WIRO SABLENG EPISODE DELAPAN POCONG MENARI
SATU
MALAM Selasa Kliwon. Di dalam Puri Kesatu di
Negeri Atap Langit, Ken Parantili benamkan wajah
ke dada Pendekar 212, tangan merangkul
pinggang, lalu perempuan muda ini angkat kepalanya.
“Kita harus segera masuk ke dalam kamar di sebelah.
Suara gamelan mulai terdengar perlahan. Pertanda
Penguasa Atap Langit dalam perjalanan ke tempat ini. Aku
harus sudah ada di atas tempat tidur ketika Penguasa Atap
Langit datang. Apa yang harus kau lakukan nanti akan
akan aku beri tahu.”
Ken Parantili menarik tangan Wiro. Keduanya
melangkah menembus dinding. Di luar Kawasan Atap
Langit kembali terdengar suara teriakan.
“Penguasa Atap Langit! Ada penyusup masuk ke
Kawasan Atap Langit! Kau menghadapi bahaya besar!”
Ini adalah teriakan yang kedua kali. Setelah gema
teriakan lenyap dan keadaan sunyi sebentar, tiba-tiba
menggelegar teriakan balasan. Udara bergetar. Hawa
dingin terasa tambah mencucuk.
“Makhluk yang berteriak! Aku Penguasa Atap Langit!
Aku mengenali suaramu! Bukankah kau Sinuhun Merah
Penghisap Arwah?!”
“Benar sekali, Penguasa Atap Langit. Terima kasih kau
mau menjawab.”
“Kau berani berada di Kawasan Atap Langit bukan pada
hari yang yang ditentukan. Itu pelanggaran pertama.
Pelanggaran kedua, kau datang membawa kabar seolah
penghuni Negeri Atap Langit termasuk diriku adalah
makhluk-makhluk tolol yang tidak tahu menjaga keamanan
Negeri! Apa maksudmu berteriak ada penyusup masuk ke
Kawasan Atap Langit? Para pengawalku, Tiga Kelelawar
Raksasa dan dua ratus Arwah Hitam Putih telah melakukan
penyelidikan. Negeri dalam keadaan aman! Bagaimana
kau bisa mengatakan ada penyusup! Apakah kau sengaja
hendak berbaik budi menjilat untuk mendapatkan
sesuatu? Apakah kau hendak memaksa agar aku memberi
ilmu hingga kau bisa masuk ke dalam Ruang Segi Tiga
Nyawa?”
“Penguasa Atap Langit! Keinginan untuk masuk ke
Ruang Segi Tiga Nyawa sudah aku lupakan!”
“Karena keris sakti Kanjeng Sepuh Pelangi sudah
lenyap, sudah keduluan diambil orang! Dan kau hanya
dapat keris palsu butut! Ha... ha... ha!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti terhenyak.
“Dia tahu apa yang terjadi,” katanya dalam hati. Dia
mendongak ke langit lalu menyahuti ucapan orang.
“Penguasa Atap Langit! Aku datang bukan untuk menjilat
tapi memang hendak berbaik budi! Kau telah banyak
menolong diriku dan saudara kembar satu nyawa. Kau juga
telah banyak membantu Ksatria Junjungan Dirga Purana.
Apa salahnya kalau aku memberi tahu bahwa dirimu saat
ini terancam bahaya besar?”
Dari dalam Kawasan Atap Langit menggelegar tawa
bergelak sang Penguasa.
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah. Aku peringatkan
dirimu! Lekas menjauh dari kawasan kekuasaanku! Kau
baru boleh muncul lagi pada bulan purnama yang akan
datang!”
“Tapi Penguasa Atap Langit! Aku tidak bicara dusta. Aku
tidak mengarang cerita...”
“Sinuhun Merah! Ini peringatan terakhir! Kau ingin aku
menyuruh Tiga Kelelawar Raksasa membakar tubuhmu
hingga leleh! Atau kau mau dua ratus makhluk Arwah
Hitam Putih mengorek jantungmu yang ada di dalam
rongga dada sebelah kanan?!” Ancaman Penguasa Atap
Langit rupanya tidak tanggung-tanggung.
“Penguasa Atap Langit. Aku minta maaf. Aku pergi
sekarang! Aku hanya berusaha berbuat kebaikan...”
“Aku tidak perlu kebaikan dari makhluk semacammu.
Bukankah selama ini kau dan orang-orangmu yang selalu
meminta kebaikan padaku?! Kebaikan dan ilmu yang aku
berikan kerap kali kau salah gunakan! Bukankah aku
sudah mengingatkan sebelumnya?!”
Di puncak Gunung Semeru yang gelap dan dingin,
mengambang di atas satu gundukan batu, makhluk alam
roh serba merah Sinuhun Merah Penghisap Arwah
mendengus. Dalam hati dia menyumpah, “Makhluk
congkak! Rohmu memang bisa amblas berkali-kali! Tapi
sekali ini kau akan menyesal sampai ke liang neraka!
Begitu kau mampus aku akan menguasai Kawasan Atap
Langit!”
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah sampai tiga
kali. Ludahnya berwarna merah. Lalu cepat dia berkelebat
pergi.
“Tunggu!” Suara Penguasa Atap Langit menggelegar.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah tahan gerakan.
“Sinuhun Merah, aku memberi perintah padamu! Saat
ini juga harap kau segera menemui anak lelaki usia dua
belas tahun bernama Dirga Purana. Katakan padanya
sebelum tengah hari besok, dia harus sudah
mengantarkan anak perempuan bernama Ni Gatri ke
hadapanku!”
Sesaat Sinuhun Merah tertegun mendengar ucapan
Penguasa Atap Langit itu. Dalam hati dia membatin. “Aku
punya dugaan, gadis cilik itu pasti akan dijadikan gundik
baru.” Ucap Sinuhun Merah dalam hati. “Sang Junjungan
sedang mabuk cinta dengan anak perempuan ayu
bertubuh molek itu. Apa dia mau menyerahkan?”
“Sinuhun Merah! Kau mendengar apa yang aku
katakan?!”
“Aku mendengar. Aku akan menemui Ksatria Junjungan
Dirga Purana untuk menyampaikan pesanmu.”
“Bukan cuma disampaikan! Tapi juga untuk
dilaksanakan!”
“Baik, perintahmu akan aku laksanakan! Aku sendiri
yang akan membawa anak perempuan itu ke hadapanmu!”
“Tidak perlu kamu! Aku sudah bosan terlalu sering
melihat tampang merahmu! Suruh makhluk lain yang bisa
dipercaya! Kau mengerti?!”
“Aku mengerti,” jawab Sinuhun Merah Penghisap Arwah
dengan menahan gelegak amarah. Sebelum meninggalkan
tempat itu dia semburkan ludah merah dua kali. Kaki
kanan digebrak hingga lereng batu yang menebingi bagian
atas kawah Gunung Semeru hancur berantakan.
Ketika melayang dekat pinggiran kawah Gunung
Semeru makhluk alam roh yang punya nyawa kembar
dengan Sinuhun Muda Ghama Karadipa ini walau gelap
kelam namun di bawah sana dia masih bisa melihat sosok
empat orang mendekam kedinginan di depan perapian
yang apinya telah padam.
Orang-orang itu adalah Ratu Randang, Kunti Ambiri,
Sakuntaladewi dan Jaka Pesolek. Seperti diceritakan
sebelumnya mereka dilemparkan di tengah jalan oleh
belahan batang pohon beringin sewaktu Pendekar 212
Wiro Sableng diterbangkan menuju Negeri Atap Langit.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah memperhatikan
keadaan di puncak gunung. Menatap ke arah kawah yang
gelap lalu mengendus dalam-dalam.
“Hemm...” Sinuhun Merah Penghisap Arwah bergumam
sambil usap janggut merahnya. “Aku mencium baunya
walau sudah jadi jerangkong! Makhluk bernama Lor
Pengging Jumena itu masih mendekam di sekitar kawah.
Agaknya tengah menjaga keempat orang itu. Sayang aku
ada keperluan lebih penting. Kalau tidak apa susahnya
mencelakai keempat orang itu! Ratu Randang, kau tunggu
pembalasanku! Kau terlalu banyak menipu diriku dan
nyawa kembarku! Aku akan betot semua ilmu yang pernah
kuberikan padamu, sekalian dengan jantung, hati, limpa
dan ginjalmu!” (Diceritakan sebelumnya makhluk bernama
Lor Pengging Jumena itu adalah yang juga dikenal dengan
panggilan Embah Buyut Kumara Gandamayana).
Sinuhun Merah Penghisap Arwah meludah lalu melesat
ke timur. Saat itu memang ada yang merisaukan hatinya.
Dia belum mengetahui apakah Empu Semirang Biru yang
telah diracunnya berhasil menemukan Sri Maharaja
Mataram Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala di tempat
persembunyiannya.
***
Kembali Ke Puri Kesatu, di dalam ruang tidur Selir
Pertama. Ken Parantili melangkah ke arah meja di mana
ada tiga bunga mawar segar dalam tiga jambangan kaca.
Di atas meja juga terdapat sebuah gelas kaca tinggi berisi
cairan kuning. Ken Parantili meneguk habis cairan di dalam
gelas kaca. Lalu mengambil dua kuntum bunga mawar dari
dalam jambangan kaca sebelah tengah dan
menyelipkannya di atas telinga kiri kanan yang dicanteli
anting-anting mutiara, disepit dengan untaian rambut.
Bunga mawar ketiga diletakkan di balik dada pakaian.
“Wiro, kita segera masuk ke ruang tidur besar di
sebelah. Ikuti aku.”
Seperti angin meniup udara kosong, kedua orang itu
masuk ke kamar besar menembus dinding. Begitu berada
di kamar besar tempat di mana Penguasa Atap Langit akan
datang untuk terakhir kali menemui dirinya, Ken Parantili
berkata pada Wiro. “Aku akan membaringkan diri di atas
tempat tidur. Kau berdirilah di sudut sebelah kiri kepala
tempat tidur. Jangan bergerak, jangan bersuara. Penguasa
Atap Langit tidak akan melihat dirimu karena rambutku
masih menempel di dadamu. Namun untuk menjaga
segala kemungkinan, sesuai pesan Nyai Roro Manggut, aku
harap sekarang juga kau mengeluarkan ilmu kesaktian
yang diberikannya yaitu Ilmu Meraga Sukma. Sukmamu
berdiri di sudut kanan, raga aslimu berdiri ke sudut kiri.”
“Ketika Penguasa Atap Langit hendak membunuhmu,
apa aku tetap tinggal diam, tidak berusaha menolong?
Bukankah itu budi yang harus aku lakukan?”
“Kau bukannya tidak melakukan apa-apa. Semua yang
telah kau lakukan dan apa yang aku katakan jika kau turuti
maka itu sudah pertolongan besar bagiku. Penguasa Atap
Langit tidak akan mampu membunuhku karena
sebelumnya kau telah berbaring di atas tempat tidur ini.
Begitu dia mencium bekas bau tubuh dan keringatmu,
apalagi kalau sampai bersentuhan, ilmu kesaktiannya
menjadi rontok! Karena itu adalah pantangan bagi hampir
semua ilmu kesaktiannya. Tidak ada selir yang boleh
berselingkuh...”
“Tapi aku ingat percakapan kita beberapa waktu lalu
tentang Selir Ketiga Windu Resmi. Dia dicurigai
berselingkuh dengan Sinuhun Merah Penghisap Arwah.
Mengapa Penguasa Atap Langit tidak celaka?”
“Selir itu tidak berselingkuh di tempat ketiduran
Penguasa Atap Langit yang ada di Puri Ketiga. Selain itu
giliran kematiannya masih dua purnama di muka. Lalu saat
ini dia sudah jadi mayat, kau timbun di pinggir Telaga
Bersuci dan Bersegar Diri. Jadi tak ada lagi yang perlu
dibicarakan menyangkut selir itu.”
“Tapi kita berdua tidak pernah melakukan
perselingkuhan. Maksudku berbuat yang bukan-bukan di
atas tempat tidur.” Kata Wiro pula agak mesem-mesem.
“Itu benar. Tapi yang menjadi masalah besar bagi
Penguasa Atap Langit adalah jika dia mencium apalagi
sampai bersentuhan dengan bau badan atau keringat
lelaki lain. Dan lelaki itu ditakdirkan dirimu adanya...”
“Ini yang aku tidak mengerti. Mengapa musti aku?!”
Ujar Wiro pula.
“Aku tidak tahu mengapa harus kau. Jika kau kelak
bertemu dengan Nyi Roro Manggut, kau bisa tanyakan hal
itu padanya. Karena dia yang memberitahu kalau hanya
kau yang bisa menyelamatkan diriku.”
“Nenek sakti itu...”
“Husss!” Ken Parantili memotong ucapan Wiro.
“Sahabatku, kau tahu siapa dia sebenarnya. Aslinya
bukankah dia seorang gadis cantik jelita?”
Wiro ternganga. Tidak menyangka sang selir tahu
banyak dan begitu jauh. Wiro mendadak ingat. Ketika
orang kepercayaan Penguasa Laut Selatan itu memberikan
Ilmu Meraga Sukma padanya, si nenek sakti terlebih dulu
menguji dirinya secara berat dengan berbagai cara. Salah
satu di antaranya adalah merayu dan menggodanya untuk
menyentuh auratnya lalu melakukan hubungan badan.
Wiro menggaruk kepala. Dalam hati dia membatin. “Hal
yang sama akan segera terjadi. Apa aku sanggup menahan
diri seperti dulu. Selir ini selain cantik kurasa punya
pengalaman soal begituan...” (Mengenai riwayat Wiro
mendapat ilmu kesaktian dari Nyi Roro Manggut dapat
dibaca dalam serial “Meraga Sukma”).
Ken Parantili tatap wajah sang pendekar sejurus lalu
meneruskan ucapan. “Nyi Roro Manggut berpesan, pada
saat Penguasa Atap Langit hendak melaksanakan niatnya
membunuh diriku, maka kau harus segera mengeluarkan
Ilmu Meraga Sukma.”
Wiro anggukkan kepala. Lalu berkata. “Seorang kakek
sakti yang dipanggil Embah Buyut Kumara Gandamayana
memberi tahu. Orang luar kalau pun bisa masuk ke dalam
Negeri Atap Langit tidak akan mampu melihat ujud
Penguasa Atap Langit. Kecuali jika dia berdiri kaki ke atas
kepala ke bawah. Apa aku harus berjungkir balik untuk
bisa melihatnya?”
Ken Parantili menggeleng. “Kau sudah mandi di Telaga
Bersuci dan Bersegar Diri yang memiliki delapan pancuran.
Matamu akan sama dengan mata semua penghuni Negeri
Atap Langit. Tak ada halangan atau kekuatan yang
menyekat pandanganmu.”
“Yang mampu melihat..., ujud asliku atau sukmaku?”
Tanya Wiro.
“Dua-duanya. Sebaliknya Penguasa Atap Langit tidak
bisa melihat dirimu dan sukmamu karena rambut
penangkal milikku yang menempel di tubuhmu. Nah, kau
sudah siap. Atau masih ada yang ingin ditanyakan?”
Wiro jadi tegang walau sesaat. “Aku sudah siap,”
jawabnya kemudian setengah berbisik.
“Suara gamelan sudah lenyap. Berarti Penguasa Atap
Langit sudah ada di dekat Puri Kesatu. Siap untuk masuk
ke sini.”
Wiro tergagap ketika begitu selesai bicara Ken Parantili
goyangkan tubuh. Seluruh pakaian yang tadi melekat
melindungi auratnya lenyap entah ke mana! Kini yang
melekat di tubuhnya adalah mahkota emas berbentuk atap
di kepala, anting-anting dan kalung mutiara serta tiga
kuntum bunga mawar merah. Dua tersepit di telinga kiri
kanan, satu lagi menempel di dada. Dalam keadaan
seperti itu Ken Parantili naik ke atas tempat tidur. Tubuh
kemudian ditutup dengan sehelai kain sutera merah muda
yang sebelumnya terlipat di bawah salah satu bantal besar.
***
DUA
SELAGI Wiro terpana dengan apa yang disaksikannya,
Ken Parantili berkata. “Saatnya kau merapal dan
menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Berdiri di dua
sudut ruangan di kiri kanan kepala tempat tidur. Jangan
bergerak, jangan bersuara, apapun yang terjadi.”
Pendekar 212 segera melangkah ke sudut kiri ruangan.
Duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha lalu
diangkat dan disilangkan di atas dada. Sepasang mata
dipejam. Mulut merapal aji kesaktian. Satu sosok berupa
bayangan samar keluar dari tubuh Wiro, membentuk ujud
kembar utuh lalu melayang dan berdiri di sudut kanan
ruangan. Perlahan-lahan Wiro asli bangkit berdiri.
Hanya sesaat setelah Wiro menerapkan Ilmu Meraga
Sukma, satu kaki berkasut hijau mencuat di langit-langit
ruangan. Bersamaan dengan itu ada suara orang berucap.
“Ken Parantili, Selir Pertama penghuni Puri Kesatu. Aku
Penguasa Atap Langit, aku datang! Apakah kau sudah
bersiap diri?”
Di langit-langit ruangan, Wiro melihat satu kaki lagi
muncul menjuntai.
“Yang Mulia Penguasa Atap Langit, saya Selir Pertama
telah siap di atas tempat tidur. Saya menunggu dengan
segala kerinduan.” Walau bicara mesra sebenarnya Ken
Parantili telah muak dengan segala basa basi itu. Apalagi
dia tahu kalau kedatangan Penguasa Atap Langit kali ini
merupakan kedatangan terakhir, yang bukan saja seperti
biasa untuk mengumbar nafsu tapi juga membekal niat
jahat hendak membunuhnya.
Dua kaki di langit-langit meluncur ke bawah. Kelihataan
sosok berjubah hijau tapi yang kelihatan baru dari kaki
sampai ke pinggang.
“Ken Parantili, apakah kau telah meneguk habis Cairan
Kuning Minuman Penggoda?”
“Saya sudah menghabiskan minuman itu Yang Mulia,”
jawab Ken Parantili sambil mengusap tenggorokan.
“Apakah kau juga telah memperelok diri dengan tiga
kuntum bunga mawar merah pengharum nafas, pelancar
dan pemanas aliran darah?”
“Sudah Yang Mulia.”
“Selir Pertama Ken Parantili, apakah kau sadar kalau
malam ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Dan bahwa
malam ini kau akan menemui kematian di tanganku?”
Ken Parantili merasa tubuhnya bergetar dan dingin.
“Saya sadar Yang Mulia.” Jawab sang selir kemudian.
“Apakah kau berani menolak kematian atas dirimu?”
“Kalau itu sudah takdir diri saya mana saya berani
menolak.”
“Apa kau ada permintaan, setelah kau mati ke mana
jenazahmu akan dikirimkan?”
Ken Parantili terdiam karena tidak menduga akan
ditanya seperti itu. Akhirnya Selir Pertama ini menjawab.
“Saya tidak punya orang tua tidak punya saudara. Tidak
punya sanak tidak punya kadang. Bahkan desa kelahiran
pun saya tidak pernah tahu. Jika Yang Mulia sudi, mohon
jenazah saya dimasukkan ke dalam kawah Gunung
Semeru. Saya hanya minta satu hal, sebelum jenazah saya
dilempar ke kawah Gunung Semeru, harap jantung saya
yang ada di tangan Yang Mulia dikembalikan ke dalam
tubuh saya. Agar saya bisa menghadap Para Dewa di
Kahyangan secara utuh!”
“Itu pintamu, itu yang akan terjadi. Tetapi soal
jantungmu, aku yang akan mengatur karena sudah
dimasukan ke Ruang Jantung Sembilan Belas. Sekarang
aku akan turun menemuimu!”
Sosok berjubah hijau melayang turun ke bawah, berdiri
di samping tempat tidur. Wiro asli dan Wiro sukma sama
sama memperhatikan dengan mata tak berkesip. Ternyata
Penguasa Atap Langit bertubuh sedang, berkulit bersih
putih dan berwajah jernih. Di atas kepala yang rambutnya
disanggul ke atas, terdapat sebuah mahkota emas
berbentuk atap. Ukurannya jauh lebih besar dari mahkota
kepunyaan Ken Parantili dan ditaburi ratna mutu manikam.
Wiro agak terkesiap. Tadinya dia mengira Penguasa
Atap Langit memiliki tubuh tinggi besar, bertampang
angker, paling tidak memelihara berewok dan kumis
melintang. Ternyata perkiraannya jauh meleset. Penguasa
Atap Langit juga tidak mengenakan pakaian kebesaran
mewah. Pakaiannya sederhana saja, sehelai jubah panjang
berwarna hijau.
“Tampangnya memang bersih jernih. Tidak ada
keangkeran. Tapi sepasang mata tampak dingin dan bibir
tipis panjang tanda makhluk ini menyembunyikan
kekejaman dahsyat dalam dirinya,” Wiro berucap dalam
hati sambil sepasang mata terus memperhatikan.
Penguasa Atap Langit untuk beberapa lama tegak di
tepi tempat tidur, memperhatikan Ken Parantili yang
terbaring tertutup kain sutera tipis merah sebatas leher.
Dengan gerakan tenang dia melangkah mendekati tempat
tidur. Tangan kiri menjangkau mahkota emas di atas
kepala sang selir lalu sekali tangan digerakkan mahkota itu
melesat ke atas, menancap di langit-langit kamar.
“Kau tampak cantik sekali malam ini.” Penguasa Atas
Langit memuji.
“Mungkin hanya kecantikan ini yang bisa saya berikan
terakhir kali pada Yang Mulia” kata Ken Parantili.
“Kalau begitu pejamkan kedua matamu. Kita segera
mulai.” Tangan kiri Penguasa Atap Langit kembali sibakkan
rambut di wajah sang selir sebelah kiri lalu mengambil
bunga mawar yang terselip di telinga. Bunga digoyang-
goyang di bawah hidung lalu lenyap dimasukkan ke dalam
mulut. Tidak tampak dia mengunyah atau menelan.
Dengan tangan kanan Penguasa Atap Langit mengambil
bunga mawar kedua yang terselip di telinga kanan. Seperti
bunga pertama, bunga ini juga dimasukkan ke dalam
mulut. Setelah menatap wajah Ken Parantili sebentar,
Penguasa Atap Langit susupkan tangan kanan ke bawah
kain sutera merah yang menutupi tubuh Ken Parantili.
Tangan menyusup dari arah leher, meluncur ke bawah.
Ketika tangan dikeluarkan dari balik kain merah, terlihat
dia memegang bunga mawar ketiga. Bunga inipun
dimasukkan ke dalam mulut setelah lebih dulu digoyang di
bawah hidung.
Dari dua sudut ruangan, sosok asli Pendekar 212 dan
sosok sukma terus memperhatikan. Tiba-tiba Penguasa
Atap Langit angkat tangan kanan. Tangan itu dalam
keadaan terkepal diarahkan ke kepala Ken Parantili.
“Aneh, mengapa dia ingin cepat-cepat membunuh selir
itu! Akan memecahkan kepalanya! Bukankah dia ingin
bersenang-senang dulu? Agaknya apa yang terjadi tidak
seperti yang dikatakan Ken parantili.” Sosok asli Pendekar
212 langsung saja menyiapkan serangan pukulan sakti di
tangan kanan.
