BTemplates.com

Blogroll

Minggu, 30 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE GUCI SETAN



Guci Setan


 WIRO SABLENG

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Episode : Guci Setan

 Satu

Lereng gunung Merbabu di satu malam buta tanpa bulan tanpa bintang. 

Udara dingin bukan kepalang. Kegelapan menghitam di mana-mana. Di beberapa 

tempat bahkan sulit ditembus pandangan mata. Di kejauhan lapat-lapat 

terdengar suara lolongan anjing. Ketika angin malam bertiup segala sesuatunya 

laksana membeku dalam dingin yang luar biasa. 

 

Sekali terdengar lolongan anjing di kejauhan. Tiba-tiba di selatan lereng 

gunung kelihatan ada yala api bergerak cepat sekali menuju ke timur. 

Bersamaan dengan itu terdengar suara menderu tak berkeputusan seperti ada 

sesuatu yang menggerus menjalar perut gunung. 

 

Dalam kegelapan yang kini mendapat cahaya terang dari nyala api ternyata 

ada empat sosok tinggi besar bergerak menuju ke timur. Sosok pertama adalah 

seorang laki-laki berpakaian serba hitam. Baujnya tidak berkancing. Dadanya 

kelihatan penuh ditumbuhi bulu lebat. Bulu ini juga tampak di sepanjang kedua 

lengan dan kakinya. Tampangnya yang sangar dan buas hampir tertutup oleh rambut 

gondrong awut-awutan, kumis lebat riap-riapan menjuntai bibir serta brewok 

cambang bawuk yang meranggas liar. Sepasang matanya kelihatan merah dan 

berkilat-kilat oleh nyala api. Sebenarnya orang ini belum mencapai usia empat 

puluhan namun keadaan dirinya yang seperti itu membuat dia seperti sudah berumur 

hampir setengah abad.

 

Ada beberapa keanehan yang membuat orang bergidik pada manusia satu ini, 

yang berlari di sebelah depan. Di bahu kirinya dia memanggul sesosok tubuh 

perempuan yang sudah tidak bernafas lagi alias sudah jadi mayat sejak dua minggu 

lalu. Mayat ini tidak sampai rusak atau membusuk karena sebelumnya telah disiram 

dengan sejsnis obat pengawet. Mayat yang didukung dan dibawanya berlari itu adalah 

mayat seorang perempuan muda berwajah cantik. Namun sepasang matanya yang 

membeliak menghapus kecantikannya dan kini kelihatan sangat menyeramkan denga 

rambut panjang riap-riapan. Apalagi pada lehernya terlihat sebuah luka dalam 

melintang. 

 Lelaki tinggi besar ini ternyata buntung kaki kirinya. Kaki yang buntung itu 

disambung dengan sebatang besi. Pada batangan besi sebelah bawah terdapat sebuah 

roda bergerigi. Dengan roda gerigi inilah dia meluncur di sepanjang lereng gunung 

dalam kecepatan sungguh luar biasa hingga tiga orang di belakangnya sering-sering

tertinggal jauh. 

Dalam pelukan tangan kanannya orang berpakaian serba hitam ini membawa 

sebuah guci yang bagian luarnya berukir wajah-wajah setan seram, berselang seling 

dengan gambar tengkorak manusia. Dari dalam guci keluar kepulan asap putih serta 

lidah api. Nyala api inilah yang terlihat di kejauhan, menerangi tempat-tempat yang 

dilalui dan terutama sekali menerangi tampang seram orang itu. 

 

Di sebelah belakang lelaki yang memanggul mayat perempuan dan membawa 

guci berapi berlari cepat tiga orang berpakaian serba merah. Tampang masing-masing 

tak kalah seram dan buas. Yang satu memiliki wajah berwarna hitam. Satunya lagi 

bertampang hijau sedang yang ketiga bermuka biru gelap. Masing-masing mereka 

memanggul sebuah pikulan di bahu kanan. Pada ujung pikulan di atas bahu 

tergantung sebuah keranjang yang terbuat dari rotan. 

 “Ramada!” seru salah satu dari ketiga lelaki yang berlari di belakang dan 

berwajah hitam pada orang yang membawa mayat dan guci. “Kita sudah berlari serasa 

seabad. Kuharap saja kita tidak pergi kea rah yang salah!” 

 “Betul sekali Ramada!” ikut membuka mulut lelkai bermuka hijau. “Kalau 

sampai tersesat di gunung ini celakalah kita!” 

 “Tenggorokanku sudah kering! Nafasku seperti mau keluar dari ubun-ubun. 

Apakah kita tidak bisa berhenti barang sebentar?!” berkata lelaki berpakain 

merah ketiga yaitu yang mukanya berwana biru gelap. 

 

Sepertinya orang yang di sebelah depan tidak akan menjawab. Namun sesaat 

kemudian terdengar suaranya keras dan membuat tiga orang di belakangnya menjadi 

terdiam kecut. 

 “Kalian bertiga kurcaci-kurcaci tolol! Dengar baik-baik apa yang akan 

kukatakan! Aku Ramada tidak akan tersessat di gunung ini. Aku tahu setiap sudut 

gunung merbabu ini seperti aku mengenali kedua telapak tanganku! Siapa di antara 

kalian yang merasa haus atau lapar, minum saja air kencingmu sambil berlari. Makan 

kotoranmu sambil berlari!” 

 Tiga lelaki berpakai merah jadi terbungkam kecut. 

 “Aku ingin mendengar jawaban kalian!” Orang bernama Ramada berteriak. 

 “Maafkan kami Ramada!” kata ketiga orang itu berbarengan. 

 Ramada meludah ke tanah. Dia terus meluncur di atas roda besinya. Tiga 

orang anak buahnya itu mengikuti tanpa ada yang berani lagi membuka mulut. 

Berlari sekitar sepenanakan nasi di sebelah depan kelihatan kedip-kedip nyala 

api kecil. Ramada segera melihat nyala api itu. Begitu juga tiga orang di belakangnya. 

Mereka berlari lebih kencang menuju nyala api itu. Ketika didekati ternyata adalah 

nyala sebuah obor kecil yang berkalp kelip pertanda minyaknya hampir habis. Obor 

ini tergantung pada sebuah tiang besi sebuah bangunan beratap seng yang 

sekelilingnya dibatasi dengan pagar besi setinggi tubuh manusia dan pintunya

digembok sampai tiga buah. Di bawah atap seng itu berjnutai banyak sekali sarang 

labah-labah. Ada enam ekor labah-labah besar kelihtan mendekam dalam dinginya 

udara malam. 

 Sebuah makam terbuat dari batu tampak menghitam angker dalam bangunan 

beratap seng itu. Di atas makam ada taburan bunga yang sudah layu. Di samping kiri 

makam di atas sebuah batu rendah panjang tampak duduk bersila seorang lelaki 

berjanggut dan berkumis putih. Wajahnya yang tertunduk tidak begitu jelas terlihat. 

Blangkon dan pakaian hitam yang dikenakannya sudah tua dan lusuh. Orang ini 

duduk bersila memejamkan mata. Kedua tangan ditumpangkan di atas bahu. Kalau 

dia tengah bersemedi maka ini adalah cara bersemedi yang aneh. 

 Ramada menggerakkan kepalanya hingga keringat yang membasahi 

tambutnya berlesatan ke udara. Dia berpaling pada tiga orang di belakangnya. 

 “Kita tidak salah datang ke tempat tujuan. Ini pastilah makam Pangeran 

Banowo dan orang yang bersemedi itu pasti kuncen penjaga makam. Namanya Ki 

Ageng Lentut.” 

Tiga orang lelaki berpakaian merah hanya menganggukkan kepala. Sejak 

dibentak tadi meraka belum berani membuka mulut lagi. Takur salah berucap. 

Ramada maju mendekati pintu besi yang digembok tiga. Dia mendehem keras-

keras lalu berkata dengan suara keras. 

“Ki Ageng Lentut, salam bagimu. Salam juga bagi penghuni makam. Sesuai 

petunjuk aku datang untuk meminta penjelasan atas beberapa hal yang tidak 

aku ketahui!” 

Orang yang duduk di samping makam tidak bergerak. Kepalanya masih 

tertunduk dan tangannya masih terletak di atas bahu. 

Ramada menunggu sebentar. Ketika tak kunjung ada gerakan atau jawaban 

dari orang di samping makam maka diapun berteriak lebih keras, mengulang 

ucapannya tadi. Tapi orang di samping makam tetap saja tidak bergerak dan tidak 

memberikan jawaban. 

Ramada mulai jengkel. “Sialan! Tidur lelap atau mungkin tuli dia agaknya!” 

Dia berpaling pada salah seorang anak buahnya dan berkata “Jalak Item. Amil batu 

itu dan lemparkan pada si kuncen. Arah kepalanya biar dia tahu rasa!” 

Orang yang bernama Jalak Item yang mukanya memang berwarna hitam 

sesaat tampak bimbang. “Ramada….” Katanya setengah berbisik, “aku kawatir kita 

berlaku kurang ajar dan menyalahi aturan. Kuncen itu….” 

“Setan! Kataku ambil batu di dekat kakimu itu dan lempar kuncen penjaga 

kuburan itu!” bentak Ramada. 

Jalak Item terpaksa membungkuk. Begitu menggenggam batu dia tidak segera 

melempar. Hatinya berdebar. Dia memandang pada kedua temannya Jalak Ijo 

dan Jalak Biru. Kedua orang ini hanya bisa dia tak berani memberi isyarat 

ataupun mengeluarkan ucapan. 

“Jalak Item! Kau tunggu apa lagi!” bentak Ramada. 

Jalak Item akhirnya garakkan tangannya yang memegang batu. Batu sebesar 

kepalan itu dilemparkannya kea rah kepala kuncen yang tengah bersemedi di samping

makam. Jalak Ijo dan Jalak Biru menahan nafas sementara Ramada tampak 

menyeringai. 

Sejengkal lagi batu besar itu akan menghantam kepala kuncen tiba-tiba secara 

aneh batu itu berbalik mencelat kencang kea rah Jalak Item. 

“Jalak Item! Awas kepalamu!” teriak Jalak ijo. 

Jalak Item cepat melompat mundur sambil menundukkan kepalanya. Tapi 

terlambat. Batu itu datangnya secepat setan berkelebat. Lalu menghantam mata kiri 

Jalak Item dengan telak. 

Crrooootttt! 

Batu besar menghancurkan mata kiri Jalak Item. Darah dan hancuran mata 

muncrat keluar. Jeritan Jalak Item setinggi langit. Dia jatuh terduduk di tanah dan 

berguling-guling beberapa kali. Ramada cepta mendatangi. Dia menotok salah satu 

bagian leher anak buahnya itu. Rasa sakit serta merta lenyap tapi darah masih terus 

mengucur dari matanya yang hancur, menutupi sebagian muka Jalak Item hingga 

tampak mengerikan. 

Dari arah makam tiba-tiba terdengar suara tertawa mengekeh.. Disusul suara 

orang menegur. 

“Tamu-tamuku yang terhormat, apakah kalian mendapatkan kesulitan? 

Mungkin aku isa membantu?!” 

Jalak Ijo dan Jalak Biru melengak. Jalak Item cepat duduk sambil mendekap 

mata kirinya sementara tangan kanannya menjangkau pikulannya. 

Ramada memalingkan kep[ala kea rah makam. Kuncen berkumis dan 

berjanggut putih itu dilihatnya masih seperti tadi. Duduk tak bergerak dengan kepala 

tertunduk. 

“Hemmm…. Kalau bukan dia tadi yang bicara siapa lagi?” kata Ramada 

dalam hati. “Jika saja aku tidak sangat membutuhkan dirinya akan kulumat sekujur 

tubuhnya anjing keparat ini saat ini juga!” Setelah memaki begitu Ramada keluarkan 

tawa panjang lalu berkata. 

“Ki Ageng Lentut, ternyata nama besarmu bukan hisapan jempol belaka!” 

“Tamu-tamu yang datang dari jauh, mengapa tidak masuk ke sini!” Kuncen 

dekat makam berkata. Kepalanya terangkat sedikit. “Cepatlah masuk. Aku tidak akan 

menerima tamu pada saat obor di tiang timur habis minyaknya dan padam!” 

“Terima kasih. Kami berempat akan segera masuk. Tapi bagaimana ini. Pintu 

pagar makam terkunci. Ada tiga gembok besar menghalangi. Apakah harus 

kuremukkan dulu dengan tangan kosong?!” ujar Ramada.

DUA 

 Dari arah makam terdengar suara mengekeh sang kuncen yang bernama Ki 

Ageng Lentut itu. Kembali kepalanya tengakat sedikit. 

 “Aku tahu kehebatan tangan dan kesaktianmu. Siapa yang tidak kenal 

Ramada Suro Jelantik, raja di raja tokoh persilatan darai timur. Aku yakin kau bisa

menghancurkan tiga buah gembok besar itu dengan tangan kosong. Tapi apakah ada 

gunanya? Merusak itu tidak ada manfaatnya! Lagi pula tiga buah gembok itu adalah 

benda-benda pusaka yang usianya hampir dua kali usiamu!” 

 Dalam hatinya Ramada jadi tercekat. “Kenalpun sebelumnya tidak. Dari tadi 

dia hanya menundukkan kepala, tidak mungkin melihat tampangku dengan jelas. Tapi 

bagaimana dia tahu nama dan diriku? Benar-benar manusia berkepandaian tinggi!” 

 “Kuncen makam Pangeran Banowo bernama Ki Ageng Lentut. Bagaimana 

kau bisa tahu bahwa yang datang ini aku Ramada Suro Jelantik?” Ramada tak dapat 

menahan rasa ingin tahunya. 

 Sang kuncen di samping makam tertawa perlahan. 

 “Di dunia ini siapa manusianya yang berjalan laksana angin di atas roda besi 

yang hebat kalau bukannya Ramda Suro Jelantik? Dari jauh kudenar suara alat yang 

mampu membuatmu berlari dengan kecepatan setan! Lalu kucocokkan dengan bau 

badanmu! Tidak salah lagi. Kau memang Ramada Suro Jelantik!” 

 Ramada memaki lagi dalam hati lalu menarik nafas dalam dan akhirnya 

menyeringai. 

 “Ki Ageng Lentut, kuncen makam Pangeran Banowo. Kami ingin masuk, 

harap kau suka membuka tiga buah gembok!” Akhirnya Ramada berkata. 

“Baiklah, aku akan bukakan pintu pagar!” Kuncen di samping makam angkat tangan 

kanannya lalu digerakkan tiga kali. 

 Trekk….terkk…..treekkkk! 

 Terdengar suara berkereketan tiga kali berturut-turut. Tiga buah gembok besar 

di pintu pagar makam tampak tersentak-sentak lalu terbuka secara aneh. Bersamaan 

dengan itu pintu besi yang berat bergeser membuka dengan mengeluarkan suara 

berkereketan. 

 “Para tamu dari jauh silakan masuk….” Terdengar kuncen makam berkata. 

 Tanpa ragu-ragu Ramada melangkah melewati pintu. Jalak Ijo dan Jalak Biru 

mengikuti dari belakang. Jalak Item yang masih terduduk di tanah berkata “Aku tidak 

ikut masuk. Kuncen keparat itu telah menghancurkan dan membutakan mata kiriku!” 

 Dari arah makam sang kuncen menyahuti. “Setiap amal perbuatan ada 

ganjarannya. Kalau baik akan mendapatkan ganjaran yang baik. Kalau jahat akan 

mendapatkan balasan yang jahat. Tinggal manusia mau memilih yang mana. Kalau 

sampeyan tidak mau diajak masuk, siapa mau memaksa…?” 

 “Sudah! Kau tinggal saja di luar sana Jalak Item!” kata Ramada pada anak 

buahnya itu lalu meneruskan langkah masuk ke dalam makam. 

 Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Kini kelihatan 

wajahnya lebih jelas. Satu wajah tua kelimis dengan janggut dan kumis putih yang 

terpelihara rapi. Keningnya tinggi dan rahangnya tampak kokoh. 

 “Ramada, aku tak mengira banyak sekali bawaanmu,” kata Ki Ageng Lentut. 

Pandangannya menyambar ke arah guci batu yang ada dalam dekapan tangan kanan 

Ramada. “Dan bukan Ramada namanya kalau tidak membawa benda-benda aneh. 

Kau boleh meletakkan jenazah yang diawetkan itu di atas makam dan letakkan guci 

itu dekat batu tempat dudukku!”

“Maafkan aku Ki Ageng Lentut. Jenazah ini bias kuletakkan di atas makam. 

Tapi guci ini biar tetap kupegang di tangan kanan….!” Kata Ramada Suro Jelantik. 

 Sang kuncen tersenyum. 

 “Ah, rupanya guci itu jauh lebih berharga dari jenazah perempuan muda dan 

cantik yang kau bawa.” 

“Kira-kira begitu Ki Ageng Lentut,” jawab Ramada. 

Sang kuncen usap janggut putihnya sambil menatap ke arah guci yang ada 

dalam dekapan tangan kanan Ramada. Pandangannya beralih ke arah mayat yang 

terbujur di atas makam. Lalu dia bertanya “Ramada, mayat siapakah yang kau bawa 

ini?” 

“Mayat istriku Ki Ageng….” 

Ki Ageng Lentut keluarkan seruan tertahan disertai pandangan mata seperti 

tidak percaya. Lalu digeleng-gelengkannya kepalanya. 

“Ah, rupanya tokoh besar dunia persilatan dating membawa nasib malang. 

Aku turut berduka Ramada. Namun apakah sebenarnya yang telah terjadi? Aku 

melihat istrimu mati dengan sepasang mata mendelik. Lalu ada luka besar di dekat 

lehernya. Setahuku istrimu menguasai ilmu silat dan kesaktian yang tidak rendah. 

Bagaimana mungkin dia bisa menemui ajal seperti ini? Bebanmu berat amat Ramada. 

Membawa mayat istrimu kemana-mana…..” 

“Aku akan membawanya sampai ke neraka sekalipun. Aku tidak akan 

menguburnya sebelum menemukan pembunuhnya!” 

“Jadi istrimu mati dibunuh orang!” 

“Betul sekali Ki Ageng. Aku berusaha mencari tahu siapa orangnya. Tapi 

sampai saat ini masih gelap. Itu sebabnya aku datang dari jauh untuk menemuimu 

guna mendapat petunjuk! Itu pula sebebnya aku membawa guc keramat yang bernama 

Guci Setan ini. Menurut banyak orang hanya kau yang bisa melihat kealam ghaib 

lewat guci ini.” 

Kuncen makam Pangeran Banowo itu memandangi guci di tangan Ramada 

dengan sepasang mata berkilat-kilat. 

“Guci Setan…..” desisnya. “Sudah lama aku mendengar nama benda ini. Guci 

misterius yang bisa mendatangkan sejuta kebajikan tapi juga bisa menimbulkan sejuta 

angkara murka! Guci yang selama ratusan tahun gentayangan dari satu tangan orang 

pandai ke tangan orang pandai lainnya. Menjadi rebutan dalam dunia persilatan. 

Bagaimana benda keramat ini sampai berada di tanganu Ramada?” 

“Panjang ceritanya Ki Ageng. Harap dimaafkan, aku datang kemari bukan 

untuk menuturkan riwayat Guci Setan ini, tapi untuk minta bantuanmu, tolong melihat 

lewat guci, siapa kiranya manusia keparat yang telah membunuh istriku.” 

“Jika itu maksud tujuanmu, aku akan membantu. Mudah saja melakukannya. 

Memang hanya aku yang mampu untuk melihat dan menembus kea lam gaib lewat 

guci sakti itu. Letakkan guci itu di hadapanku Ramada.” 

“Tidak Ki Ageng. Apapun yang akan kau lakukan guci ini tetap harus berada 

dalam dekapanku,” jawa Ramada Suro Jelantik. 

Kuncen tua itu tersenyum. “Kau tidak percaya padaku rupanya Ramada?”

“Kepercayaan di atas dunia ini kini hanya setipis embun pagi Ki Ageng. 

Terserah, kau mau menolongku dengan cara begini ataau aku akan pergi saja.” 

“Baiklah, jika kau memang lebih suka begitu aku tidak akan membantah. 

Sekarang katakana berapa banyak harta dan uang yang akan kau berikan padaku 

sebagai upah melakukan permintaanmu?” 

Ramada Suro Jelantik menyeringai. Dirabanya janggut dan cambang 

bawuknya yang meranggas kasar. 

“Kau lupa Ki Ageng. Aku sudah membayarnya tadi!” 

“Eh, apa maksudmu Ramada?” tanya kuncen makam terheran-heran. 

“Aku sudah membayar dengan mata kiri anak buahku yang kau bikin hancur 

hingga kini dia menjadi cacat buta seumur hidup! Apa itu belum cukup?!” 

Berubahlah paras Ki Ageng Lentut. Mulutnya terbuka hendak mengatakan 

sesuatu tapi cepat dipotong oleh Ramada. “Aku tahu, kau akan berkata kejadian itu 

akibat salah anak buahku sendiri! Tapi ketahuilah bukan begitu cara mengingatkan 

sahabat dalam dunia persilatan! Batu yang dilemparkannya bisa saja kau buat mental 

ke jurusan lain! Bukan utnuk menghantam matanya hingga cidera seperti itu!” 

Ki Ageng Lentut terdiam. Lalu dia berkata “Kurasa aku….” 

Ramada Suro Jelantik menjentikkan jari-jari tangannya pada Jalak Ijo. “Jalak 

Ijo, kurasa binatang peliharaanmu sudah cukup lapar. Ada enam labah-labah gemuk 

di atas atap makam. Mengapa kau tidak menyuruhnya menyantap tiga dari enam 

labah-labah itu?” 

Jalak Ijo menyeringai. Pikulan di atas bahunya diturunkan. Keranjang yang 

ada di ujung pikulan diletakkannya di atas pangkuannya. Perlahan-lahan penutup 

keranjang rotan itu dibukanya. Begitu penutup keranjang terbuka tiba-tiba 

melesat sebuah benda panjang berkepala lebar pipih, berwarna hijau disertai suara 

mendesis. 

“Ular Kobra!” seru Ki Ageng Lentut dengan muka pucat dan bersurut jauh di 

atas batu yang didudukinya. “Ramada, jangan main-main. Binatang itu sangat beracun. 

Sekali patuk saja jangankan manusia. Gajah saja pasti mati! Jauhkan binatang celaka 

itu dariku! Aku sangat bendi pada segala macam ular!” 

Ramada tersenyum lebar. Dia melirik pada Jalak Ijo. 

“Ayo tunggu apa lagi. Beri makan ular kobramu. Walau cuma tiga ekor labah-

labah. Lebih baik dari pada harus mematuk kepala kuncen makam ini!” 

Jalak Ijo yang memegang keranjang rotan berisi ular kobra betina mengetuk 

keranjang itu tiga kali seraya berkata “Ratu hijau. Lihat tiga ekor labah-labah gemuk 

di atas atap sana. Itu rejekimu saat ini. Santaplah!” 

Kobra hijau di dalam keranjang menaikkan kepalanya lurus-lurus. Tiba-tiba 

binatang ini melesat ke atas. Ketika kemudian dia kembali masuk ke dalam keranjang, 

di bawah atap seng tiga ekor labah-labah gemuk lenyap dari tempatnya semula! 

Jalak Ijo Menyeringai. Perlahan-lahan penutup keranjang rotan ditutupkannya 

kembali. 

Kuncen makam Pangeran Banowo tak berani bergerak. Berkesippun hampir 

tidak dilakukannya. “Ular beracun itu kecepatannya seperti setan. Aku harus berhati


hati. Mungkin belum saatnya aku menjalankan rencana….” 

Selagi kuncen berpikir begitu terdengar Ramada Suro Jelantik berkata pada 

anak buahnya yang seorang lagi. “Jalak Biru, kukira binatang peliharaanmu juga 

sudah lapar. Sayang hanya tingal tiga ekor labah-labah di atas sana. Bagaiman 

pendapatmu?” 

“Biar mereka berebut rejeki sendiri-dendiri. Siapa yang lebih cepat akan 

mendapat santapan enak,” jawab Jalak Biru. Lalu dengan hati-hati diturunkannya 

pikulannya dari bahu. Keranjang rotan yang tesangkut di ujung pikulan itu 

diletakkannya di lantai makam. Perlahan-lahan dibukanya penutup keranjang. Begitu 

penutup terbuka menjalar keluar tujuh ekor kelabang berwarna biru. Kepala, 

kaki-kaki dan ekornya bergerak kian kemari. 

Kembali Ki Ageng Lentut bergidik dan bersurut mundur di atas batu yang 

didudukinya. Ramada tersenyum dan berkata “Ki Ageng, kebuasan dan jahatnya 

racun tujuh Kelabang Biru itu tidak kalah dengan Ratu Hijau tadi. Jangan sampai kau 

membuat erakan yang keliru. Salah-salah kau bisa mereka serang!” 

“Kalian membawa binatang-binatang celaka!” kaata Ki Ageng Lentut tak 

berani keras-keras. 

“Jalak Biru. Beri makan binatang peliharaanmu!” kata Ramada pula. 

Jalak Biru mengetuk penutup keranjang rotan tiga kali lalu berkata “Sarapan 

malam cuma ada tiga. Terserah bagaimana kalian mau merebutkannya!” Lalu Jalak 

BIru meniup kea rah keranjang. Tujuh ekor kelabang biru itu mengeluarkan suara 

aneh lalu ketujuhnya melesat ke atas. Tiga yang melesat lebih cepat berhasil 

menyambar tiga ekor labah-labah. Yang keempet jatuhkan diri kembali ke dalam 

keranjang rotan. Selesai menelan mangsanya, tiga kelabang biru tadi baru turun pula 

ke dalam keranjang. Jalak Biru cepat menutup keranjang rotan itu kembali. 

Ki Ageg Lentut menarik nafas lega. Nyawanya yan gtadi terasa terbang kini 

seperti kembali lagi. 

“Ki Ageng Lentut, apakah kau masih ingin meminta bayaran?” bertanya 

Ramada pada sang kuncen. Orang tua berjanggut dan berkumis putih itu gelengkan 

kepalanya berulang kali dengan wajah pucat. 

“Nah sekarang pergunakan kepandaianmu untuk melihat kea lam gaib. Siapa 

yang telah membunuh istriku.” Kata Ramada pula. 

“Baik, baik. Akan kulakukan,” kata si kuncen ketakutan. Dia trun dari batu 

tempatnya duduk lalu berdiri di hadapan Ramada yang mendekap guci berapi itu 

dalam gelungan tangan kanannya. 

Mula-mula Ki Ageng Lentut meletakkan kedua telapak tangannya di atas 

mulut guci yang mengepulkan asap putih dan ada jilatan apinya. Lalu kedua matanya 

dipejamkan. Multunya berkomat kamit. Beberaa saat kemudian kelihatan sekujur 

tubuh kuncen itu bergetar keras. Kedua telapak tangannya yang ada di atas mulut guci 

ikut bergetar. Lalu dari mulutnya meluncur ucapan-ucapan “Guci Setan guci keramat. 

Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap padamlah api. Muncullah air keramat. 

Ada orang ingin minta pertolongan. Sudi kiranya penguasa guci memberi jawaban 

memberi petunjuk.”

Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba Ramada, Jalak Ijo dan Jalak Biru melihat 

begaimana sekujur tubuh Ki Ageng Lentut berubah menjadi sangat hitam. Kulitnya 

tampak mengeriput dan wajahnya jadi sangat mengerikan. Hidung dn kedua matanya 

membesar. Telinganya mencuat panjang ke atas dan gigi-giginya menyembul panjang 

besar. Lalu dari multunya keluar suara aneh. Bukan suaranya. Tapi suara lain, halus 

menggeletar. 

“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Anak manusia apa yang ingin ka 

tanyakan? Tapi katakan dulu siapa namamu.” 

Sesaat Ramada memandang tercekat pada perubahan yang terdiri atas wajah 

dan keadaan tubuh kuncen penjaga makam itu. Demikian juga dengan dua anak 

buahnya yaitu Jalak Ijo dan Jalak Biru. 

“Penghuni dan penguasa Guci Seetan. Namaku Ramada Suro Jelantik….” 

“Apa keperluanmu Ramada?” tanya sang kuncen yang kini punya bentuk dan suara lain. 

“Aku ingin mengetahui siapa pembunuh istriku,” jawab Ramada. 

Terdengar suara mengekeh. 

“Setahuku kau punya empat istri Ramada. Istrimu yang mana yang dibunuh 

orang?” 

Sesaat paras Ramada nampak berubah. Dia berdehem beberapa kali lalu 

menjawab. “Istri tua dan istri keduaku minggat entah kemana. Istri ketiga 

sudah kucerai karena main gila dengan orang lain…” 

“Ah, jadi istri mudamu rupanya yang dibunuh orang!” kata si penghuni Guci Setan. 

“Siapa nama istrimu yang malang itu?” 

“Namanya Dardini….” 

“Hemm….jadi kau ingin tahu siapa nembunuhnya?” 

“Betul. Siapa orangnya dan dimana aku bisa mencarinya!” jawab Ramada. 

Kuncen itu melangkah lebih dekat pada Ramada. Kedua telapak tangannya 

diletakkan di atas mulut guci dimana kepulan asap dan jilatan lidah api. Kalau 

Ramada telah membuktikan kehebatannya sanggup memegang dan mendekap guci 

yang panas tanpa cidera, maka kuncen makam memperlihatkan kesaktiannya dimana 

kedua tangannya sama sekali tidak apa-apa walaupun dijilati api. 

“Api di dalam guci, penghuni dan penguasa guci meminta kau untuk pergi. 

Air di alam gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak 

melihat ke dalam alam gaib…… Ada anak manusia membutuhkan pertolongan.” 

Baru saja kuncen itu berkata begitu perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. 

Bersamaan dengan itu kepulan asap putih menghilang. 

Lalu dari dalam guci terdengar suara seperti ada air dicurahkan. Ramada 

merasa guci yang dipegangnya itu menjadi lebih berat. Dia membuka matanya lebar-

lebar dn memandang ke dalam guci. Astaga! Di dalam guci itu kini kelihatan ada air 

yang tingginya sampai setengah badan guci. Air ini secara anh berputar-putar dena 

bersamaan dengan itu terdengar suara aneh seperti tiupan angin halus di dalam guci.


TIGA 

Ki Ageng Lentut mendorong kepala Ramada yang menghalangi pemandangannya. 

Lalu memandang ke dalam guci. 

“Air keramat dan angin sakti telah muncul. Penguasa guci telah melihat dan mendengar. 

Sekarang perlihatkan mukjizatmu. Ada seorang anak manusia bernama Ramada Suro 

Jelantik kematian iatri bernama Dardini. Perempuan muda itu mati dibunuh 

orang. Perlihatakan kesaktianmu padaku. Tunjukkan padaku siapa sang pembunuh!” 

Putaran air aneh di dalam guci semakin keras begitu juga tiupan angin halus. 

Guci bergoncnag keras. Ramada terpaksa memegang Guci Setan itu erat-erat 

agar tidak terlepas dari dekapannya. 

Perlahan-lahan putaran air dalam guci mulai surut. Bersamaan dengan itu 

suara tiuapan angin halus mulai lenyap. Kuncen Ki Ageng Lentut pejamkan kedua 

matanya. Ketika mata itu dibuka kembali dan menatap ke dalam guci, kelihatan air 

dalam guci tak bergereak lagi. Bibir sang kuncen kelihtan bergerak-gerak. Dia tengah 

melafazkan sesuatu agaknya. Lalu terdengar dia berucap. 

“Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Aku mulai melihat bayangan seseorang 

di permukaan air dalam guci. Jauh samar-samar. Mendekat mulai jelas. Makin 

jelas….tambah jelas. Ah…..ternyata seorang pemuda…..” 

“Kuncen, kau mengenali siapa pemuda itu?!” tanya Ramada Suro Jelantik yang 

rupanya sudah tidak sabar utnuk mengetahui siapa adanya orang yang membunuh 

istrinya. 

Sang kuncen yang wajahnya dan kulitnya telah berubah hitam mengerikan 

menggeram pendek. “Manusia anjing!” meluncur makina dari mulutnya. “Sekali lagi 

kau berani menyelak bicara, kupevahkan kepalamu!” 

“Bangsat sialan!” maki Ramada Suro Jelantik, tapi hanya dalam hati. Ingin dia 

merobek mulut kuncen tua itu. 

“Maafkan aku….” Ujar Ramada dengan suara bergetar menahan marah lalu 

mengusap mukanya yang keringatan. 

Ki Ageng Lentut menurunkan kepalanya, memandang kembali ke dalam guci. 

“Betul…..memang seorang pemuda. Berambut gondrong sebahu….. Keningnya diikat 

setangan warna putih. Dia juga mengenakan pakaian putih…. Hemmmm…..lagaknya 

sombong sekali. Cengar-cengir seperti orang kurang waras….” 

Ki Ageng Lentut mengangkat kepalanya. “Ramada, itu yang aku lihat di 

permukaan air dalam guci. Pembunuh istrimu adalah seorang pemuda berambut 

gondrong, mengenakan pakaian putih….” 

“Jauh-jauh aku datang menempuh hujan dan teriknya matahari. Kau hanya 

bisa memberi tahu seperti itu! Sama sekali tidak ada gunanya bagiku! Persetan! Ada 

ratusan orang berpakaian putih! Ada ratusan orang berambut gondrong! Kuncen 

makam Pangeran Banowo, kau benar-benar mengeewakan aku. Ilmu kesaktianmu 

yang pandai mengetahui seribu satu macam kejadian yang sudah lalu maupun yang 

akan datang ternyata omong kosong belaka!” 

Kuncen tua itu tertawa. “Manusia Anjing! Ucapanku belum selesai. Kau sudah

memotong! Katakan aku yang salah atau kau yang tolol tidak tahu peradatan?!” 

“Lalu apa lagi yang hendak kau katakan? Apakah kau tidak bisa mengenali siapa adanya 

pemuda itu?!” 

Ki Ageng Lentut usap-usap janggutnya lalu rapikan blangkon hitamnya. Sesaat 

setelah dia menatap lekat-lekat pada Ramada, kuncen ini kembali melihat ke dalam 

guci. 

“Hemmm….angin meniup baju pemuda yang tak terkancing. Dada penuh otot, 

tanda kekuatan yang hebat. Eh, apa itu….. Aku melihat sesutau di pertengahan 

dadanya. Ada rajah tiga buah angka di dada itu. Angka 2….1….2….! 212!” Paras Ki 

Ageng Lentut berubah keras membesi. Dia mengangkat kepala, menatap manusia 

bernama Ramada Suro Jelantik. “Anak manusia bernama Ramada. Aku sudah tahu 

siapa pembunuh istrimu…. Tak pelak lagi. Rajah tiga angka itu! Dia adalah Wiro 

Sableng. Tokoh silat muda yang dikenal dengan gelaran Pendekar Kapak Maut Naga 

Geni 212! Benar-benar tidak disangka! Pendekar yang begitu diagung-agungkan 

ternyata adalah seorang pemerkosa dan pembunuh keji biadab!” 

Tampang angker Ramada Suro Jelantik tampak seganas harimau lapar yang 

terluka. Sekujur tubuhnya bergeletar. 

“Pendekar 212 keparat!Akan kutebas batang lehermu! Kuminum darahmu! 

Kulumat sekujur tubuh dan tulang-tulangmu!” teriak Ramada. Dalam amarah yang 

mendidih tidak terkendali lagi tangan kirinya bererak memukul ke samping. 

Tiang besi penyanggah atap seng bangunan makam putus dihantam pukulan Ramada. 

Atap di atasnya langsung jatuh miring. Kuncen makam hendak memaki marah tapi 

Ramada lebih dahulu membentak garang hingga mulut sang kuncen seperti terkancing. 

“Jadi dia pembunuhnya! Kuncen! Lihat lagi k edalam guci! Pergunakan 

kepandaianmu untuk melihat dimana pemuda keparat itu saat ini berada!” 

Perlahan-lahan Ki Ageng Lentut kembali melihat ke dalam guci. “Aku lihat 

pemandangan seperti ada laut. Pantai…. Pemuda pembunuh itu berada di pantai. Tapi 

tak dapa kupastikan apakah dia berada di pantai Utara atau di pantai Selatan…..” 

“Kuncen!” 

“Tunggu dulu! Dalam guci aku melihat gambaran apa yang telah terjadi 

dengan istrimu. Aku melihat satu bangunan kayu di sebuah lembah yang ada danau 

kecil di depannya….” 

“Itu tempat kediamanku!!” kata Ramada pula. 

“Gelap….. PErtanda saat itu malam hari. Ada bayangan putih berkelebat. 

Orang ini menerobos masuk ke dalam sebuah kamar lewat jendela. Ada seorang 

perempuan berbaring tidur di atas ranjang…” 

“Itu pasti istriku Dardini!” kata Ramada tegang. Kedua tangannya dikepalkan. 

Ki Ageng Lentut memandang kembali ke dalam guci. “Istrimu terbangun….. 

Terjadi perkelahian tapi singkat sekali. Orang yang masuk berhasil menotok 

perempuan itu. Dalam keadaan tak berdaya dia dibaringkan di atas ranjang. Seluruh 

pakaiannya dibuka dengan paksa. Lalu….. Ya ampun….. Orang itu memperkosa 

istrimu Ramada…..”

“Jahanam!” teriak Ramada sambil tegak berdiri. Dia seperti hendak mengamuk. 

Tapi Ki Ageng Lentut cepat berkata. 

“Duduk kembali Ramada. Apa yang kulihat di dalam guci ini belum selesai….” 

Untuk beberapa saat lamanya Ramada masih tetap berdiri dengan sekujur 

tubuh bergetar dan keringatan. Kemudian akhirnya dia duduk kembali di 

hadapan kuncen itu. Sang kuncen melihat lagi ke dalam guci. “Betul Ramada dia 

memperkosa istrimu. Tapi lihat! Istrimu tiba-tiba bisa melepaskan totokannya. 

Hebat sekali! 

Kembali terjadi perkelahian. Istrimu berhasil mendesak pemuda itu. Eh, apa itu? Aku 

melihat ada cahaya menyilaukan berkiblat. Hemmm, si pemuda ternyata 

mengeluarkan sebuah senjata. Sebuah kapak bermata dua! Jelas ini adalah 

Kapak Maut Naga Geni 212! Istrimu tidak berdaya menghadapi senjata sakti itu 

Ramada. Satu bacokan mendarat dekat pangkal lehernya….. Istrimu roboh. 

Pemuda itu melarikan diri….” 

Geraham Ramada terdengar bergemeletukan. “Bangsat itu tak akan bisa lari 

terus. Aku akan segera menemukannya. Coba kau lihat ke dalam guci Ki Ageng! 

Bantu aku menemukan pendekar jahanam itu!” 

“Sudah kubilang tadi Ramada. Dia saat ini berada di daerah pantai. Mungkin 

di Selatan, mungkin juga di Utara. Ad satu cara untuk memancing kemunculannya. 

Pergi ke puncak gunung Gede kediaman gurunya. Seorang nenek sakti bernama Sinto 

Gendeng. Bunuh tua bangka itu. Masakan Pendekar 212 tidak akan keluar dari 

sarangnya mengunjukkan diri untuk mencarimu?! Aku sudah letih Ramada. Aku 

penghuni dan penguasa Guci Setan segera akan kembali ke alam gaib. Kapan saja kau 

ingin petunjukku lebih lanjut kau boleh menghubungiku…” 

“Tunggu dulu!” kata Ramada setengah berteriak. 

Ki Ageng Lentut yang kemasukan roh aneh itu tidak perdulikan teriakan orang. 

Kedua tangannya diletakkan di atas mulut guci. Mulutnya komat kamit. Kulitnya 

yang tadi hitam pekat dan berkeriput kini berubah kembali ke warna asalnya. 

Wajahnya yang mengerikan juga kembali ke rupa aslinya. Hidung dan kedua matanya 

yang tadi membesar kini mengecil lagi. Begitu juga telingnya yang mencuat dan gigi-

giginya yang menyembul besar, kembali ke bentuk semula. 

Dari dalam guci kelihatan asap putih mengepul. Bersamaan dengan itu tampak 

lidah api menjilat keluar. Perlahan-lahan kuncen itu melangkah mundur, lalu duduk di 

atas batu. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Suaranya yang tadi halus 

menggeletar kini terdengar seperti semula. 

“Ramada…. Kau sudah mendapatkan apa yang kau inginkan. Tubuhku letih, aku ingin 

bersemedi dan tidur dalam semediku. Kuharap kau dan anak buahmu segera angkat 

kaki dari tempat ini.” 

“Ki Ageng Lentut, aku…..” 

Ramada Suro Jelantik hentikan ucapannya. Dilihatnya sang kuncen saat itu 

pejamkan kedua mata, kaki disilangkan di atas batu dan kedua tangannya diletakkan 

di atas bahu.

“Sialan!” maki Ramada. Dia meludah ke lantai makam lalu berdiri. Dengan bantuan Jalak 

Ijo dan Jalak Biru mayat kaku istri mudanya dinaikkan ke atas bahu 

kirinya. Di tangan kanannya Ramada memegang guci erat-erat. “Sialan!” makinya 

lagi. “Kita harus segera pergi dari sini. Kalian harus mencari kuda tunggangan. 

Gunung Gede jauh di sebelah Barat.” 

“Kita pasti akan mendapatkan kuda begitu sampai di kaki Gunung Merbabu,” 

kata Jalak Ijo. 

Di depan makam Jalak Item masih terduduk di tanah. Meski darah tidak lagi 

mengucur dari mata kirinya yag hancur namun rasa sakit membuat dia mengerang 

terus-terusan. 

“Kau mau ikut atau tinggal di sini?!” betnak Jalak Biru pada temannya itu. 

Perlahan-lahan Jalak Item berdiri. Dia tidak segera mengikuti Ramada dan 

kawan-kawannya melainkan melangkah dulu kea rah bangunan makam. 

“Kuncen keparat! Matamu boelh kau pejamkan. Aku tahu telingamu tidak tuli. 

Kau dengar baik-baik. Satu hari aku pasti datang mencarimu untuk membalas apa 

yang kau lakukan padaku. Aku akan menagih hutang berikut bunganya. Aku akan 

mengorek kedua matamu sekaligus!” 

Di atas batu kuncen Ki Ageng Lentut teidak bergerak. “Kuncen bangsat!” 

rutuk Jalak Item. Dia meludah makam batu di depannya lalu berpaling dan tingalkan 

tempat itu sambil tangan kirinya menekap matanya yang pecah dan buta. 

EMPAT 

 Meski di langit matahari bersinar terik namun di puncak Gunung 

Merbabu itu udara tetap saja terasa dingin. Satu bayangan putih berkelebat 

cepat. 

Mula-mula gerakannya terlihat di lerang sebelah Timur. Lalu lenyap dan tahu-tahu 

muncul lagi di ketinggian yang hampir mencapai puncak. Orang yang berlari dengan 

gerakan sebat ini ternyata adalah Pendekar 212 Wiro Sableng, murid Eyang 

Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Di puncak gunung, dia membutuhkan waktu cukup 

lama sebelum akhirnya menemui makam Pangeran Banowo. 

 Makam Itu kosong, diselimuti kesunyian dan udara dingin. 

 “Aku datang terlambat! Sebelumnya dia pasti berada di sini,” kata Pendekar 

212 dalam hati lalu memandang berkeliling. Di atas makam tampak tebaran bunga-

bunga yang sudah layu. Di salah satu tiang makam tergantung sebuah obor yang telah 

lama padam. Satu tiang lainnya tampak bengkok dan patah hingga atap makam yang

terbuat dari seng kelihatan miring. Murid Sinto Gendeng ini kernyitkan kening ketika 

di lantai dilihatnya banyak jejak-jejak kaki. “Agaknya dia tidak sendirian di sini. Siapa 

bersama dia? Kemana mereka sekarang?” 

 Wiro memperrhatikan halaman liar sekitar makam. Lalu matanya membentur 

bercak-bercak hitam di tanah. Lalu mengorek bagian tanah yang ada bercak-bercak 

kehitaman itu. “Bekas-bekas darah yang sudah mengering….” Katanya dalam hati.

“Sesuatu telah terjadi di tempat ini.” Perlahan-lahan Wiro berdiri lalu 

melangkah kembali ke arah makam. Baru saja sampai di depan pintu pagar 

makam yang bergembok tiga tiba-tiba dia mendengar suara derap kaki kuda. Murid 

Eyang Sinto Gendeng berpaling ke jurusan datangnya suara itu. Tapi derap kaki kuda 

tadi serta merta lenyap. Wiro garuk-garuk kepala. “Mungkin aku salah dengar,” 

katanya sambil garuk-garuk kepala. Di puncak gunung seperti ini siapa orangnya 

yang mampu menunggang kuda begitu cepat!” Karena tak mau merusak pintu pagar 

makam, Wiro memanjat pintu itu lalu masuk ke dalam. Selagi dia memperhatikan 

keadaan makam, beberapa tombak dari sana, terlindung di balik semak belukar liar 

yang lebat, seorang dara berpakaian ringkas warna biru dan berikat kepala kain merah 

berkata pada orang di sebelahnya sambil mengepalkan tangan. 

 “Paman,lihat! Pemuda tak dikenal itu memanjat pintu pagar makam. Kurang 

ajar…..!” Tangannya bergerak menurunkan sebuah busur dari bahunya. 

 “Jangan-jangan dia pula yang telah merusak salah satu tiang atap makam….!” 

Menyahuti lelaki berambut putih di sebelah sang dara. 

 “Kurang ajar! Lihat! Dia kini bahkan berani membaringkan diri, tidur 

menelentang di atas makam ayahanda! Saya tidak bisa berdiam diri lebih lama. Saya 

akan tambus tubhnya dengan lima anak panah sekaligus!” Lali si gadis berpakaian 

biru itu menarik lima anak panah dari tabung bambu di punggungnya. Begitu 

disusupkan ke tali busur dia segera membidik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng 

yang karena keletihan enak saja merebahkan diri di atas makam batu Pangeran 

Banowo. 

 “Tunggu dulu Dewi…. Aku punya firasat pemuda itu bukan orang 

sembarangan…..” 

 “Paman! Bagaiman kau ini! Oarng telah mengotori bahkan merusak makam 

ayahanda kau masih bilang tunggu! Siapapun adanya pemuda itu dia harus kita hajar! 

Lagi pula ini saatnya kau menyaksikan sendiri kehebatan ilmu panah warisanmu!” 

 “Dengar Dewi. Aku akan kelur dair semak-semak ini. Aku akan bicara dengan 

orang itu. Kau tetap berada di sini. Bukan mustahil dia datang tidak sendirian….” 

 Dewi Santiastri si gadis tak menjawab. Namun begitu pamannya melangkah 

ke arah makam dia segera melompat dari semak belukar. Lima anak panah yang 

terpentang di busurnya dibidikkan ke arah Pendekar 212 yag masih asyik-

asyikan berbaring-baring di atas batu makam bahkan sambil bersiul-siul perlahan! 

Murid Sinto Gendeng ini baru melompa tbangun ketika sepasang telinganya 

menangkap suara langkah-langkah kaki. 

 “Astaga! Ada orang mendatangi. Sudah dekat baru aku dengar langkahnya. 

Pasti dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!” kata Wiro dalam hati dan memperhatikan 

ke depan. Dia melihaat seorang lelaki berpakaian putih bagus, berusia sekitar enam 

puluh tahun tetapi berwajah segar dan klimis melangkah dan berhenti di pagar makam. 

Yang membuatnya tercekat adalah ketika melihat di belakang lelaki berambut putih 

itu ada seorang dara berpakaian serba biru. Parasnya cantik tampak beringas pertanda 

bahwa setiap saat dia benar-benar akan melepaskan lima anak panah yang dibidikkan 

ke arahnya. Wiro mencoba tersenyum dan garuk-garuk kepala! Sang dara membentak

dengan keras. 

 “Pemuda kurang ajar! Jangan senyum-senyum cengengesan! Berani kau 

bergerak kutambus sekujur tubuhmu dengan panah-panah ini!” 

 “Astaga….! Eh, apa-apaan ini! Enak saja kau mengatakan aku pemuda kurang 

ajar? Di mana? Kapan? Kenalpun tidak. Melihatmupun baru sekali ini!” Wiro 

berpaling pada lelaki berambut putih yang tegak di pagar makam. Dengan mimik 

keheranan dia bertanya “Bapak, dapatkah kau menjelaskan apa masalahnya? Dan 

siapa kalian bedua? Gadis cantik itu puterimu?” 

 “Anak muda, seperti yang dikatakan keponakanku. Kau telah berlaku kurang ajar!” 

 “Aku telah berlaku kurang ajar?!” 

 “Kau telah memasuki makam salah seorang leluhur Kerajaan secara kurang ajar! 

Dengan cara memanjat” 

 “Ah….!” Wiro memandang berkeliling sambil garuk-garuk kepala. Lalu 

kembali menatap lelaki di hadapannya. “Mungkin benar aku telah berlaku kurang ajar. 

Tapi kau lihat sendiri. Pintu pagar digembok. Jadi terpaksa aku memanjat….” 

 “Memanjat seperti monyet!” mendamprat gadis berbaju biru. “Kau bukan saja 

melompati pagar. Malah berani tidur di atas makam ayahku!” 

 “Ah, bagaimana ini! Harap maafkan! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu 

kalau ini adalah makam ayahmu. Apalagi tadi pamanmu bilang ini adalah makam 

salah seorang leluhur Kerajaan. Aku mana bisa menduga begitu? Setahuku 

orang-orang penting Kerajaan dimakamkan di satu tempat khusus di pinggiran kota….” 

 “Bcaramu banyak amaat! Paman, menyingkir kekiri edikit. Biar kuhantam 

manusia kurang ajar ini!” 

 Sang paman mengangkat tangannya memberi tanda agar keponakannya jangan 

melepas anak-anak panahnya. 

 “Anak muda, sekalipun kau tidak tahu itu makam atau kubur siapa, tapi yang 

namanya manusia beradab dan berbudi serta beradat tidak akan pernah memasuki 

makam seseorang tanpa izi keluarganya, apalagi dengan cara melompati pagar lalu 

tidur-tiduran!” 

 “Aku memang salah besar!” Wiro berkata sejujurnya. “Aku ke sini mencari 

seseorang. Tapi yang kucari sudah lenyap. Karena keletiha lalu membaringkan diri di 

atas batu makam yang dingin sejuk itu…. Aku memang salah besar. Mohon aku 

diberi maaf…” 

 “Karena tertangkap basah kau lalu berdalih tengah mencari seseorang dan 

keletihan! Enak saja becaramu! Paman, menyingkirlah….” 

 “Tunggu Dewi. Biar aku bicara dulu dengan pemuda ini,” kata sang paman. 

“Orang muda, tahukah kau saat ini berada di makam siapa?” 

 “Aku tidak tahu,” jawab Wiro Sableng. 

 Makam yang barusan kau panjat pagarnya dan kau tiduri adalah makam 

Pangeran Banowo. Aku adalah adiknya dan gadis ini adalah puteri Pangeran Banowo. 

Aku sendiri adalah Pangean Banuarto.” 

 Sepasang mata Pendekar 212 jadi terbelalak. Lalu dia cepat-cepat menjura. 

“Mohon maafmu. Aku tidak tahu tengah berhadapan dengan seorang Pangeran. Aku

juga tidak tahu kalau ini adalah makam pangeran Banowo yan dalam hidupnya pernah 

menolong diriku.” 

 “Paman! Jangan dengarkan ucapannya. Siapa percaya dirinya. Setelah sadar 

berbuat salah kini malah bilang ayahanda pernah menolongnya! Kadal ini pandai 

bicara paman. Hati-hatilah! Jangan sampai kita dikelabi.” 

 “Anak muda, katakan siapa namamu dan siapa orang yang kau cari di tempat 

ini. Aneh rasanya kalau ada seseorang di puncak Gunung Merbabu.” 

 “Namaku Wiro…. Aku memang benar mencari seseorang di tempat ini. Hanya 

saja mohon dimaafkan aku tidak dapat memberi tahu siapa orangnya ataupun namanya.” 

 “Paman! Kau lihat bagaimana dia melakukan kebohongan!” kata Dewi Santiastri. 

 Pangeran Banuarto tidak begitu memperdulikan kata-kata keponakannya. Dia 

mencoba mengingat-ingat apakah pernah mendengar nama Wiro itu sebelumnya. 

Akhirnya dia berkata. 

 “Anak muda, melihat ada obor yang sudah padam di salah satu tiang makam, 

berarti kau sejak malam tadi telah berada di tempat ini.” 

 Wiro menggeleng. “Aku barusan saja datang. Waktu datang obor itu sudah 

ada di sini dalam keadaan padam.” 

 “Lalu mengapa kau merusak salah satu tiang atap makam?!” tanya Pangeran 

Banuarto pula. 

“Bukan aku yang merusaknya. Tiang itu sudah berada dalam keadaan seperti itu 

ketika aku datang.” 

