BTemplates.com

Blogroll

Kamis, 14 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE BAYI SATU SURO


Bayi Satu Suro


 

BAYI SATU SURO 

 

Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara perhatikan air di dalam 

nampan. Lalu berkata ” Nyai Tumbal Jiwo, Patih Wira Bumi, jika 

memang kalian inginkan bayi itu, sebelum tengah hari besok kita 

akan mendapatkannya. Ada petunjuk bayi itu akan dibawa ke tanah 

Jawa.Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau 

menunggu sampai bayi berada di tanah Jawa." 

Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami 

ingin pekerjaan ini dilakukan sekarang juga." Kata Nyai Tumbal Jiwo. 

Nyi Kuncup Jingga menghadap lurus-lurus ke arah Nyai Tumbal 

Jiwo dan Patih Wira Bumi. "Sebagai jaminan kalian tidak berdusta 

dan tidak akan melanggar janji, atas nama Sri Paduka Ratu maka 

Patih Kerajaan selaku yang berkepentingan harus menyerahkan 

mata kirinya!" NyaiTumbal Jiwo tersurut satu langkah. Patih Wira 

Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya. 

* *


SATU


PESTA besar yang diadakan Wira Bumi di Gedung Kepatihan di 

maksudkan untuk tanda syukur atas pengangkatan dirinya sebagai 

Patih Kerajaan berubah menjadi malapetaka. 

Ditemani Pendekar 212 Wiro Sableng, Nyi Retno Mantili berhasil 

menyusup ke tempat pesta. Meskipun Wiro dapat mencegah Nyi 

Retno Mantili membunuh Patih Kerajaan yang adalah suaminya 

sendiri, namun tiga orang menemui ajal. Korban pertama adalah 

Cagak Lenting alias Si Mata Elang. 

Seperti diceritakan sebelumnya takoh silat ini adalah orang yang 

membunuh DjakaTua pengasuh Kemuning, boneka yang dalam 

otaknya yang tidak waras dianggap seperti bayinya sendiri oleh Nyi 

Retno Mantili. Cagak Lenting dihantam dengan ilmu Sepasang 

Cahaya Batu Kumala.Yaitu dua larik sinar putih yang keluar dari 

sepasang mata boneka kayu. Mayatnya dilempar ke panggung 

pertunjukan, disaksikan orang banyak hingga menimbulkan 

kegegeran besar. 

Korban kedua dan ketiga adalah Perwira Tinggi Suko Daluh dan 

tokoh adat Istana Ki Mulur Jumena. Keduanya juga tewas di tangan 

Nyi Retno Mantili.Wira Bumi yang merasa ilmu kesaktian yang telah 

di dapatnya tidak mampu berbuat banyak karena dia masih belum 

berhasil membunuh bayi yang dilahirkan Nyi Retno Mantili, malam


itu juga menghubungi Nyai Tumbal Jiwo. Sang guru ternyata tidak 

bisa muncul, hanya mengirimkan suara mengiang. 

Nenek dari alam roh itu memberi tahu bahwa akibat kekalahannya 

sewaktu bertarung melawan Purnama, ujud rohnya tercabik-cabik 

dan dia baru mampu memperlihatkan diri kembali setelah 120 hari. 

Untuk melindungi murid dan sekaligus kekasih budak nafsunya itu 

Nyai Tumbal Jiwo memasukkan lewat dubur sebuah paku sakti ke 

dalam tubuh Wira Bumi yang konon disebut Paku Merah 

Penyumbat Bala. Wira Bumi juga dinasihatkan agar untuk 

sementara pergi dulu mengamankan diri ke Goa Girijati di pantai 

selatan. 

* * * 

DUA hari kemudian, saat malam menjelang pagi, masih gelap dan 

dingin.Tiga kuda besar berlari cepat rnenunju pantai selatan. Kuda di 

sebelah depan penunggangnya adalah Patih Kerajaan Wira Bumi. 

Kuda kedua di samping kanan ditunggangi searang kakek berjubah 

ungu, berkulit hitam keling, dikenal sebagai tokoh silat lstana 

bernama Ki Luwak Ireng. Kuda ke tiga berada di sebelah belakang, 

ditunggangi lelaki muda bertubuh tegap kekar bernama Bantarangin, 

diketahui sebagai Kepala Pengawal Gedung Kepatihan. 

Di satu kelokan jalan Wira Bumi berpaling pada Ki Luwak Ireng, 

memberi isyarat dengan gerakan kepala. Lalu hentikan kuda, diikuti 

dua orang lainnya. 

"Saya sudah tahu Kanjeng Patih Ada orang mengikuti kita." Ucap Ki 

Luwak Ireng. "Jika Kanjeng Patih mengizinkan ..."'


"Aku mencium bahaya ...." potong Wira Bumi. 

Kepala Pengawal Gedung Kepatihan Bantarangin cepat mengambil 

keputusan. "Kanjeng Patih dan Ki Luwak Ireng Biar saya yang 

rnenangani. Saya akan menghadang dan mencari tahu siapa orang 

yang berani menguntit kita. Pasti dia membekal niat jahat." 

"Pergilah, kami menunggu di sini." Kata Ki Luwak Ireng. 

Setelah cukup lama ditunggu Kepala Pengawal tak kunjung muncul. 

Ki Luwak lreng mulai gelisah dan Patih Wira Bumi merasa curiga. 

"Ki Luwak, ada yang tidak beres." Kata sang Patih. 

"Aku kawatir sesuatu terjadi dengan Kepala Pengawal” 

"Saya akan rnenyelidik," kata tokoh silat lstana itu. 

"Pergi cepat. Aku menunggu disini. Jika terjadi sesuatu lekas 

kembali." 

Saat itu satu cahaya merah entah dari rnana datangnya menyusup 

masuk ke dalam kepala lewat ubun-ubun Wira Bumi. Lalu ada suara 

mengiang di telinga sang Patih 

"Wira Bumi, harap kau berlaku waspada. Dirimu dalam bahaya ..." 

Wira Bumi kenali suara itu. 

"Nyai Tumbal Jiwo” 

Tubuh Wira Bumi bergetar. Sesaat kemudian secara aneh wajah 

dan tubuhnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik 

mengenakan pakaian ringkas warna merah muda. lnilah 

penampilan penjelmaan yang biasa dilakukan NyaiTumbal Jiwo jika 

dia hendak bercinta dengan Wira Bumi. Namun kali ini ilmu 

kesaktian tersebut dipergunakan untuk melindungi sang murid.


Menyadari dirinya berubah tentu saja Wira Bumi rnenjadi kaget. Wira 

Bumi, kau tak usah kaget atau takut. Dirimu berubah demi 

keselamatanmu." Suara Nyai Tumbal Jiwo mengiang di telinga Wira 

Bumi membuat sang Patih merasa lega. 

Sesuai perintah Wira Bumi, Ki Luwak Ireng segera menggebrak 

kuda tunggangannya. Namun di depan sana tiba-tiba muncul seekor 

kuda hitam, berlari kencang membawa sesosoktubuh berlumuran 

darah. 

"ltu kuda Bantarangin! Apa yang terjadi? Astaga! Orang di punggung 

kuda itu! Luwak iekas periksal" 

Meskipun ujudnya telah berubah menjadi seorang gadis cantik 

namun suara sang Patih masih tetap suara laki-laki. Suara Wira 

Bumi. 

Ki Luwak lreng cepat melompat dari punggung kuda. Dengan 

gerakan kilat dia menyambar tali kekang kuda hitam hingga binatang 

ini tersentak meringkik keras dan berhenti berlari. Sepasang mata Ki 

Luwak lreng mendelik.Tengkuk dingin merinding. Dia segera 

mengenali sosok bergelimang darah di punggung kuda hitam dan 

cepat-cepat menurunkan, lalu dibaringkan di tanah. 

"Kanjeng Patih Bantarangin dibunuh!" Ki Luwak , berpaling ke arah 

patih Kerajaan. 

"Kanjeng Patih ..." 

Ki Luwak lreng terperangah kaget.Yang dilihatnya duduk di atas 

punggung kuda bukan Patih Kerajaan Wira Bumi tetapi seorang 

gadis cantik berpakaian . merah muda berkulit kuning langsat. 

"Kau siapa?!" tanya Ki Luwak heran. 

"Mana Kanjeng Patih Wira Bumi."


Gadis di atas kuda tidak menjawab. Dia memutar kuda siap 

meninggalkan ternpat itu. Tapi cepat dihalangi oleh Ki Luwak sambil 

menahan tali kekang kuda. Si gadis pegang tangan tokoh silat lstana 

itu lalu berkata. Suaranya kini suara perempuan. 

"Ki Luwak, aku pergi duluan. Kutunggu kau di Goa Girijati. Ada 

orang lain mendatangi ke arah tempat ini!" 

"Aku tidak mengerti." Ki Luwak berucap. 

"Orang lain siapa? Kau sendiri siapa?" Ki Luwak lreng memandang 

berkeliling tapi dia tidak melihat Patih Kerajaan. Dia memperhatikan 

kuda yang ditunggangi si gadis. Jelas itu adalah kuda yang 

sebelumnya ditunggangi sang Patih. 

Tokoh silat lstana ini tidak bisa berpikir lebih panjang karena saat itu 

di hadapannya mendatangi seekor kuda cokiat, ditunggangi seorang 

perempuan muda cantik bertubuh kecil dalam bentuk samar! 

"Siapa lagi ini! Perempuan bertubuh samar! Edan! Mengapa banyak 

ke anehan di tempat ini?!" Membatin Ki Luwak Ireng. 

Sementara itu gadis berpakaian ringkas merah muda yang 

sebenarnya adalah Patih Wira Bumi dengan gerakan cepat segera 

menggebrak kuda meninggalkan tempat itu. Sosok perempuan 

samar di atas kuda coklat keluarkan pekikan keras. Sementara 

tubuhnya berubah menjadi lebih jelas, dia melesat ke udara lalu 

melayang turun menghadang jalan kuda yang ditunggangi gadis 

berpakaian merah muda yang asli sebenamya adalah Patih Wira 

Bumi!. 

* *


DUA


KETlKA Wira Bumi yang penampilannya sebagai seorang gadis 

cantik berpakaian merah muda melihat siapa adanya gadis bertubuh 

kecil yang menghadang ditengah jalan, kagetnya bukan alang 

kepalang. 

”Retno Mantili .....” ucap patih Kerajaan dengan suara bergetar dada 

berdebar. 

Saat itu si gadis berpakaian merah muda mendengar suara 

mengiang. 

”Wira Bumi, rohku ada dalam tubuhmu. Cepat tinggalkan tempat ini. 

Segera pergi ke Goa Girijati. Aku sudah membuat benteng 

perlindungan bagi dirimu di sana." 

"Nyai Tumbal Jiwo. Aku harus membunuh perempuan muda yang 

membawa boneka itu! Kau lihat sendiri! Dia adalah Retno Mantili! 

Istriku!" 

"Kasip! Keadaan sudah kasip! Saatnya tidak tepat. Biar Ki Luwak 

lreng yang mengurus perempuan itu!" jawab suara mengiang. 

Di tengah jalan Nyi Retno Mantili tolakkan tangan kiri ke pinggang 

sementara tangan kanan memegang boneka kayu. Dua kaki 

dikembang. Mata memandang berkilat tak berkesip ke arah gadis 

pakaian merah dan Ki Luwak Ireng.


"Kalian berdua jangan ada yang berani bergerak! Apa lagi berani 

tinggalkan tempat ini!," Nyi Retno Mantili mengancam. Tangan yang 

memegang boneka perlahan-lahan diangkat setinggi dada. 

"Ki Luwak! Lekas bereskan perempuan sinting itu!" Perintah gadis 

baju merah muda. Ki Luwak jadi bingung. 

"Kanjeng Pa ..." Ki Luwak gelengkan kepala. 

"Aku ..." 

Gadis berpakaian merah muda jadi tidak sabaran. Dia menggebrak 

kuda tunggangannya. Binatang ini menghambur ke depan siap 

menerjang Nyi Retno Mantili. 

"Hik ... hik! Perempuan di atas kuda! Jangan mengira aku tidak tahu 

siapa ujudmu sebenarnya!" Nyi Retno umbar suara tertawa. 

Ketika terjadi perubahan atas diri Wira Bumi tadi Nyi Retno Mantili 

sempat melihat dan juga mendengar Ki Luwak lreng masih 

memanggil gadis berpakaian merah dengan sebutan Kanjeng Patih. 

Walaupun otaknya tidak waras namun dalam keadaan dan hal-hal 

tertentu Nyi Retno Mantili mampu berpikir lebih jernih dari orang 

waras. 

Nyi Retno arahkan boneka kayu pada kuda besar yang hendak 

menabraknya. Jari-jari tangan menekan. Dua larik cahaya putih 

menyambar keluar dari dalam dua mata boneka kayu. Menghajar 

telak kuda besar yang ditunggangi gadis berpakaian merah 

muda..llmu Sepasang Cahaya Batu Kumala!. Dada terbelah, kaki 

kanan buntung. Kuda keras meringkik dahsyat lalu roboh ke tanah.


Wira Bumi dalam ujud gadis berpakaian merah muda cepat 

selamatkan diri dengan melesat ke udara, jungkir balik lalu 

melayang turun ke belakang Ki Luwak lreng yang sampai saat itu 

masih kebingungan. Apa lagi barusan menyaksikan kematian kuda 

besar dihantam dua cahaya yang keluar dari sepasang mata boneka 

kayu. 

"Ki Luwak Ireng! Aku Patih Kerajaan! Bunuh perempuan yang 

memegang boneka itu!" 

Saat itu fajar telah menyingsing dan keadaan menjadi cukup terang. 

Ki Luwak berpaling. Dia tetap saja melihat gadis cantik berpakaian 

merah, bukannya sang Patih Kerajaan. Tokoh silat ini jadi tambah 

bingung. Di saat yang sama Nyi Retno Lestari sudah melompat ke 

hadapan kedua orang itu sambil mengacungkan boneka kayu. 

"'Ki Luwak! Lekas hantam! Tunggu apa lagi."Teriak gadis baju merah 

muda alias wira Bumi yang jengkel melihat tokoh silat itu hanya 

tertegak bengong. 

"Habisi perempuan yang memegang boneka itu! Pasti dia yang telah 

membunuh Bantarangin!" 

Untungnya Ki Luwak lreng cepat sadar dan menguasai diri. Tokoh 

silat ini memang tidak tahu siapa sebenarnya perempuan cantik 

bertubuh kecil memegang boneka itu. Dia melompat ke arah Nyi 

Retno Mantili sambil tangan kanan lepaskan satu pukulan tangan 

kosong mengandung tenaga dalam penuh dalam jurus yang disebut 

Angin Melanda Puncak Mahameru. 

" Wussss!"


Angin sedahsyat badai menghantam Nyi Retno Mantili hingga 

tubuhnya yang kecil terangkat satu tombak ke udara. Ki Luwak lreng 

susul serangannya tadi dengan pukulan tangan kiri bernama 

Tombak Akhirat 

Dalam keadaan tak berdaya selagi tubuhnya terangkat ke udara, Nyi 

Retno Mantili tidak mampu mengelakkan serangan kedua yang 

jangankan tubuh manusia, tembok batupun bisa jebol! 

Pada saat itulah dari tubuh boneka kayu tiba-tiba melesat keluar 

cahaya berwarna jingga, menebar demikian rupa membentengi 

tubuh Nyi Retno Mantili di sebeiah depan. Nyi Retno sendiri tidak 

menyadari hal ini bisa terjadi karena Kiai Gede Tapa Pamungkas 

secara sengaja dan diam diam telah menyimpan ilmu yang disebut 

Cahaya Dewa Turun Ke Bumi di dalam boneka kayu untuk sewaktu-

waktu melindungi perempuan malang itu. 

"Dess .... dess!" 

Dua kekuatan balas menerpa pukulan Tombak Akhirat. Ki Luwak 

lreng berseru kaget. Tubuhnya terjajar ke belakang. Selagi dia 

berusaha mengimbangi diri, Nyi Retno Mantili gerakkan lima jari 

yang memegang pinggang boneka kayu. 

"Tua bangka. hitam keling! Aku tak ingin membunuhmu! Tapi kau 

yang sengaja minta mati! Hik ... hik!" 

Lima jari memencet pinggang boneka. Dua larik sinar putih 

menyambar. Ki Luwak lreng berseru kaget. Dia sudah mendengar 

bagaimana kematian menimpa dua orang kawannya di Gedung


Kepatihan malam tadi. Barusan dia juga melihat tewasnya 

Bantarangin Kepala Pengawal. Jangan-jangan .... ! 

"Drettt ... dreettd!" 

Seperti digorok gergaji besar tubuh Ki Luwak lreng terbelah mulai 

dari bahu kiri sampai kepinggul kanan.Tokoh silat lstana ini 

keluarkan jeritan panjang sebelum tubuhnya roboh tergelimpang di 

tanah tak berkutik lagi. Darah menggenang. 

Sadar kalau kini dirinya kini yang akan jadi incaran, gadis 

berpakaian merah muda alias Patih Wira Bumi, walau telah dilarang 

oleh Nyai Tumbal Jiwo, dalam kekawatirannya segera saja lepaskan 

pukulan Tangan Roh Memberi Rahmat ke arah Nyi Retno Mantili. 

Selarik angin ganas dan luar biasa dingin menyambar ke arah batok 

kepala perempuan itu. 

Bilamana serangan ini mengenai sasaran maka kepala Nyi Retno 

Mantili akan ditambus hawa dingin laksana dipendamdi gunung salju 

lalu kepala itu akan meledak secara mengerikan! 

"Hik ... hik! Kemuning! Ada orang hendak membunuh kita dengan 

ilmu setan!" 

Satu kekuatan aneh menarik Nyi Retno Mantili hingga terguling di 

tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanan diangkat. Lima jari 

memencet pinggang boneka kayu yang telah diarahkan pada gadis 

berpakaian merah muda alias Wira Bumi. Hanya dalam kejapan 

mata dari dalam dua mata boneka kayu menyambar keluar 

Sepasang Cahaya Batu Kumala. 

"Craasss!"


Seperti dibabat golok besar luar biasa tajam leher gadis baju merah 

muda putus! Tak ada jeritan.Tubuh terbanting jatuh, kepala 

menggelinding di tanah. Di saat yang bersamaan di kejauhan 

terdengar suara kambing mengembik. Aneh! 

Nyi Retno Mantili tertawa panjang. 

"Kemuning! Kita berhasil! Lihat! Manusia jahat pembunuh 

pengasuhmu sudah mampus! Dia kira dengan berganti rupa kita 

bisa ditipu! Hik ... hik! Apa kita akan meneguk darahnya? lhhh, jijik 

Ayo anakku, kita pergi sekarang!" 

Nyi Retno Mantili sisipkan boneka kayu ke dalam kain bedongan 

yang melintang di atas dada, memutar tubuh lalu berkelebat 

tinggalkan tempat itu. Kalau saja perempuan ini mau menyempatkan 

diri berada barang beberapa lama di tempat itu maka dia akan 

menyaksikan satu keanehan yang sulit dipercaya. Dia menyangka 

telah membunuh Wira Bumi yang merubah diri menjadi gadis cantik 

berpakaian merah, muda itu. Padahal itu tidak pernah terjadi! 

Setelah Nyi Retno Mantili meninggalkan tempat pembantaian tanpa 

membawa kuda coklat, dari bangkai kambing yang tergeletak di 

tanah melesat keluar sosok gadis berpakaian merah muda. Gadis ini 

melompat ke punggung kuda coklat. Satu cahaya rnerah berkelebat. 

Ujud gadis pakaian merah muda berubah menjadi sosok Patih Wira 

Bumi. 

* *


TIGA


SEHABIS membunuh Cagak Lenting alias Si Mata Elang. Perwira 

Tinggi Suko Daluh dan tokoh silat lstana Ki Wulur Jumena di 

Gedung Kepatihan, Nyi Retno Mantili meninggalkan Pendekar 212 

Wiro Sableng begitu saja. Hal ini karena kesal sebab Wiro 

mencegah bahkan setengah memaksa agar dia tdak membunuh 

patih Wira Bumi yang sebenarnya adalah suaminya sendiri. Wiro 

berusaha mengejar namun tak berhasil karena perempuan itu 

menerapkan ilmu kesaktian yang didapatnya dari Kiai Gede Tapa 

Pamungkas yaitu llmu Di Dalam Kabut Mengunci Diri. 

Setelah merasa berhasil membunuh Wira Bumi yang menyamar diri 

sebagai gadis cantik berpakaian ringkas merah muda kini Nyi Retno 

Mantili teringat sendiri pada sang pendekar. 

Sambil mengelus punggung boneka kayu Nyi Retno berkata 

"Kemuning anakku, kita harus mencari ayahmu itu. Hik ... hik! 

Apakah dia memang rnau jadi ayahmu? 

Kita harus memberi tahu bahwa kita sudah berhasil membunuh 

manusia jahat bernama Wira Bumi.Tapi kita mau cari dia dimana? 

Jangan-jangan dia marah sama aku, sama kamu! Hik..hik ... Kalau 

dia memang marah lebih baik kita pergi saja ke tempat eyang 

sepuhmu Kiai yang di puncak Gunung Gede itu. Dulu kita pergi 

begitu saja meninggalkan dirinya. Kalaupun dia marah, melihat kita 

datang lagi pasti Kiai merasa senang. Hik ... hik. Eh, mengapa aku


bingung? Mana yang harus ake lakukan. Mencari ayahmu atau pergi 

ke Gunung Gede?" 

Sementara Nyi Retno Mantili berada dalam keadaan bingung, di 

tempat lain murid Sinto Gendeng juga bingung tidak tahu mau 

mencari perempuan itu kemana. 