Tangan kanan Penguasa Atap Langit yang mengepal
bergerak, bukan berupa serangan memukul kepala yang
mematikan, tapi berubah menjadi usapan di atas wajah
Ken Parantili. Wiro asli dan Wiro sukma dapat melihat jelas
kalau jari tengah dari lima jari tangan yang dikembang
dilipat ke telapak tangan.
“Sepertinya dia hendak membunuh selir itu dengan
Pukulan Sukma Merah. Tapi mengapa tangan dan jari-
jarinya tidak berubah merah.” Wiro membatin.
Tidak mau keduluan dia segera angkat tangan kanan
yang sudah dialiri tenaga dalam dan hawa sakti. Ini
kesalahan yang tidak disadarinya.
Tangan kanan Penguasa Atap Langit ternyata lagi-lagi
tidak melancarkan serangan melainkan bergerak ke atas
kepalanya sendiri. Gerakan tertahan sebentar ketika
kepala digoyangkan.
Wuttt!
Mahkota emas besar di atas kepala Penguasa Atap
Langit melesat ke atas dan menancap di langit-langit
kamar, tepat menutupi mahkota emas yang lebih kecil,
milik Ken Parantili. Penguasa Atap Langit menyeringai.
“Mahkota besar memayungi mahkota kecil, pertanda
baik bagimu. Kau akan menemui kematian dengan
tenang!” kata Penguasa Atap Langit pada Ken Parantili.
Wiro yang sudah tidak sabaran ingin menghantam,
perlahan-lahan kembali turunkan tangan yang masih dialiri
tenaga dalam. Kesalahan kedua!
Penguasa Atap Langit merasa dingin pada daun telinga
kiri kanan. Sepasang mata menatap wajah Ken Parantili.
“Selir Pertama penghuni Puri Kesatu! Aku seperti merasa
ada hawa aneh bergerak di dalam kamar ini.”
Penguasa Atap Langit memandang berkeliling. Dia tidak
melihat ada orang atau benda lain di tempat itu. “Aku ingat
Sinuhun Merah Penghisan Arwah. Jangan-jangan benar apa
yang diberitahukannya padaku melalui teriakan dari luar
Kawasan Atap Langit. Aku Curiga! Buka dua matamu!”
***
TIGA
PERLAHAN-LAHAN Ken Parantili buka kedua matanya.
Sekujur tubuh terasa dingin. Dia menduga paling
tidak salah satu dari sosok Wiro telah membuat
gerakan. “Sudah diberi tahu agar jangan bergerak...” Ken
Parantili melirik ke arah sosok asli Wiro yang berdiri di
sudut kiri ruangan. “Mungkin dia mengira Penguasa Atap
Langit hendak membunuhku, mungkin dia membuat
gerakan hendak mendahului menyerang. Berarti dia
mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti. Celaka!”
Ken Parantili menjadi tegang. Dia hendak memberi
tanda dengan kedipan mata ke arah Wiro namun takut
ketahuan Penguasa Atap Langit. “Aku harus cepat-cepat
mengajaknya naik ke tempat tidur. Agar tubuhnya
bersentuhan dengan basahan keringat Wiro yang masih
menempel di bantal dan kasur...”
Sementara itu Wiro asli dan Wiro sukma terkesiap kaget
saling pandang. Wiro baru menyadari kalau dia telah
melakukan kesalahan. Membuat gerakan.
Wiro melihat Ken Parantili membuka kedua mata,
menggeliat sambil menurunkan kain merah yang menutupi
tubuhnya mulai dari leher sampai ke dada. Penguasa Atap
Langit tampaknya tidak terpengaruh dengan tubuh yang
tersingkap itu. Sebaliknya sosok asli wiro dan sukmanya
ternganga dan terbeliak.
Lalu terdengar Ken Parantili berucap. “Yang Mulia, yang
kau dengar adalah desau halus gerakan dua kakiku di atas
kasur. Aku pasrah menunggu saat kematianku. Tapi aku
tidak tahan menunggu saat-saat terakhir kau mencumbuku
di atas ranjang ini. Aku ingin menghembuskan nafas
terakhir tanpa beban.”
“Begitu...?” Penguasa Atap Langit menyeringai lalu
melangkah mundar-mandir di samping tempat tidur.
Beberapa kali dia menarik nafas dalam mengendus-endus.
Di sudut kiri kamar dia berhenti. Walau saat itu jaraknya
hanya satu langkah dari sosok asli Wiro, namun dia tidak
bisa melihat atau mencium bau tubuh sang pendekar. Ini
karena rambut sakti sang selir yang masih menempel di
tubuh Wiro. Selain itu Ken Parantili telah membuat
penangkal yaitu dengan menyuruh Wiro mandi di Telaga
Bersuci dan Bersegar Diri hingga Penguasa Atap Langit
tidak mampu mencium sosok sang pendekar.
“Selir Pertama, aku percaya apa yang kau ucapkan
barusan.” Berkata Penguasa Atap Langit lalu dia bergerak
mendekati tempat tidur. Tangan kanan diangkat ke atas
kepala membuka gulungan rambut yang dikonde. Begitu
konde terlepas terlihat kalau dia memiliki rambut hitam
berkilat tergerai panjang sampai ke punggung, menebar
bau harum.
Di atas tempat tidur Ken Parantili sengaja tersenyum
untuk menutupi rasa tegang yang memagut sampai ke
wajah.
Dada berdebar turun naik, Penguasa Atap Langit
luruskan dua jari telunjuk tangan kiri kanan lalu diguratkan
di atas sepasang alis. Begitu digurat kedua alisnya tampak
kereng hitam dan tebal berkeluk. Lalu ibu jari tangan
kanan disapukan di atas bibir. Bibir yang tadinya agak
pucat kini kelihatan merah segar. Dua telapak tangan
ditekapkan ke pipi. Sepasang pipi kini tampak merah segar
bercahaya!
Di sudut ruangan sebelah kiri Wiro asli memperhatikan
apa yang dilakukan Penguasa Atap Langit dengan
tercengang-cengang. “Apa yang dilakukan makhluk itu?
Wajahnya seperti dipoles dandanan apik. Oala, mengapa
wajahnya seperti perempuan. Lumayan cantik tapi hidung
agak besar. He... he!”
Wiro kemudian melihat Penguasa Atap Langit
melambai-lambaikan dua tangan di atas kepala, sepuluh
jari dijentik-jentik. Aneh, dari ujung-ujung jari bertabur
kerlap-kerlip percikan terang seperti bunga api. Dua tangan
disapukan mulai dari kepala sampai ke kaki. Bau harum
semerbak membalut tubuh Penguasa Atap Langit. Menebar
ke seluruh sudut ruangan. Wiro sampai terpana karena
belum pernah mencium bau harum semerbak seperti itu.
Saluran pernafasan dan dadanya terasa sejuk dan segar.
Namun aliran darah berubah mengencang.
Penguasa Atap Langit berdiri lurus-lurus. Mata menatap
berbinar ke arah Ken Parantili. Tiba-tiba dia goyangkan
tubuh dan saat itu juga jubah hijau yang dikenakannya
merosot sampai ke pinggang.
Pendekar 212 dan sukmanya hampir saja
mengeluarkan seruan tertahan saking kaget. Dua pasang
mata menatap membelalak ke arah dada Penguasa Atap
Langit. “Astaga, jadi benar! Tapi edan... mengapa ada bulu
di pertengahan dada?!”
Ternyata Penguasa Atap Langit memiliki dada putih
bagus seperti seorang perempuan! Hanya saja di bagian
tengah dada terlihat ada bulunya.
“Wah! Mengapa jubah tidak ditanggalkan seluruhnya
hingga aku bisa melihat lebih jelas, makhluk ini lelaki atu
perempuan, atau sebangsa banci!” ucap wiro dalam hati.
Dia jadi ingat pada Jaka pesolek. Sepasang mata terus
memperhatikan.
“Kekasihku Ken Parantili, walau hidupmu hanya tingal
setengah malaman, aku harap kau akan menghiburku
seperti yang sudah-sudah.”
Wiro dan sukmanya sama melengak. Suara Penguasa
Atap Langit yang terdengar di dalam kamar jelas adalah
suara perempuan, halus dan lembut.
“Penguasa Atap Langit! Diriku milikmu. Mudah-
mudahan aku bisa memberikan yang lebih baik pada saat
terakhir ini...”
“Selir edan, jelas tahu mau dibunuh malah bicara
bermesra-mesra!” sosok asli Wiro menggerutu dalam hati.
Tanpa melepas seluruh jubahnya Penguasa Atap Langit
bergerak naik ke atas tempat tidur lalu membaringkan
tubuh di samping Ken Parantili. Ketika dia hendak
memeluk dan mencium sang selir, tiba-tiba dessss... desss!
Asap kelabu mengepul dari bantal dan kain tebal
penutup tempat tidur yang masih basah oleh keringat Wiro!
Penguasa Atap Langit menjerit keras, tubuh terpental ke
udara lalu jatuh tergelimpang di lantai permadani. Wajah
tampak pucat!
Suara jeritan Penguasa Atap Langit tadi bukan suara
lelaki sakti yang menggelegar. Tapi itu adalah suara jeritan
perempuan!
“Selir jahanam! Kau membawa lelaki tidur di atas
ranjangku!” Teriak Penguasa Atap Langit. Kini suaranya
kembali berubah menjadi suara laki-laki. Menggelegar
keras di dalam ruangan hingga menimbulkan getaran
hebat! Sekujur tubuh mengepulkan asap kelabu. Wajah
yang sebelumnya jernih dipoles dandanan apik dan juga
tubuh sebelah atas yang tersingkap putih dan bagus
perlahan-lahan berubah berkerenyut lalu memutih dan
leleh seperti timah mencair. Jubah hijau yang masih
melekat di tubuh sebelah bawah tampak putih gosong.
Menyaksikan apa yang terjadi Wiro hampir tak percaya.
Hanya karena bersentuhan dengan bau badan dan
keringatnya yang menempel di bantal serta tempat tidur,
Penguasa Atap Langit yang memiliki kesaktian hebat itu
ternyata benar-benar mengalami celaka luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu Penguasa Atap Langit
berusaha bangkit tapi dia hanya mampu terduduk di lantai.
Dua tangan diangkat ke atas. Lalu menjerit lagi. Setelah itu
mulut berkomat-kamit pertanda ada sesuatu yang
dirapalnya.
Lalu setengah megap-megap dia berkata. “Selir
jahanam! Kau merontokkan sembilan ilmu kesaktianku,
tapi jangan mengira aku tidak akan mampu membunuhmu!
Jangan kira kau bisa lolos dari kematian! Aku masih
menyimpan ilmu yang tidak bisa dimusnahkan oleh
keringat dan bau tubuh lelaki yang berselingkuh
denganmu! Aku akan mencari tahu siapa adanya bangsat
penyusup itu sekarang juga! Akan kubunuh! Biar kau
saksikan bagaimana aku membantai lelaki selingkuhanmu!
Baru setelah itu kau kuhabisi!”
Ken Parantili terkejut mendengar ucapan Penguasa
Atap Langit. Dia cepat goyangkan tubuh. Saat itu pakaian
putih berenda yang sebelumnya dikenakan kembali muncul
membalut tubuhnya yang sejak tadi dalam keadaan
telanjang hanya terlindung kain sutera tipis. Dengan cepat
perempuan ini melompat dari tempat tidur.
“Kau mau lari ke mana?!” Hardik Penguasa Atap Langit.
Tubuhnya yang leleh kini mampu berdiri walau terhuyung-
huyung. Kelihatannya sebagian kekuatannya mulai pulih.
Jubah gosong putih yang tadi masih menggantung
sepinggang rontok jatuh ke lantai permadani. Ternyata
bagian tubuh dari pinggang sampai ke kaki juga sudah
memutih leleh pula!
Wiro asli dan Wiro sukma buka mata lebar-lebar,
menatap ke bagian bawah perut Penguasa Atap Langit.
Namun keadaan tubuh yang leleh putih begitu rupa sulit
untuk memastikan apa sebenarnya jenis kelamin
Penguasa Atap Langit. “Sial, aku tidak bisa melihat apa dia
punya kelamin lelaki atau perempuan. Mungkin juga dia
punya dua kelamin. Weehhh!” Wiro berkata dalam hati.
“Ken Parantili, kau tidak bisa lolos. Aku telah menutup
semua dinding, lantai dan atap! Tidak ada jalan keluar
bagimu!” Penguasa Atap Langit berteriak mengancam.
Ken Parantili memandang seputar kamar, mendongak
ke langit-langit. Wajah selir ini berubah pucat ketika dia
melihat bagaimana lantai yang ditutupi permadani, dinding
dan langit-langit kamar yang berwarna merah muda
bergaris kuning kini berubah menjadi hitam pekat bergaris
merah berbuhul-buhul menyerupai jaring.
“Jaring Sukma Merah!” ucap Ken Parantili. “Aku masih
bisa menembus. Tapi bagaimana dengan Wiro?”
Benda putih aneh di pertengahan langit-langit yang
menjadi penerang ruangan tiba-tiba meredup. Rasa tegang
dan takut yang amat sangat terlihat di wajah Ken Parantili.
“Kalau aku memang harus mati aku pasrah. Tapi
bagaimanapun aku harus menolong pemuda itu!”
Tiba-tiba Selir Pertama itu berteriak keras. Tangan
kanan diangkat setinggi dada lalu dihantamkan ke arah
Penguasa Atap Langit yang saat itu berdiri angker di tengah
ruangan.
Wusss!
Selarik sinar kebiru-biruan menyembur lalu membentuk
buntalan ombak, mengeluarkan suara menderu seperti air
mendidih melesat dari telapak tangan kanan Ken Parantili.
Uap luar biasa panas mengepul!
Dapatkan dirinya diserang Penguasa Atap Langit malah
tertawa bergelak. “Ombak Neraka Mendidih! Kau
mendapatkan ilmu itu dariku! Mana mungkin bisa
mencelakaiku! Selir jahanam! Saatnya kau menerima
kematian di tanganku! Tubuhmu akan aku buat jadi babi
rebus!”
Penguasa Atap Langit tekuk sepasang lutut. Dua tangan
membuat gerakan menggapai ke udara. Hanya beberapa
jengkal lagi buntalan air mendidih akan mengguyur
tubuhnya, tiba-tiba sang penguasa membentak keras dan
pukulkan dua tangan ke atas.
Dess! Desss!
Gelombang air mendidih serta merta tertahan
menggantung di udara. Penguasa Atap Langit bantingkan
kaki kanan ke lantai membuat permadani hangus.
Byuuuuurr! Pukulan Ombak Mendidih berbalik
menghambur ke arah Ken Parantili!
Penguasa Atap Langit mendadak sontak terkejut besar
ketika melihat di dalam ruangan Ken Parantili bukannya
ketakutan atau mencoba selamatkan diri tapi malah berdiri
kaki merenggang tangan berkacak di pinggang.
Tiba-tiba selir ini teriakan ucapan. “Ombak hanya ada di
laut! Di darat topan prahara yang berkuasa!”
“Kurang ajar! Dari mana dia tahu rapal penangkal itu!”
Penguasa Atap Langit tersentak kaget sampai keluarkan
suara menggembor keras.
Di hadapannya Ken Parantili membungkuk sambil
mendorongkan dua tangan dan kepala. Di dalam ruangan
bergemuruh deru angin. Lantai, empat dinding dan langit-
langit bergoyang. Pukulan Ombak Neraka Mendidih
berbalik menyerang Penguasa Atap Langit. Didahului suara
hardikan marah Penguasa Atap Langit cepat angkat tangan
kiri. Lima larik sinar hitam mencuat.
“Kipas Hitam Menyapu Puncak Semeru!” Ken Parantili
berseru kaget dalam hati, mengenali dan menyebut nama
ilmu kesaktian yang tengah dikeluarkan Penguasa Atap
Langit. Cepat-cepat dia bersurut mundur hingga punggung
menyentuh dinding ruangan. Sinar hitam menderu
menebar membentuk lima kipas raksasa, langsung
menghantam ke depan memusnahkan serangan balik yang
dilancarkan Ken Parantili. Gelombang air biru
bermuncratan ke seluruh ruangan membuat goncangan
hebat, lalu raib tanpa bekas tanpa membuat ruangan jadi
basah.
Penguasa Atap Langit rupanya tidak mau memberi
kesempatan lagi. Dengan cepat dia jentikkan lima jari
tangan kanan. Lima sinar biru sangat halus menyambar
tanpa suara ke arah lima jalan darah di tubuh Ken
Parantili.
“Lima Jarum Penjahit Raga!” Dada Ken Parantili
berdegup. Darah tersirap dan wajah berubah pucat.
“Celaka! Aku tidak tahu ilmu penangkalnya!”
Dreett... dreett
***
EMPAT
DUA UJUD Wiro yang berada di sudut ruangan
tersentak kaget ketika melihat bagaimana Ken
Parantili tertegak kaku. Sekujur tubuh mulai dari
leher sampai ke betis dilibat cahaya halus kebiru-biruan
seolah rajutan benang yang menjahit lima bagian
tubuhnya. Mulai dari leher, dada, pinggang, dua tangan
dan sepasang kaki hingga dia tidak bisa bergerak. Di atas
kepala menancap lima benda aneh berbentuk jarum
sepanjang satu jengkal berwarna biru.
“Wiro! Lekas lari! Tinggalkan tempat ini!” Ken Parantili
berteriak.
“Ha... ha! Jadi bergundal teman selingkuhanmu itu
bernama Wiro. Nama aneh, orang dari mana dia?! Aku mau
lihat tampangnya. Apa dia lebih sakti dariku hingga bisa
menembus Jaring Sukma Merah yang telah membungkus
seluruh Puri Kesatu!”
Sadar kalau Wiro tidak mungkin menembus ilmu Jaring
Sukma Merah, Ken Parantili kembali berteriak. “Wiro!
Cepat terapkan ilmu yang kau keluarkan di tepi telaga!”
Mendengar teriakan Ken Parantili, Pendekar 212
segera gerakkan kaki kanan ke depan.
Rrrrttttt!
Permadani merah di lantai ruangan robek besar ketika
Wiro menoreh dengan ujung ibu jari kaki kanan. Tapi lantai
tidak terbelah! Wiro asli terbelalak. Wiro sukma melengak.
Ken Parantili terkejut. Tidak menyangka Penguasa Atap
Langit masih punya kesaktian untuk mementahkan
serangan Membelah Bumi Menyedot Arwah yang
dilancarkan Wiro.
Sepasang mata Penguasa Atap Langit mendelik. Dia
menyaksikan permadani robek memanjang tapi tidak
melihat siapa yang melakukan. Kini dia benar-benar yakin.
Walau tidak dapat melihat ujud tapi dalam ruangan itu ada
makhluk lain. Mungkin manusia biasa, bisa juga makhluk
alam arwah.
Penguasa Atap Langit dongakkan kepala. Mulut komat-
kamit lalu meniup tiga kali berturut-turut. Dalam ruangan
muncul segulung cahaya kuning melayang berputar-putar.
Selain mengeluarkan suara tiupan angin menguing yang
menyakitkan telinga, gulungan angin bercahaya kuning
juga punya kemampuan menyedot!
“Celaka! Dia mengeluarkan ilmu Raja Arwah Meniup
Puncak Langit!” Kejut Ken Parantili. Lalu dia berteriak
memperingatkan. “Wiro awas! Tekap dadamu! Jangan
sampai rambutku terlepas tanggal dari tubuhmu!”
Namun terlambat. Saat itu gulungan cahaya kuning
telah memutar tiga kali di atas kepala Wiro lalu melesat ke
atas menembus langit-langit kamar.
Wuuusss!
Tubuh Wiro terangkat sampai setengah tombak.
Pakaiannya berkibar-kibar, dada baju tersibak. Permadani
penutup lantai melekuk ke atas. Tempat tidur besar naik
ke udara sampai dua jengkal lalu terhempas ke bawah.
Mendengar teriakan Ken Parantili Wiro cepat dekapkan
dua tangan di depan dada. Namun saat itu sehelai rambut
Ken Parantili yang melekat di dadanya terbetot ke atas,
menyusup keluar dari balik pakaian, melesat dan
menancap laksana batangan lidi di langit-langit kamar!
Ken Parantili berteriak tegang. Rasanya dia ingin
menjambak putus rambut di kepala dan melemparkan ke
arah Wiro. Namun saat itu dia tak mampu bergerak akibat
Ilmu Lima Jarum Penjahit Raga. Dua tangan menempel ke
badan seolah dijahit!
Begitu rambut yang selama ini menjadi pelindungnya
tidak ada lagi di tubuh, dua sosok Wiro yang asli dan yang
sukma serta merta terlihat jelas oleh Penguasa Atap Langit.
Sesaat Penguasa Atap Langit terkesiap. Sepasang mata
mendelik besar, pancarkan cahaya merah menyala
pertanda amarahnya sudah mendidih sampai kepala. Dia
tidak menyangka kalau ternyata ada dua orang lelaki muda
di dalam kamar yang berarti Selir Pertama telah
berselingkuh bukan hanya dengan satu orang tapi dengan
dua orang sekaligus!
“Dua pemuda aneh berambut gondrong. Pakaian,
tampang sama. Apa mereka kembar?!” Amarah Penguasa
Atap Langit meledak. “Selir jahanam! Kau melindungi dua
bangsat ini dengan rambutmu hingga dia tidak terlihat dan
bisa lolos masuk ke dalam Negeri Atap Langit. Jadi dua
pemuda gembel bejat ini yang telah menidurimu!”
“Yang Mulia, kau sengaja unjukkan kemarahan untuk
sembunyikan rasa takutmu pada dua kekasihku yang
gagah dan hebat itu! Hik... hik!” Ken Parantili mengejek lalu
tertawa cekikikan. Padahal dalam hati saat itu dia merasa
sangat takut.
“Kau akan menyaksikan! Saat ini juga keduanya akan
kubantai habis!” Teriak Penguasa Atap Langit.
“Tidak usah keduanya. Coba kau hadapi yang satu di
sudut kamar sebelah kiri saja. Apa kau sanggup
membunuhnya dengan Pukulan Delapan Sukma Merah.”
Menyebut Ken Parantili. Suara keras, air muka
sunggingkan ejekan, membuat amarah Penguasa Atap
Langit semakin menggelegak. Sosok Wiro yang ada di
sudut kiri ruangan adalah sosok yang asli.
Ditantang seperti itu meledaklah amarah Penguasa
Atap Langit. Dia terpancing! Sambil berjingkrak, dua tangan
dihantamkan ke arah Wiro asli dan Wiro sukma. Kecuali
jari tengah yang dilipat ke bawah telapak, empat jari
lainnya mencuat lurus ke depan.
Wusss!
Delapan larik sinar merah pekat berkiblat. Empat ke
arah raga asli Wiro, empat lagi ke sudut kanan ruangan di
mana berdiri sukma Pendekar 212. Inilah perbedaan
antara Sinuhun Merah Penghisap Arwah dan Sang
Penguasa. Sebagai pemilik ilmu kesaktian Delapan Sukma
Merah tersebut, Penguasa Atap Langit langsung
melancarkan serangan dari delapan jari tangannya.
Sementara Dua Sinuhun lebih mengandalkan delapan
benjolan yang ada di kening. Jika benjolan lenyap maka
lenyap pula ilmu kesaktian itu.
“Wiro! Ingat kejadian di Telaga Bersuci dan Bersegar
Diri!” Berteriak Ken Parantili. Dia sengaja tidak meneriaki
agar Wiro menancapkan delapan jari tangan karena kuatir
jika Penguasa Atap Langit mengetahui hal itu, mungkin
sekali dia akan membatalkan serangan lalu menggempur
dengan ilmu kesaktian lain.
