BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 30 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE PURNAMA BERDARAH



Purnama Berdarah


WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 

HUJAN lebat mendera Pantai Selatan. Suara hujan 

yang diterpa hembusan angin keras yang datang dari 

laut menimbulkan suara menggidikkan di telinga 

siapa saja yang mendengarnya. Di bawah hujan lebat itu 

seorang penunggang kuda memacu tunggangannya 

sepanjang tepian pantai, menembus hujan dan deru angin 

ke arah timur. Tepat di satu bukit karang yang menjulang 

orang ini hentikan kudanya. Sambil menepuk tengkuk 

binatang itu dia berkata. “Jangan ke mana-mana. Tunggu 

di sini sampai aku kembali!” 

Seperti mengerti akan ucapan orang, kuda itu mende–

katkan kepalanya ke bahu tuannya dan menjilat bahu itu 

beberapa kali. Ketika petir kelihatan menyambar di tengah 

laut, penunggang kuda tadi telah lenyap dari tempat itu. 

Dia melompat ke sebuah celah sempit di kaki bukit karang. 

Di dalam celah itu ada bagian bukit yang berbentuk seperti 

tangga kasar. Orang ini menaiki tangga itu dengan gerakan 

cepat. Tangga batu karang itu licin dan ada yang berseli–

mutkan lumut. Hujan lebat membuat udara menjadi redup 

gelap. Kalau tidak memiliki kepandaian tinggi tak mungkin 

orang itu bisa menaiki tangga batu begitu cepat. 

Di puncak tangga batu membentang sebuah pedataran 

batu yang penuh dengan gerunjul-gerunjul karang runcing. 

Pada sebelah kiri pedataran menjulang bukit berbentuk 

dinding setinggi lima tombak. Pada salah satu bagian di 

kaki dinding inilah kelihatan sebuah lobang besar yang 

merupakan mulut goa. Orang tadi bergegas menuju pintu 

goa. Di mulut goa dia berhenti sebentar. Dia mengusap 

wajahnya dua kali berturut-turut lalu baru masuk ke dalam. Bagian dalam goa batu karang itu terasa hangat dan 

merupakan satu terowongan lurus sedalam sepuluh 

tombak. Di ujung terowongan kelihatan menyala sebuah 

lampu minyak yang meliuk-liuk terkena tiupan angin dari 

luar. Di belakang lampu ini terhampar sehelai kulit bina–

tang yang sudah dikeringkan. Bagian kepalanya yang 

berupa kepala seekor srigala menghadap ke dinding goa 

sebelah kiri. Di atas kulit binatang itu, di sebelah kanan 

tampak satu sosok tubuh terbalut kulit binatang tegak 

kepala di bawah kaki ke atas. Kedua telapak tangan 

menjejak kulit di lantai goa sedang sepasang kaki bersilang 

di sebelah atas. Rambutnya yang panjang riap-riapan 

terjulai ke bawah dan wajahnya tertutup oleh janggutnya 

yang panjang menjulai. Udara di dalam goa itu menebar 

bau tidak sedap. 

Orang yang barusan masuk dalam keadaan basah 

kuyup sesaat tegak memperhatikan sosok tubuh yang 

tegak kepala ke bawah kaki ke atas itu. Lalu mulutnya 

terbuka berucap, “Eyang Srigala Karang, saya datang untuk 

kedua kali!” 

Tubuh yang tegak kaki ke atas kepala di bawah itu tidak 

bergerak. Namun di balik janggut panjang yang menutupi 

hampir keseluruhan wajahnya, sepasang matanya terbuka 

sedikit. Menyusul mulutnya bersuara, “Kemala, kau datang 

untuk kedua kali. Berarti hatimu telah tetap untuk meminta 

agar aku meluluskan keinginanmu?!” 

“Betul sekali Eyang Srigala Karang.” Orang ini ternyata 

adalah seorang perempuan. 

“Bagus kalau begitu. Aku sudah katakan bahwa sekali 

kau memutuskan meminta bantuanku, berarti kau harus 

memenuhi segala syarat dan aturan!” 

“Saya akan memenuhi,” jawab Kemala yang pakaian 

dan rambutnya basah kuyup. 

“Aku sudah katakan. Kalau kau melanggar syarat dan 

aturan maka apa yang kau minta akan berbalik mencelakai 

dirimu sendiri!” 

“Saya sudah mengerti hal itu Eyang.”“Apa yang kau minta segera terkabul. Setelah kau 

melihat sendiri nanti, maka baru aku akan mengatakan 

syarat-syaratnya.” 

“Eyang, apakah tidak sebaiknya Eyang mengatakan 

lebih dulu syarat-syarat itu?” ujar Kemala. 

“Kau yang meminta bantuan, aku yang menentukan 

syarat. Lagi pula apa sulitnya memenuhi syarat yang tidak 

sukar?” 

Orang yang berdiri di depan lampu minyak diam 

sejurus. Maka terdengar orang yang disebut dengan Eyang 

Srigala Karang itu berkata. “Aku tidak suka pada orang-

orang yang datang dengan hati meragu bimbang. Jika 

perasaan itu ada dalam hati sanubarimu, cepat-cepat saja 

meninggalkan goa ini! Aku tidak punya terlalu banyak 

waktu mengurusi tamu sepertimu! Aku mau dengar 

jawabanmu!” 

“Saya tidak ragu. Apapun nanti syarat dari Eyang akan 

saya penuhi.” kata Kemala pula. 

Eyang Srigala Karang keluarkan suara tawa mengekeh, 

membuat orang di depannya sesaat jadi tercekat. “Aku 

akan pertemukan kau dengan makhluk yang akan menjadi 

sahabat dan suruhanmu!” kata Eyang Srigala Karang. Lalu 

tangan kiri sang Eyang tampak terangkat dari atas tikar 

kulit binatang. Tangan ini bergerak ke arah kepala srigala 

yang dikeringkan. Kemudian mengusap kepala itu tiga kali 

berturut-turut. Pada akhir usapan ketiga tiba-tiba asap 

kelabu mengepul keluar dari dua telinga, mata, dan hidung 

yang ada di kepala srigala yang telah dikeringkan itu. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara seperti gerengan 

atau auman binatang. Demikian kerasnya suara ini hingga 

lantai dan dinding goa bergetar. Kemala tercekat sesaat. 

Kedua matanya dibuka lebar-lebar. Dia menyaksikan 

bagaimana kepulan asap itu berbuntal menjadi satu. Lalu 

berubah menjadi sosok seekor binatang buas berupa 

srigala yang mengerikan. Kedua mata binatang ini berwar–

na merah, laksana bara api. Telinganya mencuat ke atas. 

Mulutnya sampai ke gigi, taring, dan lidahnya tampakbasah oleh darah. Begitu juga dua kaki depannya yang 

memiliki kuku-kuku panjang runcing. Binatang ini berputar 

menghadap ke arah Kemala lalu menggereng keras. 

Kemala merasakan nyawanya seperti terbang. Tapi perem–

puan ini cepat menguasai dirinya kembali. 

“Kawanmu ini harus kau panggil dengan nama Datuk. 

Jika kau ingin menemuinya dan menyuruh dia melakukan 

sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi keinginanmu, 

maka kau cukup menyebut namanya tiga kali berturut-

turut. Dia akan muncul di hadapanmu menunggu perintah. 

Dia hanya akan melakukan satu perintah saja yaitu men–

cabik-cabik sampai mati setiap orang yang kau inginkan. 

Namun ingat, pembunuhan itu hanya bisa kau lakukan 

pada malam bulan purnama. Lain dari saat yang telah 

ditentukan itu, Datuk tidak akan melakukannya. Dia hanya 

akan berkeliaran di mana-mana atau muncul jika kau 

panggil, tapi tidak akan melakukan perintah membunuh!” 

“Mengapa Datuk hanya bisa melakukan pembunuhan 

pada malam bulan purnama saja Eyang?” tanya Kemala. 

“Begitu yang telah ditentukan oleh alam gaib dan ilmu 

gaib. Tak seorang pun bisa merobahnya. Malam bulan 

purnama adalah malam yang indah. Malam kebanyakan 

orang lelaki dan perempuan saling bermesraan dan mera–

sakan saat-saat paling bahagia!” jawab Eyang Srigala 

Karang. “Kau harus menerima ketentuan ini. Kau telah 

berjanji.” 

“Ya, saya menerimanya Eyang,” kata Kemala pula 

dengan suara perlahan. 

Eyang Srigala Karang tertawa mengekeh. “Aku tahu, 

kau ingin membunuh dan membunuh sebanyak dan 

secepat mungkin. Jika keinginanmu itu diikuti, dalam 

waktu singkat puluhan orang akan menjadi korbanmu. 

Sekarang siapkan dirimu untuk menerima syarat-syarat 

yang harus kau lakukan.” 

Kemala tegak lurus-lurus tak bergerak. 

“Syarat pertama! Setiap setelah tiga kali melakukan 

pembunuhan pada tiga malam purnama, seorang pemudayang memiliki sepasang telinga panjang ke atas seperti 

srigala akan muncul di kamar tidurmu. Kau harus melayani 

pemuda ini, memenuhi apa yang dimintanya termasuk 

bermesraan dengannya...” 

“Eyang!” seru Kemala terkejut sekali dan parasnya 

langsung berubah. 

“Kau tak boleh menolak, tak layak membantah. Itu 

syarat yang tidak bisa dirobah! Ingat ucapan-ucapanku 

sebelumnya!” 

“Tapi Eyang, saya...” 

“Berani kau bicara lagi maka Datuk akan kusuruh 

mencabik-cabik sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai 

kaki!” 

Datuk, si srigala bermata merah itu keluarkan suara 

lolong raungan keras. Dua sinar merah api seperti berke–

lebat keluar dari kedua matanya, menyambar ke arah 

Kemala. Gadis ini tersentak mundur. 

Eyang Srigala Karang kembali mengekeh. “Datuk, mulai 

saat ini kau bertuan pada gadis di hadapanmu ini. Ikuti 

segala perintahnya sesuai dengan aturan. Ingat, kau hanya 

boleh membunuh pada malam bulan purnama!” 

Srigala itu kembali meraung panjang. 

“Sekarang kau boleh pergi Datuk!” 

Eyang Srigala Karang mengusap kepala srigala yang 

sudah dikeringkan tiga kali berturut-turut. Binatang 

bermata merah itu perlahan-lahan berubah menjadi asap 

lalu lenyap dari pemandangan. 

“Syarat kedua dan terakhir!” terdengar Eyang Srigala. 

Kemala terdiam. Sepasang matanya menatap ke arah 

wajah yang tertutup janggut itu. 

“Tanggalkan seluruh pakaianmu!” 

Kemala seperti mendengar petir menyambar di depan 

hidungnya! “Apa kata Eyang?!” 

“Tanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhmu!” 

“Apa maksud Eyang?!” tanya Kemala. Suaranya keras 

pertanda ada hawa amarah memasuki dirinya. 

“Apa maksudku tak perlu kau ketahui! Aku memerin–tahkan supaya kau membuka seluruh pakaianmu! Seka–

rang juga! Ini syarat yang harus kau lakukan!” 

“Syarat gila!” teriak Kemala. 

Eyang Srigala Karang tertawa panjang. “Jika kau 

menolak perintah, Datuk akan muncul membunuhmu!” 

“Saya tidak takut! Syarat yang Eyang katakan tidak 

mungkin saya lakukan!” 

“Apa sulitnya membuka pakaian!” 

“Membuka pakaian memang mudah! Tapi ada maksud 

busuk dalam diri Eyang hendak mencemari saya!” 

Eyang Srigala Karang kembali tertawa. Begitu suara 

tawanya sirap dari mulutnya keluarlah suara seperti 

raungan srigala dalam rimba belantara di malam gelap 

gulita. 

Tiba-tiba tubuhnya yang sejak tadi berdiri di atas kedua 

tangannya bergerak berjumpalitan. Kini dia tegak di atas 

kedua kakinya. Wajahnya yang sejak tadi tertutup oleh 

janggutnya yang panjang sekarang terlihat jelas. Ternyata 

dia memiliki wajah mirip seekor srigala, lengkap dengan 

gigi-gigi serta taring-taring besar runcing. Kedua telinganya 

panjang mencuat ke atas. Keseluruhan wajahnya sampai 

ke telinga tertutup oleh selapis bulu-bulu berwarna coklat. 

Lalu kedua matanya menyerupai sepasang mata Datuk 

makhluk srigala itu. Berwarna merah laksana bara api! 

“Kalau kau tidak mau membuka sendiri pakaianmu, 

terpaksa aku yang akan melakukannya!” kata Eyang 

Srigala Karang. 

Eyang Srigala Karang mengulurkan tangan kanannya ke 

depan ke arah Kemala. Ketika tangan itu membuat 

gerakan-gerakan aneh, terjadilah hal yang sulit dipercaya. 

Seluruh pakaian yang melekat di tubuh Kemala seolah-olah 

terbang, lepas bertanggalan hingga kini gadis itu tegak 

menjerit dalam keadaan bugil. Kemala berteriak tiada henti 

sambil kedua tangannya berusaha menutupi auratnya. 

Eyang Srigala Karang tertawa panjang. 

“Syarat harus dipenuhi! Aturan harus diikuti! Ah...! 

Tubuhmu ternyata putih sekali. Bagus dan mulus. Mende–katlah kemari biar dapat kujamah...” 

“Manusia keparat! Kau rupanya tidak lebih dari seorang 

dukun cabul!” teriak Kemala. 

“Kau tidak lebih baik dariku! Kau meminta ilmu hitam 

untuk melampiaskan kebusukanmu! Mendekat kataku!” 

“Tua bangka cabul! Aku bersumpah akan membunuh–

mu!” 

“Kalau kau tidak mau mendekat, biar aku yang menda–

tangi!” kata Eyang Srigala Karang pula. Lalu dia maju 

selangkah demi selangkah. 

Kemala yang dalam keadaan terancam tampak tidak 

bergerak dari tempatnya berdiri. Kalau tadi kedua tangan–

nya dipergunakan untuk menutupi auratnya sedapat-

dapatnya, kini dia sengaja menurunkan kedua tangan itu 

dan mengembangkan kedua tangannya ke samping. 

Gerakan ini membuat sepasang mata api Eyang Srigala 

Karang menjadi silau oleh pemandangan yang membakar 

nafsunya. Dia menyangka Kemala telah siap menyerahkan 

diri mematuhi syarat yang dikatakannya. Kedua tangannya 

diulurkan hendak menjamah dada si gadis. 

Sesaat lagi jari-jari tangan yang kotor menjijikkan itu 

akan menyentuh payudara Kemala, tiba-tiba gadis ini 

keluarkan bentakan keras. Tubuhnya berkelebat. Tangan 

kanannya menghantam ke depan. 

Bukkk! 

Eyang Srigala Karang berseru kesakitan. Tubuhnya 

terpental membentur dinding akibat jotosan Kemala yang 

telak menghantam dada kirinya. Jantungnya seperti 

berhenti berdenyut. Kedua mata apinya membelalak. Dia 

sama sekali tidak menyangka akan dihajar seperti itu. 

“Kau... kau...” kata orang tua bermuka srigala itu sambil 

berdiri tertatih-tatih dan memegangi dadanya yang mende–

nyut sakit. “Kau memukulku. Perbuatanmu merangsang 

nafsuku! Lihat... lihat apa yang akan kulakukan!” Eyang 

Srigala Karang lalu menggerakkan kedua tangannya 

membuka pakaiannya sendiri yang terbuat dari kulit 

binatang yang dikeringkan.“Manusia terkutuk!” teriak Kemala. 

Dampratan itu dibalas dengan tawa mengekeh oleh 

Eyang Srigala Karang. Tapi tawanya lenyap begitu 

tendangan Kemala menabas salah satu kakinya hingga 

tubuhnya terbanting ke lantai goa. Sambil meringis 

kesakitan orang tua ini masih bisa berusaha berdiri. Dia 

tegak terhuyung-huyung memandangi Kemala dengan 

mata berapi-api. Ternyata meskipun memiliki ilmu gaib 

yang aneh, orang tua ini sama sekali tidak menguasai 

kepandaian silat. Maka sewaktu ketiga kalinya serangan 

Kemala mendarat di tubuhnya, Eyang Srigala Karang 

melolong kesakitan. Hidungnya yang dihantam jotosan 

keras mengucurkan darah. Sekarang hawa amarah lebih 

menguasai dirinya daripada nafsu bejatnya. Dia sama 

sekali tidak menduga kalau gadis di hadapannya memiliki 

kepandaian silat. Orang tua ini melompat ke arah kepala 

srigala yang dikeringkan. Dia berusaha mengusap kepala 

srigala itu dengan tangan kirinya. Jelas dia hendak 

memanggil Sang Datuk! Kemala yang tahu apa yang 

hendak dilakukan orang tua itu kembali berkelebat. Kali ini 

pukulannya melanda lambung Eyang Srigala Karang. Selagi 

tubuh orang tua itu tertekuk ke depan, Kemala menyambar 

dan menjambak rambutnya yang panjang riap-riapan. Lalu 

kepala itu ditariknya kuat-kuat, dibantingkan ke dinding 

goa karang! 

Praaakk! 

Untuk kesekian kalinya terdengar suara jeritan keras 

dan panjang dari mulut Eyang Srigala. Keningnya tampak 

rengkah dan darah membasahi wajahnya yang tertutup 

bulu-bulu halus berwarna coklat itu. Tapi dia belum mati. 

Suara menggereng kini terdengar berkepanjangan dari 

tenggorokannya. Kemala cepat menyambar pakaiannya 

yang terhamparan di lantai goa lalu berkelebat menuju 

mulut goa. Di luar sebelum melenyapkan diri dia mengusap 

wajahnya dua kali berturut-turut. 

Eyang Srigala Karang merangkak mendekati kepala 

srigala yang diawetkan. Namun sebelum berhasil menca–painya, tubuhnya tergelimpang di lantai. Darah makin 

banyak mengucur dari luka mengerikan di keningnya. 

Dalam keadaan sekarat orang tua ini melafatkan sesuatu 

yang diakhiri dengan ucapan: “Datuk Putra datanglah. Aku 

perlu dirimu...” 

Begitu ucapan itu berakhir terdengar suara menderu 

seperti gemuruh ombak memecah di tepi pantai. Lalu 

dalam goa, entah dari mana datangnya muncul sosok 

tubuh seorang pemuda yang mengenakan destar. Wajah–

nya tampan namun dia memiliki sepasang telinga yang 

panjang mencuat ke atas serta berbulu seperti telinga 

seekor srigala. Sedang kedua matanya berwarna biru dan 

pandangannya menggidikkan. Di samping si pemuda 

mendekam sosok lain yang ternyata adalah sang Datuk, 

yaitu srigala bermata api. 

“Orang tua, aku sudah datang. Katakan kepenti–

nganmu!” Pemuda berdestar hitam dan bertelinga seperti 

srigala berkata. 

“Kau lihat apa yang terjadi pada diriku! Gadis itu yang 

melakukan. Gadis bernama Kemala itu! Aku akan segera 

menemui kematian! Tapi aku akan mati secara penasaran! 

Aku ingin pembalasan. Lakukan sesuatu! Bunuh gadis itu! 

Suruh Datuk mencabik-cabik tubuhnya!” 

Pemuda bernama Datuk Putra gelengkan kepala. 

“Perjanjian apa yang sudah kau buat dengan gadis itu tidak 

bisa dirubah. Dia memiliki kekuatan untuk menguasai dan 

memerintah Datuk...” 

“Aku tidak peduli! Kau harus melakukan sesuatu, Datuk 

Putra!” kata Eyang Srigala Karang hampir berteriak tapi 

kemudian dia mengeluh kesakitan sambil memegangi 

dadanya. 

“Aku akan perhatikan permintaanmu. Cuma mungkin 

belum bisa dilakukan apa-apa sebelum 40 kali bulan 

purnama. Kau melakukan kekeliruan. Meminta syarat yang 

seharusnya tidak menjadi syarat! Kau terjebak oleh nafsu 

kotormu sendiri!” 

Eyang Srigala Karang terbujur di lantai goa. Keduamatanya yang merah kini telah tertutup darah dari 

rengkahan kepalanya. 

Pemuda dari alam gaib bernama Datuk Putra berpaling 

pada srigala bermata api di sampingnya. “Kau sudah 

mendapatkan tuan yang baru. Kau harus berada di mana 

dia berada. Pergilah...” 

Srigala yang mulut dan kedua kaki depannya bergeli–

mangan darah itu meninggikan kepalanya, menggereng 

beberapa kali, lalu memutar diri dan melompat ke mulut 

goa. Datuk Putra membungkuk mengambil lampu minyak. 

Minyak lampu itu disiramkannya ke sekujur tubuh Eyang 

Srigala Karang. Lalu disulutkannya api pelita ke salah satu 

bagian tubuh si orang tua. 

Wussss! 

Serta merta api besar menggebubu membakar tubuh 

Eyang Srigala Karang. Datuk Putra tetap berada dalam goa 

itu sampai seluruh tubuh sang Eyang musnah dimakan api 

yang secara aneh tubuh itu terbakar tanpa mengeluarkan 

bau daging terpanggang. Selain itu ketika api akhirnya 

padam, tubuh itu kini hanya tinggal berbentuk seonggok 

tulang belulang yang hitam menggosong! 

Dengan sisa-sisa tikar kulit binatang yang sebagian 

terbakar hangus termasuk kepala srigala yang dikeringkan, 

Datuk Putra membungkus tulang belulang Eyang Srigala 

Karang. Tulang belulang ini kemudian dibawanya ke tepi 

pantai. Dia mendongak ke langit yang sampai saat itu 

masih mengucurkan hujan lebat. Kemudian tikar kulit 

berisi tulang-tulang Eyang Srigala Karang itu dilempar–

kannya jauh-jauh ke tengah laut. 

“Kau aman di tempatmu yang baru,” kata Datuk Putra 

seraya memandang ke tengah laut. “Jika kau berkeras 

untuk muncul di dunia ini kembali, kau harus sanggup 

menanggung segala akibatnya. Kita memang orang-orang 

dari dunia gelap dan hitam. Tapi berbuat kekeliruan tidak 

ada ampunannya!” 

Di tengah laut tampak halilintar menyambar. Lautan 

sekilas jadi terang benderang. Datuk Putra rangkapkankedua tangannya di depan dada. Sepasang matanya 

dipejamkan. Daun telinganya yang mencuat panjang ke 

atas tampak bergerak-gerak tiada henti. Lalu seperti tadi 

kemunculannya yang entah dari mana, sesaat kemudian 

tubuhnya pun lenyap entah ke mana!



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 2

SEBENARNYA saat itu sedang musim penghujan. 

Hampir tiap hari, siang atau malam hujan turun. 

Namun pada siang dan malam hari pesta perkawinan 

Rumini, puteri Kepala Desa Cadas Brantas, dengan 

seorang pemuda bernama Randu Wulung yang kabarnya 

adalah seorang perwira muda di jajaran pasukan kerajaan, 

udara tampak cerah. Siang hari ketika upacara pernikahan 

dilangsungkan tidak setetes hujan-pun turun. Begitu pula 

pada malam harinya. Udara terasa sejuk segar dan di langit 

bulan purnama tiga belas hari tampak indah menghias 

langit yang ditaburi bintang gemintang. 

Yang punya hajat tentu saja merasa bersyukur sedang 

para tamu ikut senang sambil bertanya-tanya pawang 

hujan dari mana yang dipakai oleh tuan rumah sehingga 

begitu ampuh mencegah turunnya hujan. 

Lewat tengah malam pesta perkawinan usai sudah. 

Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan 

pemain gamelan sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa 

yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua 

lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan terus di 

beranda depan. 

Pagi harinya Kepala Desa dan isterinya telah lama 

bangun. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan karib 

kerabat duduk berkumpul di ruang tengah rumah besar 

sambil menikmati kopi hangat dan sarapan pagi. 

“Sepasang pengantin yang berbahagia rupanya masih 

tertidur pulas...” kata seorang di antara keluarga yang 

masih merupakan paman pengantin perempuan sambil 

senyum-senyum. “Maklum saja. Namanya pengantin baru,” menyahuti 

anggota keluarga yang lain lalu menghirup kopi hangatnya 

sampai mengeluarkan suara keras. 

Obrol punya obrol tak terasa pagi bergerak siang. Dua 

pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar. 

“Tak enak rasanya kalau mereka masih terus di dalam 

kamar. Matahari sudah tinggi,” kata Kepala Desa pada 

istrinya. “Coba kau bangunkan mereka...” 

Istri Kepala Desa bangkit dari duduknya. Lalu melang–

kah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak 

kamar pengantin. Perempuan ini mengetuk pintu kamar. 

Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawa–

ban akhirnya dia kembali ke ruang tengah, memberitahu 

pada suaminya. 

“Mereka mungkin masih sangat pulas. Jadi harus keras 

mengetuk membangunkan mereka,” kata Kepala Desa. Dia 

bangkit berdiri. “Sudah, biar aku saja yang memba–

ngunkan.” 

Kepala Desa Cadas Brantas mengetuk pintu kamar 

pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan 

lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil 

nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban. 

Beberapa orang anggota keluarga yang ada di ruangan 

tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu kamar. 

“Coba ketuk lebih keras,” kata salah seorang dari mereka. 

Kepala Desa kali ini bukan lagi mengetuk, tapi meng–

gedor pintu kamar. 

“Aneh, apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun 

oleh gedoranku?!” kata Kepala Desa sambil memandang 

pada orang-orang yang ada di depan pintu. 

“Tak ada lobang tempat mengintip. Berarti tak ada jalan 

lain. Kita harus mendobrak pintu!” kata seorang anggota 

keluarga yang berbadan tinggi besar. “Kalau Kangmas 

izinkan tentunya.” 

Kepala Desa Cadas Brantas meraba dagunya lalu 

mengangguk, “Ya, kita dobrak saja,” katanya menyetujui. 

Lelaki tinggi besar tadi mundur beberapa langkahsementara semua orang yang ada di pintu bersibak ke 

samping. Dengan kaki kanannya yang kuat orang tinggi 

besar menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur 

berantakan. Begitu pintu terpentang lebar, Kepala Desa 

masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di antara–

nya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir 

semua orang secara berbarengan keluarkan seruan keras. 

Isteri Kepala Desa paling keras jeritannya. Dia menutupi 

mukanya dengan kedua tangan lalu terhuyung-huyung dan 

pasti roboh kalau tidak lekas ada yang memegangi. 

“Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Kepala 

Desa. “Anakku Rumini! Randu Wulung!” 

Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedih–

kan di seluruh desa Cadas Brantas. Sepasang pengantin 

baru, Rumini dan Randu Wulung, pagi tadi ditemukan telah 

jadi mayat. Rumini terkapar menelentang di atas ranjang 

pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat 

tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh 

masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar. 

Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya 

mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging 

tubuh dua manusia malang itu. Yang lebih mengerikan, 

wajah Rumini dan Randu Wulung hampir tak bisa dikenali. 