"Dua hari dia menghilang. Apakah mungkin dia kembali ke Kotaraja. 

mengincar Wira Bumi di Gedung Kepatihan?" Wiro garuk-garuk 

kepala lalu duduk di bawah sebatang pohon tak jauh dari satu bukit 

kecil di selatan Kotaraja. Dia kemudian ingat akan ucapan Datuk 

Rao Basaluang Ameh sewaktu muncul bersama harimau putih sakti 

membawa bayi Nyi Retno Mantili yang diberi nama Ken Permata. 

"Ada baiknya kau dampingi ibunya. Bukan hanya untuk 

mengharapkan kesembuhan penyakitnya. Tapi juga untuk 

melindungi perempuan malang itu dari bermacam bahaya yang 

mengancam." 

Dalam hati Wiro berucap sendiri. "Nyi Retno menerima banyak ilmu 

dari Kiai GedeTapa Pamungkas. Dia mampu menjaga diri. Namun 

ada ucapan Datuk Rao yang membuatku merasa punya ganjalan." 

Dalam pertemuan itu memang Datuk Rao Basaluang Ameh 

mengeluarkan kata-kata : 

"Sebelum pergi ada satu hal yang perlu aku beritahukan .... Kau 

harus mengerti dan bersiap diri.... Hadapi dengan bijaksana kalau


nanti kau melihat kenyataan bahwa Nyi Retno Mantili, ibu Ken 

Permata mencintai dirimu ..." 

Lama Wiro merenung. Perempuan itu memang sering menunjukkan 

rasa suka dan juga rasa cemburu padaku. Tapi apakah hal itu keluar 

dari hati dan pikirannya yang waras? Ah, dimana dia sekarang. 

Mungkin kembali ke tempat Kiai Gede di Gunung Gede?" 

Saat itu matahari baru saja tersembul di permukaan bumi.Tiupan 

angin masih terasa dingin. Wiro merasa letih dan ingin istirahat 

sekedar memejamkan mata. Tiba-tiba dia mendengar suara 

kambing mengembik. 

Mula-mula Wiro tidak mengambil perhatian. Acuh saja dia terus 

pejamkan kedua matanya.Tapi pikirannya jalan. 

"Masih pagi begini rupa apa sudah ada orang mengangon ternak? 

Suara embikan kambing tadi. Bukan suara embikan biasa. Suara 

embikan binatang yang ketakutan sewaktu mau dijagal!" 

Mendadak lapat-lapat dia kemudian mendengar suara tawa 

cekikikan. Suara tawa perempuan. Murid Sinto Gendeng langsung 

melompat dari duduknya. Tegak menggaruk kepala. 

"Aku mengenali betul! Itu suara tawa Nyi Retno Mantili!" Tidak 

menunggu lebih lama Wiro melompat dan lari ke arah terdengarnya 

suara tawa cekikikan tadi. Dalam kencang-kencangnya berlari Wiro


tiba-tiba berhenti. Di hadapannya terpentang satu pemandangan 

mengerikan. 

Di tengah jalan berputar-putar seekor kuda besar. Tak jauh dari situ 

tergelimpang sesosok tubuh bergelimang darah. Wiro cepat 

mendekati. 

"Gila, dadanya terbelah. Siapa orang ini?" Wiro membungkuk. 

Lalu menarik kalung yang masih tergantung dileher mayat. Kalung 

itu terbuat dari perunggu, berbentuk bola dunia diapit dua ekor naga 

bermahkota bintang di atas kepala. 

"lni lambang abdi tingkat tinggi Kerajaan ..." ucap Wiro."Orang ini 

pasti pejabat Kerajaan .... dugaan Wiro tidak salah karena mayat 

yang ditemukannya itu adalah mayat Bantarangin Kepala Pengawal 

Gedung Kepatihan. 

Memandang berkeliling di bagian lain jalan tanah Wiro melihat 

seekor kuda besar tergeletak Salah satu kaki depan buntung, dada 

terbelah. Tak jauh dari bangkai binatang ini terkapar sosok seorang 

kakek berjubah ungu yang telah jadi mayat dengan luka melintang di 

dada. 

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala, masih ada satu sosok lagi 

yang terkapar di tengah jalan.Yaitu seekor kambing dalam keadaan 

kepala putus. Kutungan kepala tersuruk di kaki semak belukar di 

pinggir jalan.


"Ada kuda mati dengan dada terbelah kaki buntung. Dua mayat 

manusia. Dua-duanya tewas dengan tubuh setengah terbelah. Lalu 

ada kambing yang lehernya dibabat putus! Kambing! Aneh! 

Mengapa ada kambing di tempat ini? Apa ada orang yang mau 

menyate?!" 

Dua mayat manusia, seekor kuda dan seekor kambing. Tampaknya 

menemui kematian dengan cara yang sama. 

"Mungkin si penjagal menggunakan golok luar biasa besar untuk 

menebar maut! Tapi mengapa kulihat ada tanda-tanda daging 

hangus dipinggiran luka yang menguak .... Berarti ada tenaga dalam 

dan hawa saki menyertai serangan yang mematikan." 

Wiro perhatikan lagi dua mayat yang tergeletak di tanah sambil 

menduga-duga siapa adanya kedua orang ini. 

Tiba-tiba dia mendengar suara orang menangis. Pilu berhiba-hiba. 

Wiro memandang ke arah kejauhan dari mana datangnya suara 

tangisan. Dia melangkah mendatangi. Begitu sampai di tempat yang 

diperkirakan asal suara orang menangis dia tidak menemukan 

siapa-siapa. Suara tangisan pun tidak terdengar lagi. 

"Aneh, suara itu aku yakin tadi datangnya dari sekitar tempat ini." 

Wiro memandang berkeliling sambil menggaruk kepala. 

Tiba-tiba suara tangisan terdengar lagi. Kini datangnya dari balik 

deretan pepohonan besar yang tumbuh rapat di ujung kiri.Wiro


menunggu sebentar. Suara tangisan semakin keras dan memilukan. 

Setelah memastikan dari mana arah datangnya tangisan itu Wiro 

berkelebat ke balik deretan pohon besar, menyelinap ke balik 

serumpunan semak belukar dan mengintip. 

Hanya sejarak sekitar sepuluh langkah di hadapannya dia melihat 

seorang perempuan berpakaian ringkas merah muda duduk di atas 

gundukan tanah membelakanginya. Kepala ditumpangkan di atas 

lutut. Wajah ditutup dengan dua tangan. Dari potongan pakaian yang 

membungkus tubuhnya yang bagus, wiro bisa menduga perempuan 

yang menangis masih berusia muda. 

Wiro menggaruk kepala. 

"Pagi hari, di tempat sepi begini rupa ada perempuan terpesat dan 

menangis. Pakaiannya rapi berarti tidak ada orang yang 

mencelakainya. Perlu juga kucari tahu siapa dial apa masalah yang 

tengah dihadapinya. Mudah-mudahan saja dia seorang gadis 

berwajah cantik. Kalau ternyata dia seorang nenek bertampang 

buruk, sial diriku. Pagi-pagi sudah melihat pemandangan 

menyepatkan mata!" 

Wiro keluar dari balik semak belukar, mendekati perempuan yang 

menangis dari arah belakang. Perempuan yang duduk di gundukan 

tanah hentikan tangis. Lalu terdengar suaranya berucap. 

”Suprana, aku tak mau melihatmu tagi! Pergilah! Kau telah 

menewaskan kudaku! Kau telah membunuh dua pengawalku! 

Sekalipun kau membunuh diriku, aku tidak akan menyerahkan batu


pusaka Widuri Bulan Kembar padamu!" Habis berucap perempuan 

ini kembali menangis. 

Wiro hentikan langkah. Menggaruk kepala lalu sambil tersenyum 

bertanya. "Apakah orang bernama Suprana itu juga membunuh 

kambingmu?" 

Gadis yang duduk di tanah hentikan tangis. Kepala diangkat tapi dua 

tangan masih menutupi wajah. 

"Kau siapa? Suaramu lain. Kau bukan Suprana!" 

"Aku memang bukan Suprana. Sahabat, agaknya kau baru 

mengalami satu peristiwa hebat mengenaskan." Wiro bergerak 

melangkah. 

"Tunggu! Tetap di tempatmu! Aku tidak percaya pada laki-laki yang 

belum kenal tapi sudah bicara berbaik-baik ..." 

Wiro tertawa tapi seperti yang dikatakan orang dia hentikan langkah. 

Perempuan yang duduk di tanah perlahan-lahan bangkit berdiri lalu 

memutar tubuh. Ketika dua tangannya diturunkan Wiro melihat satu 

wajah cantik, berpipi dan berbibir merah segar. Sepasang mata 

coklat menatap penuh pesona. 

"Kau siapa? Sudah berapa lama kau mengintipku menangis?" 

bertanya gadis berbaju merah muda. 

"Aku bukan lelaki tukang intip. Kebetulan saja aku mendengar suara 

tangismu lalu mendatangi ke tempat ini." 

"Rambutmu gondrong! Bajumu sengaja dibuka di bagian dada. Itu 

pertanda kau seorang pemuda nakal!"


Wiro tertawa gelak-gelak 

"Kalau kepalaku botak lalu bajuku ditutup rapat seperti pocong, 

apakah kau akan menilaiku sebagai pemuda baik-baik?" 

Si gadis tidak menjawab. Hanya menatap memperhatikan sang 

pendekar. Dia kemudian menutup wajah dengan kedua tangan 

seperti hendak menangis kembali. 

"Sudah, mengapa menangis terus-terusan. Katakan apa yang telah 

terjadi. Siapa tahu aku bisa menolong. Tadi kau menyebut-nyebut 

seorang bemama Suprana. Orang itu membunuh kuda dan dua 

pengiringmu serta seekor kambing ..." 

"Kambing itu bukan milikku.Tapi kebetulan lewat dan terkena 

tendangan nyasar. .." 

"Ah ... Kalau kambing itu terkena tendangan nyasar pasti kepalanya 

hancur.Tapi mengapa lehernya yang putus?" 

"Kau ... kau hendak mengatakan aku berdusta?, Kau jahat!" 

"Tidak, maksudku bukan begitu," jawab Wiro. 

"Orang hendak merampas batu Widuri Bulan Kembar milikku. Kalau 

aku tidak lekas menyelamatkan diri pasti dia juga sudah 

membunuhku." 

"Batu Widuri Buian Kembar itu pasti sangat berharga." 

"Kau tidak pernah mendengar Batu Widuri Bulan Kembar yang bisa 

membuat orang kebal segala macam senjata dan pukulan sakti 

musuh?" Bertanya si gadis. 

Wiro gelengkan kepala.


"Batu itu berasal dari batu pusaka milik satu kerajaan di timur. Kalau 

aku perlihatkan padamu, apakah kau tidak akan bermaksud jahat 

merampasnya?" 

Wiro tertawa. 

"Aku bukan pencuri, juga bukan rampok Apa lagi bapak moyangnya 

rampok!" 

"Baik, akan kuperlihatkan padamu. Batu itu diikat dalam bentuk 

kalung yang tergantung dileherku." 

Si gadis maju dua langkah mendekati Wiro lalu menggerakkan dua 

tangannya.Tadinya murid Sinto Gendeng mengira si gadis akan 

menarik keluar kalung dari balik pakaiannya. Tapi apa yang 

dilakukan si gadis sungguh diluar dugaan.Tiba-tiba saja dengan 

cepat sekali dia membuka lebar-lebar baju merahnya di bagian atas. 

Sepasang mata Pendekar 212 membesar. Kalung yang tergantung 

di leher si gadis ternyata tidak memiliki ikatan mata berupa batu 

yang disebut Batu Widuri Bulan Kembar. 

"Sudah kau lihat batunya?" bertanya si gadis. 

"Aku ...." Wiro menggaruk kepala. Matanya masih tidak bisa lepas 

dari memperhatikan pemandangan yang menakjubkan di depannya. 

'Aku .... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Yang aku lihat 

benda kembar. ..." 

Si gadis tertawa. 

Wiro ikutan tertawa. 

Tiba-tiba sekali, tidak disangka-sangka tangan kanan gadis itu 

melesat ke depan. 

"Bukkk!"


Wiro terpental lima langkah. Mulut semburkan darah segar. Dua lutut 

goyah.Tubuh ambruk ke tanah! 

Gadis baju merah muda memekik girang. Aku berhasil 

membunuhnya!" Sebagai jawaban ada suara mengiang di telinga si 

gadis. 

"Bagus! Rimba persilatan tanah Jawa akan geger! Wira Bumi, apa 

yang telah kau lakukan membuat aku bisa lebih cepat enam puluh 

hari mernperlihatkan ujudku kernbali. Tapi lekas tinggalkan tempat 

ini. Ada seseorang mendatangi." 

* *


EMPAT


DUA ORANG berkelebat. Satu dari arah barat, satu lagi dari jurusan 

timur. Yang dari tirnur sampai duluan di samping sosok Pendekar 

212 Wiro Sableng yang tergeletak di tanah. Orang ini terguncang 

hebat. Mulut langsung keluarkan seruan tertahan. Ternyata dia 

adalah seorang gadis cantik berambut hitam tebal panjang 

sepinggang, bermata biru. Telinga di hias anting, leher digantungi 

kalung dan dua tangan digelung gelang.Semua perhiasan ini terbuat 

dari kerang hijau dan membuat penarnpilannya tampak lebih 

anggun. 

Ratu Duyung! 

Siapa lagi kalau bukan gadis sakti kepercayaan Nyai Roro Kidul 

penguasa laut selatan! Gadis yang selama ini diketahui mencintai 

pendekar 212 Wiro Sableng dengan setulus hati. Telah begitu 

banyak berbagi suka dan duka, saling menaut budi bahkan saling 

menyelamatkan jiwa. 

"Wiro! Apa yang terjadi?!" 

Jawaban hanya suara mengerang halus. Berarti Wiro dalam 

keadaan setengah siuman setengah pingsan dan lemas tiada daya. 

Ratu Duyung berlutut di tanah, merneriksa keadaan Pendekar 212. 

Darah yang menodai mulut dan dagu Wiro diseka dengan ujung 

lengan jubah. Gadis ini kemudian letakkan telinga di dada kiri. Dia 

masih mendengar detak jantung tapi sangat lemah. Ratu Duyung 

tempelkan dua telapak tangan di dada Wiro lalu kerahkan tenaga


dalam sakti mengandung hawa dingin hingga tubuh Pendekar 212 

kepulkan asap putih. 

"Wiro sadar! Buka matamu! Wiro!" Ratu Duyung tepuk-tepuk pipi 

Wiro. Namun dua mata Wiro tetap saja tertutup. Tarikan nafas 

perlahan sekali dan wajahnya perlahan-lahan tampak agak kebiruan. 

"Ada racun jahat dalam tubuhnya. Aku harus mengeluarkan! Tapi 

bagaimana?! Aku harus melakukan sesuatu! Paling tidak 

menghambat jalan racun agar tidak masuk ke dalam jantung! Gusti 

Allah tolong kami!" 

Ratu Duyung lalu membuat lima totokan di tubuh Wiro. Dua di 

pangkal leher kiri kanan. Satu pada pertengahan dada. Dua di dada 

kiri arah jantung. Selesai menotok Ratu .Duyung tatap sekujur tubuh 

Wiro lalu kerahkan ilmu Menembus Pandang yang seharusnya tidak 

boleh dilakukan untuk melihat aurat orang lain apa lagi aurat lawan 

jenis. Namun dia tidak bisa berbuat lain karena dia harus tahu 

bagian tubuh mana dari sang pendekar yang cidera, sekaligus 

mencari tahu dari mana masuknya racun yang kini ada dalam tubuh 

pemuda itu. 

Lewat ilmu yang diterapkan gadis bermata biru ini melihat ada 

sesuatu di dada Wiro. Dengan cepat dia membuka baju putih yang 

dikenakan Wiro. Begitu bagian dada tersingkap gadis ini tersentak 

kaget. Pada dada Wiro sebelah kiri, sedikit di bawah arah jantung 

dia melihat tanda merah kehitaman berbentuk telapak tangan 

dengan lima jari terkembang.


Satu bayangan putih tiba tiba berkelebat. Ini adalah orang yang 

datang dari arah barat. Sesaat kemudian di tempat itu telah berdiri 

seorang kakek berambut putih panjang riap-riapan. Janggut sedada, 

kumis menjulai putih. Dua mata gembung rapat seperti buta. 

"Pukulan Telapak Roh. Jahat sekali!" 

Orang tua berpakaian putih keluarkan ucapan. Suaranya bergetar 

seperti orang menggigil kedinginan. 

Ratu Duyung melompat bangkit. Tangan kanan cepat sekali 

diletakkan di atas batok kepala si orang tua.Tangan yang sudah 

dipenuhi tenaga dalam tinggi itu siap untuk melancarkan pukulan 

maut bemama Genta Laut Selatan. Jika pukulan itu sampai 

dilakukan, si orang tua akan rengkah kepalanya dan nyawa tidak 

akan tertolong lagi. Namun si orang tua tetap unjukkan sikap tenang, 

menatap Ratu Duyung sejurus lalu perhatikan sosok wiro dengan 

pandangan sedih. 

"Kau siapa?" tanya Ratu Duyung dengan suara keras mata 

mendelikdan hati penuh curiga. 

"Namaku Ki Balang Kerso. Aku seorang kuncen." Orang tua bermata 

gembung berpakaian putih menjawab. 

"Kuncen?! Setahuku tidak ada makam apa lagi pekuburan di 

kawasan ini." Ratu Duyung memperhatikan penuh selidik. 

"Aku kuncen di pemakaman Kebonagung, di luar Kotaraja!" 

"Kau mengetahui nama pukulan yang menciderai pemuda itu. Berarti 

kau tahu siapa orang yang mencelakai sahabatku ini!"


"Ah. ternyata dia sahabatmu. Aku tahu siapa yang punya ilmu 

pukulan Tapak Roh itu. Namun belum tentu dia pelakunya ..." 

"Kuncen, apa maksudmu?!" tanya Ratu Duyung. 

"Ilmu Tapak Roh kini dimiliki dua orang. Pertama Nyai Tumbal Jiwo 

...." 

"Aku pernah mendengar nama itu. Bukankah dia nenekjahat dari 

alam roh?" Kuncen bernama Ki Balang Kerso anggukkan kepala. 

"Siapa pemilik ilmuTapak Roh yang kedua?" 

"Murid Nyai Tumbal Jiwo. Namanya ...." 

Belum sempat Ki Balang Kerso selesaikan ucapan tiba-tiba lima 

lariksinar merah menyambar mengarah bagian belakang tubuh Ki 

Balang Kerso. 

"Awas, ada yang membokong!" teriak Ratu Duyung lalu jatuhkan diri 

sambil secepat kilat mendorong tubuh si orang tua hingga keduanya 

jatuh bergulingan di tanah. Ki Balang Kerso terdengar mengerang. 

Empat larik sinar merah menderu di atas tubuh kedua orang itu. 

Larikan ke lima masih sempat menyerempet bahu kanan Ki Balang 

Kerso hingga menimbulkan luka besar menguak Darah mengucur 

deras. Tubuh sang kuncen sebelah kanan tampak menghitam. 

"Pukulan Lima Jari Akhirat ...." Ucap Ki Balang Kerso diantara erang 

kesakitan.Terbungkuk-bungkuk dia bangkit lalu dengan tubuh 

menghuyung dia cepat tinggalkan tempat itu. 

"Tunggu!" Teriak Ratu Duyung. 

"Kau mau kemana?! Kau belum mengatakan pemilik ilmu pukulan 

Tapak Roh kedua ..."


Tanpa berhenti Ki Balang Kerso menyahuti. 

"Aku lebih mementingkan keselamatan diriku! Kalau aku tidak 

menemukan obat penangkal sampai tengah hari nanti, sekujur 

tubuhku akan membusuk!" 

Ratu Duyung hendak mengejar. Namun terpaksa batalkan niat 

karena bagaimanapun juga Wiro harus ditolong lebih dulu. Dia harus 

berbuat sesuatu. Racun dalam tubuh Wiro harus segera dikeluarkan. 

Tapi bagaimana caranya? Sambil mengusap kening Pendekar 212 

Ratu Duyung berpikir keras. Ketika dia hendak membersihkan sisa 

darah yang masih melekat di bibir Wiro, gadis ini berpikir. "Darah 

keluar dari mulut. Berarti ada racun yang ikut keluar. Kalau aku bisa 

menguras darah itu dengan cara menyedot ..." 

Tidak berpikir panjang lagi Ratu Duyung membungkuk. Mulutnya 

ditempelkan ke mulut Pendekar 212. Belum sempat dia menyedot 

tiba-tiba ada tawa cekikikan disusul ucapan. 

"Hik ... hik! Apa enaknya berciuman dengan orang pingsan!" 

* *


LIMA



RATU Duyung tersentak kaget sekaligus marah mendengar ucapan 

orang. Berpaling ke kiri dia melihat bocah berambut jabrik 

berpakaian hitam Naga Kuning berdiri beberapa langkah di 

sampingnya. 

”Bocah jahil! Enak saja kau bicara! Siapa yang hendak berciuman! 

Kau lihat sendiri keadaan Wiro yang seperti orang sekarat!” Ucap 

RatuDuyung dengan suara keras dan mata melotot. 

Bersama Naga Kuning ada nenek muka setan Gondoruwo Patah 

Hati dan Purnama si cantik dari Latanahsilam, negeri 1200 tahun 

silam. 

Ratu Duyung walau jengkel mendengar ucapan Naga Kuning namun 

dia lebih merasa tidak enak melihat munculnya Purnama di tempat 

itu. Apalagi jika dia ingat peristiwa di goa di Teluk Losari ketika 

Purnama memeluk, menciumi bahkan menindih tubuh Wiro. 