“Selir jahanam! Benar-benar kurang ajar! Jadi kau...”
Hardik kemarahan Penguasa Atap Langit tidak selesai.
Saat itu di sudut kiri ruangan Wiro lipat jari tengah masing-
masing tangan ke arah telapak. Tanpa berpaling, delapan
jari yang mencuat lurus kemudian ditancapkan ke dinding
di belakangnya.
Kraakk!
Di sudut kamar sebelah kanan sukma Wiro lakukan hal
yang sama. Delapan jari tangan bukan ditancap ke dinding
kamar tapi diarahkan ke atas batok kepala sendiri!
Kreekkk!
Delapan jari tangan tenggelam menancap ke dalam
batok kepala. Tapi hebatnya tidak ada darah yang meleleh
atau otak yang muncrat. Malah sukma Pendekar 212
senyum-senyum sambil kedap-kedipkan mata!
Kamar besar tidak berjendela tidak berpintu bergetar
keras. Lantai laksana mau amblas. Penguasa Atap Langit
luar biasa kaget melihat apa yang dilakukan Wiro asli, dan
lebih melengak lagi menyaksikan apa yang diperbuat
sukma Wiro.
“Makhluk apa keparat yang satu ini! Manusia biasa
tidak mungkin mencucuk kepalanya sendiri sampai
berlubang. Juga tidak ada darah mengucur!”
Penguasa Atap Langit kemudian sadar kalau dirinya
telah termakan pancingan orang. Dia berteriak sambil
menunjuk ke arah Ken Parantili. “Selir keparat! Kau
memberi tahu cara menangkal pada dua gembel...!”
Makian Penguasa Atap Langit terhenti. Saat itu ada
kekuatan aneh menggempur dirinya hingga bergetar keras.
Beberapa bagian tubuhnya yang memutih seperti lelehan
timah membeku jatuh berkeping-keping ke lantai ruangan.
Sepasang mata memberojol keluar, daun telinga mengepul
api. Dari beberapa bagian tubuh menyembur asap hitam.
Penguasa Atap Langit menjerit keras. Seperti yang
terjadi dengan Selir Ketiga Windu Resmi, dia gerakkan
sepuluh jari tangan mencekik leher sendiri! Kreekk!
Terdengar suara seperti tulang patah. Di leher tampak luka
menganga. Tubuh terhuyung limbung lalu tersungkur.
Kening menempel di atas lantai, tubuh sebelah bawah
menungging ke atas. Dari mulut membuih busa merah.
Di saat-saat genting seperti itu ternyata Penguasa Atap
Langit masih mampu menguasai diri. Didahului teriakan
seperti anjing meraung dia tusukkan dua jari telunjuk ke
pusar di pertengahan perut hingga jebol membentuk dua
lobang besar. Dari dalam dua lobang ini mengepul keluar
asap merah tipis yang dengan cepat menyelubungi
tubuhnya.
Penguasa Atap Langit kembali meraung keras dan
panjang. Begitu lolongan putus sosoknya melesat ke atas.
Ketika turun lagi menjejak lantai keadaannya berubah
ujud. Tubuh yang tadi berwarna putih seperti timah
meleleh, kini tampak utuh seperti manusia. Hanya saja
keseluruhannya berwarna merah dan gerak-geriknya
seperti patung kayu kaku! Setiap membuat gerakan,
beberapa bagian tubuh mengeluarkan suara berkereketan.
Greekk!
Kepala dan kaki yang diputar mengeluarkan suara
menggidikan. Lantai yang tergeser mengepulkan asap!
Greekk!
Dua tangan bergerak ke depan. Sepuluh jari dipentang.
Masih tersandar ke dinding ruangan Ken Parantili
terkejut luar biasa. “Hyang Jagat Bathara!” Untuk pertama
kalinya selir ini mengucap nama Dewa. “Ternyata benar dia
memiliki ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah! Tak ada
lagi harapan hidup bagiku!” Ken Parantili berpaling ke arah
Wiro lalu berteriak. “Wiro! Lekas pergi! Tinggalkan tempat
ini!”
Penguasa Atap Langit tertawa bergelak. Suara tawanya
membuat ruangan berguncang dan dada berdegup. “Tidak
ada satu makhlukpun bisa keluar dari tempat ini! Muncul di
sini mati di sini!”
Selesai keluarkan ucapan Penguasa Atap Langit
meniup ke arah Ken Parantili sementara dua tangan
dilambaikan ke depan. Tangan kanan melambai ke arah
Wiro asli, tangan kiri menyapu ke jurusan sukma Wiro.
Tiga larik cahaya menggebubu dalam ruangan
membentuk larikan kain lebar berwarna merah disertai
menebarnya bau bunga kemboja, bunga yang banyak
tumbuh di pekuburan!
Teriakan Ken Parantili membuat Pendekar 212 bisa
mengetahui kalau Penguasa Atap Langit akan melancarkan
serangan berupa ilmu yang dahsyat. Terlebih ketika
hidungnya mencium bau bunga kemboja mendadak
berubah menjadi bau kemenyan dibakar!
Bukannya menuruti apa yang dikatakan sang selir,
murid Sinto Gendeng justru ingat pada keterangan Ken
Parantili sebelumnya, yaitu bahwa semua bangunan di
Negeri Atap Langit tidak ada pintu dan jendela. Karena
setiap pintu dan jendela merupakan pantangan bagi sang
penguasa yang konon bisa membuat ilmu kesaktian yang
ada padanya akan lenyap satu persatu melalui pintu atau
jendela itu.
Tidak tunggu lebih lama Wiro segera hantamkan dua
tangan. Tangan kanan melepas pukulan Sinar Matahari
diarahkan ke Penguasa Atap Langit, tangan kiri memukul
ke arah dinding melepas pukulan Dewa Topan Menggusur
Gunung. Wiro sengaja mengeluarkan pukulan sakti
pemberian Tua Gila dari Andalas ini untuk menjebol dinding
membuat satu lobang atau pintu besar guna mematahkan
kesaktian Penguasa Atap Langit.
Di sudut lain ruangan sukma Wiro tidak tinggal diam.
Dengan gerakan yang tampak lamban sosok mengapung,
tubuh mengambang dalam ruangan, dua tangan bergerak
menggapai ke arah sosok Penguasa Atap Langit.
Mula-mula sang penguasa tidak begitu memperhatikan.
Namun ketika melihat sosok sukma Wiro yang berubah dari
utuh menjadi bayang-bayang kagetnya bukan alang
kepalang. Apalagi dua tangan yang menggapai kelihatan
jelas mampu menembus tebaran kain kafan merah tanpa
merobeknya! Tampang Penguasa Atap Langit berubah.
Jantung berdegup keras.
“Tidak mungkin! Aku menyirap kabar dia sudah lama
menemui kematian. Bagaimana bisa ilmunya...” Dalam
kaget Penguasa Atap Langit tidak bisa berpikir panjang.
Serta merta Penguasa Atap Langit kerahkan seluruh
tenaga dalam dan hawa sakti yang dimiliki! Tiga larik
cahaya merah ilmu bernama Selubung Kain Kafan Sukma
Merah melebar dan bertambah tebal, membuntal
menelikung ke arah Ken Parantili, Wiro asli dan sukma
Wiro. Dua tangan sukma Wiro yang tadi mampu menembus
kain merah mendadak sontak lenyap!
Bentrokan kekuatan-kekuatan dahsyat menggelegar
dalam ruangan. Ken Parantili menjerit lalu sosoknya lenyap
dalam buntalan cahaya berbentuk kain merah lebar dan
panjang! Sesaat terdengar suara jeritannya. Lalu diam.
Tubuh yang tergulung dalam buntalan kain kafan merah
roboh ke lantai lalu laksana dihantam angin prahara
melesat ke samping kiri menembus dinding ruangan.
***
LIMA
BERSAMAAN dengan terlemparnya sosok Ken
Parantili, Puri Kesatu tempat kediaman selir pertama
itu laksana dihantam gempa. Pukulan Sinar Matahari
dan Dewa Topan Menggusur Gunung berkiblat. Langit-
langit ruangan runtuh. Dinding roboh di dua tempat. Lantai
rengkah. Wiro dan sosok sukma mencelat ke udara dalam
keadaan tubuh mengepul dan tergulung kain kafan merah.
Di dalam ruangan yang sudah porak poranda, tubuh
kaku seperti kayu Penguasa Atap Langit tergontai-gontai,
mengeluarkan suara greek-greek berulang kali seolah
hendak hancur bertanggalan. Namun luar biasanya cahaya
putih panas pukulan Sinar Matahari yang dihantamkan
Wiro ke arahnya tampak mengapung di tengah ruangan,
tidak mampu mendekati sasaran!
Walau sanggup mementahkan serangan Pendekar 212,
namun ketika melihat dinding jebol membentuk dua pintu
besar terbuka, Penguasa Atap Langit sadar bahaya yang
mengancam. Dengan cepat dia melesat keluar dari dalam
bangunan Puri Kesatu. Satu cahaya merah melesat keluar
dari dalam batok kepala sang penguasa, pertanda ada satu
ilmunya yang sempat terlepas keluar akibat berada dalam
ruangan yang dindingnya berlobang menyerupai pintu!
Di halaman Puri Kesatu Pendekar 212 Wiro Sableng
terhampar di tanah, bersebelahan dengan sosok
sukmanya. Keduanya terbungkus dalam gulungan kain
kafan merah. Wiro mencoba merobek kain merah yang
membungkusnya dengan berbagai cara namun sia-sia saja.
Dia berusaha berdiri tapi roboh. Nafas mulai menyengal.
Tubuhnya mendadak terasa lemah hingga tidak mampu
bergerak. Di sampingnya sukma Wiro mengalami hal yang
sama tapi masih mampu berdiri walau tergontai-gontai.
Wuttt!
Satu bayangan merah berkelebat. Satu kaki tahu-tahu
menendang punggung Wiro dari belakang hingga sang
pendekar tersungkur. Wiro merasa sekujur tubuh seperti
hancur remuk. Yang bisa dilakukannya hanya mengerang
kesakitan dan menyumpah habis-habisan. Kemudian
dirasakannya ada satu kaki menginjak dadanya tepat di
arah jantung! Lalu breett! Ada orang merobek kain kafan
yang menutupi kepalanya.
Kain kafan merah robek di bagian wajah Wiro hingga
dia bisa melihat keadaan di sekitarnya serta siapa yang
menginjak dadanya. Bukan lain Penguasa Atap Langit!
Ketika dia memperhatikan, ternyata kasut merah yang
menginjak dadanya memiliki paku-paku runcing!
Di saat bersamaan terdengar suara kepakan disertai
suara teriakan hiruk-pikuk. Bau busuk memenuhi udara
malam. Di langit muncul tiga kelelawar raksasa dan
puluhan makhluk berwajah hitam putih, berambut riap-
riapan. Mata memberojol bisa keluar masuk mengerikan!
Melihat kedatangan para pengawal itu Penguasa Atap
Langit bukannya gembira tapi malah menghardik marah.
“Aku sudah babak belur! Kalian baru muncul! Jahanam
tidak berguna! Pergi dari hadapanku. Jangan berani datang
kalau tidak aku panggil!”
Salah seekor kelelawar raksasa rundukkan kepala
kuncupkan dua sayap lebar. Lalu dia bicara dan suaranya
tidak beda dengan manusia. “Yang Mulia, mohon maafmu.
Kami sudah tahu kalau sesuatu terjadi di Puri Kesatu.
Namun ketika kami berusaha menuju ke sini, ada
kekuatan aneh yang membuat kami berputar-putar tak
karuan di langit. Setelah berusaha keras baru kami
berhasil menembus. Kami mohon maaf...”
“Aku tidak perduli alasan kalian! Kalian sudah kuberi
ilmu kesaktian! Mengapa bisa berlaku tolol! Lekas
menyingkir dari hadapanku! Jangan tunggu sampai aku
menjatuhkan azab hukuman atas kelalaian kalian!”
“Yang Mulia, kami mohon maaf...”
“Sudah! Menyingkir dari hadapanku! Kalian jaga saja
perbatasan Negeri Atap Langit. Jangan ada yang bisa lolos
dari sini atau ada yang menyelinap masuk!”
Tiga kelelawar raksasa rundukkan kepala. Puluhan
makhluk Arwah Hitam Putih keluarkan suara memelas.
Lalu semua makhluk berkelebat pergi meninggalkan
tempat itu.
Penguasa Atap Langit gesekkan kaki kanannya. Paku-
paku runcing di telapak kasut bukan saja merobek baju
tapi juga membuat luka dalam di dada Wiro. Dan paku-
paku di telapak kasut itu bukan paku biasa karena
mengandung racun jahat yang bisa mematikan seekor
kerbau besar dalam waktu setengah harian!
Dalam keadaan tak berdaya seperti itu Wiro masih
berusaha mengeluarkan ilmu kesaktian Sepasang Pedang
Dewa, yaitu berupa sambaran dua sinar hijau yang keluar
dari kedua mata. Namun ilmu kesaktian itu tidak mampu
dikeluarkan!
“Celaka, apa yang terjadi dengan diriku!” Pikir Pendekar
212.
Ternyata Penguasa Atap Langit masih memiliki ilmu
yang mampu menghadang kekuatan dan kesaktian
Pendekar 212!
“Manusia bejat penidur selir pertamaku! Jantungmu...!
Aku akan menghancurkan jantungmu! Ha... ha... ha!”
Penguasa Atap Langit geser-geserkan kasut berpaku.
Tidak mampu menahan sakit, Wiro berteriak namun
tenggorokannya tercekik dan dari mulut kelihatan ada
lelehan darah mengucur!
Penguasa Atap Langit kembali tertawa bergelak. Tenaga
dalam dialirkan ke kaki kanan. Pada saat dia siap
menghunjamkan kaki itu ke dada Wiro untuk
menghancurkan jantung sang pendekar, tiba-tiba entah
dari mana datangnya sayup-sayup terdengar suara
tabuhan gamelan.
Penguasa Atap Langit terkesiap.
“Ada suara seruling dan tabuhan gendang. Ada suara
gesekan rebab. Itu bukan suara gamelan Negeri Atap
Langit. Aku merasa ada yang tidak beres. Hidungku
mencium bau wangi aneh...”
Tidak tunggu lebih lama Penguasa Atap Langit segera
gerakkan kaki kanan. Kasut merah berpaku dihunjam
keras ke dada Pendekar 212 Wiro Sableng. Namun dia
melengak kaget. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
luar dan dalam, kaki kanan itu terasa kaku, berat dan tak
sanggup digerakkan.
Dalam keadaan seperti itu terdengar suara orang
bernyanyi. Yang menyanyi lebih dari satu orang. Tiap bait
nyanyian dilantun saling bergantian. Suara yang menyanyi
adalah suara perempuan!
“Sebelum ajal berpantang mati
Tidak dipanggil datang sendiri
Jangan membunuh sembarangan
Nyawa manusia bukan barang ketengan
Tidak dipanggil datang sendiri
Kehendak Yang Kuasa adalah pasti
Sebelum ajal berpantang mati
Jangan menanam dendam di dalam hati
Lupakan amarah agar bisa menanam budi”
Baik Wiro maupun Penguasa Atap Langit sama-sama
terkejut. Ada suara menyanyi tapi orang yang menyanyi
tidak kelihatan. Penguasa Atap Langit kertakkan rahang.
Kaki kanan kembali dihunjam kuat-kuat ke dada kiri
Pendekar 212. Tiba-tiba di dalam gelap dan dinginnya
malam dari balik pinggang pakaian Wiro meluncur keluar
delapan benda aneh bercahaya, melayang seperti kunang-
kunang.
***
ENAM
UJUD kunang-kunang berubah membesar namun
cahaya yang semula terang menjadi redup. Benda-
benda aneh ini kemudian membesar dan membesar
hingga membentuk ujud sangat samar, menyerupai sosok
bayang-bayang delapan pocong hitam gelap, meliuk-liuk
seperti asap ditiup angin tetapi gerakannya seolah
mengikuti suara tetabuhan gamelan di kejauhan. Dari
tubuh mereka yang hitam sesekali memancar warna
kuning, coklat dan hijau dan bau harum mewangi.
Sulit diduga makhluk apa mereka adanya. Hantu atau
makhluk jejadian dari alam arwah atau mungkin setan
kuburan yang terpesat gentayangan. Tapi apa memang ada
kuburan di Negeri Atap Langit?
Dalam keadaan tak berdaya Wiro menghitung. Sosok
samar itu berjumlah delapan. Meliuk-liuk mengelilingi
dirinya dan Penguasa Atap Langit yang mendadak tampak
ketakutan. Wiro ingat, warna kuning, coklat dan hijau
adalah paduan tiga warna yang ada pada kuntum bunga
matahari!
Murid Sinto Gendeng jadi terkesiap sendiri. Dia cepat
menggerakkan tangan kanan. Dalam keadaan tubuh lemah
tiada daya dengan susah payah baru dia berhasil meraba
pinggang kanannya. Astaga! Walau masih belum yakin tapi
dia merasa dugaannya mungkin benar. Delapan bunga
matahari kecil yang sebelumnya terselip di pinggangnya tak
ada lagi di tempat semula!
Wiro lantas saja ingat pada keterangan Ken Parantili
sewaktu berada di Puri Kesatu. Saat itu sang selir berkata,
“Kau harus menjaga delapan bunga itu baik-baik. Karena
delapan bunga sesungguhnya adalah delapan pocong
gadis cantik. Jika kau melantunkan sepenggal nyanyian,
maka mereka akan keluar dari dalam bunga. Dengan
kehendak Yang Maha Kuasa mereka akan melakukan apa
saja yang kau inginkan. Terutama menolong dan menjaga
keselamatan dirimu...” (Baca serial sebelumnya “Selir
Pamungkas”).
“Tapi aku tidak melantunkan nyanyian. Aku tidak
memanggil mereka. Mengapa mereka bisa keluar dari
dalam bunga...” Membatin Pendekar 212. Lalu dia ingat
pada nyanyian yang terdengar sebelum delapan pocong
menari menampakkan diri. “Tidak dipanggil datang
sendiri... Kehendak Yang Kuasa adalah pasti... Sebelum
ajal berpantang mati...”
“Delapan Pocong Menari... Mereka muncul sendiri.
Keluar dari dalam delapan bunga matahari untuk
menolongku. Terima kasih delapan pocong! Terima kasih
Gusti Allah!” Wiro mengucap dalam hati.
Setelah terkesiap cukup lama, Penguasa Atap Langit
menggembor keras. Kreeek! Seluruh tenaga dalam yang
ada disalurkan ke kaki kanan untuk menjebol dada Wiro.
Tangan kiri kanan dipentang. Jari tengah dilipat.
Kreek!
Delapan jari lainnya mencuat lurus, pancarkan cahaya
merah!
“Sebelum ajal berpantang mati. Jangan menanam
dendam di dalam hati. Lupakan amarah agar bisa
menanam budi.”
Kembali terdengar suara perempuan menyanyi. Lalu
disusul suara meniup. Tiupan itu perlahan saja namun Wiro
melihat bagaimana sosok Penguasa Atap Langit tiba-tiba
terangkat ke atas, jungkir balik di udara malam tiga kali
sebelum ambruk ke tanah kepala ke bawah kaki ke atas!
Untuk beberapa lama kepala Penguasa Atap Langit
menancap di tanah sampai sebatas leher sementara dua
kaki melejang-lejang.
Delapan pocong hitam tiba-tiba palingkan wajah ke
arah Wiro lalu sama-sama runcingkan mulut siap meniup.
Wiro jadi melengak kaget. Mengira dirinya akan
diperlakukan seperti Penguasa Atap langit, dilempar ke
udara lalu dibanting ke bawah, kepala menancap di tanah!
“Oala! Kalau kalian mau membunuhku gebuk saja
langsung batok kepalaku! Jangan dibuat sengsara seperti
makhluk itu!” Wiro keluarkan ucapan.
“Hik... hik... hik!”
Terdengar dua di antara pocong, tertawa mengikik.
Membuat Wiro jadi heran. Lalu ada suara berkata. “Hati-
hati... Jangan meniup terlalu keras. Bisa-bisa seluruh
pakaiannya ikut tanggal! Hik... hik... hik!”
“Memangnya kita tidak boleh melihat pemuda
telanjang?! Hik hik!” Ada suara bertanya lalu ikutan
cekikikan.
Delapan mulut meniup! Wiro merasa ada sambaran
angin halus meniup dirinya mulai dari kepala sampai ke
kaki.
Wuttt!
Kain kafan merah yang membungkus tubuh Wiro lenyap
seketika. Bersamaan dengan itu kekuatannya kembali
pulih. Wiro cepat melompat berdiri hendak mendatangi
delapan pocong hitam. Maksudnya hendak mengucapkan
terima kasih sambil memperhatikan bagaimana
sesungguhnya wajah mereka. Tapi didahului suara tawa
cekikikan delapan makhluk itu lenyap tanpa bekas. Ketika
memandang ke depan dia melihat Penguasa Atap Langit
pergunakan dua tangan menggebuk tanah hingga tanah
terbongkar dan kepalanya terlepas dari jepitan tanah.
Walau kini bebas namun kekuatannya seperti leleh. Tubuh
terguling ke tanah, dada turun naik, nafas megap-megap,
lidah terjulur dan sepasang mata mencelat. Dua tangan
memegangi leher seperti berusaha melepaskan diri dari
cekikan yang tidak kelihatan.
Wiro memandang berkeliling. Dia tidak melihat sosok
sukmanya. Dia juga tidak melihat Ken Parantili. Wiro tidak
khawatir pada keselamatan sukmanya. Tapi dia merasa
takut kalau telah terjadi sesuatu dengan Ken Parantili.
“Selir itu. Jangan-jangan sudah dihabisi Penguasa Atap
Langit!”
Memikir sampai ke situ Wiro melompat ke hadapan
Penguasa Atap Langit yang tergelimpang di tanah. Tanpa
banyak cerita lagi kaki kanannya bergerak menendang ke
arah kepala.
Saat itu berturut-turut mendadak ada suara mengiang
bersahut-sahutan di telinganya. Suara perempuan.
“Mengobati luka sendiri lebih penting dari
melampiaskan hawa amarah. Racun jahat hanya memberi
waktu dua puluh satu hitungan.”
“Membunuh lawan tidak berdaya bukanlah sifat ksatria
sejati.”
“Mendahulukan menyelamatkan seorang sahabat
adalah lebih baik dari menuruti kata hati.”
Wiro terkesiap dan tertegun diam. Tendangan ke arah
kepala Penguasa Atap Langit serta merta dibatalkan.
“Siapa yang mengirimkan suara pengiang? Pasti pocong-
pocong menari tadi.” Pikir Wiro.
Sang pendekar raba dadanya yang luka dan ternyata
masih mengucurkan darah akibat injakan kasut berpaku
Penguasa Atap Langit. Darah yang keluar dari luka bukan
berwarna merah tapi sudah menghitam pertanda
mengandung racun jahat. Wiro meraba pinggang pakaian
sebelah kanan. Ternyata delapan bunga matahari kecil
sudah ada lagi terselip di pinggang itu. Dia merasa lega.
