BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 28 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE PETI MATI DARI JEPARA



Peti Mati Dari Jepara


 WIRO SABLENG 

PETI MATI DARI JEPARA

 

DI LAUT OMBAK BERGULUNG DAHSYAT BERPACU 

MEMECAH MENUJU PANTAI. LANGIT MALAM TAMPAK 

HITAM DISAPUT AWAN GELAP DAN TEBAL. ANGIN 

MENDERU KENCANG MENIMBULKAN SUARA ANEH 

MENGGIDIKKAN. 

Di daratan Jepara udara malam dingin mencucuk. 

Kesunyian dipecah oleh suara desau daun-daun 

pepohonan tertiup angin yang datang dari arah laut. Hujan 

rintik-rintik mulai turun. Di kejauhan terdengar suara lolong 

anjing bersahut-sahutan. Malam itu adalah malam Jum'at 

Keliwon! 

Di antara desau angin malam dan gemerisik suara 

daun-daun pepohonan yang sesekali dirobek oleh lengking 

lolongan anjing, dari arah timur Jepara terdengar 

gemeretak suara roda-roda kereta mengiringi derap kaki-

kaki kuda yang menariknya. 

Dalam kegelapan malam, sebuah kereta, laksana 

kereta hantu meluncur keluar dari sebuah lembah yang 

rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Kereta 

terbuka ini bergerak perlahan tetapi pasti. Sais yang 

mengendalikan dua ekor kuda penarik kereta agaknya 

sengaja bergerak lambat perlahan. Orang ini mengenakan 

ikatan kepala tebal dari kain putih. Baju putihnya yang 

tidak dikancing tersibak ditiup angin malam, membuat 

dadanya tersingkap. Tiga deretan angka samar-samar 

tampak tertera di dada yang penuh otot itu. 212.Pandangan matanya jarang berkesip. Wajahnya tampak 

keras menahan gejolak dendam kesumat sakit hati. 

Kedua orang tuanya dulu tewas akibat kejahatan 

manusia-manusia durjana. Kini manusia-manusia seperti 

itu pula yang menghancurkan kehidupan keluarga paman-

nya. Sumiati, saudara sepupunya diculik, diperkosa ber-

gantian secara keji dan tidak diketahui berada di mana. 

Kakeknya menemui ajal di tangan seorang pengkhianat 

yang bersekutu dengan tiga manusia dajal: Ganco Langit, 

Ganco Bumi dan Ganco Laut! 

Kapan kejahatan akan berakhir di dunia ini? Apakah 

orang-orang dunia bersilatan seperti dia yang selalu harus 

turun tangan sementara mereka yang berwenang dan 

berkuasa seolah-olah buta mata dan buta hati tidak 

melihat dan merasakan semua apa yang menyengsarakan 

rakyat? Malah secara diam-diam bersekutu dan menerima 

hadiah dari persekutuan jahanam itu! 

Memasuki mulut jalan yang menuju kota, Pendekar 212 

Wiro Sableng semakin memperlambat lari dua ekor kuda 

penarik kereta. Malam ini dia akan mulai melakukan satu 

pekerjaan besar dan berbahaya. 

Di belakangnya di atas kereta yang terbuka, mendekam 

angker sebuah peti mati sangat besar, berwarna hitam 

pekat. 

Pada kayu penutup peti mati kelihatan deretan angka 

212, ditera besar-besar dengan cat putih. Angka-angka 

seperti itu juga terdapat pada tiap sisi peti mati. 

Di atas peti mati hitam itu duduk Ken Cilik. Tidak seperti 

biasanya, saat itu binatang ini sama sekali tidak 

mengeluarkan suara sedikitpun. Dia duduk tak bergerak. 

Kedua matanya memandang ke depan. Seolah-olah 

mahluk ini paham apa yang akan dilakukan Pendekar 212 

Wiro Sableng, orang yang kini dianggapnya sebagai 

tuannya sejak Ranalegowo tewas dibunuh orang-orangGanco Item. 

Kereta semakin jauh masuk ke dalam kota, Jepara 

diselimuti kesunyian. Kereta bergerak menuju pusat kota 

dan akhirnya berhenti di pintu gerbang sebuah bangunan 

besar yang tidak lain adalah gedung Kadipaten. 

Saat itu Adipati Jepara sedang bertugas di selatan. 

Karena itu penjagaan di gedung tidak seberapa ketat. Di 

pintu gerbang sama sekali tidak ada pengawal. Satu-

satunya pegawai tampak tidur mendengkur dekat kaki 

tangga gedung. 

Pendekar 212 memasang telinganya. Lalu memandang 

berkeliling. Sepi, tak ada sesuatupun yang bergerak. Wiro 

tepuk pinggul dua ekor kuda penarik kereta. 

Kedua binatang ini melangkah perlahan. Kereta ber-

gerak melewati pintu gerbang lalu berhenti di depan 

tangga, tak berapa jauh dari sebuah arca. 

Dari lantai kereta Wiro mengambil sebuah potongan 

kayu. Benda ini dilemparkannya ke arah pengawal ber-

muka bopeng yang tertidur mengorok. Potongan kayu itu 

tepat jatuh dan masuk ke dalam mulut pengawal yang me-

nganga. 

Sesaat masih terdengar suara dengkur pengawal itu, 

lalu diam. Menyusul suara seperti tercekik. Kemudian 

tampak pengawal itu menggapai-gapai kelagapan. Sadar 

ada sesuatu di dalam mulutnya, cepat-cepat dia me-

muntahkan. Potongan kayu melesat dari dalam mulutnya, 

jatuh ke dekat kakinya. Dengan rasa tak percaya, penuh 

heran pengawal ini mengambil potongan kayu itu. 

"Edan!" rutuknya. "Bagaimana kayu ini bisa ada dalam 

mulutku..." 

Justru pada saat memaki itulah pengawal ini baru 

menyadari kalau di depannya ada sebuah kereta di tarik 

dua ekor kuda besar. Di atas kereta duduk tak bergerak 

seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala kainputih. Lalu pengawal ini jadi mengkeret ketika matanya 

membentur peti mati besar di atas kerta. Tak pernah dia 

melihat peti mati sebesar dan seangker itu. Seekor monyet 

duduk di atas peti mati itu, memandang dengan sepasang 

matanya yang berkilat-kilat walaupun dalam kegelapan 

malam. 

Si pengawal menggosok kedua matanya beberapa kali. 

Dia mengira tengah bermimpi. Ketika kereta dan saisnya 

tetap terpampang di depannya sadarlah pengawal ini kalau 

dia tidak bermimpi. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa malam 

itu adalah malam Jum'at Kliwon! 

"Kereta hantu!" itu kini yang terpikir dalam benak si 

pengawal. Kuduknya mendadak sontak menjadi dingin. 

Segenap persendiannya jadi bergetar. Dia berusaha berdiri, 

tapi pandangan mata sais kereta membuatnya laksana di 

pantek ketangga batu dimana dia duduk saat itu! 

Dalam keadaan seperti itu pengawal ini coba memper-

hatikan kaki-kaki dua ekor kuda penarik kereta. Semua 

kaki-kaki binatang itu ternyata menginjak tanah. Pertanda 

bahwa yang datang bukanlah setan atau hantu. Hal ini 

membuat keberaniannya pulih kembali. 

"Orang jelek! Kau pengawal yang bertugas di gedung 

Kadipaten ini?!" Pendekar 212 Wiro Sableng bertanya 

dengan suara garang. 

Dipanggil dengan sebutan orang jelek membuat penga-

wal itu marah. 

"Orang di atas kereta! Mulutmu kurang ajar! Apa ke-

perluanmu datang ke gedung Kadipaten malam-malam. 

Hanya setan yang masih gentayangan malam-malam 

begini! Kau ini manusia atau setan?!" 

"Dua-duanya!" jawab Pendekar 212 dari atas kereta. 

Tangan kanannya memutar-mutar cambuk panjang yang 

dipegangnya hingga mengeluarkan suara berdesing ber-

ulang-ulang.Mendengar jawaban Wiro sesaat pengawal itu jadi 

melengak. "Jangan berani main-main dengan pengawal 

Kadipaten!" kertaknya. Lalu dengan marah tangannya dige-

rakkan ke pinggang untuk mencabut goloknya. 

Cambuk di tangan Wiro melesat. Ujung cambuk ini 

cepat sekali telah melibat pergelangan tangan si pengawal, 

terangkat begitu rupa hingga dia tidak bisa menggerakkan-

nya untuk menghunus senjatanya. Pengawal ini jadi ter-

nganga dan berubah tampangnya. 

"Kalau kau cabut golokmu, aku akan jadi setan yang 

akan menjirat batang lehermu!" 

Wiro gerakkan tangannya. Ujung cambuk yang melibat 

lengan pengawal terlepas. 

Ancaman Wiro tadi membuat si pengawal menjadi ragu. 

Tetapi begitu jiratan pada lengannya lepas, dia malah 

membentak. 

"Setan manusia! Jangan kau berani membuat keonaran 

di gedung Kadipaten!" 

"Siapa yang membikin onar! Bukan kau duluan yang 

hendak mencabut goiok menyerangku?" 

"Setan manusia! Kau memasuki tempat ini tanpa izin-

ku!" Wiro menyeringati. 

"Setan manusia tidak perlu minta izin pada manusia 

jelek sepertimu!" sahut Wiro. "Aku datang mencari seorang 

Bintara bernama Anggoro! Aku tahu dia ada di dalam 

gedung. Lekas panggil ke mari!" 

"Bintoro Anggoro atasanku! Keperluan apa kau mencari-

nya?!" 

"Tak perlu banyak tanya. Kau panggil saja Bintara itu. 

Cepat!" 

"Bintoro Anggoro sedang tidur." 

"Kalau begitu bangunkan!" 

Pengawal bopeng itu terdengar menggrendeng. "Kurang 

ajar! Kau ini serta manusia berotak miring rupanya! Lekasminggat dari hadapanku! Atau kau akan menyesal!" 

Untuk kedua kalinya pengawal ini menggerakkan 

tangannya ke pinggang. Sekali ini dia sempat mencabut 

senjatanya. Namun sebelum dia bergerak lebih jauh 

cambuk di tangan kanan Pendekar 212 kembali berkelebat 

dan tahu-tahu batang lehernya sudah terjirat kencang. 

"Kau panggil Anggoro atau kuremuk batang lehermu!" 

mengancam Wiro. 

Lidah pengawal yang lehernya terjirat cambuk itu mulai 

menjulur. Matanya mulai mendelik. Goloknya terlepas 

jatuh. Tersendat-sendat terdengar suaranya. 

"Ja...jangan. Aku...aku akan panggil Bintoro Anggoro. 

Aduh...Lepaskan..." 

Wiro lepas dan jiratan cambuk. "Katakan pada atasan-

mu itu bahwa Malaikat Maut menunggunya di tempat ini!" 

"Malaikat...malaikat Maut?" 

"Ya, Malaikat Maut!" jawab Pendekar 212. "Lekas 

panggil Bintara itu!" hardiknya kemudian. 

Sambil pegangi lehernya yang masih sakit akibat jeratan 

cambuk tadi, pengawal ini lari masuk ke dalam. 

Saat itu sesosok tubuh mendatangi dari ruang dalam, 

langsung memapasi. "Pengawal! Ada apa kau bergegas 

memasuki gedung! Tugasmu berjaga-jaga di luar! Tadi 

kudengar kau seperti bicara dengan seseorang! Ada siapa 

di luar sana?!" 

Ucapan dan pertanyaan yang beruntun ini membuat si 

pengawal jadi tergagap sesaat. 

"Hai! Ada siapa di luar?" bentak orang tadi. 

"Malaikat Maut!" si pengawal akhirnya menjawab. 

Orang yang tadi bertanya kertakan rahang. "Malam-

malam begini aku tidak suka ada orang bicara main-main 

denganku!" 

"Maafkan aku Perwira. Tapi di luar sana memang ada 

seorang mengaku Malaikat Maut. Dia mencari BintoroAnggoro." 

Orang yang dipanggil Perwira itu menatap ke arah pintu 

depan yang terbuka. Lewat pintu dia melihat di luar sana 

ada dua ekor kuda, sebagian ujung kereta lalu seorang 

pemuda duduk di atas kereta. Dari tempatnya berdiri 

perwira ini tidak dapat melihat peti mati besar di bagian 

belakang kereta. Namun dia sempat melihat seekor 

monyet duduk menangkring di atas bahu kiri pemuda yang 

bertindak selaku sais kereta itu. 

"Datang malam-malam begini, membawa seekor 

monyet. Tamu aneh..." kata si perwira daiam hati. Lalu dia 

berpaling pada pengawal tadi. "Kau teruskan memberi tahu 

Bintoro Anggoro. Aku akan menemui tamu tak diundang 

itu." 

Perwira tadi lalu cepat-cepat menuju ke bagian depan 

gedung Kadipaten. Langkahnya serta merta terhenti begitu 

dia melihat apa yang ada di atas kereta, di belakang 

pemuda yang duduk memegang cambuk. 

"Peti mati. Besar sekali…" kata perwira ini dalam hati. 

Lalu dia berpaling menatap heran pada pemuda di atas 

kereta. Beberapa saat kemudian dia menegur. 

"Aku Ario Gelem, Perwira Muda Kadipaten Jepara." 

Wiro angguk-anggukkan kepala. Matanya memperhati-

kan Ario Gelem tapi tidak berkata apa-apa. 

Sikap Pendekar 212 itu membuat sang perwira merasa 

tidak enak. Maka diapun melanjutkan kata-katanya. 

"Saudara, kau memasuki kawasan gedung Kadipaten 

malam-malam begini. Membawa seekor moyet dan sebuah 

peti mati besar. Apa keperluanmu?!" 

"Aku Malaikat Maut! Datang mencari Bintoro bernama 

Anggoro untuk minta pertanggungan jawab!" jawab Wiro. 

Perwira muda itu terkesiap sesaat. Dia mengusap 

dagunya beberapa kali. Setelah bergumam dia berkata, 

"Aku tidak tahu apakah saat ini aku berhadapan denganorang gila atau apa. Tapi kuharap jangan berani bicara 

main-main. Lekas pergi dari sini!" 

"Malaikat Maut tidak ada yang gila! Ingat hal itu baik-

baik Perwira!" kata Wiro pula sambil menyeringai. "Aku 

datang untuk minta nyawa Bintoro Anggoro!" 

Ario Gelem hendak tertawa mendengar kata-kata itu. 

Namun ketika dilihatnya wajah Pendekar 212 memancar-

kan sikap dingin dan kedua matanya memancarkan sinar 

maut, bahkan seringainya juga menebar hawa kematian, 

perwira ini jadi tercekat juga. 

"Ada urusan spa kau dengan bawahanku itu?" tanya 

Perwira Muda Ario Gelem. 

"Kau akan dengar sendiri kalau dia sudah muncul di 

sini!" jawab Wiro. 

Dua orang melangkah keluar dari ruangan dalam. Di 

sebelah belakang adalah pengawal muka bopeng tadi 

sedang di depannya seorang lelaki muda yang hanya 

mengenakan sehelai pakaian tidur. Di tangan kanannya dia 

membawa sebilah pedang. 

"Anggoro, orang ini mencarimu. Kau kenal dia?" berkata 

Ario Gelem. 

Bintara itu memandangi wajah Wiro sesaat lalu meng-

gelengkan kepala. 

Saat itu Ken Cilik yang ada di bahu Pendekar 212 

keluarkan suara pekikan tiada henti. Kedua matanya 

melotot memandang Bintoro Anggoro. Binatang ini tiba-tiba 

melompat menerkam kepala Bintara itu. 

"Monyet sialani Kau minta kugebuk!" maki Anggoro. 

Tinju kanannya dihantamkan ke kepala Ken Cilik. 

Diatas kereta Pendekar 212 gerakkan tangan kanannya 

sedikit. Serangkum angin deras menerpa ke arah dada 

Anggoro. Bintara ini terjajar setengah langkah. Hal ini 

menyebabkan jotosannya ke arah kepala Ken Cilik tak ber-

hasil menemui sasaran."Ken Cilik! Kembali!" Wiro memanggil. 

Monyet coklat itu menjerit beberapa kali, menjatuhkan 

diri ke lantai lalu melompat-lompat ke atas punggung salah 

seekor kuda penarik kereta. Dari sini Ken Cilik melompat 

kembali ke atas bahu Wiro. Wiro usap-usap punggung 

binatang ini seraya berkata, "Tenang sahabatku. Aku tahu 

kau sudah mengenali si pembunuh itu. Tenang..." 

Ketika tadi Wiro menggerakkan tangan melepas pukul-

an tangan kosong yang mengandung tenaga dalam untuk 

menyelamatkan Ken Cilik dari pukulan Anggoro, Perwira 

Muda bernama Ario Gelem itu sempat melihat gerakan ini. 

Dalam hati dia segera memaklumi kalau pemuda gondrong 

di atas kereta adalah seorang yang memiliki kepandaian 

tinggi. Perwira ini berpaling pada Anggoro lalu berkata. 

"Dia mengaku bernama Malalkat Maut. Punya urusan 

denganmu!" sambung Ario Gelem. 

"Orang gila! Katakan apa kepentinganmu membangun-

kanku malam-malam begini?!" membentak Anggoro. 

"Sekitar sepuluh hari lalu kau membunuh seorang tua 

bernama Kioro Mertan di sebuah hutan dekat Kudus. 

Benar?!" 

Paras Bintoro Anggoro berubah. Sesaat dia melirik pada 

Perwira Muda di sampingnya lalu menghardik ke arah Wiro. 

"Pertanyaan gila apa yang kau ajukan ini?!" 

Paras Wiro tidak bergeming. "Aku hanya ingin men-

dengar apa yang kukatakan tadi benar atau tidak!" 

Anggoro tidak menyahut. Tangan kanannya meng-

genggam pedangnya kuat-kuat. 

"Memang benar!" tiba-tiba Anggoro menjawab. "Sepuluh 

hari lalu aku membunuh seorang lelaki tua bernama Kioro 

Mertan! Tapi dia adalah kaki tangan gerombolan Ganco 

Item!" 

"Bintoro Anggoro! Kau bukan saja pandai membunuh 

dengan pedangmu tapi juga pandai bersilat lidah memutarbalik kenyataan!" 

"Bangsat! Apa maksudmu!" 

"Orang tua korban pembunuhan kejimu itu adalah 

kakekku. Dia adalah juga mertua dari Rana Legowo 

pamanku yang menjadi kepala desa Jatingaleh. Gerom-

bolan Ganco Item menyerbu desa, membakari rumah 

penduduk, merampok dan membunuh. Ketika Kioro 

Mertan melakukan pengejaran kau secara keji membunuh-

nya!" 

"Aku tidak segila itu membunuh orang! Kioro Mertan 

pantas mati karena dia memang kaki tangan gerombolan 

Ganco Item!" 

"Bukan kakekku itu yang jadi kaki tangan gerombolan 

Ganco Item. Tapi kau! Kau menerima sejumlah uang untuk 

persekutuan bejatmu dengan manusia-manusia durjana 

itu!" 

"Kurang ajar! Pembohong besar! Fitnah jahat!" teriak 

Bintoro Anggoro lalu menghunus pedangnya dan langsung 

menyerbu Wiro yang masih duduk di atas kereta. 

Wiro putar tangannya. Cambuk panjang berkelebat di 

udara mengeluarkan suara keras, menghantam ke arah 

muka Anggoro. Bintara ini terpaksa pergunakan pedangnya 

yang tadi dipakai membacok untuk menangkis. Cambuk 

dan pedang saling beradu. Ujung cambuk dengan cepat 

melilit badan pedang. Tapi dengan cerdik Bintara ini tarik 

pedangnya kuat-kuat hingga cambuk putus menjadi be-

berapa potongan. 

"Kau pasti kaki tangan Ganco Item! Kau juga pantas 

kuhabisi saat ini!" teriak Bintoro Anggoro. Kembali dia 

menyerbu Wiro yang saat itu masih tetap duduk tak 

bergerak di bagian depan kereta sementara dua ekor kuda 

penarik kereta mulai gelisah sedang Ken Cilik mulai 

memekik-mekik. 

Pedang menderu. Wiro miringkan pinggangnya yang jadisasaran Brett! Pakaian putihnya masih sempat disambar 

ujung pedang. Ketika Anggoro berusaha membuat gerakan 

membalik untuk membacok kedua kalinya, Pendekar 212 

mendahului dengan menghunjamkan kaki kanannya ke 

dada Bintara ini. 

Anggoro memekik keras. Tubuhnya terpental empat 

langkah. Pedangnya lepas, mental ke udara. 

Ketika jatuh kembali, Wiro sudah ulurkan tangan dan 

menangkap pedang itu. 

"Dengan pedang ini dulu kau membunuh kakekku! 

Dengan pedang ini pula nyawamu akan kuhabisi!" kata 

Wiro masih dari atas kereta. Sementara Anggoro tampak 

berdiri terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dadanya yang 

serasa pecah. "Bintoro Anggoro! Sebelum kau mati, jawab 

dulu satu pertanyaanku! Gerombolan Ganco Item menculik 

anak gadis kepala desa Jatingaleh! Kau pasti tahu ke mana 

mereka membawanya! Kau hanya punya waktu satu 

kejapan mata!" 

"Tunggu!" Tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario Gelem 

berseru. Dia maju dan tegak antara kereta dengan 

Anggoro, "Saudara! Apapun urusanmu dengan bawahanku! 

Tidak berarti kau bisa bertindak seenaknya! Aku yakin 

Bintoro Anggoro punya cukup bukti-bukti bahwa Kioro 

Mertan adatah kaki tangan gerombolan Ganco Item. Dia 

membunuh orang tua itu dalam menjalankan tugas!" 

"Tugas? Apakah kau yang memberikannya tugas itu 

Perwira Muda? Kau tak perlu menyebut seribu bukti. Aku 

tahu siapa kakekku! Tanyakan pada bawahanmu itu 

berapa uang yang didapatnya rnenjadi kaki tangan Ganco 

Item! Ada perajurit-perajurit Kadipaten yang menjadi saksi 

hidup! Adalah tolol kalau kau tidak mengetahui siapa 

sebenarnya anak buahmu yang satu ini!" 

Merah padam wajah Ario Gelem. 

"Siapa dia nanti bisa kuperiksa. Sekarang harap kausegera tinggalkan tempat ini!" kata Perwira Muda itu pula. 

Wiro menyeringai. "Aku tidak akan meninggalkan tem-

pat ini tanpa jazad kotornya!" jawab Pendekar 212. Lalu 

tangan kanannya menarik sebuah palang kecil di bagian 

kanan kereta. Terdengar suara berkereketan. Penutup peti 

mati hitam secara aneh bergerak membuka. 

Tampang Bintoro Anggoro menjadi pucat mengkerut. 

Wiro melompat turun dari atas kereta. Tapi gerakannya 

dihalangi oleh Ario Gelem. 

"Kau membuat aku kehabisan kesabaran Perwira 

Muda!" ujar Wiro. 

"Tinggalkan tempat ini! Itu perintahku!" 

"Persetan dengan perintahmu! Aku bukan bawahanmu!" 

"Kalau begitu kau minta digebuk!" mengancam Ario 

Gelem. 

"Perwira tolol! Kau makan dulu ini!" teriak Wiro marah. 

Lalu tangan kanannya menyambar ke dada Ario Gelem. 

Perwira ini cepat menghindar sambil memukul lengan 

Pendekar 212 dari bawah. Lalu terdengar Ario Gelem 

mengeluh. Perwira ini mundur sambil pegangi lengan 

kanannya yang saat itu tampak bengkak kemerahan. Sam-

bil menahan sakit, dengan beringas Ario Gelem kerahkan 

tenaga dalam lalu lepaskan satu pukulan setelah terlebih 

dahulu merapal satu aji kesaktian. 

Biasanya dia jarang mengeluarkan ilmunya ini tetapi se-

telah bentrokan tadi dan sebelumnya dia telah pula me-

nyaksikan bagaimana Wiro melepaskan tenaga dalam yang 

dapat membuat Anggoro terjajar, maka dia lalu menghan-

tam sambil kerahkan tenaga dalam. 

Dua kuda penarik kereta meringkik keras. Monyet di 

atas bahu Wiro ikut memekik lalu melompat ke atas 

penutup peti mati yang telah terbuka. 

Wiro merasakan ada hawa yang sangat dingin meng-

hantam ke arahnya. Dia cepat menghindar sambil siapkantangan kiri untuk menangkis serangan lawan dengan 

pukulan tangan kosong pula. Tapi begitu dia kerahkan 

tenaga dalam, hawa dingin yang datang menyerbu men-

dadak berubah menjadi hawa sangat panas! Perubahan 

secara mendadak dari dingin ke panas ini membuat Wiro 

merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat. 

Jika diikutinya nafsu amarahnya saat itu ingin saja dia 

melepas pukulan sinar matahari. Namun karena lebih 

mementingkan balas dendamnya terhadap Anggoro maka 

Wiro cepat keluarkan ilmu silat Orang Gila yang dipelajari-

nya dari Tua Gila di Pulau Andalas. Tubuhnya sempoyongan 

hebat seperti hendak roboh. Tangan kanannya yang meme-

gang pedang milik Anggoro di angkat ke atas. Untuk sesaat 

senjata itu tampak bergoyang keras akibat terjangan angin 

pukulan Ario Gelem. Perwira ini sendiri tampak terkejut 

ketika melihat bagaimana pedang itu secara aneh bergerak 

kian kemari lalu tiba-tiba sekali menyusup di antara angin 

pukulannya dan menusuk ke arah perutnya! 

Sambil berseru keras Ario Gelem terpaksa melompat 

mundur langsung cabut golok di pinggangnya. 

Trang! 

Terdengar suara berdentrangan ketika golok di tangan 

Ario Gelem dan pedang di tangan Wiro saling bentrokan. 

Wiro merasakan tangannya bergetar keras. Ario Gelem 

merasa bahwa dia memiliki tenaga luar dan tenaga dalam 

yang lebih ampuh dari lawannya. Langsung saja Perwira 

Muda ini hendak kirimkan satu bacokan ke bahu lawannya. 

Tapi alangkah kagetnya dia ketika disadarinya dia tidak lagi 

dapat menggerakkan tangan kanannya yang mengacung-

kan golok itu. 

Apa yang terjadi atas dirinya? Dicobanya mengangkat 

kaki kiri. Tak bisa. Kaki kanan. Juga tak bisa. Tangan kiri. 

Sama saja. Astaga! Ternyata dia telah berada dibawah 

pengaruh satu totokan yang hebat! Sekujur tubuhnya takbisa digerakkan lagi. Dia tegak seperti patung yang tengah 

mengacungkan senjata! 

"Perwira tolol! Seharusnya kau menghukum bawahan 

seperti ini! Bukan malah melindunginya!" 

"Kalau kau berani melakukan sesuatu terhadap Bintara 

itu, aku akan mencarimu sampai dapat dan menghukum-

mu!" 

Wiro tertawa mendengar ucapan Ario Gelem itu. "Hukum 

hanya berlaku untuk orang-orang tolol sepertimu!" kata 

Pendekar 212. Lalu dia melangkah mendekati Anggoro 

yang saat itu berdiri dalam keadaan ketakutan setengah 

mati. Ken Cilik menjerit keras. Monyet ini tiba-tiba 

melompat ke arah Bintara itu, mencengkeramkan kuku-

kukunya di bahu lalu menghunjamkan taringnya di leher 

Anggoro. Bintara ini menjerit kesakitan Darah mengucur 

dari luka-luka kecil di bahu dan lehernya. 

"Ken Cilik! Lepaskan orang itu! Dia harus mati dengan 

cara lain!" kata Wiro seraya angkat tangan kanannya yang 

memegang pedang. 

Ken Cilik memekik keras lalu melompat ke atas bahu 

Wiro. 

"Apa yang hendak kau lakukan padaku...?!" tanya 

Anggoro dengan suara gemetar. 

"Ke mana gerombolan Ganco Item membawa anak 

gadis Ranalegowo?! Jawab!" 

"Aku...aku tidak tahu. Tapi gerombolan itu kudengar 

menuju ke selatan. Mereka...mereka..." 

"Mereka apa?!" bentak Wiro. Tangan kirinya menjambak 

rambut Anggoro. 

"Mereka...mereka hendak merampok benda-benda 

pusaka Keraton Demak yang disimpan di Mesjid Besar..." 

Wiro lepaskan jambakannya. Dia berpaling ke arah Ario 

Gelem. "Perwira, kau dengar sendiri ucapan itu keluar dari 

mulutnya. Kalau bawahanmu ini bukan kaki tangangerombolan Ganco Item, bagaimana dia tahu apa yang 

akan dilakukan orang-orang itu?! Lalu apakah dia pernah 

melaporkan padamu gerakan dan rencana kejahatan yang 

hendak dilakukan gerombolan Ganco Item itu?!" Wiro 

menyeringai. "Aku tak perlu jawabanmu Perwira. Tapi 

sekarang kau punya otak untuk memikirkan siapa anak 

buahmu ini sebenarnya!" 

Paras Ario Gelem tampak kelam membesi. 

Selagi Wiro bicara kepada Perwira Muda itu, Anggoro 

berusaha mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tapi 

Wiro bukannya tidak tahu. Baru saja orang ini sempat 

memutar tubuhnya, Pendekar 212 dengan cepat menusuk-

kan pedang milik Anggoro yang ada di tangan kanannya. 

Bintara itu terdengar menjerit keras. Ario Gelem ter-

beliak menyaksikan kejadian itu. Darah tampak mengucur 

dari lambung yang tertembus pedang. Anggoro hanya 

mampu tegak sesaat Tubuhnya kemudian rebah dekat kaki 

tangga. Suara jeritannya makin perlahan lalu berubah jadi 

erangan. Ketika nyawanya putus, Wiro cabut pedang yang 

menancap di perut orang itu. Lalu mayat Anggoro dilempar-

kannya ke dalam peti mati. 

Wiro melompat ke atas kereta. Ken Cilik melompat pula 

ke atas punggung salah seekor kuda penarik kereta. 

Binatang ini memandang menyeringai ke arah Ario Gelem. 

Di atas kereta Wiro mengambil sebuah kantong tebal berisi 

bubuk berwarna abu-abu. Bubuk ini ditebarkannya di atas 

mayat Anggoro. 

Itulah bubuk penangkal bau busuk yang didapat Wiro 

dari Haji Tan si penjual peti mati. 

"Perwira Muda...," kata Pendekar 212 kemudian pada 

Ario Gelem. "Ingat baik-baik. Jika kau berusaha mengejar-

ku, peti mati ini masih cukup besar untuk ketambahan 

mayatmu!" 

Ario Gelem tidak mengeluarkan suara apa-apa. Hanyamatanya saja yang memandang berapi-api pada Wiro, 

Pendekar 212 mendorong palang kayu di bagian kanan 

kereta. Terdengar suara berkereketan ketika papan 

penutup peti mati yang bertuliskan angka 212 itu bergerak 

meninggalkan halaman gedung Kadipaten. 

Wiro usap kepala monyet yang kini duduk di sebelah-

nya. 

"Baru satu Ken Cilik. Baru satu! Masih ada tiga mayat 

lagi akan mengisi peti mati itu, kecuali jika ada yang mau 

ikutan! Mari, Ken Cilik. Kita akan mengambil mereka di 

selatan..." 

Ken Cilik menyeringai lalu membuka mulutnya lebar-

lebar. "Kwik...kwik...Kwiikkkkkl" Kera ini memekik dan 

melompat duduk di samping Wiro. 

ANGIN BERTIUP KENCANG. HUJAN YANG TADI HANYA 

TURUN RINTIK-RINTIK KINf MULAI MEMBESAR LALU 

MENCURAH LEBAT. KERETA ITU MELUNCUR TERUS 

SEPERTI TIDAK PERDULI AKAN LEBATNYA HUJAN DAN 

PEKATNYA KEGELAPAN MALAM. BENAR-BENAR SEPERTI 

KERETA HANTU! 

***

PENDEKAR 212 Wiro Sableng berdiri di depan 

rerumpunan pohon bambu di puncak bukit. 

Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar 

pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran 

yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan. 

Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan ter-

timpa sinar matahari pagi membelah pedataran persawah-

an dan daerah perumahan penduduk. Sungal kecil itu se-

lanjutnya mengalir ke barat, melewati tambak-tambak IKan 

dan akhirnya bermuara di laut biru. 

Wiro memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil 

di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki 

tua dilihatnya berjalan terburrogkuk-bungkuk. Di tangan 

kanannya ada sebatang kayu kecil yang selalu dikibas-

kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil 

mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang 

jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. 

Wiro segera menuruni bukit, menghampiri orang tua 

pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat 

orang tua itu menoleh dan memandangi si pemuda lalu 

seperti tak acuh dia terus saja berjalan. 

"Bapak tua, "Wiro menegur. "Apakah yang di bawah 

sana itu kampung Jatingaleh?" 

Yang ditanya berpaling sambii kerenyitkan kening dan 

kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya. 

"Kampung katamu? Dulu memang hanya sebuah 

kampung. Tapi kini telah berubah menjadi sebuah desabesar. Subur makmur dan tentram. Penduduknya bercocok 

tanam, punya tambak dan sawah ladang. Juga banyak yang 

jadi nelayan." 

"Ah, aku tidak keliru datang ke tujuan," kata Wiro dalam 

hati dan penuh gembira. Desa Jatingaleh. Dulu hanya 

merupakan sebuah kampung. Di situ menurut gurunya dia 

punyai seorang paman bernarna Ranalegowo, Wiro benar-

benar merasa gembira. 

Sebentar lagi dia akan bertemu adik mendiang ayahnya. 

Mungkin juga dengan saudara-saudara sepupunya. Dia 

tidak tahu pamannya punya anak berapa. Selama ini dia 

merasa hidup sebatang kara, tidak kadang tidak saudara. 

Namun hari ini dia akan bertemu dengan seorang paman, 

lalu seorang bibi tentunya. 

Wiro ingat ucapan gurunya beberapa tahun lalu. 

"Menurut apa yang kuketahui...," berkata Eyang Sinto 

Gendeng saat sebelum melepas muridnya itu pergi. "Di 

kampung Jatingaleh dekat Jepara kau punyai seorang 

paman. Namanya...nggg… kalau tak salah namanya 

Ranalegowo. Bila kau punyai waktu sambangi dia. Itu 

tandanya kita orang Jawa yang tidak lupa dan selalu 

menghormat pada orang tua." 

"Kau bukan orang sini..." kata orang tua pengangon itik. 

Wiro tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah telaga 

berair dangkai. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan 

tongkatnya, malah kini berteriak, "Mandi, ayo mandi! Cari 

cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih 

cepat." 

Puluhan itik itu tampak berserabutan hangar-bingar 

masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar 

sambil mengeluarkan suara memekakan telinga. Ada yang 

mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling 

banyak adalah menyudu dengan paruhnya di sepanjang 

tepi telaga, mencari cacing-cacing besar yang memangbanyak terdapat disitu. 

Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua 

pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Wiro 

ikut duduk di sebelahnya. 

"Saya memang bukan orang sini," kata Wiro. "Saya ke 

mari untuk menyambangi seorang paman. Adik ayah saya." 

Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa-

apa, seperti menunggu Wiro bercerita lebih lanjut. 

"Saya belum pernah bertemu dengan paman saya itu. 

Saya tak kenal dia, dia tentu juga tidak kenal saya." 

"Kau mencari seorang paman...," Pengangon itik 

nyalakan rokok yang barusan digulungnya. "Mengapa tidak 

mencari orang tuamu sendiri?" 

"Kedua orang tua saya sudah sejak lama meninggal," 

jawab Wiro. "Mereka dimakamkan jauh di tanah barat 

sana." 

"Siapa paman yang kau cari itu?" 

"Namanya Ranalegowo." 

Orang tua yang hendak menghisap rokoknya itu nampak 

berubah parasnya. Rokoknya tak jadi dihisapnya. 

"Ranalegowo katamu, anak muda?" Wiro mengangguk. 

"Dia adalah kepala desa kami sejak lebih dua puluh 

tahun lalu." 

"Kalau begitu saya beruntung punya paman seorang 

kepala desa. Rumahnya tentu besar, kudanya banyak, 

ternaknya tidak terhitung..." 

Orang tua itu tertawa. 

"Rumah kepala desa Jatingaleh memang besar. Tapi dia 

hidup sederhana. Dia tidak memiliki sawah atau ladang 

berpetak-petak. Dia tidak memelihara ternak berkandang-

kandang. dia bekerja keras memang. Tapi bukan untuk 

menumpuk kekayaan. Melainkan untuk memberi hidup 

yang berarti bagi keluarganya serta membantu penduduk 

membangun desa."Orang tua itu hisap rokoknya dalam-dalam, lalu berdiri 

dan memandang lekat-lekat pada Wiro. Si pemuda jadi 

ikut-ikutan berdiri. 

 "Siapa namamu anak?" 

"Wiro, "jawab murid Sinto Gendeng tanpa mau 

menambahkan Sableng karena dia kawatir orang tua ini 

bisa punya pikiran macam-macam terhadapnya. 

"Anak muda, tahukah kau siapa aku...?" bertanya orang 

tua bungkuk itu. 

"Mana saya bisa menduga," jawab Wiro. 

"Namaku Kioro Mertan. Aku adalah ayah mertua 

pamanmu! Anak perempuanku kawin dengan Ranalegowo. 

Mereka punya seorang anak tunggal yang kini sudah 

menjadi gadis jelita sebayamu. Bernama Sumiati." 

Mendengar kata-kata orang tua itu Pendekar 212 Wiro 

Sableng segera membungkuk dalam-dalam. 

"Gusti Allah memang Maha Besar!" kata Kioro Mertan 

sambil menepuk-nepuk bahu Wiro. "Kalau begitu kita harus 

pulang ke desa sekarang jugal Agar kau lekas bertemu 

dengan paman dan bibimu serta cucuku Sumiati itu!" 

Orang tua itu memutar tubuhnya. Dengan muka penuh 

gembira sesaat dia berpaling ke arah kejauhan di mana 

terlihat desa Jatingaleh dengan hamparan sawah yang 

padinya mulai menguning. 

Mendadak air muka Kioro Mertan berubah. "Ya Tuhan! 

Apa yang terjadi di desa!" 

Wiro berpaling dan memandang ke jurusan desa. Dari 

tempat mereka berdiri di tepi telaga itu keduanya melihat 

asap hitam mengepul dari atap beberapa rumah. 

Penduduk tampak berlarian kian kemari. Di beberapa 

jurusan desa kelihatan penunggang-penunggang kuda 

bergerak dalam suasana yang onar. Sayup-sayup terdengar 

pekik jerit di selingi oleh suara ringkik kuda. 

"Kebakaran! Desa diamuk api!" teriak Kioro Mertan.Wiro menatap tajam lalu berkata, "Kalau ada empat 

lima rumah yang berjauhan dimakan api dalam waktu 

bersamaan, lalu penduduk tampak berlarian sambil ber-

teriak-teriak, itu bukan kebakaran. Rumah-rumah itu 

sengaja dibakar! Lihat orang-orang yang menunggang kuda 

itu!" 

Kioro Mertan tidak mendengar lagi apa yang dikatakan 

Wiro. Dia juga melupakan itik-itiknya yang ada di telaga. 

Orang tua ini dengan seluruh tenaga yang biasa 

dikumpulkannya lari menuruni bukit menuju ke desa. 

Ketika Wiro dan dan orang tua itu sampai di Jatingaleh 

mereka hanya menemukan sisa-sisa kejahatan biadab 

menghampar di antara reruntuhan rumah penduduk yang 

masih dikobari api. Jerit tangis terdengar dimana-mana. 

Tubuh-tubuh bergelimpangan. Ada yang sudah jadi mayat. 

Ada yang masih meregang nyawa dengan badan penuh 

luka bekas bacokan atau tusukan. 

Kioro Mertan menemukan rumahnya termasuk salah 

satu yang musnah dimakan api. Dia berteriak-teriak seperti 

orang gila memanggil-manggil istrinya. Dekat sebuah 

lumbung padi yang telah berubah menjadi puing-puing 

hitam tergeletak sosok tubuh seorang perempuan tua. Ada 

guratan luka yang sangat dalam di pelipis dan pipi kirinya. 

"Bune Wini...!" teriak Kioro Mertan begitu melihat 

istrinya. Dia menghambur dan jatuhkan diri, merangkul 

perempuan itu. "Apa yang terjadi bune. Katakan apa yang 

terjadi...!" Dengan bajunya Kioro Mertan menyeka darah 

yang membasahi wajah istrinya. 

Perempuan itu mengerang panjang tak tahan rasa sakit 

yang dideritanya. Kedua matanya terpejam. 

"Bune...! Bune...! Kau jangan mati bune! Kau tidak boleh 

mati!" teriak Kioro Mertan sesenggukan. Tubuh istrinya 

diguncang-guncangnya berulang kali. Saat itu setelah me-

mandang berkeliling beberapa kali, Wiro ikut jongkok disamping kedua orang itu. 

"Pake ...syukur kau datang..." terdengar suara sangat 

perlahan keluar dari mulut perempuan tua itu. Dia bicara 

dengan kedua mata masih tetap memicing. 

"Katakan apa yang terjadi bune. Bicara bune! Ya 

Tuhan!" 

"Orang-orang jahat itu pakne. Gerombolan Ganco Item! 

Mereka menyerbu desa. Membakar... merampok... Lekas 

ke rumah anak kita pakne ... Aku kawatir..:" Ucapan 

perempuan tua itu hanya sampai di situ. 

Kioro Mertan meraung dan mengguncang tubuh itu. 

Wiro menyaksikan kejadian itu dengan tangan terkepal. 

"Masih saja ada manusia-manusia jahat biadab ber-

keliaran menimbulkan malapetaka..." katanya geram. 

"Bapak tua...," kata Wiro. "Mari saya bantu mendukung 

istrimu ke gubuk sana. Ada balai-balai di depan gubuk. 

Baiknya kita baringkan dia di atas balai-balai itu." 

"Aku...aku masih sanggup mendukungnya sendiri," 

jawab Kioro Mertan. Dan orang tua bungkuk ini memang 

ternyata mampu mendukung lalu membaringkan jenazah 

istrinya di alas balai-balai. 

"Bapak, tunjukkan pada saya di arah mana rumah 

kepala desa menantumu itu." 

Kioro Mertan menyeka kedua matanya yang basah. Lalu 

dengan menggigit bibir diusapnya kening dan rambut putih 

istrinya. 

Orang tua ini berpaling pada Wiro. Dengan suara ber-

getar dia berkata, "Ikuti aku!" 

Rumah besar di tengah desa itu tenggelam dalam 

korban api. 

"Rana! Rawini! Sum...! Dimana kalian?!" teriak Kioro 

Mertan. Tak ada sahutan. Orang tua itu berteriak sekali lagi 

sementara Wiro melangkah cepat mengelilingi rumah yang 

sewaktu-waktu siap ambruk itu, dari atas sebuah pohondekat rumah besar yang terbakar terdengar suara pekikan-

pekikan aneh. Wiro berpaling. Tampak seekor monyet ber-

bulu coklat melompat-lompat kian kemari sambil memekik 

tiada henti. Wiro alihkan pandangannya ke arah rumah 

yang terbakar kembali. Tiba-tiba dibalik kobaran api dia 

melihat ada dua sosok tubuh saling berangkulan, tersandar 

ke dinding bangunan. 

Wiro tidak dapat memastikan apakah kedua orang yang 

saling berangkulan itu satu lelaki, satunya perempuan 

masih berada datam keadaan hidup. Sulit untuk 

menerobos masuk ke dalam bangunan yang tengah dilalap 

api itu. Namun Pendekar 212 masih dapat melihat satu 

celah kemungkinan. Dia siap melompat ketika tiba-tiba 

dilihatnya Kioro Mertan dari jurusan yang lain hendak 

melakukan hal yang sama. Namun orang tua ini tidak 

menyadari kalau bagian atap dari arah mana dia hendak 

melompat, akan segera roboh. 

"Bapak Kioro! Jangan!" teriak Wiro memperingatkan. 

Namun orang tua itu sudah nekad. Wiro terpaksa 

bergerak memutar lalu melompat. Dia masih sempat 

mencekal lengan Kioro Mertan sebelum orang tua itu 

melompat. Begitu tangannya memegang lengan, Wiro 

segera menarik kencang-kencang. Orang tua itu terseret 

keras. Tubuhnya dan tubuh Wiro jatuh saling tindih di 

tanah. Hanya sekejap setelah keduanya terhampar di 

tanah, atap bangunan yang dikobari api jatuh ke bawah. 

Api dan asap hitam menggebubu ke udara. Wiro menarik 

tubuh Kioro Mertan menjauhi bangunan. 

Lalu ditinggalkan orang tua itu, lari ke samping kanan 

bangunan dan dari sini menyusup ke dalam rumah. 

Dikeliiingi oleh kobaran api, tidak mudah bagi Wiro 

untuk mengangkat dua sosok tubuh itu. Doengan susah 

payah sementara ujung bajunya ada yang hangus dimakan 

api sedang lengan kirinya tergurat benda lancip mengucurkan darah, Wiro akhirnya berhasil juga membawa dua 

sosok tubuh itu keluar dari bangunan yang terbakar. Baru 

saja dia membaringkan tubuh-tubuh itu di tanah terdepgar 

suara menggemuruh. Seluruh bangunan besar itu roboh. 

Api menderu ke atas beberapa tombak. Asap hitam di-

barengi suara letupanletupan ikut mencuat ke udara. 

"Rana! Rawini anakku!" terdengar teriakan Kioro 

Mertan. Orang tua ini menghambur ke tempat itu, langsung 

jatuhkan diri di antara dua sosok tubuh yang barusan di-

baringkan Wiro di tanah. 

Wiro sendiri saat itu tegak tak bergerak sambil me-

nekap luka berdarah di lengan kirinya. Kedua matanya 

memperhatikan dua orang yang barusan ditolongnya. Yang 

perempuan pasti itu Rawini, anak perempuan Kioro Mertan 

jelas tidak tertolong lagi. Perempuan malang ini telah jadi 

mayat. Ada luka-luka dalam berbentuk aneh dan 

mengerikan di beberapa bagian tubuhnya. Luka yang sama 

juga kelihatan di sekujur tubuh suaminya yaitu Rana-

legowo. Daging pada luka itu bukan saja kelihatan ditoreh, 

tetapi juga seperti dikoyak dan tercongkel ke atas. Rana-

legowo ternyata masih bernafas walaupun keadaanya tak 

mungkin diselamatkan lagi. 

Dari mulutnya terdengar suara erangan. Menyebut 

nama seseorang yang tidak begitu jelas terdengarnya. 

"Legowo...Legowo! Mana Sumi...! Mana cucuku...?!" 

Kioro Mertan bertanya dengan suara keras. Orang tua ini 

membuka bajunya dan menutupkannya ke tubuh Rawini 

yang penuh luka-luka mengerikan. 

"Bapak.." terdengar Ranalegowo berucap. 

"Orang-orang Ganco Item menculik Sumiati. Mereka 

juga merampok uang lumbung desa! Tolong... Selamatkan. 

Jangan pikirkan saya..." 

"Jahanam!" kutuk Kioro Mertan. 

Wiro berlutut dekat-dekat tubuh Ranalegowo."Paman..." berucap Wiro Sableng dengan suara 

tersendat. 

Paras Ranalegowo mengernyit. Entah karena menahan 

sakit atau terkejut oleh suara Pendekar 212 tadi. Yang 

jelas kedua matanya yang sejak tadi terpejam kini tampak 

terbuka. 

Wiro melihat tak ada lagi sinar kehidupan pada kedua 

bola matanya itu. Wiro memegang lengan Ranalegowo. 

Ranalegowo masih bisa melihat walaupun peman-

dangannya tidak jelas lagi. Samar-samar dia melihat 

seorang pemuda berambut gondrong disampingnya. 

"Siapa kau yang memanggilku... pa... paman." 

"Sa... Saya Wiro Saksana." jawab Wiro menyebut nama 

aslinya. "Saya putera Ranawelang, kakak paman..." 

Kembali wajah Ranalegowo kelihatan mengernyit. Dia 

coba berpikir tetapi dikala maut hendak datang merenggut 

jiwanya itu otaknya tak lagi bekerja. 

"Rana.... welang..." desisnya. 

Wiro usap-usap kepala pamannya "Betul, saya anak 

Ranawelang, kakak paman yang tinggal di barat." Semula 

Wiro hendak menotok bagian-bagian tertentu dari tubuh 

Ranalegowo. 

Namun dilihatnya keadaan pamannya itu sulit untuk 

ditolong. 

Maka dia hanya bisa memandangi dengan hati pedih. 

Ketika hidup dia tak pernah mengenal orang ini. Namun 

dari air mukanya Wiro mengetahui bahwa pamannya peker-

ja keras berhati baja. Seorang yang memiliki sikap jantan 

dan jujur. Bersedia melupakan kesulitan sendiri untuk me-

nolong orang lain. "Dia seorang paman yang baik. Sayang 

aku hanya bisa melihatnya sesaat saja. Apakah ayahku 

juga memiliki ciri-ciri seperti paman?" bertanya Wiro dalam 

hati. 

Di atas pohon kembali terdengar pekik monyet coklattadi. Kemudian terdengar suara sesunggukan Kioro 

Mertan. Wiro segera tahu apa yang terjadi. Ranalegowo 

adik ayahnya telah menyusul istrinya. 

Dari atas pohon monyet coklat tiba-tiba memekik keras 

lalu melompat ke tanah dan mengelilingi jenazah Rana-

legowo. 

"Ken Cilik hentikan jeritanmu! Aku tahu perasaanmu! 

Kita semua merasa sangat kehilangan..." Terdengar Kioro 

Mertan berkata sambil menutupi mukanya dengan kedua 

tangan. 

"Ken Cilik..." kata Wiro dalam hati. "Pasti monyet coklat 

ini yang dimaksudkan si orang tua. Mungkin binatang ini 

peliharaan pamanku. Binatang terkadang memiliki perasa-

an lebih tajam dan lebih halus dari manusia." 

Monyet itu tiba-tiba melompat ke atas bahu kanan Kioro 

Mertan. Orang tua ini mengusap-usap punggungnya 

beberapa kali. Wiro jadi terkejut ketika Ken Cilik tiba-tiba 

secara tak terduga melompat ke atas bahu kirinya lalu 

menjerit keras membuat sakit telinga sang pendekar. Wiro 

tak berani bergerak, kawatir monyet itu mencakar atau 

menggigitnya. 

"Putus telingku!" kata Pendekar 212 dalam hati. Namun 

setelah menjerit lagi beberapa kali monyet itu hanya 

bertengger diam di pundak Wiro, malah menyurukkan 

kepalanya ke balik rambut gondrong sang pendekar sambil 

mengeluskan suara seperti merintih. Walau dia jadi 

merinding kegelian tapi Wiro kini bisa menarik nafas lega. 

Dicobanya mengusap kuduk dan punggung Ken Cilik. 

Monyet ini semakin menempelkan tubuhnya ke bahu 

wiro. Binatang itu tampak jinak namun tetap saja Wiro 

merasa agak merinding. 

Wiro dan Kioro Mertan melihat kini banyak orang ber-

kerumun berkeliling di tempat itu. Mereka adalah pen-

duduk desa yang baru saja mengalami malapetaka hebat

itu. Wajah mereka masih pucat membayangkan ketakutan. 

Anak-anak menangis dalam dukungan ibu mereka. Semua 

menatap pedih pada Kioro Mertan dan sosok jenazah 

kepala desa mereka beserta istrinya yang ikut jadi korban. 

"Orang-orang jahat itu sudah pergi. Untuk sementara tak 

ada yang perlu ditakutkan," Wiro coba menenteramkan. 

"Bantu aku mengurus jenazah warga desa yang menjadi 

korban," berkata Kioro Mertan dengan hati pedih. Lalu dia 

ingat sesuatu. Orang tua ini memandang berkeliling. 

"Gerombolan rampok Ganco Item telah menculik Sumiati 

cucuku. Ada yang tahu ke arah mana para penjahat 

melarikannya?" 

Dua orang menunjuk ke jurusan tenggara. 

Kioro Mertan mengangguk. "Memang ada kabar-kabar 

bahwa mereka bermarkas di tenggara. Di sekitar hutan 

belantara dekat Kudus. Aku akan mengejar mereka ke 

sana. Bahkan sampai ke perut bumi sekalipun!" 

Penduduk desa yang tewas akibat keganasan gerombol-

an rampok Ganco Item berjumlah enam belas orang. Sem-

bilan letaki, lima perempuan dan dua orang anak-anak. Di 

luar desa Jatingaleh di mana terletak daerah pekuburan 

kini kelihatan empat belas kubur baru. Dua anak yang jadi 

korban dikubur satu dengan ibu masing-masing. 

Suasana hening mencekam. Di langit sang surya ber-

sinar terik menyengat kulit. Tapi agaknya tak seorangpun 

mau beranjak sampal akhirnya Kioro Mertan, orang paling 

tua yang ada di tempat itu berkata. 

"Kalian semua kembali ke desa. Lakukan apa saja 

untuk memperbaiki keadaan..." 

Satu demi satu orang desa beranjak dari tempatnya. 

Namun ada enam orang pemuda dan tiga orang lelaki 

baya tetap berada di pekuburan itu. Salah seorang dari 

mereka berkata. 

"Bapak Kioro. Kami tadi mendengar maksudmu hendakmengejar para penjahat. Kami semua disini slap ikut ber-

samamu melakukan pengejaran." 

"Kalian semua orang-orang jantan yang gagah perkasa;" 

kata Kioro Mertan dengan hati terharu. "Tapi kalian lebih 

diperlukan di desa untuk membantu membangun rumah-

rumah yang musnah. Biar aku sendiri yang mencari 

manusia-manusia puntung neraka itu!" 

Sembilan lelaki itu nampak kecewa mendengar ucapan 

Kioro Mertan. Sementara itu Wiro sendiri dalam hati 

bertanya-tanya. "Orang tua bungkuk ini, dia siapakah dan 

bisa mengandalkan apakah hingga berkata ingin mengejar 

sendiri para penjahat yang telah menculik cucunya itu?" 

Satu demi satu ke sembilan orang itu meninggalkan 

pekuburan. Ketika mereka hanya tinggal berdua, Kioro 

Mertan berpaling pada Wiro lalu berkata. 

"Pertemuan kita hanya sampai disini. Aku harus pergi 

mencari manusia-manusia jahat itu. Aku akan kembali ke 

desa untuk mengambil kuda." 

Lalu tanpa menunggu jawaban Wiro orang tua itu 

melangkah ke jurusan dua buah kuburan baru yaitu kubur-

an anaknya dan menantunya. Wiro mengikuti dari bela-

kang. 

***

Dihadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan 

merenung beberapa lamanya. Wiro mengikuti dari 

belakang. 

Di hadapan kedua kuburan itu Kioro Mertan merenung 

beberapa lamanya. Kemudian terdengar suara orang tua 

ini berkata. 

"Nasibmu tidak beruntung, Wiro. Kau tak sempat mene-

mui paman dan bibimu." 

"Mungkin memang begitu takdir saya. Takdir kita 

semua." 

Kioro Mertan tersenyum pedih. "Ini cobaan berat buat-

ku. Terkadang kita manusia bisa salah berpikir dan men-

jadi sesat dalam penderitaan. Mengapa Tuhan mengambil 

begitu cepat orang-orang baik seperti menantuku dan 

anakku, penduduk desa yang tidak berdosa. Sementara 

manusia-manusia jahat dibiarkan gentayangan melakukan 

kekejaman tiada taranya..." 

"Jangan berpikir seperti itu bapak. Salah-salah kita bisa 

jadi kehilangan iman terhadap Gusti Allah," kata Wiro. 

Kioro Mertan menarik nafas dalam. 

"Selamat tinggal anak muda. Aku harus pergi." 

"Bapak, tunggu dulu. Saya ingin mengatakan sesuatu," 

kata Wiro pula. 

"Apa yang hendak kau katakan, Wiro?" 

"Ranalegowo adalah pamanku. Istrinya adalah bibiku 

dan Sumiati putri mereka adalah saudara sepupuku. Sayamerasa punya kewajiban untuk menuntut balas. Mohon 

dimaafkan. Mengingat usiamu yang sudah lanjut, maukah 

kau mewakilkan kepada saya untuk melakukan pengejar-

an?" 

Orang tua itu menatap Wiro lama sekali. Lalu dia ber-

kata, "Kepolosan hati dan keberanianmu sama dengan 

menantuku. Pasti ayahmu memiliki sifat jantan seperti itu 

juga. Tetapi tidak anak muda. Urusan balas dendam ini 

adalah urusanku. Usiaku memang tua tapi untuk menuntut 

balas soal umur tidak meniadi masalah. 

"Saya mengerti bapak tua. Namun yang kau hadapi 

adalah segerombolan manusia-manusia jahat. Yang tidak 

segan-segan membunuh orang sekalipun perempuan atau 

anak-anak." 

"Kau betul. Siapa yang tidak kenal dengan gerombolan 

Ganco Item. Kejahatan dan kekejaman mereka iebih ganas 

dari iblis..." 

"Siapa sebenarnya penjahat-penjahat itu, pak tua?" 

tanya Wiro. 

"Mereka terdiri dari tiga orang yang memegang pucuk 

pimpinan. Dua di antaranya bersaudara yaitu Ganco Langit 

sang kakak, lalu adiknya Ganco Bumi. Yang ketiga dikenal 

dengan nama Ganco Laut. Ketiganya berkulit hitam legam. 

Itu sebabnya mereka menyebut diri Ganco Item. Mereka 

tidak punya tempat tetap. Tapi ada kabar bahwa mereka 

suka bermarkas di sebuah hutan di timur Kudus. Mereka 

bisa keluar masuk kota-kota di pesisir utara ini tanpa ada 

yang berani menganggu..." 

"Termasuk pasukan atau perajurit Kadipaten?" tanya 

Wiro. 

"Jangankan pasukan Kadipaten. Balatentara dari Kota 

rajapun tidak berani turun tangan..." 

"Pasti ada apa-apanya." 

"Itu bukan rahasia lagi. Ada kabar yang kusirap bahwasebagian dari hasil kejahatan mereka dikirimkan sebagai 

upeti kepada beberapa orang Adipati di pesisir utara ini, 

juga dikirim pada pejabat-pejabat tertentu di Kotaraja! Lain 

dari itu kabarnya mereka juga bekerjasama dengan 

komplotan lanun Tengkorak Darah yang sering malang 

melintang di Laut Jawa." 

"Bekerjasama bagaimana maksudmu, pak tua?" 

"Bajak laut Tengkorak Darah menjual sebagian hasil 

bajakan mereka dengan harga murah pada komplotan 

Ganco Item. Ganco Item tidak membayar dengan uang, tapi 

menyerahkan segala kebutuhan makanan atau minuman 

bagi para bajak. Termasuk perempuan-perempuan!" 

Sampai di situ Kioro Mertan terdiam. Dia ingat pada 

cucunya yang diculik. 

"Sumiati..." desisnya. "Aku harus melakukan pengejaran 

sekarang juga!" 

Lalu tanpa berkata apa-apa lagi pada Wiro orang tua ini 

lari ke arah desa. Sesaat Wiro perhatikan cara lari Kioro 

Mertan. Ada rasa heran, dalam diri Pendekar 212 kini. 

Orang tua bungkuk itu bukan lari seperti orang biasa. 

Sebentar saja dia sudah lenyap di tikungan jalan di ujung 

pekuburan. 

"Ah, orang tua itu pasti punya ilmu kepandaian. Larinya 

saja sebat sekali. Aku telah menduga salah padanya. 

Untung dia tidak tersinggung. Namun tak bisa kupercayai 

dia bakal mampu menghadapi komplotan Ganco Item 

seorang diri. Aku harus menyertainya. Bukankah dia bisa 

kuanggap sebagai kakek sendiri?" Serta merta Wiro tinggal-

kan pula pekuburan itu. 

Tapi baru bergerak dua langkah tiba-tiba terdengar 

suara pekik-pekik keras. Sebuah benda melayang ke arah 

Wiro. Mengira ada yang hendak membokongnya Pendekar 

212 segera hendak mengantam. Tapi hup! 

Benda yang melayang itu hingga di bahu kirinya. Wiroberpaling. Dia melihat satu kepala kecil, sepasang mata 

coklat yang bersinar-sinar lalu sebuah mulut yang 

menyeringai memperlihatkan barisan gigi-gigi kecil putih 

dan runcing. 

"Ken Cilik...! Kau mengejutkanku saja!" kata Wiro. 

Monyet di atas bahu kiri Wiro menyeringai lalu memekik 

beberapa kali. 

"Anak nakal! Apa kau mau ikut kemana aku hendak 

mencari manusia-manusia jahat itu?!" 

Monyet coklat itu memekik tiga kali. 

"Bagus, kau mengerti apa yang aku bilang. Kau bisa 

membantuku. Paling tidak mengenali tiga orang gembong 

Ganco Item itu." 

"Kuik... kuik... kuik..." Ken Cilik kembali memekik. 

***

DiDALAM hutan belantara di sebelah timur Kudus 

Ganco Langit menyambut kedatangan adiknya dan 

Ganco Laut yang baru saja kembali dari penjarahan 

di Jatingaleh. 

Begitu Ganco Bumi melompat turun dari kudanya, 

Ganco Langit memeluk adiknya ini dan menepuk-nepuk 

bahunya. 

"Bagus! Kau ternyata mampu bergerak sendiri! Satu 

pertanda bahwa kita semakin kuat!" kata Ganco Langit. 

Ganco Bumi tertawa sambil mengusap-usap dagunya 

yang ditumbuhi janggut kasar. 

Ganco Langit melangkah mendekati Ganco Laut. Dia 

juga menepuk bahu kawannya ini seraya bertanya, "Kalian 

tidak menemui kesulitan?" 

"Sama sekali tidak. Pasukan Kerajaan tidak kelihatan 

mata hidungnya. Apalagi pasukan Kadipaten." jawab Ganco 

Laut. 

Ganco Langit tertawa gelak-gelak. "Mana mereka berani 

terhadap kita. Baru melihatmu saja mereka sudah ter-

kencing-kencing ketakutan. Kalaupun mereka tahu kita 

hendak menuju satu sasaran, mereka sengaja menghindar 

ke jurusan lain, pura-pura tidak tahu!" Ganco Langit tertawa 

lagi. 

"Eh… banyakkah hasil kita kali ini?" Dia memandang 

berkeliling. 

"Rejeki kita besar sekali hari ini Langit," menjawab 

Ganco Bumi si adik. "Apa yang kita sangka tidak meleset.Jatingaleh memang desa kaya. Lihat ini!" 

Ganco Bumi melangkah ke kuda tunggangannya ke 

dekat kaki kanannya. Terdengar suara gemerincing se-

waktu kantong itu jatuh di tanah. 

Ganco Langit membungkuk, membetot lepas ikatan 

kantong kain lalu memasukkan tangannya ke dalam 

kantong. Ketika tangannya itu diangkat kelihatan dia 

menggenggam uang perak dan beberapa potong perhiasan 

dari emas! 

Kedua mata Ganco Langit tampak berkilat-kilat. 

"Kita akan rayakan peristiwa besar ini nanti malam!" 

kata Ganco Langit. 

"Cocok!" teriak Ganco Bumi. "Tapi kau belum melihat. 

Ada lagi barang antik yang kudapat di Jatingaleh!" kata 

Ganco Bumi. Dia mengangkat tangannya, memberi tanda 

pada Ganco Laut. 

Orang ketiga dari komplotan Ganco Item ini bertepuk 

dua kali, seorang anggota komplotan muncul menarik se-

ekor kuda. Di punggung binatang ini membelintang se-

sosok tubuh yang ditutupi dengan sehelai selimut besar. 

Anggota komplotan itu membawa kuda yang ditariknya 

ke hadapan Ganco Langit. Ganco Bumi kemudian men-

dekat dan menarik selimut yang menutupi. Begitu selimut 

tersingkap kelihatanlah sesosok tubuh seorang gadis, ter-

geletak menelungkup di atas punggung kuda. 

"Walah! Bokongnya besar amat!" kata Ganco Langit. 

Kedua matanya berkilat-kilat. 

Ganco Laut dan Ganco Bumi sampai tertawa bergelak. 

"Kau baru melihat bokongnya. Belum menyaksikan 

wajahnya!" kata Ganco Bumi. Lalu di baliknya tubuh yang 

menelungkup dan masih dalam keadaan pingsan itu. Kini 

kelihatan Wajah gadis yang pingsan itu. Pakaiannya di 

sebelah dada terbuka membuat payudaranya tersibak 

menggelembung padat. Rambutnya yang panjang hitamtergerai hampir menyetuh tanah. 

"Wah! Betul-betul cantik!" kata Ganco Langit. "Belum 

pernah aku melihat perawan secantik ini! Eh, dia masih 

perawan?" tanya Ganco Langit seraya berpaling pada 

adiknya. 

"Aku jamin Langit," jawab Ganco Bumi. 

"Perawan tulen!" kata Ganco Laut pula. 

"Anak siapa dia?" 

"Ranalegowo." 

"Hemmm, tidak sangka kepala desa itu menyimpan 

barang antik begini rupa. Berkali-kali kite meminta uang 

perlindungan padanya. Selalu ditolak. Kini malah dia bukan 

saja memberikan uang dan perhiasan, tetapi juga anak 

gadisnya!" Tiga pimpinan gerombolan Ganco Item tertawa 

mengekeh. "Jadi kita pesta malam ini?" 

"Pesta semalam suntuk!" jawab Ganco Bumi. Anggota 

komplotan yang ada di sekitar situ dan mendengar hal itu 

serta merta bertempik sorak gembira. 

"Karena kalian yang berbuat jasa, kuserahkan gadis ini 

pada kalian berdua. Kalian boleh menggarapnya ber-

gantian sepuas hati. Sekali ini aku tak apa mendapat sisa. 

Setelah kita puas, aku akan menyerahkannya pada sese-

orang. Aku ada rencana bagus!" 

Ganco Bumi dan Ganco Laut sesaat saling pandang. 

Tidak menyangka pimpinan mereka mau mengalah seperti 

itu. Saking gembiranya Ganco Bumi dan Ganco Laut saling 

berpelukan lalu tertawa gelak-gelak. 

Ganco Langit menyelinap masuk ke sebuah tenda. Di 

sini berbaring seorang perempuan muda berbadan gemuk 

tapi berdaging padat. Tubuhnya harus ditutup dengan 

sehelai kain, itupun hanya sebatas pusat hingga payu-

daranya yang besar kelihatan putih menantang. 

"Saya tadi mengintai," kata perempuan itu seraya 

bangkit dan duduk. Payudaranya yang besar kelihatanmemberat ke bawah. 

"Mengintai? Lalu ape yang kau lihat?" tanya Ganco 

Langit. 

"Kawan-kawan Ganco Langit datang membawa seorang 

gadis berambut panjang. Pasti malam ini Ganco Langit 

akan melupakan saya dan berpuas-puas dengan gadis 

baru itu." 

"Dia memang cantik. Tapi aku lebih suka menggeluti 

tubuhnya Jaminten. Gadis itu biar menjadi bagian Ganco 

Bumi dan Ganco Laut." 

"Betul itu?" tanya perempuan itu. 

"Rebahkan tubuhmu di sampingku. Akan kubuktikan 

bahwa aku lebih menyukai dirimu:' 

Perempuan gemuk bernama Jaminten tampak ter-

senyum lalu merebah dirinya di atas tikar. Kedua tangan-

nya diangkat dan dijadikan bantal pengganjal kepala. Ke-

dua ketiaknya yang putih tampak penuh ditumbuhi bulu-

bulu hitam lebat. 

Ganco Langit suka sekali pada bulu-bulu itu. Hidungnya 

diselusupkan ke ketiak kiri Jaminten. Perempuan itu ter-

pekik kecil. Kain yang menutupi auratnya sebelah bawah 

ditendangnya. Kini dia menelentang terdengar memburu. 

Ganco Langit membalik. Nafasnya terdengar memburu. 

Orang-orang Ganco Item mempunyai kebiasaan tertentu 

setiap habis melakukan perampokan Mereka melarikan 

diri ke tempat persembunyian dengan meninggalkan paling 

tidak tiga orang anggota di satu tempat. Ketiga anggota 

komplotan penjahat itu ditugaskan untuk memantau apa-

kah ada yang melakukan pengejaran. Jika ada dan jumlah 

mereka tidak terlalu banyak maka mereka diharuskan 

untuk menyerang para pengejar itu. 

Sebaliknya jika kekuatan pihak pengejar jauh lebih 

besar maka mereka akan membuat gerakan-gerakan 

tipuan sehingga para pengejar memburu ke arah yang

salah. 

Hari itu, setelah menyerbu dan menjarah desa Jati-

ngaleh Ganco Bumi menempatkan tiga orang anak buah-

nya di sebuah tikungan jalan jauh dari sungai kecil yang 

membelah desa. Menurut perhitungan Ganco Bumi di Jati-

ngaleh yang merupakan desa petani dan peternak tidak 

ada orangorang yang perlu ditakuti. Kepala desa yang 

membekal ilmu silat sudah terbunuh. Karenanya tiga orang 

saja sudah dirasakan cukup untuk melakukan peng-

hadangan. Ketiga anggota gerombolan ini menunggangi 

kuda. 

Sampai matahari tinggi, tiga orang penjahat itu tidak 

melihat adanya tanda-tanda bakal ada yang akan me-

lakukan pengejaran. 

"Bagaimana kalau kita segera menuju ke Kudus saja?" 

Salah seorang anggota komplotan berkata. 

"Pimpinan memerintahkan kita tetap berada di sekitar 

tempat ini sampai menjelang sore. Jika kau mau melanggar 

perintah dan ingin mendapatkan hajaran dari Ganco Bumi, 

kau boleh saja pergi ke mana kau suka." 

"Tentu saja aku tak berani melanggar perintah. Cuma 

aku selalu sial. Mengapa aku yang selalu ditugaskan me-

lakukan penghadangan setiap kita selesai merampok. 

Sementara yang lain-lain bersenang-senang menikmati 

hasil jarahan." 

Dua kawanannya tidak menyahuti. 

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. 

"Ada orang datang. Tampaknya cuma sendirian. Kalian 

bersiaplah!" kata anggota komplotan 

Ganco Item yang bertindak sebagai atasan dari kedua 

anggota lainnya itu. Mereka masuk lebih dalam ke balik 

tikungan jalan. Masing-masing memegang hulu senjata 

mereka yang berbentuk aneh yakni sebatang besi yang 

ujungnya melengkung seperti arit tetapi runcing dan agakpipih. Senjata ini mereka sebut Ganco. Senjata dengan 

bentuk yang aneh itu mempunyai kemampuan luar biasa. 

Selain dapat digunakan untuk membacok atau menusuk, 

Ganco Besi itu bisa pula mencungkil tubuh lawan hingga 

hatinya terbetol keluar. Dapat dibayangkan jika senjata 

berujung runcing berkelik itu menancap di leher atau 

menembus perut lawan. Isinya pasti terbongkarl Selain itu 

Ganco tersebut bisa diberi bertali atau rantai kecil sehingga 

dapat dipakai untuk menyerang lawan yang berada dalam 

jarak jauh. 

Derap kaki kuda terdengar semakin keras. Tak lama 

kemudian muncul seorang penunggang kuda yang me-

macu tunggangannya dengan kencang. 

"Cuma seorang tua renta berambut putih!" memberi 

tahu salah seorang komplotan. 

"Bagaimana, akan kita kerjakan?" 

Yang bertindak sebagal pimpinan di tempat itu tidak 

menjawab. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Ganco 

besi dipinggangnya dicabut. Ternyata ganco ini telah 

dihubungkan dengan seutas rantai kecil sepanjang hampir 

dua tombak. 

Ketika kuda bersama penunggangnya melewati tikung-

an, ganco besi itu diputar kencang-kencang lalu di 

lemparkan ke depan. Besi berkait ini melesat ke arah kaki 

kuda yang berlari cepat. 

Lalu terjadilah hal yang hebat. Ujung berkeluk ganco 

besi mengait kaki kanan depan kuda tunggangan orang tua 

berambut putih. Binatang ini meringkik keras. Bagian tajam 

besi menancap tepat di atas sambungan lututnya. Lalu 

ketika ganco itu ditotok keras, binatang yang berlari ken-, 

cang ini jadi hilang keseimbangannya. Kuda itu masih 

sempat meringkik sekali lagi sebelum jatuh tersungkur dan 

melemparkan penunggangnyal. 

Tiga orang anggota komplotan Ganco Item sama memastikan bahwa orang tua berambut putih itu akan cidera 

berat akibat terpelanting jatuh dari kuda yang tengah 

berlari kencang.Tapi mereka kecele. 

Si orang tua yang bukan lain adalah Kioro Mertan 

membuat gerakan jungkir balik, menyentuh tanah dengan 

kedua telapak tangannya lalu mengikuti arah mentalnya 

dia bergulingan di tanah. Di lain saat dia sudah melompat 

tegak dan sebilah parang tergenggam di tangannya. Kedua 

matanya tampak berkilat-kilat. 

"Hemmm... Tua bangka ini boleh juga!" berkata orang 

yang bertindak selaku pimpinan. "Lekas kalian bereskan 

dia agar kita bisa bergabung dengan teman-teman!" 

Dua anggota Ganco Item majukan kuda masing-masing 

ke arah Kioro Mertan. Yang satu mendatangi dari kanan, 

kawannya dari sebelah kirf. Ganco besi ditangan keduanya 

tampak berputarputar hingga mengeluarkan suara 

menderu. Di dahului satu bentakan, dua ganco itu 

berkelebat deras. Yang di sebelah kanan menderu ke arah 

leher sedang yang dari kiri menyambar ke pelipis. 

***

KIORO Mertan sabatkan parangnya ke atas untuk 

menangkis serangan ke arah leher. Sambil tunduk-

kan kepala dia berusaha mengelakkan serangan 

ganco menderu ke kepalanya. 

Trang! 

Di atas kuda, anggota komplotan yang bentrokan 

senjata dengan Kioro Mertan jadi terkejut ketika merasa-

kan tangannya bergetar keras. Dia cepat mundur sambil 

menggenggam ganconya yang hampir terlepas. Tapi Kioro 

Mertan memang sudah mengincar lawan yang satu ini, 

begitu ganco yang menyambar kepala lewat di atasnya, 

orang tua ini memburu ke depan. 

Parangnya berkelebat. 

Orang di atas kuda berteriak keras ketika parang Kioro 

Mertan bersarang dalam di paha kanannya. Darah 

mengucur deras. Sakit dan bingung orang yang cidera 

berat ini sentakkan kudanya menjauh tapi binatang yang 

sudah terlanjur ketakutan ini meringkik keras dan berputar 

ke kiri hingga penunggangnya terhuyung lalu jatuh ber-

gedebuk ke tanah. Sebelum dia sempat bangun tendangan 

kaki kiri Kioro Mertan mendarat di kepalanya. Tak ampun 

lagi orang ini kembali roboh. Kali ini pingsan tak berkutik. 

"Tua bangka jahanam!" membentak anggota Ganco 

Item yang bertindak sebagai pimpinan. Kalau tadi dia 

hanya memerintah maka kini dia sendiri turun tangan. 

Kudanya melompat ke depan. Ganco di tangan kanannya 

menyambar ke dada Kioro Mertan. Si orang tua cepatsorongkan parangnya menangkis. Tapi dari belakang satu 

tendangan menghantam punggungnya. 

Kioro Mertan terbanting ke depan. 

Trang! 

Orang tua ini masih sempat menangkis ganco yang 

menyambar ke dadanya. Selagi lawan di atas kuda ter-

huyung dan kaget dapatkan tangannya terasa pedas orang 

tua itu cepat balikkan diri tepat pada saat lawan yang tadi 

menendangnya dari belakang hendak mengait lehernya 

dengan ujung besi berkeluk! 

Kioro Mertan tusukkan parangnya ke perut lawan. 

Orang di atas kuda menjerit keras, ganconya lepas. Kedua 

tangannya dipakai menekap perut yang ditembus senjata 

Kioro Mertan. Dia menjerit sekali lagi lalu roboh dan ter-

gelimpang di tanah. Sesaat orang ini tampak megap-megap 

dan melejang-lejangkan kedua kakinya sebelum nyawanya 

putus. 

Satu-satunya anggota komplotan yang masih berada di 

atas punggung kudanya mau tak mau menjadi terkesiap 

melihat kejadian itu. "Orang tua ini tidak bisa dibuat main," 

katanya dalam hati. 

Meski rasa was-was kini menyelinapi dirinya namun 

kematian kawannya tadi membuat darahnya mendidih. 

"Orang tua! Kalau aku tidak salah menerka, bukankah 

kau ayah mertua Ranalegowo?" 

Kioro Mertan menyeringai. "Bagus! Sebelum mampus 

kau sudah tahu siapa diriku! Kau dan komplotan 

membunuh menantu dan anak perempuanku! Kalian juga 

menculik Sumiati cucuku! Susul kawanmu!" 

Orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Parang 

menderu ke arah pinggang anggota komplotan. Karena 

merasa tidak leluasa menghadapi lawan dari atas kuda 

maka anggota komplotan Ganco Item segera melompat ke 

tanah. Kioro Mertan tak mau memberi kesempatan. Begitulawan menjejak tanah parangnya segera berkelebat. 

Serangan-serangan orang tua ini benar-benar ganas. 

Dalam waktu dua jurus saja lawannya segera terdesak dan 

anak buah Ganco Langit ini berseru tegang ketika senjata 

terpukul lepas. Sambil mundur dia keluarkan sebuah 

belati. Kalau dengan ganco yang lebih besar dan panjang 

dia tidak sanggup menghadapi Kioro Mertan, apalagi harya 

dengan mengandalkan pisau seperti itu. Beberapa kali saja 

menerima serangan akhirnya dia mati langkah. Dia hanya 

bisa keluarkan seruan pendek dan terbelalak ketika 

parang di tangan kanan orang tua bungkuk itu menembus 

perlengahan dadanya! 

Anggota komplotan yang pertama kali menerima 

hajaran Kioro Mertan dan masih tergelimpang di tanah, 

sebenarnya telah siuman dari pingsannya. Luka di pahanya 

sakit bukan kepalang. Darah masih mengucur. Kepalanya 

yang tadi kena di tendang mendenyut tiada henti, mem-

buat pemandangannya berkunang. Meskipun samar-samar 

ternyata dia sempat menyaksikan kematian kedua kawan-

nya tadi. Hal ini membuat dia ingin segera lari selamatkan 

diri. Namun jika dia kalah cepat pasti dirinya akan jadi 

korban yang ke tiga. Dengan cerdik akhirnya dia me-

mutuskan berpura-pura pingsan terus. Syukur-syukur kalau 

orang tua itu menyangkanya sudah mati. 

Kioro Mertan memandang berkeliling. Seperti yang di-

harapkan anggota komplotan Ganco Item yang masih 

hidup, dia ternyata memang menyangka orang itu sudah 

mati. Sambil menyarungkan parangnya, orang tua ini men-

dekati salah seekor dari tiga kuda anggota penjahat lalu 

melompat ke atas punggung binatang ini dan tinggal-kan 

tempat itu. 

Setelah merasa aman, penjahat yang luka pahanya ber-

usaha berdiri. Dia harus segera menuju keperkemahan 

untuk melaporkan apa yang terjadi. Tapi orang ini sertamerta jatuhkan dirinya ke tanah kembali ketika tiba-tiba 

dia mendengar ada suara derap kaki kuda mendatangi. 

Lewat matanya yang dibukanya sedikit dia melihat seorang 

pemuda berpakaian dan berikat kepala putih muncul di 

tempat itu menunggang kuda coklat. Di atas bahu kirinya, 

dengan satu tangan bergelantungan ke leher pemuda itu, 

ada seekor monyet yang tiada hentinya mengeluarkan 

suara berisik memekakkan telinga. 

"Tenang Ken Cilik. Jangan ribut. Kita pasti menemukan 

kakekmu itu..." kata pemuda di atas kuda lalu mengelus 

monyet di bahunya beberapa kali. Monyet ini berhenti ber-

teriak, hanya kepalanya saja yang berputar-putar kian 

kemari tak bisa diam. 

"Hemmm... Siapa yang punya pekerjaan ini?" terdengar 

pemuda itu kembali berkata sambil menggaruk rambutnya 

yang gondrong. Sesaat dia memandang berkeliling. Mem-

perhatikan sosok tubuh yang bergeletakan di tanah satu 

persatu. Penjahat yang masih hidup merasa nafasnya 

seolah-olah sudah mau putus. Kedua matanya dipejamkan. 

Dia tak berani bergerak bahkan untuk beberapa saat dia 

menahan nafas sedapat-dapatnya. 

Ketika didengarnya suara kaki-kaki kuda dipacu men-

jauh tanda pemuda tadi sudah meninggalkan tempat itu 

baru anggota komplotan Ganco item yang masih hidup ini 

berani membuka mata dan perlahan-lahan mencoba 

bangkit. Dia menggigit bibir melihat luka besar di paha 

kanannya. Dirobeknya bajunya lalu dengan robekan baju 

itu dibalutnya luka yang menganga dan masih berdarah itu. 

Dengan terbungkuk-bungkuk dan terpincang-pincang me-

nahan sakit dia melangkah lalu naik ke atas kudanya. 

Jauh di sebelah depan Pendekar 212 Wiro Sableng 

memacu kuda coklat yang ditungganginya. Tujuannya 

adalah Kudus di mana didengarnya gerombolan Ganco 

Item berada. Dia tidak berhasil menemui Kioro Mertan, tapidia yakin orang tua yang juga merupakan kakeknya itu 

telah lebih dulu menuju ke sana. Wiro tidak mengetahui 

apa yang diandalkannya orang tua lanjut usia dan bungkuk 

itu hingga nekad mengejar para penjahat. Apapun kehebat-

an yang dimilikinya mendatangi markas gerombolan sama 

saja dengan mendatangi sarang macan. Orang tua itu 

harus ditolong. Ini dirasakan sebagai satu kewajiban besar 

bagi Pendekar 212. Apalagi cucunya yang masih ada 

hubungan darah sangat erat dengan Wiro telah pula diculik 

oleh orang-orang jahat itu. 

Wiro menggebrak kuda coklatnya agar lari lebih 

kencang. Namun dia tidak menyadari bahwa arah yang 

ditempuhnya menyimpang cukup jauh dari tujuannya 

hingga ketika akhirnya dia sampai di markas komplotan 

Ganca Item malapetaka besar telah menimpa Kioro Mertan 

dan Sumiati. 

*** 

Rombongan pasukan Kadipaten Jepara itu terdiri dari 

lima orang. Empat orang prajurit dan seorang bintara 

bernama Anggoro yang bertindak selaku pimpinan. Dari 

cara mereka memacu kuda demikian cepat agaknya 

pasukan ini mempunyai satu urusan penting. Saat itu 

mereka tengah bergerak menuju ke timur sementara sinar 

matahari yang menggelincir ke ufuk tenggelamnya mulai 

terasa meredup. 

Di sebuah kali kecil rombongan berhenti untuk memberi 

minuman dan mengistirahatkan kuda sebentar. Ketika 

hendak melanjutkan perjalanan bintara yang bertindak se-

bagai pimpinan mengangkat tangan memberi tanda. 

"Ada orang datang!" katanya. 

Empat perajurit segera letakkan tangan di hulu senjata 

masing-masing. Di seberang kali, dari arah mana tadimereka datang kelihatan seorang penunggang kuda be-

rambut putih. Penunggang kuda ini rupanya juga sudah 

melihat rombongan pasukan Kadipaten itu karena dia 

sengaja mengarahkan kudanya ke tempat rombongan ber-

ada di tepi kali. Sebelum orang berambut putih datang 

dekat, baik bintara maupun empat perajurit itu segera 

mengenali siapa adanya orang yang datang itu. 

"Bintoro Anggoro!" tiba-tiba orang berambut putih itu 

berseru. "Aku gembira bisa bertemu denganmu di tempat 

ini. Sebelumnya aku tidak sempat melapor ke Kadipaten. 

Tapi aku yakin saat ini sudah dilakukan pengusutan." 

Anggoro memandang pada keempat bawahannya se-

saat lalu berpaling pada penunggang kuda yang kini sudah 

sampai dan berhenti di depannya. ; 

"Pak tua Kioro Mertan, aku tidak menyangka akan ber-

temu kau di tempat sejauh ini! Sedang menuju ke mana-

kah pak tua gerangan?" 

"Jadi betul dugaanku kau dan rombongan tidak tahu 

apa yang telah terjadi di Jatingaleh!?" 

Bintoro Anggoro menggeiengkan kepala. "Lekas katakan 

apa yang terjadi. Eh, kulihat ada bercak-bercak darah di 

pakaianmul" 

"Gerombolan Ganco Item menyerbu desa menjelang 

siang tadi. manusia-manusia biadab itu merampok dan 

membunuh. Kepala Desa dan istrinya tewas. Cucuku 

Sumiati diculik. Saat ini aku tengah melakukan pengejaran. 

Para penjahat itu membuat markas sementara di luar 

Kudus. Aku bersyukur menemui kalian di sini. Aku perlu 

bantuan kalian!" kata orang tua berambut putih yang 

ternyata adaiah Kioro Mertan. 

"Kurang ajar! Jadi gerombolan Ganco Item sudah meng-

ganas pula. Bahkan berani menyerbu Jatingaleh!" Bintara 

Anggoro kepalkan tinjunya. Wajahnya menunjukkan ke-marahan.

"Kita tidak punya waktu lama. Ikut aku ke Kudus. Aku 

perlu bantuan kaliani!" kata Kioro Mertan yang ingin segera 

melanjutkan pengejaran. 

"Kami akan membantu!" jawab Anggoro. "Tapi kekuatan 

gerombolan itu cukup besar. Selain tiga pimpinan mereka 

yang berkepandaian sangat tinggi, gerombolan itu memiliki 

lebin dari dua lusin anggota." 

"Kita bisa menyusun rencana seperti ini," sahut Kioro 

Mertan pula. "Kau dan tiga orangmu bersamaku langsung 

menuju tempat persembunyian para penjahat. Anak buah-

mu yang keempat kau perintahkan ke Kadipaten Kudus 

untuk meminta bantuan. Begitu bantuan datang kita terus 

menyerbu." 

Sesaat Anggoro tidak berkata apa-apa. 

Kioro Mertan jadi jengkel dan berkata. 

"Bintoro, urusan ini adalah tanggung jawabmu. Tapi jika 

kau merasa ragu-ragu aku tidak takut melakukan 

penyerbuan seorang diri. Demi darah dan nyawa anak 

cucuku!" 

"Jangan salah menduga pak tua," kata Anggoro pula. 

"Aku setuju pendapatmu. Mari kita berangkat sekarang 

juga." 

Lalu Bintara ini berkata pada salah seorang anak buah-

nya. "Kau langsung menuju Kudus. Laporkan apa yang 

terjadi di Jatingaleh dan katakan apa rencana kita." 

Prajurit itu mengangguk sambil menunjukkan sikap 

siap. Dia juga melihat bagaimana Bintara Anggoro atasan-

nya itu mengedipkan mata kirinya ketika memberikan 

perintah. 

*** 

Hutan belantara itu terang benderang oleh cahaya obor. 

Makanan dan minuman berlimpah ruah. Setiap anggota gerombolan Ganco Item bisa makan dan minum sepuasnya 

serta bersenang-senang dengan perempuan-perempuan 

yang ada di situ. Kebanyakan perempuan-perempuan ini 

adalah perempuan-perempuan penghibur yang datang dari 

pantai utara. Namun ada pula diantara mereka yang diculik 

dan dilarikan dari desa atau kampung yang pernah diserbu 

oleh gerombolan Ganco Item. 

Ganco Langit tegak di depan tenda sambil mengenakan 

baju hitamnya. Dia mengusap keringat yang membasahi 

dadanya lalu memandang ke jurusan di mana Ganco Bumi 

dan Ganco Laut duduk memperhatikannya sambil 

menyeringai. 

Kepala gerombolan penjahat itu balas menyeringai. 

Ketika Ganco Bumi dan Ganco Laut mendatangi, Ganco 

Langit berkata setengah berbisik. 

"Tidak mengecewakan. Tubuh bagus, semua serba 

keras. Betul-betul tidak mengecewakan walau aku cuma 

dapat bekas kalian! Ha.... ha... ha... ha ...!" 

"Seperti rencana, menjelang pagi kita segera akan 

meninggalkan hutan ini menuju ke selatan. Bagaimana 

dengan gadis itu. Kau ingin kita membawanya serta?" ber-

tanya Ganco Laut. 

"Aku sudah cukup puas menikmati tubuhnya tadi. Lagi 

pula aku masih punya Jaminten yang hebat itu. Terserah 

kalian. Jika kalian masih senang, kalian bisa membawanya. 

Saat ini kurasa dia masih setengah pingsan." 

Ganco Laut yang masih dikuasai nafsu, apalagi barusan 

habis meneguk banyak minuman keras menyibakkan kain 

penutup tenda. Di dalam sana dilihatnya Sumiati tergeletak 

tak bergerak tanpa selembar benangpun menutupi tubuh-

nya. Dari mulut gadis malang anak kepala desa Jatingaleh 

itu terdengar suara erangan. Manusia beradab akan luluh 

hati dan perasaannya melihat keadaan dan mendengar 

erangan yang memilukan itu. Tetapi manusia durjanaseperti Ganco Laut justru merasa terbakar nafsunya. 

"Puaskan dirimu Ganco Laut. Kita masih punya banyak 

waktu. Tapi ingat, besok kita ada pekerjaan besar di 

Selatan!" berkata Ganco Langit yang sudah bisa menduga 

apa yang akan dilakukan sobatnya itu. 

Ganco Laut menyeringai. Dia memegang bahu Ganco 

Langit lalu melangkah masuk dalam tenda. 

Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba ada seorang 

anggota komplotan muncul dan berkata. 

"Ganco Langit, anggota pengintai melihat ada se-

rombongan orang berkuda bergerak ke jurusan sini!" 

"Sudah diketahui atau sudah diselidiki siapa mereka?" 

tanya Ganco Langit. 

"Mereka berjumlah lima orang. Yang satu adalah Kioro 

Mertan, ayah kepala Desa Jatingaleh. lalu seorang bintara 

dari Kadipaten Jepara dan tiga orang prajurit anak buah-

nya." 

"Hemmm... " Ganco Langit menatap Ganco Bumi dari 

Ganco Lout sesaat lalu berkata, "Kioro Mertan pasti 

hendak membuat keonaran di sini untuk menyelamatkan 

cucunya. Orang tua itu ternyata punya nyali. Biarkan 

mereka datang ke mari! Rapatkan penjagaan di titik-titik 

rawan. Siapa tahu ada lagi orang-orang tak diundang 

berani muncul di sini!" 

Dari bagian hutan yang gelap lima penunggang kuda 

muncul. Kioro Mertan di depan sekali. Meski sadar 

keadaan dirinya berada di bawah ancaman besar namun 

dengan berani orang tua bungkuk ini melompat dari kuda-

nya dan melangkah cepat ke arah tenda. Sebilah parang 

tergenggam di tangan kanannya. Bintoro Anggoro memberi 

isyarat, mengikuti langkah Kioro dengan cepat. Dia juga 

telah menghunus senjatanya yakni sebatang pedang yang 

ujungnya berkeluk. 

Diam-diam Ganco Langit dan dua pimpinan gerombolan

Ganco Item lainnya jadi bertanya-tanya ketika melihat 

parang bernoda darah kering yang dipegang oleh Kioro 

Mertan. 

"Apa yang telah dilakukan orang tua in!?" tanya Ganco 

Bumi dalam hati. 

Kioro Mertan dan Bintoro Anggoro sampai di depan 

tenda. Sepasang mata orang tua itu berapi-api. Dia tahu 

tiga orang yang tegak di depannya itu pastilah para pe-

mimpin gerombolan biadap Ganco Item tapi tidak tahu 

yang mana Ganco Langit. Maka dia pun membentak. 

"Mana di antara kalian yang bernama Ganco Langit?!" 

"Tua bangka buruk! Kau berani mati bicara keras dan 

menjual lagak di hadapan kami?!" hardik Ganco Laut lalu 

tangannya bergerak hendak menjambak rambut putih 

orang tua itu. 

Ganco Langit menghalangi dan berkata, "Aku Ganco 

Langit! Kau punya nyali besar berani datang ke mari 

Bukankah kau orang tua yang bernama Kioro Mertan, ayah 

mantu kepala desa Jatingaleh? Apa perlumu menyasarkan 

diri datang kemari?!" 

"Aku tidak datang menyasarkan diri. Aku sengaja 

mencarimu! Kau manusia iblis masih bisa bertanya apa 

keperluanku kemari! Bangsat! Kau membunuh anak 

menantuku! Kau juga membunuh lebih dari selusin pen-

duduk Jatilengah. Perempuan dan anak-anak! Merampok! 

Menculik cucuku Sumiati!" 

"Penjelasanmu cukup lengkap. Sekarang katakan saja 

apa maumu Kioro Mertan?!" 

"Bebaskan cucuku! Jika sesuatu terjadi atas dirinya 

akan kugorok batang lehermu! Lihat! Darah di parang ini 

masih kelihatan jelas! Ini adalah darah tiga anak buahmu 

yang sudah kuhabisi!" 

Tampang tiga pimpinan Ganco Item tampak berubah 

sesaat. Tanda tanya parang berdarah itu telah terjawab."Kalau kau datang untuk meminta cucumu, itu soal 

kecil. Kau bisa mendapatkannya kembali!" 

"Ganco Langit.... " 

Ucapan Ganco Laut tertahan. Ganco Langit memberi 

tanda agar dia diam lalu berpaling pada Kioro Mertan. 

"Kau akan mendapatkan cucumu kembali, bapak tua." 

"Mendapatkannya kembali dalam keadaan selamat. Tak 

kurang suatu apapuni Jika..." 

"Kau akan mendapatkannya seperti kataku tadi. Hanya 

saja rnungkin ada yang kurang sedikit. Mungkin dia ku-

kembalikan dalam keadaan tidak berpakaian lagi..." Ganco 

Langit lalu tertawa gelak-gelak. Ganco Bumi ikut tertawa 

sedang Ganco Laut hanya bisa menyeringai. Jika Ganco 

Langit benar-benar hendak mengembalikan gadis itu ber-

arti dia tidak punyai kesempatan untuk mengulangi 

maksud bejatnya. Ganco Laut tak dapat menerka apa 

sebenarnya yang ada di benak kepalanya itu. 

Ganco Langit menjetikkan jari-jari tangannya dan 

anggukkan kepala pada Ganco Bumi. Melihat isyarat ini 

Ganco Bumi segera masuk ke dalam tenda. Ketika keluar 

kelihatan dia memapah sesosok tubuh tanpa pakaian, 

Kioro Mertan seperti disambar petir melihat pe-

mandangan yang menusuk mata itu. 

"Sumi!" teriak orang tua ini. 

"Ka... kakek..." suara Sumiati sehalus bisikan. Gadis 

malang telah dirusak kehormatannya ini secara keji ber-

gantian tegak terhuyung-huyung. 

"Kau mau cucumu, ambillah. Lalu lekas pergi dari sini!" 

kata Ganco Bumi. Tubuh Sumiati didorongnya keras-keras. 

Kioro Mertan cepat memeluk tubuh cucunya sebelum 

jatuh ke tanah. Dia menyambar kain tirai penutup pintu 

tenda lalu menutupi kain itu ke tubuh Sumiati yang saat itu 

terguling tak berdaya di tanah. Kedua matanya terbuka 

lebar, tapi dia seperti tidak melihat apapun kecualibayangan-bayangan menyeramkan yang gentayangan di 

depannya. 

Dari tenggorokan Kioro Mertan terdengar suara meng-

gembor. Dari keadaan Sumiati saat itu dia sudah tahu 

malapetaka apa yang telah menimpa cucunya itu. 

"Iblis durjana!" teriak Kioro Mertan. Dia melompat ke 

hadapan Ganco Langit. Parang di tangannya membabat ke 

arah leher kepala gerombolan itu. 

Trang! 

Sebilah senjata disorongan dari samping menangkis 

bacokan parang si orang tua. 

Kioro Mertan tersentak kaget. Di mundur satu langkah 

dan berpaling lalu membentak keras. 

"Bintoto Anggoro! Apa-apan kau ini!" Kedua mata Kioro 

Mertan seperti hendak melompat dari sarangnya saking 

marah dan kaget tak percaya. "Mengapa kau menangkis 

seranganku! Menolong durjana keparat ini?!" 

Bintoro Anggoro menyeringai. Ganco Langit mendehem 

beberapa kali sementara Ganco Bumi dan Ganco Laut 

mulai keluarkan suara tertawa mengekeh. 

Kioro Mertan memandang berkeliling. Apa yang tidak 

dimengertinya dia mendapatkan jawaban sesaat kemudian 

ketika dia mendengar ucapan Bintaro Anggoro yang mem-

buatnya laksana dipanggang api amarah. 

"Orang tua pikun! Kau terlalu tolol untuk mengetahui 

bahwa kita sebenarnya bukan di pihak sama!" 

"Bangsat! Jadi maksudmu...." 

"Maksudku ini!" jawab Bintoro Anggoro. Lalu tanpa 

terduga sama sekali bintara Kadipaten Jepara ini tusukkan 

pedangnya ke perut Kioro Mertan. . 

Dalam keterkejutannya orang tua itu jadi berlaku 

lengah. Dia baru sadar ketika ujung pedang Anggoro 

masuk ke dalam perutnya sedalam sepertiga jengkal! 

"Pengkhianat keparat!" teriak Kioro Mertan sementara darah mulai mengucur dari perutnya. 

Anggoro terpaksa menarik tangan tak berani menerus-

kan tusukannya karena dengan ganas, setelah keluarkan 

suara menggembor Kioro Mertan menghantam dengan 

parangnya. 

Dengan perut terluka dan darah mengucur orang tua ini 

terus menerjang kalap. Parangnya menderu mengurung 

bintara Kadipaten Jepara itu. Dia tidak menyesalkan ke-

matian dirinya asalkan dia dapat membunuh orang itu. 

Dalam waktu singkat bintara itu terdesak hebat. 

Anggoro bertahan mati-matian. Selama ini dia sama sekali 

tidak mengetahui kalau Kioro Mertan yang dikenalnya se-

bagai petani dan peternak biasa ternyata memiliki ke-

pandaian tidak sembarangan. Dia bertahan mati-matian 

dan keluarkan jurus-jurus tipuan mematikan. Namun ter-

nyata kepandaian Kioro Mertan hampir dua tingkat di 

atasnya. Ketika dia berhasil mengelakkan satu bacokan, 

dari kiri tendangan kaki orang tua bungkuk itu tak dapat 

dieiakkannya. Tubuhnya melintir terhuyung dan dikejapan 

itu pula parang lawan membabat ke lehernya! 

"Tua bungkuk ini boleh juga!" kata Ganco Langit. Seperti 

Bintoro Anggoro dan juga dua pimpinan komplotan Ganco 

Item lainnya, diapun tidak menyangka kalau Kioro Mertan 

bukan saja punya nyali, tapi memang juga punya kepandai-

an. Melihat bintara itu terancam keselamatannya, dia 

memberi tanda pada Ganco Laut. 

Orang ketiga dalam jajaran geromboian Ganco Item ini 

berkelebat ke depan. Dia masuk ke kalangan perkelahian 

hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Di antara 

ketiga pimpinan komplotan Ganco Item, Ganco Laut 

memang menguasai ilmu silat tangan kosong paling tinggi. 

Walaupun dia memiliki senjata sebuah ganco besi yang 

besar dan berat namun dia lebih senang membunuh 

lawan-lawannya dengan tangan telanjang.

Kedua tangan Ganco laut berkelebatan mengeluarkan 

deru angin yang keras dan dingin. Hal ini sudah cukup 

membuat Kioro Mertan bertaku hati-hati. Tangan kosong 

Ganco Lout bisa lebih berbahaya dari senjata di tangan 

Bintoro Anggoro. 

Nasib Kioro Mertan ditentukan oleh jotosan ganco Laut 

pertama yang bersarang tepat diperutnya yang luka. Darah 

muncrat dan sempat membasahi pakaian hitam Ganco 

Laut. Selagi orang tua itu terhuyung-huyung kaki kanan 

Ganco Laut melesat ke udara, mendarat dengan tepat di 

rahang Kioro Mertan. Tubuh bungkuk itu terpelanting. Ber-

samaan dengan itu pedang Bintoro Anggoro menetak di 

punggungnya. Kioro Mertan terpekik. Tubuhnya terbanting 

menelungkup di tanah. Ganco Langit siap untuk menginjak 

kepala orang tua Itu sedang Bontoro Anggoro sudah 

mengangkat tangan untuk meletakkan pedangnya ke 

batang leher lawan yang sudah tidak berdaya. 

"Cukup!" tiba-tiba terdengar Ganco Langit berseru. 

"Tidak kalian hajarpun umurnya tak bakal lama. Seret 

tubuhnya dari depan tenda!" 

Dua orang anggota komplotan segera menggotong 

tubuh Kioro Mertan yang berada dalam keadaan sekarat 

itu ke tepi perkemahan. Ganco Langit tengah memandangi 

tubuh Sumiati yang terbujur di tanah bertutupkan kain 

ketika Bintoro Anggoro mendatanginya. 

Ganco Langit tertawa lebar dan tepuk-tepuk bahu 

Bintara itu. 

"Aku memang sudah lama ingin bertemu denganmu 

sobatku. Kau datang membawa kabar apa?" 

"Aku dan anak-anak memang tengah dalam perjalanan 

ke mari ketika di jalan bertemu dengan Kioro Mertan. 

Sebenarnya aku bisa membokongnya dalam perjalanan. 

Tapi aku Ingin kau sendiri menyaksikan bahwa kita selama 

ini selalu punya kerjasama yang baik."Ganco Langit tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata 

Bintara Kadipaten Jepara itu. 

"Sejak dulu-dulu aku memang selalu percaya padamu, 

Bintoro Anggoro. Nah, ada kabar apa saja yang bisa kau 

berikan?" tanya Ganco Langit. "Atau kau ingin kita bicara di 

dalam tenda sana?' 

"Di sini saja tidak jadi apa. Aku tak akan lama Ganco 

Langit. Apa yang terjadi di Jatingaleh sudah sampal di 

Kadipaten Jepara. Kau tak usah kawatir terhadap Adipati 

Moro Gantolo. Dia sedang berada di selatan seat ini. Tapi 

kita harus berjaga-jaga terhadap Perwira Muda yang men-

jadi tangan kanannya." 

"Maksudmu Ario Gelem?" 

"Betul," jawab Anggoro. 

"Perwira keparat itu! Kenapa kita tidak pernah bisa 

menariknya agar bergabung?" Ganco Langit mengkepal-

kepal tinju kanannya lalu memukulkannya berulang kali ke 

telapak tangan kirinya. 

"Kita sudah mencoba membujuknya secara halus ber-

ulang kali. Tapi hasilnya nihil. Kurasa sudah saatnya kita 

menyingkirkannya sebelum dia macam-macam dan bikin 

susah kita!" kata Ganco Bumi pula. 

"Mungkin kau benar Bumi. Sudah saatnya kita 

menyingkirkan kutu busuk itu. Malam ini akan kita 

bicarakan cara yang baik untuk melakukan hal yang itu." 

Lalu Ganco Bumi berpaling pada Anggoro dan bertanya 

kalau ada hal lain yang hendak dikatakannya. 

"Aku menyarankan agar saat ini juga meninggalkan 

tempat ini. Ario Gelem bisa melakukan hal-hal yang tidak 

terduga. Meskipun kekuatan yang bisa dihimpunnya tidak 

seberapa namun masalahnya bisa merambat. Sekali ter-

siar di Kotaraja kita semua bisa celaka..." 

Ganco Langit tersenyum. Dalam hati dia berkata, "Kau 

yang bakal celaka Bintoro Anggoro! Bukan aku! Tapinasihatnya memang perlu diperhatikan." 

"Hanya itu saja yang kau katakan Bintoro?" 

"Saat ini hanya itu saja Ganco Langit. Aku harus kembali 

ke Jepara sebelum matahari terbit. 

"Baiklah," kata Ganco Langit. Dia masuk ke dalam 

tenda. Ketika keluar di tangannya ada sebuah kantong 

kecil. Kantong ini disusupkannya ke pinggang Anggoro. 

Bintara itu mengucapkan terima kasih berulang kali lalu 

kembali ke tempat dia meninggalkan kudanya. Bersama 

tiga orang anak buahnya dia segera berlalu dari hutan itu. 

Ganco Langit berpaling pada Ganco Bumi dan Ganco 

Laut. "Pesta kita hentikan sampai di sini. Beri tahu anak-

anak bahwa kita berangkat ke selatan sekarang juga. 

Tanganku sudah gatal untuk memegang barang-barang 

antik yang terbuat dari tempat itu!" 

"Ganco Langit," Ganco Bumi berkata, "Jika kita bergerak 

ke selatan lebih dahulu, apakah kita masih punya waktu 

untuk bertemu dengan sobat kita si Tengkorak Darah di 

Rembang?" 

"Tak usah kawatir, aku sudah mengirimkan utusan 

memberi tahu Tengkorak Darah. Jika satu hari setelah 

mendarat di pantai Rembang kita tidak muncul, pertemuan 

berikutnya adalah di pantai Demak. Soal makanan dari 

perempuan yang perlu dikirimkan padanya sudah diatur 

oleh orang di Tanjung Bugel." 

"Kalau begitu tak ada yang dikawatirkan. Kita bisa 

berangkat saat ini juga," kata Ganco Langit, "Aku akan 

perintahkan semua anak buah agar bersiap-siap." 

"Sebentar!" menyela Ganco Laut yang sejak tadi hanya 

berdiam diri, "Aku masih ingin mempertanyakan si cantik 

itu. Apakah aku bisa membawanya serta dalam rombongan 

kita?" 

Ganco Langit tertawa lebar. "Rupanya kau masih belum 

melupakan kekerasan tubuh anak gadis Ranalegowo itu.Kau bisa membawanya ke mana kau suka. Mungkin 

sewaktu-waktu akupun membutuhkannya. Hidup ini harus 

dibumbui dengan selingan. Bukankah begitu? Ha... ha... 

ha..." 

Suara tawa Ganco Langit terhenti ketika ada satu 

tangan memegang dan meremas bahunya. Lalu ada suara 

perempuan terdengar ketus. 

"Saya tidak mau lihat gadis itu berada dalam 

rombongan kita!" 

Ganco laut gelengkan kepala. Mukanya tampak 

cemberut. 

Ganco langit membalik dan berhadapan dengan 

Jaminten, perempuan gemuk yang selama ini membuatnya 

tergila-gila dan kadang-kadang jadi tak berkutik. 

Saat itu Jaminten hanya mengenakan sehelai baju 

panjang yang tipis. Cahaya api obor yang menembus 

pakaian tipis itu membuat sekujur auratnya nyaris terlihat 

jelas. 

Nafsu Ganco Langit jadi terbakar. 

"Kau tak usah kawatir dia akan menyaingimu Jaminten," 

kata Ganco Langit membujuk sambil membelai pipi 

Jaminten. 

"Gadis itu perlu dibawa bukan untuk diriku dan teman-

teman, tapi ada satu rencana yang harus dijalankan." 

"Siapa percaya pada dirimu. Siang tadi Ganco mengata-

kan lebih suka menggeluti tubuh saya. Tapi ternyata malam 

ini Ganco langit menidurinya. Jangan kira saya tidak tahu!" 

Jaminten lalu pasang wajah cemberut. 

Ganco Langit tersenyum lalu menciumi wajah Jaminten. 

"Seribu gadis boleh hadir, tapi kau tetap pasangan yang tak 

bakal kulepaskan! Mereka tidak memiliki apa yang kau 

miliki! Mereka dingin seperti barang pisang! Tak ada yang 

pandai menggigit dan menggerung sepertimu!" 

Jaminten melepaskan dirinya dari pelukan Ganco langitlalu berkata. "Sebelum pergi aku ingin pergi ke kali lebih 

dulu." 

"Ya, sebaiknya kau membersihkan diri baik-baik. Dalam 

perjalanan ke selatan mungkin kau tak punya kesempatan 

melakukan hal itu." 

Jaminten melangkah pergi. Ketika lewat di depan Ganco 

Laut dia kedipkan matanya. Ganco Laut kemudian 

terdengar berkata pada Ganco Langit. "Aku akan beritahu 

anak buah agar segera bersiap-siap." 

"Lakukan dengan cepat Laut. Bumi, siapkan seekor 

kuda untuk membawa gadis itu." 

Tak berapa jauh dari tempat gerombolan itu berkemah 

terdapat sebuah kali kecil berair jernih. Jaminten me-

langkah cepat-cepat menuju kali ini. Di satu tempat yang 

kelindungan dia berhenti tapi tidak segera masuk ke dalam 

air untuk mandi atau membersihkan dirinya. Dia berdiri 

dalam gelap seperti menunggu seseorang. Tak lama 

kemudian dia mendengar suara orang mendatangi. 

"Kenapa lama betul! Aku sudah tidak sabaran!" kata 

Jaminten. 

"Sstt, jangan keras-keras. Nanti terdengar orang," men-

jawab lelaki yang barusan datang. 

"Lekas tanggalkan pakaianmu. Kita turun ke air." 

Jaminten melepas baju tipisnya. 

"Tidak di tebing saja?" 

"Aku ingin di dalam air. Sudah lama kubayangkan. 

Sekalian aku bisa membersihkan diri," bisik perempuan 

bertubuh gemuk tapi padat itu. 

"Terserah, aku hanya mengikuti apa maumu." 

Tanpa pakaian kedua orang yang berlainan jenis itu 

turun ke dalam kali. Air kali terasa sejuk sekali. Jaminten 

memagut leher lelaki itu lalu menempelkan tubuhnya 

rapat-rapat. Mulutnya bertanya, "Kau ingin kuremas sampai 

pingsan?""Eh, apa maksudmu?" 

"Kenapa kau tadi kudengar Ingin membawa gadis itu 

dalam rombongan?" 

"Aku hanya pura-pura, agar Ganco Langit tidak curiga." 

Jaminten tertawa kecil. "Kau memang cerdik." 

"Pujian itu tidak cukup. Benarkah aku lebih hebat dari 

Ganco Langit seperti katamu tempo hari?" 

"Yang satu itu memang tidak tertandingi oleh Ganco 

langit. Nafsunya besar tapi kekuatannya seperti lilin yang 

meleleh terbakar apinya sendiri." Jaminten lalu turunkan 

tangan-tangannya kirinya ke bawah. Tangan itu lenyap di 

dalam air. 

Di balik serumpun semak belukar di tepi kali, pada 

bagian yang sangat gelap sepasang mata menyaksikan 

kedua orang yang bergulung-gulung dalam air itu dengan 

penuh geram. 

"Keparat! Aku memang sudah lama mencium perbuatan 

mereka ini! Kalian berdua akan mati secara tersiksa. Tapi 

tidak cepat-cepat. Aku masih membutuhkan lelaki itu 

sampai urusan di selatan selesai." 

Ketika orang ini hendak beranjak dari balik semak 

belukar tempat dia mengintai didengarnya suara Jaminten 

menggerung dari arah kali. 

"Bangsat! Perempuan bangsat!" kutuk serapah meledak 

keluar dari mulut orang itu. 

*** 

Dinginnya udara malam menambahkan siksaan bagi 

Kioro Mertan yang berada dalam keadaan mati dan hidup, 

tergeletak di antara semak belukar, dibungkus kegelapan. 

Di antara suara erangannya terdengar dia berulang kali 

memanggil nama Tuhan. 

"Tuhan... kenapa tidak Kau cabut nyawaku saat ini juga!Aku rela mati! Tapi Tuhan, aku mohon selamatkan cucuku 

Sumiati. Apapun nasib buruk yang telah menimpa dirinya 

selamatkan dia..." kata-kata itu diucapkan Kioro Mertan 

berulang kali dalam hatinya. 

Ketika tubuhnya terasa sangat lemah dan nafasnya 

mulai megap-megap mendadak telinganya sayup-sayup 

mendengar langkah kaki kuda di kejauhan. Dengan 

pemandangan yang samar-samar dicobanya menembus 

kegelapan. Hutan belantara itu sunyi senyap sejak 

gerombolan Ganco Item meninggalkan tempat itu be-

berapa waktu lalu. Masih ada dua buah obor yang menyala, 

mungkin terlupa dipadamkan. 

Kioro Mertan sadar tidak ada harapan baginya untuk 

hidup. Darahnya terlalu banyak mengucur. Namun rasa 

ingin tahu siapa penunggang kuda yang datang itu mem-

buat orang tua ini berusaha keras membuka kedua 

matanya. Dalam kegelapan kemudian dilihatnya kuda ber-

sama penunggangnya, makin dekat, makin dekat. kedua 

matanya masih bisa mengenali orang itu. Dia membuka 

mulut hendak berseru memanggil, tetapi yang keluar hanya 

suara erangan. 

Mulutnya bergerak. "Wiro...! Aku di sini! Wiro...! Aku di 

sini!" namun ucapan itu hanya menggema dalam hatinya. 

Tapi orang tua ini tidak putus asa. Dengan sisa tenaganya 

dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang semak 

belukar dia berusaha menggerakkan kaki, menggoyang 

semak belukar di hadapannya. Dia berhasil! Suara 

gemerisik semak belukar yang tergeser kakinya menarik 

perhatian Pendekar 212. Semula Wiro merasa kecewa 

karena dia hanya mendapat sisa-sisa bekas perkemahan. 

Gerombolan Ganco Item pasti telah meninggalkan tempat 

itu selagi dia bersesat menempun jalan. 

Ken Cilik, monyet coklat yang bergelantungan di leher-

nya keluarkan suara memekik tiada henti. Wiro berpalingke arah semak belukar dalam kegelapan. 

"Siapa di situ?!" Wiro membentak dan memandang 

tajam ke arah semak belukar yang bergoyang-goyang itu. 

Pukulan tangan kosong disiapkannya untuk menjaga 

segala kemungkinan. 

***

SEMAK belukar itu tampak bergoyang lagi. Lalu Wiro 

mendengar suara erangan. Murid Sinto Gendeng dari 

Gunung Gede ini segera melompat dari atas kuda, 

melangkah mendekati rumpunan semak belukar. Ketika 

matanya berhasil menembus kegelapan malam terkejutlah 

pemuda ini begitu melihat siapa yang tergeletak di balik 

semak belukar itu. 

"Pak tua Kioro Mertan!" Wiro menyebut nama orang tua 

itu lalu melompat dan jatuhkan diri merangkul tubuh Kioro 

Merton. "Pak tua, katakan apa yang terjadi!" 

Dari mulut orang tua itu hanya terdengar suara meng-

erang. Wiro melihat luka besar di perut Kioro Merton. 

Tengkuknya bergidik. Luka itu parah sekali. Orang tua ini 

tak akan bertahan lama. Wiro segera mendukung Kioro 

Merton ke arah salah satu obor yang masih menyala. Di 

tanah yang agak datar dibaringkannya orang tua yang 

tengah sekarat ini. Lalu dia menotok tubuh Kioro Mertan di 

dua tempat. Orang tua in merasakan sakit pada luka di 

perutnya berkurang sedikit. Dfa merasa ada hawa sejuk 

mengalir ke keningnya ketika Wiro menekankan telapak 

tangannya di kepala. Perlahan-lahan orang tua ini bisa 

membuka kedua matanya kembaii. Dia merasa ada sedikit 

kekuatan yang membuatnya sanggup mengeluarkan kata-

kata walaupun terputus-putus. 

"Wiro... tolong... Selamatkan Sumiati. Dia… dilarikan 

orang-orang Ganco Item..." 

"Kakek tahu kemana mereka membawa cucumu itu?"tanya Wiro. 

"Aku tidak tahu... Aku mendengar mereka me... menuju 

ke sela... tan. Kau... harus membalaskan sakit hati ini, 

Wiro..." 

"Saya bersumpah, demi kakek, paman serta bibi! Demi 

semua penduduk Jatingaleh yang jadi korban keganasan 

Ganco Item..." 

"Kau harus hati-hati Wiro. Ternyata gerombolan itu ti... 

tidak bergerak sendirian..." 

Wiro diam, menunggu ucapan orang tua itu lebih lanjut. 

Tapi Kioro Mertan juga diam. 

"Kakek apa maksudmu mereka tidak sendirian?' 

Wiro cepat ajukan pertanyaan ketika dilihatnya kedua 

mata Kioro Mertan hendak terpejam kembali. 

"Ger.... gerombolan itu dibantu oleh orangorang 

Kadipaten Jepara. Seorang Bintara bernama Anggoro 

secara khianat menusukkan pedangnya ke perutku..." 

"Keparat itu tak akan kulepaskan. Begitu juga tiga 

pimpinan Ganco item!" 

"Yang penting selamatkan Sumiati. Dari Anggoro kau 

bisa mengorek keterangan kemana cucuku dibawa. Hati-

hati Wiro, kurasa bukan cuma orang-orang Kadipaten 

Jepara saja yang terlibat. Mungkin juga orang-orang besar 

di kotaraja. Gerombolan itu punya banyak kaki tangan. 

Aku..." 

Terdengar suara seperti tercekik. Lalu tak terdengar lagi 

suara ucapan Kioro Mertan. Pendekar 212 Wiro Sableng 

merasakan tubuhnya bergelatar. Pertama paman dan bibi-

nya. Kini orang tua yang dianggapnya sebagai kakek 

sendiri itu menemui kematian di depan matanya. 

***

Sebuah papan besar tergantung di depan bangunan 

beratap seng yang pintu-pintunya masih tertutup. Di atas 

papan Itu tertera tulisan dari cat hitam berbunyi Haji Yan. 

Penjual Peti Mati kayu Jati Asli. 

Ketika jalan mulai ramai oleh orang yang lalu lalang, 

tampak papan-papan depan bangunan terbuka satu 

persatu. Seorang lelaki berkopiah putih, berjanggut dan 

berkumis jarang, berkulit kuning dan bermata sangat sipit 

sibuk menyusun papan-papan yang dibukanya satu persatu 

dan menyandarkannya di sebelah luar bangunan. Kini 

kelihatan ruangan dalam yang penuh dengan tumpukan 

petipeti mati. Semuanya terbuat dari kayu jati. 

Orang berkopiah putih ini adalah Tan Siu Kong, pemilik 

tempat penjualan peti mati itu. Kakek moyangnya sudah 

tinggal turun temurun di Jepara. Semua turunan mencari 

hidup dengan menjual peti-peti mati. Tan Siu Kong merupa-

kan turunan yang keempat. Meskipun lahir dan dibesarkan 

di situ namun kalau bicara dialek tanah leluhurnya tak 

pernah berubah. 

Yan Siu Kong kawin dengan seorang perempuan Jepara 

asli dan memeluk agama Islam. Beberapa tahun lalu dia 

naik haji ke Mekkah. Sejak itu pedagangan peti mati ini 

lebih dikenal dengan panggilan Haji Tan. 

Baru saja Haji Tan selesai membuka seluruh papan di 

bagian depan bangunan, seorang pemuda berambut 

gondrong dengan seekor monyet bertengger di bahunya 

turun dari kuda, langsung menemui Haji Tan. Binatang di 

bahunya memekik tiada henti lalu melompat ke atas 

sebuah peti, pindah ke peti lain, begitu berulang kali. 

"Hayyya..." kata Haji Tan dalam hati. "Pagi-pagi pula ada 

tamu aneh. Mau bikin susah atawa mau kasih untung!" 

Meski hatinya agak was-was melihat potongan tamu 

yang datang membawa monyet ini namun sebagai 

pedagang yang baik haji Tan membungkuk sambil memberisalam. 

"Saya mau pesan peti mati," berkata pesan tamu yang 

bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. 

"Pesan...? Buat apa pesan? Yang sudah jadi ada 

banyak. Situ silakan pilih..." Haji Tan menunjuk pada 

susunan peti-peti mati yang di ruangan itu, yang berjumlah 

tidak kurang dari dua puluh buah. 

Wiro perhatikan peti-peti itu sebentar lalu gelengkan 

kepala. "Peti-peti itu terlalu kecil. Aku ingin yang tiga kali 

lebih besar." 

Tentu saja Haji Tan terheran-heran mendengar ucapan 

tamunya itu. "Hayya... Peti mati begitu besal buat isi apa? 

Manusia mati atawa kalebo?" 

"Haji Tan, kau tak usaha banyak tanya. Siapkan sebuah 

peti mati tiga kali ukuran biasa. Aku juga membutuhkan 

sebuah kereka terbuka untuk mengangkut peti mati besar 

itu. Lengkap dengan dua ekor kuda yang kuat. Lalu bubuk 

penangkal bau busuk mayat. Ini bayarannya!" 

Dari balik pakaiannya Wiro keluarkan sebuah kantong 

kain. Kantong ini dilemparkannya ke arah Haji Tan. 

Pedagang peti mati ini cepat menyambutnya. Terdengar 

suara berdering. Haji Tan cepat membuka tali kain 

pengikat kanton. Tanpa menghitung, dengan hanya melihat 

sekilas saja pedagang ini sudah maklum berapa jumlah 

uang perak yang ada dalam kantong itu. Banyak sekali. 

Lebih dari cukup untuk bisa menyediakan semua yang di-

minta tamunya itu. 

Setelah berdecak beberapa kali Haji Tan berkata. "Anak 

muda, soal semua yang situ pesan situ tidak usah kawatil. 

Owe cuma ada alasan helan. Peti mati sebegitu besal..." 

Wiro cepat memotong. "Haji Tan, kau siapkan saja apa 

yang aku pesan. Aku datang lagi tiga hari di muka untuk 

mengambilnya!" 

"Hayya! Apa...?! Tiga Hali?! Mana wole hah? Paling tidakowe pelu sepuluh hali..." 

"Lima hali. Jangan belani tawal-tawal. Atawa owe kasi 

batal itu pesanan!" kata Wiro dengan menirukan dialek 

Cinanya Tan Siu Kong, lalu dia ulurkan tangan pura-pura 

hendak meminta kantong uang yang dipegang pedagang 

peti mati itu. 

"Oooo jangan kasi watal. Hayyaa... Lima hali. Owe 

telima!" Lalu Haji Tan cepat-cepat masukkan kantong uang 

ke dalam saku baju putihnya. 

"Ken Cilikl" Wiro memanggil monyet yang masih enak-

enak duduk di salah satu peti mati. binatang ini 

menyeringai. Ketika Wiro melangkah ke luar Ken Cilik cepat 

melompat ke bahu sang pendekar baru saja Wiro berlaku, 

Haji Tan berteriak memanggil istinya. 

"Tumini! Tumini!" 

Sang istri yang sedang menyiangi sayur lobak di dapur 

keluar tergopoh-gopoh. Tan Siu Kong acungkan dan 

goyang-goyangkan kantong uang itu di depan wajah istri-

nya. Sang istri ikut goyang-goyangkan kepala menuruti 

ayunan kantong uang. 

"Saya lagi banyak kerjaan di dapur. Pagi-pagi sudah 

bercanda. Apa-apaan ini?" 

"Eeee, ini bukan becanda Tumini," kata Haji Tan pula. 

"Ada olang gila datang! Pesan peti mati, satu buah gelobak, 

dua ekol kuda tamba bumbu mayat! Kasih uang begini 

banyak! Untung besal Tumini. Kita untung wesal. Ini ambil. 

Simpan baik-baik!" Haji Tan serahkan kantong uang pada 

istrinya. Setelah memberikan beberapa pesan pedagang 

peti mati ini tinggalkan rumahnya. Dia berjalan sambil 

senyum-senyum karena memperoleh untung yang tidak 

terduga. Tetapi dia juga tidak habis pikir. Pemuda gondrong 

yang tidak dikenalnya itu, muncul menunggang kuda, mem-

bawa seekor monyet dan memesan peti mati sebesar itu.Untuk apa? Sampai saat itu dia sama sekali tidak 

mendengar kabar ada keluarga di Jepara yang kematian 

sanak keluarganya memerlukan peti mati. 

***


GUBUK itu terletak di kaki bukit tak berapa jauh dari 

Undaan yaitu antara Kudus dan Demak. Ganco 

Langit duduk bersila di hadapan Ganco Bumi dan 

Ganco Laut. Di salah satu sudut gubuk tergolek sosok 

tubuh Jaminten. Perempuan ini berbaring seenaknya se-

hingga sebagian auratnya sebatas pangkal paha ke bawah 

tersingkap. Saat itu walau kedua matanya terpejam tapi 

Jaminten tidak tidur. Diam-diam dia mendengarkan pem-

bicaraan tiga pucuk pimpinan gerombolan Ganco Item itu. 

Perjalanan jauh sepanjang siang tadi membuat sekujur 

badannya terasa letih. Namun dia tak bisa memincingkan 

mata. Apalagi tadi Ganco Langit sudah berbisik padanya 

bahwa malam ini, sebelum mereka melakukan pekerjaan 

besar besok siang, dia ingin Jaminten melayaninya. 

"Ganco Bumi, apa kau sudah siap berangkat malam 

ini?" terdengar suara Ganco Langit bertanya pada adiknya. 

Ganco Bumi mendehem beberapa kali lalu menjawab. 

"Sudah. Aku membawa serta lima orang anak buah. 

Sebetulnya aku lebih suka jika tugas ini dilakukan oleh 

Ganco Laut." 

Ganco Laut yang duduk di sebelah Ganco Bumi diam 

saja. Hanya kedua matanya saja yang melirik ke arah 

Ganco Langit. 

"Ganco Laut bakal dapat tugas lain.." kata Ganco Langit. 

"Lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kita bergabung di 

lembah sebelah timur Kuto Ulir pada tengah hari besok." 

Ganco Bumi mengangguk perlahan lalu berdiri dantinggalkan gubuk itu. Setelah mereka tinggal berdua Ganco 

Laut bertanya. "Kau bilang bakal ada tugas lain untukku. 

Tugas apa Ganco Langit?" 

"Itu masih kupikirkan. Aku ingin istirahat dulu..." 

Jawaban Ganco Langit itu cukup membuat maklum apa 

yang akan dilakukan oleh Ganco Langit. Ganco Laut berdiri. 

Dia melirik sesaat pada tubuh Jaminten yang terbaring 

mengangkang kemudian keluar dari gubuk. 

Ganco Langit menutup pintu gubuk lalu merebahkan diri 

di samping Jaminten. Perempuan itu membalik. Nafas 

mereka saling hembus. Lalu tangan Ganco Langit mulai 

bergerak. Jaminten menggeliat kegelian. Geliatan ini me-

nambah rangsangan Ganco Langit. Dipeluknya tubuh 

gemuk itu seperti hendak melumat. Jaminten membalas 

seperti penuh bernafsu. Tapi dalam hatinya perempuan ini 

berkata, "Puaskan hatimu! Kalau barang-barang pusaka itu 

sudah didapat, berarti ajalmu sudah dekat Ganco Langitl" 

*** 

Pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap gerobak ter-

tutup itu sudah masuk ke dalam halaman sebuah rumah di 

luar timur Demak. Rumah ini meskipun kecil tapi sangat 

bagus bangunannya, memiliki halaman besar dan selusin 

orang lelaki rata-rata bertubuh kekar tampak melakukan 

pengawalan. 

Lima orang anggota gerombolan yang bertindak menjadi 

pengawal dengan tubuh letih melompat dari atas kuda 

masing-masing. Ganco Bumi yang duduk di depan gerobak 

meneguk tuak dari dalam sebuah bumbung bambu lalu 

melompat turun. 

Dua orang berbadan kekar yang agaknya telah 

mengenal Ganco Bumi segera datang menyongsong. 

Keduanya memberi hormat Ganco Bumi lalu salahseorang memberi tahu bahwa Adipati Demak, Bando 

Wiseso sudah siap menunggu kedatangannya di dalam 

rumah. Ganco Bumi memberi isyarat pada anak buahnya. 

Dua orang menyingkapkan kain penutup bagian belakang 

gerobak. Sesaat kemudian tampak kedua orang itu meng-

gotong sebuah usungan kayu di atas mana terbaring se-

sosok tubuh yang diselimutl sampal sebatas leher. 

Wajah yang tersembul dari balik selimut itu adalah 

wajah seorang gadis. Walaupun parasnya tampak pucat 

dan dia seperti dalam keadaan tidur namun jelas kelihatan 

paras itu cantik sekali. Dia bukan lain adalah Sumiati, cucu 

Kioro Mertan, puteri tunggal kepala desa Jatingaleh yang 

telah diculik dan dirusak kehormatannya secara keji oleh 

Ganco Langit, Ganco Bumi dan Ganco Laut. Ada apakah 

kini gadis itu dibawa ke tempat tersebut? Dimana telah 

menunggu seorang pejabat tinggi Kerajaan yaitu Adipati 

Bandoro Wiseso? 

***

KEDUA lelaki berbadan kekar melangkah mendahuiui 

memasuki rumah, diikuti oleh due anggota 

gerombolan yang mengusung Sumiati lalu Ganco 

Bumi di sebelah belakang. Gadis malang itu diusung 

memasuki sebuah kamar. Disitu telah menunggu Adipati 

Bandoro yang hanya mengenakan pakaian tidur, bertubuh 

kerempeng tapi jangkung dan memelihara kumis tebal 

melintang yang tidak sesuai dengan tampangnya yang kecil 

panjang dan cekung pada kedua pipinya. Giginya yang 

tonggos menambah keburukan tampangnya. Dia menye-

ringai ketika melihat paras gadis di atas usungan lalu 

berpaling pada Ganco Laut. Tubuh Sumiati diletakkan di 

atas pembaringan. Setelah due pengusung keluar, lelaki 

tinggi kurus ini melangkah mendekai Ganco Bumi dan 

menepuk-nepuk bahu pimpinan gerombolan itu. 

"Cantik sekali. Tapi kenapa wajahnya agak pucat?" 

Ganco Bumi tersenyum mendengar kata-kata orang di 

depannya itu. "Perjalanan jauh membuat tubuhnya sangat 

letih. Sebelumnya dia galak sekali, beberapa kali berusaha 

melarikan diri, Kami terpaksa menotoknya." 

"Ah...." Bandoro Wiseso mengangguk. "Aku mengucap-

kan terima kasih. Kalian selalu memberikan yang terbaik 

untukku. Kakakmu Ganco Langit tidak datang?" 

Ganco Bumi menggeieng. "Dia menitip pesan padamu 

Adipati. Dia berharap Adipati bisa bersenang-senang se-

panjang pagi sampal malam nanti. Lalu dia juga meminta 

agar tidak adas pengawal atau perajurit atau orang-orangKadipaten bertugas di sekitar tenggara kita siang ini." 

"Hemm... apakah yang hendak kalian lakukan?" tanya 

Adipati Demak pula. 

Ganco Bumi tidak menjawab. Wajahnya menunjukkan 

rasa tidak senang dengan pertanyaan tadi. Adipati Bandoro 

Wiseso batuk-batuk beberapa kali. 

"Ah, maafkan aku. Sesuai perjanjian diantara kita aku 

tak boleh terlalu banyak tanya dan ingin tahu. Namun se-

panjang kalian tidak keterlaluan, aku tak akan pernah 

keberatan. Daerah tenggara memang kediaman orang-

orang bangsawan dan orang-orang kaya. Itukah sasaran 

kalian kali ini?" 

Ganco Bumi menjawab sambil tersenyum. "Dugaanmu 

tepat Adipati. Demak sudah dipenuhi oleh bangsawan-

bangsawan kaya raya. Sementara rakyat miskin semakin 

banyak akibat tanahnya dirampas secara halus. Sudah 

saatnya kekayaan mereka itu kita ambil dan dibagi kembali 

kepada rakyat. Bukan begitu Adipati?" 

"Betul! Betul sekali Ganco Bumi!" jawab Adipati Bandoro 

Wiseso. "Aku setuju agar sebagian harta kekayaan orang-

orang kaya itu dibagikan pada rakyat jelata. Tapi kuharap 

jangan melupakan perjanjian kita, Jika kalian berbuat 

sesuatu di luar Demak tapi masih dalam kawasan 

kekuasaanku, bagianku adalah seperlima. Kalau kalian 

menjarah dalam kota Demak, maka bagianku adalah 

empat perlima. Katakan itu pada Ganco Langit!" 

Ganco Bumi mengangguk. "Tak usah kawatir. Kami 

orang-orang Ganco Item selalu menepati perjanjian asal-

kan ada bantuan timbal balik." 

Dari dalam saku baju hitamnya Ganco Hitam keluarkan 

sebuah kantong berisi uang lalu dimasukkannya ke dalam 

genggaman Adipati Bandoro Wiseso. 

"Itu pembagian sisa terdahulu. Sekarang saya minta 

diri." kata Ganco Bumi. Lalu dia menoleh ke arah sosok

Sumiati di atas tempat tidur. Sebenarnya Ganco Bumi 

masih ingin melampiaskan nafsu bejatnya terhadap gadis 

itu. Tadi dia hendak melakukannya di tengah jalan. Namun 

rencana besar yang akan dilakukannya bersama kakaknya 

lebih penting. Ganco Bumi memandang pada Bandoro 

Wiseso kembali dan berkata. "Dia masih sangat hijau 

Adipati. Jangan terlalu galak. Beberapa saat lagi totokan di 

tubuhnya akan terlepas. Setelah itu kau bisa berbuat apa 

saja terhadapnya. Dua hari di muka orang-orangku akan 

menjemputnya." 

"Dua hari katamu Ganco Bumi? Dua hari? Ah! Untuk 

gadis secantik ini paling tidak lima hari!" kata Bandoro 

Wiseso dan tenggorokannya tampak turun naik. Matanya 

memandang berkilat-kilat ke arah tempat tidur. 

"Jika begitu maumu, kau boleh memilikinya selama satu 

minggu!" 

"Kau benar-benar kawan yang hebat!" kata Bandoro 

Wiseso dengan tawa lebar. Seperti tadi kembali dia 

menepuk-nepuk bahu Ganco Bumi. 

"Siapa nama gadis itu Ganco?" 

"Sumiati." 

"Sumiati... Sumiati," kata Bandoro Wiseso mengulang 

beberapa kali. Dia mengantarkan pimpinan gerombolan itu 

sampai ke pintu depan. Belum lagi Ganco Bumi dan orang-

orangnya keluar dari halaman rumah, Adipati Demak ini 

sudah menutup pintu dan setengah berlari dia masuk 

kembali ke dalam kamar. Selimut yang menutupi tubuh 

Surniati disingkapkannya. Sepasang mata lelaki berusia 

enam puluh tahun ini seperti silau ketika melihat bahwa di 

balik selimut itu tak ada apapun yang menutupi tubuh 

bagus si gadis. 

Meski sudah diberi tahu bahwa totokan di tubuh 

Sumiati akan terlempas dengan sendirinya dalam waktu 

tak berapa lama lagi, namun saat itu Bandoro Wisesomana bisa sabar. Ditelitinya sekujur tubuh gadis itu. 

Sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi Adipati ini 

akhirnya berhasil mengetahui di bagian mana Sumiati 

ditotok. Dengan mengerahkan tenaga dalam dia mengurut 

urat besar dekat ketiak kiri si gadis. Sesaat kemudian 

tubuh Sumiati tampak bergerak. Kedua matanya perlahan-

lahan membuka. 

Melihat tampang Adipati itu Sumiati seperti melihat 

setan. Mendengar suara bisikannya Sumiati seolah men-

dengar suara hantu. Maka gadis ini pun menjerit keras! 

***

ADIPATI Bandoro Wiseso cepat menutup mulut 

Sumiati. gadis ini berusaha melompat tetapi sekujur 

tubuhnya lemah lunglai tak bertenaga. Dia hanya 

bisa menggulingkan diri ke samping kiri tempat tidur. 

Sementara itu Bandoro Wiseso dengan cepat menanggal-

kan pakaian tidurnya. Lalu sekali lompat saja diterkamnya 

tubuh gadis itu. 

Namun seperti mendengar suara petir begitu kagetnya 

sang Adipati ketika pintu kamar tiba-tiba hancur beran-

takan di hantam orang dari kuar. Dan terkejut seperti 

melihat hantu dia membeliak sambil melangkah mundur. 

Di hadapannya bergerak mendekat seorang pemuda be-

rambut gondrong yang tidak dikenalnya. Rahang pemuda 

ini mengembung. Gerahamnya terdengar bergemeletakan. 

Kedua tangannya terpentang seolah slap hendak men-

cekiknya. 

Dua belas pengawal yang bertebaran di sekitar rumah 

terheran-heran ketika melihat sebuah kereta yang ditarik 

oleh dua ekor kuda memasuki halaman. Tidak kusir atau 

sais ada di atas kereta itu. Yang kelihatan hanya seekor 

monyet coklat, duduk di bagian depan kereta. Lalu ini yang 

membuat semua orang di situ dari heran menjadi terkejut. 

Selagi perhatian semua pengawal itu tertuju pada 

kereta tersebut, tanpa mereka ketahui sesosok bayang 

putih berkelebat masuk ke dalam rumah! 

Di atas kereta ada sebuah peti mati kayu jati berwarna 

hitam, berukuran besar luar biasa. Pada dinding-dindingpeti mati itu terdapat angka 212 yang tidak mereka 

mengerti apa artinya. 

Kayu di sebelah atas atau penutup peti mati tampak 

terbuka. Ketika kereta itu akhirnya berhenti di tengah 

halaman, kedua belas pengawal sesaat melangkah menge-

lilingi kereta itu. Kemudian seperti diberi isyarat mereka 

sama berserabutan untuk melihat dari dekat apa isi peti 

mati itu. Begitu mereka mengulurkan kepala, serentak 

kepala masing-masing seperti disentak setan. Paras 

mereka menjadi berubah. Ada yang merasa jijik, tetapi 

lebih banyak yang merasa mengkirik! 

"Ada mayat dalam peti itu…" desis salah seorang dari 

mereka. 

"Mayat siapa...?" yang lain bertanya dengan suara agak 

gemetar. 

Ada seorang diantara mereka yang berani dan coba 

melorigok kedalam peti mati kembali. Lalu kepalanya 

cepat-cepat dipalingkan. "Aku rasa-rasa pernah melihat 

mayat ini..." katanya seraya berpikir keras. Lalu dia ingat. 

"Astagal ini mayat Anggoro! Bintara di Kadipaten Jepara!" 

"Berarti peti mati ini datang dari Jepara!"' kata yang lain. 

"Siapa yang mengirimkannya...? Tidak mungkin kereta 

ini bisa menempuh jarak sejauh itu tanpa ada kusirnya! 

Keanehan apa yang kita saksikan hari ini!" kata yang lain. 

Baru saja dia berkata begitu tiba-tiba ada suara men-

jawab dari arah rumah. "Peti mati itu memang datang dari 

Jepara! Aku yang membawanya kemari! Kalian tidak me-

lihat keanehan hari ini! Yang kalian saksikan adalah siapa 

berbuat kejahatan dan kebejatan akan menerima pem-

balasan setimpal!" 

Serempak kedua belas orang pengawal palingkan 

kepala. Apa yang mereka saksikan kemudian membuat 

semuanya jadi melotot. 

Seorang pemuda berpakaian serba putih dan berambutgondrong tegak di depan rumah sambil mendukung dua 

sosok tubuh. Yang pertama adalah tubuh gadis yang pagi 

tadi dibawa oleh Ganco Bumi dan orang-orangnya. Tubuh 

gadis itu berada dalam keadaan tidak bergerak di bahu kiri 

si pemuda, mungkin pingsan dalam keadaan tertotok. Dia 

mengenakan pakaian milik Adipati Bandoro Wiseso. 

Sosok tubuh kedua, dan ini yang membuat dua belas 

pengawal itu terkejut dan terbelalak, ialah sosok tubuh 

Adipati mereka sendiri. Sang Adipati hanya mengenakan 

celana tidur. Kepalanya terkulai ke bawah. Leher itu patah! 

Dan dari mulut Bandoro Wiseso jelas kelihatan mengucur 

darah! 

"Pemuda itu membunuh Adipati Bandoro!" seorang 

pengawal berteriak. Semuanya menjadi gempar. Lalu sadar 

apa yang harus mereka lakukan, kedua belasnya serentak 

menyerbu! 

Kita kembali ke kamar di dalam rumah untuk menge-

tahui apa yang terjadi sebelum Pendekar 212 keluar 

dengan mendukung tubuh Sumiati dan Bandoro Wiseso. 

"Manusia keparat!" teriak Wiro begitu dia menerobos 

masuk ke dalam kamar dan mendapatkan Adipati tinggi 

kurus berkumis melintang dan tonggos itu berada dalam 

keadaan siap hendak berbuat keji terhadap Sumiati. Dia 

merasa bersyukur telah mengambil keputusan yang tepat. 

Sebelumnya dia sempat ragu untuk memilih apakah akan 

mencegat Ganco Bumi dan orang-orangnya yang barusan 

dari Demak atau langsung menuju Demak guna menye-

lamatkan saudara sepupunya itu. Wiro memilih untuk mela-

kukan yang kedua. Ternyata dia datang pada saat yang 

tepat. 

"Kurang ajar! Siapa kau?!" balas membentak Adipati 

Bandoro Wiseso. 

"Tua bangka bejat!" kembali Wiro mendamprat. "Tubuh 

sudah bau tanah masih saja berbuat keji!""Bangsat! Jawab pertanyaanku! Kau siapa yang berani 

masuk membobol pintu?!" bentak Bandoro Wiseso. 

Si gondrong menyeringai. "Namaku Wiro Sableng! Tapi 

aku datang sebagai Malaikat Maut! Perbuatan kejimu 

selama ini menentukan bahwa sudah saatnya kau me-

nerima hukuman. Hari ini adalah hari kematianmu." 

"Malaikat Maut?!" belalak Bandoro Wiseso. Dia hendak 

tertawa bergelak namun saat itu dia baru sadar kalau 

dirinya sama sekali tidak mengenakan apa-apa. 

Dia cepat menyambar celana tidurnya. Wiro biarkan 

orang itu mengenakan celananya. Selesai mengenakan 

celana dengan tampak beringas dia melangkah ke 

hadapan Wiro. Sementara itu Sumiati berusaha menutupi 

tubuhnya dengan kain alas tempat tidur. 

"Orang gila! Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa 

saat ini?!" 

"Lebih dari tahu!" jawab Wiro sambil sunggingkan 

senyum mengejek. "Aku berhadapan dengan seorang 

Adipati yang seharusnya menjadi abdi rakyat. Tapi malah 

bersekutu dengan gerombolan penjahat untuk mencelakai 

rakyat! Kau makan uang sogokan! Malah sampai hati 

hendak merusak kehormatan gadis tidak berdaya yang 

diberikan oleh komplotan Ganco item!" 

"Bangsat! Berani kau memfitnah diriku!" 

"Manusia jahanam! Bukti di depan mata masih bisa kau 

bilang fitnah! Manusia bejat sepertimu pantas segera 

disingkirkan!" kertak Wiro. 

"Pengawal!" teriak Adipati Bandoro Wiseso. Namun 

teriakannya hanya keluar sepotong karena saat itu 

Pendekar 212 sudah meiompatinya dan menghantamkan 

satu jotosan ke muka Adipati Demak ini. 

Bandoro Wiseso berkelit ke samping. Tangan kananya 

susupkan satu jotosan ke perut Wiro. Bersamaan dengan 

itu kaki kanannya ikut menendang. Ternyata Adipati Demakini menguasai ilmu silat yang tidak bisa dibuat main. Begitu 

Wiro mengelak dia kembali memburu dengan serangan 

bertubi-tubi. Dua jotosannya sempat melabrak perut dan 

dada murid Eyang Sinto Gendeng ini. 

Wiro merasakan perutnya seperti pecah dan dadanya 

seolah melesak. Dia tidak punya banyak waktu untuk 

melayani manusia satu ini karena harus segera mengejar 

Ganco Bumi sebelum orang itu sempat bergabung kedua 

kambratnya. 

Ketika Bandoro Wisese kembali menggempurnya 

dengan serangan berantai Pendekar 212 langsung me-

nyongsong dengan jurus "Di balik gunung memukul 

halilintar!" tangan kirinya diangkat untuk menangkis. Ber-

samaan dengan itu tangan kanan yang sudah dialiri 

kekuatan tenaga dalam tinggi lepaskan satu pukulan 

tangan kosong yang dahsyat. Inilah jurus silat yang diwarisi-

nya dari Eyang Sinto Gendeng di Gunung Gede. 

Ketika ada angin yang mendahului pukulan tangan 

kanan lawan, Bandoro Wiseso maklum kalau Wiro hendak 

menghantamnya dengan pukulan maut. Maka Adipati 

Demak yang cukup punya pengalaman ini cepa-cepat me-

lompat ke samping kiri. Lima jari tangannya membuat 

gerakan merenggut ke arah tenggorokan Wiro. 

Serangan balasan sang Adipati ternyata mampu men-

capai sasaran lebih dulu dari hantaman tangan kanan yang 

hendak dilepaskan Wiro. Hal ini membuat Wiro mau tak 

mau harus menarik serangannya seraya membuat gerakan 

menjatuhkan lehernya dari serangan ganas lawan. Begitu 

dia bisa menyelamatkan leher Wiro melompat ke atas 

tempat tidur. Dari sini dia molompat ke arah lawan sambil 

mengeluarkan jurus silat yang didapatnya dari Tua Gila di 

Pulau Andalas yaitu "Kilat menyambar puncak Gunung." 

Yang diincarnya adalah batok kepala Adipati itu. 

Bandoro Wiseso tidak mengira serangan kedua inidatang begitu cepatnya. Tak ada kesempatan untuk me-

nangkis, lelaki ini jatuhkan dirinya. Begitu punggungnya 

menyentuh lantai maka dia akan hantamkan kaki kanan-

nya ke perut lawan. Tapi ternyata Pendekar 212 mengikuti 

arah jatuhnya ke samping kiri. Dari arah ini tebasan 

tangannya masih terus menderu dengan deras. Batok 

kepala Bandoro Wiseso memang luput dari serangannya 

tapi kini gantinya justru adalah batang leher Adipati itu! 

Kraak! 

Tulang leher Bandoro Wiseso berdetak patah! 

Tubuhnya langsung terhuyung roboh. Nyawanya se-

benarnya sudah putus saat Itu juga. Namun saking geram-

nya, sebelum tubuh itu jatuh ke lantai, murid Eyang Sinto 

Gendeng ini hantamkan tumitnya ke dada Bandoro Wiseso. 

Tak ampun lagi tubuh yang sudah jadi mayat itu men-

celat menghantam dinding. Dari mulutnya yang terbuka 

kelihatan darah memuncrat! 

Jika dituruti nafsu amarahnya saat itu mau rasanya Wiro 

menghancurluluhkan kepala dan sekujur tubuh serta 

semua anggota badan Adipati itu. Namun dia merasa tak 

ada gunanya. Mayat utuh sang Adipati lebih baik dipakai 

sebagai penambah isi peti matinya! 

Wiro tersadar oleh suatu erangan dari arah tempat 

tidur. Dia berpaling. Gadis itu setengah terduduk. Wajahnya 

pucat. Gadis itu berusaha menutupkan kain alas tempat 

tidur ke tubuhnya. Wiro mendekat. 

"Sumiati... Jangan takut. Aku datang menolongmu…" 

"Kau...Kau siapa?" Suara gadis itu antara terdengar dan 

tiada. Dia berusaha beringsut menjauhkan diri. Bencana 

yang dialaminya membuat dia tidak bisa percaya dengan 

siapa lagi di dunia ini, apalagi yang namanya laki-laki. 

"Aku Wiro. Aku saudara sepupumu," jawab Pendekar 

212. 

"Sau… saudara sepupu...? Seumur hidup aku tidak penah punya saudara sepupu. Kau pasti salah satu dari 

manusia-manusia terkutuk itu!" 

Wiro mendekat sambil garuk-garuk kepala. 

"Jangan sentuh tubuhku! Bunuh! Lebih baik kau bunuh 

diriku! Aku ingin mati! Aku ingin mati!" teriak Sumiati. 

Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap tak tahu apa yang 

harus dilakukan. Namun kemudian disadarinya bahwa dia 

harus bertindak cepat. 

"Aku tak punya waktu banyak. Nanti saja aku terang-

kan." Habis berkata begitu Wiro segera menotok tubuh 

Sumiati. Dari dalam sebuah lemari di kamar itu dia hanya 

menemukan pakaian-pakaian lelaki yaitu milik Bandoro 

Wiseso. Bagaimanapun pakaian itu lebih baik dipakaikan 

ke tubuh saudara sepupunya dari pada hanya dibungkus 

dengan selimut atau kain alas tempat tidur. 

***


MENGHADAPI dua belas pengeroyok dengan me-

mikul dua sosok t.ubuh bukan peke,jaan mudah 

bagi Pendekar 212 Wiro Sabieng meskipun tidak 

terlihat satupun dari mereka memegang senjata. 

Selagi orang-orang itu menebar dan bergerak men-

dekatinya Wiro gerakkan bahu kanannya dengan keras. 

Mayat Bandoro Wiseso yang ada di bahu kanan itu 

tersentak keras dan melayang di udara. Tentu saja hal ini 

membuat kedua belas pengawal tadi sama keluarkan 

seruan tertahan saking terkejutnya. Ada yang berusaha 

untuk menangkap tubuh Adipati mereka itu. Namun tubuh 

itu melayang di atas kepala mereka ke arah kereta lalu 

dengan suara bergedebuk keras menggidikkan jatuh 

masuk ke dalam peti mati yang terbuka! Ken Cilik yang ada 

di atas kereta memekik beberapa kali sedang dua kuda 

penarik kereta meringkik panjang. , 

"Kawan-kawan!" salah seorang pengawal berteriak. 

"Mari kita bunuh pemuda ini!" 

Maka dua belas orang yang tadi terhenti gerakan 

mereka sesaat kini kembali menyerbu. Beberapa orang di 

antaranya kelihatan mencabut senjata. Mereka tampaknya 

tidak ragu-ragu sekaiipun serangan mereka mungkin akan 

mencelakai gadis yang ada di bahu kiri Wiro. 

Dalam keadaan seperti ini menyerang lebih dahulu 

adalah lebih baik dari pada menunggu. 

Pendekar 212 melompat ke kiri. Tangan kirinya me-

megang pinggang Sumiati. Tangan kanan lepaskan satujotosan. Sasarannya adalah pengawal berhidung besar di 

ujung kiri. Namun dari samping kawan si pengawal ini 

datang membabatkan goloknya. Wiro terpaksa membuat 

gerakan berputar. Kaki kanannya berkelebat. 

Bukk! 

Pengawal yang tadi hendak membacoknya terpental 

sambil keluarkan suara mengeluh tinggi. Rahangnya 

rengkah. 

Tubuhnya terhempas ke tanah. Sebelas kawannya ber-

teriak marah dan menyerang laksana air bah. Wiro meng-

geser kedudukannya memunggungi kereta. Dengan 

demikian dia berusaha menghindari serangan dari 

belakang. Begitu mencapal kereta Wiro lepaskan pukulan 

"benteng topan melanda samudera". Walau pukulan ini 

dilepaskan dengan mengerahkan hanya sepertiga tenaga 

dalamnya tapi sudah cukup untuk membuat para 

penyerang berteriak kaget. Tiga di antara mereka terpental 

dan terguling-guling di tanah sementara debu dan pasir 

bertebaran disapu angin pukulan. 

Seorang pengeroyok menyelinap ke samping kereta lalu 

melompat ke atas kendaraan ini. Dengan golok di tangan 

dia bermaksud menyerang Wiro dari belakang. Tapi begitu 

dia naik di atas kereta, Ken Cilik melompat ke atas 

bahunya, menggigit telinga kirinya kuat-kuat. Orang ini 

menjerit keras. Golok terlepas dari tangannya. Dia 

melompat ke tanah dengan darah bercucuran dari 

telinganya. Ketika telinga itu dirabanya ternyata daun 

telinganya robek besar bahkan hampir putus! 

Selagi para pengeroyok tertegun melihat apa yang ter-

jadi, Wiro cepat melompat ke atas kereta. Tubuh Sumiati 

dibaringkannya di lantai di sebelah belakang tempat 

duduk. 

Sambil tegak bertolak pinggang di atas kereta dia ber-

kata, "Jika ada yang masih punya nyali silahkan mencoba!"Lalu sekali lagi dia lepaskan pukulan sakti tadi. Kali ini 

dengan mengerahkan hampir setengah tenaga dalamnya. 

Karena tidak berniat untuk membunuh semua pengawal 

yang ada disitu maka Wiro sengaja mengarahkan pukulan-

nya ke tanah. Para pengawal merasa seolah-olah tempat 

itu dilanda angin puting beliung. Tubuh mereka bergetar 

keras sedang kaki masing-masing terasa goyah. Beberapa 

orang tampak jatuh terbanting. Debu pasir beterbangan 

menutupi pemandangan. 

Terdengar suara cambuk dipecutkan. Lalu gemertak 

roda-roda kereta. Ketika debu dan pasir surut ke tanah, 

kereta yang ditarik dua ekor kuda itu bersama penumpang-

nya sudah tak ada lagi di tempat itu. Tak ada satupun dari 

para pengawal itu berani bergerak untuk mengikuti apa lagi 

coba mengejar. 

*** 

Meskipun rombongan Ganco Bumi meninggalkan 

Demak lebih dahulu, namun dengan memacu dua ekor 

kuda penarik kereta sekencang-kencangnya dan me-

nempuh jalan memotong menyeberangi sebuah kali 

dangkal, di sebuah jalan tanah yang kiri kanannya sarat 

dengan pepohonan jati, Pendekar 212 berhasil memapaki 

perjalanan Ganco Bumi dan lima anak buahnya. 

Ganco Bumi yang tengah memacu kudanya dengan 

kencang mengangkat tangan memberi tanda. Namun 

gerak-gerik keenam binatang ini jelas menunjukkan 

keresahan. Kuda-kuda itu kelihatan menggerak-gerakkan 

ekor mereka tiada henti. Kaki masing-masing tak bisa 

diam. Di antaranya ada yang meringkik seolah ketakutan. 

Sesaat keenam orang itu hanya memandangi kereta 

yang melintang di tengah jatan itu. Orang yang menjadi 

kusir kereta seenaknya memandang ke arah hutan jati didepannya sambil mengusap-usap monyet yang duduk di 

sampingnya. Dia seolah-olah tidak melihat atau mendengar 

kemunculan Ganco Gumi dan anak buahnya. Padahal jelas-

jelas dia memelintangkan kereta untuk mencegat rom-

bongan itu. 

Setelah mengalihkan pandangannya pada peti mati 

besar di atas kereta, Ganco Bumi yang tidak dapat lagi 

menahan kemarahannya karena perjalanannya sengaja 

diganggu pemuda tak dikenal itu menghardik dengan 

keras. 

"Orang gila dari mana mencari mati berani menghadang 

perjalananku!" 

Pendekar 212 terus mengusap kuduk Ken Cilik. Tanpa 

berpaling ke arah rombongan Ganco Bumi dia bertanya 

pada monyet di sampingnya. 

"Ken Cilik, apakah ini salah seorang dari calon isi peti 

mati kita?!" 

Ken Cilik putar kepalanya. Kedua matanya memandang 

besar-besar ke arah Ganco Bumi. Lalu binatang ini mulai 

berteriak-teriak sambil melompat-lompat. 

Pendekar 212 manggut-manggut. 

"Bagus! Jadi kau sudah mengenali salah satu dari 

manusia-manusia durjana itu!" ujar Wiro. Tangan kanannya 

diturunkan menarik sebuah palang kayu. Tangan kiri 

menjangkau cambuk kereta. 

Terdengar suara berkereketan. 

Ganco Bumi yang kembali hendak membentak jadi 

terkancing mulutnya. Dia mengernyit sementara lima anak 

buahnya terperangah ketika menyaksikan bagaimana kayu 

penutup peti mati terbuka perlahan-lahan dengan menge-

luarkan suara menggidikkan. 

Ketika penutup peti mati terpentang lebar dan Ganco 

Bumi serta lima anak buahnya melihat dua sosok tubuh 

yang tergelimpang di dalamnya, karuan saja keenam orangini keluarkan seruan tertahan. Mereka menyaksikan dua 

sosok mayat di dalam peti mati itu. Mayat di samping 

kanan adalah mayat Adipati Demak Bandoro Wiseso. 

"Demi setan! Apa yang terjadi dengan Adipati inil" kata 

Ganco Bumi dengan mata mendelik. Pagi tadi dia masih 

menemui Adipati itu dalam keadaan hidup dan tertawa 

gembira karena diberi hadiah seorang gadis cantik. Kini 

tahu-tahu sudah jadi mayat! 

Mayat kedua yang tampak mulai membusuk masih bisa 

dikenali oleh Ganco Bumi yaitu tidak lain dari pada mayat 

Bintara Anggoro, salah seorang dari sekian banyak sekutu-

sekutu komplotannya. 

"Ini benar-benar gilal" Ganco Bumi memaki dalam hati. 

"Aneh, mayat Bintara itu jelas mulai membusuk, tapi 

mengapa tidak menebar bau?!" 

Saat itu balk Ganco Bumi maupun para anak buahnya 

tidak dapat melihat sosok tubuh Sumiati yang dibaringkan 

Wiro di sisi kereta sebelah kiri, terhalang oleh peti mati. 

"Manusia berkulit hitam! Berpakaian serba hitam! Aku 

tahu kau adalah salah satu dari tiga anjing Ganco Item! 

Katakan kau ini Ganco yang mana?! Ganco Langit, Bumi 

atau Laut?!" Wiro bicara dengan tetap tidak bergerak di 

atas tempat duduk kereta dan menatap ke arah hutan jati. 

Ditanya seperti itu tentu saja Ganco Bumi menjadi me-

radang berang. 

"Bangsat kurang ajar!" teriaknya memaki. "Aku Ganco 

Bumi bisa saja membungkam mulutmu dan menjebloskan-

mu ke dalam peti mati itu semudah membalikkan telapak 

tangan! Tapi buat apa harus mengotori tangan melayani 

cecunguk macammu?!" 

Makiannya ini dijawab oleh Ken Cilik dengan jeritan-

jeritan keras. 

"Anak-anak! Lekas kalian bikin lumat pemuda gila itu!" 

teriak Ganco Bumi.Lima anak buah gerombolan Ganco Item turun dari 

kuda masing-masing, lalu sambil menghunus senjata 

mereka yaitu ganco besi yang ujungnya runcing mengeri-

kan, kelimanya melompat ke atas kereta. Lima ganco maut 

berkelebat di udara! 

Pendekar 212 keluarkan suara mendengus. 

"Ganco Bumi! Aku telah bersumpah untuk membunuh-

mu! Peti mati itu kusediakan untuk dirimu serta dua 

saudaramu!" 

Ganco Bumi tertawa bergelak. "Sudah macam orang 

gila, bicarapun seperti mimpi!" 

Wiro balas tertawaan orang dengan cibiran. 

"Nyawamu tak bakal lolos dariku Ganco Bumi! Tapi jika 

kau memang mngumpan anak buahmu untuk menyem-

bunyikan kepengecutanmu, lihat saja apa yang akan ter-

jadi!" 

Tubuh Wiro tampak berdiri tapi kedua kakinya tidak ber-

geser sedikitpun. Tangan kirinya yang memegang cambuk 

bergerak. Terdengar suara cambuk itu berkelebat di udara 

laksana gelegar petir. Bersamaan dengan itu Wiro hantam-

kan tangan kanannya. Lalu kaki kirinya membuat gerakan 

menendang. 

***

TIGA jeritan menggema sampai ke dalam hutan jati. 

Tiga penyerang jatuh terkapar di tanah. Satu pegangi 

mukanya yang mengucurkan darah. Muka itu robek 

akibat hantaman cambuk. Yang lain merintih di tanah 

sambil pegangi dada yang dilabrak jotosan. Dari mulutnya 

membusa ludah bercampur darah. Orang yang ketiga ter-

geletak di tanah sarnbil rnelejang-lejangkan kaki lalu tidak 

bergeming lagi. 

Mati dengan kemaluan pecah disambar tendangan 

Pendekar 212! 

Belum habis rasa terkejut Ganco Bumi melihat apa yang 

terjadi, di atas kereta Wiro kembali gerakan tangan kirinya 

sambil membungkuk untuk menghindari ganco besi yang 

menyambar ke arah lehernya. 

Cambuk kereta itu meletup keras. Menyusul jeritan 

korban yang ke empat. Seperti kawannya tadi, penyerang 

yang ke empat jatuh bergulingan di tanah sambil pegangi 

mukanya yang berlumuran darah. Hantaman cambuk mem-

buat luka membelintang dalam di mukanya, mulai dari 

pinggiran mata kiri sampai ke dagu kanan! 

Penyerang ke lima yang datang dari belakang agaknya 

akan berhesil manancapkan ganco besinya ke punggung 

Wiro. Ganco Sumi menyeringai. 

"Kini baru tahu rasa pemuda gila itu." katanya dalam 

hati. Tapi seringai Ganco Bumi menjadi lenyap ketika tiba-

tiba di atas kereta Pendekar 212 balikkan tubuhnya. 

Tangan kanannya dengan cepat menjambak rambutpenyerangnya lalu dihempaskan ke samping. Ganco yang 

tadi ditikamkan lewat hanya seujung kuku di depan dada 

Wiro namun sempat merobek pakaian sang pendekar. 

Wiro tarik kepala orang yang dijambaknya ke depan. 

Begitu kepala itu tertarik Wiro hantamkan keningnya ke 

kening lawan. Orang itu menjerit setinggi langit. Peman-

dangannya gelap. Keningnya mengucurkan darah. Senjata-

nya lepas dari tangan. Dengan satu sentakan saja Wiro 

membanting tubuh orang itu ke bawah kereta! 

"Keparat! Ganco Bumi akan melomat tubuhmu!" teriak 

Ganco Bumi seraya menggebrak kudanya mendekati 

kereta. Di tangan kanannya sudah tergenggam sebuah 

ganco besi yang memancarkan warna hitam tanda senjata 

itu bukan senjata sembarangan. 

"Manusia durjana bernama Ganco Bumi!" teriak Wiro. 

"Untuk ke neraka kau tidak memerlukan kuda!" bentak 

Wiro. Cambuk di tangan kirinya berkelebat. Mengira dirinya 

yang hendak jadi sasaran, Ganco Bumi cepat miringkan 

tubuh ke kiri. Tapi cambuk itu ternyata menyambar ke arah 

kepala kuda. 

Craass! 

Mata kanan kuda itu pecah. 

Binatang tunggangan Ganco Bumi ini meringkik keras 

sambil angkat ke dua kaki depannya tinggi-tinggi, me-

lemparkan Ganco Bumi dari punggungnya! 

"Bangsat! Makan ini!" teriak Ganco Bumi. Sambil jungkir 

balik di udara tangan kirinya dihantamkan ke arah Wiro. 

Lima buah senjata rahasia terbuat dari besi hitam ber-

bentuk bintang bersudut tiga melesat ke arah Pendekar 

212. 

Melihat datangnya serangan ganas ini Wiro segera me-

lompat dari atas kereta. Tapi begitu kedua kakinya meng-

injak tanah dari samping Ganco Bumi sudah menerkam 

dengan ganco besinya.Wuuut! 

Ujung tajam senjata di tangan Ganco Bumi menderu 

menyambar ke arah tenggorokan Wiro. Serangan ini sama 

sekali tidak terduga dan sangat cepat. 

Pendekar 212 berseru tegang. Dia melompat sambil 

miringkan kepala untuk selamatkan leher. Dia berhasil. 

Tapi lagi-lagi tidak terduga ganco besi itu menukik ke 

bawah, menyapu ke arah bawah perutnya! 

Untuk kedua kalinya Wiro berkelit dengan melompat ke 

belakang. Meskipun dia sempat menyelamatkan anggota 

rahasianya yang hendak direnggut senjata lawan, namun 

Wiro tidak mampu menyelamatkan paha kanannya. Ujung 

tajam ganco besi merobek dan menembus paha celana 

Pendekar 212 lalu melukai daging pahanya. 

Wiro mengerenyit. Torehan luka itu terasa seperti api 

membara. Murid Eyang Sinto Gendeng ini sadar kalau 

senjata lawan memiliki racun sangat jahat! 

Di depannya Ganco Bumi tertawa bergelak. 

"Pemuda gila! Ternyata hanya sebegitu saja kehebatan-

mu! Kau tunggulah beberapa kejapan mata! Racun ganco 

besiku akan menghancurkan jantungmu! Tapi sebelum 

mampus harap kau beritahu mengapa kau menghadang 

perjalananku!" 

"Manusia iblis! Jangan terlalu cepat gembira!" jawab 

Wiro. Meskipun Eyang Sinto Gendeng menyatakan dirinya 

kebal terhadap segala macam racun namun Wiro tak mau 

bertindak gegabah. Dia cepat menotok pahanya yang ter-

luka guna mencegah menjalarnya racun ke dalam aliran 

darahnya. 

"Aku bukan cuma menghadang jalanmu tetapi meng-

hadang nyawa busukmu!" 

"Setan alas! Kau masih belum menjawab pertanyaanku! 

Apa kau tidak tahu kalau sebentar lagi nyawamu bakalan 

putus?!"Wiro sunggingkan seringai mengejek. 

"Beberapa waktu lalu kau dan dua saudaramu menyer-

bu desa Jatingaleh. Kalian bukan saja merampok harta 

benda penduduk, tapi juga membunuh dan menculiki 

Kepala desa dan istrinya ikut jadi korban. Anak gadis 

mereka kalian culik dan kalian rusak kehormatannya! 

Kakek gadis itu dibunuh secara keji oleh Bintoro Anggoro. 

Anak gadis kepala desa Jatingaleh kemudian kau berikan 

pada Adipati Demak sebagai hadiah dan umpan keji! 

Sekarang kau lihat sendiri pembalasan bagi manusia-

manusia terkutuk itu! Anggoro dan Bandoro Wiseso ada 

dalam peti mati. Peti itu masih cukup besar untuk 

menyumpalkan mayatmu dan mayat dua pimpinan Ganco 

Item lainnya!" 

Sesaat Ganco Bumi jadi terkesiap mendengar ucapan 

Wiro. Namun di lain kejap manusia bermuka hitam ini 

membentak garang. 

"Bangsat! Rupanya kau bangsa manusia yang ingin jadi 

pahlawan! Lalu apa urusanmu sebenarnya melakukan 

semua ini?!" 

"Ranalegowo, kepala desa Jatingaleh adalah pamanku. 

Istrinya adalah bibiku! Kioro Mertan adatah kakekku dan 

gadis yang kau culik itu adalah sepupuku! Apa perlu 

penjelasan lagi manusia muka pantat kuali?!" 

"Hemm.... Jadi kau rupanya muncul untuk menuntut 

balas!" Ganco Bumi kembali tertawa gelak-gelak. "Kau tak 

punya waktu! Nyawamu keburu putus sebelum kau sempat 

menghitung sampai sepuluh!" 

Ganco Bumi menunggu beberapa saat. Pada perkiraan 

hitungan yang kesepuluh hatinya mulai risau dan tampang-

nya berubah. Pemuda di hadapannya itu masih tegak ber-

diri. Sama sekali tidak menemui kematian akibat racun 

ganas ganco besinya! 

Tak ada jalan. Dia harus benar-benar melumat tubuhpemuda itu. Maka didahulul satu bentakan keras Ganco 

Bumi menyerbu dengan senjata beracunnya. Serangannya 

sungguh luar biasa. Ganco besi di tangannya lenyap, ber-

ubah menjadi lingkaran-lingkaran yang sabung menyabung 

mengurung Pendekar 212 dari segala penjuru. 

Sebagai orang kedua dalam komplotan Ganco Item 

memang Ganco Bumi memiliki kepandaian yang sangat 

tinggi. Antara dia dengan kakaknya hanya terpaut satu 

tingkat saja. Tetapi Ganco Langit memiliki satu kehebatan 

yang tidak dimiliki oleh Ganco Bumi yakni semacam ilmu 

kebal yang membuatnya tidak mempan pukulan maupun 

senjata. Tubuhnya bisa dibuat babak belur tetapi tidak 

mungkin untuk membunuhnya selama tidak diketahul ke-

lemahannya. Ganco Bumi telah berulang kali meminta 

pada kakaknya itu agar dia diberi petunjuk bagaimana cara 

mendapatkan ilmu kebal tersebut. Namun Ganco Langit 

tak pernah mengabulkan permintaan adiknya itu. 

Untuk beberapa lamanya Wiro merasakan dirinya ter-

tekan dan seolah-olah tak bisa keluar dari buntalan 

serangan lawan. Hanya kecepatan geraknya saja yang 

mampu mengimbangi serangan Ganco Bumi. Setelah 

didesak terus selama empat jurus Pendekar 212 mulai 

berusaha mengirimkan serangan-serangan balasan. Dia 

mainkan jurus-jurus silat Gila Tua yang terkenal ampuh 

dalam bertahan. Secara bersamaan dia keluarkan jurus-

jurus silat Eyang Sinto Gendeng. Tenaga dalam dialirkan 

pada kedua telapak tangannya. 

Ternyata Ganco Bumi mengetahui apa yang dilakukan 

lawannya. Karenanya, sebelum Wiro mulai melancarkan 

serangan yang mengandung tenaga dalam, Ganco Bumi 

melipatgandakan kecepatan serangannya. Kini bukan saja 

senjatanya yang lenyap, tubuhnyapun berubah menjadi 

bayang-bayang. 

Wiro menghantam sebat beberapa kali, tapi hanyamendapatkan pukulan-pukulannya menghantam tempat 

kosong. Tak ada jalan lain. Dia harus menjaga jarak ter-

hadap lawan. Dengan kata lain dia harus menjauhkan diri 

hingga punya kesempatan untuk melancarkan serangan. 

Wiro keluarkan suitan nyaring. Tubuhnya berkelebat ke 

arah kerapatan pohon-pohon jati. Ganco Bumi mengejar. 

Wiro melompat kebalik pepohonan yang lain. Begitu 

dilakukannya berulang kali. 

"Pengecut!" teriak Ganco Bumi. Ganco di tangan 

kanannya menderu kian kemari. Batang-batang pohon 

berlubang-lubang dan terbongkar berantakan. Dapat di-

bayangkan kalau senjata Itu sempat mengoyak tubuh Wiro. 

Ketika Ganco Bumi mengejar terus dan jarak mereka 

terpisah tiga pohon, Wiro pergunakan kesempatan untuk 

melepaskan pukulan "segulung ombak menerpa karang". 

Ganco Bumi terkesiap ketika mendengar ada deru 

angin laksana gemuruh badai menghantam ke arahnya. 

Cepat-cepat dia melompat ke balik pohon jati besar. Dua 

pohon jati di depannya tampak bergetar hebat, hampir ter-

cabut dari akarnya. 

"Keparat! Yang kuhadapi bukan manusia! Bagaimana 

dia bisa memiliki kekuatan sehebat itul" berucap Ganco 

Bumi dalam hati. Dia segera mengeruk saku pakaiannya 

mengambil senjata rahasia besi bintang tiga. Selagi dia 

mengintai mencari kesempatan untuk melepaskan senjata 

rahasia itu, dari seberang sana Wiro kembali menghantam 

dengan pukulan sakti tadi. 

Ganco Bumi memaki habis-habisan. Dia selamatkan diri 

dengan membuat lompatan berputar hingga akhirnya dia 

berada tepat di belakang Wiro. 

"Sekarang tamat riwayatmu!" kertak Ganco Bumi. Di-

dahului dengan melemparkan lima senjata rahasia berupa 

besi berbentuk bintang tiga itu, 

Ganco Bumi kemudian menyerbu dengan ganco beracun. 

Saat dia melompat itulah, sebuah bends tiba-tiba 

melayang dari atas pohon di sampingnya. Lalu terdengar 

suara pekik melengking keras. Ternyata Ken Cilik telah 

meninggalkan kereta dan naluri binatang ini menginginkan 

dirinya untuk ikut membantu Wiro membunuh orang yang 

telah membunuh tuannya. 

Ken Cilik berhasil bergayut di punggung Ganco Bumi. 

Kuku-kukunya mencengkeram dan taring-taringnya dihun-

jamkan ke daging Ganco Bumi. Orang ini menjerit 

kesakitan. 

"Binatang keparat!" Ganco Bumi pergunakan tangan 

kirinya menangkap tubuh Ken Cilik. Dia berhasil menceng-

keram kuduk monyet ini lalu membantingkannya ke tanah. 

Ken Cilik memekik keras dan berguling-guling di tanah. 

Pendekar 212 Wiro Sambleng pukulkan tangan kanan-

nya. Dua senjata rahasia lawan mencelat mental. Yang tiga 

lainnya dihindarkan dengan menjatuhkan diri ke tanah. 

Selagi Wiro bergulingan Ganco Bumi cepat mendatangani 

sambil ayunkan ganconya ke perut Wiro. 

Kaki kanan Pendekar 212 melesat ke atas lebih cepat. 

Kraakkk! 

Tulang sambungan siku tangan kanan Ganco Bumi 

hancur. Ganco yang digenggamnya terlepas mental jeritan 

orang ini seperti merobek langit. Dengan kalap tangan kiri-

nya mengeruk saku pakaiannya untuk mengambil senjata 

rahasianya. Namun kembali kaki kanan Wiro bergerak. Kali 

ini menyapu kedua pergelangan kakinya. Tak ampun lag! 

Ganco Bumi terbanting terbanting tertelentang di tanah. 

Sewaktu dia mencoba bangun lutut kiri Wiro sudah mene-

kan perutnya. Lalu terjadilah pembalasan dendam itu. 

Tinju Wiro kiri kanan menderu bertubi-tubi menghantam 

dada dan muka Ganco Bumi. Tulang-tulang iganya ber-

patahan. Tulang dada melesak remuk. Mukanya babakbelur. Darah mengucur dari mulut, hidung dan kedua 

matanya! 

Wiro tidak tahu berapa lama dia menghujani Ganco 

Bumi dengan hantaman-hantaman keras itu. Dia baru ber-

henti ketika kedua tangannya terasa sakit. Tapi begitu 

mendengar suara erangan tanda orang itu masih belum 

mati, Wiro jambak rambut Ganco Bumi lalu menghantam-

kannya ke batang pohon jati. Terdengar suara menggidik-

kan ketika batok kepala Ganco Bumi beradu dengan pohon 

jati dan rengkah! 

Ken cilik memekik panjang. 

Wiro angkat tubuh Ganco Bumi yang sudah jadi mayat 

itu lalu melemparkannya ke dalam peti mati. Tiga mayat 

kihi memenuhi peti mati hitam besar itul Sesaat Pendekar 

212 memandang berkeliling sambil menggaruk kepala. 

Pandangannya membentur salah seorang anak buah 

Ganco Bumi yang tadi dihantamnya dengan cambuk dan 

saat itu masih terkapar di tanah dengan luka panjang di 

wajahnya dan masih mengucurkan darah. 

Wiro dekati anggota komplotan penjahat ini, cekal kerah 

bajunya kuat-kuat sementara tangan kanannya diangkat 

tinggi-tinggi siap untuk menghantam muka yang cidera 

berat itu. 

"Jangan! Ampuni selembar nyawaku!" ratap orang itu 

yang sebelumnya telah menyaksikan secara menggidikkan 

bagaimana Wiro membunuh pimpinannya dengan tangan 

kosong. 

Wiro menyiringai. 

"Kalau kau masih ingin hidup, turut apa yang aku 

perintahkan!" katanya. Lalu anak buah komplotan penjahat 

itu dilemparkannya ke bagian depan kereta. 

***


GANCO LANGIT melangkah mundar-mandir. Sebentar-

sebentar tangan kanannya dipukulkan ke batang-

batang pohon yang ada di dekatnya hingga kulit 

pohon itu melesat atau pecah terkelupas. Dia sedang kesa! 

dan marah. 

"Keparat Ganco Bumi itu! Sudah siang begini masih 

belum kelihatan pangkal hidungnya!" 

Jaminten yang tegak di sebelahnya berkata, "Jangan-

jangan adikmu itu tidak membawa gadis itu langsung ke 

tujuan, tapi mampir dulu di satu tempat melampiaskan 

nafsunya!" 

Tampang hitam Ganco Langit kelihatan membesi. 

"Kalau itu dilakukannya aku akan menghajarnya sampai 

dia tahu rasa!" Lalu pimpinan gerombolan Ganco Item ini 

mendongak ke atas. Sang surya tampak mulai condong ke 

barat. Sasuai perjanjian Ganco Bumi harus sudah berada 

di lembah itu paling lambat tengah hari. 

"Ganco Langit," Ganco Laut buka suara. "Dari pada 

menunggu menghabiskan waktu, bagaimana kalau kita 

bergerak saja ke Demak sekarang juga. Seorang anak 

buah kita tinggalkan di sini. Kalau Ganco Bumi datang dia 

bisa memberi tahu agar menyusul kita." 

Ganco Langit bimbang sesaat. Namun akhirnya dia 

menyetujui pendapat Ganco Laut itu. Seorang anggota 

gerombolan ditinggalkan di lembah guna menunggu Ganco 

Bumi. Tak ada seorangpun di antara mereka yang bakal 

menduga kalau kelak Ganco Bumi akan muncul hanyatinggal tubuh kasarnya saja dalam keadaan memar hancur. 

Rombongan berkuda itu bergerak cepat menuju Demak. 

Di depan sekali Ganco Langit dan Ganco Laut. Disebelah 

belakang mengikuti sepuluh orang anak buah mereka. Lalu 

sebuah gerobak ditarik dua ekor kuda. Jaminten berada di 

atas gerobak ini, duduk di samping kusir. Setelah gerobak 

menyusul sepuluh orang lagi anggota gerombolan. 

Tepat pada saat matahari tenggelam, setelah me-

nempuh perjalanan begitu jauh rombongan akhirnya 

sampai di pinggir timur Demak. Dari sini mereka sengaja 

mengambil jalan mengitari pinggiran kota untuk sampai di 

sebuah tanah datar dimana terdapat sebuah Masjid Besar. 

Masjid ini, memiliki halaman luas. Bangunannya pun 

luas sekali. Di salah satu bagian mesjid terdapat sebuah 

ruangan dimana secara rahasia dan hanya beberapa orang 

saja yang tahu, disimpan beberapa barang pusaka Keraja-

an. Barang-barang Itu antara lain adalah sebuah tameng 

emas yang bagian tengahnya dihias dengan sebuah batu 

merah delima sebesar telur burung. Pada pinggirannya 

ditaburi dengan berbagai batu permata mutu manikam 

serta mutiara. Laiu ada sebuah gong yang juga terbuat dari 

emas, sebuah rompi emas berhiaskan berlian. Sebelah 

keris bernama Kiyai Plered yang juga terbuat dari emas. 

Kemudian ada pula seperangkat alat-alat minum dari emas 

yang konon kabarnya merupakan hadiah dari seorang 

kaisar di Tiongkok yang memerintah sekitar seratus tahun 

silam. 

Entah bagaimana komplotan Ganco Item berhasil 

mengetahul tentang barang-barang pusaka berharga itu. 

Mereka melakukan penyelidikan. Ternyata Mesjid Besar itu 

hanya dijaga oleh tujuh orang perajurit yang sehari-hari 

selalu berpakaian santri dan seorang tua yang dipanggil 

dengan nama Syekh Martani. Di mata Ganco langit dan 

kawan-kawannya pengawalan seperti itu sama sekali takada artinya. 

Dalam Mesjid Besar Syekh Martani tengah menjadi 

Imam pemimpin solat Magrib. Hanya ada dua perigawal 

berjaga-jaga dekat ruangan penyimpanan benda-benda 

pusaka. Kesempatan ini dipergunakan dengan sebaik-baik-

nya oleh Ganco Langit dan kawan-kawannya. Mereka 

memasuki pintu halaman Mesjid Besar hampir tanpa 

suara. Di bawah pimpinan Ganco Langit dan Ganco Laut 

lima belas orang anggota gerombolan bergerak menuju 

ruangan tempat penyimpanan barang-barang bdrharga itu. 

Lima anggota lainnya dan juga Jaminten tetap berada di 

halaman belakang mesjid. 

Dua penjaga yang ada di tempat itu disergap lalu di-

habisi nyawa mereka tanpa banyak susah. Ganco Langit 

lalu berusaha mencari kunci pintu ruang penyimpanan 

barang pusaka. Beberapa orang menggeledah mayat dua 

penjaga. Tapi mereka tak berhasil menemukan anak kunci. 

Dengan tidak sabaran Ganco Langit mendobrak pintu 

ruangan hingga jebol. Begitu pintu terpentang Ganco Langit 

memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya lalu masuk 

ke dalam setelah menyuruh Ganco Laut tetap di luar untuk 

berjaga-jaga. Ganco bumi sengaja berbuat begitu karena 

ada rasa kawatir kalau-kalau Ganco Laut akan berbuat 

curang, mencuri dan menyelinapkan barang-barang 

berharga yang ada di situ. 

Ruangan yang dimasuki itu berada dalam keadaan 

gelap. Satu-satunya cahaya yang masuk adalah berkas 

cahaya dari ruangan sembahyang. Tapi mata manusia-

manusia penjahat seperti Ganco Langit yang sudah 

terbiasa dengan kegelapan, tidak menemui kesulitan. Dia 

dan anak buahnya segera dapat melihat barang-barang 

berharga itu tersusun rapi di atas sebuah rak panjang. 

"Cepat ambil! Masukkan ke dalam kereta!" kata Ganco 

Langit lalu menyambar perisai emas dan gong emas. Tigaanak buahnya cepat-cepat membenahi semua barang-

barang pusaka di atas rak. 

"Cepat!" kata Ganco Langit lalu mendahului keluar. 

Ketika Ganco Langit mendobrak pintu ruangan 

penyimpanan barang, suara jebolnya pintu terdengar 

sampai di ruangan sembahyang yang luas. Mau tak mau 

Syekh Martani dan para jamaah lainnya menjadi terganggu 

kekhusukan sembahyang mereka. Lima orang pengawal 

yang tengah solat Magrib saat itu menjadi curiga dan 

mereka tidak bisa menguasai diri lagi. Kelimanya lari ber-

serabutan ke bagian belakang mesjid. Mereka terkejut 

sewaktu mendapatkan dua teman mereka terkapar di 

depan ruangan penyimpanan barang dalam keadaan 

berlurnuran darah dan tak bernyawa lagi. Kelimanya masih 

sempat melihat punggung beberapa orang yang melarikan 

diri ke halaman belakang mesjid sambil memboyong 

barang-barang berharga. Langsung saja para pengawal ini 

berteriak lalu mengejar. Namun saat itu mereks tidak 

membawa senjata. Enam orang anggota gerombolan yang 

bersenjatakan ganco besi segera menghadang dan 

menyerang. Hanya beberapa gebrakan saja para pengawal 

itu jatuh bersungkuran dengan luka-luka mengerikan di 

kepala, leher atau badan mereka! Mesjid Besar menjadi 

geger! 

Syekh Martani menyelesaikan solatnya dalam keadaan 

sangat tidak khusuk. Begitu memberi salam orang tua ini 

cepat menyambar sebuah tongkat yang ujungnya ditancapi 

besi lancip. Sekali berkelebat dia sudah berada dihalaman 

belakang Mesjid Besar. 

"Pencuri-pencuri terkutuk!" teriak Syekh Martani. Dia 

mengira yang memboyong barang-barang pusaka itu 

adalah pencuri-pencuri biasa. 

"Ganco Laut! Bereskan orang tua itu!" berteria Ganco 

Langit.Ganco Laut bukannya langsung melakukan apa yang 

dikatakan Ganco Langit, tapi malah menyuruh tiga orang 

anak buahnya untuk mencegat Syekh Martani. Dia sendiri 

kemudian ikut lari menuju kereta. 

Ketika ada tiga orang menghadangnya lalu menyerang 

dengan senjata berupa ganco-ganco besi barulah Syekh 

Martani menyadari bahwa yang dikejarnya bukan pencuri-

pencuri biasa. Orang tua ini begitu melihat senjata yang ter-

genggam di tangan tiga penghadangnya serta merta 

merasakan darahnya berdesir. 

"Gerombolan Ganco Item!" katanya dengan hati ter-

getar. Sebagai penjaga keselamatan barangbarang pusaka 

itu tak ada jalan lain. Dia harus mengorbankan jiwa 

raganya untuk mendapatkannya kembali! 

Syekh Martani putar tongkatnya begitu tiga lawan 

menyerbu. 

Tiga anak buah gerombolan Ganco Item sama terkejut 

ketika senjata masing-masing bentrokan dengan tongkat di 

tangan si orang tua. Tangan mereka tergetar hebat. 

Dengan kertakan rahang ketiganya kembali menyerang. 

***


HAMPIR bersamaan dengan saat Syekh Martani 

dihadang oleh tiga orang anak buah Ganco Langit, 

di bawah udara yang mulai berangsur gelap, sebuah 

kereta ditarik dua ekor kuda memasuki pintu pagar Mesjid 

Besar. Kendaraan ini berhenti di pintu pagar seperti 

sengaja hendak menutupi jalan. 

Di atas kereta, duduk sebagai kusir seorang lelaki yang 

ada luka melintang di Mukanya. Noda darah yang telah 

mengering pada muka itu membuat tampangnya menjadi 

seram. 

Di atas kereta itu terlihat sebuah peti mati hitam dan 

besar. Papannya sebelah atas nampak tertutup. Di 

samping kanan peti mati duduk seorang gadis berwajah 

pucat. Rambutnya riap-riapan. Kedua matanya me-

mandang lurus-lurus ke depan. Tubuhnya tidak bergerak 

sedikitpun. Dia duduk di lantal kereta seperti patung peri 

yang angker. Seekor monyet coklat duduk di pangkuannya. 

Seperti gadis itu, binatang inipun memandang lurus-

lurus ke depan. Dari mulutnya keluar suara mengerang 

halus. 

Ketika dia melihat sosok Ganco Langit dan Ganco Bumi 

binatang ini langsung meiornpat dan berteriak-teriak. 

Semua barang rampokan sudah dimaSukkan ke dalam 

kereta. Ganco Langit memberi tanda tinggalkan tempat itu. 

Namun dari terheran-heran kemudian menjadi marah 

ketika melihat ada sebuah kereta berhenti di pintu pagar 

menghalangi jalan keluar."Kurang ajar! Singkirkan kereta sialan itu!" teriak Ganco 

Langit. 

Pada saat itu pula di bagian belakang Masjid Besar ter-

dengar suara pekikan-pekikan. Ketika Ganco Langit, Ganco 

Bumi dan anggota-anggota Ganco Item lainnya berpaling, 

mereka bagaimana tiga orang kawan mereka satu demi 

satu tersungkur di tanah sambil pegangi perut dan dada 

yang ditembus tongkat Syekh Martani! 

"Haram jadahl" maki Ganco Langit. Dia berpaling pada 

Ganco Laut. "Tadi aku perintahkan kau membereskan 

orang tua itu!" teriak Ganco Langit beringas. 

"Ternyata Syekh Martani bukan orang tua sembarangan 

Ganco Langit," menjawab Ganco Laut. 

"Perduli setan siapa dia kusuruh untuk menghabisinya 

saat ini juga!" bentak Ganco Langit. Dia berpaling ke arah 

kereta yang menutupi pintu. 

 Tiba-tiba gerobak yang dimuati barang-barang 

rampokan bergerak kencang ke arah kiri, melabrak pagar 

bambu dan terus menghambur dalam ke gelapan malam. 

Jaminten yang bertindak sebagai kusir gerobak itu 

mencambuki dua kuda penarik sekuat-kuatnya hingga 

kedua binatang itu lari seperti kesetanan. 

"Hail Jamintenl" teriak Ganco Langit. Belum sempat 

terpikir oleh benaknya apa yang tengah berlangsung, 

mengapa Jaminten melarikan gerobak yang sarat dengan 

barang-barang berharga itu. Baru saja dia hendak berlari 

ke kudanya untuk mengejar tiba-tiba orang yang duduk di 

atas kereta melompat turun dan berteriak-teriak 

memanggil namanya. 

"Ganco Langit! Ganco...!" Orang itu lari ke arah Ganco 

Langit pada saat Ganco Langit baru saja naik ke punggung 

kudanya. Dalam keadaan seperti itu Ganco Langit langsung 

saja tendang orang yang mendatangi sambil memanggilnya 

itu. Tendangan itu agak meleset hingga meskipun jatuhyang ditendang masih sempat bangun dan kembali 

berteriak. 

"Ganco Langit... Ganco Bumi mati dibunuh ...!" 

"Hah! Apa katamu?!" Ganco Langit tahan tali kekang 

kudanya dan menoleh. Baru saat Itu dia mengenali wajah 

yang luka mengerikan itu. 

"Astaga! Bukankah kau salah seorang yang ikut 

bersama Ganco Bumi ke tempat kediaman Adipati 

Demak?! Mana adikku?!" 

"D...dia..." Orang itu menunjuk ke arah kereta di pintu 

pagar. 

"Ganco Bumi mati...mati dibunuh…" 

"Bangsat! Jangan kau berani bergurau!" 

"Saya tidak bergurau Ganco...lihat sendiri! Mayat Ganco 

Bumi ada di atas kereta itu...!" 

Ganco Langit sentakan tali di ujung sana. Begitu sampai 

di dekat kereta, terkejutlah Ganco Langit. Perempuan yang 

duduk tak bergerak di atas kereta itu ternyata adalah 

Sumiati, anak gadis Ranalegowol Bukankah dia seharusnya 

berada di tempat kediaman Adipati Demak saat itu? 

Monyet di atas kereta tiba-tiba menjerit-jerit dan 

melompat-lompat kembali. Ganco Langit merutuk. Matanya 

mencari-cari tapi dia tidak menemukan adiknya di situ. Dia 

memandang lekat-lekat pada peti mati hitam. 

Tiba-tiba terdengar suara berkeretakan. Penutup peti 

mati perlahan-lahan terbuka. Ganco Langit mencium bau 

tidak enak. Bau amisnya darah! Matanya membeliak 

memperhatikan penutup peti 

mati yang terus membuka hingga akhirnya terpentang 

lebar. Kedua mata Ganco Langit kini bukan cuma 

membeliak, tapi seperti hendak terbongkar dari rongganya! 

Di dalam peti mati itu! Qia melihat sosok tubuh yang 

hancur memar tapi masih bisa dikenalinya. Itu adalah 

sosok tubuh adiknya yang sudah jadi mayat! Di sebelahmayat adiknya masih ada mayat lain, juga di sebelah 

bawah. Tapi dia tidak perduli pada mayat-mayat lain itu. 

Dia hanya perduli pada mayat adiknya. 

"Ganco Bumi!" teriak Ganco Langit menggeledek. "Siapa 

yang membunuhmu!" Dia hendak melompat dari punggung 

kudanya ke atas kereta. Tapi tiba-tiba dilihatnya sosok 

mayat adiknya bergerak kaku ke atas! Bulu kuduk Ganco 

Langit merinding. Adiknya jadi mayat hidup! 

***

MENDADAK mayat Ganco Bumi disangka bergerak 

hidup itu jatuh terhempas ke dalam peti kembali! 

Bersamaan dengan itu sesosok tubuh lain 

menyeruak muncul dari dalam peti di iringi suara tawa 

bergerak! 

Ganco Langit mundurkan kudanya ketika menyasikan 

bagaimana sesosok tubuh pemuda berpakaian putih kumal 

dan penuh dengan noda-noda darah bergerak tegak lalu 

berdiri di atas peti mati. Saat itulah Ganco Langit sempat 

melihat mayat Bintara Anggoro dan mayat Adipati Demak 

Bandoro Wiseso. Seganas-ganasnya manusia seperti 

Ganco Langit, mau tak mau dia jadi tercekat. 

"Siapa kau?!" dia menghardik pada pemuda yang masih 

berdiri di dalam peti mati. 

Pendekar 212 Wiro Sableng menyeringai. 

"Aku Malaikat Maut yang telah mengambil nyawa busuk 

adikmu serta dua sekutumu! Sekarang giliranmu untuk 

kujemput!" Dosa kalian sedalam lautan setinggi langit!" 

"Orang gila keparat!" maki Ganco Langit. Dia berpaling 

pada Ganco Laut. "Kau bereskan orang sinting ini! Aku 

akan mengejar perempuan gemuk yang kabur membawa 

barang-barang pusaka itu!" 

"Kau saja yang membereskannya. Biar aku yang 

mengejar Jaminten!" menjawab Ganco Laut. 

"Turut perintahku! Jangan berani membantah!" 

"Sekali ini aku terpaksa membangkang Ganco Langit! 

Aku sudah memutuskan untuk tidak bergabung lagf dalam 

komplotan Ganco Item!" 

"Keparat kau Ganco Laut!" teriak Ganco Langit. "Aku 

tahu apa yang.ada di benakmu!" Ganco Langit ingat padakejadian beberapa waktu lalu. Malam-malam ketika Ganco 

Laut dan Jaminten diintainya mandi-mandi dan bersenang-

senang di kali kecil. 

Ganco Laut tak mau berdebat panjang dengan Ganco 

Langit. Dia menggerakkan kudanya. 

"Mau kemana kau Ganco Laut? Jangan kira aku tidak 

tahu persekongkolan kalian! Kau dan Jaminten sama-sama 

pengkhianat! Jangan kau berani meninggalkan tempat ini!" 

"Aku pergi!" kata Ganco Laut. Dengan cepat Ganco Laut 

menangkap tangan itu. Untuk sesaat keduanya saling men-

cengkeram dan saling melotot satu sama lain. 

"Mengingat hubungan kita dimasa lalu, aku tak suka 

kita saling melakukan kekerasan, Ganco Langit. Itu bukan 

berarti aku takut padamu. Aku tahu kau manusia kebal 

macam senjata dan pukulan. Tapi aku juga tahu di mana 

rahasia kelemahanmu! Jadi jangan coba-coba mencegah!" 

"Anjing kurap! Lebih cepat kau mampus lebih baik!" 

teriak Ganco Langit. Lalu dia hunus ganconya. Sinar putih 

berkelebat dalam gelapnya malam. Ganco di tangan 

pimpinan penjahat itu terbust dari besi putih. 

"Apa maumu akan kulayani Ganco Langit!" tukas Ganco 

Laut. Lalu diapun mencabut ganconya yang terbuat dari 

besi hitam seperti yang dimiliki Ganco Langit. Masih di atas 

kuda kedua pimpinan gerombolan ini mulai saling baku 

hantam. Sementara anak buah mereka meyaksikan 

dengan terheran-heran spa yang terjadi. Kebencian satu 

sama lain serta keserakahan telah membuat Ganco Langit 

dan Ganco Laut melupakan bahwa seharusnya mereka ber-

gabung untuk menghadapi Wiro yang telah membunuh 

Ganco Bumi! 

Di atas kereta Pendekar 212 Wiro Sableng meng-

gerendeng. Dia tak Ingin kedua orang itu saling ber-

bunuhan. Kalau mereka harus mati maka dialah yang akan 

membunuhnya. Demi untuk membalaskan sakit hati 

dendam kesumat kematian kakeknya, paman, bibi serta 

sejuta penderitaan yang kini dirasakan Sumiati saudara 

sepupunya.Wiro memegang bahu Sumiati yang sebelumnya 

memang sengaja didudukkan Wiro setelah ditotok lebih 

dahulu. Dia ingin Sumiati menyaksikan pembalasan yang 

akan dilakukannya terhadap dua dari tiga manusia yang 

telah membunuh kedua orang tuanya dan kakeknya serta 

merusak kehormatan gadis itu secara keji! 

Ken Cilik memekik keras. 

Tubuh Pendekar 212 melesat dari atas kereta. 

Sesaat kemudian terdengar suara dua kuda meringkik 

kesakitan. Binatang-binatang ini menyentakan kaki-kaki 

depannya tinggi-tinggi sehingga Ganco Langit dan Ganco 

Laut yang menunggunya tercampak ke tanah walaupun 

mereka bisa jatuh dengan dengan kedua kaki dahulu. Saat 

itu keduanya baru sadar bahwa yang harus mereka 

lakukan ialah menghadapi Pendekar 212. 

"Ganco Laut! Untuk sementara lupakan dulu pertikaian 

kita! Bantu aku menghabisi bangsat yang telah membunuh 

adikku ini!" 

Sesaat Ganco Laut tampak agak ragu. Namun 

kemudian tanpa berkata apa-apa dia malah mendahului 

melompat menyerang Wiro. 

"Tahan!" mendadak terdengar suara seruan. 

Syekh Martani muncul di tempat itu. Dia memandang ke 

arah Ganco Langit dan Ganco Laut dengan mata berapi-

api. 

"Kalian merampok harta pusaka Kerajaan! Lekas 

kembalikan atau kalian akan kutebas seperti tiga anak 

buah kalian!" 

"Tua bangka tak berguna!' Kau mampuslah duluan!' 

bentak Ganco Laut. Senjatanya yaitu sebuah ganco besi 

hitam berkelebat. 

Syekh Martani tusukkan tongkat kayu yang berujung 

besi lancip. Tapi mendadak dia merasakan leher pakaian-

nya ditarik orang ke belakang hingga baik tusukan tongkat-

nya maupun hantaman ganco Ganco Laut yang hanya 

mengenai udara kosong. 

Berpaling ke belakang Syekh Martani dapatkan bahwapemuda berambut gondrong itulah yang barusan menarik-

nya. 

"Lepaskan peganganmu! Apa-apaan ini?!" teriak orang 

tua itu. 

"Jika kau ingin dapatkan barang-barang itu kembali, 

cepat menuju ke timur. Kejar sebuah gerobak yang di-

kendarai oleh seorang perempuan gemuk! Barang-barang 

itu ada dalam gerobak!" Wiro tarik lagi leher pakaian orang 

tua itu hingga Syekh Martani kembali terjajar ke dekat 

pintu pagar. Merasa apa yang dikatakan si pemuda 

memang betul maka orang tua ini cepat melompat ke atas 

punggung seekor kuda. Tapi enam orang anak buah Ganco 

Langit sudah mengurungnya. 

"Apa kau sudah siap untuk mati, pemuda gila?" Ganco 

Langit bertanya dengan nada mengejek pada Pendekar 

212. Dia tidak lagi memperdulikan Syekh Martani karena 

anak buahnya sudah mengurung orang tua itu. 

Wiro tertawa kecil. "Terbalik!" katanya. "Justru akulah 

yang telah menyediakan peti mati bagi kalian berdua. 

Bersama tiga orang yang sudah ada di dalam sana kalian 

bisa berangkat ke neraka!" 

Murid Eyang Sinto Gendeng ini lalu cabut Kapak Maut 

Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Ganco Langit dan 

Ganco Laut tak mau menunggu lebih lama. Ganco Langit 

bergerak lebih dahulu, disusul oleh Ganco Laut. Kedua 

orang ini baru sadar bahwa senjata di tangan lawannya 

bukanlah senjata sembarangan ketika Wiro mulai alirkan 

tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kapak itu tampak 

mengeluarkan cahaya lebih terang dalam gelapnya malam. 

Ganco Langit dan Ganco Laut keluarkan seruan ter-

tahan ketika sinar menyilaukan membabat di udara diser-

tai menghamparnya hawa panas menyengat ditambah 

menderunya suara aneh seperti ada ribuan tawon 

menyerbu. 

Ganco Laut cepat tarik tangannya guna menghindari 

bentrokan senjata. Dia maklum bukan saja senjata 

berbentuk kapak bermata dua di tangan pemuda gondrongitu adalah sebuah senjata muslika tetapi lawan juga jelas 

memiliki tingkat tenaga dalam yang tinggi. 

Lain halnya dengan Ganco Langit. Merasa memiliki ilmu 

kebal yang tidak bisa ditandingi apa Jan siapapun dia coba 

menggaet senjata lawan dengan ganco besi putihnya. Wiro 

lipat gandakan tenaga dalamnya. Cahaya yang memancar 

dari Kapak Naga Geni 212 semakin menyilaukan. Dia terus 

membabat. Dan trang! 

Ganco Laut berseru kaget sambil melompat mundur. 

Ganco besi putihnya kini hanya tinggal gagangnya saja 

yang ads dalam genggamannya. Bagian yang lain telah 

amblas putus di hantam senjata lawan. 

Selagi Ganco Langit terkesima oleh kejadian yang tidak 

pernah disangkanya itu, Kapak Naga Geni 212 berbalik 

lalu menghantam ke arah dadanya. Ganco Langit terlambat 

untuk mengelak. 

Bukkk! 

Mata Kapak Maut naga Geni 212 melabrak dadanya 

dengan telak. Kepala gerombolan Ini mengeluh. Tubuhnya 

terjengkang di tanah. Dada baju hitamnya tampak robek 

dan hangus! Tapi hebatnya Ganco Langit tampak berdiri 

kembali meskipun agak terhuyung-huyung. 

Sesaat Pendekar 212 jadi bingung menyaksikan bagai-

mana senjata mustikanya tidak mempan terhadap Ganco 

Langit. 

"Durjana ini rupanya memiliki ilmu kebal luar biasa!" 

membatin Wiro. "Adiknya tidak memiliki ilmu kebal. 

Bagaimana dengan Ganco yang satu?" 

Saat itulah tiba-tiba Ganco Langit menerjang dan 

hantamkan tinjunya kiri-kanan bertubi-tubi. Wiro terjajar 

beberapa langkah akibat tinju Ganco Langit yang berhasil 

mendera dada dan pipi kirinya! 

Dengan darah mendidih Wiro bacokkan senjatanya. 

Hebatnya sambil tertawa-tawa Ganco Langit seperti 

sengaja memasang diri. Kapak Naga Geni 212 ber-

gedebukan di tubuhnya. Tubuh Ganco Langit memang 

terpental atau terbanting berkali-kali. Tapi jangankan luka,

tergores sajapun tidak. Hanya pakaian hitam yang 

dikenakannya saja yang penuh robek serta hangus disana-

sini. 

"Puaskan hatimu sebelum kepaiamu kupuntir sebentar 

lagi!" kata Ganco Langit masih terus mengumbar suara 

tawa. 

"Bangsat ini benar-benar hebat. Kalau kapakku saja 

sudah tidak tembus naga-naganya aku bisa celaka!" pikir 

Wiro. "Aku harus cari akal. Putar siasat!" 

Wiro melirik ke arah Ganco Laut. "Kuharap saja bangsat 

satu ini tidak memiliki ilmu kebal yang sama!" 

Memikir begitu Wiro iancarkan serangan ke arah Ganco 

Laut. Serangannya seperti orang kalap, ganas luar biasa. 

Ganco Laut dibuat berjingkrak-jingkrak untuk dapat meng-

elakkan senjata lawan. 

Ganco Langit mendatangi dari samping. Wiro maklum 

dia harus segera membereskan Ganco Laut lebih dahulu. 

Apa dia bisa menghadapiGanco Langit sesudah itu adalah 

urusan nanti. 

Ganco Laut bukanlah seorang penjahat sembarangan. 

Dia memiliki dasar ilmu silat yang tinggi dan tenaga dalam 

yang ampuh. Namun diserang secara bertubi-tubi seperti 

itu lama-lama membuat dia kelabakan juga. Pada jurus ke 

sembilan, Kapak Maut Naga Geni 212 memapas bahu 

kirinya. Ganco Laut terpekik. Tubuhnya terasa panas dan 

darah mulal mengucur! Selagi dia terhuyung-huyung 

senjata mustika di tangan Wiro itu kembali membabat. 

Untuk kedua kalinya Ganco Laut terpekik. Kali ini dada-

nya yang amblas dilanda kapak. Tubuhnya terhuyung, kaku 

dia rubuh ke tanah, tersandar ke roda kereta. 

Untuk dapat mendaratkan kapaknya ke dada Ganco 

Laut tadi Wiro harus membayar mahal. Tubuhnya yang 

tidak terlindung berhasil dijotos Ganco Langit di bagian 

perut. Tubuh Pendekar 212 terlipat ke depan. Ganco Langit 

hendak merampas Kapak Naga Deni 212 dari tangan Wiro, 

tapi pemuda ini dengan cepat sodokkan gagang senjatanya 

ke ulu hati Ganco Langit. Orang ini hanya mengeluhpendek. Setelah itu dia kembali menyerbu Wiro. Berapa 

kali jotosannya mampir di tubuh murid Eyang Sinto 

Gendeng, itu. Satu kali tendangan pada pinggangnya mem-

buat Wiro terjajar dan jatuh. Selagi dia mencoba bangun 

satu tendangan lagi menghantam punggungnya. 

Pendekar 212 semburkan darah segar dari mulutnya. 

Pemandangannya gelap beberapa saat. Ketika peng-

lihatannya pulih kembali teryata dia terduduk di tanah 

dekat sosok Ganco Laut. 

Ganco Laut sendiri saat itu sudah menyadari bahwa dia 

tak bakal hidup lama. Maksudnya untuk merampas 

Jaminten tak akan kesampaian. Rencananya dengan 

perempuan itu melarikan barang-barang rampokan 

memang berhasil. Tapi dia tak akan pernah merasakan 

hasil rampokan itu. Jaminten sendiri entah di mana 

sekarang. Sakit hatinya terhadap Ganco Langit yang pasti 

akan hidup senang bersama Jaminten apakah dapat di-

balaskan? 

Dia menoleh, sesaat memperhatikan Wiro yang ter-

duduk di sebelahnya dalam keadaan babak belur. Tiba-tiba 

Ganco Laut ingat. Ada satu cara untuk dapat membalaskan 

sakit hatinya terhadap Ganco Laut. Kalau memang dia 

akan segera menemui ajal dia merasa tidak takut untuk 

mati. Tapi Ganco Langit juga harus ikut mati bersamanya. 

"Anak muda," bisiknya pada Wiro. "Apapun yang kau 

lakukan, kau tak bakal dapat membunuh lawanmu itu. Dia 

memiliki ilmu kebal. Kecuali jika kau bisa menusuk atau 

menghancurkan mata kirinya dengan telak. Di situ letak 

kelemahannya!" 

"Terima kasih…" sahut Wiro. "Tapi kau tetap menjadi 

penghuni peti matiku!" Siku kanannya dihantamkam ke 

dada kiri Ganco Laut, tepat di arah jantungnya. Tak ampun 

lagi orang ini langsung meregang nyawal 

Ketika Wiro mencoba berdiri. Saat itu dilihatnya Ganco 

Langit mendatangi dengan cepat. Wiro tekan mata kepala 

naga Kapak Naga Geni 212. Dua lusin jarum halus 

berwarna putih melesat dari mulut kepala naga pada ujung

gagang kapak. Meskipun Ganco Langit kebal terhadap 

segala macam senjata namun terperangah juga melihat 

datangnya serangan itu. Lalu menyeruak senyum sinis di 

wajahnya. Dia membiarkan saja jarum-jarum putih itu 

menghantam tubuhnya. Tak satupun yang bisa menancap. 

Semuanya kemudian luruh ke tanah. 

Meskipun jarumnya tidak berhasii mencelakai lawan 

tapi tujuan utama Wiro adalah menipu perhatian lawan. 

Selagi jarum-jarum putih berluruhan dan selagi Ganco 

Langit tertawa mengejek Wiro lemparkan Kapak Maut 

Naga Geni 212 ke arah kepala orang itu. 

Pemimpin gerombolan Ganco Item ini meraung dahsyat 

lalu jatuh dan berguling-guling di tanah. Kapak Naga Geni 

212 masih menancap di mata kirinya. Wiro bangkit berdiri. 

Dia melangkah mendekati Ganco Langit. Begitu sampai di 

hadapannya Wiro hantamkan kaki kanannya ke selang-

kangan orang lain ini. Untuk kedua lalinya Ganco Langit 

meraung. Tubuhnya kelojotan beberapa kali lalu diam tak 

bergerak lagi. 

Di atas kereta air mata tampak mengucur dari kedua 

mata Sumiati. Ken Cilik merundukan kepala seolah dapat 

merasakan penderitaan gadis mat!. 

Satu demi satu mayat Ganco Laut dan Ganco Bumi 

dilemparkan Wiro ke dalam peti mati. 

Di halaman kiri Mesjid Besar Syekh Martani memper-

tahankan diri mati-matian dari keroyokan anak buah 

gerombolan. Tubuhnya luka-luka di beberapa bagian. 

Sebelum Wiro sempat membantu orang tua ini, tiba-tiba 

sebuah gerobak diiringi oleh hampir tiga puluh perajurit 

Kerajaan memasuki halaman melalui pagar yang telah 

roboh diterjang gerobak yang dilarikan Jaminten. Kini 

gerobak itu pulalah yang kembali. 

Ario Gelem, Perwira Muda dari Kadipaten Jepara dialah 

yang menjadi sais gerobak. Di sampingnya Jaminten duduk 

tersandar dalam keadaan terikat ke tiang gerobak. 

Mukanya yang gemuk tampak sembab tanda habis 

menangis."Hentikan perkelahlan!" teriak Arlo Gelem. Anak 

buahnya segera mengurung para penjahat yang tengah 

mengeroyok Syekh Martani. Melihat siapa yang datang 

membawa pasukan begitu banyak, para penjahat seperti 

merasa putus asa. Apalagi tak seorang pimpinan 

merekapun yang masih hidup. Dengan demikian selamat-

lah nyawa Syekh Martani. 

Bagaimana Jaminten bisa digiring kembali ke Mesjid 

Besar bersama gerobak yang memuat seluruh barang-

barang rampokan itu? 

Sejak siang harl itu, Perwira Muda Arlo Gelem bersama 

serombongan pasukan yang didatangkan dari Kotaraja 

telah melakukan pengawasan di beberapa tempat. Mereka 

kemudian mendapat kabar tentang adanya rencana 

perampokan harta benda Kerajaan yang disimpan dalam 

Mesjid Besar. Karena itulah Aria Gelem kemudian memim-

pin pasukan tersebut menuju Demak. Di tengah jalan 

mereka berpapasan dengan Jaminten yang memacu 

sendiri gerobak yang dilarikannya. Karena curiga Ario 

Gelem memerintahkan Jaminten menghentikan gerobak 

untuk diperiksa. Mula-mula perempuan gemuk itu menolak 

bahkan melawan untuk diperiksa. Namun setelah benda-

benda pusaka Kerajaan ditemui dalam gerobak itu, maka 

diapun ditangkap dan dibawa kembali ke Demak. 

Pendekar 212 Wiro Sableng mengusap kepala Ken Cilik 

Sumiati kemudian dibaringkannya kembali di atas lantai 

kereta. 

"Saatnya kita meninggalkan tempat ini, Ken Cilik. Peti 

kita sudah penuh. Manusia-manusia jahat yang kita cari 

sudah lengkap masuk di dalamnya." 

Ken Cilik menggembor halus lalu memekik tiga kali. 

Ketika kereta itu mulai bergerak untuk meninggalkan 

halaman Mesjid Besar tiba-tiba Perwira Muda bernama Ario 

Gelem mengangkat tangannya memberi tanda agar 

berhenti. 

Wiro tahan tali kekang dua kuda penarik kereta. 

"Saudara, kau terpaksa kami tangkap!" kata Ario Gelem.


Wiro menatap wajah Perwira Muda Itu sesaat lalu 

bertanya, "Katakan apa kesalahanku!" 

"Kau melakukan pembunuhan atas diri lima orang yang 

kini berada dalam peti mati itu!" jawab Ario Gelem. 

"Perwira Muda," kata Wiro pula. "Coba terangkan 

padaku siapa-siaps saja adanya ke lima orang yang ada di 

dalam peti mati itu." 

"Aku merasa tidak wajib menjawah-pertanyaanmu." 

Siapapun adanya mereka bukan dalih bagiku untuk 

membatalkan penangkapan!" 

"Perwira, kalau kau dapat mengembalikan kedua orang 

tua gadis malang sepupuku ini, kalau kau bisa mengem-

balikan Kioro Mertan kakek kami, kalau kau bisa 

mengembalikan penduduk Jatingaleh yang dibunuh oleh 

gerombolan Ganco item, saat ini juga aku bersedia 

ditangkap!" 

"Kau bicara ngaco! Mana mungkin aku bisa meng-

hidupkan orang yang sudah mati?!" ujar Ario Gelem pula. 

Pendekar 212 tertawa lebar. "Kalau begitu menurutmu, 

kuharap kau tidak menjadikan hal itu sebagal persoalan 

lagi! Kau seorang Perwira yang baik. Untuk itu aku akan 

berikan satu hadiah besar padamu!" 

Habis berkata begitu Wiro bergerak, ke belakang kereta. 

Dengan sekuat tenaga didorongnya peti mati berisi lima 

mayat itu hingga akhirnya jatuh ke tanah. 

"Itu hadiah yang kukatakan tadi." ujar Wiro lalu tertawa 

gelak-gelak. Ario Gelem hanya bisa berdiri seperti patung 

ketika Wiro membawa kereta meninggalkan halaman 

Mesjid Besar. Dia tetap tak bergerak sampai gerobak dan 

penumpangnya itu lenyap dikejauhan dalam kegelapan malam. 


TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar