BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 15 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE BAYI TITISAN


Bayi Titisan


 SATU


SEJAK Ken Permata ketitis-

an roh Nyi Harum Sarti, 

Datuk Rao Basaluang 

Ameh melihat banyak perubahan 

terjadi atas diri bayi yang berusia 

hampir dua tahun itu. Dari hari 

ke sehari tubuh anak perempuan 

Nyi Retno Mantili dari suaminya 

yang mendiang Patih Kerajaan 

bernama Wira Bumi itu meng-

alami pertumbuhan pesat. Tubuh 

bertambah besar dan bertambah 

tinggi. Dalam waktu beberapa 

bulan saja keadaan Ken Permata 

tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia 

lima tahun. Bicaranya lancar. Ucapan-ucapan cerdik 

seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan anak 

itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perem-

puan yang menjaga Ken Permata sejak masih orok. 

Suatu hari ketika anak perempuan itu ber-

main-main di luar ditemani harimau putih sakti Datuk 

Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk 

Rao Basaluang Ameh di dalam goa batu pualam. 

(Mande = ibu) Sebenarnya dia ingin membawa serta 

Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan se-

paruh baya ini akhirnya memutuskan untuk datang 

seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu 

pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat sebuah


kitab bertuliskan huruf Arab yang beberapa hari lalu 

didapatnya dari seorang sahabat, seorang pedagang 

bangsa Parsi. 

Setelah menunggu sampai Datuk Rao menyelesai-

kan bacaan dan menutup kitab, baru Mande Saleha 

berani keluarkan ucapan. 

"Datuk, saya datang mengganggu untuk mem-

bicarakan hal diri anak awak Ken Permata. Sebenar-

nya saya sudah sejak lama ingin menemui dan bicara 

dengan Datuk. Namun saya takut Datuk kurang ber-

kenan di hati…" 

Datuk Rao Basaluang Ameh beberapa ketika me-

natap perempuan di hadapannya itu dengan sepasang 

matanya yang kelabu ke biru-biruan. 

"Mande Saleha, aku sudah maklum. Kegelisahan-

mu kegelisahanku juga. Kekawatiranmu kekawatiran-

ku juga. Langsung saja, apa yang hendak kau sam-

paikan?” 

"Datuk maafkan saya kalau seolah berlaku lebih 

prihatin dari Datuk. Saya kira Datuk melihat sendiri 

perubahan yang terjadi atas keadaan diri Ken Permata. 

Usianya belum dua tahun namun keadaannya me-

nyamai anak perempuan yang telah berusia lima-e-

nam tahun. Dia tumbuh dewasa lebih cepat dari ko-

drat Allah dan kemauan alam. Tapi bagi saya bukan 

perubahan keadaan bentuk badan itu saja yang 

mengawatirkan. Yang saya cemaskan adalah per-

ubahan sifat dan bicaranya. Sekarang dia lebih suka 

tidur sendiri daripada bersama saya. Dia menolak 

kalau saya rangkul apa lagi saya dukung. Dia lebih 

suka tidur di atas tikar di lantai rumah gadang dari-

pada bergolek satu ketiduran dengan saya. Kadang-

kadang, kalau saya tersentak bangun tengah malam, 

saya dapati anak itu tidak ada di dalam kamar. Ketika


saya cari ternyata dia berada di halaman samping, 

duduk atau membaringkan diri di atas lesung. Atau 

duduk di tangga rumah kecil tempat menyimpan padi. 

Sesekali sebelum saya menemuinya, saya coba meng-

intai. Pernah kedapatan oleh saya mulutnya berge-

rak-gerak. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi 

suaranya tidak terdengar dan orang yang diajaknya 

bicara tidak kelihatan. Saya benar-benar cemas Da-

tuk. Saya kawatir penitisan yang terjadi atas Ken 

Permata telah merusak pikiran anak itu.” 

Datuk Rao Basaluang Ameh terdiam baberapa ju-

rus. Setelah mengusap wajah yang barsih kelimis 

orang tua ini berkata. 

“Sejak beberapa waktu belakangan ini ada roh yang 

berusaha mendekati anak itu." 

"Apakah itu tidak berbahaya Datuk?" 

“Berbahaya, sangat berbahaya. Itu sebabnya aku 

telah mamagari tempat kediaman kita ini sampai se-

putar Danau Maninjau dangan Ilmu Selusin Jaring 

Penolak Bala. Selain itu setiap malam aku semba-

nyang Tahajjud, aku memohon perlindungan atas diri 

anak itu dari Yang Maha Kuasa.” 

“Saya tahu, Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu 

pastilah sangat hebat. Mudah-mudahan iImu itu bisa 

melindungi Ken Permata. Tidak sampai terjadi seperti 

dahulu. Ketika dia diculik orang, dilarikan ke tanah

Jawa. Datuk sampai-sampai meminta pertolongan 

para Datuk sahabat dari berbagai penjuru pulau An-

dalas..." (Baca "Bayi Satu Suro") 

"Selain itu pada Datuk Rao Bamato Hijau telah aku 

pesankan agar menjaga dan mengawasi Ken Permata 

baik siang apa lagi di waktu malam." Ucap Datuk Rao 

Basaluang Ameh. Apa yang dikatakan dan dikawatir-

kan perempuan di hadapannya memang cukup ber


alasan. Beberapa waktu lalu Ken Permata berhasil 

dilarikan Wira Bumi bersama gurunya Nyai Tumbal 

Jiwo dengan cara menyamar sebagai harimau putih 

peliharaan sang Datuk dan suami Baiduri. 

"Apa masih ada hal lain yang hendak kau katakan 

atau masih kau cemaskan Mande Saleha?" 

"Terus terang Datuk, rasa cemas saya memang ti-

dak berkeputusan. Bagi saya Ken Permata sudah se-

bagai anak darah daging saya sendiri. Datuk, saya 

ingin memberi tahu. Ken Permata beberapa kali entah 

sadar entah tidak berkata pada saya. Bahwa dia ingin 

meninggalkan Danau Maninjau namun hatinya masih 

terkait sayang pada rumah gadang dan Datuk, pada 

saya dan pada ibu susunya. Ucapannya seperti orang 

dewasa. Bukan seperti ucapan anak-anak, apalagi 

ucapan seorang bayi berusia belum dua tahun. Ka-

tanya lagi, walau dia belum mau pergi, namun kalau 

orang yang menjemput sudah datang maka dia ter-

paksa akan pergi juga..." 

Raut muka Datuk Rao Basaluang Ameh berubah. 

"Mande Saleha, apakah anak itu mengatakan siapa 

yang akan menjemputnya?" 

Mande Saleha menggeleng. Lalu berkata. 

"Saya pernah bertanya siapa orang itu atau ba-

gaimana ciri-cirinya, lelaki atau perempuan. Tapi Ken 

Permata menjawab, “Nantilah Mande, nanti akan saya 

ceritakan pada Mande.” Selain itu Ken Permata juga 

menceritakan. Orang itu acap kali menemuinya pada 

malam hari ketika dia antara jaga dan tidur. Orang itu 

banyak menceritakan tentang dirinya, siapa ibunya, 

siapa ayahnya. Bahwa ayahnya telah menemui kema-

tian. Dia juga diberi tahu siapa yang telah membunuh 

ayahnya."


"Jika cerita anak itu memang benar, berarti satu 

malapetaka besar akan terjadi. Dia akan mencari 

pembunuh ayahnya. Orang yang membunuhnya 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng..." Datuk Rao 

Basaluang Ameh gelengkan kepala sambil mengucap 

menyebut nama Tuhan berulang kali. 

"Saleha, kau bisa menduga siapa orang itu?" tanya 

Datuk kemudian. 

"Kalau menduga saya bisa saja tapi tak berani 

mengatakan. Mungkin Datuk lebih bisa menerka." 

"Kau ingat kejadian yang kau ceritakan padaku 

beberapa waktu lalu? Sebelum penitisan gaib terjadi 

atas diri Ken Permata?" 

"Saya ingat Datuk." 

"Ada seorang perempuan tua bertubuh tinggi be-

rambut putih. Masuk ke dalam kamar tempatmu dan 

Ken Permata tidur. Dia mengenakan pakaian panjang 

kuning berbunga-bunga. Ada seperangkat sunting 

pendek di kepalanya. Dialah orang yang dimaksud Ken 

Permata. (Baca "Janda Pulau Cingkuk") Yang kelak 

akan datang menjemputnya. Namun bisa juga yang 

muncul adalah roh yang menitis ke dalam tubuhnya. 

Bekas Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti. 

Tapi Saleha, hal lain bisa saja terjadi..." 

"Hal lain bagaimana maksud Datuk?" tanya Mande 

Saleha pula. 

"Bisa saja anak itu pergi sendirian, meninggalkan 

tempat ini, mengikuti dorongan gaib tanpa menunggu 

kedatangan perempuan tua tadi." 

"Saya benar-benar takut kalau hal itu terjadi. Saya 

memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, meminta 

perlindungan atas diri anak itu... Dia sebenarnya tidak 

tahu apa-apa. Ada kekuatan gaib di luar dirinya yang 

mengatur jalan nasibnya."


"Itulah yang dinamakan takdir. Manusia masih bisa 

merubah dan melawan nasib. Tapi tidak ada manusia 

yang bisa melawan takdir." Ucap Datuk Rao Basaluang 

Ameh yang saat itu pula teringat pada Laras Parantili, 

kekasih di masa mudanya yang telah bertindak se-

bagai pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken 

Permata. 

"Mungkin...mungkin kita harus cepat-cepat mem-

pertemukan anak itu dengan ibu kandungnya Datuk. 

Kita tidak bisa hanya menunggu sampai Pendekar 212 

menjemputnya ke sini sebagaimana yang Datuk i-

nginkan. Apalagi kenyataannya dia telah mengetahui 

siapa pembunuh ayahnya." 

"Kau mungkin betul Saleha. Mungkin itu yang 

harus kita lakukan." Kata Datuk Rao pula. "Panggil 

anak itu. Bawa dia ke sini. Kita bisa bicara mengajuk 

hatinya..." 

"Akan saya panggil dan bawa dia ke sini Datuk." 

Kata Mande Saleha lalu cepat-cepat keluar dari goa. 

Tak lama kemudian perempuan ini muncul kembali 

dengan wajah pucat dan nafas mengengah. 

“Ada apa Saleha?" tanya sang Datuk heran tak 

bersyak wasangka. 

"Ken Permata! Anak itu ada di pucuk pohon Kayu 

Manis besar di tepi danau. Harimau putih sakti Datuk 

Rao Bamato Hijau tidak bisa barbuat apa-apa. Hanya 

barputar-putar dan menggereng di sakitar bawah 

pohon. Dia menunggu, kawatir Ken Permata tergelincir 

jatuh.” 

“Ken permata di pucuk pohon Kayu Manis! Bagai-

mana mungkin?" ujar Datuk Rao lalu dengan serta 

merta melompat keluar goa diikuti Mande Salaha. 

Ketika Datuk Rao Basaluang Ameh sampai di tepi 

Danau Maninjau sebelah timur, orang tua ini berhenti


berlari, tegak terpana penuh perasaan tak percaya. 

Seperti yang dikatakan Mande Saleha, harimau putih 

sakti Datuk Rao Bamato Hijau melangkah memutari 

pohon kayu manis besar. Sekali-sekali kepalanya 

mendongak ke atas pohon. Di atas pohon ini, pada 

pucuk yang paling ujung, di satu dahan yang tidak 

seberapa besar, sambil berpegangan ke ranting pohon, 

berdiri Ken Permata, anak perempuan yang belum 

berusia dua tahun tapi memiliki bentuk badan seu-

kuran anak berumur lima tahun. Sambil meng-

goyang-goyang kaki dan mengayun-ayunkan tubuh, 

anak ini bernyanyi-nyanyi tiada henti. Datuk Rao 

mengucap berulang kali. 

"Allah Maha Besar! Aneh! Dia memiliki ilmu me-

ringankan tubuh. Dia mempunyai ilmu kesaktian. 

Ilmu titisan!" 

Mande Saleha berteriak cemas berulang kali, me-

manggil-manggil anak perempuan itu, Datuk Rao 

berseru. 

"Cucu Datuk Ken Permata! Kau gembira sekali hari 

ini. Sampai-sampai menyanyi di atas pohon. Turunlah, 

menyanyi di dekatku agar Datuk bisa lebih jelas 

mendengar bagusnya suaramu...! 

Tanpa menoleh ke bawah dari atas pohon Ken 

Permata menyahuti. 

"Datuk di sini lebih enak. Udaranya nyaman, pe-

mandangan indah. Mengapa Datuk tidak naik saja ke 

atas pohon? Jangan lupa membawa serta Mande Sa-

leha. Kita bernyanyi bersama-sama!" 

"Celaka Datuk. Kalau kakinya sampai terpeleset 

tergerajai, anak itu akan jatuh ke tanah. Tolong dia 

Datuk. Cepat diturunkan..." 

"Tenang Saleha, aku akan menurunkannya..." Kata 

Datuk Rao pula. Sekali menjejak kaki kanan ke tanah,


orang tua sakti ini melesat ke atas pohon kayu manis. 

Begitu sampai di atas cabang tempat Ken Permata 

berdiri Datuk Rao cepat ulurkan tangan untuk me-

nangkpp pinggang si anak. Tapi wuutt! Dia hanya 

menangkap angin! Karena sesaat sebelum Datuk Rao 

mengulurkan tangan Ken Permata lebih dulu melun-

curkan diri ke bawah, tertawa gelak-gelak lalu me-

lompat dari satu cabang ke cabang lain. Tak lama 

kemudian terdengar suara anak itu di bawah pohon. 

"Datuk! Saya sudah turun ke bawah! Habis Datuk 

lama sekali saya tunggu tidak mau naik-naik, tidak 

mau menyanyi bersama saya di atas pohon!" 

Datuk Rao mengucap kaget. Memandang ke bawah 

memang dilihatnya Ken Permata sudah berada di 

bawah pohon. Berdiri di samping Mande Saleha. Anak 

ini tertawa-tawa girang sambil mengelus tengkuk ha-

rimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao 

Basaluang Ameh cepat melayang turun ke tanah. 

"cucu Datuk hebat sekali!" memuji Datuk Rao Ba-

saluang Ameh sambil membelai kepala Ken Permata. 

"Cucuku, ceritakan pada kakekmu Ini bagaimana kau 

bisa naik dan turun lagi dari pohon besar itu." 

"Ada orang yang membawa saya Kek," jawab Ken 

Permata. 

Mande Saleha merasa kuduknya dingin merinding. 

Perempuan ini memandang berkeliling lalu men-

dongak ke atas pohon besar. Lalu dia berbisik pada 

Datuk. 

"Hantu Haru-haru. Pasti mahluk itu hendak 

menculik Ken Permata." 

Hantu Haru-haru adalah sejenis mahluk halus 

yang pada masa itu banyak gentayangan di Pulau 

Andalas, suka menculik anak keeil dan membawanya 

ke atas pohon tinggi antara lain pohon kelapa


"Bukan, bukan Hantu Haru-haru... Ada mahluk 

lain," jawab Datuk Rao Basaluang Ameh lalu tidak 

menunggu lebih lama segera mendukung Ken Per-

mata, setengah berlari membawanya ke goa batu pu-

alam. 

Begitu sampai di dalam goa Datuk Rao Basaluang 

Ameh bertanya pada Ken Permata. 

"Cucu Datuk.... Orang yang membawamu naik ke 

atas pohon tadi, apakah dia seorang lelaki atau seo-

rang perempuan?" 

"Perempuan Kek. Orangnya cantik rancak...." 

Datuk Rao Basaluang Ameh tereengang mendengar 

jawaban Ken Permata. “Otak dan jalan pikirannya 

bukan seperti anak-anak lagi. Dia sudah lebih dewasa 

dari usia sebenarnya. Pasti roh perempuan yang per-

nah menjadi Ratu Laut Utara, Nyi Harum Sarti…" 

Datuk menatap ke luar goa. Lalu mulutnya berucap 

perlahan. Ada nada kekecewaan pada suaranya. “La-

ras Parantili, aku sungguh sedih kau sampai mau 

menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri anak 

ini. Apakah kau tak bisa menduga kalau kelak di 

kemudian hari akan timbul bencana besar akibat pe-

nitisan roh seorang manusia berhati jahat ke dalam 

diri seorang anak perempuan yang masih bersih dan 

suci?



DUA


KITA telah mengetahui apa 

yang telah terjadi dengan 

Ken Permata. Sekarang 

mari kita ikuti perjalanan sang 

ibu yakni Nyi Retno Mantili sete-

lah dibawa oleh Manusia Paku 

Sandaka Arto Gampito. Dalam 

serial berjudul ”Perjodohan Ber-

darah" diceritakan setelah me-

nyelamatkan Nyi Retno Mantili 

dari Serikat Tiga Momok yang 

hendak merobek tubuh dan me-

nyantap hati, ginjal serta jan-

tungnya, Manusia Paku berhasil 

membujuk dan membawa perempuan malang itu ke-

tempat kediaman gurunya di satu goa yang terletak 

pada sisi barat jurang batu pualam. 

Di dalam serial Wiro Sableng berjudul “Dendam 

Manusia Paku" diceritakan bagaimana setelah sekian 

lama dijadikan budak nafsu, dengan mempergunakan 

Kapak Geni 212 milik Wiro, Manusia Paku Sandaka 

Arto Gampito pada akhirnya berhasil membunuh Dewi 

Ular. Dalam keadaan tubuh penuh luka bergelimang 

darah Dewi Ular ditendang masuk ke dalam sebuah 

jurang batu mengandung pualam. Namun entah apa 

yang ada di benak Manusia Paku, sesaat setelah Dewi 

Ular jatuh ke dalam jurang diapun ikut pula menyusul 

menghambur diri terjun ke dalam jurang yang sama.


upanya benar ujar-ujar yang mengatakan sebe-

lum ajal berpantang mati. Ini yang terjadi dengan 

Sandaka. Seorang sakti yang diam di dalam sebuah 

goa di dinding barat jurang batu pualam menyela-

matkan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan 

Sandaka mengenai riwayat dirinya, si orang tua sakti 

menaruh hiba lalu mengambilnya menjadi murid, di-

ajak tinggal bersama di dalam goa. 

Sang guru yang dalam rimba persilatan dikenal 

dengan nama Datuk Sipatoka kabarnya berasal dari 

Pulau Andalas sebelah Utara. Setelah puluhan tahun 

menghuni goa di jurang batu pualam itu dia kemudian 

dikenal juga dengan nama Datuk Batu Pualam. 

Sebagai orang sakti Datuk Sipatoka mengetahui 

bahwa di dasar jurang di mana terdapat satu kawah 

sempit tersimpan sepasang keris sakti tak bersarung 

yang diduga milik Kerajaan, bernama Keris Nagasona. 

Konon salah satu kesaktian keris yang satu jantan 

satu betina ini adalah mampu menyembuhkan ber-

bagai penyakit. Karenanya Datuk Sipatoka menaruh 

keyakinan bahwa sepasang senjata sakti itu juga 

mampu melenyapkan puluhan baja putih yang me-

nancap di tubuh muridnya. Hal itu diberitahukannya 

pada Sandaka. 

Namun tidak mudah untuk mendapatkan sepasang 

keris sakti tersebut. Sang Datuk menyirap berita yang 

berasal dari sebuah kitab bernama Kitab Seribu Pe-

tunjuk Kuna dan memberitahu pada muridnya bahwa 

pada malam Sekatan yang akan datang, didahului 

dangan tanda munculnya Bintang Kalimukus di la-

ngit maka saat itulah sapasang keris sakti akan keluar 

dari tempat pertapaannya selama belasan tahun di 

dasar kawah jurang batu pualam. Sepasang keris itu 

sendiri konon telah berusia dua ratus tahun.


Bagaimana dengan Dewi Ular? Apakah benar-benar 

menemui ajal pada saat dirinya terpental ke dalam 

jurang batu pualam akibat tendangan Sandaka? 

Dalam keadaan tubuh penuh luka bekas bacokan 

kapak sakti bergelimang darah dan siap meregang 

nyawa Dewi Ular melayang jatuh ke dalam jurang. 

Tidak disangka-sangka dari dalam sebuah goa di 

dinding timur muncul seorang perempuan sakti me-

nyelematkannya. Perempuan bertubuh gemuk ini 

bernama Kunti Rao, merupakan musuh bebuyutan 

Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam yang tinggal 

dalam goa di dinding barat jurang. Dewi Ular bukan 

saja diselamatkan tapi juga diambil jadi murid. Namun 

sang guru bernasib buruk. Dewi Ular yang culas se-

cara keji kemudian membunuh Kunti Rao memper-

gunakan paku emas yang telah berubah hitam yang 

ditusukkan ke pusarnya oleh Pendekar 212 Wiro 

Sableng. 

Ketika di Kotaraja tengah berlangsung perayaan 

Sekaten, pada malam harinya di langit di atas jurang 

benar-benar muncul, Bintang Kalimukus. Di sekitar 

mulut jurang batu pualam saat itu t.elah berkumpul 

serombongan tokoh dari Keraton di bawah pimpinan 

Pangeran Ipong Nalakudra. Pangeran ini telah sekian 

lama menderita menyakit lumpuh. Dia percaya sepa-

sang keris sakti Nagasona mampu memberi kesem-

buhan pada penyakitnya. Itu sebabnya bersama pe-

ngiringnya yang terdiri dari tokoh-tokoh silat Kerajaan 

dia mendatangi jurang batu pualam untuk menda-

patkan dua keris sakti. 