 “Bohong! Pendusta besar!” teriak Dewi Santiastri. Gadis ini tidak dapat lagi 

menahan kesabaran dan kemarahannya. Dia melompat ke kanan sambil merentangkan 

busur lebih dalam. Ketika tangan kanannya bergerak melepas, lima anak panah 

melesat dengan mengeluarkan suara berdesing. Lima senjata itu laksana kilat terbang 

ke arah lima baigan tubuh Pendekar 212. Pangeran Banowo berseru kaget tapi tak 

bisa berbuat apa. 

 Murid nenek sakti dari Gunung Gede itupun sempat terkesiap. Sekalipun dia 

bisa melompat secepat kilat tak mungkin dia sanggup menghindari sekaligus kelima 

anak panah yang menyerang lima bagian tubuhnya yang berbeda. 

 “Celaka!” keluh Wiro. “Seumur hidup belum pernah aku melihat kepandaian 

memanah seperti ini! Setan sekalipun takakan bisa lolos dari bidikkannya!” 

 Sadar kalau dia tidak akan dapat menyelamatkan diri dengan cara melompat 

maka Pendekar 212 segera lepaskan pukulan sakti “benteng topan melanda samudra” 

Serangkum angin deras menderu. Pangeran Banuarto berseru kaget dan cepat 

menyingkir. Tapi badannya sebelah kanan masih sempat disambar angin pukulan 

sakti itu hingga melintir dan terhempas keras. Kalau saja dia tidak memiliki ilmu 

meringankan tubuh pasti dia akan jatuh terhenyak ke tanah. Sementara itu 

Dewi Santiastri juga berteriak kaget. Karena dia tegak dengan kaki terkembang 

tepat di tengah jalur hantaman pukulan sakti Pendekar 212 maka tak ampun lagi 

tubuhnyapun terpental jauh, mencelat ke udara. 

 Di udara gadis puteri mendiang Pangeran Banowo ini membuat gerakan aneh. 

Tubuhnya yang kena hantaman angin serangan berjungkir balik duakali berturut-turut

lalu tubuh itu tampak melayang dan seperti seekor burung kedua kakinya hinggap di 

cabang sebuah pohon besar. Meskipun gadis ini memiliki kepandaian tinggi dan 

mampu meredam pukulan sakti yang dilepaskan Wiro, tapi jelas wajahnya kelihatan 

pucat tanda ada bagian dalam tubuhnya yang cidera. Ketika dia melompat turun, si 

gadis merasakan dadanya berdenyut sakit. Kedua kakinya tertekuk. Sebelum dia jatuh 

berlutut pamannya ceat mendatangi dan merangkul tubuhnya. 

 “Dewi… Kau tak apa-apa…?” 

 “Saya tidak apa-apa paman. Hanya ada sedikit rasa ngilu di bagian dada…..” 

 Pangeran Banuaro memapah keponakannya itu ke dekat sebuah pohon lalu 

mendudukkannya di akar pohon itu. Sementara itu dari arah makam terdengar suara 

orang mengeluh. Ketika Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri memandang ke arah 

makam mereka melihat pemuda berambut gondrong itu tersandar ke paga 

makam sebelah dalam sambil memegangi paha kanannya. Sebatang panah tampak 

menancap di paha itu. Celana putihnya berlumuran darah. Rupanya waktu lima 

anak panah menyerbunya dihantam dengan pukulan “benteng topan melanda 

samudra” hanya empat panah yang sanggup dibuat mental. Satu anak panah masih 

sempat menyusup menghantam pahanya. 

 Rahang Pendekar 212 tampak menggembung menahan sakit. Wajah dan 

tubuhnya basah oleh keringat. Dia berteriak keras ketika secara nekad mencabut anak 

panah yang mennancap di pahanya. Dengan geram anak panah itu dipatahkannya lalu 

dibatingkannya ke lantai makam. Lalu dengan satu geakan dia melompati pagar 

makam dan berdiri di hadapan Pangeran Banuarto serta keponakannya. 

 Sepasang mata Pendekar 212 memandang berkilat-kilat pada Dewi Santiastri. 

“Dengan melukaiku seperti ini, apakah kini kau dan pamanmu sudah puas?!” 

 Si gadis hanya bisa diam dan terbelalak. Mukanya masih sangat pucat. 

Sementara Pangeran Banuarto terdengar menarik nafas dalam tapi juga tidak berkata 

apa-apa. 

 Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah bungkusan kecil lalu 

melemparkannya dekat kaki Dewi Santiastri. 

 “Apa ini?” tanya Pangeran Banuarto. 

 “Gadis keponakanmu itu mengalami luka dalam. Akan sangat berbahaya kalau 

tidak segera minum obat itu,” Habis berkata begitu Pendekar 212 memutar tubuhnya 

dan melangkah pergi. 

 Pangeran Banuarto memandang pada Dewi Santiastri. “Kalau dia manusia 

jahat, dia tidak akan memberikan obat ini untukmu….” Si gadis hanya bisa 

mengangguk. Melihat orang begitu baik dan polos terhadapnya ada bayangan 

rasa menyesal di wajahnya yang pucat. Pangeran Banuarto cepat berdiri dan berseru. 

 “Anak muda! Tunggu! Jangan pergi dulu!” 

 Wiro hentikan langkahnya dan berpaling. Pangeran Banuarto berlari 

mendatanginya. “Aku menyesalkan ada kesalah pahaman antara kita bertiga. 

Tujuanku dan Dewi ke puncak gunung ini adalah untuk menziarahi makam Pangeran 

Banowo….” 

 “Ada yang aku tidak mengerti. Sebagai seorang Pangeran seharusnya dia

dimakamkan di pekuburan keluarga stana. Nyatanya dia dimakamkan di tempat ini. 

Jauh dari Kotaraja. Jauh dari keluarga Istana.” 

 “Apa yang kau katakan betul. Namun sebelum meninggal Pangeran Banowo 

pernah berpesan pada istrinya. Aku mendengar sendiri. Jika ajalnya sampai dia ingin 

dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini. kami keluarga yang ditinggalkan tidak 

berani menyalahi pesan itu. Sultan sendiri juga tidak mau melarang. Pangeran 

Banowo akhirnya dimakamkan di puncak Gunung Merbabu ini tiga tahun yang lalu. 

Pemakamannya dengan upacara kebesaran Kerajaan….” 

 Saat itu Dewi Santiastri telah datang pula ke tampat itu. Pamannya cepat 

memegang bahunya. Wajah si gadis tampak kemerahan dan dia berkata “Paman tak 

usah kawatirkan saya. Obat yang tadi diberikannya sudah saya telan walaupun tanpa 

air. Saya merasa lebih sehat sekarang.” Lalu gadis ini berpaling pada Pandekar 212. 

Dia hendak mengatakan sesuatu namun Wiro mendahului. 

 “Aku kagum dengan kepandaianmu memainkan panah. Dari manakah den ayu belajar?” 

 “Namaku Dewi Santiastri. Panggil aku dengan nama itu. Tidak usah dengan 

sebutan den ayu segala….” Lalu pandangan matanya tertuju pada paha Wiro yang 

berlumuran darah. “Aku tidak tahu harus meminta maaf bagaimana…. Aku benar-

benar menyesal….” 

 Wiro tertawa. Dia berkata pada Pangeran Banuarto. “Pangeran,” katanya, 

“Keponakanmu memberikan sau pelajaran baik padaku. Aku harus lebih banyak 

belajar dan berlatih silat agar gerakanku lebih cepa hingga kelak akan sanggup 

berkelit dari serangan panahnya. Aku harap saja panah itu tidak beracun….” 

 “Tidak, panah itu tidak beracun,” kata Dewi Santiastri. “Aku ingin 

menanyakan sesuatu.” 

 “Menyangkut hal apa?” tanya Wiro. 

 “Ketika masih hidup ayah memang pernah bercerita tentang seorang pendekar 

besar muda usia. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Apakah kau 

orangnya?” 

 Wiro tertawa. “Nama kami bisa saja sama. Tapi gelar sehebat itu mana orang 

setoloku ini bisa menyandangnya?” 

 Si gadis jadi terdiam beberapa saat lamanya. Sebelum dia sempat mengatakan 

sesuatu pamannya sudah bicara duluan. 

 “Anak muda, terus terang selain berziarah ke makam Pangeran Banowo, 

perjalanan kami ke sini sebenarnya juga tengah menyirap kabar.” 

 “Menyirap kabar? Kabar apakah?” tanya Wiro. 

 “Sebuah benda keramat milik Kerajaan yang selama ini disimpan secara 

rahaia, lenyap dari tempat penyimpanannya sekita empat tahun lalu. Padahal benda itu 

jika disalah gunakan bisa mendatangkan malapetaka.” Menerangkan Pangeran 

Banuarto. “Kebetulan aku yang bertanggung jawab atas benda itu. Sebenarnya 

beberapa tahun lalu aku sudah mengusulkan pada Sultan agar benda itu dimusnahkan 

saja karena lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya.” 

 “Kalau aku boleh tahu, benda apakah itu gerangan, Pangeran?” bertanya 

Pendekar 212.

“Sebuah guci keramat. Bernama Guci Setan. Orang bisa meminta sesuatu 

yang baik tetapi juga sesuatu yang jahat pada Guci Setan itu. Sekarang karena aku 

tahu bahwa kau seorang dari dunia persilatan maka aku minta bantuanmu untuk 

mencari tahu dan menyirap kabar di mana adanya Guci Setan itu dan siapa pencurinya. 

Kami mendengar selentingan yaitu setelah empat tahun tidak diketahui jejaknya tiba-

tiba satu bulan yang lalu Guci Setan itu pernah terlihat di daerah selatan dan tengah 

dibawa e daerah sekitar sini. Tapi keterangan yang aku dapat sengat sedikit sehingga 

tidak bisa dipakai untuk bahan pengusutan.” 

 “Pangeran Banuarto, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Tapi aku akan 

berusaha membantumu. Kita berpisah di sini….” 

 “Saudara,” Dewi Santiastri berkata “Dalam keadaan terluka seperti itu tentu 

sulit bagimu berjalan kaki, apalagi berlari. Kau bisa memakai kudaku….” 

 Pendekar 212 tersenyum lebar. “Terima kasih. Kebaikan hatimu telah 

membuat lukaku sembuh! Lihat!” lalu Wiro angkat paha kanannya yang tadi tertancap 

panah. Dengan tangan kanannya dia memukul-mukul paha yang luka itu. “Sama 

sekali tidak sakit. Sudah sembuh!” Padahal sebenarnya waktu memukul tad Pendekar

212 manahan sakit yang amat sangat. Hal ini diketahui oleh Dewi Santiastri dan 

pamannya. 

 “Kau harus memakai kudanya,” kata Pangeran Banuarto. 

 “Saya masih sanggup berjalan. Bahkan berlari!” kata Wiro. Lalu dia 

berkelebat tinggalkan tempat itu. Tapi larinya terpincang-pincang. Padahal ini 

disengaja. Pangeran Banuarto dan Dewi Santiastri sama-sama tersenyum. 

 “Entah mengapa aku justru punya firasat, pemuda itu tadi memang adalah 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.” 

“Saya justru sudah tahu kalau dia memang Pendekar 212 dari Gunung Gede. 

Waktu tadi dia mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya, bagian depan 

bajunya yang tidak dikancing tersingkap lebar. Saya melihat ada rajah angka 212 di 

dadanya yang bidang dan berotot….” 

 “Keponakanku!” kata Pangeran Banuarto sambil memegang kedua 

bahu Dewi Satniastri. “Mengapa tidak dari tadi-tadi kau katakan?” 

Si gadis tidak menjawab. Hanya di dalam hatinya tiba-tiba saja dia sangat 

ingin bertemu lagi dengan pemuda berambut gondrong itu. Paman dan keponakan itu 

kemudian melangkah ke arah bangunan makam. Tiba-tiba si gadis berseru seraya 

menunjuk ke arah makam. 

“Paman! Lihat! Tiang atap yang patah sudah tersambung kembali!” 

Pangeran Banuarto berlari mendekati makam. Apa yang dikatakan keponakannya 

memang betul. Tiang yang patah kini kelihatan dalam ke adaa lurus. Bagian patahan 

sebelah atas bertumpu pada bagian bawah. Atap makam kini tidak miring lagi. 

“Siapa yang telah memperbaikinya? Sungguh aneh!” kata Pangeran Banuarto. 

“Hanya kita bertiga tadi di tempat ini. Dia, saya paman. Saya jelas tidak 

melakukannya. Paman juga. Berarti….” 

“Berarti dia yang melakukannya!” kata Pangeran Banuarto pula. Orang tua ini 

mengusap rambutnya yang putih berulang kali. “Bagaimana dia melakukannya?

Dlamkeadaan terluka pula!” 

Diam-diam Dewi Santiastri semakin merasakan penyesalan yang mendalam di 

lubuk hatinya. “Kalau saja aku dapat segera menemuinya akan kuminta maaf beribu 

maaf padanya. Bisakah aku menemuinya lagi?” 

LIMA 

Di cabang paling atas pohon setinggi empat puluh kaki itu tampak seorang kakek 

duduk berjuntai sambil uncang-uncang kakinya. Dari mulutnya terdengar suara aneh, 

entah dia sedang meracau entah menggerutu atau sedang menyanyi. Janggut putihnya 

yang sepanjang dada melambai-lambai tertiup angin. Suara dari mulutnya baru 

berhenti bilamana dia meneguk dengan lahap tuak murni yang ada dalam tabung 

bambu dan diletakkannya di pangkuan. Sebuah tabung bambu lagi tergantung di 

belakang punggungnya. Kedua mata orang tua ini tampak kemerahan akibat pengaruh 

minuman keras itu. 

 Untuk kesekian kalinya dia meneguk tuak dari dalam atabung bambu. Lalu dia 

memandang ke arah pepohonan di sekelilingnya. 

 “Panas terik menggila! Tak ada burung tak ad angin!” si kakek seperti 

menggerutu pada dirinya sendiri. “Aneh, mengapa aku berada di puncak pohon ini? 

Astaga, jangan-jangan aku sudah mabuk. Betul mabuk? Tidak! Aku masih bisa 

menghitung jari-jari tanganku sebelah kiri ini. Satu, dua, tiga, empat, lima, 

enam….Eh! Apa ada jari tangan manusia enam buah? Jangan-jangan benar aku sudah 

mabuk!” 

 Walau jalan pikirannya seperti itu tapi enak saja dia kembali mendekatkan 

bibir tabung bambu ke mulutnya. Lalu gluk…. Gluk….gluk tuak dalam bambu 

ditenggaknya dengan lahap. Puas meneguk tuak murni yang menebar bau harum itu si 

kakek seka mulutnya dengan kain biru yang terselempang di dadanya. Setelah 

itu sambil kembali uncang-uncang kaki seperti anak kecil yang kesenangan dia menyanyi 

lagi. Tapi tiba-tiba orang tua ini hentikan nyanyiannya. Kepalanya ditinggikan. 

Telinganya dipasang baik-baik. Dia mendengar suara menderu aneh di kejauhan 

disertai suara-suara kaki berlari. 

 Orang tua itu mendongak ke langit. “Aku tak melihat apa-apa!” katanya. Lalu 

dia memaki sendiri. “gila! Kalau orang berlari tentu saja bukan di langit sana tapi di 

bawah situ!” Lalu si kakke memandang ke bawah pohon. “nah, apa kataku! Ada 

empat bayangan berkelebat. Aduh, cepat sekali. Terutama yang di depan itu. 

Heh…..aneh. Dia seperti memiliki sebuah roda di ujung kaki kirinya. Dia lari di atas 

roda yang berputar menggelinding! Apa yang dibawanya di tangan kanan? Eh, di 

bahu kirinya dia memanggul sosok tubuh perempuan. Siapa orang ini? 

Hemmm….ada tiga orang berlari di belakangnya. Muka mereka berwarna aneh-aneh. 

Apa isi keranjang rotan yang mereka pikul itu heh? Jelas mereka bukan pedagang 

sayuran. Hik…hik…hik! Mereka berlari cepat di siang bolong di lereng Gunung 

Gede! Sepertinya mereka punya satu keperluan penting! Ah, perduli setan dengan

mereka. Selama mereka tidak mengganggu diriku, aku tak perlu mengurusi mereka. 

Eh, kenapa yang di depan itu tiba-tiba berhenti? Tiga tannya juga berhenti berlari. 

Hemmmm tampang-tampang mereka kumal dekil dan angker. Bau tubuh mereka 

tercium sampai kemari!” 

 Di bawah pohon keempat orang itu bukan lain adalah Ramada Suro Jelantik 

dan tiga orang anak buahnya yaitu Jalak Item yang kini mata picak sebelah. Lalu 

Jalak Ijo dan Jalak Biru. 

 “Ada apa kau berhenti Ramada?” tanya Jalak Ijo. 

 “Aku mencium bau sesuatu. Sesuatu yang harum! Aneh di tengah hutan 

belantara di lereng gunung begini ada bau seperti ini!” 

 Tiga orang anak buah Ramada sama meninggikan kepala lalu mengendus 

dalam-dalam. “Kau betul Ramada,” kata Jalak Ijo. “Aku juga dapat mencium bau 

aneh itu. Pasti ada seseorang di sekitar sini. Jangan-jangan tua bangka bernama Sinto 

Gendeng itu tempat kediamannya di sekitar sini.” 

 “Bagus! Kalau begitu coba kalian periksa pada tiga jurusan sampai sejarak 

seratus tombak! Aku menunggu di sini!” 

 Jalak Ijo dan kawan-kawannya segera melakukan apa yang diperintah oleh 

Ramada. Tak lama kemudian ketiganya muncul satu persatu. 

 “Aku tidak menemukan apa-apa, Ramada,” kata Jalak Item. 

 “Aku juga. Tak ada bangunan atau tempat kediaman di sekitar sini,” 

menerangkan Jalak Ijo 

 “Sama, tak ada orang tak ada rumah,” kata Jalak Biru pula. 

 Di atas pohon kakek berjanggut putih menyeringai lebar. “Empat ekor monyet 

itu mancari kian kemari. Tidak tahunya yang mereka cari ada di atas pohon ini. Bau 

yang mereka cium sudah pasti bau arak kayanganku ini!” 

 “Ramada,” di bawah pohon Jalak Ijo berkata “apakah kita akan meneruskan 

perjalanan atau kau tetap menginginkan mencari sumber bau harum itu sampai 

dapat?” 

 “Sudah, kita teruskan saja perjalanan! Puncak gunung tak seberapa jauh lagi.” 

Jawab Ramada Suro Jelantik. “Tua bangka guru Pendekar 212 itu harus kita temui 

dan bereskan secepatnya!” Ramada lalu memutar tubuhnya. Kaki kirinya yang 

disambung dengan sebuah roda besi bergerigi menderu lalu meluncur deras menebar 

pasir dan tanah di sebelah belakang. Tiga orang anak buahnya segera menyusul. 

 Ketika sang surya mulai condong ke Barat, keempat orang itu akhirnya sampai 

di puncak Gunung Gede. Mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk menemukan 

kediaman Sinto Gendeng, nenek sakti guru Pendekar 212 Wiro Sableng. 

 Ramada dan tiga anak buahnya berdiri di hadapan gubuk tua tapi masih 

tampak kokoh. Pintu gubuk tertutup, begitu juga jendela. Rumah di puncak gunung 

itu benar-benar diselimuti kesunyian. 

 ‘”Sinto Gendeng! Kami datang dari jauh untuk menemuimu! Mengapa 

bersembunyi di dalam gubuk?!” Ramada berteriak. 

 Tak ada jawaban atau suara apapun dari dalam gubuk. Ramada berteriak sekali lagi. 

 Tetap saja tak ada jawaban.

“Mungkin tua bangka itu tak ada di sini, Ramada,” kata Jalak Ijo. 

 “Untuk memastikan coba kau dan kawan-kawanmu memeriksa!” kata Ramada 

Suro Jelantik pula. 

 Jalak Ijo dan dua temannya meletakkan pikulan masing-masing di tanah. Lalu 

lewat pintu depan yang ternyata tidak dikunci ketiganya masuk ke dalam gubuk. 

 Di depan rumah Ramada menunggu dengan rasa tidak sabar. Dia mencoba 

menghibur diri dengan mengelus-elus tubuh istri mudanya yang telah jadi mayat 

seraya berkata perlahan “Tenang Dardini, tenang. Lewat kematiian tua bangka 

keparat itu kita pasti bisa memancing kemunculan pembunuhmu! Sekali dia unjukkan 

diri akan kutabas batang lehernya. Kuminum darahnya lalu kulumat daging dan 

tulang belulangnya! Setelah itu kau akan kusemayamkan di satu tempat yang indah. 

Kau akan tidur dengan tenang. Sabar istriku. Sabar….. Aku akan membuatkan makam 

yang sangat bagus untukmu. Aku akan….” 

 Ucapan Ramada Suro Jelantik terputus. Dari dalam rumah terdengar suara 

jeritan tiga kali berturut-turut. Ramada kenal benar. Itu adalah suara teriakan ketiga 

anak bauhnya. 

 “Jalak Ijo! Jalak Item! Jalak Biru!” teriak Ramada “Apa yang terjadi dengan kalian?!” 

 Baru saja Ramada Suro Jelantik berteriak begitu tiba-tiba tiga buah benda 

melesat keluar dari dinding-dinding gubuk yang jebol. Satu dari sebelah depan, dua 

dari samping kiri. 

 Ramada mendelik besar ketika menyaksikan tiga benda yang terlempar lewat 

dinding gubuk lalu bergulingan di tanah ternyata adalah Jalak Ijo, Jalak Item 

dan Jalak Biru! 

 “Anjing kurap! Apa yang terjadi?!” teriak Ramada marah sekali. 

 Tiga anak buahnya berusaha bangkit dengan terhuyung-huyung. Pada kening 

Jalak Ijo dan Jalak Biru kelihatan benjut sebesar telur ayam. Sedang Jalak 

Item megap-megap sambil pegangi perutnya. Ketiganya lalu berusaha secepat 

mungkin mengambil pikulan masing-masing yang tadi ditinggal dan diletakkan di tanah. 

Begitu mereka memegang keranjang rotan tampang mereka tampak beringas. 

 “Kalau aku tidak bisa membunuh tua bangka keparat itu lebih baik aku bunuh 

diri!” teriak Jalak Item. 

 “Aku juga!” menyahuti Jalak Ijo. 

 “Sama dengan aku!” kata Jalak Biru sambil pegangi keningnya yang benjut. 

 Tiba-tiba pintu gubuk yang tadi setengah terbuka kini terpentang lebar. Dari 

dalam gubuk muncul satu sosok tubuh terbungkuk-bungkuk diiringi gelak tawa tinggi 

serta panjang. Suara tawa ini bukan saja membuat telinga Ramada dan anak buahnya 

mengiang sakit tetapi juga membuat keempatnya tercekat. Mamandang ke arah pintu 

mereka malah tambah terkesiap karena tidak pernah menyangka kalau perempuan tua 

penghuni gubuk di puncak Gunung Gede itu begini angkernya! 

ENAM 

Orang yang keluar dari dalam gubuk adalah seorang nenk berkulit sangat hitam.

Kulitnya ini tidak lebih dari selaput tipis pembalut tulang. Kalau saja dia tidak 

bungkuk pasti terlihat bagaimana sosok tubuhnya yang jangkung sekali. Mukanya

cekung di bagian mata dan kedua pipi. Alisnya berwarna putih, begitu juga rambutnya 

yang hanya tinggal elasan lembar saja. Di kepalanya yang nyaris sulah itu menancap 

lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk kundai tidak mungkin disisipkan 

pada rambutnya yang jarang. Lima perhiasan dari perak itu justru langsung menancap 

di kulit dan batok kepalanya! Sepasang matanya yang hitam gelap memandang 

berputar ke arah empat orang yang ada di halaman gubuk. Lalu dari mulutnya 

meledak lagi suara keras dan tinggi. Dari mulunya yang ompong mengucur keluar air 

liur. Ketika dia menyemburkan air liur itu melesat ke arah pohon di seberang halaman. 

Terdengar suara berderik sewaktu kulit batang pohon menjadi remuk lalu jatuh ke 

tanah. Hal itu membuat Ramada dan tiga anak buahnya mau tak mau menjadi 

terkesima. Namun orang-orang ini mana mengenal rasa takut. 

 “Ramada, biar kubunuh nenek keparat itu sekarang juga!” kata Jalak Ijo 

seraya tangannya bergerak hendak membuka penutup keranjang rotannya di 

mana tersimpan ular kobra beracun yang diberi nama Ratu Hijau. 

 “Sabar sedikit Jalak Ijo. Maut tak bakal lepas dari dirinya. Biar aku bicara 

dulu padanya….” 

 Di ambang pintu si nenek masih tertawa. Tiba-tiba tawanya lenyap dan dair 

mulutnya terdengar suara membentak. 

 “Puluhan tahun hidup di puncak Gunung Gede, baru hari ini aku kedatangan 

tamu aneh dan kurang ajar. Berani masuk ke dalam gubuk tanpa izin. Kalian mau 

mencuri atau memang munta mati?!” 

 “Tua bangka edan! Kami datang memang untuk mencuri. Bukan mencuri 

harta bendamu karena pasti dalam gubukmu hanya ada barang-barang rombengan 

yang tidak ada harganya!” 

 Si nenek tertawa cekikikan. “Manusia bermuka setan alas dan bertuuh sebusuk 

comberan! Mulutmu pandai bicara. Coba jelaskan apa yang hendak kau curi dari 

tempat ini!” 

“Aku kemari untuk mencuri nyawa anjingmu!” jawab Ramada lantang. 

Sepasang mata cekung dan hitam si nenek tampak seperti mengeluarkan 

kilatan aneh. Lalu mulutnya kembali tertawa panjang. 

“Kalau kau hendak mencuri nyawaku, apa kau kira aku tak bisa mencuri 

jantungmu?!” Hik…hik…hik…!” 

“Nenek iblis!” teriak Ramada. Agar aku tidak kesalahan tangan lekas katakan apakah 

kau manusianya yang bernama Sinto Gendeng guru Pendekar 212 Wiro Sableng?!” 

“Kalau aku memang Sinto Gendeng lalu kenapa? Kalau aku bukan Sinto 

Gendeng lantas bagaimana?!” si nenek bertanya. 

“Iblis ngacok!” hardik Ramada mulai marah. Perlahan-lahan nayat kaku 

Dardini diturunkannya lalu dibaringkannya dengan sangat hati-hati dekat akar 

sebatang pohon. “Muridmu si Wiro Sableng itu telah memperkosa istriku! Lalu 

membunuhnya! Apa kau kira bakal ada pengampunan bagi dirinya dan juga bagi 

kau?!”

Si nenek hentikan tawanya. Dia dongakkan kepala beberapa saat lalu 

memandang dengan mata berkilat-kilat pada Ramada Suro Jelantik. “ini adalah fitnah 

paling keji yang pernah didengar telinga tua ini!” 

“Ini bukan fitnah!” teriak Jalak Ijo. “Kami bertiga jadi saksi perbuatan murid 

celakamu itu!” 

“Betul!” menyahuti Jalak Biru. “Muridmu membunuh perempuan itu dengan 

Kapak Naga Geni 212-nya. Lihat sendiri luka besar di pangkal leher jenazah!” 

Si nenek terdiam. 

“Tua bangka jahanam. Kau terdiam tak bisa bicara. Berarti memang benar kau 

Sinto Gendeng guru Pendekar 212. Sekarang bersiaplah untuk mati!” 

Si nenek menyeringai seperti setan. Lalu gelengkan kepalanya. “Murid Sinto 

Gendeng tidak akan melakukan kekejian seperti itu. Kalian pergi saja sebelum aku 

menjadi muak melihat tampang-tampang kalian. Angkat mayat itu dari halaman 

gubukku! Kalian semua adalah orang-orang gila kesasar pembawa mayat dan guci! 

Bermuka berwarna-warna! Lekas minggat dari sini!” 

Ramada mendengus keras. Didahului dengan suara teriakan keras dia 

menerkam ke arah si nenek yang memang adalah Sinto Gendeng. Kaki kirinya yang 

ada roda besi bergerigi mencelat ke depan. 

Rrrrrrrr! 

Gigi-gigi roda besi yang berputar itu menggerus ke arah pinggang si nenek. 

Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah melihat senjata seperti ini. Dia 

berteriak nyaring. Tubuhnya yang bungkuk melesat ke samping. Roda besi menderu 

menghantam tangga batu di depan gubuk. Tangga batu itu tebongkar berkeping-

keping! 

Ramada menyeringai. “Sebentar lagi tubuhmu akan kubuat seperti itu!” 

“Betul begitu? Aku malah ingin sekali merasakan bagaimana enaknya!” kata 

Sinto Gendeng. Lalu dia tertawa cekikikan. 

Seperti terbakar Ramada Suro Jelantik kembali menyerbu dengan roda besinya. 

Tangan kirinya ikut melepaskan pukulan tangan kosong sementara tangan kanan tetap 

tidak melepaskan Guci Setan. 

Tubuh bungkuk Sinto Gendeng berkelebat kian kemari. Selama enam jurus 

diserang terus-terusan dia hanya membuat gerakan menghindar. Baru pada jurus 

ketujuh si nenek mulai balas melancarkan serangan-serangan. Gerakannya seperti 

main-main saja tetapi Ramada merasa seolah-olah ada satu gelombang raksasa yang 

menghantamnya. Sadar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi maka Ramada Suro 

Jelantik segera keluarkan jurus-jurus simpanannya. Tubuhnya berputar kencang 

sementara roda besinya mencuat kian kemari, menyerang si nenek dari segala jurusan. 

Eyang Sinto Gendeng walaupun kini berada dalam keadaan terdesak tetap saja 

dia berlaku tenang. Malah dia tiba-tiba mendapat satu akal guna melumpuhkan 

serangan lawan. Jika Ramada berkelahi dengan terus membawa-bawa guci di tangan 

kanannya pastilah benda iu sangat berharga bagi dirinya dibanding dengan jenazah 

istrinya yang diletakkannya begitu saja di tanah. Memikir sampai di situ, si nenek lalu

mengarahkan setiap serangannya pada guci yang ada dalam dekapan tangan kanan 

lawan. 

“Bangsat sialan!” maki Ramada Suro Jelantik. Kini dia terpaksa bertahan 

habis-habisan untuk menyelamatkan Guci Setan dari hantaman si nenek. Merasa 

ttidak sanggup, pada jurus ke 28 lelakiini berteriak keras lalu lemparkan Guci Setan 

ke atas. Guci ini melesat ke udara, melayang tinggi lalu jatuh dan menyangsang di 

antara kelebatan daun-daun sebatang pohon. Kini dengan kedua tangan bebas Ramada 

menghadapi Sinto Gendeng. Setelah menggempur selama lima jurus kembali si nenek 

kelihatan terdesak. 

“Manusia bau! Ilmu silatmu boleh juga!” memuji si nenek. “Tapi coba kau 

hadapi jurus seranganku ini!” Dua tangan si nenek berkelebat ke kiri dan ke kanan 

seolah hndak memukul sisi tubuh lawannya. Bersamaan dengan itu ujung-ujung 

jarinya disatukan ke depan. Tiba-tiba kedua tangan itu melesat ke atas. 

“Sepasang naga menyusup awan!” teriak Sinto Gendeng menyebutkan jurus 

serangannya. Lalu dia tertawa gelak-gelak. Kedua tangannya dengan sepuluh jari 

kuncup lurus ke depan dan seolah berobah keras seperti besi menusuk ke arah jantung 

dan tenggorokan Ramada Suro Jelantik. 

Kejut manusia berkaki buntung ini bukan alang kepalang. Dia cepat 

menyingkir dengan membuang diri ke samping kiri. Tusukan pada tenggorokannya 

lewat tapi yang mengarah jantung terus melesat. 

“Haram jadah! Aku terpaksa berjibaku!” rutuk Ramada. Kaki kirinya 

ditendangkan ke depan, mengarah perut Sinto Gendeng. Roda besi bergerigi 

menggerus ganas. Si nenek tidak mau ambil celaka . Tapi dia juga tidak mau 

melepaskan musuhnya dari sasaran. Dengan menggeser kakinya dua langkah ke 

kanan, Sinto Gendeng teruskan hantamannya walaupun kini dia tidak bisa 

menghantam secara telak. 

Bukkk! 

Lima jari tangan si nenek mendarat di dada kiri Ramada. Lelaki ini menjerit 

keras. Tubuhnya terbanting ke tanah. Sebelum jatuh kaki kirinya ditendangkan lebih 

tinggi. 

Rrrrrrr 

Sinto Gendeng terpekik sewaktu roda besi Ramada Suro Jelantik merobek 

pakaiannya di bagian perut! 

Tampang si nenek menkjadi kelam membesi. 

“Kurang ajar!” si nenek geram sekali. Dia melompat ke hadaan Ramada yang 

masih tertelentang di tanah dengan mulut mengucurkan darah akibat luka dalam di 

dekat jantungnya setelah terkena hantaman si nenek tadi. 

“Manusia setan! Apakah kau pernah melihat pukulan sinar matahari?!” kata si nenek 

sambil angkat tangan kanannya yang saat itu tampak berkilat-kilat seperti perak. 

Ramada Suro Jelantik memang pernah mendengar kehebatan dan keganasan 

pukulan sakti itu. Dia tak mau berlaku ayal. Dia segera melafatkan satu 

mantera kesaktian. Roda besi di ujung kaki kirinya tiba-tiba mengeluarkan sinar 

hitam menggidikkan. Ketika Sinto Gendeng lepaskan pukulan “sinar matahari”

dengan tangan kanannya. Ramada tendangkan kaki kirinya ke atas menyambuti 

serangan lalu dengan cerdik menggulingkan diri di tanah. 

Bummmm! 

Bummm! 

Terdengar dua letusan keras. 

Cahaya putih berkiblat disambut oleh sinar hitam. Sinar hitam yang keluar 

dari roda besi Ramada berusaha menggelung cahaya putih panas pukulan “sinar 

matahari” yang dilepaskan si nenek. Lalu terdengar dentuman yang ketiga yang lebih 

dahsyat dari dua dentuman sebelumnya. 

Puncak Gunung Gede laksana dilanda gempa. Iga orang anak buah Ramada 

hampir terduduk di tanah. Sinto Gendeng masih tampak tegak walau dengan tubuh 

bergoyang-goyang. Mukanya yang hitam tampak semakin hitam. Jantungnya 

berdegup keras. Di seberangnya tubuh Ramada Suro Jelantik nampak 

menggeliat-geliat dekat tangga batu. Bahu kanannya tampak hangus dihantam 

pukulan “sinar matahari”. Tapi rupanya orang ini mempunyai kekautan luar biasa. Dalam 

keadaan terluka parah begitu dia melompat tegak. Darah semakin banyak 

mengucur dari mulutnya tapi dia tidak perduli. Sepasang matanya yang merah 

memandang laksana bara api pada Sinto Gendeng. Tiba-tiba dari mulunya terdengar 

teriakan keras. 

“Anak-anak! Keluarkan binatang peliharaan kalian!” Bunuh tua bangka 

keparat ini!” 

“Eh, apa yang hendak dilakukan manusia-manuisa jahanam ini?!” pikir Sinto 

Gendeng. Dia berputar, menghadap ke arah Jalak Item, Jalak Ijo dan Jalak Biru yang 

berada di halaman, terpisah di tiga tempat. Begitu berputar dia masih sempat melihat 

tiga orang bermuka hijau, hitam dan biru itu embuka penutup keranjang rotan masing-

masing. Lalu terdengar suara berdesir aneh. Dilain kejap lima belas binatang berbisa 

melesat ke arah si nenek! 

“Edan!” teriak Sinto Gendeng. 

Dia cepat mengangkat kedua tangannya. Satu melepaskan pukulan “sinar 

matahari” satu lagi menghantamkan pukulan “segulung ombak menerpa karang”! 

TUJUH 

Dari keranjang rotan Jalak Biru melesat keluar tujuh ekor kelabang biru, 

menyerbu ke arah Sinto Gendeng dari jurusan kiri. Dari arah depannya seekor ular 

kobra hijau melesat keluar dari dalam keranjang rotan yang dibuka Jalak Ijo. Lalu dari 

sebelah kanan Jalak Item melepaskan keluar tujuh ekor kalajengking berwarna hitam. 

Lima belas binatang beracun ganas ini serentak menyerbu si nenek! 

 Seumur hidupnya Sinto Gendeng belum pernah mendapat serangan begini 

banyak dan ganas. Dalam pada itu telinganya menangkap suara menderu dari arah 

belakang. Berarti Ramada Suro Jelantik dalam waktu bersamaan telah 

menyerang pula dengan roda bergerigiinya dari belakang!

“Edan! Gila! Teriak si nenek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. 

Bersamaan dengan itu dia jatuhkan diri ke tanah guna menghindari serangan Ramada. 

 Putaran roda besi bergerigi membeset di udara. Melabrak ke arah kepala Sinto 

Gendeng. 

Trang…..trang! 

 Terdengar suara beradunya benda-benda keras disertai percikan bunga api. 

Roda besi Ramada ternyata telah menghantam dua buah tusuk kundai perak di kepala 

Sinto Gendeng hingga hancur dan kepingannya bertaburanjatuh kian kemari. Tiga 

buah gerigi roda besi di kaki kiri Ramada somplak. Ramada sendiri menjerit keras 

kesakitan. Kakinya laksana dihantam pentungan besi. Tubuhnya terpental sampai dua 

tombak! 

 Walau selamat dari roda maut Ramada, namun Sinto Gendeng belum lepas 

dari bahaya. Pukulan sinar matahari yang dilepaskannya ke depan berhasil 

menghantam ular kobra besar yang dilepaskan Jalak Ijo. Tapi hebatnya sebelum 

terkena hantaman pukulan sakti yang mematikan itu, ular kobra ini seolah tahu 

bahaya yang mengancamnya. Melesat tinggi ke udara. Yang celaka adalah pemiliknya 

yaitu Jalak Ijo. Manusia bermuka hijau ini yang sama sekali tidak menyangka bahwa 

serangannya bakal gagal, terlambat menghindar. Pukulan “sinar matahari” 

menghantamnya dengan telak. Jalak Ijo menjerit setinggi langit. Tubuhnya terlempar 

jauh. Hangus leleh laksana dipanggang. Nyawanya putus! 

 Pukulan “segulung ombak menerpa karang” yang dilepas Sinto Gendeng 

dengan tenaga dalam penuh membuat hancur luluh tiga ekor kalajengking hitam dan 

enam ekor kelabang biru yang dilepaskan Jalak Item dan Jalak Biru. Namun seekor 

kala hitam dan kelabang biru masih sempat lolos. Dua binatang beracun ini menancap 

di tubuh si nenek. Kalajengking hitam menancap di leher dekat telinga kirinya sedang 

kelabang biru menenmbus bahu kanannya! Si nenek menjerit keras. Tubuhnya rubuh 

ke tanah. 

 Ramada Suro Jelantik cepat mendekati tubuh si nenek sambil menyorongkan 

roda besinya ke arah leher Sinto Gendeng. Sekali roda besi itu menggerus leher si 

nenek pasti lehernya akan putus dan nyawanya tidak tertolong lagi. 

 Pada saat yang genting itu tiba-tiba ada suara berseru 

 “Sahabatku Sinto Gendeng! Siapa yang berani mencelakaimu akan 

kuhancurkan batok kepalanya!” 

 Bersamaan dengan suara seruan itu tampak satu bayangan biru berkelebat dari 

arah kanan. Lalu ada cairan harum menyembur keras. Ramada Suro Jelantik 

tahu datangnya bahaya cepat tari kakinya lalu jatuhkan diri bergulingan. 

 Brettt! Breetttt! 

 Baju hitam Ramada robek besar di bagian punggung. Kulit punggungnya 

mengepulkan asap laksana ditempel besi panas. 

 “Anak-anak! Ada orang datang! Lekas tinggalkan tempat ini!” teriak Ramada 

lalu dia melesat ke atas pohon di mana Gcui Setan menyangsrang. Dengan kecepatan 

kilat disambarnya benda itu. Lalu dia turun lagi ke tanah untuk mengambil jenazah 

istrinya. Sekali lagi dia berkelebat tubuhnyapun lenyap. Hanya suara deru roda

besinya yang menggerus tanah terdengar di kejauhan. Jalak Item dan Jalak 

Biru segera berlari mengejar pimpinan mereka sambil memikul keranjang rotan masing-

masing. Mayat Jalak Ijo mereka tinggalkan begitu saja. 

Sebelum Ramada dan tiga anak buahnya sampai de tempat kediaman Sinto 

Gendeng, orang tua berjanggut putih dan berpakaian selempang kain biru di 

atas pohon kembali meracau seorang diri. 

 “Empat manusia aneh tadi. Yang satu membawa mayat dan guci. Tiga lainnya 

memikul keranjang. Masing-masing memiliki muka berwarna warni. Eh, ada 

keperluan apa mereka berada di gunung ini? Apa yang mereka cari….? Ah, sulit aku 

menerkaya.” Di kakek lalu teguk tuaknya beberapa kali. “Hemmm….enaknya tauk 

ini” kata si kakek. “Eh, pikir-pikir aku sendiri mengapa sampai berada di sini? 

Astaga! Aku sampai lupa. Aku datang kemari untuk menyambangi seorang sahabat. 

Jangan-jangan empat orang tadi juga ingin menenmuinya. Tapi gerak-gerik mereka 

jelas keempatnya bukan orang baik-baik. Di puncak gunung tinggal sahabatku Sinto 

Gendeng. Jangan-jangan keempat orang tadi punya maksud jahat terhadap si nenek. 

Baiknya aku segera berangkat ke sana. Tapi biar kusumpal lagi perutku dengan tuak 

kayangan ini!” Si kakek teguk lagi tuak dalam tabung bambu sampai minuman ini

meler berjatuhan di bibirnya. Setelah puas, dengan gerakan aneh dan sangat enteng, 

dia melompat dari cabang pohon tempat dia duduk berjuntai. Tubuhnya laksana kapas 

melayang turun ke tanah tanpa suara sama sekali. Begitu menginjak tanah dia segera 

hendak berkelebat pergi namun langkahnya tertahan. 

 “Eh, aku ke sini seharusnya tidak sendirian. Anak itu belum juga muncul! 

Kalau dia sampai tidak datang akan kupecat dia sebagai murid. Apa ini 

dikiranya urusan ain-main?!” Si kakek memandang jauh-jauh kian kemari. Namun dia 

tidak melihat seorangpun di sekitar situ. Dia memasang telinganya baik-baik. Tak 

terdengar suara apapun. Akhirnya dia tinggalkan tempat itu., menghambur menuju 

puncak Gunung Gede. 

 Dia datang tepat pada saat Sinto Gendeng roboh ke tanah dan Ramada siap 

untuk menjagal lehernya dengan roda bergerigi di ujung kaki kirinya. 

 Si kakek segera teguk tuaknya lalu minuman ini disemburkannya ke arah 

Ramada Suro Jelantik. Tuak kayangan bukan saja merupakan minuman sedap tetapi 

di tangan si kakek bisa berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya. 

Dengan minuman itu dia telah menjadi seorang tokoh silat tingakt atas yang ditakuti 

lawan dan disegani kawan. Dialah tadi yang menyembur Ramada dengan tuak 

saktinya hingga Sinto Gendeng selamat dari roda maut yang siap memutus lehernya. 

 Sebetulnya si kakek ingin mengejar Ramada namun lebih penting baginya 

menyelamatkan Sinto Gendeng. Karenanya begitu Ramada dan dua anak buahnya 

kabur orang tua ini cepat mendatangi Sinto Gendeng. Menyangka si kakek adalah 

salah seorang musuhnya Sinto Gendeng yang tengah breusaha bangkit berdiri angkat 

tangan kanannya, siap untuk menghantam. 

 “Sinto! Kau mau membunuhku degan pukulan saktimu?!” sikakek cepat 

berseru.

“Eh!” sinto Gendeng jadi terkesiap. “Aku rasa-rasa mengenal suaramu. 

Bukankah kau….?” 

 “Sudah! Jangan banyak bicara dulu. Ada dua binatang beracun menancap di 

tubuhmu! Biar aku singkirkan lebih dulu!” 

 Kakek berjanggut putih yang membekal dua buah tabung bambu berisi tuak 

itu mencabut kalajengking hitam yang menancap di leher Sinto Gendeng lalu dengan 

jari-jari tangannya diremasnya binatang itu hingga hancur luluh. Kedua mata si kakek 

kelihatan membesar sewaktu dia melihat bahwa leher Sitno Gendeng yang bekas 

ditancapi kala hitam tadi tampak menggembung. 

 “Racun jahat,” kata si kakek dalam hati. “Pasti sudah menjalar ke dalam aliran 

darahnya. Tubuhnya terasa panas. Kalau tidak segera ditolong sahabatku ini 

pasti akan celaka. Ah, agaknya aku tak akan bisa mengajaknya membicarakan hal 

itu. 

Muridku celaka itu mana dia! Masih juga belum kelihatan batang hidungnya!” 

 Sinto Gendeng yang sedang ditolong menangkap ucapan-ucapan perlahan si 

kakek. “Eh apakah kau sedang mengomeli diriku?!” tanyanya. 

 “Jangan bicara Sinto! Keadaanmu berbahaya. Masih ada satu binatang 

beracun di tubuhmu!” kata si kakek. Lalu kelabang biru yang menempel di bahu 

kanan Sinto Gendeng dicabutnya dan seperti kala hitam tadi binatang ini diremasnya 

sampai lumat.Ketika diperhatikan bahu kanan Sinto Gendeng ternyata juga bengkak 

besar tanda racun sudah memasuki tubuhnya. 

 “Sinto, keadaanmu berbahaya. Ubuhmu panas…..” 

 “Panas? Aku malah merasa kedinginan. Bawa aku masuk ke dalam gubukku!” 

kata Sinto Gendeng. 

 “Tunggu, aku mau melakukan apa yang bisa membendung racun yang ada 

dalam tubuhmu,” kata si kakek. Lalu degnan sebuah pisau kecil ditorehnya luka 

bengkak pada leher dan bahu kanan Sinto Gendeng. Darah mengucur berwarna hitam. 

Si kakek pergunakan mulutnya untuk menyedot darah lewat kedua luka. Lalu dia 

meneguk tuaknya. Dengan tuak itu dia kemudian menyembur luka di leher dan bahu 

Sinto Gendeng. Tidak sampai di situ diapun membuat beberapa totokan d tubuh si 

nenek. 

 “Sobatku Dewa Tuak,” Sinto Gendeng menyebut nama si kakek. “Aku 

bersyukur dan berterima kasih kau menolongku. Kemunculanmu tidak terduga….” 

 “sudah, jangan bicara banyak dulu. Biar aku dukung kau ke dalam rumah,” 

ujar si kakek yang ternyata adalah tokoh silat berusia lebih dari 80 tahun yang sejak 

beberapa tahun ini jarang memunculkan diri dalam rimba persilatan. 

 “Kedatanganku tadinya untuk membicarakan satu masalah penting denganmu. 

Tapi melihat keadaanmu seperti ini kurasa sebaiknya aku menunda dulu pembicaraan 

itu.” Dewa Tuak lalu mendukung tubuh Sinto Gendeng. 

 “Gila! Tubuhmu kurus kering begini tapi berat bukan main!” Dewa Tuak 

seperti mengeluh. Sinto Gendeng didukungnya masuk ke dalam rumah lalu 

dibaringkannya pada sebuah tempat tidur kayu. “Sinto, racun dalam tubuhmu jahat 

sekali. Aku tidak bisa menjamin kau bisa bertahan lebih dari dua minggu. Aku harus

mencari seorang tabib ulung dan membawamu turun gunung.” 

 Sinto Gendeng batuk-batuk beberapa kali. “Buat apa kau menyusahkan diri. 

Kalau nyawaku mau minggat dari tubuh keropos ini ya biar saja! Hik…hik…hik!” 

Sinto Gendeng masih bisa tertawa cekikikan. 

 Dewa Tuak geleng-gelengkan kepala. 

 “Tubuhku terasa dingin. Mana tuak keparatmu itu? Aku minta barang 

beberapa teguk biar tubuhku dan darahku jadi hangat!” 

 Dewa Tuak menurunkan tabung tuaknya dari punggung lalu mendekatkan 

mulut tabung ke mulut Sinto Gendeng. Gluk…gluk…gluk! Si nenek meneguk tuak 

itu dengan lahap. 

 “Sinto, kau dengar baik-baik. Aku harus meninggalkanmu saat ini juga untuk 

menemui tabib yang kukatakan itu. Kalau kau tak mau dibawa turun gunung, biar 

tabib itu saja yang aku bawa ke sini. Sebelum pergi perlu kuberitahu bahwa muridku 

Anggini mungkin sekali akan muncul di sini. Kami berjanji akan bertemu di puncak 

Gunung Gede ini….” 

 Sinto Gendeng tersenyum. “Aku tahu. Aku tahu mengapa kalian mengadakan 

pertemuan di sini. Pasti urusan yang itu juga….” 

 “Keadaanmu membuat aku terpaksa membatalkan pembicaraan itu Sinto. Lain 

kali saja kita bicarakan lagi….” 

 “Kalau umurku masih panjang,” kata Sinto Gendeng. 

 “Jangan bicara bagitu Sinto….” 

 “Kalau saja Kapak Naga Geni 212 ada di sini segala macam racun yang 

mendekam dalam tubuhku pasti bisa disedot….” Kata Sinto Gendeng pula. 

 “Kalau begitu, bagaimana jika aku mencari muridmu dan membawanya ke 

sini?” minta pendapat Dewa Tuak. 

 “Dalam waktu seribu hari belum tentu kau bakal dapat menemuinya.” 

 Dewa Tuak maklum apa yang dikatakan sahabatnya itu memang betul. Tidak 

mudah mencari Wiro Sableng. 

 “Sinto, sebenarnya siapa orang-orang yang mencelakaimu itu?” bertanya 

Dewa Tuak. 

 “Aku tak kenal mereka. Sebelumnya juga tak pernah melihat. Yang jadi 

pimpinan dipanggil oleh anak buahnya dengan nama Ramada….” Menerangkan Sinto 

Gendeng. 

 “Ramada….Ramada…..” Dewa Tuak mengulang-ulang nama itu. “Rasanya 

aku pernah tahu manusia keparat satu itu. Dia berasal dari Timur. Kalau tak salah 

nama lengkapnya Ramada…..Ramada Suro Jelantik. Sebetulnya dia bukan manusia 

jahat tapi juga bukan orang baik-baik. Dia tidak diterima dalam golongan hitam dan 

tidak diperdulikan dalam golongan putih. Cuma memang belakangan ini, sejak dia 

punya beberapa orang anak buah, kelakuannya berubah. Dia banyak berbuat 

kejahatan. Kau yakin tidak punya silang sengketa denga orang-orang itu?” 

 Sinto Gendeng menggeleng. “Ramada datang membawa tuduhan bahwa 

muridku Wiro Sableng telah memperkosa dan membunuh istrinya….” 

 “Jadi yang dibawa-bawanya itu adalah mayat istriya?! Gila betul! Cuma ada

hal yang kurasa aneh. Sekalipun muridku berbuat jahat seperti yang dituduhkan, 

mengapa dia dan anak buahnya nekad hendak membunuhku?!” 

 “Ada sesuatu yang tidak beres Sinto,” kata Dewa Tuak pula. “Bagaimana 

kalau aku menghubungi sahabat kita Kakek Segala Tahu. Siapa tahu dia bisa memberi 

petunjuk.” 

 “Terserah padamu Dewa Tuak. Tapi kau juga tahu mencari orang seperti dia 

tidak mudah.” Jawab Sinto Gendeng. Dia menarik nafas dalam lalu melanjtukan 

ucapannya. 

 “Aku melihat Ramada membawa sebuah benda. Sebuah guci. Aku yakin 

pernah melihat benda itu di masa mudaku. Sebuah guci keramat milik Kerajaan 

berasal dari zaman Singosari. Guci itu sangat berbahaya jika sampai jatuh 

dalam tangan orang-orang jahat….” 

 Dewa Tuak terdiam sesaat. Akhirnya orang tua ini berkata “Sinto, aku harus 

pergi sekarang. Kalau muridmu datang dia tentu akan merawatmu sampai aku 

kembali.” 

 Sinto Gendeng menarik nafas dalam. Tubuhnya semakin panas tapi dia sendiri 

merasa dingin. Dewa Tuak memegang lengan sahabatnya itu. Didengarnya sinto

berbisik “Tinggalkan satu tabung tuak untukku.” 

 “Tentu Sinto. Kau boleh minum tuka ini sepuas hatimu.” Dewa Tuak turunkan 

tabung tuaknya yang masih penuh lalu menyandarkan tabung bambu itu di tepi tempat 

tidur, dekat kepala Sinto Gendeng. 

DELAPAN

Menjelang petang dua penunggang kuda nampak menuruni puncak Gunung 

Merbabu. Keduanya bukan lain adalah Pangeran Banuarto dan keponakannya Dewi 

Santiastri yang baru saja menziarahi makam Pangeran Banowo, ayahanda si 

gadis yang juga merupakan kakak Pangeran Banuarto. 

 Setelah berdiam diri beberapa lamanya, Dewi Santiastri membuka 

pembicaraan di antara mereka. “Paman, sebenarnya kalau tidak ada pesan dari 

almarhum ayahanda ingin saya memindahkan makam beliau ke pinggiran 

Kotaraja…” 

 “Maksudmu memang baik. Tapi pesan orang yang meninggal harus dihormati. 

Aku takut kalau-kalau nanti ada akibatnya yang tidak baik bagi kita….” 

 Si gadis terdiam. Lalu dia mengalihkan pembicaraan. “Pemuda yang bernama 

Wiro itu, apakah benar dia seorang pendekar sakti mandraguna yang punya 

nama besar di delapan penjuru angin?” 

 “Begitu kabar yang aku dengar….” 

 “Tapi mengapa salah satu anak panah saya mempu melukainya?” 

 Pangeran Banuarto tersenyum. “Mungkin kehebatannya telah menurun atau 

bisa saja ilmu panahmu sudah meningkat jauh!” 

 Dewi Santiastri tersenyum. Belum pupus senyum dari wajahnya yang jelita itu

tiba-tiba di lereng gunung yang menurun itu muncul seorang tua berpakaian dan 

berblangkon hitam. Janggut dan kumisnya putih tak terurus. Pandangan matanya 

dingin angker. Dari caranya berdiri di jalan jelas dia sengaja menghadang perjalanan 

kedua orang yang berkuda itu. 

 “Orang tua, siapa kau?” bertanya Pngeran Banuarto dengan rasa heran. Tentu 

saja dia tak akan menyangka kalau akan bertemu dengan seseorang tak dikenal di 

tempat itu. 

 Orang yang ditegur menyeringai. “Kau tak kenal aku sungguh keterlaluan 

Pangeran Banuarto,” orang itu berkata. 

 “Eh, kau tahu siapa aku!” Pangeran Banuarto semakin heran. 

 Orang berblangkon hitam kembali menyeringai. “Namaku Ki Ageng Lentut. 

Bertahun-tahun aku menjadi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo tanpa dibayar 

barang sepeserpun! Apa salah kalau hari ini aku muncul untuk menagih segala hutang 

piutang?!” 

 Pangeran Banuarto dan keponakannya jadi saling pandang mendengar kata-

kata orang yang tidak mereka kenal itu. Si gadis membuka mulut. 

 “Kami tidak pernah merasa mempunyai kuncen untuk mengurus makam 

ayahanda….” 

 “Ah kalau begitu kau seorang anak yang sangat tidak berbakti!” 

 “Jaga mulutmu!” bentak Pangeran Banuarto. 

 Dibentak begitu orang yang mengaku kuncen makam Pangeran Banowo itu 

hanya menyeringai. “Aku sudah menghitung-hitung berapa bayaran yang harus 

kuterima. Semuanya sekitar sepuluh tail emas ditambah lima puluh tail perak! Aku 

mohon kalian jangan segera membayarnya saat ini!” 

 “Orang gila! Kami tidak membawa apa yang kamu minta itu. Sekalipun ada 

tidak akan kami berikan! Antara kita tidak ada sangkut paut apa-apa!” 

 “Pangeran, jangan berkata begitu. Aku telah merawat….” 

 “Tunggu dulu!” sentak Dewi Santiastri. “Kalau kau benar merawat makam 

ayahandaku, mengapa makam begitu kotor dan ada tiangnya yang patah?!” 

 “Soal tiang patah itu karena ada seorang gila datang mengamuk. Tapi aku 

telah mengusirnya hingga makam tidak lebih rusak….” 

 “Kau dusta! Aku tahu kau dusta!” kata Dewi Santiastri pula. 

 “Jadi kalian tidak mau membayar?” bertanya kuncen Ki Ageng Lentut. 

 “Siapa sudi!” teriak Dewi Santiastri. 

 “Baiklah, kalau kalian tidak mau membayar tidak jadi apa. Kalian yang 

merugi, bukan aku. Namun jika kalian mau berunding rasanya itu lebih baik…” 

 “Apa maksudmu?!” tanya Pangeran Banuarto. 

 “Usiaku memang sudah agak lanjut. Tapi kejantananku tidak kalah dengan 

seorang pemuda dua puluh tahun. Kulihat keponakanmu itu berparas cantik. 

Bagaimana kalau dirinya saja yang kuambil sebagai pembayar hutang kalian!” 

 “Manusia rendah bermulut kurang ajar!” teriak Pangeran Banuarto marah. 

 Dewi Santiastri tidak kalah marahnya. Gadis ini menyentakkan tali kekang 

kudanya. Begitu tunggangannya melompat ke hadapan orang berpakaian hitam, kaki

kanannya langsung ditendangkan ke kepala orang itu. 

 “Ah, tidak dikira putrid almarhum Pangeran Banowo memiliki ilmu silat,” 

kata si kuncen sambil tersenyum.. Sekali tangannya bergerak dia berhasil menangkap 

pergelangan kaki kanan si gadis. Lalu sekali putar saja tubuh Dewi Santiastri 

dibuatnya mencelat ke atas. 

 Sambil memekik marah puteri mendiang Pangeran Banowo itu jungkir balik 

di udara. Kedua tangannya bergerak menyambar busur dan tiga anak panah. Masih 

dalam keadaan melayang di udara si gadis lepaskan tiga anak panah kea rah si 

kuncen. Yang diserang berseru kaget. Untung dia bisa berlaku cepat melompat 

menghindari tiga serangan anak panah itu walau satu anak panah masih sempat 

menyerempet blangkonnya hingga blangkon itu robek besar. 

 “Hem, gadis ini berbahaya. Dia harus ditangani lebuh dulu,” membatin Ki 

Ageng Lentut yangwajahnya sempat pucat akibat keganasan ilmu panah Dewi 

Santiastri tadi. Pada saat itu Pangeran Banuarto telah melompat turun dari kudanya. 

Dengan tangan kosong dia menyerang Ki Ageng Lentut. Sang kuncen menangkis 

dengan melintangkan lengan kiri di depan kepalanya. Bukkk! Dua tangan saling 

baradu. Pangeran Banuarto mengernyit kesakitan. Tubuhnya terjajar beberapa 

langkah ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan si kuncen untuk menyergap kea 

rah Dewi Santiastri yang saat itu sudah berdiri di tanah dan siap melepaskan lima 

anak panah. Namun sebelum dia mampu melakukan hal itu, orang berpakaian hitam

ini telah menyergap si gadis. Dewi coba menghantam kepala lawan dengan busurnya. 

Dia berhasil. 

 Trakkk! 

 Busur patah dua begitu menghantam kepala Ki Ageng Lentut. Dari keningnya 

yang terluka mengucur darah. Tapi seolah tidak merasakan sakit orang ini kembali 

menyergap bagian pertengahan dada Dewi Santiasri hingga gadis ini tertegak kaku 

tidak bisa bergerak lagi. 

 “Keparat jahanam! Apa yang kau lakukan pada keponakanku?!” teriak 

Pangeran Banuarto.Tangan kanannya yang masih sakit akibat bentrokan tadi 

dipukulkannya ke perut sang kuncen. 

 Bukkk! 

 Jotosan itu tepat mengenai ulu hati Ki Ageng Lentut! 

 “Mampus!” teriak Pangeran Banuarto karena dia sudah memastikan perut 

orang tua itu akan jebol dan hancur di sebelah dalam. Pukulan yang dilepaskannya 

tadi bukan pukulan sembarangan. Selain mengandung tenaga dalam tinggi juga 

disertai aji “wesi kuning” yang sanggup mematahkan pohon menjebol dinding. 

 Tapi sang pangeran jadi terbelalak ketika melihat, jangankan jebol atau 

muntah darah bergeming sedikitpun tubuh sang kuncen tidak! Malah dia tampak 

menyeringai dan berkata mengejek. 

 “Aji wesi kuning tidak ada gunanya di hadapanku, pangeran! Sekarang 

gilirankmu menerima pukulanku!” Habis berkata begitu Ki Ageng Lentut angkat 

tangan kanannya ke atas. Telapak tangan membuka. Mulutnya berkomat kamit. Lalu 

telapak tangan yang diarahkan pada Pangeran Banuarto itu didorongkannya. Perlahan

saja. Apa yang terjadi membuat Dewi Santiastri terpekik. 

 Dari telapak tangan Ki Ageng Lentut menyembur keluar suara mendesis keras 

disertai hawa panas luar biasa. Pangeran Banuarto cepat menyingkir sambil 

menghantam degnan kedua tangan. 

 Bummmm! 

 Lereng Gunung Merbabu itu terasa bergetar. Ki Ageng Lentut tampak tertegak 

dengan lutut menekuk sedang tubuh sebelah atas bergoyang-goyang. Wajah tuanya 

kelihatan sedikit pucat. Tapi dia berhasil menguasai diri. Kedua kakinya melurus dan 

tampangnya tampak berdarah lagi. 

 Lain halnya dengan Pangeran Banuarto. Begitu pukulan tangan kosongnya 

saling bentrokan dengan hawa panas yang keluar dari telapak tanagn si kuncen, 

tubuhnya langsung mencelat mental. Ambruk di tanah berguling-guling sampai 

beberapa tombak. Ketika gulingannya tertahan oleh akar semak belukar, kelihatan 

pakaian dan sebagian kulit tubuhnya laksana dipanggang! Tubuh itu tidak berkutik 

lagi dan Dewi Santiastri tahu kalau pamannya sudah jadi mayat! Untuk kedua kalinya 

gadis ini berteriak. 

 Ki Ageng Lentut menyeringai sambil usap-usap janggutnya. Lalu terdengar 

dia tertawa mengekeh. Perlahan-lahan dia melangkah mendekati mayat Pangeran 

Banuarto. Di satu tempat dia mematahkan sebatang ranting kayu yang keras. Dengan 

ranting yang ujungnya tajam ini dia lalu menoreh angka 212 di kening Pangeran 

Banuarto. Ranting dicampakkan dan Ki Ageng Lentut kembali tertawa mengekeh. 

Tubuh Pangeran Banuarto didukungnya lalu dinaikkan ke atas kuda. “Bawa kembali 

tuanmu ke Kotaraja!” Lalu Ki Ageng Lentut menepuk pinggul kuda itu kuat-kuat 

hingga binatang ini menaikkan kedua kakinya lalu lari menghambur. 

 Ki Ageng Lentut menyeringai dan berpaling kea rah Dewi Santiastri. 

 “Manusia durjana! Pergi! Pergi!” teriak si gadis ketika si kuncen melangkah 

ke arahnya. 

 “Tenang kekasihku, tenang. Kau akan kubawa bersenang-senang. Kau akan 

merasakan satu kenikmatan dunia yang belum pernah kau ketahui salama ini!” 

 “Manusia iblis! Setan! Pergi!” teriak Dewi Santiastri. 

 Ki Ageng Lentut sampai di hadapan si gadis. Tanpa pedulikan teriakan di 

Dewi, tangan kanannya enak saja secara kurang ajar mengusap permukaan dada gadis 

itu. Jeritan dan makian si gadis terdengar berkepanjangan. 

 “Kekasihku, apakah kau pernah ditiduri laki-laki?” Ki Ageng Lentut ajukan 

pertanyaan seraya menyusupkan tangan kanannya ke balik dada pakaian Dewi 

Santiastri. 

 “Manusia jahanam! Kau bunuh saja aku daripada menodai begini tupa!” teriak 

Dewi Santiastri. 

 “Jangan bilang begitu kekasihku. Mari ikut aku ke makam ayahmu. Di situ 

kita akan bersenang-senang biar roh ayahmu menyaksikannya sendiri. Setelah itu 

kalau kau memang mau mati boleh-boleh saja….” 

 “Jahanam! Lepaskan!” teriak Dewi. “Lepaskan!” 

 Ki Ageng Lentut tertawa mengekeh. Tubuh gadis dipanggulnya di bahu kiri

lalu dilarikannya kea rah puncak Gunung Merbabu. Tapi baru berlari beberapa belas 

langkah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring. Bersamaan dengan itu ada semburan 

angin di samping kiri. Ki Ageng Lentut terkejut ketika merasakan tubuh gadis yang 

ada di bahunya terlepas dari panggulannya. Secepat kilat dia hentikan larinya 

dan berpaling. 

 “Keparat….. Dia rupanya!” Ki Ageng Lentut jadi terperangah ketika melihat 

siapa yang ada di depannya. “Rasanya mau aku nekad-nekadan menghadapinya saat 

ini juga. Tapi tak ada gunanya. Biar orang lain saja yang membereskannya. Perlu apa 

menyusahkan diri!” Berpikir begitu Ki Ageng Lentut keluarkan sebuah benda dari 

saku pakaian hitamnya. Benda ini kemudian dilemparkan kea rah pemuda gondrong 

yang kini mendukung Dewi Santiastri. 

 Blusssss! 

 Benda yang dilemparkan meletus di udara. Asap pekat kelabu membumbung 

membungkus tempat itu. Pemuda yang mendukung Dewi SAntiastri melepaskan satu 

pukulan tangan kosong yang sangat dahsyat. Tapi tak ada gunanya. Ki Ageng Lentut 

telah lebih dulu menghambur pergi diblik kepulan asap kelabu. Di sebelah sana 

pohon-pohon dan semak belukar patah tumbang dan mencelat kian kemari dihantam 

pukulan “dewa topan menggusur gunung.” 

 Pendekar 212 Wiro Sableng baringkan tubuh Dewi Santiastri di tanah yang 

rata lalu melepaskan totokannya. Gadis ini menangis keras dan tanpa sadar memeluki 

tubuh si pemuda. 

 “Wiro, syukur kau datang. Kalau tidak entah apa jadinya dengan diriku. Tapi 

orang jahat itu telah membunuh paman Pangeran Banuarto….” 

 Wiro terkejut sekali. Dia memandang berkeliling. 

 “Mayat paman dinaikkannya ke atas kuda, lalu kuda digebraknya. Binatang itu 

kini telah dalam perjalanan ke Kotaraja. Sebelum mayat paman dinaikkan ke atas 

kuda dia telah menoreh angka 212 pada kening mayat…..” 

 “Apa!” sepasang mata Pendekar 212 sampai melotot ketika mendengar ucapan 

di gadis. Dewi Santiastri lalu menerangkan lebih rinci. 

 “Kurang ajar! Apa maksud orang itu….?!” Pendekar 212 berpikir-pikir. 

“Hemmmmm…. Jelas dia berusaha memfitnah diriku! Gila! Begitu kuda pembawa 

mayat pamanmu sampai di Kotaraja semua orang akan segera tahu bahwa akulah 

pembunuh Pangeran Banuarto.” 

 “Tapi aku bisa menjadi saksi bahwa bukan kau yang melakukan hal itu,” kata 

Dewi pula. 

 “Memang bisa, tapi namaku sempat tercemar lebih dulu. Kita tak mungkin 

mengejar kuda yang membawa jenazah pamanmu. Begitu aku muncul di Kotaraja 

pasti aku akan segera ditangkap. Kurang ajar betul! Kau tahu siapa orang tua 

berkumis dan berjanggut putih tadi itu?” 

 “Dia mengaku kuncen makam ayahandaku. Padahal kami tidak pernah 

membayar seorang kuncenpun….” 

 “Kau pernah melihat orang itu sebelumnya? Atau mungkin tahu nama serta 

asalnya?” tanya Wiro.

“Baru sekali ini aku melihatnya. Tak tahu darimana dia berasal. Hanya tadi dia 

mengaku bernama Ki Ageng Lentut.” 

 Pendekar 212 garuk-garuk kepala. “Ki Ageng Lentut….Ki Ageng 

Lentut….Aku pernah dengar nama itu. Aku ingat! Dia seorang pengukir patung kayu 

di Pangadegan. Rasanya tak mungkin dia yang melakukan. Tapi aku pernah 

mendengar bahwa dia menguasai semacam ilm hitam….. Bagaimana cirri-cirinya?” 

 “Tua, kumis dan janggutnya sudah putih. Blangkon dan pakaiannya serba 

hitam….” 

 “Tepat sama dengan cirri-ciri juru ukir itu! Kurang ajar! Jika memang dia 

akan kupecahkan kepalanya!” Wiro kepalkan kedua tinjunya walaupun hatinya masih 

agak meragu. 

 “Kita harus pergi dari sini. Aku akan antarkan kau sampai di pintu gerbang 

luar Kotaraja. Begitu sampai di Kotaraja kau harus segera menemui pejabat Istana 

yang kau kenal baik dan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi atas diri 

pamanmu.” 

 “Aku akan melakukan itu Wiro. Jangan kawatir. Namun bagaiman kalau kita 

bersama-sama menemui pejabat itu? Aku kenal seorang Tumenggung yang punya 

hubungan baik dengan Sultan” 

 “Terlalu besar bahayanya. Sebelum persoalannya jelas bagi kalangan Keraton, 

aku tak mungkin masuk ke dalam Kotaraja.” 

 “Aku mengerti. Jadi kau antarkan saja aku sampai di pintu gerbang Kotaraja,” 

kata Dewi Santiastri. 

 Pendekar 212 memapah gadis itu lalu menaikkannya ke atas punggung kuda. 

 “Kuda kita cuma satu? Bagaimana dengan kau?” 

 Wiro tersenyum. “Asal kau tidak memacunya terlalu cepat aku bisa mengikuti 

dari belakang.” 

 “Kalau begitu….” Si gadis meragu sesaat. “Kau naik saja di belakangku 

Wiro.” 

 Tanpa disuruh dua kali Wiro Sableng langsung naik punggung kuda besar itu. 

 Apa yang diperkirakan Pendekar 212 Wiro Sableng memang benar. Begitu 

mayat Pangeran Banuarto sampai di Kotaraj, suasana menjadi geger. Pendekar 212 

Wiro Sableng segera dicap sebagai pembunuh. Walaupun keumudian Dewi Santiastri 

menemui pejabat yang dikenalnya lalu menerangkan apa yang terjadi namun pihak 

Istana tidak begitu saja mempercayainya. Malah tersebar desas desus bahwa gadis itu 

mungkin saja berkomplot dengan Pendekar 212 untuk membunuh Pangeran Banuarto 

karena kini hanya dialah pewaris tunggal harta kekayaan milik ayah dan sang paman. 

SEMBILAN 

Malam yang gelap di pinggiran timur Kotaraja. Di desa pengadegan terasa dingin 

setelah hujan turun cukup lebat. Di mana-mana terdengar suara jangkrik yang sesekali 

ditimpali suara kodok.

Di dalam rumah kayu, orang tua berjanggut dan berkumis putih itu duduk di 

atas tikar tengah asyik memperhalus ukiran kepala seekor burung garuda besar. 

Sebenarnya matanya sudah sangat mengantuk, tapi ukiran itu harus selesai malam itu 

juga karena esok pagi pemesanna, seorang hartawan dari Kudus akan mengambilnya. 

Sesekali orang tua ini menghentikan pekerjaannya sekedar untuk mengipas-ngipaskan 

blangkon hitamnya. Walaupun di luar udara dingin namun dalam rumahnya Ki Ageng 

Lentut merasa panas dan sekujur pakaian hitamnya basah oleh keringat. 

 Tengah dia asyik menekuni pekerjaannya tiba-tiba telinganya menangkap 

suara kaki di depan rumah. Sesaat kemudian pintu rumah terpentang lebar dan tangga 

ditendang orang dari luar. 

 “Hai! Setan dari mana yang datang mengamuk malam-malam buta di 

rumahku?!” teriak Ki Ageng Lentut marah sekali. 

 Baru saja dia berteriak begitu tiba-tiba di hadapannya tegak bertolak pinggang 

seorang pemuda berambut gondrong dengan tampang beringas seolah siap untuk 

melumat juru ukir itu. 

 “Orang gila! Siapa kau?! Kau merusak pintu rumahku! Masuk tanpa izinku?” 

Ki Ageng Lentut letakkan ukiran burung garuda ke atas tikar lalu berdiri dengan cepat. 

Pahat kecil yang tajam luar biasa tepentang di tanagnnya. 

 “Benar kau orangnya yang bernama Ki Ageng Lentut?!” bertanya si pemuda. 

 “Eh setan sialan! Ditanya malah kembali menanya! Kau sendiri siapa orang 

gila?” 

 “Namku Wiro. Aku ingin jawabanmu benar kau orangnya yang bernama Ki 

Ageng Lentut?!” 

 “Kalau kau sudah tahu siapa aku lekas minggat dari sini. Tapi bertulkan dulu 

pintu rumahku. Kalau tidak wajahmu akan kuukir seburuk setan dengan pahat ini!” 

 “Orang tua, kau telah membunuh Pangeran Banuarto. Kini aku jadi buronan 

karena perbuatanmu menoreh angka 212 di kening jenazah pangeran itu!” 

 “Eh…..eh…! Tunggu dulu! Kau benar-benar orang gila kesasar. Kal kaupun 

aku tidak! Enak saja menuduh....” 

 “Di mana kau sekitar empat hari lalu?!” 

 “Orang gila seharusnya aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu. Tapi biar 

aku membuat pengecualian. Sejak satu minggu terakhir ini aku tidak pernah 

meninggalkan rumah ini !” 

 “Dusta!” 

 “Anjing edan! Lihat pahat!” teriak Ki Ageng Lentut. Pahat runcing berkilat di 

tangannya berkelebat. 

 Pendekar 212 Wiro Sableng cepat menghindar dan terkejut melihat kecepatan 

gerakan orang tua itu. Pipinya terasa dingin sewaktu ujung pahat menyambar dekat 

sekali ke wajahnya. 

 Jengkel melihat serangannya hanya mengenai tempat kosong, si orang tua 

membuat gerakan berputar. Ketika tubuhnya membalik tiba-tiba saja kaki kanannya 

mencuat ke udara. 

 Bukkkk!

Murid Eyang Sinto Gendeng terpelanting begitu tendangan kaki kanan Ki 

Ageng Lentut mendarat di rahang kirinya. Untuk beberapa saat lamanya kepalanya 

terasa pening. Kehebatan ilmu silat si kakek membuat Wiro semakin yakin bahwa 

memang dialah yang telah membunuh Pangeran Banuarto dan hendak menculik Dewi 

Santiastri. 

 “Tua bangka berkedok pengukir suci! Perbuatan bejatmu sudah aku ketahui! 

Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!” teriak Wiro. Lalu dia lancarkan serangan 

bertubi-tubi. Mula-mula Ki Ageng Lentut memang mampu membuat gerakan 

menghindar bahkan balas menyerang. Namun begitu nafasnya sesak dan gerakannya 

menjadi lamban maka tubuh dan mukanya menjadi bulan-bulanan jotosan Pendekar 

212. Darah mengucur dari hidung dan bibirnya yang pecah. Sewaktu orang tua ini 

berusaha berlindung di belakang ukiran patung garuda besar tanpa ampun Wiro 

melabrak patung itu dengan tendangan kaki kanan hingga hancur berkeping-keping. 

 Ki Ageng Lentut meraung keras. Dia lebih baik kehilangan nyawanya dari 

pada melihat ukiran burung garuda itu hancur begitu rupa. Seperti orang kemasukan 

setan dia bergulingan di lantai sambil memegangi beberapa bagian ukiran yang 

hancur. Wiro tidak menunggu lebih lama. Kaki kanannya bergerak ke arah kepala Ki 

Aggeng Lentut. Si orang tua malah tidak perdulikan kepalanya bakal pecah dan 

nyawanya melayang. Dia menggerung sambil memegangi hancuran patung garuda. 

 Sesaat lagi kaki kanan Pendekar 212 akan menghantam kepala Ki Ageng 

Lentut tiba-tiba atap rumah yang terbuat dari rumbia itu jebol di dua bagian. 

Bersamaan dengan itu terdengar dua suara keras. Yang pertama suara lelaki berseru 

“Pendekar 212! Tarik pulang seranganmu! Jangan sampai kesalahan turun tangan!” 

 Suara kedua adalah suara perempuan. “Kalau otak ditelan perasaan begini 

jadinya. Tarik pulang tendangan atau kuhancurkan kakimu!” 

 Lalu dari atas atap sebelah kanan menyembur cairan berbau harum sedang dari 

atap sebelah kiri menyambar satu cahaya biru laksana tebasan pedang panjang yang 

mengeluarkan hawa sangat dingin hingga murid Eyang Sinto Gendeng merasa 

tengkuknya jadi merinding! Bagaimanapun nekadnya dia hendak membunuh Ki 

Ageng Lentut yang dicapnya sebagai pembunuh Pangeran Banuarto dan yang hendak 

menculik dan memperkosa Dewi Santiastri tapi pikiran sehat membuat sang pendekar 

menarik tendangannya dengan cepat. 

 Byuuuuurrrrr! 

 Craaaaatttt! 

 Lantai papan berlobang di enam tempat akibat semburan cairan aneh berbau 

harum. Lalu di bagian lain lantai yang sama robek seperti ditembus benda tajam yaitu 

akibat hantaman sinar biru tadi! 

 Pendekar 212 leletkan lidah dan garuk-garuk kepala. Sesaat nyawanya serasa 

terbang. Kalau tadi dia tidak segera menarik tendangannya jelas kakinya akan hancur 

dan terbabat putus! Wiro angkat kepala memandang ke dapan. Dia melihat dua 

pemandangan yang kontras sementara Ki Ageng Lentut masih menelungkup di lantai 

menangisi patungnya yang hancur. 

 Di sebelah depan kanan Wiro saat itu berdiri seorang kakek berpakaian

selempang kain biru. Di punggungnya tergantung sebuah tabung bambu. Janggutnya 

yang putih menjela sampai ke bahu. Di bawah penerangan lampu minyak yang 

tergantung di dinding kanan rumah dia segera mengenali sapa adanya kakek-kakek itu. 

Dia hendak berseru memanggil nama “Dewa Tuak” namun mulutnya tersekat ketika 

dia melihat sosok kedua yang berdiri di samping kiri ruangan. 

 Di situ tegak seorang dara berpakain biru. Begitu tipisnya pakaian yang 

dikenakannya sehingga walaupun nyala lampu minyak di ruangan itu tidak seberapa 

terang namun Wiro masih dapat melihat menembus ke balik pakaian itu bentuk tubuh 

yang luar biasa bagusnya. Murid Sinto Gendeng merasakan nafasnya seperti berhenti. 

Wajah dara itu ternyata cantik bukan kepalang. Rambutnya yang panjang 

tergerai sampai di dada berwarna coklat kepirangan. 

 “Gila, mengapa di saat seperti ini ada bidadari yang turun ke bumi!” kata 

Pendekar 212 dalam hati. Untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa berkata apa-apa 

selan tegak tertegun. 

 Kakek berjanggut putih yang memang adalah Dewa Tuak betuk-betuk 

beberapa kali. Pendeka 212 segera sadar. Dia cepat maju ke hadapan si kakek dan 

menjura dalam-dalam memberikan penghhormatan. 

 “Dewa Tuak, harap maafkan kalau aku tidak cepat menyalamimu. Semuanya 

terjadi begitu mendadak dan membuatku agak bingung.” 

 Dewa Tuak tertawa lebar. “Hidup ini sesekali memang harus dibuat bingung, 

anak muda. Bagaimana aku bisa muncul di sini dan bagaimana aku dapat menemuimu 

di sini satu mukjizat yang membingungkan. Aku mendengar kabar tentang seorang 

kuncen bernama Ki Ageng Lentut. Beberapa hari lalu aku berada di puncak Gunung 

Gede. Gurumu dalam bahaya besar. Ada empat tokoh silat dari Timur bernama 

Ramada Suro Jelantik. Orang ini memberi tahu bahea kau telah memperkosa istrinya 

lalu membunuh perempuan itu. Kemana dia pergi dia membawa jenazah istrinya yang 

sudah diawet. Agaknya dia tidak akan menghentikan kegilaan itu sebelum berhasil 

membunuhmu! Apa yang hendak kau katakan Pendekar 212?” 

 Untuk beberapa saat lamanya Wiro tampak ternganga mendengar kata-kata 

Dewa Tuak itu. “Dewa Tuak, kau kenal diriku sejak aku masih kecil. Tidak meungkin 

aku melakukan kejahatan keji seperti itu….” 

 “Tiga orang anak buah Ramada memberi kesaksian bahwa kau yang 

memperkosa dan membunuh istri pimpinan mereka!” 

 Wiro geleng-geleng kepala. “Aku harus mencari mereka. Urusan gila ini harus 

dijernihkan!” 

 “Bagus kalau kau mau bertindak begitu. Jangan harap aku akan membantumu. 

Aku punya urusan yang lebih penting. Menyelamatkan nyawa gurumu. Sinto 

Gendeng dikeroyok dan diserang dengan binatang-binatang berbisa. Tubuhnya 

digerayangi racun yang mematikan. Hanya Kapak Naga Geni 212 yang mampu 

menyesot racun ganas itu dari tubuhnya. Ddia hanya punya waktu dua minggu. 

Berikan senjata mustika itu padaku bihar segera kubawa ke Gunung Gede….” 

 “Dewa Tuak, sebagai muridnya bihar aku sendiri yang akan membawa Kapak 

Maut Naga Geni 212 ke sana….”

“Tidak Wiro!” jawab Dewa Tuak sambil menggelengkan kepala. Dia 

mengambil tabung bambu berisi tak. Setelah meneguk minuman itu beberapa kali dan 

menyeka bibirnya dengan belakang telapak tangan orang tua ini melanjutkan kata-

katanya. “Urusanmu menyelamatkan gurumu serahkan padaku. Kau bereskan 

urusanmu dengan Ramada dan anak buahnya…..” 

 “Dewa Tuak kau tadi mengatakan aku salah turun tangan. Maksudmu….?’ 

 Dewa Tuak belum sempat menjawab. Dara berpakaian tipis di sebelah kiri 

membuka mulut. “Juru ukir bernama Ki Ageng Lentut itu bukan orang yang kau 

cari….” 

 “Lalu….?” Wiro bertanya heran. 

 “Kau harus memecahkan sendiri teka teki ini? Hidup sebagai pendekar banyak 

tantangannya. Kau harus memecahkan setiap tantangan atau kepalamu sendiri yang 

akan dipecahkan orang!” jawab sang daa. 

 Wiro hanya bisa tegak ternganga dan memandang tak berkedip pada sang dara. 

Tiba-tiba Dewa Tuak membuat gerakan. Cepat sekali gerakannya itu hingga Wiro 

merasakan seperti dia dihembus angin dan tahu-tahu Kapak Maut Naa Geni 12 yang 

terselip di pinggangnya lenyap. 

 “Dewa Tuak! Tunggu dulu!” seru Wiro. Saat itu si kakek berjanggut putih 

sudah melompat ke atas. Dia menerobos lenyap lewa atap yang jebol. Wiro hendak 

mengejar tapi langkahnya tertahan karena dara berbaju biru tipis cepat sekali 

menghadangnya. Berdiri begitu dekat Wiro dapat melihat wajah cantik yang benar-

benar sempurna. Hidungnya mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan rambut 

si gadis. 

 “Orang hendak menyelamatkan gurumu, mengapa kau masih banyak 

cerewet?!” sang dara tiba-tiba menegur. 

 “Aku tidak cerewet!” jawab Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Eh, kau ini 

siapa sebenarnya?” 

 “Aku orang yang tadi hendak membuat buntung kaki kananmu dengan 

“pedang kilat biru”. Untung kau tidak berlaku nekad. Kalau tidak saat ini kau sudah 

jadi seorang pendekar buntung seperti Ramada itu!” 

 “Eh,kau kenal Ramada yang memfitnah aku memperkosa dan membunuh 

istrinya?” 

 “Kenal atau tidak itu bukan urusanmu. Siapa tahu mungkin memang kau yang 

memperkosa lalu membunuh istrinya….” 

 “Kau!” Wiro hendak mendamprat marah tapi kemarahannya leleh melihat 

kecantikan gadis di depannya.

 Si gadis kemudian berkata lagi. “Coba kau lihat juru ukir itu! Kau telah 

menghancurkan barang yang sangat berharga dalam hidupnya. Apakah kau mampu 

memperbaiki ukiran burung garuda itu kembali?” 

 “Aku tak mampu melakukannya,” kata Wiro perlahan sambil memandangi si 

pengukir yang menelungkup di lantai menagnisi pecahan ukiran burung garudanya. 

“Aku harus mengakui aku menyesal melakukannya. Semua gara-gara….” 

 “Jangan salahkan orang lain. Kau yang punya perbuatan kau yang harus

bertanggung jawab.” 

 Ucapan itu membuat mulut Wiro Sableng terkancing. “Kau, kau seperti 

sedang menghakimiku. Apakah kau juga akan menjatuhi hukuman padaku?” 

 Wajah cantik itu menyeringai sinis. “Kau sendiri yang harus menghakimi dan 

menghukum dirimu!” 

 “Aku sudah bilang menyesal!” kata Wiro hampir berteriak dan menunjukkan 

tangan kanannya ke dalam telapak tangan kirinya. 

 Wiro mengeruk saku bajunya. Semua uang dan beberapa tail perak yang 

dimilikinya diletakkan di atas tikar. “Hanya itu yang bisa kulakukan. Ki Ageng Lentut 

ku harap kau bersedia menerimanya sebagai ganti rugi….” 

 Dara di depan Pendekar 212 tertawa panjang. “Uang dan perak itu tidak akan 

mengembalikan ukiran burung garudanya yang telah kau hancurkan!” 

 “Lalu….lalu aku harus berbuat apa?!” 

 Sang dara tak menjawab. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Pendekar 212 

keluarkan seruan tertahan. Tubuh si gadis lenyap. Dia melihat gerakan-gerakan 

laksana kilat serta cahaya biru berkelebat kian kemari. Pecahan-pecahan kayu ukiran 

burung garuda yang bertebaran di lantai satu persatu lenyap dari tempatnya. Begitu 

juga yang sedang dipegang oleh si pengukir. Di lain kejap tahu-tahu di atas 

tikar pecahan ukiran kayu itu telah menyatu kembali membentuk burung garuda, 

utuh seperti semula. 

 Wiro bersurut mundur. Ki Ageng Lentut ternganga dan matanya mendelik tak 

percaya. 

 “Itu yang diinginkan orang tua ini. Bukan penyesalan ataupun uang dan harta 

benda!” 

 Wiro palingkan kepalanya memandang pada gadis di hadapannya. Untuk 

beberapa lamanya sepasang mata mereka saling beradu. Wiro kalah. Dia menunduk 

lebih dulu. Ini yang membuatnya sangat jengkel. Ketika si baju biru itu melesat ke 

atas menerobos atap yang jrbol tanpa meunggu lebih lama murid Eyang Sinto 

Gendeng segera mengejarnya. Berlari sejauh beberapa puluh langkah, di satu tempat 

gadis itu hentikan langkahnya dan berbalik. Begitu Wiro sampai di hadapannya dia 

membentak. 

 “Perlu apa kau mengikutiku?!”

 “Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin tahu siapa kau sebenarnya. Kalau 

kau punya nama harap memberi tahu.” 

 “Untuk apa?!” 

 “Bukan untuk apa-apa. Kau tadi telah memberikan satu pelajaran sangat baik 

padaku….” 

 Si gadis tertawa. Wiro seperti terpana ketika melihat ada lesing pipit muncul 

di pipi kiri kanan si gadis. 

 “Bagi seorang pendekar, pelajaran paling baik bukan datang dari orang lain. 

Tapi dari dalam dirinya sendiri. Sanggup dan maukah dia belajar? Hanya itu 

saja persoalannya. Sederhana bukan?” 

 Untuk pertama kalinya dalam hidupnya Pendekar 212 merasa seolah seperti

seekor kodok dalam tempurung. 

 “Kau tak mau memberi nama tak jadi apa. Kepandaianmu luar biasa. 

Gerakanmu cepat tak terlihat mata laksana angin. Bihar aku panggil kau 

Bidadari Angin Timur. Terma kasih. Kau telah menanamkan sesuatu yang berarti dalam 

diriku. Yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku. Terima kasih….” Perlahan-

lahan Pendekar 212 memutar tubuhnya. Dua langkah dia berjalan tiba-tiba 

dilihatnya si gadis sudah ada sejarak dua tombak di depannya. Wiro berpaling ke 

belakang. Gadis itu tak ada di tempatnya semula. Wiro memandang lagi ke depan. Di 

situ tak terlihat lagi si baju biru itu. 

 Saat itu sebenarnya Wiro ingin sekali kencing. Namun karena diselimuti rasa 

jengkel, malu dan rasa bersalah bahkan bercampur pula dengan amarah akhirnya 

seperti tidak perduli diri lagi Wiro kencing begitu saja tanpa membuka celana dan 

sambil melangkah. 

 “Sialan!” katanya memaki entah memaki dirinya sendiri entah memaki gadis 

cantik berpakaian biru tipis tadi. 

 Saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa di sebelah atas. Wiro 

mendogak ke atas pohon di depannya. Gadis berbaju biru itu tampak berdiri di salah 

satu cabang pohon. 

 “Hanya orang tolol yang mau ngompol di celana!” kata si gadis sambil 

melambaikan tangannya. 

 “Astaga! Bagaimana dia tahu aku kencing di celana?!” kata Wiro sambil 

memegangi bagian bawah perutnya yang basah. Ketika dia menoleh ke atas pohon 

sang dara tak ada lagi di tempat itu. Hanya suara tawanya saja yang terdengar 

di kejauhan. 

 “Mungkin dia benar-benar bidadari. Mungkin juga malaikat. Tapi bagaimana 

kalau dia hantu jejadian? Sayang tadi aku tidak melihat bagian belakang tubuhnya. 

Jangan-jangan dia kuntilanak!” Memikir sampai di situ Wiro jadi merinding sendiri. 

SEPULUH 

Orang tua berjanggut putih panjang dan mengenakan jubah putih itu memandang 

pada Ramada dan dua orang anak buahnya. 

 “Hari ini aku bukan lagi kuncen penjaga makam Pangeran Banowo. 

Namakupun bukan lagi Ki Ageng Lentut.” 

 Rahang Ramada Suro Jelantik menggembung tanda ada hawa amarah di 

rongga dadanya. “Tunggu dulu!” katanya memotong. “Aku merasa curiga! Mengapa 

kau kini berubah rupa dan pakaian?!” 

 Orang tua itu tertawa perlahan. “Hidup harus punya ragam. Bagaimana 

tampangku dan bagaimana caraku berpakaian itu urusanku. Yang jelas aku adalah 

satu-satunya manusia yang mampu menguasai dan memanfaatkan kekuatan gaib yang 

ada dalam Guci Setan itu. Jika kau masih perlu aku kira boleh bicara. Kalau tidak 

silahkan angkat kaki dari hadapanku!” 

 Ramada mencekal leher jubah orang tua berambut putih panjang itu. “Dengar

baik-baik! Salah seorang anak buahku yang bernama Jalak Ijo mati konyol di tangan 

Sinto Gendeng. Petunjukmu ternyata membawa celaka!” 

 “Dan kau telah membuat sebelah mataku buta!” berteriak Jalak Item tak kalah 

marahnya. 

 “Kalian bicara seperti orang tolol!” sentak si orang tua. “Kau hendak mencari 

pembunuh istrimu. Apa kau kira begitu gampang tanpa pengorbanan? Ingat! Aku 

hanya memberi petunjuk. Apa kau mau melakukannya atau tidak aku tidak perduli! 

Apa akibatnya pada kalian aku tidak mau tahu!” 

 Kalau diperuntukkan kemarahannya saat itu mau rasanya Ramada mencekik 

orang tua itu sampai mati. Dengan suara bergetar dia bertanya “Lalu kami 

harus memanggilmu apa sekarang?!” 

 “Diriku sekarang adalah seorang juru ramal. Panggil aku juru ramal Sangkolo 

Bumi,” jawab orang tua berambut putih panjang. “Dekatkan Guci Setan itu padaku!” 

 Ramada Suro Jelantik memandang pada kedua anak buahnya yitu Jalak Item 

dan Jalak Biru. “Binatang-binatang peliharaan kalian sudah lengkap semua?” 

 Jalak Biru dan Jalak Item sama-sama anggukkan kepala. Sejak kelabang dan 

kalajengking mereka terbunuh di tangan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu, 

keduanya telah mendapatkan kala dan kelabag baru. 

 “Kalau dia menipu kita, aku tak akan memberi ampun lagi padanya!” kata 

Jalak Item yang menaruh dendam kesumat pada si kakek. Dia membuka penutup 

keranjang rotannya yang berisi tujuh ekor kala hitam beracun. Hal yang sama 

dilakukan oleh Jalak Biru yang keranjang rotannya berisi tujuh ekor kelabang biru. 

 “Tak ada yang menipu kalian. Hanya kalian saja yang bertindak bodoh!” 

jawab orang tua yang minta dipanggil dengan sebutan juru ramal Sangkolo Bumi itu. 

“Kalau kalian memang tidak perlu diriku dan ingin membunuhku mengapa tidak 

dilakukan dari tadi?” 

 Ramada dan dua anak buahnya terdiam. Perlahan-lahan mayat Dardini yang 

sejak tadi dipanggul diturunkan lalu dibaringkan di atas rumput liar di dalam hutan 

kecil yang terletak di satu kawasan sunyi di Selatan Kotaraja. Dalam hati dia berkata 

“Kalau pembunuh istriku sudah kuhabisi aku bersumpah akan membunuh tua bangka 

keparat ini!” 

 Tiba-tiba orang tua yang duduk bersila di tanah itu mengangkat kepalanya dan 

menatap Ramada lekat-lekat hingga Ramada jadi tercekat dan bertanya-tanya apakah 

orang tua itu mengetahui apa yang berusan diucapkannya dalam hati. “Turunkan Guci 

Setan itu ke tanah dan dekatkan padaku!” si orang tua berkata. 

 Ramada berjongkok di hadapan orang tau yang dulu dikenal engan nama Ki 

Ageng Lentut dan mengaku sebagai kuncen makam Pangeran Banowo itu lalu 

mendekatkan Guci Setan ke hadapannya tanpa melepaskan benda itu dari pegangan 

kedua tangannya. 

 Seperti dulu, sewaktu masih memakai nama Ki Ageng Lentut dan mengaku 

sebagai kuncen makam Pangeran Banowo, orang tua ini letakkan kedua tangannya di 

atas mulut guci yang mengeluarkan kepulan asap dan lidah api. Mulutnya berkomati 

kamit. Perlahan-lahan matanya dipejamkan. Beberapa saat kemudian kelihatan

sekujur tubuh Sangkolo Bumi bergetar. Dari mulutnya meluncur ucapan 

 “Guci Setan guci keramat. Petunjuk bumi petunjuk langit. Lenyap asap 

padamkan api. Munculkan air keramat. Ada orang meminta tolong. Sudi kiranya 

penguasa guci memberi jawaban memeberi petunjuk!” 

 Bersamaan dengan akhir ucapan itu tubuh Sangkolo Bumi berubah menjadi 

sangat hitam dan berkeriput. Tampangnya menyeramkan sekali. Hidung dan kedua 

matanya membesar, begitu juga gigi-giginya. Kedua telinganya mencuat panjang. 

Dari mulutnya keluar pertanyaan. Namun suaranya berubah aneh. 

 “Aku penghuni dan penguasa Guci Setan. Apa yang ingin kau tanyakan?” 

Matanya memandang tak berkedip pada Ramada Suro Jelantik. 

 “Aku Ramada. Aku ingin mengetahui dimana Pendekar 212 Wiro Sableng 

saat ini berada…. Dimana aku bisa membunuhnya!” 

 “Api di dalam guci, penghuni dna penguasa guci minta kau pergi. Air di alam 

gaib. Masuk dan isilah Guci Setan. Penghuni dan penguasa guci hendak melihat ke 

dalam alam gaib….” 

 Perlahan-lahan api di dalam guci mengecil. Kepulan asap iktu sirna. Di dalam 

guci terdengar seperti ada air mencurah disertai hembusan angin. Guci itu kini 

bergoyang keras hingga Ramada harus menggenggamnya erat-erat. Sangkolo Bumi 

mendekatkan kepalanya ke mulut guci. 

 “Penguasa guci telah elihat air dan mendengar tiupan angin. Ada seorang 

bernama Ramada ingin mengetahui dimana pembunuh istrinya berada. Namanya 

Wiro Sableng, bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!” 

 Guci yang dipegang Ramada kembali berguncang keras. Sangkolo Bumi 

melafatkan sesuatu lalu terdengar suaranya berkata. “Orang bernama Wiro Sableng 

bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu berada dekat sekali. Pergilah ke 

Timur. Masuk ke Girimulyo pada saat hari pasar. Kau akan menemui pemuda yang 

kau cari tepat pada saat sang surya berada di titik tertingginya.” 

 Mendengar kata-kata dari alam gaib itu Ramada segera mengangkat Guci 

Setan dari hadapan Sangkolo Bumi. Dia cepat mendukung jenazah istrinya kembali 

lalu memberi isyarat pada kadua anak buahnya. Tanpa banyak bicara lagi ketiga orang 

itu tinggalkan si juru ramal begitu saja. 

 “Manusia-manusia tidak tahu peradatan,” kata si orang tua perlahan. “Kalian 

lihat sendiri apa yang bakal terjadi.” 

Hari pasar di Girimulyo jatuh pada hari Sabtu. Dejak pagi kota kecil itu ramai oleh 

para pedagang dan para pembeli yang berdatangan dari berbagai penjuru. Di 

pagi yang sama seorang anak lelaki berusia sepuluh tahun mendatangi pengawal di pintu 

gerbang gedung Kepatihan. Pada pengawal itu si anak menyerahkan satu lipatan 

kertas 

 “Apa ini?” bertanya pengawal. 

 “Ada seorang meminta saya menyerahkannya kemari,” jawab si anak lalu 

cepat-cepat pergi dari situ. 

 Pengawal tadi membuka lipatan kertas. Di situ tertera tulisan berbunyi : Wiro

Sableng alias Pendekar 212 pembunuh Pangeran Banuarto akan berada di pasar 

Girimulyo siang ini. Saat yang baik untuk menangkapnya. 

Menjelang tengah hari pasar sedang ramai-ramainya. Orang bukan hanya berjual 

beli tapi banyak juga yang asyik melihat-melihat keramaian berupa tontonan. Antara 

lain adu ayam, permainan judi dadu, ada pula semacam tontonan akrobat. Di salah sat 

pusat keramaian tampak seorang tua berambtu putih panjang yang mengaku sebagai 

ahli meramal tegal di tangah-tengah lingkaran orang banyak. Lalu dia melangkah 

mundar mandir. Di tangannya orang tua ini memegang sebuah gong kecil. Setiap kali 

sehabis dia memukul gong kecil itu, dia berseru. 

 “Aku Sangkolo Bumi, juru ramal yang mampu meramal di delapan penjuru 

angin. Siapa yang ingin diramal nasibnya silahkan maju dan masuk ke dalam 

kalangan. Ulurkan telapak tangan kanan kalian. Jangan malu-malu. Di tempat lain aku 

memungut bayaran. Tapi di Girimulyo ini semua aku berikan cuma-cuma. Aku tidak 

memungut bayaran! Kepandaianku merupakan sedekah bagi siapa yang suka 

kutolong!” 

 Sekalipun dipungut bayaran akan banyak orang yang minta diramal nasibnya. 

Apalagi tidak perlu merogoh kocek. Masa itu ilmu mereamal merupakan kepandaian 

langka. Jarang ada peramal yang memanfaatkan kepandaiannya secara terbuka di 

tempat umum seperti yang dilakukan orang tua berambut dan berjubah putih 

itu. 

Orang banyak berdesak-desakan minta diramal nasibnya. Si orang tua melayani 

mereka satu persatu sampai akhirnya sepasang matanya melihat ada tiga orang 

penunggang kuda di kejauhan. Yang di depan sekali memanggul sesosok mayat dan 

memegang sebuah guci. Di belakangnya menyusul lelaki angker berwajah hitam dan 

biru. Ketiganya tentu saja adalah Ramada Suro Jelantik bersama Jalak Item dan Jalak 

Biru. 

 Juru ramal Sangkolo Bumi menyeringai. Matanya mengerling ke jurusan lain. 

Di antara orang banyak yang membentuk lingkaran dia melihat soran gpemuda 

berambut gondrong. Dengan gerakan cepat dia mendekati pemuda ini. Sambil 

tersenyum dan berkata. 

 “Anak muda, wajahmu tampan, tubuhmu perkasa. Apakah kau tak ingin aku 

ramalkan?” 

 “Terima kasih juru ramal. Lain kali saja,” jawab si pemuda. 

 “Ah jangan malu apalagi takut. Aku datang ke Girimulyo ini hanya sekali 

dalam sepuluh tahun. Mari ulurkan tangan sebelah kanan. Biar kuramal nasibmu di 

masa depan. Aiapa tahu kau bernasib baik…” 

 Walaupun tidak mau namun karena si orang tua tiba-tiba saja menarik tangan 

kanannya dan membawanya ke tengah lingakaran orang banyak, pemuda tadi terpaksa 

mengikuti saja. Padahal tadi diam-diam dia telah mengerahkan tenaga. Tetapi juru 

ramal itu ternyata memiliki kekuatan aneh. Semula si pemuda hendak lipat gandakan 

tenaganya namun dari pada bersitegang dia memilih mengalah dan membiarkan saja 

dirinya ditarik ke tengah kalangan. 

 Sampai di tengah lingkaran orang banyak sang juru ramal menarik tangan

kanan si pemuda lalu membalikkan telapak tangannya. Sepasang matanya menatap 

tak berkesip pada telapak tangan pemuda itu. Keningnya kemudian tampak 

mengernyit. Tiba-tiba kelihatan wajah sang juru ramal Sangkolo Bumi berubah 

seperti orang terkejut besar. Kedua matanya memandang mendelik pada si pemuda. 

 “anak muda, tidak kusangka kau rupanya!” kata Sangkolo Bumi keras-keras 

hingga semua orang memandang ke arah mereka. “Kau! Garis tanganmu berbau 

darah! Kau seorang pembunuh! Astaga! Aku kenal tampangmu! Kau adalah Pendekar 

212 Wiro Sableng. Kau pembunuh dan pemerkosa istri Ramada Suro Jelantik! Kau 

juga yang membunuh Pangeran Banuarto! Demi Tuhan! Orang banyak! Tangkap 

pemuda ini!” 

 Orang banyak yang ada di tempat itu tentu saja terkejut dan heran mendengar 

teriakan si juru ramal. Tidak heran kalau tidak satupun di antara mereka yang 

bergerak atau melakukan sesuatu. 

 Saat itu dari arah Timur tiga orang penunggang kuda yaitu Ramada Suro 

Jelantik, Jalak Item dan Jalak Biru mendatangi dengan cepat. Di saat yang hampir 

bersamaan dari jurusan Selatan muncul serombongan pasuan di pimpin oleh seorang 

Perwira Tinggi yang ada parut di bawah mata kirinya hingga tampangnya tampak 

angker. 

 “sialan! Apa-apaan ini?!” teriakpemuda yang tangannya masih di cekal oleh 

juru ramal Sangkolo Bumi. 

 “Pendekar 212! Kali ini kau tak akan lolos dari kematian!” kata Sangkolo 

Bumi. 

 Si pemuda berusaha menarik tangannya yang dicekal. Tapi pegangan si orang 

tua laksana jepitan besi. 

 “Kurang ajar! Orang ini pasti bermaksud jahat. Agaknya dia sengaja 

menjebakku.” Begitu si pemuda berkata dalam hati. Lalu dengan marah dia 

membentak. 

 “Juru ramal keparat! Siapa kau sebenarnya!” Sambil membentak tangan kiri 

pemuda ini berkelebat mengirimkan hantaman ke muka Sangkolo Bumi. 

 Sambil tertawa mengekeh juru ramal berambut putih panjang itu gerakkan 

tangan kanannya menangkis. 

 Bukkk! 

 Dua lengan beradu keras. 

 Baik si pemuda maupun si orang tua sama-sama terlempar satu tombak ke 

belakang dan terjengkang di tanah. Kadaan di tempat itu manjadi hiruk pikuk. Orang 

banyak berlarian menjauh. Tapi yang ingin melihat perkelahian dari dekat hanya 

beranjak beberapa langkah. 

SEBELAS 

Pendekar 212 Wiro Sableng sudah jelas melihat adanya gelagat yang tidak baik. 

Sepasang matanya menatap tajam pada orang tua yang terhantar di tanah di

hadapannya. Dia tidak kenal siapa adanya orang yang mengaku juru ramal itu. Tidak 

pernah melihatnya sebelumnya. Namun sepasang mata yang menyorot dingin rasa-

rasanya dia pernah melihatnya tapi kapan dan entah dimana. 

 “Astaga! Sepasang mata orang ini bukan mata orang tua!” kata Wiro dalam 

hati begitu dia manyadari adanya kelaianan pada kedua mata sang juru ramal. Saat itu 

lengan kirinya berdenyut sakit. Bentrokan pukulan dengan si orang tua telah membuat 

lengannya tampak bengkak kebiruan. Ternyata lengan juru ramal tua itupun tampak 

menggembung kemerahan. “Aku mencium bahaya besar!” kata Wiro dalam hati. Dia 

cepat melompat tegak. Saat yang bersamaan juru ramal berjanggut putih itu 

juga membuat gerakan kilat dan berdiri sambil melempar seringai ke arahnya. 

Keduanya saling berpandangan. Kalau Pendekar 212 memandang dengan marah 

bercampur heran maka sang juru ramal tampak memandang kepadanya penuh geram. 

Keduanya matanya menyorotkan sinar pembunuhan! 

 “Juru ramal! Katakan siapa kau sebenarnya! Aku tak pernah membunuh istri 

seorang bernama Ramada! Malah aku memang sedang mencarinya karena dia telah 

mencelakai guruku! Juga bukan aku yang membunuh Pengeran Banuarto!” 

 Juru ramal berjubah putih dongakkan kepalanya lalu tertawa panjang. 

 “Caranya mendongakkan kepala! Aku yakin pernah melihat orang ini 

sebelumnya! Lalu suara tawanya! Rasa-rasanya pernah kudengar. Dan sepasang mata 

itu! Dia menagku bernama Sangkolo Bumi. Mungkin nama palsu!” Selagi Wiro 

berpikir dan mengingat-ingat seperti itu sang juru ramal berkata 

 “Katamu kau tidak pernah membunuh istri orang bernama Ramada! Malah 

kau mengatakan orang itu mencelakai gurumu! Bagus! Coba kau katakan hal itu 

langusng pada orangnya sendiri! Dia sengaja datang ke tempat ini untuk 

menabas batang lehermu dan meneguk darahmu! Lihat ke sana!” Habis berkata begitu 

si juru ramal mengangkat tangan kanannya ke arah kanan. Saat itu terdengar ringkikan 

kuda keras sekali. Orang banyak berlompatan menjauh. Tiga penunggang kuda berhenti 

di tempat itu. Ramada, Jalak Item an Jalak Biru. 

 “Ada orang membawa mayat!” beberapa orang berteriak. Lalu cepat menjauh. 

Yang lain-lain mengikuti dengan air muka membayangkan rasa ngeri. 

 Murid Eyang Sinto Gendeng kerenyitkan kening. Dia sama sekali tidak 

mengenal tiga penunggang kuda yang aneh-aneh dan angker itu. “Satu membawa 

mayat perempuan yang sudah kaku tapi tidak busuk dan ada sebuah guci 

mengepulkan asap serta menjulurkan lidah api di tangan kanannya. Apakah dia yang 

bernama Ramada Suro Jelantik? Tokoh silat dari Timur? Dua kawannya memikul 

keranjang rotan, bertampang hitam legam dan biru gelap….” Selagi Wiro berkata 

dalam hati begitu rupa kembali terdengar suara si juru ramal. “Pendekar 212! Katamu 

bukan kau yang membunuh Pangeran Banuarto! Coba kau jelaskan sendiri pada 

rombongan pasukan dari Kotaraja itu!” Sangkolo Bumi menunjuk ke arah kiri. Wiro 

mengikuti arah yang ditunjuk si juru ramal. Dari arah Timur tampak serombongan 

penunggang kuda berseragam pasukan Kerajaan berjumlah sekitar dua puluh orang. 

Di depan sekali memimpin seorang Perwira Tinggi bermuka garang. 

 Ramada yang memanggul mayat istrinya di bahu kiri dan memegang Guci

Setan di tangan kanan, dengan gerakan enteng dan cepat melompat turun dari 

kudanya. Malihat cara orang bergerak Pendekar 212 segera maklum kalau manusia 

bertampang seram ini memiliki kepandaian tinggi. “Gerakannya sangat cepat dan 

enteng. Kaki kiri buntung, dipasangi roda besi bergerigi. Jangan-jangan benda 

ini menjadi senjatanya,” pikir Wiro. 

 Begitu berdiri di tanah Ramada segera meluncur di atas roda besi kaki kirinya 

mengelilingi Pendekar 212. Lalu dia berhenti empat langkah di hadapan sang 

pendekar. 

 Saat itu terdengar juru ramal Sangkolo Bumi berkata “Ramada ! Tak perlu 

ragu! Pemuda itu adalah Pendekar 212 Wiro Sableng yang kau cari selama ini! Dia 

yang memperkosa istrimu lalu membunuhnya! Guci Setan tidak berdusta!” 

 “Setan alas juru ramal keparat! Jangan kau berani menuduh sembarangan 

kalau tak mau kusobek mulutmu!” teriak Wiro marah sekali. 

 Di hadapannya Ramada mendengus keras. 

 “Jadi ini jahanamnya yang bernama Wiro Sableng. Pemuda keji berjuluk 

Pendekar 212!” Ramada meludah ke tanah. “Hari ini kau akan menerima 

pembalasanku! Pembunuh terkutuk! Aku telah bersumpah untuk meneguk darahmu!” 

Habis berkata begitu Ramada turunkan mayat istrinya dari bahu kirinya. Lalu mayat 

yang kaku menyeramkan ini disandarkannya pada sebuah gerobak hingga merupakan 

satu pemandangan yang mengerikan di mata semua orang yang ada di tempat 

itu. 

Perlahan-lahan Ramada putar tubuhnya. Guci Setan dipindahkannya ke tangan kiri. 

Lalu dia memberi isyarat pada Jalak Item dan Jalak Biru. Kedua orang ini 

segera melompat turun dari kuda masing-masing. Tak lupa membawa pikulan yang 

ujungnya tergantung keranjang rotan berisi tujuh ekor kalajengkinghitam dan 

tujuh ekor kelabang biru. Kedua orang ini sengaja mengambil tempat di kiri kanan 

Ramada agak ke belakang. Mereka sama-sama jongkok di tanah dan tangan 

masing-masing siap membuka penutup keranjang rotan! 

 Ketika Ramada hendak bergerak meluncur di atas roda besinya ke arah Wiro, 

murid Sinto Gendeng ini cepat berseru. “Tunggu! Kalau kau tidak keliru pasti otakmu 

tidak waras! Aku bersumpah tidak pernah membunuh istrimu! Mana aku pernah kenal 

dengan tukang akrobat sepertimu! Aku mendapat keterangan bahwa kau dan 

anak buahmu telah mencelakai guruku! Jangan harap hari ini kau dan monyet-monyetmu 

itu bisa bebas dari hukumanku!” 

 Ramada Suro Jelantik menyeringai dan mendengus berulang kali. 

 “Ramada! Jangan percaya omongannya!” tiba-tiba si juru ramal berseru. “Dia 

bisa berdusta begitu karena istrimu sudah jadi mayat dan tak mungkin memberi 

kesaksian!” 

 Murid Sinto Gendeng memandang ke arah orang tua berjubah putih itu. “Aneh, 

kenalpun tidak. Mengapa orang tua keparat itu sangat membenci diriku?” 

 “Kau boleh bersumpah mati di depan pintu neraka!” membentak Ramada. 

Rahangnya menggembung. Marah sekali dia dikatakan sebagai tukang akrobat oleh 

Pendekar 212 tadi. Lalu dari balik baju hitamnya dia mengeluarkan sebuah golok

besar berbentuk empat persegi dengan bagian tajam pada kedua sisinya Golok 

ini berwarna putih berkilat tetapi anwhnya memancarkan cahaya berwarna hitam! Pada 

ujung gagangnya ada seuntai rantai yang digantungi besi pipih berbentuk pisau tajam 

luar biasa. 

 Pendekar 212 belum pernah melihat senjata seperti yang di tangan Ramada itu. 

Ketika Ramad memutar senjata ini di udara, cahaya golok yang putih bertabur dengan 

sinar hitam. Lalu pisau di ujung rantai berkiblat dengan mengeluarkan suara bersuit. 

 Murid Eyang Sinto Gendeng mundur dua langkah. Justru Ramada meluncur 

maju tiga langkah. Golok besar membabat ke leher sedang pisau di ujung gagang 

golok menusuk ke arah dada! Pendekar 212 cepat berkelebat hindarkan dua serangan 

sangat berbahaya itu sambil hantamkan tangan kanannya, lepaskan pukulan “kunyuk 

melempar buah” yang kehebatannya tidak beda dengan sebuah batu besar yang 

menggelundung dahsyat ke arah Ramada. 

 Dia jelas melihat bagaimana tubuh Ramada terangkat ke atas akibat hantaman 

pukulan saktinya. Tapi bukan alang kepalang terkejutnya murid Sinto Gendeng ini 

ketika tiba-tiba saja kaki kiri Ramada menendang ke depan. Roda besi bergerigi yang 

berputar hebat menyambar ke arah perut. Wiro cepat menghindar dengan melompat 

ke samping kiri. Tapi tidak terduga tiba-tiba golok empat persegi bermata dua 

di tangan kanan Ramada memapas bagian atas kepalanya hingga sejumput rambutnya 

terbabat putus! Murid Sinto gendeng seperti hendak terkencing saking kagetnya. 

 Ramada keluarkan suara menggereng dari tenggorokannya. “Sebentar lagi 

lehermu akan ku babat putus!” kertaknya. Dia berpaling pada kedua anak bauhnya. 

Lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala. Jalak Item dan Jalak Biru yang tahu 

arti isyarat ini segera membuka tutup keranjang rotan masing-masing. Didahului 

teriakan Ramada Suro Jelantik melompat ke arah Wiro. 

 Goloknya kembali berkelebat. Kaki kirinya diangkat dan sewkatu-waktu bisa 

melancarkan serangan roda bergigi yang sanggup memutus kantung tubuh lawannya. 

Di saat yang bersamaan dua anak buahnya menggerakkan tangan ke arah keranjang 

rotan. 

 Dalam keadaan seperti itu murid Sinto Gendeng masih dapat berpikir bahwa 

guci di tangan kiri Ramada pastilah satu benda yang sangat berharga baginya. Kalau 

tidak benda itu tak akan didepaknya terus sambil melancarkan serangan. Maka 

Pendekar 212 mulai mengincar guci dalam dekapan tangan kiri lawannya, namun 

matanya yang tajam juga sempat melihat isyarat Ramada yang tadi diberikan pada 

dua anak buahnya. Dia juga melihat bagaimana dua manusia bermuka hitam dan biru 

itu menggerakkan tanan ke arah keranjang rotan masing-masing. Karenanya 

tanpa menunggu lebih lama Wiro siapkan dua pukulan sakti. Yang pertama pukulan 

“sinar matahari” di tangan kanan yang siap dihantamkan ke arah Ramada Suro 

Jelantik. 

Sedang tangan kiri aji pukulan “benteng topan melanda samudra” ditujukan kepada 

Jalak Biru. Karena Jalak Biru terpisah cukup jauh dari Jalak Item, Penekar 212 tak 

mungkin menghantam sekaligus. Berarti bahaya bisa datang dari lawan yang bermuka 

hitam ini. Untuk menghindarkan serangan Jalak Item maka Wiro terpaksa harus

merubah kedudukannya. Dia melompat ke kiri hingga berada di satu garis lurus di 

depan Ramada dan Jalak Item. Begitu Ramda melancarkan serangan, tanan 

kanan Wiro yang sudah berubah menjadi putih menyilaukan itu menghantam ke depan. 

 Wuuuuussss! 

 Sinar putih menyilaukan dan sangat panas berkiblat. “Ramada, awas! Itu 

pukulan “sinar matahari!” Yang berteriak memberi ingat adalah si juru ramal 

Sangkolo Bumi. Selagi Wiro merasa heran mengapa orang tua itu bisa tahu nama 

pukulan saktinya yang dilepaskannya, orang yang diserang malah berteriak lantang. 

 “Siapa takut?!” teriak Ramada. Roda besi di ujung kaki kirinya menderu 

semakin deras. Golok empat persegi di tanagn kanannya diputar semakin sebat hingga 

sinar hitamnya tampak berbuntal-buntal angker. Wiro sudah siap melepas pukulan 

“benteng topan melanda samudra” dengan tangan kiri ketika dia menyadari bahwa hal 

itu tidak bisa diakukannya kecuali dia mau celaka dihantam serangan balasan Ramada 

Suro Jelantik. 

 Serangan Ramada memang bukan alang kepalang hebatnya. Begitu cahaya 

putih pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 21 menyapu ke arahnya. Dia tekuk kaki 

kananny. Bersamaan dengan itu kaki kirinya disapukan ke depan. Roda besi bergerigi 

yang ada di ujung kaki kirinya menderu keras memancarkan sinar aneh. Begitu sinar 

roda besi beradu dengan sinar cahaya putih pukulan “sinar matahari” terdengar suara 

keras berkereketan enam kali berturut-turut. Ramada Suro Jelantik berteriak keras. 

Di ujung kakinya cahaya putih menyilaukan dan panas ini sanggup disapunya 

hingga mencuat ke samping kiri. Lalu terdengarlah pekik jerit orang banyak yang 

berada jauh di ujung kalangan perkelahian. Sembilan orang tak berdosa 

berkaparan di tanah. 

Tubuh mereka hangus hitam mengepulkan asap akibat terpanggang pukulan “sinar 

matahari” yang berhasil dilencengkan ke jurusan lain oleh Ramada! 

 Tubuh Ramada sendiri tampak melesat sampai dua tombak ke udara lalu 

dengan dua kali jungkir balik dia mendarat di tanah kembali. Mukanya yang hitam 

legam dan tertutup kumis serta cambang bawuk liar tampak seperti tidak berdarah. 

Dua matanya mendelik besar ketika melihat bagaimana enam dari empat puluh gigi-

gigi roda besinya somplak! Wiro sendiri juga melengak ketika melihat pukulan “sinar 

Matahari” yang mengadung hawa panas luar biasa tak sanggup membuat cidera lawan 

bahkan tidak bisa membuat leleh roda besi itu! 

 Apa yang terjadi membuat Pendekar 212 terlambat menggerakkan tangan 

kirinya untuk melepaskan pukulan “benteng topan melanda samudra” ke arah Jalak 

Biru. DI saat itu Jalak Biru telah membuka penutup keranjang rotannya. Lima ekor 

kelabang beracun berwarna biru melesat membeset udara, menyerbu ke arah Wiro. 

Celakanya pula di saat yang sama dengan penuh amarah Ramada Suro Jelantik 

kembali menyerbu dengan roda bergeriginya sedang golok di tangan kanannya 

diputar dengan sebat, membuntal dalam serangan ganas mengarah bagian dada 

ke atas! 

 Murid Eyang Sinto Gendeng berteriak keras. Tangan kanannya menyusup ke 

balik pinggang, maksudnya hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi

mendadak mukanya jadi pucat. Astaga! Dia baru sadar. Senjata mustika itu 

telah dibawa oleh Dewa Tuak ke Gunung Gede untuk mengobati Eyang Sinto Gendeng 

yang keracunan akibat serangan binatang-binatang berbisa anak buah Ramada Suro 

Jelantik! 

 “Celaka!” keluh Wiro. Pendekar ini cepat melompat mundur. Tapi lima 

kelabang berwarna biru beracun dan sambaran roda besi bergerigi seta golok di 

tangan kanan Ramada datang lebih cepat. 

 Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba terdengar lima buah benda melesat di 

udara. Bersamaan dengan itu ada satu bayangan merah berkelebat luar biasa cepatnya 

dan tahu-tahu kaki kiri Ramada terangkat ke atas. Di lain kejap manusia tinggi besar 

ini jatuh ke tanah! 

 Ramada Suro Jelantik menggereng marah. Dia cepat berdiri. Di lain bagian 

sang juru ramal tua Sangkolo Bumi merasa tidak enak. Dia cepat membaca situasi. 

Dalam hati orang tua ini berkata “Ada orang-orang baru muncul! Keadaan bisa jadi 

kisruh tak karuan. Saatnya Guci Setan di tangan Ramada berpindah tangan!” 

DUA BELAS 

Di udara lima buah anak panah melesat deras. Jalak Biaru tersentak kaget dan 

berseru tegang ketika melihat bagaimana lima ekor kelabang birunya yang tadi siap 

untuk menancapi tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng kini runtuh cerai berai dihantam 

lima buah panah itu! 

 Wiro Sableng berpaling ke belakang. Di atas punggung seekor kuda coklat 

dilihatnya Dewi Santiastri, puteri mendiang Pangeran Banowo duduk merentang lima 

buah anak panah lagi siap dilepaskan ke arah Jalak Biru yang saat itu terduduk di 

tanah dengan mulut ternganga dan muka pucat tanpa darah. 

 “Terima kasih Dewi......” kata Wiro. 

 Si gadis lemparkan senyum kecil padanya. Lalu anak panah diputar ke arah 

Jalak Item ketika dilihatnya anak buah Ramada itu diam-diam hendak melepaskan 

binatang-binatang beracun peliharaannya dari dalam keranjang rotan yaitu tujuh ekor 

kelajengking hitam. 

 Dewi lepaskan sartu dari lima buah anak panah yang direntang. Jalak Item 

terpekik. Telapak tangan kanannya tembus ditancapi panah. Darah mengucur. 

Penutup keranjang dijatuhkannya. Katika dilihatnya Dewi hendak melepas anak 

panah kedua, Jalak Item cepat bersurut mundur menjauhi keranjang sementara darah 

mengucur deras ke pangkuannya. 

 Ramada Suro Jelantik begitu berdiri baru menyadari kalau golok besar empat 

persegi bermata dua yang tadi dipegangnya di tangan kanan kini tak ada lagi dalam 

gengamannya. Memandang ke depan dia jadi beringas ketika melihat bagaimana 

senjata yang sangat diandalkannya itu kini berada dalam tangan seorang gadis 

berpakaian ringkas serba merah dengan rambut pirang teruarai panjang. Dia tidak bisa 

mengerti bagaimana gadis itu memiliki gerakan laksana angin dan bukan saja dia bisa

mendorong tubuhnya sampai jatuh terjengkang, tapi bahkan sanggup merampas 

goloknya tanpa dia sempat merasakannya. 

 Meski gadis itu tidak mengenakan pakaian warna biru seperti pertama kali 

Wiro melihatnya, namun murid Eyang Sinto Gendeng ini masih bisa mengenalinya 

dengan cepat. 

 “Bidadari Angin Timur....” desis Wiro perlahan. “Dua orang gadis cantik telah 

menyelamatkan nyawaku hari ini!” katanya lagi dalam hati sambil garuk-garuk kepala. 

 Sang dara memang adalah gadis cantik berambut pirang dan dulu berpakaian 

serba biru yang pada pertemuan pertamanya dengan Wiro telah diberikan nama 

Bidadari Angin Timur oleh sang pendekar. 

 “Perempuan-perempuan dajal! Siapa kalian yang berani mencampuri 

urusanku?!” teriak Ramada Suro Jelantik. 

 Dara berpakaian serba merah tidak menyahut. Hanya sepasang matanya saja 

yang memandang tak berkesip ke arah tokoh silat dari Timur itu. Merasa 

seperti dipandang rendah Ramada berkata “Gadis baju merah berambut pirang! Kau 

jangan kemana-mana! Tetap di tempatmu sampai aku menyelesaikan urusan 

dengan pemerkosa dan pembunuh istriku itu!” Dengan tangan kanannya Ramada 

menuding ke arah Wiro. 

 “Setan! Apa kau punya bukti menuduhku sembarangan!” 

 “Aku tidak perlu bukti! Guci Setan ini yang memberi tahu!” 

 “Dan Guci Setan tak pernah berdusta!” berkata si peramal tua Sangkolo Bumi. 

 “Bangsat setan alas!” maki Wiro dalam hati sambil memandang berang pada 

orang tua itu yang sebaliknya melempar seringai buruk padanya. 

 Tiba-tiba terdengar suara menderu keras. Saat itu Ramada Suro Jelantik telah 

melompat dan menyerbu ke arah Wiro. 

 Di saat yang sama terdengar deru suara kaki-kaki kuda banyak sekali. Tak 

lama kemudian ada orang membentak. 

 “Atas nama Kerajaan hentikan perkelahian!” 

 Semua orang berpaling. Seorang bermuka garang dengan seragam dan tanda 

pangkat Perwira Tinggi Kerajaan muncul diiringi sekitar dua puluh orang perajurit. 

 “Bagus! Orang-orang yang dicari Kerajaan ternyata ada di tempat ini!” kata si 

Perwira Tinggi sambil memandang ganti berganti pada Ramada Suro Jelantik dan 

Pendekar 212. 

 “Kau!” bentak sang perwira sambil menuding dengan telunjuk tangan kirinya 

tepat-tepat pada Ramada. “Kau pasti manusianya yang bernama Ramada Suro Jelantik. 

Kerajaan telah mencarimu selama dua tahun. Kau mencuri Guci Setan yang ada 

dalam dekapan tangan kirimu itu! Jangan berdalih. Serahkan guci itu padaku lalu 

serahkan dirimu untuk menerima hukuman!” 

 Ramada menyeringai. “Perwira,” katanya setelah lebih dulu meludah ke tanah. 

“Aku muak mendengar segala ucapan kentut busukmu! Lekas minggat dari sini! 

Jangan lupa membawa anak –anak buahmu!” 

 Perwira Tinggi Kerajaan itu tertawa bergelak. 

 “Bagus! Aku suka pada orang yang punya nyali besar sepertimu! Kita akan

lihat nanti apakah kau masih punya nyali waktu dirangket dan kulitmu dikupas di 

ruang penyiksaan!” 

 Sang Perwira berpaling pada Wiro. “Kau!” bentaknya. “Kau pasti pemuda 

gondrong bernama Wiro Sableng, berjuluk pendekar 212 yang telah membunuh 

Pangeran Banuarto!” 

 “Aku tidak pernah membunuh Pangeran itu!” jawab Wiro. 

 Perwira Tinggi tadi mendengus. “para penjahat memang pintar berdalih! Aku 

mau lihat apa kau masih bisa bicara banak setelah lidahmu kusuruh potong!” 

 Tiba-tiba ada satu suara berkata. “Perwira, saya bersaksi pemuda itu bukan 

orang yang membunuh paman saya Pangeran Banuarto….” 

 Perwira Tinggi dan semua orang yang ada di tempat itu sama memalingkan 

kepala. 

 “Ah, den Ayu Dewi Santiastri, putri mendiang Pangeran Banowo, keponakan 

mendiang Pangeran Banuarto rupanya! Aku kurang memperhatikan kalau kau ada di 

sini. Apa kepentinganmu membela pemuda asing yang telah membunuh pamanmu 

itu?” 

 ‘Sudah saya katakan! Bukan dia pembunuh paman Pangean Banuarto. Tapi 

seorang yang mengaku kuncen makam ayahanda. Kuncen palsu bernama Ki Ageng 

Lentut!” 

 Sementara juru ramal Sangkolo Bumi yang sudah memperkirakan ke adaan 

akan sangat buruk bagi Ramada segera berkata “Ramada, keadaan tidak 

menguntungkan bagimu. Lekas serahkan guci itu padaku. Biar aku selamatkan dulu. 

Kau bisa mengambilnya di tempat terakhir kita bertemu dulu. Aku hanya ingin 

menolongmu. Lekas…..!” 

 Ramada sesaat terdiam dan berpikir cepat. Apa yang dikatakan juru ramal itu 

mungkin sangat benar. Saat itu dia bukan saja menghadapi Pendekar 212, tetapi juga 

Perwira Tinggi Kerajaan dan duapuluh orang perajuritnya. Lalu gadis berpakaian 

merah itu jelas bukan berada di pihaknya. Ditambah lagi dengan keponakan Pangeran 

Banuarto yang pasti telah menjadi lawannya sejak dia muncul dengan 

memperlihatkan ilmu panahnya yang menakjubkan, menghancurkan bintang beracun 

milik Jalak Biru serta melukai Jalak Item. 

 Tanpa pikir panjang Ramada Suro Jelantik segera lemparkan Guci Setan ke 

arah si juru ramal. 

 “Tangkap! Lekas pergi dari sini!” kata Ramada pula. Guci Setan yang sejak 

tadi dikepitnya di lengan kiri dilemparkannya pada Sangkolo Bumi. Saat itu jarak 

antara Ramada dan si orang tua terpisah sekitar delapan langkah. Selagi Guci Setan 

itu melayang di udara dan siap ditangkap oleh Sangkolo Bumi tiba-tiba empat anak 

panah melesat ke udara. Dua berjajar di sisi kiri, dua lagi di sebelah kanan. 

Lalu terjadilah satu hal yang luar biasa. Dua pasang anak panah itu memotong jalannya 

Guci yang melayang di udara. Dalam keadaan terjepit, Guci Setan kemudian dibawa 

melesat ke kiri hingga Sangkolo Bumi menangkap angin. Empat anak panah 

kemudian menancap di sebatang pohon. Guci Setan yang besar dan berat itu terjepit 

tak bergerak di antara empat batang panah itu. Dengan kertakkan rahang si juru ramal

tua itu cepat melompat ke udara guna mengambil guci. Namun saat yang bersamaan, 

satu sosok berpakaian hitam melompat pula ke udara. Orang ini bukannya 

menyambar Guci Setan melainkan menelikung pinggang sang juru ramal lalu 

menyeretnya ke bawah hingga keduanya jatuh terhentak di tanah. 

 “Keparat!” maki Sangkolo Bumi marah sekali ketika mengetahui yang 

merangkul tubuhnya ternyata adalah Jalak Item, anak buah Ramada Suro Jelantik. Dia 

mencoba melepaskan diri sambil menghantamkan siku kanannya ke belakang. 

 Bukkkk! 

 Traaaakkkk! 

 Jalak Item menjerit keras. Dua tulang iga di sisi kanannya melesak patah. 

 Sementara Ramada Suro Jelantik dan Perwira Tinggi Kerajaan yang melihat 

guci yang tadi dilemparkan kini terselip di antara empat buah anak panah yang 

menancap di batang pohon segera memburu untuk mengambilnya, khawatir benda itu 

jatuh ke tanah dan pecah berantakan. Namun sebelum keduanya mampu menyentuh 

benda itu tiba-tiba satu bayangan merah berkelebat laksana angin, luar biasa 

cepatnya. 

Ramada dan si perwira tinggi jadi kecele tetapi juga marah ketika menyadari mereka 

telah keduluan oleh gadis berambut pirang yang tidak dikenal itu. 

 Sang perwira hendak menyerang si gadis tapi gerakannya tertahan ketika di 

sebelah sana Jalak Item yang berada dalam keadaan cidera telapak tangan dan tulang 

iganya berteriak sambil masih memegangi pinggang sang juru ramal. 

 “Perwira! Yang membunuh Pangeran Banuarto adalah orang tua ini!” 

 Sangkolo Bumi berteriak marah. Sekali dia menggerakkan tubuhnya Jalak 

Item terhempas ke tanah. 

 “Keparat! Kau mencari kematian berani memfitnahku!” bentak Sangkolo Bumi. 

 “Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Siapapun namamu! Apakah kau benar 

kuncen makam Pangeran Banowo atau juru ramal aku tidak perduli! Tapi kaulah yang 

membunuh Pangeran Banuarto!” Rupanya dendam kesumat Jalak Item akibat 

perbuatan Ki Ageng Lentut yang kini menyamar menjadi juru ramal tua bernama 

Sangkolo Bumi itu tidak bisa dipendam lagi. Meledak saat itu juga. 

 “Keparat! Tutup mulutmu!” teriak juru ramal. Tangan kanannya bergerak. 

 Praaaaakk! 

 Jalak Item tergelimpang roboh di tanah. Kepalanya pecah! Ramada Suro 

Jelantik sesaat terkesiap melihat apa yang terjadi. Mengikuti kemarahannya ingin dia 

menghajar juru ramal tua itu saat itu juga. Namun Guci Setan lebih penting. 

Dia berkelebat ke arah gadis berpakaian erah. Namun gerakannya dihadang oleh 

Pendekar 212. 

 Sementara itu Perwira Tinggi Kerajaan telah berteriak memberi perintah pada 

dua puluh anak buah agar mereka segera mengurung dan menangkap juru ramal 

berjubah putih itu yang oleh Jalak Item dibuka kedoknya sebagai pembunuh Pangeran 

banuarto. Namun begitu mereka bergerak, Sangkolo Bumi menyongsong dengan 

serangan-serangan ganas. 

 “Bidadari Angin Timur…….” Kata Wiro sambil mendekati gadis berbaju

merah itu. “Kau mau menolongku? Biar kunyuk berewokan ini aku yang 

menghadapinya. Aku menaruh curiga pada juru ramal tu. Rambut putih dan jubah 

panjangnya aku yakin hanya samaran belaka. Lakukan sesuatu hingga kau bisa 

membuka kedok siapa dia sebenarnya. 

 “Kau takut menghadapi orang tua jelek itu?” tanya gadis berambut pirang 

yang membuat wajah Pendekar 212 jadi bersemu merah. 

 “Aku tidak pernah takut pada siapapun,” jawab Wiro. “Dengan orang tua itu 

aku tidak punya perselisihan langsung. Tapi dengan setan satu ini aku punya alasan 

untuk menghajarnya. Kau sendiri tahu dia dan anak buahnya telah melukai guruku!” 

 Gadis yang oleh Wiro diberi julukan Bidadari Angin Timur itu tersenyum 

kecil. “Tampangmu tolol, tapi otakmu cerdik juga. Ambil senjata ini untuk 

menghadapi Ramada!” Lalu si gadis menyerahkan golok besar empat persegi panjang 

itu ke tangan Pendekar 212. Baru saja Wiro memegang senjata, si gadis telah lenyap 

dari hadapannya. Sebelum masuk ke kalangan perkelahian Bidadari Angin Timur 

melayang ke atas pohon. Guci Setan yang telah dipegangnya diletakkannya di antara 

ranting-ranting pohon berdaun lebat. Begitu melayang turun dia cepat mendekati 

Perwira Tinggi Kerajaan dan berkata 

 “Naik ke atas pohon. Jaga guci itu!” 

 Meskipun merasa tersinggung diperintah begitu rupa namun si perwira sadar 

bahwa menyelamatkan guci di atas pohon adalah jauh lebih penting dari pada 

melakukan hal-hal lain. Terlebih ketika gadis di hadapannya berkata “Serahkan 

pembunuh Pangeran Banuarto itu padaku. Kita akan segera tahu siapa dia 

sebenarnya!” 

 Tanpa banyak bicara lagi Perwira Tinggi Kerajaan itu melompat naik ke atas pohon. 

Dari atas pohon dia dapat menyaksikan seluruh kejadian di bawahnya walau tangannya 

sudah gatal untuk turun tangan sendiri. 

 Ternyata juru ramal itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Dengan mudah dia 

menghajar perajurit-perajurit Kerajaan yang menyerangnya hingga mereka menemui 

ajal sekelompok demi sekelompok. 

 Melihat anak buahnya menemui kematian mengenaskan begitu rupa, Perwira 

Tinggi di atas pohon jadi mendidih amarahnya. Lupa bahwa dia harus menjaga 

keselamatan Guci Setan milik Kerajaan, perwira itu melompat turun. Selagi tubuhnya 

melayang dia lepaskan beberapa senjata rahasia berbebuk paku ke arah Sangkolo 

Bumi. 

 Sang juru ramal ganda tertawa. Sekali tangannya dihantamkan ke udara belasan 

paku yang menyerangnya mental cerai berai. 

 “Manusia keparat! Jadi kau yang membunuh Pangeran Banuarto!” teriak sang 

perwira marah. Masih di udara kaki kanannya ditendangkan ke arah kepala orang tua 

itu. 

 Praaaakkkkk! 

 Kepala itu pecah tapi bukan kepala si juru ramal yang rengkah. Melainkan kepala salah 

seorang anak buahnya sendiri. Apa yang terjadi? Ketika sesaat lagi kaki kanan Perwira 

Tinggi itu akan menghantam kepalanya, si juru ramal melompat ke samping lalu menarik

tubuh seorang perajurit yang menyerangnya. Kepala perajurit ini disentakkannya ke 

atas melindungi kepalanya sendiri. Ketika tendangan datang, kepala perajurit itulah 

yang kena hantam tendangan sang perwira! 

 “Keparat!” maki Perwira Tinggi sambil mengejar juru ramal. Tapi orang tua ini 

melemparkan tubuh perajurit yang kepalanya pecah itu kepadanya hingga sang 

perwira jatuh terduduk di tanah. Kesempatan ini dipergunakan oleh si orang tua untuk 

keluar dari keroyokan sisa-sisa perajurit Kerajaan lalu melompat ke atas pohon. 

 “Sangkolo Bumi, juru ramal keparat! Sekali ini jangan katakan kau tidak 

menipuku! Aku tahu sejak lama sebenarnya kau mengincar Guci Setan itu!” teriak 

Ramada Suro Jelantik ketika melihat si juru ramal berada di atas pohon sambil 

memegang Guci Setan. 

 Di atas pohon Sangkolo Bumi tertawa gelak-gelak. “Dasar orang tolol tetap saja 

tolol!” katanya. 

 “Lekas turun dan serahkan guci itu padaku! Aku bersumpah akan membunuhmu 

kalau kau tidak menyerahkannya padaku!” teriak Ramada. 

 “Dulu kau pernah bersumpah hendak membunuh Pendekar 212. Pemerkosa dan 

pembunuh istrimu itu sudah ada di hadapanmu, mengapa kini justru kau hendak 

mencari urusan denganku? Apa kau takut menghadapi Pendekar 212? 

Ha….ha…ha….!” 

 “Setan alas!” teriak Ramada. Dia melomapt sambil menyorongkan roda besinya. 

Roda ini menderu keras menggerus bagian bawah batang pohon besar hingga akhirnya 

putus. Pohon itu tumbang dengan suara bergemuruh tetapi Sangkolo Bumi alias Ki 

Ageng Lentut itu sudah lebih dahulu melayang turun. 

 Wuuuuttttt…..wuuuuutt…..wuuuuuutttttt……wuuuuutttt……wuuuuuuttttt. 

 Lima anak panah melayang pesat ke udara. Si orang tua berseru kaget ketika 

mengetahui lima anak panah itu menyerang ke arahnya. Secepat kilat dia hantamkan 

tangan kirinya ke bawah. Lima anak panah yang menyerangnya mental dan jatuh ke 

tanah. Lalu tubuhnya tampak melesat ke kiri. Di lain kejap laksana seekor burung 

alap-alap orang tua ini menukik ke arah Dewi Santiatri. Kaki kanannya berkelebat. 

 Praaaakkkk! 

 Dewi Santiastri menjerit keras. 

 Kepala kuda tunggangannya pecah. Suara ringkikan binatang ini merobek 

langit. Si gadis sendiri cepat melompat ke tanah. Sambil melompat secara luar biasa 

dia masih sempat mencabut tiga buah anak panah lalu merentangnya di tali 

busur untuk kemudian melepasnya ke arah sang juru ramal. Salah satu anak panah 

sempat menyerempet jubah putih orang tua itu di bagian bahu. Walau cuma mengiris 

kulit bahunya namun ini sudah cukup membuat sang juru ramal ini menjadi sangat 

marah. 

Tangan kanannya diangkat untuk melepaskan satu pukulan tangan kosong. Namun 

dari samping Ramada Suro Jelantik datang menyerangnya. Satu jotosan yang 

dilepaskan orang ini menghantam dagu si orang tua dengan keras dan telak hingga

juru ramal ini terpuntir keras. Selagi tubuhnya sempoyongan begitu rupa 

Ramada tendangkan kaki kirinya ke arah bawah perut. Roda besi bergerigi itu 

menggerus ke arah selangkangan si orang tua. 

 “Ki Ageng Lentut! Sangkolo Bumi! Saatmu untuk mampus!” teriak Ramada Suro 

Jelantik. Tapi dugaannya bahwa dia bakal dapat menematkan riwayat orang tua 

itu tidak menjadi kenyataan. Dengan satu gerakan yang aneh dan cepat sekali, juru 

ramal tua itu berhasil menangkap betis Ramada. Lalu kaki kiri itu ditariknya kuat-kuat 

dan dihunjamkannya ke tanah hingga menggerus dalam dan menancap sampai dua 

jengkal. Tanah dan pasir bermuncratan ke udara. Selagi Ramada berusaha menarik 

kakinya keluar dari tanah tangan kanan juru ramal itu menderu ke depan. 

 Bukkkk! 

 Ramada merasakan dadanya seperti mau meledak. 

 Selagi tubuhnya terlempar ke belakang dan ada darah menyembur dari 

mulutnya, Sangkolo Bumi kirimkan tendangan ke bawah perut Ramada. Teriakan 

laksana ledakan keras keluar dari mulut Ramada. Tubuhnya mencelat jauh dan 

tergelimpang di tanah tak berkutik lagi. Dendam kesumatnya untuk membalaskan 

kematian istrinya tidak pernah kesampaian. Lebih dari itu Ramada tidak pernah 

mengetahui siapa pemerkosa dan pembunuh Dardini sebenarnya. 

 Sangkolo Bumi tegak menyeringai. Dia melirik pada Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Lalu pada Dewi Santiastri. Di saat yang sama dia melihat gerakan yang dibuat oleh 

jalak Biru. Anak buah Ramada Suro Jelantik ini dengan cepat melemparkannya 

keranjang rotan yang tutupnya terbuka itu ke arahnya. Beberapa ekor kelabang biru 

yang masih ada dalam keranjang itu melesat menyerangnya. Dua ekor ditangkisnya 

dengan Guci Setan yang dibuatnya menjadi tameng. Tiga ekor lainnya dihantamnya 

dengan kebutan lengan kanan jubah putihnya. Sambil tertawa mengekeh dia menangkap 

kelabang yang keenam lalu melemparkannya ke aah Jalak Biru. Anak buah Ramada 

yang tidak menyangka akan mendapat serangan binatang berbisa miliknya sendiri 

itu dalam kejutnya terlambat menghindarkan diri cari selamat. 

Kelabang Biru itu menancap tembus masuk ke dalam mata kanannya. Jeritan Jalak 

Biru terdengar mengerikan. Sambil menekap mukanya dia menghambur 

meninggalkan tempat itu. 

 Ki Ageng Lentut alias Sangkolo Bumi tertawa mengekeh lalu memutar tubuh. 

Sebelum berkelebat pergi dia memandang kepada Pendekar 212 Wiro Sableng lalu 

berkata 

 “Pendekar 212, kau masih bodoh seperti dulu juga! Tidak mampu melihat 

langit di atas langit! Tidak mengerti tingginya puncak gunung dan dalamnya 

dasar laut!” 

 “Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?!” bentak Wiro. Tanpa terlihat oleh si 

orang tua dia memberi isyarat pada gadis berbaju merah. 

 “Kau akan menemukan jawaban pertanyaanmu dalam ketololanmu sendiri!” kata si 

orang tua pula. Dia menggeser kakinya. 

 Dari samping kiri tiba-tiba Dewi Santiastri mendatangi sambil merentang 

busur dengan lima anak panah terpasang. “Kalau kau memang kuncen palsu bernama

Ki Ageng Lentut itu, berarti kau yang membunuh pamanku Pangeran Banuarto! Tetap 

di tempatmu! Sedikit saja kau berani bergerak lima anak panah ini akan amblas ke 

dalam tubuhmu!” 

 “Kau dengar ucapan gadis itu! Apakah kau tidak mau menyerahkan diri?! 

Serahkan Guci Setan itu padaku!” kata Perwira Tinggi Kerajaan yang kini tegak di 

samping Dewi Santiastri. 

 Si orang tua ganda tertawa. 

 “Puteri Pangeran Banowa, jika aku mengajakmu ikut bersamaku untuk mencari 

kesenangan, apakah kau masih hendak memanahku?!” 

 “Tua bangka bermulut kotor!” hardik Dewi Santiastri sambil merentang tali busurnya 

lebih dalam. 

 “Perwira, kau inginkan guci ini? Apa kau punya kemampuan untuk mengambil 

sendiri?!” 

 “Keparat! Saatnya aku mematahkan batang lehermu!” berntak Perwira Tinggi 

Kerajaan. 

 Si orang tua kembali tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba ia melihat ada bayangan 

merah berkelebat. Dengan tangan kirinya dia menghantam ke samping. Tapi 

terlambat. Tubuhnya seperti digulung ombak. Lalu terdengar suara breeeetttt

…..breeeettttt beberapa kali berturut-turut. Jubah putihnya bukan saja robek 

tapi tanggal lepas dari tubuhnya. Bagitu juga rambutnya yang putih panjang tampak 

tercampak ke tanah. Selembar topeng tipis yang selama ini menutupi wajah dan 

sebagian kepalanya jatuh di depan kakinya. 

 Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang pemuda berambut tebal hitam 

dengan kening menonjol. Rahang dan dagunya tampak kokoh. Keseluruhan 

wajahnya membayangkan rasa angkuh. Di balik jubah putihnya yang telah tanggal itu 

kini terlihat pakaian hitam. Di bagian dada pakaiannya terpampang gambar puncak 

gunung berwarna biru, berlatar belakang sang surya berwarna merah dan sinar-sinar 

mentari berupa garis-garis merah. 

 Apa yang telah dilakukan Bidadari Angin Timur terhadap dirinya sungguh 

tidak diduga oleh orang itu. Semuanya berlangsung begitu cepat hingga dia merasa 

seperti diusap beberapa kali. Ketika Sangkolo Bumi hendak menyergap gadis itu, 

Pendekar 212 cepat memotong gerakannya. 

 Pendekar 212 menggeram “Aku sudah duga, ternyata memang dia!” katanya dalam 

hati. Lalu murid Sinto Gendeng ini berteriak keras. 

 “Pangean Matahari! Kelicikanmu dengan memperalat Ramada tidak kesampaian! 

Aku yakin kau iblisnya yang memperkosa istri Ramada lalu membunuhnya! Keparat! 

Apa lagi sekarang yang ada dalam otak busukmu?!” 

 Pangeran Matahari menyeringai. “Tak ada alasan bagiku untuk mengatakan tidak. 

Tuduhanmu benar! Sayang maksudku tidak kesampaian. Nyawamu masih betah 

berada dalam tubuhmu! Pendekar 212! Duia ini terlalu sempit untuk kita berdua! Kali 

ini kau lolos lagi dari lobang jarum kematian! Tapi Ingat! Aku Pangeran Matahri 

tidak akan berhenti sampai akhirnya kau berlutut di hadapanku dan menggali liang 

kuburmu sendiri!”

Habis berkata begitu manusia yang sebelumnya menyamar menjadi kuncen 

makam Pangeran Banowo dengan nama Ki Ageng Lentut dan juga pura-pura menjadi 

juru ramal tua bernama Sangkolo Bumi ini memutar tubuhnya siap berkelebat pergi. 

 Pendekar 212, Perwira Tinggi Kerajaan dan Dewi Santiastri cepat bergerak. 

Lima anak panah melesat mendahului serangan. Selagi Pangeran Matahari sibuk 

menyelamakan diri Perwira Tinggi Kerajaan coba merampas Guci Setan dari 

tangannya namun lagi-lagi dia gagal karena tendangan Pangeran Matahari 

menghantam perutnya lebih dulu hingga dia terpental dan pingsan. 

 Jotosan Pendekar 212 berhasil menyusup le sisi kiri Pangeran Matahari. 

Walaupun tidak telak tapi cukup membuatnya berputar. Sekali lagi Wiro menghantam. 

Namun kali ini Pangeran Matahari berhasil menangkis pukulannya dan membalas 

menghantam. Pukul memukul jarak dekat itu tidak menguntungkan Pangeran 

Matahari karena saat itu dia memegang Guci Setan di tangan kirinya. Hal ini disadari 

oleh Pangeran Matahari maka dengan segala kelicikannya dia berkata 

 “Pendekar 212! Lain kali kita bertemu lagi! Kau inginkan guci ini ambillah!” lalu Pangean 

Matahari membuat geakan seperti hendak melemparkan Guci Setan itu. namun apa 

yang dilakukannya adalah tiba-tiba melemparkan sebuah benda hitam. 

 “Awas! Asap menutup pandangan!” teriak Wiro. 

 Ketika terdengar letusan dan asap hitam membumbung ke udara Pendekar 212 

dan Bidadari Angin Timur telah lebih dahulu berkelebat menjauhi. Satu ke arah kanan, 

satunya lagi ke arah kiri. Keduanya sama-sama melihat Pangeran Matahari melarikan 

diri ke arah selatan dan dengan cepat mengejar. Gadis berpakain merah yang punya 

kecepatan laksana kilat itu dapat mengejar Pangeran Matahari lebih dahulu. Dengan 

satu gerakan cepat dia berhasil merampas Guci Setan dari tangan Pangeran Matahri. 

 “Betina keparat! Aku lebih suka kau hancur lebur bersama guci itu!” teriak 

Pangeran Matahari marah. Dia angkat tangan kanannya ke atas. Udara di tempat itu 

mendadak sontak manjadi redup. Dari telapak tangan kanan orang yang dijuluki 

pengeran segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala congkak ini 

melesat keluar sinar kuning, hitam dan merah. 

 “Pukulan Gerhana Matahari!” teriak Wiro. “Bidadari Angin Timur lekas 

menyingkir!” Murid Eyang Sinto Gendeng dengan cepat hantamkan tangan kanannya, 

melepaskan pukulan “sinar matahari” Terdengar saru dentuman keras. Si gadis 

berbaju merah cepat menyingkir ketika sinar putih berkilau dan sinar hitam, merah 

dan kuning mencuat ke udara laksana hendak menyapu langit. Tubuhnya tergoncang 

keras. Guci Setan terlepas dari pegangannya. Dia coba untuk menjangkaunya tapi satu 

letusan lagi membuat tubuhnya tebah ke tanah. Lalu ada satu tubuh yang jatuh tepat 

di sampingnya! 

 Ketika sinar putih, hitam, merah dan kuning lenyap dan pasir serta tanah yang 

bermentalan ke udara luruh kembali ke tanah Pangeran Matahari telah lenyap 

dan Pendekar 212 dapatkan dirinya jatuh terelungkup di tanah, hampir 

berdempetan dengan gadis berpakain merah itu. Wajah mereka bertempelan dan 

hidung mereka saling beradu satu sama lain. 

 “Kau tak apa-apa……?” tanya Pendekar 212.

Si gadis hanya menjawab dengan kedipkan mata lalu cepat-cepat hendak 

berdiri. Tapi Wiro lekas menahan punggungnya seraya berkata. “Kalau aku bisa mati 

berdempetan seperti ini alangkah bahagianya.” 

 “Mudah-mudahan malaikat maut mendengar permintaanmu itu,” kata si gadis 

seraya menarik tangan Wiro dan berdiri. Wiro segera pula berdiri. Keduanya tertegun 

ketika melihat beberapa langkah di hadapan mereka Guci Setan hanya tinggal 

merupakan kepingan-kepingan belaka. 

 Dua orang terdengar mendatangi. Mereka adalah Perwira Tinggi Kerajaan dan 

Dewi Santiastri. 

 “Kalian tidak apa-apa?” tanya puteri mendiang Pangeran Banowo itu. 

 “Berkat bantuan sahabatku berpakaian merah ini, aku tak kurang suatu apa. 

Hanya sayang manusia jahat berjuluk Pangeran Matahari itu lolos!” jawab Wiro. 

 Dewi Santiastri memandang pada Guci Setan yang pecah berserakan di tanah. 

“Sayang guci pusaka itu kini hanya tinggal kepingan-kepingan tak berguna…..” 

 “Mungkin itu lebih baik! Hancurnya Guci Setan berarti lenyapnya segala 

masalah yang sering mendatangkan malapetaka bagi dunia persilatan dan Kerajaan,” 

menyahuti Perwira Tinggi Kerajaan. “Den Ayu, sebaiknya kita tinggalkan tempat ini. 

Aku harus segera melapor pada Patih.” 

 Dewi Santiastri mengangguk. Dia memandang pada Pendekar 212. “Wiro, kau 

ikut bersama kami?’ 

 “Aku ingin sekali. Tapi ada hal penting yang harus kulakukan. Aku harus 

segera pergi ke puncak Gunung gede untuk menjenguk guruku yang sedang sakit 

keras….. Aku berjanji akan menemuimu sepulang dari sana….” 

 Dewi Santiastri mengangguk. “Kau kecewa karena dulu aku pernah 

mencideriamu?’ 

 “Aku sudah melupakan hal itu,” jawab Wiro. 

 Dewi Santiastri memandang pada gadis berpakaian merah di samping Wiro. 

Diam-diam dia mengagumi kecantikan gadis yang tak dikenalnya itu. Tadi dia sempat 

mendengar Wiro menyebutnya dengan nama Bidadari Angin Timur. “Dia benar-benar 

bidadari. Aku hanya gadis biasa…..” kata Dewi Santiasti dalam hati. Dia memberi 

isyarat pada Perwira Tinggi di sebelahnya. 

 Setelah kedua orang itu pergi Wiro berpaling pada si baju merah dan bertanya. 

“Aku ingat pertama kali aku melihatmu di rumah Ki Ageng Lentut si juru ukir. Kau 

mengenakan pakaian biru yang sangat tipis….” 

 “Saatku untuk pergi….” Kata gadis berpakaian merah seolah tidak acuh 

dengan ucapan si pemuda. 

 “tunggu dulu, ada satu hal yan hendak kutanyakan….” Kata Wiro. Namun 

sekali berkelebat gadis itu telah lenyap dari hadapannya. 

 Pendekar 212 hanya bisa tertegun. “Kecepatannya benar-benar laksana angin. 

Tidak salah kalau kuberi nama Bidadari Angin Timur. Sayang dia pergi begitu saja, 

padahal banyak yang ingin aku tanyakan padanya. Ilmunya luar biasa. Ilmu apa 

namanya?!” 

 Dengan langkah berat Pendekar 212 tinggalkan tempat itu. Namun satu

bayangan biru yang berkelebat beberapa langkah di hadapannya membuat murid 

Eyang Sinto Gendeng ini menjadi terkesiap kaget dan cepat-cepat menyelinap 

ke balik sebatang pohon besar untuk menjaga segala kemungkinan. Di depan dan 

di sekitarnya tidak terdengar suara apa, juga tidak kelihatan satu gerakanpun. 

 Ketika Wiro berpaling ke belakang nyawanya laksana terbang. Di belakangnya di 

balik pohon itu tahu-tahu telah tegak gadis cantik jelita yang disebutnya dengan 

panggilan Bidadari angin Timur itu. Dan kali ini si gadis ternyata tidak lagi mengenakan 

pakaian merah, melainkan sudah berganti dengan pakaian biru tipis seperti yang 

dikenakan pada pertama kali Wiro melihatnya! Pendekar 212 leletkan lidah. Kedua 

matanya membesar. “Bukan main…..” kata Wiro pula. 

 “Apanya yang bukan main?” tanya si gadis. 

 “Aku tak habis pikir, bagaimana kau bisa berganti pakaian secepat ini?” 

 Si gadis tersenyum. “Aku juga tak habis pikir,” katanya. 

 “Tentang apa?” 

 “Tentang dirimu! Bagaimana kau bisa membuka pakaian secepat ini?”

 Wiro memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Tiba-tiba dia merasa seperti 

disapu angin. Tubuhnya berputar tiga kali. Ketika dia bisa berdiri lagi seperti biasa, 

murid Sinto Gendeng ini berseru kaget. Saat itu dia tidak lagi mengenakan baju dan 

celana panjang putihnya. Dia berdiri hanya mengenakan celana bagian dalam! 

Pakaiannya kelihatan bertebaran di depan kakinya. 

 “Gila! Bagaimana bisa jadi begini? Ilmu aneh apa yang dimiliki gadis ini? 

Untung aku tidak ditelanjanginya sampai bugil!” teriak Wiro. Dia memandang 

berkeliling. Di depannya terdengar suara tawa cekikikan. Memandang ke depan 

dilihatnya gadis berbaju biru tipis itu tegak di samping semak belukar sambil 

melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar Wiro mengejarnya. 

 “Gadis nakal! Kau berani mempermainkanku! Jangan kira aku tidak bisa 

menjahilimu!” teriak Wiro. Lalu enak saja dia membuat gerakan seperti hendak 

menanggalkan celana dalamnya. 

 Di depan sana Bidadari Angin Timur keluarkan suara terpekik lalu memutar 

tubuh melarikan diri. Wiro cepat tarik kembali celana dlamnya ke atas lalu 

mengambil baju dan celana panjangnya yang tercampakan di tanah, sekali lompat saja 

dia segera mengejar gadis itu. 

Beberapa hari kemudian ketika Pendekar 212 dan Bidadari Angin Timur muncul 

di puncak Gunung Gede, sepasang kakek nenek tampak duduk di tangga batu sambil 

tertawa-tawa dan masing-masing memegang sebuah tabung bambu berisi tuak. 

 Kakek nenek ini bukan lain adalah Dewa Tuak dan Sinto Gendeng yang 

berhasil diselamatkan dari racun binatang berbisa oleh kesaktian Kapak Maut Naga 

Geni 212. 


Tamat