WIRO SABLENG EPISODE BAYI TITISAN
SEJAK Ken Permata ketitis-
an roh Nyi Harum Sarti,
Datuk Rao Basaluang
Ameh melihat banyak perubahan
terjadi atas diri bayi yang berusia
hampir dua tahun itu. Dari hari
ke sehari tubuh anak perempuan
Nyi Retno Mantili dari suaminya
yang mendiang Patih Kerajaan
bernama Wira Bumi itu meng-
alami pertumbuhan pesat. Tubuh
bertambah besar dan bertambah
tinggi. Dalam waktu beberapa
bulan saja keadaan Ken Permata
tidak beda dengan seorang anak yang telah berusia
lima tahun. Bicaranya lancar. Ucapan-ucapan cerdik
seperti seorang dewasa. Apa yang terjadi dengan anak
itu tidak lepas dari perhatian Mande Saleha, perem-
puan yang menjaga Ken Permata sejak masih orok.
Suatu hari ketika anak perempuan itu ber-
main-main di luar ditemani harimau putih sakti Datuk
Rao Bamato Hijau, Mande Saleha menemui Datuk
Rao Basaluang Ameh di dalam goa batu pualam.
(Mande = ibu) Sebenarnya dia ingin membawa serta
Baiduri, Ibu Susu Ken Permata. Tapi perempuan se-
paruh baya ini akhirnya memutuskan untuk datang
seorang diri saja. Ketika dia masuk ke dalam goa batu
pualam, sang Datuk tengah membaca khidmat sebuah
kitab bertuliskan huruf Arab yang beberapa hari lalu
didapatnya dari seorang sahabat, seorang pedagang
bangsa Parsi.
Setelah menunggu sampai Datuk Rao menyelesai-
kan bacaan dan menutup kitab, baru Mande Saleha
berani keluarkan ucapan.
"Datuk, saya datang mengganggu untuk mem-
bicarakan hal diri anak awak Ken Permata. Sebenar-
nya saya sudah sejak lama ingin menemui dan bicara
dengan Datuk. Namun saya takut Datuk kurang ber-
kenan di hati…"
Datuk Rao Basaluang Ameh beberapa ketika me-
natap perempuan di hadapannya itu dengan sepasang
matanya yang kelabu ke biru-biruan.
"Mande Saleha, aku sudah maklum. Kegelisahan-
mu kegelisahanku juga. Kekawatiranmu kekawatiran-
ku juga. Langsung saja, apa yang hendak kau sam-
paikan?”
"Datuk maafkan saya kalau seolah berlaku lebih
prihatin dari Datuk. Saya kira Datuk melihat sendiri
perubahan yang terjadi atas keadaan diri Ken Permata.
Usianya belum dua tahun namun keadaannya me-
nyamai anak perempuan yang telah berusia lima-e-
nam tahun. Dia tumbuh dewasa lebih cepat dari ko-
drat Allah dan kemauan alam. Tapi bagi saya bukan
perubahan keadaan bentuk badan itu saja yang
mengawatirkan. Yang saya cemaskan adalah per-
ubahan sifat dan bicaranya. Sekarang dia lebih suka
tidur sendiri daripada bersama saya. Dia menolak
kalau saya rangkul apa lagi saya dukung. Dia lebih
suka tidur di atas tikar di lantai rumah gadang dari-
pada bergolek satu ketiduran dengan saya. Kadang-
kadang, kalau saya tersentak bangun tengah malam,
saya dapati anak itu tidak ada di dalam kamar. Ketika
saya cari ternyata dia berada di halaman samping,
duduk atau membaringkan diri di atas lesung. Atau
duduk di tangga rumah kecil tempat menyimpan padi.
Sesekali sebelum saya menemuinya, saya coba meng-
intai. Pernah kedapatan oleh saya mulutnya berge-
rak-gerak. Dia seperti bicara dengan seseorang. Tapi
suaranya tidak terdengar dan orang yang diajaknya
bicara tidak kelihatan. Saya benar-benar cemas Da-
tuk. Saya kawatir penitisan yang terjadi atas Ken
Permata telah merusak pikiran anak itu.”
Datuk Rao Basaluang Ameh terdiam baberapa ju-
rus. Setelah mengusap wajah yang barsih kelimis
orang tua ini berkata.
“Sejak beberapa waktu belakangan ini ada roh yang
berusaha mendekati anak itu."
"Apakah itu tidak berbahaya Datuk?"
“Berbahaya, sangat berbahaya. Itu sebabnya aku
telah mamagari tempat kediaman kita ini sampai se-
putar Danau Maninjau dangan Ilmu Selusin Jaring
Penolak Bala. Selain itu setiap malam aku semba-
nyang Tahajjud, aku memohon perlindungan atas diri
anak itu dari Yang Maha Kuasa.”
“Saya tahu, Ilmu Selusin Jaring Penolak Bala itu
pastilah sangat hebat. Mudah-mudahan iImu itu bisa
melindungi Ken Permata. Tidak sampai terjadi seperti
dahulu. Ketika dia diculik orang, dilarikan ke tanah
Jawa. Datuk sampai-sampai meminta pertolongan
para Datuk sahabat dari berbagai penjuru pulau An-
dalas..." (Baca "Bayi Satu Suro")
"Selain itu pada Datuk Rao Bamato Hijau telah aku
pesankan agar menjaga dan mengawasi Ken Permata
baik siang apa lagi di waktu malam." Ucap Datuk Rao
Basaluang Ameh. Apa yang dikatakan dan dikawatir-
kan perempuan di hadapannya memang cukup ber
alasan. Beberapa waktu lalu Ken Permata berhasil
dilarikan Wira Bumi bersama gurunya Nyai Tumbal
Jiwo dengan cara menyamar sebagai harimau putih
peliharaan sang Datuk dan suami Baiduri.
"Apa masih ada hal lain yang hendak kau katakan
atau masih kau cemaskan Mande Saleha?"
"Terus terang Datuk, rasa cemas saya memang ti-
dak berkeputusan. Bagi saya Ken Permata sudah se-
bagai anak darah daging saya sendiri. Datuk, saya
ingin memberi tahu. Ken Permata beberapa kali entah
sadar entah tidak berkata pada saya. Bahwa dia ingin
meninggalkan Danau Maninjau namun hatinya masih
terkait sayang pada rumah gadang dan Datuk, pada
saya dan pada ibu susunya. Ucapannya seperti orang
dewasa. Bukan seperti ucapan anak-anak, apalagi
ucapan seorang bayi berusia belum dua tahun. Ka-
tanya lagi, walau dia belum mau pergi, namun kalau
orang yang menjemput sudah datang maka dia ter-
paksa akan pergi juga..."
Raut muka Datuk Rao Basaluang Ameh berubah.
"Mande Saleha, apakah anak itu mengatakan siapa
yang akan menjemputnya?"
Mande Saleha menggeleng. Lalu berkata.
"Saya pernah bertanya siapa orang itu atau ba-
gaimana ciri-cirinya, lelaki atau perempuan. Tapi Ken
Permata menjawab, “Nantilah Mande, nanti akan saya
ceritakan pada Mande.” Selain itu Ken Permata juga
menceritakan. Orang itu acap kali menemuinya pada
malam hari ketika dia antara jaga dan tidur. Orang itu
banyak menceritakan tentang dirinya, siapa ibunya,
siapa ayahnya. Bahwa ayahnya telah menemui kema-
tian. Dia juga diberi tahu siapa yang telah membunuh
ayahnya."
"Jika cerita anak itu memang benar, berarti satu
malapetaka besar akan terjadi. Dia akan mencari
pembunuh ayahnya. Orang yang membunuhnya
adalah Pendekar 212 Wiro Sableng..." Datuk Rao
Basaluang Ameh gelengkan kepala sambil mengucap
menyebut nama Tuhan berulang kali.
"Saleha, kau bisa menduga siapa orang itu?" tanya
Datuk kemudian.
"Kalau menduga saya bisa saja tapi tak berani
mengatakan. Mungkin Datuk lebih bisa menerka."
"Kau ingat kejadian yang kau ceritakan padaku
beberapa waktu lalu? Sebelum penitisan gaib terjadi
atas diri Ken Permata?"
"Saya ingat Datuk."
"Ada seorang perempuan tua bertubuh tinggi be-
rambut putih. Masuk ke dalam kamar tempatmu dan
Ken Permata tidur. Dia mengenakan pakaian panjang
kuning berbunga-bunga. Ada seperangkat sunting
pendek di kepalanya. Dialah orang yang dimaksud Ken
Permata. (Baca "Janda Pulau Cingkuk") Yang kelak
akan datang menjemputnya. Namun bisa juga yang
muncul adalah roh yang menitis ke dalam tubuhnya.
Bekas Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum Sarti.
Tapi Saleha, hal lain bisa saja terjadi..."
"Hal lain bagaimana maksud Datuk?" tanya Mande
Saleha pula.
"Bisa saja anak itu pergi sendirian, meninggalkan
tempat ini, mengikuti dorongan gaib tanpa menunggu
kedatangan perempuan tua tadi."
"Saya benar-benar takut kalau hal itu terjadi. Saya
memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, meminta
perlindungan atas diri anak itu... Dia sebenarnya tidak
tahu apa-apa. Ada kekuatan gaib di luar dirinya yang
mengatur jalan nasibnya."
"Itulah yang dinamakan takdir. Manusia masih bisa
merubah dan melawan nasib. Tapi tidak ada manusia
yang bisa melawan takdir." Ucap Datuk Rao Basaluang
Ameh yang saat itu pula teringat pada Laras Parantili,
kekasih di masa mudanya yang telah bertindak se-
bagai pelindung terjadinya penitisan atas diri Ken
Permata.
"Mungkin...mungkin kita harus cepat-cepat mem-
pertemukan anak itu dengan ibu kandungnya Datuk.
Kita tidak bisa hanya menunggu sampai Pendekar 212
menjemputnya ke sini sebagaimana yang Datuk i-
nginkan. Apalagi kenyataannya dia telah mengetahui
siapa pembunuh ayahnya."
"Kau mungkin betul Saleha. Mungkin itu yang
harus kita lakukan." Kata Datuk Rao pula. "Panggil
anak itu. Bawa dia ke sini. Kita bisa bicara mengajuk
hatinya..."
"Akan saya panggil dan bawa dia ke sini Datuk."
Kata Mande Saleha lalu cepat-cepat keluar dari goa.
Tak lama kemudian perempuan ini muncul kembali
dengan wajah pucat dan nafas mengengah.
“Ada apa Saleha?" tanya sang Datuk heran tak
bersyak wasangka.
"Ken Permata! Anak itu ada di pucuk pohon Kayu
Manis besar di tepi danau. Harimau putih sakti Datuk
Rao Bamato Hijau tidak bisa barbuat apa-apa. Hanya
barputar-putar dan menggereng di sakitar bawah
pohon. Dia menunggu, kawatir Ken Permata tergelincir
jatuh.”
“Ken permata di pucuk pohon Kayu Manis! Bagai-
mana mungkin?" ujar Datuk Rao lalu dengan serta
merta melompat keluar goa diikuti Mande Salaha.
Ketika Datuk Rao Basaluang Ameh sampai di tepi
Danau Maninjau sebelah timur, orang tua ini berhenti
berlari, tegak terpana penuh perasaan tak percaya.
Seperti yang dikatakan Mande Saleha, harimau putih
sakti Datuk Rao Bamato Hijau melangkah memutari
pohon kayu manis besar. Sekali-sekali kepalanya
mendongak ke atas pohon. Di atas pohon ini, pada
pucuk yang paling ujung, di satu dahan yang tidak
seberapa besar, sambil berpegangan ke ranting pohon,
berdiri Ken Permata, anak perempuan yang belum
berusia dua tahun tapi memiliki bentuk badan seu-
kuran anak berumur lima tahun. Sambil meng-
goyang-goyang kaki dan mengayun-ayunkan tubuh,
anak ini bernyanyi-nyanyi tiada henti. Datuk Rao
mengucap berulang kali.
"Allah Maha Besar! Aneh! Dia memiliki ilmu me-
ringankan tubuh. Dia mempunyai ilmu kesaktian.
Ilmu titisan!"
Mande Saleha berteriak cemas berulang kali, me-
manggil-manggil anak perempuan itu, Datuk Rao
berseru.
"Cucu Datuk Ken Permata! Kau gembira sekali hari
ini. Sampai-sampai menyanyi di atas pohon. Turunlah,
menyanyi di dekatku agar Datuk bisa lebih jelas
mendengar bagusnya suaramu...!
Tanpa menoleh ke bawah dari atas pohon Ken
Permata menyahuti.
"Datuk di sini lebih enak. Udaranya nyaman, pe-
mandangan indah. Mengapa Datuk tidak naik saja ke
atas pohon? Jangan lupa membawa serta Mande Sa-
leha. Kita bernyanyi bersama-sama!"
"Celaka Datuk. Kalau kakinya sampai terpeleset
tergerajai, anak itu akan jatuh ke tanah. Tolong dia
Datuk. Cepat diturunkan..."
"Tenang Saleha, aku akan menurunkannya..." Kata
Datuk Rao pula. Sekali menjejak kaki kanan ke tanah,
orang tua sakti ini melesat ke atas pohon kayu manis.
Begitu sampai di atas cabang tempat Ken Permata
berdiri Datuk Rao cepat ulurkan tangan untuk me-
nangkpp pinggang si anak. Tapi wuutt! Dia hanya
menangkap angin! Karena sesaat sebelum Datuk Rao
mengulurkan tangan Ken Permata lebih dulu melun-
curkan diri ke bawah, tertawa gelak-gelak lalu me-
lompat dari satu cabang ke cabang lain. Tak lama
kemudian terdengar suara anak itu di bawah pohon.
"Datuk! Saya sudah turun ke bawah! Habis Datuk
lama sekali saya tunggu tidak mau naik-naik, tidak
mau menyanyi bersama saya di atas pohon!"
Datuk Rao mengucap kaget. Memandang ke bawah
memang dilihatnya Ken Permata sudah berada di
bawah pohon. Berdiri di samping Mande Saleha. Anak
ini tertawa-tawa girang sambil mengelus tengkuk ha-
rimau putih Datuk Rao Bamato Hijau. Datuk Rao
Basaluang Ameh cepat melayang turun ke tanah.
"cucu Datuk hebat sekali!" memuji Datuk Rao Ba-
saluang Ameh sambil membelai kepala Ken Permata.
"Cucuku, ceritakan pada kakekmu Ini bagaimana kau
bisa naik dan turun lagi dari pohon besar itu."
"Ada orang yang membawa saya Kek," jawab Ken
Permata.
Mande Saleha merasa kuduknya dingin merinding.
Perempuan ini memandang berkeliling lalu men-
dongak ke atas pohon besar. Lalu dia berbisik pada
Datuk.
"Hantu Haru-haru. Pasti mahluk itu hendak
menculik Ken Permata."
Hantu Haru-haru adalah sejenis mahluk halus
yang pada masa itu banyak gentayangan di Pulau
Andalas, suka menculik anak keeil dan membawanya
ke atas pohon tinggi antara lain pohon kelapa
"Bukan, bukan Hantu Haru-haru... Ada mahluk
lain," jawab Datuk Rao Basaluang Ameh lalu tidak
menunggu lebih lama segera mendukung Ken Per-
mata, setengah berlari membawanya ke goa batu pu-
alam.
Begitu sampai di dalam goa Datuk Rao Basaluang
Ameh bertanya pada Ken Permata.
"Cucu Datuk.... Orang yang membawamu naik ke
atas pohon tadi, apakah dia seorang lelaki atau seo-
rang perempuan?"
"Perempuan Kek. Orangnya cantik rancak...."
Datuk Rao Basaluang Ameh tereengang mendengar
jawaban Ken Permata. “Otak dan jalan pikirannya
bukan seperti anak-anak lagi. Dia sudah lebih dewasa
dari usia sebenarnya. Pasti roh perempuan yang per-
nah menjadi Ratu Laut Utara, Nyi Harum Sarti…"
Datuk menatap ke luar goa. Lalu mulutnya berucap
perlahan. Ada nada kekecewaan pada suaranya. “La-
ras Parantili, aku sungguh sedih kau sampai mau
menjadi pelindung terjadinya penitisan atas diri anak
ini. Apakah kau tak bisa menduga kalau kelak di
kemudian hari akan timbul bencana besar akibat pe-
nitisan roh seorang manusia berhati jahat ke dalam
diri seorang anak perempuan yang masih bersih dan
suci?
DUA
KITA telah mengetahui apa
yang telah terjadi dengan
Ken Permata. Sekarang
mari kita ikuti perjalanan sang
ibu yakni Nyi Retno Mantili sete-
lah dibawa oleh Manusia Paku
Sandaka Arto Gampito. Dalam
serial berjudul ”Perjodohan Ber-
darah" diceritakan setelah me-
nyelamatkan Nyi Retno Mantili
dari Serikat Tiga Momok yang
hendak merobek tubuh dan me-
nyantap hati, ginjal serta jan-
tungnya, Manusia Paku berhasil
membujuk dan membawa perempuan malang itu ke-
tempat kediaman gurunya di satu goa yang terletak
pada sisi barat jurang batu pualam.
Di dalam serial Wiro Sableng berjudul “Dendam
Manusia Paku" diceritakan bagaimana setelah sekian
lama dijadikan budak nafsu, dengan mempergunakan
Kapak Geni 212 milik Wiro, Manusia Paku Sandaka
Arto Gampito pada akhirnya berhasil membunuh Dewi
Ular. Dalam keadaan tubuh penuh luka bergelimang
darah Dewi Ular ditendang masuk ke dalam sebuah
jurang batu mengandung pualam. Namun entah apa
yang ada di benak Manusia Paku, sesaat setelah Dewi
Ular jatuh ke dalam jurang diapun ikut pula menyusul
menghambur diri terjun ke dalam jurang yang sama.
upanya benar ujar-ujar yang mengatakan sebe-
lum ajal berpantang mati. Ini yang terjadi dengan
Sandaka. Seorang sakti yang diam di dalam sebuah
goa di dinding barat jurang batu pualam menyela-
matkan pemuda itu. Setelah mendengar penuturan
Sandaka mengenai riwayat dirinya, si orang tua sakti
menaruh hiba lalu mengambilnya menjadi murid, di-
ajak tinggal bersama di dalam goa.
Sang guru yang dalam rimba persilatan dikenal
dengan nama Datuk Sipatoka kabarnya berasal dari
Pulau Andalas sebelah Utara. Setelah puluhan tahun
menghuni goa di jurang batu pualam itu dia kemudian
dikenal juga dengan nama Datuk Batu Pualam.
Sebagai orang sakti Datuk Sipatoka mengetahui
bahwa di dasar jurang di mana terdapat satu kawah
sempit tersimpan sepasang keris sakti tak bersarung
yang diduga milik Kerajaan, bernama Keris Nagasona.
Konon salah satu kesaktian keris yang satu jantan
satu betina ini adalah mampu menyembuhkan ber-
bagai penyakit. Karenanya Datuk Sipatoka menaruh
keyakinan bahwa sepasang senjata sakti itu juga
mampu melenyapkan puluhan baja putih yang me-
nancap di tubuh muridnya. Hal itu diberitahukannya
pada Sandaka.
Namun tidak mudah untuk mendapatkan sepasang
keris sakti tersebut. Sang Datuk menyirap berita yang
berasal dari sebuah kitab bernama Kitab Seribu Pe-
tunjuk Kuna dan memberitahu pada muridnya bahwa
pada malam Sekatan yang akan datang, didahului
dangan tanda munculnya Bintang Kalimukus di la-
ngit maka saat itulah sapasang keris sakti akan keluar
dari tempat pertapaannya selama belasan tahun di
dasar kawah jurang batu pualam. Sepasang keris itu
sendiri konon telah berusia dua ratus tahun.
Bagaimana dengan Dewi Ular? Apakah benar-benar
menemui ajal pada saat dirinya terpental ke dalam
jurang batu pualam akibat tendangan Sandaka?
Dalam keadaan tubuh penuh luka bekas bacokan
kapak sakti bergelimang darah dan siap meregang
nyawa Dewi Ular melayang jatuh ke dalam jurang.
Tidak disangka-sangka dari dalam sebuah goa di
dinding timur muncul seorang perempuan sakti me-
nyelematkannya. Perempuan bertubuh gemuk ini
bernama Kunti Rao, merupakan musuh bebuyutan
Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam yang tinggal
dalam goa di dinding barat jurang. Dewi Ular bukan
saja diselamatkan tapi juga diambil jadi murid. Namun
sang guru bernasib buruk. Dewi Ular yang culas se-
cara keji kemudian membunuh Kunti Rao memper-
gunakan paku emas yang telah berubah hitam yang
ditusukkan ke pusarnya oleh Pendekar 212 Wiro
Sableng.
Ketika di Kotaraja tengah berlangsung perayaan
Sekaten, pada malam harinya di langit di atas jurang
benar-benar muncul, Bintang Kalimukus. Di sekitar
mulut jurang batu pualam saat itu t.elah berkumpul
serombongan tokoh dari Keraton di bawah pimpinan
Pangeran Ipong Nalakudra. Pangeran ini telah sekian
lama menderita menyakit lumpuh. Dia percaya sepa-
sang keris sakti Nagasona mampu memberi kesem-
buhan pada penyakitnya. Itu sebabnya bersama pe-
ngiringnya yang terdiri dari tokoh-tokoh silat Kerajaan
dia mendatangi jurang batu pualam untuk menda-
patkan dua keris sakti.
Ternyata yang datang ke tempat itu bukan cuma
rombongan dari Keraton, tapi juga Ratu Ular bersama
sang murid, Dewi Ular yang telah lebih dulu berada di
tempat itu. Lalu tidak terduga datang pula tokoh sakti
utama rimba persilatan yang dikenal dengan julukan
Si Raja Penidur. Tokoh yang jarang muncul ini dan
sepanjang tahun boleh dikatakan selalu tidur, sekali
memperlihatkan diri maka ini merupakan pertanda
bahwa satu peristiwa besar akan terjadi di tempat itu.
Sementara itu Pendekar 212 Wiro Sableng bersama
Anggini murid DewaTuak juga telah berada di sekitar
jurang batu pualam. Sepasang pendekar muda mudi
ini dicurigai oleh Pangeran Ipong dan para pengikut-
nya sebagai hendak merampas keris Nagasona. Pa-
dahal keduanya tidak tahu-menahu keberadaan sen-
jata sakti itu. Mereka datang ke jurang batu pualam
justru karena mencurigai bahwa Dewi Ular sebenarnya
masih hidup sambil mencari tahu apa yang terjadi
dengan Manusia Paku Sandaka.
Ketika malam itu akhirnya Bintang Kalimukus
muncul di langit, di dasar jurang dua keris sakti Na-
gasona mencuat keluar dari dalam kawah dan para
tokoh rimba persilatan berkelahi hebat untuk men-
dapatkan. Ternyata yang beruntung adalah Ratu Ular.
Begitu dia berhasil menangkap sepasang keris sakti
dengan cepat Ratu Ular sapukan dua keris ke tubuh
muridnya hingga tubuh Dewi Ular yang tadinya penuh
cacat luka bekas hantaman Kapak Naga Geni 212
sembuh dengan seketika. Kekuatan, tenaga dalam
serta kesaktiannya pulih.
Dengan mengandalkan dua keris sakti Ratu Ular
kemudian berusaha menghabisi semua tokoh silat
yang ada di tempat itu. Dia nyaris hampir membunuh
Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam. Ketika dia
mengejar dan hendak menghabisi Manusia Paku
Sandaka Pendekar 212 Wiro Sableng segera masuk ke
dalam kancah pertarungan dengan Kapak Naga Geni
212 di tangan kanan. Ternyata kapak mustika sakti
tidak mampu menghadapi sepasang keris pusaka.
Wiro terpental, kapak sakti lepas dari pegangannya.
Sesaat lagi Ratu Ular hendak melancarkan serangan
yang mematikan tiba-tiba Si Raja Penidur jatuhkan
diri di dasar jurang tapi dalam keadaan mata terpejam
mulut mengorok alias tidur lelap! Di mulutnya masih
terselip pipa berasap! Enak saja dia menggolekkan diri
di atas satu batu besar. Selagi semua orang terkesiap
melihat kemunculan tokoh utama rimba persilatan
yang berperilaku aneh ini, Wiro cepat mengambil Ka-
pak Naga Geni 212 yang tercampak di batu jurang.
Melihat kemunculan Si Raja Penidur, apa lagi ke-
tika Wiro membangunkan tokoh rimba persilatan yang
memiliki kesaktian luar biasa ini, Ratu Ular tampak
gelisah. Dia segera membisiki Dewi Ular untuk segera
meninggalkan tempat itu. Namun ketika guru dan
murid bersiap kabur, tahu-tahu Si Raja Penidur sudah
menghadang. Setelah hembuskan asap pipa dan
menguap lebar Si Raja Penidur menegur.
"Untari, kau masih saja berkelakuan macam-
macam. Apa kekecewaan masa muda masih meng-
hantui dirimu?"
Semua orang yang ada di atas permukaan kawah di
dalam jurang batu pualam terheran-heran mendengar
kata-kata si gemuk, tapi tak ada yang berani bertanya.
Siapa yang bernama Untari itu? Ratu Ular? Lalu me-
reka melihat perubahan pada wajah Ratu Ular. Si-
kapnya kini menunjukkan rasa gelisah kalau tidak
mau dikatakan takut. Takut pada siapa?
"Raja Penidur," tiba-tiba Ratu Ular berucap. "Urus-
an masa lalu tidak perlu diungkit-ungkit..."
"Ah! Jadi dialah yang bernama Untari! Sang Ratu
Ular!" bisik Pendekar 212 Wiro Sableng pada Anggini.
"Kalau begitu katamu, baiklah. Kau boleh pergi.
Tapi ada dua hal yang harus kau tinggalkan,” kata Si
Raja Penidur.
"Hemmm, dua hal apakah itu?" tanya Ratu Ular.
Si Raja Penidur menyedot pipa dalam-dalam lalu
menghembuskan asapnya ke udara hingga tempat itu
dipenuhi bau tembakau yang tidak sedap. Setelah
menguap dan mengucak kedua matanya baru dia
menjawab.
"Pertama serahkan padaku sepasang keris Naga-
sona. Dua senjata mustika sakti itu bukan milikmu."
"Lalu apakah dua keris ini milikmu?" tukas Ratu
Ular dengan wajah sunggingkan seringai sinis.
"Memang jelas bukan milikku. Aku hanya jadi pe-
rantara untuk mengembalikan pada pemiliknya. Se-
bentar lagi utusan pemilik akan datang untuk meng-
ambil..."
Ratu Ular tertawa panjang. "Ceritamu enak sekali
didengarnya. Rupanya kau sekarang telah jadi seorang
perantara. Bagiku seorang perantara tidak lebih dari
seorang kacung."
Si Raja Penidur tenang saja mendengar dirinya di-
katakan sebagai kacung. Setelah meniup pipa da-
lam-dalam dan menghembuskan asap ke udara dia
menjawab. "Aku hanya memberi tahu. Aku tidak bi-
cara dusta. Tidak pernah..."
"Kecuali terhadapku?" Ratu Ular cepat potong
ucapan Si Raja Penidur.
Si Raja Penidur sesaat berubah parasnya lalu ter-
kekeh perlahan. "Kau tadi mengatakan urusan masa
lalu tak perlu diungkit-ungkit. Menurutku ini adalah
penyelesaian yang paling baik."
"Kau belum mengatakan hal yang kedua." Ratu Ular
alihkan pembicaraan.
"Hal kedua yang harus kau tinggalkan di tempat ini
adalah perempuan muda berjuluk Dewi Ular itu...”
Sepasang alis Ratu Ular berjingkat. Dua bola mata
membesar.
"Apa urusanmu dengan diri muridku? Kau hendak
memperlakukannya seperti yang kau perbuat padaku
puluhan tahun silam?"
Pendekar 212 dan semua orang yang ada di tempat
itu jadi saling pandang mendengar ucapan Ratu Ular.
Rupanya ada jalinan hubungan sangat dekat antara
Ratu Ular dan Raja Penidur di masa puluhan tahun
silam.
Si Raja Penidur batuk-batuk beberapa kali lalu
menguap lebar-Iebar.
"Aku sudah mengatakan dua hal permintaanku.
Terserah padamu mau memenuhi atau tidak.”
"Aku harus tahu dulu apa yang hendak kau laku-
kan terhadap muridku.”
"Aneh kalau kau masih bertanya. Apa kau tidak
menyadari kesalahan besar yang telah dibuatnya?
Dosanya setinggi langit sedalam lautan. Mulai dari
ubun-ubun sampai ke telapak kaki! Membunuh tokoh-
tokoh rimba persilatan tak berdosa. Bahkan teganya
membunuh gurunya sendiri! Kau kira dia bisa lolos
begitu saja dari hukuman? Tapi mengingat hubung-
anmu dengan diriku, aku tidak akan bertindak terlalu
keras padanya. Aku bersedia melindungi dirinya dari
balas dendam orang-orang rimba persilatan yang
mengerikan. Aku akan mengatur hukuman yang ter-
baik bagi dirinya.”
"Hukuman terbaik bagi dirinya adalah ikut bersa-
maku. Sekarang juga! Jangan ada yang berani
mengganggu menghalangi!" kata Ratu Ular pula tegas.
"Terserah padamu. Aku sudah menawarkan yang
terbaik. Mataku sudah mulai mengantuk. Aku ingin
menyelesaikan urusan ini sebelum aku tidur lagi.”
"Aku tidak akan memenuhi permintaanmu, Raja
Penidur! Seperti kau tidak pernah memenuhi apa-apa
terhadap diriku! Kau mau tidur silahkan. Aku tidak
perduli sekalipun kau tidak pernah bangun lagi untuk
selama-lamanya!"
"Ah, sayang sekali kalau begitu," kata Raja Penidur
lalu menguap tak acuh.
Ratu Ular memberi isyarat pada Dewi Ular. Kedua
perempuan itu segera melangkah pergi. Namun baru
berjalan dua tindak tiba-tiba dari atas ada cahaya
putih melayang turun. Ketika cahaya mencapai per-
tengahan jurang, semua orang yang ada di tempat itu
jadi tertegun. Yang melayang turun adalah seorang
gadis sangat cantik. Berpakaian lilitan kain sutera
putih halus. Kalau saja lilitan kain tidak tebal maka
pakaian itu nyaris tembus pandang memperlihatkan
tubuhnya yang putih elok. Udara di dasar kawah kini
dipenuh bau harum semerbak yang keluar dari tubuh
dan pakaian si gadis.
Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir, menguap
lebar-lebar lalu berpaling pada Ratu Ular.
"Utusan yang ditunggu telah datang. Aku tidak bisa
membantumu lagi, Untari…"
Ratu Ular terkesiap. Dewi Ular tampak tegang. Ga-
dis cantik berpakaian sutera putih melayang turun
dan berdiri di hadapan Ratu Ular. Wiro dan Anggini
melihat bagaimana dua kaki putih bagus si gadis sama
sekali tidak menjejak batu di dasar jurang. Walau
kagum melihat kecantikan dan keelokan tubuh orang
namun diam-diam Wiro merasa tengkuknya dingin.
Dia segera maklum kalau gadis ini bukan manusia
biasa.
Si gadis yang oleh Raja Penidur disebut sebagai
utusan menjemput dua keris sakti anggukkan kepala
seraya ulurkan dua tangan. Memberi isyarat pada
Ratu Ular agar segera menyerahkan keris Nagasona.
Ratu Ular melangkah mundur. Tangan kiri meng-
usap kepala ular besar yang bergelung di lehernya,
tangan kanan memberi tanda pada Dewi Ular. Sang
murid yang mengerti isyarat ini segera siapkan paku
hitam. Didahului teriakan keras Ratu Ular maka guru
dan murid lancarkan tiga serangan ganas.
TIGA
SERANGAN pertama adalah
serangan ular besar yang
menggelantung di leher
Ratu Ular. Binatang ini melesat
laksana anak panah mematuk ke
arah gadis cantik berpakaian su-
tera putih. Serangan kedua be-
rupa cahaya kuning yang keluar
dari paku hitam di tangan Dewi
Ular. Paku hitam ini dulunya
adalah paku emas yang didapat
Wiro dari Eyang Sinto Gendeng
untuk melumpuhkan Dewi Ular.
Oleh Dewi Ular paku ini kemu-
dian dijadikan senjata sakti mandraguna. Walau
keadaannya sekarang hitam namun sinar maut yang
dipancarkannya tetap berwarna kuning emas.
Serangan ketiga - inilah serangan yang terhebat -
datang menghambur dari sepasang keris sakti berupa
hamparan dua cahaya kuning terang benderang me-
nyilaukan sekaligus menggidikkan.
Manusia biasa, betatapun tinggi ilmu silat dan ke-
saktiannya, dihantam tiga serangan sakaligus seperti
itu akan sulit lolos selamatkan diri. Si Raja Penidur
tampak kerenyitkan kening melihat datangnya se-
rangan sambil siap membantu kalau sampai gadis
cantik berpakaian sutera putih tidak sanggup mena-
han hantaman tiga serangan. Wiro sendiri sudah
merapal ajian Pukulan Sakti Sinar Matahari. Tangan
kanannya sebatas siku ke bawah telah berubah
menjadi putih perak. Malah dengan jengkel dia berte-
riak. Memaki Ratu Ular dan Dewi Ular sebagai pe-
ngecut.
Namun gadis jelita yang dua kakinya tidak berpijak
ke dasar kawah tampak tenang saja. Sambil terse-
nyum dan lemparkan lirikan ke arah murid Sinto
Gendeng dia membuat lemah gemulai laksana seorang
penari padahal yang dihadapi adalah serangan maut!
Si gadis lambaikan tangan kiri dengan gerakan
perlahan. Tiga serangan yang menyambar ke arahnya
seolah-olah disedot masuk ke dalam telapak tangan
kiri yang dikembangkan.
Tiga larik sinar kuning dari sepasang keris sakti
dan satu lagi dari paku hitam di tangan Dewi Ular
lenyap pupus seperti asap dihembus angin.
"Cleepp!"
Bersamaan dengan itu kapala ular besar menempel
di telapak tangan kiri gadis berpakaian sutera putih.
Binatang ini mendesis keras. Menggeliat berusaha
melepaskan diri. Namun sekali lima jari tangan si ga-
dis meremas maka kepala binatang jahat berbisa itu
hancur remuk. Tubuh sampai ke ekor yang masih
utuh dalam keadaan menggelepar-gelepar, dilempar
amblas ke dalam dasar kawah jurang batu pualam.
Sekali gadis cantik meniup maka tangannya yang
berlumuran darah ular bersih kembali.
Masih dengan gerakan seperti penari, tangan kanan
gadis cantik yang oleh Raja Penidur disebut sebagai
utusan untuk mengambil sepasang keris Nagasona,
bergerak melambai ke depan. Ratu Ular merasa satu
kekuatan dahsyat menerpa membuat dua kakinya
goyah dan tubuh terjajar ke belakang. Belum sempat
mengimbangi diri dia melihat sesuatu berkelebat di
depannya, lalu tahu-tahu dua keris sakti yang dipe-
gangnya di tangan kiri kanan telah berpindah ke
tangan kanan gadis cantik di hadapannya.
Ratu Ular berteriak keras. Dia menerjang ke depan.
Dalam jarak begitu dekat dua tangan bukan saja me-
lancarkan serangan tangan kosong ganas tapi dua
tangan itu tiba-tiba berubah menjadi sepasang tom-
bak dengan kepala berbentuk ular senduk hijau!
Dua mata gadis cantik membesar, dua alis naik ke
atas. Tangan kiri digerakkan. Gerakan lembut tapi
mengandung tenaga dahsyat!
"Trakk! Traakk!"
Bukan cuma dua tombak berbentuk kepala ular
kobra jejadian yang hancur tapi dua tangan Ratu Ular
ikut patah dan remuk mulai dari pertengahan lengan
sampai ke ujung jari. Raungan keras perempuan ini
menggelepar di dalam jurang batu.
Melihat gurunya celaka begitu rupa didahului jerit-
an tak kalah kerasnya Dewi Ular kembali menyerbu
dengan paku hitam bertuah. Gadis yang diserang la-
gi-lagi lambaikan tangan kiri.
"Kraakk!"
Paku hitam hancur luluh. Begitu juga tangan ka-
nan Dewi Ular yang tadi memegang senjata itu. Guru
dan murid sama terhuyung lalu tubuh mereka saling
berbenturan.
"Dewi, kita tak mungkin keluar hidup-hidup dari
tempat ini. Kalaupun mampu tak ada gunanya hidup
dalam keadaan cacat seperti ini. Ikuti apa yang aku
lakukan."
"Saya mengerti Ratu. Saya siap..." sahut DewiUlar.
Dengan cepat diam-diam dia kerahkan ilmu kesaktian
bernama Membalik Mata Menipu Pandang
Tidak ada satu orangpun yang menduga, tidak ada
yang menyangka maupun mampu mencegah ketika
Ratu Ular dan Dewi Ular didahului teriakan keras
sama-sama lari lalu menghujamkan kepala masing-
masing ke dinding jurang batu pualam.
Suara remuknya kepala kedua orang ini terdengar
luar biasa menggidikkan! Tubuh mereka tergelimpang
tak bernyawa di atas gundukan batu di samping ka-
wah di dasar jurang. Untuk beberapa lama keadaan di
tempat itu dipagut kesunyian.
Gadis cantik berpakaian sutera putih palingkan
kepala ke arah Raja Penidur. Datuk rimba persilatan
ini maklum arti pandangan itu. Si gadis akan segera
meninggalkan jurang batu pualam.
Sebelum pergi, atas permintaan Si Raja Penidur
gadis cantik berpakaian sutera putih mengusapkan
sepasang keris Nagasona ke tubuh Datuk Sipatoka
dan Manusia Paku Sandaka. Saat itu juga luka dalam
yang dialami Datuk Sipatoka akibat hantaman Ratu
Ular tadi serta merta menjadi sembuh. Sementara
sapuan dua keris sakti membuat tiga puluh paku baja
putih yang menancap di sekujur kepala, muka dan
tubuh Sandaka tercabut bermentalan, jatuh ke dalam
dasar jurang. Tubuh Sandaka kepulkan asap berbau
busuk.
Si Raja Penidur menguap lalu kucak mata dan
berkata.
"Terima kasih, kau telah mengobati dua sahabat
kami. Gadis utusan penjemput sepasang keris sakti,
kau boleh pergi. Serahkan keris Nagasona pada pemi-
liknya di pantai selatan. Jika sebentar nanti kau be-
rada di atas jurang, ada seorang Pangeran yang telah
puluhan tahun menderita lumpuh. Tolong sembuhkan
penyakitnya dengan keris sakti itu. Sampaikan sa
lamku pada Sang Penguasa Agung Samudera Sela-
tan.”
Gadis yang diajak bicara hanya menjawab dengan
anggukan kepala. Ketika dia memutar tubuh siap
hendak melesat ke atas jurang, tiba-tiba Pendekar 212
Wiro Sableng berseru.
"Gadis cantik! Tunggu! Jangan pergi dulu! Aku juga
menderita sakit. Mungkin luka dalam. Tolong sem-
buhkan. Usapkan keris sakti itu ke dadaku..." Lalu
Wiro cepat-cepat buka kancing bajunya dan melang-
kah mendekati si gadis sambil sodorkan dada. Si gadis
tertegun sesaat lalu tersenyum.
Si Raja Penidur cabut pipa dari sela bibir. Jaraknya
dengan Wiro saat itu cukup jauh tapi seperti bisa
mulur tangan itu menjadi panjang dan pipa lalu di-
ketukkan ke kepala murid Sinto Gendeng.
"Anak sableng! Jangan berani macam-macam!
Siapa tidak tahu akal bulusmu! Minta diusap segala!"
"Plettaaakk!"
Pipa Si Raja Penidur mandarat di kening Pendekar
212 hingga saat itu juga jidat Wiro jadi benjut banjol
sebesar telur ayam. Sakitnya bukan main karena Si
Raja Penidur memang sengaja mengalirkan hawa sakti
ke ujung pipa yang bisa membuat orang kesakitan
setengah mati. Tapi Wiro juga tidak tinggal diam. Se-
belum ujung pipa mendarat di keningnya dia kerahkan
tenaga dalam mengandung hawa lembut. Walau ke-
ningnya tetap benjol tapi ujung pipa Si Raja Penidur-
jadi bengkok! Membuat manusia gemuk sakti ini
mendelik sesaat lalu kembali sepasang matanya redup
dan dia menguap lebar-Iebar.
Gadis cantik berpakaian sutera putih tertawa. Lalu
dia meniup ke arah wajah Wiro. Saat itu juga benjol
besar di kening sang pendekar dan rasa sakit serta
merta lenyap! Selagi Wiro tertegun si gadis sudah
melesat ke atas jurang.
"Ah, tidak diusap pun tak jadi apa. Nafasnya segar
dan sejuk seperti embun pagi, seharum kembang
melati! Rugi kau tidak merasakan tiupannya Kek!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Kelakuan konyolmu masih tidak berubah!" kata Si
Raja Penidur sambil berusaha meluruskan pipanya
yang bengkok. "Gadis hendak kau permainkan tadi
bisa saja dia adalah si pemilik sapasang keris Naga-
sona yang sebenarnya..."
Sambil mengusap kaning murid Sinto Gendeng
bertanya. "Kalau begitu gadis tadi itu siapa sebenarnya
Kek?"
"Bagaimana kalau dia adalah Ratu Penguasa Sa-
mudera Selatan... "
"Maksudmu Kek, Nyai Roro Kidul?" tanya Wiro
lagi.
"Apa ada Ratu lain yang jadi penguasa di kawasan
itu?" tukas Raja Penidur.
"Ah...!" Wiro jadi garuk-garuk kepala.
Raja Penidur masih terus berusaha meluruskan
pipanya yang bengkok tapi tidak bisa-bisa. Lalu dia
mengomel, memaki pada Wiro.
"Lihat pekerjaan kurang ajarmu, kalau pipa ini ti-
dak bisa kupergunakan lagi, aku akan membetot lepas
menanggalkan salah satu tangannya. Tulang ta-
nganmu akan kujadikan pipa pengganti pipa bengkok
sialan ini!"
Wiro tertawa. Lalu membungkuk, ulurkan kepala
dan meniup. Saat itu juga pipa yang bengkok lurus
kembali.
"Dasar anak setan!" Semprot Si Raja Penidur.
Wiro tertawa gelak-gelak.
EMPAT
TEPAT empat puluh hari se-
telah peristiwa hebat di da-
sar jurang batu pualam di
mana Ratu Ular dan Dewi Ular
menemui kematian, pagi hari ke-
tika Sandaka Arto Gampito ter-
bangun dari tidurnya pemuda ini
tersentak kaget lalu berteriak
keras. Dia dapati tiga puluh paku
baja murni yang sebelumnya te-
lah lenyap dari kepala dan tu-
buhnya kini muncul dan ada lagi.
Teriakan sang murid membuat
Datuk Sipatoka mendatangi.
Orang tua ini tertegun begitu melihat apa yang terjadi
dengan si pemuda.
“Sandaka, seperti apa yang sudah aku katakan
padamu, seharusnya pagi ini kau boleh meninggalkan
goa. Tapi dengan adanya kejadian ini…"
"Datuk, bagaimana hal ini bisa terjadi. Bagaimana
paku-paku jahanam ini muncul lagi dan menancap di
kepala, muka serta tubuhku? Apakah ini pekerjaan
jahat roh Datuk Bululawang yang dulu menancapkan
paku-paku celaka ini?"
Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam merenung
sejenak lalu gelengkan kepala. Mulutnya berucap
perlahan.
"Ini bukan pekerjaan roh Datuk Bululawang. Aku
lebih menduga ini adalah perbuatan roh Ratu Ular
atau Dewi Ular atau kedua-duanya. Sandaka, ikuti
aku!"
Sandaka ikuti gurunya keluar dari goa lalu turun ke
dasar jurang. Mereka pergi ke bagian kawah di mana
dulu atas tekanan Si Raja Penidur Ratu Ular dan Dewi
Ular tewas melakukan bunuh diri. Dasar kawah di-
selimuti bau busuk. Dan di situ mereka hanya me-
nemui satu mayat yang telah sangat rusak. Dari si-
sa-sisa pakaiannya jelas bahwa mayat itu adalah
mayat Ratu Ular.
"Ini mayat Ratu Ular! Di mana mayat Dewi Ular?!"
Sandaka berkata sambil memandang berkeliling.
"Muridku, dugaanku tidak salah. Apa yang terjadi
atas dirimu adalah perbuatan Dewi utar. Perempuan
iblis itu tidak mati sungguhan. Dia pasti menggunakan
satu ilmu kesaktian untuk menipu semua orang ketika
dia mengikuti gurunya melakukan bunuh diri dengan
membenturkan kepala ke dinding batu jurang."
"Jadi Dewi Ular saat ini masih hidup?"
Datuk Sipatoka anggukkan kepala.
"Aku berlaku lalai. Seharusnya aku sudah dulu-
dulu turun ke dasar jurang ini untuk menyelidiki
keadaan." Sang Datuk menarik nafas dalam lalu me-
nyambung ucapan. "Sandaka, aku terpaksa memba-
talkan rencana kepergianmu. Aku ingin kalau kau
meninggalkan jurang batu ini keadaanmu bersih
tanpa paku. Paling tidak aku mendapat petunjuk ba-
gaimana cara menyembuhkan dirimu.”
"Mungkin aku harus pergi ke laut selatan. Mencari
gadis berpakaian sutera putih itu. Meminta agar dia
mau menolong diriku sekali lagi dengan sepasang keris
Nagasona.”
Datuk gelengkan kepala.
"Sampai kiamat mungkin kau tak akan bisa me-
nemui gadis itu, Kalaupun kau bisa menemuinya,
belum tentu keris sakti Nagasona bisa dipergunakan
untuk penyembuhan penyakit yang sama untuk kedua
kalinya...”
"Kalau begitu biar aku mencari Dewi Ular. Aku akan
membunuh perempuan iblis itu. Akan aku cerai be-
raikan sekujur tubuhnya!"
"Muridku, hal yang terbaik adalah memohon dan
meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa."
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Datuk?"
"Mari kita bersemedi."
Setelah guru dan murid sama-sama bertapa salama
dua puluh satu hari tanpa makan dan minum hingga
tubuh meraka nyaris seperti jerangkong, akhimya
sang guru mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa.
Petunjuk itu agak aneh, tapi bagaimanapun juga itu-
lah hasil yang didapat dan harus dilakukan demi ke-
sembuhan sang murid.
"Sandaka, Yang Maha Kuasa telah memberi pe-
tunjuk padaku. Mungkin kau juga sudah merasakan
getarannya di dalam tubuhmu."
"Datuk, aku memang merasakan sesuatu dalam
diriku. Aku mohon Datuk mau menjelaskan apa pe-
tunjuk yang Datuk dapats ekarang juga."
Setelah menatap wajah muridnya yang malang itu
sejurus, Datuk Sipatoka alias Datuk Batu Pualam
memberi tahu bahwa keadaan diri Sandaka Arto
Gampito bisa disembuhkan, puluhan paku dapat di-
lenyapkan kalau pemuda itu nikah dengan seorang
perempuan berkepandaian tinggi berotak miring! Ma-
sih menurut petunjuk, bilamana Manusia Paku telah
melakukan hubungan badan dengan perempuan yang
dinikahinya itu sebanyak 21 kali maka seluruh paku
yang menancap di tubuhnya akan rontok dan musnah.
Lama Sandaka termenung. "Siapa perempuannya
yang mau dinikahi oleh lelaki seperti diriku ini?" Ucap
si pemuda lirih.
Datuk Sipatoka terdiam sesaat. Hatinya merasa
terenyuh mendengar ucapan sang murid.
"Perempuan gila alias sinting itu petunjuk yang aku
dapat. Datangnya dari Yang Di Atas. Kau tak perlu
meragukan..." kata Datuk Sipatoka pula.
Maka pada suatu hari atas perkenan sang guru
Manusia Paku pergi meninggalkan jurang batu pualam
disertai pesan bahwa dia tidak boleh kembali kecuali
menemukan dan membawa perempuan dimaksud.
Selain itu dia juga tidak boleh mempergunakan semua
ilmu silat dan ilmu kesaktian yang didapatnya dari
sang guru secara sembarangan terutama sebelum
dirinya mengalami kesembuhan dari paku baja putih.
Ternyata tidak mudah bagi Manusia Paku Sandaka
mencari dan mendapatkan perempuan seperti yang
disyaratkan oleh sang guru. Memang dia bisa mene-
mukan perempuan gila di mana-mana, mulai dari yang
muda sampai tua renta. Namun yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi itulah yang sulit dicari.
Setelah menghabiskan waktu hampir dua tahun
mencari dan dalam keadaan putus asa akhirnya suatu
hari dari suami istri pedagang mainan anak di Kotaraja
Sandaka mendengar cerita tentang seorang perem-
puan muda berwajah cantik, berotak tidak waras tapi
memiliki ilmu silat dan kasaktian tinggi.
Sandaka melakukan penyelidikan sampai dia
mendapatkan kabar yang lebih jelas tentang kebera-
daan perempuan muda berotak miring itu. Dari kabar
yang disirapnya diketahui perempuan itu bernama Nyi
Retno Mantili tinggal di tempat kediaman seorang
kakek sakti bernama Kiai Gede Tapa Pamungkas di
puncak Gunung Gede dan ada dugaan bahwa sang
Kiai menjadi pelindung bahkan telah mengambil pe-
rempuan itu menjadi muridnya.
Maka Manusia Paku Sandaka segera berangkat
menuju puncak Gunung Gede. Seperti yang ditutur-
kan dalam serial Wiro Sableng berjudul "Perjodohan
Berdarah" Manusia Paku sampai di tempat kediaman
Kiai Gede Tapa Pamungkas ketika sang Kiai tengah
bicara dengan Pendekar 212 Wiro Sableng dan Ratu
Duyung parihal perjodohan mereka. Karena tidak
menemui Nyi Retno Mantili dan tidak punya urusan
dengan segala perjodohan sang pendekar sahabatnya
itu diam-diam tanpa diketahui siapapun Manusia
Paku tinggalkan tempat kediaman Kiai Gede Tapa
Pamungkas.
Mungkin memang sudah berjodoh bahwa dia a-
khirnya akan bertemu dengan orang yang dicarinya.
Suatu hari ketika kejadian Nyi Retno Mantili dikeroyok
kedua kalinya oleh Tiga Momok yang hendak mem-
bunuh dan mengorek isi tubuhnya, Manusia Paku
menyelamatkan perempuan itu.
Merasa orang telah menyelamatkan nyawa Nyi
Retno Mantili bersikap bersahabat dengan Manusia
Paku dan mau saja diajak ikut untuk menemui Datuk
Sipatoka. Dalam perjalanan berkali-kali Nyi Retno
Mantili mengatakan bahwa ayah dari Kemuning, bo-
neka kayu yang dianggapnya sebagai anak, adalah
Pendekar 212 Wiro Sableng. Manusia Paku yang kenal
baik dengan Wiro hanya tertawa gelak-gelak men-
dengar ucapan Nyi Retno Mantili. Saat itu Manusia
Paku Sandaka berkata
"Aku tahu, kau memang punya suami. Mustahil
kau punya anak tapi anakmu tidak punya ayah.
Suamimu adalah Patih Kerajaan bernama Wira Bumi.
Tapi bukankah dia sudah menemui ajal? Tewas di
tangan Pendekar 212 Wiro Sableng sewaktu hendak
menyelamatkan bayimu?"
"Kau sama saja gilanya dengan yang lain-lain!" Kata
Nyi Retno Mantili dengan nada kesal dan wajah cem-
berut.
"Maksudmu?" tanya Sandaka sambil usap wajah-
nya yang penuh ditancapi paku baja putih.
"Aku tidak pernah jadi istri Wira Bumi! Aku tidak
kenal siapa itu Wira Bumi! Aku tidak punya bayi selain
Kemuning! Ayah Kemuning bukan Wira Bumi! Bukan
Patih Kerajaan!"
"Lalu siapa?!"
"Pendekar 212 Wiro Sableng."
Manusia Paku kaget sampai hentikan lari. Dia tu-
runkan Nyi Retno Mantili dari panggulannya dan
bertanya. "Siapa? Kau tadi menyebut siapa?!"
"Apa kau tuli?!"
"Tidak. Aku tidak tuli. Tapi coba katakan sekali la-
gi!" Nyi Retno Mantili runcingkan bibirnya yang mu-
ngil.
"Ayah Kemuning itu Pendekar 212 Wiro Sableng!
Nah dengar sekarang? Ngerti sekarang?"
Manusia Paku menatap wajah Nyi Retno Mantili
beberapa ketika lalu tertawa gelak-gelak.
KETIKA beberapa waktu kemudian Manusia Paku
Sandaka sampai di goa batu pualam dengan membawa
Nyi Retno Mantili, pemuda ini mengalami hal yang
sungguh tidak terduga. Di dalam goa dia tidak me
nemukan Datuk Sipatoka alias Manusia Batu Pualam
sang guru, tapi yang dijumpainya di situ sesosok je-
rangkong tengkorak manusia, tergeletak di lantai goa
tersandar ke dinding.
"Jerangkong siapa?" tanya Nyi Retno Mantili begitu
diturunkan dari panggulan bahu kiri. "Anakku Ke-
muning bisa sakit ketakutan." Lalu perempuan ini
mendekapkan boneka kayu ke dadanya. Dia meman-
dang berkeliling. Lalu bertanya lagi. "Mana gurumu?
Apa jerangkong lni gurumu?"
"Diam dulu Nyi Retno.” Kata Manusia Paku dengan
suara bergetar. "Jangan banyak bertanya. Aku... se-
suatu terjadi di dalam goa ini, Aku tidak tahu apa ini
jerangkong guru atau siapa... " Kata Manusia Paku
pula sambil sepasang matanya memperhatikan se-
kujur jerangkong mulai dari kepala sampai ke kaki.
Ketika dia memperhatikan leher dan tangan kiri je-
rangkong, pemuda ini berteriak keras. Di leher je-
rangkong melingkar sebuah kalung dan di lengan kiri
ada gelang hitam. Keduanya terbuat dari akar bahar.
Dia sangat mengenali. Kalung dan gelang itu adalah
milik gurunya semasa hidup. Berarti jerangkong yang
ada di hadapannya itu adalah jerangkong Datuk Si-
patoka alias Manusia Batu Pualam.
Manusia Paku berteriak sekali lagi hingga seantero
goa batu bergetar dan Nyi Retno Mantili sampai ter-
huyung-huyung, cepat-cepat menutup dua telinganya
yang terasa sakit.
"Guru! Apa yang terjadi dengan dirimu?!” Teriak
Manusia Paku Sandaka sambil jatuhkan diri dan
merabai jerangkong mulai dari tengkorak kepala
sampai ke pinggang. Mulut terisak menahan tangis.
"Guru, siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!
Siapa yang membunuhmu?!
Sambil berteriak Manusia Paku pukulkan tinju
kanannya berulang kali ke lantai goa hingga lantai
batu itu pecah-pecah dan melesak.
LIMA
"MANUSIA sinting.
Mengapa kau me-
nangisi jerangkong
yang belum ketahuan gurumu
atau bukan... Nyi Retno Mantili
menegur.
"Diam!" teriak Manusia Paku
marah menggeledek hingga Nyi
Retno Mantili tersurut mundur.
"Aku pasti sekali ini jenazah gu
ruku! Aku mengenali kalung dan
gelang akar bahar yang masih
melekat di leher dan lengan ki-
rinya! Jangan kau berani me-
ngacau jalan pikiranku dengan ucapan ma-
cam-macam!"
“Siapa yang membuat pikiranmu kacau. Pikiranmu
justru kacau sendiri! Hik…hik! Bagaimana kalau je-
rangkong ini bukan jerangkong gurumu tapi jerang-
kong orang lain. Lalu ada lagi seorang lain yang
menggantungkan kalung di leher dan melingkarkan
gelang di tangan. Apa tidak kacau?! Kau tidak bisa
meyakini ini jerangkong gurumu atau bukan!
Hik...hik!"
"Diam!" Sandaka kembali menghardik. Sepasang
matanya tampak menyala merah dan basah oleh air
mata. "Aku yakin ini adalah jerangkong Datuk Sipatoka!"
"Hik...hik, aku sudah sering melihat orang me-
nangisi jenazah. Tapi kalau yang menangisi jerang-
kong baru sekali ini!"
"Perempuan sinting! Sekali lagi kau berani bicara
ngaco, kupatahkan batang lehermu!" Teriak Manusia
Paku lalu melompat dan mencekik leher Nyi Retno
Mantili.
"Hik...hik! Kalau begini sifat manusia yang mau
menikahi diriku lebih baik aku minggat! Sudah seram
mengerikan tak karuan rupa, bau, kasar pula! Ke-
muning, mari kita tinggalkan tempat ini! Mari kita cari
ayahmu!"
Habis berkata begitu Nyi Retno Mantili tendangkan
kaki kanannya ke perut Manusia Paku. Kelihatannya
tendangan asal-asalan saja tapi sebenarnya me-
ngandung tenaga dalam tinggi pemberian Kiai Gede
Tapa Pamungkas.
"Bukkk!"
Tubuh tinggi besar Manusia Paku Sandaka ter-
pental, punggung terbanting ke dinding. Perutnya
walau tidak cidera tapi sakit bukan kepalang seperti
mau pecah. Aneh dia tidak unjukkan tampang marah.
Seperti sadar mendengar ucapan orang, Sandaka ja-
tuh berlutut di lantai goa. Ketika dia melihat Nyi Retno
Mantili memutar tubuh hendak melangkah keluar goa,
dengan suara sayu pemuda ini berkata.
"Aku mohon, jangan pergi…"
Nyi Retno Mantili hentikan langkah. Dia mengusap
kepala boneka seraya berkata. "Kemuning, ada lelaki
cengeng meminta kita jangan pergi. Bagaimana me-
nurutmu? Apa kita tinggalkan saja dia?"
"Nyi Retno, kau harapanku satu-satunya untuk
mendapatkan kesembuhan. Aku mohon jangan pergi…"
"Hemmm... Untung anakku menggelengkan kepala
tanda dia tidak mau pergi. Aku mengikuti apa katanya.
Baiklah, aku tidak mau pergi. Asal kau tidak kasar lagi
padaku...”
"Nyi Retno, aku berjanji tidak akan kasar lagi pa-
damu. Dan aku berterima kasih kau tidak mening-
galkan diriku. Aku akan memeriksa jenazah guruku
sekali lagi."
"Buat apa periksa lagi. Dia sudah menemui ajal.
Mungkin sudah lebih dari setahun lalu dia meng-
hembuskan nafas jadi mayat..."
"Mungkin lebih dari itu. Mungkin dua tahun lalu.
Tak lama setelah aku meninggalkannya, pergi menca-
rimu. Aku hanya ingin mengetahui apa yang menye-
babkan kematian guru."
"Apa kau tidak melihat ada tanda berupa bintik
kebiru-biruan di pertengahan keningnya?" Ucap Nyi
Retno Mantili pula.
Manus!a Paku Sandaka terkejut. Dia perhatikan
kening tengkorak.
"Aku tidak melihat bintik biru yang kau katakan
itu." Berkata Sandaka.
"Coba kau bersihkan tengkorak di bagian kening."
Sandaka memperhatikan. Bagian kening tengkorak
memang kotor, diselimuti lumut tipis dan debu yang
banyak beterbangan di musim kering
seperti itu. Perlahan-Iahan Sandaka usap-usap
kening tengkorak. Begitu debu dan lumut tipis pupus
dia memang menemukan satu bintik biru bahkan
bukan cuma bintik tapi membentuk lobang kecil
seujung jari kelingking. Sandaka berpaling kagum
pada Nyi Retno.
"Matamu tajam karena kau memiliki kesaktian
yang orang lain tidak memiliki. Yang Kuasa memang
telah memberi petunjuk bahwa kaulah satu-satunya
orang yang bisa menjadi penyembuh keadaan diri-
ku..."
Tiba-tiba dari lobang itu meneuat keluar kepala
seekor ular hitam belang coklat bermata merah. Begitu
keluar dari lobang tengkorak binatang ini berubah
besar dan dengan gerakan kilat meliuk menyambar ke
arah kepala Manusia Paku Sandaka.
"Awas!" teriak Nyi Retno Mantili memperingatkan.
Walau tidak melihat tapi Sandaka bisa mendengar
suara mendesis. Dia tahu ada bahaya besar mengan-
cam. Dengan cepat dia bergerak mundur sambil pa-
lingkan kepala. Saat itulah dia melihat ular hitam
besar belang coklat.
"Mahluk jahanam! Pasti kau yang membunuh gu-
ruku!"
"Settt!"
Mulut ular hitam belang coklat yang memiliki gigi-
gigi runcing berbisa mematuk keras tepat di perte-
ngahan kening Manusia Paku.
"Plaaakk!"
ManusiaPaku Sandaka terlempar, jatuh terduduk
di lantai goa. Kepala ular terpental, darah mengucur
dari mulutnya yang hancur. Apa yang terjadi? Ketika
patukan maut mendarat di kening Manusia Paku,saat
itu juga kening pemuda itu berubah menjadi lapisan
batu pualam putih keabu-abuan, keras atos luar bi-
asa.
Ilmu yang selama ini dituntut dari Datuk Sipatoka
alias Manusia Batu Pualam keluar dengan sendirinya,
melindungi si pemuda dari ancaman maut! Selagi ular
besar terhuyung-huyung keluarkan desis kesakitan
Manusia Paku gerakkan tangan kiri.
"Kraakkk
Kepala ular hancur dalam remasan tangan kiri
Sandaka. Bangkai ular kemudian dilempar ke luar
goa, masuk ke dalam jurang. Sebelum menyentuh
dasar jurang, selagi melayang di udara bangkai itu
tiba-tiba membentuk bola api lalu meledak bertabur-
an.
"Ular jejadian!" Ucap Nyi Retno Mantili. Perempuan
muda ini usap kepala boneka kayu. "Kemuning tempat
ini sangat berbahaya bagi diri klta. Manusia paku
bruntalan! Aku ingin kau membawaku keluar dari sini
sekarang juga! Lupakan segala macam pernikahan!"
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara tawa pe-
rempuan.
"Sandaka! Ternyata kau masih tetap perkasa. Ma-
lah lebih perkasa dari dua tahun silam! Hanya sayang
kau melakukan hal yang aku tidak suka! Kau datang
membawa seorang calon istri, perempuan sinting gila!
Jika kau mau membunuh perempuan itu di hadap-
anku, kuampuni selembar nyawamu! Dan kita berdua
akan hidup berdampingan kembali!"
Nyi RetnoMantili tersentak kaget. Dia balas tertawa.
Suara tawanya melengking panjang dan dalam sampai
ke dasar jurang.
"Kemuning ada mahluk betina jejadian ingin orang
membunuh ibumu! Sungguh aku ingin melihat tam-
pangnya. Kalau bicaranya ngacok, tampangnya pasti
jelek tidak karuan! Hik...hik...hik!"
Manusia Paku sendiri, yang mengenali suara itu
terkejut besar. Dia memandang berkeliling. Lari ke
mulut goa tapi tidak melihat siapa-siapa.
"Perempuan yang barusan bicara! Aku tahu kau
siapa! Aku mengenali suaramu!" Sebagai jawaban
kembali terdengar suara tertawa panjang.
"Sandaka! Aku benar-benar merasa bahagia. Kau
masih mengenali suaraku. Itu tak lain satu pertanda
bahwa kau masih mencintai diriku!"
"Dewi Ular! Perlihatkan dirimu!" teriak Sandaka.
Rahang menggembung, mata menyala.
Tiba-tiba dari dasar jurang batu mencuat keluar
satu cahaya hitam dan wuss! Cahaya ini melesat di
depan mulut goa, membentuk ujud mahluk yang
membuat Nyi Retno Mantili terpekik dan cepat-cepat
memeluk erat boneka kayu dalam gendongannya.
ENAM
DI DEPAN mulut goa berdiri
sosok perempuan berpa-
kaian hijau panjang.
Rambut tergerai awut-awutan.
Tubuh sebatas pinggang ke ba-
wah berbentuk ular berwarna
hijau belang hitam. Wajahnya
yang sebenarnya cantik terlihat
mengerikan karena bagian kening
rengkah, hidung dan mata kiri
melesak. Di atas kepala ada se-
buah mahkota kecil terbuat dari
emas berupa kepala ular dalam
keadaan penyok setengah hancur
dan melesak ke dalam batok kepala. Tangan kanan
yang tertutup lengan pakaian buntung sebatas per-
gelangan. Buntungan ini disambung tangan besi
dengan lima jari membentuk kepala ular.
Begitu melihat siapa yang berdiri di hadapannya
untuk sesaat Sandaka jadi tertegun. Betul apa yang
dikatakan mendiang gurunya dua tahun silam. Dewi
Ular masih hidup! Sandaka membentak.
"Dewi Ular! Akui terus terang! Kau telah membunuh
guruku Datuk Sipatoka! Dan kau juga yang mence-
lakai diriku dengan paku-paku keparat ini!"
Perempuan setengah manusia setengah ular di
depan goa menyeringai lalu dongakkan kepala. Setelah
menghambur tawa panjang dia menjawab bentakan
Manusia Paku Sandaka.
"Aku membunuh siapa saja yang menyatakan diri
sebagai musuhku. Aku mencelakakan siapa saja yang
mencelakakan diriku! Lihat! Buka matamu lebat-lebar!
Lihat! Apa yang terjadi dengan diriku! Ini semua gara-
gara perbuatan terkutukmu bersama teman-temanmu
tokoh rimba persilatan! Aku memang telah membunuh
gurumu tua bangka busuk bernama Datuk Sipatoka
itu! Kalau aku sudah membunuh sang guru, apa sa-
lahnya saat ini aku juga membunuh muridnya. Seka-
ligus bersama gendak perempuan sinting yang hendak
kau nikahi!"
"Perempuan iblis! Dosamu selangit tembus sedalam
lautan! Kau tak layak hidup lebih lama di muka bumi
ini!"
Dewi Ular tertawa tinggi.
"Aku mau lihat kau mau berbuat apa!"
Habis berkata begitu sosok Dewi Ular meluncur ke
atas. Dalam keadaan mengambang di depan mulut goa
tiba-tiba laksana kilat, wuutt! Ekornya menyambar ke
depan.
Sambaran ekor yang sanggup menghancurkan batu
sebesar rumah ini melesat ke depan. Yang diserang
bukannya Manusia Paku Sandaka tapi justru Nyi
Retno Mantili!
"Nyi Retno! Awas!" teriak Sandaka melompat ke
depan. Tangan kiri menarik Nyi Retno Mantili ke dalam
goa, tangan kanan menangkis serangan ekor ular.
Sesaat lagi ekor ular siap menggebuk hancur ta-
ngan kanan Sandaka, tiba-tiba tangan itu mulai dari
ujung jari sampai sebatas bahu berubah menjadi putih
kelabu.
"Plaakk! Blaaarrr
Lapisan batu pualam sakti yang menyelubungi
tangan Manusia Paku Sandaka hancur berkeping-
keping. Pemuda ini terjengkang di lantai goa, nyaris
menghimpit tubuh Nyi Retno Mantili yang sudah lebih
dulu tergeletak di lantai goa setelah ditarik Sandaka.
Dewi Ular menjerit keras. Bukan saja karena marah
melihat Sandaka tidak mengalami cidera tapi juga
ketika melihat ekornya yang berbentuk ular luka besar
nyaris buntung.
"Manusia jahanam! Aku mau Iihat apa Ilmu Batu
Pualammu sanggup menghadapi Ilmu Tujuh Api Si-
luman!" Habis berteriak Dewi Ular gembungkan mulut
lalu menghembus. Dari sepasang mata, dua lubang
hidung, mulut dan dua liang telinga menyembur ke-
luar tujuh gelombang api, membuntal membentuk
kepala mahluk siluman mengerikan.
Nyi Retno Mantili menjerit. Dalam ketakutan dan
marahnya perempuan ini remas pinggang boneka
kayu. Dua larik sinar putih mencuat dahsyat dari dua
mata boneka kayu, melabrak ke arah dua siluman api.
Ilmu Sepasang Cahaya Batu Kumala! Dua siluman
api menggerung keras, hancur berkeping-keping. Dua
siluman api lainnya segera menyerbu Nyi Retno tapi
dihantam dengan dua larik sinar hijau yang me-
nyembur keluar dari sepasang matanya.
Tiga siluman api yang masih ada menggembor ke-
ras. Satu menyerang ke arah Nyi Retno Mantili, dua
lainnya menerjang Sandaka. Saat itu tiga mahluk si-
luman ini telah merubah diri menjadi buntalan bola
api yang serta merta memenuhi goa dan siap mem-
bakar kedua orang itu. Sandaka cepat terapkan Ilmu
Batu Pualam pemberian Datuk Sipatoka. Saat itu juga
seluruh tubuhnya mulai dari kepala sampai ke kaki
berubah putih ke abu-abuan berlapis batu pualam.
Dia bisa bertahan walau mungkin tidak lama. Tapi-
bagaimana dengan Nyi Retno?
"Nyi Retno lekas tinggalkan goa! Aku akan mem-
bantumu." teriak Sandaka.
"Tidak, apapun yang terjadi aku tetap di sini ber-
samamu!" jawab Nyi Retno Mantili yang membuat
Manusia Paku Sandaka jadi terkesiap dan haru. Dia
memeluk perempuan itu bersama boneka kayunya.
"Kalian berdua rupanya sudah saling mencinta!"
Dewi Ular berseru. Dia mendengar apa yang tadi di-
katakan Nyi Retno. "Kalian harus bersyukur dan ber-
terima kasih padaku karena memberi kesempatan bagi
kalian untuk mati bersama!"
Sandaka berbisik pada Nyi Retno.
"Kita harus dapat membunuh perempuan iblis itu!
Tapi sosoknya tidak kelihatan. Aku harus memancing
untuk mengetahui di mana dia berada! Aku perlu
bonekamu!"
"Untuk apa?" tanya Nyi Retno.
"Lihat saja nanti."
"Akan kuserahkan... Tapi aku mau tanya satu hal
dulu. Hik...hik...hik. Kau pasti marah.”
" Nyi Retno, ini bukan saatnya untuk bergurau!"
"Aku tahu, tapi ini urusan penting!"
"Cepat katakan apa yang mau kau tanya?!"
"Gurumu sudah jadi jerangkong alias sudah mati.
Apa kau masih hendak menikahi diriku?!"
"Itu urusan nanti! Yang penting sekarang kita harus
bisa keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!" Ja-
wab Sandaka. "Boneka kayu…"
Nyi Retno serahkan boneka kayu pada Sandaka
seraya berkata. "Hati-hati, itu bukan boneka tapi
anakku Kemuning. Satu saja rambutnya kau buat
rontok aku hajar kau sampai setengah mati!"
Sandaka kerahkan tenaga dalam ke arah sepasang
matanya dan saat itu juga dua mata berubah warna
menjadi kehijau-hijauan. Tangan kiri memegang
pinggang boneka kayu erat-erat.
"Kunti Ambiri!" Sandaka berteriak memanggil nama
asli Dewi Ular. "Kalau kau menghentikan serangan api
siluman dan membiarkan kami berdua keluar dari goa
ini, aku akan memberikan sepasang keris Nagasona
padamu. Dengan senjata sakti itu kau bisa menyem-
buhkan seluruh cacat dan luka yang ada di wajah
serta tubuh ularmu!"
"Manusia tolol! Kau kira kau bisa menipuku?! Keris
Nagasona ada di pantai selatan!"
"Setahun lalu guruku Datuk Sipatoka dipercaya
Ratu Laut Selatan untuk memegang sepasang keris
mustika sakti itu! Aku membawanya sekarang!"
Dewi Ular tertawa panjang.
"Kalau keris sakti itu ada padamu mengapa tu-
buhmu masih ditancapi paku? Mengapa kau tidak
mampu menyembuhkan diri sendiri?!"
"Keris Nagasona tidak bisa menyembuhkan penya-
kit yang sama pada diri seseorang sampai dua kali."
"Aku tetap tidak percaya padamu! Kau punya
dendam kesumat besar terhadapku! Pasti kau mau
menipuku! Kalau kau sudah lebur dimakan api ber-
sama gendakmu itu, aku akan tetap mendapatkan
keris Nagasona. "DewiUlar meniup ke depan. Kobaran
api menggemuruh, bergerak mendekati Sandaka dan
Nyi Retno Mantili.
"Perempuan setan! Aku ingin membunuhnya se-
karang juga!" Maki Nyi Retno Mantili seraya berusaha
mengambil boneka kayu dari tangan Sandaka.
"Jangan berlaku sembrono! Ikuti apa yang sudah
aku katakan!" kata Sandaka penuh kawatir Nyi Retno
akan bertindak gegabah yang bisa membuat mereka
tidak sanggup selamatkan diri dari tambusan api si-
luman.
"Kau keliru Kunti Ambiri!" Teriak Sandaka. "Keris
Nagasona tidak punya kemampuan melawan api. Keris
ini akan leleh dan kau tidak punya kesempatan untuk
menyembuhkan diri. Apa kau tidak ingin hidup sam-
pai seratus tahun lagi bahkan seribu tahun lagi dalam
keadaan usia tetap muda, wajah tetap cantik dan
tubuh elok tidak setengah manusia setengah ular se-
perti sekarang ini?!"
Dewi Ular terdiam sesaat. Lalu dia berteriak.
"Kalau begitu lemparkan sepasang keris sakti itu ke
arahku!"
"Aku tidak bisa melihat kau berada di mana!" balas
berteriak Sandaka. Tiba-tiba gelombang api siluman
mereda. Namun Sandaka masih belum melihat pe-
rempuan itu.
"Kunti! Aku belum melihatmu!"
"Aku di sini!"
Gelombang api menyurut turun sampai sebatas
dada. Sandaka melihat tangan kanan Dewi Ular yang
disambung tangan palsu dari besi diacungkan ke atas.
Lalu dia melihat kepala dan sebagian tubuh perem-
puan itu.
"Kunti! Aku akan melemparkan keris Nagasona ke
arahmu!" teriak Sandaka.
"Lakukan cepat!"
"Kau berjanji akan membiarkan aku dan Nyi Retno
Mantili keluar dari goa ini dalam keadaan selamat!"
"Itu janjiku dan jangan banyak bicara lagi! Cepat
lemparkan keris Nagasona!"
Manusia Paku Sandaka angkat tangan kirinya.
Yang ada di tangan itu bukansepasang keris Nagasona
tetapi boneka kayu milik Nyi Retno.Sementara itu
cahaya hijau yang ada dalam sepasang mata si pe-
muda memancar menyorot terang.
"Hai! Mana kerisnya?! teriak Dewi Ular sambil
mengapungkan diri ke atas, Saat itulah dia melihat
sepasang mata Sandaka yang memancarkan cahaya
hijau!
"Manusia jahanam kurang ajar! Kau menipuku!"
Dewi Ular gerakkan tangan kanannya. Manusia
Paku mendahului. Secepat kilat Sandaka memencet
pinggang boneka. Dua larik cahaya putih menyilaukan
melesat keluar dari sepasang mata boneka. Bersa-
maan dengan itu dari dua mata Sandaka menyembur
pula dua larik sinar hijau. Dewi Ular yang agak ter-
tutup pemandangannya oleh nyala kobaran api baru
menyadari apa yang terjadi ketika empat larik sinar
maut sudah berada di depan matanya!
Dewi Ular hanya mampu berteriak marah, masih
berusaha menyingkir selamatkan diri namun terlam-
bat. Tubuhnya tercabik kutung pada bagian kepala,
dada, perut dan sepasang kaki. Tidak menunggu lebih
lama Sandaka segera melesat keluar goa sambil
mendukung tubuh Nyi Retno Mantili, melayang di atas
jurang batu pualam. Namun hawa panas api siluman
telah menguras tenaga luarnya, mempengaruhi seba-
gian kekuatan tenaga dalam dan ilmu meringankan
tubuh yang dimilikinya. Pemuda ini tidak mampu
mencapai pinggiran jurang sebelah atas. Tubuhnya
melayang ke bawah. Karena diberati sosok Nyi Retno
Mantili maka daya jatuh ke bawah jadi dua kali lebih
cepat.
Sandaka berusaha melentingkan tubuh ke dinding
jurang sebelah kanan. Namun gerakannya tidak lelu-
asa, apalagi saat itu tubuhnya masih terbungkus la
pisan kaku batu pualam. Gerakan melenting yang
dilakukannya malah membuat dirinya terlempar ke
arah tonjolan batu besar runcing di pertengahan
dinding jurang!
"Braakk!"
Punggung dan batu yang menonjol beradu keras.
Sandaka merasa tubuhnya sebelah belakang hancur
luluh. Rangkulannya ditubuh Nyi Retno Mantili ter-
lepas.
"Nyi Retno. Maafkan diriku. Aku tidak bisa menye-
lamatkanmu!" Sandaka berseru lalu pemuda ini jatuh
pingsan.Tubuhnya melayang ke dasar jurang.
Nyi Retno Mantili menjerit keras. Dia bukan beru-
saha menyelamatkan diri tapi malah melesat ke bawah
menyusul jatuhnya Sandaka. Dia berusaha menggapai
tubuh pemuda itu, namun jarak mereka terlalu jauh.
"Nyi Retno! Jangan perdulikan diriku! Selamatkan
dirimu!" Teriak Sandaka.
"Jika aku selamat sedangkan kau tidak buat apa?!
Aku dan Kemuning lebih suka memilih mati bersa-
mamu!" Teriak Nyi Retno Mantili pula. Adalah aneh Nyi
Retno Mantili yang selama ini diketahui memiliki otak
tidak waras tapi saat itu menyatakan ingin mati ber-
sama dengan Manusia Paku Sandaka!
TUJUH
HNYA beberapa kejapan
mata tubuh Sandaka
akan terhempas di dasar
jurang yang dipenuhi batu pua-
lam keras dan runcing, hanya
beberapa saat saja kepala Nyi
Retno Mantili akan membentur
dinding jurang, tiba-tiba di atas
jurang ada teriakan teriakan ke-
ras. Lalu tampak dua orang ber-
kelebat terjun ke dalam jurang.
Gerakan mereka ringan dan sebat
sekali. Laksana dua ekor burung
raksasa keduanya melayang
menuju dasar jurang batu pualam. Yang satu me-
nyambar ke arah tubuh Manusia Paku Sandaka, sa-
tunya lagi ke jurusan jatuhnya Nyi Retno Mantili.
Dengan gerakan kilat yang sukar dipercaya kedua
orang itu berhasil menangkap tubuh-tubuh yang me-
layang jatuh lalu membaringkan di tanah datar di se-
la-sela bebatuan di dasar jurang.
“Syukur…syukur kita bisa menyelamatkan mereka.
Tadinya waktu masih di pinggir jurang aku merasa
sangsi. Apa lagi ketika melayang turun. Ketiakku te-
rasa dingin. Kukira bulu ketiakku rontok semua.
Ternyata masih utuh. Hik...hik…hik."
Yang bicara ini adalah seorang perempuan gemuk
gembrot mengenakan pakaian berupa celana monyet
warna hitam tanpa lengan hingga bulu ketiaknya yang
lebat tebal hitam tersembul keluar. Dia yang barusan
menyelamatkan Sandaka. Perempuan ini berwajah
aneh. Mukanya yang tembam biru bergaris-garis
kuning. Telinga dicanteli anting-anting besar dari pe-
rak. Rambut seperti lidi, tegak mencuat di atas kepala.
Di bahu kanan ada jarahan bunga mawar merah.
Orang kedua yang menolong Nyi Retno Mantili
adalah pemuda gondrong berpakaian dan berikat ke-
pala putih. Sambil memperhatikan si gemuk gembrot
dia senyum-senyum. Sesekali dia usap kepala Nyi
Retno Mantili.
"Aku tidak pernah terjun seperti tadi. Selangkang-
anku terasa dingin. Kantong menyanku seperti hilang!
Waktu kuraba untung masih ada!"
Perempuan gemuk dan pemuda gondrong lalu ter-
tawa mengakak. Siapa mereka adanya yang dalam
keadaan seperti itu masih bisa bicara tidak karuan
dan tertawa gelak-gelak?
Yang gondrong bukan lain Pendekar 212 Wiro
Sableng sedang perempuan gemuk gembrot adalah
Denok Tuba Biru alias Momok Ketiga yang dulu
bersama komplotannya pernah hendak membunuh
Nyi Retno Mantili untuk diambil jantung, hati dan
ginjalnya. Bagaimana Wiro dan Denok Tuba Biru bisa
berada di tempat itu dan sama-sama memberi perto-
longan?
Seperti diceritakan sebelumnya (baca serial Wiro
Sableng "Janda Pulau Cingkuk") Pendekar 212 mene-
rima penjelasan dari Bujang Gila Tapak Sakti bahwa
Nyi Retno Mantili dibawa oleh Manusia Paku Sandaka
ke tempat kediaman gurunya dan ada maksud kalau
Sandaka akan menikahi perempuan ltu untuk melenyapkan puluhan paku yang menancap di kepala,
wajah dan tubuhnya.
Karena Wiro memang sedang mencari Nyi Retno
Mantili untuk dibawa menemui puterinya Ken Permata
yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang
Ameh di Danau Maninjau, dan dia tahu pula di mana
letak jurang kediaman guru Sandaka maka setelah
Bujang Gila Tapak Sakti ikut bersama Nenek Cem-
paka ke dasar laut selatan, murid Sinto Gendeng se-
gera berangkat menuju jurang batu pualam tempat
kediaman guru Sandaka.
Dalam perjalanan yang cukup jauh dan lama Wiro
tidak sengaja bertemu dengan Denok Tuba Biru yang
juga tengah menuju ke tempat yang sama guna me-
nyambangi Sandaka yang pernah mengampuni ji-
wanya sewaktu tertangkap tangan hendak membunuh
Nyi Retno Mantili. (Lihat serial Wiro Sableng berjudul
"Perjodohan Berdarah") Wiro sendiri sebelumnya juga
telah pernah bertemu dengan Denok Tuba Siru se-
waktu perempuan gemuk ini bersama dua temannya
pertama kali mencelakai Nyi Retno Mantili. Waktu itu
Nenek Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu
ikut membantu Wiro menyelamatkan Nyi Retno. (Baca
"Si Cantik Gila Dari Gunung Gede")
Mula-mula Wiro merasa curiga melihat si gembrot
berbulu ketiak tebal ini. Dia mengira perempuan aneh
berdada besar dan berperut gembrot serta berpaha
gempal ini telah memata-matai perjalanannya dan
punya niat jahat.
"Gembrot! Kalau kau punya niat jahat macam-
macam terhadapku, mukamu yang tembam akan
kugebuk biar tambah tembam! Rambut dan bulu ke-
tiakmu aku cabuti sampai botak!"
Mendengar ancaman Wiro, Denok Tuba Biru ber-
surut mundur dan tekap ketiaknya kiri kanan.
"Pendekar, kau mau menggebuki diriku sampai
bonyok aku pasrah-pasrah saja. Tapi jangan cabuti
bulu ketiakku! Banyak lelaki yang suka! Mengelus dan
mencium! Kalau kau mau boleh saja!" Lalu si gembrot
ini singkapkan dua ketiaknya yang berbulu tebal hi-
tam sambil tertawa gelak-gelak hingga sekujur tu-
buhnya yang gembrot dari dada sampai ke bawah
perut bergoyang-goyang.
Wiro akhirnya bersedia melakukan perjalanan
bersama perempuan itu. Ternyata kedua orang ini
cukup cocok, terutama dalam pembicaraan yang lucu
dan jorok-jorok!
Ketika Wiro dan Denok Tuba Biru sampai di jurang
batu pualam, tiba-tiba dari dalam jurang mereka
mendengar suara jeritan perempuan. Wiro mengenali
itu adalah suara Nyi Retno Mantili. Begitu melihat ada
dua tubuh melayang jatuh ke dasar jurang, tidak
tunggu lebih lama Wiro dan Denok Tuba Biru segera
terjun ke dalam jurang.
Dengan ilmu kesaktian yang mereka miliki secara
luar biasa keduanya berhasil menyelamatkan Nyi
Retno Mantili dan Sandaka. Nyi Retna Mantili walau
masih pingsan tampaknya tidak mengalami cidera.
Lain halnya dengan Sandaka. Bagian tubuh sebelah
belakang Manusia Paku ini tampak memar kebiru-
biruan. Pemuda ini beruntung melindungi dirinya
dengan Ilmu Lapisan Batu Pualam. Sehingga ketika
punggungnya menghantam tonjolan batu runcing di
dinding jurang lapisan batu pualam hancur berkep-
ing-keping namun tubuhnya masih bisa tersela-
matkan. Walau demikian setelah siuman ternyata
pemuda ini tidak mampu duduk apa lagi berdiri. Dia
hanya bisa bicara dan menggerakkan dua tangan.
Wiro dan Denok Tuba Biru berusaha menolong dengan
mengerahkan tenaga dalam dan hawa sakti namun
tidak berhasil.
" Kalau saja aku tidak mempergunakan Ilmu Batu
Pualam seharusnya aku sudah mati saat ini. Mati
akan lebih baik dari pada hidup seperti ini." Sandaka
keluarkan ucapan menyesali nasib.
"Sobatku Sandaka, jangan berputus asa, Kau
hanya mengalami kelumpuhan sementara akibat
benturan keras. Dalam waktu beberapa hari kau akan
segera sembuh." Wiro menghibur.
"Aku berterima kasih kalian telah datang menolong.
Bagaimana keadaan Nyi Retno. Aku kawatir dia telah
tiada. Aku tidak mampu menyelamatkannya. Kalau-
pun aku hidup tapi dia sudah tiada, paku-paku celaka
ini tidak akan pernah lenyap dari tubuhku."
"Kau tak usah kawatir. Dia ada di sini dalam kea-
daan selamat. Tapi masih pingsan." Menerangkan
Denok Tuba Biru.
Sementara perempuan gemuk ini berusaha me-
nyadarkan Nyi Retno Mantili, Sandaka menceritakan
apa yang telah terjadi. "Aku tidak yakin apa perem-
puan iblis Dewi Ular itu benar-benar telah menemui
ajal. Bukan mustahil dia bisa muncul kembali dalam
ujud mahluk jahat Lainnya.”
Tak selang berapa lama terdengar suara tarikan
nafas panjang. Lalu disusul jeritan keras. Itulah jeritan
Nyi Retno Mantili yang baru sadar dari pingsan.
"Sandaka...” Ucapan itu pertama kali keluar dari
mulut Nyi Retno Mantili. Lalu perempuan ini bergerak
duduk. "Kemuning..." Nyi Retno menyebut nama.
anaknya si boneka kayu lalu memandang berkeliling.
Belum sempat melihat sosok Sandaka yang terbujur
dia telah lebih dulu melihat Wiro. Perempuan ini
kembali menjerit. "Kemuning! Ayahmu ada di sini!"
Denok Tuba Biru mengernyit heran mendengar
ucapan Nyi Retno Mantili. Dia hendak mengatakan
sesuatu tapi Wiro memberi isyarat agar diam saja.
"Kemuning! Ayahmu! Lekas cium ayahmu! Ayo!"
Nyi Retno Mantili keluarkan boneka kayu dari balik
dada pakaiannya lalu kepala boneka itu diusap-
usapkannya ke pipi Pendekar 212.
"Anak manis, kau pasti kangen sama ayahmu. Kau
tidak menangis. Bagus...bagus. Aku memang tidak
suka punya anak cengeng. Hik...hik...hik."
Mau tak mau Sandaka dan Denok Tuba Biru jadi
terharu menyaksikan perilaku Nyi Retno Mantill itu.
Wiro belai belakang kepala Nyi Retno.
"Nyi Retno aku senang bisa menemuimu walau
dalam keadaan seperti ini. Aku bersyukur kau sela-
mat, Sandaka telah menceritakan apa yang terjadi... "
"Sandaka!" Nyi Retno kembali menjerit. "Dimana
dia?!"
"Nyi Retno, aku ada di sini. Sahabat-sahabatmu
telah menyelamatkan diriku. Telah menyelamatkan
kita berdua. Aku sangat berterima kasih. Aku ber-
syukur pada Yang Maha Kuasa. Dia masih mengasihi
diriku. Walau cidera berat tapi aku masih bernafas... "
Nyi Retno Mantili serahkan boneka kayu pada Wiro
lalu dia jatuhkan diri di samping Manusia Paku San-
daka.
"Aku bersumpah akan membunuh perempuan ular
itu! Aku bersumpah!"
"Dewi Ular sudah menemui ajal. Kita berdua yang
membunuhnya waktu di goa. Apa kau tidak ingat?"
"Ya aku ingat..." Nyi Retno anggukkan kepala. Ti-
ba-tiba sepasang mata Nyi Retno Mantili terpentang
lebar. Kepala mendongak. Dari mulutnya keluar jerit-
an keras. Tangan kiri menunjuk ke arah dinding ju-
rang sebelah kiri.
"Ada apa Nyi Retno? "tanyaWiro.
Denok Tuba Biru memandang berkeliling. Dia me-
rasa kehadiran sesuatu tapi tidak melihat apa-apa.
"Lihat! Perempuan iblis itu masih hidup! Dia di
sana!"Teriak Nyi Retno Mantili.
Wiro terapkan Ilmu Menembus Pandang pembe-
rian Ratu Duyung. Ketika dia melihat ke arah yang
ditunjuk Nyi Retno Mantili astaga! Murid Sinto Gen-
deng tercekat. Tengkuknya terasa dingin.
"Gila! Bagaimana mungkin!"
DELAPAN
YANG disaksikan Pendekar
212 memang luar biasa.
Mengapung di depan
dinding jurang sebelah timur.
Tampak sosok Dewi Ular dalam
keadaan tanpa pakaian sama
sekali. Tubuh bugil itu menge-
luarkan cahaya kebiruan meng-
gidikan. Wajahnya yang cantik
pucat pasi seperti mayat Dan
sepasang mata, dua liang telinga
dan dua lobang hidung serta dari
mulut, menggeliat-geliat ular
merah berbelang hitam. Bina-
tang yang sama juga keluar dari pusar, aurat serta
lobang duburnya!
"Mati.... Mati! Siapapun yang ada di tempat ini
harus mati! Harus ikut bersamaku ke alam arwah!
Matiii! Hik…hik…hik!”
Sosok bugil Dewi Ular lalu melesat ke arah Wiro dan
yang lain-lainnya yang berada di dasar jurang. Dari
sepuluh mulut ular merah belang hitam menyembur
keluar larikan sinar merah. Sabagian dasar jurang
batu pualam serta merta tenggelam dalam cahaya
merah.
Dengan gerakan kilat Nyi Retno Mantili melompat,
mengambil boneka kayu dari tangan Pendekar 212
Wiro Sableng. Sekali dia meremas pinggang boneka
maka dua cahaya putih menyilaukan melesat keluar
dari sepasang mata boneka kayu, menyambar ke arah
datangnya serangan Dewi Ular. Wiro tidak tinggal
diam.
Tangan kanan yang sudah berubah menjadi putih
perak dihantamkan ke depan. Selarik gelombang ca-
haya putih luar biasa panas menderu, mendorong
Pukulan Sepasang Cahaya Batu Kumala yang tadi
dilepaskan Nyi Retno Mantili. Itulah Pukulan Sakti
Sinar Matahari!
"Bummm! Bummmm!"
Dua letusan hebat menggelegar di dalam jurang.
Hawa panas menghampar dahsyat. Beberapa bagian
dinding jurang rontok berhamburan. Batu-batu di
dasar jurang terbelah. Air kawah menggelegat dan
muncrat setinggi dua tombak. Di dalam jurang ter-
dengar suara jeritan perempuan menyerupai lolongan
srigala gurun pasir!
Denok Tuba Biru cepat jatuhkan diri mendekap
tubuh Sandaka agar tidak terpental sementara Nyi
Retno Mantili jatuh terduduk di tanah jurang dengan
wajah pucat pasi. Dada mendenyut sakit. Wiro sendiri
jatuh berlutut sambil dua tangan dipentangkan ke
depan untuk mengimbangi tubuh dari goncangan yang
hebat.
Cahaya menyilaukan Pukulan Sinar Matahari dan
Sepasang Batu Kumala lenyap bersamaan dengan
musnahnya cahaya merah yang keluar dari ular jeja-
dian. Sosok sepuluh ekor ular jejadian dan tubuh Dewi
Ular lenyap tanpa bekas. Di dalam jurang kini meng-
hampar bau kemenyan yang membuat semua orang
jadi bergidik mengkirik.
Sandaka berbisik pada Denok Tuba Biru.
"Apa yang terjadi?”
"Aku tidak melihat apa-apa, Aku mendengar Nyi
Retno menjerit lalu ada cahaya merah. Wiro dan Nyi
Retno lancarkan serangan dahsyat. Lalu ada suara
jeritan perempuan seperti loloogan srigala. Sekarang
ada bau kemenyan."
"Dewi Ular...” ucap Sandaka. "Kali ini dia akan
tenggelam di alam arwah untuk selama-Iamanya. Dia
tidak akan mampu muncul lagi ke permukaan bumi.
Aku tahu betul rahasia hidupnya. Lolongan srigala dan
bau kemenyan menjadi akhir riwayatnya... Rohnya
akan terkatung-katung sampai kiamat di alam gaib
dalam ujud seekor srigala..."
"Aneh, mengapa bukan dalam bentuk ular?" tanya
Denok Tuba Biru.
"Ayah Dewi Ular konon seekor srigala. Ibunya see-
kor ular. Keduanya mahluk jejadian yang sudah lama
mendekam di alam gaib.” Menerangkan Sandaka.
"Ternyata ada mahluk yang lebih kapiran dari di-
riku... Hik...hik!" Si gembrot bermuka biru tertawa
cekikikan.
Wiro menolong Nyi Retno Mantili berdiri sambil
berkata. "Kita harus segera meninggalkan jurang ini.
Keadaan di sini mungkin belum seluruhnya aman.”
"Kau benar Wiro. Pergilah kalian samua. Tinggalkan
aku di tempat ini.”
"Aku tidakakan meninggalkanmu. Kalau aku pergi
kau juga harus ikut!" kata Nyi Retno Mantili pula.
"Nyi Retno, kau danWiro saja yang pergi. Aku akan
menunggui Sandaka di tempat ini sampai dia sembuh
dari kelumpuhan." Berkata DenokTuba Biru.
"Nyi Retno, Denok Tuba Biru. Aku berterima kasih
kalian mau memperhatikan diriku.Tapi..."
"Aku akan menggendongmu asal kau mau berjanji."
Nyi Retno Mantili memotong ucapan Sandaka.
Sandaka tersenyum. "Berjanji apa Nyi Retno?"
"Kalau kau sudah keluar dari jurang ini dan sudah
sembuh, kau tidak akan menikahiku!"
Sandaka terdiam. Denok Tuba Biru hanya bisa
menatap. Wiro garuk-garuk kepala.
"Selama ini aku selalu menginginkan kesembuhan
dari sengsara paku-paku celaka ini. Tekadku untuk
hidup sebagai manusia wajar sangat besar. Namun
takdir agaknya menentukan lain. Nyi Retno, kau sa-
tu-satunya harapan hidupku. Tapi jika kau memang
tidak berkeinginan aku nikahi, aku hanya bisa pasrah.
Aku memang sudah menduga kalau tidak akan pernah
bisa hidup dengan tubuh wajar lagi untuk sela-
ma-lamanya. Aku mohon kalian semua meninggalkan
diriku. Jika umur sama panjang, jika Yang Maha Ku-
asa mengijinkan di lain ketika kita pasti akan bertemu
lagi."
Denok Tuba Biru mendekati Wiro dan berkata.
"Aku akan tetap di sini. Aku akan berusaha meng-
obati sebisaku sampai cidera di punggung Sandaka
sembuh dan dia mampu berjalan. Kau pergilah ber-
sama Nyi Retno Mantili. Bukankah kau punya niat
hendak membawanya menemui anaknya yang ber-
nama Ken Permata itu demi kesembuhan sakit inga-
tannya?"
"Aku bingung..." kata Wiro sambil menggaruk ke-
pala. "Aku juga menginginkan kesembuhan sahabatku
Sandaka dari kesengsaraan yang dideritanya selama
bertahun-tahun..." Wiro lalu berpaling pada Nyi Retno
Mantili. "Nyi Retno..."
"Aku tahu apa yang akan kau ucapkan.” Menukas
Nyi Retno Mantili. "Bagaimana mungkin aku bisa me-
nikah dengan dia. Kau sudah menjadi ayah anakku
Kemuning."
"Nyi Retno, semua jalan pikiranmu keliru. Aku... "
"Jadi kau menolak mengakui sebagai ayah Ke-
muning?!" Suara Nyi Retno Mantili setengah mem-
bentak."Lalu selama ini siapa kau sebenarnya?!"
Pendekar 212 garuk kepala, tersenyum, meng-
geleng beberapa kali lalu berkata.
"Baiklah, aku mau saja dan tidak menolak kau
sebutkan sebagai ayah Kemuning. Tapi apakah kau
tidak punya keinginan menolong Sandaka. Jauh-lauh
kau mau diajaknya ke tempat ini. Setelah sampai di
sini kau menolak. Lihat keadaan Sandaka, apa kau
tidak kasihan?"
"Aku hanya mau diajak ke sini. Tapi tidak pernah
bilang mau nikah dengan dia!"
Untuk beberapa lama suasana di dasar jurang batu
pualam itu menjadi sunyi karena tidak ada satu
orangpun yang bicara. Semua terdiam. Sandaka
sangat sedih. Lalu terdengar suara Nyi Retno Mantili
memecah kesunyian.
"Selama ini tidak ada orang yang kasihan pada di-
riku. sudah aku katakan. Aku akan menggendong
Sandaka keluar dari dalam jurang ini.”
"Nyi Retno, aku tidak ingin meninggalkan tempat
ini. Apapun yang terjadi. Kau pergilah bersama Wiro.
Ada satu urusan sangat penting yang harus kalian
selesaikan berdua. Biar Denok Tuba Biru yang me-
nungguiku di tempat ini."
"Aku merasa tidak ada urusan dengan ayah Ke-
muning. Kalau kau tidak mau pergi, aku juga tidak
akan meninggalkan tempat ini!" kata Nyi Retna Mantili
lalu dudukkan diri di atas satu gundukan batu.
Semua orang jadi bingung mendengar ucapan dan
melihat sikap Nyi Retno Mantili. Namun karena me-
nyadari kalau perempuan ini menderita kelainan jiwa
dan pikiran mereka hanya diam saja. Denok Tuba Biru
kemudian mendekati Wiro lalu berbisik.
"Kau pernah menceritakan riwayat kesembuhan
Sandaka. Bagaimana kalau aku yang dinikahinya?
Begitu saja repot!"
Wiro menatap si gembrot berwajah biru itu bebe-
rapa ketika. Dia hendak tertawa terbahak-bahak tapi
batalkan niat dan balas berbisik.
"Kau tahu, perempuan yang harus dinikahi San-
daka adalah seerang perempuan sakti berkepandaian
tinggi. ..."
"Lalu apa aku bukan perempuan? Banci? Hik...hik!
Apa aku tidak punya kesaktian dan kepandaian ting-
gi?" tanya Denok Tuba Biru sambi! tusuk-tusuk rusuk
kiri Wiro dengan ujung jari tangan kanan hingga murid
Sinto Gendeng menggeliat kegelian.
"Bukan cuma itu. Perempuannya juga harus yang
otaknya tidak waras alias gila alias sinting!"
"Hemm... Aku memang belum gila dan sinting be-
neran. Tapi gejala-gejalanya sudah ada. iya kan?! Aku
punya bulu ketiak lebat Nyi Retno tidak...
Wiro tertawa. "Gembrot! Kau bukannya sinting tapi
tolol! Ini bukan urusan bulu ketiak!"
Denok Tuba Biru tertawa haha-hihi.
"Kau suka pada pemuda itu?"Wiro bertanya.
"Terserah kau mau menilai bagaimana. Tapi aku
menginginkan dia bisa sembuh dan lepas dari azab
tiga puluh paku celaka itu! Kalau tidak nikah dengan
dia denganmu pun aku maul Hik...hik!"
Wiro menyeringai. Balas menusuk-nusuk pusar
Denok Tuba Biru hingga perempuan gendut itu kini
yang ganti menggeliat kegelian dan tertawa cekikikan.
"Gembrot muka biru, aku tidak tahu mau menja-
wab apa, Kau tanyakan saja pada Sandaka, Kalau dia
mau nikah denganmu maka semua urusan pelik dan
edan ini bisa dibereskan. Tapi yang penting apakah dia
bisa mendapatkan kesembuhan dari pernikahan
denganmu? Bagaimana kalau penyakitnya malah ke-
tambahan?!"
Denok Tuba Biru yang tadinya bersemangat kini
menjadi bimbang setelah mendengar kata-kata ter-
akhir Pendekar212.
"Sudah, aku lebih baik mendekam di dasar jurang
ini saja menungguinya sambil berusaha mengobati."
Kata si gembrot berbulu ketiak lebat.
"Aku punya pikiran lain. Pertama kita sama-sama
menggotong Sandaka keluar dari dalam jurang.
Sampai di atas sana kita carikan satu tempat yang
baik untuknya. Dalam perjalanan ke sini aku melihat
ada satu gubuk tua tak jauh dari jurang. Kita bisa
membawanya ke sana. Sementara kau menjajagi aku
akan berusaha mencari seseorang untuk mengoba-
tinya..."
"Aku menurut saja, Tapi bagaimana dengan Nyi
Retno Mantili. Apa dia mau ikut bersama kita?"
"Kalau Sandaka kita bawa ke atas jurang masakan
dia tidak akan mengikuti. Biar aku yang bicara pa-
danya."
Setelah dibujuk ternyata Nyi Retno Mantili mau
diajak meninggalkan tempat itu. Malah dengan ke-
saktian yang dimilikinya perempuan ini membantu
menggotong tubuh Sandaka di bagian pinggang. De-
nok Tuba Biru di sebelah punggung dan kepala, Wiro
di bagian kaki. Sekali ketiganya mengerahkan tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuh maka sosok
lumpuh Manusia Paku Sandaka diusung melesat ke
atas jurang.
Tak berapa jauh dari jurang batu pualam memang
terdapat sebuah gubuk tua yang biasa dipakai oleh
para penebang kayu di hutan untuk beristirahat.
Sandaka di bawa ke gubuk ini. Setelah berbaring be-
berapa saat Sandaka berkata.
"Terima kasih pada kalian semua. Aku kini berada
di tempat yang aman dan baik. Wiro dan Nyi Mantili,
sekarang kalian tidak usah memikirkan diriku lagi.
Pergilah ke danau Maninjau untuk menemui Ken
Permata. Denok Tuba Biru akan menungguiku di sini.
Aku berdoa semoga Nyi Retno Mantili bisa sembuh..."
"Gila! Yang sakit memangnya aku atau kau?!" ucap
Nyi Retno Mantili dengan mata melotot. Sandaka
memberi isyarat agar Wiro mendekat lalu berbisik.
"Kau harus menotok Nyi Retno. Baru bisa mem-
bawanya pergi dari sini."
"Danau Maninjau sangat jauh. Di pulau seberang.
Pulau Andalas. Aku perlu waktu cepat untuk mem-
bawanya ke sana." Jawab Wiro sambil menggaruk
kepala. Wiro ingat pada batu sakti milik Ratu Laut
Selatan. Dia menceritakan pada Sandaka riwayat batu
itu." Kalau saja Batu Mustika Angin Laut Kencana
Biru masih ada padaku...."
"Walau tidak dengan batu itu kau pasti punya cara
lain untuk pergi ke sana. Aku dengar kau punya ilmu
kesaktian yang disebut Meraga Sukma...”
Wiro merenung sejenak lalu kembangkan telapak
tangan kanan. Telapak tangan ditiup sambil mulut
berucap perlahan.
"Datuk Rao Bamato Hijau, datanglah. Aku perlu
pertolonganmu."
Saat itu juga pada telapak tangan kanan Pendekar
212 muncul gambar kepala harimau putih bermata
hijau. Sesaat kemudian terdengar suara menggereng.
Tanah bergetar. Gubuk tua di mana Wiro dan yang
lain-lain berada berderak-derak seperti hendak roboh.
Tiba-tiba di halaman samping kiri gubuk telah muncul
seekor harimau putih besar bermata hijau. Datuk Rao
Bamato Hijau. Harimau sakti peliharaan Datuk Rao
Basaluang Ameh yang diam di Danau Maninjau dan
selama ini memelihara Ken Permata, bayi yang dila-
hirkan Nyi Retno Mantili hasil perkawinan dengan
Wira Bumi mendiang Patih Kerajaan.
Begitu Wiro mendatangi harimau putih segera
menjilati tangan sang pendekar. Wiro mengusap
tengkuk harimau putih, jongkok di sampingnya sambil
berkata.
"Datuk, aku sangat berterima kasih kau mau da-
tang. Aku butuh pertolonganmu. Bawa aku dan Nyi
Retno Mantili ke tempat Datuk Rao Basaluang Ameh."
Harimau putih menggereng perlahan.
Mendadak terdengar jeritan Nyi Retno Mantili.
"Wiro, binatang celaka apa yang kau bawa ke sini!
Lihat, anakku Kemuning menangis ketakutan sete-
ngah mati!" Habis berteriak secepat kilat Nyi Retno
Mantili menghambur tinggalkan tempat itu.
"Nyi Retno! Tunggu!" teriak Wiro lalu cepat menge-
jar. Denok Tuba Biru telah lebih dulu berkelebat
sambil lepaskan totokan jarak jauh bernama Menutup
Jalan Darah Menyumbat Jalan Pernafasan. Dua larik
sinar biru menusuk punggung dan betis kiri Nyi Retno
Mantili membuat perempuan ini serta merta tertegun
kaku walau mulutnya masih terus berteriak-teriak.
Wiro cepat usap urat besar di leher kiri kanan Nyi
Retno Mantili hingga dia tidak bisa lagi keluarkan
suara. Lalu dengan cepat dia mendukung perempuan
itu dan melompat ke punggung Datuk Rao Bamato
Hijau. Sebelum harimau sakti putih melesat mening-
galkan tempat itu Wiro berkata pada Sandaka.
"Sobatku, apa kau benar-benar ikhlas kelak jika Nyi
Retno Mantili akan sembuh setelah bertemu dengan
bayinya maka kau tidak mungkin lagi dapat mele-
nyapkan tiga puluh paku bala yang menancap di tu-
buhmu?"
Sandaka menghela nafas dalam. "Nasib manusia
ada di tangan Tuhan. Kita semua hanya berusaha.
Bagiku jika Nyi Retno Mantili bisa disembuhkan, maka
kebahagiaan akan menjadi bagian diriku dan mungkin
itu merupakan setengah dari kesembuhan diriku.
Paling tidak kesembuhan batin."
"Kau orang hebat!" ucap Wiro polos. "Aku akan
kembali ke sini secepat yang bisa aku lakukan. Aku
berjanji apapun yang terjadi aku akan membawa Nyi
Retno Mantili menemuimu. Semoga Tuhan melindungi
dan memberkahi kita semua.”
Sandaka lambaikan tangan kanan. Sepasang ma-
tanya tampak berkaca-kaca. Datuk Rao Bamato Hijau
menggereng keras. Tanah kembali bergetar dan gubuk
tua berderak-derak. Sesaat kemudian harimau sakti
itu melesat ke udara laksana hendak menembus langit
lalu lenyap dari pemandangan bersama dua penunggangnya.
SEMBILAN
DI TEPI danau Maninjau
Ken Permata duduk di
atas batu, dua kaki di-
juntaikan ke dalam air. Di sam-
ping anak perempuan itu duduk
Mande Saleha, perempuan yang
menjaga dan mengasuhnya. Se-
sekali angin dari tengah danau
bertiup sejuk. Ikan-ikan bilis
berkerumun jinak tak jauh dari
batu tempat kedua orang itu
duduk.
"Anak Mande Ken Permata,
anak rancak parmato hati, Hari
sudah rembang petang. Lihat matahari sudah merah
warnanya. Tak lama lagi akan tenggelam. Saatnya kita
pulang ke rumah gadang. Berlama-lama di sini Datuk
pasti akan mencari.”
Anak perempuan yang belum mencapai usia dua
tahun itu dengan suara lincah menjawab.
“Mande tenang-tenang sajalah di sini. Datuk tidak
akan mencari kita. Beliau tadi ada di balik pohon besar
sana memperhatikan kita. sekarang Datuk sudah
kembali ke goa pertapaannya."
Dengan perasaan heran Mande Saleha berpaling ke
arah pohon besar tak jauh dari tepi danau. Dia tidak
melihat siapa-siapa. Sambil memeluk anak yang kini
memiliki tubuh lebih besar dari usianya, Mande Sa-
leha barkata.
"Mande tidak melihat Datuk. Kalaupun tadi me-
mang Datuk ada di balik pohon kita berdua tetap
harus kambali ke rumah gadang."
"Mande, saya tidak akan pulang sebelum orang
yang akan menemui saya datang."
Terkejut Manda Saleha mendengar ucapan Ken
Permata.
"Anakku, apa yang kau bicarakan ini. Siapa yang
akan datang menemuimu?"
"Kalau Mande mau melihat orangnya, duduk saja di
sini bersama saya..."
Mande Saleha menatap anak perempuan itu bebe-
rapa lama. Kalau tadi dia hanya memeluk, kini anak
itu dipangku sambil terus dipeluk erat-erat. Ada ke-
kawatiran dalam diri perempuan ini.
Mande Saleha memandang berkeliling. Dia tidak
melihat orang lain di tempat itu. Di tengah danau juga
tidak ada biduk yang berlayar mencari ikan.
"Anakku, kita harus pulang sekarang juga.” Mande
Saleha lalu turun dari batu, melangkah ke tepi telaga
sambil terus mendukung Ken Permata. Tapi dengan
hanya bergerak sedikit saja anak perempuan itu telah
meluncur turun ke tanah, lalu lari kembali ke tepi
danau. Mande Saleha cepat mengejar dan memegang
bahu anak itu. Ketika dia hendak mendukung kembali
sang pengasuh merasa heran. Tubuh Ken Permata
berat sekali hingga jangankan untuk mendukung,
mengangkat saja dia tidak mampu.
"Anakku, apa yang terjadi dengan dirimu? Mengapa
tubuhmu menjadi seberat batu raksasa?"
Ken Permata tersenyum, tidak menjawab perta-
nyaan pengasuhnya, malah berkata.
Mande, orang yang hendak menemui saya sudah
datang." Ken Permata bicara sambil sepasang mata
beningnya menatap ke arah danau.
Mande Saleha cepat memperhatikan ke arah danau.
Tidak kelihatan satu orang pun, juga tidak ada pera-
hu. Namun kemudian dia melihat sebuah batangan
kayu mengapung di permukaan danau, bergerak per-
lahan dibawa arus ke jurusan tepi danau di mana dia
dan Ken Permata berdiri. Bersamaan dengan itu te-
linganya menangkap suara tiupan serunai. Jantung
Mande Saleha berdetak, dada berdebar.
"Serunai itu... Aku pemah mendengar sebelumnya.
Ketika Datuk kedatangan tamu. Ah... Apakah memang
dia lagi yang muncul?" Mande Saleha berucap dalam
hati. Lalu perempuan ini membungkuk sedikit dan
berbisik ke telinga si anak perempuan. "Nak, mana
orang yang katamu hendak menemui dirimu?"
"Ah Mande ini bagaimana. Masakan sebesar itu
orangnya Mande tidak bisa melihat. Itu di tengah da-
nau..."
Mande Saleha memperhatikan ke arah danau.
"Anakku, Mande tidak melihat apa-apa. Yang Mande
lihat hanya batang kayu terapung."
"Aduh Mande, orang itu berada di atas batang kayu
itu Mande. Masakan Mande tidak melihat?" ujar Ken
Permata.
Mande Saleha membuka mata lebar-Iebar. Me-
ngucak beberapa kali. Tetap saja dia tidak melihat
orang yang dikatakan Ken Permata.”
Bulu kuduk Mande Saleha merinding.
"Anakku, jangan-jangan kau melihat mahluk halus.
Sebelum kau keteguran dan menyebabkan kau bisa
jatuh sakit, mari kita tinggalkan tempat ini..." Pe-
rempuan itu lalu menarik tangan Ken Permata. Tapi
seperti tadi, bobotnya yang luar biasa berat menye-
babkan Mande Saleha tidak mampu membuatnya
bergerak sedikitpun.
"Mande, orang itu melambaikan tangan memanggil.
Saya harus menemuinya..."
"Tidak, kau tidak boleh ke mana-mana. Kau harus
tetap di sini bersama Mande!" Mande Saleha lalu
mendekap Ken Permata erat-erat. Tapi dengan mudah
anak perempuan itu menyelinap lalu lari ke tepi da-
nau. Selanjutnya sulit dipercaya tubuh Ken Permata
melayang di udara, melesat ke arah batang kayu te-
rapung di permukaan danau dan berdiri di atas batang
kayu itu! Mande Saleha berteriak memanggil. Dia
merasa heran luar biasa. Bagaimana mungkin anak
sekecil itu, yang masih bayi belum berusia dua tahun
mampu melesat di udara, lalu berdiri di atas batang
kayu yang terapung di permukaan air danau! Orang
dewasa saja tidak semudah itu mampu melakukan
kalau tidak memiliki kepandaian tinggi.
"Onde mande! Ya Allah! Ilmu kepandaian siapo di-
dapat anak ini hingga dia bisa melompat dan berdiri di
atas batang kayu terapung seperti itu, Awak tahu
Datuk tidak pernah mengajarkan ilmu silat apa lagi
kesaktian padanya." Mande Saleha lalu berteriak
memanggil-manggil Ken Permata sampai suaranya
serak.
Tak lama kemudian sang pengasuh jadi terpera-
ngah. Di atas batang kayu, di depan Ken Permata dia
melihat ada sosok seseorang. Mula-mula samar, per-
lahan-lahan berubah bertambah jelas. Perempuan tua
ini menepuk-nepuk bahu Ken Permata, sementara
batang kayu bergerak menjauh ke tengah danau.
Mande Saleha berteriak sejadi-jadinya namun clepp!
Tiba-tiba suaranya lenyap. Ada sesuatu yang tiba-tiba
menekan tenggorokannya dan saat itu juga dia tidak
bisa mengeluarkan suara, apa lagi berteriak.
"Nenek itu..." ucap Mande Saleha hanya di dalam
hati sementara mata terpentang lebar ke arah danau.
Setelah sosok itu tampak lebih jelas, Mande Saleha
lantas saja dapat mengenali perempuan tua yang ada
di atas batang kayu bersama Ken Permata. Detak
jantung dan dugaannya ternyata benar.
"Memang dia..." desis Mande Saleha. Nenek tua
yang berdiri di hadapan Ken Permata di atas batang
kayu terapung bukan lain adalah nenek yang suatu
malam beberapa waktu lalu pernah menyelinap masuk
ke dalam rumah gadang. Wajah bulat, kepala yang
berambut putih perak digulung dihias lima sunting
rendah terbuat dari suasa. Pakaian kebaya panjang
kuning bersulam bebungaan perak, bercelana hitam.
Sehelai selendang biru melingkar di leher. Laras Pa-
rantili! Kekasih Datuk Rao Basaluang Ameh di masa
muda.
Dalam "Janda Pulau Cingkuk" dituturkan bahwa
pada suatu malam Laras Parantili mendatangi Datuk
Rao Basaluang Ameh, memberi tahu bahwa Ken
Permata akan ketitisan roh Nyi Harum Sarti yang
pernah menduduki tahta Kerajaan menjadi Ratu Laut
Utara. Datuk Rao mencegah penitisan itu namun dia
kena ditipu oleh bekas kekasih di masa mudanya itu
dengan racun kuning sehingga sang datuk pingsan tak
sadarkan diri. Kejadian ini membuat Datuk Rao tidak
mampu mencegah terjadinya penitisan. Mande Saleha
sendiri sempat melihat Laras Parantili dan sempat
pula menyaksikan berlangsungnya penitisan.
"Dia muncul lagi. Ya Allah ya Rabbi, pasti dia
hendak berbuat jahat lagi. Celaka apa yang hendak
dilakukannya terhadap anakku itu. Ya Tuhan, baa iko!
Lindungi anak itu, lindungi Ken Permata.
Mande Saleha terduduk di tanah. Dia tak kuasa
berteriak lagi. Suaranya hilang, tubuh lunglai. Ti-
ba-tiba ada satu cahaya putih berkelebat ke arahnya.
Sesaat kemudian dia mendengar suara.
"Perempuan pengasuh bayi titisan. Berucaplah
kepada siapa saja yang kau temui sesudah ini. Kata-
kanlah: Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan
Ken Permata dalam keadaan selamat datanglah ke
Tunggul Hitam di lereng barat Gunung Merapi besok
tengah hari tepat. Kau harus datang seorang diri"
Beberapa totokan kemudian mendarat di kepala
Mande Saleha. Yang pertama pada kening kiri kanan,
lalu pada bagian bawah dagu dekat tenggorokan.Yang
terakhir ada usapan di bagian mulutnya. Satu kea-
nehan kemudian terjadi. Mulai saat itu Mande Saleha
seperti orang kurang ingatan mengeluarkan ucapan
yang selalu diulang-ulang: "Pendekar 212. Jika kau
ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-
lamat datanglah ke Tunggul Hitam di lereng barat Gu-
nung Merapi. Besok tengah hari tepat. Kau harus da-
tang seorang diri."
SEPULUH
SUARA jeritan Mande Sale-
ha membuat berhamburan
keluar penghuni rumah
gadang yang terletak tak jauh
dari tepian Danau Maninjau.
Sebelum orang-orang itu sampai
di tempat Mande Saleha berada,
Datuk Rao Basaluang Ameh su-
dah lebih dulu tiba di tempat itu.
Dia terkejut sekali melihat kea-
daan perempuan pengasuh Ken
Permata ini. Lebih-lebih ketika
menyaksikan dan mendengar
Mande Saleha yang bicara terus
mengulang ucapan yang sama seperti orang kema-
sukan roh gaib.
"Pendekar 212. Jika kau ingin mendapatkan Ken
Permata dalam keadaan selamat datanglah ke Tunggul
Hitam di lereng barat Gunung Merapi. Besok tengah
hari tepat. Kau harus datang seorang diri."
Datuk Rao Basaluang Ameh mengucap istigfar be-
rulang Kali.
"Saleha, kau ini keteguran mahluk halus atau ba-
gaimana?" Sang Datuk pegang bahu perempuan itu
lalu menggoncang tubuhnya. Tapi Mande Saleha terus
saja bicara seperti tadi, mengulang-ulang ucapannya.
Datuk Rao perhatikan wajah, terutama sepasang mata
Mande Saleha. Dua mata perempuan itu lebih banyak
nyalang daripada mengedip. Bagian hitamnya nyaris
tidak bergerak. Lalu dia melihat ada tanda kebiruan di
pelipis kiri kanan sarta tenggorokan samentara mulut
bicara terus mangulang-ulang ucapan.
"Totokan Pelupa Diri Pematik Bicara! Pasti ini
pakerjaan Laras Parantili! Tanpa sadar perempuan ini
bisa bicara terus sampai kehabisan nafas!"
Dengan cepat Datuk Rao Basaluang Ameh ambil
saluang (semacam seruling) emas yang terselip di
pinggangnya, siap untuk memusnahkan totokan di
tubuh Mande Saleha. Saat itulah tiba-tiba satu ba-
yangan putih melesat disertai suara orang berucap.
"Datuk, dia menyebut nama saya. Biar saya yang
melepas totokannya!"
Belum sempat Datuk Rao Basaluang Ameh ber-
paling tahu -tahu desss...dess...dess!
Dua tusukan jari tangan di dua pelipis serta satu
tusukan lagi di tenggorokan membuat totokan yang
menguasai Mande Saleha buyar musnah. Begitu lepas
dari totokan perempuan ini mengeluh panjang,
menggeliat lalu terguling di tanah. Muka pucat pasi.
Nafas megap-megap. Mata nyalang tak berkesip. Da-
tuk Rao usap kepala dan wajah Mande Saleha. Mulai
sadar akan dirinya pengasuh Ken Permata ini meng-
gerung menangis. Datuk Rao sengaja membiarkan
hingga Mande Saleha menghentikan tangisnya sendiri.
Orang tua ini berpaling ke kanan di mana berdiri sosok
tegap pemuda berambut gondrong berpakaian putih
yang saat itu cepat-cepat membungkuk hormat, me-
nyalami dan mencium tangannya.
"Datuk, saya muridmu. Terima salam hormat saya
dan mohon dimaafkan kalau tadi saya telah berbuat
lancang mendahului maksud Datuk hendak menolong
Ibu ini.
Orang tua sakti dari Pulau Andalas itu pegang bahu
si pemuda.
"Pendekar dari tanah Jawa, aku memang sudah
lama mengharap kedatanganmu. Hanya saja kau da-
tang ke sini dalam keadaan kurang menggem-
birakan..." Sang Datuk melirik ke arah harimau putih
bermata hijau peliharaannya yang tegak di samping si
pemuda yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Diatas punggung binatang sakti ini terbujur
melintang menelungkup seorang perempuan bertubuh
mungil dalam keadaan seperti tertidur pulas. "Pe-
rempuan itu, apakah istri Patih Kerajaan tanah Jawa?"
Bertanya Datuk Rao.
Wiro mengangguk lalu kembali meminta maaf atas
kelancangannya meminta tolong Datuk Rao Bamato
Hijau menjemput dan membawanya ke Danau Ma-
ninjau ini. Saya..."
"Anak muda, kau tidak perlu meminta maaf. Untuk
berbuat baik yang diredohi Allah seseorang wajib
mengambil keputusan yang benar. Alhamdullillah Nyi
Retno sudah berada di sini untuk kita pertemukan
dengan bayinya. Hanya sayang sesuatu telah terjadi."
"Datuk, apa yang telah terjadi?" tanya murid Sinto
Gendeng.
"Ken Permata diculik orang. Hanya beberapa ketika
sebelum kau sampai di sini."
Wiro terkejut. Sulit dia bisa mempercayai kalau
sampai dua kali bayi Nyi Retno diculik orang dari pe-
ngawasan orang tua berkepandaian tinggi seperti
Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah memberikan
banyak ilmu kesaktian padanya dan telah dihor-
matinya sebagai guru. Seperti diketahui sebelumnya
Ken Permata pernah diculik oleh Wira Bumi dibantu
oleh Nyai Tumbal Jiwo namun dengan bantuan tiga
datuk sahabat Datuk Rao Basaluang Ameh bayi itu
dapat diselamatkan. (Baca serial Wiro Sableng sebe-
lumnya berjudul "Bayi Satu Suro")
"Datuk, apakah Datuk tahu siapa yang menculik
bayi Nyi Retno Mantili?"
Datuk Rao Basaluang Ameh anggukkan kepala.
"Aku sudah bisa menduga karena hanya satu orang
yang bisa menembus ilmu kesaktian Selusin Jaring
Penolak Bala yang aku pergunakan untuk melindungi
bayi itu. Agar lebih jelas mari kita tanyakan pada
Mande Saleha apa yang telah terjadi. Dia sudah ber-
henti menangis, keadaannya sudah mulai tenang."
"Saya juga ingin menanyai mengapa dia menye-
but-nyebut nama saya. Meminta saya datang seorang
diri ke Tunggul Hitam di lereng Gunung Merapi kalau
ingin mendapatkan Ken Permata dalam keadaan se-
lamat."
"Orang jahat tengah memasang jebakan untuk kita,
terutama dirimu.”
"Siapa Datuk?" tanya Wiro pula.
"Nanti kau akan tahu sendiri."
Diikuti Wiro Datuk Rao Basaluang Ameh men-
datangi Mande Saleha. Setelah mengusap kepala pe-
rempuan itu sang Datuk berkata.
"Saleha, hentikan tangismu! Katakan apa yang
terjadi."
"Saya mohon ampun Datuk. Entah Datuk mau
menghukum saya bagaimana. Saya telah berusaha
menjaga Ken Permata. Kami berada di tepi danau. Lalu
muncul or...orang itu Datuk. Dia datang lagi... Saya
tidak mampu mencegah. Ken Permata lepas dari de-
kapan saya lalu melompat melayang ke tengah danau
dan berdiri di samping perempuan tua itu, di atas
batang kayu terapung. Dia membawa KenPermata ke
tengah danau lalu keduanya tak kelihatan lagi."
"Orang itu, perempuan tua yang kau katakan, siapa
dia Saleha? Apa kau mengenalinya?"tanya Datuk Rao.
"Dia perempuan tua bersunting suasa yang muncul
di rumah gadang waktu terjadi penitisan atas diri Ken
Permata."
Datuk Rao menghela nafas panjang. Wajahnya yang
kelimis langsung berubah. "Ternyata memang dia..."
ucap Datuk Rao Basaluang Ameh berdesah. "Laras
Parantili."
"Laras Parantili. Siapa dia Datuk? Saya tidak per-
nah mendengar nama orang ini sebelumnya," Tanya
Wiro yang sejak tadi ingin tahu. Dia kawatir jangan-
jangan roh Wira Bumi atau Nyai Tumbal Jiwo yang
muncul kembali. "Saya juga heran mendengar kete-
rangan Ibu ini. Ken Permata bayi yang menurut saya
belum berusia dua tahun, mampu melompat ke tengah
danau dan berdiri di atas batang kayu terapung. Hal
itu hanya bisa dilakukan oleh orang berkepandaian
silat tinggi serta memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai puncaknya. Bagaimana bisa
terjadi?"
"Laras Parantili." Datuk Rao Basaluang Ameh me-
nyebut nama sang kekasih di masa muda dengan su-
ara bergetar. "Aku sudah menduga. Bagaimana
mungkin. Aku telah melindungi seputar tempat ini
dengan ilmu Selusin Jaring Penolak Bala. Ternyata
dia masih bisa menembusnya. Mungkin dia memiliki
bubuk bunga sakti penangkal ilmu Selusin Jaring
Penolak Bala itu?" Si orang tua merenung sejenak lalu
berpaling pada Wiro. "Laras Parantili adalah keka-
sihku di masa muda. Kami tidak kunjung jadi me-
nikah karena berbagai kendala yang muncul secara
tak terduga. Selain itu aku diam-diam mengetahui
kalau kekasihku itu memiliki hati yang tidak seputih
wajahnya tidak pula sebersih pakaian yang dikena-
kannya. Aku menunggu dan menunggu sampai dia
bisa berubah. Namun kenyataannya hal itu tidak ter-
jadi. Malah dengan kemunculannya menjadi pelin-
dung terjadinya penitisan atas diri Ken Permata dia
telah membuktikan kalau dirinya tidak berubah, dia
tetap culas seperti di masa lalu."
"Datuk, saya ikut merasa sedih mendengar cerita
Datuk. Tapi ada yang tidak saya mengerti. Ken Per-
mata ketitisan. Ketitisan roh siapa?"
"Bayi itu ketitisan roh seorang perempuan muda
yang mengaku Ratu Laut Utara bernama Nyi Harum
Sarti..."
Kejut Pendekar 212 bukan kepalang. "Perempuan
iblis itu rupanya yang punya pekerjaan. Saya tahu, dia
memang pernah mengancam akan melakukan peni-
tisan atas diri Ken Permata! Jahat sekali! Mengapa
berbuat keji pada seorang bayi yang tidak berdosa?"
(Mengenai sumpah titisan Ratu Laut Utara alias Nyi
Harum Sarti bisa dibaca dalam serial Wiro Sableng
sebelumnya berjudul "Cinta Tiga Ratu”)
"Ken Permata kini bukan keadaan seperti bayi dua
tahun lagi. Tubuhnya tumbuh besar menyerupai anak
lima tahun. Selain itu secara aneh dia memiliki ilmu
kesaktian. Ilmu kesaktian itu berasal dari roh yang
menitis atas dirinya."
"Sangat berbahaya..." ucap Wiro sambil menggaruk
kepala. Lalu dia berpaling pada perempuan pengasuh
Ken Permata yang tegak di samping Datuk Rao. Sambil
menolong perempuan ini berdiri Wiro bertanya.
"Ibu coba kau tunjukkan jelas-jelas di arah mana
menghilangnya Ken Permata bersama perempuan
yang menculiknya itu."
Setelah memandang berkeliling perempuan itu
menunjuk ke tengah danau. "Keduanya berada di atas
sebuah batang kayu. Meluncur ke tengah danau. Lalu
ada cahaya putih menyelubungi sekujur tubuh saya.
Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya bicara
terus tapi saya tidak tahu apa yang saya katakan..."
Datuk Rao Basaluang Ameh dan Pendekar 212 Wiro
Sableng memperhatikan sekeliling danau, Mereka ti-
dak melihat batang kayu yang dikatakan Mande Sa-
leha. Wiro bertanya lagi.
"Ibu, Ken Permata dan perempuan tua bersunting
itu, apakah dia lenyap masuk ke dalam danau atau
melayang naik ke udara?"
"Saya tidak tahu... saya tidak melihat. Tiba-tiba
saja keduanya lenyap."
"Datuk, kalau Datuk mengizinkan dan memberi
petunjuk saya akan segera menuju lereng barat Gu-
nung Merapi. Dari ucapan Ibu ini jelas penculik tidak
membawa Ken Permata ke dasar Danau Maninjau tapi
ke satu tempat bernama Tunggul Hitam. Saya harus
mendapatkan bayi itu kembali. Saya titip Nyi Retno
Mantili..."
"Kita pergi berdua..." kata Datuk Rao Basaluang
Ameh pula.
"Tapi bukankah Datuk mendengar sendiri ibu ini
tadi terus menerus berucap saya harus datang seorang
diri jika ingin Ken Permata selamat?"
Datuk Rao mengangguk. Dia sapukan saluang
emas ke arah Nyi Retno Mantili yang masih terbaring
menelungkup di atas punggung harimau putih sakti
bermata hijau. Lalu berkata pada Wiro.
"Totokanmu pada tubuh perempuan itu sudah aku
lenyapkan. Mulai sekarang dia akan tidur sepanjang
hari. Dia akan terbangun pada saat kita kembali."
Datuk Rao berkata pada Mande Saleha dan harimau
putih. "Kembalilah kau ke rumah gadang. Jaga pe-
rempuan itu. Dan kau Datuk Rao Bamato Hijau, awasi
kawasan ini. Jika terjadi sesuatu lekas temui diriku."
Harimau putih merunduk dan menggereng perla-
han. Wiro mengusap tengkuknya lalu berkelebat
mengikuti Datuk Rao Basaluang Ameh yang telah lebih
dulu berkelebat ke arah timur di mana di kejauhan
Gunung Merapi tegak menjulang tinggi dengan puncak
disaput awan putih kelabu.
SEBELAS
TEPAT tengah hari keeso-
kannya, hujan lebat
mengguyur Gunung Merapi
ketika Wiro sampai di lereng
barat. Dia berhenti di satu
lamping gunung di mana terda-
pat dinding batu berwarna ku-
ning dan merah pekat. Di be-
berapa tempat dinding batu ini
membentuk tonjolan-tonjolan
berwarna hitam. Sambil meman-
dang berkeliling Wiro keluarkan
ucapan.
"Datuk, apakah Datuk ada di
sekitar sini?"
Terdengar suara jawaban pertahan, hampir meru-
pakan bisikan di telinga kiri sang pendekar.
"Aku ada di dekatmu. Mulai saat ini kau tidak boleh
bicara…”
“Tapi Datuk, saya perlu petunjuk di mana tepat
berdanya Tunggul Hitam itu. Apakah ini nama suatu
tempat atau nama benda…”
“Naiklak ke atas dinding batu merah kuning. Terus
mendaki sampai kau menemukan satu pedataran kecil
ditumbuhi semak belukar berduri, Di sekitar pedatar-
an kau akan melihat batu-batu hitam bertebaran da-
lam berbagai bentuk. Pada bagian tengah pedataran
ada sebuah batu hitam besar, berbentuk batang kayu
bercabang dua, besarnya sepemeluk tangan, tinggi tiga
tombak. Itulah Tunggul Hitam. Cepat pergi ke sana
dan jangan bicara lagi karena aku tidak akah menja-
wab apapun yang kau tanyakan. Aku tidak ingin
urusan ini menjadi kacau sebelum kita melihat dan
mendapatkan bayi itu. Selain itu kita masih belum
tahu siapa saja yang berada bersama Ken Permata.
Satu hal harus kau ingat baik-baik, jangan sekali-kali
terpikat atau tertipu dengan apa yang kau lihat!”
Wiro mengangguk kepalanya yang basah riap-
riapan. Dalam hati dia berkata. "Eh, memangnya aku
mau melihat apa? Perawan bugil? Nenek peot tidak
berpakaian? Atau dua ekor kucing lagi kawin? "Wiro
tertawa-tawa seorang diri. Ketika memperhatikan ke
atas dia melihat lamping batu hitam kuning cukup
terjal dan licin. Selain tertutup lumut tipis, air hujan
membuat batu-batu itu menjadi sangat licin. Keliha-
tannya memang tidak ada cara lain mencapai peda-
taran di atas sana kecuali harus melewati hamparan
batu yang membentuk dinding terjal licin.
Setelah memusatkan pikiran dan mengerahkan
ilmu meringankan tubuh, Pendekar 212 melesat ke
udara. Begitu sampai di puncak ketinggian dia cepat
menjejakkan kaki di salah satu tonjolan batu ber-
warna hitam, lalu melentingkan diri ke atas. Tiga kali
dia berbuat begitu baru dia berhasil sampai di bagian
atas dinding batu terjal dan dapatkan dirinya berada di
ujung satu pedataran luas yang ditumbuhi semak
belukar setinggi dada. Semak belukar ini bukan semak
belukar biasa, tapi penuh dengan duri yang laksana
hidup bergerak-gerak menyambar ke berbagai arah.
Hujan dan tiupan angin yang cukup kencang mem-
buat semak belukar berduri itu sangat berbahaya.
Sementara dia masih memperhatikan keadaan di
tempat aneh itu, pakaian putih Wiro sudah robek
terkait duri di bagian pinggang kiri dan bahu kanan.
Goresan duri di bahu kanan melukai kulit bahu. Da-
lam udara dingin Wiro serta merta merasakan ada
hawa panas pada goresan luka. Wiro menguak lebih
besar robekan di bahu lalu memperhatikan. Ternyata
goresan duri telah membuat kulitnya menggembung
kebiruan! Mendadak dia merasa tubuhnya agak lemas!
"Kurang ajar! Duri semak belukar ini mengandung
racun! Betul ucapan Datuk. Orang hendak menjebak
mencelakai diriku. Apakah Datuk tidak tahu kalau
duri di tempat ini mengandung racun? Atau mungkin
ada orang yang belum lama menabur racun di peda-
taran ini. Benar-benar kurang ajar!"
Pendekar 212 cepat kerahkan tenaga dalam serta
hawa sakti yang disalurkan dari Kapak Naga Geni 212
yang ada di dalam tubuhnya. Sebenarnya seperti di-
ketahui Wiro memiliki kekebalan terhadap racun
namun dia tidak mau berlaku ayal. Melindungi diri
lebih dulu adalah lebih baik dari pada mengobati.
Hujan mulai mereda. Sesekali Guntur menggelepar
dan kilat menyabung di langit. Wiro memperhatikan ke
depan. Dia melihat banyak gundukan batu menyem-
bul di antara semak belukar berduri. Gundukan batu
itu kebanyakan berbentuk bulat namun ada pula yang
menyerupai binatang besar. Di salah satu bagian pe-
dataran tersembul batu hitam berbentuk pohon ber-
cabang dua. Tingginya ternyata tidak sampai tiga
tombak.
"Tunggul Hitam! Tapi mengapa tidak setinggi seperti
yang dikatakan Datuk?" ucap Wiro. Dia lalu ingat. Dia
tidak boleh tertipu pada apa yang dilihatnya. Wiro
memandang berkeliling. Dia tidak melihat satu
orangpun di tempat itu. Dia kerahkan Ilmu Menem
bus Pandang. Tetap saja dia tidak bisa melihat
apa-apa, Tiba-tiba Wiro merasa tanah gunung yang
dipijaknya bergetar. Lalu ada suara berdesing panjang.
Sepasang mata sang pendekar terpentang lebar ketika
di depan sana batu yang disebut Tunggul Hitam per-
lahan-lahan bergerak naik ke atas, makin tinggi
hingga akhirnya mencapai tiga tombak! Getaran di
tanah dan suara berdesing serta merta lenyap begitu
Tunggul Hitam berhenti bergerak naik.
Sesaat kemudian samar-samar Wiro melihat
bayangan tiga orang berdiri di atas Tunggul Hitam.
Dua orang dewasa, satu anak kecil. Dua orang dewasa
berdiri di cabang kiri kanan. Orang yang kecil duduk
berjuntai di atas puncak Tunggul Hitam yang rata.
"Ken Permata, yang kecil itu pasti Ken Permata!"
ucap Wiro dalam hati, Dia segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, siap melesat ke batu hitam besar
yang ada sejarak dua belas langkah dari hadapan
Tunggul Hitam. Namun baru saja dua kakinya berge-
rak ke udara tiba-tiba rimbunan semak belukar di
hadapannya laksana mahluk hidup mencuat tegak.
Puluhan duri menyambar ke depan seperti tangan
setan mencakar!
"Brett! Brettt! Breetttt!"
Baju Wiro robek besar pada tiga tempat di bagian
dada dan perut. Membuat sang pendekar bersurut dan
cepat memeriksa. Untung cakaran semak berduri
hanya merobek baju, tidak sampai menyentuh kulit
atau daging dada dan perutnya.
"Semak belukar keparat! Jangan harap kalian ma-
sih bisa mencelakaiku lagi!"
Habis berkata begitu dia angkat dua tangan ke
udara sambi! berteriak.
"Kapak Naga Geni 212! Batu Sakti Hitam!"
Kejapan itu juga kapak dan batu sakti yang ada
dalam tubuh Wiro tahu-tahu telah berada di tangan
kanan dan tangan kiri. Seperti dikisahkan dalam serial
Wiro Sableng berjudul "Lentera Iblis" Kiai Gede Tapa
Pamungkas secara gaib telah memasukkan dua sen-
jata sakti itu ke dalam tubuh Pendekar 212. Dengan
cara berseru menyebut nama kedua senjata itu maka
kapak dan batu secara gaib pula keluar dari dalam
tubuh Wiro dan langsung tergenggam di tangan.
Dengan mengerahkan lebih dari setengah tenaga da-
lam yang dimiliki, Wiro menggosokkan batu hitam
sakti ke mata Kapak Naga Geni 212.
"Wusss!"
Satu gelombang api yang bukan olah-olah besarnya
menderu melanda pedataran yang dipenuhi semak
belukar berduri. Walau semak belukar itu dalam
keadaan basah karena baru kejatuhan hujan namun
gelombang api yang luar biasa dahsyatnya membakar
musnah semak belukar itu hanya dalam beberapa
kejapan mata saja! Kini di pedataran luas itu hanya
terlihat gundukan-gundukan batu hitam besar ber-
bagai bentuk dan ukuran serta Tunggul Hitam yang
menjulang setinggi tiga tombak. Kepulan asap untuk
beberapa lama bergulung-gulung di atas bebatuan.
Begitu kepulan asap sirna, kapak dan batu sakti le-
nyap pula. Tiga orang yang berada di atas Tunggul
Hitam kini terlihat jelas.
Yang pertama adalah Ken Permata. Bayi yang be-
lum berusia dua tahun tapi memiliki perawakan se-
perti anak lima tahun ini duduk di bagian atas
Tunggul Hitam yang rata sambil uncang-uncang kaki
tanpa rasa gamang ataupun takut. Wiro merasa heran
melihat keberanian dan keadaan bayi ini.
Orang kedua seorang nenek tua mengenakan ke-
baya panjang kuning bersulam bunga perak, bercelana
panjang hitam. Rambutnya yang putih seperti perak-
digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting pendek
terbuat dari suasa merah kekuningan. Ujung selen-
dang biru yang melingkar di lehernya melambai-lam-
bai di tiup angin. Wajahnya walau sudah lanjut masih
ada bayangan kecantikan di masa muda, anggun
namun ada pancaran sifat keangkuhan. Nenek ini
berdiri di cabang Tunggul Hitam sebelah kanan.
"Nenek bersunting itu pasti Laras Parantili, kekasih
Datuk. Heran, mengapa dia mau-mauan menjadi pe-
lindung sang penitis! Berseberangan dengan Datuk,
padahal di masa muda mereka pernah menjalin kasih.
Tapi... cinta memang bisa berubah jadi ma-
cam-macam!" Murid Sinto Gendeng tertawa cen-
gengesan. Sambil garuk-garuk kepala dia perhatikan
orang ke tiga yang berdiri di atas batu berbentuk po-
hon yang disebut batu Tunggul Hitam pada cabang
sebelah kiri. Pada pakaiannya ada noda merah me-
lintang panjang di dada. Walau wajahnya cacat di ba-
gian mulut dan pipi kiri serta agak teleng namun Wiro
masih bisa mengenali perempuan muda ini adalah Nyi
Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. Wiro juga
melihat bagaimana sepasang telapak kaki Nyi Harum
Sarti sama sekali tidak menginjak cabang batu
Tunggul Hitam. Pertanda bahwa perempuan ini adalah
roh yang muncul secara jejadian.
"Kepala teleng, mulut hancur-hancuran. Pasti itu
bekas tendangan Bidadari Angin Timur," membathin
Wiro. Dalam serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul
"Cinta Tiga Ratu" dituturkan bagaimana dalam kea-
daan meregang nyawa setelah dibelah dadanya dengan
Pedang Naga Suci 212 oleh Ratu Duyung, Nyi Harum
Sarti alias Ratu Laut Utara palsu ditendang kepalanya
oleh Bidadari Angin Timur hingga mulutnya hancur,
tulang leher bergeser menyebabkan kepalanya menjadi
teleng. Gadis cantik berambut pirang itu melakukan
hal tersebut karena merasa sangat marah dan dendam
besar terhadap Nyi Harum Sarti yang telah melontar-
kan kata-kata di hadapan sekian banyak tokoh rimba
persilatan bahwa Bidadari Angin Timur adalah janda
dari kepala pasukan Kesultanan Cirebon.
Setelah memperhatikan, tidak tunggu lebih lama
Wiro cepat melompat ke atas batu hitam besar ber-
bentuk kerbau berbaring, yang hanya terpisah sejarak
sekitar dua belas langkah dari batu Tunggul Hitam.
Nenek bernama Laras Parantili dan ujud jejadian
Nyi Harum Sarti tidak bergerak. Hanya sepasang bola
mata mereka saja yang tampak berputar mengawasi.
Di puncak batu Tunggul Hitam Ken Permata duduk
tertawa-tawa, masih uncang-uncang ke dua kaki.
"Kalian semua yang di atas batu Tunggul Hitam!"
Wiro yang sudah tidak sabaran berteriak keras. "Aku
sudah datang ke tempat ini seorang diri! Lekas se-
rahkan bayi di atas Tunggul Hitam."
Sunyi sesaat lalu si nenek dan perempuan bermuka
cacat berkepala teleng umbar tawa bergelak.
"Pemuda gondrong muka gemblong! Siapa kau?!
Sudah kesasar datang ke sini berteriak pula tak ka-
ruan macam orang kemasukan!"
DUA BELAS
MATA Pendekar 212
mendelik membeliak.
Jengkel penasaran di-
rinya di katakan kesasar, muka
gemblong dan kemasukan! Tapi
dasar sableng enak saja dia me-
nyahuti.
"Kalian berdua! Yang tua se-
perti walang sangit kurang ma-
kan! Yang berkepala teleng se-
perti ayam keselak jagung!
Ha...ha...ha! Aku mencium bau
tidak sedap. Apa kalian berdua
tadi pagi sudah beol tapi tidak
sempat cebok? Kalian juga bermata lamur rupanya!
Tidak bisa menbedakan gemblong dengan lontong!
Atau kalian berdua inginnya singkong? Pantas kau
bau Jigong! Ha...ha…ha!" Habis berteriak begitu Wiro
lalu tertawa gelak-gelak sambil hidung dipencet den-
gan dua jari tangan kiri dan mulut meludah-ludah.
Laras Parantili kerenyitkan kening. Nyi Harum Sarti
keluarkan makian menggerendeng sementara Ken
Permata di atas puncak Tunggul Hitam masih terus
duduk tertawa-tawa sambil uncang-uncang kaki.
"Pemuda sinting! Kami tidak suka melihat kehadir-
anmu di sini. Lekas angkat kaki atau kau akan mati
sia-sia!" Nyi Harum Sarti kini yang berteriak
"Oala!" Wiro pencongkan mulut, telengkan kepala
meniru telengnya kepala roh perempuan jejadian itu.
"Kalian mempermainkanku! Itu tidak lucu! Aku bi-
sa-bisa bukannya tertawa melihat kelakuan kalian,
tapi malah kentut! Ha...ha...ha! Kalian mengirim pesan
melalui perempuan bernama Mande Saleha yang ka-
lian siksa dengan ilmu keji kalian! Sekarang aku su-
dah di sini, kalian mau berlagak aneh macam orang
sinting. Kalian berjanji akan menyerahkan bayi itu!
Kalian berlagak tidak suka padaku. Kalian pasti ber-
pura-pura. Padahal paling tidak salah satu dari kalian
pasti suka padaku! Ha...ha...ha!" Wiromenatap ke arah
Nyi Harum Sarti dan kedip-kedipkan mata.
Wajah cacat roh jejadian Nyi Harum Sarti berubah
merah mendengar kata-kata Wiro. Sebelumnya dia
memang telah jatuh cinta pada sang pendekar dan hal
ini dikatakannya terus terang di hadapan banyak to-
koh rimba persilatan. Kalau sekarang dia bersikap
bermusuhan maka ini adalah suatu keanehan.
"Aku ingin kalian segera menyerahkan bayi itu!
Sekarang juga! Atau kalian akan menyesal!"
Wiro angkat tangan kanannya yang serta merta
berubah warna menjadi putih perak sebatas siku ke
bawah. Sang pendekar siap melepas Pukulan Mata-
hari.
Si nenek Laras Parantili angkat tangan kirinya.
"Tunggu dulu!" serunya. Lalu dia berpaling pada Nyi
Harum Sarti yang berada di cabang kiri Tunggul Hi-
tam. "Ratu Laut Utara..." Ah! Si nenek masih me-
manggil Nyi Harum Sarti dengan sebutan Ratu Laut
Utara! "Apa benar pemuda gondrong ini yang bernama
Wiro Sableng barjuluk Pendekar 212?"
"Memang dia orangnya!" Jawab Nyi Harum Sarti
dengan suara datar dan wajah cacat dingin
Mendengar jawaban Nyi Harum Sarti, Laras Paran-
tili bertanya. "Pemuda gondrong! Apakah kau datang
ke sini seorang diri?!"
"Kalian yang minta begitu! Aku hanya melakukan!
Sekarang malah banyak tanya segala!" jawab Wiro
kesal.
Si nenek tertawa. Tiba-tiba dia lepaskan satu pu-
kulan tangan kosong ke arah sebuah batu besar se-
jarak sepuluh langkah dari samping kiri Wiro.
"Wuuuttt! Braaakkk!"
Serangkum angin dahsyat menderu, membuat
hancur berkeping-keping batu besar yang dihantam.
Saat itu juga dari hancuran batu berkelebat sosok
seorang tua berpakaian putih! Datuk Rao Basaluang
Ameh!
"Ah, ternyata kau berdusta! Kau datang bersama
orang yang tidak kami ingini! Berarti kau tidak akan
mendapatkan bayi itu dalam keadaan selamat!" Sambil
bicara Laras Parantili melirik memperhatikan Datuk
Basaluang Ameh yang kini berdiri di atas sebuah batu
besar di arah kanan Wiro sambi! menimang saluang
emas.
"Kalian kira Cuma kalian yang bisa membuat atur-
an?! Kalian punya aturan! Aku juga punya aturan
sendiri! Aku mau datang dengan siapa itu urusanku!
Lagi pula yang datang bersamaku bukan orang sem-
barangan. Aku tidak yakin kau bisa melupakan atau
mau berpura-pura lupa. Apakah kau tidak mengenali
orang tua berpakaian putih ini? Kekasihmu tercinta di
masa muda?! Yang aku sebut namanya adalah Datuk
Rao Basaluang Ameh!"
Raut wajah Laras Parantili berubah merah seperti
saga.
Ah, wajahmu berubah merah! Pertanda kau me-
mang masih mencinta dirinya. Tapi mengapa berpu-
ra-pura? Malah kini berserikat dengan perempuan
teleng itu, memusuhi Datuk?"
"Pemuda edan! Bicara tak karuan macam orang
sinting. Itulah kalau gurunya gendeng muridnya sa-
bleng beneran!"
"Tua bangka kurang ajar!" bentakWiro marah. "Kau
berani menghina guruku Sinto Gendeng! Luar biasa
sombong! Sikapmu seperti orang hebat berpikiran
waras. Padahal sebenarnya otakmu ada di dengkul.
Selain sombong kau juga culas! Khianat apa yang telah
kau perbuat terhadap guruku Datuk Rao Basaluang
Ameh! Sudah peot kisut begini apa kau kira bisa dapat
lelaki muda lebih baik dari Datuk? Puahhh!"
"Pemuda sinting! Kurobek mulutmu berani bicara
soal hubunganku dengan Datuk Rao!"
Wiro jerengkan mata dan cibirkan bibir.
Lima sunting suasa di kepala Laras Parantili ber-
jingkrak tegang dan kepulkan asap tipis pertanda si
nenek dilanda amarah luar biasa. Rahang menggem-
bung, mata berkilat-kilat. Datuk Rao Basaluang Ameh
yang sejak tadi diam sa]a, setelah berdehem beberapa
kali lantas berkata berusaha menyurutkan ketegangan
yang siap meledak.
"Laras Parantili, aku memang tidak diundang da-
tang ke sini. Namun aku punya kewajiban untuk ha-
dir. Karena segala perbuatan yang kau lakukan telah
menyimpang dari kelayakan sebagai seorang pendekar
golongan putih rimba persilatan. Atau mungkin kini
kau telah berubah hitam, menjadi pelindung mahluk
roh jejadian yang kau sebut sebagai Ratu Laut Utara
itu? Sungguh disayangkan. Di usia selanjut ini, apa-
sebenarnya yang masih kau harapkan dalam kehidupanmu? Bukankah mendekatkan diri kepada Tu-
han merupakan hal yang paling baik dari pada berbuat
kemungkaran? Jika kau mau keluar dari jalan sesat
dan menyerahkan bayi bernama Ken Permata itu maka
aku dan Pendekar 212 akan tinggalkan tempat ini.
Dan aku akan mengakhiri urusan penculikan bayi ini
sampai di sini."
Laras Parantili tersenyum, rangkapkan dua tangan
di depan dada lalu berkata.
"Datuk, bicaramu seperti khotbah saja. Enak juga
didengar. Tapi kau bukan siapa-siapa lagi bagiku. Kau
tidak layak mengatur diriku karena kau tidak mampu
mengatur diri sendiri. Soal bayi bernama Ken Permata
dia bukan anak bukan cucumu. Tak ada sangkut paut
darah daging antara kalian berdua. Setahuku kau
tidak lebih dari pada kacung yang ketitipan untuk
menjaganya. Masa pengasuhanmu sudah berakhir.
Kami datang untuk mengambil..."
"Tua bangka sialan! Berani kau menghina Datuk!
Hatimu kotor, mulutmu sebusuk comberan!" Wiro
yang sudah tidak sabaran untuk menghajar si nenek
kembali hendak menghantam dengan Pukulan Sinar
Matahari. Namun Datuk Rao cepat memberi tanda
mencegah.
"Laras, lalu apa perlunya kau meminta muridku
datang ke sini, menjanjikan keselamatan bagi bayi
bernama Ken Permata itu? Jika kau bermaksud jahat
hendak menjebak, mungkin kau akan lebih dulu
masuk lobang perangkap!" kata Datuk Rao pula.
"Janji keselamatan tidak berlaku lagi. Kalian ber-
dua sudah melanggar aturan yang kami tetapkan!"
"Aturan kentut busuk!" teriak Wiro. "Kau berani
menghina guruku. Aku akan menjadikan kau babu
seumur-umur di negeri neraka!" Habis berteriak Pendekar 212 segera melompat tinggi ke udara, melesat ke
arah Tunggul Hitam yang berupa pohon batu setinggi
tiga tombak.
Melihat gerakan yang dibuat Wiro, dalam marahnya
karena dibilang mau dijadikan babu neraka Laras
Parantili segera berseru pada Nyi Harum Sarti.
"Ratu, apa lagi yang kita tunggu!"
Mendengar seruan si nenek Nyi Harum Sarti yang
menyebut diri masih sebagai Ratu Laut Utara segera
mendongak ke arah bayi di puncak batu Tunggul
Hitam.
"Ken Permata! Bayi titisan roh sukmaku! Bunuh
orang berambut gondrong itu! Dia manusianya yang
telah membunuh ayahmu!" Habis berteriak Nyi Harum
Sarti sapukan tangan kanannya ke atas. Selarik sinar
kelabu menyapu sekujur tubuh Ken Permata, mulai
dari kepala sampai ke kaki.
Satu keanehan terjadi. Sosok bayi berusia kurang
dua tahun dan berpenampilan seperti anak lima tahun
itu tundukkan kepala.
Lalu tubuh sang bayi tiba-tiba berubah menjadi
luar biasa besar. Begitu dia melompat turun, kaki
menjejak tanah, pedataran bergetar, kepala hampir
setinggi batu Tunggul Hitam. Ken Permata telah ber-
ubah menjadi seorang bayi raksasa. Wiro dan Datuk
Rao hanya setinggi pusarnya! Kejut kedua orang ini
bukan alang kepalang! Ketika bayi raksasa ini me-
nyeringai, kelihatan barisan gigi dan caling panjang
runcing!
Belum pupus kejut Pendekar 212, bayi raksasa Ken
Permata telah menyerbunya dengan satu pukulan
jarak jauh yang menebar sinar hijau.
"Pukulan Mambang Laut Utara!" ucap Wiro ter-
sentak. Ilmu kesaktian itu adalah milik Nyi Harum
Sarti alias Ratu Laut Utara palsu. "Berarti bayi itu
bukan saja ketitisan sifat tapi juga menguasai ilmu
kesaktian yang dimiliki roh Nyi Harurri Sarti!"
Secepat kilat Wiro selamatkan diri dengan melesat
ke kiri, jatuhkan diri ke tanah. Sambil berguling murid
Sinto Gendeng melepas Pukulan Sinar Matahari tapi
tidak diarahkan pada bayi raksasa melainkan dihan-
tamkan ke cabang kiri batu Tunggul Hitam di mana
roh jejadian Nyi Harum Sarti berada. Bagi Wiro wa-
laupun jelas bayi aneh itu yang menyerang namun dia
tidak mau membalas serangan. Kawatir kalau han-
tamannya akan mencelakai sang bayi. Nyi Harum Sarti
yang menjadi sumber kekuatan bayi raksasa, mahluk
yang harus dimusnahkan lebih dulu.
Sinar putih Pukulan Matahari berkiblat panas
menyilaukan. Datuk Rao Basaluang Ameh tidak
tinggal diam. Dia sapukan saluang emas ke atas. Ca-
haya kuning laksana kipas mengembang menderu di
udara disertai suara desingan seruling mencucuk
pendengaran. Seperti Wiro, orang tua ini tidak men-
garahkan serangannya ke arah bayi raksasa melain-
kan yang dituju adalah Laras Parantili yang berdiri di
cabang kanan Tunggul Hitam.
Mendapat serangan pukulan sakti yang mengge-
gerkan rimba persilatan Nyi Harum Sarti di atas ca-
bang kiri batu Tunggul Hitam tidak bergerak sedikit-
pun. Malah sambil tertawa melengking dia meng-
goyang tubuh dan kepalanya yang teleng. Sembilan
rangkum gelombang angin memancarkan cahaya biru
mencuat keluar dari tubuhnya, langsung menyergap
cahaya putih panas Pukulan Sinar Matahari. Begitu
Saling bertabrakan satu letusan dahsyat menggelegar.
Lereng barat Gunung Merapi laksana dilanda gempa.
Ujung pedataran di sebelah selatan runtuh longsor.
Beberapa batu besar hitam di pedataran hancur ber-
keping-keping. Tapi anehnya batu Tunggul Hitam ti-
dak rusak sedikitpun. Ini karena Nyi Harum Sarti telah
menerapkan ilmu yang bernama Dinding Gaib Laut
Utara. Dengan ilmu ini dia mampu melindungi setiap
benda mati dari serangan atau hantaman yang datang
dari luar. Kalau akibat bentrokan dahsyat itu Pende-
kar 212 Wiro Sableng sampai jatuh terhenyak di tanah
pedataran maka di atas cabang kiri batu Tunggul Hi-
tam sosok jejadian Hitam Nyi Harum Sarti hanya ter-
gontai-gontai beberapa kali.
Begitu tubuhnya terjengkang di tanah, Wiro melihat
bayi raksasa melompat ke arahnya lalu hunjamkan
kaki kanan ke arah dada.
"Gila!" Wiro berteriak. Secepat kilat dia berguling ke
kiri.
"Bruuuukkk!"
TIGA BELAS
HUNJAMAN kaki kanan
Ken Permata membuat
lobang besar sedalam be-
tis di tanah pedataran. Me-
nyaksikan itu Wiro merasa nya-
wanya seperti terbang. Ketika
bayi raksasa hendak menyer-
bunya kembali, kali ini dengan
tendangan kaki kiri, secepat kilat
dia melesat selamatkan diri, me-
lompat ke atas sebuah batu hi-
tam. Bayi raksasa rundukkan
tubuh sambil dua tangan dengan
sangat cepat menyambar ke arah
dada pakaian Wiro. Kali iniWiro tidak sempat lagi
mengelak, dia juga merasa ragu melancarkan seran-
gan. Takut menciderai ken Permata. Akibatnya tubuh
Wiro diangkat tinggi-tinggi lalu dibantingkan ke tanah.
Sebelum jatuh Wiro masih berusaha berjungkir balik.
Namun tetap saja dia jatuh dengan punggung meng-
hantam tanah. Wiro merasa tulang belulangnya seperti
hancur. Darah meleleh di sela bibir. Untuk beberapa
lama dia terkapar tak bergerak.
"Bayi jahanam! Kalau aku serang apa lagi kalau
sampai mati berarti Nyi Retno Mantili tidak akan
pernah bertemu bayinya ini. Dia tidak akan pernah
dapat disembuhkan dari penyakit jiwanya! Gila! Apa
yang harus aku lakukan?!"
Wiro kerahkan tenaga dalam, Alirkan hawa sakti.
Terapkan ilmu meringankan tubuh. Ketika bayi rak-
sasa kembali mendekat dia telah mampu berdiri, me-
lompat ke punggung si bayi lalu menotok bayi ltu di
bagian ubun-ubun, leher dan punggung. Tiga totokan
sekaligus.
Tokoh silat berkepandaian tinggi sekalipun, apa lagi
manusia biasa akan rubuh, paling tidak kaku tegang
terkena tiga totokan itu. Namun si bayi raksasa hanya
menyeringai. Bagian yang ditotok menggembung se-
bentar lalu surut kembali. Ternyata totokan Wiro tidak
satupun yang mempan. Tidak sanggup melumpuhkan
sang bayi! Sang bayi kembali ulurkan kedua tangan.
Berusaha menangkap dua kaki Wiro yang masih
menginjak punggungnya. Kalau si bayi berhasil me-
nangkap dua kaki Wiro lalu membantingkan sang
pendekar ke bawah dengan kepala menghujam tanah
lebih dulu maka tamatlah riwayat murid Sinto Gen-
deng ini!
"Aku terpaksa harus bertindak lebih keras. Kalau
tidak bisa konyol sendiri!" Pikir Wiro. Dengan mene-
rapkan Ilmu Belut Menyusup Tanah hingga dua ka-
kinya menjadi licin Wiro berhasil lolos dari cekalan
bayi raksasa. Dia cepat melompat ke bawah. Begitu
menginjak tanah dengan cepat Wiro menjotos ping-
gang si bayi. Lagi-lagi karena kawatir dia sengaja
hanya mengandalkan sedikit tenaga dalam. Bayi rak-
sasa menggeliat. Memekik keras lalu memutar tubuh.
Wiro tidak memberi kesempatan. Dia kembali me-
mukul. Kali ini pukulannya ditujukan ke perut bayi.
"Bukkk!"
Bayi yang dipukul terjajar beberapa langkah,
menggerung pendek. Lalu menyeringai Wiro jadi
jengkel. Kini dia bermaksud hendak menghantam lebih keras dengan pengerahan tenaga dalam lebih ba-
nyak. Yang diarah adalah bagian bawah perut. Namun
ada rasa tidak tega.
Selagi Wiro dalam keadaan bimbang dari atas ca-
bang kiri batu Tunggul Hitam Nyi Harum Sarti mem-
buat gerakan aneh. Tubuhnya berputar ke bawah. Dua
kaki menggelantung di cabang batu Tunggul Hitam.
Dua tangan kemudian dihantamkan ke arah Wiro.
Larikan sinar hitam menderu tiada henti. Wiro me-
nangkis dengan balas melepas pukulan jarak pendek.
Namun karena dari samping kiri dia melihat bayi
raksasa siap hendak menyerangnya. Murid Datuk Rao
dan Sinto Gendeng ini dengan cepat melompat ke atas
puncak Tunggul Hitam. Dari sini dia melepas dua
pukulan. Tangan kiri lancarkan serangan Tangan
Dewa Menghantam Air Bah. Tangan kanan lepaskan
Pukulan Tangan Dewa Menghantam Api. Merasa
belum puas dengan dua pukulan sakti itu. Wiro ke-
rahkan tenaga dalam ke arah mata. Saat itu juga dari
kedua matanya melesat keluar dua larik cahaya hijau
membentuk sepasang pedang panjang menggidikkan.
Inilah ilmu kesaktian yang disebut Sepasang Pedang
Dewa. Ketiga ilmu kesaktian yang dipergunakan un-
tuk menyerang Nyi Harum Sarti didapat Wiro dari
Datuk Rao Basaluang Ameh melalui Kitab Putih Wa-
siat Dewa yang dipelajarinya secara tekun. Adapun
Ilmu Sepasang Pedang Dewa karena keganasannya
maka dia hanya boleh mempergunakan dua kali dalam
satu tahun.
Nyi Harum Sarti kembali putar tubuhnya. Kali ini
luar biasa cepat hingga tubuh itu laksana kitiran. Dua
tangan ikut berputar tak ubah seperti dua bilah pe-
dang. Tiba-tiba tubuh yang berputar pada cabang kiri
batu Tunggul Hitam melesat lepas. Menyambar ke
arah Wiro.
"Plaakk!"
Pinggiran telapak tangan kanan Nyi Harum Sarti
berhasil menghantam dada Wiro membuat Pendekar
212 mencelat hampir setengah tombak dan terhempas
ke tanah. Dadanya laksana terbelah. Sakitnya bukan
kepalang. Dalam keadaan nafas megap-megap dari
mulut sang pendekar menyembur darah segar!
Wiro menggeliat. Coba berdiri.
"Gila! Jangan-jangan dadaku sudah belah!" Wiro
usap dadanya. Begitu bisa berdiri dia cepat totok tu-
buhnya sendiri di beberapa tempat. Rasa sakit ber-
kurang dan kucuran darah serta merta berhenti.
Walau berhasil menciderai Wiro cukup parah,
namun mahluk alam roh Nyi Harum Sarti harus
membayar mahal. Salah satu dari dua serangan be-
rupa pukulan tangan kosong yang dilancarkan Wiro
menghantam dada kirinya dengan telak hingga Nyi
Harum Sarti menjerit setinggi langit. Dadanya remuk
sampai ke punggung. Selagi tubuhnya terkulai lim-
bung dan siap jatuh ke tanah, salah satu larikan sinar
hijau Sepasang Pedang Dewa memapas lehernya!
"Crasss!"
Leher putus!
Tubuh jatuh terbanting ke tanah. Setelah memijar-
kan cahaya hitam tubuh ini berubah menjadi kepulan
asap yang dengan cepat membubung ke udara.
Hal yang sama terjadi dengan kutungan kepala
berwajah cacat Nyi Harum Sarti. Kepala mahluk alam
roh ini terpelanting ke cabang kiri batu Tunggul Hitam.
Sebelum mengeluarkan pijaran cahaya hitam dan
berubah jadi asap, mulut pencong keluarkan ucapan
lantang disusul suara tawa cekikikan.
"Aku belum mati! Aku tidak kalah! Mahluk titis-
anku akan menghabisi kalian berdua! Aku akan
muncul lagi! Hik... hik...hik!"
Kutungan kepala melesat ke udara, berpijar hitam,
berubah jadi asap dan melesat di udara. Di satu ke-
tinggian kepulan asap hitam yang berasal dari tubuh
dan kepala mahluk alam roh Nyi Harum Sarti berga-
bung satu sama lain. Sesaat kemudian di udara
tampak sosok utuh Nyi Harum Sarti. Mahluk jejadian
ini melesat ke arah langit dan lenyap dari peman-
dangan.
Bayi titisan Ken Permata keluarkan teriakan keras.
Gigi besar dan taring panjang mencuat keluar. Walau
sampai saat itu tidak satu patah katapun keluar dari
mulutnya namun jelas dia menaruh amarah terhadap
Wiro. Dengan sebat dia melompat menyergap sang
pendekar.
Sekarang kita Iihat pertarungan yang terjadi antara
Datuk Rao Basaluang Ameh dengan sang kekasih di
masa muda yaitu Laras Parantili. Datuk Rao berkali-
kali berteriak agar Laras Parantili hentikan serangan,
hentikan pertarungan.
"Laras! Mahluk roh yang menjadi sahabatmu itu
sudah musnah! Hentikan serangan! Mari kita bicara!"
Teriak Datuk Rao sambil kibaskan seruling emas
menangkis serangan lawan. Walau si nenek menye-
rang mengandalkan tangan kosong namun dua ta-
ngannya tidak beda seperti dua batangan besi keras.
Setiap terjadi bentrokan tangan dengan seruling ter-
dengar suara berdentrangan dan bunga api bewarna
kuning berpijar di udara, Lama-lama sang datuk me-
rasa kawatir suling saktinya akan menjadi rusak.
Maka seperti tadi dia mengulangi teriakannya, ber-
usaha membujuk Laras Parantili. Hanya sayang yang
dibujuk semakin beringasan dan memperhebat gem-
puran!
"Kalau sahabatku musnah apa kau kira aku takut
menghadapi kalian sendirian?! Saat ini aku yang telah
menjadi pewaris tunggal kerajaan Laut Utara sebelum
aku serahkan pada Ken Permata lima belas tahun di
muka!"
Datuk Rao Basaluang Ameh terkesiap mendengar
ucapan Laras Parantili. Begitu juga Pendekar 212 Wiro
Sableng yang ikut mendengar. Jadi inilah alasan si
nenek mengapa dia melindungi terjadinya penitisan
dan berpihak pada mahluk roh Nyi Harum Sarti. Dia
ingin memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Laut
Utara! Lupa dia sudah berapa usianya!
"Laras! Kau telah berbuat keliru! Pemegang tahta
Kerajaan Laut Utara adalah Ayu Lestari! Nyi Harum
Sarti Ratu palsu yang merampas tahta dari Ayu Les-
tari!"
"Tua bangka tolol! Tutup mulutmu! Mari kita ber-
tarung sampai seribu jurus! Saat ini juga harus di-
tentukan aku atau kau yang bakalan menemui ajal!"
"Laras, sadar dan bertobatlah! Kalau kau mau
mengikuti nasihatku aku berjanji kita akan bisa hidup
bersama. Jika kau suka kita akan melakukannya
mulai hari ini melalui pernikahan yang syah! Segala
sesuatunya belum terlambat."
Laras Parantili tertawa panjang. Hidung men-
dengus, mulut dipencongkan. Lontarkan seringai
mengejek pada sang Datuk.
"Tua bangka tak tahu diri. Kau mimpi setengah
jalan Datuk! Kambing saja tidak sudi kawin dengan-
mu, apalagi aku! Kau boleh kawin dengansetan hantu
pelayangan!" teriak Laras Parantili lalu kembali
menggempur si kakek
Setan perempuan kurang ajar! Beraninya kau
menghina guruku!" Teriak Pendekar 212 Wiro Sableng
yang menjadi marah besar mendengar ucapan sangat
menghina yang dikeluarkan si nenek. "Aku bersumpah
akan membuatmu malu seumur hidup saat ini juga!
Kau yang akan aku buat jadi kambing betina! Kalau
perlu aku cabuti seluruh bulu di tubuhmu!"
Begitu berteriak Wiro berkelebat ke arah Laras
Parantili yang saat itu tengah menggempur Datuk Rao
dengan serangan tangan kosong, pukulan berantai.
Karena sang datuk melawan setengah hati mengingat
kecintaannya pada si nenek maka tak urung dua
pukulan lawan bersarang di dada dan satu lagi
menghajar telak keningnya hingga bengkak lebam
sampai ke mata. Pada saat itulah Wiro menyergapnya
dari belakang. Lalu breett! Brett! Punggung pakaian
sampai ke pinggang dan malah sampai ke bagian lebih
bawah yaitu celana panjang hitam si nenek robek
besar, merosot ke bawah!
Laras Parantili memekik keras. Datuk Rao berseru
kaget. Selagi si nenek kelabakan menutupi auratnya
sebelah belakang, Wiro bertindak lebih gila.
"Tua bangka bermulut comberan! Makan tanganku
ini!"
"Plaak! Plaakk!"
Wiro tampar pipi Laras Parantili kiri kanan, Selagi si
nenek sempoyongan Wiro ulurkan tangan kiri.
Breetttt! Dia tarik pakaian si nenek mulai dari dada
sampai ke bawah. Kini keadaan si nenek yang pa-
kaiannya robek depan belakang nyaris bugil!
"Kambing betina bugil! Rasakan kau sekarang!"
ucap Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Laras Parantili menjerit sekali lagi. Dengan nekad
perut Pendekar 212 hingga Wiro terpental dan jatuh
duduk di tanah. Mulutnya mengeluarkan suara seperti
mau muntah tapi yang keluar semburan darah! Dalam
keadaan seperti itu walau dia ingin sekali menghabisi
Wiro namun Laras Parantili tidak sanggup menahan
malu. Nenek ini putar tubuh, lalu seeepat kilat ber-
kelebat tinggalkan pedataran Tunggul Hitam.
Sebelum jatuh terguling ke tanah Wiro masih
sempat berbuat jahil, menjambret pinggang celana
panjang hitam Laras Parantili. Sekali tarik saja maka
tanggallah celana yang sudah tidak karuan rupa itu!
Kutuk serapah menghambur dari mulut Laras Pa-
rantili. Rasa malu luar biasa membuat si nenek me-
mang tidak sanggup bertahan lebih lama di tempat itu.
Sekali berkelebat dia sudah lenyap dari pedataran
Tunggul Hitam!
“Wiro, tidak seharusnya kau berbuat begitu…" kata
Datuk Rao Basaluang Ameh sambil menyeka darah
yang mengucur dari luka di keningnya.
Wiro tak bisa menjawab. Tubuhnya terkapar terte-
lentang. Perut sakit sekali seperti mau pecah akibat
tendangan Laras Parantili tadi. Dada laksana terbelah
oleh hantaman pinggiran tangan kanan Nyi Harum
Sarti. Darah masih mengucur dari mulutnya. Datuk
Rao membungkuk, berusaha menolong Wiro berdiri.
Namun saat itu dari belakang melompat bayi raksasa
Ken Permata.
"Datuk, awas... !"
Wiro berteriak. Namun suaranya begitu lemah dan
peringatannya agak terlambat. Saat itu tendangan bayi
raksasa telah menghantam pantat sang Datuk, Orang
tua ini mencelat sampai dua tombak. Wiro berusaha
menyambuti tubuh itu tapi malah ikut terpental dan
terguling di tanah lalu sama-sama terbujur berdam-
pingan.
Bayi raksasa menyeringai. Memekik keras lalu
melompat dan berdiri di antara kedua orang yang be-
rada dalam keadaan tak berdaya itu . Dia berpaling ke
kiri dan ke kanan seolah-olah mau memilih. Yang
mana antara Wiro dan sang Datuk yang akan dihabisi
lebih dulu, Ternyata bayi titisan roh jahat Nyi Harum
Sarti ini memilih ke dua-duanya. Kaki kanan diangkat,
siap diinjakkan ke kepala Pendekar 212 Wiro Sableng.
Bersamaan dengan itu tangan kanan bergerak mele-
pas pukulan maut bernama Tiga Tombak Utara
Memantek Nyawa. Ilmu kesaktian ini adalah yang
didapat Ken Permata dari penitisan yang dilakukan Nyi
Harum Sarti. Cahaya hitam berkiblat, lalu memecah
menjadi tiga larikan berbentuk tiga kepala tombak,
melesat ke arah kepala, dada dan perut Pendekar 212!
"Datuk, aku tidak pernah mengira akan mati ber-
sebelahan dengan dirimu!" ucap Wiro.
"Muridku! Jangan pasrah putus asa!" teriak Datuk
Rao Basaluang Ameh. "Tangkis dengan Pukulan Ha-
rimau Dewa! Aku akan membantu dengan aliran te-
naga dalam!"
Lalu Datuk Rao Basaluang Ameh pukulkan telapak
tangan kanannya ke tanah. Saat itu juga dari tangan
itu mengalir keluar tenaga dalam dan hawa sakti,
langsung masuk ke dalam tubuh Wiro. Tidak me-
nunggu lebih lama Pendekar 212 segera tiup tangan
kanannya. Saat itu juga pada telapak tangan itu
muncul gambar harimau putih bermata hijau. Wiro
lalu dorongkan tangan kanan ke arah datangnya se-
rangan yang dilepas oleh bayi raksasa. Dari telapak
tangan kanan Wiro mencuat keluar suara deru angin
luar biasa dahsyat disertai suara gerengan harimau.