Wiro cepat totok urat besar di pangkal leher dan dada
untuk membendung racun jahat yang telah masuk ke
dalam aliran darah. Tapi saat itu dia malah terbatuk-batuk
semburkan darah. Pemandangannya mulai berkunang-
kunang. Sekujur tubuh terasa panas!
“Kami hanya sejengkal dari ujung tanganmu. Mengapa
tidak memanfaatkan Kuasa dan Kasih Sayang Gusti
Allahmu?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan mengiang
di telinga.
“Gusti Allah! Baru kali ini ada makhluk yang menyebut
nama itu di negeri ini. Kami... kami... kalian siapa...?”
Tak ada jawaban.
Wiro tekap dadanya yang luka. Darah semakin deras
mengucur.
“Pocong menari! Delapan bunga matahari!” Ucap Wiro
dalam hati. Dia segera keluarkan delapan bunga matahari
kecil dari balik pakaian. Dengan cepat delapan bunga
diusapkan ke luka di dada. Delapan cahaya aneh
bergemerlap. Ajaib! Saat itu juga darah hitam berhenti
mengucur. Luka menutup tanpa bekas. Pemandangan
yang berkunang-kunang kembali pulih. Hawa panas di
tubuh serta merta lenyap. Wiro menatap delapan bunga
matahari kecil penuh kagum dan seperti tidak percaya.
“Makhluk yang barusan bicara. Siapapun kau adanya
aku berterima kasih kau telah mengingatkan dan
menolongku!” Wiro berucap perlahan.
Beberapa langkah di depan sana Penguasa Atap Langit
memandang ke arahnya. Tampangnya tegang. Mata tak
berkesip, menatap takut ke arah delapan bunga matahari
yang dipegang Wiro. Dia tampak lega ketika melihat Wiro
menyimpan delapan bunga itu di balik pakaian.
“Makhluk jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada
Ken Parantili! Di mana perempuan itu?!” Wiro membentak.
Penguasa Atap Langit membuka mulut. Namun dia tak
mampu keluarkan suara. Lidah yang merah terjulur keluar
mengepulkan asap. Kepala digeleng berulang kali.
Tiba-tiba satu bayangan melesat. Wiro berpaling. Yang
muncul ternyata sukmanya yang rupanya mampu keluar
dari selubung kain kafan, menggendong seseorang yang
terbungkus dalam kain kafan merah.
“Ken Parantili!” Wiro cepat mendekat dan berusaha
membuka kain kafan merah namun tak berhasil.
Dicobanya merobek, juga tidak bisa. Dia kerahkan tenaga
dalam lalu mencoba lagi. Tetap tidak bisa!
Penguasa Atap Langit keluarkan suara aneh dari
tenggorokan. Mata menatap ke arah Wiro dan sosok yang
terbungkus kain merah dalam gendongan sukma Wiro.
Dengan gerakan kepala dia memberi isyarat agar Wiro
tidak berdiri di hadapan Ken Parantili.
“Kau mau berbuat apa?! Mau membunuh perempuan
ini?!” Bentak Wiro.
Penguasa Atap Langit kembali menggeleng berulang
kali. Mulut bergerak tapi tak ada suara yang keluar. Tiba-
tiba dia jatuhkan diri ke tanah. Berguling ke samping kiri.
Wiro bertindak waspada. Dengan cepat dia memutar tubuh
sambil siapkan satu pukulan sakti di tangan kanan yaitu
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah.
“Penguasa Atap Langit! Saat ini aku bisa membunuhmu
semudah membuang ludah! Tapi aku ingin kau bertobat!
Kalau umurmu panjang mungkin banyak hal baik yang bisa
kau lakukan. Kalau kau berlaku culas dan tetap berbuat
kejahatan kau akan terkutuk selama-lamanya!”
Tiba-tiba di udara terdengar suara bergemuruh dan
disertai suara teriakan riuh. Wiro mendongak. Yang muncul
ternyata adalah tiga kelelawar raksasa pengawal Negeri
Atap Langit dan puluhan makhluk arwah berwajah hitam
putih. Sikap mereka jelas siap hendak menyerang Wiro dan
sukmanya.
Penguasa Atap Langit berusaha berdiri. Tapi dia hanya
mampu duduk menjelepok di tanah. Dalam keadaan
seperti itu dia menatap ke atas, gelengkan kepala sambil
menggoyangkan tangan.
“Yang Mulia! Kami datang menjemputmu!” Kelelawar
raksasa di ujung kanan berkata.
“Yang Mulia, ijinkan kami membunuh dua makhluk
kembar dan sosok yang ada dalam gendongan!” Kelelawar
raksasa di sebelah tengah susul ucapan temannya.
Tampang Penguasa Atap Langit tampak berubah galak.
Kembali dia menggeleng dan goyangkan tangan. Melihat
hal ini tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk
berwajah hitam putih keluarkan suara mengorok halus lalu
melesat, tinggi ke udara malam yang gelap dan dingin.
Setelah berputar tiga kali di atas sana, semuanya melesat
ke arah timur, lenyap ditelan kegelapan.
Wiro dan sukmanya memandang ke arah Penguasa
Atap Langit. Apa makhluk yang tadinya jahat ini telah
berubah sifat? Wiro merasa ragu. Di hadapannya Penguasa
Atap Langit manggut-manggut merunduk. Tiba-tiba kepala
diangkat lalu dia meniup ke arah sosok terbungkus yang
berada dalam gendongan sukma Wiro.
“Kurang ajar! Kau benar-benar culas! Kau mau berbuat
apa?!” Wiro berteriak marah. Sukmanya menggereng
seperti harimau terluka. Namun sebelum sempat
melakukan sesuatu, tiupan Penguasa Atap Langit telah
menyambar sosok terbungkus kain kafan merah yang ada
dalam gendongan sukma Wiro.
Dess! Desss!
Kain kafan mengepul asap merah disertai menebarnya
bau wangi setanggi! Wiro terkesiap. Sukma Wiro melengak
karena sosok yang digendongnya mendadak menjadi
enteng!
***
TUJUH
SEKALI lagi kain kafan mengepul asap merah. Begitu
asap pupus, kain kafan merah ikut lenyap. Kini dalam
gendongan sukma Wiro terlihat sosok Ken Parantili
yang mengenakan pakaian putih berenda. Mata terpejam.
Rambut hitam tergerai ke bawah. Kulit wajah, tangan dan
kaki berwarna merah. Ini akibat terlalu lama tersekap
dalam kain kafan merah. Penguasa Atap Langit kembali
hendak meniup ke arah Ken Parantili. Namun saat itu Wiro
telah memutar tubuh membuat gerakan untuk melepas
pukulan sakti.
“Jahanam! Kau membunuh Ken Parantili!” Teriak Wiro
langsung menghantam ke arah Penguasa Atap Langit
dengan pukulan Tangan Dewa Menghantam Tanah yang
sejak tadi disiapkan. Tapi sang Penguasa ternyata tak ada
lagi di tempat itu. Di tanah kelihatan satu lobang aneh
sepemasukan tubuh manusia menyerupai terowongan
panjang. Inilah yang disebut Terowongan Arwah.
Terowongan jejadian seperti ini pernah dibuat oleh Sinuhun
Merah Penghisap Arwah dan dipergunakan Eyang
Semirang Biru ketika meloloskan diri dari Ruang Segi Tiga
Nyawa setelah berhasil merampas Keris Kanjeng Sepuh
Pelangi yang kemudian ternyata palsu (Baca serial
sebelumnya berjudul “Sesajen Atap Langit”).
Wiro terkesiap sesaat. Begitu sadar dia segera
melanjutkan gerakan tangan melepas pukulan sakti. Tanah
bergoncang, bangunan Puri Kesatu yang sudah ambruk
kini tambah luluh lantak. Dua pohon mahoni di halaman
Puri Kesatu terbongkar tumbang, lobang sepemasukan
tubuh manusia kini berubah menjadi lobang besar sedalam
lutut. Namun Penguasa Atap Langit sudah raib.
Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Keduanya
segera berkelebat pergi. Siap meninggalkan Negeri Atap
langit. Namun celakanya mereka tidak mampu mencari
jalan keluar. Mereka tidak dapat menemukan Pintu Akhirat
maupun Pintu Gerbang Atap Langit.
Sementara itu tiga kelelawar raksasa dan puluhan
makhluk Arwah Hitam Putih berulang kali terbang di atas
mereka namun tidak ada yang berani mendekat apalagi
mengganggu.
Di kegelapan menjelang pagi tiba-tiba ada delapan
cahaya merah berkiblat di langit. Delapan cahaya dengan
cepat melesat ke bumi. Empat menghantam ke arah Wiro,
empat lainnya menderu ke jurusan sukma Wiro!
“Awas! Serangan Delapan Sukma Merah!” Teriak Wiro.
Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti
pada dua tangan sekaligus. Tangan kanan sudah dialiri aji
kesaktian Pukulan Sinar Matahari hingga tampak memutih
perak. Tangan kiri siap melancarkan Pukulan Harimau
Dewa. Sukma Wiro melakukan hal yang sama setelah lebih
dulu memindahkan Ken Parantili yang digendongnya ke
atas bahu kanan.
Belum sempat keduanya melepas pukulan-pukulan
sakti tiba-tiba di udara terdengar suara kepak sayap
disertai suara teriakan-teriakan.
Blaarr!
Blaarr!
Tiga kelelawar raksasa melayang membesat udara. Dua
di antaranya langsung terpanggang dan meledak hancur
begitu dihantam empat cahaya merah. Sembilan makhluk
Arwah Hitam Putih menjerit keras ketika tubuh mereka
terkena percikan delapan cahaya merah. Seperti dua
kelelawar raksasa, tubuh mereka hancur menjadi
kepingan-kepingan yang dikobari api lalu berhamparan di
tanah!
Kelelawar raksasa pengawal ketiga menggerung keras.
Puluhan makhluk Arwah Hitam Putih menjerit. Mereka
semua tampak marah menyaksikan kematian dua
kelelawar teman mereka serta sembilan makhluk Arwah
Hitam Putih hingga berlaku lengah. Ketika delapan sinar
merah lagi mendadak muncul di langit menyerang mereka,
semuanya tidak berkesempatan menyelamatkan diri!
Pada saat itulah dua Pukulan Sinar Matahari dan dua
Pukulan Harimau Dewa yang dilepas Wiro bersama
sukmanya menggelegar ke udara!
Dua bola api raksasa membuntai di udara lalu meledak
dahsyat. Hawa panas menghampar seolah matahari terik
hanya sejengkal di atas kepala! Langit laksana mau runtuh.
Negeri Atap Langit bergoncang seperti dihantam gempa di
delapan penjuru. Tanah retak-retak. Beberapa bangunan
berupa puri tempat kediaman para selir ambruk. Jeritan
terdengar di mana-mana. Di kejauhan terdengar suara
raungan anjing disertai kilasan cahaya kuning redup yang
kemudian lenyap.
Blukkk!
Sebuah benda melayang di udara lalu jatuh bergedebuk
di tanah. Ketika diperhatikan ternyata itu adalah sosok
seorang berpakaian dan berikat kepala hijau. Dari
mulutnya mengucur lelehan darah. Bagian dada pakaian
hijaunya tampak gelap kehitaman seperti hangus. Orang ini
cepat bergerak bangun. Berdiri terhuyung-huyung sambil
menunjuk-nunjuk ke arah Wiro asli dan sukmanya.
“Kalian akan menerima pembalasan...”
Habis keluarkan ucapan orang itu sempoyongan lalu
roboh ke tanah.
“Keparat Sinuhun Muda Ghama Karadipa! Jadi kau
yang punya perbuatan! Pembalasan jatuh lebih dulu atas
dirimu!” Teriak Pendekar 212. Seluruh tenaga dalam yang
dimiliki disalurkan ke tangan kanan yang masih
memancarkan cahaya perak menyilaukan. Ketika Wiro siap
menghantam tiba-tiba ada suara perempuan mengiang di
telinga.
“Jangan dibunuh! Nyawanya sudah ada yang
memesan!”
Wiro terkesiap. “Delapan Pocong...” Ucap Wiro lalu
tangan kanan meraba ke balik pinggang.
Saat itulah tiba-tiba, wusss! Sosok Sinuhun Muda
Ghama Karadipa lenyap dari pemandangan. Di tanah
tampak sebuah lobang sepemasukan tubuh manusia.
Terowongan Arwah!
“Delapan Pocong! Aku mohon kau jangan mencampuri
urusanku! Karena ucapanmu makhluk jahat itu berhasil
kabur!” Wiro mengomel karena jengkel.
“Kami bukan mencampuri. Kami hanya memberi ingat.
Jangan marah dan jangan merasa kami menghalangi.”
Terdengar jawaban mengiang di telinga Wiro.
Wiro dan sukmanya walau tidak mengalami cidera
namun sama-sama tampak pucat tak berdarah, dada
mendenyut sakit. Rambut berjingkrak lucu ke atas! Sosok
Ken Parantili terguling di tanah masih dalam keadaan diam
pingsan tak berkutik.
Sementara itu di udara sana, sadar kalau diri mereka
telah ditolong oleh Wiro dan sukmanya kelelawar raksasa
yang tinggal satu bersama puluhan makhluk Arwah Hitam
Putih meluruk turun ke tanah, membuat sikap bersujud.
Sepasang mata merah kelelawar raksasa berkedip. Lalu
terdengar dia berucap.
“Saya dan semua pengawal Negeri Atap Langit
menghatur terima kasih. Kau dan saudara kembarmu telah
menyelamatkan kami dari serangan maut Sinuhun Muda
Ghama Karadipa.”
Wiro tatap sebentar makhluk di hadapannya, melirik
pada puluhan Arwah Hitam Putih lalu menjawab. “Sinuhun
Muda? Bukankah dia sebenarnya berada di pihak kalian?
Bukankah bersama Sinuhun Merah saudara kembaran
nyawanya dia adalah kaki tangan malah bisa dianggap
sebagai murid-murid Penguasa Atap Langit?”
“Keculasan setipis angin pagi. Itulah yang terjadi. Mulai
hari ini kami semua menjadi hamba sahaya Yang Mulia
berdua!”
Wiro asli dan Wiro sukma sama-sama terkejut dan
saling pandang. Wiro asli menggeleng lalu garuk-garuk
kepala. “Tidak, kami berdua bukan pimpinan kalian. Kalian
bukan hamba sahaya kami.”
“Tapi itu adalah perintah Yang Mulia Penguasa Atap
Langit kepada kami.” Jawab kelelawar raksasa yang
membuat Wiro dan sukmanya kembali dibuat kaget.
“Di mana sekarang beradanya pimpinan kalian
Penguasa Atap Langit?” Wiro bertanya.
“Kami tidak tahu. Setelah memberi perintah untuk
melindungi Yang Mulia berdua bersama Selir Pertama,
Yang Mulia Penguasa Atap Langit menghilang. Kami tidak
tahu apakah kami akan bertemu lagi dengannya.”
“Dengar kalian semua. Saat ini lebih baik kalian
mengurus sisa-sisa jenazah sahabat kalian yang masih
berhamparan di tempat ini.” Berkata Wiro.
“Lalu Yang Mulia sendiri mau berbuat apa?” Tanya
kelelawar raksasa pengawal Negeri Atap Langit.
Wiro tertawa mendengar dirinya terus-terusan dipanggil
Yang Mulia. “Kami akan segera pergi dari tempat ini...”
Kelelawar raksasa dan puluhan Arwah Hitam Putih
unjukkan wajah kecewa. Dengan suara perlahan kelelawar
raksasa berkata. “Mohon dimaafkan kami tidak bisa
mengantar atau menunjukkan jalan. Karena hal itu tidak
diperintahkan oleh Yang Mulia Penguasa Atap Langit yang
lama.”
“Tidak jadi apa. Kami bisa mencari jalan sendiri.” Jawab
Wiro.
“Kalau begitu semoga Yang Mulia berdua mendapat
tuntunan dari Para Dewa...”
“Ya... ya. Terima kasih.” Jawab Wiro yang tidak bisa
mengerti mengapa makhluk-makhluk itu jadi berubah baik
dan sangat menghormat dirinya. Mengapa Penguasa Atap
Langit mengatakan pada makhluk-makhluk itu bahwa
dirinya adalah pimpinan yang baru di Negeri Atap Langit.
Jangan-jangan semua ini jebakan belaka. Suatu ketika
Penguasa Atap Langit bisa saja muncul secara tak terduga
membawa bencana yang lebih dahsyat.
Wiro memberi isyarat pada sukmanya. Sang sukma
segera menggendong Ken Parantili kembali. Lalu keduanya
cepat-cepat meninggalkan tempat itu diikuti pandangan
kelelawar raksasa dan puluhan makhluk Arwah Hitam
Putih.
***
DELAPAN
KETIKA langit di ufuk timur mulai terang tanda fajar
akan segera menyingsing, Wiro dan sukmanya
sampai di satu kawasan berbatu-batu berhawa
sangat dingin. Wiro melihat sukmanya tampak pucat dan
gerakannya mulai lamban. Wiro sendiri saat itu merasa
letih.
“Sukmaku sudah terlalu lama berada di alam luar.
Belum pernah kejadian seperti ini. Saatnya dia harus
masuk kembali ke dalam ragaku. Kalau tidak dia dan aku
bisa sama-sama celaka.” Membatin Wiro yang saat itu
merasa dadanya mulai sesak.
Wiro mengambil Ken Parantili dari gendongan
sukmanya lalu membaringkan perempuan ini di tanah di
atas rerumputan liar. Dia sendiri kemudian duduk bersila
dan merapal ajian Meraga Sukma. Hanya sekejapan mata
sosok utuh sukma Wiro berubah menjadi bayang-bayang
lalu masuk ke dalam tubuh aslinya.
Kini perhatian Wiro tertuju pada Ken Parantili. Dia tidak
melihat tanda-tanda totokan di bagian tubuh sebelah atas
selir itu. Tidak ada cidera atau bekas pukulan. Tubuhnya
juga tidak panas pertanda tidak ada racun jahat yang
mendekam. Wiro letakkan telinga kiri di atas dada
perempuan itu. Dia bisa mendengar detak jantung
walaupun agak perlahan.
“Tak ada totokan, tak ada racun. Detak jantung masih
terdengar tanda dia masih hidup. Tapi mengapa seluruh
kulitnya berwarna merah? Akibat selubungan kain merah?”
“Kain aneh. Bagaimana aku bisa melenyapkan tanda
merah di wajah dan sekujur tubuh selir ini? Kasihan kalau
dia sampai cacat seumur hidup.” Wiro menggaruk kepala.
“Aku harus bisa membuatnya sadar. Dia satu-satunya yang
bisa menolong memberi tahu bagaimana keluar dari negeri
sialan ini. Aku masih harus menolong Ni Gatri, mencari
Eyang Sinto, menemukan kembali Kapak Naga Geni...”
Wiro letakkan telapak tangan kanan di kening Ken
Parantili lalu kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti.
Ditunggu beberapa lama perempuan itu lelap saja tidak
bergerak. Tidak siuman. Wiro ganti memegang dua
pergelangan kaki. Lalu kembali mengalirkan tenaga dalam
dan hawa sakti ke tubuh Ken Parantili. Sampai tubuhnya
keringatan Ken Parantili masih terus tak berkutik, diam
dalam keadaan tidak sadarkan diri. Tenaga dalam dan
hawa saktinya tidak mampu menembus masuk ke dalam
tubuh sang selir.
Wiro duduk termenung, terus berpikir-pikir. Tiba-tiba
saja dia ingat pada delapan bunga matahari kecil. Dengan
cepat bunga dikeluarkan dari balik pakaian. Sesaat Wiro
merasa bimbang. Bunga diusap-usap. Tangan diulur.
Delapan bunga kecil perlahan-lahan disapukan ke bagian
atas kepala lalu ke kening Ken Parantili. Selir itu masih
belum juga siuman. Wiro lanjutkan mengusap delapan
bunga matahari ke bagian wajah, terus ke leher. Ketika
delapan bunga menyapu di atas dada sebelah kiri, desss!
Satu letupan halus tapi berkekuatan besar membuat
Wiro terpelanting. Delapan bunga matahari tergoyang
kencang, pancarkan warna kuning, coklat dan hijau. Sosok
Ken Parantili sendiri mengapung ke udara mengepulkan
asap merah lalu seperti ada yang menahan, perlahan-lahan
jatuh tertelentang di tanah. Ketika Wiro mendatangi, warna
merah pada wajah dan sekujur tubuh selir itu telah lenyap.
Kulitnya kembali seperti semula walau wajah terlihat agak
pucat.
Wiro cepat rangkul perempuan itu lalu
mendudukkannya di tanah bersandar pada salah satu
batang pohon mahoni yang tumbang. Dari mulut Ken
Parantili keluar suara mendesah. Bersamaan dengan itu
menyembur kepulan asap merah. Perlahan-lahan sepasang
mata terbuka. Astaga! Bagian mata yang seharusnya putih
kelihatan merah seperti saga!
Walau matanya merah namun pemandangannya tidak
terganggu. Begitu melihat Wiro di hadapannya, Ken
Parantili membuka mulut hendak bertanya. Tapi diberi
isyarat oleh Wiro agar jangan bicara dulu.
“Sepasang matamu berwarna merah. Tadi waktu masih
terpejam aku telah mengusap dengan bunga ini. Bagian
tubuhmu yang lain bisa pulih, warna merah hilang. Tapi
warna merah di matamu tidak lenyap.”
Ken Parantili hanya bisa mengusap-usap karena tidak
dapat melihat sendiri keadaan matanya.
“Aku akan mengusapkan bunga ini sekali lagi. Matamu
jangan dipejamkan.”
Ken Parantili mengangguk. Wajah sengaja ditengadah
dan dua mata dibuka lebar-lebar. Wiro usapkan delapan
bunga matahari kecil di atas kedua mata perempuan muda
itu. Ajaib memang kesaktian delapan bunga matahari kecil.
Begitu tersentuh usapan bunga, bagian mata yang merah
berubah pulih menjadi putih kembali.
“Matamu sudah sembuh. Warna merahnya sudah
hilang.” Wiro memberi tahu.
Saking girangnya Ken Parantili mencium delapan bunga
matahari lalu memeluk Wiro sambil mengucapkan terima
kasih. “Kalau tidak ada bunga ini dan kau tidak menolong,
dalam waktu tiga hari mataku akan menjadi buta. Itulah
jahatnya Ilmu Selubung Kain Kafan Sukma Merah.”
“Ilmu setan!” Rutuk Wiro. “Aku sudah membuktikan.
Jangankan keluar, merobeknya saja aku tidak mampu.
Sukmaku berhasil merobek sedikit namun kemudian dua
tangannya dibuat tak berdaya!” Wiro menggaruk kepala
lalu bertanya. “Apakah kau memiliki ilmu itu?”
“Setengah jalan.” Jawab Ken Parantili.
“Maksudmu?”
“Aku bisa mengeluarkan, namun tidak bisa
melenyapkan. Penguasa Atap Langit hanya memberi tahu
bahwa ada semacam rapalan disertai cara meniup untuk
melepaskan seseorang yang telah dibungkus Ilmu Kain
Kafan Sukma Merah. Aku tidak sempat mendapatkan
rapalan itu.”
“Ah... itu rupanya yang dilakukan Penguasa Atap Langit.
Baru aku ingat. Dia melenyapkan selubung kain kafan
merah di tubuhmu dengan cara meniup. Berarti dia
bermaksud mau menolong setelah berbuat jahat.”
