BTemplates.com

Blogroll

Senin, 16 Juni 2025

RORO CENTIL EPISODE ULAR BETINA SELAT MADURA


 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


SATU


PERAHU PESIAR itu melaju pelahan membelah ombak, me-

ninggalkan anjungan di depan pesanggrahan mewah ditepi pantai itu. 

Udara malam itu agak dingin. Langit cerah tak berawan. Rembulan 

tak begitu penuh, mengambang di langit menerangi pesisir pantai 

yang indah itu. Dari dalam perahu pesiar yang semakin menjauh ke

tengah laut itu terdengar suara tertawa perempuan cekikikan. Di pe-

rahu pesiar itu duduk diburitan perahu, seorang gadis berbaju merah. 

Dialah si pendayung perahu.

Laki-laki gendut yang belum begitu tua tampak tengah ber-

cengkrama dengan seorang wanita muda berbaju sutera warna hijau. 

Berwajah cantik dengan dandanan yang mempesona. Pakaiannya dari 

sutra yang tipis. Mengenakan untaian kalung menghias di lehernya 

yang jenjang.

Sebentar-sebentar terdengar tawanya yang mengikik, ketika 

dengan binal lengan si laki-laki gendut itu menggerayang kecelah da-

danya, atau menggelitik ke pinggang dara cantik itu. Sementara si 

pendayung perahu seolah tak peduli dengan semua itu. Dia tetap 

menjalankan tugas mengayuh perahu. Wanita pendayung perahu itu 

adalah pegawai dari pesanggrahan "MELATI" yang berdiri tegar 

dengan memewahannya di pesisir pantai utara itu. Dia tahu kalau wa-

nita muda dan cantik itu adalah orang baru. Dan bahkan baru malam 

ini dia menerima tetamu dari majikannya. Dan dia disamping sebagai 

pendayung perahu pesiar itu, juga sebagai pengawal yang telah diberi 

tugas untuk "menjaga" sang tamu. Karena banyak kejadian sang te-

tamu sehabis melakukan kencan, tak membayar dan lenyap tak keta-

huan kemana perginya. Juga pernah ada yang membawa kabur pera-

hu pesiar.

Kalau si pendayung perahu yang juga pengawal pesanggrahan 

itu seorang wanita, tentu dapat dibayangkan dan diduga si wanita itu 

seorang yang punya ilmu kedigjayaan. Menilai dari pakaiannya serta 

potongan tubuhnya setidak-tidaknya si laki-laki gendut itu seorang 

saudagar kaya. Untuk bercuriga dengan bangsawan ini adalah tidak 

mungkin. Bahkan orang yang dikenal telah menjadi langganan tetap,


yang sering berkunjung ke Pesanggrahan Melati itu. Itulah sebabnya 

si gadis pendayung perahu tampak tenang- tenang saja bahkan dari 

mulutnya terdengar suara siulannya yang terdengar pelahan melagu-

kan nada-nada dalam satu nyanyian.

Sreeek! Sreeek...! Tirai jendela di perahu pesiar itu telah ditu-

tupkan. Si wanita pendayung perahu telah hentikan gerakan tangan-

nya mendayung. Kini perahu pesiar itu terombang-ambing perlahan 

diatas ombak yang tenang. Sementara didalam ruangan perahu pesiar 

itu.

"Hihihi... mengapa tuan terlalu terburu-buru ... ah, masih sore 

begini. Apakah tak sebaiknya kita melihat pemandangan indah dima-

lam hari ini lebih dulu?" berkata si wanita.

"Pemandangan diluar sudah terlalu sering kunikmati, sayang...! 

Aku merasa pemandangan didalam ruangan ini lebih indah!" menya-

hut si bangsawan. Sementara lengannya telah bergerak membuka 

kancing bajunya. Terlihat dadanya yang gemuk berisi. Perut yang 

buncit. Dan dari atas pusar sampai kecelah dada laki-laki bangsawan 

itu tampak ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.

"Oh, ya...! Kau bernama Andini, bukan...? Tampaknya kau se-

perti malu-malu atau takut menghadapiku? Hehehe... jangan begitu, 

sayang...! Aku telah membayar mahal. Layanilah aku seperti melaya-

ni suamimu sendiri..." berkata si bangsawan. Seraya rebahkan tubuh-

nya disisi wanita itu. Lengannya bergerak untuk memeluk. Akan te-

tapi wanita itu segera menangkap tangannya dengan lembut.

"Ih, siapa yang tidak takut? Aku baru sekali ini melayani teta-

mu. Kalau aku takut adalah wajar menyahut si wanita.

"Kau masih perawan?" bertanya laki-laki bangsawan itu. Pan-

dangannya semakin nanar melihat kebalik pakaian tembus yang 

memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita itu. Jelas terpandang 

kemontokan tubuh wanita. Sementara napasnya semakin menggebu 

menahan hawa rangsangan yang semakin menggelutinya.

"Aku sudah pernah bersuami, walaupun suamiku belum sempat 

menjamah tubuhku!"

Terhenyak laki-laki gendut itu mendengar jawaban si wanita.

"Mengapa dengan suamimu?" tanyanya.

"Dia mati mendadak..."


"Ooooh ...! Serangan penyakit?"

"Tidak! Dia mati dibunuh orang!" sahut si wanita.

Terdiam sejenak laki-laki bangsawan itu.

"Kasihan..." ucapnya lirih. "Dan... kau lari ke Pesanggrahan ini 

karena kesepian ...?" pancing laki-laki itu.

"Apakah tuan-pun datang kemari karena kesepian...?" balik ber-

tanya wanita itu.

Laki-laki bangsawan itu tertawa hambar.

"Hahaha... benar! Benar sekali ucapanmu, Andini...! Kau... kau 

teramat cantik. Kaulah pengobat kesepianku malam ini..."

Sekonyong-konyong laki-laki itu bangkit. Dan tak sabar lagi 

lengannya sudah memeluk tubuh wanita itu. Dengus napasnya sema-

kin nyata. Matanya semakin nyalang. Tertegun wanita ini dengan ma-

ta membelalak. Hatinya memaki. "Ooo, laki-laki jalang, pengumbar 

nafsu terkutuk! Kau telah jadi budak nafsumu sendiri...!"

Perahu pesiar itu yang terombang-ambing pelahan, kini jadi 

bergoyang keras terguncang-guncang. Gadis pendayung perahu itu 

tersenyum.

Matanya cuma melirik ketirai jendela kamar perahu. Lalu di-

alihkan menatap ke laut lepas. Lengannya meraih kendi berisi arak. 

Diteguknya beberapa tegukan. Dia perdengarkan tertawa kecil. Sisa 

arak dituangkannya kelaut...

***

Semilir angin malam yang berhembus membuat mata menjadi 

mengantuk. Wanita pendayung perahu itu sandarkan punggungnya 

kesisi perahu diburitan itu. Sepasang matanya seperti malas untuk di-

pentang. Dan kelopak mata itupun digerakkan untuk mengatup.

Goyangan perahu telah kembali tenang. Agak lama dia pejamkan ma-

ta. Dan tak terasa dia telah tertidur sejenak. Akan tetapi sepasang ma-

ta gadis pendayung perahu itu jadi membelalak terbuka. Dan dia ter-

lonjak kaget seperti dipagut ular. Apakah gerangan yang membuat 

dia terkejut? Kiranya air laut yang dingin itu telah meresap dari dasar 

perahu membasahi kakinya.


Tersentak dia karena melihat perahu sudah terendam air hingga 

sepertiga bagian.

"Celaka...!? Perahu tenggelam!" terdengar teriakannya tertahan. 

Wanita pendayung perahu ini sudah melompat untuk membuka tirai 

pintu perahu.

Apakah yang dilihatnya didalam ruangan itu? Si bangsawan se-

tengah tua itu tertelungkup dipembaringan yang sudah tergenang air 

tanpa bergerak-gerak dalam keadaan telanjang bulat. Sekitar tubuh-

nya tampak ada bercak darah bersimbahan, yang telah bercampur 

dengan air laut yang menggenangi pembaringan. Membasahi kasur 

dan bantal. Dan yang membuat dia terkejut adalah, wanita muda yang 

menjadi "gula-gula" dari Pesanggrahan Melati itu telah lenyap tak ke-

lihatan batang hidungnya.

"Hah!? Apakah yang telah terjadi?" sentaknya kaget. Sekali 

bergerak dia telah melompat kepembaringan. Ketika membalikan tu-

buh laki-laki gendut itu, ternyata si bangsawan setengah tua telah tak 

bernyawa lagi. Karena tulang lehernya telah patah. Tentu saja mem-

buat si wanita pendayung perahu jadi membeliakkan mata dengan 

terkejut. Namun tak bisa berlama-lama untuk berada diruangan kamar 

perahu pesiar itu. Tampak air bergolak dari lantai ruangan yang pa-

pannya telah ambrol.

"Celaka...!? Perahu sebentar lagi akan karam. Aku harus me-

nyelamatkan diri...!" berdesis wanita pendayung perahu itu. Segera 

dia melompat lagi keluar. Tak ada jalan lain selain harus berenang. 

Maka... BYUUURRR! Wanita itu telah terjun ke air. Selanjutnya dia 

harus kerahkan tenaga untuk berenang ketepi. Jarak dari perahu yang 

mulai karam itu dengan anjungan disisi laut cukup jauh. Namun ter-

paksa ditempuhnya dengan berenang. Karena tak ada jalan lain lagi..

Terengah-engah dia sampai ketepi, dengan lemah lunglai. Te-

naganya serasa hilang terkuras seluruhnya. Ketika dia palingkan mu-

ka untuk melihat ke tengah, perahu pesiar itu telah lenyap tenggelam.

"Edan! Apakah yang telah terjadi? Apakah perbuatan perem-

puan bernama Andini itu ataukah ada orang lain yang telah melaku-

kannya dari bawah air?" menggumam wanita pendayung ini. Sukar 

untuk menerka pelaku kejadian itu. Bisa saja Andini telah ditolong 

orang berilmu tinggi dan melarikannya. Bisa juga Andini yang telah


melakukan semua itu. Tapi yang jelas dia harus melaporkan kejadian 

itu pada sang Ketua, majikannya. Dan yang jelas pula dia pasti akan 

kena dampratan. Mungkin juga hukuman. Karena dia tahu persis adat 

sang Ketua Pesanggrahan Melati yang berwatak kejam.

"Apa boleh buat! Aku tak bisa berbuat apa-apa..." bisiknya ber-

desis. Dan dia segera merayap ke darat. Cahaya rembulan agak re-

mang-remang ketika segumpal awan hitam melintas. Gadis pen-

dayung perahu ini tak mempedulikan cuaca lagi. Karena hatinya ten-

gah dilanda kemelut.

Akan tetapi baru dua tiga tindak dia melangkah. Sesosok tubuh 

tahu-tahu berkelebat dihadapannya. Tersentak kaget wanita pen-

dayung perahu ini. Namun dia mengeluh. tubuhnya terkulai serasa 

lumpuh. Karena dengan gerakan cepat sosok tubuh itu telah meno-

toknya. Untuk berbuat sesuatu sudah tak mungkin lagi, karena den-

gan gerakan cepat sosok tubuh itu telah memondongnya. Dan melari-

kannya dengan cepat. Ternyata sosok tubuh berbaju serba hitam yang 

tak kelihatan wajahnya karena mengenakan topeng. Apalagi cuaca 

sedang gelap. Si wanita pendayung perahu dibawa berkelebat, dengan 

meletakkan tubuhnya pada pundaknya. Sekejap antaranya sosok tu-

buh itu telah lenyap disisi pantai laut utara itu diantara semak belukar.

***

DUA


"HAH!? KAU... KUNTALI...?" tersentak si wanita pendayung 

perahu ketika sosok tubuh itu membuka topeng penutup wajahnya. 

Ternyata dia seorang wanita. Bahkan sudah dikenal baik oleh wanita 

pendayung perahu itu.

"Benar, aku sengaja menolongmu, Windarti, karena aku tak 

mau melihat kau mendapat hukuman dari Ketua!" menyahut wanita 

berbaju hitam itu, yang ternyata orang Pesanggrahan Melati juga.

"Oh, mengapa kau lakukan ini? Kau akan mendapat kesulitan 

bila diketahui oleh Ketua. Bukan saja kau, akupun akan susah ja


dinya. Ketua takkan membiarkan kita meloloskan diri begitu saja!" 

Ujar Windarti sesali tindakan sahabatnya.

"Hm, tak perlu khawatir! Aku memang sudah tidak betah ting-

gal ditempat maksiat itu. Kita cuma dijadikan alat saja untuk kepen-

tingan Ketua! Aku memang telah merencanakan untuk melarikan di-

ri!" berkata tegas Kuntali yang cetuskan isi hatinya.

"Sebenarnya akupun demikian Kuntali, tapi aku tak berani me-

lakukannya. Kau tahu sendiri betapa bengisnya Ketua bila anak 

buahnya ada yang berani melarikan diri. Cuma satu jalan bagi si pe-

laku, yaitu kematian!" menyahut Windarti.

Seraya bangkit untuk duduk, ketika Kuntali membebaskannya 

dari totokan.

"Apa rencanamu kini Kuntali? Dan kita berada diwilayah ma-

na? Pondok siapakah ini?" tanya gadis pendayung perahu itu mem-

perhatikan isi ruangan kamar persegi yang tak seberapa lebar, itu.

"Tenanglah sobatku. Tempat ini aman. Tak mudah orang men-

getahuinya. Sekarang gantilah pakaianmu yang basah itu!" ujar Kun-

tali seraya buka buntalan yang diambilnya dari sudut ruangan, dan 

berikan satu setel pakaian untuknya.

"Kau membawa serta pakaianmu?"

"Ya! Telah lama kupersiapkan...!"

Bergegas gadis pendayung perahu itu membuka pakaiannya. 

Lalu menggantinya dengan pakaian kering dan bersih dari sang ka-

wan. Seraya mengenakan baju, Windarti bertanya.

"Apakah kau telah mengetahui kejadian tenggelamnya perahu 

pesiar dalam kawalanku itu?"

"Bukan saja mengetahui, bahkan rencana penenggelaman pera-

hu itu aku mengetahui...!" menyahut Kuntali.

"Hah!? Kau yang telah membolongi perahu itu dari bawah air?" 

tanya Windarti dengan terkejut. Akan tetapi Kuntali hanya tertawa 

kecil.

"Hihihi... bukan aku yang melakukan, tapi kawanku!"

"Kawanmu? Siapakah...? Apakah dia yang

telah melarikan orang baru yang diumpankan Den Bei Simo 

Kromo itu?" tersentak Windarti si wanita pendayung.

"Bukannya orang baru itu yang dilarikan kawanku. Tapi ka


wanku itulah si orang baru yang menjadi umpan laki-laki tua hidung 

belang itu!" menyahut Kuntali dengan tersenyum. "Dia bernama Pu-

kat Inten yang bergelar si ULAR BETINA SELAT MADURA....!"

Membelalak sepasang mata Windarti. Tentu saja penjelasan 

kawannya itu membuat dia terperangah.

"Ular Betina Selat Madura...?" desisnya tersentak. "Jadi si pe-

rempuan anggota baru dari Pesanggrahan Melati yang kukawal itu 

adalah dia?" berkata dalam hati wanita bernama Windarti ini. Win-

darti memang telah mendengar nama gelar yang pernah membuat he-

boh dikalangan para saudagar di Selat Madura. Wanita berkepandaian 

tinggi itu gerak-gerik serta sepak terjangnya sukar diduga. Berita ten-

tang munculnya si Ular Betina Selat Madura baru muncul beberapa 

bulan yang lalu. Namun sejak lebih dari dua bulan terakhir ini tak 

terdengar lagi beritanya.

"Kau... kau bisa bersahabat dengan dia...? Sejak kapan kalian 

menjalin persahabatan dengannya?" tanya Windarti ingin tahu. Se-

mentara diam-diam hatinya bergidik melihat kekejaman si Ular Beti-

na itu yang telah membunuh bangsawan tua itu dengan mematahkan 

lehernya. Namun diam-diam dia bersyukur karena terhindar dari ben-

cana. Karena secara akal sehat dia adalah anggota komplotan dari Pe-

sanggrahan Melati yang diketuai oleh sepasang suami-istri yang be-

rada di jalur sesat! Komplotan itu secara sembunyi-sembunyi mela-

kukan kejahatan menculik wanita-wanita cantik. Untuk diumpankan 

atau dijual pada para bangsawan kaya, atau orang-orang asing. Pe-

sanggrahan itu bahkan merupakan tempat berkumpulnya para penja-

hat yang memperjual-belikan wanita cantik, untuk dikirim keperbagai 

wilayah.

Bahkan pesanggrahan itu merupakan satu tempat yang tersem-

bunyi yang melayani pesanan dari perbagai kalangan. Adapun gadis 

pendayung perahu bernama Windarti dan kawannya yang bernama 

Kuntali itu bisa terperosok menjadi orang-orang atau anak buah Pe-

sanggrahan Melati adalah karena secara tidak langsung mereka telah 

menjadi murid-murid dari sang guru mereka yang menjadi Ketua 

perguruan. Kisahnya adalah sebagai berikut:

Windarti dan Kuntali serta beberapa rekan wanita lainnya ada-

lah murid wanita dari Perguruan CEMPAKA BIRU, sebelum adanya


Pesanggrahan Melati. Guru mereka seorang wanita tua yang berilmu 

tinggi bernama Nini CANDRA GUMINTANG. Wanita tua itu me-

nyembunyikan gelarnya pada murid-murid mereka. Hingga tak seo-

rangpun dari para muridnya mengetahui gelarnya dalam dunia Rimba 

Hijau.

Windarti dan Kuntali adalah dua sahabat yang paling akrab se-

jak mereka sama-sama berguru pada wanita kosen itu. Diantara enam 

murid-murid wanita, (cuma ada tiga orang murid laki-laki) salah seo-

rang adalah murid yang paling tua, bernama NAGASARI. Wanita 

itulah murid utama dalam Perguruan Cempaka Biru yang paling di-

andalkan oleh sang guru. Terkadang dia mewakilkan gurunya untuk 

memberi pelajaran pada mereka-mereka yang tingkatannya dibawa-

hannya.

Selama dua tahun mereka berguru, suatu ketika sang guru jatuh 

sakit. Tentu saja membuat murid-murid menjadi gelisah. Secara tak 

langsung pimpinan Perguruan diserahkan sementara kepada Nagasa-

ri. Penyakit sang Guru semakin parah tampaknya. Hal mana mem-

buat Nagasari mengusulkan untuk membawa gurunya kesuatu tempat 

dimana terdapat seorang tabib. Konon khabarnya tabib itu seorang 

yang ahli yang dapat menyembuhkan perbagai penyakit yang berat 

sekalipun. Berita adanya tabib itu datangnya dari seorang laki-laki 

muda bertampang gagah yang telah menjalin hubungan intim dengan 

Nagasari. Dia bernama BEGUK REKSASANA. Seorang laki-laki 

bangsawan yang khabarnya bekas seorang Adipati yang mengundur-

kan diri dari jabatannya.

Laki-laki gagah itu diketahui sering datang dan banyak mem-

bantu penyembuhan penyakit sang guru dengan memberikan berma-

cam obat-obatan. Akan tetapi penyakit guru mereka semakin hari se-

makin parah. Bermacam obat dan jamu telah diminum. Namun hasil-

nya tiada kelihatan. Hal mana membuat Nagasari juga para murid 

lainnya menjadi cemas. Demikianlah, Beguk Reksasana memberi sa-

ran untuk membawa sang guru keseorang tabib yang cuma dia yang 

mengetahui tempatnya. Bahkan dia akan berusaha sekuat tenaga un-

tuk membantu penyembuhan penyakit sang guru mereka.

Wanita tua bernama Candra Gumintang itu cuma pasrah akan 

apa yang diperbuat muridnya. Karena dia sudah tak berdaya apa-apa.


Bahkan untuk bicara pun dia sudah tak sanggup. Keadaannya sung-

guh amat mengkhawatirkan. Dengan sebuah tandu sang guru di-

usung. Cuma dua orang murid laki-laki saja yang turut serta untuk 

bantu menggotong tandu, karena selebihnya harus tinggal menjaga 

pesanggrahan. Juga perintah dari Nagasari tak bisa dibantah, karena 

tak menginginkan terlalu banyak orang yang turut serta.

Sebulan kemudian Nagasari kembali lagi bersama Beguk Rek-

sasana juga kedua murid laki-laki saudara Seperguruan mereka. Na-

gasari berkata dengan air mata menitik, mengatakan bahwa sang guru 

telah meninggal dunia. Penyakitnya terlalu berat. Hingga sukar dioba-

ti lagi. Terkejut Windarti juga rekan-rekannya yang memang telah 

gelisah karena tak seorangpun dari saudara seperguruan mereka yang 

datang memberi khabar mengenai kesehatan sang guru sejak dibawa 

ke tempat tabib itu.

Tentu saja membuat mereka jadi berdesih, juga terkejut. "Kita 

tak bisa menentang takdir, saudara-saudaraku...! Kematian adalah di-

tangan Yang Maha Kuasa. Walau kami telah berdaya sekuat tenaga 

untuk menyelamatkan nyawa guru namun apa mau dikata kalau ki-

ranya umur sang guru kita yang amat kita cintai itu cuma sampai dis-

itu! Tiga pekan sejak beliau dirawat oleh tabib sakti itu, sang guru 

berpulang dengan tenang...!" ucap Nagasari dengan suara menggetar.

Windarti dan sesama saudara seperguruannya tertunduk dengan 

hati mencelos. Harapan mereka sia-sia belaka. Wajah-wajah duka 

tampak membayang disetiap murid-murid yang amat mencintai gu-

runya itu.

"Apakah beliau tak meninggalkan pesan terakhir...?" bertanya 

Kuntali, gadis yang amat akrab sekali dengan Windarti itu.

"Ada...! Beliau menyerahkan pimpinan di perguruan Cempaka 

Biru ini padaku. Dan, beliau ada pula menulis dalam surat wasiat, 

yang agaknya telah lama dibuat ketika sakitnya belum parah. Nah, 

kalian dapat membacanya bergantian...!" sahut Nagasari. Seraya beri-

kan sehelai kertas kulit pada Kuntali.

Pada surat itu benar tertera tulisan tangan sang guru sendiri 

yang mengatakan pimpinan pada perguruan Cempaka Biru diserah-

kan pada Nagasari. Dan mereka diharuskan tunduk dan patuh pada 

pimpinan yang baru, walaupun yang memimpin perguruan adalah


kakak tertua seperguruan mereka. Dibagian bawah tulisan surat wa-

siat itu tertera tanda-tangan guru mereka.

Berganti-ganti mereka membaca hingga semua kebagian. De-

mikianlah! Mau tak mau mereka harus mempercayai surat wasiat itu. 

Walau sebenarnya Kuntali merasa agak curiga dengan Nagasari. Na-

mun dua laki-laki saudara seperguruan mereka yang turut serta me-

nyaksikan pemberian surat wasiat itu melenyapkan kecurigaan Kun-

tali, yang selalu dibisikkan pada Windarti. Bahkan kedua laki-laki 

saudara seperguruan itu berani bersumpah akan kebenaran yang telah 

dilihatnya dengan mata-kepala mereka sendiri.

Begitulah...! Pesanggrahan Cempaka Biru tak lama segera ditu-

tup oleh Nagasari. Dan diganti dengan nama Pesanggrahan MELATI. 

Juga lokasi pesanggrahan telah dipindahkan kepesisir pantai laut di-

wilayah utara Pulau Jawa. Disana ada sebuah Gedung Pesanggrahan 

kuno yang khabarnya telah dibeli dan diperbaharui oleh Beguk Rek-

sasana yang telah menjadi suami Nagasari. Pernikahan mereka di-

langsungkan didepan jenazah Nini Candra Gumintang yang tanpa 

disaksikan Windarti, dan rekan-rekannya. Kecuali dua laki-laki sau-

dara seperguruan mereka yang menjadi saksi-saksi nyata...

***

TIGA


"KATAKANLAH Kuntali, sejak kapan kau bersahabat dengan 

dia... ?" Rasa penasaran karena ingin tahu, juga seperti mau menye-

lami hati sang kawan Windarti kembali ajukan pertanyaan. Seper-

tinya ada nada "kecemburuan" dari kata-kata yang diucapkan gadis 

ini. Apakah sebenarnya yang terkandung dihati wanita pendayung 

ini.?" Dan "persahabatan" macam apakah antara kedua saudara se-

perguruan ini...?

"Windarti...!" terdengar menyahut Kuntali. Sepasang matanya 

menjalari tubuh gadis dihadapannya yang tengah bersalin pakaian. 

"Jangan khawatir! kita tetap bersahabat. Persahabatanku dengannya


tak lebih dari persahabatan biasa! Percayalah! kulakukan semua ini 

karena aku... aku amat mengkhawatirkan keselamatanmu...!" Seraya 

berkata. Kuntali melangkah dua tindak mendekati Windarti. Lengan-

nya meraih dagu gadis pendayung itu.

"Sungguhkah ucapanmu...?" berkata Windarti, sementara ha-

tinya tergetar. Dan terasa begitu bahagianya mendengar kata-kata itu. 

Kuntali mengangguk. Bibirnya tersenyum.

"Ah, Kuntali...! Serasa aku tak sanggup berpisah denganmu...!" 

suara Windarti mendesah. Pakaian yang baru mau dikenakan itu me-

rosot kembali. Dan... tiba-tiba saja Windarti telah mendekap Kuntali 

erat-erat. Kedua gadis itu berpelukan seperti sepasang sejoli. Tapi ini 

lain. Karena mereka sama-sama satu jenis. Yaitu wanita... Sungguh 

sukar diduga kalau kiranya "persahabatan" Windarti dan Kuntali se-

perti layaknya sepasang suami-istri. Kuntali yang telah mulai dijalari 

hawa rangsangan seperti juga saat-saat dimana mereka sering menga-

dakan pertemuan, segera meloloskan pakaiannya. Kelanjutannya me-

reka bagaikan "bayi-bayi" yang baru saja dilahirkan. Tanpa sehelai 

benang melekat ditubuh. Dan... sukar untuk diceritakan. Karena me-

reka tak ubahnya bagaikan dua ekor ular yang saling menggeliat den-

gan memperdengarkan desahan-desahannya...

Pintu pondok itu tiba-tiba berderit terbuka. Dan..., satu suara 

dingin terdengar mencengkam.

"Bagus! kiranya kalian bersembunyi disini...?" Tersentak kedua 

gadis itu bagaikan dipagut ular berbisa. Seketika melompat untuk 

masing-masing menyambar pakaiannya. Dan tertegun menatap keha-

dapannya, karena sang Ketua alias NAGASARI telah berdiri bertolak 

pinggang dengan senyum sinis menghias dibibir. Akan tetapi saat itu 

juga lengan Windarti disambar oleh Kuntali. "Cepat kita melarikan 

diri...!" desis gadis itu.

BRRAAK! lengannya menghantam jendela. Dan detik berikut-

nya, Kuntali telah mendahului melompat. Tak ayal Windarti segera 

menyusul. Selanjutnya kembali Kuntali mencekal lengan "saha-

bat"nya itu untuk diajak berlari cepat menyelamatkan diri. Tapi pada 

saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan.

"Berhenti! kalian telah terkepung! lebih baik menyerah. Mung-

kin hukuman bagi kalian tidak terlalu berat!" Bersamaan dengan sua


ra itu, dua sosok tubuh telah melompat menghadang didepan mereka. 

Tersentak kaget kedua gadis ini, karena dalam sorotan cahaya rembu-

lan segera diketahui siapa mereka yang menghadang.

"Tapak Doro, Binangun...!" menyingkirlah! jangan halangi ka-

mi!" membentak Kuntali dengan sengit. Betapa amat mendongkolnya 

dia karena dicegat kedua orang saudara seperguruannya itu.

"Hahaha ... kami hanya menjalankan perintah Ketua!" menya-

hut salah seorang dari dua laki-laki itu. Sementara kedua pasang mata 

mereka jadi membinar menatap kedua tubuh gadis dihadapannya 

yang tak berpakaian. Aurat mereka ditutupi dengan pakaian mereka 

sebatas dada kebawah.

Tapak Doro dan Binangun saling pandang sejenak, lalu tertawa.

"Hahahaha... dalam keadaan melarikan diri, masih sempat-

sempatnya kalian mengadakan hubungan. Kalian memang gadis-

gadis aneh! mengapa tak menyenangi laki-laki?" berkata Tapak Doro

"Benar! kami bisa memberi kepuasan lebih penuh terhadap ka-

lian. Sayang kalian tak pernah memberi kesempatan...!" timpal Bi-

nangun dengan tertawa menyeringai. Panas rasanya muka Kuntali. 

Tapi dia cepat menarik lengan Windarti untuk diseret cepat, melesat 

pergi dari situ. Situasi tak memungkinkan untuk Kuntali adu mulut. 

Baginya keselamatan diri mereka lebih penting saat itu. Melihat ke-

dua gadis itu melarikan diri, tentu saja dua laki-laki satu perguruan ini 

segera mengejar.

Bahkan salah seorang telah lemparkan tali laso yang telah di-

persiapkan.

WHUUT!... Krep! Luncuran tali laso yang memang sudah di-

kuasai secara matang oleh Tapak Doro berhasil menjerat tubuh Win-

darti. Tentu saja cekalan tangan Kuntali pada lengan Windarti terle-

pas seketika. Karena dia berada dibagian belakang. Apalagi Windarti 

dalam keadaan panik yang menuruti saja tarikan tangan Kuntali hing-

ga dia sukar untuk membuat gerakan. Itulah sebabnya dia dengan 

mudah terkena jeratan tali laso. Padahal dalam keadaan biasa Win-

darti tentu dapat menghindari serangan tali laso itu. Seperti diketahui 

Kuntali bukanlah seorang wanita berkepandaian rendah.

"Bedebah...!" memaki Kuntali dengan terkesiap kaget. Secepat 

kilat melompat untuk meraih lagi tubuh Windarti. Tapi sekali sentak


tubuh Windarti jatuh bergulingan. "Keparat kalian...!" membentak 

gadis ini dengan geram juga dengan hati trenyuh. Betapa tidak. Dia 

gagal melarikan diri karena tertahan oleh kedua laki-laki saudara se-

perguruannya itu. Apalagi didengarnya Windarti mengeluh panjang 

dan jatuh terjerembab bergulingan.

"Lepaskan dia...! aku akan adu jiwa denganmu!" teriak Kuntali 

dengan kalap. Lalu kembali melompat dengan menggerung bagai 

singa. Tapi... BUK! menjerit wanita muda ini karena satu pukulan te-

lak telah lebih dulu menghantam punggungnya. Terguling- guling dia 

ditanah. Satu suara dingin yang mencekam terdengar bagaikan men-

giris jantung.

"Bocah tak tahu adat! kuberi kebebasan padamu di Pesanggra-

han Melati malah mau melarikan diri...! kau akan menyesal dengan 

ulahmu itu Kuntali!" Itulah suara Nagasari yang telah berada ditem-

pat itu. Sejak bersuamikan Beguk Reksasana wanita murid tertua dari 

Nini Candra Gumintang ini semakin tinggi ilmu kedigjayaannya. Ka-

rena Beguk Reksasana juga seorang laki-laki yang memiliki ilmu ke-

digjayaan tinggi. Apalagi sang suami punya banyak kenalan tokoh-

tokoh golongan hitam yang menjadi langganan di Pesanggrahan Me-

lati, yang juga terdapat disana tiga orang gurunya. Yaitu yang berge-

lar si Tiga Dedemit Gunung Siung.

Pucat seketika wajah Kuntali. Belum lagi dia berusaha untuk 

bangkit dengan menyeringai kesakitan, Binangun telah melompat ke-

hadapannya untuk segera menotoknya dan meringkusnya dengan ce-

pat. Sementara Windarti dengan mudah sudah lantas kenal diringkus 

oleh Tapak Doro.

"Bagus! kalian bekerja cukup cekatan. Untuk itu aku akan beri 

kalian kesempatan baik...!" berkata Nagasari dengan tersenyum. Bi-

nangun dan Tapak Doro cepat-cepat menjura hormat, seraya ucap 

mereka hampir berbareng. "Terima kasih, Ketua...!"

"Terima kasih Ketua. Dengan segala senang hati tentu kami 

akan menerimanya..."

"Hihihi... tampaknya kalian sangat penasaran pada gadis-gadis 

manis ini. Kuhadiahkan satu untuk kalian berdua. Akan tetapi jangan 

Windarti!" ujar Nagasari dengan tertawa.

"Mengapa, Ketua...?" tanya Tapak Doro.


"Dia sudah ada yang memesan!" sahut Nagasari pendek. "Nah! 

kuberi kesempatan buat kalian. Terserah pada kalian untuk menga-

turnya, siapa yang lebih dulu! Karena begitu kalian selesai dengan 

urusanmu, aku akan mengirim nyawanya ke Akhirat! Kesalahan 

Kuntali terlalu besar untuk diampuni. Karena dia telah bersekutu 

dengan si Ular Betina Selat Madura! Dan aku telah rugi besar akibat-

nya. Seorang langgananku tewas dan perahu pesiarku yang berharga 

mahal telah dibuatnya tenggelam...!" Diam-diam tersentak kaget 

Kuntali, karena Nagasari telah mengetahui pengkhianatannya. Wajah 

wanita ini jadi berubah semakin pias. Tak ada lagi baginya kesempa-

tan selain menanti datangnya Dewi Penolong, yaitu si Ular Betina Se-

lat Madura yang menjadi sahabatnya itu.

Menyeringai tertawa kedua laki-laki itu. Akan tetapi mereka ja-

di serba salah karena sang Ketua masih tetap berdiri ditempatnya. Ju-

ga mereka belum mengambil keputusan siapa yang akan memulai ter-

lebih dulu.

"Hm, lakukanlah dihadapanku! mengapa kau malu? Tak usah 

ragu- ragu. Bukankah hal seperti ini sudah bukan hal yang aneh lagi 

di Pesanggrahan Melati?" berkata Nagasari, seraya mengambil tem-

pat duduk diatas sebatang kayu.

"Cepatlah! karena aku takkan berlama-lama untuk segera men-

jatuhkan hukuman mati pada si Kuntali ini!" ujar Nagasari.

"Baik! baik...! Ketua..." ucap Tapak Doro dan Binangun seren-

tak. Segera mereka mengambil keputusan. Ternyata Tapak Doro yang 

akan melakukan terlebih dulu, Setelah mereka adakan undian dengan 

permainan jari-jari tangan ternyata Tapak Doro yang menang. Maka, 

tak ayal Tapak Doro segera loloskan pakaiannya tanpa ragu-ragu lagi. 

Sementara Windarti terperangah memandang dengan hati mencelos. 

Air matanya menitik mendengar keputusan sang Ketua yang membe-

rikan hukuman mati pada Kuntali. Dan seperti kata Nagasari, dia juga 

akan diumpankan pada seorang langganan pesanggrahan Melati yang 

telah memesannya.

Kuntali terbaring terlentang dengan tubuh yang sudah tak bertu-

tupkan apa-apa. Ikatan pada lengannya segera dibuka oleh Tapak Do-

ro. Tak perlu lagi. Karena gadis itu sudah dalam keadaan tertotok. 

Membelalak sepasang mata gadis ini dengan pancaran mata tajam,


namun jelas terlihat sepasang mata itu berkaca-kaca. Sementara Win-

darti telah menggigit bibirnya sampai berdarah. Betapa perih hatinya 

menyaksikan apa yang sebentar lagi terpampang dihadapannya. Na-

mun dia tak berdaya. Dan setitik air bening kembali merayap turun 

membasahi pipinya. Angin malam yang dingin seperti meresap ketu-

lang. Dan... batang-batang pohon itu bergoyangan tersibak angin. 

Sementara desah-desah ombak sesekali terdengar dari arah pantai. 

Nagasari tersenyum memandang dengan mata membinar. Tontonan 

yang menyenangkan hati itu seperti melenyapkan kemendongkolan 

hatinya atas tewasnya si bangsawan tua langganannya. Dan lenyap-

nya salah satu perahu pesiarnya, yang tenggelam dilautan lokasi Pe-

sanggrahan Melati...

***

EMPAT


Sementara itu penjagaan disekeliling Pesanggrahan Melati te-

lah diperketat. Tak sedikit kiranya orang-orang yang menjadi kaki-

tangan Ketua Pesanggrahan Melati. Terlihat orang-orang yang berke-

pandaian tinggi simpang-siur membagi tugas. Karena mereka telah 

mendengar adanya si Ular Betina Selat Madura yang mengacau ke-

tempat itu. Didepan Pesanggrahan tampak seorang laki-laki berusia 

lebih dari 35 tahun, berdiri dihadapan tiga laki-laki berjubah hijau. 

Dialah Beguk Reksasana. Sedangkan ketiga laki-laki tua yang rata-

rata bertampang seram itu adalah si Tiga Dedemit Gunung Siung. 

Yaitu ketiga orang guru Beguk Reksasana.

"Pergilah cari istrimu! Jangan khawatir. Kami bertiga akan 

menjaga di Pesanggrahan. Kalau perlu menangkap hidup-hidup si 

Ular Betina itu. Bila dia munculkan diri...!" ujar salah satu gurunya 

yang bertubuh tinggi besar. Orang ini berkulit hitam dengan cambang 

bauk yang lebat. Berbeda dengan dua orang lagi. Walau mereka tanpa 

kumis dan jenggot, tapi wajahnya bertampang angker.

"Sebenarnya istriku bisa menjaga diri sendiri, aku tak perlu


khawatir. Tapi baiklah aku menyusulnya, karena siapa tahu si Ular 

Betina itu menggunakan akal licik dengan memancing keluarnya is-

triku...!" berkata Beguk Reksasana. Lalu setelah berkata segera men-

jura pada ketiga gurunya. Seraya berkata. "Syukurlah, kebetulan guru 

semua datang kemari disaat yang genting ini. Si Ular Betina itu me-

mang perlu diringkus. Bahkan seorang anak buahku secara diam-

diam telah berkomplot dengan dia!" Tiga Dedemit Gunung Siung 

manggut-manggut mendengar penuturan muridnya.

"Apakah diantara para anak buahmu ada yang perlu dicurigai?" 

tanya laki-laki yang berwajah kaku dengan sepasang mata yang sipit. 

Hidungnya mencuat naik menghadap kelangit.

"Kukira tidak. Cuma satu orang yang berkhianat. Tapi telah di-

ketahui tempat persembunyiannya. Saat ini istriku tentu telah berhasil 

meringkusnya. Baiklah, aku berangkat dulu, guru...!" ujar Beguk 

Reksasana. Ketiga orang gurunya mengangguk. Dan Beguk Reksasa-

na segera beranjak keluar dari pesanggrahan dengan gerakan cepat. 

Lalu berkelebat lenyap dibalik pepohonan disebelah barat pesanggra-

han di pesisir pantai itu.

Sementara itu ditempat persembunyian, dibalik perahu-perahu 

pesiar yang tertambat dipangkalan, sejak mata dari sesosok tubuh 

wanita tampak mengintai. Seorang wanita dari anak buah Nagasari 

datang mendekat untuk memeriksa sekitar pangkalan perahu itu. Wa-

nita ini beringsut mundur. Ketika gadis itu mendekat, dengan gerakan 

cepat sekali dia telah menyergapnya. Mulutnya dibekap hingga tak 

mengeluarkan suara. Dan sekali totok, tubuh gadis itu terkulai meng-

gelosoh. Bahkan langsung merokok urat suaranya. Kemudian apakah 

yang dilakukan wanita ini? Dia membukai seluruh pakaian penjaga 

wanita ini. Setelah membuka pakaiannya yang basah kuyup, dia 

mengganti bajunya dengan pakaian wanita penjaga itu.

Sebentar saja dia sudah seperti seorang penjaga wanita itu. Lalu 

tanpa ragu-ragu dia segera "tongolkan diri. Rambutnya yang basah 

diuraikan. Persislah kini dengan si penjaga wanita tadi. Tentu saja 

dengan "bebas" dia bisa bergerak masuk. Sementara matanya menca-

ri-cari seseorang diantara para penjaga yang dilihatnya. Lalu mema-

suki gedung Pesanggrahan melalui jalan samping. Sebuah pintu ka-

mar dibukanya. Tapi kamar itu kosong. "Heh!? kemanakah Kuntali?


Juga aku tak menemui Windarti...? Hm, jangan-jangan mereka sudah 

berangkat duluan kepondok tersembunyi itu?" berdesis suara gadis ini 

pelahan.

Segera dia tutupkan lagi pintu kamar. Lalu dengan gerakan gesit 

segera melompat berindap-indap mencari kamar si saudagar tua. Tak 

lama dia telah membuka lagi pintu sebuah kamar. Itulah memang 

kamar si saudagar tua. Pintu kembali dirapatkan dengan cepat dari 

dalam... Apakah yang dikerjakannya didalam? Ternyata wanita ini 

menguras uang si saudagar tua dari dalam laci mejanya. Memasuk-

kannya ke dalam pakaiannya. Hingga tampak perutnya agak meng-

gembung.