Karena wajah-wajah mereka juga tampak koyak robek 

mengerikan. Kamar pengantin yang seharusnya menjadi 

kamar bahagia itu diperciki darah mulai dari ranjang 

sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding. 

Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena 

dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?! 

Menurut dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu 

menemui ajal karena dikoyak muka dan tubuhnya dengan 

sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar. 

“Aku tidak punya musuh. Siapa yang begitu jahat 

menghabisi nyawa anak menantuku! Kejam! Jahat luar 

biasa!” kata Kepala Desa Cadas Brantas sambil mengepal-

kepalkan kedua tinjunya dan berulang kali mengusap 

mukanya. Sementara itu istrinya berada dalam kamarmasih menangis dan sesekali menjerit memilukan. Rumini 

adalah anak mereka satu-satunya. Bilamana gadis itu 

meninggal dunia karena sakit mungkin tidak demikian 

hebat duka kedua orang tuanya. Namun Rumini mati 

dibunuh orang, secara luar biasa kejam begitu rupa! Pada 

hari perkawinannya pula! Orang tua mana yang bisa 

pasrah! 

“Bapak Santiko,” kata seorang lelaki separuh baya 

berbadan tegap. Dia adalah Gandar Seto, Perwira Tinggi 

atasan Randu Wulung yang menyempatkan diri datang ke 

Cadas Brantas untuk menghadiri pesta perkawinan pemu–

da bawahannya itu. Karena istrinya kurang sehat, perwira 

ini membawa serta anak perempuannya sebagai wakil 

sang ibu. Anak perempuan Gandar Seto yang bernama 

Ratih Kiranasari bertubuh tinggi semampai, berkulit putih 

dan memiliki wajah termasuk cantik. Namun dalam usia–

nya yang hampir memasuki 30 tahun itu dia masih juga 

belum bersuami, belum menemukan jodoh. Hal ini sebe–

narnya menjadi salah satu ganjalan tidak enak dalam diri 

sang ayah. Pada masa itu kebanyakan gadis sudah 

menikah dan berumah tangga di usia 16 atau 17 tahun. 

Bahkan ada yang telah kawin di usia lebih muda dari itu. 

Karenanya tidak disalahkan kalau banyak orang berpen–

dapat bahwa Ratih Kiranasari sudah termasuk yang 

disebut perawan tua. 

Malam itu Gandar Seto dan puterinya menginap di 

rumah seorang kenalan di desa Cadas Brantas. Pagi 

harinya ketika hendak berangkat ke Kotaraja, begitu 

mendengar berita duka kematian sepasang pengantin yang 

menggegerkan itu, dengan bergegas Perwira Tinggi ini 

mendatangi rumah duka yang sebelumnya merupakan 

rumah pesta perkawinan itu. Setelah menyuruh anak 

gadisnya tetap berada dalam kereta, Gandar Seto segera 

turun dan masuk ke dalam rumah. 

Perwira Tinggi ini sudah sering melihat kematian orang. 

Baik di medan perang maupun ketika menumpas para 

penjahat dan perampok pengacau Kerajaan. Namun belumpernah dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri 

kematian yang mengerikan begini rupa. 

“Ganas. Kejam sekali!” kata Ganda Seto dalam hati. 

Lalu dia menemui Kepala Desa Santiko yang duduk 

terkulai di sebuah kursi besar. 

“Bapak Santiko,” tegurnya sambil memegang bahu 

Kepala Desa itu. “Saya tahu ini cobaan yang sangat berat 

dan besar bagimu dan istri. Namun saya harapkan kau bisa 

tabah menghadapinya. Saya berjanji untuk menyelidiki 

kematian Rumini dan Randu. Saya sendiri nanti yang akan 

memancung batang leher pembunuh biadab itu!” 

Kepala Desa itu menatap wajah Gandar Seto sesaat 

lalu dianggukkannya kepalanya yang berwajah pucat itu 

perlahan sekali. 

“Saya tidak punya musuh. Baik di masa muda saya 

maupun saat ini. Siapa orangnya yang begitu kejam dan 

berhati keji membunuh anak menantuku pada malam hari 

bahagia mereka.” 

“Setahu saya Randu Wulung juga tidak punya musuh. 

Dia disenangi orang di dalam maupun di luar jajaran 

pasukan kerajaan. Dia seorang calon perwira tinggi yang 

diharapkan Sri Baginda menggantikan kami yang sudah 

tua-tua ini. Saya dan tentu saja kerajaan sangat kehilangan 

dirinya...” Perwira Tinggi itu diam sesaat. Lalu dengan suara 

rawan dia meneruskan ucapannya. “Hidup ini memang 

aneh. Dalam keanehan itu ada berbagai rasa jahat, iri hati 

dan kedengkian. Bukan mustahil bawahan saya menjadi 

korban ketiga hal tersebut.” 

“Raden Gandar...” kata Kepala Desa Cadas Brantas 

dengan suara bergetar. “Tolong... kau usutlah perkara ini 

sampai berhasil menangkap pembunuhnya.” 

“Saya berjanji. Tadi pun saya sudah coba melakukan 

penyelidikan singkat. Agaknya si pembunuh masuk lewat 

jendela. Saya dapatkan jendela kamar pengantin dalam 

keadaan terbuka. Ada beberapa bagian daun jendela yang 

menunjukkan tanda-tanda bekas dicongkel.” 

“Maafkan kalau saya ingin memberitahukan sesuatu,”kata seorang anggota keluarga. Dia adalah lelaki tinggi 

besar yang tadi mendobrak pintu kamar untuk dapat 

masuk ke dalam. 

Kepala Desa Cadas Brantas dan Perwira Tinggi Gandar 

Seto berpaling pada orang ini. 

“Apa yang hendak kau beritahukan Padullah?”tanya 

Santiko. 

“Malam tadi saya hampir tertidur waktu lapat-lapat saya 

mendengar suara seperti lolongan binatang di kejauhan. 

Terdengarnya seperti suara raungan anjing. Tetapi setelah 

saya simak saya yakin betul itu bukan suara lolongan 

anjing. Saya tidak dapat memastikan suara lolongan 

binatang apa. Mungkin anjing hutan atau srigala. Tapi kita 

tahu sendiri di sekitar sini tidak pernah ada anjing atau 

srigala hutan. Walau hati saya mendadak jadi tidak enak, 

saya mencoba memejamkan mata, tidur. Lalu saya 

mendengar ada suara halus. Suara seperti jendela atau 

pintu terbuka. Tapi saya ragu saat itu. Mungkin saja yang 

saya dengar adalah hembusan angin malam atau desah 

daun-daun pepohonan yang tertiup angin. Lalu akhirnya 

saya tertidur...” 

Baik Kepala Desa Santiko maupun Perwira Tinggi 

Gandar Seto kelihatannya sama-sama tidak tertarik dengan 

apa yang dikatakan Padullah itu. 

“Saya menunda kepulangan ke Kotaraja pagi ini. Saya 

tetap di sini sampai kedua jenazah dimakamkan,” kata 

Gandar Seto pula. “Namun puteri saya Ratih Kiranasari 

akan saya suruh pulang lebih dulu. Saya akan keluar untuk 

memberitahu padanya.” 

Perwira Tinggi itu lalu menemui puterinya. Gadis itu 

akhirnya berangkat ke Kotaraja hanya ditemani kusir 

kereta. Sebelum pergi Gandar Seto berkata pada anaknya 

agar begitu sampai di Kotaraja dia menghubungi seorang 

pejabat Keraton, memberitahu apa yang telah terjadi 

dengan diri Perwira Muda Randu Wulung.



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 3

KERETA yang dikemudikan kusir tua itu meluncur 

meninggalkan desa Cadas Brantas. Untuk mencapai 

Kotaraja kendaraan ini harus menempuh satu 

daerah berbukit-bukit kemudian melewati kawasan rimba 

belantara Jati Mundu. Hutan Jati Mundu merupakan hutan 

penghubung kawasan luar kota dengan pinggir timur 

Kotaraja. Hutan ini menjadi pusat lalu lintas semua orang 

yang mau ke atau meninggalkan Kotaraja. Hutan Jati 

Mundu tidak terlalu luas, tetapi pohon-pohon yang tumbuh 

di dalamnya besar-besar, berusia ratusan tahun hingga 

batang-batangnya banyak yang diselimuti lumut. Di sam–

ping itu semak belukarnya pun lebat-lebat. Namun demi–

kian, walau keadaannya seperti itu, tidak ada orang yang 

merasa takut melewati rimba belantara ini. Hutan Jati 

Mundu dikenal aman. Tak ada binatang buas seperti 

harimau atau ular. Bukan pula jadi tempat persembunyian 

atau sarangnya orang-orang jahat seperti begal dan 

rampok. 

Setelah melewati jalan menurun di kaki bukit, kereta 

yang dikemudikan kusir tua itu mulai memasuki hutan Jati 

Mundu. Saat itu tirai jendela depan kereta terbuka dan 

satu wajah cantik muncul. 

“Pak Tua, tak usah melarikan kuda terlalu cepat. 

Perlahan saja. Saya letih, mau mencoba tidur sebelum 

sampai di Kotaraja. Malam tadi saya menghadiri pesta 

perkawinan sepasang pengantin yang malang itu sampai 

larut. Jadi kurang tidur...” 

Kusir kereta berambut putih itu menoleh. “Saya menu–

rut apa kata Den Ayu saja. Tapi bukankah ayah Den Ayu 

berpesan agar kita cepat-cepat sampai di Kotaraja lalu 

menghubungi seorang pejabat di sana?” 

“Kau betul Pak Tua, Kotaraja tidak terlalu jauh dari sini. 

Lagi pula hari masih pagi. Memang ada pesan yang harus 

disampaikan. Namun semua itu tidak akan menolong 

menghidupkan sepasang pengantin yang terbunuh itu. Jadi 

perlahan-lahan saja Pak Tua. Saya tak mau tidur singkat 

saya terganggu.” 

“Baik Den Ayu. Saya akan menuruti apa kata Den Ayu,” 

jawab kusir kereta. Lalu dalam hati orang tua yang sudah 

mengabdi puluhan tahun pada ayah sang dara itu mem–

batin. “Kasihan. Wajahnya cantik, budi pekertinya tak ada 

yang tercela. Kenapa belum ada juga laki-laki yang berke–

nan di hatinya untuk dijadikan suami? Atau mungkin benar 

kata-kata orang, Den Ayu Ratih tinggi hati dan terlalu 

memilih. Kasihan kalau dia nanti benar-benar jadi perawan 

tua seumur hidupnya.” Lalu sesuai dengan yang diperin–

tahkan anak majikannya itu kusir kereta memperlambat 

lari kuda. 

Memasuki Hutan Jati Mundu udara terasa redup dan 

sejuk. Hari masih terlalu pagi. Belum ada satu orang pun 

yang berpapasan dengan kereta itu. Seringkali terdengar 

suara kicau burung-burung hutan yang bertengger di 

pepohonan atau berterbangan kian kemari. 

Di bagian lain hutan Jati Mundu seorang pemuda 

pejalan kaki yang melewati hutan itu sambil bersiul-siul 

membawakan lagu tidak menentu tiba-tiba tergagau dan 

tersurut mundur ketika di hadapannya muncul sosok tubuh 

seekor binatang bermoncong panjang. Semula dikiranya 

seekor anjing hutan. Tapi ketika diperhatikan binatang itu 

lebih banyak berupa seekor srigala liar. 

Yang membuat si pemuda khawatir ialah menyaksikan 

moncong binatang itu berselomotan cairan merah. Ketika 

binatang ini menggereng kelihatan gigi-gigi dan taring-

taringnya yang besar runcing juga tertutup cairan merah. Si 

pemuda memperhatikan sepasang kaki depan binatang. 

Seluruh kuku-kuku srigala liar ini panjang runcing berkeluk

juga diselimuti cairan merah. Lalu pada beberapa bagian 

bulu tubuhnya yang berwarna coklat terang tampak ada 

percikan-percikan cairan berwarna sama. Ketika lidahnya 

dijulurkan jelas kelihatan cairan merah bercampur dengan 

ludahnya. 

“Darah...” desis si pemuda dalam hati. “Mungkin bina–

tang ini baru saja menyantap seekor kelinci hutan atau 

anak menjangan. Tapi mungkin juga barusan membunuh 

orang!” Pikirnya lebih jauh. Yang membuat pemuda ini 

bertindak waspada bukan saja karena melihat darah itu 

namun menyaksikan adanya kilapan sinar aneh pada 

sepasang mata srigala hutan yang berwarna merah itu! 

“Srigala biasa tidak memiliki dua mata merah bersinar 

seperti itu. Makhluk apa sebenarnya yang ada di depanku 

ini?” Lalu pemuda ini ingat. “Setahuku, kata orang di hutan 

Jati Mundu ini jangankan binatang buas, seekor lalat pun 

tak bakal ditemui. Tapi bagaimana hari ini aku tiba-tiba 

berhadapan dengan makhluk celaka ini? Nasibku yang 

apes atau bagaimana?!” 

Srigala bermata merah itu membuka mulutnya. Gigi-gigi 

dan taringnya yang runcing kemerahan mencuat mengeri–

kan. Lidahnya yang basah merah terjulur keluar. Kepalanya 

merunduk dan kedua kakinya diluruskan panjang-panjang 

ke depan tanda siap menerkam. 

“Binatang ini hendak menyerangku,” kata si pemuda. 

Tangan kanannya cepat bergerak ke pinggang. Sebilah 

kapak bermata dua yang memancarkan cahaya putih 

berkilau kini tergenggam di tangan pemuda itu. Dalam hati 

dia berkata, “Binatang atau iblis serang diriku! Niscaya 

kubelah kepalamu dengan Kapak Naga Geni 212 ini!” 

Entah mengapa srigala bermata aneh angker itu 

perlahan-lahan bergerak mundur. Kedua kaki depannya 

ditarik, kepalanya yang merunduk ditegakkannya kembali. 

Setelah menggereng sekali lagi binatang ini lalu memutar 

diri, melompat masuk ke dalam serumpunan semak 

belukar dan lenyap! 

Si pemuda menarik nafas lega. Sambil tangan kirinyamenggaruk kepalanya yang berambut gondrong, tangan 

kanannya menyelinapkan senjata mustikanya ke balik 

pakaiannya. Si pemuda yang tentu saja Pendekar 212 dari 

Gunung Gede bernama Wiro Sableng itu siap meneruskan 

perjalanannya. Mulutnya hendak mengeluarkan siulan lagi 

sekedar untuk menenteramkan perasaan akibat melihat 

binatang aneh tadi. Namun gerakannya tertahan. 

Telinga Wiro menangkap suara derak roda kereta dan 

derap kaki kuda di dalam hutan itu. Dia cepat bergerak ke 

jurusan datangnya suara. 

Di pinggir sebuah jalan tanah yang cukup lebar dalam 

hutan pemuda ini berhenti. Sesaat kemudian sebuah 

kereta ditarik seekor kuda dan dikemudikan oleh kusir tua 

berambut putih muncul dari kelokan jalan. Pemuda ini 

cepat menyongsong. Sambil mengangkat tangan kanannya 

dia berseru. 

“Pak Tua! Hentikan dulu keretamu!” 

*** 

Beberapa saat sebelum kereta itu dihentikan. Ratih 

Kiranasari berada di pinggiran hutan Jati Mundu. Gadis ini 

membawa sebuah keranjang bambu berisi manggis dan 

mangga hutan yang besar-besar dan matang. Dia berjalan 

sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Udara pagi itu cerah dan 

segar sekali. Apalagi angin bertiup sepoi-sepoi sejuk. Tiba-

tiba satu jeritan keluar dari mulut sang dara ketika 

mendadak sekali seekor binatang berbentuk srigala 

melompat keluar dari semak-semak di tepi jalan dan 

merunduk siap menerkam dirinya. 

Binatang ini keluarkan gerengan aneh. Mulutnya 

terbuka lebar memperlihatkan gigi, taring dan lidah yang 

berselomotan darah. Sehabis menggereng binatang ini 

melompat menyergap Ratih Kiranasari. Moncongnya 

terbuka lebar sedang sepasang kaki depan yang berkuku 

runcing menerjang siap merobek muka dan tubuhnya! 

Sekali lagi puteri Perwira Tinggi itu menjerit. Lalutubuhnya tersentak. Kedua matanya terbuka. Sekujur 

tubuhnya keringatan. Dadanya turun naik. Nafasnya 

memburu sesak. Dia menyibakkan tirai jendela di sam–

pingnya. Disadarinya kereta saat itu berhenti di tengah 

hutan. Digosoknya kedua matanya. Ternyata dia barusan 

bermimpi. Lalu dia menarik tirai jendela sebelah depan dan 

memanggil kusir kereta. 

“Pak Tua, ada apa kau menghentikan kereta?” 

“Ada seorang tak dikenal menghentikan kereta,” jawab 

kusir tua itu. 

Lewat jendela kecil di belakang kusir kereta itu, Ratih 

Kiranasari memandang ke luar, ke arah jalanan di depan–

nya. Di sebelah sana dilihatnya seorang pemuda berambut 

gondrong, berpakaian dan berikat kepala serba putih tegak 

mengangkat tangan lalu melangkah mendekati kereta yang 

berhenti. Ratih Kiranasari untuk beberapa saat lamanya 

seperti terpana melihat pemuda itu. “Pakaiannya seder–

hana, tubuhnya tegap penuh otot, wajahnya tampan dan 

mulutnya setiap saat melempar senyum. Siapa gerangan 

pemuda ini yang membuat hatiku jadi tergetar. Jelas dia 

bukan seorang petani atau pencari kayu di rimba belantara 

ini..” 

Selagi puteri Perwira Tinggi ini bertanya-tanya dalam 

hati seperti itu, di luar sana didengarnya suara kusir tua 

berkata pada si pemuda. 

“Anak muda, ada apa kau menyuruh aku menghentikan 

kereta?” tanya kusir kereta. Melihat gelagatnya pemuda ini 

bukan orang jahat, rampok atau begal. Dia sama sekali 

tidak membawa senjata dan tampangnya tidak seram. 

Meskipun heran namun kusir tua itu tidak menaruh curiga 

apalagi takut. 

Pemuda di depan kereta menjawab. “Ada seekor 

binatang buas gentayangan di rimba belantara ini. Jika kau 

hendak meneruskan perjalanan hati-hatilah. Sebaiknya 

menyiapkan golok atau parang!” 

Kusir tua itu menatap wajah pemuda gondrong itu 

sesaat lalu sambil tertawa dia berkata, “Anak muda,puluhan tahun aku hidup di wilayah ini. Ratusan kali aku 

melewati hutan Jati Mundu ini. Belum pernah diketahui 

orang ada binatang buas di sini. Juga rampok atau begal. 

Dan melihat wajah dan sikapmu kau tentu bukan seorang 

penjahat!” 

Si gondrong balas tertawa. “Terima kasih kau mengata–

kan aku bukan orang jahat. Tapi kau harus percaya pada 

keteranganku tentang binatang buas itu. Aku barusan saja 

melihatnya dalam hutan ini. Mungkin dia masih berkeliaran 

di sekitar sini. Mulut dan sepasang kaki depannya penuh 

darah tanda dia baru saja membunuh makhluk bernyawa. 

Entah binatang entah manusia! Jadi hati-hatilah. Kau 

hendak menuju ke mana, Pak Tua? Apa yang kau bawa 

dalam kereta?” 

Pertanyaan terakhir Wiro Sableng membuat kusir tua itu 

mulai curiga. “Kalau memang ada binatang buas di sekitar 

sini, mengapa kau sendiri tidak takut dan meninggalkan 

hutan ini?” tanya kusir tua itu pula. 

Yang ditanya jadi garuk-garuk kepala. Lalu dia berkata. 

“Terserah kaulah, Pak Tua. Aku hanya memberitahu agar 

kau berhati-hati...” 

Kusir tua itu hendak menyentakkan tali kekang kuda 

agar binatang itu berjalan kembali. Namun di belakangnya 

terdengar suara Ratih Kiranasari. Sejak tadi gadis ini telah 

memperhatikan pemuda yang tegak di depan kereta itu. 

Lewat jendela kecil di belakang punggung kusir kereta 

Ratih berkata. “Pak Tua, jangan pergi dulu. Suruh pemuda 

itu mendekat ke samping kereta. Saya mau bicara de–

ngannya.” 

“Akan saya beritahu Den Ayu,” jawab kusir kereta. Lalu 

dia berkata pada si pemuda. “Anak muda, puteri majikanku 

ingin bicara denganmu. Melangkahlah ke samping kereta 

sebelah kiri.” 

“Ah, ada seorang puteri rupanya dalam kereta. Sungguh 

aku tidak menduga,” jawab pemuda tadi lalu dia melang–

kah cepat-cepat ke samping kiri kereta. Saat itu pula kain 

tirai jendela tersingkap dan satu wajah jelita muncul men–jenguk keluar. 

“Hemm... Ini rupanya sang puteri. Wajah dan danda–

nannya anggun. Kulitnya putih tapi agaknya sudah agak 

berumur.” kata Wiro menilai dalam hati. 

“Saudara, apa betul kau memberitahu kusir kereta ada 

seekor binatang buas di hutan ini?” 

“Betul sekali. Saya barusan sempat melihatnya. Hampir 

saja saya hendak diterkam dijadikan mangsa.” 

Ratih Kiranasari tersenyum. Waktu tersenyum ini 

kelihatan lesung pipit muncul di kedua pipinya dekat dagu. 

“Rupanya binatang itu takut padamu,” katanya. Lalu dia 

bertanya. “Binatang buas yang kau lihat itu apakah 

sebangsa harimau atau singa. Atau ular besar?” 

“Bukan, bukan harimau atau singa. Bukan juga ular 

besar. Tapi seekor anjing hutan. Seekor srigala... Mulut, gigi 

dan lidah serta sepasang kaki depannya berlumuran darah. 

Kedua matanya berwarna merah dan menyorotkan sinar 

angker!” 

“Aneh,” kata Ratih. 

“Apanya yang aneh?” bertanya si pemuda. 

“Apa yang kau katakan begitu sama dengan apa yang 

barusan aku mimpikan. Tadi aku sempat tertidur dalam 

kereta. Dalam mimpi aku sedang berjalan di hutan lalu 

muncul binatang berbentuk srigala itu. Aku terbangun 

sewaktu binatang ini siap menerkamku.” 

Si pemuda garuk-garuk kepala. “Ya betul aneh. Bagai–

mana mungkin mimpimu sama dengan apa yang saya lihat. 

Sebaiknya kau segera meneruskan perjalanan. Tutup 

rapat-rapat semua jendela...” 

“Terima kasih kau memberitahu tentang srigala itu. 

Kalau aku boleh bertanya, apakah kau tinggal di sekitar 

sini?” tanya Ratih. 

“Saya datang dari jauh.” 

“Apakah kau punya nama?” 

Pendekar 212 tertawa lebar. “Setiap orang tentu saja 

punya nama...” 

“Lalu siapa namamu?”


“Wiro...” 

“Cuma Wiro? Pendek amat!” 

“Sebetulnya ada sambungannya. Tapi sudahlah...” 

Pemuda itu garuk-garuk kepalanya sambil senyum-senyum. 

Dia sengaja tidak mau menerangkan nama belakangnya 

yaitu Sableng! 

“Orang tak mau memberitahu masakan aku memaksa,” 

kata Ratih pula. “Jika kau benar melihat srigala dalam 

mimpiku itu berkeliaran di hutan Jati Mundu ini, terus 

terang aku merasa khawatir. Aku harap kau menolong 

tidak setengah-setengah.” 

“Maksudmu?” tanya Wiro. 

“Apakah kau mau ikut menemani kami sampai di 

Kotaraja?” 

Wiro tak menjawab. Terdengar Ratih Kiranasari berkata 

lagi. “Hitung-hitung sebagai pengawal. Kalau binatang buas 

menyeramkan itu muncul menghadang, melihat kau tentu 

dia akan lari. Tak berani mengganggu...” 

Wiro garuk-garuk kepala dan memandang pada kusir 

kereta. Orang tua ini berkata setengah berbisik. “Ikuti saja 

permintaan anak majikanku. Tidak banyak pemuda yang 

beruntung mendapat tawaran begini baik darinya. Kurasa 

dia suka padamu!” 

Wiro menyeringai. “Kebetulan saya memang hendak ke 

Kotaraja. Baiklah, saya akan menemanimu.” 

Ratih tersenyum gembira. Wiro melompat ke atas 

kereta. Duduk di depan di samping kusir tua. Si gadis 

berkata. “Jika kau mau kau boleh duduk di dalam sini.” 

“Terima kasih. Biar saya duduk di sini saja,” jawab Wiro. 

Kusir tua menarik tali kekang kuda. Begitu kereta mulai 

bergerak berbisik pada Wiro, “Tidak pernah aku melihat 

pemuda setololmu. Diajak duduk di dalam sana mengapa 

kau menolak?” 

Wiro menyengir. “Bagaimana kalau kau saja yang 

duduk di sampingnya. Biar aku yang mengemudikan 

kereta.” 

Kusir tua itu tertawa gelak-gelak. “Anak muda, kau yangdisukainya, bukan si tua bangka ini!” 

Wiro tertawa. “Siapa nama gadis cantik itu?” tanyanya. 

“Ratih Kiranasari,” jawab kusir kereta. 

“Nama bagus orangnya pun cantik...” 

“Anak muda, ketahuilah tidak banyak pemuda yang 

beruntung sepertimu. Bisa diajak seperjalanan seperti saat 

ini.” 

“Maksud Pak Tua apa?” 

“Puteri majikanku itu kata kebanyakan orang cantik tapi 

tinggi hati. Banyak pemuda yang menyukainya, ingin mem–

peristrikannya. Tapi karena merasa anak seorang Perwira 

Tinggi dia berlagak jual mahal. Banyak pilih. Akibatnya 

sampai saat ini dia masih belum kawin. Orang mulai usil. 

Mengatakan dia sebagai perawan tua.” 

“Belum kawin tapi benar-benar masih perawan, kan?” 

ujar Wiro. 

“Anak muda. Aku punya firasat puteri majikanku ini 

suka padamu,” bisik si orang tua. 

“Kau ngaco saja Pak Tua! Seorang puteri pejabat tinggi 

suka pada pemuda gelandangan macamku? Kau tahu 

sendiri, dia minta aku ikut seperjalanan karena khawatir 

dengan binatang buas itu...” 

“Eh, soal binatang buas itu apakah bukan karanganmu 

saja. Maksudmu sebenarnya adalah ingin berkenalan 

dengan gadis itu. Yah mudah-mudahan dia memang suka 

padamu. Tampangmu tidak jelek-jelek amat!” 

Wiro tersenyum pencong mendengar ucapan kusir tua 

itu. 

“Dengar,” Kusir itu kembali membuka mulut. “Jika kau 

memang suka padanya, aku mau membantu mengatakan 

pada orang tuanya. Kalau sampai kau dipungut jadi 

menantu, wah kau bakalan diberikan jabatan lumayan di 

Kotaraja. Tapi jika hal itu benar-benar terjadi jangan lupa 

hadiah untukku!” 

“Makin lama makin tak karuan igauanmu!” tukas Wiro. 

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba di sebelah belakang 

terdengar jeritan Ratih Kiranasari.Wiro singkapkan tirai jendela kecil di belakangnya. 

Ratih dilihatnya duduk ketakutan. Mukanya pucat dan 

matanya membeliak memandang keluar jendela. 

“Ada apa?” tanya Wiro sementara kuda penarik kereta 

memperlihatkan ulah aneh. 

“Bin... binatang itu...” kata Ratih dengan suara gugup 

ketakutan. Dia menunjuk ke luar jendela dengan tangan 

gemetar. Kuda kereta tiba-tiba terdengar meringkik. Wiro 

berpaling ke arah yang ditunjuk Ratih. Dia melihat apa yang 

menakutkan gadis itu. 

Di balik semak-semak sepanjang jalan yang dilalui 

kereta, kelihatan bayangan sosok tubuh srigala bermata 

merah yang sebelumnya sempat ditemui Wiro. Binatang ini 

bergerak sejajar dan searah jalannya kereta. Kusir kereta 

sibuk berusaha menenangkan kuda yang tampak 

ketakutan. 

“Pak Tua,” kata Wiro, “Jalankan terus kereta ini.” Lalu 

dia siap-siap melompat. 

“Kau hendak ke mana?” tanya kusir kereta. 

“Saya berusaha agar binatang itu tidak menyerang 

kereta,” jawab Wiro. Lalu dia melompat turun dari kereta 

dan berlari di sepanjang jalan antara srigala dan kereta. 

Di satu kelokan jalan srigala buas itu memutar larinya 

mendekati Wiro. 

“Anak muda, binatang itu hendak menyerangmu!” 

teriak kusir kereta. Dari dalam kereta Ratih Kiranasari juga 

sudah melihat apa yang bakal terjadi. Gadis ini menutup 

wajahnya dengan kedua tangan seraya berdoa agar Wiro 

selamat dari binatang buas itu. 

“Jangan perdulikan saya!” teriak Wiro. “Larikan terus 

kereta!” Lalu dia hentikan larinya. Srigala bermata api 

dengan moncong dan kaki depan berselomotan darah yang 

merasa ditantang, lari ke arah Wiro. Pendekar 212 siapkan 

pukulan Kunyuk Melempar Buah di tangan kanan. Ketika 

binatang itu hanya tinggal lima langkah dari hadapannya 

dia segera angkat tangan kanannya untuk menghantam. 

Tapi srigala bermata api tiba-tiba hentikan gerakan dan kinidia malah duduk di tengah jalan dengan lidah basah 

berdarah terjulur-julur. Kedua matanya menatap tajam ke 

arah Wiro. 

Melihat binatang ini tak jadi menyerang, murid Sinto 

Gendeng dari Gunung Gede hentikan pula gerakannya 

menghantam dengan pukulan sakti. Srigala itu perlahan-

lahan rundukkan tubuhnya. Kedua kaki depannya dilunjur–

kan dan dagunya diletakkan di atas kedua kakinya itu. 

Matanya yang tadi bersinar merah mengerikan kini tampak 

memandang sayu ke arah Wiro. Dari mulutnya terdengar 

suara seperti anjing menggerang halus pilu dan jinak. 

Sikapnya seperti minta dikasihani. 

“Aneh, binatang apa ini sebenarnya. Mengapa dia tiba-

tiba berubah seperti menderita sesuatu yang menyakitkan 

dan bersikap jinak.” Dengan agak ragu Wiro melangkah 

mendekati srigala itu. Tiba-tiba binatang ini mengangkat 

kepalanya dan melolong panjang. Lolongannya tidak ter–

dengar buas, tapi lagi-lagi memilukan. Walau demikian 

Wiro sempat kaget dan tersurut dua langkah. Kemudian 

dilihatnya srigala itu kembali meletakkan kepalanya di atas 

kedua kakinya. 

Setelah memperhatikan sejenak Wiro beranikan diri lagi 

mendekati srigala itu. Tangan kanannya tetap disiapkan 

untuk melepaskan pukulan sakti Kunyuk Melempar Buah

jika sewaktu-waktu srigala itu tiba-tiba menerkam dan 

menyerangnya. Semakin dekat Wiro padanya semakin 

memilukan terdengar suara erangan binatang ini. 

“Makhluk berbentuk srigala, apapun kau adanya, jika 

kau bersikap bersahabat, aku pun akan bersahabat 

denganmu...” kata Wiro bicara pada srigala itu. 

Sepasang mata yang sayu merah tampak berkedip-

kedip beberapa kali. Wiro ulurkan tangan kirinya. Dibelai–

nya kepala lalu tengkuk srigala itu. 

“Ah, kau ternyata mau bersahabat denganku!” kata 

Wiro. “Kalau begitu biar aku pergi. Jangan turuti aku. Sekali 

kau masuk ke Kotaraja orang-orang pasti akan 

membunuhmu.”Wiro mengusap lagi kepala binatang itu. Ketika dia 

hendak bergerak pergi, srigala ini menjulurkan lidahnya 

yang basah berdarah dan sempat menjilat punggung 

telapak tangan kiri si pemuda. Wiro mengernyit jijik dan 

cepat menjauh. 

Pada saat itu terdengar suara derap kaki kuda dan 

gemeletak roda-roda kereta. Wiro berpaling. Ternyata 

kereta yang membawa Ratih Kiranasari dan dikemudikan 

oleh kusir tua itu muncul kembali. 

Srigala yang melunjur di tengah jalan tiba-tiba bangkit 

dengan cepat. Kedua daun telinganya berdiri tegang ke 

atas. Dari mulutnya terdengar suara menggereng keras lalu 

binatang ini melompat ke balik semak-semak dan lenyap 

dalam rimba belantara. 

“Pak Tua, kenapa kau kembali?!” tanya Wiro begitu 

kereta berhenti di sampingnya. 

“Den Ayu Ratih yang menyuruh. Dia khawatir kau diapa-

apakan oleh binatang itu. Ternyata tadi kau malah kulihat 

mengusap-usap kepalanya!” 

Tirai samping jendela terbuka. Wajah cantik Ratih 

Kiranasari muncul. “Wiro, kau tidak apa-apa?” 

Wiro tersenyum. “Binatang itu ternyata aneh. Tampang–

nya memang mengerikan. Tapi ternyata dia tidak menye–

rang saya...” 

Ratih memperhatikan tangan kiri si pemuda. “Ada noda 

darah di tangan kirimu,” katanya kemudian. 

Wiro memperhatikan. Memang di punggung tangan 

kirinya ada noda darah bekas jilatan lidah srigala tadi. Wiro 

mengambil setangkai daun. Dengan daun ini disekanya 

noda darah itu. Wiro lalu melompat ke atas kereta. 

“Pak Tua lekas putar kereta. Kita harus meninggalkan 

hutan ini cepat-cepat!”




WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 4

GANDAR Seto dan istrinya sama-sama memandang 

pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak 

berkedip dan wajah yang menyatakan keheranan. 

“Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini, Salah satu di 

antaranya adalah dirimu Ratih,” kata Perwira Tinggi itu 

pada puterinya. 

Ratih Kiranasari hanya bisa menatap wajah kedua 

orang tuanya sesaat lalu tundukkan kepala. 

Sang ibu memegang lengan anak gadisnya itu lalu 

berkata. “Anakku, kami berdua tidak merasa heran jika kau 

mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang 

terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau 

segera menemukan seorang calon suami. Aku dan ibumu 

sudah sama lanjut dan ingin melihat kau punya suami, lalu 

punya anak, cucu kami. Tapi kalau pemuda itu ternyata 

seorang pemuda yang tidak diketahui asal-usul dan juntru–

ngannya, tentu saja kami sangat keberatan anakku. Batal–

kan saja niatmu untuk mempertemukannya pada kami.” 

“Jangan-jangan dia seorang pemuda gelandangan!” 

kata Gandar Seto pula menimpali ucapan istrinya. 

“Saya memang tidak tahu asal usulnya. Namun saya 

yakin dia bukan gelandangan...” 

“Buktinya kau ketemu dia di Hutan Jati Mundu. Dia 

tidak tinggal di Kotaraja dan juga bukan orang sekitar sini. 

Lalu siapa sebenarnya pemuda yang kau katakan itu?” 

“Ayah, dia seorang pemuda yang punya ilmu. Buktinya 

saya lihat sendiri dia bisa menjinakkan seekor srigala buas 

di hutan itu.” 

Perwira Tinggi itu tertawa gelak-gelak. 

“Di Jati Mundu tak ada binatang buas. Apalagi srigala. 

Yang kau lihat dijinakkannya itu jangan-jangan hanya 

seekor kambing hutan!” 

“Ayah, saya tidak terlalu bodoh membedakan mana 

kambing dan mana srigala. Binatang yang saya lihat 

diusapnya itu sama sekali tidak bertanduk!” 

“Mungkin saja kambing betina! Jelas tidak punya 

tanduk!” tangkis sang ayah. 

“Kalau ayah dan ibu tidak percaya tanyakan saja pada 

Pak Tua Tejo, kusir kita. Dia ikut melihat apa yang saya 

saksikan.” Ratih terus berusaha meyakinkan kedua orang 

tuanya. 

“Sudahlah anakku. Taruh pemuda itu punya ilmu 

kepandaian dan dia memang bisa menjinakkan binatang 

buas dalam Hutan Jati Mundu seperti katamu. Tapi satu 

hal harus kau ingat, kami orang tuamu tidak akan menjo–

dohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami 

lebih suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup 

daripada punya menantu yang memberi malu dan menu–

runkan derajat kami!” 

Berubahlah paras Ratih Kiranasari mendengar kata-

kata ayahnya itu. Kedua bola matanya tampak seperti 

membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat 

membuat ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari 

kursinya. 

“Ayah dan ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan, 

jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa! Semua 

manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging! 

Saya tidak meminta ayah ibu menjodohkan saya dengan 

pemuda yang ayah katakan sebagai gelandangan itu 

karena dia juga belum tentu mau pada saya! Dan saya 

benar-benar tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka 

melihat anak gadisnya menjadi perawan tua hanya karena 

gila jabatan dan derajat!” 

“Ratih!” teriak Gandar Seto keras sekali. 

Ratih sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu berge–

gas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya daridalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Gandar 

Seto dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar dan 

mengetuk pintu berulang kali. Tapi Ratih menutupi wajah–

nya dengan bantal dan menangis lebih keras. 

Gandar Seto geleng-gelengkan kepala. Kedua suami 

istri itu saling pandang beberapa ketika. Perwira Tinggi ini 

akhirnya mengangkat bahu dan berkata. “Biarkan saja. 

Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri.” 

“Saya rasa ada baiknya kau menemui kusir kita itu 

Ppak,” berkata sang istri. 

Paras Perwira Tinggi itu tampak berubah. Dia menatap 

istrinya sesaat lalu berkata. “Nah, nah... nah! Rupanya 

hatimu mulai mendua. Kalau kau memang ingin berme–

nantukan gelandangan yang kata anakmu itu pandai 

menjinakkan binatang buas, silahkan kau temui dan bicara 

sendiri dengan Tejo!” Habis berkata begitu Gandar Seto 

tinggalkan istrinya masuk ke dalam kamar tidur sambil 

membanting pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri 

termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian dia 

kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi 

tetap saja tak ada jawaban. 

Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar mene–

mui suaminya. 

“Yang saya takutkan, Pak-ne,” katanya, “Jika kita terlalu 

keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri, minggat 

dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.” 

“Kalau dia memang mau minggat aku tidak akan 

mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehi–

langan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia 

kabur bersama pemuda gelandangan itu, akan kubunuh 

kedua-duanya!” kata Gandar Seto dengan wajah keras 

membesi. 

*** 

Di bagian belakang gedung kediaman Perwira Tinggi 

Gandar Seto ada sebuah gudang besar didampingi kan–dang kuda dan kereta. Tak berapa jauh dari bangunan itu 

ada sebuah rumah kecil. Malam terasa dingin. Meski di 

langit ada bulan purnama empat belas hari namun hala–

man belakang gedung besar itu diselimuti kegelapan. 

Dalam kegelapan inilah tampak seseorang mengendap-

endap menuju bagian depan bangunan kecil. Di depan 

pintu dia berhenti, memandang berkeliling sebentar lalu 

mulai mengetuk. Walaupun bagian dalam rumah berada 

dalam keadaan gelap namun penghuninya ternyata belum 

tidur. Begitu pintu diketuk terdengar suara orang bertanya 

dari dalam. 

“Siapa?” 

“Pak Tua Tejo, buka pintu. Cepat! Saya mau bicara...?” 

Pintu segera terbuka. “Den Ayu Ratih? Malam-malam 

begini Den Ayu menemui saya ada apakah?” 

Orang yang datang itu ternyata adalah Ratih Kiranasari, 

puteri Perwira Tinggi. Dia langsung masuk ke dalam rumah 

kecil itu, tegak bersandar di pintu. Ketika kusir tua Tejo 

hendak menyalakan lampu minyak, gadis itu cepat men–

cegah. 

“Ada apa sebenarnya, Den Ayu?” 

Dengan singkat dan cepat Ratih menceritakan pembi–

caraannya dengan kedua orang tuanya. 

“Lalu, mengapa Den Ayu datang ke mari? Apa yang bisa 

saya lakukan?” 

“Pak Tua Tejo tahu di mana pemuda bernama Wiro itu 

menginap di Kotaraja?” 

“Saya tidak tahu. Bukankah sewaktu berpisah kemarin 

pagi saya dengar Den Ayu berjanji akan menemuinya lagi di 

satu tempat?” 

“Betul, tapi masih dua hari lagi. Saya perlu bertemu 

dengan dia sekarang juga. Saya akan minta dia menemui 

kedua orang tua saya.” 

“Itu satu maksud yang baik. Tapi saya sarankan jangan 

sekarang-sekarang ini. Mereka lagi bingung. Mungkin juga 

marah. Beri kesempatan barang beberapa hari. Kalau 

mereka sudah tampak biasa-biasa saja baru pemuda itudisuruh datang.” 

Ratih terdiam. 

“Maaf Den Ayu. Kalau pemuda bernama Wiro itu diper–

temukan dengan kedua orang tua Den Ayu, apa yang harus 

dilakukannya? Melamar Den Ayu?” 

“Siapa meminta dia melamar aku?!” 

“Lalu... Ah, saya mungkin tidak mengerti. Katakan saja 

apa yang harus saya lakukan,” kata kusir tua Tejo. 

“Pak Tua harus mulai mencari pemuda itu malam ini 

juga! Pak Tejo harus menolong saya!” 

“Tentu. Pasti saya mau menolong. Tapi mencari pemu–

da bernama Wiro itu malam-malam begini rasanya satu 

pekerjaan sia-sia belaka...” 

Ratih Kiranasari tampak kecewa. 

“Den Ayu, masuk kembali ke dalam gedung. Tidurlah. 

Besok kita bicarakan lagi hal ini. Kalau ada penjaga yang 

sempat melihat Den Ayu ada di tempat ini saya khawatir 

mereka bisa salah sangka...” 

Tanpa berkata apa-apa gadis itu keluar dari rumah kecil 

itu. Kusir tua Tejo memandang sambil menggelengkan 

kepala. Mengira puteri majikannya itu benar-benar kembali 

ke rumah dan tidur, orang tua ini menutupkan pintu kem–

bali. Ternyata Ratih tidak kembali ke dalam rumah. Seperti 

orang yang berjalan sambil tidur gadis ini melangkah 

sepembawa kakinya. Penjaga yang terkantuk-kantuk di 

pintu gerbang sama sekali tidak melihat gadis ini lewat di 

depannya. 

*** 

“Nandang, hari sudah larut malam. Aku khawatir ada 

ronda dusun melihat kau berada di sini...” kata perempuan 

yang duduk sambil mendekap pemuda di sampingnya. 

Saat itu mereka duduk di atas sebuah bangku panjang 

sambil bersandar pada batang pohon besar di sebelah 

belakang. 

“Halaman ini luas sekali. Banyak pohon dan semaksemaknya. Mata ronda dusun tak akan dapat memandang 

sampai ke sini. Lagi pula lampu di dalam rumah sudah kau 

matikan. Kalaupun ada yang memperhatikan pasti mereka 

mengira kau sudah tidur, Sarti.” Menjawab pemuda yang 

mendekap tubuh langsing Sarti. 

“Sinar bulan purnama cukup terang. Saya khawatir 

Nandang...” 

“Ah, apa yang harus dikhawatirkan. Bukankah kau 

sendiri tadi yang meminta agar kita duduk bermesraan di 

tempat ini sambil memandang bulan purnama empat belas 

hari yang indah itu?” 

Sarti terdiam. Untuk kesekian kalinya dirasakannya jari-

jari tangan pemuda itu meraba dan memeras lembut 

dadanya hingga tubuhnya kembali menggeletar dan 

darahnya menjadi panas. 

“Lagi pula, Sarti...” kata si pemuda berbisik ke telinga 

Sarti. “Kau tidak mengajakku masuk ke dalam rumah kali 

ini. Aku tidak akan pergi sebelum kita melewati malam 

yang begini indah seperti malam-malam sebelumnya.” 

“Nandang, aku khawatir suamiku akan kembali malam 

ini. Kalau dia sampai menemukan kita di dalam kamar, di 

atas tempat tidur...” 

“Aku yakin Sentot pasti tidak akan pulang malam ini. 

Paling cepat besok pagi. Aku tahu banyak yang harus 

diurusnya di Wates. Ajak aku ke kamarmu Sarti...” 

“Jangan malam ini Nandang. Waktu kita masih banyak.” 

“Kalau begitu kita lakukan di sini saja? Lihat bulan 

purnama itu. Indah sekali...” 

“Jangan Nandang...” menolak Sarti tapi dia tidak ber–

usaha menepiskan sepasang tangan si pemuda yang mulai 

melucuti pakaiannya. 

“Kita tidak pernah bermesraan di tempat terbuka 

seperti ini. Apalagi ada rembulan yang begitu indah. Tidak–

kah kau merasakan dorongan yang meluap-luap dalam 

tubuhku, kekasihku...?” bisik Nandang sambil menciumi 

telinga Sarti hingga perempuan muda ini menggelinyang. 

Saat itu kebayanya sudah lepas dari tubuhnya. Anginmalam bertiup dingin tapi Sarti merasakan badannya 

seperti dikobari api. Dari mulutnya terdengar suara sesalan 

halus. “Aku menyesal dan akan menderita seumur hidup 

mengapa ayah mengawinkan aku dengan Sentot yang 

hampir dua puluh tahun lebih tua dariku. Sementara gadis-

gadis dusun kulihat kawin dengan pemuda-pemuda 

gagah...” 

“Jangan sesali hidup ataupun orang tuamu,” kata 

Nandang pula seraya tangannya meluncur ke bawah. 

“Lupakan Sentot. Bukankah aku akan selalu berada di 

dekatmu setiap saat kau membutuhkan diriku?” 

Sarti menyusupkan kepalanya ke dada Nandang. “Aku 

memang membutuhkanmu Nandang. Aku tak bisa berpisah 

denganmu. Bawa aku ke mana kau pergi...” 

“Akan tiba saatnya Sarti. Pasti...” jawab Nandang lalu 

merebahkan istri Sentot di atas bangku panjang. Sambil 

tersenyum Sarti memperhatikan pemuda kekasihnya itu 

membuka bajunya. Di atasnya bulan purnama empat belas 

hari memancarkan sinar indah sekali. Belum pernah Sarti 

melihat bulan purnama seindah itu. Keindahan itu seperti 

bertambah-tambah ketika Nandang meneduhi tubuhnya, 

menciumi lehernya dengan penuh nafsu. Sarti memagut 

punggung pemuda ini kuat-kuat. Tapi tiba-tiba sekali 

dilepaskannya. 

“Ada apa, Sarti?” bertanya Nandang.



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 5

MELIHAT wajah Sarti yang seperti ketakutan 

Nandang memandang berkeliling. Lalu dia 

bertanya sekali lagi. “Ada apa...?” 

“Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak. 

Aku khawatir ada orang mengintai perbuatan kita...” 

“Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di 

sekitar sini,” kata Nandang pula lalu ciumannya bertubi-

tubi mendarat di wajah, leher dan dada Sarti. Sesaat 

perempuan ini jadi hanyut lupa diri. Namun di lain ketika 

kedua tangannya mendorong dada Nandang ke atas. 

“Eh, apa-apaan kau ini, Sarti?” Nandang jadi kesal. 

“Apa kau tidak mendengar? Ada suara gemerisik 

semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di 

sebelah sana...” Sarti memandang ke jurusan gelap dekat 

serumpunan pohon salak. 

“Supaya kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik 

ke sekitar pohon salak itu. Ada-ada saja kau Sarti. Kau 

tunggu di sini...” 

Sarti menutupi tubuhnya dengan kain panjang. Nan–

dang memegang lengannya seraya berkata. “Awas kalau 

kau mengenakan pakaianmu kembali. Aku akan menye–

lidik. Cuma sebentar. Pasti kau hanya takut tak beralasan... 

Tak ada apa-apa di sekitar sini.” 

Nandang bangkit berdiri. Dia tidak perduli lagi kalau 

saat itu dia sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Dalam 

keadaan bugil pemuda ini melangkah ke arah pohon salak. 

Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau baya–

ngan apa pun di situ. Nandang meneruskan langkahnya 

memutari pohon salak ke sebelah belakang. Juga tidak ada 

apa-apa. 

“Sarti... Sarti... Jangan-jangan dia hanya mempermain–

kan aku,” kata Nandang. Dia segera hendak meninggalkan 

tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah 

cahaya aneh di sebelah kiri. Pemuda ini cepat berpaling. 

Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya 

dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar 

mendekam duduk dengan moncong terbuka. Kedua mata–

nya berwarna merah, memancarkan sinar aneh menggi–

dikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya 

besar tajam mengerikan. Suara nafas makhluk ini terde–

ngar seperti gerengan harimau. Tengkuk Nandang menjadi 

dingin. Namun jika dia menoleh ke samping kanan bina–

tang itu, terlihat satu pemandangan lain. Di bawah sinar 

bulan purnama tegak seorang perempuan berwajah cantik, 

mengenakan kemben dan kain panjang halus. Rambutnya 

yang panjang tergerai lepas di atas bahunya yang putih. 

Kalau binatang di sampingnya menyorotkan pandangan 

yang mengerikan sebaliknya perempuan cantik ini tampak 

tersenyum. Hanya saja Nandang tidak memperhatikan 

bahwa di balik senyum itu tersembunyi satu bayangan 

angker menyeramkan. 

“Kau... kau siapa...?” tanya Nandang dengan suara 

agak tersendat. 

Perempuan muda dan cantik di depannya tidak menja–

wab. Kedua matanya memperhatikan tubuh si pemuda 

yang sama sekali tidak mengenakan apa-apa. Pandangan 

perempuan itu membuat Nandang sadar akan keadaan 

dirinya. Dia menurunkan kedua tangannya berusaha 

menutupi bagian bawah tubuhnya. 

Si cantik di depannya kembali tersenyum. “Tak usah 

kau menutupi aurat. Aku suka melihat tubuhmu yang 

tegap!” 

Ucapan itu tentu saja membuat dada Nandang jadi 

berdebar. “Ah, wanita muda cantik berpengawal anjing 

besar ini jangan-jangan seorang peri...” membatin 

Nandang.“Anak muda, apakah kau mau membagi kesenangan 

yang kau berikan pada perempuan di atas bangku itu 

padaku?” Tiba-tiba si cantik di bawah bulan purnama 

berkata. 

Semakin menggeletar sekujur tubuh Nandang. 

“Aku tidak tahu siapa kau adanya...” 

“Namaku Kemala. Apakah nama itu tidak bagus?” 

“Bagus sekali. Sebagus orangnya...” jawab Nandang. 

Perempuan cantik itu tertawa perlahan. “Kau pemuda 

pandai memuji dan merayu. Pantas perempuan itu tergila-

gila padamu meski sudah jadi istri orang. Sekarang jawab 

pertanyaanku tadi.” 

Nandang tak bisa menjawab. 

“Apa wajahku lebih buruk dari istri Sentot. Apa tubuhku 

lebih jelek dari perempuan kekasih gelapmu itu?” 

Nandang harus mengakui bahwa wajah perempuan di 

depannya jauh lebih cantik dari Sarti, juga potongan 

tubuhnya begitu indah dan sangat menggiurkan. Namun 

tetap saja dia tidak mau menjawab. 

“Kau tidak mau membagi kebahagiaan itu padaku?” Si 

cantik bertanya lagi sambil mengusap kepala binatang di 

sampingnya. 

“Dengar, aku...” 

“Sudahlah! Tak usah banyak bicara lagi!” Si cantik 

menghentikan usapannya pada kepala srigala besar di 

sampingnya lalu berkata. “Datuk, lakukan tugasmu...” 

Sepasang mata srigala ini membersitkan sinar merah 

mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar 

suara lolongan panjang. Nandang merasakan nyawanya 

seperti terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum 

sempat dia melakukan sesuatu tiba-tiba srigala besar itu 

sudah melompat dan menerkamnya. Nandang berteriak 

keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan 

srigala yang berkuku panjang menyambar lehernya. Batang 

leher Nandang koyak besar mengerikan. Tulang lehernya 

patah. Darah menyembur muncrat! 

Di atas bangku panjang di bawah pohon Sarti setengahterlompat ketika mendengar suara lolongan binatang dari 

arah pohon salak. Lalu menyusul suara teriakan orang. 

“Itu Nandang...” kata Sarti dalam hati. Mukanya men–

dadak pucat. Cepat-cepat dia menutupi tubuhnya dengan 

kain panjang lalu dengan dada berdebar dia melangkah ke 

arah pohon salak ke jurusan mana tadi lenyapnya 

Nandang. 

“Nandang... Nandang...” memanggil Sarti. Tak ada 

jawaban. “Nandang kau di mana...?” Sarti sampai di dekat 

pohon salak lalu memandang perkeliling. Tiba-tiba satu 

jeritan keras keluar dari mulut Sarti. Kedua matanya 

seperti hendak tanggal dari rongganya. Hanya beberapa 

langkah di hadapannya menggeletak tubuh Nandang. 

Tubuh tanpa pakaian itu bergelimang darah penuh luka 

cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Salah 

satu matanya mencuat keluar, hidungnya tanggal dan 

mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih 

mengucurkan darah! 

Sarti membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam 

ketakutannya. Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul 

seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut 

berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya 

seperti bara api menyala! Untuk kedua kalinya Sarti men–

jerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya terseran–

dung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya 

jatuh terduduk. Srigala besar melangkah mendekati. Saat 

itulah dalam takutnya Sarti melihat ada sosok seorang 

perempuan cantik melangkah di belakang srigala besar itu. 

“Tolong... tolong...!” jerit Sarti. 