“Perguasa Atap Langit yang melakukan? Bagaimana
aku bisa percaya?” Ucap Ken Parantili pula. “Sahabat,
sekarang ceritakan padaku apa yang terjadi? Bagaimana
kita bisa berada di sini? Mana Penguasa Atap Langit?
Mana sukmamu?” Selir itu memandang berkeliling.
Wiro menceritakan apa yang terjadi.
“Jadi kau tidak membunuh Penguasa Atap Langit?”
Tanya sang selir heran.
Wiro gelengkan kepala. “Saat itu dia dalam keadaan tak
berdaya. Lalu aku juga melihat ada perubahan pada
dirinya.”
Wiro tidak menceritakan adanya suara mengiang yang
melarang dia membunuh Penguasa Atap Langit.
“Tapi ilmunya bisa saja pulih kembali. Jika hal itu
sampai terjadi akan sangat berbahaya.”
“Mudah-mudahan saja dugaanmu keliru. Karena
sewaktu tiga kelelawar raksasa dan puluhan makhluk
berwajah hitam putih muncul hendak membunuhku,
Penguasa Atap Langit melarang dan mengusir mereka.
Kemudian ketika ada serangan Delapan Sukma Merah,
dua kelelawar raksasa dan sembilan makhluk Arwah Hitam
Putih mengorbankan diri melindungiku dan sukmaku...”
“Wiro, sulit aku percaya kalau bukan mendengar dari
mulutmu sendiri. Tapi mengapa sekarang dia melenyapkan
diri? Bukan mustahil tengah menghimpun kekuatan dan
menyusun rencana balas dendam. Walau banyak ilmunya
yang telah amblas dan rontok, agaknya Penguasa Atap
Langit masih menyimpan beberapa ilmu kesaktian
dahsyat.”
“Ken Parantili, yang lebih penting saat ini adalah
mencari jalan keluar dari negeri keparat ini.” Berkata Wiro.
“Kita harus mencari pohon beringin yang dulu
membawamu ke sini. Hanya pohon itu yang bisa
membawamu keluar dari Negeri Atap Langit.”
“Hanya aku yang akan dibawa? Apa maksudmu? Kau
akan tetap tinggal di negeri ini?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak mungkin ikut bersamamu.”
“Mengapa tidak mungkin? Kau memilih tetap di sini
bersama Penguasa Atap Langit yang pasti akan
membunuhmu?” Bertanya Wiro.
“Aku tidak mungkin pergi tanpa lebih dulu
mendapatkan kembali jantungku yang telah dicopot dan
disimpan Penguasa Atap Langit di suatu tempat. Tanpa
jantung, di dunia luar aku hanya bisa bertahan hidup
selama tiga hari tiga malam. Kalau Penguasa Atap Langit
bertindak gila dan bengis, dia bisa meremas jantungku dan
saat itu juga aku akan menemui kematian secara lebih
cepat.”
“Dia tidak akan melakukan itu. Ingat, seperti katamu
dia ingin membunuh ragamu dengan tangannya sendiri.
Karena hanya dengan cara itu dia bisa mempertahankan
ilmu kesaktiannya yang masih tersisa.”
“Kau benar,” kata Ken Parantili sambil memegang
lengan Wiro.
Seperti yang pernah diperlihatkan Ken Parantili kepada
Wiro dengan cara membelah dadanya, selir ini memang
tidak memiliki jantung. Dada kirinya kosong!
“Kalau begitu kita cari dulu jantungmu itu.” Kata Wiro
pula.
Ken Parantili menggeleng. “Aku akan mengantarkanmu
mencari pohon beringin yang dulu membawamu ke sini.
Setelah bertemu kau pergi sendirian. Tidak perlu
memikirkan diriku. Banyak pekerjaan sangat penting yang
harus kau lakukan. Berlama-lama di sini aku khawatir akan
terjadi sesuatu pada dirimu.”
Wiro ganti menggeleng. “Aku tidak akan pergi kalau
tidak membawamu serta. Menyelamatkanmu juga
merupakan satu tugas penting.”
“Di Negeri Atap Langit ada delapan belas orang selir
lagi. Satu yang bernama Windu Resmi sudah menemui ajal.
Masih ada tujuh belas orang yang kelak akan menemui
nasib sama. Menemui kematian di tangan Penguasa Atap
Langit. Apakah kau juga akan menolong mereka?”
Murid Sinto Gendeng menyeringai lalu menggaruk
kepala, “Itu bisa diatur. Kita lihat saja nanti. Yang jelas
bagaimana kita bisa menyelamatkan orang lain kalau kita
saja masih tersekap di sini? Sekarang lekas tunjukkan di
mana Penguasa Atap Langit menyekap jantungmu!”
“Tempatnya sebuah goa. Letaknya sebenarnya tak jauh
dari sini. Tapi keberadaannya seperti gaib. Untuk pergi ke
sana perlu menunggang pohon beringin dan memakan
waktu cukup lama. Itulah keanehan Negeri Atap Langit.”
Menerangkan Ken Parantili.
Wiro jadi tidak sabaran. Dirangkulnya pinggang Ken
Parantili lalu perempuan itu dipanggul di bahu kanan. “Kau
tunjukkan jalan! Kita cari pohon itu sekarang juga!”
Sesaat Ken Parantili merasa terharu mendengar apa
yang diucapkan dan hendak dilakukan Pendekar 212.
Tangan kiri digelung di leher Wiro. Tangan kanan menunjuk
ke depan, memberi isyarat ke mana Wiro harus bergerak.
“Turunkan aku. Aku bisa berlari sendiri.” Berkata sang
selir.
Tapi murid Sinto Gendong telah melompat ke arah yang
ditunjuk sang selir. Dia berlari dengan mempergunakan
ilmu lari Kaki Angin pemberian Eyang Sinto Gendeng.
Ketika Ken Parantili dan Wiro sampai ke tempat di
mana seharusnya berada pohon beringin sakti, mereka
terkejut karena pohon itu tidak ada lagi di tempatnya
semula. Di tanah terlihat satu lobang besar.
“Celaka! Pohon beringin lenyap dibongkar orang!”
Teriak Ken Parantili. “Kita tidak mungkin keluar dari Negeri
Atap Langit saat ini juga. Berarti kita harus menunggu
selama tujuh hari tujuh malam baru bisa menemukan
pohon beringin itu. Aku khawatir selama itu Penguasa Atap
Langit, jika dia masih hidup, akan berusaha memulihkan
diri lalu melakukan balas dendam yang dahsyat!”
Mendadak di langit ada suara berkesiuran.
Wiro mendongak ke atas. “Ken Parantili. Agaknya kita
tidak perlu menunggu sampai tujuh hari tujuh malam...”
***
SEMBILAN
KETIKA Ken Parantili ikut mendongak menatap ke atas
langit, darahnya tersirap. Dia melihat satu pohon
beringin besar di udara dan bergerak melayang turun
ke arah dirinya dan Wiro berada. Daun-daun dan akar di
sebelah bawah bergetar mengeluarkan suara berdesir.
Akar-akar gantung bergelayutan. Itulah pohon beringin yang
tengah mereka cari!
Ken Parantili tidak merasa heran melihat pohon
beringin bisa melayang di udara bergerak turun ke bawah.
Keanehan seperti ini biasa-biasa saja di Negeri Atap Langit.
Sebelumnya dia pernah membawa pohon itu keluar dari
Negeri Atap Langit menuju kawasan Plaosan untuk mencari
Wiro. Namun yang membuatnya terkesiap besar adalah
ketika melihat ada dua tangan menggotong pohon itu. Di
bawah batang pohon sebelah tengah ada satu sosok
merah menopang batang pohon. Si penopang ternyata
bukan lain Penguasa Atap Langit.
“Awas! Dia hendak menimbun kita dengan pohon
beringin itu! Kurang ajar! Baru saja diberi ampun sudah
berbuat culas!” Teriak Wiro marah. Serta-merta dia siapkan
Pukulan Sinar Matahari.
Di atas sana, pohon beringin besar tidak dilempar ke
bawah seperti yang diduga Wiro, tapi terus melayang ke
bawah secara perlahan-lahan lalu tanpa suara, tanpa
getaran pohon diturunkan ke tanah, hanya beberapa
langkah di hadapan Wiro dan Ken Parantili.
Sebelum pohon menyentuh tanah, Penguasa Atap
Langit menyelinap ke belakang pohon lalu, dess! Wiro
melompat ke udara. Berusaha mengejar. Ken Parantili
mengikuti. Ketika mereka sampai di balik batang pohon,
Penguasa Atap Langit tidak kelihatan lagi. Yang tampak
adalah satu lobang dalam sepemasukan tubuh manusia.
“Sial! Lagi-lagi Terowongan Arwah!” RutukWiro. “Jika
Penguasa Atap langit muncul lagi kita harus bisa mencegah
dia kabur dengan cara ini. Kau punya ilmu penangkalnya?”
Bertanya Wiro.
Ken Parantili menggeleng, “Mungkin kau bisa
mempergunakan ilmu membelah tanah seperti kau
lakukan ketika memendam mayat selir Windu Resmi. Tapi
tadi jelas Penguasa Atap Langit tidak punya niat jahat
hendak mencelakai kita dengan menjatuhkan pohon besar
itu.”
“Lalu mengapa dia kabur?”
“Mungkin dia merasa khawatir kita masih punya
dugaan kalau dia makhluk jahat. Padahal mungkin sudah
berubah. Buktinya tadi dia sengaja membawa pohon
beringin yang kita cari ke sini.”
“Kau seperti membela makhluk yang hendak
membunuhmu itu!”
“Sudah, tidak usah diperpanjang. Kalau kau memang
mau mengajakku pergi dari Negeri Atap Langit, sekarang
kita harus mencari goa tempat di mana jantungku
disimpan.”
“Kalau Penguasa Atap Langit punya niat baik
terhadapmu, seharusnya dia juga membawa jantungmu.
Bukan cuma pohon beringin.” Jawab Wiro masih kesal.
“Mungkin dia punya kendala,” jawab Ken Parantili.
“Kendala apa?” Tanya Wiro.
“Mulut goa tempat penyekapan jantung bisa saja
dianggap sebagai pintu pantangan yang bisa mencelakai
dirinya. Berarti selama ini ada seseorang yang mewakili
makhluk bejat itu menjaga goa.”
“Siapa orang atau makhluknya?” Tanya Wiro pula.
Ken Parantili tidak menjawab karena memang tidak
tahu.
“Ken Parantili, mungkin saja Penguasa Atap Langit
sudah tahu kalau kau akan mengambil jantungmu di goa
penyekapan. Dia lantas menunggumu di sana. Begitu kau
muncul dia akan membunuhmu dengan tangannya sendiri!
Jika kau mati bukankah ada dugaan bahwa semua ilmu
kesaktiannya akan kembali langgeng?”
Sejenak Ken Parantili terdiam mendengar ucapan Wiro.
Kemudian dia berkata. “Kalau kau tidak menolong,
sebenarnya aku sudah mati. Sekarang mengapa aku harus
takut pada kematian yang tertunda?”
Wiro diam saja. Namun dalam hati dia membatin.
“Kalau kau tidak takut menemui kematian, mengapa
bersusah payah pergi ke Plaosan mencariku?”
Ken Parantili melompat ke atas batang pohon beringin.
Sebelum menyusul naik, Wiro bertanya. “Goa tempat
penyekapan jantung para selir itu apakah letaknya di
dalam Negeri Atap Langit?”
“Setahuku berada di sebelah timur, di luar Negeri Atap
Langit” Jawab Ken Parantili.
Akar dan dedaunan pohon beringin tergetar keras.
Perlahan-lahan pohon itu bergerak naik ke atas.
Ken Parantili berteriak. “Wiro! Tunggu apalagi! Lekas
naik ke sini!”
Wiro segera melompat naik. Baru saja menjajakkan
kaki di batang pohon, tiba-tiba pohon beringin perlahan-
lahan mulai bergerak naik ke udara. Wiro dan Ken Parantili
berpegang erat ke cabang-cabang pohon.
“Ada sesuatu di pohon!” Tiba-tiba Ken Parantili berseru
di dalam deru angin. Dia membungkuk mengambil sebuah
benda memancarkan cahaya kuning yang tersangkut di
antara dedaunan lebat pohon beringin. Ketika berhasil
disentuh dan diambil, darahnya tersirap. Ternyata benda
itu adalah mahkota emas yang biasa dipakainya sehari-
hari. Seperti diceritakan sebelumnya sewaktu berada di
Puri Kesatu dan siap hendak meniduri sang selir, Penguasa
Atap Langit melemparkan mahkota emas berbentuk atap
yang ada di kepala selir itu ke langit-langit kamar.
“Pasti Penguasa Atap Langit sengaja meletakkan
mahkota emas ini di sela-sela ranting dan daun pohon
beringin. Apa maksudnya?” Ken Parantili berkata sambil
memegang dan memperhatikan mahkota emas.
“Mungkin bermaksud baik tapi bisa juga ada niat
jahat.” Jawab Wiro. Lalu diam-diam dia terapkan Ilmu
Menembus Pandang dan menatap tak berkesip ke arah
mahkota emas yang dipegang sang selir.
Tiba-tiba Wiro berteriak. “Ken Parantili! Cepat lempar
mahkota emas itu! Aku melihat sesuatu!”
Selagi Ken Parantili tertegun dan hanya berdiam diri
terkejut mendengar ucapan Wiro, murid Sinto Gendeng
cepat merampas mahkota emas dari tangan perempuan
itu lalu dilempar ke udara. Tiga tombak di udara mahkota
emas meledak berkeping-keping. Dari balik ledakan
menyembul sosok merah Penguasa Atap Langit. Tanpa
mampu mengimbangi diri, setelah berjungkir balik sang
penguasa jatuh terkapar di tanah.
Wiro siap melompat turun dari batang pohon. Namun
saat itu pohon beringin terasa bergetar. Daun-daun pohon
keluarkan suara bergemerisik, akar gantung mencuat ke
atas. Akar di sebelah bawah bergerak-gerak. Cepat sekali
pohon itu melesat tinggi ke udara.
Di bawah sana Penguasa Atap Langit tampak duduk di
tanah sambil dua tangan menunjuk-nunjuk ke arah Wiro
dan Ken Parantili. Lalu kepala dirundukkan, disentuh ke
tanah berulang kali. Mulut mengucapkan kata-kata yang
tidak jelas.
“Apa yang terjadi dengan makhluk itu? Maksud apa
sampai dia menyelinap di mahkota emas kalau bukan
maksud jahat!”
Ken Parantili sendiri saat itu tidak mampu keluarkan
ucapan. Wajahnya yang tadi mulai berdarah kini kembali
pucat dan tengkuknya terasa dingin.
“Ken Parantili...”
Sang selir memberi tanda agar Wiro tidak meneruskan
ucapan. Tubuh dibungkukkan ke arah kelebatan daun-
daun pohon beringin di sisi kanan sebelah depan. Di situ
terselip sebuah benda hijau. Getaran pohon, tiupan angin
yang kencang, tidak mudah untuk dapat mengambil benda
itu. Wiro bertindak lebih dulu. Dua jari tangan kanan
dipentang lurus. Lalu dia kerahkan tenaga dalam.
Wuuttt!
Lipatan benda hijau melesat dan masuk dalam jepitan
dua tangan Wiro. Wiro memperhatikan.
“Daun keladi dilipat empat!” Wiro memberi tahu.
“Di Puri Agung kediaman Penguasa Atap Langit banyak
tumbuh pohon keladi besar. Pasti dia juga yang
meletakkan. Wiro, aku khawatir terjadi seperti tadi. Coba
kau periksa dulu lipatan daun. Jangan-jangan Penguasa
Atap Langit menyelinap lagi di dalam lipatan.”
“Daun ini tidak ada isi apa-apa. Tidak ketumpangan
makhluk lain.” Menerangkan Wiro.
“Kalau begitu... Wiro, kau bisa membuka lipatan daun?”
“Sudah kubilang lipatan daun ini tidak ada isi apa-apa.
Kau tak usah khawatir. Biar kubuang saja.”
“Pasti ada sesuatu. Kalau tidak mengapa ada yang
meletakkan di pohon ini?” Ken Parantili bersikeras.
Sambil tangan kanan berpegang erat ke cabang pohon,
dengan tangan kirinya Wiro mengeprat lipatan daun keladi.
Begitu lipatan terbuka ternyata pada lembaran daun itu
tertera sederet tulisan.
“Agaknya kau menerima surat cinta dari Penguasa Atap
Langit. Aku tak mengerti bahasa tulisan ini. Kau baca
sendiri!”
Wiro ulurkan lembaran daun keladi. Ken Parantili cepat
mengambil lalu memperhatikan. Di atas daun keladi itu
memang ada serangkaian tulisan yang bahasanya hanya
bisa dimengerti oleh penghuni Negeri Atap Langit.
Begitu membaca apa yang tertera di atas lembaran
daun, berubahlah paras Ken Parantili. Wajah mendadak
sontak pucat, tubuh gemetar. Sepasang mata menatap ke
arah Wiro sementara dada tampak bergerak turun naik.
“Tidaakkk!” Satu teriakan keras menggelegar keluar
dari mulut Ken Parantili. Pohon beringin bergoncang tiga
kali.
“Apa bunyi tulisan di daun itu?” Bertanya Wiro tidak
sabaran.
Sepasang mata Ken Parantili membesar seolah hendak
melompat keluar dari rongganya. Kepala digeleng. Mulut
berulang kali mengucapkan kata tidak.
“Wiro...” Suara Ken Parantili perlahan dan lirih.
Wiro berusaha mendekat. Memegang bahu selir itu lalu
berkata. “Kau mengalami guncangan hebat! Apa yang
terjadi? Apa yang tertulis di atas daun keladi itu?”
“Aku, aku tidak bisa mengatakan. Aku lebih baik
memilih mati saat ini juga!” Sepasang mata menatap ke
bawah. Saat itu pohon beringin yang membawa dirinya dan
Wiro berada dua ratus tombak di atas permukaan tanah.
Perlahan-lahan Ken Parantili lepaskan pegangannya
pada daun keladi. Begitu disambar angin, daun ini
melayang ke udara.
Wiro tahu apa yang hendak dilakukan Ken Parantili.
“Jangan! Ken Parantili! Sadar!”
Ken Parantili pejamkan kedua matanya. Didahului
teriakan keras dan panjang, selir itu hamburkan diri dari
atas batang pohon beringin. Wiro berusaha menggapai
pinggang perempuan itu tapi terlambat! Dia hanya mampu
menarik robek salah satu bagian pakaian putih. Sosok Ken
Parantili jatuh ke bawah, melayang berputar-putar, siap
untuk menghunjam ke tanah!
Wiro kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki sambil
membuat gerakan memberatkan diri agar pohon beringin
melayang turun ke bawah. Namun pohon malah berputar-
putar di udara. “Celaka! Apa yang harus aku lakukan?
Perempuan itu! Apa yang membuatnya tiba-tiba menjadi
nekad melakukan bunuh diri!”
Di saat luar biasa genting itu tiba-tiba terdengar suara
mendengung halus. Lalu ada delapan benda kecil
bercahaya. Walau sang surya telah naik dan udara berubah
terang, namun delapan cahaya kecil tampak berpijar
benderang. Di kejauhan terdengar suara alunan gamelan
ditingkah tiupan seruling, tabuhan gendang dan gesekan
rebab!
Delapan cahaya melesat ke arah sosok Ken Parantili
yang tengah melayang jatuh. Pada ketinggian dua ratus
tombak di atas tanah, delapan benda terang tiba-tiba
berubah membentuk bayang-bayang menyerupai pocong.
Anehnya sosok mereka tidak dibuntal kain kafan putih, tapi
terbungkus kain coklat di sebelah atas, kain hijau dari
pinggang ke bawah dan di pinggang melingkar ikat
pinggang kain lebar berwarna kuning. Rambut yang
panjang tergerai melambai-lambai ditiup angin. Di atas
pohon beringin, delapan pocong yang wajahnya tidak
terlihat jelas membuat gerakan meliuk-liuk, tangan dan
kaki melambai kian kemari. Astaga! Mereka ternyata
menari di bentangan udara! Mengikuti alunan gamelan.
Sebenarnya ini adalah satu pemandangan yang indah.
Namun dalam terkesiapnya, Pendekar 212 justru merasa
khawatir dan menatap dengan mata tak berkesip.
Jantungnya berdegup keras. Lapat-lapat Wiro mendengar
suara perempuan bernyanyi, bersahut-sahutan bait demi
bait.
“Tidak dipanggil kami datang sendiri
Sebelum ajal berpantang mati
Pikiran manusia memang pendek
Tapi mengapa nyawa mau dipantek
Menolong orang adalah perbuatan terpuji
Tapi menolong diri kami siapa perduli
Tidak dipanggil datang sendiri
Agar tidak ada yang tersia-sia di atas bumi”
“Delapan Pocong Menari. Apakah mereka ini yang
malam tadi menyelamatkan diriku.” Ucap Wiro dalam hati.
Pohon beringin di atas mana dia berada perlahan-lahan
melayang turun. Di bawah sana Wiro melihat tujuh dari
delapan pocong perempuan melesat ke arah tubuh Ken
Parantili yang tengah jatuh dan saat itu berada dalam
keadaan pingsan. Sementara satu pocong lagi terbang ke
jurusan daun keladi yang tadi dilepas oleh selir itu dan
melayang di udara. Di kejauhan tampak sebuah gunung
yang puncaknya berselimut awan. Di balik awan kelihatan
sebuah kawah besar mengepul asap putih.
Wiro meraba pinggang pakaian. Delapan bunga
matahari kecil ternyata tidak ada lagi di balik pakaiannya!
***
SEPULUH
SUARA alunan gamelan terdengar lebih keras. Tujuh
perempuan berpakaian coklat-hijau berselempang
ikat pinggang lebar berwarna kuning dalam gerakan
seperti menari tiba-tiba berjungkir balik lalu laksana kilat
melesat mendekati Ken Parantili. Hanya terpisah sejarak
lima tombak mereka lepas ikat pinggang lebar lalu, sett...
sett!
Tujuh ikat pinggang lebar bergulung melibat tubuh Ken
Parantili. Untuk beberapa lamanya selir yang pingsan itu
seperti berada dalam bedung ayunan. Tujuh ikat pinggang
lebar terulur panjang. Tubuh Ken Parantili meluncur ke
bawah, ke arah puncak gunung. Tinggal dua puluhan
tombak dari tanah, tujuh gadis keluarkan suara nyanyian.
Temannya yang seorang yang telah berhasil mendapatkan
daun keladi ikut bergabung. Daun keladi disusupkan ke
balik pakaian di bagian punggung Ken Parantili.
“Tidak dipanggil datang sendiri
Berarti kami tidak boleh menginjak bumi
Tegarkan diri kuatkan hati
Seorang sahabat akan datang memberi budi”
Lalu, delll... delll!
Tujuh ikat pinggang kuning disentak lepas. Tubuh Ken
Parantili melayang jatuh ke arah pedataran kecil di dekat
puncak gunung.
Melihat apa yang terjadi Wiro tersentak kaget dan
berteriak. “Delapan pocong! Tadi kalian menolongnya!
Sekarang mengapa dilepas jatuh! Apa itu bukan perbuatan
sia-sia?!”
Delapan pocong tidak menyahuti. Sosok mereka
melesat ke arah pohon beringin di mana Wiro berada.
Setengah jalan delapan pocong berubah menjadi benda
melayang yang memancar sinar seperti kunang-kunang di
siang hari. Lalu, bleep... bleepp! Delapan cahaya lenyap.
Wiro menggaruk kepala. Meraba pinggang. Ternyata
delapan bunga matahari kecil sudah ada lagi di balik
pakaiannya! Wiro menepuk pinggul sendiri.
“Delapan Pocong! Mengapa...” Suara bentakan Wiro
terputus oleh suara beberapa orang yang menjawab secara
bersamaan.
“Kami tahu apa yang kami lakukan! Semua
perlindungan datang dari Gusti Allahmu! Sekarang turun ke
sana! Susul temanmu! Tolong dia!”
“Gusti Allah! Kalian tahu apa tentang Gusti Allahku!”
“Oalah sudah! Melompat sana!”
“Hai! Kalian mau membunuhku?!” Wiro berteriak kaget
ketika tiba-tiba ada banyak tangan terasa mendorong
punggungnya, ada juga yang menekan pantatnya!
Seseorang melepas pegangan tangannya pada cabang
pohon. Lalu tubuh sang pendekar didorong ke depan. Tak
ampun lagi Wiro terjungkal dari atas batang pohon beringin
pada ketinggian sekitar seratus tombak dari tanah!
Kembali pada Ken Parantili. Selagi tubuhnya terus
melayang jatuh dan hanya tinggal belasan tombak saja lagi
akan hancur remuk menghantam tanah, entah bagaimana
tiba-tiba perempuan muda ini sadar dari pingsannya. Kalau
sebelumnya dia sengaja menghambur untuk bunuh diri
tidak takut mati, namun melihat kenyataan saat itu apa
yang terjadi atas dirinya tak urung dia menjerit keras.
Menggapai kian kemari namun hanya menyentuh udara
kosong. Tak ada sesuatu yang bisa dipakai bersigayut
untuk menyelamatkan diri. Tidak ada seseorang yang
diharapkan bisa menolong! Sebelum jatuh pingsan lagi
untuk kedua kali tiba-tiba di bawah sana melesat satu
benda berwarna merah muda. Di lain kejap Ken Parantili
merasa ada orang memeluk tubuhnya yang bergeletar dan
kucurkan keringat dingin.
“Sahabat dari Negeri Atap Langit! Kau rupanya!” Ada
suara orang. “Tenang, tenang saja. Aku akan membawamu
turun ke puncak gunung dengan selamat.”
Yang terdengar suara lelaki tapi halus dan lembut
menyerupai suara perempuan! Ken Parantili berusaha
memutar kepala untuk melihat siapa adanya orang yang
menolong sementara dia merasa tubuhnya perlahan-lahan
digendong turun ke satu pedataran kecil. Namun dia tidak
bisa melihat wajah orang. Dia hanya mencium bau wangi
tubuh dan pakaian orang yang merangkulnya. Ketika dua
kakinya menginjak tanah dengan cepat Ken Parantili
lepaskan diri dari pelukan orang. Memandang ke depan dia
terkejut tapi juga gembira.
“Kau!”
Gadis cantik berpakaian merah muda di hadapannya
tersenyum. “Kau masih ingat diriku? Kita berpisah baru
kemarin senja. Namaku Jaka Pesolek...”
“Ya... ya, aku ingat namamu. Kau hebat! Terima kasih
kau telah menolongku! Mana para sahabat yang lain...”
“Mereka ada di sekitar sini. Sebentar lagi pasti
berdatangan. Aku malah mau tanya. Di mana beradanya
Ksatria Panggilan alias sahabat Pendekar 212 Wiro
Sableng! Dia kemarin menyusulmu naik belahan pohon
beringin.”
“Aku di sini! Segera mati kalau tidak ada yang
menolong!” Tiba-tiba satu teriakan terdengar di udara. Satu
sosok berpakaian merah melayang jatuh luar biasa cepat.
“Wiro! Kau! Apa yang terjadi?!” Jaka Pesolek berteriak
terkejut. Tidak menunggu lebih lama dia segera melompat
ke udara guna menolong Pendekar 212. Jaka Pesolek
memang tidak memiliki ilmu kesaktian. Dia hanya punya
ilmu bergerak cepat terutama melesat ke udara dan
menangkap petir.
Sesaat lagi Jaka Pesolek akan menggapai tubuh Wiro
yang jatuh tiba-tiba di udara melesat delapan larik kain
panjang berwarna kuning. Dengan cepat delapan kain
kuning membuntal tubuh Wiro. Untuk beberapa lama tubuh
sang pendekar terayun-ayun di udara sambil bergerak
turun. Jaka Pesolek yang tadi berniat hendak menolong kini
ikut bergantungan pada salah satu kain kuning. Pada
ketinggian dua tombak tidak sabar Wiro segera meloncat
turun. Begitu dua kaki menginjak tanah, delapan kain
panjang kuning yang tadi menyelamatkan dirinya lenyap
dari pemandangan. Jaka Pesolek yang bergantung pada
sehelai kain kuning cepat pula melompat
“Delapan Pocong Menari.” Ucap Wiro. “Aku berterima
kasih kalian telah menolongku.”
“Hai! Kau bicara apa? Mana ada pocong di sini! Yang
menolongmu adalah delapan kain kuning aneh yang
barusan raib! Oala, balik dari negeri aneh dirimu juga
berubah aneh! Hemm... Bajumu baru pula!” Berkata Jaka
Pesolek.
Wiro delikkan mata. “Kau tahu apa?!”
Jaka Pesolek mencibir. “Yang aku mau tahu, apa kau
sudah tidur dengan selir itu. Bagaimana rasanya? Enak?
Apa aku sekarang bisa dapat bagian? Hik... hik... hik!”
Wiro pelintir telinga kiri Jaka Pesolek hingga gadis yang
jantan bisa betina bisa ini mengaduh kesakitan. Wiro cepat
mendatangi Ken Parantili.
“Kau baik-baik saja...?”
“Seharusnya aku tidak perlu ditolong. Biar mati saja.
Siapa yang tadi menolongku?”
“Delapan bunga matahari.”
“Berarti delapan pocong itu.” Ken Parantili terdiam
seperti berpikir. Lalu dia bertanya. “Kita berada di mana?”
“Di puncak Gunung Semeru.” Yang menjawab Jaka
Pesolek.
Ken Parantili terdiam lagi. Lalu berkata. “Tidak jadi apa
aku tadi tidak menemui ajal. Tiga hari lagi aku tetap akan
mati.”
“Karena kau tidak memiliki jantung?”
Ken Parantili mengangguk.
“Kalau begitu kita kembali ke Negeri Atap Langit.
Astaga, di mana beradanya pohon beringin itu?” Wiro
memandang berkeliling tapi di pedataran di puncak gunung
itu dia tidak menemukan pohon yang dicari.
“Pohon itu telah raib. Kembali ke Negeri Atap Langit”
Berkata Ken Parantili, menjelaskan dengan suara lirih.
“Kau punya cara lain untuk bisa kembali ke sana?”
“Ada beberapa cara. Tapi aku tidak pernah tahu.”
“Sinuhun Merah Penghisap Arwah menurutmu pada
waktu-waktu tertentu selalu pergi ke sana untuk
melakukan upacara Sesajen Atap Langit.”
“Wiro, mana mungkin kita minta pertolongan pada
makhluk alam arwah itu.”
“Kita harus mencari segala cara untuk bisa
menolongmu.”
Ken Parantili tersenyum lalu letakkan kepala di dada
Wiro, dua tangan memeluk sang pendekar. Jaka Pesolek
terheran-heran melihat hal itu. Apalagi ketika menyaksikan
Wiro mengusap kepala peerempuan itu. Dalam hati dia
berkata. “Oala, agaknya mereka sudah saling bercinta.”
Ketika mengusap punggung Ken Parantili Wiro merasa
ada sebuah benda di balik punggung pakaian sang selir.
Dia hendak bertanya tapi perempuan itu mendahului
bicara.
“Kau sahabatku paling baik. Aku sangat berterima
kasih.” Berkata Ken Parantili. “Aku sudah cukup puas
kalau selama tiga hari sisa hidupku bisa bersamamu. Aku
ingin kau tetap berada di dekatku pada saat aku
menghembuskan nafas terakhir.”
“Jangan berkata begitu. Yang Maha Kuasa tidak akan
membiarkanmu menemui kematian sebelum saatnya. Dia
pasti akan menolongmu.”
“Gusti Allahmu Yang Maha Besar dan Maha Kuasa itu?”
Tanya Ken Parantili.
Wiro tersenyum walau hatinya terenyuh mendengar
kata-kata Ken Parantili. Selagi keduanya masih berpelukan
tiba-tiba muncul Ratu Randang, Kunti Ambiri alias Dewi
Ular yang kini tidak mau lagi memakai gelaran itu, dan
Sakuntaladewi alias Dewi Kaki Tunggal.
Ken Parantili tenang-tenang saja. Sebaliknya agak rikuh
Wiro lepaskan pelukan. Untuk beberapa ketika tempat itu
menjadi sunyi. Tak ada yang bicara. Masing-masing hanya
saling berpandangan.
“Kalian... aku...” Wiro menggaruk kepala.
Ratu Randang senyum-senyum. Sakuntaladewi
menatap ke tanah sementara Kunti Ambiri memandang
Wiro dan Ken Parantili berganti-ganti dengan mata tak
berkesip. Ada rasa perih di lubuk hatinya. Namun
kemudian si cantik berpakaian hijau tipis ini mengulum
senyum.
Suasana sunyi pecah oleh suara batuk-batuk yang
dibuat Ratu Randang. Entah memang batuk sungguhan
atau dibuat-buat!
***
SEBELAS
WIRO, aku bicara mewakili semua sahabat di sini.
Kami gembira kau kembali dengan selamat. Hanya
saja kami tidak mengira sahabat Ken Parantili ikut
bersamamu.”
Ucapan si nenek bagi Ken Parantili merupakan adanya
bayangan rasa tidak senang atau rasa cemburu terhadap
dirinya. Dari apa yang pernah didengarnya, sedikit banyak
dia mengetahui hubungan Ratu Randang, Sakuntaladewi
dan Kunti Ambiri dengan Wiro. Si nenek telah kepincut
jatuh hati. Sakuntaladewi punya kaul akan mengambil sang
pendekar menjadi suami. Lalu Kunti Ambiri punya kisah
lama dan panjang dengan Wiro. Di Bhumi Mataram
perasaan cinta Kunti Ambiri itu berkembang jadi mendalam
akibat berbagai keadaan yang lebih mendekatkannya pada
Wiro.
Merasa tidak enak Ken Parantili berkata. “Sahabat
semua. Sebenarnya kami dalam perjalanan ke satu goa
rahasia. Tempat di mana jantungku disekap oleh Penguasa
Atap Langit...”
“Ken Parantili. Kami semua melihat kau sebagai
manusia hidup, tidak beda dengan diri kami. Bagaimana
mungkin kau mengatakan tidak memiliki jantung?” Kunti
Ambiri tiba-tiba memotong ucapan Ken Parantili.
Ken Parantili diam saja. Dia tahu kalau Kunti Ambiri
bukan manusia. Tapi makhluk dari alam roh karena pernah
menemui ajal dibunuh Wiro.
Jaka Pesolek menyeletuk. “Soal kau punya jantung atau
tidak, walau aneh aku tidak perduli. Kau datang ke sini,
berarti kau selamat, tidak jadi dibunuh Penguasa Atap
Langit. Kalau menurut jalan ceritanya Penguasa Atap
Langit saat ini pasti sudah mati. Semua itu menerangkan
bahwa kalian berdua telah melaksanakan syarat
pertolongan. Yaitu tidur atau melakukan hubungan badan
mulai dari matahari tenggelam sampai fajar menyingsing!
Nah itu yang kita-kita di sini ingin tahu bagaimana jalan
ceritanya!”
Wajah Ken Parantili tampak bersemu merah. Saat itu
pikirannya sedang kacau. Ucapan Jaka Pesolek, gadis yang
dianggapnya aneh itu membuat dia gemas. Pendekar 212
sendiri melongo mendengar ucapan Jaka Pesolek itu.
Walau jengkel, dengan tenang Ken Parantili menjawab.
“Selama berada di Negeri Atap Langit kami tidak pernah
melakukan hubungan badan! Jangan para sahabat di sini
menyangka yang bukan-bukan. Tidur tidak sama dengan
melakukan hubungan badan...”
“Tapi!” Kunti Ambiri memotong namun tidak
melanjutkan ucapan.
Masih dengan wajah merah Ken Parantili berpaling
pada Wiro dan berkata. “Aku mohon, sebaiknya kau saja
yang menerangkan. Jelaskan semuanya pada para sahabat
di sini. Jangan ada yang terlupa, jangan ada yang
disembunyikan.”
Wiro menggaruk kepala. Karena tidak bisa mengelak
dia lalu menuturkan apa yang terjadi sejak meninggalkan
Bhumi Mataram pergi ke Negeri Atap Langit dan berada di
puncak gunung itu. Semua orang terdiam mendengar
cerita Wiro. Sampai Sakuntaladewi kemudian membuka
mulut untuk pertama kali.
“Soal katamu kau tidak memiliki jantung. Bagaimana
kami bisa percaya. Tidak ada manusia bisa hidup tanpa
jantung.”
“Aku bukan tidak memiliki jantung. Tapi jantungku
berada di luar tubuh. Disekap Penguasa Atap Langit di
dalam sebuah goa.”
Dari wajah-wajah yang memandang pada Ken Parantili
jelas mereka tidak bisa mempercayai apa yang dikatakan
selir itu.
“Ken Parantili, kalau kau tidak membuktikan sendiri
sulit para sahabat di sini mempercayai ucapanmu.
Perlihatkan pada mereka dada kirimu.”
Mendengar ucapan Wiro, Jaka Pesolek pentang
matanya lebar-lebar, menatap tak berkesip. Ken Parantili
melangkah mendekati Kunti Ambiri, Ratu Randang dan
Sakuntaladewi. Dia sengaja membelakangi Jaka Pesolek.
Tapi gadis ini dengan cepat melompat ke samping Kunti
Ambiri hingga dia bisa melihat jelas apa yang akan
dilakukan orang.
Dengan tangan kirinya Ken Parantili menyibakkan dada
pakaian putih berenda di bagian dada sebelah kiri. Begitu
dadanya yang bagus terpentang putih, dengan ujung ibu
jari tangan kanan dia menggurat kulit dan daging dadanya.
Sreett! Dada kiri terkuak menganga, isi rongganya
terlihat jelas. Semua orang yang berdiri di hadapan Ken
Parantili tersentak kaget dan tersurut mundur satu
langkah!
“Para sahabat semua. Kalian tahu apa yang dinamakan
jantung. Lihat baik-baik, apa ada jantung di dalam rongga
dadaku sebelah kiri?!”
Tak ada yang menyahut. Semua hanya bisa menatap
dengan mata mendelik dan mulut ternganga.
Ken Parantili usap dadanya dengan telapak tangan
kanan. Dada kiri yang terbelah terkuak, menutup kembali
tanpa bekas tanpa darah!
Walau merasa agak lega namun Wiro tetap saja
menaruh khawatir. Dia mendekati Ken Parantili. Setengah
berbisik Wiro berkata. “Waktu mengusap punggungmu tadi,
aku merasa ada sebuah benda di balik pakaianmu.
Sewaktu Delapan Pocong menolongmu, aku sempat
melihat salah seorang dari mereka memasukkan sesuatu
ke balik punggung bajumu. Kurasa saat ini benda itu masih
ada di belakang punggungmu.”
Ken Parantili terkejut. Cepat-cepat dia mengulur tangan
ke belakang. Dia jadi lebih terkejut lagi sewaktu melihat
benda yang sejak tadi ada di punggungnya ternyata adalah
lembaran daun keladi yang ditemuinya di sela-sela daun
pohon beringin. Yang telah membuat dirinya sangat
tergoncang dan nekad bunuh diri.
“Kau telah membaca apa yang tertulis di daun itu.
Sekarang beritahu padaku apa bunyi tulisan itu. Jika kau
ada kesulitan aku pasti akan menolong.”
“Tidak, kesulitanmu lebih besar dan lebih banyak dari
yang aku hadapi.” Jawab Ken Parantili. Wajah pucat dan
suara agak gagap. “Aku... aku harus pergi sekarang. Harap
dimaafkan. Kau... kau pegang saja daun ini.”
“Kau... kau mau pergi ke mana?” Tanya Wiro.
Ken Parantili hanya menggeleng. Tiba-tiba tubuhnya
berputar. Dua kaki bergeser membuka. Desss! Sosok Ken
Parantili lenyap. Di tanah kelihatan sebuah lobang
sepemasukan tubuh manusia. Lobang itu kemudian lenyap
tanpa bekas.
“Terowongan Arwah! Aku tidak mengira dia memiliki
ilmu kesaktian itu!” Ucap Wiro melongo.
“Dengan terowongan seperti ini Empu Semirang Biru
meloloskan diri sewaktu kabur mencuri Keris Kiai Sepuh
Pelangi di Ruang Segi Tiga Nyawa.” Ratu Randang memberi
tahu Wiro.
“Kau punya dari kakek sakti Kumara Gandamayana.
Ilmu menyusup masuk ke dalam tanah. Apa kau tidak ingin
mengejar selir itu?” Bertanya Kunti Ambiri.
Murid Sinto Gendeng seperti tidak perduli dengan apa
yang dikatakan si nenek dan Kunti Ambiri walau dia
mencium kalau dalam diri Kunti Ambiri masih terasa
adanya kecemburuan. Wiro bentangkan lembaran daun
keladi yang telah lusuh dan memperlihatkan pada Ratu
Randang.
“Nek, kau orang Bhumi Mataram. Pasti bisa membaca
tulisan ini. Tolong bacakan untukku apa isinya.”
Kening si nenek mengerenyit. Sepasang mata juling
perhatikan tulisan yang tertera di daun keladi. Dia mulai
membaca dan mulut berucap.
Ken Parantili,
Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
“Oala!” Jaka Pesolek berseru. “Hebat sekali! Baru tadi
malam ditiduri sahabat kita ini! Sekarang sudah hamil!”
Ratu Randang hentikan bacaan. Wiro menatap geram
pada Jaka Pesolek. “Pasang kupingmu! Pakai otakmu!
Kalau tidak mengerti arti tulisan yang dibaca nenek itu
pergi saja dari sini sebelum kutampar mulutmu!”
Jaka Pesolek melangkah mundur. Takut benar-benar
ditampar Wiro.
“Nek, lanjutkan bacaanmu. Sebaiknya diulang lagi dari
semula biar gadis kacoak ini mengerti!” Kata Wiro pada
Ratu Randang.
Si nenek kembangkan daun keladi yang dipegangnya.
Sebelum kembali membaca dia menatap dulu pada Jaka
Pesolek. “Kalau kau berani lagi memotong bacaanku, aku
yang akan lebih dulu meremas mulutmu sampai mencong!”
“Tidak Nek, aku tidak akan mengganggu bacaanmu.”
Jawab Jaka Pesolek sambil menekap pipi kiri kanan.
Maka Ratu Randang mulai lagi membaca apa yang
tertulis di atas daun keladi. Mulai dari bait pertama.
Ken Parantili,
Selir Pertama Kerajaan Negeri Atap Langit
Dalam masa bertobat ini
aku ingin memberi tahu padamu
Mungkin di dalam ketidakpercayaanmu
Bahwasannya kau tengah dalam keadaan hamil
Usia kandunganmu telah tiga bulan
Bilamana kau melahirkan nanti
Maka bayimu adalah seorang anak laki-laki
Beri dia nama Bintang Langit
Jika Yang Maha Kuasa memberi izin
Aku sangat berharap dapat menemui dirimu
dan anak kita.
Wiro termenung beberapa lamanya. Dalam hati dia
menduga-duga. “Pasti kehamilan itu yang telah
menggoncang diri Ken Parantili. Dia mengandung jabang
bayi hasil hubungannya sebagai selir dengan Penguasa
Atap Langit. Hingga dia berbuat nekad menghambur
hendak bunuh diri”
“Hanya itu saja Nek?” Tanya Wiro. “Tidak tertera siapa
yang membuat tulisan itu?”
Ratu Randang menggeleng. “Walau tidak ada siapa
penulisnya tapi aku yakin kita semua sudah tahu siapa
yang membuat tulisan di atas daun keladi ini.”
“Aku mengerti dan tahu maksudmu Nek. Yang
membuat pasti Penguasa Atap Langit.” Kata Wiro pula.
Lalu dia menyambung ucapan. “Aku hanya merasa aneh.
Kalau memang sudah mengandung tiga bulan, mengapa
Ken Parantili seperti tidak mengetahui hal itu?”
“Apa kau tidak menanyakan hal itu padanya?” Tanya
Kunti Ambiri.
“Soal kehamilan ini baru sekarang aku tahu, setelah
Ratu Randang membacakan apa yang tertulis di daun
keladi.”
“Bisa saja yang membuat tulisan di atas daun bukan
Penguasa Atap Langit. Tapi seseorang yang menjadi
selingkuhan selir itu.” Berkata Jaka Pesolek.
Wiro menarik nafas dalam. “Semua bisa terjadi di
Negeri Atap Langit yang serba aneh ini. Waktu nanti yang
akan mengatakan. Sekarang aku harus menemukan Ni
Gatri secepat-cepatnya. Semula ada dua bahaya
mengancam keselamatan dan kehormatan anak
perempuan ini. Kini kurasa Penguasa Atap Langit tidak lagi
punya niat melanjutkan maksud mengambil Ni Gatri
menjadi selir pengganti Ken Parantili. Berarti satu-satunya
bahaya yang mengancam datang dari anak lelaki sakti
bernama Dirga Purana yang biasa disebut dengan
panggilan Ksatria atau Sang Junjungan oleh para
pengikutnya. Nek, menurut Ken Parantili kau mungkin bisa
memberi tahu di mana gadis itu berada. Karena katanya
kau pernah berada di sana.”
“Apa Ken Parantili menyebut nama tempat itu?” Tanya
Ratu Randang.
“Dia tidak menyebut nama. Tapi tempat itu adalah
sebuah telaga yang di belakangnya, terdapat satu air
terjun. Di balik air terjun ada sebuah goa. Di dalam goa itu
Ni Gatri disekap.”
Ratu Randang tersentak kaget. Lalu rundukkan kepala
sembunyikan senyum.
“Kau masih bisa tersenyum Nek,” kata Sakuntaladewi.
“Aku hanya teringat pada satu kejadian. Di tempat itu
aku menipu Sinuhun Merah dan Sinuhun Muda. Mereka
mengira meniduri diriku. Padahal aku sudah mengganti
tubuhku dengan seekor anjing jejadian! Hik... hik... hik.”
Bercerita Ratu Randang.
“Kau tahu letak goa itu Nek?” Tanya Wiro.
Si nenek mengangguk lalu memandang berkeliling.
“Siapa mau ikut?”
“Kami semua Nek,” jawab Kunti Ambiri. Sakuntaladewi
mengangguk tanda mengiyakan ucapan Ratu Randang.
“Bagaimana denganmu?” Tanya Ratu Randang pada
Jaka Pesolek yang saat itu kembali membayangkan dada
Ken Parantili yang bagus sebelum dibelah dikuak
mengerikan. Ditanya orang, gadis ini jadi terkejut. Dia
menjawab tapi salah bicara.
“Iya, dadanya putih bagus. Walau tidak ada jantung tak
jadi apalah. Tidak kelihatan ini dari luar...”
Ratu Randang langsung saja jewer telinga kiri Jaka
Pesolek hingga gadis yang ahli menangkap petir ini
teraduh-aduh kesakitan. “Ditanya lain dijawab lain!” Si
nenek mengomel.
***
DUA BELAS
SANG surya baru saja muncul jauh di ufuk timur. Udara
masih agak temaram dipagut ujung malam. Satu
bayangan merah berkelebat lalu berdiri di atas
sebuah batu hitam yang bertebaran di pinggir telaga. Dua
tangan diangkat ke atas. Saat itu juga curahan air terjun di
depan telaga mendadak berhenti. Antara air terjun di
sebelah atas dan sebelah bawah muncul ruang terbuka.
Suasana sunyi karena terhentinya deru air terjun
mendadak dirobek oleh suara aneh. Suara riuh ngeongan
kucing.
Orang di atas batu, yang mengenakan blangkon dan
pakaian serba merah serta memiliki delapan benjolan
merah di kening, jadi tercekat. Dalam hati berkata. “Dia
membawa serta peliharaannya Delapan Sukma Merah ke
dalam goa. Jangan-jangan anak perempuan itu sudah...”
Ucapan hati orang di atas batu terputus ketika dari
dalam goa kemudian ada suara membentak.
“Siapa berani kurang ajar mengganggu
ketenteramanku?!”
Suara yang membentak suara anak kecil. Tapi memiliki
gelegar hebat pertanda si bocah memiliki tenaga dalam
hebat.
“Ksatria Junjungan Dirga Purana! Mohon maafmu. Saya
Sinuhun Merah Penghisap Arwah datang menghadap.
Membawa kabar kurang baik!”
Dari dalam goa terdengar suara kutuk serapah.
“Lagi-lagi kau! Ini kedua kali kau berani mengganggu
diriku! Aku hendak bersenang-senang! Kau datang
mengganggu dengan membawa kabar tidak baik! Apa kau
tidak dapat menelan dulu kabar buruk itu di dalam perut
busukmu?! Sinuhun! Jangan kau berani berlaku kurang
ajar padaku!”
“Mohon maafmu Sang Junjungan. Namun ini sangat
penting! Sebenarnya saya sudah menunggu sejak tengah
malam tadi di sekitar telaga. Sekarang malam telah
berganti siang. Saya tidak mungkin menunggu lebih lama.”
Delapan benjolan yang ada di kening Sinuhun Merah
Penghisap Arwah sesaat nampak memancar terang lalu
redup kembali.
Diam seketika. Lalu dari dalam goa terdengar suara.
“Kau tunggu di telaga! Banyak hal aneh terjadi belakangan
ini. Aku akan meminta Rakanda Delapan Sukma Merah
untuk mengawasi keadaan lebih dulu. Jika kau membawa
kabar buruk bukan mustahil ada yang menguntitmu datang
ke tempat ini! Jika sampai orang luar tahu aku berada di
sini bersama kekasihku, amblas nyawamu!”
“Saya menurut perintah!” Jawab Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.
“Aku juga akan memerintah Rakanda Delapan Sukma
Merah untuk memeriksa dirimu. Apa kau Sinuhun Merah
Penghisap Arwah sungguhan atau jejadian yang datang
menyamar untuk mencelakai diriku!”
“Sang Junjungan, kau terlalu berkhawatir. Masakan
tidak percaya padaku? Siapa orang lain yang mampu
menahan deru air terjun selain diriku dan saudara nyawa
kembarku Sinuhun Muda Ghama Karadipa!” Sinuhun
Merah merasa tidak senang hendak diperlakukan seperti
itu.
Dari dalam goa terdengar jawaban.
“Aku percaya padamu. Tapi aku lebih percaya pada
kenyataan. Bukankah kau pernah ditipu nenek bernama
Ratu Randang?! Kau merasa dan melihat meniduri dirinya.
Padahal yang kau tiduri adalah seekor anjing! Ha... ha... ha!
Aku tidak lupa cerita itu!”
Rahang Sinuhun Merah Penghisap Arwah
menggembung. Tampang yang sudah merah kini menyala
seperti saga. Kakinya bergetar. Kraak! Batu yang dipijak
sampai retak akibat amarah yang menggelegak.
Tak selang berapa lama tempat itu dibuncah oleh suara
ngeongan keras. Dari dalam goa melesat keluar delapan
benda merah yang ternyata adalah delapan ekor anak
kucing berbulu merah. Inilah binatang peliharaan Dirga
Purana yang dipanggil dengan sebutan Rakanda Delapan
Sukma Merah. Seolah delapan anak kucing itu adalah
saudara-saudara tuanya! Delapan anak kucing ini bukan
binatang biasa. Selain bulunya, sepasang mata juga
berwarna merah. Daun telinga mencuat ke atas dan lebih
besar dari anak kucing biasa. Di sudut bibir kiri kanan
kelihatan taring lancip. Di kening ada satu benjolan merah.
Dan hebatnya mereka memiliki kesaktian tinggi.
Delapan anak kucing itu melesat ke arah delapan
pohon besar di sekeliling telaga. Di atas pohon mereka
kembali mengeong riuh sambil sepasang mata
memandang liar ke berbagai penjuru.
“Binatang tolol!” Maki Sinuhun Merah Dalam Hati.
“Majikanmu ingin menyembunyikan diri di tempat ini! Kau
malah mengeluarkan suara yang bisa menjadi perhatian
orang!”
Baru saja Sinuhun Merah memaki, delapan anak kucing
melompat dari atas pohon laksana terbang, lalu hinggap di
kepala, bahu dan punggungnya. Binatang-binatang ini
mengendus dan mencium-cium. Kalau saja kucing-kucing
itu adalah kucing biasa, saat itu juga pasti sudah digebuk
hancur kepala mereka oleh Sinuhun Merah.
Setelah memastikan tidak ada kelainan dan bahwa
orang yang mereka periksa adalah benar Sinuhun Merah
Penghisap Arwah, delapan anak kucing mengeong keras
lalu melesat ke udara, menembus celah air terjun yang
menggantung dan masuk kembali ke dalam goa!
“Jahanam!” Rutuk Sinuhun Merah.
Suasana sunyi hanya berlangsung sebentar. Dari dalam
goa menggelegar keluar suara bocah yang disebut Ksatria
Junjungan Dirga Purana.
“Sinuhun Merah! Kau tidak perlu masuk ke dalam goa!
Aku yang akan keluar menemuimu!”
“Saya menunggu.” Jawab Sinuhun Merah Penghisap
Arwah.
Tak lama kemudian dari dalam goa melesat sosok
seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun. Anak
ini mengenakan seperangkat baju dan celana hitam yang
diberi hiasan renda kuning emas pada kerah baju, lengan
baju serta pergelangan kaki. Bagian atas baju tidak
dikancing. Celana agak kedodoran. Rambut tebal awut-
awutan. Wajah tampak merah. Anting-anting emas yang
mencantel di telinga kiri berkilauan terkena sinar matahari
pagi. Dengan gerakan enteng dia melayang turun dan
jejakkan kaki di atas batu yang ada di depan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Berdiri dengan berkacak pinggang
bersikap congkak. Sinuhun Merah Penghisap Arwah cepat
membungkuk dan susun sepuluh jari di atas kepala.
“Katakan, kabar buruk apa yang kau bawa!” Sang
Junjungan Dirga Purana keluarkan ucapan. Waktu bertanya
dia tidak menatap ke arah Sinuhun Merah tapi
memandang berkeliling mengawasi keadaan sekitar telaga.
“Ksatria Junjungan, petang kemarin saya berusaha
menemui Penguasa Atap Langit...”
“Bukan saatnya kau harus menemui makhluk itu!”
Memotong Ksatria Junjungan.
“Benar sekali Sang Junjungan. Tapi saya merasa perlu
menemui untuk memberi tahu kalau ada yang akan
menyusup ke dalam Negeri Atap Langit untuk
mencelakainya.”
“Ckk... ckk... ckk!” Si bocah keluarkan suara berdecak.
“Hebatnya dirimu. Kau lebih senang menjaga keselamatan
Penguasa Atap Langit daripada menjaga diriku! Apa
kepentinganmu! Kau menyembunyikan sesuatu padaku?!”
“Bukan begitu Sang Junjungan. Saya tidak punya
kepentingan pribadi. Juga tidak menyembunyikan sesuatu.
Karena kalau Penguasa Atap Langit celaka, kita juga
celaka. Bukankah kita hanya tinggal menunggu Sesajen
Atap Langit sekali lagi lalu baru melancarkan rencana
menyingkirkannya dari Negeri Atap Langit”
“Hemmm...” Ksatria Junjungan bergumam. “Beritaku
padaku. Siapa yang menyusup hendak mencelakai
Penguasa Atap Langit.”
“Siapa lagi kalau bukan pemuda dari negeri delapan
ratus tahun mendatang itu!”
“Maksudmu pemuda berambut panjang yang dikenal
dengan julukan Ksatria Panggilan itu?”
“Betul Sang Junjungan. Dia dibantu oleh selir pertama
Penguasa Atap Langit bernama Ken Parantili...”
“Hemm...” Dirga Purana kembali bergumam. Mulut
sunggingkan senyum. “Siapa nama selir yang jadi kekasih
selingkuhanmu di Negeri Atap Langit?”
“Namanya Windu Resmi. Tapi saat ini saya rasa dia
sudah menemui ajal. Dibunuh selir pertama, dibantu
Ksatria Panggilan.”
“Kau sudah bersusah payah mendatangkan Ksatria Roh
Jemputan alias Pangeran Matahari untuk menghabisi si
gondrong itu. Ternyata terus-terusan gagal. Semua karena
kesalahan dan ketololanmu sendiri bersama saudara
nyawa kembaranmu Ghama Karadipa! Sekarang kau mau
melakukan apa? Mau minta bantuan apa padaku?!”
Tampang Sinuhun Merah tampak tegang. Dengan
menindih rasa jengkel karena dianggap tolol, dia
menjawab. “Saya datang tidak untuk minta bantuan apa-
apa. Saya datang hanya memberi tahu. Membawa pesan
Penguasa Atap Langit.”
“Pesan apa?” Tanya Dirga Purana dengan mata
mendelik.
“Penguasa Atap Langit minta seseorang mengantarkan
anak perempuan bernama Ni Gatri itu kepadanya karena
akan dijadikan selir pengganti selir pertama Ken Parantili!”
“Aku tidak tuli, telingaku belum pekak! Penguasa Atap
Langit inginkan Ni Gatri untuk jadi selirnya! Ha... ha... ha!
Mengapa tidak dia sendiri yang datang kemari untuk
menjemput?!”
Sinuhun Merah tidak menjawab.
Dirga Purana angkat kepala, menatap ke langit yang
bertambah terang di atas telaga. “Jika Penguasa Atap
Langit inginkan Ni Gatri sebagai selir baru, berarti selir
pertama Ken Parantili saat ini sudah tamat riwayatnya.
Dibunuh sang Penguasa. Bukankah begitu hukum setan
yang dibuat sendiri oleh Penguasa Atap Langit?! Selir tertua
harus dibunuh kalau hendak mengambil selir baru! Tapi
mengapa kemudian si gondrong Ksatria Panggilan keparat
itu muncul di Negeri Atap Langit? Mau menolong Ken
Parantili? Katakan apa yang kau ketahui mengenai nasib
terakhir selir pertama itu bersama Ksatria Panggilan.
Mungkin keduanya saat ini sudah pada mampus! Tapi bisa
juga masih gentayangan!”
Si bocah tiba-tiba ceburkan dirinya ke dalam telaga.
Ketika muncul kembali dan berdiri di atas batu, wajahnya
tampak segar. Kulit lebih bersih. Tapi rambut, tubuh
maupun pakaiannya sama sekali tidak basah!
“Pergi kembali ke Negeri Atap Langit! Katakan pada
Penguasa Atap Langit bahwa aku tidak akan menyerahkan
anak perempuan itu. Apapun yang terjadi!”
“Sang Junjungan, kita masih perlu beberapa ilmu
kesaktian lagi dari Penguasa Atap Langit. Bagaimana kalau
kita bersikap lunak, berlaku cerdik. Kita berikan anak
perempuan itu tapi kita tipu dia. Bukankah Sang Junjungan
tidak bermaksud akan memiliki Ni Gatri untuk selama-
lamanya? Di Bhumi Mataram ini kelak saya bisa
mencarikan gadis pengganti yang lebih cantik dan molek
dari Ni Gatri. Jika perlu yang berusia delapan sampai
sepuluh tahun, agar sebanding dengan Sang Junjungan. Ni
Gatri itu, bukankah dia dua tahun lebih tua dari Sang
Junjungan?”
Si bocah Dirga Purana usap-usap anting emas di telinga
kiri. Merenung sejenak lalu bertanya. “Sinuhun Merah,
tipuan apa yang kau maksudkan yang akan kita lancarkan
pada Penguasa Atap Langit?”
“Kita berikan saja Ni Gatri padanya. Tapi...”
“Tapi apa?” Tanya Dirga Purana.
Sinuhun Merah Penghisap Arwah melangkah mendekati
Dirga Purana. Tubuhnya yang tinggi dibungkukkan, lalu
mulut membisikkan sesuatu ke telinga si bocah. Sepasang
alias mata sang Junjungan mencuat ke atas, bola mata
membesar lalu dia tertawa bergelak.
“Kau benar, Sinuhun. Aku sudah cukup lama menunggu
sampai anak itu mau aku gauli. Kali ini aku akan
mencekoknya sedikit dengan ilmu Delapan Jalur Arwah
Pencuci Otak agar dia mengikuti semua apa mauku! Malah
bisa-bisa nanti dia yang akan ketagihan! Ha... ha... ha!
Kalau aku sudah puas, menjelang siang kau boleh
membawa dan menyerahkan anak itu pada Penguasa Atap
Langit...”
“Bukan saya, tapi saya akan menyuruh Ksatria Roh
Jemputan untuk membawa dan menyerahkan anak
perempuan itu pada Penguasa Atap Langit. Ini karena
katanya dia tidak mau melihat tampang saya lagi!”
“Begitu?” Dirga Purana kembali tertawa. “Aku akan
masuk kembali ke dalam goa. Kau berjaga-jaga. Kecuali
aku memerlukanmu jangan sekali-kali berani
mengganggu!”
“Perintah Sang Junjungan akan saya lakukan. Jangan
khawatir. Pagi ini udara tampak cerah. Segala sesuatunya
pasti akan berjalan lancar. Selamat bersenang-senang
saya ucapkan.” Kata Sinuhun Merah sambil tersenyum dan
membungkuk hormat.
Si bocah sakti Dirga Purana melesat melewati celah air
terjun yang masih menggantung. Begitu sosoknya lenyap di
dalam goa, air terjun kembali bertaut dan mencurah
dengan mengeluarkan suara menderu berkepanjangan.
***
TIGA BELAS
BERSAMAAN dengan mulai naiknya matahari pagi,
empat orang berlari cepat di dalam rimba belantara.
Orang kelima berkelebat melompat dari satu pohon
ke pohon lain. Agaknya dia memiliki ilmu meringankan
tubuh serta gerakan kilat. Empat orang yang berlari di
dalam rimba adalah Wiro, Ratu Randang, Kunti Ambiri dan
Sakuntaladewi. Orang yang berkelebat dari pohon ke
pohon bukan lain gadis berpakaian merah muda Jaka
Pesolek.
Di satu tempat, di bawah sebuah pohon besar Wiro
hentikan lari. Memberi tanda pada teman-temannya.
“Ada apa?” tanya Sakuntaladewi.
“Aku mendengar deru suara air.” Jawab Wiro.
“Berarti kita sudah dekat ke tempat yang dituju. Hati-
hati. Bocah sakti itu pasti...”
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun Jaka Pesolek.
“Aku melihat...”
“Ssssh. Bicara perlahan. Kita sudah dekat dengan
telaga dan air terjun.” Kunti Ambiri mengingatkan.
“Apa yang kau lihat?!” Bertanya Wiro.
“Aku melihat telaga. Lalu air terjun. Lalu ada orang
duduk bersila di atas batu di tepi telaga. Kebetulan dia
menghadap ke arahku. Orang itu Sinuhun Merah
Penghisap Arwah.” Menerangkan Jaka Pesolek.
“Jika Sinuhun keparat itu ada di sekitar air terjun,
berarti bocah mesum itu juga ada di sana. Pasti Sinuhun
Merah tengah berjaga-jaga. Berarti kita bakal menemukan
Ni Gatri. Aku akan membekuk batang leher makhluk itu
lebih dulu. Ikuti aku.”
Ratu Randang pegang lengan Wiro. “Hati-hati dan ingat.
Apa yang kau lihat belum tentu benda atau keadaan
aslinya. Jika Sinuhun berjaga-jaga dia pasti mengeluarkan
ilmu untuk berlindung. Dia punya Ilmu Penyesat. Dia juga
memiliki ilmu yang disebut Tabir Langit Turun ke Bumi.
Pandangan mata kita bisa tertipu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus mendahului menipunya.”
“Apa maksudmu, Nek?”
“Kita semua merubah diri menjadi binatang.”
“Ihhh! Binatang apa, Nek?” Tanya Jaka Pesolek yang
langsung jadi dingin tengkuknya.
“Kau mau jadi apa? Monyet, kadal, anjing...” Balik
bertanya Ratu Randang.
“Aku tidak mau jadi apa-apa Nek.” Jawab Jaka Pesolek
pula. “Takut kalau sudah jadi monyet tidak bisa balik!”
“Nek, kita tetap saja dalam keadaan ujud apa adanya.
Yang penting kalian semua sudah aku beri tahu ilmu
penangkal kalau Sinuhun Merah menyerang dengan ilmu
kesaktian yang memancarkan cahaya merah. Bocah
bernama Dirga Purana itu pasti punya ilmu yang sama.”
“Aku setuju!” Celetuk Jaka Pesolek. “Dengar kalian
semua. Aku akan menancing tua bangka itu agar dia
lengah.”
“Apa yang hendak kau lakukan? Jangan mencari mati
percuma!” Mengingatkan Sakuntaladewi.
“Kalian lihat saja. Kalau dia sudah terpancing kalian
boleh membantainya beramai-ramai...”
“Tidak semudah itu!” Kata Ratu Randang pula.
“Mudah atau tidak itu urusan kita bersama. Aku tak
punya ilmu kesaktian. Aku hanya bisa memancing.
Lebihnya kalian yang punya pekerjaan. Gara-gara Empu
Semirang Biru, aku tidak bisa kencing. Sekarang sepertinya
aku merasa seperti mau kencing.”
“Kau mau mengencingi Sinuhun itu?!” Tanya Wiro.
“Dia yang akan mengencingiku! Hik... hik!” Jaka Pesolek
menutup mulut dengan tangan kiri menahan tawa lalu
berkelebat pergi.
“Gadis konyol itu bisa merusak semua rencana kita.
Sebaiknya lekas diikuti!” Kunti Ambiri mendorong
punggung Wiro.
Di depan sana Jaka Pesolek tanpa suara membuat
gerakan kilat. Cepat sekali tahu-tahu dia sudah berada di
dalam telaga pada bagian yang dangkal, hanya beberapa
langkah di depan batu besar di mana Sinuhun Merah
duduk bersila dengan mata terpejam.
“Gadis gila! Apa yang dilakukannya!” Wiro yang
sembunyi di balik semak belukar lebat bersama tiga orang
lainnya tersentak kaget ketika melihat di depan sana Jaka
Pesolek menyibak bagian bawah pakaian merahnya
sampai setinggi pinggul, melorotkan pakaian dalam lalu
duduk menyonggeng.
Mendengar suara kecipuk air, Sinuhun Merah segera
buka kedua mata yang terpejam. Begitu memandang ke
depan langsung matanya membentur dua benda putih
bulat, terbelah di sebelah bawah. Mula-mula dia tidak
sadar benda apa itu adanya karena bagian tubuh atas Jaka
Pesolek tertutup oleh batu besar. Ketika dia
memperhatikan lagi dengan tak berkesip, kaget sang
Sinuhun bukan kepalang. Darah tersirap! Yang dilihatnya di
depan mata bukan lain adalah bokong manusia. Dari putih
dan mulusnya jelas itu adalah aurat perempuan!
Di dalam telaga Jaka Pesolek sengaja goyang-
goyangkan auratnya sebelah bawah sambil mendesah.
“Ssshhh... sshhhhh.” Aurat diogel-ogel. Lalu dalam hati
gadis ini mengomel. “Sial! Tadi sudah terasa tersesak
kencing. Sekarang kenapa tidak mau keluar?!”
Sinuhun Merah melompat bangun dari duduknya.
Langsung membentak. “Makhluk kurang ajar! Kuremas
barangmu berani kencing di telaga milikku. Telaga
pemandian Ksatria Junjungan!”
Jaka Pesolek berpura-pura kaget. Dia memekik lalu
melompat ke atas batu. Untuk sekejapan kedua tangannya
masih menyingsingkan bagian bawah pakaian ke atas,
membuat Sinuhun Merah yang menyaksikan jadi ternganga
tak berkedip!
“Oala! Aku tak mengira ada orang di sini! Tapi jangan
marah! Aku belum sempat kencing! Hik... hik... hik!” Sambil
tertawa-tawa Jaka Pesolek cepat tarik ke atas pakaian
dalamnya lalu pakaian luar diturunkan ke bawah.
“Hai! Apa aku mengenalmu?” Sinuhun Merah bertanya
ketika melihat ternyata orang yang dihardik adalah gadis
berwajah cantik bertubuh tinggi semampai.
“Aku orang kampung. Mana kau mengenalku. Tapi
sebaliknya aku mengenalmu. Bukankah kau orang gagah
terkenal yang dipanggil dengan sebutan Sinuhun Merah
Penghisap Arwah. Aih... namanya seram angker
mengerikan. Ternyata orangnya walau sudah bangkotan
tapi masih gagah! Hik... hik... hik! Hai, jangan katakan aku
tidak tertarik...”
“Siapa namamu? Kau datang dari mana? Mengapa bisa
muncul di tempat ini?” Bertanya Sinuhun Merah. Suaranya
yang tadi tinggi kini melembut.
“Sinuhun, mohon maafmu. Aku tak sengaja terpesat.
Aku seorang sinden. Namaku Ni Goyang Apik...”
“Nama aneh...”
“Itu karena aku menyanyi sambil bergoyang. Baru
menyanyi di atas panggung, belum di tempat ketiduran...”
“Mulutmu agak jahil. Tapi aku suka!” Kata Sinuhun
Merah pula sambil mesem-mesem.
“Aku juga suka! Jarang aku menemui orang gagah
sepertimu.” Balas Jaka Pesolek sambil melepas senyum
dan goyangkan pinggul.
“Tadi kau lagi mau apa? Mau kencing tapi belum
kesampaian...”
“Maafkan aku Sinuhun.”
“Kalau kau mau meneruskan kencing, silahkan saja.
Biar aku menjagai.”
“Oooh baiknya Sinuhun...”
Sinuhun Merah pentang mata lebar-lebar ketika
dilihatnya gadis cantik di atas batu menggerakkan tangan
hendak menyingsingkan pakaian. Namun tiba-tiba ada
empat bayangan berkelebat. Disertai suara lantang
mengejek mempermainkan.
“Kami juga mau kencing! Tolong Sinuhun menjagai!”