(Baca serial Wiro Sableng "Topan Di Gurun Tengger) 

Namun sadar kalau selama ini dia dan gadis dari alam roh itu sudah 

senasib sepenanggungan saling berbagi budi maka Ratu Duyung 

unjukkan wajah jernih dan hati polos. 

"Sahabat Purnama, syukur kau datang." Kata Ratu Duyung.


"Aku menemukan Wiro tergeletak pingsan. Ada orang mencide-

rainya dengan pukulan mengandung racun bernama pukulan 

Telapak Roh. 

Menurut seorang kuncen yang barusan saja meninggalkan tempat 

ini salah seorang dari dua yang memiliki ilmu pukulan beracun itu 

adalah seorang nenek jahat bernama NyaiTumbal Jiwo ...." 

"Apa?" Kejut Purnama bukan alang kepalang. 

"Aku sudah melabrak nenek jahat itu. Sosoknya sudah tercabik-

cabik dan dia tidak bisa keluar dari alam roh selama seratus dua 

puluh hari ..." 

"Tapi ada lagi orang lain yang memiliki ilmu itu. Sayangnya si 

kuncen tidak sempat memberi tahu. Dia buru-buru pergi setelah 

celaka oleh serangan membokong ..." Menerangkan Ratu Duyung. 

"Aku telah menotok tubuhnya di beberapa tempat untuk mencegah 

menjalarnya racun.Tapi aku tidak pasti dia bisa selamat sebelum 

racun dikuras dari aliran darahnya. Itu sebabnya tadi aku hendak 

menyedot racun langsung dari tubuhnya.Tapi bocah bermulut ember 

ini menuduhku yang bukan-bukan ..." 

"Maafkan aku Ratu.Tadi aku hanya bergurau.." kata Naga Kuning. 

Gondoruwo Patah Hati berkata. "Bergurau ada tempatnya! Itu 

sebabnya aku berulang kali mlnta kau menjaga mulutmu yang 

seperti kaleng rombeng itu!"


Habis memarahi si nenek jitak kepala si bocah hingga Naga Kuning 

meringis kesakitan. Ratu Duyung sibakkan baju Wiro untuk 

menunjukkan bekas pukulan berbentuk telapak tangan dengan lima 

jari terkembang. 

"Heran, mengapa belakangan ini musibah datang silih berganti 

menimpa Wiro ..." Ucap Purnama. 

Ratu Duyung hanya bisa gelengkan kepala lalu berkata." Sahabat, 

aku tahu, kau hafal semua isi Kitab Seribu Pengobatan. Mungkin 

kau bisa menemukan cara untuk mengobati Wiro.'' 

"ltu memang yang akan aku lakukan. Berdoalah bagi keselamatan 

Wiro." jawab Purnama. Lalu gadis ini letakkan tangan kanan di atas 

dada yang ada tanda pukulan. Setelah merenung sejenak Purnama 

pejamkan mata. Tak selang berapa lama mulutnya berucap. 

"Kitab Seribu Pengobatan. Halaman Dua Ratus Lima. Pengobatan 

ke Delapan Ratus Dua Puluh. Barang siapa terkena pukulan 

beracun yang meninggalkan tanda cidera langsung pada bagian 

tubuh yang dipukul maka berarti aliran darahnya telah tercemar 

racun dan menyebabkan nyawanya hanya bisa bertahan paling lama 

satu minggu. Untuk menolong ada tiga hal yang harus dilakukan. 

Pertama memohon dan berdoa pada Tuhan Yang Maha Kuasa 

Maha Penyembuh agar orang yang cidera disembuhkan dan 

penyakitnya. 

Kedua memasukkan tenaga dalam tinggi ke dalam tubuhnya. 

Ketiga membuat sayatan kecil pada dua ujung ibu jari kaki. Maka 

darah hitam kental akan keluar. Bilamana darah berubah menjadi 

merah segar pertanda orang itu sudah selamat dari keganasan


racun. Untuk membuat seluruh tubuhnya menjadi lebih bersih, orang 

tersebut harus minum godokan air sirih dicampur merang selama 

tiga hari berturut-turut. Namun ada satu hal perlu diingat. Bilamana 

orang yang cidera rnemiliki ilmu kebal racun atau mempunyai 

pegangan berupa benda sakti di dalam tubuhnya, maka jangan 

sekali-kali memasukkan tenaga dalam tinggi. Sebaliknya justru 

kekuatan tenaga dalam dipergunakan untuk menyedot kekuatan 

yang ada di tubuh orang itu atau yang ada dalam benda pegangan 

lalu dialirkan kembali ke dalam tubuhnya. Setelah kekuatan 

memancar dan mengalir ke dalam tubuh orang yang cidera maka 

darahnya akan bersih, semua racun akan keluar melalui sayatan di 

dua ibu jari kaki. .." 

Selesai berucap Purnama buka kedua mata, menatap pada Ratu 

Duyung, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. 

"Kita harus melakukan sekarang juga sesuai petunjuk Kitab." 

Berkata Gondoruwo Patah Hati. 

"Setahuku Wiro punya ilmu kebal racun!" kata Naga Kuning. 

"Selain itu Kapak Naga Geni Dua Satu Dua dan Batu Sakti Hitam 

berada dalam tubuhnya. Berarti dia sudah punya kekuatan 

penangkal. Hanya saja tidak bisa di berdayakan karena dia keburu 

pingsan." 

Gondoruwo Patah Hati usap kepala si bocah. "Kowe anak pinter. 

Berarti kita tidak perlu memasukkan tenaga dalam ke dalam tubuh 

Wiro. Justru menyedot dan mengandalkan kekuatan yang ada dalam 

tubuh dan senjata pegangannya."


"Kau juga pinter Nek," jawab Naga Kuning sambil mengusap pantat 

si nenek. Karuan saja Gondoruwo Patah Hati sikut rusuk si bocah 

hingga untuk kesekian kali Naga Kuning meringis kesakitan. 

"Kurasa sebaiknya kita mulai sekarang juga." Kata Ratu Duyung. 

"'Aku memilih bagian kepala." Lalu gadis bermata bim ini letakkan 

telapak tangan kanannya di atas kening Wiro. 

"Aku bagian dada." ucap Purnama seraya tempelkan dua tangan 

sekaligus di dada sang pendekar. 

Aku di sini saja," kata Gondoruwo Patah Hati kemudian letakkan dua 

tangan di atas perut di bawah pusar Wiro. Melihat hal ini Naga 

Kuning langsung senyum-senyum dan berkata. 

"Nek, kau selalu mencari tempat yang enak dan empuk." 

"Jangan usil! Kita semua bermaksud menolong. Tidak ada yang 

punya niat jahil, tahu!" Jawab si nenek yang mukanya menjadi 

merah kelam karena jengah. 

"lya Nek," Kata Naga Kuning yang melihat si nenek marah lalu 

alihkan pembicaraan. "Siapa yang akan membuat sayatan di ujung 

ibu jari Wiro? Tentu saja kau Nek. Kau punya sepuluh kuku jari 

panjang dan lancip. Habis menyayat langsung saja letakkan 

tanganmu di dua kaki Wiro untuk menyedot tenaga dalam. Aku biar 

memegang di bagian perut." 

"Bocah culas!" Umpat Gondoruwo Patah Hati kembali jengkel. Naga 

Kuning senyum-senyum cengengesan. Mau tak mau si nenek 

angkat tangannya dari bawah pusarwiro lalu dengan kuku tangan 

yang panjang dia membuat dua sayatan kecil di ujung ibu jari kaki


Wiro kiri kanan. Setelah itu masih agak jengkel dia letakkan dua 

tangannya di paha Wiro pada bagian di atas lutut. Masing-masing 

saling memberi isyarat lalu semuanya mulai menyedot kekuatan 

hawa sakti yang ada di dalam tubuh Wiro. 

"Dess .... desss ... desss .... desss!"' 

Tubuh Wiro bergoncang keras. Empat letupan terdengar disertai 

keluarnya kepulan asap merah dari tubuh sang pendekar. Ratu 

Duyung dan tiga orang lainnya merasakan ada hawa panas yang 

tersedot, membuat tangan mereka bergetar. Perlahan-lahan hawa 

panas berubah menjadi hawa sejuk. Bersamaan dengan lenyapnya 

getaran pada tangan, dari dua sayatan kecil di ibu jari dua kaki Wiro 

mengucur keluar darah hitam pekat. Tak lama kemudian warna 

darah yang keluar sedikit demi sedikit berubah menjadi merah segar 

lalu kucuran darah berhenti sama sekali. Semua orang menarik 

nafas lega. 

Sepasang mata Wiro masih tertutup. Namun mulut terbuka lalu 

pemuda ini berucap. 

"Aku .... aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Aku melihat 

dada besar. Nyi Retno Mantili kau berada dimana ... ?" 

* *


ENAM


KARUAN saja semua orang jadi terkejut mendengar ucapan Wiro 

dan saling pandang sementara si bocah Naga Kuning tidak dapat 

menahan tawa cekikikan. 

"Ada yang tidak beres. Pasti ada kejadian hebat sebelum sobat kita 

ini jatuh pingsan! Mungkin juga dia pingsan karena melihat dua 

payudara besar, putih dan kencang! Hik...hik...hik...” 

Tawa cekikikan naga kuning terhenti begitu jambakan Gondoruwo 

Patah Hati mapir di rambutnya yang jabrik. 

"Nek, kenapa kau marah! Aku cuma mengulang ucapan sobat kita 

tadi," kata Naga Kuning sambil meringis kesakitan dan usap-usap 

kepalanya. 

"Soal apa yang terjadi nanti tanya saja sama Wiro. Lihat, matanya 

sudah terbuka tanda dia sudah siuman." 

Saat itu Wiro memang telah sadar. Dia tampak terheran-heran 

melihat dirinya terbaring di tanah, dikelilingi oleh Ratu Duyung, 

Pumama, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Sambil 

menggaruk kepala Wiro memandang berkeliling. 

"Siapa yang kau cari?" tanya Naga Kuning mulai usil lagi. 

"Dua dada besar putih dan kencang? Hik.. hik ... hik!"


Wiro melongo. Dia belum mengerti arti pertanyaan si bocah jabrik. 

"Heh. apa yang terjadi. Bagaimana kalian semua bisa ada di sini?" 

"Nek, ayo tanya saja sama dia. .." Naga Kuning berkata pada 

Gondoruwo Patah Hati. 

Si nenek membuka mulut. Tapi bukan bertanya soal payu dara yang 

besar putih dan kencang melainkan apa yang terjadi dengan Wiro. 

Murid Sinto Gendeng menerangkan pertemuannya dengan gadis 

berpakaian merah muda. Ketika sampai pada kejadian si gadis 

membuka baju memperlihatkan dada. Wiro tidak meneruskan. Dia 

berpaling pada anak ini. Naga Kuning cepat berkata. 

"Nah Nek, apa kataku,"Gondoruwo Patah Hati yang diajak bicara 

diam saja sementara Purnama dan Ratu Duyung saling pandang. 

"Naga Kuning. memangnya apa yang terjadi dengan diriku?" 

bertanya Wiro. 

"Sobat, tadi kau seperti orang bermimpi mengigau. Kau berkata 

begini. Aku tidak melihat Batu Widuri Bulan Kembar. Kau juga 

menyebut nama Nyi Retno Mantili. Nah, nah, kau mau menerangkan 

bagaimana?" 

Wiro menatap Naga Kuning sesaat lalu menggaruk kepala. Karena 

Wiro masih belum memberikan jawaban Naga Kuning kembali 

membuka mulut. 

"Aku yakin kau bukan cuma mengigau. Tapi melihat dada benaran. 

Aku juga yakin yang kau lihat bukan dada Nyi Retno Mantili. Karena


perempuan cantik itu tubuhnya kecil. Berarti dadanya juga kecil. 

Padahal yang lihat dada besar. .." 

"Huss! Bocah konyol! Kau ini bicara apa!" Hardik Gondoruwo Patah 

Hati sambil mencubit pinggang Naga Kuning hingga bocah ini 

melintir kesakitan. 

Setelah pandangi orang-orang yang ada di hadapannya Wiro 

akhirnya berkata. "Aku memang tidak mimpi.Tidak ngigau. Aku 

memang melihat dada benaran. Gadis yang aku temui sedang 

menangis.Gadis itu sendiri yang membuka pakaiannya dan 

memperlihatkan padaku ..." 

Naga Kuning tertawa cekikikan sementara dua gadis dan satu nenek 

hanya berdiam diri dengan wajah berubah merah. 

"Aneh, ceritamu tidak nyambung. Kalau menangis mengapa 

memperlihatkan dada?" tanya Naga Kuning pula. 

"Gadis itu menipuku. Dia sengaja bertindak begitu untuk membuatku 

lengah. Ketika aku benar-benar lengah dia menghantam dengan 

satu pukulan keras." 

Pukulan Telapak Roh hanya dimiliki NyaiTumbal Jiwo," kata Ratu 

Duyung pula. 

"Tapi turut keteranganmu yang memukulmu adalah seorang gadis." 

"Kau tahu siapa adanya gadis berpakaian merah yang mencelakai 

dirimu itu?" bertanya Purnama. Wiro menggeleng.


"Lalu kenapa kau tadi menyebut-nyebut nama Nyi Retno Mantili?" 

tanya Gondoruwo Patah Hati. 

"Perempuan itu menghilang setelah kuhalangi waktu dia hendak 

membunuh Wira Bumi Patih Kerajaan. Aku tengah mencarinya. 

Karena aku merasa bertanggung jawab jika sesuatu sampai terjadi 

dengan dirinya. Begitu pesan salah seorang guruku." 

"Aku menyirap kabar ada tiga orang tokoh berkepandaian tinggi 

tewas sewaktu berlangsung pesta besar di Gedung Kepatihan. 

Apakah itu pekerjaan Nyi Retno Mantil?" Bettanya Purnama. 

Murid Sinto Gendeng mengangguk. 

"Wiro, bagaimana perasaanmu sekarang?" bertanya Ratu Duyung. 

"Aku merasa sehat. Astaga. Kalian semua telah menolongku. Aku 

masih belum mengucapkan terimakasih! Jeleknya adatku!" 

Pendekar 212 lalu membungkuk dan mengucapkan terima kasih 

berulang-ulang pada ke empat orang itu. 

"Sekarang apa yang hendak kau lakukan? Masih mau mencari Nyi 

Retno Mantili," tanya Naga Kuning. 

Wiro pegang bahu si bocah ”Aku tidak tahu, Mungkin...." 

"Wiro," memotong Ratu Duyung. 

"Aku hanya sekedar rnengingatkan. Bukankah kita berdua di minta 

datang ke gunung Gede oleh Kiai Gede Tapa Pamungkas?" 

"Aku ingat. Pesan itu disampaikan melalui Eyang Sinto 

Gendeng.Tapi kurasa tidak ada perlunya lagi. Kiai Gede Tapa 

Pamungkas minta kita datang ke tempat kediamannya dengan 

membawa Pedang Naga Merah yang pernah dimiliki paderi 

perempuan Loan Nio. Pedang itu sudah diambil oleh Eyang Sinto


sewaktu terjadi pertempuran di Gedung Kadipaten Losari. Pasti 

pedang sudah diantar dan diserahkan sendiri oleh Eyang Sinto pada 

Kiai!" 

"Aku ingat sekali kejadian di Gedung Kadipaten Losari," kata Ratu 

Duyung pula. 

"Walau sudah mendapatkan Pedang Naga Merah tapi gurumu yang 

saat itu bersama kakek Tua Gila sebelum pergi masih berkata agar 

aku dan kau tetap harus menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. 

Berarti ada alasan lain mengapa Eyang Sinto tetap menyuruh kita 

menemui Kiai Gede. Kalau kau tidak ingin kesana karena ada 

urusan lain, aku tetap akan menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas 

seperti yang dikatakan Eyang Sinto." 

Wiro menggaruk kepala.Tak bisa rnenjawab. Naga Kuning dekati 

Wiro, berjingkat lalu berbisik "Wiro, kalau aku jadi kau lebih baik 

jalan bersama si cantik bermata biru ini. Dari pada mencari 

perempuan kurang waras yang punya anak kayu itu." 

"Mulutmu sama jabriknya dengan rambutmu!" kata Wiro sambil 

tusukkan telunjuk tangan kanannya ke perut Naga Kuning. Membuat 

si bocah meliuk kegelian. 

Setelah beberapa saat akhirnya Wiro berkata. "Kurasa memang ada 

perlunya kita menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Namun kalau 

tidak keberatan Ratu, kau boleh pergi lebih dulu. Aku menyusul 

beberapa hari berselang."


"Kalau begitu maumu, aku berangkat sekarang juga." Kata Ratu 

Duyung pula lalu tanpa banyak bicara lagi dia tinggalkan tempat itu. 

"Wiro, seharusnya kau pergi sama-sama dengan sahabatmu itu." 

Berkata Purnama. 

"Jika kau tak mau jalan bersamanya biar aku yang menemaninya. 

"Habis berkata begitu gadis dari Latanahsilam ini segera mengejar 

Ratu Duyung. Wiro terdiam tapi berpikir. Dalam hati dia berkata. 

"Aku kawatir, Purnama ingin menemani Ratu Duyung. Jangan-

jangan ada yang ingin diketahuinya mengapa Kiai Gede Tapa 

Pamungkas meminta aku dan Ratu Duyung datang. Dia ingin 

menyirap kabar. Kalau-kalau ...." 

''Wiro,'" kata Naga Kuning. 

"Aku yakin Ratu Duyung kecewa dengan sikapmu. Bahkan Purnama 

bisa menyelami hati gadis bermata biru itu." 

"Mungkin tindakanku keliru dan menyakitkan hati orang," sahut Wiro. 

"Tapi saat ini Patih Kerajaan terancarn keselamatannya hendak 

dibunuh oleh Nyi Retno Mantili. Jangan-jangan Patih itu memang 

sudah dibunuh." 

"Apa sebenarnya kepentinganmu sampai membela dan melindungi 

Patih Kerajaan begitu rupa?" bertanya Gondoruwo Patah Hati. 

"Setahuku Wira Bumi bukan orang baik. Bukankah kita semua sudah 

tahu kalau dia berguru pada nenek jahat Nyai Tumbal Jiwo, lalu 

punya niat keji membunuh bayinya sendiri, juga istrinya sendiri." 

"Aku bukan membela dan melindungi Wira Bumi. Justru aku 

membela Nyi Retno Mantili dan bayinya. Karena seseorang punya


pesan padaku. Bayi itu akan diserahkan pada ibunya pada malam 

Satu Suro mendatang di satu tempat di pantai selatan." 

"Satu Suro masih cukup lamadari sekarang:' kata Naga Kuning. 

"Selain itu kau mau-mauan secara tolol mencelakai diri sendiri untuk 

menolong orang." 

"Aku menolong siapa saja yang aku suka. Semua tanpa pamrih. 

Kukira hal itu sudah menjadi pegangan semua orang-orang rimba 

persilatan." Jawab Wiro. Lalu menyambung ucapannya."Aku juga 

dipesankan menjaga keselamatan Nyi Retno agar kelak bisa 

bertemu dengan puterinya dan diharapkan sembuh dari penyakit 

kehilangan ingatan. Kalau perempuan itu keburu mati, apa tidak 

kasihan pada sang bayi?" 

"Kalau aku boleh tahu, dimana bayi itu sekarang?" tanya Gondoruwo 

Patah Hati pula. 

"Di tanah seberang. Di Pulau Andalas. Dalam pemeliharaan seorang 

Datuk yang diam di dekat Danau Maninjau!" Jawab Wiro. 

Tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat dari balik pohon besar. 

"Hai! Kau!" 

Wiro sempat melihat gerakan orang dan cepat mengejar. Namun 

yang dikejar lenyap seperti ditelan bumi. 

"Siapa?" tanya Gondowwo Patah Hati. 

"Gadis baju merah muda yang memukulku." 

"Pasti dia sembunyi sejak tadi di balik pohon itu. Jangan-jangan dia 

mendengar semua pembicaraan kita." Kata Gondowwo Patah Hati. 

"Kawan-kawan, aku terpaksa meninggalkan kalian berdua." Kata 

Wiro.


"Kau mau kernana?!" tanya Gondoruwo Patah Hati. 

“Aku belum tahu.Tapi aku punya firasat bayi Nyi Retno Mantili dalam 

bahaya!" jawab Wiro lalu berkelebat pergi ke arah lenyapnya 

bayangan merah tadi. Sambil lari murid Sinto Gendeng terapkan 

ilmu Menembus Pandang. Dia melengak kaget ketika melihat jauh di 

depan sana seorang nenek berambut merah, bertubuh tinggi 

kerempeng berlari cepat ke arah selatan tanpa selembar benang 

pun menutupi auratnya. Wiro percepat lari agar bisa mengejar. 

Namun di satu lembah kecil dia kehilangan jejak. 

"Apakah nenek bugil itu yang memukulku?Tidak mungkin. Aku ingat 

sekali. Yang memukul seorang gadis cantik ...." Wiro akhirnya 

hentikan lari sambil garuk-garuk kepala. 

"Nenek itu menuju selatan. Kawasan laut. Apa aku harus menyelidik 

kesana? Lalu bagaimana dengan Nyi Retno?" Wiro juga ingat Ratu 

Duyung dan Purnarna. Dan tiba-tiba saja dia ingat pada kembaran 

ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu yang terakhir muncul sebagai Dewi 

Pemikat. 