“Perempuan serakah! Tak ada yang bakal bisa meno–

longmu!” Si cantik di belakang srigala berkata. “Sudah 

punya suami tak cukup bagimu! Masih mau main gila 

dengan lelaki lain! Apa kau kira hanya kau satu-satunya 

perempuan yang hidup di dunia ini?!” 

“Tolong! Siapa kau...?!” teriak Sarti. 

“Datuk, bunuh perempuan itu!” 

Mendengar perintah itu srigala besar meraung panjanglalu menerkam tubuh Sarti. Perempuan ini masih sempat 

menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar 

dengan suara tubuh yang dicabik-cabik srigala itu. 

Sosok tubuh Sarti terbujur di tanah dalam keadaan 

hancur koyak mengerikan. Si cantik bernama Kemala yang 

rambutnya tergerai lepas ke bahu sesaat memperhatikan 

tubuh itu tanpa bergeming. Lalu dia berkata pada binatang 

di depannya. 

“Datuk, kau boleh pergi sekarang. Kita bertemu lagi tiga 

puluh hari di muka. Tepat pada saat purnama tiga belas 

hari muncul di langit.” 

Srigala bermata merah itu memutar tubuhnya lalu 

merunduk seperti menyembah. Setelah menggereng keras 

binatang ini melompat ke kiri dan lenyap dalam kegelapan 

malam. 

Tempat itu kini kembali sunyi senyap. Di langit rembu–

lan masih tampak seindah sebelumnya. Hanya kini ada 

awan hitam bergerak menutupi. 

Perempuan yang tinggal seorang diri di tempat itu 

terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajah–

nya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu 

bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang dingin.



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 6

ISTRI Gandar Seto tidak bisa memicingkan matanya 

sementara suaminya sudah tertidur ngorok di sebelah–

nya. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada 

ketegangan yang terjadi antara dia dan suaminya di satu 

pihak dan dengan puteri mereka Ratih Kiranasari. Setelah 

bolak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini turun 

dari tempat tidur. Di luar kamar dia termenung sesaat 

sebelum kemudian melangkah menuju kamar tidur anak–

nya. Dia tahu Ratih telah mengunci kamar itu dari dalam. 

Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan 

langsung membukanya. Agak heran ternyata dia menda–

patkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke 

dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun caha-

ya rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang angin 

cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi 

kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh 

puterinya! 

“Ke mana anak itu...?” bertanya istri Perwira Tinggi ini 

dalam hati. Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah mema–

stikan Ratih tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat 

keluar. Dia memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap 

tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu depan, mem–

buka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak 

tertidur pulas. Penjaga yang biasa meronda tidak kelihatan. 

Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya. 

Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar, membangun–

kan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka 

lenyap entah ke mana. 

“Jangan-jangan dia telah diculik pemuda asing itu Pak-ne!” kata istri Gandar Seto. 

Gedung kediaman Perwira Tinggi itu menjadi heboh. 

Semua pengawal dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan 

mereka diperintahkan untuk segera mencari Ratih Kirana–

sari. Namun orang-orang itu termasuk Gandar Seto sendiri 

tidak tahu harus mencari ke mana. Tejo si kusir tua jadi 

bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah 

menemuinya dan menanya apakah dia tahu di mana ber–

adanya pemuda bernama Wiro. “Kini kalau dia tiba-tiba 

lenyap jangan-jangan dia mencari pemuda itu. Den Ayu 

Ratih, kenapa senekad itu dirimu...” 

Gerak gerik kusir tua yang tidak seperti biasanya itu 

terlihat oleh Gandar Seto. Perwira Tinggi ini jadi curiga. Dia 

menghampiri orang tua ini dan berkata. “Pak Tejo, sikapmu 

agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi 

dengan anakku... Selain kami orang tuanya kau adalah 

orang yang paling dekat dengan Ratih. Apa yang kau 

ketahui Pak Tejo?!” 

“Saya... saya tidak tahu...” Kusir tua itu bukan saja jadi 

gugup tetapi juga mulai ketakutan. 

Saat itu tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda. 

“Ada orang datang!” seru seorang pengawal. 

Semua orang yang ada di depan gedung sama 

berpaling ke arah pintu gerbang. Seekor kuda ditunggangi 

dua orang memasuki halaman dan sampai di tangga depan 

gedung. Semua orang karuan saja jadi terkejut. Karena 

yang duduk di sebelah belakang adalah Ratih Kiranasari 

sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang tali 

kekang kuda adalah seorang pemuda tak dikenal beram–

but gondrong. 

Gandar Seto melompat. Dengan cepat dipegangnya 

pinggang puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang 

matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari 

rambut sampai ke kaki. 

“Ratih, kau tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!” 

Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di 

tempat itu, memeluknya lalu membimbingnya ke dekat

tangga gedung. Gandar Seto kini membelalak memandang 

pada si gondrong yang masih duduk di atas kuda dan yang 

bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. 

“Kau siapa?!” bentak Perwira Tinggi itu keras sekali. 

Wiro segera turun dari punggung kuda. Dia membung–

kuk dengan sikap hormat. “Saya Wiro. Saya...” jawab 

Pendekar 212. Belum sempat dia meneruskan ucapannya 

Gandar Seto sudah mendamprat. 

“Jadi kau pemuda gelandangan yang...” 

“Ayah! Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar 

teriakan Ratih Kiranasari. 

Perwira Tinggi itu melotot ke arah anaknya. Hampir 

terlompat makian dari mulutnya. Dengan suara bergetar 

dia berkata. “Kau membelanya! Benar rupanya kau me–

nyukai pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang 

tua!” Gandar Seto berpaling pada Wiro. “Berani kau main 

gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta lalu 

kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar 

kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!” 

Gandar Seto melompat ke hadapan Wiro. 

“Perwira, biar saya jelaskan dulu...” kata Wiro. 

Namun jotosan Perwira Tinggi itu sudah menghantam 

pipi kanannya lebih dulu. 

Bukkk! 

Wiro terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya 

tampak memar merah dan bengkak. Ratih Kiranasari 

berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat meme–

gang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar 

Wiro kembali. 

“Jangan, Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong 

saya...” 

“Menolongmu? Dia? Si gelandangan ini? Apa yang 

sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah 

ini lalu kau bilang dia menolongmu!” 

“Tidak, saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya 

tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika dia menemui 

saya, saya tergolek di sebuah pondok di pinggiran DesaGedangan. Dia lalu membawa saya pulang ke mari...” 

“Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti 

telah diguna-gunainya hingga bisa keluar malam-malam 

untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau 

lakukan pada anak gadisku?!” 

Gandar Seto mendorong Ratih Kiranasari ke samping 

lalu dia menyerbu Wiro dengan ganas. Si gadis menjerit 

keras. Dia melompat di antara ayahnya dan Pendekar 212. 

Wiro tahu betul serangan yang dilancarkan oleh Perwira 

Tinggi itu bukan serangan main-main atau hanya sekedar 

melampiaskan kemarahan. Tetapi merupakan serangan 

ganas yang bisa membunuhnya karena jelas dirasakannya 

serangan itu disertai tenaga dalam tinggi. Di Kotaraja siapa 

yang tidak kenal dengan Perwira Tinggi Gandar Seto yang 

dijuluki Manusia Besi. Dia dikabarkan memiliki aji kesak–

tian yang jika dikeluarkan akan merubah sekujur tubuhnya 

menjadi sekeras dan seatos besi. Apa saja yang kena 

gebuk atau tendangannya pasti akan hancur binasa, 

termasuk tubuh manusia jika kena dihantamnya! Dan kini 

agaknya dia telah mengeluarkan aji kesaktiannya itu untuk 

menyerang Wiro yang dianggapnya telah melakukan 

sesuatu yang memalukan atas diri puterinya. 

Ratih yang sudah tahu akan ilmu yang dimiliki ayahnya 

itu dan takut Wiro akan mendapat celaka cepat mengha–

langi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya 

sehingga Perwira Tinggi itu kini jadi sulit bergerak. 

“Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Gandar 

Seto. “Atau kepalamu ikut aku pecahkan saat ini juga!” 

“Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan 

apa-apa! Dia menemukan saya dalam keadaan setengah 

sadar lalu membawa saya ke mari!” 

“Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!” Gandar Seto 

menggerakkan tubuhnya tapi Ratih pun mengencangkan 

rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak 

selain membentak dan memaki habis-habisan. 

“Wiro! Pergilah! Lari cepat!” teriak Ratih. Gadis ini 

khawatir dia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnyamelemparkannya ke tanah. 

Pendekar 212 sesaat masih tertegak di tempat itu. 

Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit 

lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu. 

“Pengawal! Jangan biarkan bangsat ini lari! Tangkap 

dia!” teriak Gandar Seto sambil berusaha melepaskan diri 

dari pelukan puterinya. Delapan orang pengawal segera 

menyerbu ke arah Wiro. 

“Wiro! Lari!” teriak Ratih sekali lagi. 

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya. Lalu sekali 

lompat saja dia sudah berada di atas punggung kuda. 

Namun empat orang pengawal masih sempat mengejarnya. 

Pengawal kelima malah sudah merangkul leher kuda 

tunggangannya. Di saat itu pula Gandar Seto hampir dapat 

melepaskan diri dari pelukan anak gadisnya. 

Wiro gerakkan kaki kiri menendang salah seorang 

pengawal yang coba menarik pinggangnya. Orang ini 

terjungkal dan tergelimpang di tanah sambil menjerit-jerit 

kesakitan. Pengawal yang coba menahan lari kuda dengan 

merangkul leher binatang itu dihantamnya dengan satu 

pukulan ke atas batok kepalanya hingga melosoh jatuh dan 

pingsan dengan mata melotot. Ketika kudanya mulai 

bergerak, seorang pengawal lagi berusaha menghalangi 

sambil membabatkan sebilah golok pendek. Wiro jambak 

rambut orang ini lalu menyeretnya sampai belasan lang–

kah. Di satu tempat orang ini dihempaskannya ke tanah. 

Begitu jatuh, kaki kiri kuda sebelah belakang menginjak 

dadanya. Terdengar suara berderak patahnya tulang-tulang 

iga. Pengawal ini menjerit pendek lalu diam entah pingsan 

entah mati. 

“Kejar!” teriak Gandar Seto marah sekali. Beberapa 

orang pengawal segera menyiapkan kuda. Namun gerakan 

mereka tertahan ketika di kejauhan terdengar suara ken–

tongan dipukul orang dari arah selatan. Lalu disahuti oleh 

kentongan lain dari jurusan berbeda. Malam yang tadinya 

sepi ini kini jadi ramai oleh suara kentongan. 

“Anak kurang ajar!” hardik Gandar Seto marah. Tangankanannya melayang dan, plakk! Tamparannya mendarat di 

pipi Ratih Kiranasari yang sampai saat itu masih memeluki 

tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebe–

lah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya 

lalu melangkah pergi. Sang ayah seperti sadar apa yang 

telah dilakukannya cepat mengejar, namun saat itu ada 

dua orang penunggang kuda memasuki halaman. Begitu 

sampai di hadapan Gandar Seto keduanya melompat turun 

dan menjura. Salah seorang dari mereka berkata. 

“Perwira, kami dari Desa Gedangan. Kepala Desa 

meng–Zutus kami untuk memberikan laporan. Satu hal 

mengerikan telah terjadi di desa kami...” 

“Apa yang terjadi di desamu?!” tanya Gandar Seto 

dengan rahang menggembung tanda menahan amarah. 

“Seorang pemuda desa bernama Nandang ditemukan 

mati dalam keadaan muka dan tubuh tercabik-cabik. Di 

samping mayatnya tergeletak mayat Sarti, istri penduduk 

desa bernama Sentot. Keadaannya sama. Mati dengan 

tubuh koyak-koyak mengerikan...” 

“Gila!” teriak Gandar Seto. 

Orang desa yang satu lagi terdengar menambahkan. 

“Tubuh Nandang dan Sarti ditemukan tanpa pakaian sama 

sekali...” 

Gandar Seto kepalkan kedua tinjunya. Kepalanya 

mendongak. Di langit tak sengaja dia melihat rembulan 

empat belas hari. Di mata Perwira Tinggi ini, bulan purna–

ma yang begitu indah terlihat seperti sebuah bola api yang 

mengerikan. Sekilas kembali terbayang kematian mengeri–

kan yang terjadi malam kemarin atas diri bawahannya 

Randu Wulung dan Rumini, sepasang pengantin yang 

sangat malang itu. Semua mereka menemui kematian 

dengan cara yang sama! Biadab mengerikan! 

“Jangan-jangan pemuda gondrong bernama Wiro itu 

yang melakukannya...” desis Gandar Seto. 

Ucapan yang meskipun perlahan ini ternyata masih 

sempat terdengar oleh Ratih Kiranasari yang saat itu 

sesenggukan tenggelam dalam pelukan ibunya. Si gadismengangkat kepalanya. Lalu berkata, “Ayah! Kau sungguh 

keterlaluan! Kini kau menuduh pemuda itu sebagai 

pembunuh Nandang dan Sarti!” 

Amarah Gandar Seto menggelegak kembali. Dengan 

langkah-langkah besar dia mendekati puterinya. Tangan 

kanannya diangkat siap untuk menampar lagi. Namun kali 

ini Perwira Tinggi ini masih bisa menguasai dirinya. Perla–

han-lahan tangannya diturunkan kembali. Dia memandang 

berkeliling. Begitu dia melihat kusir tua Tejo, dia segera 

berkata. “Siapkan kudaku! Kita harus menemui Patih 

Kerajaan malam ini juga! Keamanan Kotaraja terancam. 

Dua pembunuhan terjadi dua malam berturut-turut! 

Seorang pemuda gelandangan yang sangat aku curigai 

gentayangan bebas! Aku yakin dia makhluk jahatnya yang 

melakukan pembunuhan-pembunuhan itu!”




WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 7

PENDEKAR 212 Wiro Sableng menatap wajah kusir tua 

yang basah oleh keringat itu beberapa saat lalu sam–

bil menggaruk kepala dia berkata, “Kotaraja dan 

tempat-tempat ramai lainnya tidak aman bagiku sekarang 

ini Pak Tua. Perwira Tinggi Gandar Seto kabarnya telah 

mengeluarkan perintah untuk mencari dan menangkap 

diriku hidup atau mati! Gila! Aku dituduh sebagai pembu–

nuh sepasang pengantin Randu Wulung dan Rumini. Lalu 

aku juga dikatakan yang menghabisi pemuda sesat Nan–

dang dan Sarti di Gedangan. Edan!” 

“Anak muda, harap kau jangan marah. Apa betul bukan 

kau yang membunuh keempat orang itu?” 

Kedua mata Pendekar 212 memandang mendelik. “Pak 

Tua, kalau bukan kau yang bicara begitu sudah kubetot 

lepas lidahnya...” 

“Jangan marah padaku Wiro. Itulah anggapan semua 

orang di Kotaraja dan sekitarnya saat ini. Atau mungkin...” 

“Mungkin apa?” tanya Pendekar 212 jadi tambah 

jengkel. 

“Perwira Tinggi majikanku juga punya anggapan semua 

korban itu mati akibat koyakan binatang buas. Lalu dia 

ingat pada cerita puterinya tentang srigala yang ditemukan 

di Hutan Jati Mundu. Jangan-jangan srigala itu binatang 

peliharaanmu...” 

“Itu lebih gila! Lebih edan!” kata Wiro. 

“Kalau tidak mengapa binatang buas itu begitu jinak 

padamu, anak muda...?” 

“Itu yang aku tidak mengerti,” jawab Wiro sambil garuk-

garuk kepala. Lalu dia berkata, “Saat ini aku tidak lebih 

dari seorang buronan. Tapi belum ada seorang petugas 

pun dari Kotaraja mengetahui kalau aku ada di sini. Kau 

berhasil mencari dan menemukanku, Pak Tua. Sungguh 

hebat! Sekarang katakan apa keperluanmu.” 

“Terus terang, aku disuruh oleh Den Ayu Ratih. Dia ingin 

bertemu dengan kau malam ini...” 

“Hemmm...” Wiro kembali garuk-garuk kepala. 

“Kau harus menemuinya Wiro. Dia merindukan dirimu 

tanda dia benar-benar menyukaimu. Katanya sudah satu 

minggu lebih dia tidak melihatmu...” 

Wiro mengusap pipi kanannya yang masih kelihatan 

bengkak akibat jotosan Gandar Seto tempo hari. 

“Anak muda, aku tahu kau tentu sangat membenci 

ayahnya karena telah memukulmu. Lebih dari itu dia juga 

telah menuduhmu dan menjadikan dirimu sebagai seorang 

buronan. Namun jangan kau melihat semua itu. Den Ayu 

Ratih memerlukanmu.” 

“Baiklah Pak Tua. Di mana aku harus menemuinya?” 

tanya Pendekar 212. 

“Kau tahu reruntuhan Candi Blorok di timur desa 

Tumpakrejo?” 

Wiro berpikir sebentar lalu mengangguk. 

“Den Ayu Ratih akan datang ke sana. Tepat pada perte–

ngahan malam...” 

“Sendirian?” 

“Aku minta menemaninya. Tapi dia bersikeras akan 

datang seorang diri...” 

“Baiklah. Aku akan menunggu di Candi Blorok,” kata 

Wiro. 

Tejo si kusir tua tersenyum. Sebelum pergi dia memberi 

hormat dan berkata. “Anak muda, kau orang baik. Kalau 

kau nanti memang berjodoh dengan puteri majikanku itu 

nasibku tentu akan tambah baik...” 

*** 

Di langit tak ada bulan. Bintang pun cuma ada satudua. Malam gelap, sunyi dan dingin. Bangunan Candi 

Blorok yang beberapa bagiannya sudah runtuh tampak 

menghitam angker dalam kegelapan malam. Satu baya–

ngan putih berkelebat di belakang candi lalu lenyap dalam 

kegelapan dan tahu-tahu dia sudah berada di pelataran 

candi sebelah dalam. Sesaat dia memandang berkeliling. 

Setelah memastikan tak ada orang lain di tempat itu, dia 

lalu pergi duduk di atas sebuah arca tanpa kepala. 

“Memang lebih baik biar aku yang menunggu,” kata 

orang ini dalam hati. Dia memandang ke langit di atasnya. 

“Belum tengah malam,” dia kembali membatin. Lalu 

pikirannya mengelana jauh. “Walaupun gadis itu menyu–

kaiku setengah mati dan aku memang ada rasa senang 

padanya, tapi untuk berjodoh dengan dirinya... Ah! Ini satu 

hal yang berat. Bahkan tidak mungkin. Apa yang akan 

dibicarakannya malam ini? Kalau dia merayuku dengan 

kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya dan aku tidak 

bisa bertahan bisa celaka diriku!” Orang yang duduk di atas 

arca buntung ini lalu garuk-garuk kepala. Gerakannya 

terhenti ketika tiba-tiba dia mendengar ada suara derap 

kaki kuda di kejauhan. Makin lama suara itu makin keras 

tanda semakin dekat dan memang mengarah ke candi di 

mana dia berada. 

Orang itu bangkit dari arca yang didudukinya. Di sam–

ping kiri candi dilihatnya mendatangi seorang penunggang 

kuda. “Ah, dia datang...” Orang ini menarik nafas lega dan 

tersenyum. Namun kemudian kedua matanya menyipit dan 

senyumnya lenyap. “Eh, bukan dia. Penunggang kuda itu 

seorang lelaki, bukan Ratih...” Orang ini melangkah ke 

dinding candi sebelah kiri agar bisa melihat lebih jelas. 

Begitu dia mengenali penunggang kuda itu parasnya jadi 

berubah oleh rasa kejut. “Astaga! Itu Perwira Tinggi Gandar 

Seto! Bagaimana dia bisa tiba-tiba muncul di tempat ini?! 

Jangan-jangan...” 

Orang yang datang menunggang kuda coklat memang 

adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. Dari pakaian ringkas 

yang dikenakannya serta sebilah golok besar yang terselipdi pinggangnya jelas kalau kedatangannya ke tempat itu 

bukan suatu kebetulan belaka. Dan ini segera terbukti. 

Setelah hentikan kudanya di depan Candi Blorok, Perwira 

Tinggi itu lalu berteriak. 

“Manusia buronan bernama Wiro! Lekas serahkan diri! 

Kau sudah terkurung! Jangan harap bisa lolos!” 

Murid Eyang Sinto Gendeng yang memang adalah orang 

yang berada dalam Candi Blorok seperti disentakkan. 

Kedua matanya membesar ketika memandang berkeliling. 

Dari kegelapan di seputar bangunan candi muncul banyak 

sekali orang. Jumlah mereka tidak kurang dari seratus. 

Sebagian menunggang kuda. Kebanyakan dari mereka 

mengenakan pakaian pasukan kerajaan. 

“Kurang ajar! Aku dijebak!” maki Pendekar 212 dengan 

kedua tangan terkepal. Dia kembali memperhatikan kea–

daan di sekelilingnya. Di samping Perwira Tinggi Seto kini 

dilihatnya berjejer enam orang penunggang kuda. Empat di 

antara mereka adalah perwira-perwira muda Kerajaan yang 

dari sikap mereka jelas memiliki ilmu kepandaian tinggi. 

Murid Eyang Sinto Gendeng tidak begitu mengkhawatirkan 

kehadiran empat perwira muda itu maupun puluhan praju–

rit yang telah mengurung seantero bangunan Candi Blorok. 

Yang dirisaukannya selain si Perwira Tinggi sendiri terlebih 

lagi adalah dua orang yang berada di kiri kanannya. Orang 

di sebelah kiri seorang nenek berambut putih jarang, 

berkulit hitam. Sekilas tampangnya seperti Eyang Sinto 

Gendeng. Di keningnya ada sebuah benjolan hampir 

menyerupai tanduk pendek. Bibirnya sumbing hingga 

seluruh gigi atasnya yang masih utuh berwarna hitam 

tonggos kelihatan menjorok ke luar, menjijikkan. Di tangan 

kirinya nenek ini memegang sebuah pendupaan berisi bara 

api menyala dan menabur asap kelabu berbau aneh. 

Pendupaan itu tentu saja panas sekali tetapi si nenek 

memegangnya tenang-tenang saja seperti memegang 

sebuah kayu. 

Pendekar 212 mengingat-ingat. “Kalau aku tidak salah 

duga nenek berbibir sumbing itu dikenal dengan julukanIblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Kepandaian silat–

nya tidak seberapa. Tetapi pendupaan di tangan kirinya itu 

telah membuat dirinya menjadi momok nomor satu dan 

ditakuti di tanah Jawa ini!” Lalu dalam hati Wiro memaki-

maki dirinya sendiri habis-habisan yang telah berlaku 

bodoh hingga sampai tertipu dan terjebak di tempat itu. 

“Kusir tua keparat itu, dia ternyata ular kepala dua!” 

Wiro mengalihkan perhatiannya pada kakek berpakaian 

merah yang menunggangi kuda di sebelah kanan Perwira 

Tinggi Gandar Seto. Kepalanya yang gundul sengaja dicat 

merah. Ketika menyeringai kelihatan gigi-giginya juga dicat 

merah. “Si Bayangan Api...” desis Wiro. “Aneh, mengapa 

jago-jago tingkat tinggi ini bisa bergabung dengan orang-

orang Kerajaan?” pikir Wiro lagi. 

Murid Eyang Sinto Gendeng ini tidak tahu bahwa secara 

diam-diam Gandar Seto telah melakukan penyelidikan atas 

dirinya. Dari beberapa sumber dia kemudian mengetahui 

bahwa pemuda bernama Wiro itu sebenarnya adalah Wiro 

Sableng yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar 

Kapak Maut Naga Geni 212. Menyadari siapa sebenarnya 

orang buronannya maka itulah sebabnya Gandar Seto 

membawa serta si Bayangan Api dan Iblis Sumbing Pem–

bawa Pendupa Maut, ditambah dengan empat orang 

perwira muda berkepandaian tinggi dan puluhan prajurit. 

Beberapa orang di Kotaraja yang kenal siapa adanya 

Pendekar 212 tidak menyetujui cara Gandar Seto yang 

langsung melakukan pencarian terhadap Wiro. Mereka 

mengusulkan agar menghubungi Sinto Gendeng terlebih 

dahulu di Gunung Gede karena mereka tidak bisa percaya 

begitu saja kalau murid nenek sakti itu kini telah menjadi 

orang jahat dan melakukan pembunuhan keji di beberapa 

tempat. Namun Gandar Seto dapat meyakinkan Patih 

Kerajaan bahwa tindakannya adalah benar dan harus 

cepat dilaksanakan sebelum pemuda buronan itu kembali 

melakukan pembunuhan lagi. Di samping itu Gandar Seto 

juga menyimpan dendam tertentu terhadap Pendekar 212. 

Dia menganggap pemuda ini juga menjadi biang racunyang hendak menjerat puterinya. 

“Pendekar 212 Wiro Sableng!” teriak Gandar Seto. 

“Apakah kau nyatanya begini pengecut tidak berani 

menyerahkan diri?!” 

Wiro tentu saja terkejut ketika orang menyebut gelar 

dan nama panjangnya. “Dari mana keparat ini tahu siapa 

diriku,” katanya dalam hati dan masih tetap berlindung di 

balik dinding candi. 

Dari atas kudanya Perwira Tinggi Gandar Seto kembali 

berteriak. “Pendekar 212! Jika kau tidak mau menyerah–

kan diri maka aku akan menyerbu ke dalam candi!” 

“Sialan! Dia benar-benar tahu kalau aku berada di 

tempat ini!” maki murid Eyang Sinto Gendeng. Sambil 

mengalirkan tenaga dalam ke tangan kanan akhirnya dia 

keluar dari balik dinding dan melangkah menuruni bagian 

depan Candi Blorok. Tiga langkah dari depan reruntuhan 

tangga Pendekar 212 berhenti. Dia memandang pada 

Gandar Seto dan bertanya. 

“Aku sudah berada di hadapanmu. Katakan apa keper–

luanmu Perwira Tinggi!” 

“Kau yang harus mengatakan apa kau mau ditangkap 

hidup-hidup dengan tubuh utuh atau ingin menyerahkan 

diri setelah sekujur tubuhmu mulai dari kepala sampai ke 

kaki kami cincang lumat!” Gandar Seto menjawab dengan 

pelipis bergerak-gerak dan rahang menggembung tanda 

dia mulai mendekati puncak amarahnya. 

“Perwira, kau ingin menangkap dan mencincang diriku! 

Katakan apa salahku!” 

Gandar Seto keluarkan suara mendengus. “Lagakmu 

sungguh hebat! Kau membunuh secara keji empat orang 

tak berdosa. Kau bahkan menculik puteriku...” 

“Tuduhan dusta! Kau punya bukti kalau aku yang mem–

bunuh empat orang itu? Kau juga punya bukti bahwa aku 

menculik puterimu? Padahal puterimu sendiri mengatakan 

aku tidak menculiknya. Aku menemuinya dalam keadaan 

setengah sadar di dekat Gedangan!” 

Perwira Tinggi itu menggerakkan tangannya. Empat

orang perwira muda melompat turun dari kuda masing-

masing, langsung mengurung Pendekar 212. 

“Manusia iblis ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih 

lama. Cincang sampai lumat!” perintah Gandar Seto 

kemudian. 

Empat golok besar mengeluarkan suara berseresetan 

begitu dicabut dari sarungnya. Tanpa menunggu lebih lama 

keempat perwira muda yang mengurung menyerbu Wiro. 

Empat bilah golok besar berkelebat dalam kegelapan 

malam. 

Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Lututnya 

ditekuk. Tubuhnya merunduk. Bersamaan dengan itu dia 

hantamkan kedua tangannya ke depan. Dua orang perwira 

muda berteriak kesakitan. Tubuh mereka mencelat mental 

lalu terhampar di tanah. Megap-megap sebentar setelah itu 

pingsan tak berkutik lagi. 

Dua bilah golok lagi datang membabat dari belakang. 

Murid Eyang Sinto Gendeng jatuhkan diri ke tanah. Tiba-

tiba tubuh itu membalik sambil kaki kanan menendang. 

Terdengar dua kali suara bergedebukan. Dua perwira muda 

yang tadi menyerang dari belakang sama-sama menjerit. 

Yang satu langsung roboh begitu tulang kering kaki kirinya 

patah dihantam tendangan Wiro. Satunya lagi mencelat 

lalu terkapar di tanah dengan perut pecah. Nyawanya tidak 

ketolongan lagi! 

Selagi Wiro bergerak bangkit, Gandar Seto yang sudah 

gatal tangan menarik tali kekang kudanya. Binatang ini 

melompat ke depan ke arah Wiro. Bersamaan dengan itu 

Perwira Tinggi lepaskan satu pukulan jarak jauh. Serang–

kum angin menderu menyambar Pendekar 212 membuat 

tubuhnya bergetar keras. Dia merasakan seperti ada 

sebuah jaring yang tak kelihatan membungkus tubuhnya. 

Sebelum dirinya menjadi tidak berdaya, Wiro jatuhkan 

tubuh ke tanah lalu berguling ke kiri guna menghindari 

injakan empat kaki kuda tunggangan Gandar Seto. Ketika 

Perwira Tinggi itu berusaha memutar kudanya dan hendak 

menyerang kembali, Pendekar 212 untuk pertama kalinyalepaskan serangan balasan. Dia berlaku cerdik. Dia tidak 

menghantam ke arah Gandar Seto. Yang ditujunya justru 

kuda tunggangan Perwira Tinggi itu. Kuda betina ini 

meringkik keras sewaktu angin pukulan jarak jauh yang 

dilepaskan Wiro melabrak rusuknya. Tubuhnya terhuyung 

ke kiri. Selagi penunggangnya berusaha mengendalikan 

kuda itu, Wiro kembali menghajar dengan pukulan sakti 

berikutnya yaitu Benteng Topan Melanda Samudera. 

Angin sederas topan prahara membuat kawasan di 

sekitar Candi Blorok jadi bergetar. Gandar Seto dan kuda–

nya terhempas ke kiri. Sebelum binatang ini jatuh tersung–

kur Perwira Tinggi itu sudah lebih dulu melompat ke udara. 

Gerakannya melompat disertai dengan gerakan mencabut 

golok besar di pinggang. Begitu dia menukik, tubuhnya 

kelihatan melesat ke arah Wiro. Senjata di tangannya 

menyambar ganas. Yang diincar adalah batang leher murid 

Sinto Gendeng itu! 

Untuk kesekian kalinya Wiro terpaksa jatuhkan diri. 

Hanya kali ini gerakan mengelak itu disertai dengan tenda–

ngan kaki ke arah tangan lawan yang memegang senjata. 

Kraakk! 

Terdengar suara patahan tulang begitu kaki kanan Wiro 

menghajar lengan Gandar Seto. Perwira Tinggi ini menjerit 

keras. Goloknya terlepas mental sedang tangan kanannya 

kelihatan mengambai-ambai! 

Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja sangat 

terkejut menyaksikan apa yang terjadi. Gandar Seto yang 

dikenal dengan julukan Manusia Besi, memiliki tubuh atos 

tak mempan senjata tajam, kini ternyata mengalami hari 

naas. Kena diciderai hingga patah lengan kanannya! Iblis 

Sumbing diam-diam merasa tidak enak sedang si Baya–

ngan Api sesaat tampak tertegun. Mereka jadi berpikir. 

Rupanya nama besar Pendekar 212 bukan satu nama 

kosong belaka! 

Beberapa orang perajurit cepat bergerak hendak 

menolong Perwira Tinggi yang cidera itu. Namun saat itu 

kakek berpakaian dan berkepala botak merah sudahmendahului. Sekali dia berkelebat turun dari kudanya, 

tubuhnya berubah laksana sambaran api. Di lain kejap 

tahu-tahu dia sudah merangkul Gandar Seto yang kemu–

dian dibawanya ke tempat yang lebih aman. 

“Harap kau tidak bergerak dari tempat ini Perwira. 

Kulihat cideramu cukup parah!” kata si Bayangan Api. “Biar 

aku yang akan menangkap pemuda itu. Aku akan meng–

hajarnya sampai lumat lebih dulu sebelum kuhabisi 

nyawanya...” 

Ketika dia hendak melangkah mendekati Wiro, nenek 

berjuluk Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut sudah 

memajukan kudanya seraya berkata. “Sobatku, kau jaga 

saja perwira itu. Biar aku yang menangani kecoak satu ini!” 

Lalu sambil meninggikan tangannya yang memegang 

pendupaan, nenek itu mengarahkan kudanya mendekati 

Wiro. “Manusia bernama Wiro Sableng, bergelar Pendekar 

212 murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede! Apa kau 

sudah tahu kalau nyawamu hanya tinggal beberapa 

kejapan lagi?” 

Karena mulutnya sumbing maka kata-kata yang 

diucapkannya terdengar lucu dan sulit dimengerti Wiro. 

Seumur-umur baru kali itu dia mendengar orang sumbing 

bicara. Maka pemuda ini pun berkata. 

“Nek, kalau bicara biar betul. Jangan telo seperti orok! 

Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan!” Brengseknya 

waktu bicara ini Wiro sengaja menirukan suara si nenek 

yang tidak karuan! Tentu saja hal ini membuat Iblis Sum–

bing Pembawa Pendupa Maut menjadi marah setengah 

mati. Tangan kirinya yang memegang pendupaan diturun–

kan sejajar bahu. Kepulan asap kelabu berbau aneh 

semakin menggebubu. 

Tiba-tiba dari mulut yang sumbing itu keluar suara pekik 

menggidikkan. Bersamaan dengan itu tangan kanannya 

bergerak. Tahu-tahu dari tangan si nenek ada lima buah 

senjata rahasia berbentuk paku menyambar ke arah murid 

Sinto Gendeng. 

Dari sinar redup hitam yang keluar dari lima buahsenjata rahasia itu Wiro segera maklum kalau senjata-

senjata terbang itu mengandung racun jahat. Maka dia 

segera menghantam dengan pukulan Tameng Sakti 

Menerpa Hujan. Lima senjata rahasia berbentuk paku 

mencelat bermentalan. Tapi si nenek justru malah tertawa 

nyaring. Kepalanya merunduk seperti hendak mencium 

Wiro. Pendupaan di tangan kirinya didekatkan ke mulut. 

Wiro kirimkan satu jotosan kilat ke lambung lawan yang 

masih berada di atas punggung kudanya ini. Tapi tiba-tiba 

sekali si nenek meniup. Asap kelabu berbau aneh 

menyambar ke arah muka Wiro. Murid Sinto Gendeng 

cepat menutup jalan nafasnya dan berusaha melompat 

menjauhi. Namun terlambat! Hawa aneh yang keluar dari 

asap kelabu itu telah lebih dahulu menyusup memasuki 

hidung dan mulutnya. Saat itu juga Wiro merasakan kepala 

dan kedua matanya menjadi sangat berat. Sekujur anggota 

badannya terasa lemah. Dia seperti amblas ke dalam 

sebuah lobang gelap dan tidak sadarkan diri lagi. Jatuh 

tergelimpang di depan kaki kuda tunggangan Iblis Sumbing 

Pembawa Pendupa Maut. 

Nenek tua ini tertawa mengekeh lalu memandang pada 

si Bayangan Api. “Kau tunggu apa lagi sahabatku? Lekas 

ringkus pemuda itu. Kita bawa ke hadapan Patih Kerajaan 

agar dia segera dijatuhi hukuman mati. Atau ada yang akan 

mempesianginya saat ini juga?!” 

“Aku yang akan menghabisinya!” kata Gandar Seto lalu 

dengan susah payah berusaha berdiri. “Pinjami golokmu!” 

katanya pada seorang prajurit yang tegak di sampingnya. 

“Dimas Gandar. Tak perlu susah-susah. Biar kuseret 

pemuda keparat ini ke hadapanmu!” kata si Bayangan Api 

pula. Lalu dicekalnya salah satu pergelangan kaki Wiro. 

Tubuh pemuda itu kemudian diseretnya ke hadapan si 

Perwira Tinggi. Rahang Gandar Seto tampak menggem–

bung. Matanya berkilat. Golok yang di tangan kiri digeng–

gamnya erat-erat. Begitu sosok Wiro dilemparkan di hada–

pannya, dengan bergegas Perwira Tinggi ini ayunkan 

senjatanya ke arah batang leher Pendekar 212!



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 8

MURID Sinto Gendeng hanya bisa terima nasib. Dia 

menghadapi kematian dengan sepasang mata 

tidak berkesip sementara golok di tangan kiri 

Gandar Seto membabat deras ke bawah. Sesaat lagi bagi–

an tajam dari senjata itu akan menebas putus batang 

lehernya tiba-tiba entah dari mana munculnya satu baya–

ngan berkelebat. Gerakan tubuhnya mengeluarkan angin 

deras. Tubuh Gandar Seto tahu-tahu terjajar sampai tiga 

langkah. Dari mulutnya keluar seruan pendek disusul 

dengan terlepas mentalnya golok yang ada di tangan 

kirinya! 

“Manusia kurang ajar! Siapa kau?!” teriak Perwira 

Tinggi itu. Ketika dia dan semua orang yang ada di situ 

memandang ke depan, mereka menyaksikan satu peman–

dangan yang sulit dipercaya! 

Seorang gadis berpakaian hijau gelap tegak di tengah 

kalangan perkelahian dengan memanggul tubuh Pendekar 

212 di bahu kirinya. Pandangannya tampak bengis tetapi 

kebengisan ini tidak melenyapkan kecantikan wajahnya. 

“Ada bidadari nyasar dan ikut campur urusan kita...” 

kata si Bayangan Api lalu tertawa mengekeh. 

“Siapa kau?’“ Gandar Seto kembali membentak. 

“Mengapa kau menginginkan pemuda itu?!” ikut mem–

bentak Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. 

Lalu si Bayangan Api menimbrung kembali. “Apa hubu–

nganmu dengan Pendekar 212?!” 

Gadis di tengah kalangan menyeringai sinis. 

“Siapa aku kalian tak layak bertanya. Mengapa aku 

inginkan pemuda ini bukan urusan kalian. Apa hubunganku 

dengan dirinya perlu apa kalian mengetahui?!” 

“Gadis cantik! Lagakmu sombong banget!” kata si 

Bayangan Api sambil usap-usap kepalanya yang gundul 

dan dicat merah itu. Mata kirinya dikedipkan berkali-kali. 

“Dengar, berikan pemuda itu pada kami!” 

“Untuk apa?!” tanya gadis cantik itu. 

“Kau tak layak bertanya!” jawab si Bayangan Api lalu 

tertawa mengekeh. Kedua tangannya diulurkan ke depan. 

“Lekas serahkan pemuda itu padaku! Atau aku akan 

mengambilnya bersama-sama tubuhmu sekaligus!” 

“Tua bangka buruk berkepala seperti pantat monyet!” 

bentak si gadis yang memanggul Wiro. “Kalau kau merasa 

mampu coba kau rampas pemuda ini dariku!” 

Tampang si Bayangan Api jadi tampak merah seperti 

udang rebus. “Gadis yang masih bau pupuk! Rupanya kau 

tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa hingga bicara 

kurang ajar seenaknya!” 

“Aku cukup tahu siapa kau! Gelarmu si Bayangan Api. 

Kau mengerjakan apa saja asal dibayar. Seperti tadi aku 

bilang, kepala botakmu yang merah sama dengan pantat 

monyet.” 

Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Yang tertawa 

ternyata adalah Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. 

“Kau gadis kocak! Celotehmu enak didengar. Aku mulai 

suka denganmu. Gadis jelita, apakah kau juga tahu siapa 

diriku?” Sambil berkata begitu nenek berbibir sumbing 

yang keningnya ada benjolan seperti tanduk ini melangkah 

mendekati si gadis. Yang didekati tenang saja seolah tidak 

takut sama sekali. 

“Kau minta aku menerangkan siapa dirimu?!” Gadis di 

tengah kalangan sunggingkan senyum. “Aku mulai dengan 

usiamu nenek tua! Umurmu saat ini kalau aku tidak salah 

duga sudah hampir tujuh puluh! Benar?!” 

“Eh, kau benar!” jawab si nenek dan diam-diam merasa 

heran. 

“Kau datang dari Madura, mencari makan di tanah 

Jawa. Betul?!”“Ah, kau juga betul!” jawab Iblis Sumbing mangkel tapi 

tambah heran. 

“Kau dijuluki orang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa 

Maut!” 

“Kau gadis hebat. Pasti kau seorang tokoh persilatan 

baru yang mulai naik daun!” Memuji si nenek. 

“Apa sudah cukup penjelasanku tentang dirimu?!” 

“Eh!” Si nenek jadi agak tersentak. Kini dia mulai 

merasa tidak enak. “Apa lagi yang kau ketahui tentang 

diriku?” 

“Banyak!” 

“Misalnya?” 

“Bukan misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?” 

“Bilang saja!” 

“Kau tidak bakalan malu nantinya?!” 

“Gadis sialan! Malu? Mengapa musti malu?!” 

Si gadis perdengarkan suara tertawa panjang. “Baiklah, 

akan kukatakan apa adanya. Bibirmu sumbing bukan cacat 

dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu itu!” 

“Astaga!” Si nenek terkejut dalam hati. “Siapa gadis ini 

sebenarnya. Mengapa dia tahu banyak tentang diriku?” 

“Orang itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian. 

Gara-gara kau menculik anak gadisnya. Betul...?” 

Wajah buruk Iblis Sumbing berubah gelap. “Cukup! 

Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan pemuda itu 

padaku dan lekas minggat dari sini!” 

“Ha... ha...! Sekarang kau takut sendiri mendengar 

ocehanku. Padahal aku belum selesai! Aku tahu kau 

bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu. 

Karena itu seumur-umur kau tidak pernah kawin! Kau lebih 

suka bercinta dengan perempuan...” 

“Gadis sundal haram jadah! Biar kurobek mulut 

kotormu!” Iblis Sumbing menggembor lalu tangan kirinya 

tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang 

tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya untuk 

menangkis. Karena menganggap enteng, si nenek tidak 

berusaha menghindari terjadinya bentrokan lengan.“Ah, kau juga betul!” jawab Iblis Sumbing mangkel tapi 

tambah heran. 

“Kau dijuluki orang Iblis Sumbing Pembawa Pendupa 

Maut!” 

“Kau gadis hebat. Pasti kau seorang tokoh persilatan 

baru yang mulai naik daun!” Memuji si nenek. 

“Apa sudah cukup penjelasanku tentang dirimu?!” 

“Eh!” Si nenek jadi agak tersentak. Kini dia mulai 

merasa tidak enak. “Apa lagi yang kau ketahui tentang 

diriku?” 

“Banyak!” 

“Misalnya?” 

“Bukan misalnya. Tapi nyatanya! Kau mau dengar?” 

“Bilang saja!” 

“Kau tidak bakalan malu nantinya?!” 

“Gadis sialan! Malu? Mengapa musti malu?!” 

Si gadis perdengarkan suara tertawa panjang. “Baiklah, 

akan kukatakan apa adanya. Bibirmu sumbing bukan cacat 

dari lahir. Seorang musuh merobek bibirmu itu!” 

“Astaga!” Si nenek terkejut dalam hati. “Siapa gadis ini 

sebenarnya. Mengapa dia tahu banyak tentang diriku?” 

“Orang itu membuatmu cacat dalam satu perkelahian. 

Gara-gara kau menculik anak gadisnya. Betul...?” 

Wajah buruk Iblis Sumbing berubah gelap. “Cukup! 

Hentikan ocehanmu! Sekarang serahkan pemuda itu 

padaku dan lekas minggat dari sini!” 

“Ha... ha...! Sekarang kau takut sendiri mendengar 

ocehanku. Padahal aku belum selesai! Aku tahu kau 

bangsa perempuan yang tidak suka pada lawan jenismu. 

Karena itu seumur-umur kau tidak pernah kawin! Kau lebih 

suka bercinta dengan perempuan...” 

“Gadis sundal haram jadah! Biar kurobek mulut 

kotormu!” Iblis Sumbing menggembor lalu tangan kirinya 

tiba-tiba berkelebat ke arah muka si gadis. Yang diserang 

tundukkan kepala dan pukulkan tangan kanannya untuk 

menangkis. Karena menganggap enteng, si nenek tidak 

berusaha menghindari terjadinya bentrokan lengan.Bukkk! 

Gadis jelita yang memanggul tubuh Wiro merasakan 

lengannya bergetar keras. Sebaliknya Iblis Sumbing kelu–

arkan jerit kesakitan. Tangannya seperti dipukul besi. Rasa 

sakit pada lengannya itu menjalar ke seluruh tubuh hingga 

dia terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Marah dan 

malu membuat si nenek jadi kalap. 

Didahului oleh satu teriakan dahsyat si nenek melom–

pat ke depan. Pendupaan di tangan kirinya diturunkan ke 

muka. Asap kelabu mengepul deras. Lalu dia meniup kuat-

kuat, Wusss! 

Asap kelabu yang menebar bau aneh dan sangat 

berbahaya menderu ke muka si gadis, langsung masuk ke 

rongga hidung dan mulutnya. Sesaat dia tampak seperti 

kelagapan. Iblis Sumbing tertawa panjang. Sekejapan lagi 

gadis ini akan tidak berdaya, limbung lalu jatuh seperti apa 

yang telah terjadi dengan pemuda yang barusan ditolong–

nya. 

Tetapi alangkah terkejutnya si nenek ketika melihat 

gadis di hadapannya itu bukannya jatuh malah dari mulut–

nya terdengar suara tawa panjang menimpali suara tawa–

nya sendiri! Selagi perempuan tua ini dibungkus rasa kaget 

tiba-tiba si gadis runcingkan mulutnya dan meniup asap 

kelabu yang mengepul keluar dari dalam pendupaan. 

Wusss! 

Kepulan asap itu kini berhembus deras ke arah si 

pemilik pendupaan. Senjata makan tuan! 

Iblis Sumbing menjerit keras. Kedua matanya terasa 

perih dan karena dia barusan membuka mulut begitu lebar, 

kepulan asap serta merta memenuhi mulutnya terus 

memasuki rongga-rongga pernafasan. Akibatnya tak 

tertolong lagi. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Mata dan 

kepalanya terasa berat. Sesaat kemudian tak ampun lagi 

tubuhnya amblas jatuh ke tanah. 

Kakek bergelar si Bayangan Api cepat menolong Iblis 

Sumbing sementara Gandar Seto melompat ke arah gadis 

yang memanggul Wiro sambil berteriak pada anggotapasukannya untuk bantu menyerang. Puluhan perajurit 

berserabutan melakukan penyerangan. Gadis yang jadi 

bulan-bulanan serangan tertawa nyaring. Tubuhnya tiba-

tiba mencelat ke atas. Sungguh luar biasa ilmu meringan–

kan tubuhnya. Sulit sekali dicari orang pandai yang mampu 

melompat setinggi itu sambil membawa beban manusia di 

bahunya! 

“Kejar! Jangan biarkan dia melarikan diri!” teriak 

Gandar Seto. 

Beberapa perajurit melemparkan golok dan tombak 

mereka. Tetapi tak satu pun yang mengenai sasaran, 

“Keparat! Seharusnya aku membawa serta pasukan 

panah!” maki Gandar Seto. Dalam keadaan salah satu 

tangannya patah begitu rupa Perwira Tinggi ini mencoba 

menyusul melompat ke atas sambil lepaskan satu pukulan 

tangan kosong. Tapi hantamannya luput. Sosok tubuh si 

gadis dilihatnya berkelebat turun ke arah kiri candi. 

“Biar aku yang mengejar!” Di bawah sana terdengar 

suara teriakan si Bayangan Api. Seperti angin dia berkele–

bat ke samping kiri Candi Blorok. Dia masih sempat meli–

hat bayangan si gadis. Serta merta kakek ini lepaskan 

pukulan sakti. Tapi serangannya hanya menghantam 

pinggiran candi. Bangunan yang kena hantam ini hancur 

berserakan. 

“Gadis keparat! Apa kau kira bisa lolos dari tanganku!” 

kertak si Bayangan Api. Tidak percuma dia mendapat gelar 

seperti itu. Sekali dia bergerak tubuhnya tenyap dan hanya 

bayangan merah tertinggal di belakangnya. Saat itu dia 

sudah berada di bagian candi yang lain. Di satu tempat 

gelap dia kembali melihat bayangan orang yang dikejarnya. 

Dengan geram orang tua berkepala botak ini keruk saku 

pakaian merahnya. Setengah lusin senjata rahasia berupa 

panah-panah kecil berwarna merah melesat dalam kege–

lapan malam meninggalkan cahaya merah panjang seperti 

nyala api di ekornya. 

“Pasti kena!” kata si Bayangan Api penuh yakin karena 

selama ini tidak ada yang bisa lolos dari serangan senjatarahasianya itu. Ia berkelebat menyusul ke arah lesatan 

senjatanya, Tapi dia jadi terperangah dan berseru kaget 

ketika tiba-tiba dari depan dilihatnya ada satu gelombang 

angin dahsyat yang membuat lima panah merah yang tadi 

dilepaskannya berbalik dan menghantam ke arah dirinya 

sendiri pada lima sasatan yang sulit dielakkan! 

“Perempuan celaka. Kurang ajar!” maki si Bayangan Api 

panjang pendek. Dia jatuhkan diri ke tanah. Tiga anak 

panah lewat di atas tubuhnya. Anak panah ke empat 

menembus leher pakaiannya. Anak panah ke lima menan–

cap di bahu kirinya. Si botak tua ini menjerit kesakitan!



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 9

HAWA aneh berasal dari asap kelabu pendupaan Iblis 

Sumbing yang membuat Pendekar 212 jadi lumpuh 

tak berdaya perlahan-lahan keluar dari rongga 

hidungnya setiap dia bernafas. Perlahan-lahan pula dia 

mulai sadar dan ingat apa yang telah dialaminya. Dalam 

keadaan masih lemas dia hanya bisa berdiam diri di atas 

panggulan bahu kiri perempuan yang melarikannya. Wiro 

berusaha melihat wajah orang yang menolongnya itu tapi 

tak berhasil. 

“Kuharap saja tuan penolongku ini bukan seorang 

nenek sakti berwajah menyeramkan,” kata Wiro dalam 

hati. “Bau tubuhnya harum semerbak. Ilmu larinya tinggi 

sekali. Dia memiliki tenaga luar biasa. Siapa perempuan ini 

sebenarnya?” Wiro coba mengingat-ingat. “Mungkin 

Pandansuri, anak angkat mendiang Raja Rencong Dari 

Utara? Tak mungkin dia berada sejauh ini sampai ke tanah 

Jawa. Barangkali Anggini, murid Dewa Tuak...” Wiro 

berusaha memutar kepalanya agar dapat melihat wajah 

perempuan yang memanggulnya. Tapi masih susah. 

“Anggini selalu mengenakan pakaian ungu. Agaknya bukan 

dia. Astaga! Jangan-jangan Dewi Bunga Mayat!” Wiro 

kembali mengingat lebih dalam. “Ah, bukan dia. Dewi 

Bunga Mayat selalu berkebaya putih dan mengenakan kain 

panjang. Tubuhnya menebar harum bunga kenanga. Yang 

mendukungku ini memiliki wewangian semerbak yang tak 

pernah aku baui sebelumnya. Tapi, rasa-rasanya...” 

Selagi berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba Wiro merasakan 

orang yang memanggulnya menghentikan larinya. Lalu 

perlahan-lahan tubuhnya diturunkan, dibaringkan di atas 

tanah. Wiro tidak perdulikan di mana dia berada. Yang 

dilakukannya saat itu adalah segera melihat wajah orang di 

sampingnya itu. Hati sang pendekar jadi berdebar. Kedua 

matanya membesar dan mulutnya berdecak melihat bahwa 

orang yang menolongnya ternyata seorang gadis muda 

berwajah cantik. Dia mengenakan baju ringkas warna biru. 

Seperti mendapat kekuatan Wiro bangkit dan duduk di 

tanah. Karena si gadis bersimpuh di sebelahnya maka 

tubuh dan wajah mereka berada begitu dekat. Sepasang 

mata bening sang dara memandang tak berkedip padanya. 

“Gadis cantik tuan penolong. Aku tidak tahu harus 

berterima kasih bagaimana. Kalau aku boleh tahu siapa 

kau ini adanya?” 

Gadis di samping Wiro tersenyum mendengar ucapan 

itu. 

“Tolong menolong adalah satu keharusan dalam dunia 

persilatan. Memberitahu siapa diriku bukan satu keha–

rusan,” berkata sang dara. 

Wiro tertawa lebar. “Ah, bagaimana aku akan meng–

ingat budi orang. Kalau namanya saja aku tidak tahu... Dan 

aku bukan cuma berhutang budi. Tapi nyawa. Kau telah 

menyelamatkan diriku dari nenek bermulut sumbing itu.” 

“Sudah, hal itu tidak perlu diingat-ingat lagi. Yang 

penting sekarang kau sudah selamat. Dan aku harus 

segera meninggalkan tempat ini.” 

Wiro memandang berkeliling. Ternyata dia dan gadis 

penolongnya itu berada di puncak sebuah bukit kecil. 

Ketika dilihatnya si gadis hendak berdiri, cepat Wiro 

memegang tangannya. Untuk sesaat lamanya kedua orang 

ini saling berpandangan. 

“Sahabatku yang cantik. Sebelum pergi beritahu siapa 

namamu. Dan katakan apa yang harus kulakukan untuk 

membalas kebaikanmu.” 

Gadis itu masih menatap Wiro beberapa jurus lamanya 

lalu berkata. “Aku bisa memberikan seribu nama padamu.” 

“Kalau begitu sebutkanlah. Siapa tahu aku bisa meng–

hafalnya,” jawab Wiro sambil menahan tawa.

“Kau cerdik dalam kelucuanmu Pendekar 212!” 

“Eh, dia tahu siapa diriku!” membatin Wiro. 

“Namaku Kemala. Panggil aku dengan nama itu.” 

“Namamu indah, wajahmu cantik. Aku benar-benar 

seperti kedatangan bidadari.” Wiro lalu lepaskan pega–

ngannya pada tangan si gadis. “Terima kasih. Aku akan 

mengingat nama itu sepanjang zaman. Kalau saja aku bisa 

bertemu lagi kelak...” 

“Pendekar 212. Ada satu cara jika kau memang ingin 

membalas budi kebaikanku.” 

“Katakanlah.” 

“Temui seorang gadis bernama Ratih Kiranasari. Dia 

menyukaimu. Bukan cuma suka tapi juga cinta. Bawa dia 

ke mana kau pergi. Ambil dia jadi istrimu...” 

Murid Eyang Sinto Gendeng jadi melengak. Perlahan-

lahan dia bangkit berdiri. Gadis bernama Kemala juga 

berdiri. Keduanya berdiri berhadap-hadapan. 

“Permintaanmu terlalu berat. Tidak mungkin kupenuhi. 

Bagaimana kau bisa tahu...” 

“Kabulkan saja harapanku. Sekarang aku harus pergi,” 

kata sang dara. 

“Tunggu!” ujar Wiro. “Aku bisa memenuhi permintaan–

mu menemui puteri Perwira Tinggi itu. Tapi aku tak mung–

kin membawanya ke mana aku pergi. Apa lagi mengambil–

nya jadi istri. Orang gelandangan macam aku ini...” 

Gadis di hadapan Wiro maju selangkah. “Kalau dengan 

aku, kau mau...?!” Wiro jadi salah tingkah dan garuk-garuk 

kepala. Dia tak bisa menjawab. Jantungnya berdetak keras 

membuat debaran pada dadanya. 

Kemala berdiri sangat dekat di hadapannya. Dia dapat 

merasakan hembusan nafas gadis cantik itu. Si gadis 

berjingkat. Tubuhnya kini hampir sama tinggi dengan 

Pendekar 212. Kedua tangannya digelungkan di belakang 

leher Wiro. Kepalanya diangkat. Sesaat kemudian bibirnya 

menempel di permukaan bibir Wiro. Ketika sang pendekar 

memberikan reaksi, Kemala mengecup bibir pemuda itu 

penuh nafsu. Wiro siap merangkul dan balas melumat bibir

yang membara itu. Namun dia hanya merangkul angin. 

Kemala secara luar biasa cepatnya berkelebat pergi. Di 

satu tempat dia berhenti lalu mengusap wajahnya dua kali. 

Setelah itu dia pun lenyap dari tempat itu. 

Di atas puncak bukit itu kini hanya Pendekar 212 

seorang diri tenggelam dalam kegelapan malam. 

Wiro termangu sambil garuk-garuk kepala. “Ilmunya luar 

biasa. Kecupannya membuat aku seperti mau gila. Gadis 

aneh. Muncul menolong secara aneh. Perginya juga aneh. 

Sebelum pergi meninggalkan pesan aneh! Gila! Bagaimana 

aku harus kawin dengan puteri Perwira Tinggi itu? Ayahnya 

saja benci setengah mati padaku. Ingin membunuhku! Ah! 

Bagaimana ini! Daripada kawin biar aku menanggung dosa 

mungkir janji! Melanggar pesan orang! Kalau dengan dia 

sih... ah!” Wiro tidak meneruskan ucapannya. 

*** 

Tepat tigapuluh hari berlalu sejak kematian mengerikan 

menimpa diri Sarti dan Nandang di Desa Gedangan, pagi 

hari itu Kotaraja digemparkan oleh peristiwa pembunuhan 

yang bentuk serta keadaannya sama dengan yang dialami 

Sarti dan Nandang serta Randu Wulung dan Rumini. Kor–

ban kali ini adalah puteri sulung seorang bangsawan yang 

baru melangsungkan perkawinan selama tiga bulan di 

mana sang isteri berada dalam keadaan hamil muda. 

Keduanya ditemukan telah jadi mayat dalam kamar tidur. 

Sekujur muka serta badan luka dicabik-cabik mengerikan. 

Perwira Tinggi Gandar Seto didampingi oleh Iblis 

Sumbing Pembawa Pendupa Maut serta si Bayangan Api 

pagi itu juga segera menemui Patih Kerajaan. Tangan 

kanannya yang patah tampak dibalut dan masih belum 

begitu sembuh. 

Tanpa banyak basa basi dan peradatan segala, Perwira 

Tinggi itu langsung saja bicara menyangkut masalah besar 

yang telah menggemparkan Kotaraja itu. 

“Paman Patih, ini adalah kali yang ketiga sepasang

orang yang sedang berkasih-kasihan menemui ajal. Dibu–

nuh secara keji dan kejam. Saya meminta izinmu untuk 

melakukan sesuatu...!” 

Patih kerajaan mengusap janggut putihnya. “Apa yang 

hendak kau lakukan Dimas Gandar?” 

“Saya akan memperbanyak menyebar mata-mata di 

seluruh negeri. Si pembunuh harus segera dibekuk batang 

lehernya! Kalau tidak pasti korban-korban berikutnya akan 

segera menjadi mangsa si pembunuh biadab itu!” 

Patih kerajaan mengangguk. “Aku setuju sekali mak–

sudmu itu Dimas Gandar. Kalau aku tidak salah ingat, 

bukankah kau pernah mengatakan bahwa kau sudah tahu 

siapa orangnya. Yaitu seorang pendekar sesat bernama 

Wiro Sableng bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 

212? Bukti perbuatan jahatnya masih tampak pada tangan 

kananmu yang cidera.” 

Paras Perwira Tinggi Gandar Seto tampak menjadi 

kemerahan. 

“Betul sekali Paman Patih. Pencarian atas dirinya tetap 

kami lakukan... Hanya saja saya mulai merasa adanya 

sedikit keraguan. Jangan-jangan bukan dia pelakunya.” 

“Semua urusan kuserahkan padamu Dimas Gandar. 

Kalaupun bukan dia orangnya, apakah kau tidak bermak–

sud menangkap pemuda itu? Bagaimanapun juga dia telah 

mencelakaimu. Dan pernah menculik puterimu.” 

Gandar Seto terdiam. 

“Bagaimana keadaan puterimu sekarang Dimas Gan–

dar?” Patih kerajaan mengalihkan pembicaraan setelah 

melihat sang perwira seperti tertekan tidak enak. 

“Ratih Kiranasari ada dalam keadaan baik-baik saja 

Paman Patih. Terima kasih atas perhatianmu.” 

Patih tua itu mengangguk. Dia memandang pada dua 

orang yang ikut menemani bawahannya itu lalu berkata. 

“Kulihat kau membawa serta dua orang sahabat berke–

pandaian tinggi yang bisa diandalkan. Lalu apa sulitnya 

menangkap si pembunuh biadab dan mencari Pendekar 

212 Wiro Sableng?”

Karena Gandar Seto tak bisa menjawab maka si 

Bayangan Api lalu membuka mulut. “Seperti Paman Patih 

ketahui kami bertiga pernah menjebaknya di Candi Blorok. 

Tapi kita lihat saja hasilnya. Pendekar 212 bukan seorang 

pendekar tingkat bawah. Kami memang berniat untuk 

memburunya sampai kapan pun. Namun sekali ini kami 

tidak saja harus mengandalkan kepandaian tapi juga 

kecerdikan. Apalagi tiga kali pembunuhan itu kami rasa 

ada sisi keanehannya di balik kekejaman dan kekejian 

nyata yang kita lihat.” 

“Hem... aneh bagaimana maksudmu?” tanya Patih 

Kerajaan, 

“Tiga kali pembunuhan terjadi atas diri lelaki perem–

puan yang merupakan pasangan saling berkasih sayang, 

walau satu pasang yaitu Nandang dan Sarti merupakan 

pasangan sesat memalukan. Lalu hal lain yang kami per–

hatikan, ketiga pembunuhan itu terjadi pada setiap bulan 

purnama. Selanjutnya kematian mereka dalam cara yang 

sama yaitu mati seperti dicabik-cabik binatang buas. 

Menurut beberapa orang yang mengetahui, menjelang saat 

terjadinya peristiwa mengerikan itu terdengar seperti suara 

lolongan anjing! Hal lain, Den Ayu Ratih, puteri Perwira 

Tinggi Gandar Seto mengatakan pernah melihat seekor 

srigala berkeliaran di Hutan Jati Mundu. Bukan mustahil 

binatang ini pembunuhnya. Tapi dia tidak seorang diri. 

Pasti ada yang memelihara dan memerintahkannya. Kami 

bertiga tadinya yakin Pendekar 212 yang memelihara 

binatang buas itu. Namun seperti tadi yang dikatakan 

Perwira Tinggi Gandar Seto, kami mulai merasa ragu. Apa 

benar dia terlibat dalam semua pembunuhan itu atau 

tidak.” 

“Segala keanehan akan tetap terpendam aneh. Semua 

hal yang bersifat rahasia akan tetap tidak terungkap jika 

kita tidak memecah dan mengungkapkannya. Oleh karena 

itu sekali lagi aku katakan, kalian bertiga aku tugaskan 

untuk menyingkap keanehan dan misteri ini, menangkap 

pelakunya. Entah dia itu seekor binatang buas, seorang

manusia atau punsetan iblis! Jika kalian merasa masih 

kurang kuat, aku bersedia menghimpun beberapa orang 

pandai lagi untuk membantu...” 

“Terima kasih atas petunjuk Paman Patih,” kata Gandar 

Seto pula. “Biarlah kami bertiga dulu meneruskan pengu–

sutan. Bilamana dirasakan perlu akan tenaga tambahan 

kami tentu akan memberitahu Paman Patih. Sekarang 

kami bertiga mohon diri...” 

Patih Kerajaan berdiri dari kursinya lalu mengantarkan 

ketiga orang itu sampai ke pintu.



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 10

MALAM sebelum pagi yang menggemparkan itu. 

Seorang berpakaian biru gelap berlari kencang dari 

jurusan timur. Dari rambutnya yang riap-riapan 

jelas dia adalah seorang perempuan. Hampir dia sampai ke 

pinggiran Kotaraja di kawasan timur itu tiba-tiba perempu–

an ini hentikan larinya. Cahaya rembulan tiga belas hari 

menimpa kepala dan tubuhnya. Ternyata perempuan ini 

adalah seorang gadis muda berwajah cantik jelita. 

Si gadis menoleh ke belakang. Lalu memandang berke–

liling. “Jelas tadi kurasa ada seseorang mengikuti. Tapi 

tahu-tahu dia lenyap seperti ditelan bumi. Biar kupancing.” 

Gadis itu melanjutkan larinya kembali. Sambil berlari 

dia memasang telinganya tajam-tajam. Sekitar duapuluh 

langkah berlari telinganya kembali menangkap ada sese–

orang membayang-bayanginya dari belakang. Di satu 

tempat kembali gadis ini hentikan larinya lalu membalik 

dan hantamkan tangan kanannya ke jurusan di mana dia 

merasa pasti beradanya orang yang mengikutinya. 

Wuuuttt! 

Angin pukulan yang deras bersiuran di kegelapan 

malam. 

Braaak! 

Sebatang pohon waru kecil patah dan tumbang dengan 

suara berisik. Hanya itu yang terdengar lalu sepi lagi. Tak 

ada suara orang menjerit atau mengeluh kesakitan terkena 

pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi 

yang tadi dilepaskan si gadis. Dengan jengkel gadis itu 

memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanan. Tapi dia 

jadi melengak kaget ketika tiba-tiba di hadapannya ter–dengar suara menggemuruh seperti deburan ombak. Lalu 

entah dari mana asal muasalnya tahu-tahu di hadapan si 

gadis berdiri seorang pemuda berdestar hitam. Wajahnya 

tampan tapi kedua telinganya lancip mencuat ke atas serta 

berbulu seperti telinga seekor anjing hutan atau srigala. 

Sepasang bola matanya bercahaya biru dalam kegelapan 

malam. Sesaat si gadis tampak tercekat. Namun dia 

segera dapat menguasai dirinya. Dalam hati dia membatin. 

“Seperti perjanjian yang dikatakan Eyang Srigala Karang 

ternyata dia memang datang... Bagaimana aku menolak–

nya...” 

“Gadis bernama Kemala. Kau pernah melihat diriku. 

Apa kau masih mengenali...?” 

“Aku mengenali,” jawab si gadis yang ternyata Kemala 

adanya. 

“Katakan siapa diriku!” Pemuda bertelinga srigala dan 

bermata biru memerintah. 

“Kau Datuk Putra. Pendatang dari dunia gelap. Pengu–

asa rimba belantara alam gaib hitam...” 

“Bagus! Kau ternyata tidak lupa siapa diriku. Tapi 

apakah kau juga ingat perjanjian yang kau buat dengan 

Eyang Srigala Karang?” 

Kemala terdiam. 

“Jawab pertanyaanku Kemala!” 

“Sebetulnya aku tidak punya perjanjian apa-apa dengan 

orang tua itu. Tapi dia memang mengatakan sesuatu 

tentang dirimu. Bahwa kau kelak akan muncul kalau aku 

sudah melakukan tiga kali pembunuhan...” 

“Memang betul begitu. Tapi apa kau juga ingat apa 

yang harus kau lakukan untukku?” 

Kembali Kemala tak bisa menjawab. 

Pemuda bermata biru yang disebut dengan nama Datuk 

Putra tersenyum. “Perjanjian yang kau buat dengan Eyang 

Srigala Karang mengikat dirimu dengan diriku. Sekarang 

ikuti aku...” katanya. Lalu membalikkan diri dan melangkah 

pergi. 

Kemala memperhatikan.Gadis ini terkejut ketika dia melihat bahwa Datuk Putra 

bukan melangkah di rimba belantara atau di satu kawasan 

tepi Kotaraja yang penuh semak belukar. Tapi pemuda 

bermata biru itu dilihatnya melangkah menaiki tangga 

panjang yang berlapiskan permadani biru indah sekali. Di 

kiri kanan jalan berderet bunga-bunga aneka warna yang 

menyebar bau harum semerbak. Datuk Putra melangkah 

perlahan, menaiki anak tangga satu demi satu. Di depan 

sana kelihatan sebuah bangunan besar berbentuk istana, 

terang benderang bermandikan cahaya putih kebiruan, 

hijau dan merah lembayung. 

Kemala mengedipkan kedua matanya berulang kali. 

Bahkan kemudian mengusapnya. Apa yang dilihatnya 

memang satu kenyataan. Dia tidak bermimpi. Dan entah 

apa yang mendorongnya, gadis ini menggerakkan kedua 

kakinya. Selangkah demi selangkah mengikuti Datuk Putra 

menaiki tangga menuju pirttu yang terbuka dari bangunan 

berbentuk istana. 

Di depan pintu Datuk Putra tampak menghentikan 

langkahnya lalu memutar tubuh, berpaling ke arah Kemala 

yang saat itu baru saja menjejakkan kedua kakinya di anak 

tangga teratas. 

“Kekasihku, masuklah...” terdengar Datuk Putra berka–

ta sambil membuat gerakan tangan yang mempersilahkan 

Kemala masuk ke dalam istana. 

Otak si gadis walaupun sangat terpukau dengan suasa–

na sekelilingnya tapi masih bisa bekerja baik. “Kekasih–

ku...? Dia memanggil aku kekasih...? Apa sebenarnya yang 

hendak dilakukannya padaku?” Lalu kembali Kemala ingat 

akan ucapan Eyang Srigala Karang beberapa bulan lalu. 

“Setiap setelah tiga kali melakukan pembunuhan pada tiga 

malam purnama, seorang pemuda yang memiliki sepasang 

telinga panjang ke atas seperti srigala akan muncul di 

kamar tidurmu. Kau harus melayani pemuda ini, memenu–

hi apa yang dimintanya termasuk bermesraan dengan–

nya... kau tak boleh menolak. Tak layak membantah. Itu 

syarat yang tidak bisa dirobah!”“Masuklah...” Datuk Putra kembali mempersilahkan 

seraya membungkuk dengan sikap hormat seorang 

pangeran mempersilahkan tuan puteri. Perlahan-lahan 

Kemala melangkah memasuki pintu besar istana. Datuk 

Putra mengikutinya dari belakang. Ruangan besar di balik 

pintu itu ternyata adalah sebuah kamar yang luar biasa 

indahnya. Di lantai terhampar permadani tebal dan lembut. 

Di dinding tirai aneka warna menghias. Di tengah ruangan 

terletak sebuah tempat tidur yang rangka-rangkanya 

berwarna kuning berkilauan seolah terbuat dari emas. Bau 

ruangan itu benar-benar luar biasa harumnya. 

“Kau harus melayani pemuda ini, memenuhi apa yang 

dimintanya termasuk bermesraan dengannya...” Kembali 

terngiang suara Eyang Srigala Karang di kedua telinga 

Kemala. Bulu kuduk gadis ini jadi merinding. Dia memba–

likkan diri hendak menuju ke pintu dan segera mening–

galkan tempat itu. Namun tiba-tiba saja dua daun pintu 

besar itu bergerak dan menutup dengan cepat, menimbul–

kan suara keras. 

“Kemala, tak ada yang perlu ditakutkan. Menurut 

perjanjian seharusnya aku datang ke kamar tidurmu. 

Tetapi sekarang kita malah berada di suatu tempat yang 

maha indah. Mengapa harus takut? Jangan sia-siakan 

waktu. Kita punya kesempatan bersenang-senang sampai 

sebelum matahari terbit.” 

“Datuk Putra, apa yang hendak kau lakukan?” 

“Ah, merdu sekali suaramu menyebut namaku.” kata 

pemuda bertelinga srigala dan bermata biru itu. “Kita ke–

mari dan berada di tempat ini untuk memenuhi perjanjian. 

Nah mendekatlah padaku agar kita bisa bermesraan...” 

“Aku tidak sudi...” kata Kemala seraya melangkah 

mundur mendekati pintu. 

Datuk Putra tersenyum. Kedua tangannya bergerak 

menanggalkan kancing-kancing pakaiannya. Dia menatap 

pada Kemala dengan pandangan mesra lalu berkata. 

“Kekasihku, ikuti apa yang aku lakukan. Buka pakaianmu.” 

“Tidak...!” jawab Kemala. Di hadapannya dilihatnyaDatuk Putra benar-benar membuka seluruh pakaiannya. 

Sesaat kemudian selagi dia berada dalam keadaan takut 

dan jijik menyaksikan pemandangan di depannya, tiba-tiba 

Datuk Putra melompat ke arahnya. Dari tenggorokkannya 

terdengar suara menggembor seperti suara srigala. Sekali 

terkam saja tubuh Kemala sudah berada dalam pelukan–

nya. 

“Tidak! Lepaskan!” teriak si gadis. Kedua tangan Datuk 

Putra bergerak. Kemala menjerit. Entah bagaimana kedua 

tangan pemuda itu tahu-tahu berhasil menanggalkan 

pakaian atasnya hingga Kemala kini berada dalam keada–

an polos di sebelah atas. Sepasang tangan Datuk Putra kini 

bergerak ke bawah. Saat itu rasa takut Kemala berubah 

menjadi amarah. Gadis ini gerakkan tubuhnya. Dua 

tangannya ikut bekerja. 

Tubuh Datuk Putra tiba-tiba mental ke atas. Selagi 

tubuh pemuda ini mengapung jatuh, Kemala gerakkan 

tangan kanannya. Serangkum angin menderu dahsyat 

menghantam ke arah dada Datuk Putra. Pemuda bermata 

biru ini membuat gerakan jungkir balik di udara. Lalu 

tubuhnya melesat ke kiri. Sekali lagi tubuhnya berputar lalu 

di lain kejap pemuda ini sudah tegak di sudut kamar yang 

luas itu. Dia berpaling ke atas ketika terdengar suara ber–

gemuruh. Pukulan tangan kosong yang dilepaskan Kemala 

menghantam tembok ruangan sebelah atas kiri hingga 

hancur berantakan dan kini kelihatan sebuah lobang di 

dinding itu. 

“Kekasihku, tidak kusangka kau mempunyai ilmu 

kepandaian begitu tinggi. Tentunya akan lebih sedap 

bermesraan dengan orang secantik dan sepandaimu ini...” 

Sambil berkata begitu Datuk Putra melangkah mende–

kati Kemala. Wajahnya tampak begitu mesra. Tapi begitu 

dia hanya satu langkah saja lagi dari hadapan si gadis tiba-

tiba dari mulutnya keluar suara lolongan dahsyat. Bersa–

maan dengan itu luar biasa cepatnya tangan kanannya 

melesat menghantam ke batok kepala Kemala! 

“Manusia ingkar janji! Pecah kepalamu!” bentak DatukPutra. 

Suara lolongan yang dahsyat membuat Kemala sesaat 

jadi tercekat. Untung gadis ini cepat menguasai diri dan 

sadar bahaya maut yang mengancam. Dengan cepat 

tangan kirinya dipukulkan melintang ke atas. 

Bukkk! 

Dua lengan saling beradu sampai menimbulkan suara 

keras. Kemala merasakan lengan kirinya seperti dipukul 

dengan besi. Sesaat tubuhnya tergontai-gontai. Sebaliknya 

Datuk Putra tampak menyeringai. Tubuh atau lengannya 

tidak bergeming sedikit pun. Namun tiba-tiba seringainya 

lenyap seperti direnggut setan. Lengan kanannya yang tadi 

beradu keras dengan lengan kiri Kemala tiba-tiba terasa 

panas seperti disengat bara api. Sengatan ini menjalar ke 

seluruh tubuhnya dengan cepat, membuat getaran yang 

menyakitkan laksana disayat pisau berapi. Datuk Putra 

cepat kerahkan tenaga dalam untuk melindungi diri dan 

menumpas rasa sakit. Namun baru saja dia hampir berha–

sil menguasai diri tiba-tiba tinju kanan Kemala menderu 

menghantam lambungnya. 

Datuk Putra menjerit keras. Tubuhnya terlontar ke 

belakang, menghantam dinding ruangan dengan keras. 

“Gadis iblis!” desis Datuk Putra seraya bangkit berdiri. 

“Kau bukan saja mengingkari janji, tapi berani berbuat 

kurang ajar. Melakukan kesalahan besar!” Datuk Putra 

melolong keras. Kedua tangannya diangkat ke atas. Ter–

nyata kedua tangan itu telah berubah menjadi dua kaki 

depan srigala. Kuku-kukunya mencuat keluar mengerikan. 

“Kau akan mati dengan tubuh tercabik-cabik. Seperti 

kau membunuh korban-korbanmu!” Sekali lagi Datuk Putra 

melolong. Wajahnya yang tampan mendadak berubah 

menjadi seperti seekor srigala. Mulutnya membuka lebar. 

Lidahnya terjulur dan gigi-giginya tampak besar runcing, 

taringnya mencuat mengerikan. 

“Makhluk iblis! Kau kira aku takut padamu!” hardik 

Kemala. Begitu Datuk Putra yang kepala dan kakinya telah 

berubah jadi srigala itu mengembor dan menerkamnya, si

gadis angkat kedua tangannya ke atas lalu serentak dido–

rongkan ke depan. 

Wuttt! Wuuuttt! 

Dua larik gelombang angin yang mengeluarkan sinar 

hitam keluar dari telapak tangan Kemala kiri kanan. Tubuh 

Datuk Putra terangkat ke atas begitu dua larik cahaya 

hitam itu menghantam tubuhnya. Dari mulutnya keluar 

suara raungan keras lalu tampak ada cairan merah meng–

alir dari sela-sela lidah dan giginya! Makhluk manusia 

berkepala srigala ini jatuh terkapar di lantai. Hanya sesaat 

karena di lain kejap dia cepat berdiri. Kepala dan kedua 

tangannya kembali ke bentuk semula. 

“Gadis laknat! Aku tidak main-main lagi. Serahkan 

dirimu atau kau mati saat ini juga!” berkata Datuk Putra. 

Daun telinganya yang seperti srigala bergerak-gerak. 

“Aku mau lihat apa kau benar-benar bisa membunuh–

ku!” jawab Kemala lalu gadis ini tertawa panjang. Mukanya 

yang cantik membersitkan sinar bengis. 

“Kalau begitu terimalah kematianmu saat ini juga!” kata 

Datuk Putra. Kedua matanya yang biru memandang tak 

berkedip. Ditujukan tepat-tepat pada Kemala. Tiba-tiba 

cahaya biru pada kedua bola matanya menjadi terang 

benderang. Di lain saat dua larik sinar biru keluar menderu 

dari sepasang mata pemuda dari alam gaib itu. 

Wusss! 

Wusss! 

Kemala sempat terpekik. Lalu cepat menghindar. 

Dua larik sinar biru menderu dan menghantam Kemala. 

Masih setengah jalan gadis ini sudah dapat merasakan 

hawa sangat panas yang keluar dari kedua sinar angker itu. 

Didahului oleh satu bentakan garang tubuh Kemala 

terangkat ke atas lalu seperti melayang tubuh ini berkele–

bat ke kiri. Dua larik sinar dahsyat menderu lewat di sam–

ping kepala si gadis, terus menghantam dinding ruangan 

besar. Kain tirai menjadi hangus dan api mulai berkobar di 

ruangan itu. Di belakang kain tirai, dinding ruangan hancur 

berkeping-keping.

“Kepandaianmu tinggi, ilmumu bagus!” memuji Kemala. 

“Sayang kau kurang cepat!” Lalu gadis ini balas menghan–

tam dengan tangan kanannya. Serangkum cahaya hitam 

yang membersitkan bau menggidikkan menderu meng–

hantam Datuk Putra. Pemuda ini terbanting ke dinding. 

Tubuhnya sebelah kanan jelas tampak hangus, namun tak 

ada bau daging terbakar pertanda dia memang bukan 

makhluk manusia adanya! Tiba-tiba dia menggerang lalu 

berdiri sambil memandang beringas ke arah Kemala. 

“Kau kira aku sudah kalah? Kau kira kau bisa membu–

nuh diriku? Ha... ha... ha... Nyawamu ada di tanganku 

Kemala!” Selangkah demi selangkah Datuk Putra maju 

mendekati Kemala. 

“Makhluk iblis keparat!” maki Kemala dalam hati. Lalu 

dia berbisik. “Datuk, Datuk, Datuk datanglah cepat. Kau 

kutugaskan untuk membunuh makhluk ini!” 

Tiba-tiba ada suara menggelegar di atas atap bangu–

nan. Menyusul menerobosnya satu sosok panjang ber–

warna coklat. Sesaat kemudian seekor srigala besar yang 

kuku-kuku kaki depan dan mulutnya berselemotan darah 

mendekam di samping Kemala. Sepasang matanya 

mengeluarkan sinar merah laksana bara api. 

“Datuk, bunuh makhluk di depanmu! Cabik-cabik 

tubuhnya!” 

Srigala yang dipanggil dengan nama Datuk itu mengge–

reng keras. Punggungnya naik ke atas. Kedua kakinya 

dijulurkan ke depan sedang kepalanya merunduk. Binatang 

ini siap menerkam Datuk Putra. 

Melihat hal ini Datuk Putra cepat membentak. 

“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaan Eyang Srigala 

Karang. Orang tua itu berada dalam kekuasaanku! Kau 

haras tunduk padaku! Jangan dengar perintah gadis 

keparat itu!” 

Datuk Srigala menggereng. Binatang dari alam gaib ini 

tampak seperti bimbang. Melihat hal ini Kemala cepat 

berkata. 

“Datuk! Kau berada di bawah kekuasaanku! Tidak ada

yang berhak memerintahmu selain aku! Jalankan apa yang 

aku katakan! Bunuh Datuk Putra!” 

Mendengar ini Sang Datuk kembali keluarkan suara 

menggereng. Lalu melolong panjang. Sesaat kemudian 

tubuhnya melompat ke arah Datuk Putra. 

“Datuk! Jangan! Pergi! Bunuh gadis itu!” teriak Datuk 

Putra. Tapi tak ada gunanya. Datuk srigala tidak patuh 

padanya. Sesuai perintah Kemala binatang jejadian itu 

mulai mencabik dan mengoyak Datuk Putra mulai dari 

kepala sampai ke kaki. Hanya dalam waktu beberapa 

kejapan saja tubuh pemuda itu sudah hancur luluh dikoyak 

dan dicabik Datuk srigala. Satu keanehan dilihat Kemala. 

Walau tubuh Datuk Putra cabik dan koyak, namun tidak 

ada setetes darah pun keluar dari luka-luka mengerikan di 

tubuhnya itu! 

Dari mulut Datuk Putra terdengar suara seperti air 

mendidih lalu bersamaan dengan lenyapnya suara itu 

terlihat kepulan asap membungkus sosoknya. Setelah itu 

tubuh yang dibungkus asap itu terangkat ke atas, melayang 

di udara dan lenyap lewat dinding kamar yang jebol. 

Bersamaan dengan lenyapnya tubuh Datuk Putra terjadi 

lagi satu keanehan. Bangunan besar berupa istana megah 

itu tiba-tiba saja lenyap. Kemala dapatkan dirinya berada di 

satu daerah liar penuh semak belukar di kawasan timur 

Kotaraja. 

“Eh, aku berada di tempat sebelumnya aku tadi ber–

ada...” kata gadis itu dalam hati. Dia menoleh ke samping 

ketika mendengar suara gerengan halus. Dilihatnya Datuk 

Srigala mendekam di tanah di sampingnya. Kemala meng–

usap kepala binatang ini. “Datuk, kini tak ada lagi yang 

menguasai kita. Kotaraja berada dalam genggaman kita. 

Kerajaan berada dalam kekuasaan kita. Bahkan tanah 

Jawa ini! Kita bisa berbuat sesuka apa yang kita maui. Aku 

bisa mendapatkan pemuda mana saja yang aku sukai. 

Namun... Kau tahu Datuk, hanya ada satu pemuda yang 

mengikat lubuk hatiku... Di manakah dia berada saat 

ini...?” Kemala terdiam sejurus.

Datuk Srigala melunjurkan kepalanya di atas kedua 

kaki depannya lalu menggereng halus. Kemala kembali 

mengusap kepala binatang ini. “Kau boleh pergi sekarang 

Datuk. Ingat, besok malam bulan purnama hari empat 

belas kau akan kupanggil lagi. Korban kita sekali ini bukan 

manusia sembarangan. Seorang pangeran yang main gila 

dengan istri seorang perajurit!” 

Datuk Srigala kedip-kedipkan matanya. Perlahan-lahan 

dia bangkit berdiri, lalu sekali berkelebat binatang ini pun 

lenyap di kegelapan malam.



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 11

GEDUNG kediaman Perwira Tinggi Gandar Seto 

diselimuti kegelapan dan kesunyian. Di pintu 

gerbang memang ada tiga orang pengawal berjaga-

jaga. Namun sikap mereka santai-santai saja dan sesekali 

terdengar suara gelak tawa ketiganya. Dengan mudah Wiro 

melompati tembok sam–ping yang tidak seberapa tinggi. 

Begitu memasuki halaman dalam dia cepat menyelinap di 

antara pohon-pohon pisang, lalu bergerak mendekati 

sebuah jendela. Dia tahu betul ini adalah jendela kamar 

tidur Ratih Kiranasari. Sesaat Wiro hendak mengetuk 

jendela itu, tahu-tahu entah dari mana datangnya, muncul 

saja dua orang pengawal yang rupanya sedang melakukan 

perondaan. 

“Pencuri tengik! Berani kau hendak mencuri di rumah 

Perwira Tinggi Kerajaan?!” Salah seorang dari dua 

pengawal membentak. 

Kawannya tanpa banyak menunggu langsung meng–

hunjamkan ujung golok ke perut Wiro. “Jebol lambungmu 

pencuri tak tahu diuntung!” 

Murid Eyang Sinto Gendeng keluarkan suara siulan dari 

mulutnya. Tangannya kiri kanan bergerak. Saat itu juga dua 

pengawal merasakan tubuh mereka menjadi kaku. Sekujur 

badan tak kuasa digerakkan lagi. Mulutpun seperti terkunci 

tak mampu mengeluarkan suara lagi. Keduanya telah kena 

ditotok oleh sang pendekar. Wiro memandang kedua orang 

pengawal itu dengan tersenyum sambil meletakkan telun–

juk tangan kirinya di atas bibir. 

“Kalian berdua tenang-tenang saja di sini. Aku tak 

begitu suka diganggu.” kata Wiro pula lalu kembali mende–kati jendela. Sekali lagi dia hendak mengetuk, namun 

sekali lagi pula gerakannya tertahan. Dari samping ter–

dengar suara seseorang menegur. 

“Kalau Den Ayu Ratih Kiranasari yang kau cari, dia tidak 

ada dalam kamar itu...” 

Wiro berpaling. Yang menegur ternyata Tejo. Kusir tua 

itu berdiri di hadapannya. Wiro ingat akan perbuatan kusir 

tua ini beberapa waktu yang lalu hingga dia terjebak dan 

hampir tertangkap oleh Perwira Tinggi Gandar Seto kalau 

tidak ditolong oleh Kemala si gadis misterius. Mengingat 

hal itu ingin sekali Wiro menampar orang tua ini. 

“Sekali ini apakah kau bicara sungguhan Pak Tua? Kau 

menjebakku beberapa waktu lalu. Ingat?” 

“Saya bekerja mencari makan di sini, anak muda. Saya 

terpaksa melakukan hal itu karena diperintahkan oleh 

majikan saya Perwira Tinggi Gandar Seto...” 

“Apakah dia juga yang memerintahkan untuk mengata–

kan bahwa anak gadisnya tidak ada di kamarnya malam-

malam buta begini?” tanya Wiro. 

“Sekali ini saya tidak bicara dusta, anak muda. Di 

rumah hanya ada istri majikan saya saja seorang diri. Para 

pembantu sudah tidur di kamar masing-masing.” 

“Hem... sedang ke mana majikanmu Pak Tua?” 

“Saya tidak tahu ke mana. Tapi tadi begitu malam tiba 

saya lihat Perwira Tinggi Gandar Seto dijemput oleh bebe–

rapa orang. Dua di antara mereka adalah nenek berbibir 

sumbing dan kakek berkepala botak merah. Lalu ada 

seorang kakek tinggi kurus yang selalu mempermainkan 

sebuah bola besi yang ada rantainya dan bergerigi...” 

“Yang bermulut sumbing itu pastilah Iblis Sumbing 

Pembawa Pendupa Maut dan kakek botak niscaya si 

Bayangan Api.” 

“Saya tidak tahu jelas gelaran kedua orang itu. Namun 

saya rasa memang mereka.” 

“Ke mana orang-orang itu pergi?” tanya Wiro. 

“Saya tidak tahu pasti. Tapi saya mendengar mereka 

menyebut-nyebut nama seorang pangeran...”

“Pangeran? Pangeran mana? Pangeran siapa?” 

“Kalau saya tidak salah dengar mereka menyebut nama 

Pangeran Rono Kuworo. Mereka kemudian meninggalkan 

gedung ini, mengambil jalan ke arah barat.” 

“Lalu apakah Den Ayu Ratih Kiranasari juga ikut 

bersama rombongan orang-orang itu?” 

Kusir tua Tejo menggeleng. “Inilah yang saya tidak 

mengerti. Saya hanya melihat secara kebetulan. Ketika 

hendak keluar minta rokok pada pengawal, saya lihat Den 

Ayu Ratih melompat keluar dari jendela. Sebetulnya saya 

hendak menegur apa yang tengah dilakukannya. Tapi dia 

keburu berlalu. Jangan-jangan dia menyelinap keluar untuk 

mencarimu, anak muda...” 

Wiro jadi garuk-garuk kepala. “Apa yang harus kulaku–

kan sekarang? Ke mana harus mencari gadis itu?” pikir 

murid Sinto Gendeng dalam hati. Akhirnya ditinggalkannya 

tempat itu dan berlari menuju ke barat. 

*** 

Rumah kayu di tengah ladang itu diselimuti kegelapan. 

Cahaya bulan purnama empat belas hari yang cukup 

terang tidak mampu menerobos pohon beringin berdaun 

lebat yang tumbuh di sebelah rumah. 

Di tempat gelap, di balik serumpunan semak belukar 

empat orang mendekam tanpa bergerak tanpa bersuara. 

Setelah berada di tempat itu cukup lama, salah seorang 

dari mereka mulai resah dan bosan berdiam diri terus-

terusan. Dia berbisik, “Mungkin sekali orang yang kita 

tunggu tidak datang malam ini...” 

Orang di sebelahnya balas berbisik. “Aku yakin dia akan 

datang. Mungkin sebentar lagi. Soalnya seorang prajuritnya 

mendengar jelas pesan yang disampaikan lewat seorang 

temannya.” 

“Kita tunggu saja. Jika pembunuh keji itu memang 

masih gentayangan di sekitar sini, pasti dia akan muncul 

melakukan niat terkutuknya...”

“Berhenti berbicara. Aku mendengar suara kaki kuda 

mendatangi!” 

Orang-orang yang tadi bicara segera menutup mulut. 

Memang betul. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda 

mendatangi dari kejauhan. Tak lama kemudian di balik 

sebatang pohon cempedak hutan kelihatan muncul 

sesosok tubuh berpakaian hitam bersama kuda tunggang–

annya. Di bawah pohon orang ini berhenti sebentar. Keli–

hatannya dia seperti tengah memperhatikan suasana. 

Ketika dirasakannya semua serba aman, maka dia turun 

dari kuda lalu menuntun binatang itu ke arah rumah kayu. 

Di satu tempat dia menambatkan kudanya pada sebatang 

pohon kecil lalu melangkah ke bagian belakang rumah. 

Perlahan-lahan dia mengetuk pintu belakang. 

“Pangeran...?” 

Dari dalam rumah terdengar suara perempuan perlahan 

sekali. 

“Betul. Lekas bukakan pintu...” 

“Tunggu, saya akan nyalakan lampu minyak dulu.” 

“Jangan bodoh. Jangan nyalakan lampu. Buka saja 

pintunya,” kata lelaki di pintu belakang. 

Pintupun kemudian terbuka. Lelaki tadi menyelinap 

lenyap ke dalam rumah. 

“Gelap sekali Pangeran, bukankah lebih baik menya–

lakan lampu minyak?” Parempuan di dalam rumah mem–

buka mulut. 

“Sebenarnya aku tidak suka ada penerangan di dalam 

sini. Tapi baiklah. Aku sudah lama tidak melihat kecantikan 

parasmu dan keindahan tubuhmu...” 

Lalu sebuah lampu minyak dinyalakan. Sinarnya kecil 

dan redup sekali. Tetapi orang yang dipanggil dengan 

sebutan pangeran sudah dapat melihat jelas perempuan di 

hadapannya. Langsung saja dia memeluk dan menciumi 

perempuan itu. 

“Aku hampir gila tidak melihatmu sekian lama. Banyak 

sekali pekerjaanku di Kotaraja...” 

“Bagaimana dengan suami saya, Pangeran?”

“Kau tak usah khawatir. Sesuai permintaanmu, usulan–

ku menaikkan pangkatnya jadi prajurit kepala telah dika–

bulkan Pimpinan Pasukan di Kotaraja...” 

“Saya mengucapkan terima kasih Pangeran. Saya 

sudah menyiapkan ranjang untuk kita berdua...” 

“Bagus. Kau seharusnya pantas menjadi selir seorang 

pangeran sepertiku. Bukan istri seorang prajurit...” 

“Tapi bukankah saya sudah bersedia untuk menjadi 

milik Pangeran selama-lamanya?” Perempuan itu mem–

bawa masuk lampu minyak ke dalam kamar. Lelaki tadi 

mengikutinya. Begitu masuk ke dalam kamar lelaki ini 

terus saja merebahkan diri di atas ranjang. Setelah me–

nyantelkan lampu minyak di dinding kamar perempuan itu 

berdiri di tepi ranjang, Satu demi satu dia menanggalkan 

pakaiannya. Terakhir sekali dia membuka gelungan sang–

gulnya hingga rambutnya yang panjang hitam tergerai lepas 

di depan dadanya. Melihat kepada raut wajah dan bentuk 

tubuh perempuan ini paling tinggi usianya sekitar duapuluh 

tahun dan belum pernah melahirkan. Sedang orang yang 

dipanggil dengan sebutan pangeran berusia hampir enam–

puluh. Rambut dan janggut serta kumisnya telah putih. 

“Mulailah Arini...” bisik pangeran itu seraya mengusap 

tubuh perempuan yang tegak di samping tempat tidur. 

Dari mulut perempuan bernama Arini tiba-tiba terde–

ngar suara nyanyian. Nyanyian itu terdengar merdu walau–

pun perlahan. Sambil menyanyi dia menggerakkan tangan, 

kaki dan pinggul dan sesekali dadanya seperti seorang 

penari. Kedua mata sang Pangeran terbuka lebar. Dia 

sudah berulang kali menyaksikan hal ini. Tapi dia tak 

pernah bosan dan inilah yang membuatnya selalu tergila-

gila pada perempuan muda istri seorang prajurit yang 

malam itu tengah menjalankan tugas di Kotaraja. Sambil 

mendengar suara nyanyian halus dan tarian yang memba–

kar darahnya itu, sang Pangeran mulai menanggalkan 

pakaiannya. 

Di luar rumah, di balik semak belukar. Terdengar suara 

rutuk perlahan. “Memang gila! Tidak kusangka Pangeran

Rono Kuworo begini mesum pekertinya. Isterinya sudah 

tiga. Gundiknya tidak terbilang. Masih saja dia menyem–

patkan diri menggauli isteri orang lain...” 

“Pangeran itu mungkin tidak salah...” jawab kawan di 

sebelahnya. 

“Tidak salah bagaimana maksudmu? Jelas dia melaku–

kan perbuatan kotor! Kau kira apa yang dikerjakannya 

malam-malam begini mendatangi perempuan itu?!” 

“Saya bilang Pangeran itu tidak salah. Yang salah 

adalah istri prajurit itu. Mengapa dia terlalu cantik dan 

menggiurkan begitu rupa...” 

“Sudahlah, kenapa bertengkar! Kalian kira kita ini ber–

ada di tempat apa?” Seorang di antara mereka menengahi. 

“Semua diam. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. 

Kuharap semua sesuai dengan rencana...” 

Baru saja orang yang satu ini berkata begitu tiba-tiba di 

kejauhan terdengar suara lolongan srigala, panjang meng–

gidikkan. Empat orang di balik semak belukar sempat 

tercekat. Salah seorang dari mereka berbisik. “Makhluk 

pembunuh itu tidak berapa jauh dari sini. Kita tunggu saja 

dan bersiaplah.” 

Di atas sebatang pohon tak jauh dari rumah kayu di 

mana Pangeran Rono Kuworo dan Arini tengah bergelung-

gelung di atas tempat tidur, tanpa setahu empat orang 

yang sembunyi di balik semak belukar, dalam kegelapan 

mendekam seorang berpakaian serba putih. Seperti empat 

orang yang ada di balik semak itu, diapun telah sempat 

menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana. Lalu dia 

mengambil sikap menunggu dan tersentak ketika telinga–

nya mendengar suara lolongan srigala di kejauhan. 

Di atas sebatang pohon lain, diam-diam mendekam 

pula sesosok tubuh gemuk luar biasa sambil mengipasi 

wajahnya yang selalu berkeringatan dengan sehelai kipas 

lipat dari kertas. Mulutnya tidak berhenti komat kamit 

menggeragot sebuah mangga hutan. Begitu mangga habis 

dimakannya kini tinggal bijinya. Sambil cengar cengir 

seorang diri di atas pohon, si gendut yang mengenakan

baju serta celana terbalik ini dan memakai sebuah peci 

hitam kupluk kebesaran di kepalanya memandang berke–

liling. Dia menimbang-nimbang apakah akan melemparkan 

biji mangga itu pada salah seorang yang bersembunyi di 

balik semak belukar di bawah sana atau pada pemuda 

berpakaian putih gondrong yang mendekam di atas pohon 

dekat rumah kayu. Si gendut ini akhirnya memilih orang 

yang di atas pohon. Tangannya yang memegang biji mang–

ga bergerak melempar. Gerak lemparannya seperti acuh 

tak acuh saja. Tapi begitu melesat biji mangga itu laksana 

terbang menderu ke arah sasaran. Orang di atas pohon 

terkejut dan mengeluh kesakitan ketika biji mangga meng–

hantam keningnya. Dia hendak menyumpah panjang 

pendek tapi cepat menutup mulutnya. Padahal empat 

orang itu di bawah sana sudah sempat mendengar 

keluhannya tadi. 

“Bangsat sialan! Siapa yang menyambit keningku!” 

Di bawah sana, di balik semak belukar empat orang 

yang bersembunyi saling pandang. “Aku mendengar suara 

seperti orang mengeluh kesakitan...” 

“Betul,” menyahuti kawan di sebelahnya. “Datangnya 

dari atas sana...” Dia lalu menunjuk ke atas pohon besar di 

belakangnya. 

“Diam semua! Tidak kalian dengar suara lolongan 

makhluk hantu dan derap kaki kuda yang semakin mende–

kat?!” ujar lelaki ke tiga yang memegang bola besi. 

Dalam kegelapan malam tiba-tiba terasa ada angin 

menderu. Sesaat kemudian dekat rumah kayu kelihatan 

dua sosok makhluk. Sinar bulan purnama tidak menyentuh 

sosok tubuh itu. Namun empat orang yang ada di balik 

semak belukar dan dua orang yang mendekam di atas 

pohon dapat melihat dengan jelas siapa adanya makhluk-

makhluk itu. 

“Lihat!” bisik salah seorang dari empat orang di balik 

semak-semak. Suaranya bergetar. 

“Astaga...” Menyahuti yang lain. “Aku belum buta. Aku 

mengenali sekali. Perempuan muda itu adalah orang yang


tempo hari menolong Pendekar 212 ketika hendak ku–

tabas batang lehernya! Jadi dia rupanya biang bahalanya...” 

“Dia membawa seekor srigala besar bermata seperti 

bara api. Mengerikan. Pasti binatang itu yang jadi suruhan–

nya dalam melakukan pembunuhan!” 

Di atas pohon orang berpakaian putih seperti tak per–

caya akan pemandangannya. 

“Kemala... Ah! Kalau tidak melihat sendiri tidak percaya 

aku! Dia datang bersama binatang itu. Dia pemilik srigala 

penyebar maut itu...?” 

Di bawah sana gadis yang tegak di samping srigala 

besar dengan mulut dan kaki depan penuh lumuran darah 

sesaat memandang berkeliling. Tidak seperti biasanya kali 

ini dia tiba-tiba saja merasa tidak enak. 

“Seperti ada makhluk-makhluk lain di sekitar sini...” 

Katanya dalam hati. Dia memandang lagi ke sekitarnya. 

Tak kelihatan apa atau siapapun. Lalu tangan kanannya 

mengusap kepala srigala itu. 

“Datuk, jalankan tugasmu. Bunuh kedua manusia 

mesum di dalam rumah itu!” 

Srigala besar itu menggereng. Kepalanya mendongak 

ke atas. Mulutnya terbuka dan lidahnya menjulur. Sepa–

sang matanya membersitkan sinar merahnya bara api yang 

angker sekali. Tiba-tiba binatang ini menggereng sekali lagi. 

Lebih keras. Lalu tubuhnya melesat ke depan. Dinding 

rumah yang terbuat dari kayu laksana sehelai kertas tipis 

saja. Hancur berantakan kena seruduknya. Sesaat kemu–

dian di dalam rumah terdengar pekik jerit Pangeran Rono 

Kuworo dan Arini mengerikan sekali. Lalu sunyi! 

Dari dinding rumah yang jebol kelihatan keluar srigala 

tadi. Moncong dan kedua kaki depannya kelihatan berlu–

mur darah mengerikan. Binatang ini berhenti di samping si 

gadis. 

“Bagus Datuk. Kau menjalankan tugasmu dengan baik. 

Sekarang mari kita tinggalkan tempat ini!” kata si gadis 

pula. 

Pada saat itulah empat orang yang bersembunyi di balik

semak belukar, kalau tadi mereka seolah terpukau oleh 

apa yang terjadi, kini mereka seperti disentakkan dan 

sama-sama melompat keluar! 

“Makhluk-makhluk iblis! Kali ini kalian tidak bisa lolos 

lagi!” Satu dari empat orang itu membentak. 

Srigala besar menggereng. Si gadis terkejut dan cepat 

memandang berkeliling. Empat orang telah mengurungnya. 

Tiga di antara mereka segera dikenalinya. Yang seorang 

yaitu kakek kurus tinggi yang memegang bola besi berantai 

tidak diketahuinya siapa adanya. 

“Tiga cecunguk tidak tahu diri! Pelajaranku tempo hari 

rupanya tidak membuat kalian kapok! Kalian berani 

muncul lagi, malah membawa seorang kawan!” 

Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut menggembor 

lalu berkata. “Perempuan durjana! Kau dan binatang 

peliharaanmu hanya bisa hidup sampai malam ini! Dosa 

kalian sudah lewat dari takaran! Cuma kematian satu-

satunya penebus dosa-dosamu!” 

Si gadis yaitu Kemala tertawa perlahan. “Nenek 

sumbing, bicarapun kau belum pandai, mau menghabisi 

kami pula. Tua bangka tidak tahu diri! Nanti kujejali lagi 

mulutmu dengan asap pendupaan yang kau bawa itu!” 

Lelaki yang tangannya diikat kain mendengus. Dia 

bukan lain adalah Perwira Tinggi Gandar Seto. “Iblis 

perempuan! Ajalmu tak lama lagi! Sebelum mampus lekas 

katakan mengapa kau membunuhi orang-orang itu?” 

“Ah, kau tentunya Perwira Tinggi Gandar Seto!” jawab 

Kemala. “Dengar Perwira. Aku memberi keampunan bagi 

jiwamu. Lekas tinggalkan tempat ini! Tiga kawanmu tak 

perlu kau perdulikan. Mereka memang layak mampus di 

tempat ini! Malam ini juga!” 

Dua orang di samping Gandar Seto tentu saja merasa 

tersinggung. Kakek-kakek yang memegang bola besi dan 

dikenal dengan julukan si Pelumat Jagat berbisik pada 

kakek botak di sebelahnya. “Bayangan Api, kucing betina 

itu sepertinya tidak memandang sebelah mata pada kita. 

Untung wajahnya cantik. Kalau dia bisa melayaniku barang

semalaman mungkin bisa kukurangi hukuman bagi 

dirinya...” 

Celakanya apa yang dikatakan kakek tinggi kurus itu 

terdengar oleh Kemala. Maka gadis ini pun melotot. 

“Tua bangka cabul! Kau sama saja dengan lelaki-lelaki 

lain! Sudah bau tanah masih saja hendak mengumbar 

nafsu! Kau layak mati pertama sekali!” 

“Bagus, aku mau tahu bagaimana rasanya mati di 

tangan gadis secantikmu. Tapi eh...! Apa betul kau masih 

gadis, masih perawan? He... he... he! 

“Keparat! Terima kematianmu!” teriak Kemala. Gadis 

ini melompat ke depan. Tangan kanannya menderu ke 

arah kepala si kakek kurus. Yang diserang tak tinggal diam. 

Bola besi bergerigi dan berantai di tangan kanannya 

menyapu ke depan. 

Wuuuttt! 

Bola besi itu lenyap dan kini hanya kelihatan sinar 

hitam disertai angin dingin menggidikkan. Si gadis terkejut 

ketika merasa ada sesuatu menyambar ke atas lehernya. 

Dengan cepat dia tinjukan tangan kirinya. 

Buukkk! Byuuurrr! 

Kemala tersurut satu langkah. Tangan kirinya merah 

dan lecet. Gadis ini tampak menahan rasa kagetnya. Tapi 

yang lebih terkejut adalah kakek bergelar si Pelumat Jagat. 

Dia melompat mundur sampai tiga langkah. Parasnya ber–

ubah putih. Di tangan kanannya kini dia hanya memegang 

rantai. Bola besinya ternyata hancur lebur dihantam 

pukulan tangan kiri Kemala! 

“Celaka! Jangan-jangan gadis ini bukan manusia biasa. 

Tapi makhluk jejadian yang memiliki ilmu hitam! Kalau 

tidak segera dihabisi bisa berabe!” Lalu dia berpaling pada 

tiga kawannya. “Para sahabat! Tak perlu sungkan! Lekas 

keroyok gadis dajal ini!” 

Mendengar seruan si Pelumat Jagat, Gandar Seto 

segera hunus golok besar dengan tangan kiri sedang Iblis 

Sumbing Pembawa Pendupa sudah lebih dulu melompat 

sambil meniupkan asap pendupaannya. Kali ini dia tidak

mengandalkan asap pendupaan yang mengandung hawa 

aneh tapi tidak mempan terhadap si gadis, melainkan dia 

meniup untuk melesatkan jarum-jarum beracun yang ada 

di atas bara api! Begitu dia meniup selusin jarum merah 

membara menderu ke arah Kemala. Si Bayangan Api tidak 

tinggal diam, dia melompat ke dalam kalangan pertem–

puran setelah terlebih dulu melepaskan lima senjata raha–

sia berupa anak panah berwarna merah! 

Kemala tampaknya tenang-tenang saja melihat empat 

serangan pengeroyok itu. Sebaliknya orang berpakaian 

putih di atas pohon tidak dapat lagi menahan diri melihat 

bahaya yang mengancam si gadis. Sambil lepaskan satu 

pukulan sakti dia melompat turun dari atas pohon! 

“Pukulan Sinar matahari!” teriak si Bayangan Api ketika 

dia melihat ada suara menggemuruh disertai berkiblatnya 

sinar putih perak menyilaukan. 

Empat pengeroyok cepat melompat mundur. 

Bummm! 

Sinar pukulan yang menebar hawa sangat panas itu 

menghantam tanah hingga terbongkar. Bumi laksana 

dilanda lindu. Semua yang menyerang tersentak mundur 

dan semua senjata yang dipakai untuk menyerbu mental 

ke udara bersama batu dan pasir serta tanah yang beter–

bangan. Di tanah kini kelihatan sebuah lobang besar! 

“Ha... ha! Seorang sahabat telah membuat liang kubur 

bagi kalian! Siapa yang mau masuk lebih dahulu?!” berseru 

Kemala. Memandang ke samping dilihatnya Pendekar 212 

Wiro Sableng tegak dengan kaki terpentang, menatap ke 

arah empat orang yang mengurung. 

“Dicari-cari tidak bertemu. Sekarang malah datang 

sendiri! Dua tangkapan sekaligus! Besar nian rejeki kita?” 

kata Gandar Seto begitu melihat Pendekar 212 berada di 

tempat itu. 

“Sudah kuduga, pemuda keparat ini punya hubungan 

tertentu dengan gadis iblis ini! Ternyata betul! Sayang 

seorang pendekar sakti mandraguna yang disegani dalam 

dunia persilatan ternyata berkomplot dengan gadis pem–bunuh!” membuka mulut Si Bayangan Api. 

“Kalian orang tua-tua terserah mau bilang apa. Tapi aku 

tidak sudi melihat empat orang tokoh silat mengeroyok 

seorang gadis!” 

“Yang kami keroyok bukan gadis biasa. Tapi gadis iblis!” 

jawab Gandar Seto. “Kau mau menolongnya? Berarti ber–

siaplah untuk mampus!” 

“Kalian tidak mampu melawannya. Ilmunya jauh berada 

di atas kalian. Jangan jadi orang-orang tolol. Pergi dari 

tempat ini. Jangan ganggu sahabatku ini!” 

“Ternyata kau pun memang sudah benar-benar sesat 

seperti iblis betina itu! Kawan-kawan mari kita berjibaku 

menyingkirkan sepasang iblis ini!” teriak si Bayangan Api. 

Keempat orang itu siap hendak menyerbu kembali. Wiro 

segera keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212. 

“Wiro, tunggu!” tiba-tiba Kemala berseru. 

“Kemala, tinggalkan tempat ini cepat. Biar aku yang 

melayani empat tua bangka ini!” ujar Pendekar 212. 

“Mengapa kau atau aku harus mencapaikan diri meng–

hadapi orang-orang ini? Biar Datuk yang membereskan 

mereka?” kata Kemala pula seraya melangkah mendekati 

srigala besar. Tangan kanannya mengusap kepala binatang 

itu yang segera menggereng dan dongakkan kepalanya. 

“Kemala, aku ingin kau tidak melakukan pembunuhan 

lagi. Aku akan coba menyadarkan keempat orang itu. Aku 

minta agar kau segera meninggalkan tempat ini!” 

Si gadis hendak membantah tapi melihat air muka 

Pendekar 212 dia menjadi bimbang. Akhirnya dia berkata 

perlahan. “Datuk, mari kita pergi..” 

Srigala yang tadi tampak buas kini kelihatan ikut jinak. 

Dia membalikkan diri mengikuti langkah tuannya. Tapi baru 

satu langkah bergerak tiba-tiba dari atas pohon melayang 

turun sebuah benda bulat berputar-putar, lalu bluk! Se-

orang pemuda berbadan gendut buntak, bermuka bulat 

yang selalu keringatan tahu-tahu tegak menghadang di 

depan Kemala dan Datuk Srigala. Di tangan kanan pemuda 

gendut itu ada sebuah kipas lipat dari kertas yang dikipas

kipaskannya kian kemari. Kepalanya disungkup dengan 

sebuah peci hitam kupluk. 

“Gadis dan srigala, kalian tidak boleh pergi dulu sebe–

lum kalian kubebaskan dari sekapan iblis pembawa ilmu 

hitam!” 

“Gendut keparat! Siapa kau yang berani menghadang 

jalanku?!” bentak Kemala sementara srigala di sampingnya 

mulai kelihatan beringas. 

“Aku seorang sahabat. Pemuda yang kau sukai itu juga 

sahabatku! Kepercayaan pada sahabat adalah di atas 

segala-galanya!” 

“Gendut! Aku tak kenal dirimu, apa lagi menjadi saha–

batmu!” bentak Kemala. 

Si gendut tertawa. “Persahabatan itu tidak selalu harus 

saling kenal...” 

Kemunculan pemuda gendut berpeci kupluk dan 

mengenakan pakaian terbalik ini membuat Wiro terkejut. 

Beberapa waktu yang lalu dia muncul secara tiba-tiba 

seperti saat ini untuk menyelamatkan seorang gadis. Kini 

dia muncul kembali dan berkata hendak membebaskan 

Kemala dan srigala itu dari sekapan iblis! “Si gendut ini 

ngaco atau bagaimana...?” kata Wiro pula. Selagi dia 

berpikir-pikir seperti itu dari samping tiba-tiba sekali si 

Bayangan Api dan si Pelumat Jagat telah bergerak menye–

rangnya. Dari jurusan lain Gandar Seto dan Iblis Sumbing 

juga ikut bergerak menghantam ke arah Kemala. 

Si gendut tampak jengkel sekali. Setelah memaki 

panjang pendek dia melompat mundur. “Manusia-manusia 

tolol! Kalian semua mencari kematian secara sia-sia!”



WIRO SABLENG 

PURNAMA BERDARAH 12

SI BAYANGAN Api walau memiliki kepandaian silat 

tinggi namun dia tidak membawa senjata. Memang 

dia membekal senjata rahasia berupa panah-panah 

merah tapi dalam perkelahian jarak pendek begitu rupa 

senjata rahasia itu tidak mungkin dipergunakan. Hal yang 

sama juga terjadi dengan si Pelumat Jagat. Bola besi yang 

merupakan senjata andalannya telah dihancurkan oleh 

Kemala. Sebenarnya kedua tokoh silat ini menghadapi 

Pendekar 212 dengan setengah hati. Apalagi saat itu murid 

Eyang Sinto Gendeng sudah langsung keluarkan senjata 

mustikanya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. Setiap 

senjata ini dibabatkan atau dibacokkan terdengar suara 

bergemuruh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar panas 

putih menyilaukan yang keluar dari kedua mata kapak 

membuat dua lawannya menjadi semakin ciut nyali 

masing-masing. Karena tak berani mendekat kedua kakek 

ini berusaha menggempur dengan pukulan-pukulan tangan 

kosong jarak jauh mengandung tenaga dalam tinggi. Si 

Pelumat Jagat sesekali bertindak curang, coba menyerang 

dari belakang. Namun semua serangan lawan dibuat men–

tal oleh sambaran-sambaran Kapak Maut Naga Geni 212. 

Setelah menggempur habis-habisan sampai limabelas 

jurus gerakan si Bayangan Api tidak lagi secepat kilat dan 

tubuhnya tidak lagi laksana bayangan merah. Begitu juga si 

Pelumat Jagat gerakan-gerakannya menjadi lamban. Kedua 

kakek ini mulai main mata, saling memberi isyarat bahwa 

lebih baik mereka kabur saja dari tempat itu. Begitu ada 

kesempatan keduanya menyerang gencar secara kilat lalu 

satu menghambur ke kiri, satunya lagi ke arah kanan. Murid Eyang Sinto Gendeng cepat hendak hantamkan 

pukulan Sinar Matahari ke arah si Pelumat Jagat dan 

lepaskan jarum-jarum rahasia dari mulut kapak ke arah si 

Bayangan Api namun setelah berpikir maksudnya itu 

segera dibatalkan. Sebenarnya buat apa mengejar orang-

orang itu dan mencelakai mereka. Keduanya pasti hanya–

lah menjalankan tugas untuk menumpas kejahatan 

Kemala. Dan dia sudah menyaksikan sendiri tadi bagai–

mana si gadis memerintahkan srigala peliharaannya 

membunuh Pangeran Rono Kuworo serta istri prajurit yang 

serong itu. Meski dia belum menyaksikan mayat kedua 

orang itu, namun seperti kejadian yang sudah-sudah dua 

orang di dalam rumah pasti menemui ajal dengan tubuh 

tercabik-cabik. 

Wiro putar tubuh memperhatikan perkelahian yang 

terjadi antara Kemala yang dikeroyok oleh Iblis Sumbing 

dan Perwira Tinggi Gandar Seto. Baik Gandar Seto maupun 

Iblis Sumbing sangat bernafsu untuk dapat menghabisi 

lawannya saat itu juga. Si nenek berulang kali tiupkan asap 

kelabu dari pendupaan yang ada di tangan kirinya. Tujuan–

nya bukan untuk membuat lawan menjadi lemas oleh hawa 

yang keluar dari dalam asap. Dari perkelahian pertama 

sebelumnya dia sudah tahu Kemala memiliki ilmu kebal 

yang tak sanggup ditembus oleh asap pendupaannya. 

Karenanya asap itu ditiup untuk menghalangi pemanda–

ngan lawan sehingga dia bisa bergerak leluasa dalam 

melancarkan serangan-serangan. Tetapi Kemala bukan 

lawan yang mudah dikecoh. Setelah mengambil sikap 

bertahan selama sepuluh jurus tiba-tiba gadis ini berseru. 

“Datuk! Lekas kau hajar nenek bermulut sumbing itu. 

Jangan diberi ampun! Aku akan melayani Perwira Kerajaan 

ini!” 

Mendengar ucapan tuannya itu srigala besar mengge–

reng keras. Kedua matanya memancarkan sinar membara. 

Didahului oleh suara meraung yang menggidikkan binatang 

ini kemudian melompat ke arah Iblis Sumbing Pembawa 

Pendupa Maut. Si nenek yang menganggap remeh

serangan binatang ini pergunakan kaki kirinya untuk 

menendang. 

Bukkk! 

Tendangan kaki kanan Iblis Sumbing Pembawa Pendu–

pa Maut memang tepat mengenai bagian dada srigala 

bermata api. Binatang ini mencelat sampai dua tombak. 

Tapi apa yang dialami si nenek sendiri membuat pemuda 

gendut berkopiah kupluk dan juga Pendekar 212 jadi 

merinding. Si nenek terdengar menjerit setinggi langit. Kaki 

kanannya sebatas paha sampai ke betis ternyata telah 

koyak lebar dan dalam. Meskipun gelap tapi tulang tung–

kainya masih bisa terlihat jelas. Pendupaan di tangan 

kirinya jatuh. Belum sempat benda ini menyentuh tanah 

tiba-tiba srigala itu kembali menyerbunya dengan ganas. 

Raungan si nenek tertindih oleh suara raungan binatang 

itu. Leher Iblis Sumbing tampak robek. Urat-uratnya 

mencuat putus dan darah menyembur. Dadanya terkuak 

menyebulkan tulang-tulang iganya. Lalu di sebelah bawah 

perutnya robek membusai semua isi yang ada di dalamnya! 

Pemuda gendut mengeluarkan suara mau muntah 

menyaksikan kejadian itu. Murid Eyang Sinto Gendeng 

mengerenyit sambil menutup mulut dengan tangan kiri 

sementara tengkuknya merinding dingin. Dia sempat 

tertunduk ngeri. Ketika dia mengangkat kepalanya kem–

bali, sekujur tubuh si nenek sudah tak bisa dikenali lagi! 

“Gusti Allah!” seruan itu keluar dari mulut Perwira Tinggi 

Gandar Seto begitu dia sempat melihat apa yang terjadi 

atas diri Iblis Sumbing Pembawa Pendupa Maut. Sekujur 

tubuhnya bergetar hebat dan tiba-tiba saja dia seperti tidak 

punya tulang belulang lagi, lemas dan ketakutan setengah 

mati. 

“Perwira, aku memberi kesempatan padamu. Jika kau 

tidak segera minggat dari sini aku akan suruh binatang itu 

mengoyak tubuhmu!” kata Kemala pula dengan panda–

ngan mata tak berkedip. 

“Jangan! Jangan!” Hanya itu ucapan yang bisa dikeluar–

kan oleh Gandar Seto. Lalu dia memutar tubuh dan lari


meninggalkan tempat itu secepat yang bisa dilakukannya. 

Kemala menarik nafas dalam. Dia memandang 

berkeliling. Pandangannya bertemu dengan pandangan 

Pendekar 212 yang saat itu melangkah mendekatinya 

dengan wajah seolah tak percaya. 

“Kemala...” desis Wiro begitu dia sampai di hadapan si 

gadis. 

“Wiro, kini kau tahu siapa diriku. Kau pasti amat 

menyesal. Kau hendak melakukan sesuatu terhadapku?” 

meluncur kata-kata itu dari mulut Kemala. 

Wiro menggeleng lalu menggaruk kepala. “Aku... aku 

tak tahu harus bicara apa. Harus melakukan apa. Terus 

terang memang aku tidak menyangka...” 

Si gadis tampak tersenyum. “Apakah kau sudah mene–

mui Ratih Kiranasari, gadis yang mencintaimu itu?” 

“Eh! Tunggu dulu!” Tiba-tiba pemuda gendut yang sejak 

tadi asyik menyaksikan jalannya perkelahian berseru. “Aku 

mau bicara!” 

“Gendut tak tahu diri! Jangan campuri urusan kami!” 

sentak Kemala. 

“Sobatku, lebih baik kau dengarkan kata-katanya,” ujar 

Wiro pula pada si gendut berkopiah kupluk 

“Busyet! Kau yang harus mendengarkan aku Wiro?! 

Jangan sampai terjebak! Kau tak tahu siapa adanya gadis 

ini!” menjawab si gendut. 

“Eh! Apa maksudmu?” tanya Wiro pada si gendut lalu 

berpaling pada Kemala dan kembali menoleh pada pemu–

da gemuk di hadapannya itu. 

Kemala sendiri saat itu mendadak berubah wajahnya. 

Dia memandang ke arah bulan purnama empat belas hari 

di langit. Mulutnya terbuka. “Datuk, lekas kau bunuh 

pemuda gendut itu!” 

Srigala bermata api meraung keras. Tubuhnya merun–

duk. Si gendut melompat mundur seraya berseru pada 

Wiro. “Sobat! Lekas kau berikan padaku batu hitam 

pasangan Kapak Naga Geni 212! Cepat!” 

Srigala besar itu semakin merunduk. Kedua kaki


depannya tenggelam ke dalam tanah tanda dia hendak 

membuat satu terkaman yang hebat luar biasa. 

“Wiro lekas! Berikan padaku batu hitam keramat 

pasangan Kapak Naga Geni 212!” teriak si gendut sekali 

lagi. 

Dalam heran dan bingungnya tentu saja Wiro tidak 

memenuhi permintaan si gendut itu. Tiba-tiba srigala besar 

melesat ke depan. Si gemuk menjerit kalang kabut lalu lari 

lintang pukang selamatkan diri ke balik pohon beringin 

besar. Walaupun gerakannya terlihat lamban dan benar-

benar seperti orang ketakutan tetapi anehnya si gendut ini 

ternyata berhasil lolos dari terkaman srigala. 

Melihat serangannya gagal binatang ini menggereng 

marah. Dia membalik dan kembali menyerang. Kali ini si 

gendut melompat ke atas. Kedua tangannya menangkap 

akar gantung besar pohon beringin. Tubuhnya yang gendut 

digoyangnya. Hebat sekali, tubuh yang beratnya hampir 

150 kati itu berayun-ayun lalu melesat ke depan. Terkaman 

srigala lewat setengah jengkal di bawah selangkangannya! 

Si gendut menjerit. Pegangannya dilepaskan dari akar 

gantung. Tubuhnya jatuh melesat tepat ke arah Wiro. 

Kedua orang ini sama-sama jatuh bergedebukan di tanah, 

bergulingan beberapa kali lalu tampak si gendut berdiri 

lebih dahulu. Ketika Wiro berdiri pula dilihatnya si gendut 

memegang sebuah benda hitam di tangan kanannya. Wiro 

cepat meraba pinggangnya. Astaga! Batu hitam empat 

persegi pasangan Kapak Naga Geni 212 yang selalu 

disimpannya di balik pinggang pakaian telah lenyap. Benda 

itu kini berada dalam genggaman si gendut berpeci kupluk! 

“Gendut sialan! Kau hendak berbuat apa dengan batu 

mustika itu! Lekas kembalikan!” teriak Wiro dan hendak 

melompat untuk merampas batu hitam miliknya. 

“Sahabat, sabar dulu! Justru hanya benda ini yang 

mampu menolong srigala jejadian itu bebas dari ilmu 

hitam, dari sekapan iblis! Juga hanya batu mustika ini yang 

sanggup membebaskan sebagian pengaruh iblis dalam diri 

Kemala!”


“Aku tidak mengerti maksudmu!” teriak Wiro masih 

marah. 

“Kalau kau belum mengerti makanya lihat saja!” jawab 

si gendut. Lalu dia melangkah ke arah srigala bermata api 

yang kembali hendak menerkamnya. Dengan cepat si 

gendut ini acungkan ke depan batu mustika hitam di 

tangan kanannya. Terjadilah hal yang aneh. Raungan 

srigala mendadak berubah kuncup dan kini mengecil tak 

ubah seperti suara seekor anjing yang ketakutan dimarahi 

tuannya. Binatang ini bersurut sambil rundukkan kepala–

nya. Tiba-tiba ada sinar merah melesat dari kedua mata–

nya, menyerang ke arah si gendut. Orang yang diserang 

cepat menangkis dengan batu hitam di tangannya. Dua 

larik sinar merah tadi kelihatan bergetar keras lalu mem–

balik dan laksana masuk menembus ke dalam ke dua 

mata srigala. Binatang ini meraung panjang. Tubuhnya 

tertelungkup di tanah. Perlahan-lahan tubuh itu tampak 

dibungkus oleh kepulan asap hitam berbau amis. Ketika 

asap hitam sirna, di tanah hanya kelihatan seonggok 

tulang belulang putih, membujur rapi seperti ruas-ruas 

tulang srigala. 

“Datuk...!” jerit Kemala ketika menyaksikan apa yang 

terjadi. Dia memburu hendak menjatuhkan diri di atas 

tumpukan tulang belulang itu. 

“Jangan!” teriak si gendut seraya mendorongkan tangan 

kirinya. Serangkum angin deras menyambar membuat 

gerakan tubuh Kemala tertahan lalu perlahan-lahan terjajar 

mundur. Baru saja dia menjauh sejarak tiga langkah tiba-

tiba terdengar letusan-letusan keras. Tulang belulang di 

tanah bermentalan kian kemari lalu lenyap tak berbekas 

seperti asap dihembus angin malam! 

Kemala memutar tubuhnya ke arah si gendut. Sepa–

sang matanya membersitkan sinar pembunuhan. Kedua 

tangannya diangkat ke atas. 

“Kau... Kau membunuh Datuk. Sekarang kau harus jadi 

pengiring kematiannya!” Kemala menjerit panjang. Suara 

jeritannya hampir menyerupai lolongan srigala. Tiba-tiba

tubuhnya melesat ke arah si gendut. Melihat hal ini si 

gendut cepat angkat tangannya yang memegang batu 

mustika hitam milik Pendekar 212 Wiro Sableng. Seperti 

kesilauan Kemala menutupi kedua matanya dengan 

tangan kiri. Tapi terlambat. Sebagian cahaya rembulan 

yang memantul di atas batu hitam berbalik menembus 

kedua matanya. Gadis ini menjerit. Sekali ini suara jeritan–

nya asli suara jeritan manusia. Lalu tubuhnya jatuh terka–

par di tanah! Si gendut menarik nafas lega. Dia keluarkan 

kipas kertasnya lalu mengipasi muka dan lehernya yang 

basah oleh keringat! 

“Kemala!” teriak Wiro seraya berlari dan jatuhkan 

dirinya di samping gadis itu. 

Ketika Wiro meletakkan kepala Kemala di atas pang–

kuannya dan membelai kening gadis itu, dia merasakan 

seseorang meletakkan sesuatu di atas kepalanya. Wiro 

memegang benda yang diletakkan itu lalu berpaling. 

Si gendut tegak di sampingnya. Sambil menyeringai dia 

berkata. “Sahabat, aku telah menyelamatkan gadis itu dari 

sekapan ilmu iblis. Ketahuilah, batu hitam yang kau miliki 

itu adalah raja-diraja penolak segala ilmu hitam. Kau 

memilikinya selama bertahun-tahun, tapi tak pernah tahu 

bagaimana memanfaatkannya. Gadismu itu kini sudah 

selamat. Tapi baru setengahnya. Yang setengah lagi hanya 

kau yang bisa melakukannya...” 

Wiro pegang benda di atas kepalanya. Ternyata si 

gendut tadi telah meletakkan batu hitam mustika miliknya 

seenaknya saja di atas kepalanya. Cepat-cepat Wiro 

memasukkan batu itu ke balik pakaiannya. Ketika dilihat–

nya si gendut hendak pergi, Pendekar 212 cepat bangkit 

dan berkata. 

“Gendut! Jangan pergi dulu! Aku perlu petunjukmu! 

Katamu gadis itu baru selamat setengahnya. Yang 

setengah lagi aku harus melakukannya. Melakukan apa? 

Bagaimana?” 

“Kau lihat wajah gadis itu?” 

“Tentu saja aku melihatnya!”

“Cantik sekali bukan?!” 

“Bujang Gila Tapak Sakti!” teriak Wiro menyebut nama 

si gendut. “Bukan saatnya kau bergurau!” 

“Siapa yang bergurau?!” sahut si gendut pula. “Jelas 

gadis itu cantik. Tapi itu bukan parasnya yang asli!” 

“Eh! Apa maksudmu?” 

“Sobatku. Biar aku tolong kau sekali lagi. Tadi kukata–

kan dia baru tertolong setengah. Kini kutambah seper–

empat lagi. Yang seperempatnya kau yang melakukan! 

Setuju?” 

Karena bingung Wiro mengatakan setuju saja. 

Si gendut yang bergelar Bujang Gila Tapak Sakti tertawa 

mengekeh. “Ingat sobat, janji harus kau penuhi. Kau harus 

menyempurnakan pelepasan sekapan iblis yang seper–

empat lagi!” 

Habis berkata begitu si gendut ini betulkan letak peci–

nya lalu duduk di samping tubuh Kemala. Kedua telapak 

tangannya diusapkan satu sama lain. Lama-lama kedua 

tangan itu tampak menjadi sangat merah dan mengeluar–

kan asap putih yang menimbulkan hawa sangat dingin. Si 

gendut membungkuk. Dengan hati-hati kedua tangannya 

yang dingin itu diusapnya ke sekujur wajah Kemala. 

Kedua mata Pendekar 212 membeliak besar ketika 

melihat apa yang terjadi. Di bawah cahaya bulan purnama 

empat belas hari dilihatnya perlahan-lahan, sedikit demi 

sedikit wajah Kemala berubah. Ketika si gendut meng–

angkat tangannya dan wajah telah sempurna perubahan–

nya, murid Eyang Sinto Gendeng jadi ternganga lebar. 

Kerongkongannya tersekat dan lidahnya seolah kelu. Dia 

hanya mampu mengeluarkan suara desis perlahan. 

“Ratih Kiranasari...” 

Gadis yang tergeletak di tanah itu memang Ratih 

Kiranasari adanya! 

Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti bangkit berdiri. 

Dia memegang bahu Pendekar 212 lalu berkata. “Tinggal 

seperempat lagi sobatku. Itu kau punya pekerjaan. Gadis 

itu akan pingsan tak sadarkan diri seumur-umurnya

bilamana kau tidak menolongnya!” 

“Katakan bagaimana cara aku menolongnya!” jawab 

Wiro pula. 

“Sesuai janji kau tidak akan mengelak atau mencari 

dalih!” 

“Tidak!” 

“Kau tahu Kemala menyukai dirimu?” 

Wiro mengangguk. 

“Sekarang kau lihat sendiri Kemala ternyata adalah 

Ratih Kiranasari.” 

“Pantas... pantas dia menyuruh aku menemui Ratih. 

Ternyata orangnya sama. Dia-dia juga...” Wiro garuk-garuk 

kepala. “Aku ingat sekarang. Bau harum tubuh Kemala 

sama dengan wanginya tubuh Kiranasari” 

Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum. “Sobatku, sekarang 

kau dengar baik-baik. Ratih Kiranasari akan sadar dari 

pingsannya jika kau menggauli dirinya...” 

Paras Pendekar 212 karuan saja menjadi berubah 

merah. Matanya melotot. “Gendut, kau jangan bergurau!” 

“Aku tidak bergurau sobatku. Ini persoalan hidup atau 

mati seseorang. Gadis itu telah terlanjur terjebak dalam 

ilmu hitam. Semua gara-gara tidak ada satu pemuda pun 

yang mau mencintai dan bersedia dijadikan suaminya. 

Dalam dirinya muncul dendam. Dendam ini tak dapat 

dikuasainya hingga dirinya terjebak dalam ilmu hitam. Dia 

harus membunuh setiap orang yang sedang berkasih-

kasihan. Ingat, tiga perempat kehidupan dunia hitamnya 

telah musnah. Kini tinggal yang seperempat. Obatnya yang 

aku katakan tadi...” 

“Gila!” 

“Ini bukan gila! Hanya itu satu-satunya jalan penangkal 

ilmu hitam agar keluar dari tubuhnya. Aku akan pergi agar 

kau bisa melakukan apa yang aku katakan!” 

“Tunggu!” kata Wiro seraya cepat memegang tangan si 

gendut. 

“Tunggu apa lagi sobatku?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Bagaimana, hemmm... Bagaimana kalau kau saja yang 

melakukannya?!” 

Si gendut tertawa terpingkal-pingkal. “Sobatku, aku sih 

mau-mau saja. Tapi tidak bakalan mempan! Dia akan 

tertolong kalau digauli oleh lelaki yang dicintainya. Nah, 

aku tahu sekali gadis itu mencintaimu. Bukan aku si gajah 

bunting ini! Nah, carilah tempat yang baik agar kau benar-

benar senang melaksanakannya.” 

Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti tepuk-

tepuk bahu Wiro. Pendekar 212 geleng-gelengkan kepala. 

Dipandanginya wajah Ratih Kiranasari sementara dirasa–

kannya si gendut masih terus menepuk-nepuk bahunya. 

“Gendut,” kata Wiro seraya berpaling pada orang yang 

tegak di sebelahnya. 

Astaga! Ternyata si gendut itu tak ada lagi di samping–

nya. Tetapi anehnya tepukan-tepukan tangannya masih 

terasa di bahunya! Sadarlah Wiro kalau sebenarnya Bujang 

Gila Tapak Sakti itu sudah lama meninggalkan tempat itu. 

Dengan kesaktiannya dia bisa membuat tepukan-tepukan 

tangan di bahu sang pendekar padahal dirinya sudah 

berada di tempat lain! 

Cahaya bulan purnama semakin terang. Wajah Ratih 

Kiranasari semakin jelas kelihatan dan tampak bertambah 

cantik. Dirinya seolah seorang bidadari yang sedang ter–

tidur lelap. Perlahan-lahan Wiro mengangkat tubuh gadis 

itu. 

“Bujang Gila Tapak Sakti!” katanya. “Kalau ternyata kau 

menipu diriku, akan kucari kau sampai ke langit ke tujuh 

sekali pun!” 


TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar