneh menggempur dirinya hingga bergetar keras. 

Beberapa bagian tubuhnya yang memutih seperti lelehan 

timah membeku jatuh berkeping-keping ke lantai ruangan. 

Sepasang mata memberojol keluar, daun telinga mengepul 

api. Dari beberapa bagian tubuh menyembur asap hitam. 

Penguasa Atap Langit menjerit keras. Seperti yang 

terjadi dengan Selir Ketiga Windu Resmi, dia gerakkan 

sepuluh jari tangan mencekik leher sendiri! Kreekk! 

Terdengar suara seperti tulang patah. Di leher tampak luka 

menganga. Tubuh terhuyung limbung lalu tersungkur. 

Kening menempel di atas lantai, tubuh sebelah bawah 

menungging ke atas. Dari mulut membuih busa merah. 

Di saat-saat genting seperti itu ternyata Penguasa Atap 

Langit masih mampu menguasai diri. Didahului teriakan 

seperti anjing meraung dia tusukkan dua jari telunjuk ke 

pusar di pertengahan perut hingga jebol membentuk dua 

lobang besar. Dari dalam dua lobang ini mengepul keluar 

asap merah tipis yang dengan cepat menyelubungi 

tubuhnya. 

Penguasa Atap Langit kembali meraung keras dan 

panjang. Begitu lolongan putus sosoknya melesat ke atas. 

Ketika turun lagi menjejak lantai keadaannya berubah 

ujud. Tubuh yang tadi berwarna putih seperti timah 

meleleh, kini tampak utuh seperti manusia. Hanya saja 

keseluruhannya berwarna merah dan gerak-geriknya 

seperti patung kayu kaku! Setiap membuat gerakan, 

beberapa bagian tubuh mengeluarkan suara berkereketan. 

Greekk! 

Kepala dan kaki yang diputar mengeluarkan suara 

menggidikan. Lantai yang tergeser mengepulkan asap! 

Greekk! 

Dua tangan bergerak ke depan. Sepuluh jari dipentang. 

Masih tersandar ke dinding ruangan Ken Parantili 

terkejut luar biasa. “Hyang Jagat Bathara!” Untuk pertama


kalinya selir ini mengucap nama Dewa. “Ternyata benar dia 

memiliki ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah! Tak ada 

lagi harapan hidup bagiku!” Ken Parantili berpaling ke arah 

Wiro lalu berteriak. “Wiro! Lekas pergi! Tinggalkan tempat 

ini!” 

Penguasa Atap Langit tertawa bergelak. Suara tawanya 

membuat ruangan berguncang dan dada berdegup. “Tidak 

ada satu makhlukpun bisa keluar dari tempat ini! Muncul di 

sini mati di sini!” 

Selesai keluarkan ucapan Penguasa Atap Langit 

meniup ke arah Ken Parantili sementara dua tangan 

dilambaikan ke depan. Tangan kanan melambai ke arah 

Wiro asli, tangan kiri menyapu ke jurusan sukma Wiro. 

Tiga larik cahaya menggebubu dalam ruangan 

membentuk larikan kain lebar berwarna merah disertai 

menebarnya bau bunga kemboja, bunga yang banyak 

tumbuh di pekuburan! 

Teriakan Ken Parantili membuat Pendekar 212 bisa 

mengetahui kalau Penguasa Atap Langit akan melancarkan 

serangan berupa ilmu yang dahsyat. Terlebih ketika 

hidungnya mencium bau bunga kemboja mendadak 

berubah menjadi bau kemenyan dibakar! 

Bukannya menuruti apa yang dikatakan sang selir, 

murid Sinto Gendeng justru ingat pada keterangan Ken 

Parantili sebelumnya, yaitu bahwa semua bangunan di 

Negeri Atap Langit tidak ada pintu dan jendela. Karena 

setiap pintu dan jendela merupakan pantangan bagi sang 

penguasa yang konon bisa membuat ilmu kesaktian yang 

ada padanya akan lenyap satu persatu melalui pintu atau 

jendela itu. 

Tidak tunggu lebih lama Wiro segera hantamkan dua 

tangan. Tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari 

diarahkan ke Penguasa Atap Langit, tangan kiri memukul 

ke arah dinding melepas pukulan Dewa Topan Menggusur 

Gunung. Wiro sengaja mengeluarkan pukulan sakti 

pemberian Tua Gila dari Andalas ini untuk menjebol dinding 

membuat satu lobang atau pintu besar guna mematahkan


kesaktian Penguasa Atap Langit. 

Di sudut lain ruangan sukma Wiro tidak tinggal diam. 

Dengan gerakan yang tampak lamban sosok mengapung, 

tubuh mengambang dalam ruangan, dua tangan bergerak 

menggapai ke arah sosok Penguasa Atap Langit. 

Mula-mula sang penguasa tidak begitu memperhatikan. 

Namun ketika melihat sosok sukma Wiro yang berubah dari 

utuh menjadi bayang-bayang kagetnya bukan alang 

kepalang. Apalagi dua tangan yang menggapai kelihatan 

jelas mampu menembus tebaran kain kafan merah tanpa 

merobeknya! Tampang Penguasa Atap Langit berubah. 

Jantung berdegup keras. 

“Tidak mungkin! Aku menyirap kabar dia sudah lama 

menemui kematian. Bagaimana bisa ilmunya...” Dalam 

kaget Penguasa Atap Langit tidak bisa berpikir panjang. 

Serta merta Penguasa Atap Langit kerahkan seluruh 

tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki! Tiga larik 

cahaya merah ilmu bernama Selubung Kain Kafan Sukma 

Merah melebar dan bertambah tebal, membuntal 

menelikung ke arah Ken Parantili, Wiro asli dan sukma 

Wiro. Dua tangan sukma Wiro yang tadi mampu menembus 

kain merah mendadak sontak lenyap! 

Bentrokan kekuatan-kekuatan dahsyat menggelegar 

dalam ruangan. Ken Parantili menjerit lalu sosoknya lenyap 

dalam buntalan cahaya berbentuk kain merah lebar dan 

panjang! Sesaat terdengar suara jeritannya. Lalu diam. 

Tubuh yang tergulung dalam buntalan kain kafan merah 

roboh ke lantai lalu laksana dihantam angin prahara 

melesat ke samping kiri menembus dinding ruangan. 

***


LIMA


BERSAMAAN dengan terlemparnya sosok Ken 

Parantili, Puri Kesatu tempat kediaman selir pertama 

itu laksana dihantam gempa. Pukulan Sinar Matahari

dan Dewa Topan Menggusur Gunung berkiblat. Langit-

langit ruangan runtuh. Dinding roboh di dua tempat. Lantai 

rengkah. Wiro dan sosok sukma mencelat ke udara dalam 

keadaan tubuh mengepul dan tergulung kain kafan merah. 

Di dalam ruangan yang sudah porak poranda, tubuh 

kaku seperti kayu Penguasa Atap Langit tergontai-gontai, 

mengeluarkan suara greek-greek berulang kali seolah 

hendak hancur bertanggalan. Namun luar biasanya cahaya 

putih panas pukulan Sinar Matahari yang dihantamkan 

Wiro ke arahnya tampak mengapung di tengah ruangan, 

tidak mampu mendekati sasaran! 

Walau sanggup mementahkan serangan Pendekar 212, 

namun ketika melihat dinding jebol membentuk dua pintu 

besar terbuka, Penguasa Atap Langit sadar bahaya yang 

mengancam. Dengan cepat dia melesat keluar dari dalam 

bangunan Puri Kesatu. Satu cahaya merah melesat keluar 

dari dalam batok kepala sang penguasa, pertanda ada satu 

ilmunya yang sempat terlepas keluar akibat berada dalam 

ruangan yang dindingnya berlobang menyerupai pintu! 

Di halaman Puri Kesatu Pendekar 212 Wiro Sableng 

terhampar di tanah, bersebelahan dengan sosok 

sukmanya. Keduanya terbungkus dalam gulungan kain 

kafan merah. Wiro mencoba merobek kain merah yang 

membungkusnya dengan berbagai cara namun sia-sia saja. 

Dia berusaha berdiri tapi roboh. Nafas mulai menyengal. 

Tubuhnya mendadak terasa lemah hingga tidak mampu


bergerak. Di sampingnya sukma Wiro mengalami hal yang 

sama tapi masih mampu berdiri walau tergontai-gontai. 

Wuttt! 

Satu bayangan merah berkelebat. Satu kaki tahu-tahu 

menendang punggung Wiro dari belakang hingga sang 

pendekar tersungkur. Wiro merasa sekujur tubuh seperti 

hancur remuk. Yang bisa dilakukannya hanya mengerang 

kesakitan dan menyumpah habis-habisan. Kemudian 

dirasakannya ada satu kaki menginjak dadanya tepat di 

arah jantung! Lalu breett! Ada orang merobek kain kafan 

yang menutupi kepalanya. 

Kain kafan merah robek di bagian wajah Wiro hingga 

dia bisa melihat keadaan di sekitarnya serta siapa yang 

menginjak dadanya. Bukan lain Penguasa Atap Langit! 

Ketika dia memperhatikan, ternyata kasut merah yang 

menginjak dadanya memiliki paku-paku runcing! 

Di saat bersamaan terdengar suara kepakan disertai 

suara teriakan hiruk-pikuk. Bau busuk memenuhi udara 

malam. Di langit muncul tiga kelelawar raksasa dan 

puluhan makhluk berwajah hitam putih, berambut riap-

riapan. Mata memberojol bisa keluar masuk mengerikan! 

Melihat kedatangan para pengawal itu Penguasa Atap 

Langit bukannya gembira tapi malah menghardik marah. 

“Aku sudah babak belur! Kalian baru muncul! Jahanam 

tidak berguna! Pergi dari hadapanku. Jangan berani datang 

kalau tidak aku panggil!” 

Salah seekor kelelawar raksasa rundukkan kepala 

kuncupkan dua sayap lebar. Lalu dia bicara dan suaranya 

tidak beda dengan manusia. “Yang Mulia, mohon maafmu. 

Kami sudah tahu kalau sesuatu terjadi di Puri Kesatu. 

Namun ketika kami berusaha menuju ke sini, ada 

kekuatan aneh yang membuat kami berputar-putar tak 

karuan di langit. Setelah berusaha keras baru kami 

berhasil menembus. Kami mohon maaf...” 

“Aku tidak perduli alasan kalian! Kalian sudah kuberi 

ilmu kesaktian! Mengapa bisa berlaku tolol! Lekas 

menyingkir dari hadapanku! Jangan tunggu sampai aku


menjatuhkan azab hukuman atas kelalaian kalian!” 

“Yang Mulia, kami mohon maaf...” 

“Sudah! Menyingkir dari hadapanku! Kalian jaga saja 

perbatasan Negeri Atap Langit. Jangan ada yang bisa lolos 

dari sini atau ada yang menyelinap masuk!” 

Tiga kelelawar raksasa rundukkan kepala. Puluhan 

makhluk Arwah Hitam Putih keluarkan suara memelas. 

Lalu semua makhluk berkelebat pergi meninggalkan 

tempat itu. 

Penguasa Atap Langit gesekkan kaki kanannya. Paku-

paku runcing di telapak kasut bukan saja merobek baju 

tapi juga membuat luka dalam di dada Wiro. Dan paku-

paku di telapak kasut itu bukan paku biasa karena 

mengandung racun jahat yang bisa mematikan seekor 

kerbau besar dalam waktu setengah harian! 

Dalam keadaan tak berdaya seperti itu Wiro masih 

berusaha mengeluarkan ilmu kesaktian Sepasang Pedang 

Dewa, yaitu berupa sambaran dua sinar hijau yang keluar 

dari kedua mata. Namun ilmu kesaktian itu tidak mampu 

dikeluarkan! 

“Celaka, apa yang terjadi dengan diriku!” Pikir Pendekar 

212. 

Ternyata Penguasa Atap Langit masih memiliki ilmu 

yang mampu menghadang kekuatan dan kesaktian 

Pendekar 212! 

“Manusia bejat penidur selir pertamaku! Jantungmu...! 

Aku akan menghancurkan jantungmu! Ha... ha... ha!” 

Penguasa Atap Langit geser-geserkan kasut berpaku. 

Tidak mampu menahan sakit, Wiro berteriak namun 

tenggorokannya tercekik dan dari mulut kelihatan ada 

lelehan darah mengucur! 

Penguasa Atap Langit kembali tertawa bergelak. Tenaga 

dalam dialirkan ke kaki kanan. Pada saat dia siap 

menghunjamkan kaki itu ke dada Wiro untuk 

menghancurkan jantung sang pendekar, tiba-tiba entah 

dari mana datangnya sayup-sayup terdengar suara 

tabuhan gamelan.


Penguasa Atap Langit terkesiap. 

“Ada suara seruling dan tabuhan gendang. Ada suara 

gesekan rebab. Itu bukan suara gamelan Negeri Atap 

Langit. Aku merasa ada yang tidak beres. Hidungku 

mencium bau wangi aneh...” 

Tidak tunggu lebih lama Penguasa Atap Langit segera 

gerakkan kaki kanan. Kasut merah berpaku dihunjam 

keras ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun dia 

melengak kaget. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga 

luar dan dalam, kaki kanan itu terasa kaku, berat dan tak 

sanggup digerakkan. 

Dalam keadaan seperti itu terdengar suara orang 

bernyanyi. Yang menyanyi lebih dari satu orang. Tiap bait 

nyanyian dilantun saling bergantian. Suara yang menyanyi 

adalah suara perempuan! 

“Sebelum ajal berpantang mati 

Tidak dipanggil datang sendiri 

Jangan membunuh sembarangan 

Nyawa manusia bukan barang ketengan 

Tidak dipanggil datang sendiri 

Kehendak Yang Kuasa adalah pasti 

Sebelum ajal berpantang mati 

Jangan menanam dendam di dalam hati 

Lupakan amarah agar bisa menanam budi” 

Baik Wiro maupun Penguasa Atap Langit sama-sama 

terkejut. Ada suara menyanyi tapi orang yang menyanyi 

tidak kelihatan. Penguasa Atap Langit kertakkan rahang. 

Kaki kanan kembali dihunjam kuat-kuat ke dada kiri 

Pendekar 212. Tiba-tiba di dalam gelap dan dinginnya 

malam dari balik pinggang pakaian Wiro meluncur keluar 

delapan benda aneh bercahaya, melayang seperti kunang-

kunang. 

***



ENAM


UJUD kunang-kunang berubah membesar namun 

cahaya yang semula terang menjadi redup. Benda-

benda aneh ini kemudian membesar dan membesar 

hingga membentuk ujud sangat samar, menyerupai sosok 

bayang-bayang delapan pocong hitam gelap, meliuk-liuk 

seperti asap ditiup angin tetapi gerakannya seolah 

mengikuti suara tetabuhan gamelan di kejauhan. Dari 

tubuh mereka yang hitam sesekali memancar warna 

kuning, coklat dan hijau dan bau harum mewangi. 

Sulit diduga makhluk apa mereka adanya. Hantu atau 

makhluk jejadian dari alam arwah atau mungkin setan 

kuburan yang terpesat gentayangan. Tapi apa memang ada 

kuburan di Negeri Atap Langit? 

Dalam keadaan tak berdaya Wiro menghitung. Sosok 

samar itu berjumlah delapan. Meliuk-liuk mengelilingi 

dirinya dan Penguasa Atap Langit yang mendadak tampak 

ketakutan. Wiro ingat, warna kuning, coklat dan hijau 

adalah paduan tiga warna yang ada pada kuntum bunga 

matahari! 

Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Dia cepat 

menggerakkan tangan kanan. Dalam keadaan tubuh lemah 

tiada daya dengan susah payah baru dia berhasil meraba 

pinggang kanannya. Astaga! Walau masih belum yakin tapi 

dia merasa dugaannya mungkin benar. Delapan bunga 

matahari kecil yang sebelumnya terselip di pinggangnya tak 

ada lagi di tempat semula! 

Wiro lantas saja ingat pada keterangan Ken Parantili 

sewaktu berada di Puri Kesatu. Saat itu sang selir berkata, 

“Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena


delapan bunga sesungguhnya adalah delapan pocong 

gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal nyanyian, 

maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan 

kehendak Yang Maha Kuasa mereka akan melakukan apa 

saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan menjaga 

keselamatan dirimu...” (Baca serial sebelumnya “Selir 

Pamungkas”). 

“Tapi aku tidak melantunkan nyanyian. Aku tidak 

memanggil mereka. Mengapa mereka bisa keluar dari 

dalam bunga...” Membatin Pendekar 212. Lalu dia ingat 

pada nyanyian yang terdengar sebelum delapan pocong 

menari menampakkan diri. “Tidak dipanggil datang 

sendiri... Kehendak Yang Kuasa adalah pasti... Sebelum 

ajal berpantang mati...”

“Delapan Pocong Menari... Mereka muncul sendiri. 

Keluar dari dalam delapan bunga matahari untuk 

menolongku. Terima kasih delapan pocong! Terima kasih 

Gusti Allah!” Wiro mengucap dalam hati. 

Setelah terkesiap cukup lama, Penguasa Atap Langit 

menggembor keras. Kreeek! Seluruh tenaga dalam yang 

ada disalurkan ke kaki kanan untuk menjebol dada Wiro. 

Tangan kiri kanan dipentang. Jari tengah dilipat. 

Kreek! 

Delapan jari lainnya mencuat lurus, pancarkan cahaya 

merah! 

“Sebelum ajal berpantang mati. Jangan menanam 

dendam di dalam hati. Lupakan amarah agar bisa 

menanam budi.” 

Kembali terdengar suara perempuan menyanyi. Lalu 

disusul suara meniup. Tiupan itu perlahan saja namun Wiro 

melihat bagaimana sosok Penguasa Atap Langit tiba-tiba 

terangkat ke atas, jungkir balik di udara malam tiga kali 

sebelum ambruk ke tanah kepala ke bawah kaki ke atas! 

Untuk beberapa lama kepala Penguasa Atap Langit 

menancap di tanah sampai sebatas leher sementara dua 

kaki melejang-lejang. 

Delapan pocong hitam tiba-tiba palingkan wajah ke


arah Wiro lalu sama-sama runcingkan mulut siap meniup. 

Wiro jadi melengak kaget. Mengira dirinya akan 

diperlakukan seperti Penguasa Atap langit, dilempar ke 

udara lalu dibanting ke bawah, kepala menancap di tanah! 

“Oala! Kalau kalian mau membunuhku gebuk saja 

langsung batok kepalaku! Jangan dibuat sengsara seperti 

makhluk itu!” Wiro keluarkan ucapan. 

“Hik... hik... hik!” 

Terdengar dua di antara pocong, tertawa mengikik. 

Membuat Wiro jadi heran. Lalu ada suara berkata. “Hati-

hati... Jangan meniup terlalu keras. Bisa-bisa seluruh 

pakaiannya ikut tanggal! Hik... hik... hik!” 

“Memangnya kita tidak boleh melihat pemuda 

telanjang?! Hik hik!” Ada suara bertanya lalu ikutan 

cekikikan. 

Delapan mulut meniup! Wiro merasa ada sambaran 

angin halus meniup dirinya mulai dari kepala sampai ke 

kaki. 

Wuttt! 

Kain kafan merah yang membungkus tubuh Wiro lenyap 

seketika. Bersamaan dengan itu kekuatannya kembali 

pulih. Wiro cepat melompat berdiri hendak mendatangi 

delapan pocong hitam. Maksudnya hendak mengucapkan 

terima kasih sambil memperhatikan bagaimana 

sesungguhnya wajah mereka. Tapi didahului suara tawa 

cekikikan delapan makhluk itu lenyap tanpa bekas. Ketika 

memandang ke depan dia melihat Penguasa Atap Langit 

pergunakan dua tangan menggebuk tanah hingga tanah 

terbongkar dan kepalanya terlepas dari jepitan tanah. 

Walau kini bebas namun kekuatannya seperti leleh. Tubuh 

terguling ke tanah, dada turun naik, nafas megap-megap, 

lidah terjulur dan sepasang mata mencelat. Dua tangan 

memegangi leher seperti berusaha melepaskan diri dari 

cekikan yang tidak kelihatan. 

Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok 

sukmanya. Dia juga tidak melihat Ken Parantili. Wiro tidak 

khawatir pada keselamatan sukmanya. Tapi dia merasa


takut kalau telah terjadi sesuatu dengan Ken Parantili. 

“Selir itu. Jangan-jangan sudah dihabisi Penguasa Atap 

Langit!” 

Memikir sampai ke situ Wiro melompat ke hadapan 

Penguasa Atap Langit yang tergelimpang di tanah. Tanpa 

banyak cerita lagi kaki kanannya bergerak menendang ke 

arah kepala. 

Saat itu berturut-turut mendadak ada suara mengiang 

bersahut-sahutan di telinganya. Suara perempuan. 

“Mengobati luka sendiri lebih penting dari 

melampiaskan hawa amarah. Racun jahat hanya memberi 

waktu dua puluh satu hitungan.”

“Membunuh lawan tidak berdaya bukanlah sifat ksatria 

sejati.”

“Mendahulukan menyelamatkan seorang sahabat 

adalah lebih baik dari menuruti kata hati.”

Wiro terkesiap dan tertegun diam. Tendangan ke arah 

kepala Penguasa Atap Langit serta merta dibatalkan. 

“Siapa yang mengirimkan suara pengiang? Pasti pocong-

pocong menari tadi.” Pikir Wiro. 

Sang pendekar raba dadanya yang luka dan ternyata 

masih mengucurkan darah akibat injakan kasut berpaku 

Penguasa Atap Langit. Darah yang keluar dari luka bukan 

berwarna merah tapi sudah menghitam pertanda 

mengandung racun jahat. Wiro meraba pinggang pakaian 

sebelah kanan. Ternyata delapan bunga matahari kecil 

sudah ada lagi terselip di pinggang itu. Dia merasa lega. 

Wiro cepat totok urat besar di pangkal leher dan dada 

untuk membendung racun jahat yang telah masuk ke 

dalam aliran darah. Tapi saat itu dia malah terbatuk-batuk 

semburkan darah. Pemandangannya mulai berkunang-

kunang. Sekujur tubuh terasa panas! 

“Kami hanya sejengkal dari ujung tanganmu. Mengapa 

tidak memanfaatkan Kuasa dan Kasih Sayang Gusti 

Allahmu?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengiang 

di telinga. 

“Gusti Allah! Baru kali ini ada makhluk yang menyebut


nama itu di negeri ini. Kami... kami... kalian siapa...?” 

Tak ada jawaban. 

Wiro tekap dadanya yang luka. Darah semakin deras 

mengucur. 

“Pocong menari! Delapan bunga matahari!” Ucap Wiro 

dalam hati. Dia segera keluarkan delapan bunga matahari 

kecil dari balik pakaian. Dengan cepat delapan bunga 

diusapkan ke luka di dada. Delapan cahaya aneh 

bergemerlap. Ajaib! Saat itu juga darah hitam berhenti 

mengucur. Luka menutup tanpa bekas. Pemandangan 

yang berkunang-kunang kembali pulih. Hawa panas di 

tubuh serta merta lenyap. Wiro menatap delapan bunga 

matahari kecil penuh kagum dan seperti tidak percaya. 

“Makhluk yang barusan bicara. Siapapun kau adanya 

aku berterima kasih kau telah mengingatkan dan 

menolongku!” Wiro berucap perlahan. 

Beberapa langkah di depan sana Penguasa Atap Langit 

memandang ke arahnya. Tampangnya tegang. Mata tak 

berkesip, menatap takut ke arah delapan bunga matahari 

yang dipegang Wiro. Dia tampak lega ketika melihat Wiro 

menyimpan delapan bunga itu di balik pakaian. 

“Makhluk jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada 

Ken Parantili! Di mana perempuan itu?!” Wiro membentak. 

Penguasa Atap Langit membuka mulut. Namun dia tak 

mampu keluarkan suara. Lidah yang merah terjulur keluar 

mengepulkan asap. Kepala digeleng berulang kali. 

Tiba-tiba satu bayangan melesat. Wiro berpaling. Yang 

muncul ternyata sukmanya yang rupanya mampu keluar 

dari selubung kain kafan, menggendong seseorang yang 

terbungkus dalam kain kafan merah. 

“Ken Parantili!” Wiro cepat mendekat dan berusaha 

membuka kain kafan merah namun tak berhasil. 

Dicobanya merobek, juga tidak bisa. Dia kerahkan tenaga 

dalam lalu mencoba lagi. Tetap tidak bisa! 

Penguasa Atap Langit keluarkan suara aneh dari 

tenggorokan. Mata menatap ke arah Wiro dan sosok yang 

terbungkus kain merah dalam gendongan sukma Wiro.


Dengan gerakan kepala dia memberi isyarat agar Wiro 

tidak berdiri di hadapan Ken Parantili. 

“Kau mau berbuat apa?! Mau membunuh perempuan 

ini?!” Bentak Wiro. 

Penguasa Atap Langit kembali menggeleng berulang 

kali. Mulut bergerak tapi tak ada suara yang keluar. Tiba-

tiba dia jatuhkan diri ke tanah. Berguling ke samping kiri. 

Wiro bertindak waspada. Dengan cepat dia memutar tubuh 

sambil siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan yaitu 

Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah. 

“Penguasa Atap Langit! Saat ini aku bisa membunuhmu 

semudah membuang ludah! Tapi aku ingin kau bertobat! 

Kalau umurmu panjang mungkin banyak hal baik yang bisa 

kau lakukan. Kalau kau berlaku culas dan tetap berbuat 

kejahatan kau akan terkutuk selama-lamanya!” 

Tiba-tiba di udara terdengar suara bergemuruh dan 

disertai suara teriakan riuh. Wiro mendongak. Yang muncul 

ternyata adalah tiga kelelawar raksasa pengawal Negeri 

Atap Langit dan puluhan makhluk arwah berwajah hitam 

putih. Sikap mereka jelas siap hendak menyerang Wiro dan 

sukmanya. 

Penguasa Atap Langit berusaha berdiri. Tapi dia hanya 

mampu duduk menjelepok di tanah. Dalam keadaan 

seperti itu dia menatap ke atas, gelengkan kepala sambil 

menggoyangkan tangan. 

“Yang Mulia! Kami datang menjemputmu!” Kelelawar 

raksasa di ujung kanan berkata. 

“Yang Mulia, ijinkan kami membunuh dua makhluk 

kembar dan sosok yang ada dalam gendongan!” Kelelawar 

raksasa di sebelah tengah susul ucapan temannya. 

Tampang Penguasa Atap Langit tampak berubah galak. 

Kembali dia menggeleng dan goyangkan tangan. Melihat 

hal ini tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk 

berwajah hitam putih keluarkan suara mengorok halus lalu 

melesat, tinggi ke udara malam yang gelap dan dingin. 

Setelah berputar tiga kali di atas sana, semuanya melesat 

ke arah timur, lenyap ditelan kegelapan.


Wiro dan sukmanya memandang ke arah Penguasa 

Atap Langit. Apa makhluk yang tadinya jahat ini telah 

berubah sifat? Wiro merasa ragu. Di hadapannya Penguasa 

Atap Langit manggut-manggut merunduk. Tiba-tiba kepala 

diangkat lalu dia meniup ke arah sosok terbungkus yang 

berada dalam gendongan sukma Wiro. 

“Kurang ajar! Kau benar-benar culas! Kau mau berbuat 

apa?!” Wiro berteriak marah. Sukmanya menggereng 

seperti harimau terluka. Namun sebelum sempat 

melakukan sesuatu, tiupan Penguasa Atap Langit telah 

menyambar sosok terbungkus kain kafan merah yang ada 

dalam gendongan sukma Wiro. 

Dess! Desss! 

Kain kafan mengepul asap merah disertai menebarnya 

bau wangi setanggi! Wiro terkesiap. Sukma Wiro melengak 

karena sosok yang digendongnya mendadak menjadi 

enteng! 

***


TUJUH


SEKALI lagi kain kafan mengepul asap merah. Begitu 

asap pupus, kain kafan merah ikut lenyap. Kini dalam 

gendongan sukma Wiro terlihat sosok Ken Parantili 

yang mengenakan pakaian putih berenda. Mata terpejam. 

Rambut hitam tergerai ke bawah. Kulit wajah, tangan dan 

kaki berwarna merah. Ini akibat terlalu lama tersekap 

dalam kain kafan merah. Penguasa Atap Langit kembali 

hendak meniup ke arah Ken Parantili. Namun saat itu Wiro 

telah memutar tubuh membuat gerakan untuk melepas 

pukulan sakti. 

“Jahanam! Kau membunuh Ken Parantili!” Teriak Wiro 

langsung menghantam ke arah Penguasa Atap Langit 

dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang 

sejak tadi disiapkan. Tapi sang Penguasa ternyata tak ada 

lagi di tempat itu. Di tanah kelihatan satu lobang aneh 

sepemasukan tubuh manusia menyerupai terowongan 

panjang. Inilah yang disebut Terowongan Arwah. 

Terowongan jejadian seperti ini pernah dibuat oleh Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah dan dipergunakan Eyang 

Semirang Biru ketika meloloskan diri dari Ruang Segi Tiga 

Nyawa setelah berhasil merampas Keris Kanjeng Sepuh 

Pelangi yang kemudian ternyata palsu (Baca serial 

sebelumnya berjudul “Sesajen Atap Langit”). 

Wiro terkesiap sesaat. Begitu sadar dia segera 

melanjutkan gerakan tangan melepas pukulan sakti. Tanah 

bergoncang, bangunan Puri Kesatu yang sudah ambruk 

kini tambah luluh lantak. Dua pohon mahoni di halaman 

Puri Kesatu terbongkar tumbang, lobang sepemasukan 

tubuh manusia kini berubah menjadi lobang besar sedalam


lutut. Namun Penguasa Atap Langit sudah raib. 

Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Keduanya 

segera berkelebat pergi. Siap meninggalkan Negeri Atap 

langit. Namun celakanya mereka tidak mampu mencari 

jalan keluar. Mereka tidak dapat menemukan Pintu Akhirat 

maupun Pintu Gerbang Atap Langit. 

Sementara itu tiga kelelawar raksasa dan puluhan 

makhluk Arwah Hitam Putih berulang kali terbang di atas 

mereka namun tidak ada yang berani mendekat apalagi 

mengganggu. 

Di kegelapan menjelang pagi tiba-tiba ada delapan 

cahaya merah berkiblat di langit. Delapan cahaya dengan 

cepat melesat ke bumi. Empat menghantam ke arah Wiro, 

empat lainnya menderu ke jurusan sukma Wiro! 

“Awas! Serangan Delapan Sukma Merah!” Teriak Wiro. 

Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti 

pada dua tangan sekaligus. Tangan kanan sudah dialiri aji 

kesaktian Pukulan Sinar Matahari hingga tampak memutih 

perak. Tangan kiri siap melancarkan Pukulan Harimau 

Dewa. Sukma Wiro melakukan hal yang sama setelah lebih 

dulu memindahkan Ken Parantili yang digendongnya ke 

atas bahu kanan. 

Belum sempat keduanya melepas pukulan-pukulan 

sakti tiba-tiba di udara terdengar suara kepak sayap 

disertai suara teriakan-teriakan. 

Blaarr! 

Blaarr! 

Tiga kelelawar raksasa melayang membesat udara. Dua 

di antaranya langsung terpanggang dan meledak hancur 

begitu dihantam empat cahaya merah. Sembilan makhluk 

Arwah Hitam Putih menjerit keras ketika tubuh mereka 

terkena percikan delapan cahaya merah. Seperti dua 

kelelawar raksasa, tubuh mereka hancur menjadi 

kepingan-kepingan yang dikobari api lalu berhamparan di 

tanah! 

Kelelawar raksasa pengawal ketiga menggerung keras. 

Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih menjerit. Mereka


semua tampak marah menyaksikan kematian dua 

kelelawar teman mereka serta sembilan makhluk Arwah 

Hitam Putih hingga berlaku lengah. Ketika delapan sinar 

merah lagi mendadak muncul di langit menyerang mereka, 

semuanya tidak berkesempatan menyelamatkan diri! 

Pada saat itulah dua Pukulan Sinar Matahari dan dua 

Pukulan Harimau Dewa yang dilepas Wiro bersama 

sukmanya menggelegar ke udara! 

Dua bola api raksasa membuntai di udara lalu meledak 

dahsyat. Hawa panas menghampar seolah matahari terik 

hanya sejengkal di atas kepala! Langit laksana mau runtuh. 

Negeri Atap Langit bergoncang seperti dihantam gempa di 

delapan penjuru. Tanah retak-retak. Beberapa bangunan 

berupa puri tempat kediaman para selir ambruk. Jeritan 

terdengar di mana-mana. Di kejauhan terdengar suara 

raungan anjing disertai kilasan cahaya kuning redup yang 

kemudian lenyap. 

Blukkk! 

Sebuah benda melayang di udara lalu jatuh bergedebuk 

di tanah. Ketika diperhatikan ternyata itu adalah sosok 

seorang berpakaian dan berikat kepala hijau. Dari 

mulutnya mengucur lelehan darah. Bagian dada pakaian 

hijaunya tampak gelap kehitaman seperti hangus. Orang ini 

cepat bergerak bangun. Berdiri terhuyung-huyung sambil 

menunjuk-nunjuk ke arah Wiro asli dan sukmanya. 

“Kalian akan menerima pembalasan...” 

Habis keluarkan ucapan orang itu sempoyongan lalu 

roboh ke tanah. 

“Keparat Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jadi kau 

yang punya perbuatan! Pembalasan jatuh lebih dulu atas 

dirimu!” Teriak Pendekar 212. Seluruh tenaga dalam yang 

dimiliki disalurkan ke tangan kanan yang masih 

memancarkan cahaya perak menyilaukan. Ketika Wiro siap 

menghantam tiba-tiba ada suara perempuan mengiang di 

telinga. 

“Jangan dibunuh! Nyawanya sudah ada yang 

memesan!”


Wiro terkesiap. “Delapan Pocong...” Ucap Wiro lalu 

tangan kanan meraba ke balik pinggang. 

Saat itulah tiba-tiba, wusss! Sosok Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa lenyap dari pemandangan. Di tanah 

tampak sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia. 

Terowongan Arwah! 

“Delapan Pocong! Aku mohon kau jangan mencampuri 

urusanku! Karena ucapanmu makhluk jahat itu berhasil 

kabur!” Wiro mengomel karena jengkel. 

“Kami bukan mencampuri. Kami hanya memberi ingat. 

Jangan marah dan jangan merasa kami menghalangi.”

Terdengar jawaban mengiang di telinga Wiro. 

Wiro dan sukmanya walau tidak mengalami cidera 

namun sama-sama tampak pucat tak berdarah, dada 

mendenyut sakit. Rambut berjingkrak lucu ke atas! Sosok 

Ken Parantili terguling di tanah masih dalam keadaan diam 

pingsan tak berkutik. 

Sementara itu di udara sana, sadar kalau diri mereka 

telah ditolong oleh Wiro dan sukmanya kelelawar raksasa 

yang tinggal satu bersama puluhan makhluk Arwah Hitam 

Putih meluruk turun ke tanah, membuat sikap bersujud. 

Sepasang mata merah kelelawar raksasa berkedip. Lalu 

terdengar dia berucap. 

“Saya dan semua pengawal Negeri Atap Langit 

menghatur terima kasih. Kau dan saudara kembarmu telah 

menyelamatkan kami dari serangan maut Sinuhun Muda 

Ghama Karadipa.” 

Wiro tatap sebentar makhluk di hadapannya, melirik 

pada puluhan Arwah Hitam Putih lalu menjawab. “Sinuhun 

Muda? Bukankah dia sebenarnya berada di pihak kalian? 

Bukankah bersama Sinuhun Merah saudara kembaran 

nyawanya dia adalah kaki tangan malah bisa dianggap 

sebagai murid-murid Penguasa Atap Langit?” 

“Keculasan setipis angin pagi. Itulah yang terjadi. Mulai 

hari ini kami semua menjadi hamba sahaya Yang Mulia 

berdua!” 

Wiro asli dan Wiro sukma sama-sama terkejut dan


saling pandang. Wiro asli menggeleng lalu garuk-garuk 

kepala. “Tidak, kami berdua bukan pimpinan kalian. Kalian 

bukan hamba sahaya kami.” 

“Tapi itu adalah perintah Yang Mulia Penguasa Atap 

Langit kepada kami.” Jawab kelelawar raksasa yang 

membuat Wiro dan sukmanya kembali dibuat kaget. 

“Di mana sekarang beradanya pimpinan kalian 

Penguasa Atap Langit?” Wiro bertanya. 

“Kami tidak tahu. Setelah memberi perintah untuk 

melindungi Yang Mulia berdua bersama Selir Pertama, 

Yang Mulia Penguasa Atap Langit menghilang. Kami tidak 

tahu apakah kami akan bertemu lagi dengannya.” 

“Dengar kalian semua. Saat ini lebih baik kalian 

mengurus sisa-sisa jenazah sahabat kalian yang masih 

berhamparan di tempat ini.” Berkata Wiro. 

“Lalu Yang Mulia sendiri mau berbuat apa?” Tanya 

kelelawar raksasa pengawal Negeri Atap Langit. 

Wiro tertawa mendengar dirinya terus-terusan dipanggil 

Yang Mulia. “Kami akan segera pergi dari tempat ini...” 

Kelelawar raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih 

unjukkan wajah kecewa. Dengan suara perlahan kelelawar 

raksasa berkata. “Mohon dimaafkan kami tidak bisa 

mengantar atau menunjukkan jalan. Karena hal itu tidak 

diperintahkan oleh Yang Mulia Penguasa Atap Langit yang 

lama.” 

“Tidak jadi apa. Kami bisa mencari jalan sendiri.” Jawab 

Wiro. 

“Kalau begitu semoga Yang Mulia berdua mendapat 

tuntunan dari Para Dewa...” 

“Ya... ya. Terima kasih.” Jawab Wiro yang tidak bisa 

mengerti mengapa makhluk-makhluk itu jadi berubah baik 

dan sangat menghormat dirinya. Mengapa Penguasa Atap 

Langit mengatakan pada makhluk-makhluk itu bahwa 

dirinya adalah pimpinan yang baru di Negeri Atap Langit. 

Jangan-jangan semua ini jebakan belaka. Suatu ketika 

Penguasa Atap Langit bisa saja muncul secara tak terduga 

membawa bencana yang lebih dahsyat.


Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Sang sukma 

segera menggendong Ken Parantili kembali. Lalu keduanya 

cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti pandangan 

kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam 

Putih. 

***


DELAPAN


KETIKA langit di ufuk timur mulai terang tanda fajar 

akan segera menyingsing, Wiro dan sukmanya 

sampai di satu kawasan berbatu-batu berhawa 

sangat dingin. Wiro melihat sukmanya tampak pucat dan 

gerakannya mulai lamban. Wiro sendiri saat itu merasa 

letih. 

“Sukmaku sudah terlalu lama berada di alam luar. 

Belum pernah kejadian seperti ini. Saatnya dia harus 

masuk kembali ke dalam ragaku. Kalau tidak dia dan aku 

bisa sama-sama celaka.” Membatin Wiro yang saat itu 

merasa dadanya mulai sesak. 

Wiro mengambil Ken Parantili dari gendongan 

sukmanya lalu membaringkan perempuan ini di tanah di 

atas rerumputan liar. Dia sendiri kemudian duduk bersila 

dan merapal ajian Meraga Sukma. Hanya sekejapan mata 

sosok utuh sukma Wiro berubah menjadi bayang-bayang 

lalu masuk ke dalam tubuh aslinya. 

Kini perhatian Wiro tertuju pada Ken Parantili. Dia tidak 

melihat tanda-tanda totokan di bagian tubuh sebelah atas 

selir itu. Tidak ada cidera atau bekas pukulan. Tubuhnya 

juga tidak panas pertanda tidak ada racun jahat yang 

mendekam. Wiro letakkan telinga kiri di atas dada 

perempuan itu. Dia bisa mendengar detak jantung 

walaupun agak perlahan. 

“Tak ada totokan, tak ada racun. Detak jantung masih 

terdengar tanda dia masih hidup. Tapi mengapa seluruh 

kulitnya berwarna merah? Akibat selubungan kain merah?” 

“Kain aneh. Bagaimana aku bisa melenyapkan tanda 

merah di wajah dan sekujur tubuh selir ini? Kasihan kalau


dia sampai cacat seumur hidup.” Wiro menggaruk kepala. 

“Aku harus bisa membuatnya sadar. Dia satu-satunya yang 

bisa menolong memberi tahu bagaimana keluar dari negeri 

sialan ini. Aku masih harus menolong Ni Gatri, mencari 

Eyang Sinto, menemukan kembali Kapak Naga Geni...” 

Wiro letakkan telapak tangan kanan di kening Ken 

Parantili lalu kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. 

Ditunggu beberapa lama perempuan itu lelap saja tidak 

bergerak. Tidak siuman. Wiro ganti memegang dua 

pergelangan kaki. Lalu kembali mengalirkan tenaga dalam 

dan hawa sakti ke tubuh Ken Parantili. Sampai tubuhnya 

keringatan Ken Parantili masih terus tak berkutik, diam 

dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tenaga dalam dan 

hawa saktinya tidak mampu menembus masuk ke dalam 

tubuh sang selir. 

Wiro duduk termenung, terus berpikir-pikir. Tiba-tiba 

saja dia ingat pada delapan bunga matahari kecil. Dengan 

cepat bunga dikeluarkan dari balik pakaian. Sesaat Wiro 

merasa bimbang. Bunga diusap-usap. Tangan diulur. 

Delapan bunga kecil perlahan-lahan disapukan ke bagian 

atas kepala lalu ke kening Ken Parantili. Selir itu masih 

belum juga siuman. Wiro lanjutkan mengusap delapan 

bunga matahari ke bagian wajah, terus ke leher. Ketika 

delapan bunga menyapu di atas dada sebelah kiri, desss! 

Satu letupan halus tapi berkekuatan besar membuat 

Wiro terpelanting. Delapan bunga matahari tergoyang 

kencang, pancarkan warna kuning, coklat dan hijau. Sosok 

Ken Parantili sendiri mengapung ke udara mengepulkan 

asap merah lalu seperti ada yang menahan, perlahan-lahan 

jatuh tertelentang di tanah. Ketika Wiro mendatangi, warna 

merah pada wajah dan sekujur tubuh selir itu telah lenyap. 

Kulitnya kembali seperti semula walau wajah terlihat agak 

pucat. 

Wiro cepat rangkul perempuan itu lalu 

mendudukkannya di tanah bersandar pada salah satu 

batang pohon mahoni yang tumbang. Dari mulut Ken 

Parantili keluar suara mendesah. Bersamaan dengan itu


menyembur kepulan asap merah. Perlahan-lahan sepasang 

mata terbuka. Astaga! Bagian mata yang seharusnya putih 

kelihatan merah seperti saga! 

Walau matanya merah namun pemandangannya tidak 

terganggu. Begitu melihat Wiro di hadapannya, Ken 

Parantili membuka mulut hendak bertanya. Tapi diberi 

isyarat oleh Wiro agar jangan bicara dulu. 

“Sepasang matamu berwarna merah. Tadi waktu masih 

terpejam aku telah mengusap dengan bunga ini. Bagian 

tubuhmu yang lain bisa pulih, warna merah hilang. Tapi 

warna merah di matamu tidak lenyap.” 

Ken Parantili hanya bisa mengusap-usap karena tidak 

dapat melihat sendiri keadaan matanya. 

“Aku akan mengusapkan bunga ini sekali lagi. Matamu 

jangan dipejamkan.” 

Ken Parantili mengangguk. Wajah sengaja ditengadah 

dan dua mata dibuka lebar-lebar. Wiro usapkan delapan 

bunga matahari kecil di atas kedua mata perempuan muda 

itu. Ajaib memang kesaktian delapan bunga matahari kecil. 

Begitu tersentuh usapan bunga, bagian mata yang merah 

berubah pulih menjadi putih kembali. 

“Matamu sudah sembuh. Warna merahnya sudah 

hilang.” Wiro memberi tahu. 

Saking girangnya Ken Parantili mencium delapan bunga 

matahari lalu memeluk Wiro sambil mengucapkan terima 

kasih. “Kalau tidak ada bunga ini dan kau tidak menolong, 

dalam waktu tiga hari mataku akan menjadi buta. Itulah 

jahatnya Ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah.” 

“Ilmu setan!” Rutuk Wiro. “Aku sudah membuktikan. 

Jangankan keluar, merobeknya saja aku tidak mampu. 

Sukmaku berhasil merobek sedikit namun kemudian dua 

tangannya dibuat tak berdaya!” Wiro menggaruk kepala 

lalu bertanya. “Apakah kau memiliki ilmu itu?” 

“Setengah jalan.” Jawab Ken Parantili. 

“Maksudmu?” 

“Aku bisa mengeluarkan, namun tidak bisa 

melenyapkan. Penguasa Atap Langit hanya memberi tahu


bahwa ada semacam rapalan disertai cara meniup untuk 

melepaskan seseorang yang telah dibungkus Ilmu Kain 

Kafan Sukma Merah. Aku tidak sempat mendapatkan 

rapalan itu.” 

“Ah... itu rupanya yang dilakukan Penguasa Atap Langit. 

Baru aku ingat. Dia melenyapkan selubung kain kafan 

merah di tubuhmu dengan cara meniup. Berarti dia 

bermaksud mau menolong setelah berbuat jahat.” 

“Perguasa Atap Langit yang melakukan? Bagaimana 

aku bisa percaya?” Ucap Ken Parantili pula. “Sahabat, 

sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi? Bagaimana 

kita bisa berada di sini? Mana Penguasa Atap Langit? 

Mana sukmamu?” Selir itu memandang berkeliling. 

Wiro menceritakan apa yang terjadi. 

“Jadi kau tidak membunuh Penguasa Atap Langit?” 

Tanya sang selir heran. 

Wiro gelengkan kepala. “Saat itu dia dalam keadaan tak 

berdaya. Lalu aku juga melihat ada perubahan pada 

dirinya.” 

Wiro tidak menceritakan adanya suara mengiang yang 

melarang dia membunuh Penguasa Atap Langit. 

“Tapi ilmunya bisa saja pulih kembali. Jika hal itu 

sampai terjadi akan sangat berbahaya.” 

“Mudah-mudahan saja dugaanmu keliru. Karena 

sewaktu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk 

berwajah hitam putih muncul hendak membunuhku, 

Penguasa Atap Langit melarang dan mengusir mereka. 

Kemudian ketika ada serangan Delapan Sukma Merah, 

dua kelelawar raksasa dan sembilan makhluk Arwah Hitam 

Putih mengorbankan diri melindungiku dan sukmaku...” 

“Wiro, sulit aku percaya kalau bukan mendengar dari 

mulutmu sendiri. Tapi mengapa sekarang dia melenyapkan 

diri? Bukan mustahil tengah menghimpun kekuatan dan 

menyusun rencana balas dendam. Walau banyak ilmunya 

yang telah amblas dan rontok, agaknya Penguasa Atap 

Langit masih menyimpan beberapa ilmu kesaktian 

dahsyat.”


“Ken Parantili, yang lebih penting saat ini adalah 

mencari jalan keluar dari negeri keparat ini.” Berkata Wiro. 

“Kita harus mencari pohon beringin yang dulu 

membawamu ke sini. Hanya pohon itu yang bisa 

membawamu keluar dari Negeri Atap Langit.” 

“Hanya aku yang akan dibawa? Apa maksudmu? Kau 

akan tetap tinggal di negeri ini?” Bertanya Wiro. 

“Aku tidak mungkin ikut bersamamu.” 

“Mengapa tidak mungkin? Kau memilih tetap di sini 

bersama Penguasa Atap Langit yang pasti akan 

membunuhmu?” Bertanya Wiro. 

“Aku tidak mungkin pergi tanpa lebih dulu 

mendapatkan kembali jantungku yang telah dicopot dan 

disimpan Penguasa Atap Langit di suatu tempat. Tanpa 

jantung, di dunia luar aku hanya bisa bertahan hidup 

selama tiga hari tiga malam. Kalau Penguasa Atap Langit 

bertindak gila dan bengis, dia bisa meremas jantungku dan 

saat itu juga aku akan menemui kematian secara lebih 

cepat.” 

“Dia tidak akan melakukan itu. Ingat, seperti katamu 

dia ingin membunuh ragamu dengan tangannya sendiri. 

Karena hanya dengan cara itu dia bisa mempertahankan 

ilmu kesaktiannya yang masih tersisa.” 

“Kau benar,” kata Ken Parantili sambil memegang 

lengan Wiro. 

Seperti yang pernah diperlihatkan Ken Parantili kepada 

Wiro dengan cara membelah dadanya, selir ini memang 

tidak memiliki jantung. Dada kirinya kosong! 

“Kalau begitu kita cari dulu jantungmu itu.” Kata Wiro 

pula. 

Ken Parantili menggeleng. “Aku akan mengantarkanmu 

mencari pohon beringin yang dulu membawamu ke sini. 

Setelah bertemu kau pergi sendirian. Tidak perlu 

memikirkan diriku. Banyak pekerjaan sangat penting yang 

harus kau lakukan. Berlama-lama di sini aku khawatir akan 

terjadi sesuatu pada dirimu.” 

Wiro ganti menggeleng. “Aku tidak akan pergi kalau


tidak membawamu serta. Menyelamatkanmu juga 

merupakan satu tugas penting.” 

“Di Negeri Atap Langit ada delapan belas orang selir 

lagi. Satu yang bernama Windu Resmi sudah menemui ajal. 

Masih ada tujuh belas orang yang kelak akan menemui 

nasib sama. Menemui kematian di tangan Penguasa Atap 

Langit. Apakah kau juga akan menolong mereka?” 

Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu menggaruk 

kepala, “Itu bisa diatur. Kita lihat saja nanti. Yang jelas 

bagaimana kita bisa menyelamatkan orang lain kalau kita 

saja masih tersekap di sini? Sekarang lekas tunjukkan di 

mana Penguasa Atap Langit menyekap jantungmu!” 

“Tempatnya sebuah goa. Letaknya sebenarnya tak jauh 

dari sini. Tapi keberadaannya seperti gaib. Untuk pergi ke 

sana perlu menunggang pohon beringin dan memakan 

waktu cukup lama. Itulah keanehan Negeri Atap Langit.” 

Menerangkan Ken Parantili. 

Wiro jadi tidak sabaran. Dirangkulnya pinggang Ken 

Parantili lalu perempuan itu dipanggul di bahu kanan. “Kau 

tunjukkan jalan! Kita cari pohon itu sekarang juga!” 

Sesaat Ken Parantili merasa terharu mendengar apa 

yang diucapkan dan hendak dilakukan Pendekar 212. 

Tangan kiri digelung di leher Wiro. Tangan kanan menunjuk 

ke depan, memberi isyarat ke mana Wiro harus bergerak. 

“Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri.” Berkata sang 

selir. 

Tapi murid Sinto Gendong telah melompat ke arah yang 

ditunjuk sang selir. Dia berlari dengan mempergunakan 

ilmu lari Kaki Angin pemberian Eyang Sinto Gendeng. 

Ketika Ken Parantili dan Wiro sampai ke tempat di 

mana seharusnya berada pohon beringin sakti, mereka 

terkejut karena pohon itu tidak ada lagi di tempatnya 

semula. Di tanah terlihat satu lobang besar. 

“Celaka! Pohon beringin lenyap dibongkar orang!” 

Teriak Ken Parantili. “Kita tidak mungkin keluar dari Negeri 

Atap Langit saat ini juga. Berarti kita harus menunggu 

selama tujuh hari tujuh malam baru bisa menemukan


pohon beringin itu. Aku khawatir selama itu Penguasa Atap 

Langit, jika dia masih hidup, akan berusaha memulihkan 

diri lalu melakukan balas dendam yang dahsyat!” 

Mendadak di langit ada suara berkesiuran. 

Wiro mendongak ke atas. “Ken Parantili. Agaknya kita 

tidak perlu menunggu sampai tujuh hari tujuh malam...” 

***


SEMBILAN


KETIKA Ken Parantili ikut mendongak menatap ke atas 

langit, darahnya tersirap. Dia melihat satu pohon 

beringin besar di udara dan bergerak melayang turun 

ke arah dirinya dan Wiro berada. Daun-daun dan akar di 

sebelah bawah bergetar mengeluarkan suara berdesir. 

Akar-akar gantung bergelayutan. Itulah pohon beringin yang 

tengah mereka cari! 

Ken Parantili tidak merasa heran melihat pohon 

beringin bisa melayang di udara bergerak turun ke bawah. 

Keanehan seperti ini biasa-biasa saja di Negeri Atap Langit. 

