BTemplates.com

Blogroll

Jumat, 28 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE MAKAM TANPA NISAN



Makam Tanpa Nisan


 WIRO SABLENG 

MAKAM TANPA NISAN 

 

MATAHARI belum lama tenggelam. Namun pulau 

kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah ter-

bungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam 

dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak 

yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang be-

terbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang 

tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali ke-

gelapan kelam menghantu. 

Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam ke-

gelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak 

terdengar. Namun binatangbinatang melata yang ber-

telinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat men-

dengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat 

melarikan diri menjauh. 

Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan 

langkahnya. Telinganya dipasang tajamtajam. Kedua mata-

nya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam 

kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang mem-

bentuk sebuah parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke 

arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk 

pada akar sebuah pohon yang sangat besar. 

Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak 

menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya 

berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang 

besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu. 

Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya 

terdengar ucapan perlahan."Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk 

sahabat yang berpulang, masih saja ada makhluk-makhluk 

lain hendak berbuat kejahatan." 

Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia 

berseru. "Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja 

sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!" 

Tak ada sahutan. 

Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-

daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal 

hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat 

mata air. 

"Ah, dia tak mau menjawab..." kata orang yang barusan 

bicara. "Kalau begitu terpaksa aku harus meneruskan 

langkah." Dengan tangan kanannya dia mematahkan 

sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan 

ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati 

parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai 

di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap 

terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata 

dan telinganya dipasang benar-benar. 

Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba 

laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih 

melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda ber-

bentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah 

kepalanya! 

"Membokong adalah pekerjaan pengecut!" seru orang 

yang diserang. tangan kanannya yang memegang ranting 

digerakkan dengan sebat ke atas. Orang ini tahu sekali 

bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang 

melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya. 

Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi ber-

usaha memukul lengan yang memegang tombak bermata 

dua itu. 

Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak diperbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan 

tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini 

ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang 

diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk 

menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk 

di antara dua mata tombak. 

Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan 

bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan 

dahsyat membuatnya tidak mampu untuk mendorong 

walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad 

kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerah-

kan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan 

bentakan keras. 

Kraaakkkk! 

Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua 

terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik tombak 

mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba 

menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang 

yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan 

malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat 

dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenali-

nya. 

Maka diapun bertanya membentak. "Siapa di situ?!" 

Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. "Kau 

yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak 

menanyakan siapa dirimu!" 

Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus. 

"Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa diri-

mu?!" 

"Kiyai Surah Ungu dari Banten...?" mengulang orang 

yang masih memegang patahan ranting. "Ah... ah... ah! 

Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa 

Mahkota, yang menjauhkan diri dari Kesultanan karena 

tidak suka dengan kehidupan Keraton yang menurutmumenjijikkan?" 

Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon. 

Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan. 

"Kau telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri 

siapa adanya?!" tanya Kiyai Surah Ungu. 

"Aku belum mau memberi tahu sebelum aku men-

dengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau 

terpencil ini!" 

"Kau keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau 

ada di atas angin. Aku kemari untuk melayat seorang 

kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan 

dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang 

sebetulnya padamu, sekarang giliranmu memberi tahu 

siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di 

tempat ini!" 

Orang yang ditanya tertawa pendek. "Belum.... Belum 

Kiyai. Aku belum akan menjawab pertanyaanmu. Masih 

ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan.... ' 

"Kau membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira 

diriku ini seorang pesakitan yang tengah diperiksa dan 

perlu ditanyai segala-galanya?!" 

"Jangan cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu. 

Di malam yang gelap begini dimana kita tidak dapat 

melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja 

terjadi!" 

"Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!" tanya Kiyai 

Surah Ungu. 

""Lupakan saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa 

sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan di 

pulau ini…" 

"Kau pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di 

kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama besar dan 

menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun 

lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila PatahHati. Adapula yang memberinya julukan Iblis Gila Pencabut 

Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih dikenal 

dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau 

sudah puas atau masih hendak merahasiakan dirimu 

sendiri?!" 

"Ah, rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!" 

Kiyai Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama 

belum tentu berarti hati yang sama! ""Katakan apa 

maksudmu...?" 

"Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di 

pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja menghadangmu 

di balik pohon ini. " 

"Begitu...?" Orang itu batuk-batuk beberapa kali. 

"Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan 

tahun tak pernah bertemul" 

Kiyai Surah Ungu maju dua langkah. 

"Aku memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu. 

Rasa-rasa mengenali. Tapi...Ah! Otakku sudah agak pikun. 

Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu 

slapa dirimul" 

"Aku Ramadi Watampone dari Bugis!" 

"Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan 

sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan nama 

besar Pendekar Badik Emas?!" 

Orang yang mengaku bernama Ramadi Watampone 

tertawa perlahan. "Ulah manusia memang banyak, aku 

kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!" 

Kiyai Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di 

pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua 

orang ini kemudian malah saling berangkulan. 

"Puluhan tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di 

tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang tidak 

saling curiga!" kata Kiyai dari Banten itu. "Nah, kukira 

kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabatyang mendahului kita." 

"Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama 

tidak sempat melihat wajah Tua Gila penghabisan kali 

sebelum dikubur..." 

"Ada baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam 

sahabat kita itu. Biar aku berjalan duluan…" 

"Kalau begitu aku mengikuti dari belakang," kata 

Ramadi Watampone. 

Dalam gelap kedua orang yang sama-sama berusia 

hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju 

bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian 

mereka keluar dari kerapatan pepohonan dan sampai pada 

sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh batu-batu 

karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk 

dinding setengah lingkaran. 

Karena tempat ini agak terbuka maka kepekatan 

malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung 

depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan 

tanah kuburan yang masih merah. 

Dari dua makam itu hanya satu yang memiliki batu 

nisan. 

Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah 

ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua 

orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh meng-

geletak tak berapa jauh dari makam. Ketika diperiksa 

keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka ter-

tutup darah yang mulai mengering. Pada kening masing-

masing kelihatan sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari 

lobang inilah darah sebelumnya mengucur. 

"Kiyai Surah... Kau mengenali siapa adanya mayat-

mayat ini?!" 

Yang ditanya menggeleng. Malah balik bertanya 

"Kau…?" 

"Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapidari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia per-

silatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris 

seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari 

sebuah kerajaan..." 

Kiyai Surah mengambil keris dari genggaman mayat. 

Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata, "Gagang 

keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di 

selatan..." 

"Kita menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!" 

kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas. 

"Itulah yang ada dibenakku..." jawab Kiayi Surah Ungu 

seraya memandang berkeliling. Hanya pepohonan dan 

batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak 

menghitam dalam kegelapan. 

"Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi 

makam seorang sahabat, tahu-tahu dihadapkan pada 

peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang 

membunuh?' 

Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat 

lalu berkata, "Meski darah di mukanya mulai mengering 

tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini 

belum lama menemui kematian…" 

"Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar 

sini... " ujar Kiyai Surah lalu memandang berkeliling sekali 

lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan berkata, 

"Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-

orang yang mengikutiku sejak aku menjejakkan kaki di 

pulau ini? Aku tadinya menduga kau yang menguntit. 

Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pem-

bunuh itulah yang mengikutiku...!" 

***

2


Untuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama-

sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan 

tidak enak. "Aku punya firasat ada orang lain tengah 

memperhatikan gerak gerik kita saat ini…" berbisik Kiayi 

Surah Ungu. 

Ramadi Watampone jadi merasa tidak enak mendengar 

kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin. 

Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, "Apapun yang 

terjadi di tempat ini harus kita lupakan dulu. Maksud 

utama kita kemari adalah untuk berziarah melihat makam 

sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana ..." 

"Tunggu dulu sahabat," berkata Kiyai Surah seraya me-

megang lengan Ramadi. "Kalau kita berada di makam, 

punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu 

cadas dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak 

mungkin dibokong orang. Siapapun yang hendak mem-

bunuh kita pasti akan muncul di arah depan..." 

"Kau betul. Kita harus berhati-hati..." kata Ramadi pula. 

"Sebaiknya melangkah mundur." 

Kedua orang itu kemudian mendekati dua buah makam 

dan melangkah mundur dalarn gelap. Begitu sampai 

keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan. 

Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat. 

"Aneh..." kata Ramadi Watampone. "Mengapa ada dua 

makam di tempat ini?" 

"Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak 

pertama kali aku melihat dua makam ini tadi," menyahutiKiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat dari 

batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu 

di sebelahnya ini sama sekali tidak memiliki batu nisan…" 

"Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?" tanya 

Ramadi Watampone. 

Kiayl Surah menggeleng. "Setahuku kakek-kakek itu tak 

pernah punya istri... Kalaupun ini makam istrinya, lalu 

mengapa tidak ada batu nisannya?" 

"Hemmm, sulit diduga makam siapa yang satu ini," 

berkata Pendekar Badik Emas. 

"Ada satu keanehan lagi…" ujar Kiyai Surah. 

"Apa?" 

"Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya. 

Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur ini 

waktunya tidak berbeda banyak ..." 

"Kau benar," kata Ramadi dan hatinya merasa tidak 

enak. lalu setengah berbisik dia bertanya: "Apakah kau 

mencium bau sesuatu...?" 

Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng-

hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu 

yang dimaksudkan Ramadi Watampone. 

"Memang ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau 

apa..." kata sang Kiayi kemudian. "Bau apa yang tercium 

oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?" 

"Seperti bau asap..." jawab Ramadi pula. "Baunya ada 

tapi bentuknya tidak kelihatan." 

"Sudahlah. Mari kita membaca doa dan apa saja untuk 

almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia di-

berikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa." 

Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem-

baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang 

bag! Tua Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai. 

Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu ber-

tanya apa yang akan mereka lakukan sekarang."Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita 

bisa saja segera meninggalkan pulau ini. Tetapi tidak 

pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua 

orang ini..." berkata Kiyai Surah. 

"Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi." 

"Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur 

dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara yang lebih 

gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari 

keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang-

nya di tengah lautan. Itu lebih balk dari pada meninggalkan 

mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat ini." 

Baru saja Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauh-

an terdengar suara raungan anjing, panjang meng-

gidikkan. 

Kiyai Surah merapatkan kerah jubahnya. "Aneh... Di 

pulau seperti ini ada anjing..:" katanya. 

"Makin lama berada di pulau ini semakin tidak enak 

perasaanku," berucap Ramadi Watampone berterus-terang. 

"Kita berangkat sekarang?" 

Kiyai Surah mengangguk. 

Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul 

masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat 

mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba 

keduanya merasa ada seseorang bergerak di belakang 

mereka. 

Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik. 

Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah 

di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar. 

Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini 

juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya ter-

lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di 

kepalanya bertengger sebuah topi tinggi 

"Hati-hati... Mungkin sekali kita tengah berhadapan 

dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi ..." bisik KiyaiSurah. 

"Aku malah memastikan orang di depan kita ini pem-

bunuh kedua orang ini," sahut Ramadi Watampone. Lalu 

tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip 

yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas. 

Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga-

jaga dengan mendekatkan tangan kanannya pada tombak 

bermata dua yang tersisip di pinggangnya. 

"Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu?!" Tiba-tiba 

sosok yang tegak di depan sana bertanya. 

Suaranya garang dan keras. 

"Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem-

buangnya di tengah laut," menjawab Kiyai Surah. 

"Kalian tidak akan sempat melakukan itu!" Orang tinggi 

besar berkata. 

"Kenapa tidak?!" tanya Ramadi Watampone. 

"Karena kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang 

menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja yang 

Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian 

berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!" 

Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas. 

"Jadi kau yang membunuh kedua orang itu?!" tanya 

Kiyai Surah puia. Tangannya telah memegang batang 

tombak erat-erat. 

"Kamu sudah tahu kenapa bertanya?!" 

"Katakan siapa kau adanya!" tanya Ramadi. 

"Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat 

Tua Gila sudah kusumpah untuk mati di tempat inil Di 

depan makam Tua Gila sendiri!" 

"Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan 

jiwa kami?!" tanya Kiyai Surah. 

Si tinggi tertawa pendek. "Kematian memang tidak 

selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua Gila 

telah menanam bahala dan silang sengketa beberapatahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja 

sahabat Tua Gila yang muncul di sini akan kuhabisi nyawa-

nya. Termasuk kalian berdua!" 

Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itu melompat 

ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan 

menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat 

menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah. 

Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah 

berjaga-jaga cepat menghindar ke samping. Dari kiri kanan 

mereka lalu balas menyerang. 

Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang 

tinggi besar itu membuat dua orang tua ini terhuyung-

huyung. 

Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta 

kerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki lalu 

menghantam secara bersamaan. 

Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya 

keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua tangan-

nya bergerak untuk menangkis serangan kedua lawannya. 

Bukkk! 

Bukkk! 

Terdengar dua kali suara bergedebuk begitu tangan 

masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental 

empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan 

besi. Paras sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik 

Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat tiga 

langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan. 

Si tinggi besar tertawa bergelak. 

"Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian. 

Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi berani me-

nantang!" 

Bukan main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan 

Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat, 

tenaga dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.Dalam dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua 

tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak saja 

mengejek kepandaian mereka! 

"Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenar-

nya?!" membentak Ramadi Watampone alias Pendekar 

Badik Emas. 

Yang dibentak malah tertawa. 

"Bukankah kau manusianya yang bergelar Pendekar 

Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran Tanpa 

Mahkota?" 

Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama 

terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar me-

lanjutkan kata-katanya. 

"Memandang nama besar kalian, aku memberi ke-

longgaran memperpanjang sedikit seat kematian kalian. 

Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata 

masing-masing. Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai 

Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau 

datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak 

melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan 

badik emasmu!" 

Dua orang tua kembali terkesiap karena orang yang 

tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang diri 

mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki. 

Namun merasa diejek dan dianggap remeh bahkan 

ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik 

Emas ini tidak merasa sungkan lagi. 

Keduanya keluarkan senjata masing-masing. Sesaat 

kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan 

Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas 

sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang 

di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran 

Tanpa Mahkota. 

"Bagus...! Kalian boleh maju berbarengan!"Dua orang tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi 

besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya maka kedua 

orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat 

menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan 

malam. Tombak Dwi Sula menderu mencari sasaran di 

tenggorokan lawan. 

Serangan dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan 

serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya 

akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi 

lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia 

gerakkan tangannya kiri kanan. 

Dua benda hitam sebesar ujung jari kelingking ber-

bentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai 

Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya men-

dengar suara berdesing tapi tidak melihat bendanya. 

Ketika mereka kemudian menyadari ada benda yang 

melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak ber-

mata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badik-

nya di udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah 

sangat terlambat. 

Di lain kejap terdengar jeritan mereka merobek 

kegelapan malam hampir bersamaan. 

Tubuh kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan 

dua buah makam. Satu di belakang makam Tua Gila, 

satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya 

menemui ajal dengan mata membeliak! 

Di kening masing-masing tampak sebuah lubang 

mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini 

mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah 

dan mata mereka! 

Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi 

tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu karang 

dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali 

ter-dengar suara panjang lolongan anjing.Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin. 

Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras. 

***

3


PUNCAK Gunung Singgalang disaput awan kelabu 

sejak pagi. Semakin lama awan kelabu ini semakin 

tebal dan akhirnya membuat suasana mendung 

menutupi daerah luas sekitar gunung. Namun sampai 

siang hujan tak kunjung turun. 

Di lereng barat Gunung Singgalang, seorang tua duduk 

termenung di ruang depan rumah kayu berkolong tinggi. Di 

halaman seorang lelaki tengah asyik membakar seekor 

ikan besar sambil menyanyi dan sekali-kali melirik ke arah 

orang tua di atas rumah. Bau sedap ikan panggang ini 

menebar kemana-mana. 

Orang yang membakar ikan untuk kesekian kalinya me-

mandang ke arah orang tua di atas rumah. Dalam hatinya 

dia berkata, "Kasihan orang tua Itu. Sulit diduga sudah 

berapa tahun uslanya. Kelihatannya dia sudah pasrah 

untuk meninggalkan dunia. Tapi Yang Kuasa masih belum 

Jugs mengutus mataikat maut..." 

Bagi orang yang baru pertama kali melihat orang tua di 

atas rumah, mungkin bisa serasa terbang nyawanya oleh 

rasa takut. Tapi si pembakar ikan yang sudah bertahun-

tahun tinggal bersamanya menjadi kawan dan pembantu, 

tidak lagi merasa ngeri melihat wajah itu. 

Wajah dan keadaan tubuh orang tua tersebut memang 

menyeramkan untuk dipandang. Mukanya pucat berkerut 

dan sangat cekung. Kedua matanya hanya merupakan 

sepasang rongga besar yang menggidikan. Salah satu 

telinganya sumplung. Dimulutnya tak sepotong gigipun

bersisa. Kedua tangannya kiri kanan buntung sebatas per-

gelangan. 

"Saringgih...." tiba-tiba terdengar suara orang tua itu. 

Halus melengking. 

"Ambo Nyanyuk..." menyahuti lelaki yang membakar 

Man. Dia berhenti mengipas bara api pemanggang ikan. 

"Akan lamakah pekerjaanmu itu selesai?" 

"Ah, Nyanyuk sudah lapar sekali rupanya!" Orang tua 

bermata seperti setan gelengkan kepala. 

"Aku belum ingin makan Saringgih. Ada sesuatu yang 

aku pikirkan." 

"Ah, pantas sejak tadi ambo lihat Nyanyuk duduk 

termenung- menung: 

"Aku merasa kita harus segera meninggalkan Gunung 

Singgalang ini." 

Singgih tercenung mendengar ucapan orang tua itu. 

Kipas bambu diletakkannya di tanah lalu die melangkah ke 

dekat tangga. "Angan-angan apa yang ada di pikiran 

Nyanyuk?" 

"Nyanyuk Amber tidak pernah berangan-angan. Aku 

mendapat firasat yang tidak enak. Juga ada isyarat mimpi 

yang kuterima malam tadi…" Jawab orang tua itu 

sementara angin meniup-niup rambutnya yang putih 

jarang. 

"Kalau begitu ceritakanlah pada ambo mimpi Nyanyuk 

itu," kata Saringgih lalu menaiki tangga dan duduk di 

hadapan orang tua bernama Nyanyuk Amber. 

"Malam tadi aku mimpi melihat udara hitam kelam di 

pantai pulau ini. Paginya ketika aku terjaga entah mengapa 

aku tiba-tiba saja teringat pada seorang sahabat lama yang 

tinggal di sebuah pulau di barat Andalas. Aku berpikir, 

jangan-jangan ada sesuatu terjadi atas dirinya. Usianya 

lebih tua dariku. Sudah sakit-sakitan. Sejak beberapa 

tahun berselang aku tidak pernah mendengar kabar beritanya. Kau sendiri sudah beberapa lama tidak pernah turun 

gunung untuk menyirap kabar dan segala kejadian yang 

ada di luaran. Aku khawatir kalau-kalau sesuatu terjadi 

atas dirinya..." 

"Jalan pikiran Nyanyuk selama ini biasanya tidak pernah 

meleset," kata Saringgih. "Jadi akan berangkatkah kita hari 

ini, Nyanyuk?" 

"Tidak... Tidak hari ini Saringgih, Tapi sekarang!" 

"Sekarang Nyanyuk? Ah, kenapa secepat itu?" 

"Kau tahu perjsianan ke sana sangat jauh. Kau harus 

membawaku melalul perjalanan darat paling tidak selama 

dua hari: Lalu mengarungi laut hari. Kalau keberangkatan 

ditunda-tunda, kapan akan sampainya di sana Saringgih?' 

"Kalau begitu Nyanyuk bilang, ambo hanya mengikut 

saja. Tapi biar saya selesaikan panggangan ikan Itu. Kita 

makan dulu baru berangkat. Begitu kan Nyanyuk?" 

"Tidak, tidak begitu Saringgih. Ikan bakarmu sudah 

cukup matang. Bungkus dan kita makan di perjalanan…" 

Saringgih ternganga, garuk-garuk kepala namun akhir-

nya hanya bisa mengangkat bahu. 

"Selesal kau membungkus ikan itu, siapkan jubah 

hitamku Saringgih," terdengar Nyanyuk Amber berkata. 

"Jubah hitam katamu Nyanyuk?" 

"Kau sudah dengar dan aku tidak perlu mengatakannya 

sampai dua kaIi!" 

"Agaknya kita akan menghadapi urusan besar lagi kali 

ini Nyanyuk?" tanya Saringgih. 

"Betul. Urusan besar. Mungkin sangat besar dalam 

hidupku. Karenanya kau juga kupinta menyiapkan diri 

dengan kerismu yang bernama Pusaka Dewa itu…" 

"Balk Nyanyuk, saya akan membungkus ikan bakar itu. 

Menyiapkan baju hitammu dan membekal keris Pusako 

Dewa." Lalu Saringgih bergegas menuruni tangga. Dengan 

selembar daun pisang dibungkusnya ikan besar yangbarusan dibakarnya. 

Lalu dia naik atas rumah, masuk ke dalam kamarnya 

untuk mengambil sebilah keris. Setelah Itu dia masuk ke 

dalam kamar Tdyanyuk Amber dan mengambil sehelai baju 

hitam lengan panjang terbuat dari kain sangat tebai. Baju 

yang berupa jubah pendekar ini dikenakannya ke tubuh 

Nyanyuk Amber. 

Pada bagian bahu kiri kanan baju hitam ini terdapat se-

buah saku. Dan pada masing-masing saku tersisip selusin 

senjata berbentuk anak panah kecil sepanjang seterrgah 

jengkal, terbuat dari perak putih. 

"Kau sudah siap Saringgih?" 

"Siap Nyanyuk?" 

"Tak ada yang ketinggalan?" 

Saringgih berpikir sejenak lalu menjawab. "Rasanya 

tidak ada Nyanyuk." 

"Bagus kalau begitu. Jangan lupa ikan bakarmu. Bisa-

bisa kita kelaparan di tengah jalan." 

Saringgih mengangguk lalu jongkok di hadapan orang 

tua yang sejak tadi duduk saja di lantai. Ketika si pem-

bantu ini mendukung Nyanyuk Amber di punggungnya 

kelihatanlah kini keadaan tubuhnya di sebelah sepasang 

tangan buntung tetapi kedua kakinyapun juga bunting! 

Siapakah sebenarnya orang tua yang memiliki banyak 

cacat ini? 

Nyanyuk Amber adalah salah satu dari beberapa tokoh 

silat tingkat tinggi yang paling disegani di pulau Andalas. 

Dia memiliki seorang murid yang kemudian dijuluki Raja 

Rencong Dari Utara. Celakanya sang murid tergoda oleh 

nafsu hendak menguasai dunia persilatan. Cara yang 

ditempuhnya adalah sesat dan keji yaitu mengundang 

semua tokoh persilatan di pulau Andalas untuk datang ke 

tempat kediamannya, lalu membunuh mereka secara 

masal!Sebagaf seorang guru tentu saja Nyanyuk Amber meng-

halangi maksud jahat muridnya itu. Ternyata kesetanan 

Raja Rencong sudah sedemikian jauhnya sehingga dia 

kemudlan tega membuat buta kedua mata Nyanyuk Amber, 

memotong tangan dan kaki orang tua itu. Meskipun dalam 

usia tua dan tidak berdaya seperti itu, namun kemudian 

Nyanyuk Amber bersama-sama Pendekar 212 Wiro 

Sableng berhasil menumpas dan menamatkan riwayat Raja 

Rencong Dad Utara. (Baca serial Wiro Sableng berjudul 

Raja Rencong Dari Utara). 

Setelah dua hari menempuh perjalanan darat akhirnya 

Saringgih dan Nyanyuk Amber sampai di pantal barat pulau 

Andalas. Saringgih segera mencarl perahu yang bisa meng-

angkut mereka ke tempat tujuan yaitu sebuah pulau tak 

jauh dari pesisir barat. Tapi ternyata tak ada seorang 

pemilik perahupun yang mau mengantarkan mereka. 

"Aneh!" kata Nyanyuk Amber. "Apakah mereka takut 

melihat tampangku atau mungkin pemilik perahu itu sudah 

kebanyakan uang sehingga tak mau lagi bekerja. Saringgih, 

kau tahu mengapa mereka tidak mau mengantarkan kita 

ke pulau?" 

"Mereka tidak mau mengatakan, Nyanyuk. Tapi dari 

gelagat ambo kira orang-orang itu merasa kawatir..." jawab 

Saringgih. 

"Apa yang mereka kawatirkan? Temui salah seorang 

dari mereka. Katakan kita akan membayar dua kali lipat." 

"Ambo justru menjanjikan bayaran tiga kali lipat 

Nyanyuk. Tapi semua mereka tetap menggeleng." 

"Kalau begitu kita sewa perahu saja dan. Kau terpaksa 

jadi tukang kayuh," 

"Ambo tak keberatan Nyanyuk. Cuma disewapun 

mereka tidak mau!" 

"Kapuyuak!" mengomel Nyanyuk Amber. "Apa pun 

alasan mereka kali ini?""Salah seorang memberitahu, ada empat kawan mereka 

yang telah menyewakan perahu. Tujuan para penyewa itu 

sama dengan tujuan kita yaitu ke pulau. Tapi sampal hari 

ini keempat penyewa itu tak pernah kembali. Perahu 

mereka itu lenyap! Orangorang di pantai menduga keras 

ada malapetaka yang telah menimpa keempat penyewa 

perahu itu!" 

Nyanyuk Amber yang didudukkan Saringgih di bawah se-

batang pohon tampak termenung sambil mengusap-usap 

dagunya yang ditumbuhi janggut tipis putih. 

"Mereka tak mau mengantar, Mereka juga tak mau kita 

sewa perahu mereka. Sudah, kalau begitu kita beli saja 

satu! Habis perkaral Bukankah kau cukup membawa uang, 

Saringgih?" 

"Kira-kira begitu. Tapi seandainya tidak cukup bagai-

mana Nyanyuk?" 

"Mudah saja! Gadaikan keris Pusako Dewa milikmu!" 

sahut Nyanyuk Amber. 

"Apa…? Ini bukan senjata sembarangan Nyanyuk. Tapi 

senjata pusaka tujuh turunan. Dan Nyanyuk sendiri sudah 

ikut menambahkan tuahnya!" 

"Kita dalam kesulitan Saringgih. Kau boleh pilih. Gadai-

kan keris itu atau kau gadaikan kepalamu..." habis berkata 

begitu Nysnyuk Amber tertawa terkekeh-kekeh hingga 

kelihatan gusinya yang tidak bergigi sama sekali. 

Saringgih geleng-geleng kepala. Dia menggaruk seluruh 

saku pakaiannya, mengambii semua uang yang dibawanya 

Ialu menghitung. 

"Mudah-mudahan uang ini cukup. Dari pada menggadai-

kan keris atau kepala! Bagusnya si tua ini saja yang di-

gadaikan! Tapi... siapa pula yang mau menerima kepala 

setan itu...!" kata Saringgih mengomel sendirian. 

"Kepala si tua siapa yang kau maksudkan itu 

Saringgih?" Rupanya ucapan pembantunya tadi terdengaroleh Nyanyuk Amber. 

"Ah, tidak. Anu Nyanyuk. Bukan kepala siapa-siapa. Tapi 

kepala ambo yang dibawa…" jawab Saringgih lalu cepat-

cepat meninggalkan tempat itu sambil tersenyum-senyum. 

***


4


Menjelang matahari tenggelam perahu yang di-

dayung Saringgih sampal di pulau tujuan. Di 

bagian air lout yang dangkal pembantu itu 

melompat turun lalu mendorong perahu ke pasir pantai. 

"Kita sudah sampai Nyanyuk... " 

"Aku tahu. Apa yang kau lihat sekitar tempat ini, 

Saringgih?" 

Si pembantu memandang berkeliling. "Laut, pantai, 

sang surya yang hendak tenggelam, pepohonan, batu-batu 

karang…" 

"Hanya itu...?!" ujar Nyanyuk Amber. "Kedua mataku 

tidak melihat karena buta. Tapi kau tidak melihat sesuatu 

yang penting dan kau tidak buta! Jangan tolol Saringgih! 

Buka matamu lebar-lebar!" 

Saringgih memandang lagi berkeliling. "Ah, orang tua ini 

memang benar, mengapa aku sampai tidak melihatnya 

tadi," kata pembantu itu dalam hati. "Saya memang melihat 

sesuatu Nyanyuk. Ada tiga... Tidak... Bukan tiga tapi ada 

empat buah perahu kecil jauh di sebelah sana…" 

Nyanyuk Amber usap-usap dagunya. "Ada empat perahu 

di pantai sini. Berarti keempat penyewa perahu itu 

memang telah sampal di sini. Tapi tak pernah kembali ke 

pulau besar. Mereka raib secara aneh." 

"Kita perlu berhati-hati Nyanyuk..." 

"Betul. Karena itu buka matamu lebar-lebar. Apakah 

kau ada melihat jejak-jejak kaki di pasir pantai?" 

"Tak dapat saya pastikan Nyanyuk. Kita harus menyelidiki ke dekat empat perahu itu…" 

"Dukung aku ke sana!" 

Saringgih lalu mendukung Nyanyuk Amber di punggung-

nya melangkah ke tempat empat perahu yang berada di 

tempat pasir pulau. 

"Nah sekarang katakan apa yang kau lihat!" 

"Ada empat perahu di bagian pulau ini, Nyanyuk. Yang 

dua di depan kita, dua lainnya tak jauh di sebelah sana." 

"Berarti, dua perahu yang pertama datang bersamaan. 

Dua perahu lainnya berbeda waktu... Apa lagi Saringgih?" 

"Di atas pasir memang kelihatan ada legukan-legukan. 

Tapi tidak begitu jelas apakah bekas jejak manusia atau 

jejak kaki binatang…" 

Nyanyuk Amber mengangguk. Dia mendongak ke langit 

beberapa saat. Hidungnya menghirup udara laut dalam-

dalam. Tercium udara yang mengandung garam. Namun 

indera yang tajam dari orang tua ini juga membaui sesuatu. 

Dia berpaling ke deretan pohon-pohon lalu barkata, "Kita 

masuk ke dalam pulau Saringgih. Melangkah saja lurus-

lurus ke depan. Jangan membelok. Jangan berhenti 

sebelum aku memberi tanda..." 

"Tidakkah sebaiknya kita makan dulu di sini Nyanyuk? 

Persediaan makanan kita masih banyak…" 

"Pikiranmu tidak lain ke perut saja Saringgih. Dasar 

gadang lambuang! kau boleh makan sambil mendukung-

ku!" kata Nyanyuk Amber pula. 

Makin jauh mereka masuk ke dalam pulau kecil itu 

semakin berkurang kencangnya tiupan angin laut. Udara 

pun tidak mengandung garam lagi. Namun ada sesuatu 

yang mencucuk liang hidung dan rongga pernafasan kedua 

orang itu. 

"Kau mencium bau sesuatu Saringgih?" bertanya 

Nyanyuk Amber. 

"Betul Nyanyuk. Bau busuk... " jawab si pembantu. Saatitu sebenarnya dia sudah keletihan mendukung orang tua 

itu di punggungnya tapi dia tak berani mengatakan. 

"Bau busuk yang berasal dari apa menurutmu Saring-

gih?" bertanya lagi Nyanyuk Amber. 

"Sulit diterka, Nyanyuk. Mungkin itu berasal dari bang-

kai binatang…" 

"Kau betul," berkata Nyanyuk Amber. "Itu memang bau 

bangkai binatang. Binatang berkaki dua!" 

"Maksud Nyanyuk...?" 

"Maksudku adalah bau bangkai manusia! Kau tahu, 

bangkai manusia adalah yang paling busuk dari segala 

bangkai yang ada di dunia ini!" 

Saringgih hentikan langkahnya. 

"Jangan-jangan itu adalah bangkai orang-orang yang 

menyewa perahu..." 

"Kukira begitu. Jalan terus Saringgih. Kita akan segera 

melihat sesuatu. Agaknya hari mulai gelap. Buka matamu 

lebar-lebar. Jangan sampai terserandung. Aku tak mau ter-

sungkur ke tanah karena ketololanmu!" 

Saringgih melangkah terus sambil mendukung si orang 

tua di punggungnya. Dia melewati sebuah mata air jernih 

dan sejuk. Tenggorokannya yang kering membuat dia ingin 

sekali berhenti sebentar, meneguk air membasahi 

rangkungan dan juga membasahi mukanya yang saat itu 

terasa tebal akibat seharian penuh disapu angin laut. 

"Jalan terus Saringgih! Kalau aku tidak bilang berhenti, 

jangan berani berhenti!" 

Terdengar suara Nyanyuk Amber dekat telinga Saring-

gih. Pembantu ini diam-diam mengomel dalam hati. "Orang 

tua ini seperti bisa membaca apa yang ada dalam benak-

ku!" 

Melanjutkan perjalanan di sela-sela pepohonan dan 

semak belukar sekitar seratus langkah lebih di mana bau 

busuk tercium semakin santar sementara keadaan tambahgelap, mendadak sontak Saringgih hentikan langkahnya. 

Orang tua yang dipunggungnya hampir terlepas dari 

pegangannya. 

"Saringgih! Kau berhenti melangkah tanpa perintahku! 

Dadamu berdebar keras. Kedua lututmu terasa goyah. 

Kudukmu terasa dingin. Apa yang kau lihat di depan 

matamu?!" Nyanyuk Amber cepat ajukan pertanyaan. 

Saat itu memang Saringgih merasakan jantungnya ber-

debar keras, sepasang lutut goyah dan tengkuk, merinding 

dingin sedang sepasang matanya membeliak kasar. Dia 

hendak menjawab namun sesaat lidahnya terasa kelu. 

"Cepat katakan apa yang kau lihat Saringgih! 

Keselamatan kita di tempat asing ini banyak tergantung 

dari cepat lambatnya kau memberi tahu aku!" 

"Nyanyuk... di depan kita ada lapangan kecil…" 

"Kantuik! Persetan dengan tanah lapang itu! Pasti ada 

hal lain yang lebih penting dari tanah lapang sialan itu!" 

"Kau... kau benar Nyanyuk. Di ujung lapangan ada dua 

buah kuburan. Satu pakai batu nisan hitam, satunya tidak. 

Tapi... di samping kiri dan kanan kedua makam itu ada 

masing-masing lima tiang kayu. Pada empat tiang, dua di 

kiri dua di kanan terikat sesosok mayat. Rusak, busuk, 

mulai berbelatungan..." 

"Ada yang kau kenali diantara keempat mayat itu?" 

"Sulit Nyanyuk. Wajah mereka tertutup darah mengering 

dan sudah sangat rusak..:" 

"Melangkah lebih dekat. Perhatikan apa yang me-

nyebabkan kematian mereka. Diracun, ditusuk senjata 

tajam atau terkena pukulan sakti..." 

Sambil mendukung Nyanyuk Amber, Saringgih me-

langkah lebih dekat ke arah kedua makam. Dibukanya 

matanya besar-besar. Selain sulit untuk meneliti sebab 

kematian keempat orang diikat tegak ketiang kayu itu, juga 

saat itu hari bertambah gelap."Keempat orang ini agaknya menemui kematian dalam 

cara yang sama Nyanyuk. Muka mereka bersimbah 

darah..." 

"Berarti sebab musabab kematian ada pada bagian 

kepala. Ayo kau perhatikan lagi lebih teliti…" 

Untuk bisa melihat lebih jelas terpaksa Saringgih maju 

lagi dua langkah padahal saat itu perutnya sudah mau 

meledak muntah dan hidungnya tak sanggup lagi didera 

bau busuk yang luar biasa. 

"Nyanyuk... Ambo melihat ada lobang kecil sebesar 

ujung jari pada setiap kening mayat…" kata Saringgih 

ketika pada akhirnya dia melihat lobang-lobang aneh 

dalam ukuran dan bentuk yang bersamaan pada kening 

masing-masing mayat! 

"Bagus Saringgih. Sekarang coba kau perhatikan ciri-ciri 

keempat orang itu, termasuk pakaiannya lalu katakan 

padaku. Siapa tahu aku bisa menduga siapa-siapa mereka 

yang menemui ajal secara aneh di pulau ini!" 

"Sulit diberi tahu Nyanyuk. Soalnya keempat mayat 

sudah sangat rusak. Pakaian merekapun sudah tidak 

karuan lagi. Tapi, ambo melihat ada tiga buah senjata ter-

geletak di tanah. Kelihatannya bukan senjata-senjata 

sembarangan." 

"Coba kau ceritakan senjata apa yang kau lihat itu!" 

"Yang di sebelah kanan terletak di depan kaki mayat, 

berupa sebuah tombak pendek bermata dua..." 

menerangkan Saringgih. 

"Tongkat pendek bermata dua... Hemmmmmm." ber-

guman Nyanyuk Amber. "Bagian bawah tempat pegangan-

nya dilapisi kulit…" 

"Betul Nyanyuk..." 

"Itu adalah Tombak Dwi Sula dari Banten! Berarti mayat 

di depan senjata ini adalah mayat Kiyai Surah Ungu! 

Seorang Pangeran Banten yang menyingkir dari keraton!"Nyanyuk Amber terdiam sesaat lalu, "Ceritakan tentang 

senjata yang kedua..." katanya. 

"Sebilah badik Nyanyuk. Berwarna kuning legam. 

Mungkin terbuat dari emas..." 

"Kuning sampai ke hulunya?" tanya Nyanyuk Amber. 

Ketika Saringgih membenarkan, wajah tua cekung itu 

nampak menjadi kelam. "Pendekar Badik Emas dari Bugis 

ternyata telah jadi korban pula," kata si orang tua perlahan. 

"Lalu apa senjata yang ke tiga Saringgih?" 

"Sebilah keris bergagang gading..." 

"Hemm... Tak bisa kuduga siapa pemiliknya. Tapi 

senjata ini biasanya merupakan senjata andalan orang-

orang penting Istana Gading di pesisir selatan! Sulit diduga 

apa sebenarnya yang terjadi di pulau ini. Saringgih, tadi 

kau bilang ada dua makam di ujung lapangan." 

"Benar Nyanyuk..." 

"Satu ada batu nisan hitam. Satunya tanpa nisan…" 

"Betul Nyanyuk." 

"Apa yang tertulis pada makam yang ada batu nisan-

nya?" bertanya lagi Nyanyuk Amber. 

Saringgih majukan kepalanya sedikit untuk dapat mem-

baca guratan pada batu nisan. "Disini hanya tertulis Tua 

Gila. Tak ada tulisan lain ..." 

"Ada... bagiku itu sudah cukup. Ternyata benar telah ter-

jadi sesuatu atas diri sabahatku. Tua Gila aku tidak 

menyangka kau bakal mendahuluiku…" Untuk beberapa 

lamanya Nyanyuk Amber termenung larut dalam kesedih-

an. 

"Tak ada tanda-tanda pada makam yang katamu tidak 

bernisan itu, Saringgih?" Si orang tua kemudian ajukan per-

tanyaan. 

"Sama sekali tidak ada. Namun seperti kuburannya Tua 

Gila, kubur satu inipun tanahnya masih merah…" 

"Aneh. Siapa yang dikubur disamping kuburnya TuaGila? Istrinya...? Setahuku dia tidak beristri! Muridnya? 

Hemmm...? Aku memang pernah mendengar Tua Gila 

mengambil seorang murid. Tapi masih sangat kecil. Paling 

tidak usia muridnya itu baru sekitar enam tahun. Lalu di 

mana anak itu? Di dalam kubur yang satu ini...? Saringgih, 

kubur tanpa nisan itu apakah sama besar dengan makam 

Tua Gila? Atau lebih kecil?" 

"Sama besar Nyanyuk..." sahut Saringgih. 

"Berarti ini makam orang gede! Ah, sulit kuduga siapa 

yang dikubur disini..." kata Nyanyuk Amber lalu setelah 

diam sesaat orang tua ini berkata. 

"Saringgih kau ambil obat pelawan bau pusuk yang ada 

dalam saku baju celanaku sebelah kanan. Teteskan cairan 

yang ada di dalamnya ke kaki setiap mayat. Setelah itu 

kembalikan obat itu padaku…" 

Si pembantu merogoh saku kanan Nyanyuk Amber. Di 

saku ini ditemuinya sebuah botol kecil. Botol ini berisi 

cairan berwarna coklat. 

"Kau pergi teteskan obat itu. Tapi lebih dahulu 

dudukkan aku di depan makam Tua Gila. Aku ingin 

mengheningkan cipta dan berdoa..." 

"Nyanyuk terus terang sejak menginjakkan kaki di pulau 

ini hatiku merasa tidak enak. Begitu selesai Nyanyuk 

berdoa sebaiknya lekas-lekas saja kita tinggalkan tempat 

ini." 

Nyanyuk Amber tidak berkata apa-apa. Saringgih me-

nundukkan mukanya di depan makam Tua Gila lalu 

melangkah mendekati mayat- mayat yang diikat di tiang. 

Dengan tengkuk merinding ketakutan setengah mati dan 

sambil menekap hidung pembantu ini teteskan cairan di 

dalam botol masing-masing satu tetes ke setiap kaki mayat 

yang membusuk itu. 

Begitu cairan menyentuh kaki mayat, terdengar 

letupan.... Lalu mengepul asap coklat yang perlahan-lahannaik ke atas menutupi sosok mayat. Sesaat kemudian asap 

itu menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan 

dengan lenyapnya asap coklat, bau busuk yang mengham-

par di tempat itupun sirna perlahan-lahan. 

"Obat aneh…" kata Saringgih dalam hati sambil 

menutup botol kecil itu kembaii. Pembantu ini tahu bahwa 

walaupun mempunyai daya pemusnah bau busuk yang 

ampuh namun kekuatan obat itu hanya mampu bertahan 

selama satu hari satu malam. Setelah itu bau busuk pasti 

akan muncul kembali. 

Setelah pembantunya memasukkan botol obat kembali 

itu dalam saku celananya, Nyanyuk Amber mulai berdoa 

untuk arwah Tua Gila. Dalam berdoa seperti itu dia tiba-tiba 

mencium bau sesuatu. Bau asap rokok. Meskipun hatinya 

kini menjadi tidak tenang namun orang tua ini meneruskan 

juga membaca doa sampai selesai. Begitu selesai dia ber-

tanya. "Saringgih…! Aku tahu kau tidak merokok. Tetapi 

aneh, aku mencium bau asap di tempat ini…" 

"Ambo juga menciumnya Nyanyuk," menyahuti si pem-

bantu sambil memandang berkeliling. 

Tengkuknya terasa lebih dingin. 

"Aku merasa ada mahluk bernafas disekitar tempat ini." 

kata Nyanyuk Amber yang membuat Saringgih tambah me-

rinding. "Aku juga mendengar ada suara ketukarr-ketukan 

sangat halus. Seolah-olah datang dari perut pulau..." 

"Nyanyuk, bukankah lebih baik kita segera pergi saja 

dari sini?" kata Saringgih pula. 

"Diam Saringgih... Aku mendengar ada suara sesuatu di 

kejauhan... Seperti suara langkahlangkah kaki!" 

Tiba-tiba kedua orang itu sama-sama tercekat. Saring-

gih malah sampai tersentak saking kagetnya. Suara 

raungan anjing memecah kesunyian. Panjang dan meng-

gidikkan. 

"Suara anjing di pulau sekecil ini. Sungguh aneh..." kataNyanyuk Amber seraya memutar kepalanya ke kiri dan ke 

kanan. 

"Nyanyuk…" kata Saringgih dengan suara bergetar. 

"Ambo bisa kencing di celana kalau masih terus berada di 

tempat ini…" 

"Kita akan segera pergi. Tapi tunggu sampai aku me-

mastikan bahwa yang kudengar sebelum raungan anjing 

tadi adalah benar-benar suara kaki manusia…" 

Kalau saja bukan orang tua itu yang harus dijaga dan 

diikuti ucapannya mungkin saat itu Saringgih sudah me-

lompat dan lari meninggalkan tempat itu. 

"Tak ada suara apa-apa Nyanyuk. Pastilah...! Mungkin 

suara desau angin laut atau gemerisik pepohonan yang 

tadi kau dengar... Bukan suara langkah kaki..." 

"Aneh, aku seperti yakin itu adalah suara langkah kaki. 

Telapaknya bergerak sangat perlahan. Disengaja agar di-

miringkan. Telinganya dipasang baik-baik." 

Saringgih kembali memandang berkeliling. Pertama 

sekali ke arah pepohonan dan semak belukar dari jurusan 

mana tadi mereka datang. Tak kelihatan apa-apa. Lalu 

pembantu ini mengalihkan pandangannya ke arah batu-

batu cadas hitam dan batu-batu karang tinggi yang mem-

bentuk dinding setengah lingkaran di sebelah kiri. Tepat 

ketika dia memandang di sebuah celah antara dua batu 

karang tinggi mendadak dia melihat bayangan hitam besar 

bergerak. 

"Nyanyuk..." suara pembantu flu tersendat dan tercekat. 

"Ada apa Saringgih?" 

"Ambo melihat sesuatu. Ada sosok bayangan besar di 

celah batu karang di kiri kita …." 

"Itu bayangan batu-batu karang saja agaknya Saringglh. 