Lalu di tempat itu menggelegar tawa bergelak. Ada
suara tawa lelaki, yang lebih banyak suara tawa
perempuan. Dan di atas batu, sambil berkacak pinggang
Jaka Pesolek ikutan tertawa terpingkal-pingkal. Lalu dua
tangan diturunkan. Dipakai mengibas-ngibas bagian bawah
pakaian merah muda. Sesekali lidah dicibirkan ke arah
Sinuhun Merah.
***
EMPAT BELAS
SINUHUN Merah sadar kalau dirinya telah tertipu,
dibuat lengah hingga tidak mengetahui kemunculan
empat orang yang bukan lain adalah Pendekar 212,
Ratu Randang, Kunti Ambiri dan Sakuntaladewi alias Dewi
Kaki Tunggal.
Dengan cepat Sinuhun Merah kuasai diri dari
keterkejutan. Diam-diam dia kerahkan tenaga dalam ke
kening. Delapan benjolan di kepalanya pancarkan cahaya
terang. Wiro dan kawan-kawan berlaku waspada. Tapi
Sinuhun Merah tidak lancarkan serangan. Malah tangan
kiri berkacak pinggang dan tangan kanan menunjuk ke
arah Ratu Randang. Mulut membentak. “Nenek bejat!
Dicari-cari menghilang! Sekarang datang sendiri mengantar
nyawa!”
“Huss! Jangan bicara seperti itu pada bekas kekasih.
Aku datang bukan mengantar nyawa. Tapi mengantar dada
dan paha! Hik... hik... hik!”
“Perempuan iblis!” Teriak Sinuhun Merah marah luar
biasa. Dua lutut melipat, tubuh merunduk, delapan
benjolan merah memancar terang.
“Tunggu!” Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak.
“Sinuhun Merah. Ilmumu boleh selangit tembus! Tapi
menghadapi kami berlima kau bisa konyol sebelum
hitungan ke sepuluh! Kami mungkin bisa mengampuni roh
busukmu kalau kau mau memberi tahu di mana beradanya
anak perempuan bernama Ni Gatri!”
“Ha... ha! Jadi anak itu yang kau cari. Sayang terlambat!
Ksatria Roh Jemputan alias Pangeran Matahari telah
membawanya ke Negeri Atap Langit untuk diserahkan pada
sang Penguasa di sana dan dijadikan selir pengganti selir
pertama Ken Parantili! Apa kalian semua tidak diundang
menghadiri pesta peresmian anak itu jadi selir?!”
Kunti Ambiri, Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Jaka
Pesolek sama terkesiap mendengar ucapan Sinuhun
Merah Penghisap Arwah. Tapi Wiro yang sudah tahu jalan
cerita cuma menyeringai.
“Percuma kau jadi kacung pengawal Sang Junjungan.
Ternyata kau tidak tahu banyak apa yang terjadi di Negeri
Atap Langit! Apa majikanmu bocah mesum itu pernah
memakimu sebagai makhluk tolol!”
Tampang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti bara
menyala.
“Kalau kau tidak memberi tahu di mana anak
perempuan itu berada, kami akan membantaimu bersama-
sama!” Wiro mengancam.
“Ancaman hebat! Tapi pengecut!” Teriak Sinuhun
Merah. “Jauh-jauh datang dari negeri delapan ratus tahun
mendatang keberaniannya ternyata hanya mengandalkan
bantuan orang lain! Main keroyok!”
“Jika bertarung satu lawan satu apakah kau berani
menyerangnya dengan Ilmu Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit yang kau keluarkan dari delapan
benjolan di keningmu. Atau kau mampu menghantamnya
dengan Pukulan Delapan Sukma Merah?” Yang bicara
adalah Kunti Ambiri. Dia sengaja mengatur jebakan setelah
Wiro menceritakan penangkal semua pukulan lawan yang
memancarkan cahaya merah.
“Aku punya puluhan ilmu kesaktian! Mengapa harus
mengandalkan Delapan Sukma Merah?!”
“Ah! Rupanya Penguasa Atap Langit tidak lagi
memberikan dua ilmu itu padamu. Apa itu gara-gara kau
ketahuan berselingkuh dengan Selir Ketiga Windu Resmi?
Ha... ha... ha! Kakek butut, sebaiknya kau tak usah
petatang-peteteng gagah-gagahan masih menyandang
benjolan di kening!” Wiro mengejek habis-habisan.
“Betul! Mendingan delapan benjolan itu kau pindahkan
ke pantat!” Mengejek pula Ratu Randang.
Meledaklah amarah Sinuhun Merah.
“Perempuan jahanam! Mulutmu kotor! Dosa kejimu
padaku sudah lewat takaran! Biar kau kubunuh duluan!”
“Oh ya?! Biar aku pentang dada menyambut
seranganmu!” Tantang si nenek, lalu singkapkan dadanya
yang masih bagus. “Dulu kau pernah membuat tanda
telapak tangan berjari empat di dada ini! Coba aku lihat!
Apa kau masih mampu melakukan!”
Amarah Sinuhun Merah tambah menggelegak. Tanpa
sadar kalau dirinya tengah dijebak orang, didahului
teriakan garang dia lepas Ilmu Delapan Arwah Sesat
Menembus Langit dari delapan benjolan di kening.
Serangan ini diarahkan pada Ratu Randang. Di saat
bersamaan dia juga hantamkan dua tangan ke arah Wiro.
Jari tengah sengaja dilipat ke telapak tangan. Delapan
sinar merah Pukulan Delapan Sukma Merah berkiblat!
Kawasan sekitar telaga terang benderang oleh kilatan
cahaya merah. Sampai-sampai air terjun sesaat terlihat
dari putih berubah merah. Gelegar mengerikan menggema
dahsyat. Pendekar 212 berteriak keras.
“Delapan jari menusuk batu!” Wiro pentang empat jari
tangan kiri kanan. Mendengar teriakan itu tiga orang yakni
Ratu Randang, Sakuntaladewi dan Kunti Ambiri kerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti kedua tangan masing-
masing. Jari tengah dilipat. Empat jari lainnya mencuat
lurus laksana potongan besi. Lalu dengan kecepatan kilat
mereka ikuti apa yang dilakukan Wiro. Hanya Jaka Pesolek
yang tetap berdiri tak bergerak karena dia memang tidak
punya kemampuan tenaga dalam dan hawa sakti.
Kraaakk!
Enam belas jari secara hampir bersamaan menancap di
bebatuan di tepi telaga. Empat batu besar berderak
hancur. Bersamaan dengan itu menggelegar dentuman
luar biasa dahsyat. Air telaga muncrat ke udara sampai tiga
tombak. Air terjun bergoyang-goyang, memukul ke kiri
kanan tebing batu hingga longsor bergemuruh. Bebatuan di
dalam telaga bermentalan. Pepohonan di hutan
bertumbangan. Di mana-mana terlihat buntalan api!
Wiro dan semua orang yang ada di telaga mencelat ke
udara. Tanpa mampu mengimbangi diri semuanya jatuh
berkaparan. Ada yang setengah kecebur ke dalam air, ada
yang terbanting di pinggiran telaga. Beberapa di antaranya
kucurkan darah dari mulut, termasuk Jaka pesolek.
Akan halnya Sinuhun Merah Penghisap Arwah, yang
oleh Penguasa Atap Langit tidak pernah diberi tahu ilmu
pantangan atau ilmu penangkal pukulan sakti yang
dilancarkannya, menjerit setinggi langit. Enam belas
cahaya merah pukulan sakti yang dilepaskan menghantam
dirinya sendiri hingga terkutung-kutung dan tercabik-cabik.
Sebagian tubuh hancur tak berbentuk lagi. Salah satu
kutungan kaki menyangsrang di atas pohon. Belahan
kepala mengapung di permukaan telaga!
Di saat-saat luar biasa mengerikan itu mendadak
terdengar teriakan Sinuhun Merah Penghisap Arwah walau
ujud utuhnya tidak kelihatan. “Saudara nyawa kembar!
Jemput rohku!”
Air terjun seketika seolah berhenti mengucur. Di langit
tiba-tiba ada cahaya kuning yang dengan kecepatan kilat
melesat ke arah telaga. Di atas telaga cahaya kuning
berubah membentuk sosok seorang pemuda berpakaian
serba hijau.
“Sinuhun Muda Ghama Karadipa...” Desis Wiro
mengenali orang yang muncul dari langit. Saat itu dia
dalam keadaan terkapar di tepi telaga, di antara semak
belukar. Wiro berusaha bangkit, khawatir Sinuhun Muda
akan melakukan serangan balasan. Dia beringsut
menghampiri Ratu Randang yang berada paling dekat.
“Nek, kau tak apa-apa?”
“Aku, dadaku mendenyut sakit. Tapi tidak apa-apa.
Sudah, jangan bicara dan jangan bergerak dulu. Kita tidak
tahu apa yang terjadi. Mendekat ke sini. Di sini belukarnya
lebih lebat.” Jawab Ratu Randang.
Apa yang dikatakan si nenek memang benar. Belukar
yang ada di depan Ratu Randang lebih lebat dan lebih
tinggi hingga sulit bagi orang lain bisa melihat mereka. Wiro
mendekat hingga tubuhnya saling bersentuhan dengan
tubuh si nenek. Ratu Randang memperhatikan wajah sang
pendekar sebentar tapi diam saja tidak berkata apa-apa.
“Walau keadaan genting, tapi dia pasti senang dempet-
dempetan seperti ini.” Kata Wiro dalam hati sambil
senyum-senyum.
“Kau pasti merasani aku dalam hati!” Ratu Randang
pelototkan matanya yang juling tapi bagus.
“Tidak, Nek. Aku hanya mengawatirkan keadaan teman-
teman yang lain.” Bisik Wiro.
“Ssshh... Sudah, jangan bicara lagi.” Kata Ratu
Randang lalu kembali menatap ke arah sosok Sinuhun
Muda yang melayang bergerak turun mendekati telaga.
Sebelum terjadi serangan Ratu Randang sengaja
menyibakkan dada bajunya untuk mengejek sekaligus
menantang dan memancing kemarahan Sinuhun Merah.
Ketika dia kemudian membuat gerakan menusuk batu
dengan delapan jari, nenek ini tidak punya kesempatan
untuk menutup bajunya kembali. Kini tanpa disadari
pakaian itu masih tersingkap lebar dan Wiro tak sengaja
melihatnya!
“Masih bagus...” Tak sadar Wiro keluarkan ucapan.
Ratu Randang melirik “Aku sudah bilang jangan bicara!”
“Ya sudah, Nek. Aku diam saja. Tidak bicara lagi.” Kata
Wiro sambil memandang ke jurusan lain. Begitu si nenek
tidak menatapnya lagi, kembali matanya mampir ke dada
orang.
“Eh, tadi kau bilang apa? Apa yang masih bagus.” Tiba-
tiba Ratu Randang bertanya.
“Anu, itu Nek. Yang putih menyembul. Masih mantap...”
Jawab Wiro sambil senyum-senyum dan pura-pura menatap
ke arah telaga.
Ratu Randang sibakkan sedikit semak belukar.
Memperhatikan ke arah telaga dan sekitarnya. Dia tidak
melihat sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan ucapan
Wiro tadi. Penasaran si nenek tancapkan cubitan ke
pinggang Wiro.
“Kau mau berteriak silahkan! Biar kacau semua urusan
di tempat ini! Kalau kau tidak mau mengatakan apa
maksud ucapanmu, aku cubit pinggangmu sampai
dagingnya somplak!”
“Jangan Nek, aku tidak bermaksud usil. Tapi aku lihat
sendiri...”
“Kau masih bicara berbelit-belit. Apa yang kau lihat
sendiri?! Ayo katakan terus terang!”
“Itu Nek...” Wiro goyangkan kepalanya ke arah dada
Ratu Randang. Si nenek tundukkan kepala, memandang ke
arah dadanya sendiri.
“Oala! Gila! Sudah lama menikmati baru kau memberi
tahu! Culas!” Ratu Randang mengomel tapi acuh saja dia
tidak berusaha menutupi dada, hanya menggerakkan
badan memunggungi Wiro.
Di udara sosok Ghama Karadipa mengambang sepuluh
jengkal di atas permukaan telaga. Dua tangan dikembang.
Dua telapak tangan pancarkan cahaya merah kekuningan.
“Apa yang dilakukan bangsat nyawa kembaran Sinuhun
Merah itu!” Pikir Wiro. Diam-diam dia sudah siapkan
pukulan Sinar Matahari di tangan kanan.
Mendadak terjadi satu hal aneh. Semua kutungan
tubuh, belahan kepala, cabikan daging, hancuran tulang
belulang Sinuhun Merah Penghisap Arwah seperti disedot
dua tangan Sinuhun Muda yang memancarkan cahaya,
melayang ke udara, bergabung membentuk sosok samar
lalu masuk menyatu ke dalam tubuh saudara nyawa
kembarnya Sinuhun Muda Ghama Karadipa!
“Nek, rupanya benar kata orang!” Wiro berkata pada
Ratu Randang. “Sinuhun itu rohnya tidak bisa dihabisi.
Karena satu sama lain merupakan nyawa kembar! Yang
satu mati, yang satu sebagai nyawa cadangan!”
“Paling tidak sekarang hanya satu Sinuhun saja yang
akan kita hadapi,” jawab si nenek pula.
“Makhluk-makhluk jahanam di bawah sana!” Sambil
melayang ke udara Sinuhun Muda berteriak. “Kalian akan
menerima pembalasanku!”
Wiro angkat tangan kanan.
“Sang Junjungan di dalam goa! Kau sudah tahu apa
yang terjadi! Kau tunggu apalagi! Bunuh mereka semua!”
Kembali Sinuhun Muda berteriak.
Ketika Wiro siap menghantamkan Pukulan Sinar
Matahari tiba-tiba di belakangnya air terjun berhenti
mencurah. “Nek, air terjun terbelah. Ada celah aneh...”
“Ada yang akan keluar dari dalam goa! Waspadalah!”
Kata Ratu Randang.
Saat mereka bicara di atas telaga sosok Sinuhun Muda
yang dimasuki roh nyawa kembarnya laksana kilat melesat
ke langit, lenyap dari pemandangan.
“Sial! Aku terlambat!”
Baru saja Wiro berucap tiba-tiba terdengar suara
mengeong riuh. Di antara air terjun yang terbelah
menggantung melesat delapan ekor anak kucing merah.
Empat ekor menyambar ke arah semak belukar di balik
mana Wiro dan Ratu Randang berada. Dua ekor berkelebat
ke jurusan Kunti Ambiri dan dua ekor lagi menyerbu
Sakuntaladewi yang terbaring di tepi telaga berdampingan
dengan Jaka Pesolek.
Pukulan Sinar Matahari yang tadi hendak dilepas untuk
menghantam Sinuhun Muda, oleh Wiro kini diarahkan pada
empat ekor anak kucing merah yang menyerbunya. Ratu
Randang tidak tinggal diam. Dia segera lepaskan Pukulan
Tombak Dewa Memancung Berhala! Di tempat lain Kunti
Ambiri berguling di tanah lalu dalam kuda-kuda setengah
mencangkung dia menggebrak dua pukulan ke arah dua
anak kucing yang menyerbu.
Jaka Pesolek yang tidak punya ilmu pukulan secepat
kilat melesat ke atas sebuah pohon. Meninggalkan
Sakuntaladewi yang kini seorang diri harus menghadapi
serangan dua ekor anak kucing merah. Gadis berkaki satu
ini dengan cepat gerakkan dua tangan, keluarkan jurus
Ilmu Enam Belas Gerakan Tangan Bisu. Enam belas
cahaya biru berkiblat, menghambur ke arah dua ekor
kucing. Ngeongan keras terdengar di mana-mana. Namun
semua keriuhan itu ditelan oleh gelegar suara teriakan
anak lelaki.
“Semua menahan diri! Siapa berani menyentuh satu
saja dari Rakanda Delapan Sukma Merah, nyawa anak
perempuan ini jadi tumbalnya!”
Delapan anak kucing mengeong keras. Tubuh
mengambang di udara. Wiro sendiri dan empat orang
lainnya tersentak kaget.
Ratu Randang memandang ke arah goa di balik air
terjun. Apa yang dilihatnya membuat nenek ini serta merta
berteriak. “Tahan serangan!”
***
LIMA BELAS
DELAPAN ekor kucing merah walau tidak bergerak
namun terus saja unjukkan sikap garang siap
menyerang. Taring mencuat dan kuku merah runcing
siap melancarkan serangan Cakar Sukma Merah.
Dari dalam goa di balik air terjun yang curah airnya
tertahan, melesat sosok seorang anak lelaki. Di atas bahu
kanan anak ini memanggul tubuh seorang anak
perempuan. Ketika anak perempuan ini disandarkan ke
tebing di tepi telaga dan wajahnya yang pucat terlihat jelas,
kagetlah semua orang yang mengenali.
“Ni Gatri!” Wiro, Ratu Randang dan Kunti Ambiri sama-
sama berteriak.
Keadaan anak perempuan itu sangat menyedihkan.
Rambut kusut masai awut-awutan. Pakaian tidak karuan
dan nyaris tersingkap di beberapa tempat. Sepasang mata
nyalang tapi menatap kosong! Tidak dapat dipastikan
apakah Ni Gatri dalam keadaan pingsan atau sedang
sekarat!
“Bocah keparat! Kau membunuh anak itu!” Teriak Wiro.
“Diam!” Sentak Dirga Purana. “Semua orang yang ada
di tempat ini! Dengar ucapanku!” Bocah yang tadi
memanggul Ni Gatri dan bukan lain adalah Sang Junjungan
Dirga Purana berdiri sambil mencekik leher anak
perempuan itu. Lima jari tangan yang mencekik tampak
luar biasa besar dan panjang, tidak pantas sebagai jari
bocah berusia dua belas tahun. Rupanya Dirga Purana
punya semacam ilmu yang membuat jari tangan bisa
menjadi besar. “Dengar ucapanku!” Dirga Purana kembali
berteriak. “Jika kalian ingin anak perempuan ini hidup,
cepat tinggalkan tempat ini. Kecuali yang merasa diri
berjuluk Ksatria Panggilan!”
Wiro mendelik. Rahang menggembung menahan
amarah. “Nek, aku mau mengadu jiwa dengan bocah
keparat itu!” Kata Wiro pada Ratu Randang.
“Aku khawatir itu tidak akan menyelamatkan Ni Gatri.
Sesuatu yang hebat agaknya telah terjadi dengan anak
perempuan itu!”
“Dirga Purana!” Berseru Ratu Randang. “Tinggalkan
anak itu di tepi telaga. Kau boleh pergi!”
“Begitu? Mudah dan enak sekali! Tapi dengan satu
syarat!”
“Syarat apa?” Tanya Ratu Randang.
“Ksatria Panggilan harus lebih dulu bunuh diri
membenturkan kepala ke batu besar di hadapanku!”
“Laknat jahanam!” Rutuk Wiro.
“Rakanda! Orang berkeras kepala! Lanjutkan rencana
semula! Bunuh mereka semua!”
Delapan anak kucing jantan merah mengeong keras.
Gerakan mereka menyerang yang tadi tertahan kini
diteruskan. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara
gamelan ditingkah bunyi rebab, tiupan seruling dan
tabuhan gendang.
“Gila! Lagu gamelan itu adalah lagu pengiring
kematian!” Teriak Ratu Randang dengan wajah pucat.
“Nek, aku belum mau mati!” Jaka Pesolek berkata
setengah meratap dan melompat turun dari atas pohon,
mendekati Ratu Randang seolah minta dilindungi.
Namun salah seekor anak kucing yang ada di depannya
serta-merta menyerang. Mulut siap menggeragot, cakar
siap merobek leher si gadis. Jaka Pesolek yang selama ini
masih belum bisa kencing, saking takutnya saat itu sampai
pancarkan air kencing!
Tujuh ekor kucing lainnya tidak tinggal diam. Binatang-
binatang itu segera menyerbu ke arah orang-orang yang
sudah diincar.
Ketika suara gong terdengar mengalun keras, tiba-tiba
delapan sosok aneh yang mula-mula berbentuk delapan
benda bersinar, muncul di tengah telaga. Perlahan-lahan
ujud berubah menjadi asap lalu membentuk sosok pocong.
Di sebelah atas berselubung kain coklat, di pinggang ada
ikat pinggang kuning lalu di bagian bawah dilibat kain
warna hijau. Delapan makhluk ini melayang mengambang
di atas telaga, meliuk-liuk seperti menari mengikuti alunan
gamelan! Sesekali wajah mereka menghadap ke arah
orang-orang di tempat itu. Ternyata mereka memiliki wajah
polos licin! Tak ada mata, hidung ataupun mulut!
“Delapan Pocong Menari!” Ucap Wiro.
“Kau kenal mereka?” Tanya Ratu Randang tercekat.
“Mereka... mereka berasal dari delapan bunga matahari
kecil.” Wiro memberi tahu lantas raba pinggang pakaian.
Ternyata delapan bunga matahari tidak ada lagi di balik
pinggangnya.
Selagi semua orang kecuali Wiro terheran-heran, Dirga
Purana merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Telinga
kiri berdenging-denging. Dia punya firasat ada bahaya
besar mengancam.
Dari tengah telaga, delapan pocong tiba-tiba keluarkan
suara menyanyi.
“Mulut tidak ada, bagaimana bisa menyanyi?” Kata
Jaka Pesolek heran ada takut juga ada.
Tidak dipanggil datang sendiri
Ini untuk terakhir kali
Karena delapan musuh sudahlah pasti
Mengadu jiwa menghadang mati
Berserah diri kepada Yang Kuasa
Kalaupun mati haruslah pasrah
Delapan pocong di tengah telaga bertepuk tiga kali.
Pada tepukan yang ketiga dua tangan saling
menggenggam. Didahului gerakan lemah gemulai dua
tangan kemudian dikembang. Dari sela tangan yang
mengembang itu berlompatan delapan anak kucing betina
gemuk berbulu putih. Binatang-binatang ini mengeong
keras lalu melompat ke arah delapan kucing merah.
Kejut bocah Dirga Purana bukan alang kepalang.
“Rakanda Delapan Sukma Merah! Lekas masuk ke
dalam goa!” Dirga Purana berteriak memanggil delapan
anak kucing merah. Tapi yang dipanggil sudah keburu
melihat kemunculan kucing betina. Bukannya mereka
menurut perintah sang majikan, malah melompat girang
menghampiri delapan kucing betina montok dan mulai
mencium menjilati.
“Celaka! Celaka besar!” Dirga Purana pukul kepala
sendiri. Ni Gatri yang tadi dicekiknya terlepas jatuh ke
tanah. Dua mata Dirga Purana membelalak ketika dia
melihat delapan anak kucing jantan merah peliharaannya
mulai mengeong keras menunggangi anak-anak kucing
betina berbulu putih!
Dirga Purana berteriak keras. Jatuhkan diri hingga
keningnya menyentuh tanah. “Pantangan besar telah
dilanggar! Pantangan besar telah dilanggar!” Katanya
berulang kali. Lalu didahului teriakan menyerupai lolongan
anjing dia berdiri bangkit, siap melesat ke udara, masuk ke
dalam goa lewat air terjun yang saat itu masih berhenti
mencurah. Namun sang bocah tersentak kaget ketika
dapatkan dirinya telah dikelilingi Wiro dan kawan-kawan!
TAMAT
Episode Berikutnya:
BULAN BIRU DI MATARAM
0 komentar:
Posting Komentar