Sebelumnya dia pernah membawa pohon itu keluar dari 

Negeri Atap Langit menuju kawasan Plaosan untuk mencari 

Wiro. Namun yang membuatnya terkesiap besar adalah 

ketika melihat ada dua tangan menggotong pohon itu. Di 

bawah batang pohon sebelah tengah ada satu sosok 

merah menopang batang pohon. Si penopang ternyata 

bukan lain Penguasa Atap Langit. 

“Awas! Dia hendak menimbun kita dengan pohon 

beringin itu! Kurang ajar! Baru saja diberi ampun sudah 

berbuat culas!” Teriak Wiro marah. Serta-merta dia siapkan 

Pukulan Sinar Matahari. 

Di atas sana, pohon beringin besar tidak dilempar ke 

bawah seperti yang diduga Wiro, tapi terus melayang ke 

bawah secara perlahan-lahan lalu tanpa suara, tanpa 

getaran pohon diturunkan ke tanah, hanya beberapa 

langkah di hadapan Wiro dan Ken Parantili. 

Sebelum pohon menyentuh tanah, Penguasa Atap 

Langit menyelinap ke belakang pohon lalu, dess! Wiro 

melompat ke udara. Berusaha mengejar. Ken Parantili


mengikuti. Ketika mereka sampai di balik batang pohon, 

Penguasa Atap Langit tidak kelihatan lagi. Yang tampak 

adalah satu lobang dalam sepemasukan tubuh manusia. 

“Sial! Lagi-lagi Terowongan Arwah!” RutukWiro. “Jika 

Penguasa Atap langit muncul lagi kita harus bisa mencegah 

dia kabur dengan cara ini. Kau punya ilmu penangkalnya?” 

Bertanya Wiro. 

Ken Parantili menggeleng, “Mungkin kau bisa 

mempergunakan ilmu membelah tanah seperti kau 

lakukan ketika memendam mayat selir Windu Resmi. Tapi 

tadi jelas Penguasa Atap Langit tidak punya niat jahat 

hendak mencelakai kita dengan menjatuhkan pohon besar 

itu.” 

“Lalu mengapa dia kabur?” 

“Mungkin dia merasa khawatir kita masih punya 

dugaan kalau dia makhluk jahat. Padahal mungkin sudah 

berubah. Buktinya tadi dia sengaja membawa pohon 

beringin yang kita cari ke sini.” 

“Kau seperti membela makhluk yang hendak 

membunuhmu itu!” 

“Sudah, tidak usah diperpanjang. Kalau kau memang 

mau mengajakku pergi dari Negeri Atap Langit, sekarang 

kita harus mencari goa tempat di mana jantungku 

disimpan.” 

“Kalau Penguasa Atap Langit punya niat baik 

terhadapmu, seharusnya dia juga membawa jantungmu. 

Bukan cuma pohon beringin.” Jawab Wiro masih kesal. 

“Mungkin dia punya kendala,” jawab Ken Parantili. 

“Kendala apa?” Tanya Wiro. 

“Mulut goa tempat penyekapan jantung bisa saja 

dianggap sebagai pintu pantangan yang bisa mencelakai 

dirinya. Berarti selama ini ada seseorang yang mewakili 

makhluk bejat itu menjaga goa.” 

“Siapa orang atau makhluknya?” Tanya Wiro pula. 

Ken Parantili tidak menjawab karena memang tidak 

tahu. 

“Ken Parantili, mungkin saja Penguasa Atap Langit


sudah tahu kalau kau akan mengambil jantungmu di goa 

penyekapan. Dia lantas menunggumu di sana. Begitu kau 

muncul dia akan membunuhmu dengan tangannya sendiri! 

Jika kau mati bukankah ada dugaan bahwa semua ilmu 

kesaktiannya akan kembali langgeng?” 

Sejenak Ken Parantili terdiam mendengar ucapan Wiro. 

Kemudian dia berkata. “Kalau kau tidak menolong, 

sebenarnya aku sudah mati. Sekarang mengapa aku harus 

takut pada kematian yang tertunda?” 

Wiro diam saja. Namun dalam hati dia membatin. 

“Kalau kau tidak takut menemui kematian, mengapa 

bersusah payah pergi ke Plaosan mencariku?” 

Ken Parantili melompat ke atas batang pohon beringin. 

Sebelum menyusul naik, Wiro bertanya. “Goa tempat 

penyekapan jantung para selir itu apakah letaknya di 

dalam Negeri Atap Langit?” 

“Setahuku berada di sebelah timur, di luar Negeri Atap 

Langit” Jawab Ken Parantili. 

Akar dan dedaunan pohon beringin tergetar keras. 

Perlahan-lahan pohon itu bergerak naik ke atas. 

Ken Parantili berteriak. “Wiro! Tunggu apalagi! Lekas 

naik ke sini!” 

Wiro segera melompat naik. Baru saja menjajakkan 

kaki di batang pohon, tiba-tiba pohon beringin perlahan-

lahan mulai bergerak naik ke udara. Wiro dan Ken Parantili 

berpegang erat ke cabang-cabang pohon. 

“Ada sesuatu di pohon!” Tiba-tiba Ken Parantili berseru 

di dalam deru angin. Dia membungkuk mengambil sebuah 

benda memancarkan cahaya kuning yang tersangkut di 

antara dedaunan lebat pohon beringin. Ketika berhasil 

disentuh dan diambil, darahnya tersirap. Ternyata benda 

itu adalah mahkota emas yang biasa dipakainya sehari-

hari. Seperti diceritakan sebelumnya sewaktu berada di 

Puri Kesatu dan siap hendak meniduri sang selir, Penguasa 

Atap Langit melemparkan mahkota emas berbentuk atap 

yang ada di kepala selir itu ke langit-langit kamar. 

“Pasti Penguasa Atap Langit sengaja meletakkan


mahkota emas ini di sela-sela ranting dan daun pohon 

beringin. Apa maksudnya?” Ken Parantili berkata sambil 

memegang dan memperhatikan mahkota emas. 

“Mungkin bermaksud baik tapi bisa juga ada niat 

jahat.” Jawab Wiro. Lalu diam-diam dia terapkan Ilmu 

Menembus Pandang dan menatap tak berkesip ke arah 

mahkota emas yang dipegang sang selir. 

Tiba-tiba Wiro berteriak. “Ken Parantili! Cepat lempar 

mahkota emas itu! Aku melihat sesuatu!” 

Selagi Ken Parantili tertegun dan hanya berdiam diri 

terkejut mendengar ucapan Wiro, murid Sinto Gendeng 

cepat merampas mahkota emas dari tangan perempuan 

itu lalu dilempar ke udara. Tiga tombak di udara mahkota 

emas meledak berkeping-keping. Dari balik ledakan 

menyembul sosok merah Penguasa Atap Langit. Tanpa 

mampu mengimbangi diri, setelah berjungkir balik sang 

penguasa jatuh terkapar di tanah. 

Wiro siap melompat turun dari batang pohon. Namun 

saat itu pohon beringin terasa bergetar. Daun-daun pohon 

keluarkan suara bergemerisik, akar gantung mencuat ke 

atas. Akar di sebelah bawah bergerak-gerak. Cepat sekali 

pohon itu melesat tinggi ke udara. 

Di bawah sana Penguasa Atap Langit tampak duduk di 

tanah sambil dua tangan menunjuk-nunjuk ke arah Wiro 

dan Ken Parantili. Lalu kepala dirundukkan, disentuh ke 

tanah berulang kali. Mulut mengucapkan kata-kata yang 

tidak jelas. 

“Apa yang terjadi dengan makhluk itu? Maksud apa 

sampai dia menyelinap di mahkota emas kalau bukan 

maksud jahat!” 

Ken Parantili sendiri saat itu tidak mampu keluarkan 

ucapan. Wajahnya yang tadi mulai berdarah kini kembali 

pucat dan tengkuknya terasa dingin. 

“Ken Parantili...” 

Sang selir memberi tanda agar Wiro tidak meneruskan 

ucapan. Tubuh dibungkukkan ke arah kelebatan daun-

daun pohon beringin di sisi kanan sebelah depan. Di situ


terselip sebuah benda hijau. Getaran pohon, tiupan angin 

yang kencang, tidak mudah untuk dapat mengambil benda 

itu. Wiro bertindak lebih dulu. Dua jari tangan kanan 

dipentang lurus. Lalu dia kerahkan tenaga dalam. 

Wuuttt! 

Lipatan benda hijau melesat dan masuk dalam jepitan 

dua tangan Wiro. Wiro memperhatikan. 

“Daun keladi dilipat empat!” Wiro memberi tahu. 

“Di Puri Agung kediaman Penguasa Atap Langit banyak 

tumbuh pohon keladi besar. Pasti dia juga yang 

meletakkan. Wiro, aku khawatir terjadi seperti tadi. Coba 

kau periksa dulu lipatan daun. Jangan-jangan Penguasa 

Atap Langit menyelinap lagi di dalam lipatan.” 

“Daun ini tidak ada isi apa-apa. Tidak ketumpangan 

makhluk lain.” Menerangkan Wiro. 

“Kalau begitu... Wiro, kau bisa membuka lipatan daun?” 

“Sudah kubilang lipatan daun ini tidak ada isi apa-apa. 

Kau tak usah khawatir. Biar kubuang saja.” 

“Pasti ada sesuatu. Kalau tidak mengapa ada yang 

meletakkan di pohon ini?” Ken Parantili bersikeras. 

Sambil tangan kanan berpegang erat ke cabang pohon, 

dengan tangan kirinya Wiro mengeprat lipatan daun keladi. 

Begitu lipatan terbuka ternyata pada lembaran daun itu 

tertera sederet tulisan. 

“Agaknya kau menerima surat cinta dari Penguasa Atap 

Langit. Aku tak mengerti bahasa tulisan ini. Kau baca 

sendiri!” 

Wiro ulurkan lembaran daun keladi. Ken Parantili cepat 

mengambil lalu memperhatikan. Di atas daun keladi itu 

memang ada serangkaian tulisan yang bahasanya hanya 

bisa dimengerti oleh penghuni Negeri Atap Langit. 

Begitu membaca apa yang tertera di atas lembaran 

daun, berubahlah paras Ken Parantili. Wajah mendadak 

sontak pucat, tubuh gemetar. Sepasang mata menatap ke 

arah Wiro sementara dada tampak bergerak turun naik. 

“Tidaakkk!” Satu teriakan keras menggelegar keluar 

dari mulut Ken Parantili. Pohon beringin bergoncang tiga


kali. 

“Apa bunyi tulisan di daun itu?” Bertanya Wiro tidak 

sabaran. 

Sepasang mata Ken Parantili membesar seolah hendak 

melompat keluar dari rongganya. Kepala digeleng. Mulut 

berulang kali mengucapkan kata tidak. 

“Wiro...” Suara Ken Parantili perlahan dan lirih. 

Wiro berusaha mendekat. Memegang bahu selir itu lalu 

berkata. “Kau mengalami guncangan hebat! Apa yang 

terjadi? Apa yang tertulis di atas daun keladi itu?” 

“Aku, aku tidak bisa mengatakan. Aku lebih baik 

memilih mati saat ini juga!” Sepasang mata menatap ke 

bawah. Saat itu pohon beringin yang membawa dirinya dan 

Wiro berada dua ratus tombak di atas permukaan tanah. 

Perlahan-lahan Ken Parantili lepaskan pegangannya 

pada daun keladi. Begitu disambar angin, daun ini 

melayang ke udara. 

Wiro tahu apa yang hendak dilakukan Ken Parantili. 

“Jangan! Ken Parantili! Sadar!” 

Ken Parantili pejamkan kedua matanya. Didahului 

teriakan keras dan panjang, selir itu hamburkan diri dari 

atas batang pohon beringin. Wiro berusaha menggapai 

pinggang perempuan itu tapi terlambat! Dia hanya mampu 

menarik robek salah satu bagian pakaian putih. Sosok Ken 

Parantili jatuh ke bawah, melayang berputar-putar, siap 

untuk menghunjam ke tanah! 

Wiro kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki sambil 

membuat gerakan memberatkan diri agar pohon beringin 

melayang turun ke bawah. Namun pohon malah berputar-

putar di udara. “Celaka! Apa yang harus aku lakukan? 

Perempuan itu! Apa yang membuatnya tiba-tiba menjadi 

nekad melakukan bunuh diri!” 

Di saat luar biasa genting itu tiba-tiba terdengar suara 

mendengung halus. Lalu ada delapan benda kecil 

bercahaya. Walau sang surya telah naik dan udara berubah 

terang, namun delapan cahaya kecil tampak berpijar 

benderang. Di kejauhan terdengar suara alunan gamelan


ditingkah tiupan seruling, tabuhan gendang dan gesekan 

rebab! 

Delapan cahaya melesat ke arah sosok Ken Parantili 

yang tengah melayang jatuh. Pada ketinggian dua ratus 

tombak di atas tanah, delapan benda terang tiba-tiba 

berubah membentuk bayang-bayang menyerupai pocong. 

Anehnya sosok mereka tidak dibuntal kain kafan putih, tapi 

terbungkus kain coklat di sebelah atas, kain hijau dari 

pinggang ke bawah dan di pinggang melingkar ikat 

pinggang kain lebar berwarna kuning. Rambut yang 

panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di atas 

pohon beringin, delapan pocong yang wajahnya tidak 

terlihat jelas membuat gerakan meliuk-liuk, tangan dan 

kaki melambai kian kemari. Astaga! Mereka ternyata 

menari di bentangan udara! Mengikuti alunan gamelan. 

Sebenarnya ini adalah satu pemandangan yang indah. 

Namun dalam terkesiapnya, Pendekar 212 justru merasa 

khawatir dan menatap dengan mata tak berkesip. 

Jantungnya berdegup keras. Lapat-lapat Wiro mendengar 

suara perempuan bernyanyi, bersahut-sahutan bait demi 

bait. 

“Tidak dipanggil kami datang sendiri 

Sebelum ajal berpantang mati 

Pikiran manusia memang pendek 

Tapi mengapa nyawa mau dipantek 

Menolong orang adalah perbuatan terpuji 

Tapi menolong diri kami siapa perduli 

Tidak dipanggil datang sendiri 

Agar tidak ada yang tersia-sia di atas bumi” 

“Delapan Pocong Menari. Apakah mereka ini yang 

malam tadi menyelamatkan diriku.” Ucap Wiro dalam hati. 

Pohon beringin di atas mana dia berada perlahan-lahan 

melayang turun. Di bawah sana Wiro melihat tujuh dari 

delapan pocong perempuan melesat ke arah tubuh Ken 

Parantili yang tengah jatuh dan saat itu berada dalam


keadaan pingsan. Sementara satu pocong lagi terbang ke 

jurusan daun keladi yang tadi dilepas oleh selir itu dan 

melayang di udara. Di kejauhan tampak sebuah gunung 

yang puncaknya berselimut awan. Di balik awan kelihatan 

sebuah kawah besar mengepul asap putih. 

Wiro meraba pinggang pakaian. Delapan bunga 

matahari kecil ternyata tidak ada lagi di balik pakaiannya! 

***


SEPULUH


SUARA alunan gamelan terdengar lebih keras. Tujuh 

perempuan berpakaian coklat-hijau berselempang 

ikat pinggang lebar berwarna kuning dalam gerakan 

seperti menari tiba-tiba berjungkir balik lalu laksana kilat 

melesat mendekati Ken Parantili. Hanya terpisah sejarak 

lima tombak mereka lepas ikat pinggang lebar lalu, sett... 

sett! 

Tujuh ikat pinggang lebar bergulung melibat tubuh Ken 

Parantili. Untuk beberapa lamanya selir yang pingsan itu 

seperti berada dalam bedung ayunan. Tujuh ikat pinggang 

lebar terulur panjang. Tubuh Ken Parantili meluncur ke 

bawah, ke arah puncak gunung. Tinggal dua puluhan 

tombak dari tanah, tujuh gadis keluarkan suara nyanyian. 

Temannya yang seorang yang telah berhasil mendapatkan 

daun keladi ikut bergabung. Daun keladi disusupkan ke 

balik pakaian di bagian punggung Ken Parantili. 

“Tidak dipanggil datang sendiri 

Berarti kami tidak boleh menginjak bumi 

Tegarkan diri kuatkan hati 

Seorang sahabat akan datang memberi budi” 

Lalu, delll... delll! 

Tujuh ikat pinggang kuning disentak lepas. Tubuh Ken 

Parantili melayang jatuh ke arah pedataran kecil di dekat 

puncak gunung. 

Melihat apa yang terjadi Wiro tersentak kaget dan 

berteriak. “Delapan pocong! Tadi kalian menolongnya! 

Sekarang mengapa dilepas jatuh! Apa itu bukan perbuatan


sia-sia?!” 

Delapan pocong tidak menyahuti. Sosok mereka 

melesat ke arah pohon beringin di mana Wiro berada. 

Setengah jalan delapan pocong berubah menjadi benda 

melayang yang memancar sinar seperti kunang-kunang di 

siang hari. Lalu, bleep... bleepp! Delapan cahaya lenyap. 

Wiro menggaruk kepala. Meraba pinggang. Ternyata 

delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi di balik 

pakaiannya! Wiro menepuk pinggul sendiri. 

“Delapan Pocong! Mengapa...” Suara bentakan Wiro 

terputus oleh suara beberapa orang yang menjawab secara 

bersamaan. 

“Kami tahu apa yang kami lakukan! Semua 

perlindungan datang dari Gusti Allahmu! Sekarang turun ke 

sana! Susul temanmu! Tolong dia!” 

“Gusti Allah! Kalian tahu apa tentang Gusti Allahku!” 

“Oalah sudah! Melompat sana!” 

“Hai! Kalian mau membunuhku?!” Wiro berteriak kaget 

ketika tiba-tiba ada banyak tangan terasa mendorong 

punggungnya, ada juga yang menekan pantatnya! 

Seseorang melepas pegangan tangannya pada cabang 

pohon. Lalu tubuh sang pendekar didorong ke depan. Tak 

ampun lagi Wiro terjungkal dari atas batang pohon beringin 

pada ketinggian sekitar seratus tombak dari tanah! 

Kembali pada Ken Parantili. Selagi tubuhnya terus 

melayang jatuh dan hanya tinggal belasan tombak saja lagi 

akan hancur remuk menghantam tanah, entah bagaimana 

tiba-tiba perempuan muda ini sadar dari pingsannya. Kalau 

sebelumnya dia sengaja menghambur untuk bunuh diri 

tidak takut mati, namun melihat kenyataan saat itu apa 

yang terjadi atas dirinya tak urung dia menjerit keras. 

Menggapai kian kemari namun hanya menyentuh udara 

kosong. Tak ada sesuatu yang bisa dipakai bersigayut 

untuk menyelamatkan diri. Tidak ada seseorang yang 

diharapkan bisa menolong! Sebelum jatuh pingsan lagi 

untuk kedua kali tiba-tiba di bawah sana melesat satu 

benda berwarna merah muda. Di lain kejap Ken Parantili


merasa ada orang memeluk tubuhnya yang bergeletar dan 

kucurkan keringat dingin. 

“Sahabat dari Negeri Atap Langit! Kau rupanya!” Ada 

suara orang. “Tenang, tenang saja. Aku akan membawamu 

turun ke puncak gunung dengan selamat.” 

Yang terdengar suara lelaki tapi halus dan lembut 

menyerupai suara perempuan! Ken Parantili berusaha 

memutar kepala untuk melihat siapa adanya orang yang 

menolong sementara dia merasa tubuhnya perlahan-lahan 

digendong turun ke satu pedataran kecil. Namun dia tidak 

bisa melihat wajah orang. Dia hanya mencium bau wangi 

tubuh dan pakaian orang yang merangkulnya. Ketika dua 

kakinya menginjak tanah dengan cepat Ken Parantili 

lepaskan diri dari pelukan orang. Memandang ke depan dia 

terkejut tapi juga gembira. 

“Kau!” 

Gadis cantik berpakaian merah muda di hadapannya 

tersenyum. “Kau masih ingat diriku? Kita berpisah baru 

kemarin senja. Namaku Jaka Pesolek...” 

“Ya... ya, aku ingat namamu. Kau hebat! Terima kasih 

kau telah menolongku! Mana para sahabat yang lain...” 

“Mereka ada di sekitar sini. Sebentar lagi pasti 

berdatangan. Aku malah mau tanya. Di mana beradanya 

Ksatria Panggilan alias sahabat Pendekar 212 Wiro 

Sableng! Dia kemarin menyusulmu naik belahan pohon 

beringin.” 

“Aku di sini! Segera mati kalau tidak ada yang 

menolong!” Tiba-tiba satu teriakan terdengar di udara. Satu 

sosok berpakaian merah melayang jatuh luar biasa cepat. 

“Wiro! Kau! Apa yang terjadi?!” Jaka Pesolek berteriak 

terkejut. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat 

ke udara guna menolong Pendekar 212. Jaka Pesolek 

memang tidak memiliki ilmu kesaktian. Dia hanya punya 

ilmu bergerak cepat terutama melesat ke udara dan 

menangkap petir. 

Sesaat lagi Jaka Pesolek akan menggapai tubuh Wiro 

yang jatuh tiba-tiba di udara melesat delapan larik kain


panjang berwarna kuning. Dengan cepat delapan kain 

kuning membuntal tubuh Wiro. Untuk beberapa lama tubuh 

sang pendekar terayun-ayun di udara sambil bergerak 

turun. Jaka Pesolek yang tadi berniat hendak menolong kini 

ikut bergantungan pada salah satu kain kuning. Pada 

ketinggian dua tombak tidak sabar Wiro segera meloncat 

turun. Begitu dua kaki menginjak tanah, delapan kain 

panjang kuning yang tadi menyelamatkan dirinya lenyap 

dari pemandangan. Jaka Pesolek yang bergantung pada 

sehelai kain kuning cepat pula melompat 

“Delapan Pocong Menari.” Ucap Wiro. “Aku berterima 

kasih kalian telah menolongku.” 

“Hai! Kau bicara apa? Mana ada pocong di sini! Yang 

menolongmu adalah delapan kain kuning aneh yang 

barusan raib! Oala, balik dari negeri aneh dirimu juga 

berubah aneh! Hemm... Bajumu baru pula!” Berkata Jaka 

Pesolek. 

Wiro delikkan mata. “Kau tahu apa?!” 

Jaka Pesolek mencibir. “Yang aku mau tahu, apa kau 

sudah tidur dengan selir itu. Bagaimana rasanya? Enak? 

Apa aku sekarang bisa dapat bagian? Hik... hik... hik!” 

Wiro pelintir telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang 

jantan bisa betina bisa ini mengaduh kesakitan. Wiro cepat 

mendatangi Ken Parantili. 

“Kau baik-baik saja...?” 

“Seharusnya aku tidak perlu ditolong. Biar mati saja. 

Siapa yang tadi menolongku?” 

“Delapan bunga matahari.” 

“Berarti delapan pocong itu.” Ken Parantili terdiam 

seperti berpikir. Lalu dia bertanya. “Kita berada di mana?” 

“Di puncak Gunung Semeru.” Yang menjawab Jaka 

Pesolek. 

Ken Parantili terdiam lagi. Lalu berkata. “Tidak jadi apa 

aku tadi tidak menemui ajal. Tiga hari lagi aku tetap akan 

mati.” 

“Karena kau tidak memiliki jantung?” 

Ken Parantili mengangguk.


“Kalau begitu kita kembali ke Negeri Atap Langit. 

Astaga, di mana beradanya pohon beringin itu?” Wiro 

memandang berkeliling tapi di pedataran di puncak gunung 

itu dia tidak menemukan pohon yang dicari. 

“Pohon itu telah raib. Kembali ke Negeri Atap Langit” 

Berkata Ken Parantili, menjelaskan dengan suara lirih. 

“Kau punya cara lain untuk bisa kembali ke sana?” 

“Ada beberapa cara. Tapi aku tidak pernah tahu.” 

“Sinuhun Merah Penghisap Arwah menurutmu pada 

waktu-waktu tertentu selalu pergi ke sana untuk 

melakukan upacara Sesajen Atap Langit.” 

“Wiro, mana mungkin kita minta pertolongan pada 

makhluk alam arwah itu.” 

“Kita harus mencari segala cara untuk bisa 

menolongmu.” 

Ken Parantili tersenyum lalu letakkan kepala di dada 

Wiro, dua tangan memeluk sang pendekar. Jaka Pesolek 

terheran-heran melihat hal itu. Apalagi ketika menyaksikan 

Wiro mengusap kepala peerempuan itu. Dalam hati dia 

berkata. “Oala, agaknya mereka sudah saling bercinta.” 

Ketika mengusap punggung Ken Parantili Wiro merasa 

ada sebuah benda di balik punggung pakaian sang selir. 

Dia hendak bertanya tapi perempuan itu mendahului 

bicara. 

 “Kau sahabatku paling baik. Aku sangat berterima 

kasih.” Berkata Ken Parantili. “Aku sudah cukup puas 

kalau selama tiga hari sisa hidupku bisa bersamamu. Aku 

ingin kau tetap berada di dekatku pada saat aku 

menghembuskan nafas terakhir.” 

“Jangan berkata begitu. Yang Maha Kuasa tidak akan 

membiarkanmu menemui kematian sebelum saatnya. Dia 

pasti akan menolongmu.” 

“Gusti Allahmu Yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu?” 

Tanya Ken Parantili. 

Wiro tersenyum walau hatinya terenyuh mendengar 

kata-kata Ken Parantili. Selagi keduanya masih berpelukan 

tiba-tiba muncul Ratu Randang, Kunti Ambiri alias Dewi


Ular yang kini tidak mau lagi memakai gelaran itu, dan 

Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal. 

Ken Parantili tenang-tenang saja. Sebaliknya agak rikuh 

Wiro lepaskan pelukan. Untuk beberapa ketika tempat itu 

menjadi sunyi. Tak ada yang bicara. Masing-masing hanya 

saling berpandangan. 

“Kalian... aku...” Wiro menggaruk kepala. 

Ratu Randang senyum-senyum. Sakuntaladewi 

menatap ke tanah sementara Kunti Ambiri memandang 

Wiro dan Ken Parantili berganti-ganti dengan mata tak 

berkesip. Ada rasa perih di lubuk hatinya. Namun 

kemudian si cantik berpakaian hijau tipis ini mengulum 

senyum. 

Suasana sunyi pecah oleh suara batuk-batuk yang 

dibuat Ratu Randang. Entah memang batuk sungguhan 

atau dibuat-buat! 

***


SEBELAS


WIRO, aku bicara mewakili semua sahabat di sini. 

Kami gembira kau kembali dengan selamat. Hanya 

saja kami tidak mengira sahabat Ken Parantili ikut 

bersamamu.” 

Ucapan si nenek bagi Ken Parantili merupakan adanya 

bayangan rasa tidak senang atau rasa cemburu terhadap 

dirinya. Dari apa yang pernah didengarnya, sedikit banyak 

dia mengetahui hubungan Ratu Randang, Sakuntaladewi 

dan Kunti Ambiri dengan Wiro. Si nenek telah kepincut 

jatuh hati. Sakuntaladewi punya kaul akan mengambil sang 

pendekar menjadi suami. Lalu Kunti Ambiri punya kisah 

lama dan panjang dengan Wiro. Di Bhumi Mataram 

perasaan cinta Kunti Ambiri itu berkembang jadi mendalam 

akibat berbagai keadaan yang lebih mendekatkannya pada 

Wiro. 

Merasa tidak enak Ken Parantili berkata. “Sahabat 

semua. Sebenarnya kami dalam perjalanan ke satu goa 

rahasia. Tempat di mana jantungku disekap oleh Penguasa 

Atap Langit...” 

“Ken Parantili. Kami semua melihat kau sebagai 

manusia hidup, tidak beda dengan diri kami. Bagaimana 

mungkin kau mengatakan tidak memiliki jantung?” Kunti 

Ambiri tiba-tiba memotong ucapan Ken Parantili. 

Ken Parantili diam saja. Dia tahu kalau Kunti Ambiri 

bukan manusia. Tapi makhluk dari alam roh karena pernah 

menemui ajal dibunuh Wiro. 

Jaka Pesolek menyeletuk. “Soal kau punya jantung atau 

tidak, walau aneh aku tidak perduli. Kau datang ke sini, 

berarti kau selamat, tidak jadi dibunuh Penguasa Atap


Langit. Kalau menurut jalan ceritanya Penguasa Atap 

Langit saat ini pasti sudah mati. Semua itu menerangkan 

bahwa kalian berdua telah melaksanakan syarat 

pertolongan. Yaitu tidur atau melakukan hubungan badan 

mulai dari matahari tenggelam sampai fajar menyingsing! 

Nah itu yang kita-kita di sini ingin tahu bagaimana jalan 

ceritanya!” 

Wajah Ken Parantili tampak bersemu merah. Saat itu 

pikirannya sedang kacau. Ucapan Jaka Pesolek, gadis yang 

dianggapnya aneh itu membuat dia gemas. Pendekar 212 

sendiri melongo mendengar ucapan Jaka Pesolek itu. 

Walau jengkel, dengan tenang Ken Parantili menjawab. 

“Selama berada di Negeri Atap Langit kami tidak pernah 

melakukan hubungan badan! Jangan para sahabat di sini 

menyangka yang bukan-bukan. Tidur tidak sama dengan 

melakukan hubungan badan...” 

“Tapi!” Kunti Ambiri memotong namun tidak 

melanjutkan ucapan. 

Masih dengan wajah merah Ken Parantili berpaling 

pada Wiro dan berkata. “Aku mohon, sebaiknya kau saja 

yang menerangkan. Jelaskan semuanya pada para sahabat 

di sini. Jangan ada yang terlupa, jangan ada yang 

disembunyikan.” 

Wiro menggaruk kepala. Karena tidak bisa mengelak 

dia lalu menuturkan apa yang terjadi sejak meninggalkan 

Bhumi Mataram pergi ke Negeri Atap Langit dan berada di 

puncak gunung itu. Semua orang terdiam mendengar 

cerita Wiro. Sampai Sakuntaladewi kemudian membuka 

mulut untuk pertama kali. 

“Soal katamu kau tidak memiliki jantung. Bagaimana 

kami bisa percaya. Tidak ada manusia bisa hidup tanpa 

jantung.” 

“Aku bukan tidak memiliki jantung. Tapi jantungku 

berada di luar tubuh. Disekap Penguasa Atap Langit di 

dalam sebuah goa.” 

Dari wajah-wajah yang memandang pada Ken Parantili 

jelas mereka tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan


selir itu. 

“Ken Parantili, kalau kau tidak membuktikan sendiri 

sulit para sahabat di sini mempercayai ucapanmu. 

Perlihatkan pada mereka dada kirimu.” 

Mendengar ucapan Wiro, Jaka Pesolek pentang 

matanya lebar-lebar, menatap tak berkesip. Ken Parantili 

melangkah mendekati Kunti Ambiri, Ratu Randang dan 

Sakuntaladewi. Dia sengaja membelakangi Jaka Pesolek. 

Tapi gadis ini dengan cepat melompat ke samping Kunti 

Ambiri hingga dia bisa melihat jelas apa yang akan 

dilakukan orang. 

Dengan tangan kirinya Ken Parantili menyibakkan dada 

pakaian putih berenda di bagian dada sebelah kiri. Begitu 

dadanya yang bagus terpentang putih, dengan ujung ibu 

jari tangan kanan dia menggurat kulit dan daging dadanya. 

Sreett! Dada kiri terkuak menganga, isi rongganya 

terlihat jelas. Semua orang yang berdiri di hadapan Ken 

Parantili tersentak kaget dan tersurut mundur satu 

langkah! 

“Para sahabat semua. Kalian tahu apa yang dinamakan 

jantung. Lihat baik-baik, apa ada jantung di dalam rongga 

dadaku sebelah kiri?!” 

Tak ada yang menyahut. Semua hanya bisa menatap 

dengan mata mendelik dan mulut ternganga. 

Ken Parantili usap dadanya dengan telapak tangan 

kanan. Dada kiri yang terbelah terkuak, menutup kembali 

tanpa bekas tanpa darah! 

Walau merasa agak lega namun Wiro tetap saja 

menaruh khawatir. Dia mendekati Ken Parantili. Setengah 

berbisik Wiro berkata. “Waktu mengusap punggungmu tadi, 

aku merasa ada sebuah benda di balik pakaianmu. 

Sewaktu Delapan Pocong menolongmu, aku sempat 

melihat salah seorang dari mereka memasukkan sesuatu 

ke balik punggung bajumu. Kurasa saat ini benda itu masih 

ada di belakang punggungmu.” 

Ken Parantili terkejut. Cepat-cepat dia mengulur tangan 

ke belakang. Dia jadi lebih terkejut lagi sewaktu melihat


benda yang sejak tadi ada di punggungnya ternyata adalah 

lembaran daun keladi yang ditemuinya di sela-sela daun 

pohon beringin. Yang telah membuat dirinya sangat 

tergoncang dan nekad bunuh diri. 

“Kau telah membaca apa yang tertulis di daun itu. 

Sekarang beritahu padaku apa bunyi tulisan itu. Jika kau 

ada kesulitan aku pasti akan menolong.” 

“Tidak, kesulitanmu lebih besar dan lebih banyak dari 

yang aku hadapi.” Jawab Ken Parantili. Wajah pucat dan 

suara agak gagap. “Aku... aku harus pergi sekarang. Harap 

dimaafkan. Kau... kau pegang saja daun ini.” 

“Kau... kau mau pergi ke mana?” Tanya Wiro. 

Ken Parantili hanya menggeleng. Tiba-tiba tubuhnya 

berputar. Dua kaki bergeser membuka. Desss! Sosok Ken 

Parantili lenyap. Di tanah kelihatan sebuah lobang 

sepemasukan tubuh manusia. Lobang itu kemudian lenyap 

tanpa bekas. 

“Terowongan Arwah! Aku tidak mengira dia memiliki 

ilmu kesaktian itu!” Ucap Wiro melongo. 

“Dengan terowongan seperti ini Empu Semirang Biru 

meloloskan diri sewaktu kabur mencuri Keris Kiai Sepuh 

Pelangi di Ruang Segi Tiga Nyawa.” Ratu Randang memberi 

tahu Wiro. 

“Kau punya dari kakek sakti Kumara Gandamayana. 

Ilmu menyusup masuk ke dalam tanah. Apa kau tidak ingin 

mengejar selir itu?” Bertanya Kunti Ambiri. 

Murid Sinto Gendeng seperti tidak perduli dengan apa 

yang dikatakan si nenek dan Kunti Ambiri walau dia 

mencium kalau dalam diri Kunti Ambiri masih terasa 

adanya kecemburuan. Wiro bentangkan lembaran daun 

keladi yang telah lusuh dan memperlihatkan pada Ratu 

Randang. 

“Nek, kau orang Bhumi Mataram. Pasti bisa membaca 

tulisan ini. Tolong bacakan untukku apa isinya.” 

Kening si nenek mengerenyit. Sepasang mata juling 

perhatikan tulisan yang tertera di daun keladi. Dia mulai 

membaca dan mulut berucap.


Ken Parantili, 

Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit 

Dalam masa bertobat ini 

aku ingin memberi tahu padamu 

Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu 

Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil

“Oala!” Jaka Pesolek berseru. “Hebat sekali! Baru tadi 

malam ditiduri sahabat kita ini! Sekarang sudah hamil!” 

Ratu Randang hentikan bacaan. Wiro menatap geram 

pada Jaka Pesolek. “Pasang kupingmu! Pakai otakmu! 

Kalau tidak mengerti arti tulisan yang dibaca nenek itu 

pergi saja dari sini sebelum kutampar mulutmu!” 

Jaka Pesolek melangkah mundur. Takut benar-benar 

ditampar Wiro. 

“Nek, lanjutkan bacaanmu. Sebaiknya diulang lagi dari 

semula biar gadis kacoak ini mengerti!” Kata Wiro pada 

Ratu Randang. 

Si nenek kembangkan daun keladi yang dipegangnya. 

Sebelum kembali membaca dia menatap dulu pada Jaka 

Pesolek. “Kalau kau berani lagi memotong bacaanku, aku 

yang akan lebih dulu meremas mulutmu sampai mencong!” 

“Tidak Nek, aku tidak akan mengganggu bacaanmu.” 

Jawab Jaka Pesolek sambil menekap pipi kiri kanan. 

Maka Ratu Randang mulai lagi membaca apa yang 

tertulis di atas daun keladi. Mulai dari bait pertama. 

Ken Parantili, 

Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit 

Dalam masa bertobat ini 

aku ingin memberi tahu padamu 

Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu 

Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil 

Usia kandunganmu telah tiga bulan 

Bilamana kau melahirkan nanti 

Maka bayimu adalah seorang anak laki-laki


Beri dia nama Bintang Langit 

Jika Yang Maha Kuasa memberi izin 

Aku sangat berharap dapat menemui dirimu 

dan anak kita. 

Wiro termenung beberapa lamanya. Dalam hati dia 

menduga-duga. “Pasti kehamilan itu yang telah 

menggoncang diri Ken Parantili. Dia mengandung jabang 

bayi hasil hubungannya sebagai selir dengan Penguasa 

Atap Langit. Hingga dia berbuat nekad menghambur 

hendak bunuh diri” 

“Hanya itu saja Nek?” Tanya Wiro. “Tidak tertera siapa 

yang membuat tulisan itu?” 

Ratu Randang menggeleng. “Walau tidak ada siapa 

penulisnya tapi aku yakin kita semua sudah tahu siapa 

yang membuat tulisan di atas daun keladi ini.” 

“Aku mengerti dan tahu maksudmu Nek. Yang 

membuat pasti Penguasa Atap Langit.” Kata Wiro pula. 

Lalu dia menyambung ucapan. “Aku hanya merasa aneh. 

Kalau memang sudah mengandung tiga bulan, mengapa 

Ken Parantili seperti tidak mengetahui hal itu?” 

“Apa kau tidak menanyakan hal itu padanya?” Tanya 

Kunti Ambiri. 

“Soal kehamilan ini baru sekarang aku tahu, setelah 

Ratu Randang membacakan apa yang tertulis di daun 

keladi.” 

“Bisa saja yang membuat tulisan di atas daun bukan 

Penguasa Atap Langit. Tapi seseorang yang menjadi 

selingkuhan selir itu.” Berkata Jaka Pesolek. 

Wiro menarik nafas dalam. “Semua bisa terjadi di 

Negeri Atap Langit yang serba aneh ini. Waktu nanti yang 

akan mengatakan. Sekarang aku harus menemukan Ni 

Gatri secepat-cepatnya. Semula ada dua bahaya 

mengancam keselamatan dan kehormatan anak 

perempuan ini. Kini kurasa Penguasa Atap Langit tidak lagi 

punya niat melanjutkan maksud mengambil Ni Gatri 

menjadi selir pengganti Ken Parantili. Berarti satu-satunya


bahaya yang mengancam datang dari anak lelaki sakti 

bernama Dirga Purana yang biasa disebut dengan 

panggilan Ksatria atau Sang Junjungan oleh para 

pengikutnya. Nek, menurut Ken Parantili kau mungkin bisa 

memberi tahu di mana gadis itu berada. Karena katanya 

kau pernah berada di sana.” 

“Apa Ken Parantili menyebut nama tempat itu?” Tanya 

Ratu Randang. 

“Dia tidak menyebut nama. Tapi tempat itu adalah 

sebuah telaga yang di belakangnya, terdapat satu air 

terjun. Di balik air terjun ada sebuah goa. Di dalam goa itu 

Ni Gatri disekap.” 

Ratu Randang tersentak kaget. Lalu rundukkan kepala 

sembunyikan senyum. 

“Kau masih bisa tersenyum Nek,” kata Sakuntaladewi. 

“Aku hanya teringat pada satu kejadian. Di tempat itu 

aku menipu Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Mereka 

mengira meniduri diriku. Padahal aku sudah mengganti 

tubuhku dengan seekor anjing jejadian! Hik... hik... hik.” 

Bercerita Ratu Randang. 

“Kau tahu letak goa itu Nek?” Tanya Wiro. 

Si nenek mengangguk lalu memandang berkeliling. 

“Siapa mau ikut?” 

“Kami semua Nek,” jawab Kunti Ambiri. Sakuntaladewi 

mengangguk tanda mengiyakan ucapan Ratu Randang. 

“Bagaimana denganmu?” Tanya Ratu Randang pada 

Jaka Pesolek yang saat itu kembali membayangkan dada 

Ken Parantili yang bagus sebelum dibelah dikuak 

mengerikan. Ditanya orang, gadis ini jadi terkejut. Dia 

menjawab tapi salah bicara. 

“Iya, dadanya putih bagus. Walau tidak ada jantung tak 

jadi apalah. Tidak kelihatan ini dari luar...” 

Ratu Randang langsung saja jewer telinga kiri Jaka 

Pesolek hingga gadis yang ahli menangkap petir ini 

teraduh-aduh kesakitan. “Ditanya lain dijawab lain!” Si 

nenek mengomel. 

***


DUA BELAS


SANG surya baru saja muncul jauh di ufuk timur. Udara 

masih agak temaram dipagut ujung malam. Satu 

bayangan merah berkelebat lalu berdiri di atas 

sebuah batu hitam yang bertebaran di pinggir telaga. Dua 

tangan diangkat ke atas. Saat itu juga curahan air terjun di 

depan telaga mendadak berhenti. Antara air terjun di 

sebelah atas dan sebelah bawah muncul ruang terbuka. 

Suasana sunyi karena terhentinya deru air terjun 

mendadak dirobek oleh suara aneh. Suara riuh ngeongan 

kucing. 

Orang di atas batu, yang mengenakan blangkon dan 

pakaian serba merah serta memiliki delapan benjolan 

merah di kening, jadi tercekat. Dalam hati berkata. “Dia 

membawa serta peliharaannya Delapan Sukma Merah ke 

dalam goa. Jangan-jangan anak perempuan itu sudah...” 

Ucapan hati orang di atas batu terputus ketika dari 

dalam goa kemudian ada suara membentak. 

“Siapa berani kurang ajar mengganggu 

ketenteramanku?!” 

Suara yang membentak suara anak kecil. Tapi memiliki 

gelegar hebat pertanda si bocah memiliki tenaga dalam 

hebat. 

“Ksatria Junjungan Dirga Purana! Mohon maafmu. Saya 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah datang menghadap. 

Membawa kabar kurang baik!” 

Dari dalam goa terdengar suara kutuk serapah. 

“Lagi-lagi kau! Ini kedua kali kau berani mengganggu 

diriku! Aku hendak bersenang-senang! Kau datang 

mengganggu dengan membawa kabar tidak baik! Apa kau


tidak dapat menelan dulu kabar buruk itu di dalam perut 

busukmu?! Sinuhun! Jangan kau berani berlaku kurang 

ajar padaku!” 

“Mohon maafmu Sang Junjungan. Namun ini sangat 

penting! Sebenarnya saya sudah menunggu sejak tengah 

malam tadi di sekitar telaga. Sekarang malam telah 

berganti siang. Saya tidak mungkin menunggu lebih lama.” 

Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah sesaat nampak memancar terang lalu 

redup kembali. 

Diam seketika. Lalu dari dalam goa terdengar suara. 

“Kau tunggu di telaga! Banyak hal aneh terjadi belakangan 

ini. Aku akan meminta Rakanda Delapan Sukma Merah 

untuk mengawasi keadaan lebih dulu. Jika kau membawa 

kabar buruk bukan mustahil ada yang menguntitmu datang 

ke tempat ini! Jika sampai orang luar tahu aku berada di 

sini bersama kekasihku, amblas nyawamu!” 

“Saya menurut perintah!” Jawab Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. 

“Aku juga akan memerintah Rakanda Delapan Sukma 

Merah untuk memeriksa dirimu. Apa kau Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah sungguhan atau jejadian yang datang 

menyamar untuk mencelakai diriku!” 

“Sang Junjungan, kau terlalu berkhawatir. Masakan 

tidak percaya padaku? Siapa orang lain yang mampu 

menahan deru air terjun selain diriku dan saudara nyawa 

kembarku Sinuhun Muda Ghama Karadipa!” Sinuhun 

Merah merasa tidak senang hendak diperlakukan seperti 

itu. 

Dari dalam goa terdengar jawaban. 

“Aku percaya padamu. Tapi aku lebih percaya pada 

kenyataan. Bukankah kau pernah ditipu nenek bernama 

Ratu Randang?! Kau merasa dan melihat meniduri dirinya. 

Padahal yang kau tiduri adalah seekor anjing! Ha... ha... ha! 

Aku tidak lupa cerita itu!” 

Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah 

menggembung. Tampang yang sudah merah kini menyala


seperti saga. Kakinya bergetar. Kraak! Batu yang dipijak 

sampai retak akibat amarah yang menggelegak. 

Tak selang berapa lama tempat itu dibuncah oleh suara 

ngeongan keras. Dari dalam goa melesat keluar delapan 

benda merah yang ternyata adalah delapan ekor anak 

kucing berbulu merah. Inilah binatang peliharaan Dirga 

Purana yang dipanggil dengan sebutan Rakanda Delapan 

Sukma Merah. Seolah delapan anak kucing itu adalah 

saudara-saudara tuanya! Delapan anak kucing ini bukan 

binatang biasa. Selain bulunya, sepasang mata juga 

berwarna merah. Daun telinga mencuat ke atas dan lebih 

besar dari anak kucing biasa. Di sudut bibir kiri kanan 

kelihatan taring lancip. Di kening ada satu benjolan merah. 

Dan hebatnya mereka memiliki kesaktian tinggi. 

Delapan anak kucing itu melesat ke arah delapan 

pohon besar di sekeliling telaga. Di atas pohon mereka 

kembali mengeong riuh sambil sepasang mata 

memandang liar ke berbagai penjuru. 

“Binatang tolol!” Maki Sinuhun Merah Dalam Hati. 

“Majikanmu ingin menyembunyikan diri di tempat ini! Kau 

malah mengeluarkan suara yang bisa menjadi perhatian 

orang!” 

Baru saja Sinuhun Merah memaki, delapan anak kucing 

melompat dari atas pohon laksana terbang, lalu hinggap di 

kepala, bahu dan punggungnya. Binatang-binatang ini 

mengendus dan mencium-cium. Kalau saja kucing-kucing 

itu adalah kucing biasa, saat itu juga pasti sudah digebuk 

hancur kepala mereka oleh Sinuhun Merah. 

Setelah memastikan tidak ada kelainan dan bahwa 

orang yang mereka periksa adalah benar Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah, delapan anak kucing mengeong keras 

lalu melesat ke udara, menembus celah air terjun yang 

menggantung dan masuk kembali ke dalam goa! 

“Jahanam!” Rutuk Sinuhun Merah. 

Suasana sunyi hanya berlangsung sebentar. Dari dalam 

goa menggelegar keluar suara bocah yang disebut Ksatria 

Junjungan Dirga Purana.


“Sinuhun Merah! Kau tidak perlu masuk ke dalam goa! 

Aku yang akan keluar menemuimu!” 

“Saya menunggu.” Jawab Sinuhun Merah Penghisap 

Arwah. 

Tak lama kemudian dari dalam goa melesat sosok 

seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak 

ini mengenakan seperangkat baju dan celana hitam yang 

diberi hiasan renda kuning emas pada kerah baju, lengan 

baju serta pergelangan kaki. Bagian atas baju tidak 

dikancing. Celana agak kedodoran. Rambut tebal awut-

awutan. Wajah tampak merah. Anting-anting emas yang 

mencantel di telinga kiri berkilauan terkena sinar matahari 

pagi. Dengan gerakan enteng dia melayang turun dan 

jejakkan kaki di atas batu yang ada di depan Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah. Berdiri dengan berkacak pinggang 

bersikap congkak. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat 

membungkuk dan susun sepuluh jari di atas kepala. 

“Katakan, kabar buruk apa yang kau bawa!” Sang 

Junjungan Dirga Purana keluarkan ucapan. Waktu bertanya 

dia tidak menatap ke arah Sinuhun Merah tapi 

memandang berkeliling mengawasi keadaan sekitar telaga. 

“Ksatria Junjungan, petang kemarin saya berusaha 

menemui Penguasa Atap Langit...” 

“Bukan saatnya kau harus menemui makhluk itu!” 

Memotong Ksatria Junjungan. 

“Benar sekali Sang Junjungan. Tapi saya merasa perlu 

menemui untuk memberi tahu kalau ada yang akan 

menyusup ke dalam Negeri Atap Langit untuk 

mencelakainya.” 

“Ckk... ckk... ckk!” Si bocah keluarkan suara berdecak. 

“Hebatnya dirimu. Kau lebih senang menjaga keselamatan 

Penguasa Atap Langit daripada menjaga diriku! Apa 

kepentinganmu! Kau menyembunyikan sesuatu padaku?!” 

“Bukan begitu Sang Junjungan. Saya tidak punya 

kepentingan pribadi. Juga tidak menyembunyikan sesuatu. 

Karena kalau Penguasa Atap Langit celaka, kita juga 

celaka. Bukankah kita hanya tinggal menunggu Sesajen


Atap Langit sekali lagi lalu baru melancarkan rencana 

menyingkirkannya dari Negeri Atap Langit” 

“Hemmm...” Ksatria Junjungan bergumam. “Beritaku 

padaku. Siapa yang menyusup hendak mencelakai 

Penguasa Atap Langit.” 

“Siapa lagi kalau bukan pemuda dari negeri delapan 

ratus tahun mendatang itu!” 

“Maksudmu pemuda berambut panjang yang dikenal 

dengan julukan Ksatria Panggilan itu?” 

“Betul Sang Junjungan. Dia dibantu oleh selir pertama 

Penguasa Atap Langit bernama Ken Parantili...” 

“Hemm...” Dirga Purana kembali bergumam. Mulut 

sunggingkan senyum. “Siapa nama selir yang jadi kekasih 

selingkuhanmu di Negeri Atap Langit?” 

“Namanya Windu Resmi. Tapi saat ini saya rasa dia 

sudah menemui ajal. Dibunuh selir pertama, dibantu 

Ksatria Panggilan.” 

“Kau sudah bersusah payah mendatangkan Ksatria Roh 

Jemputan alias Pangeran Matahari untuk menghabisi si 

gondrong itu. Ternyata terus-terusan gagal. Semua karena 

kesalahan dan ketololanmu sendiri bersama saudara 

nyawa kembaranmu Ghama Karadipa! Sekarang kau mau 

melakukan apa? Mau minta bantuan apa padaku?!” 

Tampang Sinuhun Merah tampak tegang. Dengan 

menindih rasa jengkel karena dianggap tolol, dia 

menjawab. “Saya datang tidak untuk minta bantuan apa-

apa. Saya datang hanya memberi tahu. Membawa pesan 

Penguasa Atap Langit.” 

“Pesan apa?” Tanya Dirga Purana dengan mata 

mendelik. 

“Penguasa Atap Langit minta seseorang mengantarkan 

anak perempuan bernama Ni Gatri itu kepadanya karena 

akan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken Parantili!” 

“Aku tidak tuli, telingaku belum pekak! Penguasa Atap 

Langit inginkan Ni Gatri untuk jadi selirnya! Ha... ha... ha! 

Mengapa tidak dia sendiri yang datang kemari untuk 

menjemput?!”


Sinuhun Merah tidak menjawab. 

Dirga Purana angkat kepala, menatap ke langit yang 

bertambah terang di atas telaga. “Jika Penguasa Atap 

Langit inginkan Ni Gatri sebagai selir baru, berarti selir 

pertama Ken Parantili saat ini sudah tamat riwayatnya. 

Dibunuh sang Penguasa. Bukankah begitu hukum setan 

yang dibuat sendiri oleh Penguasa Atap Langit?! Selir tertua 

harus dibunuh kalau hendak mengambil selir baru! Tapi 

mengapa kemudian si gondrong Ksatria Panggilan keparat 

itu muncul di Negeri Atap Langit? Mau menolong Ken 

Parantili? Katakan apa yang kau ketahui mengenai nasib 

terakhir selir pertama itu bersama Ksatria Panggilan. 

Mungkin keduanya saat ini sudah pada mampus! Tapi bisa 

juga masih gentayangan!” 

Si bocah tiba-tiba ceburkan dirinya ke dalam telaga. 

Ketika muncul kembali dan berdiri di atas batu, wajahnya 

tampak segar. Kulit lebih bersih. Tapi rambut, tubuh 

maupun pakaiannya sama sekali tidak basah! 

“Pergi kembali ke Negeri Atap Langit! Katakan pada 

Penguasa Atap Langit bahwa aku tidak akan menyerahkan 

anak perempuan itu. Apapun yang terjadi!” 

“Sang Junjungan, kita masih perlu beberapa ilmu 

kesaktian lagi dari Penguasa Atap Langit. Bagaimana kalau 

kita bersikap lunak, berlaku cerdik. Kita berikan anak 

perempuan itu tapi kita tipu dia. Bukankah Sang Junjungan 

tidak bermaksud akan memiliki Ni Gatri untuk selama-

lamanya? Di Bhumi Mataram ini kelak saya bisa 

mencarikan gadis pengganti yang lebih cantik dan molek 

dari Ni Gatri. Jika perlu yang berusia delapan sampai 

sepuluh tahun, agar sebanding dengan Sang Junjungan. Ni 

Gatri itu, bukankah dia dua tahun lebih tua dari Sang 

Junjungan?” 

Si bocah Dirga Purana usap-usap anting emas di telinga 

kiri. Merenung sejenak lalu bertanya. “Sinuhun Merah, 

tipuan apa yang kau maksudkan yang akan kita lancarkan 

pada Penguasa Atap Langit?” 

“Kita berikan saja Ni Gatri padanya. Tapi...”


“Tapi apa?” Tanya Dirga Purana. 

Sinuhun Merah Penghisap Arwah melangkah mendekati 

Dirga Purana. Tubuhnya yang tinggi dibungkukkan, lalu 

mulut membisikkan sesuatu ke telinga si bocah. Sepasang 

alias mata sang Junjungan mencuat ke atas, bola mata 

membesar lalu dia tertawa bergelak. 

“Kau benar, Sinuhun. Aku sudah cukup lama menunggu 

sampai anak itu mau aku gauli. Kali ini aku akan 

mencekoknya sedikit dengan ilmu Delapan Jalur Arwah 

Pencuci Otak agar dia mengikuti semua apa mauku! Malah 

bisa-bisa nanti dia yang akan ketagihan! Ha... ha... ha! 

Kalau aku sudah puas, menjelang siang kau boleh 

membawa dan menyerahkan anak itu pada Penguasa Atap 

Langit...” 

“Bukan saya, tapi saya akan menyuruh Ksatria Roh 

Jemputan untuk membawa dan menyerahkan anak 

perempuan itu pada Penguasa Atap Langit. Ini karena 

katanya dia tidak mau melihat tampang saya lagi!” 

“Begitu?” Dirga Purana kembali tertawa. “Aku akan 

masuk kembali ke dalam goa. Kau berjaga-jaga. Kecuali 

aku memerlukanmu jangan sekali-kali berani 

mengganggu!” 

“Perintah Sang Junjungan akan saya lakukan. Jangan 

khawatir. Pagi ini udara tampak cerah. Segala sesuatunya 

pasti akan berjalan lancar. Selamat bersenang-senang 

saya ucapkan.” Kata Sinuhun Merah sambil tersenyum dan 

membungkuk hormat. 

Si bocah sakti Dirga Purana melesat melewati celah air 

terjun yang masih menggantung. Begitu sosoknya lenyap di 

dalam goa, air terjun kembali bertaut dan mencurah 

dengan mengeluarkan suara menderu berkepanjangan. 

***


TIGA BELAS


BERSAMAAN dengan mulai naiknya matahari pagi, 

empat orang berlari cepat di dalam rimba belantara. 

Orang kelima berkelebat melompat dari satu pohon 

ke pohon lain. Agaknya dia memiliki ilmu meringankan 

tubuh serta gerakan kilat. Empat orang yang berlari di 

dalam rimba adalah Wiro, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan 

Sakuntaladewi. Orang yang berkelebat dari pohon ke 

pohon bukan lain gadis berpakaian merah muda Jaka 

Pesolek. 

Di satu tempat, di bawah sebuah pohon besar Wiro 

hentikan lari. Memberi tanda pada teman-temannya. 

“Ada apa?” tanya Sakuntaladewi. 

“Aku mendengar deru suara air.” Jawab Wiro. 

“Berarti kita sudah dekat ke tempat yang dituju. Hati-

hati. Bocah sakti itu pasti...” 

Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun Jaka Pesolek. 

“Aku melihat...” 

“Ssssh. Bicara perlahan. Kita sudah dekat dengan 

telaga dan air terjun.” Kunti Ambiri mengingatkan. 

“Apa yang kau lihat?!” Bertanya Wiro. 

“Aku melihat telaga. Lalu air terjun. Lalu ada orang 

duduk bersila di atas batu di tepi telaga. Kebetulan dia 

menghadap ke arahku. Orang itu Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah.” Menerangkan Jaka Pesolek. 

“Jika Sinuhun keparat itu ada di sekitar air terjun, 

berarti bocah mesum itu juga ada di sana. Pasti Sinuhun 

Merah tengah berjaga-jaga. Berarti kita bakal menemukan 

Ni Gatri. Aku akan membekuk batang leher makhluk itu 

lebih dulu. Ikuti aku.”


Ratu Randang pegang lengan Wiro. “Hati-hati dan ingat. 

Apa yang kau lihat belum tentu benda atau keadaan 

aslinya. Jika Sinuhun berjaga-jaga dia pasti mengeluarkan 

ilmu untuk berlindung. Dia punya Ilmu Penyesat. Dia juga 

memiliki ilmu yang disebut Tabir Langit Turun ke Bumi. 

Pandangan mata kita bisa tertipu.” 

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” 

“Kita harus mendahului menipunya.” 

“Apa maksudmu, Nek?” 

“Kita semua merubah diri menjadi binatang.” 

“Ihhh! Binatang apa, Nek?” Tanya Jaka Pesolek yang 

langsung jadi dingin tengkuknya. 

“Kau mau jadi apa? Monyet, kadal, anjing...” Balik 

bertanya Ratu Randang. 

“Aku tidak mau jadi apa-apa Nek.” Jawab Jaka Pesolek 

pula. “Takut kalau sudah jadi monyet tidak bisa balik!” 

“Nek, kita tetap saja dalam keadaan ujud apa adanya. 

Yang penting kalian semua sudah aku beri tahu ilmu 

penangkal kalau Sinuhun Merah menyerang dengan ilmu 

kesaktian yang memancarkan cahaya merah. Bocah 

bernama Dirga Purana itu pasti punya ilmu yang sama.” 

“Aku setuju!” Celetuk Jaka Pesolek. “Dengar kalian 

semua. Aku akan menancing tua bangka itu agar dia 

lengah.” 

“Apa yang hendak kau lakukan? Jangan mencari mati 

percuma!” Mengingatkan Sakuntaladewi. 

“Kalian lihat saja. Kalau dia sudah terpancing kalian 

boleh membantainya beramai-ramai...” 

“Tidak semudah itu!” Kata Ratu Randang pula. 

“Mudah atau tidak itu urusan kita bersama. Aku tak 

punya ilmu kesaktian. Aku hanya bisa memancing. 

Lebihnya kalian yang punya pekerjaan. Gara-gara Empu 

Semirang Biru, aku tidak bisa kencing. Sekarang sepertinya 

aku merasa seperti mau kencing.” 

“Kau mau mengencingi Sinuhun itu?!” Tanya Wiro. 

“Dia yang akan mengencingiku! Hik... hik!” Jaka Pesolek 

menutup mulut dengan tangan kiri menahan tawa lalu


berkelebat pergi. 

“Gadis konyol itu bisa merusak semua rencana kita. 

Sebaiknya lekas diikuti!” Kunti Ambiri mendorong 

punggung Wiro. 

Di depan sana Jaka Pesolek tanpa suara membuat 

gerakan kilat. Cepat sekali tahu-tahu dia sudah berada di 

dalam telaga pada bagian yang dangkal, hanya beberapa 

langkah di depan batu besar di mana Sinuhun Merah 

duduk bersila dengan mata terpejam. 

“Gadis gila! Apa yang dilakukannya!” Wiro yang 

sembunyi di balik semak belukar lebat bersama tiga orang 

lainnya tersentak kaget ketika melihat di depan sana Jaka 

Pesolek menyibak bagian bawah pakaian merahnya 

sampai setinggi pinggul, melorotkan pakaian dalam lalu 

duduk menyonggeng. 

Mendengar suara kecipuk air, Sinuhun Merah segera 

buka kedua mata yang terpejam. Begitu memandang ke 

depan langsung matanya membentur dua benda putih 

bulat, terbelah di sebelah bawah. Mula-mula dia tidak 

sadar benda apa itu adanya karena bagian tubuh atas Jaka 

Pesolek tertutup oleh batu besar. Ketika dia 

memperhatikan lagi dengan tak berkesip, kaget sang 

Sinuhun bukan kepalang. Darah tersirap! Yang dilihatnya di 

depan mata bukan lain adalah bokong manusia. Dari putih 

dan mulusnya jelas itu adalah aurat perempuan! 

Di dalam telaga Jaka Pesolek sengaja goyang-

goyangkan auratnya sebelah bawah sambil mendesah. 

“Ssshhh... sshhhhh.” Aurat diogel-ogel. Lalu dalam hati 

gadis ini mengomel. “Sial! Tadi sudah terasa tersesak 

kencing. Sekarang kenapa tidak mau keluar?!” 

Sinuhun Merah melompat bangun dari duduknya. 

Langsung membentak. “Makhluk kurang ajar! Kuremas 

barangmu berani kencing di telaga milikku. Telaga 

pemandian Ksatria Junjungan!” 

Jaka Pesolek berpura-pura kaget. Dia memekik lalu 

melompat ke atas batu. Untuk sekejapan kedua tangannya 

masih menyingsingkan bagian bawah pakaian ke atas,


membuat Sinuhun Merah yang menyaksikan jadi ternganga 

tak berkedip! 

“Oala! Aku tak mengira ada orang di sini! Tapi jangan 

marah! Aku belum sempat kencing! Hik... hik... hik!” Sambil 

tertawa-tawa Jaka Pesolek cepat tarik ke atas pakaian 

dalamnya lalu pakaian luar diturunkan ke bawah. 

“Hai! Apa aku mengenalmu?” Sinuhun Merah bertanya 

ketika melihat ternyata orang yang dihardik adalah gadis 

berwajah cantik bertubuh tinggi semampai. 

“Aku orang kampung. Mana kau mengenalku. Tapi 

sebaliknya aku mengenalmu. Bukankah kau orang gagah 

terkenal yang dipanggil dengan sebutan Sinuhun Merah 

Penghisap Arwah. Aih... namanya seram angker 

mengerikan. Ternyata orangnya walau sudah bangkotan 

tapi masih gagah! Hik... hik... hik! Hai, jangan katakan aku 

tidak tertarik...” 

“Siapa namamu? Kau datang dari mana? Mengapa bisa 

muncul di tempat ini?” Bertanya Sinuhun Merah. Suaranya 

yang tadi tinggi kini melembut. 

“Sinuhun, mohon maafmu. Aku tak sengaja terpesat. 

Aku seorang sinden. Namaku Ni Goyang Apik...” 

“Nama aneh...” 

“Itu karena aku menyanyi sambil bergoyang. Baru 

menyanyi di atas panggung, belum di tempat ketiduran...” 

“Mulutmu agak jahil. Tapi aku suka!” Kata Sinuhun 

Merah pula sambil mesem-mesem. 

“Aku juga suka! Jarang aku menemui orang gagah 

sepertimu.” Balas Jaka Pesolek sambil melepas senyum 

dan goyangkan pinggul. 

“Tadi kau lagi mau apa? Mau kencing tapi belum 

kesampaian...” 

“Maafkan aku Sinuhun.” 

“Kalau kau mau meneruskan kencing, silahkan saja. 

Biar aku menjagai.” 

“Oooh baiknya Sinuhun...” 

Sinuhun Merah pentang mata lebar-lebar ketika 

dilihatnya gadis cantik di atas batu menggerakkan tangan


hendak menyingsingkan pakaian. Namun tiba-tiba ada 

empat bayangan berkelebat. Disertai suara lantang 

mengejek mempermainkan. 

“Kami juga mau kencing! Tolong Sinuhun menjagai!” 

Lalu di tempat itu menggelegar tawa bergelak. Ada 

suara tawa lelaki, yang lebih banyak suara tawa 

perempuan. Dan di atas batu, sambil berkacak pinggang 

Jaka Pesolek ikutan tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dua 

tangan diturunkan. Dipakai mengibas-ngibas bagian bawah 

pakaian merah muda. Sesekali lidah dicibirkan ke arah 

Sinuhun Merah. 

***


EMPAT BELAS


SINUHUN Merah sadar kalau dirinya telah tertipu, 

dibuat lengah hingga tidak mengetahui kemunculan 

empat orang yang bukan lain adalah Pendekar 212, 

Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi alias Dewi 

Kaki Tunggal. 

Dengan cepat Sinuhun Merah kuasai diri dari 

keterkejutan. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam ke 

kening. Delapan benjolan di kepalanya pancarkan cahaya 

terang. Wiro dan kawan-kawan berlaku waspada. Tapi 

Sinuhun Merah tidak lancarkan serangan. Malah tangan 

kiri berkacak pinggang dan tangan kanan menunjuk ke 

arah Ratu Randang. Mulut membentak. “Nenek bejat! 

Dicari-cari menghilang! Sekarang datang sendiri mengantar 

nyawa!” 

“Huss! Jangan bicara seperti itu pada bekas kekasih. 

Aku datang bukan mengantar nyawa. Tapi mengantar dada 

dan paha! Hik... hik... hik!” 

“Perempuan iblis!” Teriak Sinuhun Merah marah luar 

biasa. Dua lutut melipat, tubuh merunduk, delapan 

benjolan merah memancar terang. 

“Tunggu!” Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak. 

“Sinuhun Merah. Ilmumu boleh selangit tembus! Tapi 

menghadapi kami berlima kau bisa konyol sebelum 

hitungan ke sepuluh! Kami mungkin bisa mengampuni roh 

busukmu kalau kau mau memberi tahu di mana beradanya 

anak perempuan bernama Ni Gatri!” 

“Ha... ha! Jadi anak itu yang kau cari. Sayang terlambat! 

Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah 

membawanya ke Negeri Atap Langit untuk diserahkan pada


sang Penguasa di sana dan dijadikan selir pengganti selir 

pertama Ken Parantili! Apa kalian semua tidak diundang 

menghadiri pesta peresmian anak itu jadi selir?!” 

Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka 

Pesolek sama terkesiap mendengar ucapan Sinuhun 

Merah Penghisap Arwah. Tapi Wiro yang sudah tahu jalan 

cerita cuma menyeringai. 

“Percuma kau jadi kacung pengawal Sang Junjungan. 

Ternyata kau tidak tahu banyak apa yang terjadi di Negeri 

Atap Langit! Apa majikanmu bocah mesum itu pernah 

memakimu sebagai makhluk tolol!” 

Tampang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti bara 

menyala. 

“Kalau kau tidak memberi tahu di mana anak 

perempuan itu berada, kami akan membantaimu bersama-

sama!” Wiro mengancam. 

“Ancaman hebat! Tapi pengecut!” Teriak Sinuhun 

Merah. “Jauh-jauh datang dari negeri delapan ratus tahun 

mendatang keberaniannya ternyata hanya mengandalkan 

bantuan orang lain! Main keroyok!” 

“Jika bertarung satu lawan satu apakah kau berani 

menyerangnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat 

Menembus Langit yang kau keluarkan dari delapan 

benjolan di keningmu. Atau kau mampu menghantamnya 

dengan Pukulan Delapan Sukma Merah?” Yang bicara 

adalah Kunti Ambiri. Dia sengaja mengatur jebakan setelah 

Wiro menceritakan penangkal semua pukulan lawan yang 

memancarkan cahaya merah. 

“Aku punya puluhan ilmu kesaktian! Mengapa harus 

mengandalkan Delapan Sukma Merah?!” 

“Ah! Rupanya Penguasa Atap Langit tidak lagi 

memberikan dua ilmu itu padamu. Apa itu gara-gara kau 

ketahuan berselingkuh dengan Selir Ketiga Windu Resmi? 

Ha... ha... ha! Kakek butut, sebaiknya kau tak usah 

petatang-peteteng gagah-gagahan masih menyandang 

benjolan di kening!” Wiro mengejek habis-habisan. 

“Betul! Mendingan delapan benjolan itu kau pindahkan


ke pantat!” Mengejek pula Ratu Randang. 

Meledaklah amarah Sinuhun Merah. 

“Perempuan jahanam! Mulutmu kotor! Dosa kejimu 

padaku sudah lewat takaran! Biar kau kubunuh duluan!” 

“Oh ya?! Biar aku pentang dada menyambut 

seranganmu!” Tantang si nenek, lalu singkapkan dadanya 

yang masih bagus. “Dulu kau pernah membuat tanda 

telapak tangan berjari empat di dada ini! Coba aku lihat! 

Apa kau masih mampu melakukan!” 

Amarah Sinuhun Merah tambah menggelegak. Tanpa 

sadar kalau dirinya tengah dijebak orang, didahului 

teriakan garang dia lepas Ilmu Delapan Arwah Sesat 

Menembus Langit dari delapan benjolan di kening. 

Serangan ini diarahkan pada Ratu Randang. Di saat 

bersamaan dia juga hantamkan dua tangan ke arah Wiro. 

Jari tengah sengaja dilipat ke telapak tangan. Delapan 

sinar merah Pukulan Delapan Sukma Merah berkiblat! 

Kawasan sekitar telaga terang benderang oleh kilatan 

cahaya merah. Sampai-sampai air terjun sesaat terlihat 

dari putih berubah merah. Gelegar mengerikan menggema 

dahsyat. Pendekar 212 berteriak keras. 

“Delapan jari menusuk batu!” Wiro pentang empat jari 

tangan kiri kanan. Mendengar teriakan itu tiga orang yakni 

Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri kerahkan 

tenaga dalam dan hawa sakti kedua tangan masing-

masing. Jari tengah dilipat. Empat jari lainnya mencuat 

lurus laksana potongan besi. Lalu dengan kecepatan kilat 

mereka ikuti apa yang dilakukan Wiro. Hanya Jaka Pesolek 

yang tetap berdiri tak bergerak karena dia memang tidak 

punya kemampuan tenaga dalam dan hawa sakti. 

Kraaakk! 

Enam belas jari secara hampir bersamaan menancap di 

bebatuan di tepi telaga. Empat batu besar berderak 

hancur. Bersamaan dengan itu menggelegar dentuman 

luar biasa dahsyat. Air telaga muncrat ke udara sampai tiga 

tombak. Air terjun bergoyang-goyang, memukul ke kiri 

kanan tebing batu hingga longsor bergemuruh. Bebatuan di


dalam telaga bermentalan. Pepohonan di hutan 

bertumbangan. Di mana-mana terlihat buntalan api! 

Wiro dan semua orang yang ada di telaga mencelat ke 

udara. Tanpa mampu mengimbangi diri semuanya jatuh 

berkaparan. Ada yang setengah kecebur ke dalam air, ada 

yang terbanting di pinggiran telaga. Beberapa di antaranya 

kucurkan darah dari mulut, termasuk Jaka pesolek. 

Akan halnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, yang 

oleh Penguasa Atap Langit tidak pernah diberi tahu ilmu 

pantangan atau ilmu penangkal pukulan sakti yang 

dilancarkannya, menjerit setinggi langit. Enam belas 

cahaya merah pukulan sakti yang dilepaskan menghantam 

dirinya sendiri hingga terkutung-kutung dan tercabik-cabik. 

Sebagian tubuh hancur tak berbentuk lagi. Salah satu 

kutungan kaki menyangsrang di atas pohon. Belahan 

kepala mengapung di permukaan telaga! 

Di saat-saat luar biasa mengerikan itu mendadak 

terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau 

ujud utuhnya tidak kelihatan. “Saudara nyawa kembar! 

Jemput rohku!” 

Air terjun seketika seolah berhenti mengucur. Di langit 

tiba-tiba ada cahaya kuning yang dengan kecepatan kilat 

melesat ke arah telaga. Di atas telaga cahaya kuning 

berubah membentuk sosok seorang pemuda berpakaian 

serba hijau. 

“Sinuhun Muda Ghama Karadipa...” Desis Wiro 

mengenali orang yang muncul dari langit. Saat itu dia 

dalam keadaan terkapar di tepi telaga, di antara semak 

belukar. Wiro berusaha bangkit, khawatir Sinuhun Muda 

akan melakukan serangan balasan. Dia beringsut 

menghampiri Ratu Randang yang berada paling dekat. 

“Nek, kau tak apa-apa?” 

“Aku, dadaku mendenyut sakit. Tapi tidak apa-apa. 

Sudah, jangan bicara dan jangan bergerak dulu. Kita tidak 

tahu apa yang terjadi. Mendekat ke sini. Di sini belukarnya 

lebih lebat.” Jawab Ratu Randang. 

Apa yang dikatakan si nenek memang benar. Belukar


yang ada di depan Ratu Randang lebih lebat dan lebih 

tinggi hingga sulit bagi orang lain bisa melihat mereka. Wiro 

mendekat hingga tubuhnya saling bersentuhan dengan 

tubuh si nenek. Ratu Randang memperhatikan wajah sang 

pendekar sebentar tapi diam saja tidak berkata apa-apa. 

“Walau keadaan genting, tapi dia pasti senang dempet-

dempetan seperti ini.” Kata Wiro dalam hati sambil 

senyum-senyum. 

“Kau pasti merasani aku dalam hati!” Ratu Randang 

pelototkan matanya yang juling tapi bagus. 

“Tidak, Nek. Aku hanya mengawatirkan keadaan teman-

teman yang lain.” Bisik Wiro. 

“Ssshh... Sudah, jangan bicara lagi.” Kata Ratu 

Randang lalu kembali menatap ke arah sosok Sinuhun 

Muda yang melayang bergerak turun mendekati telaga. 

Sebelum terjadi serangan Ratu Randang sengaja 

menyibakkan dada bajunya untuk mengejek sekaligus 

menantang dan memancing kemarahan Sinuhun Merah. 

Ketika dia kemudian membuat gerakan menusuk batu 

dengan delapan jari, nenek ini tidak punya kesempatan 

untuk menutup bajunya kembali. Kini tanpa disadari 

pakaian itu masih tersingkap lebar dan Wiro tak sengaja 

melihatnya! 

“Masih bagus...” Tak sadar Wiro keluarkan ucapan. 

Ratu Randang melirik “Aku sudah bilang jangan bicara!” 

“Ya sudah, Nek. Aku diam saja. Tidak bicara lagi.” Kata 

Wiro sambil memandang ke jurusan lain. Begitu si nenek 

tidak menatapnya lagi, kembali matanya mampir ke dada 

orang. 

“Eh, tadi kau bilang apa? Apa yang masih bagus.” Tiba-

tiba Ratu Randang bertanya. 

“Anu, itu Nek. Yang putih menyembul. Masih mantap...” 

Jawab Wiro sambil senyum-senyum dan pura-pura menatap 

ke arah telaga. 

Ratu Randang sibakkan sedikit semak belukar. 

Memperhatikan ke arah telaga dan sekitarnya. Dia tidak 

melihat sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan ucapan


Wiro tadi. Penasaran si nenek tancapkan cubitan ke 

pinggang Wiro. 

“Kau mau berteriak silahkan! Biar kacau semua urusan 

di tempat ini! Kalau kau tidak mau mengatakan apa 

maksud ucapanmu, aku cubit pinggangmu sampai 

dagingnya somplak!” 

“Jangan Nek, aku tidak bermaksud usil. Tapi aku lihat 

sendiri...” 

“Kau masih bicara berbelit-belit. Apa yang kau lihat 

sendiri?! Ayo katakan terus terang!” 

“Itu Nek...” Wiro goyangkan kepalanya ke arah dada 

Ratu Randang. Si nenek tundukkan kepala, memandang ke 

arah dadanya sendiri. 

“Oala! Gila! Sudah lama menikmati baru kau memberi 

tahu! Culas!” Ratu Randang mengomel tapi acuh saja dia 

tidak berusaha menutupi dada, hanya menggerakkan 

badan memunggungi Wiro. 

Di udara sosok Ghama Karadipa mengambang sepuluh 

jengkal di atas permukaan telaga. Dua tangan dikembang. 

Dua telapak tangan pancarkan cahaya merah kekuningan. 

“Apa yang dilakukan bangsat nyawa kembaran Sinuhun 

Merah itu!” Pikir Wiro. Diam-diam dia sudah siapkan 

pukulan Sinar Matahari di tangan kanan. 

Mendadak terjadi satu hal aneh. Semua kutungan 

tubuh, belahan kepala, cabikan daging, hancuran tulang 

belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti disedot 

dua tangan Sinuhun Muda yang memancarkan cahaya, 

melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar 

lalu masuk menyatu ke dalam tubuh saudara nyawa 

kembarnya Sinuhun Muda Ghama Karadipa! 

“Nek, rupanya benar kata orang!” Wiro berkata pada 

Ratu Randang. “Sinuhun itu rohnya tidak bisa dihabisi. 

Karena satu sama lain merupakan nyawa kembar! Yang 

satu mati, yang satu sebagai nyawa cadangan!” 

“Paling tidak sekarang hanya satu Sinuhun saja yang 

akan kita hadapi,” jawab si nenek pula. 

“Makhluk-makhluk jahanam di bawah sana!” Sambil


melayang ke udara Sinuhun Muda berteriak. “Kalian akan 

menerima pembalasanku!” 

Wiro angkat tangan kanan. 

“Sang Junjungan di dalam goa! Kau sudah tahu apa 

yang terjadi! Kau tunggu apalagi! Bunuh mereka semua!” 

Kembali Sinuhun Muda berteriak. 

Ketika Wiro siap menghantamkan Pukulan Sinar 

Matahari tiba-tiba di belakangnya air terjun berhenti 

mencurah. “Nek, air terjun terbelah. Ada celah aneh...” 

“Ada yang akan keluar dari dalam goa! Waspadalah!” 

Kata Ratu Randang. 

Saat mereka bicara di atas telaga sosok Sinuhun Muda 

yang dimasuki roh nyawa kembarnya laksana kilat melesat 

ke langit, lenyap dari pemandangan. 

“Sial! Aku terlambat!” 

Baru saja Wiro berucap tiba-tiba terdengar suara 

mengeong riuh. Di antara air terjun yang terbelah 

menggantung melesat delapan ekor anak kucing merah. 

Empat ekor menyambar ke arah semak belukar di balik 

mana Wiro dan Ratu Randang berada. Dua ekor berkelebat 

ke jurusan Kunti Ambiri dan dua ekor lagi menyerbu 

Sakuntaladewi yang terbaring di tepi telaga berdampingan 

dengan Jaka Pesolek. 

Pukulan Sinar Matahari yang tadi hendak dilepas untuk 

menghantam Sinuhun Muda, oleh Wiro kini diarahkan pada 

empat ekor anak kucing merah yang menyerbunya. Ratu 

Randang tidak tinggal diam. Dia segera lepaskan Pukulan 

Tombak Dewa Memancung Berhala! Di tempat lain Kunti 

Ambiri berguling di tanah lalu dalam kuda-kuda setengah 

mencangkung dia menggebrak dua pukulan ke arah dua 

anak kucing yang menyerbu. 

Jaka Pesolek yang tidak punya ilmu pukulan secepat 

kilat melesat ke atas sebuah pohon. Meninggalkan 

Sakuntaladewi yang kini seorang diri harus menghadapi 

serangan dua ekor anak kucing merah. Gadis berkaki satu 

ini dengan cepat gerakkan dua tangan, keluarkan jurus 

Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas


cahaya biru berkiblat, menghambur ke arah dua ekor 

kucing. Ngeongan keras terdengar di mana-mana. Namun 

semua keriuhan itu ditelan oleh gelegar suara teriakan 

anak lelaki. 

“Semua menahan diri! Siapa berani menyentuh satu 

saja dari Rakanda Delapan Sukma Merah, nyawa anak 

perempuan ini jadi tumbalnya!” 

Delapan anak kucing mengeong keras. Tubuh 

mengambang di udara. Wiro sendiri dan empat orang 

lainnya tersentak kaget. 

Ratu Randang memandang ke arah goa di balik air 

terjun. Apa yang dilihatnya membuat nenek ini serta merta 

berteriak. “Tahan serangan!” 

***


LIMA BELAS



DELAPAN ekor kucing merah walau tidak bergerak 

namun terus saja unjukkan sikap garang siap 

menyerang. Taring mencuat dan kuku merah runcing 

siap melancarkan serangan Cakar Sukma Merah. 

Dari dalam goa di balik air terjun yang curah airnya 

tertahan, melesat sosok seorang anak lelaki. Di atas bahu 

kanan anak ini memanggul tubuh seorang anak 

perempuan. Ketika anak perempuan ini disandarkan ke 

tebing di tepi telaga dan wajahnya yang pucat terlihat jelas, 

kagetlah semua orang yang mengenali. 

“Ni Gatri!” Wiro, Ratu Randang dan Kunti Ambiri sama-

sama berteriak. 

Keadaan anak perempuan itu sangat menyedihkan. 

Rambut kusut masai awut-awutan. Pakaian tidak karuan 

dan nyaris tersingkap di beberapa tempat. Sepasang mata 

nyalang tapi menatap kosong! Tidak dapat dipastikan 

apakah Ni Gatri dalam keadaan pingsan atau sedang 

sekarat! 

“Bocah keparat! Kau membunuh anak itu!” Teriak Wiro. 

“Diam!” Sentak Dirga Purana. “Semua orang yang ada 

di tempat ini! Dengar ucapanku!” Bocah yang tadi 

memanggul Ni Gatri dan bukan lain adalah Sang Junjungan 

Dirga Purana berdiri sambil mencekik leher anak 

perempuan itu. Lima jari tangan yang mencekik tampak 

luar biasa besar dan panjang, tidak pantas sebagai jari 

bocah berusia dua belas tahun. Rupanya Dirga Purana 

punya semacam ilmu yang membuat jari tangan bisa 

menjadi besar. “Dengar ucapanku!” Dirga Purana kembali 

berteriak. “Jika kalian ingin anak perempuan ini hidup,


cepat tinggalkan tempat ini. Kecuali yang merasa diri 

berjuluk Ksatria Panggilan!” 

Wiro mendelik. Rahang menggembung menahan 

amarah. “Nek, aku mau mengadu jiwa dengan bocah 

keparat itu!” Kata Wiro pada Ratu Randang. 

“Aku khawatir itu tidak akan menyelamatkan Ni Gatri. 

Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi dengan anak 

perempuan itu!” 

“Dirga Purana!” Berseru Ratu Randang. “Tinggalkan 

anak itu di tepi telaga. Kau boleh pergi!” 

“Begitu? Mudah dan enak sekali! Tapi dengan satu 

syarat!” 

“Syarat apa?” Tanya Ratu Randang. 

“Ksatria Panggilan harus lebih dulu bunuh diri 

membenturkan kepala ke batu besar di hadapanku!” 

“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro. 

“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana 

semula! Bunuh mereka semua!” 

Delapan anak kucing jantan merah mengeong keras. 

Gerakan mereka menyerang yang tadi tertahan kini 

diteruskan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara 

gamelan ditingkah bunyi rebab, tiupan seruling dan 

tabuhan gendang. 

“Gila! Lagu gamelan itu adalah lagu pengiring 

kematian!” Teriak Ratu Randang dengan wajah pucat. 

“Nek, aku belum mau mati!” Jaka Pesolek berkata 

setengah meratap dan melompat turun dari atas pohon, 

mendekati Ratu Randang seolah minta dilindungi. 

Namun salah seekor anak kucing yang ada di depannya 

serta-merta menyerang. Mulut siap menggeragot, cakar 

siap merobek leher si gadis. Jaka Pesolek yang selama ini 

masih belum bisa kencing, saking takutnya saat itu sampai 

pancarkan air kencing! 

Tujuh ekor kucing lainnya tidak tinggal diam. Binatang-

binatang itu segera menyerbu ke arah orang-orang yang 

sudah diincar. 

Ketika suara gong terdengar mengalun keras, tiba-tiba


delapan sosok aneh yang mula-mula berbentuk delapan 

benda bersinar, muncul di tengah telaga. Perlahan-lahan 

ujud berubah menjadi asap lalu membentuk sosok pocong. 

Di sebelah atas berselubung kain coklat, di pinggang ada 

ikat pinggang kuning lalu di bagian bawah dilibat kain 

warna hijau. Delapan makhluk ini melayang mengambang 

di atas telaga, meliuk-liuk seperti menari mengikuti alunan 

gamelan! Sesekali wajah mereka menghadap ke arah 

orang-orang di tempat itu. Ternyata mereka memiliki wajah 

polos licin! Tak ada mata, hidung ataupun mulut! 

“Delapan Pocong Menari!” Ucap Wiro. 

“Kau kenal mereka?” Tanya Ratu Randang tercekat. 

“Mereka... mereka berasal dari delapan bunga matahari 

kecil.” Wiro memberi tahu lantas raba pinggang pakaian. 

Ternyata delapan bunga matahari tidak ada lagi di balik 

pinggangnya. 

Selagi semua orang kecuali Wiro terheran-heran, Dirga 

Purana merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Telinga 

kiri berdenging-denging. Dia punya firasat ada bahaya 

besar mengancam. 

Dari tengah telaga, delapan pocong tiba-tiba keluarkan 

suara menyanyi. 

“Mulut tidak ada, bagaimana bisa menyanyi?” Kata 

Jaka Pesolek heran ada takut juga ada. 

Tidak dipanggil datang sendiri 

Ini untuk terakhir kali 

Karena delapan musuh sudahlah pasti 

Mengadu jiwa menghadang mati 

Berserah diri kepada Yang Kuasa 

Kalaupun mati haruslah pasrah 

Delapan pocong di tengah telaga bertepuk tiga kali. 

Pada tepukan yang ketiga dua tangan saling 

menggenggam. Didahului gerakan lemah gemulai dua 

tangan kemudian dikembang. Dari sela tangan yang 

mengembang itu berlompatan delapan anak kucing betina


gemuk berbulu putih. Binatang-binatang ini mengeong 

keras lalu melompat ke arah delapan kucing merah. 

Kejut bocah Dirga Purana bukan alang kepalang. 

“Rakanda Delapan Sukma Merah! Lekas masuk ke 

dalam goa!” Dirga Purana berteriak memanggil delapan 

anak kucing merah. Tapi yang dipanggil sudah keburu 

melihat kemunculan kucing betina. Bukannya mereka 

menurut perintah sang majikan, malah melompat girang 

menghampiri delapan kucing betina montok dan mulai 

mencium menjilati. 

“Celaka! Celaka besar!” Dirga Purana pukul kepala 

sendiri. Ni Gatri yang tadi dicekiknya terlepas jatuh ke 

tanah. Dua mata Dirga Purana membelalak ketika dia 

melihat delapan anak kucing jantan merah peliharaannya 

mulai mengeong keras menunggangi anak-anak kucing 

betina berbulu putih! 

Dirga Purana berteriak keras. Jatuhkan diri hingga 

keningnya menyentuh tanah. “Pantangan besar telah 

dilanggar! Pantangan besar telah dilanggar!” Katanya 

berulang kali. Lalu didahului teriakan menyerupai lolongan 

anjing dia berdiri bangkit, siap melesat ke udara, masuk ke 

dalam goa lewat air terjun yang saat itu masih berhenti 

mencurah. Namun sang bocah tersentak kaget ketika 

dapatkan dirinya telah dikelilingi Wiro dan kawan-kawan! 


TAMAT 


Episode Berikutnya:


 BULAN BIRU DI MATARAM






0 komentar:

Posting Komentar