Kenapa kau musti merasa takut?" 

"Tidak Nyanyuk. Bayangan batu pasti diam. Tapi 

bayangan yang saya lihat bergerak perlahan-lahan!Nyanyuk! Ada orang tinggi besar melangkah keluar dari 

celah batu karang!" seru Saringgih dengan muka pucat. 

***

5


Nyanyuk Amber meskipun terkejut mendengar 

ucapan pembantunya itu namun tetap berlaku 

tenang dan berkata. "Jangan takut. Tenang saja. 

Lekas beri tahu aku ciri-ciri orang itu... Kalau dia memang 

manusia, bukannya setan!" 

Kedua mata Saringgih terpentang lebar kearah celah 

batu karang. Bayangan besar pada batu bergerak terus. 

Perlahan tapi pasti. Lalu bayangan itu lenyap dan kini 

sebagal gantinya muncul sesosok tubuh tinggi besar. Orang 

ini berewokan, mengenakan baju kuning serta sehelai 

mantel panjang berwarna hitam. Di kepalanya ada sebuah 

topi tinggi. 

"Apa yang kau lihat Saringgih... Lekas katakan padaku!" 

desis Nyanyuk Amber. Dengan suara tersendat-sendat 

pembantu itu segera mengatakan ciri-ciri orang tinggi besar 

yang melangkah mendatangi itu. Dalam takutnya Saringgih 

melangkah ke dekat Nyanyuk Amber. tiba-tiba sosok di 

depan sana keluarkan suara membentak garang dan 

keras. 

"Jangan ada yang berani bergerak!" 

Gerak langkah Saringgih tertahan. 

"Si... siapa kau...?" Saringgih beranikan diri bertanya 

walau suaranya gagap. 

"Budak! Kau tak layak bertanya!" si tinggi besar mem-

bentak. Tujuh langkah dari hadapan makam dia berhenti. 

Lalu dia berpaling pada Nyanyuk Amber yang masih duduk 

bersila di kaki makam Tua Gita. "Kakek buta! Apakah kausudah selesai berdoa?!" 

Ditanya sekasar itu Nyanyuk Amber batuk-batuk be-

berapa kali lalu balik bertanya, "Siapa tanya siapa?!" 

"Kurang ajar! Aku tuan rumah di pulau ini! Aku yang 

layak bertanya!" 

"Hemm, aku tidak tahu kalau kau tuan rumah di pulau 

ini. Setahuku sahabatku Tua Gila yang tinggal di sini..." 

"Jadi… Tua Gila sahabatmu, hah? Apakah kacungmu ini 

tidak mengatakan bahwa di sini ada makam Tuan Gila yang 

menyatakan bahwa sahabatmu itu sudah mampus dan 

dikubur?!" 

Nyanyuk Amber sunggingkan senyum. "Sebagai tuan 

rumah rupanya kau tidak pandai bicara sopan dan lunak…" 

"Pertu apa bicara dengan manusia-manusia yang 

sebentar lagi akan jadi bangkai!" sentak si tinggi besar. Dia 

bergerak maju satu langkah. 

Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Sebaliknya Saring-

gih menyumpah dalam hati. "Gila!! Dalam keadaan seperti 

ini dia masih bisa tertawa seenaknya!" 

"Semua manusia pasti akan jadi bangkai. Itu sudah 

ketentuan Tuhan. Tapi bukan berarti manusia bisa 

mendahului Tuhan, mencabut nyawa manusia sesamanya! 

Cakapmu yang sombong menyatakan bahwa kaulah yang 

telah membunuh keempat orang itu, lalu mayatnya kau ikat 

di tiang!" 

"Ha ...ha...ha! Matamu buta tapi banyak melihat! Apakah 

kau sadar kalau sebentar lagi jumlah mayat akan ber-

tambah menjadi enam? Kau dan kacungmu itu lalu akan 

kuikat ke tiang-tiang kayu sana!" 

"Bagus kau telah memberi tahu!" sahut Nyanyuk Amber 

seenaknya. "Tua bangka sepertiku memang tidak berguna 

lagi hidup di dunia. Tubuhku sudah karatan. Lalu apa yang 

ditakutkan menemui kematian?!" 

Mendengar ucapan Nyanyuk Amber itu kembali Saringgih menyumpah dalam hati. "Kau tidak takut mati! Tapi aku 

masih kepingin hidup!" 

"Kalau kau memang sudah siap untuk mati berarti aku 

tidak terlalu susah payah membunuhmu!" kata orang tinggi 

besar bertopi dan bermantel hitam. 

"Tidak... Kau tidak akan susah membunuh tua bangka 

sepertiku. Hanya saja sebelum mati aku kepingin tahu 

mengapa kau menginginkan nyawaku? Juga nyawa ke-

empat orang yang kau bunuh terdahu!u!" 

"Jawabnya mudah dan singkat! Kutuk telah jatuh bahwa 

semua sahabat Tua Gila yang menginjakkan kakinya di 

tempat ini akan menemui kematian! Mati di tanganku!" 

"Ah... Kau ini malaikat maut jadi-jadian rupanya!" ujar 

Nyanyuk Amber. "Tapi hari ini kau berhadapan dengan aku 

raja diraja segala malaikat jadi-jadian! Lekas berlutut di 

hadapanku, terangkan siapa dirimu. Minta ampun dan 

bunuh diri!" 

Merah padam wajah si tinggi besar bermantel hitam itu. 

Tangan kanannya dipukulkan ke arah Nyanyuk Amber. 

Serangkum angin menderu menghajar orang tua itu. 

Saringgih berseru memberi ingat. 

Orang tua bermata buta, bertangan dan berkaki 

buntung itu gerakkan bahu kanannya. Gerakan ini 

menyentakkan lengan panjang jubah yang dikenakannya. 

Dari ujung lengan jubah itu melesat keluar satu gelombang 

angin yang mengeluarkan suara bersiuran. Dua angin 

dahsyat saling tabrak di udara. 

Saringgih melihat bagaimana bentrokan angin pukulan 

mengandung tenaga dalam tinggi itu membuat Nyanyuk 

Amber terbanting jatuh punggung di tanah. Sebaliknya 

orang bermantel hitam terjajar jauh ke belakang dan 

tersandar ke dinding karang. 

"Kurang ajar1 Tingkat tenaga dalam tua bangka buruk 

itu tidak rendah. Kalau tidak segera kuhantam denganpukulan melumpuhkan, bisa-bisa aku mendapat celaka se-

belum menghabisi nyawanya!" 

Orang ini lalu menanggalkan mantelnya. Saringgih yang 

saat itu sudah melompat ke dekat Nyanyuk Amber segera 

memberitahu apa yang dilihatnya. 

"Saringgih, kau menjauhlah. Cari perlindungan di balik 

pohon atau batu..." 

"L.ebih baik Nyanyuk saya dukung dan larikan dari sini 

saat ini juga!" kata Saringgih. 

"Kalau kau mau selamat ikuti ucapanku!" si orang tua 

membentak halus. Mendengar itu Saringgih tak berlaku 

ayal lagi. Dia melompat ke balik sebuah pohon. 

Tepat pada saat dia sampai dibaJik pohon, di depan 

sana orang bertubuh tinggi besar kebutkan mantel 

hitamnya. Terdengarnya suara menggemuruh laksana ads 

tanah longsor. Bersamaan dengan itu satu gelombang 

angin laksana hantaman topan menghampar ganas me-

nebar hawa panas. Batu pasir berhamburan. Semak 

belukar rambas. Tanah bergetar dan daun-daun pepohon-

an jatuh luruh, batang dan cabang-cabangnya berderak-

derak! 

Nyanyuk Amber berseru keras. Dia kerahkan tenaga 

dalam penuh lalu goyangkan bahunya kiri kanan. Dua 

gelombang angin melesat menyongsong gemuruh angin 

lawan. Namun sambaran angin yang keluar dari mantel 

hitam lawan ternyata lebih dahsyat, membuat orang tua 

cacat ini tak bisa bertahan. Dengan tubuh mandi keringat 

karena berusaha menahan serangan lawan akhirnya 

Nyanyuk Amber terdorong lalu terseret mental beberapa 

jauh. 

Nyanyuk Amber kini dapat membaca keadaan. 

Dia segera berteriak pada pembantunya. 

"Saringgih! Lekas lari ke perahu!" 

"Nyanyuk! Kau sendiri bagaimana… Ambo akan dukungkau. Kita lari sama-sama!" kata pembantu yang setia itu. 

Sambil berguling-guling si orang tua berteriak. "Lakukan 

apa yang aku bilang! Tunggu aku diperahu!" 

Mendengar ini Saringgih segera tancap diri, lari 

sekencang yang bisa dilakukannya menuju perahu di tepi 

pantai. 

Ketika melihat lawan tersapu jauh oleh pukulan angin 

mantel hitamnya, si tinggi besar gerakkan tangannya ke 

sebuah kantong di pinggang kiri. Ketika tangan itu digerak-

kan ke depan, melesatlah dua buah benda hitam sebesar 

ujung jari kelingking. Dalam gelapnya malam senjata 

rahasia berwarna hitam ini sulit untuk dapat dilihat. Tapi 

telinga Nyanyuk Amber sudah dapat mendengar ada se-

suatu yang melesat ke arahnya dalam kegelapan malam. 

Pada saat tubuhnya dihantam angin dahsyat tadi dan 

menyadari bahwa dirinya tak bisa bertahan, begitu tubuh-

nya kena disapu, dengan cerdik orang tua ini lipat tubuh-

nya lalu gulingkan dirinya ke belakang. Tangan dan kakinya 

yang buntung membuat tubuhnya bisa mengkerut menjadi 

bulat laksana sebuah bola. Hal ini membuat daya gulingnya 

jadi berlipat ganda. Selagi dia bergulingan itulah dia men-

dengar ada benda melesat ke arah kepalanya! 

Nyanyuk Amber tundukkan kepalanya ke bahu kanan. 

Mulutnya menarik sebatang senjata rahasia berbentuk 

anak panah kecil yang tersisip di saku jubah pendek yang 

dikenakannya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam-

nya ke tenggorokan, orang tua ini meniup keras-keras. 

Anak panah perak itu melesat dalam kegelapan malam, 

memapas ke arah datangnya suara berdesing. Sesaat 

kemudian terdengar suara berdentingan. Anak panah 

Nyanyuk Amber berhasil menghantam benda bulat yang 

menyambar di udara. Walaupun anak panah perak itu 

patah berantakan namun benda yang dihantamnya mental 

jauh hingga si orang tua selamat dari hantaman senjatarahasia lawan yang diarahkan ke keningnya! Nyanyuk 

Amber dengan cepat terus menggulingkan dirinya sehingga 

akhirnya dia sampai di tepi pasir. 

Dengan mengeluarkan suara menggereng geram si 

tinggi besar mengejar. Dia mengeruk lagi kantong di 

pinggang kirinya lalu sambil lari dia hantamkan senjata 

rahasianya. Untuk kedua kalinya pula Nyanyuk Amber me-

nangkis dengan panah peraknya. Namun sekali ini 

tangkisannya meleset. Senjata rahasia lawan berdesing ke 

arah kepalanya. Dalam saat yang sangat berbahaya itu 

bahu Nyanyuk Amber menyerempet gundukan batu. 

Dengan cepat orang tua ini memutar tubuhnya lalu jatuh-

kan diri di balik gundukan batu itu. Dia selamat. Senjata 

rahasia lawan Iewat seujung kuku di atas kepalanya! Tanpa 

menunggu lebih lama lagi orang tua ini kembali gulingkan 

diri di atas pasir. 

Saringgih yang menunggu di atas perahu berteriak 

keras. 

"Nyanyuk! Ambo di sini!" 

Teriakan ini sudah cukup bagi Nyanyuk Amber untuk 

mengetahui arah di mana pembantunya berada. Orang tua 

ini lipat tubuhnya lebih dalam. Lalu tubuh itu melenting dan 

mencelat di udara, jatuh tepat diatas perahu. Seringgih 

serta merta mendayung perahu itu cepat-cepat ke tengah 

lautan. 

Orang tinggi besar menggeram keras. Dia berusaha iari 

mengejar masuk ke dalam laut sampai tubuhnya teng-

gelam sebatas pinggang. Namun perahu yang dikayuh 

Saringgih telah jauh ditengah. Dengan geram orang ini 

masih berusaha melepaskan lagi satu senjata rahasia. 

Namun senjata rahasianya itu hanya sempat menghantam 

bagian belakang perahu dan menancap di kayu perahu itu. 

Kembali orang ini menggeram. 

"Kakek cacat itu ternyata memiliki kepandaian hebat.Baru dia seorang yang sanggup menangkis serangan 

senjata rahasiaku! Aku belum pernah melihatnya sebelum-

nya. Tapi dari ciri-cirinya... Jangan-jangan dia adalah 

Nyanyuk Amber, tokoh silat dari puncak Singgalang, bekas 

guru Raja Rencong Dari Utara! Kurang ajar! Mengapa tadi 

aku tidak menghantamnya dengan lima senjata rahasia 

sekaligus! Kalau dia berani muncul lagi, tak akan kuberi 

ampun bangsat tua itu!" Lalu sambil mengepalkan kedua 

tinjunya orang ini memutar tubuh dan lenyap dalam ke-

gelapan malam. 

Sementara itu di atas perahu. 

"Manusia itu luar biasa... Serangahnya ganas memati-

kan! Hampir saja aku benar-benar hendak dibuatnya jadi 

bangkai!" kata Nyanyuk Amber seraya berusaha duduk 

sementara perahu meluncur denan cepat. "Kita sudah 

cukup jauh ke tengah. Manusia itu pasti tidak dapat lagi 

melihat kita. Sekarang putar arah perahu ini, Saringgih!" 

Tentu saja si pembantu menjadi heran. 

"Di putar kemana Nyanyuk? Bukankah kita kembali ke 

pulau besar?" 

"Tidak. Kita kembali ke pulau itu!" 

Saringgih tersentak kaget dan hentikan mendayung 

perahu. 

"Ambo yang salah dengar atau Nyanyuk yang salah 

ucap?!" 

"Kau tidak salah dengar! Aku tidak salah ucap! Kita 

kembali ke pulau menyelinap lewat arah selatan pada 

bagian yang berbatu-batu barang..." 

"Nyanyuk! Kau barusan saja lepas dari maut! Sekarang 

malah hendak kembali ke tempat cilaka itu!" 

"Saringgih tugasku menyelidiki kematian sahabatku Tua 

Gila. Aku merasa ada sesuatu yang aneh di balik kematian-

nya itu. Jika kau takut kembali ke pulau, antarkan saja aku 

sampai di pantai selatan. Biar aku naik ke pulau seorangdiri. Kau boleh kembali ke Gunung Singgalang!" 

Saringgih jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata 

itu. maka diapun menyahuti. "Nyanyuk, kita pergi sama-

sama. Pulangpun harus sama-sama..." 

Nyanyuk Amber tersenyum lalu rebahkan tubuhnya di 

lantai perahu. 

***


6


Karena pulau itu tidak terlalu besar maka dalam 

waktu tak selang berapa lama perahu yang dikayuh 

Saringgih telah sampai di bagian barat yaitu bagian 

yang pantainya penuh dengan batu-batu karang tinggi 

diseling batu-batu cadas hitam. Saat itu tengah terjadi 

pasang naik sehingga mereka bisa masuk jauh ke daratan. 

Angin laut menerpa bebatuan di sepanjang pantai me-

nimbulkan suara aneh di telinga Saringgih. 

"Ceritakan padaku keadaan di sekitar sini." kata 

Nyanyuk Amber begitu dia merasa perahu mulai meluncur 

perlahan. 

"Air laut sedang pasang naik Nyanyuk. kita bisa masuk 

terus ke pedalaman pulau. Pesisir di sini penuh dengan 

batu-batu karang menjulang tinggi serta batu-batu cadas 

hitam..." 

"Bagus, berarti kita sampai di arah yang tepat. Di bagian 

belakang kawasan makam Tua Gila. Kau harus menyem-

bunyikan perahu ini. Cari tempat yang baik untuk kita. Dan 

jangan meninggalkan jejak atau tanda-tanda sedikitpun!" 

Di celah batu-batu besar hitam Saringgih menghentikan 

perahunya, lalu dia mendukung Nyanyuk Amber turun ke 

darat. 

"Nyanyuk, ambo melihat ada lengkungan dalam salah 

satu dinding karang. Mungkin sekali goa..." 

"Bawa dan tinggalkan aku disana. Lalu kau lekas cari 

tempat yang baik untuk menyembunyikan perahu." kata 

Nyanyuk Amber pula.Saringgih mendukung orang tua itu menuju lengkungan 

batu. Ternyata lengkungan itu bukan sebuah goa melain-

kan lengkungan biasa saja namun cukup besar untuk 

mereka berdua. 

Sebelum Saringgih pergi mencari tempat untuk me-

nyembunyikan perahu Nyanyuk Amber meminta agar pem-

bantunya itu mencari ranting-ranting dan semak belukar 

sebanyak mungkin untuk menutupi bagian terbuka 

ruangan batu yang akan mereka jadikan tempat ber-

sembunyi sekaligus guna menghalangi kerasnya tiupan 

angin dari laut. 

"Nyanyuk, apa kita benar-benar akan menuju makam 

Tua Gila malam ini juga?" bertanya Saringgih sambil 

menancapkan ranting-ranting, serta belukar di depan 

legukan batu karang. 

"Aku sudah memikirkan hal itu kembali. Malam ini kita 

tetap di sini saja. Kau tentu letih, perlu istirahat dan tidur," 

jawab Nyanyuk Amber, "Besok saja, kalau matahari telah 

terbit kita kembali ke lapangan yang ada dua makam itu..." 

Paginya ketika matahari muncul dan pasang telah turun 

ternyata tempat mereka berada cukup jauh dari pantai. 

Dari situ mereka dapat melihat pantai dengan jelas. Se-

baliknya seseorang yang datang dari arah pantai agak sulit 

melihat mereka karena ada sebuah batu karang cukup 

tinggi menghalangi pemandangan. 

"Nyanyuk, kau ingin ambo mencari ikan dan membakar-

nya untuk sarapan pagi?" bertanya Saringgih. 

"Jangan jadi orang tolol! Aku tak ingin mahluk yang 

katanya kini menguasai pulau ini melihatmu. Membakar 

ikan sama saja mengundang kedatangan mahluk celaka 

itu kemari!" 

Saringgih terdiam menyadari ketololannya sendiri. 

Dalam hati dia berkata " Alamat akan kosong perutku pagi 

ini.""Ada hal lebih penting yang harus kita lakukan…" 

"Hal apa Nyanyuk?" 

"Dukung aku ke tempat kau menyembunyikan perahu." 

Begitu sampai di tempat perahu disembunyikan, yaitu 

dibalik sebuah batu karang lancip orang tua itu minta di-

turunkan lalu pada pembantunya dia berkata. 

"Malam tadi salah sebuah senjata rahasia yang di-

lemparkan ke arah kita mengenai bagian belakang perahu. 

Senjata rahasia itu pasti masih menancap disana. Coba 

kau periksa!" 

Saringgih melakukan apa yang diperintahkan Nyanyuk 

Amber. Sesaat kemudian terdengar pembantu ini berkata. 

"Kau betul Nyanyuk. Ada bagian kayu perahu yang ber-

lobang tetapi tidak sampai tembus. Sebuah benda bulat 

menancap di dalamnya. Ambo sudah berusaha men-

cungkil, tapi sulit sekali..." 

"Kalau kau cungkil dengan mulut atau jari tanganmu 

tentu saja sulit, Saringgih. Pergunakan ujung kerismu!" 

"Nyanyuk, keris Pusako Dewa milikku bukan senjata 

sembarangan. Masakan dipakai untuk mencungkil…" 

Nyanyuk Amber cepat memotong kata-kata pembantu-

nya itu. "Benda yang hendak kau cungkil juga bukan 

senjata sembarangan Saringgih! Paling tidak senjata 

seperti itu telah menewaskan empat tokoh yang kau lihat 

telah jadi mayat itu! Bahkan nyaris membunuhku! Keluar-

kan kerismu dan cungkil senjata rahasia itu dengan hati-

hati!" 

Saringgih tak bisa berkata apa-apa lagi. Dikeluarkannya 

keris pusaka yang terselip di pinggangnya lalu dengan 

ujung senjata ini dia mulai mencungkil benda yang me-

nancap di kayu belakang perahu. Setelah beberapa lama 

terdengar suara pembantu itu berkata. 

"Ambo berhasil mencungkil senjata rahasia ini, 

Nyanyuk! Bentuknya seperti kelereng...""Kelereng…?" mengulang Nyanyuk Amber. 

Dengan tangan gemetar si pembantu menggenggamnya 

lalu memegang-megang benda bulat itu dengan ujung 

jarinya. Benda bulat terasa licin dan besarnya seujung jari 

kelingking. 

"Hemmm..." Nyanyuk Amber bergumam, Otaknya be-

kerja keras untuk menerka senjata rahasia yang dikatakan 

Saringgih itu. Lalu dia bertanya. "Saringgih, katakan pada-

ku apa warna benda bulat yang besarnya lebih kecil dari 

kelereng ini?" 

"Hitam legam. Mengeluarkan sinar redup menggidik-

kan!" sahut Saringgih. 

Paras orang tua bermata buta itu berubah. 

"Mutiara Setan..." desisnya. "Pasti ini Mutiara Setan! 

Senjata ini tidak beracun. Tetapi sekali menancap di tubuh 

manusia dia akan bergerak menutup jalan darah, me-

nembus dan menghancurkan urat-urat besar hingga 

korban tak mungkin ditolong. Apalagi kalau sampai me-

nembus kepala. Korban pasti akan mati seketika! Itulah 

yang terjadi dengan empat tokoh silat yang sekarang telah 

menjadi mayat!" 

"Nyanyuk, kalau kau sudah tahu nama senjata rahasia 

itu berarti kau juga tahu siapa pemiliknya," berkata 

Saringgih. 

Si orang tua mengangguk. "Kita harus hati-hati. Sangat 

hati-hati. Manusia yang kita hadapi saat ini sejahat iblis 

selicik setan!" 

"Siapa orangnya. Nyanyuk?" tanya Saringgih ingin tahu. 

"Nanti saja kau lihat sendiri. Kita berangkat sekarang!" 

Walaupun masih ingin berlama-lama di tempat itu 

namun Saringgih tak bisa membantah, Dia jongkok di 

hadapan si orang tua. Ketika dia siap untuk mendukung 

tiba-tiba Saringgih melihat sesuatu di tengah taut. 

"Nyanyuk, ada perahu sedang menuju ke arah pulau…""Pasti sahabat yang hendak menziarahi makam Tua 

Gila. Ada beberapa orang kau lihat di atas perahu?" 

"Masih terlalu jauh. Kurang jelas. Tapi ambo kira cuma 

satu orang…" 

"Tunggu saja beberapa saat lagi. Begitu perahu men-

darat kau lekas katakan ciri-ciri orang yang datang." 

Saringgih menunggu. Sesaat demi sesaat perahu di 

tengah taut semakin mendekat ke pulau dan akhirnya ber-

henti tertahan di pasir pantai. Penumpangnya melompat 

turun ke pasir lalu menyeret perahunya ke dekat sebuah 

batu. Seutas tali yang terikat pada ujung perahu dilibat-

libatkannya ke batu dan dibuhulnya kuat-kuat. Orang ini 

tampak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi lalu 

menggeliat beberapa kali. Sambil bersiul-siul dia me-

langkah meninggalkan pantai. 

"Saringgih lekas katakan siapa orang yang barusan 

datang itu! Dan tengah menuju ke mana dia!" 

"Ambo tak kenal. Belum pernah melihatnya sebelum-

nya. Orangnya masih muda Nyanyuk. Berpakaian serba 

putih. Ikat kepalanya juga putih. Rambutnya menjulai 

gondrong. Dia melangkah seenaknya. Sambil bersiul-siul. 

Agaknya dia tidak tahu malapetaka apa yang bisa menimpa 

dirinya di pulau ini! Saat ini dia melangkah terus memasuki 

pulau. Dia melompati batu-batu besar dengan gerakan 

enteng" 

"Pakaian putih ikat kepala putih. Rambut gondrong. Ber-

jalan seenaknya malah sambil bersiul-siul!" Nyanyuk Amber 

mengulangi ucapan pembantunya tadi. Otaknya bekerja 

keras mengingat-ingat. Dan tiba-tiba saja dia ingat. Mulut-

nya yang kempot tersenyum. Lalu orang tua ini segera 

hendak berteriak menyebut nama orang itu. Namun begitu 

dia sadar terlakannya pasti akan didengar orang tinggi 

besar di dalam pulau, Nyanyuk Amber segera kancingkan 

mulutnya rapat-rapat."Lekas kita susul pemuda itu!" katanya pada pembantu-

nya. 

Namun saat itu tiba-tiba saja angin bertiup sangat 

kencang. Langit di atas pulau dan taut di sekitarnya ditutup 

gumpalan awan kelabu kehitaman. Udara serta merta men-

jadi gelap. Lalu terdengar guntur menyambar. Di tengah 

laut kilat bersabung sambar menyambar. 

"Celaka Nyanyuk! Badai menyerang pulau ini!" teriak 

Saringgih lalu cepat-cepat berpegangan pada dinding batu 

di samping agar tidak terpental di hantam angin. 

"Siapa takutkan badai. Lekas dukung aku dan susul 

pemuda tadi!" kata Nyanyuk Amber keras-keras di antara 

deru angin yang menggelegar. 

Saringgih terpaksa segera mendukung orang tua itu. 

Namun ketika dia baru saja melangkah keluar dari legukan 

batu, satu sambaran angin melabrak dengan keras. 

Saringgih dan Nyanyuk Amber terpelanting ke dalam 

legukan lalu sama-sama jatuh ke tanah. Nyanyuk Amber 

terdengar menyerapah sedang Saringgih meringis ke-

sakitan sambil memegangi baglan keningnya yang benjol 

terantuk dinding batu. 

***


7



Pendekar 212 Wiro Sableng lunjurkan kedua kakinya 

di lantai perahu, berhenti mendayung dan mem-

biarkan perahu itu meluncur dihanyutkan gelombang 

ke arah pantai. Semakin dekat ke pantai pulau semakin 

jelas kelihatan barisan batu-batu karang dan batu-batu 

cadas di tepi pasir. Sepasang mata murid Sinto Gendeng 

dari Gunung Gede ini memandang tak berkesip pada dua 

buah batu karang yang menjulang lancip ke udara dan 

paling tinggi diantara batu-batu karang yang terdapat di 

teluk sempit di pulau itu. Ingatannya kembali pada masa 

beberapa tahun silam ketika dia digembleng secara ganas 

oleh kakek sakti bergelar Tua Gila. 

Waktu itu sore hari. Air laut sedang pasang naik. Dia 

dibawa ke teluk. Tubuhnya diikat dengan sejenis benang 

sakti berwarna putih yang disebut Benang Kayangan. Lalu 

dia disuruh memanjat naik ke puncak salah satu batu 

karang yang tinggi terjal itu. Tua Gila sendiri kemudian naik 

ke atas batu karang yang satu lagi. Berulang kali tubuh 

Pendekar 212 mencelat mental dihantam ombak. Setiap 

kali tubuhnya terlempar Tua Gila menyentakkan benang 

sakti yang dipegangnya hingga Wiro kembali terlempar ke 

puncak karang. Dengan susah payah akhirnya Wiro ber-

hasil tegak di atas batu karang itu namun saat itu dia 

sudah sampai pada batas kekuatannya. Darah keluar dari 

mata, hidung dan telinganya dan akhirnya pendekar ini 

jatuh pingsan tidak sadarkan diri lagi. Dikemudian hari 

Wiro baru maklum bahwa apa yang dilakukan Tua Gila atasdirinya menjadi dasar ilmu silat tangguh yang tak ada 

tandingannya yang kemudian diajarkan kepadanya yaitu 

Ilmu Silat Orang Gila. 

Kini setelah bertahun-tahun dari kejauhan dia dapat 

melihat dua puncak karang tidak beds seperti keadaannya 

dulu. Luapan rasa gembira tercermin di wajah sang 

pendekar. Sebentar lagi dia akan bertemu dengan Tua Gila, 

manusia aneh bermulut kasar tetapi berhati polos. Rupa-

nya dia tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan orang 

tua itu. 

Begitu bagian bawah perahu bergeser dengan pasir 

Wiro segera melompat turun. Perahu itu diseretnya ke 

darat lalu dilkatkannya ke sebuah batu. Di tepi pantai Wiro 

tegak sejenak, mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi 

menghirup Wars dalam-dalam dan menggeliatkan badan-

nya beberapa kali. 

Lalu dengan setengah berlari dia masuk kebagian 

dalam pulau melewati daerah berbatu-batu. Pada saat 

itulah udara tiba-tiba menjadi gelap. Mendung tebal 

menyungkup pulau. Angin kencong bertiup dahsyat. Guruh 

menggelegar dan kilat sabung menyabung. 

"Badai celaka!" maki Pendekar 212 Wiro Sableng dan 

terus lari bahkan kini sambil berteriak. "Tua Gila! Aku 

dating! Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang menyambangi-

mu!" 

Namun suara teriakan Wiro itu tenggelam diteIan 

gelegar guntur dan deru badai yang amat keras. Pendekar 

itu berjalan terus walaupun tersaruk-saruk karena gelapnya 

udara yang tidak beda dengan kepekatan malam. 

"Tua Gila! Aku Wiro Sableng datang! Tua Gila!" kembali 

Wiro berteriak. Dia bergerak di antara lamping-lamping 

batu karang tinggi, memanjat batu-batu cadas besar dan 

akhirnya sampal di satu tempat terbuka yaitu lapangan 

kecil di mana terletak dua makam.Murid Sinto Gendeng ini hendak berteriak kembali me-

manggil Tua Gila namun mulutnya serta merta terkunci 

ketika tiba-tiba di bawah hujan lebat dan tiupan angin 

keras serta gelapnya udara dia melihat empat sosok tubuh 

yang telah jadi mayat dan sangat rusak terikat pada empat 

tiang kayu. 

"Astaga! Aku belum sampal ke neraka! Mengapa 

pemandangan mengerikan begini bisa ada dl pulau ini! Gila 

dan aneh! Mayat rusak begitu mengapa tidak berbau 

busuk?" Tentu saja sang pendekar tidak tahu kalau 

Nyanyuk Amber telah meneteskan sejenis cairan yang 

mampu melenyapkan bau busuk untuk beberapa waktu 

lamanya. Belum habis keterkejutan murid Eyang Sinto 

Gendeng itu, pandangan matanya kemudian membentur 

duo buah makam yang terletak di depan tiang-tiang 

kematian! 

"Eh, kuburan siapa ini...?" bertanya Pendekar 212 

dalam hati. Mendadak saja dia menjadi merasa tidak enak. 

"Jangan-jangan orang tua itu…" 

Wiro melompat ke hadapan makam bernisan batu 

hitam. Dia berputar untuk dapat melihat guratan tulisan 

yang ada dibatu itu. 

"Tua Gila...!" desis Wiro ketika samar-samar dia dapat 

membaca tulisan yang tergurat di atas batu nisan. Tubuh-

nya terasa lemas dan pendekar ini langsung jatuh berlutut 

di samping makam. Kedua matanya berkaca-kaca. "Orang 

tua... Kenapa kau pergi begitu cepat..." Wiro menutup 

mukanya dengan kedua tangan lalu mengusap wajahnya 

yang basah berulang kali. Sambil liiemegangi batu nisan 

hitam murid Sinto Gendeng memandang berkeliling. Kini 

baru disadarinya bahwa tanah makam itu masih merah. 

Begitu juga tanah kubur yang disebelahnya. Lalu dia 

melihat pula keanehan lain itu. 

"Mengapa kubur yang satu ini tidak ada batu nisan?Kubur siapa pula ini.?" Wiro coba menduga-duga. Dia ingat 

pada anak kecil berusia dua tahun lalu yang kemudian 

diambil murid oleh Tua Gila. 

Jika anak itu masih hidup uslanya sekarang sekitar 

enam tahun. Dimana anak Itu kini? Apakah kubur yang 

satu ini kuburannya? 

"Tanah kubur masih merah. Berarti duo jenazah yang 

ada di sini belum lama dimakamkan. Lalu siapa yang 

menguburkan mereka?" 

Wiro menatapi kedua makam itu lama-lama. Kemudian 

dia melihat ada kabut tipis di sekitar makam. 

"Aneh, setahuku tak pernah ada kabut di pulau inil" 

Hujan menders deras. Apa yang disangkakan Wiro 

sebagai kabut itu lenyap. Kini tinggal bau sesuatu yang 

merasuk hidungnya. "Sepertinya yang kulihat tadi bukan 

kabut. Tapi asap... Ada bau rokok sekitar tempat init" Wiro 

memandang berkeliling. "Aneh... Setan atau jin lautkah 

yang merokok.. . ?° 

Tak lama setelah asap lenyap, bau rokokpun ikut sirna. 

Lalu lapat-lapat, seolah-olah datang dari suatu terowongan 

jauh di perut bumi Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Wiro Sableng mendengar suara ketukan-ketukan sangat 

halus. Semula dia menyangka telinganya salah dengar. 

Namun ketika diperhatikannya baik-baik, diantara deru 

badai memang ada suara ketukan halus terdengar be-

berapa kali. Lenyap sebentar lalu terdengar lagi. 

Murid Sinto Gendeng menggeser tubuhnya lebih dekat 

ke makam. Lalu perlahan-lahan telinga kirinya didekatkan 

ke batu nisan hitam. Kembali terdengar suara ketukan. 

Lewat batu nisan itu kini matah ketukan itu terdengar lebih 

jelas. Wiro mengorek sebuah batu kecil. Dengan batu itu 

dia mengetuk batu nisan hitam beberapa kali. Suara 

ketukan yang tadi lenyap kini terdengar lagi. Lalu diam. 

Wiro mengetuk lebih keras. Seperti dibalas dia mendengarjawaban suara ketukan. Ketika Wiro hendak mengetuk 

sekali lagi, saat itulah dia melihat dalam kegelapan 

sepasang kaki berkasut kulit sampai sebatas lutut me-

langkah di atas tanah yang becek. Setiap langkah yang 

dibuatnya menimbulkan getaran di tanah. Wiro angkat 

kepala Pendekar 212 melengak kaget ketika melihat satu 

sosok tubuh tinggi besar bermantel hitarri tahu-tahu sudah 

tegak di hadapannya. Orang ini bermuka panjang yang 

tertutup kumis dan berewokan liar, mengenakan topi tinggi. 

Sepasang matanya sangat besar. Desauan nafas yang 

keluar dari mulutnya seperti suara gerengan harimau. Di 

ketiak kirinya orang tinggi besar ini mengepit sebuah 

benda hitam. 

Tiba-tiba orang ini menyeringai. Mulutnya terbuka. 

Kelihatan gigi-giginya yang besar serta taring seperti 

harimau. Seringai lenyap. Dari mulut orang ini kini keluar 

suara tawa berkakakan. 

"Manusia kutuk sumpah! Akhirnya kau datang juga! 

Ha... ha... ha .... Sahabatmu Tua Gila memang sudah lama 

menunggu! Ha... ha... ha...!" 

Perlahan-lahan Wiro bangkit berdiri. 

"Siapa kau?!" Wiro membentak. 

Yang ditanya menjawab dengan tawa bergelak. Lalu 

benda hitam yang sejak tadi di kempitnya diturunkan dan 

secepat kilat ditancapkannya di bagian kepala makam di 

samping makam Tua Gila. Ternyata benda yang ditancap-

kannya itu adalah sebuah batu nisan yang bentuk dan 

ukurannya sama dengan nisan yang ada di makam Tua 

Gila! 

Menurut taksiran Wiro batu hitam itu beratnya puluhan 

kati. Orang bermantel sanggup menancapkannya sampai 

setengahnya berarti dia memiliki kekuatan luar biasa! 

Makam yang tadi tidak bernisan itu kini lengkap sudafi 

dengan batu nisannya!Sepasang mata Pendekar 212 membelalak ketika 

melihat nama yang tergurat di atas batu nisan. Ternyata itu 

adalah namanya sendiri. Wiro Sablengt Berarti makam itu 

adalah kuburannya sendiri! 

Orang bermantel hitam masih tertawa panjang. Tiba-tiba 

tawanya berhenti dan terdengar ucapannya "Bagus, kau 

telah datang untuk melihat makammu sendiri!" Dengan 

kaki kirinya yang berkasut kulit orang ini menginjak sebuah 

batu yang menonjol di dekat kepala nisan. Terdengar suara 

berdesir. Lalu terjadilah hal yang aneh. Tanah kuburan 

yang baru ditancapi batu nisan perlahan- lahan kelihatan 

terangkat. Ternyata tanah merah itu di bagian bawahnya 

adalah sebuah batu tebal empat persegi panjang yang 

tidak beda dengan sebuah pintu penutup! 

Ketika besi penutup terbuka lebar Wiro melirik ke 

bawah. Dalam gelap dia dapat melihat lobang kosong itu 

berdinding dan bertantai batu tebal. Sebuah pipa kecil 

aneh terdapat dibagian bawah besi penutup. 

"Liang kuburmu sudah kusediakan Pendekar 212! Kau 

mau masuk secara baik-baik atau perlu aku bantu meng-

gotongmu ke dalam?!" 

"Bangsat keparat ini tidak bersenda gurau!" kata Wiro 

dalam hati. Dia melirik ke makam di sebelah kiri. Rahang-

nya menggembung. "Berarti kau juga yang telah memasuk-

kan sahabatku Tua Gila ke dalam makam yang satu ini!" 

katanya menuduh. 

"Ha ...ha... ha...! Dugaanmu tepat..." 

"Di mana murid Tua Gila yang berusia enam tahun? Apa 

kau pendam juga di makam ini?!" 

"Untuk sementara anak itu ada di bawah kekuasaanku. 

Nyawanya tergantung pada gurunya si Tua Gila. Ha... ha... 

ha... Silahkan masuk Pendekar 212. Tapi serahkan dulu 

senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212 padaku. 

Lemparkan senjata itu kehadapanku. Juga berikan padakubuku Seribu Macam Ilmu Pengobatan. Jangan coba mem-

bangkang apa lagi melawan. Aku bisa membunuhmu 

secepat aku membalikkan telapak tangan! kapak dan buku 

itu! Lekas!" 

"Hujan begini deras. Badai melanda begini hebat! Tapi 

belum pernah aku melihat orang yang gilanya sehebatmu! 

Kau memendam sahabatku Tua Gila! Kau menculik murid-

nya! Kini menyuruh aku masuk ke dalam liang kubur! 

Malah mengemis dulu minta senjata dan buku!" 

"Mulutmu pandai bicara! Aku mau lihat apa kau masih 

bisa bicara kalu mulutmu itu sudah kurobek!" 

Tiba-tiba orang bermantel putar tubuhnya sambil me-

mukulkan kedua tangannya sekaligus ke depan. Dua 

gelombang angin yang sangat keras melabrak murid Sinto 

Gendeng. Tubuh pendekar ini terdorong ke arah lobang 

kubur. 

Wiro membentak keras lalu cepat menghantam dengan 

pukulan Tameng sakti menerpa hujan. 

***

ORANG bertopi tinggi berseru kaget ketika melihat 

bagaimana serangan balasan lawan bukan saja 

membuyarkan hantamannya tetapi juga membuat 

kedua kakinya goyang bergetar. Dia menyeka mukanya 

yang basah oleh air hujan dengan tangan kiri lalu mencoba 

menyergap Wiro dengan satu lompatan. 

Pendekar 212 sambut serangan lawan dengan jotosan 

ke arah perut. Jotosan itu mendarat di sasarannya dengan 

telak tapi si tinggi besar tidak bergeming sedikitpun. Malah 

dia menyeringai memperlihatkan taringnya. Wiro membuat 

gerakan berputar setengah lingkaran. Laksana kilat kaki 

kanannya melesat ke atas. 

Bukkk! 

Kaki kanan itu menghantam rahang lawan dengan 

keras, membuat orang itu terpelanting dan jatuh terbanting 

di tanah yang becek. Paling tidak pasti tulang rahangnya 

pecah, begitu Wiro berpikir. Tapi murid Sinto Gendeng ini 

jadi tercengang ketika dilihatnya orang itu berdiri kembali 

tanpa menunjukkan rasa sakit apalagi cidera. Hanya topi 

tingginya yang lepas dan jatuh ke tanah. Kelihatan 

rambutnya yang panjang lebat riap-riapan, dan basah oleh 

air hujan. 

Dengan tenang dia mengambil topinya. Kesempatan ini 

dipergunakan oleh Wiro untuk menendang ke arah kepala. 

Dari mulut si tinggi besar terdengar suara menggereng. 

Lalu tangan kirinya bergerak cepat menangkap per-

gelangan kaki Wiro yang menendang. Begitu tertangkaporang ini membuat gerakan aneh dan tahu-tahu tubuh 

Pendekar 212 sudah terangkat ke atas lalu dibantingkan 

ke bawah. Tubuh pendekar itu jatuh tepat di dalam liang 

kubur. 

Sambil menyeringai si tinggi besar melompat hendak 

menekan batu di kepala makam. Maksudnya segera 

hendak menurunkan batu tebal penutup kuburan. Wiro 

yang tahu apa artinya kalau dia sampai terperangkap di 

datam liang kubur itu segerar melompat sambil lepaskan 

pukulan yang dipelajarinya dari Tua Gila yaitu Kincir padi 

Berputar. Tangan kanannya menabas pergelangan kaki 

lawan yang hendak menekan batu rahasia. Melihat 

serangan yang bisa memutus kakinya itu si tinggi besar 

cepat melompat selamatkan diri. Kesempatan ini segera 

dipergunakan oleh Wiro untuk melompat keluar dari dalam 

kuburan. 

Di bawah hujan lebat dan badai kedua orang itu 

kembali berhadap-hadapan. Sesast keduanya berputar-

putar. Wiro membuka serangan dengan jurus kepala naga 

menyusup awan. L.engan kanannya berkelebat ke atas-

seperti hendak menghajar dagu tetapi disaat yang sama 

jotosan kanan menyusup ke arah dada lawan. 

Yang diserang keluarkan suara mendengus. TUbuhnya 

berkelebat ke kiri. Dua tangannya disilangkan. Begitu 

silangan dibuka maka tangan kanan Wiro terjepit diantara 

kedua lengannya laksana jepitan besi! Selagi Pendekar 

212 berusaha melepaskan jepitan itu kaki kanan lawan 

menderu menghantam perutnya. 

Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Tubuhnya men-

celat sampai dua tombak. Sebelum dia bisa berdiri dengan 

benar, dua jotosan melanda mukanya. Kembali pendekar 

ini terpental. Hidungnya mengucurkan darah sedang mata 

kirinya lebam membiru. 

Si tinggi besar keluarkan suara tawa bergerak dan mendekati Wiro dengan kedua tangan terpentang. Baru lawan 

sempat maju dua langkah Wiro segera sambut dengan 

jurus segulung ombak menerpa karang. Serangan ini 

dibuka dengan satu tendangan tipuan, ketika lawan 

mengelak Wiro susul dengan satu lompatan seraya tangan 

kiri membabat ke leher. 

"Serangan tak berguna! Terima pukulanku!" ejek lawan 

lalu cepat sekali tangan kanannya melesat ke dada Wiro. 

Murid Sinto Gendeng cepat menangkis tapi luput. Jotosan 

lawan menghantam dadanya dengan telak. Pendekar 212 

terbanting jatuh punggung di tanah. Dari mulutnya 

kelihatan ada darah keluar. Tulang-tulangnya serasa 

berantakan. Ketika lawan datang hendak menendangnya 

wiro segera menimbun seluruh tenaga dalamnya ke tangan 

kanan. Tangan itu sebatas lengan sampal ke ujung-ujung 

jari berubah menjadi putih perak menyilaukan. Udara yang 

tadi dingin berubah menjadi panas. 

Si tinggi besar mengekeh. 

"Aku mau lihat pukulan sinar matahari yang terkenal 

itu!" katanya mengejek lalu tegak berkacak pinggang. 

"Leleh tubuhmu!" teriak Wiro seraya menghantam. 

Sinar putih berkilat. Hawa panas menghampar. Si tinggi 

besar masih tegak bertolak pinggang. Malah kini kembali 

keluarkan suara tawa bergelak. Tiba-tiba dia menggerak-

kan kedua tangannya. Dua telapak tangan menghadap ke 

depan dan didorongkan perlahan saja. Ada hawa aneh 

yang memancarkan sinar hitam redup menyongsong 

pukulan sinar malahari. Lalu bummmm! 

Satu ledakan keras berdentum laksana merobek langit. 

Pukulan sinar matahari buyar berantakan. Pendekar 212 

Wiro Sableng keluarkan seruan kaget. Tubuhnya terguling 

beberapa langkah. Dari mulutnya kelihatan lebih banyak 

darah keluar. Di bagian lain lawannya tampak mengerenyit. 

Pakaian kuning yang dikenakannya di bawah mantelhangus hitam sebagian tetapi tubuhnya sendiri tidak apa-

apa, begitu juga mantel hitam yang dikenakannya! 

"Saatmu untuk masuk ke liang kubur Pendekar 212!" 

kata si tinggi besar. Lalu kaki kanannya ditendangkan ke 

tubuh Wiro. 

Dalam keadaan terluka seperti itu Pendekar 212 masih 

sempat menghindar dengan menggulingkan diri lalu cepat 

berdiri. Baru tegak dan belum sempat memasang kuda-

kuda lawannya sudah menyerbu dengan serangan-

serangan tangan kosong yang ganas. Wiro keluarkan jurus-

jurus silat Tua Gila yang didapatnya Tua Gila. Tapi lawan 

menyambut dengan taws mengejek. 

"Keluarkan seluruh jurus silat orang Gila! kalau 

penciptanya saja bisa kuhajar apalagi kau yang cuma 

cecunguknya!" 

Lalu serangan lawan datang menghantam susul 

menyusul. Semua gerak silat orang Gila yang selama ini 

tidak ada duanya dibuat mentah. Wiro terdesak hebat dan 

mundur terus. Tanpa disadari dia mundur membelakangi 

liang kubur yang menganga. Tiba-tiba lawan membuka 

mantel hitamnya lalu mengebutkan mantel ini ke arah 

Wiro. 

Murid Sinto Gendeng seperti mendengar gemuruh suara 

air bah. Angin sedahsyat topan keluar dari mantel yang 

dikebutkan menyapu tubuhnya. Wiro membentak dan 

lindungi diri dengan pukulan sakti benteng topan melanda 

samudera! Tapi tak ads gunanya. Tubuhnya telah te-

rjengkang lebih dahulu, lalu tersapu mental. Kapak Muat 

Naga Geni 212 yang terselip di pinggangnya ikut tersapu ke 

udara. Wiro berusaha melompat untuk menggapai senjata 

mustika itu. Namun di depan sana lawan kembali kebutkan 

mantelnya. Tak ampun lagi murid Eyang Sinto Gendeng itu 

mencelat masuk ke dalam Hang kubur. Kepalanya 

membentur dinding makam yang terbuat dari batu tebal.Pemandangannya seperti gelap. Di saat itu pula si tinggi 

besar meiompat. Tangannya menempel pada batu yang 

menyembul dl kepala makam. 

"Pendekar 212! Sebelum meregang nyawa kau dengar 

baik-baik. Beberapa tahun lalu kau telah membunuh 

adikku Datuk Sipatoka di bukit Tambun Tulang! Hari ini kau 

terima pembalasan dariku. Kau hanya bisa bertahan empat 

hari dalam liang kubur ini. Tapi jika kau mau memberi tahu 

di mana kau menyimpan buku Seribu Macam limu 

Pengobatan, nyawamu akan kuselamatkan. Beri tanda 

dengan tiga ketukan pada batu penutup makam! Kalau 

kau keras kepala dan tak mau memberi tahu, kau akan 

jadi bangkai secara perlahan-lahan dalam makam itu! Ha... 

ha... ha ...!" 

Orang yang mengaku kakak Datuk Sipatoka itu tertawa 

bergelak lalu tekan batu yang menyembul di kepala 

makam. Batu tebal penutup makam serta merta jatuh ke 

bawah. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 yang berada 

dalam keadaan antara sadar dan tiada terpendam di 

dalamnya! 

Sesaat sebelum penutup batu itu jatuh mendadak ter-

dengar seseorang berteriak. 

"Wiro!" 

Manusia tinggi besar tersentak kaget. Dia cepat me-

nyambar Kapak Maut Naga Geni 212 yang tercampak di 

tanah lalu memandang berkeliling. 

Saat itu badai dan hujan telah mereda. Udara beralih 

terang sedikit demi sedikit. Sepasang mata lebar si tinggi 

besar jelalatan kian kemari. Tapi dia tidak berhasil melihat 

dimana adanya orang yang barusan berteriak menyebut 

nama Pendekar 212. Maka diapun membentak. 

"Siaps yang berteriak! Lekas unjukkan diri!" 

Tak ads jawaban. Dia memandang pada senjata 

mustika yang ada dalam genggamannya. Perlahan-lahandisalurkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu Kapak 

Maut Naga Geni 212 dibabatkannya beberapa kall. Sinar 

menyilaukan berkelibat disertai suara seperti lebah 

mengamuk dan menclerunya haws panas. Pohon-pohon 

berderak patah dan hangus. Semak belukar rambas dan 

mengepulkan asap. Batu-batu karang dan batu-batu cadas 

yang kena hantaman sinar senjata mustika itu retak lalu 

mental berkeping-keping. 

"Senjata luar biasal" kata si tinggi besar dalam hati. Dia 

memandang berkeliling. Tempat itu kini sunyi senyap. 

Hanya debur ombak terdengar di kejauhan. Dan dia masih 

belum dapat mengetahui siapa atau di mana orang yang 

tadi berteriak. 

"Suara yang berteriak tadi jelas suara perempuan... Atau 

mungkin telingaku keliru menangkap bunyi suara...?!" Dia 

memandang sekali lagi berkeliling lalu berteriak, "Hantu 

atau jin perempuan! Kau tak berani unjukkan diri! Jangan 

kira kau bisa bersembunyi! Aku akan menemukanmu! 

Masih banyak tiang-tiang kosong mengikat bangkaimu di 

tempat ini!" 

Habis berteriak begitu orang ini cepat berkelebat dan 

tubuhnya yang tinggi besar kemudian lenyap di celah 

antara dua batu karang. 

***

Siapakah sebenarnya orang tinggi besar yang memiliki 

ilmu silat hebat serta kesaktian luar biasa itu? Yang 

sanggup menghajar Pendekar 212 sampai babak 

belur bahkan memendamnya di liang makam yang agaknya 

memang telah sejak lama disiapkan. 

Untuk menjawab hal ini kita kembali pada masa be-

berapa tahun silam ketika Pendekar 212 Wiro Sableng 

mengarungi laut Jawa untuk sempai ke pulau Andalas. 

Seorang tokoh silat dari pulau Madura bernama Kiai 

Bangkalan ditemui mati terbunuh di tempat kediamannya 

di Goa Belerang. Dari penyelidikan yang dilakukan Wiro, 

diketahui bahwa pembunuhnya adalah Datuk Sipatoka 

seorang tokoh silat jahat di pulau Andalas yang diam di 

Bukit Tambun Tulang. 

Wiro segera berlayar ke pulau Andalas untuk mencari si 

pembunuh. Ternyata Datuk Sipatoka bukan saja mem-

bunuh Kiai Bangkalan tetapi juga mencuri sebuah kitab, 

langka berjudul Seribu Macam Ilmu Pengobatan. 

Dalam pelayaran perahu yang ditumpangi Wiro diserang 

badai hingga terbalik. Wiro berhasil menyelamatkan diri 

dengan sebuah papan. Selagi terkatung-katung di tengah 

laut yang diamuk gelombang besar dia melihat seorang 

anak kecil timbul tenggelam dipermainkan ombak. Ter-

nyata anak itu masih hidup dan segera diikatkannya ke 

papan. Dia sendiri tidak memikirkan keselamatannya lagi. 

Sesaat sebetum Wiro tenggelam ditelan gelombang tiba-

tiba muncul sebuah perahu berpenumpang kakek aneh.Orang tua ini menyelamatkan Wiro dan anak kecil tadi. 

Ternyata kakek itu adalah seorang tokoh silat sakti 

mandraguna yang diam di sebuah pulau dan dikenal 

dengan nama Tua Gila. Dari orang tua ini Wiro kemudian 

mendapat pelajaran beberapa jurus ilmu silat langka yaitu 

Ilmu Silat Orang Gila sedang si anak kecil diambil jadi 

muridnya. 

Berkat beberapa petunjuk yang diberikan Tua Gila Wiro 

akhirnya sampal di sarang Datuk Sipatoka. Ternyata sang 

datuk memang bukan manusia sembarangan. Selain tinggi 

ilmu silatnya orang ini juga memiliki berbagai pukulan 

sakti. Untung saja saat itu Tua Gila muncul. Bersama-sama 

mereka kemudian menumpas manusia jahat itu. Datuk 

Sipatoka terbunuh dan buku Seribu Macam Ilmu 

Pengobatan ditemukan oleh Tua Gila lalu diberikan pada 

Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Kematian Datuk Sipatoka dan hancurnya sarang 

manusia jahat itu ternyata tidak habis sampai disitu saja. 

Kematian Datuk Sipatoka menimbulkan dendam kesumat 

pada seorang sakti dan jahat yaitu kakak kandung sang 

Datuk bernama Datuk Tinggi Raja Di Langit yang diam di 

Kepulauan Pagai. 

Namun ketika mengetahui bahwa adiknya terbunuh 

oleh Tua Gila dan Pendekar Kapak Maut naga Geni 212 

yang merupakan orang-orang dunia persilatan dengan 

name besar maka Datuk Tinggi terpaksa menahan hati dan 

bersabar. Die maklum tak bakal menang menghadapi 

kedua lawan yang berkepandaian tinggi itu. Maka dia 

menyusun satu rencana sambil memperdalam ilmu 

kepandalannya sendiri. Dia mempelajari pula ilmu silat 

Orang Gila ciptaan Tub Gila tetapi khusus menekuni 

kelemahan-kelemahannya. Dengan care begitu jika kelak 

dia berhadapan dengan musuh besarnya itu dia akan 

mudah menentukan segala serangannya.Untuk menghdapai Pendekar 212 Wlro Sableng. Datuk 

Tinggi Raja Di langit menggembleng tenaga dalamnya dan 

membuat sebuah mantel hitam yang kelak akan menjadi 

senjata yang dapat diandalkannya. Di samping itu sang 

datuk telah menciptakan pula semacam senjata rahasia 

yang bakal menggemparkan dunia persllahn, yang terbuat 

dari mutiara hitam dan kelak oleh orang-orang persilatan 

disebut sebagal Mutiara Setan. 

Setelah empat tahun menyiapkan diri, diam-diam Datuk 

Tinggi Raja Di Langit berangkat ke pulau kediaman Tua 

Gila. Dalam perjalanan dia menyebar kabar bahwa Tua Gila 

telah meninggal dunia. Hal ini untuk mengundang para 

sahabat Tua Gila datang ke pulau itu untuk berziarah. 

Datuk Tinggi ternyata bukan saja mendendam untuk mem-

bunuh Tua Gila, tetapi juga semua sahabat orang tua itu 

akan dilenyapkannya. Dan tujuan utamanya menyebar 

berita palsu itu adalah agar Pendekar 212 Wiro Sableng 

yang menjadi musuh utamanya muncul pula di pulau itu 

untuk dihabisinya. Di samping itu Datuk Tinggi Raja Di 

Langit juga sangat berminat untuk memiliki Benang 

Kayangan milik Tua Gila, Kapak Maut Naga Geni 212 milik 

Wiro serta mencari tahu di mana kitab Seribu Macam Ilmu 

Pengobatan yang dulu pernah dimiliki adiknya Datuk 

Sipatoka. 

Ketika Datuk Tinggi sampai di pulau kediaman Tua Gila 

ternyata orang tua itu belum kembali dari suatu perjalanan 

jauh. Dia hanya menemukan murid Tua Gila, seorang anak 

lelaki yang baru berusia enam tahun. Dengan mudah Datuk 

Tinggi meringkus anak ini, mengikatnya dan membawanya 

ke sebuah goa sempit di antara celah-celah batu karang 

dimana dia bersembunyi. 

Datuk Tinggl kemudian menggeledah gubuk kayu 

kediaman Tua Gila. Benda yang dicarinya yaitu buku Seribu 

Macam Ilmu Pengobatan tidak ditemukan."Berarti benar kabar yang kuterima di luaran, Kitab Itu 

telah diberikan dan berada di tangan Pendekar Kapak 

maut Naga Geni 212!" kata Datuk Tinggi dalam hati. Lalu 

cepat-cepat dia meninggalkan gubuk tersebut. 

Sambil menunggu kedatangan Tua Gila, Datuk Tinggi 

pergunakan kesempatan untuk melakukan sesuatu sesuai 

dengan rencananya. Dia membuat dua buah makam yang 

diberi peralatan rahasia. Bagian atas makam dilapisi batu 

yang bisa dibuka dan ditutup jika sebuah batu pada 

masing-masing kepala makam di tekan. Lantai dan dinding 

makam juga dilapisi dengan batu-batu tebal. Di kedua 

makam ini kelak dia akan menjebloskan dan mendekam 

Tua Gila serta Pendekar 212 Wiro Sableng sampai kedua 

orang itu menemui ajal secara perlahan-lahan. Dua buah 

batu nisan hitam bertuliskan nama Tua gila dan Wiro 

Sableng tak lupa disiapkannyal 

Setelah menunggu hampir satu minggu akhirnya Tua 

Gila muncul pada suatu malam. Dia langsung menuju ke 

tempat kediamannya sebuah gubuk kayu di bagian 

tenggara pulau. Ada dua hal yang membuat Tua Gila ter-

kejut begitu memasuki gubuk. Pertama isi gubuknya ke-

lihatan berantakan seperti ada yang membongkar setiap 

sudut tempat itu. Hal kedua dia tidak menemukan murid-

nya, anak lelaki yang baru berusia enam tahun itu. 

"Heran, ke mana anak itu? Kalau masih siang pasti dia 

tengah bermain-main di hutan kecil atau di lapangan. Atau 

di tepi pantai. Tapi malam-malam begini...?" membatin Tua 

Gila. Maka diapun keluar gubuk mulal mencari sambil tiada 

hentinya berteriak memanggil muridnya itu. 

"Malin... Malin Sati! Di mana kau...?" 

Mula-mula Tua Gila mencari sepanjang tepi pantai 

terdekat. Ketika sang murid tidak dijumpai orang tua ini 

kembali memasuki pulau dan akhirnya sampai di lapangan 

kecil. Disini dua menghentikan langkah sambil memandang terheran-heran. Ada dua gundukan tanah di-

lihatnya di ujung lapangan. 

"Dua buah kuburan..." desis tua Gila. "Kuburan siapa..." 

Satu berbatu nisan. Satunya tidak..." 

Tua Gila bergegas mendatangi. Dihadapan makam ber-

nisan langkahnya tertahan. Meskipun malam gelap namun 

matanya masih dapat membaca nama yang tertulis di atas 

batu itu. Tua Gila! Namanya sendiri! 

Tua Gila menyeringai. 

"Siapa pula yang bercanda dengan segala kegilaan ini?" 

katanya dalam hati. Namun sesaat kemudian seringainya 

lenyap. Parasnya berubah. "Mungkin ini bukan senda 

gurau... " Dia berjalan mengelilingi kedua makam itu. 

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara raungan anjing. 

Tua Gila terkesiap. 

"Puluhan tahun hidup di pulau ini baru kali ini aku men-

dengar suara lolongan anjing! Tak pernah ada anjing di 

pulau ini. Atau itu suara hantu laut? Mungkin juga binatang 

jadi-jadian...?" Tua Gila memandang berkeliling. Orang tua 

sakti ini kemudian menyadari, walau dia belum melihat 

sosok tubuh lain di tempat itu tapi dia merasa pasti ada 

seseorang yang tengah memperhatikan gerak geriknya 

saat itu. Perlahan-lahan Tua Gila menatap tajam setiap 

sudut gelap yang ada disekitarnya. Tiba-tiba dia meng-

hantam ke arah celah dua batu karang di depan sana. 

Serangkum gelombang angin menderu. Dua batu 

karang bergetar. Tua Gila hendak menghantam sekali lagi. 

Pada saat itulah dari celah batu karang muncul melompat 

sesosok tubuh tinggi besar yang langsung menyergapnya. 

Tua Gila cepat menyingkir seraya memukul. Tapi 

serangannya hanya mengenai tempat kosong karena yang 

diserang tahu-tahu sudah melompat ke samping dan dari 

samping lepaskan satu pukulan mengandung gelombang 

angin yang hebat sehingga Tua Gila terhuyung-huyunghampir jatuh! 

"Tenaga dalam dan pukulan orang ini luar biasa sekali!" 

kata Tua Gila lalu dia melompat mundur seraya mem-

bentak. "Penyerang tak dikenal!" Kau mencari mati berani 

menginjakkan kaki di pulauku! Katakan siapa dirimu!" 

Yang ditanya menjawab dengan suara tawa bergelak. 

Orang ini bertubuh tinggi besar. Mengenakan baju kuning 

yang disebelah luar dilapisi mantel dalam berwarna hitam. 

Dia memakai kasut kulit sampai sebatas lutut. Di Kepala-

nya ada sebuah topi tinggi. Mukanya tertutup kumis dan 

berewok sedang sepasang matanya besar sekali. 

"Mulutmu busuk, taringmu seperti harimau! Jangan ter-

tawa keras-keras di hadapanku! Pasti kau binatangnya 

yang telah mengobrak-abrik isi gubukku...!" 

Suara tawa orang tinggi itu semakin keras. 

Tua gila ingat pada Malin Sati. Rahang dan pelipis orang 

tua ini langsung mengembung. Mukanya yang hanya 

tinggal kulit pembalut tengkorak nampak berubah. 

"Pasti kau juga telah menculik muridku! Lekas kembali-

kan Malin Sati! Jika anak itu sampai tergores saja kulitnya 

akan kupatahkan batang lehermu!" 

"Memang aku yang membongkar isi rumahmu. Aku juga 

yang menculik muridmu..." 

Mendengar pengakuan si tinggi itu, Tua Gila meng-

gembor marah. Tubuhnya melayang sebat, tangan 

kanannya bergerak membabat ke arah batang leher orang. 

Si tinggi besar cepat membungkuk lalu balas meng-

hantam ke arah perut Tua Gila. Orang tua ini terkesiap, 

cepat berkelit. Setelah itu dia kembali menyerbu dengan 

mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat orang gila. Tubuhnya 

gerabak gerubuk seperti orang mabok. Tapi setiap tangan 

atau kakinya bergerak, itu adalah gerakan menyerang yang 

sulit diduga dan sangat berbahaya. 

"Ilmu silat orang gila!" seru si tinggi bermantel hitam."Dulu memang ditakuti orang! Tapi bagiku ilmu silatmu 

tidak lebih dari gerakan seekor ayam yang tertelan karet!" 

Habis berkata begitu orang bermantel itu lalu meng-

hadapi Tua Gila dengan jurus-jurus tak kalah anehnya. 

Tua Gila terkesiap ketika melihat jurus-jurus yang di-

mainkan lawannya adalah kebalikan dari setiap gerakan 

ilmu silatnya. Dengan sendirinya jurus apapun yang di-

keluarkannya untuk menyerang, dengan sangat mudah 

dapat dimentahkan lawan. 

Melihat Tua Gila terkesiap orang tinggi itu tertawa 

bergelak. Dia melangkah ke kepala makam di sebelah kiri 

di mana terdapat sebuah batu sebesar kepalan. Batu ini 

ternyata dibenamkan ke tanah dan dihubungan dengan 

sebuah alat rahasia. Ketika batu di tekan terdengar suara 

berdesir lalu secara aneh bagian atas kuburan sebelah kiri 

yang bertanah merah bergerak ke atas. Di sebelah bawah 

tanah merah ini terdapat lapisan batu sangat tebal. Kini 

Tua Gila dapat melihat bagian dalam makam. Dinding dan 

lantainya berlapiskan batu tebal. Makanr itu hampir dua 

tombak lebih dalamnya. 

"Sudah saatnya aku mengucapkan selamat jalan pada-

mu Tua Gila!" 

"Eh, setan ini tahu namaku!" rutuk Tua Gila. 

"Kau kaget aku tahu siapa dirimu?! Tua Gila, dengar 

baik-baik. Kematianmu tak dapat dihindari. Liang kubur 

sudah kusediakan. Aku tadinya ingin membunuh dan 

mencincang tubuhmu sampai lumat. Tapi aku mau berbaik 

hati agar kau bisa mati wajar-wajar saja. Untuk itu kau 

harus menyerahkan padaku senjatamu berupa benang 

sakti Benang Kayangan…" 

"Manusia kadal! Jadi itu maksudmu datang ke pulau 

ini?!" 

"Bukan itu saja Tua Gila! Di luaran aku telah menyebar 

kabar bahwa kau telah meninggal dunia! Berarti akanbanyak tokoh silat para sahabatmu berdatangan kemari. 

Mereka termasuk manusia-manusia yang kena kutukku! 

Siapapun sahabatmu akan kubunuh mati ditempat ini!" 

"Gilal" teriak Tua Gila. 

"Tidak... Aku belum gila!" 

"Kalau tidak gila apa alasanmu membunuh orang-orang 

yang tidak ada dosa kesalahan itu?!" 

"Apa alasanku akan kukatakan nanti. Kau harus dengar 

dulu maksudku yang lain datang ke tempat ini. Aku minta 

kau juga menyerahkan kitab Seribu Macam Ilmu 

Pengobatan!" 

Tua Gila tertawa mengekeh. 

"Rupanya kau jenis pencuri tengik!" ejek Tua Gila. "Buku 

yang kau cari tidak ada padaku. Kalau pun ada masakan 

aku mau memberikannya padamu!" 

"Bagus, pengakuanmu itu menyatakan bahwa kitab 

tersebut memang benar berada di tangan Pendekar 212 

Wiro Sableng! Tapi masih harus kita buktikan. Muridmu itu 

pasti akan segera pula muncul di sini begitu mendengar 

kabar kematianmu!" 

"Dia bukan muridku! Aku hanya mengajarkan beberapa 

jurus ilmu silat padanya!" 

Si tinggi besar tertawa bergumam. 

"Sekarang kukatakan padamu mengapa aku mengingin-

kan jiwamu! Juga ingin menghabisi siapa saja yang menjadi 

sahabatmu, termasuk dan terutama sekali Pendekar 212 

Wiro Sableng!" 

"Hebat! Lekas kau katakan!" 

"Beberapa tahun yang lalu kau bersama Pendekar 212 

rnenyerbu bukit Tambun Tulang, menghancurkan tempat 

itu dan membunuh Datuk Sipatoka! Betul begitu atau kau 

berani berdusta?!" 

"Iblis! Seumur hidup aku tidak pernah berdusta! 

Memang benar aku membantu Pendekar 212 membunuhDatuk Sipatoka penguasa bukit Tambun tulang! Manusia 

keji itu pantas untuk disingkirkan dari muka bumii" 

Orang berbadan tinggi besar keluarkan suara seperti 

menggereng. 

"Karena kau penyebab kematian Datuk Sipatoka, make 

hari ini aku membalaskan dendam kesumat sakit hati 

kematiannya! Aku adalah kakak kandung Datuk Sipatoka, 

bergelar Datuk Tinggi Raja Di Langit!" 

"Aha... Raja di langit sudah turun ke bumi mencari 

penyakit!" teriak Tua Gila mengejek. 

"Sebelum kau ku pendam dalam makam batu itu, lekas 

serahkan Benang Kayangan padaku!" Datuk Tinggi berkata 

sambil mengulurkan tangan kanannya. 

"Kau inginkan benang sakti itu. kau terimalah!" kata Tua 

Gila sambil menggerakan tangan ke balik pakaian putih-

nya. Ketika tangan itu keluar dari balik pakaian tiba-tiba 

melesat sebuah benda putih berbuntal-buntal hendak 

menggelung tangan kanan Datuk Tinggi. Orang yang sudah 

mengetahui sekali kehebatan benang putih itu cepat 

menarik pulang tangannya. Sekali terlambat dan sampai 

lengannya digulung Benang Kayangan pasti tanggal 

anggota tubuhnya itu! 

Sambil menghindar Datuk Tinggi Raja Di Langit pukul-

kan tangan kiri. Tua Gila terkejut besar ketika melihat 

bagaimana angin pukulan lawan sanggup membuat 

benang saktinya tergoyang-goyang dan tak berhasil 

menyambar apalagi menggulung tangan kanan lawan. Dia 

gerakkan tangan yang memegang benang. Ujung benang 

melesat dan menyambar ganas ke arah leher Datuk Tinggi 

Raja Di Langit. 

Kini sang datuklah yang jadi terkejut. Sambil keluarkan 

seruan keras manusla tinggi besar itu jatuhkan diri ke 

tanah, lalu dengan satu gerakan sangat cepat dia mem-

buka mantel hitamnya. Sambil menyeringai dia bertanya."Kau mau memberikan Benang kayangan itu atau tidak, 

Tua Gila?!" 

Sebagai jawaban Tua Gila kembali menggerakkan 

tangan kanannya. Benang Kayangan kelihatan berkilauan 

tanda prang tua itu telah mengerahkan seluruh tenaga 

dalamnya. Senjata ini melesat ke arah mulut Datuk Tinggi, 

siap untuk menggulung lidahnya. Begitu tergulung, sekali 

sentak saja lidah orang itu akan terbetot tanggal! 

Tapi lebih cepat dari datangnya sambaran Benang 

Kayangan, Datuk Tinggi Raja Di Langit sudah kebutkan 

mantel hitamnya. 

Tua Gila mendengar seperti air bah bergulung ke arah-

nya. Lalu ada angin sangat dahsyat badai menyambar ke 

arahnya. Tubuh dan kedua kakinya serta merta bergoyang 

sedang Benang Kayangan membalik seperti menyerang ke 

arah dirinya sendiri. 

Tua Gila menggeram. Tangan kirinya lepaskan pukulan 

sakti yang juga mengeluarkan angin dahsyat. 

Datuk Tinggi Raja Di langit tersenyum mengejek. 

"Pukulan Dewa Topan menggusur gunung! Apa hebatnya!" 

katanya., mantel di tangannya berkelebat. 

Wusss! 

Tua Gila berteriak keras. Tubuhnya tersapu angin 

serangan lawan. Dia berusaha bertahan tapi sia-sia saja. 

Orang tua itu terlempar masuk ke dalam liang kubur 

berlantai dan berdinding batu. Dia cepat hendak melompat 

keluar tapi tubuhnya terasa lemas. Darah mengucur dari 

hidungnya. 

Datuk Tinggi Raja Di Langit tertawa mengekeh dan 

tegak di tepi makam. 

"Berikan Benang Kayangan itu padaku Tua Gilal" 

"Iblisl kau ambillah sendiri!" jawab Tua Gila. Orang tua 

ini buka mulutnya lebar-lebar lalu benang putih yang 

menjadi senjatanya itu dibuntalnya dan dimasukkan kedalam mulut lalu cepat-cepat ditelannya! Sambil 

memegang-megang perutnya Tua Gila berkata, "Kau harus 

membelah perutku lebih dahulu untuk mendapatkan 

benang sakti itul" 

Datuk tinggi mendengus geram. Dia menjawab. "Aku 

tidak telalu terburu-buru. Bagaimanapun juga aku akan 

mendapatkan benang itu. Kelak kau sendiri yang akan 

memuntahkan dan memberikannya padakut Ingat, kau 

hanya bisa bertahan selama tujuh hari Tua Gila! Ketuk batu 

penutup makammu jika kau memang kepingin hidup! 

Jangan lupa, muridmu berada di tanganku!' 

Lalu dengan gerakan sangat cepat Datuk tinggi Raja Di 

Langit diinjak batu hitam yang menonjol di belakang kepala 

makam. Tanah msnh yang berlapiskan batu tebal jatuh 

dengan keras Tua Gila coba menahan batu itu dengan 

kakinya, tapi terlambat. Orang tua ini masih sempat 

mendengar suara tawa bekakakan Datuk Tinggi sebelum 

dirinya terpendam dalam liang kubur batu itu! 

***

PADA saat badai mulai melanda pulau kecil itu, 

dibagian pantai sebelah timur, sebuah biduk tampak 

diombang-diambingkan ombak yang bergulung 

menggemuruh. DI atas biduk kecil in!, penumpangnya 

seorang dara berpakaian ungu yang menutupi wajahnya 

dengan cadar ungu sedang rambut hitam panjang tergerai 

lepas melambai-lambai di tiup angin mendayung inati-

matian agar biduknya jangan sampai tenggelam. Namun 

beberapa ratus langkah sebelum mencapai pasir pantai, 

biduk itu akhirnya terbalik. 

Biduk dan penumpang lenyap dilamun ombak. Tak lama 

kemudian baru kelihatan kepala gadis itu menyembul. 

Cadarnya terlepas dari wajahnya. kini tampak wajahnya 

yang jelita, beralis hitam lengkung dan berhidung mancung. 

Wajah cantik ini nampak tegang. Dia menghitung jarak, 

menduga-duga apakah dia akan sanggup berenang 

mencapai pantai. 

Ombak raksasa kembali bergulung menghantam gadis 

berpakaian ungu. Kembali sosok tubuh itu lenyap. Lalu 

timbul lagi untuk kemudian dihempaskan ombak. Ketika 

dia hendak mulai mencoba berenang, dara ini tiba-tiba 

sadar. Berenang melawan ombak yang menggila seperti itu 

hanya akan menghabiskan tenaga. Bukankah lebih balk 

mengambangkan tubuh saja, membiarkan ombak 

memukul dan menyeretnya ke arah pantai? 

Maka gadis itu lalu mengambil sikap menelentang. 

Tangan dan kakinya digerakkan perlahan secara beraturan.Tubuhnya tampak mengambang. Dalam keadaan seperti 

itu ombak besar kembali datang. Kecerdikan si gadis 

ternyata membawa hasil. Begitu ombak mendera dirinya, 

tubuhnya yang mengambang itu mencelat di atas air, 

terlempar ke arah daratan. Begitu terjadi sampai empat 

kali. Kali yang kelima akhirnya kakinya terasa menyentuh 

dasar laut di bagian yang dangkal. Sang dara balikkan did 

lalu menjejakkan kakinya dan melangkah di dasar lautan 

menuju tepi pasir. 

"Badai celaka! Untung Tuhan masih menolongku 

selamat sampai ke pantai! Kalau tidak untuk melihat kubur 

seorang sahabat tak akan aku menyiksa diri menantang 

maut seperti ini," kata si gadis lalu gerakkan kepalanya 

untuk mengibas air laut yang membasahi rambutnya. Dia 

memandangi pakaiannya yang basah kuyup. Di bawah 

hujan lebat dan angin keras dia lalu berlari memasuki 

pulau. Sebelumnya dia tidak pernah datang ke pulau itu. 

Tapi mencari sebuah makam di pulau sekecil itu rasanya 

tak bakal sulit. Sang dara terus menyusup diantara semak 

belukar dan akhirnya sampai di bagian pulau yang penuh 

dengan batubatu cadas hitam serta batu-batu karang. 

Di salah satu bagian kawasan pulau berbatu-batu ini dia 

melihat sebuah lobang pada salah satu lamping batu 

karang. Si gadis cepat menuju ke arah lobang ini dengan 

maksud beristirahat sebentar sambil menunggu redanya 

badai. 

Ketika dia sampai di mulut goa sang dara dikejutkan 

oleh apa yang dilihatnya didalam goa batu itu. Seorang 

anak lelaki berusia sekitar enam tahun duduk tersandar ke 

dinding goa. Mulutnya ditutup dengan sehelai kain hingga 

dia tidak bisa mengeluarkan suara. Pergelangan tangan 

dan kakinya diikat dengan tali yang dibuat dari sambungan 

akar-akar pohon. 

Si anak lelaki tak kalah terkejutnya ketika melihatmunculnya seorang gadis cantik berpakaian ungu yang 

tidak dikenalnya dalam keadaan basah kuyup. Di pinggang-

nya ada sebuah saluang. Semula si anak mengira yang 

datang adalah manusia tinggi besar dan berewokan yang 

telah menculiknya. Anak ini goyang-goyangkan kepalanya 

memberi tanda. 

Dara berbaju ungu segera buka ikatan kain yang 

menutup mulut anak itu. Belum sempat dia bertanya, si 

anak sudah membuka mulut. 

"Kakak yang baik. Terima kasih kau telah menolong. 

Says Malin Sati, murld kakek bernama Tuan Gila..." 

"Ah... Kau murid Tua Gila! Justru aku datang untuk 

menyambangi makam gurumu itu!" 

Si anak tampak terkejut. "Guru... Kakek Tua Gila… Kata 

kakak kau hendak menyambangi makam guru? Apa yang 

terjadi dengan beliau...?" 

"Anak, katamu kau murid Tua Gila. Gurumu meninggal 

kau tidak tahu! Aneh!" 

"Apa...?!" anak itu seperti hendak menjerit. "Tidak 

mungkin. Bukankah guru tengah melakukan perjalanan?" 

"Eh, bagaimana ini? Berita yang tersiar di luaran ialah 

bahwa Tua Gila telah meninggal dunia dan dimakamkan di 

pulau tempat kediamannya ini." 

"Kakak tolong kau lepaskan dulu ikatan pada tangan 

dan kaki saya. Orang jahat itu telah mengikatku sejak 

empat hari lalu. Saya hanya diberinya makan sedikit!" 

"Siapa orang jahat yang mau kau katakan itu Malin?" 

tanya gadis itu sambil melepaskan ikatan pada kaki dan 

tangan Malin Sati. 

"Seorang tinggi besar bermuka buas, berkumis dan 

berjenggot lebat. Saya ditangkapnya sewaktu sedang 

bermain di pantai. Lalu diikat dan dibawa ke dalam goa 

ini…" 

"Kau tahu mengapa orang itu menangkap dan mengikatmu lalu membawamu ke sini?" tanya dara berpakaian 

ungu sambil menggoyang-goyangkan rambutnya yang 

basah. 

"Saya tidak tahu kakak," jawab murid Tua Gila. "Lalu di 

mana orang yang mengikatmu itu sekarang?" 

"Dia pasti masih berada. di pulau ini. Karena pada 

waktu-waktu tertentu dia setalu kemari untuk melihat dan 

mengawasi saysa.." 

Gadis baju ungu tampak berpikir-pikir. 

"Kakak, kau ini siapa? Ada hubunganmu dengan guru?' 

bertanya malin Sati. 

 "Namaku Pandansuri. Aku datang dari Wars, Aku 

berhutang budi bahkan nyawa pada gurumu. Beberapa 

tahun lalu gurumu bersama seorang pendekar muda 

pernah menyelamatkan diriku. ltutah sebabnya aku merasa 

sangat penting untuk menziarahi makamnya." 

"Tidak, tidak mungkin! Guru jelas sedang pergi, tak ada 

di pulau. Bagaimana mungkin kakak mengatakan hendak 

menziarahi makamnya? Di pulau ini sama sekali tidak ada 

kuburan!" 

"Ini adalah aneh! Sebagai murid kau tentu tidak 

berdusta mengatakan bahwa gurumu masih hidup," Kata 

Pandansari pula. "Kalau begitu mari kita cari orang yang 

telah menangkap dan menyekapmu di goa ini!" 

"Hati-hati, manusia itu jahat sekali. Ilmu kepandaiannya 

pasti tidak rendah. Dan saya yakin ilmunya dipergunakan 

untuk berbuat jahat!" 

Pandansuri pegang kepala anak itu lalu berkata, "Kita 

pergi sebentar lagi kalau badai mulai reda." 

Malin Sati bangkit berdiri. "Maafkan saya kakak. Saya 

tidak bisa menunggu. Saya harus menyelidiki apakah guru 

telah kembali, lalu apakah benar ada makam di pulau ini." 

"Kau murid baik, Malin. Mari kita sama-sama me-

nyelidik."Dibawah hujan lebat dan angin kencang kedua orang flu 

tinggalkan goa di dinding batu karang. 

"Kau tentu tahu setiap sudut pulau ini. Kau jalan di 

depan," kata Pandansari. 

Malin Sati berjalan di sebelah depan. Sang dara meng-

ikuti dari belakang. Tak selang berapa lama keduanya 

sampai di gubuk kediaman Tua Gila. Si anak terkejut ketika 

melihat isi gubuk berantakan sedang gurunya tak ada di 

situ. 

"Pasti ini perbuatan manusia jahat itu!" kata Malin Sati 

dengan kepalan tinjunya. Dia melangkah keluar gubuk. 

Saat itu hujan mulai reda tapi tiupan angin masih keras 

dan mengeluarkan suara menggidikkan. 

"Saya harus menyelidiki seluruh pulau! Orang jahat itu 

jangan- jangan telah mencuri sesuatu dari gubuk guru!" 

Tanpa berpaling pada Pandansuri Malin Sati langsung 

melangkah pergi. 

Sang dara cepat memegang bahu anak itu lalu berkata. 

"Seperti katamu, orang jahat yang menyekapmu itu pasti 

masih ada di pulau ini. Kita harus berhati-bati. Biar aku 

yang di depan sekarang. Bisakah kau berjalan tanpa 

mengeluarkan suara?" 

Malin Sati mengangguk. Lalu seolah-olah seperti 

hendak membuktikan dia melangkah cepat diantara 

semak belukar sedang di tanah jejak kakinya kelihatan 

tidak melesak dalam. 

"Ah, Tua Gila tentu telah mengajarkan ilmu meringan-

kan tubuh pada anak ini…" kata Pandansuri dalam hati. 

Kedua orang itu bergerak menuju bagian tengah pulau. 

Pandansuri di sebelah depan, Malin Sati di belakangnya. 

Kadang-kadang anak ini karena ingin lebih cepat, me-

langkah mendahului. Terpaksa si gadis menariknya cepat-

cepat. Di suatu tempat Pandansuri hentikan langkahnya. 

"Aku mendengar suara orang tertawa di kejauhan.Apakah kau mendengarnya?" 

Malin Sati gelengkan kepala mendengar pertanyaan 

Pandansuri itu. 

"Ikuti aku. Tapi harus lebih hati-hati..." kata Pandansuri 

lalu bergerak ke jurusan di mana dia tadi mendengar 

datingnya suara orang tertawa. 

Pandansuri sampai di depan sebuah lapangan kecil 

yang becek. Gadis ini cepat menekap mulut Malin Sati dan 

menariknya ke balik sebatang pohon besar ketika di-

dengarnya si anak sempat mengeluarkan suara tercekat 

sewaktu melihat pemandangan di depannya. 

Kalau Malin Sati terkejut dan bergidik melihat empat 

sosok mayat rusak yang terikat di tiang serta adanya dua 

buah makam dimana salah satunya terbuka secara aneh, 

maka Pandansuri lebih terkesiap pada perkelahian yang 

terjadi antara seorang manusia bertubuh tinggi besar 

dengan seorang pemuda yang segera dikenalinya sebagai 

pemuda bernama Wiro Sableng bergelar Pendekar 212. 

Pemuda inilah yang dulu menyelamatkannya bersama 

Tua Gila dari tangan ayah angkatnya yang sesat yaitu Raja 

Rencong Dari Utara. 

Seat itu Pandansuri menyaksikan bagaimana tubuh 

Wiro terpental masuk ke dalam liang kubur batu akibat 

hantaman mantel sakti orang tinggi besar. Ketika orang itu 

tampak menekan sesuatu di kepala makam. Ketika batu 

penutup makam terhempas jatuh Pandansuri secara tidak 

sadar keluarkan seruan memanggil nama pendekar itu. 

"Wiro!" 

Suara teriakan Pandansuri inilah yang membuat Datuk 

Tinggl Raja Di Langit jadi tersentak dan dia segera 

menyadari bahwa ada orang lain di tempat itu. 

Pandansuri sendiri begitu sadar telah berbuat ke-

salahan segera menarik lengan Malin Sati lalu berkelebat 

meninggalkan pohon tepat pada saat Datuk Tinggi kiblatkan Kapak Naga Geni 212 yang memporak-porandakan 

pepohonan dan bebatuan di tempat itu. 

***


Didalam liang makam batu yang gelap itu bahkan 

tangan di depan matapun tidak kelihatan- Pendekar 

212 Wiro Sableng masih berada dalam keadaan 

setengah sadar. Hantaman mantel sakti Datuk Tinggi Raja 

Di Langit bukan main dahsyatnya. Di samping itu kepalanya 

juga telah membentur dinding batu dengan keras. 

Selang beberapa lama setelah kesadarannya kembali 

pulih, murid Eyang Sinto Gendeng ini berusaha berdiri. 

Kedua tangannya coba mendorong g, batu tebal penutup 

makam Tapi batu yang berat itu tidak bergeming sedikit 

pun. Akhirnya dia hanya bisa tegak tersandar memikirkan 

bagaimana mencari jalan keluar dari sekapan. Aneh, 

tubuhnya terasa sangat letih. Dicobanya mengerahkan 

tenaga dalam tapi tidak berhasil. Ada sesuatu yang menye-

babkan hal itu dan dia tidak tahu apa. 

Perlahan-lahan Wiro kembali duduk di lantai makam. 

Dalam gelap dia pergunakan lengan bajunya untuk me-

nyeka darah yang mulai mengering di bawah hidung dan di 

sudut bibirnya. Saat itu hidungnya mencium bau aneh 

dalam ruangan batu itu, Dia lalu ingat pada pipa kecil yang 

ada di batu tebal di atasnya. Dalam gelap dia meraba dan 

berhasil menyentuh pipa itu. Wiro berpikir-pikir apa keguna-

an pipa itu, Mungkin untuk keluar masuknya udara? 

Dengan pipa sekecil itu beberapa lama dia bisa bertahan di 

tempat itu? Datuk Tinggi memberinya waktu empat hari. 

Berarti itulah batas kehidupannya! Empat hari tanpa 

makan tanpa minum. Dan disekap di ruang batu seperti ituterasa udara menjadi makin panas saat demi saat. 

"Bangsat itu minta kitab Seribu Macam Ilmu Peng-

obatan! Gila! Kalaupun aku membawa kitab itu tak bakal 

aku serahkan padanya! Agaknya aku sudah ditakdirkan 

menemui kematian dengan cara begini rupa..." 

Pikiran Pendekar 212 menjadi kacau. Sekujur tubuhnya 

terasa sakit dan lemas. Kepalanya juga masih mendenyut-

denyut. Pakaiannya basah oleh keringat. Tiba-tiba dia ingat 

makam di sebelahnya. Sebelumnya dia telah mendengar 

suara ketukan sayup-sayup datang dari dalam makam itu. 

Ketika dia mengetuk, dari dalam terdengar suara ketukan 

balasan. lalu dia ingat pula pada asap seperti asap rokok 

yang ada di sekitar makam. 

"Kalau diriku dijebloskan hidup-hidup begini, jangan-

jangan Tua Gila juga mengalami nasib sama..." Wiro lalu 

keluarkan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 

212 yang masih tersisip di pinggangnya. Dengan batu 

hitam itu diketuknya dinding batu sebelah kanan, dua kali 

berturut-turut. Lalu dia menunggu. Tak ada jawaban. 

"Mungkin orang tua itu sudah ..." Wiro tidak teruskan 

ucapannya, kembali dia mengetuk. Tiba-tiba dari balik 

dinding batu ada suara ketukan balasan. Perlahan sekali. 

"Kakek Tua Gila! Kau ada di situ?!" Wiro berteriak keras-

keras. 

Jawaban yang terdengar hanya ketukan halus. 

"Kakek Tua Gila! Kau yang mengetuk...!?" 

"Siapa yang menyebut namaku?!" 

Ada suara menyahuti. Halus dan jauh tetapi cukup jelas 

terdengar oleh murid Sinto Gendeng: 

"Aku Wiro Sab!eng!" Wiro berteriak keras-keras. Hatinya 

gembira mendapatkan jawaban. Lalu keningnya jagi meng-

kerut ketika didengarnya suara di kejauhan itu berkata. 

"Nasib kita sama jeleknya! Tidak, aku lebih jelek. Kau tentu 

baru saja dijebloskan dalam makam batu! Aku sudah sejaktiga hari lalu...!" Terdengar suara tawa mengekeh. 

"Ah, benar rupanya oratig tua itu dijebloskan di makam 

sebelah! Gila! Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa 

tertawa," kata Wiro dalam hati. Lalu pendekar ini bertanya. 

"Bagaimana kau bisa bertahan hidup kek?" 

"Hanya karena belas kasihan Yang Kuasa!" 

"Selagi di luar aku melihat dan mencium seperti asap 

rokok, Apakah kau yang merokok?!" 

"Tidak sa!ah! Hanya itu yang bisa menjadi penyumpal 

mulut dan perutku! Tapi aku tidak akan biasa bertahan 

lama. Paling lama empat hari lagi malaikat maut pasti 

menemuiku! Mengapa kau tahu-tahu muncul di pulau ini. 

Kemunculan yang membawa celaka dirimu! Tua bangka 

sepertiku mati di tempat ini tidak menjadi apa. Tapi kau 

masih muda...!" 

Wiro terdiam sesaat mendengar kata-kata terakhir Tua 

Gila itu. Lalu dia membuka mulut. 

"Di luaran tersebar berita bahwa kau telah meninggal 

dunia. Itu sebabnya kuperlukan datang kemari. Ternyata ini 

jebakan belaka! Apa betul keparat yang menjebloskan 

diriku itu adalah kakak Datuk Sipatoka yang kita habisi 

beberapa tahun lalu di Bukit Tambun Tulang?! Siapa nama 

bangsat itu?!" 

"Namanya aku tidak tahu. Dia menyebut dirinya dengan 

gelar Datuk Tinggi Raja Di Langit! Dia memang kakak Datuk 

Sipatoka...! Dia muncul membawa dendam kesumat!" 

"Bagaimana kau bisa dikalahkan lalu dijebloskan ke 

dalam makam batu itu kek?!" 

"Mantel hitamnya itu! mantel itu merupakan senjata 

hebat luar biasa! Tua bangka ini tak sanggup 

menghadapinya! Siapapun tak bakal sanggup mengalah-

kannya! Kecuali ada yang berhasil menarik lepas mantel 

hitam saktinya itu!" 

Wiro teringat pada jubah Kencono Geni milik keraton diJawa. Siapa saja yang mengenakan jubah itu tak satu 

kekuatanpun sanggup mengalahkannya. 

"Di samping itu," terdengar lagi suara Tua Gila. "Datuk 

Tinggi memiliki senjata rahasia yang luar biasa. Orang-

orang dalam dunia persilatan di Andalas menyebut senjata 

itu Mutiara Setan. Senjatanya memang mutiara sungguhan 

tapi berwarna hitam. Tidak beracun namun ganas sekali. 

Siapa saja yang sampai ditancapi Mutiara Setan tubuhnya 

pasti akan menemui kematian dalam waktu sekejapan. 

Datuk Tinggi selalu mencari sasaran di kening lawan!" 

"Mutiara Setan!" desis Wiro. "Senjata aneh dan mahal 

harganya!" 

"Anak muda, apakah datuk keparat itu minta buku 

Seribu Macam Ilmu Pengobatan padamu?!" bertanya Tua 

Gila dari makam sebelah. 

"BetuI!" jawab Wiro. "Tentu saja aku tidak membawa 

buku itu ke mana-mana. Sekalipun kubawa tak akan ku-

berikan padanya!" 

"Padaku dia juga minta buku itu! Kukatakan kalau buku 

itu tidak ada padaku. Lalu dia minta senjataku Benang 

Kayangan. Tapi dia tidak bisa mendapatkannya karena 

benang sakti itu keburu kumasukkan ke dalam mulut dan 

kutelan! Kini senjata langka itu aman dalam perutku!" Tua 

Gila tertawa mengekeh. Lalu dia meneruskan ucapannya. 

"Iblis tinggi itu memberikan waktu tujuh hari padaku! Jika 

aku tidak memberi tanda dengan ketukan maka tamatlah 

riwayatku!" 

Wiro menghela nafas panjang. "Kalau begitu aku lebih 

celaka darimu, kek! Datuk Tinggi berhasil merampas 

senjata warisan Eyang Sinto Gendeng!" 

"Maksudmu Kapak Naga Geni 212?!" 

"Betul kek!" 

"Ahl Padahal jika, senjata itu ada padamu saat ini, 

mungkin bisa dipergunakan untuk membobol dinding atau atap makam keparat ini!" kata Tua Gila pula. Tapi dia 

segera menyambung. "Mungkin juga tidak! Senjata itu tidak 

akan ada gunanya di dalam tempat ini. Karena kita tidak 

bisa mengerahkan tenaga dalam!" 

"Betul kek. Aku tadi coba mengerahkan tenaga dalam 

tapi tidak berhasil! Apa yang ada di tempat celaka ini?!" 

"Datuk Tinggi menaburi semacam obat. Tidakkah kau 

membaui hawa aneh dalam makammu?!" 

"Memang ada hawa aneh di sini!" 

"Hawa itulah yang membuat peredaran darah kita tak 

bisa dipacu sehingga tenaga dalam tak bisa dialirkan. 

Haws itu pula yang membuat sekujur tubuh kita menjadi 

lemah!" 

"Apa daya kita sekarang kek? Apakah kita tidak 

mungkin bisa keluar dari tempat celaka ini?!" 

"Tipis sekali kemungkinannyal Mungkin satu berbanding 

seribu! Kita akan sama-sama berkubur di tempat ini! Kita 

berdua pasti banyak dosa! Berdoa sajalah dan mints 

ampun pada Yang Kuasa atas segala dosa-dosa kita! Ha... 

Ha... ha ...!" 

Wiro terdiam. 

"Anak muda! Kau takut menghadapi kematian?!" ter-

dengar Tua Gila bertanya. 

"Semua orang akan mati kek. Tapi kalau kematian 

datangnya seperti ini, perlahan-lahan dan tersiksa, lebih 

baik aku memilih dipancung saja! Kita harus mencari akal 

kek!" 

"Aku sudah tiga harl mencari akal. Sampai persediaan 

rokokku habis! Tapi sia-sia saja!" jawab Tua Gila. 

"Waktu aku sampal di tempat ini, aku melihat ada 

empat sosok mayat diikat ke tiang kayu!" 

"Pasti korban-korban jebakan Datuk Tinggi! Kau kenal 

siapa-siapa mereka?!" 

"Belum sempat memeriksa Datuk keparat itu sudahmuncul! Tapi ada satu hal. Sewaktu aku dijebloskan ke 

dalam makam ini, aku masih sempat mendengar sese-

orang berterlak menyebut namaku! Mudah-mudahan saja 

ada yang bakal menolong kita!" 

"Jangan terlalu berharap anak muda! Yang memanggil-

mu itu bukan mustahil adalah malaikat maut yang sudah 

mengenalimu!" kata Tua Gila pula lalu kembali tertawa 

gelak-gelak. Dalam hatinya Pendekar 212 jadi me-

nyumpah. Dia duduk bersandar ke dinding batu dan ulur-

kan kedua kakinya lurus-lurus. Hawa di tempat itu semakin 

panas. Jangan-jangan dia tidak mampu bertahan sampai 

empat hari." 

"Kek! Demi menyelamatkan nyawamu aku bersedia 

memberikan kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan itu!" 

"Jangan tolol!" membentak Tua Gila dari makam 

sebelah. "Sekalipun kau berikan seribu buku dan seribu 

senjata mustika pada Datuk Tinggi, manusia keparat itu 

tetap saja akan membunuh kita! Keinginan utamanya 

adalah membalaskan dendam kesumat kematian adiknya. 

Yaitu membunuh kita berdua dan semua sahabat kita yang 

tertipu muncul di pulau ini! Kalau memang ingin selamat 

sudah sejak kemarin-kemarin kuberikan Benang Kayangan 

padanya!" 

"Jadi beginilah perjalailan hidupku!" kata Wiro. Untuk 

pertama kalinya dia menggaruk kepalanya berulang kali. 

"Mati terjebak dalam makam batu!" 

"Kau terlalu mengawatirkan kematian dirimu! Apalah 

kau sudah punya anak?!" Tua Gila bertanya dari sebelah. 

"Kawin saja belum! Bagaimana punya anak?!" sahut 

Wiro setengah mengomel. 

Tua Gila terdengar tertawa gelak-gelak. 

Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Lalu dia me-

lengak ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang me-

ngorok!"Pasti itu si Tua Gila! Edan! Bagaimana dalam keadaan 

seperti ini dia masih bisa enak-enakan tidur! Malah sampai 

ngorok segala!" kata Wiro dalam hati merutuk tidak henti-

hentinya. 

Pendekar 212 berusaha mengatur jalan nafas dan per-

edaran darah. Lalu berusaha menghimpun tenaga dalam. 

Tapi setiap dikerahkan selalu tidak berhasil. Sementara 

tubuhnya terasa semakin lemas. 

Pendekar ini tidak tahu berapa lama dia telah berada 

dalam pendaman makam batu itu ketika tiba-tiba dia men-

dengar suara berdesir. Sesaat kemudian ada angin bertiup 

masuk ke dalam liang batu itu. Lalu Wiro melihat sedikit 

cahaya dan menyusul terbukanya atap batu makam! 

"Kakek Tua Gila! Batu penutup makamku terbuka!" 

teriak Wiro memberi tahu. Lalu cepat berdiri. 

Tapi untuk melompat keluar dari makam yang dalamnya 

lebih tinggi dari tubuhnya itu dia tidak sanggup oleh 

keadaan tubuhnya yang lemas. Wiro berjingkat dan 

berusaha menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. 

Hujan dan badai tak ada lagi. Tapi udara di atasnya 

diselimuti kegelapan walau tidak segelap dalam liang batu 

tadi. Ini memberi pertanda bahwa saat itu hari telah 

malam. 

Wiro berusaha lagi untuk bisa keluar dari dalam lobang 

itu. Namun sia-sia. Tubuhnya masih sangat lemas. Dia 

mendongak ke atas don melihat sepasang kaki di tepi 

makam batu. Lalu ada tangan yang diulurkan untuk mem-

bantunya keluar dari makam. Dalam gelap Wiro dapat me-

lihat orang yang hendak menolongnya itu. Dia tidak kenal 

lelaki ini. Tapi jelas bukan Datuk Tinggi. Maka Pendekar 

212 ulurkan pula tangannya siap untuk ditarik ke atas. 

Sesaat kemudian Wiro telah keluar dari dalam liang maut. 

itu. 

"Pandeka mudo, Nyanyuk Amber berpesan agar kaulekas mengatur jalan darah dan pernafasan. Menghirup 

udara segar sebanyak-banyaknya agar dapat menghimpun 

tenaga dalam!" 

"Nyanyuk Amber? Orang tua itu ada di sini?!" tanya Wiro. 

"Pandeka akan bertemu dengan beliau. Lekas lakukan 

apa yang beliau pesankan." 

"Sahabat, kau sendiri siapa? Terima kasih kau telah 

menolongku!" 

"Ambo Saringgih, pembantu Nyanyuk Amber. Ambo 

harus menolong Tua Gila di makam sebelah!" lalu Saringgih 

tinggalkan Wiro. Pendekar 212 segera duduk bersila, 

mengatur jalan nafas, darah dan mulai coba mengalirkan 

tenaga dalamnya. Hal itu tidak dapat dilakukannya dengan 

cepat karena lebih dari setengah harian diri sudah sempat 

dipendam dalam makam batu. 

Sementara itu Saringgih telah bergerak ke makam yang 

satunya. Sesuai petunjuk Pandansuri pembantu Nyanyuk 

Amber ini segera menekan batu kecil yang menonjol di 

belakang kepala makam. Terdengar suara berdesir, lalu 

perlahan-lahan bagian atas makam berikut batu nisannya 

bergerak ke atas. Terdengar suara orang tersentak kaget di 

dasar makam. Lalu dalam gelap tampak dua tangan kurus 

tinggal kulit pembalut tulang menggapai-gapai di tepi 

lobang batu. Saringgih cepat menangkap salah satu lengan 

Itu lalu menariknya kuat-kuat ke atas. 

Pembantu Nyanyuk Amber ini merasakan jantungnya 

seperti copot ketika melihat sosok dan wajah orang yang 

barusan ditolongnya. Dia telah terbiasa dengan keangker-

an wajah Nyanyuk Amber. Namun manusia yang kini ter-

duduk di hadapannya ini memiliki tubuh dan kepala yang 

tidak bedanya seperti jerangkong hidup! Orang yang 

barusan ditolongnya ini menatap padanya dengan se-

pasang matanya yang sangat cekung. Pandangannya 

dingin mengerikan. Dan dia sama sekali tidak mengucapkan satu patah katapun, apalagi mengatakan terima 

kasih! Seperti Wiro orang ini kemudian duduk bersila 

mengatur jalan nafas dan darah serta menghimpun tenaga 

dalam. 

***

MARI kita ikuti apa yang terjadi sebelum batu 

penutup makam Pendekar 212 Wiro Sableng tiba-

tiba terbuka. Seperti dituturkan ketika mengenali 

bahwa pemuda yang terpental masuk ke dalam liang 

makam adalah Wiro Sableng yang dikenalnya, Pandansuri 

anak angkat Raja Rencong Dari Utara tanpa sadar telah 

berteriak memanggil nama Wiro. Teriakannya ini mengejut-

kan Datuk Tinggi Raja Di Langit. Apalagi suara yang ber-

teriak jelas suara perempuan. Dia menantang agar orang 

yang berteriak unjukkan diri. Tapi Pandansuri tidak mau 

muncul. Karena sama-sama dari utara Pandansuri sudah 

tahu betul siapa adanya Datuk Tinggi. Satu lawan yang 

berat untuk dihadapi, apalagi saat itu dia bersama Malin 

Sati, murid Si Tua Gila yang baru berusia enam tahun. 

Ketika Datuk Tinggi menghantamkan Kapak Maut Naga 

Geni 212 yang membuat pepohonan dan batu-batu di 

tempat itu menjadi berantakan, Pandansuri cepat menarik 

lengan Malin Sati, Kedua orang ini melarikan diri dibawah 

cuaca yang masih buruk. Udara yang masih gelap ikut 

membantu hingga walau masih mengejar di belakang tapi 

Datuk Tinggi telah tertinggal jauh. 

Pandansuri sengaja menempuh bagian pulau yangt 

rapat dengan pepohonan, lalu membelok ke arah dimana 

Nyanyuk Amber dan Saringgih berada dalam sebuah 

legukan batu berbentuk goa. 

Saat itu karena badai dirasakan mulai reda maka 

Nyanyuk Amber yang sudah tidak sabaran untuk mengejarpemuda berpakaian putih berambut gondrong seperti yang 

dilihat dan diberitahukan oleh Saringgih kepadanya. Ber-

dasarkan ciri-ciri yang dikatakan pembantunya itu Nyanyuk 

Amber sudah dapat menduga bahwa si pemuda bukan lain 

adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, dengan siapa dia be-

berapa tahun lalu menghancurkan sarang Datuk Sipatoka 

dan membunuh manusia jahat itu di Bukit Tambun Tulang. 

"Saringgih! Lekas dukung aku! Kita harus mengejar 

pemuda yang kau lihat itu. Badai kurasa sudah mulai reda!' 

Saringgih segera lakukan apa yang diperintahkan 

Nyanyuk Amber. Baru satu langkah dia keluar dari legukan 

batu, pembantu ini cepat bersurut kembali. 

"Eh, ada apa Saringgih?!" tanya si orang tua. Telinganya 

di pasang. 

"Ada orang mendatangi dari jurusan pantai sebelah 

kanan!" melapor sang pembantu. 

"Cepat katakan ciri-cirinyal" 

"Ada dua orang Nyanyuk. Yang pertama seorang 

perempuan berambut panjang, berpakaian serba ungu…" 

"Seorang perempuan berpakaian serba ungu! Apakah 

wajahnya ditutupi dengan cadar ungu?" 

"Tidak Nyanyuk. Wajahnya tidak ditutup apa-apa. Dari 

sini jelas terlihat parasnya cantik. Di pinggangnya ada 

sebuah saluang." 

"Tak ada dugaan lain. Orang ini adalah Pandansuri, 

anak angkat Raja Rencong. Tetapi kenapa tidak bercadar? 

Ah mungkin dia sudah mengikuti perkembangan zaman! 

Saringgih, lekas katakan ciri-ciri orang kedua!" 

"Seorang anak lelaki kecil. Umurnya belum sampai tujuh 

tahun." 

"Anak lelaki? Di pulau ini ada anak lelaki?! Pasti itu 

murid si Tua Gila!" 

"Kedua orang itu sudah mendekat kemari Nyanyuk. 

Kelihatannya mereka seperti dikejar sesuatu!"Telinga Nyanyuk Amber menangkap suara kaki-kaki 

yang berlari itu mendekati legukan batu, maka dia cepat 

berseru. 

"Pandansuri, lekas masuk ke dalam legukan batu!" 

Pandansuri tentu saja jadi terkejut ketika dia men-

dengar ada suara menyebut namanya. Dia memegang 

lengan Malin Sati erat-erat seraya memandang ke arah 

legukan batu yang tertutup rapat oleh pohon-pohon kecil 

serta semak belukar. 

Semak belukar terkuak. Saringgih muncul. Tentu saja 

Pandansuri tidak mengenali orang ini. Tapi dia seperti 

pernah mendengar suara orang yang tadi menyebut nama-

nya. 

"Malin, kau kenal orang itu?" tanya Pandansuri. Malin 

Sati menggeleng. 

"Saudara... Siapa kau?!" tanya Pandansuri. 

Dari dalam legukan batu kembali terdengar suara halus 

tadi. "Pandansuri, lekas masuk. Untuk sementara kalian 

akan aman berada di sini!" 

Saringgih menguak semak belukar lebih lebar. mata 

Pandansuri kemudian melihat sosok tubuh yang duduk di 

lantai legukan batu. 

Gadis ini terkejut dan juga girang. Dia berseru. 

"Nyanyuk Amber!" Lalu bersama Malin Sati Pandansuri 

masuk dengan cepat kedalam legukan batu. Saringgih 

segera menutup tempat itu kembali dengan semak belukar 

dan pohon-pohon kecil. 

Sampai di dalam Pandansuri langsung jatuhkan did, 

bersimpuh di hadapan Nyanyuk Amber. Sementara 

Saringgih dan Malin Sati terheran-heran. Sepasang mata 

Saringgih tidak berkedip memandang Pandansuri. Belum 

pernah dia melihat gadis secantik yang satu ini. 

"Kakek guru, apakah kau baik-baik saja?" bertanya sang 

dara."Alhamdulillah. Aku seperti apa yang kau lihat. Kuharap 

kau begitu juga. Apakah kau kini sudah tidak mengenakan 

cadar ungu lag! Pandan?" 

Sang dara memegang wajahnya. _"Cadar itu lepas 

ketika saya menuju pantai..." 

"Kedatanganmu kemari pasti dengan maksud yang 

sama. Menyambangi makam Tua Gila..." 

"Betul Nyanyuk. Tapi saya melihat banyak keanehan 

dan hal-hal menggidikkan di pulau ini..." 

"Aku sudah tahu apa yang kau maksudkan itu. Empat 

orang tokoh silat dibunuh dan mayatnya dilkat di tiang 

kayu. Ada dua makam. Satu bernisan Tua Gila. Satunya 

tanpa nisan..:' 

"Rupanya kakek guru sudah tahu semua apa yang ter-

jadi. Tapi apakah kakek juga tahu bahwa Pendekar 212 

Wiro Sableng barusan saja dijebloskan Datuk Tinggi Raja Di 

Langit ke dalam makam kedua?!" 

Terkejutlah Nyanyuk Amber mendengar kata-kata 

Pandansuri itu. 

"Celaka!" ujar si orang tNa. "Aku baru saja hendak 

mengejarnya. Padahal aku tadinya berharap dialah yang 

bakal dapat menghajar Datuk Tinggi Raja Di Langit keparat 

itu!" 

"Kakak Datuk Sipatoka itu memang bukan manusia 

sembarangan..." kata Pandansuri pula. 

"Pandan, kau dan si datuk itu sama-sama dari utara. 

Apa saja yang kau ketahui tentang dirinya. Sepak terjang-

nya sangat meresahkan orang-orang rimba persilatan!" 

"Manusia itu memang biang racun segala malapetaka. 

Dia bercita-cita menguasai dunia persilatan di Pulau 

Andalas. Untuk itu dia telah membekali diri dengan ber-

bagai ilmu. Antaranya senjata rahasia Mutiara Setan yang 

sangat berbahaya. lalu sebuah jubah berupa mantel hitam 

yang dapat mengeluarkan angin sedahsyat badai…""Mantel itu memang luar biasa. Aku sudah sempat kena 

hantamannya:.:" kata Nyanyuk Amber lalu menceritakan 

pada Pandansuri bagaimana dirinya hampir celaka di 

tangan Datuk Tinggi Raja Di Langit. 

"Kita menghadapi masalah besar. Tua Gila dikabarkan 

meninggal. Makamnya diliputi keanehan. Beberapa tokoh 

silat menemui ajal Pendekar 212 dipendam dalam makam 

batu! Kita harus menghentikan Datuk Tinggi. Ini bukan 

pekerjaan mudah. kita harus mempergunakan akal..." 

"Kau betul kakek guru. Datuk Tinggi punya segudang 

ilmu. Dia ahli segala peralatan rahasia. Termasuk me-

rancang dua makam batu yang bisa dibuka dan ditutup 

bagian atasnya!" Pandansuri pula. "Disamping itu senjata 

andalan Wiro yakni Kapak Maut Naga Geni 212 telah jatuh 

ke tangan Datuk Tinggi..." 

"Ah, celaka! Banar-benar celaka!" 

"Kakek guru! Saya tahu letak alat rahasia untuk mem-

buka dan menutup makam Pendekar 212. Saya sempat 

melihat Datuk Tinggi menjalankan alat . itu. Kalau kita 

biasa membebaskan Wiro, pasti lebih mudah bagi kita 

menghadapi Datuk Tinggi. Hanya ada satu cara untuk 

dapat mengalahkannya. Menanggalkan mantel hitam yang 

melekat di tubuhnya!" 

"Hal itu sama saja dengan kita hendak menguliti 

harimau hidup!" kata Nyanyuk Amber. 

"Tak ada jalan lain kakek guru. Dia tak mempan ditotok. 

Selama mantel itu masih melekat ditubuhnya tak ada 

senjata atau pukulan saktipun yang mempan atas dirinya!" 

Nyanyuk Amber menghela nafas panjang. Orang tua ber-

mata buta ini lama termenung tapi otaknya bekerja keras. 

Sesaat kemudian orang tua ini angkat kepalanya. 

"Hanya ada satu orang untuk dapat mengalahkan 

manusia keparat itu, Pandansuri. Dan ini semua sangat 

tergantung pada kesediaan dirimu untuk melakukannya... ""Katakan apa yang harus saya lakukan kakek guru," ujar 

Pandansuri. 

Nyanyuk Amber tampak seperti bimbang. 

"Tak usah ragu-ragu, kek!" 

Orang tua itu memberi isyarat dengan anggukan kepala 

agar si gadis mendekat. Lalu Nyanyuk Amber membisikkan 

sesuatu ke telinga Pandansuri. Serta merta kelihatan paras 

sang dara menjadi sangat merah. 

***


SETELAH berusaha mencari orang yang tadi berteriak 

namun tak berhasil menemuinya Datuk Tinggi Raja Dl 

Langit segera menuju ke goa kecil di mana dia me-

ninggalkan Malin Sati. Saat itu hujan mulai reda dan angin 

tidak sekencang sebelumnya pertanda badal akan segera 

berhenti. 

Begitu masuk ke dalam goa, terkejutlah sang datuk. 

Murid Tua Gila yang ditinggalkannya dalam keadaan terikat 

tak ada lagi di tempat itu! Di lantai goa bertebaran akar-

akar pohon yang dijadikan tali untuk pengikat kedua kaki 

dan tangan anak itu. 

Paras seram Datuk Tinggi berubah tambah angker. Dia 

ingat kembali pada suara seruan perempuan sewaktu 

Pendekar 212 dijebloskan ke dalam makam batu. 

"Seseorang telah melepaskan anak itu! Dia pasti! 

Bagaimana aku tidak bisa mengetahui kemunculannya? 

Badai celaka tadi yang jadi ulah! Sekali kutemukan anak 

itu sebaiknya kuhabisi saja!" 

Datuk Tinggi segera membalikkan tubuh. Dia kembali 

menuju ke lapangan di mana dua makam terletak. 

Menurutnya siapapun yang ada di pulau itu pastilah akan 

berada di tempat itu. Mungkin untuk menziarahi makam 

Tua Gila, tetapi mungkin sekali untuk berusaha melepas-

kan orang tua yang disekapnya dalam makam batu. 

Sampai di lapangan Datuk Tinggi segera menyelidik 

setiap sudut. Setelah berpikir sesaat din lalu naik ke atas 

sebatang pohon besar berdaun lebat. Dia akan mendekamdan bersembunyi di atas pohon itu. Cepat atau lambat 

pasti akan muncul orang yang ditunggunya. 

Sampai siang bahkan menjelang rembang petang tak 

ada yang muncul. Keadaan sekitar lapangan sunyi sepi. 

Dikejauhan terdengar deburan ombak memecah di pantai. 

Datuk Tinggi mulai merasa tak sabar. Sebentar lagi 

matahari akan segera tenggelam dan slang akan berganti 

malam. Dia mulai berpikir-pikir apakah akan segera turun 

saja dari atas pohon. 

"Tidak mustahil orang itu justru menunggu sampai 

malam turun. Baru muncul di tempat ini!" Berpikir begitu 

Datuk Tinggi memutuskan untuk tetap saja berada di atas 

pohon sementara per!ahanlahan udara mulai tenggelam 

dalam kegelapan. Malam mulai merayap. 

Tiba-tiba Datuk Tinggi Raja Dl Langit. dongakkan kepala. 

Kedw telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara 

sesuatu. 

"Aneh! Tak mungkin ada suara saluang di pulau ini! Tapi 

telingaku tidak salah tangkap! Itu memang suara saluang! 

Siapa pula yang meniupnya?!" 

Datuk Tinggi menunggu sesaat. Suara yang didengarnya 

semakin jelas. Orang ini segera turun dari atas pohon, 

melangkah ke arah barat yaitu clad arah mana asalnya 

suara tiupan saluang itu. 

Beberapa saat saja Datuk Tinggi meninggalkan tempat 

itu, sesosok tubuh menyelinap keluar clad rerumpunan 

semak belukar. Orang ini ternyata adalah Saringgih, 

pembantu Tua Gila. Mengendap-endap dia mendekati dua 

buah makam di ujung lapangan. Sesuai dengan petunjuk 

Pandansuri dia segera mencari batu hitam yang tersembul 

keluar di belakang kepala makam bernisan Wiro Sableng. 

Karena sudah diberi petunjuk tidak sulit bagi Saringgih 

untuk menemukan batu hitam itu. Begitu dilihatnya 

langsung ditekannya kuat-kuat. Terdengar suara berdesir

dan perlahan-iahan bagian atas makam berderak mem-

buka! 

Datuk Tinggi melangkah dengan hati-hati tanpa 

mengeluarkan suara. Semakin dekat dia ke pantal pulau 

sebelah barat semakin jelas terdengar suara tiupan salung 

itu. Bahkan kini dia mendengar suara orang menyanyi. 

Suara perempuan! 

Datuk Tinggi menyelinap dibalik batu-batu karang. Di 

bagian batu karang paling ujung yang dekat ke pantai dia 

hentikan langkah. Dari sini dia melihat seorang perempuan 

duduk di atas sebuah batu hitam membelakanginya. 

Rambutnya yang panjang terurai di punggung pakaiannya 

yang berwarna ungu. Kedua tangannya memegang sebuah 

saluang yang ditiupnya dengan suara merdu, diselingi 

dengan suara nyanyian yang berhiba-hiba. 

Indak disangko larinyo ruso 

larinya kancang ka dalam guo 

Indak disangko ka cando Iko 

Nasib sangsaro sabatang karo 

Tinggi-tinggi si matohari 

Ayam bakokok di tanah Cino 

Baiko bana buruakno diri 

Ayah tiado bundopun tiado 

Urang Piaman pal ka koto 

Urang Talu manjunjung balango 

Sangsaro datang siliah batimpo 

Kakasiah dicinto lah hilang pulo 

(Tidak disangka larinya rusa) 

(Larinya kencang ke dalam goa) 

(Tidak disangka akan seperti ini) 

(Nasib sengsara sebatang kara) 

(Tlnggi-tinggi si matahari) 

(Ayam berkokok di tanah Cino) 

(Begini benar nasibnya diri) 

(Ayah tidak ibupun tiada)

(Orang Piaman pergi ke kota) 

(Orang Talu menjunjung belanga) 

(Sengsara dating silih bergant)i 

(Kekasih tercinta telah pergi pula) 

Sehabis menyanyi perempuan yang duduk di batu 

kembali meniup saluangnya. Kali ini tiupan gadis itu 

terdengar tersendat sendat. Sambil menangis sesengguk-

an dia meletakkan saluangnya di atas batu. Lalu perlahan-

lahan dia melangkah ke arah laut. Di tepi pasir perempuan 

itu tegak tidak bergerak. Angin laut melambai-lambaikan 

rambutnya yang panjang. Lalu dia memalingkan kepalanya 

ke kiri. Sesaat Datuk Tinggi dapat melihat wajah 

perempuan itu. Temyata dia seorang gadis berparas cantik 

jelita. 

"Siapa adanya gadis ini..?" bertanya sang datuk dalam 

hati. "Agaknya dia muncul di sini bukan untuk melihat 

makam Tua Gila. Berarti dia bukan karib atau sahabat 

orang tua itu. Dari syair yang dinyanyikannya jelas dia 

meratapi nasib dirinya yang sebatang kara. Tanpa ayah 

tanpa ibu. Kekasih yang dicintai pergi pula. Hemmm…" 

Datuk Tinggi usap dagunya yang ditumbuhi berewok 

lebat. Dia sudah siap melangkah untuk mendekati gadis itu 

namun niatnya terhenti ketika tiba-tiba dia menyaksikan 

sesuatu yang membuat darahnya menjadi panas dan 

mengalir cepat. Rangsangan nafsu segera menjalari setiap 

sudut tubuhnya yang tinggi besar. Sudah cukup lama dia 

tidak pemah melihat tubuh perempuan, apalagi me-

nyentuhnya. 

Di alas pasir sana, selagi buih ombak membasahi kaki-

nya, gadis berambut panjang itu tampak membuka baju 

ungunya. Baju yang ditanggalkan dicampakkan di atas 

pasir. Kelihatan punggungnya yang putih mulus. 

Nafas Datuk Tinggi Raja Di Langit mulai memburu. Dari 

mulutnya keluar suara menggeram. Matanya dipentanglebar-lebar. Lalu tampak gadis itu mulai membuka ikatan 

celana ungunya. Celana itu merosot sampal ke pinggul. 

Lalu tampak si gadis melangkah memasuki air laut. 

Setiap langkah yang dibuatnya membuat pakaiannya 

semakin merosot jatuh ke bawah. Di dalam air gadis itu 

kemudian kelihatan melemparkan pakaiannya yang 

terakhir ke dekat baju yang tadi dicampakkannya di atas 

pasir. Berarti di dalam air laut itu tak sepotong pakaianpun 

lagi melekat di badannya! 

Dengan tubuh bergetar dilanda nafsu Datuk Tinggi Raja 

Di Langit. melompat keluar dari balik batu karang dan lari 

menuju laut. 

Gadis di dalam air serta merta balikkan tubuhnya ketika 

mendengar ads orang mendatangi. Dia terpekik sambil 

cepat-cepat menutupi bagian dadanya yang berada di atas 

batasan air laut. Sepasang mata Datuk Tinggi membeliak 

melihat kepadatan tubuh sang dara. 

"Orang gagah bertubuh tinggi besar! Si... siapa kau...?!" 

si gadis bertanya dengan gagap. 

"Aku Datuk Tinggi Raja Di Langit! Jangan takut! Aku 

tidak menyakitimu...!" 

"Tapi Datuk mengintip saya mandi di laut! Sekarang 

malah datang mendekati Datuk nakal sekali!" 

Datuk Tinggi tertawa lebar. Dari nada ucapan si gadis 

jelas dia tidak marah. maka Datuk Tinggipun bertanya. 

"Gadis cantik, siapa namamu. Bagaimana tahu-tahu 

muncul di sini. Apa kau diam di pulau ini?" 

"Saya gadis malang Datuk. Says tengah mencari 

kekasih yang pergi. Entah masih hidup entah sudah tiada. 

Dan... dan... saya terkejut..." 

"Terkejut melihatku?!' 

"Betul... Terkejut karena... karena wajah kekasih yang 

hilang itu mirip sekali dengan Datuk..." 

"Ah...! Kalau begitu biarlah diriku menjadi penggantinya!" kata Datuk Tinggi pula lalu masuk ke daiam laut. 

"Datuk Apakah Datuk hendak menemani saya 

mandi...?" 

"Ya... Aku akan menemanimu mandi di laut yang sejuk 

itul" jawab Datuk Tinggi sambil terus melangkah. Air laut 

mencapai betisnya. 

"Tidak adakah orang yang akan melihat kita berdua-dua 

di sini?!" tanya si gadis. 

"Jangan kawatir. Pulau ini tidak berpenghuni!" 

"Ah... Tapi, apakah Datuk akan mandi dengan masih 

berpakaian seperti itu? Lucu...!" 

Datuk Tinggi tertawa bergelak. "Pucuk dicinta ulam tibal 

Gadis itu jelas minta agar aku menanggalkan pakaian!" 

kata sang datuk dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang 

dengan cepat sekali dia menanggalkan mantel hitamnya. 

Melemparkan mantel ini ke atas pasir. Mencapakkan topi 

tingginya. 

Kemudian membuka baju kuningnya. Kapak Naga Geni 

212 yang diselipkannya di pinggang juga dilemparkan 

dekat mentelnya hitamnya. Tak ketinggalan kantong kain 

berisi senjata rahasianya yaitu Mutiara Setan. Terakhir 

sekali kasut kulit yang masih merekat di kakinya terbang di 

udara. 

Sambil tertawa lebar dan mengangkat kedua tangannya 

Datuk Tinggi mendekati si gadis. 

"Datuk! Kejar saya!" kata si gadis lalu dia menyelam ke 

dalam air. 

"Kau akan kukejar kekasihku!" jawab Datuk Tinggi pula 

seraya masuk ke dalam laut lebih tengah. 

Pada saat itulah tiba-tiba dari balik batu-batu karang 

yang gelap berkelebat tiga sosok tubuh. Orang pertama 

maju menyambar Kapak Naga Geni 212 dan pakaian ungu 

sedang orang kedua melompat menyambar mantel hitam 

milik Datuk Tinggi. Orang yang ketiga membuat gerakananeh yaitu berguling seperti bola dan cepat sekali dia 

menyambar kantong kain berisi Mutiara Setan dengan 

mulutnya! Ketiga orang ini kemudian berjejer di tepi pasir. 

Dua tegak berkacak pinggang sedang yang yang tadi 

menyambar kantong senjata rahasia dengan mulutnya 

duduk di pasir! Kantong kain itu dijatuhkan dipangkuannya 

tapi sebelumnya dia telah memasukkan lima butir Mutiara 

Setan ke dalam mulutnyal 

***

Datuk Tinggi Raja Di Langit melompat dalam air untuk 

dapat menangkap tubuh gadis tadi. Tapi dia hanya 

menangkap air karena dengan cepat sekali gadis itu 

berenang ke tepi pasir. Begitu tubuhnya keluar laut orang 

yang tegak di tepi pasir sambil memegang Kapak Naga 

Geni 212 melemparkan pakaian ungunya. 

Dalam gelap malam gadis itu lari ke balik batu karang 

dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya kembali. Sesaat 

kemudian dia sudah bergabung dengan tiga orang tadi. 

Datuk Tinggi tentu saja terkejut besar melihat apa yang 

terjadi. Dia berenang ke tepi pasir tapi kedua kakinya 

kemudian berhenti ketika menyadari bahwa dirinya saat itu 

sama sekali tidak berpakaian. 

Sepuluh langkah dihadapannya berdiri orang tua ber-

tubuh dan bermuka jerangkong yang bukan lain adalah Tua 

Gila. Di sebelahnya tegak Pendekar 212 Wiro Sableng. Lalu 

duduk bersila adalah Nyanyuk Amber, kakek sakti tanpa 

mata, tanpa tangan dan tanpa kaki. Dari balik batu karang 

kemudian muncul Pandansuri yang saat itu telah 

mengenakan pakalan ungunya kembali. Gadis ini meng-

ambil saluangnya dari atas batu lalu berdiri di samping Tua 

Gila. Agak disebelah belakang Datuk Tinggi melihat murid 

Tua Gila berdirl di sebelah pembantu Nyanyuk Amber. 

"Celaka besar! Bagaimana bisa begini kejadiannya?! 

Bagaimana kedua orong yang disekap dalam makam batu 

Itu bisa lolos?! Mantelku...! Mutiaraku...!" 

Datuk Mata Tinggi memandang melotot pada Tua Gila 

yang memegang mantelnya, lalu memperhatikan dengan 

dada membara pada kantong senjata rahasianya yang adadi pangkuan Nyanyuk Amber. 

"Celaka! Bagaimana aku bisa lolos?!" Datuk Tinggi 

melirik ke arah pakaiannya yang tercampak di pasir. 

"Datuk Tinggil" terdengar Tua Gila berkata. "Kami 

memberi kesempatan padamu agar kau bisa mati 

berpakaian lengkap!" Orang tua ini menganggukkan 

kepalanya pada Pandansuri. 

Si gadis maju lalu dengan ujung saluangnya satu per-

satu pakaian Datuk Tinggi termasuk topi dan kasutnya di 

lemparkannya ke arah si pemilik. Pakaian, topi dan kasut 

itu terapung-apung di air laut. Datuk Tinggi belum bergerak 

untuk mengambilnya. 

"Ayo lekas kenakan pakaian, topi dan kasutmu!" 

beteriak Wiro. "Terlalu lama telanjang kau bisa masuk 

angin! Atau mungkin minta sahabatku gadis cantik ini 

membantumu mengenakan pakaianmu satu persatu?!" 

Tua Gila dan Nyanyuk Amber tertawa gelak-gelak. 

Paras Datuk Tinggi mengelam sedang wajah Pandansuri 

bersemu merah. 

"Kembalikan mantel hitam dan kantong kain itu!" mem-

buka mulut Datuk Tinggi untuk pertama kalinya. 

"Keluar dari dalam laut! Kau bisa mengambilnya 

sendiri!" jawab Tua Gila. 

Datuk Tinggi tidak bergerak. Mulutnya keluarkan suara 

menggeram. Tiba-tiba orang ini berlaku nekad. Dia keluar 

dari dalam air laut tanpa mengenakan pakaian sama 

sekali. Pandansuri cepat palingkan muka. 

"Kalian mau membunuhku lakukanlah cepat!" teriak 

Datuk Tinggi. Dia melangkah mendekat. Tiba-tiba dia me-

nubruk ke arah Nyanyuk Amber yaitu orang yang paling 

dekat. tangan kananya menyambar ke arah pangkuan si 

orang tua dimana dilihatnya terletak kantong kain berisi 

Mutiara Setan. 

Mulut kempot Nyanyuk Amber mengembung. Lalu 

kelihatan orang tua ini meniup. Sebuah benda hitam 

melesat di udara. Datuk Tinggi berseru kaget ketika 

mengenali benda itu bukan lain adalah senjata rahasianyasendiri! Terpaksa di membuang diri ke samping. Mutiara 

hitam melesat membabat rambut diatas telinganya. Datuk 

tinggi keluarkan keringat dingin! 

Datuk Tinggi ternyata masih dapat mempergunakan 

akalnya dalam keadaan kepepet Itu. Sambit mengelakan 

serangan senjata rahasia yang melesat dari mulut Nyanyuk 

Amber, dia sengaja membuat diri ke arah Tua Gila yang 

memegang mantel hitamnya. Dengan gerakan kilat dia 

berusaha merampas senjata Itu. Tap! Tua Gila tidak bodoh. 

Mantel ditangannya dikebutkan satu kali! 

Terdengar teriakan Datuk Tinggi. Tubuhnya terpental di-

hantam angin laksana badai yang keluar dari mantel sakti 

itu. Darah tampak mengucur dari hldungnya. Datuk Tinggi 

menggerang. Dengan kalap dia bangkit dan kembali 

hendak menyergap Tua Gila. Sekali ini gerakkannya ter-

tahan oleh tendangan kaki kiri Pendekar 212. Tubuhnya 

terlipat lalu tersungkur di pasir, megap-megap sulit ber-

nafas. 

"Kalian bunuh saja diriku! Bunuh saja!" teriak Datuk 

Tinggi. "Manusia-manusia pengecut! Beraninya main 

keroyok!" 

Tua Gila mendengus. Mantel ditangannya diserahkan 

pada Pendekar 212. 

"Kalau kau ingin perkelahian satu lawan satu, tua 

bangka ini siap melayanimu! Coba perlihatkan kembali 

ilmu silat Orang Gila ciptaanmu itu!" 

Seperti diketahui, selama empat tahun Datuk Tinggi 

memang telah menyiapkan did merancang sendirl Ilmu 

pemunah ilmu silat Tua Gila. Merasa mendapat 

kesempatan maka Datuk Tinggi segera berdiri lalu 

menyerbu Tua Gila. Tapi dia lupa, kekuatan tenaga dalam-

nya sebenarnya ada pada mentel hitam sakti yang kini 

tidak dimilikinya lagi. Setelah menempur dengan jurus-

jurus hebat selama beberapa kali gebrakan akhirnya Tua 

Gila berhasil menghantamkan tangan kanannya, ke dada 

Datuk Tinggi. 

Darah muncrat dari Datuk Tinggi. Tubuhnya terjengkangdi pasir. Pada seat itu sambil tertawa mengekeh Tua Gila 

tunjukkan kesaktiannya. Benang Kayangan yang ditelannya 

dan mendekap dalam perutnya sejak beberapa hari di-

muntahkannya kembali. Lalu dengan benang sakti itu di-

ringkusnya kedua kaki Datuk Tinggi. Sekali dia melangkah 

maka terseretlah tubuh Datuk Tinggi. Wiro segera meng-

ikuti. Saringgih cepat mendukung Nyanyuk Amber dan 

Malin Sati mengikuti dari belakang. 

Selama tubuhnya diseret Datuk Tinggi menjerit-jerit 

tiada henti. Sekujur tubuh den mukanya luka berkelukuran. 

Rombongan orang-orang itu akhimya sampai di lapangan 

kecil di tengah pulau di mana dua makam terletak dalam 

keadaan terbuka. 

Datuk Tinggi segera maklum apa yang akan terjadi atas 

dirinya. Maka diapun meraung setinggi langit! 

Tua Gila menyeringai. Tangannya yang memegang 

benang sakti digerakkan. Benang menggeletar. Tubuh 

Datuk Sakti terbetot lalu melayang masuk ke dalam 

makam di mana Tua Gila disekap sebelumnya! 

"Jangan! Keluarkan aku! Ampun! Aku masih ingin 

hidup!" teriak Datuk Tinggi berulang kali sampai suaranya 

parau. 

Tua Gila berpaling pada muridnya. "Sati! Kau tahu apa 

tugasmu!" 

Anak enam tahun ini segera melompat ke bagian 

belakang kepala makam. Dengan kakinya dia menekan 

kuat-kuat batu hitam yang merupakan alat rahasia penutup 

bagian atas makam. Terdengar suara berdesir. Lalu batu 

penutup makam itupun jatuh dengan suara keras! Jeritan 

Datuk Tinggi sertat merta lenyap. 

Pendekar 212 menggaruk kepalanya. Mantel hitam 

yang sejak tadi pegangnya dilemparkannya ke dalam 

makam batu di mana sebelumnya dia disekap. Nyanyuk 

Amber mengatakan sesuatu pada pembantunya. Saringgih 

kemudian mengambil kantong kain berisi Mutiara Setan 

dari balik pinggang pakaian orang tua itu lalu 

melemparkannya ke dalam makam."Semuanya berakhir sudah…!" kata Tua Gila dan 

kembali dia memberi isyarat pada muridnya. Malin Sati 

sekali lagi pergunakan kaki untuk menekan batu hitam. 

Sekali ini yang terletak di belakang makam dimana Wiro 

sebelumnya mendekam. Bagian atas makam menderu 

turun setelah lebih dahulu terdengar suara berdesir. 

Sesaat keadaan di tempat itu tenggelam dalam 

kesunyian. Tiba-tiba terdengar suara Nyanyuk Amber 

bergumam seperti menelan sesuatu. 

"Senjata setan itu masih tertinggal dimulutku!" kata 

Nyanyuk Amber, lalu dia meniup keras-keras. Dua buah 

mutiara hitam menyambar dalam gelapnya malam. 

Terdengar suara benda keras pecah berantakan. Yang 

hancur adalah batu hitam alat rahasia yang dapat menutup 

dan mernbuka makam batu di sebelah kiri. Sekali lagi 

orang tua itu menlup. Dan buah mutiara setan yang masih 

bersisa dalam mulutnya meleset menghancurkan batu 

hitam kedua di belakang makam sebelah kanan. 

"Sekarang urusan benar-benar beres!" kata Nyanyuk 

Amber. "Manusia iblis itu tak mungkin keluar selamatkan 

diri! Mantel dan senjata setannya tak mungkin jatuh ke 

tangan orang lain!" 

"Masih ada yang perlu dirapihkan!" Pendekar 212 Wiro 

Sableng keluarkan ucapan sambil mencabut Kapak Maut 

Naga Geni 212 dari pinggangnya. "Tua Gila dan Wiro 

Sableng belum pernah mati!" 

Lalu senjata itu berkiblat dua kali. Suara gemuruh 

seperti tawon mengamuk disertal sinar panas menyilaukan 

berkelebat. 

Traaakkk! 

Traaakkk! 

Duo batu nisan hitam masih tampak berdiri di kepala 

kedua makam batu. Tapi bagian atas yang bergurat nama 

Tua Gila dan Wiro Sableng telah dipapas putus! 

Sambil menyeringal dan garuk kepala Pendekar 212 

berpaling ke arah Pandansuri yang tegak di sampingnya. 

"Aku ini manusla tidak sopan. Sejak tadi belum sempatmenegurmu. Apa kabar sahabatku cantik jelilta? Apakah 

kau hendak mengajakku mandi bersama di laut malam 

ini?!" 

Paras Pandansuri menjadi cemberut. Gadis ini meng-

angkat tangannya hendak menampar wajah Pendekar 212. 

Tapi Wiro melihat gerakan itu perlahan saja tanda sang 

dara tidak sungguhan hendak menamparnya. Wiro cepat 

menangkap tangan itu lalu mendekatkannya ke hidungnya 

dan menciumnya dengan mesra. 


TAMAT








0 komentar:

Posting Komentar