(Baca serial Wiro Sableng "Petaka Patung Kamasutra", "Misteri 

Bunga Noda","lnsanTanpa WajahW,"Sang Pemikat", "Topan Di 

Gurun Tengger" dan NyawaTitipan) 

"Nek, apa kau ada di sini? Aku ingin ketemu dan bicara denganmu," 

kata Wiro dengan suara perlahan. 

"Wuuuttt!"


Satu bayangan hitam berkelebat. Bau pesing menebar. Yang 

muncul bukan nenek alam roh kembaran ketiga Eyang Sepuh 

Kembar Tilu tapi sang guru Eyang Sinto Gendeng ditemani kakek 

sakti yang dikenal dengan panggilan Tua Gila! Temyata sang guru 

masih berdua-dua dengan kekasih lama. Wiro cepat-cepat memberi 

penghormatan dengan membungkuk dalam-dalam. 

"Eyang Sinto, Kakek Tua Gila terima penghormatanku!" 

Mulut perot Sinto Gendeng pencong ke kiri. Susur yang tersembul 

diarnbil dengan tangan kanan. Lalu keluar ucapannya yang sudah 

tidakasing lagi. 

"Anak setan! Kau ternyata kesasar ke sini. Bukankah aku sudah 

memberi tahu agar kau segera menemui Kiai Gede Tapa 

Pamungkas di puncak Gunung Gede?" 

"Anu Nek, bukankah Pedang Naga Merah sudah nenek ambil sendiri 

..." 

"Anu. ..anumu geblek! Aku tidak bicara soal Pedang Naga Merah. 

Aku bicara soal permintaan guruku dan perintah dariku!" 

"Ratu Duyung sudah berangkat duluan Nek Nanti aku menyusul ..." 

"Dasar tolol! Kau belum budek waktu dulu aku bicara! Kau dan Ratu 

Duyung harus sama-sama menemui Kiai GedeTapa Pamungkas!" 

"Kalau begitu aku akan berangkat sekarang juga. Cuma, kalau aku 

boleh tahu Kiai Gede mau bicara apa, Nek?" 

"'Mana aku tahu?!" 

Tua Gila pegang bahu Sinto Gendeng.


"Sinto, sebaiknya kau katakan saja terus terang pada muridmu."' 

"Begitu?" sepasang mata si nenek berputar lalu mulutnya berucap. 

"Anak setan. Kaiau kau memang ingin tahu lebih dulu baik aku 

katakan! Kiai GedeTapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu 

dengan Ratu Duyung! Selarna ini kau petatang peteteng kemana-

mana seperti kuda liar. Sudah saatnya kau hidup punya pasangan!" 

"Tapi Eyang Sinto ...." 

"Tapi apa? Dulu kau diributkan sudah kawin bahkan menghamili 

Wulan Srindi. Di negeri Latanahsilarn konon kau juga sudah kawin 

dengan nenek jelek yang mukanya seperti burung nazar! 

Hik ... hik! Belakangan ini kau kawin dengan perempuan bernama 

Nyi Retno Mantili dan punya anak boneka kayu! Hik ... hik ... Apa 

kau mau hidup gila seperti itu terus-terusan?!"' 

"Nek, aku ...." 

"Sudah! Aku tahu apa yang hendak kau katakan. Kau mau bilang 

belum ingin kawin! lya kan?! Kau masih ingin jadi kuda liar punya 

segudang simpanan gadis cantik ..." 

"Nek, maksudku bukan begitu ..." 

"Sudah! Aku tidak mau dengar ucapan apapun darimu. Pokoknya 

sebelum bulan purnama muncul kau sudah harus menemui Kiai 

Gede Tapa Pamungkas!" 

Sinto Gendeng tarik tangan Tua Gila. Sepasang kakek nenek sakti 

itu berkelebat lenyap dari hadapan Wiro. Sang pendekar sendiri 

jatuhkan diri, duduk di tanah sambil garuk-garukdan goleng-goleng 

kepala. Ucapan sang guru terngiang kembali di telinganya.


"Kiai Gede Tapa Pamungkas ingin bicara soal perjodohanmu 

dengan Ratu Duyung." 

Wiro baringkan diri di tanah, menatap ke langit lepas. Namun yang 

dilihatnya adalah bayangan wajah-wajah Bunga, Anggini, Bidadari 

AnginTimur, Purnama dan Nyi Retno Mantili. Hatinya berucap. 

"Eyang kau cuma bisa memaksakan kehendak. Menyuruh aku 

kawin. Kau sendiri seumur-umur sampai jadi tua bangka kisut tidak 

pernah kawin!" 

Sambil pejamkan mata hatinya kembali bicara."Ratu Duyung, kau 

seperti memaksa ingin cepat-cepat menemui Kiai Gede Tapa 

Pamungkas. Apakah kau sudah tahu bahwa Kiai akan membicara 

kan soal perjodohanmu dengan diriku ... ?" 

* *


TUJUH


DI DALAM Goa Girijati di pantai selatan. Wira Bumi yang telah 

kembali ke ujud aslinya, sambil menatap ke arah laut luas berkata, 

ternyata pukulan Telapak Roh tidak membuat Pendekar Dua Satu 

Dua menemui ajal. Selama dia masih hidup berarti kita akan 

mengalami kesulitan untuk membunuh Nyi Retno Mantili dan 

bayinya. Lalu bagaimana dangan keampuhan ilmu kesaktian yang 

kumiliki?'" 

Nyai Tumbal Jiwo yang tidak tampak ujudnya menjawab dengan 

suara mengiang ke telinga sang murid. "Kau tidak perlu kecewa Wira 

Bumi. Dari ucapan pemuda itu yang kau dengar sendiri, kita sudah 

mengetahui kira-kira dimana beradanya bayi Nyi Retno Mantili. 

Mengenai ilmu kesaktianmu, selama aku bisa masuk ke dalam 

tubuhmu kau tak perlu kawatir." 

"Kalau begitu mengapa Nyai tidak pergunakan ilmu kesaktian untuk 

mengambil dan membawa bayi itu kesini. Bukankah Nyai bisa 

memindahkan benda yang ada di tempat jauh? Seperti dulu Nyai 

mampu mengambil golok besar milik saya dari tempat kediaman 

saya sewaktu masih menjadi Tumenggung?" 

"Jangan keliru Wira Bumi. Golok adalah benda rnati. Sedang bayi 

adalah benda hidup, benda bernyawa. llmu kesaktianku tidak punya 

kemampuan untuk mengambil benda hidup. Selain itu bayi Nyi


Retno pasti dipagari satu kekuatan hebat. Tidak sembarang orang 

bisa mendekatinya. Apa lagi hanya mempergunakan ilmu kesaktian 

dari jarak jauh. Termasuk golok milikmu yang kini entah berada di 

mana. Senjata itu sudah dilindungi orang yang menguasainya." 

Wira Bumi merasa kecewa. Tapi dia tidak mau mengatakan. Dia 

mengalihkan pembicaraan. "Nyai, kau tahu sebagai Patih Kerajaan 

saya tidak mungkin meninggalkan Kotaraja terlalu lama. Besok atau 

paling lambat lusa saya harus kembali.'" 

"Aku mengerti. Aku tengah memikirkan sesuatu. Mengatur rencana 

bagaimana caranya kita bisa mendapatkan bayi itu. Begitu matahari 

terbenam kita sama-sama bersamadi. Sebelum tengah malam aku 

yakin kita sudah mendapat jalan. Paginya kita sudah tahu dimana 

keberadaan bayi itu. Malamnya kau sudah bisa kembali ke Gedung 

Kepatihan walau sebenarnya tempat ini lebih aman karena sudah 

kupagari.Tidak ada orang bisa menemui goa ini selain kita berdua." 

"Nyai punya rencana apa? Boleh saya tahu?" 

"Aku akan menghubungi Ratu Pantai Utara. Kesaktiannya memang 

tidak sehebat Nyai Roro Kidul, tapi dia bisa kita andalkan untuk 

minta tolong. Lagi 

pula kedua orang itu sejak lama telah berseteru. Kita bisa 

memancing di air keruh." 

"Kawasan pantai utara jauh dari sini. Bagaimana mungkin Nyai 

mampu menghubungi Ratu Pantai Utara dalam waktu cepat?"


Di telinga Wira Bumi terdengar ngiang tawa cekikikan Nyai Tumbal 

Jiwo. "Kekasihku, serahkan semua padaku. Bila aku berhasil jumlah 

hari penantian saat aku mampu unjukkan diri akan berkurang lagi 

setengahnya. Hik ... hik. Tiga puluh hari dimuka kita sudah bisa 

bercumbu bermesraan lagi.Tidakkah kau kangen akan aku yang 

bagus mulus hangat menggelora ... ?" 

"Saya memang kangen Nyai. Saya serahkan semua pada Nyai. 

Saya percaya pada Nyai ..." jawab Wira Bumi. 

* * * 

KAWASAN lstana Emas tiga menara di dasar samudera selatan. 

Genta besar berbunyi bertalu-talu. Tanda bahaya! Sesuatu telah 

terjadi! Semua penghuni geger. Ratusan pengawal bersenjata 

tombak biru yang terdiri dari gadis-gadis cantik berpakaian minim 

melesat ke delapan penjuru angin dasar samudera. Menutup jalan 

keluar dan jalan masuk. Berjaga-jaga sepanjang Tembok Karang 

Abadi. Jangankan penyusup, seekor ikan pun tidak akan mampu 

menyelinap tembus. 

Nyi Roro Manggut, nenek sakti kepercayaan Nyai Roro kidul datang 

menghadap sang Ratu. 

'Nyi Roro Manggut, aku sudah tahu apa yang terjadi. Hanya saja 

silahkan kau bicara. Aku mau tahu lebih jelas." Kata sang Ratu 

begitu si nenek membungkuk di hadapannya sambil mangut-

manggut.


Junjungan Ratu Samudera Selatan, mohon maaf beribu maaf. 

Mohon ampun beribu ampun. Batu mustika Angin Laut Kencana Biru 

lenyap dari tempat rahasia penyimpanannya." 

Seperti diketahui batu sakti bernama Batu Mustika Angin Laut 

Kencana Biru dapat dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh 

hanya dalam bilangan kejapan mata. Nyi Roro Manggut dan Ratu 

Duyung pernah mempergunakannya ketika menolong pendekar 212. 

"Terakhir sekali batu mustika itu dipinjam oleh Ratu Duyung, tapi 

telah dikembalikan," menjelaskan Nyi Roro Manggut, nenek sakti 

tangan kanan kepercayaan Nyai Rota Kidul. "Setelah dikembalikan, 

pagi tadi diketahui batu sakti tersebut lenyap tanpa bekas." 

"Jelas ada orang yang mencuri. Sesuai kesaktiannya batu pasti 

dipergunakan untuk pergi ke satu tempat jauh. Nyi Roro Manggut. 

telusuri melalui limu Menjajag Raga Menjajag Keringat...." 

"Saya sudah melakukan Ratu. Nyatanya orang itu tidak mempunyai 

raga, tidak meninggalkan jejak. Dia juga tidak berkeringat ...." 

"Berarti dia bukan manusia biasa. Dia mahluk alam roh. Nyi Roro 

Manggut kau tahu siapa saja mahluk alam roh yang gentayangan di 

dunia luar sana?" 

Si nenek manggut-manggut dulu beberapa kali baru menjawab. 

"Saat ini banyak sekali mahluk dari alam roh yang berkeliaran. 

Sebagian besar dari mereka adalah orang orang dari negeri seribu


dua ratus tahun silam yang disebut latanahsilam. Saya tidak tahu 

mereka satu persatu ..." 

"Siapa saja yang kau kenal? Aku mencium yang punya perbuatan 

adalah mahluk alam roh perempuan karena aku mencium bau 

kembang melati." 

"Yang saya tahu adalah mahluk cantik bernama Pumama. Gadis ini 

dari Latanahsilam. Lalu ada Bunga, gadis alam roh dari tanah Jawa. 

Kemudian seorang nenek sakti dikenal sebagai kembaran ketiga 

Eyang Sepuh Kembar Tilu. Lalu ada gadis bernama Luhrembulan. 

Seperti Purnama dia juga berasal dari negeri Latanahsilam. Masih 

ada seorang nenek alam roh asal tanah Jawa dikenal dengan 

panggilan Nyai Tumbal Jiwo. Hanya itu yang saya tahu Junjungan 

Ratu!" 

Nyai Roro Kidul angkat kepala sedikit lalu picingkan mata sekejap 

dan mencium dalam-dalam. Kemudian penguasa samudera selatan 

yang luar biasa cantik ini berkata. 

"Aku mendapat petunjuk dari cahaya dan bebauan. Semua mahluk 

alam roh itu terkait dengan murid nenek sakti dari Gunung Gede 

Sinto Gendeng ..." 

"Maksud Ratu, Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng?" tanya Nyi 

Roro Manggut.


"Betul. Sahabatmu itu masih saja dikungkung kesulitan. Kurasa 

lewat dia kau akan mampu menjajagi siapa yang mencuri batu 

mustika sakti dan kemana dia menuju. Selain itu kau juga harus 

menerapkan ilmu Menjajag Nafas Mendengar Detak Jantung. 

Kalaupun dia memang mahluk alam roh kau pasti bisa mengetahui 

siapa orangnya., dimana beradanya. Lakukanlah, tapi hati-hati Nyi 

Roro Manggut. Aku punya perasaaan ada seseorang yang tahu 

seluk beluk ke adaan kawasan kita yang ikut berperan dalam 

lenyapnya batu pusaka itu. Kau juga harus mencari tahu siapa 

adanya orang ini. Isyarat memberi tahu orang itu berada di sebelah 

utara." 

Nyi Roro Manggut membungkuk dalam-dalam. "Kalau Ratu 

menyebut orangnya ada di kawasan utara, mungkin saya sudah bisa 

menduga siapa dia adanya." 

Nyai Roro Kidul mengangguk. Dia mengepalkan jari-jari tangan 

kanan, ketika kepalan jari dibuka di telapak tangannya ada sebuah 

batu bulat berwarna merah. 

"Nyi Roro Manggut, masukkan batu ini ke dalam kepalamu lewat 

ubun-bun. Semoga Gusti Allah melindungi dimana kau berada, 

apapun yang kau lakukan." 

Sepasang mata Nyi Roro Manggut membesar berkilat, kepala 

manggut-manggut. Mulut yang perot sunggingkan senyum gembira. 

Dia tahu, jarang sekali sang Ratu menyerahkan batu itu pada orang 

kepercayaannya.


"Terima kasih Ratu telah mempercayakan Batu Cahaya Rembulan 

Dan Matahari untuk saya bawa". Si nenek ambil batu berwana 

merah, letakkan di atas ubm-ubun. Begitu tangan tekan batu masuk 

ke dalam kepala.Wajah si nenek tampak cerah dan dia kelihatan 

jauh lebih muda. Kerut-kerut di wajah dan tangannya hilanng. Si 

nenek terheran-heran, mengusap wajah dan tangan berulang kali. 

Nyai Roro Kidul tersenyum. 

'Nyi Roro Manggut, pergilah." 

Si nenek membungkuk. "Saya siap melaksanakan tugas. Saya minta 

diri dan mohon restu Ratu." 

Setelah Nyi Roro Manggut berlalu Nyai Roro Kidul turun dari 

singgasana. Melangkah ke balik tirai biru yang begemerlap taburan 

batu-batu permata berkilat. Di ujung ruangan di balik tirai biru 

terdapat sebuah tembok bening. Seolah kaca tembus pandang di 

belakang tembok kelihatan pemandangan laut yang indah sekali. Di 

bagian tengah tampak sebuah gundukan batu berwarna kuning 

emas. Di atas gundukan batu emas ini berdiri seorang pemuda 

berambut panjang sebahu, berpakaian. Putih mernegang sebuah 

kapak bermata dua di tangan kiri. 

"Pendekar Dua Satu Dua ... !" ucap Nyai Roro Kidul. 

"Jadi benar petunjuk yang aku terima. Dirimu terlibat dalam urusan 

pelik. Bukan cuma urusan nyawa manusia, tetapi juga urusan cinta. 

Kuharap kau bisa menghadapi semuanya ..." 

Nyai Roro Kidul melangkah mendekati tembok tembus pandang. Di 

belakang sana sosok Pendekar 212 turun dari atas gundukan batu


emas. Lalu melangkah ke arah tembok Nyai Roro Kidul memberi 

isyarat lalu tempelkan telapak tangan kanannya ke tembok tembus 

pandang. Wiro melakukan hal yang sama. Dua telapak tangan 

saling bertempelan, terpisah oleh tembok tembus pandang. 

Satu kilatan kecil Menyilaukan berpijar di antara dua telapak tangan. 

Nyai Roro Kidul bersurut satu langkah. Telapak tangan kanan 

bergetar. Getaran mengalir sejuk masuk ke sekujur tubuh. Sesaat 

sang Ratu perhatikan telapak tangannya lalu ditempelkan ke hidung. 

"Harum segar bau kayu cendana. Ah, temyata dia masih perjaka." 

Nyai Roro Kidul tersenyum. Ketika sosok Pendekar 212 di balik 

tembok tembus pandang perlahan-lahan berubah samar dan 

akhirnya lenyap, sang Ratu balikkan tubuh, tinggalkan tempat itu 

masuk kedalam sebuah kamar besar dan bagus. Sambil berbaring 

menelentang di atas ranjang yang empuk kembali telapak tangannya 

diletakkan di atas hidung. 

"Luar biasa, benar-benar aku tidak menyangka. Berarti apa yang aku 

dengar selama ini tentang dirinya hanya gunjing fitnah belaka ...." 

Sang Ratu berucap dalam hati."Aku menyirap kabar ada orang yang 

ingin menjodohkannya dengan Ratu Duyung. Apakah hal itu akan 

benar-benar terjadi? Apa mereka memang saling mencinta?" 

* * *


DELAPAN


Nyi Kuncup Jingga berlutut dihadapan perempuan yang duduk di 

kursi. besar berlapis emas dalam ruangan besar terang benderang 

dan berhawa sejuk. Perempuan ini walau sudah berusia lebih dari 

empat puluh tahun namun masih memiliki wajah cantik jelita, tubuh 

bagus dan mulus. Sepasang mata dengan bola mata kelabu 

memperhatikan segala sesuatu dengan pandangan tajam terkadang 

dingin. Pakaian biru kelam panjang yang dikenakannya di belah 

tinggi di sisi kiri kanan hingga menyibakkan Sepasang paha gempal 

putih sampai ke pangkal pinggul. Di kepala bertahta sebuah 

mahkota emas bertabur batu permata langka aneka warna. 

Nyi Kuncup Jingga sendiri adalah seorang nenek berkepala aneh. 

Wajah bewarna ungu, bibir tebal dower merah seperti diselomoti 

darah. Dua mata bengkak seolah terpejam. Kepala di bagian atas 

lebih kecil dibanding dagu dan pipi. Rambut jarang kelabu. Tidak 

salah kalau namanya Nyi Kuncup jingga. 

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Kuncup Jingga 

datang untuk memberi tahu. Ada seorang tamu minta bertemu 

dengan Sri Paduka Ratu. Tamu itu seorang gadis cantik jelita 

mengaku bernama Nyl Wulas Pikan. Saat ini dia masih berada di 

teluk Losari. Dijaga oleh lima orang Abdi Kawal."


Perempuan cantik yang dipanggil Sri Paduka Ratu Penguasa Laut 

Utara bertanya."Apa kepentingannya?" 

"Dia membutuhkan pertolongan Sri Paduka Ratu. Jika Sri Paduka 

Ratu berkenan menolong maka selesai urusan dia akan 

menyerahkan sebuah benda sakti mandraguna pada Sri Paduka 

Ratu. Perlu Sri Paduka Ratu ketahui, dari penjajagan saya gadis itu 

datang dari kawasan pantai selatan." 

Sri Paduka Ratu tersenyum. 

"Bawa gadis itu ke hadapanku!" 

Nyi Kuncup Jingga segera bangkit berdiri, membungkuk lalu sekali 

berkelebat sosoknya lenyap dari ruangan.Tak selang berapa lama si 

nenek telah melesat keluar dari dalam laut utara dan rnuncul di 

Teluk Losari. Saat itu tepat tengah hari. Sang surya bersinar terik 

membuat perih jangat walau angin laut bertiup cukup kencang. Di 

depan sederetan pohon kelapa, lima orang lelaki yang disebut Abdi 

Kawal mengelilingi seorang gadis cantik berpakaian hijau muda. 

Melihat kedatangan Nyi Kuncup Jingga, lima pengawal segera 

membungkuk rnernberi jalan. 

"Sri Paduka Ratu telah mengizinkan gadis ini datang menghadap. 

Kalian boleh pergi." Lima Abdi Kawal tidak menunggu lebih –lama 

segera melompat masuk ke dalam laut. Nyi Kuncup Jingga memberi 

tanda agar si gadis mengikutinya. "Kita akan masuk ke dalam Iaut." 

Menerangkan Nyi Kuncup Jingga. 

"Tapi Nek, aku tidak punya kemampuan berenang apa lagi 

menyelam ..." kata si gadis yang mengaku benarna Nyi Wulas Pikan.


Si nenek tertawa. Bia ulurkan lengan kiri. Pegang tanganku. Setelah 

itu tak ada yang perlu kau kawatirkan ." 

Nyi Wulas Pikan pegang lengan kiri si nenek. Nyi Kuncup Jingga 

usap tangan si gadis."Mulus sekali ..." 

katanya sambil senyum-senyum. Lalu cup ... cup! Dia-mengecup 

tangan putih Nyi Wulas Pikan. 

"Nek.." Nyi Wulas kegelian juga merasa heran. Si nenek sentakkan 

lengan, tubuh melesat ke udara. Nyi Wulas Pikan ikut melayang. 

Sesaat kemudian kedua orang itu lenyap masuk ke dalarn laut utara. 

* * * 

NYI Wulas Pikan melangkah menaiki tangga batu pualam berkilat 

mengikuti si nenek. Di mana-mana kelihatan banyak pengawal lelaki 

dan perempuan. 

, "Nek, apakah saat ini kiia berada di dalam laut?" Bertanya Nyi 

Wulas Pikan. 

"Betul." 

"Mengapa tidak ada air laut? Mengapa kita tidak basah?" Nyi 

Kuncup Jingga tertawa. 

"Sudah, jangan banyak bertanya. Kita akan segera masuk ke tempat 

Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Jika kau sampai di 

hadapannya harap pergunakan peradatan. Cepat-cepat jatuhkan diri 

berlutut, sebut namamu dan ucapkan salam hormatmu. Apa kau 

mengerti?" 

"Saya mengerti Nek," jawab si gadis berpakaian biru muda. 

"Ada satu hal lagi yang kau mengerti!" Ucap Nyi Kuncup Jingga. 

"Hal apakah itu, Nek?" tanya Nyi Wulas Pikan.


"Jika semua urusanmu sudah selesai, sebelum kembali ke selatan 

kau harus menginap di tempat kediamanku barang beberapa malam 

untuk bersenang-senang." 

Nyi Wulas Pikan tatap wajah ungu si nenek. Dia hendak bertanya 

namun di telinganya mengiang satu suara. 

"Jawab saja ya. Nenek ini tua bangka aneh yang suka sesama 

jenis." 

"Baik Nek, saya akan menginap di tempat kediamanmu,'" berkata 

Nyi Wulas Pikan. 

Si nenek tampak gembira. 

Memasuki sebuah ruangan besar Nyi Wulas Pikan melihat seorang 

perempuan cantik duduk di atas kursi emas. Si nenek memberi 

tanda. Begitu sampai di hadapan perempuan yang duduk di kursi, 

Nyi Wulas Pikan segara berlutut. 

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara, saya Nyi Wulas 

Pikan.Terima salam hormat saya. Saya datang dari jauh untuk 

mohon pertolongan Sri Paduka Ratu." Perempuan cantik di atas 

kursi tatap sosok Nyi Wulas Pikan mulai dari ujung rambut sarnpai 

ke kaki lalu sunggingkan senyum. 

"Nyi Wulas Pikan, harap kau perlihatkan dulu Sosok dirimu yang 

sebenamya! Baru kita bicara!" 

Gadis berpakaian biru muda bernama Nyi Wulas Pikan sembunyikan 

rasa terkejutnya dengan tersenyum. Sementara Nyi Kuncup Jingga 

terkesiap mendengar ucapan Sri Paduka Ratu. 

"Sri Paduka Ratu, harap maafkan kalau saya telah berbuat sesuatu 

yang kurang menyenangkan. Saya berlaku begitu untuk menjaga


keselamatan." Habis berucap Nyi Wulas Pikan goyangkan 

kepalanya dua kali ke kiri dua kali ke kanan. 

"Desss!" 

Saat itu juga sosok Nyi Wulas Pikan yang tadinya berupa gadis 

cantik jelita berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar 

berpakaian bagus. Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara tertawa 

panjang. 

"Manusia berpakaian mewah, bukankah kau Patih Kerajaan selatan 

bernama Wira Bumi?" 

Lelaki yang menjelma dari sosok gadis cantik membungkuk dalam-

dalam. 

"Terima kasih. Sri Paduka Ratu mengenal diri saya." 

"lni satu peristiwa besar! Seorang Patih Kerajaan datang menemui 

diriku secara menyamar. Apa gerangan yang terjadi?Tapi tunggu! 

Aku rnerasa ada satu mahluk dalam tubuhmu. Siapa dia?!" 

"Maafkan saya Sri Paduka Ratu. Dibanding Sri Paduka Ratu saya 

bukan apa-apa," kata Patih Kerajaan merendah sambil setengah 

memuji setengah menjilat. 

"Yang ada di dalam tubuh saya adalah guru saya." 

"Gurumu....?" Sepasang alis mata Sri Paduka Ratu mencuat ke atas. 

"Apa dia tidak bisa jalan sendiri hingga menumpang dalam 

tubuhmu?" 

"Guru terkena musibah akibat kalah berkelahi melawan seorang 

mahluk alam roh.Tadinya selama seratus dua puluh hari dia tidak 

bisa memperlihatkan diri. Saat ini hanya tinggal enam puluh hari." 

"Omong kosong! Aku mau lihat siapa gurumu!" 

Habis keluarkan ucapan Sri Paduka Ratu lambaikan tangan kanan. 

Selarikcahaya kuning menmu sekujur tubuh Wira Bumi.


"Dess! Braaak!" 

Satu sosok serba merah seorang nenek tinggi kurus tergeletak di 

lantai batu pualam. Pakaian selempang kain merah. Rambut merah 

riap-riapan. Muka keriput juga merah, begitu pula mata, alis, lidah 

dan gigi. Sosok ini berguling di hadapan Sri Paduka Ratu dia 

bangkit, berlutut lalu membungkuk. 

"Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara. Saya rnengucap syukur dan 

terima kasih. Dengan kesaktianmu kau telah menolong diri saya 

hingga saat ini saya bisa menunjukkan ujud kembali." 

"Mahluk muka merah, apakah kau punya nama?" Sang Ratu 

menegur. 

"Maafkan saya, sampai lupa memperkenalkan diri. Orang-orang 

memanggil saya Nyai Tumbal Jiwo." 

"Nyai Tumbal Jiwo! Aku pernah mendengar namamu. Mahlukalam 

roh yang punya berbagai limu kesaktian menakjubkan. Tinggal di 

satu goa di kawasan pantai selatan. Mampu mengambil benda mati 

yang ada di tempat jauh. Punya berbagai pukulan sakti yang sulit 

dicari banding! Bisa merubah diri menjadi seorang gadis cantik! 

Menakjubkan kalau hari ini kau datang ke tempatku! Nyai Tumbal 

Jiwo, katakan apa maksud kedatanganmu bersama muridmu Patih 

Kerajaan Wira Bumi." 

"Sri Paduka Ratu, izinkan saya memberi keterangan." Lalu Nyai 

Tumbal Jiwo menuturkan riwayat ilmu kesaktian yang dituntut Wira 

Bumi. Namun ada yang masih jadi ganjalan.Yaitu sesuai dengan 

ketentuan Wira Bumi harus membunuh bayi yang dilahirkan Nyi 

Retno Mantili karenadia telah menyalahi pantangan dalam menuntut 

ilmu kesaktian tersebut. .


"Lalu pertolongan macam apa yang akan kau minta dariku? lmbalan 

apa yang akan kau berikan padaku?" tanya Sri Paduka Ratu setelah 

Nyai Tumbal Jiwo rnenyelesaikan ceritanya. 

"Kami ingin Sri Paduka Ratu membantu kami mengambil bayi itu. 

Kami sudah tahu dimana perkiraan bayi berada. Namun kami 

kawatir kalau hanya berbekal ilmu kepandaian kami yang dangkal 

kami belum tentu marnpu mendapatkan bayi itu." 

"itu urusan kecil. Aku ingin tahu imbalan apa yang akan kalian 

berikan padaku jika bayi berhasil kalian dapatkan. Aku melihat ada 

satu cahaya biru di dalam tubuhmu. Pertanda kau membawa satu 

benda sakti mandraguna." 

Nyai Tumbai Jiwo berdiri.Tangan kanan diusapkan tiga kali ke 

bagian tubuh yang terlihat ada cahaya biru. Setelah mengusap tahu-

tahu sebuah benda bulat lonjong sebentuk telur ayam memancarkan 

warna biru berada di atas telapak tangannya. 

Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara terkejut. sampai-sampai 

bangkit dari duduknya di kursi emas. 

"Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru!" ucap sang Ratu dengan 

pandangan hampir tak percaya. Bagaimana batu sakti itu ada 

padamu?" 

"Sri Paduka Ratu, saya rasa Sri Paduka Ratu sudah tahu siapa 

pemilik batu mustika ini dan dimana disimpannya. Saya berhasil 

mengambilnya dari lstana Nyai Roro Kidul walau untuk itu saya 

harus rnengorbankan diri ..."


Habis berkata begitu Nyai Tumbal Jiwo singkapkan pakaian 

merahnya di bagian dada. Dua payu daranya tampak tinggal 

merupakan dua daging geroak yang rnasih basah lembab dengan 

darah. 

"Sri Paduka Ratu, batu mustika ini akan saya berikan padamu, jika 

kau mau menolong kami mendapatkan bayi itu." 

Sri Padaku Ratu diam sejenak seperti merenung. Setelah itu baru 

keluarkan ucapan. "Kalian tidak hanya rnemberikan batu mustika 

sakti itu padaku, tapi juga harus bersumpah bahwa kalian berdua 

akan menjadi pengabdi diriku." 

"Permintaan Sri Paduka Ratu kami setujui," jawab Nyai Tumbal 

Jiwo. Lalu diikuti oleh Wira Bumi dia bersujud di hadapan kaki Sri 

Paduka Ratu. 

"NyaiTumbal Jiwo, katakan apa yang kau ketahui tentang 

keberadaan bayi itu. Apa bayi itu punya nama?" 

'"Siapa nama bayi itu saya tidak tahu, Sri Paduka Ratu. Mengenai 

keberadaannya kami mendapat cerita bahwa si bayi berada di pulau 

Andalas. Di Kawasan Danau Maninjau. Dipelihara oleh seorang 

dipanggil Datuk ..." 

Ratu Laut Utara berpaling pada Nyi Kuncup Jingga. 

"Ambil Dulang Perak Sejuta Mata. Tuangkan Air Sejuta Warna dan 

bawa ke sini." 

Nyi Kuncup Jingga segera berdiri, melangkah cepat memasuki 

sebuah lorong rnenuju satu ruangan rahasia. Tak lama kemudian dia 

muncul kembali bersama dua orang gadis yang memegang sebuah


nampan bulat terbuat dari perak. Di dalam nampan terdapat cairan 

bening berwarna kebiruan. Nampan dibawa kehadapan Sri Paduka 

Ratu. 

Setelah menatap air di dalam nampan beberapa lamanya, Sri 

Paduka Ratu kemudian sapukan tangan kanan di atas air. Asap biru 

mengepul. Begitu asap lenyap sang Ratu rnemperhatikan ke dalam 

nampan tanpa berkesip. Beberapa lama kemudian dia memberi 

isyarat pada dua gadis. Keduanya tinggalkan tempat itu dengan 

membawa dulang. 

"Nyai Tumbal Jiwo. Patih Wira Bumi, kita menghadapi satu kekuatan 

besar. Aku melihat danau aku melihat seorang tua bermata biru, aku 

melihat seekor harimau putih bermata hijau dan aku memang 

melihat seorang bayi berusia sekitar lima belas bulan. Jika kau 

memang inginkan bayi itu, sebelurn tengah hari besok kita akan 

mendapatkanya. Namun tingkat kegagalan cukup gawat. Si bayi 

memiliki perlindungan hebat. Jika gagal masih ada kesempatan 

kedua. Ada petunjuk bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah Jawa ini. 

Terserah apa kalian ingin melakukan sekarang atau menunggu 

sampai bayi berada di tanah Jawa" 

"Sri Paduka Ratu, kami dikejar waktu. Kalau boleh memohon kami 

ingin pekerjaan ini dilakukan sekarang juga!" kata Nyai Tumbal Jiwo. 

Sri Paduka Ratu anggukkan kepala. Lalu berpaIing pada Nyi Kuncup 

Jingga.


"Nyi Kuncup Jingga, katakan kebiasaan yang Kita lakukan dalam 

membuat perjanjian tolong-menolong." 

Nyi Kuncup Jingga membungkuk, lalu berdiri lurus-lurus menghadap 

ke arah Nyi Tumbal Jiwo dan Wira Bumi. 

"Sebagai jaminan bahwa kalian tidak berdusta dan tidak akan 

meIanggar janji, atas nama Sri Paduka Ratu maka Patih Kerajaan 

selaku orang yang berkepentingan harus menyerahkan mata kirinya" 

NyaiTumbal Jiwo tersurut satu langkah. 

* * *


SEMBILAN


PATlH Wira Bumi melengak kaget dan pucat wajahnya. "Sri Paduka 

Ratu, apakah ...." Ucapan Nyai Tumbal Jiwo dipotong oleh sang 

Ratu. 

"Mata yana diambil akan dikembalikan jika urusan sudah selesai dan 

kalian memenuhi janji yaitu menjadi pembantu-pembantuku dan 

menyerahkan batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Jika kalian 

berkenan katakan ya, kalau tidak silahkan meninggalkan lstanaku 

tapi batu sakti itu tetap harus diserahkan padaku ..." 

"Nyai ...." Wira Bumi berucap, memandang pada NyaiTumbal Jiwo. 

Seolah minta pendapat. 

"Sri Paduka Ratu. Kerajaan bisa diganti dengan mataku?". . . 

Sri Paduka Ratu tidak menjawab.Yang menyahut adalah Nyi Kuncup 

Jingga. 

"Apa yang sudah ditentukan Sri Paduka Ratu Penguasa Laut Utara 

tidak bisa dirobah. Kalian Cuma punya pilihan. Menerima atau pergi 

dan tinggalkan batu sakti. Bukankah batu itu bukan milik kalian. 

Kalian telah mencurinya dari lstana Ratu Selatan. Lagi pula kau 

telah menerima kebajikan dari Sri Paduka Ratu. Kau bisa 

menunjukkan ujud kembali dan tictak perlu menunggu.enam puluh


hari. Apa ba!as budimu pada Sri Paduka Ratu dan Kerajaan Laut 

Utara?!" 

"Tapi Nek, Sri Paduka Ratu ..." Wira Bumi tidak ianjutkan ucapannya 

karena saat itu dia mendengar suara NyaiTumbal Jiwo mengiang di 

telinganya. 

"Wira Bumi kita telah terjebak. Tidak mungkin mundur. Kita terpaksa 

menerima apa yang dikatakan orang. Kali ini kita dibikin celaka, 

nanti akan kita balas!" 

Sambil sampaikan ucapan mengiang Nyai Tumbal Jiwo melirik ke 

arah Sri Paduka Ratu. Dia memperhatikan mata kelabu wanita 

cantik ini menatap tajam ke arahnya. "Apakah dia tahu dan 

mendengar apa yang barusan aku ucapkan ..." pikir si nenek dan 

diam-diam merasa kawatir. Tapi sang Ratu tampak tenang-tenang 

saja. 

Wira Bumi keluarkan keringat dingin. Terlebih ketika dia mendengar 

Nyai Tumbal Jiwo berkata. "Sri Paduka Ratu, kami menerima 

permintaanmu. Kau boleh mengambil mata kiri Patih Kerajaan." 

Sri Paduka Ratu berdiri dari duduknya, memberi isyarat pada Nyi 

Kuncup Jingga. Nyi Kuncup Jingga selanjutnya memberi tanda pada 

seorang gadis pengawal yang segera mendatangi sambil membawa 

sebuah seloki terbuat dari batu pualam licin berkilat yang di 

dalamnya telah ditaruh air berwarna kemerahan. Orang ini berdiri di 

sisi kiri Patih Wira Bumi, hanya terpisah sejarak satu langkah. 

"Patih Kerajaan, harap berdiri dengan tenang. Jangan bergerak.." 

Ratu Penguasa Laut -Utara berucap. Bersamaan dengan itu tangan


kanannya disapukan ke depan. Tangan berubah panjang, lima jari 

mencuatkan kuku runcing begemerlap putih. 

Sesaat kemudian. 

"Srreett ... craass!" 

Bola mata kiri Patih Wira Bumi tercungkil keluar, masuk ke dalam 

seloki batu pualam yang dipegang gadis yang tegak di sampingnya. 

Tak ada darah menyembur.Tidak ada jeritan keluar dari mulut Wira 

Bumi. Namun begitu mata kirinya tercungkil keluar dari rongganya 

Patih Kerajaan ini langsung ambruk, roboh ke lantai! 

Seorang gadis pengawal dengan cepat mengikatkan secarik kain 

hitam tebal kekepala Wira Bumi, menutupi matanya yang bolong. 

* * * 

DANAU Maninjau di pulau Andalas. Pagi itu walau sang surya belum 

keseluruhannya tersembul di ufuk timur namun udara tampak cerah. 

Embun bertabur indah di dedaunan laksana batu permata. Burung-

burung berkicauan di ranting pepohonan. Angin Sertiup semilir sejuk 

menyegarkan. 

Di satu tempat yang sunyi dan jarang didatangi orang di kawasan 

timur danau karena dihalangi tebing batu besar, licin dan curam, 

tersembunyi di balik kerapatan pohon Kayu Manis terdapat sebuah 

rumah panggung kayu yang atapnya berlapis ijuk berbentuk gonjong 

lima. Dari bagian depan rumah bisa terlihat Danau Maninjau yang 

luas berair hijau kebiruan.


Di sekeliling halaman rumah, terdapat delapan tiang bambu yang 

ujungnya disumpal dengan kain mengandung minyak. Sepintas 

bambu-bambu ini tarnpak seperti obor panjang padahal sebenarnya 

rnerupakan benda penangkal untuk melindungi rumah panggung 

dan penghuninya dari segala marabahaya. Tiang-tiang bambu ini 

juga dipancang di tepi jalan setapak menuju pancuran tempat mandi 

di tepi Danau Maninjau. 

Seorang perempuan berusia setengah abad yang biasa dipanggil 

dengan nama Mande Saleha (Mande=Ibu) tampak sedang menyapu 

bagian depan rumah panggung. Ketika dia mendengar suara 

tangisan bayi di ruang dalam, perempuan ini segera meletakkan 

sapu, setengah berlari masuk ke dalam rumah. 

Tak lama kemudian Mande Saleha keluar sambil menggendong 

seorang bayi berusia satu setengah tahun. Bayi montok ini berambut 

hitam lebat, dikuncir lurus di atas kepala. Pipi dan bibir tampak 

merah. Setengah merengek sang bayi mengusap-usap mata. Bayi 

ini bukan lain adalah Ken Permata, bayi Nyi Reto Mantili yang dulu 

diserahkan Djaka Tua pada Datuk Rao Basaluang Ameh. 

"Anak rancak anak Mande. Jangan menangis ..." kata Mande Saleha 

sambil mengusap kepala si bayi lalu mencium pipinya kiri kanan 

berulang kali. (rancak=cantik). 

"Anak rancak Ken Permata, kalau matohari ala muncul kita mandi di 

pancuran. Sudah itu Mande siapkan pisang manis untukmu. Kalau 

Baiduri Ibu susumu datang kau boleh menyusu sepuas-puasmu.


Sekarang mari kita main-main dulu di halaman. Jangan menangis 

ya. 

Anak manis tidak boleh menangis.."(ala = sudah) Ketika mendukung 

Ken Permata menuruni tangga rumah kayu, seorang perempuan 

muda tampak berjalan ke arah rumah. 

"Hai. itu Ibu susumu sudah datang. Ah, kau mau bermain atau mau 

menyusu dulu ...." Perempuan muda di halaman lambaikan tangan. 

Ken Permata yang ada dalam dukungan tertawa-tawa. badannya 

digoyang-goyang minta diturunkan. 

Sampai di tanah Mande Saleha turunkan Ken Permata. Dengan 

langkah tertatih-tatih anak itu berjalan ke arah Baiduri. Perempuan 

yang menjadi Ibu susu. Ken Permata sejak bayi ini cepat merangkul 

dan mendukungnya." 

"Mande, malam tadi saya tidak bisa lalok. Selalu ingat pada bayi ini. 

Saya takut dia sakit. Makanya saya datang lebih pagi. Saya 

bersyukur anak ini tidak kurang suatu apa. Biar saya susukan dulu 

dia."(lalok= tidur) Baiduri lalu menyingkapkan dada pakaian. 

Sementara menyusui Baiduri berkata lagi pada Mande Saleha. 

"Saya mendengar kabar. Bulan dimuka Ken Permata akan diantar 

Datuk ke tanah Jawa. Diserahkan pada ibu kandungnya. Saya sedih 

sekali. Saya sudah menganggap bayi ini seperti anak sendiri ..." 

Perlahan-lahan air mata mengucur membasahi pipi Baiduri.


"Aku juga sudah mendengar kabar itu. Kita sama-sama menyayangi 

Ken Permata. Entah bagaimana rasanya kalau anak ini nanti tidak di 

sini lagi bersama kita." Mande Saleha ikut sedih dan matanya 

berkaca-kaca. 

"Mande, coba Mande bujuk Datuk. Minta padanya agar tidak 

membawa Ken Permata ke Jawa. Kita akan memeliharanya baik-

baik sampai dia besar. .." 

"Mande pernah mendengar cerita Datuk tentang bayi ini. Agaknya 

Datuk sudah punya keputusan begitu. Atau mungkin ada semacam 

perjanjian yang harus dilaksanakan Datuk ...." 

"Kalau begitu minta pada Datuk agar salah satu dari kita atau kita 

berdua boleh ikut bersama Ken Permata ke Jawa." 

"Kalau ada kesempatan hal itu akan Mande sampaikan." Kata 

Mande Saleha pula sambil mengusap kepala Ken Permata yang 

asyik menyusu. 

Dari balik pohon-pohon Kayu Manis yang banyak tumbuh sekitar 

danau muncul seekor harimau putih besar bermata hijau. Binatang 

ini menggereng halus. 

"Ken Permata, lihat sahabat kita Datuk Rao Bamato Hijau pagi-pagi 

juga sudah datang. Tapi mengapa kilau hijau matanya agak redup 

Mande lihat. Mungkin Datuk sedang sakit? Mengapa ada cahaya


biru di dadanya? Hai, Baiduri, kiranya harimau sakti itu datang 

bersama suamimu Mangkuto Alam." 

Baiduri yang masih menyusui bayi Ken Permata berpaling. Dia 

melihat suaminya Mangkuto Alam jalan beriringan dengan harimau 

putih Datuk Rao Bamato Hijau. 

"Baiduri, kekawatiranmu jadi kekawatiran Uda juga. Uda merasa 

belum lega kalau tidak melihat sendiri keadaan anak ini. Ah, syukur 

dia tampaknya sehat dan baik-baik saja." kata Mangkuto Alam suami 

Baiduri seorang lelaki bertubuh ramping berkumis kecil dan 

mengenakan kopiah hitam mengusap kepala Ken Permata. Mungkin 

karena sudah puas menyusu Ken Permata mengangkat kepalanya 

dan berpaling sambil tertawa-tawa pada Mangkuto Alam. 

(Uda=Kakak). 

"Mari Uda dukung dia sebentar. Sudah itu Uda akan kembali ke 

ladang. Banyak pekerjaan yang belum selesai. Kulit kayu manis 

belum kering dijemur. Mudah-mudahan cuaca baik, hujan tidak turun 

hari ini." 

Baiduri menyerahkan bayi yang baru disusuinya pada Mangkuto 

Alam. Entah mengapa begitu berada dalam dukungan lelaki ini, bayi 

yang tadi masih tertawa-tawa tiba-tiba menjerit dan menangis keras. 

"Hai ada apa anakku ....jangan menangis." Kata Mangkuto Alam 

sambil mengusap gunggung dan menggoyang-goyang tubuh Ken 

Permata. Si bayi bukannya diam malah semakin keras tangisnya.


"Serahkan pada Mande, biar Mande yang mendukung," kata Mande 

Saleha pula. Tapi Mangkuto Alam tidak menyerahkan Ken Pemata 

pada pengasuhnya itu, malah dia membalikkan tubuh dan melompat 

ke punggung harimau putih bermata hijau. Binatang ini menggereng 

keras lalu ada cahaya biru memancar dari tubuhnya. Saat itu juga 

harimau putih bersama Mangkuto Alam yang menggendong Ken 

Permata melesat ke udara laksana terbang, lenyap di balik 

kerapatan pepohonan kayu Manis lalu di kejauhan terdengar suara 

benda berat dan besar masuk mencebur ke dalam Danau Maninjau. 

Mande Saleha dan Baiduri berteriak tiada henti. Keduanya berusaha 

mengejar ke Danau. Namun harimau putih. Mangkuto Alam dan Ken 

Permata tidak kelihatan lagi. Di danau hanya tampak anak-anak 

yang bermain-main, dan beberapa biduk yang tengah melabuh 

kedaratan. 

Kedua perempuan itu tampak pucat, ketakutan setengah mati. 

"Cilako, apa kata Datuk. Pasti kita berdua akan kena berang 

gadang!" ucap Mande Saleh. (berang gadang = marah besar) 

"Mande kita harus segera menemui Datuk. Kita harus memberi tahu 

apa yang terjadi!" kata Baiduri. 

"Tidak masuk diakal Mande suamimu dan Datuk Rao Bamato Hijau 

akan menculik melarikan bayi itu." Kata Mande Saleha pula dan 

perempuan usia setengah abad ini berjalan setengah berlari sambil 

menangis diikuti Baiduri.


"Aku juga tidak mengerti Mande. Suamiku bukan orang jahat. 

Harimau putih itu adalah peliharaan dan kepercayaan Datuk Rao 

Basaluang Ameh ..." Sahut Baiduri pula. 

* * *



SEPULUH


DI DALAM goa batu pualam ternpat kediarnan Datuk Rao Basaluang 

Ameh. Sehabis menceritakan apa yang terjadi Mande Saleha dan 

Baiduri jatuhkan diri menangis menggerung-gerung di hadapan 

Datuk Rao, sambil meratap berulang kali meminta ampun. Si orang 

tua walau berusaha bersikap tenang namun hatinya sangat kawatir. 

“Hentikan tangis kalian . Apa yang telah terjadi tidak perlu disesali. 

Turut cerita kalian ada keanehan. Karena harimau putih Datuk Rao 

Bamato Hijau tidak pernah meninggalkan goa tempat kediamannya. 

Lalu menurut penglihatanku Mangkuto Alam saat ini tengah bekerja 

di ladangnya”. 

Tentu saja Mande Saleha dan Baiduri tercengang mendengar kata-

kata sang Datuk Sesaat kemudian di mulut goa terdengar suara 

menggereng halus.Atap, dinding dan lantai goa bergetar. Dua 

perempuan berpaling dan melihat seekor harimau besar bermata 

hijau merunduk menutupi mulut goa. 

"Bagaimana mungkin ... ?" ucap Mande Saleha. Lalu dia ingat 

sesuatu. "Datuk, harimau putih yang membawa lari bayi Itu, 

sepasang matanya memang betwarna hijau.Tapi ambo ingat betul, 

mata hijaunya tidak berkilat bercahaya seperti mata harimau ini. Lalu 

sewaktu menggereng tanah tidak bergetar. .."(ambo =saya)


"Itu berarti binatang yang kau lihat sebenarnya adalah mahluk 

jejadian. Apa lagi yang kau ingat Mande Saleha?" 

"Tubuhnya. Ada cahaya kebiruan di salah satu bagian tubuhnya. Di 

dekat dada ..." jawab Mande Saleh. 

Sang Datuk mengangguk. 

"Mahluk harimau jejadian itu menanam benda sakti di dalam 

tubuhnya ...." Selesai berucap Datuk Rao Basaluang Ameh yang 

konon rnerupakan mahluk setengah manusia setengah roh dan telah 

meninggal dunia seratus tahun silam ini ulurkan tangan ke dinding 

goa. Jari-jari mencungkil batu dinding.Tiga kepingan batu sebesar 

ibu jari kini berada dalam genggaman tangannya. Jangankan 

dengan jari, mempergunakan pahat sekalipun sulit bagi seseorang 

untuk mencungkil batu pualam dinding goa itu. Dapat dibayangkan 

kehebatan tenaga dalam sang Datuk. 

Setelah tiga kepingan batu pualam ada dalam genggamannya Datuk 

Rao Basaluang Ameh berdiri. Dia mendongak ke atap goa sambil 

mulut berucap menyebut tiga nama. 

"Datuk Rajo Nan Tongga di puncak Merapi. Datuk Gampo Langit di 

Tanah Bangko. Datuk Awan Putih di Gunung Sekicau. Aku Datuk 

Rao Basaluang Ameh butuh bantuanmu.Tutup seratus dua belas 

jalur langit, bumi dan air." Habis berkata begitu Datuk Rao 

Basaluang Ameh lemparkan tiga keping batu pualam ke atap goa. 

”Braakkk! Dess! Dess! Dess!" 

Tiga batu melesat menembus atap goa, mencuat ke udara lepas dan 

berkiblat ke tiga arah.Yang pertama menuju Gunung Merapi di utara


yang kedua ke arah tanah Bangko di tenggara dan batu ketiga ke 

jurusan Gunung sekicau di selatan. 

“Kalian berdua pulanglah. Panjatkan doa pada Yang Maha Kuasa 

agar bayi itu bisa kembali ke sini” 

Mande Saleha dan Baiduri sambil terisak-isak bangkit berdiri dan 

cepat-cepat meninggalkan goa. Namun sang Datuk dan harimau 

putih lebih dulu sampai di rumah panggung. Datuk Rao Bamato 

Hijau berdiri di halaman. Matanya yang tajam memperhatikan tiang-

tiang bambu yang sengaja ditancap dan diisi dengan ilmu kesaktian 

untuk melindungi rumah dan penghuninya. ternyata dia dapati 

semua tiang bambu itu telah dilumuri tumbukan daun sirih 

bercampur garam. 

"Sirih dan garam. llmu penangkal yang biasa dipakai orang sakti dari 

tanah Jawa," ucap Datuk Rao Basaluang Ameh dengan suara 

perlahan. "Kalau Mande Saleha mengatakan mendengar suara 

benda masuk ke dalam danau, berarti para penculik melarikan diri 

melalui jalur air. Berarti ada orang sakti penguasa air di tanah Jawa 

yang mereka andalkan. Hanya ada dua orang sakti di sana. Dua-

duanya perempuan.Dua-duanya bergelar Ratu."Sang Datuk usap 

janggut putihnya. "Tidak mungkin Nyai Roro Kidul yang 

melakukan..." 

Datuk Rao Basaluang Ameh naik ke punggung harimau putih 

"Datuk, kau tahu kemana kita harus pergi. Kita tunggu para penculik 

di tanah seberang sebelum mereka sempat mendarat. Aku akan


mengirim isyarat pada Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng agar 

dia bisa membantu kita. Namun aku kawatir, apakah dia mampu 

menemui kita dalam waktu cepat?" 

Harimau putih bermata hijau menggereng halus. Binatang sakti ini 

melesat ke udara. Hanya dalam bilangan kejapan mata sosoknya 

dan sosok sang Datuk sudah tidak kelihatan tagi. 

 

* * * 

DARATAN terujung pulau Jawa sebelah barat. Matahari pagi mulai 

terasa panas walau angin bertiup cukup kencang. Daun-daun pohon 

kelapa melambai-lambai mengeluarkan suara bergemerisik. Di 

kejauhan di tengah laut pulau Krakatau mengepulkan asap tipis 

kelabu. Ombak besar tiada henti bergulung memecah di pasir 

pantai. 

Tiba-tiba dari dalam laut melesat keluar dua benda. Seekor binatang 

berbulu putih satunya lagi seorang lelaki berkopiah hitam 

menggendong bayi. Tubuh mereka kering semua, tidak basah oleh 

air laut. 

Sesaat kemudian di pasir pantai kelihatan seekor harimau putih 

melangkah ke arah deretan pohon kelapa. Di punggungnya duduk 

lelaki berkopiah hitam, Mangkuto Alam, menggendong seorang bayi 

yang terus menerus menangis. Lelaki itu turun dari punggung 

harimau besar. Begitu menjejakkan kaki di pasir ujudnya berubah 

menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar berpakaian bagus, mata


kiri dibalut dengan kain hitam. Lelaki ini bukan lain adalah Patih 

Kerajaan Wira Bumi. 

Di saat bersamaan harimau putih berubah pula menjadi sosok nenek 

muka merah yang sudah dapat diduga adalah Nyai Tumbal Jiwo 

adanya. Nyai Tumbal Jiwo memandang berkeliling. 

"Nyai, kita berada dimana?"tanya Wira Bumi. 

Nyai Tumbal Jiwo sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya. 

"Aneh, aku merasa aneh. Seharusnya kita berada di lstana Ratu 

Utara, paling tidak di sekitar Teluk Losari.Tempat ini asing bagiku ..." 

Sambil menggendong bayi Wira Bumi memperhatikan dada sang 

guru. 

"Nyai, cahaya biru di dadamu saya lihat redup ...... 

Si nenek menunduk, perhatikan dadanya. Wajah merah keriput 

berubah. 

"Ada orang melakukan penangkalan. Mungkin juga orang itu yang 

membuat kita terpesat ke sini." 

"Nyai Roro Kidul?" Wira Bumi bertanya. 

"Mungkin, tapi mungkin juga Datuk yang tinggal di danau itu ...," 

jawab si nenek. 

"Kalau begitu bayi ini harus kita habisi sekarang juga!" Kata Wira 

Bumi. 

"Aku setuju. Cepat kau lakukan! Aku akan berjaga-jaga mengawasi. 

Perasaanku tidak enak sejak kita berada di pantai ini." 

Wira Bumi jambak rarnbut bayi hingga Ken Permata menjerit keras.


"Nyai, bagaimana aku melakukan? Kita tidak punya senjata tajam 

untuk menjagal leher bayi." Patih Kerajaan yang tega hendak 

membunuh darah dagingnya itu sendiri demi ilmu dan jabatan 

mendadak rnerasa bingung. 

"Kenapa kau jadi tolol! Kau bisa mencekik sampai hancur leher bayi 

itu. Atau kau pukulkan tubuhnya kepohon kelapa. Di sebelah sana 

ada gundukan batu. Kau bisa menghantamkan kepalanya ke batu itu 

sampai remuk! Atau kau lempar saja ke dalam laut. 

Habis perkara. Cepat lakukan!" 

Bayi dalam dukungan tiba-tiba menangis keras. Seolah tahu nasib 

apa yang bakal menirnpa dirinya sebentar lagi. 

"Aku memilih yang terakhir!" kata Wira Bumi lalu melangkah cepat 

ke tepi laut. Sekali tangan dan jari-jarinya yang menjambak rambut 

dilepas maka melesatlah sosok bayi tak berdosa Ken Permata ke 

tengah laut yang tengah dibuncah ombak besar. 

* * *


SEBELAS


HANYA sesaat lagi tubuh bayi malang itu akan amblas masuk dalam 

gulungan ombak, tiba-tiba laksana kilat menyambar dari arah 

selatan berkiblat tiga cahaya putih Seperti malaikat yang turun ke 

bumi, di atas permukaan laut kelihatan tiga kakek sama 

mengenakan pakaian jubah dan sorban putih serta sama 

memelihara janggut dan kumis putih. Wajah mereka licin, segar dan 

jernih pertanda hati dan jiwa yang bersih. 

Kakek di sebelah tengah cepat sambuti tubuh Ken Permata 

sementara dua kakek lainnya setelah yakin kalau si bayi berhasil 

diselamatkan segera melesat kepantai dan berdiri di hadapan Wira 

Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Kakek ketiga yang mendukung bayi 

menyusul dan kemudian tegak di antara dua kakek. 

"Tiga tua bangka berjubah dan bersorban putih! 

”Kalian siapa?!" bentak Nyai Tumbal Jiwo. Mata merah mendelik, 

muka merah unjukkan kemarahan luar biasa. Tangan kanan 

bergetar pertanda dia berlaku waspada dan setiap saat siap 

melepas pukulan sakti. 

“Orang tua yang di tengah! Serahkan bayi itu padaku!" Ucap Wira 

Bumi dengan suara keras menghardik. 

Kakek yang berdiri di antara dua kakek lainnya kernyitkan kening. 

Tadi jelas-jelas kau melempar bayi ini ke tengah laut. lngin 

membunuhnya! Sekarang mengapa diminta kembali?"


"Harimau tidak pernah membunuh sesama kaumnya." Kakek di 

sebelah kanan keluarkan ucapan. 

”Anak manusia tega-teganya membunuh seorang bayi tak berdosa." 

Menyambung kakek di sebelah kiri. Lalu dari arah belakang 

terdengar suara menimpali. ”Memang keterlaluan. Melewati takaran 

dosa. karena yang hendak dibunuh bukankah anakmu sendiri?!" 

Terdengar suara menggereng. Tanah pantai bergetar keras. Ombak 

bersibak. Di lain kejap muncul seekor harimau putih ditunggangi 

kakek gagah berselempang kain putih. Datuk Rao Bamato Hijau 

dan Datuk Rao Basaluang Ameh! 

Tiga kakek yang datang lebih dulu segera memberi salam lalu 

membungkuk. Datuk Rao Basaluang Ameh membalas salam dan 

penghormatan. 

"Datuk Rajo Nan Tongga. Datuk Gampo Langit dan Datuk Awan 

Putih, aku mengucapkan terima kasih, kalian datang tepat pada 

waktunya hingga bayi itu berhasil di selamatkan." 

"Saling hormat dan saling tolong adalah adat para pandeka di tanah 

Minang," kata kakek bersorban putih yang menggendong bayi yaitu 

Datuk Rajo NanTongga. (pandeka = pendekar) 

Datuk Rao Basaluang Arneh turun dari punggung harimau putih. 

Saat itu juga harimau putih menggereng keras, siap menerkam ke 

arah Nyai Tumbal Jiwo dan Wira Bumi. Datuk Rao Basaluang Ameh 

cepat usap kuduk harimau sakti. 

"Datuk biarkan aku bicara dulu dengan kedua orang ini."


"Kami tidak akan mau bicara denganmu!" jawab NyaiTumbal Jiwo. 

"Aku minta bayi itu! Lekas serahkan!"Wira Bumi melompat ke 

hadapan Datuk Rajo Nan Tongga, siap hendak merampas Ken 

Permata. Namun Datuk Rao Bamato Hijau kibaskan ekornya. 

"Dess! " 

Kibasan ekor menghantam kaki Patih Kerajaan hingga lelaki ini jatuh 

tersungkur. Masih untung kaki itu tidak patah. Tidak sadar tengah 

berhadapan dengan empat orang tua dan seekor harimau sakti 

penuh amarah Wira Bumi balikkan tubuh lalu hantamkan tangan 

kanan melepas pukulan Angin Roh Pengantar Kematian ke arah 

harimau putih. 

Hawa panas menghampar di seantero tempat membuat Ken 

Permata terpekik dan buru-buru didekap oleh Datuk Rajo Nan 

Tongga. 

”Desss" 

Pukulan sakti yang dilepas Wira Bumi menghantam tubuh harimau 

putih dengan telak. Binatang ini menggereng keras, terpental dua 

langkah. Bulunya tampak mengepulkan asap. Sepasang mata 

memancarkan cahaya hijau menyala. Sekali lompat saja, belum 

sempat Wira Bumi berdiri, harimau putih ini sudah menerkam 

lehernya. Darah mengucur oleh tusukan tajam empat gigi besar. 

Patih Kerajaan yang mata kirinya dibalut kain hitam ini meraung 

setinggi langit. 

”Tolong!"


Nyai Tumbal Jiwo langsung melompat sambil melepas tendangan 

Kaki Roh Merobek Langit. Namun dua Datuk bersorban putih segera 

menghadang. Datuk Awan Putih tudingkan jari telunjuk tangan 

kanan ke bawah ke arah kaki si nenek Saat itu iuga menyembur satu 

cahaya putih yang dengan kecepatan kilat berubah menjadi tali 

menggulung melibat kedua kaki Nyai Tumbal Jiwo mulai dari 

pergelangan terus ke bahu. Selagi dia tidak mampu bergerak, dari 

samping kiri Datuk Gampo Langit membuat gerakan kilat dan 

telunjuk jari tangan kirinya tahu-tahu sudah menempel di pelipis si 

nenek. Saat itu juga Nyai Tumbal Jiwo merasakan sekujur tubuhnya 

mulai dari ubun-ubun sampai ke kepala laksana digarang bara 

menyala!. 

Sadar dirinya tak bisa lolos maka Nyai Tumbal Jiwo keluarkan salah 

satu ilmu andalan yaitu Dibalik Asap Roh Mencari Pahala. Mulut 

keriputnya menyembur. Asap hitam pekat menebar menutup 

pemandangan dan memerihkan mata. Biasanya semburan ini akan 

diikuti dengan tendangan atau pukulan mematikan. Namun saat itu 

Nyai Tumbal Jiwo memilih lebih baik kabur selamatkan diri. Karena 

sekujur badan dalam keadaan terikat maka dia pergunakan cara 

kabur dengan melompat-lompat. Nenek ini memang hebat. Sekali 

melompat dia mampu melesat tiga tombak. Namun pada lompatan 

kedua gerakannya tertahan. Satu benda keras menekan perutnya. 

Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah ujung seruling emas. 

Di hadapannya berdiri Datuk Rao Basaluang Ameh sambil 

sunggingkan senyum.Tengkuk si nenek jadi dingin.


"Jika kau dan muridmu bertobat kalian berdua akan aku bebaskan. 

Tapi jika keras kepala apa lagi 'etap punya niat hendak membunuh 

bayi maka kalian berkehendak mati saat ini juga!" 

"Aku bertobat!"' teriak Wira Bumi ketakutan setengah mati karena 

saat itu masih dicengkeram gigi-gigi Datuk Rao Bamato Hijau. 

"Ampuni selembar nyawaku! " 

"Kau dengar ucapan lelaki itu ... kata Datuk Rao Basaluang Ameh 

sambil memutar sedikit suling emasnya hingga Nyai Tumbal Jiwo 

merasa perutnya seperti terbongkar dan menjerit kesakitan. 

"Aku ... aku juga bertobat," ucap si nenek. Datuk Rao Basaluang 

Ameh berpaling pada Datuk Awan Putih. 

"Datuk, tolong ambil benda bercahaya biru yang ada dalam tubuh 

nenek ini." 

"Jangan kelewatan! Itu tidak termasuk dalam perjanjian!" teriak Nyai 

Tumbal Jiwo marah begitu mendengar ucapan sang Datuk. 

”Kau mencuri benda sakti di dalam tubuhmu dari seorang sahabatku 

di tanah Jawa ...."' 

"Kalau kau mengambilnya berarti kau juga jadi pencuri,"teriak Wira 

Bumi. 

"Aku akan mengembalikan pada pemiliknya." jawab Datuk Rao 

Basaluang Ameh."Sekarang kalian berdua dengar baik-baik. Kalau 

di kemudian hari kalian masih muncul dan tetap ingin melakukan niat 

jahat terhadap bayi ini, aku tidak akan berbelas kasihan lagi." 

Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada Datuk Awan 

Putih. Orang tua ini dengan cepat sapukan telapak tangan kanannya


satu jengkal di atas dada rata si nenek. Lima jari dikepal. Ketika 

tangan ditarik kebelakang dengan gerakan membetot, Nyai Tumbal 

Jiwo menjerit dan hampir terjengkang. Datuk Awan Putih buka 

kepalan. Di atas telapak tangannya kini ada sebuah benda lonjong 

seperti telur ayam memancarkan cahaya biru. 

Datuk Rao Basaluang Ameh memberi tanda pada harimau putih 

sakti. Binatang ini lepaskan gigitan di leher Wira Bumi. Lalu sang 

Datuk sapukan seruling emasnya. 

"Dess! Dess!" 

Tubuh Wira Bumi dan si nenek terpental terguling-gulihg di tanah 

sampai belasan tombak. Begitu bangun, dengan cepat keduanya 

melarikan diri ke arah timur. 

Di satu tempat Wira Bumi tidak tahan untuk keluarkan ucapan. 

"Nyai! Saya akan celaka seumur hidup! Batu mustika yang harus kita 

serahkan pada Ratu Laut Utara sekarang sudah diambil Datuk 

keparat itu! Mata saya tidak akan kembali! Saya akan buta sebelah 

sampai mati! Ratu keparat itu! Dia menipu kita! Dia sama sekali tidak 

memberi pertolongan kecuali ilmu merubah diri yang tidak ada apa-

apanya!" 

”Wira Bumi, tidak perlu bersedih. Keselamatan nyawa kita lebih 

penting dari batu mustika itu. Selain itu kita masih punya 

kesempatan untuk menghabisi bayi itu. Bukankah Ratu Laut Utara 

memberi tahu bahwa bayi itu akan dibawa ke tanah jawa ini? Kita 

tinggal mencari tahu dimana dan kapan waktunya. Aku punya 

dugaan kejadiannya tidak akan lama tagi."


Wira Bumi tidak perdulikan ucapan sang guru. Dia tetap 

rnengumpat. ”Tapi mata kiri saya ini Nyai. Saya mana bisa hidup 

saya mana bisa hidup seperti ini. Patih Kerajaan bermata buta 

sebelah!" 

“ Walau matamu buta dua-dua aku tetap suka padamu. Mari kita 

mencari tempat untuk bermesraan ..." 

'Nyai, dalam keadaan seperti ini sebaiknya lain kali saja hal itu kita 

lakukan." 

”Jika kau tidak mau melayaniku, berarti hubungan kita cukup sampai 

di sini ..." 

”Tunggu Nyai jangan pergi. Saya akan memenuhi permintaanmu” 

kata Wira Bumi pula. 

Si nenek tertawa gembira lalu menarik lengan Wira Bumi 

membawanya ke balik semak belukar. "Kau tahu, darah yang 

membasahi pakaian dan tubuhmu membuat aku benar-benar 

terangsang. Akan kuhirup darah yang ada di lehermu!" 

* * *


DUA BELAS


TAK SELANG berapa lama setelah Wira Bumi dan Nyai Tumbal 

Jiwo menggulingkan diri ke balik semak belukar, dua orang 

berkelebat cepat ke arah barat. Namun salah seorang dari mereka 

tiba-tiba menarik lengan kawannya seraya berbisik. 

”Ada pemandangan asyik .....” 

Yang bicara adalah seoran nenek berambut kelabu berjubah kuning. 

Telinga dihias anting terbuat dari tulang manusia. Si nenek bukan 

lain adalah Kembaran Tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. 

"Nek, matamu jetalatan saja. Apa maksudmu? Apa yang kau lihat?" 

Pemuda gondrong yang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya 

bertanya. 

"Sstt jangan bicara kelewat keras. Nanti mereka tahu. Ayo, 

membungkuk, ikuti aku." 

Wiro ikuti si nenek mengendap-endap ke balik sederetan pohon 

kelapa. 

"Jongkok, lihat ke arah semak belukar sana bisik kembaran ketiga 

Eyang Sepuh Kembar Tilu yang sebelumnya dikisahkan pernah 

menjadi Dewi Pemikat (baca serial Wiro Sableng mulai dari "Petaka 

Patung Kamasutra" sampai "Nyawa Titipan ”) Wiro jongkok 

memperhatikan ke arah semak belukar yang ditunjuk si nenek. 

Matanya membesar. Kepala digaruk.


"Astaga. Itu Patih Kerajaan Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Gila! 

Berbuat mesum disiang bolong di tempat terbuka begini! Kenapa 

mata kirinya dibalut?! Banyak darah di pakaiannya." ucap Wiro. Si 

nenek menimpali. 

"Wah, tua bangka perempuan itu hebat sekali goyangannya! 

Hemmm, eh lihat! Si nenek membalik. Ujudnya berubah jadi gadis 

cantik ueehhh! Wah gila! Goyang terus .... ! Hik ... hik ... hik!" 

"Nek, aku muak Kita tinggalkan tempat ini. Kalau mereka ada di sini 

pasti telah terjadi sesuatu sebelumnya. Kita terlambat. Jangan-

jangan mereka sudah membunuh bayi itu." 

"Kita hajar saja mereka sekarang?!" tanya si nenek 

"Kita harus mencari Datuk Rao Basaluang Ameh lebih dulu. Aku 

yakin dia ada di sekitar sini. Atau begini saja. Kalau kau masih mau 

mengintip terus aku pergi saja, tunggu aku di sini. Awasi dua 

manusia bejat itu!" 

"Tidak, aku ikut denganmu. Lama lama melihat aku bisa jadi 

kepingin! Siapa lelaki yang mau jadi lawanku? Kau?! Hik ... hik ... 

hik!" kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tertawa cekikikan 

lalu buru-buru menarik tangan Wiro. 

Tak lama menyusuri pantai ke arah barat Wro dan si nenek 

berpapasan dengan Datuk Rao Basaluang Ameh yang mendukung 

Ken Permata serta tiga Datuk lainnya dan harimau putih Datuk Rao 

Bamato Hijau.


Wiro melepas nafas lega. Ternyata Ken Permata masih hidup. 

Pemuda ini buru-buru jatuhkan diri lalu bangkit menyalami dan 

rnencium tangan Datuk Rao Basaluang Ameh. Dia mencium pipi 

Ken Permata. Sang bayi langsung saja minta digendong oleh sang 

pendekar. Wiro juga menyalami tiga Datuk yang ada di tempat itu 

lalu mengusap harimau putih. 

"Datuk, saya mengalami kesulitan untuk bisa cepat datang ke 

tempat ini. Untung nenek ini mau menolong.Ternyata saya masih 

terlambat ..." 

DatukRao Basaluang Ameh tersenyum. 

"Tidak jadi apa. Semua sudah bisa ditangani. Patih Kerajaan dan 

nenek jahat. gurunya itu memang berhasil melarikan Ken Permata. 

Namun dengan pertolongan tiga Datuk sahabatku ini, Ken Permata 

bisa kita dapatkan lagi. Aku akan segera membawanya kembali ke 

Danau Maninjau." Sang Datuk berpaling pada kembaran ketiga 

Eyang Sepuh Kembar Tilu. 

"Anak muda, siapa nenek sakti sahabatmu ini?" 

Mendengar orang bertanya perihal dirinya dengan sikap genit si 

nenek cepat-cepat maju dua langkah, membungkuk lalu berkata. 

"Maafkan, aku sampai lupa peradatan tidak memperkenalkan diri. 

Aku nenek jelek dari alam roh. Kembaran ketiga Eyang Sepuh 

Kembar Tilu. Terakhir sekali orang-orang memberiku nama Dewi 

Pemikat ...."


Si nenek tutup ucapannya dengan tertawa lebar lalu kedip-kedipkan 

mata pada sang Datuk. Dia juga kedip-kedipkan mata pada tiga 

Datuk lainnya. Wiro cepat-cepat menyikut rusuk si nenek. 

"Aduh!" si nenek terpekik tapi kemudian kembali genit. 

"Para sahabat orang gagah sekalian yang datang dari tanah 

seberang. lzinkan aku memperlihatkan ujudku sebagai Dewi 

Pemikat. Kalau nanti kita bertemu lagi jangan bilang kalian tidak 

mengenali diriku." Si nenek lalu putar tubuhnya. Saat itu juga 

sosoknya berubah menjadi seorang gadis tinggi semampai, berkulit 

putih berwajah cantik. Dibalut pakaian celana ringkas dan kebaya 

pendek kuning dengan potongan sangat rendah di bagian dada. 

"Nek, jangan berlaku kurang ajar! Ayo cepat ubah ujudmu!"' hardik 

Wiro. 

Si gadis tertawa cekikikan. Putartubuh satu kali hingga ujudnya 

kembali seperti semula yaitu seorang nenek berambut kelabu, 

bermata merah dan bemulut perot!. 

Datuk Rao Basaluang Ameh dan tiga Datuk lainnya senyum-senyum 

saja. Lalu dia berkata pada sang murid. 

"ilmu orang di tanah Jawa hebat-hebat. Aku dan tiga Datuk benar-

benar mengagumi.," memuji Datuk Rao Basaluang Ameh. Membuat 

si nenek tersenyum girang, lalu dia berpaling pada Wiro.


"Anak muda, ingat baik-baik Satu bulan dimuka aku akan membawa 

bayi dalam dukunganmu itu ke tanah Jawa. Kau harus bisa 

mendatangkan Nyi Retno Mantili. Untuk sementara rencana 

pertemuan adalah di pantai selatan kawasan Parangtritis. Di satu 

pulau kecil bernama Watu Gilang. Harinya malam Satu Suro." 

Wiro mengangguk berulang kali. Sang Datuk tatap wajah Pendekar 

212 sejurus lalu berkata. "Aku melihat ada ganjalan dalam dirimu. 

Apakah kau tahu dimana ibu bayi ini berada? Apakah selama ini kau 

tidak mendampinginya seperti pintaku dulu?" 

"Datuk, maafkan saya. Saat ini saya memang tidak tahu dimana Nyi 

Retno Mantili berada. Dia pergi begitu saja sewaktu saya 

melarangnya membunuh Patih Kerajaan yang adanya suaminya 

sendiri." 

"Kalau begitu cari perempuan itu sampai dapat. Dia sudah harus 

bersamamu sebelum rnalam Satu Suro." 

"Baik Datuk, akan saya ingat hal itu baik-baik Datuk," kata Pendekar 

212 sambil melirik pada benda lonjong biru yang ada di tangan 

Datuk Awan Putih. 

"Kalau begitu sudah saatnya kami semua meninggalkan tempat ini." 

Wiro buru-buru menyalami sang Datuk dan tiga Datuk Iainnya. 

Setelah mencium Ken Permata bayi ini diserahkan pada Datuk. Wiro 

juga memeluk harimau putih. Atas permintaan Datuk Rao Basaluang 

Ameh, Datuk Awan Putih menyerahkan Batu Mustika Angin Laut


Kencana Biru pada Pendekar 212 dengan pesan agar nanti 

diserahkan pada pemiliknya yaitu Nyai Roro Kidul. 

Setelah semua orang dari Pulau Andalas meninggalkan pantai, 

sambil menimang-nimang Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru 

Wiro berkata pada kernbaran ketiga Eyang Sepuh KembarTilu. 

"Nek, kau saja yang memegang batu mustika ini." Wiro serahkan 

Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru pada si nenek yang segera 

disimpan di balik dada pakaian. "Nek, kebetulan kita memegang 

batu saki ini. Bagaimana kalau kita pergunakan kesempatan untuk 

menemui Kiai GedeTapa Pamungkas. Bukankah saat bulan 

purnama muncul akan datang besok malam?" 

"Aku ikut saja terserah kemana kau mau pergi. Tapi kau berulang 

kali menyatakan kekawatiranmu pergi menemui Kiai itu. Kau 

mengatakan bahwa Kiai akan membicarakan soal perjodohanmu 

dengan Ratu Duyung. Padahal kau bilang belum mau kawin. Aku 

yakin itu dalihmu saja. Sebenarnya kau ini mau kawin sama siapa?" 

"Kau cemburu Nek?" tanya Wiro. 

"Apa? Aku cemburu? Hik ... hik ... hik! Aku tahu diri ...." 

"Aku jadi bingung. Nek.."Wiro garuk-garuk kepala. 

"Sudah, dari pada bingung ayo kita intip lagi pekerjaan dua orang 

mesum itu!" kata si nenek sambil menarik tangan Pendekar 212 

Wiro Sableng dan tertawa cekikikan. 

* * *


TIGA BELAS


MALAM Satu Suro, malam perayaan pergantian tahun, jatuh tepat 

pada malam Jum'at Kliwon. Kawasan pantai Parangkusumo yang 

terletak di sisi barat pantai Parangtritis dipenuhi jubalan manusia. 

Semakin malam semakin banyak orang yang datang walau hujan 

rintik-rintik sempat turun. Sayup-sayup di kejauhan, di atas sebuah 

panggung tinggi serombongan pemain gamelan memberikan 

hiburan. 

Para pedagang bertebaran dimana-mana menggelar dagangan. 

Paling banyak tukang kembang dan penjual kemenyan. Di tepi 

pantai puluhan perahu menunggu penumpang yang ingin 

mengarungi Laut Kidul atau menyeberang ke sebuah pulau yang 

tidak berapa jauh letaknya dari pantai Parangtritis dan 

Parangkusumo. Di atas pulau ini tampak dua buah bukit karang 

tinggi menjulang yang oleh penduduk setempat disebut sebagai 

Watu Gilang. Baik di pantai maupun di pulau tarnpak banyak sekali 

umbul-umbul dan bendera besar kecil aneka warna. 

Ketika malam tiba, ratusan obor dinyalakan sampai ke tengah laut 

hingga keadaan terang benderang tidak beda seperti sore hari. 

Orang banyak yang datang ada yang berziarah ke makam seorang 

Syekh namun biasanya paling banyak berperahu rnenuju pulau dan 

naik ke atas watu Gilang. Hanya saja saat itu ombak di tengah laut


sabung menyabung besar sekali sementara angin bertiup kencang 

mengeluarkan suara menguing panjang. Karenanya tidak ada orang 

yang berperahu ke tengah taut atau menyeberang menuju pulau. 

Selagi orang banyak mengharap malam itu cuaca segera pulih dan 

laut menjadi tenang tiba-tiba dari arah pulau melesat seorang 

berpakaian hitam. Kelihatannya dia seperti meluncur di atas 

permukaan laut, naik turun dipermainkan gelombang, meliuk-liuk di 

antara bambu obor yang di apungkan di permukaan laut. 

Sebenarnya salah satu kaki orang ini menjajag di atas sopotong 

papan kecil. Orang ramai di sepanjang pantai bersorak riuh 

menyaksikan pemandangan ini. 

Bahkan ketika ada orang yang berteriak ”Gusti Kanjeng Ratu Nyai 

Roro Kidul berkenan datang!" semua orang tersentak hening, 

banyak yang langsung jatuhkan diri bersujud di pasir. 

Ketika orang yang berseluncur sampai di pantai, sebagian orang 

kembali bersorak dan bertepuk tangan. Namun semua sorak sorai 

dan tepuk tangan ini serta merta sirna ketika mereka melihat siapa 

adanya si peluncur yang mendarat! 

Ternyata bukan Gusti Kanjeng Nyai Roro Kidul tapi seorang nenek 

cebol bungkuk berpakaian hitam. Sambil melangkah sepasang 

matanya yang juling berputar liar. Hidung pesek nyaris sama rata 

dengan dua pipi keriput. Rambut putih riap-riapan sampai ke lutut. 

Setiap melangkah kepalanya tiada henti mengangguk-angguk. Nyi 

Roro Manggut! Nenek cebol ini ternyata bukan lain adalah tangan


kanan orang kepercayaan Nyai Roro Kidul, Ratu Penguasa Laut 

Selatan! 

Sejak naik ke darat sambil membawa papan seluncurnya Nyi Roro 

Manggut melangkah lurus-lurus dan akhirnya berhenti di hadapan 

seorang nenek kelabu berjubah kuning yang berjualan kemenyan. 

Pandangan matanya menyala tak berkesip. Air mukanya seperti 

hendak melahap si nenek penjual kemenyan. Orang banyak mulai 

berkerubung. 

"Nenek bungkuk, kau memandangku secara aneh. Apakah kau mau 

membeli kemenyan untuk ziarah? Aku juga menjual pendupaan dan 

arang menyala. Harga di sini lebih murah dari tempat lain!" 

"Tua bangka pencuri! Manis juga mulutmu!" hardik Nyai Roro 

Manggut membuat nenek penjual kemenyan yang bukan lain adalah 

kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berjingkrak dan 

langsung berdiri. 

Sambil berkacak pinggang si nenek kembaran ketiga berkata. 

"Mulutku memang manis. Dan kau boleh tanya pada semua orang di 

tempat ini. Jelek-jelek begini aku lebih bagus dari kau! Nenek jereng 

bongkok bau amis. Kalau kau tidak punya uang untuk membeli 

kemenyan menyingkir dari depan hadapanku! Kau mernbuat sial 

daganganku saja!" 

Orang semakin banyak mengeliling tempat itu. Ada yang berteriak: 

"Sudah, cakar saja Nek."


Orang banyak bersorak riuh rendah. Dimaki jereng bongkok dan bau 

amis Nyai Roro Manggut mendidih amarahnya.Telunjuk tangan 

kanan ditudingkan ke dada nenek di depannya hingga kembaran 

ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terjajar satu langkah. Hal ini 

membuat si nenek kaget. 

"Heh, nenek jelek, kau ini siapa sebenarnya? Apa maumu?" 

Nyai Roro Manggut delikkan mata, menatap tajam tak berkesip 

dengan matanya yang jereng. "Tua bangka bermulut perot bapet! 

Dengar baik-baik kata-kataku karena aku tidak akan mengulang! 

Serahkan benda bercahaya biru yang ada di balik dada pakaianmu! 

Sekarang juga!" 

Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu karuan saja menjadi 

kaget karena sampai saat itu dia memang masih menyimpan Batu 

Mustika Angin laut Kencana Biru yang dititipkan Wiro. Si nenek 

memandang berkeliling. Matanya ditujukan ke deretan perahu di tepi 

pantai. Mencari-cari kalau-kalau Wiro ada di sekitar situ. 

Sebelumnya mereka memang datang bersama ke pantai 

Parangtritis. Karena sesuai janji Datuk Rao Basaluang Ameh, bayi 

Ken Permata akan dibawa ke tempat itu di malam perayaan Satu 

Suro. Selain itu Wiro mengatakan bahwa dia sudah menyirap kabar 

kalau Nyi Retno Mantili dan Kemuning si boneka kayu juga akan 

datang ke tempat itu. 

Maklum kalau kejadian pertemuan ini akan banyak halangan bahkan 

bahaya maka untuk berjaga-jaga si nenek mengawasi keadaan 

dengan berpura-pura menyamar jadi pedagang kemenyan. Wiro


sendiri memisahkan diri menyamar jadi awak perahu sewaan. 

Sekali-sekali dia meninggalkan perahu, berkeliling mencari apakah 

Nyi Retno Mantili sudah ada di tempat perayaan itu. 

Kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu berkata. "Nenek 

bongkok, kau juga dengar ucapanku. Jika kau seorang sahabat, 

jangan minta yang bukan-bukan. Benda yang ada di balik pakaianku 

adalah titipan seseorang. Aku akan mempertahakan walau harus 

mampus sampai tujuh kali! Hik ., hkhik! Tapi jika kau seorang 

musuh seorang begal perempuan mari kita bertarung sampai sama-

sama tewas!" 

"Tua bangka jahanam! Enak saja mulutmu menuduhku begal 

perempuan! Aku adalah Nyai Roro Manggut, mewakili Junjungan 

Ratu Penguasa Laut Selatan. Batu mustika yang ada di balik 

pakaianmu adalah miliknya!" 

"Puah! Setahuku para pembantu Ratu Nyai Roro Kidul cantik-cantik 

semua.Tidak ada yang jelek dan bau amis sepertimu! Enak saja 

mengaku-aku!" 

Nyai Roro Manggut tak dapat lagi rnenahan kesabaran. Amarah 

meledak. Di dahului jeritan lantang kakinya menendang. Meja 

tempat jualan kemenyan dan pendupaan mental hancur berantakan. 

Kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu tidak tinggal diam. 

Sekali tangan kanannya bergerak breettt! Dada pakaian Nyai Roro 

Manggut robek dan tersingkap lebar.


Semua orang yang ada di tempat itu dan semuanya termasuk si 

nenek yang jadi lawan melengak kaget. 

"Hah?" Nenek kembaran ketiga melengak sambil delikkan mata 

melihat dada seperti rnilik perawan saja. Orang banyak berdecak 

dan memandang tidak berkedip. Sebaliknya tanpa merapikan dulu 

pakaiannya Nyai Roro Manggut langsung menghantam dengan 

pukulan Cahaya Surya Menembus Gelombanq. Selarik sinar putih 

kekuningan menyambar. 

Nenek kembaran ke tiga tidak tinggal diam. Dia menangkis dengan 

jurus Roh Putih Menarik Gendewa. Dua tangannya bergerak seperti 

orang menarik gendewa. Lalu satu kiblatan cahaya merah 

menggebubu ke depan. Dua nenek sama-sama terpekik karena 

menyadari diri masing-masing akan sama-sama terluka. 

Di saat yang menegangkan itu tiba-tiba satu bayangan putih 

berkelebat disertai hembusan angin sedahsyat topan prahara. 

"Blaarr!" 

Cahaya pukulan saki dua nenek mencelat ke atas. Keduanya tegak 

tergontai-gontai saling pandang dengan rnuka pucat. Saat itu ada 

seseorang menepuk bahu keduanya disertai suara berkata. 

"Kalian berada di pihak yang sama. Lekas pergi ke Watu Gilang! 

Datuk sudah datang." Dua nenek tersentak kaget dan sama 

berpaling. 

"Wiro!" seru nenek jejadian kembaran ke tiga. 

"Pendekar Dua Satu Dua!" teriak Nyai Roro Manggut. Lalu dia 

bertanya." Ada apa di Watu Gilang?"


"Nanti aku ceritakan!" kata nenek kembaran ketiga. 

"Ayo ikut aku!" Nenek kembaran ketiga lalu pegang lengan Nyai 

Roro Manggut. Disaksikan ratusan pasang mata yang tidak bisa 

percaya akan apa yang mereka lihat dua nenek itu melesat ke 

udara. lalu melayang ke arah pulau dimana terletak dua batu karang 

raksasa! Orang banyak benar-benar di buat geger! 

Setelah dua nenek pergi orang banyak mengerubungi Wiro. Tapi 

pendekar ini cepat menghindar. Dia berlari ke arah pantai sebelah 

timut dimana dilihatnya serombongan anak muda tengah 

mempermainkan seorang perempuan cantik bertubuh kecil yang 

bukan lain adalah Nyi Retno Mantili. Kalau mula-mula hanya 

menganggu dengan ucapan kini para pemuda itu mulai berani 

meraba -raba tubuh Nyi Retno dan menarik-narik boneka kayu dari 

bedongan sambil secara kurang ajar mengelus dada Nyi Retno. 

Begitu sampai di hadapan para pemuda, tangan dan kaki 

Pendekar212 bekerja bak buk bak buk. Lima orang pemuda nakal 

terkapar di tanah. Dua pingsan dengan kepala benjut.Tiga meliuk-

liuk sambil pegang hidung dan bibir yang pecah berdarah! 

"Kemuning! Bapakmu datang!" teriak Nyi Retno Mantili. 

"Nyi Retno aku benar-benar bersyukur kau mau datang. Tadinya aku 

kawatir ..." Wiro memeluk perempuan itu erat-erat lalu berbisik. 

"lkut aku jalan-jalan. Aku akan membawamu ke pulau di tengah laut 

sana ...." 

"Tapi ombak begitu besar. Kernuning bisa mual dan muntah-

muntah."


Wiro tertawa. "Kemuning anak hebat. Karena ibunya seorang 

bernama Nyi Retno Mantili." 

"Dan bapaknya bernama Wiro Sableng!" sambung Nyi Retno Mantili. 

"lya ... iya ..." Wiro manggut-manggut. Menggaruk kepala lalu 

menarik Nyi Retno Mantili masuk ke dalam sebuah perahu 

* * *


EMPAT BELAS


DI TANAH datar antara dua bukit karang yang menjulang tinggi, 

diterangi selusin obor Datuk Rao Basaluang Ameh tegak 

rnenggendong Ken Permata yang tertidur lelap. Angin laut membuat 

janggut sang datuk yang putih panjang melambai-lambai. Di 

samping kiri tegak harimau putih bermata hijau diapit kembaran 

ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu dan Nyi Roro Manggut. 

”Sunyi, keadaan begini tenang. Kesunyian dan ketenangan yang 

menimbulkan rasa tidak enak ..." ucap nenek jejadian kembaran ke 

tiga dalam hati. Dia memandang ke arah Datuk Rao Basaluang 

Ameh lalu mernperhatikan harimau putih di sampingnya. "Dua datuk 

ini tampak tenang-tenang saja ... Apakah Patih Kerajaan dan 

bergundal gendaknya bernama Nyai Tumbal Jiwo tidak mengetahui 

peristiwa ini? Aku tidak yakin. Tapi sama sekali tidak ada tanda-

tanda mencurigakan. 

" Si nenek lalu mendekati Nyai Roro Manggut. Keduanya kini tampak 

sangat bersahabat. Nenek kembar jejadian telah menyerahkan Batu 

Mustika Angin Laut Kencana Biru pada Nyai Roro Manggut. 

"Nyai, kau merasakan sesuatu ... ?" Belum sempat Nyai Roro 

Manggut menjawab tiba-tiba Wiro dan Nyi Retno Mantili sudah 

kelihatan di ujung pedataran.


"Nyi Retno, anakmu Ken Permata sudah ada di sini. Lihat bayi yang 

didukung kakek berpakaian putih itu. Anakmu cantik dan sehat."Wiro 

berucap sambil memegang lengan dan perhatikan wajah Nyi Retno. 

Tadinya dia mengira perempuan ini seperti yang sudah-sudah akan 

mengeluarkan suara keras. "ltu bukan bayiku, itu bukan anakku. Aku 

tidak pernah punya anak bernama Ken Permata. Anakku 

Kemuning." 

Tapi saat itu Nyi Retno Mantili diam saja malah tampak tersenyum 

lalu keluarkan ucapan."Kalau bayi itu anakku berarti dia juga 

anakmu. Karena bukankah kau bapaknya?" 

Wiro menggaruk kepala. 

"Dua kali dia menyebut kata bapak. Yang sudah-sudah Nyi Retno 

selalu mengatakan aku ini ayah Kemuning bukan bapak. Sejak tadi 

aku perhatikan dia tidak menunjukkan sikap tidak waras. Lalu waktu 

di ganggu lima pemuda dia tidak marah apa lagi menghajar mereka 

padahal dia sanggup melakukan. Perubahan apa yang terjadi 

dengan diri Nyi Retno?" Wiro membatin. Lalu dia bertanya."Nyi 

Retno, kau gembira bertemu dengan Ken Permata?" 

"Hatiku sama gembiranya dengan hatimu. Bukankah begitu?" 

Wiro cuma mengangguk-angguk. Sampai di hadapan Datuk Rao 

Basaluang Ameh Pendekar 212 Wiro Sableng membungkuk hormat 

lalu menyalami mencium tangan. Nyi Retno Mantili melakukan hal 

yang sama. 

"Jadi inilah Ibu muda yang bernama Nyi Retno Mantili," berkata sang 

Datuk. "Satu setengah tahun lebih aku bersama Ken Permata. Aku


merasa bayi ini sebagai cucuku sendiri. Sekarang saatnya aku 

menyerahkan Ken Permata kepadamu ibu kandungnya. 

Aku merasa sedih berpisah dengan anak ini. Jaga dan rawat dia 

baik-baik ..." 

Sepasang mata Datuk Rao Basaluang Ameh tampak berkaca-kaca. 

Datuk Rao Bamato Hijau si harimau sakti keluarkan suara 

menggereng halus. 

"Datuk, saya mengucapkan terima kasih. Semua budi Datuk tidak 

dapat saya balas. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang akan 

membalas ...." Nyi Retno lalu mendukung bayi yang masih tidur yang 

diserahkan Datuk Rao Basaluang Ameh padanya. 

Wiro memperhatikan. Hatinya kembali bicara. 

"Aneh, ada keanehan pada diri Nyi Retno. Masakan tidak ada rasa 

haru dan air mata saat-saat dia mendapatkan bayinya kembali.Tidak 

ada sikap yang menunjukkan dia tidak waras. Dia langsung 

menerima bayi itu adalah anaknya. Apakah dia bisa berobah begitu 

cepat? Kalau benar maka Tuhan memang benar-benar Maha 

Kuasa! Tapi ...." Wiro menggaruk kepala, menatap ke arah Datuk 

Rao Basaluang Ameh tapi sang Datuk tidak memandang ke 

arahnya. Wiro kembali memperhatikan Nyi Retno Mantili."Caranya 

dia menggendong bayi itu. Bukan seperti seorang ibu yang 

kehilangan bayinya sekian lama. Tidak satu kalipun kulihat dia 

mencium bayi itu!"' 

"Nyi Retno, kau ingin kita segera meninggalkan pulau ini?"Wiro 

bertanya. "Ya. sebaiknya kita pergi sekarang saja. Aku akan minta


diri dulu pada Datuk. Selain itu ada satu hal yang ingin kutanyakan." 

Jawab Nyi Retno Mantili. 

"Datuk, saya dan Ken Permata, juga Kemuning minta diri. Sekali lagi 

saya mengucapkan terima kasih ....” 

"Ya, pergilah. Apakah Wiro akan mengantarmu Nyi Retno?" 

"Wiro akan mengantar saya."jawab Nyi Retno. 

Tiba-tiba bayi yang sejak tadi tertidur lelap terbangun dan menangis. 

"Ah, jangan-jangan dia haus. Biasanya Baiduri ibu susunya yang 

menyusuinya ..." kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula. 

"Nanti akan saya susui. Hanya saja saya kawatir apakah susu saya 

ada airnya." Ucap Nyi Retno Mantili. 

Lalu dia menyambung ucapannya. "Datuk, sebelum pergi saya ada 

satu pertanyaan. Mengenai sebilah golok besar bersarung perak 

yang dulu pernah diserahkan pembantu saya bernama Djaka 

Tua.Apakah Datuk masih menyimpannya?"' 

"Nyi Retno, untung kau bertanya. Aku yang sudah tua ini mulai pikun 

rupanya ...." Dari balik selempang pakaian putihnya Datuk Rao 

Basaluang Ameh keluarkan sebilah golok besar yang memang 

memiliki sarung berlapis perak. 

Wiro memperhatikan. Otaknya berpikir-pikir. Hatinya bertanya-tanya. 

Kepala digaruk berulang kali. 

"Datuk, tunggu dulu!" Sebelum golok besar berpindah ke tangan Nyi 

Retno Mantili murid Sinto Gendeng melompat menyambar senjata 

itu. "Maafkan saya Datuk." kata Wiro lalu dia berpaling menghadap 

pada Nyi Retno.


"Nyi Retno, bagaimana kau tahu saal golok besar ini. Tidak ada 

seorangpun yang bercerita padamu. Kalaupun kau tahu rasanya 

keadaan ingatanmu sudah tak mungkin kembali pada senjata ini." 

"Wiro, Djaka Tua selagi masih hidup pernah menceritakan padaku 

tentang lenyapnya senjata ini dari dalam kamar suamiku ...." 

Suamimu? Siapa suamimu Nyi Retno? Tanya Wiro. 

"Wiro, mengapa kau bertanya begitu. Hik ... hik! Bukankah kau 

suamiku?" Nyi Retno memutar tubuh. Bayi dalam dukungan kembali 

menangis. Nyi Retno Mantili tidak berusaha menepuk-nepuk atau 

membujuk. Perempuan itu mulai melangkah.Tidak acuh apakah 

Wiro akan menyertainya atau tidak. Namun Wiro tahu-tahu telah 

berdiri di depannya. Mata menatap tak berkesip, lalu mulut berucap 

yang membuat semua orang yang ada di tempat itu terkejut. 

"Kau bukan Nyi Retno Mantili!" 

"Srett!" 

Wiro cabut golok dari dalam sarung. Nyai Roro Manggut dan 

kembaran ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu terkesiap namun cepat 

bergerak ke kiri kanan Nyi Retno Mantili. Harimau putih bermata 

hijau menjaga di sebelah belakang sementara Datuk Rao Basaluang 

Ameh mendatangi dari depan. 

"Wiro, apa-apaan ini? Kau suamiku? Kau bapak dari Ken Permata! 

Kau mau berbuat apa?!" 

Wiro gelengkan kepala. "Nyi Retno Mantili tidak pernah menyebut 

aku sebagai bapak tapi ayah. Katakan siapa kau sebenamya!" 

Tiba-tiba dari arah laut berlari mendatangi seorang lelaki tua 

berpakaian basah kuyup. Rambut dan janggut panjang putih Dengan


nafas megap-megap sambil menunjuk ke arah Nyi Retno Mantili 

orang ini berterlak 

"Dia dia bukan Nyi Retno Mantili. Dia ...." 

Belum sempat dia selesaikan teriakan tiba-tiba selarik sinar merah 

menyambar. Orang tua berpakaian putih menjerit keras. Tubuh 

terpental tiga tombak, terbanting di tanah di salah satu kaki bukit 

karang. Sekujur tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki hangus 

merah. Kini bukan saja Wiro tapi semua orang jadi curiga. Pendekar 

212 membentak perempuan di depannya. 

"Perlihatkan ujud aslimu! Kalau tidak kutabas batang leherrnu!" 

Wiro melintangkan golok besar di udara. Golok telanjang di tangan 

sang pendekar berkilauan terkena cahaya belasan obor. Diancam 

Wiro seperti itu Nyi Retno Mantili malah tersenyum. Sepertinya 

otaknya yang tidak waras kembali kambuh.Tapi ternyata tidak. 

"Wiro, apa kau sudah gila hendak mernbunuh istri sendiri? Hendak 

membunuh ibu dari anakmu Ken Permata?" 

"Nyi Retno, serahkan bayi itu kembali padaku!" 

Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berkata. Tangannya saat itu 

dia sudah memegang suling yang terbuat dari emas. 

"Wiro, Datuk, semua yang ada di sini. Aku tidak mengerti ..." Retno 

berucap sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba tangan kanan 

perempuan ini menyusup ke pinggang. Sesaat kemudian tangan itu 

telah memegang sebilah pisau besar berkilat dan langsung 

ditikamkan ke leher bayi yang mendadak menangis keras. Namun


gerakan Nyi Retno kalah cepat dengan ayunan tangan Pendekar 

212. 

Golok besar berkelebat. Nyi Retno Mantiii menjerit keras sebelum 

lehernya terbabat putus. Tapi yang mengherankan suara jeritnya 

bukan suara jeritan perempuan melainkan suara jeritan laki-laki! 

Darah menyembur. Nenek kembaran ke tiga dengan gerakan cepat 

menyambar bayi dalam dukungan. Begitu bayi berada dalam 

gendongan si nenek tubuh tanpa kepala Nyi Retno roboh ke tanah. 

Ketika golok berkelebat ke arah leher Nyi Retno, dari atas bukit 

karang Watu Gilang menyambar satu cahaya merah. Datuk Rao 

Basaluang Ameh cepat sapukan suling emasnya ke atas. Selarik 

sinar kuning berkiblat. Cahaya merah bertabur cerai berai 

mengeluarkan suara menggelegar dahsssyat begitu kena dihantam 

sinar kuning suling emas. 

"Terima kasih Datuk, Datu k telah menyelamatkan nyawa saya ... 

ucap Wiro. Datuk Rao Basaluang Ameh sapukan suling emasnya di 

atas tubuh Nyi Retno Mantili. 

"Perlihatkan ujudmu sebenarnya agar kau tidak sesat dalam 

perjalanan ke akhirat!" 

" Desssss! " 

Satu letupan.menggema. Ujud Nyi Retno Mantili perlahan-tahan 

berubah menjadi sosok seorang lelaki tinggi besar yang bukan lain 

adalah sosok wira Bumi. Di kaki bukit karang kepala Nyi Retno yang 

menggelinding dalam waktu hampir bersamaan berubah menjadi 

kepala Wira Bumi dengan mata kiri dibalut kain hitam.


"Celaka! Aku membunuh Patih Kerajaan!" Ucap Wiro, wajahnya 

sepucat mayat. Golok dan sarung dibuang ke tanah. Lalu kepala 

digaruk berulang kali. 

"Kau tidak membunuh siapa-siapa Wiro. Kau hanya jadi penyebab 

kematian seorang manusia jahat. Semua telah ditentukan oleh Yang 

Maha Kuasa," berkata Datuk Rao Basaluang Ameh. Lalu orang tua 

ini bertanya. "Kau mengenali siapa orang tua yang tadi meneriaki 

Nyi Retno Mantili palsu ... ?" 

"Saya tidak dapat memastikan Datuk.Tapi ketika satu kali saya 

dalam keadaan setengah pingsan ditolong Ratu Duyung, saya 

mengenali suaranya. Mungkin dia adalah Kuncen bernama Ki 

Balang Kerso. Bekas penjaga makam Nyai Tumbal Jiwo ..." 

Datuk Rao Basaluang Ameh kemudian melangkah mendekati nenek 

kembaran ketiga dan mengambil Ken Permata dari dukungan si 

nenek. 

"Saat ini sudah ditakdirkan bayi ini kubawa kembali ke Danau 

Maninjau. Wiro, tugasmu belum selesai. Kau harus mencari ibu bayi 

ini sampai dapat. Jika bertemu bawa dia ke tempat kediamanku di 

Danau Maninjau. Kau masih ingat ucapan terakhir kali kita 

bertemu?" 

Wiro gelengkan kepala. "Saat itu kita bicara banyak Saya tidak 

ingat. Ucapan Datuk yang mana ..." 

"Ucapanku bahwa ibu anak ini telah jatuh cinta pada dirimu. Dan 

saat ini kurasa dia sangat mencintaimu. ...."


"Say ... saya ingat Datuk ..." jawab Wiro yang mendadak jadi merasa 

tidak enak. Selesai berkata sang Datuk naik ke punggung Datuk Rao 

Bamato Hijau. Sesaat kemudian orang-orang di pantai Parang tritis, 

dan Parangkusumo gempar melihat satu benda putih melesat di 

langit malam yang mulai cerah karena hujan gerimis telah berhenti. 

Di pulau Watu Gilang Pendekar 212 Wiro Sableng masih termangu-

mangu ketika ditelinganya tiba-tiba ada suara perempuan mengiang. 

"Aku Nyai Tumbal Jiwo. Kau telah membunuh kekasihku. Aku akan 

membalas dendam kematiannya Kecuali jika kau mau menjadi 

pengganti ..." 

"Hah! Apa?"Wiro letakkan dua telapak tangan di atas daun telinga 

lalu digoyang kuat-kuat. 

"Wiro ada apa?" tanya nenek kembaran ke tiga. 

"Kau bicara sendirian!" 

"Mungkin dia tiba-tiba menjadi tidak aras karena di inggal mati Nyi 

Retno Mantili jejadian!" kata Nyai Roro Manggut pula lalu tertawa 

cekikikan. 

"Nenek berdua, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini." 

"Kami tidak akan pergi bersamamu. Kami mau rnerayakan malam 

Satu Suro di pantai Parangtritis ..." 

"Memangnya kenapa kalau kita pergi bertiga ?” tanya Wiro. 

Dua nenek menjawab berbarangan. "Nanti ada yang marah. Kata 

Datuk Nyi Retno Mantili sangat mencintaimu!" 

"Kalian cemburu!" 

Dua nenek tertawa mengekeh. Keduanya saling berpegangan 

tangan lalu melesat ke udara.


"Hai tunggu!"Teriak Wiro. 

Tapi dua nenek telah lenyap di udara malam. 

Tinggal sendirian Wiro lari ke tempat dia meninggalkan perahu di 

tepi pantai pulau. Ketika hendak mengambil kayu pendayung 

mendadak dia melihat seseorang perempuan muda cantik jelita, 

berpakaian sangat seronok hingga sebagian besar tubuhnya 

tersingkap berbaring menelentang di lantai perahu. Dua kaki sengaja 

dikembang dan diletakkan di atas sisi perahu. 

"Kau siapa?!" tanya Wiro. 

Si cantik yang ditanya tersenyum. Barisan giginya kelihatan rata 

dan putih 

"Namaku Nyi Wulas Pikan. Mulai malam ini kau adalah kekasihku 

pengganti Wira Bumi yang telah kau bunuh ...." Si cantik dalam 

perahu tertawa cekikikan lalu sosoknya lenyap dari pemandangan. 

"Nyi Wulas Pikan." ucap Wiro sambil menggaruk kepala. 

"Aku tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.Tapi aku ingat. 

Wajah gadis tadi sama dengan wajah gadis yang ditiduri Wira Bumi 

di balik semak belukar di pantai. Pasti dia jejadian Nyai Tumbal 

Jiwo!" 

Wiro berbalik. Murid Sinto Gendeng melengak kaget dan 

menyumpah panjang pendek karena begitu berbalik kakinya 

menendang sesuatu. Di tanah dilihatnya sosok wira Bumi, tubuh dan 

kepala sudah tersambung kembali. Namun di lain kejap sosok itu 

kemudian lenyap dari pemandangan.


"Edan! Edan!" maki Wiro berulang kali. 

"Hik ... hik." Tiba-tiba ada tawa rnengiang di telinga Wiro. 

"lni aku lagi. Kekasihmu. Nyi Wulas Pikan. Setelah aku mengurus 

mayat Wira Bumi. Apakah malam ini kita bisa bersenang-senang 

sampai pagi?' 

"Hik ... hik Wiro menirukan tawa mengiang.'Gila! Edan!" makinya 

kemudian. 

"Gila! Edan!Yang gila dan yang edan itulah yang paling enak. Kita 

akan sama-sama merasakan kelak! Kita berdua pasti cocok. Kalau 

kau sudah merasakan hemmm ... Kau tak akan meninggalkan diriku 

seumur-umur! Dan aku akan setia selalu padamu. Hik .... hik ... hik!" 

"Setan Perempuan! Mampuslah!" teriak Wiro lalu tidak kepalang 

tanggung dia lepaskan pukulan Sinar Matahari ke arah datangnya 

suara mengiang. Namun yang dihantam hanya udara malam 

kosong. Dua belas obor hancur berantakan. Keadaan di pulau 

menjadi agak gelap. Wiro usap kuduknya yang terasa dingin. 

Sialan! Sialan!" maki sang pendekar berulang kali. 

"Tidak sial! Tidak sial! Kau beruntung mendapatkan diriku! Aku 

beruntung mendapatkan dirimu!" Suara mengiang kembali terdengar 

di telinga Wiro. 

"Jahanam! Setan keparat!" Wiro hantamkan kakinya ke tanah. Pasir 

pantai amblas membentuk lobang dalam dan besar. Saking kesal 

Wiro jatuhkan diri ke dalam lubang. Dia tetap tidak bergerak sewaktu 

ombak memecah di pasir dan air laut masuk ke dalam lobang. 

* * * 

TAMAT


Dimana beradanya Nyi Retno Mantili yang asli? 

Apakah sesuatu telah terjadi dengan dirinya! 

Apakah Pendekar 212 Wiro Sableng mampu menghindar dari 

kejaran penuh nafsu Nyi Wulas Pikan alias NyaiTumbal Jiwo! 

lkuti serial berikutnya berjudul :



DENDAM MAHLUK ALAM  ROH









0 komentar:

Posting Komentar