Ternyata yang datang ke tempat itu bukan cuma 

rombongan dari Keraton, tapi juga Ratu Ular bersama 

sang murid, Dewi Ular yang telah lebih dulu berada di 

tempat itu. Lalu tidak terduga datang pula tokoh sakti


utama rimba persilatan yang dikenal dengan julukan 

Si Raja Penidur. Tokoh yang jarang muncul ini dan 

sepanjang tahun boleh dikatakan selalu tidur, sekali 

memperlihatkan diri maka ini merupakan pertanda 

bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di tempat itu. 

Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng bersama 

Anggini murid DewaTuak juga telah berada di sekitar 

jurang batu pualam. Sepasang pendekar muda mudi 

ini dicurigai oleh Pangeran Ipong dan para pengikut-

nya sebagai hendak merampas keris Nagasona. Pa-

dahal keduanya tidak tahu-menahu keberadaan sen-

jata sakti itu. Mereka datang ke jurang batu pualam 

justru karena mencurigai bahwa Dewi Ular sebenarnya 

masih hidup sambil mencari tahu apa yang terjadi 

dengan Manusia Paku Sandaka. 

Ketika malam itu akhirnya Bintang Kalimukus 

muncul di langit, di dasar jurang dua keris sakti Na-

gasona mencuat keluar dari dalam kawah dan para 

tokoh rimba persilatan berkelahi hebat untuk men-

dapatkan. Ternyata yang beruntung adalah Ratu Ular. 

Begitu dia berhasil menangkap sepasang keris sakti 

dengan cepat Ratu Ular sapukan dua keris ke tubuh 

muridnya hingga tubuh Dewi Ular yang tadinya penuh 

cacat luka bekas hantaman Kapak Naga Geni 212 

sembuh dengan seketika. Kekuatan, tenaga dalam 

serta kesaktiannya pulih. 

Dengan mengandalkan dua keris sakti Ratu Ular 

kemudian berusaha menghabisi semua tokoh silat 

yang ada di tempat itu. Dia nyaris hampir membunuh 

Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam. Ketika dia 

mengejar dan hendak menghabisi Manusia Paku 

Sandaka Pendekar 212 Wiro Sableng segera masuk ke 

dalam kancah pertarungan dengan Kapak Naga Geni 

212 di tangan kanan. Ternyata kapak mustika sakti


tidak mampu menghadapi sepasang keris pusaka. 

Wiro terpental, kapak sakti lepas dari pegangannya. 

Sesaat lagi Ratu Ular hendak melancarkan serangan 

yang mematikan tiba-tiba Si Raja Penidur jatuhkan 

diri di dasar jurang tapi dalam keadaan mata terpejam 

mulut mengorok alias tidur lelap! Di mulutnya masih 

terselip pipa berasap! Enak saja dia menggolekkan diri 

di atas satu batu besar. Selagi semua orang terkesiap 

melihat kemunculan tokoh utama rimba persilatan 

yang berperilaku aneh ini, Wiro cepat mengambil Ka-

pak Naga Geni 212 yang tercampak di batu jurang. 

Melihat kemunculan Si Raja Penidur, apa lagi ke-

tika Wiro membangunkan tokoh rimba persilatan yang 

memiliki kesaktian luar biasa ini, Ratu Ular tampak 

gelisah. Dia segera membisiki Dewi Ular untuk segera 

meninggalkan tempat itu. Namun ketika guru dan 

murid bersiap kabur, tahu-tahu Si Raja Penidur sudah 

menghadang. Setelah hembuskan asap pipa dan 

menguap lebar Si Raja Penidur menegur. 

"Untari, kau masih saja berkelakuan macam-

macam. Apa kekecewaan masa muda masih meng-

hantui dirimu?" 

Semua orang yang ada di atas permukaan kawah di 

dalam jurang batu pualam terheran-heran mendengar 

kata-kata si gemuk, tapi tak ada yang berani bertanya. 

Siapa yang bernama Untari itu? Ratu Ular? Lalu me-

reka melihat perubahan pada wajah Ratu Ular. Si-

kapnya kini menunjukkan rasa gelisah kalau tidak 

mau dikatakan takut. Takut pada siapa? 

"Raja Penidur," tiba-tiba Ratu Ular berucap. "Urus-

an masa lalu tidak perlu diungkit-ungkit..." 

"Ah! Jadi dialah yang bernama Untari! Sang Ratu 

Ular!" bisik Pendekar 212 Wiro Sableng pada Anggini.


"Kalau begitu katamu, baiklah. Kau boleh pergi. 

Tapi ada dua hal yang harus kau tinggalkan,” kata Si 

Raja Penidur. 

"Hemmm, dua hal apakah itu?" tanya Ratu Ular. 

Si Raja Penidur menyedot pipa dalam-dalam lalu 

menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu 

dipenuhi bau tembakau yang tidak sedap. Setelah 

menguap dan mengucak kedua matanya baru dia 

menjawab. 

"Pertama serahkan padaku sepasang keris Naga-

sona. Dua senjata mustika sakti itu bukan milikmu." 

"Lalu apakah dua keris ini milikmu?" tukas Ratu 

Ular dengan wajah sunggingkan seringai sinis. 

"Memang jelas bukan milikku. Aku hanya jadi pe-

rantara untuk mengembalikan pada pemiliknya. Se-

bentar lagi utusan pemilik akan datang untuk meng-

ambil..." 

Ratu Ular tertawa panjang. "Ceritamu enak sekali 

didengarnya. Rupanya kau sekarang telah jadi seorang 

perantara. Bagiku seorang perantara tidak lebih dari 

seorang kacung." 

Si Raja Penidur tenang saja mendengar dirinya di-

katakan sebagai kacung. Setelah meniup pipa da-

lam-dalam dan menghembuskan asap ke udara dia 

menjawab. "Aku hanya memberi tahu. Aku tidak bi-

cara dusta. Tidak pernah..." 

"Kecuali terhadapku?" Ratu Ular cepat potong 

ucapan Si Raja Penidur. 

Si Raja Penidur sesaat berubah parasnya lalu ter-

kekeh perlahan. "Kau tadi mengatakan urusan masa 

lalu tak perlu diungkit-ungkit. Menurutku ini adalah 

penyelesaian yang paling baik." 

"Kau belum mengatakan hal yang kedua." Ratu Ular 

alihkan pembicaraan.


"Hal kedua yang harus kau tinggalkan di tempat ini 

adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu...” 

Sepasang alis Ratu Ular berjingkat. Dua bola mata 

membesar. 

"Apa urusanmu dengan diri muridku? Kau hendak 

memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku 

puluhan tahun silam?" 

Pendekar 212 dan semua orang yang ada di tempat 

itu jadi saling pandang mendengar ucapan Ratu Ular. 

Rupanya ada jalinan hubungan sangat dekat antara 

Ratu Ular dan Raja Penidur di masa puluhan tahun 

silam. 

Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali lalu 

menguap lebar-Iebar. 

"Aku sudah mengatakan dua hal permintaanku. 

Terserah padamu mau memenuhi atau tidak.” 

"Aku harus tahu dulu apa yang hendak kau laku-

kan terhadap muridku.” 

"Aneh kalau kau masih bertanya. Apa kau tidak 

menyadari kesalahan besar yang telah dibuatnya? 

Dosanya setinggi langit sedalam lautan. Mulai dari 

ubun-ubun sampai ke telapak kaki! Membunuh tokoh-

tokoh rimba persilatan tak berdosa. Bahkan teganya 

membunuh gurunya sendiri! Kau kira dia bisa lolos 

begitu saja dari hukuman? Tapi mengingat hubung-

anmu dengan diriku, aku tidak akan bertindak terlalu 

keras padanya. Aku bersedia melindungi dirinya dari 

balas dendam orang-orang rimba persilatan yang 

mengerikan. Aku akan mengatur hukuman yang ter-

baik bagi dirinya.” 

"Hukuman terbaik bagi dirinya adalah ikut bersa-

maku. Sekarang juga! Jangan ada yang berani 

mengganggu menghalangi!" kata Ratu Ular pula tegas.


"Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang 

terbaik. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku ingin 

menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.” 

"Aku tidak akan memenuhi permintaanmu, Raja 

Penidur! Seperti kau tidak pernah memenuhi apa-apa 

terhadap diriku! Kau mau tidur silahkan. Aku tidak 

perduli sekalipun kau tidak pernah bangun lagi untuk 

selama-lamanya!" 

"Ah, sayang sekali kalau begitu," kata Raja Penidur 

lalu menguap tak acuh. 

Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua 

perempuan itu segera melangkah pergi. Namun baru 

berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada cahaya 

putih melayang turun. Ketika cahaya mencapai per-

tengahan jurang, semua orang yang ada di tempat itu 

jadi tertegun. Yang melayang turun adalah seorang 

gadis sangat cantik. Berpakaian lilitan kain sutera 

putih halus. Kalau saja lilitan kain tidak tebal maka 

pakaian itu nyaris tembus pandang memperlihatkan 

tubuhnya yang putih elok. Udara di dasar kawah kini 

dipenuh bau harum semerbak yang keluar dari tubuh 

dan pakaian si gadis. 

Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir, menguap 

lebar-lebar lalu berpaling pada Ratu Ular. 

"Utusan yang ditunggu telah datang. Aku tidak bisa 

membantumu lagi, Untari…" 

Ratu Ular terkesiap. Dewi Ular tampak tegang. Ga-

dis cantik berpakaian sutera putih melayang turun 

dan berdiri di hadapan Ratu Ular. Wiro dan Anggini 

melihat bagaimana dua kaki putih bagus si gadis sama 

sekali tidak menjejak batu di dasar jurang. Walau 

kagum melihat kecantikan dan keelokan tubuh orang 

namun diam-diam Wiro merasa tengkuknya dingin.


Dia segera maklum kalau gadis ini bukan manusia 

biasa. 

Si gadis yang oleh Raja Penidur disebut sebagai 

utusan menjemput dua keris sakti anggukkan kepala 

seraya ulurkan dua tangan. Memberi isyarat pada 

Ratu Ular agar segera menyerahkan keris Nagasona. 

Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kiri meng-

usap kepala ular besar yang bergelung di lehernya, 

tangan kanan memberi tanda pada Dewi Ular. Sang 

murid yang mengerti isyarat ini segera siapkan paku 

hitam. Didahului teriakan keras Ratu Ular maka guru 

dan murid lancarkan tiga serangan ganas.


TIGA


SERANGAN pertama adalah 

serangan ular besar yang 

menggelantung di leher 

Ratu Ular. Binatang ini melesat 

laksana anak panah mematuk ke 

arah gadis cantik berpakaian su-

tera putih. Serangan kedua be-

rupa cahaya kuning yang keluar 

dari paku hitam di tangan Dewi 

Ular. Paku hitam ini dulunya 

adalah paku emas yang didapat 

Wiro dari Eyang Sinto Gendeng

untuk melumpuhkan Dewi Ular. 

Oleh Dewi Ular paku ini kemu-

dian dijadikan senjata sakti mandraguna. Walau 

keadaannya sekarang hitam namun sinar maut yang 

dipancarkannya tetap berwarna kuning emas. 

Serangan ketiga - inilah serangan yang terhebat -

datang menghambur dari sepasang keris sakti berupa 

hamparan dua cahaya kuning terang benderang me-

nyilaukan sekaligus menggidikkan. 

Manusia biasa, betatapun tinggi ilmu silat dan ke-

saktiannya, dihantam tiga serangan sakaligus seperti 

itu akan sulit lolos selamatkan diri. Si Raja Penidur 

tampak kerenyitkan kening melihat datangnya se-

rangan sambil siap membantu kalau sampai gadis 

cantik berpakaian sutera putih tidak sanggup mena-

han hantaman tiga serangan. Wiro sendiri sudah


merapal ajian Pukulan Sakti Sinar Matahari. Tangan 

kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah 

menjadi putih perak. Malah dengan jengkel dia berte-

riak. Memaki Ratu Ular dan Dewi Ular sebagai pe-

ngecut. 

Namun gadis jelita yang dua kakinya tidak berpijak 

ke dasar kawah tampak tenang saja. Sambil terse-

nyum dan lemparkan lirikan ke arah murid Sinto 

Gendeng dia membuat lemah gemulai laksana seorang 

penari padahal yang dihadapi adalah serangan maut! 

Si gadis lambaikan tangan kiri dengan gerakan 

perlahan. Tiga serangan yang menyambar ke arahnya 

seolah-olah disedot masuk ke dalam telapak tangan 

kiri yang dikembangkan. 

Tiga larik sinar kuning dari sepasang keris sakti 

dan satu lagi dari paku hitam di tangan Dewi Ular 

lenyap pupus seperti asap dihembus angin. 

"Cleepp!" 

Bersamaan dengan itu kapala ular besar menempel 

di telapak tangan kiri gadis berpakaian sutera putih. 

Binatang ini mendesis keras. Menggeliat berusaha 

melepaskan diri. Namun sekali lima jari tangan si ga-

dis meremas maka kepala binatang jahat berbisa itu 

hancur remuk. Tubuh sampai ke ekor yang masih 

utuh dalam keadaan menggelepar-gelepar, dilempar 

amblas ke dalam dasar kawah jurang batu pualam. 

Sekali gadis cantik meniup maka tangannya yang 

berlumuran darah ular bersih kembali. 

Masih dengan gerakan seperti penari, tangan kanan 

gadis cantik yang oleh Raja Penidur disebut sebagai 

utusan untuk mengambil sepasang keris Nagasona, 

bergerak melambai ke depan. Ratu Ular merasa satu 

kekuatan dahsyat menerpa membuat dua kakinya 

goyah dan tubuh terjajar ke belakang. Belum sempat


mengimbangi diri dia melihat sesuatu berkelebat di 

depannya, lalu tahu-tahu dua keris sakti yang dipe-

gangnya di tangan kiri kanan telah berpindah ke 

tangan kanan gadis cantik di hadapannya. 

Ratu Ular berteriak keras. Dia menerjang ke depan. 

Dalam jarak begitu dekat dua tangan bukan saja me-

lancarkan serangan tangan kosong ganas tapi dua 

tangan itu tiba-tiba berubah menjadi sepasang tom-

bak dengan kepala berbentuk ular senduk hijau! 

Dua mata gadis cantik membesar, dua alis naik ke 

atas. Tangan kiri digerakkan. Gerakan lembut tapi 

mengandung tenaga dahsyat! 

"Trakk! Traakk!" 

Bukan cuma dua tombak berbentuk kepala ular 

kobra jejadian yang hancur tapi dua tangan Ratu Ular 

ikut patah dan remuk mulai dari pertengahan lengan 

sampai ke ujung jari. Raungan keras perempuan ini 

menggelepar di dalam jurang batu. 

Melihat gurunya celaka begitu rupa didahului jerit-

an tak kalah kerasnya Dewi Ular kembali menyerbu 

dengan paku hitam bertuah. Gadis yang diserang la-

gi-lagi lambaikan tangan kiri. 

"Kraakk!" 

Paku hitam hancur luluh. Begitu juga tangan ka-

nan Dewi Ular yang tadi memegang senjata itu. Guru 

dan murid sama terhuyung lalu tubuh mereka saling 

berbenturan. 

"Dewi, kita tak mungkin keluar hidup-hidup dari 

tempat ini. Kalaupun mampu tak ada gunanya hidup 

dalam keadaan cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku 

lakukan." 

"Saya mengerti Ratu. Saya siap..." sahut DewiUlar. 

Dengan cepat diam-diam dia kerahkan ilmu kesaktian 

bernama Membalik Mata Menipu Pandang


Tidak ada satu orangpun yang menduga, tidak ada 

yang menyangka maupun mampu mencegah ketika 

Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras 

sama-sama lari lalu menghujamkan kepala masing-

masing ke dinding jurang batu pualam. 

Suara remuknya kepala kedua orang ini terdengar 

luar biasa menggidikkan! Tubuh mereka tergelimpang 

tak bernyawa di atas gundukan batu di samping ka-

wah di dasar jurang. Untuk beberapa lama keadaan di 

tempat itu dipagut kesunyian. 

Gadis cantik berpakaian sutera putih palingkan 

kepala ke arah Raja Penidur. Datuk rimba persilatan 

ini maklum arti pandangan itu. Si gadis akan segera 

meninggalkan jurang batu pualam. 

Sebelum pergi, atas permintaan Si Raja Penidur 

gadis cantik berpakaian sutera putih mengusapkan 

sepasang keris Nagasona ke tubuh Datuk Sipatoka 

dan Manusia Paku Sandaka. Saat itu juga luka dalam 

yang dialami Datuk Sipatoka akibat hantaman Ratu 

Ular tadi serta merta menjadi sembuh. Sementara 

sapuan dua keris sakti membuat tiga puluh paku baja 

putih yang menancap di sekujur kepala, muka dan 

tubuh Sandaka tercabut bermentalan, jatuh ke dalam 

dasar jurang. Tubuh Sandaka kepulkan asap berbau 

busuk. 

Si Raja Penidur menguap lalu kucak mata dan 

berkata. 

"Terima kasih, kau telah mengobati dua sahabat 

kami. Gadis utusan penjemput sepasang keris sakti, 

kau boleh pergi. Serahkan keris Nagasona pada pemi-

liknya di pantai selatan. Jika sebentar nanti kau be-

rada di atas jurang, ada seorang Pangeran yang telah 

puluhan tahun menderita lumpuh. Tolong sembuhkan 

penyakitnya dengan keris sakti itu. Sampaikan sa


lamku pada Sang Penguasa Agung Samudera Sela-

tan.” 

Gadis yang diajak bicara hanya menjawab dengan 

anggukan kepala. Ketika dia memutar tubuh siap 

hendak melesat ke atas jurang, tiba-tiba Pendekar 212 

Wiro Sableng berseru. 

"Gadis cantik! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku juga 

menderita sakit. Mungkin luka dalam. Tolong sem-

buhkan. Usapkan keris sakti itu ke dadaku..." Lalu 

Wiro cepat-cepat buka kancing bajunya dan melang-

kah mendekati si gadis sambil sodorkan dada. Si gadis 

tertegun sesaat lalu tersenyum. 

Si Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir. Jaraknya 

dengan Wiro saat itu cukup jauh tapi seperti bisa 

mulur tangan itu menjadi panjang dan pipa lalu di-

ketukkan ke kepala murid Sinto Gendeng. 

"Anak sableng! Jangan berani macam-macam! 

Siapa tidak tahu akal bulusmu! Minta diusap segala!" 

"Plettaaakk!" 

Pipa Si Raja Penidur mandarat di kening Pendekar 

212 hingga saat itu juga jidat Wiro jadi benjut banjol 

sebesar telur ayam. Sakitnya bukan main karena Si 

Raja Penidur memang sengaja mengalirkan hawa sakti 

ke ujung pipa yang bisa membuat orang kesakitan 

setengah mati. Tapi Wiro juga tidak tinggal diam. Se-

belum ujung pipa mendarat di keningnya dia kerahkan 

tenaga dalam mengandung hawa lembut. Walau ke-

ningnya tetap benjol tapi ujung pipa Si Raja Penidur-

jadi bengkok! Membuat manusia gemuk sakti ini 

mendelik sesaat lalu kembali sepasang matanya redup 

dan dia menguap lebar-Iebar. 

Gadis cantik berpakaian sutera putih tertawa. Lalu 

dia meniup ke arah wajah Wiro. Saat itu juga benjol 

besar di kening sang pendekar dan rasa sakit serta


merta lenyap! Selagi Wiro tertegun si gadis sudah 

melesat ke atas jurang. 

"Ah, tidak diusap pun tak jadi apa. Nafasnya segar 

dan sejuk seperti embun pagi, seharum kembang 

melati! Rugi kau tidak merasakan tiupannya Kek!" 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

"Kelakuan konyolmu masih tidak berubah!" kata Si 

Raja Penidur sambil berusaha meluruskan pipanya 

yang bengkok. "Gadis hendak kau permainkan tadi 

bisa saja dia adalah si pemilik sapasang keris Naga-

sona yang sebenarnya..." 

Sambil mengusap kaning murid Sinto Gendeng 

bertanya. "Kalau begitu gadis tadi itu siapa sebenarnya 

Kek?" 

"Bagaimana kalau dia adalah Ratu Penguasa Sa-

mudera Selatan... " 

"Maksudmu Kek, Nyai Roro Kidul?" tanya Wiro 

lagi. 

"Apa ada Ratu lain yang jadi penguasa di kawasan 

itu?" tukas Raja Penidur. 

"Ah...!" Wiro jadi garuk-garuk kepala. 

Raja Penidur masih terus berusaha meluruskan 

pipanya yang bengkok tapi tidak bisa-bisa. Lalu dia 

mengomel, memaki pada Wiro. 

"Lihat pekerjaan kurang ajarmu, kalau pipa ini ti-

dak bisa kupergunakan lagi, aku akan membetot lepas 

menanggalkan salah satu tangannya. Tulang ta-

nganmu akan kujadikan pipa pengganti pipa bengkok 

sialan ini!" 

Wiro tertawa. Lalu membungkuk, ulurkan kepala 

dan meniup. Saat itu juga pipa yang bengkok lurus 

kembali. 

"Dasar anak setan!" Semprot Si Raja Penidur. 

Wiro tertawa gelak-gelak.


EMPAT


TEPAT empat puluh hari se-

telah peristiwa hebat di da-

sar jurang batu pualam di 

mana Ratu Ular dan Dewi Ular 

menemui kematian, pagi hari ke-

tika Sandaka Arto Gampito ter-

bangun dari tidurnya pemuda ini 

tersentak kaget lalu berteriak 

keras. Dia dapati tiga puluh paku 

baja murni yang sebelumnya te-

lah lenyap dari kepala dan tu-

buhnya kini muncul dan ada lagi. 

Teriakan sang murid membuat 

Datuk Sipatoka mendatangi. 

Orang tua ini tertegun begitu melihat apa yang terjadi 

dengan si pemuda. 

“Sandaka, seperti apa yang sudah aku katakan 

padamu, seharusnya pagi ini kau boleh meninggalkan 

goa. Tapi dengan adanya kejadian ini…" 

"Datuk, bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana 

paku-paku jahanam ini muncul lagi dan menancap di 

kepala, muka serta tubuhku? Apakah ini pekerjaan 

jahat roh Datuk Bululawang yang dulu menancapkan 

paku-paku celaka ini?" 

Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam merenung 

sejenak lalu gelengkan kepala. Mulutnya berucap 

perlahan.


"Ini bukan pekerjaan roh Datuk Bululawang. Aku 

lebih menduga ini adalah perbuatan roh Ratu Ular 

atau Dewi Ular atau kedua-duanya. Sandaka, ikuti 

aku!" 

Sandaka ikuti gurunya keluar dari goa lalu turun ke 

dasar jurang. Mereka pergi ke bagian kawah di mana 

dulu atas tekanan Si Raja Penidur Ratu Ular dan Dewi 

Ular tewas melakukan bunuh diri. Dasar kawah di-

selimuti bau busuk. Dan di situ mereka hanya me-

nemui satu mayat yang telah sangat rusak. Dari si-

sa-sisa pakaiannya jelas bahwa mayat itu adalah 

mayat Ratu Ular. 

"Ini mayat Ratu Ular! Di mana mayat Dewi Ular?!" 

Sandaka berkata sambil memandang berkeliling. 

"Muridku, dugaanku tidak salah. Apa yang terjadi 

atas dirimu adalah perbuatan Dewi utar. Perempuan 

iblis itu tidak mati sungguhan. Dia pasti menggunakan 

satu ilmu kesaktian untuk menipu semua orang ketika 

dia mengikuti gurunya melakukan bunuh diri dengan 

membenturkan kepala ke dinding batu jurang." 

"Jadi Dewi Ular saat ini masih hidup?" 

Datuk Sipatoka anggukkan kepala. 

"Aku berlaku lalai. Seharusnya aku sudah dulu-

dulu turun ke dasar jurang ini untuk menyelidiki 

keadaan." Sang Datuk menarik nafas dalam lalu me-

nyambung ucapan. "Sandaka, aku terpaksa memba-

talkan rencana kepergianmu. Aku ingin kalau kau 

meninggalkan jurang batu ini keadaanmu bersih 

tanpa paku. Paling tidak aku mendapat petunjuk ba-

gaimana cara menyembuhkan dirimu.” 

"Mungkin aku harus pergi ke laut selatan. Mencari 

gadis berpakaian sutera putih itu. Meminta agar dia 

mau menolong diriku sekali lagi dengan sepasang keris 

Nagasona.”


Datuk gelengkan kepala. 

"Sampai kiamat mungkin kau tak akan bisa me-

nemui gadis itu, Kalaupun kau bisa menemuinya, 

belum tentu keris sakti Nagasona bisa dipergunakan 

untuk penyembuhan penyakit yang sama untuk kedua 

kalinya...” 

"Kalau begitu biar aku mencari Dewi Ular. Aku akan 

membunuh perempuan iblis itu. Akan aku cerai be-

raikan sekujur tubuhnya!" 

"Muridku, hal yang terbaik adalah memohon dan 

meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa." 

"Lalu apa yang harus kita lakukan, Datuk?" 

"Mari kita bersemedi." 

Setelah guru dan murid sama-sama bertapa salama 

dua puluh satu hari tanpa makan dan minum hingga 

tubuh meraka nyaris seperti jerangkong, akhimya 

sang guru mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. 

Petunjuk itu agak aneh, tapi bagaimanapun juga itu-

lah hasil yang didapat dan harus dilakukan demi ke-

sembuhan sang murid. 

"Sandaka, Yang Maha Kuasa telah memberi pe-

tunjuk padaku. Mungkin kau juga sudah merasakan 

getarannya di dalam tubuhmu." 

"Datuk, aku memang merasakan sesuatu dalam 

diriku. Aku mohon Datuk mau menjelaskan apa pe-

tunjuk yang Datuk dapats ekarang juga." 

Setelah menatap wajah muridnya yang malang itu 

sejurus, Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam 

memberi tahu bahwa keadaan diri Sandaka Arto 

Gampito bisa disembuhkan, puluhan paku dapat di-

lenyapkan kalau pemuda itu nikah dengan seorang 

perempuan berkepandaian tinggi berotak miring! Ma-

sih menurut petunjuk, bilamana Manusia Paku telah 

melakukan hubungan badan dengan perempuan yang


dinikahinya itu sebanyak 21 kali maka seluruh paku 

yang menancap di tubuhnya akan rontok dan musnah. 

Lama Sandaka termenung. "Siapa perempuannya 

yang mau dinikahi oleh lelaki seperti diriku ini?" Ucap 

si pemuda lirih. 

Datuk Sipatoka terdiam sesaat. Hatinya merasa 

terenyuh mendengar ucapan sang murid. 

"Perempuan gila alias sinting itu petunjuk yang aku 

dapat. Datangnya dari Yang Di Atas. Kau tak perlu 

meragukan..." kata Datuk Sipatoka pula. 

Maka pada suatu hari atas perkenan sang guru 

Manusia Paku pergi meninggalkan jurang batu pualam 

disertai pesan bahwa dia tidak boleh kembali kecuali 

menemukan dan membawa perempuan dimaksud. 

Selain itu dia juga tidak boleh mempergunakan semua 

ilmu silat dan ilmu kesaktian yang didapatnya dari 

sang guru secara sembarangan terutama sebelum 

dirinya mengalami kesembuhan dari paku baja putih. 

Ternyata tidak mudah bagi Manusia Paku Sandaka 

mencari dan mendapatkan perempuan seperti yang 

disyaratkan oleh sang guru. Memang dia bisa mene-

mukan perempuan gila di mana-mana, mulai dari yang 

muda sampai tua renta. Namun yang memiliki ilmu 

kepandaian tinggi itulah yang sulit dicari. 

Setelah menghabiskan waktu hampir dua tahun 

mencari dan dalam keadaan putus asa akhirnya suatu 

hari dari suami istri pedagang mainan anak di Kotaraja 

Sandaka mendengar cerita tentang seorang perem-

puan muda berwajah cantik, berotak tidak waras tapi 

memiliki ilmu silat dan kasaktian tinggi. 

Sandaka melakukan penyelidikan sampai dia 

mendapatkan kabar yang lebih jelas tentang kebera-

daan perempuan muda berotak miring itu. Dari kabar 

yang disirapnya diketahui perempuan itu bernama Nyi


Retno Mantili tinggal di tempat kediaman seorang 

kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas di 

puncak Gunung Gede dan ada dugaan bahwa sang 

Kiai menjadi pelindung bahkan telah mengambil pe-

rempuan itu menjadi muridnya. 

Maka Manusia Paku Sandaka segera berangkat 

menuju puncak Gunung Gede. Seperti yang ditutur-

kan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Perjodohan 

Berdarah" Manusia Paku sampai di tempat kediaman 

Kiai Gede Tapa Pamungkas ketika sang Kiai tengah 

bicara dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu 

Duyung parihal perjodohan mereka. Karena tidak 

menemui Nyi Retno Mantili dan tidak punya urusan 

dengan segala perjodohan sang pendekar sahabatnya 

itu diam-diam tanpa diketahui siapapun Manusia 

Paku tinggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. 

Mungkin memang sudah berjodoh bahwa dia a-

khirnya akan bertemu dengan orang yang dicarinya. 

Suatu hari ketika kejadian Nyi Retno Mantili dikeroyok 

kedua kalinya oleh Tiga Momok yang hendak mem-

bunuh dan mengorek isi tubuhnya, Manusia Paku 

menyelamatkan perempuan itu. 

Merasa orang telah menyelamatkan nyawa Nyi 

Retno Mantili bersikap bersahabat dengan Manusia 

Paku dan mau saja diajak ikut untuk menemui Datuk 

Sipatoka. Dalam perjalanan berkali-kali Nyi Retno 

Mantili mengatakan bahwa ayah dari Kemuning, bo-

neka kayu yang dianggapnya sebagai anak, adalah 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Manusia Paku yang kenal 

baik dengan Wiro hanya tertawa gelak-gelak men-

dengar ucapan Nyi Retno Mantili. Saat itu Manusia 

Paku Sandaka berkata


"Aku tahu, kau memang punya suami. Mustahil 

kau punya anak tapi anakmu tidak punya ayah. 

Suamimu adalah Patih Kerajaan bernama Wira Bumi. 

Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di 

tangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu hendak 

menyelamatkan bayimu?" 

"Kau sama saja gilanya dengan yang lain-lain!" Kata 

Nyi Retno Mantili dengan nada kesal dan wajah cem-

berut. 

"Maksudmu?" tanya Sandaka sambil usap wajah-

nya yang penuh ditancapi paku baja putih. 

"Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak 

kenal siapa itu Wira Bumi! Aku tidak punya bayi selain 

Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan 

Patih Kerajaan!" 

"Lalu siapa?!" 

"Pendekar 212 Wiro Sableng." 

Manusia Paku kaget sampai hentikan lari. Dia tu-

runkan Nyi Retno Mantili dari panggulannya dan 

bertanya. "Siapa? Kau tadi menyebut siapa?!" 

"Apa kau tuli?!" 

"Tidak. Aku tidak tuli. Tapi coba katakan sekali la-

gi!" Nyi Retno Mantili runcingkan bibirnya yang mu-

ngil. 

"Ayah Kemuning itu Pendekar 212 Wiro Sableng! 

Nah dengar sekarang? Ngerti sekarang?" 

Manusia Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili 

beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak. 

KETIKA beberapa waktu kemudian Manusia Paku 

Sandaka sampai di goa batu pualam dengan membawa 

Nyi Retno Mantili, pemuda ini mengalami hal yang 

sungguh tidak terduga. Di dalam goa dia tidak me


nemukan Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam 

sang guru, tapi yang dijumpainya di situ sesosok je-

rangkong tengkorak manusia, tergeletak di lantai goa 

tersandar ke dinding. 

"Jerangkong siapa?" tanya Nyi Retno Mantili begitu 

diturunkan dari panggulan bahu kiri. "Anakku Ke-

muning bisa sakit ketakutan." Lalu perempuan ini 

mendekapkan boneka kayu ke dadanya. Dia meman-

dang berkeliling. Lalu bertanya lagi. "Mana gurumu? 

Apa jerangkong lni gurumu?" 

"Diam dulu Nyi Retno.” Kata Manusia Paku dengan 

suara bergetar. "Jangan banyak bertanya. Aku... se-

suatu terjadi di dalam goa ini, Aku tidak tahu apa ini 

jerangkong guru atau siapa... " Kata Manusia Paku 

pula sambil sepasang matanya memperhatikan se-

kujur jerangkong mulai dari kepala sampai ke kaki. 

Ketika dia memperhatikan leher dan tangan kiri je-

rangkong, pemuda ini berteriak keras. Di leher je-

rangkong melingkar sebuah kalung dan di lengan kiri 

ada gelang hitam. Keduanya terbuat dari akar bahar. 

Dia sangat mengenali. Kalung dan gelang itu adalah 

milik gurunya semasa hidup. Berarti jerangkong yang 

ada di hadapannya itu adalah jerangkong Datuk Si-

patoka alias Manusia Batu Pualam. 

Manusia Paku berteriak sekali lagi hingga seantero 

goa batu bergetar dan Nyi Retno Mantili sampai ter-

huyung-huyung, cepat-cepat menutup dua telinganya 

yang terasa sakit. 

"Guru! Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Teriak 

Manusia Paku Sandaka sambil jatuhkan diri dan 

merabai jerangkong mulai dari tengkorak kepala 

sampai ke pinggang. Mulut terisak menahan tangis. 

"Guru, siapa yang melakukan perbuatan keji ini?! 

Siapa yang membunuhmu?!


Sambil berteriak Manusia Paku pukulkan tinju 

kanannya berulang kali ke lantai goa hingga lantai 

batu itu pecah-pecah dan melesak.


LIMA


"MANUSIA sinting. 

Mengapa kau me-

nangisi jerangkong 

yang belum ketahuan gurumu 

atau bukan... Nyi Retno Mantili 

menegur. 

"Diam!" teriak Manusia Paku 

marah menggeledek hingga Nyi 

Retno Mantili tersurut mundur. 

"Aku pasti sekali ini jenazah gu

ruku! Aku mengenali kalung dan 

gelang akar bahar yang masih 

melekat di leher dan lengan ki-

rinya! Jangan kau berani me-

ngacau jalan pikiranku dengan ucapan ma-

cam-macam!" 

“Siapa yang membuat pikiranmu kacau. Pikiranmu 

justru kacau sendiri! Hik…hik! Bagaimana kalau je-

rangkong ini bukan jerangkong gurumu tapi jerang-

kong orang lain. Lalu ada lagi seorang lain yang 

menggantungkan kalung di leher dan melingkarkan 

gelang di tangan. Apa tidak kacau?! Kau tidak bisa 

meyakini ini jerangkong gurumu atau bukan! 

Hik...hik!" 

"Diam!" Sandaka kembali menghardik. Sepasang 

matanya tampak menyala merah dan basah oleh air 

mata. "Aku yakin ini adalah jerangkong Datuk Sipatoka!"


"Hik...hik, aku sudah sering melihat orang me-

nangisi jenazah. Tapi kalau yang menangisi jerang-

kong baru sekali ini!" 

"Perempuan sinting! Sekali lagi kau berani bicara 

ngaco, kupatahkan batang lehermu!" Teriak Manusia 

Paku lalu melompat dan mencekik leher Nyi Retno 

Mantili. 

"Hik...hik! Kalau begini sifat manusia yang mau 

menikahi diriku lebih baik aku minggat! Sudah seram 

mengerikan tak karuan rupa, bau, kasar pula! Ke-

muning, mari kita tinggalkan tempat ini! Mari kita cari 

ayahmu!" 

Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili tendangkan 

kaki kanannya ke perut Manusia Paku. Kelihatannya 

tendangan asal-asalan saja tapi sebenarnya me-

ngandung tenaga dalam tinggi pemberian Kiai Gede 

Tapa Pamungkas. 

"Bukkk!" 

Tubuh tinggi besar Manusia Paku Sandaka ter-

pental, punggung terbanting ke dinding. Perutnya 

walau tidak cidera tapi sakit bukan kepalang seperti 

mau pecah. Aneh dia tidak unjukkan tampang marah. 

Seperti sadar mendengar ucapan orang, Sandaka ja-

tuh berlutut di lantai goa. Ketika dia melihat Nyi Retno 

Mantili memutar tubuh hendak melangkah keluar goa, 

dengan suara sayu pemuda ini berkata. 

"Aku mohon, jangan pergi…" 

Nyi Retno Mantili hentikan langkah. Dia mengusap 

kepala boneka seraya berkata. "Kemuning, ada lelaki 

cengeng meminta kita jangan pergi. Bagaimana me-

nurutmu? Apa kita tinggalkan saja dia?" 

"Nyi Retno, kau harapanku satu-satunya untuk 

mendapatkan kesembuhan. Aku mohon jangan pergi…"


"Hemmm... Untung anakku menggelengkan kepala 

tanda dia tidak mau pergi. Aku mengikuti apa katanya. 

Baiklah, aku tidak mau pergi. Asal kau tidak kasar lagi 

padaku...” 

"Nyi Retno, aku berjanji tidak akan kasar lagi pa-

damu. Dan aku berterima kasih kau tidak mening-

galkan diriku. Aku akan memeriksa jenazah guruku 

sekali lagi." 

"Buat apa periksa lagi. Dia sudah menemui ajal. 

Mungkin sudah lebih dari setahun lalu dia meng-

hembuskan nafas jadi mayat..." 

"Mungkin lebih dari itu. Mungkin dua tahun lalu. 

Tak lama setelah aku meninggalkannya, pergi menca-

rimu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang menye-

babkan kematian guru." 

"Apa kau tidak melihat ada tanda berupa bintik 

kebiru-biruan di pertengahan keningnya?" Ucap Nyi 

Retno Mantili pula. 

Manus!a Paku Sandaka terkejut. Dia perhatikan 

kening tengkorak. 

"Aku tidak melihat bintik biru yang kau katakan 

itu." Berkata Sandaka. 

"Coba kau bersihkan tengkorak di bagian kening." 

Sandaka memperhatikan. Bagian kening tengkorak 

memang kotor, diselimuti lumut tipis dan debu yang 

banyak beterbangan di musim kering 

seperti itu. Perlahan-Iahan Sandaka usap-usap 

kening tengkorak. Begitu debu dan lumut tipis pupus 

dia memang menemukan satu bintik biru bahkan 

bukan cuma bintik tapi membentuk lobang kecil 

seujung jari kelingking. Sandaka berpaling kagum 

pada Nyi Retno. 

"Matamu tajam karena kau memiliki kesaktian 

yang orang lain tidak memiliki. Yang Kuasa memang


telah memberi petunjuk bahwa kaulah satu-satunya 

orang yang bisa menjadi penyembuh keadaan diri-

ku..." 

Tiba-tiba dari lobang itu meneuat keluar kepala 

seekor ular hitam belang coklat bermata merah. Begitu 

keluar dari lobang tengkorak binatang ini berubah 

besar dan dengan gerakan kilat meliuk menyambar ke 

arah kepala Manusia Paku Sandaka. 

"Awas!" teriak Nyi Retno Mantili memperingatkan. 

Walau tidak melihat tapi Sandaka bisa mendengar 

suara mendesis. Dia tahu ada bahaya besar mengan-

cam. Dengan cepat dia bergerak mundur sambil pa-

lingkan kepala. Saat itulah dia melihat ular hitam 

besar belang coklat. 

"Mahluk jahanam! Pasti kau yang membunuh gu-

ruku!" 

"Settt!" 

Mulut ular hitam belang coklat yang memiliki gigi-

gigi runcing berbisa mematuk keras tepat di perte-

ngahan kening Manusia Paku. 

"Plaaakk!" 

ManusiaPaku Sandaka terlempar, jatuh terduduk 

di lantai goa. Kepala ular terpental, darah mengucur 

dari mulutnya yang hancur. Apa yang terjadi? Ketika 

patukan maut mendarat di kening Manusia Paku,saat 

itu juga kening pemuda itu berubah menjadi lapisan 

batu pualam putih keabu-abuan, keras atos luar bi-

asa. 

Ilmu yang selama ini dituntut dari Datuk Sipatoka 

alias Manusia Batu Pualam keluar dengan sendirinya, 

melindungi si pemuda dari ancaman maut! Selagi ular 

besar terhuyung-huyung keluarkan desis kesakitan 

Manusia Paku gerakkan tangan kiri. 

"Kraakkk


Kepala ular hancur dalam remasan tangan kiri 

Sandaka. Bangkai ular kemudian dilempar ke luar 

goa, masuk ke dalam jurang. Sebelum menyentuh 

dasar jurang, selagi melayang di udara bangkai itu 

tiba-tiba membentuk bola api lalu meledak bertabur-

an. 

"Ular jejadian!" Ucap Nyi Retno Mantili. Perempuan 

muda ini usap kepala boneka kayu. "Kemuning tempat 

ini sangat berbahaya bagi diri klta. Manusia paku 

bruntalan! Aku ingin kau membawaku keluar dari sini 

sekarang juga! Lupakan segala macam pernikahan!" 

Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa pe-

rempuan. 

"Sandaka! Ternyata kau masih tetap perkasa. Ma-

lah lebih perkasa dari dua tahun silam! Hanya sayang 

kau melakukan hal yang aku tidak suka! Kau datang 

membawa seorang calon istri, perempuan sinting gila! 

Jika kau mau membunuh perempuan itu di hadap-

anku, kuampuni selembar nyawamu! Dan kita berdua 

akan hidup berdampingan kembali!" 

Nyi RetnoMantili tersentak kaget. Dia balas tertawa. 

Suara tawanya melengking panjang dan dalam sampai 

ke dasar jurang. 

"Kemuning ada mahluk betina jejadian ingin orang 

membunuh ibumu! Sungguh aku ingin melihat tam-

pangnya. Kalau bicaranya ngacok, tampangnya pasti 

jelek tidak karuan! Hik...hik...hik!" 

Manusia Paku sendiri, yang mengenali suara itu 

terkejut besar. Dia memandang berkeliling. Lari ke 

mulut goa tapi tidak melihat siapa-siapa. 

"Perempuan yang barusan bicara! Aku tahu kau 

siapa! Aku mengenali suaramu!" Sebagai jawaban 

kembali terdengar suara tertawa panjang.