Tak lama dia telah keluar lagi. Beruntung tak ada seorangpun 

didalam Memang Pesanggrahan Melati belum lama ini telah menjual 

wanita-wanita culikan yang kebanyakan telah dipesan terlebih dulu. 

Hampir semua pintu kamar dimasuki. Bahkan kali ini adalah kamar 

khusus tempat tidur Nagasari yang telah dimasukinya. Pintu kamar 

itu terkunci. Namun baginya hal itu bukan halangan. dengan kunci 

palsu dimilikinya pintu bisa dibuka. Sekejap dia sudah melompat ke-

dalam. Lalu tutupkan pintu dari dalam. Habislah uang dan perhiasan 

Nagasari dikurasnya hingga ludas bersih. Saat itu terdengar suara-

suara diluar kamar. Langkah-langkah kaki terdengar memasuki ruan-

gan Pesanggrahan. Tersentak dara ini. Onggokan terakhir dari perhia-

san mahal milik Nagasari cepat diraupnya. Lalu dimasukkan dalam 

baju. Terlihat semakin menggembung bagian pinggang dan perut da-

ra ini karena penuh dengan perhiasan dan uang.

"Aku harus cepat minggat dari sini. Dan menyusul Kuntali! Ku-

kira dia sudah disana..." desis wanita ini. Dengan gerak cepat jendela 

segera dibuka. Akan tetapi saat itu pintu kamar terbuka menjeblak. 

"Haiii!? siapa kau...?" satu bentakan menggema diruangan itu. Akan 

tetapi wanita ini telah melompat dengan cekatan dari jendela. Yang 

membentak tak lain dari Nagasari.

Terbelalak matanya melihat ada orang didalam kamarnya. Bah-

kan bukan main terkejutnya ketika dia membuka pintu kamar dengan 

mudah. Melihat bayangan sosok tubuh itu melompat keluar dari jen-

dela tak ayal dia sudah mengejar. Akan tetapi.

WHUUUK!... CRIIING!


Hampir saja dia kena sambaran "senjata rahasia" wanita ini 

yang meluruk kearahnya, kalau dia tak berlaku gesit mengelakkan di-

ri. Ternyata senjata rahasia itu adalah segenggam uang logam milik-

nya yang dihamburkan untuk menyerangnya.

"Bedebah!" memaki Nagasari. Namun kembali dia melompat 

untuk mengejar seraya berteriak. "Pencuriii! tangkap dia! tang-

kaaap...!" Tentu saja teriakan itu membuat seisi Pesanggrahan Melati 

menjadi gaduh. Saling terjang mereka bermunculan dengan senjata-

senjata ditangan. "Dimana pencurinya!?"

"Pencurinya dimana...?" Mereka saling mempertanyakan. Seba-

gian lagi menghambur keluar melalui jalan samping, karena teriakan 

itu terdengar disana. Akan tetapi yang "kepergok" adalah Nagasari 

sang Ketua.

"Apa yang terjadi Ketua...?"

"Goblok semua! Cepat kejar! dia berlari kearah sana! Nagasari 

sambil menunjuk. Sementara dia sendiri berkelebat lebih dulu. Tak 

ayal para anak buah wanita itu segera menghambur berloncatan untuk 

mengejar disertai teriakan-teriakan gaduh.

"Kejaaar! tangkap pencuri itu...!" "Kepuuung! Bunuuuh...!" ber-

teriak-teriak mereka.

Tiga Dedemit Gunung Siung segera muncul. Melihat banyak 

anak buah Pesanggrahan Melati yang menghambur kearah depan, se-

jenak mereka saling pandang. Namun cuma sesaat. Karena dengan 

gerakan bagaikan bayangan mereka telah melesat cepat untuk men-

dahului para anak buah itu. Tentu saja gerakan tiga tokoh kosen ini 

sepuluh kali lipat dari gerakan mereka. Sekejap mereka telah tersusul. 

Lalu ketiga tokoh kawakan Rimba Hijau itu berpencar ketiga arah.

Sementara itu Nagasari yang mengejar terlebih dulu ternyata te-

lah kehilangan jejak. "Bedebah! kemana larinya bangsat perempuan 

itu? memaki dia dengan wajah menampakkan kegusaran. "Celaka...! 

Oh, ludaslah sudah harta bendaku!

Dari mana dia bisa masuk kekamarku? Bukan pintu kamarku 

terkunci dan penjagaan di Pesanggrahan begitu ketat?" berdesis wani-

ta ini dengan tersentak kaget karena segera teringat akan kejadian 

waktu memergoki sosok tubuh yang, luput dari kejarannya itu. Berpi-

kir demikian, Nagasari segera balikkan tubuh. Semangatnya serasa


lenyap untuk mengejar lebih jauh.

Apalagi dia telah kehilangan jejak. Tak tahu lagi kemana larinya 

orang yang dikejarnya. Namun hatinya telah meyakinkan siapa 

adanya orang itu. Ya! siapa lagi kalau bukan si Ular Betina Selat

Madura? Pikirnya. Sekejap kemudian, Nagasari telah kembali 

lagi menuju kearah Pesanggrahan. Benaknya berkecamuk memikir-

kan uang dan harta bendanya yang amat perlu sekali untuk dilihatnya. 

Apakah si Ular Betina itu telah merampok habis, meludaskan isi le-

mari perhiasannya...? Hal itulah yang membuat dia tak tenang hati. 

Karena susah payah Nagasari mengumpulkan, bahkan sampai mema-

kan waktu lebih dari dua tahun.

Baru beberapa belas kali kakinya melangkah tiba-tiba... "Itu 

dia...! tangkap! kejaar!" 

"Bunuuuh!"

Teriakan-teriakan terdengar ramai. Tersentak Nagasari. Tentu 

saja sekejap dia telah hentikan tindakannya. Sementara orang-

orangnya sendiri telah berkelebatan menghadang.

"GOBLOK! mata kalian sudah buta semua...? Apakah tak men-

genali aku?" membentak Nagasari dengan suara mengeledek.

"Hah!? KET... KETTT... KETUA...?" hampir berbareng mereka 

melompat mundur dengan suara tertahan.

"Oh, maafkan kami Ketua...! Keadaan cuaca agak gelap. Kami 

tak mengenali orang..." menyahut salah seorang dari anak buahnya.

"Huh! dasar kalian bakul nasi semua!" maki Nagasari dengan 

mendongkol. Hampir menangis Nagasari karena jengkelnya. Dan 

tanpa bersuara lagi langsung berkelebat cepat untuk kembali pulang. 

Pikirannya hanya tertuju pada uang dan perhiasan simpanannya. Baru 

saja menginjakkan kaki didepan Pesanggrahan, sudah ada yang me-

nyongsongnya. Langsung lakukan pertanyaan.

"Ada apa Nagasari...? Apakah yang telah terjadi istriku?" Men-

delik sepasang mata wanita ini.

"Kau...?! apa saja kerjamu, kakang...? sampai tak tahu kejadian 

ini...?" membentak Nagasari dengan hati kesal. "kemana saja kau...?"

"Aku baru saja tiba setelah menyusulmu kepantai sebelah barat 

itu. Bukankah kau mengatakan disana ada sebuah pondok tersem-

bunyi yang telah di jadikan tempat persembunyian Kuntali untuk melaksanakan niatnya melarikan diri? Tapi aku tak menjumpaimu, ke-

cuali mayat Kuntali! Cepat-cepat aku kembali. Dan baru saja tiba...!" 

menyahut Beguk Reksasana.

"Aku memang telah mengirimkan nyawanya ke Akhirat!" ujar 

Nagasari dengan mendengus. "Tak tahukah bahwa kamar kita telah 

kemasukan maling? Oooo... ludaslah semua harta bendaku..." teriak 

Nagasari, seraya melompat cepat memasuki Pesanggrahan untuk me-

nuju ke arah kamarnya. Beguk Reksasana naikkan alisnya, terkejut. 

Lalu bergerak melompat menyusul istrinya. Didapati Nagasari tengah 

tertegun menatap isi lemari yang lacinya telah terbuka. Laci tempat 

menyimpan uang dan perhiasannya.

"Keparrat! dia telah menggondolnya semua... Oh, terkutuklah si 

Ular Betina itu. Apa yang telah aku kumpulkan ludas dalam sekejap 

mata!" Maki Nagasari dengan keluhnya setengah menangis.

"Ini semua gara-gara kau...!" tiba-tiba membentak Nagasari se-

raya putarkan tubuh. Tampak sepasang mata wanita ini berkaca-kaca 

menatap pada Beguk Reksasana yang tertegun bagai arca.

"Gara-gara aku...? He? aku tak tahu menahu dengan semua ini! 

Ketika aku pergi mencarimu, pesanggrahan dijaga ketat. Bahkan dis-

ini ada pula tiga orang guru kita...!" bela Beguk Reksasana sang sua-

mi.

"Cih! kalau. tidak gara-gara kau menerima wanita muda berna-

ma Andini itu untuk bekerja disini tak mungkin hal ini terjadi!" ber-

kata Nagasari dengan ketus seraya bantingkan pantatnya dipembarin-

gan.

"Tahukah kau siapa adanya si Andini itu? Dialah si Ular Betina 

Selat Madura. Kedatangannya kemari dengan menyamar dan pura-

pura mau bekerja ditempat ini adalah siasatnya saja. Kalau kau tak 

mata keranjang dan sebelumnya waspada tentu takkan menerimanya. 

Tapi aku tahu kau memang merasa dapat kesempatan untuk meniduri 

wanita sialan itu. Makanya kau menerimanya!" semakin ketus kata-

kata Nagasari yang tetap mempersalahkan suaminya.

"Aku... aku..." Tergagap laki-laki ini dengan wajah memerah.

"Sudah. sudah! SUDAH!!! tak usah kau mencari-cari alasan! 

Lebih baik kau bantu ketiga gurumu dan anak-anak buah kita mem-

bekuk si Ular Betina keparat itu!" potong Nagasari dengan bentakan


ketus. Lalu bantingkan tubuhnya menelungkup dipembaringan. Dan... 

terisak-isak wanita ini menyusupkan mukanya kebantal. Terhenyak 

Beguk Reksasana. Tapi lalu berkata. "Baiklah, istriku! Kelak akan ku 

seret maling tengik itu kehadapanmu bila kuberhasil membekuknya!" 

Beguk Reksasana balikkan tubuh, dan melompat keluar dari ruangan 

kamar itu...

***

LIMA


Di dalam kamar dengan lengan dan kaki terikat, Windari ter-

golek dipembaringan. Mendengar ribut-ribut tadi gadis ini membela-

lakkan matanya.

"Ada apakah yang telah terjadi di Pesanggrahan?" tersentak 

Windarti berkata dalam hati. Lama dia termangu dengan benak me-

mutar. Selain berfikir tentang kejadian di Pesanggrahan Melati yang 

tak diketahuinya, juga memikirkan nasibnya yang dalam keadaan se-

bagai tawanan. Kali ini berbeda dengan dahulu. Kalau dahulu dia se-

perti tawanan, tapi dalam keadaan bebas bergerak. Bahkan ditu-

gaskan mengawal perahu pesiar bila ada tetamu yang mau melancong 

untuk berkencan ditengah laut. Tapi kali ini dia tak bisa bebas berge-

rak. Karena tangan dan kakinya terikat erat oleh tali laso. Bahkan ma-

sih dalam keadaan membugil.

Pesanggrahan Melati itu kembali lengang. Karena suara-suara 

gaduh itu lenyap lagi. Windarti cuma mendengar teriakan-teriakan 

yang gaduh tadi dengan suara yang kurang jelas. Tapi lapat-lapat dia 

ada mendengar teriakan "Kejaar! Tangkaaap...!. Bunuuh...!" Cuma itu 

yang terdengar diantara hiruk-pikuk suara-suara orang. Sementara ha-

tinya mulai menduga-duga. "Apakah si manusia misterius yang me-

namakan dirinya Ular Betina Selat Madura itu yang tengah dike-

jar...?"

Namun pertanyaan dalam hati itu segera lenyap lagi. Yang ter-

bayang justru kejadian tadi. Kejadian yang telah membuat bulu ro


manya berdiri dan tubuhnya bergidik seram. Hatinya terasa disayat-

sayat manakala menyaksikan sahabat setianya Kuntali dijadikan pe-

lampiasan nafsu berahi Tapak Doro dan Binangun. Dua orang sauda-

ra seperguruannya sendiri, yang telah menjadi anak buah dari Naga-

sari alias sang Ketua Pesangrahan Melati.

Walaupun sebenarnya Nagasari juga saudara seperguruan me-

reka ketika masih menjadi anak didik Nini Candra Gumintang, na-

mun apa mau dikata kalau kini persoalan sudah lain. Nagasari telah 

menjadi Ketua mereka yang setiap perintahnya harus dipatuhi. Dan 

bagi setiap pengkhianatan, akan membawa kematian.

Seperti juga dengan nasib tragis Kuntali, yang harus menemui 

kematian ditangan Nagasari. Sebagai tebusan atas antara pengkhiana-

tannya.

Tak terasa air mata dara ini kembali mengalir membasahi pi-

pinya. Tak tega dia membayangkan bagaimana Nagasari menghabisi 

nyawa Kuntali, karena dia telah palingkan Wajahnya. Cuma jeritan 

pendek dari sahabat tercintanya itu yang terdengar ditelinga.

Windarti memang tak mau melihat. Dan tak akan melihat, kare-

na segera dia telah diboyong pergi berlari untuk diantarkan lagi ke 

pesanggrahan Melati oleh Tapak Doro dan Binangun. Dan selanjut-

nya menempati kamar tahanan ini dengan keadaan tangan dan kaki 

terbelenggu...

Kini keheningan merayapi ruangan itu. Cuma desah napasnya 

dan suara detak-detak jantungnya yang terdengar ditelinga. Sunyi! 

Sunyi...! Seperti juga sunyinya sang hati Dia telah kehilangan orang 

yang paling dikasihi. Seorang sahabat yang lebih menyerupai jiwanya 

sendiri. Walau setitik naluri kwanitaannya mengatakan bahwa dia te-

lah menempuh jalan salah. Ya! tak semustinya dia mencintai sesama 

jenis. Persahabatan yang terlalu akrab itu ternyata membuat ketidak 

wajaran jiwa mereka yang sama-sama menyenangi sesama kaumnya. 

Namun segalanya terputus sudah. Kuntali telah mati! Dan takkan hi-

dup lagi...

Namun dihati gadis ini timbul benih-benih dendam yang amat 

luar biasa pada Nagasari. Dendam yang tak pupus tersiram hujan dan 

tak lekang terkena panas!

"Nagasari...! tunggulah saat pembalasanku! Sakit hati ini takkan


puas belum terbalaskan...!" berdesis Windarti dengan sepasang len-

gan mengepal dalam belenggu.

Tiba-tiba tersentak dara ini ketika terdengar suara berdetik anak 

kunci. Dan pintu kamar tahanan itu terbuka. Sesosok tubuh muncul di 

hadapannya.

"Ssssst!" Sosok tubuh itu tempelkan jari telunjuknya ke mulut 

memberi isyarat. Terkejut Windarti "Siapakah orang ini?" Sentaknya 

dalam hati, karena orang itu mengenakan topeng menutupi wajahnya. 

Cuma sepasang matanya saja yang terlihat, menatapnya dengan ta-

jam.

Dan... tanpa ayal laki-laki itu keluarkan pisau belati dari balik 

bajunya. Lalu dengan cepat segera memutuskan tali-tali pengikat 

yang membelenggu tangan dan kaki gadis ini.

Bahkan segera membuka totokannya. Selesai itu, si orang ber-

topeng segera balikkan tubuhnya membelakangi. Tampak lengannya 

merogoh lagi kebalik baju. Dan melemparkan "sesuatu" kearahnya.

Windarti rasakan benda lunak dari bahan pakaian. Tentu saja 

membuat wajah si gadis ini jadi berubah gembira. Tak ayal segera dia 

beringsut, untuk segera melompat bangun. Ternyata satu stel pakaian 

dari sutera warna hitam. Dan... cepat dikenakannya. Sepasang mata si 

orang bertopeng melirik untuk melihat apakah si gadis sudah selesai 

berpakaian?

Windarti ternyata cukup mengerti untuk mengenakannya den-

gan cepat. Sebentar saja sudah rapih berpakaian. Cepat si orang ber-

topeng putar tubuh. Lalu beri isyarat untuk mengikutinya. Dengan be-

rindap-indap, mereka keluar dari kamar tahanan itu. Melompat gesit 

dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Tiba dibagian belakang 

Pesanggrahan, lengan si orang bertopeng mencekal pergelangan tan-

gan Windarti. Dan Cepat sekali telah berpindah meraih pinggang. Se-

lanjutnya... WHUT! si orang bertopeng telah melesat ke arah timur. 

Dan sekejap sudah tak terlihat lagi bayangannya bersama gadis itu.

"GURUUU...!? Oh, guruuu...!" berteriak Windarti dengan ter-

sentak antara terkejut dan girang. Dan menghambur dia untuk kemu-

dian berlutut dan bersimpuh memeluk kaki seorang wanita tua yang 

berdiri tegak diambang pintu pondok sederhana itu. Wanita tua itu tak 

lain dari Nini CANDRA GUMINTANG. Sang guru yang dikhabar


kan Nagasari telah tewas tak tertolong jiwanya lagi dalam pengobatan 

seorang tabib karena penyakit yang dideritanya.

Sebelumnya Windarti tak percaya kalau yang dihadapannya itu 

adalah gurunya tercinta. Yaitu Ketua Perguruan CEMPAKA BIRU. 

Tapi karena saat itu adalah sudah menjelang pagi. Bahkan Matahari 

telah membersitkan sinarnya dari ufuk timur. Juga melihat jelas sepa-

sang kaki sang guru telapaknya menginjak tanah. Yakinlah dia kalau 

yang dihadapannya itu bukan hantu. Ya! dia memang Nini Candra 

Gumintang Pendiri Perguruan Cempaka Biru, gurunya. Juga guru 

Nagasari, yang selama ini menggantikan jabatan sang guru menjadi 

Ketua. Tapi bukan lagi Ketua Perguruan Cempaka Biru, melainkan 

sebuah Pesanggrahan bernama Pesanggrahan MELATI. Yang ber-

fungsi pada penyelundupan, penculikan dan penjualan serta penam-

pungan wanita-wanita cantik. Merupakan bisnis besar yang dikelola 

secara tersembunyi oleh Nagasari yang tamak serta rakus akan uang 

dan harta benda.

Air mata dara ini bersimbahan membasahi jubah dan kaki wani-

ta tua itu. Wanita ini cepat-cepat mengangkat pundak Windarti, se-

raya berkata.

"Sudahlah muridku...! mari kita berbincang-bincang dida-

lam...!" Lalu paling pada si laki-laki bertopeng itu.

"Shidarta! kau belum juga membuka topeng mu?"

Tersentak laki-laki bertopeng itu. "Haih! ya...! aku sampai lupa, 

guru...!" Cepat-cepat si laki-laki bertopeng itu. lepaskan cadar penu-

tup wajahnya. Karena memandangi pertemuan yang mengharukan 

antara guru dan murid itu membuat dia sampai-sampai tertegun lama. 

Menatap dengan mata mendelong. Adapun Windarti jadi terlongong 

mendengar sebutan sang guru pada si laki-laki bertopeng. Apalagi se-

telah melihat jelas wajah laki-laki dihadapannya yang telah membuka 

topengnya.

"Kau..., kau SHIDARTA...?" sentak Windarti terkejut.

Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum, "Marilah kita du-

duk didalam, Windarti...! Tampaknya banyak yang akan kami cerita-

kan padamu mengenai guru kita. Juga riwayatku! Tentunya kau me-

nyangka kami adalah hantu-hantu yang hidup lagi, bukan...?"

"Benar, Shidarta..." menyahut dara ini. "Apakah sebenarnya


yang telah terjadi? Aku serasa mimpi."

"Marilah kita bicara didalam...!" ujar Shidarta seraya mengga-

mit lengan Windarti. Sementara Nini Candra Gumintang telah duduk 

diatas tikar bersih yang digelarkan ditengah ruangan. Cukup besar 

pondok sederhana itu. Shidarta beranjak melangkah kearah meja. La-

lu bawa sekendi air dan dua buah gelas, untuk diletakkan diatas tikar 

dihadapan sang guru.

Windarti segera duduk bersimpuh dihadapan gurunya. Tak sa-

bar rasanya untuk lakukan pertanyaan, segera Windarti berkata.

"Guru...! ceritakanlah...! apa sebenarnya yang telah terjadi? 

Kami selama ini merasa hidup tertekan setelah Nagasari mengambil 

alih jabatan Ketua yang perintahnya harus dituruti. apakah memang 

Nagasari telah berdusta dengan penu-turannya yang mengatakan guru 

telah tiada...? Bagaimana dengan surat wasiat yang ditanda tangani 

oleh guru sendiri itu? Juga apakah artinya semua ini...? Pertanyaan 

Windarti bertubi-tubi yang dikemukakan terhadap sang guru itu.

Namun dengan tersenyum Nini Candra Gumintang segera men-

jawab satu persatu pertanyaan muridnya. Diceritakannya bahwa, ke-

tika pada lebih dua tahun yang lalu disaat dia sakit parah, adalah aki-

bat perbuatan Nagasari yang sengaja menaruh semacam racun pada 

makanan yang di suguhkan padanya. Racun itu mempunyai proses 

lambat, yang memang sudah direncanakan Nagasari untuk membu-

nuhnya. Nagasari adalah seorang murid terlama dan paling dulu men-

jadi murid pada Nini Candra Gumintang. Perbuatan jahatnya itu baru 

diketahui setelah Nagasari membawanya kesatu tempat, yang menu-

rut apa yang didengar oleh wanita tua itu dirinya akan diobati dan di-

bawa keseorang tabib yang pandai mengobati bermacam penyakit.

Perbuatan jahat itu ternyata telah direncanakan oleh Nagasari 

berdua dengan Beguk Reksasana. Beguk Reksasana adalah seorang 

buronan Kerajaan yang pernah melakukan pengkhianatan mau mem-

bunuh Adipati Donggala. Justru dia orang bawahan Adipati itu sendi-

ri. Tentu saja tujuannya mau menggantikan kedudukan Adipati itu, 

karena dia telah diangkat saudara oleh Adipati Donggala. Ternyata 

kebaikan Adipati Donggala dibalas dengan air tuba. Dengan rayuan 

serta tutur kata yang manis, juga dengan modal ketampanan wajah-

nya dia telah pula berniat jahat mau menodai istri sang Adipati.


Untunglah hal itu tercium oleh adik iparnya, yaitu adik istri 

Adipati Donggala. Adik ipar Adipati Donggala tak lain dari 

SHIDARTA. Yaitu yang menjadi murid termuda (murid terakhir) 

Nini Candra Gumintang.

***

ENAM


SHIDARTA memang "menghilang" ketika Beguk Reksasana 

muncul di pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Karena dia telah 

segera mengenali laki-laki itu. Laporan Shidarta pada Adipati Dong-

gala mengenai kejahatan yang telah direncanakan. Serta niat perbua-

tan jahatnya pada kakak perempuannya telah pula dilaporkan. Shidar-

ta memang telah mulai mencurigai kasak-kusuk ditempat-tempat ra-

hasia mengenai adanya rencana busuk Beguk Reksasana, yang nama 

sebenarnya adalah, TALI WANGSA.

Begundal-begundalnya berhasil dibekuk, yang juga terdiri dari 

para prajurit Kadipaten yang telah kena dihasut. Tentu saja dengan 

janji akan mendapat imbalan dan kedudukan serta kekuasaan yang 

lumayan, bila kelak Tali Wangsa berhasil menjadi Adipati. Bukan sa-

ja untuk merebut kedudukannya, tapi juga merebut istrinya.

Sayang Tali Wangsa berhasil melarikan diri. Hal kejadian itu 

segera dilaporkan pada Raja. Hingga kemudian pihak Kerajaan me-

netapkan Tali Wngsa menjadi buronan Kerajaan. Pelacakan dalam 

mencari jejak Tali membawa hasil. Namun ada berita ditemui seso-

sok mayat oleh para prajurit kadipaten. Mayat yang mirip dengan Tali 

Wangsa dalam perawakannya. Sayangnya mayat itu sudah dalam 

keadaan hancur mukanya. Juga serpihan daging yang sudah hampir 

hancur membusuk. Hingga sukar dipastikan apakah benar dia Tali 

Wangsa adanya. Namun dugaan cukup kuat kalau menilik dari pa-

kaian yang dikenakannya. Sosok mayat itu ditemukan mengambang 

disungai yang mengalir disebelah barat gedung Kedipatian. Agak le-

ga hati Shidarta mendengar berita itu


Akan tetapi sungguh tak dinyana kalau Tali Wangsa muncul di 

Pesanggrahan Cempaka Biru. Bahkan bersahabat baik dengan Naga-

sari. Namun dengan nama Beguk Reksasana. Hal mana membuat 

Shidarta berpikir kalau Tali Wangsa telah melakukan penipuan

mayat, yang sengaja dilakukan demi keamanannya bergerak. Walau-

pun Tali Wangsa mengganti namanya dengan nama Beguk Reksasa-

na tentu tak mudah menipu mata Shidarta saat itu.

Rencana Beguk Reksasana dan Nagasari untuk membawa sang 

guru keseorang tabib agak membuatnya curiga. Seperti dibisikkan 

Kuntali padanya Namun tampaknya mereka tak bisa berbuat apa-apa, 

karena keputusan Nagasari sebagai murid tertua. Mereka merasa tak

punya hak untuk melarang niat baik Nagasari. Apalagi dua orang 

saudara seperguruannya tentang siapa sebenarnya Beguk Reksasana, 

diam-diam menguntit kepergian mereka. Tentu saja dengan alasan 

minta izin pulang ke Kadipatian, disaat kira-kira sepenanak nasi rom-

bongan mereka berangkat. Sebagai murid termuda. Apalagi masih 

adik dari istri Adipati Donggala yang punya wewenang mengatur wi-

layah tempat itu. Mereka tak dapat melarang. Cuma Kuntali yang 

berpesan agar tidak terlalu lama. Shidarta mengangguk, dan menga-

takan akan cepat kembali bila urusannya sudah selesai. Lalu cepat be-

rangkat pergi. tapi diam-diam membelok untuk berlari cepat menyu-

sul pengangkut tandu yang membawa sang guru.

Demikianlah, Shidarta berhasil mengetahui kemana Nagasari 

dan Beguk Reksasana membawa Nini Candra Gumintang. Yaitu ke-

sebuah tempat dilereng bukit, yang dalam perjalanan dengan tandu 

memakan waktu satu hari penuh. Tempat itu tersembunyi. Dan disana 

ada sebuah goa yang menghadap kearah sisi laut.

Apa mau dikata dia kepergok oleh Nagasari. Tentu saja saudara 

seperguruan tertua itu mendapratnya. Karena Shidarta melanggar pe-

sannya untuk ikut serta. Nagasari hanya membolehkan dua orang saja 

yang turut serta. Yaitu Tapak Doro dan Binangun. Saat itu Beguk 

Reksasana alias Tali Wangsa muncul pula. Tersentak kaget buronan 

Kerajaan ini melihat adik ipar Adipati Donggala ternyata adalah sau-

dara seperguruan Nagasari. Namun Tali Wangsa berbuat seolah-olah 

tak mengenai Shidarta. Begitu pula Shidarta seolah telah lupa dengan 

wajah Tali Wangsa, yang memang agak banyak perubahan sejak


hampir setahun tak menampakkan diri. Bahkan orang-orang Kadipa-

ten telah menganggap Tali Wangsa telah tewas, dengan ditemuinya 

mayat laki-laki itu disungai.

"Aku tetap tak mengizinkan kau disini, Shidarta..." ujar Nagasa-

ri. Walau kau adik dari istri Adipati Donggala, namun kau telah men-

jadi murid dari Perguruan Cempaka Biru. Kau harus tunduk dan pa-

tuh pada perintah kakak tertua seperguruanmu. Sebabnya kau kula-

rang disini adalah karena di Pesanggrahan Cempaka Biru tak ada sa-

tupun laki-laki. Kau adalah murid termuda. Tapi kalau kau merasa 

sungkan untuk berdiam dipesanggrahan, sementara menunggu ke-

sembuhan guru kita, baiklah! Kau kuizinkan pulang ke Kedipatian. 

Tapi cuma kuberi waktu satu bulan. Tepat tiga puluh hari kau harus 

sudah berada di Pesanggrahan Cempaka Biru lagi...!"

"Baiklah kakang mbok. Aku turut perintahmu...!" menyahut 

Shidarta dengan tundukkan wajahnya.

"Tapi ingat pesanku. Jangan kau kembali ke pesanggrahan. 

Apalagi menceritakan pada saudara-saudara seperguruanmu letak 

tempat mengobati penyakit guru kita ini. Dan perlu kuingatkan kau 

akan kata-kata guru. Beliau mengizinkan aku memberi hukuman pa-

da setiap murid yang melanggar aturan perguruan. Dan aku telah di-

beri wewenang untuk itu...!" lanjut ucapan Nagasari memberi perin-

gatan. Shidarta tak bisa berkata apa-apa selain mengangguk.

"Aku akan ingat pesan itu, kakang mbok...!" sahutnya lirih. Lalu 

setelah berpamitan dan tanpa melirik lagi pada Beguk Reksasana, 

Shidarta segera beranjak bangkit berdiri Setelah putar tubuh lalu se-

gera angkat kaki bergegas meninggalkan tempat itu.

Shidarta langkahkan kaki dengan cepat menuruni lereng bukit. 

Akan tetapi kira-kira dua kali sepeminuman teh dia memperlambat 

larinya. Hatinya membatin. "Hm, tak nantinya si Tali Wangsa akan 

membiarkan aku pergi begitu saja...!" Dugaannya benar. Ketika 

membelok kesatu tikungan jalan, dihadapannya berdiri tegak sesosok 

tubuh. Siapa lagi kalau bukan Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. 

Laki-laki ini menatap Shidarta dengan tatapan tajam seperti mau me-

nembus jantung. Bibirnya tampakkan senyum sinis.

Adapun Shidarta tampak tenang-tenang saja. Seperti tak merasa 

terkejut. Karena justru hal inilah yang diinginkannya. Tetap melang


kah dengan tegar. Kira-kira jarak 10 langkah dia berhenti. Sementara 

Shidarta telah siapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Ada apakah, kau menghadangku, sobat Beguk Reksasana...? 

Apakah ada lagi pesan yang lain dari kakak seperguruanku...?" Shi-

darta pura-pura bertanya. Laki-laki itu perdengarkan suara dengusan 

dihidung. Lalu menjawab.

"Benar! Kakak seperguruanmu perintahkan aku membunuhmu 

saat ini juga. Dan sebagai seorang murid dari Perguruan Cempaka Bi-

ru yang patuh, kau tentu tak keberatan untuk segera memasrahkan 

nyawamu...!" Melotot sepasang mata Shidarta. Tapi dia tertawa ham-

bar.

"Hahaha... sudah kuduga sejak semula kau akan ucapkan kata-

kata itu. Karena aku tahu siapa sebenarnya dirimu TALI WANGSA! 

Nasibmu masih bagus bisa lolos dari tangan kakak iparku Adipati 

Donggala, juga dari kejaran lasykar Kadipaten. Tapi jangan harap kau 

bisa hidup tenang. Perbuatanmu mengelabui hamba Kerajaan dengan 

penipuan mayat telah tersingkap. Aku curiga dengan "niat baik" mu 

untuk mengobati guruku, makanya aku menyusul dengan diam-diam. 

Kalau kau mau membunuhku itu adalah wajar, karena kau tak mau 

ketahuan belang mu oleh kakang mbok Nagasari. Juga kau khawatir 

aku melaporkan pada Adipati. Heh! kau kira aku takut pada seorang 

buronan macam kau? Justru aku amat penasaran untuk membekuk 

mu. Kalau perlu mengirim nyawamu ke Akhirat!" berkata Shidarta 

dengan lantang. Dia memang amat mendendam pada laki-laki ini 

yang pernah mau memperkosa kakak perempuannya. Bahkan mau 

merebut kedudukan Adipati kakak iparnya. Laki-laki yang pernah di-

angkat saudara oleh Adipati Donggala ini memang manusia tak men-

genai budi. Sudah sepatutnya diberi hukuman setimpal dengan perbu-

atannya.

"Bagus! kalau kau sudah tahu! Kekhawatiran mu memang cu-

kup beralasan, Shidarta! Baiklah aku ungkapkan padamu, karena toh 

kau segera akan mampus. Kuakui cukup tebal nyalimu, karena kau 

murid dari Perguruan Cempaka Biru. Tapi bagiku kau bukanlah apa-

apa! Apakah kau kira kakang mbokmu mau membelamu walaupun 

dia tahu siapa aku? Hahaha... kau salah duga! Perencanaan kami ber-

dua telah cukup matang. Karena sudah sejak lama kami mencari saat


seperti ini. Yaitu membawa gurumu kemari, setelah meracuninya se-

cara diam-diam. Ketahuilah! Kakang mbokmu itulah yang telah 

memperbuatnya atas usulku. Karena aku tahu gurumu memiliki harta 

pusaka yang disembunyikan secara diam-diam. Tabib yang kukata-

kan itu adalah saudara seperguruannya sendiri. Dia bernama 

LODAYA SETA...!"

"Keparat! jadi kalian lakukan ini karena harta Pusaka itu?" 

membentak Shidarta dengan wajah merah padam.

"Benar! Shidarta...! Sebenarnya aku adalah anak paman guru-

mu, alias Lodaya Seta itu! Hihihi... wajar bukan kalau aku berkhia-

nat? Karena harta Pusaka itu bisa jatuh ketanganku bila ayahku me-

maksa guru membuka mulut!" Satu suara terdengar dibelakang Shi-

darta membuat pemuda ini menoleh. Dan... Nagasari telah berdiri te-

gak bertolak pinggang menatapnya dengan tersenyum. Senyuman ib-

lis!

"Edan! kalian memang benar-benar bukan manusia!" memaki 

Shidarta dengan wajah berubah bringas. Dan... Srreek! Dia telah 

mencabut senjatanya. Sepasang tombak pendek bergagang perak. 

Nagasari berikan isyarat pada Beguk Reksasana alias Tali wangsa 

agar membinasakan pemuda itu secepatnya. Laki-laki buronan kera-

jaan ini tarik keluar sebuah pedang bersinar ungu. Dan sehelai selen-

dang sutera warna merah dari balik pakaiannya...

***

TUJUH


Nyaris kulit leher Shidarta terkoyak, kalau dia tak sempat mi-

ringkan kepalanya. Karena hawa dingin membersit cepat sekali me-

nebas batang leher dari belakang disaat Shidarta membelakangi. Be-

guk Reksasana telah lancarkan serangan mematikan dengan pedang 

sinar Ungunya! Namun kewaspadaan Shidarta memang telah diper-

siapkan sejak semula. Disamping nalurinya yang cukup peka. Akan 

tetapi sungguh tak terduga serangan berikutnya dari Beguk Reksasa


na membuat dia harus cepat gulingkan tubuh dengan cepat. Selen-

dang sutera merah laki-laki itu menyambar-nyambar bagaikan 

bayangan merah. Terkadang mengeras seperti layaknya sebatang 

tombak. Terkadang kembali, lemas, menyambar untuk membelit len-

gan atau kaki Shidarta.

Diam-diam pemuda murid Nini Candra Gumiantang ini terke-

siap. Karena tak menyangka lawan mempunyai ilmu dan senjata yang 

demikian hebat.

"Hahaha. . . Shidarta! lebih baik kau buang senjata kapakmu 

yang tak berguna itu. Dan serahkan nyawamu dengan sukarela!" 

mengejek Tali Wangsa. Menggerung gusar Shidarta. Tiba-tiba den-

gan gerakan tak terduga tubuhnya menggelinding justru menerobos 

diantara serangan-serangan maut Beguk Reksasana. Kali inilah ke-

sempatan dia mempergunakan sepasang kapaknya untuk menabas 

dan menangkis serangan lawan. Bahkan, diluar dugaan Beguk Reksa-

sana jejakkan kaki! pemuda itu telah menghantam dadanya dengan 

telak. BUK!

Terhuyung laki-laki. Sementara Shidarta telah melompat berdi-

ri.

"Jahanam keparat! kubunuh kau...!" membentak dahsyat Shidar-

ta seraya diiringi dengan sambaran ganas sepasang kapaknya. Suara 

berdesin membelah udara... Trang! Trang...! Sebat sekal Beguk Rek-

sasana menangkis dengan pedangnya. Ternyata dalam keadaan ter-

huyung demikian, tidak membuat laki-laki ini kehilangan nalurinya^ 

untuk menangkis dengan cepat.

"Bedebah! kali ini aku tak segan-segan mengirim nyawamu ke 

Akhirat secepatnya, bocah bau kencur!" memaki Beguk Reksasana. 

Tiba-tiba di gerakkan pedang memutar. Terlihat cahaya yang bergu-

lung-gulung membersitkan hawa dingin mencekam. Inilah jurus ber-

bahaya yang bakal dilancarkan oleh Beguk Reksasana. Terperangah 

oleh gulungan sinar ungu itu, Shidarta kurang jeli matanya. Karena 

sedetik dia lengah untuk pasang mata, tahu-tahu sosok tubuh Beguk 

Reksasana lenyap tak ketahuan.

TRRRAAANGNG...!

Satu benturan keras terdengar. Shidarta terkejut karena rasakan 

kedua lengannya kesemutan. Dan dia tahu-tahu sepasang kapaknya


telah terlepas dari genggamannya. Saat mana berdesis suara dibela-

kang leher yang menimbulkan hawa dingin.

"Ah.!?" tersentak kaget Shidarta. Namun dia masih bisa mampu 

membuang tubuhnya untuk menghindari tabasan maut pedang Sinar 

Ungu Beguk Reksasana. Akan tetapi terdengar suara tertawa mengi-

kik dibelakangnya. Tubuh Shidarta terdorong lagi kedepan. Ternyata 

Nagasari telah hantamkan telapak tangannya kepunggung pemuda 

ini. Berteriak parau Shidarta menahan rasa sakit. Dan jatuh tersung-

kur dua-tiga tombak ke depan.

"Bagus! Nagasari...!" berkata Beguk Reksasana dengan menye-

ringai tertawa. "Cepatlah kau bunuh mampus dia...! teriak Nagasari. 

"Sekarang?" tanya Beguk Reksasana setengah bergurau. Sekarang...!" 

sahut Nagasari. Saat itu Shidarta tengah megap-megap berusaha un-

tuk bangkit. Akan tetapi pukulan pada punggung pemuda itu telah 

membuat dia terluka dalam. Tampak darah menggelogok berkali-kali 

dari mulutnya. Untuk bangkitpun rasanya sudah tak sanggup. Saat 

mana Beguk Reksasana dengan mengumbar tawa iblisnya telah laku-

kan serangan kilat. Pedang Sinar Ungunya berkelebat membersit un-

tuk membelah batok kepala Shidarta. Sedangkan selendang sutera 

merahnya menyambar membaringi sambaran pedang...

Akan tetapi pada saat itu segelombang angin keras menggebu. 

Menerobos terjangan maut itu dengan kecepatan luar biasa. Dan... 

Terperangah Beguk Reksasana karena telah kehilangan sasarannya. 

Tubuh Shidarta bagaikan dibawa oleh hembusan angin yang lewat, 

mendadak lenyap tak berbekas. Terhenyak Beguk Reksasana Semen-

tara Nagasari belalakkan mata terperangah. "Angin apakah yang le-

wat barusan?" desis Nagasari.

"Kemana dia...?"tanya Beguk Reksasana.

"Dia lenyap! Ah, sungguh aneh!" gumam Nagasari.

"Yaa...!"

keduanya sama-sama tercenung saling pandang, setelah putar 

tubuh dan sebarkan pandangan ke sekelilingnya. Akan tetapi Shidarta 

lenyap bagaikan ditelan bumi. Selang sesaat Nagasari cepat Menya-

darkan. "Sudahlah! tak usah dipikirkan! Mari kita kembali. Harta pu-

saka itu lebih penting dari segalanya. Tentang kejadian ini lain waktu 

kita pikirkan...!"


"Aku membaui bau wangi semerbak... ketika gelombang angin 

itu melintas!" berkata Beguk Reksasana dengan wajah agak pias.

"Sudahlah! Ayo! Cepat kita kembali...!" ujar Nagasari alihkan 

pembicaraan Walau sebenarnya diam-diam tengkuknya terasa dingin 

meremang. Ternyata kemudian diketahui, Shidarta telah ditolong oleh 

seorang wanita yang bergelar si Ular Betina Selat Madura. Akan teta-

pi tentu saja Nagasari dan Tali Wangsa alias Beguk Reksasana tak 

mengetahui.

Mereka kembali ke Goa untuk menjalan rencananya semula. 

Sementara didalam goa yang menjadi tempat persembunyian Lodaya 

Seta. LODAYA SETA adalah seorang laki-laki betampang gagah. 

Juga berilmu tinggi. Disamping ahli dengan segala macam jenis ra-

cun, dia juga pandai ilmu obat-obatan. Sayangnya dia berakhlak bu-

ruk. Dimasa muda Lodaya Seta pernah diusir oleh mendiang gurunya 

karena kelakuannya yang buruk dimasa mudanya. Hingga ilmu-ilmu 

warisan dari gurunya telah ditarik lagi oleh sang guru. Dan tidak di-

perkenankan mempergunakan lagi selama hidupnya. Hal kejadian itu 

sudah berkisar antara lebih dari tiga puluh tahun yang silam.

Itulah sebabnya Nini Candra Gumintang tak pernah mencerita-

kan tentang bekas saudara seperguruannya yang bernama Lodaya Se-

ta itu. Bahkan tak menyangka kalau Lodaya Seta masih hidup.

Lodaya Seta ternyata secara diam-diam sejak lima tahun yang 

lalu telah mengetahui dimana menetapkan kakak perempuan saudara 

seperguruannya itu.

Bahkan dengan diam-diam dikirimnya NAGASARI (anak ga-

disnya) untuk berguru pada Nini Candra Gumintang. Yang baru saja 

mendirikan pesanggrahan Perguruan Cempaka Biru. Dia tahu betul 

kalau Candra Gumintang telah menerima warisan Harta Pusaka dari 

mendiang guru. Disaat dia diusir keluar oleh gurunya, Lodanya Seta 

tak pergi jauh. Dia selalu mengintai keadaan dibekas tempat pergu-

runya itu. Di saat sang guru turun gunung, Lodaya Seta menyatroni 

lagi pondok perguruannya.

Terkejut Candra Gumintang melihat kedatangan Lodaya Seta. 

Lodaya Seta pura-pura menangis menyesali perbuatannya Tentu saja 

membuat hati Candra Gumintang jadi trenyuh. Sebenarnya diapun 

amat menyayangi Lodaya Seta yang sudah dianggap adik kandung


nya sendiri. Tapi Candra Gumintang tak menyangka kalau secara di-

am-diam Lodaya seta berbuat keonaran diluar perguruan. Bahkan 

guru Lodaya Setapun tak mengetahui. Suatu hari telah berdatangan 

beberapa tokoh persilatan golongan putih ke pesanggrahan mereka. 

Tentu saja membuat sang guru jadi tercengang karena mereka datang 

mencari Lodaya Seta. Kelakuan Lodaya Seta diluaran ketika diberi 

izin turun gunung beberapa bulan, telah melakukan berbagai perbua-

tan jahat. Seperti merampas hak orang lain, menipu, menganiaya, 

bahkan juga memperkosa wanita-wanita dengan mempergunakan ak-

al licik. Yaitu mengkambing hitamkan orang lain dengan perbuatan-

nya yang telah dilakukan.

Namun akhirnya dia harus mengalami resiko, ketika suatu saat 

perbuatannya ketahuan. Lodaya Seta melarikan diri. Dengan ilmunya 

yang tinggi dia memang telah membuat si pengejar kehilangan jejak. 

Tapi sekecil-kecilnya yang namanya kejahatan, pasti akan terbong-

kar. Karena secara tak sengaja Candra Gumintang

justru turun gunung. Tujuannya adalah mencari Lodaya Seta un-

tuk memanggilnya pulang berkenaan dengan urusan penting atas tita-

han gurunya. Secara kebetulan pula justru Lodaya Seta muncul, yang 

sedianya akan kembali keperguruan. Demikianlah, akhirnya diketahui 

tempat tinggal Lodaya Seta. Dan mengetahui pula kalau dia salah 

seorang murid Pendekar tua yang bercokol dipuncak Gunung Karang 

Setan pada waktu itu. Tentu saja dengan menyatroninya belasan pen-

dekar itu membuat terkejut RESI GENTAYU guru kedua murid itu. 

Hampir saja terjadi pertumpahan darah. Dan hari itu juga Resi Gen-

tayu menyatakan tak mengakui lagi Lodaya Seta sebagai murid. Bah-

kan mencabut semua ilmu-ilmu yang telah diberikan pada Lodaya 

Seta. Lalu mengusirnya keluar dari puncak Gunung Karang Setan.

Melihat kemunculan Lodaya Seta ke pesanggrahan di puncak 

gunung Karang Setan itu, Candra Gumintang jadi serba salah. Apabi-

la adik seperguruannya itu menangis didepannya menyatakan penye-

salannya.

"Aku tak bisa berbuat apa-apa, Lodaya...! Semua ini kesala-

hanmu. Dan guru telah mengambil keputusan. Mengapa kau tidak 

pergi dari sini?

Segala tindak-tandukmu kini diluar tanggung jawab guru kita.


Kukira penyesalan mu sudah terlambat...!" berkata Candra Gumin-

tang dengan suara lirih.

"Kakang mbok...! aku mengerti kau tak bisa berbuat apa- apa. 

Akan tetapi kita telah seperti saudara kandung. Apakah kau tega 

membiarkan aku sengsara? Guru pernah bercerita bahwa beliau 

mempunyai harta pusaka yang kelak akan dibagikan kita berdua un-

tuk masing-masing kita mendirikan pesanggrahan meneruskan cita-

cita guru untuk mengembangkan ilmu silat aliran guru. Akan tetapi 

dengan keluarnya aku dari perguruan, aku tak mendapatkan apa-apa. 

Ooo... alangkah menyesalnya aku..." berkata Lodaya Seta. Dan kem-

bali air matanya mengalir bercucuran.

"Sesal itu sudah terlambat, adik Lodaya...! Dan janganlah kau 

mengungkit-ungkit tentang harta pusaka itu... Aku sendiri tak menge-

tahui dan tak mengharapkannya. Bahkan guru rasanya tak pernah 

menyebut-nyebut lagi tentang hal yang pernah dibicarakan itu. Semua 

keputusan ditangan guru. Akan diberikan atau tidaknya harta pusaka 

itu, ataukah masih ada atau tidak harta pusaka itu bukanlah urusan ki-

ta. Walaupun seandainya kau masih tetap menjadi murid beliau. Ka-

rena itu urusan beliau. Kita tak berhak apa-apa. Apalagi menuntut-

nya...!" ujar Candra Gumintang. Candra Gumintang seperti telah 

menduga maksud tujuan Lodaya Seta. Yang sebenarnya mengingin-

kan belas kasihannya untuk membagi sedikit warisan untuk bekalnya. 

Benar saja...!

"Jadi kau belum menerima apa-apa dari guru..?" tanya Lodaya 

Seta. Candra Gumintang menggeleng.

"Baiklah...!"ujar Lodaya Seta. "Aku akan segera meninggalkan 

wilayah ini. Tapi kelak suatu saat aku pasti akan mencarimu, kakang 

mbok!" Setelah berkata demikian, Lodaya Seta segera putar tubuh. 

Lalu bergegas meninggalkan tempat itu dengan cepat. Namun sejak 

itu Lodaya Seta tak pernah muncul. Bahkan sampai wafatnya Resi 

Gentayu, dan sampai Candra Gumintang mendirikan pesanggrahan 

perguruan Cempaka Biru. Padahal murid pertamanya adalah anak 

kandung Lodaya Seta. Candra Gumintang memang selama hidupnya 

tak menikah. Tadinya dia cuma mau menerima murid-murid wanita 

saja. Tapi akhirnya menerima juga murid laki-laki. Yaitu Tapak Do-

ro, Binangun dan Shidarta.


***

DELAPAN


Selanjutnya Nini Candra Gumintang berikan penuturannya, 

bahwa ketika itu dia terkejut melihat kemunculan Lodaya Seta diha-

dapannya.

"Lodaya... jadi kau... kaukah tabib yang akan mengobati penya-

kitku?" bertanya Nini Candra Gumintang dengan suara lemah. Dalam 

pandangan samar-samar itu ternyata wanita tua itu masih bisa men-

genali orang dihadapannya.

"Hehehe... benar! Aku Lodaya Seta. Bukankah aku pernah bi-

lang bahwa aku kelak pasti akan datang untuk menemuimu lagi? Kini 

sudah saatnya aku menagih padamu. Aku tahu kau pasti telah mene-

rima warisan Harta Pusaka itu seluruhnya dari guru. Dan aku yakin 

kau akan berbaik hati untuk memberikannya padaku sebagian...!" ujar 

Lodaya Seta dengan menyeringai. Lodaya Seta telah berubah jadi 

seorang kakek bertubuh tegap dengan kumis dan jenggot yang putih 

lebat. Dikala muda memang Lodaya Seta sudah berewok. Keadaan-

nya memang tak berubah banyak. Cuma berbeda dari kumis dan 

jenggot yang sudah memutih, serta kerut merut diwajah. Kulit tubuh-

nya walaupun sudah mengendur, tapi tampak masih tampak kekar.

"Lodaya...! apakah selama ini kau telah merobah jalan hidupmu 

menjadi manusia baik-baik?" tanya Nini Candra Gumintang.

"Hehehe... tentu saja...! bukankah aku menjadi seorang tabib? 

aku curahkan seluruh hidupku untuk kemanusiaan. Ku tolong orang 

lemah tak berdaya tanpa pamrih Aku tak mengharapkan imbalan apa-

apa. Aku memang sengaja tak munculkan diri sebelum aku membu-

tuhkan. Kini aku sangat membutuhkannya Candra Gumintang...! Se-

mua ini untuk kemanusiaan...!" sahut Lodaya Seta. Nini Candra Gu-

mintang mengangguk-angguk. Dia tersenyum. Dan, dari sepasang 

mata yang sudah memudar sinarnya itu menetes air bening.

"Ah... aku bahagia sekali mendengarnya Lodaya... Sudah kudu


ga, manusia pasti bisa merobah wataknya kalau dia mau. Haiiih! ka-

lau guru masih hidup tentu beliau akan senang mendengarnya..." ujar 

Nini Candra Gumintang dengan terharu.

"Kau sudah menikah. Lodaya...? Mana istrimu? anakmu...? 

atau, cucumu...?" tanya Ketua Perguruan Cempaka Biru itu.

"Kau sendiri bagaimana?" balas bertanya. apakah kau sudah 

bersuami?" Wanita tua itu menggeleng. "Aku masih tetap sendiri se-

jak dulu. Mungkin aku takkan menikah sampai saat habisnya usia-

ku...!" Tabib tua itu menggeleng-gelengkan kepala.

"Haiih! kakang mbok! mengapa kau menyia-nyiakan masa mu-

damu?

Kau dulu cantik, ayu... bahkan hatiku pernah "Kepincut" pada-

mu. Sayang usiamu lebih tua dan kau telah menganggap aku adikmu 

sendiri..." berkata Lodaya Seta, seraya menghela napas. Pernyataan 

Lodaya Seta itu membuat Nini Candra Gumintang terperangah. Akan 

tetapi tak ditampakkan diwajahnya. Andaikata sejak dulu sebelum 

Lodaya diusir dari perguruan mengucapkan isi hatinya pada dia, nis-

caya dia bahagia mendengarnya. Dan takkan ditolak cintanya karena 

memang diam-diam dihati Candra Gumintang pada saat itu memang 

telah menanam benih "cinta" pada Lodaya Seta. Akan tetapi dia tak 

berani mengutarakannya, disamping telah menganggap Lodaya Seta 

adiknya sendiri.

Akan tetapi begitu mengetahui pebuatan dan tingkah laku Lo-

daya Seta, dapat dibayangkan betapa hancurnya perasaannya. Hingga 

kemudian gurunya mengusir pergi Lodaya Seta dari rumah pergu-

ruan. Sejak saat itu hati Candra Gumintang tertutup. Cintanya seolah 

karam didasar laut. Demikianlah, hingga sampai saat ini dia tetap tak 

pernah bersua ini.

Saat itu mendengar pengakuan Lodaya Seta, telah membuat dia 

terlongong dan tak terasa air matanya semakin membanjir membasahi 

pipinya yang telah keriput. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Lo-

daya..." ujar Nini Candra Gumintang dengan suara serak, Lalu cepat-

cepat menghapus air matanya.

"Oh... ya...! baiklah akan kukatakan. Aku memang telah meni-

kah. Tapi istriku mati muda disaat melahirkan. Aku cuma dikaruniai 

seorang anak perempuan. Dialah yang bernama Nagasari. Dan bu


kankah selama lima tahun ini telah menjadi muridmu?"

Membelalak mata Candra Gumintang. "Hah!? jadi... jadi 

NAGASARI itu anakmu...?"

"Benar!" sahut Lodaya Seta pendek. Lama... dan lama wanita 

tua itu tercenung hingga akhirnya dia berkata.

"Sungguh kau ini manusia aneh, Lodaya...!" mengapa kau baru 

mengatakannya sekarang?"

"Justru itulah, kakang mbok, aku ingin kau mengerti tentang 

aku. Dan kuinginkan Harta Pusaka warisan guru itu kau berikan pa-

daku. Aku akan memberikannya pada anakku Nagasari. Anak pe-

rempuanku satu-satunya yang amat ku sayangi...!" Sampai disini tiba-

tiba meledaklah tawa gembira Nini Candra Gumintang. Hingga sam-

pai air matanya bercucuran.

"Hihihihi... kau memang pintar, Lodaya...! tapi aku gembira. 

Baiklah! akan kuberikan sisa harta pusaka warisan guru itu pada-

mu..." Melonjak girang NAGASARI yang diam-diam sembunyi 

mendengarkan pembicaraan ayah dan gurunya berdua dengan Tali 

Wangsa.

"Terima kasih atas kebaikan hatimu kakang mbok...!" menyahut 

Lodaya Seta dengan wajah girang. "Nah, minumlah ini untuk keseha-

tanmu.

Kau harus dirawat disini sekurang-kurangnya satu bulan...!" 

Lodaya Seta berikan obat ramuan yang telah diramunya tadi dalam 

mangkuk.

"Terima kasih, adik Lodaya... ujar Candra Gumintang. Lodaya 

Seta membantunya untuk duduk. Lalu dekatkan mangkuk berisi obat 

itu yang masih mengepul hangat. Dan Wanita tua itu segera memi-

numnya. Setelah merebahkan lagi tubuh wanita tua itu, Lodaya Seta 

bertanya.

"Dimana kau simpan harta pusaka itu, kakang mbok...?"

"Oh ya ...!"* ujar Candra Gumintang yang terbatuk-batuk se-

saat. Lalu singkapkan ikat pinggangnya. Setelah loloskan stagen itu, 

lalu diberikan pada Lodaya Seta.

"Didalam stagen ini terdapat sebuah kantong yang dijahit. Bu-

kalah jahitan itu. Didalamnya ada sebuah kertas kulit yang berisi peta 

dimana harta pusaka itu disimpan!" Ujar wanita tua itu. Lodaya Seta


manggut-manggut gembira. "Ah, sungguh kakang mbok seorang 

yang berbudi luhur. Juga berhati bersih! membuat aku jadi malu ha-

ti...!"

"Aku telah menganggap kau adik kandungku sendiri. Dan bu-

kankah kau akan mempergunakan untuk kepentingan umat manusia? 

Kalau aku tak memberikannya,oo... alangkah naifnya aku...!"

"Benar! benar, kakang mbok. Sungguh aku menghargai keluhu-

ran budimu...." Lodaya Seta cepat membuka jahitan pada kain stagen 

itu. Dan mendapatkan secarik kertas kulit berisi sebuah peta.

Sampai disini Candra Gumintang menghela napas.

"Apakah guru tidak mencurigai sama sekali pada Naga Sari? 

Juga pada paman Lodaya Seta?" bertanya Windarti. Nini Candra 

Gumintang menggeleng. "Sejak jauh-jauh hari aku memang telah 

membagi dua harta pusaka warisan dari mendiang kakek gurumu itu. 

Sebagian telah kupakai untuk membangun pesanggrahan Cempaka 

Biru. Sedangkan sebagian lagi memang telah kuperuntukkan buat 

Lodaya Seta...!" sahut Wanita tua itu.

"Lalu bagaimanakah kelanjutannya, guru...?" tanya Windarti.

"Baiklah, aku akan teruskan ceritanya..." Demikianlah! Nini 

Candra Gumintang segera tuturkan kelanjutan kisahnya. Ternyata 

kemudian setelah Lodaya Seta dapatkan peta rahasia tempat Harta 

Pusaka itu, dia lalu meninggalkan kamar. Sementara Candra Gumin-

tang semakin redup matanya. Obat ramuan yang diminumnya ternya-

ta tak lain dari obat bius. Dan sesaat antaranya wanita tua itu telah ti-

dur pulas. Tentu saja membuat Lodaya Seta dan Nagasari serta Beguk 

Reksasana tersenyum. Mereka berembuk untuk memulai rencana se-

lanjutnya. Dan bisikan-bisikan itu ternyata tak luput dari pendengaran 

Nini Candra Gumintang, yang sebenarnya cuma pura-pura pulas. 

Padahal wanita tua itu telah kerahkan ilmu kekuatan tenaga dalamnya 

untuk melawan pengaruh obat bius. Kecurigaannya mulai timbul, ka-

rena mendengar kasak-kusuk Nagasari dan Beguk Reksasana yang 

bersembunyi mendengarkan pembicaraan mereka. Mengapa Nagasari 

tak mau munculkan diri terang-terangan. Dan ada apakah dibalik ke-

janggalan ini...? Ya, Nagasari memang sering terlihat janggal dalam 

perbuatan dan tindak-tanduknya. Semua sikap itu melalui menjadi 

perhatiannya.


"Bagus...! dia sudah terpulas, ayah...! Bagaimana rencanamu?" 

tanya Nagasari pada Lodaya Seta, Seusai menceritakan kejadian aneh 

tentang Shidarta.

"Hm, menurutmu baiknya bagaimana...! balas bertanya Lodaya 

Seta.

"Dia telah berikan peta harta pusaka itu padaku tanpa bersusah 

payah! Apakah kebaikannya akan kita balas dengan kejahatan...?"

"Ayah benar! Akan tetapi racun yang setiap hari diminumnya 

setiap kali aku membawakan minuman untuknya, telah membuat pe-

nyakit dalam ditubuh Nini Candra Gumintang sukar untuk di sem-

buhkan. Bukankah demikian kata ayah? Juga seandainya ayah mam-

pu mengobatinya lagi, sudah terlanjur kasip (terlambat). Kelak suatu 

saat pasti perbuatan kita bisa ketahuan. Bahkan akan lebih berabe lagi 

seandainya semua saudara-saudara seperguruan mengetahui. Teruta-

ma Shidarta...! Walau dia masih hidup, tentu akan membocorkan ra-

hasia ini!" ujar Nagasari.

"Jadi sebaik-baiknya langkah yang harus kita tempuh adalah 

melenyapkannya...!" lanjut ucapan Nagasari.

"Yah! tak ada jalan lain ...!" akhirnya Lodaya Seta manggut-

manggut menyetujui usul Nagasari padahal hati laki-laki tua itu amat 

menyesali tindakannya. Karena tak menduga akan semudah itu Can-

dra Gumintang memberikan peta Harta Pusaka padanya. Nasi telah 

menjadi bubur. Apa mau dikata. Kini tak ada jalan lain selain mele-

nyapkan nyawa wanita tua yang berbudi luhur itu.

Akhirnya diambil keputusan, Tapak Doro dan Binangun yang 

diperintahkan untuk membunuh Nini Candra Gumintang.

Kedua orang itu segera datang menghadap ketika mendapat 

panggilan dari Nagasari yang menemuinya.

"Bawalah wanita tua yang pernah menjadi guru kita ini ketem-

pat yang jauh. Lalu bunuhlah. Mayatnya lemparkan saja ke jurang.

"Baik kakang mbok perintah akan hamba laksanakan, asalkan 

kakang mbok tak lupa untuk membagi harta pusaka itu...!" menyahut 

Tapak Doro.

"Hm, jangan khawatir! aku tak pernah mendustai apa yang telah 

kujanjikan itu. Buat apa aku mempercayai kalian berdua kalau aku 

akan berlaku tamak? Aku membutuhkan tenagamu bukan saat ini saja. Tapi untuk seterusnya kalian akan menjadi orang-orang yang pal-

ing aku percaya...!"

Sahut Nagasari dengan tersenyum. "Nah! Kerjakanlah!"

"Baik kakang mbok...!" hampir berbareng mereka menyahut. 

Selanjutnya Tapak Doro dan Binangun segera membawa tubuh Nini 

Candra Gumintang keluar goa. Bergantian mereka memanggul wani-

ta tua yang dalam keadaan terbius itu. Hingga mereka tiba ditepi ju-

rang yang dalam. Disana mereka berhenti.

"Kukira kita tak perlu turun tangan membunuhnya terlebih dulu, 

Binangun!" ujar Tapak Doro. "Toh bila kita lemparkan saja kejurang, 

tentu dia akan mati!"

"Hm, benar juga pendapatmu, kakang Tapak Doro! Ayolah! le-

bih cepat lebih baik. Sebenarnya aku tak tega melakukannya. Akan 

tetapi bila tak dijalankan perintah ini, resikonya amat besar bagi ki-

ta!" sahut Binangun. Disaksikan elang dan burung-burung gagak 

yang bertengger dibatu-batu cadas tebing itu, Tapak Doro dan Binan-

gun siap melemparkan tubuh Nini Candra Gumintang sang guru me-

reka dari atas tebing kemulut jurang, yang sukar diukur dalamnya...

Akan tetapi pada saat itu juga muncul sesosok tubuh berjubah 

serba hitam berwajah mengerikan, mirip mayat hidup. Berambut pu-

tih beriapan.

"Tahan!" sosok tubuh itu keluarkan suara bentakan.

"Heh! Siapa Kau...!?" tersentak kaget Tapak Doro. Tentu saja 

dia lantas urungkan niatnya.

Kedua saudara seperguruan ini saling pandang.

"Bagaimana adik Binangun? apakah sebaiknya kita bikin mam-

pus dulu penghalang ini?" bisik Tapak Doro. Binangun mengangguk. 

Dan... Sreet! Criing...!

Keduanya telah cabut masing-masing senjatanya dari pinggang.

"Manusia ataukah hantukah kau? mengapa menghalangi niat 

kami?" bentak Tapak Doro. "Hmm...!" orang itu perdengarkan suara 

dihidung. Dan, tanpa berkata apa-apa lagi langsung menerjang kearah 

kedua murid perguruan Cempaka Biru itu. Sepasang lengan si Manu-

sia muka mayat itu merentang. Jari-jari tangannya mengembang, siap 

mencengkeram batok kepala keduanya.

"Awas, adik Binangun...!" Tapak Doro memperingati. Sementa


ra dia sendiri segera melompat menghindar. Bahkan senjata golok be-

sarnya membabat kearah pergelangan tangan lawan. Binangun mi-

ringkan tubuhnya dengan sigap, Rantai besi berbandulan tiga mata 

tombak, segera digunakan untuk menyerang lawan. Suara rantainya 

bergemerincing. Dan tiga mata tombak meluncur kearah tubuh si ma-

nusia muka mayat.

Kembali orang misterius itu perdengarkan dengusnya. Tiba-tiba 

tubuhnya meletik ke udara dengan lakukan salto indah. Dari gerakan 

menukik dia telah lancarkan serangan berikutnya. Sepasang lengan-

nya dengan jari-jari mengembang itu bagaikan cakar elang yang 

kembali menyambar untuk mencengkeram batok kepala Tapak Doro 

dan Binangun.

"Edan...!" maki Binangun. Serangan senjata rantai berbandulan 

tiga mata tombak itu lolos. Bahkan dia kini harus hindarkan serangan 

mendadak yang di luar dugaan.

***

SEMBILAN


Tapi sebagai murid yang sudah terlatih, tentu saja Binangun 

masih bisa hindari serangan ganas itu. Bahkan lemparkan tubuhnya 

kebelakang, dia telah sebarkan jarum-jarum senjata rahasia kearah si 

manusia muka mayat. Sementara Tapak Doro dengan gerakan sebat 

dapat menghindari diri cengkeraman cakar maut itu. Walau tak urung 

baju dibagian pundak kena tercengkeram sobek.

Terpaksa si manusia muka mayat gagalkan serangan susulannya 

karena harus menyampok mental senjata rahasia itu dengan jubahnya. 

Dan dengan lakukan salto dia injakkan kakinya ketanah. Tampak gu-

sar Tampak Doro. Manusia penghalang itu harus cepat dirobohkan. 

Kalau sampai terlambat dikhawatirkan pekerjaan mereka akan gagal 

untuk membunuh guru mereka. Lompatan dengan jurus Macan putih 

Menerkam kijang segera dilakukan. Bahkan golok besarnya sudah 

melayang ganas untuk menabas pinggang lawan. Gerakan cepat ini


seperti membuat si manusia muka mayat agak terkejut. Kembali dia 

menghindar dengan Lompatan salto. Tapi kali ini Tampak Doro terus 

mengejar dan mencecar dengan tabasan-tabasan golok besarnya.

Binangun segera datang membantu dengan sambaran tiga mata 

tombak dari bandulan rantainya. Terlihat si manusia muka mayat se-

pertinya terdesak. Dia terus mundur dengan lompatan-lompatan sal-

tonya. Hingga makin jauh dari sisi tebing dibibir jurang itu. Suatu ke-

tika si manusia muka mayat menghindar dari serangan tiga mata 

tombak Binangun. Dia berhasil menyelinap kebalik batu tebing.

"Keparat! kau harus mampus! karena telah memperlambat uru-

san kami!" bentak Tapak Doro dengan gusar. Semakin menggebu 

niatnya untuk segera membinasakan lawan yang dilihatnya telah ter-

desak. Namun kedua saudara seperguruan ini ternyata telah kehilan-

gan jejak. Si manusia muka mayat lenyap entah menyelinap kemana. 

Berlompatan Tapak Doro dan Binangun mencari. Akhirnya mereka 

memutuskan untuk cepat kembali. Pekerjaan mereka harus segera 

diselesaikan.

Demikianlah. Dengan gerakan cepat mereka segera kembali ke-

tepi tebing. Dibibir jurang itu masih tampak tergolek tubuh Nini can-

dra Gumintang.

Sesaat kemudian...

"Satu.... dua.... ti...ga !"

Dan dilemparkannya tubuh wanita pendekar tua yang malang 

itu ke mulut jurang. Tubuhnya melayang ke bawah untuk kemudian 

lenyap tak kelihatan lagi. Karena dalamnya dasar jurang sukar diukur 

dan tertutup kabut.

Tapi tak seorangpun dari dua saudara seperguruan itu yang 

mengetahui kalau yang di lemparkan mereka tak lain dari sebatang 

kayu. Ya, sebatang kayu..! Karena sebenarnya tubuh Nini Candra 

Gumintang telah dibawa berkelebat dalam pondongan sesosok tubuh 

berjubah hitam, yaitu siapa lagi kalau bukan tubuh si manusia Muka 

Mayat yang tadi lenyap dari kejaran Tampak Doro dan Binangun.

Akhirnya kedua laki-laki yang telah menunaikan tugasnya itu, 

tampak segera bergegas kembali pulang untuk melaporkan hasil pe-

kerjaannya...

Sampai di sini Nini Candra Gumintang mengakhiri kisahnya,


yang ditutup dengan kata-kata... "Nah! Itulah sebabnya aku masih hi-

dup sampai saat ini. Karena di tolong seseorang...!"

Windarti termangu-mangu mendengarkan kisah yang dituturkan 

itu.

"Siapakah orang yang telah menolongmu itu, guru...?"

"Entahlah...! Orang itu tak mau memperkenalkan diri. Wajah-

nya mirip mayat hidup. Kami cuma mengenal dia dengan julukan si 

Manusia Muka Mayat!"

"Ooooh...!?" Ternganga Windarti.

"Akan tetapi si penolong misterius itu kenal baik dengan adik 

seperguruanku, si Lodaya Seta.!" ujar nini Candra Gumintang lebih 

lanjut.

Dan agar kau ketahui lebih jelas... si Ular Betina Selat Madura 

itu sebenarnya adalah murid paman Lodaya Seta. Yang telah menye-

lamatkan

nyawaku... !" berkata Shidarta dengan menatap lekat-lekat pada 

Windarti.

Lagi-lagi gadis ini tersentak kaget. "Aiiih! jadi demikiankah 

adanya...?" ucapnya dengan terbelalak matanya.

"Kini dimanakah paman Lodaya Seta?" tanya Windarti seraya 

palingkan wajahnya menatap pada sang guru dan Shidarta.

"Beliau ada ditempat ini...!" ujar Shidarta.

"Guru...! bolehkan aku mengajaknya untuk menemui paman 

guru...?"

"Silahkan Shidarta...! Jangan lupa perkenalkan pula pada si Ular 

Betina Selat Madura...!"

"Baik, guru...!" menyahut Shidarta. Lalu setelah menjura segera 

bangkit berdiri. Windarti mengikuti. Shidarta ulurkan lengannya un-

tuk meraih tangan dara itu. "Mari kita ketempat mereka...!"

Windarti mengangguk. Menoleh sejenak memandang pada Nini 

Candra Gumintang.

"Guru...! aku pergi dulu..."

Wanita tua itu mengangguk sambil tersenyum.

"Pergilah Windarti!" ucapnya.

Tak lama dengan bergandengan tangan kedua remaja itu segera 

keluar dari ruangan pondok sederhana berlantai dan berdinding papan

kayu jati itu.

Ternyata Shidarta membawanya ke seberang sungai berair 

dangkal.

Diseberang sungai pada tempat ketinggian, tampak berdiri se-

buah rumah panggung yang cukup besar.

"Itulah tempat tinggal paman Lodaya Seta. Akan tetapi kini dia 

sudah tak memakai nama Lodaya Seta lagi..."

Windarti manggut-manggut. "Siapakah nama atau gelarnya ki-

ni?"

"Beliau memakai nama Ki DONDOMAN dengan gelar Malai-

kat Tangan Sebelas...!" sahut Shidarta.

"Ah!?" nama yang aneh dan gelar yang hebat!" puji Windarti.

Ditepi sungai berair dangkal dan jernih itu mereka berhenti se-

jenak. Shidarta menatap Windarti dalam-dalam seperti mau menelu-

suri relung hati dara itu. Sementara lengannya masih mencekal jemari 

tangan Windarti. Darah pemuda ini berdesir, dengan detak jantung 

yang berdegupan. Terasa dihati laki-laki ini ada rasa bahagia. Semen-

tara yang ditatap jadi serba salah. Dia tak mengerti ada apa dengan 

sikap pemuda itu yang menatapnya lekat-lekat...?

"Windarti...!" terdengar suara Shidarta. "Bolehkan aku mengu-

tarakan isi hatiku...?"

"Hm, mengapa tidak? kita kan saudara seperguruan. Kalau kau 

punya uneg-uneg dihatimu, katakan saja...!" sahut Windarti dengan 

termenung heran.

"Aneh!" pikir Shidarta. "Windarti seperti biasa-biasa saja ber-

hadapan denganku. Apakah tak ada "rasa" dihatinya secuilpun terha-

dapku?"

"Terima kasih, Windarti..." Hanya itu yang terlontar dari mulut-

nya. Selebihnya diam dengan menundukkan wajah. Tak tahu lagi apa 

yang akan dikatakannya.

"Katanya kau mau mengutarakan uneg-uneg dihatimu. Menga-

pa tak kau paparkan padaku?" Pertanyaan Windarti membuat Shidar-

ta tersentak.

"Oh, ya! ya...! aku... aku sedang berpikir, apakah yang akan ku-

katakan?" ujar Shidarta tergagap.

"Lho? kok malah berpikir dulu? langsung saja bicara! Kau tam


paknya seperti takut mengatakannya, Shidarta. Tak baik begitu. Aku 

lebih suka orang yang terang-terangan. Nah, katakanlah uneg-uneg 

dihatimu...!"

Akhirnya Shidarta bicara juga setelah menelan ludah berkali-

kali.

"Windarti...! apakah selama ini tak ada kau simpan nama seo-

rang laki-laki dihatimu?"

"Nama seorang laki-laki?" Hm, maksudmu...?" tanya Windarti 

tak mengerti.

"Ya! nama seorang laki-laki yang... yang kau cintai...?" ulang 

pemuda itu dengan memandang nanar. Sementara hatinya berdegu-

pan tak keruan.

"Tak ada kusimpan nama seorang laki-laki pun dihatiku, Shidar-

ta! Walau... ya, walau di pesanggrahan Melati terlalu banyak laki- la-

ki!" sahut Windarti yang mulai menebak maksud pertanyaan Shidarta

Tampak Shidarta menghela napas, seperti merasa lega. "Kalau 

tak ada nama laki-laki yang terukir dihatinya, berarti Windarti belum 

terjamah tangan laki-laki..." pikir Shidarta.

"Windarti...! tahukah kau bahwa aku... aku telah sejak lama me-

naruh hati padamu. Waktu kita masih sama-sama di pesanggrahan 

Perguruan Cempaka Biru hingga saat ini pun perasaan sayang pada-

mu itu masih ada.

Kalau kau kurang mengerti, baiklah kujelaskan. Ya, aku sebe-

narnya amat mencintaimu, Windarti...!" Serasa terbebas uneg-uneg 

dihati Shidarta setelah mengucapkan kata-kata barusan.

Tercenung sesaat Windarti. Walau dihatinya mengadakan per-

tentangan dengan pernyataan itu, namun naluri kewanitaannya ter-

nyata masih berfungsi.

Dia menyadari bahwa satu jalan lurus terbentang dihadapannya. 

Seperti mendapat tempat direlung hati. Selama ini dia memang me-

nyadari bahwa apa yang terjadi antara dia dengan Kuntali adalah ke-

tidak wajaran. Kini dia harus dapat membedakan antara kelurusan 

dan kesalahan fatal dalam mengikuti aluran naluri kewanitaannya. 

Dan, dia merasa genggaman lengan Shidarta begitu mesra meremas 

jemari tangannya.

Sesaat hatinya berdegupan. Entah perasaan apa yang berkeca


muk di dadanya. bahagiakah? atau dia harus bersedih. Karena segera 

teringat Windarti pada Kuntali, yang telah tiada. Tiba-tiba dadanya 

bergemuruh ketika mengingat akan kematian Kuntali yang tragis di-

tangan Nagasari.

"Terima kasih atas ucapanmu itu Shidarta. Aku amat menghar-

gai. Dan... aku tak menolak cintamu....!" ujar Windarti dengan mata 

berkaca-kaca.

"Kau... kau terima cintaku, Windarti?" tanya Shidarta penasa-

ran. Dia seperti mau mendengar pengakuan Windarti lebih jelas.

Dara cantik itu mengangguk. Tanpa ucapan kata-kata. Cuma 

sepasang mata sayu itu yang menatapnya dengan pandangan nanar.

"Ah, terima kasih, Windarti. Terima kasih...! Ooo... bahagianya 

hatiku...!" teriak Shidarta dengan suara berbisik menggeletar. Dikepa-

lanya erat-erat lengan Windarti dan didekapnya ke dada.

"Ehmm...!" satu deheman membuat Shidarta terkejut. Ketika 

memandang kedepan, diseberang sungai tampak berdiri sesosok tu-

buh wanita berparas cantik. Memakai pakaian dari sutera tipis warna 

hitam, "Dialah si Ular Betina Selat Madura, murid paman Lodaya Se-

ta" Ujar Shidarta. Windarti manggut-manggut...

***

SEPULUH


Andaikan wanita bernama Andini, orang baru dari pesanggra-

han Melati yang membunuh bangsawan tua itu?" tanya Windarti sete-

lah menjabat tangan si Ular Betina Selat Madura.

"Tidak salah...! aku juga yang bergelar si Ular Betina Selat Ma-

dura. Julukan itu sebenarnya bukan aku yang menggelari. Tapi orang-

orang sekitar selat Madura yang menggunakan nama itu untuk meng-

gelariku!" sahut Wanita bersuara merdu itu.

"PERAMPOK TENGIK...! kiranya kau bersembunyi disini?" 

tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek. Dan tiga sosok tubuh ber-

loncatan mengurung.


Mereka rata-rata berjubah hitam. Tak pelak lagi mereka itu tak 

lain dari si Tiga Dedemit Gunung Siung. Yaitu tiga orang guru Beguk 

Reksasana dari kaum Rimba Hijau golongan Hitam.

"Hihihi... bagus! bagus...! tanganku memang sudah gatal untuk 

mengemplang kepala kalian. Sukurlah kalau kalian tahu diri menyu-

sul kemari!" berkata si Ular Betina Selat Madura dengan mengikik 

tertawa. Sikapnya amat tenang seperti tak mengenal bahaya maut di 

depan mata. Bahkan dengan lagak yang jumawa dia umbar kata-

katanya seolah telah mengetahui kedatangan ketiga Dedemit Gunung 

Siung itu.

Tentu saja membuat Windarti melegak heran. Ingin sekali dia 

menyaksikan kehebatan wanita muda yang menghebohkan selat Ma-

dura itu. Dari sikapnya dapat diketahui kalau si Ular Betina bernama 

Andini itu seperti tak memandang sebelah mata.

Saat mana terdengar suara tertawa terkekeh. Dan muncul pula 

sesosok tubuh. Dialah si manusia muka mayat. "Heheheheh... Tiga 

Dedemit Gunung Siung! akulah lawanmu....!"

Serentak tiga laki-laki tua berjubah hitam itu balikkan tubuh. 

Langsung salah seorang membentak. "Huh! Siapakah kau...?"

"Heheheh... aku si Manusia Muka Mayat!"

"Apakah urusanmu dengan persoalan kami? Bocah perempuan 

edan itu telah merampok harta benda muridku di Pesanggrahan Mela-

ti! Apakah kau mau membela maling?" bentak Dedemit Gunung 

Siung.

"Huuu!? begitukah? Kudengar muridmu itu adalah pendiri pe-

sanggrahan edan yang menjadi komplotan jual-beli perempuan? Ka-

lau dirampok orang kukira itu wajar! Bukankah harta muridmu itu 

harta tak halal?" tukas si manusia Muka Mayat.

"Dan perlu kalian ketahui, murid perempuan mu si pendiri pe-

sanggrahan Melati itu adalah anak kandunganku sendiri. Akan tetapi 

karena perbuatannya membuat malu aku. Juga menyalahi tata tertib 

serta membuat kekisruhan di wilayah Kerajaan dengan mendirikan 

komplotan edan itu, maka aku tak mengakui dia anakku lagi!"

Terhenyak seketika si Tiga Dedemit Gunung Siung. Ketiganya 

saling pandang dengan kawannya sendiri.

"Heh! siapakah kau ini sebenarnya?" bertanya salah seorang da


ri mereka. Si manusia Muka Mayat tak menjawab. Akan tetapi ge-

rakkan tangannya "membuka" kulit wajahnya. Ternyata dia menge-

nakan semacam topeng kulit manusia. "Nah! apakah kalian masih 

mengenali wajahku...?" bertanya si manusia Muka Mayat, yang kini 

wajahnya sudah tak seperti mayat hidup lagi.

"LODAYA SETA...!?" tersentak kaget ketiga manusia ini. 

Memandang laki-laki tua itu yang tak lain memang Lodaya Seta 

adanya.

Sementara ditempat persembunyian dua pasang mata menatap 

dengan membelalak pada laki-laki yang barusan berganti wajah itu.

Sekonyong-konyong angin keras menyambar semak belukar 

dimana dua manusia itu bersembunyi, ketika Lodaya Seta alias Ki 

Dondoman atau si Malaikat Tangan Sebelas itu kibaskan lengannya.

"Heheheh... keluarlah kalian dari tempat sembunyimu, Nagasa-

ri! apakah kau tak mau tanggung jawab dengan perbuatan terkutuk-

mu?" berkata Ki Dondoman dengan suara dingin mencekam.

Tentu saja membuat dua manusia itu melompat ke luar dengan 

serempak. Ternyata benarlah Nagasari adanya, yang sembunyi ber-

sama Beguk Reksasana alias Tali Wangsa. Ternyata disaat Beguk 

Reksasana pergi mencari jejak si Ular Betina Selat Madura yang telah 

kabur dengan hasil rampokannya itu, Nagasari berkelebat menyusul. 

Dalam pelacakan mencari jejak si Ular Betina Selat Madura, mereka 

telah sampai ketempat itu.

"A... a... ayah...!? benarkah kau tak mengakui aku anak kan-

dungmu lagi?" teriak Nagasari dengan suara menggetar hebat.

Laki-laki tua ini menatap tak berkedip dengan sinar mata tajam 

seperti anak panah yang mau menembus jantung perempuan muda 

itu.

"Aku telah bilang hitam, ya hitam. Dan bila aku bilang putih, ya 

putih! apakah aku perlu mengulangi kata-kataku?" membentak Ki 

Dondoman.

Nagasari mundur dua langkah. Wajahnya tak sedap dipandang. 

Dadanya tampak turun naik karena menahan gemuruh didadanya.

Dari menatap wajah ayahnya, sepasang mata Nagasari beralih 

pada dara cantik bergelar di Ular Betina Selat Madura itu.

"Heh! kalau begitu keputusan ayah, aku tak dapat menolak.


Ayah ternyata telah punya seorang murid perempuan yang menggan-

tikan aku. Hingga ayah tega tak mengakui aku lagi sebagai anakmu! 

Pantas kalau aku disisihkan. Karena murid perempuan ayah itu pan-

dai memfiitnah. Mungkin juga dia telah mengguna-gunai ayah, agar 

ayah membenciku...!" berkata Nagasari bercampur isak.

Sementara itu Windarti sejak tadi menatap pada Nagasari den-

gan tak berkedip. Dengan pancaran mata berapi-api. Sekilas ter-

bayang lagi saat kematian KUNTALI, yang sebelum dihabisi nya-

wanya oleh Nagasari telah diperkosa dulu secara bergantian oleh Ta-

pak Doro dan Binangun.

Dendam kesumat di dalam dada dara ini tampaknya sudah tak 

tertahankan lagi. Tiba-tiba dia membentak keras seraya melompat 

kehadapan Nagasari.

"Perempuan bejat! hari ini aku akan adu jiwa denganmu...!" 

Dan tanpa ayal lagi langsung menerjang ganas. Yang diiringi peki-

kan-pekikan histeris.

Whuuk! Zeb! Zeb...! Whuk! Whuk!... BRRET!

Tersentak Nagasari yang sedang dalam keadaan berduka den-

gan keputusan sang ayah. Hatinya terasa nyeri karena tak diakui lagi 

sebagai anak kandung laki-laki bernama Lodaya Seta itu.

Ketika serangan mendadak Windari dia agak terperanjat. Na-

mun Nagasari bukanlah wanita yang mudah dijatuhkan. Karena di 

samping dia digembleng lebih dari lima tahun oleh nini Candra Gu-

mintang, tapi juga telah mendalami ilmu-ilmu dari si Tiga Dedemit 

Gunung Siung.

Namun serangan Windarti yang kalap itu justru membuat Naga-

sari sukar untuk menduga jurus-jurusnya. Hingga dia berlaku kurang 

gesit.

Sambaran deras dari terjangan Windarti membuat baju lengan-

nya tersobek. Bahkan kuku dara itu menggores kulitnya hingga ber-

darah.

"Keparat!" memaki Nagasari. Kau mau mampus...!" bentaknya 

menggledek. Dan... Menerjanglah Nagasari dengan pukulan-pukulan 

dahsyatnya untuk merobohkan dara yang masih adik seperguruannya 

itu.

Buk! Satu hantaman telak mengenai dada Windarti, membuat


gadis ini terhuyung ke belakang.

"Kau...kau manusia kejam! penipu...! kau telah mengelabuiku! 

mengelabui semua saudara-saudara seperguruan. Bahkan kau telah 

membunuh KUNTALI! Kau racuni guru kita hanya karena ketama-

kanmu pada harta pusaka milik guru! apakah kau masih layak untuk 

hidup didunia? Kau telah pula mendirikan komplotan penculik dan 

penjual wanita! Kau... kau harus tebus jiwa Kuntali dengan nyawa ib-

lismu, keparat...!"

Berteriak-teriak dengan suara lantang dara ini. Bahkan air ma-

tanya tampak mengalir turun! Dan, disertai bentakan keras melengk-

ing panjang, Windarti kembali menerjang dengan pukulan-pukulan 

ganasnya.

Saat mana Nagasari secepat kilat sambil mengelak telah laku-

kan serangan menghamburkan senjata rahasia jarum-jarum berbisa.

Akan tetapi disaat yang gawat itu, terdengar bentakan keras. Se-

sosok bayangan berkelebat.

"Awas, Windarti...!" teriakan itu dibarengi dengan mendorong 

tubuh dara itu. Akan tetapi justru sosok tubuh itu sendiri yang terkena 

lurukan jarum-jarum beracun Nagasari.

Terdengar jeritan parau dari si Ular Betina Selat Madura, alias 

ANDINI. Seketika tubuhnya roboh. Dan berkelojotan ditanah. Tapi 

sesaat antaranya tubuh wanita itupun terkulai...

Windarti melompat memburu diiringi Shidarta. Sementara Na-

gasari telah berkelebat cepat melompat dari situ setelah mencekal 

lengan Beguk Reksasana.

"Cepat! kita pergi dari sini...!" bisik Nagasari.

Akan tetapi... "Bocah murtad! hentikan langkahmu...!" satu ben-

takan keras dari nada yang dingin mencekam membuat mereka henti-

kan langkahnya. Dan sesosok tubuh melayang turun dihadapan mere-

ka. Membelalak sepasang mata Nagasari seperti mau melejit keluar. 

Karena melihat siapa yang berdiri menghadang.

"Hihihi... Nagasari. Dan kau Tali Wangsa! Lebih baik kalian se-

rahkan diri untuk jadi tawananku. Aku akan serahkan kalian pada 

hamba hukum Kerajaan yang lebih patut menjatuhkan hukuman un-

tuk kalian, di Kota Raja!"

Ternganga mulut Nagasari. Pakaian wanita ini amat mirip dengan si Ular Betina Selat Madura yang telah dipastikan tewas terkena 

serangan senjata rahasia. Akan tetapi jelas dia bukan si Ular

Betina itu? Karena wanita yang terkena luruskan senjata raha-

sianya masih tergeletak disana! Lalu siapakah wanita ini? pikir Naga-

sari.

Saat mana si manusia Muka Mayat telah melompat kehadapan 

wanita berpakaian sutera tipis warna hitam ini.

"He? siapakah kau, nona? mengapa kau menyamar jadi murid-

ku...!" berkata.

"Hihihi... akulah si Ular Betina Selat Madura yang asli! bukan 

aku yang menyamar jadi murid mu, tapi muridmu itulah yang me-

nyamar menjadi aku! Bukankah dia bernama KUNTALI...?" bertanya 

wanita ini.

Kata-kata wanita yang lantang ini membuat Windarti dan Shi-

darta jadi melengak heran. Terlebih lagi Windarti. Karena jelas dia 

telah mendengar jeritan kematian Kuntali yang dibunuh Nagasari di 

depan matanya. Walaupun dia tak melihat tapi suara jerit kematian itu 

terdengar jelas. Bahkan dia tahu Nagasari telah berikan hukuman ma-

ti buat saudara seperguruannya itu, yang telah dianggapnya berkhia-

nat.

Saat mana tiba-tiba berkelebat tubuh nini Candra Gumintang 

ketempat itu. Sekali lengannya bergerak, dia telah sentakkan kulit 

muka dara yang terkapar itu. Dan... segera terpampang wajah 

KUNTALI.

Terpekik seketika Windarti Langsung merangkul sosok tubuh 

yang sudah lepas nyawanya itu dengan menangis meratap pedih...

"Kuntali...! Kun.. tali... oh!? kiranya kau... kau..." Tak kuat me-

nahan perasaannya, Windarti terguling layu. Dia pingsan tak sadar-

kan diri. Shidarta jadi kebingungan mengurusi dara itu...

***

SEBELAS


"MURID MURTAD! segera kau akan merasakan kematian-

mu...!" bentak nini Candra Gumintang dengan suara lengkingan pa-

rau yang memekakkan telinga. Tubuhnya meluncur bagaikan alap-

alap. Sepasang lengannya menukik berbentuk lingkaran dengan jari-

jari mengembang. Inilah Jurus Rajawali Mencengkeram Naga. Akan 

tetapi pada saat itu berkelebat sinar ungu menyambar ke arah lengan 

wanita tua ini. Diiringi sambaran kilat dari selendang sutera warna 

merah, bagaikan sebatang tombak yang meluncur ke dadanya. 

WHHUUK! DHESS...!

Nini Candra Gumintang lakukan salto dengan lengan bersida-

kep. Ternyata dengan gesit dia telah tarik serangannya. Tahu-tahu se-

belah kakinya telah meluncur ke arah dada si penyerang. Terdengar 

jerit kesakitan. Tubuh Tali Wangsa alias Beguk Reksasana terjeng-

kang roboh bergulingan. Bahkan pedang sinar ungu laki-laki itu telah 

tercekal ditangannya. Baru saja kaki wanita tua itu menjejek tanah. 

Langsung melesat lagi memburu ke arah Tali Wangsa.

DHESS...!

Darah segar menyemburat keudara. Memercik ke bumi. Dan... 

menggelindinglah kepala Tali Wangsa, diiringi jatuh berdebuk tu-

buhnya yang telah tanpa kepala lagi.

Terperangah Nagasari. Wajahnya seketika berulah menjadi pu-

cat pias. Belum lagi hilang terkejutnya, tahu-tahu sinar ungu melun-

cur pesat mengancam tenggorokannya. Begitu cepatnya. Tahu-tahu 

sudah didepan mata!

Akan tetapi pada detik itu... TRANG!

Pedang sinar ungu terpental keudara dan menancap tinggi diatas 

dahan pohon. Ternyata sebutir batu kerikil telah menghantamnya, te-

pat disaat beberapa inci lagi pedang sinar ungu milik Tali Wangsa itu 

menembus tenggorokan Nagasari.

Ternyata si manusia Muka Mayat alias Lodaya setelah yang me-

lemparkan batu, menangkis serangan. Sekejap si manusia Muka 

Mayat telah melompat kehadapan nini Candra Gumintang. "Sabar, 

kakang mbok! Biarkan aku menghukum anakku sendiri...!"

Selesai berkata tiba-tiba tubuh laki-laki tua itu berbalik. Lengan


jubahnya mengibas. Di lain kejap. Nagasari sudah berdiri tak bergem-

ing dengan keadaan tubuh kaku karena urat darahnya telah tertotok.

Selanjutnya dengan sekali bergerak ulurkan lengan, tubuh Na-

gasari telah berpindah ke atas pundaknya. Dan saat berikutnya Ki 

Dondoman alias Lodaya Seta telah berkelebat pergi melesat cepat da-

ri tempat itu.

Melihat kematian Beguk Reksasana, tersentak kaget si Tiga De-

demit Gunung Siung.

Serentak mereka mencabut senjata masing-masing. Agaknya 

mereka sudah tak memperdulikan Nagasari yang dibawa pergi oleh 

Lodaya Seta. Sepasang mata mereka sebentar tertuju pada Nini Can-

dra Gumintang, lalu beralih pada si Ular Betina Selat Madura. Agak-

nya mereka bingung mengambil keputusan. Jelas tujuan mereka ada-

lah mengejar si Ular Betina untuk merebut kembali harta dan uang 

milik Nagasari yang dirampok wanita itu. Akan tetapi melihat kema-

tian Beguk Reksasana (sang murid) membuat mereka jadi amat gusar.

Salah seorang rupanya sudah mengambil keputusan.

Tanpa perdengarkan suara, satu dari Tiga Dedemit Gunung 

Siung telah melejit dari tempatnya berdiri. Senjata ditangannya yang 

berupa sebuah Garpu besar bermata lima dengan ujung runcing ber-

warna kehijauan karena sudah direndam racun, tiba-tiba ditusukkan 

ke punggung Nini Candra Gumintang. Dua orang lagi masih berdiri 

ditempat. Seperti belum niat bergerak.

BUK...!

Serangan hebat laki-laki jubah hitam yang berewokan ini luar 

biasa. Jurus serangan yang dipergunakan seperti jurus aneh, karena 

bisa menyimpan suara. Berdesirpun tidak sambaran tombak garpu 

mata lima itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara teriakan si Garpu 

Samber Nyawa. Entail tenaga darimana yang telah membentur tu-

buhnya hingga terlempar keudara setinggi lima-enam tombak. Sam-

baran angin itupun seperti tak menimbulkan suara pula.

Tubuh si Garpu Samber Nyawa melayang turun dengan kaki 

terlebih dulu. Akan tetapi dengan tubuh terhuyung limbung. Dan... 

tampak darah menetes dari mulutnya. Untung kedua kawan dengan 

sigap cepat melompat untuk menyangganya.

Tampak wajah si laki-laki brewok ini pucat pias. Sebelah lengannya memegangi dadanya. "Oh.! sudah kuduga...!" ujarnya, Selesai 

berkata tiba-tiba dia semburkan darah segar dari mulutnya.

Kedua pasang mata dua kawan si Brewok ini jadi mengarah na-

nar pada Si Ular Betina Selat Madura.

Sementara Nini Candra Gumintang sendiri seperti terbelalak he-

ran. Pertanda dia tak mengetahui kalau dibokong orang. Sedangkan si 

wanita yang mengaku bergelar Ular Betina Selat Madura itu tampak 

tersenyum-senyum.

Melihat demikian kuatlah dugaan dua dari si Tiga Dedemit Gu-

nung Siung, kalau si Ular Betina itulah yang telah melakukan seran-

gan menolak tubuh si Brewok dengan pukulan tenaga dalam tanpa 

suara...

"Bedebah tengil! tolakan tenaga pukulanmu hebat juga!" mem-

bentak Gantol Mumet yang berwajah kaku berkulit hitam legam.

Serentak kedua tubuh kakek itu telah berkelebat melompat. Se-

kejap sudah injakkan kaki di depan dan dibelakang sang Ular Betina.

"Baik! kalau kau menghendaki mampus duluan. Kebetulan ka-

mi juga perlu tahu. Kalau kau mengaku si Ular Betina Selat Madura 

yang asli, berarti kaulah yang telah merampok harta dan uang di pe-

sanggrahan Melati!" Membentak Gantol Mumet.

"Hihihi... kalau sudah tahu mengapa bertanya...?" dara ini me-

nyahut seenaknya. Tubuhnya bergerak memutar kesana-kemari den-

gan melangkah pelahan. Bahkan dengan menggendong tangan ke be-

lakang. Sikap yang jumawa itu membuat kedua kakek jubah hitam itu 

jadi mendongkol. Bukan main terhinanya kalau harus "keok" oleh 

bocah perempuan yang dinilai usianya masih remaja ini. Akan tetapi 

melihat pukulan tenaga dalam tanpa ujud dara ini membuat mereka 

tampak harus hati-hati.

"Bagus! kalau begitu urusan akan mudah dibereskan! Segera 

tunjukkan dimanakah kau simpan harta dan uang rampokanmu itu, 

nona! Mungkin kau bisa berfikir lebih jauh. Bukankah harta itu tak 

halal? Kalau kau kangkangi akan per-cuma saja. Lebih baik kau se-

rahkan pada kami...!" bujuk Kulo Takon yang bertubuh agak jang-

kung berkumis mirip kumis tikus yang bisa dihitung banyaknya. 

"Hihihi... hihihi... cecurut tua bau apek macam kau mana mem-

pan membujuk aku. Harta tak halal itu bukan mau aku kangkangi


sendiri. Tapi akan kuserahkan pada penguasa Kerajaan! Hitung-

hitung uang pajak gelap, yang diambil cuma sekali Karena setelah 

"pajak" itu lunas, aku jamin perusahaan kalian akan langsung gulung 

tikar! Hihihi... hihihi..."

"Kalau begitu kau perlu diringkus...!" bentak Gantol Mumet. 

Dan setelah memberi isyarat, kedua tokoh golongan hitam itu seren-

tak menerjang si Ular Betina Selat Madura.

Sambaran-sambaran senjata kedua laki-laki tua itu meluruk 

menghunjam ke arah dara ini. Bahkan dibarengi pula dengan puku-

lan-pukulan dengan jurus-jurus berbahaya. Akan tetapi tampak den-

gan mudah wanita itu berhasil mengelakkan diri, cuma dengan me-

lenggang-lenggok genit. Tubuhnya meliuk kesana-kemari bagaikan 

tengah menyuguhkan satu tarian yang mempesonakan.

Melengak seketika dua kakek jubah hitam itu. Dalam serangan 

empat jurus barusan dengan mudah si wanita bergelar Ular Betina Se-

lat Madura itu berhasil mengelakkan diri dengan tarian istimewanya. 

Saat mana tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Itulah tanda isya-

rat yang diperuntukkan bagi Tiga Dedemit Gunung Siung.

Serentak keduanya tiba-tiba melompat mundur. Sementara se-

sosok tubuh berkelebat kearah pertarungan yang terhenti itu. Ternyata 

si Garpu Samber Nyawa. Mereka langsung berlompatan untuk berga-

bung, dengan berdiri berjajar seraya masing-masing menyimpan sen-

jatanya.

Tentu saja hal itu membuat si Ular Betina Selat Madura jadi 

melengak heran. Saat mana terdengar suara tertawa berkakakan. Di-

iringi dengan berkelebatnya sesosok tubuh.

"Hebat! hebat...! sungguh aku si tua bangka ini tak menyangka 

kalau anda adalah Nona Pendekar RORO CENTIL...! Mohon maaf 

atas kekeliruan kami!" Berkata sosok tubuh berjubah hitam itu yang 

tak lain dari LODAYA SETA alias Ki Dondoman, yang bergelar si 

Malaikat Tangan Sebelas.

"He? kau muncul lagi? apakah maumu...?" bertanya Ular Betina 

Selat Madura. Akan tetapi Lodaya Seta tak menjawab. Dia menoleh 

pada ketiga kakek tiga berjubah hitam. "Hai?! mengapa kalian masih 

berdiri terpaku? hayo lekas beri penghormatan pada nona Pendekar 

kita...!" membentak Lodaya Seta. Tak ayal ketiganya segera menjura


pada si Ular Betina Selat Madura. Dan cepat sekali mereka membuka 

jubah masing-masing. Mengkelet juga kulit muka mereka. Tak lama 

tiga Dedemit Gunung Siung itu telah berubah menjadi tiga orang 

Perwira Kerajaan. Sementara Lodaya Setapun segera tanggalkan ju-

bahnya. Selapis kulit muka kembali dibuka dari wajahnya. Siapakah 

sebenarnya laki-laki ini? Dia tak lain dari Mahapatih CAKRA 

BHUANA dari Kerajaan Mataram.

Tersentak si Ular Betina melihat dan mengenali orang-orang 

Kerajaan itu. Terutama pada Mahapatih Cakra Bhuana yang pernah 

menjamunya ditempat kediaman pembesar Kerajaan Mataram itu pa-

da beberapa bulan yang lalu.

"Aiiiih! kalau begitu percuma sudah aku menutupi rahasiaku...! 

Selesai sudah petualanganku sebagai si Ular Betina Selat Madura.!" 

Berkata demikian, wanita baju sutera hitam itu mengkelet kulit wa-

jahnya. Dan... segera terpampang seraut wajah cantik. Siapa lagi ka-

lau bukan memang RORO CENTIL adanya.

"Kanjeng Gusti Patih...!" ujar Roro sambil menjura hormat. 

"Segala sepak terjangku di wilayah perairan Selat Madura telah ter-

cium oleh anda. Kini aku serahkan diri padamu. Silahkan memberi 

hukuman. Dengan rela dan senang hati aku akan menerimanya...!" 

ujar Roro sambil tersenyum.

"Hahahaha... segala sepak terjang anda memang sudah lama di-

lacak oleh anak-anak buahku dari pihak Kerajaan Mataram. Walau 

harta-harta haram serta barang selundupan yang kau rampok dari para 

saudagar di kawasan Selat Madura itu belum kau berikan pada yang 

berwenang, namun aku tak mencurigaimu mau mengangkanginya. 

Hehehe... suatu ketika kau pasti mengantarkannya ke Kota Raja!" 

berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Bagaimana kalau aku melarikan diri? Hihihi... apakah anda tak 

pikirkan kalau tiba-tiba niatku berubah...?" ujar Roro berseloroh.

"Hahaha... kalau begitu sekarang anda ku tangkap. Selama se-

pekan anda harus tinggal di tempat kediamanku untuk menerima su-

guhan kehormatan!" Mendengar kata-kata itu mau tak mau Roro jadi 

mengikik tertawa terpingkal-pingkal.

Adapun nini Candra Gumitang sejak tadi terlongong menden-

garkan percakapan. Melihat siapa adanya si Tiga Dedemit Gunung


Siung serta "Lodaya Seta", dia jadi terpaku dengan 1001 pertanyaan 

dibenaknya.

Sekali bergerak dia telah melompat kehadapan Mahapatih Ca-

kra Bhuana.

"Maafkan hamba Kanjeng Gusti Mahapatih...! aku si nenek tua 

renta ini tak mengetahui semua ini. Mohon penjelasan...!" berkata 

wanita tua ini dengan menjura dihadapan Pembesar Kerajaan itu.

"Segalanya akan anda ketahui, sobat Nini Candra Gumitang...! 

Kita mengebumikan dua jenazah dulu. Dua jenazah yang berbeda ja-

lan hidup yang satu dengan yang lainnya. Seorang adalah pencari ke-

benaran, seorang lagi adalah pencari kerusuhan!" ujar Mahapatih Ca-

kra Bhuana. Akan tetapi mereka kini sudah sama-sama menjadi 

mayat, yang perlu kita hormati. Mari kita memakamkannya...!"

***

DUA BELAS


Lima hari kemudian... di Kadipaten LAMONGAN. Terperan-

gah Nini Candra Gumintang melihat sosok tubuh Lodaya Seta yang 

terkapar bermandi darah dirumah tahanan Kedipatian itu. Setelah se-

lesai mengebumikan jenazah Beguk Reksasana alias Tali Wangsa, 

Mahapatih Cakra Bhuana. mengajak mereka semua ke Kadipaten. 

Kecuali Roro Centil yang mohon diri untuk menyelesaikan urusan-

nya.

Bukan saja nini Candra Gumintang yang terkejut, akan tetapi 

juga Adipati Donggala, serta semua yang berada ditempat itu. Karena 

tampak dinding kamar tahanan berlubang besar. Dan Nagasari yang 

dijebloskan satu ruangan dengan Lodaya Seta asli, telah lenyap...

"Celaka...!? Nagasari telah meloloskan diri...! Apakah yang te-

lah terjadi dengan Lodaya Seta...?" teriak Adipati Donggala dengan 

wajah pucat. "Hai! pengawal! apakah kalian tak mengetahui tawanan 

wanita yang baru masuk itu meloloskan diri?" membentak Adipati 

Donggala pada dua prajurit Kadipaten yang bertugas menjaga di seki


tar rumah tahanan itu.

"Ampun Gusti, hamba hanya mendengar suara gaduh serta run-

tuhnya tembok kamar tahanan.

Dan, hamba dapati laki-laki tua tahanan kita ini telah terkapar 

berlumuran darah. Tahanan wanita itu sendiri lenyap!" menyahut sa-

lah seorang prajurit seraya menyembah.

"Apakah kalian tak lihat ada orang masuk kemari?"

"Rasaya tidak, Gusti...!" sahut keduanya serempak. Sementara 

nini Candra Gumintang telah melompat untuk memeriksa keadaan 

Lodaya Seta. Laki-laki tua ini masih belum mati. Luka parah berasal 

dari lambungnya yang robek mengeluarkan darah tiada henti.

"Adikku, Lodaya... katakanlah! apa yang terjadi? siapa yang 

melakukan perbuatan ini?" bertanya wanita tua ini dengan air mata 

berkaca-kaca.

"Kau... kakang... mbok...! oh, bahagia sekali kau datang...! aku 

memang merahasiakan tentang diriku...! Sebenarnya Mahapatih Ca-

kra Bhuana adalah saudara kembarku...! Aku memilih mendekam da-

lam tahanan ini atas permintaan ku sendiri. Karena aku merasa berdo-

sa. Aku telah salah memungut anak! ya, salah yang teramat besar...!" 

ucap Lodaya Seta terputus-putus. Tapi bibirnya menyunggingkan se-

nyum. Walau cuma senyum kekecewaan.

"Ah...!? jadi Nagasari bukan anak kandungmu sendiri?" tanya 

nini Candra Gumintang. Laki-laki tua itu menggeleng. "Benar, ka-

kang mbok...! Ketika Nagasari mengambil keputusan untuk membu-

nuhmu, aku tak berdaya. Karena Beguk

Reksasana alias Tali Wangsa telah menotokku. Kemudian laki-

laki yang sudah kucurigai itu mengikat sekujur tubuhku dan mena-

wanku di dalam goa! Untuklah kakang Mahapatih Cakra Bhuana me-

nolongku...!"

Lodaya Seta berikan penjelasan. Tampak dia kelihatan berse-

mangat. Bahkan merasa agak kuat untuk bicara. Karena diam-diam 

Nini Candra Gumintang kerahkan tenaga dalamnya yang dialirkan 

ketubuh laki-laki itu melalui telapak tangan untuk membantu kekua-

tan tubuh Lodaya Seta.

Sementara Mahapatih Cakra Bhuana berjongkok disisi laki-laki 

tua itu. Menatap saudara kembarnya dengan tatapan sedih. Lodaya


Seta tampak tersenyum dan manggut-manggut pada wanita tua sauda-

ra seperguruannya itu. Lalu lanjutkan kata-katanya.

Tahukah kau bahwa sebenarnya aku telah menjadi seorang tan-

pa daksa, kakang mbok...?" berkata Lodaya Seta. "Sejak ilmuku dile-

nyapkan oleh mendiang guru, aku cuma mempunyai ilmu dasar saja. 

Aneh! semakin lama tenaga dalamku semakin berkurang. Dan lenyap 

sama sekali. Tahulah aku kalau guru telah menggunakan ilmu puku-

lan tanpa wujud dari jurus Peluluh Tenaga Dalam yang langka...!" 

ujar Lodaya Seta.

Nini Candra Gumintang tersentak kaget. "Jadi selama ini kau 

tak punya ilmu apa-apa, adik Lodaya...?" bertanya wanita tua ini. Lo-

daya Seta mengangguk.

"Jadi... jadi apakah yang menolongku waktu itu adalah Gusti 

Kanjeng Mahapatih sendiri...?" tersentak lagi nini Candra Gumintang, 

seraya menatap pada laki-laki Pembesar Kerajaan itu.

Mahapatih Cakra Bhuana manggut-manggut, tanpa mengu-

capkan sepatah kata. Bahkan tampak dikedua sudut kelopak mata 

Pembesar Kerajaan ini tersembul dua titik air bening. Tampak dia 

sangat berduka sekali dengan musibah itu. "Adik Lodaya Seta... se-

baiknya kau segera kurawat. Aku akan panggil pengawal untuk 

menggotongmu dengan tandu..." berkata Mahapatih Cakra Bhuana.

"Tidak usah, kakang Patih...! ucap Lodaya Seta dengan lirih. 

Akhirnya laki-laki Pembesar Kerajaan itu cuma bisa diam membisu 

dengan menundukkan wajah. Sementara Adipati Donggola segera pe-

rintahkan para pengawal untuk melacak kesekitar tempat itu. Shidarta 

yang tiba-tiba muncul di Kedipatian bersama Windarti, langsung di-

perintahkan mengejar tawanan yang meloloskan diri. Tak ayal dan 

tanpa bertanya lagi, segera tarik lengan Windarti dan dibawanya ber-

lari bagaikan terbang, keluar dari halaman gedung Kedipatian.

Gedung tempat kediaman Mahapatih Cakra Bhuana tampak di-

padati oleh rakyat, yang ingin menyaksikan upacara pembakaran 

mayat saudara kembar Mahapatih Kerajaan Mataram itu...

RORO CENTIL tampak berdiri diantara deretan para undangan. 

Mereka yang nampak hadir dalam upacara itu rata-rata menundukkan 

kepala.

Mereka turut bersedih atas tewasnya adik kembar sang Mahapa


tih. Ya, Lodaya Seta tak dapat mempertahankan lagi hidupnya. Dia 

tewas dengan tersenyum, setelah mengguar kisah hidupnya dihada-

pan wanita tua bernama Candra Gumintang itu. Perempuan yang di-

kala mudanya pernah dicintainya. Namun tak sempat terutarakan isi 

hatinya. Karena dia keburu diusir dari perguruan.

Pelaku dari kejadian itu ternyata, masih misterius. Karena Lo-

daya Seta tak sempat menerangkan siapa pelaku perbuatan terhadap 

dirinya yang kemudian merenggut nyawanya itu. Lodaya Seta yang 

memilih hidup di kamar tahanan itu telah keburu melepaskan nyawa, 

diiringi titik air mata Mahapatih Cakra Bhuana yang mengalir turun 

membasahi pipinya...

Asap semakin tebal membumbung keangkasa. Api berkobar 

menebarkan hawa panas. Raga Lodaya Seta musnah menjadi abu. 

Akan tetapi jiwanya tetap hidup. Dia memang bukan seorang pahla-

wan yang mati dimedan perang. Akan tetapi keinsyafannya dari me-

nempuh jalan sesat untuk kembali menjadi manusia yang berguna pa-

tut dihargai. Sayang cita-citanya untuk meluaskan usaha pertabiban 

demi kesejahteraan umat manusia, gagal ditengah jalan. Karena ulah 

dari perbuatan Nagasari anak angkatnya. Yang justru menempuh ja-

lan sesat. Dan saat itu juga... Nagasari diputuskan menjadi orang 

BURONAN Kerajaan Mataram!

Ketika satu demi satu para tamu undangan telah mengundurkan 

diri. Juga rakyat yang berjejalan itu sudah sepi. Karena pembakaran 

jenazah telah usai. Dua buah kereta kuda memasuki halaman gedung 

Kepatihan. Aneh, memang! Kedua kereta kuda itu tak bersais. Bah-

kan langsung menerobos pintu gerbang. Tentu saja membuat para 

prajurit pengawal penjaga pintu jadi mengejar sambil berteriak-teriak. 

Adipati Donggala yang hadir dan belum pulang dalam upacara itu te-

lah memburunya dengan melompat keluar. Disusul oleh Shidarta dan 

Windarti. Juga Mahapatih Cakra Bhuana, serta nini Candra Gumin-

tang, serta beberapa orang sisa dari tetamu undangan.

Langsung Adipati Donggala dan Shidarta beserta prajurit pen-

gawal memeriksa kedua kereta kuda itu. Yang berhenti tepat di depan 

pintu pendopo Kepatihan. Membelalak mata Adipati Donggala juga 

Shidarta melihat isi kereta kuda itu. Dua buah kotak di dalam kedua 

pedati itu setelah dibuka ternyata satu berisi mayat NAGASARI. Dan


satu lagi berisi ribuan keping mas dan perak, juga bermacam perhia-

san yang tak ternilai harganya.

Diatas tumpukan uang dalam peti emas itu terdapat secarik ker-

tas bertulisan besar-besar.

"GUSTI KANJENG MAHAPATIH CAKRA BHUANA...!

TERIMALAH DUA MACAM BINGKISAN INI.

SAMPAIKAN SALAMKU PADA BAGINDA RAJA 

KERAJAAN

MATARAM...! BAHWA SATU PETI UNTUK DITANAM.

DAN... SATU PETI UNTUK PEMBANGUNAN DEMI 

KESEJAHTERAAN RAKYAT!"

Pengirim: RORO CENTIL

GELAR SEMENTARA (ULAR BETINA SELAT MADURA) 

TELAH DICABUT....!

Saat para pengawal gaduh menurunkan mayat Nagasari dan peti 

berisi uang dan harta "pajak" paksaan kiriman dari Roro Centil, justru 

sang pengirimnya sendiri tengah melangkah melenggang meninggal-

kan wilayah Kota Raja. Dialah si Ular Betina Selat Madura. Yang te-

lah membuat heboh dan resah para saudagar kaya yang memper-

mainkan hamba hukum dari Kerajaan Mataram, tanpa mau mem-

bayar pajak. Justru mereka memelihara tukang-tukang pukul, atau 

pembunuh bayaran demi keamanan uang dan hartanya.

Kemunculan si Ular Betina Selat Madura yang mengincar 

orang-orang berduit. Telah menjadi momok yang menakutkan diwi-

layah perairan Selat Madura. Terutama dari usaha-usaha tak halal. 

Tak terbilang dari orang yang kelebihan harta, tapi menggaji peker-

jaan semuanya saja. Perbuatan yang memeras rakyat itu telah tercium 

oleh si Ular Betina, yang banyak dilakukan dikalangan para saudagar. 

Akibatnya mereka harus menanggung resiko ditarik "pajak" paksaan 

oleh si Ular Betina Selat Madura yang ternyata tak lain dari RORO 

CENTIL adanya. Yaitu... sang Pendekar Wanita Pantai Selatan, yang 

beradat aneh!

"Nona Pendekar Roro...! tunggu...!" satu teriakan terdengar.


Dan sesosok tubuh berkelebat mengejar.

"Hm, Shidarta...? ada apakah kau menahan langkahku?" ber-

tanya Roro begitu pemuda tampan ini telah berada dihadapannya.

"Anu... ng..."

"Mau tanya apa?"

"Eh ya, ya...! itu..." menyahut Shidarta dengan tergagap. "Anu... 

nona... Pendekar Roro...! Aku... aku cuma mau mengucapkan terima 

kasih pada anda, atas pertolongan anda menyelamatkan nyawaku...!"

Roro tersenyum manggut-manggut. "Hanya itu?"

"Ma... masih ada, nona Pendekar Roro... tapi yang ini bukan 

pertanyaan saya..." sahut Shidarta, seraya menoleh kebelakang. "Ah, 

kemanakah anak itu?" terdengar suara Shidarta menggumam.

"Aiiih! siapakah yang kau maksudkan itu Shidarta? Wah, 

wah...! kau membawa teman mengapa tak aku perkenalkan pada-

ku...?"

"Dia... dia malu, nona Pendekar..."

"Hmm... mengapa malu?" "Entahlah, dia enggan berhadapan 

dengan anda..."

"Oh, ya? He... kau belum sebutkan siapa si "dia" yang kau mak-

sudkan itu?"

"Eh, maaf, nona Pendekar. Dia maksudku adalah... 

WINDARTI..."

"Windarti...? apakah yang mau ditanyakannya?" tanya Roro 

dengan kerutkan keningnya. Sementara diam-diam Roro sudah dapat 

menerka apa maksud pertanyaan Windarti, karena segera dia teringat 

ketika "nguping" pembicaraan kasak-kusuk Windarti dengan Shidar-

ta. Yang mempertanyakan soal kematian Kuntali. Ternyata Kuntali 

yang telah diketahuinya dua kali mati. Ternyata dua kali hidup lagi. 

Bahkan sebelum diadakan upacara pembakaran mayat, tak sengaja 

Windarti melihat sekelebatan sosok tubuh Kuntali berlalu dihadapan-

nya.

Kejadian itu membuat Windarti tak bisa tidur. Dia memikir ka-

lau-kalau arwah Kuntali menjadi hantu. Ketika kasak-kusuk dengan 

Shidarta, kedua muda-mudi itu pernah merencanakan untuk mem-

bongkar kuburan Kuntali...

Benar saja dugaan Roro. Ternyata Shidarta memang memperta


nyakan peristiwa kematian Kuntali yang misterius.

"Begitulah perihal yang ditanyakan Windarti, nona Pendekar."

"Hm, panggil saja aku dengan panggilan kakak Roro, Shidarta.”

"Ah, eh... ya... ya, kakak Roro...!" ucap Shidarta agak kaku.

"Nah! aku akan berikan penjelasan. Tapi khusus untukmu. Pen-

jelasan ini cuma pada kau aku katakan. Asalkan kau mau berjanji 

takkan menceritakan pada Windarti, tentunya... berkata Roro. Semua 

ini adalah demi perbaikan jiwanya! Seperti kau ketahui, atau mung-

kin belum kau ketahui. Bahwa Windarti mempunyai "kelainan" pada 

jiwanya. Dia menyenangi kaum sejenisnya sendiri. Dan pada Kuntali 

itulah dia boleh di katakan telah "jatuh Cinta". Hal ini amat berba-

haya. Karena dia telah menyalurkan kewanitaannya dengan cara yang 

salah. Bahkan hal seperti itu tak bisa dibenarkan dikalangan orang-

orang dijalan lurus...!" ujar Roro lebih lanjut. Ternyata Shidarta 

agaknya sudah mengerti. Dia tampak manggut-manggut mendengar-

kan dengan serius.

"Aku berjanji, takkan menceritakan padanya. Asalkan demi ke-

baikan dia tentunya..." tukas Shidarta.

"Bagus! Nah dengarkanlah! Sebenarnya... Kuntali telah tewas 

mutlak oleh jarum-jarum beracun Nagasari, ketika dia memperingati 

Windarti dengan mendorong tubuhnya. Mengapa kukatakan tewas 

mutlak? Karena kematian yang pertama ditangan Nagasari seperti 

yang kudengar dari pembicaraan Windarti denganmu, adalah kema-

tian yang aku perbuat untuk mengelabuhi mata Nagasari dengan il-

muku. Yang dibunuhnya serta diperkosa oleh kedua saudara sepergu-

ruanmu Tapak Doro dan Binangun adalah seekor kambing yang telah 

kutotok hingga tak mampu mengembik, sedangkan suara jeritannya 

adalah suaraku sendiri!" jelaskan Roro Centil. "Ilmu itu namanya il-

mu MALIH RAGA! Sedangkan kemunculan arwah KUNTALI diha-

dapan Windarti adalah aku sendiri yang menyaru sebagai mendiang 

Kuntali. Bukankah aku mempunyai kedok kulit muka yang serupa 

dengan dia?"

"Benar! benar...!" timpal Shidarta yang telah semakin jelas den-

gan duduk persoalannya. Penjelasan itu selain membuat Shidarta ter-

perangah, juga membuat dia kagum luar biasa pada Roro.

"Ah, sungguh mataku buta. Tak melihat gunung Mahameru di


depan mata. Pantas kakak Roro menjadi sanjungan orang disetiap 

tempat. Karena kakak Roro berilmu teramat tinggi...!" berkata Shi-

darta dengan menatap kagum.

"Hihihi... jangan suka memuji berlebihan! Di atas langit masih 

ada langit lagi!" ujar Roro. "Kalau apa yang kumiliki itu kau katakan 

sudah teramat tinggi, wah, wah...! bisa-bisa aku dianggap dewa oleh 

orang! hihihi..."

Shidarta manggut-manggut sambil tersenyum "Benar, kakak 

Roro...! Kini akan kemanakah anda? mengapa begitu tergesa? Aku 

makin kagum

pada kakak Pendekar Roro. Kalau boleh... aku... aku..." pemuda 

ini tak teruskan lagi kata-katanya.

"Sudahlah! tugasmu kini adalah membimbing Windarti menjadi 

seorang wanita tulen. Kasihan dia, bukan? Tampaknya kau jatuh hati 

pada gadis itu. Aku percaya kau bukan laki-laki berwatak bejat seper-

ti Tali Wangsa.

Nah! aku akan segera berangkat...! Ada sedikit pesan untukmu, 

Shidarta. Yaitu... sebelum kepentinganmu, alangkah baiknya bila kau 

dahulukan kepentingan orang lain. Bila ternyata orang lain itu me-

mang perlu didahulukan kepentingannya! Nah! kau paham, bukan?"

Selesai bicara, tiba-tiba tubuh Roro melenyap sirna. Hilang tan-

pa krana seolah tubuhnya telah menyatu dengan angin.

Shidarta jadi terperangah dengan mata membelalak dan mulut 

ternganga. Ketika memandang ke atas. Terlihat dahan-dahan pohon 

bergoyangan, seperti baru melintas angin keras. Dan samar-samar hi-

dung Shidarta mencium bau harum semerbak.

"Ah...! sungguh seorang Pendekar Wanita yang hebat. Gumam-

nya lirih. Segera dia balikkan tubuh untuk beranjak pergi dari tempat 

itu. Kembali pulang ke kepatihan. Dikejauhan tampak sesosok tubuh 

mendatangi.

Dialah Windarti...! Pemuda tampan ini tersenyum. Hatinya ber-

kata- "Windarti...! cuma aku yang tahu, bahwa aku tak boleh mence-

ritakan rahasia ini padamu. Juga aku tak boleh mementingkan diriku 

lebih dulu. Kau amat membutuhkan bimbinganku..."

Ternyata memang hanya Shidarta yang mengetahui. Bahkan 

Mahapatih Mataram itupun tak mengetahui. Karena rahasia ilmu


MALIH RAGA telah pula dipergunakan oleh Roro ketika menolong 

Nini Candra Gumintang. Yaitu disaat dilemparkan tubuh wanita tua 

itu oleh Tapak Doro dan Binangun ke dalam jurang. Roro telah 

menggantikan tubuh Nini Candra Gumintang dengan sebatang kayu.

Bagaimanakah nasib Tapak Doro dan Binangun, diakhir kisah 

ini? Sepekan kemudian penduduk desa di wilayah Kadipaten Lamon-

gan telah menjumpai dua sosok mayat laki-laki. Tak diketahui siapa 

pembunuhnya. Tapi yang jelas kedua mayat itu adalah mayat Tapak 

Doro dan Binangun.




                                TAMAT