"Trang...trang!"
Dua kepala tombak hitam mencelat mental hancur
berkeping-keping. Tapi celakanya kepala tombak ke
tiga dari Tiga Tombak Laut Utara Memantek Nyawa
masih bisa lolos. Menderu tepat ke arah jantung
Pendekar 212!
EMPAT BELAS
SEKEJAP lagi ujung tombak
ke tiga akan menancap di
dada dan menembus
sampai ke jantung Pendekar 212
tiba-tiba satu benda putih me-
layang di udara disertai deru
angin sangat kencang.
Lalu terdengar ada perem-
puan berteriak. "Kemuning! Ada
bayi aneh hendak membunuh
ayahmu!"
Bersamaan dengan meng-
gemanya suara teriakan maka
dua larik sinar putih berkiblat di
udara.
"Traangg!"
Tombak Laut Utara Memantek Nyawa yang siap
menghabisi riwayat Pendekar 212 patah berkeping-
keping, mencelat ke udara. Di pedataran kini tampak
harimau putih sakti Datuk Rao Bamato Hijau. Bina-
tang ini lari menghampiri Wiro, lalu berdiri dengan
sikap melindungi sang pendekar. Tak jauh dari situ
berdiri Nyi Retno Mantili dengan mata berkilat sambil
pegangi boneka kayu. Dia melirik sebentar ke arah
Wiro lalu alihkan pandangan pada bayi raksasa yang
juga tengah menatap ke arahnya dengan pandangan
aneh
Tiba-tiba Nyi Retno Mantili berteriak keras. Tangan
kanan yang memegang boneka kayu diangkat dituju-
kan pada bayi raksasa. Lima jari memencet keras. Dua
larik sinar putih Pukulan Sepasang Cahaya Batu
Kumala berkiblat ke arah bayi raksasa.
"Nyi Retno! Jangan menyerang bayi raksasa! Dia
anakmu!" teriak Wiro. Lalu seperti mendapat satu
kekuatan Wiro melompat. Da masih sempat men-
dorong tangan kanan Nyi Retno Mantili ke atas hingga
dua larik cahaya putih yang mengarah pada bayi
raksasa bergeser jauh dari sasaran.
"Kemuning! Ayahmu pasti sudah gila menolong
mahluk aneh yang hendak membunuhnya!" teriak Nyi
Retno Mantili.
"Nyi Retno, tenang. Dengar baik-baik, Bayi besar
perempuan itu bukan musuhku, bukan pula mu-
suhmu. Dia adalah anakmu Ken Permata!"
Nyi Retno Mantili menatap Wiro sejenak lalu ter-
tawa cekikikan.
"Gilamu kumat lagi! Aku tidak kenal siapa itu Ken
Permata! Aku tidak pernah merasa punya anak ber-
nama Ken Permata. Anakku dia! Kemuning!" Nyi Retno
Mantili acungkan boneka kayu ke arah Wiro.
Bagaimana kejadiannya Nyi Retno Mantili bisa
sampai ke pedataran Tunggul Hitam dibawa oleh ha-
rimau putih sakti? Seperti diceritakan sebelumnya
Datuk Rao telah melepas totokan di tubuh perempuan
itu lalu membuatnya tertidur dan baru akan terban-
gun kalau mereka kembali ke Danau Maninjau. Ter-
nyata Nyi Retno Mantili bangun lebih cepat dari yang
diduga. Perempuan ini langsung berteriak-teriak
mencari Wiro.
Mande Saleha yang ketakutan akan terjadi apa-apa
meminta harimau putih untuk membawa Nyi Retno
"Hik...hik! Orang tua ini pandai sekali bercerita.
Tapi sebagian ceritanya dusta!" Nyi Retno Mantili ke-
luarkan ucapan sambil usap-usap wajah boneka kayu.
"Kalau aku dusta, aku minta maat padamu Nyi
Retno. Tapi ceritaku yang mana yang kau anggap
dusta?" tanya Datuk Rao sambil kini tangannya
mengusap kepala Nyi Retno Mantili dan kembali
mengalirkan hawa sakti sejuk.
Nyi Retno kibaskan tangan yang mengusap kepa-
lanya.
"Wiro ayah Kemuning saja tidak pemah memegang
kepalaku. Kau yang aku tidak kenal siapa berani-
beraninya..."
Datuk Rao tersenyum.
"Nyi Retno, maafkan kalau aku yang tua ini telah
berlaku lancang. Selama ini aku begitu dekat dengan
puterimu Ken Permata. Aku telah menganggap dirinya
sebagai cucu sendiri. Dan kau aku anggap sebagai
anak. Namun..."
"Orang di tempat ini gila semua rupanya!" Kata Nyi
Retno Mantili dengan muka cemberut. "Aku sudah
bilang tidak pernah punya anak, punya bayi atau
puteri bernama Ken Permata!"
Wiro menggaruk kepala. Datuk Rao masih terse-
nyum. Keduanya berpaling ke arah batu Tunggul Hi-
tam. Mereka melihat kejadian aneh. Bayi raksasa Ken
Permata yang tadi begitu ganas hendak membunuh
Wiro kini duduk diam menjelepok di tanah. Sepasang
matanya tidak lagi beringas tapi menatap sayu tak
berkesip ke arah Nyi Retno Mantili.
"Wiro, apakah kau melihat satu keanehan pada
pandangan mata bayi itu...? Dia seperti mengharap-
kan sesuatu, mendambakan sesuatu..."
"Benar Datuk. Saya dapat merasakan..." jawab
Wiro. "Anak itu sepertinya merasa ada getaran batin
dalam dirinya. Mungkin Yang Maha Kuasa tengah
memberikan satu petunjuk padanya... Mungkinkah
bayi itu punya rasa kalau Nyi Retno Mantili adalah ibu
kandungnya..."
Datuk Rao terdiam mendengar ucapan Wiro. Dia
tidak menyangka si pemuda mempunyai perasaan
yang begitu halus hingga menangkap getaran batin
antara sang bayi dengan ibunya. Datuk Rao berpaling
pada Nyi Retno.
"Nyi Retno, kau belum menjawab ceritaku yang
mana yang kau katakan dusta."
Nyi Retno Mantili timang-timang boneka kayu be-
berapa ketika lalu menjawab.
"Aku tidak pernah kawin dengan orang bernama
Wira Bumi. Aku tidak pernah punya anak bernama
Ken Permata. Itu kedustaanmu orang tua. Tapi kau
tidak dusta soal pembantuku yang bernama Djaka-
Tua. Eh, apa kau tahu kalau pembantuku itu sudah
mati digantung orang-orang Kerajaan?"
Datuk Rao mengangguk. "Nasibnya malang sekali.
Semoga Tuhan memberikan tempat yang paling baik
baginya di alam akhirat.”
Nyi Retno memandang berkeliling. Dia tertawa ce-
kikikan ketika melihat bayi raksasa perempuan yang
duduk menjelepok di tanah di depan batu Tunggul
Hitam. Lalu perempuan ini berkata pada boneka kayu.
"Kemuning, kau lihat bayi besar itu. Lucu sekali.
Makannya pasti sepuluh bakul! Hik...hik...hik!" Nyi
Retno kemudian berkata pada Wiro. "Aku tidak suka
kau membawaku ke sini. Perlu apa? Di mana ini? Aku
ingin kembali ke tanah Jawa. Aku ingin menemui
Sandaka...
"Nyi Retno, kau dan Wiro akan segera kembali ke
tanah Jawa. Sebelum pergi apakah kau tak ingin
memegang atau mengusap kepala bayi raksasa ini?"
tanya Datuk Rao pula.
"Ihh... Perlu apa aku mengusap kepalanya. Lihat,
giginya besar-besar. Calingnya panjang runcing. Bisa-
bisa nanti aku digeragotnya!"
"Bayi ini bayi baik. Dia tidak akan berbuat jahat
padamu. Dia sebaik anakmu Kemuning. Karena se-
benarnya dia dan Kemuning masih barsaudara." Kata
Wiro pula.
"Geblek! Mana mungkin Kemuning bersaudara
dengan bayi aneh itu!" kata Nyi Retno Mantili.
"Nyi Retno, tidakkah kau menyadari? Bayi besar itu
dari tadi memandangmu. Dia akan sangat bahagia
kalau kau mengusap kepalanya..."
"Kalian berdua sama rewelnya. Baiklah aku akan
mengusap kepala bayi bercaling itu. Tapi satu kali
saja!"
"Satu kalipun tak jadi apa Nyi Retno. Mari kugen-
dong agar kau bisa mengusap kepalanya." Wiro lalu
mendukung Nyi Retno Mantili di bahu kanannya. Agak
takut-takut dia kemudian membawa perempuan itu ke
hadapan bayi raksasa. "Nah, sekarang ulurkan ta-
nganmu. Usap kepalanya..."
Nyi Retno tidak segera melakukan apa yang dika-
takan Wiro sementara Datuk Rao memperhatikan
dengan perasaan cemas. Persentuhan lahir merupa-
kan kunci dari persentuhan batin. Dengan kunci itu-
lah Datuk Rao akan coba membuka ingatan Nyi Retno
kembali. Bayi besar sendiri yang kini benar-benar
berubah sikapnya dongakkan kepala, menatap Nyi
Retno MantiIi. Wiro pegang lengan Nyi Retno. "Usap
Nyi Retno, usap kepalanya. Sesudah itu kita akan
meninggalkan tempat ini. “
Nyi Retno Mantili akhirnya ulurkan tangan kanan.
Telapak tangan diletakkan di atas rambut bayi raksasa
lalu dia mengusap satu kali. Saat itu juga terjadi satu
keanehan. Nyi Retno Mantili terpekik. Wiro dan Datuk
Rao keluarkan seruan tertahan. Bayi besar yang me-
nyeramkan itu begitu diusap satu kali kepalanya oleh
Nyi Retno Mantili tiba-tiba berubah kembali menjadi
bayi sebesar aslinya yakni Ken Permata seusia kurang
dari dua tahun. Gigi besar dan taring di dalam mu-
lutnya lenyap! Begitu berubah bayi ini langsung me-
nangis. Dua tangan diulurkan ke arah Nyi Retno
Mantili. Nyi Retno bersurut mundur.
"Nyi Retno, bayi itu suka padamu. Dia minta di-
gendong." kataWiro.
"Aku tak mau menggendongmu! Kau bukan Ke-
muning! Kau bukan anakku!" Kata Nyi Retno pula.
"Nyi Retno, gendonglah barang sebentar. Sampai
dia berhenti menangis. Kelihatannya dia suka pada-
mu, juga suka pada Kemuning..." Berkata DatukRao.
"Aku tidak mau. Aku takut Kemuning marah... "
"Tidak, Kemuning tidak akan marah. Malah Iihat.
Kemuning ingin menciumnya..." Wiro lalu menarik
boneka kayu yang dipegang Nyi Retno Mantili dan
menempelkan wajah boneka kayu itu di pipi Ken
Permata. "Nah, apa kataku! Kemuning tidak marah.
Lihat, Kemuning malah tertawa-tawa."
Nyi Retno Mantili tersenyum.
"Boneka ini lucu juga. Siapa namanya?" Tanya Nyi
Retno.
"Dia bukan boneka. Dia manusia sungguhan. Na-
manya Ken Permata. Bayi cantik. Milikmu...”
"Milikk
"Benar Nyi Retno. Dia milikmu. Apakah kau mau
membawanya serta ke tanah Jawa?"
Nyi Retno menggeleng. "Tidak. Nanti merepotkan
saja..."
"Dia anak baik. Dia akan jadi teman bermain Ke-
muning. Sekarang gendonglah. Sebentar saja…"
"Dia cengeng! Dari tadi menangis terus."
"Itu karena dia kepingin kau gendong, Nyi Retno."
kata Datuk Rao.
Wiro gendong bayi kecil Ken Permata lalu diulurkan
pada Nyi Retno Mantili. Nyi Retno diam saja. Tapi
matanya menatap wajah bayi cantik yang menangis
itu. Sepasang mata mereka saling beradu pandang.
Sepasang mata ibu dan anak. Nyi Retno sisipkan bo-
neka kayu ke punggung pakaiannya. Lalu perla-
han-lahan perempuan ini ulurkan tangan.
"Aku tak mau menggendong lama-lama. Aku akan
menggendong sebentar saja." Ucap Nyi Retno Mantili.
Begitu si bayi berada dalam dukungan Nyi Retno
Mantili, satu cahaya hitam melesat keluar dari tubuh
Ken Permata.
"Roh titisan meninggalkan tubuh bayi itu..." bisik
Datuk Rao pada Wiro. "Kekuatan kasih sayang sang
Ibu memusnahkan semua kejahatan yang ada dalam
tubuh bayi itu..."
"Tapi apakah Nyi Retno bisa kembali waras. Bisa
menyadari kalau Ken Permata adalah anak kandung-
nya?"
"Kita tunggu saja. Aku merasa sesuatu akan terja-
di…" jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. "Bantu aku
berdoa pada Yang Maha Kuasa."
Wiro dan Datuk Rao memperhatikan. Nyi Retno
Mantili yang tadi hanya mau mendukung si bayi se-
bentar saja kini ternyata masih terus mendekapnya
sementara si bayi memeluknya sambil menangis. Dua
jantung saling balas berdetak. Dua aliran darah saling
menggetarkan rasa. Ketika Nyi Retno Mantili meng-
angkat kepalanya, Wiro dan Datuk Rao melihat ba-
gaimana sepasang mata bening perempuan cantik
bertubuh mungil itu kini tampak berkaca-kaca.
"Nyi Retno, apakah kau sudah puas meng-
gendongnya? Kalau sudah serahkan kembali bayi itu
padaku." Kata Datuk Rao pula yang sebenarnya ingin
menjajagi hati dan perasaan Nyi Retno Mantili.
"Aku masih ingin menggendongnya. Dia anak baik.
Hatiku merasa tenteram saat memeluknya. Siapa
nama bayi ini...?"
"Ken Permata," jawab Wiro.
"Bayi ini..." Nyi Retno usap wajah si bayi yang basah
oleh air mata. "Bayi ini..." Nyi Retno memandang ke
arah Wiro. "Katamu dia bayiku. Anakku. Kau…kau
tidak dusta?"
"Tidak Nyi Retno, aku tidak berdusta."
Nyi Retno berpaling pada Datuk Rao. Orang tua ini
cepat berkata. "Aku juga tidak berdusta. Bayi bernama
Ken Permata itu adalah anak yang lahir dari rahimmu
dan pernah lenyap sewaktu diselamatkan oleh pem-
bantumu..."
"Nyi Retno, coba kau perhatikan.” Kata Wiro pula.
"Cantiknya bayi itu sama dengan cantiknya wajahmu.
Hidung, alis serta bibirnya juga sama denganmu..."
Nyi Retno terdiam. Diam memandang ke arah ke-
jauhan seperti coba merenung. Perlahan-lahan ingat-
an masa silam sedikit demi sedikit muncul mem-
bayang dalam benaknya. Namun memang tidak mu-
dah mengembalikan kewarasan seseorang yang per-
nah hilang dan telah menderita selama hampir dua
tahun hanya dengan cerita walau saat itu dia melihat
sendiri sang bayi.
"Lalu Kemuning?"
Wiro menggaruk kepala. Saling pandang dengan
Datuk Rao.
"Kemuning saudara Ken Permata. Keduanya sa-
ma-sama anakmu, Nyi Retno.” Datuk Rao yang bicara.
"Jadi aku punya dua anak?"
"Betul..." jawab Wiro.
"Dua-duanya perempuan?"
"Betul.." Menyahuti sang Datuk.
"Dan kau ayahnya juga? Ayah Kemuning dan ayah
Ken Permata?"
Wiro menggaruk kepala. "Benar, aku ayah mere-
ka..."
"Aku punya dua anak... Aku gembira..." Nyi Retno
tertawa sebentar lalu menangis. Wajahnya berubah
tidak seperti biasa. Pandangan matanya juga kini lain.
Suara dan nada ucapannya jauh berbeda.
"Ya Allah, turunkan rakhmatmu. Beri kesembuhan
pada perempuan ini," ucap Datuk Rao dalam hati
sambil mengucapkan istigfar berulang kali.
"Wiro, aku mau membawa anak-anakku pulang ke
tanah Jawa. Aku, aku juga ingin melihat Sandaka.
Akan aku katakan padanya kalau aku sebenarnya
punya dua anak. Ken Permata dan Kemuning. Dulu
dia hanya tahu kalau aku cuma punya satu orang
anak. Kemuning ini..." Nyi Retno lalu mengambil bo-
neka kayu yang disisipkannya di punggung pakaian.
Lama dia menatap boneka kayu itu sementara air mata
jatuh bercucuran. Boneka kayu kemudian dicium
berulang kali.
"Wiro, Nyi Retno belum sembuh sempurna. Tapi
wajah, sikap serta bicaranya menunjukkan sudah
jauh berubah. Kau harus segera membawanya ke ta-
nah Jawa. Bawa dia pulang ke tempat kediamannya.
Jika dia melihat semua benda atau tempat, apa saja
yang ada di masa lalunya, kiranya itu akan membawa
kesembuhan yang lebih cepat dalam dirinya."
"Saya akan melakukan apa yang Datuk katakan.
Bisakah saya membawa mereka sekarang juga? Saya
butuh bantuan sahabat Datuk Rao Bamato Hijau..."
Baru saja Wire mengucapkan kata-kata itu harimau
putih bermata hijau segera mendatangi lalu runduk-
kan tubuh di depan Wiro dan Nyi Retno Mantili.
GUBUK tua dalam rimba belantara tak jauh dari
jurang batu pualam. Manusia Paku Sandaka terbaring
di lantai gubuk, ditemani Denok Tuba Biru.
"Aku mendengar suara sesuatu melayang di udara.
Mendatangi ke arah gubuk ini..." kata Sandaka. Baru
saja dia berucap tiba-tiba ada sahutan.
"Sahabat, kami memang sudah sampai di sini!"
Lalu seekor harimau putih besar muncul, meng-
gereng perlahan di depan gubuk, ditunggangi Wiro, Nyi
Retno Mantili, Ken Permata dan boneka kayu Ke-
muning. Tentu saja Sandaka dan si gembrot Denok
Tuba Biru merasa gembira. Ternyata Wiro dan Nyi
Retno hanya pergi kurang dari dua hari.
"Sahabat berdua, aku gembira bisa bertemu lagi
dengan kalian. Bagaimana keadaan kalian?” Sandaka
dan Denok Tuba Biru terheran-heran. Ada perubahan
pada diri perempuan mungil ini.
"Sakit pada punggungku sudah jauh berkurang.
Jika dipaksakan rasanya aku sudah bisa duduk..."
Jawab Sandaka.
"Bayi cantik ini, apakah dia yang bernama Ken
Permata?" tanya Denok Tuba Biru sambil mengusap
pipi merah si bayi.
Yang menjawab Nyi Retno sendiri. "Benar, dia
anakku. Sekarang aku punya dua anak. Ken Permata
dan Kemuning."
Sandaka tertawa. Berpaling ke arah Wiro dan
memberi isyarat agar Wiro mendekat. Lalu Sandaka
berbisik.
"Apakah Nyi Retno mengalami kesembuhan setelah
bertemu bayinya?"
Wiro mengangguk dan diam-diam merasa sedih
karena dengan kesembuhan Nyi Retno berarti paku-
paku yang ada di kepala dan tubuh Sandaka tidak
dapat dilenyapkan.
"Sekarang otaknya sudah waras, tidak gila lagi?"
Sandaka bertanya lagi ingin meyakinkan.
"Benar," jawab Wiro.
"Aku bersyukur..."
"Sandaka walau aku gembira ada kesembuhan
pada diri Nyi Retno Mantili, tapi aku sedih mengingat
keadaan dirimu. Berarti syarat untuk melenyapkan
tiga puluh paku di tubuhnya tidak mungkin dilaksa-
nakan. Tapi biar semua kita serahkan pada Yang
Kuasa Gusti Allah."
"Aku juga sudah pasrah. Ini semua sudah kehen-
dak Yang Kuasa. Sudahtakdir..."
"Tapi bagaimana kalau aku bicara dulu dengan Nyi
Retno Mantili. Lalu menanyakan padanya apakah dia
masih bersedia nikah denganmu?"
Sandaka tertawa."Waktu tidak waras saja dia tidak
mau nikah denganku. Apa lagi setelah waras, Kau ini
mau membanyol yang tidak-tidak saja."
"Kau tunggu saja di sini. Aku akan menemuinya.
Aku akan bicara dulu dengannya. Kau berdoa saja di
sini...”
"Kalau ada Malaikat mendengar ucapanmu, Ma-
laikat pasti tertawa." Kata Sandaka pula.
"Ssttt. Jangan sebut-sebut Malaikat. Setahuku
Malaikat itu tidak pernah tertawa. Tapi mampu
memberikan rakhmat pada manusia. Nah, kau tunggu
di sini..."
Wiro lalu membawa Nyi Retno Mantili keluar gubuk.
Keduanya bicara cukup lama. Ketika akhirnya Wiro
masuk kembali ke dalam gubuk bersama Nyi Retno
Sandaka berusaha tenang walau hatinya sebenarnya
sangat cemas. Apalagi dilihatnya Wiro berulang kali
menggelengkan kepala.
Sesaat kemudian Wiro, Nyi Retno Mantili yang
menggendong Ken Permata dan membawa boneka
kayu, serta Tuba Biru sudah duduk di samping San-
daka. Wiro mengusap wajah berulang kali, menggaruk
kepala tiada henti, menambah kecemasan yang ada
dalam diri Sandaka.
"Sahabatku," Wiro mulai bicara. "Aku hanya mela-
kukan apa yang aku bisa. Selebih dari itu semuanya
berada di tangan Gusti Allah."
Sandaka merasa benar-benar putus harapan. Dia
menatap ke atap gubuk. Berusaha mengendalikan pe-
rasaan hingga tubuhnya bergetar dan dadanya turun
naik.
"Aku mengerti Wiro, kau sahabat baik. Aku sangat
berterima kasih padamu. Manusia tidak bisa menolak
kehendak Yang Kuasa." Berucap Sandaka dengan
suara bergetar.
"Benar sahabatku. Manusia tidak bisa menolak
kehendak Yang Kuasa." Jawab Wiro. Lalu dia berpaling
pada Nyi Retno Mantili. "Nyi Retno, sampaikan pada
sahabatku Sandaka apa yang hendak kau katakan."
Nyi Retno Mantili usap kepala boneka kayu lalu
membelai rambut Ken Permata. Matanya kemudian
menatap ke arah Sandaka. Tapi mulutnya tidak
mengeluarkan ucapan apa-apa.
Wiro jadi garuk kepala.
"Nyi Retno. Kau sudah berjanji tadi. Sekarang ka-
takan saja..."
Setelah masih diam beberapa lama akhirnya Nyi
Retno Mantili berkata.
"Sandaka, aku bersedia dinikahkan dan menjadi
istrimu."
Kejut Manusia Paku Sandaka Arto Gampito bukan
alang kepalang. Si gembrot Denok Tuba Biru terpe-
rangah. Saking kaget dan juga gembiranya Sandaka
tiba-tiba berteriak keras. Lupa akan sakit di pung-
gungnya pemuda ini melompat ke atas hingga men-
jebol atap gubuk. Ketika dia menjejakkan kaki di ha-
laman, tiga puluh paku yang menancap di kepala,
wajah serta sekujur tubuhnya telah lenyap! Kuasa
Tuhan memang di atas segala-galanya. Walau Nyi
Retno Mantili kini sudah berubah menjadi orang waras
namun keikhlasannya untuk bersedia menjadi istri
Sandaka membuat pemuda ini tetap mendapat ke-
sembuhan.
Perlahan-lahan Sandaka jatuhkan diri berlutut lalu
bersujud di tanah. Mulutnya berucap.
"Terima kasih Gusti Allah. Terima kasih atas per-
tolongan-Mu hingga saya mendapatkan kesembuhan.
Saya berjanji akan mengasihi dan menjaga baik-baik
istri saya, Nyi Retno Mantili. Saya berjanji akan me-
nyayangi dua anaknya, Ken Permata dan boneka kayu
Kemuning..."
Pada saat Sandaka jatuhkan diri berlutut, Nyi
Retno Mantili cepat-cepat keluar dari dalam gubuk
yang atapnya sudah jebol. Wiro segera mengikuti. Tapi
Denok Tuba Biru cepat memegang tangannya.
"Wiro, sekarang giliranku untuk mengatakan
bahwa aku bersedia kau nikahi dan menjadi istrimu..."
"Apa?!" Dua mata Pendekar 212 mendelik besar.
Si gembrot Denok Tuba Biru tertawa gelak-gelak
lalu enak saja merangkulkan dua tangannya ke bahu
sang pendekar hingga bulu ketiaknya yang lebat ber-
sembulan menyentuh leher Wiro, membuat murid
Sinto Gendeng merinding kegelian!
TAMAT
Episode Selanjutnya:
KUPU-KUPU GIOK NGARAI SIANOK
0 komentar:
Posting Komentar