"Sandaka! Aku benar-benar merasa bahagia. Kau 

masih mengenali suaraku. Itu tak lain satu pertanda 

bahwa kau masih mencintai diriku!" 

"Dewi Ular! Perlihatkan dirimu!" teriak Sandaka. 

Rahang menggembung, mata menyala. 

Tiba-tiba dari dasar jurang batu mencuat keluar 

satu cahaya hitam dan wuss! Cahaya ini melesat di 

depan mulut goa, membentuk ujud mahluk yang 

membuat Nyi Retno Mantili terpekik dan cepat-cepat 

memeluk erat boneka kayu dalam gendongannya.


ENAM


DI DEPAN mulut goa berdiri 

sosok perempuan berpa-

kaian hijau panjang. 

Rambut tergerai awut-awutan. 

Tubuh sebatas pinggang ke ba-

wah berbentuk ular berwarna 

hijau belang hitam. Wajahnya 

yang sebenarnya cantik terlihat 

mengerikan karena bagian kening 

rengkah, hidung dan mata kiri 

melesak. Di atas kepala ada se-

buah mahkota kecil terbuat dari 

emas berupa kepala ular dalam 

keadaan penyok setengah hancur 

dan melesak ke dalam batok kepala. Tangan kanan 

yang tertutup lengan pakaian buntung sebatas per-

gelangan. Buntungan ini disambung tangan besi 

dengan lima jari membentuk kepala ular. 

Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya 

untuk sesaat Sandaka jadi tertegun. Betul apa yang 

dikatakan mendiang gurunya dua tahun silam. Dewi 

Ular masih hidup! Sandaka membentak. 

"Dewi Ular! Akui terus terang! Kau telah membunuh 

guruku Datuk Sipatoka! Dan kau juga yang mence-

lakai diriku dengan paku-paku keparat ini!" 

Perempuan setengah manusia setengah ular di 

depan goa menyeringai lalu dongakkan kepala. Setelah


menghambur tawa panjang dia menjawab bentakan 

Manusia Paku Sandaka. 

"Aku membunuh siapa saja yang menyatakan diri 

sebagai musuhku. Aku mencelakakan siapa saja yang 

mencelakakan diriku! Lihat! Buka matamu lebat-lebar! 

Lihat! Apa yang terjadi dengan diriku! Ini semua gara-

gara perbuatan terkutukmu bersama teman-temanmu 

tokoh rimba persilatan! Aku memang telah membunuh 

gurumu tua bangka busuk bernama Datuk Sipatoka 

itu! Kalau aku sudah membunuh sang guru, apa sa-

lahnya saat ini aku juga membunuh muridnya. Seka-

ligus bersama gendak perempuan sinting yang hendak 

kau nikahi!" 

"Perempuan iblis! Dosamu selangit tembus sedalam 

lautan! Kau tak layak hidup lebih lama di muka bumi 

ini!" 

Dewi Ular tertawa tinggi. 

"Aku mau lihat kau mau berbuat apa!" 

Habis berkata begitu sosok Dewi Ular meluncur ke 

atas. Dalam keadaan mengambang di depan mulut goa 

tiba-tiba laksana kilat, wuutt! Ekornya menyambar ke 

depan. 

Sambaran ekor yang sanggup menghancurkan batu 

sebesar rumah ini melesat ke depan. Yang diserang 

bukannya Manusia Paku Sandaka tapi justru Nyi 

Retno Mantili! 

"Nyi Retno! Awas!" teriak Sandaka melompat ke 

depan. Tangan kiri menarik Nyi Retno Mantili ke dalam 

goa, tangan kanan menangkis serangan ekor ular. 

Sesaat lagi ekor ular siap menggebuk hancur ta-

ngan kanan Sandaka, tiba-tiba tangan itu mulai dari 

ujung jari sampai sebatas bahu berubah menjadi putih 

kelabu. 

"Plaakk! Blaaarrr


Lapisan batu pualam sakti yang menyelubungi 

tangan Manusia Paku Sandaka hancur berkeping-

keping. Pemuda ini terjengkang di lantai goa, nyaris 

menghimpit tubuh Nyi Retno Mantili yang sudah lebih 

dulu tergeletak di lantai goa setelah ditarik Sandaka. 

Dewi Ular menjerit keras. Bukan saja karena marah 

melihat Sandaka tidak mengalami cidera tapi juga 

ketika melihat ekornya yang berbentuk ular luka besar 

nyaris buntung. 

"Manusia jahanam! Aku mau Iihat apa Ilmu Batu 

Pualammu sanggup menghadapi Ilmu Tujuh Api Si-

luman!" Habis berteriak Dewi Ular gembungkan mulut 

lalu menghembus. Dari sepasang mata, dua lubang 

hidung, mulut dan dua liang telinga menyembur ke-

luar tujuh gelombang api, membuntal membentuk 

kepala mahluk siluman mengerikan. 

Nyi Retno Mantili menjerit. Dalam ketakutan dan 

marahnya perempuan ini remas pinggang boneka 

kayu. Dua larik sinar putih mencuat dahsyat dari dua 

mata boneka kayu, melabrak ke arah dua siluman api. 

Ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala! Dua siluman 

api menggerung keras, hancur berkeping-keping. Dua 

siluman api lainnya segera menyerbu Nyi Retno tapi 

dihantam dengan dua larik sinar hijau yang me-

nyembur keluar dari sepasang matanya. 

Tiga siluman api yang masih ada menggembor ke-

ras. Satu menyerang ke arah Nyi Retno Mantili, dua 

lainnya menerjang Sandaka. Saat itu tiga mahluk si-

luman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola 

api yang serta merta memenuhi goa dan siap mem-

bakar kedua orang itu. Sandaka cepat terapkan Ilmu 

Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga 

seluruh tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki 

berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam.


Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi-

bagaimana dengan Nyi Retno? 

"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan mem-

bantumu." teriak Sandaka. 

"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini ber-

samamu!" jawab Nyi Retno Mantili yang membuat 

Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia 

memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya. 

"Kalian berdua rupanya sudah saling mencinta!" 

Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi di-

katakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan ber-

terima kasih padaku karena memberi kesempatan bagi 

kalian untuk mati bersama!" 

Sandaka berbisik pada Nyi Retno. 

"Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu! 

Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing 

untuk mengetahui di mana dia berada! Aku perlu 

bonekamu!" 

"Untuk apa?" tanya Nyi Retno. 

"Lihat saja nanti." 

"Akan kuserahkan... Tapi aku mau tanya satu hal 

dulu. Hik...hik...hik. Kau pasti marah.” 

" Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!" 

"Aku tahu, tapi ini urusan penting!" 

"Cepat katakan apa yang mau kau tanya?!" 

"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati. 

Apa kau masih hendak menikahi diriku?!" 

"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus 

bisa keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!" Ja-

wab Sandaka. "Boneka kayu…" 

Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka 

seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi 

anakku Kemuning. Satu saja rambutnya kau buat 

rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"


Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang 

matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna 

menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang 

pinggang boneka kayu erat-erat. 

"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama 

asli Dewi Ular. "Kalau kau menghentikan serangan api 

siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa 

ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona 

padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyem-

buhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah 

serta tubuh ularmu!" 

"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku?! Keris 

Nagasona ada di pantai selatan!" 

"Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya 

Ratu Laut Selatan untuk memegang sepasang keris 

mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!" 

Dewi Ular tertawa panjang. 

"Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tu-

buhmu masih ditancapi paku? Mengapa kau tidak 

mampu menyembuhkan diri sendiri?!" 

"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penya-

kit yang sama pada diri seseorang sampai dua kali." 

"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya 

dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau 

menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api ber-

sama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan 

keris Nagasona. "DewiUlar meniup ke depan. Kobaran 

api menggemuruh, bergerak mendekati Sandaka dan 

Nyi Retno Mantili. 

"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya se-

karang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha 

mengambil boneka kayu dari tangan Sandaka. 

"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah 

aku katakan!" kata Sandaka penuh kawatir Nyi Retno


akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka 

tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api si-

luman. 

"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris 

Nagasona tidak punya kemampuan melawan api. Keris 

ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk 

menyembuhkan diri. Apa kau tidak ingin hidup sam-

pai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam 

keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan 

tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular se-

perti sekarang ini?!" 

Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak. 

"Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke 

arahku!" 

"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas 

berteriak Sandaka. Tiba-tiba gelombang api siluman 

mereda. Namun Sandaka masih belum melihat pe-

rempuan itu. 

"Kunti! Aku belum melihatmu!" 

"Aku di sini!" 

Gelombang api menyurut turun sampai sebatas 

dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang 

disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas. 

Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perem-

puan itu. 

"Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke 

arahmu!" teriak Sandaka. 

"Lakukan cepat!" 

"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno 

Mantili keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!" 

"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat 

lemparkan keris Nagasona!" 

Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya. 

Yang ada di tangan itu bukansepasang keris Nagasona


tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu 

cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pe-

muda memancar menyorot terang. 

"Hai! Mana kerisnya?! teriak Dewi Ular sambil 

mengapungkan diri ke atas, Saat itulah dia melihat 

sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya 

hijau! 

"Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!" 

Dewi Ular gerakkan tangan kanannya. Manusia 

Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet 

pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan 

melesat keluar dari sepasang mata boneka. Bersa-

maan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur 

pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak ter-

tutup pemandangannya oleh nyala kobaran api baru 

menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar 

maut sudah berada di depan matanya! 

Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih 

berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlam-

bat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala, 

dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih 

lama Sandaka segera melesat keluar goa sambil 

mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas 

jurang batu pualam. Namun hawa panas api siluman 

telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi seba-

gian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan 

tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu 

mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya 

melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno 

Mantili maka daya jatuh ke bawah jadi dua kali lebih 

cepat. 

Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding 

jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak lelu-

asa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus la


pisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang 

dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke 

arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan 

dinding jurang! 

"Braakk!" 

Punggung dan batu yang menonjol beradu keras. 

Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur 

luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili ter-

lepas. 

"Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menye-

lamatkanmu!" Sandaka berseru lalu pemuda ini jatuh 

pingsan.Tubuhnya melayang ke dasar jurang. 

Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan beru-

saha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah 

menyusul jatuhnya Sandaka. Dia berusaha menggapai 

tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh. 

"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan 

dirimu!" Teriak Sandaka. 

"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa?! 

Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersa-

mamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi 

Retno Mantili yang selama ini diketahui memiliki otak 

tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati ber-

sama dengan Manusia Paku Sandaka!


TUJUH


HNYA beberapa kejapan 

mata tubuh Sandaka 

akan terhempas di dasar 

jurang yang dipenuhi batu pua-

lam keras dan runcing, hanya 

beberapa saat saja kepala Nyi 

Retno Mantili akan membentur 

dinding jurang, tiba-tiba di atas 

jurang ada teriakan teriakan ke-

ras. Lalu tampak dua orang ber-

kelebat terjun ke dalam jurang. 

Gerakan mereka ringan dan sebat 

sekali. Laksana dua ekor burung 

raksasa keduanya melayang 

menuju dasar jurang batu pualam. Yang satu me-

nyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, sa-

tunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili. 

Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua 

orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang me-

layang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di se-

la-sela bebatuan di dasar jurang. 

“Syukur…syukur kita bisa menyelamatkan mereka. 

Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa 

sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku te-

rasa dingin. Kukira bulu ketiakku rontok semua. 

Ternyata masih utuh. Hik...hik…hik." 

Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk 

gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet


warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang 

lebat tebal hitam tersembul keluar. Dia yang barusan 

menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah 

aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis 

kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari pe-

rak. Rambut seperti lidi, tegak mencuat di atas kepala. 

Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah. 

Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili 

adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat ke-

pala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot 

dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi 

Retno Mantili. 

"Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkang-

anku terasa dingin. Kantong menyanku seperti hilang! 

Waktu kuraba untung masih ada!" 

Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu ter-

tawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam 

keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan 

dan tertawa gelak-gelak? 

Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro 

Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah 

Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu 

bersama komplotannya pernah hendak membunuh 

Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan 

ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa 

berada di tempat itu dan sama-sama memberi perto-

longan? 

Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro 

Sableng "Janda Pulau Cingkuk") Pendekar 212 mene-

rima penjelasan dari Bujang Gila Tapak Sakti bahwa 

Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka 

ke tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau 

Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk melenyapkan puluhan paku yang menancap di kepala, 

wajah dan tubuhnya. 

Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno 

Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata 

yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang 

Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana 

letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah 

Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cem-

paka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng se-

gera berangkat menuju jurang batu pualam tempat 

kediaman guru Sandaka. 

Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro 

tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang 

juga tengah menuju ke tempat yang sama guna me-

nyambangi Sandaka yang pernah mengampuni ji-

wanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh 

Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul 

"Perjodohan Berdarah") Wiro sendiri sebelumnya juga 

telah pernah bertemu dengan Denok Tuba Siru se-

waktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya 

pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu 

Nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu

ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca 

"Si Cantik Gila Dari Gunung Gede") 

Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot 

berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh 

berdada besar dan berperut gembrot serta berpaha 

gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan 

punya niat jahat. 

"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-

macam terhadapku, mukamu yang tembam akan 

kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ke-

tiakmu aku cabuti sampai botak!"


Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru ber-

surut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan. 

"Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai 

bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti 

bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan 

mencium! Kalau kau mau boleh saja!" Lalu si gembrot 

ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal hi-

tam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tu-

buhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah 

perut bergoyang-goyang. 

Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan 

bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini 

cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu 

dan jorok-jorok! 

Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang 

batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka 

mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali 

itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada 

dua tubuh melayang jatuh ke dasar jurang, tidak 

tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera 

terjun ke dalam jurang. 

Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara 

luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi 

Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retna Mantili walau 

masih pingsan tampaknya tidak mengalami cidera. 

Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah 

belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-

biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya 

dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam. Sehingga ketika 

punggungnya menghantam tonjolan batu runcing di 

dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-

ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-

matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata 

pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Dia


hanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan. 

Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan 

mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun 

tidak berhasil. 

" Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu 

Pualam seharusnya aku sudah mati saat ini. Mati 

akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka 

keluarkan ucapan menyesali nasib. 

"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau 

hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat 

benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan 

segera sembuh." Wiro menghibur. 

"Aku berterima kasih kalian telah datang menolong. 

Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah 

tiada. Aku tidak mampu menyelamatkannya. Kalau-

pun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka 

ini tidak akan pernah lenyap dari tubuhku." 

"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam kea-

daan selamat. Tapi masih pingsan." Menerangkan 

Denok Tuba Biru. 

Sementara perempuan gemuk ini berusaha me-

nyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan 

apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perem-

puan iblis Dewi Ular itu benar-benar telah menemui 

ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam 

ujud mahluk jahat Lainnya.” 

Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan 

nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan 

Nyi Retno Mantili yang baru sadar dari pingsan. 

"Sandaka...” Ucapan itu pertama kali keluar dari 

mulut Nyi Retno Mantili. Lalu perempuan ini bergerak 

duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama. 

anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling. 

Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur


dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini 

kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!" 

Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar 

ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan 

sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja. 

"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!" 

Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik 

dada pakaiannya lalu kepala boneka itu diusap-

usapkannya ke pipi Pendekar 212. 

"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau 

tidak menangis. Bagus...bagus. Aku memang tidak 

suka punya anak cengeng. Hik...hik...hik." 

Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi 

terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu. 

Wiro belai belakang kepala Nyi Retno. 

"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau 

dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau sela-

mat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi... " 

"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana 

dia?!" 

"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu 

telah menyelamatkan diriku. Telah menyelamatkan 

kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku ber-

syukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi 

diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas... " 

Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro 

lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku San-

daka. 

"Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular 

itu! Aku bersumpah!" 

"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang 

membunuhnya waktu di goa. Apa kau tidak ingat?" 

"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Ti-

ba-tiba sepasang mata Nyi Retno Mantili terpentang


lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jerit-

an keras. Tangan kiri menunjuk ke arah dinding ju-

rang sebelah kiri. 

"Ada apa Nyi Retno? "tanyaWiro. 

Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia me-

rasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa. 

"Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di 

sana!"Teriak Nyi Retno Mantili. 

Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pembe-

rian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang 

ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gen-

deng tercekat. Tengkuknya terasa dingin. 

"Gila! Bagaimana mungkin!"


DELAPAN



YANG disaksikan Pendekar 

212 memang luar biasa. 

Mengapung di depan 

dinding jurang sebelah timur. 

Tampak sosok Dewi Ular dalam 

keadaan tanpa pakaian sama 

sekali. Tubuh bugil itu menge-

luarkan cahaya kebiruan meng-

gidikan. Wajahnya yang cantik 

pucat pasi seperti mayat Dan 

sepasang mata, dua liang telinga 

dan dua lobang hidung serta dari 

mulut, menggeliat-geliat ular 

merah berbelang hitam. Bina-

tang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta 

lobang duburnya! 

"Mati.... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini 

harus mati! Harus ikut bersamaku ke alam arwah! 

Matiii! Hik…hik…hik!” 

Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan 

yang lain-lainnya yang berada di dasar jurang. Dari 

sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur 

keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang 

batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya 

merah. 

Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat, 

mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212 

Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka


maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar 

dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah 

datangnya serangan Dewi Ular. Wiro tidak tinggal 

diam. 

Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih 

perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-

haya putih luar biasa panas menderu, mendorong 

Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi 

dilepaskan Nyi Retno Mantili. Itulah Pukulan Sakti 

Sinar Matahari! 

"Bummm! Bummmm!" 

Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang. 

Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian 

dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di 

dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan 

muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang ter-

dengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan 

srigala gurun pasir! 

Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap 

tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi 

Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan 

wajah pucat pasi. Dada mendenyut sakit. Wiro sendiri 

jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke 

depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang 

hebat. 

Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan 

Sepasang Batu Kumala lenyap bersamaan dengan 

musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jeja-

dian. Sosok sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi 

Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam jurang kini meng-

hampar bau kemenyan yang membuat semua orang 

jadi bergidik mengkirik. 

Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru. 

"Apa yang terjadi?”


"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi 

Retno menjerit lalu ada cahaya merah. Wiro dan Nyi 

Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara 

jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang 

ada bau kemenyan." 

"Dewi Ular...” ucap Sandaka. "Kali ini dia akan 

tenggelam di alam arwah untuk selama-Iamanya. Dia 

tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi. 

Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan 

bau kemenyan menjadi akhir riwayatnya... Rohnya 

akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib 

dalam ujud seekor srigala..." 

"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya 

Denok Tuba Biru. 

"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya see-

kor ular. Keduanya mahluk jejadian yang sudah lama 

mendekam di alam gaib.” Menerangkan Sandaka. 

"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari di-

riku... Hik...hik!" Si gembrot bermuka biru tertawa 

cekikikan. 

Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil 

berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini. 

Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman.” 

"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan 

aku di tempat ini.” 

"Aku tidakakan meninggalkanmu. Kalau aku pergi 

kau juga harus ikut!" kata Nyi Retno Mantili pula. 

"Nyi Retno, kau danWiro saja yang pergi. Aku akan 

menunggui Sandaka di tempat ini sampai dia sembuh 

dari kelumpuhan." Berkata DenokTuba Biru. 

"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih 

kalian mau memperhatikan diriku.Tapi..." 

"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji." 

Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.


Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?" 

"Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah 

sembuh, kau tidak akan menikahiku!" 

Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa 

menatap. Wiro garuk-garuk kepala. 

"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan 

dari sengsara paku-paku celaka ini. Tekadku untuk 

hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun 

takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau sa-

tu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang 

tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah. 

Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah 

bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk sela-

ma-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan 

diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Ku-

asa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu 

lagi." 

Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata. 

"Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha meng-

obati sebisaku sampai cidera di punggung Sandaka 

sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah ber-

sama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat 

hendak membawanya menemui anaknya yang ber-

nama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit inga-

tannya?" 

"Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk ke-

pala. "Aku juga menginginkan kesembuhan sahabatku 

Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama 

bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno 

Mantili. "Nyi Retno..." 

"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan.” Menukas 

Nyi Retno Mantili. "Bagaimana mungkin aku bisa me-

nikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku 

Kemuning."


"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku... " 

"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Ke-

muning?!" Suara Nyi Retno Mantili setengah mem-

bentak."Lalu selama ini siapa kau sebenarnya?!" 

Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, meng-

geleng beberapa kali lalu berkata. 

"Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau 

sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau 

tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh 

kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di 

sini kau menolak. Lihat keadaan Sandaka, apa kau 

tidak kasihan?" 

"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah 

bilang mau nikah dengan dia!" 

Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu 

pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu 

orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka 

sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili 

memecah kesunyian. 

"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada di-

riku. sudah aku katakan. Aku akan menggendong 

Sandaka keluar dari dalam jurang ini.” 

"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat 

ini. Apapun yang terjadi. Kau pergilah bersama Wiro. 

Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian 

selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang me-

nungguiku di tempat ini." 

"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Ke-

muning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak 

akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili 

lalu dudukkan diri di atas satu gundukan batu. 

Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan 

melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena me-

nyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa


dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru 

kemudian mendekati Wiro lalu berbisik. 

"Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan 

Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya? 

Begitu saja repot!" 

Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu bebe-

rapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi 

batalkan niat dan balas berbisik. 

"Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi San-

daka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian 

tinggi. ..." 

"Lalu apa aku bukan perempuan? Banci? Hik...hik! 

Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian ting-

gi?" tanya Denok Tuba Biru sambi! tusuk-tusuk rusuk 

kiri Wiro dengan ujung jari tangan kanan hingga murid 

Sinto Gendeng menggeliat kegelian. 

"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang 

otaknya tidak waras alias gila alias sinting!" 

"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting be-

neran. Tapi gejala-gejalanya sudah ada. iya kan?! Aku 

punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak... 

Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi 

tolol! Ini bukan urusan bulu ketiak!" 

Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi. 

"Kau suka pada pemuda itu?"Wiro bertanya. 

"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku 

menginginkan dia bisa sembuh dan lepas dari azab 

tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan 

dia denganmu pun aku maul Hik...hik!" 

Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar 

Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini 

yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan. 

"Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menja-

wab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia


mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan 

edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia 

bisa mendapatkan kesembuhan dari pernikahan 

denganmu? Bagaimana kalau penyakitnya malah ke-

tambahan?!" 

Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini 

menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata ter-

akhir Pendekar212. 

"Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang 

ini saja menungguinya sambil berusaha mengobati." 

Kata si gembrot berbulu ketiak lebat. 

"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama 

menggotong Sandaka keluar dari dalam jurang. 

Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang 

baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat 

ada satu gubuk tua tak jauh dari jurang. Kita bisa 

membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi aku 

akan berusaha mencari seseorang untuk mengoba-

tinya..." 

"Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi 

Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?" 

"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan 

dia tidak akan mengikuti. Biar aku yang bicara pa-

danya." 

Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau 

diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan ke-

saktian yang dimilikinya perempuan ini membantu 

menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. De-

nok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro 

di bagian kaki. Sekali ketiganya mengerahkan tenaga 

dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok 

lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke 

atas jurang.


Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang 

terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh 

para penebang kayu di hutan untuk beristirahat. 

Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring be-

berapa saat Sandaka berkata. 

"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada 

di tempat yang aman dan baik. Wiro dan Nyi Mantili, 

sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi. 

Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken 

Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini. 

Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..." 

"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau?!" ucap 

Nyi Retno Mantili dengan mata melotot. Sandaka 

memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik. 

"Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa mem-

bawanya pergi dari sini." 

"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang. 

Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk mem-

bawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk 

kepala. Wiro ingat pada batu sakti milik Ratu Laut 

Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu 

itu." Kalau saja Batu Mustika Angin Laut Kencana 

Biru masih ada padaku...." 

"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara 

lain untuk pergi ke sana. Aku dengar kau punya ilmu 

kesaktian yang disebut Meraga Sukma...” 

Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak 

tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut 

berucap perlahan. 

"Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu 

pertolonganmu." 

Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar 

212 muncul gambar kepala harimau putih bermata 

hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng.


Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang 

lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh. 

Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul 

seekor harimau putih besar bermata hijau. Datuk Rao 

Bamato Hijau. Harimau sakti peliharaan Datuk Rao 

Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan 

selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dila-

hirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan 

Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan. 

Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera 

menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap 

tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil 

berkata. 

"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau da-

tang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa aku dan Nyi 

Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh." 

Harimau putih menggereng perlahan. 

Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili. 

"Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini! 

Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan sete-

ngah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno 

Mantili menghambur tinggalkan tempat itu. 

"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat menge-

jar. Denok Tuba Biru telah lebih dulu berkelebat 

sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup 

Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dua larik 

sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno 

Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun 

kaku walau mulutnya masih terus berteriak-teriak. 

Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi 

Retno Mantili hingga dia tidak bisa lagi keluarkan 

suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan 

itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato


Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat mening-

galkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka. 

"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi 

Retno Mantili akan sembuh setelah bertemu dengan 

bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat mele-

nyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tu-

buhmu?" 

Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia 

ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha. 

Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka 

kebahagiaan akan menjadi bagian diriku dan mungkin 

itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku. 

Paling tidak kesembuhan batin." 

"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan 

kembali ke sini secepat yang bisa aku lakukan. Aku 

berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi 

Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi 

dan memberkahi kita semua.” 

Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang ma-

tanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau 

menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk 

tua berderak-derak. Sesaat kemudian harimau sakti 

itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit 

lalu lenyap dari pemandangan bersama dua penunggangnya.



SEMBILAN


DI TEPI danau Maninjau 

Ken Permata duduk di 

atas batu, dua kaki di-

juntaikan ke dalam air. Di sam-

ping anak perempuan itu duduk 

Mande Saleha, perempuan yang 

menjaga dan mengasuhnya. Se-

sekali angin dari tengah danau 

bertiup sejuk. Ikan-ikan bilis 

berkerumun jinak tak jauh dari 

batu tempat kedua orang itu 

duduk. 

"Anak Mande Ken Permata, 

anak rancak parmato hati, Hari 

sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah 

warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita 

pulang ke rumah gadang. Berlama-lama di sini Datuk 

pasti akan mencari.” 

Anak perempuan yang belum mencapai usia dua 

tahun itu dengan suara lincah menjawab. 

“Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak 

akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar 

sana memperhatikan kita. sekarang Datuk sudah 

kembali ke goa pertapaannya." 

Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke 

arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak 

melihat siapa-siapa. Sambil memeluk anak yang kini


memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Sa-

leha barkata. 

"Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi me-

mang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap 

harus kambali ke rumah gadang." 

"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang 

yang akan menemui saya datang." 

Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken 

Permata. 

"Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang 

akan datang menemuimu?" 

"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di 

sini bersama saya..." 

Mande Saleha menatap anak perempuan itu bebe-

rapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak 

itu dipangku sambil terus dipeluk erat-erat. Ada ke-

kawatiran dalam diri perempuan ini. 

Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak 

melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga 

tidak ada biduk yang berlayar mencari ikan. 

"Anakku, kita harus pulang sekarang juga.” Mande 

Saleha lalu turun dari batu, melangkah ke tepi telaga 

sambil terus mendukung Ken Permata. Tapi dengan 

hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah 

meluncur turun ke tanah, lalu lari kembali ke tepi 

danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang 

bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali 

sang pengasuh merasa heran. Tubuh Ken Permata 

berat sekali hingga jangankan untuk mendukung, 

mengangkat saja dia tidak mampu. 

"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa 

tubuhmu menjadi seberat batu raksasa?" 

Ken Permata tersenyum, tidak menjawab perta-

nyaan pengasuhnya, malah berkata.


Mande, orang yang hendak menemui saya sudah 

datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata 

beningnya menatap ke arah danau. 

Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau. 

Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada pera-

hu. Namun kemudian dia melihat sebuah batangan 

kayu mengapung di permukaan danau, bergerak per-

lahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia 

dan Ken Permata berdiri. Bersamaan dengan itu te-

linganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung 

Mande Saleha berdetak, dada berdebar. 

"Serunai itu... Aku pemah mendengar sebelumnya. 

Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang 

dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam 

hati. Lalu perempuan ini membungkuk sedikit dan 

berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana 

orang yang katamu hendak menemui dirimu?" 

"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu 

orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah da-

nau..." 

Mande Saleha memperhatikan ke arah danau. 

"Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande 

lihat hanya batang kayu terapung." 

"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu 

itu Mande. Masakan Mande tidak melihat?" ujar Ken 

Permata. 

Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Me-

ngucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat 

orang yang dikatakan Ken Permata.” 

Bulu kuduk Mande Saleha merinding. 

"Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus. 

Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa 

jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Pe-

rempuan itu lalu menarik tangan Ken Permata. Tapi


seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menye-

babkan Mande Saleha tidak mampu membuatnya 

bergerak sedikitpun. 

"Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil. 

Saya harus menemuinya..." 

"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus 

tetap di sini bersama Mande!" Mande Saleha lalu 

mendekap Ken Permata erat-erat. Tapi dengan mudah 

anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi da-

nau. Selanjutnya sulit dipercaya tubuh Ken Permata 

melayang di udara, melesat ke arah batang kayu te-

rapung di permukaan danau dan berdiri di atas batang 

kayu itu! Mande Saleha berteriak memanggil. Dia 

merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak 

sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun 

mampu melesat di udara, lalu berdiri di atas batang 

kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang 

dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan 

kalau tidak memiliki kepandaian tinggi. 

"Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo di-

dapat anak ini hingga dia bisa melompat dan berdiri di 

atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu 

Datuk tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi 

kesaktian padanya." Mande Saleha lalu berteriak 

memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya 

serak. 

Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terpera-

ngah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia 

melihat ada sosok seseorang. Mula-mula samar, per-

lahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua 

ini menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara 

batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau. 

Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp! 

Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba


menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak 

bisa mengeluarkan suara, apa lagi berteriak. 

"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam 

hati sementara mata terpentang lebar ke arah danau. 

Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha 

lantas saja dapat mengenali perempuan tua yang ada 

di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak 

jantung dan dugaannya ternyata benar. 

"Memang dia..." desis Mande Saleha. Nenek tua 

yang berdiri di hadapan Ken Permata di atas batang 

kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu 

malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk 

ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang 

berambut putih perak digulung dihias lima sunting 

rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang 

kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam. 

Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Pa-

rantili! Kekasih Datuk Rao Basaluang Ameh di masa 

muda. 

Dalam "Janda Pulau Cingkuk" dituturkan bahwa 

pada suatu malam Laras Parantili mendatangi Datuk 

Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken 

Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang 

pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut 

Utara. Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia 

kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu 

dengan racun kuning sehingga sang datuk pingsan tak 

sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak 

mampu mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha 

sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat 

pula menyaksikan berlangsungnya penitisan. 

"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia 

hendak berbuat jahat lagi. Celaka apa yang hendak


dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko! 

Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata. 

Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa 

berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Ti-

ba-tiba ada satu cahaya putih berkelebat ke arahnya. 

Sesaat kemudian dia mendengar suara. 

"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah 

kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Kata-

kanlah: Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan 

Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke 

Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok 

tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri" 

Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala 

Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan, 

lalu pada bagian bawah dagu dekat tenggorokan.Yang 

terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu kea-

nehan kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha 

seperti orang kurang ingatan mengeluarkan ucapan 

yang selalu diulang-ulang: "Pendekar 212. Jika kau 

ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-

lamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gu-

nung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus da-

tang seorang diri."


SEPULUH


SUARA jeritan Mande Sale-

ha membuat berhamburan 

keluar penghuni rumah 

gadang yang terletak tak jauh 

dari tepian Danau Maninjau. 

Sebelum orang-orang itu sampai 

di tempat Mande Saleha berada, 

Datuk Rao Basaluang Ameh su-

dah lebih dulu tiba di tempat itu. 

Dia terkejut sekali melihat kea-

daan perempuan pengasuh Ken 

Permata ini. Lebih-lebih ketika 

menyaksikan dan mendengar 

Mande Saleha yang bicara terus 

mengulang ucapan yang sama seperti orang kema-

sukan roh gaib. 

"Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken 

Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul 

Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah 

hari tepat. Kau harus datang seorang diri." 

Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar be-

rulang Kali. 

"Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau ba-

gaimana?" Sang Datuk pegang bahu perempuan itu 

lalu menggoncang tubuhnya. Tapi Mande Saleha terus 

saja bicara seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya. 

Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata 

Mande Saleha. Dua mata perempuan itu lebih banyak


nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris 

tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di 

pelipis kiri kanan sarta tenggorokan samentara mulut 

bicara terus mangulang-ulang ucapan. 

"Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini 

pakerjaan Laras Parantili! Tanpa sadar perempuan ini 

bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!" 

Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil 

saluang (semacam seruling) emas yang terselip di 

pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di 

tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu ba-

yangan putih melesat disertai suara orang berucap. 

"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang 

melepas totokannya!" 

Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-

paling tahu -tahu desss...dess...dess! 

Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu 

tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang 

menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas 

dari totokan perempuan ini mengeluh panjang, 

menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi. 

Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Da-

tuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha. Mulai 

sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini meng-

gerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan 

hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri. 

Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok 

tegap pemuda berambut gondrong berpakaian putih 

yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, me-

nyalami dan mencium tangannya. 

"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya 

dan mohon dimaafkan kalau tadi saya telah berbuat 

lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong 

Ibu ini.


Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu 

si pemuda. 

"Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah 

lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau da-

tang ke sini dalam keadaan kurang menggem-

birakan..." Sang Datuk melirik ke arah harimau putih 

bermata hijau peliharaannya yang tegak di samping si 

pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur 

melintang menelungkup seorang perempuan bertubuh 

mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas. "Pe-

rempuan itu, apakah istri Patih Kerajaan tanah Jawa?" 

Bertanya Datuk Rao. 

Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas 

kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato 

Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-

ninjau ini. Saya..." 

"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk 

berbuat baik yang diredohi Allah seseorang wajib 

mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi 

Retno sudah berada di sini untuk kita pertemukan 

dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi." 

"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto 

Gendeng. 

"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika 

sebelum kau sampai di sini." 

Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau 

sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pe-

ngawasan orang tua berkepandaian tinggi seperti 

Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan 

banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihor-

matinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya 

Ken Permata pernah diculik oleh Wira Bumi dibantu 

oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga


datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu 

dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebe-

lumnya berjudul "Bayi Satu Suro") 

"Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik 

bayi Nyi Retno Mantili?" 

Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala. 

"Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang 

yang bisa menembus ilmu kesaktian Selusin Jaring 

Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi 

bayi itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada 

Mande Saleha apa yang telah terjadi. Dia sudah ber-

henti menangis, keadaannya sudah mulai tenang." 

"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menye-

but-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang 

diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau 

ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-

lamat." 

"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita, 

terutama dirimu.” 

"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula. 

"Nanti kau akan tahu sendiri." 

Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh men-

datangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala pe-

rempuan itu sang Datuk berkata. 

"Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang 

terjadi." 

"Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau 

menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha 

menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu 

muncul or...orang itu Datuk. Dia datang lagi... Saya 

tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari de-

kapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau 

dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas


batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke 

tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi." 

"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa 

dia Saleha? Apa kau mengenalinya?"tanya Datuk Rao. 

"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul 

di rumah gadang waktu terjadi penitisan atas diri Ken 

Permata." 

Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang 

kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..." 

ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras 

Parantili." 

"Laras Parantili. Siapa dia Datuk? Saya tidak per-

nah mendengar nama orang ini sebelumnya," Tanya 

Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-

jangan roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang 

muncul kembali. "Saya juga heran mendengar kete-

rangan Ibu ini. Ken Permata bayi yang menurut saya 

belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah 

danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal 

itu hanya bisa dilakukan oleh orang berkepandaian 

silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh 

yang sudah mencapai puncaknya. Bagaimana bisa 

terjadi?" 

"Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh me-

nyebut nama sang kekasih di masa muda dengan su-

ara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana 

mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini 

dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata 

dia masih bisa menembusnya. Mungkin dia memiliki 

bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring 

Penolak Bala itu?" Si orang tua merenung sejenak lalu 

berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah keka-

sihku di masa muda. Kami tidak kunjung jadi me-

nikah karena berbagai kendala yang muncul secara


tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui 

kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih 

wajahnya tidak pula sebersih pakaian yang dikena-

kannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia 

bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak ter-

jadi. Malah dengan kemunculannya menjadi pelin-

dung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia 

telah membuktikan kalau dirinya tidak berubah, dia 

tetap culas seperti di masa lalu." 

"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita 

Datuk. Tapi ada yang tidak saya mengerti. Ken Per-

mata ketitisan. Ketitisan roh siapa?" 

"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda 

yang mengaku Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum 

Sarti..." 

Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan 

iblis itu rupanya yang punya pekerjaan. Saya tahu, dia 

memang pernah mengancam akan melakukan peni-

tisan atas diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa 

berbuat keji pada seorang bayi yang tidak berdosa?" 

(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi 

Harum Sarti bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng 

sebelumnya berjudul "Cinta Tiga Ratu”) 

"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua 

tahun lagi. Tubuhnya tumbuh besar menyerupai anak 

lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu 

kesaktian. Ilmu kesaktian itu berasal dari roh yang 

menitis atas dirinya." 

"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk 

kepala. Lalu dia berpaling pada perempuan pengasuh 

Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil 

menolong perempuan ini berdiri Wiro bertanya.


"Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana 

menghilangnya Ken Permata bersama perempuan 

yang menculiknya itu." 

Setelah memandang berkeliling perempuan itu 

menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas 

sebuah batang kayu. Meluncur ke tengah danau. Lalu 

ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya. 

Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara 

terus tapi saya tidak tahu apa yang saya katakan..." 

Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro 

Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka ti-

dak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Sa-

leha. Wiro bertanya lagi. 

"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting 

itu, apakah dia lenyap masuk ke dalam danau atau 

melayang naik ke udara?" 

"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba 

saja keduanya lenyap." 

"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi 

petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gu-

nung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak 

membawa Ken Permata ke dasar Danau Maninjau tapi 

ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus 

mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno 

Mantili..." 

"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang 

Ameh pula. 

"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini 

tadi terus menerus berucap saya harus datang seorang 

diri jika ingin Ken Permata selamat?" 

Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang 

emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring 

menelungkup di atas punggung harimau putih sakti 

bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.


"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku 

lenyapkan. Mulai sekarang dia akan tidur sepanjang 

hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali." 

Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau 

putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga pe-

rempuan itu. Dan kau Datuk Rao Bamato Hijau, awasi 

kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku." 

Harimau putih merunduk dan menggereng perla-

han. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat 

mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih 

dulu berkelebat ke arah timur di mana di kejauhan 

Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak 

disaput awan putih kelabu.



SEBELAS



TEPAT tengah hari keeso-

kannya, hujan lebat 

mengguyur Gunung Merapi 

ketika Wiro sampai di lereng 

barat. Dia berhenti di satu 

lamping gunung di mana terda-

pat dinding batu berwarna ku-

ning dan merah pekat. Di be-

berapa tempat dinding batu ini 

membentuk tonjolan-tonjolan 

berwarna hitam. Sambil meman-

dang berkeliling Wiro keluarkan 

ucapan. 

"Datuk, apakah Datuk ada di 

sekitar sini?" 

Terdengar suara jawaban pertahan, hampir meru-

pakan bisikan di telinga kiri sang pendekar. 

"Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh 

bicara…” 

“Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat 

berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu 

tempat atau nama benda…” 

“Naiklak ke atas dinding batu merah kuning. Terus 

mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil 

ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedatar-

an kau akan melihat batu-batu hitam bertebaran da-

lam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran 

ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu


bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga 

tombak. Itulah Tunggul Hitam. Cepat pergi ke sana 

dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menja-

wab apapun yang kau tanyakan. Aku tidak ingin 

urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan 

mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum 

tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata. 

Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali 

terpikat atau tertipu dengan apa yang kau lihat!” 

Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-

riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku 

mau melihat apa? Perawan bugil? Nenek peot tidak 

berpakaian? Atau dua ekor kucing lagi kawin? "Wiro 

tertawa-tawa seorang diri. Ketika memperhatikan ke 

atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup 

terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan 

membuat batu-batu itu menjadi sangat licin. Keliha-

tannya memang tidak ada cara lain mencapai peda-

taran di atas sana kecuali harus melewati hamparan 

batu yang membentuk dinding terjal licin. 

Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan 

ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke 

udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat 

menjejakkan kaki di salah satu tonjolan batu ber-

warna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali 

dia berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian 

atas dinding batu terjal dan dapatkan dirinya berada di 

ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak 

belukar setinggi dada. Semak belukar ini bukan semak 

belukar biasa, tapi penuh dengan duri yang laksana 

hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah. 

Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang mem-

buat semak belukar berduri itu sangat berbahaya. 

Sementara dia masih memperhatikan keadaan di


tempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek 

terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan. 

Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Da-

lam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada 

hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih 

besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata 

goresan duri telah membuat kulitnya menggembung 

kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas! 

"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung 

racun! Betul ucapan Datuk. Orang hendak menjebak 

mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau 

duri di tempat ini mengandung racun? Atau mungkin 

ada orang yang belum lama menabur racun di peda-

taran ini. Benar-benar kurang ajar!" 

Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta 

hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212 

yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti di-

ketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun 

namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri 

lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati. 

Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar 

dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke 

depan. Dia melihat banyak gundukan batu menyem-

bul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu 

itu kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang 

menyerupai binatang besar. Di salah satu bagian pe-

dataran tersembul batu hitam berbentuk pohon ber-

cabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga 

tombak. 

"Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti 

yang dikatakan Datuk?" ucap Wiro. Dia lalu ingat. Dia 

tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro 

memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu 

orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menem


bus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat 

apa-apa, Tiba-tiba Wiro merasa tanah gunung yang 

dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang. 

Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika 

di depan sana batu yang disebut Tunggul Hitam per-

lahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi 

hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di 

tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu 

Tunggul Hitam berhenti bergerak naik. 

Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat 

bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam. 

Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa 

berdiri di cabang kiri kanan. Orang yang kecil duduk 

berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata. 

"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!" 

ucap Wiro dalam hati, Dia segera mengerahkan ilmu 

meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar 

yang ada sejarak dua belas langkah dari hadapan 

Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya berge-

rak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di 

hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak. 

Puluhan duri menyambar ke depan seperti tangan 

setan mencakar! 

"Brett! Brettt! Breetttt!" 

Baju Wiro robek besar pada tiga tempat di bagian 

dada dan perut. Membuat sang pendekar bersurut dan 

cepat memeriksa. Untung cakaran semak berduri 

hanya merobek baju, tidak sampai menyentuh kulit 

atau daging dada dan perutnya. 

"Semak belukar keparat! Jangan harap kalian ma-

sih bisa mencelakaiku lagi!" 

Habis berkata begitu dia angkat dua tangan ke 

udara sambi! berteriak. 

"Kapak Naga Geni 212! Batu Sakti Hitam!"


Kejapan itu juga kapak dan batu sakti yang ada 

dalam tubuh Wiro tahu-tahu telah berada di tangan 

kanan dan tangan kiri. Seperti dikisahkan dalam serial 

Wiro Sableng berjudul "Lentera Iblis" Kiai Gede Tapa 

Pamungkas secara gaib telah memasukkan dua sen-

jata sakti itu ke dalam tubuh Pendekar 212. Dengan 

cara berseru menyebut nama kedua senjata itu maka 

kapak dan batu secara gaib pula keluar dari dalam 

tubuh Wiro dan langsung tergenggam di tangan. 

Dengan mengerahkan lebih dari setengah tenaga da-

lam yang dimiliki, Wiro menggosokkan batu hitam 

sakti ke mata Kapak Naga Geni 212. 

"Wusss!" 

Satu gelombang api yang bukan olah-olah besarnya 

menderu melanda pedataran yang dipenuhi semak 

belukar berduri. Walau semak belukar itu dalam 

keadaan basah karena baru kejatuhan hujan namun 

gelombang api yang luar biasa dahsyatnya membakar 

musnah semak belukar itu hanya dalam beberapa 

kejapan mata saja! Kini di pedataran luas itu hanya 

terlihat gundukan-gundukan batu hitam besar ber-

bagai bentuk dan ukuran serta Tunggul Hitam yang 

menjulang setinggi tiga tombak. Kepulan asap untuk 

beberapa lama bergulung-gulung di atas bebatuan. 

Begitu kepulan asap sirna, kapak dan batu sakti le-

nyap pula. Tiga orang yang berada di atas Tunggul 

Hitam kini terlihat jelas. 

Yang pertama adalah Ken Permata. Bayi yang be-

lum berusia dua tahun tapi memiliki perawakan se-

perti anak lima tahun ini duduk di bagian atas 

Tunggul Hitam yang rata sambil uncang-uncang kaki 

tanpa rasa gamang ataupun takut. Wiro merasa heran 

melihat keberanian dan keadaan bayi ini.


Orang kedua seorang nenek tua mengenakan ke-

baya panjang kuning bersulam bunga perak, bercelana 

panjang hitam. Rambutnya yang putih seperti perak-

digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting pendek 

terbuat dari suasa merah kekuningan. Ujung selen-

dang biru yang melingkar di lehernya melambai-lam-

bai di tiup angin. Wajahnya walau sudah lanjut masih 

ada bayangan kecantikan di masa muda, anggun 

namun ada pancaran sifat keangkuhan. Nenek ini 

berdiri di cabang Tunggul Hitam sebelah kanan. 

"Nenek bersunting itu pasti Laras Parantili, kekasih 

Datuk. Heran, mengapa dia mau-mauan menjadi pe-

lindung sang penitis! Berseberangan dengan Datuk, 

padahal di masa muda mereka pernah menjalin kasih. 

Tapi... cinta memang bisa berubah jadi ma-

cam-macam!" Murid Sinto Gendeng tertawa cen-

gengesan. Sambil garuk-garuk kepala dia perhatikan 

orang ke tiga yang berdiri di atas batu berbentuk po-

hon yang disebut batu Tunggul Hitam pada cabang 

sebelah kiri. Pada pakaiannya ada noda merah me-

lintang panjang di dada. Walau wajahnya cacat di ba-

gian mulut dan pipi kiri serta agak teleng namun Wiro 

masih bisa mengenali perempuan muda ini adalah Nyi 

Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. Wiro juga 

melihat bagaimana sepasang telapak kaki Nyi Harum 

Sarti sama sekali tidak menginjak cabang batu 

Tunggul Hitam. Pertanda bahwa perempuan ini adalah 

roh yang muncul secara jejadian. 

"Kepala teleng, mulut hancur-hancuran. Pasti itu 

bekas tendangan Bidadari Angin Timur," membathin 

Wiro. Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul 

"Cinta Tiga Ratu" dituturkan bagaimana dalam kea-

daan meregang nyawa setelah dibelah dadanya dengan 

Pedang Naga Suci 212 oleh Ratu Duyung, Nyi Harum


Sarti alias Ratu Laut Utara palsu ditendang kepalanya 

oleh Bidadari Angin Timur hingga mulutnya hancur, 

tulang leher bergeser menyebabkan kepalanya menjadi 

teleng. Gadis cantik berambut pirang itu melakukan 

hal tersebut karena merasa sangat marah dan dendam 

besar terhadap Nyi Harum Sarti yang telah melontar-

kan kata-kata di hadapan sekian banyak tokoh rimba 

persilatan bahwa Bidadari Angin Timur adalah janda 

dari kepala pasukan Kesultanan Cirebon. 

Setelah memperhatikan, tidak tunggu lebih lama 

Wiro cepat melompat ke atas batu hitam besar ber-

bentuk kerbau berbaring, yang hanya terpisah sejarak 

sekitar dua belas langkah dari batu Tunggul Hitam. 

Nenek bernama Laras Parantili dan ujud jejadian 

Nyi Harum Sarti tidak bergerak. Hanya sepasang bola 

mata mereka saja yang tampak berputar mengawasi. 

Di puncak batu Tunggul Hitam Ken Permata duduk 

tertawa-tawa, masih uncang-uncang ke dua kaki. 

"Kalian semua yang di atas batu Tunggul Hitam!" 

Wiro yang sudah tidak sabaran berteriak keras. "Aku 

sudah datang ke tempat ini seorang diri! Lekas se-

rahkan bayi di atas Tunggul Hitam." 

Sunyi sesaat lalu si nenek dan perempuan bermuka 

cacat berkepala teleng umbar tawa bergelak. 

"Pemuda gondrong muka gemblong! Siapa kau?! 

Sudah kesasar datang ke sini berteriak pula tak ka-

ruan macam orang kemasukan!"



DUA BELAS


MATA Pendekar 212 

mendelik membeliak. 

Jengkel penasaran di-

rinya di katakan kesasar, muka 

gemblong dan kemasukan! Tapi 

dasar sableng enak saja dia me-

nyahuti. 

"Kalian berdua! Yang tua se-

perti walang sangit kurang ma-

kan! Yang berkepala teleng se-

perti ayam keselak jagung! 

Ha...ha...ha! Aku mencium bau 

tidak sedap. Apa kalian berdua 

tadi pagi sudah beol tapi tidak 

sempat cebok? Kalian juga bermata lamur rupanya! 

Tidak bisa menbedakan gemblong dengan lontong! 

Atau kalian berdua inginnya singkong? Pantas kau 

bau Jigong! Ha...ha…ha!" Habis berteriak begitu Wiro 

lalu tertawa gelak-gelak sambil hidung dipencet den-

gan dua jari tangan kiri dan mulut meludah-ludah. 

Laras Parantili kerenyitkan kening. Nyi Harum Sarti 

keluarkan makian menggerendeng sementara Ken 

Permata di atas puncak Tunggul Hitam masih terus 

duduk tertawa-tawa sambil uncang-uncang kaki. 

"Pemuda sinting! Kami tidak suka melihat kehadir-

anmu di sini. Lekas angkat kaki atau kau akan mati 

sia-sia!" Nyi Harum Sarti kini yang berteriak


"Oala!" Wiro pencongkan mulut, telengkan kepala 

meniru telengnya kepala roh perempuan jejadian itu. 

"Kalian mempermainkanku! Itu tidak lucu! Aku bi-

sa-bisa bukannya tertawa melihat kelakuan kalian, 

tapi malah kentut! Ha...ha...ha! Kalian mengirim pesan 

melalui perempuan bernama Mande Saleha yang ka-

lian siksa dengan ilmu keji kalian! Sekarang aku su-

dah di sini, kalian mau berlagak aneh macam orang 

sinting. Kalian berjanji akan menyerahkan bayi itu! 

Kalian berlagak tidak suka padaku. Kalian pasti ber-

pura-pura. Padahal paling tidak salah satu dari kalian 

pasti suka padaku! Ha...ha...ha!" Wiromenatap ke arah 

Nyi Harum Sarti dan kedip-kedipkan mata. 

Wajah cacat roh jejadian Nyi Harum Sarti berubah 

merah mendengar kata-kata Wiro. Sebelumnya dia 

memang telah jatuh cinta pada sang pendekar dan hal 

ini dikatakannya terus terang di hadapan banyak to-

koh rimba persilatan. Kalau sekarang dia bersikap 

bermusuhan maka ini adalah suatu keanehan. 

"Aku ingin kalian segera menyerahkan bayi itu! 

Sekarang juga! Atau kalian akan menyesal!" 

Wiro angkat tangan kanannya yang serta merta 

berubah warna menjadi putih perak sebatas siku ke 

bawah. Sang pendekar siap melepas Pukulan Mata-

hari. 

Si nenek Laras Parantili angkat tangan kirinya. 

"Tunggu dulu!" serunya. Lalu dia berpaling pada Nyi 

Harum Sarti yang berada di cabang kiri Tunggul Hi-

tam. "Ratu Laut Utara..." Ah! Si nenek masih me-

manggil Nyi Harum Sarti dengan sebutan Ratu Laut 

Utara! "Apa benar pemuda gondrong ini yang bernama 

Wiro Sableng barjuluk Pendekar 212?" 

"Memang dia orangnya!" Jawab Nyi Harum Sarti 

dengan suara datar dan wajah cacat dingin


Mendengar jawaban Nyi Harum Sarti, Laras Paran-

tili bertanya. "Pemuda gondrong! Apakah kau datang 

ke sini seorang diri?!" 

"Kalian yang minta begitu! Aku hanya melakukan! 

Sekarang malah banyak tanya segala!" jawab Wiro 

kesal. 

Si nenek tertawa. Tiba-tiba dia lepaskan satu pu-

kulan tangan kosong ke arah sebuah batu besar se-

jarak sepuluh langkah dari samping kiri Wiro. 

"Wuuuttt! Braaakkk!" 

Serangkum angin dahsyat menderu, membuat 

hancur berkeping-keping batu besar yang dihantam. 

Saat itu juga dari hancuran batu berkelebat sosok 

seorang tua berpakaian putih! Datuk Rao Basaluang 

Ameh! 

"Ah, ternyata kau berdusta! Kau datang bersama 

orang yang tidak kami ingini! Berarti kau tidak akan 

mendapatkan bayi itu dalam keadaan selamat!" Sambil 

bicara Laras Parantili melirik memperhatikan Datuk 

Basaluang Ameh yang kini berdiri di atas sebuah batu 

besar di arah kanan Wiro sambi! menimang saluang 

emas. 

"Kalian kira Cuma kalian yang bisa membuat atur-

an?! Kalian punya aturan! Aku juga punya aturan 

sendiri! Aku mau datang dengan siapa itu urusanku! 

Lagi pula yang datang bersamaku bukan orang sem-

barangan. Aku tidak yakin kau bisa melupakan atau 

mau berpura-pura lupa. Apakah kau tidak mengenali 

orang tua berpakaian putih ini? Kekasihmu tercinta di 

masa muda?! Yang aku sebut namanya adalah Datuk 

Rao Basaluang Ameh!" 

Raut wajah Laras Parantili berubah merah seperti 

saga.


Ah, wajahmu berubah merah! Pertanda kau me-

mang masih mencinta dirinya. Tapi mengapa berpu-

ra-pura? Malah kini berserikat dengan perempuan 

teleng itu, memusuhi Datuk?" 

"Pemuda edan! Bicara tak karuan macam orang 

sinting. Itulah kalau gurunya gendeng muridnya sa-

bleng beneran!" 

"Tua bangka kurang ajar!" bentakWiro marah. "Kau 

berani menghina guruku Sinto Gendeng! Luar biasa 

sombong! Sikapmu seperti orang hebat berpikiran 

waras. Padahal sebenarnya otakmu ada di dengkul. 

Selain sombong kau juga culas! Khianat apa yang telah 

kau perbuat terhadap guruku Datuk Rao Basaluang 

Ameh! Sudah peot kisut begini apa kau kira bisa dapat 

lelaki muda lebih baik dari Datuk? Puahhh!" 

"Pemuda sinting! Kurobek mulutmu berani bicara 

soal hubunganku dengan Datuk Rao!" 

Wiro jerengkan mata dan cibirkan bibir. 

Lima sunting suasa di kepala Laras Parantili ber-

jingkrak tegang dan kepulkan asap tipis pertanda si 

nenek dilanda amarah luar biasa. Rahang menggem-

bung, mata berkilat-kilat. Datuk Rao Basaluang Ameh 

yang sejak tadi diam sa]a, setelah berdehem beberapa 

kali lantas berkata berusaha menyurutkan ketegangan 

yang siap meledak. 

"Laras Parantili, aku memang tidak diundang da-

tang ke sini. Namun aku punya kewajiban untuk ha-

dir. Karena segala perbuatan yang kau lakukan telah 

menyimpang dari kelayakan sebagai seorang pendekar 

golongan putih rimba persilatan. Atau mungkin kini 

kau telah berubah hitam, menjadi pelindung mahluk 

roh jejadian yang kau sebut sebagai Ratu Laut Utara 

itu? Sungguh disayangkan. Di usia selanjut ini, apa-

sebenarnya yang masih kau harapkan dalam kehidupanmu? Bukankah mendekatkan diri kepada Tu-

han merupakan hal yang paling baik dari pada berbuat 

kemungkaran? Jika kau mau keluar dari jalan sesat 

dan menyerahkan bayi bernama Ken Permata itu maka 

aku dan Pendekar 212 akan tinggalkan tempat ini. 

Dan aku akan mengakhiri urusan penculikan bayi ini 

sampai di sini." 

Laras Parantili tersenyum, rangkapkan dua tangan 

di depan dada lalu berkata. 

"Datuk, bicaramu seperti khotbah saja. Enak juga 

didengar. Tapi kau bukan siapa-siapa lagi bagiku. Kau 

tidak layak mengatur diriku karena kau tidak mampu 

mengatur diri sendiri. Soal bayi bernama Ken Permata 

dia bukan anak bukan cucumu. Tak ada sangkut paut 

darah daging antara kalian berdua. Setahuku kau 

tidak lebih dari pada kacung yang ketitipan untuk 

menjaganya. Masa pengasuhanmu sudah berakhir. 

Kami datang untuk mengambil..." 

"Tua bangka sialan! Berani kau menghina Datuk! 

Hatimu kotor, mulutmu sebusuk comberan!" Wiro 

yang sudah tidak sabaran untuk menghajar si nenek 

kembali hendak menghantam dengan Pukulan Sinar 

Matahari. Namun Datuk Rao cepat memberi tanda 

mencegah. 

"Laras, lalu apa perlunya kau meminta muridku 

datang ke sini, menjanjikan keselamatan bagi bayi 

bernama Ken Permata itu? Jika kau bermaksud jahat 

hendak menjebak, mungkin kau akan lebih dulu 

masuk lobang perangkap!" kata Datuk Rao pula. 

"Janji keselamatan tidak berlaku lagi. Kalian ber-

dua sudah melanggar aturan yang kami tetapkan!" 

"Aturan kentut busuk!" teriak Wiro. "Kau berani 

menghina guruku. Aku akan menjadikan kau babu 

seumur-umur di negeri neraka!" Habis berteriak Pendekar 212 segera melompat tinggi ke udara, melesat ke 

arah Tunggul Hitam yang berupa pohon batu setinggi 

tiga tombak. 

Melihat gerakan yang dibuat Wiro, dalam marahnya 

karena dibilang mau dijadikan babu neraka Laras 

Parantili segera berseru pada Nyi Harum Sarti. 

"Ratu, apa lagi yang kita tunggu!" 

Mendengar seruan si nenek Nyi Harum Sarti yang 

menyebut diri masih sebagai Ratu Laut Utara segera 

mendongak ke arah bayi di puncak batu Tunggul 

Hitam. 

"Ken Permata! Bayi titisan roh sukmaku! Bunuh 

orang berambut gondrong itu! Dia manusianya yang 

telah membunuh ayahmu!" Habis berteriak Nyi Harum 

Sarti sapukan tangan kanannya ke atas. Selarik sinar 

kelabu menyapu sekujur tubuh Ken Permata, mulai 

dari kepala sampai ke kaki. 

Satu keanehan terjadi. Sosok bayi berusia kurang 

dua tahun dan berpenampilan seperti anak lima tahun 

itu tundukkan kepala. 

Lalu tubuh sang bayi tiba-tiba berubah menjadi 

luar biasa besar. Begitu dia melompat turun, kaki 

menjejak tanah, pedataran bergetar, kepala hampir 

setinggi batu Tunggul Hitam. Ken Permata telah ber-

ubah menjadi seorang bayi raksasa. Wiro dan Datuk 

Rao hanya setinggi pusarnya! Kejut kedua orang ini 

bukan alang kepalang! Ketika bayi raksasa ini me-

nyeringai, kelihatan barisan gigi dan caling panjang 

runcing! 

Belum pupus kejut Pendekar 212, bayi raksasa Ken 

Permata telah menyerbunya dengan satu pukulan 

jarak jauh yang menebar sinar hijau. 

"Pukulan Mambang Laut Utara!" ucap Wiro ter-

sentak. Ilmu kesaktian itu adalah milik Nyi Harum


Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. "Berarti bayi itu 

bukan saja ketitisan sifat tapi juga menguasai ilmu 

kesaktian yang dimiliki roh Nyi Harurri Sarti!" 

Secepat kilat Wiro selamatkan diri dengan melesat 

ke kiri, jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling murid 

Sinto Gendeng melepas Pukulan Sinar Matahari tapi 

tidak diarahkan pada bayi raksasa melainkan dihan-

tamkan ke cabang kiri batu Tunggul Hitam di mana 

roh jejadian Nyi Harum Sarti berada. Bagi Wiro wa-

laupun jelas bayi aneh itu yang menyerang namun dia 

tidak mau membalas serangan. Kawatir kalau han-

tamannya akan mencelakai sang bayi. Nyi Harum Sarti 

yang menjadi sumber kekuatan bayi raksasa, mahluk 

yang harus dimusnahkan lebih dulu. 

Sinar putih Pukulan Matahari berkiblat panas 

menyilaukan. Datuk Rao Basaluang Ameh tidak 

tinggal diam. Dia sapukan saluang emas ke atas. Ca-

haya kuning laksana kipas mengembang menderu di 

udara disertai suara desingan seruling mencucuk 

pendengaran. Seperti Wiro, orang tua ini tidak men-

garahkan serangannya ke arah bayi raksasa melain-

kan yang dituju adalah Laras Parantili yang berdiri di 

cabang kanan Tunggul Hitam. 

Mendapat serangan pukulan sakti yang mengge-

gerkan rimba persilatan Nyi Harum Sarti di atas ca-

bang kiri batu Tunggul Hitam tidak bergerak sedikit-

pun. Malah sambil tertawa melengking dia meng-

goyang tubuh dan kepalanya yang teleng. Sembilan 

rangkum gelombang angin memancarkan cahaya biru 

mencuat keluar dari tubuhnya, langsung menyergap 

cahaya putih panas Pukulan Sinar Matahari. Begitu 

Saling bertabrakan satu letusan dahsyat menggelegar. 

Lereng barat Gunung Merapi laksana dilanda gempa. 

Ujung pedataran di sebelah selatan runtuh longsor.


Beberapa batu besar hitam di pedataran hancur ber-

keping-keping. Tapi anehnya batu Tunggul Hitam ti-

dak rusak sedikitpun. Ini karena Nyi Harum Sarti telah 

menerapkan ilmu yang bernama Dinding Gaib Laut 

Utara. Dengan ilmu ini dia mampu melindungi setiap 

benda mati dari serangan atau hantaman yang datang 

dari luar. Kalau akibat bentrokan dahsyat itu Pende-

kar 212 Wiro Sableng sampai jatuh terhenyak di tanah 

pedataran maka di atas cabang kiri batu Tunggul Hi-

tam sosok jejadian Hitam Nyi Harum Sarti hanya ter-

gontai-gontai beberapa kali. 

Begitu tubuhnya terjengkang di tanah, Wiro melihat 

bayi raksasa melompat ke arahnya lalu hunjamkan 

kaki kanan ke arah dada. 

"Gila!" Wiro berteriak. Secepat kilat dia berguling ke 

kiri. 

"Bruuuukkk!"



TIGA BELAS



HUNJAMAN kaki kanan 

Ken Permata membuat 

lobang besar sedalam be-

tis di tanah pedataran. Me-

nyaksikan itu Wiro merasa nya-

wanya seperti terbang. Ketika 

bayi raksasa hendak menyer-

bunya kembali, kali ini dengan 

tendangan kaki kiri, secepat kilat 

dia melesat selamatkan diri, me-

lompat ke atas sebuah batu hi-

tam. Bayi raksasa rundukkan 

tubuh sambil dua tangan dengan 

sangat cepat menyambar ke arah 

dada pakaian Wiro. Kali iniWiro tidak sempat lagi 

mengelak, dia juga merasa ragu melancarkan seran-

gan. Takut menciderai ken Permata. Akibatnya tubuh 

Wiro diangkat tinggi-tinggi lalu dibantingkan ke tanah. 

Sebelum jatuh Wiro masih berusaha berjungkir balik. 

Namun tetap saja dia jatuh dengan punggung meng-

hantam tanah. Wiro merasa tulang belulangnya seperti 

hancur. Darah meleleh di sela bibir. Untuk beberapa 

lama dia terkapar tak bergerak. 

"Bayi jahanam! Kalau aku serang apa lagi kalau 

sampai mati berarti Nyi Retno Mantili tidak akan 

pernah bertemu bayinya ini. Dia tidak akan pernah 

dapat disembuhkan dari penyakit jiwanya! Gila! Apa 

yang harus aku lakukan?!"


Wiro kerahkan tenaga dalam, Alirkan hawa sakti. 

Terapkan ilmu meringankan tubuh. Ketika bayi rak-

sasa kembali mendekat dia telah mampu berdiri, me-

lompat ke punggung si bayi lalu menotok bayi ltu di 

bagian ubun-ubun, leher dan punggung. Tiga totokan 

sekaligus. 

Tokoh silat berkepandaian tinggi sekalipun, apa lagi 

manusia biasa akan rubuh, paling tidak kaku tegang 

terkena tiga totokan itu. Namun si bayi raksasa hanya 

menyeringai. Bagian yang ditotok menggembung se-

bentar lalu surut kembali. Ternyata totokan Wiro tidak 

satupun yang mempan. Tidak sanggup melumpuhkan 

sang bayi! Sang bayi kembali ulurkan kedua tangan. 

Berusaha menangkap dua kaki Wiro yang masih 

menginjak punggungnya. Kalau si bayi berhasil me-

nangkap dua kaki Wiro lalu membantingkan sang 

pendekar ke bawah dengan kepala menghujam tanah 

lebih dulu maka tamatlah riwayat murid Sinto Gen-

deng ini! 

"Aku terpaksa harus bertindak lebih keras. Kalau 

tidak bisa konyol sendiri!" Pikir Wiro. Dengan mene-

rapkan Ilmu Belut Menyusup Tanah hingga dua ka-

kinya menjadi licin Wiro berhasil lolos dari cekalan 

bayi raksasa. Dia cepat melompat ke bawah. Begitu 

menginjak tanah dengan cepat Wiro menjotos ping-

gang si bayi. Lagi-lagi karena kawatir dia sengaja 

hanya mengandalkan sedikit tenaga dalam. Bayi rak-

sasa menggeliat. Memekik keras lalu memutar tubuh. 

Wiro tidak memberi kesempatan. Dia kembali me-

mukul. Kali ini pukulannya ditujukan ke perut bayi. 

"Bukkk!" 

Bayi yang dipukul terjajar beberapa langkah, 

menggerung pendek. Lalu menyeringai Wiro jadi 

jengkel. Kini dia bermaksud hendak menghantam lebih keras dengan pengerahan tenaga dalam lebih ba-

nyak. Yang diarah adalah bagian bawah perut. Namun 

ada rasa tidak tega. 

Selagi Wiro dalam keadaan bimbang dari atas ca-

bang kiri batu Tunggul Hitam Nyi Harum Sarti mem-

buat gerakan aneh. Tubuhnya berputar ke bawah. Dua 

kaki menggelantung di cabang batu Tunggul Hitam. 

Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah Wiro. 

Larikan sinar hitam menderu tiada henti. Wiro me-

nangkis dengan balas melepas pukulan jarak pendek. 

Namun karena dari samping kiri dia melihat bayi 

raksasa siap hendak menyerangnya. Murid Datuk Rao 

dan Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat ke atas 

puncak Tunggul Hitam. Dari sini dia melepas dua 

pukulan. Tangan kiri lancarkan serangan Tangan 

Dewa Menghantam Air Bah. Tangan kanan lepaskan 

Pukulan Tangan Dewa Menghantam Api. Merasa 

belum puas dengan dua pukulan sakti itu. Wiro ke-

rahkan tenaga dalam ke arah mata. Saat itu juga dari 

kedua matanya melesat keluar dua larik cahaya hijau 

membentuk sepasang pedang panjang menggidikkan. 

Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang 

Dewa. Ketiga ilmu kesaktian yang dipergunakan un-

tuk menyerang Nyi Harum Sarti didapat Wiro dari 

Datuk Rao Basaluang Ameh melalui Kitab Putih Wa-

siat Dewa yang dipelajarinya secara tekun. Adapun 

Ilmu Sepasang Pedang Dewa karena keganasannya 

maka dia hanya boleh mempergunakan dua kali dalam 

satu tahun. 

Nyi Harum Sarti kembali putar tubuhnya. Kali ini 

luar biasa cepat hingga tubuh itu laksana kitiran. Dua 

tangan ikut berputar tak ubah seperti dua bilah pe-

dang. Tiba-tiba tubuh yang berputar pada cabang kiri


batu Tunggul Hitam melesat lepas. Menyambar ke 

arah Wiro. 

"Plaakk!" 

Pinggiran telapak tangan kanan Nyi Harum Sarti 

berhasil menghantam dada Wiro membuat Pendekar 

212 mencelat hampir setengah tombak dan terhempas 

ke tanah. Dadanya laksana terbelah. Sakitnya bukan 

kepalang. Dalam keadaan nafas megap-megap dari 

mulut sang pendekar menyembur darah segar! 

Wiro menggeliat. Coba berdiri. 

"Gila! Jangan-jangan dadaku sudah belah!" Wiro 

usap dadanya. Begitu bisa berdiri dia cepat totok tu-

buhnya sendiri di beberapa tempat. Rasa sakit ber-

kurang dan kucuran darah serta merta berhenti. 

Walau berhasil menciderai Wiro cukup parah, 

namun mahluk alam roh Nyi Harum Sarti harus 

membayar mahal. Salah satu dari dua serangan be-

rupa pukulan tangan kosong yang dilancarkan Wiro 

menghantam dada kirinya dengan telak hingga Nyi 

Harum Sarti menjerit setinggi langit. Dadanya remuk 

sampai ke punggung. Selagi tubuhnya terkulai lim-

bung dan siap jatuh ke tanah, salah satu larikan sinar 

hijau Sepasang Pedang Dewa memapas lehernya! 

"Crasss!" 

Leher putus! 

Tubuh jatuh terbanting ke tanah. Setelah memijar-

kan cahaya hitam tubuh ini berubah menjadi kepulan 

asap yang dengan cepat membubung ke udara. 

Hal yang sama terjadi dengan kutungan kepala 

berwajah cacat Nyi Harum Sarti. Kepala mahluk alam 

roh ini terpelanting ke cabang kiri batu Tunggul Hitam. 

Sebelum mengeluarkan pijaran cahaya hitam dan 

berubah jadi asap, mulut pencong keluarkan ucapan 

lantang disusul suara tawa cekikikan.


"Aku belum mati! Aku tidak kalah! Mahluk titis-

anku akan menghabisi kalian berdua! Aku akan 

muncul lagi! Hik... hik...hik!" 

Kutungan kepala melesat ke udara, berpijar hitam, 

berubah jadi asap dan melesat di udara. Di satu ke-

tinggian kepulan asap hitam yang berasal dari tubuh 

dan kepala mahluk alam roh Nyi Harum Sarti berga-

bung satu sama lain. Sesaat kemudian di udara 

tampak sosok utuh Nyi Harum Sarti. Mahluk jejadian 

ini melesat ke arah langit dan lenyap dari peman-

dangan. 

Bayi titisan Ken Permata keluarkan teriakan keras. 

Gigi besar dan taring panjang mencuat keluar. Walau 

sampai saat itu tidak satu patah katapun keluar dari 

mulutnya namun jelas dia menaruh amarah terhadap 

Wiro. Dengan sebat dia melompat menyergap sang 

pendekar. 

Sekarang kita Iihat pertarungan yang terjadi antara 

Datuk Rao Basaluang Ameh dengan sang kekasih di 

masa muda yaitu Laras Parantili. Datuk Rao berkali-

kali berteriak agar Laras Parantili hentikan serangan, 

hentikan pertarungan. 

"Laras! Mahluk roh yang menjadi sahabatmu itu 

sudah musnah! Hentikan serangan! Mari kita bicara!" 

Teriak Datuk Rao sambil kibaskan seruling emas 

menangkis serangan lawan. Walau si nenek menye-

rang mengandalkan tangan kosong namun dua ta-

ngannya tidak beda seperti dua batangan besi keras. 

Setiap terjadi bentrokan tangan dengan seruling ter-

dengar suara berdentrangan dan bunga api bewarna 

kuning berpijar di udara, Lama-lama sang datuk me-

rasa kawatir suling saktinya akan menjadi rusak. 

Maka seperti tadi dia mengulangi teriakannya, ber-

usaha membujuk Laras Parantili. Hanya sayang yang


dibujuk semakin beringasan dan memperhebat gem-

puran! 

"Kalau sahabatku musnah apa kau kira aku takut 

menghadapi kalian sendirian?! Saat ini aku yang telah 

menjadi pewaris tunggal kerajaan Laut Utara sebelum 

aku serahkan pada Ken Permata lima belas tahun di 

muka!" 

Datuk Rao Basaluang Ameh terkesiap mendengar 

ucapan Laras Parantili. Begitu juga Pendekar 212 Wiro 

Sableng yang ikut mendengar. Jadi inilah alasan si 

nenek mengapa dia melindungi terjadinya penitisan 

dan berpihak pada mahluk roh Nyi Harum Sarti. Dia 

ingin memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Laut 

Utara! Lupa dia sudah berapa usianya! 

"Laras! Kau telah berbuat keliru! Pemegang tahta 

Kerajaan Laut Utara adalah Ayu Lestari! Nyi Harum 

Sarti Ratu palsu yang merampas tahta dari Ayu Les-

tari!" 

"Tua bangka tolol! Tutup mulutmu! Mari kita ber-

tarung sampai seribu jurus! Saat ini juga harus di-

tentukan aku atau kau yang bakalan menemui ajal!" 

"Laras, sadar dan bertobatlah! Kalau kau mau 

mengikuti nasihatku aku berjanji kita akan bisa hidup 

bersama. Jika kau suka kita akan melakukannya 

mulai hari ini melalui pernikahan yang syah! Segala 

sesuatunya belum terlambat." 

Laras Parantili tertawa panjang. Hidung men-

dengus, mulut dipencongkan. Lontarkan seringai 

mengejek pada sang Datuk. 

"Tua bangka tak tahu diri. Kau mimpi setengah 

jalan Datuk! Kambing saja tidak sudi kawin dengan-

mu, apalagi aku! Kau boleh kawin dengansetan hantu 

pelayangan!" teriak Laras Parantili lalu kembali 

menggempur si kakek


Setan perempuan kurang ajar! Beraninya kau 

menghina guruku!" Teriak Pendekar 212 Wiro Sableng 

yang menjadi marah besar mendengar ucapan sangat 

menghina yang dikeluarkan si nenek. "Aku bersumpah 

akan membuatmu malu seumur hidup saat ini juga! 

Kau yang akan aku buat jadi kambing betina! Kalau 

perlu aku cabuti seluruh bulu di tubuhmu!" 

Begitu berteriak Wiro berkelebat ke arah Laras 

Parantili yang saat itu tengah menggempur Datuk Rao 

dengan serangan tangan kosong, pukulan berantai. 

Karena sang datuk melawan setengah hati mengingat 

kecintaannya pada si nenek maka tak urung dua 

pukulan lawan bersarang di dada dan satu lagi 

menghajar telak keningnya hingga bengkak lebam 

sampai ke mata. Pada saat itulah Wiro menyergapnya 

dari belakang. Lalu breett! Brett! Punggung pakaian 

sampai ke pinggang dan malah sampai ke bagian lebih 

bawah yaitu celana panjang hitam si nenek robek 

besar, merosot ke bawah! 

Laras Parantili memekik keras. Datuk Rao berseru 

kaget. Selagi si nenek kelabakan menutupi auratnya 

sebelah belakang, Wiro bertindak lebih gila. 

"Tua bangka bermulut comberan! Makan tanganku 

ini!" 

"Plaak! Plaakk!" 

Wiro tampar pipi Laras Parantili kiri kanan, Selagi si 

nenek sempoyongan Wiro ulurkan tangan kiri. 

Breetttt! Dia tarik pakaian si nenek mulai dari dada 

sampai ke bawah. Kini keadaan si nenek yang pa-

kaiannya robek depan belakang nyaris bugil! 

"Kambing betina bugil! Rasakan kau sekarang!" 

ucap Wiro lalu tertawa gelak-gelak. 

Laras Parantili menjerit sekali lagi. Dengan nekad


perut Pendekar 212 hingga Wiro terpental dan jatuh 

duduk di tanah. Mulutnya mengeluarkan suara seperti 

mau muntah tapi yang keluar semburan darah! Dalam 

keadaan seperti itu walau dia ingin sekali menghabisi 

Wiro namun Laras Parantili tidak sanggup menahan 

malu. Nenek ini putar tubuh, lalu seeepat kilat ber-

kelebat tinggalkan pedataran Tunggul Hitam. 

Sebelum jatuh terguling ke tanah Wiro masih 

sempat berbuat jahil, menjambret pinggang celana 

panjang hitam Laras Parantili. Sekali tarik saja maka 

tanggallah celana yang sudah tidak karuan rupa itu! 

Kutuk serapah menghambur dari mulut Laras Pa-

rantili. Rasa malu luar biasa membuat si nenek me-

mang tidak sanggup bertahan lebih lama di tempat itu. 

Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari pedataran 

Tunggul Hitam! 

“Wiro, tidak seharusnya kau berbuat begitu…" kata 

Datuk Rao Basaluang Ameh sambil menyeka darah 

yang mengucur dari luka di keningnya. 

Wiro tak bisa menjawab. Tubuhnya terkapar terte-

lentang. Perut sakit sekali seperti mau pecah akibat 

tendangan Laras Parantili tadi. Dada laksana terbelah 

oleh hantaman pinggiran tangan kanan Nyi Harum 

Sarti. Darah masih mengucur dari mulutnya. Datuk 

Rao membungkuk, berusaha menolong Wiro berdiri. 

Namun saat itu dari belakang melompat bayi raksasa 

Ken Permata. 

"Datuk, awas... !" 

Wiro berteriak. Namun suaranya begitu lemah dan 

peringatannya agak terlambat. Saat itu tendangan bayi 

raksasa telah menghantam pantat sang Datuk, Orang 

tua ini mencelat sampai dua tombak. Wiro berusaha 

menyambuti tubuh itu tapi malah ikut terpental dan


terguling di tanah lalu sama-sama terbujur berdam-

pingan. 

Bayi raksasa menyeringai. Memekik keras lalu 

melompat dan berdiri di antara kedua orang yang be-

rada dalam keadaan tak berdaya itu . Dia berpaling ke 

kiri dan ke kanan seolah-olah mau memilih. Yang 

mana antara Wiro dan sang Datuk yang akan dihabisi 

lebih dulu, Ternyata bayi titisan roh jahat Nyi Harum 

Sarti ini memilih ke dua-duanya. Kaki kanan diangkat, 

siap diinjakkan ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Bersamaan dengan itu tangan kanan bergerak mele-

pas pukulan maut bernama Tiga Tombak Utara 

Memantek Nyawa. Ilmu kesaktian ini adalah yang 

didapat Ken Permata dari penitisan yang dilakukan Nyi 

Harum Sarti. Cahaya hitam berkiblat, lalu memecah 

menjadi tiga larikan berbentuk tiga kepala tombak, 

melesat ke arah kepala, dada dan perut Pendekar 212! 

"Datuk, aku tidak pernah mengira akan mati ber-

sebelahan dengan dirimu!" ucap Wiro. 

"Muridku! Jangan pasrah putus asa!" teriak Datuk 

Rao Basaluang Ameh. "Tangkis dengan Pukulan Ha-

rimau Dewa! Aku akan membantu dengan aliran te-

naga dalam!" 

Lalu Datuk Rao Basaluang Ameh pukulkan telapak 

tangan kanannya ke tanah. Saat itu juga dari tangan 

itu mengalir keluar tenaga dalam dan hawa sakti, 

langsung masuk ke dalam tubuh Wiro. Tidak me-

nunggu lebih lama Pendekar 212 segera tiup tangan 

kanannya. Saat itu juga pada telapak tangan itu 

muncul gambar harimau putih bermata hijau. Wiro 

lalu dorongkan tangan kanan ke arah datangnya se-

rangan yang dilepas oleh bayi raksasa. Dari telapak 

tangan kanan Wiro mencuat keluar suara deru angin 

luar biasa dahsyat disertai suara gerengan harimau.


"Trang...trang!" 

Dua kepala tombak hitam mencelat mental hancur 

berkeping-keping. Tapi celakanya kepala tombak ke 

tiga dari Tiga Tombak Laut Utara Memantek Nyawa

masih bisa lolos. Menderu tepat ke arah jantung 

Pendekar 212!




EMPAT BELAS



SEKEJAP lagi ujung tombak 

ke tiga akan menancap di 

dada dan menembus 

sampai ke jantung Pendekar 212 

tiba-tiba satu benda putih me-

layang di udara disertai deru 

angin sangat kencang. 

Lalu terdengar ada perem-

puan berteriak. "Kemuning! Ada 

bayi aneh hendak membunuh 

ayahmu!" 

Bersamaan dengan meng-

gemanya suara teriakan maka 

dua larik sinar putih berkiblat di 

udara. 

"Traangg!" 

Tombak Laut Utara Memantek Nyawa yang siap 

menghabisi riwayat Pendekar 212 patah berkeping-

keping, mencelat ke udara. Di pedataran kini tampak 

harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau. Bina-

tang ini lari menghampiri Wiro, lalu berdiri dengan 

sikap melindungi sang pendekar. Tak jauh dari situ 

berdiri Nyi Retno Mantili dengan mata berkilat sambil 

pegangi boneka kayu. Dia melirik sebentar ke arah 

Wiro lalu alihkan pandangan pada bayi raksasa yang 

juga tengah menatap ke arahnya dengan pandangan 

aneh


Tiba-tiba Nyi Retno Mantili berteriak keras. Tangan 

kanan yang memegang boneka kayu diangkat dituju-

kan pada bayi raksasa. Lima jari memencet keras. Dua 

larik sinar putih Pukulan Sepasang Cahaya Batu 

Kumala berkiblat ke arah bayi raksasa. 

"Nyi Retno! Jangan menyerang bayi raksasa! Dia 

anakmu!" teriak Wiro. Lalu seperti mendapat satu 

kekuatan Wiro melompat. Da masih sempat men-

dorong tangan kanan Nyi Retno Mantili ke atas hingga 

dua larik cahaya putih yang mengarah pada bayi 

raksasa bergeser jauh dari sasaran. 

"Kemuning! Ayahmu pasti sudah gila menolong 

mahluk aneh yang hendak membunuhnya!" teriak Nyi 

Retno Mantili. 

"Nyi Retno, tenang. Dengar baik-baik, Bayi besar 

perempuan itu bukan musuhku, bukan pula mu-

suhmu. Dia adalah anakmu Ken Permata!" 

Nyi Retno Mantili menatap Wiro sejenak lalu ter-

tawa cekikikan. 

"Gilamu kumat lagi! Aku tidak kenal siapa itu Ken 

Permata! Aku tidak pernah merasa punya anak ber-

nama Ken Permata. Anakku dia! Kemuning!" Nyi Retno 

Mantili acungkan boneka kayu ke arah Wiro. 

Bagaimana kejadiannya Nyi Retno Mantili bisa 

sampai ke pedataran Tunggul Hitam dibawa oleh ha-

rimau putih sakti? Seperti diceritakan sebelumnya 

Datuk Rao telah melepas totokan di tubuh perempuan 

itu lalu membuatnya tertidur dan baru akan terban-

gun kalau mereka kembali ke Danau Maninjau. Ter-

nyata Nyi Retno Mantili bangun lebih cepat dari yang 

diduga. Perempuan ini langsung berteriak-teriak 

mencari Wiro. 

Mande Saleha yang ketakutan akan terjadi apa-apa 

meminta harimau putih untuk membawa Nyi Retno


"Hik...hik! Orang tua ini pandai sekali bercerita. 

Tapi sebagian ceritanya dusta!" Nyi Retno Mantili ke-

luarkan ucapan sambil usap-usap wajah boneka kayu. 

"Kalau aku dusta, aku minta maat padamu Nyi 

Retno. Tapi ceritaku yang mana yang kau anggap 

dusta?" tanya Datuk Rao sambil kini tangannya 

mengusap kepala Nyi Retno Mantili dan kembali 

mengalirkan hawa sakti sejuk. 

Nyi Retno kibaskan tangan yang mengusap kepa-

lanya. 

"Wiro ayah Kemuning saja tidak pemah memegang 

kepalaku. Kau yang aku tidak kenal siapa berani-

beraninya..." 

Datuk Rao tersenyum. 

"Nyi Retno, maafkan kalau aku yang tua ini telah 

berlaku lancang. Selama ini aku begitu dekat dengan 

puterimu Ken Permata. Aku telah menganggap dirinya 

sebagai cucu sendiri. Dan kau aku anggap sebagai 

anak. Namun..." 

"Orang di tempat ini gila semua rupanya!" Kata Nyi 

Retno Mantili dengan muka cemberut. "Aku sudah 

bilang tidak pernah punya anak, punya bayi atau 

puteri bernama Ken Permata!" 

Wiro menggaruk kepala. Datuk Rao masih terse-

nyum. Keduanya berpaling ke arah batu Tunggul Hi-

tam. Mereka melihat kejadian aneh. Bayi raksasa Ken 

Permata yang tadi begitu ganas hendak membunuh 

Wiro kini duduk diam menjelepok di tanah. Sepasang 

matanya tidak lagi beringas tapi menatap sayu tak 

berkesip ke arah Nyi Retno Mantili. 

"Wiro, apakah kau melihat satu keanehan pada 

pandangan mata bayi itu...? Dia seperti mengharap-

kan sesuatu, mendambakan sesuatu..."


"Benar Datuk. Saya dapat merasakan..." jawab 

Wiro. "Anak itu sepertinya merasa ada getaran batin 

dalam dirinya. Mungkin Yang Maha Kuasa tengah 

memberikan satu petunjuk padanya... Mungkinkah 

bayi itu punya rasa kalau Nyi Retno Mantili adalah ibu 

kandungnya..." 

Datuk Rao terdiam mendengar ucapan Wiro. Dia 

tidak menyangka si pemuda mempunyai perasaan 

yang begitu halus hingga menangkap getaran batin 

antara sang bayi dengan ibunya. Datuk Rao berpaling 

pada Nyi Retno. 

"Nyi Retno, kau belum menjawab ceritaku yang 

mana yang kau katakan dusta." 

Nyi Retno Mantili timang-timang boneka kayu be-

berapa ketika lalu menjawab. 

"Aku tidak pernah kawin dengan orang bernama 

Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama 

Ken Permata. Itu kedustaanmu orang tua. Tapi kau 

tidak dusta soal pembantuku yang bernama Djaka-

Tua. Eh, apa kau tahu kalau pembantuku itu sudah 

mati digantung orang-orang Kerajaan?" 

Datuk Rao mengangguk. "Nasibnya malang sekali. 

Semoga Tuhan memberikan tempat yang paling baik 

baginya di alam akhirat.” 

Nyi Retno memandang berkeliling. Dia tertawa ce-

kikikan ketika melihat bayi raksasa perempuan yang 

duduk menjelepok di tanah di depan batu Tunggul 

Hitam. Lalu perempuan ini berkata pada boneka kayu. 

"Kemuning, kau lihat bayi besar itu. Lucu sekali. 

Makannya pasti sepuluh bakul! Hik...hik...hik!" Nyi 

Retno kemudian berkata pada Wiro. "Aku tidak suka 

kau membawaku ke sini. Perlu apa? Di mana ini? Aku 

ingin kembali ke tanah Jawa. Aku ingin menemui 

Sandaka...


"Nyi Retno, kau dan Wiro akan segera kembali ke 

tanah Jawa. Sebelum pergi apakah kau tak ingin 

memegang atau mengusap kepala bayi raksasa ini?" 

tanya Datuk Rao pula. 

"Ihh... Perlu apa aku mengusap kepalanya. Lihat, 

giginya besar-besar. Calingnya panjang runcing. Bisa-

bisa nanti aku digeragotnya!" 

"Bayi ini bayi baik. Dia tidak akan berbuat jahat 

padamu. Dia sebaik anakmu Kemuning. Karena se-

benarnya dia dan Kemuning masih barsaudara." Kata 

Wiro pula. 

"Geblek! Mana mungkin Kemuning bersaudara 

dengan bayi aneh itu!" kata Nyi Retno Mantili. 

"Nyi Retno, tidakkah kau menyadari? Bayi besar itu 

dari tadi memandangmu. Dia akan sangat bahagia 

kalau kau mengusap kepalanya..." 

"Kalian berdua sama rewelnya. Baiklah aku akan 

mengusap kepala bayi bercaling itu. Tapi satu kali 

saja!" 

"Satu kalipun tak jadi apa Nyi Retno. Mari kugen-

dong agar kau bisa mengusap kepalanya." Wiro lalu 

mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanannya. Agak 

takut-takut dia kemudian membawa perempuan itu ke 

hadapan bayi raksasa. "Nah, sekarang ulurkan ta-

nganmu. Usap kepalanya..." 

Nyi Retno tidak segera melakukan apa yang dika-

takan Wiro sementara Datuk Rao memperhatikan 

dengan perasaan cemas. Persentuhan lahir merupa-

kan kunci dari persentuhan batin. Dengan kunci itu-

lah Datuk Rao akan coba membuka ingatan Nyi Retno 

kembali. Bayi besar sendiri yang kini benar-benar 

berubah sikapnya dongakkan kepala, menatap Nyi 

Retno MantiIi. Wiro pegang lengan Nyi Retno. "Usap


Nyi Retno, usap kepalanya. Sesudah itu kita akan 

meninggalkan tempat ini. “ 

Nyi Retno Mantili akhirnya ulurkan tangan kanan. 

Telapak tangan diletakkan di atas rambut bayi raksasa 

lalu dia mengusap satu kali. Saat itu juga terjadi satu 

keanehan. Nyi Retno Mantili terpekik. Wiro dan Datuk 

Rao keluarkan seruan tertahan. Bayi besar yang me-

nyeramkan itu begitu diusap satu kali kepalanya oleh 

Nyi Retno Mantili tiba-tiba berubah kembali menjadi 

bayi sebesar aslinya yakni Ken Permata seusia kurang 

dari dua tahun. Gigi besar dan taring di dalam mu-

lutnya lenyap! Begitu berubah bayi ini langsung me-

nangis. Dua tangan diulurkan ke arah Nyi Retno 

Mantili. Nyi Retno bersurut mundur. 

"Nyi Retno, bayi itu suka padamu. Dia minta di-

gendong." kataWiro. 

"Aku tak mau menggendongmu! Kau bukan Ke-

muning! Kau bukan anakku!" Kata Nyi Retno pula. 

"Nyi Retno, gendonglah barang sebentar. Sampai 

dia berhenti menangis. Kelihatannya dia suka pada-

mu, juga suka pada Kemuning..." Berkata DatukRao. 

"Aku tidak mau. Aku takut Kemuning marah... " 

"Tidak, Kemuning tidak akan marah. Malah Iihat. 

Kemuning ingin menciumnya..." Wiro lalu menarik 

boneka kayu yang dipegang Nyi Retno Mantili dan 

menempelkan wajah boneka kayu itu di pipi Ken 

Permata. "Nah, apa kataku! Kemuning tidak marah. 

Lihat, Kemuning malah tertawa-tawa." 

Nyi Retno Mantili tersenyum. 

"Boneka ini lucu juga. Siapa namanya?" Tanya Nyi 

Retno. 

"Dia bukan boneka. Dia manusia sungguhan. Na-

manya Ken Permata. Bayi cantik. Milikmu...” 

"Milikk


"Benar Nyi Retno. Dia milikmu. Apakah kau mau 

membawanya serta ke tanah Jawa?" 

Nyi Retno menggeleng. "Tidak. Nanti merepotkan 

saja..." 

"Dia anak baik. Dia akan jadi teman bermain Ke-

muning. Sekarang gendonglah. Sebentar saja…" 

"Dia cengeng! Dari tadi menangis terus." 

"Itu karena dia kepingin kau gendong, Nyi Retno." 

kata Datuk Rao. 

Wiro gendong bayi kecil Ken Permata lalu diulurkan 

pada Nyi Retno Mantili. Nyi Retno diam saja. Tapi 

matanya menatap wajah bayi cantik yang menangis 

itu. Sepasang mata mereka saling beradu pandang. 

Sepasang mata ibu dan anak. Nyi Retno sisipkan bo-

neka kayu ke punggung pakaiannya. Lalu perla-

han-lahan perempuan ini ulurkan tangan. 

"Aku tak mau menggendong lama-lama. Aku akan 

menggendong sebentar saja." Ucap Nyi Retno Mantili. 

Begitu si bayi berada dalam dukungan Nyi Retno 

Mantili, satu cahaya hitam melesat keluar dari tubuh 

Ken Permata. 

"Roh titisan meninggalkan tubuh bayi itu..." bisik 

Datuk Rao pada Wiro. "Kekuatan kasih sayang sang 

Ibu memusnahkan semua kejahatan yang ada dalam 

tubuh bayi itu..." 

"Tapi apakah Nyi Retno bisa kembali waras. Bisa 

menyadari kalau Ken Permata adalah anak kandung-

nya?" 

"Kita tunggu saja. Aku merasa sesuatu akan terja-

di…" jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. "Bantu aku 

berdoa pada Yang Maha Kuasa." 

Wiro dan Datuk Rao memperhatikan. Nyi Retno 

Mantili yang tadi hanya mau mendukung si bayi se-

bentar saja kini ternyata masih terus mendekapnya


sementara si bayi memeluknya sambil menangis. Dua 

jantung saling balas berdetak. Dua aliran darah saling 

menggetarkan rasa. Ketika Nyi Retno Mantili meng-

angkat kepalanya, Wiro dan Datuk Rao melihat ba-

gaimana sepasang mata bening perempuan cantik 

bertubuh mungil itu kini tampak berkaca-kaca. 

"Nyi Retno, apakah kau sudah puas meng-

gendongnya? Kalau sudah serahkan kembali bayi itu 

padaku." Kata Datuk Rao pula yang sebenarnya ingin 

menjajagi hati dan perasaan Nyi Retno Mantili. 

"Aku masih ingin menggendongnya. Dia anak baik. 

Hatiku merasa tenteram saat memeluknya. Siapa 

nama bayi ini...?" 

"Ken Permata," jawab Wiro. 

"Bayi ini..." Nyi Retno usap wajah si bayi yang basah 

oleh air mata. "Bayi ini..." Nyi Retno memandang ke 

arah Wiro. "Katamu dia bayiku. Anakku. Kau…kau 

tidak dusta?" 

"Tidak Nyi Retno, aku tidak berdusta." 

Nyi Retno berpaling pada Datuk Rao. Orang tua ini 

cepat berkata. "Aku juga tidak berdusta. Bayi bernama 

Ken Permata itu adalah anak yang lahir dari rahimmu 

dan pernah lenyap sewaktu diselamatkan oleh pem-

bantumu..." 

"Nyi Retno, coba kau perhatikan.” Kata Wiro pula. 

"Cantiknya bayi itu sama dengan cantiknya wajahmu. 

Hidung, alis serta bibirnya juga sama denganmu..." 

Nyi Retno terdiam. Diam memandang ke arah ke-

jauhan seperti coba merenung. Perlahan-lahan ingat-

an masa silam sedikit demi sedikit muncul mem-

bayang dalam benaknya. Namun memang tidak mu-

dah mengembalikan kewarasan seseorang yang per-

nah hilang dan telah menderita selama hampir dua


tahun hanya dengan cerita walau saat itu dia melihat 

sendiri sang bayi. 

"Lalu Kemuning?" 

Wiro menggaruk kepala. Saling pandang dengan 

Datuk Rao. 

"Kemuning saudara Ken Permata. Keduanya sa-

ma-sama anakmu, Nyi Retno.” Datuk Rao yang bicara. 

"Jadi aku punya dua anak?" 

"Betul..." jawab Wiro. 

"Dua-duanya perempuan?" 

"Betul.." Menyahuti sang Datuk. 

"Dan kau ayahnya juga? Ayah Kemuning dan ayah 

Ken Permata?" 

Wiro menggaruk kepala. "Benar, aku ayah mere-

ka..." 

"Aku punya dua anak... Aku gembira..." Nyi Retno 

tertawa sebentar lalu menangis. Wajahnya berubah 

tidak seperti biasa. Pandangan matanya juga kini lain. 

Suara dan nada ucapannya jauh berbeda. 

"Ya Allah, turunkan rakhmatmu. Beri kesembuhan 

pada perempuan ini," ucap Datuk Rao dalam hati 

sambil mengucapkan istigfar berulang kali. 

"Wiro, aku mau membawa anak-anakku pulang ke 

tanah Jawa. Aku, aku juga ingin melihat Sandaka. 

Akan aku katakan padanya kalau aku sebenarnya 

punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning. Dulu 

dia hanya tahu kalau aku cuma punya satu orang 

anak. Kemuning ini..." Nyi Retno lalu mengambil bo-

neka kayu yang disisipkannya di punggung pakaian. 

Lama dia menatap boneka kayu itu sementara air mata 

jatuh bercucuran. Boneka kayu kemudian dicium 

berulang kali. 

"Wiro, Nyi Retno belum sembuh sempurna. Tapi 

wajah, sikap serta bicaranya menunjukkan sudah


jauh berubah. Kau harus segera membawanya ke ta-

nah Jawa. Bawa dia pulang ke tempat kediamannya. 

Jika dia melihat semua benda atau tempat, apa saja 

yang ada di masa lalunya, kiranya itu akan membawa 

kesembuhan yang lebih cepat dalam dirinya." 

"Saya akan melakukan apa yang Datuk katakan. 

Bisakah saya membawa mereka sekarang juga? Saya 

butuh bantuan sahabat Datuk Rao Bamato Hijau..." 

Baru saja Wire mengucapkan kata-kata itu harimau 

putih bermata hijau segera mendatangi lalu runduk-

kan tubuh di depan Wiro dan Nyi Retno Mantili. 

GUBUK tua dalam rimba belantara tak jauh dari 

jurang batu pualam. Manusia Paku Sandaka terbaring 

di lantai gubuk, ditemani Denok Tuba Biru. 

"Aku mendengar suara sesuatu melayang di udara. 

Mendatangi ke arah gubuk ini..." kata Sandaka. Baru 

saja dia berucap tiba-tiba ada sahutan. 

"Sahabat, kami memang sudah sampai di sini!" 

Lalu seekor harimau putih besar muncul, meng-

gereng perlahan di depan gubuk, ditunggangi Wiro, Nyi 

Retno Mantili, Ken Permata dan boneka kayu Ke-

muning. Tentu saja Sandaka dan si gembrot Denok 

Tuba Biru merasa gembira. Ternyata Wiro dan Nyi 

Retno hanya pergi kurang dari dua hari. 

"Sahabat berdua, aku gembira bisa bertemu lagi 

dengan kalian. Bagaimana keadaan kalian?” Sandaka 

dan Denok Tuba Biru terheran-heran. Ada perubahan 

pada diri perempuan mungil ini. 

"Sakit pada punggungku sudah jauh berkurang. 

Jika dipaksakan rasanya aku sudah bisa duduk..." 

Jawab Sandaka.


"Bayi cantik ini, apakah dia yang bernama Ken 

Permata?" tanya Denok Tuba Biru sambil mengusap 

pipi merah si bayi. 

Yang menjawab Nyi Retno sendiri. "Benar, dia 

anakku. Sekarang aku punya dua anak. Ken Permata 

dan Kemuning." 

Sandaka tertawa. Berpaling ke arah Wiro dan 

memberi isyarat agar Wiro mendekat. Lalu Sandaka 

berbisik. 

"Apakah Nyi Retno mengalami kesembuhan setelah 

bertemu bayinya?" 

Wiro mengangguk dan diam-diam merasa sedih 

karena dengan kesembuhan Nyi Retno berarti paku-

paku yang ada di kepala dan tubuh Sandaka tidak 

dapat dilenyapkan. 

"Sekarang otaknya sudah waras, tidak gila lagi?" 

Sandaka bertanya lagi ingin meyakinkan. 

"Benar," jawab Wiro. 

"Aku bersyukur..." 

"Sandaka walau aku gembira ada kesembuhan 

pada diri Nyi Retno Mantili, tapi aku sedih mengingat 

keadaan dirimu. Berarti syarat untuk melenyapkan 

tiga puluh paku di tubuhnya tidak mungkin dilaksa-

nakan. Tapi biar semua kita serahkan pada Yang 

Kuasa Gusti Allah." 

"Aku juga sudah pasrah. Ini semua sudah kehen-

dak Yang Kuasa. Sudahtakdir..." 

"Tapi bagaimana kalau aku bicara dulu dengan Nyi 

Retno Mantili. Lalu menanyakan padanya apakah dia 

masih bersedia nikah denganmu?" 

Sandaka tertawa."Waktu tidak waras saja dia tidak 

mau nikah denganku. Apa lagi setelah waras, Kau ini 

mau membanyol yang tidak-tidak saja."


"Kau tunggu saja di sini. Aku akan menemuinya. 

Aku akan bicara dulu dengannya. Kau berdoa saja di 

sini...” 

"Kalau ada Malaikat mendengar ucapanmu, Ma-

laikat pasti tertawa." Kata Sandaka pula. 

"Ssttt. Jangan sebut-sebut Malaikat. Setahuku 

Malaikat itu tidak pernah tertawa. Tapi mampu 

memberikan rakhmat pada manusia. Nah, kau tunggu 

di sini..." 

Wiro lalu membawa Nyi Retno Mantili keluar gubuk. 

Keduanya bicara cukup lama. Ketika akhirnya Wiro 

masuk kembali ke dalam gubuk bersama Nyi Retno 

Sandaka berusaha tenang walau hatinya sebenarnya 

sangat cemas. Apalagi dilihatnya Wiro berulang kali 

menggelengkan kepala. 

Sesaat kemudian Wiro, Nyi Retno Mantili yang 

menggendong Ken Permata dan membawa boneka 

kayu, serta Tuba Biru sudah duduk di samping San-

daka. Wiro mengusap wajah berulang kali, menggaruk 

kepala tiada henti, menambah kecemasan yang ada 

dalam diri Sandaka. 

"Sahabatku," Wiro mulai bicara. "Aku hanya mela-

kukan apa yang aku bisa. Selebih dari itu semuanya 

berada di tangan Gusti Allah." 

Sandaka merasa benar-benar putus harapan. Dia 

menatap ke atap gubuk. Berusaha mengendalikan pe-

rasaan hingga tubuhnya bergetar dan dadanya turun 

naik. 

"Aku mengerti Wiro, kau sahabat baik. Aku sangat 

berterima kasih padamu. Manusia tidak bisa menolak 

kehendak Yang Kuasa." Berucap Sandaka dengan 

suara bergetar. 

"Benar sahabatku. Manusia tidak bisa menolak 

kehendak Yang Kuasa." Jawab Wiro. Lalu dia berpaling


pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno, sampaikan pada 

sahabatku Sandaka apa yang hendak kau katakan." 

Nyi Retno Mantili usap kepala boneka kayu lalu 

membelai rambut Ken Permata. Matanya kemudian 

menatap ke arah Sandaka. Tapi mulutnya tidak 

mengeluarkan ucapan apa-apa. 

Wiro jadi garuk kepala. 

"Nyi Retno. Kau sudah berjanji tadi. Sekarang ka-

takan saja..." 

Setelah masih diam beberapa lama akhirnya Nyi 

Retno Mantili berkata. 

"Sandaka, aku bersedia dinikahkan dan menjadi 

istrimu." 

Kejut Manusia Paku Sandaka Arto Gampito bukan 

alang kepalang. Si gembrot Denok Tuba Biru terpe-

rangah. Saking kaget dan juga gembiranya Sandaka 

tiba-tiba berteriak keras. Lupa akan sakit di pung-

gungnya pemuda ini melompat ke atas hingga men-

jebol atap gubuk. Ketika dia menjejakkan kaki di ha-

laman, tiga puluh paku yang menancap di kepala, 

wajah serta sekujur tubuhnya telah lenyap! Kuasa 

Tuhan memang di atas segala-galanya. Walau Nyi 

Retno Mantili kini sudah berubah menjadi orang waras 

namun keikhlasannya untuk bersedia menjadi istri 

Sandaka membuat pemuda ini tetap mendapat ke-

sembuhan. 

Perlahan-lahan Sandaka jatuhkan diri berlutut lalu 

bersujud di tanah. Mulutnya berucap. 

"Terima kasih Gusti Allah. Terima kasih atas per-

tolongan-Mu hingga saya mendapatkan kesembuhan. 

Saya berjanji akan mengasihi dan menjaga baik-baik 

istri saya, Nyi Retno Mantili. Saya berjanji akan me-

nyayangi dua anaknya, Ken Permata dan boneka kayu 

Kemuning..."


Pada saat Sandaka jatuhkan diri berlutut, Nyi 

Retno Mantili cepat-cepat keluar dari dalam gubuk 

yang atapnya sudah jebol. Wiro segera mengikuti. Tapi 

Denok Tuba Biru cepat memegang tangannya. 

"Wiro, sekarang giliranku untuk mengatakan 

bahwa aku bersedia kau nikahi dan menjadi istrimu..." 

"Apa?!" Dua mata Pendekar 212 mendelik besar. 

Si gembrot Denok Tuba Biru tertawa gelak-gelak 

lalu enak saja merangkulkan dua tangannya ke bahu 

sang pendekar hingga bulu ketiaknya yang lebat ber-

sembulan menyentuh leher Wiro, membuat murid 

Sinto Gendeng merinding kegelian! 


                             TAMAT


Episode Selanjutnya: 


KUPU-KUPU GIOK NGARAI SIANOK







0 komentar:

Posting Komentar